Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius Bagian 1
21. SIRKUS MISTERIUS Ebook by BBSC - OCR by Raynold
Bab 1 BERLIBUR DI RUMAH "Aduh, George! Kau ini" tidak bisakah duduk tenang sebentar saja?" keluh Julian.
"Mana kereta api bergoncang-goncang terus, ditambah lagi kau bolak-balik
tersandung pada kakiku. karena sibuk mondar-mandir dari jendela ke jendela!"
"Yah, kita kan sudah hampir sampai di Kirrin! Kita sudah hampir tiba di rumah!"
kata George bersemangat. "Sulit rasanya menahan diri. Aku kangen sekali pada
Timmy selama semester yang lalu. Aku sudah tak sabar lagi, ingin lekas-lekas
melihatnya. Aku senang memandang ke luar, untuk melihat sudah seberapa dekat
kita ke Kirrin. Bagaimana - apakah Timmy akan menyongsong kita nanti di stasiun,
sambil menggonggong-gonggong dengan gembira?"
"Jangan konyol, ah," tukas Dick. "Timmy memang anjing pintar, tapi mana mungkin
ia bisa membaca jadwal kedatangan kereta api!"
"Itu tidak perlu baginya," kata George. "Timmy selalu tahu, kapan aku pulang."
"Kurasa ia betul-betul tahu," kata Anne sependapat. "Ibumu kan sering bercerita.
Timmy selalu gelisah pada hari-hari saat kau akan datang berlibur. Ia tidak bisa
tenang. Selalu saja mondar-mandir ke pintu pagar depan, dan memandang ke jalan."
"Timmy yang manis," kata George. Untuk kesekian kalinya ia tersandung pada kaki
Julian, ketika ia kembali berpindah jendela untuk memandang ke luar. "Kita sudah
hampir sampai. Lihatlah, itu palang sinyal - dan arahnya menunjuk ke bawah.
Hore!" Ketiga saudara sepupunya memperhatikan dirinya dengan geli. George memang selalu
begitu, dalam perjalanan pulang pada saat liburan sekolah. Pada saat-saat
demikian, yang diingatnya hanya Timmy belaka. Julian memandang George. Menurut
perasaannya, saudara sepupunya saat itu mirip sekali anak laki-laki yang
gelisah, dengan rambut ikalnya yang dipangkas pendek, serta tarikan air mukanya
yang tegas. George sebenarnya anak perempuan. Tapi ia kepingin sekali menjadi
laki-laki. Karenanya tingkah laku dan gaya bicaranya selalu meniru anak lakilaki. Ia tidak pernah mau menjawab, apabila disapa dengan nama yang sebenarnya Georgina! "Kereta kita masuk ke stasiun Kirrin'" seru George. Nyaris saja ia terjatuh dari
jendela. "Aku sudah bisa melihat tukang angkut barang langganan kita! Hoi - Pak
Peters. Kami datang lagi. KAMI DATANG LAGI!"
Kereta api memasuki stasiun, lalu berhenti dengan suara mendesis. Tukang angkut
barang yang bernama Peters melambai sambil nyengir. Ia mengenal George sejak
anak itu masih bayi. George membuka pintu kereta, lalu meloncat ke luar.
"Kita sampai! Kita berada di Kirrin kembali! Wah - mudah-mudahan Timmy menjemput
kita!" katanya bersemangat.
Tapi Timmy tidak kelihatan di situ.
"Rupanya ia lupa, kau datang hari ini" kata Dick sambil nyengir. George
menatapnya dengan tampang masam. Sementara itu Peters datang menghampiri sambil
tersenyum lebar. Ia mengucapkan selamat datang pada keempat anak yang baru turun
dari kereta. Setiap orang di desa Kirrin mengenal Lima Sekawan - yaitu keempat
anak itu, serta Timmy. Peters bergegas mengeluarkan barang-barang mereka dari kereta, lalu
menumpukkannya di atas gerobak sorongnya Sambil mendorong gerobak sepanjang
peron, ia bercakap-cakap dengan mereka.
"Nanti begitu truk datang, barang-barang kalian ini akan kusuruh antarkan ke
Pondok Kirrin," katanya. "Nah - bagaimana keadaan di sekolah?"
"Hebat!" jawab Dick. "Tapi semester yang lalu ini rasanya lama sekali, karena
liburan Paskah tahun ini agak lambat dimulai. Wah! Lihatlah - mawar liar sudah
mekar, di sepanjang tanggul rel!"
Tapi George tidak sempat memperhatikan hal-hal remeh seperti itu, ia masih terus
mencari-cari Timmy dengan matanya. Di mana anjing kesayangannya itu" Apa
sebabnya ia tidak datang menjemput mereka di stasiun" Sebelumnya, Timmy selalu
datang apabila mereka datang! George memandang Dick dengan wajah cemas.
"Jangan-jangan Timmy sakit!" katanya. "Atau, sudah lupa padaku! Atau....?"
"Ah - kau ini macam-macam saja," kata Dick. "Mungkin ia tidak bisa keluar dari
rumah saat ini! Awas! - Nyaris saja kau ditubruk bis itu!"
George buru-buru meloncat ke pinggir. Matanya melotot, menatap bis listrik yang
lewat. Ke mana si Timmy" George merasa yakin, anjingnya itu pasti sakit. Atau jangan-jangan mengalami kecelakaan. Atau diikat, sehingga tidak bisa ke manamana. Mungkin Joan, juru masak keluarga George lupa melepaskannya.
"Aku ingin naik taksi ke rumah, kalau uangku cukup untuk itu," kata George
sambil mengeluarkan dompetnya. "Kalian boleh saja jalan kaki pulang. Aku harus
segera melihat apa yang terjadi dengan Timmy- karena selama ini belum pernah ia
tidak menyongsong kedatanganku di stasiun."
"Wah, George - kan sekarang asyik, kalau kita berjalan kaki ke Pondok Kirrin,"
kata Anne. "Kau kan paling senang melihat Pulau Kirrin milikmu sementara kita
berjalan pulang ke rumahmu. Belum lagi melihat teluk, serta mendengar deburan
ombak memecah pada batu karang."
"Aku akan naik taksi," kata George berkeras. Ia menghitung-hitung uang yang ada
dalam dompetnya. "Jika kalian ingin ikut dengan aku, ayo! Kalau tidak mau terserah! Yang ingin kulihat saat ini Timmy, bukan pulau atau ombak atau apa
saja! Aku merasa pasti ia sakit, atau cedera - atau begitulah!"
"Baiklah, George - kerjakanlah apa yang kauingini," kata Julian. "Moga-moga kau
nanti menemukan Timmy dalam keadaan segar-bugar, dan hanya lupa kapan kereta
datang. Sampai nanti!"
Julian beserta kedua adiknya, Dick dan Anne, mulai melangkahkan kaki
meninggalkan pelataran depan stasiun. Ketiganya bergembira, membayangkan
keasyikan berjalan kaki menuju Pondok Kirrin. Pasti menyenangkan nanti bisa
melihat Teluk Kirrin kembali, serta Pulau Kirrin - pulau milik George!
"Anak itu benar-benar mujur nasibnya, bisa memiliki sebuah pulau," kata Anne.
"Memang, Pulau Kirrin sudah sejak lama merupakan harta warisan keluarga ibunya.
Tapi tahu-tahu ibunya menghadiahkannya pada George! Pasti anak itu sebelumnya
tidak henti-hentinya merengek-rengek memintanya, sehingga akhirnya ibunya bosan
dan menghadiahkannya padanya. Wah - mudah-mudahan saja Timmy tidak apa-apa.
Tidak enak rasanya berlibur di sini, apabila ada sesuatu yang terjadi dengan
Timmy." "Ah, kalau anjing itu ternyata sakit, George kemungkinannya akan tinggal bersama
dia dalam kandangnya," kata Dick. Ia tertawa geli. "He lihatlah! Itu dia laut dan Teluk Kirrin - serta Pulau Kirrin! Kelihatannya masih tetap indah seperti
dulu!" "Dengan burung-burung camar terbang berputar-putar di atasnya, sambil menjeritjerit dengan suara seperti kucing mengeong," kata Julian. "Dan reruntuhan puri
kunonya juga masih tetap sama seperti sediakala. Kelihatannya, belum ada satu
batu pun yang jatuh sejak kali terakhir kita ke sana!"
"Mana mungkin kau bisa melihatnya, dari jarak sejauh ini," kata Anne. Ia
memicingkan mata, berusaha memandang lebih jelas. "Aduh, asyik ya - hari pertama
liburan! Rasanya banyak sekali waktu tersedia di depan kita, untuk bersenangsenang !" "Betul! Tapi kemudian, hari-hari libur rasanya berlalu begitu cepat," kata
Julian. "George sudah tiba di rumah atau belum, ya?"
"Tadi taksi yang ditumpanginya lewat dengan laju sekali!" kata Dick. "Pasti
George berteriak-teriak pada supir, menyuruhnya ngebut lebih laju lagi!"
"Lihatlah - itu Pondok Kirrin! Aku bisa melihat cerobong-cerobong asapnya di
kejauhan," kata Dick. "Nampak asap mengepul dari salah satu di antaranya."
"Aneh - kenapa cuma satu?" kata Julian. "Biasanya yang menyala kan api di dapur,
lalu di pediangan dalam kamar kerja Paman Quentin. Paman kan tidak tahan dingin,
apabila sedang sibuk menghitung-hitung guna ciptaannya yang hebat-hebat!"
"Mungkin ia sedang bepergian," kata Anne berharap-harap. Ia agak takut
menghadapi ayah George, yang cepat sekali naik darah. "Kurasa Paman kadangkadang perlu juga berlibur - karena selalu saja sibuk dengan pekerjaannya,".
"Wah, mudah-mudahan saja kita tidak terlalu mengganggu nanti," kata Julian.
"Kasihan Bibi Fanny, kalau Paman tidak henti-hentinya berteriak, memarahi siapa
saja. Kita harus berusaha agar sesedikit mungkin berada di dalam rumah. Kita
harus sering melancong ke luar."
Sementara itu mereka sudah hampir sampai di Pondok Kirrin. Ketika mereka
menghampiri pintu pagar pekarangan depan, nampak George berlari-lari menyusur
jalan kebun. Julian sangat kaget, karena ternyata George menangis tersedu-sedu.
"Wah! Kelihatannya memang ada sesuatu terjadi dengan Timmy!" katanya ketakutan.
"Kalau tidak begitu, mana mungkin George menangis" Apakah yang terjadi?"
Dengan cemas mereka pun lari menyongsong.
Sambil berlari, Anne berseru-seru, "George! Ada apa, George" Ada apa dengan
Timmy" Apakah yang terjadi?"
"Kita tidak bisa berlibur di sini," kata George di sela isaknya. "Kita harus
pergi ke tempat lain! Ada sesuatu yang terjadi di sini - sesuatu yang tidak
enak!" "Tapi apa" Bilang dong, Goblok!" kata Dick dengan tidak sabar. "Aduh, apa sih
yang terjadi" Apakah Timmy yang ditubruk mobil - atau kejadian lain?"
"Bukan - bukan Timmy," kata George. Ia mengusap air mata dengan punggung
tangannya, karena seperti biasanya, ia tidak membawa sapu tangan. "Tapi Joan juru masak kami!" "Kenapa dia?" tanya Julian. Ia sudah membayangkan segala macam kemungkinan yang
tidak-tidak. "Bilang dong, George!"
"Joan terserang penyakit jengkering," kata George sambil terisak sedih. "Karena
itu kita tidak bisa tinggal di Pondok Kirrin."
"Kenapa tidak bisa?" tanya Dick. "Joan kan bisa saja dibawa ke rumah sakit,
sedang kita tinggal di sini untuk membantu ibumu. Kasihan, Joan! Tapi sudahlah,
George - penyakit jengkering sekarang sudah tidak berbahaya lagi. Yuk, kita
masuk saja -untuk menenangkan ibumu. Kasihan Bibi Fanny! Pasti ia bingung saat
ini - apalagi kita berempat sekarang berada di sini. Tapi sudahlah, kita kan
bisa.... " "Jangan cerewet, Dick!" ujar George kesal.
"Kita tidak bisa tinggal di Pondok Kirrin. Ibu tadi bahkan sama sekali tidak
mengizinkan aku masuk ke rumah. Aku disuruhnya menjauh. Katanya, aku harus
menunggu di kebun. Sebentar lagi dokter datang."
Saat itu terdengar suara memanggil-manggil mereka dari salah satu jendela rumah.
"Kalian sudah datang, Anak-anak" Julian, coba kau kemari sebentar!"
Anak-anak menuju ke kebun. Sesampai di sana, mereka melihat Bibi Fanny
menjulurkan tubuh dari jendela salah satu kamar tidur.
"Dengar baik-baik, Joan terserang penyakit jengkering, dan sekarang sedang
menunggu mobil ambulans yang akan membawanya ke rumah sakit. Lalu...."
"Anda tidak perlu bingung, Bibi Fanny," seru Julian dengan riang. "Kami semua
akan membantu." "Kau masih belum mengerti rupanya, Julian," kata bibinya. "Soalnya begini. Baik
aku maupun paman kalian belum pernah kena penyakit jengkering. Karena itu saat
ini kami harus diasingkan. Kami tidak boleh berdekatan dengan orang lain, supaya
kalau kami sakit, tidak akan menulari orang lain - termasuk kalian berempat."
"Bisakah Timmy ditulari?" tanya George sambil menyedot hidung.
"Tentu saja tidak! Jangan begitu, George," kata ibunya. "Pernahkah kau mendengar
anjing terserang penyakit campak, atau batuk kering, atau penyakit manusia
lainnya" Tidak - Timmy tidak perlu diasingkan. Kau boleh mengambilnya dari dalam
kandangnya, kapan saja kau mau."
Seketika itu juga tampang George nampak cerah kembali. Ia bergegas pergi ke
belakang rumah. Sambil lari ia berseru-seru, memanggil-manggil Timmy. Saat itu
juga terdengar gonggongan anjing menjawab panggilannya!
"Apakah yang perlu kami lakukan, Bibi Fanny?" tanya Julian.
"Kami tidak bisa pulang ke rumah, karena orang tua kami belum kembali dari
Jerman. Apakah sebaiknya kami menginap di hotel saja?"
"Wah, jangan! Nantilah, akan kupikirkan ke mana kalian bisa pergi selama liburan
ini!" kata Bibi Fanny. "Astaga, berisiknya si Timmy! Kasihan Joan - saat ini ia
merasa kepalanya pusing sekali !"
"Nah, ambulansnya datang," kata Anne, sementara sebuah mobil ambulans rumah
sakit yang besar berhenti di depan pagar rumah. Dengan segera Bu Kirrin pergi
dari jendela, untuk memanggil Joan. Pengemudi ambulans datang ke pintu depan,
diikuti seorang rekannya yang membawa tandu. Keempat anak yang menunggu di kebun
memperhatikan dengan heran.
"Mereka datang menjemput Joan," kata Julian.
Ternyata dugaannya benar. Tak lama kemudian kedua petugas rumah sakit itu sudah
keluar lagi, dengan Joan terbaring di atas tandu yang mereka usung. Joan
terbungkus tubuhnya dengan selimut. Juru masak itu melambai ke arah anak-anak,
ketika ia lewat dekat mereka.
"Tak lama lagi aku pasti kembali," katanya dengan suara agak serak. "Tolonglah
Bu Kirrin sebisa-bisa kalian. Sayang aku jatuh sakit pada saat ini!" ,
"Kasihan Joan," kata Anne. Air matanya berlinang-linang. "Cepatlah sembuh. Kami
merasa kehilangan Anda!"
Pintu ambulans ditutup dan kendaraan itu pergi lagi.
"Apa yang kita lakukan sekarang?" tanya Dick, sambil berpaling menatap Julian.
"Pulang ke rumah, tidak bisa -tapi di sini pun tidak mungkin! Nah - itu Timmy
datang! Bagaimana kabarmu, Tim" Untung kau tidak mungkin ketularan penyakit
jengkering. Aduh, hati-hati, jangan kaurubuhkan aku. Aduh, bukan main
bersemangatnya kau ini!"
Tapi hanya Timmy saja yang saat itu merasa bersemangat Anak-anak agak kecut
perasaannya. Wah, apakah yang harus mereka lakukan sekarang" Ke mana mereka bisa
pergi" Tidak enak rasanya, mengawali saat libur dengan cara begitu!
Bab 2 RENCANA BAGI LIMA SEKAWAN
George masih nampak gundah. Mula-mula khawatir karena takut Timmy sakit atau
cedera. Dan kini gugup, melihat Joan diangkut pergi dengan ambulans. Sebagai
akibatnya, ia malah merepotkan.
"Sudahlah, jangan begitu terus, George," kata Anne. "Saat ini kita harus
berkepala dingin, dan mencari jalan keluar dari kesulitan ini."
"Aku ingin mendatangi Ibu," kata George. "Aku tidak peduli, apakah ia dalam
karantina atau tidak."
"Tidak bisa!" kata Julian. Dengan tegas dipegangnya lengan saudara sepupunya
itu. "Kau tahu betul, apa arti karantina. Ketika kau terserang penyakit batuk
kering, kau dilarang mendekati kami. Soalnya. ada bahaya penularan! Selama
beberapa minggu kau bisa menularkan penyakit itu pada orang lain. Kalau penyakit
jengkering, waktunya cuma dua minggu - kalau tidak salah. Jadi tidak begitu
lama." Tapi George tetap saja terisak-isak. Ia berusaha membebaskan diri dari pegangan
Julian. Julian mengedipkan mata pada Dick, sambil mengatakan sesuatu yang dengan
segera mengakibatkan sikap George berubah.
"Aduh, kau ini, George!" katanya. "Berhentilah bersikap seperti anak perempuan
yang cengeng. Kasihan, Georgina! Georgina cilik yang malang'"
Seketika itu juga George berhenti menangis. Ditatapnya Julian dengan mata
melotot. Ia pa1ing tidak suka dikatakan anak perempuan yang cengeng! Apalagi
disapa dengan namanya yang sejati, Georgina! Ditinjunya Julian keras-keras.
Julian mengelak sambil nyengir.
"Nah - begitu dong!" katanya. "Bergembiralah! Coba lihat, Timmy sampai
memandangmu dengan heran. Ia kan hampir tak pernah mendengarmu menangis." .
"Aku tidak menangis!" tukas George. "Aku cuma - yah, aku cuma sedih memikirkan
Joan. Lagipula, tidak enak rasanya, tidak tahu harus pergi ke mana!"
"Kudengar Bibi Fanny sedang menelepon di dalam," kata Anne. Pendengarannya
sangat tajam. Ia mengusap-usap kepala Timmy, yang menjilati tangannya.
Sebelumnya, ia sudah memberikan sambutan hangat pada semuanya, sambil melolong
pelan karena senang. Ia sangat gembira melihat George sudah kembali lagi. Ia pun
ikut sedih bercampur heran, melihat George begitu suram tampangnya. Timmy memang
merasa dirinya anggota Lima Sekawan!
"Yuk, kita duduk-duduk dulu sambil menunggu berita dari Bibi," kata Julian. Ia
langsung duduk di rumput. "Rasanya konyol juga, berdiri seperti patung sambil
menatap rumah. Sebentar lagi, Bibi Fanny pasti akan sudah muncul di jendela
kembali. Pasti ia mendapat gagasan yang baik bagi kita. Timmy! Aku tak mau
duduk, jika kaujilati terus-menerus. Nanti aku memerlukan handuk untuk
mengeringkan tengkukku!"
Lelucon itu menyebabkan anak-anak agak merasa gembira lagi. Mereka semua dudukduduk di rumput. Timmy mendatangi mereka satu per satu. Ia merasa keluarganya
sudah berkumpul lagi semua. Ia merasa senang sekali. Akhirnya ia merebahkan
diri, sambil menyandarkan dagu ke lutut George. George mengelus-elus telinga
anjingnya. "Bibi sudah meletakkan pesawat telepon kembali ke tempatnya," kata Anne yang
masih tetap memasang telinga. "Sekarang ia pasti akan muncul di jendela lagi."
"Pendengaranmu seperti anjing saja! Kau boleh menjadi saingan Timmy," kata Dick.
"Aku sendiri sama sekali tidak mendengar apa-apa!"
"Ibu datang!" kata George sambil meloncat bangkit, ketika Bu Kirrin nampak
menjulurkan badan keluar dari jendela.
"Beres, Anak-anak!" kata Bu Kirrin. "Aku sudah berhasil mengatur rencana untuk
kalian. Aku tadi menelepon sarjana rekan kerja ayahmu, George. Kau tahu kan,
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Profesor Hayling! Sebenarnya ia akan datang ke sini untuk satu dua hari. Ketika
kukatakan padanya bahwa ia tidak bisa kemari karena saat ini kami berada dalam
karantina, ia langsung mengatakan sebaiknya kalian semua datang saja ke
rumahnya. Katanya, si Utik - kalian ingat kan, itu putranya - pasti senang
sekali kalau kalian datang!"
"Si Utik! Wah -mana mungkin kita melupakannya, termasuk monyetnya!" kata Julian.
"Ia kan anak yang memiliki mercu suar tua di Karang Setan" Waktu itu kami ikut
dengan dia tinggal di sana. Asyik deh!"
"Kurasa kali ini kalian takkan bisa menginap lagi di mercu suar itu," kata Bibi
Fanny. "Pada suatu ketika ada badai, dan angin kencang merusak mercu suar
sehingga tidak aman lagi untuk ditinggali."
Anak-anak mengeluh mendengar kabar itu. Timmy tidak mau ketinggalan. Ia pun ikut
mengerang. "Kalau begitu, ke mana kami harus pergi" Apakah ke rumah si Utik?" tanya Dick.
"Ya! Dari sini kalian bisa naik bis. Berangkat dari Lembah Kecil. Dengan bis itu
kalian nanti turun dekat Lembah Besar, di mana Profesor Hayling bertempat
tinggal," kata Bibi Fanny menjelaskan. "Kalian berangkat ke sana hari ini juga!
Aku sendiri menyesal - tapi apa boleh buat, kita harus menerima kenyataan.
Kurasa kalian pasti akan bisa senang bersama si Utik serta monyetnya yang iseng.
Siapa sih namanya" Aku lupa!"
"Iseng!" seru anak-anak serempak. Anne tersenyum, membayangkan akan berjumpa
lagi dengan makhluk kecil yang nakal itu, yang tidak henti-hentinya berbuat
iseng. "Sepuluh menit lagi akan ada bis lewat," kata Bibi. "Julian! Apabila kalian
merasa tidak sanggup mengangkat sendiri barang-barang kalian ke atas bis,
cobalah minta tolong pada tukang kebun. Nah, bersenang-senanglah di sana. Jangan
lupa mengirimi kartu pos ke sini. Aku juga akan memberi kabar mengenai keadaan
kami. Tapi kurasa baik aku maupun paman kalian takkan ketularan penyakit itu.
Jadi kalian tidak perlu gelisah! Nanti akan kukirimkan uang untuk belanja kalian
di sana. Sekarang cepatlah - jangan sampai ketinggalan bis!"
"Baiklah, Bibi Fanny. Terima kasih!" seru Julian. "Akan kujaga anak-anak.
Terutama George! Anda tidak perlu memikirkan kami. Mudah-mudahan saja Bibi atau
Paman tidak ketularan penyakit jengkering. Kami berangkat, Bibi Fanny!"
Keempat anak itu menuju ke pintu pagar depan, di mana barang-barang mereka masih
berada. "Anne, cobalah pergi ke jalan. Hentikan bis kalau nanti datang." kata Julian
mengatur. "Setelah itu aku, bersama Dick akan menaikkan barang-barang kita. Wah
- aku kepingin tahu, bagaimana kita nanti di Lembah Besar, bersama si Utik. Aku
punya firasat, pasti akan mengasyikkan di sana!"
"Kurasa tidak," kata George dengan suram.
"Aku senang pada si Utik. Anak itu kocak. Dan monyetnya lucu. Bandelnya bukan
main. Tapi yang kupikirkan, ayahnya. Kalian ingat tidak, bagaimana keadaannya
ketika ayah si Utik menginap di sini" Gawat! Ia tidak pernah ingat kapan kita
biasa makan, dan selalu saja ada sapu tangan atau uangnya yang tercecer. Belum
lagi sifatnya, yang lekas marah. Lama-kelamaan aku menjadi bosan padanya!"
"Yah - sekali ini mungkin ia yang akan bosan terhadap kita!" kata Julian. "Pasti
tidak menyenangkan baginya, kedatangan empat remaja. Apalagi jika ia sedang,
sibuk dengan pekerjaan yang rumit. Belum lagi kedatangan seekor anjing besar,
yang gemar menjilati orang!"
"Mana mungkin Timmy mau menjilatinya," kata George dengan segera. Tampangnya
sudah cemberut lagi. "Aku sama sekali tidak senang pada ayah si Utik."
"Sudahlah, jangan merengut," kata Julian. "Kurasa, ia pun takkan senang melihat
kita. Tapi walau begitu ia baik hati, mau mengundang kita untuk tinggal di
tempatnya. Jadi kita harus bersikap sopan terhadapnya. Mengerti" Aku tidak mau
mendengar kau berani membantahnya, George - juga apabila ia mengatakan sesuatu
tentang Timmy!" "Awas, kalau dia berani," tukas George. "Aku rasanya malas pergi ke sana.
Mendingan aku tinggal di rumah peranginan bersama Timmy, di ujung kebun sini!"
"Tidak boleh!" kata Julian tegas. Dipegangnya lengan George. "Kau harus ikut
dengan kami, dan bersikap wajar' Nah - ku dengar bis sudah datang. Yuk - kita
melambaikan tangan beramai-ramai. Mudah-mudahan saja dalam bis masih ada
beberapa tempat duduk yang kosong!"
Sementara itu Anne sudah menghentikan bis. Ia lari ke belakang, meminta tolong
pada kondektur untuk menaikkan barang-barang. Kondektur itu kenal baik dengan
anak-anak. Dengan segera ia meloncat turun.
"Wah, cepat sekali kalian sudah kembali lagi ke sekolah!" katanya. "Kusangka
liburan baru saja dimulai."
"Memang betul," kata Julian, "tapi kami akan berlibur di Lembah Besar. Bis ini
kan lewat di sana, Pak?"
"Betul, kami lewat di desa itu," kata kondektur. Ia menjinjing tiga buah tas
sekaligus. Julian merasa iri melihat kekuatan orang itu. "Di mana kalian nanti
menginap di sana?" "Di rumah Profesor Hayling," kata Julian. "Kurasa rumah itu namanya juga Lembah
Besar - seperti desanya."
"Ah - kebetulan sekali, kami nanti melewati rumah itu," kata kondektur. "Nanti
bis akan kusuruh berhenti di depan pagar, dan akan kutolong kalian menurunkan
barang-barang. Tapi ingat - di sana kalian harus baik-baik menjaga diri.
Soalnya, Profesor Hayling itu orangnya agak aneh! Cepat sekali marah, kalau ada
sesuatu yang tidak sesuai dengan kemauannya. Pernah seekor kuda tersesat masuk
ke pekarangannya. Kalian boleh percaya atau tidak-tapi kuda itu kemudian
dikejarnya terus sampai dua mil, sambil berteriak-teriak sepanjang jalan. Ketika
ia kembali di rumah dengan napas tersengal-sengal karena capek berlari - eh,
kuda iseng itu sudah ada lagi di situ, asyik memakan tanamannya. Kuda itu
ternyata cerdik, ia mengambil jalan memintas untuk kembali. Ya - kalian nanti
harus pandai-pandai membawa diri di sana. Siapa tahu, pak tua itu nanti marah,
lalu kalian dimasukkannya ke dalam salah satu mesinnya yang aneh - dan kalian
digilingnya sampai halus!"
Anak-anak tertawa mendengar lelucon itu.
"Ah, Pak Profesor itu tidak apa-apa," kata Julian. "Memang agak pelupa, seperti
umumnya orang-orang yang banyak berpikir. Kalau aku, otakku agak lamban
jalannya. Tapi Paman Quentin, nah - kalau dia itu, otaknya berjalan sampai
seratus mil dalam satu jam. Kurasa otak Pak Profesor juga berputar secepat itu!
Pokoknya, kami takkan merasa canggung di sana!"
Bis berangkat, menyusur jalan dari Kirrin menuju Lembah Kecil, dan dari situ ke
Lembah Besar. Keempat remaja itu memandang ke luar jendela ketika kendaraan
menyusur garis pantai, di mana air laut nampak biru kemilau. Sekali lagi mereka
melihat Pulau Kirrin di tengah teluk yang luas.
"Coba saat ini kita sedang berangkat ke sana!" desah George. "Kapan-kapan kita
harus piknik ke sana, untuk bersenang-senang. Aku kepingin mengajak- si Utik ke
pulauku. Ia boleh saja memiliki mercu suar, tapi memiliki pulau jauh lebih
mengasyikkan!" "Aku sependapat denganmu," kata Julian. "Mercu suar milik si Utik memang bagus,
dan pemandangan dari sana menakjubkan. Tapi ada sesuatu pada Pulau Kirrin yang
membuat aku sayang padanya. Pulau tidak bisa dibandingkan dengan apa pun juga!"
"Ya, betul," kata Anne. "Aku juga kepingin punya sebuah pulau. Tidak perlu besar
- yang kecil saja pun sudah cukup! Supaya aku bisa melihat berkeliling dengan
sekali pandang. Kecuali itu di situ juga harus ada sebuah gua kecil untuk
tempatku tidur - cukup untuk aku seorang diri saja! "
"Kau pasti akan lekas merasa kesepian di situ, Anne," kata Dick. Ia menepuk
adiknya dengan perasaan sayang. "Kau kan senangnya jika dikelilingi orang ramai.
Kau suka bersikap ramah!"
"Timmy juga begitu!" kata Julian, sementara Timmy turun dari pangkuan George,
lalu mengenai endus-endus tas jala yang dipegang seorang laki-laki tua. Orang
itu sama sekali tidak marah. Ia mengelus-elus anjing bertubuh besar itu, lalu
mengambilkan sepotong biskuit untuknya dari sebuah kantong kertas. "Timmy tidak
peduli berapa banyak orang ada di sekitarnya, asal ada di antaranya yang
mempunyai biskuit atau tulang untuk dia."
"Ayo duduk, Timmy!" kata George. "Kau tidak boleh mengemis-ngemis pada orang
lain, seolah-olah kau ini kelaparan! Padahal makanmu banyak sekali. Kurasa tak
ada anjing lain di Kirrin yang bisa menandingimu dalam soal makan. Ayo - siapa
yang selalu menghabiskan makanan untuk kucing, kalau diberi kesempatan?"
Timmy menjilat tangan George, lalu duduk di sampingnya. Kepalanya disandarkannya
di atas sepatu tuannya itu. Setiap kali ada orang naik atau
turun dari bis, Timmy selalu berdiri dengan sopan. Kondektur sampai kagum
melihatnya. "Coba semua anjing yang naik bisku ini sesopan anjingmu itu," kata kondektur.
"Nah, kalian kini harus bersiap-siap untuk turun. Halte berikut sebenarnya agak
di luar Lembah Besar. Tapi tak apa" Nanti akan kubunyikan bel, dan bis akan
berhenti sejenak di tengah jalan, supaya kalian bisa turun." "Wah - terima kasih, Pak," kata Julian. Semenit kemudian bis berhenti, dan
keempat remaja beserta anjing mereka bergegas meloncat turun. Setelah itu bis
berangkat lagi, meninggalkan mereka berdiri di depan pintu pagar yang besar.
Pintu itu terbuat dari kayu. Di balik pintu, jalan menurun terjal ke bawah.
Sebuah rumah besar nampak di sela-sela pohon yang besar-besar, dalam sebuah
lembah. "Lembah besar!" kata Julian. "Nah - sekarang kita sudah sampai di tujuan, Tempat
ini agak aneh kelihatannya! Misterius - seolah-olah merenung Sekarang kita
mencari si Utik. Pasti ia bergembira jika melihat kita nanti - apalagi melihat
Timmy! Tolong aku mengangkat tas-tas kita, Dick!"
Bab 3 BERTEMU KEMBALI Anak-anak serta Timmy masuk ke dalam pekarangan, melewati pintu pagar. Pintu itu
berderak dengan nyaring, ketika dibuka. Timmy kaget mendengarnya, lalu
menggonggong dengan keras.
"Ssst!" desis George. "Kau nanti akan mengalami kerepotan dengan Pak Profesor,
Timmy - jika kau menggonggong senyaring itu. Kurasa di sini kita pasti harus
berbisik-bisik kalau bicara, supaya jangan mengganggu dia! Jadi kau juga harus
mencoba berbisik pula!"
Timmy mendengking pelan. Ia tahu - mana mungkin anjing bisa berbisik! ia
berjalan mengikuti George, sementara anak-anak melangkah, menuruni jalan kecil
yang terjal menuju rumah. Rumah itu aneh potongannya. Dibangunnya miring
terhadap jalan masuk. Tidak banyak jendela yang nampak pada, rumah itu. Aneh!
"Kurasa Profesor Hayling takut, kalau ada orang mengintip ke dalam, dalam
melihat kesibukan kerjanya," kata Anne. "Tugasnya sangat rahasia, kan?"
"Yang kuketahui cuma bahwa ia banyak sekali memakai perhitungan angka," kata
Dick. "Si Utik pernah bercerita, katanya monyetnya pada suatu hari menemukan
selembar kertas yang penuh dengan angka-angka ketika ia masih kecil. Kertas itu
kemudian dikunyah-kunyah oleh si Iseng. Ketika Pak Profesor melihatnya, monyet
itu dikejar-kejarnya sampai satu jam lamanya. Rupanya Profesor Hayling berharap
akan bisa menyelamatkan kertas yang ada dalam mulut monyet itu, biar sepotong
kecil sekalipun. Tapi si Iseng malah minggat, dan menyusup masuk ke dalam liang
kelinci. Sampai dua hari ia bersembunyi di situ. Jadi percuma saja segala usaha
Pak Profesor untuk menyelamatkan kertas catatannya."
Anak-anak tersenyum geli, membayangkan si Iseng bersembunyi dalam liang kelinci.
. "Kalau kau, mana mungkin berbuat seperti itu, Timmy!" kata Julian. "Tubuhmu
terlalu besar, tidak bisa disembunyikan dalam liang kelinci. Jadi hati-hati,
jangan sembarangan menyambar kertas yang tergeletak di mana pun juga!"
"Timmy takkan mau berbuat sekonyol itu," kata George dengan segera. ,"Ia tahu
betul, apa yang bisa dimakan dan apa yang tidak!"
"Hah! Siapa bilang," potong Anne. "Aku kepingin tahu, menurut dia sandal biruku
itu apa, yang dikunyah habis olehnya waktu liburan yang lalu! Dikiranya kue,
barangkali'" "Jangan seenaknya menuduh," tukas George. "Sandalmu itu digigit-gigit olehnya,
karena ada yang mengunci dirinya dalam kamar tidurmu, dan ia tidak tahu apa lagi
yang harus diperbuatnya di situ !"
"Guk!" gonggong Timmy, seolah-olah membenarkan keterangan George. Dijilatnya
tangan Anne, seolah-olah mengatakan, "Maaf Anne - tapi waktu itu aku merasa
bosan sekali!" "Kau manis! Aku tak keberatan kalau kau mengunyah habis semua sandalku!" kata
Anne. "Tapi aku lebih senang, jika kau memilih milikku yang paling usang!"
Tiba-tiba Timmy berhenti berjalan. Matanya menatap ke dalam semak. Ia menggeram
dengan galak. George cepat-cepat memegang kalung leher anjingnya. Ia selalu
merasa khawatir, kalau-kalau ada ular dalam semak.
"Jangan-jangan ular berbisa!" katanya. "Tahun lalu anjing tetangga kami kabarnya
tanpa sengaja menginjak seekor ular. Ular itu menggigit. Sebagai akibatnya, kaki
anjing itu bengkak. Sakitnya bukan kepalang! Ayo, kita pergi, Timmy! Itu pasti
ular berbisa! " Tapi Timmy masih saja menggeram-geram. Kemudian ia mengendus-endus. Ia
mendengking-dengking, berusaha membebaskan diri dari pegangan George. Begitu
pegangan terlepas, Timmy langsung menerobos masuk ke dalam semak. Tapi sejenak
kemudian sudah keluar lagi, dengan seekor - bukan, bukan ular, tapi bersama si
Iseng, monyet kesayangan si Utik.
Monyet iseng itu melompat naik ke punggung Timmy. Cakarnya mencengkeram kalung
leher anjing itu, sementara mulutnya berceloteh dengan ribut. Jelas sekali
kedengaran bahwa monyet itu merasa bergembira. Sedang Timmy nyaris terkilir
lehernya, karena ia memaksa diri hendak memalingkan kepala dan menjilati si
Iseng. "Iseng!" seru anak-anak serempak. "Kau datang menyongsong kami!"
Dan monyet kecil itu, sambil berceloteh ribut dalam bahasanya sendiri, mula-mula
meloncat ke bahu George, dan kemudian berpindah ke bahu Julian. Rambut Julian
ditarik-tarik olehnya. Telinganya yang sebelah kanan dipilin. Setelah itu si
Iseng pindah lagi ke bahu Dick, lalu ke bahu Anne. Di situ ia meringkuk,
merapatkan diri ke leher Anne. Matanya yang berkilat-kilat, memancarkan sinar
bahagia. "Dia senang sekali rupanya melihat kita!" kata Anne dengan gembira. "Mana Utik,
Iseng?" Si Iseng meloncat turun, lalu bergegas-gegas menyusur jalan menuju ke rumah. Ia
seakan-akan memahami pertanyaan Anne. Anak-anak berlari menyusul. Tapi mereka
tiba-tiba dikagetkan oleh suara seseorang yang berseru dengan keras dari suatu
tempat di tepi jalan itu.
"Mau mencari apa kalian di sini" Keluar! Pekarangan ini milik pribadi! Awas,
kupanggilkan polisi nanti! Keluar!"
Keempat remaja itu terpaku karena kaget dan takut. Sesaat kemudian Julian
melihat, siapa yang berteriak dengan marah itu. Ternyata Profesor Hayling.
Dengan segera ia maju manghampiri.
"Selamat siang, Pak," katanya. "Maaf kalau kami mengganggu, tapi Anda tadi kan
mengatakan pada bibi kami, bahwa kami bisa berlibur di sini."
"Bibi kalian" Siapa itu - bibi kalian" Aku sama sekali tidak mengenal bibi siapa
pun juga!" Profesor Hayling masih tetap marah-marah. "Kalian ini pasti pelancong! Kalian
kemari untuk mengintip pekerjaanku, karena kalian pernah membaca berita
mengenainya dalam salah satu surat kabar konyol! Kalian ini sudah yang ketiga
hari ini. Ayo keluar - dan bawa anjing kalian itu! Seenaknya saja, memasuki
pekarangan rumah orang lain!"
"Tapi, Pak - masa Anda tidak mengenal kami?" tanya Julian dengan bingung. "Anda
kan pernah menginap di rumah paman kami, dan...."
"Omong kosong!" potong Profesor Hayling. "Sudah sejak bertahun-tahun aku tidak
pernah bepergian lagi!"
Si Iseng begitu takut mendengar suara Profesor marah-marah, sehingga ia meloncat
masuk ke dalam semak, sambil mengeluarkan bunyi lirih. Kedengarannya seperti
menangis. "Mudah-mudahan saja ia memanggil si Utik" kata Julian dengan suara pelan pada
Dick. "Rupanya Profesor sudah lupa pada kita, dan bahwa kita datang untuk
berlibur di sini. Yuk, kita mundur saja sebentar."
Anak-anak lantas mundur teratur, mendaki jalan terjal itu kembali, dengan
diikuti Profesor Hayling yang masih marah-marah. Tapi tiba-tiba terdengar suara
lantang, menyapa. Sesaat kemudian si Utik datang bergegas-gegas. Si Iseng
bertengger di bahunya, sambil berpegang erat pada rambut anak itu. Ternyata
monyet kecil itu tadi memang pergi menjemputnya!
"Syukurlah," pikir Julian dengan senang.
"Ayah - kenapa kawan-kawan kita dibentak-bentak?" seru si Utik. Ia menandaknandak dengan gelisah di depan ayahnya yang masih marah. "Kan Ayah sendiri yang
mengundang mereka ke sini?"
"Siapa bilang" Aku tidak mengundang mereka! Siapa sih, mereka ini?" tanya
Profesor Hayling. "Aduh, Ayah ini keterlaluan!" kata si Utik. "George, yang perempuan ini, putri
Pak Kirrin, teman Ayah. Lalu yang lain-lain, saudara sepupunya. Sedang itu
anjing mereka, Timmy. Ayah mengundang mereka tinggal di sini, karena Pak Kirrin
dan istrinya saat ini dikarantina karena ada bahaya penularan penyakit
jengkering!" Si Utik ikut berteriak-teriak, sambil menandak-nandak terus di
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
depan ayahnya. "Sudah - jangan menandak-nandak terus," kata Pak Profesor dengan jengkel. "Aku
tak ingat pernah mengundang mereka. Kalau ya, aku tentunya kan mengatakan hal
itu pada Jenny, pembantu kita!"
"Ayah memang sudah mengatakan hal itu padanya!" teriak si Utik.ia masih terus
memencak-mencak. Si Iseng ikut melompat-lompat di atas bahu si Utik. Monyet
bandel itu asyik kelihatannya.
"Jenny bahkan sudah membereskan tempat tidur untuk mereka. Aku tadi membantunya.
Jenny marah-marah, karena Ayah tadi tidak sarapan pagi. Sedang sekarang sudah
hampir saat makan siang. Jadi hidangan sarapan sudah disingkirkan olehnya lagi."
"Aduh - pantas perutku terasa lapar, dan aku rasanya mau marah-marah saja!" kata
Profesor Hayling. Kini ia tertawa. Suaranya lantang sekali kalau tertawa,
sehingga mau tidak mau anak-anak ikut tertawa pula mendengarnya. Profesor itu
aneh sekali. Sangat cerdas - maklumlah, sarjana yang hebat- dengan pengetahuan
yang luar biasa, tapi pelupa sekali, kalau urusannya menyangkut soal-soal
sepele. Misalnya saja sarapan pagi, atau kedatangan tamu, atau perjanjian lewat
telepon! "Ini cuma salah paham saja, Pak," kata Julian dengan sopan. "Anda baik hati, mau
mengundang kami ke sini, karena kami tidak bisa tinggal di rumah disebabkan
bahaya ketularan penyakit jengkering. Kami akan berusaha tidak merepotkan Anda.
Dan kalau ada sesuatu yang bisa kami lakukan untuk membantu Anda, harap Anda
katakan saja pada kami. Kami tentu saja akan berbuat setenang. mungkin, jangan
sampai pekerjaan Anda terganggu karena kami."
"Kaudengar itu, Tik?" kata Profesor Hayling. Ia berpaling pada anaknya. Si Utik
melongo, karena. tidak menyangka akan diajak bicara dengan begitu mendadak.
"Kenapa kau tidak bisa begitu" Tidak ribut. dan tidak mengganggu kesibukanku"
Kau kan tahu saat ini aku sangat sibuk dengan proyek yang penting sekali."
Profesor Hayling berpaling lagi pada Julian. "Kalian kuterima dengan senang hati
di Sini. apabila bisa menyingkirkan si Utik dari depanku. Dan harap dengar baikbaik! Tidak seorang pun -sekali lagi kukatakan, tidak seorang pun boleh naik ke
menara itu. Mengerti?"
Anak-anak mengikuti arah telunjuknya yang menuding ke atas. Mereka melihat
sebuah menara yang langsing, menjulang tinggi ke atas di sela pepohonan. Pada
ujung atasnya nampak batang-batang besi mencuat ke luar, seperti lengan gurita
Batang-batang itu bergetar sedikit. dihembus angin.
"Dan jangan bertanya-tanya mengenainya," sambung Pak Profesor. Ia menatap George
dengan galak. "Cuma ayahmu saja satu-satunya yang tahu kegunaannya, dan dia bisa
menutup mulut!" . "Kami takkan mengutik-utik soal itu, Pak," kata Julian berjanji. "Anda sudah
baik hati mengajak kami tinggal selama liburan di sini, dan percayalah, kami
takkan merepotkan Anda sama sekali. Kalau diizinkan, kami bersedia membantu apa
saja!" "Nah - kau ini kedengarannya seorang anak yang tahu aturan," kata Profesor
Hayling. Ia sudah tenang kembali. Nampak sikapnya cukup ramah. "Nah - aku pergi
sarapan saja sekarang. Mudah-mudahan hidangannya daging goreng dengan telor mata
sapi. Aku sudah lapar sekali!"
"Ayah! Jenny kan sudah menyingkirkan hidangan sarapan! Kan itu sudah kukatakan
tadi!" kata si Utik. Nada suaranya bingung. "Sekarang kan sudah hampir waktu
makan siang!" "Ah! Bagus, kalau begitu aku langsung saja makan siang!" kata Pak Profesor. Ia
mendului masuk ke rumah. Si Utik beserta keempat tamunya, begitu pula Timmy dan
si Iseng mengikuti dari belakang. Semua kelihatan agak bingung. Pak Profesor
tidak bisa diduga, apa yang akan dilakukan olehnya saat berikutnya!
Jenny ternyata sudah menyiapkan hidangan makan siang yang serba enak. Ia telah
membuat sajian kentang yang dimasak dengan mentega, dicampur dengan wortel,
bawang dan ercis. Dan tentu saja tidak ketinggalan daging dalam potonganpotongan besar. Semua makan dengan lahap.
Si Iseng senang sekali makan ercis. Ia mencopetnya dari piring si Utik. Cakarnya
merayap dengan hati-hati, lalu - tap, disambarnya sebutir ercis lagi dari
genangan saus di piring. George dan Anne membantu Jenny menghidangkan hidangan berikut. Puding, dengan
kismis yang banyak sekali. Si Iseng berjingkrak-jingkrak kesenangan. karena ia
gemar sekali memakan kismis. Ia melompat ke atas meja. Tapi Profesor Hayling
tidak menyukai sikapnya itu. Si Iseng ditampar olehnya. Sayangnya, pukulannya
itu malah mengenai piring puding, sehingga hidangan itu terlambung sedikit.
"Aduh, Yah - nyaris saja puding kita terlempar ke lantai!" seru si Utik.
"Padahal ini makanan kegemaranku! Aduh. jangan sedikit-sedikit dong bagian kami!
Ayo Iseng, kau harus turun dari meja. Jangan kaumasukkan cakarmu ke dalam saus!"
Si Iseng menghilang ke bawah meja. Di situ ia menerima bagian kismis yang banyak
sekali, disodorkan oleh berbagai tangan, tanpa ketahuan oleh Pak Profesor. Timmy
merasa dirinya tak diacuhkan. Anjing itu juga ada di bawah meja. Ia merasa takut
mendengar suara Profesor Hayling yang keras kalau sedang marah. Sayangnya, Timmy
tidak suka memakan kismis. Jadi nasibnya tidak semujur si Iseng.
"Hah - sedaap!" kata Profesor, ketika piringnya sudah licin tandas. "Paling enak
kalau bisa sarapan dengan nikmat!"
"Itu tadi makan siang, Ayah," kata si Utik. "Masak sarapan makan puding!"
"Astaga, benar juga katamu - itu tadi puding," kata ayahnya sambil tertawa
keras. "Sekarang kalian boleh berbuat semau kalian. Asal jangan masuk ke kamar
kerja ku, atau ke bengkel atau ke menara yang tadi. Dan jangan mengutik-utik apa
pun juga! Iseng, ayo turun dari kendi air itu, nanti isinya tumpah! Kau tidak
bisa mengajari monyetmu ini sopan santun sedikit, Tik?"
Sambil berkata begitu, Profesor Hayling meninggalkan kamar makan. Ia memasuki
sebuah lorong, yang rupanya menuju ke kamar kerja atau ke bengkelnya. Anak-anak
menghembuskan napas lega.
"Sekarang kita membereskan meja makan dulu. Sesudah itu kutunjukkan kamar-kamar
kalian," kata si Utik. "Mudah-mudahan saja kalian tidak merasa bosan di sini!"
Bosan" Mana pernah Lima Sekawan merasa bosan, di mana pun mereka berada. Selalu
ada saja kejadian yang menarik kemudian!
Bab 4 GAGASAN BAIK DARI JENNY
Si Utik berlari ke dapur, untuk mengambil baki. Sambil lari, mulutnya
mengeluarkan bunyi yang aneh kedengarannya. Sesaat Timmy nampak tercengang
karenanya. "Aduh - rupa-rupanya si Utik masih mempunyai kebiasaan yang lama, berpura-pura
menjadi salah satu kendaraan bermotor," keluh Julian.
"Aku heran, bagaimana ayahnya bisa tahan mendengar dia terus-menerus begitu!
Sekarang menjadi apa lagi dia" Kalau dari bunyinya, kurasa sepeda motor!"
Tiba-tiba terdengar bunyi benturan nyaring, diiringi teriakan keras. Julian dan
ketiga saudaranya bergegas lari menuju dapur, untuk melihat apa yang terjadi.
Timmy lari paling depan. "Kecelakaan!" seru si Utik, sambil bangkit. "Aku tadi terlalu cepat menikung.
Ban depanku tergelincir, dan aku menubruk dinding. Spatborku penyok!"
"Kamu ini bagaimana, Tik! Masak masih tetap konyol seperti dulu juga, pura-pura
menjadi kendaraan bermotor," tukas Julian. "Waktu itu nyaris saja kami sinting
semua karena ulahmu mondar-mandir dalam rumah. Mestikah kau menjadi mobil, atau
sepeda motor, atau traktor?"
"Ya," jawab si Utik. Ia mengusap-usap lengannya yang menubruk dinding. "Tahutahu aku sudah menjadi mobil atau sepeda motor, dan aku lantas melaju. Kau harus
mendengar bunyiku, waktu aku menjadi truk panjang yang sedang mengangkut mobilmobil baru kemarin. Ayah sampai mengira benar-benar ada truk datang. Ia cepatcepat ke luar, untuk menyuruh kendaraan itu pergi. Tapi ternyata yang berbunyi
itu aku. Aku juga membunyikan tuter - begini!"
Saat itu juga terdengar bunyi tuter mobil yang nyaring, memenuhi lorong antara
kamar makan dengan dapur. Julian cepat-cepat mendorong Utik masuk ke dapur, lalu
menutup pintu. "Aku heran, kenapa ayahmu belum sampai gila, sekarang karena ulahmu!" tukasnya.
"Sekarang jangan ribut lagi. Kau ini masih seperti anak kecil saja tingkahmu!"
"Aku memang masih kecil," kata Si Utik. Ia merajuk. "Aku tidak mau menjadi
besar. Nanti aku menjadi seperti ayah ku, lupa makan, dan kalau pergi hanya
memakai kaus kaki sebelah. Aku tidak mau sampai lupa makan! Bayangkan - nanti
aku kan bisa setengah mati kelaparan!"
Mau tidak mau, Julian terpaksa tertawa mendengar bantahan itu. .
"Sekarang angkat bakimu, dan bantu kami membereskan meja!" perintahnya. "Dan
kalau kau tidak bisa menahan diri dan harus menjadi kendaraan bermotor, pergilah
ke luar! Kalau di dalam rumah, kedengarannya berisik sekali. Kau ini paling
hebat, kalau menirukan bunyi-bunyi yang ribut."
"O ya" Aku benar-benar hebat?" kata si Utik senang. "Kau mau mendengar aku
menjadi pesawat terbang model baru yang kadang-kadang melintas di -atas sini"
Bunyinya -aneh - menderum!"
"Tidak! Aku tidak mau," jawab Julian tegas. "Sekarang cepat ambil baki, Tik! Dan
bilang pada si Iseng, ia- harus pergi dari kaki kananku. Rupanya ia menganggap
kakiku ini kursi, yang bisa diduduki seenaknya saja!"
Tapi si Iseng tidak mau pergi. Dipeluknya mata kaki Julian erat-erat.
"Ya deh, ya deh," kata Julian mengalah. "Apa boleh buat! Rupanya aku akan
terpaksa mondar-mandir sepanjang hari, dengan kau bergantung pada kakiku."
"Jika kau berjalan sambil menghentak-hentakkan kaki, pasti dengan sendirinya ia
turun," kata si Utik sambil lalu.
"Kenapa tidak bilang dari tadi?" tukas Julian. Ia berjalan sambil menghentakhentakkan kaki. Dengan segera si Iseng meloncat turun, lalu duduk di atas meja
sambil mengomel. Setidak-tidaknya, begitulah kedengarannya!
"Si Iseng suka duduk sampai lama sekali di atas kaki ayahku, juga pada saat Ayah
berjalan mondar-mandir," kata si Utik. "Tapi Ayah sama sekali tidak
menyadarinya! Bahkan pernah si Iseng bertengger di atas kepala Ayah. Ayah
mengira, ia lupa membuka topi. Karenanya ia lantas meraih ke atas kepala, hendak
membukanya. Ternyata yang ada di situ bukan topi, tapi si Iseng!"
Anak-anak tertawa semua mendengar cerita itu.
"Tapi sekarang kita benar-benar harus membereskan meja makan," kata Julian.
"Kita bertiga, yang laki-1aki membawa baki dengan piring kotor ke dapur,
sementara anak-anak perempuan yang mencuci. Dan jangan beri kesempatan pada si
Iseng untuk ikut membawakan poci teh atau tempat susu."
Jenny senang sekali dibantu. Juru masak itu bertubuh pendek gemuk. Kalau
berjalan olengnya bukan main. Tapi gerakannya cekatan!
"Sehabis ini akan kutunjukkan tempat tidur bagi para tamu kita," katanya. "Tapi
kasur-kasur yang kita suruh betulkan, ternyata belum kembali, Tik. Aku sudah
sampai bosan meminta pada ayahmu agar ia menelepon tentang hal itu. Tapi aku
yakin, ia sudah lupa lagi."
"Aduh, Jenny!" kata si Utik dengan nada kecewa. "Kalau begitu, dua tempat tidur
tidak bisa dipakai. Lalu bagaimana sekarang?"
"Yah - ayahmu terpaksa memesan dua kasur baru hari ini juga," kata Jenny.
"Mungkin perusahaan mebel mau mengirimkan dengan truk ke sini."
Seketika itu juga si Utik menjelma menjadi truk pengangkut mebel. Ia meluncur
menyusur lorong, masuk ke kamar makan lalu kembali lagi. Si Iseng membuntutinya
dengan asyik. Anak konyol itu menirukan bunyi truk yang sedang berjalan dengan
pelan. Anak-anak yang lain tertawa melihat tingkahnya.
Saat itu Profesor Hayling bergegas keluar dari kamar kerjanya, sambil menutupi
kedua telinga. "Utik! Sini!" "Tak usah, ya," kata si Utik waspada. "Maaf, Ayah. Aku menjadi truk, mengangkut
kasur-kasur yang Ayah lupa pesankan untuk tamu-tamu kita."
Tapi Pak Profesor seolah-olah tak mendengar perkataannya. Dihampirinya si Utik,
yang dengan cepat melesat naik tangga ke tingkat atas, diikuti oleh si Iseng.
Profesor Hayling lantas berpaling pada Jenny.
"Tidak bisakah Anda menjaga agar anak-anak ini tenang" Untuk apa aku menggaji
Anda?" "Untuk membersihkan rumah, memasak dan mencuci," jawab Jenny dengan cepat. "Tapi
saya tidak bertugas mengasuh anak-anak, Pak. Si Utik itu, biar diasuh setengah
lusin pembantu pun, masih tetap akan mengganggu ketenangan Anda, selama ia
berada dalam rumah. Kenapa ia tidak disuruh berkemah saja di luar, bersama
teman-temannya" Cuaca saat ini sedang panas. Lagipula kasur yang dibetulkan
belum kembali. Pasti anak-anak akan senang, apabila diijinkan berkemah. Saya
bisa memasakkan untuk mereka dan mengantarkannya - atau mereka tiap kali datang
untuk mengambil." Pak Profesor nampak senang sekali mendengar usul itu. Anak-anak menunggu dengan
penuh harap. Berkemah! Dalam keadaan cuaca seperti saat itu, berkemah pasti
menyenangkan. Dan terus terang, tinggal serumah dengan Profesor Hayling, takkan
mungkin bisa menyenangkan. Timmy mendengking pelan. Ia seolah-olah hendak
mengatakan, "Setuju! Yuk, kita berangkat sekarang Ini juga!" .
"Gagasan yang baik, Jenny! Itu gagasan yang bagus sekali!" kata Profesor
Hayling. "Tapi monyet cilik itu juga harus ikut. Dengan begitu ia tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk memasuki ruang bengkelku lewat jendela, dan
mengacak-acak model-modelku yang ada di situ!"
Setelah itu Pak Profesor masuk kembali ke kamar kerjanya. Pintu kamar
dibantingnya keras-keras. Seluruh rumah bergetar dibuatnya. Timmy mendengking
karena kaget. Si Iseng, melesat lari ke tingkat atas, sambil menjerit-jerit
ketakutan. Sementara itu si Utik menandak-nandak karena gembira. Tapi dengan
cepat Jenny menyambarnya, lalu mendorongnya masuk ke dalam dapur.
"Nanti dulu, Jenny. Aku teringat lagi sekarang. Kita cuma mempunyai sebuah
tenda. Dan itu pun kecil, kepunyaanku sendiri. Aku akan menanyakan pada Ayah,
apakah kita bisa memperoleh dua buah, yang besar-besar!"
Sebelum ada yang sempat menahannya, si Utik sudah menggedor-gedor pintu kamar
Pak Profesor. Tanpa menunggu jawaban lagi, dipentangkannya pintu lebar-lebar,
lalu ia berteriak mengajukan permintaannya.
"Kami memerlukan dua tenda lagi, Yah! Bolehkah aku membelinya?"
"Aduh, Tik! Keluar- jangan ganggu aku lagi!" teriak ayahnya. "Kalau mau, beli
sekaligus enam tenda - tapi sekarang keluar!"
"Wah - terima kasih, Yah!" kata si Utik. Ketika ia hendak pergi, ayahnya
berteriak lagi. "Tapi untuk apa kau memerlukan tenda?"
Si Utik tidak menjawab. Pintu kamar ditutupnya dengan keras. Ia memandang temantemannya sambil nyengir. "Kurasa ada perlunya aku membelikan ingatan baru bagi ayahku. Baru saja ia
menyuruh kita berkemah di luar, dan ia juga tahu kami cuma memiliki sebuah tenda
kecil milikku. Tenda itu lebih tepat disebut tenda mainan!"
"Aku merasa lega kita tidak harus tinggal di rumah," kata Anne. "Aku tahu betapa
terganggu ketenangan ayah George, jika kami menginap dan bermain-main di sana.
Memang sebaiknya kita menyingkir saja."
"Berkemah lagi!" kata George dengan gembira. "Yuk, kita naik bis pulang, untuk
mengambil tenda-tenda kita. Semuanya kusimpan dalam gudang di kebun. Kita bisa
minta tolong pada Jim, tukang angkut barang untuk membawakannya ke sini."
"Hari ini ia akan datang ke sini - nanti kusampaikan pesanmu itu padanya," kata
Jenny. "Semakin cepat kalian mendapat tenda itu semakin baik. Majikanku
bermaksud baik ketika ia mengundang kalian menginap di sini, tapi aku tahu bahwa
itu sesuatu yang tidak mungkin! Kalian bisa. leluasa jika berkemah di padang
yang terdapat di belakang rumah ini - Pak Profesor takkan mendengar apa-apa,
juga jika kalian berteriak semuanya serempak. Jadi kalian pasang saja tendatenda kalian, nanti akan kuusahakan alas untuk dihamparkan di tanah. Kecuali itu
juga beberapa lembar selimut tebal."
"Anda tidak perlu repot-repot, Jenny," kata Julian. "Kesemuanya itu kami miliki.
Kami sudah sering berkemah."
"Mudah-mudahan saja di padang itu sama kali tidak ada sapi," kata Anne.
"Terakhir kali kami berkemah sebelum ini, seekor sapi menyupkan kepala ke dalam
tenda ku lewat tempat masuk, lalu melenguh. Setengah mati aku mendengarnya,
karena saat itu aku sedang tidur nyenyak."
"Kurasa di belakang tidak ada sapi," kata Jenny sambil tertawa. "Tapi sekarang
aku harus buru-buru mencuci piring dan gelas kotor. Jadi tolong bawakan barangbarang dari kamar makan kemari. Tapi jangan sampai si Iseng ikut-ikutan membawa
barang yang bisa pecah, ya! Minggu lalu ia mencoba menjunjung poci teh di atas
kepalanya - dengan hasil, poci itu tamat riwayatnya! "
Dengan segera semua sudah sibuk membereskan meja makan. George dan Anne membantu
Jenny mencuci di dapur. "Aku senang bisa berkemah di luar," kata Anne dan juru, masak itu. "Aku ngeri
jika tinggal di rumah ini. Profesor Hayling itu orangnya agak mirip Paman
Quentin. Pelupa, cepat naik darah dan suka berteriak-teriak!"
"Ah, kau sama sekali tidak perlu takut padanya," kata Jenny. Ia menyodorkan
piring pada Anne, untuk dikeringkan. "Ia baik hati - walau jika sedang jengkel
suka marah-marah. Dulu, ketika ibuku sakit, ia yang membiayai sehingga ibuku
bisa masuk ke panti perawatan yang baik. Dan percaya atau tidak- ia bahkan
memberi aku uang, untuk membeli bunga dan buah-buahan!"
"Aduh, aku jadi teringat- kami harus membeli bunga untuk Joan, juru masak kami,"
kata George. "Ia terserang penyakit jengkering. Itulah sebabnya kenapa kami sekarang di
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sini." "Kalau begitu, pergi saja menelepon toko kembang untuk menyampaikan pesananmu
itu," kata Jenny. "Pekerjaan ini, biar aku saja yang menyelesaikan."
Tapi George agak khawatir, jangan-jangan nanti Profesor Hayling bergegas ke
luar, untuk melihat siapa yang memakai telepon!
"Kurasa kami bisa memesannya di Desa Kirrin, untuk dikirimkan ke rumah sakit,"
katanya. "Kami kan harus pulang dulu, untuk menyiapkan barang-barang yang akan
diangkut kemari. Nah - saat itu aku bisa memesan bunga ke toko kembang.
Pulangnya ke sini sebaiknya kami naik sepeda, karena pasti ada gunanya nanti!"
"Kalau begitu, sebaiknya kalian berangkat saja sekarang," kata Jenny. "Kalau
tidak, kalian nanti terlambat datang untuk minum teh. Kalau itu terjadi, wah gawat!" "Aku bisa membawakan sepeda Anne," kata Julian. "Sambil bersepeda, aku bisa
menuntunnya." "Kau sebenarnya tidak perlu ikut, George," kata Dick. "Nanti aku yang memesankan
bunga, dan juga membawakan sepedamu ke sini. Kau tinggal saja di sini, bersama
Anne." Walau agak enggan, akhirnya George menurut. Julian berangkat bersama Dick,
sementara si Utik ditinggal bersama Anne dan George untuk membantu Jenny. Tapi
Jenny malah menyuruh si Utik ke luar. Ia khawatir, jangan-jangan anak itu nanti
memecahkan sesuatu di dapur.
"Sana, kau jadi mobil Rolls Royce yang mulus mesinnya, di ujung kebun," kata
Jenny. "Lalu nanti kalau rasanya kau sudah berjalan sekitar tiga puluh mil, kau
boleh kembali ke sini untuk mengisi bensin."
"Limun, maksud Anda!" kata si Utik sambil nyengir. "Baik!ah! Sudah lama juga aku
tidak menjadi Rolls Royce. Ayah takkan bisa mendengar aku, di ujung kebun!"
Si Utik pergi ke luar, sementara Jenny menyelesaikan tugas di dapur bersama Anne
dan George. Si Iseng, seperti biasa, berbuat iseng. Ia mencopet beberapa sendok
teh, lalu meloncat ke atas sebuah lemari yang tinggi. Dari situ, sendok-sendok
dijatuhkannya ke lantai. Tiba-tiba si Utik muncul lagi. Lalu menjengukkan kepala
dari ambang jendela dapur.
"Yuk - kita ke lapangan, di mana kita nanti akan memasang tenda," katanya pada
Anne dan George. "Kita, pilih tempat yang enak, yang terlindung. Ayo, cepat
sedikit! Masa belum selesai juga mencuci piring. Aku sudah bosan menjadi Rolls
Royce." Anak-anak berangkat ke lapangan yang luas, yang terdapat di belakang rumah.
Mereka masuk ke situ lewat pintu pagar belakang.
"Astaga!" seru si Utik ketika tiba di lapangan. Matanya terbelalak. "Lihatlah,
ada serombongan karavan masuk lewat pintu pagar di ujung lapangan. Akan kusuruh
pergi mereka. Ini lapangan kami!" Dengan segera ia menuju ke pintu pagar yang
nampak di kejauhan. "Jangan, Tik!" seru Anne memperingatkan. "Kalau kau ikut campur, nanti kau akan
mengalami kesulitan. Kembalilah!"
Tapi si Utik berjalan terus, dengan sikap gagah. Hah! ia akan mendamprat
rombongan karavan itu. Seenaknya saja - memasuki lapangannya!
Bab 5 SIRKUS KELILING Anne memandang dengan cemas, sementara si Utik melintasi lapangan. Saat itu
sudah ada empat karavan yang memasuki lapangan lewat pintu pagar di seberang. Di
belakang karavan-karavan itu, di jalan raya, nampak gerobak yang besar-besar,
beriring-iring. Pada dinding sisi gerobak-gerobak itu nampak tulisan yang besarbesar. SIRKUS KELILING TAPPER "Hah! Akan kukatakan pendapatku pada Pak Tapper itu mengenai dirinya - semaunya
saja memasuki lapanganku," kata si Utik pada dirinya sendiri. Si Iseng
bertengger di atas bahunya, Monyet cilik itu melonjak-lonjak sementara si Utik
berjalan terus, sambil mengomel-ngomel.
Bersama iringan karavan itu ikut empat atau lima orang anak. Mereka
memperhatikan si Utik yang datang, dengan penuh minat. Seorang anak laki-laki
yang masih kecil bergegas menghampiri. Anak itu berseru-seru dengan gembira,
melihat si Iseng yang bertengger di atas bahu si Utik.
"Ada monyet! Lihatlah - ada monyet!" seru anak kecil itu. "Jauh lebih kecil
daripada simpanse kita. Siapa namanya?"
"Kau tidak perlu tahu!" tukas si Utik. "Mana Pak Tapper?"
"Pak Tapper! Ah - maksudmu Kakek!" kata anak -kecil itu. "Itu dia - di sana, di
sisi gerobak yang besar itu. Tapi lebih baik jangan kauganggu dia sekarang. Ia
sedang sibuk!" Si Utik menghampiri gerobak besar yang ditunjuk, lalu langsung menyapa laki-laki
yang berdiri di situ. Orang itu agak galak kelihatannya. Janggutnya panjang dan
lebat. Alisnya juga panjang dan tebal, bergantung menutupi mata. Hidungnya agak
kecil. Sedang telinganya cuma ada sebelah. Ia menatap si Utik dengan pandangan
bertanya. Kemudian ia mengulurkan tangan, hendak memegang si Iseng.
"Awas, nanti digigit," kata si Utik dengan segera. "Ia tidak suka pada orang
yang tak dikenal." "Monyet mana pun takkan menganggap aku tidak dikenal." kata laki-laki bertampang
galak itu. Suaranya berat. "Baik monyet, maupun simpanse, pasti datang jika ku
panggil. Gorila pun sama saja !"
"Tapi monyetku takkan mungkin mau datang," kata si Utik marah. "Tapi aku datang
ini untuk mengatakan bahwa..."
Sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu orang itu memperdengarkan
suara aneh - keluar dari lehernya. Kedengarannya seperti suara si Iseng, apabila
senang karena sesuatu. Si Iseng melihat orang itu dengan heran bercampur senang.
Lalu langsung pindah ke bahu orang itu. Monyet kecil itu menempelkan diri ke
sisi leher orang itu, sambil mengeluarkan suara lirih. Si Utik tercengang
melihatnya, sampai tidak bisa mengatakan apa-apa.
"Nah, kau melihatnya, kan?" kata orang itu. "Sekarang ia sudah menjadi temanku.
Sudah, jangan melongo terus! Seumur hidupku, aku melatih monyet. Kalau dia ini
kaupinjamkan padaku, dalam waktu dua hari saja ia akan sudah kuajari naik sepeda
roda tiga!" "Sini, Iseng!" panggil si Utik. Ia heran bercampur kesal melihat tingkah
monyetnya itu. Tapi si Iseng bukannya datang, tapi malah mendekam lebih rapat ke
leher laki-laki itu. Orang itu mengambilnya, lalu menyodorkannya pada si Utik
kembali. "Ini dia," katanya. "Monyet ini baik! Tapi apa yang hendak kaukatakan tadi,
Nak?" "Aku datang untuk mengatakan, lapangan ini milik ayahku, Profesor Hayling,"
tukas si Utik. "Anda tidak berhak memasukkan rombongan karavan Anda ke sini.
Jadi harap Anda keluarkan lagi! Aku bermaksud hendak berkemah di sini bersama
teman-temanku." "Aku sama sekali tidak berkeberatan," kata laki-laki tua itu dengan ramah.
"Kaupilih saja sudut yang kaukehendaki, anak muda. Selama kau tidak mengganggu
kami, kami pun takkan mengganggu kalian!"
Saat itu seorang anak laki-laki datang mendekat. Umurnya kira-kira sebaya dengan
si Utik. Ia mengamat-amati si Utik dan si Iseng dengan penuh perhatian.
"Ia hendak menjual monyet itu, Kek?" tanya anak itu.
"Tidak!" balas si Utik. Nyaris saja ia berteriak. "Aku ke sini untuk menyuruh
kalian semua keluar. lapangan ini milik keluargaku."
"Tapi kami memiliki surat ijin, yang memperbolehkan kami datang ke sini tiap
sepuluh tahun sekali untuk mengadakan pertunjukan sirkus," kata laki-laki
berjanggut tebal itu. "Kau boleh percaya atau tidak tapi sejak tahun 1648 - jadi
sejak lebih dari tiga ratus tahun, selalu ada rombongan sirkus Tapper mengadakan
pertunjukan di lapangan sini. Jadi kau pulang saja ke rumah, Nak - dan jangan
banyak cingcong lagi di sini!"
"Anda pembohong!" teriak si Utik. Ia tidak bisa menahan marah lagi. "Nanti
kuadukan pada polisi. Akan ku laporkan pada ayahku. Aku akan..."
"Kalau bicara dengan kakekku, jangan seenaknya, ya!" teriak anak laki-laki yang
mendampingi Pak Tapper. "Kalau kau masih berteriak-teriak terus, nanti kupukul!"
"Tidak ada yang bisa melarang aku bicara semauku!" teriak si Utik. Kini ia sudah
benar-benar marah. "Dan kau sendiri, tutup mulut!"
Detik berikutnya, ia sudah terkapar di rumput.
Anak laki-laki yang berdiri di depannya tahu-tahu melayangkan tinjunya, menumbuk
dada si Utik! Si Utik berusaha bangkit. Mukanya merah padam karena marah. Lakilaki tua itu mendorongnya supaya menjauh.
"Sudah, Nak," katanya. "Anak ini seorang Tapper, seperti aku. Jadi ia tidak
pernah kenal kata mundur atau menyerah. Sebaiknya kau pulang sajalah! Kami
takkan mempedulikan anak pemarah seperti kau ini. Sirkus kami pasti akan masuk
ke lapangan sini, seperti yang selalu kami lakukan sejak bertahun-tahun sebelum
ini!" Setelah itu pak tua itu langsung berpaling, lalu menghampiri karavan terdekat.
Karavan itu dihela beberapa ekor kuda. Pak tua mendecakkan lidah, dan kuda-kuda
itu mulai melangkah maju, menyeret karavan. Kereta-kereta yang di belakangnya
menyusul. Anak yang tadi menjulurkan lidah, mengejek si Utik.
"Tidak ada yang bisa mengalahkan kakekku - atau aku!" katanya. "Tapi walau
begitu - kau berani menentangnya tadi. Asyik juga melihatmu."
"Ah - diam!" kata si Utik. Ia sendiri kaget, ketika menyadari bahwa air matanya
mulai berlinang-linang. "Tunggu saja, sampai ayahku melaporkan kalian pada
polisi! Kalian nanti pasti terpaksa keluar terbirit-birit. Dan kapan-kapan, aku
akan memukulmu sampai terpelanting!"
Si Utik berpaling, lalu lari kembali ke pintu pagar pekarangan. Ia merasa
bingung, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia sering mendengar ayahnya
berkata bahwa lapangan di belakang rumah itu miliknya, dan bahwa ia memberi hak
kepada petani yang ini atau yang itu untuk memanfaatkan lapangan itu sebagai
tempat kuda atau sapi-sapi mereka merumput. Tapi beraninya rombongan sirkus
keliling itu memasuki lapangan milik ayahnya!
"Aku akan melaporkan mereka pada Ayah," katanya pada Anne, yang menunggu di
dekat pintu pagar. "Ia harus mengusir mereka! Ini lapangan kami. Aku
menyukainya, apalagi sekarang - pada saat rumput sedang seindah-indahnya. Rumput
yang hijau, dan sebentar lagi semak pagar akan dipenuhi bunga yang serba putih.
Akan kukatakan pada ayahku, anak tadi memukulku sehingga aku terjerembab. Tahutahu ia mengayunkan tinju, dan aku terpelanting karenanya. Kepingin rasanya
membalaskan perbuatan itu terhadapnya!"
Si Utik masuk ke rumah, diikuti oleh Anne. Anne bingung. Si Utik masuk ke ruang
duduk. Dilihatnya George ada di situ.
"Tik! Anak tadi memukulmu sehingga terjatuh," kata Anne dengan nada kaget.
"Kenapa ia berbuat begitu?"
"Ah - soalnya, karena aku menyuruh kakeknya mengeluarkan karavan-karavannya dari
lapangan kami," kata si Utik. "Aku sama sekali tidak merasa kesakitan dipukul
olehnya. Cuma dadaku saja yang ditumbuknya. Tapi - pokoknya aku sudah mengatakan
apa yang hendak kukatakan."
"Tapi akan maukah mereka mengeluarkan karavan-karavan itu dari lapangan?" tanya
Anne lagi. "Sudah kukatakan tadi, aku akan melaporkan mereka pada polisi," kata si Utik.
"Jadi pasti mereka akan pergi terbirit-birit. Mereka tidak berhak ada di situ.
Lapangan itu milik kami!"
"Kau benar-benar akan pergi ke polisi?" tanya George, dengan nada kurang
percaya. "Aku tidak mengerti apa sebabnya kau harus ribut-ribut mengenai soal
itu, Tik. Nanti mereka malah menyulitkan kita berkemah di sana." .
"Tapi kan sudah kukatakan, itu lapanganku! Ayah selalu mengatakan begitu!"
bantah si Utik. "Katanya, ia tidak memerlukannya, jadi aku ,boleh menganggapnya
milikku sendiri. Dan memang begitulah anggapanku. Dan kita sekarang akan
berkemah di situ - tak peduli apa kata orang lain mengenainya! Yang masuk tadi
rombongan sirkus keliling, menurut penuturan laki-laki tua itu!"
"Aduh, Tik! Kan asyik, ada sirkus di belakang kebun!" kata George. Matanya
berkilat-kilat. Anne mengangguk. Si Utik menatap mereka dengan mata melotot.
"Pantas kalian anak perempuan - berbicara begitu!" katanya. "Kalian mau, ada
orang seenaknya saja memasuki lapangan milik kalian, dengan kuda-kuda yang
meringkik-ringkik, lalu macan dan singa mengaum, beruang menggerutu, lalu
simpanse mencuri segala macam benda - belum lagi anak-anak sirkus yang bandel
dan tidak kenal sopan - seenaknya saja memukul orang sampai jatuh !"
"Wah, Tik - dari ocehanmu ini, kedengarannya asyik sekali sirkus itu!" kata
George. "Betulkah mereka membawa singa dan harimau" Bayangkan, jika ada seekor
yang terlepas! Asyiik!"
"Ah, lebih baik jangan," kata Anne dengan segera. "Aku tidak kepingin, ada singa
mengintip lewat jendela kamar tidurku, atau beruang mondar-mandir di dalam!"
"Aku juga tidak mau," kata si Utik. Nada suaranya tegas. "Itulah sebabnya,
kenapa aku akan melaporkan hal itu pada Ayah. Ia menyimpan surat-surat tua,
tanda bahwa kami yang memiliki lapangan itu. Ia pernah menunjukkannya pada ku.
Aku ingin menanyakan tentang surat-surat itu padanya. Nanti jika ia mau
menunjukkan, aku akan membawa surat-surat itu ke polisi. Biar mereka mengusir
laki-laki tua yang kasar itu, dengan sirkus jeleknya itu sekaligus!"
"Dari mana kau mengetahui bahwa sirkus itu jelek?" tanya George. "Mungkin saja
baik sekali! Aku yakin, mereka pasti mau mengijinkan kita berkemah di sudut yang
paling dekat dengan kebun rumahmu ini, sehingga kita bisa melihat dengan jelas
apa-apa saja yang berlangsung di tempat mereka. Nah, lihatlah - itu ayahmu
sedang berjalan-jalan di kebun, sambil mengisap pipa, Itu tandanya ia sedang
tidak sibuk. Ini saat yang baik bagimu untuk bertanya tentang dokumen tua itu.
Mungkin saja ia mau menunjukkannya pada kita."
"Baiklah," kata si Utik dengan agak masam. "Tapi kalian akan melihat nanti,
bahwa kataku tadi benar. Yuk!"
Tapi ternyata ucapan si Utik itu keliru. Ayahnya mengambilkan dokumen itu dengan
segera, sepotong kertas yang sudah kuning warnanya.
"Nah, ini dia!" kata Profesor Hayling. "Dokumen ini berharga, karena umurnya
sudah tua sekali. Sudah berabad-abad!"
ia melepaskan tali pita yang nampaknya kotor, yang mengikat gulungan kertas kuno
itu. Anak-anak tidak ada yang bisa membaca tulisan kuno yang tertera di situ.
"Apa yang ditulis di situ?" tanya Anne ingin tahu.
"Di sini tertulis, lapangan yang dikenal dengan nama 'Sudut Cromwell' merupakan
milik keluarga Hayling untuk selama-lamanya," kata Profesor Hayling. "Tanah itu
dihadiahkan pada nenek moyangku dulu oleh perdana menteri Cromwell, karena
keluarga kami mengijinkan pasukannya berkemah di lapangan itu, setelah capek
berperang. Sejak itu, lapangan yang di belakang itu selalu merupakan milik
kami." "Jadi tidak ada orang lain yang boleh berkemah di sini, atau memakainya untuk
keperluan lain apabila tidak mendapat ijin dari kami!" kata si Utik dengan nada
puas. "Betul," kata ayahnya. "Tapi tunggu dulu! Kalau tidak salah, ada suatu ketentuan
tambahan yang berhubungan dengan suatu pertunjukan keliling - suatu rombongan
yang mendapat hak untuk berkemah di situ. Ketentuan itu berasal dari tahun 1066.
Bahkan Cromwell pun tidak bisa mengubah ketentuan itu. Soalnya, ijin itu tertera
dalam surat-surat tanah yang asli, jauh sebelum Cromwell berperang di daerah
sini. Nanti dulu - kalau tidak salah, keterangan mengenai itu tertulis pada
bagian akhir naskah kuno ini!"
Anak-anak menunggu, sementara Profesor Hayling sibuk meneliti tulisan kuno yang
terukir indah itu. Akhirnya ia menudingkan jari pada tiga baris kalimat yang
tertulis pada bagian akhir.
"Betul, ini dia! Sebentar - akan kubacakan!" Pak Profesor mulai membaca.
"Harap dicamkan bahwa Rombongan Pertunjukan Keliling yang bernama 'Pertunjukan
Keliling Tapper', yang sejak dulu memiliki hak berkemah, akan tetap memiliki hak
untuk berkemah di sini sepuluh tahun sekali, selama rombongan itu masih terus
berkeliling mengadakan pertunjukan..., dan seterusnya, dan seterusnya. Tapi
kurasa rombongan Tapper itu sekarang sudah tidak ada lagi, sejak dokumen ini
dibuat dan ditandatangani tahun 1648. Lihatlah - ini tanggalnya, jika kalian
bisa membacanya!" Anne dan George memandang angka yang tertulis di situ, lalu melirik si Utik.
Anak itu merah padam mukanya.
"Kenapa tidak dari dulu-dulu Ayah mengatakannya padaku," katanya.
"Untuk apa?" tanya ayahnya dengan heran. "Apa pentingnya keterangan itu bagi
kalian?" "Anu - saat ini di lapangan itu ada rombongan sirkus. Namanya, Sirkus Keliling
Tapper," kata Anne. "Dan laki-laki tua yang ada bersama sirkus itu bernama
Tapper. Katanya, ia berhak ada di situ, lalu..."
"Ia kasar terhadapku! Aku ingin agar Ayah mengusir mereka dari situ, hari ini
juga!" kata si Utik."Kami ingin berkemah di tempat itu!"
"Ah - kurasa Pak Tapper takkan berkeberatan jika kalian juga berkemah di situ."
kata ayahnya. "Apakah kau tadi tidak bersikap kasar terhadap orang-orang sirkus
itu, Tik?" Muka si Utik memerah. Ia berpaling, lalu pergi. Si Iseng menggelantung di
lehernya. Si Utik mengusa-usap dadanya, yang tadi dipukul anak sirkus.
"Awas, tunggu saja!" bisik si Utik. "Kapan-kapan, kau pasti akan kupukul
kembali!" "Anne," kata Pak Profesor, "jika kau serta saudara-saudaramu ingin berkemah di
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lapangan itu, nanti akan kubicarakan dengan Pak Tapper mengenainya." Profesor
Hayling bingung melihat tingkah laku anaknya yang lain dari kebiasannya.
"Ah - tak usah, Pak," kata Anne dengan buru-buru. "Ia tadi sudah mengatakan
tidak berkeberatan apabila kami berkemah di situ. Nah - Dick dan Julian sudah
kembali! Akan kuperiksa sebentar, apakah sepeda kami dibawa ke sini dengan
selamat. Terima kasih, Pak - atas kesediaan Anda menunjukkan dokumen kuno itu
pada kami!" Anne pergi meninggalkan Profesor Hayling, dengan perasaan haru-biru!
Bab 6 PERSIAPAN BERKEMAH Dick dan Julian sangat tertarik mendengar urusan antara si Utik dengan Sirkus
Keliling, begitu pula mengenai dokumen yang sudah tua sekali umurnya.
"Kau telah membuat malu dirimu sendiri," kata Julian, sambil memandang si Utik.
''Tapi kelihatannya itu tidak apa-apa! Kuusulkan, kita sekarang mencari tempat
yang cocok untuk perkemahan kita. Aku sendiri jelas senang, mendapat kesempatan
untuk melihat kehidupan sirkus dari dekat. Aku ingin melihat, bagaimana mereka
nanti mengadakan pertunjukan. Kurasa segala yang diperlukan sudah ada pada
mereka, sehingga setiap waktu dapat membangun gelanggang sirkus serta lainlainnya yang diperlukan untuk pertunjukan."
"Banyak sekali gerobak yang datang," kata Anne. "Besar-besar! Aku menengok ke
sana, setengah jam yang lalu. Lapangan sudah hampir penuh sekarang, kecuali satu
sudut dekat pagar sebelah sini. Kurasa tempat itu memang sengaja dikosongkan
untuk tempat perkemahan kita."
"Ketika kami bersepeda ke sini tadi, aku melihat poster-poster mereka," kata
Dick. "Dick si Jago Bidik - Simpanse yang Pandai Main cricket- Manusia Tak
Bertulang - Madelon dengan Kuda-kudanya yang Indah"- Pasangan Badut Monty dan
Winks - Keledai Penari - Mr. Wooh Penyihir Ajaib - wah, kalau membaca kata-kata
yang tertulis pada poster-poster itu, sirkus ini nampaknya hebat sekali! Untung
kita bisa berkemah di lapangan yang sama, sehingga kita bisa melihat kesibukan
mereka di luar pertunjukan."
"Jangan dilupakan Charlie Simpanse dan Band Bonzo," kata Julian. "Wah, bagaimana
kocaknya, apabila simpanse itu lepas lalu mengintip ke dalam lewat jendela dapur
kita!" "Itu sama sekali tidak kocak," kata Anne. "Jenny pasti akan lari pontangpanting, apabila simpanse itu tahu-tahu muncul! Dan si Iseng, pasti juga lari
terbirit-birit!" "Bagaimana jika kita nanti memasang tenda-tenda sehabis minum teh?" kata Dick
mengusulkan. "Kata tukang pengangkut barang tadi, barang-barang kita akan sudah
ada di sini sekitar saat minum teh. Udara hari ini panasnya bukan main! Saat ini
aku rasanya tak berdaya untuk berbuat apa-apa. Aku kepingin bermalas-malas
saja." "Guk," gonggong Timmy. Anjing itu berbaring, dengan kepala direbahkan ke kaki
depannya. lidahnya terjulur ke luar.
"Kau juga begitu perasaanmu, ya Tim?" kata Julian. Disenggolnya anjing itu
dengan ujung kakinya. "Kau capek sehabis lari pulang balik ke Kirrin, kan?"
"Aduh - jalan tadi berdebu sekali!" kata Dick. Timmy selalu bersin setiap kali
ada mobil melewati kami, karena debu berhamburan dan masuk ke hidungnya. Kasihan
si Timmy! Kau benar-benar capek, setelah lari sejauh itu."
Timmy bangun sambil menggonggong lagi, lalu menggaruk-garuk George. Anak-anak
tertawa melihatnya. "Katanya ia tidak capek, ia kepingin jalan-jalan," kata Dick sambil tertawa.
"Ia mungkin tidak capek, tapi kalau aku pasti capek," kata Julian. "Lumayan juga
pekerjaan kita tadi, menyortir barang-barang yang diperlukan di Kirrin, lalu
bersepeda ke sini. Tidak, Timmy - aku tidak mau mengajakmu jalan-jalan!"
Timmy mendengking pelan. Seketika itu juga si Iseng meloncat turun dari bahu si
Utik lalu merapatkan diri pada anjing besar itu. Sambil berbuat begitu, ia
mengeluarkan bunyi-bunyi lirih, kedengarannya seperti hendak melipur. Ia bahkan,
merangkul leher Timmy. "Aaah - kau ini cuma aleman saja, Iseng," kata Utik. Tapi si Iseng tidak peduli.
Temannya yang bertubuh besar itu sedih karena sesuatu hal. Kalau tidak, untuk
apa ia mendengking! Sedang Timmy menjulurkan lidahnya yang merah, lalu menjilati
ujung hidung si Iseng yang mungil. Tapi kemudian telinganya menegak. Sikap
duduknya diluruskan. Ia mendengar bunyi sesuatu. Anak-anak juga mendengar bunyi itu.
"Itu bunyi musik," kata Anne. "Ah - kurasa aku tahu apa itu!"
"Apa?" tanya yang lain-lain.
"Pasti itu orkes Sirkus Keliling Tapper yang sedang berlatih untuk malam
pertunjukan pertama," kata Anne.
"Ya - besok mereka mulai mengadakan pertunjukan," kata George. Ia menguap. "Ya,
bunyinya memang seperti orkes. Kurasa ada baiknya kita nanti melihat mereka
sebentar sehabis minum teh, jika tenda-tenda perkemahan sudah selesai .kita
pasang. Aku kepingin melihat Manusia Tak Bertulang. Kalau kalian, bagaimana?"
"Tidak mau!" jawab Anne dengan segera. "Orangnya pasti menyeramkan - lemah
lunglai, seperti cacing atau ubur-ubur! Aku tidak kepingin melihat dia. Tapi
kalau kuda dan keledai penari, aku mau! Apakah keledai itu nanti menari menurut
musik yang dimainkan orkes, ya?"
"Itu akan kita ketahui kalau kita ke sana besok, apabila pertunjukan sudah
dibuka," kata Dick. "Jika Pak Tapper tidak merasa jengkel setelah si Utik
berusaha mengusir rombongannya, ada kemungkinan kita akan diijinkannya melihatlihat berkeliling. "
"Aku malas ikut," kata si Utik. "Pak Tapper kasar terhadapku - dan cucunya
memukul sehingga aku terjerembab."
"Nah; kurasa aku pun akan berbuat begitu, jika menurut anggapanku kau bersikap
kasar terhadap kakekku," kata Julian dengan santai. "Jadi semua setuju, kan,sehabis minum teh kita membawa barang-barang kita ke lapangan sana, lalu mencari
tempat yang terlindung di mana kita bisa memasang tenda-tenda kita."
"Setuju," kata anak-anak serempak. Dick iseng, menggelitik hidung si Iseng
dengan selembar rumput. Monyet kecil itu langsung bersin sekali, lalu sekali
lagi. Ia mengusapkan cakarnya yang
mungil ke hidungnya, sambil menatap Dick dengan kesal. Lalu ia bersin untuk
ketiga kalinya. "Sana - pinjam sapu tangan," kata Julian.
Anak-anak tercengang, ketika monyet itu melompat mendekati Dick lalu mengambil
sapu tangan dari kantong anak itu! Lalu ia pura-pura membersihkan hidung. Anakanak tertawa terpingkal-pingkal. Si Iseng merasa senang, melihat anak-anak
tertawa. '''Kalau kau bertingkah seperti itu, nanti tahu-tahu kau dicuri orang, untuk
ditampilkan dalam pertunjukan sirkus," kata Dick. Disambarnya sapu tangan yang
diambil oleh si Iseng tadi. "Kau akan tampil sebagai 'Monyet Pencopet'!"
"Ia pasti hebat, kalau bermain dalam sirkus," kata Julian.
"Aku takkan mengijinkan ia ikut dengan sirkus," kata si Utik dengan segera.
"Nanti hidupnya sengsara di situ!"
"Ah, kurasa tidak." kata Julian. "Orang sirkus umumnya penyayang binatang, dan
bangga akan binatang-binatang peliharaan mereka. Lagipula, jika mereka
-diperlakukan dengan tidak baik, binatang-binatang itu akan tidak merasa bahagia
dan juga tidak sehat keadaannya. Jadi takkan bisa mengadakan pertunjukan yang
bagus. Orang sirkus, umumnya memperlakukan binatang peliharaan mereka seperti
keluarga sendiri." "Apa?" seru Anne. Ia kaget mendengar, keterangan Julian. "Juga simpanse?"
"Simpanse itu binatang yang menarik - dan sangat pintar," kata Julian. "Iseng,
jangan kaucopet sapu tanganku, ya! Pertama kalinya memang lucu, tapi kalau dua
kali, 'sudah tidak kocak lagi. Lihatlah - sekarang ia berusaha melepaskan kalung
leher Timmy." "Sini - duduk di samping ku, Iseng," perintah si Utik. Monyet bandel itu
menurut. Ia menghampiri tuannya, lalu duduk merapatkan diri ke lutut si Utik,
sambil mengeluarkan bunyi lirih. Kedengarannya seolah-olah ia bernyanyi.
"Kau ini pintar berlagak," kata si Utik sambil mengusap-usap monyetnya dengan
sayang. "Kalau kau tidak bisa menjaga diri, nanti kau akan kutukarkan dengan
gajah sirkus!" "Konyol, ah!" kata Dick. Anak-anak tertawa, membayangkan si Utik ditemani seekor
gajah. Mau diapakan olehnya binatang sebesar itu" Kan tidak bisa disuruh duduk
di atas bahunya" Saat itu terdengar Jenny memanggil-manggil dari dalam rumah.
"Utik! Tukang pengangkut barang sudah datang, dengan perlengkapan perkemahan. Ia
meletakkan barang-barang itu di serambi dalam. Kalau ayahmu lewat, pasti ia
tersandung. Jadi lebih baik kalian cepat-cepat saja membereskannya!"
"Sebentar, Jenny!" balas si Utik. "Kami sedang sibuk nih!"
"Kau ini benar-benar pembohong, Tik," kata Dick. "Kita kan sama sekali tidak
sibuk. Apa salahnya jika kau pergi sebentar untuk melihat di mana barang-barang
itu' diletakkan, dan apakah semuanya lengkap. Barang-barang itu cukup banyak."
"Nantilah - dua puluh menit lagi kita masuk," kata Anne sambil menguap. "Kurasa
pada siang sepanas ini, ayah si Utik pasti tidur. Ia takkan muncul dari kamar
kerjanya." Tapi dugaan Anne keliru. Profesor Hayling sama sekali tidak tidur. Ketika ia
selesai dengan pekerjaan yang sedang dilakukan, ia merasa haus. ia bermaksud
mengambil segelas air dingin dari dapur. Dibukanya pintu kamar kerjanya, lalu
melangkah ke arah dapur. Tapi tahu-tahu kakinya tersandung pada setumpuk
perlengkapan perkemahan yang diletakkan begitu saja di tengah-tengah ruangan
oleh tukang pengangkut barang. Tumpukan itu ambruk, diiringi bunyi berisik.
Jenny lari keluar dari dapur sambil berteriak-teriak ketakutan. Profesor Hayling
berteriak dengan marah. Dicampakkannya alas kemah yang menutupi kepalanya, serta
tiang tenda yang menimpa punggungnya.
"Barang-barang apa ini?" teriak Pak Profesor. "Aku tidak mau barang-barang ini
ditumpukkan begitu saja di sini! Jenny! Jenny! Ayo, bawa barang-barang ini ke
luar, dan bakar semuanya!"
"Perlengkapan perkemahan kita!" seru George kaget, ketika mendengar suara Pak
Profesor berteriak-teriak. "Cepat - kita harus mengambil barang-barang itu!
Aduh, mudah-mudahan saja ayah si Utik tidak cedera. Sialan!"
Sementara Julian bersama Dick, dengan cekatan menyingkirkan barang-barang yang
berjatuhan menindih Profesor Hayling yang marah-marah dan mengangkut semuanya ke
kebun, Anne dan George sibuk menghiburnya. Mereka begitu repot mengurus dirinya,
sehingga kemarahan ayah si Utik dengan segera surut. Ia duduk di kursi, lalu
menyeka dahinya. "Mudah-mudahan semua barang itu sudah kalian pindah kan ke ujung belakang kebun
sekarang," katanya, setelah beberapa saat.
"Ya, sudah," kata si Utik jujur. "Anu, semuanya sudah ditumpukkan, tapi belum
dibakar." "Biar aku sendiri yang membakar besok," kata ayahnya. Si Utik menarik napas
lega. Besok ayahnya pasti sudah lupa lagi. Lagipula, barang-barang itu akan
diangkut semuanya ke tempat berkemah, nanti sehabis minum teh.
"Ini, Pak - teh panas," kata Jenny. Juru masak itu muncul dari dapur, membawa
baki berisi hidangan sore. "Anda duduk saja dulu dan minum teh. Baru saja saya
membuatkannya. Teh hangat paling baik apabila diminum sehabis kaget karena
jatuh." Setelah itu Jenny berpaling dan berbisik dengan nada jengkel pada si Utik.
"Itulah, kalau tidak mau menurut! Tadi aku kan sudah memanggilmu, untuk
menyingkirkan barang-barang itu. Kukatakan tadi, ayahmu pasti tersandung nanti.
Kasihan! Nah - kauambil saja tehmu sendiri di dapur. Aku akan membawa ayahmu ke
kamar makan, dan menghiburnya dengan secangkir teh panas dan kue-kue!"
"Biar aku saja mengambil teh kami," kata Anne. "Setelah itu kami akan memasang
tenda kami di lapangan. Dan ingat, Tik - jangan mencari keributan 'lagi dengan
orang-orang sirkus."
"Akan kujaga dia, agar tidak melakukannya," kata George tegas. "Yuk - kita ke
lapangan, sementara Anne mengambilkan hidangan untuk kita. Aku kepingin makan
beberapa potong roti bundar yang hangat-hangat!"
Dick dan Julian sementara itu sudah mengangkut perlengkapan kemah ke kebun. Dua
buah tenda, hamparan untuk alas di tanah, selimut, pasak-pasak untuk tali tenda,
serta berbagai perlengkapan lainnya. Timmy ikut mondar-mandir bersama mereka. Ia
tidak mengerti, kenapa Dick dan Julian begitu sibuk mengangkut barang-barang
itu. Kalau si Iseng, lain lagi yang dilakukannya. Setiap ada barang diangkut, ia
langsung meloncat ke atasnya sehingga ia berulang kali ikut diusung ke ujung
kebun. Sementara itu ia berceloteh terus dengan ribut. Kemudian kenakalannya semakin
bertambah. Ia melarikan sebuah pasak tenda. Untung saja Timmy berhasil
mengejarnya, lalu memaksa agar pasak itu dilepaskan. Begitu lepas, dengan sikap
bersungguh-sungguh Timmy membawa pasak itu kembali dan menyerahkannya pada
Julian. "Anjing manis!" kata Ju1ian memuji. "Tolong awasi monyet bandel itu ya, Timmy"
Kalau tidak, ada bermacam-macam benda di. sini yang bisa dibawanya lari nanti!"
Timmy lantas menjaga si Iseng. Setiap kali ia merasa monyet itu hendak mengambil
sesuatu, dengan segera Timmy mendorongnya pergi dengan hidungnya. Akhirnya si
Iseng merasa bosan didorong-dorong terus. Ia meloncat ke atas punggung Timmy,
lalu menungganginya seperti menunggang kuda. Cakarnya memegang kalung leher
anjing itu erat-erat. "Mereka cocok sekali untuk ditampilkan dalam sirkus," kata Dick. "Kurasa si
Iseng pasti bisa memegang tali kendali, apabila ada untuk Timmy!"
"Timmy takkan kuperbolehkan dipasangi tali kendali," kata George. "Nanti tahutahu ia bahkan dicambuk pula! Aduh - banyak sekali barang-barang kita! Sudah
semuakah dipindahkan?"
Ya - untung saja semua sudah diangkut ke belakang. Saat itu dari arah rumah
terdengar bunyi lonceng. Semua menarik napas lega.
"Ah - akhirnya tiba juga saat minum teh!" kata Dick. Rasanya aku mampu minum teh
sepoci penuh. Yuk - kita sudah selesai menumpukkan barang-barang kita di
belakang. Nanti sesudah minum teh, kita akan mulai bekerja lagi, memasang tenda.
Sekarang aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Ya kan, Timmy?"
"Guk!" gonggong Timmy, lalu lari secepat-cepatnya menuju ke rumah, disusul oleh
si Iseng. "Ngomong-ngomong tentang sirkus, kita sendiri sudah punya di sini," kata Dick.
"Ya, ya - Anne, kami datang!"
Bab 7 DI LAPANGAN SIRKUS Tidak ada yang mau berlama-lama minum teh. Semua ingin cepat-cepat pergi ke
lapangan dan memasang tenda-tenda kemah.
"Nanti kita akan bisa melihat kesibukan di perkemahan orang-orang sirkus," kata
Dick. "Kita akan tinggal dekat sekali dengan mereka! Mudah-mudahan si Iseng
nanti tidak akan bergaul terlalu akrab dengan orang-orang di sana. Aku khawatir,
jangan-jangan mereka lantas membawanya pergi, apabila mereka meninggalkan tempat
ini lagi." "Mana mungkin!" kata si Utik ketus. "Seenaknya saja ngomong! Seolah-olah si
Iseng mau saja ikut dengan mereka! Kurasa ia takkan mau bergaul dengan mereka."
"Lihat saja nanti!" Dick nyengir. "Tapi cepatlah selesaikan makan kalian - aku
sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas memasang tenda di lapangan, lalu
melihat kesibukan orang-orang itu."
Tak lama kemudian semua sudah selesai makan. Dan dengan segera mereka sudah
berada dekat pagar kebun, sambil memandang ke seberang dengan. heran. Di
lapangan nampak banyak sekali gerobak besar, semua dengan tulisan nama Pak
Tapper dengan huruf yang berwarna-warni. Di situ juga ada sejumlah karavan.
Ukurannya jauh lebih kecil dibandingkan dengan gerobak-gerobak yang serba besar.
Karavan-karavan itu berjendela, berhias tirai yang rapi dari kain renda.
Karavan-karavan itu tempat tinggal orang sirkus. George langsung kepingin bisa
berkelana dengan karavan semacam itu, dan bukan tinggal dalam sebuah rumah yang
tidak bisa dibawa pergi ke mana-mana!
"Coba lihat kuda-kuda itu!" seru Dick, ketika serombongan kuda muncul sambil
melambung-lambungkan kepala ke atas. Ekor mereka bagus dan tebal-tebal. Anak
laki-laki yang tadi memukul si Utik ada bersama binatang-binatang itu. Ia
bersiul-siul. Kuda-kuda itu muncul dari sebuah gerobak besar. Rupanya itulah
gerobak pengangkut kuda. Semuanya nampak gembira karena berada di lapangan yang
rumputnya hijau dan subur.
"Pintu pagar sudah ditutup baik-baik?" seru seseorang dengan suara lantang. Anak
laki-laki itu membalas berteriak, "Sudah, Kek! Aku sendiri yang menutupnya.
Kuda-kuda ini tidak bisa keluar Wah - bukan main lahapnya mereka memakan
rumput!" Kemudian ia melihat Julian serta anak-anak lain yang memandang dari seberang
pagar. Ia melambai ke arah mereka.
"Kalian lihat kuda-kuda kami" Hebat, ya?"
Anak itu ingin memamerkan keahliannya sebentar. Ia melompat ke atas punggung
kuda terdekat, lalu mengendarainya sambil menyusur tepi pagar. George
memperhatikan dengan perasaan iri. Ia kepingin bisa menunggang kuda sebaik itu!
"Yuk, kita bawa saja barang-barang kita ke lapangan," kata si Utik. "Semakin
dekat pada sirkus, semakin baik. Kan lumayan, bisa bersenang-senang." ia
memanjat pagar, disusul oleh Dick. '
"Akan kusodorkan barang-barang semuanya pada kalian," kata Julian. "George bisa
membantu - ia kan sama kemampuannya seperti anak laki-laki."
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
George tertawa lebar. Ia senang, jika ada orang mengatakan begitu mengenai
dirinya. Tapi repot juga pekerjaan menyeberangkan perlengkapan perkemahan ke
seberang pagar. Tenda-tenda walau sudah dikemaskan dengan rapi, masih tetap
cukup berat dan merepotkan. Walau begitu akhirnya semua perlengkapan akhirnya
selesai juga diseberangkan Semua tertumpuk di atas rumput.
Setelah itu Julian, Anne dan George ikut menyeberang, memanjat pagar. Mereka
berdiri di lapangan, mencari-cari tempat yang baik di mana mereka akan berkemah
nanti. "Bagaimana jika di dekat semak sebelah sana itu?" kata Julian. "Di belakangnya
ada pohon besar, sehingga kita terlindung dari gangguan angin. Tempat itu tidak
terlalu dekat ke tempat orang-orang sirkus. Soalnya, mungkin mereka tidak suka
jika kita berada terlalu dekat pada mereka. Tapi di pihak lain, di situ kita
masih cukup dekat, sehingga bisa menonton kesibukan mereka!"
"Wah - asyik!" kata Anne. Matanya bersinar-sinar.
"Kurasa lebih baik kudatangi saja dulu Kakek - Pak Tapper, maksudku," kata
Julian. "Hendak kukatakan padanya bahwa kita ada di sini - supaya ia jangan
mengira kita ini penyelundup yang tidak berhak ada di sini!"
"Kau tidak perlu minta ijin padanya untuk berada di lapangan milikku!" kata si
Utik dengan segera. "Kau ini - selalu cepat sekali naik darah," kata Julian. "Ini kan cuma persoalan
sopan santun saja. Rupanya kau tidak tahu apa-apa tentang hal itu! Dari mana
kita tahu, orang-orang sirkus itu tidak merasa kesal melihat kita berkemah di
dekat mereka" Lebih baik jika dari awal kita menunjukkan sikap ramah!"
"Ya deh, ya deh," kata si Utik setengah merajuk. "Tapi pokoknya, ini lapanganku!
Jangan-jangan kau nanti menyuruhku berteman dengan anak sirkus yang jail itu!"
"Kurasa sebaiknya memang begitu - karena kalau tidak, ada kemungkinan ia akan
memukulmu lagi sampai telentang!" kata George. "Lagipula, pakailah aka1 sehatmu,
Tik! Kan tidak sering ada orang yang. ujung kebunnya dipakai sebagai tempat
persinggahan sirkus, sehingga dengan menyeberang pagar saja sudah bisa bergaul
dengan orang-orang sirkus."
Julian menghampiri karavan yang terdekat. Tapi di situ tidak ada orang. Tidak
ada yang menjawab, ketika ia mengetuk pintunya.
"Anda mau apa?" seru seseorang dengan suara tinggi. Seorang anak perempuan yang
masih kecil berlari menghampiri. Rambut anak itu kusut, tak terawat.
"Mana Pak Tapper?" tanya Julian. Ia tersenyum pada anak yang bermata cerah itu.
"Ia sedang mengurus salah seekor kuda," kata anak itu. "Anda siapa?"
"Tetangga," jawab Julian. "Bisakah kau mengantarkan kami ke tempat Pak Tapper?"
"Kakek ada di sana," kata anak kecil itu. Ia menggenggam tangan Julian. "Nanti
kutunjukkan. Kau orang baik!"
Anak-anak diajaknya pergi ke tengah perkemahan sirkus. Tiba-tiba George berhenti
berjalan. Dari arah belakang terdengar lolongan anjing. Kedengarannya mengibaiba. "Itu Timmy! Rupanya sekarang ia baru sadar bahwa kita pergi. Sebentar, aku
hendak menjemputnya. "
"Lebih baik 1angan," kata Julian. "Nanti terjadi keributan, jika ia berjumpa
dengan simpanse yang ada di sini. Simpanse dewasa sanggup membinasakannya!"
"Mana mungkin!" kata George. Tapi walau begitu, ia tidak jadi kembali untuk
menjemput Timmy. Mudah-mudahan saja Timmy tidak melompati pagar dan menyusul,
pikir Julian. "Itu dia, Kakek Tapper yang duduk di tangga," kata anak perempuan yang
mengantarkan. Ia menengadah memandang Julian sambil tersenyum. Tangannya yang
dekil masih tetap menggandeng tangan Julian. "Aku suka padamu - tanganmu wangi!"
. "Itu karena aku selalu mencucinya dengan sabun empat sampai lima kali sehari,"
kata Julian. "Tanganmu pasti juga akan wangi baunya, jika kau sering-sering
mencucinya."': Anak itu mencium-cium bau tangan Julian. Kemudian ia berseru, memanggil lakilaki tua yang sedang duduk di tangga karavan yang terdekat.
"Kek! Ini, ada orang hendak bertemu!"
Kakek sedang mengamat-amati seekor kuda yang indah berbulu coklat kemerahmerahan. Kuda itu ditambatkan di dekatnya. Kakek Tapper memegang salah satu
kakinya. Anak-anak berdiri sambil memperhatikan orang itu. Janggut hitam lebat
alis tebal menaungi mata - dan, aduh, pikir Anne, telinganya cuma ada sebelah.
Kasihan" Apakah yang terjadi dengan daun telinga yang satu lagi"
"Kakek!" seru anak perempuan yang tadi sekali lagi. "Ini, ada orang hendak
bertemu!" Pak Tapper berpaling. Matanya bersinar-sinar. di bawah alis yang lebat. Ia
meletakkan kaki kuda yang dipegang, lalu menepuk-nepuk punggung kuda yang tadi
diamat-amati. "Sekarang kau tidak perlu berjalan pincang lagi, Manis," katanya. "Sudah
kukeluarkan batu yang terselip di sela kukumu. Sekarang kau bisa berdansa lagi!"
Kuda itu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi, lalu meringkik. Seolah-olah ia
mengucapkan terima kasih. Si Utik kaget mendengar ringkikan itu. Sedang si Iseng
cepat-cepat bersembunyi di batik ketiak si Utik.
"Nah, monyet cilik- masa kau belum mengenal suara kuda?" kata Kakek. Si Iseng
menyembulkan kepalanya dari bawah ketiak si Utik.
"Kuda itu betul-betul bisa berdansa?" tanya Anne. Ia kepingin mengelus-elus
hidung kuda itu, yang panjang dan nampak halus.
"Berdansa" Dia ini kuda penari terhebat di dunia!" kata Kakek. ia menyiulkan
suatu lagu yang riang. Telinga kuda itu langsung menegak. Sambil memandang
kakek, binatang itu kemudian mulai menari - sementara anak-anak memperhatikan
dengan perasaan kagum. Kuda itu menari berputar-putar, sambil mengangguk-anggukkan kepala mengikuti
irama lagu. Kakinya mengetuk-ngetuk tanah, dengan gerak seirama pula.
"Aduh, bagus!" kata George kagum. "Kuda-kuda Anda, semua bisa berdansa sebaik
yang ini?" "Ya - bahkan ada yang lebih hebat lagi," kata Kakek. "Dia ini perasaannya peka
terhadap musik, tapi masih kalah dibandingkan dengan beberapa ekor yang lain.
Kalian tunggu saja, sampai mereka sudah didandani dengan jambul dari bulu-bulu
di atas kepala, lalu menari sambil mengangguk-angguk. Tak ada yang lebih indah
di dunia ini daripada kuda-kuda yang baik."
"Pak Tapper - kami dari rumah itu, yang di seberang pagar," kata Julian. Ia
merasa sudah waktunya untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka ke situ.
"Seperti mungkin Anda ketahui, lapangan ini milik ayah si Utik, dan ..."
"Ya ya - tapi kami mempunyai hak sejak dulu, untuk sekali-sekali berkemah di
sini," kata pak tua itu. Suaranya mulai meninggi. "Kau jangan mulai lagi...."
"Tidak, Pak! Saya tidak datang untuk bertengkar," kata Julian dengan sopan.
"Saya datang ini untuk memberi tahu bahwa kami - maksud saya, saya bersama
teman-teman saya ini - ingin berkemah di lapangan ini. Tapi kami takkan
mengganggu Anda sama sekali, dan..."
"Ah - jika itu yang kaumaksudkan, tentu saja aku tidak apa-apa!" kata laki-laki
tua itu. "Aku bahkan senang sekali! Tadi kukira kau bermaksud hendak mengusir
kami - seperti yang dicoba anak itu!" Sambil berkata begitu, didongakkannya
kepala menunjuk si Utik. Muka si Utik menjadi merah. Tapi ia diam saja. Laki-laki tua itu tertawa.
"Hah! Tapi cucuku tidak mau menerima begitu saja, ya Nak" ia langsung memukul,
dan kau langsung terjerembab. Ya, si Jeremy memang cepat sekali marah. Tapi
siapa tahu - lain kali, mungkin ia yang akan terjerembab!"
"Ya - itu sudah pasti," kata si Utik dengan segera.
"Baiklah! Dengan begitu kalian akan sudah impas, dan kalian bisa bersalaman
untuk berdamai kembali," kata Pak Tapper. Matanya bersinar Jenaka. "Nah bagaimana kalau kalian sekarang mengangkut barang-barang kalian ke lapangan
sini, lalu memasang perkemahan kalian" Nanti kusuruh Charlie Simpanse menolong
kalian! ia kuat sekah - tenaganya sama besarnya seperti sepuluh orang!"
"Simpanse" Cukup jinakkah dia, sehingga bisa menolong kami memasang tenda?"
tanya Anne. ia tidak begitu percaya.
"Si Charlie itu lebih pintar daripada kalian semua, dan jinaknya sama seperti
kalian!" kata Kakek. "Dan dalam main cricket, kalian bertiga yang laki-laki ini
pasti bisa dikalahkan olehnya! Cobalah bawa alat pemukul kalian pada suatu hari.
Nanti kalian bisa mengagumi permainannya. Sebentar, akan kupanggilkan dia
sebentar, untuk menolong kalian. Charlie! Charlie! Di manakah kau" Tidur lagi,
ya?" Tapi tidak ada Charlie yang muncul.
"Coba, kalian saja menjemput dia," kata laki-laki tua itu. Ia menuding ke salah
satu sudut lapangan. Di. situ terdapat sebuah kandang besar yang nampak kokoh.
Di atasnya terpasang terpal, sebagai atap untuk menahan hujan. "Ia mau melakukan
apa saja yang kalian suruh. Ia hanya perlu sekali-sekali dipuji!"
"Yuk, kita menjemputnya, Ju" kata Dick bergairah. "Wah - bayangkan, kita dibantu
seekor simpanse!" Anak-anak pergi menghampiri kandang besar itu Charlie! Charlie, bangun! Tenagamu
diperlukan! Bab 8 CHARLIE MEMBANTU Si Utik yang paling dulu sampai di kandang. Ia mengintip ke dalam. Charlie
Simpanse ternyata memang ada di situ. Ia duduk di sisi belakang kandang. Ia
memandang anak-anak dengan matanya yang coklat. Kemudian ia bangkit, lalu
menghampiri tempat di mana si Utik memandang ke dalam. Simpanse itu merapatkan
hidungnya ke kawat pagar, sehingga hampir menyentuh muka si Utik. Tahu-tahu ia
menghembus dengan keras. Dengan cepat si Utik mundur selangkah. Ia kaget, dan
sekaligus juga jengkel. "Aku ditiup olehnya!" kata Utik pada teman-temannya, yang tertawa melihat
tampangnya yang jengkel. Simpanse itu mengeluarkan bunyi yang lucu. Dengan
segera si Iseng mencoba menirukan bunyi itu. Charlie memandang si Iseng. Tingkah
lakunya lantas berubah. Ia melonjak-lonjak, menggoncang-goncang kandangnya,
sambil mengeluarkan suara-suara aneh.
Dengan segera seorang anak laki-laki datang berlari-lari menghampiri. Anak
itulah yang memukul si Utik sampai terjatuh.
"He! Kalian apa kan simpanse itu?" tegurnya. "Eh - kau kan anak yang berteriakteriak terhadap Kakek, lalu kupukul sampai jatuh?"
"Betul! Tapi jangan berani mencobanya sekali lagi, kalau tidak ingin menyesal
nanti!" kata si Utik dengan galak.
"Diam, Tik," kata Julian, lalu berpaling pada anak laki-laki yang baru datang.
"Namamu Jeremy, kan?" katanya. "Tadi kami sudah bercakap-cakap dengan kakekmu di
sana, dan katanya kami boleh memakai tenaga simpanse ini untuk menolong kami
dengan barang-barang perkemahan kami. Ia kan bisa keluar dari kandangnya?"
"Ya, tentu saja - aku biasa mengeluarkannya dua tiga kali sehari," kata Jeremy.
"Kalau di kandang terus, ia akan merasa bosan. Ia pasti senang membantu kalian
memasang tenda-tenda, ia biasa membantu kami dengan pekerjaan itu. Tenaganya
besar sekali. Sekuat singa!"
"Tapi dia tidak apa-apa nanti?" tanya Dick. Dipandangnya binatang bertubuh besar
itu dengan ragu-ragu. "Apa maksudmu, tidak apa-apa?" tanya Jeremy dengan heran. "Charlie ini aman,
sama saja seperti kita! Yuk - keluar, Charlie! Ayo, buka sendiri pintu
kandangmu. Kau kan bisa!"
Simpanse itu mengeluarkan suara aneh, seperti terkekeh. Tangannya dijulurkan ke
luar lewat sela-sela kawat. Diraihnya gerendel yang terpasang di pintu kandang,
lalu ditariknya. Kemudian tangannya dimasukkan kembali, dan pintu didorong
sehingga terbuka. "Nah - kalian lihat - gampang, kan?" kata Jeremy sambil nyengir. "Yuk, Charlie!
Tenagamu diperlukan!"
Charlie keluar dari kandangnya, mengikuti anak-anak ke tempat mereka menumpukkan
perlengkapan kemah di tanah. Simpanse itu berjalan dengan tangan mencecah tanah.
Gayanya kikuk. Sambil berjalan ia mengeluarkan suara pelan, seperti mengerang.
Si Iseng agak takut padanya. Karena itu agak menjauhkan diri. Tapi tiba-tiba
simpanse itu berpaling, menangkap si Iseng, lalu mendudukkannya di atas bahunya,
Si Iseng berpegang erat-erat. Dari tampangnya sulit ditebak, apakah ia harus
merasa bangga - atau takut!
"Sayang aku tidak membawa alat potret," kata Anne pada George. "Coba lihat
mereka - si Iseng kelihatannya senang sekali!"
Mereka sampai di tumpukan perlengkapan.
"Bawa ini, Charlie, lalu ikuti kami," kata Jeremy.
Simpanse itu mengambil beberapa barang sampai kedua lengannya penuh. Kemudian
diikutinya anak-anak ke tempat di mana mereka hendak berkemah. Dekat tempat itu
terdapat pagar semak yang tinggi, sehingga mereka terlindung dari gangguan
angin. "Jatuhkan barang-barang itu, Charlie," perintah Jeremy, "lalu ambil barangbarang yang lain. Cepat! Jangan melongo saja! Kau harus bekerja!"
Tapi Charlie masih tetap tak beranjak, sementara matanya menatap si Iseng.
"Ah! Rupanya ia ingin agar si Iseng ikut dengan dia!" seru George. "Ayo, Iseng kau boleh menungganginya lagi!"
Si Iseng langsung melompat ke atas bahu simpanse itu. Charlie memeganginya
supaya jangan jatuh, lalu berjalan terseok-seok menuju barang-barang
perlengkapan yang masih tersisa. Pada suatu saat selembar hamparan alas tenda
terlepas dari ikatan, sehingga menyelubungi kepalanya. Charlie tidak bisa
melihat lagi, ke mana ia berjalan. Marahnya timbul. Ia melonjak-lonjak,
menginjak hamparan yang mengganggu penglihatannya. Tampangnya seram saat itu.
Anak-anak agak ketakutan melihatnya.
"Jangan begitu, Charlie!" sergah Jeremy. Ditariknya hamparan yang menyelubungi
kepala simpanse itu, lalu digulungnya dengan cepat. Begitu barang yang
mengganggu sudah disingkirkan, kemarahan kera besar itu langsung lenyap lagi.
Dengan cepat segala-galanya sudah ditumpukkan di tempat yang baru. Julian dan
Dick mulai sibuk memasang tenda-tenda. Charlie memperhatikan kesibukan mereka
dengan penuh minat. Apabila ia melihat kesempatan bisa membantu, dengan segera
ia melakukannya. Simpanse itu ternyata sangat cerdas.
"Dia hebat, ya?" kata Jeremy. Anak itu bangga melihat simpanse peliharaannya
itu. "Kalian lihat tadi, betapa ia memasang tiang tenda tepat di tempat yang
semestinya" Kalian mesti melihat dia mengambilkan air setiap hari, untuk kuda
kami. Ia mengangkat satu ember pada tiap tangan!"
"Ia sepantasnya menerima gaji," kata si Utik.
"Memang begitu kenyataannya," kata Jeremy.
"Setiap hari ia menerima upah delapan buah pisang, serta jeruk sebanyak ia mau.
Ia juga paling senang pada permen dan manisan."
"Ah - kebetulan aku punya!" kata si Utik, sambil merogoh kantong. Dikeluarkannya
berbagai macam barang dari dalamnya, antara lain sebuah kantong. Isinya segumpal
permen yang sudah agak meleleh.
"Iiih -" kata Anne. "Jangan berikan itu padanya. Permenmu itu sudah tua, sudah
lengket!" Tapi Charlie tidak sependapat dengannya. Diambilnya kantong itu dari tangan si
Utik, diendus-endusnya sebentar - lalu dimasukkannya semua ke dalam mulutnya!
"Aduh - nanti ia tidak bisa bernapas!" kata Julian cemas.
"Kalau Charlie, tidak mungkin!" kata Jeremy. "Biar saja! ia pasti akan kembali
ke dalam kandangnya, lalu duduk di situ sambil mengulum permen sampai habis. Ia
pasti merasa bahagia sekarang!"
"Memang sudah sepantasnya ia menerima hadiah," kata George. "Kan dia yang
bekerja keras tadi! Yuk - kita selesaikan saja pemasangan tenda-tenda kita. Wah
- pasti asyik, tidur dalam tenda malam ini. Tapi sebelumnya, kita makan malam
dulu." "Kalau mau, kalian bisa ikut makan dengan kami," ajak Jeremy. "Tentu saja
hidangan kami tidak sehebat yang biasa kalian makan - tapi pokoknya kan makanan!
Nenek yang memasaknya. Ia memakai pancinya yang tua. Nenek umurnya sudah dua
ratus tahun!" Anak-anak tertawa. Mereka tidak percaya.
"Dua ratus! Mana ada orang setua itu," kata George.
"Pokoknya, itulah katanya sendiri pada siapa pun juga," kata Jeremy. "Dan
kelihatannya memang pantas kalau sudah dua ratus tahun umurnya! Tapi
penglihatannya masih tetap sangat tajam. Bagaimana - kukatakan padanya bahwa
kalian ikut makan malam dengan kami, atau tidak?"
"Yah - tapi akan cukupkah nanti untuk semuanya?" tanya Julian. "Kami sebenarnya
bermaksud membawa makanan kami sendiri. Atau bagaimana jika kita gabungkan saja
makanan kita bersama-sama! Makanan kami berlebih. Kata juru masak kami, Jenny,
ia akan sudah menyiapkannya untuk kami bawa malam ini. Perkedel daging, susis
dingin, ditambah dengan buah apel dan pisang."
"Ssst! Jangan bilang pisang di depan Charlie," kata Jeremy. "Nanti ia tidak
henti-hentinya merengek memintanya. Tapi baiklah - kalian membawa makanan kalian
sendiri, nanti kita sama-sama makan di depan api unggun kami. Aku akan memberi
tahu Nenek mengenainya. Malam ini kami mengadakan acara nyanyi-nyanyi. Fred,
pemain biola kami akan memainkan biolanya. Ah! Kalau ia sudah main, rasanya kaki
ini kepingin menari saja!"
Wah, kedengarannya asyik sekali! Kemudian Julian berpendapat bahwa sudah
waktunya mereka kembali dulu ke rumah, sebelum ada yang gelisah karena mereka
tidak pulang-pulang. Di rumah nanti mereka bisa mengemaskan hidangan untuk makan
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malam nanti. "Kami akan kembali selekas mungkin," katanya. "Dan terima kasih atas bantuanmu.
Yuk, Iseng! Ucapkan selamat tinggal pada Charlie. Kau tidak perlu bertampang
sedih seperti itu, karena malam ini juga kita sudah kembali ke sini."
Beramai-ramai mereka kembali, menyeberang pagar. Tubuh mereka terasa agak capek.
Tapi banyak sekali rencana mereka untuk malam itu.
"Rasanya hampir seperti anggota sirkus saja kita ini - nanti kembali untuk
duduk-duduk mengelilingi api unggun, lalu memakan hidangan yang diambil dari
panci hitam yang ditaruh di atas api," kata si Utik. "Rasanya pasti sedaap! He!
Mudah-mudahan saja Ayah tidak berkeberatan, kita pergi menggabungkan diri dengan
perkemahan sirkus." "Ah - kurasa ia malah sama sekali tidak menyadari bahwa kita. tidak ada," kata
George. "Ayahku - ia tidak pernah tahu hal-hal seperti itu. Kadang-kadang ia bahkan
tidak tahu ada orang di depan hidungnya!".
"Itu kadang-kadang ada gunanya, apabila orang itu tidak disukai," kata si Utik.
"Nah - kita lihat saja dulu, apa-apa saja masakan Jenny yang bisa kita jadikan
bekal makan, malam nanti."
Cerita anak-anak didengarkan oleh Jenny dengan mata terbuka lebar.
"Waduh, waduh!" katanya kemudian. "Jadi kalian akan berkemah dengan orang-orang
sirkus" Bukan main! Aku ingin tahu apa kata orang tuamu mengenainya, Julian!"
"Akan kami tanyakan nanti, apabila kami berjumpa lagi dengan mereka," kata
Julian sambil nyengir. "Apa yang telah Anda sediakan untuk makan malam kami
nanti" Kami hendak membawanya ke perkemahan."
"Itu sudah ku sangka," kata Jenny. "Semuanya hidangan dingin. Perkedel, daging,
susis, timun daun selada serta tomat, roti - ditambah dengan apel dan pisang.
Bagaimana - cukup atau tidak?"
"Wah, tentu saja," kata si Utik dengan mata bersinar-sinar. "Lalu minumnya apa?"
"Kalian boleh memilih, mau seterup sitrun atau jeruk," kata Jenny. "Tapi
dengarkan - kau jangan masuk ke kamar kerja ayahmu sekarang, Tik! Sehari penuh
ia bekerja keras, jadi sekarang ia capek."
"Dan cepat marah, tentunya," sambung si Utik. "Orang yang capek, cepat sekali
marah. Kecuali Anda, Jenny yang baik hati!"
"Hah! Kau ini, rupanya menginginkan apa-apa lagi dari sepen, ya?" kata Jenny
sambil tertawa geli. "Bolehkah kami minta gula batu?" tanya si Utik. "Aduh, Jenny - di lapangan
tempat perkemahan sirkus ada banyak kuda, bagus sekali rupanya. Aku kepingin
memberikan gula batu pada mereka, sebutir seekor."
"Dan sebutir untukmu sendiri, kan?" kata Jenny. "Tapi baiklah! Nanti kukemaskan
semuanya untuk kalian, serta piring, mangkuk dan lain-lainnya. Tapi bagaimana
dengan Timmy" Apakah untuknya tidak perlu disediakan makanan pula?"
"Guk!" gonggong Timmy. Ia merasa senang, karena ada yang ingat padanya. Jenny
menepuk-nepuk kepalanya. Kepala Timmy, bukan kepalanya 'sendiri! "Semua sudah
siap dalam sepen," katanya. "Coba kau saja yang mengambilnya, George! Timmy
pasti sudah lapar sekarang!"
George mengambil daging dan biskuit sepiring dan dalam sepen. Tanpa menunggu
disuruh dua kali, Timmy langsung memakannya dengan lahap, diselingi gonggongan
senang sekali-sekali. Ya - ia sudah lapar sekali!
Akhirnya bekal makan malam selesai dikemaskan. Wah, banyak juga bekal itu! Pasti
banyak yang bisa dibagikan pada teman-teman baru mereka dari sirkus. Setelah
mengucapkan selamat tidur pada Jenny, anak-anak pergi lagi ke lapangan di
belakang kebun. Mereka tidak meminta diri pada Profesor Hayling, karena tidak
ingin mengganggu ketenangannya.
"Jangan-jangan ia malah marah, dan melarang kita makan bersama orang-orang
sirkus," kata si Utik. "Iseng! Ayo keluar dari keranjang itu. Jangan pura-pura
tidak tahu - kau kan hendak mencopet pisang yang ditaruh di situ! Dan malam ini
harap tunjukkan sikap yang sopan, ya! Jangan membuat malu Charlie Simpanse."
Sementara itu matahari sudah rendah di ufuk barat. Bayangan bertambah panjang.
Hari sudah senja. Anak-anak membayangkan betapa asyiknya nanti, duduk-duduk
mengelilingi api unggun, makan bersama para anggota sirkus yang ramah-ramah.
Lalu mungkin ikut bernyanyi bersama mereka, serta menikmati permainan biola Fred
yang akan memperdengarkan lagu-lagu kuno. Kemudian merayap masuk ke dalam tenda,
lalu tidur dibuai suara burung hantu, dan ditemani bintang-bintang yang nampak
gemerlapan di celah tenda!
Bab 9 MALAM YANG MENYENANGKAN
Begitu Jeremy melihat anak-anak menyeberang pagar dengan segera ia datang
menyongsong mereka. Ia senang sekali mendapat tamu. Mula-mula mereka diajaknya
mendatangi Kakek, untuk mendapat sambutan selamat datang.
"Sekarang kurasa teman-temanmu pasti ingin melihat-lihat sebentar," kata Kakek.
"Kau boleh mengajak Charlie ikut dengan kalian. Malam ini kita akan mengadakan
latihan, jadi arena sudah dipasang. Kalian bisa melihat sebagian dari acara
pertunjukan." Wah - itu kabar yang sangat baik! Anak-anak melihat bahwa beberapa bagian
melengkung yang terbuat dari papan yang dicat telah dipasang saling menempel,
membentuk sebuah gelanggang yang besar di tengah lapangan. Sementara mereka
berjalan menghampiri, kuda-kuda penari masuk ke tengah gelanggang. Kuda terdepan
di tunggangi oleh seorang gadis cantik yang mengenakan pakaian berkilau
keemasan. Itulah Madelon !
"Aduh - bagus-bagusnya mereka itu," pikir Anne, sementara ia memperhatikan
dengan asyik. "Lihatlah jambul bulu-bulu mereka, bergerak-gerak di atas kepala
yang terangguk-angguk."
Saat itu Band Bonzo mulai bermain, dan kuda-kuda itu dengan segera bergerak
selaras dengan irama musik. Band yang bermain nampak agak aneh, karena para
pemainnya tidak mengenakan pakaian seragam mereka yang apik. Rupanya pakaian itu
disimpan untuk malam pertunjukan pertama!
Setelah berputar-putar beberapa kali dalam gelanggang, kuda-kuda itu berjalan
serempak meninggalkan tempat itu lagi, dengan Madelon yang cantik di atas
punggung kuda terdepan. Setelah itu masuk Fred Pemain Biola. Ia bermain pada
biolanya selama beberapa menit. Lagu yang diperdengarkannya mula-mula lambat dan
syahdu. Tapi kemudian menyusul lagi berirama cepat. Tahu-tahu anak-anak sudah
berjingkrak-jingkrak, mengikuti irama lagu itu.
"Aku tidak bisa berhenti!" kata Anne tersengal- sengal. "Kakiku seolah-olah
dikuasai irama musik itu'"
Saat itu Charlie Simpanse datang. Binatang itu berjalan pada kaki belakangnya.
Kelihatannya lebih jangkung dari biasanya, pada saat mana ia berjalan dengan
keempat kakinya menyentuh tanah. Simpanse itu pun mulai menandak-nandak. Kocak
sekali kelihatannya! ia langsung menuju ke tengah gelanggang, lalu merangkul
kaki Fred. "Ia senang pada Fred," kata Jeremy. "Perhatikanlah - sekarang ia akan melatih
permainan cricket-nya. Aku harus melemparkan bola ke arahnya."
Jeremy masuk ke dalam gelanggang. Charlie menyongsong anak itu" lalu
merangkulnya. Sebatang alat pemukul dilemparkan ke dalam gelanggang. Charlie
mengambilnya. Ia berlatih memukul beberapa kali tanpa bola, sambil
memperdengarkan suara yang menandakan bahwa ia senang.
Kemudian sebuah bola dilemparkan pada Jeremy, yang menangkapnya dengan cekatan.
Seorang anak perempuan yang masih kecil muncul, dan memasang tiga tonggak.
"Aku tidak bisa menemukan palangnya, Jeremy," seru anak itu. "Barangkali ada
dalam kantongmu! " "Tidak," jawab Jeremy. "Tapi biarlah, cukup dengan tonggak-tonggak itu saja.
Dengan lemparanku, pasti tonggak-tonggak itu akan tercampak!"
Tapi itu bukan hal yang mudah, dengan Charlie Simpanse sebagai penjaga tonggak.
Ketika Jeremy melemparkan bola, Charlie mengayunkan tongkat pemukulnya dengan
keras - dan bola melambung tinggi. Jauh melampaui kepala Jeremy, sehingga tidak
bisa ditangkap olehnya. Karena ayunannya sangat keras, Charlie sendiri jatuh
terduduk di atas ketiga tonggak, yang langsung terguling.
"Keluar!" seru Jeremy. Tapi Charlie tidak mau kalah begitu saja. Dengan seksama
dipasangnya lagi ketiga tonggak. Lalu ia berdiri di depannya, sambil mengayunayunkan tongkat pemukul. Baru sekali itu anak-anak menyaksikan permainan cricket yang begitu jenaka!
Charlie sangat cekatan memukul bola, sehingga berulang kali Jeremy terpaksa
pontang-panting lari mengejar. Akhirnya Charlie mengejar anak itu berkeliling
gelanggang dengan tongkat pemukul diayun-ayunkan, sambil mengeluarkan suara
seperti mendengus-dengus. Anak-anak tidak tahu, apakah simpanse itu geli, atau
marah! Akhirnya dilemparkannya tongkat pemukul ke arah Jeremy, sedang ia sendiri
keluar sambil menggaruk-garuk ketiak.
Anak-anak tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuannya.
"Aduh - lucunya seperti badut!" kata Dick. "Jeremy, apakah Charlie menampilkan
permainan cricket-nya setiap malam, apabila sirkus mengadakan pertunjukan?"
"O ya - dan kadang-kadang bola dipukulnya ke tengah penonton," kata Jeremy.
"Kalau itu terjadi - wah, penonton ribut! Kadang-kadang kami mengundang salah
seorang anak dari kalangan penonton ke tengah gelanggang untuk melemparkan. bola
pada Charlie. Pernah ada yang berhasil mengenai tonggak. Charlie marah sekali!
Anak itu dikejarnya sampai tiga kali berkeliling gelanggang, seperti ketika ia
mengejar aku tadi. Anak yang dikejar itu sama sekali tidak senang!"
Charlie menghampiri Jeremy. Anak itu dirangkulnya, lalu hendak dijunjungnya.
"Jangan, Charlie," kata Jeremy. Ia meronta, sehingga terlepas dari rangkulan
simpanse itu. "Awas- Keledai Penari datang! Lebih baik kalian menyingkir dari
gelanggang. Entah apa lagi keisengannya nanti!"
Keledai Penari masuk ke dalam gelanggang. Warna bulunya kelabu tua. Keledai itu
memasuki. gelanggang sambil menggoyang-goyangkan kepala. Kemudian ia berhenti
dan memandang orang yang berada di sekeliling gelanggang. Setelah Itu ia duduk.
Salah satu kakinya diangkat, untuk menggaruk hidung. Anak-anak memandang dengan
mulut ternganga! Belum pernah mereka melihat ada keledai yang bisa berbuat
begitu. Kemudian band sirkus mulai bermain lagi. Keledai 'itu berdiri sambil
mendengarkan. Ia menggerakkan telinganya. Mula-mula ke arah sini, lalu ke sana.
Sementara itu kepalanya diangguk-anggukkan, mengikuti irama musik.
Band sirkus mengganti irama lagu. Mereka memainkan sebuah lagu mars. Keledai itu
memasang telinga lagi, lalu mulai berbaris mengelilingi gelanggang. Gerak
langkahnya mengikuti irama lagu mars. Kemudian kelihatannya ia merasa capek. Ia
duduk. Anak-anak tertawa. Keledai itu bangkit kembali. Tapi entah bagaimana kedua kaki belakangnya tersangkut ke kaki depan, dan keledai itu jatuh
terjerembab. Konyol sekali kelihatannya saat itu.
"Cederakah dia?" tanya Anne dengan cemas. "Aduh, bisa patah kakinya nanti!
Lihatlah - ia tidak bisa berdiri, Jeremy - selalu kaki belakangnya tersangkut ke
kaki depannya!" Keledai itu menguak dengan sedih. Dicobanya sekali lagi untuk berdiri. Tapi tak
berhasil - ia terjungkir kembali. Saat itu band sirkus memainkan lagu baru yang
berirama lain. Seketika itu juga keledai itu meloncat bangun, lalu mulai menari
dengan gerakan lincah. Hebat sekali pertunjukannya !
"Tak kusangka keledai itu bisa diajari menari selincah itu," kata George.
Tak lama kemudian keledai itu rupanya merasa capek kembali. Ia berhenti menari.
Tapi band sirkus bermain terus. Keledai itu lari menghampiri mereka, lalu
menghentakkan kaki. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh - kedengarannya seperti
keluar dari mulut keledai itu.
"Terlalu cepat! Terlalu cepat!"
Tapi kata-katanya itu tidak dipedulikan oleh para pemain band. Mereka bermain
terus. Keledai itu membungkuk, lalu menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan keras.
Tahu-tahu kepalanya terpental, jatuh ke atas rumput di tengah gelanggang. Anne
menjerit ketakutan. "Jangan goblok, Anne," kata Dick. "Kau kan tidak beranggapan bahwa itu keledai
sungguhan?" "Lho - bukan?" kata Anne. Ia merasa lega. "Tapi kelihatannya persis keledai yang
biasa ditunggangi anak-anak di pantai Kirrin."
Tubuh keledai terbagi dua. Dari masing-masing belahannya. muncul seorang lakilaki bertubuh kecil. Dengan hati-hati keduanya menarik kaki mereka dari dalam
selubung yang merupakan kaki keledai. Kulit keledai yang sudah tidak berisi lagi
sekarang jatuh ke tanah. "Aku kepingin punya kulit keledai seperti itu," kata si Utik. "Aku punya teman
di sekolah yang bisa menjadi kaki belakang, sedang aku menjadi kaki depan. Wah pasti macam-macam yang bisa ,kami lakukan!"
"Kalau melihat tingkah lakumu kadang-kadang, kurasa kau pasti bisa menjadi
keledai sungguhan," kata George mengganggu anak itu. "Tapi lihatlah - Dick Si
Jago Bidik sekarang akan berlatih."
Tapi sebelum Dick Si Jago Bidik sempat memamerkan keahliannya menembak, kedua
laki-laki yang menjadi keledai tadi sudah lari menghampiri band. Mereka
kelihatannya marah. "Kenapa begitu cepat kalian bermain tadi" Kalian kan tahu, kami tidak bisa
mempertunjukkan permainan kami, jika irama lagunya cepat sekali. Kalian rupanya
hendak menggagalkan pertunjukan kami, ya"!"
Pemimpin band menyerukan jawaban, yang rupanya bernada kasar - karena satu dari
kedua pemain keledai langsung mengacungkan kepalan tinjunya, dan lari
menghampiri band. Saat itu terdengar suara yang lantang berteriak di tengah keributan, sehingga
orang-orang kaget semua mendengarnya. Ternyata yang berteriak itu Pak Tapper!
"Sudah! Kau, Pat - dan kau, Jim - ayo keluar dari gelanggang. Aku yang mengatur
di sini, bukan kalian. Sudah, kataku!"
Kedua laki-laki bertubuh kecil yang tadi bermain sebagai keledai memandang Kakek
dengan mata melotot. Tapi mereka tidak berani membuka mulut lagi. Keduanya pergi
dengan sikap marah meninggalkan gelanggang, dengan membawa kulit keledai.
Dick Si Jago Sidik kelihatannya biasa-biasa saja. ia memakai setelan flanel yang
agak kumal. "Ia tidak akan memperagakan seluruh pertunjukannya sekarang," kata Jeremy.
"Kalian akan bisa melihatnya nanti, apabila pertunjukan sudah dibuka untuk umum.
Segala macam benda ditembaknya dengan tepat - sampai-sampai - sekeping uang enam
penny yang digantungkan dari atap tenda sirkus dengan benang yang panjang.
Bidikannya tidak pernah meleset! Pakaian panggungnya hebat - baju dan celana
panjangnya penuh bertaburan kepingan-kepingan kecil yang memantulkan sinar! Kuda
kacangnya luar biasa! Berlari-lari mengelilingi gelanggang - dan sedikit pun
tidak pernah kaget apabila Dick menembak. Lihatlah - itu dia, mengintip ke dalam
untuk melihat apakah Dick datang menjemputnya!"
Seekor kuda kacang berbulu putih memandang ke dalam gelanggang. Matanya menatap
Dick Si Jago Bidik. Kaki depannya mengais-ngais tanah, seolah-olah hendak
mengatakan, "Cepatlah sedikit. Aku sudah menunggu nih! Aku harus masuk sekarang,
atau belum?" "Ya, Dick - kau bisa pergi sekarang," seru Kakek. "Kudengar kudamu mengalami
cedera pada kakinya. Kalau begitu kau harus mengistirahatkannya baik-baik malam
ini. Kita memerlukannya besok malam!"
"Baik, Pak!" kata Dick. Ia menabik dengan rapi, lalu lari menghampiri kudanya.
"Sekarang apa yang menyusul, Jeremy?" tanya George. Ia asyik sekali menonton
latihan itu. "Aku juga tidak tahu. Nanti dulu! Masih ada para akrobat, tapi palang ayunan
mereka belum dipasang - jadi rupanya malam ini mereka tidak berlatih. Lalu
Manusia Tak Bertulang - lihatlah, itu dia. Ya, Benny - aku suka padanya. Ia
murah hati, sering mentraktir - tidak seperti beberapa orang lainnya!"
Manusia Tak Bertulang itu kelihatannya aneh sekali. Bertubuh kurus dan jangkung.
Ketika ia masuk, Dick berkata, "Tidak mungkin ia tak bertulang! Kenyataannya, ia bisa berjalan. Orang yang tak
bertulang, tak mungkin bisa berjalan."
Tapi kemudian orang itu kelihatan seolah-olah tak memiliki tulang sama sekali
dalam tubuhnya. Lututnya melentur, begitu pula mata kakinya, sehingga ia roboh
ke tanah. Lengannya bisa dibengkokkan ke berbagai arah, sedang kepalanya
diputar-putar ke mana-mana pun bisa. Ia melakukan berbagai gerakan aneh dengan
tubuhnya yang seolah-olah tak bertulang. Akhirnya ia menyusup di tanah - persis
seekor ular! "Pada pertunjukan yang sebenarnya nanti, ia akan memakai pakaian kulit ular,"
kata Jeremy. "Kelihatannya aneh, ya?"
"Bagaimana caranya ia melakukan gerakan-gerakan itu?" kata Julian dengan heran.
"Lengan dan tungkainya dibengkokkan ke berbagai arah, yang sebenarnya tidak
mungkin bisa dilakukan! Kalau aku yang melakukan, pasti lengan dan kakiku patahpatah sebagai akibatnya!"
"Ah. baginya itu gampang saja!" kata Jeremy. "Persendiannya sangat lemas lengan dan kakinya bisa digerakkan ke berbagai arah yang berlawanan. Karena
itulah nampak kesan, seolah-olah ia tak bertulang. Orangnya ramah. Kalian pasti
senang padanya." Hal itu agak diragukan oleh Anne. Orang-orang sirkus, ternyata aneh-aneh! Mereka
hidup dalam dunia mereka sendiri. Tiba-tiba Anne dikagetkan oleh bunyi trompet
yang ditiup dengan tiba-tiba.
"Itu tanda panggilan untuk makan malam!" kata Jeremy dengan senang bercampur
Lima Sekawan 21 Sirkus Misterius di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
geli. "Yuk - kita mendatangi Nenek dengan pancinya. Ayo, cepatlah!"
Bab 10 SEKELILING API UNGGUN
Jeremy mendului pergi meninggalkan gelanggang sirkus yang terang-benderang.
Malam di luar nampak gelap sekali karenanya. Anak-anak melintasi lapangan,
menuju api unggun yang berkobar-kobar. Api itu dinyalakan di tengah tumpukan
batu yang disusun melingkar. Sebuah panci yang besar sekali digantungkan di atas
api. Anak-anak mencium bau masakan yang harum, ketika mereka datang mendekat.
Nenek yang tua ada di tempat itu. Begitu ia melihat anak-anak datang, ia pun
mulai mengaduk-aduk isi panci besar.
"Lama sekali kau di gelanggang tadi," katanya menggerutu terhadap Kakek. "Ada
yang tidak beres!" "Tidak," kata Kakek. Ia mengendus-endus. "Hm - sedap sekali baunya! Perutku
sudah lapar. Jeremy, bantu nenekmu."
"Ya, Kek," kata Jeremy. Dibawanya setumpuk piring ke Nenek, yang dengan segera
menyendokkan potongan-potongan daging, kentang dan sayur-sayuran dari panci ke
piring. Kakek berpaling pada Julian.
"Nah - senangkah kau melihat latihan kami tadi?" tanyanya.
"O ya!" kata Julian. "Cuma sayang Anda tidak melatih semua pertunjukan yang akan
ditampilkan nanti. Saya kepingin sekali melihat para akrobat dan badut-badut.
Adakah mereka di sini" Saya sama sekali tidak melihat mereka tadi."
"O ya - itu salah seorang badut - itu, di sana, yang sedang bersama Madelon,"
kata Kakek. Anak-anak kecewa, ketika melihat ke arah yang ditunjuk,
"Dia itu badut?" kata Dick tidak percaya. "Kelihatannya sama sekali tidak
jenaka. Tampangnya malah nampak sedih."
"Dia itulah Monty," kata Kakek. "Tampangnya selalu begitu, di luar gelanggang.
Tapi pada saat pertunjukan nanti, kalian pasti tertawa terpingkal-pingkal
dibuatnya. Banyak badut yang seperti Monty sekarang, apabila mereka tidak sedang
mengadakan pertunjukan. Mereka tidak banyak bicara, dan bertampang seperti
sedang sedih. Winks agak lebih lincah sikapnya. Itu dia, yang menarik-narik
rambut Madelon. Ia senang sekali mengganggu orang. Sebentar lagi, ia pasti kena
tampar. Nah, apa kataku - plak!"
Sambil melolong-lolong, Winks datang menghampiri anak-anak. Ia seperti sungguhsungguh menangis. "Aku dipukul olehnya!" katanya tersedu-sedu.
"Pa-pad-dahal rambutnya beb-beb-begitu bagus!"
Mau tidak mau, anak-anak tertawa melihat tingkahnya. Si Iseng lari mendekati
badut itu. Ia meloncat ke atas bahunya, lalu berceloteh di telinganya - seolaholah hendak membujuk. Charlie Simpanse keluar dari kandangnya, lalu memegang tangan Winks. Kedua
binatang itu menyangka Winks benar-benar kesakitan.
"Sudah, Winks," kata Kakek. "Nanti datang pula kuda-kuda, hendak menghiburmu!
Kalau besok kau begitu, ketika pertunjukan kita sudah dibuka untuk umum, para
penonton pasti tertawa terpingkal-pingkal melihatmu. Duduklah, kita makan dulu!"
"Pak Tapper," kata Julian, "ada seorang anggota sirkus Anda yang tidak kami
lihat sewaktu latihan tadi. Maksud saya Mr. Wooh, Penyihir Ajaib! Kenapa ia tadi
tidak ada?" "Mr. Wooh tidak pernah berlatih," kata Pak Tapper. Ia selalu menyendiri. Mungkin
ia akan datang menggabungkan diri dengan kita untuk makan malam - tapi mungkin
juga tidak! Tapi arena besok malam kami akan memulai pertunjukan, besar
kemungkinannya malam ini ia akan datang. Terus terang saja, aku agak takut
padanya. " "Tapi, ia kan bukan benar-benar seorang penyihir" tanya si Utik
"Yah - kalau aku sedang bicara padanya, aku mempunyai perasaan bahwa dia itu
benar-benar seorang penyihir," kata Pak Tapper. "Tidak ada yang tidak
diketahuinya mengenai angka-angka dan apa saja bisa dilakukannya dengan angkaangka itu. Coba dia disuruh mengalikan angka mana saja, yang deretannya boleh
sampai lusinan - dalam sekejap mata ia pasti akan sudah bisa memberikan
jawabannya. Ia sebetulnya tidak cocok untuk tampil dalam sirkus. Ia lebih pantas
menjadi seorang pencipta. Pencipta apa saja, yang perhitungannya memerlukan
kertas berlembar-lembar. Ia pasti bahagia, dengan pekerjaan macam begitu."
"Ia kedengarannya seperti ayahku," kata si Utik. "Ayahku seorang sarjana, yang
kerjanya menciptakan penemuan-penemuan. Kadang-kadang, apabila aku menyelinap
masuk ke kamar kerjanya, kulihat kertas berlembar-lembar yang penuh dengan
jutaan angka yang ditulis kecil-kecil, begitu pula gambar-gambar rencana dan
diagram yang dikelilingi angka-angka yang semuanya ditulis serba kecil."
"Wah, menarik juga kedengarannya," kata Kakek. "Ayahmu perlu berkenalan dengan
Mr. Wooh. Mungkin mereka akan mengobrol tentang angka-angka terus, sepanjang
hari! Astaga - apa itu yang kau bagi-bagikan, Nak?"
"Makanan bekal kami," jawab Anne. "Silakan mengambil beberapa potong susis,
Pak!" "Terima kasih," kata Pak Tapper dengan senang hati. "Kau baik hati! Senang
rasanya bisa berkenalan dengan kalian. Jeremy kurasa bisa belajar sopan santun
sedikit dari kalian!"
"Kek! Itu Mr. Wooh datang!" seru Jeremy dengan tiba-tiba, lalu bangkit. Orangorang yang lain berpaling semua. Anak-anak memandang dengan penuh perhatian.
Jadi itulah rupanya Mr. Wooh, Penyihir Ajaib! Kalau melihat tampangnya, memang
sesuai. Ia berdiri sambil tersenyum simpul. Orangnya jangkung dan tampan. Sikapnya
anggun. Rambutnya tebal, berwarna hitam legam. Matanya berkilat-kilat
memantulkan sinar api, setengah terlindung di balik alis yang tebal. Janggutnya
tipis dan runcing. Suaranya berat, terdengar misterius. Logat bicaranya
terdengar seperti orang asing.
"Rupanya malam ini kita ada tamu, ya?" katanya. Ia tersenyum sekilas,
menampakkan sederet gigi yang putih berkilat. "Bolehkah saya menggabungkan
diri?" "Silakan, Mr. Wooh." kata Anne. Ia merasa senang, karena mendapat kesempatan
untuk mengobrol dengan seorang Penyihir Ajaib.
"Banyak bekal makanan yang kami bawa. Anda mau susis dingin dengan tomat dan
roti?" "Hmm - enak!" kata penyihir yang ahli sulap itu. Ia duduk bersila di sela yang
lain-lainnya. "Kami tadi agak menyesal, karena tidak bisa melihat Anda berlatih," kata Dick.
"Saya kepingin mendengar Anda berhitung dengan cepat di luar kepala!"
"Ayahku juga bisa begitu," kata si Utik dengan bangga. "Ia juga hebat, kalau
disuruh berhitung. Ia seorang sarjana penemu."
"Wah - seorang penemu" Lalu, apa yang diciptakan olehnya?" tanya Mr. Wooh sambil
makan. Si Utik langsung bercerita, betapa hebat ayahnya.
"Ia bisa menciptakan apa saja yang diminta padanya," kata anak itu dengan
bangga. "Ia pernah menciptakan alat yang hebat, gunanya untuk mengemudikan
pesawat terbang supaya bisa terbang lurus ke arah yang dituju. Ciptaannya itu
lebih baik daripada gagasan-gagasan sebelumnya. Ia juga menciptakan roda-sko.
Barangkali Anda tahu, apa itu! Lalu trosimon listrik mungkin Anda juga sudah
pernah mendengar mengenainya. Tapi kurasa, belum. Alat itu masih..."
"Nanti dulu!" kata Mr. Wooh. Kedengarannya ia sangat tertarik. "Ya, aku pernah
mendengar tentang penemuan-penemuan itu. Aku belum pernah melihatnya, tapi kalau
mendengarnya, sudah. Ayahmu itu rupanya orang yang cerdas sekali, dengan otak
yang sungguh luar biasa!"
Bukan main bangganya si Utik mendengar pujian itu.
"Belum lama berselang, dalam surat kabar ada berita mengenai hasil-hasil
penemuan ayahku," katanya. "Lalu ia didatangi para wartawan. Namanya ditulis
dalam berbagai harian. Tapi Ayah malah marah karenanya. Soalnya, saat ini ia
sedang sibuk dengan gagasannya yang paling hebat selama ini. Kunjungan para
wartawan untuk mewawancarai menyebabkan pekerjaannya terganggu. Mereka itu
bahkan ada yang mengintip-intip ke dalam lewat jendela, serta pergi mendatangi
menaranya yang hebat, dengan..."
"Menara" Ayahmu punya menara?" kata Mr. Wooh tercengang. Sebelum si Utik sempat
menjawab, rusuknya sudah ditusuk dengan jari oleh Julian. Si Utik berpaling
dengan marah. Ia melihat Julian menatapnya dengan kening berkerut. Wah - George
juga memandangnya dengan cara yang sama. Tiba-tiba muka si Utik menjadi merah
padam. Aduh, tentu saja mereka merengut pikirnya. Bukankah ia sudah dilarang
untuk mengoceh tentang kesibukan ayahnya" Hal itu harus dirahasiakan sekali!
Si Utik tersedak. Ia pura-pura salah menelan sepotong daging, dengan harapan
bahwa Julian akan cepat-cepat menukar pokok pembicaraan. Dan hal Itu memang
Bunga Ceplok Ungu 1 Satria Gendeng 01 Tabib Sakti Pulau Dedemit Memanah Burung Rajawali 28
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama