Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld Bagian 5
jatuh berlutut di kakinya.
Pada tahun 1909, para tamu pada acara pesta makan malam yang mewah ala Amerika
membuat barisan saling berpasangan ketika bergerak ke meja makan. Para wanita
dikawal dalam lengan seorang lelaki. Nyonya Banwell tidak dalam gandengan Freud.
Dengan ringan ia menjatuhkan jemarinya pada pergelangan tangan
Younger, namun demikian ia masih mampu berbicara pada Freud. Tetap saja,
perhatian dari seluruh hadirin pesta itu tertuju kepada wanita itu.
Pagi itu, Clara Banwell baru saja kembali dari desa menumpangi mobil Tuan dan
Nyonya Hartcourt Acton. Secara kebetulan, Jelliffe bertemu dengannya di lobi
gedung mereka. Ketika itu Jelliffe tahu kalau suaminya, Tuan George Banwell,
sedang sibuk. Lalu ia memohon Nyonya Clara untuk menghadiri pesta makan malamnya
pada petang itu. Ia menjanjikan Clara akan bertemu dengan para tamu yang paling
menarik. Bagi Jelliffe, Clara benar-benar tidak dapat ditolak sementara ?suaminya benar-benar menyebalkannya.
"Apa yang diinginkan para wanita," kata Freud bagi pertanyaan Nyonya Clara,
ketika para tamu sudah duduk bermandikan cahaya kristal di belakang meja,
"adalah sebuah misteri bagi seorang analis juga bagi seorang pujangga.
Seandainya saja kalian dapat mengatakan kepada kami, Nyonya Banwell, namun
kalian tidak bisa. Kalianlah masalah itu, tetapi kalian juga tidak mampu
memecahkannya seperti kami, lelaki yang malang. Sekarang apa yang diinginkan
lelaki hampir selalu nyata. Tuan rumah kita, misalnya, ia menginginkan
sendoknya, tetapi justru pisaunya yang diambil secara tidak sengaja."
Semua kepala berpaling pada lelaki gendut yang sedang duduk tersenyum di kepala
meja. Memang begitulah, Jelliffe memegangi pisaunya bukan pisau roti, tetapi
?pisau makannya, dengan menggunakan tangan kanannya. "Apa artinya itu, Dr.
Freud?" Tanya seorang wanita tua.
"Itu tandanya, Nyonya Banwell telah membangkitkan dorongan agresif tuan rumah
kita," kata Freud, "Agresi itu muncul dari keadaan persaingan seksual yang telah
dimengerti oleh semua orang. Ia telah salah memerintahkan tangannya ketika
mengambil peralatan makan, menunjukkan keinginan yang tak disadarinya."
Lalu terdengar gumaman di sekitar meja.
"Baik, baik, aku mengakuinya," seru Jelliffe dengan riang tanpa rasa malu,
sambil menggoyang-goyangkan pisaunya ke arah Clara, "kecuali tentu saja ketika
Dr. Freud mengatakan bahwa keinginan itu tidak kusadari." Kata-katanya yang
memalukan namun diucapkan secara beradab mendapatkan sambutan tawa penghargaan
dari semua orang. "Sebaliknya," Freud melanjutkan, "teman baikku Ferenczi di sini menyelipkan
serbetnya pada kerah bajunya dengan hati-hati, seperti sehelai kain alas dada
yang dipasangkan pada seorang anak. Ia tertarik pada insting keibuanmu, Nyonya
Banwell." Ferenczi melihat ke sekeliling meja dengan kebingungan namun juga gembira, walau
akhirnya ia menyadari kalau hanya dirinyalah yang menyelipkan serbet dengan cara
seperti itu. "Anda berbincang-bincang dengan suamiku sebelum makan malam, Dr. Freud," kata
Ibu Hyslop, seorang nenek yang duduk di sebelah Jelliffe, "bagaimana pendapat
Anda tentang dirinya?"
"Profesor Hyslop," sapa Freud, "maukah Anda menjelaskan sesuatu padaku" Anda
tidak menyebutkan nama depan ibu Anda padaku, bukan?"
"Apa itu?" Kata Hyslop sambil memegangi terompet telinganya tinggi-tinggi.
"Kita tidak membicarakan ibu Anda, bukan?" Tanya Freud.
"Bicara Ibu?" Kata Hyslop, "sama sekali tidak."
"Namanya Mary," kata Freud.
"Bagaimana kau tahu?" seru Hyslop. Ia menatap ke sekeliling meja dengan tatapan
menuduh. "Bagaimana ia bisa tahu" Aku tidak mengatakan nama ibuku."
"Tentu saja, kau mengatakannya," kata Freud, "walau tanpa kau sadari. Yang
membingungkan aku adalah siapa nama istrimu. Jelliffe mengatakan padaku dia
bernama Alva. Jadi aku punya pertanyaan untuk Anda, Nyonya Hyslop, jika Anda
mengizinkan. Apakah suami Anda memiliki nama panggilan sayang untuk Anda?"
"Wah, nama tengahku adalah Maria," kata Ibu Hyslop yang terkejut, "tetapi ia
selalu memanggilku Marie."
Pada pengakuan Ibu Hyslop itu, Jelliffe bersorak, dan Freud menerima tepukan
tangan dari para tamu. "Aku terbangun dengan radang selaput lendir pagi ini," sela seorang nyonya di
seberang Ferenczi, "pada akhir musim panas juga. Apakah itu menandakan sesuatu,
Dr. Freud?" "Radang selaput lendir, Nyonya?" Tanya Freud lalu berhenti sejenak untuk
mempertimbangkannya. "Terkadang radang selaput lendir, aku khawatir, memang hanyalah radang selaput
lendir. Bukan masalah lainnya."
"Tetapi apakah wanita benar-benar misterius?" Tanya Clara Banwell kembali ke
topik awal, "aku kira kau terlalu mudah memberi maaf akan kewanitaanku. Apa yang
diinginkan wanita adalah hal yang paling sederhana di dunia." Ia berpaling pada
seorang pemuda yang sangat tampan, berambut gelap di sebelah kanannya, yang dasi
kupu-kupu putihnya terlihat agak miring. Selama ini pemuda itu tidak mengatakan
apa-apa. "Bagaimana pendapatmu, Dr. Younger" Kau dapat mengatakan pada
kami apa yang diinginkan oleh wanita?"
Stratham Younger merasa kesulitan menerima tatapan Clara Banwell. Walau ia tidak
mengetahuinya kalau sebenarnya ia tengah berusaha menghilangkan bayangan
punggung indah telanjang Nyonya Banwell yang membuat gerakan bergelombang dengan
lembut di bawah sinar rembulan ketika ia menyibakkan rambutnya melewati bahunya.
Bayangan itu terus timbul tenggelam dalam benaknya. Sulit juga baginya
memisahkan Nyonya Banwell dengan bayangan Tuan Banwell, yang terus menerus
dianggapnya sebagai pembunuh sekalipun McClellan memberikan pembelaan padanya.
Younger percaya Nora adalah gadis tercantik yang pernah ditemuinya. Namun Clara
Banwell hampir sama menariknya, kalau pun tidak bisa disebut lebih. Gairah
lelaki, kata Hegel, selalu berawal dengan keinginan terhadap timbulnya gairah
lawan jenisnya. Tidak mungkin bagi setiap lelaki yang melihat Clara Banwell
tanpa pernah menginginkan wanita itu untuk dirinya sendiri. Mereka ingin menjadi
satusatunya yang dinginkan Clara, menjadi lelaki yang lebih disukainya dari yang
lainnya, berharap Clara menginginkan sesuatu darinya. M isalnya, Jelliffe, akan
dengan senang hati berduel jika Clara menghendakinya. Ketika berjalan ke ruang
makan, ketika tangan Clara telah mendarat pada lengannya, Younger merasakan
sentuhan itu di seluruh tubuhnya. Namun ada sesuatu tentang Clara yang
menjauhkannya juga. Mungkin itu lantaran Clara telah bertemu dengan Harcourt
Acton. Younger tidak menganggap dirinya sendiri sebagai seorang yang taat,
tetapi anggapan Nyonya Banwell melayani seorang lelaki yang tampak lemah, secara
tidak disadarinya, telah memprovokasinya.
"Aku yakin, Nyonya Banwel," ia menjawab, "jika kau ingin memberi penjelasan
tentang wanita kepada kami, akan jauh lebih menarik dibandingkan dengan jika aku
yang mencobanya." "Aku dapat memberitahu kepadamu, aku rasa, bagaimana perasaan wanita yang
sesungguhnya terhadap lelaki," kata Clara menantang, "setidaknya tentang lelaki
yang mereka cintai. Kalian teratarik?" Suara persetujuan terdengar di sekitar
meja, terutama dari para tamu pria, "tetapi aku tidak mau, kecuali kalian, para
lelaki, berjanji untuk mengatakan bagaimana perasaan kalian tentang wanita."
Syarat itu itu disepakati oleh sebagian besar pria, walau Younger menahan
lidahnya sebagaimana juga Charles Dana, yang terduduk di ujung lainnya meja
tersebut. "Baik, karena kalian memaksaku, Tuan-tuan," kata Clara, "aku akan mengakui
rahasia kami. Wanita merasa rendah diri terhadap lelaki. Aku tahu ini
kebodohanku untuk mengatakannya, tetapi jika mengingkarinya, itu merupakan keto
lolan. Segala kekayaan manu sia, materi dan spiritual adalah ciptaan lelaki.
Kota-kota yang menjulang, ilmu pengetahuan kami, kesenian, dan musik, semua
dibangun, ditemukan, dilukis dan dikarang oleh kalian, lelaki. Wanita tahu itu.
Kami tidak berdaya jika dikuasai lelaki yang lebih kuat, dan kami tidak bisa
tidak membenci kalian karena itu. Cinta seorang wanita kepada seorang lelaki,
separuhnya merupakan gairah hewani dan separuhnya lagi kebencian. Semakin kuat
seorang wanita mencintai seorang lelaki, semakin ia membecinya. Jika seorang
lelaki layak dimiliki, ia pastilah seorang yang lebih dari wanita itu. Jika
lelaki itu lebih dari wanita itu, sebagian dari perasaan wanita itu adalah
kebencian pada lelaki itu. Hanya dalam kecantikan, kami mengalahkan kalian, dan karena itulah
tidak heran jika kami memuja keindahan di atas segalanya. Karena itulah seorang
wanita," ia menjadi tegang, "akan menjadi paling berbahaya jika berada di
hadapan seorang lelaki yang tampan."
Pendengarnya terpukau, sebuah reaksi yang sudah biasa didapatkan oleh Nyonya
Clara Banwell. Younger merasa Clara telah melemparkan tatapan yang paling
menggoda pada akhir kalimatnya. Dia bukanlah satusatunya lelaki di meja itu yang
mendapatkan kesan itu, tetapi dia mengatakan pada dirinya sendiri kalau dia
hanya berkhayal. Itu juga disadari Younger kalau Nyonya Banwell mungkin saja
hanya menjelaskan sisi terliar dari konflik emosi ibu Younger yang telah
dipertunjukkan kepada ayahnya. Ayah Younger bunuh diri pada tahun 1904, ibunya
tidak menikah lagi. Ia bertanya-tanya apakah ibunya telah mencintai namun juga
membenci ayahnya, seperti yang dijelaskan Nyonya Banwell. "Rasa iri pasti
merupakan kekuatan yang lazim terdapat dalam kondisi mentalitas wanita, Nyonya
Banwell," kata Freud, "karena itulah wanita hanya memiliki begitu sedikit rasa
keadilan." "Lelaki tidak memiliki rasa iri?" Tanya Clara.
"Lelaki ambisius," kata Freud, "rasa iri mereka terutama berasal dari sifat
ambisius mereka itu. Rasa iri pada wanita, sangat berbeda, selalu bersifat
erotis. Perbedaan itu dapat dilihat dari lamunan-lamunan. Kita semua melamun
tentu saja. Lelaki, memiliki dua macam lamunan: lamunan erotis dan ambisius.
Sedangkan wanita hanya memiliki lamunan erotis."
"Aku yakin, lamunanku tidak seperti itu," jelas seorang wanita gemuk yang
mengeluhkan radang selaput lendirnya
tadi. "Kupikir Dr. Freud sangat benar dalam segala hal," kata Clara Banwell, "terutama
tentang ambisi lelaki. Suamiku, George, misalnya. Ia lelaki yang sempurna. Ia
tidak terlalu tampan. Tetapi ia gagah, duapuluh tahun lebih tua dariku, orang
yang berhasil, kuat, tulus, tak dapat didominasi. Karena semua itulah aku
mencintainya. Begitu aku tidak ada di hadapannya, ia sama sekali tidak akan
menyadari kalau aku ada; ambisinya begitu besar. Karena itu aku membencinya.
Memang begitulah adanya. Akibat yang menyenangkan bagiku, bagaimana juga, aku
bebas melakukan apa yang aku suka, seperti berada di sini malam ini pada salah
satu pesta makan malam Tuan Smith yang menyenangkan, dan George tidak akan
pernah mengetahui kalau aku telah meninggalkan apartemen."
"Clara," kata Jelliffe, "aku kecewa. Kau tidak pernah mengatakan padaku kau
memiliki kebebasan seperti itu."
"Telah kukatakan kalau aku bebas melakukan apa saja yang aku suka, Smith," jawab
Clara, "bukan apa saja yang kau suka." Kemudian terdengar tawa dari semuanya,
"Well, sekarang aku harus mengakui. Apa pendapat lelaki" Bukankah diam-diam
lelaki membenci keterikatan dalam pernikahan" Tidak, Smith, kumohon. Aku tahu
apa yang kau pikirkan. Aku ingin mendengar pendapat yang lebih objektif. Dr.
Freud, apakah pernikahan itu hal yang baik?"
"Bagi masyarakat atau pribadi?" Kata Freud, "bagi masyarakat, pernikahan tidak
diragukan lagi sangat bermanfaat. Tetapi beban moralitas budaya terlalu berat
untuk dipikul masyarakat. Sudah berapa lama kau menjadi seorang istri, Nyonya
Banwell?" "Aku menikah dengan George ketika aku berusia sembilanbelas tahun," jawab Clara.
Bayangan Clara Banwell ketika berusia sembilanbelas tahun pada malam pertamanya memenuhi pikiran
beberapa orang tamu, bukan saja tamu lelaki, "jadi sudah tujuh tahun."
"Dalam hal ini, kau sudah tahu cukup banyak," lanjut Freud, "jika tidak dari
pengalamanmu sendiri, mungkin dari teman-temanmu, dan tidak heran, dari apa yang
kukatakan. Persetubuhan yang memuaskan tidak bertahan lama dalam kebanyakan
pernikahan. Setelah empat atau lima tahun, pernikahan cenderung gagal dalam hal
yang satu ini. Sebagai akibatnya, dalam banyak kasus, pernikahan berakhir dalam
kekecewaan, baik secara spiritual maupun secara jasmani. Lelaki dan wanita
tercampak ke belakang lagi, dalam istilah psikologi, ke keadaan sebelum mereka
menikah, namun dengan hanya satu perbedaan, mereka kini lebih miskin. Miskin
karena kehilangan ilusi."
Clara Banwell menatap Freud dengan tajam.
"Apa yang dikatakannya?" Tanya Profesor Hyslop yang sudah tua dengan suara
keras, sambil mencoba mendekatkan corong telinganya ke arah Freud.
"Ia membenarkan p erselingkuhan," kata Charles Dana. Baru untuk pertama kalinya
ia berbicara, "kau tahu, Dr. Freud, terpisah dari obrolan di ruang tamu, adalah
perhatianmu pada berbagai penyakit dari keputusasaan seksual yang mengejutkan
aku. Masalah kita jelas bukan karena kita menempatkan terlalu banyak pembatasan
pada izin seksual; tetapi karena kami menempatkannya terlalu sedikit."
"Oh?" Kata Freud.
"Satu milyar orang kini hidup di atas bumi. Satu milyar, dan jumlah itu terus
bertambah secara geometris. Bagaimana mereka akan hidup, Dr. Freud" Apa yang
akan mereka makan" Jutaan orang membanjiri pantai-pantai kita setiap tahun: orangorang yang paling miskin, yang paling tidak pandai, yang paling memiliki
kecenderungan untuk berbuat jahat. Kota kita nyaris anarki karena mereka.
Penjara kita meledak karena terlalu penuh sesak. Mereka berkembang biak seperti
lalat. Dan mereka mencuri dari kita. Orang tidak dapat menyalahkan mereka; jika
seseorang terlalu miskin untuk memberi makan anak-anaknya, ia pasti akan
mencuri. Namun, Dr. Freud, jika aku mengerti gagasanmu, kau tampaknya hanya
peduli pada kejahatan penekanan seksual. Aku akan berpikir bahwa ilmuwan harus
lebih peduli pada bahayanya emansipasi seksual."
"Apa usulmu, Charles" Apakah kau ingin imigrasi itu diakhiri?" Tanya Jelliffe.
"Sterilisasi," kata Dana dengan penuh harap, sambil memb ersihkan mulutnya
dengan sebuah serbet, "Peternak yang paling kejam pun tidak akan membiarkan
hewan ternaknya yang tidak sehat berkembang biak. Manusia tidak lagi berbeda
dengan hewan ternak. Jika hewan ternak diperbolehkan berkembang biak dengan
bebas, kita tentunya akan makan daging yang tidak berkualitas. Setiap imigran
yang tidak memiliki tujuan di negeri ini, harus dimandulkan."
"Secara tanpa sengaja, Charles, kau yakin itu?" Tanya Ibu Hyslop.
"Tidak ada yang memaksa mereka datang ke sini, Alva," katanya, "tidak ada juga
yang memaksa mereka untuk tinggal. Lalu bagaimana bisa disebut dimandulkan tanpa
sengaja" Jika mereka ingin berkembang biak, biarkan mereka pergi. Arti dari
ketidaksukarelaan mereka untuk tidak berkembang biak adalah kita harus memikul
beban berupa anak-anak mereka yang tidak sehat, yang akhirnya hanya akan menjadi
pengemis atau pencuri. Aku membuat pengecualian, tentu saja, yaitu bagi siapa
saja yang mampu lulus dari tes kecerdasan. Sup yang lezat sekali, Jelliffe,
daging penyu asli, bukan" Oh, aku tahu, kalian semua akan mengatakan aku kejam
dan tak memiliki perasaan. Tetapi aku hanya mengambil kesuburan mereka.
Sedangkan Dr. Freud akan mengambil sesuatu yang jauh lebih penting." "Apa itu?"
Tanya Clara. "Moralitas mereka," kata Dana, "dunia ini akan menjadi seperti apa, Dr, Freud,
jika pandanganmu menjadi pandangan umum" Aku hampir dapat membayangkannya.
Golongan-golongan terendah datang untuk mencaci 'moralitas berbudaya.' Kepuasan
menjadi dewa. Semua bergabung untuk menolak ketertiban dan penyangkalan pribadi,
yang seharusnya dibutuhkan untuk martabat kehidupan. Gerombolan jahat akan
memicu kericuhan; mengapa tidak" Dan gerombolan ini, apa yang mereka inginkan
jika berbagai peraturan peradaban diangkat" Kalian pikir mereka hanya
menginginkan seks" Mereka akan menginginkan peraturan baru. Mereka akan mau
menuruti kemauan beberapa orang gila. Mereka akan menginginkan darah, mungkin
darahmu, Dr. Freud, jika sejarah adalah petunjuknya. Mereka akan membuktikan
bahwa diri mereka unggul, seperti yang selalu dilakukan oleh orang dari golongan
terendah. Dan mereka akan membunuh untuk membuktikan itu. Aku membayangkan
banjir darah, banjir darah besar, yang belum pernah terjadi. Kau akan
menghapuskan moralitas berbudaya sebagai satusatunya hal yang mengendalikan
kebrutalan manusia. Apa yang dapat kau tawarkan sebagai gantinya,
Dr. Freud" g SEBATANG LILIN BERKERDIP di samping tempat tidur Nona Acton. Cahaya lampu dari
Gramercy Park yang pucat menembus tirai kamarnya. Penerangan di kamar itu tidak
cukup bahkan untuk membuat bayangan seorang lelaki yang kehadirannya lebih
dirasakan Nora, ketimbang dilihatnya. Ia ingin menjerit, tetapi otaknya tidak
dapat mempengaruhi tubuhnya. N amun pikirannya membebaskan dirinya, lalu
melayang sendiri. Pikirannya itu, atau ia sendiri, tampak melayang tinggi
meninggalkan tempat tidurnya, membumbung ke arah langitlangit, meninggalkan
tubuh kecilnya yang tidur tergeletak mengenakan baju tidur, yang berada di
bawahnya sekarang. Kini, ia melihat penyerangnya dengan jelas, tetapi dari atas. Ia melihat ke
bawah pada dirinya sendiri. Nora melihat lelaki itu memindahkan sehelai
saputangan dari wajahnya. Nora melihat lelaki itu membubuhkan gincu berwarna
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merah pada mulutnya yang pasrah. Mengapa lelaki itu mewarnai bibirnya" Nora
menyukainya; dia selalu bertanya-tanya. Apa yang akan dilakukan lelaki itu
selanjutnya" Dari atas, Nora melihatnya menyalakan rokok dengan api dari lilin
di samping tempat tidurnya, lalu meletakkan satu lututnya di atas tubuh
terlentangnya, dan mematikan nyala rokok itu langsung pada kulit tubuhnya, di
bawah sana, hanya kira-kira satu inci atau dua dari bagian tubuhnya yang paling
pribadi. Tubuhnya tersentak di bawah lutut lelaki yang terus menahannya. Nora melihatnya
dari atas; ia melihat dirinya sendiri tersentak. Seolah ia sedang kesakitan,
tetapi ia tidak merasakannya sama sekali. Ia hanya mengamati semuanya dari atas
tanpa merasakan apa pun. Dan jika ia yang mengamati dirinya sendiri, tidak
merasa kesakitan, maka tidak ada rasa sakit tidak ada seorang lain pun yang ?merasakannya bukan begitu"
?Enambelas AKU HARUS bersikap seolah aku tidak mencintainya, atau tidak menaruh hati sama
sekali kepadanya. Begitulah yang kukatakan pada diriku sendiri ketika sedang
bercukur pada hari Kamis pagi. Pada pukul setengah sebelas, aku harus pergi di
rumah keluarga Acton untuk menyampaikan kesimpulan analisa. Aku tahu aku bisa
mendapatkannya. Namun itu bisa berarti eksploitasi, penyelewengan, dan mengambil
keuntungan dari kelemahan terapis pada diri Nora. Itu juga berarti menyalahi
sumpah perawatan yang kuucapkan ketika aku menjadi seorang dokter.
Tidak mungkin untuk menggambarkan ide apa yang muncul dalam benakku ketika aku
membayangkan Nora, dan aku membayangkan gadis itu nyaris setiap saat aku sadar.
Well, bukannya tidak boleh, tetapi tidak arif. Yang benar-benar tidak dapat aku
gambarkan adalah kekosongan pada paru-paruku ketika aku tidak berada di
hadapannya. Seolah aku tidak bisa hidup tanpa dirinya.
Aku merasa seperti Hamlet, menjadi lumpuh. Dengan perbedaan seperti ini: aku
merasa ingin mati jika aku tidak bertindak, sementara Hamlet merasa ia akan mati
jika ia bertindak. Bagi Hamlet, to be [ada] bukanlah bertindak. Bertindak adalah
mati; jadi not to be [tidak ada]:
Ada atau tidak ada; itulah pertanyaannya: Apakah itu leSih mulia di dalam Senak
untuk menderita Ketapei dan anak-anak panah dari ke6eruntungan yang menyakitkan Atau melawan
terhadap lautan kesulitan, Dan dengan menentang mengakhiri mereka. Mati...
Dengan kata lain, to be hanyalah merasakan derita takdir seseorang, tidak
melakukan apa-apa, dan hidup dengan cara demikian. Sementara not to be adalah
bertindak, melawan, dan mati. Karena bertindak artinya mati, Hamlet berkata
kalau ia tahu mengapa ia belum juga bertindak: ketakutan akan mati, kesimpulan
dari percakapannya seorang diri, atau tentang sesuatu setelah kematian, semua
itu telah membuatnya menjadi seorang pengecut dan tidak diketahui keinginannya.
Jadi bagi Hamlet, to be adalah statis, menderita, kepengecutan, tidak bertindak.
Sementara not to be terkait dengan semangat, keberanian, dan tindakan. Atau
begitulah yang dimengerti semua orang tentang pidatonya itu. Tetapi aku
bertanya-tanya. Va, pada akhirnya, ketika Hamlet bertindak terhadap pamannya, ia
akan mati. Mungkin ia tahu ini memang takdirnya. Tetapi tidak dapat dipersamakan
dengan tidak bertindak. Hidup dan bertindak begitu menyatu. To be tidak bisa
berarti tidak melakukan apa-apa. Tidak bisa. Hamlet lumpuh karena bertindak,
entah bagaimana, dipersamakan dengan tidak ada [not being]. Persamaan yang
keliru ini, atau kepalsuan persamaan ini, tidak pernah benar-benar dimengerti.
Tetapi lantaran ide Freud, aku tidak lagi dapat memikirkan Hamlet tanpa
memikirkan Oedipus. Dan aku khawatir ada sesuatu kesamaan yang juga mulai
merundung perasaanku terhadap Nora. Jika Freud benar kalau Nora ingin menyodomi
ayahnya sendiri, aku yakin aku bahwa tidak akan mengerti. Aku tahu bahwa ini
betulbetul tidak masuk akal bagiku. Jika Freud benar, itu berarti semua orang
memang memiliki keinginan seperti itu. Tidak seorang bisa mengelak, dan tidak
seorang pun harus dicerca karenanya. Namun, ketika aku memiliki dugaan dalam
kasus Nora, aku kehilangan kemampuan mencintainya. Secara total aku kehilangan
pegangan pada cinta itu. Yaitu bagaimana seorang dapat dicintai jika seseorang
itu memiliki keinginan yang menjijkkan di dalam diri kita"
g KAMIS PAGI DIAWALI dengan kegaduhan di rumah keluarga Acton. Nora terbangun pada
saat fajar, terhuyung-huyung turun dari tempat tidurnya, membuka pintu kamarnya,
dan jatuh di atas Pak Biggs, yang tidur di atas kursi tepat di depan kamarnya.
Kabar itu tersebar, alarm berbunyi: Nona Ac ton teiah diserang pada maiam hari.
Dua orang penjaga yang ditempatkan di luar, tergopoh-gopoh menaiki tangga, lalu
turun, gaduh sekali, dan hanya bisa menyelesaikan hal-hal kecil saja. Dr.
Higginson segera dipanggil sekali lagi. Dokter tua yang penuh perhatian itu
tampak sedih karena untuk sekali lagi, Nora telah menjadi korban dan menanggung
malu lantaran letak luka bakarnya. Ia memberi salep penenang yang boleh
digunakan bila diperlukan. Dr Higginson setelah itu
beranjak pulang, sambil menggelengkan kepalanya, untuk meyakinkan pada keluarga
kalau Nora tidak menderita luka lainnya. Ada beberapa orang polisi lagi yang
datang ke tempat kejadian, Detektif Littlemore, yang telah tertidur di meja
kerjanya malam itu, tiba di sana pukul delapan.
Detektif itu menemui mereka bertiga di kamar Nora. Gadis itu tampak kebingungan.
Opsir-opsir berseragam sedang memeriksa lantai berpermadani dan jendela-jendela.
Littlemore memberikan peralatan penebar debu untuk mencari sidik jari pada salah
seorang petugas. Ia memerintahkannya untuk mencari apakah ada sidik jari pada
pegangan pintu, kepala tempat tidur, dan bingkai jendela. Nora duduk di sudut
tempat tidurnya, masih mengenakan baju tidurnya. Rambutnya pun kusut masai,
matanya tampak linglung dan bingung. Pernyataannya tentang kejadian tadi malam
terus menerus diminta. George Banwell. Begitulah ia memberikan jawaban atas setiap pertanyaan mereka.
Pelakunya adalah George Banwell dengan rokok dan sebilah pisau pada malam hari.
George Banwell akan ditangkap, bukan" Pertanyaan Nora membangkitkan protes
kekhawatiran dari Tuan dan Nyonya Acton. Tidak mungkin George, kata mereka,
tidak mungkin. Bagaimana Nora bisa begitu yakin padahal ketika itu sudah tengah
malam" Littlemore punya masalah. Ia berharap memiliki bukti lain tentang Banwell selain
dari pernyataan gadis itu. Lagipula ingatan Nora tidak benar-benar sekuat batu
karang. Lebih buruk lagi, Nora mengaku tidak dapat benar-benar melihat lelaki
yang masuk ke kamarnya malam itu. Kamar tidurnya begitu gelap. Nora mengatakan
kalau pelakunya adalah Banwell. Littlemore berharap, apa yang dikatakannya,
bukan hanya "asal bicara." Jika
Littlemore menangkap Banwell, McCellan tidak akan senang. Yang Mulia juga bahkan
tidak akan setuju walau Banwell ditangkap hanya untuk dimintai keterangan.
Karena itu, Littlemore memutuskan untuk lebih baik menunggu perintah Walikota
McClellan. "Jika kau tidak keberatan, Nona Acton," katanya, "bolehkan aku
mengajukan pertanyaan padamu?"
"Silahkan," katanya.
"Kau mengenal seorang bernama William Leon?" "Maaf?"
"William Leon," kata Littlemore, "orang Cina, juga dikenal sebagai Leon Ling."
"Aku tidak mengenal seorang Cina pun, Detektif."
"Mungkin ini akan membangkitkan ingatanmu, Nona," kata detektif itu. Dari saku
rompinya, ia mengeluarkan selembar foto, lalu menyerahkannya pada gadis itu. Itu
adalah foto yang diambilnya dari apartemen Leon, yang memperlihatkan seorang
lelaki Cina bersama dua orang gadis muda. Salah satunya adalah Nona Acton.
"Di mana kau dapatkan ini?" Tanya gadis itu.
"Jika kau bisa mengatakan siapa lelaki itu, Nona," kata Littlemore, "ini sangat
penting. Mungkin ia sangat berbahaya."
"Aku tidak tahu. Aku belum pernah mengenalnya. Ia mendesak untuk berfoto bersama
Clara dan aku." "Clara?"
"Clara Banwell," kata Nora, "Itu dia yang berada di samping lelaki itu. Ia
adalah salah satu teman lelaki Cina Elsie Sigel."
Kedua nama itu sangat menarik bagi Detektif Littlemore. Selain mengetahui kalau
William menyukai Elsie, ia juga baru saja mengenali tidak saja nama gadis
lainnya pada foto itu, tetapi juga penulis surat-surat yang ditemukannya di dalam
koper kemungkinan besar, seorang gadis yang mati itu akan ditemukan bersama-?sama juga.
"Elsie Sigel," ulang Littlemore, "Kau bisa menceritakan tentang dia padaku,
Nona" Ia seorang gadis Yahudi?"
"Ya, ampun, bukan," kata Nora, "Elsie melakukan kegiatan misionari. Kau pastilah
pernah mendengar nama keluaraga Sigel. Kakeknya sangat terkenal. Ada patungnya
di Riverside Park." Littlemore diam-diam bersiul. Jendral Franz Sigel memang terkenal, seorang
pahlawan Perang Saudara yang menjadi seorang politikus di New York. Pada hari
pemakamannya pada tahun 1902, lebih dari sepuluh ribu orang New York datang
untuk memberi penghormatan terakhir pada lelaki tua itu, yang dimakamkan dengan
mengenakan seragam lengkap. Para cucu perempuan dari jendral-jendral Perang
Saudara, seharusnya tidak boleh menulis surat pada pengelola-pengelola restoran
di Pecinan. Mereka bahkan tidak boleh menulis surat pada lelaki Cina sama
sekali. Ia bertanya bagaimana Nona Siegel bisa berkenalan dengan William Leon.
Nora mengatakan apa yang diketahuinya walaupun hanya sedikit. Pada musim semi
yang lalu, ia dan Clara telah bergabung dengan gerakan relawan perkumpulan
dermawan Tuan Riis. Mereka mengunjungi para keluarga yang tinggal di rumah petak
di seluruh Lower East Side, menawarkan bantuan yang mereka dapat berikan. Pada
suatu hari Minggu di Pecinan, mereka bertemu dengan Elsie Siegel yang sedang
mengajar di kelas Kitab Injil. Seorang muridnya membawa sebuah kamera. Nora
ingat siapa orang itu yang mengenakan pakaian sangat bagus, dan berbicara bahasa
Inggris dengan lebih baik sehingga
terlihat berbeda dari yang lainnya. Nora tidak pernah mengenal namanya, tetapi
Elsie tampaknya sangat mengenalnya. Karena lelaki Cinta itu terlihat begitu
akrab dengan Elsie, maka Clara dan dirinya merasa kalau mereka tidak bisa
menolak permintaannya untuk berfoto.
"Kau tahu di mana Nona Sigel tinggal, Nona Acton?" Tanya Littlemore.
"Tidak, tetapi aku ragu kau akan menemukannya di rumahnya, Detektif," kata Nora,
"Elsie melarikan diri bersama seorang pemuda pada bulan Juli. Kata orang-orang,
ia menuju Washington."
Littlemore mengangguk. Ia berterimakasih pada Nora, kemudian bertanya pada Tuan
Acton apakah ada telepon yang dapat digunakannya. Ketika ia menghubungi kantor
pusat, Littlemore meninggalkan perintah untuk melacak orang tua Elsie Sigel,
cucu perempuan Jendral Franz Sigel. Jika keluarga Sigel mengakui kalau mereka
tidak lagi melihat putri mereka sejak bulan Juli, mereka harus dibawa ke rumah
penyimpanan jenazah. Kembali ke kamar tidur Nora, Littlemore hanya mendapati Nora bersama Ibu Biggs.
Polisi terakhir baru saja meninggalkan ruangan dan mengatakan pada Littlemore
kalau ia tidak menemukan sidik jari sama sekali pada jendela maupun kepala
tempat tidur. Sedangkan pada pegangan pintu, ada terlalu banyak orang yang
keluar dan masuk. Ibu Biggs bermaksud membereskan kamar yang porak poranda
karena pemeriksaan polisi. Nora tetap berada di tempatnya. Littlemore
mempelajari kamar itu. "Nona Acton," katanya, "menurutmu, bagaimana lelaki itu
bisa masuk ke kamarmu tadi malam?"
"Yah, ia pastilah memiliki..., wah, aku tidak tahu." Hal itu, pikir Littlemore,
benar-benar membingungkan. Hanya ada dua pintu di rumah Acton, di depan dan di belakang.
Sepanjang malam rumah itu telah dijaga dua orang polisi berbadan besar yang
bersumpah kalau tidak ada seorang pun yang melewati mereka. Pastinya, Biggs
telah tertidur pada waktu pergantian jaga. Hal itu diakui oleh kedua regu itu.
Tetapi Biggs telah menempatkan kursinya dengan tepat, bersandar pada depan pintu
kamar gadis itu. Lantaran itulah esok harinya, Nora jatuh menimpanya. Tentunya
akan sulit bagi siapa saja untuk melewati Biggs tanpa membangunkannya.
Mungkinkah si penyerang masuk melewati jendela" Kamar tidur Nora terletak di
lantai dua. Jelas tidak mungkin bagi seorang lelaki memanjat rumah itu. Karena
kamar tidurnya menghadap ke taman, siapa pun yang berniat berbuat itu akan
terlihat jelas oleh penjaga yang bersiap di depan. Mungkinkah ia masuk dari
atap" Itu mungkin saja. Atap dapat dimasuki melalui gedung-gedung yang
berhubungan. Tetapi para tetangga bersumpah kalau rumah mereka tidak dimasuki
orang kemarin malam. Juga, bagi Littlemore, seorang lelaki sebesar itu akan
mendapat kesulitan menyelinap memasuki salah satu jendela kamar Nora.
Ketika Detektif Littlemore memeriksa jendela-jendela itu yang tidak ?memperlihatkan tanda-tanda masuk atau keluarnya seseorang kisah Nora mulai
?menampakkan keanehannya. Pertama-tama adalah penemuan Ibu Biggs akan puntung
rokok yang terkubur di dalam keranjang sampah kertas Nora. Rokok itu ada bekas
gincu. Ibu Biggs tampak terkejut. Juga detektif itu.
"Ini milikmu, Nona?" Tanya detektif itu.
"Tentu saja bukan," kata Nora, "aku tidak merokok. Aku bahkan tidak mempunyai
gincu." "Lalu gincu apa yang sekarang menempel pada bibirmu?" Tanya Littlemore.
Nora menutupkan tangannya pada mulutnya, lalu teringat ia melihat Banwell
mengenakan gincu pada bibirnya. Namun, ia telah lupa pada fakta penting itu
sebelumnya. Bagian kejadian itu seluruhnya begitu buram, begitu tertutup kabut
di benaknya. Ia mengatakan, pastilah Banwell yang telah mengoleskan gincu pada
rokok itu dan membuangnya di keranjang sampah sebelum pergi. Ia tidak mengatakan
keistimewaan terpenting dari ingatannya: ia melihat Banwell dari atas, bukan
dari bawah. Lalu bersikeras mengatakan kalau ia tidak pernah mempunyai peralatan
rias wajah sama sekali. "Kau tidak keberatan jika aku melihat-lihat di sekitar kamarmu, Nona Acton?"
Tanya Littlemore. "Orang-orangmu sudah memeriksa kamarku sejam yang lalu," jawabnya.
"Bolehkah, Nona?"
"Baiklah." Tidak seorang polisi pun yang memeriksa barang-barang pribadi Nora sejauh ini.
Littlemore sekarang harus melakukannya. Pada laci terbawah dari perlengkapan
kecantikannya, ia menemukan beberapa alat rias termasuk bedak, sebotol parfum,
dan gincu. Juga sebungkus rokok.
"Itu bukan milikkku," kata Nora, "aku tidak tahu darimana itu semua."
Littlemore memanggil kembali para opsirnya ke kamar itu untuk melakukan
pemeriksaan yang lebih teliti. Beberapa menit kemudian, seorang polisi menemukan
sesuatu yang tidak terduga tepat di atas laci atas di dalam lemari Nora yang
tersembunyi di bawah tumpukan baju musim dingin. Sebuah cemeti pendek dengan
pegangan bengkok. Littlemore tidak akrab dengan kegiatan zaman pertengahan yang mengerikan, tetapi
ia dapat melihat kalau cemeti khusus ini memungkinkan si penderanya untuk
mendera bagian yang sulit dicapai seperti punggung si penderanya sendiri.?Untung saja kita tidak menahan Banwell, pikir Jimmy Littlemore.
Detektif itu tidak tahu harus berpikir bagaimana, ketika seorang polisi lainnya
memperlihatkan penemuan baru di halaman belakang. Polisi penjaga itu telah
memanjat pohon untuk mengetahui apakah mungkin mencapai atap melalui pohon.
Ternyata tidak mungkin. Tetapi ketika turun, ia melihat benda kecil, berkilap,
?metal bundar yang semula disangkanya sekeping koin. Benda itu terdapat di takik
?cabang pohon, kira-kira tigapuluh sentimeter dari tanah. Ia menyerahkannya pada
Littlemore sebuah peniti emas bulat untuk dasi dengan monogram, dan terdapat
benang putih sutera yang terjepit. Inisial pada peniti itu, GB.
9 UNTUK PERTAMA KALINYA BRILL TERLAMBAT datang makan pagi. Ketika muncul, ia tidak
bercukur, ketakutan, salah satu ujung kerah bajunya mencuat ke atas, benar-benar
tampak kacau. Rose sepanjang malam mendapat gangguan tidur, katanya kepada
Freud, Ferenczi dan aku. Satu jam yang lalu ia telah memberinya laudanum. Brill
pun sulit untuk menidurkan dirinya. Katanya ia harus bicara dengan kami tanpa
dilihat orang lain. Karena itu kami berempat, kembali ke kamar Freud, setelah
meninggalkan pesan di bawah bagi Jones dan
Jung, walau tidak ada yang tahu apakah Jung ada di hotel atau tidak.
"Aku tidak bisa melakukannya," kata Brill meledak ketika kami tiba di kamar
Freud, "maafkan aku, tetapi kau tidak bisa. Aku sudah mengatakannya pada
Jelliffe." Tampaknya ia sedang membicarakan terjemahan buku Freud. "Jika itu
hanya aku, aku berjanji akan melanjutkannya. Tetapi aku tidak bisa membahayakan
Rose. Ia segalanya bagiku. Kau tahu, bukan?"
Kami membujuknya untuk duduk. Ketika ia menjadi cukup tenang untuk berbicara
dengan teratur, ia mencoba meyakinkan kami kalau abu yang terdapat di rumahnya
berhubungan dengan telegram alkitab yang diterimanya. "Kau melihatnya," ia
membicarakan Rose lagi, "mereka membuatnya menjadi sebuah pilar garam. Itu ada
dalam telegram, dan itu telah terjadi."
"Seseorang telah dengan sengaja mengirimkan abu ke rumahmu?" Tanya Ferenczi,
"mengapa?" "Sebagai peringatan," kata Brill.
"Dari siapa?" Tanyaku.
"Orang yang sama yang telah membuat Prince ditangkap di Boston. Orang yang sama
yang pernah mencoba menghalangi kuliah-kuliah Freud di Clark."
"Bagaimana mereka tahu rumahmu?" Tanya Ferenczi.
"Bagaimana mereka tahu Jones tidur bersama pembantunya?" Tanya Brill.
"Kita tidak boleh terlalu cepat menyimpulkan," kata Freud, "tetapi jelas benar
kalau seseorang telah mendapatkan banyak informasi pribadi tentang kita."
Brill mengeluarkan sepucuk amplop dari saku rompinya. Lalu ia menarik secarik
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kecil kertas yang terbakar, dengan sisa ketikan yang dapat dibaca. Sebuah huruf
u (dengan titik dua di atas) jelas terlihat. Dengan satu atau dua spasi di sebelah
kanannya tertulis huruf yang mungkin adalah huruf kapital H. Lalu tidak ada lagi
yang tampak selain itu. "Aku menemukan ini di ruang dudukku," kata Brill, "mereka membakar naskahku.
Naskah Freud. Lalu mereka menyebarkan bekas bakaran naskah itu di apartemenku.
Mereka akan membakar seluruh gedung pada kesempatan lainnya. Itu tertera dalam
telegram: "hujan api"; "berhentilah sebelum terlambat." Jika aku menerbitkan
buku Freud, mereka akan membunuhku dan Rose."
Ferenczi memprotes dan berargumen kalau ketakutan Brill sangat berlebihan untuk
peristiwa itu. Tetapi Freud menyela, "Apa pun penjelasannya, Abraham," katanya
sambil meletakkan tangan di atas bahu Brill, "mari kita sisihkan dulu buku itu
sekarang. Buku itu bisa menunggu. Buku itu tidak sepenting dirimu bagiku."
Brill tertunduk dan meletakkan tangannya di atas tangan Freud. Kupikir ia hampir
menangis. Ketika itu seorang pelayan mengetuk pintu, lalu masuk dengan membawa
kopi dan senampan kue pastri pesanan Freud. Brill berdiri menerima secangkir
kopi. Ia tampak sangat lega lantaran mendengar kalimat terakhir Freud. Beban
beratnya seakan telah terangkat. Sambil membersihkan hidungnya, ia berkata
dengan nada suara yang berbeda sama sekali, "bukan aku yang harus kau
khawatirkan. Bagaimana dengan Jung" Freud, apakah kau sadar, Ferenczi dan aku
yakin kalau Jung itu psikotik" Itu pendapat medis yang kami pikirkan. Katakan,
Sandor." "Yah, psikotik aku setuju," sahut Sandor Ferenczi, "tetapi aku juga melihat
bukti adanya kemungkinan gangguan."
"Tidak mungkin," kata Freud, "bukti apa?"
"Ia mendengar suara-suara," kata Ferenczi, "ia mengeluhkan lantai rumah Brill
yang lunak ketika diinjaknya. Percakapan yang tidak tersambung dengan baik. Dia
juga mengatakan pada siapa saja kalaua kakeknya telah diuduh membunuh."
"Aku bisa menjelaskan mengapa hal itu terjadi, tanpa ada hubungannya dengan
psikosis," kata Freud. Aku dapat melihat bahwa Freud memikirkan sesuatu, tetapi
ia tidak mau mengutarakannya. Aku bertanya-tanya apakah aku harus mengungkap
tafsiran Jung yang mengherankan pada mimpi Freud tentang Count Thun. Tetapi aku
mempertimbangkan jangan-jangan Freud memang tidak menceritakan hal itu pada
Brill dan Ferenczi. Karena itu aku pikir tidak perlu.
"Dan yang paling penting, katanya kau memimpikannya sepuluh tahun yang lalu!"
Seru Brill, "lelaki itu gila."
Freud menarik nafas dan menjawab. "Tuan-tuan, sebagaimana aku, kalian tahu bahwa
Jung memiliki keyakinan khusus tentang cenayang dan sekte. Aku senang kalian
berbagi keraguanku tentang hal itu, tetapi Jung bukan satusatunya orang yang
mampu melihat lebih jauh."
"Melihat lebih jauh?" Kata Brill, "jika aku memiliki pandangan yang lebih jauh
seperti itu, kau akan mengatakan aku berkhayal. Ia juga memiliki pandangan yang
lebih jauh tentang Oedipus kompleks. Ia tidak lagi menerima etiologi seksual,
kau tahu itu." "Kau berharap ia menjadi seperti itu," kata Freud tenang, "sehingga hal itu akan
menyingkirkan dirinya. Jung menerima teori seksual tanpa syarat. Sebenarnya, dia
akan memaparkan sebuah kasus infantil seksualitas di
Clark minggu depan."
"Benarkah" Pernah kau bertanya pada Jung apa yang akan dibicarakannya di
Fordham?" Freud tidak menjawab tetapi menatap Brill dengan mata disipitkan.
"Jelliffe mengatakan padaku, ia dan Jung telah membicarakannya, dan Jung sangat
peduli tentang penekanan yang berlebihan pada peran seks dalam p sikoneuro sis.
Itu istilahnya adalah overemphasizing (penekanan yang berlebihan)."
"Weil, jelas ia tidak mau menekan itu secara berlebihan," bentak Freud, "aku
tidak mau menekannya secara berlebihan juga. Kalian berdua, dengarkan aku. Aku
tahu kalian telah merasa tidak nyaman dengan sikap Jung yang anti-Semit. Ia
tidak melibatkan aku, dan karena itu ia melimpahkan energi yang lebih besar
kepada kalian. Aku yakinkan kalian kalau aku juga sangat mengetahui tentang
kesulitan Jung akan teori seksual. Tetapi kalian harus ingat, hal itu lebih
sulit baginya untuk mengikutiku dibandingkan dengan kalian. Juga akan lebih
sulit bagi Younger. Seorang Gentil [bukan Yahudi] harus mengatasi penolakan dari
dalam yang jauh lebih besar jumlahnya. Dan Jung bukan saja seorang penganut
Kristen, ia juga putra seorang pastur."
Tidak seorang pun berkata-kata, maka aku memberanikan diri memprotesnya,
"Maafkan aku, Dr. Freud, mengapa harus menjadi masalah jika orang itu Kristen
atau Yahudi?" "Anakku," kata Freud dengan keras, "kau mengingatkan aku pada novel-novel karya
saudara lelaki James, siapa namanya?"
"Henry, Dr. Freud."
"Ya, Henry." Jika aku membayangkan Freud akan berkata lebih banyak untuk menjawab
pertanyaanku, aku salah. Bahkan ia berpaling pada Ferenczi dan Brill. "Kau
pastilah lebih suka psikoanalisa menjadi urusan bangsa Yahudi" Tentu saja, aku
tidak adil karena mempromosikan Jung, padahal yang lainnya telah mengikutiku
lebih lama. Tetapi kami, bangsa Yahudi, harus bersiap untuk diperlakukan dengan
sejumlah ketakadilan jika kami akan meraih dunia. Tidak ada pilihan lainnya.
Jika saja namaku Jones, kau bisa yakin gagasanku tidak akan menerima terlalu
banyak penolakan, walau bagaimanapun. Lihatlah Darwin. Ia tidak setuju dengan
Genesis, dan ia dianggap sebagai pahlawan. Hanya seorang Gentil yang dapat
membawa psikoanalisa menjadi sebuah harapan. Kami harus mempertahankan Jung
sebagai die Sache. Segala harapan kami bergantung padanya."
Kata yang diucapkan Freud dalam bahasa Jerman itu artinya penyebab. Aku tidak
tahu mengapa ia tidak menggunakan bahasa Inggris. Selama beberapa menit tidak
seorang pun berbicara. Kami asik dengan makan pagi. Brill tidak makan. Ia sedang
menggigiti kukunya. Aku membayangkan kalau tidak akan ada pembicaraan lagi
tentang Jung. Ternyata aku salah lagi.
"Dan bagaimana dengan menghilangnya Jung?" Tanya Brill, "Jelliffe mengatakan
padaku, Jung meninggalkan Balmoral pada hari Minggu tengah malam. Tetapi petugas
penerima tamu di sini bersumpah kalau Jung tidak kembali ke hotel sampai pukul
dua dini hari. Itu artinya ada dua jam yang tak terhitung setelah tengah malam.
Keesokan harinya, Jung mengaku berada di dalam kamarnya, tidur siang. Tetapi
petugas di sini mengatakan ia keluar hingga
malam. Kau dan aku mengetuk pintu Jung dengan keras dan begitu lama pada hari
Senin sore, Younger. Kukira ia tidak di dalam sama sekali. Ke manakah ia?"
Aku menyela, "Maafkan aku. Kau tadi mengatakan Jung ada di Balmoral pada hari
Minggu malam?" "Betul," kata Brill, "gedung Jelliffe. Kau di sana tadi malam."
"Oh," kataku, "aku menyadarinya." "Menyadari apa?" Tanya Brill.
"Tidak apa-apa," kataku, "hanya kebetulan yang aneh."
"Kebetulan apa?"
"Gadis lainnya..., gadis yang dibunuh itu..., dia terbunuh di Balmoral," aku
bergerak di atas kursiku dengan tidak nyaman, "pada hari Minggu malam. Antara
tengah malam dan pukul dua."
Brill dan Ferenczi saling menatap. "Tuan-tuan," kata Freud, "jangan
keterlaluan." "Dan Nora diserang pada hari Senin malam," Brill menjelaskan, "di
mana?" "Abraham," sergah Freud.
"Tidak ada yang menuduh siapa pun," kata Brill polos, tetapi dengan tarikan
wajah yang terlalu bersemangat, "aku hanya bertanya pada Younger, di mana rumah
Nora." "Di Gramercy Park," kataku.
"Tuan-tuan, aku tidak mau mendengar ini lagi," jelas Freud.
Ada ketukan pintu lagi. Rupanya yang datang adalah Jung. Kami saling bertegur
sapa dengan kaku sebagaimana yang telah diperkirakan. Jung yang tampaknya tidak
melihat ketaknyamanan kami, menyendok gula untuk kopinya, dan bertanya apakah
kami besenang-senang di pesta makan malam di rumah Jelliffe.
"Oh, Jung," sela Brill, "kau terlihat pada hari Senin." "Maaf?" Tanya Jung.
"Kau mengatakan pada kami," kata Brill tajam, "kau tidur di sepanjang Senin sore
di kamarmu. Tetapi ternyata kau terlihat ada di kota."
Freud menggelengkan kepalanya, ia berjalan ke arah jendela lalu mendorongnya
sehingga lebih terbuka lebar.
"Aku tidak pernah mengatakan kalau aku ada di kamar sepanjang Senin sore," kata
Jung sama tajamnya. "Aneh," kata Brill, "aku berani sumpah kalau kau mengatakan begitu. Itu
mengingatkan aku, Jung, kami berpikir untuk mengunjungi Gramercy Park hari ini.
Kukira kau tidak akan bergabung bersama kami?"
"Aku mengerti," kata Jung.
"Mengerti apa?" Tanya Brill.
"Mengapa tidak kau katakan saja?" Bentak Jung.
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kau bicarakan," kata Brill. Ia dengan
sengaja membuat dirinya terdengar seperti aktor buruk yang tidak berhasil
memerankan sikap tidak peduli.
"Jadi, aku terlihat di Gramercy Park," kata Jung dingin, "apa yang akan kalian
lakukan, melaporkan aku pada polisi?" Ia berpaling pada Freud, "Welf, tampaknya
tujuanmu mengundangku ke sini adalah untuk diinterogasi. Permisi, aku tidak mau
makan pagi dengan kalian." Ia membuka pintu dan keluar sambil mendelik pada
Brill, "tidak ada yang perlu membuatku malu."
g LANTARAN NAMA BESAR YANG disandang jendral Sigel, polisi tidak menemui kesulitan
mencari alamat cucu perempuannya. Ia tinggal bersama orang tuanya di Wadsworth
Avenue, dekat 18th street. Seorang opsir dari stasiun Washington Hights,
ditugaskan untuk pergi ke rumah itu mengawal Bapak dan Nyonya Sigel, beserta
keponakan mereka yang bernama Mabel,, menuju gedung Van den Heuvel. Mereka
bertemu detektif Littlemore di ruang tunggu rumah penyimpanan jenazah.
Detektif itu mengetahui dari mereka kalau Elsie yang berusia sembilanbelas tahun
memang telah menghilang hampir satu bulan lalu. Ia tidak pernah kembali sejak
pergi berlibur mengunjungi Nenek Ellie di Brooklyn. Pada hari-hari pertama
menghilangnya Elsie, keluarga Sigel telah menerima sebuah telegram gadis itu
dari Washington D.C. yang menunjukkan kalau ia memang berada di sana bersama
seorang pemuda, yang jelas dinikahinya. Ia memohon orang tuanya supaya tidak
mengkhawatirkan dirinya, meyakinkan mereka kalau ia baik-baik saja, dan berjanji
akan pulang ke rumah pada musim gugur. Orang tuanya masih menyimpan telegram
itu, yang kemudian diperlihatkan kepada detektif Littlemore. Telegram itu memang
telah dikirim dari sebuah hotel di ibu kota, dan nama Elsie tertera di bagian
bawah. Namun tentu saja hal itu tidak menjamin kalau Elsie-lah pengirimnya. Tuan
Sigel belum menghubungi polisi, karena masih berharap akan mendengar kabar dari
putrinya, dan dengan cemas menjauhi skandal.
Littlemore kemudian memperlihatkan surat-surat yang ditemukan di dalam koper
William Leon, kepada pasangan Sigel. Setelah itu Litllemore juga memperlihatkan
kepada mereka liontin perak yang ditemukan pada jenazah gadis itu berikut topi
yang berhiaskan burung. Baik Tuan
maupun Nyonya Sigel belum pernah melihat barang-barang itu, dan dengan tegas
menyatakan kalau itu bukan milik Elsie. Namun Mabel menyangkal. Ternyata liontin
itu memang milik Elsie; Mabel sendiri yang telah memberikannya kepada Elsie pada
bulan Juni. Littlemore, sambil menarik Tuan Sigel ke tepi, mengatakan kalau ia sebaiknya
melihat jasad yang ditemukan di apartemen Leon. Di lantai bawah di rumah
penyimpanan jenazah itu, Tuan Sigel pada awalnya tidak dapat mengenali jenazah
itu karena sudah terlalu busuk. Dengan murung ia mengatakan pada Littlemore ia
akan tahu yang sesungguhnya jika dapat melihat giginya. Gigi taring sebelah kiri
anak gadisnya letaknya tidak baik. Ternyata begitulah gigi taring jenazah yang
terbaring di atas meja pualam. "Itu memang Elsie," kata Tuan Sigel lirih.
Ketika kedua lelaki itu kembali ke ruang tunggu, Tuan Sigel menatap istrinya
dengan tatapan keras dan menyalahkan. Wanita itu pastilah mengerti, maka
meledaklah tangisnya. Membutuhkan waktu yang lama untuk menenangkan dirinya.
Kemudian suaminya menceritakan kisahnya.
Nyonya Sigel melakukan kegiatan keagamaan di Pecinan. Selama bertahun-tahun ia
telah berusaha keras memindahkan orang-orang Cina menjadi pemeluk agama Kristen.
Pada bulan Desember, ia mulai membawa Elsie ke rumah misi. Elsie ikut aktif
dengan penuh semangat sehingga menyenangkan hati ibunya, tetapi merisaukan hati
ayahnya. Walau Tuan Sigel sangat menentang, gadis itu bahkan berani pergi ke
Pecinan seorang diri beberapa kali dalam seminggu dan mengajar di kelas Kitab
Suci Minggunya sendiri. Salah satu dari beberapa muridnya yang paling
rajin kenang Tuan Sigel dengan muram? ?telah berani mengunjungi mereka ke rumah beberapa bulan lalu. Tuan Sigel tidak
tahu nama lelaki itu, namun setelah Littlemore memperlihatkan selembar foto
William Leon, sang ayah pun memejamkan matanya dan mengangguk.
Keluarga Sigel meninggalkan rumah jenazah. Mereka meratapi, baik kematian Elsie
maupun ketenaran mereka lantaran nyamuk pers telah menunggu di luar. Detektif
Littlemore bertanya-tanya di mana Hugel. Littlemore telah menduga kalau ahli
otopsi itu akan menginginkan memimpin otopsi itu sendiri dan mendengarkan
kesaksian Tuan Sigel. Namun Hugel ternyata tidak ada di tempat. Penggantinya
adalah O 'H anion, seorang dokter yang telah memeriksa jasad itu. Ia melaporkan
pada Littlemore kalau Nona Sigel sudah tewas tercekik selama empat minggu.
Sementara itu Hugel tengah berada di kantornya yang mengatakan kalau sama sekali
ia tidak berminat untuk menangani kasus itu lagi.
Tujuhbelas SI CAN TIK CLARA BAN WELL yang mengenakan gaun hijau sewarna dengan matanya,
kali itu tengah menanggalkan pakaian yang dikenakan oleh Nora Acton seorang ?gadis yang sama cantiknya. Clara pun berusaha menenangkan, membuatnya nyaman,
dan menghibur gadis itu yang memang nyaris putus asa. Ia datang ke rumah itu
tidak lama setelah Littlemore pergi. Dengan begitu anggun, Clara mengantar
keluar semua orang yang ada di
kamar, baik itu polisi maupun keluarga. Ketika Nora telah bugil, Clara
membawanya ke bak mandi dengan air dingin dan membantunya masuk. Sambil terisak,
Nora memohon Clara untuk membiarkannya berbicara sekian banyak hal mengerikan
yang telah terjadi padanya.
Clara meletakkan dua jarinya pada bibir Nora, "Sst," katanya, "jangan bicara,
sayang. Pejamkan matamu."
Nora mematuhinya. Dengan lembut Clara memandikan gadis itu, mencuci rambutnya,
dan mengusapi luka yang sudah sembuh dengan kain basah yang lembut.
"Mereka tidak memercayai aku," kata Nora sambil menahan air matanya.
"Aku tahu. Tidak apa-apa." Clara coba megatasi kebingungannya. Ia meminta Ibu
Biggs yang berdiri dengan cemas, untuk membawakan salep yang ditinggalkan Dr.
Higginson. "Clara?" "Ya." "Mengapa kau tidak datang lebih awal?"
"Stt," kata Clara sambil mengolesi salep pada kening Nora, "aku di sini
sekarang." Setelah air itu terbuang habis, Nora masih terbaring di dalam bak. Bagian atas
tubuhnya pun dibungkus dengan handuk putih, dan matanya terpejam, "Apa yang kau
lakukan terhadapku, Clara?" Tanya Nora.
"Mencukurmu. Kami harus membersihkan luka bakar yang parah itu. Lagipula, akan
tampak lebih cantik seperti ini." Clara meletakkan tangan Nora untuk melindungi
bagian tubuhnya yang paling lembut, "Nah," katanya, "tekan ke bawah, sayang."
Clara meletakkan tangannya sendiri di atas tangan Nora, sambil tetap menekan
dengan kuat dan mengubah posisi sesekali, sehingga ia dapat melakukan tugasnya. "Nora,
George bersamaku sepanjang malam. Polisi bertanya padaku, dan aku harus
mengatakan kepada mereka. Kau harus mengatakan kepada mereka sekarang. Jika
tidak mereka akan membawamu pergi. Mereka sudah mengaturnya dengan sebuah
sanatorium." "Aku tidak apa-apa tinggal di sanatorium," kata Nora.
"Jangan bodoh. Apakah kau tidak lebih senang ikut bersamaku ke desa" Itu yang
akan kita lakukan, sayang. Kau dan aku, berdua saja, seperti yang kita sukai.
Kita bisa membicarakan semuanya di sana." Clara telah menyelesaikan pekerjaan
dengan siletnya. Lalu ia memberi salep penenang yang ditinggalkan Dr. Higginson,
pada luka bakar Nora. "Tetapi kau harus mengatakan pada mereka."
"Apa yang harus kukatakan pada mereka?"
"Yah, bahwa kau memang melakukan ini semua sendiri. Kau sangat marah pada kami
semua: George, ibumu, dan ayahmu, bahkan padaku juga. Kau berusaha membalas
dendam pada kami." "Tidak, aku tidak akan pernah bisa marah padamu."
"Oh, sayang, aku juga tidak bisa marah padamu." Clara mengalihkan perhatiannya
pada dua luka sayatan di paha Nora. Pada luka itu ia juga memberi salep dokter.
Ia menggerakkan jemarinya dengan lembut, berputar-putar. "Tetapi kau harus
mengatakan pada mereka sekarang. Katakan pada mereka betapa kau menyesal atas
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segalanya. Kau akan merasa sangat tenang. Lalu kau boleh ikut bersamaku selama
kau mau." 9 WALAUPUN PENUH DENGAN SEMANGAT, Hugel jarang mengubah kemarahan menjadi
kegembiraan lalu menjadi murung secepat yang dilakukannya ketika mendengarkan
laporan D etektif Littlemore tentang kejadian-kejadian di rumah Acton tadi pagi.
Littlemore telah berusaha untuk menarik perhatian ahli otopsi itu pada kasus
Elsie Sigel, tetapi Hugel mengabaikannya. Hugel hanya mendengar tentang
teriakan-teriakan di rumah Acton secara kebetulan dari salah satu dari kurirnya.
Ia marah atas dasar mengapa mereka memberi tahu Littlemore tetapi tidak
memberitahukannya" Lalu ketika mendengar cerita Nora, Hugel bersorak, "Ha!
Sekarang kita bisa menangkapnya! Sudah Aku katakan padamu, bukan?" Akhirnya, ia
mengetahui tentang penemuan gincu, rokok dan cemeti yang ada di kamar gadis itu.
Ia duduk melorot lagi di atas kursinya.
"Tamatlah sudah," kata Hugel lirih. Wajahnya mulai berubah menjadi gelap, "Gadis
itu harus dirawat." "Tidak, tunggu, dengarkan yang ini." Littlemore menceritakan tentang peniti dasi
yang telah diketemukan itu.
Hugel hampir tidak terkesan akan berita itu. "Terlalu kecil, terlambat," katanya
muram. Ia menggerutu dengan kesal. "Aku percaya semua yang dikatakan gadis itu.
Gadis itu harus diasingkan, kau dengar aku?"
"Kau pikir ia tidak waras?"
Ahli otopsi menghela nafas dalam. "Aku mengucapkan selamat padamu, Detektif,
atas logikamu yang tajam. Kasus Riverford-Acton sekarang sudah tertutup.
Beritahu pak Walikota. Aku tidak mau berbicara dengannya."
Detektif Littlemore mengedipkan matanya dengan bingung. "Kau tidak bisa menutup
kasus itu." "Tidak ada kasus," kata Hugel, "aku tidak bisa menuntut sebuah pembunuhan tanpa
ada corpus delicit. Kau mengerti" Tidak ada pembunuhan tanpa ada mayatnya. Dan
aku tidak dapat menuntut sebuah penyerangan tanpa adanya penyerang itu. Apakah
kita harus menuduh Nona Acton melakukan penganiayaan terhadap dirinya sendiri?"
"Tunggu, aku bahkan belum mengatakan padamu. Ingat lelaki berambut hitam" Aku
tahu ke mana ia pergi. Pertama-tama ia pergi ke Hotel Manhattan, lalu pergi ke
sebuah rumah pelacuran di Jalan Fortieth. Aku juga sudah pergi ke rumah
pelacuran itu sendiri, dan seorang mucikarinya memberitahuku tentang Harry Thaw,
yang... " "Apa yang kau bicarakan, Littlemore?"
"Harry Thaw, lelaki yang membunuh Stanford White."
"Aku tahu siapa Harry Thaw," kata Hugel dengan penuh menahan diri.
"Kau tidak akan memercayai ini, tetapi jika bukan lelaki Cina itu pembunuhnya,
kukira Harry Thaw mungkin orang yang kita cari."
"Harry Thaw." "Ia selamat, ingat" Bebas dari tuduhan," kata Littlimore, "Well, pada
persidangannya, ia mendapatkan alibi dari istrinya, dan..."
"Kau juga akan melibatkan Harry Houdini ke dalam kasus ini?"
"Houdini" Houdini seniman ahli membebaskan diri?" "Aku tahu siapa Houdini," kata
ahli otopsi dengan sangat lirih.
"Mengapa aku harus melibatkan dirinya?" Tanya Littlemore.
"Karena Harry Thaw ada di dalam penjara, Detektif. Ia
tidak bebas dari hukuman. Ia dikurung di Matteawan State. Rumah Sakit Jiwa bagi
Penjahat." "Begitukah" Kukira ia bebas, tetapi kemudian..., kalau begitu ia tidak mungkin
orang yang kita cari."
"Memang bukan."
"Aku tidak mengerti. Mucikari itu, yang rumahnya dimasuki lelaki berambut hitam...
11 "Lupakan lelaki berambut hitam!" bentak Hugel, "tidak ada yang mendengarkan aku
dalam segala peristiwa. Aku menulis laporan, tidak ada yang membacanya. Aku
memutuskan untuk menangkap seseorang, keputusanku diabaikan. Aku menutup kasus
itu." "Tetapi benang itu," tanya Littlemore, "rambut itu. Luka itu. Kau sendiri yang
mengatakannya, kau sendiri yang mengatakannya."
"Apa yang kukatakan?"
"Kau mengatakan lelaki yang membunuh Nona Riverford jugalah yang menyerang Nora
Acton. Kau bilang ada buktinya. Itu artinya Nona Acton tidak mengada-ada.
Penyerangan itu memang ada. Kasus memang ada. Seseorang menyerang Nona Acton
pada hari Senin." "Apa yang kukatakan, Detektif, adalah bukti jasmani yang cocok dengan
penyerangnya yang sama dalam kedua kasus itu, bukankah sudah terbukti. Baca
laporanku." "Kau tidak mengira Nona Acton..., mencambuki diri sendiri, bukan?"
Hugel menatap lurus ke depan dengan matanya yang kurang tidur dan muram,
"Menjijikan." "Lalu bagaimana dengan peniti dasi itu" Kau mengatakan ada peniti dasi dengan
hiasan initial Banwell. Bukankah itu yang benar-benar kau cari?"
"Littlemore, kau punya telinga, kan" Kau mendengar apa yang dikatakan Riviere.
Initial yang tercetak pada leher Elizabeth Riverford bukanlah GB, aku salah,"
gerutu Hugel dengan marah, "aku membuat kesalahan berturut-turut."
"Lalu mengapa ada juga yang terselip, peniti itu, di pohon sana?"
"Bagaimana aku tahu?" bentak Hugel, "mengapa tidak kau tanyakan padanya" Kita
tidak punya apa-apa. Tidak ada apa-apa. Hanya gadis celaka itu. Tidak ada juri
di negeri ini yang akan memercayainya sekarang. Mungkin ia sendiri yang
meletakkan peniti itu di pohon. Ia..., ia seorang psikopat. Mereka pastilah
menyingkirkannya." g SANDOR FERENCZI, tersenyum dan mengangguk dengan yakin, lalu berjalan mundur ke
arah pintu kamar hotel Jung seperti seorang pesuruh yang mengundurkan diri dari
hadapan seorang raja. Ia sebelumnya, telah dengan keraguan melaksanakan
permintaan Freud untuk menemui Jung sendirian.
"Katakan aku akan menemuinya dalam sepuluh menit," jawab Jung, "dengan senang
hati." Semula Ferenczi menduga akan menemui seorang Swiss yang sedang tersinggung,
namun ternyata Jung tampak tenang dan menyambutnya. Ferenczi merasa aneh sekali
ketika akan memberitahu Freud bahwa perangai Jung telah berubah. Lebihlebih ia
harus memberi tahu apa yang sedang dilakukan Jung di kamarnya.
Ratusan kerikil dan batu kecil, bersama dengan sepelukan ranting patah dan
rumput berserakan di lantai
kamar Jung. Ferenczi tidak dapat membayangkan dari mana semua itu berasal.
Mungkin dari area pembangunan, yang tampak ada di mana-mana di New York. Jung
sendiri sedang duduk bersila di atas lantai, bermain dengan benda-benda
tersebut. Ia telah mendorong semua perabotan ho-tel yang berupa kursi berlengan,
lampu, meja ke tepi, sehingga di ruang itu hanya tersisa lantai kosong. Di
tengah-tengahnya, Jung membangun sebuah desa dari batu-batu dengan belasan rumah
kecil mengelilingi sebuah puri. Setiap rumah memiliki sebidang tanah kecil
berumput di belakangnya, mungkin juga kebun sayuran atau halaman belakang. Di
tengah puri, Jung mencoba menanam sebuah garpu bercabang dengan rumput panjang
terikat pada garpu itu, tetapi ia tidak dapat membuatnya berdiri tegak. Karena
itulah, Ferenczi menduga, Jung memerlukan waktu sepuluh menit sebelum datang
menemui Freud. Mungkin, kata Ferenczi, keterlambatan itu tidak ada hubungannya
dengan senjata revolver yang terletak di atas meja Jung.
g JELAS TIDAK MUNGKIN jika sebuah rumah dianggap memiliki ekspresi. Tetapi aku
berani bersumpah, begitulah adanya ketika pada Kamis siang, aku mendekati rumah
keluarga Acton yang terbuat dari batu kapur di Gramercy Park. Sebelum ada yang
membukakan pintu, aku tahu ada sesuatu yang salah di dalamnya.
Ibu Biggs membiarkanku masuk. Perempuan itu benar-benar memeras-meras tangannya
sendiri. Dengan bisikan kecemasan, ia mengatakan padaku bahwa ini semua
kesalahannya. Ia hanya sedang membereskan kamar,
katanya. Seharusnya ia tidak perlu memberitahu siapa pun tentang apa yang
diketahuinya. Perlahan-lahan Ibu Biggs menjadi tenang, dan aku mengetahui darinya tentang
segala kekacauan yang terjadi pada malam sebelumnya, termasuk ditemukannya rokok
yang membuka rahasia. Setidaknya, kata Ibu Biggs dengan perasaan lega, Nyonya
Banwell sedang berada di atas. Wajar saja jika pelayan tua itu menganggap bahwa
Clara Banwell mampu mengatasi hal-hal tersebut lebih baik dibandingkan dengan
ibu dan ayah gadis itu sendiri. Ibu Biggs meninggalkan aku di ruang duduk.
Limabelas menit kemudian, Clara Banwell masuk.
Nyonya Banwell berpakaian untuk bepergian. Ia mengenakan sebuah topi kecil
sederhana dengan sebuah cadar yang sangat tipis serta ringan. Ia membawa sebuah
payung yang, terlihat dari gagangnya, pasti sangat mahal. "Maafkan aku, Dr.
Younger," katanya, "aku tidak mau menunda pertemuanmu dengan Nora. Tetapi
bolehkah aku berbicara sebentar denganmu sebelum aku pergi?"
"Tentu saja, Nyonya Banwell."
Ketika ia melepaskan topi dan cadarnya, aku tidak sanggup untuk tidak melihat
bulu mata panjang dan tebalnya. Semua itu terletak pada matanya yang cemerlang
dan menampakkan kecerdasanya. Ia bukanlah salah satu peri dari Ibu Wharton yang "tunduk pada adat." Bahkan, adat santun itu mempercantiknya. Seolah segala
tata cara kami telah diciptakan justru untuk memamerkan tubuhnya, kulit sewarna
gadingnya dan mata hijaunya. Aku tidak dapat menyebutkan ekspresinya, karena ia
berhasil menampilkan kesan bangga sekaligus ringkih.
"Aku tahu apa yang telah dikatakan Nora padamu," katanya, "tentang diriku. Aku
belum tahu tadi malam."
"Maafkan aku," kataku, "itu risiko yang kurang menyenangkan bila menjadi seorang
dokter." "Kau mengira pasienmu mengatakan yang sebenarnya?"
Aku tidak mengatakan apa-apa.
"Yah, dalam hal ini, itu benar," katanya, "Nora melihatku bersama ayahnya, tepat
seperti yang diceritakannya padamu. Tetapi karena kau mengetahui begitu banyak,
aku ingin kau mengetahui kejadian selanjutnya. Aku tidak melakukan hal itu tanpa
pengetahuan suamiku."
"Aku yakinkan kau, Nyonya Banwell..,"
"Kumohon, jangan. Kau pikir aku membenarkan dirku sendiri." Ia mengambil
selembar foto dari rak di atas perapin. Foto Nora ketika berusia tigabelas atau
empatbelas tahun. "Aku sangat jauh dari pembenaran diri, Dokter. Apa yang ingin
kukatakan padamu adalah demi Nora, bukan diriku sendiri. Aku ingat ketika mereka
pindah kembali ke rumah ini. George membangun rumah ini untuk mereka. Nora
sangat menarik, baru empatbelas tahun. Orang merasakan dewi-dewi segera
menyingkirkan perbedaan-perbedaan mereka dan menyatukan diri mereka sebagai
persembahan bagi Zeus. Aku tidak mempunyai anak, Dokter."
"Oh, aku mengerti."
"Kau mengerti" Aku tidak punya anak karena suamiku tidak membiarkan aku hamil.
Katanya itu akan merusak penampilanku. Suamiku dan aku tidak pernah melakukan
hubungan seks yang biasa dilakukan orang. Tidak satu kali pun. Ia tidak pernah
mengizinkannya." "Mungkin ia impoten."
"George?" Clara tampak geli karena pikiran itu. "Sulit dipercaya jika ada
seorang lelaki akan dengan
suka rela menahan diri dalam keadaan seperti itu."
"Aku yakin kau sedang memujiku, Dokter. Well, George tidak menahan dirinya. Ia
membuatku melayaninya dengan..., cara lain. Untuk hubungan yang seperti biasanya,
ia melakukan hubungan badan dengan wanita lain. Suamiku menuntut banyak pada
wanita muda yang ditemuinya, dan ia memperolehnya. Ia menginginkan Nora. Lalu
seperti yang telah terjadi, ayah nora menginginkan aku. George menyuruhku merayu
Harcourt Acton. Tentu saja aku tidak diperbolehkan melakukan bersama Harcourt
apa yang dilarang suamiku sendiri. Cara itulah yang dilihat Nora."
"Suamimu percaya bahwa ia dapat membuat Acton menjual putrinya sendiri?"
"Harcourt tidak diminta untuk benar-benar menyerahkan Nora, Dokter. Yang
dibutuhkan suamiku hanyalah Harcourt merasa kebahagiaannya tergantung pada
diriku sehingga ia akan menentang, sangat menentang, segala keretakan yang
muncul di antara keluarganya dan keluarga kami. Karena itu ketika tiba saatnya,
Harcourt akan menjadi buta matanya dan tuli telinganya."
Aku mengerti. Setelah Nyonya Banwell memulai hubungan dengan Tuan Acton, George
Banwell mulai merayu Nora. Strateginya itu terbukti berhasil. Ketika Nora
memprotes ayahnya, dan memohonnya untuk mengusir Banwell, Tuan Acton memilih
untuk tidak memercayai putrinya, bahkan memarahinya sebagaimana yang ?diceritakan Nora kepadaku, seolah dialah yang melakukan kesalahan. Bagi ayahnya,
Nora memang telah berbuat kesalahan, karena telah mengancam hubungannya dengan
Nyonya Banwell. "Kau pasti sedang berpikir seperti apakah hal itu terjadi," tambah Nyonya
Banwell, "bagi seorang lelaki seperti Harcourt Acton ketika ditawari sesuatu
yang semula hanya dapat diimpikannya - memang, apa yang ia tidak memiliki adalah
keberanian walaupun untuk sekadar memimpikannya saja. Aku benar-benar percaya
bahwa lelaki itu akan melakukan apa pun yang kuminta."
Aku merasakan tekanan yang ganjil tepat di bawah tulang dadaku. "Apakah suamimu
mendapatkan apa yang diinginkannya?"
"Apakah kau bertanya dengan alasan profesional, Dokter?"
"Tentu saja." "Tentu saja. Jawabannya, aku yakin, tidak. Belum, bagaimanapun." Clara
mengembalikan foto Nora pada tempatnya di atas rak perapian, di samping sebuah
foto kedua orang tua gadis itu. "Dalam segala kesempatan, Dokter, Nora tahu
bahwa aku..., tidak bahagia dalam perkawinanku. Aku percaya bahwa sekarang ia
berusaha untuk menyelamatkan aku."
"Bagaimana?" "Nora memiliki khayalan yang luar biasa. Kau harus ingat bahwa walau dari
pandangan mata lelakimu, Nora tampak seperti seorang wanita, sebuah piala yang
siap untuk direbut. Namun sesungguhnya ia masih kanak-kanak. Seorang anak yang
orang tuanya sama sekali tidak mengerti dirinya. Seorang anak semata wayang.
Nora hampir hidup sendirian di dunianya sepanjang umurnya."
"Kau mengtakan ia berusaha menyelamatkanmu. Bagaimana?"
"Ia mungkin percaya bahwa ia mampu memenjarakan George dengan mengatakan pada
polisi bahwa George telah menyerangnya. Ia bahkan mungkin percaya bahwa
George memang melakukannya. Mungkin kami telah berlebihan memperlakukan anak
malang itu, dan ia menderita delusi."
"Atau memang mungkin suamimu menyerangnya."
"Aku tidak mengatakan George tidak mampu melakukan hal itu. Jauh dari itu.
Suamiku mampu melakukan hampir segala hal. Tetapi dalam hal ini, ia tidak
melakukannya. George pulang ke rumah kemarin malam, tepat ketika aku kembali
dari pesta itu. Waktu itu pukul setengah duabelas. Nora mengatakan ia belum
masuk kamarnya sebelum pukul duabelas lebih seperempat."
"Suamimu mungkin saja keluar lagi pada tengah malam, Nyonya Banwell."
"Ya, aku tahu, ia mungkin saja melakukan hal itu pada malam-malam lainnya.
Tetapi tidak malam itu. Kau tahu, ia terlalu sibuk bersamaku sepanjang malam."
Clara tersenyum simpul, ironis, senyuman yang sempurna, dan tanpa sadar mengusap
pergelangan tangannya sendiri. Lengan panjang gaunnya menutupi pergelangan
tangannya, namun ia melihat aku menatapnya. Ia menghela nafas dalam. "Kau
mungkin juga tahu." Ia menghampiriku, sangat dekat, sehingga aku dapat melihat kerlipan berlian pada
lubang telinganya dan harum rambutnya. Ia menarik lengan gaunnya sedikit dan
memperlihatkan bekas luka yang masih baru, asli, pada kedua pergelangan
tangannya. Aku pernah mendengar ada lelaki yang mengikat perempuan untuk
kesenangannya. Aku tidak bisa yakin itu adalah penyebab memar pada kulit Clara
yang diperlihatkan padaku. Namun jelas, gambaran itulah yang muncul dalam
benakku. Ia tertawa ringan. Suaranya kering, tetapi bukan muram. "Aku pelacur, Dokter,
namun sekaligus juga seorang perawan. Kau pernah mendengar hal seperti itu?"
"Nyonya Banwell, aku bukan seorang pengacara, tetapi aku percaya kau memiliki
lebih dari banyak alasan untuk perceraian. Memang, mungkin saja kau bahkan belum
menikah secara hukum sama sekali, karena pernikahan kalian belum pernah
disempurnakan." "Perceraian" Kau tidak tahu George. Ia akan membunuhku lebih dulu sebelum
melepaskan diriku." Ia tersenyum lagi. Aku tidak bisa untuk tidak membayangkan
bagaimana rasanya mencium wanita itu. "Dan siapa yang akan memilikiku, Dokter"
Jika aku bisa pergi" Lelaki mana yang mau menyentuhku, setelah mereka tahu apa
yang telah kulakukan?"
"Lelaki mana saja," kataku.
"Kau baik, tetapi kau berbohong." Ia menatapku, "kau berbohong dengan begitu
keji. Kau bisa saja menyentuhku sekarang. Tetapi kau tidak akan pernah."
Aku menatap wajah sempurnanya, yang tak terbandingkan. "Tidak, Nyonya Banwell,
aku tidak akan pernah melakukannya. Tetapi bukan karena alasan yang kau
katakan." Ketika itu, Nora Acton muncul di pintu.
g
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
USAI BERBINCANG-BINCANG DENGAN ahli otopsi, detektif Littlemore berjalan tanpa
tergesa-gesa seperti biasanya. Kabar bahwa Harry Thaw masih dipenjara di rumah
sakit sangat mengejutkannya. Sejak ia membaca catatan pengadilan Thaw,
Littlemore membayangkan bahwa kasus itu lebih besar daripada yang diketahui
siapa pun. Padahal ia sendiri sudah berada di tepian untuk
membongkarnya. Bahkan sekarang ini ia tidak menyadari apakah kasus itu memang
masih ada untuk dipecahkan.
Detektif Littlemore telah membangun rasa hormat Ahli otopsi Hugel kepada
dirinya, walau dengan segala ledakan kemarahan dan keistimewaannya. Littlemore
merasa yakin bahwa Hugel dapat memecahkan kasus itu. Polisi seharusnya tidak
boleh menyerah begitu saja. Begitu juga Ahli otopsi. Hugel terlalu pandai untuk
itu. Littlemore percaya pada kesatuan polisi. Ia telah mengabdi di sana selama
delapan tahun. Ketika itu ia berbohong tentang usianya supaya dapat menjadi
seorang petugas pemukul genderang patroli yunior. Itu adalah pekerjaan pertama
yang dia dapatkan, dan ia akan terus terikat pada satuannya. Ia senang hidup di
dalam barak polisi saat pertama kali bergabung. Ia suka makan bersama polisi
lainnya sambil mendengarkan kisah-kisah mereka. Ia tahu ada beberapa orang
polisi yang tidak baik, tetapi ia menganggapnya sebagai pengecualian. Jika
kalian berkata padanya, misalnya, bahwa pahlawannya, Sersan Becker, memeras
setiap rumah pelacuran dan kasino untuk mendapatkan uang keamanan, Littlemore
akan menganggapmu sedang mengoloknya. Jika kau mengatakan padanya komisioner
polisi yang baru ingin ikut bermain, ia akan mengira kau gila. Pendeknya, sang
detektif sangat menghormati atasannya di kepolisian, sementara Hugel telah
mengecewakannya. Tetapi Littlemore tidak pernah berbalik menentang orang yang mengecewakannya.
Reaksinya bahkan sebaliknya. Ia ingin agar Hugel kembali berusaha. Ia harus
menemukan sesuatu yang akan meyakinkan Hugel bahwa kasus tersebut masih terus
berlangsung. Sejak awal Hugel yakin bahwa Banwell adalah pelakunya. Mungkin saja
selama ini memang ia benar.
Yang pasti, Littlemore lebih memercayai Walikota McClellan daripada pada Hugel,
apalagi Walikota telah memberikan alibinya untuk memperkuat Banwell atas kasus
Nona Riverford. Tetapi mungkin saja Banwell memiliki seorang kaki
tangan mungkin seorang lelaki Cina. Bukankah Banwell sendiri yang mengambil ?Chong Sing untuk bekerja di binatu Balmoral" Dan sekarang ternyata pembunuh Nona
Riverford mungkin bukan penyerang Nona Acton. Itulah yang dikatakan Hugel
padanya. Jadi, mungkin kaki tangan Banwell membunuh Nona Riverford, dan Banwell
menyerang Nona Acton. Bagi Littlemore, berdasarkan teori ini, Hugel mungkin
masih melakukan kesalahan. Tetapi detektif itu tidak menganggap Hugel salah
mutlak, karena ia masih terus mempertinggi pengakuannya akan kemampuan Hugel.
Littlemore pun tahu Hugel mau saja mengakui kesalahan dalam rinciannya, jika
ternyata ia memang benar dalam keseluruhan kasus.
Karena sadar bahwa ia memiliki kasus yang harus diselesaikan, detektif itu pun
menambah kecepatan langkahnya. Pertama, ia pergi ke kantor pusat dan bertemu
dengan Louis Riviere di ruang gelap bawah tanah. Littlemore bertanya pada
Riviere apakah ia bisa mencetak gambar terbalik dari foto yang memperlihatkan
tanda pada leher Elizabeth Riverford. Lelaki Perancis itu mengatakan bahwa
Littlemore bisa kembali pada sore hari untuk mengambilnya. "Bisakah kau
memperbesarnya untukku, Louie?" Pinta Littlemore.
"Mengapa tidak?" Kata Riviere, "Mataharinya sedang cerah."
Setelah itu sang detektif menuju kota. Ia menumpang kereta api untuk menuju
Jalan Forty-second selanjutnya berjalan kaki ke rumah Susie Merrill. Tidak
seorang pun yang membukan pintu, maka ia menuju blok dan menyeberangi jalan.
Satu jam kemudian, Susie, yang berbadan gemuk, keluar mengenakan topi besar
lainnya. Yang ini berhiaskan tumpukan buah-buahan. Littlemore mengikutinya ke
sebuah restoran Child's Lunch Room di Broadway. Ia duduk di dalam sebuah but
sendirian. Littlemore menunggu hingga ia dilayani dan melihat apakah ada orang
lain yang akan muncul. Ketika Susie mulai menyantap makanan daging cincang
bercampur kentangnya, Littlemore menyelinap duduk di depannya.
"Halo Susie," katanya, "aku sudah menemukan apa yang kau inginkan agar aku
menemukannya." "Apa yang kau lakukan di sini" Keluar. Aku sudah mengatakan kalau aku tidak mau
terlibat." "Kau tidak mengatakannya."
"aYah, sekarang aku katakan itu padamu," cetus Susie, "kau mau kita berdua
terbunuh?" "Oleh siapa, Susie. Thaw berada di penjara orang gila di kota."
"Oh, begitu?" "Ya." "Kukira ia tidak bisa menjadi pembunuhmu, kalau begitu," kata Susie. "Kukira
tidak." "Jadi tidak ada yang harus dibicarakan, bukan?"
"Jangan sembunyikan apa pun dariku, Susie."
"Kau mau terbunuh, itu tidak masalah bagiku. Tetapi jangan libatkan aku." Ibu
Merrill berdiri, sambil meletakkan tigapuluh sen di atas meja: lima sen untuk
kopinya, duapuluh sen untuk daging cincang dan telurnya, dan lima sen lagi untuk
pelayan. "Aku punya bayi di rumah," katanya.
Littlemore meraih lengannya. "Pikirkan ini Susie. Aku ingin jawaban dan aku akan
kembali untuk mengambilnya."
Delapanbelas CLARA BAN WELL TIDAK memperlihatkan kecanggungan yang kurasakan di bawah tatapan
dingin Nora. Ia mengisi udara dengan katakata selamat tinggal yang mudah
mengalir begitu saja, seakan kami tidak pernah kedapatan berdiri berdua hanya
beberapa inci jaraknya. Ia mengulurkan tangannya padaku, mencium pipi Nora, dan
dengan penuh perhatian menambahkan bahwa kami tidak perlu mengantarnya hingga ke
pintu. Ia tidak mau menunda perawatan Nora lebih lama lagi. Beberapa detik
kemudian aku mendengar pintu depan tertutup di belakangnya.
Nora berdiri tepat di tempat yang sama yang telah ditempati Nyonya Banwell
sebelumnya. Aku tidak mempunyai hak untuk menilai penampilannya, karena kejadian
yang mengerikan malam sebelumnya. Tetapi aku tidak dapat menahan diri. Itu
adalah mustahil. Seseorang bisa saja berjalan sekian mil di New York
City seperti yang kulakukan pagi ini atau bermalam satu bulan di Grand Central? ?Station, namun tidak akan pernah melihat sorang wanita dengan kecantikan fisik
yang luar biasa. Belum berlalu lima menit, dua orang wanita cantik berdiri
menghadapku di ruang duduk Acton. Tetapi betapa berbedanya kedua wanita itu.
Nora tidak mengenakan riasan wajah, tidak ada perhiasan, bahan pakaiannya tidak
berenda. Ia tidak membawa payung, tidak mengenakan cadar. Ia mengenakan blus
sederhana berwarna putih, lengan bajunya hanya mencapai siku. Blusnya diselipkan
pada pinggangnya yang luar biasa ramping ke dalam rok berlipit berwarna biru
langit. Bagian atas blusnya dengan lembut mengelopak terbuka menampakkan tulang
selangka yang lembut dan leher jenjangnya yang indah. Leher itu sekarang nyaris
tak ternoda, memarnya telah menghilang. Rambut pirangnya ditarik ke belakang
seperti biasa dalam kepang yang hampir mencapai pinggangnya. Seperti yang
dikatakan Nyonya Banwell, Nora masih muda. Rona mudaannya mencuat dari setiap
lekuk lekung tubuhnya. Terutama warna lembut pada pipi dan matanya yang
memancarkan harapan muda, kesegarannya, dan aku harus menambahkan, juga
kemarahannya saat itu. "Aku membencimu lebih dari aku membenci siapa pun yang pernah kukenal," katanya
kepadaku. Jadi, aku sekarang, lebih dari yang dulu, terangkat ke posisi ayahnya. Seolah
dibawa oleh kenyataan yang tidak dapat dihindari, Nora telah mendatangiku,
seperti Clara Banwell yang bertemu secara rahasia bersama ayahnya di sebuah
ruang baca. Lalu Clara Banwell bersama ayahnya di ruang baca lainnya tiga tahun
?yang lalu. Namun keadaanku tadi berbeda karena memang tidak ada apa-apa di
?antara Nyonya Banwell dan aku sendiri namun hal itu tidak dipahami Nora. Tidak
?mengherankan. Karena bukan aku yang ditatapnya dengan marah sekarang. Tetapi
ayahnya, yang berbusana diriku. Jika aku berusaha mengeratkan perpindahan
analitis, aku tidak dapat menemukan cara yang lebih baik. Seandainya aku sedang
berharap untuk membawa analisa hingga mencapai puncaknya, aku tidak dapat
berharap konspirasi kejadian yang lebih menguntungkan dari ini. Aku sekarang
memiliki kesempatan dan kewajiban untuk mencoba memperlihatkan pada Nora
kekeliruan pemindahan yang terjadi di dalam benaknya. Aku ingin ia dapat
mengenali bahwa kemarahan yang dibayangkan dan ia rasakan kepadaku adalah
sebenarnya kemarahan yang salah arah, yang seharusnya ditujukan pada ayahnya.
Dengan kata lain, aku harus menguburkan emosiku sendiri. Aku harus menutupi
setidaknya sepenggal perasaanku padanya, betapa pun tulusnya itu, betapa pun tak
kuasanya aku. "Maka aku dirugikan dalam hal ini, Nona Acton," aku menjawab,
"karena aku mencintaimu lebih dari aku mencintai siapa pun yang pernah kukenal."
Sunyi yang sempurna menyelimuti kami selama beberapa kali degupan jantung.
"Kau merasa begitu?" Tanya Nora. "Ya."
"Tetapi kau dan Clara tadi sedang... 11
"Kami tidak sedang apa-apa. Aku bersumpah."
"Kalian tidak?"
"Tidak." Nora mulai bernafas dengan berat. Terlalu berat: Baju luarnya tidak terlalu
ketat, tetapi tampaknya ia mengenakan sesuatu di baliknya. Nafasnya benar-benar
terpusat di bagian atas tubuhnya. Karena aku khawatir ia akan pingsan, aku
membawanya ke pintu depan dan membukanya. Ia membutuhkan udara. Di seberang
jalan ada semacam hutan kecil di Gramercy Park. Nora melangkah keluar. Aku
sarankan ia memberi tahu orang tuanya jika ia ingin keluar.
"Mengapa?" Tanyanya padaku, "Kita hanya pergi ke taman saja."
Kami menyeberangi jalan, pada salah satu pagar besi yang ditempa, Nora
mengeluarkan sebuah anak kunci berwarna emas dan hitam. Ada saat-saat aku merasa
kikuk ketika aku membantunya membuka gerbang. Yaitu sebuah keputusan yang harus
diambil apakah aku harus menawarkan lenganku ketika berjalan. Aku memutuskan
untuk tidak. Dilihat dari sisi terapis, aku sedang dalam masalah besar. Aku tidak takut bagi
diriku sendiri, walau mengagumkan juga bahwa perasaanku terhadap gadis ini
tampak tidak terpengaruh dengan kenyataan bahwa mungkin ia tidak stabil, atau
bahkan, secara mental ia terganggu. Jika Nora memang benar-benar membakar
dirinya sendiri, ada dua kemungkinan. Apakah ia melakukannya dengan sengaja,
penuh kesadaran, dan berdusta pada dunia. Atau ia melakukannya dalam keadaan tidak sadar, dihipnotis,
atau mengigau, yang artinya betulbetul dalam keadaan tidak sadar. Secara
keseluruhan, aku lebih suka pada pilihan pertama, tetapi kedua-duanya tidak
menarik sebenarnya. Aku tidak menyesal telah mengakui perasaanku padanya.
Keadaan itu memaksa tanganku. Ketika aku menyatakan cintaku baginya mungkin
merupakan kehormatan, tetapi jika aku bertindak, mungkin dampaknya akan
sebaliknya. Penjahat terendah pun tidak akan mengambil keuntungan dari keadaan
gadis itu. Aku harus menemukan jalan untuk membuatnya mengerti akan hal itu. Aku
harus melepaskan diri dari peran kekasih, karena itu aku hanya harus bersikap
sebagai dokternya lagi. "Nona Acton," kataku.
"Tidak maukah kau memanggilku Nora, Dokter?"
"Tidak." "Mengapa?" "Karena aku masih doktermu. Kau tidak boleh menjadi Nora bagiku. Kau adalah
pasienku." Aku tidak yakin bagaimana ia menerima keadaan itu, tetapi aku
melanjutkan. "Katakan apa yang terjadi tadi malam. Tidak, tunggu, kau mengatakan
di hotel, kemarin bahwa memorimu akan peristiwa penyerangan pada hari Senin
telah kembali. Katakan dulu padaku apa yang kau ingat tentang hal itu."
"Haruskah?" "Ya." Ia bertanya apakah kami boleh duduk, dan aku menemukan sebuah bangku yang
terpisah di sudut. Ia masih tidak tahu, katanya, bagaimana semuanya bermula atau
bagaimana ia bisa ingat. Bagian dari ingatannya masih hilang. Apa yang
diingatnya hanya dirinya terikat di kamar orang tuanya. Ia berdiri, terikat pada
pergelangan tangan dengan sesuatu di atas kepalanya. Ia hanya mengenakan celana
dalamnya. Semua tirai dan penutup jendela diturunkan.
Lelaki itu ada di belakangnya. Ia telah mengikatkan secarik kain lembut mungkin?sutera di sekitar lehernya lalu menariknya hingga sangat kuat dan ia tidak
? dapat bernafas, apalagi berteriak. Lelaki itu juga memukulinya dengan cemeti
atau cambuk bergagang. Sakit juga, tetapi masih bisa tertahan yang lebih mirip ?pukulan pada bokong. Namun jeratan sutera pada lehernyalah yang membuatnya
ketakutan. Ia mengira lelaki itu akan membunuhnya. Tetapi setiap kali ia nyaris
pingsan, lelaki itu akan mengendurkan jeratan sedikit saja, hanya cukup
untuk bernafas. Lelaki itu mulai memukulinya dengan lebih keras. Nora merasa tidak tahan karena
pukulannya menjadi semakin kuat. Lalu lelaki itu menjatuhkan cambuknya,
melangkah ke belakang Nora, begitu dekat sehingga ia dapat merasakan nafas kasar
lelaki itu pada bahunya. Lelaki itu meletakkan tangannya pada Nora. Nora tidak
menyebutkan di mana letak tangan itu; aku pun tidak bertanya. Pada saat yang
sama, sebagian dari tubuh lelaki itu-11 bagian yang keras," kata N
ora menyentuh pinggulnya. Lelaki itu mengeluarkan suara yang tidak
?menyenangkan, kemudian membuat kesalahan yaitu tibatiba ikatan di sekitar leher
Nora menjadi kendur. Nora menarik nafas panjang dan berteriak sekuat tenaganya
dan sepanjang mungkin. Setelah itu pastilah ia pingsan. Yang ia tahu kemudian
adalah Ibu Biggs sudah berada di sampingnya.
Nora menjaga sikapnya sewaktu menceritakan segalanya, tangannya pun terlipat di
atas pangkuannya. Tanpa mengubah sikapnya, ia bertanya, "Kau merasa jijik
padaku?" "Tidak," begitu kataku, "dalam ingatanmu tentang serangan itu, apakah lelaki itu
adalah Banwell?" "Kukira begitu. Tetapi Walikota McClellan mengatakan..."
"Walikota McClellan mengatakan bahwa Banwell bersamanya pada hari Minggu malam,
ketika seorang gadis lainnya dibunuh. Jika kau ingat Banwell adalah penyerangmu,
kau harus mengatakannya."
"Aku tidak tahu," kata Nora dengan penuh lara, "kupikir begitu. Aku tidak tahu.
Ia berada di belakangku selama itu."
"Ceritakan padaku tentang kejadian tadi malam," kataku.
Lalu ia menumpahkan kisah tentang penyelusup di dalam kamarnya. Kali ini,
katanya, ia yakin bahwa lelaki itu adalah Banwell. Ketika kisahnya hampir
selesai, Nora tampak berpaling dariku satu kali lagi. Apakah ada yang tidak
dikatakannya" "Aku bahkan tidak punya gincu," katanya mengakhiri kisahnya dengan
bersungguh-sungguh, "dan barang-barang mengerikan yang mereka temukan di
lemariku. Dari mana aku bisa mendapatkan barang-barang seperti itu?"
Aku membuat pernyataan tegas. "Kau sekarang mengenakan riasan wajah." Ada
bayangan mengkilap begitu samar pada bibirnya, dan pemerah yang sangat redup
pada pipinya. "Ini punya Clara!" Teriaknya, "ia yang memakaikannya padaku. Katanya aku akan
cocok mengenakannya." Kami duduk dalam diam sejenak.
Akhirnya Nora bicara, "Kau tidak percaya sama sekali padaku?"
"Aku tidak percaya kalau kau sedang berbohong padaku."
"Tetapi aku sudah berbohong," katanya, "baru saja." "Kapan?"
"Ketika aku mengatakan bahwa aku membencimu," katanya setelah terdiam sekian
lama. "Katakan apa yang kau sembunyikan." "Apa maksudmu?" Tanyanya.
"Ada sesuatu yang lain tentang tadi malam..., yang kau ragu-ragu menceritakannya."
"Bagaimana kau tahu?" Tanyanya. "Ceritakan saja padaku."
Dengan enggan, ia mengakui kalau memang ada bagian yang tak dapat dijelaskan
dari kejadian itu. Ia melihat kejadian mengerikan itu tanpa halangan, karena ia
melihatnya dari satu arah yang sangat baik, bukan dari arah yang sama tinggi
dengan matanya, namun dari atas dirinya sendiri dan di atas penyelusup itu juga.
Ia benar-benar melihat dirinya terbaring di atas tempat tidurnya seolah ia
adalah penonton kejadian itu, bukan korbannya. "Bagaimana hal itu bisa terjadi,
Dokter?" Tanyanya sambil menangis lirih, "itu tidak mungkin, bukan?"
Aku ingin menghiburnya, tetapi apa yang harus kukatakan kelihatannya tidak akan
membuatnya tenang. "Apa yang tadi kau jelaskan adalah bagaimana kita melihat
hal-hal itu seperti dalam mimpi."
"Tetapi jika aku bermimpi, bagaimana aku bisa terluka bakar?" Bisiknya, "aku
tidak melukai diriku sendiri, bukan" Iya kan?"
Aku tidak dapat menjawabnya. Aku sedang membayangkan skenario yang lebih buruk.
Mungkinkan ia juga membuat luka-luka mengerikan luka-luka yang pertama kali di ?deritanya pada dirinya sendiri" Aku mencoba membayangkan ia menyayatkan sebuah
?pisau atau silet di sepanjang kulit lembutnya hingga berdarah. Tidak mungkin
bagiku untuk memercayainya.
Dari kejauhan di kota, terdengar suara sorak sorai manusia yang gegap gempita
yang tibatiba meledak. Nora bertanya apa gerangan itu. Aku menjawab mungkin para
pemogok. Sebuah barisan telah dijanjikan oleh para pemimpin serikat buruh
setelah keributan para buruh kemarin di kota. Seorang penghasut terkenal bernama
Gompers bersumpah pemogokan itu akan menghentikan industri di kota.
"Mereka mempunyai hak untuk mogok," kata Nora yang
jelas sangat ingin mengalihkan topik, "para kapitalis seharusnya malu pada diri
mereka sendiri, karena mempekerjakan para buruh tanpa dibayar dengan cukup untuk
memberi makan keluarganya. Kau pernah melihat tempat tinggal mereka?"
Interpretation Of Murder Karya Jed Rubenfeld di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ia menggambarkan untukku bagaimana, di sepanjang musim semi, Clara Banwell dan
dirinya telah mengunjungi rumah-rumah petak mereka di Lower East Side. Kunjungan
itu adalah gagasan Clara. Di situlah ia bertemu dengan Elsie Sigel bersama
seorang lelaki Cina yang ditanyakan Detektif Littlemore.
"Elsie Sigel?" Aku mengulangi nama itu. Bibi Mamie pernah menyebutkan nama Nona
Sigel padaku di pesta galanya, "yang melarikan diri ke Washington?"
"Ya," kata Nora, "kupikir ia sangat bodoh menjadi misionaris sementara orang
mati karena memerlukan makanan dan perumahan. Dan Elsie hanya bekerja bersama
orang-orang lelaki, padahal yang sesungguhnya menderita adalah kaum perempuan
dan anak-anak." Nora menceritakan padaku bahwa Clara telah membuat alasan khusus
untuk mengunjungi keluarga-keluarga itu yang anggota lelakinya telah melarikan
diri atau meninggal dunia dalam kecelakaan kerja. Clara dan Nora berkenalan
dengan banyak keluarga pada kunjungan mereka, dan menghabiskan berjam-jam di
rumah mereka. Nora memperhatikan anak-anak kecil sementara Clara berkawan dengan
para perempuan dan anak-anak remajanya. Mereka mulai mengunjungi keluargakeluarga itu sekali seminggu, sambil membawakan makanan dan kebutuhan lainnya.
Mereka telah membawa bayi-bayi itu ke rumah sakit, menyelamatkannya dari
penyakit berbahaya, bahkan kematian. Pernah Nora mengatakan padaku dengan
lebih muram, seorang gadis telah menghilang; Clara dan dirinya mendatangi
kantor-kantor polisi dan rumah sakit di kota. Namun akhirnya mereka menemukan
gadis itu di rumah penyimpan jenazah. Pemeriksaan medis mengatakan bahwa gadis
itu telah diperkosa. Ibu gadis itu tidak punya keluarga untuk menghiburnya atau
membantunya. Clara melakukan keduanya bagi ibu tersebut. Nora telah melihat
kemiskinan pada musim panas itu, tetapi juga sebagaimana aku kira kehangatan
? ?kasih sayang keluarga yang tidak pernah dirasakannya sebelum itu. Ketika ia
mengakhiri kisahnya, Nora dan aku duduk saling bertatapan. Tibatiba, ia berkata,
"Maukah kau menciumku jika aku memintanya?"
"Jangan memintaku, Nona Acton," kataku.
Ia mengambil tanganku dan membawanya ke arah dirinya, sambil menyentuhkan
punggung jemariku ke pipinya.
"Jangan," kataku tajam. Ia melepaskannya segera. Segalanya adalah kesalahanku.
Aku telah memberinya segala alasan sehingga ia merasa bahwa ia boleh melakukan
itu. Sekarang aku harus menarik diri dengan sentakan. "Kau harus percaya
padaku," kataku padanya, "tidak ada yang lebih kusukai. Tetapi aku tidak bisa.
Aku bisa dianggap mengambil kesempatan darimu."
"Aku ingin kau mengambil kesempatan itu dariku."
"Tidak." "Karena aku masih berusia tujuhbelas tahun?"
"Karena kau pasienku. Dengarkan aku. Perasaan-perasaan yang mungkin kau rasakan
bagiku..., kau tidak boleh memercayainya. Perasaan itu tidak benar. Mereka hanya
akibat dari terapi analisamu. Hal itu terjadi pada setiap pasien yang menjalani
terapi psikoanalisa."
Ia menatapku seolah aku sedang bergurau. "Kau pikir
pertanyaan-pertanyaan bodohmu telah membuatku menyukaimu?"
"Pikirkan ini. Saat kau merasa tidak peduli padaku. Lalu kau marah dan cemburu.
Kemudian...., perasaan yang lainnya lagi. Perasaan-perasaan itu seharusnya bukan
untukku. Bukan karena apa pun yang kulakukan. Sama sekali bukan karena aku.
Bagaimana itu bisa terjadi" Kau tidak mengenal diriku. Kau sama sekali tidak
tahu apa-apa tentang diriku. Segala perasaan itu datang dari bagian hidupmu yang
lain. Mereka muncul karena beberapa pertanyaan bodoh yang kuajukan padamu.
Tetapi itu berasal dari tempat lain. Perasaanmu itu seharusnya untuk orang lain,
bukan untukku." "Kau pikir aku jatuh cinta pada orang lain" Siapa" Bukan George Banwell, kan?"
"Mungkin saja kau pernah begitu." "Tidak pernah." Ekspresi wajahnya
memperlihatkan betapa jijiknya ia terhadap lelaki itu., "Aku membencinya." Aku
mengambil kesempatan itu. Aku sebenarnya tidak suka karena aku berharap mulai ?sekarang ia akan berubah dan waktuku sama sekali tidak tepat, tetapi tepat
?untuk kewajibanku sebagai seorang dokter. "Dr. Freud memiliki sebuah teori, Nona
Acton. Mungkin tepat bagimu."
"Teori apa?" Ia mulai menjadi semakin jengkel.
"Sebelumnya kau kuperingatkan, ini sangat tidak menyenangkan. Freud percaya
bahwa kita semua, sejak berumur sangat kecil, menyimpan..., bahwa diam-diam kita
berharap..., well, dalam kasusmu, Freud percaya ketika kau melihat Nyonya Banwell
bersama ayahmu, ketika kau melihatnya berlutut di depan ayahmu dan..., berhubungan
dengannya dalam...,"
"Kau tidak perlu mengatakannya," ia menyela.
"Freud yakin kau merasa cemburu."
Ia menatapku dengan tatapan kosong.
Aku mendapat kesulitan untuk menjelaskannya. "C emburu secara langsung, secara
jasmaniah. M aksudku, Dr. Freud percaya bahwa ketika kau melihat Nyonya Banwell
melakukannya dengan ayahmu, kau berharap kaulah yang..., memiliki khayalan
menjadi..., " "Berhenti!" Ia berteriak. Ia menempelkan kedua tangannya pada telinganya.
"Maafkan aku." "Bagaimana ia bisa tahu itu?" Ia terperanjat. Sekarang tangannya menutupi
mulutnya. Aku mencatat reaksinya. Aku mendengar kata-katanya. Tetapi aku mencoba untuk
percaya kalau aku tidak mendengarnya. Aku ingin mengatakan, pastilah aku telah
mendengar sesuatu. A ku sebenarnya berpikir sesaat kau bertanya bagaim ana Freud
tah u ten tang hal itu. "Aku tidak pernah mengatakan itu kepada siapa pun," bisiknya. Wajahnya menjadi
sangat merah, "tidak pada siapa pun. Bagaimana ia bisa tahu?"
Aku hanya dapat menatapnya dengan kosong, seperti ketika ia menatapku beberapa
saat lalu. "Oh, menjijikannya aku ini!" Ia menangis, lalu berlari, kembali ke rumahnya.
9 SETELAH MENINGGALKAN CHILD'S Littlemore berjalan ke Jalan Forty-seventh, menuju
kantor polisi untuk melihat apakah Chong Sing ataupun William Leon telah
tertangkap. Kedua lelaki itu memang telah ditangkap ratusan kali, kata Kapten ?Post kepada detektif itu dengan kesal. Dalam beberapa jam keterangan tentang
pelaku kejatahan telah keluar, belasan panggilan telepon masuk, dari segala arah
kota dan bahkan dari Jersey, dari orang-orang yang mengaku melihat Chong.
Sementara Leon lebih buruk lagi. Setiap lelaki Cina yang mengenakan jas dan
dasi, mereka anggap sebagai William Leon.
"Jack Reardon telah berlarian ke sekeliling kota seharian, hingga seolah
kepalanya copot," kata Kapten Post ketika membicarakan seorang opsir. Jack
Reardon adalah opsir yang pernah bertemu dengan Littlemore ketika jenazah Nona
Sigel ditemukan. Ia adalah satusatunya opsir yang dimiliki Post, yang benarbenar pernah melihat Chong Sing. Reardon telah dikirim ke kantor-kantor polisi
di mana-mana di seluruh kota setiap kali terdengar "Pak Chong" tertangkap. Namun
setiap kali ia pergi untuk memeriksanya, Reardon selalu menyatakan bahwa polisi
itu telah salah tangkap. "Itu buang-buang waktu. Kita telah memenjarakan
setengah orang Cina dari Pecinan, namun kita masih tetap tidak menemukan orang
yang sesungguhnya kita cari. Aku harus mengatakan pada anak-anak itu untuk
menghentikan pencarian. Ini. Kau mau memeriksanya?"
Kepada Littlemore, Post melemparkan sebuah catatan laporan saksi tentang
keberadaan Chong Sing dan William Leon yang belum dilaksanakan pencariannya.
Detektif itu membaca dengan teliti daftar lokasi tersebut, sambil mengurut
catatan tulisan tangan dengan jarinya. Lalu ia berhenti di tengah daftar pada
catatan yang menarik matanya. Terbaca: Kanal di Sungai: lelaki Cina terlihat
bekerja di dermaga, berciri-ciri sama dengan
Chong Sing "Kau punya mobil?" Tanya Littlemore, "aku ingin melihat yang ini." "Mengapa?"
"Karena ada tanah merah di dermaga ini," kata detektif.
Littlemore mengemudikan satusatunya mobil p olisi milik Kapten Post ke kota,
dengan ditemani oleh seorang polisi berseragam. Mereka membelok ke Canal Street
dan mengikuti jalan itu terus hingga ke tepi timur kota. Littlemore berhenti di
pintu masuk area Sungai East, tepatnya di lokasi pembangunan jembatan Manhattan
yang besar dan baru yang menjulang tinggi. Ia mengamati para perkerjanya.
"Nah, itu dia," kata sang detektif sambil menunjuk, "itu dia."
Tidak sulit menemukan Chong Sing karena ia adalah satusatunya orang Cina di
sana, sehingga menyolok di antara sekelompok pekerja berkulit putih dan hitam.
Ia sedang mendorong gerobak kecil yang penuh dengan blok-blok sinder.
"Berjalanlah langsung ke arahnya," perintah Littlemore pada si opsir, "jika ia
lari, aku akan menangkapnya." Chong Sing tidak berlari. Begitu ia melihat ada
seorang polisi datang, ia hanya menundukkan kepalanya dan terus mendorong
gerobak tangannya. Ketika op sir itu memegang tangannya, Chong menyerah tanpa
perlawanan. Para pekerja lainnya berhenti bekerja dan menonton peristiwa yang
jarang terjadi, tetapi tidak ada yang turut campur. Ketika si opsir kembali ke
mobil, Littlemore sedang menantinya di sana. Setelah itu para pekerja lainnya
kembali bekerja seolah tidak hal ada apa pun yang terjadi.
"Mengapa kau melarikan diri kemarin, Pak Chong?" "Aku tidak lari," kata Chong,
"aku pergi bekerja. Benar kan" Aku pergi bekerja."
"Aku akan menuntutmu sebagai kaki tangan pembunuhan. Kau mengerti maksudnya" Kau
bisa digantung." Littlemore memberi isyarat dengan tangannya untuk menjelaskan
arti kata terakhir yang diucapkannya.
"Aku tidak tahu apa-apa," kata orang Cina itu sambil memohon, "Leon pergi jauh.
Lalu tercium bau dari kamar Leon. Itu saja."
"Tentu saja," kata detektif itu. Littlemore memerintahkan si opsir membawa Chong
Sing ke penjara Tombs. Littlemore tetap tinggal di dermaga. Ia ingin menyelidiki
dermaga itu. Kepingan teka-teki mulai tersusun sendiri di dalam benak Littlemore
dan mulai saling menyesuaikan. Littlemore tahu ia akan menemukan tanah liat di
kaki Jembatan Manhattan.Ia pun telah mendapatkan petunjuk bahwa George Banwell
mungkin telah menginjak tanah liat itu.
Semua orang tahu Banwell membangun menara-menara Jembatan Manhattan. Ketika
Walikota McClellan menyerahkan kontrak itu kepada American Steel Company milik
Banwell, koran Hearts meneriakkan korupsi, mengutuk Walikota McClellan karena
memihak pada kawan lama. Mereka juga mengutuk sikap McClellan yang dengan ringan
menanggapi penundaan, kerusakan dan pembiayaan yang berleb ihan Seb enarnya,
Banwell mendirikan menara-menara itu bukan saja memakan biaya yang sesuai dengan
anggarannya, namun juga selesai tepat pada waktunya. Ia sendiri yang memeriksa
pembangungan itu hal itulah yang memberikan gagasan pada Littlemore bahwa ?Banwell pernah ke dermaga.
Littlemore berjalan ke arah sungai, membaur dengan kurumunan orang. Ia dapat
dengan mudah bergaul hampir dengan siapa saja, jika ia mau. Littlemore pandai
dan tampak mudah bergaul karena ia memang ramah, terutama jika berbagai hal
terjadi secara kebetulan. Ternyata Chong Sing memiliki dua pekerjaan di bawah
George Banwell. Menarik, bukan"
Littlemore tiba di pusat dermaga yang penuh sesak tepat pada waktu untuk
pergantian giliran kerja. Ratusan pekerja berpakaian kotor, bersepatu tinggi
berbaris keluar dari dermaga, sementara sebarisan panjang lainnya menumpangi
lift yang membawa mereka ke kaison. Bising suara turbin, yang berdenyut terus
menerus, mengisi udara dengan irama yang luar biasa.
Jika kau bertanya pada Littlemore bagaimana ia tahu jikalau ada masalah di suatu
tempat, atau kesedihan, ia tidak akan dapat memberitahumu. Sambil asik berbicara
dengan orang-orang, ia dapat dengan cepat mengetahui tentang akhir hidup Seamus
Malley yang celaka. Kata seseorang, Seamus Malley yang malang adalah korban baru
dari penyakit akibat kaison. Kata mereka, ketika membuka pintu lift beberapa
pagi yang lalu, mereka menemukan Malley tergeletak mati dengan darah kering
membekas pada telinganya dan mulutnya.
Orangorang sangat mengeluhkan kaison yang mereka sebut sebagai "kotak" atau
"peti mayat." Beberapa orang mengira kotak itu terkutuk. Hampir semua orang
merasa muak ketika menggambarkannya. Kebanyakan mereka menyatakan rasa gembira
karena pekerjaan itu sudah hampir selesai., Tetapi orang-orang yang lebih tinggi
jabatannya banyak yang mengeluh dan berkata bahwa mereka akan kehilangan sandhog
dalam beberapa hari lagi ketika upah
para pekerja itu dihentikan. Sandhog adalah sebutan bagi kuli yang bekerja di
kaison. Upah apa" Salah satu dari pekerja itu menjawab, apakah uang tiga dolar
untuk duabelas jam kerja harus disebut upah" "Lihatlah Malley," kata orang itu,
"ia bahkan tidak mampu memiliki atap bagi kepalanya dengan 'uang' yang
diterimanya. Karena itulah ia mati. Mereka membunuhnya. Mereka akan membunuh
kita semua." Tetapi yang lainnya menjawab bahwa sebenarnya Malley mempunyai
rumah, juga seorang istri. Istrinya itulah yang menjadi penyebab mengapa Malley
harus bermalam di dalam "kotak".
Littlemore, mengamati jejak tanah merah di seluruh dermaga, lalu membungkuk
untuk menalikan sepatunya, sambil diam-diam mengumpulkan contoh tanah. Ia
bertanya apakah Tuan Banwell pernah menginjak dermaga. Jawabannya adalah ya.
Sebenarnya, kata seorang pekerja itu, setidaknya pernah satu kali dalam sehari,
Tuan Banwell datang ke dalam "peti mati" itu untuk memeriksa pekerjaan.
Terkadang Yang Mulia Walikota McClellan akan ikut bersamanya.
Littlemore bertanya untuk apa Banwell bekerja seperti itu. Persetan, begitulah
jawaban mereka. Orangorang setuju bahwa Banwell tidak peduli berapa orang yang
mati di dalam kaison, asalkan pekerjaan bisa selesai lebih cepat. Mereka
teringat, kemarin itulah pertama kalinya Banwell mulai menunjukkan perhatian
atas keselamatan nyawa mereka.
"Bagaimana itu?" Tanya Littlemore.
"Ia mengatakan pada kami untuk melupakan Jendela Lima."
"Jendela", orang itu menjelaskan pada Littlemore, adalah peluncur sampah kaison.
Setiap jendela memiliki nomor. Jendela Lima sudah macet sejak minggu ini. Biasanya Banwell akan segera
memerintahkan mereka untuk membersihkan sumbatan itu, sebuah pekerjaan
menyebalkan bagi sandhog, karena sangat sulit dan berbahaya. Setidaknya satu
orang harus berada di dalam luncuran ketika sumbatan digelontor dengan air.
Tetapi kemarin, Banwell mengatakan pada mereka untuk tidak merisaukannya.
Seseorang mengatakan, pastilah ia sudah melunak. Yang lainnya menyangkal dengan
Bocah Sakti 10 Wiro Sableng 159 Bayi Satu Suro Kisah Sepasang Rajawali 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama