Ceritasilat Novel Online

Dibalik Keheningan Salju 5

Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk Bagian 5


melakukannya. Paham" Sekarang, mana kuncinya"1
"Anakku, salju ini akan menipis dalam dua hari, lalu jalan-jalan akan dibuka
kembali. Dan, saat itu terjadi, negara akan meminta pertanggungjawaban kepada
kami.1 "Jadi, kau takut pada negara" Baiklah, dengarkan ini: kamilah negara yang
kautakuti!1 seru Z Demirkol. "Jadi, kaumau membukakan pintu untuk kami atau apa"
1 "Aku tak bisa membukakan pintu untukmu tanpa adanya perintah tertulis.1
"Kita lihat saja nanti,1 kata Z Demirkol. Dia mengangkat senapannya dan
melepaskan dua tembakan ke udara. "Bawa dia dan pepetkan ke dinding,1 lanjutnya.
"Jika dia bertingkah macam-macam, kita akan menghukum mati dia.1 Tidak seorang
pun memercayai ucapan Z Demirkol, namun kedua asistennya dengan patuh menyeret
Recai Bey dan memepetkannya ke dinding. Tidak ingin merusak jendela, mereka
mendorong Recai Bey ke kanan, tetapi, karena lapisan salju di tempat itu sangat
lunak, si manajer tersandung dan terjatuh. Kedua pria itu meminta maaf dan
menolongnya berdiri. Mereka melepas dasi Recai Bey dan menggunakan benda itu
untuk mengikat tangannya. Sementara itu, mereka memberitahunya bahwa ini adalah
operasi pembersihan, dan bahwa semua musuh tanah air akan telah disingkirkan
dari jalanan Kars saat pagi tiba.
Ketika Z Demirkol memberikan perintah, kedua pengikutnya mengokang senapan
mereka dan berbaris di depan Recai Bey bagaikan pasukan bersenjata. Ketika
itulah terdengar ledakan senjata di kejauhan. (Asalnya dari kebun asrama
madrasah aliah, tempat para prajurit menembakkan senapan ke udara untuk menakutnakuti para pelajar.) Semua orang terdiam dan menunggu. Untuk pertama kalinya
pada hari itu, hujan salju mereda. Keheningan terasa luar biasa indah, bahkan
memikat. Setelah beberapa saat berlalu, salah seorang pengikut Z Demirkol
mengatakan bahwa "si tua1 (yang sama sekali tidak tua) berhak mendapatkan
sebatang rokok terakhir. Mereka menjejalkan sebatang rokok ke mulut Recai Bey
dan menyalakannya. Lalu, mungkin karena merasa bosan menunggu si manajer
merokok, mereka mulai menendangi pintu perusahaan telepon lagi dan menggedorgedornya dengan popor senapan.
"Aku tak tahan melihat kalian merusak fasiitas negara,1 kata si manajer yang
masih merapat ke dinding. "Lepaskanlah ikatanku dan aku akan memasukkan kalian.1
Ketika para pria itu telah masuk, Ka melanjutkan perjalanan. Dia masih mendengar
ledakan senjata, namun kali ini dia tidak lagi memerhatikannya, menganggapnya
sama dengan lolongan anjing. Pikirannya menyaring segalanya kecuali keindahan
malam. Selama sesaat, dia berhenti di depan sebuah rumah Armenia yang telah lama
terbengkalai. Setelah itu, dia berhenti di sebuah gereja Armenia untuk menyerap
keindahannya: pepohonan di tamannya meneteskan es yang telah mengeras dan tampak
menyerupai hantu. Lampu-lampu jalanan yang menyinarkan cahaya kuning pucat
menghasilkan pendar muram ke seluruh kota, menjadikan Ka merasa berada di dalam
sebuah mimpi aneh dan menyedihkan, dan, entah mengapa, membuatnya merasa
bersalah. Tetap saja, dia merasa bersyukur karena keheningan dan tempat
terlupakan ini memenuhi dirinya dengan puisi.
Sedikit di depannya, Ka melihat seorang ibu yang cemas berdiri di jendela dan
memanggil anak lelakinya pulang; anak itu mengatakan kepadanya bahwa dia "hanya
akan keluar sebentar untuk melihat apa yang sedang terjadi". Ka melewati
keduanya. Di sudut Jalan Faikbey, dia melihat dia orang pria yang berusia sebaya
dengannya menghambur keluar dari toko perajin sepatu; salah satunya bertubuh
cukup besar, yang lain kerempeng seperti anak kecil. Dua kali seminggu, selama
dua belas tahun terakhir, masing-masing dari sepasang kekasih itu mengatakan
kepada istri mereka bahwa mereka hendak "bersantai di kedai kopi", lalu mereka
akan bertemu secara diamdiam di toko yang menguarkan aroma tajam lem ini.
Tetapi, saat mendengar dari pesawat televisi tetangga di atas mereka bahwa jam
malam telah ditetapkan, mereka menjadi panik.
Ka berbelok menuju Jalan Faikbey. Dua blok kemudian, di seberang sebuah toko
yang diingatnya dari kegiatan jalan-jalannya pagi itu Ka berhenti di depan kios
pedagang ikan yang ada di depan toko dia melihat sebuah tank. Seperti jalan
tempatnya berada, tank itu terlihat seolaholah diselimuti oleh keheningan yang
menakjubkan; bergeming dan diam sehingga Ka berpikir kendaraan tempur itu
tentunya kosong. Tetapi, pintu tank kemudian terbuka, dan sebentuk kepala
melongok keluar untuk menyuruh Ka langsung pulang. Ka menanyakan kepada kepala
itu jalan pintas menuju Hotel Istana Salju, tetapi, sebelum prajurit itu
menjawab, dia melihat tanda bertuliskan Border City Gazette di depan sebuah
kantor gelap di seberang jalan, dan dari situ dia bisa mereka-reka jalan yang
harus dilewatinya. Lampu-lampu di lobi hotel menyala terang-benderang; berjalan melewati
kehangatannya terasa bagaikan pulang ke rumah. Sejumlah tamu duduk di lobi dalam
balutan piama mereka, merokok, menonton televisi, dan jelas terlihat dari
ekspresi wajah mereka bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Tetapi,
seperti seorang bocah yang sebisa mungkin berusaha menghindari topik yang
ditakutinya, Ka menolak memerhatikan. Setelah membiarkan matanya menyapu cepat
adegan-adegan yang ditayangkan di televisi, Ka melangkah dengan hati ringan
menuju apartemen Turgut Bey. Kelompok yang tadi ditinggalkannya masih duduk di
meja dan menonton TV. Ketika Turgut Bey melihat Ka, dia langsung berdiri,
memelototinya karena pulang begitu larut, dan mengatakan kepadanya betapa mereka
merasa khawatir. Dia mengatakan beberapa hal lagi, namun pandangan Ka bertemu
dengan pandangan Ypek, dan dia tak bisa lagi mendengarkan ucapan pria tua itu.
"Kau membacakan puisimu dengan sangat indah,1 puji Ypek. "Aku bangga sekali.1
Ka langsung menyadari bahwa dia akan mengingat momen ini hingga hari
kematiannya. Ka merasakan kebahagiaan yang begitu besar sehingga, di tengahtengah rentetan pertanyaan dari para gadis dan ceramah dari Turgut Bey, dia
justru berusaha menahan supaya air matanya tidak berlinang.
"Sepertinya pihak miiter merencanakan sesuatu/ kata Turgut Bey. Dari suaranya,
Ka menduga pria itu sedang marah, dan dia tak bisa memastikan apakah ini hal
baik atau buruk. Meja makan tampak acak-acakan. Seseorang menggunakan kulit jeruk sebagai asbak
kemungkinan besar orang itu adalah Ypek. Ka ingat pernah melihat Bibi Mu-nire,
seorang kerabat jauh ayahnya yang masih muda, melakukan hal yang sama saat dia
masih bocah, dan, meskipun wanita itu tak pernah lupa mengatakan "ibu' saat
berbicara dengan ibu Ka, semua orang membencinya karena sikapnya yang buruk.
"Mereka baru saja mengumumkan jam malam/ kata Turgut Bey. "Ceritakan kepada kami
apa yang sesungguhnya terjadi di gedung teater.1
"Saya tidak tertarik dengan politik/ kata Ka.
Meskipun semua orang, terutama Ypek, mengetahui bahwa dia berbicara tanpa
berpikir, Ka masih merasa sangat menyesal.
Yang ingin dilakukannya saat ini hanyalah duduk diam dan memandang Ypek, namun
Ka tahu bahwa dia harus melupakannya. Rumah itu sedang meledak dengan "demam
revolusi1, dan dia merasa tidak nyaman, bukan hanya karena dia teringat pada
kudeta militer saat masa kanakkanaknya, melainkan juga karena semua orang
berbicara pada saat bersamaan, kecuali Hande, yang tertidur di sudut ruangan.
Kadife mengembalikan perhatian ke layar televisi yang dihindari Ka, dan Turgut
Bey sepertinya merasa senang sekaligus kesal menghadapi kejadian menarik ini.
Selama beberapa waktu, Ka duduk di samping Ypek dan menggenggam tangannya. Ka
mengajak Ypek naik ke kamarnya, dan ketika dia tak tahan lagi berada di ruangan itu, dia naik
sendirian. Aroma kayu yang familiar menguar di kamarnya. Ka menggantungkan
mantelnya dengan sangat hati-hati di cantelan belakang pintu, dan saat dia
menyalakan lampu kecil di kepala ranjangnya, gelombang kantuk menerpanya. Dia
tak mampu lagi menahan matanya supaya tetap terbuka; dia merasakan dirinya
melayang, seolaholah seluruh kamar itu, seluruh hotel itu, melayang bersamanya.
Karena itulah puisi barunya, yang langsung ditulisnya baris demi baris di buku
catatannya, menggambarkan hotel, ranjang tempatnya berbaring, dan Kota Kars yang
bersalju sebagai satu kesatuan.
Judul yang diberikannya untuk puisi itu adalah "Malam Revolusi". Puisi itu
dimulai dengan kenangan masa kecilnya akan kudeta, saat seluruh keluarganya
duduk mengelilingi radio, mendengarkan langkah-langkah yang diambil miiter.
Lalu, puisi itu berlanjut dengan deskripsi mengenai masakan hari raya yang
mereka nikmati bersama. Hal inilah yang menyebabkan Ka memutuskan bahwa puisi
ini sama sekali tidak menceritakan tentang kudeta, sehingga dia memetakannya
dalam cabang kepingan salju yang berjudul "Kenangan". Salah satu dari topik
penting dalam sebuah puisi adalah kemampuan si penyair untuk menutup sebagian
pikirannya, meskipun dunia sedang kacau balau. Tetapi, ini berarti bahwa seorang
penyair tidak memiiki hubungan dengan masa kini, sama seperti hantu. Itulah
harga yang harus dibayar oleh seorang penyair demi menghasilkan karyanya!
Setelah menyelesaikan puisinya, Ka menyalakan sebatang rokok dan menghampiri
jendela. [] Hari yang Hebat Bagi Bangsa
Kita! Saat Ka Tidur Malam Itu dan Saat Dia Bangun Keesokan Paginya
KA TERTIDUR selama tepat sepuluh jam dua puluh detik tanpa bergerak sekali pun.
Dalam salah satu mimpinya, dia melihat hujan salju. Sebelumnya, melalui celah di
tirai jendela yang setengah tertutup, dia melihat bahwa hujan salju mulai turun
kembali ke jalanan putih di bawah, dan pemandangan itu tampak sedemikan lembut
di bawah cahaya neon merah jambu bertuliskan Hotel Istana Salju. Mungkin Ka
dapat tidur begitu nyenyak karena salju yang aneh dan lembut menakjubkan ini
menyerap keributan baku tembak yang terjadi di seluruh Kars malam itu.
Hanya dua ruas jalan dari hotel, sebuah tank dan dua buah truk tentara menyerang
asrama madrasah aliah. Pertikaian berlangsung bukan di dekat gerbang utama
tempat kekokohan pagar buatan Armenia masih terlihat hingga hari ini melainkan
di luar pintu kayu menuju ruang berkumpul dan asrama senior. Berharap dapat
menakut-nakuti para remaja penghuni asrama, para prajurit yang berkumpul di
taman yang berselimut salju menembakkan senjata ke langit malam. Seluruh siswa
penggiat Islamis politis menonton pertunjukan di Tater Nasional, dan mereka
telah ditangkap di tempat itu, sehingga yang tersisa di asrama hanyalah anakanak yang kurang peduli atau tidak memiiki ketertarikan pada politik. Tetapi,
adegan-adegan yang disiarkan di televisi membuat semangat mereka menjadi berapiapi, sehingga mereka pun mengganjal pintu dengan meja-meja dan meneriakkan
slogan-slogan semacam "Tuhan Mahabesar!" sambil berkumpul dan menunggu. Meskipun
begitu, satu atau dua orang yang "gila", setelah mencuri beberapa buah pisau dan
garpu dari dapur, memutuskan untuk melemparkan perangkat-perangkat itu dari
jendela kamar mandi ke arah para prajurit di bawah. Lalu, karena mereka mulai
melambai-lambaikan dan saling mengangsurkan satu-satunya senapan yang mereka
miliki, pertikaian itu berakhir dalam baku tembak. Seorang remaja tampan yang
wajahnya hanya menampilkan kepolosan tewas seketika dengan sebutir peluru
bersarang di keningnya. Sebagian besar penduduk kota masih terjaga, memusatkan perhatian mereka tidak
pada jendela dan jalanan di bawah, tetapi pada pesawat televisi. Siaran langsung
belum berakhir ketika Sunay Zaim mengumumkan bahwa yang sedang berlangsung di
panggung bukanlah sandiwara melainkan revolusi. Saat para prajurit menggelandang
para pembuat masalah dan mengangkuti mayat-mayat dan korban-korban yang terluka,
di panggung muncullah seorang pria yang dikenal di seluruh Kars: Um-man Bey,
sang deputi gubernur. Dengan gaya resmi dan suara parau yang entah bagaimana
justru mencerminkan keyakinan diri, dia menyampaikan mungkin untuk pertama
kalinya tentang keberatannya akan siaran langsung malam itu dan mengumumkan jam
malam yang berlaku untuk seluruh Kars hingga pukul dua belas hari berikutnya.
Saat sang deputi gubernur turun dari panggung, tidak seorang pun muncul
menggantikannya, sehingga selama dua puluh menit, penduduk Kars hanya melihat
tirai tua Teater Nasional di layar televisi mereka. Ketika itulah siaran
terputus, dan setelah beberapa saat, gambar tirai yang sama muncul lagi di layar
televisi. Setelah menunggu sejenak, penduduk Kars melihat tirai kembali terbuka,
teramat perlahan, dan seluruh pementasan malam itu diulang lagi dari awal.
Duduk di depan pesawat televisi, berjuang memahami apa yang sedang terjadi,
sebagian besar penduduk kota mulai mengkhawatirkan kemungkinan yang terburuk.
Mereka yang sangat lelah atau setengah mabuk mendapati diri mereka terlempar
kembali ke masa-masa awal pergolakan masyarakat; beberapa orang lain
mengkhawatirkan kembalinya masa adanya orang hilang, orang tewas secara
misterius, dan pemberlakuan jam malam. Para penonton yang tidak tertarik pada
politik memandang siaran ulang itu sebagai kesempatan untuk mencerna kembali apa
yang sedang terjadi di Kars malam itu (seperti yang akan kulakukan bertahuntahun
kemudian), sehingga mereka sekali lagi berkonsentrasi menekuni layar televisi.
Saat penduduk Kars menyaksikan Funda Eser menirukan perdana menteri, dan
kemudian menari perut dengan bahenol, sebuah pasukan polisi khusus menyerbu
markas cabang Partai Kemerdekaan Rakyat di Jalan Halil Pa?a, menahan seorang
penjaga malam Kurdi satu-satunya orang yang ada di sana pada waktu selarut itu
menggeledah meja-meja dan lemari-lemari arsip, dan menyita setiap lembar kertas
yang mereka temukan. Unit kepolisian yang sama memburu komite eksekutif partai
itu mereka mengetahui semua identitas dan alamat para
anggota komite dari penggeledahan di markas lalu menahan mereka semua dengan
tuduhan subversi dan nasionalisme Kurdi.
Bukan hanya mereka nasionalis Kurdi yang bernasib naas di Kars pada malam itu.
Tiga sosok mayat yang ditemukan keesokan paginya di dalam sebuah taksi Murat
yang terbakar habis dan belum tertutup oleh salju di jalan Digor adalah menurut
laporan resmi gerilyawan nasionalis Kurdi. Polisi mengklaim bahwa ketiga pemuda
itu telah berusaha menyusup ke kota selama berbulan-bulan, tetapi, karena panik
melihat peristiwa yang terjadi malam itu, mereka memutuskan untuk melompat ke
taksi dan melarikan diri ke daerah pegunungan. Ketika mereka mendapati bahwa
jalanan ditutup, mereka kehilangan harapan dan, dalam pertengkaran yang kemudian
terjadi, salah seorang dari mereka menyalakan sebuah bom yang membunuh dirinya
sendiri dan dua orang rekannya. Ibu salah seorang pemuda itu, seorang pesuruh di
rumah sakit, nantinya membuat petisi yang menyatakan bahwa beberapa agen
bersenjata yang tidak membawa tanda pengenal mengetuk pintu rumahnya dan
menculik putranya. Dan, abang si sopir taksi juga mengajukan tuntutan untuk
membersihkan nama adiknya, yang bukan seorang nasionalis, apalagi seorang Kurdi.
Kedua petisi itu terabaikan begitu saja.
Pada saat ini, semua orang di Kars telah mengetahui perihal kekacauan yang
terjadi di kota. Jika mereka tidak menyadari adanya kudeta, dua buah tank yang
berkeliaran di kota bagaikan hantu suram gentayangan cukup untuk menegaskan
bahwa setidaknya sesuatu yang sangat janggal sedang terjadi. Tetapi, karena
sebagian besar penduduk menyaksikan kejadian itu dari layar televisi,
dan karena hujan salju tak henti-hentinya turun di luar jendela mereka bagaikan
adegan dalam dongeng, tank-tank itu hanya menghadirkan sedikit rasa takut.
Kecemasan hanya melanda mereka yang aktif dalam dunia politik.
Sebut saja, misalnya, Sadullah Bey. Sebagai seorang jurnalis yang sangat
dihormati oleh penduduk Kurdi di Kars, juga seorang kolektor kisah rakyat
terkenal, dia dapat meramalkan akibat kudeta miiter terhadap dirinya, sehingga
saat mendengar tentang pemberlakuan jam malam, dia mulai mempersiapkan diri
untuk menghadapi hari-hari di penjara yang diketahuinya telah menunggunya.
Setelah mengisi tasnya dengan berbagai macam kebutuhan sehari-hari piama biru
yang harus dikenakannya saat tidur, obat untuk masalah prostatnya, pil tidurnya,
kopiah dan kaus kaki wolnya, foto putrinya di Istanbul (yang memangku cucu lakilakinya yang tersenyum ceria), dan catatan-catatan mendetail yang diambilnya
dari sebuah buku tentang lagu-lagu Kurdi kuno dia duduk untuk menikmati segelas
teh bersama istrinya. Mereka menonton Funda Eser menari perut untuk kedua
kalinya, dan mereka menunggu. Ketika bel pintu berbunyi lama berselang, di
tengah malam buta, dia mengucapkan selamat tinggal kepada istrinya, mengangkat
kopernya, dan membuka pintu. Karena tidak melihat seorang pun di pintu, dia
melangkah ke jalan, dan di bawah pendar pucat lampu-lampu jalanan, kenangannya
melayang pada musim dingin yang indah di masa kanakkanaknya, saat dia
berseluncur melintasi Sungai Kars, saat jalanan yang sunyi diselimuti oleh salju
seindah malam itu. Saat dia berdiri di sana, seseorang menembakkan dua butir
peluru ke kepala dan dadanya, membunuhnya saat itu juga.
Berbulan-bulan kemudian, ketika sebagian besar salju telah mencair, sisa-sisa
dari sejumlah orang lain yang pada malam itu dibunuh dengan cara serupa
ditemukan, tetapi seperti pers Kars dalam masa kebangkitan revolusi aku tidak
ingin lebih banyak lagi mengecewakan pembacaku, sehingga aku tidak akan
menyebutkan detail-detailnya. Rumor bahwa "pelaku misterius" dari pembunuhanpembunuhan ini adalah Z Demirkol dan kawan-kawannya setidaknya mengingat apa
saja yang mereka lakukan malam itu ternyata tidak benar. Meskipun membutuhkan
waktu lebih lama daripada yang diperkirakan, jaringan telepon akhirnya berhasil
diputuskan dan transmisi Kars Border Television tetap diselamatkan untuk
menunjang revolusi. Saat dini hari tiba, seluruh energi mereka dipusatkan pada
apa yang menjadi obsesi utama mereka menemukan seorang "penyanyi lagu-lagu
rakyat bersuara berat untuk merayakan kejayaan pahlawan-pahlawan kota
perbatasan". Lagi pula, semua ini tidak akan dianggap sebagai revolusi yang
sesungguhnya sebelum seluruh stasiun radio dan televisi di kota itu menyiarkan
lagu-lagu rakyat untuk merayakan kejayaan pahlawan-pahlawan kota perbatasan.
Setelah mencari di sejumlah barak militer, rumah sakit, madrasah aliah, dan


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kedai teh, akhirnya mereka menemukan seorang penyanyi lagu rakyat di antara para
pemadam kebakaran yang sedang bertugas di pangkalan pemadam kebakaran. Pria itu
yakin mereka akan menangkapnya atau menghujaninya dengan peluru, namun ternyata
mereka menggelandangnya ke studio TV, dan saat Ka terbangun keesokan paginya,
suara berat si pemadam kebakaran itulah yang didengarnya menembus dinding dari
pesawat televisi di lobi. Melalui tirai jendela yang setengah tertutup, masuklah
berkas cahaya matahari yang
tampak luar biasa terang dan sedemikian janggal akibat pantulannya di salju. Ka
terjaga dengan perasaan santai dan segar, namun sebelum dia bangkit dari
ranjang, perasaan bersalah karena telah tertidur begitu nyenyak telah
menerpanya. Dia menenangkan diri dengan berpura-pura bahwa dirinya hanyalah
seorang tamu hotel biasa di sebuah kota asing. Setelah mandi, bercukur, dan
berganti pakaian, dia mengambil kunci kamarnya dan keluar menuju lobi.
Ketika melihat si penyanyi lagu rakyat di layar kaca dan para tamu lain
berbisik-bisik sambil menonton, Ka baru merasakan keheningan yang sekarang
menyelimuti kota. Ingatannya melayang pada malam sebelumnya, dan baru ketika
itulah dia mulai menyatukan segala hal yang sebelumnya diabaikan oleh
pikirannya. Dia tersenyum tipis pada remaja yang berada di belakang meja
resepsionis. Lalu, bagaikan seorang pelancong yang terburu-buru, yang merasa
muak pada pertikaian politik internal kota itu dan memutuskan untuk pergi pada
kesempatan pertama, Ka langsung menuju ruang makan di dekat lobi dan memesan
sarapan. Di sudut ruangan, sebuah poci teh besar mengepulkan asap di atas sebuah
samovar; di meja makan, tampaklah sepiring keju Kars yang dirajang sangat tipis
dan semangkuk buah zaitun yang, setelah lama kehilangan kilaunya, tampak layu.
Ka duduk di meja dekat jendela. Melalui celah di tirai renda, dia memandang
jalan yang berselimut salju dengan segala keindahannya. Kedamaian jalan yang
kosong me-ningatkan Ka pada jam malam yang diberlakukan saat masa kanakkanaknya,
hari-hari sensus, hari-hari yang dihabiskan untuk mencermati perkembangan angka
pemilihan, hari-hari yang digunakan untuk memburu para musuh
negara, hari-hari saat tentara berkeliaran di jalanan dan semua orang berkumpul
di depan pesawat televisi dan radio. Dia mengingat semuanya, satu per satu. Saat
mereka duduk mendengarkan lagu-lagu miiter di radio, saat mereka mendengarkan
siaran berita yang melaporkan tentang adanya undang-undang baru dan daftar
larangan, yang didambakan oleh Ka hanyalah berlari keluar dan bermain di jalanan
yang kosong. Sebagai seorang bocah dia menyukai hari-hari undang-undang tersebut
seperti saat liburan, karena para bibi, paman, dan tetangganya menjadi
dipersatukan oleh alasan yang sama. Mungkin untuk menyembunyikan fakta bahwa
mereka merasa lebih bahagia dan aman selama kudeta militer, maka keluargakeluarga kelas menengah dan atas pada masa kanakkanak Ka di Istanbul memiliki
kebiasaan untuk secara diamdiam mengolok-olok tindakan konyol yang mengikuti
kudeta militer pengecatan tembok-tembok dengan warna putih sehingga seluruh kota
terlihat seperti barak, juga para prajurit dan polisi bertangan kasar yang
menahan semua orang yang berjanggut atau berambut gondrong. Meskipun kalangan
atas Istanbul takut setengah mati kepada para tentara, mereka juga mengetahui
kekurangan dalam kehidupan mereka kedisiplinan yang menyiksa, gaji yang rendah.
Para prajurit adalah rakyat jelata, dan karena itulah kalangan atas membenci
mereka. Jalan di luar tampak seolaholah telah terbengkalai selama berabad-abad, sehingga
ketika Ka melihat sebuah truk tentara melewatinya, dia kembali terlempar ke
dalam kenangan masa kanakkanaknya. Seperti ketika dirinya masih bocah, dia duduk
terpaku. Seorang pria yang tampak seperti pedagang hewan ternak baru saja memasuki lobi
dan langsung menghampiri Ka, memeluknya erat-erat, lalu mencium kedua pipinya. "Selamat! Ini adalah hari
yang hebat bagi bangsa kita!" Ka teringat bagaimana orang-orang dewasa pada masa
kanakkanaknya akan saling memberikan selamat setelah kudeta miiter terjadi, sama
seperti ketika mereka saling memberikan selamat saat hari besar keagamaan.
Ka membalas ucapan selamat itu dengan menggumamkan beberapa kata.
Pintu dapur terbuka dan Ka merasakan semua darahnya mengalir menuju kepalanya.
Ypek berjalan memasuki ruang makan. Mereka saling bertatapan, dan selama sesaat
Ka tidak tahu harus melakukan apa. Saat Ka memutuskan bahwa dia sebaiknya
berdiri, Ypek tersenyum kepadanya dan berpaling ke arah seorang pria yang baru
saja duduk. Ypek membawa sebuah baki berisi sebuah cangkir dan sebuah piring,
yang ditatanya di meja pria itu. Seperti seorang pelayan.
Semangat Ka seketika surut. Dia membenci dirinya sendiri karena gagal menyalami
Ypek seperti semestinya, namun ada hal lain yang juga terjadi, dan dia langsung
mengetahui bahwa dirinya tak mampu bersembunyi dari hal itu. Dia melakukan
semuanya secara keliru sehari sebelumnya, dan sekarang dia membenci dirinya
sendiri karena terburu-buru melamar seorang wanita yang tidak terlalu
dikenalnya. Dia membenci dirinya sendiri karena telah mencium Ypek (meskipun tak
ada yang salah dengan ciuman itu), dan karena telah lepas kendali, dan karena
menggenggam tangan Ypek di bawah meja makan. Terlebih lagi, dia membenci dirinya
sendiri karena bertingkah seperti orang Turki biasa, karena mabuk dan tanpa tahu
malu menunjukkan kepada semua orang bahwa dirinya tertarik secara seksual kepada
Ypek. Ka tidak tahu harus mengatakan apa kepada Ypek sekarang; satu-satunya harapan yang dimiikinya
adalah Ypek akan menjadi pelayan di hotel ini selamanya.
Pria yang berpenampilan seperti pedagang hewan ternak berseru, "Teh!" dengan
suara parau. Dengan luwes, Ypek menghampiri samovar, membawa baki kosong di
tangannya. Setelah memberikan teh pria itu, dia menghampiri meja Ka. Ka
merasakan jantungnya berdegup begitu kencang hingga denyutannya terasa di
hidung. "Jadi, apa yang terjadi?" tanya Ypek sambil menyunggingkan senyuman. "Apakah
tidurmu nyenyak?" Penyebutan secara tersirat tentang malam sebelumnya, tentang kebahagiaan hari
yang lalu, membuat Ka merasa tidak enak. "Sepertinya hujan salju ini tak akan
pernah berhenti," dia tergagap.
Mereka saling memandang dalam diam. Ka tahu bahwa tidak ada yang bisa
dikatakannya; apa pun yang diucapkannya sekarang akan terdengar palsu. Maka,
memandang mata lebar cokelat muda Ypek yang menatapnya, Ka mengatakan tanpa
suara bahwa dia tidak memiliki pilihan selain tetap diam. Sekarang Ypek
merasakan bahwa kerangka berpikir Ka hari ini sangat berbeda dengan sehari
sebelumnya, dan bahwa Ka telah berubah menjadi orang yang sangat berbeda. Ka
dapat melihat bahwa Ypek merasakan kegelapan di dalam dirinya dan bahwa dia
menerima hal itu. Ini, pikirnya, akan mengikatkan dirinya dengan Ypek seumur
hidup mereka. "Hujan salju ini tidak akan berhenti dalam waktu dekat," ujar Ypek perlahanlahan. "Tidak ada roti," kata Ka.
"Oh, maaf sekali." Ypek langsung menghampiri meja di dekat samovar, meletakkan
baki, dan mengiris sepo tong roti. Ypek mengenakan kemeja putih, rok panjang cokelat, dan sebuah sabuk lebar yang
seingat Ka pernah menjadi tren pada tahun tujuh puluhan; sesudahnya dia tidak
pernah lagi melihat sabuk semacam itu. Pinggang Ypek begitu ramping, pinggulnya
berbentuk sempurna. Tingginya sungguh serasi dengan Ka. Ka bahkan menyukai
pergelangan kaki Ypek. Dia tahu bahwa jika dirinya kembali ke Jerman tanpa Ypek,
dia akan menghabiskan sisa hidupnya untuk tenggelam dalam kenangan menyakitkan
saat dirinya bahagia di sini, menggenggam tangan Ypek, saling bertukar ciuman
setengah-bercanda setengah serius, dan saling melontarkan gurauan.
Ka melihat tangan Ypek yang tadinya digunakan untuk mengiris roti berhenti
bergerak, dan, sebelum wanita itu menoleh, Ka membuang muka.
"Aku menaruh keju dan buah zaitun di piringmu,1 kata Ypek. Suaranya bernada
formal, Ka menyadari, karena Ypek ingin mengingatkan kepadanya bahwa orang-orang
memerhatikan mereka. "Ya, terima kasih,1 jawab Ka sambil melihat ke sekeliling ruangan.
Ketika tatapan mereka bertemu kembali, ekspresi wajah Ypek cukup untuk
mengatakan bahwa dia tahu Ka memandanginya setiap kali dia membalikkan punggung.
Ka gugup melihat keluwesan Ypek dalam menghadapi kegamangan hubungan priawanita, diplomasi yang tak pernah bisa dikuasainya. Dan, Ka cemas memikirkan
bahwa Ypek bisa jadi satu-satunya kesempatan baginya untuk berbahagia.
"Roti ini diantarkan dengan truk tentara beberapa menit yang lalu,1 kata Ypek,
menyunggingkan senyuman yang menghancurkan hati Ka. "Aku bekerja di dapur karena Zahide Hanym tak bisa
datang ke sini pagi ini, karena jam malam ... aku cemas sekali saat melihat para
prajurit itu.1 Karena para prajurit itu mungkin saja datang untuk menjemput Kadife atau Hande.
Atau bahkan ayahnya .... "Mereka menugaskan para pesuruh rumah sakit untuk mengepel darah di Teater
Nasional,1 bisik Ypek. Dia duduk di depan Ka. "Mereka merazia hostel
universitas, madrasah aliah, markas partai Dan dalam penggeledahan itu, lebih
banyak lagi korban berjatuhan, katanya. Beratus-ratus orang ditangkap, meskipun
sebagian di antaranya dilepaskan kembali pagi itu. Ypek menceritakan kepada Ka
tentang semua ini dalam bisikan mendesak, seperti yang digunakan setiap orang
saat membicarakan hal-hal penting yang terjadi dalam dunia politik.
Ini mengingatkan Ka akan kenangan dua puluh tahun sebelumnya; dia teringat
bagaimana dia dan teman-temannya duduk di kantin universitas dan saling berbagi
cerita tentang penyiksaan dan kebrutalan dalam bisikan marah dan penuh
kebencian, namun juga diselipi kebanggaan. Pada saat seperti inilah dia paling
merasa bersalah: yang ingin dilakukannya hanyalah melupakan Turki dan semua hal
di dalamnya, lalu pulang dan membaca buku. Maka, sekarang, untuk menolong Ypek
mengakhiri topik ini, dia merasakan dorongan untuk mengatakan hal-hal semacam
"Kabar yang buruk sekali, betul-betul buruk!" Tetapi, meskipun katakata itu ada
di mulutnya, dia menahan diri untuk berkomentar, mengetahui bahwa dirinya akan
terlihat berpura-pura, tak peduli betapa kerasnya dia berusaha. Maka, dia pun
hanya duduk diam, dengan canggung menyantap roti dan kejunya.
Sementara Ka makan, Ypek tak henti-hentinya berbisik, menceritakan bagaimana
para tentara mengangkut mayat-mayat murid madrasah dalam truktruk miiter dan
mengirim mereka ke kampung-kampung Kurdi untuk diidentifikasi oleh keluarga
mereka. Tetapi, truktruk itu terjebak dalam salju. Pihak yang berwenang
memberikan amnesti sehari bagi setiap orang yang menyerahkan senjatanya;
perintah-perintah Alquran ditangguhkan, begitu pula semua aktivitas politik.
Saat Ypek mengatakan semua ini, Ka memandang lengan wanita itu, menatap matanya,
mengagumi warna menawan leher jenjangnya, terpesona melihat rambut cokelatnya
terurai di pundaknya. Dapatkah Ka mencintainya" Selama sesaat, dia mencoba
membayangkan mereka berdua di Frankfurt, menyusuri Kaisertrasse, berjalan pulang
setelah menikmati malam di gedung bioskop. Tetapi, pikiran-pikiran suram sedang
menguasai jiwa Ka. Yang dapat dilihatnya hanyalah Ypek telah mengiris roti
begitu tebal, seperti ibu rumah tangga termiskin, dan, yang jauh lebih buruk,
dia menata potongan-potongan tebal itu dalam bentuk piramida, seperti yang
dilakukan di dapur nelayan.
"Ayolah, sekarang ceritakanlah tentang hal lain kepadaku,1 ujar Ka pelan.
Ypek sedang menceritakan kepadanya tentang seorang pria yang tinggal dua rumah
dari hotel, yang ditangkap saat sedang berada di kebun belakang rumahnya setelah
seseorang melaporkannya. Sekarang, dia memandang Ka penuh arti dan terdiam.
Ka melihat ketakutan di mata Ypek. "Aku sangat bahagia kemarin, kautahu. Untuk
pertama kalinya dalam bertahuntahun, aku menulis puisi,1 Ka menjelaskan. "Tapi,
aku tak tahan mendengar cerita-cerita ini sekarang.1
"Puisi yang kautulis kemarin sangat indah,1 kata Ypek.
"Bolehkah aku memintamu melakukan sesuatu untukku, sebelum keputusasaan ini
menguasai diriku"1 "Katakanlah apa yang bisa kulakukan.1
"Aku akan naik ke kamarku sekarang,1 ujar Ka. "Ikutlah denganku sebentar dan
tangkupkanlah kedua tanganmu ke kepalaku. Sebentar saja tidak akan lama.1
Sebelum kalimatnya selesai, Ka telah dapat melihat dari tatapan ketakutan di
mata Ypek bahwa wanita itu tidak akan menurutinya, sehingga dia pun langsung
berdiri. Ypek begitu kampungan, begitu asing bagi Ka, dan Ka telah memintanya
untuk melakukan sesuatu yang tak akan pernah dipahami oleh orang asing. Ka tidak
tahan melihat Ypek melontarkan tatapan heran; seharusnya dia berpikir sebelum
mengucapkan permintaan tolol ini. Saat bergegas menaiki tangga, Ka mengutuk
dirinya sendiri karena meyakini bahwa dia mencintai Ypek. Dia menjatuhkan diri
ke ranjang, menyesali kebodohannya karena meninggalkan Istanbul dan pergi ke
Kars, lalu memutuskan bahwa kesalahan terbesarnya adalah meninggalkan Jerman dan
kembali ke Turki. Ka memikirkan ibunya, yang selalu mendambakan putranya
memiliki kehidupan normal sehingga selalu berusaha begitu keras untuk
menjauhkannya dari puisi dan sastra. Seandainya ibunya tahu bahwa kebahagiaan Ka
tergantung pada seorang wanita dari Kars yang membantu-bantu di dapur dan
mengiris roti dengan potongan sangat tebal, apakah yang akan dikatakannya"
Apakah yang akan dikatakan oleh ayahnya saat mengetahui bahwa Ka berlutut di
hadapan seorang syekh kampungan dan membicarakan keimanannya kepada Tuhan dengan
berurai air mata" Di luar, hujan salju mulai turun kembali; kepingankepingan
salju yang dilihat Ka dari jendela begitu
besar dan suram. Seseorang mengetuk pintu kamar Ka, dan dia segera membukanya, tiba-tiba
merasakan harapannya melambung. Ypek berdiri di sana, namun ekspresi wajahnya
begitu berbeda sekarang. Sebuah truk tentara baru saja datang, dengan dua orang
pria, salah satunya prajurit, dan mereka meminta untuk dipertemukan dengan Ka.
Ypek mengatakan kepada mereka bahwa Ka ada di sini, dan sekarang dia mengabarkan
kepada Ka bahwa mereka menantinya.
"Baiklah,1 ujar Ka. "Kalau kaumau, aku bisa memberimu pijatan dua menit, seperti yang kauinginkan,1
kata Ypek. Ka menarik Ypek masuk, menutup pintu, dan menciumnya sekali, lalu mendudukkannya
di tepi ranjang. Dia berbaring dan meletakkan kepalanya di pangkuan Ypek. Mereka
berada dalam posisi ini selama beberapa waktu, memandang ke luar jendela tanpa
mengatakan apa-apa, mengamati burung-burung gagak yang berjalan-jalan di atas
salju yang menyelimuti atap bangunan berumur 110 tahun yang sekarang difungsikan
sebagai kantor polisi. "Baiklah, ini sudah cukup, terima kasih," ujar Ka. Setelah mengangkat mantel
kelabu tuanya dengan hati-hati dari cantelan di belakang pintu, Ka keluar dari
kamar. Saat menuruni tangga, dia menghirup aroma mantelnya untuk mengenang
Frankfurt, dan selama beberapa menit dia dapat melih43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto |http://cerita-silat.mywapblog.com | 43. Bunga Ceplok UnguHerman Pratikto pdf created by Saiful Bahri (Seletreng -Situbondo) pd 27-04-2016 13:33:15 http://cerita-silat.mywapblog.com
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
at warna-warni kota itu dalam benaknya, berharap dirinya ada di sana. Pada hari saat
dia membeli mantel itu di Kaufhof, seorang pramuniaga menolongnya, dan dia
menemuinya kembali dua hari kemudian untuk mengambil mantelnya setelah
dipendekkan. Pria itu bernama Hans Hansen. Mungkin karena namanya yang sangat
Jerman, dan karena rambut pirangnya, Ka juga ingat pernah memikirkan pria itu saat dia
terbangun pada tengah malam. [] Tapi, Saya Tidak Mengenal Seorang Pun dari Mereka
Ka di dalam Ruang Teror yang Dingin DUA ORANG pria dikirim untuk menjemput Ka
dengan salah satu truk tentara tua yang sudah jarang terlihat lagi pada masa itu, bahkan
di Turki. Seorang polisi muda berhidung bengkok, berkulit putih, dan berpakaian preman
menemui Ka di lobi dan menyuruhnya duduk di bagian tengah bangku depan truk,
sementara dia sendiri duduk di dekat pintu, seolaholah untuk mencegah Ka melarikan
diri. Tetapi, sikapnya cukup sopan dia memanggil Ka dengan sebutan "Pak", dan ini,
putus Ka, menunjukkan bahwa dia bukanlah polisi melainkan agen MYT, yang mungkin
diperintahkan untuk tidak mengusik Ka. Mereka bergerak perlahan melintasi jalanan
kota yang sunyi dan putih cemerlang. Dasbor truk tentara itu dipenuhi berbagai macam
tombol, namun tidak satu pun berfungsi. Karena mereka berjalan jauh di atas tanah, Ka
dapat melihat isi rumah-rumah yang tirainya terbuka: pesawat televisi menyala di
mana-mana, dan Kota Kars seolaholah menutup tirainya dan menyalakan dirinya
sendiri. Rasanya, mereka seperti bergerak melintasi kota yang berbeda. Memandangi
wiper di jendela depan truk bergerak secara monoton, Ka merasakan jalanan yang
seperti di dalam mimpi, rumah-rumah tua bergaya Baltik, dan kecantikan pepohonan
oleander yang berselimut salju melontarkan mantra yang bahkan berhasil memukau
sopir truk dan rekannya yang berhidung bengkok. Mereka berhenti di depan kantor
polisi; saat itu, mereka semua kedinginan, sehingga mereka tidak membuang-buang
waktu untuk segera menghambur ke dalam. Tempat itu jauh lebih ramai dan sibuk
daripada sehari sebelumnya, dan meskipun Ka telah menduganya, dia masih merasa
tidak nyaman. Keruwetan birokrasi di tempat itu dapat dilihat di semua kantor di Turki.
Tempat itu membuat Ka memikirkan koridor-koridor gedung pengadilan, loronglorong
stadion sepak bola, dan terminal-terminal bus. Tetapi, secara samar-samar hidungnya
juga menangkap aroma iodin dan rumah sakit, teror dan kematian. Di suatu tempat yang
sangat dekat dari tempatnya berdiri saat itu, seseorang sedang menjalani penyiksaan.
Hanya dengan memikirkan apa yang sedang terjadi di sana membuat Ka merasa
bersalah dan kekurangan karena tidak mampu melakukan apa pun untuk
menghentikannya. Rasa takut mencekam jiwanya. Saat menapaki anak tangga yang
dinaikinya bersama Muhtar sehari sebelumnya, insting Ka mengatakan kepada dirinya
untuk mengikuti contoh para petugas, sehingga dia pun sebisa mungkin menyerap aura
pihak yang berwenang. Melewati pintu-pintu yang terbuka, dia dapat mendengar bunyi


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak-tik-tuk mesin-mesin tik tua. Di mana-mana, para petugas berteriak-teriak melalui
radio atau berseru ke bawah untuk memanggil si anak pembuat teh. Di bangku-bangku
di luar pintu-pintu yang tertutup, Ka melihat deretan pemuda yang menanti untuk
diinterogasi. Borgol-borgol menyatukan tangan mereka, dan jelas terlihat bahwa mereka
telah dihajar; wajah mereka penuh memar. Ka berusaha tidak menatap mata mereka.
Mereka membawa Ka ke sebuah ruangan yang hampir mirip dengan tempat dia dibawa
bersama Muhtar, dan di situ mereka mengatakan bahwa, meskipun dia telah
menyatakan bahwa dirinya tidak melihat pria yang membunuh direktur Institut
Pendidikan dan tidak mengenali seorang pun tersangka dari foto-foto yang mereka
tunjukkan kepadanya sehari sebelumnya, sekarang mereka berharap dia akan bisa
mengenali si tersangka dari sejumlah murid madrasah aliah yang saat ini mendekam di
sel di bawah. Dari sini, Ka menyimpulkan bahwa menyusul peristiwa "revolusi", MYT
telah menyusupkan otoritasnya ke kantor polisi, dan bahwa hubungan antara kedua
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
kelompok itu diliputi ketegangan. Seorang detektif berwajah bulat menanyakan kepada
Ka tentang tempatnya berada pada sekitar pukul empat sore hari sebelumnya. Selama
sesaat, wajah Ka pucat pasi. "Kata orang-orang, sebaiknya saya menemui Yang Mulia
Syekh Saadettin," dia mulai menjelaskan. Si detektif berwajah bulat memotong
ucapannya. "Bukan, sebelum itu!" tukasnya. Saat Ka tetap diam, si agen berwajah bulat
mengingatkannya akan pertemuannya dengan Lazuardi. Pria itu mengatakannya
dengan cara sebegitu rupa sehingga mengesankan bahwa dirinya sudah mengetahui
semua itu dan merasa menyesal karena membuat Ka malu. Ka berusaha melihat hal ini
sebagai pertanda adanya niat baik. Seorang petugas polisi biasa mungkin akan
menuduh Ka berusaha menutupnutupi pertemuan itu, lalu mempermalukan dirinya,
menyombongkan diri dengan menggembar-gemborkan bahwa polisi mengetahui
segalanya. Dengan nada nyaris menyesal, si agen berwajah bulat menjelaskan kepada
Ka bahwa Lazuardi adalah seorang teroris berbahaya dan seorang pelaku konspirasi
yang licin. Semua orang tahu bahwa Lazuardi adalah musuh republik, dan dia juga
diburu di Iran. Dia dipastikan telah membunuh si pembawa acara televisi, sehingga
perintah penahanan baginya sudah ditetapkan. Dia pernah terlihat di seluruh Turki. Dia
mengorganisasi kalangan fundamentalis. "Siapakah yang mengatur pertemuan kalian"1
"Seorang murid madrasah aliah saya tidak tahu namanya,1 jawab Ka. "Kami ingin
melihat apakah Anda bisa mengidentilikasi anak itu sekarang,1 kata si agen. "Lihatlah
mereka secermat mungkin; Anda akan menggunakan jendela observasi di pintu sel
mereka. Jangan takut, mereka tidak akan bisa melihat wajah Anda.1 Mereka membawa
Ka menuruni anak tangga lebar menuju ruang bawah tanah. Seratus tahun lalu, ketika
bangunan kokoh ini difungsikan sebagai rumah sakit Armenia, ruang bawah tanah itu
digunakan sebagai gudang penyimpanan kayu bakar dan asrama para pesuruh. Lama
kemudian, pada tahun 1940-an, ketika bangunan ini dialih fungsikan menjadi sekolah
menengah negeri, dinding-dinding ruang bawah tanah diruntuhkan dan ruangan luas
yang terbentuk digunakan sebagai kafetaria. Cukup banyak pemuda Kars yang
merupakan Marxis musuh bebuyutan Barat selama tahun 1960-an menelan kapsul hati
minyak ikan cod pertama mereka di tempat ini; mereka menggelontor kapsul itu dengan
susu bubuk yang dikirim oleh UNICEF, minuman berbau amis yang membuat perut
mereka bergolak. Sekarang, ruang bawah tanah yang luas itu terdiri dari sebuah koridor
dan empat buah sel. Dengan sikap tegas yang menunjukkan latihan rutin, seorang
polisi memasang topi tentara ke kepala Ka. Si agen MYT berhidung bengkok yang
menjemput Ka di hotel memberinya tatapan penuh arti dan mengatakan, "Topi tentara
membuat anak-anak itu gentar." Ketika mereka tiba di sel pertama dari dua sel di
sebelah kanan, si polisi membuka jendela observasi dan berseru, "Perhatian! Petugas!"
Ka melongokkan kepala ke jendela itu, yang berukuran tidak lebih besar daripada
telapak tangannya. Sel itu sendiri kira-kira seukuran ranjang besar; Ka dapat melihat
lima orang berada di dalamnya. Mungkin lebih banyak lagi: sulit untuk mengatakannya
karena mereka semua bergerombol menjadi satu. Mereka berkumpul di dekat tembok
dekil di ujung sel; dan, meskipun tidak pernah mendapatkan pelatihan miiter, mereka
tahu cara berdiri tegap saat disuruh, meskipun tampak canggung, sambil memejamkan
mata. (Ka melihat beberapa orang setengah membuka mata dan memandangnya.)
"Revolusi" baru dimulai sepuluh jam berselang, namun kepala para tersangka itu telah
tercukur bersih, wajah dan mata mereka telah bengkak karena pemukulan. Sel itu lebih
terang daripada koridor di luarnya, namun di mata Ka, semua remaja di dalamnya
tampak sama. Kepala Ka terasa berputar saat ketakutan menyelimutinya. Dia merasa
lega karena tidak melihat Necip di antara mereka. Setelah Ka gagal mengenali seorang
pun remaja di sel kedua dan ketiga, si agen MYT berhidung bengkok mengatakan,
"Anda tidak perlu takut. Lagi pula, saat jalan-jalan sudah kembali dibuka, Anda akan
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
bisa langsung pergi dari sini." "Tapi, saya tidak mengenal seorang pun dari mereka,"
ujar Ka, bersikeras. Bagaimanapun, dia sesungguhnya mengenali beberapa orang di
antara mereka: dia ingat betul dengan salah seorang anak yang dilihatnya menyoraki
Funda Eser dan seorang lain yang meneriakkan slogan-slogan. Dan, seandainya Ka
melaporkan anak-anak itu sekarang, akan terbukti bahwa dirinya bersedia bekerja
sama, sehingga jika nanti dia melihat Necip, akan mudah baginya untuk berpura-pura
tidak mengenalinya. (Lagi pula, anak-anak itu tidak akan dikenai hukuman serius.)
Tetapi, Ka tidak melaporkan siapa pun. Salah seorang remaja, wajahnya bersimbah
darah, memandang langsung mata Ka dan memohon, "Pak, tolong jangan beri tahu ibu
kami." Anak-anak itu mungkin dipukuli saat revolusi memanas semalam: para petugas
tidak menggunakan senjata apa pun, hanya sepatu bot dan kepalan tangan mereka.
Sekarang Ka tiba di sel keempat, dan sekali lagi dia tidak melihat seorang pun yang
mirip dengan pria yang diihatnya membunuh direktur Institut Pendidikan. Saat merasa
yakin bahwa Necip tidak duduk di antara para remaja ketakutan itu, Ka mulai merasa
tenang. Saat mereka kembali ke atas, jelas terlihat bahwa si agen berwajah bulat dan
para atasannya bekerja di bawah tekanan besar untuk menemukan pembunuh direktur
Institut Pendidikan, supaya mereka dapat memamerkan pria itu sebagai prestasi
pertama dalam masa revolusi. Ka curiga mereka bahkan ingin menggantung si
tersangka di sana dan saat itu juga. Sekarang, seorang pensiunan wali kota memasuki
ruangan. Meskipun jam malam masih diberlakukan, entah bagaimana dia mendapatkan
cara untuk mendatangi kantor polisi dan memohon supaya cucunya dilepaskan dari
tahanan. Si mantan wali kota memohon kepada mereka untuk tidak menyiksa cucunya,
yang tidak memiiki kesalahan terhadap negara dan dikirim untuk bersekolah ke
madrasah aliah hanya karena ibunya yang tiba-tiba jatuh miskin menginginkan putranya
mendapatkan mantel dan pakaian wol gratis. Bahkan, keluarga mereka sesungguhnya
adalah pendukung setia Atatiirk dan republik. Si agen berwajah bulat memotong kalimat
si mantan wali kota. "Pak, tidak ada yang diperlakukan dengan buruk di sini," katanya.
Setelah itu, dia menarik Ka ke salah satu sisi ruangan. Dia mengatakan bahwa ada
kemungkinan si pembunuh dan para anak buah Lazuardi (naluri Ka mengatakan bahwa
polisi menduga tersangka pembunuhan itu adalah salah satu dari mereka) adalah para
pemuda yang dikeluarkan dari sekolah dokter hewan. Akhirnya, Ka kembali dibawa
memasuki truk tentara bersama si agen berhidung bengkok yang menjemputnya ke
hotel. Di sepanjang jalan, sambil mengisap sebatang rokok dan mengagumi keindahan
jalanan yang sunyi, Ka mengucap syukur karena dapat keluar dengan selamat dari
kantor polisi. Sebagian kecil dari dirinya secara diamdiam merasa lega karena militer
berkuasa dan negara ini tidak akan condong mengikuti kehendak para Islamis. Tetapi,
dengan sepenuh hati, Ka bersumpah kepada dirinya sendiri bahwa dia akan menolak
untuk bekerja sama dengan polisi ataupun tentara. Tepat ketika itulah sebuah puisi baru
menerpa benaknya; begitu kuat, begitu membahagiakan dengan cara yang ganjil,
sehingga Ka menoleh kepada si agen berhidung bengkok dan bertanya, "Mungkinkah
jika kita mampir sebentar di sebuah kedai teh?" Di kota ini, tak mungkin untuk berjalan
tanpa menemukan satu pun kedai teh yang dijejali pria pengangguran. Meskipun
sebagian besar pusat keramaian ditutup pagi itu, ada sebuah kedai teh di Jalan Kanal
yang berhasil tetap buka tanpa menarik perhatian jeep tentara yang diparkir di bahu
jalan. Di dalamnya terdapat seorang pelayan yang sedang menantikan jam malam
berakhir, dan tiga orang pemuda lain yang duduk di sebuah meja. Mereka semua
membuang muka saat melihat seorang pria bertopi tentara dan seorang petugas
berpakaian preman melewati pintu. Tanpa membuang-buang waktu, si agen berhidung
bengkok mencabut sebuah pistol dari mantelnya dan, dengan profesionalisme yang mau
tak mau membuat Ka kagum, dia menyuruh para pemuda itu menghadapkan muka ke
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sebuah lukisan besar bergambar pemandangan Swiss yang tergantung di dinding;
setelah itu, dengan sama efisiennya, dia menggeledah dan memeriksa kartu identitas
mereka. Ka yakin agen itu hanya mengikuti aturan, sehingga dia pun langsung duduk di
meja dekat tungku pemanas dan dengan lancar menulis puisi terbarunya. Nantinya, Ka
akan menjuduli puisinya ini "Jalanan Impian". Puisi ini dibuka dengan jalanan bersalju di
Kars, namun ketiga puluh enam barisnya juga mengacu pada jalanan di Istanbul pada
masa lalu, kota hantu Ani di Armenia, dan kota-kota menakjubkan, mencekam, dan
sunyi senyap yang dilihat Ka dalam mimpi-mimpinya. Setelah menyelesaikan puisinya,
Ka memandang pesawat televisi hitam-putih dan menyadari bahwa si penyanyi lagu
rakyat telah menghilang, digantikan oleh siaran tentang momen-momen awal revolusi di
Teater Nasional. Vural si penjaga gawang baru saja mulai bercerita tentang pacar-pacar
lama dan gol-gol yang membuat tim Turki kalah, dan menurut perhitungan Ka, dia akan
melihat dirinya membaca puisi di televisi dalam waktu dua puluh menit. Puisi inilah yang
terhapus dari benaknya sebelum dia sempat menuliskannya. Dia bertekad untuk
merekamnya sekarang. Empat orang lagi memasuki kedai teh melalui pintu belakang.
Si agen MYT berhidung bengkok sekali lagi mencabut pistolnya dan menyuruh mereka
berbaris merapat ke dinding. Pemilik kedai teh itu, seorang Kurdi, berusaha menjelaskan
kepada si agen, yang dipanggilnya sebagai "Bapak Komandan", bahwa pria-pria itu tidak
melanggar aturan jam malam karena mereka masuk melewati kebun. Si agen MYT
memutuskan untuk mendengar cerita mereka. Lagi pula, salah seorang dari mereka
tidak membawa kartu identitas dan gemetar ketakutan. Si agen mengumumkan bahwa
dia akan mengantar pria itu pu-lang dengan rute yang diambilnya saat dia pergi ke kedai
teh itu. Agen itu memanggil sopirnya dan menugaskannya mengawasi para pemuda lain
yang masih berbaris merapat ke dinding. Ka, setelah memasukkan kembali buku
catatan puisinya ke saku, mengikuti si agen ke pintu belakang dan keluar menuju
halaman yang dingin berselimut salju. Mereka melewati pagar tembok pendek, menuruni
tiga anak tangga berlapis es, dan disalaki oleh seekor anjing yang terikat rantai sebelum
memasuki sebuah bangunan semen reyot yang mirip dengan begitu banyak bangunan
lainnya di Kars. Dari ruang bawah tanah bangunan itu menguar aroma tajam lumpur dan
seprai kotor. Pria yang mereka ikuti melewati tungku pemanas yang bergetar dan
memasuki sebuah ruangan berisi kardus-kardus dan peti-peti sayuran. Di sana, di atas
sebuah ranjang bobrok, terbaring seorang wanita berkulit putih dan berwajah luar biasa
cantik. Ka tak mampu menahan tatapannya. Pria tanpa kartu identitas itu mengeluarkan
sebuah paspor dan menunjukkannya kepada si agen MYT. Tungku pemanas bergetar
begitu hebat sehingga Ka tidak dapat mendengar percakapan mereka, namun dia dapat
melihat ketika si pria tanpa kartu identitas mengeluarkan paspor kedua. Ternyata, pria
dan wanita yang terbaring di ranjang itu adalah pasangan dari Georgia yang datang ke
Turki untuk mencari pekerjaan. Di kedai teh, para pemuda pengangguran yang telah
diperiksa kartu identitasnya oleh si agen MYT berkeluh kesah tentang pasangan
Georgia tersebut. Si istri menderita TBC namun masih bekerja sebagai pelacur;
pelanggannya adalah para pemilik toko hasil ternak dan pedagang kulit yang datang ke
kota untuk berbisnis. Sedangkan si suami, seperti begitu banyak orang Georgia lainnya,
bersedia bekerja dengan upah setengah harga pasaran sehingga semakin
memperparah kesempatan penduduk Turki untuk bersaing dalam mendapatkan
lapangan kerja yang semakin sedikit. Pasangan itu sangat miskin, juga sangat pelit,
sehingga mereka tidak mau membayar sewa hotel; alih-alih, mereka membayar lima
dolar kepada penjaga kantor Departemen Perairan supaya mengizinkan mereka tinggal
di ruang pemanas. Kabarnya, mereka sedang menabung untuk membeli rumah di
negara mereka sendiri, dan setelah rumah itu terbeli, mereka berencana untuk
bersantai-santai sepanjang sisa hidup mereka. Kardus-kardus yang ada di tempat
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tinggal mereka penuh berisi benda-benda kerajinan kulit yang mereka beli dengan harga
murah untuk dijual kembali di Tiflis. Mereka pernah dideportasi dua kali, namun dua kali
pula mereka berhasil menemukan jalan "pulang" ke ruang pemanas. Sekarang, setelah
mengambil alih kekuasaan, terserah bagi pihak miiter untuk membereskan apa yang
gagal dikerjakan oleh para polisi daerah yang korup menanggulangi para parasit ini,
membersihkan kota. Di kedai teh, pemilik kedai sangat senang karena dapat melayani
tamu dan mendengarkan ceracau para pemuda pengangguran yang, dengan sedikit
ancaman dari si agen MYT, mulai berbicara, meskipun dengan banyak jeda, tentang
harapan mereka setelah terjadinya kudeta. Di antara keluhan-keluhan mereka tentang
para politikus berhati busuk, terselip pula sedikit aduan yang cukup untuk dianggap
sebagai kritikan pedas: penjagalan hewan tanpa lisensi, kecurangan di gudang tempat
penyimpanan komoditas milik negara, para kontraktor licik yang menyelun-dupkan
orang-orang Armenia secara ilegal menggunakan truk daging dan menempatkan
mereka dalam barakbarak, mempekerjakan mereka sepanjang hari dan membayar
mereka dengan kacang .... Para pemuda pengangguran ini sama sekali tidak
memahami bahwa miiter mengambil alih kekuasaan untuk melawan nasionalisme Kurdi
dan mencegah kalangan "fanatis agama" memenangi pemilihan. Mereka sepertinya
berpikir peristiwa semalam menandai awal sebuah era baru, di mana keasusilaan dan
pengangguran tidak akan mendapatkan tempat. Mereka sepertinya berpikir bahwa
tentara melakukan kudeta untuk mencarikan pekerjaan bagi mereka. Sekembalinya lagi
ke truk tentara, Ka memandang si agen berhidung bengkok yang mengeluarkan paspor
si wanita Georgia. Mengetahui bahwa tujuan utama si agen adalah memandangi foto
wanita itu, Ka merasa malu. Saat mereka menapakkan kaki di fakultas kedokteran
hewan, Ka dapat melihat betapa pemandangan di kantor polisi relatif tidak ada
apa-apanya. Saat melewati koridor bangunan sedingin es ini, Ka langsung merasa
sedang berada di sebuah tempat di mana tidak seorang pun akan memikirkan tentang
penderitaan orang lain. Ke tempat inilah miiter membawa seluruh nasionalis Kurdi yang
dapat mereka jaring, juga semua teroris sayap kiri yang dengan bangga mengklaim
bertanggung jawab atas berbagai pengeboman, ditambah dengan semua yang terdaftar
dalam arsip MYT sebagai pendukung orang-orang tersebut. Semua polisi, tentara, dan
jaksa penuntut mengincar setiap partisipan dari kegiatan yang diorganisasi oleh
kelompok-kelompok ini, dan hal yang sama berlaku juga bagi semua orang yang
menolong atau menyokong gerilyawan Kurdi yang turun dari gunung-gunung untuk
menyusup ke kota. Tidak ada kata maaf bagi orang-orang ini; mereka diinterogasi
dengan cara lebih brutal daripada orang-orang yang dicurigai memiliki hubungan
dengan Islam politis. Seorang polisi berbadan jangkung dan kekar menggamit lengan
Ka dan membawanya melewati koridor, perlahan-lahan, seolaholah Ka adalah seorang
pria tua berkaki pincang. Bersama-sama, mereka memasuki tiga ruang kelas tempat hal
mengerikan terjadi. Aku akan mengikuti sikap temanku di sini. Sama seperti dirinya yang
memutuskan untuk tidak mencatat apa yang dilihatnya ketika itu, aku juga tidak akan
berlama-lama menceritakan tentangnya. Setelah selama beberapa detik mengamati
para tersangka di ruang kelas pertama, yang langsung muncul dalam pikiran Ka adalah
betapa pendeknya perjalanan hidup manusia sejak kelahiran hingga kematian. Sekali
saja melihat para tersangka yang baru saja diinterogasi ini cukup untuk menghadirkan
impian menggoda tentang peradaban dan negara-negara yang tak pernah
dikunjunginya. Ka tahu betul bahwa dia dan semua orang lain di ruangan itu sedang
dengan cepat menghampiri akhir umur mereka: liin mereka akan segera padam. Dalam
buku catatannya, Ka menyebut tempat ini sebagai ruang kuning. Di ruang kelas kedua,
Ka mendapatkan bayangan yang lebih sederhana. Dia mengenali orang-orang di
dalamnya sebagai pengunjung kedai teh yang dilewatinya saat berjalan-jalan di kota
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sehari sebelumnya; sekarang, rasa bersalah sarat mengisi mata mereka. Mereka
tenggelam dalam dunia impian yang begitu jauh, atau setidaknya itulah yang terlihat
oleh Ka. Saat mendekati ruang kelas ketiga, dalam kesuraman mencekam yang
memengaruhi jiwanya, Ka merasakan adanya suatu kekuatan besar yang membuat
penolakannya untuk mengungkapkan semua yang diketahuinya menjadi siksaan
terbesar di dunia. Matanya terbuka lebar, namun dia tak mampu melihat apa yang ada
di hadapannya; yang dapat dilihatnya hanyalah warna di dalam kepalanya. Karena
warna ini mendekati merah, dia akan menyebut tempat itu sebagai ruang merah. Di sini,
pikiran-pikiran yang didapatkannya di kedua ruangan pertama bahwa hidup itu singkat,
bahwa manusia penuh diliputi perasaan bersalah kembali menghantuinya. Tetapi,
bahkan saat dihadapkan dengan pemandangan mengerikan ini, Ka masih bisa
mempertahankan sikap tenangnya. Saat mereka meninggalkan fakultas kedokteran
hewan, Ka menyadari bahwa pengawalnya telah kehilangan kepercayaan padanya dan
mulai memikirkan motifnya. Lagi pula, dia kembali gagal dalam mengenali tersangka.
Tetapi, Ka sangat lega karena tidak melihat Necip, sehingga ketika si agen berhidung
bengkok mengatakan bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan ke kamar mayat
Rumah Sakit Jaminan Sosial untuk melihat mayat, Ka langsung menyetujuinya.
Setibanya mereka di kamar mayat, yang terletak di ruang bawah tanah rumah sakit,
mayat tersangka uta ma pertama diperlihatkan kepada Ka. Dia adalah militan yang
meneriakkan slogan-slogan Islamis, yang tewas akibat tiga butir peluru dari salvo kedua.
Tetapi, Ka tidak pernah melihat pria itu sebelumnya. Dia mendekati mayat ini dengan
hati-hati, dan saat memandangnya, Ka merasa pemuda yang tak lagi bernyawa ini
menyambutnya dengan sedih dan penuh hormat. Mayat yang terbaring di meja pualam
kedua tampak seolaholah gemetar kedinginan; dia adalah si kakek bertubuh mungil.
Mereka menunjukkan mayat ini kepada Ka karena mereka belum mengetahui bahwa
pria ini datang dari Trabzon untuk menemui cucu tentaranya yang ditugaskan di Kars,
dan karena tubuh kecilnya membuka kemungkinan bahwa dirinya adalah pelaku
pembunuhan direktur Institut Pendidikan. Saat menghampiri mayat ketiga, Ka telah
mulai bermimpi menyenangkan tentang pertemuan kembali dengan Ypek. Salah satu
mata mayat ini hancur lebur. Sejenak, Ka menyangka semua mayat di ruangan ini
memang seperti itu. Lalu, saat dia melihat lebih dekat wajah putih tanpa nyawa pemuda
itu, sesuatu di dalam dirinya bergetar dan sirna. Mayat itu adalah Necip. Wajahnya yang


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jenaka, bibirnya yang maju, seolaholah hendak melontarkan pertanyaan
kekanak-kanakan. Ka merasakan kedinginan dan keheningan rumah sakit. Dia dapat
melihat bintikbintik yang sehari sebelumnya dilihatnya di wajah remaja itu. Hidungnya
yang mancung. Jaket sekolah dengan warna yang telah memudar. Sejenak, Ka
menyangka dirinya akan menangis, dan itu membuatnya merasa panik. Tetapi,
munculnya rasa panik ini cukup mengalihkan pikirannya dari keinginan untuk menangis.
Di sana, di tengah-tengah kening yang disentuh oleh telapak tangannya dua belas jam
sebelumnya, terdapat sebuah lubang peluru. Meskipun begitu, yang paling membuat
mayat Necip tampak mengenaskan bukanlah lubang peluru, bukan pula wajahnya yang
pucat kebiruan, melainkan kenyataan bahwa dirinya terbaring kaku di atas meja pualam.
Gelombang kelegaan menerpa Ka; dia lega karena dirinya tetap hidup. Ini menjauhkan
jaraknya dengan Necip. Dia mencondongkan tubuhnya, mengulurkan kedua tangannya
yang sedari tadi disembunyikannya di belakang punggung memegangi kedua bahu
Necip, dan mencium kedua pipinya. Pipi remaja itu terasa dingin namun belum
mengeras. Mata hijaunya yang tersisa masih setengah terbuka, menatap langsung
kepada Ka, yang menegakkan badan dan mengatakan kepada si agen berhidung
bengkok bahwa pemuda ini adalah "teman" yang menghampirinya di jalan sehari
sebelumnya untuk menceritakan usahanya menjadi penulis novel fiksi ilmiah. Lalu, Ka
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
mengatakan bahwa Necip adalah orang yang membawanya menemui Lazuardi. Dia
menciumnya, jelas Ka, karena remaja ini memiliki hati yang teramat murni. [] "Piihan
Rakyat" bagi Peran Atatiirk Perjalanan Karier Militer dan Teater Sunay Zaim SETELAH
KA mengidentifikasi Necip di kamar mayat Rumah Sakit Jaminan Sosial, seorang
petugas cepat-cepat menyusun laporan, menandatanganinya, dan mendaftarkannya
untuk disahkan. Kemudian, Ka dan si agen berhidung bengkok naik kembali ke truk
tentara dan melanjutkan perjalanan. Sekelompok anjing lesu berjalan mengiringi
mereka, namun tanda-tanda kehidupan yang lain hanyalah spanduk-spanduk pemilihan
dan poster-poster anti bunuh diri. Di sepanjang perjalanan, tatapan Ka tertuju pada
anak-anak penasaran dan ayah-ayah cemas yang berulang kali mengintip dari celah
gorden pada truk yang lewat, namun Ka tidak memerhatikan mereka. Satu-satunya hal
dalam benaknya, yang dapat diihatnya, adalah wajah Necip, dan tubuh kaku Necip. Dia
membayangkan Ypek menenangkannya sekembalinya dirinya ke hotel, namun setelah
melewati balai kota yang kosong, truk yang ditumpanginya terus berjalan menyusuri
Jalan Atatiirk sebelum berhenti di depan bangunan Rusia berumur 90 tahun yang
terletak dua ruas jalan dari Teater Nasional. Bangunan itu termasuk salah satu rumah
tua indah berlantai satu yang dikagumi Ka pada malam pertamanya di Kars. Setelah
kota ini diserahkan pada Turki dan bergabung dengan republik, rumah tersebut jatuh ke
tangan Maruf Bey, seorang pedagang terkenal yang menjual kayu dan kulit ke Uni
Soviet. Selama empat puluh tiga tahun, dia dan keluarganya tinggal dengan gaya hidup
mewah di sana, dengan para koki dan pelayan yang memenuhi setiap kebutuhan
mereka, lengkap dengan kereta salju dan kereta kuda yang siap membawa mereka ke
mana-mana. Setelah Perang Dunia Kedua, pada awal Perang Dingin, Agen Keamanan
Nasional menjaring semua pedagang yang berbisnis dengan Uni Soviet, menuduh
mereka sebagai mata-mata, dan menjebloskan mereka ke penjara. Tidak seorang pun
pernah kembali. Maka, selama dua puluh tahun berikutnya, rumah mewah Maruf Bey
terbengkalai, pertama karena tidak ada pemiiknya, dan kedua karena terjadi kemelut
untuk menentukan siapa ahli warisnya. Pada pertengahan tujuh puluhan, sebuah
pecahan kelompok Marxis bersenjata gada menduduki rumah itu dan menjadikannya
sebagai markas, dan dari sana mereka merencanakan sejumlah pembunuhan politis
(termasuk perco baan pembunuhan terhadap Muzaffer Bey, yang meninggalkan
pengacara dan mantan walikota itu terluka parah namun tetap hidup). Setelah terjadinya
kudeta pada 1980, bangunan itu kembali terbengkalai selama beberapa waktu, sebelum
seorang pedagang peralatan rumah tangga yang memiiki toko kecil di sebelah rumah itu
menjadikan setengah bagiannya sebagai gudang, sementara seorang penjahit yang
berpandangan jauh ke depan yang, setelah meraup kekayaan di Istanbul dan Arab
Saudi, kembali ke kota kelahirannya tiga tahun sebelumnya dengan membawa mimpi
yang mustahil terwujud mengubah setengah bagian rumah yang lain menjadi tempat
bekerja bagi sejumlah karyawannya. Ketika berjalan memasuki rumah, Ka melihat
sejumlah mesin pemasang kancing, mesin jahit kuno berukuran besar, dan gunting
besar yang digantungkan di paku di dinding; diterangi pendar oranye suram dari kertas
pelapis dinding bermotif bunga mawar, mesin-mesin itu tampak menyerupai alat-alat
penyiksaan. Sunay Zaim masih mengenakan mantel kumal, sweter, dan sepatu bot
tentara yang dikenakannya dua hari sebelumnya, saat Ka pertama kali melihatnya. Dia
berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sebatang rokok kretek terselip di antara
jemarinya. Saat melihat Ka, wajahnya langsung berseri-seri, seolaholah Ka adalah
teman lamanya. Dia berlari melintasi ruangan, lalu memeluk dan mencium kedua pipi
Ka. Ka nyaris menyangka Sunay akan mengucapkan, "Selamat! Ini hari yang hebat bagi
bangsa kita," seperti yang dilakukan si pedagang hewan ternak di hotel; ada sesuatu
dalam sikap ramah berlebihannya yang membuat Ka waspada. Ka akan
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
menggambarkan hubungannya dengan Sunay secara diplomatis: mereka hanyalah dua
orang pria yang sama-sama berasal dari Istanbul, bertemu di sebuah kota miskin dan
terpencil, dan kemudian mendapatkan cara untuk bekerja sama di bawah kondisi yang
runyam. Meskipun begitu, Ka menyadari betul peranan Sunay dalam membantu
menciptakan kondisi runyam tersebut. "Tidak sehari pun berlalu tanpa adanya burung
elang hitam keputusasaan terbang di jiwaku," kata Sunay, mengucapkan kata-katanya
dengan nada sombong dan misterius. "Tapi, aku tak bisa mengejar diriku sendiri. Yang
bisa kulakukan hanyalah bertahan. Semua yang dilakukan dengan baik akan berakhir
baik." Di bawah cahaya putih yang masuk melalui jendela, Ka mengamati ruangan luas
tempatnya berada: tungku pemanas besar dan hiasan di sudutsudut langit-langit
tingginya merupakan saksi bisu kejayaan masa lalu; sekarang, di sana-sini tampaklah
pria yang berkomunikasi menggunakan walkie-talkie, dan terdapat pula dua orang
pengawal berbadan besar yang mengamati setiap gerakan Ka; di atas meja di dekat
pintu menuju koridor terdapat sebuah peta, sebuah pistol, sebuah mesin tik, dan
setumpuk map. Ka menarik kesimpulan bahwa tempat ini adalah pusat operasi revolusi,
dan bahwa Sunay adalah orang paling berkuasa di ruangan ini. "Ada berbagai masa,
dan kali ini adalah masa yang terburuk," kata Sunay sambil melangkah mondar-mandir,
"saat kami tiba di sebuah kota miskin dan terlupakan di tanah antah berantah tanpa
mengetahui apakah kami akan menemukan tempat untuk mementaskan sandiwara
kami, atau bahkan hotel untuk mengistirahatkan kepala kami yang letih saat aku
mencari seorang teman lama, hanya untuk mendapati bahwa dirinya sudah lama
meninggalkan kota kecil itu. Pada saat seperti itu, keputusasaan duka akan menguasai
diriku. Untuk menyingkirkannya, aku akan segera berkeliaran di jalanan kota, mengetuk
pintu-pintu rumah dokter, pengacara, dan guru setempat, mencari seseorang yang
mungkin akan tertarik mendengar berita yang kami bawa dari perbatasan seni modern
dan kebudayaan kontemporer. Saat aku mendapati bahwa tidak ada seorang pun yang
tinggal di satu-satunya alamat yang kuketahui, saat polisi memberi tahu kami bahwa
mereka tidak akan, tanpa memedulikan usaha kami, memberikan izin bagi pementasan
kami, atau ketika dan ini selalu menjadi harapan terakhirku aku dengan segenap
kerendahan hati memohon kepada wali kota, hanya untuk mendengar bahwa dia pun
tidak berminat menampung kami, aku mulai cemas kegelapan akan menyelimutiku.
Pada saat seperti itu, burung elang di dalam dadaku akan hidup; ia akan mengepakkan
sayapnya dan tepat sebelum gerakannya menyesakkan dadaku ia akan terbang bebas.
Dan, tidak masalah di mana kami akan tampil bisa saja kami tampil di kedai teh terburuk
di dunia ini, bisa saja di stasiun kereta api atas kebaikan kepala stasiun yang tertarik
pada salah satu aktris kami, bisa saja di pangkalan pemadam kebakaran atau di ruang
kelas sebuah sekolah dasar, atau di sebuah restoran murahan, kami bisa saja tampil di
jendela kios tukang cukur, atau di anak tangga sebuah pasar, atau di lumbung, atau di
trotoar aku menolak untuk tunduk pada keputusasaan.1 Tepat ketika itu, pintu terbuka
dan Funda Eser bergabung bersama mereka, lalu Sunay mengubah sebutan "aku1
menjadi "kami1. Pasangan ini begitu mesra, sehingga Ka tidak melihat pentingnya
Sunay mengubah kata gantinya menjadi jamak. Funda Eser menggerakkan tubuh
montoknya melintasi ruangan dengan anggun, dan, setelah dengan cepat menjabat
tangan Ka, dia membisikkan sesuatu ke telinga suaminya, lalu keluar dari ruangan
dengan raut wajah sangat gelisah. "Ya, itulah tahuntahun terburuk kami,1 kata Sunay.
"Semuanya adalah akibat dari kekacauan sosial dan gabungan kebodohan Istanbul dan
Ankara, dan nestapa kami terdokumentasikan dengan baik di media. Aku menyambar
kesempatan besar yang hanya mendatangi orang-orang yang dikaruniai kegeniusan ya,
betul dan pada hari ketika aku akan menggunakan karyaku untuk melibatkan diri dalam
arus sejarah, tiba-tiba ada yang menarik karpet yang kupijak, dan aku mendapati diriku
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
terjerembap dalam kubangan lumpur terjorok. Meskipun tak kuasa menghancurkanku,
keputusasaan kawan lamaku sekarang kembali menghantui jiwaku. Tapi, tak peduli
betapa lama aku berkubang di dalam lumpur itu, tak peduli betapa kotornya, betapa
nistanya, kemiskinan dan sikap acuh tak acuh yang kulihat di sekitarku, aku tak pernah
kehilangan keyakinanku pada prinsip-prinsip hidupku sendiri, tak pernah meragukan
bahwa aku telah mencapai puncak. Kenapa kau ketakutan begitu?" Seorang dokter
yang mengenakan jas putih dan menenteng sebuah tas muncul di pintu. Dengan sikap
terburu-buru yang sepertinya dibuat-buat, dia mengeluarkan sebuah alat pengukur
tekanan darah dan membelitkannya ke lengan Sunay. Sementara si dokter bekerja,
Sunay memandang cahaya putih yang masuk melalui jendela, ekspresi wajahnya begitu
tragis sehingga Ka menyangka pria itu mungkin masih memikirkan "kejatuhannya" pada
awal tahun delapan puluhan. Ka sendiri lebih mengingat Sunay dari kiprahnya pada
tahun tujuh puluhan, dengan peran-peran yang membuatnya terkenal. Masa itu adalah
masa keemasan bagi teater politis kiri. Jika sosok Sunay menonjol di kalangan
masyarakat teater yang tak seberapa besar jumlahnya, itu bukan hanya disebabkan
oleh kerja keras dan prestasinya sebagai aktor yang mampu menjawab tantangan
berbagai peran; bukan, yang paling dikagumi para penggemarnya dari dirinya adalah
jiwa kepemimpinannya. Para pemudi Turki yang memujanya menyambut hangat
perannya sebagai pemimpin-pemimpin besar seperti Napoleon, Lenin, dan Robespierre,
begitu pula perannya sebagai pahlawan-pahlawan daerah yang lebih dekat dengan
kehidupan mereka. Ketika Sunay menyerukan suara tegasnya untuk menentang
penindasan, ketika, setelah adegan pemukulan dari para penindas di atas panggung,
Sunay menegakkan kepala dan berseru dengan penuh wibawa, "Akan tiba hari saat kita
akan membalas mereka," ketika, pada hari terburuknya sekalipun (pada hari saat dia
mengetahui, saat semua orang mengetahui, bahwa dirinya akan segera ditahan), dia
menggertakkan gigi dan, mendoakan semoga teman-temannya beruntung, mengatakan
kepada mereka bahwa tak peduli sebesar apa pun penderitaan yang menantinya, dia
tetap yakin bahwa mereka akan dan tetap mampu memberikan kebahagiaan bagi orang
lain melalui latihan kekerasan tanpa ampun ketika itulah murid-murid sekolah menengah
dan para mahasiswa "progresif di antara para penontonnya akan menyambut aktingnya
dengan air mata terharu dan tepuk tangan gegap gempita. Yang paling membuat para
penontonnya terkesan adalah ketegasan Sunay dalam membawakan bagian-bagian
terakhir dalam berbagai sandiwara tersebut, saat tampuk kekuasaan jatuh ke tangannya
dan momen untuk menuntut balas kepada para penindasnya akhirnya tiba. Dalam hal
ini, para kritikus melihat pengaruh dari latihan militernya. Sunay pernah menjadi taruna
di Akademi Miiter Kuleli, namun dikeluarkan pada tahun terakhirnya karena pergi secara
diamdiam ke Istanbul dengan perahu dayung untuk tampil di berbagai teater di BeyoSIu,
juga karena dia menggelar sebuah pementasan sandiwara rahasia bertajuk Sebelum Es
Mencair. Ketika militer melakukan kudeta pada 1980, semua sandiwara sayap kiri
mendapatkan pencekalan, dan tidak lama kemudian, diputuskan bahwa sebuah drama
televisi baru berdana besar yang mengisahkan tentang Atatiirk akan dibuat untuk
merayakan seratus tahun kelahirannya. Pada masa lalu, tidak seorang pun mengira
seorang Turki akan mampu menjawab tantangan untuk memerankan pahlawan nasional
berambut pirang, bermata biru, dan berpenampilan kebarat-baratan ini. Sebagian besar
orang berpendapat bahwa film-film nasional berdana besar semacam ini seharusnya
melibatkan bintang-bintang internasional seperti Laurence Olivier, Curt Jurgens, dan
Charlton Heston. Tetapi, kali ini, Hiirriyet, surat kabar terbesar di Turki, turut campur
tangan dengan memuat pendapat bahwa "sekali saja", seorang Turki seharusnya
mendapat kesempatan untuk memainkan peran itu. Koran tersebut bahkan memuat
jajak pendapat serta menampung saran-saran para pembaca mengenai topik ini. Nama
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
Sunay tercetus di antara para nominasi yang ditetapkan oleh juri masyarakat ini:
bahkan, karena namanya yang masih terkenal dari karya-karya bermutunya selama era
demokrasi, sejak hari pertama jajak pendapat, dia telah menduduki peringkat atas. Lagi
pula, Sunay telah memerankan tokoh-tokoh revolusioner selama bertahuntahun.
Masyarakat Turki tidak memiiki keraguan bahwa Sunay yang tampan, berwibawa, dan
penuh percaya diri akan sangat pantas memerankan Atatiirk. Kesalahan pertama
Sunay adalah menganggap serius jajak pendapat publik ini. Dia langsung mendatangi
jaringan surat kabar dan televisi, dan berkoar-koar kepada siapa pun yang mau
mendengarnya. Dia menyewa fotografer untuk memotretnya saat sedang
bersantai-santai di rumah bersama Funda Eser. Dia berbicara secara terbuka tentang
kehidupan rumah tangganya, rutinitas sehari-harinya, dan pandangan politiknya,
mengetengahkan dirinya dalam citra revolusioner yang hebat. Dia tak henti-hentinya
memamerkan bahwa, seperti Atatiirk, dirinya juga seorang sekularis. Dia juga
menegaskan bahwa dirinya dan istrinya memiiki kesenangan dan cara menghabiskan
waktu yang sama (raki, menari, pakaian indah, dan "peranakan unggul"). Dia berpose di
dekat berjilid-jilid buku klasik karya Atatiirk, Orasi, dan mengatakan bahwa dirinya
sedang membaca ulang karya besar itu dari awal hingga akhir. (Ketika seorang penulis
kolom yang berpendapat miring mengenai Sunay mengolok-oloknya karena buku Orasi
yang dibacanya bukan versi asli melainkan versi ringkasan berbahasa Turki, Sunay
mengeluarkan versi asli buku tersebut dari perpustakaannya dan berfoto di dekatnya.
Sayangnya, usahanya untuk memuat foto baru ini di koran terbukti tidak membuahkan
hasil.) Tidak gentar, Sunay tak henti-hentinya tampil di setiap acara peresmian, konser,
pertandingan-pertandingan sepak bola penting, dan, ke mana pun dia pergi, dia
menjawab setiap pertanyaan dari semua wartawan kelas tiga tentang Atatiirk dan
kesenian, Atatiirk dan musik, Atatiirk dan olah raga. Dengan semangat menggebu-gebu
yang kurang pantas dalam dunia politik radikal, dia bahkan bersedia diwawancarai oleh
beberapa surat kabar keagamaan anti Barat. Dalam salah satu wawancara itu, dia
mengatakan, untuk menjawab sebuah pertanyaan yang bisa dianggap basi, "Mungkin
suatu hari nanti, jika publik menghendaki, saya akan memainkan peran sebagai Nabi
Muhammad." Bersama kalimat inilah masalah mulai menderanya. Sejumlah buletin
Islamis kecil-kecilan mengecamnya: Jangan sampai, tulis mereka, seorang manusia
memerankan sang Nabi. Para penulis kolom yang sebelumnya menuduh Sunay
"melecehkan Nabi kita" segera menulis bahwa dia "secara blak-blakan mendiskreditkan
sang Nabi". Ketika terbukti bahwa militer pun enggan membungkam Islamis politis, mau
tidak mau Sunay berusaha sendiri meredakan kekacauan yang timbul akibat komentar
asal-asalannya. Berharap dapat meredam kemarahan para Islamis, Sunay menenteng
Alquran ke mana pun dia pergi dan mengatakan kepada para penggemar konservatifnya
betapa dia mencintai kitab itu, yang isinya dapat dianggap sangat modern. Tetapi, hal ini
hanya menciptakan kesempatan bagi para penulis kolom Kemalis yang tidak suka
melihat Sunay menyombongkan diri sebagai "pilihan rakyat" bagi peran Atatiirk. Tidak
sekali pun, tulis mereka, Atatiirk berusaha mencari dukungan para fanatis agama.
Koran-koran yang mendukung kudeta miiter terus-menerus menampilkan foto Sunay
dalam pose spiritual dengan Alquran di tangannya. Di bawahnya, terdapat komentar,
"Seperti inikah Atatiirk menurut Anda?" Lalu, pers Islamis melancarkan pembalasan.
Mereka menampilkan foto Sunay yang sedang menenggak raki dengan komentar
seperti "Dia juga peminum raki, sama seperti Atatiirk!" dan "Seperti inikah orang yang
akan memerankan Sang Nabi?" Perang seperti ini pecah antara pers Islamis dan pers
sekuler setiap beberapa bulan, namun kali ini Sunay berada di tengah-tengahnya.
Selama seminggu, wajahnya selalu terpampang di koran: salah satu foto menunjukkan
dia sedang menenggak bir dalam sebuah iklan yang dibuatnya bertahuntahun
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
sebelumnya; foto-foto yang lain menunjukkan dia sedang dipukuli dalam sebuah film
yang dibuatnya pada masa mudanya, dia sedang mengacungkan kepalan tangannya
dengan gagah di depan bendera bergambar palu dan sabit, dan dia sedang
menyaksikan istrinya berciuman dengan pemeran utama pria dalam berbagai
sandiwara .... Lalu, berhalaman-halaman berita miring menyusul pemuatan
gambar-gambar itu: istrinya adalah seorang lesbian; Sunay sendiri sesungguhnya masih
menganut paham komunis; dia dan Funda mengisi suara dalam film-film porno ilegal.
Disebutkan pula bahwa Sunay akan memerankan apa pun jika bayarannya sesuai. Lagi
pula, pendanaan dari Jerman Timur memungkinkan dirinya mementaskan Brecht. Dan,
setelah terjadinya kudeta, dia menghina negara dengan pernyataannya yang
menyebutkan bahwa "para wanita gila dari sebuah asosiasi Swedia adalah penyakit bagi
Turki". Akhirnya, seorang "pejabat tinggi militer1 mengundang Sunay ke markasnya
untuk memerintahkan dengan agak kasar supaya dia menarik diri dari kompetisi
memperebutkan peran Atatiirk. Orang ini bukanlah pejabat militer baik hati yang pernah
mengundang beberapa jurnalis sombong dari Istanbul ke Ankara untuk memaki-maki
mereka karena telah mengkritik peranan miiter dalam politik, sebelum akhirnya
menawari mereka cokelat. Pejabat ini adalah seorang mayor yang lebih galak, meskipun
keduanya sama-sama berasal dari divisi hubungan masyarakat. Dia tidak sedikit pun
melunakkan sikap saat melihat Sunay gemetar akibat penyesalan dan ketakutan;
alih-alih, sang mayor justru mengolok-olok si aktor yang telah mengumumkan
pandangan politiknya dalam kedok "pria yang terpilih menjadi Atatiirk1. Secara tersirat,
dia menyebut-nyebut soal kunjungan singkat Sunay ke kota kelahirannya dua hari
sebelumnya untuk sok berperan sebagai "politikus pilihan rakyat'. Di tengah riuh rendah
iring-iringan mobil, juga kerumunan buruh perkebunan tembakau dan pengangguran,
Sunay memanjat patung Atatiirk di alun-alun kota dan mendapatkan sambutan lebih
hebat lagi saat menjabat tangan patung itu. Ketika seorang wartawan dari sebuah
majalah populer menanyakan kepadanya tentang kemungkinan dirinya akan


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan panggung untuk memasuki dunia politik suatu hari nanti, Sunay
menjawab, "Jika rakyat menginginkanku melakukannya.1 Lalu, secara mendadak,
kantor perdana menteri mengumumkan bahwa pembuatan film Atatiirk ditunda untuk
"waktu yang tidak ditentukan1. Sunay cukup berpengalaman dalam menanggung
kekalahan. Kejatuhannya semakin nyata bersama rentetan peristiwa yang menyusul.
Selama sebulan masa kampanyenya untuk mendapatkan peran Atatiirk, dia begitu
sering tampil di televisi sehingga semua orang mengasosiasikannya hanya kepada
Atatiirk, dan sekarang tidak seorang pun mau memberinya pekerjaan sebagai penyulih
suara. Para pembuat iklan TV yang semula senang menerimanya memerankan ayah
bijaksana yang hanya mau membeli produk terbaik dan tersehat sekarang menolaknya:
mereka berpikir para penonton akan menganggap aneh seorang Atatiirk gagal yang
memamerkan sebatang sikat gigi atau mengangkat sekaleng cat, atau menjelaskan
mengapa dia puas menjadi nasabah sebuah bank. Tetapi, yang lebih buruk bagi Sunay
adalah sebagian besar orang memercayai apa yang mereka baca di surat kabar. Maka,
dia pun dituduh menjadi musuh Atatiirk sekaligus musuh agama. Sebagian orang
bahkan percaya dirinya diam saja melihat istrinya menciumi pria lain. Atau, kalaupun
mereka tidak percaya, masih banyak desas-desus tentang tak ada asap tanpa api.
Dampak utama dari semua ini adalah menurunnya jumlah penggemar kelompok teater
Sunay. Cukup banyak orang menghentikan dia di jalan untuk mengatakan, "Aku
mengharapkan yang lebih baik darimu!" Seorang siswa madrasah aliah, yang meyakini
Sunay benar-benar menjulurkan lidah pada sang Nabi (dan tidak diragukan lagi
termotivasi oleh keinginannya sendiri untuk dimuat di koran), menghambur ke gedung
teater pada suatu malam sambil mengacungacungkan pisau dan meludahi wajah
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
beberapa orang. Semua ini terjadi hanya dalam waktu lima hari. Setelah itu, Sunay dan
Funda menghilang. Lalu, saat mereka tiada, gosip pun berkembang semakin marak.
Salah satu rumor menyebutkan bahwa mereka bergabung dengan Brechtian Berliner
Ensemble, kabarnya untuk mengajar kelas drama, meskipun sesungguhnya mereka
justru belajar menjadi teroris. Menurut sumber yang lain, Kementrian Kebudayaan
Prancis memberikan perlindungan dan suaka kepada mereka di Rumah Sakit Jiwa
Prancis di ai?li. Faktanya, mereka mengungsi ke rumah ibu Funda Eser yang juga
seorang artis di pesisir Laut Hitam. Setahun kemudian, mereka akhirnya mendapatkan
pekerjaan sebagai penghibur di sebuah hotel kecil di Antalya. Mereka menghabiskan
waktu setiap pagi dengan bermain voli pantai bersama para pedagang Jerman dan turis
Belanda. Setiap siang, mereka berdandan seperti karakter-karakter panggung boneka
Karagoz dan Hacivat, lalu tampil dengan bahasa Jerman terbata-bata di depan
penonton anak-anak. Setiap malam, mereka tampil di atas panggung sebagai sultan dan
penari perut di haremnya. Inilah awal karier Funda Eser sebagai penari perut, yang akan
terus dikembangkannya dalam tur mereka ke berbagai provinsi selama sepuluh tahun
berikutnya. Selama tiga bulan, Sunay berperan menjadi badut, hingga seorang tukang
cukur dari Swiss melanggar batas, menyela akting mereka dengan melontarkan lelucon
soal orang Turki dengan harem dan fez-nya, yang terus berlanjut hingga pagi harinya,
saat pria itu mulai main mata dengan Funda. Sunay menghajarnya di depan para turis
yang syok dan ketakutan. Setelah itu, sepertinya pasangan tersebut bekerja sebagai
pembawa acara, penari, dan "penghibur teatrikal" lepasan dalam pesta-pesta
pernikahan dan ruang-ruang dansa di seluruh wilayah Antalya. Bahkan saat
memperkenalkan para penyanyi murahan, penyembur api, dan komedian kelas tiga,
Sunay akan menyampaikan pidato singkat tentang Atatiirk, republik, dan lembaga
pernikahan. Funda Eser akan menari perut, kemudian pasangan itu, yang
berpenampilan anggun dan sederhana, akan menampilkan adegan semacam
pembunuhan Banquo, dan berhenti setelah delapan atau sepuluh menit untuk
mendapatkan sambutan yang meriah. Selama malam-malam semacam inilah mereka
menanam benih kelompok teater yang kemudian melakukan tur dan memikat hati
seluruh Anatolia. Saat tekanan darah Sunay diperiksa, salah seorang pengawalnya
menyerahkan sebuah walkie-talkie kepadanya. Setelah menyampaikan beberapa
perintah melalui radio dan membaca sebuah pesan yang diserahkan kepadanya dengan
gaya mendesak oleh seorang kurir, ekspresi wajah Sunay menjadi kusut. "Mereka
semua saling menyalahkan,1 katanya. Dia menyebutkan bahwa selama tahuntahun
yang dihabiskannya untuk menjelajahi kota-kota terpencil di seluruh Anatolia, dia
mendapatkan kesimpulan bahwa semua pria di negara ini menjadi lumpuh gara-gara
depresi. "Sepanjang hari, mereka duduk-duduk di kedai teh; setiap hari, mereka pergi
ke sana dan berpangku tangan,1 katanya. "Kau dapat melihat sendiri ratusan
pengangguran miskin, malang, putus asa, dan pemalas di setiap kota. Di seluruh negeri
ini, tentunya ada ratusan ribu pengangguran, bahkan mungkin jutaan. Mereka sudah
melupakan cara menjadikan diri mereka berguna; mereka sudah malas mengancing
jaket dekil yang mereka pakai; mereka sudah tak punya energi lagi bahkan untuk
menggerakkan tangan dan kaki; kekuatan berkonsentrasi mereka sangatlah rendahnya
sehingga mereka bahkan tak mampu mengikuti sebuah cerita dari awal hingga akhir;
dan, mereka sudah melupakan cara untuk menertawakan lelucon, saudara-saudaraku
yang malang itu.1 Sebagian besar dari mereka bahkan terlalu susah untuk sekadar bisa
memejamkan mata; mereka justru menikmati rokok yang mereka tahu akan membunuh
mereka; mereka berbicara hanya untuk mendengar suara mereka melirih karena
mereka tahu bahwa omongan mereka hanyalah sesuatu yang sia-sia; mereka menonton
televisi bukan karena menyukai atau menikmati acaranya melainkan karena mereka
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tidak tahan mendengar tentang depresi yang dialami oleh teman-teman mereka, dan TV
membantu mereka dalam mengalihkan pikiran. Yang sungguh-sungguh mereka
inginkan hanyalah kematian, tapi mereka bahkan merasa tidak cukup berharga untuk
bisa melakukan bunuh diri. Selama masa pemilihan, dengan penuh kesadaran
masokistik, mereka memilih partai yang terburuk dan kandidat yang terparah. Sunay
bersikeras bahwa orang-orang itu lebih menyukai para jenderal yang mengepalai kudeta
miiter daripada para politikus, karena para jenderal itu bicara dengan lebih jujur tentang
pentingnya hukuman bagi mereka yang bersalah, sementara para politikus hanya
memberikan janji-janji tanpa akhir. Funda Eser, yang kembali memasuki ruangan,
menambahkan bahwa banyak pula wanita tidak bahagia yang menyia-nyiakan
kehidupan dengan melahirkan terlalu banyak anak, menjemur tembakau, memintal
permadani, dan membanting tulang untuk menjadi perawat dengan upah mengenaskan,
sementara suami mereka kelayapan entah ke mana. Para wanita yang membentaki dan
memarahi anak-anak mereka sepanjang hari inilah yang memastikan roda kehidupan
keluarga mereka terus berputar. Jika mereka tidak ada, maka alur kehidupan jutaan pria
pengangguran sengsara di seluruh Anatolia akan berakhir. Mereka semua terlihat sama,
para pria itu: baju dekil, janggut yang tumbuh liar. Tetapi, tanpa adanya para wanita
yang merawat mereka, mereka akan berakhir seperti para gelandangan yang mati
kedinginan di perempatan jalan selama musim dingin, atau para pemabuk yang berjalan
sempoyongan dan akhirnya terperosok ke selokan, atau kakek-kakek pikun berpiama
dan bersandal tidur yang tersesat saat pergi ke toko makanan untuk membeli roti.
Meskipun begitu, jumlah pria seperti itu terlalu banyak, "seperti yang kita lihat di Kota
Kars yang mengenaskan ini1. Meskipun merasa berutang budi, para pria tersebut
merasa malu karena mencintai istri mereka, sehingga mereka justru memukuli para
wanita malang itu. "Aku mengabdikan sepuluh tahun kehidupanku untuk Anatolia
karena aku ingin teman-teman kita yang hidup susah itu bangkit dari penderitaan dan
keputusasaan mereka,1 kata Sunay. Tidak ada nada menyesal dalam suaranya.
"Mereka menuduh kami sebagai komunis, pasangan mesum, mata-mata yang bekerja
untuk Barat, bahkan Saksi Yehovah. Mereka menuduhku sebagai germo dan istriku
sebagai pelacur. Berkali-kali, mereka menjebloskan kami ke penjara, memukuli dan
menyiksa kami. Mereka mencoba memerkosa kami; melempari kami dengan batu. Tapi,
lambat laun mereka menyukai sandiwara-sandiwara kami, juga kemerdekaan dan
kesenangan yang diberikan oleh kelompok teater kami kepada mereka. Maka sekarang,
saat disodori kesempatan terbesar dalam kehidupanku, aku tidak boleh gentar.1 Dua
orang pria memasuki ruangan. Seperti sebelumnya, salah seorang dari mereka
menyerahkan sebuah walkie-talkie kepada Sunay. Ka dapat mendengar orang-orang
berbicara di radio: mereka telah mengepung salah satu perkampungan kumuh di
wilayah Sukapy, dan, setelah seseorang di dalam menembakkan senjata, mereka
segera masuk untuk mencari salah seorang gerilyawan Kurdi dan keluarganya. Di
frekuensi yang sama, seorang tentara sedang memberikan perintah; bawahannya
menyebut dia "Bapak Komandan1. Lalu, tentara itu berbicara kepada Sunay, untuk
memberitahukan perkembangan rencana mereka dan meminta pendapat darinya;
tentara itu bicara seperti seorang teman lama, bukan seperti seorang pemimpin sebuah
revolusi. "Teman masa kecilku menjadi anggota brigadir di Kars sini,1 ujar Sunay saat
melihat ketertarikan Ka. "Selama Perang Dingin, miiter mengonsentrasikan pasukan
terbaik mereka jauh di pedalaman, di Sarykarnyp, untuk mengantisipasi serangan
mendadak dari Soviet. Setidaknya, penduduk di sini akan selamat dalam serangan
pertama. Sekarang, para prajurit itu berada di sini untuk menjaga perbatasan Armenia.1
Sekarang, Sunay menceritakan kepada Ka bahwa pada malam ketika dia dan Ka tiba di
Kars dengan bus yang sama dari Erzurum, dia pergi ke Restoran Pastura Hijau dan
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tanpa sengaja bertemu dengan Osman Nuh Colak, seseorang yang sudah menjadi
temannya selama tiga puluh tahun. Colak adalah teman sekelasnya saat di Akademi
Miiter Kuleli. Pada masa itu, Qolak adalah satu-satunya orang lain di Kuleli yang suka
mendengarkan Pirandello dan dapat menyebutkan drama-drama Sartre. "Tidak seperti
aku, dia tidak dikeluarkan karena kurang disiplin, tapi tetap saja, dia tidak bisa
mengabdikan diri sepenuh hati pada kehidupan militer,1 kata Sunay. "Karena itulah dia
tak pernah diangkat menjadi jenderal. Lagi pula, menurut desas-desus yang beredar, dia
terlalu pendek untuk menjadi seorang jenderal. Dia seorang pria pemarah yang
bermasalah, tetapi bukan, kupikir, karena masalah profesional ini gara-gara istrinya
kabur membawa anak-anak mereka. Dia muak hidup sendirian, bosan karena tidak bisa
melakukan apa-apa di sini, dan jenuh mendengar gosip kota kecil, meskipun, tentu saja,
dia sendiri suka bergosip. Para jagal liar yang kurazia setelah pernyataan revolusi,
cerita-cerita memalukan soal pinjaman Bank Pertanian dan kursus membaca Alquran
dialah orang pertama yang menceritakannya kepadaku. Dia juga terlalu banyak minum.
Dia senang sekali saat bertemu denganku tapi tak henti-hentinya mengeluh tentang rasa
kesepiannya. Lalu, untuk meminta maaf, tapi dengan sedikit nada sombong, dia
mengatakan kepadaku bahwa dirinya adalah tentara dengan pangkat tertinggi di Kars
malam itu, sehingga, dengan sangat menyesal, dia harus pulang supaya dapat bangun
pagi keesokan harinya. Komandan brigadirnya sedang pergi ke Ankara bersama istrinya
untuk memeriksakan penyakit rematiknya ke dokter, deputi kolonelnya dipanggil untuk
menghadiri rapat penting di Sarykarnyp, dan gubernur sedang berada di Erzurum.
Dialah yang paling berkuasa! Dan, karena hujan salju masih turun, dia tahu berdasarkan
pengalaman bahwa jalanan akan ditutup selama berhari-hari. Aku langsung tahu bahwa
inilah kesempatan yang telah kunantikan seumur hidupku, sehingga aku memesan
segelas lagi raki dobel untuk kawanku itu. Menurut laporan yang disusun mayor yang
dikirim dari Ankara, pria yang suaranya didengar oleh Ka di waikie-taikie sesaat
sebelumnya memang Kolonel Osman Nuh Qolak (atau si Lengan Bengkok, panggilan
Sunay untuk teman lamanya dari sekolah miiter itu). Mayor itu juga melaporkan bahwa
pada awalnya sang kolonel menganggap saran aneh supaya dirinya mengatur sebuah
kudeta militer ini sebagai gurauan, gagasan gila yang muncul di meja raki, namun dia
sendiri berkoar-koar bahwa pekerjaan ini dapat diselesaikan hanya dengan
mengerahkan dua buah tank. Jika pada akhirnya dia menjalankan rencana tersebut, ini
dipicu oleh keinginannya untuk tidak dianggap pengecut di hadapan Sunay yang
pemberani, juga karena keyakinannya bahwa Ankara akan bangga terhadap
prestasinya, bukan karena amarah, duka, ataupun harapan akan kejayaan pribadi.
Dalam laporannya, sang mayor menambahkan bahwa, bagaimanapun, patut
disayangkan ketika Qolak mengompromikan prinsip-prinsipnya saat di tengah
kekacauan dia pergi ke distrik Republik dan menyerbu rumah seorang dokter gigi
pecinta Atatiirk untuk menyelesaikan perdebatan dua orang pria yang sedang
memperebutkan seorang wanita. Sang kolonel mengerahkan setengah skuadron untuk
merazia rumah-rumah dan sekolah-sekolah, empat buah truk, dan dua buah tank T 1
kendaraan-kendaraan ini dikemudikan dengan sangat berhati-hati karena suku cadang
merupakan benda yang langkanamun tidak memakai perlengkapan militer yang lain.
Jika "kematian yang tidak dapat dijelaskan" yang disebabkan oleh "tim khusus" seperti Z
Demirkol dan teman-temannya tidak diperhitungkan, sebagian besar yang terjadi pada
malam itu mengikuti prosedur biasa sebuah kudeta di Turki. Dengan kata lain, para
petugas pekerja keras di MYT dan di kantor polisi menjadi pemain utama selama
revolusi. Lagi pula, mereka memiliki berkas semua orang di kota dan mempekerjakan
sepuluh persen dari seluruh populasi kota sebagai informan. Para petugas ini sangat
senang mendengar gosip yang tersebar tentang adanya demonstrasi yang akan digelar
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
oleh para sekularis di Teater Nasional sehingga mereka mengirim telegram-telegram
resmi kepada teman-teman mereka yang berada di luar kota, menyuruh mereka segera
pulang supaya bisa ikut bersenang-senang malam itu. Berdasarkan apa yang
didengarnya dari walkie-talkie, Ka mengetahui bahwa pertikaian di wilayah Sukapy telah
memasuki babak baru. Tiga ledakan senjata terdengar di radio, lalu menggema di luar
jendela, meskipun hamparan salju meredam bunyinya. "Jangan kasar," kata Sunay
melalui walkie-talkie, "pastikan saja supaya mereka merasakan kekuatan revolusi dan
negara, dan biarkan mereka melihat bahwa kita bersungguh-sungguh." Sunay
mengangkat tangan kirinya dan, memegang dagunya dengan telunjuk dan ibu jari,
berpikir keras. Sikap itu begitu mencolok, sehingga Ka langsung teringat pada foto
Sunay dari pertengahan tahun tujuh puluhan, saat pria itu berpose serupa dalam sebuah
drama sejarah sambil mengucapkan katakata yang sama persis dengan yang
diucapkannya sekarang. Sunay tidak lagi setampan dahulu dia tampak letih, pucat, dan
tua. Sunay mengambil kacamata lapangan keluaran militer bergaya 1940-an dari atas
meja. Setelah itu, dia menyambar mantel tebal namun usang yang telah dikenakannya
sepanjang tur sepuluh tahunnya mengeliingi Anatolia dan, mengenakan topi bulunya,
menggamit lengan Ka dan mengajaknya keluar. Udara yang dingin membuat Ka
bergidik, juga membuatnya memikirkan betapa lemah dan tipisnya impian dan hasrat
manusia, betapa remehnya intrik-intrik politik dan rutinitas kehidupan sehari-hari jika
dibandingkan dengan angin dingin yang menerpa Kars. Ka melihat bahwa keadaan kaki
kiri Sunay jauh lebih parah daripada yang disangkanya. Saat mereka menyusuri trotoar
yang berselimut salju, Ka mengagumi keheningan jalanan yang putih cemerlang, dan
ketika terpikir olehnya bahwa mungkin hanya merekalah manusia yang berjalan di
seluruh Kars, rasa puas membanjirinya. Meskipun kota berselimut salju indah dengan
rumah-rumah mewahnya yang tua dan terbengkalai dapat memicu seseorang untuk
jatuh cinta pada kehidupan dan menemukan kehendak untuk mencintai, Ka merasakan
sesuatu yang lebih mendalam: dia juga menikmati kedekatannya dengan kekuasaan.
"Tempat ini adalah bagian terindah dari Kars,1 kata Sunay. "Inilah kunjungan ketika
kelompok teaterku ke kota ini dalam sepuluh tahun. Dan, setiap kali senja menjelang,
aku datang ke sini untuk duduk di bawah pohon poplar dan oleander, mendengarkan
kaokan melankolis burung gagak dan kicauan burung murai sambil memandang kastel,
jembatan, dan hamam yang sudah berumur empat ratus tahun.1 Mereka berdiri di
jembatan yang melintasi Sungai Kars yang beku. Sunay memandang rumah-rumah
kumuh yang bertebaran di bukit di sebelah kiri sungai dan menunjuk salah satunya. Di
bawah rumah itu, di jalan, Ka melihat sebuah tank dan, sedikit di depannya, sebuah truk
tentara. "Kami bisa melihat kalian,1 kata Sunay melalui walkie-talkie, sambil mengamati
dari balik kacamata lapangannya. Beberapa saat kemudian, mereka mendengar dua
ledakan senjata pertama-tama melalui walkie-talkie, kemudian di udara di atas lembah
tempat sungai mengalir. Apakah ini semacam penyambutan" Di depan mereka, di ujung
jembatan, dua orang pengawal menanti mereka. Ka dan Sunay memandang perumahan
kumuh di depan mereka seratus tahun setelah meriam Rusia menghancurkan villa-villa
milik para pasha Ottoman, orang-orang miskin datang dan menduduki tanah itu lalu
berpaling pada taman di sisi lain sungai yang dahulu menjadi tempat berkegiatan para
borjuis Kars dan kota yang berdiri di belakangnya. "Hegel adalah orang pertama yang
melihat bahwa sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama,1 kata Sunay. "Ingatlah
bahwa, sama seperti dalam teater, sejarah memilih siapa orang yang tepat untuk
menjadi pemeran utama. Dan, sama seperti para aktor yang mengerahkan seluruh
keberaniannya di atas panggung, sedikit orang yang terpiih sebagai pelaku sejarah juga
harus melakukan hal yang sama." Seluruh lembah bergetar akibat rentetan ledakan
senjata, dan Ka menyimpulkan dari bunyi yang didengarnya bahwa senjata mesin yang
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
ada di bagian atas tank telah digunakan. Meriam di tank juga digunakan, namun tidak
mengenai target. Ledakan-ledakan yang selanjutnya terdengar berasal dari granat
tangan. Seekor anjing hitam menyalak. Pintu rumah kumuh yang mendapatkan
serangan itu terbuka dan dua orang pria keluar, mengangkat tangan tinggi-tinggi. Ka
dapat melihat lidah-lidah api menjilati kusen jendela yang kacanya telah pecah.
Sementara itu, si anjing hitam terus menyalak senang, berlarian ke sana kemari,
menggoyang-goyangkan ekornya, sebelum mendekati orang-orang yang bertiarap di
tanah. Ka melihat seorang pria berlari di kejauhan, lalu seorang prajurit menembak. Pria
di kejauhan itu roboh ke tanah, dan seluruh keributan berakhir. Lama berselang,
seseorang berseru, namun pada saat itu perhatian Sunay sudah teralih ke hal lain.
Diikuti oleh para pengawal, mereka berdua kembali ke toko penjahit. Ketika melihat
kertas pelapis dinding bermotif mewah di rumah tua itu, Ka tahu bahwa dia tidak dapat
menahan sebuah puisi baru yang sedang terbentuk di dalam dirinya, sehingga dia pun
menyendiri di sudut ruangan. Puisi ini, yang nantinya akan dijuduli "Bunuh Diri dan
Kekuasaan", dengan gamblang menceritakan waktu yang dihabiskan Ka bersama
Sunay di luar: Ka menggambarkan godaan kekuasaan, cita rasa pertemanan yang
terbentuk antara dirinya dengan Sunay, dan rasa bersalahnya pada gadis-gadis yang
melakukan bunuh diri. Nantinya, Ka akan memutuskan bahwa dalam puisi yang "lantang
dan penuh renungan" ini, berbagai peristiwa yang disaksikannya di Kars mendapatkan
ekspresi yang paling kuat dan autentik. [] Tuhan Cukup Mengetahui Bahwa Ini Bukan
Masalah Alasan atau Logika Melainkan Bagaimana Caramu Menjalani Kehidupan
Bersama Sunay di Markas Militer KETIKA SUNAY melihat bahwa Ka telah


Di Balik Keheningan Salju Snow Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan puisinya, dia bangkit dari mejanya yang acak-acakan dan berjalan
terpincang-pincang di lantai untuk memberikan ucapan selamat. "Puisi yang kaubaca di
teater kemarin juga sangat modern,1 katanya. "Sayang sekali orang-orang di negara kita
tidak cukup pintar untuk memahami karya seni modern. Karena itulah pertunjukanku
selalu melibatkan tari perut dan pengakuan Vural si penjaga gawang. Aku memberikan
apa yang diinginkan penonton, baru kemudian kutambahkan dosis murni "teater yang
sesungguhnya1. Aku lebih suka memadukan kesenian kelas tinggi dan kelas rendah
untuk rakyat daripada berada di Istanbul untuk mementaskan komedi mahal yang
disponsori bank. Sekarang, katakanlah kepadaku, sebagai seorang teman, kenapa kau
tidak mengidentifikasi satu pun Islamis mencurigakan yang ditunjukkan kepadamu di
kantor polisi dan fakultas kedokteran hewan"1 "Karena aku tidak mengenali seorang
pun dari mereka.1 "Saat mereka melihat betapa kau menyukai pemuda yang
membawamu menemui Lazuardi, para prajurit juga ingin menahanmu. Mereka sudah
mencurigaimu kau datang jauh-jauh dari Jerman pada masa revolusi ini, dan kau
menjadi saksi pembunuhan direktur institut itu. Mereka ingin menginterogasimu sedikit
menyiksamu hanya untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya kauketahui. Akulah
yang menghentikan mereka; akulah penjaminmu.1 "Terima kasih.1 "Satu hal yang tak
bisa dipahami oleh orang lain adalah kenapa kau mencium pemuda yang membawamu
menemui Lazuardi itu.1 "Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya,1 kata Ka. "Dia
sangat jujur dan selalu berbicara dari hati. Kukira dia akan hidup sampai berumur
seratus tahun.1 "Necip yang sangat kausayangi ini apakah kaumau tahu Necip macam
apa sebenarnya dia" Aku akan membacakan sesuatu untukmu.1 Sunay mengeluarkan
selembar kertas yang berisi informasi sebagai berikut: pada suatu hari di bulan Maret
yang lalu, pemuda itu kabur dari sekolah; dia adalah anggota kelompok yang telah
memecahkan jendelajendela Rumah Bir Kesenangan karena tempat itu menjual alkohol
selama bulan Ramadan; dia bekerja serabutan di markas cabang Partai Kemakmuran
selama beberapa waktu, tetapi kemudian berhenti, entah karena pandangan ekstremnya
membuat banyak orang waspada atau karena dia mengamuk dan membuat semua
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
orang ketakutan (informan dari Partai Kemakmuran tidak hanya seorang); dia adalah
pemuja Lazuardi, dan dia selalu berusaha mengambil hati pria itu selama delapan belas
bulan keberadaannya di Kars; dia menulis sebuah cerita yang dianggap "tidak bisa
dipahami1 oleh MYT dan memuatnya dalam sebuah koran agama beroplah tujuh puluh
lima kopi; dalam beberapa kesempatan, seorang pensiunan ahli farmasi yang menulis
kolom di koran yang sama menciumnya dengan cara yang agak aneh, sehingga Necip
dan sahabatnya Fazyl bersekongkol untuk membunuh pria itu (ini tercantum di dalam
arsip: surat asli yang menjelaskan tentang tindakan kedua pemuda itu, yang mereka
tinggalkan di lokasi pembunuhan, telah dicuri dari arsip itu); dalam berbagai
kesempatan, Necip terlihat menyusuri Jalan Atatiirk, tertawa-tawa bersama
teman-temannya, dan dalam suatu kesempatan, pada bulan Oktober, dia memberikan
isyarat jorok pada sebuah mobil polisi. "MYT melakukan pekerjaan yang penting di
sini,1 kata Ka. "Rumah Yang Mulia Syekh Saadetin sudah disadap, sehingga mereka
juga tahu bahwa hal pertama yang kaulakukan saat kau menemuinya adalah mencium
tangannya. Mereka tahu bahwa dengan berlinang air mata, kau mengakui keimananmu
kepada Tuhan kepadanya. Yang tidak bisa mereka pahami adalah alasanmu
melakukannya. Ada beberapa penyair sayap kiri yang panik dan memutuskan bahwa
mereka sebaiknya memeluk agama sebelum para Islamis meraih kekuasaan dan
memaksa mereka untuk pindah haluan.1 Ka merasakan dirinya tersipu malu, dan ketika
mengetahui bahwa Sunay melihat sikapnya terhadap sang syekh sebagai tanda
kelemahan, dia merasa semakin malu. "Aku tahu, pemandangan yang kaulihat pagi ini
teramat sangat merisaukanmu,1 lanjut Sunay. "Polisi memperlakukan para pemuda kita
dengan sangat buruk. Di tengah-tengah kita ada banyak binatang yang memukuli para
pemuda itu hanya untuk bersenang-senang. Tetapi, sebaiknya kita lupakan dahulu
masalah ini sekarang Sunay menawarkan sebatang rokok kepada Ka. "Seperti dirimu,
aku menghabiskan tahuntahun masa mudaku berkeliaran di jalanan Nipantap dan
BeyoSIu. Aku tergilagila pada film Barat rasanya tak cukup-cukup aku menonton film
semacam itu. Aku membaca semua yang pernah ditulis oleh Sartre dan Zola, dan aku
yakin bahwa masa depan kita terbentang bersama Eropa. Melihat seluruh dunia hancur
lebur, melihat saudara perempuanku dipaksa memakai jilbab, melihat puisi dilarang
karena dianggap anti-agama, seperti yang sudah diterapkan di Iran inilah pandangan
yang sepertinya tidak mungkin bisa kaupahami. Karena kay berasal dari duniaku, dan
tak ada orang lain di Kars yang membaca puisi T. S. Eliot." "Muhtar, kandidat dari Partai
Kemakmuran juga sama," kata Ka. "Dia punya ketertarikan besar terhadap puisi." "Kami
sudah membebaskannya dari tahanan," kata Sunay sambil tersenyum. "Dia
menandatangani pernyataan pengunduran dirinya dari pemilihan. Dia memberikannya
kepada prajurit pertama yang mengetuk pintunya." Mereka mendengar sebuah ledakan.
Kusen-kusen jendela bergetar dan bingkai-bingkai dinding bergoyang. Berpaling ke arah
datangnya suara, kedua pria itu memandang melalui jendela ke Sungai Kars, namun
yang dapat dilihat oleh mata mereka hanyalah pohon-pohon poplar yang berselimut
salju dan lapisan es di atap bangunan kosong di seberang jalan. Selain penjaga yang
bersiaga di depan pintu mereka, tidak ada orang lain di jalan. Bahkan pada waktu
sepagi ini, Kars sudah tampak begitu suram. "Aktor yang baik," kata Sunay dengan
nada teatrikal ringan, "adalah seseorang yang dapat merepresentasikan kekuatan yang
mengendap, belum terjamah, dan tak dapat dijelaskan, yang telah ada selama
berabad-abad. Dia mengambil pelajaran dari berbagai macam hal dan
menyembunyikannya di lubuk hatinya yang terdalam. Dia memiliki pengendalian diri
yang luar biasa, dan dia tak pernah mengungkapkan isi hatinya; tidak seorang pun
mengetahui seberapa besar kekuatannya hingga dia tampil di atas panggung.
Sepanjang hidupnya, dia menyusuri jalanan yang tidak dikenalnya, untuk tampil di
43. Bunga Ceplok Ungu Herman Pratikto @.pdf - Bidadari Pendekar Naga Sakti
tempat-tempat yang paling tidak terpikirkan di kota-kota yang paling terlupakan, dan ke
mana pun dia pergi, dia senantiasa mencari suara yang akan menjamin kebebasan
hakiki baginya. Jika dia cukup beruntung dalam menemukan suara itu, dia harus
merengkuhnya tanpa keraguan dan mengikutinya hingga akhir hayatnya.1 "Dalam tiga
hari, ketika salju mencair dan jalan-jalan dibuka kembali, Ankara akan memburu tanpa
ampun orang-orang yang bertanggung jawab atas pembantaian ini,1 ujar Ka. "Tetapi,
bukan karena mereka membenci pertumpahan darah. Mereka akan marah karena kali
ini bukan mereka yang menjadi pelaku. Penduduk Kars akan membencimu, dan mereka
juga akan membenci sandiwara anehmu. Apa yang akan kaulakukan kemudian"1 "Kau
melihat dokter itu. Jantungku lemah dan penyakitan, sudah berulang kali aku
berhadapan dengan kematian, jadi mereka boleh melakukan apa pun yang mereka ingin
lakukan padaku, aku tak peduli,1 kata Sunay. "Dengar: seandainya kita menangkap
seseorang yang penting, katakanlah orang yang menembak direktur Institut Pendidikan,
dan langsung menggantungnya, lalu menyiarkan penggantungan itu secara langsung di
TV, kita akan membuat semua orang di kota ini duduk setegak liin.1 "Mereka sudah
duduk setegak liin,1 ujar Ka. "Kami dengar mereka mau memakai bom bunuh diri.1
"Kalau kau menggantung seseorang, kau hanya akan semakin menambah teror.1 "Apa
kau takut akan merasa malu jika orang Eropa mengetahui apa yang kaulakukan di sini"
Apa kautahu berapa banyak orang yang mereka gantung untuk mewujudkan dunia
modern yang sangat kaukagumi itu" Atatiirk tak punya waktu untuk khayalan otak udang
orang sepertimu akan digantung sejak hari pertama. Camkan juga hal ini di kepalamu,1
kata Sunay: "murid-murid madrasah aliah yang kaulihat di sel hari ini akan selalu
mengingat wajahmu. Mereka akan melemparkan bom pada semua orang dan semua
benda mereka tak peduli pada apa pun, asalkan suara mereka didengar. Dan, terlebih
lagi, karena semalam kau tampil untuk membacakan puisimu, mereka akan menyangka
kau ikut merencanakan semua ini. Tidak seorang pun yang berpandangan
kebarat-baratan dapat dengan bebas bernapas di negeri ini, kecuali dia memiliki
sepasukan tentara sekuler yang mau melindunginya, dan tidak ada yang lebih
membutuhkan perlindungan seperti itu kecuali orang-orang pintar yang merasa lebih
Setan Alam Kubur 2 Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti Misteri Bunga Mawar Kematian 2

Cari Blog Ini