My Name Is Red Karya Orhan Pamuk Bagian 2
yang satunya mendengarkan." "Dengan sikap seperti apa ia duduk?"
Aku menjatuhkan diri di atas lantai, dan menirukan cara duduk tamu itu. "Aku
sangat serius sekarang, Ibu. Lihatlah. Aku mendengarkan kakekku dengan alis mata
berkerut, seolah olah aku sedang mendengarkan kisah kepahlawanan dibacakan. Aku
mengangguk angggukkan kepalaku sekarang, sangat serius, seperti tamu itu."
"Turunlah ke bawah," pinta ibuku, "panggil Hayriye sekarang juga."
Dia duduk dan mulai menulis di atas secarik kecil kertas di papan tulis yang
diangkatnya. "Ibu, apa yang sedang Ibu tuliskan?"
"Cepatlah! Bukankah aku sudah menyuruhmu turun dan memanggil Hayriye?"
Aku turun lewat dapur. Kakakku, Shavket, sudah kembali. Hayriye tengah
menyiapkan sepiring nasi bumbu yang dimaksudkan untuk sang tamu.
"Pengkhianat!" seru kakakku. "Kau pergi begitu saja dan meninggalkanku dengan
guru kita. Aku melakukan semua pekerjaan lipat melipat untuk sampul itu
sendirian. Jari-jariku sampai lecet-lecet."
"Hayriye, ibu ingin bertemu denganmu."
"Begitu aku selesai di sini. Aku akan memukulmu," ucap kakakku, "Kau akan
membayar untuk kemalasan dan pengkhianatanmu."
Ketika Hayriye pergi, kakakku berdiri dan mendatangiku dengan pandangan
mengancam, bahkan sebelum ia menghabiskan nasi bumbunya. Aku tidak bisa
melarikan diri tepat pada waktunya. Ia menyambar pergelangan tanganku dan
memuntirnya. "Hentikan, Shevket, jangan sakiti aku." "Apakah kau akan menghindari tugastugasmu lagi dan kabur?"
"Tidak. Aku tidak akan pernah kabur lagi."
"Bersumpahlah."
"Aku bersumpah."
"Bersumpahlah atas nama Alquran." "... atas nama Alquran."
Ia tidak juga melepaskan tanganku, dan malah menyeretku ke arah baki tembaga
besar yang kami gunakan sebagai meja makan dan memaksaku untuk berlutut. Ia
cukup kuat untuk makan nasi bumbu sambil memuntir tanganku.
"Berhenti menyiksa adikmu, tiran!" seru Hayriye. Dia mengenakan kerudung dan
hendak beranjak pergi. "Jangan ganggu adikmu."
"Urus saja urusanmu sendiri, budak betina," seru kakakku. Ia masih saja memuntir
tanganku, "Akan pergi ke mana kau?"
"Membeli limau," jawab Hayriye.
"Kau pembohong," sahut kakakku. "Lemari itu masih penuh dengan buah limau."
Begitu kakakku melonggarkan puntirannya di tanganku, aku berhasil melepaskan
diri. Aku menendangnya dan menyambar sebuah pegangan lilin dengan dudukannya,
tetapi ia menyergapku, lalu mencekikku. Ia memukul pegangan lilin itu, dan baki
tembaga itupun terjatuh. "Kalian berdua bencana dari Tuhan!" seru ibuku. Dia tetap bersuara lirih agar
tamu itu tidak mendengarnya. Bagaimana dia bisa melewati pintu bengkel kerja
yang terbuka hingga ke lorong dan menuruni tangga tanpa terlihat oleh si Hitam"
Dia memisahkan kami berdua. "Kalian berdua akan terus membuatku malu, ya?"
"Orhan berdusta pada Empu Penjilid," sahut Shevket. "Ia meninggalkanku di sana
untuk mengerjakan semua pekerjaan."
"Diam!" seru ibuku sambil menamparnya. Dia memukulnya perlahan. Kakakku tidak
menangis. "Aku ingin ayahku," tukasnya. "Kalau ia sudah pulang, ia akan membawa
pedang dengan gagang bertatahkan batu rubi milik paman Hasan, dan kami akan
pindah bersama Paman Hasan."
"Tutup mulut!" bentak ibuku. Dia tibatiba saja menjadi begitu berang sehingga
dia menyambar tangan Shevket dan menyeretnya melewati dapur, melewati anakanak
tangga menuju ke ruangan yang berhadapan dengan bagian terjauh sisi yang teduh
di halaman. Aku mengikuti mereka. Ibuku membuka pintu. Ketika dia melihatku, dia
berkata, "Masuk, kalian berdua!"
"Tetapi aku tidak melakukan kesalahan apa pun," sahutku. Tapi aku masuk juga.
Ibuku menutup pintu di belakang kami. Meskipun di dalamnya begitu gelap hanya ?ada secercah cahaya pudar jatuh dari langit di antara daun-daun jendela yang
menghadap pohon delima di halaman aku begitu ketakutan.
?"Buka pintunya, Ibu," jeritku. "Aku kedinginan."
"Berhentilah merengek, pengecut!" ujar Shevket. "Dia akan membuka pintu itu tak
lama lagi." Ibu membuka pintunya. "Apakah kalian akan berperilaku baik sampai tamu itu
pergi?" tanyanya. "Baiklah kalau begitu, kalian akan duduk di dapur di dekat
kompor, sampai Hitam pergi, dan kalian tidak akan naik ke lantai atas,
mengerti?" "Kami akan merasa bosan di sana," seru Shevket. "Ke mana Hayriye pergi?"
"Jangan ikut campur urusan orang lain," ujar ibuku. Kami mendengar suara
ringkikan kuda di istal. Kuda itu meringkik lagi. Itu bukan kuda kakek,
melainkan kuda milik Hitam. Kami segera merasa riang, seolaholah itu adalah hari
raya. Ibu tersenyum, dia ingin agar kami tersenyum juga. Seraya mengambil dua
langkah ke depan, dia membuka pintu istal yang menghadap kami, lalu keluar ke
tangga di bagian luar dapur.
"Sssttt," serunya sambil memasuki istal.
Dia membalikkan tubuhnya dan menuntun kami memasuki dapur Hayriye yang berminyak
dan bau, serta dipenuhi tikustikus yang berkeliaran. Dia memaksa kami duduk.
"Jangan beraniberani berdiri sampai tamu kita pergi dan jangan bertengkar. Kalau
tidak, orang akan mengira kalian anakanak manja."
"Ibu," aku berkata padanya sebelum dia menutup pintu dapur, "aku ingin
mengatakan sesuatu: Mereka telah membunuh tukang sepuh kakek kita,"[]
Bab : AKU DINAMAI HITAM SAAT PERTAMA kali aku memandangi anaknya, aku langsung tahu apa yang telah salah
kukenang dari wajah Shekure, tetapi amat kurindukan. (2j Seperti wajah Orhan,
wajah Shekure juga tirus, meskipun dagunya lebih panjang dari yang kuingat.
Tetapi tentu saja bibir kekasihku lebih mungil dan lebih sempit dari yang
kubayangkan. Selama selusin tahun, aku berkelana dari kota ke kota, dan tanpa
kusadari aku telah melebarkan bibir Shekure karena terpengaruh hasratku, dan
membuatku membayangkan bibirnya lebih berisi, kenyal, dan basah menggoda,
bagaikan sebutir buah ceri yang besar dan berkilau.
Aku membawa gambar Shekure ke mana-mana, kuhormati dengan gaya seperti yang
dilakukan seniman besar Venesia. Kulakukan itu agar aku tidak begitu merasa
kehilangan selama aku berkelana, juga ketika aku sulit mengingat-ngingat
kekasihku yang wajahnya kutinggalkan di suatu tempat di belakangku, karena
selama wajah seorang kekasih terus bercahaya di dalam hatimu, dunia masih akan
terus menjadi rumahmu. Bertemu dengan putra bungsu Shekure, berbicara dengannya, melihat wajahnya dari
dekat dan menciumnya, membuatku merasakan kegelisahan layaknya mereka yang tidak
beruntung, para pembunuh dan para
pendosa. Sebuah suara dari dalam nuraniku berteriak, "Ayo cepatlah pergi dan
temui dia." Sejenak, aku berpikir untuk mohon diri diamdiam dari hadapan Enishteku, dan
membuka setiap pintu di sepanjang lorong yang lebar itu aku telah menghitungnya?dengan sudut mataku, ada lima pintu yang gelap, salah satunya pasti mengarah ke
tangga sampai aku menemukan Shekure. Namun, aku telah terpisah dari kekasihku
?itu selama dua belas tahun, hanya garagara aku mengungkapkan isi hatiku. Aku
memutuskan untuk menunggu dalam diam, mendengarkan Enishteku berbicara,
sementara aku mengagumi bendabenda yang pernah disentuh Shekure, dan sebuah
bantal besar yang pernah disandarinya entah berapa kali.
Ia menceritakan padaku bahwa Sultan ingin agar buku itu selesai tepat pada
waktunya, sebelum perayaan seribu tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke
Madinah. Sultan kami ingin menunjukkan bahwa setelah seribu tahun dalam
penanggalan Muslim, ia dan negerinya mampu menggunakan gaya kaum Frank sebagus
dan seindah yang dibuat oleh mereka sendiri. Karena Sultan juga menginginkan
Kitab Segaia Pesta dibuat, maka ia mengizinkan para ilustrator yang diketahuinya
sangat sibuk untuk mengasingkan diri di rumah masingmasing agar bisa bekerja
dengan tenang, daripada berada di antara kerumunan orang di bengkel kerja. Ia
juga tentu mengetahui bahwa mereka semua diamdiam mengunjungi Enishteku secara
teratur. "Kau akan menemui Iluminator Kepala Tuan Osman," ujar Enishteku. "Sebagian orang
berkata ia sudah buta, sebagian lagi berkata ia sudah kehilangan kemampuan
inderanya. Menurutku ia telah buta sekaligus uzur."
Terlepas dari kenyataan bahwa Enishteku tidak memiliki posisi sebagai seorang
Iluminator Kepala, dan itu memang bukan bidang keahlian artistiknya, ia memegang
kendali atas sebuah manuskrip yang harus diberi ilustrasi. Kenyataannya, hal ini
berlangsung atas izin dan dukungan Sultan. Sebuah situasi yang tentu saja
membuat hubungannya dengan Tuan Osman yang lebih tua darinya menjadi tegang.
Aku memikirkan masa kanak-kanakku, kubiarkan perhatianku terserap oleh perabot
dan bendabenda di dalam rumah ini. Sejak dua belas tahun yang lalu, aku masih
saja mengingat karpet biru dari Kula yang menutupi lantai, bejana tembaga,
perkakas minum kopi dan bakinya, keranjang tembaga dan cangkircangkir kopi yang
mungil, yang didatangkan jauh jauh dari Cina lewat Portugis, sebagaimana yang
selalu disombongkan almarhumah bibiku. Semua itu berdampak padaku, seperti rehal
tempat dudukan buku yang dihiasi mutiara besar, gantungan sorban yang dipakukan
ke dinding, dan bantal beludru berwarna merah dengan kelembutan yang langsung
kuingat begitu aku menyentuhnya. Bendabenda itu berasal dari Aksaray, tempat aku
menghabiskan masa kanak-kanakku bersama Shekure, dan semua itu masih saja
membangkitkan perasaan bahagia dari harihari saat aku melukis di rumah itu.
Lukisan dan kebahagiaan. Aku ingin agar para pern-bacaku yang telah
sungguhsungguh mencermati cerita dan nasibku untuk memahami kedua hal ini,
karena keduanya adalah asal muasal duniaku. Pada suatu ketika, aku disibukkan di
tempat ini, di antara bukubuku, kuas kuas kaligrafi dan lukisanlukisan. Lalu,
aku jatuh cinta dan direnggut dari surga ini. Selama bertahuntahun aku
menjalani masa pembuangan karena cintaku ini, aku sering memikirkan betapa
kenyataannya aku begitu berutang pada Shekure dan perasaan cintaku padanya,
karena dengan itulah aku mampu bertahan dengan penuh harap menjalani kehidupan
dan menaklukkan duniaku. Karena aku, dalam kepolosan masa kanak-kanakku, tidak
memiliki keraguan bahwa perasaan cintaku itu pasti berbalas, aku merasa semakin
yakin dan memandang dunia ini adalah tempat yang amat indah. Kaulihat, dengan
ketulusan seperti itu pula aku melibatkan diri dengan bukubuku untuk kemudian
mencintai semua itu, kecintaanku pada membaca yang diminta oleh Enishteku saat
itu, serta kesenangan membaca pelajaran-pelajaran sekolah agamaku, ilustrasi,
dan lukisan. Namun, sebanyak aku berutang atas keceriaan, kesemarakan, dan
kesuburan dalam separuh masa pendidikan pertamaku pada rasa cintaku terhadap
Shekure, aku juga berutang atas kesedihan yang meracuni masa-masa berikutnya
akibat penolakan yang kuterima atas cintaku. Hasratku di malammalam dingin untuk
meledak dan lenyap bagai pijar api yang mati di atas kompor besi di penginapan
di tengah gurun, berulangulang kumimpikan setiap kali usai semalam penuh cinta
bersama perempuan mana pun yang terbaring di sampingku, membuatku terlempar ke
dalam jurang kehampaan, meninggalkan kesan betapa tak pantasnya diriku semua itu
tercipta karena Shekure. "Sadarkah kau," ujar Enishteku beberapa saat kemudian, "bahwa setelah kematian,
jiwa kita masih mampu bertemu dengan roh semua manusia, lakilaki dan perempuan,
di dunia ini, yang tertidur nyenyak di ranjangnya?"
"Tidak, aku tidak tahu."
"Kita akan melakukan sebuah perjalanan panjang setelah mati, maka aku tidak
takut pada kematian. Yang kutakutkan adalah kematian yang datang sebelum aku
menyelesaikan buku pesanan Sultan kita,"
Sebagian dari diriku lebih kuat, lebih rasional, dan lebih bisa diandalkan
daripada Enishte ku, sedangkan sebagian lagi sibuk memikirkan harga tunik yang
kubeli dalam perjalanan ke sini untuk bertemu dengan orang yang telah menampik
lamaranku pada putrinya ini, juga tentang pakaian kuda dari perak dan pelana
buatan tangan untuk kuda yang begitu aku turun dari tangga akan kukeluarkan dari
istal dan kupacu pergi. Kukatakan padanya bahwa aku akan memberitahukan semua yang kuketahui dalam
kunjunganku ke berbagai miniaturis. Aku mencium tangannya dan menempelkannya di
keningku. Lalu aku berjalan menuruni tangga, memasuki halaman, dan merasakan
salju yang dingin di atasku, menerima kenyataan bahwa diriku bukan lagi seorang
bocah, juga bukan seorang lelaki tua: Aku dengan riang merasakan dunia di atas
kulitku. Begitu aku menutup gerbang istal, embusan angin mulai terasa. Aku
menuntun kuda putihku dengan memegang pakaiannya, melintasi jalanan berbatu
hingga ke jalan tanah di halaman, dan kami berdua menggigil. Aku merasa seolah
tungkai-tungkai kakinya yang kuat dan berurat besar, ketidaksabaran dan
kekeraskepalaannya, adalah diriku sendiri. Begitu kami memasuki jalan besar, aku
hendak melompat menunggangi kuda hebatku itu dan menghilang ke jalanan sempit ?bagaikan seorang penunggang kuda ulung dan tak akan pernah kembali lagi saat
?seorang perempuan Yahudi gemuk berpakaian merah muda dan membawa buntalan
tibatiba muncul entah dari mana dan mendekatiku. Dia
adalah seorang perempuan berbadan besar dan lebar, seperti sebuah lemari. Dia
juga amat bersemangat, lincah, dan bahkan tampak menggoda.
"Lelakiku yang pemberani, pahlawanku, bisa kulihat betapa tampannya dirimu,
tepat seperti yang mereka katakan," katanya. "Apakah kau sudah menikah" Atau kau
masih lajang" Bersediakah kau membeli sehelai saputangan sutra untuk kekasih
gelapmu dari Esther, penjaja pakaian indah paling utama di Istanbul?"
"Tidak." "Selembar selendang merah dari sutra Atlas?" "Tidak."
"Janganlah berkata tidak padaku seperti itu! Bagaimana mungkin jiwa pemberani
seperti dirimu tidak memiliki seorang tunangan atau kekasih gelap" Siapa yang
tahu berapa banyak air mata perawan yang menetes karena terbakar hasratnya
padamu?" Tubuh perempuan itu memanjang seperti tubuh liat seorang pemain akrobat dan dia
mencondongkannya ke arahku dengan posisi tubuh yang anggun. Di saat yang sama,
dengan kepiawaian seorang tukang sulap yang bisa memunculkan bendabenda dari
udara, dia mengeluarkan sepucuk surat dari tangannya. Bagaikan seorang pencuri
aku menyambarnya, dan seakanakan telah berlatih bertahuntahun untuk menghadapi
saat-saat seperti ini, dengan cepat dan rapi kumasukkan surat itu ke dalam
selempangku. Surat itu tebal dan terasakan seperti api membakar kulitku yang
membeku, di bagian antara perut dan punggungku.
"Pacu kudamu pelan-pelan saja," ujar Esther si penjaja pakaian. "Belok ke kanan
di pojok jalan itu, ikuti dinding yang melengkung tanpa menghentikan langkahmu.
Begitu sampai di pohon delima, beloklah dan pandangilah rumah yang baru saja
kautinggalkan, pandangi jendela di sebelah kananmu."
Perempuan itu berlalu dan menghilang dalam sekejap.
Aku menaiki punggung kudaku, tetapi aku melakukannya seperti orang yang baru
pertama kali naik kuda. Jantungku berdetak kencang, benakku berkecamuk oleh
gairah, kedua tanganku seperti lupa bagaimana mengendalikan tali kekang, tetapi
saat kedua tungkai kakiku menjepit kencang tubuh kudaku, akal sehat dan
kepiawaianku serta merta mengendalikan kudaku dan juga diriku. Seperti yang
petunjuk Esther, kudaku melangkah perlahan tapi pasti, dan betapa indahnya kami
kemudian berbelok ke kanan memasuki jalan raya!
Saat itulah aku merasa bahwa aku mungkin memang tampan. Seperti dalam dongeng,
dari balik setiap kusen dan daun jendela, seorang perempuan pemalu sedang
memerhatikanku dan aku merasa aku kembali terbakar oleh api yang dulu pernah
membakarku. Inikah yang kuidamkan" Akankah aku pasrah merasakan kembali
penderitaan yang pernah kurasakan selama bertahuntahun" Matahari tibatiba saja
menerobos dari celah awan, menatapku tajam.
Di manakah pohon delima itu" Apakah pohon yang kurus dan muram itu" Ya! Aku
menoleh cepat ke sisi kanan tungganganku. Aku melihat sebuah jendela di bawah
pohon, tetapi tak ada seorang pun di sana. Aku sudah diperdaya oleh perempuan
bernama Esther itu! Tepat saat aku sedang memikirkan kemungkinan buruk itu, daun jendela berselimut
es terbuka kencang seakan hendak meledak dan, setelah dua belas tahun, aku
memandangi wajah menakjubkan kekasih hatiku di antara
cabang-cabang pohon. Wajah itu dibingkai indah oleh pinggiran jendela yang
terselimuti es dan cahaya es itu berkilauan terkena sinar matahari.
Apakah bola mata hitam kekasihku itu menatapku atau kehidupan lain di luar
diriku" Aku tidak tahu apakah dia sedang sedih, atau tersenyum, atau tersenyum
sedih. Kuda bodoh ini tidak bisa merasakan isi hatiku. Tenanglah! Perlahan aku
memutar tubuhku di atas pelana, menyorotkan pandangan mata penuh gairah selama
mungkin, hingga wajahnya yang tirus, elok, dan misterius itu menghilang di balik
dahandahan pohon. Lama sesudah itu, setelah membuka suratnya dan melihat ilustrasi di dalamnya,
aku memikirkan perjumpaanku dengannya di jendela, dari atas pelana kudaku.
Perjumpaanku itu sangat menyerupai lukisan yang telah dibuat ribuan kali, di
mana Hiisrev menjumpai Shirin di bawah jendela kamar perempuan itu hanya saja ?pada kisah kami, ada sebatang pohon yang muram di antara kami berdua. Ketika aku
mengenali persamaan ini betapa aku terbakar api cinta, sebagaimana yang mereka
kisahkan dalam buku yang sangat kami sukai dan kagumi itu.[]
Bab i AKU ADALAH ESTHER AKU TAHU, kalian semua bertanyatanya tentang apa yang ditulis Shekure dalam
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
surat yang kuberikan pada Hitam. Karena hal ini juga menjadi keingintahuanku,
aku telah mengetahui semua yang ada di sana. Jika kalian bersedia, berpurapuralah sedang membolak-balik halaman sebuah buku cerita, dan izinkan aku
memberi tahu kalian tentang apa yang terjadi sebelum aku menyerahkan surat itu.
Sekarang, menjelang malam, aku pulang ke rumah kami di perkampungan orang Yahudi
yang menyenangkan di mulut Golden Horn bersama suamiku Nesim. Kami adalah dua
orang tua yang meniup-niup dan mendengus-dengus, mencoba untuk tetap merasa
hangat dengan melemparkan potongan kayu bakar ke dalam tungku. Abaikan caraku
menyebut diri kami sendiri 'tua.1 Ketika aku memasukkan pernakpernikku bendabenda murahan dan tampak seperti barang berharga, khusus untuk ?memikat para perempuan seperti cincin, giwang, kalung dan manik-manik ke dalam
?lipatan sapu tangan sutra, sarung tangan, sprei dan kemeja warnawarni yang
dikirimkan oleh kapal-kapal Portugis, ketika aku memanggul buntalan itu, maka
aku adalah Esther si sendok sayur dan Istanbul adalah pancinya, dan tidak ada
satu jalan pun yang tidak kujelajahi. Tak sepatah
kata pun dari sebuah gunjingan atau surat yang tak kubawa dari satu pintu ke
pintu lainnya, dan aku menjalankan peran sebagai mak comblang pada separuh
perawan yang ada di Istanbul. Aku tidak menyebutkan semua ini untuk membual.
Seperti yang kukatakan, kami sedang beristirahat malam itu, dan "tok ... tok ... tok
..." ada seseorang di balik pintu. Aku pergi membukanya, dan menemukan Hayriye,
gadis budak yang tolol itu, sedang berdiri di depanku. Dia memegang secarik
surat di tangannya. Aku tidak tahu apakah karena hawa dingin atau karena
bersemangat, tetapi dia tampak gemetar saat dia menjelaskan keinginan-keinginan
Shekure. Awalnya, kupikir surat itu untuk diberikan pada Hasan. Itu sebabnya aku merasa
sangat terkejut. Kautahu tentang suami si cantik Shekure, lelaki yang tidak
pernah kembali dari medan perang itu jika kau bertanya padaku, menurutku
?lakilaki itu sudah lama mati. Kautahu, suaminya yang serdadu tak pernah pulang
itu memiliki seorang adik yang bersikukuh bahwa kakaknya masih hidup, namanya
Hasan. Jadi, bayangkanlah betapa terpananya aku saat kulihat surat Shekure itu
bukan ditujukan untuk Hasan, melainkan untuk lakilaki lain. Apa isi surat itu"
Esther merasa gila karena rasa ingin tahunya, dan pada akhirnya, aku berhasil
membacanya. Tapi sialnya, kita tidak saling mengenal satu sama lain, bukan" Sejujurnya, aku
diliputi perasaan malu dan khawatir. Bagaimana aku bisa membacanya, kau tak akan
pernah mengetahuinya. Mungkin kau akan merasa malu dan meremehkanku karena telah
ikut campur urusan pribadi orang lain seolaholah kau sendiri tidak secomel
?tukang cukur. Aku akan menghubungkanmu dengan apa yang kuketaui dari surat itu.
Inilah yang ditulis oleh si
manis Shekure Hitam Effendi, kau adalah seorang tamu di rumahku, berkat hubungan dekatmu
dengan ayahku. Tapi jangan kauharapkan sebuah anggukan kepala dariku. Banyak
yang terjadi sejak kepergianmu. Aku dinikahkan dan mendapatkan dua orang putra
yang kuat dan bersemangat. Salah satunya adalah Orhan, ia adalah bocah yang kau
temui tadi, yang masuk ke dalam bengkel kerja. Saat aku menanti kepulangan
suamiku selama empat tahun, ada satu hal kecil lainnya yang mengganggu
pikiranku. Aku merasa kesepian, tak berdaya dan lemah, hidup bersama dua orang
anak dan seorang ayah yang sedang beranjak uzur. Aku merindukan kekuatan dan
perlindungan seorang lakilaki, tapi aku tidak membiarkan siapa pun memanfaatkan
situasi ini. Oleh karena itu, akan menyenangkan bagiku jika kaumau berhenti
mengunjungi kami. Kau pernah membuatku malu dulu, dan sesudahnya, aku harus
merasakan penderitaan dalam mendapatkan kembali kehormatanku di depan ayahku!
Bersama surat ini, aku juga mengembalikan gambar yang kaulukis dan kaukirimkan
padaku saat kau masih seorang pemuda penuh semangat yang belum bijak. Aku
melakukan hal ini agar kau tidak menambatkan harapanharapan semu atau salah
membaca isyarat. Sebuah kesalahan bila kau memercayai bahwa seseorang bisa jatuh
cinta hanya dengan menatap sebuah lukisan. Lebih baik kau berhenti mengunjungi
rumah kami untuk selamanya.
Shekure yang malang, kau bukan seorang bangsawan, bukan juga seorang pasha yang
memiliki segel indah untuk menyegel suratmu! Di bagian bawah halaman surat itu,
dia menandatanganinya dengan namanya yang tampak seperti seekor burung kecil
yang ketakutan. Tak ada apa-apa lagi.
Aku berkata soal "segel." Kalian mungkin heran bagaimana aku membuka dan menutup
surat bersegel lilin ini. Namun kenyataannya, surat itu tidak disegel sama
sekali. "Esther adalah seorang Yahudi yang tidak berpendidikan," mungkin begitu
yang dipikirkan Shekure. "Dia tidak akan mengerti isi tulisanku." Benar, aku
memang tidak bisa membaca, tetapi aku selalu bias meminta seseorang
membacakannya untukku, Sementara, untuk yang tak tertulis, aku sendiri sanggup
"membacanya." Apakah kau bingung"
Mari kujelaskan, agar mereka yang paling tolol di antara kalian sekalipun bisa
memahaminya: Sepucuk surat tidak hanya menyampaikan pesan melalui rangkaian katakata. Sepucuk
surat, seperti sebuah buku, bias dibaca dengan menciumnya, menyentuhnya, dan
mengelusnya. Karenanya, orang yang pintar akan berkata, "Ayo, bacalah yang
diceritakan oleh surat itu!" Adapun orangorang bodoh akan berkata, "Ayo, bacalah
yang tertulis dalam surat itu!" Kini, dengarkan, apa lagi yang dikatakan oleh
Shekure: 1. Meskipun aku mengirimkan surat ini secara diamdiam, dengan mengandalkan
Esther yang menjadikan proses berkirim surat sebagai soal perniagaan dan
kebiasaan, aku sedang menunjukkan bahwa aku tidak berniat menutup-nutupinya.
2. Benar bahwa dengan aku melipatnya seperti roti Prancis akan menunjukkan
adanya rahasia dan misteri. Namun, surat ini tidak disegel dan ada sebuah
lukisan besar yang dilampirkan. Maksud yang terkandung adalah, "Berdoalah,
jagalah rahasia kita dengan segala upaya," yang lebih cocok sebagai undangan
pada seorang kekasih daripada sepucuk surat pengusiran.
3. Lebih jauh lagi, wangi surat ini membenarkan penafsiran ini. Wewangiannya
cukup samara untuk memberi dua penafsiran apakah dia dengan sengaja membubuhkan?parfum pada surat ini" meskipun cukup membangkitkan keingintahuan pembacanya
? ?apakah ini aroma minyak bunga tujuh rupa atau harum tangannya" Dan wewangian
yang cukup untuk memikat seorang lelaki malang yang membacakan surat itu
untukku, pasti akan menimbulkan dampak yang sama pada Hitam.
4. Akulah Esther, yang tidak bisa membaca dan menulis, tetapi aku tahu yang satu
ini: Meskipun alur kalimat surat dan tulisan tangan itu seolaholah berkata,
"Sial, aku terburuburu, aku menulis asal-asalan dan tanpa keseriusan," surat ini
berbicara dengan anggun seakanakan diterpa angin lembut yang membawa pesan
kebalikannya. Bahkan frase "yang kautemui tadi" saat membicarakan Orhan,
menunjukkan bahwa surat itu ditulis saat itu juga, menguliti sebuah siasat yang
tak kalah jelas dibanding setiap baris yang dituliskan dengan hatihati.
5. Gambar yang dilampirkan melukiskan Shirin yang cantik sedang memandangi sosok
Hiisrev yang tampan, dan tampak jatuh cinta, sebagaimana yang tersurat dalam
cerita yang aku pun, seorang perempuan Yahudi, tahu benar jalannya. Semua gadis
yang sulit mendapatkan cinta di Istanbul amat mengagumi kisah ini, tetapi tak
pernah kutahu orang yang mengirimkan sebuah ilustrasi yang berhubungan dengan
kisah itu. Selalu terjadi pada kalian orangorang berpendidikan
yang beruntung. Seorang gadis buta huruf memintamu membacakan sepucuk surat yang
diterimanya. Surat itu begitu mengejutkan, bersemangat, dan membuat risau,
sehingga pemiliknya, meskipun malu karena kau jadi tahu persoalan pribadinya,
tetap akan memintamu membacakannya sekali lagi. Kau membacakannya lagi. Pada
akhirnya, kau membaca surat tersebut berulangulang, sehingga kalian berdua hafal
isinya. Sebelum terlalu lama, si perempuan akan mengambil surat itu dan
bertanya, "Apakah ia membuat pernyataan itu di sebelah sini?" dan "Apakah ia
menyatakannya di bagian ini?" Begitu kau menunjukkan tempat yang tepat, dia akan
mencermati kalimat itu, meski tetap saja tak mampu memahami kata-katanya. Begitu
dia menatap hurufhuruf yang melengkung dari katakata itu, terkadang aku akan
merasa sangat tersentuh sehingga aku lupa bahwa aku sendiri tidak bisa membaca
atau menulis, dan aku merasakan keinginan yang mendesak untuk memeluk gadisgadis tak berpendidikan yang tangisnya membasahi halamanhalaman surat itu.
Lalu ada para pembaca surat yang sungguhsungguh terkutuk berdoalah agar kau ?bukan salah satu di antaranya. Ketika si gadis mengambil surat itu dengan
tangannya sendiri, untuk menyentuhnya lagi, ingin memandanginya tanpa memahami
katakata yang berbicara dalam surat itu, binatang-binatang ini akan berkata
padanya, "Apa yang akan kaulakukan" Kau tidak bias membaca, apa lagi yang ingin
kaupandangi?" Beberapa di antaranya bahkan tidak akan mengembalikan surat itu,
menganggap bahwa sejak itu suratsurat tersebut telah menjadi milik mereka.
Kadangkadang, tugas untuk mendatangi mereka dan mengambil kembali
suratsurat itu dibebankan kepadaku, Esther. Jenis perempuan baik seperti itulah
aku. Jika Esther menyukaimu, dia pun akan menolongmu.[]
ab 9 .AKU, SHEKURE DUH, KENAPA aku ada di sana, di jendela itu, saat Hitam lewat di atas kuda
putihnya" Mengapa aku membuka daun jendela itu menuruti kata hatiku di saat itu
juga, dan memandanginya begitu lama dari balik dahandahan bersalju pohon delima
itu" Aku tidak tahu apakah bisa memberimu jawaban. Aku sudah mengirimkan pesan
pada Esther melalui Hayriye. Tentu saja aku sangat tahu bahwa Hitam akan
melewati jalan itu, Sementara itu, aku akan sendirian di kamar yang ada kamar
kecilnya dan memiliki jendela yang menghadap ke pohon delima, memeriksa spreisprei di dalam peti. Tibatiba saja, dan di saat yang tepat, aku mendorong daun
jendela itu dengan sekuat tenaga dan cahaya matahari pun membanjiri kamar itu:
Berdiri di jendela, aku bertatap muka dengan Hitam yang, bagaikan matahari,
membuatku silau. Oh, betapa indahnya.
Ia tumbuh dewasa dan sudah kehilangan kekikukan masa mudanya, ia telah berubah
menjadi seorang lakilaki yang menawan. Dengarkan Shekure, seru hatiku, ia tidak
hanya tampan, lihatlah ke dalam matanya, ia memiliki hati seorang anak kecil,
begitu murni, begitu sendirian: Menikahkah dengannya. Entah bagaimana aku
mengiriminya sepucuk surat di mana aku malah menyampaikan pesan yang
bertentangan dengan hatiku.
Meskipun ia dua belas tahun lebih tua dariku, saat aku berusia dua belas aku
lebih dewasa darinya. Waktu itu, bukannya berdiri tegak dan tinggi di depanku
dengan pakaian seorang lakilaki dewasa dan menyatakan apa yang akan
dikerjakannya, melompat dari satu titik atau memanjat hal lain, ia malah
membenamkan wajahnya ke dalam buku atau lukisan, ia bersembunyi seolaholah
segala di sekitarnya membuatnya malu. Di saat yang sama, ia juga jatuh cinta
padaku. Ia membuat sebuah lukisan tentang pernyataan cintanya. Saat itu kami
berdua sudah sama-sama dewasa. Ketika aku mencapai usia dua belas tahun, aku
merasa bahwa Hitam tidak bisa lagi menatap mataku, seakanakan ia takut aku akan
tahu bahwa ia mencintaiku. "Serahkan padaku pisau bergagang gading itu," katanya
seraya menatap ke arah pisau dan bukan ke arahku. Jika aku bertanya, misalnya,
"Apakah sari buah ceri itu sesuai dengan seleramu?" Ia tidak bisa langsung
mengiyakan dengan seulas senyuman atau anggukan kepala, seperti yang kami
lakukan jika mulut kami dipenuhi makanan. Ia malah akan berteriak keras, "Ya"
seperti yang sedang berusaha bercakap-cakap dengan seorang tuli. Ia takut
memandangi wajahku. Saat itu aku adalah seorang gadis dengan kecantikan yang
memesona. Lakilaki mana pun yang menangkap bayangan diriku, bahkan untuk sekali
saja, dari kejauhan, atau dari celah tirai, atau pintu yang terbuka, atau bahkan
dari balik berlapis lapis penutup kepala yang kukenakan, seketika mereka akan
jatuh cinta padaku. Aku bukan seorang pembual. Aku menjelaskan semua ini padamu
agar kau memahami kisahku dan mampu membagi kedukaanku dengan lebih baik.
Dalam kisah cinta ternama Hiisrev dan Shirin, ada satu
bagian yang aku dan Hitam diskusikan panjang lebar. Sahabat Hiisrev, Shapur,
berniat menjodohkan Hiisrev dan Shirin agar mereka saling jatuh cinta. Suatu
hari Shirin sedang pergi berjalan-jalan ke pinggiran kota bersama beberapa
perempuan kerabat istana ketika dia melihat sebuah lukisan diri Hiisrev yang
digantungkan Shapur secara diamdiam di dahan salah satu pohon di tempat mereka
berhenti untuk beristirahat. Hanya dengan memandang lukisan diri Hiisrev yang
tampan berada di sebuah taman yang indah itu saja, Shirin langsung tertancap
panah asmara. Banyak sekali lukisan yang menggambarkan peristiwa ini atau ?"adegan" ini, sebagaimana yang disebut para ilustrator yang menunjukkan tatapan
?kagum Shirin dan sorot matanya yang bergelora saat menatap gambar Hiisrev.
Ketika Hitam sedang bekerja dengan ayahku, ia melihat lukisan ini beberapa kali
dan sudah dua kali membuat tiruannya dengan amat mirip, hanya dengan melihat
lukisan aslinya. Setelah ia jatuh cinta padaku, ia membuat sebuah salinan untuk
dirinya sendiri. Namun kali ini ia melukiskan dirinya sendiri dan aku, Hitam dan
Shekure, untuk mengganti Hiisrev dan Shirin. Jika bukan karena tulisan di bawah
lukisan itu, aku tidak bisa mengetahui siapa sepasang lelaki dan perempuan yang
dilukiskan dalam gambar itu karena kadangkadang, saat kami bercandacanda, ia
akan melukiskan kami dalam sikap tubuh dan warna yang sama: aku berwarna biru,
ia berwarna merah. Dan jika ini tidak cukup sebagai petunjuk, ia juga akan
menuliskan nama kami di bawah gambarnya. Ia meninggalkan lukisan itu di tempat
aku bisa menemukannya, lalu ia akan pergi. Ia mengawasiku dari jauh, melihat
bagaimana reaksiku terhadap lukisannya itu.
Aku juga sangat sadar bahwa aku tidak akan sanggup mencintainya seperti Shirin
maka aku pun berpurapura tak peduli. Pada suatu malam di musim panas ketika
Hitam memberikan padaku lukisannya itu, saat kami mendinginkan diri dengan sari
buah ceri masam dingin ditambah es batu yang kabarnya dibawa jauh-jauh dari
potongan salju yang menutupi Gunung Ulu, aku memberi tahu ayahku bahwa Hitam
telah membuat sebuah pernyataan cinta padaku, Saat itu Hitam baru saja lulus
dari sekolah agama. Ia mengajar di lingkungan terpencil jauh di sana, dan lebih
karena keinginan ayahku daripada keinginannya sendiri, Hitam sedang berusaha
mendapatkan dukungan dari Nairn Pasha yang berkuasa dan berpengaruh. Namun,
menurut ayahku, Hitam belum menunjukkan kecerdasannya. Ayahku, yang telah
bersusah payah untuk mendapatkan sebuah tempat di lingkaran Nairn Pasha,
setidaknya dimulai dari pekerjaan sebagai seorang pegawai, mengeluhkan betapa
Hitam tidak banyak berusaha demi kemajuan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
menurut ayahku, Hitam telah bersikap sangat abai. Dan malam itu juga, mengenai
Hitam dan aku, ayahku membuat pernyataan, "Menurutku, ia telah menetapkan
pandangannya terlalu tinggi, keponakanku yang manja ini," dan tanpa menghormati
kehadiran ibuku, ia menambahkan, "ia lebih cerdas dari yang kita duga."
Aku mengingat dengan pilu apa yang dilakukan ayahku keesokan harinya. Bagaimana
aku harus menjaga jarak dari Hitam dan bagaimana ia berhenti mengunjungi rumah
kami. Namun, aku tidak akan menjabarkan semua itu, karena aku cemas ini akan
membuatmu tidak menyukaiku dan ayahku. Aku berani bersumpah, bahwa kami tidak
memiliki pilihan lain. Kautahu, dalam situasi seperti itu,
orangorang berakal sehat tibatiba saja bisa merasakan bahwa cinta tanpa harapan
adalah ketidakberdayaan, dan yang memahami batasan-batasan dunia yang tidak
logis dari hati dan perasaan akan segera mengakhirinya lewat pernyataan santun,
"Menurut mereka, kita bukan pasangan yang serasi. Memang begitulah adanya."
Tetapi, aku akan memberitahumu apa yang dikatakan ibuku berulangulang,
"Setidaktidaknya, jangan kaubuat anak itu patah hati." Hitam, yang oleh ibuku
dianggap sebagai seorang "anak", saat itu berusia dua puluh empat, dan aku
berumur setengah dari usianya. Karena ayahku menganggap pernyataan cinta Hitam
sebagai tindakan kurang ajar, ia tidak akan menganggap keinginan ibuku sebagai
lelucon. Meskipun kami belum betul-betul melupakannya saat kami menerima kabar bahwa ia
telah meninggalkan Istanbul, kami membiarkannya menyelinap pergi dari kasih
sayang kami sepenuhnya. Karena kami tidak juga menerima kabar tentangnya dari
kota mana pun selama bertahuntahun, aku beranggapan cukup wajar bagiku menyimpan
lukisan yang dibuat dan ditunjukkannya padaku sebagai kenang-kenangan dari masa
kanakkanak dan persahabatan kami. Untuk mencegah ayahku dan suamiku yang
terdahulu menemukan lukisan itu, lalu menjadi kesal karena cemburu, aku dengan
pandai telah menutupi nama "Shekure" dan "Hitam" di bawah gambar itu, dengan
membuat dua nama itu terlihat hanya apabila seseorang menyapu tinta Hasan Pasha
milik ayahku ke atasnya, di mana pada suatu kejadian tak disengaja beberapa
waktu kemudian, hurufhuruf itu disamarkan menjadi bebungaan. Semenjak aku
mengembalikan gambar itu padanya hari ini, mungkin di antara kalian ingin
mengetahui, betapa aku yang menunjukkan diriku ke hadapannya di jendela ini,
merasa malu dan memikirkan prasangkaprasangka kalian.
Setelah memperlihatkan wajahku kepadanya, selama beberapa saat aku tetap di
depan jendela, dihujani semburat merah matahari senja, dan aku terpukau menatap
taman yang bermandikan cahaya Jingga kemerahan, hingga aku merasakan dinginnya
hawa malam yang menusuk. Tak ada angin seembus pun. Aku tak peduli orangorang
yang melintas di jalanan akan bergunjing karena melihatku di jendela yang
terbuka. Salah satu putri Ziver Pasha, Mesrure, yang selalu tertawa dan senang
mengatakan hal-hal mengejutkan di saat-saat terburuk ketika kami bermainmain di
pemandian umum dengan ceria setiap minggu, pernah berkata bahwa orang tidak
pernah tahu apa yang diinginkan dirinya sendiri. Ini yang kutahu: Terkadang aku
mengatakan sesuatu dan seketika menyadari bahwa yang kukatakan itu pikiranku
sendiri, tetapi begitu aku sampai pada kesadaran itu, aku menjadi yakin bahwa
justru kebalikan dari pemikiranku itulah yang sesungguhnya benar.
Aku merasa menyesal ketika Elok Effendi yang malang, salah satu dari para
ilustrator yang sering diundang ayahku ke rumah kami dan aku tak akan ?berpurapura bahwa aku tidak memata-matai mereka hilang, seperti suamiku yang
?malang. "Elok" adalah yang paling buruk rupa dan yang paling lemah jiwanya di
antara mereka.
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Aku menutup daun jendela, meninggalkan ruangan, dan menuruni tangga menuju
dapur. "Ibu, Shevket tidak mendengar kata Ibu," ujar Orhan. "Ketika Hitam sedang
mengambil kudanya dari istal,
Shevket meninggalkan dapur dan memata-matainya dari lubang."
"Memangnya kenapa!" seru Shevket, sambil mengayun-ayunkan tangannya di udara.
"Ibu juga memata-matinya dari lubang kamar kecil."
"Hayriye," sahutku. "Gorenglah beberapa potong roti dengan sedikit mentega, dan
berikan pada mereka dengan selai kacang almond dan gula."
Orhan melompat naik turun dengan lincah meskipun Shevket terdiam. Begitu aku
berjalan naik kembali ke tangga, mereka berdua menyergapku, berteriak-teriak,
dan mendorong dorongku penuh semangat. "Tenanglah, tenang," seruku sambil
tertawa. "Kalian anakanak bengal." Aku menepuk-nepuk punggung mereka yang
lembut. Betapa indahnya berada di rumah bersama anakanak saat hari menjelang malam!
Ayahku diamdiam telah membenamkan dirinya pada sebuah buku.
"Tamumu sudah pergi," ujarku. "Kuharap ia tidak terlalu merepotkanmu."
"Justru sebaliknya," sahutnya. "Ia telah menghiburku. Ia selalu menghormati
Enishtenya." "Baguslah." "Tetapi sekarang ia penuh pertimbangan dan perhitungan."
Ia berkata bahwa lebih mudah mengamati reaksiku daripada mendekatkan bahan
pembicaraan dalam sebuah sikap yang meringankan Hitam, Dalam kesempatan lainnya,
aku akan menjawabnya dengan ketus. Kali ini, aku hanya memikirkan Hitam
menyusuri jalan di atas kuda putihnya, dan aku pun gemetar.
Tidak jelas bagaimana terjadinya, tetapi beberapa
lama kemudian di kamar yang ada kamar kecilnya, Orhan dan aku saling berpelukan
erat. Shevket bergabung dengan kami. Terjadi sebuah pertengkaran kecil yang
singkat di antara mereka. Begitu mereka saling memiting, kami semua bergulingan
ke atas lantai. Aku menciumi leher belakang mereka, dan juga rambut mereka. Aku
merengkuh dan menekan kepala mereka ke dadaku, dan merasakan berat tubuh mereka
di payudaraku. "Aah ..." seruku. "Rambut kalian bau. Aku akan mengirimkan kalian ke pemandian
besok, bersama Hayriye."
"Aku tidak mau pergi ke pemandian bersama Hayriye lagi," protes Shevket.
"Mengapa" Apakah kau terlalu besar untuk didampingi Hayriye?" tanyaku.
"Ibu, mengapa kau mengenakan baju ungumu yang terbaik?" balas Shevket.
Aku pergi ke kamar lain dan mengganti baju unguku. Aku memakai baju hijau pupus
yang biasa kukenakan. Saat aku berganti pakaian, aku merasa menggigil dan
gemetar, tetapi aku bisa merasakan bahwa kulitku terbakar, tubuhku bergetar dan
hidup. Aku menggosokkan seulas pulas merah muda ke pipiku yang mungkin kotor
ketika aku bergulingan dengan anakanak, tetapi aku menghapusnya dengan menjilat
telapak tanganku dan menggosokkannya ke pipiku. Tahukah kau bahwa kerabatku,
para perempuan yang kutemui di pemandian, dan semua orang yang melihatku,
bersumpah bahwa aku lebih tampak seperti seorang perawan berumur enam belas
tahun daripada ibu dua anak berusia dua puluh empat tahun yang sudah melewati
masa puncaknya" Percayai mereka, benarbenar percayalah pada mereka, atau aku
tidak akan memberitahumu apa-apa lagi.
Jangan terkejut pada kenyataan bahwa aku berbicara padamu. Selama bertahuntahun
aku menelusuri lukisanlukisan di buku ayahku, mencari-cari gambar para perempuan
dan kecantikan-kecantikan yang memukau. Mereka sungguhsungguh ada dan selalu
tampak malumalu, tersipu, hanya saling menatap seolaholah sedang saling meminta
maaf. Mereka tidak pernah tampak mengangkat kepalanya, berdiri tegak, dan
berhadapan dengan orang orang di dunia ini, seperti yang dilakukan para serdadu
dan para sultan. Hanya dalam sebuah buku murahan yang diberi ilustrasi secara
serampangan oleh senimanseniman yang ceroboh, ada beberapa pasang mata perempuan
yang terlatih untuk tidak memandangi tanah yang mereka pijak atau sesuatu yang
lain dalam ilustrasi tersebut oh, aku tak tahu, kita sebut saja seorang kekasih?atau sebuah cangkir melainkan langsung menatap pembacanya. Aku sudah lama
?bertanyatanya tentang pembaca buku seperti itu.
Aku gemetar karena merasa senang, saat kupikirkan bukubuku berusia dua ratus
tahun, berasal dari zaman Timurleng, jilid-jilid buku yang oleh orangorang
Kristen yang haus akan hal-hal baru itu dengan senang hati akan ditukar dengan
kepingan-kepingan emas dan yang mereka bawa sepanjang jalan pulang ke
negerinegeri mereka sendiri: Barangkali suatu hari seseorang dari negeri yang
jauh akan mendengarkan kisahku. Bukankah ini kebohongan di balik keinginan untuk
dicantumkan di dalam halamanhalaman sebuah buku" Bukankah demi kesenangan
seperti inilah para sultan dan para pemimpin Muslim menyiapkan berkantung
kantung emas" Agar sejarah mereka dituliskan"
Ketika aku merasakan kegairahan semacam ini, seperti
perempuanperempuan cantik dengan sebelah mata menjalani kehidupan di dalam buku,
dan sebelah mata lainnya di dalam kehidupan di luar buku, aku juga, merindu
untuk bisa berbicara dengan kalian yang mengamatiku dari waktu dan tempat yan
jauh. Aku adalah seorang perempuan yang menarik dan pintar, dan amat
menyenangkan bagiku menyadari bahwa diriku diamati. Jika aku terkadang sedang
kebetulan menceritakan satu dua kebohongan, maka kalian tidak akan menyimpulkan
hal yang salah tentang aku.
Mungkin kauperhatikan betapa ayahku memujaku, Ia memiliki tiga orang putra
sebelum aku, tetapi Tuhan mengambil mereka satu persatu, dan menyisakan aku,
putrinya. Ayahku amat memanjakanku, meskipun aku menikahi seorang lakilaki yang
bukan pilihannya. Aku memilih seorang serdadu kavaleri yang sebelumnya
kuperhatikan dan kudambakan. Jika terserah pada ayahku, maka suamiku tak lain
adalah seorang ulama besar yang juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap
lukisan dan seni, memiliki kekuasaan dan kewenangan, dan kaya raya seperti
Karun lelaki terkaya yang tertulis di dalam Alquran. Jenis lakilaki yang bahkan?tidak akan ditemui dalam bukubuku karya ayahku, sehingga aku tidak akan pernah
menjadi lapuk karena berdiam di rumah selamanya.
Ketampanan suamiku sudah menjadi legenda, dan aku mengamininya. Ia menemukan
kesempatan untuk muncul di hadapanku saat aku baru pulang dari pemandian umum.
Matanya menyala seterang kobaran api, aku langsung jatuh cinta saat itu juga. Ia
berambut gelap, berkulit terang, seorang lakilaki bermata hijau dengan tangan
yang kuat, tetapi di hatinya ia adalah seorang lelaki polos
dan pendiam seperti seorang bocah yang mengantuk. Namun demikian, bagiku,
setidak-tidaknya ia juga bernafsu melihat darah, mungkin karena ia menghabiskan
seluruh kekuatannya dengan membantai orang dalam peperangan dan mengumpulkan
barangbarang jarahan, meskipun di rumah ia selembut dan setenang seorang
perempuan terhormat. Lakilaki ini yang oleh ayahku dianggap sebagai serdadu
?miskin, dan karena itu tidak disetujuinya kemudian diizinkan untuk menikahiku,
?karena aku mengancam akan bunuh diri jika tidak direstui. Setelah mereka memberi
suamiku tanah sebagai anggota militer senilai sepuluh ribu koin perak, sebuah
hadiah atas kepatriotannya di medan peperangan di mana ia menunjukkan aksi
terhebatnya dalam hal keberanian, semua orang benarbenar merasa iri pada kami.
Empat tahun yang lalu, saat ia gagal kembali bersama pasukan yang tersisa dari
perang melawan kaum Safawiyah, awalnya aku tidak terlalu mencemaskan hal itu,
karena dengan banyaknya pengalaman perang yang dijalaninya, ia telah semakin
mahir dalam menciptakan kesempatan-kesempatan untuk menyelamatkan hidupnya
sendiri, selain juga membawa pulang barangbarang bagus, memenangkan tanah jatah
yang lebih luas, dan dalam menambah jumlah tentara bawahannya. Ada beberapa
saksi mata yang berkata bahwa ia melarikan diri ke pegunungan dengan anakanak
buahnya, setelah terpisah dari pasukan lainnya. Pada awalnya, aku mencurigai
suatu taktik tertentu, dan aku berharap ia akan kembali. Namun, setelah dua
tahun, perlahan tapi pasti, aku mulai terbiasa dengan ketiadaannya. Ketika aku
menyadari betapa banyak perempuan kesepian seperti aku di Istanbul yang
ditinggalkan suaminya yang hilang di medan
perang, aku pun pasrah, menyerah pada takdirku.
Kala malam, di atas ranjang kami, aku akan memeluk anakanak, melamun, lalu menangis. Untuk menenangkan tangis mereka, aku mengatakan dusta-dusta
penuh harapan pada mereka. Contohnya, bahwa ayah mereka akan pulang sebelum
musim semi. Setelah itu, ketika dustaku mulai beredar, berubah-ubah, dan
menyebar luas, hingga berbalik ke diriku sendiri, aku akan menjadi orang yang
pertama memercayai kabar-kabar baik itu.
Saat penyokong utama rumah tanggaku menghilang, kami mulai memasuki masa-masa
sulit. Kami tinggal di sebuah rumah sewaan di Charshikapi dengan ayah suamiku
yang keturunan Abkhazia dan sangat baik dan santun. Ia tidak pernah menjalani
kehidupan yang mudah dan menyenangkan. Aku juga tinggal bersama adik suamiku
yang juga bermata hijau. Ayah mertuaku, yang meninggalkan usahanya membuat
cermin setelah anak tertuanya berhasil sebagai seorang serdadu, kembali
menjalani usaha lamanya di usia yang sudah renta itu. Hasan, adik suamiku yang
masih lajang, bekerja di bea cukai dan dengan gajinya yang lumayan, ia berniat
mengambil alih tugas sebagai "kepala keluarga." Pada suatu musim dingin, karena
khawatir kami tidak mampu membayar sewa rumah, mereka bergegas membawa budak
yang mengerjakan tugas-tugas rumah tangga kami ke pasar budak untuk dijual, dan
selelahnya mereka membuatku harus mengerjakan semua pekerjaan di dapur, mencuci
pakaian, dan bahkan pergi ke pasar untuk berbelanja, menggantikannya. Aku tidak
melakukan protes dengan mengatakan, "Apakah aku jenis perempuan yang pantas
melakukan semua pekerjaan yang melelahkan itu?" Aku menelan harga diriku dan
melakukan semua pekerjaan
itu. Namun, ketika adik iparku Hasan, yang kini tak memiliki budak perempuan
untuk menemaninya di atas ranjang pada malam hari, mulai mendorong pintuku, aku
tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Tentu saja, aku bisa saja segera pulang kembali ke rumah ayahku, tetapi menurut
keputusan kadi, karena suamiku masih secara resmi dianggap hidup, meskipun aku
marah pada iparku, mereka tidak bisa berhenti memaksa anakanakku dan diriku
kembali ke rumah suamiku, dan malah akan lebih mempermalukan kami dengan memberi
hukuman padaku dan ayahku yang sudah memberiku perlindungan. Sejujurnya, aku
bisa saja mencintai Hasan yang menurutku lebih manusiawi dan lebih mudah
dimengerti daripada suamiku, dan yang tampak jelas jatuh cinta padaku. Namun,
jika aku melakukannya tanpa berpikir panjang, aku akan malah akan menjadi
budaknya, bukan istrinya. Bagaimanapun, karena mereka takut aku akan menuntut
hak waris dari suamiku lalu meninggalkan mereka untuk kembali ke rumah ayahku
bersama anakanakku, mereka juga tidak ingin hakim memutuskan untuk menetapkan
kematian suamiku. Apabila di mata pengadilan suamiku tidak mati, maka aku tidak
mungkin menikahi Hasan, dan tidak mungkin juga menikahi lelaki mana pun. Karena
dilema itu mengikatku dengan rumah dan pernikahan itu, mertua dan iparku lebih
suka aku dinyatakan memiliki seorang suami yang "hilang" dan agar situasi yang
menggantung ini terus berlanjut. Sekadar mengingatkan, aku menangani semua tugas
rumah tangga mereka, aku mengerjakan semuanya, mulai memasak, hingga mengurusi
pakaian mereka, dan lebih dari itu, salah satu dari mereka sangat tergila-gila
padaku. Saat ayah mertuaku dan Hasan merasa tidak puas
dengan kesepakatan ini, dan memutuskan sudah saatnya aku menikahi Hasan, amat
penting untuk menyiapkan saksi-saksi mata yang bisa meyakinkan pengadilan
tentang kematian suamiku. Maka, jika orangorang terdekat suamiku, ayah dan
adiknya, menerima kematiannya, jika tidak ada lagi siapa pun yang keberatan atas
pernyataan resmi atas kematian suamiku, dan jika dengan harga beberapa keping
uang perak para saksi bersedia bersaksi bahwa mereka pernah menyaksikan sesosok
mayat di medan peperangan, pengadilan pun akan meluluskannya. Yang paling sulit
adalah meyakinkan Hasan bahwa begitu aku dinyatakan sebagai janda, aku tidak
akan meninggalkan rumah itu, menuntut jatah warisanku, atau meminta uang untuk
menikah dengannya, dan bahwa aku akan menikah dengannya berdasarkan kerelaanku
sendiri. Aku tahu, untuk meyakinkannya, berarti aku harus tidur dengannya dengan
sikap yang meyakinkan, sehingga ia akan sepenuhnya percaya bahwa aku sedang
menyerahkan diriku kepadanya karena mencintainya dengan tulus, bukan sekadar
agar mendapat izinnya untuk bercerai dengan suamiku.
Dengan sedikit upaya, aku bisa saja jatuh cinta pada Hasan. Ia delapan tahun
lebih muda dari suamiku yang hilang. Ketika suamiku masih ada di rumah, Hasan
seperti adik kecilku, dan perasaan ini membuatnya menyayangiku. Aku menyukai
penampilannya yang sederhana dan penuh kasih, kesenangannya bermain bersama
anakanakku, dan bahkan caranya memandangiku dengan penuh gairah, seolaholah ia
sedang sekarat karena kehausan dan aku adalah segelas sari buah ceri yang
diinginkannya. Di sisi lain, aku juga tahu bahwa aku benarbenar harus memaksakan
diri untuk bisa jatuh cinta pada seorang
lelaki yang membuatku mencuci baju untuknya, dan tidak keberatan aku menjelajahi
pelosok pasar bagaikan seorang budak belian. Selama masa itu, ketika aku pergi
mengunjungi rumah ayahku dan menangis habis-habisan memandangi belanga, panci,
mangkuk dan cangkir cangkir, juga di malammalam saat anakanakku dan aku tidur
sambil berpelukan dalam kebersamaan, Hasan tidak pernah memberiku alasan untuk
mengubah hatiku. Ia tidak yakin aku bisa mencintainya, atau bahwa prasyarat yang
mendasar dan harus dijalani sebelum pernikahan kami itu bias muncul dengan
sendirinya. Karena ia tidak memiliki kepercayaan diri, ia pun bertingkah tidak
senonoh. Ia mencoba mendesakku, menciumku, dan menjamahku. Ia sesumbar bahwa
suamiku tidak akan pernah kembali, dan bahwa ia akan membunuhku. Ia mengancamku,
merengek-rengek seperti bayi, dan dalam ketergesaan dan kegugupannya, ia tidak
pernah memberi kesempatan sebentuk cinta yang suci mulia terlahir di antara
kami. Maka aku pun sadar, aku tidak akan pernah menikah dengannya.
Suatu malam, saat ia mencoba mendorong pintu kamar tempat aku dan anakanakku
tidur, aku langsung bangkit, dan tanpa rasa takut akan membuat anakanakku
ketakutan, aku menjerit sekuatkuatnya, berteriak bahwa ada jin-jin jahat yang
masuk ke dalam rumah. Sosok yang memang layak disebut jin ini menjadi panik,
sementara teriakanku telah membangunkan ayah mertuaku, dan kerenanya
terbongkarlah ulah tak senonoh Hasan yang gairah dan niat jahatnya masih
terlihat oleh mata ayahnya. Di antara lolongan gilaku dan ceracau bodohku
tentang jin, lelaki tua yang masih waras itu tersadar dan malu mengetahui
kebenaran yang menjijikkan ini: putranya telah tergila-gila dan dengan tak senonoh telah
mencoba mendekati istri kakaknya sendiri, seorang ibu dari dua anak. Ayah
mertuaku tidak menanggapi katakataku bahwa aku tidak akan memejamkan mata
sekejap pun sampai pagi, dan aku akan terus mengawasi pintu untuk melindungi
anakanakku dari "jin" jahat itu. Keesokan harinya, aku menyatakan akan kembali
ke rumah ayahku dengan anakanakku untuk merawat ayahku yang sedang sakit, dan di
situlah Hasan menerima kekalahannya. Aku pulang ke rumah ayahku dengan membawa
kenang-kenangan dari kehidupan perkawinanku, sebuah jam berbandul lonceng yang
dijarah negeri Hongaria oleh suamiku (yang tidak pernah tergoda pada bujukan
untuk menjualnya), sebuah cambuk yang terbuat dari otot kuda Arab yang paling
hebat, seperangkat permainan catur dari gading buatan Tabriz yang bidak bidaknya
biasa dipakai anakanak untuk bermain perang-perangan, dan tempat lilin perak
(benda jarahan dari peperangan di Nahjivan) yang mati-matian kupertahankan saat
kami kekurangan uang. Sebagaimana yang kuduga, perginya aku dari rumah suamiku yang hilang entah ke
mana itu mengubah rasa cinta Hasan yang obsesif dan tak senonoh menjadi sebuah
neraka tanpa harapan. Mengetahui bahwa ayahnya tidak mendukungnya, alihalih
mengancamku, ia malah mencoba memohon rasa belas kasihanku dengan mengirimiku
suratsurat cinta yang sudutsudutnya ia hiasai dengan gambar burungburung yang
kesepian dan terlantar, singa singa dengan bola mata berair, dan kijangkijang
berwajah sedih. Aku tidak akan menyembunyikan fakta darimu bahwa akhir-akhir ini
aku mulai membaca suratsurat itu dengan cara pandang baru, suratsurat yang
mengungkap kekayaan imajinasi Hasan yang tidak kusadari ketika kami masih hidup
bersama di bawah satu atap aku menyimpulkan bahwa ia tidak memanfaatkan ?beberapa temannya yang seniman untuk menulis dan menghiasi suratsuratnya. Dalam
surat terbarunya, Hasan menyakinkanku bahwa aku tidak akan lagi menjadi seorang
budak yang mengurusi pekerjaan rumah tangga, dan bahwa ia sudah mengumpulkan
banyak uang. Curahan hatinya yang manis, santun, dan dengan nada Jenaka,
diiringi anakanakku yang selalu bertengkar dan rewel, serta keluhan-keluhan
ayahku, membuat kepalaku seperti genderang yang dipukul bertalu-talu.
Sesungguhnya, untuk mengeluarkan napas kelegaanku pada dunialah aku membuka
daun-daun jendela itu. Sebelum Hayriye menyiapkan meja makan untuk santap malam, aku mengambil setetes
minuman beralkohol dari bunga pohon kurma Arab terbaik. Aku mencampurnya dengan
sesendok makan madu dan setetes sari jeruk limau, lalu tanpa bersuara aku
mendatangi ayahku yang sedang membaca Kitab Sukma, dan bagaikan sesosok hantu
aku meletakkan ramuan itu di depannya tanpa membuat kehadiranku diketahui,
sebagaimana yang diinginkannya.
"Apakah di luar turun salju?" tanyanya dengan suara yang lirih dan sedih, hingga
seketika aku menyadari bahwa ini mungkin akan menjadi hujan salju terakhir yang
disaksikan oleh ayahku yang malang.[]
Bab 10 AKU ADALAH SEBATANG J'OHON
AKU ADALAH sebatang pohon dan aku agak merasa kesepian, Aku menangis di tengah
hujan. Demi Allah, dengarkanlah apa yang akan kukatakan. Reguklah kopimu agar
rasa kantuk meninggalkanmu dan kedua matamu akan tetap terbuka lebar. Pandanglah
aku sebagaimana kau memandangi kaum jin dan biarkan aku menjelaskan padamu,
mengapa aku sebatang kara.
1. Mereka menduga aku telah digambar dengan ceroboh di atas kertas kasar tak
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berukuran, menjadi gambar sebatang pohon yang digantungkan di belakang si juru
dongeng. Benar juga. Saat ini, tak ada pepohonan kurus lainnya di sampingku,
tidak ada tumbuhan padang rumput berdaun tujuh, tak ada pula jajaran karang
hitam berongga udara yang kadangkadang menyerupai Setan atau sesosok manusia,
dan tidak ada juga gumpalan awan Cina yang bergulunggulung. Hanya tanah, langit,
diriku, dan batas cakrawala. Namun, kisahku ini jauh lebih rumit.
2. Sebagai sebatang pohon, aku harus menjadi bagian dari sebuah buku. Sebagai
gambar sebatang pohon, entah mengapa, aku terganggu dengan kenyataan bahwa aku
bukan selembar halaman di dalam sebuah
manuskrip. Mengingat aku tidak mewakili sesuatu di dalam sebuah buku, yang
kubayangkan adalah bahwa gambarku akan dipaku ke dinding, dan sepertinya mereka
yang tak beragama dan kaum kafir akan menundukkan kepalanya di depanku untuk
menyembahku. Mudah-mudahan saja para pengikut Erzumi Hoja tidakmendengar apa
yang diamdiam kubanggakan dengan memikirkan hal ini tetapi kemudian aku ?merasakan sebentuk ketakutan dan diselimuti rasa malu. 3. Alasan yang
sesungguhnya dari kesendirianku adalah bahwa aku bahkan tidak mengetahui di mana
tempatku. Aku pastilah menjadi bagian dari sebuah cerita, tetapi aku jatuh
terbuang dari kisah itu, bagaikan sehelai daun di musim gugur. Mari kuceritakan:
Jatuh dari Kisahku Bagaikan Seheiai Daun yang Luruh di Musim Gugur
Empat puluh tahun yang lalu, penguasa Persia bernama Shah Tahmasp yang merupakan
musuh besar dinasti Utsmaniyah yang juga adalah raja panutan dunia dalam seni
lukis, mulai beranjak uzur dan kehilangan gairahnya pada anggur, musik, puisi,
dan lukisan. Lebih jauh lagi, ia juga berhenti minum kopi dan, tentu saja,
otaknya pun jadi berhenti bekerja. Karena selalu mencurigai ada seorang lelaki
tua berhati iblis dengan wajah muram, ia memindahkan ibukota kerajaannya dari
Tabriz, yang masih termasuk wilayah kekuasaan Persia, ke Kazvin sehingga
menjadikannya lebih jauh dari pasukan Utsmaniyah. Suatu hari, ketika ia beranjak
semakin tua, ia kerasukan sesosok
jin. Kondisi tubuhnya jadi sedemikian goyah dan ia pun memohon ampun pada Tuhan.
Ia bersumpah akan meninggalkan anggur, bocah-bocah lelaki tampan, dan lukisan.
Hal ini cukup terbukti, sehingga saat Shah agung ini kehilangan seleranya dalam
meneguk kopi, ia juga kehilangan kewarasannya.
Itulah sebabnya para pencetak buku, ahli kaligrafi, tukang sepuh, dan para
ilustrator yang sungguhsungguh terilhami olehnya dan yang menciptakan maha karya
terhebat di dunia selama dua puluh tahun masa kekuasaannya di Tabriz, bercerai
berai seperti sekawanan ayam hutan ke kotakota lainnya. Keponakan lakilaki Shah
Tahmasp yang juga adalah menantunya, Sultan Ibrahim Mirza, mengundang yang
paling berbakat di antara mereka semua ke Mashhad, tempat ia berkuasa sebagai
gubernur. Ia lalu memberi mereka tempat di dalam bengkel kerjanya untuk menyalin
sebuah manuskrip luar biasa yang sudah diberi ilustrasi dan dihiasi. Manuskrip
ini adalah ketujuh kisah dari Tujuh Singgasana karya Jami penyair terhebat di
Herat, di masa kekuasaan Timurleng. Shah Tahmasp, yang kagum sekaligus iri pada
keponakannya yang pandai dan tampan itu, dan menyesal telah menyerahkan putrinya
pada lakilaki itu, terkungkung oleh kecemburuan tatkala mendengar tentang
bukunya yang luar biasa. Ia pun dengan marah memecat keponakannya itu dari
jabatan sebagai Gubernur Mashhad, membuangnya ke kota Kain, sebelum
mengirimkannya ke kota Sebzivar yang lebih terpencil, dalam kemarahan yang
terbangkitkan kembali. Oleh karenanya, para pembuat kaligrafi dan para juru hias
buku dari Mashhad berpencaran ke kotakota dan wilayah-wilayah lainnya, serta ke
bengkel-bengkel kerja buku seni milik para sultan dan pangeran lainnya.
Entah bagaimana, buku menakjubkan milik Sultan Ibrahim Mirza tidak dibiarkan tak
terselesaikan, karena di bawah kekuasaannya ia memiliki seorang pustakawan yang
setia. Lakilaki ini bersedia berkelana di atas punggung kuda sepanjang jalan ke
Shiraz, tempat para penyepuh terbaik tinggal, kemudian ia akan membawa beberapa
halaman buku itu ke Isfahan demi mencari penulis kaligrafi terbaik. Dari Isfahan
ia melintasi gununggunung tinggi hingga ia berhasil mencapai Bukhara, di mana ia
menyusun komposisi gambar dan meminta seorang pelukis ahli yang bekerja untuk
Uzbek Khan untuk melukiskannya. Berikutnya, ia menempuh perjalanan menuju Herat
untuk membayar seorang empu tua yang sudah rabun untuk melukis berdasarkan
ingatan tentang lengkungan tumbuhan dan dedaunan. Lalu ia mendatangi pembuat
kaligrafi lain di Herat dan menyuruhnya menuliskan sebuah tanda di atas pintu
dengan tulisan Rika berwarna emas di dalam lukisan itu. Akhirnya, ia pergi lagi
menuju selatan, ke arah Kain, di mana ia menerima pujian dari Sultan Ibrahim
Mirza setelah memperlihatkan setengah halaman yang ia selesaikan selama enam
bulan bepergian. Pada tahap ini, jelas sekali bahwa buku itu tidak akan pernah terselesaikan,
maka kurir kurir berkuda bangsa Tatar" pun disewa. Sebagai tambahan bagi halaman
manuskrip yang akan mendapat ilustrasi dan teks tertulis itu, setiap penunggang
kuda dilengkapi sepucuk surat yang menjelaskan tentang karya seperti apa yang
diminta dikerjakan oleh seniman yang didatangi. Para pembawa
Bangsa yang berasal dari bagian timur Asia Tengah yang berhasil mendirikan ?kekaisaran besar meliputi wilayah Serbia, Rusia, dan Ukraina. Bangsa Tatar
bergabung dengan bangsa Nongol dan berjaya hingga abad keenam belas.
pesan yang membawa berhalaman-halaman manuskrip pun berpencar menjelajahi
jalanan di Persia, Khorasan, wilayah Uzbek, dan Transoxania. Proses penciptaan
buku itu melesat cepat dengan para pembawa pesan yang cekatan itu, Sesekali, di
sebuah malam bersalju, pembawa halaman 59 dan 162, misalnya, berpapasan jalanan
sepi di dalam sebuah kafilah di mana lolongan gerombolan srigala terdengar
nyaring, dan begitu mereka mulai berbincang-bincang dengan hangat, mereka akan
tahu bahwa ternyata mereka bekerja untuk proyek buku yang sama. Mereka pun akan
berusaha untuk saling mengetahui kisah apa yang terjalin dari halamanhalaman
yang mereka bawa. Aku direncanakan untuk berada di antara halamanhalaman manuskrip yang sudah
diberi ilustrasi ini. Dan dengan sedih kudengar kabar bahwa buku itu saat ini
sudah selesai. Sayangnya, pada suatu hari di musim dingin, kurir Tatar yang
membawaku melintasi pegunungan berbatu, disergap oleh segerombolan perampok.
Pertama-tama, mereka memukuli orang Tatar yang malang itu, kemudian mereka
merampoknya dan memerkosanya dengan kejam, sebelum akhirnya membunuhnya tanpa
belas kasihan. Hasilnya, aku tidak tahu apa-apa tentang halaman buku itu, karena
aku terjatuh darinya. Keinginanku adalah, kau memandangiku dan bertanya,
"Mungkinkah kau yang seharusnya menaungi Majnun yang sedang menyamar sebagai
seorang gembala saat ia mengunjungi tenda Laila?" atau, "Kaukah yang seharusnya
temaram ditelan malam, mewakili kegelapan di dalam jiwa seorang lelaki yang
putus asa dan kacau?" Betapa aku mendamba bisa menghadiahkan kebahagiaan bagi
sepasang kekasih dari seluruh penjuru dunia, melintasi samudra demi menemukan kedamaian di sebuah
pulau yang kaya akan burungburung dan buah-buahan! Aku sangat mendamba bisa
menaungi Iskandar Agung di saat-saat penting kehidupannya, dalam perjalanannya
menaklukkan tanah Hindustan, saat ia mati kehabisan darah karena mimisan tiada
henti akibat panas matahari yang membakar. Atau, apakah aku dimaksudkan sebagai
symbol kekuatan dan kebijaksanaan seorang ayah yang menasihati putranya tentang
cinta dan kehidupan" Oh, untuk menambah makna dan keanggunan kisah yang manakah
aku diciptakan" Di antara para bandit yang membunuh si pembawa pesan dan membawaku bersamanya,
lalu menyeretku dari gunung ke gunung, dari kota ke kota, ada seorang pencuri
yang terkadang memahami nilaiku, dan dengan santun menyadari bahwa memandangi
gambar sebatang pohon ternyata lebih menyenangkan daripada memandangi sebatang
pohon asli. Namun, karena ia tidak tahu aku dimaksudkan untuk melengkapi kisah
yang mana, ia pun segera merasa bosan kepadaku. Setelah menyeretku dari kota ke
kota, orang barbar ini tidak menyobek dan membuangku sebagaimana yang
kutakutkan, melainkan menjualku pada seorang lelaki berpendidikan di dalam
sebuah kafilah, dengan bayaran seguci anggur. Terkadang di malam hari, lakilaki
berhati lembut yang tidak beruntung ini akan memandangiku dengan cahaya lilin
dan menangis, pada suatu waktu. Ia mati karena merana dan mereka menjual
barangbarang miliknya. Aku bersyukur pada si juru dongeng yang kemudian
membeliku setelah aku datang dari jauh ke Istanbul. Kini, aku merasa sangat
berbahagia dan terhormat berada di antara kalian malam ini, para ilustrator dan pembuat
kaligrafi yang dengan luar biasa telah mengilhami Sultan Utsmaniyah yang cermat
dan teguh, dengan kelincahan tangan yang elok dan penuh kepekaan dan demi ?Tuhan, aku memohon pada kalian agar tidak memercayai mereka yang mengatakan
bahwa aku dihasilkan dari coretan tangan gegabah beberapa ilustrator di atas
kertas kasar sebagai hiasan dinding,
Tapi dengarlah dusta-dusta lain, fitnah, dan kepalsuan tak tahu malu yang sedang
disebarluaskan! Kalian mungkin ingat bagaimana tadi malam tuanku menggantungkan
gambar seekor anjing di dinding ini dan menceritakan petualangan hewan liar itu;
dan bagaimana pada saat yang sama ia menceritakan petualangan Husret Hoja dari
Erzurum! Nah, sekarang, para pengagum Yang Mulia Nusret Hoja telah benarbenar
salah memahami kisah ini. Mereka berpikir bahwa ia adalah sasaran kami.
Mungkinkah kami mengatakan bahwa sang pendakwah agung Yang Mulia itu dilahirkan
tidak jelas asal-usulnya" Astaghfirullah! Mungkinkah ini yang terlintas di benak
kami" Betapa ini adalah sebentuk dusta yang keji dan menyesatkan! Jelas sekali,
Husret dari Erzurum telah dikacaukan dengan Nusret dari Erzurum, jadi izinkan
aku melanjutkan ceritaku dengan kisah tentang si Juling Nedret Hoja dari Sivas
dan sebatang pohon. Selain menolak kegandrungan terhadap bocah lakilaki rupawan dan seni lukis, si
Juling Nedret Hoja dari Sivas juga mencerca kopi sebagai hasil karya Iblis dan
bahwa para peminum kopi akan masuk neraka. Hei, kalian yang berasal dari Sivas,
apakah kalian melupakan bagaimana dahanku yang besar ini pernah dibengkokkan"
Kalau begitu, akan kuceritakan pada kalian, tetapi berjanjilah
kalian tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun, dan semoga Allah
melindungi kalian dari dusta tak berdasar.
Suatu pagi aku terbangun dan menemukan lakilaki raksasa itu semoga Tuhan
?melindunginya, ia setinggi menara masjid, dengan tangan seperti cakar-cakar
singa memanjat naik ke salah satu dahanku, dan bersembunyi di balik dedaunanku
yang rimbun bersama si Hoja yang kusebutkan tadi. Maafkan ungkapanku, tetapi
mereka lalu melakukan hal itu seperti sepasang anjing yang sedang dimabuk
berahi. Saat si raksasa yang kemudian kusadari sebagai Iblis melakukan urusannya
dengan pahlawan kita itu, dengan penuh gairah diciuminya telinga si Juling dan
berbisik, "Kopi adalah dosa, kopi adalah sesuatu yang bejat Tampaknya mereka
yang meyakini efek-efek jahat kopi tidak akan percaya pada perintah Tuhan dalam agama kita, melainkan
lebih percaya pada Iblis itu sendiri.
Dan akhirnya, aku harus menyebutkan keberadaan para pelukis bangsa Frank,
sehingga jika ada penurunan jumlah di antara kalian yang memiliki niat untuk
menjadi seperti mereka, semoga kalian memerhatikan peringatanku dan mengurungkan
niatan kalian. Para pelukis Frank ini menggambar wajah para raja, pendeta,
bangsawan, dan para perempuan dalam keadaan yang membuat orang yang memandangi
potretnya akan serta merta mampu mengenali orangnya jika bertemu di jalan.
Istriistri mereka berliaran di jalanan dengan bebasnya nah, bayangkan saja ?selebihnya. Seolaholah hal itu belum cukup, mereka menggambarkannya dengan lebih
jauh lagi. Aku tidak mengartikannya sebagai pengerdilan, melainkan sebagai
lukisan. Seorang empu miniaturis Eropa dan seorang seniman
besar lainnya tengah berjalan melintasi halaman rumput seorang Frank sambil
membahas keempuan mereka dan seni rupa. Saat mereka berjalan berdua, sebuah
hutan tampak di hadapan mereka. Yang paling ahli di antara mereka berdua
berkata, "Melukis dengan gaya baru membutuhkan bakat tertentu di mana ketika kau
menggambarkan salah satu pepohonan di hutan ini, seseorang yang memandangi
gambar tersebut bisa datang kemari, dan jika ia sungguh datang kemari, ia bias
mengenali pohon itu dengan benar di antara pohonpohon lainnya."
Aku bersyukur pada Allah bahwa aku, sebatang pohon sederhana di hadapanmu, belum
pernah dilukis dengan ketekunan seperti itu. Bukan karena aku takut jika aku
digambarkan seperti itu, semua anjing di Istanbul akan mengira aku adalah
sebatang pohon sungguhan dan mengencingiku, melainkan karena aku tidak ingin
menjadi sebatang pohon, aku hanya ingin menjadi maknanya.[]
Bab 11 AKU DINAMAI HITAM SALJU MULAI turun setelah larut malam dan terus menghujani bumi hingga fajar
tiba. Aku menghabiskan malam itu dengan membaca surat Shekure berulangulang. Aku
berjalan mondar-mandir di dalam sebuah kamar kosong di rumah yang kosong.
Terkadang aku mencondongkan tubuhku ke arah tempat lilin. Dalam pendar cahaya
lilin yang temaram, aku menyaksikan getaran-getaran surat kemarahan kekasihku,
lompatan akrobatik pijar-pijar lilin yang coba mem perdayaku, dan pinggul mereka
yang berayun dari kanan ke kiri. Tibatiba saja daun jendela itu terbuka di depan
mataku, dan wajah kekasihku serta senyumnya yang penuh kesedihan muncul. Ketika
aku melihat wajahnya yang sesungguhnya, aku melupakan semua wajah lain yang
mulutnya semasam buah ceri, dan telah bertambah tua dan matang dalam
imajinasiku. Di tengah malam diriku lenyap dalam mimpimimpi perkawinan: aku tak meragukan
cintaku atau bahwa apakah itu berbalas kami menikah dalam sebuah keadaan yang
?amat penuh kesenangan tetapi kebahagiaan khayaliku yang berlangsung dalam
?sebuah rumah yang bertangga, hancur ketika aku tak mampu menemukan pekerjaan
yang layak dan mulai suka bertengkar dengan istriku, tak mampu membuatnya
mengindahkan katakataku. Aku tahu aku layak mengalami hal-hal tidak menyenangkan ini dari bab
tentang sisi-sisi buruk perkawinan dalam kitab karya al-Ghazali, Membangkitkan
Kembali Ilmu-ilmu Agama (Ihya'Ulumuddin), yang kubaca dalam malam-malamku
sebagai seorang bujangan di Arabia. Pada saat yang sama, aku teringat bahwa ada
pula nasihat tentang keuntungan perkawinan dalam bab yang sama, walaupun kini
aku hanya bisa mengingat dua saja di antaranya: pertama, rumah tanggaku ada yang
mengurus (tak ada yang semacam ini dalam rumah yang kubayangkan), dan kedua,
menghindarkan diri dari perbuatan merendahkan diri dan menyeret diri di belakang
mucikari melalui loronglorong gelap menuju sarang pelacur yang akan menimbulkan?rasa bersalah yang lebih dalam.
Pikiran tentang penyelamatan diri pada malam selarut ini membuatku jadi terpikir
untuk bermasturbasi. Dengan sebuah hasrat menggelegak yang membuatku tak
berpikir panjang, dan untuk mengenyahkan dorongan yang tak bisa dicegah ini dari
benakku, aku pergi ke sudut kamar, seperti kebiasaanku, tetapi setelah beberapa
lama aku tersadar bahwa aku tak bisa mencapai puncak sebuah bukti bahwa aku
?telah jatuh cinta lagi setelah dua belas tahun berlalu!
Ini mendatangkan semacam rasa senang dan takut dalam hatiku sehingga aku
berjalan mondar-mandir mengitari kamar nyaris gemetar seperti nyala api lilin.
Jika Shekure sengaja bermaksud menghadirkan diri di jendela, lalu mengapa surat
ini menyiratkan keyakinan yang berlawanan" Mengapa ayahnya memanggilku" Saat aku
melangkah, aku merasakan bahwa pintu, dinding, dan lantai berderit yang turut
berbicara tergeragap sepertiku,
mencoba menyatakan tanggapan mereka terhadap setiap pertanyaanku.
Aku menatap lukisan yang kubuat bertahuntahun lalu dan menggambarkan Shirin
dilanda cinta saat menatap pada gambar Hiisrev yang tergantung dari sebuah
dahan. Bayangan itu tidak membuatku malu seperti yang akan terjadi setiap kali
itu muncul dalam benakku dalam tahuntahun sebelumnya, juga tidak membawa kembali
kenangan-kenangan bahagia masa kecilku. Menjelang pagi, benakku telah dapat
menyimpulkan keadaannya. Dengan mengembalikan lukisan itu, Shekure telah membuat
sebuah langkah dalam permainan catur yang dengan cerdik ia buat sehingga aku
terpikat. Aku duduk diterangi cahaya lilin dan menulis sepucuk surat sebagai
balasan untuknya. Pada pagi harinya, setelah tertidur hanya sejenak, aku pergi keluar dan berjalan
melintasi jalanan, membawa surat itu di dadaku dengan pena serta wadah tintaku
dalam selempangku seperti kebiasaanku. Salju melebarkan jalan-jalan di Istanbul
yang sempit dan membebaskan kota itu dari kerumunan orang. Segalanya terasa
lebih sunyi dan lambat, seperti di masa kecilku. Gagak-gagak tampaknya telah
menyerang atap-atap, kubahkubah, dan tamantaman Istanbul, tepat seperti yang
telah mereka lakukan di musim salju pada masa mudaku. Aku berjalan dengan cepat,
mendengarkan bunyi langkah kakiku di atas salju dan menatap kabut napasku. Aku
makin bersemangat dan berharap bengkel kerja istana yang diminta Enishteku agar
kukunjungi sesunyi jalanan. Sebelum aku memasuki daerah pemukiman orangorang
Yahudi, aku menitip pesan melalui seorang anak jalanan mungil kepada Esther yang
bias mengantarkan suratku
pada Shekure, dan mengatakan padanya di mana dia harus menemuiku sebelum tiba
waktunya salat dzuhur. Aku tiba lebih awal di bengkel kerja asisten pelukis istana yang terletak di
belakang Hagia Sophia*. Kecuali untaian tetesan air yang membeku yang
menggantung dari bagian atap, tidak terdapat perubahan di gedung tempat aku
kerap mengunjungi Enishteku, dan untuk beberapa waktu bekerja sebagai seorang
anak magang yang masih bocah.
Mengikuti seorang anak magang muda yang berwajah ganteng, aku berjalan melintasi
para ahli jilid buku tua yang merasa linglung karena aroma lem dan pasta
penjilid buku, para ahli miniaturis yang punggung-punggungnya telah bungkuk di
usia muda, dan anakanak muda yang mencampurkan cat tanpa perlu melihat pada
mangkuk-mangkuk yang bertengger di atas lutut mereka, begitu menyedihkannya
mereka terserap oleh nyala api di perapian. Di sebuah sudut, aku melihat seorang
lelaki tua dengan teliti mengecat sebuah telur burung unta di pangkuannya,
orangtua lainnya dengan penuh semangat menghiasi sebuah laci, dan seorang
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pemagang muda dengan sangat rendah hati memerhatikan mereka berdua. Melalui
sebuah pintu terbuka, aku menyaksikan para pelajar muda ditegur ketika mereka
condong ke depan, hidung mereka hampir menyentuh halamanhalaman buku yang
terhampar di depan wajah mereka yang memerah, ketika mereka mencoba memahami
kesalahan yang telah mereka perbuat. Di ruangan lain, seorang peserta magang
yang malang dan tampak sedih melupakan sejenak warnawarna, kertas, dan lukisan.
Ia memandang ke jalan Sebuah gereja indah dan megah di Istanbul yang dibangun antara tahun 533-537 ?pada masa kekuasaan Kaisar Justinianus I di Byzantium (saat itu Istanbul disebut
Konstantinopel). Kini digunakan sebagai museum.
yang baru saja kulewati dengan bergegas.
Kami memanjat tangga yang dingin. Kami berjalan melintasi lorong yang mengitari
bagian dalam lantai dua. Di bawah, di halaman bagian dalam yang tertutup salju,
dua anak didik muda yang tampak gemetar karena udara dingin walaupun mereka
memakai pakaian tebal, sedang menunggu barangkali menunggu pukulan yang akan
?segera mereka terima. Aku teringat masa mudaku dan pukulan yang diberikan kepada
para murid. Dulu aku malas dan suka menghamburkan cat yang mahal, dan akupun
kerap terkena pukulan karenanya.
Kami memasuki sebuah ruangan yang hangat. Aku melihat dua orang yang baru saja
menyelesaikan masa magang mereka. Karena para empu agung yang telah diberi nama
julukan oleh Tuan Osman kini bekerja di rumah, tempat ini membangkitkan
penghormatan dan rasa senang dalam diriku, tak lagi tampak seperti bengkel kerja
seorang sultan yang agung dan luar biasa, tetapi hanyalah ruang luas di tempat
penginapan para kafilah yang terpencil di gunung yang jauh di Timur.
Di depan sebuah meja panjang, aku melihat Iluminator Kepala, Tuan Osman, untuk
pertama kalinya dalam lima belas tahun. Ia tampak seperti sesosok hantu.
Bilamana aku merenung, membuat ilustrasi dan melukis selama perjalananperjalananku, empu agung itu kan muncul dalam mata pikiranku seakanakan itu
adalah Bihzad sang empu legendaris. Kini, dalam pakaian serba putih dan dalam
cahaya putih salju yang jatuh melalui jendela yang menghadap ke arah Hagia
Sophia, tampak sekanakan ia telah lama menjadi salah satu ruh dari Dunia Lain.
Aku mencium tangannya yang saat kuperhatikan ternyata burik, dan aku
memperkenalkan diriku. Aku menerangkan
bagaimana Enishteku telah memasukkanku di sini semasa muda, tetapi kemudian aku
lebih memilih pekerjaan birokratis dan pergi. Aku menceritakan kembali tahuntahunku dalam perantauan, waktuku yang kuhabiskan di kota kota di Timur dalam
melayani para pasha sebagai juru tulis atau sekretaris bendahara. Aku
menceritakan padanya bagaimana saat aku bekerja dengan Serbat Pasha dan yang
lainnya, aku bertemu dengan para pelukis kaligrafi dan iluminator di Tabriz, dan
menghasilkan buku buku. Bagaimana aku menghabiskan waktu di Baghdad dan Aleppo,
di Van dan Tiflis, dan bagaiman aku telah melihat banyak pertempuran.
"Ah, Tiflis!" seru empu agung itu ketika ia menatap cahaya dari kebun yang
tertutup salju menyusup melalui tirai dari bahan kulit yang menutupi jendela.
"Apakah waktu itu salju sedang turun?"
Cara bersikapnya sesuai dengan para empu Persia tua yang menjadi buta karena
menyempurnakan karya seni mereka dan, setelah mencapai usia tertentu, hidup
separuh pikun. Aku menatap langsung bola matanya yang seperti mata jin dan
kulihat isyarat bahwa ia memandang rendah Enishteku dan bahwa ia merasa curiga
terhadapku, Biarpun begitu, aku menjelaskan bagaimana di padang pasir Arabia
salju tidak turun begitu saja ke bumi dengan mudah, sebagaimana salju kini turun
di Hagia Sophia. Aku bercerita: Ketika salju turun di benteng Tiflis, para
perempuan tukang cuci menyanyikan lagu-lagu warna bungabunga dan anakanak
menyembunyikan es krim di bawah bantal untuk musim panas.
"Ceritakan padaku apa yang digambar oleh para illuminator dan pelukis di
negerinegeri yang kausinggahi," katanya. "Apa yang mereka lukiskan?"
Seorang pelukis muda bermata ngantuk yang sedang terserap pikirannya mengerjakan
halamanhalaman buku di sudut, mengangkat kepala dari meja kerjanya bersama yang
lainnya di dalam ruangan itu dan memandangku seakanakan berkata, "Jawablah
dengan sejujur-jujurnya." Banyak di antara para perajin ini tak tahu sudut pertokoan di
lingkungan mereka sendiri, atau berapa harga roti saat ini, tetapi mereka sangat
ingin tahu tentang desas desus terbaru dari Persia Timur, di mana para serdadu
bertempur, para pangeran bergelut satu sama lain, dan menjarah kota sebelum
membakarnya hingga rata dengan tanah, di mana perang dan damai datang silih
berganti setiap hari, di mana sajak-sajak terbaik ditulis dan ilustrasiilustrasi
serta lukisanlukisan terbaik dibuat selama berabadabad.
"Shah Tahmasp berkuasa selama lima puluh dua tahun. Dalam tahuntahun terakhir
hidupnya, seperti yang Anda ketahui, beliau meninggalkan kecintaannya terhadap
buku, ilustrasi dan lukisan, memalingkan diri dari para penyair, ilustrator, dan
penulis kaligrafi, dan mengundurkan diri untuk beribadah, lalu mangkat dan
digantikan putranya, Ismail, yang kemudian naik ke singgasana," kataku. "Shah
Tahmasp sangat menyadari akan watak menyimpang putranya, maka ia mengurung putra
mahkota ini di balik pintu terkunci selama dua puluh tahun. Begitu Ismail naik
tahta, dalam kegilaan yang kalap, ia memerintahkan adik-adiknya dicekik sampai
mati beberapa di antaranya dibuatnya buta terlebih dahulu. Akhirnya, musuhmusuh?Ismail berhasil membiusnya dengan opium dan meracuninya, dan setelah terbebas
dari kehadirannya di dunia, mereka menempatkan abangnya, Muhammad Khodabandeh,
di atas singgasana. Selama pemerintahannya, segenap pangeran, saudara saudara,
gubernurgubernur provinsi dan orangorang Uzbek, pendeknya semua orang, mulai
memberontak. Mereka saling mengejar yang lain dan Serhat Pasha kita dengan
semacam kebuasan yang mematikan sehingga seluruh Persia berubah menjadi asap dan
debu, dan ditinggalkan dalam keadaan kacau balau. Penguasa yang bertahta,
kehilangan uang dan kecerdasan dan separuh buta, tidak tepat untuk mendukung
penulisan dan ilustrasi manuskrip-manuskrip berhias. Maka, para ilustrator
Kazvin dan Heart yang legendaris ini, semua empu tua ini, bersama para anak
didik mereka, para pembantu pelukis yang membuat berbagai adikarya dalam bengkel
kerja Shah Tahmasp, para pelukis dan ahli warna yang kuasnya membuat kudakuda
berlari sekencang mungkin dan kupu-kupu beterbangan di halaman buku, segala
tukang jilid dan penulis kaligrafi ini, setiap orang ditinggalkan tanpa
pekerjaan, tak punya uang, melarat, tak punya rumah, dan miskin. Beberapa di
antaranya bermigrasi ke Utara ke wilayah orangorang Uzbek, sebagian lagi ke
Barat ke India. Yang lainnya lagi mengerjakan berbagai jenis pekerjaan lain,
menyianyiakan diri dan kehormatan mereka, dan yang lainnya mengerjakan pesanan
untuk melayani para pangeran dan gubernur provinsi yang tidak penting, semuanya
saling bermusuhan, mulai mengerjakan bukubuku seukuran telapak tangan berisi
beberapa halaman berilustrasi. Ditulis dengan cepat dan bergegas digambari,
bukubuku murahan itu muncul di mana-mana, sesuai dengan selera prajurit
rendahan, para pasha pinggiran, dan para pangeran terbuang."
"Berapa mereka dibayar?" tanya Tuan Osman.
"Aku mendengar bahwa Sadiki Bey membuat ilustrasi satu jilid Makhlukmakhluk
Aneh, dipesan oleh seorang perwira kavaleri Uzbek, hanya untuk empat puluh
keping emas. Dalam tenda seorang pasha yang kembali dari peperangan Timurnya ke
Erzurum, aku melihat sebuah album terdiri dari gambargambar cabul, termasuk
lukisanlukisan karya Siyavush. Beberapa empu besar yang tidak meninggalkan
pembuatan ilustrasi, membuat dan menjual karya-karya individu yang bukan
merupakan bagian sebuah kisah sama sekali. Dengan mengamati lembaran-lembaran
tunggal semacam itu, kita tak bisa mengatakan adegan atau kisah mana yang
diwakili. Anda akan mengaguminya hanya karena ilustrasi itu sendiri, karena
kesenangan memandanginya. Sebagai contoh, Anda mungkin akan berkomentar, 'Mirip
sekali dengan kuda sungguhan, betapa indahnya,' dan Anda membayar sang seniman
berdasarkan hal ini. Adegan pertempuran atau persetubuhan banyak ditemui. Harga
untuk adegan pertempuran telah jatuh hingga tiga ratus koin perak, dan itu juga
jarang menarik peminat. Menjual barangbarang dengan harga murah dan untuk lebih
menarik perhatian pembeli, beberapa orang hanya menggambar dengan tinta hitam di
atas kertas tanpa ukuran dan tanpa satu pun sentuhan warna."
"Ada seorang tukang sepuh emasku yang amat memuaskan dan sangat berbakat," kata
Tuan Osman. "Ia mengerjakan karyanya dengan semacam keelokan sehingga kami
menjulukinya sebagai 'Effendi yang Elok' atau 'Elok Effendi.' Namun, ia
meninggalkan kami. Sudah enam hari berlalu dan ia tak ditemukan di mana pun. Ia
menghilang begitu saja."
"Bagaimana mungkin ada orang yang sampai hati meninggalkan bengkel kerja seperti
ini dengan hati senang?" kataku.
"Kupukupu, Zaitun, Bangau, dan Elok, keempat empu muda yang kudidik sejak mereka
masih jadi pemagang, kini bekerja di rumah masingmasing atas pesanan khusus
Sultan," ujar Tuan Osman.
Ini tampaknya dilakukan agar mereka bisa bekerja lebih nyaman menyelesaikan
Kitab Segala Pesta yang melibatkan keseluruhan bengkel kerja itu. Kali ini,
Sultan tidak membuat tempat kerja khusus untuk para empu miniaturisnya di
halaman istana. Beliau malah memerintahkan agar mereka mengerjakan buku khusus
itu di rumah. Ketika aku menyadari bahwa perintah ini mungkin diberikan hanya
demi buku Enishteku, aku terdiam. Hingga tingkat apakah Tuan Osman membuat
sindiran" "Nuh Effendi," ia memanggil seorang pelukis bungkuk bermuka pucat, "antarkan
Empu Hitam kita melakukan survey bengkel kerja!"
"Survei" yang dimaksud adalah ritual biasa kunjungan dua bulanan Sultan kami ke
tempat kerja para miniaturis ketika Yang Mulia berkenan mengikuti apa yang
terjadi di bengkel kerja. Dengan bantuan Hazim, Kepala Bendahara, Lokman, Kepala
Penulis Sejarah Puitis, dan Tuan Osman, Kepala Iluminator, Sultan kami akan
diberi laporan mengenai halaman halaman mana di dalam buku mana yang sedang
dikerjakan oleh para empu itu pada waktu kapan pun: siapa yang mengerjakan
penyepuhan, siapa yang mewarnai gambar yang mana, dan satu demi satu, bagaimana
para pemberi warna, para penggaris halaman, para penyepuh, dan ahli miniaturis
yang bakat mereka bisa menciptakan keajaiban, ikut terlibat. Aku merasa
sedih karena mereka menyelenggarakan upacara palsu di tempat seseorang yang tak
lagi hadir karena usia tua dan kesehatan yang buruk menghalangi Penulis Sejarah
Puitis Lokman Effendi, yang menuliskan sebagian besar bukubuku yang diberi
ilustrasi, meninggalkan rumahnya; karena Tuan Osman kerap ditelan kejengkelan
dan kemarahan; karena keempat empu yang dikenal sebagai Kupukupu, Zaitun,
Bangau, dan Elok, bekerja di rumah mereka masingmasing; dan karena Sultan kami
tak lagi sebersemangat bocah kecil di bengkel kerja. Seperti yang terjadi pada
banyak miniaturis, Nuh Effendi telah menua dalam kesia-siaan, tanpa mengalami
hidup secara penuh atau menjadi seorang empu dalam karya seninya. Namun, ia
tidak menghabiskan tahuntahunnya di atas meja kerjanya hingga menjadi bungkuk
dengan sia-sia: Ia selalu memerhatikan dengan teliti apa yang terjadi di bengkel
kerja itu, juga selalu memerhatikan siapa yang membuat halaman yang sangat
indah. Maka, aku pun dengan penuh semangat melihat untuk pertama kalinya halamanhalaman
legendaris Kitab Segala Pesta yang menceritakan kembali upacara khitan pangeran
Sultan kami. Ketika aku masih berada di Persia, aku mendengar kisahkisah tentang
upacara khitan selama lima puluh dua hari ini di mana orangorang dari segala
jenis pekerjaan dan segenap gilda dari seluruh Istanbul, ikut berperan serta di
dalamnya. Namun, pada saat itu buku yang memperingati peristiwa agung itu belum
dipersiapkan. Dalam gambar pertama yang ditempatkan di hadapanku, yang menggambarkan istana
almarhum Ibrahim Pasha, tampak Sultan, sang Pelindung Dunia, sedang menyaksikan
pesta raya di arena balap kuda di bawahnya
dengan sebuah tatapan yang menyiratkan kepuasan. Wajahnya, walaupun tidak begitu
rinci, digambarkan dengan cakap dan penuh penghormatan. Adapun pada sisi kanan
dari gambar dua halaman yang menunjukkan Sultan kami di sebelah kiri, terdapat
para wazir, pasha, dan para duta besar Persia, Tatar, Frank, dan Venesia yang
berdiri dalam lengkungan jendela dan jejeran pilar. Karena mereka bukanlah
sultan, mata mereka digambar dengan tergesagesa dan ceroboh, dan terpaku tanpa
arah di samping hiruk pikuk di lapangan. Kemudian, aku memerhatikan dalam
gambargambar lain bahwa penyusunan dan komposisi halaman yang sama
berulang walaupun hiasan dinding, pepohonan, dan atap tanah liat digambarkan ?dalam gaya dan warna yang berbeda-beda. Begitu teks dituliskan oleh para juru
tulis, gambargambar ilustrasi diselesaikan, dan buku dijilid, pembaca yang
membukabuka halaman akan tiap-tiap kali melihat aktivitas yang berbeda dalam
warnawarna yang sepenuhnya berbeda di arena balap kuda yang tetap berada di
bawah tatapan teliti Sultan dan kerumunan tamu beliau yang selalu berdiri
?secara persis sama, selamanya menatap tempat yang sama di bawahnya.
Di depanku aku melihat orangorang berebut ratusan mangkuk nasi kebuli yang
diletakkan di arena balap kuda. Aku melihat kelinci-kelinci hidup dan
burungburung muncul keluar dari lembu panggang dan mengagetkan kerumunan yang
menunduk di atasnya. Aku melihat kepala gilda perajin tembaga menunggangi kereta
kuda di depan Sultan, para anak buahnya memalu tembaga tetapi tak pernah sampai
memukul seseorang di antara mereka yang terbaring dalam kereta dengan landasan
keseimbangan pada dadanya yang telanjang. Aku melihat
para tukang kaca menghiasi kaca dengan bungabunga anyelir dan cemara ketika
mereka berpawai di hadapan Sultan dalam sebuah kereta. Para pedagang gula-gula
menyitir puisi-puisi manis ketika mereka mengemudikan unta-unta yang bermuatan
karung-karung gula dan memajang sarang-sarang berisi burungburung nuri pemakan
nektar; dan para tukang kunci tua yang memamerkan beragam kunci gantung, gembok,
kunci selot dan gerendel kunci seraya mengeluhkan kejahatan-kejahatan zaman baru
dan pintupintu kejahatan baru. Kupukupu, Bangau, dan Zaitun telah mengerjakan
gambar yang melukiskan para tukang sulap. Salah satu di antara tukang sulap itu
menggulirkan deretan telur menuruni sebatang galah tanpa menjatuhkan
mereka seakanakan bergulir di atas sebuah lempengan marmer yang lebar menuju
? ?sebuah tamborin yang sedang dimainkan oleh orang lain. Dalam sebuah kereta aku
melihat bagaimana Kapten Kapal Kilig Ali Pasha memaksa orangorang kafir yang
ditangkapnya di laut untuk membuat sebuah "gunung orangorang kafir" dari tanah
liat. Ia lalu mengangkut semua orang kafir itu ke dalam kereta, dan ketika ia
telah berada tepat di depan Sultan, ia meledakkan mesiu di dalam "gunung" itu
untuk menujukkan bagaimana ia telah membuat negerinegeri orang kafir merintih
dan meratap dengan tembakan meriam. Aku melihat para tukang jagal bertampang
kelimis menghunus golok, mengenakan seragam berwarna merah-ungu dan tersenyum
pada seonggok bangkai domba berwarna merah jambu yang telah dikuliti dan
tergantung pada sangkutan daging. Para penonton memberi tepuk tangan kepada para
penjinak singa yang menyeret seekor singa terikat rantai di hadapan Sultan,
seraya memanas-manasi dan memancing kemarahan binatang buas itu hingga sepasang
matanya memerah sewarna darah karena amarah. Dan di halaman berikutnya, aku
melihat singa itu, sebagai perlambang Islam, mengejar seekor babi berwarna
kelabu-merah-jambu yang melambangkan orang Kristen yang licik. Aku
memperturutkan mataku memandang gambar seorang tukang cukur yang tergantung
terbalik dari langit-langit sebuah toko yang dibangun di atas kereta ketika ia
mencukur cambang seorang pelanggan, sementara asistennya yang berbaju merah
memegangi sebuah cermin dan sebuah mangkuk perak berisi sabun wangi, menunggu
uang tip. Aku bertanyatanya siapakah gerangan miniaturis hebat yang menciptakan
karya ini. "Yang penting adalah bahwa sebuah lukisan, melalui keindahannya, membawa kita
pada kelimpahan hidup, menuju kasih sayang, pada penghormatan terhadap
warnawarna alam yang diciptakan Tuhan, dan pada perenungan dan iman. Identitas
sang miniaturis tidaklah penting."
Apakah Nuh Effendi sang miniaturis, yang ternyata memiliki pemikiran yang lebih
halus dalam daripada yang kuduga, menjadi waspada karena ia mengerti bahwa
Enishteku mengirimku ke sini untuk melakukan penyelidikan, atau apakah ia hanya
membeo pada perkataan Kepala Iluminator Tuan Osman"
"Apakah Elok yang bertanggung jawab atas segala pekerjaan menyepuh dengan emas?"
tanyaku. "Siapa yang kini melakukan penyepuhan, sebagai penggantinya?"
Teriakan dan tangisan anakanak kini bisa terdengar melalui pintu terbuka yang
menghadap ke halaman dalam. Di bawah, salah satu kepala divisi sedang
menjatuhkan hukuman dengan memukuli kaki para anak magang yang tertangkap membawa bubuk
tinta merah di sakunya atau daun emas yang disembunyikan dalam secarik lipatan
kertas. Barangkali mereka adalah dua orang anak magang yang kulihat gemetar
ketika mereka menunggu dalam dingin. Para pelukis muda yang memanfaatkan
kesempatan itu untuk mengejek mereka, berlari ke pintu dan menonton.
"Pada saat para anak didik selesai mewarnai lantai arena balap kuda ini dengan
warna mawar seperti yang diperintahkan oleh Tuan Osman," ujar Nuh Effendi dengan
hatihati, "saudara kami Elok Effendi, insya Allah, akan kembali dari mana pun ia
telah pergi dan akan menyelesaikan penyepuhan pada kedua halaman ini. Majikan
kami, Tuan Osman, ingin agar Elok Effendi mewarnai lantai kotor arena balap kuda
secara berbeda dalam tiap-tiap adegan. Merah muda mawar, hijau India, kuning
safron, atau warna kotoran angsa. Siapa pun yang melihat gambar itu akan
menyadari dalam gambar pertama bahwa ini adalah sebuah lapangan yang kotor dan
sebaiknya diberi warna tanah, tetapi dalam gambar kedua dan ketiga, ia akan
menginginkan warnawarna lain agar tetap terasa menyenangkan. Hiasan sebaiknya
mendatangkan keriangan pada halaman yang dihiasi."
Aku memerhatikan beberapa gambar pada sehelai kertas yang ditinggalkan di sudut
oleh seorang asisten. Ia sedang mengerjakan sebuah gambar satu halaman untuk
Kitab Kemenangan, penggambaran sebuah armada laut yang berlayar menuju
pertempuran, tetapi tampak jelas bahwa teriakan teman-temannya yang tapak
My Name Is Red Karya Orhan Pamuk di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kakinya dipukuli dengan keras, menghasut si ilustratror untuk pergi menonton.
Armada kapal yang ia buat dengan
mengulangi jejak kapal-kapal yang sama dengan sebuah pola blok bahkan tidak
tampak seperti mengambang di laut. Namun, peniruan ini, tiadanya angin yang
meniup layar, tak banyak berarti terhadap pola blok tersebut akibat kurang
terampilnya pelukis muda itu. Aku melihat dengan sedih bahwa pola itu telah
dipotong dengan kasar dari sebuah buku tua yang tak bisa kukenali, barangkali
sebuah album kolase. Jelas sekali, Tuan Osman sangat abai.
Ketika kami tiba di meja kerjanya sendiri, Nuri Effendi dengan bangga menyatakan
bahwa ia telah menyelesaikan sebuah stempel istana yang disepuh untuk Sultan
kami, yang telah ia kerjakan selama tiga minggu. Dengan penuh hormat aku
mengagumi tatahan emas Nuri Effendi dan stempel itu yang dicapkan di atas
sehelai kertas kosong untuk meyakinkan bahwa penerimanya dan alasan mengapa itu
dikirim akan tetap menjadi rahasia. Aku tahu betul banyak pasha yang tak sabaran
di Timur telah menahan diri untuk tidak memberontak setelah melihat kemuliaan
dan kemegahan stempel resmi Sultan.
Berikutnya, kami melihat adikarya terakhir Jemal sang penulis kaligrafi yang
telah ditulis, diselesaikan, dan ditinggalkan, tetapi kami melewatinya dengan
bergegas untuk menghindari memberi kepercayaan pada lawan-lawan warna dan
dekorasi yang meyakini bahwa seni sejati hanya terdiri dari kaligrafi belaka dan
bahwa hiasan dekoratif hanyalah hal nomor dua untuk menambahkan penekanan.
Nasir si ahli gambar mengacaukan sebuah gambar yang hendak ia perbaiki dari
sebuah sajak dalam kitab Syair Lima Seuntai karya Nizami yang berasal dari zaman
kekuasaan anakanak Timurleng. Gambar itu melukiskan
Hiisrev sedang menatap Shirin yang telanjang saat gadis itu mandi.
Bekas ahli ilustrasi berumur sembilan puluh dua tahun yang setengah buta dan tak
punya apa pun untuk dibualkan selain mengaku bahwa enam puluh tahun yang lalu ia
mencium tangan Bizhad di Tabriz dan bahwa empu agung yang legendaris itu buta
dan saat itu sedang mabuk, menunjukkan pada kami dengan tangan gemetar hiasanhiasan pada kotak pena yang akan ia hadiahkan sebagai kado hari raya untuk
Sultan saat benda itu diselesaikan tiga bulan mendatang.
Tak lama kemudian kesunyian melingkupi seluruh bengkel kerja tempat sekitar
delapan puluh pelukis, anak didik, dan pemagang bekerja dalam ruangan-ruangan
kecil di lantai bawah. Ini adalah sebuah kesunyian yang muncul setelah hirukpikuk, seperti yang kerap kualami berkali-kali; sebilah kesunyian yang akan
dipecahkan sesekali oleh kekeh tawa yang merusak saraf atau sebuah lelucon,
terkadang oleh sedu sedan atau erangan tertahan pemuda yang dipukul sebelum
tangisannya akan mengingatkan para empu miniaturis atas pukulan pukulan yang
pernah mereka terima sebagai anak didik di masa lampau. Tetapi si kakek setengah
buta berumur sembilan puluh dua tahun itu sejenak membuatku merasakan sesuatu
yang lebih dalam, di sini, jauh dari segala pertempuran dan kericuhan: perasaan
bahwa segalanya sedang menuju akhir. Dengan tibatiba, sebelum kiamat terjadi,
akan ada juga kesunyian semacam ini.
Melukis adalah kesunyian pikiran dan musik penglihatan.
Ketika aku mencium tangan Tuan Osman untuk mengucapkan selamat tinggal padanya,
aku tidak hanya merasakan penghargaan tehadapnya, melainkan juga sebuah perasaan yang
menjerumuskan jiwaku ke dalam prahara: rasa iba bercampur kekaguman terhadap
seseorang yang disucikan, sebuah rasa bersalah yang ganjil. Barangkali, ini
karena Enishteku yang menginginkan para pelukis, secara terbuka atau secara ?tertutup, meniru metodemetode para empu bangsa Frank adalah musuhnya.
?Tibatiba saja aku merasa ini mungkin untuk yang terakhir kalinya aku berjumpa
dengan empu agung itu dalam keadaan hidup, dan dalam keinginan untuk
menyenangkannya, aku melontarkan sebuah pertanyaan, "Tuanku yang agung, apakah
yang membedakan miniaturis yang asli dengan yang biasa saja?" Aku menduga Kepala
Iluminator yang terbiasa dengan pertanyaan purapura semacam itu akan
menanggapiku dengan enggan, dan bahwa ia kini tengah melupakan siapa diriku sama
sekali. "Tak ada satu ukuran pun yang bisa membedakan miniaturis yang hebat dari yang
tidak terampil dan tak beriman," ujarnya dengan amat bersungguh-sungguh. "Semua
ini berubah seiring waktu. Keterampilan dan moralitas penting untuk menghadapi
kejahatan yang mengancam seni kita. Kini, untuk menentukan semurni apakah
seorang pelukis muda, aku mengajukan kepadanya tiga pertanyaan."
"Apakah itu?" "Apakah ia percaya, di tengah kebiasaan dewasa ini, seperti pengaruh orangorang
Cina dan bangsa Frank-Eropa, bahwa ia sebaiknya memiliki teknik melukis
individual, gayanya sendiri" Sebagai seorang ilustrator, apakah ia ingin
memiliki sikap yang berbeda dari yang lain,
dan apakah ia mencoba membuktikan ini dengan menuliskan namanya dalam karya
karyanya seperti para empu Frank" Untuk menentukan secara tepat hal-hal ini, aku
mula mula menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan tentang 'gaya' dan 'tanda
tangan.'" "Lalu?" tanyaku penuh hormat.
"Lalu, aku ingin tahu bagaimana perasaan ilustrator ini tentang bukubuku yang
berpindah tangan, dilepas jilidnya, dan gambargambar kami digunakan dalam
bukubuku lain dan zaman lain setelah para shah dan sultan yang menugasi mereka
telah mangkat. Ini adalah sebuah persoalan yang menuntut sebuah tanggapan apakah
seseorang akan gusar atau senang olehnya. Maka, aku bertanya pada ilustrator itu
tentang 'waktu' waktu si ilustrator dan waktu Allah. Kau memahamiku, anak ?muda?"
Tidak. Tapi bukan itu yang kukatakan. Aku malah bertanya, "Dan pertanyaan
ketiga?" "Yang ketiga adalah 'kebutaan'!" kata empu agung Kepala Iluminator Osman yang
kemudian terdiam. "Apa maksudnya tentang 'kebutaan'?" kataku dengan malu hati.
"Kebutaan adalah kesunyian. Jika aku menggabungkan pertanyaan pertama dan kedua
yang baru saja kukatakan, 'kebutaan' akan muncul. Kebutaan adalah yang terjauh
yang bias ditempuh seseorang dalam membuat ilustrasi; kebutaan bisa melihat apa
yang lahir dari kegelapan Allah sendiri."
Aku tak berkata apa pun lagi. Aku berjalan keluar. Kuturuni anak tangga berlapis
es tanpa tergesagesa. Aku tahu bahwa aku akan menanyakan tiga pertanyaan besar
empu agung itu terhadap Kupukupu, Zaitun, dan
Bangau, bukan hanya sebagai pertanyaan semata, melainkan untuk lebih memahami
para legenda hidup yang sezaman denganku ini.
Aku tidak segera pergi ke rumah para empu illuminator itu. Aku bertemu Esther
dekat perkampungan Yahudi di sebuah pasar baru yang memiliki pemandangan ke arah
pertemuan Golden Horn dan Bosphorus. Esther memakai gaun merah jambu yang
terpaksa dia pakai sebagai seorang Yahudi, tubuhnya besar dengan mulut yang tak
pernah berhenti bergerak, dan alis serta matanya berkedut-kedut liar, memberi
isyarat padaku. Beginilah dia di tengah para budak perempuan yang tengah
berbelanja, para perempuan yang mengenakan kain mori yang telah pudar dan
longgar dari daerah miskin, dan di antara kerumunan yang berbaur di tengah
wortel, buah-buahan, dan setumpuk bawang dan lobak.
Dia menyimpan surat yang kuberikan padanya ke dalam celana shalwar-nya dengan
gerak tubuh misterius, seakanakan seluruh isi pasar itu sedang memata-matai
kami. Dia mengatakan padaku bahwa Shekure sedang memikirkanku. Dia mengambil
uang tipnya dan ketika aku berkata, "Tolong bergegaslah dan langsung antarkan
surat itu," dia memberi tanda bahwa dia masih memiliki banyak hal yang harus
dikerjakan dengan memberi isyarat tubuh pada bungkusannya dan berkata bahwa dia
hanya bisa mengantarkan surat itu pada Shekure menjelang tengah hari. Aku
menyuruhnya mengatakan pada Shekure bahwa kini aku akan mengunjungi ketiga empu
miniaturis yang masih muda dan ternama itu.[]
Bab 12 AKU DINAMAI "KUPU-KUPU'
-.-**\f*<. AZAN PERTANDA waktu salat dzuhur belum dikumandangkan. Terdengar ketukan di
pintu: aku membukanya dan menemukan Hitam Effendi yang memang sedang berada di
antara kami untuk beberapa waktu. Kami berpelukan dan saling mencium pipi. Aku
bertanyatanya apakah ia membawa pesan dari Enishtenya, dan ia berkata bahwa ia
ingin melihat halamanhalaman yang sedang kukerjakan ilustrasinya dan melihat
Si Dungu 3 Hotel Bertram At Bertrams Hotel Karya Agatha Christie Riwayat Lie Bouw Pek 11
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama