Midnight Sun Karya Stephenie Meyer Bagian 4
Kemudian, ketika makin gelap, aku bisa mendekat. Untuk saat ini, aku keluar dari
jalan utama untuk menunggu di daerah pinggir kota yang tampaknya jarang dilewati
orang. Aku tahu kira-kira ke arah mana harus mencari-hanya ada satu tempat untuk
mencari gaun di Port Angeles. Tidak terlalu lama, setelah menemukan Jessica,
yang sedang memutar-mutar badannya di depan tiga bidang cermin, aku bisa melihat
Bella lewat pikirannya. Bella sedang memuji gaun panjang hitam yang ia kenakan.
Bella masih kelihatan kesal. Ha ha. Angela betul - Tyler cuma membual. Tapi aku
tidak mengerti kenapa dia sekesal itu. Paling tidak dia tahu dia punya kencan
cadangan untuk pesta prom. Bagaimana jika Mike tidak menikmati pesta dansa
besok, dan ia tidak mengajakku kencan lagi" Bagaimana jika dia mengajak Bella ke
pesta prom" Apa Bella akan mengajak Mike ke pesta dansa jika aku tidak
mengajaknya duluan" Apakah menurut Mike dia lebih cantik ketimbang aku" Apakah
dia pikir dirinya lebih cantik dibanding aku"
"Kurasa aku lebih suka yang biru. Sesuai dengan warna matamu."
Jessica tersenyum palsu pada Bella, sementara matanya memperhatikan dengan
curiga. Apa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya" Atau yang ia inginkan aku terlihat
seperti sapi di hari sabtu nanti"
Belum-belum aku sudah lelah mendengarkan Jessica. Aku mencari Angela di dekat
situ -ah, tapi Angela sedang ganti baju, dan aku langsung cepat-cepat keluar
dari kepalanya untuk memberi dia privasi.
Well, tidak ada sesuatu yang akan menimpa Bella selama dia di department store.
Biarkan saja mereka belanja dan kemudian mencari mereka lagi saat sudah selesai.
Tidak akan lama lagi gelap-awan mulai berarak kembali, bertiup dari arah barat.
Aku hanya bisa menangkap kelebatannya melalui sela-sela daun, tapi bisa kulihat
awan-awan itu akan mempercepat matahari tenggelam. Aku menanti-nantikannya
dengan tidak sabar. Besok aku akan bisa duduk disamping Bella lagi, memonopoli
perhatiannya di jam makan siang lagi. Aku bisa menanyakan segala pertanyaan yang
selama ini kusimpan... Jadi, ia kesal dengan kepongahan Tyler. Aku bisa melihat itu di kepala Tyler bahwa dia bersungguh-sungguh ketika menyinggung tentang prom, bahwa ia
menegaskan niatnya. Aku mengingat kembali ekspresi Bella siang itu - tidak
percaya dan marah - dan aku tergelak. Kira-kira apa yang akan ia katakan pada
Tyler tentang ini. Aku tidak akan melewatkan kesempatan melihat reaksi Bella.
Waktu berjalan lambat selama menunggu gelap datang. Secara berkala aku mengecek
Jessica; suara mentalnya paling mudah ditemukan. Tapi aku tidak suka berlamalama disitu. Aku melihat dimana mereka berencana untuk makan. Pasti sudah gelap
ketika waktunya makan malam...mungkin aku akan secara tidak sengaja makan di
restoran yang sama. Kusentuh handphone di kantongku, mempertimbangkan untuk mengajak Alice keluar
makan... Dia akan suka itu, tapi dia juga pasti akan minta bicara dengan Bella.
Aku belum yakin aku siap untuk melibatkan Bella lebih jauh kedalam duniaku.
Bukannya satu vampir saja sudah merepotkan"
Aku kembali mengecek Jessica lagi. Dia sedang memikirkan tentang perhiasannya,
minta pendapat Angela. "Mungkin sebaiknya aku mengembalikan kalungnya. Aku sudah punya satu di rumah
yang sepertinya juga cocok, dan aku sudah membelanjakan uangku lebih dari
seharusnya... " Ibuku pasti akan marah besar. Apa yang kupikirkan"
"Aku tidak masalah kembali ke toko. Tapi bagaimana jika nanti Bella mencari-cari
kita?" Apa ini" Bella tidak bersama mereka" Aku memperhatikan lewat mata Jessica,
kemudian ganti ke Angela. Mereka di trotoar di depan deretan toko-toko, baru
saja balik arah. Bella tidak kelihatan dimana-mana.
Siapa yang peduli dengan Bella" Pikir Jess tidak sabaran, sebelum menjawab
pertanyaan Angela. "Dia baik-baik saja. Kita masih punya banyak waktu sebelum ke
restoran, bahkan jika kita kembali dulu. Lagipula, kurasa dia sedang ingin
sendirian." Aku menangkap sekelebatan gambaran toko buku yang Jess pikir tempat tujuan
Bella. "Ayo cepat kalau begitu," ujar Angela. Kuharap Bella tidak beranggapan kami
menelantarkan dia. Dia baik padaku selama di mobil tadi... Dia benar-benar orang
yang menyenangkan. Tapi kelihatannya dia agak murung seharian ini. Aku bertanyatanya, apa karena Edward Cullen" Berani taruhan, itulah alasannya kenapa ia
menanyakan tentang keluarganya...
Seharusnya aku lebih memperhatikan. Apa saja yang sudah kulewatkan" Bella
berkeliaran sendirian. Dan tadi dia menanyakan tentang aku"
Angela sedang memperhatikan Jessica sekarang - Jessica sedang mengoceh tentang
si bodoh Mike - dan aku tidak mendapatkan info lebih banyak dari dia.
Aku menilai sekelilingku. Sebentar lagi matahari di belakang awan. Jika aku
tetap berada di sisi barat, dimana gedung-gedung akan menghalangi sinar matahari
yang mulai redup... Aku mulai cemas begitu menyetir melewati jalanan sepi menuju pusat kota. Ini
sesuatu yang tidak kuperhitungkan - Bella memisahkan diri - dan aku tidak tahu
bagaimana caranya menemukan dia. Aku harusnya mempertimbangkan hal ini.
Aku tahu seluk-beluk Port Angeles; mobilku langsung menuju ke toko buku yang ada
di pikiran Jessica, berharap pencarianku singkat, tapi sekaligus sangsi ini akan
berjalan dengan mudah. Mana pernah Bella membuatnya jadi mudah"
Tentu saja tokonya kosong, kecuali seorang perempuan berbaju aneh dibelakang
konter. Ini bukan tempat yang bagi Bella menarik-terlalu hipies untuk orang
seperti dia. Aku bertanya-tanya, apa dia bahkan repot-repot mau masuk"
Ada sebidang lahan yang terhalang matahari, bisa untuk tempatku parkir... Juga
ada jalur gelap yang langsung menuju ke toko itu. Aku seharusnya tidak
melakukannya, berkeliaran ketika matahari masih bersinar itu tidak aman.
Bagaimana jika ada mobil lewat yang memantulkan cahaya matahari di waktu yang
salah" Tapi aku tidak tahu lagi bagaimana caranya mencari Bella!
Aku parkir dan langsung keluar, tetap berada dibalik bayang-bayang. Aku
melangkah cepat-cepat menuju toko itu, ada sedikit sisa aroma Bella di udara.
Dia sempat kesini, di trotoar, tapi tidak ada tanda-tanda aromanya di dalam
toko. "Selamat datang! Ada yang bisa saya bantu-" sapa penjaga toko itu, tapi aku
sudah keluar lagi. Aku mengikuti bau Bella sejauh bayangan gedung-gedung, berhenti ketika tiba di
tubir cahaya matahari. Betapa tidak berdayanya aku - terpenjara oleh seberkas sinar yang melintang di
trotar di depanku. Terkungkung.
Aku cuma bisa menebak dia terus jalan menuju ke utara. Tidak terlalu banyak yang
bisa dilihat disana. Apa dia tersesat" Well, kemungkinan itu tidak terlalu
mengherankan. Aku kembali ke mobil dan menyusuri jalanan itu pelan-pelan, mencari-cari dia.
Aku keluar tiap menemukan sisi gelap yang terhalang matahari, tapi hanya sempat
satu kali menangkap aromanya, dan arahnya membingungkan aku. Dia berencana mau
kemana" Aku bolak-balik antara toko buku dan restoran beberapa kali, berharap melihatnya
di jalanan. Jessica dan Angela sudah sampai di restoran, berusaha memutuskan apa
akan langsung memesan atau menunggu Bella dulu. Jessica memaksa untuk memesan
secepatnya. Aku mulai berganti-ganti melihat ke pikiran orang-orang asing, mencari lewat
mata mereka. Pastilah seseorang sempat melihat dia di suatu tempat.
Makin lama dia hilang aku semakin waswas dibuatnya. Tidak pernah terpikir
sebelumnya betapa sulitnya mencari dia. Seperti sekarang, dia hilang dari
pengawasanku, dan keluar dari jalur normal orang-orang. Aku tidak suka ini.
Awan-awan mulai berkumpul di horizon. Beberapa menit lagi, aku akan bebas
mencarinya di luar. Kalau sudah begitu tidak akan memakan waktu lama. Sinar
mataharilah yang membuatku tak berdaya. Hanya beberapa menit lagi, kemudian
keuntungan akan berada di pihakku lagi dan manusialah yang tidak berdaya.
Pikiran satu ke pikiran lainnya. Ada begitu banyak pikiran-pikiran sepele.
...kurasa anakku telinganya infeksi lagi...
Apakah enam-empat-kosong atau enam-kosong-empat... "
Terlambat lagi. Aku mesti memberitahunya...
Ini dia datang! Aha! Itu dia wajahnya. Akhirnya seseorang menyadari dia!
Kelegaanku hanya berlangsung sepersekian detik, karena kemudian aku membaca
lebih jauh pikiran pria yang memandang penuh nafsu ke wajahnya di tengah
keremangan. Itu pikiran orang asing, tapi tidak sepenuhnya asing. Dulu aku pernah memburu
orang-orang dengan pikiran seperti ini.
"TIDAK!" teriakku, dan geraman panjang keluar dari tenggorokanku. Kakiku
menginjak pedal gas dalam-dalam, tapi kemana tujuanku"
Aku cuma tahu kira-kira lokasi pikirannya, tapi tidak tahu pasti persisnya.
Sesuatu, pasti ada sesuatu-nama jalan, plang toko, sesuatu dalam pandangannya
yang bisa menunjukan keberadaannya. Tapi Bella tenggelam di balik bayang-bayang,
dan mata pria itu hanya fokus ke ekspresi takut Bella - menikmati ketakutannya.
Wajah Bella jadi buram di pikirannya, terselimuti ingatan wajah-wajah lainnya.
Bella bukan korban pertamanya.
Suara geramanku menggetarkan kaca mobil, tapi tidak mengalihkan perhatianku.
Tidak ada jendela-jendela di tembok di belakang Bella. Di sekitar daerah
industri, jauh dari lokasi pertokoan yang ramai. Mobilku mendecit membelok di
pertigaan. Pada saat pengemudi lain membunyikan klakson, suaranya sudah jauh di
belakangku. Coba lihat bagaimana dia gemetaran! Orang itu terkekeh. Ekspresi ngerilah yang
ia cari-bagian yang ia nikmati.
"Pergi dariku." Suara Bella rendah dan tenang, bukan jeritan.
"Jangan seperti itu manis. "
Pria itu menoleh ke suara tawa kasar yang berasal dari jurusan lain. Keributan
itu membuatnya marah-diam, Jeff! batinnya-tapi dia senang melihat Bella
menjengit kaget. Itu membuatnya bergairah. Dia membayangkan bagaimana Bella akan
memohon-mohon... Aku tidak menyadari masih ada tambahan satu orang lagi sampai mendengar suara
tawanya menyusul si Jeff tadi. Aku pindah ke pikiran orang itu, putus asa
mencari sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk. Dia melangkah ke arah Bella,
melenturkan tangannya. Pikiran dua orang itu tidak sebusuk yang pertama. Mereka tidak menyadari
seberapa jauh orang yang mereka panggil Lonnie itu akan berbuat. Mereka asal
mengikuti Lonnie. Mereka dijanjikan akan bersenang-senang...
Satu dari mereka memandang ke ujung jalan dengan gugup - dia tidak ingin
kepergok sedang melecehkan seorang perempuan - dan itu memberi tahu apa yang
kubutuhkan. Aku mengenali perempatan yang ia lihat.
Aku langsung menerabas lampu merah, memotong diantara celah sempit diantara dua
mobil yang melintas. Bunyi klakson nyaring di belakangku.
Teleponku bergetar di kantong. Tidak kugubris.
Lonnie maju pelan-pelan ke arah Bella, sengaja membikin tegang - saat-saat penuh
teror membangunkan minatnya. Dia menunggu Bella menjerit, siap-siap untuk
menikmatinya. Tapi Bella mengunci rahangnya rapat-rapat. Orang itu terkejut - dia berharap
Bella akan mencoba untuk lari. Terkejut dan agak kecewa. Dia suka jika harus
mengejar mangsanya, ketegangan dari berburu.
Yang ini pemberani. Barangkali lebih baik...akan lebih ada perlawanan.
Aku tinggal satu blok lagi. Monster itu bisa mendengar raungan mesinku, tapi
tidak mempedulikannya, dia terlalu memperhatikan korbannya.
Aku ingin melihat bagaimana dia menikmati perburuan ketika dialah mangsanya. Aku
ingin melihat bagaimana pendapatnya tentang gaya berburuku.
Di bagian lain dalam kepalaku, aku sudah mendata berbagai bentuk siksaan yang
pernah kusaksikan selama masa perang dulu, mencari yang paling menyakitkan. Dia
harus menderita atas hal ini. Dia harus betul-betul tersiksa. Yang lainnya hanya
akan mati karena ikut membantu. Tapi si monster bernama Lonnie ini tidak akan
mati secepat itu. Dia akan memohon-mohon, tapi tidak akan segera kukabulkan.
Dia ada di tengah jalan, menyudutkan Bella.
Dengan ngebut aku membelok di pojokan hingga mobiku terbanting kesamping. Lampu
sorotku menerangi mereka, membuat mereka terloncat kaget. Aku bisa saja
menerjang si pemimpinnya, tapi kematian itu akan terlalu cepat.
Aku langsung membanting kemudi hingga mobilku berputar dan berbalik arah, dengan
begitu pintu penumpangnya lebih dekat dengan posisi Bella. Aku segera
membukanya, dan ia sudah lari menuju mobilku.
"Cepat masuk," teriakku setengah menggeram.
Apa-apan ini" Aku tahu ini ide yang buruk! Dia tidak sendirian.
Harus kah aku lari" Sepertinya aku mau muntah...
Tanpa ragu-ragu Bella meloncat masuk, membanting pintu di belakangnya.
Dan kemudian ia menatapku dengan pandangan paling percaya yang pernah kulihat,
dan segala rencana kejiku langsung runtuh.
Butuh waktu tidak sampai sedetik untuk menyadari bahwa aku tidak akan sanggup
meninggalkan dia sendirian di mobil sementara aku memberi perhitungan dengan
empat orang tadi. Apa yang akan kukatakan padanya, jangan melihat" Ha! Kapan dia
pernah menuruti yang kuminta" Kapan dia pernah melakukan tindakan yang aman"
Mungkinkah aku menggiring mereka pergi, menjauh dari Bella, dan meninggalkan dia
sendirian disini" Hampir tidak mungkin ada penjahat lain yang berkeliaran di
Port Angeles malam ini, tapi yang pertama tadi juga hampir tidak mungkin!
Seperti magnet, dia menarik segala bahaya menuju ke arahnya. Dia tidak boleh
lepas dari pengawasanku. Sepertinya, sebagian ekspresi Bella mirip dengan para penjahat tadi saat aku
membawanya pergi begitu cepat, ternganga bingung. Dia tidak menyadari
kebimbanganku yang sekejap tadi. Dia akan mengira sedari awal rencananya memang
akan melarikan diri. Aku bahkan tidak sanggup menerjang mereka. Itu akan membuat dia ngeri.
Keinginanku untuk membunuh monster itu begitu hebatnya hingga mendengingkan
telingaku dan mengaburkan penglihatanku, dan sampai terasa di lidahku. Ototototku menegang, memohon untuk segera dilampiaskan. Aku harus membunuhnya. Aku
akan mengulitinya pelan-pelan, sedikit demi sedikit, kulit dari dagingnya,
daging dari tulangnya... Kecuali bahwa sang gadis-satu-satunya gadis di dunia ini - sedang mencengkram
kursinya dengan dua tangan, menatap ke arahku. Matanya masih lebar dan
sepenuhnya percaya. Balas dendam mesti menunggu.
"Pakai sabuk pengamanmu," perintahku. Suaraku kasar, sarat kebencian dan haus
darah. Bukan haus darah yang biasanya. Aku tidak sudi menodai diriku dengan
memasukkan bagian dari monster itu ke badanku.
Bella memasang sabuk pengamannya, berjengit ketika mendengar suaranya. Bunyi
kecil seperti itu membuatnya terloncat, namun dia bergeming saat aku membawanya
pergi dengan ngebut, melanggar semua rambu lalu lintas. Bisa kurasakan
pandangannya padaku. Anehnya, dia kelihatan tenang. Bagiku itu tidak masuk akal - tidak dengan apa
yang baru saja dialami. "Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara berat karena tertekan dan takut.
Dia ingin tahu apa aku baik-baik saja"
Aku memikirkan pertanyaannya selama sepersekian detik, tidak cukup lama baginya
untuk menyadari kebimbanganku. Baik-baik saja kah aku"
"Tidak," aku menyadari. Nadaku menggelegak marah.
Aku membawanya ke jalanan sepi, tempatku menunggu tadi. Sekarang gelap gulita.
Rerimbunan pohon di pinggir jalan.
Aku sangat murka hingga tubuhku membeku di tempat, sepenuhnya tidak bergerak.
Tangan dinginku yang terkunci, gatal ingin meremukkan penyerang gadis ini, untuk
mencincangnya kecil-kecil hingga badannya tidak mungkin dikenali...
Tapi itu berarti meninggalkannya sendirian disini, tidak terlindungi di tengah
kegelapan. "Bella?" tanyaku dari sela-sela gigi.
"Ya?" jawabnya dengan suara parau. Dia berdeham pelan.
"Apa kau baik-baik saja?" Itu betul-betul hal yang paling penting. Prioritas
pertama. Pembalasan adalah hal yang kedua. Aku tahu itu, tapi badanku begitu
dipenuhi amarah hingga membuatku sulit untuk berpikir.
"Iya." Suaranya masih pekat-karena takut, tidak salah lagi.
Dengan demikian aku tidak bisa meninggalkannya.
Bahkan seandainya dia tidak selalu berada dalam bahaya karena alasan yang tidak
masuk akal - karena lelucon tidak bertanggung jawab untuk mempermainkan diriku-,
bahkan jika aku bisa yakin dia akan sepenuhnya baik-baik saja selama aku tidak
ada, aku tetap tidak akan membiarkannya sendirian di tengah kegelapan.
Dia pasti sangat ketakutan.
Namun tetap saja, aku tidak sedang dalam kondisi yang sanggup untuk menenangkan
dia - bahkan itu jika aku tahu bagaimana cara menenangkan dia, yang aku tidak
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu. Pasti dia merasakan hawa kekejaman keluar dariku. Itu pasti kentara
sekali. Aku akan semakin membuatnya takut jika tidak sanggup mendinginkan nafsu
membunuh yang mendidih dalam diriku.
Aku mesti memikikirkan sesuatu yang lain. "Tolong alihkan perhatianku," mohonku
padanya. "Maaf, apa?" Hampir aku tidak sanggup menjelaskan yang kumaksud.
"Coba ceritakan sesuatu yang sepele sampai aku tenang." Rahangku masih terkatup
rapat. Hanya karena dia membutuhkan aku, aku tetap bertahan di mobil. Aku masih
bisa mendengar pikiran orang itu, kecewa dan marah... Aku tahu dimana
menemukannya... Kupejamkan mata, berharap tidak bisa menemukannya.
"Mmm..." dia ragu-ragu-sepertinya berusaha memahami permintaanku. "Aku ingin
melindas Tyler Crowley besok sebelum masuk sekolah?" Dia mengatakannya seakan
itu sebuah pertanyaan. Ya-inilah yang kubutuhkan. Tentu saja Bella akan mengatakan sesuatu yang tidak
kukira. Seperti sebelumnya, ancaman yang keluar dari bibirnya begitu
menggelikan. Jika aku tidak sedang terbakar oleh nafsu membunuh, pasti aku sudah
tertawa. "Kenapa?" tukasku, memaksanya untuk bicara lagi.
"Dia memberitahu semua orang bahwa ia akan mengajakku ke pesta prom," suaranya
diliputi kegeraman seperti kucing-manis, khas dirinya. "Entah dia gila atau dia
masih mencoba menebus kesalahannya karena hampir membunuhku tempo...well, kau
pasti ingat," tambahnya dengan nada datar. "Dan dia pikir pesta prom cara yang
tepat. Jadi setelah kuhitung-hitung, kalau aku membahayakan hidupnya, berarti
kedudukan kami seri, dan dia tidak perlu terus-menerus memperbaiki hubungan. Aku
tidak butuh musuh dan barangkali Lauren akan bersikap biasa kalau Tyler
menjauhiku. Meski begitu aku mungkin perlu menghancurkan mobil Sentranya." Dia
melanjutkan, kali ini penuh pertimbangan, "kalau tidak punya mobil, berarti dia
tidak bisa mengajak siapa-siapa ke prom... "
Rasanya menyenangkan, sekali-kali melihat dia salah. Kegigihan Tyler tidak ada
hubungannya dengan insiden waktu itu. Bella tidak menyadari daya tarik dirinya
di mata bocah-bocah di seantero sekolahan. Dan apa dia juga tidak melihat efek
daya tariknya padaku"
Ah, itu manjur. Ketidak wajaran proses berpikirnya selalu mengasyikan. Aku mulai
bisa mengendalikan diri, untuk memikirkan selain balas dendam dan penyiksaan...
"Aku sudah mendengar tentang itu," kataku padanya.
Dia berhenti bicara. Padahal aku butuh dia meneruskannya.
"Kau sudah mendengarnya?" tanyanya heran. Suaranya pun jadi lebih marah. "Jika
dia lumpuh dari leher kebawah, dia tidak akan bisa ke prom."
Kuharap, entah bagaimana, aku bisa minta dia terus bicara tentang mengancam dan
melukai tanpa harus kedengaran gila. Dia tidak bisa memilih cara lain yang lebih
baik untuk menenangkan diriku. Dan perkataannya-ungkapan sarkasme dan
hiperbolanya-pengingat yang kubutuhkan di saat seperti ini.
Aku menghela napas dan membuka mata.
"Lebih baik?" tanyanya takut-takut.
"Tidak terlalu."
Tidak, aku lebih tenang, tapi tidak lebih baik. Itu karena aku sadar tidak dapat
membunuh monster bernama Lonnie itu, padahal aku masih menginginkannya hampir
melebihi segalanya di dunia. Hampir.
Satu-satunya yang saat ini kubutuhkan melebihi keinginan membunuhku adalah gadis
ini. Meski aku tidak bisa mendapatkan dia, dan hanya bisa memimpikannya saja,
berhasil mencegahku untuk berkeliaran sebagai seorang pembunuh nanti malam.
Bella layak mendapatkan lebih dari sekedar seorang pembunuh.
Aku menghabiskan tujuh dekade berusaha menjadi lebih dari itu - apapun selain
seorang pembunuh. Dan tujuh dekade itu tetap tidak membuatku layak atas gadis
yang duduk disampingku ini. Dan jika aku kembali ke kehidupan itu - kehidupan
seorang pembunuh - bahkan jika cuma untuk sehari, sudah pasti akan membuat gadis
ini berada diluar jangkauanku selamanya. Bahkan jika aku tidak meminum darahnya
- bahkan jika aku tidak meninggalkan bukti merah menyala di mataku - akankah dia
melihat perbedaannya"
Aku berusaha untuk bisa jadi lebih pantas. Aku tahu, itu tujuan yang mustahil,
tapi aku tetap akan berusaha.
"Apa yang terjadi?" bisiknya.
Napasnya memenuhi penciumanku, dan aku diingatkan kenapa aku tidak mungkin layak
baginya. Setelah semua kejadian ini, bahkan dengan segala perasaan sayangku
padanya...dia masih membuatku meneteskan liur.
Aku akan mengatakan sejujur yang kubisa. Aku hutang itu padanya.
"Kadang-kadang aku punya masalah dengan emosiku, Bella."
Aku menatap keluar, ke kegelapan malam, berharap dia mendengar kengerian yang
terkandung dalam perkataanku, tapi sekaligus berharap dia tidak mendengarnya.
Seringkali dia tidak mendengarnya. Lari, Bella, lari. Tinggal, Bella, tinggal.
"Tapi tidak akan menolong bila aku berbalik dan memburu..." Hanya memikirkannya
hampir membuatku keluar dari mobil. Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan
aromanya membakar tenggorokanku. "Setidaknya itu yang coba kukatakan pada diriku
sendiri." "Oh." Dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Seberapa banyak yang ia dengar" Aku melirik
diam-diam, tapi wajahnya tidak ketebak. Kosong karena syok, barangkali. Paling
tidak dia tidak menjerit. Belum.
Selama beberapa waktu kami diam. Aku berperang dengan diriku sendiri, berusaha
menjadi apa yang seharusnya. Sesuatu yang tidak aku bisa.
"Jessica dan Angela pasti khawatir," ucapnya pelan. Suaranya sangat tenang. Aku
tidak yakin bagaimana dia bisa begitu. Apa saking syoknya" Atau, barangkali
kejadian malam ini belum mengendap dalam pikirannya.
"Aku seharusnya menemui mereka," ucapnya lagi.
Apa dia ingin menjauh dariku" Atau dia cuma tidak ingin teman-temannya
mencemaskan dia" Tanpa berkata apa-apa aku menyalakan mobil dan mengantarnya. Semakin dekat ke
kota, semakin sulit untuk bertahan pada tujuanku. Aku begitu dekat dengan
berandalan itu... Jika itu mustahil - jika memang tidak mungkin mendapatkan, atau pantas, atas
gadis ini -maka apa alasannya membiarkan orang itu tidak dihukum" Tentu aku bisa
membolehkan diriku jika kondisinya seperti itu...
Tidak. Aku tidak menyerah. Belum. Aku terlalu menginginkan Bella untuk menyerah.
Kami sudah tiba di restoran sebelum sempat menyelesaikan pikiranku. Jessica dan
Angela sudah selesai makan. Sekarang keduanya benar-benar mencemaskan Bella.
Mereka sudah mau mulai mencarinya, menuju jalanan yang gelap.
Ini bukan malam yang tepat bagi mereka untuk berkeliaran"Bagaimana kau bisa tahu dimana...?" Pertanyaan Bella yang tidak selesai
menyelaku, dan aku sadar lagi-lagi telah bertindak ceroboh. Aku terlalu sibuk
dengan pikiranku hingga lupa bertanya dimana dia mesti bertemu dengan temantemannya. Tapi, alih-alih mencecarku dengan pertanyaan, Bella cuma menggeleng dan setengah
tersenyum. Apa itu maksudnya" Well, aku tidak punya waktu untuk memikirkan penerimaan anehnya atas pengetahuan
anehku. Aku membuka pintuku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya, kedengarannya kaget.
Tidak membiarkan kau lepas dari pengawasanku. Tidak membiarkan diriku sendirian
malam ini. Dengan urutan seperti itu. "Mengajakmu makan malam."
Baiklah ini akan menarik. Sepertinya akan sangat berbeda dengan bayangan akan
mengajak Alice dan pura-pura secara tidak sengaja memilih restoran yang sama.
Dan kini, disinilah aku, bisa dibilang kencan dengannya. Hanya saja ini tidak
masuk hitungan, karena aku tidak memberinya kesempatan untuk menolak.
Dia sudah setengah membuka pintunya sebelum aku memutar lewat depan - biasanya
aku tidak sefrustasi ini saat harus bergerak secara wajar - dan bukannya
menungguku untuk membukakan pintu. Apa ini karena dia tidak terbiasa
diperlakukan seperti seorang perempuan terhormat, atau karena dia tidak
menganggapku sebagai seorang laki-laki terhormat"
Aku menunggunya menyusulku, yang makin waswas saat teman-temannya mulai masuk ke
lorong gelap. "Cepat hentikan Jessica dan Angela sebelum aku harus mencari mereka juga,"
perintahku cepat-cepat. "Kurasa aku tidak akan sanggup menahan diriku kalau
bertemu berandalan-berandalan itu lagi." Tidak, aku tidak akan cukup kuat untuk
itu. Dia gemetar, tapi kemudian cepat-cepat menguasai diri. Dia mengejar mereka
kemudian berteriak, "Jess! Angela!" dengan suara keras. Mereka menoleh, dan
Bella melambaikan tangan kearah mereka.
Bella! Oh, dia aman! Pikir Angela lega.
Setelat ini" Jessica menggerutu sendiri, tapi juga bersyukur karena Bella baikbaik saja. Ini membuatku sedikit lebih menyukai dia.
Mereka buru-buru kembali, dan kemudian terhenti, syok, ketika melihatku
disampingnya. Eh-oh! Pikiran Jessica kalang kabut. Tidak mungkin!
Edward Cullen" Apa Bella pergi sendirian untuk mencari dia" Tapi kenapa Bella
menanyakan kepergian mereka keluar kota jika Bella tahu dia ada disini... Aku
menangkap sekelebatan ekspresi malu-malu Bella ketika menanyakan Angela apakah
keluargaku sering absen dari sekolah. Tidak, Bella tidak mungkin tahu. Pikir
Angela kemudian. Pikiran Jessica beralih dari terkejut jadi curiga. Bella menutup-nutupi sesuatu
dariku. "Aku tersesat. Dan kemudian aku berpapasan dengan Edward," ujar Bella sambil
menunjuk kearahku. Nadanya luar biasa normal, seakan itu sepenuhnya yang
terjadi. Pikirannya pasti syok. Itu satu-satunya penjelasan kenapa dia begitu tenang.
"Bolehkah aku bergabung dengan kalian?" tanyaku bersikap sopan; aku tahu mereka
sudah makan. Ya ampun, dia keren banget! Batin Jessica. Mendadak pikirannya tidak karuan.
Angela juga tidak terlalu berbeda. Coba tadi tidak makan duluan. Wow. Tapi. Wow.
Nah, kenapa juga aku tidak bisa melakukan seperti itu pada Bella"
"Eh...tentu saja," Jessica setuju.
Angela mengerutkan dahi. "Mmm, sebetulnya, Bella, kami sudah makan ketika
menunggu tadi," dia mengakui. "Sori."
Apa" Diam! Protes Jessica dalam hati.
Bella mengangkat bahu dengan santai. Begitu tenang. Pasti memang syok. "Tidak
apa-apa-lagi pula aku tidak lapar."
"Kurasa kau tetap butuh makan sesuatu." Aku tidak sependapat. Dia membutuhkan
gula di aliran darahnya - meski begini saja sudah terasa manis, pikirku masam.
Sebentar lagi serangan syoknya akan muncul ke permukaan, dan perut kosong tidak
akan membantu. Dia mudah pingsan, berdasar pengalaman yang lalu.
Teman-temannya tidak berada dalam bahaya jika mereka langsung pulang. Bukan
mereka yang dikuntit oleh bahaya.
Lagipula aku lebih memilih berdua saja dengan Bella - selama dia tidak
keberatan. "Apakah kalian keberatan jika nanti aku saja yang mengantar Bella pulang?"
tanyaku pada Jessica sebelum Bella bisa merespon. "Dengan begitu kalian tidak
perlu menunggu dia makan."
"Eh, tidak masalah, kurasa... " Jessica menatap kelat-lekat pada Bella, mencari
tanda-tanda bahwa inilah yang ia inginkan.
Aku tidak mau pergi...tapi barangkali Bella menginginkan Edward untuk dirinya
sendiri. Siapa yang tidak akan begitu" batin Jess. Pada saat bersamaan, dia
melihat Bella mengedip. Bella mengedip" "Oke," ujar Angela cepat, ingin segera menyingkir jika memang itu yang Bella
mau. Dan kelihatannya memang itulah yang dia mau. "Sampai ketemu besok,
Bella...Edward." Angela berjuang mengucapkan namaku dengan nada santai. Kemudian
ia menyambar tangan Jessica dan menyeretnya pergi.
Aku harus mencari cara untuk berterima kasih pada Angela.
Mobil Jessica berada tidak jauh, diparkir dibawah lampu jalan. Bella mengawasi
mereka dengan seksama - sedikit kerut prihatin terlihat diantara matanya sampai mereka masuk ke mobil. Jadi dia pasti sepenuhnya sadar atas bahaya yang
menimpanya tadi. Jessica melambai saat pergi, dan Bella melambai balik. Baru
setelah mobilnya lenyap, ia menarik napas dalam-dalam dan menoleh ke arahku.
"Jujur saja aku tidak lapar," katanya padaku.
Kenapa dia harus menunggu mereka pergi baru bicara" Mungkinkah dia betul-betul
ingin berduaan saja denganku-bahkan sekarang, setelah menyaksikan nafsu
membunuhku" Entah itu masalahnya atau bukan, dia perlu makan sesuatu.
"Kalau begitu, hibur aku." Kubukakan pintu restoran untuknya.
Aku berjalan di sisinya menuju ke tempat penerima tamu. Bella kelihatannya masih
menutup diri. Aku ingin menyentuh tangannya, keningnya, untuk mengecek suhu
badannya. Tapi tangan dinginku hanya akan ditolaknya, seperti yang lalu.
Ya ampun, pikiran penerima tamu itu menyelinap ke dalam kesadaranku. Oh, ya
ampun. Sepertinya ini malam keberuntunganku. Atau, aku hanya menyadarinya lebih karena
sangat berharap bahwa Bella akan memandangku seperti itu" Kami selalu terlihat
menarik bagi mangsa kami. Aku belum pernah terlalu memikirkan tentang itu
sebelumnya. Biasanya - kecuali pada orang-orang seperti Ms. Cope dan Jessica
Stanley, yang berusaha keras menumpulkan ketakutannya - rasa takut langsung
melanda setelah daya tarik awal...
"Meja untuk dua orang?" kataku pelan ketika penerima tamu itu tidak juga bicara.
"Oh, eh, iya. Selamat datang di La Bella Italia." Hmm! Suaranya! "Silahkan ikuti
saya." Pikirannya sedang menebak-nebak.
Barangkali dia sepupunya. Gadis ini tidak mungkin adiknya, mereka sama sekali
tidak mirip. Tapi keluarga, pasti itu. Dia tidak mungkin berkencan dengannya.
Mata manusia memang kabur; Mereka sama sekali tidak melihat dengan jelas.
Bagaimana bisa perempuan picik ini menilai daya tarik fisikku - perangkap bagi
mangsaku - begitu menarik, namun tidak dapat melihat kesempurnaan yang lembut
pada gadis di sampingku ini"
Well, lebih baik tidak usah mengambil resiko, batin penerima tamu itu saat
membawa kami ke sebuah meja di tengah ruangan yang paling ramai. Bisakah aku
memberikan nomer teleponku selama ada gadis itu..."
Aku mengambil selembar uang dari kantongku. Orang-orang jadi sangat kooperatif
jika uang dilibatkan. Tanpa ambil pusing, Bella sudah duduk di meja yang ditunjuk. Aku menggeleng, dan
dia jadi ragu, menelengkan kepala penasaran. Ya, dia akan sangat penasaran malam
ini. Keramaian bukan tempat yang cocok untuk pembicaraan seperti itu.
"Barangkali ada tempat yang lebih pribadi?" pintaku pada si penerima tamu
sembari menyodorkan uangku. Matanya melebar terkejut, kemudian menyipit saat
tangannya mengambil uang tip itu.
"Tentu saja." Dia mengintip uang itu saat mengantar kami memutari dinding pemisah.
Lima puluh dolar untuk meja yang lebih baik" Dia juga kaya. Itu masuk akal berani taruhan pasti harga jaketnya lebih mahal dari gajiku. Sialan. Kenapa juga
dia mau tempat yang lebih privasi bersama gadis ini"
Dia menawari kami sebuah bilik di pojokan yang sepi, dimana tidak ada orang yang
akan melihat kami - untuk melihat reaksi Bella atas apapun yang akan
kusampaikan. Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan dia tanyakan nanti. Atau,
apa yang akan kuceritakan.
Seberapa banyak yang bisa ia tebak" Apa penjelasan dari kejadian tadi, yang ia
ceritkan pada dirinya sendiri"
"Bagaimana kalau disini?" tanya penerima tamu itu.
"Sempurna," kataku dengan perasaan terganggu karena sikap tidak sopannya pada
Bella. Aku tersenyum lebar-lebar ke dia, menunjukan seluruh baris gigiku. Biar
dia lihat siapa diriku sebenarnya.
Wow. "Mmm...pelayan kalian akan segera datang." Dia tidak mungkin nyata. Ini
pasti mimpi. Barangkali gadis itu akan hilang...mungkin aku akan menulis nomer
teleponku di piringnya memakai saos... Dia berlalu dengan langkah sempoyongan.
Aneh. Dia masih tidak takut. Aku jadi ingat Emmet pernah menggodaku di kafetaria
beberapa waktu lalu. Berani taruhan aku bisa menakuti dia lebih dari itu.
Apa aku kehilangan kemampuanku yang satu itu"
"Seharusnya kau tidak melakukan itu pada orang-orang," Bella menyela pikiranku
dengan nada tidak setuju. "Tidak adil."
Aku memperhatikan ekspresinya. Yang dia maksud apa" Aku tidak menakut-nakuti
perempuan tadi, meski itu yang kuinginkan. "Melakukan apa?"
"Membuat mereka terpesona seperti itu-barangkali sekarang dia sedang sesak napas
di dapur." Hmm. Bella hampir betul. Penerima tamu itu bisa dibilang setengah linglung saat
ini, menggambarkan penilaiannya yang keliru tentang diriku pada temannya yang
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pelayan. "Oh, yang benar saja," Bella mencemoohku ketika aku tidak langsung menjawab.
"Kau pasti tahu bagaimana reaksi orang terhadapmu."
"Aku membuat orang terpesona?" Itu istilah yang menarik untuk
mendeskripsikannya. Cukup akurat untuk malam ini. Aku bertanya-tanya, kenapa
berbeda dengan... "Kau tidak menyadarinya?" tanya Bella masih tidak percaya. "Kau pikir orang bisa
jadi seperti itu dengan mudahnya?"
"Apa aku membuatmu terpesona?" Aku langsung mengucapkannya begitu saja, dan
sudah terlambat untuk menariknya kembali.
Tapi, sebelum aku sempat menyesalinya, dia sudah menjawab, "sering kali." Dan
pipinya bersemu merah muda.
Aku membuat dia terpesona.
Jantungku yang mati membusung oleh harapan yang lebih besar dari apapun yang
pernah kurasakan. "Halo," sapa seseorang. Seorang pelayan memperkenalkan dirinya. Pikirannya
nyaring sekali, dan lebih ekplisit dari penerima tamu tadi, tapi kukecilkan
volumenya. Alih-alih mendengarkan, aku menatap wajah Bella, melihat darahnya
mengalir dibawah kulitnya. Kuabaikan bagaimana itu membakar tenggorokanku,
perhatianku lebih tertuju bagaimana itu membuat terang wajah pucatnya, bagaimana
itu melenyapkan cream pada kulitnya...
Si pelayan masih menunggu pesananku. Ah, dia minta pesanan minum kami. Aku tidak
peduli dan terus saja memandangi Bella. Akhirnya si pelayan dengan enggan ganti
menoleh ke Bella. "Boleh saya minta coke?" tanya Bella, seakan minta persetujuan.
"Dua coke," aku meralat. Haus-rasa haus manusia - adalah tanda-tanda syok. Akan
kupastikan dia punya cukup gula dari soda pada sistem pencernaan tubuhnya.
Meski begitu dia terlihat sehat. Lebih dari sehat bahkan. Dia terlihat
bercahaya. "Apa?" tanyanya-sepertinya bertanya-tanya kenapa aku memperhatikan dia. Samarsamar aku sadar pelayan itu telah pergi.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku.
Dia mengerjap, terkejut oleh pertanyaanku. "Aku baik-baik saja."
"Kau tidak merasa pusing, sakit, kedinginan?"
Sekarang dia bahkan jadi lebih bingung. "Haruskah begitu?"
"Well, sebetulnya aku menunggumu syok." Aku setengah tersenyum, menantikan
sangkalannya. Dia tidak akan mau diperhatikan.
Butuh semenit baginya untuk menjawab. Matanya berubah agak tidak fokus. Kadangkadang dia terlihat seperti itu, ketika aku tersenyum padanya. Apakah
dia...terpesona" Aku sangat ingin mempercayai itu.
"Kurasa itu tidak akan terjadi. Aku selalu bisa menguasai diri jika terjadi
sesuatu yang tidak menyenangkan," jawabnya, sedikit kehabisan napas.
Berarti, apa dia sering mengalami kejadian-kejadian buruk" Apa hidupnya selalu
penuh resiko seperti ini"
"Sama," ujarku. "Aku akan merasa lebih baik jika kau sudah cukup mengkonsumsi
minuman atau makanan yang manis-manis."
Si pelayan kembali dengan membawa dua coke dan sekeranjang roti. Dia menaruhnya
didepanku, dan menanyakan pesananku sambil berusaha menatap mataku. Aku memberi
tanda agar dia seharusnya melayani Bella, dan kembali mengecilkan volume suara
pikirannya. Isi pikirannya vulgar.
"Mmm..." Bella melirik sekilas ke menu. "Aku pesan jamur ravioli."
Si pelayan cepat-cepat berpaling padaku. "Dan anda?"
"Aku tidak pesan apa-apa."
Bella membuat ekspresi datar. Hmm. Dia pasti menyadari bahwa aku tidak pernah
makan. Dia menyadari semuanya. Dan aku selalu lupa untuk berhati-hati di
depannya. Aku menunggu hingga kami sendirian lagi.
"Minumlah," aku memaksa.
Aku terkejut ketika ia langsung menurut. Dia minum sampai gelasnya kosong, jadi
kudorong gelas kedua padanya. Dahiku sedikit mengerut. Haus, atau syok" Dia
minum lagi sedikit, kemudian sempat menggigil. "Kau kedinginan?"
"Ini cuma karena cokenya," tapi dia gemetar lagi, bibirnya ikut menggigil seakan
giginya akan menggemeretak.
Blus cantik yang ia pakai terlihat terlalu tipis untuk bisa melindungi tubuhnya;
blus itu menggantung seperti kulit kedua, hampir serapuh kulit aslinya. Dia
terlihat sangat lemah, sangat manusia. "Kau tidak punya jaket?"
"Punya." Dia mencari-cari bingung. "Oh-ketinggalan di mobil Jessica."
Kucopot jaketku, berharap suhu tubuhku tidak terlalu berpengaruh. Seharusnya
akan lebih menyenangkan jika bisa menawarinya jaket yang hangat. Dia menatapku,
pipinya merona lagi. Apa yang sedang ia pikirkan sekarang"
Kuserahkan jaketku ke seberang meja, dan ia langsung memakainya, kemudian
menggigil lagi. Ya, akan lebih baik jika hangat.
"Terima kasih," ujarnya. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu menarik lengan
jaketnya yang kepanjangan sampai tangannya muncul. Dia mengambil napas dalamdalam lagi. Apakah kejadian tadi akhirnya mengendap juga" Warna kulitnya masih bagus;
kulitnya terlihat seperti susu dan mawar, jika dipadankan dengan warna biru-tua
blusnya. "Warna biru itu terlihat indah di kulitmu," pujiku. Sekedar bersikap
sopan. Dia tersipu, menambah indah efeknya.
Dia kelihatan baik-baik saja, tapi tidak perlu mengambil resiko. Kudorong
keranjang roti itu ke arahnya.
"Sungguh," dia menolak, menebak niatku. "Aku tidak merasa syok."
"Seharusnya kau syok-orang normal akan begitu. Kau bahkan tidak terlihat
gemetaran." Aku menatapnya, menolak pendapatnya, bertanya-tanya kenapa dia tidak
bisa jadi normal, kemudian sangsi jika aku memang ingin dia seperti itu.
"Aku merasa sangat aman denganmu," ujarnya dengan tatapan penuh percaya. Rasa
percaya yang tidak pantas kudapatkan.
Instingnya sangat keliru - bertolak belakang. Pasti itu masalahnya. Dia tidak
mengenali bahaya seperti orang normal lainnya. Sikapnya bertolak belakang. Alihalih lari, dia tinggal, mendekati apa yang seharusnya membuat dia takut...
Bagaimana caranya aku bisa melindungi dia dariku ketika tidak ada satupun dari
kita yang menginginkannya"
"Ini lebih rumit dari yang kubayangkan," gumamku.
Bisa kulihat dia berusaha mencerna perkataanku. Dan aku bertanya-tanya apa
hasilnya. Dia mengambil secuil roti dan mulai memakannya tanpa sepenuhnya sadar dengan
tindakannya. Dia mengunyah sebentar, lalu menelengkan kepala penuh pertimbangan.
"Biasanya suasana hatimu lebih baik ketika warna matamu terang," ujarnya dengan
nada santai. Pengamatannya membuatku terkesima. "Apa?"
"Kau selalu lebih pemarah ketika matamu berwarna hitam - tadi kupikir matamu
berubah kelam. Aku punya teori tentang itu."
Jadi dia telah punya penjelasan sendiri. Tentu saja dia begitu. Aku jadi
khawatir, seberapa dekat pada kebenaran.
"Teori lagi?" "Hmm-mm" Dia mengunyah satu gigitan lagi, benar-benar tidak sadar, seakan tidak
sedang membahas tentang monster pada si monster sendiri.
"Kuharap kau lebih kreatif kali ini... " kataku bohong. Yang sesungguhnya,
kuharap dia salah - meleset sangat jauh. "Atau kamu masih mengutip dari bukubuku komik?" "Well, tidak, aku tidak mendapatkannya dari komik," jawabnya agak malu. "Tapi
aku juga tidak menduga-duganya sendiri,"
"Dan?" tanyaku dari sela gigi.
Tentu dia tidak akan bicara setenang ini jika mau teriak.
Saat dia bimbang sambil menggigit bibirnya, si pelayan datang membawa
pesanannya. Aku tidak terlalu memperhatikan pelayan itu saat ia meletakan
piringnya di depan Bella dan bertanya padaku apa aku butuh sesuatu.
Aku menolak, tapi minta tambahan soda. Pelayan itu tidak menyadari gelas Bella
yang sudah kosong. Kemudian dia mengambilnya, dan pergi.
"Apa katamu tadi?" bisikku penasaran setelah kami sudah berdua lagi.
"Aku akan menceritakannya di mobil," jawabnya pelan. Ah, ini pasti buruk. Dia
tidak mau membicarakan tebakannya di tengah orang banyak. "Kalau..." dia
menambahkan tiba-tiba. "Ada syaratnya?" Aku begitu tegang hingga hampir menggeramkan kata-katanya.
"Tentu saja aku punya beberapa pertanyaan."
"Tidak masalah." Aku mengiyakan dengan suara parau.
Pertanyaan-pertanyaannya mungkin cukup memberiku petunjuk kemana arah
pikirannya. Tapi bagaimana aku mesti menjawabnya" Dengan kebohongan yang
bertanggung jawab" Atau aku mesti mengelak" Atau tidak menjawabnya sama sekali"
Kami duduk diam saat si pelayan mengisi kembali sodanya.
"Well, ayo mulai," kataku dengan rahang terkunci ketika si pelayan sudah pergi.
"Kenapa kau berada di Port Angeles?"
Itu pertanyaan yang terlalu mudah-buat dia. Itu sama sekali tidak mengungkapkan
isi pikirannya, sedang jawabanku, jika yang sebenarnya, akan mengungkapkan
terlalu banyak. Biar dia mengungkapkan sesuatu dulu.
"Berikutnya," sergahku.
"Tapi itu yang paling mudah,"
"Berikutnya," kataku lagi.
Dia frustasi dengan penolakanku. Dia berpaling, menatap makanannya. Pelan-pelan,
sambil berpikir keras, dia menggigit dan mengunyah rotinya dengan penuh
pertimbangan. Dia menelannya dengan bantuan soda, dan akhirnya menatapku.
Matanya menyipit curiga. "Oke, kalau begitu," katanya. "Katakan saja, secara hipotesis tentu saja,
seseorang... bisa mengetahui apa yang dipikirkan orang lain, membaca pikiran,
kau tahu - dengan beberapa pengecualian."
Bisa saja lebih parah dari ini.
Ini menjelaskan senyum kecil di mobil tadi. Daya tangkapnya cepat. Belum pernah
ada orang yang bisa menebak kemampuanku, kecuali Carlisle. Itu jadi agak jelas
karena pada awalnya aku menjawab semua isi pikirannya seakan dia mengucapkannya
padaku. Dia mengerti duluan, sebelum aku...
Pertanyaannya tidak terlalu buruk. Dia sudah lebih dulu tahu ada yang tidak
beres dengan diriku, jadi ini tidak seburuk sebelumnya. Membaca pikiran,
bagaimanapun, bukan termasuk ciri-ciri vampir. Aku akan mengikuti hipotesisnya.
"Hanya satu pengecualian," koreksiku. "Secara hipotesis."
Dia menahan senyum - persetujuan samarku membuatnya senang.
"Baik kalau begitu, dengan satu pengecualian. Bagaimana cara kerjanya" Apa saja
batasan-batasannya" Bagaimana bisa... seseorang... menemukan orang lain pada
saat yang tepat" Bagaimana kau bisa tahu dia sedang dalam kesulitan?"
"Secara hipotesis?"
"Tentu saja." Bibirnya mengejang, mata coklat beningnya berharap penasaran.
"Well," aku ragu-ragu. "Kalau.. seseorang itu..."
"Sebut saja dia Joe." Dia menawarkan.
Aku jadi tersenyum melihat semangatnya. Apa dia betul-betul berpikir bahwa yang
sebenarnya adalah sesuatu yang baik" Apa tidak pernah terpikir, jika rahasiaku
sesuatu yang menyenangkan, buat apa selama ini merahasiakannya dari dia"
"Ya sudah." akhirnya aku setuju. "Kalau Joe memerhatikan, pemilihan waktunya tak
perlu setepat itu." Aku menggeleng, menahan untuk tidak gemetar pada pikiran
bagaimana hampir terlambatnya aku tadi. "Hanya kau yang bisa mendapat masalah di
kota sekecil ini. Kau bisa membuat angka tindak kriminal meningkat untuk kurun
waktu satu dekade, kau tahu itu."
Sudut bibirnya turun, dan ia memberengut. "Kita sedang membicarakan kasus secara
hipotesis," Aku tertawa melihat kekesalannya.
Bibirnya, kulitnya... Terlihat sangat lembut. Aku ingin menyentuhnya. Aku ingin
menyentuh sudut birbirnya dengan ujung jariku dan mengembalikan senyumannya.
Mustahil. Kulitku akan menjijikan buat dia.
"Betul juga," kataku kembali pada pembicaraan, sebelum aku jadi tertekan.
"Bisakah kita memanggilmu Jasmine?"
Dia mencondongkan tubuhnya di atas meja ke arahku, segala humor dan kesal hilang
dari matanya. "Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya dengan suara rendah dan tajam.
Haruskah aku memberitahu yang sebenarnya" Dan, jika iya, seberapa banyak"
Aku ingin menceritakannya ke dia. Aku ingin merasa pantas atas kepercayaan yang
masih kulihat dari wajahnya.
"Kau tahu, kau bisa mempercayaiku," bisiknya. Dan ia mengulurkan tangan seakan
ingin menyentuh tanganku yang ada di atas meja.
Segera kutarik tanganku - benci membayangkan bagaimana reaksinya atas kulit
dinginku yang seperti batu - dan dia menjatuhkan tangannya.
Aku tahu aku bisa mempercayai dia untuk menjaga rahasiaku; dia sangat bisa
dipercaya. Tapi aku tidak percaya dia tidak akan takut. Dia sebaiknya takut.
Kebenarannya adalah horor.
"Aku tak tahu apakah aku masih punya pilihan," gumamku. Aku ingat pernah sekali
menggodanya dengan menyebut dia 'tak pernah memperhatikan sekelilingnya.' Dan
waktu itu aku membuatnya tersinggung-jika aku menilai ekspresinya dengan benar.
Well, paling tidak aku bisa meluruskan kesalahan persepsi itu. "Aku salah - kau
lebih teliti daripada yang kukira."
Mungkin dia tidak sadar, tapi aku baru saja memberinya banyak pujian. Dia tidak
melewatkan apapun. "Kupikir kau selalu benar." Dia tersenyum meledekku.
"Biasanya begitu." Biasanya aku tahu apa yang kulakukan. Biasanya aku selalu
yakin dengan langkahku. Tapi sekarang semuanya kacau dan tak terkendali.
Tetap saja, aku tidak mau menukarnya. Aku tidak mau kehidupan yang masuk akal.
Tidak jika kekacauan berarti bisa bersama Bella.
"Aku juga salah menilaimu mengenai suatu hal." Aku melanjutkan untuk meluruskan
poin yang lain. "Kau bukan daya tarik terhadap kecelakaan - penggolongan itu
tidak cukup luas. Kau daya tarik terhadap masalah. Kalau ada sesuatu yang
berbahaya dalam radius sepuluh mil. Masalah itu selalu bisa menemukanmu."
Kenapa harus dia" Apa yang sudah ia lakukan sampai pantas mendapatkan semua ini"
Wajah Bella berubah serius lagi. "Dan kau menempatkanmu dirimu sendiri dalam
kategori itu?" Ketimbang pertanyaan lain, kejujuran sangat penting untuk menjawab pertanyaan
ini. "Tak salah lagi."
Matanya sedikit menyipit-kini bukan curiga, tapi anehnya prihatin. Dia
mengulurkan tangannya ke atas meja lagi, pelan dan penuh pertimbangan. Aku
sedikit menarik tanganku, tapi dia mengabaikannya, bersikeras untuk menyentuhku.
Aku menahan napas-bukan karena aromanya, tapi karena takut. Takut kulitku akan
membuatnya muak. Takut dia akan lari.
Ujung jarinya menyentuh ringan punggung tanganku. Kehangatan sentuhannya yang
lembut tidak seperti yang pernah kurasakan selama ini. Ini hampir murni
menyenangkan. Mungkin saja akan begitu jika tanpa ketakutanku.
Aku memperhatikan wajahnya saat dia merasakan tangan dinginku yang membeku,
masih dengan tidak bernapas. Secercah senyum muncul di sudut bibirnya.
"Terima kasih." Dia balas menatapku dengan tatapan lekat miliknya. "Sudah dua
kali kau menyelamatkanku."
Jari-jarinya yang lembut tetap tinggal di tanganku seakan telah menemukan tempat
yang menyenangkan. Aku menjawabnya setenang yang kubisa, "Jangan ada yang ketiga kali, oke?" Dia
cemberut, tapi mengangguk.
Kutarik tanganku dari bawah tangannya. Meski sentuhannya begitu menyenangkan,
aku tidak mau menunggu sampai batas toleransinya yang ajaib habis, dan berubah
jadi penolakan. Kemudian kusembunyikan tanganku di bawah meja.
Aku membaca matanya; meski pikirannya sunyi, aku bisa merasakan pancaran percaya
sekaligus kagum dari situ. Saat itu juga aku sadar aku ingin menjawab semua
pertanyaannya. Bukan karena aku berhutang padanya. Bukan karena aku ingin dia
percaya padaku. Aku ingin dia mengenalku.
"Aku membuntutimu ke Port Angeles." Kata-kata itu keluar begitu cepat tanpa
sempat kuedit. Aku tahu bahaya dari kejujuranku, resiko yang kuambil. Kapan
saja, ketenangannya yang ganjil ini bisa pecah jadi histeris. Namun, itu justru
mendorongku untuk bicara lebih cepat lagi. "Aku tak pernah menjaga seseorang
sebelumnya, dan ini lebih merepotkan dari yang kusangka. Tapi barangkali itu
hanya karena itu adalah kau. Orang normal sepertinya bisa melewati satu hari
tanpa mengalami begitu banyak bencana... "
Aku mengamatinya, menunggu.
Dia tersenyum. Sudut bibirnya terangkat keatas, dan mata coklatnya menghangat.
Aku baru saja mengaku membuntuti dia, dan dia tersenyum.
"Pernahkah kau berpikir mungkin takdir telah memilihku sejak pertama, pada
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
insiden van itu, dan kau malah mencampurinya?" tanyanya kemudian.
"Itu bukan yang pertama," sanggahku sambil menunduk, menatap taplak meja yang
berwarna merah marun. Bahuku terkulai malu. Pertahananku mulai runtuh, kebenaran
terus saja mengalir dengan ceroboh. "Takdir pertama kali memilihmu ketika aku
bertemu denganmu." Itu betul, dan itu membuatku marah. Aku telah memposisikan diriku bagai pisau
guillotine dalam hidupnya. Itu sama seperti dia telah divonis mati oleh takdir
kejam yang tidak adil. Dan-sejak kelemahan tekadku akhirnya terbukti-takdir itu
melanjutkan usahanya untuk mengeksekusi dia.
Aku membayangkan wujud takdir itu-siluman rubah betina bengis yang pencemburu
dan pendendam. Aku ingin ada seseorang yang bertanggung jawab-agar ada seseorang yang bisa
kulawan. Seseorang untuk dihancurkan agar Bella bisa kembali aman. Bella sangat
diam; napasnya semakin cepat.
Aku mendongak melihatnya, sadar akhirnya akan segera melihat ekpresi takut di
wajahnya. Bukankah aku baru saja mengakui telah hampir membunuhnya" Lebih dekat
dari sekedar van yang seinchi lagi hampir melindasnya. Tapi tetap saja, anehnya,
wajahnya tetap tenang. Matanya masih menatapku lekat-lekat, namun kali ini
dengan tatapan prihatin. "Kau ingat?" Dia pasti ingat.
"Ya," jawabnya tenang. Matanya yang dalam, sepenuhnya sadar. Dia tahu. Dia tahu
aku pernah berniat untuk membunuhnya. Lalu, dimana jeritannya"
"Tapi toh sekarang kau tetap duduk di sini." Aku mempertanyakan sikapnya yang
bertolak belakang. "Ya, di sinilah aku duduk... berkat dirimu." Ekspresinya berubah, jadi
penasaran, dan dengan mudahnya langsung mengganti topik, "karena, entah
bagaimana, kau tahu bagaimana menemukanku hari ini... "
Dengan sia-sia, sekali lagi aku berusaha menembus pikirannya, mencoba matimatian untuk memahami. Itu tidak masuk logika berpikirku. Bagaimana bisa dia
peduli dengan yang lainnya, ketika kebenarannya yang mengerikan telah terungkap"
Dia menunggu penasaran. Kulitnya pucat-yang memang aslinya begitu, tapi tetap
saja membuatku khawatir. Makan malamnya masih tetap tidak tersentuh. Jika
ceritaku diteruskan, dia akan butuh tambahan tenaga saat syoknya pecah.
Aku pun mengajukan syaratku. "Kau makan, aku bicara."
Dia mengolahnya selama sepersekian detik, lalu cepat-cepat menyendok dan
mengunyah raviolinya. Dia terlihat lebih penasaran dari yang ditunjukan matanya.
"Mengikuti jejakmu lebih sulit daripada seharusnya." Akhirnya aku meneruskan
certaku. "Biasanya, setelah pernah mendengar pikiran seseorang, aku bisa dengan
mudah menemukannya."
Aku mengamati wajahnya baik-baik saat mengatakannya. Inilah saatnya kengerian
dia akan muncul. Menebak reaksinya dengan betul adalah satu hal, menyaksikannya
terjadi adalah kesulitan yang lain.
Dia tidak bergerak, matanya lebar. Rahangku sendiri terkunci rapat saat menunggu
detik-detik dia akan panik.
Tapi dia hanya mengerjap satu kali, menelan keras-keras, dan cepat-cepat
mengambil satu suapan lagi ke mulutnya. Dia ingin aku meneruskan.
"Aku mengikuti Jessica," lanjutku sambil memperhatikan setiap kata-kataku
meresap. "Dengan tidak hati-hati-"aku tidak bisa menahan diri untuk tidak
menambahkan,"-seperti kataku, hanya kau yang bisa mendapat masalah di Port
Angeles." Sadarkah dia bahwa jarang orang punya pengalaman hampir mati seperti
dia. Atau, apa menurutnya dia itu normal-normal saja" Dia jauh dari normal
dibanding orang-orang yang pernah kutemui. "Awalnya aku tidak memperhatikan
ketika kau pergi sendirian. Lalu, ketika aku menyadari kau tidak bersamanya
lagi, aku pergi mencarimu di toko buku yang kulihat dalam pikirannya. Aku tahu
kau tidak masuk ke sana, dan kau pergi ke arah selatan... dan aku tahu kau toh
harus kembali. Jadi, aku hanya menunggumu, sambil secara acak membaca pikiran
orang-orang di jalan- melihat apakah ada yang memperhatikanmu sehingga aku tahu
di mana kau berada. Aku tak punya alasan untuk khawatir... tapi anehnya aku toh
khawatir juga." Napasku memburu saat ingat kepanikan itu. Bersama derasnya udara yang masuk,
napasnya membakar tenggorokanku. Dan itu membuatku lega. Itu adalah rasa sakit
yang menandakan dia masih hidup. Selama aku masih merasa terbakar, berarti dia
aman. "Aku mulai bermobil berputar-putar, masih sambil... mendengarkan." Kuharap katakataku terdengar masuk akal. Ini pasti membingungkan. "Matahari akhirnya
terbenam, dan aku nyaris keluar dan mengikutimu dengan berjalan kaki. Dan lalu-"
Saat ingatan itu kembali - sejernih seperti sedang mengalaminya lagi - kurasakan
napsu membunuh kembali membilas tubuhku, mengunci tubuhku jadi es.
Aku mau orang itu mati. Aku butuh dia mati. Rahangku terkatup rapat saat
berkonsentrasi untuk bisa tetap duduk. Bella masih membutuhkanku. Itulah yang
paling penting. "Lalu apa?" bisiknya dengan mata coklat gelapnya yang lebar.
"Aku mendengar apa yang mereka pikirkan," ujarku dari sela gigi, tidak sanggup
untuk tidak menggeram. "Aku melihat wajahmu dalam pikirannya."
Dorongan untuk membunuh itu begitu kuat, aku hampir tidak kuat menahannya. Aku
masih tahu pasti dimana keberadaan orang itu. Pikiran-pikiran busuknya menghisap
di kegelapan malam, menarikku ke arahnya...
Aku menutup wajahku. Ekspresiku pasti seperti monster, pemburu, dan pembunuh.
Dengan mata tertutup, aku membayangkan wajah Bella supaya bisa mengendalikan
diri. Fokus hanya pada wajahnya, kelembutan tulang-tulang tubuhnya, lapisan
tipis kulitnya yang pucat-seperti balutan sutra di atas permukaan kaca, sangat
lembut dan mudah pecah. Dia terlalu rapuh untuk dunia ini. Dia butuh seorang
pelindung. Dan, melalui takdir yang salah kaprah, aku satu-satunya yang paling
memungkinkan untuk mengisi posisi itu.
Aku coba menjelaskan reaksiku yang keji supaya dia mengerti.
"Sulit... sulit sekali - kau tak bisa membayangkan betapa sulitnya - hanya pergi
menyelamatkanmu, dan membiarkan mereka... tetap hidup," bisikku. "Aku bisa saja
membiarkanmu pergi dengan Jessica dan Angela, tapi aku takut kalau kau
meninggalkanku sendirian, aku akan pergi mencari mereka."
Untuk kedua kalinya malam ini, aku mengakui niatku untuk membunuh. Paling tidak
yang satu ini bisa dipertanggung jawabkan.
Dia masih saja diam saat aku berusaha mengendalikan diri. Aku mendengarkan detak
jantungnya; iramanya sempat tidak teratur, tapi makin lama makin lambat sampai
akhirnya tenang lagi. Napasnya juga tenang dan teratur.
Aku sendiri sudah hampir lepas kendali. Aku mesti cepat-cepat mengantarnya
pulang sebelum... Apakah setelah itu aku akan membunuh mereka" Apakah aku akan menjadi pembunuh
lagi setelah kini dia mempercayaiku" Adakah cara untuk menghentikanku"
Dia janji akan memberitahu teorinya ketika kami sendirian. Maukah aku
mendengarnya" Aku penasaran, tapi jangan-jangan konsekuensinya justru jadi lebih
buruk ketimbang tidak tahu.
Dalam batas tertentu, dia sudah cukup banyak mendengar kebenaran yang sanggup
dia terima dalam satu malam.
Aku menatapnya lagi, dan wajahnya lebih pucat dari sebelumnya, tapi tenang.
"Kau sudah siap pulang?" tanyaku.
"Aku siap untuk pulang." Sepertinya dia memilih kata-katanya dengan hati-hati,
seakan jawaban sederhana 'ya' tidak sepenuhnya mengungkapkan apa yang ingin ia
katakan. Benar-benar membuat frustasi.
Pelayan itu kembali. Dia mendengar pernyataan Bella saat sedang lewat di bilik
sebelah. Dia membayangkan apa lagi yang bisa ditawarkan padaku. Dan aku ingin
mengusir sebagian tawaran itu yang terlanjur terdengar oleh pikiranku.
"Jadi bagaimana?" tanyan pelayan itu padaku.
"Kami mau bayar, terima kasih," jawabku sambil masih terus menatap Bella. Napas
pelayan itu memburu, dan sesaat dia-meminjam istilah Bella-terpesona oleh
suaraku. Seketika itu juga, saat mendengar bagaimana suaraku kedengarannya di kepala
pelayan itu, aku jadi menyadari kenapa malam ini aku bisa menarik begitu banyak
kekaguman-tidak diiringi oleh takut seperti biasanya.
Alasannya karena Bella. Berusaha mati-matian jadi aman buat dia, jadi lebih
tidak menakutkan, jadi manusia, membuatku kehilangan tajiku. Kini manusia hanya
melihat indahnya saja karena iner-hororku telah kutahan.
Aku mendongak, melihat ke si pelayan, menunggu dia menguasai diri. Sekarang jadi
sedikit lucu, setelah mengerti alasannya.
"T-tentu," ujarnya terbata-bata. "Ini dia."
Dia menyerahkan folder berisi tagihan. Di benaknya dia memikirkan secarik kertas
yang ia selipkan di bawah resi. Secarik kertas dengan nama dan nomer telepon
dirinya. Ya, ini cukup lucu.
Aku menyelipkan uangku tanpa membuka foldernya dan langsung kukembalikan. Dengan
begitu dia tidak perlu repot-repot menunggu telepon yang tak akan pernah datang.
"Simpan saja kembaliannya." Kuharap tipsnya yang besar bisa mengobati kekecewaan
pelayan itu. Aku berdiri, dan Bella cepat-cepat mengikuti. Aku ingin menawarkan tanganku,
tapi kupikir itu akan memaksakan keberuntunganku sedikit terlalu jauh untuk satu
malam. Aku mengucapkan terima kasih pada si pelayan tanpa mengalihkan pandangan
dari Bella. Kami berjalan menuju pintu keluar; aku berjalan di sampingnya sedekat yang aku
berani. Cukup dekat hingga kehangatan tubuhnya terasa seperti sentuhan langsung
pada sisi kiri tubuhku. Saat dia melewatiku yang sedang menahan pintu restoran
untuknya, dia menghela napas pelan. Itu membuatku bertanya-tanya, penyesalan apa
yang membuatnya sedih. Aku menatap ke dalam matanya, sudah ingin bertanya,
ketika tiba-tiba ia menunduk, kelihatan malu. Itu membuatku lebih penasaran
lagi, tapi juga segan untuk bertanya. Keheningan diantara kami berlanjut sampai
saat aku membukakan pintu mobil buat dia dan masuk.
Aku menyalakan pemanas-hawa hangat memenuhi kabin mobilku; mobil yang dingin
pasti membuatnya tidak nyaman. Dia bersidekap di balik jaketku, secercah senyum
pada bibirnya. Aku menunggu, menunda pembicaraan sampai lampu-lampu di pinggir jalan memudar.
Itu membuatku merasa semakin berdua saja dengannya.
Apa itu langkah yang tepat" Kini, saat hanya fokus padanya, mobilku terlihat
sangat kecil. Aromanya bergelung-gelung didalam kabin bersama dengan hembusan
dari pemanas, bergolak dan menguat. Aromanya tumbuh jadi kekuatan tersendiri
yang lebih besar, seperti entitas lain di dalam mobil. Sebuah kehadiran yang
membutuhkan pengakuan. Pasti begitu; aku terbakar. Meski begitu rasa terbakar ini bisa kuterima. Sangat
pantas untukku. Aku sudah diberikan sangat banyak malam ini-lebih dari yang
kuharapkan. Dan, disinilah dia, masih ingin berada di sisiku. Aku berhutang
sesuatu atas hal ini. Sebuah pengorbanan. Perasaan terbakar.
Ugh, seandainya saja aku bisa menahan hanya sebatas itu; cuma terbakar, tidak
lebih. Tapi yang terjadi; liur telah membanjiri mulutku, dan otot-ototku
menegang, seakan aku sedang berburu...
Aku harus menghindari pikiran seperti itu. Dan sepertinya aku tahu apa yang bisa
mengalihkan perhatianku. "Sekarang," kataku ragu, takut rasa terbakar ini jadi lepas kendali.
"Giliranmu." 10. Teori "Boleh aku bertanya satu hal lagi?" Bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru
mau bertanya lagi. Aku sudah terpojok, cemas menunggu yang terburuk. Namun, aku cukup tergoda juga
untuk bisa memperlama situasi ini; dengan Bella bersamaku, atas kemauannya
sendiri. Aku mendesah atas dilema ini, kemudian mengiyakan, "Satu saja."
"Well..." dia ragu sejenak, seperti sedang mempertimbangkan pertanyaan mana yang
mau diungkap. "Katamu kau tahu aku tidak masuk ke toko buku itu, dan aku pergi
ke selatan. Aku hanya bertanya-tanya, bagaimana kau mengetahuinya."
Aku menatap ke luar jendela. Ini dia, satu pertanyaan lagi yang akan mengungkap
tidak satupun darinya, tapi terlalu banyak dariku.
"Kupikir kita telah melewati tahap pura-pura," tukasnya dengan nada kecewa.
Betapa ironis. Dengan mudah ia bisa mengelak tanpa perlu bersusah payah.
Well, dia mau aku bicara apa adanya. Bagaimanapun juga, pembicaraan ini tidak
akan berakhir dengan baik.
"Baiklah kalau begitu," ujarku akhirnya. "Aku mengikuti aroma tubuhmu."
Aku ingin melihat wajahnya, tapi terlalu takut dengan apa yang akan kulihat. Aku
hanya mendengarkan napasnya, yang makin cepat lalu kembali teratur.
Setelah beberapa saat, dia sudah bicara lagi. Suaranya jauh lebih tenang dari
yang kuharapkan, "kau belum menjawab satu pertanyaan yang tadi... " .
Aku menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi. Dia juga sedang mengulur-ulur
waktu. "Yang mana?" "Bagaimana caranya-membaca pikiran?" Dia mengulang pertanyaan di restoran tadi.
"Bisakah kau membaca pikiran siapa saja, di mana saja" Bagaimana kau
melakukannya" Apakah keluargamu yang lain bisa...?" Dia berhenti, tersipu lagi.
"Itu lebih dari satu pertanyaan."
Dia hanya menatapku, menunggu jawabannya.
Sudahlah, kenapa tidak sekalian saja kuceritakan" Toh dia sudah bisa menebak
sebagian ceritanya. Lagi pula ini topik yang jauh lebih mudah ketimbang perkara
besarnya. "Tidak, hanya aku yang bisa. Dan aku tak bisa mendengar siapa saja, di mana
saja. Aku harus cukup dekat dengan orang itu. Semakin aku mengenal suara
seseorang, meski jauh pun aku bisa mendengar mereka. Tapi tetap saja, tak lebih
dari beberapa mil." Aku coba mencari cara untuk menggambarkannya supaya dia bisa mengerti. Sebuah
analogi yang bisa membantu. "Kurang lebih seperti berada di ruangan besar penuh
orang, semua bicara serentak. Hanya suara senandung-suara-suara dengungan di
latar belakang. Setelah fokus pada satu suara, barulah apa yang mereka pikirkan
menjadi jelas. Kebanyakan aku mendengarkan semuanya - dan itu bisa sangat
mengganggu. Kemudian lebih mudah untuk terlihat normal,'"-aku meringis-"ketika
aku sedang tidak sengaja menjawab isi pikiran seseorang dan bukannya apa yang
dikatakannya." "Menurutmu kenapa kau tidak bisa mendengarku?" Dia bertanya-tanya.
Aku memberinya kebenaran dan analogi lain, "aku tidak tahu. Satu-satunya
dugaanku, mungkin jalan pikiranmu berbeda dengan yang lainnya. Dengan kata lain,
misalnya pikiranmu ada di gelombang AM, sementara aku hanya bisa menangkap
gelombang FM." Aku sadar dia pasti tidak akan suka analogi itu. Dan aku tersenyum
membayangkannya. Dia tidak akan mengecewakan tebakanku.
"Pikiranku tidak berjalan dengan benar?" protesnya dengan suara tinggi.
"Maksudmu aku aneh?"
Ah, ironi lagi. "Akulah yang mendengar suara-suara dalam pikiranku, tapi justru kau yang
khawatir dirimu aneh."
Aku tertawa. Dia mengerti hal yang kecil-kecil, namun terbalik memahami gambaran
besarnya. Selalu saja instingnya keliru...
Dia menggigit bibirnya, kerut diantara matanya semakin dalam.
"Jangan khawatir," aku meyakinkan. "Itu cuma teori..." Dan ada teori lain yang
lebih penting untuk didiskusikan. Teorinya dia. Dan aku tidak sabar ingin cepatcepat diselesaikan. Makin mengulur-ulur waktu justru membuat makin tersiksa.
"Yang mengingatkan aku, sekarang giliranmu," ujarku dengan perasaan ambigu,
antara waswas dengan enggan.
Dia mengambil napas dalam-dalam, masih sambil menggigit bibir-aku khawatir dia
akan melukai dirinya sendiri. Dia menatap kedalam mataku, wajahnya gelish.
"Bukankah sekarang kita sudah melewati tahap mengelak?" desakku halus.
Dia menunduk, bergulat dengan pikirannya. Tiba-tiba, dia mengejang dan matanya
membalalak ngeri. Untuk pertama kali, ekspresi wajahnya ketakutan.
Napasnya tertahan. "Gila!"
Aku kalang-kabut. Apa yang dia lihat" Bagaimana aku menakutinya" Kemudian dia
berteriak panik, "Pelankan mobilnya!" "Kenapa?" aku sama sekali tidak mengerti.
"Kau melaju seratus mil per jam!" jeritnya padaku. Dia melihat keluar jendela
dengan tatapan ngeri. Hal sepele begini, cuma karena ngebut, membuat dia teriak ketakutan" Aku memutar
bola mataku. "Tenang, Bella."
"Apa kau mencoba membunuh kita berdua?" sergahnya masih dengan suara tinggi dan
tajam. "Kita tidak akan kenapa-kenapa."
Dia menghirup napas dalam-dalam, kemudian pelan-pelan bicara dengan lebih
tenang. "Kenapa, kau terburu-buru seperti ini?"
"Aku selalu mengemudi seperti ini."
Aku bertemu pandangan dengannya, dan terhibur oleh ekspresi syok dia.
"Jangan alihkan pandanganmu dari jalan!" teriaknya lagi.
"Aku belum pernah kenapa-kenapa, Bella-aku bahkan belum pernah ditilang." Aku
tersenyum lebar dan menunjuk keningku. Itu jadi lebih menggelikan-bisa melucu
tentang sesuatu yang rahasia dan ganjil dengan Bella. "Radar pendeteksi alami,"
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kataku. "Sangat lucu," sindirnya dengan nada takut daripada marah. "Charlie polisi, kau
tidak lupa, kan" Aku dibesarkan untuk mematuhi aturan lalu lintas. Lagi pula,
kalau kau menerjang pohon dan membuat kita berdua cedera, barangkali kau masih
bisa selamat." "Barangkali," kataku mengiyakan dan tertawa sebentar. Ya, nasib kamu berdua akan
sedikit berbeda jika terjadi apa-apa. Wajar dia takut, meski dengan kelihaianku
mengemudi... "Tapi kau tidak."
Sambil menghela napas aku menurunkan kecepatan. "Puas?"
Dia mengamati spedometernya. "Hampir."
Apa ini masih terlalu cepat"
"Aku tidak suka mengemudi pelan-pelan," gumamku, tapi membiarkan jarumnya turun
beberapa garis lagi. "Kau bilang ini pelan?" protesnya.
"Sudah cukup menngomentari cara mengemudiku," kataku tidak sabar. Sudah berapa
kali dia mengelak pertanyaanku" Tiga kali" Empat" Apa spekulasi dia semanakutkan
itu" Aku harus tahu-secepatnya. "Aku masih menantikan teori terakhirmu."
Dia menggigit bibirnya lagi, ekspresinya berubah waswas.
"Aku tidak bakal tertawa." Suaraku melunak. Aku tidak ingin dia jadi tertekan.
Kuharap alasan dia enggan bicara hanya karena malu.
"Aku lebih khawatir kau bakal marah padaku," bisiknya. Kupaksakan suaraku untuk
tetap tenang. "Seburuk itukah?"
"Kurang-lebih, ya."
Dia menunduk, menolak menatap mataku. Beberapa detik telah lewat. "Katakan
saja." Suaranya sangat pelan. "Aku tak tahu bagaimana memulainya."
"Kenapa kau tidak mulai dari awal... " Aku ingat ucapannya saat di restoran
tadi. "Katamu kesimpulanmu tidak muncul begitu saja." "Tidak." Dia kembali diam
lagi. Aku mengira-ngira sesuatu yang mungkin menginspirasi dia. "Apa yang memicunyabuku" Film?" Aku mestinya mengecek koleksi bukunya. Aku tidak menyangka jika novelnya Bram
Stroker atau Annie Rice ada diantara tumpukan buku-buku dia... "Tidak, semuanya
berawal hari sabtu, di pantai."
Ini lebih mengejutkan lagi. Gosip tentang kami belum pernah menyimpang seaneh
itu -atau setepat itu. Apa ada rumor baru yang kulewatkan" Bella melirik dan
melihat kekagetan di wajahku.
"Aku bertemu teman lama keluargaku - Jacob Black." Dia melanjutkan. "Ayahnya dan
Charlie telah berteman sejak aku masih bayi."
Jacob Black-nama itu asing, namun mengingatkan pada sesuatu... pada suatu masa
jauh ke belakang... Aku menatap keluar, mencari-cari dalam ingatanku, berusaha
menemukan hubungannya. "Ayahnya salah satu tetua suku Quileute," tambahnya.
Jacob Black. Ephraim Black. Keturunannya, tidak salah lagi.
Ini benar-benar buruk. Bella tahu yang sebenarnya.
Mendadak pikiranku jadi tidak karuan, pada saat bersamaan, jalanan di depan
membelok. Badanku kaku karena merana-mematung, tidak bergerak, kecuali sedikit
gerakan otomatis untuk membelokkan kemudi.
Bella tahu yang sebenarnya.
Tapi..., jika dia sudah tahu sejak kemarin sabtu..., berarti semalaman ini dia
sudah tahu... Dan tetap saja...
"Kami jalan-jalan," dia melanjutkan. "Dan dia menceritakan beberapa legenda tua
- kurasa dia mencoba menakut-nakuitiku. Dia menceritakan salah satunya... "
Dia berhenti sebentar, tapi sudah tidak ada gunanya ragu-ragu; aku sudah tahu
apa yang akan ia katakan. Satu-satunya misteri yang tersisa adalah mengapa ia
masih disini denganku"
"Lanjutkan... "
Dia menghembuskan napas, ucapannya lebih sekedar bisikan, "tentang vampir."
Aku berjengit mendengarnya, namun segera bisa menguasai diri. Entah bagaimana,
itu jauh lebih parah ketimbang ketimbang tahu kalau dia tahu; mendengar dia
mengucapkan kata itu. "Dan kau langsung teringat padaku?"
"Tidak. Dia... menyebut keluargamu."
Sungguh ironis, justru keturunan Ephraim sendirilah yang telah melanggar sumpah
yang ia buat. Cucunya sendiri, atau barangkali cicitnya. Berapa tahun sudah
berselang" Tujuh puluh tahun"
Seharusnya aku sadar bahwa bukan para tetua, yang percaya dengan legenda itu,
yang mesti diwaspadai. Tapi, tentu saja, adalah generasi mudanya-yang telah
diperingatkan, tapi dipikirnya itu cuma kisah takhayul yang bisa ditertawakan.
Dan disitulah letak bahaya yang sebenarnya.
Itu artinya sekarang aku bebas untuk membantai suku kecil itu, dan aku tidak
keberatan. Ephraim dan para pelindungnya telah lama mati...
"Dia hanya mengaggap itu takhayul yang konyol," ujar Bella tiba-tiba. Suaranya
kini jadi waswas. "Dia tidak bermaksud supaya aku berpikir yang bukan-bukan."
Lewat sudut mataku, aku melihat dia meremas-remas tangannya gelisah.
"Itu salahku," ucapnya kemudian setelah diam sejenak. Ia tertunduk malu. "Aku
yang memaksanya bercerita padaku."
"Kenapa?" Sekarang tidak sulit untuk menjaga suaraku tetap tenang. Yang terburuk
telah lewat. Selama kami berdua terus bicara tentang asal-usul teori dia, maka
tidak perlu membahas bagaimana kelanjutannya.
"Lauren mengatakan sesuatu tentang kau-dia mencoba memprovokasiku." Wajahnya merengut saat mengingatnya. Pikiranku sedikit teralihkan,
membayangkan bagaimana Bella bisa terprovokasi oleh gunjingan tentang diriku...
"Dan seorang cowok yang lebih tua dari suku itu bilang kalau keluargamu tidak
datang ke reservasi. Hanya saja, sepertinya ada maksud lain di balik
perkataannya. Jadi aku memancing Jacob pergi berduaan denganku, untuk
memancingnya agar mau cerita."
Kepalanya tertunduk lebih dalam lagi, ekspresinya terlihat...bersalah.
Aku berpaling dan tergelak. Dia merasa bersalah" Apa coba yang telah dia lakukan
sampai dia merasa tercela sedemikian rupa"
"Memancing bagaimana?"
"Aku mencoba merayunya - dan ternyata hasilnya lebih baik dari yang kuduga."
Suaranya berubah ragu saat mengingat kesuksesannya itu.
Aku bisa membayangkan-mengingat daya tariknya di mata para lelaki, dan ketidak
sadaran dia atas hal itu - jadi betapa luar biasanya dia ketika mencoba untuk
mengeluarkan pesonanya. Aku jadi merasa kasihan pada bocah lugu yang telah
menjadi korban daya pikatnya yang luar biasa itu.
"Kalau saja aku melihatnya..." Dan aku tertawa membayangkannya. Andai saja aku
bisa mendengar reaksi bocah itu, menyaksikan penaklukannya secara langsung. "Dan
kau menuduhku membuat orang terpesona - Jacob Black yang malang."
Ternyata aku tidak terlalu marah kepada sumber kebocoran rahasiaku, tidak
seperti yang kukira akan kurasakan. Bocah itu tidak tahu apa-apa. Dan bagaimana
mungkin ada pria yang bisa menolak kemauan gadis ini" Aku justru bersimpati pada
bocah itu, Bella sama sekali tidak tahu bagaimana dampaknya terhadap pikiran
Jacob Black yang malang itu.
Aku merasakan wajah Bella yang tersipu menghangatkan udara diantara kami. Aku
melirik ke arahnya, dia sedang memandang ke luar jendela. Dia tidak bicara lagi.
"Lalu, apa yang kau lakukan?" tanyaku pelan. Waktunya kembali ke cerita horor.
"Aku mencari keterangan di internet."
Betapa praktisnya. "Dan, apakah hasilnya membuatmu yakin?"
"Tidak," jawabnya. "Tidak ada yang cocok. Kebanyakan konyol. Kemudian... "
Dia diam lagi. Aku mendengar giginya terkatup rapat.
"Apa?" desakku. Apa yang dia temukan" Apa yang membuat mimpi buruk ini jadi
masuk akal buat dia"
Ada jeda sejenak, dan kemudian ia berbisik, "kuputuskan itu tidak penting."
Syok membekukan pikiranku selama sepersekian detik. Kemudian semuanya jadi
jelas. Kenapa tadi ia menyuruh teman-temannya pergi ketimbang pulang bersama
mereka. Kenapa ia kembali masuk kedalam mobilku dan bukannya lari ketakutan
mencari polisi... Reaksinya selalu salah - selalu sangat salah. Dia menarik bahaya ke arahnya. Dia
mengundangnya. "Itu tidak penting?" Aku hampir menggeram karena marah. Bagaimana caranya aku
bisa melindungi seseorang yang sangat...sangat...sangat tidak ingin dilindungi"
"Tidak," jawabnya dengan suara yang begitu lembut. "Tidak penting bagiku apa pun
kau ini." Dia sungguh tidak masuk akal.
"Kau tidak peduli kalau aku monster" Kalau aku bukan manusia?"
"Tidak." Aku mulai mempertanyakan, apa kondisi psikisnya benar-benar stabil.
Barangkali aku bisa mengatur agar ia mendapat perawatan yang terbaik... Carlisle
pasti punya koneksi dokter yang terbaik, terapis yang paling andal. Barangkali
sesuatu bisa dilakukan untuk menyembuhkan apapun yang salah dari dirinya, apapun
itu yang jadi penyebab hingga ia bisa duduk dengan tenang di samping seorang
vampir. Aku akan selalu mengawasi selama dia dirawat, seperti cara biasanya, dan
mengunjunginya sesering yang dibolehkan...
"Kau marah," keluhnya. "Seharusnya aku tidak mengatakan apa-apa."
Kata-katanya itu...seakan dengan menyembunyikan pendapat absurdnya itu akan bisa
menolong kerumitan ini. "Tidak. Lebih baik aku tahu apa yang kau pikirkan-bahkan meskipun pikiranmu itu
tidak waras." "Jadi aku salah lagi?" Kini nadanya sedikit menantang.
"Bukan itu maksudku!" Gigiku terkatup rapat lagi. "'itu tidak penting'!" ulangku
dengan nada pedas. Dia menahan napas. "Aku benar?"
"Apakah itu penting?" balasku.
"Tidak juga." Suaranya sudah tenang lagi. "Tapi aku memang penasaran."
Tidak juga. Itu tidak penting. Dia tidak peduli. Dia tahu aku bukan manusia,
seorang monster, dan hal itu tidak penting buatnya.
Disamping mencemaskan kewarasannya, aku mulai merasakan sebungkah harapan. Tapi
aku segera membuangnya jauh-jauh.
"Apa yang membuatmu penasaran?" Tidak ada lagi rahasia yang tersisa, cuma
detail-detail kecil. "Berapa umurmu?"
Jawabanku sudah otomatis dan mendarah daging, "tujuh belas."
"Dan sudah berapa lama kau berumur tujuh belas?"
Aku mencoba untuk tidak tersenyum saat mendengar nada protesnya. "Cukup lama."
"Oke." Mendadak dia jadi bersemangat. Dia tersenyum padaku. Ketika aku menatap
balik, lagi-lagi dengan perasaan cemas dengan kondisi mentalnya, senyumannya
justru makin lebar. Aku cuma meringis.
"Jangan tertawa." Dia mewanti-wanti. "Tapi bagaimana kau bisa keluar di siang
hari?" Bagaimanapun juga aku tertawa. Sepertinya riset dia tidak menemukan sesuatu yang
baru. "Mitos." "Terbakar matahari?"
"Mitos." "Tidur di peti mati?"
"Mitos." Tidur sudah bukan lagi jadi bagian hidupku sejak lama-tidak hingga beberapa
malam terakhir saat aku mengawasi Bella bermimpi...
"Aku tidak bisa tidur," gumamku, menjawab pertanyaannya terus terang. Dia
terdiam sejenak. "Sama sekali?" "Tidak pernah." Aku menghela napas.
Kupandangi mata coklatnya yang dalam, dan aku jadi rindu untuk tidur. Bukan
untuk melarikan diri dari bosan, seperti sebelumnya, tapi lebih karena untuk
bisa bermimpi. Barangkali, jika aku bisa tidur, jika aku bisa bermimpi, maka
untuk beberapa saat aku bisa tinggal di dunia dimana aku dan Bella bisa bersamasama. Dia memimpikan aku. Aku ingin memimpikan dia.
Dia menatap balik, ekspresinya keheranan. Aku pun berpaling.
Aku tidak mungkin memimpikan dia. Tidak seharusnya dia memimpikan aku.
"Kau belum melontarkan pertanyaan yang paling penting." Jantungku semakin beku,
lebih keras dari biasanya. Dia harus dipaksa untuk memahami. Dia harus menyadari
bahaya apa yang sedang ia hadapi. Dia harus kubuat mengerti bahwa semua ini
adalah penting- jauh lebih penting dari pertimbangan apapun. Pertimbanganpertimbangan seperti bahwa aku mencintai dia.
"Yang mana?" tanyanya terkejut dan tidak sadar.
Itu cuma membuat suaraku makin parau. "Kau tidak peduli dengan dengan
makananku?" "Oh, itu." Dia bicara begitu pelan hingga aku tidak bisa mengartikan
intonasinya. "Ya, itu. Tidakkah kau ingin tahu apakah aku minum darah?"
Dia tersentak mendengar pertanyaanku yang langsung ke sasaran. Akhirnya. Dia
mengerti juga. "Well, Jacob mengatakan sesuatu tentang itu."
"Apa yang dikatakan Jacob?"
"Dia bilang kau tidak... memburu manusia. Katanya keluargamu seharusnya tidak
berbahaya karena kalian hanya memburu binatang."
"Dia bilang kami tidak berbahaya?" ulangku sinis.
"Tidak juga," dia membetulkan. "Dia bilang kalian seharusnya tidak berbahaya.
Tapi suku Quileute masih tidak menginginkan kehadiran kalian di tanah mereka,
untuk berjaga- jaga." Aku memandang lurus kedepan. Pikiranku menggeram putus asa. Tenggorokanku
terbakar oleh rasa haus yang sangat kukenal.
"Jadi apakah itu benar?" Suaranya setenang seakan sedang membicarakan laporan
cuaca. "Tentang tidak memburu manusia?"
"Suku Quileute punya ingatan yang panjang."
Dia mengangguk sendiri sambil berpikir keras.
"Tapi jangan senang dulu," kataku cepat-cepat. "Mereka benar untuk tetap menjaga
jarak dengan kami. Kami masih berbahaya."
"Aku tidak mengerti."
Tentu saja dia tidak mengerti. Bagaimana caranya membuat dia mengerti"
"Kami berusaha," aku coba menjelaskan pelan-pelan. "Kami biasanya sangat andal
dengan apa yang kami lakukan. Tapi kadang kami juga membuat kesalahan. Aku,
contohnya, membiarkan diriku berduaan denganmu."
Aromanya masih sangat tajam di dalam sini. Aku sudah mulai terbiasa, aku hampir
bisa mengabaikannya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa tubuhku masih menginginkan
dia untuk alasan yang salah. Liur masih membanjiri mulutku.
"Kau sebut ini kesalahan?" suaranya terdengar sedih.
Dan itu meluluhkanku. Dia ingin bersama denganku - terlepas dari segalanya, dia
ingin bersama denganku. Harapan kembali mengembang. Dan lagi-lagi kembali kukibas.
"Kesalahan yang sangat berbahaya." Aku mengatakan sejujur-jujurnya, berharap
akhirnya dia bisa mengerti.
Selama beberapa saat dia tidak menanggapi. Bisa kudengar irama napasnya berubahjadi tidak beraturan, yang anehnya tidak seperti ketakutan.
"Ceritakan lagi," ujarnya tiba-tiba.
Suaranya bergetar sedih. Aku mengamati baik-baik.
Ah, dia terluka. Bagaimana bisa aku membiarkan ini"
"Apa lagi, yang ingn kau ketahui?" Aku mencari-cari cara untuk membuatnya tidak
terluka. Dia tidak boleh terluka. Aku tidak boleh membiarkan dia sampai terluka.
"Katakan kenapa kau memburu binatang dan bukan manusia?" Suaranya masih sedih
dan putus asa. Bukankah sudah jelas" Atau, barangkali ini juga tidak penting buat dia.
"Aku tidak ingin menjadi monster," gumamku.
"Tapi binatang tidak cukup bukan?"
Aku mencari perbandingan lain agar dia bisa mengerti. "Aku tidak yakin tentu
saja, tapi aku membandingkannya dengan hidup hanya dengan makan tahu dan susu
kedelai; kami menyebut diri kami vegetarian, lelucon di antara kami sendiri.
Tidak benar-benar memuaskan lapar kami-atau dahaga tepatnya. Tapi membuat kami
cukup kuat untuk bertahan. Hampir sepanjang waktu." Suaraku merendah; aku merasa
malu atas bahaya yang kuakibatkan padanya. Bahaya yang terus saja kubiarkan...
"Kadang-kadang lebih sulit dari yang lainnya."
"Apakah sekarang sangat sulit bagimu?"
Aku menghela napas. Tentu saja dia akan menanyakan pertanyaan yang tidak ingin
kujawab. "Ya," jawabku terus-terang.
Kali ini aku bisa menebak respon fisiknya dengan benar: irama napasnya terjaga,
detak jantungnya teratur. Aku sudah menduga itu, tapi tetap tidak bisa
memahaminya. Kenapa dia tidak takut"
"Tapi kau tidak sedang lapar." Dia kedengaran yakin.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Matamu," ungkapnya begitu saja. "Sudah kubilang aku punya teori. Aku
memperhatikan bahwa orang-orang - khususnya cowok - jadi lebih pemarah ketika
mereka lapar." Aku terkekeh mendengar istilahnya: pemarah. Kedengarannya lebih bersahabat, tapi
lagi-lagi tepat sasaran. "Kau ini memang pengamat, ya kan?" Aku kembali tertawa.
Dia sedikit tersenyum. Kerut diantara matanya muncul lagi, sepertinya dia sedang
berkonsentrasi pada sesuatu.
"Apakah kau pergi berburu akhir pekan ini, dengan Emmet?" tanyanya setelah
tawaku reda. Nada bicaranya yang biasa-biasa saja sungguh menakjubkan, sekaligus membuat
frustasi. Bagaimana bisa dia menerimanya begitu saja. Justru aku yang lebih
mendekati syok ketimbang dia.
"Ya." Aku hampir memberitahu sebatas itu saja, namun aku merasakan dorongan yang
sama seperti di restoran tadi: Aku ingin dia mengenal diriku.
"Aku tidak ingin pergi." Aku melanjutkan pelan-pelan, "tapi ini penting. Lebih
mudah berada di sekitarmu ketika aku tidak sedang haus."
"Kenapa kau tidak ingin pergi?"
Aku mengambil napas panjang, dan kemudian menoleh, menatap matanya. Kejujuran
yang seperti ini sama sulitnya.
"Itu membuatku... khawatir..."-kurasa istilah itu cukup memadai, meski masih
belum cukup kuat-"berada jauh darimu. Aku tidak bercanda ketika memintamu untuk
tidak jatuh ke laut atau tidak kenapa-kenapa kamis lalu. Sepanjang akhir pekan
aku tak bisa berkonsentrasi karena mengkhawatirkanmu. Dan setelah apa yang
terjadi malam ini, aku terkejut kau bisa melewati seluruh akhir pekan ini tanpa
tergores." Lalu aku ingat bekas luka di telapak tangannya. "Well, tidak benarbenar tanpa tergores sebetulnya."
"Apa?" "Tanganmu... " Dia menghela napas dan cemberut. "Aku terjatuh."
"Sudah kuduga." Aku tak sanggup menahan senyum. "Kurasa, mengingat siapa dirimu,
kejadiannya bisa lebih buruk lagi-dan kemungkinan itu menyiksaku selama
kepergianku. Tiga hari yang amat panjang. Aku benar-benar membuat Emmet kesal."
Dan sepertinya Emmet sampai sekarang masih kesal, juga seluruh keluargaku.
Kecuali Alice... "Tiga hari?" Suaranya mendadak berubah tajam. "Bukankah kau baru kembali hari
ini?" Aku tidak mengerti kenapa dia jadi kesal. "Tidak, kami kembali hari minggu."
"Lalu kenapa tak satu pun dari kalian masuk sekolah?"
Kemarahannya membuatku bingung. Kelihatannya dia tidak sadar kalau pertanyaan
itu masih ada hubungannya dengan mitos-mitos tadi.
"Well, kau bertanya apakah matahari menyakitiku, dan memang tidak," jawabku.
"Tapi aku tak bisa keluar ketika matahari bersinar-setidaknya, tidak di tempat
yang bisa dilihat orang."
Jawabanku mengalihkan dia dari kekesalannya yang misterius.
"Kenapa?" Dia menelengkan kepalanya ke satu sisi.
Aku ragu bisa menemukan analogi yang pas untuk menjelaskan yang satu ini. Jadi
aku cuma mengatakan, "kapan-kapan akan kutunjukan padamu."
Kemudian aku jadi bertanya-tanya, apa ini akan jadi janji yang pada akhirnya
akan kuingkari. Apakah aku akan melihatnya lagi setelah malam ini" Apa aku cukup
mencintai dia namun juga sanggup untuk meninggalkannya"
"Kau kan bisa meneleponku," ucapnya pelan.
Jalan keluar yang aneh. "Tapi aku tahu kau baik-baik saja,"
"Tapi aku tidak tahu di mana kau berada. Aku-" mendadak ia berhenti, dan
memandangi tangannya. "Apa?" "Aku tidak suka," ucapnya malu, kulit di sekitar pipinya menghangat. "Tidak
bertemu denganmu. Itu juga membuatku waswas."
Apa kau puas sekarang" Bentakku pada diriku sendiri. Well, inilah ganjarannya
karena sudah berharap. Aku bingung, gembira, ngeri - sebagian besar ngeri - menyadari bagaimana
akhirnya angan-anganku mendekati kenyataan. Inilah alasannya kenapa 'tidak
penting' jika aku adalah seorang monster. Alasan yang sama persis dengan alasan
kenapa segala aturan itu juga tidak penting buatku; kenapa yang benar dan salah
jadi kabur, kenapa segala prioritasku hanya terpusat pada gadis ini.
...Bella juga menyukaiku.
Aku tahu itu tidak ada apa-apanya dibanding dengan bagaimana aku mencintai dia.
Tapi itu sudah cukup buat dia untuk mengambil resiko dengan duduk disini
bersamaku. Untuk melakukannya dengan senang hati.
...Cukup untuk membuatnya merana jika aku melakukan tindakan yang benar dan
meninggalkannya. Adakah yang bisa kulakukan yang tidak akan melukainya" Apa saja"
Aku seharusnya tetap pergi. Aku seharusnya tidak kembali ke Forks. Aku hanya
akan membuatnya menderita.
Pertanyaannya sekarang, apakah itu akan menghentikan keinginanku untuk tetap
tinggal" Apakah itu bisa mencegahku untuk menjadikannya lebih buruk lagi"
Melihat perasaanku saat ini, merasakan kehangatannya di sampingku...
Tidak, tetap tidak bisa. Tidak akan ada yang bisa menghentikanku. Aku tidak akan
sanggup untuk pergi. Aku tidak akan sanggup meninggalkan dia.
"Ah." Aku mengerang tak berdaya. "Ini salah."
"Memangnya aku bilang apa?" tanyanya cepat-cepat, merasa bersalah.
"Tidakkah kau mengerti, Bella" Tidak masalah bagiku membuat diriku sendiri
merana, tapi kalau kau melibatkan dirimu terlalu jauh, itu masalah lain lagi.
aku tak mau mendengar kau merasa seperti itu lagi."
Itulah yang sebenarnya, sekaligus kebohongan. Bagian diriku yang paling egois
mengawang-awang karena tahu dia juga menginginkan aku seperti aku menginginkan
dia. "Ini salah. Ini tidak aman. Aku berbahaya, Bella-kumohon, mengertilah."
"Tidak." Bibirnya mencebik merajuk.
Aku berperang dengan diriku sendiri begitu hebatnya-sebagian ingin dia
menerimaku apa adanya, sebagian ingin dia mendengar peringatanku dan larisehingga kata-kata yang keluar berupa geraman. "Aku serius."
"Begitu juga aku." Dia bersikeras. "Sudah kubilang, tidak penting kau itu apa.
Sudah terlambat." Terlambat" Dalam ingatanku, dunia begitu muram, gelap dan pucat, saat aku mengawasi bayangbayang hitam merangkak di pekarangan rumah Bella menuju sosoknya yang tertidur.
Tak terelakan dan tak terhentikan. Bayang-bayang itu mencuri rona pada kulitnya,
dan menenggelamkan dia kedalam kegelapan.
Terlambat" Penglihatan Alice muncul di kepalaku, mata merah - darah Bella menatapku datar.
Tanpa ekspresi - tapi tidak mungkin dia tidak membenciku atas masa depan itu.
Membenciku karena telah merampas segalanya. Merampas hidupnya dan jiwanya.
Ini belum terlambat. "Jangan pernah katakan itu," desisku.
Dia melihat keluar jendela, dan dia menggigit bibirnya lagi. Tangannya mengeras
di pangkuannya. Napasnya tersedak dan tak beraturan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?" Aku harus tahu.
Dia menggeleng tanpa melihat ke arahku. Aku melihat sesuatu berkilau di pipinya,
seperti kristal. Perasaanku langsung nyeri. "Kau menangis?" Aku membuatnya menangis. Aku
melukainya sedalam itu. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Tidak," elaknya dengan suara
gemetar. Instingku yang terpendam dalam mendorongku untuk meraih dia - dalam detik itu
aku merasa menjadi lebih manusia dari kapanpun. Tapi kemudian aku ingat bahwa
aku...bukan. Dan kuturunkan tanganku.
"Maafkan aku," sesalku dengan rahangku terkunci. Bagaimana bisa aku mengatakan
padanya seberapa menyesalnya aku" Maaf atas segala kesalahan bodoh yang telah
kubuat. Maaf atas keegoisanku yang tak beujung. Maaf atas nasibnya yang sial
karena untuk pertama kalinya telah menginspirasi aku pada kisah cinta yang
tragis ini. Maaf juga atas sesuatu yang diluar konstrolku-bahwa aku telah
menjadi monster yang dipilih oleh takdir untuk mengakhiri hidupnya.
Aku mengambil napas dalam-dalam - mengabaikan rasa perih yang diakibatkan
aromanya - dan berusaha menguasai diri.
Aku ingin mengganti topik, untuk memikirkan sesuatu yang lain. Dan untung
bagiku, rasa penasaranku pada gadis ini tidak ada habis-habisnya. Aku selalu
punya pertanyaan. "Aku bertanya-tanya," kataku kemudian.
"Ya?" Dia berusaha tegar, namun air mata masih menggantung di suaranya. "Apa
yang kau pikirkan di lorong tadi, sebelum aku muncul" Aku tak bisa mengerti
ekspresimu-kau tidak terlihat setakut itu, kau seperti sedang berkonsentrasi
keras pada sesuatu." Aku ingat ekspresinya-sambil berusaha melupakan dari mata
siapa aku melihatnya-tatapannya penuh tekad.
"Aku sedang mencoba mengingat bagimana cara menghadapi serangan. Kau tahu kan,
ilmu bela diri," jawabnya dengan lebih terkendali. Tapi kemudian nadanya yang
tenang tidak berlanjut, nadanya berubah jadi marah, "Aku bermaksud menghancurkan
hidungnya hingga melesak ke kepala."
Kini kemarahannya yang menggemaskan tidak lagi lucu. Aku bisa melihat sosoknya
yang rapuh-hanya balutan sutra diatas permukaan kaca-terpojok oleh manusia
bengis kekar yang ingin menyakitinya. Amarah mendidih di belakang kepalaku.
"Kau akan melawan mereka?" Aku ingin mengerang. Instingnya mematikan-bagi
dirinya sendiri. "Tidakkah kau ingin melarikan diri?"
"Aku sering terjatuh kalau lari," ucapnya malu-malu.
"Bagaimana kalau berteriak meminta tolong?"
"Aku juga bermaksud melakukannya."
Aku menggeleng-geleng tidak percaya. Bagaimana caranya dia bisa bertahan hidup
sebelum datang ke Forks"
"Kau benar." Suaraku terdengar masam. "Aku jelas-jelas melawan takdir karena
mencoba menjagamu tetap hidup."
Dia menghela napas, dan memandang keluar jendela. Kemudian ia kembali menatapku.
"Apakah besok kita akan bertemu?" pintanya tiba-tiba.
Karena toh akhirnya akan ke neraka juga, jadi kenapa tidak sekalian saja.
"Ya - ada tugas yang harus dikumpulkan." Aku tersenyum padanya. Rasanya
menyenangkan bisa melakukannya. "Aku akan menunggumu saat makan siang."
Jantungnya berdegup kencang; jantungku yang mati mendadak terasa hangat.
Aku menghentikan mobil di depan rumahnya. Dia tetap tidak bergerak.
"Kau janji akan datang besok?"
"Aku janji." Kok bisa-bisanya melakukan sesuatu yang salah tapi terasa semenyenangkan ini"
Pasti ada yang keliru. Dia mengangguk puas, dan mulai mencopot jaketku.
Aku buru-buru mencegahnya, "kau boleh menyimpannya." Aku ingin dia memiliki
sesuatu dariku. Sebuah kenang-kenangan, seperti tutup botol dalam sakuku... "Kau
tidak punya jaket yang bisa kau pakai besok."
Dia tetap mengembalikannya padaku sambil tersenyum menyesal. "Aku tak mau
menjelaskannya pada Charlie."
Bisa kubayangkan. Aku pun tersenyum. "Oh, benar."
Dia sudah memegang gagang pintu mobil, tapi berhenti. Dia enggan pergi, sama
seperti aku enggan dia pergi.
Aku tidak mau meninggalkannya tanpa perlindungan, bahkan hanya sebentar saja...
Peter dan Charlotte sedang dalam perjalanan, pasti sudah jauh melewati Seattle.
Tapi selalu ada yang lain. Dunia ini bukan tempat yang aman buat manusia, dan
buat dia kelihatannya jauh lebih berbahaya lagi.
"Bella?" Dan aku terkejut dengan betapa menyenangkannya rasanya hanya dengan
mengucapkan namanya saja.
"Ya?" "Maukah kau beranji padaku?"
"Ya." Dia langsung setuju. Tapi kemudian tatapannya menajam, seakan sedang
mencari-cari alasan untuk menolak.
"Jangan pergi ke hutan seorang diri." Aku bertanya-tanya, apakah permintaan itu
akan memicu penolakan di matanya.
Dia mengerjap, kaget. "Kenapa?"
Aku menoleh ke kegelapan malam yang tidak bisa dipercaya. Ketiadaan cahaya bukan
masalah buat mataku, tapi itu juga berlaku sama buat pemburu lainnya. Itu hanya
membutakan manusia. "Aku tidak selalu yang paling berbahaya di luar sana. Anggap saja begitu."
Dia gemetar, namun cepat menguasai diri, dan bahkan sempat tersenyum ketika
mengatakan, "terserah apa katamu."
Napasnya menyentuh wajahku, begitu manis dan harum.
Aku bisa tinggal begini semalaman, tapi dia butuh tidur. Dua keinginan itu
kelihatannya sama kuat, dan masih berperang dalam diriku: menginginkan dia
versus menginginkan dia aman.
Aku mendesah pada kemustahilan ini.
"Sampai ketemu besok," ucapku, meski tahu aku akan segera menemuinya jauh
sebelum itu. Dia sendiri baru akan bertemu dengankw besok. "Baik kalau begitu."
Kemudian dia membuka pintu. Lagi-lagi terasa nyeri sekali, melihatnya pergi.
Aku mencondongkan badan ke arahnya, ingin menahan dia disini. "Bella?"
Dia menoleh, dan membeku, terkejut mendapati wajah kami begitu dekat.
Begitu pula denganku, meluap-luap karena kedekatan ini. Kehangatan datang
bergelombang membasuh wajahku. Aku bisa merasakan segalanya kecuali kelembutan
kulitnya... Jantungnya berdegup kencang, dan bibirnya merekah.
"Tidur nyenyak ya," bisikku, dan segera menjauh sebelum dorongan dalam tubuhkuentah haus yang biasanya atau hasrat aneh yang baru kali ini kurasakan-akan
membuatku melakukan sesuatu yang bisa menyakitinya.
Untuk sesaat dia masih duduk diam tidak bergerak, matanya melebar dan membeku.
Terpesona, kukira. Begitu pula denganku. Dia kembali menguasai diri-meski wajahnya masih agak terpana-dan terlihat
limbung ketika keluar dari mobil hingga harus berpegangan agar tidak jatuh. Aku
tertawa geli-berharap dia tidak mendengarnya.
Aku melihat dia sempat tersandung ketika sampai di depan pintu. Untuk sementara
aman. Dan aku akan segera kembali untuk memastikan.
Aku bisa merasakan tatapannya mengikutiku saat mobilku melaju pergi. Ini
merupakan sensasi yang berbeda dari biasanya. Biasanya, secara harfiah aku
menyaksikan diriku melalui pandangan orang lain yang menatapku pergi. Tapi
anehnya ini jauh lebih menyenangkan- sensasi semu dari tatapan yang mengawasi.
Aku tahu ini menyenangkan hanya karena tatapannya berasal dari Bella.
Berjuta pikiran berkecamuk dalam kepalaku saat berkendara tanpa tujuan di tengah
kegelapan malam. Selama beberapa lama aku berputar-putar tak tentu arah. Aku memikirkan Bella,
lega karena akhirnya dia tahu yang sebenarnya. Tidak perlu lagi waswas jati
diriku terbongkar. Dia sudah tahu. Itu tidak penting buat dia. Meski jelas-jelas
buat dia ini buruk, tetap saja sangat melegakan.
Lebih dari itu, aku memikirkan perasaan Bella padaku. Dia tidak mungkin
menyukaiku sebesar aku mencintanya-perasaan cinta yang sedahsyat dan semelimpah
ini barangkali akan menghancurkan tubuh rapuh dia. Tapi perasaannya cukup kuat
juga. Cukup kuat hingga bisa menundukkan insting takut dia. Cukup kuat untuk
ingin bersamaku. Dan berada bersamanya adalah kebahagiaan paling besar yang
pernah kurasakan. Untuk sesaat-saat aku sudah sendirian dan tidak ada siapapun yang bisa kusakitiaku membiarkan diriku untuk menikmati kebahagiaan ini tanpa harus dibebani
tragedinya. Hanya untuk merasa bahagia karena dia juga menyukaiku. Hanya untuk
bersuka ria karena telah berhasil memenangkan perasaannya. Hanya untuk terus
mengingat kembali bagaimana rasanya duduk di dekat dia, mendengar suaranya, dan
mendapat senyumannya. Aku mengingat kembali senyum itu, menyaksikan bibirnya yang penuh tertarik di
kedua sudutnya hingga menggerakkan garis-garis pipinya, bagaimana matanya
menghangat dan mencair... Malam ini jari-jarinya terasa hangat dan lembut pada
tanganku. Aku membayangkan bagaimana rasanya jika menyentuh kulit pipinya yang
lembut-balutan sutra pada permukaan kaca...begitu mudah pecah.
Aku tidak tahu kemana anganku berujung hingga terlambat. Pada saat sedang
menyelami kerapuhannya, gambaran baru wajahnya menyeruak dalam anganku.
Tersesat di tengah kegelapan, pucat karena takut-namun rahangnya terkunci penuh
tekad, tatapannya sengit, badannya yang ramping siap menyerang sosok-sosok besar
yang mengurungnya. Mimpi buruk yang suram...
"Ah." Aku mengerang saat kebencian membara yang telah terlupakan oleh
kebahagiaan tadi, muncul lagi ke permukaan.
Midnight Sun Karya Stephenie Meyer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku sendirian. Bella telah aman di rumahnya; untuk sesaat aku lega bahwa Charlie
Swan-kepala polisi setempat, yang terlatih dan bersenjata-merupakan ayahnya. Itu
membuatnya lebih aman. Dia sudah aman. Tidak akan makan waktu lama untuk membalas orang-orang itu...
Tidak. Bella layak mendapatkan yang lebih baik dari itu. Aku tidak akan
membiarkan dia jatuh cinta pada seorang pembunuh.
TapL.bagaimana dengan perempuan-perempuan lain yang bisa jadi korban manusia
biadab itu" Bella memang sudah aman. Angela dan Jessica juga sudah aman di rumahnya.
Namun monster itu masih berkeliaran di Port Angeles. Monster-manusia-apa itu
membuatnya jadi urusan manusia" Untuk melakukan pembunuhan, yang sudah gatal
ingin kulakukan, adalah salah. Aku tahu itu. Tapi membiarkannya berkeliaran
untuk menyerang orang lain juga tidak benar.
Si penerima tamu pirang yang di restoran tadi, si pelayan yang tak pernah
kuperhatikan, keduanya sama-sama membuatku kesal. Tapi, bukan berarti mereka
pantas untuk berada dalam bahaya.
Satu dari mereka mungkin Bellanya seseorang.
Kenyataan itu memastikan keputusanku.
Aku memutar mobil ke utara. Aku langsung tancap gas begitu punya tujuan.
Kapanpun aku punya masalah yang tidak bisa kuatasi, aku tahu kemana bisa minta
bantuan. Alice sedang duduk di beranda, menungguku. Aku berhenti di depan rumah, tidak
masuk ke garasi. "Carlisle di ruangannya," Alice memberitahuku sebelum aku sempat bertanya.
"Terima kasih," ucapku sambil mengacak-acak rambutnya saat melewati dia.
Terima kasih telah menjawab teleponku, sindirnya dalam hati.
"Oh." Aku berhenti di depan pintu, mengeluarkan hand phoneku, lalu membukanya.
"Sori. Aku bahkan tidak mengecek itu dari siapa. Aku sedang...sibuk."
"Ya, aku tahu. Aku juga minta maaf. Pada saat aku melihat itu akan terjadi, kau
sudah tahu." "Tadi itu hampir saja..." gumamku.
Maaf, ulangnya, malu pada dirinya.
Sangat mudah untuk berbaik hati karena tahu Bella sudah aman. "Tidak usah
menyesal. Aku mengerti kau tidak mungkin mengawasi segalanya. Tidak ada yang
berharap kau bisa jadi mahatahu, Alice."
"Thanks." "Aku hampir mengajakmu makan malam tadi-apa kau sempat melihat itu sebelum aku
berubah pikiran?" Dia cemberut. "Tidak, aku melewatkan itu juga. Coba aku tahu. Aku pasti datang."
"Kau sedang berkonsentrasi ke apa, sampai melewatkan begitu banyak?"
Jasper sedang memikirkan perayaan anniversary kami. Dia tertawa. Dia berusaha
untuk tidak membuat keputusan tentang hadiahku, tapi kurasa aku bisa
menebaknya... "Dasar, memalukan."
"Yup." Dia mengerutkan bibir dan menatapku, ada ekspresi menuduh pada wajahnya. Lain
kali aku akan mengawasi lebih baik. Apa kau akan memberitahu mereka kalau dia
tahu" Aku mengeluh. "Ya. Nanti."
Aku tidak akan bilang apa-apa. Tapi tolong beritahu Rosalie ketika aku sedang
tidak ada, oke" "Oke." Bella menerimanya dengan baik.
"Terlalu baik."
Alice cemberut padaku. Jangan meremehkan Bella.
Aku berusaha memblokir gambaran yang tidak ingin kulihat-Bella dan Alice
bersahabat. Karena mulai tak sabar, aku mengeluh panjang. Aku ingin segera menyelesaikan
babak selanjutnya dari malam ini; aku ingin segera mengakhirinya. Tapi aku
sedikit waswas untuk meninggalkan Forks...
"Alice..." Tapi dia sudah tahu apa yang ingin kutanyakan.
Malam ini dia akan baik-baik saja. Mulai sekarang aku akan mengawasinya lebih
baik. Bisa dibilang dia membutuhkan pengawasan dua puluh empat jam penuh, iya
kan" "Kurang lebih begitu."
"Ngomong-ngomong, kau akan segera menemuinya tidak lama lagi." Aku mengambil
napas panjang. Kata-kata itu begitu indah buatku. "Ayo sana-cepat selesaikan
biar kau bisa segera menemuinya."
Aku mengangguk, dan buru-buru ke kamar Carlisle.
Dia sedang menungguku, pandangannya ke arah pintu dan bukannya ke buku tebal
yang ada di mejanya. "Aku mendengar Alice memberitahumu dimana aku," sambutnya sambil tersenyum.
Akhirnya aku merasa lega bisa bertemu Carlisle, untuk melihat empati dan
kecerdasan di matanya. Dia pasti tahu apa yang mesti dilakukan.
"Aku butuh bantuan."
"Apa saja, Edward."
"Apa Alice memberitahumu apa yang terjadi pada Bella tadi?"
Hampir terjadi, dia mengoreksi.
"Ya, hampir. Aku bingung, Carlisle. Kau tahu, aku ingin...sangat ingin...untuk
membunuh orang itu." kata-kata itu berhamburan begitu saja. "Sangat ingin. Tapi
aku tahu itu salah, karena itu berarti balas dendam, bukan keadilan. Murni
karena marah. Namun tetap saja, rasanya tidak benar membiarkan seorang pembunuh
dan pemerkosa kambuhan berkeliaran di Port Angeles! Aku tidak kenal penduduk di
sana, tapi aku tidak bisa membiarkan ada perempuan lain yang akan menggantikan
posisi Bella dan jadi korban monster itu. Perempuan itu mungkin punya seseorang
yang perasaannya sama dengan perasaanku pada Bella. Sama menderitanya seperti
diriku jika dia disakiti. Itu tidak betul-"
Senyum lebarnya yang tiba-tiba muncul menghentikan semburan kata-kataku.
Efek kehadirannya sangat baik untukmu, iya kan" Kau jadi begitu pengasih, dan
sangat terkontrol. Aku terkesan.
"Aku tidak sedang butuh pujian, Carlisle."
"Tentu saja tidak. Tapi aku kan tidak bisa mengekang pikiranku." Dia tersenyum
lagi. "Aku akan membereskannya. Kau tenang saja. Tidak akan ada lagi korban
berikutnya." Aku bisa melihat rencana di kepalanya. Itulah tepatnya yang kubutuhkan. Memang,
itu tidak memuaskan insting buasku, tapi aku bisa melihat itu hal yang tepat.
"Akan kutunjukan dimana orang itu."
"Ayo kita pergi."
Dia mengambil tas dokter hitam miliknya. Sebetulnya aku lebih setuju jika
memakai penenang yang lebih kuat-seperti dengan memecahkan kepalanya-tapi biar
Carlisle melakukan dengan caranya.
Kami memakai mobilku. Alice masih ada di beranda. Dia tersenyum dan melambaikan
tangan saat kami menjauh. Kulihat dia mengecek jauh ke depan di pikirannya; kami
tidak akan kesulitan. Perjalanannya sangat singkat karena jalanan kosong. Lampu mobil kumatikan agar
tidak menarik perhatian. Aku tersenyum membayangkan bagaimana reaksi Bella
dengan kecepatan seperti ini. Padahal tadi, sebelum dia protes, aku sudah lebih
pelan dari biasanya- untuk memperlama waktu.
Carlisle juga sedang memikirkan Bella.
Tak kusangka sebaik ini dampak Bella bagi Edward. Sangat tak terduga. Barangkali
memang harus seperti ini jalannya. Mungkin ini demi tujuan yang lebih jauh.
Hanya saja... Dia membayangkan Bella dengan kulit pucat dingin dan mata merah-darah, namun
segera mengalihkan bayangan itu.
Ya. Hanya saja. Sudah tentu. Karena, dimana sisi baiknya kalau menghancurkan
sesuatu yang begitu murni dan indah"
Aku memandang ke kegelapan malam. Semua kebahagiaan tadi hancur karena pikiran
Carlisle. Edward pantas untuk bahagia. Dia harus bahagia. Kesungguhan pikiran Carlisle
mengejutkanku. Pasti ada jalan keluar, pikirnya lagi.
Kuharap aku bisa mempercayai itu. Tapi tidak ada tujuan yang lebih jauh dari apa
yang terjadi pada Bella. Yang ada hanya siluman rubah-betina jahat yang
mengendalikanku, yang tidak tahan melihat Bella menjalani kehidupannya.
Aku tidak berlama-lama di Port Angeles. Aku membawa Carlisle ke depan bar,
tempat mahluk bernama Lonnie itu meratapi kekecewaannya bersama dua rekannyayang sudah lebih dulu mabuk berat. Carlisle bisa melihat betapa beratnya bagiku
untuk berada sedekat ini -hingga bisa mendengar pikiran monster itu dan melihat
ingatannya, ingatan tentang Bella yang bercampur dengan gadis-gadis lain yang
sudah jadi korbannya. Napasku memburu. Kucengkram erat kemudi di hadapanku.
Pergilah, Edward, ucap Carlisle lembut. Akan kubuat dia tidak bisa menyakiti
siapa-siapa lagi. Kembalilah ke Bella.
Pilihan kata Carlisle sangat tepat. Nama Bella adalah satu-satunya yang bisa
mengalihkan pikiranku. Kutinggalkan Carlisle sendirian di mobil, dan lari menuju Forks lewat hutan. Ini
makan waktu lebih cepat ketimbang naik mobil. Hanya dalam beberapa menit aku
sudah meniti di bawah jendela kamar Bella dan merangkak masuk.
Aku mendesah lega. Semuanya telah seperti seharusnya. Bella aman di tempat
tidurnya, bermimpi, dengan rambutnya yang basah tergerai diatas bantal.
Tapi, tidak seperti malam-malam lainnya, kini dia meringkuk memeluk badannya.
Kurasa karena dingin. Sebelum aku sempat duduk di tempat biasanya, dia
menggigil, bibirnya ikut gemetar.
Aku memperhatikan sejenak, kemudian menyelinap keluar ke lorong, menjelejahi
bagian dalam rumahnya untuk pertama kalinya.
Dengkuran Charlie keras dan stabil. Aku bahkan hampir bisa menangkap mimpinya.
Sesuatu tentang kegiatan di air dan menunggu dengan sabar...memancing
barangkali" Nah, disana, di dekat tangga, letak lemari yang kucari-cari. Aku membukanya
penuh harap, dan menemukan yang kucari. Aku memilih selimut yang paling tebal,
dan kubawa kembali ke kamar. Akan kukembalikan lagi sebelum dia bangun, tidak
akan ada yang tahu. Sambil menahan napas, dengan hati-hati kuselimuti dia; dia tidak beraksi dengan
beban tambahan itu. Kemudian aku kembali duduk di kursi goyang di pojokan.
Sambil menunggu waswas sampai dia merasa hangat, aku memikirkan Carlisle,
bertanya-tanya dimana dia sekarang. Aku tahu rencananya akan berjalan lancarAlice telah melihatnya. Memikirkan ayahku membuatku menghela napas-Carlisle terlalu memujiku. Seandainya
saja aku adalah sosok yang ia pikir. Sosok itu, yang pantas untuk bahagia,
barangkali cukup pantas buat gadis yang sedang tidur ini. Betapa berbedanya
seandainya aku bisa menjadi Edward yang seperti itu.
Saat sedang mempertimbangkan hal itu, tiba-tiba muncul gambaran lain yang tidak
diundang. Untuk sesaat, sosok siluman rubah betina yang tadi kubayangkan, yang mengidamkan
kehancuran Bella, digantikan oleh sosok malaikat bodoh yang sembrono. Seorang
malaikat pelindung-sesuatu yang seperti versi Carlisle tentang diriku. Dengan
senyum acuh, mata biru yang licik, malaikat itu membuat Bella sedemikian rupa
hingga tidak mungkin bisa kujaga: Aroma tajam yang konyol untuk menggugah
seleraku, pikiran yang sunyi untuk memancing penasaranku, kecantikan yang
mempesona untuk menghipnotis mataku, hati yang tidak egois untuk menangkap
kekagumanku; Dia hapus juga insting pelindungan dirinya-supaya Bella tidak takut
dan betah berada di dekatku-dan, yang terakhir, tambahkan kesialan tanpa batas.
Dengan tawa sembrono, malaikat yang tidak bertanggung jawab itu mendorong kreasi
rapuhnya tepat ke hadapanku. Dia percayakan Bella pada moralku yang rusak untuk
menjaganya tetap hidup. Dalam pandangan ini, aku bukan eksekutor Bella, melainkan dialah hadiahku.
Aku menggeleng-geleng sendiri pada bayangan malaikat tak bermoral seperti itu.
Dia tidak jauh berbeda dengan monster. Tidak mungkin mahluk suci bisa
berkelakuan seburuk itu. Paling tidak kalau siluman rubah betina aku masih bisa
melawannya. Lagi pula, aku tidak punya malaikat pelindung. Mereka cuma untuk orang-orang
baik -orang-orang seperti Bella. Tapi dimana malaikat dia selama ini" Siapa yang
mengawasi dia" Aku tertawa pelan, tertegun, saat menyadari bahwa saat ini aku lah yang
memainkan peran itu. Malaikat berwujud vampir-benar-benar kontras.
Setelah lewat setengah jam, posisi Bella mulai lebih rileks. Napasnya makin
dalam. Dan dia mulai bergumam. Aku tersenyum puas. Ini hal sepele, tapi paling
tidak malam ini dia bisa tidur lebih nyaman berkat aku disini.
"Edward," desahnya, dan dia tersenyum.
Aku menyingkirkan tragedinya sesaat, membiarkan diriku diliputi kebahagiaan.
11. Interogasi CNN mengulas berita itu duluan.
Aku bersyukur muncul sebelum aku berangkat sekolah. Aku tidak sabar ingin
mendengar cara manusia mengulas kejadiannya, dan seberapa menarik perhatian.
Untung hari ini ada berita yang lebih besar. Ada gempa bumi di Amerika Selatan
dan penculikan tokoh politik di Timur Tengah. Jadi berita itu cuma diulas
beberapa detik, dengan satu foto yang tidak jelas.
"Alonzo Calderas Wallace, tersangka pembunuh dan pemerkosa kambuhan, yang jadi
buron di negara bagian Texas dan Oklahoma, telah berhasil ditangkap di Portland,
Oregon. Wallace berhasil ditangkap berkat adanya informasi dari orang yang tak
dikenal. Dia ditemukan tidak sadarkan diri di sebuah gang dini hari tadi, hanya
beberapa meter dari kantor polisi. Saat ini pihak berwenang belum bisa
Pendekar Pedang Akhirat 2 Pendekar Slebor 32 Malaikat Peti Mati Empat Mayat Aneh 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama