Ceritasilat Novel Online

Blind Date 3

Blind Date Karya Aliazalea Bagian 3


for you?" Kudengar suara ibuku yang berkat,a "Tita... Reilley cocok sekali untuk kamu.
Ibu dan Bapak setuju kalau kamu memilih dia."
Lalu kudengar suara Didi, yang berteriak dengan gemas, "Apa Mbak buta"!
Mbak perlu bukti apa lagi"! Go and get him or I swear I"m gonna kick your ass
when I see you again!" Selainkan tiga suara yang aku kenal itu, selebihnya hanya meneriakkan nama
Reilley berulang-ulang. "Reilley!!! Reilley!!! Reilley!!!" Bagaikan dia seorang
quarterback, yang sedang berdiri sambil membawa bola menuju touchdown.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terdiam, tetapi tiba-tiba kudengar Reilley
berkata dengan pelan. "What are you thinking?"
Aku menggeleng. Aku tidak mungkin menceritakan apa yang ada di pikiranku.
Kalau dia sampai tahu, aku yakin dia akan menghilang dalam sekejap mata.
Melihat tatapan mataku yang kosong, Reilley mulai kelihatan khawatir. "Look.
You don"t have to put my number under "Hunny Bunny" if you don"t like it. Kamu
ubah saja. Saya hanya bercanda. Bad joke, on my part. Here, kasih ke aku telepon kamu
nanti aku ubah nama untuk nomor tadi," ucapnya cepat, nadanya terdengar sedikit
kecewa. Ketika melihatku tidak juga bereaksi, kudengar dia menyumpah. Meskipun
pelan, aku bisa mendengarnya.
"Apa kamu baru saja menyumpah?" tanyaku, sambil menaikkan daguku
sedikit. Reilley awalnya hanya menatapku, tetapi kemudian dia mengangguk. "Yes,"
ucapnya, kemudian menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil menyisiri rambut
gelapnya dengan jari-jari tangan kanannya. Aku hampir tertawa melihat ekspresi
wajahnya, yang kelihatan sangat bersalah karena telah mengucapkan kata serapah
itu. "Aku sangka kamu nggak pernah menyumpah?" tanyaku, sambil memasukkan
telepon selular kembali ke tasku.
Reilley mengembuskan napasnya, sebelum menjawab, "I don"t. Cuma suka
kelepasan kalau lagi stres." Kemudian Reilley menatapku dengan mata melebar.
"Eh, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku nggak pernah menyumpah?"
"Kamu mengomeli Brandon ketika dia menyumpah saat kalian... errr... ketika
terakhir kali kamu ketemu dia," akhirnya aku berkata.
"Oh. Saya bahkan nggak ingat," balas Reilley. Dia kelihatannya bisa menerima
penjelasanku, walaupun wajahnya masih kelihatan bingung.
"Bisa dimengerti, soalnya kalian terlalu sibuk memukul satu sama lain
ketimbang memperhatikan hal lainnya." Mau tidak mau aku tersenyum mengingat
kejadian malam itu. Tiba-tiba aku teringat topik pembicaraan kami sebelum
Reilley mengalihkannya. "Memang saya bikin kamu stres, ya?" tanyaku, sembari mulai mengangkat
pisau dan garpu lagi dari meja, berniat meneruskan makan siangku.
Reilley terlihat menarik napas. "Nggak. Bukan kamu. Saya yang bikin diri saya
sendiri stres," jawabnya.
"Lho kok begitu?" Perlahan-lahan kupotong steak di piringku.
Reilley mengerlingkan matanya kepadaku. Seketika aku sadar, bulu mata
Reilley lebih lentik daripada bulu mataku. Digabung dengan mata birunya,
wajahnya tampak benar-benar sempurna. Aku masih menatap Reilley, menunggu
hingga dia menjelaskan alasan mengapa dia stres.
"Saya nggak pernah coba mendekati perempuan seperti kamu sebelumnya. Jadi,
saya nggak tahu apa yang harus saya kerjakan."
"Perempuan seperti saya" Memang saya seperti apa?" tanyaku bingung.
"Tipe perempuan yang sangat serius, sangat sukses, dan sangat mandiri," jawab
Reilley jujur. Aku tidak bisa berkata-kata. Aku tidak tahu bahwa seperti itulah image orang
tentang diriku. "Satu hal lagi, kamu orang Asia," tambah Reilley.
Aku tidak tahu, apakah aku harus tersinggung atau tidak ketika Reilley
menyebut rasku. Sejujurnya, isu ras bukanlah hal yang baru untukku. Banyak
temanku di bangku kuliah, yang mengatakan bahwa bangsa Asia adalah bangsa
yang patut ditakuti karena mereka selalu ada di mana-mana. Selain itu, ada juga
yang memandang orang Asia sebagai spesies yang sangat menarik karena terlihat
berbeda dengan mereka. Pendapat ini tentunya biasanya diutarakan oleh orangorang
non-Asia. Menurutku, Asia atau non-Asia tidak ada bedanya. Bukan ras yang
menentukan siapa kita, tetapi cara kita membawa dirilah yang menentukan siapa
kita. Akhirnya, aku memutuskan memberi Reilley kesempatan menjelaskan
pendapatnya. "Apakah ada yang salah karena saya orang Asia?" tanyaku, dengan
hati-hati. "Salah seorang teman saya mengatakan orang Asia sangat berbeda dengan
kami, orang Barat. Kebanyakan dari kalian selalu kelihatan serius... bahkan
sedikit bikin orang jadi segan. Kalian jarang berhubungan dengan orang di luar lingkaran
kalian sendiri." Aku mengangguk, dan menunggu, karena tampaknya Reilley belum selesai
dengan penjelasannya. Mungkin karena melihat wajahku yang tidak kelihatan
tersinggung, Reilley melanjutkan, "Teman saya yang lain mengingatkan saya harus
sangat berhati-hati dengan orang Asia karena budaya kalian lebih halus daripada
budaya kami. Jadi, itu sebabnya mengapa saya nggak pernah memberi kamu nomor
telepon saya. Saya nggak mau kelihatan memaksa."
Reilley kemudian terdiam, dan menatapku penuh harap. Aku pun terdiam
mencoba mencerna penjelasannya, yang terdengar cukup masuk akal. Dalam hati
aku menyumpahi acara TV, yang aku tonton beberapa hari yang lalu. Gara-gara
acara itu aku jadi berspekulasi bahwa Reilley adalah kembaran Scott Peterson, si
"Penjagal Istri". Tiba-tiba aku merasa sangat bersalah kepada Reilley karena
telah berprasangka buruk terhadapnya.
"Apakah saat ini kamu segan terhadap saya?" tanyaku, sepelan mungkin.
"Nggak... nggak juga. Nggak saat ini karena kamu kelihatan terlalu bingung dan
menggemaskan. Beberapa kali saya bertemu kamu, jujur saja saya agak segan
terhadap kamu." "Apa?" Aku tidak percaya Reilley mengatakan aku menggemaskan. Tidak
pernah ada orang yang menggunakan kata itu untuk melihatku. Lebih-lebih lagi,
aku tidak percaya ternyata aku telah membuat laki-laki berbadan tinggi besar ini
segan terhadapku. "Kamu kelihatannya siap menguliti saya hidup-hidup ketika saya tanya tentang
lettuce ke kamu," Reilley menjelaskan.
Aku mencoba mengingat-ingat ekspresi wajahku ketika pertama kali bertemu
Reilley. Aku hanya berhasil mengingat bahwa aku tidak bisa berkata-kata selama
beberapa detik karena tatapanku terpaku pada mata birunya. Mata biru yang
sekarang sedang menatapku dengan agak khawatir. Akhirnya, aku memutuskan
mendorong piringku yang masih setengah penuh ke tengah meja. Pikiranku terlalu
penuh untuk mencerna makanan. Reilley juga sudah berhenti makan, dan
menyingkirkan piringnya ke tepi meja.
"Kamu nggak menghabiskan lunch kamu?" tanya Reilley, sambil menunjuk
piringku. "Saya nggak bisa makan sekarang. Ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin
saya tanyakan ke kamu," balasku.
"Contohnya?" "Kamu sudah berapa lama jadi klien MBD?" tanyaku.
"Sejak 1 Januari," jawab Reilley.
"Kamu baru join tahun ini"!" aku terpekik.
Reilley mengangguk. Dia kelihatan siap menanyakan sesuatu, tetapi aku potong,
"Apakah kamu tahu, sayalah date kamu sebelum kamu bertemu saya?"
Reilley tersenyum simpul, dan berkata, "Feeling saya mengatakan itu kamu.
Deskripsi yang diutarakan MBD kepada saya cocok sekali dengan kamu."
Aku mengangkat alis kananku, dan Reilley melanjutkan penjelasannya. "MBD
memberitahu date saya bernama Titania, ras Asia, financial analyst, sedikit
lebih tinggi dari 160 sentimeter, umur 27, I mean 28 years old... Omong-omong, mengapa
kamu nggak bilang ketika bertemu saya kalau Christmas itu hari ulang tahun
kamu?" "Nggak sempat. Tunggu sebentar, kamu tahu itu dari mana?" tanyaku curiga.
Setahuku informasi yang biasanya diberikan MBD kepadaku tentang date-ku
hanyalah informasi mendasar seperti nama (tanpa nama akhir), umur (tanpa tanggal
lahir), penampilan fisik (misalnya, ketinggian), pekerjaan (bukan di mana tempat
bekerja), dan ras. Bagaimana mungkin dia bisa tahu tanggal lahirku"
"Agen saya di MBD keterlepasan. Tentu saja dia nggak sengaja, mereka terlalu
profesional untuk blak-blakan memberitahu ke saya." Reilley mencoba membela
agen kencan butanya, yang membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan dia ada
hubungan istimewa dengan orang itu, di luar hubungan antara agen dan klien.
Tibatiba muncul perasaan cemburu di benakku. Buru-buru kumarahi diriku sendiri,
dan mencoba membuang jauh-jauh perasaan yang tidak masuk akal itu.
Aku tidak tahu, ternyata aku sudah terdiam lebih lama daripada yang Reilley
harapkan. Aku baru bisa kembali fokus ketika kudengar Reilley menggerutu.
"Kamu harusnya memberitahu saya kalau hari itu adalah hari ultah kamu,"
ucapnya. "Memang mengapa?" tanyaku bingung.
"Karena saya ingin mengenal kamu lebih jauh." Cara Reilley mengatakannya
seakan-akan itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.
Aku menarik napas putus asa. Masih ada sejuta pertanyaan di dalam kepalaku,
tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Setiap kali aku akan menanyakan
sesuatu, Reilley akan membuatku bingung dan tidak bisa bernapas oleh
jawabanjawabannya. "Saya... saya nggak... maksud saya...," ucapku terbata-bata.
"God. Saya nggak percaya ternyata mereka benar." Kudengar Reilley
menggumam. "Mereka siapa?" tanyaku pelan.
"My brother and sisters. Mereka berkata, saya akan screw this one up really bad.
Mereka berkata, saya sebaiknya melupakan saja semua ini."
"Date ini?" Aku mencoba bersusah payah mengikuti jalan pikiran Reilley, yang
seakan-akan meloncat-loncat.
"Oh, screw this whole blind date shit," geram Reilley.
Aku sempat terkejut dengan sumpah serapah itu. Kelihatannya sekarang dia
sudah betul-betul stres, dan aku tidak tahu bagaimana mengatasi keadaan ini.
Sebelum aku menyadari apa yang telah aku lakukan, tanganku sudah melambai
untuk menarik perhatian Pierre.
Reilley yang melihatku melambai menatapku bingung. "Apa yang kamu
lakukan?" "Saya ingin minta bill," jawabku singkat.
"You"re leaving?" tanyanya, semakin bingung.
"No. We are," balasku. Reilley masih tetap menatapku bingung, tetapi kemudian
dia mengangguk. Aku berharap aku tidak salah menilai Reilley. Dia tipe pria
baikbaik, yang tidak akan menginterpretasikan kata-kataku sebagai suatu undangan
untuk melakukan hal yang tidka-tidak.
"How is everything?" tanya Pierre, yang tiba-tiba sudah berdiri di samping meja
kami. Seperti memahami bahwa aku tidak mengerti bahasa Prancis, Pierre
menggunakan bahasa Inggris. Dia kelihatan bingung melihat kedua piring kami
yang masih setengah penuh.
Aku tersenyum ramah kepadanya. "It was delicious. Bisa kami minta bill-nya?"
pintaku, sebelum Pierre berkata-kata lagi.
Pierre kemudian berlalu. Reilley tetap menatapku bingung, tetapi dia tidak
mengatakan apa-apa. Pierre kembali beberapa menit kemudian dengan membawa
dua tagihan. Seperti juga restoran-restoran lainnya yang telah direkomendasi
MBD, restoran Prancis ini juga tahu bahwa kami harus membayar tagihan kami
masingmasing. Kulihat Reilley mengeluarkan tiga lembar uang 50 dolar, dan berkata, "Ini untuk
bill kami berdua. Keep the change," ucapnya, lalu ia berdiri.
Aku hanya menatapnya penuh tanda tanya, tetapi dia tidak menghiraukanku.
Buru-buru kuangkat tasku dan melangkah ke luar restoran. Reilley berada tepat di
belakangku. Aku baru berhenti berjalan ketika kami sudah berada di luar restoran. "Kamu
tahu Crowne Park apartment, di daerah Country Club?"
"Yes," jawab Reilley ragu.
"Good. Saya tinggal di situ. Kamu bisa bertemu saya di sana, atau kamu bisa
mengikuti mobil saya." Nadaku terdengar sedikit memerintah, tetapi aku tidak
peduli. Aku harus mendapatkan jawaban atas semua pertanyaanku.
"Saya bertemu kamu di sana saja. Nomor apartemennya berapa?"
Kuberikan nomor apartemenku. Reilley tidak mencatatnya, dan dia tidak
memintaku untuk mengulangnya. Aku kemudian melangkah menuju mobilku.
Kulihat Reilley ragu sesaat, tetapi kemudian dia pun berjalan menuju Volvo SUV
berwarna perak yang diparkir cukup jauh dari mobilku.
7 Di Antara Hot dan Warm AKU sampai lebih dulu di apartemen, dan aku tahu kalau aku sudah setengah gila
karena mengundang laki-laki tidak dikenal datang ke apartemenku. Lebih gilanya
lagi, aku tidak tahu mengapa aku mengundangnya. Aku hanya tahu, aku ingin
mengenal Reilley lebih jauh. Tentu saja aku tidak bisa melakukannya kalau berada
di dalam restoran penuh orang yang bisa mendengar percakapan kami.
Aku sedang mencoba membereskan ruang TV atau ruang tamu di apartemen
agar kelihatan sedikit lebih rapi. Sejujurnya, aku belum sempat membersihkannya
setelah Didi pergi sekitar seminggu yang lalu. Ketika aku asyik dengan
pekerjaanku, kudengar pintu diketuk. Sekadar untuk berjaga-jaga, aku berteriak, "Who is it?"
"It"s Reilley."
Buru-buru kubuka pintu dan mempersilakannya masuk.
"Kamu harus lepas sepatu," ucapku ketika melihat Reilley akan melangkah
masuk ke apartemen dengan masih mengenakan sepatunya.
Selama beberapa detik Reilley menatapku bingung, kemudian melepaskan
sepatunya satu per satu. "Apakah sekarang saya boleh masuk?" tanyanya, dengan wajah yang kini
terlihat sangat terhibur oleh kelakuanku.
"Boleh," sahutku, sambil berjalan ke dapur. "Kamu mau minum atau makan
sesuatu?" "No, I"m fine," jawab Reilley.
Aku hampir saja menjatuhkan botol mountain dew, yang sedang aku pegang.
Terkejut karena suara itu terdengar persis di belakang telingaku.
"Jeeezzz... jangan mengagetkan orang begitu deh," omelku, sambil mengusapusap
dadaku. "Oh, sori. Didn"t mean to scare you," ucapnya, sambil tersenyum.
Aku buru-buru menuangkan satu gelas penuh mountain dew, dan berjalan
kembali menuju ruang TV. Reilley mengikutiku.
Aku duduk di satu ujung sofa, dan tanpa menunggu hingga dipersilakan dia
pun duduk di ujung satu lagi. Dia melepaskan jaket kulit yang dikenakannya, dan
sempat terlihat bingung di mana dia harus meletakkannya. Kuletakkan gelas berisi
soda di atas meja, dan mengambil jaket itu darinya untuk digantung di dalam
lemari dekat pintu masuk. Aku sedang melipat kedua kakiku di atas sofa ketika Reilley berkata,
"Apartemen kamu nyaman."
Aku mengangguk sambil mulai mendaftarkan pertanyaan-pertanyaan yang
ingin aku tanyakan kepadanya di dalam kepalaku. Menyadari bahwa aku sedang
mempersiapkan diri untuk menginterogasinya, Reilley menunggu. Dia
menyandarkan tubuhnya yan gbesar di bantal-bantal sofa. Tubuhnya
menghadapku, salah satu kakinya terlipat di atas sofa. Sejujurnya, dia kelihatan
cukup nyaman dengan sekelilingnya.
Kuangkat gelas berisi soda, dan setelah minum satu teguk aku pun mulai
dengan sesi tanya-jawabku. "Seingat saya, kamu bilang kamu nggak tinggal di
Winston, betul?" Reilley mengangguk. "Jadi, kamu tinggal di mana?" lanjutku. Aku yakin Sandra pasti sudah
memberitahuku dari mana Reilley berasal, tetapi aku tidak bisa mengingatnya.
"Saya ada rumah di Wilmington, tetapi sudah lama saya tidak tinggal di sana."
"Mengapa?" "Pekerjaan saya mengharuskan saya selalu travel. Don"t get me wrong, I love my


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

job, it"s just that I wish it would allow me more free time."
"Kamu computer programmer, kan?"
"Yep." "Kamu nggak kelihatan seperti computer programmer pada umumnya," ucapku.
"Oh, ya?" Kini wajah Reilley penuh senyum.
"Kamu terlalu atletis untuk seseorang yang mata pencahariannya duduk di
depan komputer sepanjang hari, kamu suka nonton football..."
"Saya dulu juga main di tim football Wake Forest University," Reilley memotong
kalimatku. "Oh?" Aku terkejut. Hla itu tampak terlihat dengan jelas dari tubuhnya yang
kelihatan superatletis dan tanpa lemak satu ons pun.
"Jangan tersinggung ya, tetapi kamu juga nggak kelihatan seperti seorang
financial analyst," sambung Reilley.
"Maksud kamu?" Aku terdengar sedikit tersinggung, tetapi Reilley
menganggap reaksiku lucu dan tertawa.
"Kamu terlalu hot untuk mengerjakan pekerjaan seserius itu." Hanya dengan
kata-kata itu, Reilley telah memadamkan semua kemarahan yang baru akan muncul
ke permukaan. "Oh... ya, saya nggak tahu kamu pakai kacamata." Reilley menunjuk
ke kacamata yang kupakai.
Otomatis aku langsung melepas kacamata itu, dan meletakkannya di atas meja.
Setidak-tidaknya sekarang aku sudah tahu bagaimana wajah date-ku, dan Reilley
duduk cukup dekat denganku sehingga aku tidak mengalami kesulitan membaca
ekspresi wajahnya. "Hei, mengapa dilepas?"
Aku mengangkat bahu. "Saya nggak memerlukannya lagi. Saya bisa melihat
kamu cukup jelas," jelasku.
"Saya suka kacamata itu di kamu. Bikin kamu kelihatan tambah seksi." Reilley
mengatakannya betul-betul sebagai pujian, bukan untuk menggodaku. Hanya
dalam hitungan detik kurasakan semua darah yang ada di tubuhku naik ke wajah,
dan akan membuat wajahku kelihatan seperti tomat.
"Jadi, seberapa sering kamu harus travel untuk pekerjaan kamu?"
Melihatku tidak bereaksi dengan komentarnya, dan justru mengganti topik
pembicaraan, Reilley kelihatan sedikit kecewa. Walaupun begitu, dia segera
mengatur ekspresi wajahnya dan menjawab pertanyaanku.
"Saya biasanya ada di luar delapan bulan dalam satu tahun."
"Delapan bulan"!" teriakku terkejut. Aku tidak pernah mendengar ada orang
yang bersedia travel sebegitu banyaknya karena pekerjaannya, kecuali mereka
sales representative. "Lho, bukankah kamu programmer" Bukankah mereka seharusnya
hanya duduk di belakang meja sehari penuh dan... mendesain program komputer?"
"Well, yes. Itu memang yang dikerjakan computer programmer pada umumnya.
Selain hal itu, saya juga melakukan aplikasi dan training program-program
tersebut," jelas Reilley.
Penjelasannya memang masuk akal. Hal ini membuatku semakin penasaran.
"Biasanya kamu pergi ke mana saja?"
"Kebanyakan sih di Continental U.S. dan Kanda, tetapi kadang-kadang saya
harus pergi ke Eropa atau Asia kalau memang ada masalah yang serius."
"Memang nggak ada ahli-ahli lain yang bisa menyelesaikan masalah-masalah
itu?" "Ada. Malahan cukup banyak."
"Apakah mereka harus travel sesering kamu?"
Reilley menggeleng. "Itu agak nggak adil, kan" Mengapa kamu nggak menolak saja kalau disuruh
travel lagi?" ucapku.
"Well, saya nggak bisa."
"Mengapa?" "Karena banyak dari program itu saya yang mendesain. Jadi, saya merasa
bertanggung jawab atas performa mereka." Reilley menutup pembahasan kami.
Awalnya aku hanya menatapnya, mencoba memahami kata-katanya. Aku tahu,
Reilley tampaknya sedang menyembunyikan sesuatu tentang pekerjaannya itu.
"Kamu nggak melakukan sesuatu yang ilegal, kan?" Nadaku terdengar sedikit
tajam daripada yang aku rencanakan.
Reilley tertawa melihat ekspresiku yang serius. "Saya pastikan semuanya
legallegal saja." Aku mengangguk. "Kamu biasanya membuat program apa?"
"Program yang biasanya digunakan dalam dunia finansial." Reilley lalu
menyebutkan salah satu software, yang kini aku gunakan di kantor untuk melakukan
perhitungan pinjaman kepada nasabah.
"Kamu yang mendesain software itu"!" teriakku terkejut.
Reilley terlihat terkejut dengan keantusiasanku. "Melihat reaksi kamu, saya
simpulkan kamu suka software itu?"
"I love it. Sangat user friendly," jawabku, masih mencoba menutupi kekagumanku
kepada Reilley. Ketika melihat Reilley akan mengatakan sesuatu, buru-buru aku potong dengan
pertanyaan lagi. "Siapa yang memaksa kamu join dengan MBD?"
Tentunya aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dia tahu taktikku untuk
menghindari pertanyaannya, tetapi dia tidak memaksa, malah justru mengalah dan
menjawab pertanyaanku. "Mengapa kami pikir harus ada yang memaksa saya?"
"You"re seriously asking me that question?" Kubuat nadaku agar terkesan
menggurui. Reilley mengangkat alisnya dan menunggu.
"Kamu punya pekerjaan yang mapan, punya rumah sendiri, penghasilan kamu
kelihatannya cukup sehingga kamu bisa beli mobil Eropa yang cukup mahal, kamu
nggak merokok, nggak kelihatan kesepian karena kamu punya teman untuk hang
out dan nonton sports, dan kamu hot," jelasku.
"Menurut kamu saya hot?" Reilley betul-betul terlihat terkejut.
Aku memutar bola mataku sebelum melanjutkan, "Saya yakin kamu nggak
punya masalah untuk menemukan perempuan dengan upayamu sendiri. Jadi, lakilaki
normal mana yang akan menghabiskan dua ribu dolar untuk bertemu dengan
perempuan kalau mereka bisa melakukannya sendiri, kecuali kalau ada yang
memaksa mereka?" Reilley terlihat menimbang-nimbang pertanyaanku, kemudian berkata, "Kamu
ingat Christine, adikku?"
"Dia memaksa kamu untuk join MBD?"
Reilley mengangguk pasrah. "Dia pakai bawa-bawa my mom dan Mary segala.
Rupanya dia melihat company itu dipromosikan di Oprah beberapa bulan yang lalu,
kalau nggak salah." Mau tidak mau aku tersenyum. Sepertinya orang-orang yang mengambil
jurusan psikologi memiliki kecenderungan menyukai Oprah.
"Dates kamu bagaimana sejauh ini?" tanyaku.
"Lumayan, tetapi nggak ada yang semenarik kamu."
Terakhir kali laki-laki yang mengatakan bahwa aku "hot", seksi, dan menarik,
dia akhirnya selingkuh dengan asistennya. Seperti ada embusan angin yang
menyapu tubuhku, aku menggigil.
"Saya lebih memilih jadi nggak "hot", nggak seksi dan membosankan," gerutuku.
"Kamu seharusnya belajar menerima pujian dengan senyuman dan kata terima
kasih, Titania," tegur Reilley.
"Ha... ha, saya mungkin akan mengikuti saran kamu kalau saja tidak karena
orang terakhir yang mengatakan hal yang sama adalah pacar saya selama tiga
tahun. Saya memergoki dia sedang ML dengan asistennya di kantornya pada suatu
malam ketika saya memutuskan untuk datang membawakannya makan malam,"
balasku sarkasme. "Oh, my God. I"m sorry I didn"t know," ucap Reilley, sambil bergeser di atas
sofa dan mendekatiku. "Not as sorry as I am," gumamku. Aku tahu, aku tidak sepatutnya mengatakan
ini semua kepada Reilley, tetapi kehadirannya seolah-olah telah menenangkanku
dan membuatku memercayainya. "Sori, saya seharusnya nggak menumpahkan
nonsense seperti ini ke kamu."
"Itu bukan nonsense." Suara Reilley menenangkanku. Tanpa kusangka-sangka
dia kemudian menarikku ke pelukannya. Setelah itu, ia menyandarkan tubuhnya ke
sofa sambil masih memelukku.
Aku sempat terkejut dengan tindakannya, tetapi aku lebih terkejut lagi dengan
reaksiku yang menerimanya dengan sepenuh hati. Sekali lagi aku bisa mencium
aroma Reilley yang maskulin. Kulitnya terasa hangat di bawah pipiku. Kutarik
napas dalam-dalam mencoba mengingat hal-hal yang ada di sekelilingku pada detik
ini, dan menyimpannya di dalam memoriku agar bisa mengingatnya kembali di
kemudian hari. "I"m guessing it was Brandon who did this to you?"
Aku mengangguk. Aku sudah tidak terkejut lagi ketika Reilley menyebutkan
nama Brandon. Reilley tampaknya memiliki memori yan gcukup kuat dalam
mengingat nama orang. "Saya seharusnya menghajar dia habis-habisan," geram Reilley.
"Ya. Seharusnya," balasku, kemudian tertawa. Reilley pun tertawa bersamaku.
"Oh... ya, aku harus mengatakan ke kamu bahwa aku sangat menikmati bagian
di mana kamu berkata ke dia untuk grow up."
Aku tertawa ketika mengingat kejadian malam itu. Aku ingat, Reilley sudah
menghilang ketika aku meneriakkan kata-kata itu. Kutarik tubuhku dari
pelukannya, dan menatapnya curiga. "Dari mana kamu tahu tentang itu, kamu kan
nggak ada di situ?" Reilley terlihat salah tingkah ketika menjawab. "Saya... saya... well you
see.... Saya nggak yakin bagaimana dia akan bereaksi. Jadi, saya menunggu saja to make
sure... to make sure bahwa kamu baik-baik saja."
"Were you there the whole time?" tanyaku terkejut. Aku bisa merasakan wajahku
mulai memerah. "Ya. Saya berdiri di belakang an Expedition. Jadi, kamu nggak bisa melihat
saya," jelas Reilley. Tentu saja aku nggak akan bisa melihatnya di belakang sebuah Expedition,
sebuah SUV dengan ukuran supertinggi dan besar.
"Sekarang, kamu mau nggak dating dengan saya?" Reilley terdengar serius
kembali. "Tentu saja saya mau. Are you kidding me" Saya belum bertemu dengan orang
yang mendekati kamu kepintarannya atau gantengnya dalam waktu lima bulan ini.
Kontrak saya dengan MBD sudah hampir habis, dan Sandra bakal membunuh saya
kalau sekali lagi saya hanya mengkategorikan kamu sebagai "warm" dan bukannya
"hot"!" teriakku frustrasi.
"Sandra itu siapa?"
"Agen saya di MBD," jawabku.
"Agen saya bernama Kim. Dia baik. Dia berkata kepada saya bahwa kamu
kemungkinan besar adalah kandidat terbaik untuk saya," ucap Reilley.
"Sandra juga berkata hal yang sama tentang kamu," balasku.
"So what do you think?" tanya Reilley.
"About what?" "About us." "What about us?" tanyaku bingung.
Reilley memutar bola matanya. "Apakah kamu mau lanjut dating dengan saya"
Apa saya ada di zona "hot" atau hanya "warm?""
Aku memikirkan jawabanku dengan saksama. "Kamu jelas-jelas lebih dari
"warm", tapi saya masih belum bisa bilang kamu "hot". Saya perlu waktu untuk
lebih mengenal kamu." "Cukup adil," balas Reilley.
Tiba-tiba kudengar suara perut Reilley berbunyi dengan cukup keras.
"Kamu lapar, ya?" tanyaku, sambil menatap wajahnya yang sedang tersenyum
malu. "Sedikit. Kamu ingat kan tadi saya nggak sempat menghabiskan lunch saya?"
"Oh... ya. Kamu seharusnya kasih tahu saya tadi. Jadi, saya bisa masak sesuatu
untuk kamu." Buru-buru aku bangun dari sofa dan berjalan ke dapur.
Kubuka lemari es dan memeriksa sisa makanan apa yang ada di situ. Ada sisa
lasagna yang aku buat tiga hari yang lalu, ada nasi goreng yang kubuat tadi
pagi, dan salad kentang sisa tadi malam.
"Oke, kamu mau lasagna, salad kentang, atau nasi goreng"!"
Kudengar langkah Reilley berjalan ke arahku. "Kayaknya saya bisa makan
semuanya deh, soalnya lapar banget," jawab Reilley.
Aku tertawa dan mengeluarkan piring berisi tiga potong besar lasagna dan
semangkuk besar salad kentang dari lemari es. Kulepaskan plastik yang menutupi
piring dan mangkuk itu, kemudian memasukkan lasagna ke dalam microwave untuk
dihangatkan. Kuaduk salad kentang dengan dua spatula kayu, kemudian
menambahkan sedikit merica di atasnya.Aku lalu mengambil dua piring makan dari
dalam lemari dan membagi salad kentang itu menjadi dua. Dengan sengaja aku
membuat porsi Reilley lebih banyak dibandingkan porsiku. Dari sudut mataku
kulihat Reilley sedang memperhatikanku dengan saksama. Aku langsung merasa
risi. "Sori, ya. Kamu hanya mendapatkan makanan sisa. Saya bisa sih memasakkan
kamu sesuatu, tetapi mendengar suara perut kamu kelihatannya lebih baik saya
kasih kamu makan sekarang sebelum kami mulai menyerang tetangga saya,"
candaku, yang diikuti suara tawa Reilley.
Kudengar bunyi bip... bip... bip... yang menandakan lasagna sudah siap
dikeluarkan dari dalam micromave. Aku mengangkat satu potong dan meletakkannya
pada piringku, kemudian mendorong dua potong lagi ke piring Reilley.
"Bisa tolong bawa piring-piring ini ke meja makan, saya akan bawa gelas dan
peralatan makannya." Reilley langsung mengangkat kedua piring itu, dan berjalan
menuju meja makan. Kuambil satu gelas tinggi, dua set garpu, dan pisau dari dalam laci. Setelah
itu, kubuka kulkas dan mengambil botol mountain dew yang tadi masih tersisa, dan
membawanya ke meja makan. Aku berjalan menuju ruang TV untuk mengambil
gelas berisi soda. Meja makanku bisa diduduki enam orang, dan Reilley memilih
duduk di ujung sementara aku duduk di sebelahnya.
"Go ahead." Dengan tanganku kupersilakan Reilley makan.
Tanpa pikir panjang lagi, Reilley langsung memakan lasagna dan salad kentang
yang aku hidangkan sampai bersih tidak bersisa.
"That was the best food I have ever tasted in a very long time," ucapnya
bersungguhsungguh. "Kamu nggak suka otak sapi yang tadi siang?" candaku.
"Makanan itu rasanya kayak dog food," gerutu Reilley.
"Penampilannya juga kayak dog food."
"Yeah, no kidding. You sure can pick your food." Reilley kemudian tertawa ketika
melihat ekspresi di wajahku yang terlihat agak tersinggung. "Apakah kamu yang
bikin lasagna dan salad kentang yang barusan saya makan?" sambung Reilley.
"Aku mengangguk. "Kamu suka masak, ya?" lanjutnya.
"Ya. Dulu saya suka masak untuk Br..." Aku menghentikan kata-kataku yang
baru saja akan mengatakan "Brandon". Kucoba memperbaikinya sebelum Reilley
sadar. "Untuk adik saya. Dia tikus percobaan saya."
Sekali lagi aku tidak bisa mengelabui Reilley. Dari wajahnya dia tahu bahwa aku
baru saja hampir salah bicara, tetapi dia tidak menanyakan hal itu.
"Apakah kamu sudah kenyang" Atau kamu mau saya panaskan nasi
gorengnya?" "Nggak... nggak.... Saya sudah kenyang. Thanks for the..." Reilley kemudian
melirik ke jam tangannya sebelum berkata, "Well... for that food."
Aku pun melirik ke jam yang ada di dapur. Ternyata sudah pukul lima sore.
"Oh, my God. Sudah pukul lima!" teriakku.
Reilley mengangguk, kemudian menguap.
"Sori, ya. Kamu pasti capek banget." Aku mencoba meminta maaf. "Apakah
kamu akan menyetir balik ke Wilmington setelah ini, atau kamu akan tinggal
bersama orangtua kamu di Winston?"
"Saya sebetulnya berencana ingin tidur di sini beberapa jam, kalau kamu nggak
keberatan. Orangtua saya sedang ada di Prancis bulan ini. Jadi, rumah mereka
kosong. I don"t feel like going there with nobody"s home."
Aku hampir saja meneriakkan, ?"Di sini" maksud kamu "apartemen saya?"!"
ketika mendengarnya mengatakan itu, tetapi kata-kata selanjutnya lebih menarik
perhatianku untuk diungkapkan. "Mengapa mereka ada di Prancis?" tanyaku
bingung. "Oh... mereka punya rumah di Nice. Mereka selalu pergi ke sana setiap bulan
Januari," jawab Reilley cuek.


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orangtua kamu punya rumah di Nice?" Bahkan orangtuaku yang
kehidupannya jauh di atas rata-rata tidak memiliki rumah di Nice atau bahkan di
luar Indonesia. Reilley mengangguk. "Di situlah saya belajar bahasa Prancis. Sayangnya nggak
sebaik Marcus atau Christine. Saya sudah sepuluh tahun ketika kami mulai
berlibur ke sana setiap musim panas. Mereka baru enam tahun, otak mereka bisa menyerap
informasi lebih cepat."
"Mereka kelihatannya dekat sekali."
"Siapa?" tanya Reilley.
"Marcus dan Christine."
"Oh, memang. Mereka selalu bikin aku dan Mary kesal karena itu. Mereka tidak
bisa dipisahkan. Suatu keajaiban sampai Christine bisa punya pacar, padahal dia
tinggal bersama Marcus. Dia sangat protektif theradap my mom dan Mary, tapi
paling parah terhadap Christine." Reilley menjelaskan semua itu sambil tersenyum
dengan tatapn mata yang tiba-tiba menjauh, seakan-akan dia sedang mengingat
sesuatu yang lucu. Aku dapat melihat bahwa dia mencintai keluarganya sedalam
aku mencintai keluargaku.
"Kelihatannya Christine juga begitu terhadap Marcus."
Reilley mengangguk, "Itu sebabnya mengapa Christine sekarang mengambil
gelar Master"s di Chapel Hill, padahal dia diterima di Columbia. Supaya dia bisa
dekat dengan Marcus."
Columbia adalah salah satu universitas swasta terbaik di U.S. yang rankingnya
cukup jauh di atas University of North Carolina Chapel Hill atau biasa disebut
Chapel Hill saja. Itu sebabnya aku agak terkejut dengan pilihannya ini. "Dia
diterima di Columbia?" tanyaku. Aku selalu berpikir adikku adalah orang
terpintar yang pernah aku temui, tetapi kelihatannya dia kalah pintar dengan Christine.
Reilley mengangguk. "Mereka memang suka bikin kesal, tetapi mereka berdua
memang pintar." Aku tertawa mendengar komentar Reilley. Kemudian kulihat Reilley menguap
dan aku tidak tega menolak permintaannya, yang kini terlihat tidak berdosa itu.
"Why don"t you go ahead and crash on my bed. I"ll clean up over here," ucapku.
Aku mengangkat piring kotor, lalu membawanya ke tempat cuci piring.
"Saya tidur di sofa kamu saja. I"ll be fine," balas Reilley, sambil mengangkat
piring dan gelasnya sebelum mengikutiku.
"Reilley, kamu kan tingginya lebih dari 190 sentimeter. Badanmu bakalan sakit
kalau tidur di sofa. Lagi pula, saya mau nonton TV dan saya nggak bisa nonton TV
kalau kamu tidur di sofa."
"Well... kalau begitu... makasih ya," ucap Reilley, kemudian menguap lagi.
"Terima kasih kembali. Sana pergi tidur!" Aku lalu mendorong Reilley keluar
dari dapur. "Masuk lewat pintu itu untuk ke kamar tidur saya. Kamar mandinya
juga di dalam sana," jelasku, sambil menunjuk ke arah pintu kamar tidurku.
"Apakah kamu perlu pakaian ganti?"
"Nggak perlu. Saya sudah bawa sendiri." Reilley kemudian keluar sebentar dari
apartemen dan kembali beberapa menit kemudian sambil menenteng tas yang
terbuat dari kanvas hitam. Dia lalu tersenyum kepadaku, kemudian menghilang ke
dalam kamar tidurku. Pelan-pelan kucuci piring dan gelas yang tadi kami gunakan. Ketika aku
mematikan keran air, aku bisa mendengar shower di kamar mandi sedang
dihidupkan. Pelan-pelan kulongokkan kepalaku ke dalam kamar tidur. Dari jendela
kamar tidur yang terbuka kulihat matahari sebentar lagi akan terbenam, dan hari
akan menjadi gelap. Buru-buru kututup kerai jendelaku dan kunyalakan lampu.
Kulihat ada kaus berwarna putih dengan celana piama berwarna abu-abu
terbentang di atas tempat tidurku yang berukuran Queen. Aku sedang
membereskan tempat tidur ketika Reilley keluar dari kamar mandi hanya
mengenakan celana dalam boxer briefs berwarna putih bersih, dan handuk ukuran
sedang berwarna putih tergantung di lehernya.
Aku menarik napas terkejut. Reilley juga kelihatan terkejut.
"Sori. Saya akan biarkan kamu tidur," ucapku, buru-buru keluar dari kamar
tidur dan menarik pintu kamar hingga tertutup.
Ketika sudah berdiri di ruang tamu baru aku bisa bernapas lagi. Aku mencoba
menenangkan dan mengingatkan diriku berkali-kali bahwa ini bukan pertama
kalinya aku melihat laki-laki hanya bercelana dalam. Aku bahkan pernah melihat
laki-laki dengan tubuh yang lebih bidang daripada Reilley, yang bertelanjang
dada. Jadi, mengapa aku harus panik" Satu-satunya jawaban yang keluar dari otakku
adalah bahwa terakhir kali aku melihat laki-laki bertelanjang dada sekitar
sembilan bulan yang lalu, dan laki-laki itu Brandon. Satu-satunya orang yang aku coba
lupakan selama sembilan bulan ini.
Aku kemudian duduk di sofa dan menyalakan TV, mencoba mencari channel
yang bisa menarik perhatianku. Aku hampir saja loncat dari sofa ketika mendengar
pintu kamar tidur dibuka.
"Titania, saya boleh buka jendela kamar tidur sedikit nggak?" Suara Reilley
terdengar agak ragu. "Errr... boleh. Apa heater-nya terlalu panas untukmu" Saya bisa turunkan
suhunya," balasku, setelah terdiam beberapa saat dan hanya menatap tubuhnya
yang kini telah tertutup kaus dan celana piama. Rasa kecewa karena tidak bisa
melihatnya bertelanjang dada lagi muncul di kepalaku.
"Nooo... the heater is fine. Saya hanya perlu udara segar kalau tidur."
Aku mengangguk. "Pukul berapa kamu ingin dibangunkan?"
"Sekitar pukul dua pagi kalau kamu masih terjaga. Nggak usah repot-repot,
saya bisa pasang alarm."
"Pukul dua pagi?" tanyaku terkejut. Dia ingin tidur di apartemenku, di atas
tempat tidurku semalaman" Sekali lagi aku harus menenangkan diriku. Ini bukan
pertama kalinya ada laki-laki yang menginap di rumahku. Brandon sering
menginap di rumahku ketika dia datang berkunjung ke D.C. Dia juga pernah
berkunjung ke apartemen ini dan menginap karena terlalu lelah untuk menempuh
jarak 30 menit pulang ke apartemennya.
Sambil pelan-pelan mendekatiku di sofa, Reilley menjelaskan situasinya.
"Pesawat saya ke New York berangkat besok pukul enam pagi dari Raleigh. Jadi,
saya sebaiknya berangkat sekitar pukul setengah tiga dari sini supaya nggak
terlambat." Meskipun aku berterima kasih atas informasi tersebut, kelihatannya Reilley
tidak menyadari alasan sebenarnya mengapa aku berteriak beberapa detik yang
lalu. "Berapa lama kamu akan ada di New York?"
"Selama weekend ini saja, untuk memberi training. Saya akan kembali Minggu
sore," jelasnya, sambil duduk di sofa dan menguap. Melihat Reilley seperti inil,
aku jadi ingat pendapatku tentangnya ketika pertama kali bertemu dengannya di Fresh
Market. Tiba-tiba aku ingin menyanyikan lagu "Ninabobo" untuknya.
"Oke," ucapku, lalu mengulurkan tanganku kepada Reilley, yang juga
mengulurkan tangannya kepadaku. Aku kemudian menuntunnya menuju kamar
tidur. Kulepaskan genggamanku pada tangannya, dan berjalan menuju jendela untuk
membukanya sedikit agar ada udara segar yang masuk. Ketika aku berbalik badan,
kulihat Reilley sedang menatap tempat tidur sambil mengerutkan keningnya.
"Apa ada masalah dengan tempat tidur?" tanyaku ragu.
"Kamu selalu tidur di sebelah kanan," ucap Reilley, kemudian menatapku. Aku
mengangguk. "Biar saya tidur di sebelah kiri, just in case kamu ingin tidur
sebelum saya bangun." Reilley kemudian berjalan menuju sisi kiri tempat tidur dan
menyingkapkan selimut, kemudian naik ke atas tempat tidur dan perlahan-lahan
membaringkan tubuhnya. "Ahhh... this is a good bed," gumam Reilley. Dia kemudian memutar kepalanya
dan mencium bantal yang menopang kepalanya. "And it smells like you," ucapnya
ceria, kemudian tersenyum padaku.
Aku hampir saja menangis ketika mendengar Reilley mengatakan kata-kata itu.
Dia benar-benar penuh perhatian dan tenggang rasa. Bahkan Brandon tidak pernah
peduli di sisi mana aku tidur, aku yang biasanya harus mengalah dan tidur di
sisi sebelah kiri kalau dia sedang menginap. Aku memiliki "aroma", begitu tadi
katanya" Aku tidak pernah tahu tentang itu. Brandon jelas-jelas tidak pernah
mengomentari "aroma"-ku.
"I hope it"s not a bad smell," balasku, sambil melangkah mematikan lampu kamar.
"Not at all. I love this smell. Been dreaming about it for the past few weeks
actually." Reilley kelihatan malu ketika mengatakannya.
Meskipun hatiku tiba-tiba berdebar-debar dengan kencang, aku berhasil
mengucapkan selamat malam mematikan lampu, dan meninggalkan kamar tidur
dengan selamat. Satu detik setelah aku melangkah kembali ke ruang tamu, telepon selularku
berbunyi. Aku buru-buru berjalan menuju ruang kerja, yang terletak berseberangan
dengan kamar tidur. Ternyata Didi yang meneleponku.
"Mbak... gimana date-nya?" Seperti biasa Didi terdengar antusias.
Aku mengempaskan tubuh ke atas kursi. "Kamu nggak bakalan percaya deh
dengan ceritaku." "What happened?" Tiba-tiba Didi terdengar khawatir.
"Aku bilang ke kamu kalau date aku namanya Francis, kan?"
"Ya...," jawaban Didi terdengar menggantung.
"Mau tahu nama lengkapnya siapa" Francis Winslow O"Reilley," ucapku,
menjawab pertanyaanku sendiri.
Didi terdiam beberapa saat, masih belum bisa mengerti teka-tekiku. Kemudian
dia menarik napas dan berteriak, "Nooo fucking way... Date Mbak itu Rielley"
Lakilaki sialan yang nggak pernah telepon itu?"
"Ya," jawabku. "Yang nomornya juga nggak bisa dihubungi?"
"Yep." "Yang mobilnya Volvo SUV?"
"Mm-ehm." "Yang matanya superbiru dan ganteng abis?"
Aku sempat tertawa sebelum menjawab, "He-eh... itu dia."
"Gilaaa... kok bisa sih?" teriak Didi.
"Aku saja bingung," jawabku.
"Terus bagaimana, cerita dong," pinta Didi. Aku bisa mendengar bunyi keran
air yang dinyalakan melalui speaker telepon. Kemungkinan besar Didi sedang
membuat makanan tengah malam favoritnya, yaitu mie instan.
"Kami ngobrol panjang-lebar," ucapku.
"He-eh," jawab Didi.
"Dia cerita tentang keluarganya," lanjutku.
"Oke," jawab Didi lagi.
"Pekerjaan dia, bla bla bla..."
"Well that"s a start." Kudengar bunyi keran air dimatikan, dan aku yakin Didi
sedang mengangkat panci ke atas kompor.
"Sekarang dia sedang tidur di atas tempat tidurku," ucapku tenang. Pada saat
itu juga aku bisa mendengar bunyi KLONTANG... yang cukup keras diikuti dengan
makian Didi sebelum dia berteriak, "He is doing whaaattt"!"
"Sedang tidur di atas tempat tidurku," ulangku, sambil tersenyum. Aku tahu
seharusnya aku tidak mengganggu adikku ini, tetapi terkadang aku hanya ingin
melihat atau mendengar reaksinya atas kata-kataku.
"Mbak nggak... maksud aku... aduh bagaimana omongnya ya. You know...
nggak..." Untuk pertama kalinya adikku tidak bisa berkata-kata.
"Nggaklah. Kamu gila. Mbak bisa digoreng Ibu dan Bapak," potongku karena
tidak tega mendengar Didi terbata-bata.
"Oh... phewww... tentu saja nggak. Aku nggak tahu mengapa aku berpikir
begitu." "Dia harus terbang besok pagi ke New York dari Raleigh. Jadi, daripada pulang
ke Wilmington, dia menginap di sini," jelasku.
"Dia tinggal di Wilmington" That"s a nice town to live in."
"Kamu tahu dari mana" Kamu kan nggak pernah ke sana?" Aku mendengar
bunyi plop... plop... plop... Kelihatannya Didi sedang membersihkan tumpahan air
dari pancinya dengan menggunakan napkin dapur bukan kain pel.
"Dawson"s Creek-lah. Mereka kan shooting di situ," jawab Didi seakan-akan dia
sedang mengemukakan fakta yang semua orang harus tahu, yakni tentang serial
anak ABG tahun 90-an itu.
"Aduuuhhh, adikku yang calon doktor ini kok otaknya penuh informasi nggak
berguna kayak begini sih?" candaku.
Didi tertawa kencang. Kemudian kudengar Didi menarik sesuatu yang
terdengar seperti kantong kripik.
"Kamu nggak jadi makan mie?" tanyaku.
"Nggak... gara-gara Mbak, aku nggak mood lagi bikin mie," omel Didi. Selang
beberapa detik dia berkata, "Mbak kok tahu sih kalau aku lagi ingin masak mie?"
Aku tertawa sebelum menjawab, "Memang ada makanan lain yang kamu bakal
makan selain mie kalau di rumah?"
"Hehehe... benar juga," ucap Didi tersipu-sipu. Kemudian kudengar bunyi
krauk... krauk... krauk... dan aku tahu Didi sudah berhasil membuka kantong
keripiknya dan sedang melahap isinya dengan membabi buta.
"Dia kerjanya apa, Mbak?" Suara Didi terdengar jelas ketika menanyakan ini.
Tampaknya dia mendengarkan nasihatku agar tidak berbicara ketika mulutnya
penuh dengan makanan. Aku lalu menceritakan segala sesuatunya tentang Reilley kepada Didi, yang
mendengarkan dengan saksama.
"Mbak bakal tidur dengan dia?" Didi terdiam setelah menanyakan pertanyaan
ini, kemudian baru melanjutkan, "Maksudku bukan tidur begitu. Maksudku tidur
betulan." "Nggaklah. Mbak tunggu saja sampai dia bangun baru Mbak tidur."
"Oh... ya sudah." Ketika Didi mengucapkan ini dia terdengar kecewa, tetapi aku
tidak berani menanyakan alasan di balik kekecewaannya itu.
Ketika aku selesai berbicara dengannya jam sudah menunjukkan pukul
sembilan malam. Perlahan-lahan aku bangun dari kursi dan berjalan ke luar ruang
kerja. Aku harus mandi. Sayangnya semua bajuku ada di kamar tidur, dan
satusatunya kamar mandi di apartemen ada di dalam kamar tidur. Mau tidak mau aku
berjalan ke sana. Perlahan-lahan kubuka pintu kamar tidur. Semuanya cukup gelap
kecuali penerangan dari sinar lampu jalan yang masuk melalui sela-sela kerai.
Udara di dalam kamar tidur terasa lebih dingin dibandingkan di ruang tamu karena
jendela yang terbuka. Aku berjalan menuju lemari pakaian dan menyalakan
lampunya. Aku melirik ke arah tempat tidur untuk meyakinkan sinar lampu tidak
mengganggu tidur Reilley. Aku tidak melihat ada gerakan apa pun. Aku juga tidak
mendengar suara mendengkur. Rupanya Reilley tipe orang yang tidur seperti orang
mati. Kuambil piyama tidurku dan celana dalam, kemudian aku mematikan lampu
dan berjalan menuju kamar tidur. Kunyalakan lampu kamar mandi dan buru-buru
masuk. Tidak lama kemudian aku sudah ada di dalam bathtub, dan air panas pun
mengucur dari shower membasahi seluruh tubuhku. Ketika aku akan mengambil
sabun, aku baru menyadari ada beberapa botol alat mandi yang bukan milikku.
Botol-botol itu semuanya produk laki-laki dengan brand designer terkenal. Aku
yakin satu botol produk itu bisa untuk membeli empat botol produk yang aku
gunakan. Kuambil botol shampo-ku dan menuangkannya sedikit pada telapak
tanganku sebelum mulai mengusapnya pada rambutku. Aku lalu mengambil botol
sabunku, menuangkan beberapa tetes pada sponge, kemudian mengusapkannya ke
seluruh tubuh. Selama melakukan itu semua, aku tidak bisa mengalihkan mataku dari produkproduk
mandi khusus untuk laki-laki yang terletak bersebelahan dengan produk
mandiku. Aku kemudian membilas bersih rambut dan tubuhku beberapa kali untuk
memastikan tidak ada busa sabun dan shampo yang masih tersisa. Setelah kulitku
bersih aku berdiri di bawah shower dan menikmati siraman air panas, yang cukup
bisa membuatku terasa nyaman. Rasa keingintahuan semakin mendorongku untuk
melakukannya. Akhirnya, aku menyerah untuk melawan rasa itu dan mengangkat
salah satu botol, membuka tutupnya, dan menghirup aromanya. Saat itu aku yakin,
aku baru saja meninggal dan masuk ke surga. Aroma yang keluar dari botol itu
adalah aroma Reilley. Aku tidak tahu berapa lama aku berdiri di bawah shower
dengan air yang masih mengalir sambil menciumi botol itu. Aku baru tersadar
ketika air yang tadinya panas kini mulai menjadi dingin, dan aku harus cepatcepat keluar dari bawah siraman air itu kalau tidak mau masuk angin.
Kuletakkan botol shampo Reilley dan mematikan shower, kemudian melangkah


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun dari bathtub. Kukeringkan semua bagian tubuh dengan handuk, kemudian
menyapukan lotion berbau melati pada seluruh tubuh dan mengenakan pakaian
tidur. Kukeringkan rambut dengan hair dryer, kemudian melangkah ke luar kamar
mandi. Kumatikan lampu dan berjalan sepelan mungkin menuju pintu kamar. Saat
itulah aku mendengar suara Reilley memanggil namaku. Suara itu terdengar cukup
jelas sehingga aku berpikir bahwa dia terbangun.
"Sori aku membuatmu terbangun," bisikku, dan berjalan menuju Reilley. Ketika
aku berada sekitar satu meter darinya, aku menyadari Reilley masih tertidur
lelap. Lho kok" ucapku dalam hati. Aku lalu menggeleng, berpikir bahwa aku pasti salah
dengar dan sekali lagi berjalan sepelan mungkin menuju pintu.
Baru saja aku berjalan satu langkah, aku mendengar suara Reilley lagi
memanggil namaku. "Titania," ucapnya dengan sangat jelas.
Penasaran aku lalu beranjak ke atas tempat tidur untuk memastikan apakah dia
masih terlelap atau tidak. Aku menahan berat tubuhku dengan kedua lenganku.
"Reilley kamu masih tidur?" bisikku. Wajahku hanya sekitar lima puluh
sentimeter dari wajahnya.
Tiba-tiba tangan Reilley terangkat dan memelukku dengan paksa.
"Hhhmmppp." Adalah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku karena tiba-tiba
aku sudah terbaring di atas tempat tidur dalam posisi yang agak janggal. Bagian
atas tubuhku ada di tempat tidur, sedangkan kedua kakiku masih tergantung keluar
dari tempat tidur. Sekarang aku yakin Reilley barusan mengigau. Aku berusaha
melepaskan diri tanpa membangunkannya. Kudorong tubuhku untuk menjauhinya,
tetapi Reilley justru menarikku lebih erat. Kucoba menggulingkan tubuhku, yang
juga tidak membuahkan hasil. Kini posisiku malah jadi tengkurap di atas dada
Reilley. Hanya tinggal pergelangan kakiku yang masih menjulur keluar dari atas
tempat tidur. Aku berdiam diri selama beberapa detik untuk mempertimbangkan langkah
yang akan aku lakukan. Bahkan dalam tidur aroma Reilley masih cukup kuat. Aku
bisa merasakan denyut jantungnya di bawah pipiku. Kututup mataku untuk
menghirup aroma Rielley dalam-dalam. Memasukkannya ke dalam semua indraku
dan menguncinya di dalam memoriku. Kutarik napas panjang. Satu kali... dua
kali... tiga kali... empat kali....
8 Reilley vs Brandon HELLO moto... moto... moto... aku terbangun karena mendengar deringan telepon
selularku. Aku meraba-raba di atas tempat tidur mencari telepon itu. Tanpa
melihat ke layarnya aku langsung menjawab telepon itu.
"Hello," ucapku. Suaraku masih serak.
"Hei... sori membangunkan kamu. Kamu kan minta aku telepon begitu
mendarat." Begitu mendengar suara itu kantukku langsung hilang.
"Kamu telat nggak?" tanyaku, terdengar agak khawatir karena dia terlambat
setengah jam berangkat dari rumahku.
"Nggak," jawab Reilley, kemudian tertawa. Samar-samar aku mendengar suara
perempuan mengumumkan sesuatu melalui speaker. Reilley sudah sampai di New
York dengan selamat, pikirku.
"Kamu ngebut, ya?"
"Sedikit." Reilley tertawa terkekeh-kekeh.
Mau tidak mau aku tertawa juga mendengarnya. Ia sudah sangat ceria pada
pukul delapan pagi. "Have a safe drive to the city, okay." Aku berusaha
terdengar ceria juga. Kudengar Reilley tertawa. "I will. Ketemu kamu hari Minggu, ya," ucapnya.
Kemudian disusul dengan, "Holy shit."
Aku langsung bangun dari posisi tidurku. "Reilley, ada apa?" tanyaku khawatir.
"Dingin banget di sini, gila," jawabnya sambil tertawa, aku pun tertawa. Aku
bisa mendengar bunyi klakson dan kesibukan airport JFK.
"Ketemu kamu hari Minggu," ucapku.
"Apa kamu bilang"!" teriak Reilley.
"Aku bilang ketemu kamu hari Minggu!" teriakku.
"Ya, sampai bertemu nanti!" jawabnya, juga dengan berteriak. Setelah itu,
sambungan itu terpupus. Kuletakkan telepon selular itu di atas tempat tidur dan mengusap mataku,
mencoba mengusir kantuk yang masih tersisa. Tiba-tiba telepon selular itu
berbunyi lagi. Kulirik nama yang sedang berkedip-kedip di layar.
"Ada apa, Di?" ucapku pada adikku.
"Dia sudah pergi, kan?" sahut Didi.
Dalam hati aku menggeram. Tentu saja Didi mau tahu segala sesuatu tentang
apa yang terjadi selepas pukul sembilan malam kemarin ketika aku menutup
telepon darinya. "Sudah. Barusan dia telepon, katanya baru saja sampai di JFK,"
jawabku pasrah. "Aaa... nnnddd?" Meskipun aku tidak sedang bertatap muka dengannya, aku
tahu Didi pasti baru saja memutar bola matanya karena tidak sabaran.
"Kamu kok tumben sih sudah bangun jam segini" Biasanya kamu tidur sampai
siang kalau hari Sabtu," gerutuku.
"Aku nggak bisa tidur tadi malam memikirkan Mbak dan Reilley," balas Didi,
nadanya seolah-olah informasi itu sudah cukup memberikan penjelasan. "Jadi,
bagaimana?" desaknya lagi.
"Aku tidur bersama dia," ucapku. "Maksud aku satu tempat tidur," lanjutku.
Aku menelentangkan tubuh dan menatap langit-langit kamar yang berwarna biru.
"Oh... my... gawd," teriak Didi.
Lalu aku menceritakan kejadian semalam, di mana Reilley menarikku ke dalam
pelukannya ketika masih tidur dan tidak melepaskanku lagi. Aku pun akhirnya
tertidur dalam posisi itu dan terbangun beberapa jam kemudian oleh sinar lampu
yang berasal dari kamar mandi. Aku menyadari Reilley sudah tidak ada di atas
tempat tidur. Aku memutar tubuh dan melihatnya sedang mengenakan pakaian di
dalam gelap hanya dengan bantuan sinar lampu kamar mandi, yang pintunya
dibiarkan setengah terbuka.
"Pukul berapa sekarang?" tanyaku kepadanya, dengan suara masih mengantuk.
Reilley kelihatan terkejut ketika mendengar suaraku, kemudian dia berkata,
"Apakah saya membangunkan kamu?" Nadanya penuh meminta maaf.
"Nggak kok," jawabku, kemudian bangun dari tempat tidur dan menyalakan
lampu kamar. Aku harus memicingkan mata dan membiasakan dengan sinar lampu
yang tiba-tiba menerangi kamar. Jam beker menunjukkan pukul tiga pagi.
"Kamu telat," teriakku. "Sori, aku lupa menyetel alarmnya," lanjutku mencoba
meminta maaf. Reilley sedang memasukkan lengannya ke dalam sweater berwarna hitam
dengan leher berbentuk V. Dia mengenakan kemeja putih dengan garis-garis biru di
balik sweater itu. Dia berhenti sesaat dan menatapku.
"Don"t worry about it," ucapnya. Ia menampilkan senyumnya, yang seakan-akan
lebih mematikan karena sekarang kami sedang berada di kamar tidur dengan
penerangan lampu agak kekuning-kuningan sehingga membuat suasana jadi terasa
agak sedikit sensual. "Apakah kamu ada rencana hari Minggu malam?" tanyanya, sambil berjalan
menuju tempat tidur. Ia duduk di atasnya, dan mengeluarkan sepasang kaus kaki
berwarna hitam dari suka celananya.
Aku mencoba berpikir, apakah aku ada rencana pada hari Minggu malam.
"Kayaknya nggak ada," jawabku akhirnya.
"Good. Saya berencana akan mengajak kamu dating lagi."
"Oh... well... actualy that would be nice," ucapku terbata-bata. Reilley
tersenyum melihat reaksiku. "Kamu pilih restorannya. Pesawat saya mendarat sekitar pukul empat di
Raleigh. Saya akan sampai di sini sekitar pukul enam." Reilley tidak menatapku
ketika mengatakan itu semua, perhatiannya fokus pada kegiatannya memakai kaus
kaki. Mengetahui bahwa dia harus menempuh jarak dua jam lagi untuk bertemu
denganku, aku merasa tidak tega. "Apakah kamu yakin ingin bertemu saya lagi?"
Sepasang mata birunya langsung menatapku. Dia kemudian bangun dari
tempat tidur dan berjalan ke arahku. Meskipun langkahnya perlahan, aku merasa
agak sedikit terancam sehingga aku harus mundur selangkah. Melihat langkah
mundurku, Reilley berhenti melangkah dan berdiri diam sambil menatapku.
"I don"t know about you, but I like what we did last night. So I am looking
forward to doing that again," ucapnya.
Apakah yang kami lakukan tadi malam" pikirku dalam hati. Seingatku kami
hanya mengobrol, lalu aku membuatkan dia makan malam. Setelah itu, dia tidur
dengan aku di dalam pelukannya. Mau tidak mau aku langsung mengalihkan
perhatian pada tubuhku. Ternyata aku masih memakai piama, yang aku kenakan
tadi malam, dan pakaian dalamku pun masih lengkap. Phewww... itu berarti kami
tidak melakukan apa-apa. Baru kemudian aku menyadari, Reilley telah salah mengartikan pertanyaanku
sebagai suatu penolakan. Mau tidak mau aku tertawa. Reilley menatapku bingung,
dia kelihatan agak jengkel dengan reaksiku.
"Ada apa kamu tertawa?" tanyanya datar.
"Saya nggak pernah bertemu laki-laki seganteng kamu, yang nggak yakin
akan... akan kemampuannya untuk... untuk dazzle perempuan dan menyetujui apa
pun yang dia katakan," jawabku, di antara tawaku.
"Kelihatannya ada seorang perempuan yang jaid pengecualian."
Mendengarnya menggerutu karenaku, membuat tawaku yang tadinya sudah
cukup reda muncul kembali. "Kamu nih memang lucu," ucapku kemudian.
Reilley menatapku sambil mengernyit. Melihat bahwa dia betul-betul
tersinggung dengan reaksiku, aku pun berjalan ke arahnya dan memeluknya. Tubuh
Reilley langsung menjadi sedikit kaku karena terkejut.
"Saya bertanya soal itu karena saya pikir kamu mungkin capek setelah
penerbangan, tetapi kalau kamu memang ingin bertemu I would definitely love to
have you around," ucapku pelan.
Pelan-pelan kurasakan tangan Reilley membalas pelukanku. Mungkin ini hanya
perasaanku saja, tetapi aku merasa Reilley sedang menghirup aromaku
sedalamdalamnya. Aku pun melakukan hal yang sama.
"Boleh nggak saya kasih usul untuk date ini?" Kulonggarkan pelukanku pada
tubuh Reilley, dan mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya.
"Boleh." "Aku usul kita makan di rumah. Saya akan masak sesuatu untuk kamu."
"Kamu mau masak?" tanya Reilley, nadanya terdengar ragu.
Mendengar nada tidak percayanya, aku melepaskan pelukanku. "Saya yakinkan
masakan saya nggak...." Aku mencoba membela diri, tetapi Reilley sudah
memotongku. "Bukan itu maksud saya," geramnya.
Kutatap wajahnya dengan bingung. Aku harus betul-betul melihat ke atas
karena kami berdiri terlalu dekat. "Jadi, apa dong maksud kamu?" tantangku.
"I was thinking that it was the most romantic thing anyone has ever done for
me," ucapnya dalam satu tarikan napas.
Aku menatapnya dengan mata melebar. Aku yakin, kalau Didi mendengar katakata
Reilley mungkin dia akan tidak habis-habisnya tertawa. Menurut Didi, aku
orang yang paling tidak romantis di seluruh dunia. Aku juga tidak pernah
memikirkan diriku sebagai orang yang romantis. Jadi, pernyataan Reilley sempat
membuatku sedikit limbung.
"Saya buatkan kamu sandwich untuk dimakan di jalan," ucapku, sambil
melepaskan diri dari pelukan Reilley.
Aku baru saja berjalan satu langkah ketika pergelangan tanganku ditarik oleh
Reilley, dan yang aku rasakan selanjutnya adalah sengatan listrik di sekujur
tubuhku. Bibir Reilley sudah mencium bibirku, lidahnya bergerak menyapu bagian
dalam bibirku. Tampaknya dia tidak peduli bahwa aku baru bangun tidur, aroma
mulutku mungkin tidak segar dan penampilanku pun acak-acakan. Aku hanya bisa
berpegang pada kedua lengannya dengan sekuat tenaga untuk mencegah agar
diriku tidak menggelongsor ke lantai. Aku bereaksi membalas ciuman ganas itu.
Merasakan bahwa aku sedang membalas ciumannya dengan antusias. Reilley
menyisirkan jari-jarinya pada rambutku. Kemudian tiba-tiba Reilley berhenti
menciumku dan menggenggam bagian atas kedua lenganku, lalu mendorongku
menjauhinya. Aku menatapnya bingung sambil mencoba menarik napas. Apakah dia sedang
menolakku" Nggak mungkin. Satu hal yang aku kuasai adalah memberikan ciuman
yang dahsyat, dan aku yakin aku masih memiliki keahlian itu. Jadi, kenapa dia
berkelakuan seperti ini"
Melihat perubahan pada wajahku, Reilley langsung berkata, "Kamu sebaiknya
menyiapkan sandwich itu. I need to keep my hands off of you and I can"t do that
if I"m kissing you." Reilley mengucapkan kata-kata ini dengan cepat sambil menatapku
tajam. Suaranya terdengar sedikit serak. Butuh beberapa detik bagiku untuk
mencerna maksudnya. Dia tidak menolakku. Dia hanya ingin menjagaku.
Memastikan agar tidak ada satu pun dari kami yang melampaui batas.
"Is tuna okay?" tanyaku pelan.
"Tuna"s fine," geram Reilley. Dia masih menatapku tajam, dan ada sedikit
tatapan bersalah. Buru-buru aku keluar dari kamar tidur, dan melangkah menuju dapur. Tidak
lama kemudian roti sandwich siap. Kudengar bunyi pintu kamar dibuka, dan Reilley
berjalan ke luar dengan membawa tas kanvas yang tadi malam dibawanya.
"Kamu mau susu atau orange juice?"
"Orange juice," jawab Reilley, sambil berjalan ke arahku.
Aku mengambil satu botol jus jeruk yang ada di dalam lemari es, dan
memberikan botol serta roti itu kepada Reilley.
"Kamu sebaiknya berangkat, sekarang sudah pukul 3.30." Kudorong Reilley
menuju pintu keluar. Kuambil botol jus dan roti dari genggamannya ketika dia
berlutut mengenakan sepatunya.
Setelah Reilley siap, aku membuka pintu dan menuju mobilnya yang ternyata
diparkir bersebelahan dengan mobilku. Aku baru menyadari bahwa aku tidak
mengenakan jaket ketika angin dingin menyerangku, dan aku menggigil.
"Titania, you"ll freeze to death!" teriak Reilley.
"I"m fine," ucapku, tetapi gigiku sudah bergemeletuk.
Reilley buru-buru membuka pintu mobilnya, melemparkan tas ke bangku
belakang dan mengambil roti serta jus dari tanganku sebelum meletakkannya di
dashboard. Dia kemudian menghidupkan mesin mobilnya dan menutup pintu.
Reilley memeluk dan menarikku masuk kembali ke apartemen. "Are you okay?"
tanyanya khawatir. Aku mengangguk. "Thanks untuk... untuk semuanya." Reilley kelihatannya akan mengucapkan
kata lain, tetapi dia tidak bisa menemukan kata yang tepat.
"Telepon saya begitu kamu mendarat di New York, ya," pintaku.
Reilley mengangguk. "Jadi kita bertemu hari Minggu?" tanyanya, sambil
tersenyum. Aku mengangguk. Reilley diam sambil menatapku, dia tampaknya sedang
mempertimbangkan apakah dia akan menciumku lagi atau tidak. Aku menjijitkan
kedua kakiku, dan menciup pipinya. "Bye," ucapku.
Reilley sempat terlihat terkejut oleh ciuman itu. Dia mengangguk, kemudian
berjalan menuju mobilnya dengan sedikit limbung. Dalam hati aku tertawa ketika
menyadari bahwa tindakan-tindakan kami telah membuat kami berdua satu sama
lain menjadi limbung. Kulihat Reilley melambaikan tangannya, kemudian mundur
dari tempat parkir dan berlalu. Aku kembali masuk ke dalam apartemen dan
mengunci pintu. *** "Jadi, begitulah ceritanya," ucapku pada Didi, yang langsung tidak bisa
berkatakata. "Mbak... kayaknya Mbak harus buru-buru nikah dengan dia deh sebelum dia
diambil orang lain. Dia sweet banget kepada Mbak."
"I know... aku nggak pernah bertemu laki-laki yang model begini. Aku nggak
tahu harus bagaimana."
"Ya, juga sih. Menurut aku, you are doing just fine. Kalau ini terjadi padaku,
mungkin aku sudah ambil langkah yang salah dan membuat dia kabur." Didi lalu
tertawa dengan leluconnya sendiri, yang disusul oleh tawaku.
"Denganku juga belum pasti dia nggak akan kabur. Nanti deh kita lihat. Kalau
misalnya dia nggak datang hari Minggu nanti, itu berarti dia kabur," jawabku.
"Nggaklah... aku yakin dia nggak akan kabur. Kalau dia memang berniat kabur,
dia nggak bakal susah-susah telepon Mbak begitu sampai di JFK."
Aku harus mengakui logika Didi, dan tersenyum bahagia. "Kira-kira aku harus


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masak apa ya, Di, untuk dia?" tanyaku.
Kami mengobrol panjang-lebar tentang menu untuk kencanku pada hari
Minggu malam dengan Reilley. Dia mengusulkan sebaiknya aku memasak makanan
yang mudah tetapi enak, dan tidak membuat kencan ini terkesal terlalu formal.
"So none of those dinner for two kind of shit," kata Didi.
Aku tertawa mendengarnya. "Jadi, casual dinner saja, ya?"
"Yep," jawabnya. "Reilley sudah bisa dikategorikan sebagai HOT, kan?" pancing
Didi. "Definitely," sahutku, kemudian tertawa. Aku lalu terdiam sesaat. Tiba-tiba saja
muncul suatu pemikiran di benakku. "Di...," ucapku ragu.
"What?" "Eh, nggak jadi deh."
"Apaan sih?" Didi terdengar penasaran.
"Aku hanya... hanya..."
"Cuma cumi, buruan deh omongnya," omel Didi.
"Aku bingung. Apakah dengan aku dating dengan Reilley, itu berarti aku harus
berhenti dating dengan laki-laki lain?"
"What?"! Mbak sudah gila?"! Mbak sudah bayar dua ribu dolar. Kontrak Mbak
masih ada satu bulan lebih kan dengan MBD. Ya, iyalah Mbak harus dating dengan
orang lain juga. Jangan mau rugilah!" teriak Didi.
"Maksudku... apa itu nggak terkesan agak... agak kayak... kayak melacurkan diri
nggak sih?" Aku tidak bisa menemukan kata lain, yang bisa menggambarkan
kelakuan seperti itu. Tanpa kusangka-sangka Didi malah tertawa.
"Kok kamu malah tertawa sih" Ini urusan serius lho," gerutuku.
Didi berusaha berhenti tertawa, dan berkata, "Aku sudah lama nggak dengar
kata "pelacur", biasanya kita kan hanya pakai kata "perek". Aenh saja aku
dengarnya." "Ya, bodo deh, tetapi kamu mengerti kan maksud aku?"
"Ya, pastilah aku mengerti... Menurut aku sih, Mbak tetap saja dating dengan
orang lain. Aku yakin Reilley juga nggak berhenti dating kok. Dia kan juga sudah
bayar dua ribu dolar seperti Mbak."
"Tapi..." Aku mencoba menjelaskan posisiku kepada Didi. Aku tidak pernah
berpacaran dengan dua laki-laki sekaligus, dan aku tidak tahu bagaimana caranya
membagi waktu. "Begini saja, Mbak. Ini kan masih tahap awal. Mbak lihat saja
perkembangannya. Siapa tahu setelah Mbak sudah kenal dia lebih jauh ternyata
Mbak nggak terlalu suka kepada dia. Seperti perumpamaan, "Ikan yang sudah
ditangkap jangan dibuang lagi ke laut hanya karena mengharapkan ikan yang lebih
besar". Mbak mengerti maksudku, kan?"
"Hah?" Itulah satu-satunya kata yang bisa aku keluarkan dari mulutku ketika
mendengar Didi mengucapkan perumpamaan itu.
"Ya... maksudku..." Didi terdengar tersipu-sipu.
"Kayaknya perumpamaan itu hanya berlaku kalau kita sedang mencari laki-laki
berduit deh, bukan untuk situasi aku ini," potongku.
"Ya, bodo deh. Pokoknya, Mbak mengerti kan maksudku?" tanya Didi.
Mau tidak mau aku tertawa karena aku baru saja mengucapkan kata-kata yang
sama kepada Didi beberapa menit yang lalu.
"Paham... paham," balasku.
"Jadi, kapan Mbak bakal kasih tahu Ibu dan Bapak kalau Mbak membayar dua
ribu dolar untuk jasa blind date supaya bisa dapat suami?" tanya Didi, tiba-tiba
mengganti topik. "Nggak bakalan," jawabku ketus. Aku tidak mau orangtuaku tahu bahw aaku
menggunakan jasa agen profesional hanya untuk mendapatkan suami. Sudah cukup
memalukan adikku tahu tentang ini. Kalau sampai orangtuaku tahu, entah apa yan
gakan mereka pikirkan tentang aku" Kemungkinan mereka akan berpikir anaknya
sudah setengah gila. Andaikan saja aku berkata jujur tentang alasan mengapa aku putus dengan
Brandon, mungkin mereka akan lebih mengerti. Aku tidak ingin membebankan
pikiran mereka dengan kejadian yang menimpaku. Aku meminta Didi bersumpah
agar tidak menceritakan kejadian sebenarnya kepada orangtuaku. Aku tahu,
orangtuaku hanya menunggu waktu yang tepat kapan aku akan menjelaskan alasan
sebenarnya aku yang tadinya memuji-muji Brandon setengah mati setiap kali
mereka menelepon tiba-tiba berhenti menyebutkan namanya sama sekali.
*** Hari Sabtu berlalu lebih lambat daripada biasanya. Aku tahu alasan utamanya
karena aku sudah tidak sabar menunggu hari Minggu tiba. Sesekali aku menyentuh
bibir dengan jari-jariku untuk meyakinkan Reilley memang telah menciumku pagi
itu. Aku mencoba mengingat-ingat "rasa" Reilley di mulutku. Aku ingat napasnya
berbau Listerine citrus. Selama ini aku tidak pernah begitu terobsesi oleh
ciuman pertamaku dengan laki-laki mana pun. Jadi, mengapa sekarang aku terobsesi oleh
ciuman Reilley" Hah... itu mungkin karena aku terobsesi oleh Reilley sehingga
aku jadi terobsesi oleh segala sesuatu yang berhubungan dengannya. I"m going crazy,
omelku kepada diriku sendiri.
Kegilaanku semakin menjadi ketika aku melangkah ke kamar mandi dan
menemukan baju tidur Reilley, yang masih ada di atas toilet. Kaus putih, celana
piama abu-abu, dan boxer briefs putih bersih. Handuknya tergantung di sebelah
handukku, sikat gigi listrik dan pisau cukurnya ada di atas wastafel, dan
peralatan mandinya masih ada bersama-sama dengan peralatan mandiku di samping bathtub.
Karena terburu-buru kelihatannya Reilley terlupa telah meninggalkan barangbarang
ini di kamar mandi. Kuangkat kaus Reilley, dan secara refleks langsung
membawanya ke hidungku dan menghirup aromanya. Seperti yang sudah aku
perkirakan, aroma Reilley masih menempel di situ. Sebenarnya, seluruh kamar
mandi dipenuhi aroma Reilley. Buru-buru kuangkat celana piama dan celana
dalamnya dari atas toilet, kemudian menyambar handuknya dan membawanya ke
luar kamar mandi serta melemparkannya ke dalam keranjang batu kotor. Semua
barang milik Reilley itu harus dicuci secepatnya supaya bisa mencegahku
menciuminya setiap saat. Setelah aku bisa sedikit menenangkan diri, baru aku menelepon Sandra untuk
memberikan laporan kencanku dengan Reilley.
"Jadi, bagaimana?" tanya Sandra antusias, tetapi dari nadanya aku bisa
mendeteksi adanya rasa waswas.
"It was good," jawabku, seceria mungkin.
"Just good?" Sandra terdengar ragu.
"Very good, actually," balasku.
"Oh, ya" Jadi, kita sudah menemukan pemenangnya?" teriak Sandra. Aku bisa
membayangkan, dia pasti mengempaskan diri di kursi kerjanya dengan wajah lega.
"I wouldn"t go that far," ucapku di antara tawaku. "But he is definitely close."
"Of course." "Oh... Sandra, saya perlu kasih usulan tentang restoran," ucapku, kemudian
menceritakan pengalaman makanku di restoran Prancis.
Sandra tertawa geli mendengar komentarku, tetapi dia memastikan MBD tidak
akan menggunakan restoran itu untuk kencanku berikutnya.
"Omong-omong tentang dating, date Anda selanjutnya hari Jumat. Namanya
Suresh. Dia orang Asia, hampir 190 sentimeter, dan pekerjaannya di retail. Anda
akan bertemu dengannya di B. Christopher"s Steakhouse di Burlington pukul tujuh
malam. Would this schedule works for you?" tanya Sandra.
Aku agak tergagap ketika menjawab pertanyaan itu.
"Yes, that would be fine," ucapku akhirnya, dengan nada datar.
"Okay, great. Saya akan konfirmasi balik ke Suresh kalau begitu."
Sebelum aku kehilangan keberanianku, aku bertanya, "Hei, Sandra, saya ada
pertanyaan." "Sure. Fire away."
"Apakah klien-klien kamu akan terus dating dengan orang lain, meskipun
mereka sudah menemukan orang yan gtepat" Atau setidak-tidaknya mendekati
orang yang mereka inginkan?"
Sandra terdiam sejenak sebelum menjawab. "Setiap klien saya berbeda-beda.
Beberapa dari mereka akan terus dating dengan orang lain, tetapi ada juga yang
berhenti sama sekali. Mereka memilih untuk memanfaatkan waktu bersama orang
yang tepat, yang sudah mereka temukan."
"Mana yang lebih efektif" Maksud saya, seberapa besar kemungkinannya
mereka menikah kalau mereka membuat pilihan tersebut?"
"Dua-duanya cukup efektif." Sandra terdengar ragu. Aku tahu mungkin dalam
peraturan perusahaannya, MBD menetapkan para agen blind date tidak boleh
memberikan pendapat yang akan menyebabkan klien mereka menjadi bias dalam
situasi apa pun. Hal ini juga mungkin untuk mencegah adanya tuntutan hukum,
yang dilayangkan oleh klien yang frustrasi karena tidak berhasil mendapatkan
pasangan yang ideal karena mengikuti nasihat agen mereka.
"Mana yan glebih efektif?" aku mengulang pertanyaanku. Aku tahu, aku sedang
berlaku tidak adil dengan memojokkan Sandra seperti itu. Akan tetapi, aku
betulbetul memerlukan masukan dari orang lain selain adikku.
Kudengar Sandra menarik napas sebelum berkata, "Anda betul-betul ingin
mendengar opini saya?"
"Ya." "Saya rasa, begitu Anda yakin dialah orang yang tepat untuk Anda, sebaiknya
Anda berhenti mencari. Manfaatkanlah waktu Anda untuk membuat hubungan
dengan orang tersebut berjalan mulus."
"Bagaimana kita bisa tahu kita sudah menemukan orang yang tepat?" tanyaku
ragu. "Oh, percaya kepada saya, Anda akan tahu nanti jawabannya," balas Sandra.
Aku menutup mataku, dan memohon kepada Tuhan agar perasaanku tentang
Reilley tidak meleset. Sekarang yang harus aku lakukan adalah memastikan, apakah
Reilley memang laki-laki yang terbaik untukku.
*** Hari Minggu pun tiba, aku sudah keluar rumah sebelum pukul sembilan pagi untuk
membeli semua keperluan makan malam. Sepanjang hari aku tidak bisa berhenti
tersenyum, dan jantungku berdetak lebih cepat daripada biasanya. Beberapa kali
aku harus menenangkan diri agar tidak terkena serangan jantung. Apakah bisa
orang meninggal akibat serangan jantung karena kebahagiaan yang meluap-luap"
Aku kurang tahu soal itu, dan aku tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa 24 jam
terakhir ini merupakan waktu paling membahagiakan dalam hidupku selama
delapan bulan ini. Begitu tiba di rumah aku segera membumbui daging sapi yang telah aku beli,
kemudian memasukkannya ke dalam lemari es. Setelah itu, aku mempersiapkan
segala sesuatu yang aku perlukan untuk membuat tiramisu. Pukul dua siang
semuanya sudah siap. Kutinggalkan tiramisu di dalam lemari es agar sudah dingin
ketika disajikan. Aku lalu membereskan apartemen agar kelihatan lebih rapi,
termasuk mengganti seprai tempat tidur. Aku lalu membawa seprai dan beberapa
pakaian kotor, sekaligus juga baju dan handuk Reilley, untuk dicuci dan
dikeringkan. Ketika aku baru saja melangkah masuk ke apartemen lagi sambil membawa
keranjang berisi pakaian dan seprai yang sudah kering, kudengar telepon
selularku berbunyi. Buru-buru kuletakkan keranjang cucian di lantai, dan lari ke meja
makan untuk menjawab panggilan itu. Kulihat yang menelepon adalah "Hunny Bunny". Aku
tersenyum kepada diriku sendiri karena lupa menukar nama itu dari phonebook.
"Reilley?" Meskipun aku tahu itu adalah Reilley, entah mengapa aku merasa
aku harus memastikannya. "Yeah, it"s me. Saya baru mendarat di Raleigh. I"m heading to Winston right now.
I"ll see you at six," ucap Reilley. "Do you want me to bring anything?"
"Nothing. Just you," jawabku.
Aku baru menyadari implikasi kata-kataku ketika kudengar Reilley berkata, "I
like how that sounds." Sebelum aku bisa menjelaskan maksudku, Reilley berkata,
"See you in a bit," kemudian menutup telepon itu.
"Okay. Drive safe," balasku, yang disambut oleh nada tut... tut... tut.
"Damn it," gerutuku. Aku harus betul-betul memperhatikan kata-kata yang
keluar dari mulutku kalau aku sedang berbicara dengan Reilley. Aku tidak mau dia
mengira aku sudah menyukai dia, meskipun memang seperti itu kenyataannya. Aku
tidak mau dia tahu tentang perasaanku. Tidak sekarang. Mungkin nanti, setelah
aku tahu seberapa sukanya dia kepadaku.
Aku lihat jam baru menunjukkan pukul 16.15, aku buru-buru mandi. Setelah
mandi aku kenakan jeans dan sweater dengan leher V, yang terbuat dari katun
berwarna krem. Rambutku kutarik ke belakang dengan bandana agar tidak
menggangguku malam ini. Setelah semuanya aku yakin sempurna bagiku, barulah
kukenakan kacamata. Sekarang aku sudah lebih percaya diri mengenakan kacamata
ini karena kata-kata Reilley dua malam yang lalu. Aku menggeleng karena percaya
dengan kata-kata itu, yang kemungkinan besar hanyalah gombal.
Aku sedang mengeluarkan daging steak dari dalam lemari es ketika kudengar
pintu apartemen diketuk. Buru-buru kubuka pintu itu, dan harus menahan napas
ketika melihat Reilley berdiri di luar dengan senyumnya yang lebar. Dia memeluk
satu botol coca-cola satu setengah liter. Aku mengambil botol itu darinya, dan
mempersilakannya masuk. Aku menarik napas dalam-dalam dan menikmati wangi
cologne, yang masuk ke dalam hidungku. Reilley langsung membuka sepatunya
ketika memasuki apartemen.
"Mudah-mudahan kamu lapar, soalnya saya bikin steak," ujarku, sembari
berjalan kembali menuju dapur. Kuletakkan botol Coca-Cola di atas meja makan.
*** "Saya kelaparan," balas Reilley, dan mengikutiku menuju dapur. Dia sudah
melepaskan jaketnya dan kini hanya mengenakan kaus putih lengan panjang yang
dilapisi dengan kaus tim American Football The New York Giants.
"Kamu ingin steak-mu dipanggang matang atau setengah matang?" tanyaku,
sambil melemparkan sepotong daging besar ke atas panggangan.
"Well-done, please," jawabnya. "Kamu perlu bantuan?"
"Kamu bisa nggak memanaskan jagung manis tanpa menyebabkan apartemen
kebakaran?" candaku.
Reilley tertawa sebelum menjawab, "Bisa."
Dia membuka kaleng jagung manis dan menuangkan isinya ke dalam panci
kecil, kemudian menyalakan kompor.
"That smells good, by the way," ucapnya, sambil menunjuk daging yang ada di
atas panggangan. Aku hanya tersenyum. "Jagungnya perlu kamu aduk. Ada spatula kayu di
dalam laci, kamu bisa pakai itu."
Reilley mengikuti saranku. Memasak bersama Reilley di dapur membuat
pikiranku kembali terobsesi oleh keseksian tubuhnya.
"Training-nya bagaimana?" tanyaku, untuk mengalihkan pikiranku.
"Brutal. Mereka ingin saya kembali ke sana akhir bulan ini."
"Mengapa brutal?" Kulihat jagung manis di panci sudah mendidih. "Kayaknya
jagungnya sudah siap. Bisa tolong jaga steak-nya sebentar, saya akan mengangkat
jagungnya?" pintaku.
"Sure. Saya harus apa?" Reilley terlihat agak kikuk.
"Just make sure that it doesn"t burn completely black. Kamu mau steak yang lezat
kan, bukan steak gosong," balasku, sambil mengangkat panci rberisi jagung dan
menuangkan seluruh isinya ke dalam saringan yang sudah aku siapkan di dalam
bak cuci piring. "Jadi, mengapa training-nya brutal?" Aku mengulang pertanyaanku, yang
belum sempat terjawab. "Oh... bos-bos besar di perusahaan ingin meng-upgrade sistem mereka, tetapi
para pegawai kelihatannya nggak setuju. Mereka bersikeras sistem yang sekarang
digunakan cukup memadai untuk melakukan pekerjaan mereka. But that is the point.
This new system is trying to make it can do better than just being "quite
sufficient", it has the
ability to be "efficient" as well," jelas Reilley.
"Apakah para pegawainya sudah tua?"
Reilley terdiam sejenak, seolah-olah dia sedang mencoba mengingat-ingat
orang-orang yang ada di training-nya. "Nggak, kebanyakan dari mereka masih
sekitar 30-an. Mengapa?"
"Well, itu agak aneh. Biasanya generasi yang lebih tualah yang nggak suka
perubahan karena mereka memerlukan waktu lebih lama untuk mempelajari dan
memahami informasi baru," komentarku, sambil memindahkan jagung manis ke
dalam mangkuk. "Ya... nih, saya juga nggak tahu ada apa dengan orang-orang itu. Anyway, saya
akan mengadakan beberapa follow-up untuk memastikan sistem yang baru betulbetul
bekerja," balas Reilley.
Aku lalu berbalik badan, menghadap kembali ke kompor. "Mungkin mereka


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya perlu untuk menyesuaikan diri. Saya yakin lambat-laun mereka akan
menyukai sistem yang baru itu," ucapku, sambil tersenyum untuk memberikan
dukungan kepada Reilley. Reilley juga ikut tersenyum.
"Steak-nya bagaimana?" tanyaku.
"It"s doing great. Belum ada yang teriak dia kegosongan," balas Reilley, sambil
nyengir. Kami kemudian tertawa terbahak-bahak. Tidak lama kemudian, aku
mengangkat daging steak itu dan meletakkannya di atas piring. Setelah itu,
kuletakkan daging steak dengan ukuran yang lebih kecil di atas panggangan
untukku sendiri. "Ini punya kamu." Kuberikan piring berisi daging sapi potongan besar kepada
Reilley, dan mengangkat mangkuk berisi jagung serta meletakkannya di atas meja
makan. "Wow, this looks sooo... goooooo...d," puji Reilley, sambil menghirup aroma
daging panggang itu. Ini sudah kedua kalinya. Reilley mengomentari steak buatanku, aku jadi merasa
agak risi. Brandon jelas-jelas tidak pernah memuji makanan buatanku. "Kamu mulai
saja duluan. Steak saya masih perlu beberapa menit lagi. Saya nggak mau tamu
saya kelaparan." "Naahhh... I can handle it. Saya tunggu kamu saja. Boleh saya ambil es dari
freezer?" "Go ahead," ucapku, lalu membalik daging di atas panggangan. Aku
mengeluarkan dua gelas tinggi dari dalam lemari, dan meletakkannya di sebelah
kulkas agar Reilley bisa mengisinya dengan es batu.
sSetelah memenuhi kedua gelas itu dengan es batu, Reilley membawanya ke
meja makan dan menuangkan coca-cola ke dalamnya. Kuangkat steak dan
meletakkannya di atas piring, lalu berjalan menuju meja makan.
"Let"s eat!" ajakku, dan mengangkat garpu-pisauku.
Setengah jam kemudian piring Reilley sudah bersih, dan mangkuk berisi jagung
manis pun sudah ludes olehnya.
"This is the best steak I have ever eaten my whole life," ucap Reilley.
Aku tertawa, kemudian berjalan menuju lemari es untuk mengeluarkan
tiramisu. "Itu apa?" tanya Reilley ingin tahu, sambil perlahan-lahan berjalan ke arahku.
"Tiramisu," jawabku.
"No... waaa...yyy. Kamu bisa bikin tiramisu?"
Aku mengangguk, dan mulai memotong tiramisu. "Kamu suka tiramisu?"
"Are you kidding me" Itu kue favorit saya," balas Reilley. Dia kemudian menatap
tiramisu, seolah-olah kue itu pemberian Tuhan yang paling sempurna.
"Errr... apa kamu mau makan langsung dari pyrex-nya?" Kalau bukan karena
ada tamu, aku dan Didi biasanya memang makan tiramisu buatanku langsung dari
tempatnya. "Oh, really" Can I?" Kalau Reilley berumur lima tahun, aku yakin dia sudah
meloncat-loncat kegirangan. Mengingat usianya yang tidak lagi anak-anak, kini
reaksi kegembiraannya dia ekspresikan dengan menatapku dan matanya
berbinarbinar. "C"mon," ucapku, sambil membawa pyrex itu menuju meja makan. "Oh, bisa
tolong ambilkan sendok?"
Aku sudah duduk di meja makan ketika Reilley memberikan sendok kepadaku,
kemudian dia duduk di hadapanku. "Dig in," ujarku.
Reilley langsung menenggelamkan sendoknya ke dalam tiramisu, dan
memasukkan sesendok besar ke dalam mulutnya.
"Kue ini rasanya lebih enak daripada seks," desahnya.
Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya, yang terlihat sangat puas dan bahagia.
Mirip wajah laki-laki yang baru mendapatkan seks terbaik yang pernah dialaminya.
Aku tidak tahu bagaimana mungkin aku bisa menggambarkan hal seperti itu,
mengingat aku masih perawan. Dalam imajinasiku, seseorang yang bahagia ekspresi
wajahnya pastilah tidak jauh berbeda dengan Reilley saat ini.
Mengingat jejak Reilley, aku pun menenggelamkan sendokku dan memasukkan
satu sendok besar ke dalam mulutku. Jujur saja, ini memang tiramisu terenak yang
aku pernah buat. Mungkin karena aku membuatnya dengan penuh rasa cinta.
Cinta" Pernyataan itu hampir saja membuatku tersedak. Dari mana aku bisa
mendapatkan ide itu" Aku baru saja mengenal Reilley. Ini baru kencan kedua kami.
Aku tidak mungkin jatuh cinta dengan seorang laki-laki pada kencan kedua.
Jari Reilley, yang kini sedang menyentuh sudut bibirku, membangunkanku dari
lamunan. "You got cream right here," ucap Reilley. Ia mengusap sudut bibirku
dengan ibu jarinya, kemudian memasukkan ibu jari itu ke dalam mulutnya.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata terbelalak dan mulut terbuka. Apa
yang baru saja dia lakukan merupakan hal paling romantis dan seksi yang pernah
dilakukan laki-laki terhadapku. Reilley, yang menyadair bahwa aku belum
berkatakata selama beberapa menit, menegurku, "Titania, kamu nggak apa-apa?"
"Yes," ucapku, nada suaraku agak meninggi. "I"m glad you like my tiramisu,"
lanjutku. "Hell... Saya suka masakan kamu, apartemen kamu, senyum kamu, the way that
glasses somehow makes you look more sexy, which is impossible because you are
the sexiest woman I have ever met, I even love how you smell. Saya suka semuanya tentang
kamu," jawab Reilley. Kemudian seolah-olah baru menyadari apa yang dia telah katakan,
dengan susah payah dia berkata lagi, "Maksud saya... saya hanya..."
Aku mungkin akan mencoba membantunya agar tidak merasa seperti anak kecil
yang baru saja tertangkap basah mengambil mangga tetangga, kalau aku sendiri
tidak sedang mencoba mencerna apa yang baru diungkapkannya kepadaku.
"Sori," ucap Reilley akhirnya, sambil meraih tanganku. "Aku nggak bermaksud
membuat kamu takut."
"Nggak... nggak... nggak apa-apa. Saya hanya agak... kaget. Itu saja."
"Yakin?" Reilley terdengar ragu.
Aku mengangguk. Reilley tersenyum, dan mulai menyantap tiramisu lagi. Kami makan dalam
diam. Aku tidak tahu harus berkata apa, sedangkan aku yakin Reilley tidak berani
berkata-kata lagi karena takut akan mengucapkan kata-kata yang salah. Mencoba
membuat suasana jadi lebih santai, aku berkata, "Apakah kamu berencana
menginap di sini atau kamu akan pulang ke Wilmington?"
Kulihat Reilley menelan ludah sebelum menjawab, "Itu tergantung kamu."
"Maksud kamu?" tanyaku bingung.
"Apakah kamu akan mengambil semua selimutnya?" Wajah Reilley terlihat
serius sampai kedua alisnya terangkat.
"Did I do that?" tanyaku, sambil tertawa.
"You sure did," balas Reilley dengan jenaka. Dia kelihatannya juga sedang
berusaha mencairkan es, yang tiba-tiba muncul di antara kami berdua.
"Saya janji nggak akan mengambil semua selimutnya," ucapku, sambil
tersenyum. "kalau begitu, saya akan menginap di sini malam ini."
Aku mengangguk, dalam hati bersyukur aku sudah menyempatkan diri
mengganti seprai. Kami lalu menumpahkan perhatian kembali kepada tiramisu.
"Reilley," ujarku tiba-tiba, tanpa menatap Reilley.
"Ya?" Aku bisa merasakan bahwa Reilley sedang menatapku, tetapi aku
menolak membalas tatapan itu dan memfokuskan perhatian pada sendokku.
Aku merasa agak canggung menanyakan pertanyaan yang sempat membuatku
penasaran, tetapi kuberanikan diri. "Errr... saya hanya penasaran. Kamu mimpi
apa sih dua malam yang lalu ketika kamu tidur di sini?" Aku tidak tahu mengapa aku
menanyakan ini, tetapi aku memang penasaran. Mimpi apakah yang menyebabkan
Reilley menyebutkan namaku dua kali di dalam tidurnya"
Ketika Reilley tidak menjawab juga, kutatap wajahnya.
"Pipi kamu mengapa jadi merah begitu?" tanyaku.
"Nggak ah," balas Reilley, nadanya terdengar sedikit tajam.
"Sekarang malam semakin merah." Aku tidak mau kalah.
"Kacamata kamu membuat kamu melihat yang nggak-nggak," omel Reilley.
"Kamu memimpikan saya, ya?" Aku tidak memberi Reilley kesempatan
menghindar dariku. "Lho, kok omong begitu?"
"Kamu menyebut nama saya." Reilley menggeram. Ketika Reilley tidak juga
mengatakan apa-apa, kutambahkan, "Dua kali."
Reilley menutup mulutnya rapat-rapat. Dari gerakan mulutnya aku tahu dia
sedang menggigit-gigit bagian dalam bibirnya. Dia kelihatan sangat bersalah.
"Kamu menarik saya ke pelukan kamu dan nggak melepaskan lagi," lanjutku.
"I did that?" Reilley berteriak terkejut sambil menatapku.
"Ya. Saya coba melepaskan diri beberapa kali, tetapi kamu kelihatannya capek
sekali dan saya nggak ingin membangunkan kamu... well, akhirnya saya jadi
ketiduran setelah beberapa menit... di atas tempat tidur... di dalam pelukan
kamu." Reilley menatapku dengan mata terbelalak. Melihat reaksinya, aku curiga dia
sudah salah paham. "Saya harap kamu nggak berpikir saya sengaja dekat-dekat
dengan kamu," ucapku tegas.
"Nggak. Tentu saja nggak, meskipun ketika saya bangun saya memang
bertanya-tanya bagaimana bisa kamu kok ada di pelukan saya."
"Well, sekarang kamu sudah tahu." Aku terdiam, kemudian mengulang
pertanyaanku. "So were you?"
"Were I what?" "Kamu mimpi saya, ya?" balasku, tidak sabaran.
Semula Reilley seolah-olah tidak akan mengatakan apa-apa, tetapi akhirnya satu
kata keluar dari mulutnya. "Yes."
"Oh, ya" What were you dreaming about?" Aku jadi semakin penasaran, mengapa
dia harus malu mengakui dia bermimpi tentangku.
"Banyak hal," balasnya datar.
"Contohnya?" desakku.
"Kita bisa nggak, nggak membahas tentang ini lagi?" gerutunya.
Aku masih menunggu beberapa saat sebelum akhirnya menyerah. Tampaknya
Reilley betul-betul tidak akan menceritakan mimpinya kepadaku.
"Pukul berapa kamu harus sampai di kantor besok?" tanyaku, mengganti topik.
"Pukul berapa kamu harus berangkat kerja?" Reilley terlihat mengembuskan
napas lega dengan pergantian topik ini.
"Setengah delapan."
"Saya berangkat bersama-sama kamu."
Aku mengangguk, kemudian meletakkan sendok di atas meja karena perutku
rasanya sudah siap meledak.
"Apakah kamu mau tiramisu lagi?" tanya Reilley.
"Nggak. Perut saya sudah nggak bisa mencerna apa-apa lagi."
Aku tertawa ketika Reilley tersenyum senang, dan menyapu bersih tiramisu.
Setelah semuanya ludes, ia mengangkat piring dan gelas kotor serta pyrex ke bak
cuci piring. "Kamu tinggalkan saja semuanya di situ. Besok pagi akan saya cuci," ucapku.
"Biar saya saja. Kamu sudah masak, saya yang cuci." Reilley kemudian mulai
mencuci semua peralatan makan itu satu per satu.
Dia kelihatan sedikit aneh berada di dapurku yang kecil itu. Sekali lagi aku
bisa melihat perbedaan antara Brandon dan Reilley yang sangat kontras. Brandon tidak
pernah membantuku sama sekali di dapur. Dia bahkan tidak pernah menawarkan
bantuannya. Brandon tipe laki-laki yang berpendapat dapur merupakan area yang
hanya boleh dimasuki wanita. Brandon juga selalu serius, bahkan hampir tidak
pernah tersenyum. Aku mencoba mengingat-ingat terakhir kali kami bercanda, dana
ku tidak bisa mengingatnya sama sekali. Sedangkan Reilley, dia bersiul-siul
sambil mencuci piring. Dia kelihatan ceria, jenaka, dan tanpa beban. Kami pun baru saja
bercanda beberapa menit yang lalu.
"Ada lagi yang perlu dicuci?" Kudengar suara Reilley bertanya, dan aku harus
berpijak kembali ke bumi.
"Nggak ada." Aku lalu beranjak menuju ruang TV, dan mengempaskan diriku
ke atas sofa. Reilley menyusul, dan duduk di sebelahku.
"Kamu kelihatan capek," komentarku.
"I"m okay, tetapi rasanya aku perlu andi, kalau kamu nggak keberatan."
"Tentu saja nggak. Anggap saja rumah sendiri," ucapku. Reilley menatapku
sambil tersenyum. "You gonna regret saying that," ucapnya.
"Saying what?" tanyaku bingung.
"Inviting me to make myself at home in your apartment," balas Reilley pendek.
Aku terpaksa tertawa melihat reaksi Reilley. "Saya grew up di Indonesia,
Reilley. Kami diajarkan untuk sopan kepada tamu," jelasku.
"Jadi, kamu akan ngomong seperti itu kepada semua orang?" Reilley terlihat
bingung. "Kira-kira begitulah."
Reilley menatapku, seolah-olah aku orang paling aneh yang dia pernah temui.
"Kamu pasti berpikir saya sudah gila, ya?" tanyaku.
"Well... nggak gila, hanya sedikit beda," jelas Reilley.
"Kalau kamu pikir saya berbeda, tunggu sampai kamu bertemu orangtua saya.
Mereka jauh lebih parah. Semua tamu yang datang ke rumah saya nggak pernah
pulang dengan tangan kosong. Ibu saya selalu membawakan mereka makanan atau
hasil kebun kami." "Hasil kebun seperti apa?" Kini Reilley terlihat sedikit penasaran.
"Seringnya sih pisang atau jambu batu. Kadang-kadang kalau lagi musim
mereka akan kasih nangka atau kelapa."
"Orangtua kamu punya buah-buahan itu di kebun mereka?" Sekarang Reilley
sudah betul-betul penasaran.
"Ya. Bapak saya memang punya bakat menanam. Dia bisa menanam apa saja
yang dia mau." "WOW. That"s... well... he sounds like a really cool dad."
"He is," ujarku.
"Would love to meet the guy someday," balas Reilley, yang kemudian menguap.
"Kita lihat saja nanti. Kalau kamu sudah dating dengan saya cukup lama,
mungkin kamu bisa ketemu bapak saya," candaku, kemudian berdiri dan menarik
Reilley. "Ayo, kamu perlu istirahat."
Reilley berjalan bersamaku menuju kamar tidur. "Ya, itu mungkin ide yang
bagus. Dating dengan anaknya hanya untuk bertemu bapaknya. He would luuuvvv
that idea," balasnya dengan jenaka.
Aku tertawa. Kulepaskan genggaman tangan Reilley ketika kami masuk ke
kamar tidur. "Ini baju dan handuk kamu. Sudah saya cuci. Peralatan mandi kamu
masih ada di kamar mandi where you left them."
"Oh, makasih, ya.... Sori karena sudah meninggalkan barang-barang saya di
mana-mana. Saya agak terburu-buru waktu itu sampai lupa."
"Nggak apa-apa. Kamu sebaiknya mandi, sudah hampir pukul sepuluh. Saya
perlu tidur sebentar lagi," ucapku, dan melangkah ke luar kamar tidur.
9 Undangan SETELAH hari itu, akhirnya Reilley secara tidak resmi tinggal di apartemenku
kalau dia sedang berada di North Carolina. Meskipun aku masih tetap berkencan dengan
orang lain bila Reilley kebetulan sedang tidak ada bersamaku, Reilley tidak
pernah menanyakan hal itu sehingga aku berkesimpulan dia juga melakukan hal yang
sama. Aku kadang bertanya-tanya dalam hati, bagaimana dia bisa meluangkan
waktunya untuk berkencan dengan orang lain di sela-sela pekerjaannya dan
kebersamaannya denganku. Setelah satu bulan menghabiskan waktu dengannya,
aku mulai merasakan hubunganku dengannya sudah menjurus ke arah yang lebih
serius dibandingkan dengan hanya kencan biasa. Namun demikian, mengingat
Reilley tidak mengatakan apa-apa yang bisa mengkonfirmasikan perasaanku, aku
pun memutuskan untuk diam.
Pada awal bulan Februari, Reilley membuat kejutan dengan memintaku
menghabiskan akhir minggu untuk merayakan hari Valentine dengannya di
Wilmington. Dia bahkan rela datang menjemputku Jumat malam, dan mengantarku
pulang hari Minggu. Aku tahu, ini tindakan wajar bagi laki-laki yang ingin
mengenalku lebih jauh, dan untuk menunjukkan siapa dirinya sebenarnya.
Orangtuaku selalu berkata, kalau kita ingin menilai seseorang tempat terbaik
untuk melakukannya adalah dari rumahnya. Mobil atau pakaian tidak bisa


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dijadikan patokan karena itu hal pertama yang bisa dilihat oleh orang lain, dan
kebanyakan orang biasanya akan mengutamakan penampilan luar mereka terlebih
dahulu. Aku tidak tahu mengapa Reilley tiba-tiba mengundangku melihat
rumahnya. Apakah dia memang sudah betul-betul serius denganku"
Ketika kutanyakan hal ini kepadanya, jawabannya hanya, "Kita sudah dating
selama sebulan. Kamu tahu segala sesuatunya tentang saya. Saya menghabiskan
hampir setiap malam di apartemen kamu. Kamu sudah bertemu keluarga saya, dan
sekarang saya ingin kamu melihat rumah saya."
Kami sedang duduk santai di sofa, di apartemenku pada hari Minggu siang.
Reilley sedang memijat kakiku yang terjulur ke atas pangkuannya. Satu hal lagi
yang tidak pernah dilakukan Brandon. Biasanya aku yang akan kebagian memijat
daripada dipijat. "Seperti yang kamu bilang, kita kan baru dating selama sebulan." Aku tetap
bersikeras menunjukkan keputusannya mengundangku ke Wilmington masih
terlalu dini. "Kita sudah dating "secara serius" selama sebulan." Reilley mengganti pilihan
kata-katanya dengan memberikan penekanan pada kata "serius".
"Apakah kita sebegitu seriusnya?"
"Kalau saya nggak superserius dengan kamu, saya mungkin sudah ML dengan
kamu pertama kali saya tidur di tempat tidur kamu."
"WHAAATTTTT"!" teriakku, sambil berusaha duduk tegak. Usaha yang snagat
sulit dilakukan karena kedua kakiku masih ada di pangkuan Reilley.
"Sori, saya seharusnya nggak kasih tahu kamu soal itu, tetapi saya nggak tahu
bagaimana lagi caranya meyakinkan kamu," ucap Reilley.
"Kamu pernah ML dengan perempuan hanya setelah date pertama?" Kutarik
kakiku dari pangkuan Reilley, dan duduk bersila di atas sofa.
Reilley kemudian terlihat serius ketika menjelaskan maksudnya. "Beberapa dari
mereka bahkan cukup antusias soal itu. Sori, saya seharusnya nggak menyalahkan
mereka." "You bet your ass you shouldn"t," omelku.
"Okay, if it"s any comfort to you I haven"t done that in a while now."
Melihat ekspresiku yang sedang mengerlingkan mata, Reilley menyumpah,
"Shit... that came out wrong." Dia terdiam sejenak sambil menghadapku, keningnya
berkerut karena sedang berpikir keras. Aku menunggunya memberikan penjelasan.
"Yang saya ingin katakan, sebenarnya saya jarang dating karena susah untuk
meet women dengan jam kerja saya," lanjutnya.
"I don"t believe that," ucapku datar.
"Well, believe it."
"Reilley, have you looked in the mirror lately?"
"What does that have anything to do with this?"
"It has everything to do with this. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya.
Kamu ini "hot" dengan huruf besar untuk "H"-nya. Perempuan bakal dating bahkan
tidur dengan kamu tanpa perlu kamu minta," jelasku.
"Kalau saya bertemu dengan mereka di bar mungkin," gerutu Reilley pelan,
tetapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu pernah tidur dengan perempuan yang kamu temui di bar"!" teriakku
terkejut. "Ya, nggaklah." Reilley terdengar betul-betul tersinggung. "Apakah kamu
bersedia tidur dengan laki-laki yang kamu temui di bar?"
"Jelas-jelas nggak," balasku, tidak kalah tersinggungnya.
Kulihat Reilley menatapku sambil memicingkan matanya, kemudian dia loncat
dari sofa dan menyumpah sekeras-kerasnya. "HOLY SHIT! Kamu masih perawan!"
Aku menatap Reilley bingung, kemudian berkata, "Tentu saja saya masih
perawan. Itu nggak ada hubungannya dengan diskusi kita." Aku tidak pernah
menyembunyikan status keperawananku kepada siapa pun. Aku bangga menjadi
wanita yang akan mengeksplorasi kemampuan seksualnya hanya dengan suaminya
kelak. "Oh... apa kamu ingin saya beri tahukan fakta mengapa itu sangat berhubungan
dengan diskusi kita ini?" Tanpa menunggu jawaban dariku, Reilley melanjutkan
dengan berapi-api. Kedua tangannya melayang ke mana-mana, dan dia berjalan
bolak-balik di hadapanku. "Kita sudah tidur sama-sama selama sebulan. Saya sudah
menciumi kamu seperti orang gila, dan kamu juga menciumi saya balik. Satu hal
lagi... tanpa sepengetahuan kamu, saya sudah memimpikan kamu naked semenjak
pertama kali kita tidur sama-sama."
Aku hanya bisa megap-megap seperti ikan maskoki ketika mendengar kata-kata
Reilley. "Kamu mau tahu apa yang saya mimpikan pada malam ketika saya
menyebut nama kamu?" tanyanya.
Untungnya Reilley sudah berhenti bergerak sehingga aku bisa memfokuskan
perhatianku pada wajahnya. Aku mengangguk.
"We were having sex," teriaknya. "Great sex. Mind blowing sex like you wouldn"t
believe," sambungnya.
Ketika aku masih juga tidak bereaksi, Reilley melanjutkan. "It doesn"t help that
when I woke up your backside is practically up against my hard dick."
Aku menarik napas terkejut, dan harus menutup mulutku dengan tangan. Aku
tahu bahwa wajar sekali bagi laki-laki ketika bangun tidur alat genitalnya
memperlihatkan seperti sedang terangsang, tetapi akut idak tahu bagaimana harus
bereaksi jika penyebab dari keadaan itu adalah diriku. Perlahan-lahan aku mulai
ingat apa yang Reilley katakan pagi itu. Aku langsung merasa kasihan kepadanya,
ternyata ia telah "menderita" karenaku.
"Sebetulnya, saya bangun lebih cepat pagi itu. Akhirnya jadi telat karena saya
harus mandi lebih lama... dengan air dingin." Reilley lalu duduk di hadapanku,
dan menggenggam wajahku di antara kedua telapak tangannya. "Nah, sekarang apakah
kamu mengerti mengapa status... keperawanan kamu sangat berhubungan dengan
diskusi ini ataupun diskusi lainnya nanti?" Meskipun Reilley mengalami masalah
ketika mengatakan kata "keperawanan", suaranya cukup stabil dan halus.
Aku harus menelan ludah, baru kemudian mengangguk. Reilley melepaskan
genggamannya pada wajahku, dan menyandarkan tubuhnya pada bantal sofa.
"Apakah ini berarti kamu nggak akan tidur satu tempat tidur dengan saya
lagi?" candaku. "Saya... saya nggak tahu. Apakah kamu keberatan kalau kita tetap tidur
bersama-sama?" Reilley menatapku ragu.
Aku mengangguk. "Selama memang itu saja yang kita rencana akan lakukan."
"Bukan itu yang saya rencanakan, tetapi itulah yang saya akan lakukan," tegas
Reilley. Sekali lagi aku mengangguk. Reilley lalu mengernyit. Aku tahu dia ingin
menanyakan sesuatu kepadaku, tetapi tidak tahu bagaimaan mengungkapkannya.
"What do you want to ask me, Reilley?" tanyaku.
"I don"t think I should be asking this. Kayaknya nggak sopan, dan kamu nggak
usah merasa perlu...," Reilley mencoba menjelaskan.
"Apa pertanyaannya?" potongku.
"Keputusan kamu tidak ML, sampai kamu menikah. Apakah itu karena
budaya" Agama atau...?" Reilley tidak bisa menyelesaikan pertanyaannya.
Ini bukan yang pertama kalinya aku harus menjelaskan prinsipku. Aku menarik
napas panjang sebelum memulai. "Sebetulnya, ada beberapa alasan mengapa saya
kuat memegang prinsip itu. Dalam budaya Asia memang tabu ML di luar nikah,
tetapi banyak orang masih melakukannya. Dari sudut agama, saya rasa setiap
agama menganjurkan supaya hubungan seksual dilakukan setelah pernikahan, dan
lebih baik jika tidak dipertontonkan kepada orang ramai." Kukedipkan mata
kananku ketika mengatakan hal ini.
"Bagi saya," lanjutku, "pendapat keluarga saya mengenai hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan bisa dibilang agak kolot. Orangtua saya nggak
pernah benar-benar membahas tentang itu, tetapi kami memiliki pemahaman yang
sama tentang hal tersebut."
Reilley mendengarkan penjelasanku dengan seksama. "Apakah kamu nggak
pernah penasaran tentang seks" Maksud saya, seks adalah kebutuhan manusia yang
paling dasar," komentarnya.
Aku tertawa. "Saya berbohong kalau berkata saya tidak penasaran tentang itu,
tetapi ada banyak cara untuk menjawab rasa penasaran itu."
"Contohnya?" "Are you seriously asking me this question?"
"Ya. Saya kehilangan keperjakaan saya ketika berumur enam belas tahun
dengan seorang cewek bernama Tara. Dia seorang senior dan "hot" sekali. Kami
nggak bisa lepas satu sama lain selama sebulan penuh. Dengan berbagai tawaran
hormon dan obat vitalitas yang merajalela, we can"t keep our hands off each
other for long. Jadi, saya nggak mengerti bagaimana kamu bisa tetap menjadi perawan sampai
selama ini." Mau tidak mau aku tertawa. "Kok hanya sebulan?" tanyaku penasaran.
"Dia lulus dan pindah ke luar kota. Saya nggak pernah bertemu dengannya lagi
setelah itu." Reilley tersenyum ketika menjawab pertanyaanku. "Anyway, back to
you. Bagaimana kamu... memuaskan rasa penasaran kamu?"
"Kamu pernah tahu buku yang berjudul Kama Sutra?"
"Kamu belajar tentang seks dari Kama Sutra?" Reilley terlihat terkejut, bahkan
tidak percaya. "Oke... mengapa sih setiap kali saya bilang ke laki-laki bahwa saya tahu
tentang... tentang... sastra untuk orang dewasa, mereka selalu memandang saya
seperti ini" Reaksi Brandon juga sama seperti kamu. Eh, bukannya kamu ada di
sana ketika saya bertengkar dengan Brandon" Kami kan membicarakan tentang statusku
sebagai perawan, tetpai mengapa kamu kelihatan kaget ketika saya
menyinggungnya lagi beberapa menit yang lalu?"
"Saya memang ada di sana, tetapi saya nggak bisa mendengar semuanya. Lagi
pula, saya ingin memberikan kamu sedikit privacy. Kamu ingat kan saya seharusnya
nggak ada di sana?" "Oh, benar juga." Penjelasan Reilley memang masuk akal.
"Untuk menjawab pertanyaan kamu yang pertama. Saya kaget karena...
karena..." "Karena saya orang Asia dan masih perawan, dan seorang perawan seharusnya
buta tentang hal-hal seperti ini. Apakah itu yang akan kamu katakan?" Aku
mencoba membendung kejengkelanku. Ternyata bukan hanya Brandon yang
berpendapat seperti itu, Reilley juga.
"Di antaranya," ucap Reilley dengan hati-hati.
"Ada alasan lainnya?" Suaraku sudah semakin meninggi.
"Well... you also look so sweet dan pendiam. Saya nggak yakin bila perempuan
seperti kamu akan menikmati hal-hal seperti itu."
"Eh, saya kasih tahu ya tentang kami, para perempuan yang "sweet" dan
"pendiam"," aku sengaja memberikan penekanan pada dua kata sifat itu, "sekalikali kami juga menikmati sesuatu yang romantis dan sedikit edgy."
"Saya pernah menonton film Kama Sutra, nggak ada yang romantis tentangnya
sama sekali. Itu cerita tragedi," komentar Reilley.
"Saya juga pernah menonton film itu, dan menurut saya itu romantis," balasku.
"Kalau kamu pikir bahwa film itu romantis, kamu jelas-jelas punya opini
tentang romantisme yang agak nggak wajar."
"Oke. Menurut kamu apa yang menjadikan sebuah cerita itu romantis?"
tantangku. "Oh, coba saya pikir... mungkin sebuah cerita yang nggak berakhir dengan
KEMATIANi, salah satu karakter utamanya," jawab Reilley, sambil menekankan
kata "KEMATIAN".
"Jadi, bisa saya simpulkan kamu bukan fansnya Romeo and Juliet, ya?" Kalau
sampai Didi tahu aku sedang membela Shakespeare, dia mungkin akan tertawa
sampai keluar air mata. Didi tahu, pemahamanku tentang romantisme jauh berbeda
dengan norma umum. Ketika aku berkata bahwa Maria dan Kapten Von Trapp
adalah pasangan paling romantis yang pernah aku lihat, Didi tidak bisa berhenti
tertawa selama berhari-hari.
"Hell, no. Itu cerita paling goblok yang pernah ditulis. Hanya perempuan saja
yang akan berpendapat bahwa cerita itu romantis.
"Kamu sadar kan Shakespeare itu laki-laki?"
"Saya juga yakin dia gay," balas Reilley.
"Shakespeare bukan gay. Dia laki-laki yang sangat sweet dan tahu cara
melelehkan hati wanita," bantahku.
"Dia tahu cara membuat mereka menangis sampai seember," gerutu Reilley.
"Oke, kok kita berdebat tentang ini sih?"
Reilley terdiam sejenak, kemudian berkata," I seriously have no idea." Dia
kemudian tertawa terbahak-bahak. Mau tidak mau aku pun tertawa setelah
menyadari hal ini. "Kita tadi sedang bicara tentang apa sih" Kok tahu-tahu akhirnya kita diskusi
tentang ini?" tanya Reilley, setelah tawanya reda.
Aku mencoba berpikir sejenak, "I have no idea," ucapku akhirnya, yang langsung
disambut tawa kami berdua lagi. Aku lalu menyandarkan tubuhku di dadanya.
Reilley langsung mengangkat tangannya untuk memeluk bahuku dan mencium
keningku. "Apakah kamu ada alasan tertentu, mengapa kamu nggak mau pergi ke
Wilmington?" bisiknya.
Aku menarik napas panjang, dan menggeleng.
"Apakah kamu nggak ingin melihat rumah saya?" bisik Reilley lagi.
Aku sebetulnya sangat ingin melihat rumahnya. Aku hanya khawatir
bagaimana menghabiskan waktu dua hari dua malam bersamanya di rumahnya itu.
Sekali lagi aku menggeleng.
"Is it me then?" Suara Reilley terdengar putus asa. Aku bisa merasakan tubuh
Reilley menegang menunggu jawabanku.
"It"s not you," jawabku, dan aku bisa merasakan Reilley mengembuskan napas
lega. "Saya ingin kamu pergi ke Wilmington dan melihat rumah saya karena saya
cinta rumah itu. Ukurannya kecil, putih, dan dekat pantai. Itu satu-satunya
tempat di mana saya bisa merasa damai. I just want to share that with you."
Setelah mendengar penjelasan seperti itu tentunya aku tidak mampu menolak
undangannya, meskipun aku tetap merasa belum siap. Mengundang laki-laki
menginap di rumahku masih tergolong tidak berbahaya karena mereka berada di
daerah kekuasaanku, tetapi menginap di rumah laki-laki yang baru aku kenal
selama satu bulan membuat perasaanku tidak nyaman. Satu bulan" Baru selama
itukah aku mengenal Reilley" Mengapa aku merasa seperti sudah mengenalnya
selama bertahun-tahun" Aku mencoba mencari penjelasan atas keraguanku
menerima undangan Reilley, tetapi aku tidak bisa menemukan alasan yang masuk
akal. *** Pada hari Sabtu (akhirnya aku mengambil keputusan berangkat hari Sabtu pagi
bukan Jumat malam, dengan begitu aku hanya akan menginap satu malam di
rumah Reilley), tanggal 14 Februari, pukul sebelas siang aku melangkahkan kaki
memasuki sebuah rumah pinggir pantai paling cantik, yang aku pernah lihat
sepanjang hidupku. Seperti pada umumnya rumah yang berada di tepi pantai,
rumah ini juga merupakan rumah panggung satu lantai dengan teras berpagar yang
berlantaikan kayu. Ada ayunan yang bisa diduduki dua orang di satu sisi teras
itu, dan dua kursi serta sebuah meja yang terbuat dari kayu bercat putih di sisi
lainnya. Udara yang meskipun dingin segar berembus dari pantai. Aku menarik napas
dalam-dalam. Ketika aku melangkah masuk ke dalam rumah itu aku melihat ruang TV ada di
sebelah kanan, dengan sofa putih yang kelihatan sangat nyaman diduduki. TV
plasma berukuran super-besar menempel pada dinding, di bawahnya ada DVD-CD
player berteknologi tinggi. Di sebelah kiri ada meja makan untuk enam orang,
yang terbuat dari kayu bercat putih dan ditutupi taplak yang terbuat dari karung goni
berwarna putih pudar dengan garis-garis biru. Di sebelah ruang makan itu ada
dapur terkomplet yang aku pernah lihat. Ada microwave/oven, kompor dengan
empat tungku yang dilengkapi dengan panggangan, dua bak cuci piring, sebuah
pencuci piring otomatis, dan lemari es dua pintu. Segala sesuatunya dalam rumah
itu berwarna putih dan biru tua.
Reilley mengajakku melihat kamar tidur utama, yang memiliki tempat tidur
terbuat dari kayu antik berwarna cokelat tua dengan empat buah tiang di setiap
sudutnya. Satu sisi kamar itu terbuat dari kaca dengan sebuah pintu geser menuju
ke teras terbuka, yang memiliki tangga untuk turun langsung ke pantai. Aku
melongokkan kepalaku ke dalam kamar mandi, ada dua wastafel dan bathtub yang
cukup untuk empat orang. Ada juga shower superbesar melengkapi satu sisi kamar
mandi itu. Reilley meletakkan tasku di atas sebuah meja, di sebelahnya aku melihat pintu


Blind Date Karya Aliazalea di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju sebuah lemari walk-in. Aku baru menyadari bahwa semua lantai rumah
tersebut terbuat dari ubin tanah liat, tetapi kamar tidur ini terbuat dari
lantai kayu. Aku lalu berjalan menuju pintu kaca.
"This is beautiful," ucapku, sambil mendorong pintu geser itu ke kiri dan
melangkah ke luar ke teras.
Kuletakkan tanganku di atas pagar teras dan menarik napas dalam.
"I"m glad you like it." Reilley langsung melingkarkan lengan kirinya pada
pinggangku. "Kamu sudah berapa lama punya rumah ini?" Mataku menyapu pantai yang
kelihatan sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang berjalan-jalan karena udara
masih terlalu dingin untuk berenang.
"Saya membelinya dua tahun lalu dari sepasang kakek-nenek yang
memutuskan pindah ke Florida karena mereka nggak tahan lagi cuaca yang dingin."
"Sepi dan damai sekali di sini. Apa selalu seperti ini?"
"Biasanya ramai kalau musim panas waktu liburan sekolah dan cuacanya tidak
terlalu dingin, tetapi biasanya ya memang seperti ini sepanjang tahun."
Kusandarkan kepalaku pada dada Reilley, dan menutup mataku. Kurasakan
Reilley mengeratkan pelukannya, dan meletakkan dagunya di atas kepalaku.
"Kamu sedang berpikir apa?" tanyanya.
"Aku sedang berpikir, sekarang aku tahu mengapa orang punya rumah pantai.
Tempat ini cocok untuk bersantai dan melarikan diri dari kesibukan."
"Kedengarannya puitis sekali."
Aku tertawa. "Mungkin udara pantai sudah mengacaukan otakku." Reilley pun
tertawa mendengar balasanku. Kami lalu terdiam, dan menikmati keheningan
ditemani bunyi deburan ombak yang teratur serta teriakan burung camar yang
tinggi melayang. Tiba-tiba aku teringat lagu Burung Camar, yang didendangkan Vina
Panduwinata. Aku mencoba mengingat liriknya.
Burung camar, tinggi melayang
Bersahutan di balik awan Aku tidak bisa ingat lagi kata-katanya selain dua baris itu. Tiba-tiba Reilley
bertanya, "Kamu sedang nyanyi apa?"
"Aku nyanyi?" Aku membuka mataku kembali. Aku tidak menyadari kalau aku
sudah mengeluarkan suara ketika menyanyikan lirik lagu itu.
"You were humming. Lagu apa?"
"Lagu lama penyanyi Indonesia. Lagunya tentang burung camar," jelasku.
"Saya nggak pernah dengar kamu omong dalam bahasa Indonesia sebelumnya.
Bisa kamu nyanyikan lagu itu untuk saya?"
"Kamu sudah pernah dengar saya berbicara dalam bahasa Indonesia kalau saya
mengobrol dengan adik saya di telepon. Saya nggak bisa menyanyikan lagu itu
untuk kamu, saya nggak ingat liriknya," balasku.
"Saya nggak pernah bisa menangkap kata-katanya kalau kamu sedang
mengobrol dengan adik kamu. Kamu omongnya terlalu cepat, dan kadang-kadang
dicampur dengan bahasa Inggris. Saya selalu berpikir, bagaimana kamu bisa
gontaganti bahasa segampang itu," ucap Reilley.
"Well, saya juga nggak mengerti kalau kamu sudah mulai omong dalam bahasa
Prancis. Jadi, kita impas," ujarku, mengganggu Reilley. Aku tahu Reilley ingin
sekali belajar bahasa Indonesia agar dia bisa memahami percakapanku dengan Didi, tetapi
aku selalu menolak mengajarinya karena aku tidak mau dia tahu bahwa biasanya
topik utama pembicaraanku dengan Didi adalah dirinya.
Lodra Si Ular Sanca Beracun 1 Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Anak Harimau 6

Cari Blog Ini