Ceritasilat Novel Online

Monte Cristo 8

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 8


Caderousse. Caderousse menarik napas lega.
"Beri lagi saya air kehidupan itu! Tambah lagi!"
"Dua tetes lagi engkau mati."
"Oh, mengapa jaksa itu belum juga tiba?"
"Mau engkau kalau aku menuliskan pernyataanmu?"
"Ya! Ya!" Matanya bersinar gembira karena membayangkan pembalasan dendam dari
alam baka. Monte Cristo menulis : "Orang yang menikam saya, seorang Corsica bernama Benedetto, kawan sepelarian
saya dari penjara Toulon."
"Cepat," kata Caderousse, "nanti saya tak sempat menandatanganinya."
Monte Cristo menyerahkan pena kepadanya. Caderousse menyerahkan segenap
tenaganya untuk menandatangani pernyataan itu. Setelah itu ia jatuh terkulai
lagi. "Bapak akan menceriterakan selebihnya, bukan" Ceriterakan bahwa dia
menyebut dirinya sekarang Andrea Cavalcanti, bahwa dia tinggal di Hotel des
Princes, bahwa . . .Oh, Tuhan!
Tuhan! Saya mati!" Caderousse tak sadarkan diri. Monte Cristo menyodorkan botol
obat ke bawah hidungnya supaya dia dapat menghirup baunya.
Caderousse membuka matanya lagi. Nafsu membalas
dendamnya tidak hilang selama dia pingsan. "Bapak akan menceriterakannya lagi,
bukan?" tanyanya lagi.
"Ya, semuanya dan yang lain-lainnya lagi."
"Apa yang lain-lainnya?"
"Aku akan ceriterakan bahwa dia memberikan denah rumah ini dengan harapan bahwa
Count of Monte Cristo akan membunuhmu. Akan aku katakan juga bahwa dia
mengirim surat kepada. Count of Monte Cristo memberitahukan tentang maksudmu,
dan bahwa, karena Count of Monte Cristo sedang tidak ada di tempat, akulah yang
menerima surat itu dan menunggumu di sini."
"Dia akan dihukum pancung, bukan" Tolong yakinkan saya bahwa dia akan dipancung.
Keyakinan itu akan memudahkan saya mati."
"Aku akan ceriterakan bahwa dia mengikutimu ke mari,"
lanjut Monte Cristo tanpa menghiraukan perkataan
Caderousse, "bahwa dia mengawasimu selama engkau berada dalam rumah ini, dan
menyembunyikan dirinya di sana."
"Maksud Bapak, Bapak melihat semuanya itu?"
"Ingat kata-kataku" Kalau engkau selamat sampai di rumah, aku yakin bahwa Tuhan
mengampunimu dan aku pun akan mengampunimu."
"Bapak tidak memberitahu saya!" Caderousse berteriak mencoba bangkit. "Bapak
tahu saya akan dibunuh dan Bapak tidak memperingatkan saya!"
"Tidak, karena aku melihat keadilan Tuhan ada pada tangan Benedetto dan aku
berpendapat salah kalau aku menentang kehendak Tuhan."
"Jangan berkata tentang keadilan Tuhan kepadaku, Padri Busoni! Bapak tahu lebih
dari orang lain bahwa kalau benar ada keadilan Tuhan, banyak orang harus
dihukum. Nyatanya tidak." "Sabar!" kata padri dengan nada suara yang mambuat rang sekarat itu gemetar.
"Dengarkan, baik-baik. Tuhan yang engkau ingkari sampai detik terakhirmu di bumi
ini, adalah yang memberikan kesehatan, kekuatan, kerja yang menguntungkan dan
sahabat-sahabat. Pendeknya segala yang diperlukan manusia untuk dapat hidup
dengan hati yang bersih dan dapat menikmati keinginannya yang wajar.
Tetapi, bukannya mensyukuri pemberian Tuhan yang
engkau lakukan, melainkan menenggelamkan dirimu
sendiri ke dalam kemalasan dan mabuk, dan dalam
kemabukan itu engkau mengkhianati salah seorang dari sahabat baikmu."
"Tolong! Aku perlu dokter, bukan padri! Mungkin lukaku tidak parah, mungkin
jiwaku masih dapat ditolong!"
"Luka-lukamu sangat parah sehingga seharusnya engkau sudah mati kalau aku tidak
memberimu obat tadi."
"Padri aneh!" Caderousse menggerutu. "Bapak meng-giring orang sekarat ke dalam
penyesalan, bukannya menghibur!"
"Dengarkan, baik-baik," lanjut Monte Cristo. "Ketika engkau mengkhianati
sahabatmu, Tuhan tidak menghukummu, tetapi cukup dengan memperingatkanmu.
Engkau jatuh miskin. Segera engkau berpikir jahat dan membuat kemiskinanmu
sebagai dalih. Ketika Tuhan
menciptakan suatu keajaiban untukmu dengan memberimu suatu rijki yang besar,
suatu kekayaan yang sangat besar bagimu yang sedang tidak mempunyai apa-apa,
ternyata rijki yang tidak diduga itu masih belum cukup juga bagimu.
Segera setelah engkau menggenggamnya engkau bernafsu melipatgandakannya. Dan
dengan jalan apa" Dengan
pembunuhan. Engkau berhasil melipatgandakannya, tetapi Tuhan me-renggutnya kembali dari
tanganmu dan menyerahkan engkau kepada keadilan manusia. Namun demikian, Dia masih juga mengasihimu
dengan membuat hakim-hakim tidak menghukummu mati."
"Bapak anggap sebagai suatu kemurahan karena mereka menghukum saya dengan kerja
paksa seumur hidup?"
"Engkau pun berpikir begitu ketika hukuman itu dijatuhkan, bedebah. Jiwamu yang
pengecut, gemetar ketakutan menghadapi kematian, tetapi melonjak
kegirangan ketika mendengar dengan telingamu sendiri engkau dihukum harus
menjalani kehidupan yang memalukan seumur hidup. Engkau sendiri mengatakan, seperti juga pesakitanpesakitan lainnya: 'Penjara mempunyai pintu, tetapi kuburan tidak.' Dan engkau
benar, ternyata pintu penjara itu terbuka untukmu dengan cara yang sama sekali
tidak terduga: Seorang Inggris berkunjung ke Toulon dan karena ia telah membuat
janji kepada dirinya sendiri untuk membebaskan dua orang dari
kehinaannya, kebetulan memilih engkau dan kawanmu.
Tuhan memberimu lagi kesempatan untuk kedua kalinya: Kalian berdua mempunyai
uang dan kebebasan dan engkau sebenarnya dapat memulai hidup haru Tetapi
ternyata engkau menentang lagi Tuhan untuk ketiga kalinya. 'Aku merasa tidak
cukup,' katamu kepada dirimu sendiri padahal keadaanmu belum pernah sebaik itu.
Dan engkau membuat kejahatan ketiga, tanpa alasan. Akhirnya Tuhan murka dan
menghukummu." "Dan engkau pun akan dihukum," kata Caderousse.
"Karena tidak melakukan kewajibanmu sebagai padri.
Seharusnya engkau mencegah Benedetto menikam aku."
"Aku!" kata Monte Cristo dengan senyum yang membuat darah Caderousse menjadi
dingin. "Aku harus mencegah Benedetto membunuhmu setelah engkau menikam dadaku
yang untung berperisai" Seandainya tadi engkau bersikap merendah dan menyesal
mungkin sekali aku akan mau menyelamatkan jiwamu, tetapi ternyata engkau malah
sombong dan haus darah."
"Aku tidak percaya kepada Tuan, dan engkau pun tidak!"
teriak Caderousse. "Engkau bohong! Engkau bohong!"
"Diam, darahmu bisa habis terkuras dari pembuluhnya.
Engkau tidak percaya kepada Tuhan, padahal sekarang ini engkau sedang
dihancurkan oleh Tuhan. Engkau tidak percaya kepada Tuhan, padahal yang Tuhan
harapkan darimu hanyalah sebuah doa sepatah kata atau setitik air mata
penyesalan agar engkau dapat diampuni. Sebenarnya Tuhan dapat saja mengarahkan
pisau Benedetto sedemikian rupa sehingga engkau mati seketika. Tetapi tidak.
Tuhan masih memberimu kesempatan seperampat jam kepadamu untuk merasakan dan
membuat penyesalan. Tanyalah hati nuranimu sendiri, keparat, dan menyesallah!"
"Tidak, tidak, aku tidak mau bertobat! Tidak ada Tuhan, tidak ada Yang Maha
Kuasa. Yang ada hanyalah kebetulan!" "Ada Yang Maha Adil, yaitu Tuhan' jawab Monte Cristo tandas. "Buktinya, engkau
sekarang terbaring tanpa daya menghadapi mati sambil mengingkari Tuhan, dan aku,
kaya, bahagia, sehat dan sejahtera, berdiri di hadapanmu sambil merapatkan kedua
belah tanganku di dada sebagai tanda hormat kepada Tuhan, Tuhan yang hendak
engkau coba mengingkarinya, tetapi yang dalam lubuk hatimu mau tidak mau engkau
percaya juga." "Siapa sebenarnya engkau ini?" tanya Caderousse memusatkan matanya yang telah
kabur ke wajah Monte Cristo. "Coba perhatikan aku baik-baik," jawab Monte Cristo sambil melangkah lebih
mendekat dan mengangkat lilin.
"Engkau . . . Padri Busoni."
Monte Cristo melepaskan rambut palsunya dan
membiarkan rambutnya yang hitam terurai hampir
menutup mukanya yang pucat.
"Oh!" Caderousse kacau. "Kalau rambutmu tidak hitam, aku akan mengatakan engkau
adalah orang Inggris itu, Lord Wilmore!"
"Aku bukan Padri Busoni dan bukan pula Lord wilmore," jawab Monte Cristo,
"Perhatikan lebih baik, lihat, kerahkan semua daya ingatmu."
"Rasanya aku telah pernah melihatmu, rasanya aku telah pernah mengenalmu
dahulu." "Betul, Caderousse, engkau pernah melihatku, engkau pernah mengenalku."
"Tetapi siapa" Dan kalau memang engkau telah mengenalku mengapa engkau
membiarkan aku mati?"
"Oleh karena tidak seorang pun akan dapat menyelamat-kanmu sekarang, Caderousse,
sebab luka-lukamu sangat parah. Seandainya masih ada harapan aku akan
menganggapnya sebagai pengampunan terakhir dari Tuhan dan aku bersumpah di
hadapan kuburan ayahku bahwa aku mau mencoba menolongmu kembali ke dalam
kehidupan dan penyesalan."
"Katakan siapa engkau sebenarnya!"
Monte Cristo senantiasa mengawasi wajah Caderousse dan ia tahu sekarang ajalnya
sudah dekat sekali. Dia membungkuk dan mendekatkan bibirnya ke telinga orang
yang sekarat itu, "Aku adalah. . ." Bibirnya membisikkan suatu nama demikian
lemahnya seakan-akan dia sendiri takut untuk mendengarnya,
Caderousse merentangkan lengannya, lalu merapatkan kedua belah telapak tangannya
dengan sangat susah payah.
"Ya Tuhanku!" katanya. "Maafkan aku karena telah me-ngingkariMu. Aku yakin
sekarang bahwa Engkau ada, bahwa Engkau adalah Bapak semua manusia di surga dan
Hakim di dunia. Sekian lamanya aku menolak
kehadiranMU. Ya Tuhan! Ampunilah aku! Ampunilah! Ya Tuhan, ampunilah! "
Dengan menutup mata dibarengi pekik lemah dan
hembusan nafas terakhir Caderousse rebah terkulai. Dia mati.
"Satu!" kata Monte Cristo penuh rahasia, seraya memandang tajam kepada mayat.
Sepuluh menit kemudian dokter dan Jaksa datang.
Mereka mendapatkan Padri Busoni sedang berdo'a untuk yang baru meninggal.
Selama dua minggu masyarakat Paris hanya membicarakan percobaan perampokan di
rumah Monte Cristo. Pencuri yang mati tertusuk sempat menandatangani sebuah pernyataan bahwa orang
bernama Benedetto yang menikamnya dan polisi sedang mengerahkan segala
kemampuannya untuk menangkapnya.
Pisau Caderousse, lentera, rangkaian kunci dan pakaiannya, kecuali rompinya yang
tidak dapat ditemukan kembali, semuanya disimpan di kantor polisi. Mayatnya di
bawa ke rumah mayat Kepada setiap yang bertanya, Count of Monte Cristo selalu mengatakan bahwa malam
itu dia berada di rumahnya di Auteuil dan sebab itu ia hanya mengetahui dari apa yang
diceriterakan oleh Padri Busoni yang kebetulan pada malam itu meminta izin
menginap di sana karena perlu mempelajari beberapa buku tertentu di
perpustakaannya. Wajah Bertuccio selalu menjadi pucat setiap kali ia mendengar nama Benedetto
disebut di hadapannya, tetapi tak seorang pun mempunyai alasan untuk
memperhatikan kepucatan wajah Bertuccio.
BAB XLVII MONTE Cristo berseru gembira ketika pada suatu pagi dia menerima kunjungan
Albert de Morcerf dan kawannya, Beauchamp
"Kami mengganggu rupanya. Tampaknya Tuan sedang sibuk membereskan berkas suratsurat," kata Albert.
"Sama sekati tidak. Itu berkas Tuan Cavalcanti."
"Tuan Cavalcanti?" tanya Beauchamp.
"Ya!" kata Albert. "Apakah engkau tidak tahu dialah anak muda yang diperkenalkan
Count of Monte Cristo ke dalam masyarakat Paris?"
"Nanti dulu," kata Monte Cristo, "saya tidak memperkenalkan siapa pun juga,
apalagi Tuan Cavalcanti."
"Dan dialah yang akan menggantikan saya mengawini putri Tuan Danglars," lanjut
Albert. "Dapat kaubayangkan bagaimana perasaanku."
"Apa?" Beauchamp heran. "Cavalcanti akan mengawini Nona Danglars?"
"Bagaimana mungkin sebagai seorang wartawan, Tuan tidak mengetahuinya?" kata
Monte Cristo. "Setiap orang sibuk mempergunjingkannya."
"Tuankah yang mengatur perkawinan itu?"
"Saya yang mengaturnya" Ya Tuhan! Rupanya Tuan tidak mengenal saya. Bahkan
sebaliknya sekali, saya menentangnya."
"Oh saya mengerti. Tentu karena Albert."
"Karena aku?" seru Albert. "Sama sekali tidak. Count of Monte Cristo dapat
mengatakan bahwa aku meminta
pertolongan beliau untuk memutuskan pertunangan kami.
Dan sekarang telah putus, sekalipun beliau mengatakan bukanlah kepada beliau
tempat aku berterima kasih untuk kebahagiaan ini."
"Walau demikian, tampaknya engkau tidak berbahagia,"
kata Monte Cristo. "Mungkinkah, meskipun tidak kausadari sebenarnya engkau
mencintai Nona Danglars?"
"Tidak tahulah," kata Albert tersenyum.
"Tetapi engkau agak aneh hari ini. Ada apa?"
"Sakit kepala."
"Kalau begitu, saya mempunyai obat yang manjur sekali.'
"Apa?" "Bepergian. Kebetulan sekali saya pun sedang menghadapi banyak hal yang
menjengkelkan, sebab itu saya merencanakan untuk bepergian. Mau ikut?"
"Dengan senang hati. Ke mana?"
"Ke tempat-tempat di mana udara jernih, di mana setiap suara menenangkan sarafsaraf, di mana orang akan mcra sakan dirinya rendah dan kecil betapapun angkuh
sebenarnya . . . pendeknya, kita akan berlayar. Saya mencintai lautan seperti
orang lain mencintai wanita piaraannya dan saya selalu rindu kepadanya bila
telah lama tidak melihatnya."
"Baik, Count, mari kita berangkat!" kata Albert.
"Ke laut?" "Ya." "Berarti kau menerima undanganku?"
"Ya." "Terima kasih. Nanti sore di pekarangan rumahku akan ada sebuah kereta di mana
kita dapat melonjorkan kaki dengan leluasa seperti di atas ranjang sendiri. Tuan
Beau champ, kereta itu cukup luas untuk empat orang. Apa Tuan ada minat?"
"Terima kasih, tetapi saya baru saja kembali dari lautan.
Dari Kepulauan Borromei."
"Tak apa, ikutlah!" kata Albert.
"Tidak. Aku yakin kau tahu, kalau aku menolak betul-betul karena tidak dapat
meninggalkan Paris waktu ini."
"Bukan karena sangat penting untuk saya, tetapi bolehkah saya tahu ke mana
tujuan kita?" tanya Albert.
"Ke Normandia. Setuju?"
"Setuju sekali. Betulkah kita akan berada di dalam desa terpencil tanpa
masyarakat tanpa tetangga?"
"Kawan kita hanyalah kuda-kuda untuk ditunggangi, anjing-anjing untuk berburu
dan sebuah kapal kecil untuk mancing di lautan."
"Itulah yang saya perlukan sekarang. Saya akan memberi tahu ibu dan setelah Itu
saya siap berangkat kapan saja Tuan suka."
"Baik. Kita akan berangkat jam lima sore. Dapat?"
"Dapat. Saya tidak mempunyai kesibukan apa-apa sampai sore nanti kecuali
mempersiapkan segala sesuatu untuk perjalanan ini."
Albert meminta diri. Setelah mengangguk sambil tersenyum, Monte Cristo berdiri
bagai patung untuk beberapa saat seperti orang yang fana dalam semedi. Dia
mengusap k an tangan kanannya ke dahi seakan-akan hendak menghapus khayalannya,
lalu menghampiri gong dan memukulnya tiga kali. Bertuccio masuk.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bertuccio, saya berangkat ke Normandia sore nanti.
Bukan besok atau lusa seperti direncanakan semula. Suruh orang memberitahukan
tempat penggantian kuda yang pertama akan dilalui. Tuan Albert de Morcerf akan
menyertaiku." Bertuccio menurut. Seorang kurir bergegas pergi ke Pontoise untuk memberitahukan
bahwa kereta Count of Monte Cristo akan lalu sore itu. Dari Pontoise kurir yang
lain diperintahkan pergi ke tempat penggantian kuda berikutnya, dan seterusnya,
sampai enam jam kemudian semua kandang yang berada dalam jalur perjalanan itu
sudah diberi tahu. Sebelum berangkat Monte Cristo pergi menemui Haydee memberitahukan bahwa ia akan
berangkat dan tempat tujuannya, lalu meminta agar Haydee menguruskan seluruh
urusan rumah tangganya. Albert datang tepat pada waktunya. Perjalanan yang semula menjemukan segera
berubah karena kecepatannya.
Albert belum pernah mengalami hal seperti ini.
"Inilah suatu kenikmatan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya: kenikmatan
kecepatan," katanya. "Tetapi dari mana Tuan mendapatkan kuda-kuda seperti ini"
Apakah Tuan menyuruh membuatnya?"
"Tepat sekali," jawab Monte Cristo. "Enam tahun yang lalu di Hongaria saya
menemukan seekor kuda jantan yang termashur kecepatan larinya. Saya membelinya,
entah dengan harga berapa karena Bertuccio yang mengurusnya.
Pada tahun itu juga kuda itu sudah menjadi bapak dari tiga puluh dua ekor anak
kuda Ketiga puluh dua kuda yang akan kita gunakan malam ini semuanya berasal
dari kuda yang satu itu. Semuanya hampii sama, hitam legam dengan titik putih
seperti bintang pada dahinya, karena induk-induknya dipilih dengan cermat sekali
seperti seorang sultan memilih harem kesayangannya."
"Luar biasa! Apa yang Tuan lakukan dengan semua kuda itu?"
"Untuk bepergian seperti sekarang ini."
"Ya,ya. Tetapi kan tidak selalu bepergian?"
"Pada suatu saat, kalau saya sudah tidak memerlukannya lagi, Bertuccio akan
menjualnya. Menurut dia, dia bisa menjualnya dengan harga antara tiga puluh dan
empat puluh ribu frank."
"Bolehkah saya mengutarakan sesuatu yang tiba-tiba terpikirkan?"
"Silakan." "Rupanya Tuan Bertuccio itu orang yang terkaya di Eropa setelah Tuan."
"Keliru sekali, Viscount. Saya yakin, kalau Tuan membalikkan saku bajunya, Tuan
tidak akan menemukan uang lebih dari sepuluh sen."
"Mengapa begitu?" kata Albert. "Kalau begitu, dia mesti merupakan keajaiban yang
kedelapan setelah tujuh keajaiban dunia yang tersohor itu. Saya ingatkan
Tuan.Count, kalau Tuan menceriterakan lagi macam-macam keanehan saya tidak dapat
mempercayai lagi Tuan."
"Tidak ada yang aneh dalam kelakuan saya ini, Albert.
Ini hanya mas'alah angka-angka dan logika. Coba, pikirkan pertanyaan ini:
Mengapa seorang pengurus rumah tangga mencuri?"
"Ya, karena bakatnya sudah begitu. Dia mencuri untuk mencuri."
"Bukan. Dia mencuri karena dia mempunyai istri dan anak-anak, karena dia ingin
memenuhi keinginannya sendiri dan keluarganya, dan di atas segala-galanya,
karena dia tidak yakin akan dapat terus bekerja pada majikannya sehingga perlu
memastikan masa depannya. Tetapi
Bertuccio seorang yang sebatang kara. Dia mengeluarkan uang saya tanpa harus
mempertanggungjawabkannya dan dia yakin tidak akan meninggalkan saya."
"Mengapa dia seyakin itu?"
"Karena saya tidak mungkin mendapatkan pengurus rumah tangga yang lebih baik."
"Tuan bermain dengan kemungkinan-kemungkinan."
"Sama sekali tidak. Justru saya selalu bersandar kepada kepastian. Buat saya,
seorang pelayan yang baik adalah pelayan yang merasa mati-hidupnya berada di
tangan majikannya." "Dan Tuan merasa mempunyai hak itu terhadap Bertuccio?"
"Ya," kata Monte Cristo. Ada beberapa kata yang dapat menutup sebuah percakapan
seperti sebuah pintu besi. Dan perkataan "ya" dari Monte Cristo itu adalah salah
satu di antaranya. Sisa dari perjalanan dilakukan dengan kecepatan yang sama. Ketiga puluh dua ekor
kuda yang terbagi pada delapan buah tempat penggantian menempuh tujuh puluh dua
kilometer dalam waktu delapan jam.
Di tengah malam buta mereka sampai di pintu gerbang sebuah perkebunan yang
indah. Seorang penjaga pintu membukakannya untuk mereka. Rupanya ia sudah
diberitahu oleh kurir dari tempat penggantian kuda yang terakhir.
Albert diantarkan ke tempat menginapnya, di mana ia menemukan bak mandi dan
makanan sudah disediakan.
Setelah mandi dan makan ia tidur. Sepanjang malam ia dibuai oleh senandung ombak
yang memecah pantai. Ketika pagi harinya terbangun segera ia pergi ke jendela,
membukanya, dan terhamparlah di hadapannya samudera yang luas.
Di teluk berlabuh sebuah kapal kecil, tiang layarnya tinggi sedang badannya
ramping. Sekelilingnya terdapat beberapa buah perahu milik nelayan-nelayan dari
kampung-kampung sekitarnya. Perahu -perahu itu nampak seperti pelayan-pelayan
sederhana yang patuh menantikan perintah dari catunya, kapal milik Count of
Monte Cristo itu. Hari itu dihabiskan dengan berbagai macam olahraga.
Dalam semua bidang Count of Monte Cristo mengungguli tamunya. Mereka berhasil
menembak selusin ekor burung kuau, menangkap sejumlah ikan dan akhirnya minum
teh di ruang perpustakaan.
Menjelang senja pada hari ketiga. Albert merasa kepayahan karena kebanyakan
olahraga yang banyak memeras tenaganya. Untuk Monte Cristo olahraga itu tak
ubahnya seperti permainan anak kecil. Albert tertidur dekat jendela.
Suara kuda berlari di pekarangan membuatnya bangun dan melihat ke luar melalui
jendela, ia terkejut karena yang datang itu pelayannya sendiri.
"Mengapa Florentin ada di sini?" katanya keras sambil bangkit melompat. "Apakah
ibu sakit mungkin?" Dia berlari menemui orang yang baru tiba dan nampak masih
terengah-engah. Florentin menyerahkan sebuah bungkusan yang bersegel yang
ternyata berisi selembar surat kabar dan sehelai surat.
"Dari siapa surat ini?"
"Dari Tuan Beauchamp.'
"Tuan Beauchamp yang menyuruhmu ke mari?"
"Betul, Tuan. Beliau memberi saya uang untuk perong kosan di jalan, menyewakan
seekor kuda dan beliau meminta saya berjanji untuk tidak berhenti sebelum saya
menemui Tuan. Saya tempuh perjalanan ini dalam lima belas jam."
Albert membuka surat. Setelah membaca beberapa alinea dia mengeluarkan suara
terkejut, lalu menyambar surat kabar dengan tangan gemetar. Tiba-tiba
penglihatannya menjadi kabur, kakinya melemah tidak kuat menahan berat tubuhnya.
Dia bersandar kepada Florentin yang mencoba menahannya dengan kedua belah
tangannya. "Anak muda yang malang," gumam Monte Cristo yang mengawasinya sejak tadi. "Tidak
dapat dipungkiri bahwa dosa seorang ayah akan membebani anak-anaknya dan
keturunannya sampai ke tingkat keempat."
Sementara itu Albert sudah dapat menguatkan dirinya kembali dan melanjutkan
membaca setelah meremas-remas surat kabar dan surat dari temannya itu.
"Florentin, apakah kudamu masih kuat untuk kembali ke Paris sekarang?"
"Hanya seekor kuda tua. Tuan "
"Ya Tuhan! Bagaimana di rumah ketika engkau pergi?"
"Tenang-tenang saja tampaknya, Tuan. Tetapi ketika sa-ya kembali dari rumah Tuan
Beauchamp saya mendapatkan Nyonya de Morcerf berada di teras berlinang air mata.
Beliau memerintahkan saya mencari keterangan di mana Tuan berada, dan bila Tuan
akan kembali. Saya katakan kepada beliau bahwa Tuan Beauchamp meminta saya
berangkat untuk membawa Tuan kembali. Mula-mula beliau hendak mencegah saya
pergi, tetapi rupanya setelah berpikir kembali beliau berkata, "Ya, Florentin,
pergilah dan katakan cepat pulang."
Albert membalikkan badan lalu masuk ke dalam ruangan di mana Count of Monte
Cristo mengawasinya. "Count,"
katanya. "Saya berterima kasih sekali untuk penerimaan Tuan di sini dan
sebenarnya saya masih mau menikmati lebih lama lagi, tetapi sayang saya harus
segera kembali ke Paris."
"Ada apa, begitu tiba-tiba?"
"Suatu malapetaka' Ijinkan saya berangkat segera ....
sesuatu yang lebih berharga dari nyawa saya sendiri sedang dalam pertaruhan.
Saya harap Tuan tidak bertanya, tetapi berilah saya seekor kuda!"
"Silakan pilih mana yang Tuan sukai. Tetapi tuan akan mati kepayahan kalau
kembali dengan berkuda. Lebih baik ambillah kereta."
"Tidak, saya kira itu akan mengambil waktu terlalu lama.
Selain itu saya memang memerlukan sekali kepayahan yang Tuan khawatirkan itu.
Untuk saya bahkan akan baik sekali."
Albert terhuyung-huyung seperti orang kena tembak lalu terjatuh ke atas kursi
dekat pintu. Monte Cristo tidak melihatnya karena dia sudah berjalan ke jendela
untuk berteriak, "Ali, sediakan kuda untuk Tuan de Morcerf!
Cepat . . . beliau akan berangkat sekarang juga!"
Teriakan ini membangunkan Albert kembali kepada
kenyataan. Dia berlari ke luar ruangan dan Monte Cristo mengikutinya. "Terima
kasih," kata anak muda itu ketika ia sudah duduk di pelana. "Apakah ada kata
sandi yang perlu saya ucapkan di tempat penggantian kuda?"
"Tidak ada. Berikan saja kuda ini kepada mereka dan mereka akan menggantinya
dengan yang baru." "Mungkin sekali Tuan menganggap keberangkatan saya ini aneh dan kurang bijaksana
" kata Albert. "Tuan mungkin tidak akan mengerti mengapa beberapa kalimat dalam
sebuah surat kabar dapat mengantarkan seseorang kepada keputusasaan. Bacalah
ini, Tuan. Tetapi harap setelah saya pergi. Dengan demikian Tuan tidak akan
melihat bagaimana saya merasa malu." Albert lalu melemparkan koran yang dipegangnya
selama Itu. Ketika Monte Cristo memungut koran Albert menekankan tumitnya ke perut kuda
dengan keras sekali dan kuda itu lalu melesat bagaikan anak panah lepas dari
busurnya. Monte Cristo mengawasinya dengan pandangan iba. Dia menunggu sampai Albert
hilang dari pandangan. Baru setelah itu dia membaca berita ini:
"Terdapat banyak petunjuk bahwa seorang opsir Perancis yang diberi tugas oleh
Ali Pasha, penguasa Yanina, untuk mempertahankan benteng pertahanan kota Yanina,
telah menyerahkan benteng itu secara khianat kepada musuh Ali Pasha, yaitu
bangsa Turki. Opsir itu dikenal dengan nama Fernand Mondego. Setelah peristiwa
itu namanya berubah karena mendapat gelar bangsawan.
Sekarang dia dikenal dengan nama Count of Morcerf dan menjadi anggota parlemen
Perancis." BAB XLVIII ALBERT memasuki rumah Beauchamp dengan berlarilari pada jam delapan pagi keesokan harinya. Pelayan Beauchamp sudah diberitahu
untuk menunggu kedatangan Albert sehingga ketika Albert datang langsung dibawa
dia masuk ke kamar tidur majikannya.
"Aku menunggumu, kawan " kata Beauchamp sebagai penyambutan.
"Dan aku telah datang," jawab Albert. "Suratmu menunjukkan kesetiakawanan dan
simpatimu. Terima kasih. Sebab itu, ceriterakan saja sampai hal yang sekecil-kecilnya, tak usah dibungkus
bungkus ' Albert tercekam rasa malu dan sedih ketika dia mendengarkan center a Beauchamp
ini. Berita itu muncul dua hari lebih cepat di koran lain daripada dalam koran
Beauchamp. Beauchamp sedang sarapan ketika ia membacanya. Tanpa menyelesaikan
sarapannya ia bergegas pergi ke kantor koran itu. Sekalipun politik koran mereka
bertentangan sama sekali namun ia bersahabat baik dengan editornya.
"Aku ingin bertanya tentang berita mengenai Morcerf itu," kata Beauchamp
langsung ketika bertemu. "Oh, ya mengherankan sekali, bukan?" jawabnya.
"Begitu mengherankan sehingga engkau mungkin menghadapi risiko dituntut karena
memfitnah." "Tidak mungkin. Orang yang memberi keterangan itu didukung dengan bukti-bukti
yang sangat kuat sehingga ka-mi yakin sekali Tuan de Morcerf tak akan berani
berbuat apa-apa. Dan adalah merupakan suatu jasa kepada negara kalau kita
membongkar rahasia pengkhianat yang tidak pantas menikmati kehormatan kehormatan
yang diberikan negara dan masyarakat kepadanya."
"Siapa yang memberikan keterangan itu?"
"Kemarin, seorang yang baru kembali dari Yanina datang kepada kami dengan
membawa setumpuk dokumen.
Mula-mula kami ragu untuk memuatnya, tetapi dia
mengancam akan memberikannya kepada koran lain.
Engkau seorang wartawan, Beauchamp, jadi engkau dapat memahami apa artinya
mempunyai bahan berita yang
sangat penting. Kami tidak dapat membiarkannya lepas dari tangan kami. Sekarang,
setelah tembakan dilepaskan, gemanya akan menggaung di seluruh Eropa."
Beauchamp menyadari sudah tidak ada lagi yang dapat diperbuat. Dia meninggalkan
kantor itu untuk memberi kabar kepada Albert.
Tetapi apa yang tidak dapat ditulisnya kepada Albert karena terjadi setelah
pesuruhnya berangkat ke tempat Albert, adalah pada hari itu juga telah terjadi
pembicaraan yang sengit di Parlemen. Hampir setiap anggota datang jauh sebelum
waktu sidang untuk membicarakan perkembangan yang memalukan ini mengenai salah
seorang rekan mereka yang ternama. Beberapa anggauta masih membaca berita itu,
yang lain-lainnya saling bertukar pengetahuan tentang latar belakang de Morcerf
sehingga makin membe-ratkan tuduhan. Count of Morcerf tidak disukai oleh
rekanrekannya. Seperti setiap orang kaya baru ia bersikap angkuh sekali.
Count of Morcerf sendiri, adalah satu-satunya orang yang tidak membaca berita
itu. Pada hari itu dia tidak menerima koran yang memuat berita tentang dirinya
dan lagi pula pagi itu dia sibuk menulis beberapa surat dan selanjutnya mencoba
kudanya yang baru. Oleh sebab itu dia datang ke Parlemen pada waktu seperti
biasa dengan keangkuhan yang biasa pula, tanpa menyadari keragu-raguan petugas
penerima dan pengantar tamu dan tanpa merasakan salam yang tidak sehangat biasa
dari para rekannya. Sidang sudah berlangsung setengah jam ketika ia masuk.
Sikap Tuan de Morcerf yang tidak berubah karena tidak mengetahui perkembangan
terakhir, dirasakan oleh rekanrekannya sekarang sebagai keangkuhan yang melebihi
dari biasanya. Kehadirannya terasa sebagal suatu sikap menantang sehingga banyak
yang menganggapnya sebagai sikap yang gila, sebagian menganggapnya sebagal
kurang-ajar dan yang lainnya merasakannya sebagai sikap menghina.
Jelas sekali bahwa sidang ingin segera membuka perde batan tentang mas'alah itu.
Surat kabar yang memberitakan itu berada di setiap tangan, tetapi sebagaimana
biasa, setiap orang ragu-ragu untuk memulai serangan. Akhirnya, salah seorang
bangsawan terhormat yang menjadi musuh bebuyu-tan Morcerf naik mimbar dan dengan
khidmat memberitahukan bahwa saat yang dinantikan telah tiba. Keheningan dalam
sidang sangat mencekam. Hanya Morcerf yang tidak mengerti apa sebab perhatian
yang begitu besar diberikan kepada pembicara yang biasanya tidak pernah
diperhatikan. Tetapi ketika untuk pertama kalinya pembicara itu menyebut Yanina dan nama
Kolonel Fernand Mondego, Morcerf menjadi sangat pucat dan getar badannya seakanakan menggetarkan seluruh ruangan sehingga setiap mata dipusatkan kepadanya.
Pembicara mengakhiri pidatonya dengan permintaan supaya segera diadakan
penyelidikan secepat mungkin, untuk menghancurkan fitnah itu sebelum menyebar
luas dan untuk mengembalikan kehormatan Tuan de Morcerf dalam pandangan
masyarakat. Morcerf sangat tercekam karena bencana oesar yang sangat mendadak ini sehingga
ia tidak dapat mengeluarkan kata sepatah pun. Matanya terbelalak hampa memandang
kawan-kawannya. Rasa malu yang terpancar pada wajah Morcerf biasa timbul baik
pada orang yang tidak bersalah maupun pada orang yang bersalah. Oleh sebab itu
keadaannya membangkitkan rasa kasihan juga pada sebagian anggota. Orang-orang
yang memang berwatak baik senantiasa siap untuk memberikan rasa simpatinya kalau
kecelakaan yang menimpa musuhnya itu sudah melampaui batas
kebenciannya. Ketua sidang menawarkan pemungutan suara untuk me-netapkan perlu tidaknya
penyelidikan. Sidang akhirnya memutuskan untuk melaksanakannya segera mungkin.
Morcerf ditanya berapa waktu yang dia perlukan untuk persiapan membela dirinya.
Keberaniannya pulih kembali ketika dia merasakan bahwa dirinya masih hidup
setelah menerima pukulan pertama.
"Tuan-tuan," katanya, "bukan dengan waktu seseorang harus menangkis serangan
seperti yang baru saja dilontarkan terhadap diri saya oleh musuh-musuh
tersembunyi. Saya akan menjawab pukulan yang bagaikan halilintar yang baru saja
memusingkan saya sejenak itu, sekarang juga di tempat ini juga. Saya hanya bisa
mengharap bahwa, daripada menangguhkannya saya lebih suka darah saya tumpah


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membuktikan kepada Tuan-tuan bahwa saya cukup berharga untuk menganggap
diri saya setaraf dengan Tuan-tuan dalam segala hal."
Kata-kata ini menimbulkan kesan yang menguntungkan bagi Morcerf. "Karena itu
saya meminta supaya penyelidikan dilaksanakan secepat mungkin dan saya akan
membantu Sidang dengan menyerahkan semua dokumen yang diperlukan."
"Apakah sidang berpendapat bahwa penyelidikan perlu dilakukan hari ini juga?"
Ketua bertanya, "Perlu!" jawab hadirin berbarengan.
Sebuah komisi beranggotakan dua belas orang dibentuk untuk meneliti bukti-bukti
yang akan diserahkan oleh Morcerf. Rapat komisi pertama direncanakan jam delapan
nanti malam dengan mengambil tempat di kantor Parlemen. Apabila diperlukan lagi
rapat-rapat lanjutan akan diadakan di tempat yang sama pada waktu yang sama
pula. Setelah ke putusan itu dibuat Morcerf meminta izin meninggalkan sidang. Dia akan
mengumpulkan semua dokumen yang telah dia timbun untuk sekian lamanya untuk menangkis kemungkinan
serangan seperti sekarang.
Morcerf yang bersifat cerdik licik dan pantang mengalah memang telah meramalkan
datangnya serangan semacam ini.
Pada jam delapan malam ia kembali dengan membawa
setumpuk dokumen. Wajahnya tampak tenang dan berlainan sekali dengan
kebiasaannya, sikapnya malam ini tidak angkuh bahkan pakaiannya pun sederhana
sekali. Kehadirannya memberikan kesan yang baik. Komisi tidak bersikap keras
bahkan beberapa anggota datang menghampirinya untuk menjabat tangannya.
Tiba-tiba seorang petugas penerima tamu masuk mengantarkan sepucuk surat untuk
Ketua. "Saya persilahkan Tuan mengemukakan pembelaan Tuan, Tuan Morcerf," kata Ketua
sambil membuka segel surat yang baru diterimanya.
Morcerf memulai pembelaannya dengan fasih dan tangkas sekali. Dia membeberkan
suatu bukti bahwa Ali Pasha sampai pada hari terakhirnya masih mempercayainya,
ternyata dari tugas maha penting yang masih dipercayakan kepadanya. Morcerf
memperlihatkan sebentuk cincin yang biasa dipergunakan Ali Pasha untuk
menyetempel surat-suratnya. Cincin itu diberikan kepada Morcerf agar sekembalinya dari pelaksanaan tugas dengan memperlihatkan cincin itu kepada para
pengawal ia dapat langsung menemuinya, sekalipun Ali Pasha sedang berada di
antara harem-haremnya, tak peduli siang atau malam. Sayang sekali, kata. Morcerf
misinya itu tidak berhasil dan ketika ia kembali kedapatan Ali Pasha sudah
hampir meninggal. Tetapi, kata Morcerf, kepercayaan Ali Pasha kepadanya demikian
besarnya sehingga di ranjang kematiannya pun dia masih mempercayakan piaraan
tercintanya dan anak perempuannya kepadanya.
Sementara itu Ketua sudah mulai membaca surat yang baru diterimanya. Kalimatkalimat pertamanya sudah sangat menarik perhatiannya. Dia menamatkan
pembacaannya, lalu mengulanginya. Dengan menatap
wajah Tuan de Morcerf dia berkata, "Count, kalau tidak salah, saya dengar Tuan
mengatakan bahwa Ali Pasha mempercayakan piaraan dan putrinya kepada Tuan.
Betulkah begitu?" "Benar," jawab Morcerf. "Tetapi rupanya ketika itu saya selalu dirundung
kemalangan. Ketika itu ternyata Va-siliki dan anaknya Haydee, telah hilang."
"Apakah Tuan mengenal mereka?"
"Keakraban saya dengan Pasha dan kepercayaannya yang besar telah memungkinkan
saya bertemu dengan mereka lebih dari dua puluh kali."
"Apa Tuan mengetahui apa yang terjadi dengan mereka?"
"Ya. Saya mendengar bahwa mereka telah mati karena kesedihan dan mungkin juga
karena kemiskinan. Saya sendiri tidak kaya ketika itu, sehingga saya merasa
sangat menyesal tidak dapat mencari mereka."
Hampir tidak kelihatan bahwa Ketua mengerutkan dahinya.
"Tuan-tuan," katanya, "Tuan-tuan telah mendengar penjelasan Tuan de Morcerf.
Tuan de Morcerf, dapatkah Tuan mengajukan saksi untuk memperkuat apa yang Tuan
terangkan ini?" "Sayang sekali," jawab Morcerf, "semua orang yang mengenal saya di Istana Pasha
telah meninggal atau sudah tidak diketahui lagi di mana mereka berada. Saya
kira, sayalah satu-satunya orang dari rekan-rekan seperjuangan yang selamat
keluar dari peperangan yang mengerikan itu.
Saya hanya memiliki surat-surat dari Ali Pasha yang sudah saya pediliatkan
kepada sidang tadi, dan cincin sebagai bukti kepercayaannya kepada saya. Namun,
bukti terkuat yang dapat saya kemukakan sebagai bantahan terhadap serangan
terhadap saya yang entah dari siapa, adalah tidak adanya suatu bukti bahkan
petunjuk pun yang membuktikan cacadnya kehormatan saya atau karir saya dalam
kemiliteran," Suara mufakat banyak terdengar dari anggota-anggota sidang. Para anggota sudah
siap untuk mengambil suara ketika Ketua tiba-tiba berdiri lalu berbicara,
''Tuan-tuan, saya kira Tuan-tuan tidak akan berkeberatan untuk mendengarkan
keterangan seorang saksi yang mengaku
mempunyai bukti yang penting sekali dan yang datang ke mari atas kehendaknya
sendiri. Setelah kita mendengarkan keterangan Tuan de Morcerf kita dapat
mengharapkan bahwa saksi ini datang untuk membuktikan kebersihan rekan kita. Di
tangan saya ada sebuah surat yang baru saja saya terima. Apakah Tuan-tuan
menghendaki saya membacakannya ataukah menghendaki kita meneruskan sidang kita dengan tidak
menghiraukan surat ini?"
Wajah Morcerf mendadak pucat dan tanpa sadar meremas-remas kertas yang berada di
tangannya. Komisi menentukan agar surat itu dibacakan. Morcerf sendiri tetap
bungkam tidak memberikan pendapatnya. Ketua sidang membacakan surat yang
berbunyi; "Saya dapat memberikan keterangan yang sangat berharga kepada Komisi yang
dibentuk untuk menyelidiki tingkah-laku Letnan Jendral de Morcerf di Epirus dan
Macedonia. Saya menyaksikan kematian Ali Pasha dan saya mengetahui dengan pasti
apa yang telah terjadi dengan Vasiliki dan Haydee. Saya menyediakan diri untuk
membantu Komisi, bahkan lebih dari itu saya
mengharapkan mendapat kehormatan untuk di dengar di muka sidang."
"Siapa saksi ini, atau lebih tepat musuh ini?" tanya Morcerf gugup.
"Kita akan segera mengetahuinya," jawab Ketua. "Saudara penerima tamu, apakah
ada yang menunggu di ruang tamu?"
"Ada tuan." "Siapa?" "Seorang wanita ditemani pelayannya." Para anggota komisi berpandangan satu sama
lain dengan heran "Persilakan dia masuk " perintah Ketua.
Petugas itu keluar sebentar lalu masuk kembali. Di belakangnya berjalan seorang
wanita bercadar yang menutupi seluruh wajahnya. Namun demikian dari bentuk
tubuhnya orang dengan pasti dapat mengatakan bahwa ia seorang yang masih muda
dan seorang yang anggun. Ketua
meminta agar dia membuka cadarnya. Anggota Komisi melihat di hadapannya seorang
wanita yang cantik sekali.
Morcerf memandanginya dengan heran bercampur takut.
Baginya, kehadiran wanita ini berarti hidup-matinya. Bagi yang lain, merupakan
pandangan dan pengalaman yang menarik, sehingga nasib Morcerf menjadi pemikiran
yang nomor dua. "Nyonya," kata Ketua memulai, "dalam surat Nyonya mengatakan bahwa Nyonya dapat
memberikan keterangan tentang kejadian di Yanina dan mengatakan pula bahwa
Nyonya menjadi saksi mata dalam peristiwa itu "
"Benar, Tuan. Saya berada di sana ketika kejadian itu."
jawab wanita itu dengan nada suara yang haru namun menarik, rendah dan merdu
khas suara wanita Timur. "Izinkan saya menyatakan bahwa Nyonya tentu masih sangat muda ketika itu " kata
Ketua. "Saya berumur empat tahun ketika itu. Tetapi, karena kejadian itu merupakan
peristiwa yang sangat penting bagi saya, saya tidak dapat dan tidak akan dapat
melupakannya." "Bagaimana hubungan kejadian itu dengan diri Nyonya"
Siapakah sebenarnya Nyonya sehingga kejadian itu membelikan kesan yang mendalam
pada diri Nyonya?" "Saya adalah Haydee, anak Ali Tebelin, Pasha dari Yanina. Dan ibu saya, Vasliki,
istri Ali Pasha yang sangat dicintainya."
Keterangan yang diucapkannya dengan penuh
kebanggaan dan rasa bangga itu mewarnai pipinya menjadi merah. Nyala cahaya
matanya dan keanggunannya ketika dia menyatakan itu, memberikan kesan yang
mendalam kepada para anggota komisi. Sedangkan bagi Morcerf, keterangan itu
lebih mengejutkan daripada halilintar yang menyambar kakinya.
'"Nyonya," kata Ketua lagi setelah membungkuk menerima perkenalan diri dari
Haydee. "Izinkan saya mengaju kan sebuah pertanyaan sederhana yang bukan
didasarkan keragu-raguan: Dapatkah Nyonya membuktikan pengakuan Nyonya?"
"Dapat" jawab Haydee sambil membuka sebuah tas satin yang harum. "Ini surat
keterangan kelahiran saya, dibuat oleh ayah saya dan ditandatangani oleh
pejabat-pejabat yang terpenting. Dan ini, surat pembaptisan saya, karena ayah
saya menyetujui saya dibesarkan dalam agama ibu saya. Surat keterangan itu
disahkan oleh Uskup Agung Macedonia dan Epirus. Dan yang terpenting dari
semuanya itu, barangkali, inilah surat yang menerangkan penjualan ibu dan saya
sendiri, oleh seorang opsir bangsa Perancis kepada saudagar budak belian dari
Armenia. Sebagai upah dari pengkhianatannya yang sangat keji, opsir Perancis Ini
telah menerima dari orang Turki istri dan anak Ali Pasha sebagai barang
rampasan. Dia menjual kami dengan harga empat ratus ribu frank."
Mendengar tuduhan yang dahsyat ini wajah Morcerf
menjadi pucat pasi dan matanya merah seakan-akan
berlumuran darah. Sidang mendengarkan keterangan
Haydee dengan penuh perhatian. Haydee sendiri, tetap tenang, bahkan
ketenangannya Ini lebih berbahaya daripada kemarahan wanita lain. Dia
menyerahkan surat jual beli itu kepada Ketua. Surat tersebut ditulis dalam
bahasa Arab. Tetapi karena Komisi telah memperkirakan bahwa
beberapa dokumen mungkin ditulis dalam bahasa Arab, Yunani modern atau Turki,
seorang penterjemah sudah dipersiapkan. Salah seorang anggota, seorang bangsawan
terhormat yang menguasai bahasa Arab dengan baik, menterjemahkan surat jual-beli
itu lalu membacakannya untuk sidang:
"Saya E1 Kobbir, saudagar budak dan pengisi harem Sri Baginda, dengan ini
mengaku telah menerima dari Count of Monte Cristo - sebuah permata zamrud
bernilai delapan ratus ribu frank yang harus saya teruskan kepada Baginda. Yang
Mulia, sebagai harga pembayaran seorang budak bernama Hay dee, Kristen, berumur
sebelas tahun, anak yang sah dari Ali Pasha almarhum dari Yanina dan istrinya
Vasiliki. Budak bernama Hay dee ini dijual kepada saya bersama ibunya yang
sekarang sudah meninggal di Istambul, tujuh tahun yang lalu oleh Kolonel Fernand
Mondego, seorang opsir Perancis yang pernah berdinas untuk Ali Pasha almarhum.
Saya melakukan jual-beli ini untuk Sri Baginda, surat perintahnya ada pada saya,
dengan harga empat ratus ribu frank. Keterangan ini dibuat dengan seizin Sri
Baginda di Istambul pada tahun 1247 Hijriah.
Tertanda EL kobbir Di samping tanda tangan saudagar itu terdapat pula cap kerajaan. Keheningan yang
mencekam menguasai seluruh ruangan sidang. Morcerf memandang Hay dee dengan
pandangan yang kacau. "Nyonya," kata Ketua, "mungkinkah kami meminta keterangan kepada Count of Monte
Cristo yang kami kira sekarang sedang berada di Paris bersama Nyonya?"
"Count of Monte Cristo telah berangkat ke Normandia tiga hari yang lalu," jawab
Hay dee. "Jika demikian," kata Ketua lagi, "siapa kiranya yang memberikan nasihat kepada
Nyonya untuk melakukan tindakan ini, tindakan yang sangat kami hargakan dan
dapat kami pahami mengingat asal-usul Nyonya dan malapetaka yang pernah menimpa
Nyonya?" "Tindakan saya ini didorong oleh rasa kehormatan dan kepedihan saya. Saya
seorang Kristen, tetapi, semoga Tuhan, mengampuni saya, saya senantiasa
memimpikan untuk membalaskan dendam ayah saya yang tercinta.
Ketika saya datang di Perancis dan mendengar bahwa pengkhianat itu tinggal di
Paris, saya senantiasa membuka mata dan telinga menanti kesempatan yang baik.
Saya tinggal terasing dari masyarakat di rumah pelindung saya yang mulia. Saya
hidup secara demikian karena saya menyenangi keheningan dan kesunyian yang dapat
memberikan saya kesempatan berpikir dan mengenangkan masa lampau. Meskipun
demikian, Count of Monte Cristo memperlakukan saya sebagai anaknya sendiri dan
memberikan kepada saya segala sesuatu yang diperlukan sehingga saya selalu dapat
mengikuti semua kejadian di luar dunia saya. Saya membaca semua surat kabar dan
majalah. Saya mengikuti pula lagu-lagu ciptaan baru. Dengan cara demikian saya mengikuti
kehidupan orang lain tanpa turut serta di dalamnya. Dengan cara itu pula saya
mengetahui apa yang sedang terjadi dalam Parlemen pagi taSi dan apa yang akan
terjadi malam ini. Itulah sebabnya saya menulis surat kepada Tuan."
"Maksud Nyonya, Count of Monte Cristo tidak mempunyai hubungan sedikit pun
dengan tindakan Nyonya sekarang?"
"Beliau tidak mengetahuinya sama sekali. Tegasnya, satu-satunya kekhawatiran
saya, beliau tidak menyetujui tindakan saya ini kalau beliau mendengarnya. Namun
demikian, hari ini adalah hari yang paling membawa kebahagiaan bagi saya," kata
Haydee dengan mata bernyala-nyala,
"karena akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk membalaskan dendam ayah
saya." "Tuan de Morcerf" kata Ketua, "apakah Tuan mengenai Nyonya ini sebagai putri Ali
Tebelin, Pasha dari Yanina?"
"Tidak," jawab Morcerf sambil mencoba untuk berdiri.
"Ini hanya merupakan salah satu siasat dari musuh-musuh saya" .
Haydee yang sedang melihat ke pintu keluar seakan-akan menantikan kedatangan
seseorang, tiba-tiba mengarahkan pandangannya kepada Morcerf lalu berteriak,
"Tuan tidak mengenal saya! Baik, tetapi saya mengenal Tuan. Tuan adalah Fernand
Mondego, opsir Perancis yang memimpin tentara ayah saya! Tuanlah yang
menyerahkan istana Yanina kepada Turki! Tuanlah yang dikirimkan ayah ke Istambul
untuk merundingkan hidup-mati beliau, tetapi kembali membawa berita palsu
seakan-akan ayah mendapatkan pengampunan sepenuhnya! Tuanlah, yang dengan berita
palsu itu berhasil mendapatkan cincin kerajaan ayah!
Tuanlah yang menjual ibu dan saya kepada perbudakan!
Pembunuh! Pembunuh! Pada dahi Tuan masih mengalir darah ayah saya. Lihatlah dia,
Tuan-tuan!" Kata-kata ini diucapkan dengan semangat kebenaran yang sukar dibantah sehingga
mau tidak mau semua mata memandang kepada Morcerf yang tanpa disadarinya
menempatkan tangan kanannya pada dahi seakan-akan benar merasa ada darah
mengalir di sana. "Yakinkah Nyonya bahwa Tuan de Morcerf ini sama dengan opsir Perancis bernama
Fernand Mondego?" tanya Ketua.
"Apakah saya yakin?" jawab Haydee keras-keras. "Oh, Ibu! Ibu pernah berkata,
'Engkau orang merdeka, engkau mempunyai ayah yang mencintaimu dan sebenarnya
engkau sudah hampir menjadi ratu! Perhatikan baik-baik laki-laki itu, oleh
karena dialah yang membuatmu menjadi seorang budak, dialah orangnya yang
membenturkan kepala ayahmu ke ujung tombak, dialah yang menjual kita, dialah
yang mengkhianati kita! Perhatikan bekas luka pada lengan kanannya. Kalau engkau
lupa akan wajahnya, engkau tidak mungkin lupa kepada tangan yang pernah menerima
uang emas dari El Kobbir saudagar budak. Ya, saya kenal dia!
Sekarang suruh dia berkata apakah dia mengenali saya atau tidak!"
Morcerf menyembunyikan tangannya yang memang ada
bekas luka. Dia terhenyak ke atas kursinya terpukul oleh bayangan kegelapan di
hadapannya. Ruang sidang gaduh dengan suara anggota-anggota yang berbicara sesama mereka.
'Tuan de Morcerf" kata Ketua Komisi, "keadilan dalam sidang ini sama bagi setiap
orang. Kami tidak akan membiarkan Tuan dipukul oleh lawan-lawan Tuan tanpa
memberikan kesempatan untuk membela diri. Apakah
Tuan menghendaki dilakukan lagi penyelidikan yang baru"
Atau apakah Tuan menghendaki saya mengirimkan dua orang utusan ke Yanina" Harap
dijawab." Morcerf tetap bungkam. Para anggota komisi berpandangan satu sama lain dengan
penuh tanda tanya. Mereka tahu ambisi dan watak Morcerf yang keras. Mereka tahu
untuk menumbangkan Morcerf diperlukan pukulan yang dahsyat.
"Bagaimana, Tuan de Morcerf?" tanya Ketua.
"Tak ada yang hendak saya katakan," jawab Morcerf seperti orang dungu.
"Apakah Tuan bermaksud mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh putri Ali Pasha
benar" Apakah Tuan mengaku bersalah untuk tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
kepada Tuan?" Morcerf melihat ke sekelilingnya dengan pandangan putus harapan. Pandangannya


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sangat menimbulkan iba sehingga mungkin dapat melunakkan hati seekor
harimau, tetapi tak akan mungkin menggoyahkan mereka yang
sedang mengadilinya. Dia mengarahkan matanya ke langit-langit lalu secara cepat
menurunkannya kembali, seakan-akan dia merasa takut langit langit akan terbelah
lalu pandangannya akan beradu dengan Hakim Yang Maha
Adil. Dia membuka kancing leher bajunya karena terasa baju itu mencekik
lehernya, lalu berjalan ke luar seperti orang gila yang lagi bersedih. Suara
sepatunya menggema di seluruh ruangan. Tak berapa lama kemudian terdengar suara
kereta yang ditarik kuda yang berlari kencang.
"Tuan-tuan," kata Ketua Komisi ketika para anggota sudah tenang kembali, "apakah
Tuan-tuan berpendapat bahwa Tuan de Morcerf terbukti bersalah melakukan
kejahatan besar, pengkhianatan dan perbuatan tercela?"
"Bersalah!' sahut semua anggota bersama-sama.
Haydee mendengarkan keputusan ini tanpa
menunjukkan rasa gembira ataupun menyesal. Setelah menutup kembali wajahnya
dengan cadar dia membungkuk memberi hormat kepada sidang lalu berbalik dan
berjalan ke luar ruang sidang dengan langkah-langkah seanggun langkah seorang
ratu. BAB XLIX "LALU," kata Beauchamp melanjutkan ceriteranya tentang kejadian di parlemen itu
kepada Albert, "aku menyelinap ke luar Gedung Parlemen tanpa dilihat orang.
Petugas yang membolehkan aku masuk sudah menunggu di pintu.
Dia mengantarkan aku melalui gang ke sebuah pintu kecil yang berhubungan dengan
jalan de Vaugirard. Hatiku penuh dengan rasa sedih dan kagum. Kesedihan buat
dirimu dan kekaguman untuk wanita muda itu."
Albert memegang kepalanya. Dia menengadah, pipinya merah karena malu dan matanya
basah berlinang. Lalu dia memegang tangan Beauchamp. "Kawan," katanya,
"riwayatku tamat. Yang masih tinggal sekarang hanyalah menemukan siapa orangnya
yang membangkitkan nafsu balas dendamku. Bila aku menemukannya, salah seorang
akan mati, dia atau aku. Aku percaya, sebagai sahabat engkau akan membantuku.
Beauchamp, seandainya rasa hina bersahabat dengan -aku tidak membunuh rasa
persahabatan itu dalam hatimu."
"Rasa hina" Betapa malapetaka ini kau terima" Tidak, kita tidak lagi hidup dalam
jaman di mana seorang anak harus bertanggungjawab untuk perbuatan orang tuanya.
Engkau masih muda dan kaya, Albert. Tinggalkan Perancis.
Segalanya akan segera dilupakan orang dalam jaman modern yang serba cepat
berubah ini. Kalau engkau kembali tiga atau empat tahun lagi, orang sudah tidak
akan memikirkan lagi kejadian kemarin itu."
'Terima kasih untuk maksud baikmu itu," jawab Albert,
"tetapi aku tidak dapat nenjalankan saranmu itu. Tentu engkau dapat memahami
mengapa aku tidak mungkin melihat persoalan ini dari sudut pandanganmu.
Seandainya engkau masih merasa bersahabat, seperti yang engkau katakan,
tolonglah aku menemukan tangan yang menghantamkan pukulan ini."
"Kalau itu kehendakmu, baik," kata Beauchamp. "Kalau engkau sudah berketetapan
hati untuk mencari musuhmu itu, aku akan besertamu."
"Terima kasih Mari kita mulai saja. Setiap menit pe-nangguhan berarti seabad
bagiku. Si pelaku belum terbalas, dan bila dia mengira akan bebas dari
pembalasan, aku bersumpah bahwa dia keliru!"
"Baik. Sekarang dengarkan"
"Ah, rupanya engkau mengetahui sesuatu. Ini menyebabkan gairah hidupku bangkit
kembali." "Aku tidak mau mengatakan bahwa inilah yang sebenarnya, namun paling tidak
merupakan secercah cahaya dalam gelap. Aku mendapat tahu bahwa baru-baru ini
Tuan Danglars menyurati rekannya di Yanina bertanya tentang pengkhianatan
terhadap Ali Paslia."
"Danglars!" Albert berteriak. "Betul, sejak lama ia iri hati kepada ayahku. Dia
bangga karena berasal dari orang kebanyakan, tetapi dia tidak dapat memaafkan
Count of Morcerf yang juga berasal dari orang kebanyakan menjadi seorang
bangsawan Perancis. Dan cara dia memutuskan pertunanganku dengan anaknya tanpa
memberikan sesuatu alasan ya, dialah orangnya!"
"Jangan membiarkan dirimu terhanyut oleh kesimpulan-.
kesimpulan sementara, Albert. Sebaiknya, engkau menyelidiki dahulu, dan, kalau
benar ...." "Kalau benar, dia harus membayar untuk segala penderitaanku ini!"
"Albert, aku tidak bermaksud menyalahkan keputusanmu. Aku hanya ingin engkau
bertindak hati-hati."
"Jangan khawatir. Di samping itu, bukankah engkau akan menyertaiku" Untuk
persoalan yang maha penting ini selalu diperlukan seorang saksi. Kalau Tuan
Danglars bersalah, dia atau aku akan mati di akhir hari ini."
"Sekali keputusan seperti ini dibuat, harus segera dilaksanakan. Mari kita ke
rumah Danglars." Ketika mereka sampai di rumah bankir itu, mereka melihat kereta Tuan Andrea
Cavalcanti di muka pintu.
"Kebetulan," kata Albert. "Kalau Tuan Danglars tidak bersedia berduel, aku akan
membunuh menantunya. Cavalcanti mungkin tidak mau menolak tantanganku."
Tatkala kedatangan Albert diberitahukan Danglars yang sudah mendengar kejadian
kemarin di Parlemen memerintahkan untuk menolak anak muda itu. Tetapi terlambat,
karena Albert mengikuti pelayan itu ke dalam. Ketika dia mendengar perintah
Danglars dia memaksa membuka pintu diikuti oleh Beauchamp, memasuki ruang kerja
Danglars. "Apa artinya ini?" kata Danglars berteriak marah.
"Apakah orang sudah tidak mempunyai hak lagi untuk menentukan siapa yang mau dia
terima di rumahnya?" ,
"Tidak, Tuan Danglars," jawab Albert dingin, "banyak keadaan tertentu, dan ini
adalah salah satu di antaranya, di mana orang harus menerima tamu tertentu,
kecuali kalau dia seorang pengecut."
"Apa yang Tuan kehendaki?"
Albert maju beberapa langkah tanpa menghiraukan Cavalcanti yang berdiri di
samping tungku api. ''Saya mau membuat perjanjian dengan Tuan," katanya,
"di suatu tempat terpencil di mana orang tak akan mengganggu kita untuk sekitar
sepuluh menit, di mana salah seorang dari kita akan tinggal tergeletak di atas
tanah." Wajah Danglars cepat berubah menjadi pucat.
Cavalcanti bergerak. Albert berbalik kepadanya lalu berkata,. "Oh, Tuan pun
boleh hadir kalau mau, Tuan Cavalcanti. Tuan hampir menjadi anggota keluarga di
sini. Dengan demi kian Tuan mempunyai hak untuk berada di sana, dan perjanjian serupa
ini saya sampaikan kepada sebanyak orang yang mau menerimanya."
Cavalcanti menatap wajah Danglars dengan sedikit bingung. Danglars bangkit lalu
berdiri di antara kedua anak muda itu. Serangan Albert kepada Andrea menimbulkan
pikiran baru kepada Danglars. Dia berharap, kedatangan Albert ke rumahnya
disebabkan alasan yang lain daripada yang disangkanya semula. "Saya peringatkan,
Tuan Albert de Morcerf, kalau Tuan ke mari untuk datang mencari gara-gara dengan
Tuan Cavalcanti karena dia lebih saya sukai sebagai calon menantu, saya akan
membawa persoalan ini ke hadapan pengadilan."
"Tuan keliru, Tuan Danglars," jawab Albert tersenyum sinis. "Mas'alah perkawinan
tidak ada dalam benak saya, dan saya berkata demikian kepada Tuan Cavalcanti
hanya karena saya melihat dia seperti mau mencampuri urusan kita. Dalam satu hal
Tuan benar, hari ini saya sedang siap untuk berkelahi dengan siapa pun. Tetapi
Tuan jangan khawatir, Tuan akan mendapat kesempatan pertama."
"Tuan Morcerf," kata Danglars pucat karena marah dan takut, "kalau saya melihat
seekor anjing gila menghadang, saya akan membunuhnya tanpa rasa nerdosa, bahkan
saya akan merasa berjasa kepada masyarakat. Bila Tuan bertindak gila dan mencoba
hendak menggigit saya, saya peringatkan saya akan membunuh Tuan tanpa rasa iba.
Apa salah saya kalau nama ayah Tuan tercemar?"
"Ya!" jawab Albert keras. "Memang salah Tuan."
Danglars mundur selangkah. "Salah saya?" Dia heran.
"Mengapa" Tuan sudah gila rupanya! Apa yang saya ketahui tentang sejarah Yanina"
Apakah pernah saya kesana" Apakah saya menasihati ayah Tuan untuk
menyerahkan istana Yanina, untuk mengkhianati "
"Diam!" kata Albert. "Memang Tuan tidak secara langsung bertanggung jawab untuk
malapetaka yang terjadi kemarin itu, tetapi Tuanlah penyebabnya. Siapa yang
menjadi sumbernya, kalau bukan Tuan?"
"Bukankah surat kabar mengatakannya dari Yanina?"
"Ya, tetapi siapa yang menulis surat ke Yanina mencari keterangan tentang ayah
saya?" "Setiap orang dapat melakukannya, bukan?"
"Tetapi hanya seorang yang menulis. Dan orang itu adalah Tuan!"
"Saya akui. Apabila seseorang bermaksud menikahkan anak perempuannya, saya rasa
dia mempunyai hak untuk menyelidiki latar belakang keluarga calon menantunya.
Bahkan bukan hanya merupakan hak, melainkan
kewajiban." "Ketika Tuan menulis ke Yanina, Tuan telah mengetahui dengan pasti jawaban apa
yang akan Tuan terima."
"Saya tidak akan menulis surat itu kalau saya sudah mengetahuinya. Bagaimana
mungkin saya mengetahui malape-taka yang menimpa Ali Pasha?"
"Tentu ada orang lain yang menganjurkan Tuan melakukannya?"
"Benar." "Siapa?" "Saya berbicara dengan seseorang tentang latar belakang ayah Tuan dan saya
mengatakan bahwa asal kekayaan ayah Tuan tetap merupakan rahasia bagi saya.
Orang itu bertanya di mana ayah Tuan memperoleh kekayaan dan saya jawab di
Yunani. Lalu dia menganjurkan saya mencari keterangan di Yanina."
"Siapa orang itu?"
"Sahabat Tuan, Count of Monte Cristo."
Albert dan Beauchamp saling berpandangan. "Tuan Danglars"' kata Beauchamp yang
selama ini tidak ikut bicara. "Tuan menuduh Count of Monte Cristo, padahal
beliau sekarang sedang tidak berada di Paris sehingga tidak mungkin membela
dirinya." "Saya tidak menyalahkan seseorang" jawab Danglars.
"Saya hanya menceriterakan apa yang terjadi dan saya akan senang sekali
mengulanginya lagi di hadapan Count of Monte Cristo apabila dia sudah kembali."
"Apakah Count of Monte Cristo mengetahui jawaban yang Tuan terima?" tanya
Albert. "Saya memperlihatkannya."
"'Tahukah beliau bahwa nama asli ayah saya Fernand Mondego?"
"Tahu, saya telah menceriterakannya beberapa waktu yang lalu. Dalam peristiwa
ini saya hanya melakukan apa yang akan dilakukan orang lain di tempat saya.
Bahkan mungkin apa yang saya lakukan sekarang ini tidak memadai. Sehari setelah
saya menerima jawaban dari Yanina, ayah Tuan datang berkunjung, atas anjuran
Monte Cristo untuk meneguhkan rencana perkawinan Tuan dengan anak saya. Saya
menolak, ini saya akui, tetapi saya menolak tanpa memberikan alasan apa pun dan
tanpa membuat ribut-ribut. Dan mengapa pula saya harus membuat ribut-ribut"
Apa arti nama baik atau nama buruk Count of Morcerf bagi saya" Tidak ada.
Namanya tidak akan menambah atau mengurangi penghasilan saya"
Pipi Albert merah karena tersinggung. Dia merasakan sekali Danglars membela
dirinya dengan cara yang keji, dengan keyakinan seorang yang berkata, walaupun
tidak seluruhnya, paling tidak sebagian mengandung kebenaran.
Dalam pada itu Albert tidak mau menghiraukan sampai berapa jauh tanggung jawab
Danglars atau Monte Cristo dalam perkara ini. Yang dia cari dan perlukan
sekarang adalah seorang yang mau menerima tantangannya, orang yang mau berduel
dengan dia. Jelas sekali bahwa Danglars tidak mau berkelahi. Beberapa kejadian
yang telah dilupakan atau yang semula kurang diperhatikan, kini bermunculan
kembali dalam pikirannya. Monte Cristo mengetahui segala-galanya, dia
menganjurkan Danglars menulis surat ke Yanina. Dia membawa Albert berlibur tepat
pada saat akan terjadinya malapetaka menimpa ayahnya. Jelas sekarang bagi Albert
bahwa Monte Cristo merencanakan semuanya dan yakin pula dia bahwa Monte Cristo
berjalan seiring dengan musuh-musuh ayahnya.
Albert menarik Beauchamp menjauhi Danglars lalu berbisik-bisik menyampaikan
pikirannya. "Engkau benar" kata Beauchamp. "Tuan Danglars hanya merupakan alat belaka.
Engkau harus meminta pertanggungan jawab dari Count of Monte Cristo."
Albert berbalik kepada Danglars. "Saya harap Tuan me mahami bahwa saya belum
selesai dengan Tuan. Saya harus yakin dahulu apakah tuduhan Tuan benar atau
tidak. Sckarang saya akan langsung menemui Count of Monte Cristo untuk mengetahuinya."
Setelah memberi hormat dia keluar bersama Beauchamp tanpa menghiraukan
Cavalcanti. Danglars mengantar mereka sampai di pintu dan sekali lagi meyakinkan Albert
bahwa secara pribadi dia tidak membenci ayahnya.
BAB L KETIKA meninggalkan rumah Danglars, Beauchamp
menahan Albert sebentar. "Sebelum kita menemui Count of Monte Cristo sebaiknya engkau berpikir dahulu."
"tentang apa?" "Tentang akibat dari perbuatanmu ini."
"Aku hanya takut pada satu hal: bertemu dengan orang yang menolak berkelahi."
"Count of Monte Cristo pasti mau berduel. Yang aku khawatirkan, dia akan terlalu
tangkas bagimu. Hati-hati lah!"
"Kawan," jawab Albert tersenyum, "keberuntungan yang paling membahagiakan bagiku
pada waktu ini adalah mati untuk ayah. Kemauanku akan menyelamatkan seluruh
keluarga." "Tetapi ibumu pun akan mati merana!" Sambil mengusapkan telapak tangannya ke
mata dia berkata perlahan-lahan. "Aku tahu. Tetapi lebih baik ba ibu meninggal
karena sedih daripada karena malu."
"Sudah bulat niatmu itu?"
"Ya." "Kalau begitu tak ada alasan lagi menunggu. Di mana kaukira kita dapat
meryumpainya?" "Dia akan berangkat beberapa jam setelah aku pergi.
Pasti sudah kembali sekarang."
Mereka bergerak menuju rumah Count of Monte Cristo di Champs Elysees. Baptis tin
menerima mereka di pintu.
Benar, Monte Cristo baru saja datang. Sekarang sedang mandi dan memerintahkan
untuk tidak menerima tamu.
"Apa rencana beliau setelah mandi?" tanya Albert.
"Makan." "Setelah makan?"
"Beliau akan tidur satu jam."
"Lalu?" "Menonton opera."
"Kau yakin itu?"
"Yakin sekali. Count telah memesan keretanya disiapkan pada jam delapan malam
nanti." "Baik," kata Albert. "Hanya itu yang ingin kuketahui."
Lalu menghadap kepada Beauchamp dan berkata, "Kalau ada yang harus engkau
Kerjakan, kerjakanlah sekarang, dan kalau ada janji untuk malam nanti,
undurkanlah sampai besok. Engkau tentu mengerti kalau aku meminta engkau
menonton opera bersamaku malam nanti. Bila mungkin, ajak serta Chateau-Renaud."
Beauchamp berpisah dengan Albert setelah dia berjanji akan menjemputnya malam
nanti jam delapan kurang seperempat.
Setelah Albert sampai di rumahnya dia menulis surat kepada Franz, Debray dan
Maximilien bahwa dia ingin bertemu dengan mereka malam nanti di Gedung Opera.
Setelah itu dia menemui ibunya, yang setelah mendengar kejadian kemarin tidak
mau bertemu dengan siapa pun dan tetap mengunci diri di kamarnya. Albert
menemuinya di sana dalam keadaan masih terpengaruh oleh penghinaan masyarakat
kepada suaminya. Ketika melihat anaknya dia memeluknya dan menangis tersedu-sedu. Air mata yang
membanjir seperti memberikan ketenangan kepadanya. Albert diam sambil menatap
wajah ibunya. Air mukanya menunjukkan bahwa nafsu membalas dendam agak melemah
dalam hatinya. "Ibu," katanya, "apakah mempunyai musuh?"
Mercedes terkejut. Albert tidak mengatakan "ayah".
"Orang dengan kedudukan seperti ayahmu mungkin saja mempunyai banyak musuh,
bahkan mungkin musuh yang tidak diketahuinya sama sekali."
"Ya, saya tahu itu. Tetapi pasti ibu memperhatikan juga bahwa Count of Monte
Cristo selalu menolak minum atau makan dalam rumah kita."
"Count of Monte Cristo" Mercedes lebih terkejut lagi.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa hubungannya dia dengan pertanyaanmu?"
"Seperti ibu ketahui, Count of Monte Cristo hampir sudah seperti orang Timur,
dan orang Timur tidak pernah mau minum atau makan di rumah musuh-musuhnya."
"Maksudmu, Count of Monte Cristo musuh kita, Albert"
Siapa yang mengatakan itu" Mengapa berkata begitu"
Engkau gila, Albert! Count of Monte Cristo selalu bersahabat kepada kita, bahkan
dia pernah menyelamatkan jiwamu, dan engkau sendiri pula yang memperkenalkan dia
kepada kami. Buanglah pikiran itu. Dengarkan nasihat ibu ini... aku minta...
tegasnya ,.. jangan bertengkar dengan dia."
"Ibu" jawab Albert dengan tenang, "tentu ibu mempunyai alasan pribadi untuk
meminta saya tidak bertengkar dengan orang itu,"
"Alasan pribadi?" jawab Mercedes, pipinya tiba-tiba memerah, kemudian dengan
cepat berubah lagi menjadi pucat.
"Ya" jawab Albert lagi. "Dan alasan ibu tentu bahwa dia tidak berbahaya bagi
kita. Begitu bukan?"
Mercedes gemetar. Ditatapnya mata anaknya seperti hendak mengatakan rahasia yang
tersembunyi dalam hatinya. "Sikapmu aneh sekali hari ini," katanya. "Apa yang
dia lakukan terhadapmu" Baru tiga hari yang lalu engkau berlibur ke Normandia
bersamanya. Baru tiga hari yang lalu aku menganggap dia seperti engkau
menganggapnya: sebagai sahabat karibmu."
Senyum sinis tersimpul di bibir Albert. Mercedes melihatnya, dan berkat naluri
seorang wanita dan seorang ibu dia dapat menerka segala-galanya. Tetapi dia
mencoba menyembunyikan perasaan takutnya.
Albert menghentikan percakapan ini. Beberapa saat kemudian Mercedes berkata
lagi, "Aku harap engkau mau tinggal di sini bersamaku, Albert. Aku takut
menyendiri." "Ibu tahu, betapa senangnya saya berada dekat ibu, namun malam ini ada suatu hal
yang sangat penting yang mengharuskan saya meninggalkan Ibu."
"Baik " jawab Mercedes dengan nada mengeluh. "Aku tidak bermaksud mengharapkan
ketaatanmu secara berlebih-lebihan."
Albert pura-pura tidak mendengarnya. Dia pamit dan keluar.
Setelah pintu tertutup kembali, segera Mercedes memang gil pelayan
kepercayaannya dan memerintahkannya untuk mengikuti gerak-gerik Albert semalam
itu. Lalu dia memanggil pelayan wanitanya, dan sekalipun badannya terasa lemah,
dia berganti pakaian siap untuk segala
kemungkinan. Albert kembali ke rumahnya, berdandan serapih-rapih-nya. Sepuluh menit sebelum
jam delapan Beauchamp datang. Dia telah menemui Chateau-Renaud yang berjanji
akan menggabungkan diri di Gedung Opera sebelum layar diangkat.
Chateau-Renaud telah menunggu ketika mereka datang.
Beauchamp telah menceriterakan semuanya, sehingga Albert sudah tidak perlu lagi
memberikan keterangan. Debray tidak datang, padahal Albert tahu dia tidak pernah melewatkan kesempatan
menonton opera. Albert memusatkan pandangannya ke tempat ruang duduk Monte Cristo. Tampaknya
masih kosong. Akhirnya, pada permulaan babak kedua, setelah dia melihat
arlojinya untuk kesekian ratus kalinya, pintu ruang duduk Monte Cristo terbuka
dan Monte Cristo kelihatan masuk dalam pakaian serba hitam. Sebelum duduk
bersandar dahulu pa-da sandaran di hadapannya untuk melihat para pemain orkes.
Dia dikawani oleh Maximilien Morrel. Ketika itu dia merasa ada sepasang mata
yang terus-menerus menatapnya.
Terlihat olehnya Albert, matanya bersinar-sinar. Melihat air muka Albert seperti
itu dia merasa bijaksana untuk pura-pura tidak melihatnya. Lalu dia duduk,
mengambil teropongnya dan dengan teropong itu mengarahkan
pandangannya ke arah lain.
Namun, sebenarnya Albert tidak pernah lepas dari perhatiannya. Ketika layar
ditutup pada akhir babak kedua matanya yang tajam dapat melihat Albert
meninggalkan tempat duduknya diikuti oleh kedua kawannya. Monte Cristo merasa
badai akan segera mengamuk. Ketika dia mendengar langkah-langkah orang mendekatinya sekalipun dia sedang asyik
berbicara dengan Maximilien, dia tahu apa yang akan terjadi dan bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Pintu ruang duduknya terbuka. Monte Cristo membalikkan badannya dan melihat
Albert, wajahnya kebiru-biruan dan badannya gemetar. Di belakangnya berdiri
Beauchamp dan Chateau Renaud.
"Saya kira, akhirnya tercapai juga maksud Tuan menemui saya," kata Monte Cristo
dengan nada dan kalimat sopan, yang berbeda dari cara menghormat orang lain.
"Selamat malam. Tuan de Morcerf."
Maximilien tiba-tiba teringat kapada surat yang diterimanya dari Albert yang
meminta dia tanpa memberi penjelasan untuk melihat opera. Sekarang dia merasakan
sesuatu yang gawat akan segera terjadi
"Saya datang ke mari tidak untuk saling memberi salam secara munafik atau
memperlihatkan persahabatan yang palsu," jawab Albert. "Saya datang untuk
menuntut sesuatu" "Menuntut sesuatu dalam gedung ini?" kata Monte Cristo dengan sangat tenang dan
sorot mata yang memancarkan keyakinan diri. "Saya kurang faham akan kebiasaan
Perancis, tetapi saya kira Gedung Opera bukanlah tempat yang layak untuk itu."
"Apabila seseorang menyembunyikan dirinya" jawab Albert, "bila dia tidak
mengizinkan orang lain memasuki rumahnya dengan alasan bahwa dia sedang mandi,
sedang makan atau sedang tidur, maka dia harus ditemui di mana saja dia dapat
ditemui" "Saya tidak sukar ditemui. Kalau saya tidak salah baru tadi siang Tuan datang ke
rumah saya." "Ya," jawab Albert yang sudah mulai kalap, "saya ke rumah Tuan karena saya belum
mengetahui apa dan siapa sebenarnya Tuan!" Albert mengucapkan kata kata ini
demikian kerasnya sehingga terdengar oleh penonton-penonton lain di
sekelilingnya. "Apa sebenarnya maksud Tuan, Tuan de Morcerf?"
Monte Cristo bertanya tanpa menunjukkan perasaannya.
"Rupanya pikiran Tuan sedang kacau."
"Sepanjang saya sadar akan pengkhianatan Tuan dan sanggup membuat Tuan mengerti
bahwa saya menuntut pembalasan, pikiran saya cukup jernih."
"Saya tidak mengerti, Tuan de Morcerf. Dan sekalipun saya dapat mengerti, tetapi
Tuan tetap berbicara terlalu keras. Ini ruang duduk saya dan hanya saya sendiri
yang berhak berteriak di sini. Silakan keluar, Tuan de Morcerf!"
Monte Cristo menunjuk pintu dengan sikap memerintah
"Saya akan memancing Tuan keluar dari ruang ini!"
jawab Albert masih dengan nada keras, sambil meremas-remas sarung tangannya
dengan kaku. Sikapnya ini tidak lepas dari pandangan Monte Cristo.
"Baik," jawab Monte Cristo tenang, "Tuan menghasut saya untuk berduel. Ini jelas
sekali. Tetapi izinkan saya memberi nasihat: Kurang baik menghasut saya dengan
suara hingar-bingar itu. Tidak perlu menarik perhatian orang lain, Tuan de
Morcerf." Albert merasakan sindiran ini. Dia bergerak untuk melemparkan sarung tangannya
ke wajah Monte Cristo, tetapi Maximilien sempat menangkap pergelangan tangannya,
sedang Beauchamp dan Chateau-Renaud memeganginya
dari belakang karena khawatir kelakuan Albert melampaui batas.
Monte Cristo, tanpa berdiri, membungkuk mengambil sarung tangan dari tangan
Albert. "Tuan de Morcerf," katanya dengan nada acuh tak acuh, "saya menganggap
sarung tangan Tuan telah dilemparkan dan saya akan mengembalikannya disertai
sebutir peluru. Dan sekarang harap keluar dari sini, atau saya akan memanggil
pelayan saya untuk melemparkan Tuan."
Dalam keadaan marah, matanya liar dan merah Albert keluar. Kesempatan ini
dimanfaatkan oleh Maximilien untuk segera menutup pintu.
Monte Cristo kembali menggunakan teropongnya
seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Maximilien bersandar mendekatinya lalu
berbisik, "Apa yang telah Tuan lakukan terhadapnya?"
"Tidak apa-apa . . . paling tidak secara pribadi" jawab Monte Cristo.
"Malapetaka ayahnya yang membuat dia kehilangan akal."
"Ada hubungannya Tuan dengan kejadian itu?"
"Haydee menceriterakan kepada Parlemen tentang pengkhianatan ayahnya."
"Ya, saya mendengarnya juga, tetapi saya tidak dapat percaya bahwa gadis Yunani
itu, yang pernah saya lihat bersama Tuan dalam ruang duduk ini. anak Ali Pasha."
"Tetapi itulah kebenarannya."
"Sekarang saya mengerti semuanya! Albert menyurati saya untuk datang menonton
opera ini. Mesti dia menghendaki saya menyaksikan penghinaan-yang akan dilancar
kannya kepada Tuan."
"Mungkin saja," jawab Monte Cristo dingin.
"Apa rencana Tuan terhadapnya?"
"Sepasti Tuan duduk di sini sekarang, saya akan membunuhnya besok sebelum jam
sepuluh pagi. Itulah rencana saya."
Maximilien memegang tangan Count Of Monte Cristo, dan darahnya seakan-akan
merasakan betapa dinginnya tangan itu. "Ayahnya sangat mencintainya!"
"Jangan berkata begitu, sebab kalau saya mengasihani nya juga berarti saya membuatnya menderita!" jawab Monte Cristo dengan nada
marah yang baru pertama kalinya kelihatan.
Terdengar pintu diketuk orang.
"Silakan masuk," kata Monte Cristo.
Beauchamp masuk. "Selamat malam, Tuan Beauchamp," sambut Count of Monte Cristo seakan akan baru
kali itu dia melihatnya malam itu. "Silakan duduk."
Beauchamp memberi hormat lalu duduk. "Seperti tuan ketahui, Count," katanya
memulai, "saya bersama Albert ketika itu. Saya akui dia salah dengan bertindak
bodoh seperti tadi, dan saya datang untuk memintakan maaf baginya atas kehendak
saya sendiri. Karena permintaan maaf telah diajukan . . . dan saya ulang atas
kehendak saya sendiri. Saya yakin Tuan cukup bermurah hati untuk sudi memberikan
penjelasan kepada saya tentang hubungan Tu-an dengan peristiwa Yanina dan gadis
Yunani itu." Monte Cristo memberi isarat untuk diam. "Tuan menghapuskan semua harapan saya,"
katanya sambil tertawa. "Apa maksud Tuan?"
"Tuan selalu bersikeras menjuluki saya sebagai seorang yang eksentrik menyamakan
saya dengan orang-orang yang terkenal eksentrik seperti Manfred atau Lord
Ruthwen. Tetapi sekarang, Tuan mau membuat saya menjadi orang kebanyakan. Bahkan Tuan
meminta saya menceriterakan tentang diri saya sendiri, suatu hal yang tidak
pernah akan dilakukan oleh seorang eksentrik! Tuan bercanda, Tuan Beauchamp."
"Ada beberapa keadaan," kata Beauchamp
mempertahankan diri, "di mana kehormatan
memerintahkan..." "Tuan Beauchamp," kata Monte Cristo menyela, "Count of Monte Cristo hanya
diperintah oleh Count of Monte Cristo. Saya berbuat seperti yang saya sukai,
dan, percayalah, saya selalu melakukannya dengan baik."
"Tuan tidak dapat memperlakukan orang terhormat dengan cara demikian " kata
Beauchamp. "Tuan harus memberikan jaminan untuk kehormatannya."
"Saya merupakan jaminan yang hidup," kata Count Monte Cristo, matanya berkilat
mengancam. "Setiap kita mempunyai darah mengalir dalam pembuluhnya, dan orang
lain ingin sekali menumpahkannya. Itulah jaminan masing-masing. Sampaikan itu
sebagai jawaban saya kepada Tuan Albert de Morcerf dan katakan kepadanya bahwa
besok jam sepuluh pagi saya sudah akan melihat warna darahnya."
"Bila demikian', maka satu-satunya yang masih harus dilakukan adalah perjanjian
untuk duel itu." "Hal itu sama sekali tidak penting bagi saya. Di Perancis ini duel dilakukan
dengan pedang atau pistol. Di daerah jajahan dengan karabin. Di Arabia dengan
belati. Katakan kepada Tuan Albert de Morcerf, sekalipun saya yang dihina, maka
agar menjadi orang eksentrik sampai ke akar-akarnya, saya serahkan pemilihan
senjata kepadanya dan saya akan menerimanya tanpa bertanya. Bahkan saya bersedia
berkelahi dengan menarik undian, suatu hal yang sebenarnya bodoh. Saya lain,
sebab saya yakin akan menang."
"Yakin akan menang?"
"Tentu. Kalau tidak masa saya mau melayaninya. Saya harus membunuhnya, dan saya
akan melakukannya" Beritahu saya malam ini tentang tempat dan pemilihan
senjata." "Pistol, jam delapan pagi di Bois de Vincennes," kata Beauchamp dengan bimbang
karena dia tidak pasti dengan orang macam apa dia berhadapan, apakah dengan seorang pembual kawakan
atau dengan seorang manusia luar biasa.
"Baik, Tuan Beauchamp. Karena sekarang segala sesuatu telah ditetapkan, izinkan
saya menikmati sisa pertunjukan ini, dan katakan kepada sahabat Tuan agar jangan
kembali lagi ke gedung ini malam ini. Itu hanya akan merugikan dirinya sendiri
Lebih baik dia pulang dan tidur dengan nyenyak."
Beauchamp meninggalkan ruangan dengan rasa heran
bercampur kagum. Monte Cristo berbisik kepada Maximilien, "Saya dapat meminta Tuan menjadi saksi,
bukan?" "Tentu saja. Tetapi.."
"Tetapi apa?" "Saya ingin sekali mengetahui sebab yang sebenarnya!"
"Apakah ini berarti Tuan menolak untuk menjadi pembantu saya?"
"Bukan itu." "Sebab sebenarnya?" kata Count of Monte Cristo,
"Albert sendiri tidak mengetahuinya. Hanya saya sendiri dan Tuhan yang
mengetahuinya. Tetapi percayalah, bahwa Tuhan Yang Maha Mengetahui akan berpihak
kepada Mta." "Cukup bagi saya, Count," jawab Maximilien. "Siapa yang akan menjadi pembantu
yang kedua?" "Hanya Tuan dan ipar Tuan di Perancis ini yang dapat saya percayakan menerima
kehormatan itu. Menurut perkiraan Tuan apakah Emmanuel bersedia?"
"Saya dapat berbicara untuk dia seperti saya berbicara untuk diri sendiri."
"Baik, dan terima kasih. Datanglah besok ke rumah saya jam tujuh pagi."
"Kami akan datang."
BAB LI SETELAH pertunjukan usai Monte Cristo dan
Maximilien berpisah dan masing-masing pulang ke
rumahnya. Monte Cristo tetap bersikap tenang dan
tersenyum. Hanya orang yang sama sekali tidak
mengenalnya akan terpedaya oleh nada suaranya ketika dia berkata kepada Ali,
"Ali, bawa pistol-pistolku yang bergagang gading ke mari."
Ali mengantarkan pistol-pistol yang diminta kepada majikannya, yang lalu
memeriksanya dengan ketelitian seorang yang hendak mempercayakan mati-hidupnya
kepada barang tersebut. Dia sedang memegang salah satu pistol di tangan ketika
pintu tiba-tiba terbuka dan Baptistin masuk. Sebelum dia sempat membuka mulut,
Monte Cristo melihat seorang wanita bercadar berdiri di belakang Bap tistin di
ambang pintu. Monte Cristo meminta Baptistin meninggalkan ruangan. Baptistin
menurut dan menutup pintu.
"Bolehkah saya tahu siapa Nyonya?" tanya Monte Cristo kepada wanita bercadar
itu. Sebelum menjawab, tamu itu melihat dahulu ke sekelilingnya, meyakinkan bahwa
tiada orang lain kecuali mereka berdua. Dengan suara bernada putus asa tiba-tiba
ia berkata, "Jangan bunuh anak saya, Edmond."
Monte Cristo mundur terkejut dan tanpa disadarinya mengeluarkan suara yang lemah
sekali. Pistol di tangannya terlepas dan jatuh di lantai. "Nama siapa yang baru
Nyonya sebut, Nyonya de Morcerf?"
"Namamu!" jawabnya yakin sambil melepaskan cadarnya. "Namamu yang asli, yang
hanya aku sendiri yang mengingatnya! Edmond, bukan Nyonya de Morcerf yang
sekarang datang kepadamu, melainkan Mercedes."
"Mercedes telah meninggal, Nyonya, dan saya tidak mengenal lagi orang yang
bernama demikian." "Mercedes masih hidup, dan dialah satu-satunya orang yang mengenalimu. Sejak itu
dia mengikuti segala gerak-ge-rikmu dan merasa takut kepadanya dan dia tidak
perlu bersusah-payah mencari siapa yang memberikan pukulan maut kepada Morcerf."
"Nyonya maksud Fernand, bukan?" tanya Monte Cristo dengan sindiran yang pahit.
"Karena kita tokh sudah saling mengenal nama kita masing-masing sebaiknya kita
ingat ju-ga kepada nama asli orang lain."
Dia mengucapkan nama Fernand dengan nada
kebencian sehingga getar ketakutan mengalir di tubuh Mercedes.
"Aku tahu, aku tidak keliru," katanya, "kalau aku meminta kepadamu : selamatkan
jiwa anakku!" "Siapa yang mengatakan bahwa saya mempunyai urusan dengan anak Nyonya?"
"Tak seorang pun, tetapi seorang ibu dianugerahi daya lihat ganda. Aku dapat


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merasakan semuanya. Aku mengikuti ke Gedung Opera dan bersembunyi di ruang
duduk. Dari sanalah aku mengetahui apa yang telah terjadi."
"Kalau begitu, tentu Nyonya mengetahui bahwa anak Fernand menghina saya di depan
umum." "Anakku mempersalahkan malapetaka yang menimpa bapaknya kepadamu."
"Yang menimpa bapaknya bukan malapetaka, melainkan hukum. Saya tidak memukulnya.
Tuhan Yang Adil yang menghukumnya."
'Tetapi mengapa engkau bertindak sebagai Tuhan?"
tanya Mercedes menangis. "Apa urusanmu dengan Yanina"
Apa kerugianmu karena pengkhianatan Fernand Mondego kepada Ali Pasha?"
"Nyonya benar, itu bukan urusan saya. Saya tidak bersumpah untuk membalas dendam
kepada opsir Perancis atau Count of Morcerf, melainkan terhadap Fernand Mondego
suami Mercedes." "Akulah yang salah, Edmond, dan kalau engkau bermaksud membalas dendam,
kepadakulah semestinya, karena aku bersalah tidak mempunyai kekuatan menahan
ketidak-hadiranmu dan kesunyian diriku."
'Tetapi mengapa saya harus menghilang?" teriak Monte Cristo.
"Karena engkau ditangkap, karena engkau dipenjara."
"Dan mengapa saya ditangkap" Mengapa saya dipenjara?"
"Aku tidak tahu," jawab Mercedes.
"Benar, Nyonya tidak tahu. Sekurang-kurangnya saya mengharapkan Nyonya tidak
tahu. Baik, akan saya terangkan. Saya ditangkap dan dijebloskan ke dalam
penjara, sehari sebelum saya mengawinimu, karena seorang laki-laki bernama
Danglars menulis surat kepada jaksa yang dikirimkan oleh Fernand sendiri."
Monte Cristo berjalan ke meja tulisnya lalu membuka salah satu lacinya. Dari
dalamnya dia mengeluarkan secarik kertas kuning. Kertas itu surat Danglars
kepada jaksa. Mercedes mengambil surat itu dan membacanya dengan rasa gentar. "Oh, Tuhanku!"
Dia memukulkan kedua tangannya ke kepala.
"Dan surat ini . .."
"Saya membelinya dengan harga dua ratus ribu frank.
Saya menganggapnya murah karena ternyata sekarang dengan itu saya dapat
membuktikan kebersihan saya di hadapan Nyonya."
"Apa akibat dari surat ini?"
"Nyonya sudah mengetahui akibatnya. Surat itu membawa saya ke penjara. Tetapi
yang tidak Nyonya ketahui, berapa lama saya tersekap dalam penjara itu. Nyonya
tidak tahu bahwa untuk empat belas tahun lamanya saya berada dalam jarak hanya
beberapa ratus meter dari Nyonya dalam sebuah sel di bawah tanah di Penjara
Chateau d'If. Nyonya tidak tahu bahwa dalam empat belas tahun itu setiap hari
saya memperbaharui sumpah membalas dendam yang saya tekadkan pada hari pertama
masuk penjara. Namun demikian saya tidak mengetahui bahwa Nyonya menikah dengan Fernand, orang yang
mengkhianati saya. Juga tidak mengetahui bahwa ayah saya meninggal dan bahwa dia
meninggal karena kelaparan!"
"Ya Tuhan!" sekali lagi Mercedes berteriak. Dengan berlutut dan tersedu-sedu ia
berkata, "Maafkan aku, Edmond, maafkan demi Mercedes yang masih mencintaimu!"
Monte Cristo mengangkatnya kembali berdiri. "Nyonya meminta saya untuk tidak
membunuh anak terkutuk itu.
Nyonya meminta saya untuk tidak mentaati Tuhan yang telah mengembalikan saya
dari kematian untuk menghukum mereka. Tidak mungkin Nyona, tidak mungkin!"
"Aku memanggilmu dengan nama Edmond," kata ibu yang malang itu terisak-isak dan
nada putus harapan, "mengapa engkau tidak memanggilku Mercedes?"
"Mercedes," Monte Cristo mengulangnya. "Mercedes ..
Sebuah nama yang masih sedap untuk diucapkan dan yang sudah lama sekali tidak
pernah keluar dengan jelas melalui bibirku. Oh, Mercedes, aku selalu menyebut
namamu dengan keluh kesedihan, dengan jerit kepedihan dan dengan kesah
keputusasaan. Aku menyebut-nyebutnya sambil terbungkuk-bungkuk di atas jerami
dalam selku, Mercedes. Aku menderita selama empat belas tahun, aku menangis dan mengutuk selama empat
belas tahun. Dan sekarang akan saya katakan, Mercedes, aku harus membalas
dendam!" Supaya hatinya tidak terbawa hanyut oleh permohonan wanita yang pernah
dicintainya, dengan seluruh tubuhnya gemetar dia menghimpun kembali semua
kepedihan yang pernah dideritanya untuk memperkuat kebenciannya.
"Balaskanlah dendammu, Edmond," teriak ibu yang malang itu, "tetapi balaskanlah
terhadap yang berdosa! Terhadap Fernand, terhadapku, tetapi jangan terhadap anakku!"
Monte Cristo mengeluarkan nafas panjang yang hampir serupa dengan raungan, lalu
menjepit kepalanya dengan kedua belah tangannya.
"Edmond," lanjut Mercedes, "sejak aku mengenalmu aku selalu memuja namamu dan
menghargai daya ingatmu. Edmond, sahabatku, janganlah memaksa aku
memadamkan gambaran yang murni dan mulia yang
senantiasa bercahaya dalam hatiku itu. Oh, Edmond, kalau saja engkau tahu betapa
sering aku berdo'a untukmu selama aku mengharap engkau masih hidup dan setelah
aku mengira engkau telah meninggal! Apa lagi yang dapat kulakukan bagimu kecuali
menangis dan berdo'a"
Percayalah kepadaku, Edmond, aku merasa berdosa dan aku pun menderita!"
"Apakah engkau dapat merasakan ayah kandungmu meninggal ketika engkau jauh
daripadanya" Apakah engkau dapat merasakan ketika melihat wanita yang kaucintai
menyerahkan dirinya kepada musuhmu sedangkan engkau sendiri menjerit-jerit
menangis dalam kegelapan sel di bawah tanah?"
'Tidak," jawab Mercedes, "tetapi aku melihat laki-laki yang kucintai telah siap
untuk menjadi pembunuh anakku."
Mercedes mengucapkan kata-kata ini dengan kepedihan yang mendalam dan
keputusasaan yang pasti sehingga menyebabkan Monte Cristo yang keras itu tidak
dapat menahan sedu tangisnya yang bergejolak di tenggorokan.
Singa garang telah terjinakkan. Si Pembalas Dendam sudah tertaklukkan.
"Engkau datang untuk nyawa anakmu," katanya perlahan-lahan. "Baik, dia akan
hidup." "Oh!" Mercedes berteriak girang. Dia menangkap tangan Monte Cristo dan
membawanya ke bibirnya. "Terima kasih, Edmond, terima kasih! Engkau masih tetap
laki-laki yang - kudambakan, laki-laki yang tetap kucintai."
"Engkau tak akan dapat lebih lama mencintainya lagi,"
jawab Monte Cristo. "Orang yang telah mati itu akan segera kembali ke dalam
kuburnya. Bayangannya akan segera menghilang dalam kegelapan malam"
"Apa maksudmu?"
"Maksudku, karena engkau memintanya, Mercedes, aku harus mati."
"Mati" Siapa yang berbicara tentang mati?"
"Engkau tentu tak akan dapat percaya bahwa setelah dihina di muka umum oleh
seorang anak muda yang mungkin nanti menggembar-gemborkan telah mendapat maaf
dariku, atau menggembar-gemborkan mendapat kemenangan dalam duel melawanku, aku
masih tahan untuk hidup. Yang paling kucintai setelah dirimu Mercedes, adalah diriku sendiri. Tegasnya
kemuliaan martabatku dan kekuatan yang membuatku mempunyai kekuasaan atas
orang-orang lain. Kekuatan itu adalah hidupku, dan engkau telah mematahkannya
dengan kata-kata. Karena itu aku harus mati. Duel akan tetap berlangsung, hanya
saja, bukan darah anakmu yang akan mengalir, melainkan darahku."
Sekali lagi Mercedes berteriak dan melompat menghampiri Monte Cristo, tetapi tiba-tiba dia berhenti. "Edmond," katanya,
"kenyataan bahwa engkau masih hidup dan kenyataan bahwa aku masih dapat
melihatmu lagi, membuktikan adanya Tuhan di atas kita. Aku mempercayai Dia dari
kedalaman lubuk hatiku. Dengan mengharapkan pertolongan-Nya aku mempercayai
kata-katamu. Engkau telah mengatakan anakku akan hidup. Dia akan hidup bukan?"
"Betul, dia akan hidup," kata Monte Cristo, terkejut merasakan penerimaan
Mercedes untuk pengorbanannya.
Mercedes mengulurkan kedua tangannya kepada Monte Cristo. "Edmond," katanya,
matanya basah karena air matanya, "engkau baru saja melakukan tindakan yang
mulia dan luhur. Engkau telah mengasihani seorang perempuan yang malang dan
datang kepadamu dengan mempunyai banyak alasan untuk percaya bahwa permintaannya
tidak akan dikabulkan. Aku menua febih banyak karena kesedihan daripada dimakan
usia, dan balikan aku sudah tidak lagi dapat mengingatkan Edmondku kepada
Mercedes yang biasa dia pandang berjam-jam. Oh, percayalah ketika aku mengatakan
aku pun menderita. Sungguh sangat
mengerikan melihat jiwa seseorang akan menghilang, tanpa harapan secercah pun.
Aku katakan sekali lagi, Edmond, sungguh mulia dan luhur tindakan memberi maaf
seperti yang kaulakukan ini."
"Engkau mengatakan itu tanpa mengetahui betapa besar pengorbanan yang kuberikan
untukmu Mercedes. Coba bayangkan, seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa setelah
selesai menciptakan sepertiga dari dunia ini menghentikan ciptaan-Nya untuk
menghemat air mata malaikat yang akan menangisi dosa-dosa kita kalau dunia ini
diselesaikan, seandainya setelah Tuhan mempersiapkan segala-galanya dan
menyebarkan benih-benih kehidupan di dunia ini dalam kegelapan abadi . . , kalau
saja engkau dapat membayangkan ini, engkau tetap tidak akan dapat membayang kan
apa artinya kehilangan hidupku pada saat ini"
Mercedes menatap wajah Monte Cristo dengan air muka yang mencerminkan keheranan,
kekaguman dan rasa terima kasih. "Edmond," katanya, "hanya tinggal ini yang masih dapat kukatakan. Kecantikanku
telah pudar, tetapi engkau akan melihat bahwa sekalipun jasmaniahnya telah
berubah, hatinya tetap tidak berubah. Selamat tinggal, Edmond. Aku tidak
menghendaki apa-apa lagi, aku telah melihatmu lagi tetap mulia dan berjiwa besar
seperti sediakala. Selamat tinggal dan terima kasih, Edmond,"
Monte Cristo tidak menjawab. Mercedes telah pergi sebelum dia sadar kembali dari
lamunannya yang dalam dan pedih, yang terjadi karena hilangnya nafsu balas
dendam. "Betapa bodoh aku!" katanya kepada dirinya sendiri,
"karena tidak mengoyak hatiku sendiri pada pertama kalinya aku mengucapkan
sumpah balas dendam!"
BAB LII ESOK paginya Maximilien dan Emmanuel datang
duapuluh menit lebih cepat.
"Maafkan kami, karena datang terlalu pagi. Terus terang saya akui bahwa semalam
saya tidak dapat tidur sekejap pun, demikian juga saudara-saudara saya. Saya
perlu melihat Tuan yang senantiasa tabah dan yakin agar saya pun dapat
mengembalikan kepercayaan saya kepada diri sendiri.
Count of Monte Cristo tersentuh hatinya. Tidak seperti biasanya mengulurkan
tangan untuk berjabatan sekali ini dia merangkul Maximilien sambil berkata,
"Maximilien, aku selalu menganggap sebagai suatu hari yang sangat mulia apabila
aku dapat merasakan cinta orang' seperti engkau. Selamat pagi, Emmanuel. Jadi
engkau bersedia menjadi pembantuku, Maximilien?"
"ApakahTuan meragukannya?"
"Tetapi seandainya . .."
"Saya memperhatikan Tuan sejak awal sampai akhir kejadian tadi malam. Semalam
suntuk saya merenungkan keyakinan Tuan dan akhirnya hati saya membisikkan bahwa
keadilan akan berada di pihak Tuan. Kalau tidak, berarti kita tidak boleh bisa
menarik sesuatu kesimpulan dari air muka seseorang."
"Terima kasih, Maximilien," jawab Monte Cristo. Latas dia memukul gong sekali
dan Ali muncul. "Antarkan ini kepada notaris. Ini adalah surat wasiatku,
Maximilien, dan ada hubungannya dengan engkau setelah aku mati "
"Apa!" "Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan, bukan"
Sekarang, ceriterakan apa yang engkau lakukan semalam setelah berpisah dengan
aku." "Saya pergi ke Tortoni di mana, seperti yang saya harapkan, bertemu dengan
Beauchamp dan Chateau-Renaud.
Saya sengaja mencari mereka."
"Buat apa" Bukankah perjanjian sudah dibuat?"
"Saya mengharapkan mereka mau menyetujui perubahan senjata. Pistol itu buta."
"Berhasil?" tanya Monte Cristo dengan harapan yang hampir-hampir tidak tampak.
'Tidak . . . keakhlian Tuan bermain anggar terlalu diketahui orang."
"Bagaimana mungkin?"
"Dari seorang guru anggar yang Tuan kalahkan."
"Artinya engkau tidak berhasil?"
"Mereka menolak dengan tegas."
"Pernahkan engkau melihat aku menembak dengan pistol?"
"Belum pernah."
Monte Cristo menempelkan sehelai kartu asret pada sebuah papan, lalu mengambil
pistol dan menembak dengan tepat keempat sudut gambar belah ketupat yang berada di tengah-tengah
kartu. Maximilien memeriksa peluru yang digunakan Monte
Cristo mendemonstrasikan kemahirannya, dan ternyata peluru itu tidak lebih besar
dari peluru biasa. "lihat Emmanuel!" katanya. "Luar biasa!" lalu menghadap keparja Monte Cristo,
"Demi Tuhan, janganlah membunuh Albert Kasihan, dia mempunyai ibu "
"Betul," jawab Monte Cristo, "dan aku tidak mempunyainya." Dia mengucapkan
kalimat itu dengan nada yang membuat Maximilien bergidik.
"Tuan adalah pihak yang ditantang."
"Apa artinya itu?"
"Artinya, Tuan mempunyai hak untuk menembak lebih dahulu. Saya menuntut hak itu
dan mereka menyetujui karena kita telah banyak sekali memberikan peluang kepada
mereka." "Jaraknya berapa langkah?"
"Dua puluh." Senyum yang menyeramkan tersimpul di bibir Monte
Crista "Maximilien," katanya, "jangan melupakan apa yang baru saja kaulihat."
"Tidak. Itulah sebabnya saya mengharapkan kemurahan hati Tuan untuk
menyelamatkan jiwa Albert. Tuan yakin betul akan "dapat membunuhnya, sehingga
saya ingin me-ngatakah sesuatu kepada Tuan yang bagi orang lain tentu
menggelikan: lukai saja dia, jangan sampai dibunuh."
"Dengarkan, Maximilien. Tidak perlu engkau
menganjurkan aku berbuat baik kepada Tuan Albert de Morcerf. Memang aku sudah
berniat akan berbuat baik sekali sehingga dia dapat kembali ke rumahnya tanpa
cedera bersama kedua orang pembantunya, sedang aku ..."
"Sedang Tuan.,..?"
"Akan lain. Aku akan pulang digotong orang."
'TidaklTidak Tuan bergurau tentu."
"Akan terjadi seperti yang kukatakan, Maximilien. Tuan Morcerf akan membunuhku."
Dengan mata terbelalak Maximilien menatap wajah
Monte Cristo. "Apa yang terjadi dengan tuan malam tadi, Count?"
"Sama seperti yang terjadi dengan Brutus semalam sebelum Peperangan Phillipi.
Aku melihat hantu. Dan hantu itu mengatakan bahwa aku telah hidup terlalu lama."
Maximilien dan Emmanuel sating berpandangan. Monte Cristo mengeluarkan arloji
kantongnya. "Mari kita berangkat," katanya. "Sudah jam tujuh lewat lima menit dan perjanjian
kita jam delapan." Kereta telah menunggu mereka di muka pintu. Monte Cristo dan kedua kawannya
menaikinya. Mereka tiba di tempat perjanjian tepat pada jam delapan.
"Kita datang lebih dahulu," kata Maximilien sambil menjulurkan kepalanya melalui
jendela kereta. "Maaf, Tuan." kata Baptistin yang mengikuti majikannya dengan perasaan yang
sangat gentar. "Saya melihat sebuah kereta di bawah pohon sana."
"Oh, benar juga," kata Emmanuel. "Dan saya lihat dua orang muda yang seperti
menunggu kita." Monte Cristo meloncat keluar kereta lalu mengulurkan tangannya untuk membantu
Maximilien dan Emmanuel turun. Setelah itu dia menarik Maximilien menjauh. "Maximilien, apakah hatimu
masih bebas?" Maximilien menatap wajahnya dengan heran.
"Aku tidak memintamu menceriterakan rahasia hatimu.
Aku hanya meminta jawaban ya atau tidak."
"Ada seorang gadis yang saya cintai, Count."
"Sepenuh hatimu?"
"Lebih dari nyawa sendiri."
"Sebuah harapan lagi hancur!" kata Monte Cristo. Kemudian dia bergumam. "Haydee
yang malang!" "Apabila saya tidak cukup mengenal Tuan, saya akan berpendapat bahwa Tuan


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kehilangan sebagian dari keberanian Tuan." "Karena saya mengeluh sebab ingat kepada yang ditinggalkan" Tidak, Maximilien,
sebagai seorang prajurit tentu engkau mengenal arti keberanian. Di samping itu,
kelemahan ini, kalau memang benar ini merupakan suatu kelemahan, hanya engkau
sendiri yang tahu. Aku tahu bahwa dunia Uji tak ubahnya seperti sebuah kasino
yang harus kita tinggalkan dengan sopan, artinya, setelah memberi hormat dan
membayar semua hutang kita."
"Bagus sekali ungkapan itu! Sebelum lupa, apakah Tuan tidak lupa membawa
senjata?" "Aku harap Tuan-tuan di sana akan membawanya."
"Baik saya tanyakan."
Maximilien berjalan menuju Beauchamp dan ChateauRenaud. Ketiga orang muda itu saling memberi hormat, sekalipun tanpa keramahan,
tetapi bukan pula hormat yang dibuat-buat.
"Maafkan saya, Tuan-tuan," kata Maximilien, "saya tidak melihat Tuan de
Morcerf." "Beliau memberitahu kami tadi pagi untuk bertemu di medan kehormatan ini," jawab
Chateau-Renaud. "Baru jam delapan lewat lima," kata Beauchamp menambah sambil melihat arlojinya.
"Belum banyak waktu yang terbuang, Tuan Morrel."
"Oh, bukan maksud saya untuk..."
"Lagi pula," Chateau-Renaud memotong, "lihat keretanya sudah datang."
Mereka melihat ke arah datangnya sebuah kereta yang mendekat dengan cepat.
"Oh, bukan Moreerfi" kata Chateau Renaud lagi terkejut.
"Franz dan Debray rupanya."
Kedua orang muda itu turun dari kereta lalu berjalan menghampiri,
"Apa yang membawa Tuan-tuan ke mari?" tanya Chateau-Renaud menjabat tangan
masing-masing. "Albert menyurati kami tadi pagi meminta bertemu di sini," jawab Debray.
Beauchamp dan Chateau-Renaud saling bertanya dengan matanya. Tiba-tiba Beauchamp
berteriak, "Nah, itu Albert datang berkuda."
"Bodoh benar dia datang berkuda untuk berduel dengan pistol," kata Chateau
Renaud "Padahal telah saya nasihati dengan teliti."
Albert menarik kendali untuk menghentikan kudanya, meloncat turun lalu
menghampiri sahabat-sahabatnya.
Wajahnya pucat, matanya bengkak dan merah. Jelas sekali bahwa dia tidak tidur
semalaman. 'Terima kasih untuk memenuhi permintaan saya, Tuantuan," katanya "Saya benarbenar berterima kasih untuk bukti persahabatan kita ini"
Maximilien mundur menjauh.
"Ucapan terima kasih saya berlaku juga untuk Tuan, Tuan Morrel. Dekatlah ke mari
Kami tidak berkeberatan Tuan hadir."
"Barangkali Tuan lupa bahwa saya sekarang bertindak sebagai salah seorang
pembantu Count of Monte Cristo,"
jawab Maximilien. "Bahkan lebih baik. Saya menghendaki kehadiran sebanyak mungkin orang-orang
terhormat." 'Tuan Morrel," kata Chateau-Renaud, 'Tuan dapat memberitahukan Count of Monte
Cristo bahwa Tuan de Morcerf sudah datang dan bahwa kami sudah siap."
Maximilien bergerak untuk menyampaikan pesan itu
sedang Beauchamp mengeluarkan kotak yang berisi
beberapa pucuk pistol "Tunggu sebentar," kata Albert, "saya ingin mengatakan sesuatu lebih dahulu
kepada Count of Monte Cristo."
"Berdua?" tanya Maximilien.
'Tidak, di hadapan semua" Para pembantu Albert saling berpandangan lagi dengan
keheranan yang meningkat.
Franz dan Debray berbisik-bisik bertukar pendapat, dan Maximilien gembira karena
perubahan keadaan yang di luar dugaannya. Dia segera berlari menuju Monte Cristo
yang sedang berjalan-jalan bersama Emmanuel.
"Apa yang dikehendakinya?" tanya Monte Cristo.
"Saya tidak tahu, tetapi dia meminta berbicara dengan Tuan."
"Ah! Aku harap saja dia tidak bermaksud menghina Tuhan lagi dengan meledakkan
amarahnya." "Saya kira bukan itu maksudnya," kata Maximilien.
Monte Cristo berjalan didampingi oleh Maximilien dan Emmanuel. Albert dan kawankawannya pun berjalan menjemput
Ketika jarak antara mereka tinggal tiga langkah lagi, Monte Cristo dan Albert
berhenti "Silahkan lebih dekat lagi. Tuan-tuan," kata Albert kepada yang lainnya "Saya
ingin sekali Tuan-tuan pun dapat mendengar setiap kata yang akan saya ucapkan
kepada Count of Monte Cristo, oleh karena saya menghendaki Tuan-tuan suka
mengulang ulangnya kepada siapa pun yang mau mendengar, betapapun janggalnya
mungkin bagi Tuan-tuan."
"Saya siap mendengarkan. Tuan de Morcerf," kata Monte Cristo.
"Count," Albert memulai dengan terbata-bata pada mulanya tetapi makin lama kian
pasti dan yakin. "Saya telah mempersalahkan Tuan membukakan rahasia perbuatan
ayah saya di Yunani, oleh karena saya berpendapat, betapapun besarnya kesalahan
ayah saya, Tuan tidak mempunyai hak untuk menghukumnya. Tetapi hari ini saya
mengetahui bahwa Tuan mempunyai hak itu. Bukan
pengkhianatan Fernand Mondego terhadap Ali Pasha yang membuat saya cepat
memahami perbuatan Tuan, melainkan pengkhianatan Fernand Mondego Si Nelayan terhadap Tuan yang
menyebabkan penderitaan yang tak terkatakan bagi Tuan. Oleh sebab itu saya
berani mengatakan, bahwa Tuan mempunyai hak untuk membelas dendam terhadap ayah saya,
dan saya, anaknya, mengucapkan terima kasih karena Tuan tidak berbuat lebih daripada yang sudah
dilakukan." Seandainya ada halilintar menggelegar mendadak ketika itu, rupanya tidak akan
lebih mengejutkan daripada kata-kata Albert yang sama sekali tidak terduga ini.
Monte Cristo sendiri, dengan lambat menengadah ke langit dengan penuh perasaan
syukur. Dia mengagumi keberanian Albert ketika Albert berada dalam cengkeraman
bandit-bandit Roma. Kekagumannya makin bertambah karena sekarang dia
melihat keberanian itu telah sanggup mengalahkan watak Albert yang keras dan
menyerahkannya kepada kejujuran dan kerendahan hati. Dia merasakan adanya
pengaruh Mercedes dan baru sekarang pula dia memahami mengapa Mercedes tidak
menolak pengorbanan jiwanya sebagai pengganti nyawa anaknya.
"Dan sekarang," lanjut Albert, "seandainya Tuan menganggap permintaan maaf saya
ini sudah memadai, izinkan lah saya menjabat tangan Tuan."
Dengan mata basah dan dada berkembang Monte Cristo mengulurkan tangannya kepada
Albert yang menyambutnya dengan hangat disertai perasaan takut bercampur kagum.
"Tuan-tuan, Count of Monte Cristo telah memaafkan saya. Saya harap masyarakat
tidak akan menganggap saya sebagai pengecut karena saya melakukan apa yang
dibisik-kan oleh hati nurani saya. Tetapi," sambung anak muda itu sambil
mengangkat kepalanya dengan bangga seakan-akan hendak mengucapkan tantangan,
"seandainya ada orang yang berpikir keliru terrtang alasan saya ini, saya akan
mencoba merobah pendiriannya."
BAB LIII YANG pertama-tama dilakukan Albert ketika dia
kembali ke rumahnya, menanggalkan potret ibunya dari piguranya. Setelah itu ia
mengumpulkan semua koleksi senjata-senjatanya dari Turki dan Inggris, porselen
Jepang, piala-piala dan patung-patung perunggu Uang yang ada di sakunya
dilemparkan ke dalam laci meja yang terbuka.
Disatukannya juga kepada uang itu semua permata
miliknya, lalu mencatat semua kekayaannya itu dengan cermat. Setelah selesai,
catatan itu diletakkan di atas meja.
Suara kuda di pekarangan menarik perhatiannya. Dia berjalan ke jendela dan
melihat ayahnya menaiki keretanya dan berangkat.
Albert pergi ke kamar ibunya. Dia terhenti di ambang pintu, terpaku oleh apa
yang dilihatnya. Bagaikan dua raga dikuasai satu jiwa, Mercedes pun sedang
melakukan apa yang baru saja selesai dikerjakan oleh anaknya. Albert memahami
maksud ibunya, sebab itu dia merasa terkejut.
"Ibu!" katanya sambil memeluk ibunya. "Apa yang Ibu lakukan?"
"Dan apa pula yang engkau lakukan?"
"Ibu," Albert terharu hampir-hampir tidak dapat berkata.
"Bagi Ibu lain."
"Aku mau pergi," kata Mercedes pasti. "Dan aku memperkirakan anakku akan
berangkat bersamaku. Atau aku salah?"
'Ibu saya tidak tega Ibu menjalani hidup seperti yang akan saya jalani. Mulai
hari ini saya harus hidup tanpa kekayaan. Untuk bekal belajar hidup secara itu,
saya harus meminjam dahulu roti kawan untuk makan sampai saya dapat
menghasilkannya sendiri. Saya bermaksud menemui Franz hari ini juga untuk
meminta dia meminjami' saya sejumlah uang yang saya pikir akan mencukupi"
"Anakku yang malang!" Mercedes menangis. "Apakah engkau bermaksud hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan"
Jangan begitu, aku takut terpaksa merubah lagi keputusan-ku!"
'Tetapi keputusan saya sendiri tak akan berubah," jawab Albert. "Saya masih
muda, masih kuat dan saya kira bukan pula pengecut. Sejak kemarin saya
mengetahui apa yang dapat dihasilkan oleh kekuatan dan kemauan yang keras.
Banyak orang yang pernah mengalami penderitaan. Bukan saja mereka tetap dapat
hidup, tetapi lebih dari itu mereka berhasil mengumpulkan kekayaan di atas
puing-puing kebahagiaan lamanya yang hancur. Dari kedalaman tempat dia
dibenamkan oleh musuh-musuhnya dia berhasil bangkit kembali dengan gagah dan
penuh kejayaan sehingga dia dapat menguasai musuh-musuhnya dan akhirnya berhasil
menghancurkannya. Mulai hari ini saya hendak memutuskan pertalian saya dengan
masa lalu saya. Saya tidak mau menerima apa pun dari masa lalu, bahkan nama pun
tidak, karena, Ibu tentu faham, putra Ibu tak mungkin menyandang nama ayahnya
yang sudah cemar." "Seandainya hatiku cukup kuat Albert, itulah nasihat yang akan kuberikan. Hati
nuranimu sendiri telah membisikkan apa yang tidak mampu aku katakan. Menjauhlah
dari kawan-kawanmu untuk sementara ini, tetapi jangan berputus asa, aku minta.
Hidup dan kehidupan masih cerah bagimu. Usiamu belum lagi dua puluh dua. Dan
karena hati yang bersih seperti hatimu membutuhkan sebuah nama yang tidak
ternoda, pakailah nama ayahku, Herrera. Aku cukup mengenalmu, Albert, bidang apa
pun yang hendak kaumasuki, aku yakin engkau akan dapat mewangikan nama itu."
"Saya akan mentaati apa yang Ibu minta," jawab anak muda itu. "Dan karena
putusan telah bulat, baiklah kita melaksanakannya sekarang juga. Ayah baru saja
meninggalkan rumah, berarti kita mempunyai kesempatan yang cukup banyak untuk
menghindarkan kegaduhan."
"Aku menunggu," kata Mercedes. Albert berlari ke jalan mencari kereta sewaan.
Ketika kembali ke rumahnya seorang laki-laki menghampirinya dan menyerahkan
sepucuh surat. Albert mengenalinya sebagai pengurus rumah tangga Count of Monte
Cristo, Bertuccio. Dia membuka surat itu dan membacanya. Setelah selesai dia
melihat kepada Bertuccio, tetapi dia sudah tidak ada. Albert segera kembali
kepada ibunya dan dengan emosi yang meluap-luap dia menyerahkan surat itu kepada
ibunya, tanpa mampu berkata sepatah pun. Mercedes menerimanya dan membacanya:
Albert, engkau akan segera meninggalkan rumah ayahmu dengan membawa serta ibumu.
Pikirlah baik-baik sebelum engkau berangkat: Engkau berhutang budi kepada ibumu
tanpa engkau mungkin membalasnya. Hadapilah perjuangan itu seorang diri dan
tahankan penderitaan itu seorang diri pula dan cegahlah jangan sampai ibumu
mengalami kemiskinan pada hari-hari pertama engkau memasuki perjuangan itu oleh
karena beliau sebenarnya tidak sepatutnya turut menanggung akibat musibah yang
menimpanya hari ini Aku tahu bahwa kalian akan berangkat meninggalkan rumah
ayahmu tanpa membawa apa-apa. Tidak perlu engkau menyelidiki bagaimana aku
mengetahuinya. Aku tahu dan itu sudah cukup. Dengarkanlah baik-baik, Albert. Dua
puluh empat tahun yang lalu aku kembali ke negriku dengan rasa bangga dan
bahagia. Aku punya tunangan; seorang gadis berhati suci yang sangat aku puja dan
aku memiliki tiga ribu frank yang aku kumpulkan dengan susah payah. Uang itu
untuk kekasihku, dan karena aku mengenal sekali sifat-sifat lautan aku mengubur
kekayaan itu di sebuah kebun kecil di rumah yang pernah ditinggali ayahku di
Marseilles. Ibumu mengetahui letak rumah itu.
Baru-baru ini, dalam perjalanan ke Paris aku lewat di Marseilles. Aku singgah ke
rumah itu dengan penuh kenangan pedih dan pahit. Aku menggali tanah tempat aku
menguburkan uang kami. Peti besi itu masih ada. Tak seorang pun pernah
menyentuhnya. Tempatnya di sudut kebun di bawah pohon ara yang ditanam ayahku
pada hari lahirku. Uang itu dimaksudkan untuk membahagiakan wanita yang sangat
aku cintai. Engkau tentu dapat memahami mengapa aku lebih suka mengembalikan
uang itu kepadanya daripada menawarkan jutaan frank yang sekarang aku mampu
memberikannya. Aku hanya ingin mengembalikan jumlah yang sangat kecil itu yang
telah lama terlupakan sejak aku dipisahkan daripadanya. Engkau berhati mulia,
Albert, tetapi mungkin saja engkau dibutakan oleh kebanggaan diri atau rasa
Darah Pendekar 23 Tangan Geledek Pek Lui Eng Karya Kho Ping Hoo Pedang Kiri 10

Cari Blog Ini