Ceritasilat Novel Online

Kill Mocking Bird 5

To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee Bagian 5


"Kata saya, anak-anak di mana?" lanjutnya, "dan katanya dia tertawa sedikit
katanya mereka semua pergi ke kota untuk membeli es krim. Katanya, "Perlu
setahun penuh untuk menabung tujuh keping koin lima sen tetapi aku berhasil.
Mereka semua sedang ke kota."
Tom tampak tidak nyaman, tetapi bukan akibat kelembapan udara. "Lalu, apa yang
Anda katakan kemudian, Tom?" tanya Atticus.
"Saya berkata, seingat saya, wah, Miss Mayella,
sungguh pintar Anda memperlakukan mereka. Dan dia berkata, 'Menurutmu begitu"'
saya merasa dia tidak memahami apa yang saya pikirkan maksudku pintar dia
menabung seperti itu, dan dia baik sekali mentraktir mereka."
"Saya mengerti, Tom, Lanjutkan," kata Atticus.
"Saya bilang, saya sebaiknya pergi, saya tak bisa berbuat apa-apa untuknya, dan
dia berkata, bisa kok, dan saya bertanya apa, dan dia berkata naik saja ke kursi
di sana dan turunkan kotak itu dari atas lemari."
"Bukan lemari yang sama dengan yang Anda potong?" tanya Atticus.
Saksi tersenyum. "Tidak, Sir, yang lain. Hampir setinggi ruangan. Jadi, saya
melakukan yang disuruhnya, dan saya baru menjangkau ketika tahu-tahu dia
menyambar kakiku, menyambar kakiku, Mr. Finch. Dia membuat saya takut sekali
sehingga saya melompat turun sampai kursi terguling itu satu-satunya perabot
yang berantakan di ruangan itu, Mr. Finch, ketika aku meninggalkannya. Saya
bersumpah demi Tuhan."
"Apa yang terjadi setelah Anda membuat kursi terguling?"
Tom Robinson diam seribu basa. Dia melirik ke Atticus, lalu ke juri, lalu ke Mr.
Underwood yang duduk di seberang ruangan.
"Tom, Anda sudah bersumpah untuk mengungkapkan kebenaran. Bisa diceritakan?"
Tom mengusap mulutnya dengan gugup. "Apa yang terjadi setelah itu?"
"Jawab pertanyaannya," kata Hakim Taylor. Sepertiga cerutunya sudah lenyap.
"Mr. Finch, saya turun dari kursi itu dan berbalik dan dia menerkamku."
"Menerkam Anda" Dengan kasar?"
"Tidak Sir, dia memelukku. Dia memeluk pinggang saya."
Kali ini palu Hakim Taylor berdentam keras, dan saat itu terjadi, lampu di
langit-langit menyala di ruang pengadilan. Kegelapan belum datang, tetapi
matahari sore sudah meninggalkan jendela. Hakim Taylor segera menertibkan
suasana. "Lalu, apa yang dia lakukan?" Saksi menelan ludah dengan susah payah. "Dia naik
dan mencium pipi saya. Katanya, dia belum pernah mencium lelaki dewasa dan
baginya mencium nigger pun tak ada bedanya. Katanya, apa yang dilakukan papanya
padanya tidak masuk hitungan. Katanya, 'Balas ciumanku, nigger.' Kataku, 'Miss
Mayella, biarkan saya keluar' dan mencoba lari, tetapi dia membelakangi pintu
dan aku harus mendorongnya. Saya tak ingin menyakitinya, Mr. Finch, dan saya
berkata, 'biarkan saya lewat,' tetapi waktu saya mengatakan itu, Mr. Ewell di
sana berteriak lewat jendela."
"Apa yang dikatakannya?" Tom Robinson menelan ludah lagi, dan matanya melebar.
"Sesuatu yang tak pantas dikatakan tak pantas didengar anak-anak di sini"
"Apa yang dikatakannya, Tom" Anda harus bercerita pada juri apa yang
dikatakannya." Tom Robinson memejamkan matanya rapat-rapat. "Katanya, 'Dasar pelacur, kubunuh
kau.'" "Lalu, apa yang terjadi?"
"Mr. Finch, saya kabur secepat mungkin, saya tak tahu apa yang terjadi."
"Tom, apakah Anda memerkosa Mayella Ewell?" "Tidak, Sir."
"Apakah Anda menyakitinya dengan cara apa
pun?" "Tidak, Sir." "Apakah Anda menolak cumbuannya?"
"Mr. Finch, saya mencoba. Saya mencoba sebisa mungkin tanpa menyakitinya. Saya
tak ingin menyakitinya, saya tak ingin mendorongnya atau apa pun."
Tahu-tahu terpikir olehku bahwa dengan caranya sendiri, tata krama Tom Robinson
sama baiknya dengan Atticus. Sampai ayahku menjelaskan kepadaku setelah itu, aku
tidak mengerti kepelikan masalah Tom: dia tak mungkin berani memukul seorang
perempuan berkulit putih dalam keadaan apa pun dan berharap bisa berumur
panjang, jadi dia mengambil kesempatan pertama untuk kabur yang bisa disimpulkan
orang lain sebagai tanda pasti orang yang bersalah.
"Tom, kembali lagi ke Mr. Ewell," kata Atticus. "Apakah dia mengatakan sesuatu
pada Anda?" "Tidak ada, Sir. Mungkin saja dia mengatakan sesuatu, tetapi saya tidak lagi ada
di sana" "Cukup," sela Atticus tajam. "Apa yang Anda dengar, siapa yang dia ajak bicara?"
"Mr. Finch, dia berbicara dan memandang Miss Mayella."
Lalu, Anda lari?" Itulah yang saya lakukan, Sir."
Kenapa Anda lari?" Saya takut, Sir." Mengapa Anda takut?"
Mr. Finch, kalau Anda seorang nigger sepertiku, Anda pasti takut juga."
Atticus duduk. Mr. Gilmer sedang berjalan ke kursi saksi, tetapi sebelum sampai,
Mr. Link Deas bangkit dari deretan penonton dan mengumumkan:
"Aku hanya ingin kalian semua tahu satu hal sekarang juga. Bahwa anak itu sudah
bekerja padaku selama delapan tahun dan aku tak pernah mendapat setitik pun
masalah darinya. Tidak setitik pun."
"Diami" Hakim Taylor terjaga penuh dan menggeram. Wajahnya bersemburat merah
muda. Ajaibnya, ucapannya tidak terganggu oleh cerutunya. "Link Deas,"
bentaknya, "kalau Anda ingin mengatakan sesuatu, Anda bisa mengatakannya di
bawah sumpah dan pada saat yang tepat, tetapi sampai saat itu, Anda keluar dari
ruangan ini, dengar" Keluar dari ruangan ini, Sir, dengar" Celaka kalau saya
harus mendengar ulang catatan kasus ini lagi!"
Hakim Taylor menatap tajam kepada Atticus, seolah-olah menantangnya untuk
berbicara, tetapi Atticus menundukkan kepala dan tertawa sendiri. Aku teringat
sesuatu yang pernah dikatakannya tentang komentar resmi Hakim Taylor yang kadang
melebihi tugasnya, tetapi hanya sedikit pengacara yang mau menyikapinya. Aku
menoleh kepada Jem, tetapi Jem menggeleng. "Toh, yang bangkit dan berbicara
bukan salah seorang anggota juri," katanya. "Kalau keadaannya begitu, kurasa
baru berbeda. Mr. Link hanya mengganggu ketertiban atau sebangsanya."
Hakim Taylor menyuruh notulis menghapus segala sesuatu yang sudah dituliskan
setelah "Mr. Finch, kalau Anda seorang nigger sepertiku, Anda pasti takut juga!"
dan menyuruh juri mengabaikan gangguan tadi. Dia memandang dengan curiga ke
deretan tengah bangku penonton dan menunggu, kukira, untuk Mr. Link Deas benarbenar keluar. Lalu dia berkata, "Silakan, Mr. Gilmer."
"Anda pernah dihukum tiga puluh hari karena mengganggu ketertiban umum,
Robinson?" tanya Mr. Gilmer.
"Ya, Sir." "Seperti apa penampilan nigger itu ketika Anda selesai menghajarnya?"
"Dia mengalahkan saya, Mr. Gilmer."
"Ya, tetapi Anda terbukti bersalah, bukan?" Atticus mengangkat kepalanya. "Hanya
tuntutan ringan, dan sudah ada di catatan, Pak Hakim." Kurasa dia kedengaran
lelah. "Biarkan saksi menjawab," kata Hakim Taylor, sama lelahnya.
"Ya, Sir, tiga puluh hari." Aku tahu bahwa Mr. Gilmer akan dengan tulus berkata
kepada juri bahwa orang yang terbukti bersalah mengganggu ketertiban umum akan
dengan mudah tega menodai Mayella Ewell, itulah satu-satunya alasan yang
diperlukannya. Alasan seperti itu bisa membantu.
"Robinson, Anda pandai memotong lemari dan kayu bakar dengan satu tangan,
bukan?" "Benar, Sir." "Cukup kuat untuk mencekik perempuan dan membantingnya ke lantai?"
"Saya tak pernah melakukannya, Sir."
"Tapi Anda cukup kuat untuk melakukannya?"
"Saya kira ya, Sir."
"Anda sudah lama mengincarnya, bukankah begitu, Boy?"
"Tidak, Sir, saya tak pernah memandangnya."
"Jadi, Anda baik sekali mengerjakan semua pekerjaan memotong dan menimba
buatnya, begitu kan, Boy?"
"Saya hanya mencoba membantunya, Sir." "Baik hati sekali Anda, Anda punya
pekerjaan di rumah setelah pekerjaan rutin Anda, bukan?" "Ya, Sir."
"Mengapa Anda tidak mengerjakan yang itu alih-alih membantu Mayella Ewell?"
"Saya mengerjakan keduanya, Sir." "Anda tentu sibuk sekali. Mengapa?" "Mengapa
apa, Sir?" "Mengapa Anda bersemangat sekali mengerjakan pekerjaan perempuan
itu?" Tom Robinson ragu, mencari jawaban. "Kelihatannya tak seorang pun membantu dia,
seperti saya bilang" "Dengan Mr. Ewell dan tujuh anak di tempat itu, Boy?"
"Yah, saya bilang, kelihatannya mereka tak pernah membantunya"
"Anda memotong kayu bakar untuknya, dan Anda mengerjakannya murni dari kebaikan
hatimu, Boy?" "Mencoba membantunya, saya bilang." Mr. Gilmer tersenyum suram kepada juri.
"Anda orang yang baik sekali, rupanya melakukan semua ini tidak untuk satu sen
pun?" "Ya, Sir. Saya kasihan sekali padanya, dia tampaknya bekerja lebih keras
daripada yang lain" "Anda merasa kasihan pada dia, Anda merasa kasihan padanya?" Mr. Gilmer
tampaknya siap terbang ke langit-langit.
Saksi menyadari kekeliruannya dan bergerak gelisah di kursi. Tetapi, kerusakan
sudah terjadi. Di bawah kami, tak ada yang menyukai jawaban Tom Robinson. Mr.
Gilmer berhenti cukup lama agar perkataan itu tertanam.
"Nah, Anda melewati rumah itu seperti biasa, tanggal dua puluh satu November
yang lalu," katanya, "dan dia meminta Anda masuk dan membelah lemari?"
"Tidak, Sir." "Anda menyangkal bahwa Anda melewati rumahnya?"
"Tidak, Sir dia bilang dia punya pekerjaan untuk saya di dalam rumah"
"Menurutnya, dia memintamu membelah lemari, benar?"
"Tidak, Sir, tidak benar."
"Lalu, maksudmu, dia berbohong, Boy?" Atticus berdiri, tetapi Tom Robinson tidak
memerlukannya. "Saya tidak mengatakan dia berbohong, Mr. Gilmer, saya bilang dia
salah ingat." Sepuluh pertanyaan berikutnya, sementara Mr. Gilmer mengulang versi kejadian
Mayella, saksi tetap bersikeras bahwa Mayella keliru.
"Bukankah Mr. Ewell mengusirmu dari tempat itu, Boy?"
"Tidak, Sir, rasanya tidak."
"Rasanya, maksudmu bagaimana?"
"Maksudku, saya tidak tinggal cukup lama hingga dia mengusir saya."
"Anda sangat jujur tentang hal ini, mengapa Anda kabur secepat itu?"
"Saya bilang, saya takut, Sir."
"Kalau nuranimu bersih, mengapa Anda takut?"
"Seperti yang saya bilang sebelumnya, nigger mana pun tidak akan aman berada
dalam situasi bermasalah seperti itu."
"Tetapi, Anda kan tidak berada dalam situasi bermasalah Anda bersaksi bahwa Anda
menolak Miss Ewell. Apakah Anda takut bahwa dia akan menyakiti Anda, sehingga
Anda lari, makhluk berbadan besar seperti Anda?"
"Tidak, Sir, saya takut akan dibawa ke pengadilan seperti sekarang."
"Takut ditangkap, takut harus mempertanggung
jawabkan perbuatanmu?"
"Tidak, Sir, takut harus mempertanggung jawabkan sesuatu yang tidak saya
perbuat." "Anda menghinaku, Boy?"
"Tidak, Sir, saya tidak bermaksud demikian." Hanya sampai di sini aku mendengar
pemeriksaan Mr. Gilmer, karena Jem menyuruhku mengajak Dili keluar. Entah
mengapa, Dili mulai menangis dan tak bisa berhenti; mulanya tanpa suara, lalu
isakannya terdengar oleh beberapa orang di balkon. Kata Jem, jika aku tidak
pergi bersamanya, dia akan memaksaku, dan Pendeta Sykes berkata aku sebaiknya
pergi, jadi aku pergi. Dili tampaknya baik-baik saja hari itu, tak ada yang
salah, tetapi rupanya dia belum pulih sepenuhnya akibat kabur dari rumah.
"Kamu merasa tak enak?" tanyaku, ketika kami sampai di dasar tangga.
Dili mencoba menenangkan diri selagi kami menuruni tangga selatan. Mr. Link Deas
berdiri sendirian di tangga teratas. "Ada yang terjadi, Scout?" tanyanya ketika
kami lewat. "Tidak, Sir," jawabku sambil menoleh. "Dili ini, dia sakit."
"Ayo kita keluar, berteduh di bawah pohon," kataku. "Sepertinya kamu kepanasan."
Kami memilih pohon ek terbesar dan duduk di bawahnya.
"Dia, yang membuatku tak tahan," katanya.
"Siapa, Tom?" "Mr. Gilmer tua itu memperlakukannya seperti itu, berbicara jahat begitu
padanya" "Dili, itu tugasnya. Nah, kalau tidak ada jaksa penuntutnya, kita tidak akan
membutuhkan pengacara pembela, kukira."
Dili mengembuskan napas dengan sabar. "Aku tahu semua itu, Scout. Cara dia
berbicara yang membuatku mual, benar-benar mual."
"Dia memang semestinya bersikap seperti itu, Dili, dia sedang memeriksa"
"Dia tidak seperti itu ketika"
"Dili, mereka kan saksi dari pihaknya." "Tapi Mr. Finch tidak bersikap seperti
itu kepada Mayella dan Ewell ketika dia memeriksa mereka. Cara lelaki itu selalu
memanggilnya 'boy' dan menyeringai padanya, dan menoleh ke juri setiap kali dia
menjawab" "Dili, dia kan memang cuma seorang Negro."
"Aku tak peduli sedikit pun. Yang begini ini tidak benar, pokoknya tidak boleh
memperlakukan mereka seperti itu. Tak ada orang yang berhak berbicara seperti
itu pokoknya membuatku mual."
"Itu cuma gaya Mr. Gilmer, Dill, dia memperlakukan semua saksi seperti itu. Kau
belum pernah melihatnya benar-benar galak. Wah, sewaktu bagiku hari ini Mr.
Gilmer seperti mencoba setengah hati. Mereka semua memperlakukan saksi seperti
itu, sebagian besar pengacara, maksudku."
"Mr. Finch tidak begitu."
"Dia bukan contoh yang bagus, Dili, dia" Aku mencoba mencari dalam ingatanku,
mencari frasa tajam khas Miss Maudie Atkinson. Aku mendapatkannya, "Dia tetap
sama, baik di ruang pengadilan maupun di jalan umum."
"Bukan itu maksudku," kata Dili.
"Aku tahu maksudmu, Nak," kata sebuah suara di belakang kami. Kami menyangka
suara itu berasal dari batang pohon, tetapi ternyata dari Mr. Dolphus Raymond.
Dia melongok dari balik batang kepada kami. "Kamu bukan terlalu sensitif, halhal seperti itu memang membuatmu mual, kan?"
Dua Puluh emarilah, Nak, aku punya sesuatu yang bisa menenangkan perutmu."
Karena Mr. Dolphus Raymond dikenal sebagai lelaki jahat, aku menerima ajakannya
dengan enggan, tetapi aku mengikuti Dili. Entah mengapa, aku merasa Atticus
tidak akan suka jika kami ramah kepada Mr. Raymond, dan aku tahu Bibi Alexandra
pasti tak suka. "Ini," katanya, menawari Dili kantong kertas dengan sedotan mencuat. "Minumlah
banyak-banyak, pasti perutmu sembuh."
Dili menghisap dari sedotan, tersenyum, lalu menyedot lebih banyak.
"Hihi," kata Mr. Raymond, jelas merasa senang telah merusak seorang anak.
"Dili, hati-hati," aku memperingatkan. Dili melepaskan sedotan dan menyeringai.
"Scout, isinya cuma Coca-Cola kok."
Mr. Raymond duduk bersandar pada batang pohon. Tadinya dia berbaring di rumput.
"Kalian tak akan cerita-cerita tentang hal ini, kan" Reputasiku bisa hancur
kalau kalian bilang-bilang."
"Maksud Anda, yang Anda minum dari kantong itu cuma Coca-Cola" Cuma Coca-Cola
biasa?" "Ya, Nak," Mr. Raymond mengangguk. Aku suka baunya: campuran kulit, kuda, dan
benih kapas. Dia mengenakan satu-satunya sepatu bot berkuda khas Inggris yang
pernah kulihat. "Cuma itu yang ku minum, biasanya."
"Jadi, Anda hanya pura-pura sedang setengah" Maaf, Sir," aku sempat menahan.
"Saya tidak bermaksud"
Mr. Raymond terkekeh, sama sekali tak tersinggung, dan aku mencoba menyusun
pertanyaan yang bijak, "Kenapa Anda bertingkah seperti ini?"
"Apoh, ya, maksudmu, mengapa aku berpura-pura" Sederhana sekali," katanya.
"Sebagian orang tidak suka dengan cara hidupku. Nah, aku bisa bilang, persetan
dengan mereka, aku tak peduli mereka suka atau tidak. Dengan begini, aku bilang,
aku tak peduli kalau mereka tidak suka tetapi aku tidak bilang persetan dengan
mereka, mengerti?" Aku dan Dili berkata, "Tidak, Sir."
"Aku mencoba memberi mereka alasan, begitulah. Orang akan merasa lebih baik jika
mereka punya alasan. Kalau aku datang ke kota, dan itu jarang, aku berjalan


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleng sedikit dan minum dari kantong ini, dan orang bisa bilang Dolphus Raymond
dikuasai wiski itu sebabnya dia tak mau berubah. Dia tak mampu, itu sebabnya dia
hidup seperti itu." "Itu tidak jujur, Mr. Raymond. Membuat dirimu terlihat lebih buruk daripada yang
sudah" "Tidak jujur memang, tetapi sangat membantu mereka. Diam-diam, Miss Finch, aku
tak banyak minum, tetapi kamu tahu mereka tak akan pernah
memahami, bahwa aku hidup seperti ini karena beginilah aku ingin hidup."
Aku merasa, aku semestinya tidak berada di sini, mendengarkan ucapan lelaki
pendosa ini, yang punya anak blasteran dan tidak peduli siapa yang tahu, tetapi
dia mengasyikkan. Aku belum pernah bertemu orang yang dengan sengaja menipu
untuk menjelekkan diri sendiri. Tetapi, mengapa dia memercayakan rahasia
terdalamnya kepada kami" Aku menanyakan alasannya.
"Karena kalian anak-anak dan kalian bisa mengerti," katanya, "dan karena aku
mendengar dia" Dia menggerakkan kepalanya ke arah Dili, "Kehidupan belum meredam nalurinya.
Andai dia sedikit lebih tua, dia tak akan mual dan menangis. Mungkin situasi ini
akan dipandangnya keliru, misalnya, tetapi dia tak akan menangis, kalau dia
sudah lebih tua beberapa tahun."
"Menangisi apa, Mr. Raymond?" Kejantanan Dill mulai muncul kembali.
"Menangisi penderitaan yang diakibatkan oleh seseorang kepada orang lain bahkan
tanpa berpikir. Menangisi penderitaan yang diakibatkan orang kulit putih kepada
orang kulit hitam, tanpa berpikir bahwa orang kulit hitam adalah manusia juga."
"Kata Atticus, menipu orang berkulit hitam itu sepuluh kali lipat lebih buruk
daripada menipu orang kulit putih," gumamku. "Katanya, itu hal terburuk yang
bisa dilakukan." Mr. Raymond berkata, "Aku tidak berpikir Miss Jean Louise, kamu tidak tahu bahwa
ayahmu bukan orang biasa, akan perlu beberapa tahun agar itu kaupahami benar kamu belum cukup
melihat dunia. Kamu bahkan belum melihat kota ini seluruhnya, tetapi yang perlu
kaulakukan hanyalah masuk kembali ke gedung pengadilan itu."
Yang mengingatkanku bahwa kami melewatkan hampir seluruh pemeriksaan-silang Mr.
Gilmer. Aku memandang matahari, yang jatuh dengan cepat di balik atap toko di
sisi barat alun-alun. Di antara dua api, aku tak bisa memutuskan ke mana aku
ingin melompat masuk: Mr. Raymond atau Pengadilan Keliling Yuridis kelima. "Ayo,
Dili," kataku. "Kamu sudah baikan?"
"Ya. Senang berkenalan dengan Anda, Mr. Raymond, dan terima kasih minumnya,
sangat membantu." Kami berlomba kembali ke gedung pengadilan, menapaki anak-anak tangga, menaiki
dua jenjang tangga dalam satu langkah, dan beringsut di sepanjang pagar balkon.
Pendeta Sykes menjaga tempat duduk kami agar tidak diduduki orang.
Ruang pengadilan sepi, dan aku kembali bertanya-tanya, di mana bayi-bayi itu
sekarang. Cerutu Hakim Taylor tinggal menyerupai titik cokelat di tengah
bibirnya; Mr. Gilmer sedang menulis di salah satu notes kuning di mejanya,
mencoba mengalahkan notulis pengadilan, yang tangannya bergerak-gerak cepat.
"Wah," gumamku, "kita terlewat."
Atticus sudah menyampaikan setengah pidatonya kepada juri. Rupanya, dia telah
mengambil beberapa lembar kertas dari tasnya yang terletak di
samping kursinya karena sekarang kertas itu ada di mejanya. Tom Robinson sedang
memain-mainkan kertas itu.
"... tak adanya bukti pendukung, pria ini didakwa dengan ancaman hukuman mati dan
sekarang diadili mempertaruhkan nyawanya
Aku menonjok lengan Jem. "Sudah berapa
lama?" "Dia baru membahas buktinya," bisik Jem, "dan kita akan menang, Scout. Aku tidak
lihat alasan kita tak bakal menang. Dia sudah berpidato lima menit. Dia
membuatnya sejelas dan semudahnya, seperti yang kujelaskan padamu. Kau juga
pasti bisa mengerti."
"Apakah Mr. Gilmer?"
"Sst. Tak ada yang baru, semua biasa saja. Diamlah."
Kami melihat ke bawah lagi. Atticus berbicara santai, tanpa emosi, seperti kalau
sedang mendiktekan surat. Perlahan dia berjalan bolak-balik di depan juri, dan
para juri tampak memerhatikan: mereka menegakkan kepala dan mengikuti langkah
Atticus dengan saksama. Kukira karena suara Atticus tidak menggelegar.
Atticus berhenti, lalu dia melakukan sesuatu yang tak lazim dia lakukan. Dia
membuka jam dan rantainya lalu meletakkannya di meja, berkata, "Dengan seizin
pengadilan" Hakim Taylor mengangguk, lalu Atticus melakukan sesuatu yang tak pernah kulihat
dilakukannya sebelum maupun sesudahnya, di muka umum atau
pun di rumah: dia membuka kancing rompinya, membuka kancing kerah, melonggarkan
dasi, dan melepaskan jasnya. Dia tak pernah melonggarkan selembar pakaian pun
hingga dia mengganti baju untuk tidur, dan bagi Jem dan aku, ini sama saja
dengan dia berdiri di hadapan kami telanjang bulat. Kami bertukar tatapan ngeri.
Atticus memasukkan tangannya ke saku, dan ketika kembali menghadapi juri,
kulihat kancing kerah emasnya dan ujung pena dan pensilnya berkelip dalam
cahaya. "Tuan-Tuan," katanya. Aku dan Jem lagi-lagi bertukar pandang: Atticus bisa saja
berkata, "Scout." Suaranya tidak lagi datar, tidak lagi berjarak, dan dia
berbicara kepada juri seolah-olah mereka orang yang dijumpainya di tikungan
kantor pos. "Tuan-Tuan," dia berkata, "penjelasan saya singkat saja, tetapi saya ingin
menggunakan waktu saya yang tersisa bersama Anda untuk mengingatkan bahwa kasus
ini bukan kasus yang sulit, tidak memerlukan penelusuran fakta rumit secara
saksama, tetapi hanya memerlukan keyakinan Anda yang tak bisa disangkal tentang
bersalah-tidaknya terdakwa. Pertama-tama, kasus ini semestinya tidak dibawa ke
ruang sidang. Kasus ini sesederhana hitam dan putih.
"Negara tidak memberikan secuil pun bukti medis yang menyatakan bahwa kejahatan
yang didakwakan pada Tom Robinson benar-benar terjadi. Alih-alih, negara
bersandar pada kesaksian dua saksi yang buktinya tak hanya dipertanyakan secara
serius dalam pemeriksaan-silang, tetapi juga disangkal bulat-bulat oleh
terdakwa. Terdakwa tidak bersalah, tetapi ada seseorang di ruang pengadilan ini
yang bersalah. "Dalam hati, saya merasa kasihan pada saksi utama negara, tetapi rasa kasihan
saya tidak mencakup tindakannya yang membahayakan hidup seseorang, yang
dilakukan perempuan itu untuk menyingkirkan rasa bersalahnya sendiri.
"Saya sebut rasa bersalah, Tuan-Tuan, karena rasa bersalahlah yang
memotivasinya. Dia tidak melakukan kejahatan, dia hanya melanggar norma
masyarakat kita yang kaku dan mengakar, norma yang begitu keras sehingga siapa
pun yang melanggarnya akan dilecehkan di tengah-tengah kita karena tak layak
diajak hidup bersama. Dia adalah korban kebodohan dan kemelaratan yang kejam,
tetapi saya tak bisa mengasihaninya: dia berkulit putih. Dia tahu benar betapa
besar pelanggaran yang dilakukannya, tetapi karena keinginannya lebih kuat
daripada norma yang dilanggarnya, dia tetap melanggarnya. Dia melanggar, dan
reaksi selanjutnya adalah sesuatu yang pernah kita semua lakukan pada satu atau
lain waktu. Dia melakukan sesuatu yang pernah dilakukan setiap anak dia mencoba
menyingkirkan bukti pelanggarannya. Tetapi, dalam kasus ini, dia bukanlah anak
yang menyembunyikan barang selundupan: dia menyerang korbannya dia merasa perlu
menyingkirkannya jauh-jauh Tom Robinson harus dienyahkan dari hadapannya, dari
dunia ini. Dia harus memusnahkan bukti pelanggarannya.
"Apakah bukti pelanggarannya" Tom Robinson, seorang manusia. Dia harus
menyingkirkan Tom Robinson dari hadapannya. Tom Robinson akan mengingatkannya
setiap hari tentang perbuatannya. Apa yang dilakukannya" Dia menggoda seorang
Negro. "Dia seorang berkulit putih, dan dia menggoda seorang Negro. Dia melakukan
sesuatu tak terba-yangkan dalam masyarakat kita: dia mencium seorang berkulit
hitam. Bukan seorang kakek tua, tetapi seorang lelaki Negro yang muda dan kuat.
Norma tidak berarti apa-apa baginya ketika dia melanggarnya, tetapi menimpanya
setelah itu. "Ayahnya melihatnya, dan terdakwa sudah bersaksi tentang komentar sang ayah. Apa
yang dilakukan ayahnya" Kita tidak tahu, tetapi ada bukti tidak langsung yang
menunjukkan bahwa Mayella Ewell dipukuli dengan bengis oleh seseorang yang
kidal. Kita tahu sebagian perbuatan Mr. Ewell: dia melakukan apa yang akan
dilakukan lelaki berkulit putih yang terhormat, gigih, dan takut pada Tuhan
dalam situasi itu dia menandatangani surat gugatan, tak diragukan lagi
ditandatangani dengan tangan kiri, dan Tom Robinson sekarang duduk di hadapan
Anda, setelah diambil sumpah dengan satu-satunya tangan yang dapat digunakannya
tangan kanannya. "Demikianlah seorang Negro yang pendiam, terhormat, rendah hati, dan dengan
kekurang ajaran yang tak termaafkan merasa 'kasihan' kepada seorang perempuan
berkulit putih, harus bersaksi melawan dua orang berkulit putih. Saya tak perlu
mengingatkan Anda tentang penampilan dan perilaku mereka di kursi saksi Anda
melihatnya sendiri. Para saksi negara, kecuali Sheriff Maycomb County, telah
hadir di hadapan Anda, Tuan-Tuan, di pengadilan ini, dengan keyakinan sinis
bahwa kesaksian mereka tak akan diragukan, yakin bahwa Anda, Tuan-Tuan, akan
ikut bersama mereka dengan asumsi asumsi jahat bahwa semua orang Negro
berbohong, bahwa semua orang Negro adalah makhluk yang pada dasarnya tidak
bermoral, bahwa semua lelaki Negro berbahaya jika berada di dekat perempuan
kita, asumsi yang hanya dimiliki oleh otak sekaliber mereka.
"Yang kita ketahui, Tuan-Tuan, adalah bahwa asumsi tersebut adalah kebohongan
sehitam kulit Tom Robinson, kebohongan yang tak perlu saya tekankan pada Anda.
Anda tahu kebenarannya, dan kebenarannya adalah begini: sebagian orang Negro
berbohong, sebagian orang Negro tak bermoral, sebagian orang Negro berbahaya
bagi perempuan yang berkulit hitam maupun putih. Tetapi, kebenaran ini berlaku
bagi seluruh umat manusia dan tidak khusus pada satu ras saja. Tak ada orang di
ruang pengadilan ini yang belum pernah berbohong, yang belum pernah berbuat
amoral, dan tak ada lelaki hidup yang tak pernah memandang seorang perempuan
dengan hasrat." Atticus berhenti dan mengeluarkan sapu tangan. Lalu, dia melepaskan kacamata dan
mengusapnya, dan kami melihat tindakan "pertama" lain: kami belum pernah
melihatnya berkeringat dia termasuk orang yang wajahnya tak pernah berkeringat,
tetapi wajahnya sekarang cokelat berkilap.
"Satu hal lagi, Tuan-Tuan, sebelum saya selesai. Thomas Jefferson pernah berkata
bahwa semua manusia diciptakan sederajat, frasa yang disukai kaum Yankee dan
golongan wanita cabang Eksekutif di Washington untuk diteriakkan kepada kita.
Ada kecenderungan beberapa orang pada tahun 1935 ini untuk menggunakan frasa ini
di luar konteks, untuk memenuhi semua kondisi. Contoh yang paling konyol yang
terpikir oleh saya adalah bahwa orang yang memimpin sekolah negeri menyamakan
derajat orang yang bodoh dan malas sejajar dengan yang rajin karena semua
manusia diciptakan sederajat, para pendidik akan berkata dengan serius, anakanak yang tinggal kelas menderita rasa rendah diri yang parah. Kita tahu semua
manusia tidak diciptakan sederajat dalam arti yang ingin diyakini oleh sebagian
orang sebagian orang lebih pintar dari yang lain, ada yang memiliki lebih banyak
kesempatan karena dilahirkan dengan itu, ada yang berpenghasilan lebih dari yang
lain, sebagian perempuan membuat kue lebih enak daripada yang lain ada yang
dilahirkan dengan bakat jauh di luar cakupan normal sebagian besar manusia.
"Tetapi, ada satu hal di negara ini yang menunjukkan bahwa semua manusia
diciptakan sederajat ada satu lembaga kemanusiaan yang membuat seorang pengemis
sederajat dengan seorang Rockefeller, seorang bebal sederajat dengan seorang
Einstein, dan seorang tak berpendidikan sederajat dengan rektor universitas mana
pun. Lembaga itu, Tuan-Tuan, adalah pengadilan. Baik itu Mahkamah Agung Amerika
Serikat atau pengadilan negeri paling rendah di tanah ini, atau pengadilan
terhormat tempat Anda mengabdi ini. Pengadilan kita memiliki kecacatan,
sebagaimana lembaga manusia mana pun, tetapi di negara ini, pengadilan kita
merupakan penyetara besar, dan dalam pengadilan kita, semua manusia diciptakan
sederajat. "Saya bukan seorang idealis yang meyakini dengan teguh integritas pengadilan dan
sistem juri kita ini bukan ideal bagi saya, ini kenyataan yang hidup dan
terjadi. Tuan-Tuan, pengadilan tidak lebih baik daripada setiap orang di antara
kalian yang duduk di hadapan saya dalam dewan juri ini. Sebuah pengadilan hanya
sebaik jurinya, dan juri hanya sebaik orang-orang yang menyusunnya. Saya yakin
bahwa Tuan-Tuan akan menelaah tanpa perasaan bukti yang telah kalian dengar,
mencapai keputusan, dan mengembalikan terdakwa kepada keluarganya. Demi nama
Tuhan, tunaikanlah tugas Anda."
Suara Atticus merendah, dan ketika dia berbalik dari juri, dia mengatakan
sesuatu yang tak tertangkap olehku. Dia mengatakannya lebih kepada diri sendiri
daripada kepada pengadilan. Aku menonjok lengan Jem. "Apa katanya?"
'"Demi nama Tuhan, percayalah padanya.Rasanya itu yang dia bilang."
Dili tiba-tiba menjulurkan tangan di depanku dan menggamit Jem. "Lihat di situ!"
Kami mengikuti jarinya dengan hati tenggelam. Calpurnia sedang berjalan di
lorong tengah, berjalan tepat menuju Atticus.
Dua Puluh Satu Dia berhenti malu-malu di pagar dan menunggu untuk mendapat perhatian Hakim
Taylor. Dia mengenakan celemek baru dan membawa amplop.
Hakim Taylor melihatnya dan berkata, "Calpurnia, ya?"
"Ya, Sir," katanya. "Bolehkah saya memberikan surat ini kepada Mr. Finch, Sir"
Ini tak ada kaitannya dengan pengadilan."
Hakim Taylor mengangguk dan Atticus mengambil amplop itu dari Calpurnia. Dia
membukanya, membaca isinya, dan berkata, "Pak Hakim, saya surat ini dari adik
saya. Katanya, anak-anak saya menghilang, belum muncul sejak siang hari.
"Saya tahu di mana mereka, Atticus." Mr. Underwood angkat suara. "Mereka tepat
di atas sana di balkon kulit berwarna sudah di sana sejak jam satu delapan belas
tepat." Ayah kami berpaling dan melihat ke atas. "Jem, turun dari situ," serunya. Lalu,
dia mengatakan sesuatu kepada Hakim yang tak kami dengar. Kami memanjat melewati
Pendeta Sykes dan berjalan menuju tangga.
Atticus dan Calpurnia menghampiri kami di lantai bawah. Calpurnia tampak gusar,
tetapi Atticus tampak lelah. Jem meloncat-loncat bersemangat. "Kita menang, kan?"
"Aku tak tahu," kata Atticus singkat. "Kalian ada di sini sepanjang sore"
Pulanglah bersama Calpurnia dan makan malam lalu diam di rumah."
"Yaah, Atticus, izinkan kami kembali," pinta Jem. "Tolong bolehkan kami
mendengar vonisnya, kumohon, Sir."
"Juri mungkin saja keluar dan kembali ke sini dalam sekejap, kita tak tahu"
tetapi kami bisa melihat Atticus melunak. "Baiklah, kalian sudah dengar semua,
jadi sekalian saja mendengar sisanya. Bagaimana kalau begini, kalian boleh
kembali kalau sudah makan malam makan perlahan-lahan ya, kalian tak akan
terlewat hal-hal penting dan jika juri belum kembali, kalian boleh menunggu
bersama kami. Tetapi, kukira pengadilan sudah selesai sebelum kalian kembali."
"Menurutmu, mereka akan membebaskannya secepat itu?" tanya Jem.
Atticus membuka mulut untuk menjawab, tetapi menutupnya lagi dan meninggalkan
kami. Aku berdoa semoga Pendeta Sykes akan menjaga tempat duduk kami, tetapi berhenti
berdoa ketika aku teringat bahwa orang berbondong-bondong bangkit dan pergi
ketika juri keluar malam ini, mereka akan memenuhi toko, kafe O.K., dan hotel,
itu kalau mereka tidak membawa makanan sendiri.
Calpurnia menggiring kami pulang, "menguliti satu per satu hidup-hidup,
bayangkan, kalian anak-anak mendengar semua itu! Mister Jem, mestinya kau tahu,
adikmu tidak boleh dibawa ke pengadilan itu. Miss Alexandra pasti bisa pingsan
kalau tahu! Tidak pantas anak-anak mendengar
Lampu jalan menyala dan kami melihat raut marah Calpurnia ketika kami lewat di
bawahnya. "Mister Jem, kusangka kau sudah mulai punya otak bayangkan, dia
adikmu! Bayangkan, Sir! kau semestinya malu memangnya kau tidak berpikir?"
Aku merasa terbius. Begitu banyak hal terjadi demikian cepat sehingga aku merasa
perlu bertahun-tahun untuk memahaminya, dan sekarang Calpurnia memarahi Jem
kesayangannya keajaiban baru apa yang akan terjadi petang ini"
Jem tertawa, "Kau tidak ingin dengar, Cal?" "Tutup mulut, Sir! Ketika kau
semestinya menunduk malu, kau malah tertawa" Calpurnia membangkitkan serangkaian
ancaman berkarat yang membuat Jem sedikit menyesal, dan Calpurnia melayang ke
tangga depan dengan komentar klasiknya, "Kalau Mr. Finch tak bisa mengajarimu,
aku yang melakukannya masuk ke rumah, Sir!"
Jem masuk sambil menyeringai, dan Calpurnia mengangguk memberi izin tanpa kata
untuk mengundang Dili makan malam. "Kalian telepon Miss Rachel sekarang juga dan
beri tahu dia kamu ada di mana," kata Calpurnia. "Dia kebingungan mencarimu
hati-hati saja, bisa-bisa dia akan mengirimmu kembali ke Meridian pagi-pagi
sekali." Bibi Alexandra menemui kami dan hampir pingsan ketika Calpurnia memberi tahu di
mana kami tadi. Kurasa dia sakit hati ketika kami memberitahunya bahwa Atticus mengizinkan
kami kembali, karena dia diam saja saat makan. Dia hanya membolak-balik makanan


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di piringnya, dan memandanginya dengan sedih sementara Calpurnia melayani Jem,
Dill, dan aku dengan menyimpan dendam. Calpurnia menuangkan susu, menghidangkan
salad kentang dan ham, menggumam, "semestinya kalian malu," dalam berbagai
derajat intensitas. "Nah, kalian makan pelan-pelan," adalah perintahnya yang
terakhir. Pendeta Sykes menjaga tempat duduk kami. Kami kaget mengetahui bahwa kami pergi
hampir sejam, dan sama kagetnya menemukan ruang pengadilan tepat seperti yang
kami tinggalkan, dengan sedikit perubahan: kotak juri kosong, terdakwa tak ada;
Hakim Taylor juga tak ada, tetapi dia muncul lagi saat kami duduk.
"Nyaris tak ada yang bergerak," kata Jem.
"Mereka bergerak sedikit waktu juri keluar," kata Pendeta Sykes. "Para lelaki di
bawah mengambil makan malam untuk para wanita, dan mereka menyuapi bayi mereka."
"Sudah berapa lama mereka keluar?" tanya Jem.
"Sekitar tiga puluh menit. Mr. Finch dan Mr. Gilmer berbicara lagi, lalu Hakim
Taylor memberi petunjuk bagi juri."
"Bagaimana dia?" tanya Jem.
"Apa" Oh, dia baik. Aku tak ada keluhan sedikit pun dia sangat bersikap adil.
Dia kira-kira berkata, kalau kamu percaya yang ini, kamu harus memutuskan
begini, tetapi kalau kamu memercayai yang itu, kamu harus memutuskan begitu.
Kukira dia agak condong ke pihak kita" Pendeta Sykes menggaruk kepalanya.
Jem tersenyum. "Semestinya dia tidak condong, Pak Pendeta, tetapi jangan
khawatir, kita sudah menang," katanya bijak. "Tak bisa melihat bagaimana juri
bisa memvonis bersalah berdasarkan apa yang kita dengar"
"Nah, jangan terlalu yakin, Mr. Jem, saya belum pernah melihat juri memenangkan
orang kulit hitam dari orang kulit putih Tetapi, Jem membantah Pendeta Sykes,
dan kami terpaksa mendengarkan telaah panjang tentang bukti, dengan pikiran Jem
tentang hukum mengenai perkosaan: namanya bukan perkosaan jika perempuan
membolehkan, tetapi dia harus berusia delapan belas di Alabama, maksudnya dan
umur Mayella sembilan belas. Rupanya kau harus menendang dan menjerit, harus
dikalahkan dan dipukul, lebih baik lagi dibuat pingsan. Kalau usiamu di bawah
delapan belas, kau tak perlu melakukan semua ini.
"Mr. Jem," Pendeta Sykes berkeberatan, "ini bukan hal yang sopan untuk didengar
seorang gadis kecil "Ah, dia tidak tahu yang kita bicarakan," kata Jem. "Scout, ini terlalu dewasa
untukmu, kan?" "Jelas tidak, aku tahu setiap kata yang kau katakan." Mungkin aku terlalu
meyakinkan karena Jem berhenti dan tak membahas topik itu lagi.
"Jam berapa sekarang, Pendeta?" tanyanya.
"Hampir delapan."
Aku menatap ke bawah dan melihat Atticus berjalan-jalan sambil mengantongi
tangan: dia menjelajah dari jendela ke jendela, lalu berjalan di samping pagar
di kotak juri. Dia melihat ke dalamnya, mengawasi Hakim Taylor di takhtanya,
lalu kembali ke tempat awalnya. Kami beradu pandang dan aku melambai kepadanya.
Dia membalas salutku dengan anggukan, lalu melanjutkan turnya.
Mr. Gilmer sedang berdiri di jendela, berbicara dengan Mr. Underwood. Bert,
notulis pengadilan, sedang merokok tanpa henti: dia duduk sambil menumpangkan kaki di meja.
Tetapi dari seluruh petugas pengadilan yang hadir, hanya Atticus, Mr. Gilmer,
Hakim Taylor yang tertidur lelap, dan Bert yang tingkahnya tampak normal. Aku
belum pernah melihat sebuah ruang pengadilan yang disesaki manusia tetapi begitu
sunyi. Kadang, ada bayi yang menangis rewel, dan anak-anak bergegas keluar,
tetapi orang dewasa duduk seolah-olah sedang berada dalam gereja. Di balkon,
orang-orang Negro duduk dan berdiri di sekitar kami dengan kesabaran seperti
dalam kitab suci. Jam tua gedung pengadilan menderita tegangan awal sebelum menyuarakan waktu,
delapan kali 'dong' yang memekakkan telinga dan menggetarkan tulang kami.
Ketika jam berdentang sebelas kali, aku sudah tak bisa lagi merasakan: lelah
melawan kantuk, aku membiarkan diriku tidur sebentar bersandar pada lengan dan
bahu Pendeta Sykes yang nyaman. Aku
tersentak bangun dan berupaya sungguh-sungguh untuk tetap terjaga dengan melihat
ke bawah dan berkonsentrasi pada kepala-kepala di bawah: ada 14 yang botak, 14
kepala lelaki yang bisa disebut berambut merah, 40 kepala dengan rambut antara
cokelat dan hitam, dan aku ingat sesuatu yang pernah dijelaskan Jem ketika dia
senang akan hal-hal yang berhubungan dengan paranormal sebentar: dia bilang,
jika cukup banyak orang sestadion penuh, mungkin berkonsentrasi pada satu hal,
seperti membakar pohon di hutan, pohon itu akan terbakar sendiri. Aku menimbangnimbang gagasan meminta semua orang di bawah berkonsentrasi untuk membebaskan
Tom Robinson, tetapi berpikir jika mereka selelah aku, tentu tak akan berhasil.
Dili terlelap, kepalanya bersandar pada bahu Jem, dan Jem diam.
"Lama juga, ya?" tanyaku kepadanya.
"Iya, Scout," katanya gembira. "Dari caramu mengucapkannya, sepertinya cuma lima
menit." Jem mengangkat alis. "Ada hal-hal yang kamu tak mengerti," katanya, dan aku
terlalu lelah untuk mendebat.
Tetapi rupanya aku cukup terjaga, atau aku tak akan menerima kesan yang merayap
masuk. Rasanya, agak mirip dengan perasaan yang kurasakan musim dingin lalu, dan
aku pun gemetar, meskipun malam itu panas. Perasaan itu tumbuh sampai atmosfer
dalam ruang pengadilan sama persis dengan pagi yang dingin pada bulan Februari,
ketika mockingbird tak berkicau, dan para tukang kayu berhenti memalu di rumah
baru Miss Maudie, dan setiap pintu para tetangga ditutup rapat-rapat seperti
pintu di Radley Place. Jalan yang kosong, terbengkalai, menanti, dan ruang
pengadilan penuh sesak. Malam musim panas yang lengas tidak ada bedanya dengan
pagi musim dingin. Mr. Heck Tate, yang sudah memasuki ruang pengadilan dan
berbicara dengan Atticus, bisa saja mengenakan sepatu lars tinggi dan jaket
penebang kayu. Atticus sudah menghentikan perjalanan sunyinya dan meletakkan
kakinya pada pijakan di bawah kursi; sambil mendengarkan perkataan Mr. Tate, dia
menggerakkan tangannya perlahan naik-turun pahanya. Aku hampir merasa Mr. Tate
akan berkata kapan saja, "Tembak dia, Mr. Finch
Tetapi Mr. Tate berkata, "Pengadilan ini dimohon tertib," dengan suara yang
menggemakan wewenang, dan kepala-kepala di bawah kami tersentak. Mr. Tate
meninggalkan ruangan dan kembali bersama Tom Robinson. Dia mengarahkan Tom ke
tempatnya di samping Atticus, dan berdiri di situ. Hakim Taylor menyiagakan diri
dengan mendadak dan duduk tegak, memandang ke kotak juri yang kosong.
Yang terjadi setelah itu bagaikan mimpi: dalam mimpi aku melihat juri kembali,
bergerak seperti perenang bawah air, dan suara Hakim Taylor terdengar dari jauh,
dan lirih. Aku melihat sesuatu yang hanya mungkin dilihat, atau mungkin
ditunggu, oleh seorang anak pengacara, dan seperti menonton
Atticus melangkah ke jalan, mengangkat senapan ke bahunya lalu menarik picu,
tetapi selama itu mengetahui bahwa senapannya kosong.
Juri tak pernah melihat ke terdakwa yang telah divonisnya, dan ketika juri ini
masuk, tak satu pun melihat kepada Tom Robinson. Ketua juri menyerahkan secarik
kertas kepada Mr. Tate, yang menyerahkannya kepada kerani, yang menyerahkannya
kepada hakim .... Aku memejamkan mata. Hakim Taylor membacakan putusan juri: "Bersalah ... bersalah
... bersalah ... bersalah Aku melirik Jem: tangannya tampak putih karena
mencengkeram pagar balkon dengan erat, dan bahunya tersentak seolah-olah setiap
kata "bersalah" adalah tusukan yang baru dihunjamkan di antara bahunya.
Hakim Taylor mengatakan sesuatu. Palunya berada dalam genggaman, tetapi dia
tidak menggunakannya. Samar-samar aku melihat Atticus mendorong kertas-kertas
dari meja ke tasnya. Dia menutupnya, menghampiri notulis pengadilan dan
mengatakan sesuatu, mengangguk kepada Mr. Gilmer, lalu menghampiri Tom Robinson
dan membisikkan sesuatu padanya. Atticus meletakkan tangannya pada bahu Tom
sambil berbisik. Atticus mengambil jaketnya dari sandaran kursinya dan
menyampirkan-nya di bahu. Lalu, dia meninggalkan ruang pengadilan, tidak melalui
pintu keluar yang biasa. Dia pasti ingin pulang lewat jalan pintas karena dia
berjalan cepat melalui lorong tengah ke arah pintu keluar selatan. Aku mengikuti
puncak kepalanya sementara dia berjalan ke pintu. Dia tidak melihat ke atas.
Seseorang menggamitku, tetapi aku enggan mengalihkan mataku dari orang-orang di
bawah kami, dan dari pemandangan langkah sendirian Atticus di lorong.
"Miss Jean Louise?"
Aku menoleh. Mereka berdiri. Di sekitar kami dan di balkon di dinding seberang,
orang-orang Negro berdiri. Suara Pendeta Sykes sejauh suara Hakim Taylor,
"Miss Jean Louise, berdirilah. Ayahmu sedang lewat."
Dua Puluh Dua Giliran Jem yang menangis. Wajahnya ternodai air mata marah ketika kami berjalan
menembus kerumunan yang ceria. "Ini tidak benar," dia bergumam sepanjang jalan
menuju pojok alun-alun tempat kami menemukan Atticus menunggu. Atticus sedang
berdiri di bawah lampu jalan, tampak seolah-olah tak ada hal penting yang baru
terjadi: rompinya terkancing, kerah dan dasinya terpasang rapi, rantai-jamnya
berkilat, dia kembali menjadi dirinya yang tanpa emosi.
"Ini tidak benar, Atticus," kata Jem. "Tidak, Nak, ini tidak benar." Kami
berjalan pulang. Bibi Alexandra masih terjaga, menunggu. Dia mengenakan baju santai, dan aku
berani sumpah dia mengenakan korset di bawahnya. "Aku turut menyesal, Kak,"
gumamnya. Karena belum pernah mendengarnya memanggil Atticus "kakak" sebelumnya,
aku mencuri pandang pada Jem, tetapi dia tidak mendengar. Dia mendongak menatap
Atticus, lalu menunduk menatap lantai, dan aku bertanya-tanya apakah dia
berpikir bahwa Atticus bertanggung jawab untuk vonis bersalah Tom Robinson.
"Dia tak-apa-apa?" tanya Bibi, menunjuk pada
Jem. "Sebentar lagi tak apa-apa," kata Atticus. "Sedikit terlalu keras baginya." Ayah
kami menghela napas. "Aku mau tidur," katanya. "Kalau aku tidak terjaga pagipagi, jangan bangunkan aku."
"Kurasa tidak bijak sejak awal membiarkan mereka"
"Ini rumah mereka, Dik," kata Atticus. "Kitalah yang menciptakan situasi ini
bagi mereka, selayaknya mereka belajar menanganinya."
"Tetapi, mereka tak perlu pergi ke gedung pengadilan dan melibatkan diri di
dalamnya" "Gedung pengadilan itu sama Maycomb County-nya seperti acara minum teh
misionaris." "Atticus" Bibi Alexandra menatapnya dengan gundah. "Kau orang terakhir yang
kusangka akan menyesali soal ini."
"Aku tidak menyesal, hanya lelah. Aku mau tidur."
"Atticus" kata Jem suram. Dia berbalik di ambang pintu. "Apa, Nak?"
"Bagaimana mereka bisa melakukannya, mengapa mereka tega?"
"Aku tak tahu, tetapi mereka melakukannya. Mereka pernah melakukannya dan mereka
melakukannya malam ini dan mereka akan melakukannya lagi, dan ketika mereka
melakukannya sepertinya hanya anak-anak yang meratap. Selamat malam."
Tetapi, keadaan selalu lebih baik pada pagi hari. Atticus bangun pagi sekali
seperti biasa dan sudah berada di ruang duduk di balik Mobile Register ketika kami masuk. Wajah
pagi Jem melontarkan pertanyaan yang ingin diutarakan bibir ngantuknya.
"Belum saatnya untuk cemas," Atticus meyakinkannya, ketika kami ke ruang makan.
"Kita belum selesai. Akan ada naik banding, kau bisa mengandalkan itu. Demi
Tuhan, Cal, apa semua ini?" Dia menatap piring sarapannya.
Calpurnia berkata, "Ayah Tom Robinson mengirim ayam ini untukmu pagi ini. Aku
memasaknya." "Sampaikan kepadanya, aku bangga menerimanya pasti mereka tidak sarapan ayam di
Gedung Putih. Ini apa?"
"Rolade," kata Calpurnia. "Estelle di hotel yang mengirim."
Atticus mendongak padanya, bingung, dan dia berkata, "Sebaiknya Anda kemari dan
lihat apa yang ada di dapur, Mr. Finch."
Kami mengikuti Atticus. Meja dapur penuh dengan makanan yang cukup banyak untuk
mengubur keluarga kami: bongkahan daging asin, tomat, kacang, bahkan
scuppernong. Atticus menyeringai ketika dia menemukan sebotol acar buku kaki
babi. "Kira-kira Bibimu akan mengizinkanku memakan benda ini di ruang makan?"
Kata Calpurnia, "Semua ini ada di sekeliling tangga belakang waktu saya sampai
di sini pagi ini. Mereka menghargai apa yang Anda lakukan, Mr. Finch. Mereka
tidak berlebihan, kan?"
Mata Atticus berlinang. Dia terdiam sejenak. "Sampaikan pada mereka, aku sangat
berterima kasih," katanya. "Katakan pada mereka, jangan pernah melakukan ini
lagi. Sekarang adalah masa sulit
ii Dia meninggalkan dapur, masuk ke ruang makan dan pamit kepada Bibi Alexandra,
mengenakan topi, dan pergi ke kota.
Kami mendengar langkah Dili di ruang tamu, jadi Calpurnia meninggalkan sarapan
Atticus yang belum dimakan di meja. Di antara gigitan kelincinya, Dili
menceritakan reaksi Miss Rachel mengenai tadi malam, yaitu: jika seseorang
seperti Atticus Finch mau membenturkan kepalanya pada dinding batu, biarkan
saja, itu kepalanya sendiri.
"Mestinya kubalas," Dili menggeram, menggerogoti kaki ayam, "tetapi dia
sepertinya tidak bisa kubalas tadi pagi. Katanya, dia terjaga setengah malam
bertanya-tanya di mana aku, dan dia ingin menyuruh sheriff mencariku, tetapi dia
ada di pengadilan." "Dili, kau tak boleh lagi pergi tanpa pamit," kata Jem. "Itu malah membuat dia
tambah marah." Dili menghela napas sabar. "Aku sudah memberi tahu sampai wajahku biru ke mana
aku pergi dia hanya terlalu banyak melihat ular di lemari. Pastilah dia minum
setengah liter lebih untuk sarapan setiap pagi aku tahu dia minum dua gelas
penuh. Pernah lihat."
"Jangan berbicara seperti itu, Dili," kata Bibi Alexandra. "Tidak pantas anak
kecil begitu. Itu sinis."
"Saya bukan sinis, Miss Alexandra. Mengatakan kebenaran bukan sinis, kan?"
"Cara mengungkapkannya yang sinis." Mata Jem berkilat padanya, tetapi dia
berkata kepada Dili, "Ayo kita pergi. Bawa saja makanannya." Ketika kami ke
teras depan, Miss Stephanie Crawford sedang sibuk bercerita kepada Miss Maudie
Atkinson dan Mr. Avery. Mereka menoleh kepada kami dan terus berbicara. Jem
menggerung. Aku ingin sekali punya senjata.
"Aku benci dilihat orang dewasa," kata Dili. "Membuatku merasa baru berbuat
salah." Miss Maudie berseru memanggil Jem Finch ke
sana. Jem mengerang dan melompat dari ayunan. "Kami temani," kata Dili.
Hidung Miss Stephanie bergetar penasaran. Dia ingin tahu siapa saja yang
mengizinkan kami ke pengadilan dia tidak melihat kami, tetapi sudah tersebar ke
seluruh kota pagi ini bahwa kami ada di balkon Kulit Hitam. Apakah Atticus
menaruh kami di sana untuk semacam" Bukankah itu dekat sekali dengan semua"
Apakah Scout memahami semua" Tidakkah kami marah melihat ayah kami kalah"
"Hus, Stephanie." Cara bicara Miss Maudie sungguh maut. "Aku tak punya waktu
sepagian untuk dilewatkan di teras Jem Finch, aku memanggilmu untuk mengetahui
apakah kau dan rekan-rekanmu mau makan kue. Aku bangun jam lima untuk
membuatnya, jadi kau sebaiknya bilang iya. Permisi, Stephanie. Selamat pagi, Mr.
Avery." Di meja dapur Miss Maudie ada satu kue besar
dan dua kue kecil. Mestinya ada tiga kue kecil. Tidak biasanya Miss Maudie
melupakan Dili, dan rupanya rasa penasaran kami terlihat dari sikap kami.
Tetapi, kami mengerti ketika dia memotong kue besar dan memberikan irisannya
untuk Jem. Ketika kami makan, kami merasa inilah cara Miss Maudie menyampaikan bahwa
berkaitan dengan dirinya, tak ada yang berubah. Dia duduk diam di kursi dapur,
mengamati kami. Tiba-tiba dia berkata, "Jangan cemas, Jem. Keadaan tak pernah seburuk
kelihatannya." Di dalam rumah, ketika Miss Maudie ingin mengatakan sesuatu yang panjang, dia
melebarkan jarinya pada lutut dan membenarkan letak gigi palsunya. Dia melakukan
ini, dan kami menunggu. "Aku hanya ingin mengatakan bahwa ada orang-orang di dunia ini yang dilahirkan
untuk melakukan tugas tak menyenangkan bagi kita. Ayahmu adalah salah satunya."
"Yah," kata Jem. "Begitulah." "Jangan bilang yah begitulah padaku, Nak," jawab
Miss Maudie, mengenali nada pasrah dalam suara Jem, "kau belum cukup tua untuk
menghargai perkataanku."
Jem menatap kuenya yang baru dimakan setengah. "Seperti ulat dalam kepompong,
keadaan ini," katanya. "Seperti sesuatu yang tertidur, di-bungkus dalam tempat
yang hangat. Dulu kusangka orang-orang Maycomb adalah yang terbaik di dunia,
setidaknya seperti itulah kelihatannya."
"Kita orang paling aman di dunia," kata Miss
Maudie. "Kita begitu jarang dituntut untuk bersikap Kristiani, tetapi ketika
kita dituntut, kita punya orang-orang seperti Atticus untuk melakukannya."
Jem menyeringai sedih. "Andai orang lain di county ini berpikir begitu juga."
"Kau akan terkejut kalau tahu banyak di antara kita yang berpikiran begitu."
"Siapa?" suara Jem meninggi. "Siapa di kota ini yang melakukan satu hal untuk


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong Tom Robinson, siapa?"
"Teman-teman kulit hitamnya, pertama, dan orang-orang seperti kita. Orang
seperti Hakim Taylor. Orang seperti Mr. Heck Tate. Coba berhenti makan dan
mulailah berpikir, Jem. Pernahkah terpikir olehmu bahwa Hakim Taylor menunjuk
Atticus untuk membela anak itu bukan karena kebetulan semata" Bahwa Hakim Taylor
punya alasan sendiri untuk menunjuknya?"
Ini pemikiran baru. Pengacara pembela yang ditunjuk oleh pengadilan biasanya
adalah Maxwell Green, pengacara terbaru Maycomb, yang memerlukan pengalaman.
Maxwell Green yang mestinya mendapatkan kasus Tom Robinson.
"Pikirkan itu," kata Miss Maudie. "Itu bukan kebetulan. Aku sedang duduk di
teras sana tadi malam, menunggu. Aku menunggu dan menunggu untuk melihat kalian
datang lewat trotoar, dan ketika aku menunggu, aku berpikir, Atticus Finch tak
akan menang, tak mungkin menang, tetapi dia satu-satunya orang di sekitar sini
yang bisa membuat juri berdiskusi begitu lama dalam kasus seperti
itu. Dan aku berpikir sendiri, baiklah, kita membuat satu langkah hanya langkah
kecil seorang bayi, tetapi tetap saja satu langkah."
"Bicara memang gampang tak bisakah hakim dan pengacara Kristen mengimbangi juri
kafir?" gumam Jem. "Kalau aku sudah dewasa"
"Itu sesuatu yang harus kaubicarakan pada ayahmu," kata Miss Maudie.
Kami menuruni tangga baru Miss Maudie yang mentereng ke dalam cahaya matahari
dan mendapati Mr. Avery dan Miss Stephanie Crawford masih mengobrol. Mereka
sudah pindah di trotoar dan kini berdiri di depan rumah Miss Stephanie. Miss
Rachel sedang berjalan menghampiri mereka.
"Kurasa aku mau jadi badut kalau sudah besar," kata Dili.
Aku dan Jem langsung berhenti berjalan.
"Ya, benar, badut," katanya. "Tak ada satu pun di dunia ini yang bisa kulakukan
pada orang lain kecuali tertawa. Jadi, aku mau ikut sirkus dan tertawa sampai
puas." "Kau terbalik, Dili," kata Jem. "Badut itu sedih, orang-orang yang menertawakan
mereka." "Yah, aku akan menjadi badut jenis baru. Aku akan berdiri di tengah lingkaran
dan menertawakan orang. Lihat saja ke sana," dia menuding. "Setiap orang itu
semestinya menunggangi sapu. Bibi Rachel sudah melakukannya."
Miss Stephanie dan Miss Rachel melambai-lambai liar kepada kami, dengan cara
yang membenarkan pengamatan Dili.
"Sial," Jem mendesah. "Kurasa tidak baik kalau tidak menemui mereka."
Ada yang salah. Wajah Mr. Avery merah karena bersin-bersin dan dia hampir meniup
kami dari trotoar ketika kami datang. Miss Stephanie gemetar bersemangat, dan
Miss Rachel menangkap bahu Dili. "Kau masuk ke halaman belakang dan tinggal di
sana," katanya. "Ada bahaya datang." "Ada apa?" tanyaku.
"Kau belum dengar" Sudah menyebar ke kota-" Pada saat itu, Bibi Alexandra datang
ke pintu dan memanggil kami, tetapi dia terlambat. Miss Stephanie dengan senang
hati memberi tahu kami: pagi tadi Mr. Bob Ewell mengadang Atticus di tikungan
kantor pos, meludahi mukanya, dan berkata akan membalasnya meskipun perlu seumur
hidup. " Dua Puluh Tiga ndai saja Bob Ewell tidak mengunyah tembakau," hanya itu yang dikatakan Atticus.
Namun, menurut Miss Stephanie Crawford, Atticus sedang keluar dari kantor pos
ketika Mr. Ewell menghampirinya, memakinya, meludahinya, dan mengancam akan
membunuhnya. Miss Stephanie yang, sejauh ini telah memberi tahu kami untuk kedua
kalinya bahwa dia ada di sana dan melihat semuanya, lewat sepulang dari Jitney
Jungle berkata bahwa Atticus tidak berkedip, hanya mengeluarkan saputangan dan
mengusap wajahnya dan berdiri membiarkan Mr. Ewell memakinya dengan sebutan yang
tak bisa diulanginya meskipun disiksa kuda liar. Mr. Ewell adalah veteran entah
perang yang mana; itu, ditambah reaksi damai Atticus, mungkin mendorongnya
bertanya, "Terlalu sombong untuk berkelahi, keparat penc'\r\ta-nigger?" kata
Miss Stephanie, Atticus berkata, "Tidak, sudah terlalu tua," memasukkan tangan
ke saku dan melanjutkan berjalan. Kata Miss Stephanie, kita harus memuji Atticus
Finch, dia tak berperasaan sekali kadang-kadang.
Aku dan Jem tidak merasa berita itu menghibur. "Eh, tapi," kataku, "dia pernah
jadi penembak terjitu di county. Dia bisa"
"Kau tahu dia tak akan membawa pistol, Scout. Punya pun tidak" kata Jem. "Kau
tahu dia bahkan tidak membawa pistol waktu di penjara malam itu. Dia bilang,
punya pistol adalah undangan bagi orang lain untuk menembakmu."
"Ini beda," kataku. "Kita bisa memintanya meminjam."
Kami mengusulkan hal itu padanya dan dia berkata, "Omong kosong."
Dili berpendapat bahwa permohonan yang menyentuh hati Atticus mungkin berhasil:
lagi pula, kami akan kelaparan jika Mr. Ewell membunuhnya, selain dibesarkan
semata-mata oleh Bibi Alexandra, dan kami semua tahu hal pertama yang akan
dilakukan Bibi Alexandra sebelum Atticus dikubur adalah memecat Calpurnia. Kata
Jem, upaya kami akan berhasil kalau aku menangis dan mengamuk karena aku masih
kecil dan anak perempuan. Itu juga tidak berhasil.
Tetapi, ketika melihat kami luntang-lantung di sekitar lingkungan kami, tidak
mau makan, tidak berminat pada kegiatan kami yang biasa, Atticus menyadari
betapa kami sangat ketakutan. Dia menggoda Jem dengan majalah football baru
suatu malam; ketika dia melihat Jem membalik-balik halaman dan melemparnya ke
samping, dia berkata, "Apa yang mengganggu pikiranmu, Nak?"
Jem langsung mengatakannya, "Mr. Ewell." "Apa yang terjadi?"
"Tidak ada. Kami merasa takut untukmu dan
menurut kami, kau mesti melakukan sesuatu tentang hal ini."
Atticus tersenyum getir. "Melakukan apa" Membuatkan perintah-berdamai?"
"Kalau seseorang bilang dia akan membunuhmu, sepertinya dia sungguh-sungguh."
"Dia sungguh-sungguh sewaktu mengucapkannya," kata Atticus. "Jem, coba bayangkan
berada pada posisi Bob Ewell sebentar. Aku menghancurkan serpih terakhir
kredibilitasnya pada pengadilan itu, kalau memang sebelumnya dia masih punya.
Dia harus membalas; orang seperti dia selalu begitu. Jadi, jika meludahi wajahku
dan mengancamku bisa menyelamatkan Mayella Ewell dari pemukulan lagi, itu
sesuatu yang kuterima dengan senang hati. Dia harus melampiaskannya pada
seseorang, dan aku lebih suka dia melampiaskannya padaku daripada anak-anaknya.
Kau mengerti?" Jem mengangguk.
Bibi Alexandra memasuki ruangan ketika Atticus sedang berkata, "Kita tak perlu
takut pada Bob Ewell, dia sudah melampiaskannya pagi ini."
"Aku tak akan terlalu yakin soal itu, Atticus," katanya. "Orang seperti dia akan
melakukan apa pun untuk membalas dendam. Kau tahu mereka seperti apa."
"Apa yang bisa dilakukan Ewell padaku, Dik?"
"Melakukan sesuatu dengan diam-diam," kata Bibi Alexandra. "Kau boleh yakin
itu." "Tak ada orang yang punya kesempatan untuk bertingkah dengan diam-diam di
Maycomb," jawab Atticus. Setelah itu, kami tidak takut lagi. Musim panas mulai berakhir, dan kami
memanfaatkannya. Atticus meyakinkan kami bahwa tak ada yang akan terjadi pada
Tom Robinson sampai pengadilan yang lebih tinggi menelaah kasusnya, dan bahwa
Tom punya kesempatan bagus untuk dibebaskan, atau setidaknya kembali mendapat
pengadilan. Dia berada di Penjara Enfield di Chester County, tujuh puluh mil
dari sini. Aku bertanya kepada Atticus apakah istri dan anak-anak Tom dibolehkan
menjenguknya, tetapi Atticus bilang tidak.
"Kalau dia kalah banding," tanyaku suatu malam, "apa yang akan terjadi padanya?"
"Dia akan dihukum mati," kata Atticus, "kecuali Gubernur memberikan grasi. Belum
waktunya cemas, Scout. Kita punya kesempatan bagus."
Jem tergolek di sofa sambil membaca Popular Mechanics. Dia mengangkat kepala.
"Ini tidak benar. Dia tidak membunuh siapa-siapa meskipun dia bersalah. Dia
tidak mengambil nyawa orang lain."
"Kau tahu perkosaan adalah pelanggaran yang bisa dijatuhi hukuman mati di
Alabama," kata Atticus.
"Ya, Sir, tetapi juri tidak perlu memberinya hukuman mati kalau mereka mau, beri
saja dia dua puluh tahun."
"Begitu, ya," kata Atticus. "Tom Robinson berkulit hitam, Jem. Tak ada juri di
bagian dunia ini akan berkata, 'Menurut kami, Anda bersalah, tapi tidak sungguhsungguh bersalah,' untuk tuntutan
seperti itu. Vonisnya harus tidak bersalah atau bersalah."
Jem menggeleng. "Aku tahu ini tidak benar, tetapi aku tak bisa mengerti apa yang
salah mungkin perkosaan jangan jadi pelanggaran yang diancam hukuman mati
Atticus menjatuhkan korannya di samping kursi. Dia berkata, dia tak punya
keberatan sama sekali tentang hukum perkosaan, sama sekali tidak, tetapi dia
sangat cemas ketika negara meminta dan juri memberikan hukuman mati berdasarkan
bukti tak langsung. Dia melirikku, melihat aku mendengar, dan memperjelasnya.
"maksudku, sebelum seseorang dihukum mati untuk pembunuhan, misalnya, harus ada
satu atau dua saksi mata. Seseorang harus bisa berkata, 'Ya, aku hadir dan
melihatnya menembak.111 "Tetapi banyak orang yang tewas di tiang gantungan digantung berdasarkan bukti
tak langsung," kata Jem.
"Aku tahu, dan sebagian besar mungkin pantas menerimanya tetapi tanpa saksi
mata, selalu ada keraguan, kadang-kadang hanya bayangan keraguan. Dalam hukum
terdapat istilah 'bisa disangkal', tetapi menurutku seorang terdakwa berhak
mendapat bayangan keraguan. Selalu ada kemungkinan, semustahil apa pun, bahwa
dia tak bersalah." "Semua kembali pada juri, kalau begitu. Juri mestinya disingkirkan saja." Jem
bersikeras. Atticus berusaha keras untuk tidak tersenyum, tetapi dia gagal. "Kau keras
sekali kepada kami, Nak. Kurasa mungkin ada jalan yang lebih baik. Mengubah hukum. Mengubahnya
supaya hanya hakim yang punya kekuasaan menetapkan hukuman dalam kasus dengan
ancaman hukuman mati."
"Jadi, pergi saja ke Montgomery dan ubah hukumnya."
"Kau akan terkejut kalau melihat bagaimana sulitnya. Aku tak akan hidup cukup
lama hingga hukum berubah, dan jika kau masih hidup saat melihatnya, kau pasti
sudah tua." Ini tidak cukup bagi Jem. "Tidak, Sir, juri seharusnya disingkirkan saja. Dia
sejak awal tidak bersalah dan mereka bilang dia bersalah."
"Andai kau menjadi anggota dewan juri itu, Nak, dan sebelas anak lain sepertimu,
Tom tentu sudah bebas," kata Atticus. "Sejauh ini tak ada hal dalam hidupmu yang
mengganggu proses nalarmu. Juri yang mengadili Tom terdiri dari dua belas lelaki
yang rasional dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kau melihat ada sesuatu yang
di antara diri mereka dan nalar. Kau melihat hal yang sama pada malam itu di
depan penjara. Ketika kawanan itu pergi, mereka tidak pergi sebagai orang yang
rasional, mereka pergi karena kita ada di sana. Ada sesuatu di dunia kita yang
membuat orang kehilangan akal mereka tak bisa adil meskipun sudah berusaha.
Dalam pengadilan kita, ketika kesaksian orang kulit putih dipertentangkan dengan
kesaksian orang kulit hitam, orang kulit putih selalu menang. Ini buruk, tetapi
inilah fakta kehidupan."
"Tidak berarti itu benar," kata Jem tanpa emosi.
Dia memukulkan kepalannya perlahan pada lutut. "Orang tak boleh menjatuhkan
vonis bersalah pada seseorang berdasarkan bukti seperti itu tidak boleh."
"Kamu tak bisa, tetapi mereka bisa dan mereka baru saja melakukannya. Semakin
bertambah usiamu, semakin banyak hal seperti ini kaulihat. Satu-satunya tempat
di mana seseorang semestinya mendapatkan keadilan adalah dalam ruang pengadilan,
baik kulitnya berwarna apa pun dalam pelangi, tetapi kebencian biasanya terbawa
ke dalam petak juri. Semakin kau dewasa, kau akan melihat orang kulit putih
menipu orang kulit hitam setiap hari dalam hidupmu, tetapi kau akan kuberi tahu
sesuatu dan jangan sampai kau melupakannya kapan pun seorang kulit putih
melakukan itu kepada orang kulit hitam, siapa pun dia, sekaya apa pun dia, atau
sebaik apa pun keluarga asalnya, orang kulit putih itu sampah."
Atticus berbicara begitu tenang sehingga kata terakhirnya menggebrak telinga
kami. Aku mendongak, dan melihat wajahnya berkobar. "Tak ada yang lebih
memuakkan bagiku daripada orang kulit putih bermutu rendah yang memanfaatkan
keluguan seorang Negro. Jangan membodohi diri sendiri semua ini menumpuk dan
suatu hari nanti kita akan menerima balasannya. Kuharap tidak dalam masa
kalian." Jem menggaruk kepala. Mendadak matanya melebar. "Atticus," katanya, "mengapa
orang-orang seperti kita dan Miss Maudie tidak pernah menjadi anggota juri" Kita
tak pernah melihat siapa pun dari
Maycomb menjadi juri mereka semua berasal dari hutan."
Atticus bersandar pada kursi goyangnya. Entah mengapa, dia tampak bangga kepada
Jem. "Aku bertanya-tanya kapan itu akan terpikir olehmu," katanya. "Ada banyak
alasan. Pertama-tama, Miss Maudie tak bisa menjadi juri karena dia perempuan"
"Maksudmu, perempuan di Alabama tak bisa?" aku marah.
"Benar. Kukira ini untuk melindungi perempuan kita yang rapuh dari kasus kotor
seperti kasus Tom. Lagi pula," Atticus menyeringai, "aku ragu apakah kita pernah
bisa merampungkan pengadilan suatu kasus kaum perempuan akan terus menyela untuk
bertanya." Aku dan Jem tertawa. Miss Maudie sebagai juri akan mengesankan. Kubayangkan Mrs.
Dubose tua dalam kursi rodanya "Hentikan ketukanmu, John Taylor, aku ingin
menanyakan sesuatu pada orang ini." Mungkin leluhur kami adalah orang-orang
bijak. Atticus berkata, "Dengan orang-orang seperti kita itulah sumbangsih kita.
Kita biasanya mendapatkan juri yang layak kita dapatkan. Warga Maycomb yang
gemuk tidak tertarik, sejak awal. Kedua, meO reka takut. Lalu, mereka"
"Takut, kenapa?" tanya Jem.
"Yah, bagaimana jika misalkan, Mr. Link Deas harus memutuskan jumlah denda yang
diberikan kepada, misalnya, Miss Maudie, kalau Miss Rachel menabraknya dengan
mobil. Link tak akan suka kehilangan langganan dari kedua orang itu di tokonya,
bukan" Jadi, dia bilang kepada Hakim Taylor dia tak bisa menjadi juri karena tak
ada orang yang bisa menjaga toko selagi dia pergi. Jadi, Hakim Taylor
mengizinkannya tidak menjadi juri. Kadang, dia mengizinkannya dengan marah."
"Apa yang membuatnya berpikir, mereka akan berhenti berdagang dengannya?"
tanyaku. Jem berkata, "Miss Rachel bisa begitu, Miss Maudie tak akan. Tetapi, pengambilan
suara juri itu rahasia, Atticus."
Ayah kami terkekeh. "Perjalananmu masih panjang, Nak. Pengambilan suara juri
semestinya rahasia. Menjadi juri memaksa seseorang menetapkan pikiran dan
menyatakan pendapatnya mengenai sesuatu. Orang tak suka berbuat itu. Kadangkadang, itu tidak menyenangkan."
"Juri Tom jelas menetapkan pikiran dengan terburu-buru," gerutu Jem.
Jari Atticus memegang saku-jamnya. "Tidak, mereka tidak terburu-buru," katanya,
lebih pada dirinya daripada kepada kami. "Itu satu hal yang membuatku berpikir,
baiklah, ini mungkin bayangan permulaan. Juri memerlukan beberapa jam. Hasilnya
mungkin vonis yang tak terelakkan, tetapi biasanya mereka hanya perlu beberapa
menit. Kali ini" dia berhenti dan memandang kami. "Kau mungkin ingin tahu bahwa
ada satu orang yang perlu dibujuk habis-habisan mulanya dia mau memberikan vonis
sama sekali tak bersalah." "Siapa?" Jem terkejut.
Mata Atticus berkelip. "Aku tidak boleh mengungkapkannya, tetapi kubilang
begini. Dia adalah salah satu teman Old Sarum-mu ..."
"Salah seorang Cunningham?" seru Jem. "Salah satu aku tak mengenali siapa pun ...
kau bercanda." Dia menatap Atticus lewat sudut matanya.
"Salah satu kerabatnya. Menurut firasat, aku tidak mencoretnya. Hanya menurut
firasat. Bisa saja aku mencoret namanya, tetapi tidak."
"Demi Musa," kata Jem khidmat. "Sesaat mereka mencoba membunuhnya dan sesaat
kemudian mereka mencoba membebaskannya ... aku tak akan memahami orang-orang itu
seumur hidupku." Kata Atticus, kita hanya perlu mengenal mereka. Katanya, keluarga Cunningham
tidak pernah mengambil apa pun dari siapa pun sejak mereka bermigrasi ke Dunia
Baru. Katanya, satu hal lagi tentang mereka adalah, begitu kau mendapatkan rasa
hormat mereka, mereka akan mendukungmu sepenuhnya. Atticus berkata, dia punya
firasat, tak lebih dari kecurigaan, bahwa mereka meninggalkan penjara malam itu
dengan rasa hormat yang besar bagi keluarga Finch. Waktu itu juga, katanya,
perlu petir dan Cunningham lain untuk membuat salah satu dari mereka berubah
pikiran. "Kalau kita punya dua di antara mereka di sana, mungkin juri tak akan
mencapai suara bulat."
Jem berkata lambat-lambat, "Maksudmu, kau benar-benar menjadikan seseorang yang
ingin membunuhmu malam sebelumnya sebagai anggota juri" Bagaimana kau mengambil
risiko itu Atticus, bagaimana bisa?"
"Kalau dianalisis, risikonya kecil. Tak ada bedanya antara satu orang yang akan
memberikan vonis bersalah dan orang lain yang juga akan memberikan vonis
bersalah, bukan" Ada perbedaan kecil terdapat antara orang yang akan memberikan
vonis bersalah dan orang yang agak terganggu pikirannya, bukan" Dia satu-satunya
ketakpastian dalam seluruh daftar juri."
"Dia apanya Walter Cunningham?" tanyaku. Atticus bangkit, menggeliat, dan
menguap. Sekarang waktu tidur kami memang belum tiba, tetapi kami tahu dia ingin


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesempatan membaca korannya. Dia mengambilnya, melipatnya, dan menepuk kepalaku.
"Coba kuingat," dia menggumam pada dirinya. "Dapat. Dia sepupu gandanya Walter
Cunningham." "Apa maksudnya?"
"Sepasang perempuan bersaudara menikah dengan sepasang laki-laki bersaudara.
Hanya itu yang kubilang kalian pikirkan sendiri."
Aku menyiksa diriku dan memutuskan bahwa jika aku menikahi Jem dan Dili punya
adik perempuan yang juga dinikahinya sendiri, anak-anak kami akan menjadi sepupu
ganda. "Astaga, Jem," kataku, ketika Atticus sudah pergi, "mereka orang aneh.
Bibi mendengarnya?" Bibi Alexandra sedang merajut permadani dan tidak melihat kami, tetapi dia
mendengar. Dia duduk di kursinya di samping keranjang jahitan, permadani
terbentang di pangkuannya. Mengapa perempuan merajut karpet wol pada malam-malam
yang sepa - nas air mendidih tak pernah jelas bagiku. "Aku dengar," katanya.
Aku ingat kejadian lama yang mendatangkan bencana ketika aku bergegas membela
putra Walter Cunningham. Sekarang, aku senang telah melakukannya. "Begitu
sekolah dimulai, aku akan mengajak Water makan di sini," aku berencana, lupa
dengan niat pribadiku untuk memukulinya begitu bertemu lagi dengannya. "Dia juga
bisa main ke sini setelah sekolah. Atticus bisa mengantarnya kembali ke Old
Sarum. Mungkin dia bisa menginap di sini kadang-kadang, ya Jem?"
"Kita lihat nanti," kata Bibi Alexandra, pernyataan yang kalau keluar darinya
selalu berupa ancaman, bukan janji. Kaget, aku berpaling kepadanya. "Kenapa
tidak, Bi" Mereka orang baik-baik."
Dia memandangku melalui bagian atas kacamata menjahit. "Jean Louise, di benakku
tak ada keraguan bahwa mereka orang baik-baik. Tetapi, mereka bukan orang
seperti kita." Kata Jem, "Maksudnya, mereka berisik, Scout." "Berisik bagaimana?"
"Ee, norak. Mereka suka bermain biola dan hal-hal seperti itu."
"Aku juga suka"
"Jangan konyol, Jean Louise," kata Bibi Alexandra. "Masalahnya, kamu bisa
menggosok Walter Cunningham sampai berkilap, kamu bisa memakaikan sepatu dan
kemeja baru, tetapi dia tak akan pernah menjadi seperti Jem. Lagi pula, ada
keturunan mabuk dalam keluarga itu selebar satu mil. Perempuan
Finch tidak tertarik pada orang semacam itu."
"Bibi," kata Jem, "dia belum sembilan tahun."
"Lebih baik dia belajar dari sekarang." Bibi Alexandra sudah memutuskan. Aku
teringat jelas ketika terakhir kali dia menegaskan pendapatnya. Aku tak pernah
tahu alasannya. Waktu itu perhatianku terserap dengan rencana mengunjungi rumah
Calpurnia aku ingin tahu, tertarik; aku ingin menjadi "tamu" nya, melihat cara
hidupnya, siapa teman-temannya. Sama saja mustahilnya dengan melihat sisi lain
bulan. Kali ini taktiknya berbeda, tetapi tujuan Bibi Alexandra sama. Mungkin
untuk inilah dia tinggal bersama kami untuk membantu kami memilih teman. Aku
akan bertahan selama mungkin, "Kalau mereka orang baik-baik, lalu kenapa aku
tidak boleh berbaik-baik dengan Walter?"
"Aku tidak bilang jangan baik-baik padanya. Kamu harus ramah dan sopan padanya,
kamu harus sopan kepada siapa pun, Sayang. Tetapi, kamu tak perlu mengajaknya ke
rumah." "Bagaimana kalau dia saudara kita, Bibi?"
"Kenyataannya, dia bukan saudara kita, tetapi andaipun ya, jawabanku tetap
sama." "Bibi," Jem berbicara, "kata Atticus, kita boleh memilih teman, tetapi jelas tak
bisa memilih keluarga dan itulah keluarga mereka, baik kita mau mengakuinya atau
tidak, dan kita akan kelihatan konyol sekali kalau tak mau mengakui."
"Lagi-lagi ayahmu," kata Bibi Alexandra, "Dan aku masih akan mengatakan bahwa
Jean Louise tidak akan mengundang Walter Cunningham ke rumah
ini. Andai dia sepupu ganda orangtuamu pun, dia tetap tak akan diterima di rumah
ini kecuali dia datang menemui Atticus untuk urusan bisnis. Nah, titik."
Bibi telah menyimpulkan "Jelas Tidak", tetapi kali ini dia mau memberi
alasannya, "Tetapi, aku ingin bermain dengan Walter, Bibi, kenapa tidak boleh."
Dia melepaskan kacamatanya dan menatapku. "Akan kuberi tahu alasannya," katanya.
"Karena dia itu sampah, karena itu kamu tak boleh bermain dengannya. Aku tak
membolehkanmu dekat-dekat dengan dia, meniru kebiasaannya, dan belajar entah apa
lagi. Sekarang saja kamu sudah cukup jadi masalah bagi ayahmu."
Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, tetapi Jem mencegahku. Dia menangkap
bahuku, melingkarkan tangannya pada tubuhku, dan memapahku yang menangis marah
ke kamarnya. Atticus mendengar kami dan melongokkan kepalanya lewat pintu.
"Baik-baik saja, Sir," kata Jem parau, "tidak ada apa-apa." Atticus pergi.
"Kunyahlah, Scout." Jem merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah permen Tootsie
Roli. Perlu waktu beberapa menit untuk menjadikan permen itu menjadi gumpalan
yang enak dalam rahangku.
Jem sedang mengatur ulang benda-benda di atas lemarinya. Rambut bagian
belakangnya ran-cung ke atas dan bagian depannya tersisir ke bawah, dan aku
bertanya-tanya apakah rambut itu akan pernah kelihatan seperti rambut lelaki
dewasa mungkin kalau dia mencukurnya habis dan menumbuhkannya lagi, rambutnya akan
tumbuh rapi. Alisnya semakin tebal, dan kulihat tubuhnya terlihat lebih ramping.
Dia semakin tinggi. Ketika dia berpaling, dia sepertinya menyangka aku akan menangis lagi, karena
dia berkata, "Kutunjukkan sesuatu kalau kau janji tidak bilang siapa-siapa." Aku
ingin tahu. Dia membuka kancing kemeja, menyeringai malu. "Apa?"
"Kamu tak bisa lihat"'
"Tidak." "Ini bulu." "Di mana?" "Di situ. Di situ itu." Dia sudah menghiburku jadi kukatakan bulu itu bagus,
tetapi aku tidak melihat apa-apa. "Bagus sekali, Jem."
"Di ketiakku juga," katanya. "Aku mau mencoba ikut tim football tahun depan.
Scout, jangan biarkan Bibi membuatmu marah."
Rasanya baru kemarin dia memberitahuku supaya tidak membuat Bibi marah.
"Kau kan tahu dia tidak terbiasa dengan anak perempuan," kata Jem, "setidaknya
dengan anak perempuan sepertimu. Dia mencoba membuatmu menjadi perempuan baikbaik. Memangnya kau tak bisa belajar menyulam atau sebangsanya?"
"Enak saja. Dia tidak suka padaku, itu intinya, dan aku tak peduli. Dia menyebut
Walter Cunningham sampah, itu yang membuatku marah, Jem, bukan tentang aku jadi
masalah buat Atticus. Kami sudah pernah meluruskan itu, aku tanya pada Atticus
apakah dia menganggapku masalah dan katanya tidak juga, paling juga masalah yang
selalu bisa dibereskannya, dan aku tidak usah cemas sedikit pun bahwa aku
mengganggunya. Nah, soal Walter anak itu bukan sampah, Jem. Dia bukan seperti
keluarga Ewell." Jem menendang sepatunya lepas dan mengayunkan kakinya ke tempat tidur. Dia
bersandar pada bantal dan menyalakan lampu baca. "Kau tahu sesuatu, Scout" Aku
sudah mengerti sekarang. Aku banyak memikirkannya akhir-akhir ini dan aku
mengerti sekarang. Ada empat jenis manusia di dunia. Ada jenis biasa seperti
kita dan para tetangga, ada jenis seperti Cunningham di hutan, jenis seperti
Ewell di tempat pembuangan sampah, dan orang Negro."
"Bagaimana dengan orang Cina, dan orang Ca-jun di Baldwin County sana?"
"Maksudku di Maycomb County. Masalahnya adalah, jenis manusia seperti kita tidak
suka Cun-nigham, Cunningham tidak suka Ewell, dan Ewell benci dan memandang
rendah orang berkulit hitam."
Aku bilang, kalau memang begitu, mengapa juri Tom, yang berisi orang seperti
Cunningham, tidak membebaskan Tom untuk membuat Ewell marah"
Jem mengabaikan pertanyaanku yang dianggapnya kekanak-kanakkan.
"Kau tahu," katanya, "Aku pernah melihat Atticus mengetukkan kaki ketika
mendengar musik biola di radio, dan dia menyukai kaldu lebih daripada orang lain yang pernah kulihat"
"Berarti itu membuat kita sama dengan Cunningham," kataku. "Aku tak mengerti
mengapa Bibi" "Sebentar, aku belum selesai memang kita sama, tetapi kita tetap beda, entah
bagaimana. Atticus pernah bilang, alasan Bibi begitu menonjolkan keluarga adalah
karena yang kita miliki hanyalah latar belakang, sedangkan keluarga kita tak
punya kekayaan sama sekali."
"Entahlah Jem, aku tak tahu Atticus pernah bilang padaku bahwa sebagian besar
urusan Keluarga Tua ini konyol karena keluarga semua orang di sini sama tuanya
dengan keluarga orang lain. Aku tanya, apakah itu termasuk orang kulit hitam dan
Orang Inggris, dan dia bilang ya."
"Latar belakang bukan berarti Keluarga Tua," kata Jem. "Kurasa itu berarti
seberapa lama keluargamu bisa membaca dan menulis. Scout, aku sudah
mempelajarinya matang-matang dan itu satu-satunya alasan yang terpikir olehku.
Suatu saat ketika keluarga Finch masih di Mesir, salah satu dari mereka mungkin
belajar hieroglif dan dia mengajari anaknya," Jem tertawa. "Bayangkan Bibi
bangga karena buyutnya bisa menulis dan membaca perempuan memilih hal-hal lucu
untuk dibanggakan." "Yah, aku senang kakek buyut kita bisa baca-tulis, sebab kalau tidak, siapa yang
mengajar Atticus dan saudara-saudaranya, dan kalau Atticus tidak bisa membaca,
kau dan aku pasti bermasalah. Rasanya bukan itu yang namanya latar belakang,
Jem." "Jadi, bagaimana kau menjelaskan mengapa keluarga Cunningham berbeda dengan
kita" Mr. Walter hampir tak bisa menuliskan namanya, aku pernah lihat. Kita
hanya sudah mahir menulis dan membaca lebih lama daripada mereka."
"Tidak, semua orang harus belajar, tak ada yang lahir sudah tahu membaca. Walter
itu sebenarnya pintar, dia hanya kadang-kadang tidak naik kelas karena dia harus
membolos dan membantu ayahnya. Tak ada yang salah padanya. Tidak, Jem, kukira
hanya ada satu jenis manusia. Manusia."
Jem berbalik dan meninju bantalnya. Waktu dia kembali tenang, mendung
menggantung di wajahnya. Mood-nya mulai turun dan aku jadi waspada. Alisnya
bertaut; bibirnya membentuk garis tipis. Dia membisu sejenak.
"Pikirku juga begitu," akhirnya dia berkata, "ketika aku seusiamu. Kalau hanya
ada satu jenis manusia, mengapa mereka tidak bisa rukun" Kalau mereka semua
sama, mengapa mereka merepotkan diri untuk saling membenci" Scout, kurasa aku
mulai mengerti sesuatu. Kurasa aku mulai mengerti mengapa Boo Radley tinggal
tertutup di rumah selama ini ... ka-re-na dia ingin tinggal di dalam."
Dua Puluh Empat alpurnia mengenakan celemeknya yang paling kaku. Dia membawa senampan kue
charlotte, mundur ke pintu ayun dan mendorong perlahan. Aku mengagumi betapa luwes dan
anggunnya dia menangani makanan lezat yang berat itu. Begitu pula Bibi
Alexandra, kukira, karena dia membolehkan Calpurnia melayani hari ini.
Kami sudah berada di ujung bulan Agustus, mendekati ambang September. Dili akan
berangkat ke Meridian besok; hari ini dia pergi bersama Jem ke Pusaran Barker.
Jem takjub bercampur marah saat mendapati tak ada seorang pun yang pernah mau
berepot-repot mengajari Dili berenang, keterampilan yang dianggap Jem sepenting
berjalan. Mereka melewatkan dua sore di sungai; karena mereka bilang akan
berenang telanjang dan aku tak boleh ikut jadi aku membagi saat-saat sepiku di
antara Calpurnia dan Miss Maudie.
Hari ini Bibi Alexandr dan kalangan misionarisnya sedang bertengkar hebat di
setiap sudut rumah. Dari dapur, aku mendengar Mrs. Grace Merriweather memberi
laporan di ruang duduk tentang kehidupan kumuh suku Mrunas, setidaknya begitulah
kedengarannya. Mereka menempatkan kaum perempuan di gubuk ketika waktunya tiba,
apa pun artinya itu; mereka tak memiliki nilai kekeluargaan aku tahu itu membuat
bibi stres mereka mengharuskan anak-anak menjalani ujian yang mengerikan ketika
mereka berusia tiga belas tahun; mereka merangkak bersama penyakit puru dan ulat
buah, mereka mengunyah dan meludahkan kulit pohon ke belanga umum lalu mabukmabukan dengan meminumnya.
Segera setelah itu, wanita-wanita terhormat itu berhenti mengobrol untuk
menikmati penganan. Aku tak tahu sebaiknya aku masuk ke ruang makan atau tetap di luar. Bibi
Alexandra menyuruhku bergabung dengan mereka saat menikmati penganan; tidak
perlu menghadiri bagian bisnis pertemuan, katanya aku pasti bosan. Aku
mengenakan baju Hari Minggu merah muda, sepatu, dan rok dalam, dan berpikir
bahwa jika aku menumpahkan sesuatu, Calpurnia harus mencuci bajuku lagi untuk
besok. Ini hari yang sibuk untuknya. Aku memutuskan untuk tidak masuk.
"Boleh kubantu, Cal?" tanyaku, ingin menolong. Calpurnia berhenti di ambang
pintu. "Diamlah seperti tikus di pojok itu," katanya, "dan kau boleh membantuku
mengisi nampan kalau aku kembali."
Dengung lembut suara perempuan mengeras ketika dia membuka pintu, "Wah,
Alexandra, aku belum pernah melihat kue charlotte seperti itu ... bagus sekali ...
aku tak bisa membuat kulitnya seperti ini, tak pernah bisa ... siapa yang
menyangka tart dewberry kecil ... Calpurnia" ... siapa sangka ... ada yang sudah cerita bahwa
istri pendeta ... tidak, eh iya, dan yang satu lagi belum berjalan ..."
Keributan itu menyurut, dan aku tahu mereka semua sudah dilayani. Calpurnia
kembali dan meletakkan poci perak berat ibuku pada nampan. "Poci kopi ini benda
langka," gumamnya, "sudah tak dibuat lagi sekarang ini."
"Boleh aku membawanya masuk?" "Asal kau berhati-hati dan tidak menjatuhkannya.
Letakkan di ujung meja dekat Miss Alexandra. Di sana dekat cangkir dan yang
lain. Dia yang akan menuangkan."
Aku mencoba mendorong pintu dengan pantat seperti yang dilakukan Calpurnia,
tetapi pintunya tidak bergerak. Dengan menyeringai, Calpurnia membukakannya
untukku. "Hati-hati, ya, berat. Jangan dilihat, biar tidak tumpah."
Perjalananku berhasil: Bibi Alexandra tersenyum cerah. "Tinggallah bersama kami,
Jean Louise," katanya. Ini bagian dari kampanyenya untuk mengajariku menjadi
perempuan terhormat. Sudah lumrah bahwa setiap nyonya rumah kalangan tersebut mengundang tetangganya
untuk menikmati penganan, baik mereka penganut Baptis atau Presbiterian, yang
menjelaskan kehadiran Miss Rachel (tidak mabuk), Miss Maudie, dan Miss Stephanie
Crawford. Agak gugup, aku duduk di sebelah Miss Maudie dan bertanya-tanya
mengapa kaum perempuan mengenakan topi hanya untuk pergi ke rumah seberang.
Sekelompok perempuan selalu
memberiku ketakutan samar dan hasrat kuat untuk berada di tempat lain, tetapi
perasaan ini adalah yang disebut Bibi Alexandra sebagai "manja".
Perempuan-perempuan ini tidak tampak kepanasan dalam balutan kain tipis bercorak
pastel: sebagian besar berbedak tebal tetapi tidak memakai pemerah pipi; satusatunya lipstik yang dikenakan di ruangan adalah Tangee Natural. Cutex Natural
berkilauan di kuku jari, tetapi perempuan-perempuan yang lebih muda mengenakan
Rose. Mereka menguarkan aroma wangi seperti surga. Aku duduk diam, setelah
menaklukkan tanganku dengan cara memegang lengan kursi erat-erat, dan menunggu
seseorang berbicara padaku.
Gigi palsu emas Miss Maudie berkelip. "Pakai-anmu bagus sekali, Miss Jean
Louise," katanya. "Di mana celanamu hari ini?"
"Di bawah baju saya." Aku tidak berniat melucu, tetapi mereka tertawa. Pipiku
memanas ketika aku menyadari kesalahanku, tetapi Miss Maudie memandangku dengan
serius. Dia tak pernah menertawakanku kecuali aku memang melucu.
Dalam keheningan tiba-tiba yang mengikuti, Miss Stephanie Crawford berseru dari
seberang ruangan, "Cita-citamu apa, Jean Louise" Pengacara?"
"Tidak, Ma'am, saya belum memikirkannya ..." jawabku, bersyukur bahwa Miss
Stephanie cukup baik hati untuk mengubah topik. Segera aku mulai memilih
pekerjaan yang kuinginkan. Perawat" Penerbang" "Ng
"Wah, kusangka kamu ingin menjadi pengacara, kamu sudah mulai menghadiri
pengadilan." Mereka tertawa lagi. "Stephanie itu kocak," kata seseorang. Miss Stephanie
tersemangati untuk meneruskan topik itu, "Kamu tak ingin menjadi pengacara?"
Tangan Miss Maudie menyentuh tanganku dan aku menjawab ringan, "Tidak, Ma'am,
saya ingin jadi wanita terhormat saja."
Miss Stephanie memandangku curiga, memutuskan aku tidak berniat kurang ajar, dan
memuaskan diri dengan, "Hm, kamu tak akan berhasil sampai kamu mulai lebih
sering mengenakan rok."
Tangan Miss Maudie menggenggam tanganku erat, dan aku tak berkata apa-apa.
Kehangatannya sudah cukup.
Mrs. Grace Merriweather duduk di sebelah kiriku, dan aku merasa akan sopan kalau
berbicara dengannya. Mr. Merriweather, seorang Metodis taat yang berada di bawah
tekanan, rupanya tak melihat adanya kesan pribadi dalam menyanyikan, "Anugrah
(grace) yang menakjubkan, betapa indah kedengarannya, yang menyelamatkan sampah
sepertiku ..." Namun, menurut pendapat umum Maycomb, Mrs. Merriweather telah
menyembuhkannya dari kebiasaan mabuk-mabukan dan menjadikannya warga yang cukup
berguna. Karenanya, pastilah Mrs. Merriweather adalah perempuan paling taat di
Maycomb. Aku mencari topik yang menarik baginya. "Apa yang kalian pelajari sore
ini?" tanyaku. "Oh, Nak, suku Mrunas yang malang," katanya,
dan langsung diam. Perlu sedikit pertanyaan lanjutan.


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata cokelat besar Mrs. Merriweather selalu berlinang air mata ketika dia
memikirkan kaum tertindas. "Tinggal di rimba tanpa siapa-siapa kecuali J. Grimes
Everett," katanya. "Tak ada orang berkulit putih yang mau mendekati mereka
kecuali J. Grimes Everett yang suci."
Mrs. Merriweather memainkan suaranya seperti organ: setiap kata yang
diucapkannya menerima ketukan penuh: "Kemiskinan ... kegelapan ... imora-litas tak
ada yang tahu selain J. Grimes Everett. Kamu tahu, ketika gereja menunjukku
untuk melakukan perjalanan ke tanah perkemahan itu, J. Grimes Everett berkata
padaku" "Dia ada di sana, Ma'am" Saya sangka"
"Pulang berlibur. J. Grimes Everett berkata padaku, katanya 'Mrs. Merriweather
kamu tak punya bayangan, tak punya bayangan, apa yang kita lawan di sana.' Itu
yang dikatakannya kepadaku."
"Ya, Ma'am." "Kukatakan padanya, 'Mr. Everett,' kataku, 'kaum perempuan di Gereja Episcopal
Metodis Maycomb Alabama Bagian Selatan mendukung Anda seratus persen.' Itu yang
kukatakan kepadanya. Dan kamu tahu, pada saat itu dan di situ juga aku bersumpah
dalam hatiku. Aku berkata pada diri sendiri, kalau aku pulang, aku akan memberi
ceramah tentang suku Mrunas dan membawa pesan J. Grimes Everett kepada Maycomb,
dan itulah yang kulakukan."
"Ya, Ma'am." Ketika Mrs. Merriweather menggeleng, ikal hitamnya bergoyang. "Jean
Louise," katanya, "kamu gadis beruntung. Kamu tinggal di rumah Kristiani bersama
orang Kristen dan di kota Kristen. Di sana di tanah J. Grimes Everette, tak ada
apa-apa kecuali dosa dan kekumuhan."
"Ya, Ma'am." "Dosa dan kekumuhan apa tadi Gertrude?" Mrs. Merriweather mengalihkan
perhatiannya kepada perempuan yang duduk di sampingnya. "Oh, itu. Aku selalu
bilang, maafkan dan lupakan, maafkan dan lupakan. Yang harus dilakukan gereja
adalah membantunya menjalani hidup Kristiani bagi anak-anak itu sejak sekarang.
Mestinya ada di antara kaum lelaki yang ke sana dan memberi tahu pendeta itu
untuk menyemangatinya."
"Maaf, Mrs. Merriweather," aku menyela, "kalian membicarakan Mayella Ewell?"
"May" Bukan, Nak. Istri orang kulit gelap itu. Istri Tom, Tom"
"Robinson, Ma'am." Mrs. Merriweather berpalin kembali ke tetangganya. "Ada satu
hal yang benar-benar kuyakini, Gertrude," dia melanjutkan, "tetapi, ada orang
yang tak melihatnya dengan caraku. Kalau kita memberi tahu mereka bahwa kita
memaafkan mereka, bahwa kita sudah melupakannya, maka seluruh hal ini akan
berlalu." "Ah Mrs. Merriweather," aku menyela sekali lagi, "apa yang akan berlalu?"
Sekali lagi dia berpaling kepadaku. Mrs. Merriweather termasuk orang dewasa
tanpa anak yang merasa perlu memakai nada suara yang berbeda saat berbicara
dengan anak-anak. "Tak ada apa-apa, Jean Louise," katanya, dengan perlahan dan
agung, "para tukang masak dan pekerja ladang hanya merasa tidak puas, tetapi
mereka sudah tenang sekarang mereka menggerutu sepanjang hari setelah pengadilan
itu." Mrs. Merriweather berpaling kepada Mrs. Farrow, "Gertrude, kubilang tak ada yang
lebih memecah perhatian daripada orang kulit hitam yang merajuk. Mulut mereka
turun sampai ke sini. Mengacaukan harimu kalau ada yang melakukannya di dapurmu.
Kau tahu apa yang kukatakan kepada Sophy-ku, Gertrude" Kataku, 'Sophy,1 kataku,
'kamu benar-benar tidak bersikap Kristiani hari ini. Yesus Kristus tak pernah
menggerutu dan mengeluh.' Dan tahu tidak, itu bermanfaat baginya. Dia mengangkat
pandangannya dari lantai dan berkata, "Tidak, Mrs. Merriweather, Yesus tak
pernah menggerutu.' Kuberi tahu ya, Gertrude, jangan pernah kau melepaskan
kesempatan bersaksi untuk Tuhan."
Aku teringat organ kecil kuno di gereja di Finch's Landing. Waktu aku masih
kecil sekali, dan aku bersikap baik seharian, Atticus mengizinkanku memompa
puputannya sementara dia memainkan lagu dengan satu jari. Nada terakhir akan
tetap terdengar selama masih ada udara yang menahannya. Mrs. Merriweather sudah
kehabisan udara, kukira, dan sedang memulihkan pasokannya ketika Mrs.
Farrow menyiapkan dirinya untuk bicara.
Mrs. Farrow adalah wanita yang berperawakan mengagumkan dengan mata pucat dan
kaki kecil. Rambutnya baru dikeriting sehingga menampakkan ikal-ikal kecil ketat
kelabu. Dia adalah perempuan kedua paling taat di Maycomb. Dia memiliki
kebiasaan aneh mengawali segala sesuatu yang dikatakannya dengan suara mendesis
lirih. "Sss Grace," ujarnya, "itu mirip dengan yang kubilang kepada Saudara Hutson
tempo hari. 'Sss Saudara Hutson,' kataku, 'sepertinya kita bertempur di pihak
yang akan kalah, kita akan kalah.' Kataku, 'Sss tak ada bedanya bagi mereka
sedikit pun. Kita bisa mendidik mereka sampai jengkel, kita bisa mencoba sampai
roboh mengkristenkan mereka, tetapi tak ada perempuan yang aman dalam tempat
tidurnya akhir-akhir ini.' Dia berkata padaku, "Mrs. Farrow, aku tak tahu akan
jadi apa masyarakat kita di sini.' Sss Aku bilang padanya, memang demikian
kenyataannya." Mrs. Merriweather mengangguk dengan bijak. Suaranya membubung di atas denting
cangkir kopi dan suara kecapan lembut dari para perempuan yang sedang mengunyah
hidangan lezat. "Gertrude," katanya, "aku bilang, yah, ada juga orang yang baik
tapi tersesat di kota ini. Baik, tapi tersesat. Orang-orang di kota ini yang
menyangka mereka berbuat benar, kataku. Nah, jangan sampai keluar dari mulutku
siapa orangnya, tetapi sebagian orang di kota ini menyangka mereka berbuat baik
baru-baru ini, padahal yang mereka lakukan hanyalah menggemparkan kota. Hanya
itu yang mereka lakukan. Mungkin kelihatan seperti tindakan yang benar pada saat
itu, aku tak tahu pasti, aku tidak memahami bidang itu, tetapi kemuraman ...
ketidakpuasan ... kuberi tahu saja, kalau Sophy-ku mempertahankan sikapnya sehari
lagi, aku pasti memecatnya. Tak pernah terpikir dalam otaknya itu bahwa satusatunya alasan aku mempekerjakannya adalah karena sekarang ini masa depresi dan
dia memerlukan upahnya yang sedolar seperempat setiap minggu."
"Makanannya bukan tongkat yang digelontor-kan, bukan?"
Miss Maudie yang bicara. Dua garis kencang muncul di sudut mulutnya. Sedari tadi
dia duduk diam di sampingku, cangkir kopinya seimbang di atas satu lutut. Aku
sudah lama ketinggalan jalinan percakapan, ketika mereka berhenti membicarakan
istri Tom Robinson, dan menyibukkan diri memikirkan Finch's Landing dan sungai.
Pemahaman Bibi Alexandra terbalik: bagian bisnis pertemuan itu membekukan darah,
jam sosialnya mengerikan.
"Maudie, aku yakin aku tak tahu apa maksudmu," kata Mrs. Merriweather.
"Aku yakin kamu tahu," kata Miss Maudie pendek.
Dia tak berkata apa-apa lagi. Kalau Miss Maudie marah, kata-katanya ketus dan
sedingin es. Sesuatu telah membuatnya sangat marah, dan mata kelabunya sedingin
suaranya. Mrs. Merriweather memerah, melirik kepadaku, dan membuang muka.
Aku tidak bisa melihat Mrs. Farrow.
Bibi Alexandra bangkit dari meja dan segera mengedarkan penganan, dengan rapi
menarik Mrs. Merriweather dan Mrs. Gates dalam percakapan cepat. Ketika dia
sudah membuat mereka asyik mengobrol dengan Mrs. Perkins, Bibi Alexandra
melangkah mundur. Dia memberi Miss Maudie pandangan terima kasih, dan aku
terheran-heran tentang dunia wanita. Miss Maudie dan Bibi Alexandra tak pernah
benar-benar dekat, dan sekarang Bibi mengucapkan terima kasih diam-diam kepada
Miss Maudie untuk sesuatu. Untuk apa, aku tak tahu. Aku cukup puas mengetahui
bahwa bisa saja Bibi Alexandra diserang cukup hebat sehingga dia berterima kasih
untuk bantuan yang diterimanya. Tak ragu lagi, aku harus segera memasuki dunia
ini, di mana pada permukaannya perempuan-perempuan wangi berayun perlahan,
mengipas gemulai, dan meminum air dingin.
Tetapi, aku lebih betah di dunia ayahku. Orang-orang seperti Mr. Heck Tate tidak
memerangkap dengan pertanyaan lugu untuk mengejek; bahkan Jem tidak sangat
kritis kecuali kita mengatakan sesuatu yang bodoh. Kaum perempuan tampaknya
hidup dengan sedikit menyimpan rasa takut pada kaum lelaki, tampak enggan untuk
menyetujui mereka sepenuh hati. Tetapi, aku menyukai kaum lelaki. Ada sesuatu
pada diri mereka, sebanyak apa pun mereka menyumpah dan minum dan berjudi dan
mengunyah tembakau; seberapa pun tak menyenangkannya mereka, ada sesuatu tentang
mereka yang kusukai secara naluriah ... mereka tidak "Munafik, Mrs. Perkins,
munafik sejak lahir," Mrs. Merriweather berkata. "Setidaknya kita tak menanggung
dosa itu di sini. Orang di utara membebaskan budak, tetapi tidak pernah terlihat
mereka duduk semeja dengan para bekas budak. Setidaknya kita tak menipu dan
berkata pada para budak, ya kalian sama baiknya dengan kami tetapi jangan dekatdekat. Di selatan sini kita hanya berkata, kalian hidup dengan cara kalian dan
kami hidup dengan cara kami. Kurasa perempuan itu, Mrs. Roosevelt, sudah
kehilangan akal benar-benar kehilangan akal, datang ke Birmingham dan mencoba
duduk bersama mereka. Andaikan aku Walikota Birmingham, aku tentu" Yah, kami
berdua bukan Walikota Birmingham, tetapi aku ingin menjadi Gubernur Alabama
kelak: aku akan membebaskan Tom Robinson begitu cepat sehingga Masyarakat
Misionaris tak akan punya waktu untuk mengatur napas. Calpurnia sedang berbicara
dengan tukang masak Miss Rachel tempo hari tentang betapa sulitnya Tom menerima
keadaan dan dia tidak berhenti berbicara sewaktu aku masuk ke dapur. Katanya,
tak ada yang bisa dilakukan Atticus untuk membuat penjara lebih mudah untuknya,
bahwa hal terakhir yang dikatakannya kepada Atticus sebelum mereka membawanya ke
penjara adalah, "Selamat tinggal, Mr. Finch, tak ada yang bisa Anda lakukan
sekarang, jadi tak ada gunanya mencoba." Kata Calpurnia, Atticus memberi
tahunya, bahwa pada hari mereka membawa Tom ke penjara, Tom sudah putus asa.
Kata Calpurnia, Atticus mencoba menjelaskan keadaan pada Tom,
dan bahwa dia harus benar-benar berusaha tidak kehilangan harapan karena Atticus
benar-benar mencoba membebaskannya. Tukang masak Miss Rachel bertanya kepada
Calpurnia mengapa Atticus tidak bilang saja ya kamu akan bebas, dan berhenti di
situ sepertinya itu akan menghibur Tom. Calpurnia berkata, "Karena kau tidak
tahu hukum. Hal pertama yang kaupelajari kalau berada dalam keluarga hukum
adalah bahwa tak ada jawaban pasti untuk apa pun. Mr. Finch tak bisa berkata
begitu kalau dia tidak yakin keadaannya memang begitu."
Pintu depan membanting dan kudengar langkah Atticus di ruang tamu. Secara
otomatis aku bertanya-tanya pukul berapa sekarang. Belum waktunya dia pulang,
dan pada hari-hari Masyarakat Misionaris berkumpul, dia biasa berada di kota
hingga hari gelap. Dia berhenti di ambang pintu. Topinya di tangan, dan wajahnya pucat.
"Permisi, Ibu-ibu," katanya. "Silakan dilanjutkan pertemuannya, jangan sampai
saya mengganggu. Alexandra, bisakah kau ikut denganku ke dapur sebentar" Aku
ingin meminjam Calpurnia beberapa lama."
Dia tidak melewati ruang makan, tetapi kembali ke ruang tamu dan masuk ke dapur
dari pintu belakang. Aku dan Bibi Alexandra menemuinya. Pintu ruang makan
terbuka lagi dan Miss Maudie bergabung dengan kami. Calpurnia sudah setengah
bangkit dari kursinya. "Cal," kata Atticus, "Aku ingin kau ikut bersamaku ke rumah Helen Robinson"
"Ada masalah apa?" tanya Bibi Alexandra, waspada melihat wajah ayahku.
"Tom meninggal." Bibi Alexandra meletakkan tangan ke mulutnya.
"Dia ditembak," kata Atticus. "Dia hendak kabur. Sewaktu jadwal olahraga. Kata
mereka, dia tiba-tiba berlari lintang pukang ke pagar dan mulai memanjatnya.
Tepat di depan mereka"
"Apakah mereka tidak mencoba mencegahnya" Tidakkah mereka memberi peringatan?"
suara Bibi Alexandra gemetar.
"Ya, penjaga berteriak agar dia berhenti. Mereka menembakkan beberapa kali ke
udara, lalu mereka pun menembaknya. Mereka mengenainya tepat ketika dia melewati
pagar. Kata mereka, andai dia punya dua tangan yang normal, dia sudah berhasil,
gerakannya demikian cepat. Tujuh belas lubang peluru di tubuhnya. Mereka tidak
perlu menembaknya sebanyak itu. Cal, aku ingin kau ikut bersamaku dan bantu aku
memberi tahu Helen."
"Ya, Sir," gumamnya, menggerapai celemeknya. Miss Maudie menghampiri Calpurnia
dan melepaskan ikatannya.
"Ini harus jadi yang terakhir, Atticus," kata Bibi Alexandra.
"Tergantung caramu melihatnya," kata Atticus. "Apa artinya seorang Negro,
kurang-lebih, di antara dua ratus narapidana" Dia bukan Tom bagi mereka, dia
narapidana yang hendak kabur."
Atticus bersandar pada lemari es, menaikkan kacamata, dan menggosok mata. "Kita
punya kesempatan baik," katanya. "Aku menceritakan pikiranku, tetapi aku tak
bisa dengan jujur mengatakan bahwa kita memiliki lebih dari kesempatan baik.
Kukira Tom sudah lelah menghadapi kesempatan yang diberikan orang kulit putih
dan lebih suka mengambil kesempatan sendiri. Siap, Cal?"
"Siap, Mr. Finch."
"Kalau begitu, ayo." Bibi Alexandra duduk di kursi Calpurnia dan membenamkan
wajah dalam tangan. Dia duduk diam, begitu diam hingga aku khawatir dia jatuh
pingsan. Kudengar Miss Maudie bernapas seolah-olah dia baru menaiki tangga, dan
di ruang makan para wanita mengobrol dengan gembira.
Kusangka Bibi Alexandra sedang menangis, tetapi ketika dia melepaskan tangan
dari wajahnya, dia tidak menangis. Dia tampak lelah. Dia berbicara, dan suaranya
datar. "Aku tak bisa bilang aku menyetujui segala yang dilakukannya, Maudie, tetapi dia
kakakku, dan aku hanya ingin tahu kapan ini akan berakhir." Suaranya meninggi,
"Ini mengoyak dirinya. Dia tidak banyak menunjukkannya, tetapi ini mengoyakngoyak-nya. Aku pernah melihatnya ketika apa lagi yang mereka inginkan darinya,
Maudie, apa lagi?" "Apa yang diinginkan siapa, Alexandra" Miss Maudie bertanya.
"Maksudku warga kota ini. Mereka mau saja membiarkan dia melakukan apa yang
mereka terlalu takut untuk lakukan sendiri mereka takut rugi. Mereka mau saja membiarkan dia
merusak kesehatannya untuk melakukan apa yang mereka takut lakukan, mereka"
"Jangan keras-keras, nanti terdengar," kata Miss Maudie. "Pernahkah kau
memikirkannya begini, Alexandra" Baik Maycomb tahu atau tidak, kami memberikan
penghargaan tertinggi yang bisa kami berikan kepada seseorang. Kami percaya dia
akan bertindak benar. Sesederhana itu."
"Siapa?" Bibi Alexandra tak pernah tahu bahwa sikapnya mirip dengan keponakannya
yang berusia dua belas tahun.
"Segelintir orang di kota ini yang berkata bahwa keadilan tidak ditandai dengan
Hanya Untuk Kulit Putih; segelintir orang yang berkata bahwa pengadilan yang
adil adalah untuk semua, bukan untuk kita saja; segelintir orang yang punya
cukup kerendahan hati untuk berpikir, ketika mereka melihat seorang Negro, aku
hadir hanya berkat kebaikan Tuhan." Ketegasan lama Miss Maudie kembali,
"Segelintir orang di kota ini yang punya latar belakang, itulah mereka."
Andai aku lebih memerhatikan, aku sudah punya sekeping informasi lagi untuk
menambah definisi Jem tentang latar belakang, tetapi kudapati diriku gemetar dan
tidak bisa berhenti. Aku sudah pernah melihat Penjara Enfield, dan Atticus
pernah menunjukkan lapangan olahraganya kepadaku. Ukurannya sebesar lapangan
football. "Jangan gemetar," perintah Miss Maudie, dan
aku berhenti. "Bangun, Alexandra, kita sudah cukup lama meninggalkan mereka."
Bibi Alexandra bangkit dan merapikan beberapa kerutan rusuk korset pada
pinggulnya. Dia mengambil saputangan dari ikat pinggang dan menyeka hidungnya.
Dia merapikan rambut dan berkata, "Apakah kelihatan?"
"Tidak sedikit pun," kata Miss Maudie. "Kau sudah tenang, Jean Louise?"
"Ya, Ma'am." "Mari kita bergabung dengan mereka," katanya suram.
Suara mereka seketika terdengar ketika Miss Maudie membuka pintu ke ruang makan.
Bibi Alexandra di depanku, dan aku melihat kepalanya mendongak ketika dia
melewati pintu. "Oh, Mrs. Perkins," katanya, "Anda perlu kopi lagi. Biar kuambilkan."
"Calpurnia sedang ada urusan sebentar, Grace," kata Miss Maudie. "Coba kuberikan
beberapa potong lagi tart dewberry ini. Kamu dengar apa yang dilakukan sepupuku
tempo hari, yang suka memancing itu"
Demikianlah mereka melanjutkan acara itu, menyusuri barisan wanita tertawa,
mengitari ruang makan, mengisi cangkir kopi, menawarkan kue, seolah-olah satusatunya yang harus disesali adalah musibah rumah tangga sementara karena
kehilangan Calpurnia. Senandung lembut dimulai lagi: "Ya, tentu saja, Mrs. Perkins, J. Grimes Everett
itu santo mar - tir, dia ... perlu menikah jadi mereka kabur... ke salon setiap Sabtu sore ... begitu
matahari terbenam. Dia tidur bersama ... ayam, sekerat penuh ayam sakit, kata Fred
itulah yang memulai, kata Fred ..."
Bibi Alexandra memandang ke seberang ruangan padaku dan tersenyum. Dia memandang
nampan kue di meja dan mengangguk padanya. Dengan hati-hati, kuangkat nampan itu
dan melihat diriku berjalan ke Mrs. Merriweather. Dengan tata krama terbaik di
depan tamu, aku bertanya apakah dia mau sepotong. Lagi pula, jika Bibi bisa
menjadi wanita terhormat pada saat seperti ini, aku juga bisa.
Dua Puluh Lima Jangan lakukan itu, Scout. Letakkan di tangga belakang." "Jem, kau sudah gila
apa?" "Kubilang, taruh di tangga belakang." Sambil menghela napas, aku meraup
makhluk kecil itu, meletakkannya di titian terbawah, dan kembali ke tempat
tidurku. September sudah tiba, tetapi tak ada jejak cuaca dingin yang datang


To Kill A Mocking Bird Karya Harper Lee di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersamanya, dan kami masih tidur di teras belakang yang berkawat. Kunang-kunang
masih sering terlihat, serangga malam dan serangga bersayap yang menabrak kawat
sepanjang musim panas belum pergi ke tempat mereka bersembunyi ketika musim
gugur tiba. Tadi seekor luing menemukan jalan masuk ke rumah: aku menduga, pengacau kecil
ini merayap naik tangga, dan melewati kolong pintu. Aku sedang meletakkan bukuku
di lantai samping tempat tidurku ketika melihatnya. Makhluk ini tidak lebih dari
seinci panjangnya, dan ketika disentuh, dia menggulung diri menjadi bola abu-abu
yang erat. Aku berbaring menelungkup, menjulurkan tangan ke bawah, dan menyodoknya. Ia
bergelung. Lalu, karena merasa aman, barangkali, ia perlahan meluruskan tubuhnya. Ia
berjalan beberapa inci dengan seratus kakinya dan aku menyentuhnya lagi. Ia
bergelung lagi. Merasa mengantuk, aku memutuskan menghabisinya. Tanganku tadi
hendak melumatnya ketika Jem berbicara.
Jem merengut. Barangkali ini bagian dari tahapan yang sedang dijalaninya, dan
aku berharap dia cepat-cepat melewati tahap itu. Dia memang tak pernah jahat
pada hewan, tetapi aku tak pernah tahu kebaikannya meliputi dunia serangga juga.
"Kenapa aku tidak boleh melumatkannya?" tanyaku.
"Karena mereka tidak mengganggumu," jawab Jem dalam kegelapan. Dia telah
mematikan lampu bacanya. "Rupanya kau sekarang sedang pada tahap anti membunuh lalat dan nyamuk," kataku.
"Beri tahu aku kalau kau sudah berubah pikiran. Tapi kuberi tahu satu hal, aku
tak mau cuma duduk-duduk dan membiarkan tungau menggigitku."
"Ah, diamlah," jawabnya mengantuk. Jem yang makin lama makin seperti perempuan
setiap hari, bukan aku. Merasa nyaman, aku berbaring telentang dan menunggu
tertidur, dan sementara menunggu aku memikirkan Dili. Dia telah meninggalkan
kami pada tanggal satu bulan ini dengan keyakinan teguh bahwa dia akan kembali
begitu sekolah bubar menurutnya, orangtuanya sudah mengerti bahwa dia senang
melewatkan musim panas di Maycomb. Miss Rachel mengajak kami naik
taksi ke Maycomb Junction, dan Dili melambai kepada kami dari jendela kereta api
sampai dia tak terlihat. Tetapi, dia tetap dekat di hatiku; aku merindukannya.
Dua hari terakhir saat dia bersama kami, Jem mengajarinya berenang. Aku tak bisa
tidur mengingat apa yang dikatakan Dili kepadaku.
Pusaran Barker berada di ujung jalan tanah yang merupakan cabang dari jalan raya
Meridian, sekitar satu mil dari kota. Untuk menuju ke sana, cara yang mudah
adalah dengan menumpang dari jalan raya pada gerobak kapas atau pada pengendara
mobil yang lewat. Jalan ke sungai itu pendek dan mudah dilalui, tetapi
memikirkan berjalan pulang sampai ke rumah pada waktu senja, ketika lalu lintas
sepi, bisa melelahkan, dan para perenang berhati-hati agar tidak tinggal hingga
terlalu larut di sana. Menurut Dili, dia dan Jem baru tiba ke jalan raya ketika melihat Atticus
mengemudi ke arah mereka. Dia sepertinya tak melihat mereka, jadi mereka berdua
melambai. Atticus akhirnya melambat; ketika mereka mengejarnya dia berkata,
"Sebaiknya kalian mencari tumpangan pulang. Aku belum akan pulang sekarang."
Calpurnia berada di kursi di belakang.
Jem protes, lalu memohon, dan Atticus berkata, "Baiklah, kalian boleh ikut
asalkan kalian tetap tinggal di mobil."
Dalam perjalanan ke rumah Tom Robinson, Atticus memberi tahu mereka apa yang
terjadi. Mereka belok dari jalan raya, melaju lambat
melewati tempat pembuangan sampah dan melewati rumah Ewell, menyusuri jalan
sempit ke kabin-kabin Negro. Kata Dili, sekumpulan anak kulit hitam sedang
bermain kelereng di halaman depan Tom. Atticus memarkir mobil dan keluar.
Calpurnia mengikutinya melalui gerbang depan.
Dili mendengarnya bertanya kepada salah seorang anak, "Di mana ibumu, Sam?" dan
mendengar Sam berkata, "Dia di rumah Sis Stevens, Mr. Finch. Mau kupanggilkan?"
Kata Dili, Atticus tampak ragu-ragu, lalu berkata ya, dan Sam berlari-lari
pergi. "Bermainlah lagi, anak-anak," kata Atticus kepada mereka.
Seorang gadis kecil menghampiri pintu kabin dan berdiri memandangi Atticus. Kata
Dili, rambutnya seperti gumpalan ekor kuda yang kecil dan kaku, setiap helainya
berujung pita cerah. Dia tersenyum lebar dan berjalan mendekati ayah kami,
tetapi dia terlalu kecil untuk menuruni tangga. Kata Dili, Atticus
menghampirinya, mencopot topinya, dan menawarkan jarinya. Anak itu menyambarnya
dan dia menolongnya menuruni tangga. Lalu, dia menyerahkan gadis itu ke
Calpurnia. Sam berlari-lari kecil di belakang ibunya ketika mereka muncul. Kata Dill, Helen
berkata, "Sore, Mr. Finch, silakan duduk." Tetapi, dia tidak mengatakan apa-apa
lagi. Atticus juga tidak berkata-kata.
"Scout," kata Dili, "dia langsung roboh ke tanah. Langsung roboh ke tanah, bagai
ada raksasa berkaki besar lewat dan menginjaknya. Langsung brek" kaki gemuk Dili
menghantam tanah. "Seperti
kalau kau menginjak semut."
Kata Dili, Calpurnia dan Atticus memberdirikan Helen dan setengah menggendong,
setengah membimbingnya ke kabin. Mereka lama tinggal di dalam dan Atticus keluar
sendirian. Ketika mereka mengemudi kembali melewati tempat pembuangan sampah,
sebagian anggota keluarga Ewell berteriak-teriak kepada mereka, tetapi Dili
tidak menangkap kata-katanya.
Maycomb tertarik pada berita kematian Tom selama mungkin dua hari; dua hari
cukup untuk tersebarnya informasi itu ke seluruh county. "Kamu sudah dengar
tentang" ... Belum" Katanya, larinya cepat sekali, mengalahkan kilat Bagi Maycomb,
kematian Tom itu sesuai dengan perkiraan. Tipikal seorang negro untuk lari
Bandit Penyulam 4 Candika Dewi Penyebar Maut X Kaki Tiga Menjangan 31

Cari Blog Ini