Ceritasilat Novel Online

Konspirasi Langit 2

Konspirasi Langit Karya Unknown Bagian 2


Terdengar tawa pahit di ujung lain telepon. Di luar tempat teleponnya, setengah lusin remaja kulit hitem sedang mengejar seorang pria tua bersepeda yang tampak melemparkan buku telepon lama kepada mereka agar mereka menjauh tas-surat-pos berjumbai yang menyilang di pundaknya. New York. Finn terpaksa bersembunyi, dan bergerak cepat.
"We don"t take no credit card here, Feen"cash only" (Kami tidak menerima kartu kredit disini, Finn"hanya tunai).
"We don"t take any credit card here," kata Finn yang secara otomatis mengoreksinya.
"Ya, any. Betul itu."
"Tapi aku tidak punya uang tunai."
"Aku bayar dulu," kata Eugene. "Kau bayar aku nanti, ya?"
"Ya," jawab Finn, tak yakin kalau ia mau berutang pada seorang laki-laki Rusia berumur delapan belas tahun yang berjerawat di dagunya dan menaruh minat pada tubuhnya.
"Kau datang sekarang," kata Eugene mendesak. "Tak baik untuk gadis secantik kamu ada di luar larut malam begini." Ia tertawa lagi. "Bahkan, tak baik untuk gadis jelek ada di luar larut malam begini."
"Aku sedang dalam perjalanan. Kalau aku belum sampai disana dalam dua puluh menit, telepon polisi."
Ada suara mendengus dari ujung lain telepon. "Eugene Zubinov tak pernah menelepon polisi seumur hidupnya. Tidak berniat memulai, sekalipun demi gadis secantik kamu, Feen. Lekas angkat pantatmu dan kemarilah cepat supaya Eugene tidak khawatir lagi, oke?"
Finn tersenyum. "Oke," jawabnya. Ia meletakkan gagang telepon dan kembali ke sepeda Schwinn Ligthweight, berhenti sebentar untuk memikirkan rutenya. Pertama adalah jalan satu arah, namun ia tak bisa bersepeda diatas trotoar pada waktu malam begini. Ia dapat pergi melalui jalan kedua, yaitu melewati Financial District, tetapi bakal berhadapan dengan sebuah zona maut di malam selarut ini; jika terjadi apa-apa padanya disana, tak akan ada yang menolongnya. Karena itu, ia membalikkan sepeda dan kembali menuju Avenue A, mengayuh pedal dengan kecepatan penuh sehingga ia melewati gedung apartemennya dengan kencang, lalu belok kanan. Ban yang besar itu mendesis diatas jalan aspal sementara ia tegak diatas sadel. Ia memacu sepeda secepat mungkin. Berbelok ke Houston dan memasuki lalu lintas yang lebih padat, bahkan pada waktu malam seperti ini. Sedapat mungkin ia tetap berada di pinggir, sambil melihat mobil-mobil yang parkir membuka pintu, dan ia terus membuka matanya agar tak tersenggol taksi-taksi kuning yang ngebut disebelah kirinya.
Ketika sampai di Jalan Eldridge dan berbelok ke kiri, menghadap persis ke arah batas tengah jalan, Finn merasakan ada seseorang di belakangnya. Setiap kali ia menyalip kiri atau kanan sebuah mobil, sepintas ia melihat sepeda lain berjarak seratus meter dibelakangnya. Sepeda itu bersinar tertimpa cahaya lampu jalan, mengkilap dan tampak mewah, rangkanya berwarna emas dan hitam dihiasi klakson elektris, pegangan kemudi, dan ban balap yang amat tipis, dikemudikan oleh seseorang dengan penuh perlengkapan baju balap hitam yang keta, celana balap Spandex berwarna gelap, sepatu balap berwarna hitam pekat, dan sebuah helm model raptor merek Kevlar berwarna hitam, menutup ke belakang dengan sebuah kaca anti-silau berbentuk menyudut di bagian depan. Semacam itulah pakaian yang biasa kita lihat dikenakan oleh para kurir bersepeda yang seharian mengantarkan paket-paket dan amplop-amplop ke seantero kota, berkendara laksana kelelawar yang keluar dari neraka dan tak memedulikan orang lain di jalan"dari mulai bus-bus dan truk-truk sampah sampai kurir-kurir bersepeda lainnya dan bahkan para pejalan kaki.
Orang itu masih mengekor di belakangnya, tak pernah menambah maupun mengurangi kecepatan. Ketika sampai di Grand Street, Finn mulai merasa ketakutan. Semula ia menganggap kehadiran penendara sepeda itu hanyalah kebetulan"dua orang yang berjalan dengan jurusan yang sama"tetapi kurir bersepeda mana yang masih bekerja pada pukul dua dini hari" Barangkali ia seorang polisi, tetapi Finn tahu kalau polsi biasanya mengendarai sepeda gunung dan mengenakan seragam yang mudah dikenali, baju nilon tanpa lengan berwarna cerah. Finn teringat akan suara mengerikan yang keluar dari mulut Peter sesaat sebelum tewas, lantas ia mengayuh sepedanya lebih cepat, keringat mengucur di pinggang dari dadanya. Inilah cara untuk menghindar.
Cara terbaik untuk menghindar dari orang itu adalah kabur. Tanpa istirahat Finn membelokkan sepeda ke kanan. Ia tiba-tiba mendapati dirinya berada di jalur berbahaya tempat lewatnya truk-truk pengankutan di kawasan blok perumahan yang besar, Confucius Square. Oleh orang-orang yang bepergian melewatinya, tempat itu dikenal sebagai Confusion. Finn menyalip seorang pria yang membawa dua ekor babi mati yang sudah dibersihkan isi perutnya, menyusupkan diri ke lorong sempit yang ditimbuni kardus-kardus sayuran busuk, lalu belok lagi menuju ke sebuah lorong yang malah lebih sempit dan dipenuhi peti-peti kayu yang beterbangan sewaktu ia lewat. Ia mendengar teriakan dalam bahasa Cina, lalu tiba-tiba ada orang yang mencengkeram T-Shirt-nya dengan satu tangan sementara sebuah botol diacungkan di depan wajahnya. Botol itu lalu dilempar dengan keras mengenai dindig tembok yang jauh di sisi lorong itu.
Sambil terisak-isak, Finn membanting arah. Ban sepedanya nyaris terperosok ketika ia berbelok menuju Pell Street dan masuk ke tengah-tengah pasar akhir-malam Chinatown. Setelah menyusup ke kanan-kiri mobil, ia melambungkan sepeda tuanya ke atas trotoar, menabrak display buah-buahan dan sayuran tak-bertuan di depan toko kecil lalu menyerempet seorang laki-laki tua bertopi hitam dan memakai sepatu pantofel. Karena begitu dekat, pundak Finn benar-benar tersaput ujung puntung rokok lintingan-tangan dari bibir kendur laki-laki itu, sehingga mengeluarkan jejak percikan api.
Finn tiba di Doyers Street dan berbelok tajam ke kiri, sambil terus mengapati helm reptil si penguntit. Finn sudah lebih dekat, kurang dari tiga puluh meter, dan sekarang ia rasa tidak ada orang yang mengikutinya. Ia berhadapan langsung dengan persimpangan antara Doyers Street dan Bowery, lampu di persimpangan itu baru saja berubah dari kuning menjadi merah. Dengan jantung berdebar dan paru-paru terasa sakit, ia mengeluarkan sisa-sisa tenaganya, menekan pedal sekuat-kuatnya. Begitu selesai melewati persimpangan persis ketika lampu berubah menjadi merah, ia memejamkan matanya rapat-rapat, mengucapkan doa singkat dan meluncur dengan bebas. Dengan mata yang masih terpejam, ia mendengar suara derik rem dan raungan klakson yang diikuti dengan benturan keras. Tak ada waktu atau minat untuk menengok ke belakang dan melihat kerusakan macam apa yang ditimbulkannya. Finn terus berjalan melewati Kimlau Square dan masuk ke Division Street, kemudian berbelok ke Pasar, mengikuti jalan lurus menuju East River di bawah naungan jembatan, dan akhirnya berbelok langsung ke bawah bangunan raksasa dan di depan pintu masuk Hotel Coolidge yang menyeramkan itu. Dengan terengah-engah, ia turun dari sepeda, mendorongnya menuju pintu kayu berdaun ganda yang bersuara keriat-keriut jika digerakkan, dan akhirnya sampai di tempat parkir.
Eugene, kurus, gelap dan memakai stelan jas hitam mengkilap serta kemeja putih tanpa kerah yang tampak kurang pas, keluar dari balik pagar jeruji dibawah tangga.
"Kau ada masalah, Feen?"
?"Jauhkan sepeda itu dariku. Jika seorang pria datang kemari dengan memakai celana balap Spandex dan helm dinosaurus, kau tak akan pernah melihatku lagi."
"Helm dinosaurus?"
"Jangan lupa Spandex." Ia merenggut ransel dari keranjang sepedanya, masih sulit bernapas. "Berikan aku kunci kamar hotel dan aku akan mencintaimu selamanya, Yevgeny." Finn memegang sepeda gemuk yang payah itu sementara si pria muda berjalan kembali ke "sangkar"-nya, mengambil sebuah kunci dari rak yang kosong setengahnya di dinding dan kembali menghampiri Finn, mengulurkan kunci itu seperti seorang Magi yang menyerahkan hadiah. Ia jelas memperhatikan butir-butir keringat di dada Finn.
"Lantai ke empat, dibelakang, sangat privat."
"Terima kasih, Eugene." Finn menyerahkan sepedanya, mencium pria muda itu di pipi, lalu berlari menuju tangga sementara Yevgeny membawa sepedanya. Mata pria muda itu mengikutinya, secercah senyum kebahagiaan terukir di bibirnya. Setelah beberapa saat ia mendesah dan memutar sepeda itu disekitar lobi kecil hotel dan mendorongnya ke pintu yang menuju ke kantor di belakang tempat bertenggernya di dalam sangkar.
"Feen," ia berbisik pelan kepada diri sendiri, hilang dalam lamunan, dalam mimpi masa remaja. "Feen."
Next11 Kalau dibandingkan dengan sel penjara, kamar 409 di Hotel Coolidge sedikit lebih luas, dan sedikit lebih terhias. Ukurannya kira-kira empat kali empat meter, dengan sebuah jendela kecil sangat kotor yang dari situ tampak pemandangan East River yang kacau. Di kamar itu terdapat karpet persegi berwarna biru dan sudah luntur diatas lantai kayu, sebuah tempat tidur besi berwarna cokelat, dan sebuah lemari pakaian tiga pintu berwarna krem dengan cermin yang sudah retak-retak.
Melalui dinding, dari kamar sebelah Finn mendengar bunyi ranjang yang berdecit-decit dan papan pangkal ranjang itu secara berirama membentur-bentur dinding pembatas kamar mereka, juga bersamaan dengan itu terdengar suara seorang pria "Oh Mama, oh Mama" berulang-lang. Terdapat sebuah kamar mandi kecil yang bernuansa serba oranye, dengan sebuah kondom bekas dan puntung rokok mati yang mengambang di dalam kloset serta dua ekor kecoa yang diam tak bergerak di dasar bak mandi. Ada dua keran yang terpisah diatas wastafel porselen kuno dan keduanya meneteskan air.
Finn melemparkan tasnya ke atas ranjang yang sempit, kembali ke pintu untuk memastikannya benar-benar sudah terkunci. Tanpa memedulikan kondisi kloset, ia kemudian menuju kamar mandi dang membasuh wajahnya dengan air hangat dari keran. Ia memandangi wajahnya sebentar di cermin retak dan tidak lagi utuh yang terletak di depan lemari obat, kemudian memalingkan wajah lagi.
Leher pacarnya digorok dan kemudian ia dikejar-kejar orang di jalanan kota di tengah malam, sehingga ia tak dapat berkeliaran seenaknya. Tegang dan kehabisan tenaga membuatnya tak mampu melukiskan keadaan itu. Dalam kondisi amat kelelahan seperti itu, ia mungkin dapat membungkus makan siangnya dan menyantapnya seperti cara makan seekor rakun. Ia mengeringkan wajahnya dengan lengan baju, bukannya dengan salah satu handuk Hotel Coolidge warna abu-abu yang tergantung pada gantungan plastik di samping wastafel. Ia kembali ke kamar tidur, memadamkan sepenuhnya lampu sorot yang berdaya empat puluh watt dan merebahkan diri diatas tempat tidur besi kuno. Cahaya dari sebuah lampu neon masuk lewat jendela yang terbuka sebagian karena ada kain kasa yang diselipkan dibawahnya. Suara "Oh Mama" di kamar sebelah sudah berubah menjadi "Oh Tuhan," tetapi setidaknya Finn harus mengakui stamina pria itu. Diluar dan diatas kepalanya, truk-truk bergemuruh di jembatan baja, mobil-mobil pun bergemuruh lebih pelan. Ketika roda-roda kendaraan itu berputar diatas permukaan jalan yang kasar, suaranya seperti desingan serangga. Suara "Oh Tuhan" berubah menjadi "Aku akan melepaskannya!" Dan kemudian ia melepaskannya, dalam rentetan erangan dan jeritan kacau, dan akhirnya ia terdiam. Finn mengelus-elus bulu bantal mini di belakang kepalanya dan melihat arlojinya. Pukul tiga pagi.
Menurut ibunya, antropologi dan arkeologi adalah ilmu kira-kira dan penafsiran pribadi yang ditunjang dengan sedikit logika untuk membuatnya tampak lebih ilmiah. Finn mencoba untuk menerapkan sistem tersebut pada situasinya saat ini. Mula-mula ia tidak melihat adanya hubungan apapun antara pembunuhan Peter dan pembunuhan Crawley, tetapi raibnya gambar hasil coretannya di samping telepon dan kepala berhelm model raptor yang mengikutinya itu, telah mengubah asumsinya. Mengikutinya, berarti pria itu sudah mengintai apartemennya, menunggunya. Ia mungkin bermaksud menunggu semalam penuh. Menguntit di pagi hari dan lebih mudah karena dibantu keruwetan lalulintas dan saat itu adalah kesempatan yang baik baginya agar tidak terdeteksi. Pertanyaan yang sebenarnya adalah, mengapa pria itu mengikutinya. Satu-satunya hubungan yang dapat dipahaminya adalah karya Michelangelo itu: seseorang begitu bersikeras untuk menutupi fakta bahwa lukisan itu memang ada dan mereka tak sungkan membunuh"dan lebih dari sekali"untuk menjaga agar rahasia itu tetap tertutup.
Finn mengerutkan dahi dan menguap. Itu dugaan yang masuk akal, tetapi logikanya tida kbenar-benar kuat. Kenapa pembunuh itu mendatanginya segera setelah ia bicara dengan polisi" Padahal, semua yang harus dilakukan, yaitu menyembunyikan atau bahkan memusnahkan gambar itu, sudah dilakukan Crawley dan rahasia sudah aman, karena komputer dan semua bahan tentang sumber lukisan itu menunjukkan bahwa lukisan itu adalah karya Santiago Urbino, seorang pelukis minor di abad keenam belas. Satu-satunya bukti tersimpan dalam chip digital di kameranya. Dalam kesuraman Finn memandangi ranselnya yang teronggok di ujung ranjang. Mungkinkah kamera itu yang jadi masalah" Apakah Kepala Berhelm Raptor itu, atau siapa pun dia, berusaha mencari tahu tentang foto yang telah dibuatnya" Itu tidak mungkin; kamar file di galeri itu sudah kosong ketika ia memotret lukisan itu dan ia tak pernah cerita kepada siapapun tentang apa yang telah ia lakukan, bahkan kepada Peter sekalipun. Finn mengerutkan dahi lagi. Ia masih punya satu kemungkinan terakhir, tetapi harus menunggu sampai besok. Di kamar sebelah ia mendengar suara orang tertawa dan suara keriut per ranjang karena salah seorang dari pasangan itu berdiri. Finn meringis. Setidaknya seseorang telah menikmati malamnya.
Next12 Finn tahu pasti ia sudah tertidur karena tiba-tiba ia terjaga. Di luar sekali-sekali terdengar suara gaduh dari truk yang melintas di sepanjang jembatan di atas kepalanya. Syukurlah, tidurnya nyenyak dan tanpa terganggu mimpi. Ia melihat sekilas pada arlojinya, saat itu pula ia sadar bahwa ia sudah tidur dalam keadaan berpakaian lengkap. Finn melihat angka-angka pada lempeng arloji Timex itu dan mengamatinya sebentar untuk memperoleh keyakinan. Sudah pukul enam pagi, dan tampak cahaya masuk menembus jendela yang kotor itu. Suara "Oh Mama, Oh Tuhan, aku akan melepaskannya" di kamar sebelah sudah tak terdengar lagi.
Jadi, apa yang telah membangunkannya" Ia kaku diatas ranjang, seluruh syarafnya menegang penuh siaga ketika ia berkonsentrasi. Suara decit dan keriat-keriut itu adalah biasa bagi sebuah gedung kuno, suara gaduh yang bergema dari jembatan itu, sirene di kejauhan, dan suara cakaran. Tikus, atau yang lebih buruk, tikus di dinding" Tikus besar" Finn sudah mendengar tentang tikus-tikus New York, bahkan sudah pernah melihatnya beberapa ekor. Makhluk-makhluk dekil yang sangat besar dengan gigi-gigi kuning yang kadang-kadang begitu panjang hingga menusuk bibir bawahnya. Makhluk semacam itu adalah bahan film horor murahan di bioskop drive-in.
Tidak. Bukan seekor tikus Hollywood. Finn membuka lebar matanya dan menatap pada suatu titik di pertengahan antara ranjang dan plafon, seperti yang ia lakukan di dalam kelas menggambar langsung, tidak berkonsentrasi pada apa pun, sambil menunggu suara itu datang lagi. Dan suara itu terdengar. Bukan cakaran tetapi suara gesekan yang bertubi-tubi, besi lawan kayu. Ia duduk tegak dengan tenang dan melihat ke arah pintu. Itulah rupanya"sebatang logam berbentuk persegi bergerak perlahan naik turun di celah pintu, mencari-cari pengait kunci. Sebuah penggaris dari baja. Seseorang sedang mencoba masuk dan Finn sangsi bahwa itu adalah Eugene. Kepala Berhelm Raptor" Lebih mungkin. Ia mengangkat lengannya dari ranjang dan mengulurkannya meraih ranselnya. Inilah satu situasi yang tak pernah kau lihat dalam film: wanita itu hendak diperkosa atau dibunuh oleh seorang laki-laki yang muncul melalui pintu dengan pisau lipat ditangannya, sementara ia benar-benar ingin kencing. Finn tahu sesaat lagi celananya akan basah.
"Sial," gumamnya. Ia berdehem dengan keras dan kemudian menghentakkan kakinya keatas lantai. Suara gesekan itu berhenti, ujung penggaris yang mengkilat itu tak lagi bergerak-gerak. Dengan berjinjit Finn masuk ke kamar mandi, memelorotkan celana jean dan celana dalamnya. Tanpa menuruti rasa malasnya, ia mendekati tempat duduk kloset, duduk diatas mangkuknya, kencing dan menyeka lebih cepat dari yang pernah ia lakukan sepanjang hidupnya.
Finn beranjak dan membilas, menarik celana dalam dan celana jeansnya keatas, memerhatikan kondom dan puntung rokok berputar-putar tak menentu bersama dengan dua ekor kecoa yang rupanya telah berpindah ke dalam kloset dan membuat perjanjian bunuh diri ketika Finn tidur. Ia mengancingkan celana jeansnya, keluar dari kamar mandi, dan meraih tasnya. Finn memandang ke arah pintu. Batang logam itu masih disana, tidak bergerak. Ia bersandar pada ranjang dan menekan ke bawah, membuat per ranjang berdecit, lalu menghela napas secara dramatis seolah-olah ia menyiapkan diri untuk tidur lagi. Ia berpindah ke jendela dan menunggu, pandangannya ke arah pintu.
Satu menit berlalu dan kemudian gerakan maju mundur dari penggaris itu mulai lagi. Sambil menarik tas ke atas pundaknya, perlahan-lahan Finn menarik daun jendela. Ia heran jendela itu dapat terbuka dengan mudah. Ia mengambil kain kasa yang terselip itu, menurunkannya ke lantai. Dari jendela yang terbuka lebar ia menjulurkan kepalanya keluar untuk melihat apakah ada jalan untuk melarikan diri; kalau tidak ada, ia harus berdiri di dekat pintu dan menjerat laki-laki itu dengan ranselnya bila orang itu akhirnya berhasil membobol kunci.
Di luar jendela terdapat tangga darurat kebakaran dan tangga lainnya yang mengarah ke atap. Tangga darurat itu tidak panjang, tetapi lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Ia mengangkat satu kakinya melangkahi lubang jendela sambil menundukkan kepalanya dan berjalan menuju tangga darurat kebakaran. Tangga itu terasa bergetar ketika ia berdiri diatasnya"ia jelas dapat melihat baut-bautnya yang sudah karatan itu terlepas dari dinding tembok. Ia mulai memanjat setenang mungkin.
Di atas ada sebuah pegangan melengkung. Ia menangkapnya, mengangkat badannya ke atas dan menaiki atap. Ia berharap ada semacam pintu kelauar yang menuju ke tangga, tetapi ternyata tak ada"hanya sebidang lantai atap beraspal yang bergelombang dan tampak goyang dengan genangan air di sana-sini.
Di situ terdengar setengah lusin pipa kloset dan setumpuk lubang angin berbentuk melengkung, hanya itu. Ia beranjak dari ruang bawah menuju "wajan penggorengan" di atas sini. Tak ada kebakaran; semuanya baik-baik saja. Maka mereka beraktivitas seperti biasa. Dengan jelas Finn mendengar suara gemerincing keras seperti seseorang menuju tangga darurat kebakaran. Orang itu boleh jadi si Kepala Raptor. Finn memperhitungkan kira-kira tiga puluh detik kemudian si Kepala Raptor akan bergabung bersamanya diatas atap.
Ke arah kiri, dalam gemerlap matahari pagiia dapat melihat jendela-jendlea di seputar Confucius Tower. Ke arah kanan tampak lintasan East River yang kotor dan mozaik bubungan atap-atap gedung antara sungai dan Hotel Coolidge. Bisa saja ia berteriak minta tolong, tetapi upaya itu sepertinya tak akan menghasilkan apa-apa. Ia sendirian.
Satu setengah meter diatas kepalanya ada balok-balok penopang yang paling bawah dari Jembatan Manhattan. Finn berlari ke tengah-tengah atap, merangkak ke atas lubang udara berbentuk lengkung itu dan kemudian meraih dengan kedua tangannya. Ia menangkap balok penopang yang lebar itu, menjungkitkan kakinya ke atas, dan meliukkan punggungnya, ia menarik dirinya lebih tinggi, meliukkan punggungnya dan kemudian memutar badannya ke atas sehingga ia terbaring diatas balok dengan posisi tengkurap.
Segera setelah berada di atas balok penopang, Finn berdiri seraya membungkukkan badan dan memandang ke arah tangga darurat kebakaran. Ia hanya dapat melihat bagian atas helm hitam itu. Ia berdiri dan berlari, terus mengikuti bagian tengah balok penopang itu, mengempiskan napasnya dengan tajam karna atap Hotel Coolidge tiba-tiba ta kelihatan dan ia sudah berada empat tingkat di atas trotoar jalan.
Sekali-sekali ia terhalang oleh balok penopang yang vertikal sehingga terpaksa berhenti dan berjalan miring memutarinya. Lebih jauh di udara tipis Finn merasakan detak jantungnya bertambah sulit dan rasa percaya dirinya menurun. Tanah kosong dibawah jembatan itu sebagian besarnya dipakai sebagai tempat penyimpanan itu sebagian besarnya dipakai sebagai tempat penyimpanan mobil-mobil buangan, dan jika sekarang ia terjatuh, maka tubuhnya pertama-tama akan menimpa barang-barang rongsokan itu. Ia memberanikan diri menengok ke belakang dan ketakutan melihat Kepala Raptor juga bermain akrobat diatas balok-balok penopang itu. Akan tetapi, lelaki itu bahkan tidak tampak gugup sedikit pun, dengan cekatan berjalan mengitari balok vertikal, dengan memperlambat langkahnya sedikit saja.
Laki-laki itu menang dalam kecepatan, dan Fin ntahu ia tidak punya harapan untuk mencapai batas akhir jembatan dimana ia akhirnya dapat turun dengan cara meluncur ke bawah. Hanya perlu lima menit, dan mereka pasti sudah saling berhadapan. Si Kepala Raptor kini hanya berjarak belasan meter di belakang Fin ndan bergerak cepat. Pada balok vertikal berikutnya, Finn lagi-lagi harus memperlambat langkah, dan ia pun kehilangan waktu; keduanya akhirnya berada di atas balok penopang yang sama. Samar-samar Finn mendengar suara klik dari belakangnya, dan dengan rasa ketakutan ia berbalik. Ia pernah mendengar suara itu sebelumnya"tadi malam, sesaat sebelum Peter tewas.
Di belakang Finn, orang berwajah dingin di balik helm hitam dan mengenakan celana-bersepeda yang ketat itu sedang bergerak, dalam keadaan tenang dan benar-benar seimbang di sepanjang balok penyangga. Pisau tipis nan panjang di tangan kanannya dipegang diantara jempol dan jari telunjuk, seperti kuas seorang pelukis. Dengan mudah orang itu bergerak menuju balok vertikal terakhir diantara mereka dan mulai berayun memutarinya dengan satu tangan. Finn mendengar gema tawa yang dangkal terkikih-kikih dari dalam helm itu dan sesuatu dalam dirinya menggeretak. Alih-alih berlari dari kesulitn, Finn melakukan sesuatu yang justru berlawanan: ia berbalik cepat, mencopot ranselnya dengan satu tangan, rambutnya yang menyala terurai bebas karena tertiup angin ketika ia mengayunkan tas itu sekuat-kuatnya, menghajar Kepala Raptor tepat diantara kedua kakinya ketika orang itu berayun memutari balok vertikal.
Kepala Raptor berteriak ketika ransel itu membentur bagian bawah perutnya, ia kehilangan keseimbangannya pada saat terburuknya itu. Ia kehilangan pisaunya. Tampak berkelip-kelip karena sinar matahari, pisau itu berputar-putar dan jatuh ke bawah, terpental diatas kaca depan sebuah mobil tua yang rusak sebelum kemudian berbalik jatuh kehamparan rumput disamping sebuah ban. Kepala Raptor berdiri terpaku selama lebih dari setengah detik sebelum ia mendapati dirinya sudah amat tidak seimbang untuk kepada posisi aman diatas balok penopang itu.
Ia terjatuh, perlahan berjungkir-balik denga nsatu putaran, berteriak sepanjang perjalanan jatuhnya dan menimpa kaca depan mobil tempat pisaunya yang baru jatuh tadi, nyungsep ke dalam. Akibatnya kaca depan helmnya pecah seperti sebutir telur hitam dan Finn sempat melihat wajahnya, seorang pria muda berlumuran darah, mengerikan, orang Asia"Cina atau Vietnam. Orang itu tidak bergerak. Sambil terisak, dengan setengah rasa takut dan setengah rasa lega, Finn menatap ke bawa pada orang itu, berpikir bagaimana hidupnya dapat berubah begitu cepat dan begitu lengkap. Finn menyampirkan kembali ranselnya ke bahu, kemudian berbalik, kembali ke balok penopang dan menuju jalan raya.
Next13 Letnan Vincent Delaney berdiri di trotoar dengan tangannya dimasukkan ke saku celana, melihat ke arah gedung yang terletak di persimpangan. Jalan di depannya dipenuhi truk-truk pemadam kebakaran, unit-unit paramedis, dan mobil-mobil patroli. Cahaya berkilat-kilat dimana-mana. Tempat kejadian perkara dikelilingi pita pembatas, banyak orang bermantel mandi dan berselop di belakangnya. Kebanyakan dari ornag-orang itu telah berada disana selama beberapa jam, dan mereka tampak amat tidak senang dengan keadaan itu. Sersan William Boyd, rekan kerja Delaney, berputar-putar di sekitar persimpangan, dua gelas plastik kopi berada di tangannya, sementara sebuah kantong berminyak digigit diantara giginya"seperti seekor anjing St. Bernard saja. Ia mendekati Delaney, menyerahkan satu gelas kopi, lalu memindahkan kantong kertas di mulutnya itu ke tangan lainnya. Ia malepaskan tutup gelas plastik, membuka kantong, dan menyodorkannya kepada Delaney.
"Donat?" "Tentu." Delaney memandang tajam pada kantong kertas itu, memilih satu donat berlapis cokelat dan menariknya keluar. Ia menggigit sekali, lalu mendorongnya dengan beberapa teguk kopi. Boyd memilih donat krim pisang. Delaney menatap ke arah gedung itu lagi. Keseluruhan lantai atas gedung itu sudah menjadi puing-puing hangus. "Apa yang sudah kau peroleh?"
"Kebakaran mulai terjadi sekitar pukul empat tiga puluh. Kau dapat mencium bau bensin di lantai lima, jadi ini kebakaran yang disengaja." Byd menghabiskan donat pisangnya dan merogoh kantong kertas itu untuk mengambil yang lain. Kali ini donat berlapis kacang kenari. Ia mengunyah dan menelannya.
"Ada orang di atas sana?"
"Laki-laki tua di kamar 5B. Ia bangun pagi sekali, jadi dialah orang pertama yang merasakan bau bensin itu. Ia menelepon di kamar lalu keluar sendirian. Ia tidak mengetahui penghuni kamar 5A. Katanya seluruh bagian belakang gedung adalah tempat dimana kebakaran itu terjadi." Boyd mendorong gigitan akhir donat kenarinya dengan sisa terakhir kopinya.
"Petugas pemadam sudah masuk kesana?"
"Sudah." "Menemukan sesuatu?"
"Tidak." Kali ini donat rasa kayu manis. Kantong kertas itu sekarang kosong, lalu ia memasukkan gelas plastik kopi ke dalamnya, mengikat semuanya menjadi satu gumpalan.
"Kepandaianmu dalam memberikan penjelasan amat menakjubkan, Billy, sehebat nafsu makanmu."
"Lho, mereka memang tak menemukan apa-apa. Kau mau aku berbohong?"
"Bagaimana dengan hasil penyelidikan?"
"Pria tua di kamar 5B itu mengatakan bahwa ia mendengar seseorang menuruni tangga pada pukul dua lebih sedikti."
"Dia melihat siapa orang itu?"
"Tidak." "Selain itu?" "Telepon koin di persimpangan jalan itu."
"Bagaimana?" "Aku punya daftar pemakaian telepon jika diperlukan," katanya, sambil menyerahkan perincian pemakaian telepon lokal. "Ada dua panggilan yang dilakukan sekitar pukul dua lebih sepuluh menit."
"Menarik." "Ya, yang lebih menarik adalah ke mana panggilan telepon itu ditujukan."
"Jangan pura-pura, Billy. Gaya itu tidak pantas bagimu."
"Hotel Coolidge."
"Itu hotel murahan di dekat jembatan."
"Itu satu hal. Aku meminta seseorang petugas berseragam untuk ke sana dan berbincang dengan manajer malam hotel tentang panggilan telepon itu. Tapi manajer malam itu sudah tergeletak di belakang meja dengan tenggorokan teriris. Kira-kira sepuluh menit kemudian, seorang tua pecandu minuman keras datang dan mengatakan bahwa ada setan hitam berdarah-darah yang menerobos jendela rumahnya."
"Kira-kira apa maksudnya?"
"Seorang pemuda keturunan Vietnam dengan pakaian-sepeda warna hitam terlempar dari jembatan atas dari suatu tempat lain dan menimpa jendela sebuah mobil Cheby tuas tempat si pecandu itu sedang tidur didalamnya. Berantakan. Anehnya, sebuah pisau lipat ditemukan di rerumputan tak jauh dari mobil itu." Billy memandangi gedung itu. "Apakah kejadian disitu ada kaitannya?"
"Ya, Billy, menurutku kejadian di situ mungkin ada kaitannya. Barangkali kita harus ke sana dan menyelidikinya." Boyd memegang kemudi dan meluncur ke Sixth Street melewati bayangan proyek Village View menuju persimpangan. Delanay memandang sepintas ke arah telepon umum sementara Boyd menghidupkan sirine untuk membuka jalan sepanjang First Avenue. Mereka berlanjut meluncur sepanjang Sixth Street. Hidung Boyd yang merah dan besar itu sebetulnya berkedut-kedut sewaktu mereka berjalan dekat enam restoran yang menjual masakan India. Donat atau ayam tanduri, kerongkongan Boyd menyambut semuanya dengan tulus.
Mobil besar dan mulus itu berbelok ke selatan memasuki Second Avenue. Mereka tiba di persimpangan antara Second Avenue dan Houston Street. Boyd baru berniat belok ke barat ketika Delaney berteriak kepadanya.
"Stop. Itu dia!"
"Siapa?" "Pokoknya hentikan mobil sialan ini, mengerti!"
Ketika mereka baru hendak berbelok, Delaney melihat kilasan rambut merah terang muncul dari stasiun subway Second Avenue disebelah selatan Houston Street, sosok itu berubah menjadi Finn Ryan. Ban-ban mobil Crown Victoria itu berciutan sebagai tanda protes ketika Boyd mengjinjak rem. Lalu tangannya menjulur menekan tombol sirene. Sirene itu berisik dan meraung-raung, sementara Delaney menengok-nengok ke arah keramaian lalu lintas.
Finn menengok ke arah suara itu dan ia melihat Delaney bergerak menyeberangi enam jalur Houston Street menuju ke arahnya sambil menghindari taksi-taksi dan mobil-mobil van pengangkutan seperti seorang running back dalam sepak bola Amerika yang sedang mencoba menghindari sergapan lawan. Finn terpaku sejenak di atas tangga subway, lalu berbalik dan lari keluar menuju keramaian lagi. Begitu Delaney tiba di sebelah selatan Houston Street, Finn sudah menghilang. Ia berdiri sambil terengah-engah di pintu masuk subway. Gadis itu sudah menghilang dan Delaney tak punya gambaran sedikitpun kemana Finn pergi.
Next14 Finn naik kereta F yang berhenti di Broadway-Lafayette, berganti naik kereta G dan kemudian berganti lagi naik kereta 4 jurusan Brooklyn, menuju Bowling Green. Ia berdiri teguh, tangannya memegang tiang kereta, memandang ke arah pintu dan ia tidak benar-benar melihat apa pun atau siapa pun di sekelilingnya. Ia tak ingin melihat Delaney. Pria itu meluncur dengan cepat menyeberangi jalan pasti bukan mau menawarkan bantuan. Entah bagaimana pria itu agaknya sudah punya anggapan bahwa Finn terlibat dalam kematian Peter, dan kemungkinan menghubungkannya juga dengan pembunuhan Crawley. Bertambahnya Kepala Raptor dalam daftar korban tewas tentu semakin membuat pria itu tambah curiga, sekalipun hal itu nyata-nyata dilakukan untuk membela diri. Astaga, Finn bahkan tidak tahu siapa pemuda Asia itu! Tiba-tiba ia menjadi seorang tersangka serangkaian pembunuhan, sampai-sampai polisi mengejar-ngejar dirinya hilir mudik di jalanan New York, bahkan sampai ke subway.
Kereta meluncur ke stasiun Bowling Green di ujung selatan Manhattan dan Finn tiba-tiba tersadar dari lamunannya. Menurut peta, tempat pemberhentian berikutnya adalah Borough Hall di Brooklyn. Ia tak punya cukup waktu untuk belajar bagaimana menjelajahi seantero Manhattan; sekarang tentulah bukan waktu yang pas untuk mulai mempelajari wilayah baru. Ketika pintu kereta bergeser terbuka, ia melangkah keluar bersama dengan beberapa puluh anak muda berwajah cerah, laki-laki dan perempuan, yang akan masuk kerja di Wall Street, pasti.
Finn meloncat keluar, melihat sekilas ke arah lokasi dimana Menara Kembar pernah berdiri, lalu beranjak dan menyeberan ke Batteray Park. Ia mendapati sebuah bangku di dekat jalur joging yang mengitari lapangan bundar Manhatran dan memandangi sungai dibawah Patung Liberty"sosok hantu dari kejauhan di dalam keremangan kabut pagi. Finn melepaskan ranselnya, meletakkannya diatas bangku lalu duduk disebelahnya melipat satu kaki panjangnya sambil merencanakan beberapa pilihannya.
Namanya Fiona Katherine Ryan dari Columbus, Ohio; ia adalah seorang mahasiswi jurusan sejarah seni di Universitas New York. Tidak sampai enam laki-laki yang pernah tidur dengannya. Ia lebih menyukai es krim Haagen-Dazs daripada Ben and Jerry"s. Sebenarnya ia tidak percaya pada apa pun yang didengarnya dalam acara talk show Howrward Stern di radio atau dalam serial televisi Sex and the City yang terus diputar-ulang. Ia pernah bepergian ke Italia, dan ia pernah benar-benar mabuk kira-kira tiga kali selama hidupnya. Ia tidak mengisap candu atau memakai narkoba keculai minum Extra Strength Tylenol terutama kalau ia merasakan kram di perut pada saat haid. Ia mengkhawatirkan munculnya jerawat pada musim dingin. Rahasia paling besar dalam dirinya yang orang lain tak boleh tahu adalah: ia mau saja berhubungan seks dengan Johnny Depp di tengah Time Square kalau bintang film itu memintanya"sesuatu yang tak mungkin terjadi. Ia tahu bahwa ia agak cerdas, barangkali sedikit lebih pintar daripada rata-rata orang. Ia sadar bahwa ia manis, tetapi tidak cantik, kenyataan yang dapat ia terima. Ia menyukai hewan kecil, terutama kucing. Ia tidak terlalu peduli terhadap laba-laba atau ikan-ikan kecil.
Dengan kata lain, ia benar-benar normal. Jadi, apa yang kini membuatkan menjadi gelandangan, dikejar-kejar polisi dan laki-laki dengan pisau amat besar" Ia terkepung di tengah-tengah suatu keadaan yang sedikitpun tak dipahaminya. Yang diketahuinya saat ini adalah, ia ingin terbang menghilang. Ia menghela napas dan memandang ke depan, tempat bertemunya air East River dan Hudson River, yang mengeluarkan suara berdesir. Sekarang ia merasa seperti hanyut dalam suasana seperti itu.
Finn punya seorang dosen bahasa Inggris abad kedua puluh yang berbadan kurus tinggi dan dijuluki Beruang Botak karena seluruh badannya ditumbuhi rambut kecuali kepalanya. Profesor itu berusia sekitar empat puluhan, datang ke kampus dengan memakai kaus kaki motif berlian warna warni dan celana pendek pada pertengahan Februari serta terus menerus membahas tentang teori Ambler. Eric Ambler adalah seorang penulis kisah detektif lawas dan semua bukjunya berpola sama: orang biasa yang tiba-tiba merasakan dirinya dalam keadaan luar biasa, dan biasanya berbahaya. Beruang Botak itu memiliki teori tersendiri tentang kenapa Ambler menulis seperti itu. Tetapi Finn hampir yakin, Ambler menulis seperti itu karena ia tahu bahwa semua mata-mata dan pembunuh tak akan membaca buku-bukunya"orang-orang biasalah yang membacanya, jadi apa salahnya menyuguhkan permainan kepada mereka
Nah, itulah Finn, dan untuk sementara ia tak melihat ada jalan keluar. Dan dalam kasus ini tidak ada permainan. Jika ia pergi dan menyerahkan diri kepada Delaney, ia harus memulai segala sesuatu dengan menjelaskan kenapa ia melarikan diri. Ia membayangkan ruang pemeriksaan seperti dalam serial Law & Order di televisi, diwawancarai oleh Lenny Briscoe dan dijebloskan ke dalam sebuah penjara wanita. Satu-satunya pilihan lain yang dapat ia pertimbangkan hanyalah keluar dari kota New York dan pulang ke Columbus. Ia punya kunci rumah, rekening di bank, dan sejumlah teman. Ia dapat bemukim disana untuk selama-lamanya, atau setidaknya sampai ibunya kembali dari Yucatan atau dari manapun. Setidaknya ia aman disana. Benarkah"
Seseorang telah menanti di apartemennya dan telah menyayat tenggorokan Peter. Barangkali orang itu jugalah yang telah membunuh Crawley dan berusaha membunuhnya pagi tadi. Ia yakin bahwa pemuda Asia itu tak lain hanyalah orang sewaan. Gila kedengarannya, seseorang menginginkan kematiannya karena ia telah melihat, atau sekedar mengetahui, lukisan yang berasal dari buku catatan Michelangelo, dan sekarang mereka tak akan berhenti memburunya. Apa sulitnya untuk mengetahui siapa model telanjang berambut merah yang ada di Sekolah Studio New York. Tak ada kesulitan sama sekali untuk melacaknya ke Columbus.
Sebuah perahu meluncur, meinggalkan gelombang haluan yang tampak seperti otot. Jadi, apa yang kau lakukan ketika kau tenggelam dan terbenam untuk ketiga kalinya" Berteriak minta pertolongan, itulah yang kau lakukan. Finn tidak mempunyai pengeras suara atau peluit, tetapi ia punya nomor telepon.
"Jika benar-benar menyangkut urusan hidup dan mati, dan karena satu hal kamu tak dapat menghubungiku, hubungi nomor ini." Ibunya memandangnya dengan pandangan kemarahan paling serius dan lama, kemudian wajahnya bahkan tampak lebih cemberut. "Maksudku, benar-benar hidup atau mati, Sister, atau kau dapat pulang dan menyelesaikan kuliah di sini lalu menikah dengan David Weiner."
Ancaman terakhir. David Weiner, alias si Sosis, telah mencintainya sejak ia berusia enam tahun. Dan di malam-malam yang cerah, dari Manhattan, Finn dapat melihat bahwa sampai kini pun pria itu masih mencintainya. David Weiner adalah satu-satunya anak laki-laki di Columbus yang muntah saat bar mitzyah-nya, menciprati rabi, dan kehilangan Taurat yang seharusnya ia baca. Si Sosis itu kini adalah seorang arsitek ruang, yang tidak sehebat kedengarannya. Ia sebenarnya tidak pernah merancang apa-apa; kau sebutkan kepadanya berapa banyak orang yang hendak kau masukkan ke sebuah gedung, dan ia akan mengatakan kepadamu berapa banyak kloset yang kau perlukan dan berapa meter kubik udara yang akan kau butuhkan sehingga para penghuni gedung itu tak akan mati lemas. David yang sekarang, tentu saja, adalha orang yang amat kaya, tetapi masih menjemukan. Rambutnya seperti alat penggosok dari baja dan kakinya begitu besar sehingga ia dapat berjalan menyeberangi Dana Erie tanpa membuat basah pergelangan kakinya.
Ibu si Sosis pernah bilang bahwa pria yang nomor teleponnya tercantum di bagian akhir itu bekerja dengan ayahnya. Aneh, seolah-olah si ayah punya profesi lain di samping dosen antropologi di Ohio State University. Finn mempertanyakan itu, tetapi ibunya dengan cepat membungkamnya. Pandangan wajahnya mengatakan tidak baik untuk menggali masalah itu lebih dalam.
Ibunya menggunakan tinta yang tak dapat dihapus untuk menuliskan nomor telepon itu di bagian dalam tutup ranselnya, membalik nomor itu dan menambahkan tiga digit nomor disebelah kiri dan dua digit nomor di sebelah kanan. Setelah selesai melakukan itu, ia memaksa Finn untuk menghafalkan nomor itu sampai jenuh. Bukan perlakukan normal yang kau harapkan dari seorang ibu yang mengirimkan putrinya ke universitas, tetapi Amelia McKenzie Ryan memang bukan ibu yang normal. Apa pun kasusnya, ini adalah situasi hidup dan mati sepreti yang dikatakan ibunya itu. Finn mengangkat ranselnya dan berjalan ke belakang taman menuju telepon koin di pinggir trotoar. Ia merogoh koin 25 sen dari kantong celana jeansnya, memasukannya ke lubang mesin, dan memencet nomor telepon. Terdengar dering tiga kali dan diakhiri dengan bunyi klik dari mesin penjawab.
"Ini Michael Valentine di Ex Libris, Lispenard Street 32, New York. Kami hanya buka dengan perjanjian. Silakan tinggalkan nama Anda, nomor telepon dan apa yang Anda inginkan. Saya harap saya dapat menghubungi Anda suatu saat dalam waktu dekat. Salam." Ada bunyi tit sekali, lalu terputus sama sekali.
"Ah, kau juga sialan!" kata Finn, sambil meletakkan gagang telepon itu ditempatnya. Hanya dengan perganjian" Saya harap" Suatau saat" Dalam waktu dekat" Michael Valentine ini tampaknya bukan apa-apa, hanya seorang pedagang. Laki-laki inikah yang bisa menolongnya keluar dari kesulitan" Tapi disisi lain ia memiliki suara yang bagus; bariton-sedang, sedikit serak di ujung-ujungnya dan dengan selera humor yang tersembunyi di balik beberapa kalimatnya. Jenis orang yang kau bayangkan sepeti Al Pacino hanya saja lebih muda dan lebih tinggi, tapi nyatanya tidak.
Karena Finn sama sekali tak dapat membayangkan dimana gerangan Jalan Lispenard, ia memanggil taksi dan memberikan alamat itu kepada sopirnya. Sopir taksi itu pun tak tahu dimana jalan itu, tetapi setidaknya ia memiliki peta wilayah Hagstrom Five untuk dijadikan pedoman dalam mencarinya. Setelah mengetahui bahwa jalan itu tidak jauh, si sopir memutari Beaver Street, berbalik menuju Broadway dan membawa Finn melewati lima belas blok. Lispenard ternyata adalah jalan sempit di antara gedung-gedung tua berloteng sepanjang dua blok diantara Broadway dan Sixth Avenue. Pada pertengahan blok yang pertama Finn melihat sebuah tulis Pizza Michael Angelo, dan ia tidak yakin benar pertanda macam apa itu. Lantai bawah dari kebanyakan gedung-gedung itu dibuka sebagai toko, kebanyakan galeri dan kafe. Tidak demikian dengan Lispenard 32; jendela-jendelanya tertutup dan kemudian dilapisi dengan daun pintu baja terus ke atas sampai ke atap. Satu-satunya jalan masuk adalah sebuah pintu berwarna abu-abu polos dengan sebuah kunci yang rumit dan selembar kartu nama usang yang dipakukan setinggi pandangan mata.
Ex Libris Ahli barang antik. Informasi penelitian.
Hanya dengan perjanjian. Silakan menghadap kamera dan tersenyum.
Kamera itu ternyata sebuah kotak hitam kecil seukuran kacang kenari dibagian atas sudut kiri dari bingkai pintu. Finn melihat ke atas ke arah kamerah, menjulurkan lidah dan memberengut. "Bagaimana menurut Anda, Tuan Arogan?" ia berkata lirih.
"Itu bagus, Sayang, tapi sebenarnya aku lebih menyukai seulas senyum." Jawaban itu datang amat cepat dan Finn melompat mundur, merasa gusar dan malu.
"Mendekatlah. Kau berada di luar jangkauan kamera," kata suara itu.
Finn melangkah maju lagi. "Aku telepon Anda, tapi cuma ada pesan."
"Memang selalu begitu. Nomor itu tidak terdaftar. Dari mana kau dapat nomor itu?"
"Oh, ibuku yang memberikan nomor itu kepadaku."
"Ibumu bernama "Oh?""
"Nama ibuku Amelia McKenzie Ryan."
Sunyi sebentar . "Ayahmu Lyman Andrew Ryan?"
"Ya, benar." "Dia punya nama panggilan."
"Coba sebutkan."
"Kenapa mesti kusebutkan?"
"Karena kalau kau tidak menyebutkannya, aku tak akan membukakan pintu dan kau tak bisa menceritakan masalahmu."
"Kenapa Anda pikir aku punya masalah?"
"Jangan menjengkelkan. Ibumu tidak memberikan nomor ini kepadamu supaya kau dan aku dapat duduk dan minum teh bersama. Dia berikan nomor itu untuk keadaan yang benar-benar darurat."
"Nama panggilannya, Buck."
"Gadis cilik yang baik. Jadi kaulah Fiona."
"Finn. Dan aku bukan gadis cilik."
"Yang jelas kau bukan anak laki-laki"itu pasti." Terdengar suara mendengung dan pintu itu menyentak terbuka. "Kau akan melihat lift di ujung ruangan. Naikilah. Tekan lima. Mohon tutup rapat-rapat pintu yang ada di belakangmu."
Finn melakukan seperti yang diperintahkan, memastikan pintu itu sudah tertutup rapat. Ia berjalan melewati ruangan yang sempit, di sebeleah kirinya dinding tembok, sebelah kanannya dinding tempelan yang tidak dicat. Ia sampai di lift yang besar, melangkah masuk dan menarik tali simpul yang membuat pintunya turun. Ia menekan lima pada papan-kendali tua berwarna hitam dan lift itu mulai berjalan naik dengan suara keriat-keriut.
Melalui kisi-kisi pintu selama lift itu bergerak, Finn melihat semuanya menakjubkan. Setiap lantai tampak seperti sebuah perpustakaan yang diimpikan oleh Collyer bersaudara: ruang-ruang tingkat berjeruji logam dengan deretan panjang rak-rak buku dan lemari-lemari file yang tinggi berwarna abu-abu yang diletakkan berjejalan, belokan dan simpangannya menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sangat rahasia di simpang siru jalan itu yang tak dapat kau lihat dari lift. Semuanya ini diterangi dengan bohlam-bohlam buram dalam perkakas berbentuk panci berwarna hijau yang digantungkan untuk mengusir kegelapan. Sekali atau dua kali Finn mengira ia melihat gerakan di antara tumpukan yang tampaknya tak berakhir itu, seperti bayangan seekor tikus raksasa, tetapi ia agak yakin bayangan itu disebabkan oleh keadaan syarafnya dan kesuraman tempat itu. Lantai kelima tidak berbeda dari lantai-lantai dibawahnya. Lift itu berhenti dengan halus dan Finn menarik tali simpul unuk membuka pintunya. Ia keluar dari lift dan menutup pintu di belakangnya. Ia keluar dari lift dan menutup pintu di belakangnya. Secara otomatis lift itu bergerak turun lagi, meninggalkan bekas berupa terowongan kosong di belakang. Finn maju satu atau dua langkah dan melihat ke bawah diantara kedua kakinya. Lubang di lantai berjeruji itu cukup lebar sehingga memungkinkannya melihat seluruh jalan turun sampai ke lantai bawah. Pada suatu waktu, keseluruhan interior dinding dan lantai gedung itu pernah dihancurkan, kemudian diganti dengan sangkar raksasa berbentuk lubang jala dan topangan yang sekarang menyusun bagian dalam gedung itu.
Finn berbelok ke kiri dan melihat rak buku yang ada di sampingnya. Konstructive theoritsche und experimentelle Beitrag zu dem Probleme der Flussigkeitsrakete: W. Von Braun"1934. Judulnya ditulis tangan dan kemudian ditempelkan dengan lem di bagian punggung. Barangkali sebuah disertasi perguruan tinggi" Ia mengulurkan tangan untuk menarik buku itu dari rak agar bisa melihatnya lebih dekat. Sebuah suara mengehentikannya.
"Mohon jangan sentuh barang itu. Jangan ganggu Enkel. Dia sangat hati-hati terhadap barang itu."
"Enkel?" katanya pelan dengan wajah suram.
"Enkel Shmolkin. Tukang arsipku. Aku tak tahu pasti dimana ia sekarang"di suatu tempat di tumpukan rak buku. Mungkin kau akan menjumpainya."
Finn mencari-cari lensa kamera tetapi saat itu ia tidak melihatnya. "Anda dimana?"
"Lurus ke depan sampai kau tiba di ujung deretan rak. Lalu belok kiri. Kau nanti akan sampai ke sebuah pintu.
Merasa seperti Dorothy di film The Wizard of Oz, Finn berjalan maju, suara langkah kakinya menjemukan diatas lantai logam. Rak-rak di kiri dan kanannya tampak terbagi sama lebar diantara rak-rak buku selebar perpustakaan dengan tinggi dua setengah atau hampir tiga meter dan sebanding dengan tingginya tumpukan laci-laci file. Tiap-tiap laci file itu kelihatan pas dengan kunci baja merek Yale yang tampak kokoh. Keseluruhan tempat itu seperti Fort Knox-nya perpustakaan.
Finn sampai di ujung jalan, berbelok ke kiri dan terus berjalan. Akhirnya ia sampai di pintu putih polos tanpa tombol ataupun kunci. Ia mengangkat satu genggaman tangan, bersiap untuk mengetuk, dan terdengar suara klik perlahan. Pintu itu bergeser terbuka. Pintu itu terbuat dari logam, tebalnya kira-kira tujuh setengah sentimeter dan mempunyai satu engsel sepanjang sisi bagian bawahnya, seperti pintu ruangan besi di bank.
Bagian dalam ruangan itu tampak ala Dickens. Yaitu sebuah ruang santai dilengkapi dengan sejumlah kursi sofa yang tampak nyaman, sebuah meja dengan beberapa koran yang berserakan diatasnya, dan sebuah perapian kecil dengan sistem pembakaran arang. Di atas papan penutup perapian terdapat sebuah ember arang dengan sebuah kantong dari kulit didalamnya, sebuah biola berdiri di pojok, dan terdapat pula sebuah pipa rokok meerschaum model kuno. Di atas papan penutup itu ditempelkan potongan wallpaper berwarna pucat yang membentuk huruf singkatan V.R. Finn tersenyum. Inisial itu bukan berasal dari Dickens, tetapi berasal dari Arthur Conan Doyle. Satu-satunya barang yang tidak pada tempatnya adalha alat pembuat kopi, beberapa buah gelas, krim dan gula di meja samping berikut sebuah piring yang di isi penuh dengan kue Toll House yang masih hangat. "Engkel yang membuatnya," katanya, menjelaskan apa yang dilihat Finn. "Gandum dicampur krem kacang tanah. Kami berdua tidak terlalu suka rasa manis."
Pria yang duduk di meja itu tersenyum. Ia tampak seperti campuran antara John Malkovich dan Willem Dafoe; dahi lebar, tulang pipi seperti dipahat, dagu besar dan mulut seksi yang juga besar. Matanya hitam, cekung dan tajam. Ia tampaknya berusia pertenghan empat puluhan dengan hanya sedikit uban dirambutnya yang membuatnya kelihatan sedikit kurang "berbahaya" dibandingkan dengan pria sepertinya yang lebih muda.
"Finn Ryan," katanya. "Kau tidak kelihatan seperti orang tuamu kecuali rambutmu."
Finn tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya melihat-lihat ke sekeliling ruangan. "Studi Sherlock Holmes," kata Finn, akhirnya.
"Sangat bagus," kata Valentine.
"Apakah ini sebuah tes?"
"Sama sekali bukan," jawabnya. "Aku suka kalau orang-orang yang cukup terpelajar mengetahui apa yang mereka lihat. Aku lakukan itu hanya iseng saja. Lain kali, mungkin aku dapat mencoba cara Nero Wolfe."
"Anda tidak gemuk."
"Kalau begitu Archie Goodwin."
"Itu mungkin." "Jadi, apa masalahmu?"
"Pembunuhan, agak aneh."
"Apa kau melakukanny?" tanya Valentine, sambil memberi isyarat agar Finn duduk di salah satu kursi sofa.
"Tidak," jawab Finn.
"Jadi, tak ada masalah," kata Valentine. "Itu hanyalah suatu situasi yang harus diselesaikan."
"Kukira masalah ini sedikit lebih rumit daripada itu," sahut Finn.
"Jelaskan." Lalu Finn menjelaskan. Next15 Setengah jam kemudian, sambil mengunyah kue dan minuman kopi, dengan kaki diangkat ke bawah paha di salah satu sofa besar, Finn berhasil memancing Valentine.
"Jadi, apa pendapatmu?" tanya Valentine.
"Kupikir targetnya adalah aku. Peter hanya berada di tempat dan waktu yang salah, dan ia pun tewas karenanya. Menurutku, Crawley tewas gara-gara aku telah melihat lukisan Michelangelo. Dan prediksiku, akulah yang berikutnya."
"Menarik." "Ini lebih dari menarik. Ini tentang hidupku, Tuan Valentine."
"Tolong panggil aku Michael. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kasus ini menarik. Maksudku, yang menarik adalah bagian tentang seseorang yang tewas hanya karena ia melihat sebuah karya seni biasa. Hal itu tidak punya dasar yang logis ... setidaknya belum."
"Aku tidak melihat peristiwa itu mempunyai urutan dasar yang logis. Ini sama sekali tidak masuk akal."
"Masuk akal bagi orang yang membunuh temanmu dan direktur Museum Parker-Hale."
"Mengapa aku merasa kita sedang berputar-putar dalam lingkaran tak berujung?"
"Karena kita memang berada disitu," sahut Valentine. Lingkaran itu semakin mengecil, dan akhirnya sampai pada titik kebenaran, persis di bagian tengah."
"Jalannya amat berliku bagiku," jawab Finn. "Ibuku memberikan nomor teleponmu kalau-kalau aku benar-benar mendapat kesulitan, dan sekarang aku merasa tengah benar-benar mendapat kesulitan. Tidakkah kau semestinya melakukan sesuatu" Kita telah duduk bersama, minum kopi dan makan kue, tapi kita tidak memperoleh apa-apa."
"Bergantung pada sudut pandangmu," kata Valentine. "Kini aku tahu banyak tentang hal yang sebelumnya tidak kuketahui. Aku tahu seperti apa dirimu; aku tahu dimana kau tinggal; aku tahu kau adalah seorang model telanjang guru bahasa Inggris untuk para imigran, dan belakangan sebagai karyawan honorer yang dipecat dari sebuah museum seni bergengsi, dan kau tersangkut dua kematian akibat kekerasan. Salah satu dari fakta-faka itu dapat menjadi hal yang amat penting bagi situasi yang berbeda."
"Kenapa setiap orang terus menerus bicara tentang model telanjang?"
"Karena hal itu mendorong orang untuk membayangkan dirimmu dalam keadaan tanpa busana. Bagi beberapa orang hal itu barangkali sangat tidak nyaman, tetapi bagi orang-orang yang lain hal itu mungkin menyenangkan. Sangat berbeda halnya jika, katakanlah, kau bekerja sebagai pelayang di restoran IHOP. Kau harus akui itu." Valentine menarik napas. "Finn sayang, tugasku adalah melihat secara mendetail, sampai pada detail-detail yang sangat kecil. Ketika aku melakukan penilaian atas sebuah buku langka untuk seseorang, bentuk satu hurufnya saja dapat menjadi petunjuk pembeda antara karya yang asli dan yang palsu. Jika aku memberikan sebuah informasi yang penting kepada seseorang, informasi itu haruslah kebenarna yang pasti. Jika kau lihat barang secara lebih dekat sampai ke detail-detailnya, kau dapat melihat kesempurnaan yang sesungguhnya. Semua itu sama pentingnya."
"Maksudmu, lukisan Michelangelo itu?"
"Ya, sebagai sebuah contoh. Masalahnya mungkin di situ"lukisan itu mungkin saja sama sekali bukan karya Michelangelo. Banyak kasus dimana seseorang dibunuh karena pemalsuan."
"Lukisan itu asli. Aku yakin."
Valentine tersenyum. "Jangan tersinggung, Nak, tetapi kau tidak memenuhi syarat sebagai seorang ahli."
"Dan kau memenuhi syarat?"
"Katamu kau punya gambar digital dari lukisan itu."
Finn mengangguk. Ia mengorek-ngorek ke dalam tasnya yang tergeletak di dekat kursi, mengambil kameranya dan menyerahkannya kepada Valentine. Pria itu membuka penutup di bagian bawah kamera itu, menarik kabel penghubungnya dan menyambungkan dengan monitor layar datar IBM berwarna hitam di atas mejanya. Finn bangkit dan berdiri dibelakangnya sementara Valentine bekerja di depan keyboard. Finn melihat-lihat tetapi ia benar-benar tak mendapati adanya komputer disitu.
"Servernya ada di bawah, di lantai dasar," kata Valentine tanpa memalingkan wajah dari apa yang tengah ia kerjakan, seolah-olah ia sedang membaca pikirna Finn. "Di bawah lebih dingin."
"Komputer macam apa yang Anda punyai?" Finn bertanya. "Komputer super atau apa?"
"Bukan seperti itu," ia menjawab. "Tetapi mirip. Aku melakukan banyak pekerjaan untuk beberapa orang di California. Mereka membayarku dengan teknologi komputer." Valentine duduk kembali di kursinya. "Ayo kita mulai." Di monitor itu terdapat lukisan Michelangelo dalam ukuran sepenuh layar. Detail-detail di monitor tampak sempurna.
"Lalu?" Finn bertanya.
"Kuakui gambar itu tampak cukup bagus. Bagaimanapun tampak asli kalau dipandang sepintas." Ia menekan beberapa tombol lagi dan tombol itu menghilang.
"Apa yang kau lakukan?"
"Tes perbandingan. Aku sudah memperoleh beberapa bahan di dalam file. Kalau kita perlukan lagi, aku dapat mengeluarkannya dari kumpulan file itu."
"Membandingkan apa?"
"Kata-kata yang ada di bagian sudut. Melihat apakah tulisan tangan itu sama."
Layar monitor tampak kosong beberapa saat, kemudian berubah menjadi jajaran jendela yang tersusun empat bagian. Tiap jendela menampilkan satu potongan kecil tulisan tangan. Ia lalu menekan tombol yang lain dan muncul jendela kelima di layar monitor dengan gambar karya Michelangelo itu. Setelah menekan beberapa tombol lagi, gambar itu menghilang, tinggal tulisan saja.
"Sekarang kita akan lihat," kata Valentine. Ia menekan tombol keyboard dengan jemarinya yang lentur dan panjang, dan sejenak Finn membayangkan bahwa jari-jari itu sangat sensitif menyentuh tubuhnya. Ia menghapus bayangan itu dari pikirannya segera setelah gambar di monitor menghilang. Sekarang hanya ada dua jendela"satu di sebelah kiri dengan sepotong tulisan tangan sangat kuno yang tampak jelas dalam huruf-huruf model Italia, jendela satunya di sebelah kanan dengan tulisan di atas gambar dalam versi yang dibesarkan.
Finn bersandar pada pundak Valentine, rambutnya terurai ke bawah menyentuh pipi pria itu. Dengan mudah ia membaca bait-bait puisi:
"Alangkah bahagia kau kawini rangkaian bunya yang
Di sekeliling tiap rambut begitu terampil dipasangkan,
Setiap bunga mendesak maju dari belakang,
Seakan menjadi keningnya yang pertama dicium."
Valentine meneruskan pada permulaan bait selanjutnya :
"Sepanjang hari itu gaunnya merasakan kebahagiaan sempurna,
Menampakkan dadanya, mengikatnya,
Dan kasa tenun emas yang menyala terang
Menutup pipi dan lehernya dalam kebahagiaan
Finn melangkah mundur, merasa malu, menyadari bahwa ia telah berdiri terlalu dekat dengan Valentine selama ia membaca. "Ini adalah salah satu soneta untuk wanita simpanannya, Clarissa Saffi. Perempuan itu sebenarnya adalah seorang pelacur."
"Kalau tidak salah, ini soneta pertama yang ditulisnya tentang wanit itu," kata Valentine membenarkan. "Kau tahu banyak."
"Kau sendiri lumayan," kata Finn, sambil melangkah lagi ke belakang, memegang rambutnya dengan gugup dan menarik ke lehernya. "Sebagian besar orang bahkan tidak tahu kalau ia menulis puisi."
"Pada masa itu setiap orang menulis puisi," sahut Valentine, sambil tersenyum dan memperlihat giginya yang besar. Ia menoleh kembali ke monitor. "Menurutku dulu puisi seperti acara-acara kuis di televisi." Ia memainkan keyboard lagi. "Sekarang ayo lihat apakah kita dapat mencocokannya." Perlahan ia menggunakan mouse untuk menggeser tulisan itu dari gambar melalui dan diatas tulisan lainnya. Ia menggeser mouse, sekali-sekali mengkliknya, kemudian memasukkan serangkaian perintah. Monitor itu bersih lagi, terbagi dua di tengah dengan lima huruf tersendiri pada tiap sisinya:
A?"?"?"?" A
E?"?"?"?" E
I?"?"?"?"" I
O?"?"?"" O
U?"?"?"" U
Valentine kemudian menggunakan mouse untuk menggeser satu rangkaian huruf-furuf disebelah kanan sampai menumpuk di atas rangkaian huruf disebelah kirinya:
A E I O I "Tampak cocok bagiku," kata Finn.
"Bagiku juga," sahut Valentine. "Gambarmu benar-benar karya Michelangelo." Ia menatap layar monitor. "Tulisan tangan itu memang sama." Ia berhenti. "Apakah Delaney mengatakan kepadamu bagaimana Crawley dibunuh?"
"Dia bilang Crawley di cekik, tapi seseorang lalu menusukkan sejenis belati ritual ke dalam mulutnya." Finn menyeringai. "Aku tidak menyukai Tuan Crawley, tetapi perbuatan itu terdengar amat brutal."
"Seperti apa belati ritual itu"ingatkah kau?"
"Dia menyebutnya koumnya atau apalah."
"Spanyol. Andalusia. Ada kalanya dari Maroko Selatan."
"Kau tahu segala sesuatu?"
"Sedikit dari hal banyak hal," katanya. "Itulah yang menyebabkan aku berbahaya."
"Kau berbahaya?"
"Aku bisa menjadi berbahaya?"
Finn kembali ke kursinya dan duduk lagi. "Jadi, sekarang apa yang kita lakukan?"
"Aku tidak yakin, sungguh," ia berbisik, masih memandang layar monitor. "ini menarik, tetapi ..."
"Ini bukanlah bukti yang bisa kita bawa ke polisi."
"Satu hal, semua ini elektronik. Tidak ada lukisan yang sesungguhnya. Apa Delaney menyebutkan sesuatu yang ditemukan dikantor Crawley?"
"Tidak. Dia terus menanyaiku dimana terakhir kali aku melihat barang itu, dan aku tetap mengatakan kepadanya bahwa barang itu ada d itangan Crawley." Finn merengut. "Menurutku ia mengira aku telah mencurinya."
"Disana pasti ada kamera pengawas."
"Ada. Aku tak tahu apakah aku tertangkap oleh kamera itu. Jika ya, maka itu akan membuktikan bahwa aku tidak mengambil barang itu."
"Tetapi itu juga akan membuktikan bahwa kau telah memoretnya," kata Valentine, "itulah sebabnya kenapa mereka mengejarmu sampai ke apartemenmu."
"Aku sudah berpikir ke sana, tetapi hal itu maish belum dapat dimengerti. Seakan-akan keberadaan lukisan itu semata-mata, baik asli maupun palsu, bisa membuktikan sesusatu ... sesuatu yang harus ditutup walaupun dengan jalan membunuh."
"Itu seperti yang kukatakan, berputar di dalam lingkaran tak berujung." Valentine tersenyum. "Pada akhirnya kau akan sampai pada titik kecil kebenaran di tengah-tengah pusaran. Aku pikir barangkali kau sudah sampai pada kebenaran itu."
"Kebenaran apa?"
"Keberadaan lukisan itu bisa membuat orang membunuh."
"Kebenaran macam apa itu?"
"Kebenarang yang berbahaya."
Next16 Dengan penerbangan Delta, laki-laki berkerah pendeta itu tiba dari Roma pukul 3.15, mendorong koper fibernya yang kecil berwarna hitam, melintasi mesin pemeriksaan, dan kemudian menunjukkan paspor Vatikannya kepda seorang petugas imigrasi yang berseragam dan bermata tajam. Paspor itu menunjukkan ia sebagai Bapa Ricardo Gentile dan pekerjaannya adalah sebagai pendeta, yang tampak sangat percaya diri. Sesungguhnya semua informasi yang tertera di paspor itu tidak ada yang benar, dan paspor itu sendiri, meskipun asli, tak ada dalam catatan manapun di kantor imigrasi Vatikan di Roma. Setelah memeriksa sepintas, petugas imigrasi menyerahkan kembali paspor itu kepada Ricardo lalu memberi anggukan pernyataan "saya adalah barisan pertahanan terdepan dalam perang melawan terorisme dan mengizinkan pria itu memasuki Amerika Serikat.
Bapa Gentile mengikuti rombongan orang yang keluar menuju matahari sore, menjemput taksi dan meminta sopirnya yang orang Nigeria itu untuk mengantarkannya ke JFK Holiday Inn. Ia menghindari berbicara denan sopir dalam bahasa Nigeria, anaang, meskipun ia dapat berbicara dalam bahasa itu dengan lancar; saat ini ia tidak ingin meninggalkan kesan pada orang. Kerah pendeta saja sudah cukup mencolok.
Perjalanan itu hanya memakan waktu beberapa menit, dan pada pukul 3.45 Bapa Gentile sudah terdaftar di hotel itu yang terletak di persimpangan jalan Van Vick Expressway dan Belt Parkway. Kamarnya sempit, dilengkapi dengan perkakas sederhana dan kecil. Susunannya warnanya dikombinasi ungu anggur. Pemandangan ke luar jendelanya menghadap kebun ala Jepang. Ia tak boleh sembrono. Ia menutup kere dan menyalakan lampu meja. Tak ada lampu diatas; itulah sesuatu yang akhir-akhir ini ia perhatikan dalam perjalanannya, tak ada penerangan diatas. Ia berjalan menuju lemari dinding, mengambil koper kulit yang telah disiapkan untuknya lebih dulu pada sore itu dan membukanya dengan kunci yang sudah dikirimkan kepadanya di Roma via FedEx sehari sebelumnya. Ia mengeluarkan isinya, yang terdiri atas dua potong jas, beberapa kemeja merek Arrow dalam warna yang berbeda-beda dan masih terbungkus, sepasang sepatu lift warna hitam merek James Taylor and Son yang tingginya ditambah 5 sentimeter, dan sebuah pistol otomatis Glock 21 kaliber 10 mm dengan sebuah magasin isi lima belas butir peluru berikut sebuah sabuk bahu merek Patrick Johnakin. Ia melucuti pakaian pendetanya, berganti pakaian lain"lengkap dengan pistol otomatis dan sarungnya"kemudian menyimpan semua barang lainnya dengan rapi ke dalam koper kulit dan menguncinya lagi.
Ia merogoh saku jas dan mengambil dua dompet, satu besar buatan Eropa, satunya lagi dompet kecil biasa gaya Amerika. Dompet yang besar itu menunjukkan dia sebagai Peter Ruffino, seorang agen Art Recovery Tactical Squad (ARTS)"Pasukan Taktis Penemuan Kembali Barang Seni"dari Italia, yang merupakan bagian dari Allied International Intelligence (Aliansi Intelijen Internasional), atau Alintel, suatu bentuk kepedulian seluruh dunia yang mewakili setiap orang dari Llyods sampai Museum British, termasuk beberapa keluarga kerajaan, puluhan perusahaan besar dan bahkan sejumlah pemerintahan.
Dompet yang satunya lagi berisi surat kepercayaan Keamanan Negara atas nama Laurence Gaynor MacLean. Kedua dokumen tersebut asli dan dapat diperiksa asal muasalnya secara mendetail. Meskipun keberadaannya terus menerus disangkal, Bapa Gentile tahu betul bahwa sekretaris negara Vatikan mempunyai departemen intelijen yang sudah berjalan paling lama di dunia, sebuah organisasi yang dalam satu dan lain bentuk sudah ada sejak St. Peter datang ke Roma dan orang-orang Kristen bawah tanah menuliskan tanda ikan dengan kapur di atas dinding ruang makam. Dokumen-dokumen dan "legenda-legenda" yang menyertainya itu tak pernah menjadi masalah. Gentile berlagak sebagai Larry MacLean tua yang baik dan memperoleh surat Keamanan Negara, berdiri sebentar di depan cermin kamar mandi untuk menghilangkan logat Italianya dan menggantikannya dengan logat Midwestern yang tidak jelas, kemudian meninggalkan kamar itu.
Ia turun ke lobi, memesan taksi untuk membawanya ke kota dan setengah jam kemudian ia sudah berada di Manhattan, memesan kamar di Hotel Gramercy Park dan mengatakan kepada resepsionis hotel bahwa Delta sekali lagi telah menghilangkan barang-barang bawaannya. Ia mendaftarkan diri sebagai Lawerence G. MacLean dan membayar dengan kartu cek Visa Bank of America yang tak terlacak. Ia menghabiskan waktu sepuluh menit lagi di depan cermin kamar mandi untuk mempraktikkan cara berbicara ala Kansas yang datar, kemudian meninggalkan hotel dan mulai bekerja.
Next17 Toko itu bernama singkat, Maroe, menempati sebuah lahan kecil di Jalan Lafayette kira-kira seluas tiga blok, di sudut Grand. Suara gemerincing lonceng menandai masuknya Finn dan Valentine ke toko itu. Pintu masuk semacam itu sepertinya membawa mereka melintasi separuh dunia"udaranya tiba-tiba penuh dengan aroma kumin, jintan, dan kayu manis; dinding-dindingnya digantungi permadani dalam berbagai ukuran dan warna; meja di tumpuk diatas meja; timbunan berbagai macam barang mulai dari keranjang sampai senjata-senjata api laras panjang"semua itu diawasi oleh seorang pria gemuk di belakang sambil mengisap rokok oval dan mengenakan kopiah, berpakaian setelan dari bahan linen putih bersih yang membuat pria itu tampak seakan-akan keluar dari film Casablanca. Finn berharap Humphrey Bogart segera muncul dengan Ingrid Bergman di belakangnya. Valentine memberi salam ala Islam kepada pria itu dan pria itu membahasnya dengan cara yang sama. Ia memandangi Finn dengan penuh tanda tanya dan Valentine memperkenalkan pria itu.
"Finn Ryan, ini kawanku Hassan Lasri."
"Salaam," kata Finn, dengan cara sebaik mungkin Lasri tersenyum.
"Sebenarnya Shalom, karena aku seorang Yahudi Maroko, tetapi usahamu cukup bagus.: Ia tersenyum lagi. "Aku seperti seekor anjing yang terlatih"aku menjawab salam semua orang, terutama dari seorang checroun yang begitu cantik seperti dirimu."
"Checroun?"

Konspirasi Langit Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Rambut merah. Mereka dikatakan sebagai yang paling membawa keberuntungan diantara yang lainnya. Nama sendiri tak mendatangkan apa-apa kecuai kesialan ..." Ia mengangkat bahu.
"Dalam bahasa Arab, Lasri artinya kidal," Valentine menjelaskan.
"Aku takut akan nasib terburuk bagi orang Afrika sepertiku, tapi barangkali kau akan memberiku nasib yang lebih baik." Ia membuat gerak isyarat ke arah sepasang kursi ukiran yang penuh hiasan, dan mereka pun duduk. Ia menjentikkan jemarinya dengan suara yang luar biasa kerasnya, dan seorang lelaki muda muncul dengan jubah panjang berwarna putih dan bertopi kecil warna putih berhias bordir. Lelaki muda itu memelototi Finn dengan satu pandangan apresiatif, kemudian beralih ke Lasri, yang berbicara nyerocos dalam bahasa Arab selama beberapa saat. Lelaki muda itu mengangguk, memandang Finn lagi dan kemudian berlalu.
"Dia keponakanku, Majoub. Jelas dia mabuk cinta padamu."
Finn merasakan wajahnya memerah karena malu.
"Tak ada alasan untuk merasa malu. Sungguh, kau sangat cantik dan contoh yang amat bagus dari seorang checroun, dengan beberapa bintik-bintik seperti bintang dan kulit seperti susu. Tetapi Majoub pun akan jatuh cinta kepada seekor simpanse betina kalau ada satu yang masuk. Dia begitu muda. Tak berbahaya, percayalah." Beberapa menit kemudian lelaki muda itu kembali dengan sebuah talam berisi tiga cangkir kecil, sebuah pot kopi ala Maroko, dan sebuah piring berisi sesuaut berwarna cokelat, lengket, dan sangat berlemak. Majoub melemparkan pandangan terakhir kepda Finn, mendesah dan kemudian menghilang untuk selamanya. Hassan menuangkan kopi, menyendok gula dalam jumlah yang banyak dan kemudian mengedarkan piring yang berisi benda lengket berwarna cokelat itu. "Aku tak tahu makanan ini dinamakan apa oleh Majoub, tapi makanan ini dibuat dari gula-gula, kemiri, dan kacang mete ... diperkirakan baik untuk kesehatan prostat. Kau selamanya tidak khawatir terhadap hal semacam itu, Finn, tapi kami kaum laki-laki harus memperhatikankesehata kami." Ia meringis, memasukkan dua potong makanan itu ke dalam mulutnya satu per satu dan kemudian melarutkannya dengan seteguk kopi. Finn mengambil secuil dari ujung salah satu potongan kecil makanan itu dan merasakan bahaya besar seperti kehati-hatian dokter gigi yang sudah berpengalaman selama 20 tahun. Makanan itu enak rasanya.
"Nah," kata Hassan, "bantuan apa yang dapat kuberikan untuk kalian hari ini?"
"Seorang pria telah terbunuh kemarin. Dengan sebilah belati ritual. Sebilah koumnya."
"Oh ya," kata Hassan, sambil mengangguk. "Si direktur museum itu."
"Anda sudah mendengar peristiwa itu?" tanya Finn, kaget.
"Orang Amerika tetaplah orang Amerika, orang Arab tetaplah orang Arab"walaupun Arab-Yahudi sepertiku. Kalian beranggapan dunia berjalan satu arah. Kami melihat dunia berjalan kearah yang lain. Apabila sebilah koumnya digunakan untuk menghilangkan lidah seseorang, maka itu adalah urusan orang Maroko, beritanya orang Maroko, itulah sebabnya denga ncepat kami mendengar berita tentang itu." Ia tersenyum dengan denyutan kesedihan. "Hari-hari ini, orang-orang yang berhidung lebar dan berkulit gelap sebaiknya menceritakan hal ini secara jujur. Kalau tidak, petugas Keamanan Negara datang di depan pintumu dengan tiket ke Penjara Guantanamo."
"Ceritakan kepada kami tentang koumnya," kata Valentine.
"Koumnya, atau kadang-kadang disebut khanjar, berasal dari bagian utara negeri Maroko. Senjata itu biasanya dipakai dalam suatu ritual kenaikan peringkat, suatu tanda pengakuan pada seorang anak laki-laki yang menuju kedewasaan, paham?"
Valentine mengangguk. Finn menunggu. Ia berpikir untuk mengambil sepotong kecil lagi makanan lengekt yang terbuat dari kemiri, kacang mete, dan gula-gula itu, dan kemudian ikut mengangguk. Begitu Hassan Lasri mengeluarkan sebuah kotak perak dan menyalakan lagi sebatang rokok ovalnya, Finn berharap dirinya sorang perokok. Tidak merokok, tidak minum, tidak memakan makanan yang terbuat dari kemiri, kacang mete, dan gula-gula, dan tidak melakukan hubungan seksual"ia mungkin menjadi seorang biarawati.
Lasri mengisap dalam-dalam rokoknya, mengembuskan asapnya keluar dari lubang hidungnya yang berbulu lebat dan memasukkan sepotong makanan lagi ke mulutnya. Ia mengunyah dan memandang Finn dengan penuh tanda tanya. "Tentu saja," ia melanjutkan, dengan setengah mulut yang masih berisi makanan, "koumnya punya manfaat lain."
"Apa itu?" tanya Finn.
"Selain digunakan untuk melakukan khitan"kalian sudah tahu orang Arab dan orang Yahudi sama-sama melakukan khitan bagi anak-anak laki-laki mereka"belati itu juga digunakan untuk memotong lidah para pengkhianat. Secara tradisional, itulah gunanya; tapi akhir-akhir ini aku tak pernah mendengar kedua hal tersebut dilakukan. "Menghilangkan lidah para pengkhianat: adalha istilah remsmi."
"Dapatkah istilah itu diterapkan dalam kasus pembunuhan Crawley?" tanya Finn.
"Dari mana aku tahu, Sayang" Aku tak pernah bertemu dengan pria itu. Namun, aku tahu dari mana koumnya yang khas itu berasal."
"Bagaimana?" "Seorang polisi memperlihatkan gambar senjata itu kepadaku pagi tadi. Polisi itu bernama Delaney. Rupanya dia mengetahui bahwa aku adalah pemimpin Aliansi Persahabatan Orang-orang Maroko di daerah ini. Aku telah menceritakan kepadanya belati macam apa itu, latar belakangnya dan penggunaannya."
"Dan siapa pemiliknya?"
"Dia tidak menanyakan itu padaku."
"Tetapi kau tahu."
"Tentu. Selain belati murahan untuk turis yan gmereka jajakan di pasar-pasar di Marrakech, Fez, Casablanca dan sejenisnya, koumnya yang sebenarnya"terutama kaomnya orang Moor dari zaman purbakala"dibuat dengan kecermatan tinggi, secermat sidik jari." Lasri membuka mulutnya lebar-lebar dan memasukkan lagi sepotong makanan ke mulutnya. Finn meminum kopi lagi. :Belum lagi fakta bahwa nama pemiliknya biasanya dicetak timbul dengan warna perak diatas pangkal atau sarung pisau itu." Ia tersenyum. "Tuan Delaney tentunya tidak dapat membaca tulisan Arab."
Otak Finn mulai menjadi keruh, sekeruh rangkaian asap yang berembus di sekitar toko dari rokok pria Maroko itu. Lasri menelan, meminum sisa terakhir kopinya, menjilat ampas halus yang ada di dasar cangkir dan tersenyum lagi. "Ampas kopi sangat baik bagi usus besar," katanya. "Pria Maroko sangat jarang terkena kanker usus besar." Ia membuka kotak peraknya, mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya. "Di lain pihak," ia melanjutkan, "amat banyak orang Maroko yang terkena kanker paru-paru." Lasri batuk dengan keras seakan-akan ia sedang membuktikan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Belati itu," bisik Valentine.
"Berasal dari koleksi sekolah privat milik seorang pria muda di Connecticut," kata pria Maroko itu.
"Nama sekolah itu?" tanya Valentine.
"Greyfriars," jawab Lasri, sambil melirik potongan terakhir makanan lengket itu di atas piring. Akademi Greyfriars."
Next18 Dia masuk ke kamar dan melaksanakan ritualnya dengan pakaian seragam. Bertelanjang, ia melintasi kamar itu menuju kursinya dan duduk. Ia memeriksa sampul kulit dari buku yang selalu dikerjakannya bila ia datang ke situ dan kemudian membukanya pelan-pelan, membalik-balik halaman yang berisi tulisan kecil tapi amat jelas terbaca, sekali-sekali berhenti untuk membisikkan kata-kata seperti doa-doa kebencian: "Genus humanum quod constat stirpibus tantopere inter se diferentibus non est origine unum descendus a protoparentibus numero iisdem."
Memang benar: semua manusia berbeda, asal-usul mereka berbeda, sebagian diberkati, sebagian terkutuk sejak lahir. Sebagian manusia dilahirkan sebagai setan, sebagian lainnya sebagai malaikat. Karena bersifat kekal danilahiah, kata-kata itu tak dapat dibantah dan dengan demikian mengikuti kata-kata itu secara apa adanya merupakan perbuatan ilaiah. Semuanya itu begitu mudah kalau keseluruhan perintah itu dapat dipahami.
Ia membalik halaman itu dan kebun itu berada di hadapannya seperti benar-benar nyata,foto itu sekarang memudar, wajah-wajah itu kelabu, tetapi sepenuhnya jelas dalam ingatannya. Ia mengenalinya satu per atu seperti saudara. Patterson dengan kacamatanya seperti yang dikenakan oleh personel The Beatles yang ditembak itu. Dorm, laki-laki yang mereka panggil Dormouse, Winetka, Bosnic, Teitelbaum dan Reid. Pizie Mortimer, Hayes, Terhune, Dickie Biearsto. Ia dapat melihat mereka semua, kedinginan dalam udara dingin pada musim dingin yang lalu, tersesat di dalam hutan, sepuluh laki-laki dari mulai babysitter berusia 44 tahun sampai segerombolan orang gila seni dari kampung halaman. Tetapi bukankah pada akhirnya mereka semua menjadi lebih pintar" Pertama-tama mereka adalah mata-mata dan kedua mereka adalah orang-orang seni, dan mereka semua berada di dalam perang terkutuk itu cukup lama untuk mengetahui bahwa perang adalah sebuah medan yang kau hanya dapat keluar dari sana kalau ditarik oleh tim penyelamat. Perang adalah permainan para penganiaya dan anak-anak haram, bukan perjuangan para pahlawan.
Di sana, persis di depannya, adalah kebun Altenburg dan di luar kebun itu ada biara kecil Benedictine yang sudah ambruk bernama Althof, lama terabaikan karena ketiadaan biarawan atau biarawati di belahan dunia yang telah melupakan bahwa Tuhan pernah ada. Hujan sedang turun, dingin, dan lembut, aliran darahnya terasa sehingga ia menyusupkan sebagian lehernya ke dalam kerah jaketnya, meskipun itu tidak cukup membuatnya merasa nyaman. Ia basah kuyup, hidungnya mengeluarkan lendir dan rokoknya hanya bertahan menyala beberapa detik sebelum melempem di mulutnya.
Akhirnya mereka turun dari gunung itu, berjalan menembus pepohonan menyusuri jalan-jalan setapak yang dapat mereka temukan. Disana tidak ada jalan untuk tetap bersatu, dan akhirnya pasukan itu ambruk seperti sebongkah batu kuno yang pecah. Ada sepuluh bintara, semuanya dengan bedil Garands dan 0,45s; Pixie, si buah kurus dari Jersey City membawa senapan kaliber tiga puluh menyilang di pundaknya seperti layaknya Kristus; dan Dick Hayes, laki-laki botak acak-acakan membawa mortir dan bicara tentang apa yang sebenarnya ingin ia lakukan"yang sebenarnya ingin ia lakukan adalah menyusupkan mortir itu ke kemaluan Greer Garson"dan ia merasakan keinginan itu sejak melihat wanita itu dalam film Mrs. Miniver. Ketika Pixie mengatakan kepadanya bahwa aktris itu telah kawin dengan laki-laki yang berperan sebagai anaknya dalam film, Hayes hampir meledak dan berkata kepada Pixie bahwa sebelum perang berakhir ia akan mencari alasan untuk memotong biji keparatnya yang tidak berharga itu. Sepuluh laki-laki baik dan tiga hantu dari ALIU, Art Looting Invesigation Unit (Satuan Investigasi Peramporan Barang Seni), yang setiap orang sudah tahu merupakan bagian dari OSS (Office of Strategic Services; cikal bakal CIA) dan yang paling mereka inginkan sebenarnya adalah menangkap anggota Nazi dengan tangan mereka di dalam stoples kue. McPhail, Taggart dan Cornwall. McPhail berpikir ia adalah semacam stempel berlogo Tengkorak dan Tulang yang tampak aneh ditangannya itu; Taggart berbicara dengan dirinya sendiri, dan Cornwall tak bebicara dengan seorang pun, ia terus menerus hanya menulisi buka catatan tentang waktu keluarnya. Semuanya satu kru yang aneh.
Dick Hayes, laki-laki botak dengan montir, terkena serangan pertama. Senjata yang digunakan adalah SVT-40s buatan Rusia yang disukai oleh banyak orang Jerman, suara kekecewaan dan datar yang hampir tidak meninggalkan gema, bahkan di daerah semacam pedalaman. Hayes berada pesis di depannya, sebelah kanan, dan sang sersn melihat keseluruhan tangan kanannya terlepas dari bahunya tanpa tersisa kecuali sejumlah darah, tulang dan beberapa benda membelit berwarna putih yang ia perkirakan adalah urat daging. Lalu suara itu seperti seseorang menjatuhkan tutup kotak di atas meja anak-anak disekolah dasar. Hayes lalu terjatuh. Di saat jatuhnya, kau dapat melihat ke dalam tulang rusuknya dan melihat paru-paru dan jantungnya tergenang banyak cairan darah dan benda-benda berwarna ungu. Satu tembakan dan ia tewas. Tamatlah riawayatnya dan rencananya pada Greer Garson.
Semuanya bertiarap ke tanah, dan sepertinya setiap orang, kecuali Hayes, bergerak ke parit yang mengalir di suatu sudut di seberang padang rumput. Cara itu lebih mirip semacam pertahanan bumi beberapa ratus tahun yang lalu ketika mereka bertarung dalam peperangan bodoh lainnya. Bagaimanapun mereka semua mendukung upaya itu. Tiga pria dari ALIU semuanya berangkat letnan kecuali Cornwall, yang berpangkat kapten, padahal tidak satu pun dari ketiganya yang mengetahui bagaimana berperang, sehingga mereka menyerahkan urusan kepada sang sersan yang berhasil tetap hidup disana selama beberapa tahun terakhir, dan sang sersan yakin bahwa tidak ada diantara mereka yang telah ada di sini sebelum Natal.
Sang sersan melongok sedetik untuk mendapat pandangan, dan orang Jerman dengan senjat SVT menembak lagi, meruntuhkan galur-galur di tanah kira-kira tiga inci disebelah kiri kepalanya. Bagaimanapun ia telah memperoleh apa yang diinginkannya"gambaran tentang kebun itu.
Kebun itu tampak lebih Prancis ketimbang Jerman, setengah lusin gedung termasuk sebuah barak seperti gudang, mungkin digunakan sebagai kandang sapi, sebuah rumah besar"rendah, dua tingkat, atap jeraminya seperti topi yang ditarik ke bawah, jendelanya besar dengan kaca yang tertembus peluru di waktu lalu sehingga meninggalkan lubang hitam, seperti mata orang mati. Seluruh kebun ini dikelilingi dengan dinding batu ynag tingginya kira-kira satu setengah meter dan lebarnya satu meter, ditutupi tanaman berry hitam dan semak belukar yang berusia enam generasi"lebih efektif ketimbang kawat berduri. Dinding itu memanjang ke kiri dan berhubungan dengan biara tua, tingginya dua tingkat seperti gudang pertanian, atapnya yang terbuat dari batu tulis tampak sangat gelap dalam guyuran hujan rintik-rintik. Jendela-jendela pada lantai kedua dari baira itu sangat sempit dan sebagian besar ditutp dengan daun jendela dari kayu. Beberapa daun jendela itu bergantung pada satu engsel, sehingga kegelapan di dalamnya terlihat. Hampir pasti dari sanalah datangnya tembakan itu.
Sang sersan mengeluarkan teropong kecil berwarna krem yang dibelinya dari orang Kanada dan melihat segalanya dengan lebih dekat. Mereka berada di bagian atas lereng padang rumput yang menurun ke jalan sehingga dari sana mereka dapat melihat bagian atas dinding dan bahkan bagian atas atap gedung-gedung pertanian itu. Ketika itulah ia mulai membayangkan sesuatu yang berbeda tentang semua benda ini karena di belakang gedung yang berbentuk barak itu, gudang rendah nan besar itu, ia dapat melihat enam buah truk Opel Blitz tiga otn yang digunakan oleh orang-orang Jerman untuk segala keperluan. Salah satu truk itu ditutup kain kanvas di bagian belakangnya. Mereka tidak memiliki tanda kesatuan apa pun yangdapat dilihat oleh sang sersan kecuali lempeng bemper pada salah satu truk yang paling dekat dengan tepi gedung itu. Tulisan pada lempeng itu adalah SS mengkilat yang dipalangkan diatasnya, tetapi panji logam yang ada di sisi penumpang berwarna oranye, yang berarti mereka adalah feldjager"polisi militer. Enam buah truk tiga ton yang mampu membawa kira-kira seratus orang ada di tengah sebuah tempat antah berantah ini" Ini sama sekali tidak masuk akal.
"Apa yang kita peroleh, Sersan?" Itu suara Dormouse. Ingus mengalir di kedua bibirnya yang tebal seperti anak kecil dan matanya terus menerus berkedip-kedip.
"Bersihkan hidungmu, Dormouse."
"Tentu, Sersan." Ia membersihkannya, tetapi hidungnya terus saja ingusan. "Itukah yang menyerang Hayes?"
"Ya, penembak jitu di gereja tua yang terletak di sana"biara, kukira begitu kau menyebutnya."
"Apa perlunya mempertahankan reruntuhan tua itu" Dan jika ini gerombolan orang Jerman yang sedang dalam perjalanan, buat apa mereka memerlukan seorang penembak jitu?"
"Kau terlalu banyak tanya, Dormouse. Suatu hari kelompok ini akan membawamu ke neraka. Bersihkan hidungmu lagi. Kau tampak menjijikkan."
Sang sersan memandang melalui teropong, melihat truk-truk itu, penasaran apa yang ada di dalamnya. Sekarang ini adalah perang yang aneh. Waktunya kau angkat senjata, bergerak dan menembak tentara Jerman dan mereka balik menembakimu. Saat ini mereka semua tmapak seperti berada di dalam semacam jalan simpang siru rahasia, mencari rahasia-rahasia dan hal-hal ang semestinya tak dilakukan dengan bertarung dalam perang apa pun yang pernah ia dengar. Ia mengambil teropong itu lagi dan melihat ke arah kebun itu. Polisi militer"
Next19 Sekolah Menengah Greyfriars berlokasi di Sark River di daerah pedalaman yang berpohon-pohon dan berbukit-bukit, dua belas mil sebelah utara Greenqich, Connecticut. Peradaban yang terdekat dengan Greyfriars adalah desa kecil Friardale di persimpangan jalan menuju Riverview dan Toll Gate Pond. Sambil melewati desa itu, Michael Valentine mengikuti rambu-rambu ke arah Oaklane terus berkendara di sisi sebuah tembok pendek dari batu alam yang dibalut dengan paku-paku besi tempat sampai ke pintu utama sekolah itu. Persis di depan, dibawah sebuah jalan agak menikung dan berkerikil yang dibatasi dengan pohon-pohon ek yang sudah tumbuh penuh, adalah gedung utama sekolah. Model bangunan gedung utama itu tampa kseperti paduan antara gereja Valentine abad pertengahan dan rumah di pedalaman Inggris yang ditutupi tanaman menjalar dan tahan cuaca. Gedung itu amat besar dan tampak sangat tua.
"Seperti bangunan yang ada dalam kisah Harry Potter." Finn berkomentar, sambil memandangi kaca depan mobil yang disewa Valentine itu ketika mereka memasuki jalanraya yang dipenuhi bintik-bintik sinar matahari menuju ke sekolah Greyfriars.
"Lebih mirip Frank Richards," bisik laki-laki yang lebih tua itu.
"Siapa?" "Jangan dipikirkan."
Mereka meneruskan melewati jalan yang berbatas pepohonan itu. Di sebelah kiri jalan terdapat setengah lusin gedung-gedung tambahan, termask sebuah pondok penjaga, sesuatu yang cukup besar untuk menjadi kolam renang atau gedung olahraga, dan sebuah kapel kecil lengkap dengan menara lonceng mini. Di sebelah kanan jalan terdapat sebuah lapangan baseball, lapangan tennis, dan sesuatu yang dapat dijadikan kandang. Di belakang gedung utama dan di balik tembok ada sebuah kebun buah-buahan, pohon-pohon kerdil yang diatur dalam deretan-deretan yang rapi. Di sela-sela pepohonan itu terdapat jalan berliku-liku, lapangan rumput yang dipangkas rapi, dan sejumlah taman bunga yang di atur dengan penuh seni. Tak pelak, sebuah sekolah untuk anak-anak orang kaya.
Mereka parkir di sebidang kapling di luar lapangan segi-empat utama. Tempat parkir itu kosong, hanya ada sebuah mobil station wagon Taurus buatan tahun pertengahan sembilan puluhan berwarna merah tua yang salah satu penyeka kaca depannya hilang, dan sebuah sedang tua Jaguar Mark II berpunggung bungkuk berwarna hijau tua. Di bagian belakang mobil station wagon Taurus itu terdapat sebuah jok seukuran anak kecil yang baru bisa berjalan.
Mereka meninggalkan mobil sewaan itu dan berjalan di bawah udara pagi yang hangat. Matahari hampir persis di atas kepala dan segala sesuatu disekitar situ tampak menyusut, terpanggang, dan sepi. Pada pertengahan musim panas sampai dengan September, suasana sekolah memang seperti sekam yang terbuang. Mereka memasuki lapangan segi empat utama. Tepat di depan mereka ada sebuah air mancur dari batu yang diatasnya terdapat sebuah hiasan patung wanita klasik yang besar dengan sebuah kendi yang dimiringkan diatas bahunya, menumpahkan air ke dalam kolam granit dibawahnya. Rasanya seakan-akan patung itu sudah berdiri disitu dan menumpahkan air selama seratus tahun, kolam itu tak pernah penuh, wadah air dibahunya tak pernah habis. Gelegak air mancur di kolam adalah satu-satunya suara dan gerakan yang ada di tempat itu. Mereka berbelok ke kiri dan menaiki serangkaian anak tangga batu yang lebar. Valentine menarik salah satu pintu dari kayu ek dan mereka memasuki interior sekolah yang sejuk.
Mereka mendapati diri mereka berada di dalam sebuah ruang resepsi yang luas yang dindingnya juga dilapisi kayu ek. Lantainya dari marmer, tersusun dalam rangkaian ubin persegi warna terang dan gelap berselang-seling. Sebagian besar plafonnya dilapisi kayu dibagian tengahnya dengan sebuah besi-tempa amat besar untuk tempat lilin penerangan. Finn berharap dapat melihat baju-baju baja dan tombak-tombak bersilang yang disusun disekitar ruangan itu, tetapi ia justru melihat peti-peti pameran yang disinari dengan lampu suram, berisi piala-piala dan foto-foto berbingkai kuno yang sudah berdebu. Begitu memasuki pintu, ada sebuah lempeng granit amat besar yang dipasangkan di dinding, digores seperti batu nisan. Dengan warna emas, bagian atas prasasti itu ditulisi kenangan singkat: 1916-1918"1941-1945 . Dibawah tahun itu terdapat selusin kolom yang berisi nama-nama. Rupanya bagi Greyfriars, sejarah telah berhenti pada akhir Perang Dunia II sedangkan konflik-konflik yang mengikutinya tak dihiraukan. Nama-nama itu, atau mereka, benar-benar kekurangan tempat, dan jasad orang-orang Greyfriars dari Korea, Vietnam dan Irak tak dipedulikan.
Finn dan Valentine melewai jalan masuk, diiringi naik turun suara sebuah printer dot-matrix kuno dan gemerisik jemari diatas papan ketik komputer yang terdengar kabur. Melalui ruang utama mereka mendapati sebuah koridor sempit tanpa ada belokan ke kiri dan ke kanan, segalanya ditempeli papan kayu ek, dengan plester kuno warna oker diatasnya. Sejumlah kamar kecil mengawali koridor itu; hanya satu kamar yang pintunya terbuka. Valentine menengok ke dalam, mengetuk kusen pintu dengan perlahan. Seorang wanita biasa bertubuh pendek sedang sibuk bekerja di depan keyboard, kakinya dilipat dengan rapi dibawah mejanya, kepalanya tegak dan postur tubuhnya sempurna. Ia memakai kacamata dan rambutnya diikat menjadi sanggul longgar yang tidak teratur. Wanita itu mendongak ke arah suara ketukan Valentine, matanya tampak lebar di belakang kacamata. Valentine tersenyum.
"Aku Dr. Michael Valentine dari New York. Ini asistenku, Nona Ryan."
"Dr. Valentine?" Sekarang wanita itu memandang lebih heran, laksana kelinci beku dalam sorotan lampu jauh. "Setahu saja disini tidak ada yang sakit. Tidak ada siapa-siapa disini. Hanya sejumlah pimpinan."
"Anda?" tanya Valentine.
"Nona Mimble. Jessie Mimble. Aku resepsionis."
"Kami ingin bertemu Dr. Wharton, kalau tidak mereptkan Anda.:
"Anda sudah ada janji?"
"Belum. Ini tentang pisau yang dicuri."
"Astaga." "Nah. Kami ke sini karena hal itu." Nona Mimble yang muda dan bermata kelinci itu memandang mereka seolah-olah sedang menunggu perintah lebih lanjut. Ia tampak terpaku pada Valentine.
"Dr. Wharton?" Finn mengingatkan.
"Oh, baik," kata wanita itu. Ia beranjak dari belakang mejanya dan berlari buru-buru menuju pintu yang bersebelahan, mengetuk perlahan sebelum masuk. Sambil memandangi kepergiannya, Finn mengetahui bahwa wanita itu mempunyai pantat besar dan pinggul lebar, seakan-akan badan seorang wanita yang lebih ramping dicangkokkan ke pinggang tank Bradley yang disamarkan dalam rok berhiasan bunga. Wanita itu kembali beberapa saat kemudian, menarik pintu agar terbuka dan berdiri di samping.
"Dr. Wharton akan menemui Anda sekarang." Ia memberi isyarat kepada mereka agar masuk ke ruangan, lalu menutup kembali pintu itu.
Dr. Harry Wharton berusia empat puluhan, botak, bercukur besih dan memakai kacamata-baca berbingkai warna merah terang. Ketika Valentine dan Finn Ryan memasuki ruangan, kacamata itu dilepaskan dan diletakkan pada tumpukan kertas di atas meja di depannya. Ruangan itu sendiri terasa diatas meja didepannya. Ruangan itu sendiri terasa menyenangkan dan terang. Tirai yang menggantung di jendela tinggi di belakang Wharton berwarna merah cerah dan disingkapkan agar sinar matahari dapat masuk. Mejanya terbuat dari kayu ek tua, lebar dan modern. Warna karpetnya selaras dengan tirai dan kursi-kursi berlapis kulit warna merah yang berjajar di depan meja. Pada dinding di belakang kepala sekolah itu terpampang foto sekolah yang diambil dari udara dalam sebuah bingkai. Selebihnya, dinding-dinding ruang itu diisi dengan rak-rak buku setinggi lantai hingga plafon. Sangat bercitra profesor, seperti kantor kepala sekolah swasta versi Architectural Digest. Finn tersenyum; hanya untuk membuat orang tua kaya merasa senang. Ruangan itu sedikit berbau tembakau pipa rasa apel. Tidak ada asbak.
Wharton berdiri, perhatiannya sebagian besar kepada Finn. Finn memerhatikan dasi yang dikenakan laki-laki itu berwarna merah dengan gambar-gambar perisai heraldic kecil berwarna biru diatasnya. Jasnya bergaris-garis halus warna hitam dan kulit depan sepatunya mengkilat seperti bagian atas kepalanya. Ia mengulurkan tangannya melewai meja sambil tersenyum. Senyumnya tampak benar-benar menyenangkan dan tulus. Finn yang pertama menyambut tangannya. Genggamannya kering dan kukuh dan dia bukan termasuk orang yang menjabat tangan dengan menekan dalam waktu yang lama. Wharton duduk kembali.
"Dr. Valentine, Nona Ryan, apa yang bisa saya bantu?"
"Kami kemari untuk persoalan koumnya."
"Pisau itu." Wharton mengangguk. "Dicuri beberapa minggu yang lalu."
"Ya," kata Valentine.
"Aku ingin tahu kenapa Anda tertarik dengan barang itu?" Wharton bertanya. Suaranya masih cukup menyenangkan tetapi mengisyaratkan nada tanya yang diredam.
"Pada dasarnya saya tertarik dengan barang-barang antik, tetapi saya lebih tertarik tentang bagaimana pisau itu dipergunakan."
"Pembunuhan itu."
"Ya." "Jadi Anda bersama polisi?"
"Kadang-kadang saya bekerja sebagai konsultan bagi mereka."
Sebuah upaya penghindaran yang cantik, pikir Finn. Bukan kebenaran tetapi juga bukan kebohongan. Kalimat itu dikatakan tanpa suatu kedutan wajah atau keragu-keraguan"sebuah pertanyaan yang diharapkan jawabannya siap. Seperti yang dikatakan ibunya. Michael Valentine memang ornag yang berhati-hati.
"Sayang," kata Wharton. "Tentu saja tidak ada hubungannya dengan Greyfriars. Senjata itu mudah digunakan. Namun demikian, hal itu mencerminkan citra yang kurang baik bagi sekolah. Namun, untunglah peristiwa itu terjadi di waktu liburan musim panas." Finn berpikir, tentunya bukan hal seperti itu yang menarik orang kaya dan terkenal.
"Alexander Crawley bukan alumnus Greyfriars?"
"Bukan." "Anda yakin." Ekspresi Wharton yang sebelumnya menyenangkan dan netral tiba-tiba menjadi keras. "Pasti. Pertama-tama, saya telah memeriksa semua catatan Polisi New York. Dengan usia tuan Crawley setua itu, berarti ia belajar di sekolah menengah pada waktu yang sama dengan saya. Saya bersekolah disini dari tahun 1995 sampai 1967. Jika ia pernah menjadi siswa disini, saya pasti mengenalnya."
"Saya mengerti."
"Ada perampokan disini. Pisau itu menarik mata si pencuri. Celakanya, Tuan Crawley menjadi korbannya."
"Kelihatannya sulit untuk dipercaya, tidakkah Anda berpikir demikian?"
"Tampak seperti kejadian-kejadian yang berkaitan secara aneh. Pisau itu adalah hadiah dari salah seorang alumni."
Valentine memandang sekilas kepada Finn. Finn segera memahami isyarat itu.
"Bolehkah kami melihatnya?" Finn bertanya dengan bijaksana, sambil memberikan senyum terbaiknya kepada Wharton. "Museum itu, maksud saya."
"Sebenarnya saya pikir tidak ada gunanya," si kepala sekolah menanggapi. "Pisau itu tidak berada disana lagi."
"Tolonglah," kata Finn. Ia berdiri sambil memamerkan kancing kuningan dibagian depan celana jeans-nya secara mencolok persis di hadapan pandangan mata Wharton. Laki-laki itu hampir tidak berhenti memandang.
"Saya rasa," kepala sekolah itu menjawab dengan keras. Ia berdiri, jemari tangan kanannya secara otomatis mengarah ke kancing jasnya dan memasangkannya. Ia merapikan dasinya. "Kita dapat ke sana melewati sekolah, tetapi lebih mudah jika kita menyeberangi lapangan."
Si kepala sekolah membawa keluar melalui gang, memberi tahu Nona Mimble yang bermata melotot itu tentang tujuannya, berjalan ke pintu utama gedung dan kemudian keluar. Ia tidak berusaha untuk berbicara kepada Finn ataupun Valentine. Ia melangkah cepat ke jalan kecil berkerikil dan sempit yang menembus area rerumputan yang terawat dengan baik, seakan-akan ia menantang mereka untuk terus melanjutkan perjalanan bersamanya.
Mereka tiba dirangkaian tangga batu yang sederhana di sisi yang jauh dari lapangan segi empat, menaikinya dan kemudian memasuki sebuah pintu kecil berkombinasi kaca yang mengarah ke dalam sebuah ruang kecil tempat menggantung jas dilengkapi dengan deretan cantelan dari kuningan di salah satu sisinya. Mereka berada persis di sudut antara dua sayap gedung besar dan dua gang sempit mulai kiri dan kanan. Serta merta disebelah kiri mereka terdapat sebuah pintu yang terbuka menuju ke suatu tempat yang tak pelak lagi adalah sebuah laboratorium ilmu pengetahuan. Disampingnya ada sebuah pintu dengan sebuah papan tanda dari kayu berbentuk rapi yang bertuliskan: DARKROOM. Wharton berbelok dan berhenti di depan pintu sebelah kiri. Ia merogoh saku pantalonnya, mengeluarkan sebuah cincin besar gantungan kunci-kunci dan memasukkan salah satunya ke lubang kunci.
"Anda mengunci pintu museum?" Valentine bertanya.
Badai Di Selat Karimata 2 Kok Putusin Gue Karya Ninit Yunita Dewi Lintah 1

Cari Blog Ini