Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo Bagian 2
membimbingnya ke luar kafe. Pisciotta mengikuti tanpa perlawanan, terkesima
melihat temannya mengalah begitu mudah, tapi tak pernah curiga temannya takut.
Ia tahu Turi baik hati dan menganggap temannya itu tidak ingin bertengkar dan
melukai orang lain hanya karena masalah seremeh itu. Sewaktu mereka menyusuri
Via Belia menuju rumah, mereka bisa mendengar bola-bola biliar berdetak-detak di
belakang. Sepanjang malam itu Turi Guiliano tidak bisa tidur. Apakah ia benar-benar takut
terhadap orang berwajah jahat dan bersikap mengancam itu" Apakah ia menggigil
seperti perempuan" Apakah mereka semua menertawakan dirinya" Apa pendapat
sahabat terbaiknya, sepupunya, Aspanu, tentang dirinya sekarang" Bahwa ia
pengecut" Bahwa ia, Turi Guiliano, pemimpin pemuda Montelepre, yang paling
dihormati, paling kuat, dan paling tidak kenal takut, takluk begitu mendapat
ancaman dari pria sejati" walaupun begitu, katanya dalam hati, kenapa mengambil
risiko menghadapi vendetta yang bisa menyebabkan kematian hanya karena masalah
sepele seperti permainan biliar, karena kekasaran menjengkelkan seorang pria
lebih tua" Ini tidak seperti bertengkar dengan sesama pemuda. Ia tahu
perselisihan ini bisa jadi serius. Ia tahu orang-orang itu termasuk Friends of
the Friends. Dan itu menyebabkan ia takut.
Guiliano tidur gelisah dan terjaga dengan suasana hati muram yang begitu
berbahaya dalam diri seorang pemuda. Ia tampak konyol di matanya sendiri. Selama
ini ia selalu ingin jadi pahlawan, seperti sebagian besar emuda lainnya.
Seandainya ia hidup di kawasan Italia ya, pasti ia sudah lama menjadi prajurit.
Tapi sebagai orang Sisilia sejati ia tidak mendaftarkan diri secara sukarela,
dan bapak permandiannya, Hector Adonis, telah mengatur agar dirinya tidak pernah
dipanggil wajib militer. Walaupun Sisilia berada di bawah pemerintahan Italia,
tidak ada orang Sisilia sejati yang merasa dirinya orang Italia. Lagi pula,
kalau mau bicara jujur, pemerintah Italia sendiri tidak begitu bersemangat
merekrut orang Sisilia, terutama selama setahun terakhir peperangan. Orang-orang
Sisilia memiliki banyak kerabat di Amerika, mereka sudah menjadi penjahat dan
pemberontak sejak lahir, mereka terlalu bodoh untuk dilatih dalam ilmu perang
modern, dan mereka menimbulkan masalah ke mana pun mereka pergi.
Di jalan Turi Guiliano merasakan kemuramannya memudar bersama keindahan hari.
Matahari keemasan tampak megah, harum pohon lemon dan zaitun memenuhi udara. Ia
mencintai Montelepre, jalan-jalannya yang berliku-liku, rumah-rumah batu dengan
balkon-balkonnya yang dipenuhi bunga yang tumbuh di Sisilia dengan sendirinya.
Ia menyukai atap-atap genteng merah yang membentang hingga ke ujung kota kecil
itu, terbenam dalam lembah tempat matahari menyiraminya bagai emas cair.
Dekorasi Festa yang meriah di atas jalanan bergantungan boneka-boneka kertas ?aneka warna melambangkan para orang suci, rumah-rumah dihiasi bunga-bunga yang
dirangkai pada bambu menyamarkan kemiskinan yang merupakan gejala umum di
?Sisilia. Bertengger tinggi, tapi bersembunyi malu-malu di celah-celah pegunungan
yang mengelilinginya, rumah-rumah Montelepre yang telah berhias itu sebagian
besar dipenuhi pria, wanita, anak-anak, dan hewan yang menempati tiga atau empat
ruangan. Banyak di antara rumah-rumah itu tidak memiliki sanitasi, dan bahkan
ribuan bunga serta dinginnya udara pegunungan tak bisa mengatasi bau kotoran
yang membubung seiring naiknya matahari.
Di tengah cuaca bagus orang-orang tinggal di luar rumah. Para wanita duduk di
kursi-kursi kayu di teras yang terbuat dari batu-batu bulat, menyiapkan makanan
di meja-meja, yang juga ditata di luar ruangan. Anak-anak kecil memenuhi jalanan
sambil mengejar-ngejar ayam, kalkun,- kambing muda; anak-anak yang lebih tua
menganyam keranjang bambu. Di ujung Via Belia, sebelum alun-alun, terdapat air
mancur besar berwajah iblis, dibangun orang-orang Yunani dua ribu tahun
sebelumnya, airnya menyembur dari mulut bergigi batu. Di sekeliling pegunungan
taman-taman hijau tumbuh menantang bahaya, dibangun pada teras-teras. Di dataran
di bawah terlihat kota Partinico dan Castellammare; Corleone, kota batu hitam
berlumuran darah, mengintai dengan nafsu membunuh di balik kaki langit.
Dari ujung seberang Via Belia, ujung jalan yang menuju dataran Castellammare,
Turi bisa melihat Aspanu Pisciotta tengah membimbing keledai kecil. Sejenak ia
mengkhawatirkan perlakuan Aspanu kepadanya setelah penghinaan yang dialaminya
semalam. Temannya itu terkenal akan keberaniannya. Apa ia akan melontarkan
komentar jijik kepadanya" Guiliano kembali merasakan gelombang kemarahan yang
sia-sia dan bersumpah tak akan lengah seperti itu lagi. Ia takkan peduli dengan
konsekuensinya, ia akan menunjukkan kepada mereka semua bahwa dirinya bukan
pengecut. Tapi di sudut benaknya ia melihat seluruh adegan dengan tajam dan
jelas. Teman-teman Quintana menunggu di belakangnya, salah seorang di antaranya
menyandang senapan berburu. Mereka Friends of the Friends dan akan membalaskan
dendam rekan mereka. Ia tidak takut pada mereka, ia hanya takut dikalahkan oleh
mereka, dan tampaknya itulah yang akan terjadi sebab sekalipun tidak terlampau
kuat, mereka lebih kejam.
Aspanu Pisciotta menyeringai nakal sambil berkata, "Turi, keledai kecil ini
tidak bisa melakukannya sendiri. Kita harus membantunya."
Guiliano tidak bersusah payah menjawab, ia lega temannya telah melupakan
kejadian semalam. Ia selalu tersentuh melihat Aspanu, yang sering meributkan
kesalahan orang lain, selalu memperlakukan dirinya penuh sayang dan hormat.
Mereka berjalan bersama-sama ke alun-alun kota, keledai Pisciotta ikut di
belakang. Anak-anak berhamburan ke sana kemari di depan mereka bagai ikan-ikan
pilot. Anak-anak tahu apa yang. akan terjadi dengan si keledai dan mereka jadi
liar karena bersemangat. Bagi mereka peristiwa itu merupakan tontonan besar,
kejadian mengasyikkan di hari musim panas yang biasanya membosankan.
Panggung kecil setinggi 120 sentimeter dibangun di lapangan kota. Panggung itu
terbuat dari bongkahan-bongkahan batu yang dipotong dari pegunungan di
sekitarnya. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta mendorong keledainya menaiki
jalur tanah ke atas panggung. Mereka menggunakan seutas tali untuk mengikat
kepala keledai di tonggak besi vertikal yang pendek. Keledai itu duduk. Ada
bercak kulit putih di mata dan
moncongnya yang menyebabkan penampilannya seperti badut Anak-anak berkumpul di
sekitar panggung, tertawa-tawa dan mengejek. Salah seorang di-antaranya berseru,
"Yang mana keledainya?" dan semua anak itu pun tertawa
Turi Guiliano tidak tahu hari ini merupakan hari terakhirnya sebagai pemuda ?desa tak dikenal menunduk memandang mereka dengan kepuasan posesif pria yang
?berada di tempat seharusnya. Ia berada di tempat kecil di bumi, tempat ia
dilahirkan dan menghabiskan hidupnya. Dunia luar takkan pernah bisa
menyakitinya. Bahkan penghinaan semalam telah terlupakan. Ia mengenal pegunungan
kapur yang menjulang seakrab anak kecil mengenal kotak pasirnya. Pegunungan itu
menumbuhkan bongkahan-bongkahan batu semudah menumbuhkan rerumputan, dan
membentuk gua-gua dan tempat persembunyian yang bisa melindungi satu pasukan.
Turi Guiliano mengenal setiap rumah, setiap ladang, setiap buruh, dan semua
reruntuhan puri yang ditinggalkan orang Normandia dan Moor, puing-puing kuil
peninggalan orang Yunani yang membusuk dengan indahnya.
Dari pintu masuk alun-alun yang lain muncul petani yang menggiring Bagal Ajaib.
Orang inilah yang mempekerjakan mereka pagi ini. Namanya Papera, dan ia sangat
dihormati penduduk Montelepre karena berhasil melakukan vendetta terhadap
tetangganya. Mereka bertengkar atas sepetak tanah tempat tumbuh sesemakan
zaitun. Pertengkaran berlangsung hingga sepuluh tahun, lebih lama dari semua
peperangan, yang dikobarkan Mussolini atas Italia. Lalu suatu malam tak lama
setelah Pasukan Sekutu membebaskan Sisilia dan menetapkan pemerintahan
demokratis, si tetangga ditemukan hampir terpenggal jadi dua oleh sepucuk
lupara, yang populer digunakan di Sisilia untuk masalah-masalah seperti ini.
Kecurigaan segera jatuh pada Papera, tapi ia telah membiarkan dirinya bertengkar
dengan carabinieri dan menghabiskan malam saat terjadinya pembunuhan di sel
penjara Barak Bellampo. Isu mengatakan inilah tanda pertama kebangkitan Mafia
lama, bahwa Papera bersaudara dengan Guido Quintana karena pernikahan telah
? ?melibatkan Friends of the Friends untuk membantu membereskan pertengkaran
tersebut. Saat Papera membimbing bagalnya ke depan panggung, anak-anak mengerumuninya
sehingga ia terpaksa mengusir mereka dengan makian ringan dan lambaian cambuk
yang dipegangnya. Anak-anak menghindari cambuknya dengan mudah sewaktu Papera
melecutkan-nya di atas kepala mereka sambil tersenyum riang.
Mencium bau bagal betina di bawah, keledai berwajah putih menarik-narik tali
yang menahannya di panggung. Turi dan Aspanu mengangkatnya sementara anak-anak
bersorak-sorak. Sementara itu Papera mengatur posisi bagalnya agar pantatnya
menempel ke panggung. Pada saat itu Frisella, tukang cukur, keluar dari salonnya untuk menggabungkan
diri dalam kegembiraan. Di belakangnya berjalan Maresciallo yang sombong dan sok
penting sambil menggosok-gosok wajahnya yang halus kemerahan. Ia satu-satunya
orang di Montelepre yang bercukur setiap hari. Bahkan dari panggung, Guiliano
bisa mencium bau cologne yang disiramkan tukang cukur pada dirinya.
Maresciallo Roccofino melontarkan pandangan profesional ke arah kerumunan yang
berkumpul di lapangan. Sebagai komandan detasemen Kepolisian Nasional setempat,
yang terdiri atas dua belas orang, ia bertanggung jawab atas hukum dan
ketertiban di kota. Festa selalu merupakan masa-masa merepotkan, dan ia telah
memerintahkan patroli empat orang di alun-alun kota, tapi mereka belum datang.
Ia juga mengawasi si dermawan Papera, yang membawa Bagal Ajaibnya. Ia yakin
Papera telah memerintahkan pembunuhan atas tetangganya. Orang-orang Sisilia
biadab ini sangat cepat mengambil keuntungan dari kebebasan mereka yang sakral.
Mereka semua akan menyesali kepergian Mussolini, pikir Maresciallo muram.
Dibandingkan Friends of the Friends, diktator itu akan dikenang sebagai wujud
lain Santo Francis dari Assisi.
Frisella si tukang cukur adalah pelawak Montelepre. Orang-orang yang menganggur
karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan, berkumpul di salonnya untuk
mendengarkan lelucon dan gosip. Ia salah satu tukang cukur yang lebih melayani
diri sendiri daripada para pelanggannya Kumisnya terawat sangat rapi, rambutnya
diminyaki dan disisir kaku, tapi wajahnya menyerupai badut sandiwara boneka..
Hidung bulat besar, mulut lebar menganga bagai gerbang, dan rahang bawah yang
tidak berdagu. Sekarang ia berteriak, "Turi, bawa hewan-hewanmu ke tempatku agar bisa kuberi
parfum. Keledaimu akan mengira curinya bercinta dengan putri bangsawan."
Turi tak mengacuhkannya. Frisella pernah memotong rambutnya sewaktu ia kecil,
dan potongannya begitu buruk sehingga ibunya terpaksa mengambil alih tugas tersebut. Tapi ayahnya tetap
mengunjungi Frisella untuk turut mendengarkan gosip kota dan menceritakan
kisahnya sendiri tentang Amerika yang memesona para pendengarnya. Turi Guiliano
tidak menyukai si tukang cukur karena Frisella seorang Fasis yang kuat dan
terkenal sebagai orang kepercayaan Friends of the Friends.
Maresciallo menyulut rokok dan melenggok menyusuri Via Belia tanpa memerhatikan
Guiliano kelalaian yang akan msesalinya selama berminggu-minggu mendatang.?Keledainya sekarang berusaha melompat dari panggung. Guiliano membiarkan talinya
mengendur sehingga Pisciotta bisa membimbing hewan itu ke tepi panggung dan
memposisikannya di atas Bagal Ajaib. Pantat bagal betina' itu berada tepat di
atas panggung. Guiliano mengendurkan talinya sedikit lagi. Bagal betina
mendengus hebat dan mendorong pantatnya ke belakang, bersamaan dengan itu si
keledai mendesak ke bawah. Si keledai mencengkeram pantat si bagal betina dengan
kedua kaki depannya, tersentak-sentak beberapa kali dan menggantung di tengahtengah udara dengan ekspresi puas yang lucu pada wajah bebercak putihnya. Papera
dan Pisciotta tertawa-tawa sementara Guiliano menarik tali kuat-kuat dan
mengembalikan keledai yang lemas itu ke tonggak besi. Kerumunan orang bersoraksorak dan meneriakkan restu. Anak-anak berhamburan ke jalanan, mencari
kegembiraan lain. Papera, masih tertawa, berkata, "Kalau saja kita semua hidup seperti keledai,
eh, benar-benar kehidupan yang luar biasa."
Pisciotta menimpali sembarangan, "Signor Papera, izinkan kumuati punggungmu
dengan bambu dan keranjang zaitun dan kupukuli kau sepanjang jalan ke pegunungan
selama delapan jam setiap hari. Itulah kehidupan keledai."
Si petani merengut. Ia menangkap ejekan halus bahwa ia membayar mereka terlalu
sedikit untuk pekerjaan ini. Ia tidak pernah menyukai Pisciotta dan sebenarnya
memberikan pekerjaan itu kepada Guiliano. Semua orang di Montelepre menyukai
Turi. Tapi Pisciotta soal lain. Lidahnya terlalu tajam dan sikapnya terlalu
santai. Pemalas. Kenyataan ia memiliki dada lemah, bukanlah alasan. Ia masih
bisa merokok, mencumbu gadis-gadis Palermo yang masih bebas, dan mengenakan
pakaian layaknya pesolek. Dan kumis kecilnya bergaya Prancis. Ia bisa terbatukbatuk hingga tewas dan menemui iblis dengan dadanya yang lemah, pikir Papera. Ia
memberi mereka dua ratus lira, Guiliano mengucapkan terima kasih padanya dengan
sopan, lalu ia membawa bagal betinanya kembali ke tanah pertaniannya. Kedua
pemuda itu melepaskan ikatan si keledai dan membimbingnya pulang ke rumah
Guiliano. Pekerjaan yang membosankan itu baru saja dimulai; masih banyak
pekerjaan kurang menyenangkan yang menantinya.
Ibu Guiliano menyiapkan makan siang lebih awal untuk kedua pemuda itu. Kedua
saudari Turi, Mariannina dan Giuseppina, membantu ibu mereka membuat pasta untuk
makan malam. Telur dan tepung dicampur menjadi gundukan besar di papan kayu
persegi, lalu diremas-remas hingga padat. Selanjutnya tanda salib diukir untuk
menyucikan adonan . itu. Lalu
Mariannina dan Giuseppina mengiris-iris adonan yang mereka guling-gulingkan pada
bilah rumput sisal, dan mencabut batang rumputnya sehingga terbentuk lubang di
tengah-tengah tabung adonan. Mangkuk-mangkuk besar penuh berisi zaitun dan
anggur menghiasi ruangan.
Ayah Turi bekerja di ladang, hari kerja yang pendek agar bisa mengikuti Festa di
siang harinya. Besok Mariannina akan bertunangan dan akan ada doa khusus di
rumah Guiliano. Turi selalu menjadi anak kesayangan Maria Lombardo Guiliano. Kedua saudarinya
mengingatnya sebagai bayi yang dimandikan setiap hari oleh ibu mereka. Baskom
timah dengan hati-hati dihangatkan di dekat tungku, ibunya menguji suhu airnya
dengan siku, sebatang sabun dibeli khusus dari Palermo. Mula-mula kedua kakak
perempuannya iri, lalu terpesona melihat ibunya memandikan bayi laki-laki
telanjang itu dengan lembut. Turi tidak pernah menangis sewaktu bayi, selalu
tertawa sementara ibunya bersenandung dan menyatakan tabuhnya sempurna. Ia anak
termuda dalam keluarga tapi tumbuh menjadi yang terkuat. Dan bagi mereka ia
selalu agak aneh. Ia membaca buku-buku dan berbicara tentang politik, dan tentu
saja terdengar komentar bahwa tinggi dan postur tabuhnya berasal dari masa ia
berada dalam kandungan di Amerika. Tapi mereka juga menyayanginya karena
kelembutan dan kebaikannya.
Pada pagi ini para wanita tengah mengkhawatirkan Turi dan mengawasi dirinya
penuh sayang sementara ia menyantap roti dan keju susu-kambingnya, sepiri
zaitun, dan kopi yang terbuat dari tanaman chicory
Begitu selesai bersantap siang, ia dan Aspanu akan membawa keledainya keCorleone dan kembali dengan menyelundupkan sejumlah besar keju dan ham serta
sosis. Untuk itu ia akan melewatkan satu hari Festa demi menyenangkan ibunya dan
menyukseskan pesta pertunangan kakaknya. Sebagian barang-barang itu akan mereka
jual agar mendapatkan uang tunai di pasar gelap untuk simpanan keluarga.
Ketiga wanita ini begitu senang melihat kedua pemuda itu bersama-sama. Mereka
bersahabat sejak kecil, lebih erat daripada saudara sekalipun keduanya begitu
berlawanan. Aspanu Pisciotta, dengan kulit gelapnya,
kumis tipis bintang filmnya, wajahnya yang ekspresif, mata hitam cemerlang dan
rambut hitam pekat di kepalanya yang kedi, serta keberaniannya, selalu memesona
para wanita. Walaupun demikian, semua ke-flamboyanan itu dikalahkan keindahan
khas Yunani Turi Guiliano yang pendiam. Ia bertubuh kekar seperti patung-patung
batu kuno Yunani yang bertebaran di seluruh Sisilia. Dan kulitnya cokelat
muda juga rambutnya. Ia selalu sangat tenang, meskipun kalau bergerak ?kecepatannya mengejutkan. Tapi cirinya yang paling n^dominasi adalah matanya.
Mata cokelat keemasannya bagai selalu bermimpi. Kalau memandang ke arah lain
matanya tampak biasa, tapi kalau memandang lurus kepadamu, kelopaknya turun
separo bagaikan kelopak mata patung dan seluruh wajahnya berubah seperti topeng
Sementara Pisciotta menyenangkan hati Maria Lombardo, Turi Guiliano naik ke
kamarnya di lantai atas untuk mempersiapkan diri bagi perjalanan yang akan
dilakukannya. Terutama untuk mengambil pistol
yang disembunyikannya di sana. Teringat penghinaan semalam, ia membulatkan tekad
untuk mempersenjatai diri dalam pekerjaannya hari ini. Ia tahu cara menembak,
karena ayahnya sering mengajaknya berburu.
Di dapur, ibunya menunggunya seorang diri untuk mengucapkan selamat tinggal.
Ibunya memeluknya dan merasakan pistol yang diselipkan di sabuknya.
"Turi, hati-hati," katanya, terkejut. "Jangan bertengkar dengan carabinieri.
Kalau mereka menghentikan curimu, berikan apa yang kaubawa."
Guiliano berusaha meyakinkannya. "Mereka boleh mengambil barang-barang itu,"
katanya. "Tapi aku takkan membiarkan mereka memukuliku atau membawaku ke
penjara." Maria Lombardo mengerti. Dan dalam kebanggaan Sisilia-nya sendiri yang kuat, ia
bangga akan putranya. Bertahun-tahun lalu kebanggaannya, kemarahannya terhadap
kemiskinan, menyebabkan ia membujuk suaminya untuk mencoba kehidupan baru di
Amerika. Ia dulu pemimpi, ia percaya pada keadilan dan tempatnya di dunia. Ia
mendapatkan keberuntungan di Amerika, dan kebanggaan yang sama menyebabkan ia
memutuskan kembali ke Sisilia untuk hidup bagai ratu. Lalu segalanya berubah
menjadi abu. Lira menjadi tidak berharga di masa perang, dan ia kembali miskin.
Ia sudah pasrah akan nasibnya tapi masih berharap untuk anak-anaknya. Dan ia
bahagia melihat Turi menunjukkan semangat yang sama seperti diri nya. Tapi ia
Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
takut akan hari ketika Turi harus menghadapi kenyataan hidup yang sekeras batu
di Sisilia. Ia mengawasi putranya melangkah ke jalan berbatu bulat Via Belia untuk menyapa
Aspanu Pisciotta. Turi berjalan seperti kucing raksasa, dadanya begitu bidang, lengan dan kakinya
begitu berotot sehingga Aspanu tampak tidak lebih dari sebatang rumput sisal.
Aspanu mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki putranya, kekejaman dalam
semangatnya. Aspanu akan menjaga Turi dari dunia penuh pengkhianatan tempat
mereka semua harus tinggal. Dan Maria Lombardo memiliki kelemahan terhadap
ketampanan Aspanu yang berkulit zaitun, sekalipun ia percaya putranya lebih
tampan. Ia mengawasi mereka menyusuri Via Belia yang menuju ke luar kota, ke dataran
Castellammare. Putranya, Turi Guiliano,- dan putra adik perempuannya, Gaspare
Pisciotta. Dua anak muda yang belum lagi berusia dua puluh, dan tampak lebih
muda daripada usia mereka yang sebenarnya. Ia mencintai keduanya dan takut akan
nasib mereka berdua. Akhirnya kedua pria ku dan keledainya menghilang di balik tanjakan jalan, tapi
Maria Lombardo tetap mengawasi dan akhirnya mereka terlihat lagi, jauh di atas
Montelepre, memasuki kawasan pegunungan yang mengelilingi kota Maria Lombardo
'Guiliano terus mengawasi, seakan-akan ia tidak akan pernah melihat mereka lagi,
sampai mereka menghilang dalam kabut pagi di sekitar puncak pegunungan. Mereka
menghilang ke dalam awal mitos mereka sendiri.
Bab 4 DI Sisilia pada bulan September 1943 ini, orang-orang hanya bisa bertahan hidup
dengan berdagang di pasar gelap. Pembagian bahan makanan yang ketat masih
tersisa dari zaman perang, dan para petani harus menyerahkan hasil mereka ke
gudang-gudang pemerintah pusat dengan harga tetap dan demi uang kertas yang
hampir-hampir tidak bernilai. Sebaliknya pemerintah seharusnya menjual dan
membagi-bagikan bahan makanan dengan harga murah kepada masyarakat. Berdasarkan
sistem ini semua orang akan mendapat cukup makanan agar tetap hidup.
Kenyataannya, para petani sebisa mungkin menyembunyikan hasil mereka karena apa
yang mereka serahkan ke gudang-gudang pemerintah diatur oleh Don Croce Malo dan
para wali kotanya untuk dijual di pasar gelap. Masyarakat lalu harus membeli di
pasar gelap dan melanggar hukum penyelundupan sekadar untuk bertahan hidup.
Kalau mereka tertangkap basah, mereka akan dijatuhi hukuman penjara. Apa gunanya
pemerintah demokrasi yang dibentuk di Roma" Mereka bisa memberi suara sementara
mereka kelaparan. Turi Guiliano dan Aspanu Pisciotta, dengan perasaan amat
ringan,tengah dalam proses melanggar hukum
ini. Pisciotta memiliki semua kontak dengan pasar gelap dan telah mengatur
urusan ini. Ia mengadakan perjanjian dengan seorang petani untuk menyelundupkan
sejumlah besar keju bulat dari pedalaman ke seorang penadah pasar gelap di
Montelepre. Bayaran mereka adalah empat potong daging asap dan sekeranjang sosis
yang akan menjadikan pesta pertunangan kakak perempuan Guiliano meriah. Mereka
melanggar dua peraturan, satu yang melarang perdagangan dalam pasar gelap,
lainnya penyelundupan dari satu provinsi ke provinsi lainnya di Italia. Tak
banyak yang bisa dilakukan pihak berwenang untuk menegakkan hukum pasar gelap
mereka harus memenjarakan semua orang di Sisilia untuk itu. Tapi penyelundupan
soal lain. Patroli-patroli Kepolisian Nasional, carabinieri, menjelajahi
pedalaman, memblokir jalan-jalan, membayar informan. Tentu saja, mereka tidak
bisa mencampuri iring-iringan Don Croce Malo yang menggunakan truk-truk Angkatan
Darat Amerika dan kartu pas khusus milik militer dan pemerintah. Tapi mereka
bisa menjaring banyak petani kecil dan penduduk desa yang kelaparan.
Mereka membutuhkan waktu empat jam untuk tiba di tanah pertanian itu, Guiliano
dan Pisciotta mengambil keju putih besar berbutir-butir dan barang-barang
lainnya, lalu mengikatnya di keledai mereka. Mereka menutupi semua itu dengan
rerumputan sisal dan bambu sehingga mereka seolah hanya mengangkut rerumputan
untuk ternak yang banyak dipelihara penduduk desa. Mereka memancarkan
kecerobohan dan keyakinan anak muda, bahkan anak kecil, yang menyembunyikan
harta dari orangtuanya, seakan-akan niat
menipu sudah mencukupi. Keyakinan mereka juga berasal dari pengetahuan bahwa
mereka bisa menemukan jalan setapak tersembunyi di pegunungan.
Sewaktu memulai perjalanan panjang kembali ke rumah, Guiliano meminta Pisciotta
berjalan terlebih dulu untuk memeriksa kehadiran carabinieri. Mereka mengatur
serangkaian siulan sebagai tanda bahaya. Keledainya membawa keju-keju itu dengan
mudah dan bersikap manis ia sudah mendapatkan upahnya sebelum berangkat. Mereka?berjalan selama dua jam, pelan-pelan mendaki. Lalu Guiliano melihat di belakang
mereka, mungkin sekitar lima kilometer jauhnya, mengikuti jalan setapak mereka,
iring-iringan enam ekor bagal dan pria berkuda. Kalau jalan setapak itu
diketahui orang-orang pasar gelap lainnya, jalan itu bisa jadi telah ditandai
polisi untuk diblokir. Sebagai langkah penjagaan, ia menyuruh Pisciotta berjalan
jauh di depan. Sam jam kemudian ia menyusul Aspanu, yang duduk di atas batu besar sambil
merokok dan terbatuk-batuk. Aspanu tampak pucat ia seharusnya tidak merokok.
Turi Guiliano duduk di sampingnya, beristirahat. Salah satu ikatan terkuat
mereka sejak kecil adalah mereka tidak pernah saling memerintah dengan cara apa
pun, jadi Turi tidak mengatakan apa-apa. Akhirnya Aspanu memadamkan rokoknya dan
memasukkan puntungnya yang menghitam ke sakunya. Mereka berjalan lagi, Guiliano
memegangi kekang keledainya, Aspanu melangkah di belakang.
Mereka menyusuri jalan setapak pegunungan yang memotong jalan-jalan dan desadesa kecil, tapi terkadang mereka melihat sumur kuno Yunani yang menyemburkan
air dari sela-sela mulut patung yang runtuh, atau sisa-sisa puri Normandia yang
berabad-abad lalu menghalangi jalan ini dari para penyerbu. Sekali lagi Turi
Guiliano melamunkan masa lalu Sisilia dan masa depannya Ia teringat akan bapak
baptisnya, Hector Adonis, yang berjanji akan datang sesudah Festa dan
mempersiapkan lamarannya ke Universitas Palermo. Dan saat memikirkan bapak
baptisnya, sejenak ia merasa sedih. Hector Adonis tidak pernah menghadiri Festa
para pria yang mabuk akan mengejek tubuhnya yang pendek, anak-anak beberapa
?lebih jangkung daripada Adonis akan menghinanya. Turi bertanya-tanya tentang
?Tuhan yang telah menahan pertumbuhan badan pria itu tapi menjejali otaknya
dengan pengetahuan. Turi menganggap Hector Adonis orang paling jenius di dunia
dan ia mencintainya karena kebaikannya pada dirinya dan orangtuanya.
Ia teringat ayahnya yang bekerja begitu keras di sepetak kecil tanah mereka, dan
kakak-kakak perempuannya yang pakaiannya sudah tipis. Untung Mariannina begitu
cantik sehingga bisa mendapatkan suami meskipun dirinya miskin dan mengalami
masa-masa sulit. Tapi yang paling membuatnya sedih adalah ibunya, Maria
Lombardo. Bahkan sewaktu kanak-kanak ia sudah mengenali kepahitan yang dirasakan
ibunya, ketidak-bahagiaannya, Ibunya telah mencicipi Amerika yang makmur dan tak
lagi bisa bahagia di kota-kota Sisilia yang dicekam kemiskinan. Ayahnya sering
menceritakan hari-hari bahagia itu dan ibunya akan berurai air mata.
Tapi ia akan mengubah nasib keluarganya, pikir Turi Guiliano. Ia akan bekerja
keras dan belajar sekuat tenaga dan ia akan menjadi orang hebat seperti bapak
baptisnya. Tiba-tiba mereka melewati sekumpulan pohon, semacam hutan kecil, salah satu dari
sedikit yang tersisa di bagian Sisilia ini, yang sekarang tampaknya hanyamenumbuhkan batu-batu besar putih dan tempat-tempat penggalian marmer. Di
seberang pegunungan mereka akan memulai turunan ke Montelepre dan harus berhatihati terhadap patroli Kepolisian Nasional, carabinieri. Tapi sekarang mereka
tiba di Quattro Moline, Simpang Empat, dan di sini juga harus berhati-hati.
Guiliano menarik kekang keledainya dan memberi isyarat agar Aspanu berhenti.
Mereka berdiri diam sambil membisu. Tak terdengar suara asing, hanya dengungan
mantap puluhan serangga yang beterbangan di atas permukaan tanah, sayap-sayap
dan kaki-kakinya mendengung seperti gergaji di kejauhan. Mereka maju melewati
persimpangan dan menghilang dari pandangan ke dalam hutan kecil lain. Turi
Guiliano mulai melamun lagi.
Jarak pepohonan tiba-tiba melebar, seakan-akan didorong mundur, dan mereka
melintasi padang terbuka kecil yang tanah, kasarnya terdiri atas batu-batu
kecil, tunggul-tunggul bambu, dan rerumputan tipis mem-botak. Matahari sore
tenggelam menjauh, tampak pucat dan dingin di atas pegunungan yang ditaburi
granit. Selepas padang terbuka ini jalan setapak mulai menurun berliku-liku
menuju Montelepre. Tiba-tiba Guiliano tersadar dari lamunan. Kilasan cahaya
bagai nyala korek api menusuk mata kirinya. Ia menyentak keledainya agar
berhenti dan mengacungkan tangan ke arah Aspanu.
Hanya sepuluh meter jauhnya orang-orang asing melangkah keluar dari balik semaksemak. Ada tiga orang, dan Turi Guiliano melihat topi-topi militer mereka yang hitam kaku dan
seragam hitam mereka yang bergaris-garis putih. Ia merasa amat putus asa
sekaligus malu karena tertangkap. Ketiga pria itu mendekat seraya berpencar,
senjata siap ditembakkan. Dua di antaranya masih muda dengan wajah kasar
mengilap dan topi militer lusuh yang miring ke belakang kepala, hampir bisa
dibilang lucu. Mereka tampak sungguh-sungguh sekaligus serakah sewaktu
mengacungkan senapan mesinnya.
Carabiniere yang di tengah merupakan orang tertua dan menyandang sepucuk
senapan. Wajahnya bopeng dan berbekas luka, topinya ditarik mantap menutupi
matanya. Ia menyandang pangkat sersan di lengan bajunya. Kilasan cahaya yang
tadi dilihat Guiliano adalah pantulan cahaya matahari pada laras baja senapannya
Orang ini tersenyum muram, senapannya diarahkan dengan mantap ke dada Guiliano.
Keputusasaan Guiliano berubah menjadi kemarahan melihat senyumnya
Sersan bersenapan itu melangkah mendekat, kedua rekannya menghampiri dari kedua
sisi. Sekarang Turi Guiliano waspada. Kedua carabiniere muda dengan pistol
otomatis tidak perlu ditakuti; mereka mendekati keledainya dengan serampangan,
tidak menganggap serius tahanannya. Mereka memberi isyarat kepada Guiliano dan
Pisciotta agar menjauhi keledainya dan salah seorang di antara mereka membiarkan
pistolnya terayun-ayun pada talinya sementara ia menanggalkan kamuflase bambu
dari punggung keledai. Sewaktu melihat barang-barang itu, ia bersiul serakah
penuh kegembiraan. Ia tidak menyadari Aspanu bergeser mendekatinya, tapi
si sersan bersenapan melihatnya. Ia berteriak, "Kau, yang berkumis, menjauhlah,"
dan Aspanu melangkah mundur mendekati Turi Guiliano.
Sersan itu maju sedikit. Guiliano mengawasinya dengan tajam. Wajah bopengnya
tampak kelelahan tapi matanya berkilat-kilat sewaktu mengatakan, "Well, anakanak muda, itu keju yang bagus. Kami bisa me-nikmatinya di barak kami untuk
dimakan dengan makaroni. Jadi katakan saja nama petani dari siapa kalian
mendapatkannya dan kami akan mengizinkan kalian membawa keledai kalian pulang."
Mereka tidak menjawab. Sersan menunggu. Mereka tetap berdiam diri. Akhirnya
Guiliano berkata pelan, "Aku punya uang seribu lira sebagai hadiah, kalau kau
membiarkan kami pergi."
"Kau bisa membersihkan pantatmu dengan lira," sahut Sersan. "Sekarang, suratsurat identitas kalian. Kalau surat-surat kalian tidak beres, akan kupaksa
kalian buang air dan membersihkannya dengan surat-surat itu."
Kekurangajaran kata-kata itu, kekurangajaran seragam hitam bergaris putih itu,
memicu kemurkaan yang dingin dalam diri Guiliano. Pada saat itu ia tahu ia tak
akan pernah membiarkan dirinya ditangkap, tak akan pernah membiarkan orang-orang
ini merampok makanan keluarganya.
Turi Guiliano mengeluarkan kartu identitasnya dan hendak mendekati Sersan. Ia
berharap bisa berada dalam jangkauan senapan yang diarahkan kepadanya. Ia tahu
koordinasi fisiknya lebih cepat daripada sebagian besar orang dan ia bersedia
mengambil risiko Tapi senapan itu bergerak, memberi isyarat agar ia mundur. Sersan memerintah,
"Lemparkan ke tanah." Guiliano mematuhinya.
Pisciotta, lima langkah jauhnya di sebelah kiri Guiliano, mengetahui apa yang
ada dalam benak temannya, mengetahui temannya menyimpan pistol di balik
kemejanya, mencoba mengalihkan perhatian Sersan. Ia berkata dengan
kekurangajaran yang disengaja, tubuhnya condong ke depan, tangan di pinggang
menyentuh tangkai pisau yang dibawanya dalam sarung yang terikat di punggungnya,
"Sersan, kalau kami memberitahukan nama petaninya kepadamu, kenapa kau
membutuhkan kartu identitas kami" Tawar-menawar tetap saja tawar-menawar." Ia
diam sejenak, lalu berkata sinis, "Kami tahu carabiniere selalu menepati janji."
Ia meludahkan kata "carabiniere" yang dibencinya.
Pria bersenapan itu maju beberapa langkah dengan santai, mendekati Pisciotta. Ia
berhenti. Ia tersenyum dan membidikkan senapannya. Katanya, "Dan kau, pesolek
kecilku, kartumu. Atau kau tidak memiliki kartu identitas, seperti keledaimu,
yang kumisnya lebih baik daripada kumismu?"
Kedua poolisi yang lebih muda tertawa. Mata Pisciotta berkilau. Ia maju
selangkah mendekati Sersan. "Tidak, aku tidak memiliki kartu identitas. Dan aku
tidak kenal petani mana pun. Kami menemukan barang-barang ini tergeletak di
jalan." Kecerobohan tantangannya mengalahkan tujuannya. Pisciotta ingin menipu pria
bersenapan itu agar mendekati cirinya, sehingga terjangkau tangannya, tapi
sekarang Sersan malah mundur beberapa langkah dan tersenyum lagi. Ia berkata,
"Bastinado akan menyingkirkan sebagian kekurangajaran Sisilia-mu." Ia diam
sejenak sebelum memerintah, "Kalian berdua, berbaring di tanah."
Bastinado merupakan istilah yang umum digunakan untuk pemukulan fisik dengan
cambuk dan gada. Guiliano mengenal beberapa penduduk Montelepre yang pernah
dihukum di Barak Bellampo. Mereka pulang ke rumah dengan kedua lutut patah,
kepala membengkak sebesar melon, bagian dalam tubuhnya terluka sehingga mereka
tak akan pernah bisa bekerja lagi. Carabinieri tak akan pernah berbuat begitu
kepadanya. Guiliano berjongkok pada satu lutut seakan hendak membaringkan diri,
meletakkan satu tangan di tanah dan tangan yang lain di sabuknya agar bisa
mencabut pistol di balik kemejanya. Padang terbuka itu bermandikan cahaya lembut
awal senja, matahari yang berada jauh di balik pepohonan telah membenamkan diri
ke balik deretan pegunungan terakhir. Ia melihat Pisciotta berdiri bangga,
menolak perintah. Jelas mereka tidak akan menembaknya hanya karena sepotong keju
selundupan. Ia bisa melihat senapan mesin bergetar di tangan kedua polisi yang
masih muda. Pada saat itu terdengar dengusan bagal dan detak kuku kuda dari belakang, dan
iring-iringan bagal yang dilihat Guiliano siang tadi tiba-tiba muncul di tempat
itu. Pria. berkuda yang memimpinnya menyandang sepucuk lupara di bahunya dan
tampak sangat besar dengan jaket kulit tebalnya. Ia melompat turun dari kuda,
mengeluarkan setumpuk tebal lira dari salah satu sakunya, dan berkata kepada
carabiniere bersenapan, "Jadi kau berhasil meraup beberapa ekor ikan sarden kali
ini." Mereka jelas saling mengenal. Untuk pertama
kalinya Sersan mengendurkan kewaspadaannya untuk menerima uang yang ditawarkan
kepadanya. Kedua pria tersebut saling menyeringai. Para tahanan tampaknya
dilupakan semua orang. Turi Guiliano perlahan-lahan menghampiri polisi terdekat. Pisciotta bergeser ke
arah rumpun bambu terdekat. Para penjaga tidak menyadarinya. Guiliano menghantam
polisi terdekat dengan lengannya, menjatuhkannya ke tanah. Ia berteriak kepada
Pisciotta, "Lari." Pisciotta menerjang rumpun bambu dan Guiliano berlari ke
pepohonan. Penjaga yang tersisa entah terlalu tertegun atau terlalu lamban untuk
mengarahkan pistol pada waktunya. Guiliano, siap masuk ke dalam perlindungan
hutan, sekilas merasakan kegembiraan luar biasa. Ia meluncurkan tubuhnya ke
udara untuk menerjang ke sela-sela dua pohon besar yang akan melindungi curinya.
Saat itu juga ia mencabut pistol dari balik kemejanya.
Tapi perhitungannya benar bahwa polisi bersenapan-lah yang paling berbahaya.
Sersan menjatuhkan tumpukan uangnya ke tanah, mengayunkan senapannya ke atas,
dan menembak dengan sangat tenang. Tidak ada kekeliruan dalam bidikannya: tubuh
Guiliano jatuh bagai bangkai seekor burung.
Guiliano mendengar tembakan bersamaan ia merasakan tubuhnya kesakitan setengah
mati, seakan-akan kupukul gada raksasa. Ia mendarat di tanah di antara kedua
batang pohon dan mencoba bangkit, tapi sia-sia. Kaki-kakinya bagai mati rasa; ia
tidak bisa menggerakkannya. Dengan pistol di tangan ia membalikkan tubuh dan
melihat Sersan mengacungkan senapannya di udara dengan sikap menang. Lalu
Guiliano merasakan celana panjangnya dibanjiri darah, cairan yang hangat dan
lengket. Dalam sepersekian detik sebelum ia menarik picu pistolnya, Turi Guiliano hanya
tertegun. Mereka menembak dirinya hanya karena sepotong keju. Mereka mencabik
kain keluarganya dengan kecerobohan yang begitu kejam hanya karena pelanggaran
hukum kecil yang dilakukan semua orang. Ibunya akan menangis hingga akhir
hayatnya. Dan sekarang tubuhnya berlumuran darah, ia yang tidak pernah menyakiti
siapa pun. Ia menarik picu pistolnya dan melihat senapan itu jatuh, melihat topi hitam
bergaris putih Sersan melayang ke udara sementara tubuh dengan luka di kepala
yang mematikan itu terdesak dan melayang ke tanah yang dipenuhi bebatuan.
Mustahil menembak dengan pistol pada jarak sejauh itu, tapi Guiliano merasa
tangannya sendiri seolah melesat bersama pelurunya dan menghunjamkannya bagai
sebilah pisau menembus mata Sersan.
Pistol otomatis mulai menyalak tapi peluru-pelurunya berhamburan ke atas tak
membahayakan, berdetak-detak ribut bagai burung-burung kecil. Lalu suasana
sangat sunyi. Bahkan serangga-serangga tidak lagi berdengung tanpa henti.
Turi Guiliano berguHng-guling masuk ke semak-semak. Ia melihat wajah musuhnya
berantakan membentuk topeng darah dan itu menimbulkan harapan. Ia bukannya tidak
berdaya. Ia mencoba bangkit lagi dan kali ini kakinya mematuhi perintahnya. Ia
Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mulai berlari tapi hanya satu kaki yang melesat maju, yang lainnya terseret di
permukaan tanah, yang membuatnya
terkejut Selangkangannya terasa hangat dan lengket, celana panjangnya basah
kuyup, pandangannya berkabut Sewaktu berlari melintasi seberkas cahaya, ia takut
dirinya telah kembali ke padang terbuka tadi dan mencoba berbalik. Tubuhnya
mulai jatuh tidak ke tanah, tapi ke dalam kehampaan hitam bertepi merah yang ?tidak berdasar, lalu ia tahu dirinya jatuh untuk selama-lamanya.
Di padang terbuka si serdadu muda menyingkirkan tangannya dari picu dan rentetan
tembakannya pun berhenti. Si penyelundup bangkit berdiri dari tanah dengan
memegang setumpuk besar uang dan menawarkannya ke serdadu yang lain. Serdadu itu
mengarahkan pistol otomatisnya ke arah si penyelundup dan berkata, "Kau
ditangkap." Penyelundup itu berkata, "Kau hanya perlu membaginya dua sekarang. Biarkan aku
melanjutkan perjalanan."
Kedua polisi muda ku menunduk memandang Sersan yang tergeletak. Tak diragukan
lagi ia telah tewas. Peluru menghancurkan mata dan lubangnya hingga berkepingkeping, dan lukanya, menyemburkan cairan kekuningan berbuih dan seekor kadal
mencelupkan lidah ke dalamnya.
Si penyelundup berkata, "Biar kukejar dia, dia terluka. Akan kubawa kembali
mayatnya dan kalian berdua akan jadi pahlawan. Biarkan aku melanjutkan
perjalanan." Penjaga yang lain mengambil kartu identitas yang tadi dilemparkan
Turi ke tanah atas perintah Sersan, ia membacanya keras-keras, "Salvatore
Guiliano, kota Montelepre
"Tidak perlu kita cari sekarang," kata rekannya. "Kita melapor ke markas besar,
itu yang lebih penting."
"Pengecut," desis si penyelundup. Sejenak terlintas dalam benaknya untuk
menurunkan lupara, tapi ia melihat mereka berdua memandangnya benci. Ia telah
menghina mereka. Untuk penghinaan itu mereka memaksanya menaikkan mayat Sersan
ke kudanya dan berjalan kaki ke barak. Sebelumnya mereka melucuti senjatanya.
Mereka sangat bersemangat dan ia berharap mereka tidak menembaknya tanpa sengaja
hanya.karena gugup. Selain itu ia tidak merasa terlalu khawatir. Ia mengenal
Maresciallo Roccofino dari Montelepre dengan sangat baik. Mereka pernah
berbisnis dan mereka akan berbisnis lagi.
Sepanjang waktu tak satu pun dari mereka teringat akan Pisciotta. Tapi Pisciotta
mendengar semua yang dikatakan mereka. Ia berbaring di ceruk berumput yang
dalam, pisau tercabut dari sarungnya. Ia menunggu mereka memburu Turi Guiliano,
dan ia merencanakan menyergap salah satunya dan merampas pistolnya sesudah
menggorok lehernya. Ada kebuasan dalam jiwanya yang mengusir semua ketakutan
akan kematian, dan sewaktu ia mendengar si penyelundup menawarkan untuk membawa
kembali mayat Turi, ia mematrikan wajah pria itu untuk selama-lamanya dalam
benaknya. Ia hampir menyesal melihat mereka meninggalkannya seorang diri di
pegunungan untuk kembali ke barak. Ia merasakan sengatan sewaktu mereka mengikat
keledainya di belakang iring-iringan bagal.
Tapi ia tahu Turi terluka parah dan membutuhkan bantuan. Ia berputar mengitari
padang, berlari menembus hutan untuk menuju tempat rekannya tadi menghilang. Tak
terlihat tanda-tanda kehadiran orang di semak-semak dan ia berlari menyusuri
jalan setapak, dari mana mereka tadi datang.
Masih tidak terlihat tanda-tanda sehingga ia memanjat ke atas sebongkah granit
besar yang puncaknya menurun ke ceruk kecil. Di dalam ceruk batu itu terdapat
kolam kecil yang hampir-hampir hitam oleh darah dan sisi lain batu ternoda
goresan darah merah cerah. Ia terus berlari dan terkejut sewaktu melihat tubuhGuiliano menelentang menghalangi jalannya, pistolnya yang mematikan masih berada
dalam genggamannya. Ia bedutut dan mengambil pistol itu dan menjejalkannya ke sabuknya. Pada saat
itu mata Turi Guiliano terbuka. Matanya memancarkan kebencian yang mengagumkan,
tapi menatap melewati Aspanu Pisciotta. Pisciotta hampir-hampir menangis karena
lega dan mencoba menegakkan tubuh Guiliano, tapi ia tidak cukup kuat 'Turi,
cobalah bangkit, akan kubantu," kata Pisciotta. Guiliano menumpukan tangannya ke
tanah dan mengangkat tubuhnya. Pisciotta menyelipkan sebelah lengannya ke
pinggang Guiliano dan tangannya terasa hangat dan basah. Ia menyentakkan
tangannya menjauh dan menarik sisi kemeja Guiliano, dan dengan ngeri melihat
lubang menganga. Ia menyandarkan Guiliano ke sebatang pohon, mencabik kemejanya
sendiri dan menjejalkannya ke lubang itu untuk menahan aliran darahnya,
mengikatkan lengan kemejanya menjadi satu di sekeliling pinggang Guiliano. Ia
menyelipkan satu lengan ke dada temannya dan dengan tangannya yang bebas meraih
tangan kiri Guiliano dan mengangkatnya ke udara tinggi-tinggi. Dengan begitu
menyeimbangkan mereka berdua sementara ia membimbing Guiliano menyusuri jalan
setapak dengan langkah hati-hati dan tertatih-tatih. Dari kejauhan mereka berdua
seolah tengah menari menuruni pegunungan.
Jadi Turi Guiliano melewatkan Festa Santa Rosalie, yang diharapkan penduduk
Montelepre akan membawa keajaiban bagi kota mereka.
Ia melewatkan kontes menembak yang jelas akan dimenangkannya. Ia melewatkan
lomba balap kuda di mana para joki memukuli kepala joki lawan dengan gada dan
cambuk. Ia melewatkan roket-roket ungu, kuning, dan hijau yang meledak dan
merajah langit yang dipenuhi bintang.
Ia tidak pernah mencicipi manisan ajaib yang terbuat. dari pasta almond yang
dibentuk menjadi wortel, rumpun bambu, dan tomat merah, semuanya begitu manis
sehingga seluruh tubuhmu bagai mati rasa; atau sosok-sosok gulali berbentuk
boneka-boneka kesatria zaman roman mistis, sosok-sosok Roland, Oliver, dan
Charlemagne, pedang gula mereka dipenuhi peppermint merah dan hijau dari
potongan buah yang dibawa pulang anak-anak untuk dinikmati sebelum tidur. Di
rumah, pesta pertunangan kakak perempuannya berlangsung tanpa dirinya.
Perkawinan keledai dan Bagal Ajaib gagal. Tidak ada anak yang dilahirkan.
Penduduk Montelepre kecewa. Mereka tidak tahu hingga bertahun-tahun kemudian
bahwa Festa tersebut menghasilkan keajaibannya dalam diri seorang pemuda yang
memegangi si keledai. Bab 5 KEPALA BIARA tengah melakukan jalan-jalan sorenya mengelilingi biara Fransiskan,
mendorong semangat para biarawannya yang pemalas dan tidak berguna untuk
mendapatkan roti harian mereka. Ia memeriksa kotak-kotak di bengkel relikui suci
dan mengunjungi pembakaran roti yang menghasilkan bongkahan-bongkahan roti untuk
kota-kota sekitarnya. Ia memeriksa kebun dan keranjang-keranjang bambu penuh
berisi zaitun, tomat, dan anggur, mencari-cari memar pada kulit buah-buah itu
yang bagai satin. Para biarawannya sesibuk kurcaci namun tidak terlalu ceria. ?Malah mereka merupakan awak yang muram, tanpa sukacita yang diperlukan untuk
melayani Tuhan. Kepala Biara mengambil cerutu hitam panjang dari balik jubahnya
dan berjalan-jalan mengelilingi lahan biara untuk mempertajam selera makan
malamnya. Pada saat itulah ia melihat Aspanu Pisciotta menyeret Turi Guiliano melewati
gerbang biara. Penjaga-gerbang mencoba mengusir mereka, tapi Pisciotta
menempelkan sepucuk pistol ke kepalanya yang tercukur dan ia jatuh berlutut
untuk mengucapkan doa terakhirnya. Pisciotta meletakkan tubuh Guiliano yang
berlumuran darah, hampir tewas, di kaki Kepala Biara.
Kepala Biara seorang pria jangkung kurus berwajah anggun mirip monyet, bertulang
kecil, dengan sepotong hidung dan dua kancing cokelat kecil penuh-tanya sebagai
matanya. Walaupun telah berusia tujuh puluh tahun, ia tetap bersemangat,
benaknya masih setajam dan selicik masa-masa sebelum. Mussolini, sewaktu ia
menulis surat-surat tebusan yang elegan untuk para Mafia-penculik yang
mempekerjakan dirinya. Sekarang meskipun telah diketahui semua orang para petani dan pihak ?berwenang bahwa biaranya merupakan markas besar para pelaku pasar gelap dan
?penyelundup, kegiatan ilegalnya tidak pernah dicampuri. Ini karena penghormatan
terhadap panggilan sucinya, dan perasaan bahwa ia layak mendapatkan upah materi
atas bimbingan spiritualnya terhadap masyarakat.
Jadi Kepala Biara Manfredi tidak merasa jengkel mendapati dua petani bajingan
yang berlumuran darah menerobos masuk ke wilayah suci Santo Fransis. Malah ia
mengenal Pisciotta dengan baik. Ia pernah menggunakan tenaga anak muda ini dalam
beberapa operasi penyelundupan dan pasar gelap. Mereka memiliki kelicikan yang
sama, dan ini menyenangkan mereka berdua yang satu terkejut karena mendapatinya
?dalam diri pria setua dan sesuci ini, yang lain karena menemukannya dalam diri
pria yang begitu muda dan tidak mementingkan hal-hal duniawi.
Kepala Biara meyakinkan biara penjaga gerbang, lalu berkata kepada Pisciotta,
"Well spanu yang baik, kenakalan apa lagi yang kaulakukan sekarang?" Piscita
tengah mengeratkan lilitan kemeja di. sekeliling luka Guiliano. Kepala Biara
terkejut melihat wajahnya ter
cekam duka yang dalam; ia tidak mengira bocah ini
mampu menunjukkan emosi seperti itu.
Pisciotta, setelah melihat luka menganga itu sekali lagi, merasa yakin temannya
akan tewas. Dan bagaimana menyampaikan kabar ini kepada ibu dan ayah Turi" Ia
takut akan duka Maria Lombardo. Tapi untuk saat ini, ada adegan lebih pentingyang harus dimainkan. Ia harus meyakinkan Kepala Biara agar memberi Guiliano
perlindungan. Ia memandang lurus ke. mata Kepala Biara. Ia ingin menyampaikan pesan yang bukan
merupakan ancaman langsung tapi akan menyebabkan pastor itu memahami kalau
menolak ia akan menjadi musuh bebuyutan. "Ini sepupu dan teman tersayangku,
Salvatore Guiliano," Pisciotta menjelaskan. "Seperti bisa kaulihat, dia bernasib
sial, dan tak lama lagi Kepolisian Nasional akan membanjiri pegunungan mencari
dirinya. Dan diriku. Kumohon kau mau menyembunyikan kami, dan memanggilkan
dokter. Lakukan ini untukku dan kau mendapat teman untuk selama-lamanya." Ia
menekankan kata "teman".
Tak satu kata pun lolos dari pemahaman Kepala Biara. Ia memahaminya dengan
sempurna. Ia pernah mendengar tentang Guiliano muda ini, pemuda pemberani yang
cukup dihormati di Montelepre, penembak dan pemburu yang hebat, lebih dewasa
daripada usianya. Bahkan Friends of the Friends mengincar dirinya sebagai calon
yang layak direkrut. Don Croce yang agung sendiri, dalam kunjungan sosial dan
bisnisnya ke biara, pernah menyebut dirinya sebagai orang yang mungkin
menguntungkan untuk dikembangkan.
Tapi saat mengamati Guiliano yang tak sadarkan
diri, ia hampir-hampir yakin pemuda ini lebih membutuhkan makam daripada
perlindungan, seorang pastor untuk memberi sakramen terakhir daripada seorang
dokter. Memenuhi permintaan Pisciotta bukanlah risiko besar, memberikan
perlindungan kepada mayat bukanlah kejahatan bahkan di Sisilia. Tapi ia tidak
ingin pemuda ini tahu bahwa pertolongan yang akan diberikannya bernilai begitu
kecil. Ia bertanya, "Kenapa mereka mencarimu?"
Pisciotta ragu-ragu. Kalau Kepala Biara mengetahui ada polisi yang tewas ia
mungkin menolak memberi mereka perlindungan. Tapi kalau ia tidak bersiap
menghadapi pencarian yang pasti akan terjadi, ia mungkin terkejut sehingga malah
mengkhianati mereka. Pisciotta memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Ia
melakukannya dengan sangat cepat.
Kepala Biara menunduk penuh kesedihan untuk satu lagi jiwa yang hilang dan untuk
meneliti sosok Guiliano yang tak sadarkan diri. Darah mengalir keluar, menembus
kemeja yang diikatkan ke sekeliling tubuhnya. Mungkin bocah yang malang ini akan
tewas sementara mereka bercakap-cakap, dan memecahkan seluruh masalah.
Sebagai biarawan Fransiskan, Kepala Biara penuh dengan kedermawanan Kristiani,
tapi di masa-masa yang menakutkan ini ia harus mempertimbangkan konsekuensi
praktis dan material dari kebaikannya. Kalau ia memberi perlindungan dan bocah
ini tewas, ia bisa mendapatkan keuntungan. Pihak berwenang akan merasa puas
dengan mayatnya, keluarganya akan berutang budi padanya untuk selama-lamanya.
Kalau Guiliano pulih, rasa terima kasihnya mungkin bahkan lebih bernilai. Pria
yang cakap, yang sekalipun terluka parah masih bisa menembakkan pistolnya dan
membunuh petugas polisi adalah orang yang bisa diandalkan bila berada di pihak
kita. Ia tentu saja bisa mengirim kedua Berandalan ini ke Kepolisian Nasional, yang
lalu. akan menangani mereka dalam waktu singkat. Tapi apa keuntungannya" Pihak
berwenang tidak bisa melakukan apa pun baginya lebih daripada yang selama ini
mereka lakukan. Kawasan tempat mereka berkuasa telah aman berada di tangannya Ia
membutuhkan teman di sisi lain. Mengkhianati para pemuda ini hanya akan
menciptakan musuh di kalangan petani dan kebencian tanpa akhir dari dua
keluarga. Kepala Biara tidaklah sebodoh itu sehingga menganggap jubahnya bisa
melindungi dirinya dari vendetta yang pasti akan terjadi, ia juga membaca
pikiran Pisciotta; inilah pemuda yang bersedia bersusah payah sebelum menapaki
jalan ke neraka. Tidak, kebencian petani Sisilia tak pernah bisa dianggap remeh.
Sebagai penganut Kristen sejati, mereka tak akan pernah mempermalukan patung
Bunda Maria, tapi dalam panasnya darah vendetta, mereka bersedia menembak Paus
dengan senapan tabur karena melanggar omerta kode kuno untuk menutup mulut ?terhadap pihak berwenang. Di tanah tempat terdapat patung Yesus yang tak
terhingga jumlahnya ini, tidak ada yang memercayai doktrin tentang memberikan
pipi yang lain apabila pipi yang sebelah ditampar. Di tanah yang terbelakang ini
"pengampunan" merupakan tempat pelarian bagi pengecut. Petani Sisilia' tidak
memahami arti mengampuni.
Sam hal ia merasa yakin. Pisciotta tidak akan pernah
mengkhianati dirinya. Di salah satu transaksi penyelundupan kecil-kecilan,
Kepala Biara mengatur agar Pisciotta tertangkap dan diinterogasi.
Interogatornya, anggota Kepolisian Palermo, bukan carabiniere yang bodoh, mulamula bersikap halus kemudian keras. Tapi baik kelicikan maupun kekejaman tidak
mampu menggoyahkan Pisciotta. Ia tetap membisu. Interogatornya membebaskan
curinya dan meyakinkan Kepala Biara bahwa inilah bocah yang bisa dipercaya untuk
melaksanakan tugas-tugas yang lebih penting. Sejak itu Kepala Biara selalu
menganggap istimewa Aspanu Pisciotta dan sering kali mendoakan jiwanya.
Kepala Biara menempelkan dua jari ke mulurnya yang keriput dan bersiul.
Biarawan-biarawan muncul berlari-lari dan Kepala Biara memerintahkan mereka
membawa Guiliano ke bangsal terjauh biara, tempat tinggal khusus Kepala Biara
sendiri, tempat ia menyembunyikan para desertir maupun putra-putra petani kaya
dari incaran Angkatan Darat Italia selama perang. Lalu ia mengirim salah satu
biarawannya untuk memanggil dokter di desa San Giuseppe Jato, hanya delapan
kilometer jauhnya. Pisciotta duduk di ranjang dan memegang tangan temannya. Lukanya tidak lagi
mengeluarkan darah, dan mata Turi Guiliano terbuka, tapi bagai ada lapisan kaca
yang menutupinya. Pisciotta, hampir-hampir menangis, tidak berani berbicara. Ia
mengusap kening Guiliano, yang basah oleh keringat. Kulitnya mulai kebiruan.
Baru satu jam kemudian dokter tiba dan setelah melihat kehadiran segerombolan ?carabinieri yang menyusuri lereng-lereng pegunungan ia tidak terkejut
?temannya, Kepala Biara, ternyata menyembunyikan pria terluka. Ini tidak masalah
baginya; siapa yang peduli terhadap polisi dan pemerintah" Kepala Biara
merupakan sesama orang Sisilia yang memerlukan bantuan. Dan yang selalu
mengiriminya sekeranjang telur di hari Minggu, satu tong anggur untuk Natal, dan
seekor domba muda untuk Paskah Suci.
Dokter memeriksa Guiliano dan membalut lukanya. Peluru menembus perut dan
mungkin mencabik beberapa organ vital, dan jelas mengenai livernya. Pemuda itu
banyak kehilangan darah, wajahnya pucat bagai hantu, kulit di seluruh tubuhnya
memutih. Di sekitar mulurnya terdaptt lingkaran putih yang sangat dikenalinya
sebagai salah satu tanda pertama kematian.
Ia mendesah dan berkata kepada Kepala Biara, "Aku sudah berusaha semampuku.
Perdarahannya sudah berhenti, tapi dia telah kehilangan lebih dari sepertiga
darahnya, dan biasanya itu fatal. Jaga agar dia tetap hangat, berikan sedikit
susu, dan akan kutinggalkan sedikit morfin untuknya." Ia menunduk memandang
tubuh Guiliano yang kuat dengan tatapan menyesal.
Pisciotta berbisik, "Apa yang bisa kukatakan kepada ayah dan ibunya" Apa dia
punya kesempatan?" Dokter itu mendesah. "Terserah kau. Tapi lukanya mematikan.' Dia tampaknya bocah
yang kuat jadi mungkin dia masih hidup selama beberapa hari lagi, tapi sebaiknya
jangan berharap." Ia, melihat pandangan putus asa di mata Pisciotta dan kelegaan
sekilas di wajah Kepala Biara,lalu berkata dengan nada humor yang ironis, "Tentu
saja di tempat suci ini selalu ada kemungkinan terjadi keajaiban."
Kepala Biara dan dokter melangkah keluar. Pisciotta membungkuk di atas tubuh
temannya untuk menghapus keringat dari alis matanya dan tertegun sewaktu melihat
kilauan mengejek yang samar di mata Guiliano. Matanya cokelat tua tapi bagian
tepinya keperakan. Pisciotta membungkuk lebih dekat. Turi Guiliano tengah
berbisik; ia harus bersusah payah untuk berbicara.
"Beritahu ibuku aku akan pulang," kata Turi. Lalu ia melakukan sesuatu yang
tidak akan pernah dilupakan Pisciotta selama tahun-tahun berikutnya. Kedua
tangan Guiliano tiba-tiba terjulur dan menyambar rambut di kepala Pisciotta.
Kedua tangannya kuat; tidak mungkin tangan-tangan orang yang sekarat. Kedua
tangan itu menyentakkan kepala Pisciotta agar menunduk lebih dekat. "Patuhi
aku," perintah Guiliano.
Pagi hari sesudah orangtua Guiliano memanggil dirinya, Hector Adonis tiba di
Montelepre. Ia jarang sekali menggunakan rumahnya di kota itu. Sewaktu muda ia
membenci tempat kelahirannya itu. Ia terutama menghindari Festa. Dekorasidekorasinya selalu menyebabkan ia tertekan, kecerahannya tampak seperti samaran
jahat dari kemiskinan kota. Dan ia selalu mendapat penghinaan selama perayaan
itu pria-pria mabuk mengejek tubuhnya yang pendek, para wanita melontarkan
?senyum menghina sekaligus geli.
Fakta bahwa ia tahu lebih banyak daripada mereka tidak banyak membantu. Mereka
begitu bangga, misalnya,bahwa setiap keluarga mengecat rumah dengan warna sama
seperti yang dilakukan nenek moyang mereka. Mereka tidak tahu warna rumah
Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengungkapkan asal mereka, darah yang mereka warisi dari nenek moyang mereka bersama rumahrumahnya. Berabad-abad yang lalu orang Normandia mengecat rumahnya dengan warna
putih, Yunani selalu menggunakan warna biru, Arab memakai variasi antara pink
dan merah. Dan Yahudi memulasnya dengan warna kuning. Sekarang mereka semua
menganggap diri mereka orang Italia atau Sisilia. Darah telah begitu bercampurbaur selama seribu tahun sehingga kau tidak bisa mengidentifikasi pemilik rumah
berdasarkan ciri wajahnya, dan kalau kau memberi tahu pemilik rumah kuning bahwa
ia memiliki nenek moyang Yahudi, bisa-bisa perutmu tertusuk pisau,
Aspanu Pisciotta tinggal di rumah putih walaupun ia tampak lebih mirip orang
Arab. Rumah keluarga Guiliano berwarna biru, dan wajah Turi Guiliano memang
jelas-jelas Yunani biarpun ia memiliki tubuh orang Normandia yang bertulang
besar. Tapi tampaknya semua darah telah menyatu menjadi sesuatu yang aneh dan
berbahaya dan membentuk orang Sisilia sejati, dan itulah yang membawa Adonis ke
Montelepre hari ini Setiap tikungan di Via Belia dijaga pasangan carabinieri, mereka berwajah muram,
menyandang senapan dan pistol otomatis yang siap ditembakkan. Hari kedua Festa
sudah dimulai, tapi bagian kota ini anehnya ditinggalkan dan tidak ada anak-anak
di jalan. Hector Adonis memarkir mobilnya di depan rumah keluarga Guiliano, di
atas sepenggal jalan setapak. Sepasang carabinieri mengawasinya dengan pandangan
curiga sampai ia turun dari mobil, lalu mereka tersenyum geli melihat tubuhnya
yang pendek. Pisciotta yang membukakan pintu dan mengajaknya masuk. Ibu dan ayah Guiliano
menunggu di dapur, bersama sarapan yang terdiri atas sosis dingin, roti, dan
kopi di meja. Maria Lombardo tampak tenang, ia telah diyakinkan oleh Aspanu yang
disayanginya bahwa putranya akan pulih. Maria Lombardo lebih merasa marah
daripada takut. Ayah Guiliano tampak lebih merasa bangga daripada sedih.
Putranya telah membuktikan diri sebagai pria sejati; ia hidup dan musuhnya
tewas. Sekali lagi Pisciotta menceritakan kisahnya, kali ini dengan humor yang
menghibur. Ia mengecilkan luka Guiliano dan kepahlawanannya sendiri dalam
membawa Guiliano ke biara. Tapi Hector Adonis tahu membantu seseorang yang
terluka sejauh hampir lima kilometer, melewati wilayah yang sulit, pasti sangat
menguras tenaga bagi Pisciotta yang bertubuh kurus itu. Selain itu, ia merasa
Pisciotta menjelaskan luka-luka itu terlalu ringkas. Adonis merasa khawatir akan
kemungkinan terburuk. "Bagaimana carabinieri tahu mereka harus datang kemari?" tanyanya. Pisciotta
menceritakan tentang kartu identitas yang diserahkan Guiliano.
Ibu Guiliano mengeluh. "Kenapa Turi tidak membiarkan mereka mengambil kejunya"
Kenapa dia melawan?"
Ayah Guiliano berkata kasar kepada istrinya, "Kau mau dia berbuat apa"
Melaporkan petani yang malang itu" Dia akan mempermalukan nama keluarga selamalamanya kalau begitu."
Hector Adonis merasa terpukul oleh kontradiksi dalam komentar-komentar ini. Ia
tahu si ibu jauh lebih kuat dan lebih bersemangat daripada si ayah. Tapi si ibu melontarkan katakata bernada pasrah, dan si ayah mengucapkan kata-kata yang menantang. Dan
Pisciotta, si bocah Aspanu ini - siapa mengira ia akan seberani itu, menyelamatkan
rekannya dan membawanya ke tempat aman" Dan sekarang ia berbohong dengan begitu
tenangnya kepada orangtua ini atas luka yang diderita putra mereka.
Ayah Guiliano berkata, "Seandainya dia tidak menyerahkan kartu identitasnya.
Teman-teman kami pasti akan bersumpah dia ada di jalan-jalan sini pada saat
itu." Ibu Guiliano menukas, "Mereka tetap saja akan menangkapnya" Ia mulai terisakisak. "Sekarang dia harus tinggal di pegunungan."
Hector Adonis berkata, "Kita harus memastikan Kepala Biara tidak akan
menyerahkan dirinya kepada polisi"
Pisciotta menimpali tak sabar, "Dia tak akan berani. Dia tahu aku akan
menggantangnya dengan jubahnya kalau dia berani berbuat begitu."
Adonis menatap Pisciotta cukup lama. Ada ancaman mematikan dalam diri pemuda
ini. Tolol sekali merusak ego seorang pemuda, pikir Adonis. Polisi tidak pernah
memahami bahwa dengan tingkat kekebalan tertentu kau bisa menghina pria ? ?setengah baya yang telah dihina oleh kehidupan itu sendiri dan ia tidak akan
sakit hati karenanya. Tapi seorang pemuda akan menganggap penghinaan ini
mematikan. Mereka meminta bantuan Hector Adonis, yang pernah membantu putra mereka di masa
lalu. Hector berkata, "Kalau polisi mengetahui keberadaannya, Kepala Biara
takkan punya pilihan. Dia sendiri bukannya tidak dicurigai dalam beberapa
masalah tertentu. Kupikir paling baik, dengan seizin kalian, adalah meminta
temanku, Don Croce Malo, untuk membujuk Kepala Biara."
Mereka terkejut mengetahui dirinya mengenal Don yang agung, kecuali Pisciotta,
yang melontarkan senyum maklum. Adonis menegurnya tajam, "Dan apa yang
kaulakukan di sini" Kau akan dikenali dan ditangkap. Mereka sudah memiliki
deskripsi dirimu." Pisciotta berkata dengan nada menghina, "Kedua serdadu itu ketakutan setengah
mati. Mereka tidak akan mengenali ibunya sendiri. Dan ada selusin saksi yang
akan bersumpah aku berada di Montelepre kemarin."
Hector Adonis menampilkan sikap profesionalnya yang paling mengesankan. Ia
berbicara kepada orangtua Guiliano, "Kalian tidak boleh mencoba mengunjungi
putra kalian atau memberitahu siapa pun, bahkan sahabat-sahabat terbaik kalian,
tentang di mana dia berada. Polisi memiliki informan dan mata-mata di mana-mana.
Aspanu akan mengunjungi Turi di malam hari. Begitu dia bisa dipindahkan, akan
kuatur agar dia tinggal di kota lain sampai situasinya mereda. Lalu dengan
sejumlah uang, segalanya bisa diatur, dan Turi bisa pulang. Jangan
mengkhawatirkan dirinya, Maria, jaga kesehatanmu. Dan kau, Aspanu, terus kabari
aku." Ia memeluk ibu dan ayah Guiliano. Maria Lombardo masih terus menangis ketika ia
berlalu. Banyak yang harus dilakukannya yang paling penting adalah memberi kabar kepada
?Don Croce dan memastikan tempat perlindungan Turi tetap aman.
Syukurlah pemerintah di Roma tidak menawarkan hadiah atas informasi tentang
pembunuhan terhadap seorang polisi, kalau tidak Kepala Biara akan menjual Turi
secepat menjual salah satu relikui sucinya.
Turi Guiliano berbaring di ranjang tanpa bergerak. Ia mendengar dokter
menyatakan lukanya mematikan, tapi tak percaya dirinya sekarat. Tubuhnya serasa
melayang di udara, bebas dari sakit dan takut. Ia tidak akan pernah bisa mati.
Ia tidak tahu kehilangan banyak darah bisa menimbulkan euforia.
Selama berhari-hari salah seorang biarawan merawatnya, memberinya susu. Di senja
hari, Kepala Biara datang bersama dokter. Pisciotta mengunjunginya' di malam
hari dan memegang tangannya serta merawatnya selama jam-jam panjang yang gelap
dan menyeramkan. Di akhir minggu kedua, dokter menyatakan keajaiban.
Turi Guiliano telah memerintahkan tubuhnya pulih, mengganti darah yang hilang,
menyambung kembali organ-organ vital yang tercabik peluru berlapis baja. Dan
dalam euforia yang dipicu terkurasnya darah dari tubuhnya, k .memimpikan masa
depan yang gemilang Ia merasakan kebebasan baru, yang sejak saat itu tak lagi
bisa diperoleh dari apa pun yang dilakukannya. Hukum masyarakat, hukum keluarga
Sisilia yang lebih ketat, tidak lagi mengikat dirinya. Ia bebas melakukan
tindakan apa pun; lukanya menjadikan dirinya tidak berdosa Dan semua ini karena
seorang carabiniere tolol menembak dirinya hanya karena sepotong keju.
Selama minggu-minggu pemulihan diri, ia terus-menerus mengingat hari-hari ia dan
teman-teman sedesa - nya berkumpul di alun-alun menunggu gabellotti mandor pengawas lahan-lahan ?luas menjemput mereka untuk bekerja hari itu, menawarkan upah sangat minim
?diringi cibiran jijik "ambil-atau-lupakan" orang-orang yang memiliki semua
kekuasaan. Pembagian hasil panen yang tidak adil yang menyebabkan semua orang
jatuh miskin sesudah setahun bekerja keras. Tangan-tangan hukum yang terlalu
berat dalam menghukum si miskin dan membiarkan si kaya melenggang bebas.
Kalau dirinya pulih dari lukanya, ia bersumpah akan memastikan keadilan
ditegakkan. Ia tak akan pernah lagi menjadi bocah tidak berdaya yang pasrah
kepada nasib. Ia akan mempersenjatai diri, secara fisik dan mental. Satu hal ia
merasa yakin: Ia tidak akan pernah lagi berdiri tanpa daya di hadapan dunia,
seperti yang dilakukannya di depan Guido Quintana, dan polisi yang menembaknya.
Pemuda yang tadinya bernama Turi Guiliano tidak ada lagi.
Di akhir bulan, dokter menyarankannya beristirahat selama empat minggu lagi
ditambah sedikit olahraga. Jadi Guiliano mengenakan jubah biarawan dan
berkeliaran di lahan biara. Kepala Biara menyukainya, dan sering kali
menemaninya, menceritakan kisah-kisah perjalanan ke tanah yang jauh di masa
mudanya. Perasaan sayang Kepala Biara tidak berkurang sewaktu Hector Adonis
mengiriminya sejumlah uang atas doa-doanya bagi orang miskin dan Don Croce
sendiri memberitahu Kepala Biara bahwa ia berminat terhadap pemuda ini.
Sedangkan bagi Guiliano, ia tertegun melihat cara hidup para biarawan. Di
pedalaman di mana orang-orang hampir kelaparan, di mana para buruh harus menjual
keringatnya seharga lima puluh sen sehari, para biarawan Santo Fransis hidup
bagai raja. Biara tersebut benar-benar lahan yang luas dan kaya.
Mereka memiliki kebun lemon, pohon-pohon zaitun yang setua Yesus bertebaran di
mana-mana. Mereka memiliki kebun bambu kecil dan tempat penjagalan, tempat
mereka membawa kawanan domba dan babi mereka. Ayam dan kalkun berkeliaran bebas,
dalam jumlah besar. Para biarawan menyantap daging setiap hari bersama
spaghetti, menenggak anggur buatan sendiri yang diambil dari gudang anggur yang
luas, dan berdagang di pasar gelap untuk mendapatkan tembakau, yang mereka isap
seperti kecanduan. Tapi mereka bekerja keras. Sepanjang hari mereka bekerja dengan kaki telanjang
dan jubah yang dijejalkan hingga ke lutut, keringat mengalir deras ke alis mata
mereka. Di kepala mereka yang tercukur, untuk melindunginya dari matahari,
mereka mengenakan topi fedora Amerika yang aneh bentuknya, berwarna hitam dan
cokelat, yang diperoleh Kepala Biara dari petugas pemasok pemerintahan militer
dengan bayaran segentong anggur. Para biarawan mengenakannya dalam berbagai
gaya, beberapa dengan kelepak diturunkan, gaya gangster, lainnya dengan kelepak
diangkat di sekeliling topi, membentuk celah untuk menyimpan rokok. Kepala Biara
akhirnya membenci topi ini dan melarang penggunaannya kecuali saat bekerja di
ladang. Selama empat minggu kedua, Guiliano menjadi biarawan. .Yang menyebabkan Kepala
Biara tertegun, ia , juga bekerja keras di ladang dan membantu biarawan-biarawan
yang lebih tua membawa keranjang-keranjang
berat berisi buah-buahan dan zaitun ke dalam gudang. Seiring dengan semakin
pulihnya dirinya, Guiliano menikmati pekerjaan itu, menikmati kesempatan untuk
memamerkan kekuatannya. Mereka menumpuk keranjangnya tinggi-tinggi dan ia tidak
pernah membiarkan lututnya lemas. Kepala Biara merasa bangga padanya dan
mengatakan ia bisa tinggal selama ia suka, bahwa ia memiliki tanda-tanda pelayan
Tuhan sejati. Turi Guiliano merasa bahagia selama empat minggu itu. Bagaimanapun juga ia telah
kembali dari kematian dalam tubuh, dan dalam kepalanya ia tengah menganyam
impian dan keajaiban. Dan ia menyukai kehadiran Kepala Biara tua itu, yang
memperlakukan dirinya dengan kepercayaan penuh dan mengungkapkan rahasia-rahasia
biara kepadanya. Pria tua itu menyombong bahwa semua hasil biara dijual langsung
ke pasar gelap, tidak diserahkan ke gudang-gudang pemerintah. Kecuali anggurnya,
yang ditenggak habis para biarawan sendiri. Di malam hari ada perjudian besarbesaran dan mabuk-mabukan, bahkan wanita-wanita diselundupkan ke dalam biara,
tapi Kepala Biara menutup mata terhadap semua ini. "Sekarang ini masa-masa
sulit," katanya kepada Guiliano. "Upah yang dijanjikan di surga terlalu jauh.
Orang-orang harus mendapatkan kesenangannya sekarang. Tuhan akan mengampuni
mereka." Pada suatu siang saat hujan turun, Kepala Biara menunjukkan kepada Turi bangsal
biara yang lain yang digunakan sebagai gudang. Gudang itu penuh sesak oleh
relikui suci yang dibuat oleh seregu biarawan tua yang ahli. Kepala Biara,
seperti penjaga toko mana pun, mengeluhkan masa-masa sulit. "Sebelum perang,
kami memiliki bisnis yang bagus," katanya
sambil mendesah. "Gudang ini tidak pernah lebih daripada setengah penuh. Lihat
saja harta karun suci yang ada di sini. Tulang dari ikan yang dilipatgandakan
oleh Kristus. Tongkat yang dibawa Musa dalam perjalanan ke Tanah Perjanjian." Ia
diam sejenak, dengan puas mengawasi Guiliano yang tertegun. Lalu wajahnya yang
kurus mengerut membentuk seringai nakal. Sambil menendang tumpukan tinggi
tongkat kayu, ia berkata dengan nada hampir-hampir gembira, "Ini dulu barang
terbaik kami. Ratusan potong kayu salib tempat Tuhan kita disalibkan. Dan di
peti ini ada sisa-sisa orang suci, siapa pun yang bisa kausebutkan. Tidak ada
satu rumah pun di Sisilia yang tidak memiliki sepotong tulang orang suci. Dan di
gudang khusus yang terkunci ada tiga belas lengan Santo Andrew, tiga kepala
Yohanes Pembaptis, dan tujuh baju besi yang dikenakan Joan of Arc. Di musim
dingin, biarawan-biarawan kami menempuh perjalanan jauh untuk menjual harta
karun ini." Turi Guiliano sekarang tertawa dan Kepala Biara tersenyum kepadanya. Tapi
Guiliano tengah memikirkan betapa orang miskin selalu ditipu, bahkan oleh mereka
yang menunjukkan jalan keselamatan. Satu lagi fakta yang penting untuk diingat.
Kepala Biara menunjukkan guci besar penuh medali yang telah diberkati oleh
Kardinal Palermo, tiga puluh kain kafan yang dikenakan Yesus ketika ia
meninggal, dan dua patung Bunda Maria berkulit hitam. Ini menghentikan tawa
Guiliano. Ia memberitahu Kepala Biara tentang patung Bunda Maria berkulit hitam
yang dimiliki ibunya dan begitu dihargainya sejak ibunya masih gadis kecil;
bahwa patung itu berada di tangan
keluarganya selama beberapa generasi. Mungkinkah patung itu palsu" Kepala Biara
menepuk bahunya dengan ramah dan mengatakan biara telah membuat replikanya
selama lebih dari seratus tahun, mengukirnya dari kayu zaitun yang bagus. Tapi
ia meyakinkan Guiliano bahwa replika-replika itu pun bernilai, karena hanya
sedikit jumlahnya. Kepala Biara menganggap tak ada ruginya mempercayakan dosa-dosa ringan orangorang suci kepada pembunuh. Meskipun demikian, kebisuan Guiliano yang menandakan
ketidaksetujuannya mengganggu Kepala Biara. Dengan nada membela diri ia berkata,
"Ingatlah, kami orang-orang yang mengabdikan diri kepada Tuhan juga harus hidup
dalam dunia materi manusia yang tidak percaya menanti upah mereka di surga. Kami
juga punya keluarga dan harus membantu serta melindungi mereka. Banyak di antara
para biarawan kami yang miskin dan berasal dari keluarga miskin, kita tahu meski
miskin mereka orang-orang baik. Kami tidak bisa membiarkan saudara-saudara kami,
keponakan dan sepupu kami, kelaparan di masa-masa sulit ini. Gereja Suci sendiri
membutuhkan bantuan kita, harus melindungi diri terhadap musuh-musuh yang kuat.
Kaum Komunis dan Sosialis, pengikut liberal yang salah arah itu, harus dilawan,
dan untuk itu dibutuhkan uang. Orang-orang beriman benar-benar membantu Gereja
Induk! Kebutuhan mereka akan relikui suci memberi kami uang untuk menghancurkan
orang kafir dan memenuhi kebutuhan dalam jiwa mereka sendiri. Kalau kami tidak
memasok mereka, mereka akan menghabiskan uang untuk berjudi dan anggur dan
wanita yang memalukan. Kau sependapat, bukan?"
Guiliano mengangguk, tapi ia tersenyum. Bagi orang semuda dirinya sungguh
memesona dapat bertemu seorang pakar kemunafikan. Kepala Biara merasa jengkel
oleh senyuman itu; semula ia mengharapkan jawaban yang lebih ramah dari pembunuh
yang diberinya tempat berlindung dan dirawat hingga bisa kembali dari gerbang
kematian. Penghormatan penuh terima kasih mengharuskan jawaban munafik yang
setulus-tulusnya. Penyelundup ini, pembunuh ini, orang kampung ini, Master Turi
Guiliano, seharusnya lebih menunjukkan pengertian, lebih menunjukkan semangat
Kristiani. Kepala Biara berkata dengan nada keras, "Ingat bahwa iman sejati kami
berdasarkan pada keyakinan kami akan keajaiban."
"Ya," tukas Guiliano. "Dan aku tahu dengan segenap hatiku bahwa sudah menjadi
tugasmu membantu kami menemukannya" Ia mengatakannya tanpa niat jahat, dengan
semangat kegembiraan, dengan niat baik yang tulus untuk menyenangkan
penyelamatnya. Tapi hanya itu yang bisa dilakukannya agar tidak tertawa
terbahak-bahak. Kepala Biara merasa senang dan seluruh rasa sayangnya kembali. Pemuda ini baik,
ia senang ditemani olehnya selama beberapa bulan terakhir, dan ia merasa tenang
mengetahui pemuda ini banyak berutang budi kepadanya. Dan ia tidak akan bersikap
tidak tahu terima kasih; ia telah menunjukkan hatinya yang mulia. Ia
mengekspresikan dalam kata-kata dan perbuatan setiap hari penghormatan dan ? ?rasa terima kasihnya kepada Kepala Biara. Ia tidak memiliki kekerasan hati
pelanggar hukum. Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti ini di Sisilia
masa sekarang, yang penuh informan, kemiskinan, bandit, dan pendosa besar" Ah, well, pikir Kepala
Biara, orang yang pernah sekali membunuh bisa melakukannya lagi dalam sekejap
mata. Kepala Biara memutuskan Don Croce harus membimbing Turi Guiliano ke jalan
hidup yang benar. Suatu hari, sewaktu tengah beristirahat di ranjangnya, Turi Guiliano menerima
tamu yang aneh. Kepala Biara memperkenalkannya sebagai Pater Benjamino Malo,
teman yang sangat baik, lalu meninggalkan mereka berdua.
Pater Benjamino berkata ramah, "Anak muda yang baik, kuharap kau sudah sembuh
dari lukamu. Kepala Biara Suci memberitahuku bahwa kesembuhanmu benar-benar
keajaiban." Guiliano menanggapi sopan, "Berkat Tuhan." Dan Pater Benjamino membungkuk
Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seakan-akan ia sendiri yang menerima berkat itu.
Guiliano mengamatinya dengan teliti. Pastor ini tidak pernah bekerja keras di
ladang. Keliman jubahnya terlalu bersih, wajahnya terlalu tembam dan putih,
tangannya terlalu halus. Tapi sikapnya cukup suci; rendah hati dan memancarkan
kepasrahan bagai Kristus, kerendahan hati Kristiani.
Suaranya juga lembut dan lunak sewaktu ia berkata, "Anakku, aku akan mendengar
pengakuan dosamu dan memberikan Jamuan Kudus bagimu. Sesudah dibersihkan dari
dosa, kau bisa keluar ke dunia dengan hati yang murni."
Turi Guiliano mengamati pastor yang memiliki kekuasaan mahamulia itu. "Maafkan
aku, Pater," katanya "Aku belum lagi merasa menyesal dan jelas aku akan
berbohong kalau mengaku dosa sekarang ini. Tapi terima kasih atas berkatmu."
Pastor itu mengangguk dan berkata, "Ya, dengan begitu justru akan memperbesar
dosamu. Tapi ada tawaran lain yang mungkin lebih praktis di dunia ini.
Saudaraku, Don Croce, mengirimku untuk menanyakan apakah kau bersedia berlindung
padanya di Villaba. Kau akan mendapat upah bagus, dan tentu saja, seperti yang
harus kauketahui, pihak berwenang tidak akan berani melecehkan dirimu selagi kau
berada dalam perlindungannya."
Guiliano tertegun mendengar perbuatannya telah mencapai telinga orang seperti
Don Croce. Ia tahu dirinya harus berhati-hati. Ia tidak menyukai Mafia, dan
tidak ingin terperangkap dalam jaring-jaring mereka.
"Itu kehormatan yang sangat besar," katanya. "Aku berterima kasih kepadamu dan
kepada saudaramu. Tapi aku harus berkonsultasi dengan keluargaku terlebih dulu,
aku harus menghormati keinginan orangtuaku. Jadi untuk saat ini izinkan aku
menolak tawaranmu yang baik."
Ia melihat pastor itu terkejut. Siapa di Sisilia yang menolak perlindungan Don
yang agung" Jadi ia menambahkan, "Mungkin beberapa minggu lagi, aku akan berubah
pikiran dan menemuimu di Villaba."
Pater Benjamino pulih dari keterkejutannya. Ia mengangkat tangan dengan sikap
memberkati. "Pergilah bersama Tuhan, anakku," katanya. "Kau selalu diterima di
rumah saudaraku." Ia membuat tanda salib dan berlalu.
Turi Guiliano sadar sudah tiba saatnya untuk pergi.
Sewaktu Aspanu Pisciotta mengunjunginya malam itu, ia memerintahkan berbagai
persiapan yang harus dilakukan untuk kembalinya dirinya ke dunia luar. Ia
melihat sementara dirinya berubah, temannya juga. Pisciotta tidak mengernyit
maupun memprotes saat menerima perintah yang ia tahu akan mengubah hidupnya
secara drastis. Akhirnya Guiliano berkata, "Aspanu, kau bisa ikut denganku atau
tetap tinggal bersama keluargamu. Lakukan apa yang menurutmu harus kaulakukan."
Pisciotta tersenyum. "Kaupikir aku akan membiarkan dirimu mendapatkan semua
kesenangan dan kejayaan" Membiarkan dirimu bermain-main di pegunungan sementara
aku menggiring keledai-keledai untuk bekerja dan memetik zaitun" Dan bagaimana
dengan persahabatan kita" Apa aku harus membiarkan dirimu hidup di pegunungan
seorang diri sementara kita sudah bermain dan bekerja bersama sejak anak-anak"
Baru sesudah kau kembali ke Montelepre sebagai orang bebas, aku juga akan
kembali ke sana. Jadi jangan lagi bicara yang bukan-bukan. Aku akan menjemputmu
empat hari lagi. Butuh sedikit waktu untuk melaksanakan semua permintaanmu."
Pisciotta sibuk selama empat hari itu. Ia melacak penyelundup berkuda yang
menawarkan diri memburu Guiliano yang terluka. Namanya Marcuzzi, ia orang yang
ditakuti dan penyelundup skala besar yang beroperasi di bawah perlindungan Don
Croce dan Guido Quintana. Ia memiliki paman yang bernama sama yang merupakan
kepala Mafia besar. Pisciotta mendapati Marcuzzi melakukan perjalanan secara teratur dari Montelepre
ke Castellammare. Pisciotta mengetahui petani yang merawat bagal-bagal penyelundup itu, dan
sewaktu ia melihat hewan-hewan itu dibawa dari padang ke lumbung di dekat kota,
ia menebak Marcuzzi akan melakukan perjalanan keesokan harinya. Saat subuh
Pisciotta memposisikan diri di tepi jalan yang ia tahu harus dilalui Marcuzzi,
dan menantikan kedatangannya. Ia menyandang lupara, yang banyak dimiliki
keluarga Sisilia sebagai bagian dari peralatan rumah tangga. Senapan tabur
Sisilia yang mematikan ku begitu umum dan sering kali digunakan untuk membunuh
sehingga sewaktu Mussolini menyapu bersih Mafia, ia memerintahkan agar semua
dinding batu diruntuhkan hingga paling tinggi satu meter agar para pembunuh
tidak bisa menggunakannya sebagai titik penyergapan.
Pisciotta memutuskan untuk membunuh Marcuzzi bukan saja karena ia menawarkan
diri membantu polisi dengan membunuh Guiliano yang terluka, tapi karena ia
menyombongkan hal itu kepada teman-temannya. Dengan membunuh penyelundup itu, ia
memberikan peringatan kepada siapa pun yang mungkin akan mengkhianati Guiliano.
Selain itu ia juga membutuhkan senjata-senjata yang ia tahu dibawa Marcuzzi.
Ia tidak perlu menunggu lama.. Karena Marcuzzi memimpin iring-iringan bagal tak
berbeban untuk mengambil barang-barang pasar gelap di Castellammare, ia
bertindak ceroboh. Ia mengendarai bagal terdepan menyusuri jalan setapak
pegunungan dengan senapan tersandang di bahu, bukannya siap ditembakkan. Sewaktu
melihat Pisciotta berdiri di tengah jalan setapak di depannya, ia tidak waspada.
Ia hanya melihat bocah pendek langsing berkumis tipis penuh gaya, yang tersenyum
dengan cara yang membangkitkan kejengkelannya. Baru setelah Pisciotta
mengarahkan lupara yang diambilnya dari balik jaket, Marcuzzi menaruh perhatian
penuh. Ia berkata parau, "Kau mencegatku di jalan yang salah. Aku belum lagi mengambil
barang-barangku. Dan bagal-bagal ini dalam perlindungan Friends of the Friends.
Jadilah orang pintar dan carilah pelanggan yang lain."
Pisciotta berkata lembut, "Aku hanya menginginkan nyawamu." Ia tersenyum kejam.
"Suatu hari kau ingin menjadi pahlawan bagi polisi. Hanya beberapa bulan yang
lalu, kau ingat?" Marcuzzi ingat. Ia menggerakkan bagalnya menyamping, seakan-akan tidak sengaja,
untuk menyembunyikan tangannya dari tatapan Pisciotta. Ia menyelipkan tangan ke
sabuknya dan mencabut pistol. Pada saat yang sama ia menyentakkan kekang
bagalnya untuk memutar dirinya ke posisi menembak. Hal terakhir yang dilihatnya
adalah senyum Pisciotta saat lupara itu mengempaskan tubuhnya dari pelana dan
melayang ke tanah berdebu.
Dengan puas Pisciotta berdiri di atas mayatnya dan menembak kepalanya, lalu
mengambil pistol yang masih berada dalam genggaman Marcuzzi dan senapan yang
melilit tabuhnya. Ia mengambil peluru senapan dari saku jaket si penyelundup dan
memasukkannya ke dalam saku jaketnya sendiri. Lalu dengan cepat dan sistematis
ia menembak keempat ekor bagal, sebagai peringatan bagi siapa pun yang mungkin
membantu musuh-musuh Guiliano, bahkan secara tidak langsung. Ia berdiri di
jalan, dengan lupara di tangan, senapan
pria yang tewas itu tersandang melintang di bahunya, pistol di sabuknya. Ia
tidak merasa iba dan kebuasannya justru menimbulkan kepuasan. Karena meskipun ia
menyayangi temannya, mereka selalu bersaing dalam banyak hal. Dan walaupun ia
mengakui Turi sebagai pemimpinnya, ia merasa harus membuktikan pernyataannya
tentang persahabatan mereka dengan bersikap sama berani dan cerdiknya. Kini ia
juga melangkah keluar dari lingkaran masa kanak-kanak yang ajaib, lingkaran
masyarakat, dan bergabung dengan Turi di luar lingkaran itu. Dengan tindakan ini
ia mengikat dirinya untuk selama-lamanya dengan Turi Guiliano.
Dua hari kemudian, tepat sebelum makan malam, Guiliano meninggalkan biara. Ia
memeluk semua biarawan saat mereka berkumpul di ruang makan dan mengucapkan
terima kasih atas kebaikan mereka. Para biarawan menyesali kepergiannya. Memang
benar, ia tidak pernah menghadiri misa-misa mereka, dan tidak membuat pengakuan
dosa dan penyesalan atas pembunuhan yang dilakukannya, tapi beberapa di antara
para biarawan itu juga memulai masa dewasa mereka dengan kejahatan yang sama dan
mereka tidak menghakimi. Kepala Biara mengantar Guiliano ke gerbang biara tempat Pisciotta menunggu. Ia
memberikan hadiah perpisahan. Patung Bunda Maria berkulit hitam, duplikat patung
milik Maria Lombardo, ibu Guiliano. Pisciotta membawa ransel hijau Amerika dan
Guiliano memasukkan patung itu ke dalamnya.
Pisciotta mengawasi dengan pandangan sinis saat Kepala Biara dan Guiliano
mengucapkan kata-kata perpisahan. Ia tahu Kepala Biara seorang penyelundup, anggota rahasia Friends of
the Friends, dan majikan yang kejam bagi para biarawannya yang malang. Jadi ia
tidak mengerti sentimentalitas yang ditunjukkan Kepala Biara dalam perpisahan
itu. Tak pernah terlintas dalam benak Pisciotta bahwa rasa sayang, kasih, dan
penghormatan yang dibangkitkan Guiliano dalam dirinya juga bisa timbul sama
kuatnya pada orang setua Kepala Biara.
Kendati rasa sayang Kepala Biara tulus, perasaannya dihiasi kepentingan pribadi.
Ia tahu bocah ini suatu hari nanti akan menjadi kekuatan yang harus diakui di
Sisilia. Rasanya seperti menemukan jejak-jejak kedewaan. Sedangkan bagi Turi
Guiliano, ia benar-benar berterima kasih. Kepala Biara telah menyelamatkan
nyawanya, tapi lebih daripada itu, ia telah mengajarinya banyak hal dan menjadi
teman yang menyenangkan. Kepala Biara bahkan membiarkan ia menggunakan
perpustakaannya. Yang menarik, Guiliano menyukai ketidakjujuran Kepala Biara;
baginya itu merupakan keseimbangan yang bagus dalam kehidupan, melakukan
kebaikan tanpa melakukan kejahatan besar yang kentara, keseimbangan kekuasaan
yang menjadikan kehidupan berjalan begitu mulus.
Kepala Biara dan Turi Guiliano berpelukan. Turi berkata, "Aku berutang budi
padamu. Ingatlah padaku kalau kau membutuhkan bantuan apa pun. Apa pun yang
kauminta, akan kulakukan."
Kepala Biara menepuk bahunya. "Kedermawanan Kristiani tidak menuntut
pembayaran," tegasnya. "Kembalilah ke jalan Tuhan, anakku, dan berikanlah
penghormatan." Tapi ia hanya sekadar bicara. Ia tahu
benar kepolosan semuda ini Iblis bisa bangkit d kobaran api untuk bertindak
berdasarkan kepolosan seperti itu. Ia akan mengingat janu Guiliano.
Guiliano menyandang ransel di bahunya tanpa me medulikan protes Pisciotta, dan
mereka berjalan melewati gerbang biara bersama-sama. Mereka tidak pernah
berpaling. DARI tepi jurang yang menjorok di puncak Monte d'Ora, Guiliano dan Pisciotta
bisa memandang kota Montelepre. Hanya beberapa kilometer di bawah mereka, lampulampu rumah menyala untuk melawan kegelapan yang turun. Guiliano bahkan
membayangkan dirinya bisa mendengar suara musik yang berasal dari pengeras suara
di alun-alun, yang selalu melantunkan siaran stasiun radio Roma untuk menghibur
para pejalan kaki di kota sebelum waktu makan malam mereka.
Tapi udara pegunungan menipu. Butuh waktu dua jam untuk turun ke kota dan empat
jam untuk kembali ke pegunungan. Guiliano dan Pisciotta sering bermain-main di
sini sewaktu kanak-kanak, mereka mengenal setiap batu di pegunungan, setiap gua,
serta setiap terowongan. Di balik tebing ini terdapat Grotta Bianca, gua
kesukaan mereka sewaktu kecil, yang ukurannya lebih besar daripada rumah mana
pun di Montelepre. Aspanu mematuhi perintah dengan baik, pikir Turi Guiliano. Gua itu dipenuhi
kantong tidur, panci masak, berkotak-kotak amunisi, dan berkarung-karung makanan
8erta roti. Ada kotak kayu tempat lampu senter, lentera
dan pisau, juga ada beberapa kaleng minyak tanah. Ia tertawa. "Aspanu, kita bisa
tinggal di sini selamanya."
"Selama beberapa hari," koreksi Aspanu. "Ini tempat pertama yang didatangi
carabinieri ketika mereka mencarimu."
"Para pengecut itu hanya mencari di siang hari," jawab Turi. "Kita aman di malam
hari." Tirai kegelapan yang pekat turun menutupi pegunungan, tapi langit di atas begitu
penuh bintang sehingga mereka bisa saling memandang dengan jelas. Pisciotta
membuka ranselnya dan mulai mengeluarkan senjata serta pakaian. Perlahan-lahan
dan bagai tengah melakukan upacara, Turi Guiliano mempersenjatai diri. Setelah
menanggalkan jubah biarawannya, ia mengenakan celana panjang katun tebal, lalu
jaket kulit domba besar yang bersaku banyak. Ia menyelipkan dua pucuk pistol di
sabuknya dan menyandang senapan mesin di balik jaketnya sehingga tersembunyi
tapi bisa segera dikeluarkan untuk beraksi. Ia mengenakan sabuk amunisi di
pinggangnya dan memasukkan kotak peluru tambahan di saku-saku jaketnya.
Pisciotta memberinya sebilah pisau, yang lalu diselipkannya di sepatu bot
tentara yang dikenakannya. Lalu sepucuk pistol kecil lainnya, yang sesuai
dengar" sarung yang diikatkan di balik kelepak jaket kulit dombanya. Ia
memeriksa semua senjata dan amunisinya dengan hati-hati.
Senapannya ia bawa terang-terangan, talinya melintang di bahu. Akhirnya ia siap.
Ia tersenyum kepada Pisciotta, yang secara terbuka hanya membawa sepucuk lupara
dan pisau dalam sarungnya di punggung. Pisciotta berkata, "Aku merasa telanjang.
Kau bisa berjalan dengan semua besi di tubuhmu itu" Kalau kau jatuh, aku takkan
bisa mengangkatmu." Guiliano terus tersenyum, senyum rahasia seorang anak yang percaya dirinya
berhasil menaklukkan dunia. Bekas luka besar di tubuhnya terasa sakit akibat
beratnya senjata dan amunisi, tapi ia menerimanya. Rasa sakit itu memicu
kebulatan tekadnya. "Aku siap menjumpai keluargaku atau menghadapi musuhku,"
tegasnya kepada Pisciotta. Kedua pemuda itu mulai menuruni jalan setapak panjang
yang berliku-liku dari puncak Monte d'Ora ke kota Montelepre di bawah.
Mereka berjalan di bawah kubah bintang-bintang. Bersenjata untuk menghadapi maut
dan sesama manusia, menenggak harum kebun lemon dan bunga-bunga liar di
kejauhan, Turi Guiliano merasakan kedamaian yang tak pernah dikenalnya. Ia bukan
lagi tidak berdaya menghadapi musuh siapa pun. Ia tidak lagi harus menghibur
musuh dalam dirinya yang meragukan semangatnya. Seandainya ia memang berhasil
memerintah dirinya untuk tidak mati, memerintah tubuhnya yang tercabik-cabik
untuk kembali utuh, ia kini percaya dirinya mampu membuat tubuhnya melakukan hal
itu berulang-ulang. Ia tidak lagi ragu bahwa dirinya memiliki takdir luar biasa
di hadapannya. Ia berbagi keajaiban dengan para pahlawan abad pertengahan yang
tidak bisa mati sampai mereka tiba di akhir kisah mereka yang panjang, sampai
mereka meraih kemenangan besar.
Ia tidak akan pernah meninggalkan pegunungan ini, pepohonan zaitun ini, Sisilia
ini. Ia hanya memiliki gagasan samar mengenai masa depannya yang gemilang, tapi
ia tidak pernah meragukan kegemilangan itu. Ia tidak akan pernah lagi menjadi
pemuda petani miskin 135 yang takut terhadap carabinieri, para hakim, dan korupsi hukum yang merusak.
Mereka teJah turun dari pegunungan sekarang dan memasuki jalan-jalan yang menuju
Montelepre. Mereka melewati.altar Bunda Maria dan Anak, yang terletak di tepi
jalan dan digembok, jubah birunya yang terbuat dari semen tampak berkilau bagai
lautan tertimpa cahaya bulan. Perkebunan memenuhi udara dengan keharuman yang
menyebabkan Guiliano hampir-hampir pusing. Ia melihat Pisciotta membungkuk dan
memetik buah pir yang manis berkat udara malam, dan ia merasakan kasih terhadap
teman yang telah menyelamatkan nyawanya itu, kasih yang berakar pada masa kanakkanak yang mereka habiskan bersama. Ia ingin berbagi keabadian dengan temannya
itu. Mereka tidak pernah ditakdirkan mati sebagai dua petani tidak dikenal di
bagian Sisilia yang bergunung-gunung. Dalam kegairahan besar Guiliano berseru,
"Aspanu, Aspanu, aku percaya, aku percaya," dan mulai berlari menuruni lereng
terakhir pegunungan, keluar dari bebatuan putih bagai hantu, melewati altaraltar suci Kristus dan para orang suci yang menjadi martir, yang berdiri dalam
kotak-kotak berkurici Pisciotta berlari di sampingnya, tertawa-tawa, dan mereka
berlomba memasuki lengkungan cahaya bulan yang menyirami jalan ke Montelepre.
Pegunungan berakhir di padang rumput yang membentang seratus meter menuju
dindmg-dinding belakang yang terbentuk dari rumah-rumah di Via Belia. Di balik
dinding-dinding itu, masing-masing rumah memiliki kebun tomat sendiri. Dan
beberapa rumah juga mempunyai sebatang pohon zaitun atau lemon. Gerbang ke kebun Guiliano tidak
dikunci, dan kedua pemuda itu menyelinap masuk diam-diam dan mendapati ibu
Guiliano tengah menanti. Ia menghambur ke dalam pelukan Turi Guiliano, air mata
mengalir membasahi wajahnya. Ia mencium putranya dengan hangat dan berbisik,
"Putraku tersayang, putraku tersayang," dan Turi Guiliano mendapati dirinya
berdiri dalam cahaya bulan tanpa membalas kasih ibunya untuk pertama kali seumur
hidupnya. Sekarang sudah hampir tengah malam, bulan masih teranig, dan mereka bergegas
masuk ke dalam rumah untuk menghindari pengawasan mata-mata. Jendela-jendela
ditutup rapat, dan kerabat Guiliano serta keluarga Pisciotta ditempatkan di
seluruh jalan untuk memperingatkan kehadiran patroli polisi. Di dalam rumah
teman-teman dan keluarga Guiliano telah menunggu untuk merayakan kepulangannya.
Pesta yang selayaknya untuk menyambut Paskah Suci telah disiapkan. Mereka hanya
memiliki satu malam bersamanya sebelum Turi pindah ke pegunungan.
Ayah Guiliano memeluknya dan menampar punggungnya untuk menyatakan persetujuan.
Kedua kakak perempuannya ada di sana, dan Hector Adonis. Juga seorang tetangga,
wanita yang dipanggil La Venera. Ia janda berusia sekitar 35 tahun. Suaminya
dulu bandit terkenal bernama Candeleria, yang dikhianati, lalu disergap oleh
polisi, baru setahun yang lalu. Ia menjadi sahabat dekat ibu Guiliano, tapi Turi
terkejut akan kehadirannya dalam reuni ini. Hanya ibunya yang bisa
mengundangnya. Sejenak ia penasaran, ingin tahu apa alasannya.
Mereka bersantap dan minum-minum dan memperlakukan Turi Guiliano seakan-akan ia
baru saja kembali dari libur panjang ke negeri-negeri asing. Tapi lalu ayahnya
ingin melihat lukanya. Guiliano menarik kemeja dari celana panjangnya dan
memamerkan bekas luka besar yang kemerahan, jaringan di sekitarnya biru
Orang Orang Sisilia The Sicilian Karya Mario Puzo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kehitaman akibat trauma tembakan. Ibunya mulai meratap. Guiliano berkata
kepadanya sambil tersenyum, "Kau lebih suka melihatku di penjara dengan bekasbekas bastinado?" Kendati adegan yang akrab baginya itu menyerupai hari-hari paling bahagia semasa
ia kanak-kanak, ia merasa sangat jauh dari mereka. Semua hidangan kesukaannya
tersedia, cumi-cumi bertinta, makaroni gemuk dengan saus tomat, daging domba
panggang, mangkuk-mangkuk besar berisi zaitun, salad hijau dan merah yang
disiram minyak zaitun segar, botol-botol terbungkus bambu berisi anggur Sisilia.
Segala sesuatu dari tanah Sisilia. Ibu dan ayahnya menceritakan dongeng tentang
kehidupan di Amerika. Dan Hector Adonis menghibur mereka dengan kemegahan
sejarah Sisilia. Tentang Garibaldi dan prajurit baju merahnya yang terkenal.
Tentang hari-hari Sicilian Vespers, sewaktu orang-orang Sisilia bangkit
membantai tentara pendudukan Prancis beratus-ratus tahun lalu. Semua
Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1282 terhadap pasukan Prancis yang
menduduki Sisilia. Ketika itu bunyi bel vesper pada Senin Paskah dijadikan tanda
dimulainya pembantaian dan pengusiran pasukan Prancis.
kisah tentang penindasan terhadap Sisilia dimulai dengan Roma, diikuti bangsa
Moor dan Normandia dan Prancis dan Jerman dan Spanyol. Terkutuklah Sisilia!
Tidak pernah merdeka, rakyatnya selalu kelaparan, tenaga mereka dijual begitu
murah, darah mereka tertumpah begitu mudah.
Jadi sekarang tidak ada satu orang Sisilia pun yang memercayai pemerintah,
hukum, ketertiban terstruktur masyarakat yang selalu digunakan untuk menjadikan
mereka hewan tunggangan. Guiliano sudah mendengar kisah-kisah ini selama
bertahun-tahun, mengukirnya dalam benaknya. Tapi baru sekarang ia sadar dirinya
bisa mengubahnya. Ia mengawasi Aspanu mengisap rokok sambil menikmati kopinya. Bahkan dalam reuni
yang penuh sukacita ini, Aspanu melontarkan senyum ironis. Guiliano bisa menebak
apa yang dipikirkannya dan apa yang akan dikatakannya nanti: Yang perlu
kaulakukan hanyalah bertindak cukup bodoh sehingga ditembak polisi, melakukan
pembunuhan, menjadi pelanggar hukum, lalu orang-orang yang kaukasihi akan
menunjukkan perasaan sayang dan memperlakukan dirimu bagai orang suci dari
surga. Meskipun begitu, Aspanu satu-satunya orang yang tidak membuatnya merasa
terasing. Dan wanita ini, La Venera. Kenapa ibunya mengundangnya, dan kenapa ia datang" Ia
melihat wajah wanita itu masih menarik, tegas dan kuat dengan alis mata hitam
pekat dan bibir begitu gelap dan kemerahan sehingga hampir-hampir ungu dalam
cahaya yang terhalang asap ini. Mustahil melihat postur tubuhnya, karena ia
mengenakan gaun hitam janda Sisilia yang potongannya tidak berbentuk.
Turi Guiliano harus menceritakan seluruh kisah penembakan di Simpang Empat
kepada mereka. Ayahnya, agak mabuk oleh anggur, menggeram setuju atas kematian
si sersan. Ibunya membisu. Ayahnya menceritakan kisah bagaimana si petani datang
untuk mencari keledainya dan tentang komentarnya sendiri kepada petani itu:
"Bergembiralah karena kau hanya kehilangan keledai. Aku kehilangan anak lelaki."
Aspanu berkomentar, "Keledai mencari keledai." Mereka semua tertawa. Ayah
Guiliano melanjutkan, "Sewaktu petani itu mendengar ada petugas polisi yang
terbunuh, dia terlalu takut untuk mengajukan klaim, takut dihajar dengan
bastinado." Turi berkata, "Dia akan mendapat ganti rugi." Akhirnya Hector Adonis
menjabarkan rencananya untuk menyelamatkan Turi. Keluarga almarhum akan mendapat
ganti rugi. Orangtua Guiliano terpaksa menggadaikan sepetak tanah agar bisa
mendapatkan uang itu. Adonis sendiri akan menyumbangkan sejumlah uang. Tapi
taktik ini harus menunggu hingga kemarahan mereda. Pengaruh Don Croce yang agung
akan digunakan untuk menekan para pejabat pemerintah dan keluarga polisi yang
terbunuh. Bagaimanapun juga, kejadian itu kurang-lebih merupakan kecelakaan.
Tidak ada niat jahat yang nyata dari kedua belah pihak. Mereka bisa mengaturnya
selama keluarga korban dan pejabat pemerintah mau bekerja sama. Satu-satunya
kelemahan adalah kartu identitas di lokasi pembunuhan. Tapi dalam waktu setahun
Don Croce bisa menyebabkan bukti itu menghilang dari arsip jaksa penuntut Yang
paling penting, Turi Guiliano harus menghindari masalah selama setahun ini. Ia
harus menghilang ke pegunungan.
140 Turi Guiliano mendengarkan mereka semua dengan sabar sambil tersenyum,
mengangguk-angguk, tidak menunjukkan kejengkelannya. Mereka masih menganggap
dirinya sama seperti pada Festa lebih dari dua bulan lalu. Ia menanggalkan jaket
kulit domba dan senjata-senjatanya; senapannya tergeletak di dekat kakinya di
bawah meja. Tapi hal itu tidak mengesankan mereka, begitu pula bekas lukanya
yang mengerikan. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana benaknya tercabikcabik oleh tembakan hebat di tabuhnya, atau betapa ia tidak akan pernah lagi
menjadi pemuda yang dulu mereka kenal.
Di dalam rumah ini, untuk saat ini ia aman. Orang-orang tepercaya menjelajahi
jalan-jalan dan mengawasi barak-barak carabinieri untuk memberinya peringatan
akan serangan apa pun. Rumahnya sendiri, dibangun beratus-ratus tahun lalu,
terbuat dari batu; jendela-jendelanya, yang daunnya terbuat dari kayu, terkunci
dan tebalnya sekitar tiga puluh senti. Pintu kayunya kuat dan didukung palangpalang besi. Tidak seberkas sinar pun bisa membias keluar dari rumah ini, tidak
ada musuh yang bisa menerbbos masuk dengan cepat dalam serangan tiba-tiba.
Kendati demikian, Turi Guiliano merasakan dirinya dalam bahaya. Orang-orang
terkasih ini akan menjebaknya ke dalam kehidupannya yang dulu, membujuknya
menjadi petani sederhana, meletakkan senjata dari sesama manusia, dan membiarkan
dirinya tidak berdaya di hadapan hukum-hukum mereka. Pada saat itu ia tahu ia
harus bersikap kejam terhadap orang-orang yang paling dicintainya Sudah menjadi
impiannya sejak dulu untuk mendapatkan cinta dan bukannya kekuasaan. Tapi
semuanya telah berubah. Ia sekarang melihat jelas bahwa kekuasaan menempati
urutan pertama. Ia berbicara pelan kepada Hector Adonis dan orang-orang lainnya. "Godfather yang
baik, aku tahu kau berbicara karena rasa sayang dan perhatianmu. Tapi aku tidak
bisa membiarkan ibu dan ayahku kehilangan sepetak tanah untuk membantuku
melepaskan diri dari masalah. Dan kalian semua yang hadir di sini, jangan
terlalu mengkhawatirkan diriku. Aku pria dewasa yang harus membayar
kecerobohannya sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun membayar ganti
rugi untuk carabinieri yang sudah kutembak itu. Ingat, dia mencoba membunuhku
hanya karena aku menyelundupkan sepotong keju. Aku tidak akan pernah menembaknya
kalau aku tidak mengira diriku sekarat dan ingin menyamakan kedudukan. Tapi
semua itu sudah berlalu. Lain kali aku tidak akan begitu mudah ditembak"
Pisciotta berkata sambil menyeringai, "Lagi pula di pegunungan lebih asyik."
Tapi ibu Guiliano tidak teralihkan. Mereka semua bisa melihat kepanikannya,
ketakutan dalam matanya yang membara. Ia mengeluh putus asa, "Jangan menjadi
bandit, jangan merampok orang-orang miskin yang sudah cukup sengsara dalam hidup
mereka. Jangan menjadi pelanggar hukum. Izinkan La Venera memberitahumu
kehidupan macam apa yang dulu dijalani suaminya."
Ia Venera mengangkat kepala dan memandang lurus kepada Guiliano. Guiliano
terpesona melihat sensualitas di wajahnya, seakan-akan wanita itu berusaha
menarik gairah dirinya terhadapnya. Mata La Venera mantap
dan menatap Guiliano hampir seperti mengundang. Sebelumnya Guiliano hanya
menganggapnya sebagai wanita yang lebih tua; sekarang ia merasakan keberadaan La
Venera secara seksual. Sewaktu La Venera berbicara, suaranya serak oleh emosi. Ia berkata, "Di
pegunungan yang sama ke mana kau ingin pergi, suamiku terpaksa hidup seperti
hewan. Selalu ketakutan. Selalu. Dia tak bisa makan. Dia tak bisa tidur. Sewaktu
kami berada di tempat tidur, suara sekecil apa pun akan mengejutkan dirinya.
Kami tidur dengan senapan-senapan di lantai di samping ranjang. Tapi itu tidak
membantunya. Sewaktu putri kami sakit, dia mencoba mengunjunginya, dan mereka
telah menantikan kedatangannya. Mereka tahu hatinya lembut. Dia ditembak seperti
anjing di jalanan. Mereka berdiri di atasnya dan menertawakan diriku."
Guiliano bisa melihat seringai pada wajah Pisciotta. Candeleria, si bandit
besar, berhati lembut" Ia membantai enam orang yang dicurigainya sebagai matamata, mengincar para petani kaya, memeras uang dari para petani miskin,
menyebarkan teror di seluruh pedalaman. Tapi istrinya memandangnya dengan cara
berbeda. Ia Venera tidak menyadari senyum Pisciotta. Ia melanjutkan, "Kumakamkan dia dan
lalu anakku seminggu kemudian. Kata mereka putriku menderita radang paru-paru.
Tapi aku tahu dia patah hati. Yang paling kuingat adalah sewaktu mengunjungi
suamiku di pegunungan. Dia selalu kedinginan dan kelaparan, dan terkadang sakit.
Dia mau memberikan apa saja asalkan bisa kembali ke kehidupan sebagai petani
yang 143 jujur. Tapi yang paling buruk, hatinya menjadi sekeras biji zaitun. Dia bukan
lagi manusia, semoga dia beristirahat dengan tenang. Jadi, Turi sayang, jangan
sebangga itu. Kami akan membantumu dalam kesial-anmu, jangan menjadi seperti
suamiku sebelum dia tewas."
Semua orang membisu, Pisciotta tidak lagi tersenyum. Ayah Guiliano bergumam ia
justru senang bisa menyingkirkan ladangnya; ia bisa tidu& sampai siang Hector
Adonis menunduk menatap taplak meja, mengerutkan kening. Tidak satu pun dari
mereka berbicara. Kesunyian itu dipecahkan oleh ketukan cepat di pintu, tanda dari salah seorang
pengawas. Pisciotta keluar menemui pria itu Sewaktu masuk kembali, ia memberi
isyarat kepada Guiliano agar mempersenjatai diri. "Barak-barak carabinieri
terang benderang," katanya. "Dan van polisi memblokir ujung jalan Via Belia di
pintu masuk lapangan. Mereka bersiap-siap menyerbu rumah ini." Ia diam sejenak.
"Kita harus bergegas mengucapkan selamat tinggal."
Yang memesona semua orang adalah ketenangan Turi Guiliano dalam mempersiapkan
pelariannya. Ibunya menghambur ke dalam pelukannya dan sambil membalas pelukan
itu, ia memegang jaket kulit dombanya. Ia mengucapkan selamat tinggal kepada
yang lain dan sesaat kemudian telah bersenjata lengkap, jaket dikenakan, senapan
disandang, Sekalipun begitu ia tidak bergerak dengan cepat atau tergesa-gesa. Ia
berdiri di sana sejenak, tersenyum kepada mereka dan berkata kepada Pisciotta,
"Kau bisa tetap di sini dan menemuiku di pegunungan nanti, atau ikut denganku
sekarang." Tanpa mengatakan apa-apa Pisciotta melangkah ke pintu belakang dan
membukanya. Guiliano memeluk ibunya untuk yang terakhir kali, dan ibunya menciumi dirinya
habis-habisan seraya berkata, "Bersembunyilah, jangan bertindak gegabah. Biarkan
kami membantumu." Tapi Guiliano sudah melepaskan diri dari pelukannya.
Pisciotta yang memimpin perjalanan, menyeberangi ladang-ladang menuju lereng
pegunungan. Guiliano bersiul tajam dan Pisciotta berhenti untuk memberi
kesempatan pada Turi menyusulnya. Jalan ke pegunungan aman, dan menurut para
pengawas tidak ada patroli polisi di jalan itu. Mereka akan aman di Grotta
Bianca sesudah mendaki selama empat jam. Kalau carabinieri mengejar mereka dalam
kegelapan, tindakan itu entah keberanian atau ketololan luar biasa.
Guiliano bertanya, "Aspanu, berapa banyak anggota carabinieri di garnisun
mereka?" "Dua belas," jawab Pisciotta. "Dan Maresciallo." Guiliano tertawa. "Tiga belas,
angka sial. Dan kenapa kita melarikan diri dari sedikit orang itu?" Ia diam
sejenak lalu berkata, "Ikut aku."
Ia memimpin jalan kembali melintasi ladang-ladang sehingga mereka memasuki
Montelepre lebih jauh lagi. Lalu menyeberangi Via Bella agar mereka bisa
Kisah Si Naga Langit 1 Pedang Siluman Darah 14 Bidadari Selendang Ungu Gerombolan Samurai Hitam 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama