A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks Bagian 3
tidak dapat menahan diri untuk tidak berpikir bahwa ibuku lebih berhasil daripada aku.
Kami menikmati makan malam yang menyenangkan, cukup resmi dengan empat menu
utama meskipun tidak terlalu mengenyangkan. Orangtuaku dan Jamie mengobrol
dengan akrab - meskipun aku mencoba nimbrung dengan lelucon-leluconku, sasarannya terasa
kurang mengena, setidaknya orangtuaku tidak mengerti. Tetapi, Jamie tertawa, dan akui
menganggapnya sebagai pertanda baik. Setelah makan malam aku mengajak Jamie berjalan-jalan di kebun, meskipun saat
itu musim dingin dan bunga-bunga tidak ada yang mekar. Setelah mengenakan jaket, kami
melangkah ke luar menembus udara dingin. Aku bisa melihat asap yang keluar mengiringi embusan
napas kami. "Orangtuamu benar-benar pasangan yang luar biasa," katanya kepadaku. Kurasa
selama ini ia tidak memasukkan khotbah-khotbah Hegbert di dalam hatinya.
"Mereka memang baik," sahutku, "dengan cara mereka masing-masing. Ibuku sangat
manis." Aku mengatakan ini bukan hanya karena kenyataannya memang begitu, tapi juga
karena hal yang sama biasanya diucapkan anak-anak tentang Jamie. Aku berharap Jamie
menangkap maksudku. Ia berhenti melangkah untuk memperhatikan semak-semak tanaman mawar. Bunga-bunga
itu tampak gersang, dan aku tidak mengerti apa yang membuatnya merasa tertarik.
"Apakah benar yang mereka katakan tentang kakekmu?" tanya Jamie. "Apa yang
diceritakan orang-orang tentang dirinya?"
Rupanya ia tidak menangkap isyaratku saat itu.
"Ya," sahutku, sambil mencoba untuk tidak memperlihatkan rasa kecewaku.
"Itu menyedihkan," ujarnya dalam nada ringan. "Makna hidup ini kan lebih
daripada sekadar uang." "Aku tahu." Ia menatapku. "Sungguh?"
Aku tidak membalas tatapannya saat menyahut. Jangan tanyakan padaku mengapa.
"Aku tahu apa yang dilakukan oleh kakekku itu salah."
"Tapi kau berniat untuk mengembalikannya, bukan?"
"Sejujurnya, aku belum pernah sungguh-sungguh memikirkan soal itu."
"Tapi apakah kau akan melakukannya?"
Aku tidak langsung menjawab, dan Jamie mengalihkan perhatiannya dariku. Ia mulai
memandangi tanaman mawar dengan tangkai-tangkainya yang gersang lagi, tiba-tiba
aku sadar bahwa ia ingin aku mengatakan ya. Itu merupakan sesuatu yang akan ia lakukan
tanpa berpikir dua kali. "Kenapa kau selalu melakukan itu?" celetukku sebelum sempat menahan diri. Aku
merasa darahku naik ke pipiku. "Membuatku merasa bersalah, maksudku. Kan bukan aku yang
melakukannya. Kebetulan saja aku lahir di dalam keluarga ini."
Jamie mengulurkan tangannya untuk menyentuh setangkai mawar. "Tapi itu bukan
berarti kau tidak dapat memperbaikinya," ujarnya dengan lembut, "saat kau mendapatkan
kesempatan untuk itu." Aku memahami benar maksud Jamie, dan jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu bahwa
ia benar. Namun keputusan itu, kalaupun harus diambil, masih jauh sekali. Menurut
pendapatku, masih banyak hal penting lain yang harus kuselesaikan. Aku mengubah topik
percakapan kami ke sesuatu yang terasa lebih mudah bagiku.
"Apakah ayahmu menyukaiku?" tanyaku. Aku ingin tahu apakah Hegbert akan
mengizinkanku menemui Jamie lagi.
Jamie membutuhkan beberapa waktu sebelum menjawab.
"Ayahku," ujarnya pelan, "mengkhawatirkanku."
"Bukankah semua orangtua begitu?" tanyaku.
Ia menundukkan kepalanya, kemudian melihat ke arah lain sebelum menatapku
kembali. "Kurasa ayahku berbeda dengan orangtua lain. Tapi ia menyukaimu, dan ia tahu aku
senang bertemu denganmu. Karena itulah ia mengizinkanku datang ke rumahmu untuk makan
malam ini." "Aku senang ia mengizinkanmu," ujarku tulus.
"Aku juga." Kami bertatapan di bawah penerangan cahaya bulan, dan aku hampir saja menciumnya
di situ, namun ia keburu menoleh dan mengatakan sesuatu yang sempat membuatku
bingung. "Ayahku juga mengkhawatirkanmu, Landon."
Caranya mengatakan itu - lembut dan sedih pada waktu yang bersamaan - membuatku tahu
bahwa alasannya bukan hanya sekadar karena ia menganggap diriku kurang
bertanggung jawab, atau karena aku sering bersembunyi di balik pohon dan mengejeknya, atau bahkan
karena aku merupakan bagian dari keluarga Carter.
"Kenapa?" tanyaku.
"Untuk alasan yang sama seperti aku mengkhawatirkanmu," sahutnya. Ia tidak
menguraikan lebih lanjut, dan aku tahu saat itu bahwa ia menyembunyikan sesuatu, sesuatu
yang tidak bisa ia ungkapkan kepadaku, sesuatu yang juga membuatnya sedih. Namun baru kemudian aku
tahu rahasianya itu. Jatuh cinta pada gadis seperti Jamie Sullivan jelas merupakan hal paling aneh
yang pernah kualami. Bukan hanya ia gadis yang tidak pernah terlintas dalam pikiranku
sebelum tahun ini - meksipun kami dibesarkan bersama - tapi ada sesuatu yang berbeda di dalam seluruh
caraku merasakan sesuatu untuknya. Sama sekali berbeda dengan perasaanku terhadap
Angela, yang langsung kucium saat kami hanya berduaan. Aku belum pernah mencium Jamie. Aku
bahkan belum pernah memeluknya atau mengajaknya ke Cecil's Diner atau bahkan
mengajaknya nonton film. Aku belum melakukan sesuatu yang biasanya kulakukan dengan cewek-cewek
lain, namun demikian aku telah jatuh cinta padanya.
Masalahnya adalah, aku masih belum tahu bagaimana perasaannya terhadapku.
Oh ya, tanda-tandanya memang ada, yang sebetulnya sama sekali tidak luput dari
perhatianku. Alkitab itu, tentu saja, yang tampak jelas, tapi selain itu aku
ingat caranya menatapku saat menutup pintu rumahnya di Malam Natal. Ia juga telah membiarkanku
menggenggam tangannya dalam perjalanan pulang dari panti asuhan. Menurutku jelas
ada sesuatu - hanya aku masih belum yakin bagaimana cara mengambil langkah
selanjutnya. Ketika aku akhirnya mengantar Jamie pulang setelah acara makan malam Natal itu,
aku menanyakan padanya apakah aku boleh datang ke rumahnya kapan-kapan, dan ia
mengatakan itu akan menyenangkan. Begitulah persisnya yang ia katakan - "Itu akan menyenangkan".
Aku tidak memedulikan sikap kurang antusiasnya - Jamie memang memiliki kecenderungan
untuk berbicara seperti orang dewasa, dan kupikir karena itulah ia dapat bergaul
dengan mereka yang lebih tua dengan begitu akrab.
Hari berikutnya aku berjalan ke rumahnya, dan hal pertama yang kuperhatikan
adalah mobil Hegbert sedang tidak ada di jalan masuk. Ketika ia membuka pintu, aku cukup tahu diri untuk
tidak menanyakan kepadanya apakah aku boleh masuk.
"Halo, Landon," sapanya seperti biasa, seakan ia terkejut melihatku. Rambutnya
kembali tergerai, dan aku menganggapnya sebagai pertanda baik.
"Hai, Jamie," ujarku ringan.
Ia menunjuk ke arah kursi-kursi di depannya. "Ayahku tidak di rumah, tapi kita
bisa dudukduduk di teras kalau kau mau..."
Jangan tanyakan padaku bagaiman kejadiannya, karena aku juga masih belum dapat
menjelaskannya. Sesaat aku berdiri di sana di hadapannya, bersiap-siap untuk
berjan ke teras, namun ternyata aku tidak melakukannya. Bukannya melangkah ke arah kursi-kursi
yang ditunjuknya, aku malah melangkah mendekati Jamie dan meraih tangannya. Aku
menggenggam tangannya dan menatap matanya lekat-lekat, sambil bergerak semakin dekat. Ia
tidak melangkah mundur, namun matanya melebar sedikit, dan untuk sekejap aku sempat mengira
bahwa aku telah melakukan kesalahan dan nyaris tidak meneruskannya. Aku berhenti sebentar
dan tersenyum, sambil memiringkan kepalaku, dan hal berikut yang kulihat adalah
Jamie memejamkan matanya dan juga sedang memiringkan kepalanya. Wajah kami semakin
berdekatan. Kejadiannya tidak sepelan itu, dan yang jelas tidak seperti ciuman yang kaulihat
di dalam film-film zaman sekarang. Namun dalam caranya sendiri, ciuman kami amat
istimewa. Satu hal yang terlintas dalam benakku saat bibir kami bertemu adalah aku yakin kenangan
itu akan abadi selamanya. BAB 11 ?" "KAULAH cowok pertama yang pernah kucium," kata Jamie kepadaku.
Saat itu beberapa hari sebelum tahun baru, aku dan Jamie sedang berdiri di
Dermaga Iron Steamer, Pantai Pine Knoll. Untuk sampai di sana, kami harus menyeberangi
jembatan yang membentang melintasi Terusan Antarpantai dan melewati jalan kecil di pulau itu.
Sekarang tempat itu menjadi hunian tepi laut yang paling mahal di seluruh negeri, tapi di
masa itu yang ada di sana hanyalah gundukan-gundukan pasir yang berlatar Hutan Maritim
Nasional. "Sudah kusangka begitu," sahutku.
"Kenapa?" tanyanya polos. "Apakah aku berbuat salah?" Kelihatannya ia tidak akan
terlalu tersinggung kalau aku mengiyakannya, namun kenyataannya tidak begitu.
"Kau pandai berciuman," kataku sambil meremas tangannya.
Ia mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah laut, matanya mulai memandang
ke kejauhan lagi. Pandangannya sering menerawang belakangan ini. Aku membiarkannya
selama beberapa saat sampai keheningan itu mulai terasa agak mencekam.
"Kau tidak apa-apa kan, Jamie?" tanyaku akhirnya.
Bukannya menjawab, ia malah mengalihkan pembicaraan.
"Apakah kau pernah jatuh cinta sebelumnya?" tanyanya kepadaku.
Aku menyisir rambutku dengan tangan kemudian menatapnya. "Maksudmu sebelum ini?"
Aku mengatakannya mengikuti cara yang digunakan oleh James Dean, seperti yang
diajarkan Eric kepadaku kalau sampai ada seorang gadis mengajukan pertanyaan itu. Eric
memang licik dalam menghadapi perempuan.
"Aku serius, Landon," kata Jamie, sambil melirik ke arahku.
Kurasa Jamie juga pernah melihat film-film seperti itu. Aku kemudian menyadari
bahwa bersama Jamie aku selalu merasa terombang-ambing. Aku tidak begitu yakin apakah
aku menyukai bagian itu dari hubungan kami, meskipun sejujurnya, hal itu membuatku
selalu waspada. Aku masih merasa rikuh menanggapi pertanyaannya.
"Sebetulnya pernah," sahutku akhirnya.
Matanya masih tertuju ke arah laut. Aku merasa ia mengira yang kumaksud adalah
Angela, tapi setelah aku sempat merenungkannya kembali, aku menyadari bahwa apa yang
kurasakan pada Angela benar-benar berbeda dengan yang kurasakan padanya saat itu.
"Dari mana kau tahu apa yang kaurasakan adalah cinta?" tanyanya padaku.
Aku mengawasi angin menerpa rambutnya dengan lembut, dan aku tahu bukan saatnya
lagi bagiku untuk berpura-pura menjadi orang lain.
"Oke," sahutku serius, "kau tahu itu adalah cinta ketika yang kauinginkan
hanyalah melewatkan waktumu bersama orang itu, dan entah bagaimana caranya kau tahu bahwa
orang itu juga merasakan hal yang sama."
Jamie tampak memikirkan jawabanku sebelum tersenyum samar.
"Oh, begitu," ujarnya pelan. Aku menunggu Jamie menambahkan sesuatu, namun ia
tidak melakukannya, dan tiba-tiba aku mulai menyadari suatu kenyataan lain.
Jamie memang tidak punya banyak pengalaman dengan cowok, tapi terus terang, ia
sedang mempermainkanku seperti sebuah harpa.
Selama dua hari berikutnya, ia menyanggul rambutnya ke atas lagi.
Pada Malam Tahun Baru aku mengajak Jamie makan malam di luar. Baru pertama kali
inilah ia sungguh-sungguh pergi berkencan, dan kami pergi ke restoran kecil di tepi pantai
di Morehead City, sebuah restoran bernama Flauvin's. Flauvin's adalah restoran yang mejanya
dilapisi taplak, berpenerangan lilin, dan lima macam perangkat sendok garpu dari perak untuk
setiap orang. Para pelayannya mengenakan pakaian berwarna hitam dan putih, mirip butler, dan kau
bisa menyaksikan sinar bulan memantul di atas air yang bergerak perlahan jika kau
menatap ke luar melalui jendela-jendela besar yang menutupi dinding.
Di sana juga ada pemain piano dan penyanyi, meskipun tidak setiap malam atau
bahkan setiap akhir minggu, tapi mereka ada pada hari-hari libur di saat mereka
memperhitungkan
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa tempat akan penuh. Aku harus memesan tempat lebih dulu, dan mereka mengatakan tempat sudah penuh
ketika pertama kali aku menelepon. Setelah itu aku meminta ibuku menghubungi mereka,
dan setelah itu kau tentu tahu apa yang terjadi. Kurasa pemilik restoran membutuhkan sesuatu
dari ayahku atau semacamnya, atau mungkin ia cuma tidak ingin membuatnya marah, mengingat
kakekku masih hidup saat itu. Sebetulnya ide untuk mengajak Jamie pergi ke suatu tempat yang istimewa
datangnya dari ibuku. Beberapa hari sebelumnya, di salah satu hari Jamie menyanggul rambutnya
ke atas, aku menceritakan kepada ibuku apa yang telah terjadi selama itu.
"Aku terus memikirkan Jamie, Mom," kataku. "Maksudku, aku tahu ia menyukaiku,
tapi aku tidak tahu apakah ia juga merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan."
"Apakah Jamie begitu berarti bagimu?" tanyanya.
"Ya," sahutku pelan.
"Oke, apa yang telah kauupayakan sejauh ini?"
"Apa maksud Mom?"
Ibuku tersenyum. "Maksudku adalah, gadis-gadis muda termasuk Jamie senang dibuat
merasa istimewa." Aku mempertimbangkan ucapan ibuku selama beberapa saat, agak bingung. Bukankah
itu yang sudah kulakukan selama ini"
"Aku sudah pergi ke rumahnya setiap hari," ujarku.
Ibuku meletakkan tangannya di atas lututku. Meskipun ia bukan ibu rumah tangga
yang paling hebat dan kadang-kadang memojokkanku, seperti yang sudah pernah
kuungkapkan sebelumnya, ia tetap seorang ibu yang manis.
"Pergi ke rumahnya memang hal yang baik untuk dilakukan, tapi bukan yang paling
romantis. Kau seharusnya melakukan sesuatu yang benar-benar mengungkapkan
bagaimana perasaanmu terhadapnya."
Ibuku mengusulkan kepadaku untuk membelikannya parfum. Meskipun aku tahu Jamie
mungkin akan senang menerimanya, aku tetap merasa hadiah semacam itu kurang
tepat. Salah satu alasannya adalah, Hegbert tidak mengizinkannya memakai makeup - kecuali saat
ia tampil dalam pementasan drama Natal itu - aku yakin Jamie juga tidak boleh memakai
parfum. Aku memberitahu ibuku, dan pada saat itulah ia mengusulkan padaku untuk mengajaknya
pergi makan malam di luar. "Aku tidak punya uang lagi," kataku padanya dengan sedih. Meskipun keluargaku
termasuk berada dan selalu memberikan uang saku padaku, mereka tidak pernah memberikan
uang lebih kalau aku kehabisan uang. "Untuk membangun rasa tanggung jawab," jelas ayahku
dulu. "Mana uangmu yang kausimpan di bank?"
Aku menghela napas, dan ibuku duduk diam sementara aku menjelaskan padanya apa
yang telah kulakukan. Setelah aku selesai menjelaskan, suatu kesan puas yang mendalam
membayang di wajahnya, seakan ia tahu bahwa akhirnya aku telah dewasa.
"Biar aku yang memikirkan soal itu," ujarnya pelan. "Kau cukup mencari tahu
apakah ia mau diajak pergi dan apakah Pendeta Sullivan mengizinkannya. Kalau memang bisa, kita
akan menemukan cara untuk mewujudkannya. Aku berjanji."
Pada hari berikutnya aku pergi ke gereja. Aku tahu Hegbert akan berada di dalam
ruang kerjanya. Aku belum menanyakannya kepada Jamie karena aku membayangkan ia tetap
akan membutuhkan izin dari ayahnya. Entah mengapa aku merasa bahwa akulah yang
seharusnya meminta izin itu. Kurasa itu ada hubungannya dengan fakta bahwa Hegbert masih
belum dapat menerimaku dengan tangan terbuka saat aku berkunjung. Setiap kali ia melihatku
melangkah di jalan masuk rumahnya - seperti Jamie, ia juga memiliki indra keenam soal itu - ia
akan mengintip ke luar melalui gorden, kemudian cepat-cepat menarik dirinya untuk
bersembunyi di balik gorden, seakan aku tidak sempat melihatnya. Setiap kali aku mengetuk
pintu, Hegbert membutuhkan waktu yang lama untuk membukakan pintu untukku, seakan ia harus
berjalan dari dapur. Ia akan menatapku selama beberapa waktu, kemudian menarik napas dalamdalam dan menggeleng sebelum akhirnya mengucapkan salam kepadaku.
Pintu ruang kerjanya dalam keadaan terbuka sedikit, dan aku melihatnya duduk di
belakang mejanya, kacamatanya bertengger di atas hidungnya. Ia sedang memeriksa beberapa
berkas - kelihatannya berhubungan dengan keuangan - dan aku menarik kesimpulan bahwa ia
sedang membuat anggaran gereja untuk tahun berikutnya. Bahkan seorang pendeta pun punya
sejumlah rekening yang harus dibayar.
Aku mengetuk pintu, dan ia mengangkat wajahnya dengan sigap, seakan mengharapkan
kehadiran salah seorang anggota jemaat yang lain, kemudian ia mengangkat alisnya
begitu melihat akulah yang datang.
"Halo, Pendeta Sullivan," tegurku dengan sopan. "Apakah Anda punya waktu?"
Penampilan Hegbert bahkan lebih lelah daripada biasanya, dan aku menyimpulkan
bahwa ia sedang kurang sehat. "Halo, Landon," ujarnya dalam nada waswas.
Omong-omong, aku telah mengenakan pakaian yang layak untuk kesempatan itu,
lengkap dengan jas dan dasi. "Bolehkah aku masuk?"
Ia mengangguk pelan, dan aku memasuki ruang kerjanya. Ia mempersilakanku duduk
di kursi di depan mejanya. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
Aku berusaha untuk duduk dengan nyaman di kursi itu. "Begini, Sir, aku ingin
meminta sesuatu pada Anda." Ia menatapku, mengamati wajahku sebelum akhirnya berkata, "Apakah ada
hubungannya dengan Jamie?" tanyanya.
Aku menarik napasku dalam-dalam.
"Betul, Sir. Aku ingin tahu apakah Anda keberatan jika aku mengajaknya pergi
makan malam di luar pada Malam Tahun Baru."
Ia menghela napasnya. "Hanya itu"' tanyanya.
"Ya, Sir," sahutku. "Aku akan mengantarnya pulang pada pukul berapa pun Anda
menginginkannya." Ia melepaskan kacamatanya dan mengelapnya dengan saputangan sebelum memakainya
kembali. Aku bisa melihat bahwa ia menggunakan kesempatan itu untuk memikirkan
jawabannya. "Apakah orangtuamu akan ikut dengan kalian?" tanyanya.
"Tidak, Sir." "Kalau begitu kurasa itu tidak mungkin. Tapi terima kasih karena meminta izinku
terlebih dulu." Ia mengalihkan perhatiannya ke berkas-berkasnya, menyatakan dengan jelas
bahwa sudah waktunya bagiku untuk pergi. Aku berdiri dari kursiku dan mulai melangkah menuju
pintu. Saat aku akan keluar, aku menoleh sekali lagi ke arahnya.
"Pendeta Sullivan?"
Ia mengangkat wajahnya, seakan heran aku masih ada di sana.
"Aku minta maaf atas semua yang pernah kulakukan ketika aku masih lebih muda,
dan aku menyesal tidak selalu memperlakukan Jamie sebagaimana seharusnya ia
diperlakukan. Tapi mulai sekarang, semua itu akan berubah. Aku berjanji pada Anda."
Tatapannya tampak seakan menembus diriku. Rupanya itu belum cukup.
"Aku mencintainya," ujarku akhirnya, dan setelah aku mengatakannya, perhatian
Hegbert terfokus pada diriku lagi.
"Aku tahu," sahutnya sedih, "tapi aku tidak ingin melihatnya terluka." Meskipun
cuma membayangkannya, sepertinya aku melihat matanya mulai berkaca-kaca.
"Aku tidak akan menyakitinya," kataku.
Ia mengalihkan pandangannya dan melihat ke luar melalui jendela, mengawasi
matahari musim dingin yang mencoba menembus gumpalan awan. Hari itu cuaca mendung,
dingin, dan menggigit. "Pastikan ia sudah sampai di rumah pada pukul sepuluh," kata Hegbert akhirnya,
seakan ia tahu bahwa ia telah mengambil keputusan yang salah.
Aku tersenyum dan ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, meskipun aku tidak
melakukannya. Aku tahu ia ingin segera ditinggal sendirian. Ketika aku menoleh
sebentar ke belakang dalam perjalananku keluar dari pintu, aku bingung saat melihat Hegbert
membekap wajahnya dengan dua tangan.
Aku mengajak Jamie satu jam setelah itu. Hal pertama yang dikatakannya adalah ia
merasa tidak bisa pergi, tapi aku mengungkapkan padanya bahwa aku sudah berbicara dengan
ayahnya. Ia tampak tercengang, dan aku merasa hal itu mempengaruhi pandangannya terhadap
diriku selanjutnya. Namun aku tidak menceritakan padanya bahwa Hegbert tampak nyaris
menangis saat aku berjalan ke luar ruangan. Selain tidak mengerti, aku juga tidak ingin
Jamie khawatir. Namun malam itu, setelah berbicara dengan ibuku lagi, ia memberikan penjelasan
yang terus terang bagiku cukup masuk akal. Rupanya Hegbert menyadari bahwa putrinya mulai
tumbuh dewasa dan perlahan-lahan ia harus melepaskannya padaku. Setidaknya, aku
berharap itulah yang terjadi. Aku menjemput Jamie tepat sesuai jadwal. Meskipun aku tidak memintanya untuk
membiarkan rambutnya tergerai, ia tetap melakukannya untukku. Kami melaju
melintasi jembatan menuju restoran di tepi pantai itu tanpa berbicara. Saat kami tiba di
tempat penerimaan tamu, pemilik restoran itu sendiri yang muncul dan mengantar kami ke meja.
Ternyata kami mendapat salah satu meja terbaik.
Keadaannya sudah ramai pada saat kami tiba, dan di sekeliling kami tampak orangorang sedang menikmati santapan. Orang-orang berpakaian modis pada Malam Tahun Baru
ini, dan kami satu-satunya pasangan remaja di situ. Namun kurasa penampilan kami tidak
terlalu mencolok. Jamie tidak pernah ke Flauvin's sebelumnya, tapi ia hanya membutuhkan beberapa
waktu untuk menyesuaikan diri. Ia kelihatan antusias, dan aku langsung tahu bahwa
ibuku telah memberikan usul yang bagus.
"Benar-benar luar biasa," ujarnya padaku. "Terima kasih telah mengajakku."
"Sama-sama," sahutku tulus.
"Apakah kau sudah pernah kemari sebelumnya?"
"Beberapa kali. Ibu dan ayahku kadang-kadang kemari saat ayahku pulang dari
Washington." Ia menatap ke luar jendela dan memandang kapal yang sedang melewati restoran
itu, lampulampunya terang-benderang. Untuk sesaat ia tampak takjub. "Indah
sekali di sini," ujarnya.
"Sama seperti dirimu," sahutku.
Wajah Jamie merona. "Kau bercanda."
"Aku serius," sahutku pelan. "Sungguh."
Kami berpegangan tangan sambil menunggu hidangan disajikan. Jamie dan aku
mengobrol tentang beberapa hal yang terjadi selama beberapa bulan terakhir itu. Ia tertawa
ketika kami membicarakan pesta dansa homecoming, dan akhirnya aku mengakui alasanku
mengajaknya waktu itu. Ternyata Jamie tidak marah - ia hanya tertawa ringan menanggapinya - dan
tanpa perlu kuberitahu kurasa Jamie sudah mengetahui alasanku mengajaknya.
"Apakah kau akan mengajakku lagi lain kali?" goda Jamie.
"Pasti." Hidangan makan malam itu betul-betul lezat - kami sama-sama memesan ikan bass dan
salad, dan setelah si pelayan akhirnya mengangkat piring-piring kami, terdengar
suara musik. Kami masih punya waktu satu jam sebelum aku harus mengantar Jamie pulang, dan
aku mengulurkan tanganku ke arahnya.
Tadinya kami merupakan satu-satunya pasangan di lantai dansa itu, semua mata
mengawasi saat kami berdansa di tempat itu. Kurasa mereka semua tahu bagaimana perasaan
kami satu sama lain, dan itu mengingatkan mereka pada masa muda mereka sendiri. Aku bisa
melihat mereka tersenyum penuh arti melihat kami. Cahayanya redup, dan si penyanyi mulai
melantunkan melodi yang lembut, aku memeluk Jamie dengan mata terpejam, sambil bertanya
dalam hati apakah pernah ada sesuatu dalam hidupku yang sesempurna ini.
Aku sedang jatuh cinta, dan perasaan itu bahkan lebih indah daripada yang pernah
kubayangkan sebelumnya. Setelah Tahun Baru kami melewatkan satu setengah minggu berikutnya bersama-sama,
melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh pasangan-pasangan muda ketika itu,
meskipun kadang-kadang Jamie tampak lelah dan gelisah. Kami menghabiskan waktu di tepi
Sungai Neuse, melempar batu-batu ke air, mengawasi riak-riaknya sementara kami
mengobrol, atau kami pergi ke pantai dekat Fort Macon. Mesipun saat itu musim dingin, warna laut
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bernuansa metalik, itu tetap menjadi kegiatan yang kami nikmati. Setelah sekitar satu jam
biasanya Jamie akan memintaku mengantarnya pulang, dan kami akan berpegangan tangan di dalam
mobil. Kadang-kadang, sepertinya Jamie nyaris tertidur sebelum kami sampai di rumah,
sementara di lain waktu ia akan terus mengoceh sepanjang perjalanan sampai aku nyaris tidak
mendapat kesempatan untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Tentu saja, menghabiskan waktu bersama Jamie juga berarti melakukan hal-hal yang
ia sukai. Meskipun aku tidak mau mengikuti kelas pendalaman Alkitab - aku tidak ingin
tampak tolol di hadapannya - kami tetap masih mengunjungi panti asuhan itu dua kali lagi.
Setiap kali kami ke sana, aku jadi semakin betah. Tapi kami terpaksa pulang lebih awal suatu
hari, karena Jamie agak demam. Bahkan bagi mataku yang kurang terlatih jelas terlihat mukanya
memerah. Kami juga berciuman lagi, meskipun tidak setiap kali kami berduaan. Aku bahkan
tidak berniat untuk berbuat lebih jauh dari itu. Aku menganggap itu tidak ada
perlunya. Ada sesuatu yang menyenangkan saat aku menciumnya, sesuatu yang lembut dan terasa benar, dan
itu sudah cukup untukku. Semakin sering aku melakukannya, semakin aku menyadari bahwa
Jamie telah salah dimengerti hampir seluruh hidupnya, tidak hanya olehku, tapi oleh semua
orang. Jamie bukan hanya sekadar putri seorang pendeta, orang yang sering membaca
Alkitab, dan berusaha sebisanya untuk menolong yang lain. Jamie ternyata juga seorang gadis
berusia tujuh bleas tahun dan memiliki berbagai harapan serta keraguan yang sama seperti
diriku. Setidaknya, itulah asumsiku, sampai pada akhirnya ia bercerita padaku.
Aku tidak akan pernah melupakan hari itu karena Jamie begitu pendiam, dan aku
merasakan perasaan aneh sepanjang hari bahwa ada sesuatu yang penting yang mengganggu
pikirannya. Aku sedang mengantarnya pulang dari Cecil's Diner pada hari Sabtu sebelum
sekolah dimulai lagi. Hari itu angin menderu keras dan terasa menggigit, yang berasal
dari timur laut dan sudah berlangsung sejak pagi sebelumnya. Kami harus berjalan berdekatan agar
tubuh kami tetap hangat. Jamie merangkul lenganku, dan kami berjalan perlahan, bahkan lebih pelan
daripada biasanya. Aku bisa melihat Jamie sedang merasa tidak terlalu sehat lagi. Tadinya
ia tidak begitu ingin pergi bersamaku mengingat cuacanya, tapi aku tetap memintanya ikut karena
temantemanku. Aku menganggap sudah waktunya teman-temanku akhirnya tahu mengenai
hubungan kami. Masalahnya ternyata, seperti sudah ditakdirkan, tak seorang pun sedang
berada di Cecil's Diner pada saat itu. Sebagaimana kebanyakan komunitas daerah pesisir, keadaan di
tepi pantai akan sepi selama musim dingin.
Jamie tidak banyak bicara saat kami berjalan, dan aku tahu bahwa ia sedang
mencari cara untuk mengatakan sesuatu kepadaku. Aku sama sekali tidak menyangka ia akan
membuka percakapannya seperti itu.
"Orang-orang menganggapku aneh, kan?" tanya Jamie akhirnya, memecahkan
keheningan. "Siapa maksudmu?" tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya.
"Orang-orang di sekolah."
"Tidak, mereka tidak menganggapmu begitu," ujarku, berbohong.
Aku mencium pipinya sambil merapatkan lengannya ke tubuhku. Ia mengernyitkan
wajahnya, dan aku merasa telah menyakitinya, entah bagaimana caranya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku khawatir.
"Aku baik-baik saja," sahutnya, sambil memulihkan kendali dirinya dan tidak
mengalihkan percakapan. "Tapi, maukah kau melakukan sesuatu untukku?"
"Apa pun," sahutku.
"Maukah kau berjanji padaku untuk selalu mengatakan yang sebenarnya mulai
sekarang" Maksudku, selalu berkata jujur?"
"Tentu saja," sahutku.
Ia menghentikan langkahku secara tiba-tiba dan menatap mataku lekat-lekat.
"Apakah kau sedang berbohong padaku sekarang?"
"Tidak," sahutku membela diri, sambil mempertanyakan ke mana arah pembicaraan
kami. "Aku berjanji, mulai sekarang aku akan selalu mengatakan yang sebenarnya
padamu." Entah mengapa, saat aku mengatakan itu, aku tahu bahwa aku akan menyesalinya
kelak. Kami mulai melangkah lagi. Saat kami menyusuri jalan, aku melihat sekilas ke
tangannya yang melingkar di lenganku, dan aku melihat sebuah memar yang cukup besar persis
di bawah jari manisnya. Aku tidak tahu apa penyebabnya, karena memar itu tidak ada di
sana kemarin. Untuk sesaat aku mengira bahwa itu mungkin terjadi gara-gara aku, tapi kemudian
aku menyadari bahwa aku bahkan tidak menyentuhnya di sana.
"Orang-orang menganggapku aneh, kan?" tanyanya lagi.
Napasku keluar membentuk uap asap kecil-kecil.
"Ya," sahutku akhirnya. Sakit rasanya hatiku mengatakan itu.
"Kenapa?" Ekspresinya nyaris kelihatan sedih.
Aku memikirkan jawabanku. "Mereka punya alasan sendiri-sendiri," jawabku samar,
sambil berusaha mengendalikan diriku.
"Tapi kenapa, persisnya" Apa karena ayahku" Atau apakah karena aku berusaha
bersikap baik?" Aku tidak ingin terlibat dalam hal ini.
"Kurasa begitu," hanya itu yang dapat aku katakan. Aku merasa tidak enak.
Jamie sepertinya kecewa, dan kami melanjutkan perjalanan dalam keheningan.
"Apakah kau juga menganggapku aneh?" tanyanya kepadaku.
Caranya menanyakan membuat hatiku lebih sakit daripada yang kubayangkan
sebelumnya. Kami hampir sampai di rumahnya sebelum aku menghentikan langkahnya dan
memeluknya eraterat. Aku menciumnya, dan ketika kami saling menarik diri, ia
menundukkan kepalanya. Aku meletakkan jariku di bawah dagunya, mendongakkan kepalanya, dan membuatnya
menatapku kembali. "Kau pribadi yang istimewa, Jamie. Kau cantik, kau baik, kau
lembut... kaulah segalanya yang aku inginkan. Kalau orang-orang itu tidak menyukaimu, atau
menganggap dirimu aneh, itu masalah mereka sendiri."
Dalam cahaya remang-remang di suatu hari di musim dingin, aku bisa melihat bibir
bawahnya mulai bergetar. Aku juga merasakan hal yang sama, dan tiba-tiba aku
menyadari bahwa jantungku berdebar cepat sekali. Aku menatap matanya lekat-lekat,
tersenyum padanya dengan segenap perasaanku. Aku tahu bahwa aku tidak bisa memendam kata-kata itu
lebih lama lagi. "Aku mencintaimu, Jamie," ujarku padanya. "Kaulah hal terbaik yang pernah
terjadi pada diriku." Baru pertama kali itulah aku mengucapkan kata-kata itu kepada seseorang selain
kepada salah seorang anggota keluargaku yang terdekat. Saat aku membayangkan mengatakan
kalimat itu kepada seseorang, entah mengapa aku mengira itu sulit, tapi nyatanya tidak.
Aku belum pernah merasa seyakin itu.
Tapi setelah aku mengucapkan kata-kata itu, Jamie menundukkan kepalanya dan
mulai menangis, sambil menyandarkan dirinya pada tubuhku. Aku memeluknya, bertanyatanya apa yang salah. Tubuhnya kurus, dan untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku
dapat melingkarkan seluruh lenganku saat merangkulnya. Berat badannya turun, bahkan
dalam satu setengah minggu terakhir ini, dan aku kemudian teringat bahwa Jamie hampir tidak
pernah menyentuh makanannya. Ia masih menangis di dadaku selama beberapa saat. Aku
tidak tahu harus berpikir apa lagi, atau apakah Jamie juga merasakan hal yang sama seperti
yang kurasakan. Namun, aku sama sekali tidak menyesali kata-kataku. Kenyataan selalu jadi
kenyataan, dan aku baru saja berjanji bahwa aku tidak akan pernah berbohong lagi padanya.
"Kumohon jangan katakan itu," ujarnya padaku. "Kumohon..."
"Tapi itu betul," ujarku, mengira bahwa ia tidak mempercayai ucapanku.
Ia mulai menangis lebih keras lagi. "Maafkan aku," bisiknya padaku di antara
isakannya. "Aku menyesal sekali..."
Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering.
"Kenapa kau menyesal?" tanyaku, tiba-tiba aku merasa harus tahu apa sebetulnya
yang sedang mengganggu pikirannya. "Apakah karena teman-temanku dan apa yang akan
mereka katakan" Aku tidak peduli lagi - sungguh." Aku berusaha menemukan alasan, dalam
keadaan bingung dan, ya - takut. Jamie masih membutuhkan beberapa waktu untuk meredakan tangisnya, dan akhirnya
ia mengangkat wajahnya ke arahku. Ia menciumku dengan lembut, nyaris seperti napas
orang yang melewatimu di jalanan, kemudian jarinya mengusap pipiku.
"Kau tidak mungkin bisa jatuh cinta padaku, Landon," ujarnya dengan mata merah
dan sembap. "Kita masih bisa berteman, kita masih bisa saling bertemu... tapi kau
tidak bisa mencintaiku." "Kenapa tidak?" kata Jamie perlahan, "aku amat sakit, Landon."
Konsep itu betul-betul asing sekali bagiku, sehingga aku tidak dapat memahami
apa yang sedang dikatakannya padaku.
"Lalu kenapa" Paling-paling kau hanya butuh beberapa hari..."
Senyum sedih membayang di wajahnya, dan saat itulah aku tahu apa sebetulnya yang
ingin disampaikannya padaku. Matanya terus menatapku saat ia akhirnya mengucapkan
kata-kata yang membuat jiwaku beku. "Aku sedang sekarat, Landon."
BAB 12 ?" JAMIE ternyata mengindap leukemia. Ia sudah mengetahuinya sejak musim panas
lalu. Pada saat ia mengungkapkannya kepadaku, aku merasa darah terkuras dari wajahku
dan berbagai bayangan aneh melintas dalam benakku. Untuk sesaat waktu seakan tibatiba berhenti dan aku mulai memahami segala yang terjadi di antara kami. Aku mengerti mengapa
ia ingin aku tampil dalam pementasan itu. aku mengerti mengapa setelah pementasan pada malam
pertama itu, Hegbert membisikkan sesuatu padanya dengan air mata berlinang, menyebut
Jamie sebagai malaikatnya. Aku mengerti mengapa Hegbert tampak begitu lelah sepanjang waktu
dan mengapa ia begitu cemas menanggapi kedatanganku ke rumahnya. Segalanya menjadi sangat
jelas sekarang. Mengapa Jamie ingin Hari Natal di panti asuhan itu menjadi acara istimewa....
Mengapa ia merasa tidak akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi....
Mengapa ia memberikan Alkitab-nya kepadaku....
Semua itu jadi masuk akal, dan pada waktu yang bersamaan tak satu pun tampaknya
masuk akal. Jamie Sullivan mengidap leukemia....
Jamie, Jamie yang manis, sedang sekarat....
Jamie-ku.... "Tidak, tidak," bisikku padanya, "pasti ada kesalahan..."
Tapi nyatanya tidak begitu, dan ketika ia mengungkapkan sekali lagi kepadaku,
duniaku tibatiba terasa kosong. Kepalaku mulai berputar, dan aku mencengkeram
Jamie erat-erat untuk menjaga keseimbanganku. Di jalan aku melihat seorang pria dan seorang wanita,
berjalan ke arah kami, kepala mereka menunduk dan tangan mereka memegangi topi agar tidak
terbang terbawa angin. Seekor anjing berlari-lari kecil menyeberangi jalan kemudian
berhenti untuk mengendus semak-semak. Seorang tetangga yang tinggal di seberang jalan sedang
berdiri di tangga, menurunkan lampu-lampu Natal. Pemandangan normal dari kehidupan seharihari, halhal yang tidak pernah aku perhatikan sebelumnya, yang tiba-tiba
membuatku marah. Aku memejamkan mataku, ingin menghapus semua itu dari hadapanku.
"Maafkan aku, Landon," ujar Jamie berulang-ulang. Namun akulah yang seharusnya
mengatakan itu. Aku menyadarinya sekarang, namun kebingunganku membuatku tidak
dapat mengatakan apa-apa. Jauh di lubuk hatiku, aku tahu bahwa aku takkan bisa menghapus semua itu. Aku
memeluknya lagi, karena tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan, air mata
membasahi mataku. Aku mencoba untuk menjadi batu karang yang menurutku dibutuhkannya, namun gagal.
Kami menangis bersama di jalan itu selama beberapa saat, sedikit jauh dari jalan
tempat tinggalnya. Kami menangis lagi saat Hegbert membuka pintu dan melihat wajah
kami. Ia langsung tahu bahwa rahasia mereka telah terbongkar. Kami menangis sewaktu kami
menceritakannya kepada ibuku sore itu. Ibuku memeluk kami dan menangis dengan
begitu
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kerasnya sehingga koki maupun pelayan kami hampir saja menelepon dokter karena
mereka mengira sesuatu telah terjadi pada ayahku. Pada hari Minggu, Hegbert
mengeluarkan pernyataan di hadapan jemaatnya, wajahnya dibayangi kesedihan dan ketakutan. Ia terpaksa
dipapah kembali ke tempat duduknya bahkan sebelum ia selesai berbicara.
Jemaat dalam gereja itu tiba-tiba terenyak seakan tidak percaya menanggapi katakata yang baru saja mereka dengar, dan tampak seakan menunggu sesuatu untuk mengakhiri
lelucon yang sama sekali tidak lucu itu. Kemudian secara serentak, mereka mulai
mengekspresikan rasa sedih
mereka. Kami duduk bersama Hegbert pada hari Jamie mengungkapkan berita itu kepadaku,
dan dengan penuh kesabaran Jamie menjawab semua pertanyaanku. Ia tidak tahu berapa lama
lagi waktu yang ia miliki. Tidak, tidak ada yang dapat dilakukan oleh para dokter. Menurut
para dokter, ia mengidap penyakit langka, penyakit yang tidak merespons perawatan yang tersedia
pada masa itu. Ya, saat sekolah baru dimulai, ia masih merasa sehat. Baru beberapa minggu
yang terakhir ini ia mulai merasakan dampaknya.
"Memang begitulah perkembangan penyakit ini," kata Jamie. "Kau merasa baik-baik
saja, dan setelah itu, sewaktu tubuhmu tidak dapat melawannya lagi, kau mulai
melemah." Sambil berusaha menahan air mataku, mau tidak mau aku teringat pada drama itu.
"Tapi semua latihan... hari-hari yang panjang itu... mungkin seharusnya kau - "
"Mungkin," sahutnya, sambil meraih tanganku dan memotong ucapanku. "Tapi drama
itu justru yang membuatku tetap merasa sehat sampai begitu lama."
Kemudian Jamie mengungkapkan padaku bahwa tujuh bulan sudah berlalu sejak ia
pertama kali didiagnosis. Para dokter telah menyatakan bahwa ia memiliki waktu satu tahun,
mungkin kurang. Keadaannya mungkin berbeda di zaman sekarang. Sekarang mereka pasti bisa
melakukan sesuatu untuk mengobati Jamie. Di zaman sekarang Jamie mungkin bisa disembuhkan.
Namun ini terjadi sekitar empat puluh tahun yang lalu, dan aku tahu apa artinya itu.
Hanya mukjizat yang dapat menyelamatkan Jamie.
"Kenapa kau tidak menceritakan ini padaku sebelumnya?"
Itulah satu-satunya pertanyaan yang tidak kuajukan padanya, yang terus
menghantuiku sepanjang waktu. Aku tidak bisa tidur malam itu, dan mataku masih sembap. Aku
melewati fase dari terguncang ke penyangkalan, sedih ke marah kemudian kembali lagi, sepanjang
malam, sambil berharap dan berdoa bahwa kenyataannya tidak begitu. Berharap semua itu
hanyalah bagian dari mimpi buruk. Kami sedang berada di ruang tamu pada hari berikutnya, pada hari Hegbert
mengeluarkan pernyataan di hadapan jemaatnya. Tanggal 10 Januari 1959.
Jamie tidak tampak sesedih seperti yang tadinya kubayangkan. Tapi Jamie sudah
menjalani semua ini selama tujuh bulan. Ketika itu hanya ia sendiri dan Hegbert yang tahu,
dan selama itu mereka tidak menceritakannya pada siapa pun, termasuk aku. Aku merasa sakit hati
mengenai itu dan juga sekaligus takut.
"Aku sudah membuat keputusan," kata Jamie, "bahwa akan lebih baik kalau aku
tidak memberitahu siapa pun, dan aku telah meminta ayahku untuk melakukan hal yang
sama. Kau lihat sendiri bagaimana reaksi orang-orang setelah pulang dari gereja hari ini.
Tak seorang pun bahkan mau menatap mataku. Kalau kau hanya memiliki beberapa bulan lagi untuk
hidup, itukah yang akan kauinginkan?"
Aku tahu bahwa ucapannya benar, namun tetap saja tidak menjadikannya lebih
mudah. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku sungguh-sungguh merasa tidak berdaya.
Aku tidak pernah ditinggal mati oleh seseorang yang dekat denganku, setidaknya
sepanjang ingatanku. Nenekku meninggal ketika aku baru berusia tiga tahun, dan aku tidak
ingat apa-apa tentang dirinya ataupun upacara pemakamannya atau bahkan tahun-tahun berikutnya
setelah ia tiada. Tentu saja aku pernah mendengar cerita-cerita mengenai Nenek dari ayah
dan kakekku, tapi bagiku itu cuma cerita. Sama seperti mendengar cerita yang sebetulnya bisa
kubaca di surat kabar mengenai seorang wanita yang tidak kukenal. Meskipun ayahku selalu
mengajakku bersamanya saat ia membawa bunga ke makam Nenek, aku tidak pernah merasakan
sesuatu untuknya. Aku hanya merasakan sesuatu terhadap mereka yang telah ditinggalkan
olehnya. Tak seorang pun di keluargaku atau teman-temanku pernah dihadapkan pada sesuatu
seperti ini. Jamie baru berusia tujuh belas tahun, sedang berada di ambang
kedewasaannya. Sekarat namun tetap masih penuh dengan gairah hidup pada waktu yang bersamaan. Aku
merasa takut, jauh lebih takut daripada ketakutan yang pernah kualami, bukan hanya bagi diri
Jamie, tapi juga bagi diriku sendiri. Aku hidup dalam ketakutan bahwa aku akan melakukan sesuatu
yang salah. Aku takut akan melakukan sesuatu yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apakah
wajar untuk marah di hadapannya" Apakah masih wajar untuk berbicara mengenai masa
depan" Ketakutanku membuat berbicara dengannya terasa sulit, meskipun Jamie begitu
sabar terhadapku. Namun ketakutanku membuatku menyadari sesuatu yang lain, sesuatu yang membuatku
merasa semakin buruk. Aku menyadari bahwa aku bahkan tidak pernah mengenalnya di
saat ia masih sehat. Aku baru mulai melewatkan waktuku bersamanya sekitar beberapa bulan
yang lalu, dan aku baru mulai mencintainya sejak delapan belas hari yang lalu. Delapan
belas hari itu seakan merupakan seluruh hidupku, namun saat aku menatapnya, yang dapat
kulakukan hanyalah mempertanyakan masih berapa banyak waktu yang ia miliki.
Pada hari Senin Jamie tidak masuk sekolah, dan entah mengapa aku tahu bahwa ia
tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sekolah lagi. Aku tidak akan pernah melihatnya
membaca Alkitab sendirian di waktu istirahat makan siang, aku tidak akan pernah melihat
sweter cokelatnya bergerak di antara siswa-siswa lain sementara ia menuju kelasnya yang
berikut. Hariharinya di sekolah sudah berakhir untuk selamanya, ia bahkan tidak
akan pernah memperoleh ijazah. Aku tidak dapat memusatkan perhatian saat duduk di dalam kelas pada hari pertama
itu, mendengarkan saat para guru mengungkapkan apa yang sudah didengar oleh
kebanyakan di antara kami. Tanggapan yang diperoleh persis seperti di gereja pada hari Minggu
itu. Siswasiswa perempuan mulai menangis, yang laki-laki menunduk. Mereka
bercerita tentang Jamie seakan ia sudah tiada. Apa yang bisa kita lakukan" tanya mereka, dan mereka
mulai menatapku untuk mendapatkan jawaban.
"Aku tidak tahu," hanya itu yang dapat kukatakan.
Aku meninggalkan sekolah lebih awal dan pergi ke rumah Jamie, bolos setelah
istirahat makan siang. Sewaktu aku mengetuk pintu, Jamie membukanya seperti yang biasa ia
lakukan, dengan gembira dan sepertinya tanpa beban.
"Halo, Landon," tegurnya, "ini kejutan."
Ketika ia mencondongkan tubuhnya untuk menciumku, aku membalas ciumannya,
meskipun semua itu membuatku ingin menangis.
"Ayahku tidak ada di rumah sekarang, tapi kalau kau mau, kita bisa duduk-duduk
di teras." "Bagaimana kau bisa seperti ini?" tanyaku tiba-tiba. "Bagaimana kau bisa
berpura-pura bahwa tidak ada yang salah?"
"Aku tidak berpura-pura bahwa tidak ada yang salah, Landon. Aku ambil jaketku
dulu lalu kita duduk-duduk di luar sambil ngobrol, oke?"
Ia tersenyum padaku, menantikan jawaban, dan akhirnya aku mengangguk, bibirku
terkatup rapat. Ia mengulurkan tangannya untuk menepuk lenganku.
"Aku akan segera kembali," janjinya.
Aku melangkah ke arah kursi teras kemudian duduk. Jamie muncul beberapa saat
setelah itu. Ia mengenakan jaket tebal, sarung tangan, dan topi agar tubuhnya tetap hangat.
Angin dari arah timur laut itu telah berlalu, dan hari ini sebetulnya tidak sedingin selama
akhir pekan yang lalu. Namun udaranya tetap masih terlalu dingin bagi Jamie.
"Kau tidak ke sekolah hari ini," ujarku.
Ia menunduk dan mengangguk. "Aku tahu."
"Apakah kau akan kembali sekolah?" Meskipun aku sudah tahu jawabannya, aku tetap
butuh mendengar jawaban itu darinya.
"Tidak," sahutnya pelan. "Aku tidak akan kembali."
"Kenapa" Apakah kau sudah begitu sakitnya?" Aku mulai menangis, dan ia
mengulurkan tangannya menggenggam tanganku.
"Tidak. Sebenarnya hari ini aku merasa jauh lebih baik. Aku hanya sedang ingin
berada di rumah pada pagi hari, sebelum ayahku harus pergi ke tempat kerjanya. Aku ingin
menghabiskan waktuku sebanyak mungkin dengannya."
Sebelum aku meninggal, yang sebetulnya ingin ia katakan namun tidak diucapkan.
Aku merasa tidak keruan dan tidak memberikan jawaban.
"Ketika para dokter memberitahu kami untuk pertama kalinya," lanjut Jamie,
"mereka menyarankan agar aku sebaiknya mencoba menjalani kehidupanku senormal mungkin
selama aku masih bisa. Mereka menganggap hal itu akan membuatku lebih kuat."
"Tapi tidak ada yang normal mengenai ini," sahutku getir.
"Aku tahu." "Apakah kau tidak takut?"
Entah mengapa aku berharap ia akan mengatakan tidak, mengatakan sesuatu yang
bijaksana seperti yang akan dilakukan oleh orang dewasa, atau menjelaskan kepadaku bahwa
kita tidak dapat memaksakan diri untuk mengerti rencana Tuhan.
Ia berpaling. "Ya," sahut Jamie akhirnya. "Aku takut sepanjang waktu."
"Lalu mengapa kau tidak bersikap sebagaimana yang kaurasakan?"
"Aku melakukannya. Saat aku sedang sendirian."
"Karena kau tidak percaya padaku?"
"Bukan," sahutnya, "karena aku tahu kau juga takut."
Aku mulai berdoa mengharapkan datangnya mukjizat.
Biasanya itu yang selalu terjadi, dan aku pernah membacanya di koran. Orangorang yang dapat menggerakkan anggota tubuhnya kembali setelah mereka dinyatakan tidak akan
pernah dapat berjalan lagi, atau yang berhasil lolos dari maut dalam suatu kecelakaan
yang teramat mengerikan di saat semua harapan sudah tiada. Kadang-kadang seorang pengkhotbah
keliling mendirikan tenda di luar kota Beaufort, dan para penduduk akan ke sana untuk
menyaksikan orang-orang yang akan disembuhkan. Aku sudah pernah menyaksikannya beberapa
kali, dan meskipun aku berasumsi bahwa kebanyakan di antaranya hanyalah tipuan, mengingat
aku tidak pernah mengenali mereka yang sudah disembuhkan. Namun sekali waktu tetap terjadi
sesuatu yang bahkan tidak bisa kujelaskan. Pak tua Sweeney, tukang roti di kota kami,
pernah bergabung dengan pasukan artileri dalam Perang Dunia dari balik parit-parit perlindungan,
dan sekian bulan memberondong musuh dengan peluru telah menjadikan sebelah telinganya tuli. Ini
bukan purapura - ia benar-benar tidak dapat mendengar. Semasa kami masih anakanak, kami dapat mencuri roti cinnamon karena ia tidak bisa mendengarnya. Tapi si pengkhotbah
mulai berdoa dengan khidmat dan akhirnya menempatkan tangannya di bagian sisi kepala Sweeney.
Sweeney berteria keras, membuat orang-orang melompat berdiri dari kursi. Ia menampakkan
wajah takut, seakan seseorang telah menyentuhnya dengan sepotong besi panas, tapi kemudian ia
menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap ke sekelilingnya, sambil berbicara,
"Aku bisa mendengar lagi." Bahkan ia sendiri tidak dapat mempercayainya. "Tuhan," ujar si
pengkhotbah ketika itu, sementara Sweeney kembali ke tempat duduknya, "bisa melakukan apa
saja. Tuhan mendengarkan doa-doa kita."
Jadi malam itu aku membuka Alkitab yang diberikan Jamie padaku sebagai hadiah
Natal dan mulai membaca. Aku sudah pernah mendengar kisah-kisah yang ada di dalam Alkitab
sewaktu sekolah Minggu maupun di gereja. Tapi sejujurnya, yang teringat olehku adalah
bagian-bagian yang seru saja - Tuhan menjatuhkan tujuh malapetaka agar bangsa Israel dapat
meninggalkan Mesir, Yunus yang ditelan oleh ikan paus, Yesus yang berjalan di atas air, atau
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membangkitkan Lazarus dari kematian. Selain itu masih ada beberapa peristiwa besar lagi.
Aku tahu, nyaris dalam setiap bab Alkitab Tuhan melakukan sesuatu yang
spektakuler, namun aku belum pernah mempelajari semuanya. Sebagai orang Kristen, kami
berpegang teguh pada ajaran-ajaran dalam Perjanjian Baru, sedangkan aku tidak tahu apa-apa
mengenai kisah Yosua atau Rut, atau Yoel. Pada malam pertama aku membaca Kitab Kejadian, malam
kedua aku membaca Keluaran. Setelah itu Imamat, disambung dengan Bilangan, dan
kemudian Ulangan. Di bagian-bagian tertentu memang sedikit lebih lama, terutama di bagian
semua peraturan itu dijelaskan, namun aku tetap membacanya. Aku merasakan suatu
dorongan yang tidak sepenuhnya kumengerti.
Hari sudah larut sekali di suatu malam, dan aku sudah lelah saat akhirnya aku
sampai di bagian Mazmur, tapi entah mengapa aku tahu bahwa inilah yang sebetulnya yang
sedang kucari. Semua orang pernah mendengar tentang Mazmur 23, yang dimulai dengan, "Tuhan
adalah gembalaku, takkan kekurangan aku," namun aku juga ingin membaca yang lain,
mengingat bahwa tak satu pun bagian lebih penting daripada yang lain. Setelah satu jam aku
sampai pada suatu bagian yang digarisbawahi, yang kurasa ditandai Jamie karena itu berarti
sesuatu baginya. Inilah bunyinya: KepadaMu, ya TUHAN, gunung batuku, aku berseru,
janganlah berdiam diri terhadap aku,
sebab, jika Engkau tetap membisu terhadap aku, aku menjadi orang yang turun ke
dalam liang kubur. Dengarkanlah suara permohonanku,
apabila aku berteriak kepadaMu minta tolong,
dan mengangkat tanganku ke tempatMu yang mahakudus.
Aku menutup Alkitab itu dengan air mata berlinang, aku tidak mampu membaca
Mazmur itu sampai selesai. Entah bagaimana aku tahu Jamie telah menggarisbawahi bagian itu untukku.
"Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan," kataku putus asa, sambil memandangi
keremangan cahaya lampu kamar tidurku. Aku dan ibuku sedang duduk di atas tempat tidurku.
Saat itu sudah menjelang akhir bulan Januari, bulan yang paling sulit di dalam kehidupanku, dan
aku tahu bahwa di bulan Februari keadaan akan menjadi lebih buruk lagi.
"Aku tahu ini berat bagimu," gumam ibuku, "tapi tidak ada yang bisa kaulakukan."
"Maksudku bukan mengenai sakitnya Jamie - aku tahu aku tidak bisa berbuat apa-apa
mengenai penyakitnya. Maksudku, mengenai aku dan Jamie."
Ibuku menatapku dengan penuh simpati. Ia mengkhawatirkan keadaan Jamie, namun ia
juga mengkhawatirkanku. Aku melanjutkan.
"Sulit rasanya bagiku untuk berbicara dengan Jamie. Saat menatapnya yang
terpikir olehku hanyalah aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Sehingga aku menghabiskan seluruh
waktuku di sekolah dengan memikirkan dirinya, sambil berharap dapat melihatnya saat itu,
namun saat aku sampai di rumahnya, aku tidak tahu harus berkata apa."
"Aku tidak yakin ada sesuatu yang dapat kaukatakan untuk membuatnya merasa lebih
baik." "Kalau begitu apa yang harus kulakukan?"
Ia menatapku dengan sedih kemudian merangkulku. "Kau benar-benar mencintainya,
ya?" tanya ibuku. "Dengan segenap hatiku."
Ibuku tampak sedih sekali. "Apa kata hatimu?"
"Aku tidak tahu."
"Mungkin," ujarnya dengan hati-hati, "kau terlalu keras berusaha hingga tidak
mendengarnya." Hari berikutnya kulewati dengan lebih baik bersama Jamie, meskipun tidak jauh
lebih baik. Sebelum aku sampai di rumahnya, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak
mengatakan sesuatu yang mungkin akan membuatnya sedih - aku akan mencoba berbicara dengannya
sebagaimana yang biasa kulakukan sebelumnya - dan itulah yang terjadi kemudian.
Aku duduk di sofanya dan menceritakan pada Jamie tentang teman-temanku dan apa
yang sedang mereka lakukan. Aku juga menceritakan padanya tentang keberhasilan tim
basket kami. Aku memberitahunya bahwa aku masih belum menerima kabar dari UNC, tapi aku
berharap akan memperoleh hasilnya dalam waktu beberapa minggu ini. Aku memberitahunya
bahwa aku merasa antusias menghadapi saat kelulusan nanti. Aku berbicara seakan ia akan
kembali berada di sekolah pada minggu berikutnya, dan aku tahu bahwa suaraku terdengar waswas.
Jamie tersenyum dan kadang-kadang mengangguk. Namun kupikir kami sama-sama tahu
menjelang akhir percakapan itu, bahwa ini akan merupakan kali terakhir aku melakukannya.
Rasanya tidak benar bagi kami berdua. Hatiku mengatakan padaku hal yang persis sama.
Aku membuka Alkitab lagi, dengan harapan akan mendapatkan petunjuk.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyaku beberapa hari kemudian.
Saat itu Jamie sudah kehilangan berat lebih banyak lagi. Kulitnya mulai tampak
sedikit kelabu, dan tulang-tulang di tangannya mulai menonjol melalui kulitnya. Aku
melihat memarmemar lagi. Kami sedang berada di dalam rumahnya, di dalam ruang
tamu. Jamie sudah tidak tahan lagi terhadap udara dingin.
Tapi di samping semua itu, ia masih tetap tampak cantik.
"Aku baik-baik saja," sahutnya, sambil tersenyum tegar. "Para dokter sudah
memberiku obat penahan sakit, dan sepertinya itu sedikit membantu."
Aku mampir setiap hari. Waktu sepertinya berjalan perlahan dan sekaligus cepat
sekali pada waktu yang bersamaan. "Kau mau kuambilkan sesuatu?"
"Tidak usah, terima kasih, aku baik-baik saja."
Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan itu, kemudian kembali padanya.
"Aku membaca Alkitab belakangan ini," kataku akhirnya.
"Sungguh?" Wajahnya tampak bersinar, mengingatkanku pada malaikat yang pernah
kulihat sewaktu pementasan. Aku tidak dapat percaya pementasan itu baru enam minggu yang
lalu. "Aku ingin kau tahu itu."
"Aku senang kau menceritakannya padaku."
"Aku membaca tentang Ayub tadi malam," ujarku, "saat Tuhan menguji iman Ayub."
Jamie tersenyum dan mengulurkan tangannya untuk menepuk lenganku, tangannya
terasa lembut di kulitku. Rasanya menyenangkan. "Sebaiknya kau membaca yang lain. Itu
bukan bagian tentang Tuhan yang menyenangkan."
"Untup apa Dia melakukan itu padanya?"
"Aku tidak tahu," sahut Jamie.
"Pernahkah kau merasa dirimu seperti Ayub?"
Ia tersenyum, matanya tampak berbinar. "Kadang-kadang."
"Tapi kau tidak kehilangan imanmu?"
"Tidak." Aku tahu iman Jamie teguh, namun aku merasa mulai kehilangan imanku.
"Apakah karena kau merasa kau mungkin akan sembuh?"
"Tidak," sahutnya, "karena itulah satu-satunya hal yang masih kumiliki."
Setelah itu, kami mulai membaca Alkitab bersama-sama. Entah mengapa sepertinya
itu merupakan hal yang tepat untuk dilakukan. Namun hatiku tetap menyuarakan padaku
bahwa mungkin masih ada sesuatu yang lain yang bisa kulakukan.
Pada malam hari aku berbaring di tempat tidurku sambil memikirkannya.
Membaca Alkitab memberikan sesuatu kepada kami untuk dijadikan pusat perhatian,
dan tibatiba segalanya mulai membaik di antara kami. Mungkin karena aku tidak
lagi merasa khawatir melakukan sesuatu yang mungkin dapat melukai perasaannya. Apa yang mungkin lebih
baik daripada membaca Alkitab" Meskipun aku tidak tahu sebanyak yang diketahui Jamie,
kurasa ia bisa menghargai usahaku. Kadang-kadang di saat kami membaca, ia akan meletakkan
tangannya di atas lututku dan hanya mendengarkan sementara suaraku memenuhi seluruh
ruangan itu. Kadang-kadang aku duduk di sampingnya di sofa, sambil membalik-balik Alkitab dan
sekaligus mengawasi Jamie melalui sudut mataku. Setelah itu kami akan sampai
pada suatu ayat atau mazmur, mungkin bahkan amsal, dan aku akan menanyakan pendapat Jamie
mengenai hal itu. Ia selalu memiliki jawaban, dan aku akan mengangguk, lalu berusaha
menghayatinya. Kadang-kadang ia akan menanyakan apa pendapatku, dan aku akan berusaha sebisaku,
meskipun pada saat tertentu aku sedikit membual dan aku yakin Jamie tahu itu cuma
bualanku. "Itukah arti sesungguhnya bagimu?" tanya Jamie, lalu aku akan mengusap daguku
dan memikirkannya kembali sebelum mencoba menjawab sekali lagi. Tapi kadang-kadang
aku tidak bisa memusatkan perhatianku karena salah Jamie, karena tangannya yang di atas
lututku dan semacamnya. Pada hari Jumat malam, aku mengajaknya makan malam di rumahku. Ibuku bergabung
dengan kami selagi menikmati hidangan utama, setelah itu ibuku meninggalkan meja
dan duduk di ruang rekreasi agar kami bisa berduaan.
Menyenangkan sekali duduk bersama Jamie, dan aku tahu bahwa ia juga merasakan
hal yang sama. Ia sudah jarang meninggalkan rumah, dan ini merupakan suatu selingan yang
baik baginya. Sejak Jamie memberitahuku tentang penyakitnya, ia tidak pernah lagi menyanggul
rambutnya ke atas. Penampilan Jamie masih sama memesonanya seperti saat pertama
kali aku melihatnya dengan rambut tergerai. Ia sedang memperhatikan lemari porselen kami ibuku memiliki lemari yang ada lampunya di dalam - ketika aku mengulurkan tanganku dan
meraih tangannya. "Terima kasih mau datang kemari malam ini," ujarku.
Ia mengalihkan perhatiannya kembali kepadaku. "Terima kasih karena telah
mengajakku." Aku terdiam. "Bagaimana keadaan ayahmu?"
Jamie menghela napasnya. "Tidak terlalu baik. Aku sering mengkhawatirkannya."
"Ia amat mencintaimu, kau tahu."
"Aku tahu." "Aku juga mencintaimu," kataku, dan saat aku mengucapkannya, ia berpaling.
Mendengar aku mengucapkannya seakan membuat Jamie takut lagi.
"Maukah kau terus datang ke rumahku," tanyanya. "Bahkan kelak, kau tahu kan,
saat...?" Aku meremas tangannya, tidak keras-keras, tapi cukup untuk meyakinkannya bahwa
aku serius dengan perkataanku.
"Selama kau mau aku datang, aku akan ke sana."
"Kita tidak perlu membaca Alkitab lagi, kalau kau tidak mau."
"Tidak," ujarku pelan. "Kurasa kita menyukainya."
Ia tersenyum. "Kau memang teman yang baik, Landon. Aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan tanpa dirimu."
Ia meremas tanganku, membalas remasanku. Wajahnya tampak berseri saat duduk di
hadapanku. "Aku mencintaimu, Jamie," ujarku lagi, tapi kali ini ia tidak tampak takut.
Malah kami saling menatap, dan aku memperhatikan saat matanya mulai berbinar. Ia menghela napas
kemudian mengalihkan pandangannya, mengusap rambutnya dengan tangan, dan setelah itu
menatapku kembali. Aku mengecup tangannya, membalas senyumnya.
"Aku juga mencintaimu," bisiknya.
Selama ini aku berdoa ingin mendengar kata-kata itu.
*** Aku tidak tahu apakah Jamie pernah menceritakan kepada Hegbert mengenai
perasaannya terhadapku. Entah mengapa aku meragukannya karena Hegbert tampaknya tidak
berubah sama sekali. Sudah merupakan kebiasaannya untuk meninggalkan rumah di saat aku datang
ke sana sepulang sekolah, dan ini terus berlanjut. Aku akan mengetuk pintu dan
mendengarkan sementara Hegbert mengatakan kepada Jamie bahwa ia akan pergi dan baru akan
kembali beberapa jam kemudian. "Oke, Daddy," adalah yang selalu aku dengar, kemudian aku
akan menunggu sampai Hegbert membuka pintu. Begitu ia mempersilakanku masuk, ia akan
membuka lemari di ruang depan dan mengeluarkan jas serta topinya tanpa
berbicara, mengancing semua kancing jasnya sebelum meninggalkan rumah. Jasnya model kuno,
berwarna hitam dan panjang, seperti jas hujan tanpa ritsleting, yang pernah dianggap
modis sekitar satu abad sebelumnya. Ia jarang berbicara langsung padaku, bahkan setelah ia tahu aku
dan Jamie mulai sering membaca Alkitab bersama.
Meskipun ia masih kurang menyukai kehadiranku di rumahnya di saat ia sedang
tidak di sana, ia tetap memperbolehkanku masuk. Aku tahu sebagian dari alasannya adalah
karena ia tidak ingin Jamie kedinginan selagi kami duduk-duduk di teras, dan satu-satunya
alternatif yang
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada adalah tetap tinggal di dalam rumah sementara aku ada di sana. Tapi kurasa
Hegbert juga membutuhkan waktu untuk menyendiri, dan itulah alasan sesungguhnya untuk
perubahan itu. Ia tidak membicarakan peraturan di rumahnya denganku - aku bisa melihat itu di
matanya sejak pertama kali ia menyatakan bahwa aku boleh masuk. Aku diperbolehkan masuk ke
dalam ruang tamunya, itu saja. Jamie masih bisa mondar-mandir ke sana kemari, meskipun musim dingin kali ini
lebih ganas. Arus angin dingin yang melanda sepanjang akhir bulan Januari berlangsung
selama sembilan hari, disusul dengan hujan lebat selama tiga hari berturut-turut. Jamie
sama sekali tidak berminat untuk meninggalkan rumah di dalam cuaca seperti itu. Meskipun setelah
Hegbert pergi, aku dan Jamie mungkin akan berdiri di teras selama beberapa menit untuk
menghirup udara laut yang segar. Setiap kali kami melakukannya, aku mengkhawatirkan Jamie.
Sementara kami membaca Alkitab, pintu akan diketuk orang sedikitnya tiga kali
setiap hari. Selalu ada yang mampir sebentar, ada yang membawakan makanan, ada yang cuma
ingin memberi salam. Bahkan Eric dan Margaret sempat mampir, dan meskipun Jamie
sebetulnya tidak boleh mengajak mereka masuk, ia tetap melakukannya, dan kami duduk di
dalam sambil mengobrol, sementara mereka tidak dapat menatap mata Jamie.
Mereka berdua kelihatan resah, dan setelah beberapa saat mereka akhirnya
menyatakan maksud kedatangan mereka. Eric datang untuk meminta maaf, dan ia menambahkan
bahwa ia tidak mengerti mengapa semua ini justru harus terjadi pada Jamie. Ia juga
membawa sesuatu untuk Jamie, dan meletakkan sebuah amplop di atas meja dengan tangan gemetar.
Suaranya serak saat berbicara, kata-katanya terdengar amat emosional.
"Tidak ada seorang pun yang punya kebesaran hati sepertimu," ujarnya kepada
Jamie, suaranya tersendat, "meskipun aku selalu mengabaikanmu dan aku tidak bersikap
baik padamu, aku tetap ingin kau tahu bagaimana perasaanku. Aku belum pernah merasa lebih
menyesal mengenai apa pun di dalam hidupku." Eric terdiam sejenak dan mengusap sudut
matanya. "Kaulah orang terbaik yang mungkin pernah kukenal."
Sementara ia sedang berusaha untuk menahan air matanya, Margaret sudah tidak
dapat menguasai dirinya lagi dan mulai terisak, tanpa mampu mengucapkan sepatah kata
pun. Setelah Eric selesai berbicara, Jamie menghapus air mata di pipinya, perlahan-lahan
berdiri, dan tersenyum, membuka kedua lengannya dalam cara yang hanya dapat dinyatakan
sebagai pengungkapkan maaf yang ia berikan. Eric menyambutnya dengan spontan, dan
akhirnya mulai menangis sementara Jamie dengan lembut membelai rambutnya dan menggumamkan
sesuatu padanya. Mereka berdua berpelukan selama beberapa saat sementara Eric terus
terisak sampai ia terlalu lelah untuk menangis.
Kemudian giliran Margaret, dan mereka berdua melakukan hal yang sama.
Ketika Eric dan Margaret akhirnya siap untuk pamit pulang, mereka mengenakan
jaket dan menatap Jamie sekali lagi, seakan ingin mengingat Jamie untuk selamanya. Aku
tidak ragu mereka ingin mengingat Jamie sebagaimana ia tampak pada saat itu. Bagiku Jamie
betul-betul kelihatan cantik, dan aku yakin mereka juga merasakan hal yang sama.
"Bertahanlah," kata Eric saat melangkah ke luar pintu. "Aku akan berdoa untukmu,
demikian pula yang lain." Setelah itu Eric menoleh ke arahku, mengulurkan tangannya, dan
menepuk pundakku, "Kau juga," tambahnya, matanya merah. Sementara aku mengawasi mereka
pergi, aku tahu aku belum pernah merasa sebangga itu pada mereka.
Kemudian, saat kami membuka amplop dari Eric, kami baru tahu apa yang telah
dilakukan oleh sahabatku itu. Tanpa mengatakan apa-apa kepada kami, ia telah berhasil
mengumpulkan lebih dari $400 untuk anak-anak panti asuhan.
Aku terus menantikan mukjizat itu.
Namun tidak kunjung datang.
Di awal bulan Februari obat yang diminum Jamie semakin banyak untuk membantu
mengatasi rasa sakit yang harus ditanggungnya. Dosis yang lebih tinggi itu
membuatnya pusing, dan Jamie terjatuh dua kali saat berjalan menuju kamar mandi, sekali kepalanya
membentur wastafel. Setelah itu ia bersikeras agar para dokter mengurangi jumlah obatnya,
dan dengan enggan mereka terpaksa menuruti keinginannya. Meskipun Jamie kemudian bisa
berjalan dengan normal, sakit yang dideritanya semakin menjadi-jadi, dan kadang-kadang bahkan
mengangkat lengannya saja sudah membuat ia mengernyit kesakitan. Leukemia merupakan
penyakit dalam darah, yang mengalir mengikuti peredaran darah ke seluruh bagian tubuh. Prakits
tidak ada cara untuk melepaskan diri dari penyakit itu selama jantung masih bekerja.
Namun penyakit itu juga melemahkan bagian-bagian tubuh yang lain, terutama otot,
sehingga membuat usaha untuk melakukan hal yang paling sederhana sekalipun
menjadi lebih sulit. Dalam minggu pertama bulan Februari, berat Jamie turun tiga kilogram, dan
tak lama setelah itu berjalan pun menjadi semakin sulit baginya, kecuali hanya untuk
jarak yang pendek. Itu, tentu saja, kalau ia dapat menahan rasa sakitnya, yang pada waktunya juga
semakin sulit baginya. Jamie mulai meminum obat-obatnya lagi, dengan menerima rasa pusing
untuk mengatasi sakitnya. Kami masih sering membaca Alkitab.
Setiap kali aku mengunjungi Jamie, aku akan melihatnya di atas sofa dengan
Alkitab dalam keadaan terbuka, dan aku tahu bahwa pada akhirnya Hegbert harus menggendong
Jamie ke sana kalau kami masih terus ingin membaca bersama. Meskipun Jamie tidak pernah
mengatakan apaapa kepadaku, kami sama-sama tahu apa artinya semua itu.
Waktuku semakin sedikit, dan hatiku terus mengatakan padaku bahwa masih ada
sesuatu yang dapat kulakukan. *** Pada tanggal 14 Februari, Hari Valentine, Jamie memilih sebuah ayat dari
Korintus yang amat berarti baginya. Ia memberitahuku bahwa seandainya ia punya kesempatan, maka
ayat inilah yang ingin dibacakan pada hari pernikahannya. Inilah bunyinya:
Kasih itu sabar; kasih itu murah hati. Ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan
diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri
sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita
karena ketidakadilan, tapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala
sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Jamie merupakan sumber yang paling murni dari deskripsi itu.
Tiga hari kemudian, di saat suhu udara mulai terasa sedikit lebih hangat, aku
menunjukkan sesuatu yang indah sekali padanya. Sesuatu yang kuyakin tidak pernah dilihat
Jamie sebelumnya, sesuatu yang kutahu ingin dilihatnya.
Daerah timur laut Carolina merupakan bagian terindah dan paling istimewa di
wilayah kami, dengan udaranya yang bersuhu sedang dan letak geografisnya yang menakjubkan.
Buktinya bisa dilihat di tepi sungai Bogue, sebuah pulau yang terletak persis di seberang
pantai, dekat tempat kami dibesarkan. Pulau dengan panjang dua puluh empat mil dan lebar hampir satu
mil ini merupakan keajaiban alam. Membujur dari arah timur ke barat, merangkum daerah
pesisir dalam jarak setengah mil dari tepiannya. Mereka yang tinggal di sana bisa menyaksikan
saat-saat menakjubkan terbit dan terbenamnya matahari setiap hari sepanjang tahun,
keduanya melintasi hamparan Samudra Atlantik yang membentang tengah.
Jamie yang berpakaian ekstra tebal berdiri di sebelahku di tepi Dermaga Iron
Steamer saat malam yang sempurna di daerah selatan di kejauhan dan memintanya untuk menunggu.
Aku bisa melihat uap napas kami, napas Jamie lebih cepat daripada napasku. Aku harus
menopang Jamie saat kami berdiri di sana - sepertinya ia lebih ringan daripada daun-daun pohon
yang berjatuhan di musim gugur - namun aku tahu bahwa ini tidak akan sia-sia.
Pada waktunya bulan yang berkilauan mulai tampak seakan terbit dari laut,
memantulkan suatu kilasan cahaya di atas hamparan air yang perlahan-lahan berubah gelap dan
menyemburatkan ribuan nuansa berbeda, yang satu lebih indah daripada sebelumnya.
Pada waktu yang bersamaan, matahari menyentuh garis cakrawala di arah yang
berlawanan, mengubah warna langit menjadi kemerahan, oranye, dan kuning, seakan surga di
atas sana tibatiba membuka seluruh gerbangnya dan mencurahkan semua keindahannya
dalam kemuliaan surgawi. Laut berubah menjadi bernuansa perak keemasan sementara warna-warna
yang terus bergerak itu memantul di atasnya. Airnya yang beriak tampak berkilauan mengikuti
perubahan cahaya. Pemandangan itu megah, nyaris seperti awal dunia. Matahari terus
terbena, membiaskan sinarnya sejauh mata memandang, sebelum akhirnya perlahan-lahan menghilang di
balik alunan ombak. Bulan terus naik perlahan-lahan, menebarkan kemilau dalam berbagai nuansa
kuning, semakin lama semakin pucat, sebelum akhirnya berubah warna seperti warna
bintang-bintang. Jamie tertegun menyaksikan semua ini, lenganku merangkul pinggangnya dengan
erat, napasnya pendek-pendek dan leah. Sewaktu langit akhirnya menjadi gelap dan kilau
bintang pertama mulai bersinar di langit sebelah selatan, aku memeluknya. Dengan lembut
aku mencium kedua belah pipinya dan setelah itu bibirnya.
"Begitulah," ujarku, "tepatnya perasaanku padamu."
WWW.DINOSPREAD.US *** Seminggu kemudian kunjungan Jamie ke rumah sakit menjadi semakin teratur,
meskipun ia bersikeras tidak ingin menginap di sana. "Aku ingin meninggal di rumah," adalah
yang dikatakannya. Mengingat para dokter tidak dapat melakukan apa-apa lagi baginya,
mereka tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya.
Setidaknya untuk sementara waktu.
"Aku sering memikirkan kejadian-kejadian selama beberapa bulan terakhir ini,"
kataku pada Jamie. Kami sedang berada di ruang duduk, berpegangan tangan sambil membaca Alkitab.
Wajahnya tampak semakin kurus, rambutnya mulai kehilangan sinarnya. Namun
matanya, mata yang biru dan lembut itu, masih secantik sebelumnya.
Aku tidak yakin pernah melihat seseorang secantik dirinya.
"Aku juga," sahutnya.
"Kau tahu, sejak hari pertama di kelas Miss Garber bahwa aku akan bermain dalam
drama itu, bukan" Di saat kau menatapku dan tersenyum?"
Jamie mengangguk. "Ya."
"Dan ketika aku mengajakmu ke pesta dansa homecoming itu, kau membuatku berjanji
tidak akan jatuh cinta padamu, tapi kau sudah tahu aku akan jatuh cinta padamu, kan?"
Kilau nakal membayang di matanya. "Ya."
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Ia mengangkat bahunya tanpa menjawab, dan kami duduk berdua di sana selama
beberapa saat sambil mengawasi hujan yang sedang menerpa permukaan kaca jendela.
"Ketika aku mengatakan padamu bahwa aku mendoakanmu," kata Jamie akhirnya,
"kaupikir apa maksudku?" Sakitnya menjadi semakin parah, dan semua berjalan semakin cepat menjelang bulan
Maret. Ia meminum lebih banyak obat untuk mengatasi rasa sakitnya, dan perutnya sering
mual sehingga tidak bisa makan banyak. Tubuhnya semakin lemah, dan tampaknya Jamie harus
segera dirawat di rumah sakit, meskipun sebetulnya ia tidak mau.
Ibu dan ayahkulah yang mengubah semuanya.
Ayahku pulang naik mobil dari Washington. Ia buru-buru berangkat meskipun
Kongres masih bersidang. Rupanya ibuku yang meneleponnya dan mengatakan kepada ayahku
jika ia tidak segera pulang, sebaiknya ia tetap tinggal di Washington saja untuk
selamanya. Setelah ibuku memberitahu ayahku apa yang sedang terjadi, ayahku mengatakan
bahwa Hegbert takkan pernah mau menerima uluran tangannya. Ia menganggap Hegbert
terlalu sakit hati untuk memaafkannya, dan sudah terlambat untuk melakukan sesuatu sekarang.
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ini bukan soal keluargamu, atau bahkan soal Pendeta Sullivan, atau entah apa
yang pernah terjadi dulu," kata ibuku padanya, yang menolak menerima alasannya. "Ini tentang
putra kita, yang kebetulan jatuh cinta pada seorang gadis muda yang membutuhkan bantuan
kita. Dan kau harus menemukan suatu cara untuk menolongnya."
Aku tidak tahu apa yang dikatakan ayahku pada Hegbert atau janji apa yang harus
ia buat atau berapa biayanya untuk semua ini. Aku cuma tahu bahwa Jamie kemudian
dikelilingi oleh berbagai peralatan canggih, memperoleh semua obat yang dibutuhkannya, dan terus
diawasi oleh dua orang perawat sementara seorang dokter memantau kondisinya selama beberapa
kali dalam sehari. Jamie bisa tetap tinggal di rumah.
Malam itu aku menangis dalam pelukan ayahku untuk pertama kalinya dalam hidupku.
"Apakah masih ada yang kausesali?" tanyaku pada Jamie. Ia sedang berada di atas
tempat tidurnya dengan ditutupi selimut, slang di lengannya mengalirkan obat-obatan
yang ia butuhkan ke dalam tubuhnya. Wajahnya pucat, tubuhnya seringan bulu. Jamie nyaris tidak
bisa berjalan, dan kalau memaksa untuk berjalan, ia harus dibantu oleh orang lain sekarang.
"Kita semua memiliki penyesalan, Landon," sahutnya, "namun aku telah menjalani
kehidupan yang sangat indah."
"Bagaimana kau bisa bicara seperti itu?" tanyaku, hampir tidak bisa menahan
kepedihanku. "Dengan semua yang terjadi pada dirimu?"
Ia meremas tanganku, cengkeramannya lemah. Ia tersenyum lembut padaku.
"Ini semua," Jamie mengakui, sambil melihat ke sekelilingnya, "semestinya bisa
lebih baik." Aku tetap tertawa meskipun mataku berkaca-kaca, kemudian langsung merasa
bersalah karena telah tertawa. Seharusnya aku memberikan dukungan padanya, bukan
sebaliknya. Jamie melanjutkan ucapannya. "Tapi selain itu, aku bahagia sekali, Landon. Sungguh. Aku memiliki ayah yang
istimewa, yang mengajarkanku tentang Tuhan. Aku bisa mengenang kembali dan tahu bahwa aku
tidak mungkin bisa melakukan lebih banyak dalam menolong orang lain sejauh yang telah
kulakukan selama ini." Ia terdiam sejenak dan menatapku. "Aku bahkan sudah pernah jatuh
cinta dan orang itu membalas cintaku."
Aku mencium tangannya setelah Jamie mengatakan itu, kemudian mendekatkan
tangannya ke pipiku. "Itu tidak adil," ujarku.
Jamie tidak menjawab. "Kau masih takut?" tanyaku.
"Ya." "Aku juga takut," ujarku.
"Aku tahu. Maafkan aku."
"Apa yang bisa kulakukan?" tanyaku putus asa. "Aku tidak tahu lagi apa yang
seharusnya kulakukan." "Maukah kau membaca untukku?"
Aku mengangguk, meskipun aku tidak yakin apakah aku akan sanggup membaca sampai
ke halaman berikutnya tanpa perasaanku hancur sebelumnya.
Ya Tuhan, katakanlah apa yang harus kulakukan!
"Mom?" ujarku pada ibuku malam itu.
"Ya?" Kami sedang duduk di sofa di dalam ruang rekreasi, api pendiangan menyala di
dekat kami. Sebelumnya pada hari itu, Jamie tertidur selagi aku membaca baginya. Aku tahu ia
butuh istirahat, sehingga aku menyelinap keluar dari kamarnya. Namun sebelum aku
keluar, aku mencium pipinya perlahan-lahan. Tidak terjadi apa-apa sebetulnya, tapi Hegbert
kebetulan masuk saat aku mencium Jamie, dan aku sempat melihat konflik emosi yang
terpancar di matanya. Ia menatapku. Ia tahu aku mencintai putrinya, tapi selain itu aku juga
telah melanggar salah satu peraturan di rumahnya, meskipun itu tidak pernah sampai diucapkan.
Seandainya Jamie tidak dalam keadaan sakit, aku tahu ia takkan pernah mengizinkanku masuk
ke rumahnya lagi. Akhirnya aku berjalan keluar dari kamar.
Sebenarnya aku tidak dapat menyalahkan Hegbert. Melewatkan waktu bersama Jamie
telah membuat perasaan kecewaku menanggapi sikapnya mereda. Kalaupun Jamie mengajarkan
sesuatu kepadaku selama beberapa bulan terakhir ini, maka ia telah menunjukkan
kepadaku bahwa perbuatan - bukan pikiran atau niat - merupakan cara untuk menilai seseorang,
dan aku tahu bahwa Hegbert akan mengizinkanku masuk ke rumahnya pada hari berikutnya.
Aku sedang memikirkan semua itu saat duduk di sofa di sebelah ibuku.
"Apakah menurutmu keberadaan kita dalam kehidupan ini memiliki tujuan?" tanyaku.
Baru pertama kali inilah aku mengajukan pertanyaan seperti itu kepadanya, namun
situasinya memang lain kali ini. "Aku tidak yakin aku mengerti apa maksudmu," sambutnya sambil mengangkat alis.
"Maksudku, dari mana kau bisa tahu apa yang seharusnya kaulakukan?"
"Apakah kau menanyakan padaku soal melewatkan waktu dengan Jamie?"
Aku mengangguk, meskipun aku masih bingung. "Bisa dibilang begitu. Aku tahu aku
melakukan sesuatu yang benar, tapi... sepertinya masih ada sesuatu yang kurang.
Aku melewatkan waktu dengannya, berbicara, dan membaca Alkitab, tapi..."
Aku terdiam sebentar, dan ibuku menyelesaikan isi pikiranku itu untukku.
"Menurutmu seharusnya kau melakukan lebih?"
Aku mengangguk. "Aku tidak yakin masih ada lagi yang dapat kaulakukan, Sayang," katanya dengan
lembut. "Lalu mengapa aku merasa seperti yang kurasakan sekarang?"
Ia menggeser duduknya lebih dekat dengan aku, dan kami mengawasi api di
pendiangan itu bersama-sama. "Kurasa itu karena kau takut dan merasa tidak berdaya, dan meskipun kau
mencobanya, situasinya terus semakin memburuk - untuk kalian berdua. Dan semakin kau mencoba,
kau merasa seperti semakin tidak berdaya."
"Adakah suatu cara untuk menghentikan perasaan ini?"
Ia melingkarkan lengannya di pundakku dan menarikku ke dekatnya. "Tidak,"
sahutnya dengan lembut, "tidak ada."
Keesokan harinya Jamie tidak bisa turun dari tempat tidur. Karena ia sekarang
merasa terlalu lemah untuk berjalan bahkan dengan bantuan sekalipun, kami membaca Alkitab di
dalam kamarnya. Ia tertidur beberapa menit kemudian.
Satu minggu lagi berlalu dan kondisi Jamie terus merosot, tubuhnya semakin
lemah. Terbaring di atas tempat tidurnya, membuat Jamie tampak lebih kecil, nyaris seperti gadis
kecil lagi. "Jamie," ujarku dalam nada memohon, "apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Jamie, Jamie-ku yang manis, mula tidur selama beberapa jam terus-menerus
sekarang, bahkan di saat aku berbicara padanya. Ia tidak bergerak mendengar suaraku, irama
napasnya cepat dan lemah. Aku duduk di samping tempat tidurnya dan mengawasinya selama beberapa waktu,
meresapi perasaan cintaku padanya. Aku menggenggam tangannya di dekat jantungku,
merasakan jarijarinya yang kurus. Sebagian dari diriku ingin menangis saat itu,
namun aku meletakkan tangannya kembali kemudian berpaling ke arah jendela.
Kenapa, tanyaku pada diri sendiri, duniaku tiba-tiba menjadi suram seperti ini"
Kenapa semua ini harus terjadi pada seseorang seperti Jamie" Aku mempertanyakan apakah
masih ada hikmah di balik semua ini" Apakah ini semua, seperti yang akan dikatakan Jamie,
hanya bagian dari rencana Tuhan" Apakah Tuhan menginginkanku jatuh cinta padanya" Atau apakah
ini hanya perbuatanku belaka" Semakin lama Jamie tidur, semakin aku merasakan kehadirannya
di dekatku, namun jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku ini masih juga belum jelas
seperti sebelumnya. Di luar, hujan yang turun sejak pagi sudah mulai mereda. Memang hari ini
mendung, tapi sekarang, menjelang sore, sinar matahari mulai tampak menerobos gumpalan awan.
Dalam kesejukan suasana musim semi aku melihat tanda-tanda awal kehidupan alam. Pohonpohon di luar mulai mengeluarkan tunas, daun-daun sedang menanti saat yang tepat untuk
keluar dan tumbuh menyambut musim panas lagi.
Di atas meja kecil di samping tempat tidurnya aku melihat koleksi benda-benda
yang berarti bagi Jamie. Ada foto ayahnya, menggandeng tangan Jamie yang ketika itu masih
kanak-kanak dan berdiri di luar gedung sekolah pada hari pertamanya di taman kanak-kanak,
ada pula setumpuk kartu yang dikirim oleh anak-anak panti asuhan. Sambil menghela napas,
aku meraih kartu-kartu itu dan membuka kartu paling atas.
Ditulis dengan krayon, bunyinya:
Cepatlah sembuh. Aku kangen.
Kartu itu ditandatangani oleh Lydia, si gadis kecil yang tertidur di pangkuan
Jamie pada Malam Natal. Kartu kedua mengekspresikan pesan yang sama, namun yang sungguhsungguh menarik perhatianku adalah gambar yang dibuat oleh si bocah, Roger. Ia telah
menggambar seekor burung yang terbang tinggi di atas pelangi.
Dengan terharu aku menutup kartu itu. Aku tidak tahan melihat yang lain, dan
saat aku mengembalikan tumpukan itu di tempatnya semula, aku melihat kliping koran,
persis di dekat gelas minum Jamie. Aku meraih potongan kertas itu dan melihat bahwa itu adalah
liputan mengenai pementasan kami, yang diterbitkan dalam koran hari Minggu persis sehari
setelah pementasan kami yang terakhir. Dalam foto di atas teks itu, aku melihat satusatunya foto kami berdua. Semua itu sepertinya sudah lama berlalu. Aku melihat artikel itu lebih dekat.
Saat mengamatinya, aku teringat pada perasaanku ketika melihat dirinya malam itu. Aku
memperhatikan gambarnya, dan mencoba mencari suatu tanda yang membuktikan bahwa
ia sudah merasakan apa yang akan terjadi. Aku tahu bahwa ia sudah merasakannya,
namun ekspresinya pada malam itu sama sekali tidak mengungkapkan apa-apa. Malah yang
kulihat hanyalah luapan rasa bahagianya. Aku lalu menghela napas dan menyisihkan kliping
itu. Alkitab itu masih tergeletak dalam keadaan terbuka di tempat aku meninggalkannya
sebelumnya, dan meskipun Jamie sedang tidur, aku merasa butuh untuk membaca sedikit lagi.
Akhirnya aku sampai di suatu ayat lain. Begini bunyinya:
Aku mengatakan hal itu bukan sebagai perintah, melainkan, dengan menunjukkan
usaha orangorang lain untuk membantu, aku mau menguji keikhlasan kasih kamu.
Kata-kata itu membuatku merasa terharu lagi, dan pada saat air mataku akan
mengalir turun, aku tiba-tiba mengerti artinya dengan jelas.
Tuhan akhirnya memberikan jawaban-Nya kepadaku, dan tiba-tiba aku tahu apa yang
harus kulakukan. Akut idak akan bisa sampai di gereja dengan lebih cepat, bahkan seandainya aku
naik mobil sekalipun. Aku memotong jalan sebisa mungkin, melintasi halaman belakang rumah
seseorang, melompati pagar-pagar, dan sekali menerobos masuk melalui garasi seseorang dan
keluar lagi melalui pintu sampingnya. Semua yang kupelajari mengenai kota itu di saat aku
dibesarkan langsung kupraktekkan. Meskipun aku bukan atlet yang berprestasi, pada hari ini
semangatku menggebu-gebu, didorong oleh apa yang harus kulakukan.
Aku tidak peduli bagaimana penampilanku ketika aku tiba karena kurasa Hegbert
pun tidak peduli. Sewaktu aku akhirnya memasuki gereja, aku memperlambat langkahlangkahku, sambil mencoba mengatur napasku saat menuju ruang belakang, ke ruang kerja Hegbert.
Hegbert mendongakkan kepalanya saat melihatku, dan aku tahu mengapa ia sedang
berada di situ. Ia tidak mengundangku masuk, melainkan hanya mengalihkan pandangannya, ke
arah jendela lagi. Di rumah ia menghadapi penyakit anaknya dengan membersihkan
seluruh rumahnya nyaris seperti orang kerasukan. Tapi di sini, kertas-kertasnya
berserakan di atas seluruh permukaan mejanya, dan buku-bukunya tersebar di seluruh ruangan seakan
tak ada seorang pun yang membereskannya selama berminggu-minggu. Aku tahu di sinilah
tempatnya memikirkan Jamie, tempat yang didatangi Hegbert untuk menangis.
"Pendeta?" sapaku dengan hati-hati.
Ia tidak menjawab, namun aku tetap melangkah masuk.
"Aku ingin sendirian," ujarnya dalam suara parau.
Ia tampak tua dan kalah, seperti orang-orang Israel yang dikisahkan oleh Daud
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam ayatayat Mazmur. Wajahnya pucat, dan rambutnya kelihatan lebih tipis lagi
sejak bulan Desember. Mungkin ia harus berusaha untuk mempertahankan semangatnya di sekitar Jamie,
lebih daripada yang kulakukan, dan tekanan yang dirasakannya selama itu ternyata amat
melelahkannya. Aku langsung menuju meja tulisnya, dan ia melirik ke arahku sebelum berpaling ke
jendela lagi. "Aku mohon," ujarnya kepadaku. Nadanya tidak berdaya, seakan tidak memiliki
kekuatan lagi bahkan untuk menghadapiku.
"Aku ingin berbicara dengan Anda," kataku tegas. "Aku tidak akan memintanya
kecuali kalau ini memang penting sekali."
Hegbert menghela napas, dan aku duduk di kursi yang pernah kududuki sebelumnya,
ketika aku menanyakan padanya apakah ia mengizinkanku mengajak Jamie pergi keluar pada
Malam Tahun Baru. Ia mendengarkan saat aku memberitahu apa yang ada di dalam benakku.
Ketika aku selesai bicara, Hegbert berpaling ke arahku. Aku tidak tahu apa yang
ada di dalam pikirannya, tapi aku merasa bersyukur ia tidak mengatakan tidak. Malah ia
mengusap matanya dengan jemarinya dan berpaling ke arah jendela.
Bahkan Hegbert, merasa sangat terkejut ketika itu hingga tidak bisa bicara.
Sekali lagi aku lari, aku tidak lelah, niatku memberikan kekuatan yang
kubutuhkan untuk terus melaju. Begitu aku sampai di rumah Jamie, aku langsung masuk tanpa mengetuk, dan
si perawat yang sedang berada di dalam kamarnya keluar untuk melihat apa yang terjadi.
Sebelum ia mengatakan sesuatu, aku lebih dulu bicara.
"Apakah Jamie sudah bangun?" tanyaku, antusias dan cemas pada waktu yang
bersamaan. "Sudah," jawab si perawat dalam nada waswas. "Begitu bangun, ia menanyakan di
mana kau berada." Aku meminta maaf atas penampilanku yang tidak keruan dan mengucapkan terima
kasih padanya, setelah itu aku bertanya apakah ia tidak keberatan meninggalkan kami
berdua selama beberapa waktu. Aku melangkah masuk ke kamar Jamie, menutup pintunya sebagian di
belakangku. Ia tampak pucat, pucat sekali, namun senyumannya memberitahuku bahwa
ia masih mau berjuang. "Halo, Landon," tegurnya, suaranya lemah, "terima kasih mau datang kembali."
Aku menarik sebuah kursi dan duduk di dekatnya, sambil menggenggam tangannya.
Melihatnya terbaring di sana membuatku merasa tidak nyaman, membuatku nyaris
ingin menangis. "Aku sudah kemari tadi, tapi kau sedang tidur," ujarku.
"Aku tahu... maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa menahan kantukku lagi."
"Tak apa-apa, sungguh."
Ia mengangkat tangannya sedikit, dan aku menciumnya, kemudian mencodongkan
tubuhku ke depan untuk mencium pipinya.
"Kau mencintaiku?" tanyaku padanya.
Ia tersenyum. "Ya."
"Kau mau membuatku bahagia?" Saat aku menanyakan pertanyaan ini padanya, aku
merasa jantungku mulai berdebar-debar.
"Tentu saja aku mau."
"Kalau begitu, kau mau melakukan sesuatu untukku?"
Ia memalingkan wajahnya, kesedihan membayang di sana. "Aku tidak yakin apakah
aku masih bisa melakukannya," sahut Jamie.
"Tapi kalau kau bisa, kau mau, kan?"
Aku tidak dapat menggambarkan dengan tepat bagaimana persisnya perasaanku ketika
itu. Cinta, amarah, kesedihan, harapan, dan ketakutan berbaur menjadi satu,
diperuncing kecemasan yang sedang kurasakan. Jamie menatapku dengan heran, dan irama napasku menjadi
lebih cepat. Tiba-tiba aku tahu bahwa perasaanku terhadap seseorang tidak pernah sekuat yang
kurasakan saat itu. Saat membalas tatapannya, kenyataan sederhana itu membuatku berharap
untuk kesekian kalinya aku dapat membuat semua kepedihan ini hilang. Seandainya itu
memang mungkin, aku bersedia bertukar tempat dengannya. Aku ingin sekali mengungkapkan
apa yang ada di dalam pikiranku padanya, namun suaranya tiba-tiba menenangkan emosi yang
sedang bergejolak di dalam diriku.
"Ya," kata Jamie akhirnya, suaranya lemah namun tetap penuh dengan janji. "Aku
mau." Akhirnya aku menciumnya lagi setelah dapat mengendalikan diriku kembali,
kemudian aku mendekatkan tanganku ke wajahnya. Aku menikmati kehalusan kulitnya, kelembutan
yang terpancar dari matanya. Bahkan pada saat itu ia begitu sempurna.
Tenggorokanku kembali tercekat, tapi seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tahu
sekarang apa yang harus kulakukan. Mengingat aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak
mungkin dapat menyembuhkannya, yang ingin kulakukan adalah memberikan kepadanya sesuatu
yang memang dari dulu ia inginkan.
Itulah yang dikatakan oleh hatiku selama ini.
Jamie, setahuku saat itu, telah memberikan kepadaku jawaban yang selama ini
kucari, jawaban yang dibutuhkan oleh hatiku. Ia telah memberikan jawabannya padaku saat
kami duduk berdua di luar ruang kerja Mr. Jenkins pada malam kami menanyakan pendapatnya
mengenai pementasan drama itu. Aku tersenyum lembut, dan ia membalas pernyataan sayangku dengan meremas pelan
tanganku, seakan ia percaya pada apa yang akan kulakukan. Dengan perasaan lebih
mantap, aku mencondongkan tubuhku lebih dekat dan menarik napas dalam-dalam. Saat
mengeluarkan napas, aku mengucapkannya seiring dengan aliran napasku.
"Maukah kau menikah denganku?"
BAB 13 ?" SEWAKTU aku berusia 17 tahun, hidupku berubah untuk selamanya.
Saat aku menyusuri jalan-jalan kota Beaufort sekitar empat puluh tahun kemudian,
sambil mengenang kembali tahun itu dalam kehidupanku, aku mengingat segalanya dengan
jelas. SEakan semua itu baru saja terjadi di hadapanku.
Aku ingat Jamie menjawab ya menanggapi pertanyaanku yang emosional dan bagaimana
kami berdua mulai menangis bersama. Aku ingat saat berbicara dengan Hegbert dan
kedua orangtuaku, dan menjelaskan pada mereka apa yang perlu kulakukan. Mereka mengira
aku melakukannya semata-mata hanya untuk Jamie, dan mereka bertiga berusaha
mempengaruhiku agar mau mengubah pikiranku, terutama setelah mereka menyadari bahwa Jamie telah
menerima lamaranku. Mereka tidak menyadari, dan aku terpaksa menjelaskannya kepada
mereka, bahwa aku harus melakukannya demi diriku sendiri.
Aku sedang jatuh cinta pada Jamie, cintaku begitu dalam baginya sehingga aku
tidak peduli apakah ia sedang dalam keadaan sakit. Aku tidak peduli jika kami tidak punya
waktu lama. Semua itu tidak penting bagiku. Saat ini aku hanya ingin melakukan apa menurut
hatiku merupakan hal yang benar untuk dilakukan. Seingatku pada saat itulah Tuhan untuk
pertama kalinya berbicara secara langsung kepadaku, dan aku yakin bahwa aku harus
mematuhi-Nya. Aku tahu ada di antara kalian yang mungkin bertanya-tanya apakah aku
melakukannya karena rasa iba. Mereka yang lebih sinis mungkin bahkan bertanya-tanya apakah
aku melakukannya karena Jamie sebentar lagi akan meninggal sehingga aku tidak perlu
terlalu lama berkomitmen. Jawaban untuk kedua pertanyaan itu adalah tidak. Aku tetap akan
menikahi Jamie Sullivan apa pun yang akan terjadi. Aku tetap akan menikahi Jamie Sullivan
seandainya doaku untuk meminta mukjizat ternyata tiba-tiba dikabulkan. Aku yakin saat aku
meminangnya, dan aku masih yakin hingga hari ini.
Jamie memang lebih daripada sekadar gadis yang kucintai. Tahun itu Jamie
membantuku menjadi diriku yang sekarang. Dengan bimbingannya ia menunjukkan padaku betapa
pentingnya membantu orang lain. Dengan kesabaran dan kelembutannya ia menunjukkan padaku
apa arti hidup ini yang sebenarnya. Sikap gembira dan optimisnya, bahkan di saat-saat
sakitnya, merupakan hal paling menakjubkan yang pernah kusaksikan.
Kami dinikahkan oleh Hegbert di gereja Baptis, ayahku berdiri di sampingku
sebagai pendamping mempelai pria. Itu satu hal lagi yang telah dilakukan Jamie. Di
daerah Selatan berlaku tradisi bahwa ayah mempelai pria yang akan menjadi pendamping dalam
pernikahan, tapi bagiku tradisi itu tidak banyak berarti sebelum Jamie memasuki hidupku.
Jamie telah mempersatukan aku dan ayahku kembali, dan entah bagaimana caranya ia juga telah
berhasil mengobati sebagian luka di antara keluarga kami. Setelah apa yang dilakukan oleh
ayahku untuk aku dan untuk Jamie, aku tahu pada akhirnya bahwa ayahku adalah seseorang yang
selalu dapat kuandalkan. Hubungan aku dan ayahku semakin membaik seiring dengan berlalunya
wkatu sampai ayahku akhirnya meninggal dunia.
Jamie juga mengajarkanku makna pemberian maaf dan kekuatan perubahan dari maaf
itu. Aku menyadari hal ini ketika Eric dan Margaret datang berkunjung ke rumahnya.
Jamie tidak menaruh dendam. Jamie menjalankan hidupnya sesuai dengan ajaran Alkitab.
Jamie memang bukan hanya malaikat yang pernah menyelamatkan Tom Thornton, tapi
ia juga malaikat yang telah menyelamatkan kami semua.
Persis seperti yang pernah ia angankan, gereja penuh sesak. Lebih dari dua ratus
tamu duduk di dalam, dan lebih banyak dari itu menunggu di luar pintu gereja saat kami menikah
pada tanggal 12 Maret 1959. Karena kami menikah terburu-buru, tidak ada cukup waktu untuk
melakukan berbagai persiapan, dan orang-orang berdatangan dari berbagai tempat untuk
menjadikan hari itu seistimewa mungkin, meskipun mereka cuma datang untuk memberikan dukungan pada
kami. Aku melihat semua orang yang kukenal - Miss Garber, Eric, Margaret, Eddie, Sally,
Carey, Angela, bahkan Lew dan neneknya - dan tidak ada mata yang tetap kering di dalam
gereja itu saat musik mulai dilantunkan. Meskipun Jamie amat lemah dan sudah dua minggu
tidak turun dari tempat tidur, ia bersikeras untuk berjalan dari pintu gereja menuju altar
agar ayahnya dapat menyerahkannya kepadaku. "Ini sangat berarti bagiku, Landon," ujarnya ketika
itu. "Ini bagian dari mimpiku, kau ingat?" Meskipun aku merasa khawatir bahwa itu tidak mungkin,
aku hanya dapat mengangguk. Mau tidak mau aku mengagumi keyakinannya.
Aku tahu ia berencana untuk memakai gaun yang ia kenakan di Playhouse pada malam
pementasan itu. Memang hanya gaun putih itulah yang ada dalam waktu sesingkat
itu, meskipun aku tahu bahwa gaun itu akan lebih longgar daripada sebelumnya. Sementara aku
bertanya-tanya bagaimana penampilan Jamie dalam gaun itu, ayahku meletakkan tangannya di atas
pundakku saat kami berdiri di hadapan banyak orang.
"Aku bangga padamu, Nak."
Aku mengangguk. "Aku juga bangga padamu, Dad."
Baru pertama kali itulah aku mengucapkan kata-kata itu padanya.
Ibuku duduk di bangku baris depan, mengusap matanya dengan sapu tangan ketika
lagu Wedding March mulai dilantunkan. Pintu-pintu dibuka dan aku melihat Jamie, duduk
di kursi rodanya, seorang perawat di sampingnya. Dengan seluruh kekuatan yang masih
dimilikinya, Jamie berdiri dengan goyah sementara Hegbert menyangga tubuhnya. Kemudian Jamie
dan Hegbert perlahan-lahan melangkah menuju altar, sementara semua orang di dalam
gereja itu duduk diam dengan perasaan takjub. Di tengah jalan, Jamie tiba-tiba tampak
kelelahan, dan mereka berhenti sebentar sementara ia mengatur napasnya. Matanya terpejam, dan
untuk sesaat aku mengira Jamie tidak dapat melanjutkan langkahnya. Aku tahu tidak lebih dari
sepuluh sampai dua belas detik berlalu, tapi rasanya jauh lebih lama, dan akhirnya Jamie
mengangguk. Setelah itu, Jamie dan Hegbert mulai bergerak lagi, dan aku merasa hatiku
dipenuhi rasa bangga. Aku ingat yang terlintas dalam benakku saat itu adalah langkah paling sulit yang
pernah dilakukan oleh seseorang.
Langkah yang akan kukenang selalu.
A Walk To Remember Karya Nicholas Sparks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Si perawat telah mendorong kursi rodanya ke depan sementara Jamie dan ayahnya
melangkah ke arahku. Ketika Jamie akhirnya sampai di sampingku, terdengar suara
orang-orang menghela napas lega dan semua secara spontan mulai bertepuk tangan. Si perawat
mendorong kursi rodanya ke tempat semestinya, dan Jamie duduk kembali, kehabisan tenaga.
Sambil tersenyum aku berlutut agar aku bisa sejajar dengannya. Ayahku kemudian
melakukan hal yang sama. Hegbert, setelah mencium pipi Jamie, meraih Alkitab untuk memulai upacara itu.
Siap untuk melakukan tugasnya sekarang, ia tampak seperti telah menanggalkan perannya
sebagai ayah Jamie untuk menjadi orang lain, di mana ia dapat lebih menguasai emosinya. Namun
aku bisa melihat bahwa Hegbert berjuang keras saat berdiri di hadapan kami. Ia mengenakan
kaca matanya dan membuka Alkitab, kemudian ia menatap aku dan Jamie. Ternyata Hegbert
menjadi jauh lebih tinggi daripada kami, dan aku bisa melihat bahwa ia tidak menyangka
bahwa kami berada dalam posisi serendah itu. Untuk sesaat ia berdiri di hadapan kami,
nyaris kehabisan akal, kemudian tiba-tiba ia memutuskan untuk ikut berlutut. Jamie tersenyum dan meraih
tangan ayahnya, setelah itu ia meraih tanganku, untuk dipersatukan.
Hegbert memulai upacara itu secara tradisional, setelah itu ia membaca ayat di
dalam Alkitab yang pernah ditunjukkan Jamie kepadaku. Mengetahui bahwa Jamie sangat lemah, aku
mengira Hegbert akan menyuruh kami untuk langsung mengucapkan janji pernikahan, namun
sekali lagi Hegbert memberikan kejutan padaku. Ia menatapku dan Jamie, lalu melayangkan
pandangannya ke arah jemaatnya, lalu kembali kepada kami, seakan sedang berusaha mencari
kata-kata yang tepat. Ia menelan ludahnya, dan volume suaranya naik sehingga semua bisa mendengarnya.
Inilah yang ia katakan: "Sebagai seorang ayah, aku diharapkan untuk menyerahkan putriku pada saat
pernikahan, namun aku tidak yakin aku bisa melakukannya."
Semua terdiam, dan Hegbert mengangguk ke arahku, seakan memohon agar aku
bersabar. Jamie meremas tanganku. "Aku tidak bisa menyerahkan Jamie sama seperti aku tidak bisa menyerahkan
hatiku. Tapi yang dapat kulakukan adalah membiarkan seseorang ikut menikmati kebahagiaan yang
selalu diberikan Jamie kepadaku. Semoga berkat Tuhan bersama kalian berdua."
Baru pada saat itulah Hegbert menyisihkan Alkitab-nya. Ia mengulurkan tangannya
ke arahku, dan aku menyambutnya, untuk melengkapi lingkaran itu.
Setelah ia membimbing kami untuk mengucapkan janji pernikahan. Ayahku
menyerahkan cincin yang kupilih dengan bantuan ibuku, dan Jamie juga memberikan cincin
kepadaku. Kami menyelipkan cincin-cincin itu di jari-jari kami. Hegbert mengawasi saat kami
melakukannya, dan setelah kami selesai, ia menyatakan kami sebagai pasangan suami-istri. Aku
mencium Jamie dengan lembut sementara ibuku mulai menangis, kemudian aku menggenggam tangan
Jamie. Di hadapan Tuhan dan semua orang aku menjanjikan cinta dan kesetiaanku padanya,
dalam sakit dan dalam keadaan sehat. Aku belum pernah merasa begitu yakin dan benar mengenai
apa pun kecuali pada saat itu. Sepanjang ingatanku, saat itu merupakan saat yang terindah dalam hidupku.
Kini sudah empat puluh tahun berlalu, dan aku masih bisa mengingat semua tentang
hari itu. Aku mungkin lebih tua dan lebih bijaksana, aku mungkin telah menjalani kehidupan
yang lain sejak saat itu, namun aku tahu bila waktuku akhirnya tiba, kenangan akan hari
itu merupakan bayangan terakhir yang akan terlintas dalam ingatanku. Aku masih mencintainya,
dan aku tidak pernah melepaskan cincinku. Selama sekian tahu aku tidak pernah punya keinginan
untuk melakukannya. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara musim semi yang segar. Meskipun
kota Beaufort sudah berubah dan aku sudah berubah, udaranya masih tetap sama. Masih
udara yang sama dari masa kecilku, masih udara yang sama seperti ketika aku berusia tujuh
belas tahun, dan ketika aku akhirnya mengembuskan napas, aku berusia lima puluh tujuh tahun
kembali. Tapi tidak apa-apa. Aku tersenyum, sambil menatap langit, karena masih ada satu hal
yang belum kuberitahukan. Sekarang aku percaya bahwa mukjizat itu bisa saja terjadi.
WWW.DINOSPREAD.US Medali Wasiat 16 Senopati Pamungkas I Karya Arswendo Atmowiloto Pendekar Patung Emas 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama