Ceritasilat Novel Online

Permainan Maut 3

Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley Bagian 3


maupun komandannya. Sidney Pleasant, tukang kebun dan berfungsi
sebagai pembantu umum bagi Cyrus West, lebih muda lima belas
tahun dari isterinya ketika mereka menikah. Banyak yang mengatakan
bahwa mereka adalah suatu pasangan yang ganjil. Mereka tahu
tentang gosip-gosip mengenai milyuner tua yang eksentrik dengan
pembantu rumahnya, semenjak West membeli kekayaannya itu dan
mengambil Mildred Pleasant yang waktu itu masih bekerja pada
seorang kepala gereja di Enstrath.
Gosip itu sudah diketahui setiap orang, seperti biasanya pada
dusun yang terpencil. Setiap orang amat kaget, ketika pemuda Sidney
Pleasant yang berusia dua puluh tahun itu menikahi Mildred yang
berusia tiga puluh lima tahun. Setiap orang menyangka bahwa
Westlah yang mengatur perkawinan itu supaya dia tidak bertambah
malu. Tapi apapun alasannya, perkawinan itu ternyata berhasil. Sidney
merasa cukup puas untuk dikuasai isterinya. Sebab ia menganggap
wanita itu sebagai pengganti ibunya. Tidak sulit menyenangkan anak
muda itu. Dan seandainya isterinya melanjutkan hubungan dengan
majikannya, maka ia terlalu bodoh atau terlalu tidak perduli untuk
menyatakan keberatannya. Ia hanya tertarik pada pemeliharaan tanah
di Manor itu, tanaman dan pepohonan yang dianggapnya sebagai
teman khusus. Karena simpatinya yang khas ini, akhirnya ia menjadi
seorang tukang kebun yang amat berhasil. Meskipun ia tidak
berpendidikan, tapi nampaknya ia tahu secara naluriah bagaimana
merawat setiap tanaman di kebun itu, termasuk tanaman tanaman yang
agak aneh, yang dibawakan teman-teman West dari perjalanan mereka
ke luar negeri. Kehidupan idealis yang diciptakan trio ini tiba-tiba berakhir
pada musim panas tahun 1914. Sidney Pleasant yang muda perkasa itu
mendapat panggilan perang. Ia tidak siap untuk berkelahi, apapun
alasannya. Sebab ia tak pernah mendengar tentang Jerman, Perancis
atau Sang Kaisar. Ia segera mengetahui tentang kejamnya peperangan.
Tapi Mildred sendiri tidak begitu antusias menerima kabar darinya,
sebab ketika suaminya pergi ke Perancis, Cyrus West meninggalkan
dunia ini. Yang tertinggal hanya kenangan serta kekayaannya.
Kesedihan yang bertubi-tubi menimpa Mrs. Pleasant, ia harus
melepas suaminya pergi ke medan perang, dan iapun kehilangan
Cyrus West yang dicintainya untuk selama-lamanya. Hal itu merubah
dirinya dari seorang wanita yang keras menjadi seorang pemurung.
Ketika ia menerima telegram berbingkai hitam yang menyatakan
bahwa suaminya meninggal dalam darma-baktinya terhadap raja, yang
disusul dengan surat dari kepala peleton Sidney yang menyatakan
pujian terhadap kehebatan Sidney. Berita itu nampaknya telah
memadamkan seluruh kegiatan sosial Mrs. Pleasant. Tugas yang
diberikan oleh Miss. Crossby padanya diterimanya sebagai suatu
kepercayaan yang suci. Kesetiaannya akan tetap menyala pada
mimbar Cyrus West, dalam dedikasinya itu ia juga akan mengenang
pemuda sederhana yang senang bercocok tanam dan yang menemukan
kematiannya di hutan belantara Somme.
Sejak saat itu, setiap malam selalu dihabiskannya di dapur,
sambil mengenang masa lalu. Ia tak pernah memikirkan masa kini
atau masa depan. Baginya, kehidupan ini sudah berakhir semenjak
meninggalnya Cyrus West dan Sidney yang dicintainya. Ketika
beberapa minggu yang lalu ia menerima surat dari Miss. Crossby,
yang mengingatkannya tentang keinginan Cyrus West untuk
membacakan surat wasiat itu, ia merasa bahwa itu adalah suatu
gangguan pada kesyahduan dalam pemujaannya pada kekasihnya
yang telah tiada. Ia merasa benci bahwa orang lain akan memiliki
Manor Glencliff dan berbuat sesuka hati di sana, Manor Glencliff
akan ribut dengan suara-suara asing, bahkan mungkin orang itu akan
menjual Manor Glencliff. Ia merasa bahwa rumah itu sudah begitu
lama menjadi miliknya, kini orang lain, salah satu keluarga Cyrus
yang akan memilikinya. Mrs. Pleasant tidak merasa bahwa ia akan
jadi pewarisnya. Cyrus telah mengatakan bahwa betapapun ia
membenci keluarganya, tapi tetap ia akan mewariskan kekayaannya
itu pada salah seorang di antara mereka. Rencananya betul-betul
hebat. Selama dua puluh tahun, tak akan ada orang yang memiliki
uang itu. Jadi Cyrus West akan bisa memilikinya lebih lama. Cyrus
juga telah bercerita padanya tentang apa yang tersirat di balik surat
wasiatnya yang aneh itu. Menjaga rahasia ini berarti ia akan tetap jadi
pemilik Manor Glencliff. Tapi dengan resiko apa "
Mrs. Pleasant mengeluh, ia melihat jam. Hampir waktunya
untuk membereskan tempat tidur nona Annabelle dan menyediakan air
panas baginya. Ia mengambil pistol Miss. Crossby yang tadi
diambilnya dari perpustakaan. Ia harus hati-hati kini, sebab kucing itu
berkeliaran. Annabelle hampir mati ketakutan ketika ia mendengar pintu
diketuk oleh Mrs. Pleasant. Ia memang sudah agak pulih setelah
kunjungan Susan itu, air matanya sudah kering, dan matanya tidak lagi
membengkak. Tapi ia masih amat nervous. Ia merasa lega ketika ia
menyadari bahwa yang datang hanyalah orang tua itu, yang membawa
sebuah guci penuh dengan air panas.
Sementara pembantu rumah itu sibuk membereskan tempat
tidurnya, Annabelle merasa punya teman untuk berbicara. Seseorang
yang dipercayainya tidak akan membuat dirinya gila dan tidak akan
menikahi dia karena kekayaannya. Annabelle berdiri di belakang
perempuan tua yang sedang merapikan sepreinya itu, lalu berkata
dengan nervous. "Mrs. Pleasant aku merasa takut, kukira aku sedang
menghadapi bahaya." Punggung wanita itu berubah tegak, ia menghentikan
pekerjaannya. "Jika kau merasa takut, maka kau memang sedang
menghadapi bahaya," katanya.
Annabelle terkejut mendengar jawabannya ini, itu membuatnya
berpikir bahwa Mrs. Pleasant orangnya lebih sulit dari pada
dugaannya semula. Tadinya ia menganggap perempuan tua itu sebagai
pembantu keluarga yang agak aneh, tapi amat berbakti. Tapi
pandangannya yang bersifat psikologis itu mengejutkan Annabelle. Ia
bahkan merasa takut dengan hal itu. Orang-orang yang dianggapnya
aman dengan cepat berkurang.
"Apa yang kau maksudkan dengan hal itu ?" tanya Annabelle
tajam. Dengan tenang Mrs. Pleasant menyelesaikan dulu pekerjaannya
sebelum menjawab. Lalu ia meluruskan badan dan menghadapi
Annabelle. "Perasaan takut itulah yang harus kau takutkan. Itulah bahaya
yang sebenarnya dalam kedudukanmu. Perasaan takut bisa
membuatmu mengerjakan segala sesuatu. Perasaan takut bisa
membuatmu nampak lain dalam pandangan orang lain." Muka Mrs.
Pleasant yang keriput itu begitu tenang ketika mengatakan hal ini.
Tidak mungkin kita bisa menerka apa yang ada dalam pikirannya.
Annabelle menggigil. Ia berkata pada wanita tua itu, suaranya
tersendat karena menahan tangis. "Apa yang membuatmu berpikir
bahwa aku takut?" Perempuan tua itu tidak menjawab.Annabelle mengelilingi
kamarnya, sedang perempuan tua itu memperhatikannya diam-diam.
Annabelle memutarkan tubuhnya, lalu berteriak keras-keras, hampir
histeris. ''Aku tidak takut. Aku manusia yang rasionil. Aku tahu bahwa
aku amat terlindung dari pembunuh gila itu. Aku mengerti bahwa aku
harus menjaga kedudukanku."
Perempuan tua itu tetap diam, tapi perasaan simpati serta
keharuan yang tidak dibuat-buat kini nampak pada mukanya,
meskipun Annabelle terlalu kesal untuk memperhatikannya. Ia sedang
asyik dengan monolognya. "Kita ambil contoh sebuah burung," lanjutnya.
"Katakanlah, burung kenari dalam sangkar, lalu sangkar itu kita
simpan di meja. Kemudian biarkanlah seekor kucing mengelilingi
sangkar itu. Apa yang terjadi" Karena melihat kucing begitu dekat,
burung itu hampir mati ketakutan. Tapi itulah perbedaannya antara
burung itu dengan manusia. Bila burung itu punya pengertian seperti
manusia, dia akan tahu bahwa kucing itu takkan bisa menyentuhnya,
sebab terlindung oleh sangkar. Tapi karena burung itu tidak
mengetahuinya, ia amat menderita. Kau lihat, Mrs. Pleasant, aku
seperti burung kenari, ada seekor kucing berkeliaran di luar. Tapi
berbeda dengan burung kenari itu, aku tahu bahwa aku dilindungi
rumah ini dan orang-orang yang ada di dalamnya. Dan pengetahuan
itu menjauhkan aku dari perasaan takut. Mengerti ?"
Mrs. Pleasant menggelengkan kepalanya dengan sedih.
Annabelle memperhatikannya, berharap bahwa ia akan mendapat
dukungan untuk apa yang baru saja dikatakannya. Akhirnya penjaga
rumah itu berkata, "Sayang sekali, ini adalah rumah, Annabelle, bukan
sangkar." Gadis itu bingung mendengar jawabannya itu. Mrs. Pleasant
nampaknya akan berkata lebih banyak, dan perasaan cemas
menyelubungi mukanya. Ia segera melirik wajah gadis yang nervous
itu. Alangkah bedanya dia dengan gadis yang beberapa jam yang lalu
masih penuh dengan kepercayaan pada diri sendiri. Sambil
mengucapkan selamat malam, Mrs. Pleasant kembali ke kamarnya. Di
tangga ia berpapasan dengan Paul, tapi ia tidak menyapanya.
Annabelle berdiri diambang pintu kamarnya sambil
memperhatikan punggung penjaga rumah yang mulai menjauh itu.
Paul menyapanya dengan riang. "Hei ! Apakah Mrs. Pleasant telah
menceritakan rahasia keluarga ini ?"
Annabelle menggelengkan kepala, hatinya lega melihat Paul.
Bahkan humornya itu seperti penawar dalam luapan emosi serta tipu
daya yang mengelilinginya semenjak ia mendapatkan warisan West
itu. Paul mengikutinya ke kamar dan mereka duduk di tempat tidur.
"Hemmm, tidak ada Alison Crossby," kata Paul. "Apa saja yang
kau kerjakan sementara aku mempertaruhkan nyawaku untuk
mencarinya?" Annabelle menghindari tatapan mata Paul yang tajam itu. Ia tak
mau Paul tahu bahwa dia habis menangis. Paul sebenarnya melihat hal
itu, tapi ia tidak menanyakannya. Wanita memang sering menangisi
sesuatu, pikirnya. Annabelle mencoba mencari bahan cerita yang tidak
menyangkut Miss Crossby dan orang gila itu.
Lalu ia ingat kalung itu serta petunjuk-petunjuk yang telah
diberikan padanya. Mungkin Paul akan bisa membantunya untuk
memecahkan rahasia itu. "Paul, apa yang akan kau pikir jika aku
mengatakan kata "es" kepadamu?" tanya Annabelle.
Paul memandangnya dengan heran. Annabelle segera mengerti.
Ia tertawa dan merasa lega karena ia tahu bahwa orang itu bisa
dipercaya, ia tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Jangan kuatir," katanya, "aku belum gila. Kata itu adalah
petunjuk tentang tempat disembunyikannya kalung West. Aku
menerka sendiri petunjuk pertama. Kukira aku perlu bantuan untuk
petunjuk kedua." Paul berpikir sejenak. "He, petunjuk macam apa sih es itu ?"
"Tepat seperti reaksiku."
"Es. Bulan-bulan ini tak ada es. Juga di tempat terkutuk ini. Jadi
maksud orang tua itu mungkin suatu tempat yang selalu ada esnya.
Tunggu sebentar!" Paul tiba-tiba jadi penuh perhatian. Ia bangkit
berdiri, hampir saja menjatuhkan Annabelle. "Dengar, bukankah Miss.
Crossby bilang bahwa film itu disimpan selama dua puluh tahun" Dan
dalam apa katanya dia menyimpannya supaya tidak rusak ?"
Annabelle pun kini sama tegangnya dengan Paul. "Ya, film itu
disimpan dalam.....apa sih disebutnya, kulkas ?"
"Betul. Terima kasih untuk perempuan tua itu."
"Tapi di mana gerangan disimpannya kulkas itu ?"
"Kukira aku ahu tempatnya," kata Paul. Ia membuka pintu
dengan hati-hati dan memandang ke arah gang. "Kita tidak mau
seluruh keluarga keluar untuk mencari gua harta itu, bukan?"
Tak ada orang. Rumah itu sunyi. Paul mengulurkan tangannya,
dan pelan-pelan mereka menuruni tangga menuju loteng pertama. Paul
menyimak dengan seksama pada pintu pertama loteng itu.
"Ini dia," katanya. "Ketika aku memeriksa rumah ini tadi, aku
ingat ketika melewati kamar ini aku mendengar suara yang agak aneh.
Suara mekanis yang khas. Waktu itu aku tidak tahu." Ia membuka
pintu ruangan yang tidak terkunci itu lebar-lebar. "Voila !"
Mereka masuk ruangan yang luas itu. Cahaya dari lampu kristal
yang berkelap-kelip bersamaan dengan suara dengungan dari sebuah
benda aneh yang ada di tengah-tengah ruangan itu.
Annabelle menatap benda itu dengan ragu. "Betul-betulkah itu
sebuah kulkas ?" "Mungkin modelnya bukan idaman setiap wanita," kata Paul. la
menepuk-nepuk benda seperti peti itu. "Model ini khusus model untuk
menyimpan surat wasiat. Dijamin akan menambah umurmu,
sementara saudara-saudaramu mati beku. "Lalu ia membungkuk
meraba kulkas itu. ''Bagaimana cara membukanya" Oh, ya, bila ada
kemauan, pasti ada jalan."
Paul melemparkan tutupnya. Kulkas itu kosong. Mereka
menatap kekosongan itu dengan kecewa.
Annabelle baru akan mengutarakan kekecewaannya ketika Paul
meraba-raba bagian dalam kulkas itu.
"Apa yang sedang kau kerjakan ?" kata Annabelle, rasa ingin
tahu mengalahkan kejengkelannya.
"Kalung itu pasti ada di sini," suaranya hampir tidak terdengar,
karena bunyi dengungan kulkas itu.
"Kukira Cyrus itu amat tertutup, sehingga segalanya tidak mau
dilakukan dengan langsung. Mungkin waktu kecilnya ia senang main
sembunyi-sembunyian. Pasti ada bagian yang tersembunyi. Menurut
Miss Crossby orang tua itu senang sekali merahasiakan sesuatu. Aha!"
Annabelle membungkuk ke dalam lemari es itu dengan tegang.
Dari bagian yang tersembunyi di dalamnya, Paul mengeluarkan
segumpal es. Ia memegangnya dengan bangga. "Ini dia. Ini
petunjuknya, es." "Tapi mana kalungnya?" kata Annabelle masih tidak mengerti.
Sebagai jawabannya, Paul menjatuhkan gumpalan es itu ke
lantai, es itu hancur berkeping-keping, dan kalung West itu terlepas
dari penjaranya yang dingin. Kalung itu berkilau di depan mata
mereka. "Oh Paul!" Annabelle memeluknya dengan riang. "Kau betulbetul pintar memecahkan
teka-teki dengan cara seperti itu!"
Paul membungkuk mengambil kalung itu dan
mengalungkannya pada leher Annabelle. Kalung itu penuh dengan
berlian yang gemerlapan tertimpa cahaya lampu. Ia tak pernah melihat
berlian sebanyak itu seumur hidupnya.
Kalung itu dingin. Dan sementara Paul mengalungkannya pada
leher Annabelle yang hangat, ia berpikir betapa tidak berharganya
uang jutaan dollar dibandingkan dengan cinta seorang manusia pada
yang lainnya. Cinta itu mungkin tidak akan berarti bagi Cyrus West,
mungkin cinta itu tidak masuk dalam hitungannya. Paul sama sekali
tidak tertarik pada perhiasan yang mahal dan indah itu. Seluruh jiwa
raga dan pikirannya terpusat bukan pada kalung itu, tapi pada orang
yang mengenakannya. Annabelle mengerti perasaan Paul. Ia tersenyum padanya.
Matanya bersinar, bukan hanya karena kalung itu sudah ketemu, tapi
juga karena ia tahu bahwa Paul hanya menginginkan dialah yang
memilikinya. Lama mereka saling tatap, lalu mereka meninggalkan ruangan


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan perabotannya yang mengerikan itu. Annabelle memegang
kalung itu dengan tangan kirinya, sedang tangan kanannya memegang
tangan Paul erat-erat. Ketika mereka tiba di pintu kamarnya, ia
menatap lagi mata Paul. Sementara Paul memadamkan lampu,
Annabelle tahu bahwa ia tak akan lagi bertanya-tanya manusia macam
apa sebenarnya dirinya itu.
Paul menalikan sepatunya dan mengenakan jasnya.
"Apakah kau harus pergi?" tanya Annabelle sambil termenung,
seolah masih belum sadar.
"Kukira begitu, kekasihku," kata Paul sambil tersenyum mesra.
"Tidak baik bagi seorang pewaris untuk ditunggui pada hari
pewarisannya." Annabelle tersenyum. "Tak lama lagi, kita tak perlu
menyembunyikan sesuatu." Ia menjulurkan kakinya di tempat tidur.
"Sayang, kurasa tak ada lagi yang bisa memisahkan kita kini."
"Jangan lupa kita harus memastikan hal itu," kata Paul. "Kau
masih harus berhati-hati. Pembunuh gila itu masih berkeliaran.
Berjanjilah bahwa kau tidak akan membuka pintu, kecuali untukku.
Pintu itu harus selalu terkunci."
Annabelle mengangkat tangannya dengan malas. "Aku berjanji,
Boss. Bawahan kan selalu mengikuti perintah atasannya." Lalu nada
suaranya menjadi lebih serius. "Kau tahu, malam ini untuk pertama
kalinya aku merasa bahwa orang yang mengingatkan aku agar berhatihati betulbetul bersungguh-sungguh."
Paul menatapnya. "Terima kasih. Senang sekali mengetahui
bahwa aku dipercaya."
Annabelle merengkuh Paul agar dia menciumnya. "Orang bego,
kau tahu maksudku. Aku jengkel pada setiap orang - kecuali
engkau - yang berpura-pura memperhatikan kebahagiaanku. Padahal
sebenarnya mereka ingin merampas kekayaanku, atau menakut-nakuti
aku dari itu semua."
Paul tertawa. "Cyrus memperingatkan engkau tentang saudarasaudaramu itu. Mungkin
ia tidak salah." katanya sambil mencium
Annabelle dengan lembut. "Selamat tinggal untuk sementara,
sayangku." Ia melangkah ke pintu dan melirik ke gang. Tidak ada
siapa-siapa. "Kuncilah pintu. Sampai ketemu pada waktu makan
pagi." Lalu ia pergi.
Annabelle memutar kunci. Sebagai penjagaan, ia menyimpan
kunci itu di bawah bantal. Sebelum kembali ke tempat tidur, ia
menatap dulu dirinya di cermin. Kecuali rambutnya yang kusut itu, ia
masih tampak cantik, pikirnya. Kini ia adalah seorang wanita yang
punya tanggung jawab baru. Wajah pada cermin itu balik menatapnya.
Ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Ia menghampiri meja dan
membuka laci yang teratas. Kalung itu ada di sana, berdampingan
dengan pistol Susan. Ia mengambil kalung itu dan melingkarkannya di
sekeliling lehernya. Lalu ia kembali ke cermin untuk melihat hasilnya.
Betul-betul hebat. Annabelle yang baru.
Sirnalah penampilannya yang kekanak-kanakkan itu. Kilauan
berlian itu membuat dia nampak lebih dewasa dan lebih anggun.
Bahkan ada suatu perasaan tertentu sementara ia memakainya. Ia
merasa kalung itu adalah lambang dari kekayaannya. Ia baru
mengalami perasaan seperti itu. Ia berbaring, sedang kalung itu masih
melingkar di lehernya. Permata itu kini terasa hangat, dan ia enggan
menanggalkannya. Ada perasaan nikmat sementara ia berbaring
sambil mengenakan kalung yang berharga jutaan dollar itu. Dengan
hati senang, dan lampu kecil yang masih menyala, iapun tertidur.
Karena merasa lelah dengan ketegangan-ketegangan yang
dialaminya beberapa jam yang lalu, Annabelle tidur begitu nyenyak.
Terlalu nyenyak sehingga ia tidak mendengar suara deritan dari salah
satu papan yang terbuka pada dinding di samping tempat tidurnya, dan
nampaklah sebuah lorong yang gelap. Sebentuk tubuh muncul dari
lorong,itu dan berdiri sejenak menatap tubuh gadis yang sedang tidur
itu. Nampaknya benda itu adalah seorang manusia, sebab jalannya
tegak, tidak merayap. Tapi gaya jalannya aneh, tangannya terkulai ke
bawah, seolah-olah lebih senang berada di lantai. Orang itu
terbungkus jaket hitam panjang. Topinya yang hitam itu hampir
menutupi seluruh wajahnya. Ia berdiri di dekat tempat tidur Annabelle
dan menatap gadis itu. Ia nampak begitu cantik. Bulu matanya begitu
lentik. Mulutnya yang mungil itu menyunggingkan senyum bahagia.
Dan bahunya begitu putih. Terdengar elahan nafas orang itu. Ia
nampak bingung, ia tidak tahu bagaimana cara memulainya.
Lalu Annabelle menggeliat dalam tidurnya, sambil
menggumamkan panggilan kesayangan. Ia melepaskan tangan dari
lehernya, dan merubah posisi tubuhnya ke dalam posisi yang lebih
enak. Orang itu mendesis dengan terkejut ketika ia melihat kalung
West itu berkilauan pada leher Annabelle. Ia betul-betul mengagumi
kalung itu. Dengan sangat hati-hati, ia mengulurkan tangannya ke arah
kalung itu. Annabelle mengerang, tubuhnya menggeliat. Lalu tangan
orang itu terulur lagi ke arah kalung.
Suasana seperti itu bisa saja dianggap sebagai mimpi buruk;
sebab tangan yang terulur ke leher Annabelle itu bukan tangan biasa.
Tangan itu lebih menyerupai tangan binatang buas. Hendricks
tidak bohong, sebab mungkin ia sudah terlalu sering melihat tangan
itu. Kuku-kukunya amat mengerikan. Daging di atas kukunya telah
mengering dan menghitam. Jari-jarinya kaku dan bengkok. Tapi yang
paling mengerikan adalah kuku-kukunya yang amat panjang itu.
Memang Hendrickspun telah mengatakan hal itu. Tapi, siapa yang
akan membayangkan bahwa kuku panjangnya bisa sampai tiga inci "
Warnanya merah kehitaman, warna darah yang telah kering. Kukukuku itu terulur
seolah-olah ingin mencabik-cabik leher gadis yang
tidak berdosa itu. Kuku-kukunya kini mencengkram kalung itu. Orang
itu nampak seperti raksasa yang sedang mencoba mencuri benda
gemerlapan untuk dibawa ke sarangnya. Cengkeraman orang itu lebih
kuat, ia berusaha merenggut kalung itu.
Pada saat itulah Annabelle terbangun. Ia tak pernah melupakan
saat itu. Ketika matanya terbuka ia berharap bahwa ia masih tidur.
Wajah yang menatapnya itu betul-betul mengerikan. Matanya kuning
dan liar. Mulutnya setengah menganga, dan makhluk itu
mengeluarkan air liurnya. Annabelle membuka mulutnya untuk
menjerit, tapi tidak bisa. Mata yang kuning itu menatapnya dengan
kekuatan hipnotis. Tenggorokannya seolah terkunci. Lalu Annabelle
merasakan tangan yang mengerikan itu bergerak pada lehernya. Orang
itu merenggut kalungnya. Ia memperhatikannya dengan cermat, lalu
memasukkannya pada saku jaketnya. Mulut orang itu kini hampir
tersenyum. Ia menatap gadis yang tak berdaya itu, menatap bahunya
yang putih serta dua bukit yang menggunung di balik gaun malamnya.
Kemudian kedua tangannya mencengkeram leher Annabelle.
Annabelle tidak mau menyerah begitu saja, ia meronta, ia
menarik matanya dari mata berwarna kuning mengerikan itu. Kini ia
bisa menjerit sekeras-kerasnya. Orang itu berusaha untuk menahan
jeritannya, tapi Annabelle terus-terusan menjerit seperti seekor
binatang. Terdengar suara-suara di balik pintu kamarnya; dan ia
mendengar suara Paul yang penuh kecemasan berteriak memanggil
Harry dan Charlie. Penyerang itu mengendorkan cengkeramannya dan
untuk sejenak berdiri kebingungan, dan mendengar tubuh-tubuh yang
mendorong pintu kamar, ia meninggalkan tempat itu.
Mungkin Annabelle pingsan. Sebab yang dilihatnya kini adalah
wajah Paul yang sedang membungkuk ke arahnya. Ia nampak lega,
sebab Annabelle kelihatannya tidak apa-apa. Di belakangnya, ada
Charlie, Harry, Susan dan Cicily, semuanya mengenakan pakaian
tidur. Tak ada tanda-tanda dari makhluk buas itu.
Annabelle menatap ke sekelilingnya dengan liar. Ia berusaha
duduk, tapi kemudian berbaring lagi karena terlalu lelah dengan
ketegangan yang dialaminya. Matanya terbuka lebar-lebar, lalu
dengan suara yang masih penuh ketakutan ia bilang. "Makhluk itu,
pembunuh gila, tadi ada di kamarku. Ia mencuri kalungku dan
mencoba membunuhku."
Wajah-wajah di depannya itu nampak penuh perhatian. Cicily
dan Susan saling melirik. Mata Cicily menyipit karena tidak percaya
dan ia bilang dengan nada yang ragu. "Kalung apa yang kau
maksudkan, Annabelle ?"
Susan mendukung ketidakpercayaan Cicily itu. "Apakah kau
yakin bahwa kau menyadari apa yang sedang kau katakan ?"
Gadis yang ketakutan itu menatap mereka dengan terkejut.
Mereka tidak lagi menutupi usaha untuk menghancurkan kesehatan
jiwanya itu dengan keramahan. Mereka sudah berani terang-terangan
kini. Annabelle menangis tersedu-sedu pada bantalnya.
Harry berkata dengan lebih lembut sambil membungkuk ke
arahnya. "Annabelle, katakanlah seperti apa makhluk itu ?"
"Ya," kata Charlie, "Dari mana ia datang, dan ke mana ia
pergi?" Ada ketegangan dalam suaranya. Ia menatap ke sekeliling
kamar itu dengan nervous seolah-olah mengharapkan makhluk itu
muncul lagi. Paul yang dari tadi diam saja, kini bangkit berdiri dan
menyuruh mereka minggir dari tempat tidur. "Bisa tenang, tidak ?"
katanya dengan jengkel. Mereka memandangnya dengan aneh dan
penuh rasa ingin tahu. Paul membelalak pada Susan dan Cicily.
"Pertama-tama, perlu kalian ketahui bahwa aku dan Annabelle telah
menemukan kalung itu."
Mereka saling tatap dengan terkejut. Harrylah yang pertama
berbicara, menyerang Paul dengan kata-katanya. "Bagaimana kami
bisa tahu bahwa kau tidak mengambilnya, karena kaulah nampaknya
yang paling tahu tentang itu ?"
Paul Menjawab dengan jengkel. ''Kalung itu tidak cocok
denganku." Charlie nimbrung. "Bagaimana kita tahu bahwa kau tidak
mengambilnya, Harry ?"
Harry memutarkan tubuhnya, 1angannya diacungkan.
Pertentangan kedua orang itu dicegah oleh Annabelle yang bilang,
"Aku tahu yang mengambilnya bukanlah seseorang yang ada di sini.
Makhluk itu ada di kamarku, dan aku bisa mendengar suara kalian di
luar. Aku tidur dengan mengenakan kalung itu, kemudian orang gila
itu masuk kamarku dan mencurinya."
Susan berpaling pada Paul. "Apakah kau melihat Annabelle
mengenakan kalung itu sebelum ia tidur?" katanya.
"Tidak, tapi aku telah pergi sebelumnya..." lalu ia berhenti dan
menatap Susan. Ada senyum kemenangan pada bibirnya. ''Apa
sebenarnya yang kau maksudkan ?" bentak Paul dengan marah.
Susan angkat bahu. "Bagi orang dungupun itu sudah jelas."
katanya dengan sinis. "Bila ia masuk kamarmu, Annabelle, bagaimana caranya ia
masuk " Pintu terkunci. Kita tadi mendobrak pintu itu." kata Harry.
Charlie memeriksa jendela serta gordiynnya. "Ia tidak lewat ke
sini," katanya, "Jendela ini masih terkunci rapat."
Kelelahan serta ketegangan terdengar dengan jelas pada suara
Annabelle. "Ia tidak masuk lewat jendela, ia masuk lewat jalan lain.
Nampaknya ia datang dari arah sana," kata Annabelle sambil
menunjuk sudut kamar yang paling dekat ke tempat tidur. Mereka
semua berpaling ke arah itu.
Susan berkata sambil menggelengkan kepalanya. "Annabelle,
tentunya engkau tidak mengharapkan kami untuk percaya pada cerita
semacam itu. Apakah ia masuk lewat lobang kayu" Ia menganggap
dirinya kucing, bukan tikus."
Cicily menambahkan dengan sinis. "Oh, kukira ia masuk lewat
dinding." "Mungkin saja dari tadinya ia sudah bersembunyi di kamar ini,"
kata Paul. Ia berusaha keras untuk mendukung cerita Annabelle.
Dengan melihat sikap orang-orang itu, Paul yakin bahwa Annabelle
amat membutuhkan pertolongannya.
"Atau mungkin ia memang tak pernah masuk kamar ini. Sebab,
bagaimana ia bisa keluar lagi?" kata Susan.
"Apa maksudmu ?" protes Charlie.
Susan angkat bahu. "Kau bisa lihat sendiri, semalam ini
Annabelle bertingkah aneh. Pertama ia mengatakan bahwa Miss.
Crossby menghilang ke dalam dinding, kini ia mengatakan bahwa
seseorang muncul dari dinding. Bukankah itu aneh?" katanya datar,
lalu ia mengeluarkan rokok dari kantongnya. Paul melihat tangannya
yang gemetar. Annabelle telah pulih dari rasa terkejutnya, ia marah sekali
karena ceritanya itu ternyata tidak diterima. ''Kenapa kau tidak
langsung saja mengatakan bahwa aku telah gila?" bentaknya pada
Susan. Sebelum Susan bisa menjawab, Charlie menengahi.
"Tenanglah, Susan. Kita semua kadang-kadang bisa bersikap histeris."
Tapi hal itu tidak membantu. Annabelle duduk di tempat
tidurnya, rambutnya kusut. "Aku tidak histeris" teriaknya. "Kucing itu
memang masuk kamarku."
Suasana itu agak tenang dengan kemunculan Mrs. Pleasant. Ia
memandang berkeliling dengan ketakutan. "Aku mendengar jeritan,"
katanya. "Apakah ada yang terluka ?"
"Miss West baru mendapat mimpi buruk," kata Susan.
"Seperti apa orang itu?" tanya Cicily.
Annabelle menggigil."Mengerikan sekali. Matanya liar, giginya
tajam, dan tangannya seperti cakar."
"Seperti dalam deskripsi kita." kata Susan datar. "Betulbetulkah dia tidak mirip
wanita bisnis yang sudah tua ?"
"Apa maksudmu ?" tanya Annabelle marah.
"Hemm, bila seseorang menghilang di depan matamu, mungkin
saja orang itu akan muncul kembali dengan cara yang sama." kata
Susan. Annabelle hampir menangis. Suaranya gemetar penuh emosi.
"Kenapa kau tidak percaya padaku" Apakah kau tidak perduli"
Makhluk itu tidak muncul di depan mataku, tapi ia memang mencuri
kalungku dan mencoba untuk membunuhku. Mungkin nanti ia akan
mencoba membunuhmu. Tidak mengertikah engkau bahwa kita semua
ada dalam bahaya?" "Apakah kau sering membayangkan bahwa seseorang sedang
mencoba membunuhmu?" tanya Cicily.
Annabelle hampir terperdaya. "Tidak, tidak biasanya." Tapi
kemudian ia mengerti maksud pertanyaan itu. "Tentu saja tidak! Aku
tidak membayangkannya. Itu betul-betul terjadi."
Cicily tersenyum penuh kemenangan. Akh! Nampaknya begitu
mudah. "Aku tidak ingin hal ini jadi lelucon, tapi kenapa ia tidak
membunuhmu?" tanya Charlie.
Annabelle membelalak padanya. "Mungkin ia takut. Mungkin ia
tidak mau tertangkap."
"Nampaknya ia seorang gila yang rasionil," kata Susan sinis.
Annabelle mendengus dengan jengkel. "Hemm, tunggulah
sampai ia mencengkeramkan tangannya padamu. Maka kau akan tahu
betapa rasionilnya dia." Kemudian Annabelle berpaling pada saudarasaudaranya
yang lain. ''Dengarkanlah untuk terakhir kalinya. Yang
kukatakan itu betul-betul terjadi. Satu-satunya yang kuketahui adalah
bahwa kita ada dalam bahaya, serta seseorang menginginkan
kematianku. Aku belum gila, meskipun hal itu mungkin
mengecewakan kalian yang merasa bahwa dirinya adalah pewaris
kedua." katanya sambil membelalak pada Susan. Muka Susan berubah


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pucat di bawah tatapan Annabelle itu. Sambil terus menatapnya,
Annabelle bilang, "Nyatanya aku malah pikir-pikir, mungkin saja ada
seseorang lain yang gila."
"Hemm, itu adalah gejala klassik," gumam Susan, dan
gumamannya itu memang mengenai sasaran.
Paul tiba-tiba nimbrung, selama percakapan itu, ia asyik
memeriksa papan dinding di kamar itu. "Seluruh, situasi ini memang
nampak klasik. Jelas orang yang menginginkan kematian Annabelle
adalah pewaris kedua."
Harry merasa jengkel dengan ucapannya itu. "Tapi apa
urusannya dengan orang gila yang menganggap dirinya kucing itu"
Annabelle bilang makhluk itulah yang menyerangnya."
Paul mengabaikannya. "Percayalah, aku merasa bahwa hal itu
ada hubungannya. Tapi persoalannya kini adalah bagaimana caranya
orang itu keluar, dan ada di mana ia sekarang." Ia melangkah lagi pada
dinding papan di sudut kamar Annabelle yang terdekat ke tempat
tidurnya. "Mengenai caranya menghilang, kukira itu tidak begitu sukar
untuk dimengerti orang bodoh sekalipun. Maksudku, bukankah di
negara ini kalian biasa membuat kamar rahasia" Anehkah jika kucing
itu menemukan kamar tersebut" Kamar yang menuju kamar ini ?"
Sambil berkata begitu, Paul mengetuk-ngetuk dinding. Tak ada
petunjuk bahwa papan itu melengkung. Ia berpaling pada Mrs.
Pleasant, nada suaranya tidak lagi ramah. "Hemm, nenek. Selama ini
kau diam-diam saja. Bagaimana jika kau memberi tahu tentang rahasia
rumah ini" Adakah suatu lorong yang menuju ke sini?"
Penjaga rumah itu berusaha sekuat tenaga supaya ia nampak
tenang. "Aku sama sekali tidak mengetahui lorong semacam itu,"
katanya. Ekspresi muka Paul memperlihatkan dengan jelas bahwa ia
tidak percaya padanya. Kini setiap orang memperhatikannya. Ia
meraba-raba dinding papan itu dengan seksama, dan mendorong
hiasan ukirannya untuk memastikan apakah papan itu memiliki ulat
pengangkat rahasia. Tidak ada. Mrs. Pleasant memperhatikan Paul,
tangannya terlipat pada baju masaknya. Lebih banyak
ketidakberhasilan Paul, lebih lebar pula senyuman yang tersungging
pada mukanya yang keriput itu. Paul merasa jengkel dengan
kegagalannya, karena itu ia menggunakan cara yang lebih brutal. Ia
menendang papan itu sekuat tenaga. Tangan Mrs. Pleasant terangkat
ke atas mulutnya dengan kaget.
Lalu dari dalam dinding itu terdengar bunyi berderak, seolah
suatu benda berat sedang bergerak. Nampak sebuah celah pada
pertemuan kedua papan di dinding itu. Orang-orang itu
memperhatikannya dengan tegang, celah itu melebar dan papan-papan
itu berkerut dan terlihatlah sebuah pintu masuk ke sebuah lorong.
Sebentuk tubuh berdiri di pintu masuk itu, ada desisan ngeri
dari orang-orang itu. Tubuh itu pasti tubuh Miss Crossby, meskipun
kepalanya dibungkus dengan semacam kain perban. Sementara
mereka memperhatikan dengan tegang, tubuh itu melenggok ke arah
mereka dan jatuh terjejer pada karpet Persia itu.
Chapter 12 Tubuh Alison Crossby tergeletak di karpet. Dari cara tubuh itu
menghantam karpet, dan dari kekakuan yang luar biasa dari seluruh
anggotanya, jelaslah bagi semuanya bahwa ia telah mati. Kakinya
agak merenggang, tangannya melengkung ke belakang, sehingga
nampak seolah-olah ia sedang berusaha keras untuk bisa berdiri, suatu
usaha yang nampak ngeri dengan adanya tas linen berlumuran darah
yang menutupi kepalanya. Di antara mereka semua, Harrylah yang paling terbiasa melihat
orang mati, maka dialah yang pertama-tama menghampiri wanita yang
nampaknya terlalu cerdik, terlalu rapi untuk memilih kematian dengan
cara sedramatis ini. Ia meraba tangan kirinya dan merasakan denyutan
nadinya. Sudah tidak ada. Ia menggelengkan kepalanya dan berpaling
pada orang-orang itu seolah-olah meminta bantuan, seolah-olah
wanita itu korban kecelakaan lalu lintas, dan bukan mangsa
kekejaman monster yang buas.
Mereka semua diam, mereka terlalu tegang untuk berani
mengatakan apapun yang ada dalam pikirannya. Yang paling
menegangkan adalah kesadaran bahwa hal ini bukan lagi suatu
lelucon, bahwa Hendricks sedikitpun tidak berbohong. Perempuan itu
mati di tangan pembunuh gila. Dibandingkan dengan kenyataan itu,
peristiwa-peristiwa lain malam itu tidaklah penting.
Harry berdiri ragu-ragu di dekat mayat itu. Ada yang perlu
diketahuinya, sesuatu yang tidak, boleh dilupakannya. Ia harus
melihat mukanya. Kengerian hanya akan bisa dikuasai setelah
diketahui sumbernya. Ia membungkuk, kantong yang menutupi kepala
itu direkat dengan plester. Ia mulai membuka tali-talinya, Jari-jarinya
terasa kaku, sedang simpul tali itu begitu kuat.
Yang lainnya memperhatikan dengan ngeri dan penuh rasa
ingin tahu. Muka Annabelle amat pucat, tangannya menggigil, jarijarinya memutih
karena kepalan yang terlalu keras. Susan dan Cicily
berdiri berdampingan. Cicily nampak tenang. Ia ingat laki-laki yang
telah dibunuhnya di night-club terkutuk itu. Kepalanya terpisah dan
berberaian mengotori foto-foto penari yang menghiasi dinding
kantornya. Polisi menemukan Cicily berlumuran darah orang itu, ia
masih memegang pistol yang masih mengepulkan asap. Waktu itu ia
tertawa. Charlie merasakan ketegangan di perutnya, sementara Harry
melepaskan tali-tali itu. Ia tak mengalami lagi hal itu semenjak
perang. Semua kenangan lama tentang daging yang berberaian itu kini
muncul lagi. Ia ingat ketika kembali dari suatu misi, ia dan co-pilotnya
tertembak musuh. Dalam penerbangan itu ia berteriak-teriak, berharap
supaya orang dalam pesawat di belakang mendengarnya. Setelah
mendarat, ia meloncat dari pesawat untuk menolong kawannya. Orang
itu masih membungkuk di atas sebuah bedil Lewis, tapi sebuah
geranat telah jatuh pada bagian pesawat di bawahnya dan
menghancurkan setengah dari badannya. Charlie tak pernah lupa
darah yang mengalir pada rumput di lapang udara itu dan ekspresi
muka yang tenang dari orang mati itu. Harry membuka simpul yang
terakhir. Ia berlutut dan pelan-pelan membuka bungkusan berlumuran
darah itu dari kepalanya. Asalnya susah sekali membukanya, karena
terekat dengan darah di bawahnya. Dan ketika Harry mengangkat
ujung bawahnya, ia ngeri sekali melihat tenggorokannya yang sudah
dipotong-potong. Rasanya ia mau muntah. Mulutnya terasa mual, tapi
ia tidak bisa berpaling. Harry merenggut kain pembungkus itu, dan
kain itu tiba-tiba terlepas.
Mereka menjerit ngeri melihat muka Alison Crossby. Oh, muka
itu sudah tidak dapat dikenal lagi. Kulitnya terkelupas seperti kulit
apel. Kelopak yang tidak bermata itu membelalaki mereka. Giginya
nampak mengerikan, dengan bibir yang telah lepas itu, sedang
lidahnya terulur keluar. Di tengah-tengah gumpalan daging yang
merah itu nampak tulang tengkorak yang putih. Kedua pipinya
disayat-sayat, dan kedua telinganya dipotong.
Harry membelalak. Semua itu amat mengerikannya. Apa yang
dilihatnya adalah ejekan pada kehidupannya dulu. Sebab kekejaman
yang dilampiaskan pada wanita ini adalah suatu penghinaan yang nista
terhadap ilmu bedah yang dilaksanakan untuk kepuasan yang sadis,
bukan untuk menyembuhkan. Kepala yang berlumuran darah itu
mengingatkannya pada orang yang telah mati di tangannya pada meja
operasi. Tengkorak serta otaknya yang rusak hampir sama dengan
pekerjaan orang gila ini. Ia menarik tas linen itu ke atas kepala mayat.
Yang lainnya berdiri tegang menyaksikan semua itu. Ketegangan itu
hanya dipecahkan oleh isak tangis Annabelle.
Paul menatapnya dengan penuh perhatian. Ia berpaling
menantang Susan. Suaranya serak, penuh dengan cemoohan dan
sindiran. "Apakah kini kau mempercayainya " Apakah kau masih
berpendapat bahwa Annabelle hanya membayangkan semua itu?"
tanyanya dengan garang. Susan menggelengkan kepalanya, ia menatap Annabelle dengan
liar. Annabelle membelalak padanya, matanya juga liar. Rambutnya
yang pirang itu basah dengan air mata. Paul mengalungkan tangan
pada bahunya. Harry menjauh dari mayat itu. Ia mengusap keningnya yang
penuh keringat. "Apakah kau pikir pembunuhnya masih ada dalam
rumah ini?" tanyanya pada Paul. Paul tidak menjawab, cuma
menatapnya. Charlie menghampiri mayat itu dan menatapnya dengan
ngeri. Mendengar suara Harry, ia mengangkat muka. "Kita harus
memeriksa lagi pintu-pintu dan jendela." Ia melangkah ke arah lorong
itu dan memeriksanya. "Adakah yang tahu menuju ke mana lorong
ini?" tanyanya. "Aku tidak tahu," kata Mrs. Pleasant.
Paul berpaling padanya dengan sebal, tapi ia menahan diri
untuk tidak menyatakan pendapatnya. Ia yakin bahwa perempuan tua
itu banyak menyimpan rahasia. Ia mengikuti Charlie pada pintu
rahasia itu, ia merenggut ujung papan itu, dan papan itu bergerak
dengan mudah. Terdengar papan itu berderak sementara lobang itu
tertutup lagi. Setelah tertutup, tak akan ada orang yang menyangka
bahwa di sana ada pintu rahasia.
"Seorangpun tidak boleh masuk," kata Paul tegas. "Pembunuh
itu mungkin saja sedang bersembunyi di bawah sana." Ia berpikir
sejenak, lalu bilang, "Annabelle tidak bisa tinggal di sini. Mrs.
Pleasant, siapkanlah kamar lain untuknya. Charlie dan Harry, lebih
baik kalian periksa bagian atas rumah ini. Aku akan memeriksa
ruangan bawah tanah." Ia menatap mayat Miss Crossby. "Kita tidak
bisa meninggalkannya di sini, kita harus membungkusnya dan
membawanya ke kamar makan. Pagi-pagi sekali kita akan memanggil
yang berwajib. Dan si Hendricks itu, ia akan bertanya-tanya tentang
apa yang telah terjadi pada rumah sakitnya setelah aku melaporkannya
pada yang berwajib."
Harry dan Charlie pergi untuk menunaikan tugasnya. Paul
menatap Annabelle dengan cemas. "Kau yakin bahwa kau tidak apaapa?"
Annabelle mengangguk. Paul nampak ragu-ragu, tapi ia pergi
untuk memeriksa gudang. Annabelle berdiri membelalak pada Susan dan Cicily. Matanya
penuh kebencian. Susan merasa tidak enak, maka ia bilang, "Aku kan
sudah mencoba memberitahu tentang tingkahnya orang gila itu."
Bibir Annabelle yang indah itu mencibir. Kejutan yang
berulang-ulang itu membuatnya agak tenang.
Ia merasa kedinginan sementara ia berdiri di sana dengan
pakaian tidurnya. Terhadap Susan ia hanya merasa benci karena ia
telah berusaha sekuat tenaga untuk membuatnya gila. Jika bukan
karena Paul, mungkin ia sudah berhasil. Mungkin kini Susan merasa
kaget, sebab apa yang dimaksudkannya untuk menakut-nakuti
Annabelle itu betul-betul telah terjadi dan menakutkan mereka semua.
Annabelle berkata pelan. "Kau bukan memperingatkan aku.
Kau hanya mengejar uang dengan mencoba membuatku gila." Ia
melihat Susan membuka mulutnya untuk protes. "Tak ada gunanya
menyangkal. Aku betul-betul merasa kasihan padamu, Susan. Kok
engkau bisa berbuat seperti itu." Annabelle menatap mayat itu, sambil
berusaha menyembunyikan kengeriannya. "Miss Crossby yang
malang. Kau lihat, ia memang menghilang. Dan kuakui bahwa yang kau
katakan tentang orang gila itu memang benar. Kau menerangkannya
dengan tepat." Ia berhenti, lalu melanjutkan dengan penuh arti
"bahkan bisa dibilang terlalu tepat."
Susan bertambah pucat mendengar kata-kata itu. Ia menjilat
bibirnya dengan nervous seperti binatang yang ketakutan. Mulutnya
tiba-tiba terasa kering. Cicily menatapnya dengan curiga dan kaget.
Annabelle mengumpulkan sebagian barang-barangnya,
kemudian tanpa melirik ke belakang ia mengikuti Mrs. Pleasant keluar
kamar itu. Paul meninggalkan kamar itu dengan pertanyaan-pertanyaan
yang tak terjawab di kepalanya.
Meskipun ia merasa ngeri dengan pembunuhan itu dan bertekad
bulat bahwa pembunuh gila itu tak boleh mendapat korban lain, ia
tidak merasa kehilangan Miss Crossby. Ia mengira bahwa tak ada
seorangpun yang bersedih atas kematiannya itu.
Perempuan dingin yang tak bisa didekati itu nampaknya telah
melarang berduka cita, seperti juga ia telah melarang memperturutkan
perasaan ketika ia masih hidup.
Pada tangga, Paul mendengarkan setiap bunyi aneh. Rumah itu
sunyi. Kakinya berbunyi di lantai marmer. Di luar, angin masih
menderu dan hujan masih turun membasahi jendela. Ia berpikir untuk
memanggil polisi dalam hujan badai itu, tapi bukan hanya badai saja
yang mencegahnya. Ia enggan meninggalkan Annabelle dengan hanya
dilindungi Harry dan Charlie. Meskipun ia tidak punya alasan untuk
menyangka bahwa salah satu di antara mereka menginginkan
kematiannya, tapi ia tidak yakin bahwa mereka akan betul-betul
melindunginya jika Annabelle diserang pembunuh gila itu. Mungkin
mereka akan mendahulukan keselamatan mereka sendiri. Ia merasa
bahwa daftar orang-orang yang dipercayanya hanya dua buah nama.
Dan ia hampir tidak percaya pada dirinya sendiri. Ia merindukan
mentari pagi supaya ia bisa meninggalkan tempat itu dan mencari
pertolongan. Sambil mengeluarkan baterei dari sakunya, ia membuka pintu
gudang. Ia menyorotkan baterei itu ke tangga gudang untuk
memastikan bahwa di sana tak ada orang. Ia membiarkan pintu di atas
tangga itu terbuka, supaya cahaya dari ruangan tengah bersinar ke
sana. Ia melangkah ke lantai bawah tanah itu dengan hati-hati. Tak
ada yang nampak berubah. Kemudian pada persambungan ruangan
bawah tanah itu ia mendengar suara pintu terbuka. Hatinya berdebar.
Pintu berderak lagi. Sambil berjalan di tengah-tengah barang-barang
lapuk itu, ia menghampiri arah suara itu.
Sebuah pintu gudang utama terbuka dan berderak halus. Ia
membukanya lebar-lebar, dan menendangnya ke dinding untuk
memastikan bahwa tak ada orang yang bersembunyi di sana. Memang
tidak ada. Dengan membelakangi pinggir pintu, ia menelusuri gudang
itu dan menyorot-nyorotkan batereinya. Ternyata kosong. Ia menarik
nafas. Ia menutup pintu itu rapat-rapat. Tiba-tiba terdengar suara
orang berkelahi di belakangnya. Sia-sia ia menghindar. Kepala bagian
kirinya dihantam dengan keras, dan ia jatuh pingsan di lantai yang
dingin itu. ************************************
Susan dan Cicily telah kembali ke kamar mereka. Mereka saling
menghindar. Cicily menanggalkan bajunya dan berbaring. Tangannya
gemetar. Susan menatap bahunya yang putih itu. Menatap kulit yang
lembut dan muda itu membuatnya merasa lebih tua. Tua dan kotor.
Hidupnya hanya akan jadi kehampaan. Dari pandangannya ia tahu
bahwa Cicily sudah bosan padanya. Kini ia betul-betul tidak bisa
menawarkan apa-apa, sebab uangnya kini telah habis. Ia telah gagal
mendapatkan warisan itu. Bisa saja Annabelle menganggapnya
sebagai orang yang tak berperikemanusiaan sebab ia amat
mementingkan uang, tapi Annabelle tak pernah menderita karena
kurang uang seperti dia. Selama hidupnya ia selalu menghabiskan
waktunya dengan berburu binatang-binatang yang eksotis pada iklim
yang nyaman, ia sering bepergian. Sedang kini ia harus tinggal pada
gubuk buruk di Earls Court, dan mungkin bekerja sebagai tukang
ketik pada kantor murahan. Di waktu malam, dia harus makan dengan
irit, dan harus mengeringkan pakaiannya di jendela.
Cicily memperhatikannya sambil bersitumpu pada sikut.
Rambutnya berberaian di mukanya. Nampaknya ia ketakutan. "Aku


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak dapat tidur, Susan. Aku terus-terusan membayangkan mukanya.
Aku membayangkan, seandainya salah seorang di antara kita seperti
itu........hiyyyy!" Tanpa memikirkan apa yang dikatakannya Susan menjawab.
"Tidak, sayang, ingat, kita bukan pewaris." Cicily menatapnya dengan
bingung. "Tapi itu orang gila yang kabur...." Ia tertegun.
Susan berpikir sejenak. ''Ya, tentu saja. Aku hanya memikirkan
uang. Tidak punya uang tidak berarti kita kebal."
Cicily memalingkan mukanya ke bantal. "Ada di tempat ini
membuat aku ngeri. Bahuku tegang," suara Cicily tertekan bantal, tapi
Susan tahu apa artinya suara ngantuk itu. Sebuah pendahuluan. Ia
bangkit dari kursinya dan duduk di dekat Cicily. Sambil menatap
tubuh yang ramping dan segar itu, Susan membayangkan betapa dia
akan kehilangan Cicily. "Aku akan memijat bahumu, sayang. Itu akan
membuatmu lemas." Cicily berdesah dengan gembira.
****************************************
Seseorang mengguncangkan Paul keras-keras. Paul menggeliat
dengan lemah. Satu-satunya hal yang paling dia inginkan adalah
berbaring di lantai dingin itu dan agar rasa pusing di kepalanya
menghilang. Guncangan itu bertambah keras. Seseorang berkata "Bangun!"
Paul berusaha membuka matanya yang nyeri itu. Tapi apa yang
dilihatnya menyebabkan ia menyesal membuka matanya. Yang
dilihatnya itu adalah wajah Mrs. Pleasant yang keriput, dan kepalanya
betul-betul pening. "Oh, Tuhan," erangnya. "Aku lebih parah dari pada dugaanku."
Ia berdiri terhuyung-huyung. Lalu kesadaran tentang apa yang telah
terjadi lebih mengejutkannya lagi. "Annabelle!" teriaknya sambil
berlari ke tangga. Mrs. Pleasant mengikutinya.
Paul melangkahi tangga itu dua-dua. Pada lantai pertama, ia
tertegun, tidak tahu kamar Annabelle yang baru. Penjaga rumah itu
menunjukkan pintunya. Ia menyerbu pintu itu dan berteriak.
"Annabelle, aku di sini, Paul."
Pintu itu terbuka sedikit dan Annabelle mengintai dengan
curiga. Ketika ia melihat Paul, ia membuka pintu itu lebar-lebar.
"Paul, sayang" katanya, suaranya penuh kecemasan. "Engkau terluka."
Paul meraba kepalanya. Jari-jarinya menyentuh darah beku.
Darah itu mengalir pada pipinya dan mengotori kerah bajunya, tapi ia
tidak memperhatikannya. "Itu betul," kata Paul sambil menyeringai. Ia merasa lega
melihat Annabelle selamat, dan hal itu meredakan ketegangannya.
"Aku korban nomer dua. Mungkin aku nampak lebih parah dari pada
apa yang kurasa. Aku merasa seolah-olah bagian kiri kepalaku
menghilang. Aku tidak mengalahkan kucing malam ini, bahkan
sebaliknya." Annabelle minggir dan membiarkan dia masuk. "Siapa yang
melakukannya ?" Mrs. Pleasant, yang mengikutinya, bilang. "Aku menemukan
dia pingsan di gudang, Miss. Annabelle. Pintu ruangan tengah
dibiarkan terbuka dan aku masuk untuk memeriksa."
"Tindakan yang baik," kata Annabelle. Mrs. Pleasant masih
berjalan-jalan seolah masih ingin bicara tapi bingung untuk
memulainya. Tangannya terlipat di dada. Annabelle berharap bahwa
dia akan pergi. Perempuan itu membuatnya gelisah. "Terima kasih,
Mrs. Pleasant. Kukira aku bisa merawat Mr. Jones kini."
Perempuan tua itu menatapnya. Sejenak lamanya, tergambar
rasa kasihan pada mukanya yang keriput itu. Lalu ia mengangguk dan
meninggalkan mereka berdua.
Paul menjatuhkan dirinya ke kursi. Ia meneliti kamar itu, yang
jauh berbeda dengan kamar mewah yang ditempatinya tadi. Ia melihat
dirinya pada cermin. Mukanya putih seperti kapur, dan darah beku
yang berwarna merah kehitam-hitaman itu mengotori rambutnya dan
membuat wajahnya nampak aneh. "Aku memang nampak lebih parah
dari pada apa yang kurasakan," komentarnya pelan.
Annabelle mengambil lap tangan dan membasahinya pada meja
cuci. Ia mulai membersihkan darah itu. Sentuhan lap dingin itu
menenangkan Paul. Denyutan di kepalanya agak mengendor dan
otaknya mulai jalan, memecahkan pertanyaan-pertanyaan yang
bertumpuk di kepalanya. Annabelle telah selesai membersihkan darah
itu, maka ia menyimpan lap dingin itu pada kepala Paul sebagai
kompres. "Apa yang terjadi, Paul " Apakah kau melihat orang gila itu ?"
Paul menggelengkan kepalanya. "Ia muncul dari belakangku.
Aku tidak melihatnya. Tentunya engkau merasa bangga, aku tidak
melambung sekalipun."
Annabelle tertawa, meskipun hatinya merasa takut. "Begini,"
Paul melanjutkan, "Aku sedang memeriksa gudang, aku mendengar
pintu berderak, lalu aku pergi untuk memeriksanya. Kupikir kucing itu
mungkin saja bersembunyi di bawah sana, mencari jalan untuk kabur.
Aku menemukan pintu itu tapi tidak ada tanda-tanda dari makhluk itu.
Yang kuketahui berikutnya adalah seseorang memukulku dari
belakang dengan mesin uap, lalu aku dibangunkan oleh Mrs. Pleasant
yang mengatakan bahwa aku sakit kepala. Itu bisa dimengerti,
bukan?" Suara Paul penuh dengan kekuatiran dan kebingungan.
Annabelle memegang tangannya. "Aku mengerti," katanya
serius. Ia mengusap kening Paul dengan tangan lainnya. Lalu ia
menggelengkan kepalanya dengan lembut. "Tapi cobalah ceritakan hal
itu pada yang lain dan lihat apa yang terjadi. Mereka akan mengira
bahwa engkaupun gila. Mereka akan mengatakan bahwa engkau jatuh
dan sebagainya." Paul mengusap tangan Annabelle. "Mungkin mereka punya
alasan," keluhnya. Annabelle memegangnya lebih erat, nada suaranya bertambah
serius. "Tapi kita tahu kenyataannya, bukan " Orang gila itu sedang
berusaha membunuhku. Tak seorangpun percaya. Tapi lihat saja yang
terjadi padamu. Ia ingin agar kau tidak menghalangi keinginannya."
Paul menyeringai. "Mungkin ia tidak mencoba membunuhmu.
Mungkin ia tidak memukulku. Mungkin kita hanya terlalu banyak
berhayal, seperti kata Susan."
"Kukira itu tidak lucu, Paul. Aku takut, betul-betul takut."
Annabelle menatap mata Paul lekat-lekat. Paul tidak membalas
tatapannya. Matanya menatap lantai. Pikirannya terpusat pada tekateki yang
memenuhi kepalanya. Paul meraba kepalanya, ada sebuah
benjolan sebesar telur merpati di sana.
Lalu ia berkata dengan pelan dan sungguh-sungguh. Tak ada
nada riang dalam suaranya. "Aku sudah memikirkan semua ini.
Sebenarnya tak ada yang kita ketahui dengan pasti. Bagaimana kita
bisa tahu bahwa ada pembunuh gila yang menganggap dirinya
kucing" Bagaimana kita akan tahu bahwa dia seorang perempuan dan
bukan seorang laki-laki" Bagaimana kita bisa mengetahui semua ini"
Hemm, memang Hendricks menceritakan semua ini. Tapi siapakah
Hendricks ini " Bagaimana kita akan tahu bahwa dia itu seperti apa
yang dikatakannya" Yang kita ketahui ialah bahwa ia meloncat masuk
sambil mengacungkan bedil seperti Tom Mi dan banyak berceloteh."
Annabelle kaget sekali mendengar kesungguhan dalam
suaranya. Mata Paul menyipit, dan tubuhnya menjadi tegang dengan
semangat yang tertahan. Kini Annabelle mengerti apa yang
dimaksudkan Paul. Ia benar. Tak ada bukti mengenai orang gila itu.
Mereka tidak berhubungan dengan dunia luar semenjak datang ke sini,
dan memang tidak ada cara untuk mengadakan hubungan. Segalanya
tergantung pada kebenaran kata-kata Hendricks.
Paul mengalungkan tangannya pada bahu Annabelle.
"Semuanya harus kita hadapi. Mungkin seseorang di rumah ini
bersekutu dengan Hendricks. Mungkin asalnya ia bersekutu dengan
Miss Crossby dan memutuskan untuk memperdayakannya. Mungkin
ia bersekutu dengan Mrs. Pleasant. Apakah kau mendengar dia
berkata bahwa ia tidak tahu sama sekali tentang gang-gang rahasia"
Setan ! Ia pasti tahu setiap bata di rumah ini. Dan mengapa ia setuju
untuk tetap tinggal dua puluh tahun lamanya, jika ia tidak yakin
bahwa ia akan mendapatkan uang itu" Seseorang menginginkan
kematianmu, atau menginginkan engkau gila."
Annabelle termenung. Akh ! Betapa bahagianya dia beberapa
jam yang lalu ketika mengetahui bahwa ia pewaris Cyrus West. Kini
ia terperangkap dalam lingkaran tipu daya, kebencian dan ketamakan.
Seorang perempuan telah dibunuh dengan kejam. Untuk apa "
Tentunya tak ada kekayaan yang begitu berharga. Annabelle tak
pernah menyaksikan kekejaman sebelumnya. Pengetahuan tentang
tingkah laku manusia itu mengejutkannya.
Ia memeluk Paul dengan sedih. Paul, satu-satunya hal yang
pasti pada dunianya yang tidak tentu itu. Kemudian sesuatu yang lebih
mengerikan terlintas pada pikirannya. Bisakah Paul dipercaya" Ia
mencoba membunuh pikiran gila itu, tapi bekasnya tetap tersimpan
pada alam bawah sadarnya. Sejenak lamanya ia merasa betul-betul
sendiri. Tapi ketika ia menatapnya, matanya cerah dan penuh cinta. Ia
tidak bisa, ia tidak akan percaya bahwa diapun jahat. Bila ia jahat,
Annabelle tidak perduli lagi akan apa yang terjadi pada dirinya.
"Maksud Cyrus dengan pembacaan surat wasiat itu adalah
memberikan surat izin pembunuhan kepada kepada setiap orang. Apa
lagi yang lebih baik dari pada membiarkan mereka mengira bahwa
dirinya pewaris kedua " Ingat, ia menyebutkan setiap orang, Miss
Crossby, Mrs. Pleasant, di samping keluarganya." kata Paul.
Annabelle tiba-tiba teringat sesuatu. "Dan Miou-miou. Ia juga
menyebutkan nama itu."
Paul menahan nafas. "Ya, itu betul. Hemm, siapa gerangan
Miou-miou " Dan kenapa ia menyebutkan nama itu ?" Jauh di dasar
hati Paul ada sebuah pikiran, sebuah ide. Ia hampir tidak percaya pada
pikirannya. "Apa yang akan kau lakukan" tanyanya pada Annabelle, "bila
engkau mau membunuh dirimu?"
Annabelle mengangkat alis. "Paul, kukira hantaman pada kepala
itu...." Dengan tidak sabar, Paul memotong. "Tidak, aku sungguhsungguh. Bila kau mengira
bahwa kau pewaris kedua, apa yang akan
kau lakukan jika kau mau membunuh pewaris pertama dan
mendapatkan warisan itu ?"
Annabelle menatapnya. "Aku akan mengunjungi psikiater."
Paul cemberut. "Tidak. Pewaris kedua akan menginginkan suatu
cara, di mana dia sendiri tidak akan dicurigai."
Annabelle mengerti. Hendricks lagi. "Pewaris kedua akan
menyalahkan seseorang yang sama sekali tidak punya hubungan
dengannya. Seseorang yang tidak punya motif untuk membunuh."
"Betul. Dan apa lagi yang lebih baik dari seorang gila yang
kabur" Itu akan memberikan alasan bagi pewaris kedua itu untuk
membunuh seseorang yang telah mengetahui data-data kita semua.
Miss Crossby." Annabelle ingat Miss Crossby ketika di perpustakaan. Ia sedang
mencoba memperingatkannya.
Ia akan mengatakan sesuatu yang penting padanya. Dan
Annabelle menyadari, betapa ia telah salah mengerti. Dan Miss
Crossby meninggal karena ia telah berusaha memberi peringatan
padanya. Annabelle merasa sakit.
"Dan pada akhirnya, tak akan ada yang bisa membuktikan
sesuatu. Hendricks pasti telah menghilang." kata Paul.
"Hanya ada satu point pada kata-katamu, Paul. Engkau
menyangka bahwa pewaris kedua itu tahu bahwa dirinya pewaris
kedua. Dan bagaimana dia bisa tahu hal itu ?"
"Mungkin Cyrus West mengatakannya," kata Paul.
Annabelle menatapnya dengan heran. "Tapi itu tidak mungkin.
Kita lebih dari...."
Paul menggerakkan tangannya dengan tidak sabar. "Aku tahu.
Maksudku bukan waktu dia masih hidup. Maksudku malam ini.
Dalam film, mungkin ada petunjuk, yang Cyrus West tahu, hanya bisa
dimengerti oleh seseorang. Sesuatu yang menyebabkan orang itu tahu
bahwa Cyrus West mengingatnya. Itu akan mengingatkannya, bahwa
jika dia bukan pewaris pertama, pastilah dia jadi pewaris kedua."
"Tapi itu tidak mungkin ! Itu berarti bahwa Cyrus West
bermaksud...." Paul memotong sebelum ia selesai. "Ya, itu betul. Itulah
kesimpulan yang kuambil. Bahwa Cyrus West telah merencanakan
semua ini. Ia menginginkan kita mendapat ketegangan yang
maksimal. Sehingga ia tidak menyerahkan kekayaannya itu tanpa
hiburan anumerta. Apa disebutnya" Permainan setengah malam.
Cyrus tua itu tahu apa yang dilakukannya. Ia memilih pewaris
keduanya sebagai pembunuh."
Chapter 13 Cicily sedang tidur, mulutnya yang kecil itu menyunggingkan
senyuman. Susan merasa bahwa dia telah diperalat. Ia tahu bahwa
Cicily tak akan berpikir dua kali untuk meninggalkan dia, begitu dia
tahu bahwa ia tidak punya kesempatan untuk mendapat warisan itu. Ia
sadar bahwa pada dasarnya Cicily memang egois. Seperti kucing, ia
memberikan kasih sayangnya hanya pada orang yang mampu
menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkannya untuk hidup senang.
Seperti kucing. Kenapa kata itu selalu menghantuinya" Bagaimana
mengenai kucing yang diketahuinya dari cerita ayahnya mengenai
Cyrus West" Susan berpikir keras. Tiada jalan lain, kecuali ia harus
merasa yakin. Ia harus tahu siapa pewaris kedua itu. Ia menatap Cicily
dengan hati-hati. Gadis itu jelas tidur. Diam-diam Susan memijakkan
kakinya pada lantai dan berdiri dengan amat hati-hati supaya tidak
membangunkan gadis yang sedang tidur itu. Susan mengenakan
mantelnya dan melangkah ke pintu itu dengan kaki telanjang sambil
menjinjing sepatunya. Pintu itu terbuka pelan-pelan. Tak ada orang di
luar pada gang yang gelap itu. Ia bisa melihat cahaya samar dari ruang
tengah. Cicily terus tidur, tidak terganggu. Susan tiba-tiba merasa
amat sedih, seolah-olah ia tidak akan bertemu lagi dengan gadis yang
egois itu. Ia menutup pintu dan melangkah menuju perpustakaan.
Cicily mengangkat mukanya dari bantal ketika pintu itu
tertutup. Ia tidak tahu kenapa Susan amat merahasiakan kepergiannya.
Dan ia pun tidak perduli. Air muka Cicily amat keras. Kini ia tidak
perduli lagi. Perpustakaan itu gelap. Susan masuk berjingkat-jingkat. Ia
melangkah ke dekat meja dan menyalakan lampu baca. Map-map
Miss Crossby masih ada di sana, tersusun rapi seperti tadi. Ia
membungkuk dan membuka kaleng film yang ada di meja. Kaleng itu
kosong. Ia kaget; lalu ia membuka laci meja. Laci itupun kosong. Film
itu pasti ada di suatu tempat. Ia mengangkat kertas-kertas yang ada di
meja itu. Tak ada apa-apa. Lalu ia ingat mayat itu. Mungkin film itu
masih dibawa Miss Crossby.
Cepat ia berlari ke kamar makan. Mayat itu terbaring di lantai,
di ujung ruangan itu. Sambil menentang rasa takut, ia mengangkat
pembungkusnya. Ia baru saja akan menggeledah saku jas Miss
Crossby, ketika ia mendengar suara samar di belakangnya, dan sebuah
tekanan pada kakinya. Dengan ngeri Susan memutarkan tubuhnya,
dan ia merasa lega ketika melihat bahwa penganggunya itu hanya
seekor kucing hitam. Ia mendorongnya, tapi kucing itu
menafsirkannya sebagai ajakan bermain, maka kucing itu menggosokgosokkan
kepalanya pada tangan Susan. Ia akan mendorongnya lagi
ketika kucing itu tiba-tiba menggigil, bulu-bulu di punggungnya


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdiri tajam. Lalu kucing itu melepaskan diri darinya dan menghilang
di kegelapan. Susan merasa heran. Pada saat itu, di sudut yang paling
gelap di ruangan itu, sebuah suara bilang dengan nada mengancam.
"Kukira kau tidak akan menemukan apa yang kau cari."
Sesuatu bergerak ke arahnya dari kegelapan itu. Ia terlalu takut
untuk bergerak dan tetap membungkuk di dekat mayat itu. Tubuh itu
muncul, mukanya masih terhalang kegelapan. Ia berdesis ketakutan. Ia
bangkit berlari ke ruang tengah yang terang itu, tapi tidak cukup cepat.
Orang itu merenggut bahunya dan memutarkan tubuhnya, sejenak ia
melihat muka yang penuh kebencian itu, sebelum pukulan lain
menghantam gerahamnya dan dunianya kini menjadi gelap.
Orang itu menatap mangsanya yang pingsan. Tidak banyak lagi
waktu. Untuk orang yang satu ini, ia akan memulai dengan matanya.
************************************
Paul dan Annabelle saling tatap. Paul bilang, "Jika aku benar,
maka ini bukan persoalan dengan orang gila. Soalnya ada seseorang
yang punya motif kuat untuk membunuhmu. Dan hampir waktunya
untuk membuka kedoknya. Aku akan mencari film kedua itu. Itu pasti
ada di antara kertas-kertas Miss Crossby. Lalu aku akan mengadakan
pembicaraan dengannya, siapapun orangnya." Ia berdiri.
Annabelle menangis. "Demi Tuhan, hati-hatilah, Paul."
"Jangan membiarkan siapapun masuk, termasuk Cyrus West
sendiri," kata Paul sambil memegang pintu, Annabelle mencoba.
tersenyum. "Jika aku kembali aku akan memainkan lagu baru
untukmu. Judulnya "Mencium Pewarisku" kata Paul, lalu ia pergi.
Annabelle mengunci pintu. Kemudian ia duduk di divan,
membuka tas dan mengeluarkan sebuah pistol. Suara Susan masih
terdengar, "Menembak diri saja." Ia tahu sekarang hal itu tidak perlu.
Paul akan menyelamatkannya dari situasi yang mengerikan ini.
Ia hanya tinggal menunggu. Pistol itu berat dan meyakinkan. Ia
merasa tenang kini. Pagipun akan segera tiba.
Suara derakan di belakangnya membuat jantungnya berdetak
lagi. Salah satu papan dalam dinding itu mengkerut, memperlihatkan
sebuah lorong rahasia. Sambil memegang pistol, ia berjalan ke arah
lorong itu. Ia melirik ke dalamnya, ketakutannya semakin menjadijadi. Tak ada
yang bisa dilihat di dalamnya kecuali kegelapan dan
sarang laba-laba. Ia mundur dari situ, ia harus menemukan Paul. Ia
menyerbu pintu dan membuka kuncinya dengan panik. Akhirnya pintu
itu terbuka dan ia berlari ke ruangan terbuka. Ia menahan keinginan
untuk berteriak, karena ia tahu hanya Paullah satu-satunya orang yang
bisa dipercaya. Ia menuruni tangga sambil memegang pistol itu eraterat. Paul
pasti ada di perpustakaan atau di ruang makan. Di dasar
tangga ia berhenti sambil melirik-lirik ke sekelilingnya.
Terlalu lambat ia mendengar suara deritan itu. Ia menatap
berkeliling, tapi sebelum ia bisa menyentuhkan jarinya pada pelatuk,
ia merasa pergelangannya direnggut dari belakang, cengkeramannya
bagaikan besi. Lengannya terkulai dan pistol itupun jatuh.
Penyerangnya mengambil senjata itu. Dengan ngeri, Annabelle
melihat tangan yang sama dengan yang mencuri kalungnya. Orang itu
mengenakan topi serta jaket yang sama. Mukanya tersembunyi.
Tangan orang itu mencengkeram tenggorokannya supaya ia tidak bisa
menjerit. Ia menyeret Annabelle ke pintu gudang. Ia membukanya dan
mendorong Annabelle ke dalam.
Annabelle terjatuh di tangga gudang, hampir terguling ke dasar
tangga. Ia merasa sakit dan pening. Orang itu menakut-nakutinya
dengan pistol. Annabelle melihat bahwa orang itu menyeretnya ke
suatu tempat yang tersembunyi di bawah dasar tangga yang gelap itu.
Orang itu membuka sebuah pintu lain, dan Annabelle kini ada di
ruangan bawah tanah. Sambil memandang berkeliling dengan ngeri,
Annabelle menyadari bahwa ruangan itu hanya disinari oleh sebuah
lampu listrik. Ruangan itu penuh dengan barang-barang rongsokan.
Ada kuda-kudaan di antara tumpukan buku-buku tua. Ada kursi
jangkung dan peralatan Cricket. Dan yang paling mengerikan adalah
sebuah kursi logam di tengah-tengah ruangan itu. Dan yang paling
mengerikan lagi adalah pengaturan cermin, yang mengelilingi kursi
itu sebatas kepala. Ada kesinisan dalam ruangan yang seperti ruang
operasi ini. Pada sebuah baki kecil, ada berpasang-pasang pisau
bedah. Annabelle merasa pistol itu sudah menembus punggungnya,
sementara orang itu mendorongnya ke kursi. Lebih ngeri lagi, di
bawah kursi itu ada bangkol-bangkol untuk mengamankan kaki siapa
saja yang duduk di atasnya. Annabelle menyadari bahwa ia ada di
ruang siksaan yang telah bertanggung jawab atas kematian Miss
Crossby. Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Dengan kekuatan
yang tersisa, ia melepaskan diri dari cengkeraman orang itu dan
menendangnya. Pada saat yang sama, Annabelle merenggut senjata itu
dengan kedua belah tangannya. Terdengar desisan kemarahan.
Sejenak lamanya mereka memperebutkan pistol itu. Annabelle
berkelahi bagaikan harimau betina. Ia menancapkan kuku pada lengan
orang itu dan ia merasa puas mendengar tarikan nafas pedih dari
penyerangnya. Orang itu menjatuhkan pistol dan menendangnya jauhjauh. Lalu ia
menjemba rambut Annabelle dan memutarkan
kepalanya. Annabelle meninju-ninju dengan liar.Kukunya mencakar
muka orang itu. Tapi ternyata bukan kulit muka yang dicakarnya,
hanya sebuah topeng. Dan topeng itu terlepas ke tangannya.
Orang itu menutupi mukanya, tapi sia-sia. Annabelle telah
melihatnya. Orang itu terpaksa menghadapinya kini, senyuman jahat
tersungging di bibir-nya.
"Charlie !" Annabelle merasa betul-betul kaget. Paul benar.
Tidak ada orang gila dari luar, ini hanya kegilaan dari dalam.
"Tentunya kau sukar sekali dikalahkan," kata Charlie sambil
mencopot tangan palsu itu bagaikan mencopot kaos tangan. Ia
menanggalkan jaketnya yang panjang itu, sambil berdiri di antara
Annabelle dan pintu. "Oh ya, kau bisa menjerit sesukamu di sini. Tak
akan ada orang yang mendengarmu. Kamar ini anti suara. Ini asalnya
kamar Cyrus. Kini kamarku. Segalanya milikku sekarang."
"Itu tidak benar. Aku pewarisnya," kata Annabelle menantang.
Charlie tersenyum jahat. "Tadi memang engkau pewarisnya.
Tapi engkau akan segera melihat bahwa aku bersungguh-sungguh, aku
cerdik sekali pada orang-orang yang akan merebut warisanku."
"Apa maksudmu merebut warisanmu ?" tanya Annabelle tidak
mengerti. Sikap Charlie tiba-tiba berubah. Ia bukan lagi Charlie yang
diidamkan setiap wanita. Charlie ini sudah gila. Mulutnya mencibir
dan ia mengeluarkan kata-kata ini pada Annabelle. "Kau mendapatkan
warisanku," matanya liar, seolah-olah ia betul merasakan
ketidakadilan. "Itu adalah warisanku. Cyrus West pernah mengatakan
bahwa aku kesayangannya. Kau tidak tahu bahwa aku sering
menghabiskan masa liburku di sini ketika aku masih kecil. Tak ada
seorangpun yang ingat hal itu, kecuali Mrs. Pleasant yang pandai
sekali menutup mulutnya. Di samping itu, akupun mengatakan
padanya bahwa ia boleh tetap tinggal di sini sesukanya, jika aku
pewarisnya. Karena rumah ini beserta kenangan pada Cyrus West
amat berarti baginya, ia tidak mau menghalangi keinginanku. Hemm,
Cyrus West memperlihatkan semua rahasia rumah ini padaku. Kurasa
aku sudah dianggap anaknya. Ketika orang tuaku pergi ke India, ia
kuanggap ayah. Ia memperlihatkan kamar ini padaku. Bahkan ia
membolehkan aku bermain di sini jika ia tidak menggunakannya."
Charlie menunjuk kuda-kudaan itu. "Itu milikku. Dulu Cyrus
menggunakan kamar ini untuk hiburan khusus yang tidak mau
dilakukannya di tempat terbuka. Kukira ia senang sekali menyiksa
orang upahan. Oh, itu sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan
apa yang akan kau alami. Katakanlah aku murid ke kelas tinggi,"
katanya sambil menjilat bibir.
Annabelle tahu bahwa jika Charlie terus-terusan berbicara,
mungkin ia akan bisa sedikit demi sedikit mendekati pintu. Ia ingat
bahwa semua orang gila itu senang bercerita tentang dirinya.
"Siapakah Miou-miou, Charlie ?" tanyanya.
Charlie terkejut. "Kau cerdik sekali, kok bisa menemukan nama
itu," katanya dengan kagum. "Miou-miou adalah nama yang
kuberikan pada kucing Cyrus. Sebenarnya kucing itu bernama
Leonidas. Aku tidak bisa menyebutkan nama itu ketika masih kecil,
maka aku memanggilnya Miou-miou. Orang tua itu senang sekali.
Seolah-olah aku dan kucing itu mempunyai nama yang sama. Orang
tua itu amat menyayangi kucingnya. Terlalu sayang." Ia tertegun,
matanya berbinar-binar. "Dan kau tahu apa yang kulakukan,
Annabelle" Aku membunuhnya. Pembunuhan pertama. Aku
membunuhnya di kebun. Waktu itu aku belum begitu maju, jadi aku
tidak mencabik-cabiknya. Setelah itu, hanya akulah yang
disayanginya." Sementara charlie bicara, Annabelle bergerak seinci demi seinci
menuju pintu. Segera, jaraknya akan cukup dekat untuk bisa
menyerbu pintu. Andaikan Chrlie terus bicara. Dan memang tidak
nampak tanda-tanda bahwa ia akan berhenti. Ia terlalu asyik dengan
kenangannya. "Itu adalah salah satu alasan kenapa aku tahu bahwa aku
pewaris kedua. Caranya orang tua itu mengatakan Miou-miou pada
film. Aku tahu bahwa ia tidak melupakanku. Itu adalah suatu lampu
hijau bahwa aku boleh mulai bertindak. Seandainya namamu bukan
West, tak akan ada persoalan. Tapi aku senang sekali mengatasi hal
ini." "Charlie, apa yang terjadi pada Miss Crossby?" tanya
Annabelle. Charlie tersenyum. "Perempuan itu terlalu cerdik untuk
kebaikannya sendiri. Aku harus membunuhnya pada waktu aku
mengetahui bahwa ia akan memberitahukan engkau tentang sesuatu
yang telah diketahinya. Lebih baik jika aku melakukannya dengan
cara yang bisa membuatmu kelihatan gila. Ia mengetahuinya sebab ia
melihat album keluarga. Ia juga membaca klipping koran yang
mengatakan bahwa aku telah menyaksikan pengeroyokan seorang
gadis yang telah akrab denganku. Aku menemukan tubuh yang telah
ditikam dan dicabik-cabik. Aku harus membayar mahal untuk alibi
itu." Charlie termenung. "Miss Crossby menyimpan cukilan itu dalam
mapnya. Kukira, asalnya ia tidak begitu memperhatikan hal itu, tapi
kemudian ia bisa mengambil kesimpulan. Seperti yang kukatakan, ia
bukan orang bodoh." "Kau sendiri cerdik, Charlie," kata Annabelle, "Kukira kau pula
yang mengambil film kedua itu."
"Ya, itu betul. Asalnya aku lupa. Aku harus kembali untuk
mengambilnya. Lalu, ketika aku sedang memeriksa mapku dan
merapikannya kembali, si Keparat Sillsby itu muncul."
Annabelle menahan nafasnya. "Susan. Kau tidak bermaksud
mengatakan bahwa kau telah....."
Charlie menyelesaikan kalimat itu untuknya. "Oh, ya, aku telah
membereskannya. Tapi aku terlalu tergesa-gesa melakukannya. Aku
akan menyiksamu dengan tenang."
Dengan pedih Annabelle melihat bahwa Charlie tidak begitu
asyik lagi membicarakan motif kegilaannya. Suaranya bertambah
keras, ia hampir berteriak. "Oh ya, kau keparat mungil. Aku akan
menyiksamu seperti kau telah menyiksaku. Kau akan berharap bahwa
kau tak pernah mendengar tentang kekayaan West. Kau akan berharap
bahwa kau tak pernah dilahirkan jika aku telah selesai....."
Annabelle memanfaatkan kesempatan itu. Ia meninju dada
Charlie dan mendorongnya dari jalan ke pintu itu. Ia merenggut
tombol pintu dan membukanya sebelum Charlie sadar dari
hantamannya itu. Hendricks sedang berdiri di pintu.
Annabelle menjerit, "Oh Syukurlah! Tolonglah aku. Ia mencoba
membunuhku. Ia gila."
Hendricks menatapnya tanpa berkedip. Lalu ia mengangkat
tangan dan mencengkeram kepala Annabelle. Annabelle terjatuh pada
kakinya. Hendricks mengangkat tubuhnya ke kursi logam itu. Charlie
membantunya membelenggu gadis itu.
"Selamat," katanya sambil menyalami Hendricks.
Hendricks mengangguk. "Terima kasih. Tapi izinkanlah aku
berkata bahwa segala sesuatu yang kuurus demi suksesnya permainan
ini berjalan dengan amat lancar. Jam itu berdentang tepat. Aku tiba
pada waktu yang tepat untuk menyelamatkanmu dari Harry."
Charlie berdesah. "Kukira kau tak akan datang. Kukira aku
terpaksa harus membunuhnya."
Hendricks menggerakkan kepalanya ke arah Annabelle. "Kita
menyiksanya dengan tenang. Tidak usah tergesa-gesa seperti pada
yang lain." Charlie mengangguk. "Akupun mengatakan hal yang sama
padanya sebelum engkau tiba."
Hendricks meneliti Charlie. "Di manakah medallion yang biasa
kau pakai ?" Charlie meraba lehernya. Ia membungkuk mencari-carinya di
lantai. "Aku tidak melihatnya di sini," katanya dengan jengkel.
"Sialan, mungkin jatuh di loteng. Mungkin kalung itu lepas ketika aku
membereskan Sillsby. Lebih baik aku mengambilnya, sebelum
pemuda itu menemukannya dan mulai berpikir. Aku tidak akan lama.
Jangan memulainya tanpa aku," katanya sambil menyeringai dan
melangkah keluar. Annabelle kini telah betul-betul sadar. Hendricks tersenyum.
"Menunggu adalah suatu pekerjaan yang menjengkelkan,"
katanya. ***********************************
Paul berlari cepat di bawah tangga. Ia tahu bahwa ia harus
bertindak cepat untuk menyelamatkan Annabelle. Ia hanya akan aman,
jika mereka yakin dari bagian mana bahaya itu datangnya. Ia menuju
perpustakaan. Lampu baca pada meja itu menyala, menyorotkan
cahaya kuning pada map-map yang ada di meja itu. Map-map itu
berantakan, seolah-olah seseorang telah menumpuknya dengan
tergesa-gesa. Gulungan yang berisi film kedua itu tergeletak di meja
di dekat map-map itu. Gulungan itu telah dibuka. Ia bisa melihat
bahwa gulungan itu kosong. Seperti Susan, iapun menarik laci meja
yang paling atas. Kini laci itu terkunci. Ia mengeluh. Nampaknya
seseorang telah menyingkirkan bukti-bukti itu sebelum ia tiba. Ia
terlambat. Dengan lemas ia memandang ke sekeliling perpustakaan
itu. Tak ada orang yang berkeliaran untuk menyerangnya kali ini.
Kenangan itu membuat dia mengusapkan tangan pada benjolan di
kepalanya. Sakitnya bukan main. Ia akan berterima kasih jika
mendapat kesempatan untuk membalasnya.
Ia baru akan menuju ke kamar makan untuk mencari petunjuk
dari mayat Miss Crossby, ketika ia melihat sebuah buku bersampul
kulit tergeletak di lantai di dekat rak buku. Buku itu adalah sebuah
album foto yang telah dilihat-lihatnya bersama Annabelle tadi. Tapi
rasanya hal itu terjadi bertahun-tahun yang lalu. Seseorang telah
mengeluarkan album itu. Seseorang yang membukanya bukan hanya
untuk iseng-iseng. Mungkin Miss Crossby yang mengeluarkannya.
Paul memperhatikan album itu dengan lebih teliti. Kemudian ia
melihat sesuatu yang amat ganjil. Sebuah halaman dari album itu telah
disobek. Ia bisa melihat ujung kertas karton yang tebal itu. Halaman
yang dirobek itu terletak di dekat halaman terakhir. Kenapa dia ingin
menyobek album keluarga yang kuno" Jika album itu tidak berisi
sesuatu yang tidak dikenal secara umum " Kalau begitu siapapun yang
melakukannya bisa dicurigai sebagai pembunuh Miss Crossby. Dia
juga mungkin pewaris kedua. Mungkin Alison Crossby telah


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menemukan bukti, dan pembunuh itu ingin memastikan bahwa tidak
akan ada orang lain yang akan melakukan hal yang sama.
Paul melihat-lihat foto-foto pada lembaran di dekat lembaran
yang dirobek itu. Foto-foto itu tidak banyak membantu. Kebanyakan
foto-foto Cyrus West, dengan latar belakang Manor Glencliff. Pada
foto itu terlihat kebun yang lebih indah dan lebih terawat dari pada
kebun yang sekarang. Foto yang pertama memperlihatkan Cyrus
sedang minum teh pada halaman depan rumah ini. Hari yang cerah. Ia
ditemani oleh seseorang, mungkin dia adalah kawan Cyrus yang telah
lama mati. Dengan kaget Paul menyadari bahwa Cyrus duduk pada
kursi logam yang sama dengan kursi yang dilihatnya di gudang itu.
Foto-foto lainnya memperlihatkan sekelompok orang. Cyrus ada di
tengah-tengah mereka, aneka macam orang yang tidak dikenal Paul.
Tak ada seorangpun dari mereka yang punya motif membunuh.
Paul menyimpan kembali album itu pada rak. Ia meninggalkan
perpustakaan itu dan melangkah menuju kamar makan. Ia menginjak
sesuatu dan hampir jatuh ketika ia masuk. Ia membungkuk untuk
melihat apa yang telah dipijaknya. Ia melihat karpet itu kusut dan
berlipat-lipat, seolah-olah sebuah perabotan berat telah digerakkan di
atasnya. Setelah memperhatikan dengan lebih teliti, Paul melihat
bahwa karpet itu telah berkerut-kerut kena tumit sepatu. Paul merasa
amat takut. Ia tidak ragu-ragu lagi bahwa di atas karpet ini baru saja
terjadi suatu perkelahian. Dan salah satu pelakunya telah menyeret
tubuh lawannya keluar kamar makan. Paul tidak berpikir tentang apa
yang telah terjadi pada korban perkelahian itu. Suatu lirikan pada
mayat Miss Crossby di sudut ruangan itupun sudah cukup. Ia berpikir
keras. Ia tidak akan bisa melanjutkan pencarian pembunuh itu. Sebab
daftar orang-orang itu semakin berkurang. Ia tidak bisa menunggu
lebih lama lagi. Mungkin ia giliran berikutnya.
Kemudian ia melihat sesuatu yang berkilau di lantai. Asalnya
ada di dekat tempat perkelahian itu, tapi benda itu meluncur kebawah
kursi, sehingga pada mulanya ia tidak melihatnya. Sebuah medalion
emas yang indah. Rantai kalungnya telah putus. Paul membawanya ke
dekat lampu dan memperhatikannya dengan lebih teliti. Sebuah
medallion emas dari St. Christopher. Ia meneliti lagi kalung itu.
Rasanya ia pernah melihatnya. Ia telah melihat medallion itu
dikenakan oleh salah seorang tamu di rumah itu. Siapa " Ia tak ingat
lagi. Ia menundukkan mukanya untuk berkonsentrasi. Dan kini ia
telah menemukan apa yang dicarinya. Ia berlari ke perpustakaan. Ia
membuka-buka tumpukan map itu. Yang diinginkannya adalah map
yang paling bawah. Ia menumpahkan isi map itu ke meja. Tangannya
yang nervous merenggut sebuah lipatan kertas yang besar. Ia
membukanya dan membentangkannya di meja. Kertas itu adalah
poster Charlie Wilder dalam iklan "Delta-flash."
Paul melihat bahwa di lehernya tergantung medallion kecil dari
St. Christopher itu. Jadi Charlielah yang melakukannya. Tapi untuk bukti motifnya,
Paul memerlukan film yang kedua itu. Ia harus menggeledah mayat
Miss Crossby untuk mendapatkan petunjuk di mana
disembunyikannya film itu. Paul kembali ke ruang makan, dengan
medallion masih tergenggam di tangannya. Dengan tangan gemetar, ia
menarik selimut yang menutupi mayat itu. Ia sedang menggeledah
saku jaket perempuan itu, ketika ia mendengar suara langkah yang
terburu-buru di tangga. Ketegangan dalam perutnya menyatakan
bahwa orang itu pasti Charlie yang kembali untuk menghilangkan
bukti-bukti yang nyata itu. Dan Paul adalah satu-satunya orang yang
jadi penghalang. Chapter 14 Hendricks tersenyum manis pada Annabelle. Tangannya
bergerak-gerak dengan nervous. Annabelle tahu bahwa ia sedang
berusaha menenangkan diri. Ia menghibur diri dengan berjalan-jalan
di sekeliling kursi Annabelle, menatap dia dari berbagai sudut cermin,
bagaikan seorang tukang patung yang sedang memilih tanah liat.
Dengan caranya yang gila itu, pikir Annabelle, mungkin ia
menganggap dirinya seorang tukang patung. Bedanya, ia
menggunakan manusia sebagai bahannya. Annabelle hanya bisa
memperhatikannya, ketakutannya semakin menjadi-jadi. Tangan dan
kakinya diikat pada kursi. Secarik kain kotor diikatkan di sekeliling
kepalanya sebagai penyumbat mulut, dan kain yang kasar itu
membuatnya jijik. Hendricks merasa lelah. Ia melihat arlojinya. Annabelle bisa
melihat ketidaksabaran Hendricks menunggu Charlie kembali.
Hendricks berdiri di depannya. Annabelle merasa kaget ketika dia
membungkuk dan melepaskan sumbat itu dari mulutnya.
"Nah ! Kita tidak bisa bicara jika kau disumbat. Menjeritlah
sesukamu. Tak akan ada orang yang mendengar. Tapi seandainya aku
jadi engkau, aku tidak akan menjerit. Kau akan membutuhkan seluruh
tenagamu nanti." Annabelle menjilat bibirnya. Ia hampir tidak bisa bicara,
mulutnya begitu kering. "Lepaskanlah aku," ratapnya, meskipun ia
tahu bahwa kata-katanya itu tidak akan digubris. "Aku akan
memberikan seluruh uangku padamu. Kau tidak usah membunuhku.
Aku tidak akan mengatakan apa-apa pada yang lainnya. Lepaskanlah
aku." Hendricks tertawa. "Kematian, adalah satu-satunya yang perlu
kau kuatirkan." Hendricks menggelengkan kepalanya, mentertawakan
ide Annabelle itu, lalu ia bergerak ke arah baki. Dengan palu kecil ia
memecahkan sebuah botol menjadi kaca-kaca yang runcing. Ia
menempatkan pecahan botol yang paling tajam pada baki itu,
bersama-sama dengan pisau. Lalu ia mengambil salah satu pisau
bedah dan mengangkatnya ke dekat lampu untuk mengagumi
ketajaman ujungnya. "Juga jangan mengkhawatirkan soal uang. Bagaimanapun, kami
akan memilikinya. Dalam waktu sekejap, Charlie akan memiliki
segalanya." Hendricks tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Mukanya semakin berkerut. Dan Annabelle bisa melihat matanya
menancapkan pandangan liar. Ia kaget, kenapa ia begitu tenang
sehingga masih bisa memperhatikan hal-hal seperti itu.
"Kenapa Engkau melakukan hal ini ?" tanya Annabelle,
suaranya hampir pecah, karena membayangkan kengerian yang akan
dialaminya. Hendricks mendekat. Annabelle bisa melihat
ketidaksabarannya untuk memulai pekerjaan rahasianya itu. "Aku dan
Charlie dulu bekerja di Angkatan Udara. Kami tahu bahwa kami
mempunyai selera yang sama. Setelah perang kami berpisah. Tapi
Charlie masih ingat pada kawan lamanya dan akhir-akhir ini ia
mencariku lagi untuk membantunya mendapatkan warisan. Sebagai
imbalannya, aku akan mendapatkan hadiah tertentu." Hendricks
menggerak-gerakkan pisau bedahnya, "sesuatu yang tidak bersifat
materi." Annabelle menggigil. Sementara Hendricks bicara, Annabelle
berusaha melepaskan tangan kanannya dari belenggu itu. Ia tidak tahu
apa yang akan dicapainya; tapi suatu perlawanan jauh lebih baik dari
pada menunggu kedua jagal itu untuk menghancurkannya.
Hendricks begitu asyik membayangkan penyiksaan yang akan
dilakukannya sehingga ia tidak memperhatikan Annabelle yang
sedang berusaha melepaskan dirinya. "Ketika Charlie menerangkan
ciri-cirimu padaku, aku agak ragu. Tapi setelah aku melihatmu, kau
betul-betul seperti apa yang dikatakannya. Kau pantas dibeli
berapapun juga." Ia menatap Annabelle, matanya yang liar itu penuh
nafsu. Matanya menyipit ketika ia melihat bahwa Annabelle hampir
bisa merenggut tangannya dari belenggu itu. Hendricks
menggelengkan kepalanya, dan memasukkan lagi belenggu itu pada
tangan Annabelle dengan brutal, lalu ia memperketat belenggu itu.
"Kau nakal," katanya lembut, seperti pada anak kecil. "Aku
harap kau tidak punya pikiran untuk pergi ke mana-mana dalam
beberapa jam mendatang ini. Kau tidak terlalu sibuk,
bukan?"tanyanya, tapi ia tidak menunggu jawaban. "Ada jam di
dinding itu," katanya sambil menunjuknya dengan memiringkan
kepalanya. "Kau bisa lihat, betapa lambatnya waktu berlalu jika kau
sedang bersenang-senang."
Annabelle membelalak padanya, percobaannya telah gagal.
Kemarahan serta kebencian nampak jelas pada mukanya, dan hal itu
nampak memberi inspirasi pada Hendricks. Ia melirik ke pintu. "Aku
tidak habis pikir, apa yang menghambat Charlie," katanya. "Aku tidak
bisa menunggu semalam suntuk, sampai dia menemukan
medallionnya. Akan banyak tersisa untuknya." Hendricks mengangkat
pisau bedah itu ke wajah Annabelle. Annabelle memalingkan
kepalanya, tapi dari sudut matanya, ia melihat Hendricks tersenyum
riang. Ujung pisau yang dingin itu hampir menyentuh pipinya.
Annabelle menjerit. *****************************************
Charlie amat gembira ketika ia menaiki tangga dari gudang itu.
Setelah membereskan Annabelle, tak ada lagi yang memisahkannya
dari warisan itu. Tentu saja akan ada kecurigaan. Tapi tak ada yang
akan bisa membuktikan segalanya. Setiap orang yang mengetahui atau
mencurigai sesuatu telah mati. Kecuali Mrs. Pleasant. Dan ia merasa
percaya bahwa perempuan tua itu lebih menginginkan tinggal di
Manor Glencliff dari pada apapun juga. Di samping itu, ia kini sudah
melangkah terlalu jauh untuk bisa mundur. Pemuda Amerika itu akan
menghalanginya, tapi tak akan ada orang yang menggubrisnya, ia
yakin itu. Segalanya telah diatur dengan baik dan rapi, pikirnya,
dikombinasikan seperti bisnis, keuntungan materi dan kepuasan.
Ia melangkah ke kamar makan. Supaya tidak menarik perhatian,
ia tidak menyalakan lampu utama, tapi menyalakan batereinya dan
menyorotkannya ke arah tempat berkelahinya tadi dengan Susan. Ia
jengkel karena tidak berhasil menemukan medallionnya itu, maka ia
menyinarkan batereinya dengan lebih membabi buta. Masih tidak ada
apa-apa. Sambil berlutut, ia memandang ke sekeliling ruangan itu.
Selimut putih yang menutupi mayat Miss Crossby menarik
perhatiannya. Mungkin medallionnya terjatuh ke arah sana. Ia
menghampiri mayat itu dan membungkuk di sampingnya. Ia
mengangkat penutup mayat itu dan menariknya.
Apa yang dilihatnya membuatnya mundur dengan kaget. Mayat
Miss Crossby telah menghilang, digantikan dengan tubuh Paul yang
masih hidup. Paul menyeringai. Ia mengacungkan Medallion itu ke depan
hidung Charlie. "Hallo " Mencari ini, Charlie sayang ?"
Charlie masih menatap Paul, seolah-olah ia berharap bahwa
Paul akan menghilang, seperti dalam mimpi. Tapi itu bukan mimpi.
Paul senang sekali melihat air muka Charlie yang cemas itu.
"Ada apa " Kucing itu merusak lidahmu?" Sambil berkata itu
Paul berguling dari kaki Charlie dan berdiri.
Kedua orang itu saling berhadapan. Charlie ragu-ragu, bingung
bagaimana caranya ia mengatasi situasi itu. Lalu ia mengambil
keputusan. Ia berpaling dari Paul dan berlari menuju pintu. Paul
mencoba mencegatnya dengan jalan menendang lampu duduk, dan
Charlie jatuh terhuyung-huyung. Paul menghadangnya, ia berdiri di
antara Charlie dan pintu. Charlie terperangkap. Ia mundur ke sudut
ruangan yang gelap di dekat dinding kayu. Paul melihat maksudnya.
Ia menggapai kontak listrik dan menyorotkan proyektor film itu ke
arah Charlie. Cahaya yang benderang itu menyilaukan mata Charlie
yang mundur lebih jauh sambil menutup matanya, bagaikan seekor
kelinci yang tertimpa lampu mobil. Tapi Charlie bukan kelinci. Paul
terus-terusan menyorotkan proyektor itu ke sekeliling Charlie. Tibatiba Charlie
membungkuk dan merengkuh salah satu kursi di kamar
makan itu. Dengan sisa kekuatannya ia mengangkat kuri itu dan
melemparkannya ke arah lawannya. Paul menghindar. Kursi itu
menghantam proyektor dan menjatuhkannya dari meja. Lampunya
hancur dan ruangan itu gelap lagi.
Charlie mengambil kesempatan itu untuk menghilang ke dalam
bayangan. Paul kembali lagi ke pintu. "Baiklah, Charlie, di mana kau
bersembunyi ?" Tidak ada jawaban. Pemuda Amerika itu merasa takut.
Situasinya betul-betul berbahaya. Lawannya ternyata lebih cerdik dan
lebih ahli dalam soal perkelahian dari pada Paul. Ia harus bersikap
tenang. Charlie akan memanfaatkan kesempatan apapun yang
diberikan padanya karena kecerobohan atau kepanikan. Ia meraba
bingkai pintu di dekat punggungnya itu dengan mantap. Kemudian
Charlie menyerbunya dari kegelapan, bagaikan binatang buas yang
menyerang mangsanya. Paul merasa jari-jari yang seperti baja itu
mencengkeram tenggorokannya.
Sambil mencibir, ia menendang-nendang. Setitik embun merah
bersemayam pada matanya. Tangannya meronta untuk melepaskan
cengkeraman Charlie. Cengkeraman itu malah semakin ketat. Paul
menyandarkan tubuhnya pada bingkai pintu, ia mengangkat tumitnya
dan menghantamkannya ke ujung paha lawan. Terdengar desisan
pedih. Paul menghantamkan lagi lututnya pada tubuh Charlie.
Cengkeraman pada lehernya itu agak mengendor. Dengan sekall
hantam lagi, Charlie terlempar ke lantai dan berguling-guling dengan
pedih. Paul tahu, kini tidak ada jalan keluar baginya, tak ada tempat ke
mana ia bisa berlari. Paul telah melihat keliaran seorang pembunuh
dalam matanya. Ia akan membunuh setiap orang di rumah itu jika
tidak dihentikan. Charlie berdiri lagi. Ia membungkuk sambil menjemba
lawannya. Paul bisa melihat bahwa ia bukan lagi seorang manusia.
Mulutnya berbuih mengeluarkan liur. Matanya menyipit dan amat liar.
Ia tertawa. Ketawa yang mengerikan dan penuh ejekan. "Kau telah
melakukannya kini," katanya. "Seharusnya sejak di gudangpun engkau
tahu. Jika kepalamu tidak begitu tebal, kau tidak akan begitu
menggangguku. Kini terpaksa aku harus membunuhmu.
Membunuhmu dengan cara yang kejam."
"Jangan bertaruh untuk itu." Paul sedang berusaha mengontrol
dirinya. Tetap tenang, katanya pada diri sendiri.
Pelan-pelan Charlie bergerak ke arahnya. Ketenangan yang
membahayakan nampak pada mukanya sementara ia ingat bagaimana
dulu ia menembak kereta api yang membawa tentara Jerman yang
terluka di pertempuran yang jauh dari Front. Ia ingat jeritan
ketidakpercayaan mereka ketika mereka merasakan peluru-peluru itu
mencabik-cabik dagingnya. Ia telah melihat wajah-wajah yang
ketakutan membelalak tak berdaya dari jendela kereta, sementara ia
terus-terusan menembak sampai pelurunya habis. Muka Paul yang
pucat dan tegang itu sama mengerikannya dengan tentara-tentara
Jerman dulu. Charlie berhenti, nafasnya terengah-engah. "Oh, ya, sebelum
aku membunuhmu, kukira kau perlu tahu bahwa Hendricks sedang
menjaga Annabelle sampai aku kembali."
Paul menerjangnya dengan marah.
Charlie tersenyum, jari-jarinya sudah gatal ingin membunuh. Ia
maju. Ketika mereka sudah saling mendekat, Paul mendengar letupan
di belakangnya. Charlie tertegun, darah merah segar membasahi
bagian depan kemejanya. Tembakan itu membuatnya berputar ke
belakang. Tubuhnya terjatuh menimpa kursi. Bagaikan sebuah boneka
yang rusak, kepalanya terkulai ke samping. Ia telah mati. Dengan
telinga yang dijejali suara tembakan serta lubang hidung yang penuh
dengan bau peluru, Paul berpaling untuk melihat penembaknya.
Ternyata Mrs. Pleasant. Ia berdiri di ambang pintu, Pistol Miss
Crossby masih mengepulkan asap pada tangannya. Mukanya nampak
bingung. Ia menatap Charlie dan bibirnya bergumam. "Dulu ia
seorang anak mungil yang cakap."


Permainan Maut The Cat And The Canary Karya Gerry Kingsley di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paul mengambil pistol dari tangannya yang kaku itu.
Annabelle," katanya, "Di mana dia ?"
Mrs. Pleasant nampak bingung. "Miss Annabelle menghilang."
"Demi Tuhan, di mana dia?" teriak Paul.
Penjaga rumah itu bangkit dari kebingungannya. "Dia hanya
mungkin ada di satu tempat. Kamar rahasia di gudang." Ia terusterusan menatap
tubuh Charlie tanpa berkedip, sementara Paul,
dengan pistol di tangannya, berlari menuju tangga gudang.
Ia melangkah dengan cepat menuruni tangga. Kegelisahan
menghantuinya bagaikan sebuah bom yang akan meletus pada
dadanya. Pintu yang menyembunyikan lorong rahasia itu kini terbuka.
Paul masuk. Pintu lain ada di depannya. Ia membukanya lebar-lebar
dan menyerbu masuk ke ruangan itu.
Paul mendengar Annabelle menjerit, lalu ia melihat Hendricks,
dengan pisau bedah di tangannya. Ia berpaling untuk menghadapinya.
Kamar itu amat suram. Paul melihat Hendricks mengangkat tangannya
untuk melemparkan pisatu bedah itu. Pistol pada tangan Paul
berbunyi, sekali, dua kali, tiga kali. Ia terus-terusan menembak sampai
pistol itu kosong. Peluru pertama mengenai tenggorokan Hendricks. Yang kedua
pada dadanya. Ia jatuh, menimpa baki yang penuh dengan alat-alat
bedah. Tubuhnya berguling-guling. Nampak kekagetan pada
mukanya. Tubuhnya menggigil sementara peluru lain
menghantamnya, meskipun pada saat itu ia telah mati.
Paul dan Annabelle saling tatap, seolah-olah untuk pertama
kalinya. Paul menjatuhkan pistol itu dan menghampiri Annabelle
dengan cemas. "Kau tidak apa-apa?" kata-katanya terdengar santai.
Annabelle menggigil, tapi matanya bersinar.
"Tidak. Tapi hampir saja....."
Paul memeluknya dan mereka berciuman. Ciuman hangat yang
penuh dengan kelegaan, cinta dan harapan untuk masa depan.
Beberapa saat lamanya, mereka saling memeluk dengan erat,
ketegangan mereka pelan-pelan mengendor.
Tiba-tiba Annabelle menatap tubuh yang berlumuran darah dan
penuh dengan peluru itu. "Kau datang tepat pada waktunya," katanya.
Paul tersenyum. "Maaf, aku begitu lama," katanya. "Tapi aku
harus mengusir kucing itu malam ini." Setelah melihat muka
Annabelle yang penuh kecemasan, cepat-cepat ia menambahkan,
"Kukira kucing itu telah pergi untuk selama-lamanya."
Chapter 15 Langit masih gelap, tapi hujan telah berhenti. Paul dan
Annabelle berdiri bergandengan tangan di jendela kamar makan,
memperhatikan mobil polisi menjauh, melewati lobang-lobang becek
di jalan itu. Polisi itu merasa curiga dan bingung bagaimana cara
memprosesnya. Inspektur detektifnya, Seorang Yorkshire yang polos
dan bermuka merah, nampak seolah-olah lebih senang mengurus
kasus pencurian kambing. Ia terlalu banyak mengajukan pertanyaan
yang sebenarnya tidak ada hubungannya dan hanya menghamburhamburkan buku saja.
Sersannya, yang jauh lebih muda dan lebih
cakap dari pada atasannya, tidak kelihatan terkeju dengan peristiwaperistiwa
semalam itu, mungkin karena ia adalah seorang murid yang
tekun dari surat kabar minggu yang lebih senang mencari sensasi.
Ambulans yang dipanggil oleh polisi itu telah mengangkut
keempat mayat dari Manor Glencliff. Akan dilakukan pemeriksaan
kematian. Sampai saat itu, penghuni Manor Glencliff harus
menyiapkan diri untuk diinterrogasi, dan untuk melaporkan di mana
mereka berada ke pos polisi setempat. Kecuali untuk itu, mereka
bebas pergi. Inspektur itu nampaknya enggan untuk membiarkan
kasus itu berakhir di sini - nampaknya sampai di situ tidak cukup
untuk kasus sedramatis ini - tapi karena pelaku-pelakunya jelas
berasal dari keluarga baik-baik, ia merasa hanya tinggal sedikit lagi
yang perlu dikerjakannya. Harry dan Cicily telah memutuskan untuk
kembali ke London. Harry merasa agak berdosa karena peranannya
dalam peristiwa semalam itu amat tidak berarti. Setelah penemuan
mayat Miss Crossby, ia kembali ke kamarnya dan tidur nyenyak,
terbius dengan alkohol. Ia susah sekali dibangunkan, dan ia merasa
bahagia mendengar saudaranya, Charlie, telah meninggal dalam
kematian yang memalukan. Cicily merasa agak sedih ketika
mendengar bahwa Susan telah mati. Perhubungan dengan perempuan
itu memang sudah membosankannya. Yang paling disesalkannya
ialah, ia kini telah kehilangan pendukung ekonominya. Segera ia harus
mulai mencari alternatifnya.
Annabelle dan Paul pergi ke ruang depan untuk mengantar
kepergian mereka. Mereka berdiri di pintu sambil menenteng
kopornya masing-masing. Cicily tersenyum.
"Harry akan mengantarkanku ke kota," katanya sambil menatap
Harry dengan simpati yang luar biasa. Muka Harry merah.
Annabelle mau menyatakan duka citanya atas kematian Susan,
tapi ia merasa bahwa hal itu kini tak perlu lagi. Maka ia bilang.
"Jangan lupa untuk segera menengok kami lagi." Nadanya kurang
begitu mantap. Cicily menunggu Harry untuk mengangkat kopornya ke
lagonda. Ketika Harry kembali lagi ke rumah itu, ia mengulurkan
tangannya pada Annabelle dengan keacuhan yang berlebihan.
"Selamat tinggal, Annabelle sayang. Kukira akupun sama gembiranya
dengan engkau bahwa semuanya ini sudah selesai. Siapa yang
menyangka bahwa Charlie seperti itu" Tapi yah, memang ada sesuatu
yang tidak beres dengan orang itu. Sudah kubilang bahwa ia mengejar
uangmu." Annabelle tersenyum. Masih Harry yang dulu. "Charlie pikir itu
uangnya, Harry," katanya.
Paul dan Harry bersalaman. "Orang yang terbaik itu tidak
menang," katanya sambil tersenyum.
"Tentu saja tidak!" jawab Paul. Itulah yang dikaguminya pada
Harry. Sikap Inggrisnya yang fair.
"Selamat," kata Harry.
Annabelle mengikutinya ke mobil. Ia berkata pelan, ''Harry, jika
semuanya ini telah selesai, dan kita telah berada di London,
hubungilah, aku. Mungkin aku bisa membantumu untuk mulai praktek
lagi. Apa pula gunanya punya keluarga kaya?" Annabelle mencium
pipinya. Harry terharu. "Terimakasih," gumamnya dengan malu.
Dari ambang pintu, Paul dan Annabelle memperhatikan mereka
berdua naik ke mobil. Mesin menderum dan mobil itu membelok di
halaman dan menghilang. Annabelle termenung sementara ia
memperhatikan mobil itu. Paul tertawa. "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan,"
katanya. "Kau sedang berpikir bahwa orang-orang tertentu mengira
bahwa ada hal-hal yang lebih jelek dari pada dikawinkan dengan
tukang obat murahan."
Annabelle menggelengkan kepalanya. "Percintaan sudah mati."
Ia berpaling pada Paul, matanya penuh dengan cinta. "Kecuali
percintaan kita, Paul sayang."
Mrs. Pleasant telah menyiapkan makan pagi untuk dua orang.
Di perapian, api menyala, menghangatkan suasana. Seekor kucing
hitam tertidur di depannya. Di meja tergeletak lembaran yang hilang
dari album foto itu. Paul sudah mengambil lembaran itu dari saku
Charlie sebelum polisi tiba. Ada tiga buah foto. Yang pertama
memperlihatkan seorang anak berumur kira-kira enam atau tujuh
tahun, mengenakan setelan beludru. Rambutnya keriting, ekspresi
mukanya amat polos. Foto yang kedua memperlihatkan anak laki-laki
yang sama sedang duduk di kursi roda bersama Cyrus West. Pada
lutut West, ada sebuah kucing Persia yang nampak manja. Foto yang
ketiga memperlihatkan anak kecil itu berdiri di dekat Cyrus West.
Cyrus mengusap-usap kepala anak itu dan tersenyum padanya dengan
penuh kasih sayang. Meskipun umurnya berbeda, anak itu bisa dikenal
dengan mudah sebagai Charlie Wilder.
"Inilah," kata Paul. "Teka-teki yang terakhir. Yang
menyebabkan keluarnya surat perintah kematian Miss Crossby. Kau
harus mengakui bahwa perempuan tua itu amat cerdik."
"Apa yang masih tidak jelas bagiku," kata Annabelle, "adalah
apakah Cyrus West memang telah menduga bahwa Charlie yang
mewarisi darah gila dari keluarga ini. Apakah ia memang
merencanakan supaya Charlie rnendapatkan warisannya dengan jalan
membunuh." Paul angkat bahu. "Kukira kita tidak akan mengetahui hal itu.
Mungkin Mrs. Pleasant tahu. Tapi ia tidak mau bercerita."
"Ia amat berduka atas kematian Charlie, bukan" Maksudku,
karena dialah yang menembaknya."
Muka Paul suram. "jika kau punya anjing gila, kau harus
menembaknya, tapi kau harus menembaknya dengan penuh cinta."
Kemudian wajahnya berubah jadi cerah. "Mari kita makan pagi
bersama Cyrus West."
Proyektor yang telah dilengkapi dengan lampu baru, sebagai
ganti lampu yang pecah dalam perkelahian itu, dipasang di ujung
meja. Paul menyalakannya. Cyrus West muncul kembali di hadapan
mereka. Di depannya ada sepiring, daging dan telur. Paul dan
Annabelle mengambil piring-piring makanan dari lemari.
West membersihkan mulutnya dengan sapu tangan. Ia batukbatuk, suaranya amat
kering. "Selamat pagi, bajingan."
"Selamat pagi,"kata Paul dan Annabelle bersama-sama.
"Dan pagi ini," lanjut West, "Kalian tahu bajingan macam apa
kalian. Jadi pewaris yang bernama West itu telah hancur, heh"
Seseorang yang mewarisi darah gila. Nasib sial." Matanya menatap
mereka dengan lucu. "Atau apakah dia tidak berhasil dalam permainan
semalam" Itu lebih sial lagi." Dengan tenang ia mulai menaburkan
selai jeruk pada sekerat roti.
Annabelle bertanya pada Paul, "Apa disebutnya jika seseorang
membunuh saudaranya ?"
Paul tersenyum. "jahat," jawabnya.
Setelah selesai menaburkan selai, West memakan roti itu.
Akhirnya ia bilang. "Hemmm, bajingan-bajingan yang tersisa, akan
kukatakan, siapa di antara kalian yang jadi pewaris kedua."
Paul mengetuk meja dengan gagang pisaunya. "Keluarkan
taruhanmu, bego," teriaknya. Mendengar suara itu, sang kucing
mengangkat kepalanya, menggoyangkan ekornya, lalu tidur kembali.
"Oh, penundaan ini membunuhku," kata Annabelle.
West tersenyum mengejek. "Penundaan ini pasti
membunuhmu," katanya. "Hemm, pewarisnya adalah, bajingan kecil
berambut keriting itu. Charlie Wilder. Ia begitu manis setelah kucing
itu mati. Bukankah begitu, Charlie ?"
Paul mungkin saja salah, tapi ia merasa melihat kedipan gila
pada mata orang tua itu sementara dia mengatakan hal itu.
"Mengangguklah Charlie," kata Annabelle.
Kucing itu bangun lagi dan mengeong keras-keras. Di layar,
West berdecak membayangkan ketakutan yang telah diciptakannya.
Kemudian ia menenangkan dirinya kembali. "Jadi, kau, Charlie
Wilder, jjka kau belum mati sampai saat ini, kau akan segera
mengetahui apa sebenarnya kehidupan ini. Itu memakan waktu
seumur hidup bagiku untuk mempelajarinya." Ia bersandar ke muka
seolah-olah akan mengatakan suatu informasi rahasia. "Ketamakan,'"
katanya sambil rnenekankan nada kata itu, "ketamakan dan
kekuasaan." Paul mengetuk-ngetuk meja dengan pisaunya.
"Selamat," teriaknya. Dan ia menatap Annabelle yang sedang
tersenyum padanya. "Kau mendengarnya. Itulah hakikat kehidupan. Sialan !" Ia
memeluk Annabelle dan menciumnya dengan lembut. "Untuk
ketamakan," katanya.
Lalu ia menciumnya lagi. "Kini mari kita dengarkan tentang
kekuasaan." Ia berhenti. "Cyrus, ada sesuatu yang tidak termimpikan
dalam filsafatmu." West masih bicara. Suaranya yang antik dan serak itu
menerangkan tentang kehidupan yang kikir dan penuh kebencian.
"Itulah isinya kehidupan itu. Ketamakan dan kekuasaan. Lupakanlah
segala hal-hal lainnya. Apa yang dibicarakan orang-orang itu padamu.
Lupakanlah ! Uang. Berusahalah untuk mendapatkannya. Kini, setelah
engkau mendapatkannya, belajarlah untuk menggantungkan diri
padanya." Kedua kekasih itu mengabaikannya. Mereka berciuman.
Ciuman mereka yang polos itu adalah bantahan untuk segala sesuatu
yang dikatakan West. Mrs. Pleasant memperhatikannya di ujung
ruangan. Seolah-olah selama hidupnya baru kali itu ia melihat West.
Dengan sedih ia membelakangi layar itu dan melangkah keluar dari
ruangan itu. West telah selesai bicara. Ia menggerakkan tangannya dengan
penuh cemoohan. Tapi proyektor itu masih tetap berbunyi, dan ujung
film itu berdetak keras pada gulungannya. Tak ada orang yang
memadamkannya. Siapapun yang melihat keluar jendela, pasti akan melihat dua
orang muda berlari-lari sambil bergandengan tangan melalui rumputrumput basah di
halaman depan. Di atas mereka, awan hitam mulai
menghilang. Sinar mentari pucat yang mulai mengintip itu
menjanjikan suatu sore yang cerah.END
Protokol Keempat 1 Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Bayangan Berdarah 13

Cari Blog Ini