Ceritasilat Novel Online

Sang Penebus 5

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 5


menunggu dengan secangkir kopi di gelas styrofoam dan merasa kasihan pada sales
yang harus bolak-balik membantunya. Sungguh menyedihkan, bukan"
Para konsultan itu bahkan juga bekerja sama dengan Leo dan sales lainnya tentang
berbagai barang yang harus diletakkan di meja dan lemari kabinet mereka. Namanya
"Proyeksi Citra Diri". Omar meletakkan dua atau tiga pialanya di lemari kabinet
di belakang mejanya dan foto-foto dengan tanda tangan satu foto Omar dengan
? Larry Bird dan satu lagi fotonya dengan Presiden Bush. Leo meletakkan foto
berpigura Angie dan anak-anak di mejanya, menghadap ke arah pelanggan, bukan ke
arah Leo. Lorna meletakkan \r\aja\a\~-G/amour, Cosmo, People. Dia juga
menempelkan gambar Michael Bolton di
lemari kabinetnya. "Jadi, siapa yang dia dapat?" tanyaku. "Semua wanita yang cinta pada Michael
Bolton?" "Nggak," katanya. "Mereka bagianku. Lorna mendapat pria kulit putih profesional
yang berpikir mereka bisa menipu cewek bodoh. Bukannya aku boleh mengatakan
semuanya ini padamu, Birdseed. Aku akan dapat masalah besar kalau ketahuan. Tapi
kau seharusnya melihat pria-pria yang membeli mobil dari Lorna mereka keluar ?dari sini dengan sombong menggenggam kuitansi penjualan, sok banget, seakan-akan
mereka baru menidurinya atau semacamnya. Mereka sama sekali tak tahu kalau dua
jam sebelum mereka tanda tangan, kami menjual model yang sama persis dengan dua
atau tiga pilihan tambahan dengan harga lima ratus dolar lebih murah."
Saat aku berdiri untuk pergi, Leo menemaniku sampai ke trukku. "Body-nya sudah
mulai karatan, ya?" katanya mencungkil-cungkil pinggiran pintu di bagian
penumpang. "Ya jangan dicungkil-cungkil, dong," kataku
Aku masuk. Menyalakan mesin dan mundur. Mengangkat tangan dengan isyarat peace
ke Leo dan mulai keluar dari tempat parkir.
"Hei, Dominick!" teriaknya. "Tunggu!"
Leo berlari ke arahku, setelan bagusnya tertiup angin. Dia melongokkan kepala di
jendela trukku. "Hei, aku baru saja berpikir," katanya. "Kau ingat tentang
daftar pengunjung yang kau bilang padaku tadi" Berapa banyak pengunjung yang
boleh menengok kakakmu?" "Lima."
"Kalau begitu, bilang padanya kalau dia boleh memasukkan namaku. Kalau dia
ingin. Aku mau pergi ke sana melihat keadaannya. Bilang apa kabar. Apa salahnya"
1969, kau bilang" Aku punya sejarah dengan Thomas juga."
Aku mengangguk berterima kasih atas hadiah yang baru saja dia berikan. "Aku
?akan bilang padanya," kataku. "Terima kasih."
"Nggak masalah, Bung. Sampai jumpa." Lihat kan, itulah Leo: dia licik sekaligus
baik. Dia mengejutkanmu. Mobilku bergerak menjauh, satu tanganku di kemudi,
satunya lagi mengusap air mata yang menggenang di mataku. Leo, man. Pria itu
penuh kejutan. Tiga Belas Kuburan Indian yang berbatasan dengan halaman rumah sakit jiwa Three Rivers
adalah tempat yang sederhana: beberapa acre lahan dipenuhi jejak kaki tak
bernama, dan sekitar seratusan nisan. Piramida dari tumpukan batu bulat
segenggaman tangan setinggi sepuluh kaki berdiri di tengah-tengah. Monumen itu
dibangun untuk memperingati Samuel, Kepala Suku Bangsa Wequonnoc yang pada abad
ketujuh belas berperang melawan suku Nipmucks dan Pequots dan Narragansetts dan
memilih bergabung dengan pemukim kulit putih. Kesalahan besar. Kota Three Rivers
didirikan tahun 1653 dan berkembang semakin besar dan kuat secara hukum, karena
yang berlaku adalah hukum kulit putih. Sementara itu, lahan konservasi Indian
semakin menyempit dan jumlah anggota suku Wequonnoc semakin menurun.
Nisan tertua di pemakaman itu tertanggal abad kedelapan belas dan sekarang sudah
sangat lapuk dan dipenuhi parasit sehingga mencoba membacanya sama saja dengan
berusaha melihat sekaligus meraba seperti orang buta. Di bawah tanah pemakaman
ini terdapat tulang belulang keluarga Fletchers dan Crowells, Johnsons dan Grays
-Indian campuran, campuran artinya, saat meniduri orang kulit putih tak pilihpilih. Batu nisan yang agak baru merupakan korban perang dari suku Wequonnoc:
veteran Perang Saudara dan Perang Amerika Spanyol, Perang Dunia, Perang Korea.
Pada akhir 1960-an, saat Amerika kembali memakan korban pada generasi mudanya,
nisan terakhir di pemakaman Indian itu ditanam untuk menghormati Lonnie Peck, ?sepupu Ralph Drinkwater, yang terbunuh oleh tembakan sniper di hutan dekat Vinh
Long tahun 1969. Saat itu adalah musim panas ketika manusia mendarat di bulan dan Mary Jo
Kopechne terjun dari jembatan di Chappaquiddick dan juga festival Woodstock.
Musim panas saat aku melihat Dessa Constantine menjadi bartender di DialTone
Lounge dan jatuh cinta selamanya. Pulang dari universitas setelah melewati tahun
pertama menjadi mahasiswa yang penuh gejolak, kakakku dan aku mendapatkan kerja
musiman di Three Rivers Public Works Department. Ralph Drinkwater, Leo, Thomas,
dan aku: benar-benar empat sekawan yang hebat. Tugas kami mencakup membersihkan
lumut di reservoir, memompa air di lapangan pameran kota, dan memotong rumput di
pemakaman kota, termasuk pemakaman Indian kecil itu. Thomas saat itu sudah mulai
mendengar suara-suara, kurasa, tapi belum begitu buruk sehingga kau tak bisa
bilang dia gila atau moody, dan aku terlena dalam urusanku sendiri yang lebih
penting. Kami berusia sembilan belas tahun.
Sekitar sepuluh tahun kemudian-setelah dokter mengganti label Thomas dari
"manic-depressive" menjadi paranoid skizofrenik-pengobatan terbaru yang dijalani
kakakku mulai membuatnya stabil. Pengobatan itu, sepertinya sebuah keajaiban.
Ditenangkan dengan dua ratus miligram Thorazine per hari, Thomas mendapatkan
"kartu jalan" dari rumah sakit jiwa. Dia senang dan bangga atas pencapaiannya
ini; kartu itu memungkinkannya berjalan-jalan keluar ditemani staf atau
keluarga. Dessa dan aku biasanya akan menjemputnya pada Minggu sore di pintu masuk Settle
dan berjalan-jalan dengannya melewati
bangunan-bangunan bata rumah sakit dan Ribicoff Research Center, lalu melewati
halaman belakang ke Sungai Sachem. Aku ingat, Thomas suka melihat airnya melihat
alirannya dan mendengarkannya. Kadang, dia suka melepas sepatu dan kaus kakinya
dan mencemplungkan diri ke air sungai yang kecokelatan. Lebih sering, kami
bertiga berjalan menyusuri tepi sungai hingga seperempat mil ke hilir, ke
pemakaman Indian itu. Dessa dan aku akan mengamati nisan-nisannya sisa-sisa
kehidupan yang tua dan terkubur sementara Thomas duduk di rumput, merokok, dan
membaca Injil. Saat itu, dia sudah menganggap dirinya sebagai tangan kanan Tuhan
dan target KGB. Cepat atau lambat, dia akan berdiri dan mengikuti aku dan Dessa,
memberikan interpretasinya tentang ayat-ayat Injil atau lainnya ramalan akan
terjadinya kiamat berdasarkan apa yang dia baca di koran, di berita malam, atau
dalam mimpinya. Aku biasanya jadi gusar dan bilang padanya bahwa sekarang sudah
waktunya pergi berjalan mendahului Thomas dan Dessa dan kembali ke Settle, di
mana aku bisa meninggalkan Thomas dan pulang. Menunda kewajibanku lagi selama
seminggu dan keluar dari sana. "Bersabarlah terhadapnya, Dominick," kata Dessa
menasihatiku dalam perjalanan pulang setelah kunjungan itu. "Kalau dia ingin
bicara, biarkan dia bicara. Dia kan, tidak menyakiti siapa-siapa." Jawabanku
bahwa aku\ Dia menyakiti aku\ Melukai aku\ tetap tak terucapkan. Kalau kau
adalah yang waras dari saudara kembar identikmu yang gila jika seleksi alam
membuatmu terhindar dari kegilaan itu maka hal yang paling tidak kau inginkan
adalah diingatkan akan kegilaan saudara kembarmu.
Di ujung selatan pemakaman Indian itu, ada jalan setapak menjauh dari sungai,
naik melewati rimbunan pinus, oak, dan cedar, lalu melewati gerumbulan semak
bunga gunung yang mekar dengan indahnya setiap bulan Juni. Terus memanjat
semakin tinggi, ikuti jalan setapak dan suara air, lalu melompati batu-batu
besar, dan tiba-tiba kau akan sampai ke tempat yang akan membuatmu terpana.
Sungai Sachem, tiba-tiba terlihat lagi, mengalir deras di antara dua lereng batu
dan tumpah ke bawah dari ngarai yang terjal.
Setiap orang menamai tempat ini cukup dengan The Falls. Menurut sejarah atau
legenda atau gabungan keduanya, Kepala Suku Samuel pernah mengejar musuhnya
hingga ke pinggir salah satu
lereng dan memberinya pilihan yang tak enak: menyerah dan dipenggal atau
melakukan lompatan bunuh diri ke lereng seberang. Musuh itu melompat, bisa
sampai seberang, namun kakinya patah. Samuel melompat di belakangnya dan
berhasil dengan sempurna. Dengan api balas dendam yang membara, dia
menghancurkan tengkorak musuhnya dengan batu, lalu mengiris dan memakan seiris
daging bahu musuhnya untuk menunjukkan pada dunia siapa yang menang. Guru sejarah Amerikaku di kelas sepuluh, Mr. LoPresto, adalah
satu-satunya orang yang mengatakan pada kami tentang kebiasaan makan daging
manusia oleh Samuel, senang melihat reaksi ngeri seluruh kelas mendengar detaildetail mengerikan yang dia ceritakan.
Mr. LoPresto adalah pria paruh baya yang gemuk dengan pinggang seperti wanita.
Aku benci sarkasmenya, yang biasanya dia tujukan pada anak terlemah di kelas
kami. Benci gayanya, benjolan di dahinya, dan caranya memberikan pertanyaanpertanyaan jebakan di ujian. Dia mondar-mandir saat mengajar, memanggil kami
semua "sejarawan", dan menarik celananya ke atas perut gemuknya setiap dua
langkah, setiap beberapa kalimat. Aku malu mengetahui bahwa Mr. LoPresto dan
ibunya yang ubanan pergi ke Misa Minggu yang sama dengan keluargaku. Setiap
minggu, mereka berdua duduk di barisan kedua dan selalu menjadi orang pertama
yang berdiri untuk komuni. Mereka sepertinya sangat menyukai bagian ini. "Tubuh
Kristus," kata Bapa Fox, mengacungkan hosti di depan Mr. LoPresto. Saat dia
bersiap menerima hosti yang menjadi lambang tubuh Yesus, kau bisa mendengar
ucapan Mr. LoPresto yang saleh, "Amin!", hingga ke barisan belakang gereja
tempatku duduk merosot dan merengut sinis.
Ketika Mr. LoPresto bercerita pada kami tentang Samuel yang makan daging bahu
musuhnya, dia mengatakan bahwa kami tak boleh menilai Indian berdasarkan standar
kita yang lebih tinggi. Mereka orang liar dan kami adalah produk dari Yunani dan
Romawi Kuno dan juga peradaban Barat lainnya. Itu sama saja dengan membandingkan
apel dengan jeruk, kera dengan manusia. Kami duduk diam dan patuh, mencatat
perkataannya untuk kami muntahkan kembali padanya saat ujian nanti.
The Falls sejak dulu menjadi tempat untuk foto kalender sekaligus lokasi masalah
di Three Rivers. Anak-anak bolos dan berpesta di sana, melakukan hal-hal yang
berbahaya dan menunjukkan buktinya ke wajah kota: botol bir yang dibanting,
grafiti di ngarai yang terjal, celana dalam tergantung di pohon. Aku tidak
menyalahkan anak-anak ini karena hor-mon mereka dan ilusi mereka tentang
keabadian. Aku sendiri juga melakukan hal-hal berbahaya di The Falls saat aku
masih seusia mereka melakukan hal-hal yang menimbulkan perasaan tak enak kalau
kuingat sekitar dua puluh tahunan kemudian. Tapi, aku khawatir tentang mereka.
Bunuh diri sering terjadi di sana. Kecelakaan, pembunuhan. Tahun saat Thomas dan
aku kelas tiga, mayat seorang anak perempuan dari kelas kami ditemukan di The
Falls. Penny Ann Drinkwater: sepupu Lonnie Peck, kembaran Ralph.
Penny Ann dan Ralph adalah satu-satunya pasangan kembar selain aku dan Thomas di
sekolah dasar River Street. Saat itu, kami menganggap si kembar Drinkwater
adalah anak kulit hitam, tapi sebenarnya mereka campuran: ada hitamnya, putih,
dan sebagian darah Indian Wequonnoc. Mereka setahun lebih tua daripada Thomas
dan aku. Penny Ann seharusnya sudah kelas empat seperti kakaknya, tetapi dia
tinggal kelas dan duduk di kursi sebelahku.
Aku tak suka dia. Alisnya bertaut panjang menjadi satu bukannya terpisah jadi
dua, dan kadang dia berbau pesing. Dia makan pasta, mengisap-isap kancing sweter
biru bututnya, mengunyah krayonnya. Hingga hari ini, aku masih bisa melihat gigi
depannya yang besar penuh noda krayon.
Si kembar Drinkwater miskin; kami semua tahu itu. Di sekolah kami, kau bisa
membedakan mana anak-anak yang miskin: sebagian besar masuk ke kelompok membaca
dan pontang-panting mengikuti kemajuan yang lain, kehilangan tempat mereka, dan
membaca buku-buku bayi. Mereka berdiri di depan papan tulis, tak bisa
mengerjakan soal aritmatika, punggung mereka menghadap lautan tangan teracung
dari anak-anak yang tahu jawabannya. Guru-guru kurang sabar dengan anak-anak
miskin itu dibanding kami. Tapi Penny Ann tak hanya miskin; dia juga nakal.
Dia mencuri. Dia mencuri jepitan batu rhine-stone Genevieve Wilmark, telur kaca
Calvin Cobb, dan foto Annette Funicello bertanda tangan milik Frances Strempek,
yang kemudian ditemukan sudah dirobek-robek kecil dan disembunyikan di bawah
keranjang sampah. Dia mencuri makanan anak-anak lain saat istirahat dari ruang
mantel kami, termasuk milikku dan Thomas. Setiap kali sesuatu di kelas kami
hilang, Miss. Higgins selalu berjalan ke belakang kelas dan memeriksa meja Penny
Ann yang jorok. Penny Ann selalu menyangkal mengetahui bagaimana cara barangbarang yang hilang itu sampai ke mejanya. Dia sering menangis. Hidungnya meler.
Dia selalu batuk. Dia menghilang pada hari ketika badai salju tiba-tiba datang dan membuat kami
dipulangkan lebih awal dan ibu-ibu terpaksa harus memakai sapu tangan, sepatu
bot, dan mantel, menembus badai untuk menjemput kami. Sehari sebelumnya, Penny
Ann berdiri di depanku dalam antrean di pancuran minum, tiba-tiba dia berpaling
padaku dan berkata kalau ibunya akan membelikan dia kuda poni Shetland begitu
dia pulang dari perjalanannya. Menghina Penny Ann bisa dimaklumi di SD River
Street bahkan anak-anak yang baik pura-pura menyemprotnya dengan semprotan kutu
jadi aku memandang langsung ke matanya dan mengatakan kalau dia adalah pembohong
besar. Lalu aku minum, kembali ke kelas, dan mengatakan pada Miss Higgins
kebohongan yang kubuat sendiri. "Penny Ann Drinkwater makan Oreo di lorong,"
kataku. "Dia bilang, dia mencurinya dari seorang anak. Dia menyombongkan hal itu."
Miss. Higgins menulis pesan pada Miss Haas, kepala sekolah, dan menyuruh kami
berdua menghadapnya. Miss Haas percaya padaku, bukan Penny Ann, yang terus
menerus berusaha menyangkal sehingga membuatnya menangis dan terbatuk-batuk yang
terdengar seperti gonggongan anjing. Miss Haas berterima kasih padaku atas
informasi yang kuberikan dan mengatakan padaku agar kembali ke kelas. Aku ingat
kembali ke kelas Miss Higgins dengan rasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan
lalu terlambat menyadari kalau kisah pencurian Oreo itu hanyalah karanganku
saja. Yah, Penny Ann pasti pernah mencuri kue seseorang, kataku meyakinkan diri
sendiri. Miss Higgins mengumumkan di depan kelas bahwa aku adalah warga yang
baik karena telah melaporkan pencurian. Lalu dia menulis di papan tulis,
"Dominick Birdsey adalah warga yang baik". Pengumuman publik itu membuatku
merasa senang sekaligus gelisah, dan meskipun aku tak melihat matanya, dari
seberang ruang aku bisa merasakan pandangan Thomas.
Sekitar seminggu setelah hilangnya Penny Ann dalam badai salju, koran mencetak
wajahnya-awalnya di halaman depan, lalu di halaman tengah, dan tidak lagi. Di
sekolah, kursinya yang kosong, mejanya yang jorok dengan isinya yang terlihat
keluar, menjadi sulit untuk kutahankan. Sweter biru buntutnya telah digumpalkan
dan disorongkan ke dalam. Satu lengannya dengan benang terlepas dan dipenuhi bulatan-bulatan benang
yang disebut ibuku "pil-pil sweter" tergantung setengahnya hingga ke lantai. Aku
meminta tempat dudukku dipindah, tapi Miss Higgins menolak permintaanku.
Lalu, suatu hari wajah Penny Ann kembali muncul di halaman depan koran, kali ini
diperbesar. MAYAT ANAK PEREMPUAN DITEMUKAN DI THE FALLS, demikian headline
beritanya. Koran memberitakan bahwa orang yang membunuh Penny Ann telah
mematahkan lehernya dan membuka semua pakaiannya detail yang menakutkan
sekaligus membingungkan aku. Saat itu pertengahan Februari. Salju sekitar sekaki
tingginya. Apakah membuatnya kedinginan menjadi bagian siksaan Penny Ann"
Setelah berita pembunuhan Penny Ann, aku mulai mengingatnya dalam mimpi-mimpi
burukku. Dalam satu mimpiku, dia mengajakku naik kuda poni Shetlandnya yang baru
ketika binatang yang ketakutan itu mulai menderap menuju tepi ngarai The Falls.
Di mimpi lainnya, dia terus menantangku menjilat kerangka mayat. Di mimpi
ketiga, Miss Haas mengumumkan lewat interkom bahwa pembunuh Penny berkunjung ke
sekolah kami dan akan membunuh anak-anak TK. Saat aku mengalami mimpi buruk ini,
aku biasanya terbangun menjerit dan ibuku terhuyung-huyung masuk ke kamar Thomas
dan aku. Dia akan mengelus lenganku dan mengatakan aku aman dan membiarkan lampu
menyala. Terang, tapi masih takut tidur, aku akan
meletakkan kepalaku di pinggir ranjang atas tempat tidur tingkat kami dan
memandang kakakku yang sedang tidur mendengarkan napasnya yang naik turun
teratur, menghitung tarikan napasnya hingga ratusan kali hingga aku tertidur
lagi. Di sekolah, kami mengumpulkan sumbangan untuk menghormati Penny Ann Drinkwater.
Kelas kami mendapat tugas utama, dan Miss Higgins memilih Thomas dan aku untuk
menjadi "bendahara", pengangkatan yang membuatku merasa penting. Tugas itu
menuntut kami untuk berpisah dan setiap pagi masuk ke kelas-kelas, berjalan
mengitari bangku-bangku, membawa ember kertas tempat anak-anak memasukkan uang
nikel, sen, dan penny mereka. Ralph Drinkwater, saudara kembar Penny, ada di
kelas Mrs. Jeffrey. Dia tak pernah menyumbang, tak pernah memandang ember
sumbangan setiap kali aku melewati mejanya, bahkan saat aku menantangnya dengan
berhenti sesaat dan menunggu. Suatu pagi, saat Thomas mengumpulkan sumbangan di
kelas Mrs. Jeffrey, Ralph menendang kakinya. Thomas melaporkan ke guru, tapi
Ralph menyangkalnya dan Mrs. Jeffrey bilang mungkin itu cuma ketidaksengajaan.
Pada hari yang sama, saat istirahat, aku melihat Ralph menjegal seorang anak
saat permainan Red Rover, Red Rover. Korbannya saat itu sedang berlari sekuat
tenaga menuju pagar betis yang harus dia terobos sesuai aturan permainannya.
Ketika Ralph menjegalnya, anak itu jatuh dengan muka terlebih dulu di aspal dan
tergelincir, dan ketika guru


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang, muka anak itu sudah penuh darah dengan gigi memerah dan kulit dagu
terkelupas. Aku tidak mengadukan Ralph seperti aku mengadukan adik kembarnya.
Penny Ann memang menyebalkan; kakak kembarnya berbahaya. Dia juga mulai
menggangguku dalam mimpi burukku.
Dengan uang yang kami kumpulkan dari sumbangan, sekolah membeli pohon willow
kecil dan sebuah plakat. Saat itu, udara sudah menghangat dan Pawtucket Red Sox
sudah bermain lagi dan bahkan gumpalan es selokan yang paling keras sudah
mencair dan mengalir ke saluran pembuangan. Ibu Penny Ann datang saat upacara
penanaman pohon di pinggir halaman sekolah. Dia juga punya alis bersambung
seperti Penny, rambut hitam lurus dan lingkaran hitam di bawah matanya membuat
dia terlihat mirip rakun. Awal minggu, Miss Higgins menugaskan kami menulis esai
tentang kenangan kami pada teman kami tersayang Penny Ann. Tidak seperti
kakakku, aku biasanya tahu apa yang diinginkan guru dan menulis esai yang sangat
sentimental yang membuatku terpilih menjadi salah satu murid yang diminta
membaca esainya di panggung saat upacara penanaman pohon. Kata-kataku membuat
air mata menggenang di mata orang dewasa, ibu Penny Ann, dan reporter wanita
dari Daily Record, termasuk Miss Haas. Air mata Miss Haas mengejutkanku. Kepala
sekolah kami itu punya reputasi sebagai orang yang galak dan tak suka berteletele. Selain itu, dia dan aku sudah bersekongkol menyengsarakan hidup Penny
Ann kurang dari dua puluh empat jam sebelum dia diculik dan dibunuh. Bersamasama kami membuat anak perempuan itu menangis. Membuatnya menggonggong seperti
anjing. Tapi saat aku kembali ke kursi lipatku setelah membaca esaiku, Miss Haas
mengulurkan tangan, memegang tanganku di tangannya yang berbintik, dan
meremasnya. Selama upacara, Ralph Drinkwater berdiri di belakang ibunya. (Tak
ada ayah yang muncul, bahkan tak ada percakapan tentang ayah.) Aku ingat, Ralph
bertingkah buruk selama sambutan, selalu bergerak-gerak sehingga ibunya harus
mencubit lengannya dua kali dan bahkan memukulnya sekali di hadapan seluruh
murid. BEKAS TETANGGA MENJADI TERSANGKA PEMBUNUH ANAK PEREMPUAN, demikian berita di
koran suatu pagi musim panas. Sekarang pembunuh itu punya nama, Joseph Monk, dan
wajah. "Pria ini benar-benar setan," kata ayah tiriku pada Ma pagi itu saat
sarapan setelah dia membaca dengan keras pengakuan Monk. "Kursi listrik terlalu
enak bagi orang ini setelah apa yang dia lakukan pada anak malang itu."
Ray maupun ibuku tak tahu kalau aku ada di dekat mereka di pantry yang
bersambung dengan dapur, sedang memanggang roti. Strategi mereka adalah
menghindari berbicara tentang teman kami yang terbunuh di depan Thomas dan aku
kurasa untuk melindungi kami dari situasi yang sebenarnya sudah kami hadapi tiap
hari di sekolah. "Mereka harusnya membawa dia ke suatu tempat
dan menghantam kepalanya dengan tongkat bisbol," lanjut Ray. "Patahkan lehernya
seperti dia mematahkan leher anak itu."
"Oke, oke," kata Ma. Dia bilang ke Ray kalau dia bahkan tak ingin memikirkan
anak perempuan malang itu dan keluar dari dapur dengan bercucuran air mata. Ray
membanting koran ke meja dan menyusulnya.
Aku masuk dapur dan mengambil koran itu. Membawanya ke pantry tempatku berdiri,
terpukau, dan memandang foto "setan" yang digiring menaiki tangga teras markas
kepolisian. Tadinya aku mengira dia adalah seorang monster seseorang yang kotor
dan jelek dengan rambut liar dan mata gila. Seseorang seperti pria gila yang
naik bus kota waktu itu, yang duduk di samping ibuku dan menyentuh kakinya.
Tapi, Joseph Monk berambut pendek dan memakai kacamata hitam, bibirnya setengah
tersenyum, dan dia mengenakan kemeja lengan pendek kotak-kotak.
Aku masih memandangi tampang Joseph Monk yang biasa-biasa saja, saat panggangan
berbunyi mengeluarkan roti, mengejutkanku, dan aku melihat wajahku di lapisan
krom pangganggan, wajahku, yang kukenal, namun juga asing. Dan ketika kakakku
dengan mengantuk, dan dengan ekspresi polosnya masuk ke dapur pagi itu, aku
ingat, aku tiba-tiba merasa sendirian dan takut-seperti Ralph Drinkwater yang
kehilangan kembarannya. Beberapa waktu kemudian, Ralph menghilang dari lorong-lorong SD River Street.
Dia keluar secara tidak mencolok; aku baru sadar kepergiannya setelah dia tak
ada. Dia muncul bertahun-tahun kemudian saat aku kelas dua SMU, ketika dia masuk
ke kelas sejarah Amerika Mr. LoPresto di tengah-tengah semester dan mengulurkan
formulir "murid tambahan" padanya.
Aku langsung mengenalinya, tapi terkejut melihat ukuran tubuhnya. Saat itu, pada
usia lima belas tahun, aku adalah forward cadangan di tim basket Kennedy's High
JV dan sudah mengenakan sepatu tiga ukuran lebih besar daripada ayah tiriku.
Kadang saat makan malam, aku menambah hingga tiga atau empat porsi, dan minum
susu begitu banyak sehingga ibuku memandangiku dengan kombinasi kekaguman
sekaligus takut. Aku lebih tinggi empat sentimeter dan lebih berat enam kilogram
ketimbang kakakku. Ralph Drinkwater dulu terlihat besar, menakutkan, dan
mengintimidasi murid-murid di SD River Street. Sekarang dia terlihat kerdil.
"Drinkwater, ya?" kata Mr. LoPresto membaca formulir di tangannya. "Yah, itu
yang selalu kukatakan. Saat haus, minum air (drinkwater)." Beberapa anak memutar
mata mereka dan mengerang, tapi Ralph sama sekali tak bereaksi. LoPresto
menyuruhnya duduk di meja kosong di belakang kelas di sebelahku. Dalam
perjalanan ke mejanya, Ralph memandangku selama setengah detik, mungkin dia
mengenaliku, mungkin juga tidak. Selama beberapa minggu selanjutnya, tak banyak
yang terjadi di kelas sejarah Amerika. Di depan kelas, LoPresto bicara, mondarmandir, dan menarik celananya; di belakang di dekat jendela, Ralph duduk merosot
di kursinya dan kadang tertidur. Lalu suatu hari, terjadi ketegangan tak terduga
di antara keduanya. Di sela derum suara radiator, Mr. LoPresto mengoceh terus-menerus tentang
Manifest Destiny. Sambil menyangga dagu dengan tangan, setengah mengantuk
mendengarkan monolog berkepanjangan dan terkena hawa panas radiator, aku
sekenanya mencatat tugas suci Darwinian Amerika dalam menyebarkan demokrasi,
ketika tiba-tiba di sebelahku Ralph Drinkwater tertawa keras-keras. Tak salah
lagi, tawa perut yang keras dan kuat.
Mr. LoPresto berhenti bicara dan memicingkan mata ke arah Ralph, yang tawanya
tiba-tiba menarik perhatiannya. Bagi kami semua, tawa Ralph adalah satu-satunya
hal menarik yang terjadi selama pelajaran sejarah itu.
"Ada yang lucu, Mr. ... eh
LoPresto mengambil denah tempat duduk untuk menyegarkan ingatannya pada
keberadaan Ralph. "Jika kau berpikir ada yang lucu, Mr. Go Drink Water, maka
mungkin kau mau membaginya dengan kami semua. Kita suka lelucon yang bagus
bukan, para sejarawan" Tolong. Katakan pada kami. Apa yang lucu?"
Aku ingat, terjadi keheningan yang lama saling menantang. Wajah Ralph sinis,
tapi aku melihat tangannya sedikit bergetar. Kakinya
mengetukngetuk lantai linoleum. Ketika kami semua menunggu, aku melirik ke buku
catatannya. Ralph sama sekali tak mencatat Manifest Destiny, tapi dia malah
menggambar karikatur aneh Mr. LoPresto. Di gambar itu, guru kami telanjang
bulat. Ralph juga menggambar kapak yang terhunjam di kepala LoPresto.
"Aku ulangi," kata Mr. LoPresto dari depan kelas. "Apa yang lucu?"
Dia biasanya tak berani menantang anak-anak lain di kelas kami: Hank Witkiewicz,
juara gulat negara bagian, atau Kevin Anderson, yang ayahnya adalah insinyur
kota. Dia bahkan tak akan berani menantangku yang cuma pemain cadangan di tim
basket JV dan anak tiri seorang tukang pipa. Tapi Mr. LoPresto yang tak melihat
gambar di buku catatan Ralph, salah menilainya sebagai sasaran yang mudah.
"Tak ada yang lucu," kata Ralph akhirnya. LoPresto mungkin akan menghentikannya
sampai di situ-dan meneruskan argumennya tentang tugas suci Amerika untuk
meluaskan teritorialnya tapi senyum sinis tak mau meninggalkan wajah Ralph.
"Tidak, teruskan," kata Mr. LoPresto. Dia mendudukkan pantat besarnya di atas
meja guru. "Ceritakan pada kami."
"Hal yang kau bicarakan itu," kata Ralph. "Tentang seleksi alam dan kepunahan
Indian karena kemajuan."
Aku memandang catatanku, yang hingga saat itu, kutulis dalam kondisi setengah
tak sadar. Aku ingat merasa terkejut menyadari bahwa Ralph ternyata lebih memerhatikan
pelajaran dibandingkan aku.
"Maksudmu Manifest Destiny?" kata Mr. LoPresto. "Itu lucu menurutmu?" "Itu
gombal." Sudah mengejutkan mendengar Ralph mengumpat di kelas, tapi lebih mengejutkan
lagi saat Mr. LoPresto mengulanginya.
"Gombal?" sekarang guru kami juga tersenyum sinis. Dia tersenyum pada Anderson
dan Witkiewicz dan mereka juga tersenyum. "Gombal?"
Mr. LoPresto berdiri, berjalan ke arah Ralph hingga setengah lorong lalu
berhenti. "Perlu kau ketahui Mr. Go Drink Water, aku punya gelar sarjana di
bidang sejarah Amerika dari Fordham University dan gelar master di bidang
sejarah Amerika abad ke sembilan belas dari University of Pennsylvania. Jadi,
kurasa aku tahu apa yang kubicarakan, tapi kukira aku bisa menerima kritik.
Bisakah kau beri tahu aku apa mandat yang kau punya untuk mengkritisiku?"
"Apaku?" kata Ralph.
"Mandatmu. Kualifikasimu. Dengan kata lain, apa yang membuatmu jadi ahli
sejarah?" "Aku nggak ahli."
"Oh. Kau nggak ahli?" Terdengar tawa gugup dari beberapa anak perempuan.
"Nggak. Tapi aku keturunan penuh Indian Wequonnoc. Jadi, kurasa tak semua
'pribumi' sudah 'punah' seperti yang kau bilang tadi."
Ralph berkulit warna kopi dan bermata hijau, dengan gaya rambut Afrika. Aku
yakin kalau dia bilang "keturunan Indian penuh" hanya untuk menantang Mr.
LoPresto. Mr. LoPresto menyangkal kalau dia tadi menggunakan istilah punah. Dia
mengatakan kalau saja Ralph tadi mendengarkan dengan lebih baik, dia pasti tak
salah interpretasi. Tapi Mr. LoPresto memang menggunakan kata itu; terbukti
jelas di kalimat yang telah aku catat di bukuku. Mr. LoPresto mengambil kertas
berwarna pink dari mejanya, menulis kesalahan disiplin Ralph, dan menyuruhnya
pergi ke kantor kepala sekolah. "Banci sialan," gumam Ralph saat berdiri dari
kursinya. Kalaupun Mr. LoPresto mendengar kata itu, dia pasti pura-pura tak
mendengarnya. Pintu kelas terbanting di belakang Ralph dan kami menunggu hingga
suara sepatunya di koridor semakin menjauh.
"Nah, Sejarawan," kata Mr. LoPresto akhirnya. Dia tersenyum dan dengan gaya
mengulurkan salah satu tangannya ke kursi Ralph yang kosong. "Kurasa orang
Indian memang sudah menghilang." Kevin dan Hank dan beberapa anak lain tertawa.
Aku tidak. Aku, tiba-tiba, dengan sangat emosional berpihak pada Ralph tiba-?tiba merasa dipenuhi kemarahan yang membuatku gemetar dan mukaku memerah karena
malu sehingga mataku digenangi air mata. Penny Ann dulu mencuri makanan anakanak karena dia lapar. Saat Ralph menjegal seorang anak ketika permainan Red
Rover-menendang kaki kakakku dia menjegal dan
menendang semua orang yang telah mencuri darinya, berbohong padanya, dan
membunuh adiknya. Aku berbohong tentang Oreo yang dicuri Penny Ann, karena aku
tahu-meski masih kelas tiga SD bahwa mereka akan lebih percaya padaku, bukan
pada Penny Ann. Aku dengan mulianya turut mengumpulkan sumbangan untuk
mengenangnya dan lalu mencuci kenangan tentang dia di upacara penanaman pohon.
Mencuci dosaku. Menulis ulang sejarah.
Dalam versi fantasiku tentang apa yang terjadi kemudian, aku berdiri dan
menantang Mr. LoPresto membalas dendam bagi semua pecundang dan pemain cadangan
yang telah dia hancurkan dengan sarkasmenya. Melempar orang sialan itu ke tembok
atas nama keadilan dan mengikuti Ralph keluar dari kelas. Tapi kenyataannya, aku
hanya duduk terdiam. Tak berkata apa pun. Tetap mencatat apa pun yang diocehkan
guru itu sehingga aku bisa memuntahkan padanya lagi saat ujian nanti.
Bertahun-tahun kemudian, saat perkawinanku dengan Dessa masih utuh tapi
bermasalah, manajer malam di toko material Benny meneleponku pada suatu malam
musim semi yang hujan dan memintaku untuk datang menjemput kakakku. Thomas naik
bus dari rumah sakit ke kota-dia mendapatkan keistimewaan lalu menimbulkan
keributan, berteriak-teriak dan melemparkan barang-barang dari rak toko di
bagian listrik karena ke mana pun dia memandang dia melihat peralatan penyadap.
Manajer toko itu kenal kami dia bekas teman
sekolah kami dan berkata mungkin aku lebih suka kalau dia meneleponku dan bukan
menelepon polisi. Saat sampai di sana, aku membujuk Thomas untuk memelankan
suaranya dan melepaskan gantungan mantel yang di pasang di kepalanya. (Gantungan
baju itu mengacau frekuensi musuh, katanya; para agen Soviet sedang
mengejarnya.) Aku mengucapkan terima kasih pada manajer itu dan merayu Thomas
untuk naik ke trukku. Dalam perjalanan kembali ke rumah sakit, tak satu pun dari
kami yang banyak bicara, kami membiarkan wiper kaca yang bicara. Dan ketika kami
sampai di Settle dan perawat jaga malam membimbing Thomas ke kamarnya, tiba-tiba
Thomas berpaling dan berkata, "Itulah masalahnya dengan seleksi alam kan,
Dominick" Yang kuat yang selamat" Mayat di bawah kakimu. Itu yang membuat
sedikit tak nyaman." Aku ingat, suara Thomas dingin dan rasional. Hingga hari
ini, apa yang dia katakan malam itu menjadi misteri bagiku. Hingga hari ini, aku
tak bisa memutuskan apakah malam itu yang bicara adalah kegilaan atau kewarasan
Thomas. Setelah pertengkarannya dengan Mr. LoPresto, Ralph semakin jarang masuk ke kelas
sejarah, dan kalaupun dia masuk, selalu dengan ekspresi sok dan senyum sinis di
wajahnya. Pada semester kedua, dia berhenti sekolah. Bulan Mei, dia resmi
keluar. "Keluar: Ralph T. Drinkwater", itu saja tulisan di daftar absensi. Pada
akhir hari yang sama, saat
teman-teman sekelasku dan aku keluar dari bangunan sekolah dan terburu-buru naik
bus, aku melihat Ralph terhuyung-huyung di trotoar seberang jalan. "Sialan!"
teriaknya mabuk, jari tengahnya teracung ke udara. "Hei, kau! Hei, bocah kulit
putih! Siai-an kau!"
Aku naik bus sekolah, meyakinkan pada diriku sendiri bahwa dia tidak berteriak
langsung padaku bahwa umpatannya ditujukan secara acak ke semua orang.
Bahwa dia sudah terhempas.
Terbuang. Hancur. Empat Belas Dr. Pcltel sudah bilang padaku kalau dia mungkin terlambat. Kalau aku melihat
Volvo biru dengan plat nomor Delaware di tempat parkir, aku bisa langsung
menemuinya. Kalau tidak, aku harus menunggu sampai dia tiba. Katanya dia tak
punya resepsionis; dia praktik pribadi paruh waktu saja.
Satu setengah minggu sudah berlalu sejak Thomas dipindahkan ke Hatch. Karena tak
bisa menengok kakakku sampai izin keamanan turun, aku terpaksa pasrah dengan
laporan perkembangan harian dari Lisa Sheffer dan beberapa percakapan telepon
dengan Dr. Patel, psikolog baru Thomas. Baik Sheffer maupun Dr. Patel
meyakinkanku bahwa Thomas baik-baik saja. Infeksi di kulit cangkokannya diterapi
dengan antibiotik yang lebih kuat; kesehatannya bagus. Meskipun secara umum dia
tidak komunikatif dengan pasien lain di Unit Dua dan terganggu oleh kamera
pengawas yang ada di mana-mana, Thomas bisa makan kenyang dan tidur nyenyak. Dia
dekat dengan Sheffer dan sepertinya memercayainya. Dan sekarang, setelah dia
mulai minum Haldol lagi selama beberapa hari, obat itu mulai mengurangi
kegelisahannya. Secara keseluruhan, pengobatan Thomas berjalan sesuai
rencana. Tapi siang itu, saat aku memanjat perancah di bawah talang rumah Rood, Joy
menelepon dan meninggalkan pesan yang kemudian diteriakkan Ruth Rood padaku dari
bawah. Dr. Patel ingin menemuiku. Ada kejadian yang melibatkan kakakku. Apakah
aku bisa bertemu dengannya sore nanti"
Kami berjanji bertemu pukul lima sore. Atas saran Dr. Patel, aku setuju bertemu
dengannya tidak di Hatch, tapi di kantor praktiknya di deretan mal dua lantai di
Division Street, tempatnya berbagi dengan toko penye-waan Video Blockbuster,
restoran Cina, tukang kunci, dan Akademi Tari Miss Patti. Aku sudah duduk di
truk selama sepuluh menit, memandang orang-orang yang keluar masuk toko video
dengan membawa kotak biru dan sesekali melihat anak-anak perempuan bercelana
ketat yang melompat dan berjingkat-jingkat dengan tangan terangkat, menari, di
jendela atas Miss Patti. Mungkin sekitar enam atau tujuh tahun. Sekitar usia
Angela kalau dia masih hidup. Aku memilih seorang anak berambut hitam dengan
celana ketat kuning. Membayangkan dia adalah Angela.
Kadang aku masih melakukan itu, melihat kehidupan anakku dari anak-anak orang
yang tak kukenal. Menjadikan mereka sebagai orangtua anak yang mati, bukannya
Dessa dan aku. Dalam fantasi ini, Dessa dan aku masih bersama, dan gambar serta
tugas sekolah Angela tertempel di pintu lemari es dan sebentar lagi dia akan
ikut resital tari. Kami hidup bahagia dan gembira.
Angela meninggal pada Mei 1983, tiga minggu dan tiga hari setelah dia lahir. Aku
adalah orang pertama yang menemukannya. Meskipun berat, aku bersyukur:
setidaknya bukan Dessa yang melihatnya pertama kali. Saat itu, malamnya aku
bangun sampai lewat tengah malam mengoreksi karangan murid-muridku karena aku
berjanji akan mengembalikannya lagi sebelum akhir pekan. Lalu, pagi hari aku
mematikan alarm weker sambil setengah tak sadar, lalu kembali tertidur. Aku
sudah setengah jalan menuju pintu pagi itu ketika tiba-tiba aku berpikir,
biarkan saja kalau aku sedikit terlambat, aku mau balik lagi dan mencium anakku.
Dessa tadi malam sudah bangun dua kali untuk mengurusnya. Saat aku berganti
pakaian, dia menggumamkan tentang laporan paginya, dia ingin kembali tidur untuk
mengganti tidurnya yang kurang semalam.
Rencanaku adalah ingin benar-benar bersama Angela saat libur musim panas nanti,
begitu jadwalku longgar. Aku adalah asisten pelatih lari musim semi itu dan


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anggota komite negosiasi serikat guru. Selain itu, aku juga harus mengurusi
kakakku setidaknya mengunjungi dia setiap Minggu sore. Aku berencana akan
melonggarkan kegiatan setelah sekolah libur. Meluangkan waktu. Lagi pula, aku
sudah jadi ayah sekarang. Aku punya sepanjang Juli dan Agustus untuk bersama
keluargaku yang baru. Dua bulan waktu bermain dengan istri dan bayiku.
Kedua lengannya menjulur kaku ke arah pembatas boks bayi, itulah hal pertama
yang kulihat. Tinjunya menggenggam. Ada busa pink di hidung dan ujung-ujung
mulutnya. Kepala kecil botaknya terlihat membiru. Aku berdiri terpaku,
menggelengkan kepala, berkata pada diriku sendiri, Oh oh, tidak, ini tidak
terjadi. Tidak pada bayi kami. Tidak pada Angela. Tapi aku tahu. Aku tahu bahkan
sebelum aku menggendong dan memeluknya, mencoba memanggil Dessa. Mencoba
meneriakkan nama Dessa. Tujuh tahun setelahnya, aku sering menghabiskan malam-malam berusaha
menghilangkan bayangan EMT, para dokter, dan pendeta yang didatangkan mertuaku
dari gereja Yunani, petugas sosial di rumah sakit-mereka semua melakukan ritual
yang tak berguna. Dalam perayaan-perayaan yang terburuk-ulang tahun Angela, atau
hari kematiannya, atau hari-hari besar aku masih bisa melihat Dessa, terjatuh
dan meraung saat ambulans meninggalkan rumah kami ke rumah sakit. Atau ketika di
rumah sakit, Dessa terlihat mengerut di balik bajunya. Dengan noda susu di baju
depan payudaranya .... Dia tak mau memakai pengering, aku ingat itu, dia bisa saja
melakukannya, tapi dia tak mau. Kurasa itu adalah penyangkalannya penolakan
bahwa hidup tidak mungkin seburuk ini. Kemudian keesokan malamnya aku terbangun
kaget dan mencarinya ke seluruh rumah. Akhirnya aku menemukan dia di kamar mandi
bawah, berdiri terpaku dan bertelanjang dada di depan cermin
kotak obat, susu menetes dari kedua putingnya seperti air mata.
Pada hari-hari pertama setelah kematian Angela, Dessa menjadi mayat hidup dan
aku menjadi Manajer Utama seseorang yang berurusan dengan koroner, polisi dan
semua kaserol yang diantarkan orang-orang ke pintu kami. Deretan piring kaserol.
Sebagian besar makanan itu didiamkan saja di lemari es dan jadi basi; kami tak
bisa makan. Sekitar seminggu kemudian, aku membuang semuanya, mencuci piringpiringnya dan berkeliling kota mengembalikan piring-piring itu. Aku memaksa
diriku melakukannya. Biasanya aku hanya meninggalkan piring itu di depan pintu
dan pergi tanpa menekan bel. Aku tak ingin berbicara pada siapa pun. Memaksakan
diri mendengar basa-basi kosong, "kalau ada yang bisa kulakukan, bia, b/a, bia,"
terus dan terus. Dessa tidak kuat pergi ke rumah pemakaman untuk mempersiapkan pemakaman, jadi
ibunya dan ibuku pergi bersamaku. Big Gene mengantarkan kami ke sana, dengan
salah satu mobil mewah yang biasa dipamerkan di showroom, bukannya pakai
mobilnya sendiri. Salah satu mobil mewah bikinan Chrysler. Seakan-akan memakai
mobil mewah ke rumah pemakaman bisa mengurangi kesedihan. Seakan-akan ada yang
bisa mengurangi kesedihan kami. Aku ingat, Gene menunggu di mobil. Dia tak mau
atau tidak kuat untuk masuk.
Aku tak begitu mengingat sebagian besar upacara pemakamannya. Aku ingat, lautan
mawar merah jambu yang menyelimuti peti mati perak Angela. Mengingat Dessa dan
adikknya saling berpelukan, saling menguatkan. Sangat menyakitkan menerima
ucapan belasungkawa dari murid-muridku mereka memang belum pintar bicara, tapi
saat itu mereka benar-benar tak bisa bicara menghadapi kenyataan bahwa bayi guru
mereka meninggal. (Seminggu sebelumnya, aku menghibur kelasku dengan ceritacerita lucu tentang mengganti popok, kursi bayi di mobil, dan muntahan bayi
membuat tugas menjadi ayah sebagai lelucon. Murid-murid di kelas sejarah dunia
yang kuajar mengadakan lotre tentang berat badan Angela, tinggi badan, dan
tanggal lahir; pemenangnya, Nina Frechette, datang ke upacara pemakaman dan
menangis tersedu-sedu tak mampu berhenti.)
Dan kemudian ada Thomas. Tinjuku masih menggenggam geram saat aku ingat kakakku,
di ruang bawah gereja ortodoks Yunani, memakan donat berlapiskan gula halus dan
mengatakan pada Larry Pen, rekanku sesama guru, bahwa ada kemungkinan besar
kalau kematian Angela telah direncanakan musuh-musuhnya sebagai peringatan
untuknya. Aku lupa apakah kartel narkotika Kolombia atau Ayatullah yang mengejar
Thomas bulan itu, tapi aku hampir saja menerjang dan membantingnya ke dinding
ketika aku mendengar kata-katanya itu membuat kematian anak kami seakan-akan
karena dirinya. Aku ingat, Larry memegangiku dan Leo berlari mendekat. "Ada apa,
Dominick" Apa yang bisa kulakukan?"
"Keluarkan dia dari sini," kataku mendorongkan salah satu jariku ke wajah
Thomas, lalu berjalan marah ke toilet pria. Saat aku keluar lagi, serak, mataku
merah, dan kakiku sakit karena menendang tembok berkali-kali, Leo menungguku di
luar dan setiap orang berhati-hati berusaha untuk tidak memandangku langsung. Ma
mendekatiku dan menggenggam tanganku. Thomas sudah dibawa pergi Ray.
Selama sebulan lebih, Dessa tak ingin bertemu dengan siapa pun, kecuali ibu dan
adiknya dia harus dibujuk untuk mau bangun dari ranjang dan berganti pakaian.
Jadi, aku turun tangan. Menjawab telepon dan membuka pintu, berbelanja,
menangani tagihan asuransi dan rumah sakit. Ibu mertuaku dan Angie menjaga Dessa
pada siang hari saat aku mengajar. Kadang Big Gene juga datang, pada malam hari.
Dia dan aku duduk di dapur bersama, mengobrol tentang beberapa bangunan baru
yang sedang didirikan di kota atau bagaimana impor menghancurkan penjualan mobil
di Amerika, atau topik ainnya, selama topiknya bukan kematian bayi kami. Saat
kami kehabisan bahan pembicaraan, kami akan duduk menonton TV Jeopardy! atau
Gaya Hidup Orang Kaya dan Terkena atau pertandingan bisbol. Tiba-tiba, aku
menyadari kebodohan olahraga: mengapa orang suka melihat sekelompok pria bodoh
berlarian mengejar bola. Tapi kami menontonnya, Gene dan aku, bersyukur karena
tak satu pun dari kami berdua tahu bagaimana harus menghadapi semua ini, dan
kurasa kami berdua juga takut oleh kesunyian yang muncul saat TV dimatikan. Satu-satunya saat Gene
mengatakan secara langsung tentang kematian Angela adalah pada hari saat hal itu
terjadi. Kami "berdua" akan mengatasi kehilangan ini, katanya meyakinkanku,
begitu kami mempunyai anak lagi. Dia dan Thula pernah kehilangan seorang anak di
antara Dessa dan Angie, katanya; Thula keguguran saat hamil dua bulan. Seakanakan itu sama dengan sudah mempunyainya-sudah melihat, menggendong, dan
mengganti popoknya, iaiu kehilangan dia. Banyak orang yang mengatakan itu: bahwa
hamil lagi merupakan jawaban dari kedukaan kami. Orang berasumsi bahwa rasa,
suara, dan bau Angela bisa dilupakan. Bisa digantikan. Seakan-akan yang perlu
Dessa dan aku lakukan adalah menghapus kenangan tentang putri kami seperti
menghapus rekaman video. Dessa mengambil cuti tak terbatas dari Kids, Unlimited! Dia mundur dari dewan
direksi di Pusat Advokasi Anak tempatnya bekerja secara sukarela. "Aku tak bisa
menghadapi anak-anak sekarang," katanya padaku.
Dia mulai sering berjalan-jalan dengan anjing kami. Si tua Sadie. Goofus. Mereka
biasanya pergi berjam-jam sepanjang siang kadang lalu Dessa akan kembali dengan
serpihan daun gugur di rambutnya, duri dan rumput di tali sepatunya. Dia sering
pulang menjelang petang. Dia tak pernah mau ditemani, kecuali oleh Sadie. Tak
pernah menginginkanku. Tak pernah bilang ke mana dia pergi. Aku pernah
mengikuti mereka sekali-membuntuti mereka hingga ke sungai, melewati pemakaman
Indian, dan naik ke The Falls. Dessa duduk di ngarai pinggir air terjun itu
selama hampir satu jam, melihat air mengalir deras dan menderam ke bawah. Aku
khawatir: di sana benar-benar terpencil. Terisolasi. Aku lalu membelikan dia
sekaleng semprotan merica kalau-kalau ada orang jahat yang menganggunya. Sadie
memang terlihat seram, tapi sebenarnya tidak demikian. Kalau terjadi apa-apa,
aku tak ingin melihat anjing itu lari ketakutan dan meninggalkan Dessa tanpa
pertahanan. Tapi Dessa tak tertarik melindungi dirinya. Dia lebih sering lupa
membawa kaleng semprotan merica itu. Dia pergi sepanjang siang dan meninggalkan
kaleng kecil itu di rak di atas mesin cuci dan pengering, tempat Dessa
menyimpannya. Kami bertahan demikian selama setahun lebih, Dessa dan aku. Kami tak pernah
benar-benar bertengkar. Karena bertengkar terlalu banyak memakan energi.
Bertengkar akan membuka kebenaran yang menyakitkan bahwa Tuhan sangat kejam
sehingga membuat kami menghadapi ini (teori Dessa) atau sebenarnya Tuhan itu tak
ada (teoriku). Hidup tak harus masuk akal, demikian kesimpulanku: itulah lelucon
besarnya. Ngerti nggak" Kau bisa saja punya kakak kembar yang menancapkan hanger
di kepalanya untuk mengacak sinyal musuh dari Kuba, ayah kandung yang selama
tiga puluh lima tahun tak pernah memperlihatkan wajahnya, dan bayi yang mati ...
dan tak satu pun dari semua itu berarti apa pun. Hidup adalah kursi yang ditarik dari bawah
pantatmu begitu kau mau duduk. Bagaimana bunyi lagu militer tua itu ya" Kita di
sini karena kita di sini karena kita di sini karena kita di sini....
Kadang saat makan malam atau ketika mau tidur, Dessa akan mencoba membicarakan
perasaannya. Berbicara tentang Angela. Tidak langsung sih. Beberapa lama
kemudian. Tiga atau empat bulan kemudian. "Uh huh," jawabku. "Uh huh." Dia juga
ingin aku membuka perasaanku. "Apa gunanya?" kataku padanya suatu kali. "Kita
akan bicara dan menangis dan bicara lagi dan dia tetap saja mati." Aku berdiri
dan keluar kamar keluar dari sana sebelum kepalaku meledak.
Pada malam-malam terburuk, aku biasanya pergi ke garasi dan menghantam barangbarang. Membanting barang-barang. Atau mengambil kunci mobil. Dan pergi ke jalan
raya dan memacu Celica 77 kami hingga delapan puluh atau sembilan puluh mil per
jam, seakan-akan menekan pedal gas sedalam-dalamnya bisa menghapuskan rasa sakit
dalam hidup kami. Kadang, aku pergi ke pinggir sungai. Pergi ke sana dan
memarkir mobilku di pinggir jalan, berjalan melintasi rumah sakit jiwa dan
pemakaman Indian. Suatu kali, aku bahkan memanjat lereng The Falls seperti yang
biasa kulakukan dengan teman-temanku dulu saat remaja saat pesta adalah sobatmu?bersama dua batang rokok ganja dan sebotol anggur apel Boone's Farm. Sekarang,
aku memanjatnya lagi karena kupikir dari ketinggian itu dengan melihat semua yang di bawah semua
omong kosong tentang kehendak Tuhan dan kasih Tuhan akan lebih masuk akal. Tapi,
itu tak pernah terjadi. Bagaimana kau memahami sebuah peti mati sepanjang tiga
kaki" Yang keluar dari ranjang bayi di kamar dengan kertas dinding bermotif
bulan dan bintang, setumpuk boneka binatang duduk dan menunggu seseorang yang
tak akan memainkannya"
Kadang, aku terbangun pada tengah malam dan mendengar Dessa di kamar bayi
tersedu. Suatu malam, aku mendengarnya bicara pada Angela menggumamkan ocehan
pada bayi yang terdengar hingga ke lorong. Aku duduk dan mendengarkan, berkata
pada diri sendiri bahwa hanya seseorang yang tak berguna yang tak mau turun dari
ranjang, pergi ke sana dan memeluknya, menenangkannya. Tetapi, aku tak bisa
melakukannya. Tak bisa memaksa kakiku turun ke lantai, tak peduli meski aku tahu
apa yang sepantasnya kulakukan. Jadi, aku duduk saja di ranjang dan
mendengarkannya, seakan-akan suara Dessa adalah suara hantu atau semacamnya:
hantu yang pernah kami punya dan kemudian kami kehilangan dia, hantu dalam
kehidupan kami yang telah kami rencanakan. Sejak itu, aku bertanya-tanya berjuta
kali apakah kami bisa menyelamatkan perkawinan kami kalau saja malam itu aku
turun dari ranjang dan pergi menghibur Dessa.
Setelah beberapa lama, Dessa mulai pergi ke kelompok pendukung orangtua yang
kehilangan anak karena SIDS (Sudden Infant Death Syndrome) di New Haven. Dia juga
mendesakku untuk pergi bersamanya. Aku pergi dua kali dan tak mau kembali lagi.
Tak bisa. Karena sejujurnya kelompok itu membuatku marah-semua orang yang sok
berperasaan berusaha membuka kepedihannya. Menelannya. Para pria terutama yang
terburuk bayi besar yang lebih cengeng dibandingkan dengan pacar dan istri-istri
mereka. Contohnya ada satu orang bernama Wade, yang terus-menerus mengoceh
tentang kesedihannya sehingga membuatku ingin mematahkan rahangnya agar dia
diam. Di pertemuan kedua dan terakhir yang aku datangi, ada pasangan yang
membawa kue dan es krim. Minggu itu adalah perayaan ulang tahun pertama kematian
putra mereka Kyle dan sang ibu, Doreen, ingin memperingatinya. Merayakannya.
Jadi, kami semua bernyanyi "Happy Birthday, Dear Kyui" dan mengatakan es krim
rasa apa yang kami senangi dan memakannya .... Klub Bayi-Bayi Mati. Pesta
kesedihan mingguan. Kalau itu bisa membantu Dessa, tak masalah. Itu memang
membantunya. Tapi semua itu terasa aneh bagiku. Menakutkan. Makan kue ulang
tahun untuk bayi yang sudah mati. Aku makan segigit dan tak bisa menelan lagi.
Dessa selalu seorang perencana yang baik. Dia sudah merencanakan apa yang akan
dilakukannya pada ulang tahun pertama Angela dan mulai mengatur rencana. Saat
itu, dia sudah mengundurkan diri dari pusat penitipan anak tempatnya bekerja.
Dia menelepon agen perjalanan
orangtuanya dan pergi sendiri ke Yunani dan Sisilia. Dia sebenarnya ingin kami
berdua pergi ingin kami berdua menggunakan uang asuransi Angela untuk melakukan
perjalanan itu. (Big Gene mendaftarkan asuransi pada hari kelahiran Angela: dia
juga melakukan hal yang sama untuk anak-anak Angie dan Leo). Kurasa aku bisa
saja izin dari kerja, tapi aku bilang tidak. Tidak bisa saat itu. Tidak sebelum
akhir tahun ajaran. Dan ketika Dessa mendesakku-memintaku melakukannya demi dia
aku marah. Kukatakan padanya bahwa dia gila pergi berjalan-jalan dengan uang
asuransi kematian anak kami. Tetapi kebenaran yang tak terucap, hal yang tak
bisa kukatakan adalah aku takut berada di dalam kabin kapal bersamanya. Di
kapal, kau tak bisa begitu saja mengambil kunci mobil dan pergi. Di kapal, kau
bisa membuat bayi lagi. Setahun sejak kematian Angela, kami bercinta mungkin
hanya selusin kali, dengan dia menahan napas dan aku keluar sebelum selesai.
Pikiran tentang perjalanan itu menakutkanku. "Pergi saja sendiri," kataku
padanya. Jadi, dia menerima tantanganku dan pergi.
Beginilah caraku merayakan ulang tahun pertama Angela: aku menjalani vasektomi.
Mencari dokter urologis di buku telepon, lalu menelepon yang pertama kutemui dan
mengatakan tak ada istri yang bisa dimintai persetujuannya bahwa aku melakukan
ini sebagai seorang pria lajang yang tak mau punya anak karena khawatir dengan
gejala over populasi di bumi. Itu yang kukatakan pada kunjungan awal. Daftar
aturan yang diberikan perawat padaku mengatakan bahwa kau dilarang mengemudikan mobil sendiri saat
pulang ke rumah setelah pembedahan. Tapi itulah yang kulakukan. Menyetir sendiri
ke New London Jumat siang, menjalani vasektomi, dan pulang lagi. Pergi tidur
dengan buku dan sekantong es di atas skrotumku. Yang kubaca adalah Zen dan Seni
Pemeliharaan Sepeda Motor. Aku memang selalu ingin menyelesaikan buku itu.
Suntikan novocain mulai habis pengaruhnya dalam dua jam dan aku bersyukur akan
rasa sakit fisik yang kurasakan, yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan
setahun dalam keputusasaan. Aku akhirnya memegang kartu truf, kau tahu" Menjadi
ayah telah membuatku tertipu dan kini aku menipunya kembali. Tak akan lagi,
kataku pada diri sendiri. Itu seperti Zen: sterilitas dan aku adalah salah
satunya. Aku tak mengatakan pada siapa pun tentang vasektomi itu. Juga tidak pada Dessa,
setiap kali dia menelepon saat kapalnya berhenti di pelabuhan atau semacamnya.
Tidak juga pada teman-temanku di sekolah Sully, Jay, atau Frank, yang
menceritakan secara detail padaku saat dia menjalani vasektomi tahun kemarin.
Tidak juga Leo. Selama setahun itu, aku jarang sekali berkumpul bersama Angie
dan Leo. Tak tahan memandang anak-anak mereka, para keponakan yang keberadaannya
terlalu nyata bau rambut mereka, suara mereka atau bagaimana rumah Leo dan Angie
berserakan mainan Fisher Price dan Cherioo di lantai dapur. Tak tahan dengan
ajakan Angie, "Dominick,
bisakah aku bicara sebentar denganmu?" dan mendengarkan pidatonya yang
mengajakku untuk mengakui kesedihan yang kurasakan. Saat dia berusaha berperan
sebagai psikologku. Seakan-akan dia tahu semuanya. Seakan-akan dia tak punya
suami yang selingkuh dengan banyak wanita, praktis sejak sebulan mereka menikah.
Dessa pulang dari Mediterania, terlihat cokelat dan rileks. Seksi. Pada malam
kedua kepulangannya, kami berdua duduk di dapur, berbagi sebotol anggur dan
melihat foto-foto perjalanannya ketika aku mengin-terupsi ceritanya tentang
seseorang yang tertukar paspornya. Aku meletakkan tanganku di atas tangannya,
jari-jariku di antara jari-jarinya. Mencondongkan tubuh dan menciumnya.
Mendorong poninya ke atas. Menciumnya lagi. Aku memeluknya untuk pertama kalinya
setelah lama, lama sekali. "Hai," kataku, bibirku mengelus telinganya.
"Hai." Kami pergi ke atas, agak mabuk dan gugup. Dia berhenti di depan kamar bayi. "Di
sini," katanya. Kami berbaring di kegelapan, pinggul saling menempel, punggung
kami di atas karpet beige di kamar kosong itu. Gorden di jendela terangkat.
Cahaya bulan dari luar memberikan penerangan samar-samar. Dessa mengulurkan
tangan dan mulai menyentuhku dan berbicara tentang Angela mengatakan kalau
kadang sekarang dia bisa mengingat hal-hal kecil tentang bayi kami tanpa merasa
seperti ditentang di perut. Dia bilang masih
bisa mencium bau Angela kadang-kadang-mencium kenangan bedak bayinya dan napas
bayinya dengan jelas seakan-akan Angela masih hidup. Masih merasakan hangat
tubuhnya-otot-ototnya yang mengendur ketika dia tertidur. Apakah aku pernah
mengalami hal seperti itu. Aku bilang tidak.
Dessa bilang dia bersyukur telah mengalaminya. Kenangan-kenangan itu
menenangkannya. Dia bilang, kenangan-kenangan itu adalah anugerah Tuhan: Tuhan
telah mengambil Angela dari kami dan kini dalam hal-hal kecil, Dia
mengembalikannya pada kami. Katanya, kematian Angela sudah mulai bisa dia terima
sekarang. Sesuatu yang bisa dijalaninya. Kami telah membuatnya; dan putri kami
pernah ada. Angela lebih daripada sekadar kematiannya.
Kami menyumbangkan semua barang-barang bayi ke Goodwill boneka-boneka
binatangnya, buku, mainan, dan semua hadiah-hadiah dari orang lain. Selama
setahun ini, aku sudah bermaksud untuk melepaskan kertas dinding bercorak bulan


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan bintang itu merobek dan melepaskan kertas biru dan perak itu dan
mengembalikan kamar Angela kembali menjadi kamar kerjaku. Tapi malam itu, aku
bersyukur belum melepaskan kertas dindingnya bersyukur kami bercinta di bawah
bintang palsu berlatar belakang kertas biru langit. Aku memasang kertas dinding
itu ketika Dessa hamil delapan bulan saat Angela masih hidup dan menendangnendang perutnya. Selama beberapa detik, kami menunggu, diam.
"Kita merayakan," katanya. "Merayakan kembaliku, kembalinya hidup. Aku
mencintaimu, Dominick." Aku tak tahan. Tak bisa menunggunya.
Awalnya, Dessa hanya tersenyum. Berhenti. Lalu mulutnya berkerut dan dia mulai
menangis. Awalnya bahunya bergetar dan lalu dia meraung pilu. Tangisan yang
menggetarkan seluruh tubuhnya. Dia berbaring di atasku, dagunya di bahuku, dan
memelukku sehingga tubuhku ikut bergetar.
"Tidak apa-apa," bisikku ke telinganya. "Sudah lama aku tak berlatih, itu saja.
Kehilangan irama untuk sementara."
"Aku sangat takut," katanya. Kupikir dia takut hamil lagi, maka aku memilih
momen keintiman yang gagal itu untuk mengatakan padanya apa yang telah aku
lakukan. Mengatakan padanya tentang vasektomi. Dessa berhenti menangis dan
selama semenit atau lebih, suasana menjadi hening. Lalu dia mulai memukuliku
meninju bahu dan wajahku. Satu tinjunya bahkan mengenai tenggorokanku membuatku
terengah dan tersedak. Kurasa itu adalah serangan kegilaan sementara. Dessa
bukan jenis orang yang agresif, dia jenis orang yang terbuka sehingga bisa
membicarakan perasaannya. Tapi malam itu, dia menyerangku dan membuat hidungku
berdarah. Dia ingin anak lagi, katanya. Itulah mengapa dia pergi jauh-jauh ke
Italia dan Yunani, untuk memutuskan. Itulah yang ingin dia katakan padaku saat
dia kembali. Setelah malam itu, selama dua minggu kami saling diam dan hanya berbicara
sepatah dua patah kata Dessa menyibukkan diri dengan menata lemari dan memasak makanan yang
kemudian tak dimakannya. Suatu hari, dia menyewa pembersih karpet dan mencuci
semua karpet yang ada di rumah. Hari lain, aku pulang dan menemukannya
melepaskan kertas dinding di kamar Angela. Dia sering menelepon adiknya dan
adiknya juga sering meneleponnya, begitu juga dengan temannya Eileen dari grup
pendukung orangtua yang kehilangan anak akibat SIDS. Lalu suatu Sabtu pagi di
bulan Juli, Dessa bilang ingin meninggalkanku.
Aku mengingatkannya lagi tentang apa yang telah kuulangi berkali-kali selama
seminggu terakhir: bahwa vasektomi bisa dibalikkan lagi prosedurnya. Kalau dia
ingin, kami bisa mencobanya.
"Vasektomi cuma gejalanya, bukan masalah sebenarnya," kata Dessa. "Masalahnya
adalah kemarahanmu. Apa yang kau lakukan hanyalah salah satu ekspresi kemarahan
yang kau rasakan karena kejadian ini kau menyalahkan semuanya padaku."
Aku bertanya bagaimana dia bisa tahu apa yang aku rasakan di dalam, dan Dessa
bilang dia bisa merasakannya. Bahwa kemarahan itu merembes keluar dariku seperti
radiasi. Dan itu meracuninya.
Pagi itu adalah pagi penuh metafora. Dessa bilang masih mencintaiku, tapi
perkawinan kami telah menjadi seperti permainan, Satu, Dua, Tiga, Lampu Merah.
Setiap kali dia membuat setengah langkah kemajuan, kemarahanku akan menahannya
dan mengembalikannya ke garis start. "Saat aku
pergi, aku bisa merasakan diriku menjadi kuat, hari demi hari," katanya. "Benar,
Dominick. Aku berpikir bahwa akhirnya aku kuat menjalaninya. Bahwa yang terburuk
sudah lewat. Lalu aku turun dari pesawat dan melihatmu di ruang tunggu airport
dan aku kembali ke awal lagi. Aku sesak napas di sekitarmu. Seakan-akan kau
membuatku kehabisan oksigen. Jadi, aku harus pergi karena aku harus melindungi
diriku sendiri. Aku harus bernapas."
Aku bilang padanya aku bisa lebih baik. Berjanji akan kembali ke grup SIDS kalau
itu yang dia inginkan. Aku memohon kepadanya. Mengikutinya ke depan hingga ke
mobil, memohon. Membuat janji-janji. Tetapi semua barangnya sudah di sana,
menunggu di kursi belakang dan bagasi Celica yang terbuka. Semua tas cokelat
yang dia beli untuk perjalanan ke Yunani. "Ayo, Sadie," katanya, dan anjing
bodohnya itu naik ke kursi depan, Dessa masuk dan mereka pergi.
Mereka pergi begitu saja.
Sepanjang sisa musim panas itu aku membaca. Styron. Michener. Will dan Ariel
Durant. Aku memilih buku-buku yang tebal. Aku tak mengangkat mataku. Tak
menjawab telepon. Sehari setelah Hari Pekerja, aku kembali ke kelasku. Membuat
daftar absensi dan diagram tempat duduk, dan memberi pidato yang biasa kuberikan
pada anak-anak pada tahun ajaran baru tentang harapan akan prestasi mereka dan
sikap saling menghormati. Hanya kali ini, aku tidak serius. Seakan-akan aku
menyetel kaset rekaman. Aku membagikan buku. Mulai
menyesuaikan wajah-wajah baru dengan namanya. Kupikir aku baik-baik saja. Lalu
suatu hari pada akhir September, aku menangis di sekolah. Lepas kendali begitu
saja tepat di depan murid-muridku, pada jam pelajaran keempat. Tepat di tengahtengah aku menjelaskan bagaimana menuliskan tanda baca untuk daftar pustaka
dalam makalah pertama mereka: apakah mereka harus menuliskan titik atau koma
setelah nama pengarang hanya itu saja. Aku berdiri di depan papan tulis dan
tiba-tiba semuanya menghantamku: anakku sudah mati dan kakak kembarku di rumah
sakit jiwa, dan istriku meninggalkanku karena dia harus bernapas. Aku seharusnya
meninggalkan kelas aku tahu aku seharusnya melakukan itu tapi aku tak bisa. Aku
duduk di mejaku dan terpaku. Mulai tersedu. Dan murid-muridku terpaku diam,
membeku, menghadapku. Tak seorang pun tahu harus melakukan apa. Demikian juga
wakil kepala sekolah yang datang setelah salah seorang anak mencarinya. Si
Aronson sialan. Untuk alasan-alasan yang kuketahui hingga sekarang, dia
menelepon polisi dan mereka datang, membawaku pergi menggiringku melewati kelas
olahraga yang sedang main sepak bola dan kelas seni Jane Moss yang sedang di
luar membuat sketsa pohon, ke mobil polisi tak bertanda. "Dominick?" aku ingat
Jane Moss memanggilku, menyentuh lenganku. Aku ingat sensasi aneh mengalami
semua itu dan secara bersamaan merasa bahwa semua itu tidak terjadi pada diriku.
Seperti aku melihat melalui teropong
dari arah yang salah. Psikiater yang memeriksaku mengatakan aku terkena serangan kecemasan.
Situasional, katanya. Bisa dipahami mengingat situasinya dan seratus persen bisa
disembuhkan. Aku tahu, dia mengatakan itu untuk menghiburku saja karena aku
mengatakan padanya tentang Thomas aku bilang padanya aku takut kalau kegilaan
kakakku juga mulai menulari padaku. Lucu: aku masih bisa mengingat jelas wajah
psikiater itu rambut merahnya yang kusut tapi aku lupa namanya. Pada pertemuan
kedua, dia bilang bahwa dalam minggu-minggu mendatang, kami akan membicarakan
perasaan marah dan duka, serta pengkhianatan yang kurasakan akibat kematian
anakku. Kemudian, sebulan dua bulan lagi, kami akan mulai dengan pekerjaan sulit
menganalisis bagaimana rasanya tumbuh menjadi kembaran Thomas. Sebagai putra
ibuku dan Ray. "Anak tirinya," koreksiku.
"Anak tirinya," ulang si psikiater. Membuat catatan.
Aku tak pernah kembali lagi.
Aku juga tak kembali mengajar lagi. Aku tak bisa. Bagaimana mungkin kau bisa
menangis di depan sekelompok remaja suatu minggu dan minggu berikutnya kau
kembali dan bilang, "Oke, sampai di mana kita" Buka halaman tujuh puluh enam!"
Aku mengeposkan surat pengunduran diriku ke pengawas sekolah dan melewatkan
waktu dan insomnia dengan membaca. Solzhenitsyn,
Steinbeck, Garcia Marquez. Sepanjang musim gugur dan musim dingin, aku makan
dengan memanaskan sup dan pasta yang dikirim Ma (sekarang lebih mudah karena
piring cuma dikirimkan dari satu rumah), membalik-balik halaman buku dan menolak
permintaan Leo untuk keluar minum bir bersama, pergi ke Garden melihat
pertandingan Celtics, pergi mendaki Sugarloaf dan main ski. "Dessa punya pacar
bukan?" tanyaku pada Leo suatu sore saat dia mampir.
"Bagaimana aku tahu?" Leo mengangkat bahu. "Kau pikir dia lapor padaku semua
yang dia lakukan?" "Tidak, tapi dia bicara pada adiknya," kataku. "Siapa dia" Pria berkepang" Aku
melihat mereka di kota."
"Cuma seorang artis tak terkenal," kata Leo. "Membuat tembikar atau semacamnya.
Tak akan lama. Dia bukan tipe Dessa. Kau-\ah tipenya."
Tapi mereka bertahan. Aku sering melihat mereka berdua. Melihat van pria itu
diparkir di depan rumah pertanian yang disewa Dessa. Melihat kotak surat jazzy
dan psikedeiik yang dicatnya dengan kedua nama mereka. Jadi, sedikit demi
sedikit, otakku yang bebal mulai sadar kalau aku telah kehilangan Dessa untuk
selamanya. Kehilangan anak dan istri, dan juga anjing jelek itu. Dan suatu
malam, sekitar pukul 03.00, aku akhirnya melihat diriku di cermin kotak obat dan
mengakui pada wajahku yang bengkak kurang tidur, bahwa aku sudah kehilangan
Dessa. Ketika musim semi datang, aku membeli sebuah
kompresor dan perancah di lelang peralatan rumah. Menulis tanda di truk pikapku
dan mengubah diriku menjadi tukang cat. Premier Painting. Perkiraan gratis dan
garansi dijamin. "Kepuasan pelanggan adalah prioritas utama kami." Kami: seolah
aku bukan si tukang cat sekaligus akuntannya dan pegawainya sekalian. Aku
bertemu dengan Joy, setahun kemudian, sekitar sebulan setelah surat ceraiku
sampai lewat pos. Kami lumayan cocok. Tak sempurna, tapi baik-baik saja.
Ketika wajah Dr. Patel muncul di jendela trukku, aku terlompat kaget. "Oh, ya
ampun, aku minta maaf telah mengejutkanmu," katanya. "Kau sedang berkonsentrasi
penuh pada pikiranmu. Maafkan aku."
"Tidak apa-apa," kataku, menggeleng, berusaha menenangkan diri. "Aku cuma duduk
saja di sini, pasif seperti sayuran."
'"Kalau begitu, ayo naik, naiklah, Tuan Sayuran," katanya, senyum hangat membuat
ejekannya itu terasa ringan.
Di tangga sempit menuju kantornya, kami berpapasan dengan sejumlah gadis-gadis
kecil yang berlari keluar dari kelas Miss Patti ke mesin soda di bawah tangga.
Salah satu dari mereka, gadis kecil berambut hitam dengan celana ketat kuning
yang tadi kuanggap sebagai anakku, Angela-tidak sengaja menabrak lenganku. Dari
dekat, aku bisa melihat pola di celananya: kera dan kelinci.
"Ups! Permisi," katanya tersenyum memperlihatkan gigi depannya yang ompong. Dia
dan teman-temannya menuruni tangga berlarian, terkikik-kikik gembira.
Lima Belas "Tolong pegangkan ini/1 kata Dr. Patel,
mengulurkan tas dan tape recorder kecil padaku. Dia memasukkan kunci, memutarnya
dan membuka pintu. "Masuklah, masuk," katanya, mengambil kembali barangnya
dariku. Kantornya berupa satu ruang dengan sedikit perabot: meja kecil, dua kursi malas
yang saling berhadapan, meja kotak, dan tisu Kleenex untuk pasien yang cengeng.
Dindingnya bercat putih dan kosong. Satu-satunya dekorasi ada di lantai dekat
jendela: patung semen setinggi dua kaki patung salah satu dewi India dengan
tangan melambai dan senyum lebar.
"Silakan duduk, Mr. Birdsey," kata Dr. Patel, melepaskan mantelnya.
"Kursi yang mana?" tanyaku.
"Kursi mana saja yang Anda suka."
Hari ini, sari yang dikenakannya berwarna emas, hijau, dan biru. Biru merak. Aku
selalu suka warna itu. "Saya akan membuat seteko teh sebelum kita mulai," katanya. "Anda mau
bergabung?" Jawaban "ya" yang tak terduga keluar dari mulutku, membuatku
terkejut sendiri. Dari sebuah lemari, Dr. Patel mengeluarkan sebuah hot plate, seteko air, dan
sekotak kecil peralatan membuat teh. Aku berjalan mendekat dan mengamati lebih
dekat patung dewi itu. Dewi itu mengenakan hiasan kepala tengkorak, kobra, dan
bulan sabit. Mungkin inilah yang dimaksud dengan ketenangan pikiran: mempunyai
ular beracun yang melingkar di kepalamu dan kau tetap tersenyum.
"Kulihat Anda tertarik dengan Shiva Penari saya," kata Dr. Patel. "Dia dewa yang
manis, bukan?" "Dewa?" kataku. "Kupikir tadi ia perempuan."
Dr. Patel tertawa. "Yah, 'laki-laki' atau 'perempuan' tidak menjadi masalah
besar bagi dewa-dewi seperti kita manusia," katanya. "Kalau kita kaku dan tidak
fleksibel, mereka luwes dan bisa berubah-ubah. Mungkin, bagi Anda, Shiva adalah
seorang wanita. Coba lihat saya punya teh chamolile, peppermint, dan wildberry
spice." "Terserah," kataku.
"Ah, 'terserah'. Kata-kata favorit pria Amerika yang ambivalen. Sepanjang hari,
'terserah, terserah'. Sangat pasif-agresif, iya tidak?"
Kukatakan padaku aku memilih yang wildberry spice. Dia mengangguk, tersenyum
senang padaku. "Apa Anda tahu banyak tentang agama Hindu, Mr. Birdsey?"
tanyanya. "Shiva adalah dewa ketiga dari dewa tertinggi. Trinitas Hindu. Brahma
Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara, dan Shiva Sang Perusak."
"Sang Perusak?" kataku. "Kalau difilmkan, Arnold Schwarzenegger cocok sekali
menjadi pemeran utamanya." Begitu aku membuat lelucon itu, langsung aku sadar kalau aku mungkin
telah menyinggung agama atau semacamnya. Aku biasa melakukan itu: membuat
lelucon saat aku gugup. Saat menghadapi situasi baru. Tapi, tawa pelan Dr. Patel
memotong ucapan maaf yang sudah di ujung lidahku.
"Tidak, tidak, tidak," katanya, menggoyangkan telunjuknya padaku seperti pada
anak kecil. "Shiva mewakili daya rusak yang reproduktif. Kekuatan untuk
memperbarui. Karena itulah mengapa dia ada di ruang ini, di mana kita
meruntuhkan dan membangun kembali."
Dia duduk di kursi di depanku, buku catatan dan tape recorder di pangkuannya.
Dari dinding terdengar sayup-sayup suara piano, perintah guru tari untuk naik
dan mengangkat tangan, naik dan angkat. "Dan tentu saja, Shiva juga dewa penari,
jadi saya tahu dia senang dengan tetangga sebelah. Penari-penari tap dan
balerina kecil." Aku mengangguk ke arah tape recorder. "Itu untuk apa?" tanyaku. "Apa percakapan
kita akan direkam?" Dia menggeleng. "Saya ingin memperdengarkan sesuatu untuk Anda, Mr. Birdsey.
Nanti. Mari kita bicara dulu."
"Baiklah," kataku. "Ngomong-ngomong apa yang terjadi dengannya. Pesanmu bilang
tentang sebuah 'insiden'."
Dr. Patel mengangguk. "Saya rasa, saya sudah bilang lewat telepon tentang
kekhawatiran kakak Anda pada kamera pengawas, bukan?"
"Dia takut diamati," kataku. "Hal itu selalu jadi masalah baginya."
Dr. Patel mengeluh. "Itu memang terjadi pada sebagian besar penderita paranoid
skizofrenik, tentu. Tapi di Hatch, kamera pengawas dibutuhkan. Di satu sisi,
aktivitas di fasilitas keamanan maksimum memang harus diawasi bagi kebaikan
semua, pasien dan juga staf. Di sisi lain, banyak pasien yang merasa
terintimidasi dengan kamera-kamera itu. Mereka benci. Dan itu bisa dipahami."
Selama dua atau tiga hari terakhir, kata Dr. Patel, Thomas semakin tegang karena
diawasi. Dia semakin terobsesi dengan kamera pengawas. Dia mulai memelototi dan
bergumam pada kamera, jelas Dr. Patel membisikkan ancaman dan kutukan, berbicara
sendiri. "Saya sudah berusaha untuk membicarakan tingkah lakunya itu dalam sesi
kami, tapi dia tak ingin membicarakan apa-apa yang dia takutkan. Dengan saya,
dia masih kurang komunikatif. Sopan dan politis dalam beberapa sesi, murung dan
tak banyak bicara pada saat lain. Mendapatkan kepercayaan dari seorang yang
menderita paranoid skizofrenik adalah proses yang lama dan lamban, Mr. Birdsey.
Dan melelahkan. Seperti melewati jembatan yang rapuh." "Insidennya?" tanyaku.
"Ah, ya, insidennya. Pagi ini saat sarapan, kakak Anda rupanya mulai berteriakteriak dan melemparkan makanan pada kamera yang terpasang
di dinding ruang makan. Ketika seorang perawat mencoba mencegahnya, dia
membalikkan meja tempatnya duduk dan"
"Thomas membalikkan meja?"
Dr. Patel mengangguk. "Dari yang saya ketahui, makanan beberapa pasien lain
jatuh ke lantai dan terjadi semacam keributan. Penjaga dipanggil dan situasi
segera dipulihkan, tapi kakak Anda terpaksa diikat dan dimasukkan ke kamar
observasi." "Diikat bagaimana?"
"Ikatan empat arah. Lengan dan kakinya."
Di depan mataku terkilas kenangan saat kami kecil: Ray menyeret Thomas ke kursi
"anak nakal" di beranda depan, menarik salah satu pergelangan tangannya, ujung
sepatu Thomas terseret-seret di lantai. Suatu kali aku pernah melihat kaki
Thomas benar-benar terangkat semuanya dari lantai melihat Ray menamparnya
sekali, menarik lengan kakakku yang kurus, Thomas terseret-seret dan menjerit.
"Ikatan itu sudah dilepaskan menjelang siang tadi," kata Dr. Patel. "Secepat
mungkin. Pukul sebelas dia sudah kembali ke kamarnya." Dia tak ingin membuatku
khawatir, katanya; kejadian itu wajar terjadi pada seorang pasien skizofrenik
kadang-kadang lepas kontrol. Dia menceritakan insiden ini padaku karena aku
telah mengatakan pada Lisa Sheffer dan padanya bahwa aku harus selalu diberi
tahu informasi terbaru tentang Thomas.
"Bagaimana dia sekarang?" tanyaku.
Dia cemberut sepanjang pagi, katanya. Menarik diri, bahkan juga dari Lisa. Saat
makan siang,

Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thomas menolak pergi ke ruang makan dan memilih makan buah dan beberapa keping
biskuit. "Tapi saya senang melaporkan padamu bahwa sesi kami siang tadi lumayan
produktif. Siang ini kami berhasil membuat kemajuan. Saya sudah bicara dengan
Dr. Chase, psikiaternya sebelum datang ke sini. Dr. Chase sedang
mempertimbangkan menambah dosis Haldol untuk Thomas sebagai salah satu pilihan
tindakan." "Ya, ampun, mulai lagi," kataku. "Melepaskan ikatan dan kekang dia dengan obat.
Itu omong kosong. Seperti biasanya." Dr. Patel membuka mulutnya, tapi aku
memotongnya lebih dulu. "Maaf, tapi aku tak tertarik mendengarkan omong kosong
untuk membenarkan hal itu, oke" Aku sudah pernah mendengar semuanya sebelum ini.
Rekan-rekan Amerikamu sudah mendahuluimu, Dokter. Mereka sudah melakukan omong
kosong itu selama bertahun-tahun."
Dr. Patel tetap tersenyum, tapi kurasa mulai ada kekesalan di mata hitamnya.
"Rekan-rekan saya melakukan omong-kosong apa?" tanyanya.
"Menambah obatnya saat dia kumat. Dengar, terakhir kali mereka menambah dosisnya
setelah dia kumat, kakakku seperti mayat hidup yang keluar dari film Night of
The Living Dead. Kalau kau menengoknya, dia duduk diam saja, memandang kosong ke
depan, tangan dan kakinya berkedut-kedut seakan-akan seseorang
menyetrumnya." "Begini, Mr. Birdsey, pengobatan neuroleptic
kebanyakan memang efektif mengurangi delusi dan halusinasi," kata Dr. Patel.
"Obat-obatan itu mencegah timbulnya gejala positif yang sering dialami pasien.
Sayangnya, obat-obatan itu sering menambah gejala negatif : efek mata kosong,
kedutan seperti Parkinson yang sering kita lihat di"
"Menghilangkan suaranya dengan mengubahnya menjadi mayat hidup. Yesus Kristus,
aku tahu semua itu! Aku tahu tentang Stefazine dan Prolixin dan semua barang
menyenangkan itu. Kalau kau punya kakak yang sudah dirawat di rumah sakit jiwa
selama dua puluh tahun, kau pasti sudah tahu tentang obat-obatan dukun ini,
kan?" Dr. Patel tak menjawab. Menunggu.
"Dengar, Thomas benci Haldol, oke" Bahkan dosis kecil sekalipun. Obat itu
membuatnya merasa buruk. Aku tak ingin kalian mengubahnya jadi mayat hidup
karena dia sedikit marah dan membalikkan meja. Hanya karena itu lebih mudah bagi
para staf rumah sakit. Menambah dosisnya tak bisa diterima."
"Saya juga tak bisa menerima itu, Mr. Birdsey," kata Dr. Patel. "Tolong ingat
kalau saya masih punya etika profesional. Saya penasihat untuk kakakmu, bukan
musuh. Bukan seorang ilmuwan gila."
Kami duduk diam, saling berhadapan. Matanya, muda dan nakal, terlihat kontras
dengan rambutnya yang mulai memutih. Aku membuka mulut untuk bicara, tapi
kemudian berubah pikiran.
"Saya sudah bilang pada Dr. Chase kalau menurut pendapatku menambah dosis
haloperidol untuk kakak Anda-tfa7cfo/-nya mungkin bukan pilihan yang baik. Dan terlalu dini.
Dan saya juga akan senang menyampaikan pendapat Anda padanya."
Aku tertawa kecut. "Seakan akan pendapatku berguna. Seakan-akan salah satu dewa
psikiater itu akan melakukan sesuatu selain mendengarkanku dengan sopan kemudian
tetap melakukan sesuai keinginannya."
Senyum Dr. Patel tetap terkembang. "Itu tuduhan yang terlalu berlebihan, Mr.
Birdsey," katanya. "Anda sangat marah. Iya, kan?"
"Hei, aku berhak marah. Percayalah padaku. Tapi aku tidak relevan. Yang
kukatakan hanyalah kalau dia"
Masih tersenyum, Dr. Patel mengulurkan tangan dan menggenggam tanganku dengan
tangan kecilnya yang berwarna kecokelatan. Menekannya. Melonggar. Menekan lagi.
Tindakannya ini tak terduga, mengejutkanku. Membuatku langsung terdiam. "Balas
menekan," katanya. Dan aku patuh.
"Terapi obat untuk penderita skizofrenia adalah tindakan keseimbangan," kata Dr.
Patel. "Seperti yang Anda katakan, pertukaran. Tapi kecuali kalau pasien
diperkirakan bisa membahayakan dirinya sendiri atau orang lain, selalu lebih
baik untuk berat sebelah asal tetap waspada. Jadi, Anda dan saya mempunyai
pendapat yang sama. Bukankah itu bagus" Dan di masa tuntutan malapraktik menjadi
trend, kurasa Dr. Chase juga akan setuju dengan kita dan mendengarkan pendapat
keluarga pasien lebih saksama dari yang Anda kira." Dia
memandangku dengan pandangan nakal. "Ah," katanya. "Air untuk teh kita sudah
siap. Bukankah itu menyenangkan"1
Dia berdiri dan mendekat ke hot plate. Ketika menunggu, aku memandang patung
tersenyumnya lagi. Apa tadi namanya" Shiva"
Dr. Patel mengulurkan cangkir kuning kecil padaku, berpola kera yang diukir
tangan. Menuang teh dari teko kera yang sesuai. Baunya lezat. Menghangatkan
tanganku. "Ironis sekali saya tak pernah minum teh saat tumbuh besar di India," kata Dr.
Patel. "Saya mendapat kebiasaan ini setelah berusia dua puluhan. Saat tinggal di
London." Aku tak begitu yakin mengapa, tapi aku mulai menyukai wanita ini. "Apakah Anda
belajar psikologi di sana?" kataku. "Di Inggris?" Ini adalah jenis basa-basi
yang biasanya kubenci. "Oh, tidak, tidak. Saat saya di London, saya mendapatkan gelar sarjana
antropologi. Saya mendapatkan gelar psikologi kemudian dari University of
Chicago. Saya diajar Bettelheim. Anda tahu buku-bukunya" Dr. Bruno Bettelheim?"
Aku mengangkat bahu. "Oh, Anda harus baca! The Uses of Enchantment, The Informed Heart. Karya-karya
yang luar biasa." "Jadi, kalau begitu Anda punya dua gelar?" kataku. "Seorang psikolog sekaligus
antropolog?" Dia mengangguk. "Sebenarnya, ketertarikanku di satu bidang membuatku tertarik di
bidang yang satunya. Keduanya saling terkait, lho. Kisah-kisah masa lampau dan alam bawah
sadar. Apakah Anda pernah baca Jung, Mr. Birdsey?"
"Dulu sekali. Di universitas." "Bagaimana dengan Joseph Campbell" Atau Claude
Levi Strauss" Heinrich Zimmer?"
"Aku tukang cat," kataku.
"Tapi Mr. Birdsey, tentunya Anda membaca yang lain selain petunjuk mengecat,
bukan?" Senyumnya, suaranya yang lunak menghilangkan sarkasme. "Kakak Anda
bilang, Anda seorang yang suka membaca. Bahwa rumah Anda penuh dengan buku. Dia
sangat bersemangat saat bercerita tentang Anda padaku. Dia terlihat sangat
bangga dengan kecerdasan Anda."
"Yang benar," aku tertawa.
"Oh, aku serius, Mr. Birdsey. Anda kira saya bercanda?"
"Kurasa .... Kupikir Thomas tak lagi banyak memikirkan hal lain atau orang lain
selain dirinya." "Tolong jelaskan."
"Karena penyakitnya. Dia tak bisa berpikir di luar dirinya .... Dibandingkan
dengan, kau tahu, dulu." "Bagaimana dia dulu?" "Sebelum sakit?" Dr. Patel
mengangguk. "Yah ... saat kami kecil, dia selalu mengkhawatirkan aku. Aku sering dapat
masalah, tahu" Mengambil kesempatan. Mengambil risiko. Dan dia khawatir tentang
itu. Berusaha mencegahku. Dia selalu khawatir tentang aku."
"Risiko seperti apa yang Anda ambil?"
"Seperti biasa. Memanjat jendela, yang seharusnya tak boleh kami lakukan.
Melompat dari atap garasi. Masuk ke halaman orang lain. Kenakalan anak-anak.
Tapi, Thomas selalu tak mau ikut. Memperingatkan kalau aku pasti akan dapat
masalah atau terluka. Dia seorang yang suka khawatir seperti Ma."
"Ibu Anda?" "Yeah." "Jadi kalau Anda lihat kembali, Anda akan bilang kalau Anda lebih punya jiwa
petualang ketimbang Thomas?"
"Ibuku dulu memanggil Thomas si 'Kelinci Kecil' dan aku si 'Kera Kecil' karena ...
yah, siapa peduli, kan" Aku sudah keluar garis di sini."
"Tidak, tidak. Teruskan. Anda si 'Kera Kecil' karena ...?"
"Karena aku selalu ingin tahu. Aku adalah si Curious George." Dia tersenyum.
Menunggu. "Itu ... tokoh cerita anak-anak. Kera kecil yang selalu dapat
"Ya memang, Mr. Birdsey. Kera kecil yang selalu ingin tahu. Cucu perempuanku
maunya aku membacakan Curious George tiap hari kalau diperbolehkan. Tapi
teruskan. Kau anak yang lebih ingin tahu dan Thomas lebih ...?"
"Lebih lunak, kurasa."
"Maafkan saya. Tapi dengan kata itu apakah maksud Anda dia lebih santai atau
lebih takut untuk mencoba-coba?"
Aku memandangnya, terkesan oleh pengamatannya. "Lebih takut," kataku.
Dr. Patel menulis sesuatu di catatannya. "Si 'Kelinci Kecil'," katanya.
"Kami sudah seperti itu sejak dulu, kurasa. Ma sering bilang begitu. Thomas akan
duduk diam di tempat bermain dan melihatku lari keluar."
"Jelaskan satu hal padaku, Mr. Birdsey. Thomas adalah 'Kelinci Kecil' ibu Anda
karena ...?" "Karena dia ... lemah, kukira. Lebih emosional. Mereka berdua lumayan dekat."
"Ibu Anda dan Thomas?"
"Ya." "Lebih dekat daripada ibu Anda dan Anda?" Aku berpaling. Mengangguk. Memandangi
tanganku yang saling meremas.
"Dan bagaimana dengan ayah Anda?" "Kenapa dengannya?" tukasku. Dr. Patel
menunggu. "Kami tak pernah kenal ayah kami .... Maksudmu Ray" Ayah tiri kami?"
"Ya, ayah tiri Anda. Siapa yang lebih dekat dengannya" Atau kalian ber-dua
dekat?" Aku tertawa pahit. "Kami sama-sama jauh."
"Ya?" "Yah, tidak jauh. Kau tak bisa cukup menjauh dari Ray. Dia selalu ada di depanmu
.... Kau harus waspada, bisa dibilang begitu. Kami sama-sama waspada terhadap
Ray." "Teruskan."
"Dia biasanya ... dia sering mengganggu Thomas.
Maksudku, dia mengganggu kami berdua, tapi Thomas adalah orang yang lebih mende-rita. Thomas atau Ma."
"Dan Anda tidak?"
"Tidak terlalu. Tidak."
"Dan bagaimana rasanya" Menjadi orang yang paling tidak menderita di antara kalian bertiga?"
"Apa" Aku tak tahu .... Enak juga, kurasa. Lega. Tapi, juga nggak enak?"
"Tidak enak bagaimana"'
"Itu membuatku merasa ... membuatku merasa
ii "Ya?" "Bersalah, kukira. Dan, aku tak tahu ... bertanggung jawab."
"Aku tak mengerti. Bertanggung jawab bagaimana ...?"
"Bertanggung jawab membuat mereka aman. Mereka tak mau membela diri sendiri. Tak
satu pun dari mereka. Jadi akulah yang selalu hei, bukan aku pasiennya. Kupikir
kita mau bicara tentang Thomas."
"Memang, Mr. Birdsey. Anda mengatakan bahwa sebelum penyakitnya memburuk, Thomas
selalu khawatir tentang Anda dan sejak penyakitnya muncul"
"Itu seperti ... tidak ada lagi sosok di dalam diri Thomas, kau tahu" Aku kadang
melihatnya dan dia seperti ... rumah yang ditinggalkan. Sudah bertahun-tahun
Thomas kosong seperti itu."
Aku melihat Dr. Patel berpikir. Menunggu. "Baru saja terpikirkan olehku,"
katanya. "Saat kakak Anda
mengekspresikan kebanggaannya atas intelektual Anda, rasa senangnya melihat
begitu banyak buku di rumah Anda," lanjutnya, "dia mungkin merayakan
keberhasilan cermin dirinya bagian dari dirinya yang bebas dari beban penyakit.
Apakah Anda pikir itu masuk akal?"
Aku mengangkat bahu. "Aku tak tahu."
"Dalam satu sisi, sebagai kembaran identik Anda, dia adalah Anda dan Anda adalah
dia. Lebih dekat daripada saudara kandung, kalian adalah cerminan satu sama
lain. Bukankah demikian?"
Ketakutan lamaku: bahwa aku selemah Thomas. Bahwa suatu hari, aku melihat ke
cermin dan melihat seorang yang gila: kakakku, pria menakutkan di bus kota waktu
itu .... Ketika aku memandang Dr. Patel lagi, dia sedang berbicara tentang
antropologi. "Dan, ya ampun, mitos-mitos di dunia dipenuhi dengan kembar," katanya. "Pikirkan
saja, Mr. Birdsey. Castor dan Pollux, Romulus dan Remus. Sebenarnya, itu adalah
aspek yang mengagumkan tentang alam bawah sadar kolektif. Solusi paling tepat
dari kesendirian manusia. Kuyakinkan pada Anda, Mr. Birdsey, apa pun beban yang
Anda sandang sebagai saudara kembar, dunia yang tidak kembar iri pada Anda.
Dualitas Anda dan Thomas adalah sesuatu yang akan kita bahas nanti saat kita
mencoba membantu kakak Anda. Tapi, seperti biasanya, aku terlalu terburu-buru.
Kecepatanku enam puluh lima mil per jam saat seharusnya empat puluh mil per
jam." Tertawa pada lelucon kecilnya sendiri, Dr. Patel memencet tombol rewind tape
recorder, dan kaset pun berputar. "Ini adalah kaset rekaman sesi saya dengan
kakak Anda siang tadi," katanya. "Yang saya bicarakan tadi. Kurasa mungkin akan
ada gunanya kalau Anda mendengarnya dan melihat reaksi Anda. Dan mungkin, kalau
Anda bersedia, Anda bisa membagi beberapa pengamatan Anda padaku?"
Aku mengangguk. "Apakah ini adil?"
"Adil" Maksud Anda?"
"Dalam kaitannya dengan apa namanya" Hak kerahasiaan pasien?"
Kaset berhenti dan tombol rewind kembali ke posisi normal. "Ah, Mr. Birdsey,
Anda mulai lagi, mengkhawatirkan niat etis saya. Dengar." Dr. Patel memencet
tombol piay. Tersenyum pada tape recorder itu.
"Sesi bersama Thomas Birdsey, 14.30, 23 Oktober 1990," terdengar suara Dr.
Patel. "Mr. Birdsey, Anda tahu kaiau saya merekam sesi hari ini, bukan?"
Sebuah gerutuan samar, tapi jelas suara Thomas.
"Maukah Anda bicara" Apakah Anda tahu kaiau ini direkam?"
"Ya, aku tahu. Aku tahu banyak." Thomas terdengar cemberut. Kesal. Tapi, sungguh
melegakan mendengar suaranya.
"Dan aku mendapatkan izin Anda untuk memperdengarkan rekaman ini pada orangorang yang kita bicarakan tadi" Adik Anda, Ms. Sheffer, Dr. Chase?"
Sementara diam. "Tidak Dr. Chase. Aku berubah pikiran tentang dia."
"Mengapa demikian?"
"Karena ter/aiu berisiko. Bagaimana aku tahu dia tidak bekerja untuk Irak" Di
bidang kerjaku, kau tak boieh ambii risiko."
"Kerja Anda, Mr. Birdsey" Apa pekerjaan Anda?"
"No comment." "Aku hanya mencoba memahami, Mr. Birdsey. Apa yang Anda maksud adalah tentang
urusan kopi dan koran atau yang lainnya?"
"Keingintahuan membunuh sang kucing, bukan" Semprotan Raid mematikan serangga.
Jangan masuk ke Roach Motel dulu, Dr. Earwig."
Diam lagi. "Mr. Birdsey ... aku bertanya-tanya apakah aku boleh memanggil Anda,
Thomas?" "Tidak. Tidak boleh."
"Tidak?" "Aku Simon Peter." "Simon Peter" Sang rasul?" "I-eleven. Di bawah G-fourteen.
Bingo, Mrs. Gandhil"
Diam sementara. "Mengapa Anda memanggilku Mrs. Gandhi, Mr. Birdsey?" "Kenapa "
Karena bajumu." "Begitukah" Maksud Anda baju sariku?" Tidak ada jawaban.
"Saat Anda bilang kalau Anda Simon Peter, Mr. Birdsey, apakah yang Anda maksud
adalah Anda berusaha menyamainya atau Anda merasa Anda adalah titisannya?"
"Siapa yang mau tahu dan kenapa?"
"Aku, karena aku berusaha memahami Anda. Membantumu kalau bisa."
Terdengar keluhan dalam dan tak sabar. Kemudian dengan gumaman tak sabar, Thomas
mulai menggumamkan Alkitab. "Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini
Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu
akan Kuberikan Kunci Kerajaan Surga. Apa yang kau ikat di dunia ini akan terikat
di surga." Thomas berhenti, menarik napas. "Apa kau mendengarkanku, Mrs. Gandhi"
Aku adalah penjala jiwa! Sang penjaga kunci! Ini bukan keinginanku; ini
keinginan Tuhan. Apa kau menyukai buah apelnya, Suzie Q?"
"Suzie O" Mengapa aku Suzie O?"
"Bagaimana aku tahu kenapa kau Suzie Q" Tanya saja Suzie Wong. Cek saja dengan
Suzie McNamara. Buang kotoran di topimu sekalian."
Aku mencondongkan tubuh ke depan, memandang pada tape recorder. Saat aku
mengangkat mataku, aku melihat Dr. Patel memandangku. "Umm?" kataku, mengangkat
tangan. Ia menghentikan kaset. "Ada apa, Mr. Birdsey"1
"Mungkin tak ada apa-apa. Hanya saja ... aku bahkan tak tahu apakah ini berguna,
tapi itu ... itu adalah panggilan yang sering digunakan ayah tiriku pada ibuku.
Suzie Q. Untuk beberapa saat tadi, dia terdengar seperti Ray."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Suzie Q nama panggilan ibu Anda" Namanya Susan?"
"Bukan. Namanya Concettina. Connie. Ayah tiriku memanggilnya Suzie Q saat dia
...." "Ya?" Tiba-tiba aku tak tahan. Gemetar. Tertarik kembali pada masa kanak-kanakku di
Hollyhock Avenue. "Saat dia marah pada Ma ... saat dia mencemooh ibuku."
Dr. Patel menulis di catatannya. "Itu sangat membantu, Mr. Birdsey. Terima
kasih. Inilah sebabnya mengapa saya ingin memperdengarkan rekaman ini pada Anda.
Anda bisa memberikan pandangan dan pengamatan yang tidak bisa kudapat dari
membaca catatan medis kakak Anda. Jangan sungkan-sungkan menghentikan rekaman
kalau ada sesuatu yang ingin Anda katakan padaku."
Aku mengangguk. "Dia tidak biasanya seperti itu, kau tahu?" kataku. "Thomas."
"Seperti apa?" "Kurang ajar. Sarkastik. Mengatakan hal-hal seperti buang kotoran seperti itu."
Dia mengangguk. "Tidak apa-apa, Mr. Birdsey. Aku sering mendengar yang lebih
buruk. Setelah mendengar hal-hal yang lain, 'buang kotoran saja di topi'
terdengar seperti pujian untukku." Dia meletakkan tangannya di atas tombol play,
namun urung menekannya. "Ayah tiri Anda?" katanya. "Apa dia sering mencemooh"'
Awalnya aku tidak menjawab. Lalu mengangguk.
"Rileks, Mr. Birdsey."
"Aku sudah rileks." Dr. Patel memandangku tak yakin. "Benar kok."
"Lihat tangan Anda," katanya. "Dengar napas Anda."
Kedua tanganku mengepal. Napasku cepat dan terengah. Aku menggerak-gerakkan
jariku. "Merasa lebih baik?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja. Tapi dia terdengar sangat kering, ya" Kakakku" Di rekaman
itu?" "Kering?" "Maksudku dia lebih buruk. Lebih buruk daripada saat dia di Shanley, setelah ...
aku berharap saat Anda bilang Anda membuat kemajuan hari ini, aku berharap Itu
saja yang bisa kukatakan, lalu aku kehilangan kata-kata. Dadaku sesak. Tiba-tiba
aku menangis tersedu. Dr. Patel mengulurkan kotak tisunya.
Aku tak mau memandangnya. Membersihkan hidungku. "Kupikir ... kupikir saat aku
masuk kesini dan melihat kotak Kleenex ini, aku berpikir ini untuk ibu-ibu rumah
tangga yang histeris atau semacamnya. Wanita yang ditinggalkan suaminya. Aku
merasa seperti orang yang brengsek."
"Duka tak mengenal gender, Mr. Birdsey," katanya.
Aku mengambil tisu lagi. Membersihkan hidungku lagi. "Inikah sebutannya" Duka?"
"Anda pantas berduka, Mr. Birdsey. Kakak kembar Anda, seperti yang Anda bilang
tadi, seperti rumah yang kosong. Kalau tak ada orang di rumah, maka ada yang
hilang. Jadi, Anda patut bersedih."
Aku memasukkan tisu yang sudah kupakai itu ke sakuku. Mengembalikan kotak tisu.
"Yeah, tapi kalau kau pikir sekarang ... kau pikir kau sudah bisa menutup semuanya
dan lalu ...." "Mr. Birdsey, manusia bukan seperti apa ya, wadah plastik itu apa namanya" Yang
biasa dibeli orang Amerika dalam jumlah besar"1
"Jumlah besar" ... Tupperware maksudmu?"
"Ya, ya. Itu dia. Orang tidak seperti Tupperware, dengan tutup yang kuat. Mereka
juga tak harus seperti itu, meskipun setelah bekerja dengan para pria Amerika,
semakin saya melihat bahwa itu adalah sikap ideal mereka. Yang sebenarnya omong
kosong saja. Sangat tidak sehat, Mr. Birdsey. Bukan sesuatu yang patut dikagumi
sama sekali. Jangan pernah." Dia melambaikan telunjuknya padaku seperti
memarahi. Aku memandang pada patungnya yang tersenyum. "Hei, tolong ya," kataku. "Panggil
saja aku Dominick." "Ya, ya. Bagus sekali. Dominick. Kita lanjutkan kalau begitu?"
Aku mengangguk. Jarinya menekan tombol play.
"Mr. Birdsey, ceritakan sedikit tentang diri Anda."
"Mengapa" Jadi, kau bisa menjual rahasiaku ke Irak" Menyerahkan kepalaku di atas
piring ke Cl A?" "Aku tak punya koneksi dengan Cl A ataupun dengan Irak, Mr. Birdsey. Tidak ada
agenda tersembunyi. Agendaku hanyalah membantu Anda
sembuh. Menghilangkan sebagian dari rasa sakit yang Anda rasakan. Sebagian dari
beban Anda." Tidak ada jawaban.
"Kau tahu, kita sudah bicara selama beberapa hari sekarang; tapi aku tak tahu
banyak tentang keluarga Anda. Ceritakan tentang mereka."
Sunyi. "Ibu Anda sudah meninggal, benar bukan?" Tak ada jawaban. "Dan seorang adik?"
"Adik kembar. Kami kembar identik ... dia suka membaca." "Benarkah?"
"Kau harus melihat rumahnya. Penuh buku. Dia sanga t, sanga t pin tar."
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Itulah aku," kataku. "Joe Einstein."
"Dan bagaimana dengan Anda, Mr. Birdsey" Apa Anda juga membaca?"
"Aku membaca Alkitab. Menghafalnya."
"Benarkah" Mengapa?"
"Karena orang Komunis."
"Aku tak mengerti."
"Kalau mereka menang, itu adalah hal pertama yang akan mereka lakukan. Melarang
Firman Suci Tuhan. Jadi, aku menghafalnya. Kalau mereka tahu, aku akan diburu.
Hidupku tak akan berarti. Aku sudah pernah melihat rencana mereka. Mereka tak
tahu, tapi aku sudah pernah melihatnya."
"Jadi, Alkitab adalah satu-satunya buku yang Anda baca" Tidak koran atau
majalah" Atau buku lain?" "Aku baca koran. Aku tak punya waktu untuk buku. Atau kesabaran untuk itu.
Konsentrasiku sudah dicuri dariku, kau tahu" Tidak semuanya. Sebagian."
"Dicuri?" "Saat aku tujuh beias tahun. Dokter gigi keluarga kami diam-diam bekerja untuk
KGB. Dia menanamkan sebuah aiat di diriku yang merusak kemampuanku
berkonsentrasi. Aku pernah kuliah, kau tahu. Apa kau tahu itu?"
"Ya, aku membacanya di catatan Anda."
"Aku tak bisa konsentrasi. Namanya adalah Dr. Downs. Mereka mengeluarkannya pada
masa pemerintahan Carter. Dilakukan dengan diam-diam."
"Yang Anda maksud adalah dokter gigi Anda tadi?"
"Itu hanya samaran. Mereka menghukumnya karena kesaksianku. Mereka ingin
mengeksekusinya, tapi aku bilang jangan. Aku membahasnya dengan Jimmy Carter di
telepon. Dia meneleponku dan berkata, "Apa yang harus kita lakukan?" dan aku
bilang, "Kau tidak boleh membunuh. Titik." Aku tidak munafik. Ngomong-ngomong,
rekaman ini akan kau perdengarkan ke siapa saja?"
"Anda tak ingat" Aku akan memperdengarkannya ke Lisa Sheffer dan adik Anda. Aku
juga ingin memperdengarkan sebagian pada Dr. Chase kalau boleh, meskipun tadi
Anda bilang Anda punya keraguan tentang"
"Kau pikir orang Muslim nggak bisa mengganti nama mereka" Mendapatkan identitas
palsu" Ini akan dimasukkan ke brankas bukan" Rekaman ini?"
"Brankas?" "Brankas! Lemari besi! Kalau kau tidak bisa mengamankan rekaman ini, maka aku
akan berhenti sekarang. Kalau rekaman ini jatuh ke tangan yang salah akan
berakibat buruk. Sangat buruk."
"Santai saja, Mr. Birdsey. Semua catatan medis Anda dijaga, termasuk rekaman
dari diskusi kita. Anda bisa pegang kata-kata saya. Sekarang, mari kita
lanjutkan. Tadi kita berbicara tentang adik Anda. Apa dia adik yang baik?"
Tidak ada jawaban. "Mr. Birdsey" Aku bertanya pada Anda apakah adik Anda adik yang baik." "Dia
rata-rata." Aku menggeleng. Tersenyum geli. "Nah, itu baru pujian yang bagus," kataku.
"Aku pernah pergi ke tempatnya mengajar sekali. Saat dia masih jadi guru. Aku
diundang." Benarkah" "Anda diundang?"
"Aku pergi bersama ibuku. Saat itu, sekolah sedang mengadakan open house. *
"Ya?" "Orang-orang mengira aku Dominick. Salah seorang orang tua murid mendatangiku
dan berterima kasih padaku karena membantu putri mereka."
"Jadi, Anda dan adik Anda susah dibedakan?"
"Sangat, sangat suiit. Terutama sekarang setelah dia pakai iensa kontak. Saat
kami masih kecii, dia harus pakai kacamata dan aku tidak. Saat itu, mudah
membedakan kami. Kami seperti Clark Kent dan Superman."
Yah, benar, pikirku. Thomas si Manusia Baja.
"Aku dulu juga akan jadi guru seperti dia. Itulah yang aku putuskan. Tapi
kemudian situasinya berubah."
"Berubah" Berubah bagaimana?"
"Aku dipanggil. Dipilih oleh Tuhan. Dan lalu tiba-tiba, mereka langsung
mengejarku. Yang sepertinya tidak disadari oleh siapa pun di Amerika-terutama
Yang Mulia George Herbert Walker Bush - adalah kemiripan nama mereka: S-A-D-D-AM. S-A-T-A-N. Ngerti" Ngerti" NGERTI?"
"Jalan pikirannya melompat-lompat ke sana kemari, ya?" kataku.
"Ia baik pada murid-muridnya. Adikku itu. Mereka menyukainya. Mereka kagum pada
kepintarannya. Tapi dia berhenti."
"Mengapa?" "Aku tak tahu. Terjadi sesuatu." "Apa itu?"
"Aku lupa. Aku tak mau membicarakannya." "Dan apa pekerjaannya sekarang " Adikmu
"' "Aku lupa." "Kau lupa?"
"Dia mengecat rumah. Aku bilang padanya, 'Berhati-hatilah dengan cat radioaktif,
Dominick', tapi dia tak mendengarkanku. Memangnya apa yang kutahu, iya nggak" Aku kan cuma
kakaknya yang gila."
"Kau dengar itu, Dominick?" kata Dr. Patel. "Dengan caranya sendiri, dia masih
mengkhawatirkan keselamatanmu."
"Mr. Birdsey, ayo kita ganti topik sebentar. Anda mau, kan?"
"Silakan saja. Apa peduliku?"
"Mari kita bicarakan sedikit tentang apa yang terjadi di ruang makan pagi tadi
saat sarapan. Anda ingat yang terjadi" Masalah di ruang makan?"
"Bukan aku yang mulai. Mereka."
"Siapa?" Suara Thomas melirih-menjadi lebih cepat. "Aku muak, itu saja. Mereka pikir
operasi mereka sudah sangat tersamar, tapi tidak. Mereka terlihat jelas,
menyedihkan. Aku cuma mau memberi tahu mereka, betapa amatir operasi mereka."
"Siapa?" "Bagaimana aku tahu" Mereka berdua sama-sama mengejarku. Mereka berdua sangat
ingin makan daging dan minum darahku." Thomas membuat suara mendeguk seakan-akan
menghirup sesuatu. "Apa Anda takut akan sesuatu, Mr. Birdsey" Apakah karena itu Anda berteriak dan
melempar makanan?" Diam. "Boleh aku pergi sekarang" Aku capek. Saat aku setuju masuk program
perlindungan saksi ini, aku tak mengira aku akan diwawancarai
sepanjang hari oieh bawahan. Tak seorang pun bifang padaku akan ada interogasi.
Aku iebih memilih bicara pada seseorang yang berkuasa. "
"Tolong jawab pertanyaan saya. Apa Anda takut?"
Suara Thomas seakan-akan mau menangis. "Secara pribadi, kupikir mereka adalah Cl
A. Mereka pernah berurusan denganku sebelumnya, kau tahu" Memancarkan inframerah
padaku. Mengisap keluar pikiranku seperti mengisap milk shake dengan sedotan.
Kau pikir itu pemandangan yang indah" Melihat sel kelabu otakmu di tabung
percobaan" Sekarang aku sering lupa, akibat kelakukan mereka. Aku sering LUPA!
Aku ingin mengonsentrasikan usahaku pada krisis Teluk Persia aku ingin melayani
Tuhan dan negaraku memberitahukan pada orang-orang bahwa Tuhan ingin mereka
berpaling dari Mammon dan kembali padaNya. Tapi mereka menggangguku. Mereka tahu
betapa bahayanya aku terhadap mereka. Lihat saja apa yang mereka lakukan pada
salah seorang dari kalian!"
"Salah seorang dari kami?"
"Rushdie! Salman Rushdie,' Baca koran dong, Mrs. Gandhi,' Mereka memaksanya
diam. Tentu saja, itu berbeda. Yang dia lakukan adalah bid'ah. Kapan aku pernah
menghujat Tuhan" Pelanggaran apa yang telah aku lakukan" Bush pernah menjadi
kepala Cl A, tahu" Apa kau tahu itu" Kau kira itu kebetulan" Aku kehilangan 35
persen sel otakku. Mereka mengisapnya dari otakku siang dan malam, dan aku sama
sekali tak bisa mencegahnya!"
Aku memandang ke luar jendela, menangkupkan genggamanku di mulut. Aku ingin Dr.
Patel menghentikan tape-nya, tapi suara Thomas terus terdengar.
"Mr. Birdsey, apa Anda merasa bahwa Cl A dan Presiden Bush berkolusi" Mencoba
mencuri pikiran Anda?"
"Mencoba dan BERHASIL, karena mata listrik mereka. Pengisap otak."
"Mengapa mereka melakukan itu, Mr. Birdsey" Mengapa mereka memilihmu?"
"Karena apa yang kulakukan."
"Apa yang kau lakukan?"
"Ini!" Terdengar suara aneh di kaset, suara pukulan yang bertubi-tubi.
"Mr. Birdsey, tolong hentikan itu. Aku tak ingin Anda melukai diri Anda
sendiri." Aku memandang penuh tanda tanya pada Dr. Patel, lalu aku tersadar bunyi apa yang
kudengar tadi. "Dia memukul-mukulkan pergelangan tangannya yang terpotong pada
sesuatu, ya kan?" Dia mengangguk. "Ke meja tempat kami duduk. Hanya beberapa saat, Dominick. Dia
ingin menekankan maksudnya."
"Yesus," aku menggumam. Mengeluh.
"Aku mengikuti perintah Tuhan! Potonglah tangan yang telah berdosa,' Dan itu
membuat Bush terhina. Karena menghancurkan citra karnaval Desert Shieldnya. Dia
benci fakta bahwa aku telah membuka mata orang-orang."
"Tentang?" "Tentang kebodohan perang! Tentang bagaimana Bush dengan caranya yang bodoh dan
tidak kompeten akan membuat dunia kiamat, kecuali aku turun tangan. Kalau dia
memerintahkan pengeboman dimulai, kita hancur. S-A-D-D-A-M.
S-A-T-A-N. JELAS SEKALI! Baca Alkitabmu, Suzie Q! Baca tentang kaum Farisi,
rentenir dan ular di surga. Jadilah tamuku yang setia."
"Mr. Birdsey, ketika pikiran Anda dirampok, bagaimana rasanya" Apa Anda bisa
merasakannya?" Terdengar keluhan jijik. "Ya!"
"Ya?" "Pada siang hari aku bisa merasakannya. Kadang, mereka melakukannya saat aku
tertidur." "Sakitkah rasanya?"
"Mereka membalas dendam padaku."
"Sakitkah, Mr. Birdsey" Apakah ada rasa sakit saat itu terjadi" Pusing?"
"Mereka tak bisa begitu saja membunuhku aku terlalu terkenal. Newsweek, Time,
U.S. News & World Report. Aku sudah pernah dimuat di sampul setiap majalah
berita utama di negara ini. Kalian semua bisa menyembunyikan semua koran dan
majalah dariku, tapi aku tahu. Aku punya sumber sendiri. Jangan kira aku tak
punya. Aku ada/ah salah satu dari 25 Orang yang Paling Membangkitkan Minat Tahun
Ini. Aku punya pengikut! Mereka tak bisa membunuhku, jadi mereka melakukan
kekejaman mental padaku. Kurungan. Mencuri pikiran. Dan mendapatkan laporan, kau
tahu " Dua kali sehari."
"Siapa?" "George Bush, itu yang siapa!"
"Oke," kataku berdiri dari kursi. "Itu cukup!" Aku berjalan ke jendela. Dr.
Patel menghentikan kaset. "Kau bilang itu kemajuan?" kataku. "Omong kosong yang
dia bicarakan tadi kemajuan?"
"Kemajuannya adalah dia semakin verbal daripada sebelumnya. Lebih mau percaya
dan komunikatif. Dan itu bagus. Anda mau teh lagi?"
Aku menggeleng. Mendekapkan tangan ke dada.
"Kau baik-baik saja, Dominick?" tanyanya.
"Tadi itu sangat aneh. Betapa dia tersesat dalam fantasi omong kosong itu. Dalam
egonya sendiri." "Yah, Dominick, dalam beberapa segi, bukankah kita semua juga begitu. Baru
kemarin, saat di jalan dan terburu-buru mau ke pertemuan di Farmington, tibatiba di depanku ada seorang pria tua yang memotong jalanku dari pinggir. Dia
berkendara sekitar dua puluh atau dua puluh lima mil di bawah batas kecepatan
minimal, dan tiba-tiba aku gusar karena merasa pria tua itu berusaha membuatku
terlambat," Dr. Patel menertawakan kebodohannya sendiri.
"Yeah, tapi ... presiden meneliti pikirannya" Hanya dia yang bisa menyelamatkan
dunia?" "Memang narsistik. Tapi tolong ingat bahwa semua delusi itu bukan khayalan
baginya. Mereka adalah realitas bagi Thomas. Pencurian pikiran dan bahaya memang
terjadi baginya." "Aku tahu, tapi"
"Benarkah" Waktu kau bilang, 'aku tahu' maksudnya apa kau memahaminya secara


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

intelektual atau kau bisa merasakan ketakutan dan frustrasi yang dirasakan
Thomas" Bayangkan, Dominick, betapa hari-harinya pastilah sangat menakutkan.
Sangat melelahkan. Beban dunia ada di pundaknya. Dia hampir-hampir tak bisa
memercayai siapa pun. Sebenarnya, secara antropologi sangat menarik dan
mengagumkan bagiku bahwa dia telah mengangkat dirinya untuk menjalankan tugas
mitos itu." Aku mengangkat mataku. Memandangnya.
"Kakakmu hampir-hampir sendirian di dunia ini. Tersesat dari adik kembarnya,
tersesat dari kehidupan konvensional. Dia tersesat di dunia kejahatan dan
kekuasaan mahabesar, di mana keberaniannya selalu diuji. Bisa dibilang Thomas
adalah bintang di mitos hero-nya sendiri."
"Mitos hero" Itu sedikit berlebihan, bukan" Apa kau tidak salah dan
menggabungkan dua perspektif ilmumu di sini?"
Dr. Patel tersenyum sedih. "Usahanya yang sia-sia untuk memperbaiki dunia. Kau
punya anak, Dominick?"
Aku tak mau menatap matanya. Gadis kecil dengan celana ketat kuning tadi kembali
melintas di pikiranku. "Tidak."
"Kalau kau punya," lanjut Dr. Patel, "kau pasti tidak hanya membacakan Curious
George untuknya tetapi, juga cerita fabel dan dongeng. Kisah di mana manusia
mengalahkan penyihir, di mana raksasa dan ogre dikalahkan, dan kebenaran
mengalahkan kejahatan. Orangtuamu membacakan cerita-cerita seperti itu padamu
dan kakakmu, bukan?"
"Ibuku," kataku.
"Tentu. Itu adalah cara kita mengajarkan pada anak-anak untuk menghadapi dunia
yang terlalu besar dan kacau untuk mereka pahami. Dunia yang kadang terlalu
acak. Terlalu acuh. Tentu saja, agama-agama di dunia juga melakukan hal yang
sama, tak peduli kau Hindu, Kristen, atau Rosicrucian. Sebenarnya mereka
bersaudara; dongeng anak-anak dan parabel agama. Aku yakin, religiusitas kakak
Anda dan kepercayaannya yang besar pada pahlawan dan penjahat mungkin adalah
usahanya yang berani meski sia-sia, untuk membuat dunia teratur dan logis. Itu
adalah perjuangan yang mulia, kalau kita mengingat kekacauan seperti apa yang
dia bayangkan sedang terjadi akibat penyakitnya. Setidaknya, itu bisa menjadi
salah satu interpretasi perilaku Thomas."
"Mulia" Apanya yang mulia?" "Karena dia berjuang untuk menyembuhkan dirinya,
Dominick. Untuk menghilangkan ketakutan terbesarnya: kekacauan. Kalau dia merasa
bisa membuat dunia teratur, menyelamatkan dunia, maka dia bisa menyelamatkan
dirinya sendiri. Itu motivasi yang mendorong dia memotong tangannya di
perpustakaan, bukan" Mengorbankan dirinya sendiri" Menghentikan kerusakan yang
diakibatkan perang" Sakit kakakmu parah, Dominick, tapi dia juga pria yang baik,
dan bahkan aku bisa bilang,
dalam beberapa hal dia bisa dibilang mulia. Kuharap itu bisa membuatmu sedikit
tenang." "Yeah, benar," sahutku sinis. "Dia pergi ke perpustakaan dan menjagal tangannya
sendiri. Mendapatkan perhatian dari orang-orang media bodoh sebanyak dia bisa ....
Yah, sangat menenangkan, Dok."
Dr. Patel tak menjawab. Menunggu. Tapi aku sudah selesai.
Kemudian Dr. Patel mengatakan padaku, jika dia akan bekerja dengan Thomas dalam
jangka waktu lama dan apakah dia akan menjadi penentu keputusan hakim untuk masa
percobaan tujuan akhirnya adalah membantu Thomas membentuk pandangan yang lebih
baik tentang perilakunya, dan membantu Thomas menyesuaikan diri dengan keahlian
untuk kehidupan sehari-hari seperti pengaturan uang, melakukan pekerjaan harian,
dan melatih teratur minum obat yang memungkinkannya tinggal di luar dan tak
harus masuk rumah sakit. "Trend pandangan sekarang adalah perawatan di rumah sakit dalam waktu lama tidak
akan membuat pasien lebih baik kondisinya, paling sama saja," kata Dr. Patel.
"Kami akan berkonsentrasi pada masa depannya, kakakmu dan aku, bukan pada masa
lalunya. Mungkin kami akan memikirkan untuk memindahkan dia ke rumah kelompok
yang diawasi. Namun, tentu saja itu berarti berharap terlalu cepat. Untuk
sekarang, yang penting untuk membantu pemahamanku tentang Thomas adalah sejarah
hidupnya. Bagaimana dia sekarang dan
bagaimana dia dulu."
Iblis Pulau Hantu 1 Tapak Tapak Jejak Gajahmada Karya Arief Sudjana Perguruan Sejati 4

Cari Blog Ini