Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Bagian 6
Aku berkata, "Dan alasannya?"
"Ada laporan bahwa kerusakan struktural pada
langit-langit membuat basement tidak aman dan akan
membatalkan polis asuransi universitas jika arena ice
skating tiba-tiba ambruk. Mereka bilang, keamanan para
mahasiswa harus diutamakan. Pokoknya, mereka menutup
lab, dan menunggu pemeriksaan dan laporan oleh insinyur
sipil." "Dan kapan itu?"
Ia menunjuk pesawat telepon. "Saya sendiri masih
menunggu kabar. Barangkali minggu depan Mungkin juga
baru bulan depan." "Bulan depan?" "Yeah. Bulan depan." Sanders mengusap rarnbutnya
yang acak-acakan. "Saya sampai menemui Dekan untuk
urusan ini. Tapi dia juga tidak tahu-menahu. Perintahnya
berasal dari atas. Dari dewan penyantun yang mengenal
orang-orang kaya yang biasa memberi sumbangan
berjumlah jutaan dolar. Perintahnya berasal dari tingkat
paling atas." Sanders tertawa. "Dan di zaman sekarang, kita
tidak perlu bertanya-tanya lagi."
Aku berkata, "Maksud Anda?"
"Anda sadar betapa jauh Jepang telah menyusup ke
dalam struktur universitas-universitas Amerika, terutama
departemen-departemen teknik" Itu terjadi di mana-mana.
Perusahaan-perusahaan Jepang kini mensponsori 25 gelar
profesor di M.I.T., jauh lebih banyak dari negara mana pun.
Sebab mereka tahu, pada dasarnya mereka tidak punya
kemampuan berinovasi seperti kita. Karena mereka membutuhkan inovasi, mereka ambil langkah yang paling
praktis. Mereka membelinya dari perguruan tinggi
Amerika." "Tentu. Anda tahu, di University of California di Irvine
ada dua lantai di sebuah gedung riset yang tidak bisa
dimasuki, kecuali kalau kita pegang paspor Jepang. Mereka
melakukan riset uniuk Hitachi. Perguruan tinggi Amerika
yang terlutup untuk orang Amerika." Sanders berbalik,
mengayunkan tangan. "Dan di sini, jika terjadi sesuatu yang
tidak berkenan di hati mereka, seseorang akan mengangkat
telepon dan bicara dengan Rektor. Rektor tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia takkan berani menyinggung perasaan
orang-orang Jepang. Jadi, apa pun yang mereka inginkan,
mereka pasti akan mendapatkannya. Dan kalau mereka
minta lab ini ditutup, labnya akan ditutup."
Aku berkata, "Bagaimana dengan kaset-kaset video itu?"
"Semuanya terkunci di dalam sana. Kami tidak diizinkan
membawa apa-apa." "Masa?" "Mereka sangat tergesa-gesa. Seperti Gestapo saja. Kami
didesak-desak dan didorong-dorong keluar. Anda tak bisa
membayangkan rasa panik di perguruan tinggi Amerika
yang takut kehilangan sumber dana." Ia menghela napas.
"Entahlah. Theresa mungkin sempat membawa beberapa
kaset. Anda bisa tanya dia."
"Di mana dia?" "Kalau tidak salah, dia sedang ice skating."
Aku mengerutkan kening. "Ice skating?"
"Dia bilang begitu. Coba Anda lihat ke sana."
Dan pandangannya melekat pada Connor. Pandangan
penuh arti. Theresa Asakuma ternyata tidak sedang ice skating. Ada
sekitar tiga puluh anak kecil di arena, disertai guru muda
yang sia-sia berusaha mengendalikan mereka. Mereka
seperti anak-anak kelas empat. Suara tawa dan teriakan
mereka memantul dari langit-langit yang tinggi.
Bangunan itu hampir kosong, tribun penonton pun
lengang. Sejumlah anak muda duduk di salah satu sudut,
memandang ke bawah dan saling menonjok bahu. Di sisi
kami, di puncak tribun, seorang petugas sedang mengepel.
Beberapa orang dewasa, yang kelihatannya orangtua,
berdiri di pagar, di tepi lapangan es. Di seberang, seorang
pria sedang membaca koran.
Aku tidak melihat Theresa Asakuma.
Connor menghela napas. Dengan letih ia duduk di tribun
kayu dan menyandarkan punggung. Ia menyilangkan kaki,
bersantai. Aku tetap berdiri dan memperhatikannya.
"Kenapa Anda duduk" Dia tidak ada di sini."
"Duduk dulu." "Tapi Anda selalu bilang bahwa waktu kita tidak
banyak." "Duduk dulu. Nikmati hidup."
Aku duduk di sebelahnya. Kami menyaksikan anak-anak
tadi meluncur mengelilingi arena. Guru mereka berseru,
"Alexander" Alexander! Tadi sudah kuperingatkan. Tidak
boleh memukul! Jangan pukul dia!"
Aku ikut bersandar, mencoba bersantai. Connor
mengamati anak-anak itu dan tertawa kecil. Ia tampak
tenang, seakan-akan tanpa beban.
Aku berkata, "Anda percaya bahwa keterangan Sanders
benar" Mungkinkah pihak universitas dipaksa bertindak
oleh orang-orang Jepang?"
"Tentu," jawab Connor.
"Dan bagaimana dengan cerita bahwa Jepang membeli
teknologi Amerika" Membeli gelar profesor di M.I.T.?"
"Itu tidak melanggar hukum. Mereka membantu ilmu
pengetahuan. Tujuan yang mulia."
Aku mengerutkan kening. "Jadi, Anda pikir ini benar?"
"Tidak," katanya. "Saya sama sekali tidak menganggapnya benar. Kalau kita melepaskan kontrol
terhadap lembaga-lembaga kita, kita melepaskan segala-galanya. Dan pada umumnya, sebuah lembaga
dikuasai oleh orang yang membiayainya. Kalau orang
Jepang mau menyediakan dana - sedangkan Pemerintah
dan pihak industri Amerika tidak - Jepang akan menguasai
pendidikan di Amerika. Anda tahu, sudah ada sepuluh
perguruan tinggi Amerika yang menjadi milik mereka.
Dibeli oleh mereka, untuk melatih generasi muda mereka.
Agar ada jaminan bahwa anak-anak muda dari Jepang bisa
dikirim ke Amerika."
"Tapi sekarang saja sudah banyak pemuda Jepang yang
belajar di sini. Banyak mahasiswa Jepang mendapat
pendidikan di perguruan tinggi Amerika."
"Memang. Tapi seperti biasa, orang Jepang berpikir jauh
ke depan. Mereka sadar bahwa situasinya mungkin
berubah di masa depan. Suatu hari pasti timbul reaksi yang
tidak menguntungkan bagi mereka. Tak peduli betapa
diplomatis sikap mereka - dan sekarang ini mereka berada
dalam tahap perluasan pengaruh, jadi sikap mereka sangat
diplomatis. Masalahnya, tak ada negara yang mau dikuasai
oleh negara lain Tak ada yang sudi dijajah - baik secara
ekonomi maupun militer. Dan orang Jepang yakin bahwa
suatu saat Amerika akan terjaga dari mimpi indahnya."
Aku mengamati anak-anak bermain ice skating. Aku
mendengarkan suara tawa mereka. Aku teringat pada
Michelle. Aku teringat pertemuan jam empat sore.
Aku berkata, "Untuk apa kita duduk-duduk di sini?"
"Karena," ujar Connor.
Jadi kami tetap duduk. Si guru mengumpulkan
murid-muridnya, menggiring mereka keluar arena. "Copot
ski es kalian. Ayo, copot semuanya. Kamu juga, Alexander!
Alexander!" "Anda tahu," kata Connor, "seandainya Anda ingin
membeli perusahaan Jepang, Anda takkan berhasil.
Pengambilalihan oleh orang asing dianggap sebagai aib
oleh orang-orang di perusahaan itu. Mereka akan merasa
dipermalukan. Mereka takkan mengizinkannya."
"O, ya" Bukankah Jepang telah melonggarkan peraturannya?" Connor tersenyum. "Secara teori. Ya. Secara teori, kita
bisa membeli perusahaan Jepang. Tapi dalam praktek, tidak
mungkin. Sebab kalau kita mau mengambil alih suatu
perusahaan, mula-mula kita harus mendekati banknya,
untuk memperoleh persetujuan. Itu syarat pertama yang
harus dipenuhi. Dan bank bersangkutan takkan menyetujuinya." "Bukankah Isuzu sudah dibeli oleh General Motors?"
"GM hanya menguasai sepertiga saham Izusu. GM bukan
pemegang saham mayoritas. Dan memang, kadang-kadang
ada perkecualian. Tapi secara. keseluruhan, penanaman
modal asing di Jepang menurun dalam sepuluh tahun
terakhir. Semakin banyak perusahaan melihat Jepang
sebagai pasar yang terlalu sukar ditembus. Mereka bosan
dipermainkan, bosan menghadapi percekcokan, persekongkolan, dango, kerja sama rahasia untuk
menghalang-halangi mereka. Mereka bosan menghadapi
peraturan Pemerintah dan sistem yang berbelit-belit. Dan
akhirnya mereka angkat tangan. Menyerah. Sebagian besar
negara sudah mundur - Jerman, Itali, Prancis. Semuanya
bosan mencoba melakukan bisnis di Jepang. Sebab, apa pun
yang dikatakan kepada umum, Jepang tetap tertutup.
Beberapa tahun lalu, T. Boone Pickens membeli seperempat
saham sebuah perusahaan Jepang, tapi dia tidak sanggup
masuk dewan direksi. Jepang tetap tertutup."
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Kita bisa tempuh jalan yang dipilih orang Eropa.
Membalas dengan cara yang sama. Seluruh dunia
menghadapi masalah yang sama dalam berhubungan
dengan Jepang. Kita tinggal menunggu pemecahan mana
yang paling ampuh. Pemecahan orang Eropa sangat
langsung. Dan cukup berhasil, paling tidak sejauh ini."
Di arena ice skating, beberapa gadis remaja mulai
melakukan pemanasan. Guru sekolah tadi menggiring
murid-muridnya menyusuri selasar. Ketika melewati kami,
ia berkata, "Apakah salah satu dari Anda Letnan Smith?"
"Ya," kataku. Satu anak bertanya, "Anda punya pistol?"
Gurunya berkata, "Wanita itu berpesan bahwa yang
Anda cari ada di ruang ganti pria."
"O, ya?" ujarku.
Anak itu kembali bertanya, "Boleh saya lihat pistol
Anda?" Si guru berkata, "Anda tahu, bukan, wanita Asia itu"
Kalau tidak salah, dia orang Asia."
"Ya," ujar Connor. "Terima kasih."
"Tapi saya belum lihat pistolnya."
Anak lain berkata, "Diam, tolol. Mereka lagi menyamar."
Connor dan aku mulai melangkah pergi. Anak-anak itu
mengikuti kami, terus menanyakan pistol. Di seberang
arena, pria yang membaca koran memandang curiga ke
arah kami. Ia memperhatikan kami pergi.
Ruang ganti pria ternyata kosong. Aku mulai memeriksa
lemari-lemari berwarna hijau, satu per satu, mencari
kaset-kaset itu. Connor tidak membantu. Aku mendengarnya memanggil, "Di sini."
Ia berada di belakang, di kamar mandi. "Anda
menemukan kaset-kaset itu?"
"Tidak." Ia sedang memegang sebuah pintu terbuka.
Kami menuruni tangga beton. Di bawah ada dua pintu.
Yang pertama menuju tempat bongkar-muat bawah tanah.
Yang satu lagi membuka ke sebuah selasar gelap dengan
balok-balok kayu di atasnya. "Lewat sini," ujar Connor.
Sambil membungkuk, kami menyusuri selasar itu. Kami
berada di bawah arena. Kami melewati mesin-mesin,
kemudian tiba di depan sejumlah pintu.
"Anda tahu tujuan kita?" tanyaku.
Salah satu pintu tidak tertutup rapat. Connor
mendorongnya sampai terbuka. Meski tak ada lampu, aku
menyadari bahwa kami berada di dalam lab. Di salah satu
sudut, aku melihat sebuah monitor menyala.
Kami segera menghampirinya.
Bab 40 THERESA ASAKUMA mendorong tubuhnya menjauhi
meja, menaikkan kacamata ke kening, dan menggosok-gosok matanya yang indah. "Selama kita tidak ribut,
takkan ada masalah," katanya. "Tadi ada penjaga di depan
pintu. Saya tidak tahu apakah dia masih di sana."
"Penjaga?" "Yeah. Mereka tidak main-main waktu menutup lab tadi.
Luar biasa, seperti penggerebekan pedagang narkotika.
Orang-orang Amerika benar-benar kaget."
"Dan Anda?"
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pandangan saya mengenai negeri ini tidak sama dengan
mereka." Connor menunjuk monitor di hadapan Theresa. Yang
terlihat adalah gambar diam dari Cheryl dan teman
kencannya, berpelukan, ketika mereka menuju ruang rapat.
Gambar yang sama, dan sudut-sudut berbeda, tampak pada
monitor-monitor lain di mejanya. Beberapa monitor
menampilkan garis-garis merah yang terpancar dari
lampu-lampu malam. "Apa yang Anda temukan setelah
mengamati rekaman ini?"
Theresa menunjuk monitor utama. "Saya belum yakin
benar," katanya. "Untuk memastikannya, saya perlu
membuat model 3-D untuk mencocokkan dimensi ruangan
dan letak semua sumber cahaya, serta bayangan yang
dihasilkan. Saya belum melakukannya, dan sepertinya
peralatan di ruangan ini memang tidak memungkinkannya.
Pekerjaan itu memerlukan waktu, satu malam dengan
komputer mini. Barangkali saya bisa menggunakan
peralatan Departemen Astrofisika minggu depan. Tapi, dalam keadaan seperti sekarang, mungkin juga tidak. Tapi
saya sudah punya firasat mengenai ini."
"Yaitu?" "Bayangan-bayangannya tidak cocok."
Di dalam kegelapan, Connor mengangguk perlahan.
Seakan-akan ucapan Theresa membenarkan dugaannya.
Aku berkata, "Bayangan mana yang tidak cocok?"
Theresa menunjuk monitor. "Pada waktu orang-orang
ini melintasi ruangan, bayangan mereka tampak janggal.
Entah salah tempat, atau salah bentuk. Sering kali hampir
tidak kelihatan. Tapi saya rasa ada yang tidak beres."
"Dan ini berarti..."
Theresa mengangkat bahu. "Menurut saya, Letnan,
rekaman ini sudah dimanipulasi."
Hening sejenak. "Apa yang mereka ubah?"
"Saya belum tahu persis. Tapi sepertinya sudah jelas
bahwa ada orang lain di ruangan itu, paling tidak selama
sebagian waktu." "Orang lain" Maksud Anda, orang ketiga?"
"Ya. Ada yang menyaksikan mereka. Dan orang ketiga itu
telah dihapus secara sistematis."
"Brengsek," kataku.
Kepalaku serasa berputar-putar. Aku menatap Connor.
Seluruh perhatiannya terarah pada monitor-monitor. Ia
tampaknya sama sekali tidak terkejut. Aku berkata, "Anda
sudah tahu sebelumnya?"
"Saya menduga ada hal seperti ini."
"Kenapa?" tanyaku.
Connor tersenyum. "Detail-detailnya, Kohai. Hal-hal kecil
yang terlupakan oleh kita." Ia melirik kepada Theresa,
seakan-akan enggan berbicara terIalu banyak di hadapannya. Aku berkata, "Tunggu, saya minta Anda menjielaskannya. Mulai kapan Anda tahu bahwa rekaman
ini telah diotak-atik?"
"Sejak di ruang keamanan Nakamoto."
"Kenapa?" "Karena kaset yang hilang itu."
"Kaset yang mana?" ujarku. Sebelumnya ia sudah sempat
menyinggung hal ini. "Coba Anda ingat-ingat lagi," kata Connor. "Waktu kita di
ruang keamanan, petugas di sana mengatakan bahwa dia
mengganti semua kaset ketika mulai berdinas, sekitar jam
sembilan." "Ya." "Dan semua alat perekam dilengkapi penunjuk waktu,
yang memperlihatkan masa rekam sekitar dua jam.
Masing-masing alat perekam menunjukkan waktu yang
berbeda sepuluh sampai lima belas detik dari alat perekam
sebelumnya. Sebab itulah waktu yang diperlukan untuk
mengganti satu kaset."
"Betul." Aku masih ingat itu semua.
"Dan saya menanyakan kenapa ada satu alat perekam
yang tidak cocok dengan urutan waktu itu. Alat tersebut
baru bekerja setengah jam."
"Anda bertanya apakah alat itu rusak, dan si petugas
keamanan membenarkannya."
"Ya. Itu kata dia. Saya sengaja tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnya dia tahu persis bahwa alat itu tidak rusak."
"Alat itu tidak rusak?"
"Tidak. Itu merupakan satu dari sedikit kesalahan yang
dilakukan orang-orang Nakamoto. Tapi mereka hanya
berbuat begitu karena tidak ada pilihan lain. Mereka tak
sanggup mengakali teknologi mereka sendiri."
Aku bersandar ke dinding. Aku menatap Theresa dengan
pandangan menyesal. Dalam cahaya remang-remang, ia
tampak cantik sekali. "Sori, saya tak dapat mengikuti jalan
pikiran Anda." "Karena Anda menolak penjelasan yang sudah ada di
depan mata, Kohai. Coba ingat-ingat lagi. Kalau Anda
melihat sederet alat perekam, masing-masing menunjukkan waktu yang berbeda detik dari alat perekam
sebelumnya dan kemudian Anda melihat satu yang
menyimpang dari urut-urutan itu, apa yang Anda
pikirkan?" "Bahwa kaset di alat itu baru diganti belakangan."
"Ya. Dan itulah yang terjadi."
"Satu kaset ditukar belakangan?"
"Ya." Aku mengerutkan kening. "Tapi kenapa" Semua kaset
sudah diganti pukul sembilan, jadi tak satu pun
memperlihatkan adegan pembunuhan itu."
"Benar," ujar Connor.
"Lantas, kenapa ada satu kaset yang kemudian diganti
lagi?" "Pertanyaan bagus. Ini memang membingungkan. Cukup
lama saya memikirkan pertanyaan ini. Tapi sekarang saya
tahu," Connor berkata. "Anda harus mengingat urut-urutan
waktunya. Kaset-kaset itu diganti pukul sembilan.
Kemudian satu kaset diganti lagi pukul sepuluh
seperempat. Kita bisa berasumsi bahwa ada kejadian
penting antara pukul sembilan dan pukul sepuluh
seperempat, bahwa kejadian itu direkam, dan bahwa itulah
sebabnya kaset tersebut diambil. Lalu saya bertanya pada
diri sendiri: Kira-kira apa kejadian penting itu?"
Aku berusaha mengingat-ingat, tapi tidak menemukan
apa pun. Theresa mulai tersenyum dan mengangguk, seakan-akan
merasa geli karena suatu hal. Aku berkata, "Anda tahu?"
"Saya bisa menebaknya," jawabnya sambil tersenyum.
"Hmm," gumamku. "Syukurlah kalau semua orang selain
saya sudah tahu jawabannya. Sebab setahu saya tidak ada
kejadian penting yang sempat direkam. Pukul sembilan,
tempat kejadian sudah diamankan dengan pita kuning.
Mayat wanita itu berada di seberang ruangan. Di dekat lift
ada sekelompok orang Jepang, dan Graham menelepon saya
untuk minta bantuan. Tapi penyelidikan baru dimulai
sekitar pukul sepuluh, setelah saya tiba di sana. Kemudian
kami berdebat panjang-lebar dengan Ishiguro. Saya rasa
tidak ada yang melewati pita kuning itu sampai menjelang
pukul setengah sebelas. Jadi, kalau seseorang melihat
rekaman itu, dia akan melihat ruangan kosong, dan seorang
wanita tergeletak di atas meja. Hanya itu."
"Daya ingat Anda cukup baik," ujar Connor. "Tapi Anda
melupakan satu hal."
Theresa berkata, "Apakah ada orang yang melintasi
ruangan" Siapa saja?"
"Tidak ada," ujarku. "Pita kuning sudah ter pasang. Tidak
ada yang melewati batas itu. Malahan..."
Dan kemudian aku teringat. "Tunggu dulu! Ada satu
orang! Laki-laki pendek yang membawa kamera," kataku.
"Dia berada di balik pita, sibuk memotret."
"Betul," kata Connor.
"Laki-laki pendek yang mana?" tanya Theresa.
"Orang Jepang. Dia sibuk memotret. Kami sempat
menanyakannya pada Ishiguro. Namanya, ehm..."
"Mr. Tanaka," kata Connor.
"Ya, Mr. Tanaka. Dan Anda minta pada Ishiguro agar
orang itu menyerahkan film dari kameranya." Aku
mengerutkan kening. "Tapi film itu tak pernah sampai ke
tangan kita." "Tidak," ujar Connor. "Dan terus terang, sejak semula
saya memang sudah menyangsikannya."
Theresa berkata, "Orang ini, dia mengambil foto?"
"Saya ragu bahwa dia memotret," kata Connor.
"Tapi mungkin juga, sebab dia memakai kamera Canon
yang baru." "Yang membuat gambar video diam, bukan foto biasa?"
"Benar. Apakah itu ada gunanya, untuk mengubah
rekaman video?" "Mungkin saja," balas Theresa. "Gambar-gambar itu bisa
dimanfaatkan untuk pemetaan tekstur. Prosesnya lebih
cepat, karena gambar-gambarnya sudah berbentuk digital."
Connor mengangguk. "Kalau begitu, mungkin saja dia
memang memotret. Tapi bukan itu tujuan utamanya. Dia
ingin berjalan di balik pita pembatas. "
"Ah," ujar Theresa sambil mengangguk.
Aku berkata, "Dan mana Anda tahu itu?"
"Coba Anda ingat-ingat lagi," kata Connor.
Aku sedang berdiri menghadap Ishiguro ketika Graham
berseru, "Oh, astaga, apa-apaan ini?" Aku menoleh ke
belakang dan melihat pria Jepang berbadan pendek sekitar
sepuluh meter di balik pita pembatas. Orang itu
membelakangiku. Ia sedang memotret-motret tempat
kejadian. Kameranya kecil sekali, kira-kira seukuran
telapak tangan. "Anda masih ingat bagaimana dia bergerak?", tanya
Connor. "Gerakannya tidak biasa."
Aku berusaha mengingat-ingatnya. Sia-sial.
Graham menghampiri pita pembatas dan berkata, "Demi
Tuhan, keluar dari sana. Ini tempat kejadian perkara.
Saudara tidak boleh memotret di sana!" Lalu suasana
menjadi hiruk-pikuk. Graham membentak-bentak Tanaka,
tapi Tanaka rupanya berkonsentrasi penuh pada
pekerjaannya. Ia terus memotret dan berjalan mundur ke
arah kami, meski Graham berteriak-teriak. Tanaka tidak
bereaksi seperti orang pada umumnya - berbalik dan berjalan menghampiri pita pembatas. Ia tetap berjalan
mundur, dan masih sambil membelakangi kami, membungkuk dan lewat di bawahnya.
Aku berkata, "Dia tak pernah berbalik. Dia terus berjalan
mundur." "Tepat. Itu teka-teki pertama. Kenapa dia berjalan
mundur" Saya rasa kita sudah menemukan jawabannya
sekarang." "O, ya?" Theresa berkata, "Dia menyusuri jalur yang dilewati oleh
wanita itu dan pembunuhnya, tapi dari belakang ke depan.
Semuanya direkam, agar mereka bisa mengamati
bayangan-bayangan yang ada
"Benar," ujar Connor.
Aku teringat bahwa ketika aku memprotes, Ishiguro
berkata padaku, "Itu pegawai kami. Dia bekerja untuk
Nakamoto Security " Lalu aku berkata, "Ini keterlaluan. Dia tidak boleh
memotret di sini." Dan Ishiguro menjelaskan, "Tapi ini demi kepentingan
perusahaan kami." Dan sementara itu, Tanaka menghilang di tengah
kerumunan, menyusup di antara orang-orang yang berdiri
di depan lift. Tapi ini demi kepentingan perusahaan kami.
"Brengsek!" umpatku. "Jadi, setelah Tanaka menghilang,
dia turun ke lantai dasar dan mengambil satu kaset, sebab
kaset itu berisi rekaman yang memperlihatkannya
melintasi ruangan, lengkap dengan bayangan yang
ditimbulkannya?" "Tepat." "Dan dia membutuhkan kaset itu untuk mengotak-atik
rekaman yang asli?" "Tepat." Akhirnya aku mulai mengerti. "Tapi, biarpun kita bisa
mengusut bagaimana rekaman itu dimanipulasi, pengadilan
takkan menerimanya sebagai barang bukti, bukan?"
"Benar," ujar Theresa. "Pengacara mana pun akan
memastikan bahwa rekaman itu dinyatakan tidak sah."
"Jadi, satu-satunya cara untuk memecahkan kasus ini
adalah mencari seseorang yang bisa memberi kesaksian.
Sakamura mungkin tahu, tapi dia sudah tewas. Artinya, kita
menghadapi jalan buntu, kaecuali kalau kita bisa
menemukan Mr. Tanaka. Saya rasa dia sebaiknya segera
ditahan." "Jangan berharap terlalu banyak," kata Connor.
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa" Anda pikir mereka akan menyem- bunyikannya?" "Tidak, mereka tidak perlu repot-repot. Kemungkinan
besar Mr. Tanaka sudah mati."
Bab 41 CONNOR segera berpaling pada Theresa. "Anda mahir
dalam bidang Anda?" "Ya," jawabnya.
"Sangat mahir?"
"Saya kira begitu."
"Waktu kita tinggal sedikit. Saya minta Anda bekerja
sama dengan Peter. Coba lihat apa yang dapat Anda peroleh
dari kaset itu. Gambatte: berusahalah sekeras-kerasnya.
Dan jangan khawatir, jasa Anda takkan dilupakan.
Sementara itu, ada beberapa orang yang perlu saya
hubungl." Aku berkata, "Anda mau pergi?"
"Ya. Dan saya perlu kendaraan."
Aku menyerahkan kunci mobilku. "Anda mau ke mana?"
"Saya bukan istri Anda."
"Saya cuma bertanya."
"Jangan pikirkan itu. Saya harus menemui beberapa
orang." Ia berbalik untuk pergi.
"Tapi, kenapa Anda mengatakan bahwa Tanaka sudah
mati?" "Hmm, mungkin juga belum. Kita akan membahas soal
ini kalau waktunya lebih banyak. Sekarang ini, tugas kita
masih menumpuk. Dan semuanya harus selesai sebelum
jam empat sore. Itu batas waktu kita yang sesungguhnya.
Saya rasa saya punya sejumlah kejutan untuk Anda, Kohai.
Anggap saja bisikan chokkan, naluri saya. Oke" Kalau ada
kesulitan, atau perkembangan tak terduga, hubungi saya
lewat telepon mobil. Semoga sukses. Sekarang silakan
bekerja dengan waiiita cantik ini. Urayamashii ne!"
Dan ia pergi. Kami mendengar pintu belakang menutup.
Aku bertanya pada Theresa, "Apa katanya?"
"Dia bilang, dia iri pada Anda." Theresa tersenyum dalam
kegelapan. "Mari kita mulai."
Dengan jemarinya yang lincah ia menekan beberapa
tombol berturut-turut. Rekaman itu kembali ke titik awal.
Aku berkata, "Bagaimana kita akan menanganinya?"
"Ada tiga pendekatan pokok untuk mempelajari
bagaimana rekaman video ini diotak-atik. Yang pertama
adalah blur dan tepi-tepi warna. Yang kedua adalah garis
bayangan. Kita bisa menggunakan elemen-elemen itu, tapi
saya sudah mencobanya selama dua jam terakhir, dan
hasiInya tidak menggembirakan."
"Dan cara ketiga?"
"Elemen pantulan. Saya belum sempat memeriksanya."
Aku menggelengkan kepala.
"Pada dasarnya, elemen-elemen pantulan merupakan
bagian-bagian suatu gambar yang tercermin dalam gambar
itu sendiri. Seperti waktu Sakamura berjalan meninggalkan
ruangan, dan wajahnya terlihat di cermin. Hampir pasti ada
pantulan lain di ruangan itu. Mungkin ada lampu meja
berlapis krom yang memantulkan bayangan orang, meski
dengan distorsi, pada waktu mereka lewat. Dinding-dinding
ruang rapat terbuat dari kaca. Barangkali kita bisa
mendapatkan pantulan dari sana. Atau dari pemberat
kertas di salah satu meja. Atau dari vas kaca berisi bunga.
Apa saja yang cukup mengilap."
Aku mengamatinya ketika ia bersiap-siap untuk
memutar rekaman itu. Tangannya yang utuh berpindah-pindah dengan cepat dari satu mesin ke mesin lain.
Janggal rasanya, berdiri di samping wanita yang begitu
cantik, dan yang begitu tidak sadar akan kecantikannya.
"Dalam hampir semua gambar ada permukaan yang
menimbulkan pantulan. Di luar ada bemper mobil, jalanan
basah, kaca jendela. Dan di dalam ruangan ada bingkai foto,
cermin, tempat lilin dari perak, kaki meja berlapis krom...
Selalu ada sesuatu."
"Tapi pantulan-pantulan itu tentu juga sudah diubah,
bukan?" "Kalau mereka punya waktu, ya. Sebab sekarang ada
program-program komputer yang dapat memetakan
gambar pada sebuah objek berlekuk-lekuk. Tapi itu butuh
waktu. Nah. Mudah-mudahan saja mereka tidak sempat
melakukannya." Ia mulai memutar rekaman itu. Bagian pertamanya
gelap. Cheryl Austin muncul di dekat lift. Aku menatap
Theresa. Aku bertanya, "Bagaimana kesan Anda mengenai
urusan ini?" "Maksudnya?" "Membantu kami. Polisi."
"Maksud Anda, karena saya orang Jepang?" Ia melirik ke
arahku dan tersenyum. Senyumnya aneh, mencong. "Saya
tidak punya bayangan yang muluk-muluk mengenai Jepang.
Anda tahu di mana Sako?"
"Tidak." "Sako adalah sebuah kota - sebenarnya sebuah desa - di
utara. Di Hokkaido. Daerah pedalaman. Di sana ada
pangkalan Angkatan Udara AS. Saya lahir di Sako. Ayah
saya ahli mesin, seorang kokujin. Anda tahu kata ini,
kokujin" Niguro. Orang kulit hitam. Ibu saya bekerja di
warung mi yang biasa dikunjungi anggota Angkatan Udara.
Mereka menikah, tapi ayah saya tewas dalam suatu kecelakaan waktu saya berumur dua tahun. Sebagai janda, ibu
saya memperoleh pensiun kecil. Jadi kami punya sedikit
uang. Tapi sebagian besar diambil kakek saya, sebab dia
berkeras bahwa dia tertimpa aib karena kelahiran saya.
Saya dianggap ainoko dan niguro. Artinya tidak bagus. Tapi
ibu saya tetap ingin di sana, di Jepang. Jadi saya pun tinggal
di Sako. Di... tempat itu..."
Suaranya bemada getir. "Anda tahu arti burakumin?" tanyanya. "Tidak" Itu tidak aneh. Di Jepang, di
tempat setiap orang konon dianggap
sama, tak ada yang membicarakan burakumin. Tapi
sebelum pernikahan, keluarga pengantin pria akan
menyelidiki latar belakang keluarga pengantin wanita,
untuk memastikan bahwa tidak ada burakumin dalam
silsilah mereka. Keluarga pengantin wanita akan
melakukan hal yang sama. Dan kalau ada keraguan sekecil
apa pun, pemikahannya batal. Burakumin adalah golongan
paria di Jepang. Orang buangan, golongan paling hina.
Mereka keturunan tukang samak dan pengrajin kulit, yang
dalam ajaran Buddha dianggap najis."
"Begitu." "Dan saya lebih hina dari burakumin, karena saya cacat.
Bagi orang Jepang, cacat fisik adalah hal yang memalukan.
Bukan menyedihkan, atau menjadi beban. Memalukan.
Tanda bahwa kita berdosa. Cacat membawa aib pada kita,
keluarga kita, dan lingkungan sekitar kita. Orang-orang di
sekeliling kita berharap kita mati saja. Dan kalau kita
setengah berkulit hitam, ainoko dari orang Amerika
berhidung besar..." Ia menggelengkan kepala. "Anak-anak
kejam sekali. Dan ini kota kecil di pedalaman."
Ia menyaksikan rekaman di monitor.
"Jadi, saya bersyukur bisa tinggal di sini. Kalian orang
Amerika tidak menyadari kesentosaan yang ada di negeri
ini. Kebebasan yang kalian nikmati. Anda tidak bisa
membayangkan pahitnya hidup di Jepang, jika Anda
dikucilkan dari kelompok. Tapi saya tahu persis. Jadi saya
tidak keberatan kalau sekarang orang Jepang menderita
sedikit, berkat usaha saya dengan tangan saya yang sehat."
Ia menatapku. Wajahnya tampak bagaikan topeng,
akibat gejolak perasaan di hatinya. "Apakab pertanyaan
Anda sudah terjawab, Letnan?"
"Ya," kataku. "Ketika saya datang ke Amerika, saya pikir pandangan
orang Amerika mengenai orang Jepang sangat naif - tapi
sudahlah. Ini adegan yang kita tunggu. Anda amati dua
monitor di atas. Saya akan memantau ketiga monitor di
bawah. Carilah benda-benda dengan permukaan mengilap.
Carilah dengan saksama. Oke, kita mulai."
Bab 42 DALAM kegelapan aku mengamati layar-layar monitor.
Theresa Asakuma tidak suka pada orang Jepang, tapi
begitu juga aku. Insiden dengan Wilhelm si Musang telah
menyulut kemarahanku. Kemarahan seseorang yang
sedang diliputi rasa takut. Satu kalimat terus terngiang-ngiang di telingaku.
Dalam keadaan seperti sekarang, apakah Anda tidak
sependapat bahwa pengadilan telah membuat kekeliruan
dengan memberikan hak asuh atas putri Anda kepada Anda"
Aku tak pernah menuntut hak asuh. Dalam suasana
perceraian, Lauren pindah, mengemasi barang-barang, ini
punyaku, itu milikmu - dalam suasana seperti ltu, hal
terakhir yang kuinginkan adalah hak asuh atas bayi berusia
tujuh bulan. Shelly baru belajar melangkah, dengan
berpegangan pada perabot. Ia bisa bilang "Mama".
Ucapannya yang pertama. Tapi Lauren tak ingin mengemban tanggung jawab dan terus berkata, "Aku tidak sanggup,
Peter. Aku tidak sanggup." Jadi aku yang mengasuh
Michelle. Apa lagi yang dapat kulakukan"
Tapi itu terjadi dua tahun lalu. Aku telah mengubah cara
hidupku. Aku pindah tugas, mengubah jadwal kerjaku.
Michelle sudah menjadi anakku sekarang. Dan bayangan
bahwa aku harus merelakannya terasa seperti pisau yang
diputar-putar di perutku.
Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak sependapat... Di monitor, Cheryl Austin menanti kedatangan teman
kencannya dalam kegelapan. Aku memperhatikan caranya
memandang berkeliling. Pengadilan telah membuat kekeliruan...
Tidak, pikirku, pengadilan tidak membuat kekeliruan.
Lauren tidak sanggup mengatasinya, dan dari dulu ia
memang tak pernah sanggup. Ia sering lalai menjemput
Michelle pada akhlr pekan. Ia terlalu sibuk, hingga tak
sempat menemui putrinya sendiri. Suatu kali ia mengantar
Michelle pulang setelah berakhir pekan. Michelle menangis.
Lauren berkata, "Aku benar-benar kehabisan akal menghadapi anak ini." Aku segera memeriksa Michelle. Ternyata
popoknya basah, dan ia terkena ruam hebat. Michelle selalu
terkena ruam kalau popoknya tidak segera diganti.
Rupanya Lauren tidak cukup sering mengganti popok
selama akhir pekan. Aku langsung mengganti popok
Michelle, dan menemukan sisa tinja di vaginanya.
Bayangkan, anaknya sendiri tidak dibersihkan secara
benar. Anda tidak sependapat bahwa pengadilan telah membuat
kekeliruan" Tidak, sama sekali tidak.
Dalam keadaan seperti sekarang, apakah Anda tidak
sependapat.. "Brengsek!" kataku.
Theresa menekan sebuah tombol, menghentikan alat
playback. Gambar pada semua monitor di sekitar kami
langsung membeku. "Ada apa?" tanyanya. "Apa yang Anda
lihat?" "Tidak ada apa-apa."
Ia menatapku. ' "Sori. Saya memikirkan urusan lain."
"Jangan. " Ia meneruskan rekaman itu.
Pada beberapa monitor sekaligus, Cheryl Austin sedang
dipeluk teman kencannya. Gambar-gambar dari semua
kamera dikoordinasikan secara menyeramkan. Sepertinya
kami bisa mengamati kejadian itu dari semua sisi-dari
depan dan belakang, atas dan samping. Seperti gambar
arsitektur yang bisa bergerak.
Bulu kudukku berdiri ketika menyaksikan mereka.
Kedua monitor yang kuamati memperlihatkan pandangan dari seberang ruangan, dan dari atas, lurus ke
bawah. Pada monitor pertama, Cheryl dan teman
kencannya tampak kecil, pada monitor yang satu lagi,
hanya bagian atas kepala mereka yang kelihatan. Tapi aku
terus memantau gerak-gerik mereka.
Theresa Asakuma, yang berdiri di sampingku, menarik
napas secara berirama. Aku meliriknya.
"Perhatikan monitor."
Pandanganku kembali ke layar.
Kedua sejoli itu sedang berpelukan penuh gairah. Si pria
mendorong Cheryl ke sebuah meja. Dari pandangan atas,
aku bisa melihat wajah Cheryl ketika berbaring. Di
sampingnya, sebuah foto berbingkai tersenggol dan jatuh.
"Itu," kataku. Theresa menghentikan rekaman.
"Apa?" tanyanya.
"Ini." Aku menunjuk foto berbingkai. Foto itu tergeletak
di meja, menghadap ke atas. Terpantul di kaca, kami
melihat cerminan kepala si pria ketika ia membungkuk di
atas Cheryl. Gelap sekali. Hanya sebuah siluet.
"Anda bisa membuatnya lebih jelas?" kataku.
"Entahlah. Tapi bisa dicoba."
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangannya menyentuh beberapa tombol kontrol.
"Gambar video ini berbentuk digital," ujar Theresa. "Dan
sekarang sudah saya pindahkan ke komputer. Coba lihat
apa yang bisa kita lakukan."
Gambar itu mulai membesar, ketika Theresa memfokus
bingkai foto. Gambarnya melewati wajah Cheryl yang diam,
kepalanya mendongak akibat luapan gairah, lalu menyusuri
bahu dan mendekati bingkai.
Semakin lama gambarnya semakin kasar, sampai
membentuk pola titik-titik, seperti foto di koran yang
diamati dari jarak yang terlalu dekat. Kemudian titik-titik
itu pun membesar, memperlihatkan garis tepi, dan berubah
menjadi kotak-kotak kecil berwarna kelabu. Dalam waktu
singkat aku tak sanggup lagi mengenali gambar yang ada di
hadapan kami. "Apakah ini akan berhasil?"
"Saya sangsi. Tapi itu tepi bingkai, dan itu wajahnya."
Untung saja Theresa bisa melihatnya. Sebab aku tidak
bisa. "Sekarang kita pertajam."
Ia menekan beberapa tombol. Menu-menu komputer
muncul, lalu menghilang lagi. Gambarnya bertambah jelas.
Bertambah kasar. Tapi sekarang aku bisa melihat bingkai
itu. Dan sebuah kepala. "Pertajam lagi."
Theresa mengusahakannya. "Oke. Kalau kita bisa menyesuaikan susunan warna
kelabu..." Wajah di bingkai mulai timbul perlahan-lahan.
Menyeramkan sekali. Akibat pembesaran berulang-ulang, gambarnya kasar
sekali - setiap pupil mata hanya berupa titik hitam sehingga kami tidak dapat melakukan identifikasi. Kami
hanya melihat bahwa mata pria itu terbuka, mulutnya agak
mencong, mungkin karena bergairah, atau terangsang, atau
benci. Tapi kami tak sanggup memastikannya.
"Apakah ini wajah orang Jepang?"
Theresa menggelengkan kepala. "Detailnya tidak cukup."
"Tidak bisa dipertajam lagi?"
"Nanti saya coba. Tapi harapannya tipis. Lebih baik kita
cari pantulan lain."
Gambar di monitor kembali bergerak. Cheryl tiba-tiba
mendorong pria itu, mendorong dadanya dengan telapak
tangan. Wajah di bingkai langsung lenyap.
Kami kembali mengamati kelima monitor.
Pasangan itu saling menjauh. Cheryl marah-marah.
Berulang kali ia mendorong si pria. Ia tampak gusar.
Setelah melihat wajah pria itu terpantul pada bingkai foto,
aku curiga babwa Cheryl mendadak merasa takut. Tapi aku
tak bisa memastikannya. Kedua sejoli itu berdiri di tengah ruangan, membahas ke
mana mereka akan pergi. Cheryl memandang berkeliling. Si
pria mengangguk. Cheryl menunjuk ke ruang rapat. Teman
kencannya rupanya setuju.
Mereka berciuman, berpelukan. Aku menangkap kesan
akrab dalam cara mereka berangkulan, saling menjauh, lalu
berangkulan lagi. Theresa juga melihatnya. "Wanita itu mengenalnya."
"Ya. Saya kira begitu."
Sambil berciuman, mereka melintasi ruangan, menuju
ruang rapat. Monitor-monitor yang kuamati tidak berguna
lagi. Kamera pertama memperlihatkan seluruh ruangan,
dan pasangan itu melintas dari kanan ke kiri. Tapi sosok
mereka terlalu kecil, nyaris tak terlihat. Mereka berjalan di
antara meja-meja, menuju ke...
"Tunggu," kataku. "Apa itu?"
Theresa memundurkan rekaman, frame demi frame.
"Itu, " kataku.
Aku menunjuk monitor. "Anda lihat ini" Apa ini?"
Ketika sepasang sejoli itu melintasi ruangan, kamera
sempat merekam lukisan kaligrafi Jepang berukuran besar
yang tergantung pada dinding di dekat lift. Lukisan itu
berada di balik kaca. Sepintas terlihat pantulan cahaya pada
kaca itu. Itulah yang menarik perhatianku.
Pantulan cahaya. Theresa mengerutkan kening. "Itu bukan pantulan
mereka," katanya. "Bukan." "Mari kita periksa."
Ia kembali memperbesar gambar, bergeser ke lukisan
itu. Dengan setiap langkah, gambarnya bertambah kasar.
Pantulan tadi membesar, terbelah dua. Di salah satu sudut
tampak titik terang yang kabur. Dan sebuah garis vertikal,
hampir setinggi lukisan. "Sekarang kita goyangkan," ujar Theresa.
Ia mulai memaju-mundurkan gambar itu, setiap kali satu
frame. Bolak-balik di antara dua frame. Di satu frame, garis vertikal itu tidak
tampak. Di frame berikut, ada. Garis
vertikal itu bertahan selama sepuluh frame. Lalu lenyap,
dan tak pernah muncul lagi. Tetapi titik terang di sudut
tetap kelihatan. "Hmm." Ia mulai memeriksa titik itu. Di bawah pembesaran
beberapa kali, titik itu terurai sampai menyerupai
sekumpulan bintang di foto astronomi. Tapi sepertinya ada
keteraturan tertentu. Aku hampir bisa membayangkan
bentuk X. Aku mengatakannya kepada Theresa.
"Ya," katanya. "Coba kita pertajam."
Ia menekan sebuah tombol. Komputer-komputer sibuk
mengolah data. Titik kabur itu mulai lebih tajam. Sekarang
kelihatannya seperti angka-angka Romawi.
"Brengsek, apa itu?" tanyaku.
Theresa terus bekerja. "Sekarang kita pertajam bagian
pinggir," katanya. Garis tepi angka-angka Romawi itu mulai
lebih jelas. Theresa berusaha untuk semakin mempertajam gambar.
Dari beberapa segi, mutu gambar bertambah baik; dari segi
lain malah semakin tidak jelas. Tapi akhirnya kami dapat
mengenalinya. "Itu pantulan tanda EXIT," ujar Theresa. "Di ujung
ruangan, di seberang lift, ada pintu keluar, bukan?"
"Ya," kataku. "Tanda itulah yang terpantul. Hanya itu." Ia maju ke
frame berikut. "Tapi garis terang yang vertikal ini. Ini
menarik. Anda lihat" Muncul sebentar, lalu lenyap." Ia
memaju-mundurkan bagian itu beberapa kali.
Dan kemudian aku menemukan jawabannya.
"Di sana ada pintu kebakaran," kataku. "Dan tangga
darurat. Garis itu pasti pantulan cabaya dari tangga pada
waktu seseorang membuka pintu, lalu menutupnya lagi."
"Maksud Anda, ada orang lain masuk ke ruangan itu?"
tanya Theresa. "Lewat tangga belakang?"
"Ya." "Menarik. Coba kita lihat siapa orangnya."
Ia memutar rekaman. Dengan pembesaran seperti ini,
gambarnya yang kasar tampak meledak-ledak seperti
kembang api. Sepertinya setiap komponen menari-nari
sesuai keinginannya sendiri, tanpa penghiraukan gambar
yang dibentuknya. Aku menggosok-gosok mata. "Astaga."
"Oke. Itu dia."
Aku menatap monitor. Theresa telah membekukan
gambar. Aku tidak melihat apa-apa selain titik-titik hitam
dan putih. Sepertinya ada pola tertentu, tapi aku tak bisa
memastikannya. Tampilan di monitor mirip sonogram yang
kulihat ketika Lauren mengandung. Dokternya menjelaskan, "Itu kepalanya, dan itu perut janin..." Tapi aku tidak
melihat apa-apa. Gambarnya terlalu abstrak. Putriku masih
di dalam rahim. Dokternya berkata, "Nah, Anda lihat itu" Dia baru saja
menggerakkan jari. Dan itu" Jantungnya berdenyut."
Aku melihat itu. Aku melihat jantungnya berdenyut.
Jantungnya yang mungil dan tulang iganya yang kecil.
Dalam keadaan seperti sekarang, Letnan, apakah Anda
tidak berpendapat bahwa...
"Lihat," ujar Theresa. "Itu bahunya. Itu kepalanya.
Sekarang dia bergerak maju - lihat, sosoknya bertambah
besar - dan sekarang dia berdiri di selasar, mengintip dari
balik pojok. Dia berhati-hati. Profil hidungnya kelihatan
pada waktu dia menoleh. Anda lihat itu" Saya tahu,
memang tidak mudah. Anda harus mengamatinya dengan
saksama. Sekarang dia melihat mereka. Dia menonton
mereka." Dan tiba-tiba saja aku bisa melihatnya. Titik-titik itu
dapat membentuk sebuah gambar. Aku melihat siluet
seorang pria berdiri di selasar, di dekat pintu kebakaran.
Ia sedang menonton. Di seberang ruangan, Cheryl dan teman kencannya
masih berciuman. Mereka tidak mengetahui kedatangan
orang ketiga itu. Tapi orang itu menonton mereka. Bulu kudukku berdiri.
"Anda bisa mengenalinya?"
Theresa menggelengkan kepala. "Tidak bisa. Saya telah
mengerahkan seluruh kemampuan peralatan ini. Gambarnya tidak bisa diperjelas lagi."
"Kalau begitu, kita lanjutkan saja."
Adegan itu kembali diputar dengan kecepatan penuh.
Aku sempat bingung melihat gambar di monitor berubah ke
ukuran normal. Aku memperhatikan sepasang sejoli itu
melintasi ruangan sambil terus berciuman.
"Jadi, sekarang mereka jadi tontonan," ujar Theresa.
"Menarik. Wanita macam apa ini.
Aku berkata, "Kalau tidak salah, istilahnya torigaru
onnai." Ia bertanya, "Burungnya ringan" Tori apa?"
"Maksud saya, dia perempuan gampangan."
Theresa menggelengkan kepala. "Pria selalu berkomentar seperti ini. Menurut saya, dia mencintai
laki-laki itu, tapi pikirannya terganggu."
Cheryl dan pasangannya sudah hampir sampai di ruang
rapat, tiba-tiba Cheryl memberontak, berusaha melepaskan
diri. "Kalau dia mencintainya, dia punya cara aneh untuk
memperlihatkannya." "Dia sadar bahwa ada yang tidak beres."
"Kenapa Anda berkata begitu?"
"Entahlah. Barangkali dia mendengar sesuatu. Laki-laki
yang satu lagi, mungkin. Saya tidak tahu."
Apa pun alasannya, Cheryl tampak meronta-ronta. Pria
itu merangkul pinggangnya dengan kedua tangan dan
setengah menyeretnya ke ruang rapat. Ketika mereka
sampai di pintu, Cheryl memberontak sekali lagi.
"Mungkin ada sesuatu untuk kita di sini," ujar Theresa.
Dinding-dinding ruang rapat terbuat dari kaca. Melalui
dinding-dinding luar, kami bisa melihat lampu-lampu di
kota. Tapi dinding-dinding bagian dalam, yang menghadap
ke atrium, cukup gelap untuk berfungsi sebagai cermin.
Karena Cheryl dan teman kencannya berdiri di dekat
dinding dalam, bayangan mereka terpantul di kaca ketika
mereka bergelut. Theresa memajukan rekaman secara perlahan-lahan,
frame demi frame, mencari gambar yang bermanfaat bagi
kami. Sesekali ia memperbesar gambar, mengamati
titik-titik warna, lalu kembali ke ukuran semula. Bukan
pekerjaan mudah. Kedua orang itu bergerak dengan cepat,
dan sering kali mereka tampak kabur. Dan lampu-lampu
dari gedung-gedung pencakar langit di luar kadangkadang
menimpa pantulan yang seharusnya memadai.
Sangat melelahkan. Sangat lambat. Berhenti. Perbesar gambar. Cari bagian gambar dengan
detail cukup banyak. Angkat tangan. Maju lagi. Berhenti
lagi. Akhirnya Theresa menghela napas. "Percuma saja. Kita
hanya membuang-buang waktu."
"Kalau begitu, putar rekamannya lagi."
Aku melihat Cheryl berpegangan pada kusen pintu,
berusaha agar tidak ditarik ke ruang rapat. Pria itu
akhirnya berhasil merenggutnya; Cheryl terseret. Ia tampak
ketakutan. Ia mengayunkan tangan untuk memukul teman
kencannya. Tasnya terpental. Kemudian mereka berada di
dalam ruangan. Siluet-siluet yang bergerak cepat, berputar.
Cheryl didorong ke meja, dan ia muncul di kamera yang
membidik lurus ke bawah di ruang rapat. Rambut
pirangnya yang pendek sangat kontras dengan meja yang
terbuat dari kayu berwarna gelap. Sikapnya berubah lagi.
Selama satu menit ia berhenti meronta-ronta. Ia tampak
berharap. Bergairah. Ia menjilat-jilat bibir. Matanya
mengikuti gerak-gerik pria yang membungkuk di atasnya.
Ia membiarkan roknya diangkat sampai ke pinggang.
Ia tersenyum, merengut, berbisik ke telinga teman
kencannya. Laki-laki itu menarik celana dalamnya dengan gerakan
menyentak. Cheryl menatapnya sambil tersenyum. Senyumnya
berkesan tegang - setengah terangsang, setengah
memohon. Gairahnya bangkit akibat rasa takutnya sendiri.
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tangan pria itu mengelus-elus lehernya.
Bab 43 DI tengah kegelapan di laboratorium, dengan suara para
pemain ice skating di atas kepala, kami menyaksikan
adegan penghabisan itu berulang-ulang. Adegan itu terlihat
pada lima monitor, dari sudut yang berbeda-beda. Cheryl
mengangkat kaki ke bahu teman kencannya. Pria itu
membungkuk, mengotak-atik celana. Setelah kesekian kali,
aku melihat hal-hal kecil yang semula luput dari perhatiank-u. Cara Cheryl menggeliat-geliut di atas meja,
menggoyang-goyangkan pinggang. Bagaimana laki-laki itu
mendorong badannya ke belakang pada saat penetrasi.
Perubahan pada senyum Cheryl, bagaikan kucing, penuh
arti. Penuh perhitungan. Bagaimana ia mendesak pria itu
dengan mengatakan sesuatu. Perubahan sikapnya yang
mendadak, kilatan marah di matanya, tamparan yang tak
terduga. Cara ia memberontak, mula-mula untuk
merangsang teman kencannya, dan kemudian meronta-ronta dengan cara yang berbeda, karena ada
sesuatu yang tidak beres. Bagaimana ia membelalakkan
mata. Ia kelihatan benar-benar takut. Ia berusaha
melepaskan tangan laki-laki itu, mendorong lengan jasnya
sampai mansetnya yang berkilauan kelihatan jelas. Lalu
lengannya terkulai, dengan telapak terbuka. Lima jari pucat
di atas meja yang hitam. Tangannya gemetar, jarinya menegang, lalu hening. Pria itu kebingungan. Ia tidak segera sadar bahwa ada
yang tidak beres. Ia terdiam sejenak, lalu memegang kepala
Cheryl dengan kedua tangannya, menggerak-gerakkannya,
berusaha merangsang Cheryl, sebelum akhirnya mundur.
Dari belakang pun kengerian yang melandanya hampir bisa
dirasakan. Gerak-geriknya serba pelan, seakan-akan tidak
sadar sepenuhnya. Ia berjalan mondar-mandir tanpa
tujuan, mula-mula ke sini, lalu ke sana. Berusaha mencari
akal, memutuskan langkah berikutnya.
Setiap kali adegan itu diulang, perasaanku berbeda. Pada
awalnya ada semacam ketegangan, ketegangan yang
hampir bersifat seksual. Kemudian aku merasa semakin tak
terlibat, semakin analitis. Seakan-akan aku bergerak
menjauhi monitor. Dan akhirnya seluruh adegan itu terurai
di depan mataku, sosok-sosok itu kehilangan identitas
sebagai manusia, berubah menjadi abstraksi, elemen desain, bergeser dan bergerak dalam bidang yang gelap.
Theresa berkata, "Wanita ini sakit."
"Kelihatannya begitu."
"Dia bukan korban."
"Mungkin bukan."
Kami menyaksikannya sekali lagi. Tapi aku tidak tahu
lagi kenapa kami menontonnya. Akhirnya aku berkata,
"Kita lanjutkan saja, Theresa."
Sampai saat itu, kami menyaksikan adegan itu sampai
titik tertentu, lalu mundur untuk mengulanginya.
Penggalan itu telah kami tonton berulang-ulang, tapi
sisanya sama sekali belum kami lihat. Hampir seketika
setelah Theresa kembali memutar rekaman itu terjadi
sesuatu yang menarik perhatian kami. Pria itu terdiam dan
menengok ke samping - seakan-akan melihat atau
mendengar sesuatu. "Laki-laki yang satu lagi?" tanyaku.
"Mungkin." Theresa menunjuk ke monitor "Di bagian
inilah saya menemukan bayangan-bayangan yang janggal.
Sekarang kita tahu apa sebabnya."
"Karena ada sesuatu yang dihapus?"
Ia memundurkan rekaman itu. Pada monitor pandangan
samping, kami melihat teman kencan Cheryl menoleh ke
arah pintu darurat. Sepertinya ia telah melihat seseorang.
Tetapi ia tidak tampak takut atau bersalah.
Theresa membesarkan gambarnya. Orang itu hanya
kelihatan sebagai siluet. "Apa yang Anda perhatikan?"
"Profilnya." "Ada apa dengan profilnya?"
"Saya mengamati rahang orang itu. Nah. Anda lihat"
Rahangnya bergerak-gerak. Dia sedang bicara."
"Dengan orang yang satu lagi?"
"Mungkin, atau dengan dirinya sendiri. Dan sekarang dia
mendadak bersemangat lagi."
Laki-laki itu melintasi ruang rapat. Gerak-geriknya pasti.
Aku teringat betapa membingungkan bagian, ini, ketika aku
melibatnya di markas polisi pada malam sebelunrnya. Tapi
dengan lima kamera, semuanya jelas. Ia memungut celana
dalam Cheryl dari lantai.
Dan kemudian ia membungkuk di atas wanita yang
sudah tak bernyawa itu dan melepaskan jam tangannya.
"Dia mengambil arlojinya," komentarku.
Aku hanya bisa memikirkan satu alasan kenapa ia
berbuat begitu: arloji itu digravir dengan namanya. Pria itu
menyelipkan celana dalam dan arloji ke dalam kantong. Ia
baru saja berbalik untuk pergi, ketika gambarnya membeku
lagi. Theresa menghentikannya.
"Ada apa?" tanyaku.
Ia menunjuk satu dari kelima monitor. "Itu," katanya. Ia
menatap monitor dengan pandangan samping, yang
memperlihatkan ruang rapat dari arah atrium. Aku melihat
siluet Cheryl di atas meja, dan teman kencannya di dalam
ruang rapat. "Yeah" Jadi?"
"Itu," ujar Theresa sambil menunjuk. "Mereka lupa
menghapus yang ini." Di sudut monitor, aku melihat sebuah
sosok yang tampak samar-samar. Seorang laki-laki.
Si orang ketiga. Ia telah melangkah maju, dan kini berdiri di
tengah-tengah atrium, memandang ke arah si pembunuh di
dalam ruang rapat. Bayangan orang ketiga itu tercermin
pada dinding kaca. Utuh, namun kabur.
"Bisa diperjelas?"
"Akan saya coba," jawab Theresa.
Ia mulai mernperbesar gambar, memainkan tombol-tombol, melihat bayangan itu terurai. Ia mempertajamnya, meningkatkan kontras. Gambar itu menjadi
pucat. Theresa memperbaikinya, lalu melakukan pembesaran lagi. Kami hampir dapat mengidentifikasi
orang itu. Hampir, tapi belum. "Sekarang saya akan memajukan rekaman frame demi
frame," Theresa memberitahuku.
Bayangan pria itu menjadi lebih tajam, kabur lagi, tajam.
Dan akhlrnya kami dapat melihatnya dengan jelas.
"Ini baru kejutan," kataku.
"Anda tahu siapa dia?"
"Ya," ujarku. "Itu Eddie Sakamura
Bab 44 SETELAH itu tak ada kesulitan lagi. Kini kami
mengetahui dengan pasti bahwa rekaman itu telah
dimanipulasi, dan bahwa identitas si pembunuh telah
diubah. Kami melihat si pembunuh keluar dari ruang rapat
dan menuju pintu darurat. Ia menoleh satu kali dan
menatap Cheryl. Sepertinya ia menyesal.
Aku berkata,, "Bagaimana mereka bisa mengganti
identitas si pembunuh dalam waktu beberapa jam saja?"
"Mereka punya software yang sangat canggih," jawab
Theresa. "Paling canggih di seluruh dunia. Orang Jepang
semakin jago membuat software. Tak lama lagi mereka
akan melampaui Amerika, seperti yang sudah mereka
lakukan dalam. bidang komputer."
"Jadi mereka menggunakan software yang lebih baik?"
"Dengan software yang paling baik pun tetap banyak
masalah risiko. Dan orang Jepang termasuk bangsa yang
lebih suka menghindari masalah. Jadi saya kira pekerjaan
ini tidak terlalu berat. Soalnya si pembunuh terus-menerus
berciuman, atau berdiri di tempat gelap, sehingga wajahnya
tidak kelihatan. Saya rasa, baru belakangan mereka
memutuskan untuk mengganti identitas si pembunuh.
Sebab mereka melihat bahwa mereka hanya perlu
mengganti bagian yang terlihat sekarang ini. Nah, ini.
Waktu dia lewat di depan cermin."
Pantulan wajah Eddie Sakamura kelihatan jelas.
Tangannya mengenai dinding, memperlihatkan bekas
lukanya. "Anda lihat sendiri," ujar Theresa, "jika mereka
mengubah ini, sisanya tak perlu diapa-apakan. Ini
kesempatan emas, dan mereka tidak menyia-nyiakannya.
Itu dugaan saya." Di semua monitor, Eddie Sakamura terlihat berjalan
melewati cermin, menuju tempat gelap. Theresa memundurkan rekaman. Ia memfokus pantulan di cermin dan memperbesarnya
secara bertahap, sampai wajah itu terurai menjadi
bidang-bidang. "Ah," ujar Theresa. "Lihat titik-titik warna ini. Semuanya serba
teratur. Ini hasil manipulasi. Di sini, di
tulang pipi, di tempat ada bayangan di bawah mata.
Biasanya pertemuan antara dua bidang warna agak
tumpang tindih. Tapi di sini garis tepinya lurus. Sudah
dibersihkan. Dan coba saya lihat..."
Gambar itu bergerak menyamping.
"Ya. Di sini juga."
Aku hanya melihat bidang-bidang kelabu. Entah apa
yang dilihat Theresa. "Apa itu?"
"Tangan kanannya. Bekas luka di tangan kanannya.
Bekas luka ini merupakan tambahan. Itu kelihatan dari
susunan titik-titik warna."
Aku tidak melihatnya, tapi aku percaya penuh pada
Theresa. "Kalau begitu, siapa pembunuh Chery Austin?"
Theresa menggelengkan kepala. "Rasanya sukar untuk
menentukannya. Kita sudah memeriksa semua pantulan
dan belum menemukan petunjuk. Masih ada satu cara lagi.
Saya belum mencobanya, karena ini yang paling mudah,
tapi yang juga paling mudah diotak-atik. Detail bayangan."
"Detail bayangan?"
"Ya. Kita bisa memperbesar daerah-daerah gelap di
dalam gambar, daerah bayang-bayang dan siluet-siluet.
Mungkin ada satu bagian dengan cukup cahaya, sehingga
kita bisa mengenali wajah si pembunuh. Bisa dicoba."
Sepertinya ia tidak berharap terlalu banyak.
"Menurut Anda, ini takkan berhasil?"
Ia mengangkat bahu. "Saya menyangsikannya. Tapi kita
coba saja dulu. Ini pilihan terakhir."
"Oke," kataku. "Mari kita mulai."
Ia memutar rekaman secara terbalik. Eddie Sakamura
tampak berjalan mundur dari cermin ke arah ruang rapat.
"Tunggu dulu," ujarku. "Apa yang terjadi setelah dia
melewati cermin" Kita belum melihat bagian itu."
"Saya sudah sempat mengamatinya. Dia melangkah ke
bawah langit-langit rendah dan bergerak menjauh, ke arah
tangga." "Bisa saya lihat dulu?"
"Silakan." Theresa menekan sebuah tombol. Eddie Sakamura
menuju pintu darurat. Wajahnya terpantul di cermin ketika
ia melewatinya. Semakin sering kulihat adegan itu,
kesannya semakin dibuat-buat. Sepertinya orang itu
sempat berhenti sejenak, agar kami lebih mudah
mengenalinya. Si pembunuh terus berjalan, memasuki selasar gelap,
menuju tangga kebakaran yang terletak di balik pojok,
tidak kelihatan. Dindingnya berwarna terang, sehingga si
pembunuh tampak sebagai siluet. Tetapi siluetnya tidak
memperlihatkan detail-detail. Semuanya serba gelap.
"Hmm," ujar Theresa. "Saya ingat bagian ini. Di sini tidak
ada apa-apa. Terlalu gelap. Kuronbo. Dulu saya biasa
dipanggil begitu. Orang hitam."
"Saya pikir Anda bisa mempertajam detail bayangan."
"Memang, tapi di sini tidak mungkin. Lagi pula, saya
yakin bagian ini sudah diotak-atik. Mereka tahu kita akan
memeriksa bagian sebelum dan sesudah cermin. Mereka
tahu kita akan menelitinya frame demi frame. Jadi, bagian ini pasti telah
dikerjakan dengan saksama. Bayangan orang
ini sudah dibuat hitam."
"Oke, tapi biarpun begitu..."
"Hei!" Theresa mendadak berseru. "Apa itu?"
Gambar di monitor membeku.
Aku melihat sosok si pembunuh, berjalan ke arah
dinding putih di latar belakang. Di atas kepalanya ada tanda
exit. "Kelihatannya seperti siluet."
"Ya, tapi ada yang janggal."
Rekaman itu diputar mundur dalam gerak lambat.
Sambil menonton, aku berkata, "Machigai no umi oshete
kudasaii." Sebuah ungkapan yang kupelajari dalam kursus
bahasa Jepang. Theresa tersenyum dalam kegelapan. "Anda harus lebih
giat belajar bahasa Jepang, Letnan. Anda ingin tahu apakah
ada kesalahan?" "Ya." "Kata yang tepat adalah umu, bukan umi. Umi berarti samudra. Umu berarti Anda
menanyakan ya atau tidak mengenai sesuatu. Dan ya, saya kira mereka telah membuat
kesalahan."
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Rekaman terus diputar mundur. Siluet si pembunuh
mendekati kami. Theresa menghela napas, terkejut.
"Memang ada kesalahan. Anda melihatnya?"
"Tidak," kataku.
Ia memutar rekaman ke arah yang benar untukku. Aku
memperhatikan sliluet pria itu bergerak menjauh.
"Nah, Anda melihatnya sekarang?"
"Tidak. Sori." Theresa mulai jengkel. "Jangan melamun. Amati
bahunya. Pusatkan perhatian Anda pada bahu pria itu.
Anda lihat bagaimana bahunya bergerak naik-turun waktu
dia melangkah, berirama, dan kemudian... Nah, itu dia!
Anda melihatnya?" Ya. Akhirnya. "Sepertinya siluetnya berubah. Jadi lebih
tinggi." "Betul. Tepat sekali." Ia memutar beberapa tombol.
"Perbedaan tingginya cukup mencolok, Letnan. Mereka
berusaha menutup-nutupinya, tapi sepertinya asal-asalan
saja." "Dan ini berarti?"
"Ini berarti mereka terlalu takabur," ujar Theresa.
Sepertinya ia marah. Aku tidak tahu kenapa.
Jadi aku menanyakannya. "Ya. Ini menyebalkan sekali," kata Theresa. Ia sedang
memperbesar gambar di monitor. Tangannya yang sehat
bergerak dengan lincah. "Soalnya mereka membuat
kesalahan mencolok. Mereka yakin kita akan ceroboh. Kita
tidak teliti, tidak cerdas, tidak bersikap Jepang."
"Tapi..." "Oh, saya benci mereka." Gambar di monitor tampak
bergeser. Theresa sedang memfokus tepi kepala. "Anda
tahu Takeshita Noboru?"
Aku berkata, "Pengusaha Jepang?"
"Bukan. Takeshita mantan perdana menteri. Beberapa
tahun lalu; d ia berkelakar mengenai pelaut-pelaut Amerika
yang sedang berkunjung dengan kapal angkatan laut.
Katanya Amerika sekarang begitu miskin, sehingga para
pelautnya tidak mampu turun ke darat untuk menikmati
Jepang. Semuanya terlalu mahal untuk mereka. Dia bilang,
mereka hanya bisa tinggal di atas kapal dan saling
menularkan AIDS. Semua orang Jepang tahu lelucon itu."
"Dia bilang begitu?"
Theresa mengangguk. "Kalau saya orang Amerika, dan
saya diejek seperti itu, saya akan mengambil kapal saya dan
menyuruh Jepang membiayai sendiri pertahanannya. Anda
tidak tahu Takesbita berkata begitu?"
"Tidak..." "Pers Amerika." Ia menggelengkan kepala. "Payah."
Ia kesal sekali, dan bekerja dengan tergesa-gesa. Jarinya
salah menekan tombol. Seketika gambarnya menjadi kabur.
"Brengsek." "Tenang saja, Theresa."
"Omong kosong. Kita akan berhasil sekarang."
Ia memperbesar kepala siluet, memisahkannya dari sisa
gambar, lalu mengikutinya, frame demi frame.
"Nah, ini sambungannya," katanya. "Di sini gambar yang
telah diubah kembali ke rekaman aslinya. Inilah pembunuh
sebenarnya." Siluet itu bergerak menuju dinding seberang. Theresa
memajukan gambar frame demi frame. Kemudian sosok itu
mulai berubah bentuk. "Ah. Oke. Bagus, ini saya harapkan..."
"Ada apa?" "Dia menoleh untuk terakhir kali. Menoleh ke arah ruang
rapat. Anda lihat" Kepalanya berputar. Itu hidungnya, dan
sekarang hidungnya hilang lagi, karena dia sudah
menengok ke belakang. Sekarang dia melihat ke arah kita."
Siluet itu tampak hitam pekat.
"Tidak banyak gunanya."
"Tunggu saja." Ia kembali mengotak-atik panil kontrol.
"Detailnya ada di situ," katanya. "Seperti foto yang
terlalu gelap. Detailnya terekam, tapi kita belum bisa
melihatnya. Nah... sekarang lebih jelas. Dan sekarang saya
akan mengatur detail bayangan... Yeah!"
Secara mendadak dan mengejutkan, siluet gelap itu
bertambah jelas. Dinding putih di belakangnya tampak
menyilaukan, menimbulkan semacam lingkaran cahaya di
sekitar kepala. Wajahnya menjadi lebih terang, dan untuk
pertama kali kami dapat melihatnya dengan jelas.
"Huh, orang kulit putih," Theresa berkomentar dengan
nada kecewa. "Ya Tuhan," kataku.
"Anda tahu siapa dia?"
"Ya," kataku. Wajah itu tampak tegang. Bibirnya agak mencong. Tapi
identitasnya tak perlu dipertanyakan lagi.
Aku menatap wajah Senator John Morton.
Bab 45 AKU menyandarkan punggung, menatap gambar beku di
monitor. Aku mendengar mesin-mesin berdengung. Aku
mendengar air menetes ke ember-ember, di tengah
kegelapan yang meliputi laboratorium. Aku mendengar
suara napas Theresa di sampingku, tersengal-sengal,
seperti pelari seusai pertandingan.
Aku hanya duduk dan menatap layar monitor. Segala
sesuatu mendadak jelas. Julia Young: Dia punya pacar yang sering bepergian. Dia
sendiri selalu bepergian. New York, Washington, Seattle...
dia menemuinya. Dia tergila-gila pada orang itu.
Jenny, di studio TV: Morton punya simpanan yang masih
muda. Wanita itu membuatnya cemburu. Dia masih muda.
Eddie: Dia suka membuat masalah, cewek ini. Dia suka
membuat onar. Jenny: Aku sudah beberapa kali melihat wanita itu di
pesta-pesta orang Washington dalam enam bulan terakhir.
Eddie: Dia tidak waras. Dia menikmati rasa sakit.
Jenny: Morton mengetuai Komite Keuangan Senat.
Komite yang menangani penjualan MicroCon.
Cole, si petugas satpam, di bar: Orang-orang penting
sudah ada di kantong mereka. Sudah dikuasai oleh mereka.
Kita tidak mungkin mengalahkan mereka.
Dan Connor: Seseorang menginginkan penyidikan ini
ditutup. Mereka ingin kita menyerah.
Dan Morton: Jadi penyidikan Anda sudah resmi ditutup"
"Sialan," kataku.
Theresa bertanya, "Siapa dia?"
"Seorang senator."
"Oh." Ia menatap layar. "Dan apa urusan mereka dengan
orang itu?" "Orang itu menduduki posisi penting di Washington. Dan
saya kira dia ikut berperan dalam penjualan sebuah
perusahaan. Mungkin masih ada alasan lain lagi."
Theresa mengangguk. Aku berkata, "Apakah gambar ini bisa dicetak dalam
bentuk foto?" "Tidak. Kami tidak punya peralatannya."
"Lalu, apa yang bisa kita lakukan" Saya perlu membawa
sesuatu." "Saya bisa membuat foto Polaroid," ujar Theresa.
"Mutunya tidak terlalu baik, tapi untuk sementara,
lumayan." Ia mulai mencari, meraba-raba dalam gelap.
Akhirnya ia kembali dengan membawa sebuah kamera. fa
mendekat ke layar dan meng ambil beberapa foto.
Kami menunggu hasilnya. "Thanks," kataku, "atas segala bantuan Anda."
"Sama-sama. Dan saya turut menyesal."
"Kenapa?" "Saya tahu Anda berharap pembunuhnya orang Jepang."
Aku sadar bahwa ia sedang mengungkapkan perasaannya sendiri. Aku tidak berkomentar apa-apa.
Foto-foto itu bertambah gelap. Hasilnya cukup baik,
gambarnya kelihatan jelas. Ketika aku menyelipkan
semuanya ke dalam kantong, aku merasakan sebuah benda
keras. Aku segera mengeluarkannya.
"Anda punya paspor Jepang?" tanya Theresa.
"Tidak. Ini bukan milik saya. Paspor ini milik Eddie." Aku
memasukkannya kembali. "Saya harus pergi sekarang,"
kataku. "Saya harus mencari Kapten Connor."
"Oke." Theresa berpaling ke monitor-monitor di
hadapannya. "Apa yang akan Anda lakukan sekarang?" ujarku.
"Masih ada pekerjaan yang perlu diselesaikan."
Aku meninggalkannya, keluar melalui pintu belakang,
dan menyusuri selasar gelap.
Cahaya matahari yang terang benderang membuatku
berkedip-kedip. Aku mencari telepon umum dan
menghubungi Connor. Ia sedang duduk di dalam mobil.
"Di mana Anda sekarang?" tanyaku.
"Di hotel." "Hotel mana?" "Four Seasons," ujar Connor. "Hotel tempat Senator
Morton menginap." "Sedang apa Anda di sana?" kataku. "Anda tahu bahwa..."
"Kohai," Connor mernotong. "Ingat, saluran terbuka.
Panggil taksi dan temui saya di 1430 Westwood Boulevard.
Kita ketemu di sana dalam dua puluh menit."
"Tapi bagaimana..."
"Jangan banyak bertanya." Dan ia meletakkan gagangAku mengamati bangunan di 1430 Westwood Boulevard.
Tampak depannya berwarna coklat polos, hanya ada satu
pintu dengan nomor bangunan. Di samping kirinya
terdapat toko buku, Prancis. Di sebelah kanan, toko
reparasi jam tangan. Aku mengetuk pintu. Aku melihat sejumlah aksara
Jepang di bawah nomor bangunan.
Tidak terjadi apa-apa, jadi aku membuka pintu. Aku
memasuki restoran sushi yang kecil dan rapi. Hanya ada
empat kursi untuk para pengunjung. Connor duduk seorang
diri, di ujung meja layan. Ia melambaikan tangan. "Letnan,
ini Imae. Pembuat sushi terbaik di Los Angeles. Imae-san.
Sumisu-san." Orang itu mengangguk sambil tersenyum Ia menaruh
sesuatu di rak, di depan tempat dudukku. Wore o doszo,
Sumisu-san." Aku menarik kursi. "D?mo, Imae-san."
"Hai." Aku menatap sushi yang tersaji - sejenis telur ikan
berwarna merah muda dengan kuning telur di atasnya.
Selera makanku mendadak lenyap.
Aku berpaling kepada Connor.
Ia berkata, "Kore o tabetakoto arukai?"
Aku menggelengkan kepala. "Sori, saya tidak mengerti."
"Anda harus banyak berlatih bahasa Jepang, demi pacar
Anda yang baru." "Pacar baru yang mana?"
Connor berkata, "Seharusnya Anda berterima kasih
kepada saya. Saya telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada Anda."
"Maksud Anda, Theresa?"
Ia tersenyum. "Masih banyak pilihan yang lebih buruk,
Kohai. Dan sepertinya Anda sudah sering terjebak di masa
lalu. Oke, tadi saya bertanya apakah Anda tahu apa ini." Ia
menunjuk sushi di meja layan.
"Tidak, saya tidak tahu."
"Telur puyuh dan telur ikan salmon," katanya. "Kaya
protein. Energi. Anda akan membutuhkannya."
Aku bertanya, "Haruskah saya memakan ini?"
Imae berkata, "Anda jadi kuat, untuk pacar."
Dan ia tertawa. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa
Jepang kepada Connor. Connor menjawab, dan keduanya terbahak-bahak.
"Apa yang lucu?" ujarku. Tapi aku ingin mengalihkan
pembicaraan, jadi kusantap saja potongan sushi yang
pertama. Rasanya ternyata enak, hanya agak berlendir.
"Bagaimana, enak?" tanya Imae.
"Enak sekali," jawabku. Aku meraih potongan kedua, lalu
berpaling pada Connor. "Anda tahu apa yang saya temukan
dalam rekaman itu" Anda takkan percaya."
Connor mengangkat tangan. "Tunggu. Anda harus
belajar cara Jepang untuk bersantai. Semua ada waktunya.
Oaiso onegai shimasu."
"Hai, Connor-san."
Tukang sushi itu menyodorkan rekening, dan Connor
mengeluarkan sejumlah uang. Ia membungkuk, lalu mereka
berbicara sejenak dalam bahasa Jepang.
"Kita pergi?" "Ya," ujar Connor. "Saya sudah makan, dan Anda, Kohai,
Anda tidak boleh terlambat."
"Terlambat untuk apa?"
"Anda ada janji dengan bekas istri Anda, bukan"
Sebaiknya kita segera ke apartemen Anda dan
menemuinya." Aku kembali menyetir. Connor memandang ke luar
jendela. "Dari mana Anda tahu bahwa
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Morton pembunuhnya?" "Saya tidak mengetahuinya," kata Connor. "Sampai tadi
pagi. Tapi semalam sudah jelas bagi saya bahwa mereka
memanipulasi rekaman itu."
Aku teringat segala jerih payah Theresa dan aku
memperbesar gambar, memeriksanya, dan mengotak-atiknya. "Maksudnya, Anda sudah tahu bahwa
rekaman itu dimanipulasi, hanya dengan menontonnya?"
"Ya." "Bagaimana caranya?"
"Mereka membuat satu kesalahan besar. Anda masih
ingat waktu Anda bertemu Eddie di pesta itu" Di tangannya
ada bekas luka." "Ya. Kelihatannya seperti bekas luka bakar."
"Di tangan sebelah mana lukanya?"
"Di tangan sebelah mana?" Aku mengerutkan kening,
berusaha mengingat-ingat. Eddie di taman kaktus,
merokok, membuang puntung rokok Eddie berbalik,
gerak-geriknya yang serba gelisah. Memegang rokok. Bekas
luka itu ada di... "Tangan sebelah kiri," ujarku.
"Benar," kata Connor.
"Tapi bekas lukanya juga kelihatan dalam rekaman video
itu," kataku. "Jelas sekali, waktu dia berjalan melewati
cermin. Tangannya sempat mengenai dinding ......
Aku terdiam. Dalam rekaman itu tangan kanannya y ang mengenai
dinding. "Astaga," ujarku.
"Ya," kata Connor. "Mereka telah melakukan kesalahan.
Mungkin mereka bingung, mana yang pantulan, mana yang
bukan. Tapi saya rasa mereka bekerja terburu-buru, jadi
mereka tidak ingat di tangan sebelah mana Sakamura
punya bekas luka, jadi mereka menambahkannya asal saja.
Kesalahan seperti itu bisa saja terjadi."
"Jadi, semalam Anda melihat bekas luka itu di tangan
yang salah." "Ya. Dan saya langsung tahu bahwa rekamannya telah
dimanipulasi," kata Connor. "Saya perlu menyiapkan Anda
untuk menganalisis kaset-kaset itu pada keesokan paginya.
Jadi saya menyuruh Anda ke SID, untuk mencari tahu
tempat mana saja yang bisa membantu kita. Dan setelah itu
saya pulang dan tidur."
"Tapi Anda membiarkan kami menangkap Eddie.
Kenapa" Waktu itu Anda sudah tahu babwa Eddie bukan si
pembunuh." "Kadang-kadang kita harus mengikuti permainan
lawan," Connor menjelaskan. "Sudah jelas mereka ingin
agar kita menyangka bahwa Eddie yang membunuh wanita
itu. Jadi saya memutuskan untuk bersikap sesuai harapan
mereka." "Tapi akibatnya satu orang yang tak berdosa tewas,"
kataku. "Eddie tidak bisa disebut tak berdosa," balas Connor.
"Dia ikut terlibat dalam urusan ini."
"Dan Senator Morton" Dari mana Anda tahu bahwa
Morton pembunuhnya?"
"Saya belum tahu, sampai dia memanggil kita untuk
menemuinya tadi. Kemudian dia sendiri yang memberi
petunjuk menentukan."
"Yaitu?" "Dia sangat cerdik. Tapi Anda harus ingat apa yang
sesungguhnya ia katakan," ujar Connor. "Di sela-sela segala
omong kosongnya, dia bertanya tiga kali apakah penyidikan
kita sudah selesai. Dan dia bertanya apakah pembunuhan
itu berkaitan dengan MicroCon. Kalau dipikir-pikir,
pertanyaan itu terasa janggal."
"Kenapa" Dia banyak koneksi. Mr. Hanada. Orang-orang
lain. Dia sendiri yang bilang begitu."
"Tidak," Connor membantah. "Pada dasarnya, yang
diungkapkan oleh Senator Morton adalah jalan pikirannya:
Apakah penyidikan Anda sudah selesai" Dan apakah Anda
bisa mengaitkannya dengan MicroCon" Sebab saya akan
mengubah sikap mengenai penjualan MicroCon."
"Oke." "Tapi ada satu hal penting yang tak pernah
disinggungnya. Kenapa dia berubah sikap mengenai
penjualan MicroCon?"
"Dia sudah menjelaskannya," kataku. "Dia tidak
memperoleh dukungan, tak ada yang peduli."
Connor menyerahkan selembar fotokopi padaku. Aku
mengamatinya sekilas. Ternyata halaman depan sebuah
koran. Aku mengembalikannya. "Saya sedang menyetir.
Anda saja yang menjelaskannya."
"Ini wawancara dengan Senator Morton yang dimuat di
The Washington Post. Dia menegaskan sikapnya mengenai
MicroCon. Rencana itu melanggar kepentingan keamanan
nasional dan daya saing Amerika. Blah blah. Mengikis
fondasi teknologi kita dan menjual masa depan kita kepada
orang Jepang. Blah blab. Begitulah sikapnya pada Kamis
pagi. Pada Kamis malam, dia menghadiri sebuah pesta di
California. Dan pada Jumat pagi dia berubah pikiran
mengenai penjualan MicroCon. Sekarang dia tidak
keberatan. Menurut Anda, kenapa ini bisa terjadi?"
"Astaga," kataku. "Apa yang harus kita lakukan
sekarang?" Menjadi petugas polisi memang tidak mudah. Biasanya
kita merasa cukup bangga. Tapi pada saat-saat tertentu,
kita menyadari bahwa kita hanya petugas polisi.
Sebenarnya posisi kita termasuk rendah. Dan kita enggan
menghadapi orang-orang tertentu dan jenis-jenis kekuasaan tertentu. Kita tak berdaya. Kita tak dapat
menguasai keadaan. Bisabisa malah kita yang menjadi
korban. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku sekali lagi.
"Jangan terburu-buru," ujar Connor. "Apakah itu
apartemen Anda, di depan sana?"
Mobil-mobil pemancar TV tampak berderet di jalanan.
Ada beberapa sedan dengan tanda PERS tertempel di kaca
depan. Segerombolan wartawan berdiri di depan pintu
apartemenku dan di sepanjang jalan. Di antara mereka a ku
melihat Wilhelm si Musang, bersandar pada mobilnya. Aku
tidak melihat bekas istriku.
"Jangan berhenti, Kohai," ujar Connor. "Setelah sampai di
ujung blok, belok ke kanan."
"Kenapa?" "Saya tidak bermaksud lancang, tapi saya telah
menelepon kantor kejaksaan dan mengatur pertemuan
dengan istri Anda di taman di sana."
"O, ya?" "Saya pikir itu yang terbaik untuk semua pihak yang
terlibat." Aku membelokkan mobil. Hampton Park bersebelahan
dengan sebuah sekolah dasar. Pada sore hari seperti ini,
banyak anak kecil bermain baseball. Aku menyusuri jalanan
pelan-pelan, mencari tempat parkir. Aku melewati sebuah
sedan dengan dua penumpang. Seorang laki-laki di kursi
penumpang, merokok. Seorang wanita di balik kemudi,
mengetuk-ngetuk dashboard dengan jarinya. Ternyata
Lauren. Aku memarkir mobil. "Saya tunggu di sini saja," ujar Connor. "Semoga sukses."
Bab 46 DARI dulu ia selalu memilih warna-warna pastel. la
memakai setelan jas berwarna beige dan blus sutra
berwarna krem. Rambutnya yang pirang di ikat ke
belakang. Tak ada perhiasan. Seksi sekaligus meyakinkan,
salah satu bakat yang dimiliki Lauren
Kami berjalan menyusuri trotoar di pinggir taman,
menyaksikan anak-anak bermain baseball. Kami sama-sama membisu. Pria yang datang bersama Lauren
menunggu di mobil. Satu blok lebih jauh, kami melihat
nyamuk-nyamuk pers berkerumun di depan apartemenku.
Lauren memandang ke arah mereka, "Astaga, Peter.
Apa-apaan ini" Keterlaluan. Kau sama sekali tidak
memikirkan posisiku."
Aku berkata, "Siapa yang memberitahu mereka?"
"Bukan aku." "Pasti ada seseorang yang memberitahu mereka bahwa
kau akan datang pukul empat sore."
"Pokoknya bukan aku."
"Jadi, hanya kebetulan saja kau muncul dengan makeup
lengkap?" "Tadi pagi ada sidang di pengadilan."
"Oke. Oke." "Persetan kau, Peter."
"Aku bilang, oke."
"Selalu menyelidik."
Ia berbalik, dan kami berjalan ke arah berlawanan,
menjauhi para wartawan. Ia menghela napas. "Begini," katanya, "kita bisa
menyelesaikan masalah ini secara beradab."
"Oke," kataku. "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa terjerumus sepertl
ini, Peter. Aku menyesal, tapi kau terpaksa melepaskan hak
asuh. Aku tidak rela anak perempuanku dibesarkan dalam
lingkungan yang mencurigakan. Aku tidak bisa membiarkannya. Aku harus memikirkan posisiku. Reputasiku di kantor."
Lauren selalu repot memikirkan penampilan. "Apa yang
kaumaksud dengan 'lingkungan yang mencurigakan'?"
"Peter, penganiayaan terhadap anak di bawah umur
merupakan tuduhan serius."
"Aku tidak pernah melakukan penganiayaan."
"Tuduhan-tuduhan di masa lalumu tidak bisa ditutup-tutupi." "Kau tahu duduk perkara sesungguhnya," kataku.
"Waktu itu kita sudah menikah. Kau tahu persis apa yang
terjadi." Ia berkeras. "Michelle harus menjalani pemeriksaan."
"Oke. Hasilnya pasti negatif."
"Saat ini aku tak peduli bagaimana hasilnya. Itu tidak
relevan lagi, Peter. Aku terpaksa mengambil alih hak asuh
atas Michelle. Supaya aku bisa hidup dengan tenang."
"Oh, demi Tuhan."
"Ada apa, Peter?"
"Kau tidak tahu apa-apa mengenai cara membesarkan
anak kecil. Waktumu akan tersita banyak. Bagaimana
dengan karierrnu?" "Aku tidak punya pilihan, Peter. Kau tidak menyisakan
pilihan lain untukku." Sekarang ia bersikap seakan-akan
telah lama menderita. Lauren memang pandai bersikap
sebagai martir. Aku berkata, "Lauren, kau tahu tuduhan-tuduhan itu tak
berdasar. Kau mengungkit-ungkit masalah ini hanya karena
Wilhelm meneleponmu."
"Dia tidak menelepon aku. Dia menelepon asisten Jaksa
Wilayah. Dia menelepon atasanku."
"Lauren." "Sori, Peter. Kau sendiri yang cari masalah."
"Lauren." "Aku bersungguh-sungguh."
"Lauren, ini sangat berbahaya."
Ia tertawa melecehkan. "Memangnya aku tidak tahu.
Kaupikir aku tidak tahu betapa besar bahayanya, Peter"
Bisa-bisa aku yang kena getahnya."
"Apa maksudmu?"
"Jangan berlagak bodoh," ia berkata dengan gusar. "Las
Vegas, itu yang kumaksud."
Aku diam saja. Aku tak bisa mengikuti jalan pikirannya.
"Begini," katanya, "berapa kali kau berkunjung ke Las
Vegas?" "Hanya satu kali."
"Dan dalam satu-satunya kunjungan itu, kau menang
banyak?" "Lauren, kau tahu persis..."
"Ya, aku tahu. Dan berapa lama setelah tuduhan
penganiayaan itu muncul, kau pergi ke Las Vegas"
Seminggu" Dua minggu?"
Jadi itu masalahnya. Ia cemas bahwa seseorang
menghubungkan kedua kejadian itu, bahwa ia akan terlibat.
"Seharusnya tahun lalu kau ke sana lagi."
"Aku sibuk." "Kalau kau masih ingat, Peter, aku menyuruhmu
mengunjungi Las Vegas setiap tahun, selama beberapa
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahun berikut. Membentuk pola."
"Aku sibuk. Aku harus membesarkan anak kecil."
"Hmm." Ia menggelengkan kepala. "Sekarang kita ada di
sini." Aku berkata, "Di mana letak masalahnya" Mereka takkan
pernah tahu." Dan kemudian Lauren benar-benar meledak. "Takkan
pernah tahu" Mereka sudah tahu. Mereka sudah tahu, Peter.
Aku yakin mereka sudah bicara dengan suami-istri
Martinez atau Hemandez atau siapa pun nama mereka."
"Tapi mana mungkin..."
"Ya Tuhan! Menurutmu, bagaimana seseorang memperoleh pekerjaan sebagai petugas penghubung
Jepang" Bagaimana caranya kau mendapatkan pekerjaan
itu, Peter?" Aku mengerutkan kening, berpikir. Kejadiannya setahun
yang lalu. "Waktu itu ada iklan lowongan di markas.
Beberapa orang melamar..."
"Ya. Dan sesudah itu?"
Aku terdiam. Sebenarnya aku tidak tahu persis
bagaimana lamaranku ditangani oleh bagian administrasi.
Aku hanya memasukkan lamaran, lalu melupakannya,
sampai aku mendapat jawaban. Waktu itu aku sibuk sekali.
Bekerja di bagian pers benar-benar merepotkan.
"Kau mau tahu bagaimana kelanjutannya?" tanya
Lauren. "Kepala Special Services menentukan calon-calon
yang dianggap cocok, berdasarkan hasil konsultasi dengan
anggota-anggota masyarakat Asia."
"Oke, mungkin memang begitu, tapi aku tidak melihat..."
"Dan kau tahu berapa lama para anggota masyarakat
Asia mempelajari daftar calon" Tiga bulan, Peter. Itu cukup
lama untuk menyelidiki segala sesuatu mengenai
orang-orang yang tercantum dalam daftar itu. Segala
sesuatu. Mereka tahu segala sesuatu, mulai dari ukuran
bajumu sampai keadaan keuanganmu. Dan percayalah,
tuduhan penganiayaan itu takkan luput dari perhatian mereka. Begitu juga kunjunganmu ke Las Vegas. Dan mereka
bisa menghubung-hubungkannya. Semua orang bisa
menghubung-hubungkannya."
Aku hendak memprotes, tapi kemudian aku teringat
pada ucapan Ron sebelumnya, "Jadi mereka juga memantau
sinyal awal kita." Lauren berkata, "Ada apa, Peter" Kau tidak tahu aturan
mainnya" Kau tidak memperhatikan prosesnya" Astaga,
Peter, yang benar saja. Kau tahu konsekuensi pekerjaanmu
yang baru. Kau tergiur oleh uangnya. Sama seperti semua
orang yang berurusan dengan orang Jepang. Kau tahu bagaimana mereka melakukan bisnis. Semua pihak dapat
bagian. Kau dapat bagian. Departemen dapat bagian.
Komandan dapat bagian. Semua orang memperoleh
keuntungan. Dan sebagai imbalan, mereka memilih orang
yang mereka inginkan sebagai petugas penghubung. Sejak
semula mereka sudah tahu bahwa mereka bisa menekanmu
kalau perlu. Dan sekarang mereka juga bisa menekanku.
Gara-gara kau tidak pergi ke Las Vegas tahun lalu dan
membentuk pola, seperti yang kusuruh."
"Dan sekarang kau merasa harus mengambil alih hak
asuh atas Michelle?"
Ia menghela napas. "Sekarang ini kita hanya mernainkan
peranan- yang telah diberikan pada kita."
Ia melirik jam tangannya, lalu memandang ke arah para
wartawan. Aku menyadari bahwa ia sudah tak sabar,
bahwa ia hendak menemui pers dan menyarnpaikan pidato
yang sudah dipersiapkannya. Dari dulu Lauren memang
sudah pandai mendramatisir keadaan.
"Kau yakin bahwa kau tahu apa peranmu, Lauren" Sebab
dalam beberapa jam berikut ini, keadaan mungkin
bertambah gawat. Barangkali kau tidak ingin terlibat."
"Aku sudah terlibat "
"Belum." Aku mengeluarkan foto Polaroid dari kantong
dan menyerahkannya kepada Lauren.
"Apa ini?" "Ini frame video dari rekaman keamanan Nakamoto
semalam. Pada waktu Cheryl Austin terbunuh."
Ia mengerutkan kening ketika mengamati foto itu. "Kau
bercanda." "Tidak." "Kau mengandalkan ini?"
"Terpaksa." "Kau akan menangkap Senator Morton" Kau benar-benar sudah tidak waras."
"Mungkin." "Kau takkan pernah melihat matahari lagi, Peter.
"Mungkin." "Mereka akan menguburmu begitu cepat dan begitu
dalam, sehingga kau tak sempat tahu apa yang terjadi."
"Mungkin." "Kau takkan berhasil. Dan kau juga tahu. Akhirnya
Michelle yang terkena akibatnya."
Aku tidak menanggapinya. Semakin lama aku semakin
tidak menyukai Lauren. Kami terus berjalan, sepatu hak
tingginya berceklak-ceklek di trotoar.
Akhirnya ia berkata, "Peter, kalau kau tetap berkeras
untuk menjalankan rencana yang tidak bertanggung jawab
ini, aku tidak bisa berbuat apaapa. Sebagai teman,
kusarankan jangan. Tapi kalau kau berkeras, tak ada yang
bisa kulakukan untuk menolongmu."
Aku tidak menjawab. Aku menunggu dan memperhatikannya. Di bawah sinar matahari, aku melihat
kerut-kerut yang mulai timbul di sekitar matanya. Aku
melihat akar rambutnya yang gelap. Bercak lipstik di
giginya. Ia melepaskan kacamata hitamnya dan menatapku
dengan pandangan cemas. Kemudian ia memalingkan
wajah, memandang ke arah pers. Ia mengetuk-ngetukkan
kacamata ke telapak tangan.
"Kalau memang ini yang akan terjadi, Peter, mungkin
lebih baik kalau aku menunggu satu hari untuk melihat
perkembangan selanjutnya."
"Baiklah." "Jangan salah paham. Urusan kita belum selesai, Peter."
"Aku mengerti."
"Masalah hak asuh atas Michelle sebaiknya jangan
dicampuradukkan dengan kontroversi yang lain."
"Tentu. Ia kembali memakai kacamata. "Aku merasa kasihan
padamu, Peter. Sungguh. Dulu kau punya masa depan yang
bagus di Departemen. Aku pernah mendengar namamu
disebut-sebut untuk jabatan di bawah Komandan. Tapi tak
ada yang bisa menyelamatkanmu kalau kau nekat
melakukan ini." Aku tersenyum. "Apa boleh buat."
"Kau tidak punya bukti selain foto ini?"
"Kurasa tidak pada tempatnya kalau aku membeberkan
semua detail padamu."
"Sebab kalau begitu, kau tidak punya apa-apa, Peter.
Kejaksaan takkan menerima foto sebagai barang bukti.
Terlalu mudah diotak-atik. Pengadilan juga tahu. Kalau kau
hanya punya foto orang ini melakukan pembunuhan, kau
takkan bisa berbuat apa- apa."
"Kita lihat saja nanti."
"Peter," katanya. "Kau akan kehilangan segala-galanya.
Pekerjaanmu, kariermu, anakmu, semuanya. Bangunlah.
Jangan lakukan ini."
Ia kembali ke mobil. Aku berjalan di sebelahnya. Kami
sama-sama membisu. Aku menunggu ia menanyakan kabar
Michelle, tetapi ia diam saja. Aku tidak heran. Banyak hal
lain yang perlu ia pikirkan. Akhirnya kami tiba di mobilnya,
dan ia membuka pintu sopir.
"Lauren." Ia menatapku lewat atap mobilnya.
"Jangan ada apa-apa selama 24 jam berikut, oke" Jangan
telepon siapa pun mengenai ini."
"Jangan khawatir. Aku tidak ada urusan dengan ini. Dan
sebenarnya aku berharap tak pernah ada urusan
denganmu." Dan kemudian ia masuk ke mobil dan pergi. Ketika aku
memperhatikan mobilnya menjauh, aku tiba-tiba merasa
terbebas dari suatu ketegangan. Penyebabnya bukan
sekadar karena aku berhasil mencapai tujuanku - aku
berhasil membuat Lauren membatalkan niatnya, paling
tidak untuk sementara waktu. Masih ada hal lain, yang
akhirnya lenyap. Bab 47 CONNOR dan aku menaiki tangga belakang di gedung
apartemenku, menghindari pers. Aku menceritakan
percakapanku dengan Lauren tadi. Ia mengangkat bahu.
"Anda heran" Anda tidak tahu bagaimana petugas
penghubung dipilih?"
"Saya tidak pernah memperhatikannya."
Ia mengangguk. "Begitulah caranya. Orang Jepang sangat
terampil dalam memberikan yang mereka sebut insentif.
Mula-mula pihak Departemen memang keberatan membiarkan orang luar ikut campur dalam menentukan
petugas mana yang dipilih. Tapi orang Jepang berdalih
bahwa mereka hanya ingin diajak berkonsultasi.
Rekomendasi mereka tidak bersifat mengikat. Menurut
mereka, justru menguntungkan kalau mereka memberi
masukan mengenai pemilihan para petugas penghubung."
"Hmm..." "Dan untuk membuktikan bahwa mereka tidak mau
menang sendiri, mereka mengusulkan sumbangan untuk
dana pensiun kepolisian yang akan dinikmati oleh seluruh
Departemen." "Dan seberapa besar jumlahnya?"
"Saya kira sekitar setengah juta. Dan Komandan
diundang ke Tokyo untuk mengadakan studi banding
mengenai sistem pengarsipan catatan polisi. Kunjungan
tiga minggu. Satu minggu di Hawaii. Semuanya kelas satu.
Dan kunjungan diberitakan secara luas oleh pers, yang
sangat disukai Komandan."
Kami sampai di lantai dua, lalu naik ke lantai tiga.
"Jadi," ujar Connor, "setelah semuanya selesai,
Departemen sukar mengabaikan rekomendasi dari
masyarakat Asia. Terlalu banyak yang dipertaruhkan."
"Rasanya saya ingin berhenti saja," kataku.
"Pilihan itu selalu terbuka," ujar Connor. "Tapi kembali
ke masalah pokok. Anda berhasil menghalau istri Anda?"
"Bekas istri saya. Dia langsung memahami persoalannya.
Lauren punya penciuman tajam dalam urusan politik. Tapi
saya terpaksa mengungkapkan identitas si pembunuh."
Connor mengangkat bahu. "Dia tidak bisa berbuat
banyak dalam beberapa jam mendatang."
Aku berkata, "Tapi bagaimana dengan foto-foto ini"
Lauren bilang, foto-foto ini takkan diterima sebagai barang
bukti. Dan Sanders mengatakan hal yang sama. Zaman foto
sebagai bukti tak terbantah sudah berlalu. Apakah kita
punya bukti lain?" "Saya sudah memikirkan hal itu," ujar Connor.
"Dan sepertinya kita tidak perlu terlalu khawatir."
"O, ya?" Connor mengangkat bahu. Kami tiba di pintu belakang apartemenku. Aku
membukanya, dan kami masuk ke dapur, yang ternyata
kosong. Aku menyusuri selasar ke ruang depan. Pintu ke
ruang duduk tertutup rapat. Tapi aku mencium bau asap
rokok. Elaine, pengurus rumahku, berdiri di ruang depan,
memandang ke luar jendela, memperhatikan kerumunan
wartawan dt bawah. Ia berbalik ketika mendengar kami. Ia
tampak ketakutan. Aku berkata, "Michelle tidak apa-apa?"
"Dia baik-baik saja."
"Di mana dia?" "Sedang bermain di ruang duduk."
'Saya ingin menemuinya."
Elaine berkata, "Letnan, ada sesuatu yang perlu saya
bentahukan kepada Anda "
"Tenang saja," ujar Connor. "Kami sudah tahu
Ia membuka pintu ke ruang duduk. Dan aku mendapat
kejutan yang paling hebat seumur hidup.
Bab 48 JOHN MORTON sedang duduk di kursi rias di studio TV,
dengan tisu kertas terselip di balik kerah, sementara
keningnya diberi bedak. Woodson berdiri di sebelahnya.
Asisten Morton itu berkata, "Ini rekomendasi dari mereka."
Ia menyerahkan selembar fax kepada Morton.
"Intinya," ujar Woodson, "penanaman modal asing
memperkuat Amerika. Amerika bertambah kuat akibat
dana dari luar negeri. Amerika bisa belajar banyak dari
Jepang." "Dan kita belum belajar apa-apa," Morton berkomentar
dengan lesu. "Argumen mereka cukup berdasar," kata Woodson.
"Posisi itu bisa dipertanggungjawabkan, dan kaulihat
sendiri, dengan kata-kata yang disusun oleh Madorie, kau
takkan dianggap berubah sikap. Ini lebih merupakan
pengembangan dari pandanganmu semula. Kau sanggup
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menanganinya, John. Kurasa takkan ada yang mempersoalkannya." "Kau yakin pertanyaan itu akan muncul?"
"Kelihatannya begitu. Aku telah memberitahu para
wartawan bahwa kau bersedia membahas modifikasi
pandanganmu mengenai MicroCon. Bahwa kau sekarang
mendukung rencana itu."
"Siapa yang akan menanyakannya?"
"Mungkin Frank Pierce dari Times."
Morton mengangguk. "Dia lumayan."
"Yeah. Berorientasi bisnis. Mestinya tidak ada masalah.
Kau bisa bicara mengenai pasar bebas, perdagangan adil.
Kecilnya peranan penjualan ini terhadap keamanan
nasional. Semuanya itu."
Si juru rias selesai, dan Morton bangkit dari kursinya.
"Senator Morton, maaf kalau saya merepotkan Anda, tapi
bolehkah saya minta tanda tangan Anda?"
"Tentu," jawab Morton.
"Untuk anak saya."
"Tentu." Woodson berkata, "Kami sudah menggabung-gabungkan
adegan-adegan iklan, kalau kau berminat melihatnya.
Memang masih kasar sekali, tapi barangkali kau bisa
memberi komentar. Aku sudah menyiapkannya di ruang
sebelah." "Berapa lama sampai siaran dimulai?"
"Sembilan menit lagi."
"Oke." Ia mulai menuju pintu dan melihat kami. "Selamat sore,
Gentlemen," katanya. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami hanya ingin berbicara sebentar, Senator," kata
Connor "Saya perlu melihat sebuah rekaman dulu," ujar Morton.
"Setelah itu kita bisa berbincang-bincang. Tapi saya hanya
punya beberapa menit."
"Tidak apa-apa," kata Connor.
Kami mengikuti Morton ke ruangan lain. Di ruang itu
kami dapat melihat studio di bawah. Di bawah sana, di
hadapan latar belakang berwarna beige yang bertuliskan
NEWSMAKERS, beberapa wartawan sedang menyusun
kertas-kertas catatan Petugas-petugas studio sibuk
memasang mikrofon. Morton duduk di hadapan sebuah
pesawat TV dan Woodson memutar sebuah kaset video.
Kami menyaksikan rekaman iklan yang dibuat
sebelumnya. Di bagian bawah layar terlihat penunjuk
waktu. Iklannya dimulai dengan Senator Morton yang
sedang berjalan melintasi lapangan golf. Ia tampak serius.
Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa Amerika
telah kehilangan daya saing dalam bidang ekonomi dan
perlu merebutnya kembali.
"Kita semua harus bahu-membahu," Morton berkata di
layar kaca. "Para politisi di Washington, para pemuka bisnis
dan angkatan kerja, para guru dan anak-anak, kita semua di
rumah masing-masing. Kita harus melunasi semua biaya
berjalan dan memperkecil defisit Pemerintah. Kita harus
meningkatkan jumlah tabungan untuk memperbaiki
jaringan jalan dan membenahi pendidikan. Kita membutuhkan kebijaksanaan Pemerintah mengenai konservasi energi-untuk lingkungan hidup kita, untuk
paru-paru anak-anak kita, dan untuk daya saing global
kita." Kamera membidik wajah Senator Morton, untuk
merekam komentar penutupnya.
"Sementara pihak berpendapat bahwa kita sedang
memasuki era baru, era bisnis global," katanya. "Menurut
mereka, lokasi perusahaan tidak lagi penting, di mana suatu
barang diproduksi tidak lagi relevan. Mereka berpendapat
bahwa konsep ekonomi nasional sudah kuno dan
ketinggalan zaman. Kepada orang-orang itu saya tekankan
bahwa Jepang tidak berpendapat demikian. Jerman tidak
berpendapat demikian. Negara-negara yang paling sukses
di dunia dewasa ini mempunyai kebijaksanaan nasional
yang tegas untuk konservasi energi, untuk mengendalikan
impor, untuk mempromosikan ekspor. Mereka membina
industri mereka, menegakkan perlindungan terhadap persaingan tidak adil dari luar negeri. Dunia bisnis dan
pemerintah bekerja sama untuk menjaga kepentingan
masyarakat mereka dan melindungi lapangan kerja. Dan
negara-negara itu lebih berhasil dibandingkan dengan
Amerika, sebab kebijaksanaan ekonomi mereka mencerminkan dunia nyata. Kebijaksanaan mereka
berhasil. Kebijaksanaan kita tidak. Kita tidak hidup di dunia
yang ideal, dan selama itu, Amerika sebaiknya menghadapi
kenyataan. Kita harus membentuk nasionalisme ekonomi
versi Amerika. Kita harus melindungi kepentingan orang
Amerika, sebab kalau bukan kita, siapa lagi yang akan
melakukannya" "Ada satu hal yang ingin saya tegaskan: penyebab
masalah-masalah kita bukan para raksasa industri, Jepang
dan Jerman. Negara-negara itu menantang Amerika dengan
kenyataan baru - kita sendiri yang harus menghadapi
kenyataan itu, dan menjawab tantangan ekonomi mereka
Kalau kita melakukan hal ini, negeri kita akan memasuki
era kesejahteraan tanpa bandingan. Tapi kalau kita terus
bersikap seperti sekarang, mengagung-agungkan ekonomi
pasar bebas yang sudah usang, bencana telah menanti. Kita
yang harus menentukan pilihan. Bergabunglah dengan saya
dan hadapilah kenyataan-kenyataan baru itu, demi masa
depan ekonomi yang lebih baik bagi orang Amerika."
Layar menjadi gelap. Morton menyandarkan badan. "Mulai kapan iklan ini
ditayangkan?" "Sembilan minggu lagi. Pertama-tama siaran uji coba di
Chicago dan Twin Cities, kelompok-kelompok fokus yang
terkait, modifikasi yang diperlukan, lalu siaran nasional
mulai Juli." "Lama sesudah MicroCon..."
"Oh, ya." "Oke, bagus. Kita teruskan saja."
Woodson mengambil kaset video dan meninggalkan
ruangan. Morton berpaling kepada kami. " Well" Apa yang
dapat saya lakukan untuk Anda?"
Connor menunggu sampai pintu menutup. Kemudian ia
berkata, "Senator, kami ingin memperoleh keterangan
mengenai Cheryl Austin."
Sejenak suasana menjadi hening. Morton menatap kami
berganti-gantian. Pandangannya menerawang. "Cheryl
Austin?" "Ya, Senator." "Saya tidak yakin apakah saya pernah..."
"Ya, Senator," ujar Connor. Dan ia menyerahkan sebuah
arloji kepada Morton. Arloji wanita buatan Rolex, dari
emas. "Di mana Anda mendapatkan ini?" kata Morton.
Suaranya rendah, dingin. Seorang wanita mengetuk pintu. "Enam menit, "Senator."
Ia menutup pintu. "Di mana Anda mendapatkan ini?" ulang Morton.
"Bukankah Anda sudah tahu?" balas Connor. "Anda
bahkan belum melihat graviran di bagian belakangnya."
"Di mana Anda mendapatkan ini?"
"Senator, kami berharap Anda dapat memberi
keterangan mengenai wanita muda itu." Connor mengeluarkan sebuah kantong plastik bening dari saku,
dan meletakkannya di meja di sebelah Morton. Kantong
plastik itu berisi celana dalam wanita berwarna hitam.
"Tak ada yang bisa saya ceritakan kepada Anda,
Gentlemen," ujar Morton. "Sama sekali tidak ada." Connor mengeluarkan
kaset video dari kantong, dan meletakkannya di sebelah Morton. "Kaset ini berisi
rekaman dari satu di antara lima kamera yang merekam
kejadian di lantai 46. Rekaman ini memang sudah
dimanipulasi, tapi kami berhasil mendapatkan satu gambar
yang memperlihatkan identitas orang yang berada bersama
Cheryl Austin." "Saya tidak bisa membantu Anda," kata Morton.
"Rekaman video bisa disunting dan diubah dan kemudian
diubah lagi. Ini tidak membuktikan apa-apa. Ini semua
bohong, tuduhan yang tak berdasar."
"Maaf, Senator," ujar Connor.
Morton berdiri dan mulai berjalan mondar-mandir.
"Saya ingin mengingatkan Anda bahwa tuduhan yang
hendak Anda ajukan sangat serius. Rekaman video bisa saja
dimanipulasi. Dan rekaman ini sempat berada di tangan
sebuah perusahaan Jepang yang berkepentingan untuk
mempengaruhi saya. Apa pun yang terlihat, atau yang tidak
terlihat, saya jamin bahwa rekaman ini takkan diterima
sebagai barang bukti yang sah. Masyarakat tentu akan
menganggapnya sebagai upaya untuk mencemarkan nama
salah satu dari sedikit orang Amerika yang berani bersuara
menentang ancaman Jepang. Dan bagi saya, Anda berdua
merupakan bidak dalam permainan catur kekuatan asing.
Anda tidak memahami konsekuensi tindakan Anda.
Tuduhan Anda tidak berdasar. Anda tidak punya saksi
untuk mendukung dugaan Anda. Sebenarnya saya bahkan
bisa mengatakan..." "Senator." Suara Connor bernada lembut namun tegas.
"Sebelum Anda melangkah lebih jauh, dan mengatakan
sesuatu yang mungkin akan Anda sesali di kemudian hari,
sudikah Anda menoleh ke studio di bawah" Ada seseorang
yang perlu Anda lihat."
"Apa artinya ini?"
"Lihat saja dulu, Senator. Silakan."
Sambil mendengus geram, Morton menghampiri jendela
dan memandang ke studio. Aku ikut menoleh. Aku melihat
para wartawan di kursi masing-masing, tertawa dan
bersenda gurau sambil menantikan acara tanya-jawab. Aku
melihat si moderator membetulkan letak dasi dan
memasang mikrofon. Aku melihat seorang tukang menggosok-gosok tanda NEWSMAKER. Dan di pojok, persis
seperti disuruh, aku melihat sebuah sosok familier berdiri
dengan tangan terselip ke dalam kantong celana,
memandang ke arah kami. Eddie Sakamura. Bab 49 CONNOR tentu saja sudah menduganya. Ketika ia
membuka pintu ruang dudukku dan melihat anak
perempuanku duduk di lantai sambil bermain bersama
Eddic Sakamura, ia bahkan tidak berkedip sebelah mata
pun. Ia hanya berkata, "Halo, Eddie. Aku sudah mulai heran
kenapa kau belum muncul-muncul."
"Sudah darl tadi aku di sini," ujar Eddie. Sepertinya ia
letih sekali. "Kalian ini. Tidak datang-datang. Kutunggu dan
kutunggu. Aku sempat makan roti dengan selai kacang
bersama Shelly. Dia manis sekali, Letnan."
"Eddie lucu," kata putriku. "Dia merokok, Daddy."
"Aku tahu," kataku. Aku merasa lamban dan bodoh. Aku
masih berusaha memahami semuanya.
Michelle menghampiriku dan mengulurkan kedua
tangannya. "Gendong, Daddy." Aku mengangkatnya.
"Manis sekali," ujar Eddie. "Kami sempat membuat kincir
angin. Nih." Aku berkata, "Saya pikir Anda sudah mati."
"Siapa" Saya?" Ia tertawa. "Belum. Saya belum mati.
Tanaka mati. Dan mobil saya ringsek." Ia mengangkat bahu.
"Mungkin saya kurang cocok pakai Ferrari."
"Sama seperti Tanaka," Connor berkomentar.
Aku berkata, "Tanaka?"
Michelle berkata, "Daddy, boleh nonton Cinderella,
Daddy?" "Jangan sekarang," jawabku. "Kenapa Tanaka ada di
mobil Anda?" "Dia gampang panik," jawab Eddie. "Selalu gelisah.
Mungkin juga merasa bersalah. Sepertinya dia ketakutan,
saya tidak tahu persis."
Connor berkata, "Kau dan Tanaka yang mengambil
kaset-kaset itu." "Ya. Benar. Langsung setelah kejadian. Ishiguro bilang
pada Tanaka, 'Ambil kaset-kaset itu.' Tanaka mengambil
semuanya. Tentu. Tapi saya kenal Tanaka, jadi saya ikut
dengannya. Tanaka membawa kaset-kaset itu ke sebuah
lab." Connor mengangguk. "Dan siapa yang pergi ke Imperial
Arms?"
Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Saya tahu Ishiguro mengutus beberapa orang untuk
beres-beres di sana. Saya tidak tahu siapa."
"Dan kau pergi ke restoran."
"Ya, memang. Habis itu saya pergi ke pesta. Pesta di
rumah Rod. Benar." "Dan bagaimana dengan kaset-kaset itu, Eddie?"
"Saya sudah bilang, Tanaka yang bawa. Saya tidak tahu
ke mana. Dia pergi. Dia bekerja untu Ishiguro. Untuk
Nakamoto." "Saya tahu," ujar Connor. "Tapi dia tidak membawa
semua kaset, bukan?"
Eddie tersenyum simpul. "Hei."
"Kausembunyikan beberapa kaset?"
"Tidak. Cuma satu. Biasa, terselip. Di kantong saya." Ia
tersenyum. Michelle berkata, "Daddy, Daddy, boleh setel saluran
Disney?" "Boleh," kataku. "Sana, minta tolong Elaine."
Michelle pergi. Connor terus bertanya pada Eddie.
Lambat laun urut-urutan kejadian itu terungkap. Tanaka
pergi dengan membawa kaset-kaset itu, dan kemudian ia
rupanya sadar satu kaset hilang. Ia tahu di mana kaset itu
berada, kata Eddie, dan kembali ke rumah Eddie untuk
mengambilnya. Ia memergoki Eddie dengan kedua wanita
itu. Ia menuntut agar Eddie mengembalikan kasetnya.
"Mula-mula saya tidak tahu, tapi setelah bicara dengan
kalian, saya sadar mereka mau menjebak saya. Tanaka dan
saya berdebat dengan sengit."
"Dan kemudian polisi datang. Graham muncul."
Eddie mengangguk perlahan. "Tanaka-san ter- kencing-kencing. Kasihan."
"Jadi kau memaksa dia mengakui semuanya ......
"O, ya, Kapten. Dia cerita semuanya, cepat sekali."
"Dan sebagai imbalan, kau memberitahunya di mana
kaset yang hilang itu."
"Tentu. Di mobiI saya. Saya beri dia kunci mobil. Supaya
dia bisa buka pintu. Dia bawa kuncinya."
Tanaka pergi ke garasi untuk mengambil kaset itu. Para
petugas patroli di bawah mencegatnya. Ia menghidupkan
mesin dan melarikan diri.
"Saya lihat dia pergi, John. Dia melaju seperti dikejar
setan." Jadi Tanaka yang duduk di belakang kemudi ketika
mobil itu menghantam dinding pemisah. Tanaka yang
terbakar sampai hangus. Eddie menjelaskan bahwa ia
bersembunyi di semak-semak di belakang kolam renang
dan menunggu sampai semua orang pergi.
"Dingin sekali di luar sana," katanya.
Aku berkata pada Connor, "Anda sudah tahu semuanya
itu?" "Saya sudah menduganya. Laporan kecelakaan itu
menyatakan bahwa tubuh korban terbakar hangus, dan
bahwa kacamatanya pun meleleh."
Eddie berkata, "Hei, saya tidak pakai kacamata."
"Persis," ujar Connor. "Namun saya minta agar Graham
menggeledah rumah Eddie pada keesokan harinya. Dia juga
tidak menemukan kacamata. Berarti bukan Eddie yang
tewas dalam kecelakaan itu. Keesokan harinya, ketika kami
mendatangi rumah Eddie, saya minta petugas patroli
memeriksa semua mobil yang diparkir di tepi jalan. Dan
ternyata ada sedan Toyota warna kuning, tidak jauh dari
rumah Eddie, yang terdaftar atas nama Akira Tanaka."
"Hei, boleh juga," ujar Eddie. "Cerdik."
Aku berkata, "Di mana Anda berada selam ini?"
"Di rumah Jasmine. Rumahnya bagus."
"Siapa Jasmine?"
"Si Rambut Merah. Dia ramah sekali. Dan dia juga punya
Jacuzzi." "Tapi kenapa Anda datang ke sini?"
Connor berkata padaku, "Karena terpaksa. Anda
menahan paspornya." "Betul," kata Eddie. "Dan saya, saya punya kartu nama
Anda. Anda yang kasih. Alamat rumah dan telepon. Saya
butuh paspor saya, Letnan. Saya harus pergi. Jadi saya ke
sini dan menunggu. Tapi rupanya banyak wartawan.
Kamera. Lengkap. Jadi saya tunggu di sini, main dengan
Shelly." Ia menyalakan sebatang rokok, lalu berbalik
dengan gelisah. "Jadi bagaimana, Letnan" Tolong kembalikan paspor saya. Netsutuku. Tidak ada masalah. Saya
sudah mati. Oke?" "Belum waktunya," kata Connor.
"Ayolah, John."
"Eddie, sebelumnya kau harus membantu kami dulu."
"Hei. Membantu apa" Saya harus pergi, Kapten."
"Tugasmu mudah sekali, Eddie."
Morton menarik napas panjang, dan berpaling dari
jendela studio. Aku mengagumi ketenangannya. Ia tampak
tak terusik. "Kelihatannya," ia berkata, "pilihan saya saat ini
sedikit berkurang." "Ya, Senator," ujar Connor.
Morton mendesah. "Saya tidak sengaja. Semuanya hanya
kecelakaan." Connor mengangguk penuh pengertian.
"Saya tidak tahu kenapa saya tertarik padanya," ujar
Morton. "Dia cantik, tentu saja, tapi bukan itu... bukan itu.
Saya belum lama mengenalnya. Empat, lima bulan,
mungkin. Saya pikir dia gadis yang menyenangkan. Gadis
Texas, manis. Tapi... Anda tahu sendiri. Hal seperti ini
terjadi begitu saja. Dia mulai merongrong. Saya bingung,
tidak menyangka. Dan saya terus teringat padanya. Saya
tidak bisa... dia menelepon saya kalau saya sedang
bepergian. Dia bisa tahu kapan saya bepergian, entah
dari mana. Dan tidak lama kemudian, saya tak bisa
menghindarinya lagi. Tidak bisa. Sepertinya dia selalu
punya uang, selalu punya tiket pesawat. Dia sinting.
Kadang-kadang dia membuat saya marah sekali. Seperti...
entahlah, seperti roh jahat. Segala sesuatu berubah kalau
dia muncul. Gila. Saya terpaksa berhenti menemuinya. Dan
akhirnya saya mendapat firasat bahwa dia dibayar. Dia
dibayar oleh seseorang. Seseorang tahu hubungannya
dengan saya. Jadi saya terpaksa mengakhirinya. Bob
menyarankan begitu. Semua orang menyarankan begitu.
Saya tidak bisa. Akhirnya saya memaksakan diri. Tapi
waktu saya datang ke resepsi itu, dia sudah ada di sana.
Brengsek." Ia menggelengkan kepala. "Lalu... Anda tahu apa
yang terjadi setelah itu."
Wanita tadi muncul di pintu. "Dua menit Senator.
Orang-orang di bawah menanyakan apakah Anda sudah
siap." Morton berkata kepada kami, "Saya ingin menyelesaikan
wawancara ini dulu."
"Tentu," kata Connor.
Senator Morton memiliki kemampuan menguasai diri
yang luar biasa. Ia melakukan wawancara TV dengan tiga
wartawan selama setengah jam, tanpa terlihat tegang
maupun gelisah. Ia tersenyum, berkelakar, bersenda gurau
dengan para wartawan. Seakan-akan tak ada masalah yang
menghantuinya. Dalam satu kesempatan ia berkata, "Ya, memang benar
jumlah investasi Inggris dan Belanda di Amerika melebihi
investasi Jepang. Tapi kita tidak bisa mengabaikan
kenyataan bahwa Jepang melakukan perdagangan terarah
dan merugikan para pengusaha serta Pemerintah. Jepang
bahu-membahu melancarkan serangan terarah terhadap
salah satu sektor ekonomi Amerika. Orang Inggris dan
orang Belanda tidak melakukan hal ini. Kita tidak
kehilangan industri-industri dasar kepada negara-negara
Pendekar Baju Putih 2 Gento Guyon 20 Makhluk Kutukan Neraka Bangau Sakti 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama