Ceritasilat Novel Online

Because You 5

Because You Are Mine Karya Beth Kery Bagian 5


menyedihkan. Aku tidak bisa menahan untuk berpikir tentang
ketidaknyamanan yang kau rasakan," Kata Ian sambil ia meletakkan
botol itu. Ian mencelupkan ujung jarinya ke dalam krim putih dan
bertemu tatapannya. "Meskipun untuk ini - ketika kau layak
menerima hukuman keras dan sepantasnya."
Francesca menelan ludah dengan keras. "Aku benar-benar minta
maaf, Ian," Kata Francesca, bukan karena tongkat hitam yang
mengintimidasi yang terdapat meja, dan bukan karena plug hitam
aneh yang ia lihat. Ian mengerutkan dahi sedikit dan melangkah kearahnya. Francesca
terengah dengan keras ketika Ian memasukkan jari diantara labianya,
mengoleskan krim di klitnya dengan cepat yang membuatnya
merengek. "Aku terlalu memanjakanmu," Kata Ian, menarik tangannya,
membuat Francesca merasa terbakar.
"Aku akan sulit percaya dalam beberapa detik ketika pantatku
terbakar," Gumam Francesca.
Tatapan Ian berpindah cepat ke wajahnya. Mata Francesca melebar
saat ia melihat senyum meyakinkannya. Rasa panas menyerbu
diantara pahanya. Francesca menatap Ian, antisipasinya meningkat, ketika Ian kembali
ke meja dan melepas jaketnya, mengagumi otot lentur di bawah
kemejanya. Ian menggulung lengan bajunya. Francesca melihat
sekilas lengan bawah yang kuat dan jam tangan emasnya. Gairah dan
kegugup berbuih di perutnya pada pemandangan itu.
Ian sangat serius. Ketika Ian berbalik, Francesca langsung mencoba melihat apa yang
ada di tangannya. "Ingin tahu?" Gumam Ian.
Francesca mengangguk. "Karena aku akan menutup matamu, aku akan mengatakan padamu
apa yang akan kulakukan," Kata Ian pelan. Ian memegang borgol
yang sudah akrab. "Aku akan memborgol pergelangan tanganmu,
menutup matamu, dan menampar pantatmu di atas lututku. Segera
setelah itu pantatmu akan jadi menyenangkan dan panas," Ian
memegang plug karet hitam dengan ujung melingkar seperti tangkai
dot, sama seperti sebotol gel bening, "Aku akan melumasi butt plug
ini dan mempersiapkan pantatmu untuk kejantananku."
Jantung Francesca membeku selama beberapa detik.
"Kau akan melakukan apa?"
"Kau sudah dengarnya," Kata Ian sambil menyiapkan pelumas dan
butt plug di ranjang. Ian mengangguk ke salah satu pergelangan
tangannya. "Kedepan," Kata Ian, dan Francesca menyatukan
tangannya sebelum ia mengerang, mengikuti perintah singkatnya
tanpa berpikir, pikirannya terhenti. "Tentu saja kau tahu pria suka
melakukan itu," Kata Ian, menyadari keraguannya.
"Meskipun wanita tidak suka?"
"Beberapa wanita suka. Sebagian besar."
Ia berpikir tentang ereksi Ian yang besar dan membuat keputusannya
saat itu juga. Ini akan menjadi hukuman untuk memasukkan plugnya
ke dalam pantatnya, sesederhana itu, tak peduli perangsang klit yang
akan mulai membuatnya merasa merinding dan terbakar oleh
kenikmatan. Ian pergi ke meja dan kembali dengan membawa
secarik sutra hitam panjang untuk penutup mata. Francesca
mengerutkan dahi padanya untuk memastikan ketika Ian
mengangkat tangannya untuk menutup matanya.
Ketika Ian memasang kain itu dan matanya telah tertutup, Ian
membawanya ke sofa. Francesca pikir ia mendengar suara tubuh
besar kokohnya jatuh ke alas duduk. Ian menuntunnya ke atas
pangkuannya. Ia turun dengan kikuk, pergelangan tangannya yang
terborgol menyebabkan sikunya menekan paha Ian yang keras.
"Maaf," Gumam Francesca.
"Tidak apa-apa. Ingat posisi yang aku ajarkan padamu?" Gumam Ian
dari suatu tempat di atas tubuhnya.
Francesca mengangguk dan menyelipkan dadanya pada paha
terluarnya hingga lengkung terendahnya menekan pada otot keras,
tangannya yang terborgol mengulur di atas kepalanya, dan pantat
telanjangnya melengkung pada kakinya yang lain. Organnya
mengepal ketika ia benar-benar merasa guratan dari kejantanannya
pada tulang rusuk dan perutnya. Rasa panik dan kebahagiaan meluap
dari dadanya ketika menyerap sepenuhnya ukuran Ian dan merasa
denyut kehangatan melaui celananya.
"Ian, kau tidak akan pernah bisa menaruhnya di dalam-"
Ian membuka pantatnya dengan telapak tangannya, dan ia melompat
di pangkuannya. "Aku melakukannya, manis," ia mendengar Ian berkata. "Dan aku
suka setiap detik dari itu semua. Sekarang tahan pantatmu agar tetap
tenang." Francesca menggigit bibirnya agar tidak mengerang ketika Ian mulai
menampar pantatnya, dan sesekali pada pahanya, dengan cepat,
pukulan yang menyengat. Klitnya terjepit dalam gairah. Ia
memutuskan ia lebih suka tamparan di atas lutut Ian dari pada
pukulan tongkat. Ia suka sentuhan Ian secara langsung, dan
bagaimana tangannya memerah pada pantatnya yang nyeri dan
bagaimana kejantanannya keluar dari tubuhnya ketika ia
mendaratkan tamparan kuat pada lengkung terbawah pantatnya.
Semua perhatiannya terfokus pada merasakan gairahnya menekan
pada tubuhnya dan menantikan pukulan berikutnya.
Francesca menyukai bagaimana Ian berhenti menghukumnya dan
membelai pantatnya yang terbakar dengan tangannya yang besar,
seolah untuk menenangkan tamparannya. Francesca mengerang
ketika ia tiba-tiba menekan semua pantatnya erat dan melenturkan
pinggangnya, memutar tubuhnya pada kejantanannya.
"Kenapa kau menyiksaku, manis?" Francesca mendengar suara
seraknya. "Aku juga merasakan hal yang sama denganmu," gumamnya
bingung, wajahnya menekan pada ranjang, meredam suaranya. Ian
tetap menekannya ada tubuh keras, dan bergairahnya, dan klitnya
menyukai tekanan itu. Ian menggeram dan mengendurkan pinggangnya.
"Kau terus menerus membuatku jengkel disisiku," Kata Ian,
terdengar suram. "Aku minta maaf," guman Francesca, kehilangan tekanan dari
kejantanannya, dan tangan Ian berada di pantatnya. Apa yang akan ia
lakukan" ia bertanya, memutar dagunya, mencoba untuk mendengar
sesuatu yang akan menjawab pertanyaannya. Jeritan pecah dari
tenggorokannya ketika Ian tanpa berbelit melebarkan pipi pantatnya
dengan tangan besarnya dan membuatnya terbuka. Ototnya tegang
dalam gelisah ketika ia merasakan kesejukan, tekanan keras pada
anusnya. "Menurutku kau tidak menyesal," ia mendengar Ian berkata dari
belakangnya. Tekanan meningkat, dan ujung dari plug itu menyelip
ke dalam pantatnya. "Kupikir kau suka menyiksaku seperti halnya
aku suka menghukummu."
"Ian," ia mengerang tak terkendali ketika Ian menekan plug lebih
jauh kedalam dirinya, dan kemudian mulai meluncurkan pipa karet
itu maju mundur beberapa inci, kedepan dan kebelakang,
menyetubuhi pantatnya memakai gagang pada ujungnya, pelumas itu
membuat gerakan gemulai meskipun karena adanya tekanan.
"Ya?" Tanya Ian, suaranya terdengar kasar.
Mulut Francesca terganga, pipi panasnya menekan pada kain beludru
di sofa. "Rasanya begitu...aneh," ia mengatur suara putus putusnya. Tidak
cukup kata untuk menggambarkan betapa rasa - gelisah
memancingnya untuk berbaring di pangkuan Ian di bawah
kekuasaannya, rasa malu untuk memberikannya kendali di atas
dirinya, bagian terlarang dari tubuhnya, membangkitkan gairah
ujung sarafnya yang terjentik oleh perangsang, rasa terbakar pada
klitnya meningkat dari cara yang belum pernah ia alami
sebelumnya... ...Luar biasa menggetarkan rasa dari tingkat tegangan yang
melompat di otot Ian saat ia menyetubuhi pantatnya dengan plug itu.
Ian makin dalam membenamkan plug itu, membuatnya melengking
karena terkejut. "Apakah itu menyakitkan?" Tanya Ian, mempertahankan tekanan
dengan jarinya untuk menjaga plug itu agar tetap berada di dalam. Ia
menggelengkan kepalanya di atas permukaan sofa, terlalu kewalahan
akan sensasinya hungga tak mampu bicara. Krim klit itu berkerja
sepenuhnya. Francesca menggeleyar dan membara. Seolah Ian bisa
merasakan ini, Ian meraih ke bawah tubuhnya dan menyibak
labianya, menggosok bagian tegang dari dagingnya. Francesca
gemetar di pangkuannya. "Kau mulai melihat kenapa para wanita mungkin menyukai ini," Ian
menarik plug ke luar darinya dan menyelipkannya lagi ke dalam
pantatnya, "sama halnya dengan pria?"
Ia mengerang tak terkendali. Pernahkan dia. Seluruh saraf di tulang
kelangkanya terbangun ketika Ian terus memasukkan plug itu masuk
keluar darinya sementara ia menggosok klitnya yang licin. Jika ia
terus seperti ini, Francesca akan segera gemetar oleh orgasme.
Sayang sekali, itu bukanlah rencana Ian. Ian mengangkat tangannya,
dan plug menyelip keluar dari pantatnya, membuatnya mengerang
karena berhenti mendadak. Francesca merasa tangan Ian bergerak
pada borgol itu. Ia membuka gesper dan kemudian melepas penutup
mata dari kepalanya. Francesca mengerjap, meskipun penerangan
lembut dari cahaya lilin bening terasa terang setelah kegelapan dari
penutup mata. Ian mengambil tangannya.
"Berdirilah. Aku akan membantumu," Kata Ian.
Francesca mengerti panduan tangannya ketika ia mencoba untuk
melakukan apa yang Ian perintahkan, merasa tersesat dari cahaya
dan sensasi mendadak dari kenikmatan. Francesca berdiri di depan
Ian, merasa memerah oleh gairah dan bingung dan tidak stabil dalam
sepatu hak tingginya. Ian menatapnya, matanya menyala oleh gairah
dan kehangatan, kaki panjangnya terbuka sedikit, gairahnya terlihat
jelas. "Kau menyukainya, benar, kan?" Tanya Ian, matanya menyipit
mengamatinya. "Tidak," bisik Francesca, sadar pipinya memanas, kulitnya memerah,
dan puting mengetat mengkhianati kebohongannya.
Ian hanya tersenyum dan berdiri. Francesca menatapnya, tidak bisa
menyembunyikan gairahnya, ketika Ian dengan lembut menyapu
rambutnya yang terlepas dari wajahnya. Francesca terengah lembut
oleh rasa dari tangan Ian pada bagian kecil dari punggungnya,
membelainya, dan kain celananya dan kemeja menyapu pada kulit
sensitifnya. "Tetap memberontak meski sudah kalah" Kau tidak pernah berhenti
membuatku kagum, manis," Gumam Ian. "Ikut aku," Kata Ian,
meraih tangannya. Francesca berjalan di sampingnya, berhenti tibatiba ketika ia
melihat bayangannya di cermin.
Stoking hitam tipis sebatas paha membuat kulitnya terlihat sangat
pucat karena warnanya yang kontras, sama seperti rambut merah
keemasan diantara pahanya. Rambutnya jatuh berantakan di
sepanjang pinggangnya. Putingnya menjadi pink gelap dan mengetat
oleh gairah, bulatan pucat dari payudaranya naik turun saat ia
terengah. Ia menatap, tersesat oleh gambaran dirinya yang berubah oleh hasrat.
"Kau melihatnya?" Tanya Ian, membungkuk di dekatnya, napasnya
hangat di telinganya menyebabkan lonjakan gairah melandanya.
"Kau melihatnya bukan?" Gumam Ian sambil ia melebarkan
tangannya di perutnya dengan sikap posesif. "Kau lihat betapa
cantiknya dirimu?" Bibir merahnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar.
"Katakan," bisiknya kasar. "Katakan kau melihat apa yang aku lihat
saat aku melihatmu."
"Aku melihatnya," jawab Francesca, nadanya limbung...sedikit
takjub, seolah ia benar-benar berpikir, selama beberapa detik, kalau
Ian memiliki cermin ajaib.
"Ya. Dan itu bukan kekuatan yang sedang kau mainkan, bukan?"
Itu menyadarkan Francesca beberapa saat kalau senyum Ian tidak
berasal dari rasa puas atau kesombongan. Tidak - Ia terlihat puas
karena melihat Francesca di cermin...karena pengakuannya. Kenapa
Ian peduli kalau ia mengganggap dirinya cantik atau tidak"
Ian membawa Francesca menuju alat yang terlihat aneh yang
tergantung di langit-langit dengan tali kekang yang rumit dan tali,
jantungnya berdebar cepat dengan tidak nyaman. Ian menarik
kebawah pada tiang utama berbentuk horizontal, meregangkan pegas
pada sebuah alat sepanjang tiga empat inci dengan bantalan lebar tali
kulit jatuh horizontal kira-kira empat kaki dari lantai. Tunggu
sebentar...simpul kulit itu bisa digunakan untuk menggantung
seseorang di udara. Jika bantalan bundar kulit itu digunakan sebagai
sandaran kepala, dan tali kekang digunakan untuk daerah dada, dan
salah satu yang terbawah digunakan untuk pinggul, kemudian tali
lain digunakan untuk mengikat tangan dan pergelangan kaki
seseorang. Mereka benar-benar akan terkekang...tak berdaya, Francesca
menyadarinya. Ia melihat Ian memegang ayunan. Cahaya dari lilin
bersinar di mata birunya. Ekspresi ragunya hilang ketika tekanan
berat terasa di dadanya. Oh tidak. Ia memang sudah benar-benar tak berdaya ketika berhadapan dengan
Ian Noble...dan tidak ada hubungannya dengan ayunan pengekang
itu. Ian mengulurkan tangannya, memberi isyarat padanya.
Otot pantatnya menegang; cairan hangat mengalir keluar dari organ
kewanitaannya. Francesca mengangkat tangannya dan Ian meraihnya, menariknya
kearah Ian. "Waktunya kau belajar jika kau bermain dengan api, kau pada
akhirnya akan memohon," Kata Ian.
Tangan Ian begitu lembut, pegangannya kokoh ketika ia mengangkat
Francesca dari lantai dan menyelipkan tubuhnya, perut ke bawah,
melalui simpul ayunan. Ian mengatur tali lembut dibawah
pinggangnya, di bawah dadanya, dan di bawah dahinya. Francesca
mengeluh sambil gemetar ketika harnessnya turun menerima berat
badannya. "Shhhh," Ian menenangkan dari atasnya, membelai punggungnya.
"Ayunan terhubung dengan tiang baja pada langit-langit. Ini sangat
aman. Tenanglah." Francesca menghembuskan napas setelah beberapa saat, sadar jika ia
sekarang sudah tenang, memang benar, ia merasa siap. Merasa asing,
bergairah dan sedikit takut, tapi merasa aman karena tahu Ian akan
membuatnya tetap aman. Tangan Ian meninggalkan punggungnya.
Ian menyentuh betisnya, dan kemudian pergelangan kakinya. Ia
mengamati kesamping tapi tidak bisa melihat apa pun selain rambut
tebalnya yang jatuh. Ia merasa Ian menyelipkan satu kaki pada
simpul nilon, dan kemudian yang lain, dan mempererat tali itu di
pergelangan kakinya. Ian mengikat kakinya pada bagian terendah
dari tubuhnya, membuat kakinya jatuh dibawah pinggangnya, seolah
ia membungkuk, tapi di udara. Waktu Ian mengunci kakinya, Ian
datang ke depannya dan menahan pergelangan tangannya dalam


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garakan yang sama, membiarkan tangannya jatuh dalam posisi
setengah-lurus di bawah dadanya.
Kecepatannya, pengetahuannya menggunakan ayunan dan tubuhnya
membiarkannya tahu Ian punya banyak pengalaman akan hal itu.
"Biar aku melakukan sesuatu untuk rambutmu."
Selama beberapa saat yang menggelisahkan, Francesca tidak bisa
melihat dia. Kemudian tangan Ian yang terampil menyapu rambut
panjangnya menjauh dari wajahnya, mengangkat gumpalan
rambutnya. Francesca mengangkat dagunya sedikit dan bisa melihat
ia di kaca ketika ia memutar tangannya, menggulung rambutnya dan
akhirnya mengikatnya di kepalanya dengan jepit besar.
Francesca tidak bisa mengalihkan matanya dari tubuhkuatnya di
kaca; tidak bisa mengalihkan matanya dari dirinya sendiri, telanjang
dan terikat di udara, siap untuk segalanya dan semua yang Ian ingin
lakukan padanya. Mungkin Ian sadar kegelisahannya mengamati mereka di cermin,
karena ia menyapukan jari panjangnya di bawah dagunya dan
bertemu dengan tatapannya di cermin.
"Jangan takut," Kata Ian.
Francesca mengerjap, melihat sesuatu di matanya yang memberinya
keberanian. Nafsu. Kelembutan. Tujuan jelas untuk memiliki, tapi
bukan sesuatu yang harus ia takuti atau benci. Francesca
mengangguk, merasa sesak napas.
Ian berjalan kearah meja, dan ketika ia kembali, ia membawa
tongkat. Klitnya tercubit oleh gairah pada pemandangan tongkat
yang digenggam oleh Ian. Tongkat itu tiba-tiba menghantamnya
pada pantat rentannya, menggantung tinggi pinggul nyadi udara.
Francesca menahan napasnya ketika Ian datang mendekat dan
mengangkat tongkat, menyapukan pada bulu lembut yang indah di
atas pantatnya yang masih terasa kesemutan.
Ian menggenggam tali di atas tali kekang yang menahan
pinggangnya, menjaganya tetap aman. Francesca melihat dengan
mata terbuka lebar di cermin ketika Ian mengayunkan tongkat
beberapa inci di udara dan dan mengayunkannya. Ketika tongkat itu
mendarat, sisi kulit mendarat di pantatnya.
"Aku akan memberimu sepuluh pukulan," Kata Ian keras,
menempatkan tongkat pada pantatnya. Pantatnya memanas oleh
sensasi...pada pemandangan kulit hitam menekan pada daging di
pantat merah mudanya. Ian mengangkat tongkat dan mengayunkannya. Francesca terengah
oleh pengaruhnya, tubuhnya terayun sedikit ke depan pada
genggaman Ian. "Ow," keluar dari tenggorokannya ketika Ian
memukulnya lagi, menyengat kegelisahannya. Ian menjaga pukulan
itu tetap menekan pada pipi pantatnya.
"Kubilang kau akan aman, dan kau akan selalu begitu." Di cermin,
Francesca melihat tatapan Ian pada pantatnya ketika ia melingkari
pukulan itu, memijatnya. "Tapi tidak berarti tidak akan terjadi
ketidaknyamanan. Ini adalah hukuman, itu saja."
Francesca merintih ketika Ian mendaratkan pukulan lain pada area
terendah pantatnya. Ian menggeram, rendah dan kasar. Dan
menggunakan tongkat untuk memijat kulit yang perih sekali lagi.
"Aku suka membuat pantatmu merah," Gumam Ian dan mendaratkan
lagi sebuah pukulan. Pukulan ini cukup kuat untuk membuat pantat
Francesca tersentak kedepan beberapa inci dalam genggaman Ian.
"Kau yang menghitung, Francesca," Kata Ian. "Aku tidak bisa
berkonsentrasi." Francesca menatap pada wajah kaku Ian ketika ia berkata seperti itu,
detak jantung berubah seperti lokomotif, krim klit itu terus bereaksi
diantara kedua pahanya. Ian tidak bisa berkonsentrasi" Ian
mengayunkan lengannya kebelakang, dan mata Francesca terbelalak
dalam ketakutan. Plakkk. "Lima," Francesca menjerit dengan nada tinggi. Ia tidak bisa
mengalihkan tatapannya dari Ian di cermin: bagaimana kemejanya
meregang di sepanjang dada lebarnya ketika ia mengayunkan
lengannya kebelakang, fokus kerasnya pada Francesca ketika ia
mendaratkan pukulan, kekuatan penuh di genggamannya pada
pukulan saat ia menjaga pantat Francesca pada tempatnya untuk
hukumannya. Ian mendaratkan beberapa pukulan lagi, dan kemudian memaki di
bawah napasnya, Ian melepaskan genggaman mematikannya pada
tali kekang di pinggang. Francesca bergoyang kedepan dan belakang
enam inci pada setiap arah. Ia sulit menyadari, ia terlalu sibuk
melihat Ian di cermin. Ian dengan cepat memasukkan simpul tali
pada ujung tongkat disekeliling pergelangan tanganya dan mulai
membuka celananya. Kain itu tertinggal di pinggangnya, tapi ia
menarik kejantanannya di atas ban pinggang dari celana boxer
putihnya. Ian membelaikan batangnya yang telanjang, panjang,
besar. "Ian," Francesca mengerang, kehangatan menyerbu di antara
pahanya oleh pemandangan dari tubuh telanjangnya yang perkasa.
Ian memegang tongkat pergelangan tangannya dan
menggenggamnya rapat lagi.
"Ya?" Tanya Ian, suaranya parau karena gairah.
"Kau menyiksaku," Kata Francesca tak terkendali, tidak yakin apa
yang ia maksudkan. Hanya ada begitu banyak tekanan terpendam di
dalam dirinya. Rasanya seolah ia kepanasan dan terbakar.
Apakah ini karena digantung, posisi tak berdaya hingga membuatnya
begitu bergairah" "Ini tidak ada apa-apanya di banding apa yang kau lakukan padaku,"
Kata Ian muram ketika ia menguatkan pegangannya pada pinggang
tali kekang dan mengayunkan tongkat.
"Delapan," Francesca melengking. Pantatnya terasa terbakar
sekarang, namun semua perhatiannya tertuju pada sensasi ereksi Ian
yang berayun di udara saat ia mendaratkan pukulan, kepala
kejantanan yang selembut beludru memukul pinggangnya.
Ketika "sepuluh" keluar dari tenggorokannya, miliknya sudah basah
kuyup diantara pahanya, ia terengah dan pantatnya terasa terbakar.
Ian menggerakkan bulu pada pipi pantatnya tebakar dan melepaskan
genggamannya pada tali kekang. Francesca menahan rengekannya
ketika Ian meraih salah satu pantatnya yang terbakar dan memijatnya
dengan rakus dengan telapak tangannya.
"Pantatmu jadi lebih baik, manis. Begitu panas. Kau akan
melelehkan kejantananku," Kata Ian, senyum kering muncul di atas
bibirnya. "Apakah akan menyakitkan?" Kata Francesca gemetar.
Ian behenti pada belaian penuh nafsunya, tetap memegang
pantatnya, dan bertemu dengan tatapannya di cermin.
"Sakit sedikit pada awalnya, mungkin. Tetapi niatku adalah
menghukummu karena sikap impulsifmu, bukan karena ingin
menyiksamu." "Dan...dan memasukkan kejantananmu...apakah itu bagian dari
hukuman?" Ian melepaskan pantatnya dan berbalik, berjalan menuju meja.
Francesca mencoba melihat apa yang Ian lakukan di sana lewat
cermin, namun tubuh Ian, dan tubuhnya, menghalangi sebagian
pemandangannya. Ketika Ian berbalik, ia membawa plug hitam
berkilauan yang terbuat dari karet. Matanya terbelalak. Benda itu
lebih besar dari yang pernah ia taruh di dalam tubuhnya sebelumnya.
Diantara tatapan mengintimidasi mainan seks dan ereksi Ian yang
berdiri tegak dari tubuhnya, Francesca tidak tahu di mana harus
menjatuhkan tatapan keraguannya.
"Aku tidak menganggap anal seks berarti sesuatu kecuali
kenikmatan," katanya sambil menghampirinya. "Apakah kau
menganggapnya sebagai hukuman atau saling tukar kenikmatan
masih harus ditentukan."
Setelah berkata seperti itu, Ian mengangkat lengan kirinya disekitar
tali pengikat dari harness di pinggangnya, menahannya agar tetap
diam. Ian menggunakan sebelah tangannya untuk membuka pipi
pantatnya dan menyentuhkan ujung dari plug ke anusnya
"Raih dengan tanganmu dan gosok klitmu," pintanya dengan tegang.
Francesca mengayunkan tubuhnya ke arah panggulnya,
membengkokkan sikunya. Klitnya menempel pada tali lembut itu. Ia
menurunkan jarinya kebawah tali kekang dan merabanya diantara
labianya. Ia sudah basah kuyup. Sesaat setelah ia menggosok klitnya
penuh semangat, kenikmatan membanjirinya.
Kemudian...ada rasa sakit namun dengan cepat menghilang.
Ia terengah, menyadari jika Ian mendorong kepala plug yang besar
itu ke dalam pantatnya. Ia menggosok lebih kuat. Tekanan yang
terbangun tak tertahankan. Tubuhnya telah terbakar. Oh...Ia akan
segera orgasme... Ian meraih pergelangan tangannya dan menarik kebawah lengannya.
Francesca mengeluh dalam protes tertahan.
Ia melihat ekspresi geli Ian di cermin.
"Kupikir kita punya jawaban pasti apakah ini akan menjadi hukuman
atau kenikmatan bagimu, bukan?"
Francesca menggigit bibirnya, tatapannya tertuju dengan gugup pada
pantatnya di cermin. Ian telah mendorong seluruh bagian plug itu
saat ia tersesat oleh kenikmatan. Bagian rata dari mainan seks itu
menekan ketat pada pipi pantatnya.
Ia nyaris meledak saat ia bergantung tak berdaya di udara, sarafnya
yang ketat terbakar dan organnya bergetar. Francesca membeku pada
apa yang ia lihat di cermin. Ian telanjang. Ia melepas sepatu dan
kaus kakinya. Ia melucuti kemejanya. Francesca ternganga pada
pemandangan dari pinggang tak berlemaknya, perut yang berlekuk,
serta dadanya yang bidang dan kuat. Napasnya terbakar di paruparunya penuh
antisipasi. Ya. Ian menarik turun celana panjang dan celana dalamnya menuruni
kaki panjangnya. Francesca akhirnya melihat tubuh telanjangnya.
Francesca menutup matanya. Ian begitu indah, merupakan simbol
kekuatan pria, menyakitkan baginya hanya bisa sedikit melihat Ian,
dan juga sangat bergairah. Jeritan keluar dari bibirnya ketika ia tibatiba
berputar. Matanya melebar, kamar membesar di belakangnya. Ia
terhenti dan mengangkat ujung kepalanya dari tali kekang. Ian
berdirir hanya beberapa inci dari wajahnya, genggamannya bergeser
ke dada tali kekang, membuatnya tetap diam di depannya. Francesca
menengadah padanya. "Inilah hebatnya dari ayunan," Kata Ian, sangat menyadari ekspresi
bingungnya. "Aku bisa menaruhmu disegala posisi dimana aku
menginginkanmu, dalam sekejap mata," Ian menggenggam
kejantanannya dari bawah dan mengangkatkan ke mulut Francesca,
menjadikan maksudnya jelas. Ujung kejantanannya menyelip
diantara bibirnya, meregangkan bibirnya. Francesca menatapnya saat
ia mengulum ujungnya, kemudian mengulumnya dengan lidah yang
kuat. Geraman keluar dari mulut Ian seraya menatap Francesca.
Bagaimana mungkin ia merasa begitu pasrah tapi juga begitu
mengontrol di saat yang bersamaan"
Ian menggunakan tangannya untuk mengayunkan tubuhnya
beberapa inci kedepan, beberapa inci ke belakang. Kejantanannya
menyelip masuk dan keluar dari mulut Francesca. Ian
melanjutkannya saat ini, bercinta dengan mulutnya, benar-benar
mengontrolnya, namun tidak pernah mengambil kesempatan, hanya
menyelipkan beberapa inci disepanjang lidahnya, kedepan dan
belakang, sampai kejantanannya membesar pada jepitan bibirnya.
"Bagus," Gumam Ian, mundur, kejantanannya keluar dari mulut
Francesca. Francesca memandang Ian melalui cermin, bingung. Ian
menyelipkan pinggang tali kekang lebih rendah sehingga menuruni
pahanya. "Oh!" Francesca menjerit ketika Ian tiba-tiba mengangkat
pinggangnya, mengangkat tubuhnya seolah Ian mengangkat bantal
bulu. Ian dengan lembut menjaga butt plug tetap di dalam dengan
satu tangan. "Simpulkan kakimu dengan cara lain pada tali terendah, sehingga
kau berada di posisi terduduk." Francesca melakukan yang terbaik
untuk mengikuti perintahnya, namun ini adalah cara ia untuk
mengarahkan Francesca pada posisi yang Ian inginkan. Ketika
Francesca tenang lagi dan Ian menguncinya, ketegangan berkurang
di ujung tali kekangnya dan menyebabkannya terjatuh. Bagian
teratas tali kekang itu turun ke tulang rusuknya dan ia duduk di
bagin terendah pada tali kekang kulit itu, lututnya tertekuk,
pergelanagan tangannya yang terikat berada di pangkuannya. Waktu
ia terkunci pada tali kekang teratas, Ian menurunkan pengekang di
sekitar pantatnya agar lebih rendah, turun ke puncak pahanya.
Francesca gamang oleh gairah dan tangan Ian yang ahli mengatur
ayunan itu. Francesca merasa seolah ia melakukan akraksi dari
Cirque u Soleil versi XXX.
Ian menyelipkan plug hitam berpelumas itu keluar dari pantatnya,
membuatnya terengah. Ian menjatuhkan plug itu di lantai. Francesca
melihat, terengah, terpesona ketika Ian melumasi ereksinya hingga
berkilau. Ian melangkah ke belakangnya. Ian meraih tali pertama
untuk merendahkan tali kekang terbawah, kemudian satu lagi untuk
yang di atas, melenturkan otot lengannya hingga menonjol, menarik
tubuh Francesca kearahnya.
Francesca berada di posisi duduk terikat di depan Ian, punggung
menghadap Ian, tubuh teratasnya miring ke depan...pantatnya benarbenar terbuka
seolah terbungkus dalam simpul tali seperti sebuah
persembahan. Francesca tidak bisa bernapas. Ia merasa licin, ujung keras ereksi Ian
menyapu pada pantatnya yang menggeleyar, kemudian menekan
pada pintu masuk anusnya.
"Ian," ia berteriak di antara giginya yang terkatup.
"Waktunya kau terbakar, manis," Kata Ian parau.
Ian merendahkan genggamannya pada tali dan meraih tepi dari
bantalan kulit di bawah pahanya. Francesca tidak punya tempat
untuk dituju kecuali ke arah kejantanannya. Ian mendorong
pinggangnya dan menarik Francesca kea rahnya sekali lagi.
Francesca berteriak saat ereksi Ian menyelip ke dalam pantatnya
beberapa inci dan rasa sakit tajam menusuknya. Ian berhenti,
tubuhnya yang besar seperti pegas yang siap menjepret.
Francesca terengah oleh bayangan Ian di cermin. Terlihat seolah ia
baru saja menjalani latihan berat. Setiap otot yang menonjol di
tubuhnya terlihat dan menegang. Keringat berkilat pada lekuk
perutnya dan tulang rusuknya naik turun. Pantat kuatnya dan otot
pahanya meregang saat ia membawanya ke tepian. Ia begitu
mengagumkan untuk dilihat saat ini-badai seksual diambang
kehancuran. Bagian kejantanannya tidak semuanya tenggelam dalam
pantat Francesca terlihat sangat mengintimidasi. Ereksi Ian
berdenyut pada lubang sempitnya. Francesca bersumpah ia bisa
merasakan Ian berdenyut pada daging sensitifnya. Hal itu
membuatnya terpesona, merasakan milik mereka begitu dekat,
begitu melebur. "Kau baik-baik saja?" Kata Ian tegang.
"Ya," Kata Francesca, menyadari maksudnya. Rasa sakit yang tajam
telah menghilang, yang tersisa hanya dorongan dari kenikmatan
terlarang. Pipi dan bibirnya berubah menjadi merah gelap. Klitnya
mendesis. "Bagus, karena pantatmu sangat panas," Gumam Ian disaat
bersamaan ia mendorong dan menarik tubuh Francesca lebih dekat.
Teriakan kasar keluar dari tenggorokannya. Ian mulai mengayunkan


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Francesca ke depan dan belakang pada dorongan kejantanannya, "Ah
Tuhan, nikmat sekali ada di dalam dirimu."
Francesca merintih oleh kekaguman pada sensasi erotis baru...pada
pemandangan dari Ian yang tersesat dalam gairah. Tidak ada rasa
sakit, hanya dorongan intens dari kenikmatan yang tak tertahankan
terbangun dalam dirinya. Syaraf di pantatnya begitu sensitif hingga
ia bisa merasakan setiap lekuk dari kejantanannya. Otot pahanya
tertekan ketat, membawa tekanan pada klitnya. Orgasme mulai
melanda. Francesca memandang dengan mulut terbuka kagum pada
cermin saat kejantanannya menghilang semakin jauh ke dalam
tubuhnya dengan setiap dorongan. Akhirnya, panggul Ian menempel
pipi pantatnya. Ian memegang Francesca dan menggeram parau. Saat ini terlalu
dalam untuknya. Terlalu terbakar. Francesca mulai menggigil oleh
orgasme yang melandanya, kekuatan dari orgasme itu lebih kuat
karena tertunda begitu lama.
Samar-samar, ia mendengar Ian mengutuk dengan kasar. Ian
menyetubuhinya saat Francesca orgasme, membiarkan pantatnya
dikuasai oleh kejantanannya dalam kepemilikan yang tamak,
pinggulnya menghentak cepat di atas pantat Francesca yang nyeri
dan kesemutan sementara Ian bermanuver dengan ayunan - dan
tubuhnya - menikmatinya secara maksimal. Ini terlalu kuat,
sungguh. Francesca tidak bisa menahan tekanan itu dalam waktu
lama. Ia benar-benar ada di bawah kekuasaannya, pantatnya
mengetat di sekitar kejantanannya saat ia mencapai klimaks yang
luar biasa. Ian menghentak ke dalam tubuhnya untuk terakhir kalinya, Ian
mengerang menumbuknya dengan putus asa bagaimana pun juga,
meskipun Ian yang memegang kendali dalam situasi ini. Ian
membungkuskan lengannya disekitar pinggangnya, menarik
Francesca padanya dengan pelukan putus asa. Francesca berteriak
terputus-putus ketika ia merasa ereksi Ian membengkak. Raungan
keluar dari tenggorokannya. Ian menundukkan kepalanya, dan
menekankan mulutnya pada punggung Francesca. Francesca
menggigit bibirnya dan menutup matanya saat ia merasa Ian
meledak di dalam dirinya.
Ian mengerang dan mendorong masuk keluar secara dangkal ke
dalam dirinya saat ia terus ejakulasi, napasnya panas dan kasar pada
kulit punggungnya. Mata Francesca perih. Air matanya bukan karena
rasa sakit tapi dari perasaan yang luar biasa di dalam dadanya.
Apakah ia jatuh cinta pada pria ini"
Apakah ada alasan lain yang bisa ia jelaskan terhadap kepercayaan
yang total dan sepenuhnya kepada Ian, kemauannya untuk
menyerahkan diri sepenuhnya pada Ian"
Apakah ada alasan lain dari perasaan eforia saat ia melihat Ian di
cermin, menyerahkan diri pada kenikmatan itu" Mungkin ia jatuh
cinta atau ia sudah menjadi gila.
Apapun itu, Ian benar. Francesca sepenuhnya sudah berada di bawah
kekuasaannya. *** *nightcap: minum minuman keras sebelum tidur.
*ballet bar: pegangan stasioner yang digunakan selama latihan balet.
*Arm candy: wanita cantik yang menjadi gandengan para orang kaya atau artis
dalam acara-acara publik. Because I Need To Bab 13 Ian melepas ikatannya, kemudian dengan lembut membantunya
keluar dari tali kekang, masih terpengaruh oleh efek liar dari klimaks
yang menghancurkan dan emosi yang terjadi yang tidak bisa ia
jelaskan. Ketika kaki Francesca menyentuh lantai, Ian langsung
memeluknya, meringis oleh kenikmatan sensasi dari kulit lembut
telanjang Francesca yang menempel padanya.
Ian meletakkan tangannya di rahang Francesca dan memiringkan
wajahnya agar berhadapan dengan Ian. Ian menciumnya dengan
dalam, bertanya-tanya bagaimana ia merasa begitu terangsang,
hampir keras, berhasrat untuknya dan kelembutan yang
membengkak secara tiba-tiba. Apakah ia sudah bersikap begitu kasar
pada Francesca" Francesca begitu lembut, begitu feminin, begitu
indah, pikirnya bingung saat ia membelai pantat kencang, pantat
ketatnya. Ian menerka reaksinya terhadap Francesca. Ketika
Francesca menghisap ereksinya berirama sambil ia merintih oleh
orgasme beberapa menit lalu, Ian sama sekali tidak menganggap
Francesca sebagai gadis yang lemah.
Francesca adalah misteri untuknya - gadis yang menarik, menyiksa
dan manis yang tidak bisa ia tolak.
Ian mengangkat kepalanya beberapa saat kemudian dan meraih
tangannya. Ian menutup pintu di belakang mereka saat mereka
meninggalkan kamar, dan kemudian membawanya ke kamar mandi.
Tanpa bicara, ia membuka pintu kaca untuk memanaskan air dan
memutar gagangnya. Ketika suhunya sudah nyaman, Ian melangkah
kesamping dan mengangguk pada Francesca untuk masuk. Ian
mengikuti Francesca, menutup pintu di belakang mereka.
Francesca nampaknya menyadari suasana hatinya yang pendiam,
karena ia tidak berkata apa-apa saat Ian dengan teliti membersihkan
tubuh indahnya beberapa menit berikutnya. Ian merasa Francesca
menatapnya, meskipun, ketika tangannya menyabuni pada kulit
lembutnya. Air panas melingkari sekeliling buku jarinya saat ia
mencuci...memuja. Bagian kecil dari dirinya tetap ingin menarik diri
seperti yang terjadi di Paris, ketika ia menyadari ia begitu bahagia
oleh sifat manisnya dan responnya yang melimpah.
Pengalaman malam ini telah mencekik pertahanan Ian, hingga tidak
mungkin bagi Ian untuk mempertahankan kewarasannya dan
menolaknya. Ian membasuh tubuhnya sendiri lebih lama, bahkan secara
menyeluruh, dan mematikan air. Setelah mengeringkan tubuh
mereka berdua dengan handuk, Ian meraih tangannya dan
membawanya ke ranjang. Ian membuka selimut dan berbalik
padanya, membuka jepit pada rambut. Rambut itu jatuh, jatuh
disekitar pundak dan punggungnya. Jari Ian langsung membelai pada
rambut lembut, mahkota yang tak terikat.
Mata gelap dan besar milik Francesca membuat sesuatu mengepal
kuat di dalam perutnya. "Tidurlah," gumam Ian.
Francesca berbaring miring, berhadapan dengannya. Ian berbaring di
sampingnya, perutnya menempel perut Francesca, dan menarik
selimut dan menutupi mereka. Ian membelai pinggang lembutnya
saat kesunyian memenuhi sekitar mereka. Tidak ada satupun dari
mereka yang berbicara selama beberapa saat, meskipun Ian
merasakan sikap waspada Francesca padanya.
Kemudian Francesca menyentuh bibir Ian dengan ujung jari
lembutnya. Ian menutup matanya, mencoba namun gagal untuk
melindungi dirinya dari gelombang yang tak diinginkan dan
perasaan yang tak terbendung.
Ian jarang membiarkan wanita menyentuhnya begitu intim, namun ia
membiarkan Francesca melakukannya. Ujung jarinya menggoda Ian
selama beberapa menit saat ia menelusuri wajah, leher, pundak, dada
dan perutnya. Ketika ia dengan lembut menggesek puting Ian
dengan kukunya, Ian menciumnya penuh gairah dari kenikmatan
yang indah. Ian mengunci tatapannya saat Francesca menggenggam
ereksi Ian beberapa saat kemudian.
Sentuhannya begitu lembut. Kenapa ini terasa seolah ia melepas
balutan luka dalam dirinya ketika Francesca mulai menggerakkan
lengannya, membelainya"
Tak mampu lagi menerima lebih banyak siksaan manisnya, Ian
berguling dan meraih kondom di laci samping ranjang, merindukan
hari dimana Francesca sudah cukup lama meminum pil, hingga ia
bisa berada di dalam tubuh Francesca tanpa pelindung.
Beberapa saat kemudian, Ian berbaring di atasnya, perut mereka
menempel, ereksi Ian sepenuhnya berada di dalam kehangatannya
dan jepitan vaginanya. Ian membuka kelopak matanya dan melihat
Franceca sedang menatapnya.
"Apakah aku menyakitimu, Francesca?" tanya Ian dengan pelan.
Francesca tidak menjawab selama beberapa saat, namun Ian tahu
dari ekspresi muram di matanya kalau ia mengerti maksud Ian bukan
hanya malam ini tapi semuanya - ketidakmampuan Ian untuk
menolak wanita cantik dan berbakat ini meskipun kenyataannya ia
pasti telah menodai kecemerlangan Francesca dengan kegelapan
miliknya...dan pada akhirnya membuat Francesca berpaling karena
terluka. Pikiran tentang melihat penolakan Ian pada wajah cantik Francesca
mengirisnya begitu dalam.
"Apa itu penting?"
Otot-otot di wajah Ian mengejang oleh jawaban lembut Francesca.
Ian mulai bergerak, bercinta dengan Francesca dengan dorongan
panjang dan dalam, Ian bergidik oleh ledakan kenikmatan yang
murni. Tidak. Itu bukan masalah.
Ian tidak bisa menjauh darinya, tak peduli apa pun akibatnya bagi
Francesca...atau bagi dirinya.
*** Setelah mereka bercinta lagi, Ian memeluk Francesca dan mereka
berbicara seperti sepasang kekasih - atau setidaknya menurut
perkiraan Francesca setiap kekasih berbicara seperti itu, tidak punya
pengalaman dengan dirinya sendiri. Itu adalah pengalaman yang
memabukkan, mendengar Ian berbicara tentang masa kecilnya yang
tumbuh di Belford Hall, tanah milik kakeknya di East Sussex.
Francesca ingin bertanya padanya tentang pengalaman hidup dengan
ibunya di Prancis utara - pasti itu merupakan pengalaman yang
sangat kontras dibandingkan dengan kemewahan dan hak istimewa
dari cucu seorang earl - namun ia tidak punya keberanian untuk
menanyakannya. Francesca ingin membicarakan tentang Xander LaGrange lagi. Ian
tidak berubah, bagaimanpun juga, tentang sikapnya yang bukan
penyebab utama pada transaksi bisnis yang berjalan buruk.
"Itu adalah pertemuan terakhir," kata Ian. "Aku tidak suka bertemu
dengannya untuk mendapatkan software itu. Aku selalu memandang
rendah dia, sejak aku berusia tujuh belas tahun. Itu menjengkelkan,
harus menjilat kepadanya. Aku menolak bertemu dengannya selama
beberapa minggu terakhir." Ian mengerjap oleh ingatan itu.
"Sebenarnya, aku harus bertemu dengannya dimalam kita pertama
kali bertemu, malam pesta koktail di Fushion. Aku meminta Lin
membatalkannya." Francesca terkejut oleh perkataan itu. "Kupikir kau terlihat kesal
ketika Lin memintamu datang ke Fushion karena kau tidak ingin
membuang waktu untuk bertemu denganku."
Ian mengangkat dagunya lembut hingga ia melihat Ian. "Kenapa kau
berpikir seperti itu?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya membayangkan kau punya banyak hal
yang lebih bagus dari pada bertemu denganku."
Tawa kecil kecil Ian menghangatkannya. Ian mencium lembut
kepalanya, dan ia senang bersandar di dada Ian.
"Aku tidak mengatakan sesuatu yang tidak sungguh-sungguh ingin
kulakukan, Francesca. Aku sangat ingin bertemu denganmu sejak
aku melihat lukisanmu dan tahu kalau kau seniman yang membuat
melukisan berjudul Cat," kata Ian, menyingkat nama lukisan yang
tergantung di perpustakaannya...lukisan yang tanpa sengaja ia buat
untuk Ian. Francesca menempelkan bibirnya ke kulit Ian dan
menciumnya, sangat senang oleh sedikit pengungkapan fakta itu.
Jemarinya mengetat di rambut Francesca.
"Tapi apa yang akan kau lakukan dengan software yang kau
butuhkan untuk memulai perusahaanmu?" tanya Francesca setelah
beberapa saat. "Aku akan melakukan apa yang harus kulakukan untuk
memulainya," kata Ian singkat, ujung jarinya memijat kulit kepala
Francesca, membuatnya gemetar oleh gairah yang nikmat. "Aku
akan mendesain software itu sendiri. Itu merupakan suatu usaha
yang sulit, dan itu akan menghabiskan banyak waktu, tapi aku
seharusnya melakukannya sendiri daripada repot-repot dengan
pecundang itu. Ini tidak akan pernah menjadi bisnis yang baik
dengan pria semacam Xander. Aku telah membohongi diriku
sendiri." Kemudian, Francesca bercerita pada Ian ketika ia mulai menyadari
bahwa ia adalah seorang seniman, selama perkemahan untuk anakanak dengan
kelebihan berat badan ketika ia berusia delapan tahun.
"Aku tidak kehilangan satu pon pun berat badan di perkemahan itu,
terlebih lagi kecemasan orangtuaku, namun aku tahu kalau aku jago
membuat sketsa dan melukis," gumam Francesca, tetap
membaringkan kepalanya di dada Ian dan merasa senang dan
mengantuk saat Ian membelai rambutnya.
"Orangtuamu terlihat terobsesi dengan berat badanmu," komentar
Ian, suaranya yang dalam bergetar di dadanya yang keras dan
menggelitik telinganya. Francesca membelai otot lengannya dengan
ujung jarinya, bertanya-tanya bagaimana padat dan keras otot itu.
"Mereka terobsesi untuk mengontrolku. Berat badanku adalah salah
satu dari beberapa hal yang tidak bisa dimanipulasi oleh mereka."
Apakah ototnya menegang karena ucapannya"
"Tubuhmu seakan menjadi medan perang." kata Ian.
"Itu yang biasa dikatakan oleh para psikolog."
"Aku membayangkan apa yang akan dikatakan para psikologi itu
tentang hubunganmu denganku."
Francesca menngangkat kepalanya dari dada Ian dan bertemu
dengan tatapannya. Cahaya lampu diatur redup di kamarnya.
Francesca tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.
"Maksudmu karena kau begitu mengontrol?" tanya Francesca.
Ian mengangguk. "Kubilang padamu kalau aku nyaris membuat
mantan istriku gila."
Nadi Francesca mulai berdenyut ketika ia menatap keindahannya
yang dingin. Ia tahu betapa jarang Ian membicarakan masa lalunya.
"Apakah kau...apakah kau begitu peduli padanya hingga kau selalu
khawatir tentang kesehatannya?"
"Tidak." Francesca mengerjap oleh respon cepatnya. Ian sedikit mengernyit
dan membuang mata. "Aku tidak jatuh cinta padanya atau apa pun
juga, jika itu yang kau tanyakan. Aku berusia dua puluh satu tahun,
masih kuliah, dan bodoh karena berhubungan dengannya. Aku
bertengkar dengan kakek nenekku saat itu. Salah satu yang terbesar.
Kami tidak berbicara selama beberapa bulan. Kurasa aku sedikit
mudah marah mungkin buta oleh wanita seperti Elizabeth. Aku
bertemu dengannya di acara penggalangan dana di Universitas
Chicago-salah satu acara yang dihadiri nenekku yang mencoba
untuk memperbaiki hubungan denganku. Elizabeth adalah penari
balet berbakat yang berasal dari keluarga kaya di Amerika. Ia telah
dididik untuk mendambakan status seperti yang diperlihatkan oleh
nenekku." "Dan kau." kata Francesca lembut.
"Itu yang Elizabeth pikir pada awalnya - sebelum kami menikah dan
ia sebenarnya sudah tahu aku, dan ia sadar ia telah membuat
kesalahan. Ia ingin pangeran tampan dan ternyata terpesona pada
seorang bajingan," kata Ian, senyum kecil, sedih tersimpul di


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya. "Elizabeth mungkin masih perawan, namun ia jauh dari
lugu dalam keahlian untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Ia
berencana untuk menjeratku di perangkapnya, dan aku begitu bodoh
karena membiarkannya."
"Dia...dia hamil dengan sengaja?"
Ian mengangguk, tatapannya berkedip pada wajah Francesca. "Aku
tahu banyak pria berkata begitu, tapi dalam keadaan kami, itu adalah
kenyataan. Setelah ia hamil dan kami menikah, aku menemukan
bungkusan pil lamanya di kamar mandi. Ia bilang jarang
meminumnya. Ketika aku menanyakannya tentang hal itu, ia
mengakui kalau ia berhenti meminumnya waktu kami mulai
bertemu. Ia mengatakan itu karena ia ingin memiliki anakku, tapi
aku tidak mempercayainya. Atau seharusnya aku bilang, ia hamil
karena ingin menikah, namun aku tidak percaya ia benar-benar
ingin menjadi seorang ibu."
Francesca merasa mual, "Tidak kah kau khawatir aku mungkin
melakukan hal yang sama" Dengan pencegah kehamilan,
maksudku?" "Tidak." "Kenapa kau begitu yakin?" tanya Francesca, meskipun kehangatan
membanjirinya atas jawaban cepat dan percaya dirinya.
"Karena kemampuanku membaca karakter seseorang di usia tiga
puluh lebih baik dibanding saat aku berusia duapuluh satu," kata Ian
kering. "Terima kasih," bisik Francesca. "Jadi apa yang terjadi setelah kau
berbicara dengan Elizabeth?"
"Aku yakin ia akan melakukan sesuatu yang akan membahayakan
bayi kami saat aku tahu ia telah menipuku. Kehamilan itu sesuai
dengan fungsinya. Kami menikah. Ia begitu cantik, secara fisik tentu
saja, dan penari yang berdedikasi. Meskipun ia ingin hamil, kupikir
ia mengesampingkan pikiran tentang apa yang akan terjadi pada
tubuhnya...bagaimana kehamilan itu merubah hidupnya. Ia bukanlah
wanita bertipe keibuan. Kupikir ia mungkin melakukan sesuatu
untuk mengakhiri kehamilan itu. Aku tidak akan membiarkannya,
tentu saja." tatapannya bertemu dengan tatapan Francesca. "Bukan
Elizabeth yang aku khawatirkan. Anak yang ia kandung yang aku
khawatirkan. Jadi ya, aku jadi terlalu mengontrol. Kau tahu
bagaimana aku." "Tetapi kau bilang jika ia menyalahkanmu karena kehilangan bayi
itu," ingat Francesca.
Ian mengangguk. "Ia bilang begitu karena aku mengaturnya begitu
keras untuk menjaga dirinya sendiri, karena kau begitu mengontrol
aktivitas harian dan jadwalnya. Ia merasa aku membatasi
kebebasannya...membuatnya merasa tersandera karena
kecemasanku. Ia tidak diragukan lagi benar akan hal itu. Aku
melakukannya karena aku peduli pada seseorang, dan aku peduli
pada anak itu." "Meskipun begitu, itu tidak terdengar seperti alasan kuat bagi
seseorang yang kehilangan anak. Satu dari lima wanita keguguran,
bukan" Mengapa itu tidak bisa menjadi sesuatu yang alami
dibanding sesuatu yang kau lakukan?" tanya Francesca, bertanyatanya dan sedikit
terganggu dengan si Elizabeth. Ia terdengar seperti
seorang pengecut manipulatif.
"Kami tidak akan pernah mengetahui kebenarannya. Itu tidak
penting," kata Ian. Ia pikir itu penting - sangat penting. Hal itu ada hubungannya
dengan kenapa Ian menganggap dirinya begitu kotor ketika
berurusan dengan hubungan asmara, begitu rusak.
"Kenapa kau menikahinya jika kau tidak mencintainya?" Francesca
tidak bisa mencegah dirinya bertanya.
Ian mengangkat bahunya sedikit, dan Francesca tidak bisa menahan
kecuali menyentuh otot bahunya, ia ingin menenangkannya.
Francesca tidak menjauhkan tangannya dari Ian. Siapa tahu Ian akan
membiarkannya menyentuhnya dengan bebas lagi"
"Aku tidak akan pernah membiarkan anakku menjadi seorang
bajingan," kata Ian.
Belaian tangan Francesca terhenti oleh perkataan itu. Dua kali ia
pernah menyebut sifat buruknya pada Francesca. Francesca ingat
jika Ian menyebut dirinya bajingan di malam pertama mereka
bertemu, di pesta koktail kemenangannya.
"Ayahmu," bisik Francesca, menyadari kilatan di mata birunya.
Apakah itu kilatan peringatan, pesan tersembunyi agar ia berbicara
hati-hati" Francesca melanjutkan meskipun beresiko. "Kau tahu
siapa dia?" Ian menggelengkan kepalanya. Francesca benar-benar merasa
ototnya tegang sekarang, namun Ian terdiam di ranjang. Francesca
memutuskan untuk lebih berani walaupun ia tidak mengijinkan dan
pergi, ketika ia mengirai Ian kuat sebelum malam ini.
"Apakah kau ingin tahu siapa dia" Benar, kan?"
"Hanya sejauh aku ingin membunuh bajingan itu."
Mulut Francesca ternganga terkejut. Ia tidak menduga serangan
fokus, dan intensnya. "Kenapa?"
Ian menutup matanya cepat, dan Francesca ragu jika ia sudah
melangkah terlau jauh. Apakah ia akan mundur sekarang"
"Siapa pun dia, dia pasti telah mengambil keuntungan atas ibuku.
Aku tak tahu apakah itu mutlak pemerkosaan atau dia merayu wanita
yang sangat rentan dan sakit, tapi apapun masalahnya, aku pasti
membawa gen dari pria bobrok itu."
"Oh, Ian," bisik Francesca, hatinya membengkak karena terharu.
Sebuah mimpi buruk untuk dijalani seorang anak laki-laki. Sebuah
mimpi buruk untuk seorang pria. "Dan kau tidak pernah melihatnya,
ia tidak pernah datang?"
Ian menggelengkan kepalanya, kelopak matanya tetap tertutup.
"Dan ibumu, ia tidak pernah-"
Ian membuka matanya dan bertemu dengan tatapan Francesca, "
Ibuku berubah cemas setiap kali aku mengungkit masalah itu saat
aku masih anak-anak, mulai melakukan beberapa perilaku
ritualistiknya secara berulang-ulang. Kemudian, aku menghindari
topik tentang identitas ayahku seperti wabah. Tapi di dalam hati, aku
perlahan-lahan mulai membencinya. Ia telah melakukan sesuatu
kepada ibuku, membuatnya ketakutan dan gelisah. Entah bagaimana
aku mengetahuinya." "Tapi ia sakit...skizofrenia..."
"Ya, namun ada sesutau tentang mengatakan kalau ayahku tidak
pernah gagal untuk membuatnya dalam masa yang buruk...salah
satu masa gelap." Francesca tidak bisa mengerti ekspresi di wajahnya. Hal ini
menusuknya dari dalam. Francesca memeluk Ian erat. "Ian, aku
minta maaf." Ian mendengus oleh pelukan enerjiknya, dan kemudian tertawa
lembut. Ian kembali membelai rambutnya. "Kau pikir mendekapku
seperti piton akan membuat semuanya lebih baik, manis?"
"Tidak," gumam Francesca, mulutnya bergerak ke dada
telanjangnya. "Tapi ini tidak akan menyakitkan."
Ian melingkari Francesca dengan lengannya dan membaringkannya
ke belakang, turun di atasnya. "Tentu saja tidak" gumam Ian,
sebelum ia merunduk dan menciumnya dengan ahlinyayang
membuatnya melupakan segalanya selama beberapa saat...bahkan
melupakan penderitaan Ian.
*** Francesca ingat ia menghabiskan malam di pelukan Ian, dan di
ranjangnya, selamanya. Jadi begitu indah mengetahui ia membuka
diri pada Francesca...meskipun hanya sedikit. Dulu, Ian mengatakan
padanya jika hubungan mereka murni hanya hubungan seksual, dan
bisa menjadi sedikit keraguan tentang ketertarikan mereka - obsesi
mereka - terhadap satu sama lain adalah hal yang paling kuat.
Tapi malam ini, mereka mengubahnya menjadi lebih dari sekedar
seks. Atau begitulah yang Francesca pikir...
Francesca bangun dengan cahaya matahari cerah yang masuk
melalui gorden yang tebal. Ia mengerjap dengan malas, menyadari
bahwa ia sendirian di ranjang kusut mewah dimana ia menghabiskan
begitu banyak waktu erotis dan intim bersama Ian tadi malam.
"Ian?" panggilnya, suaranya parau karena tidur.
Ian berjalan keluar dari kamar mandi, terlihat mengagumkan dengan
celana panjang biru, kemeja putih mencolok, dasi sutra hitam dengan
garis biru pucat, dan simpul ikat pinggang yang selalu mengacaukan
pikirannya tergantung rendah pada pinggang rampingnya. Bukankah
ia sudah pernah melihat Ian telanjang tadi malam, benar-benar
melihat bayangan mengagumkannya di cermin, seluruh tubuh Ian,
otot kekarnya menegang ketika Ian bercinta dengannya"
Apakah itu mimpi, dipeluk dan bercinta dengannya sepanjang
malam" "Selamat pagi," kata Ian, berjalan kearah ranjang dan mengikat
manset dengan jari trampilnya.
"Selamat pagi," kata Francesca pening,tersenyum padanya, merasa
senang oleh kehangatan sinar matahari, keindahan dari tatapannya.
"Sayangnya aku harus pergi ke luar kota untuk sementara waktu.
Aku tidak yakin kapan aku akan kembali."
Seringainya mempudar. Kata-kata Ian menggema di kepalanya
seperti suara tembakan yang memantul.
"Aku sudah bicara pada Jacob, dan ia akan mengajarimu belajar
sepeda motor. Aku ingin kau punya SIM di saat yang sama ia akan
membantumu mendapatkan surat ijin mengemudi mobilmu. Lin
mengirimimu. 'Peraturan Jalan Raya' untuk sepeda motor. Aku akan
meninggalkan tabletku agar bisa kau gunakan," kata Ian, menunjuk
tablet di area tempat duduk di kamarnya. Sikap tanpa basa basinya
hanya menambah kebingungan Francesca.
"Maafkan aku, Ian" Aku bingung pada 'Aku akan pergi dan tidak
yakin kapan akan kembali'," kata Francesca, duduk di samping
ranjang, menopang tubuh atasnya dengan sikunya.
"Aku menerima panggilan pagi ini." Apakah Ian menghindari
tatapannya" "Aku punya keadaan darurat yang harus aku
selesaikan." "Ian, jangan." Ian berhenti oleh nada tajamnya, tangannya terdiam di manset
kemejanya. Matanya menyala.
"Jangan apa?" tanya Ian.
"Jangan pergi," meledak dari tenggorokannya.
Selama beberapa saat yang menggelisahkan, mengerikan, kesunyian
menguasai. "Aku tahu kau mungkin merasa rentan tentang kemarin malam, tapi
jangan pergi," mohon Francesca, terkejut pada dirinya sendiri.
Apakah ia diam-diam ketakutan akan semua hal sepanjang malam
saat mereka berbicara dan bercinta dan saling berbicara tentang diri
masing-masing" Apakah selama ini ia khawatir Ian akan
mencampakkannya sebagai akibat dari keintiman mereka"
"Aku tidak yakin apa yang kau katakan," kata Ian, menjatuhkan
lengannya. "Aku tidak punya pilihan selain pergi, Francesca.
Tentunya kau mengerti aku punya bisnis yang membawaku pergi
saat ini." "Oh, aku tahu," kata Francesca, emosi mendidih di dadanya. "Kau
terbang jauh sekarang seolah tidak terjadi apa-apa semalam."
"Bukan. Bukan tentang itu," kata Ian tajam. "Dari mana semua ini
berasal?" Francesca menatap selimutnya, tidak ingin Ian melihat air mata yang
jatuh dari matanya. Ia ingin mengeluarkan kemarahan...tersakiti.
"Ya. Dari mana semua itu berasal?" renungnya pahit. "Francesca
yang bodoh dan naif. Kenapa aku tidak ingat ini hanya tentang
hubungan seksual, suatu hal yang menyenangkan untukmu" Oh, dan
ereksimu, tentu saja. Jadi jangan lupakan pemain penting dalam
permainan ini." "Kau bersikap seperti orang bodoh. Aku mendapat panggilan
penting. Aku harus pergi. Itu saja tidak lebih."
"Kenapa?" tuntutnya. "Apakah keadaan darurat" Katakan padaku."
Ian mengerjap, jelas kaget oleh keterus-terangannya. Francesca tahu
mulutnya memucat oleh kemarahan. "Karena aku harus. Ada
beberapa hal yang tak dapat dihindari, dan ini adalah salah satunya.
Aku tidak akan pergi untuk masalah lain selain masalah ini. Ini
seharusnya menjadi alasan yang cukup untukmu. Disamping itu,
sikap cemberutmu membuatmu semakin sulit untuk
memberitahumu," tambah Ian dengan lirih, melangkah menjauh.
Kemarahan timbul dalam diri Francesca. Ini terlalu banyak,
mengetahui ia menolaknya dengan cara seperti ini lagi, terutama
setelah ia membuka dirinya pada Ian tadi malam...setelah ia pikir
Ian juga melakukan hal yang sama.
"JIka kau meninggalkan aku sekarang, aku tidak akan menunggumu.
Ini semua akan berakhir."
Ian berbalik, cuping hidung melebar karena marah. "Apa kau
menantangku, Francesca" Apakah kau mengajukan tantangan" Apa
kau ingin membalas dendam?"
"Bagaimana bisa kau bertanya padaku seperti itu ketika kau lah
Satu-satunya yang pergi karena apa yang terjadi diantara
kita?"serunya, duduk di ranjang, menahan selimut di atas dadanya.
"Satu-satunya hal yang terjadi diantara kita adalah kau yang bersikap
seperti anak nakal yang egois. Aku punya keadaan darurat yang
harus kuselesaikan."
"Kalau begitu katakan padaku apa alasannya. Paling tidak berbaik
hatilah sedikit padaku, Ian. Atau apakah kau berpikir mengingat
peraturan dari hubungan terkutuk ini, karena sifatku yang seharusnya
submisif, jadi aku bahkan tidak punya hak untuk bertanya?"
Francesca meradang. Ian meraih jaket yang ia letakkan di punggung kursi. Terlambat, ia
menyadari Ian mengemas kopor kulitnya disamping tas kerjanya. Ia
benar-benar akan pergi. Francesca merasa dikejutkan lagi. Ian
mengangkat bahu pada setelan jaketnya dan menatapnya dengan
tatapan dingin. "Seperti yang kukatakan, aku tidak punya keinginan untuk
mengatakan padamu tentang diriku jika sikapmu seperti ini." Ian
mengambil barang barangnya. "Aku akan menelponmu sore ini.
Mungkin kau akan lebih baik setelah itu."
"Jangan kuatir. Aku tidak akan merasa lebih baik. Aku
menjaminnya," kata Francesca dengan percaya diri...sedingin yang
ia bisa katakan. Wajah Ian seketika memucat. Francesca punya dorongan liar untuk
menarik kembali apa yang ia katakan, tapi sikap keras kepalanya harga dirinya - tidak mengijinkannya. Ian mengangguk, mulutnya
menekan garis keras, dan berjalan keluar kamar, menutup pintu di
belakangnya dengan cepat terdengar seperti akhir yang mengerikan
di telinga Francesca. Francesca menutup kelopak matanya ketika rasa sakit melandanya
dengan berat. *** Tiga hari kemudian, Francesca duduk di kantor Department of
Motor Vehicles (DMV= semacam kantor samsat) di Deerfield,
Illinois, mempelajari "peraturan jalan raya" di tablet Ian. Ya, ia tetap
berencana untuk tidak akan pernah menemui Ian lagi atas dasar
seksual apapun, dan tidak, Ian benar-benar percaya apa yang ia
katakan padanya di hari Jumat pagi yang cerah, karena ia tidak
mencoba untuk menghubunginya sejak ia pergi. Francesca tetap
mencoba untuk mengatakan pada dirinya kalau ia bahagia Ian tidak


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghubunginya, tapi bagaimana pun juga, dirinya tidak yakin
merasakan semua keyakinannya.
Apakah itu ekspresi yang telah membayangi wajahnya ketika
Francesca mengatakan kepadanya untuk tidak menelponnya"
Mengapa baik dalam situasi itu tiga hari yang lalu dan juga saat Ian
ketakutan karena tahu ia masih perawan bahwa ia salah satu yang
merasa dicampakkan, bukan sebaliknya" Pikirannya itu membuatnya
jatungnya seolah diremas oleh tangan besar tak kasat mata.
Tidak, ia tidak akan memikirkan hal semacam itu. Tidak mungkin
menembus kedalam jiwa gelap Ian yang kompleks. Perbuatan yang
sangat bodoh untuk mencobanya.
Ini sedikit mengejutkannya jika ia melanjutkan pelajaran
mengemudinya dengan Jacob, memberi jeda bagi Ian dan dirinya.
Tapi ia jadi merasa aneh dengan gagasan untuk mendapatkan surat
ijin mengemudinya. Mungkin bagian dari dirinya percaya apa yang
Ian katakan padanya. Itu merupakan tonggak penting perkembangan
emosional yang dilewati Francesca karena masalah emosional saat
masih anak-anak dan remaja. Tekanannya pada menyetir
bagaimanapun juga berhubungan dengan keinginannya untuk
memegang kendali dalam hidupnya untuk pertama kali. Sekolahnya
berjalan lancar. Lukisannya untuk Ian segera selesai.
Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa seolah ia benar-benar
mulai mendapatkan kendali...bukan sekadar meraba-raba, bertahan
hari demi hari. Ia ingin berada dibalik kemudi dalam hidup
Francesca Arno, seperti yang Ian usulkan. Jika itu sudah ditakdirkan
akan menjadi suatu bencana, well...setidaknya ia bisa mengatakan
siapa yang bertanggung jawab.
Matanya nyeri oleh semua yang ia pelajari dari tablet. Ia sudah siap
menjalani tes menyetir reguler, namun masih ada tes naik sepeda
motor. "Merasa percaya diri?" tanya Jacob dari tempat ia duduk
disampingnya, membaca koran. DMV sudah penuh. Mereka
menunggu hampir selama dua jam untuk dipanggil hingga Francesca
bisa menjalani tesnya. "Untuk tes tulis tentu tentu saja," kata Francesca. "Mungkin kita
seharusnya berlatih satu hari lagi dengan sepeda motor Ian?"
"Kau akan melakukan yang terbaik," yakin Jacob, "Kau sebenarnya
terlihat lebih berbakat naik sepeda motor dibanding mobil, dan kau
akan lulus tes dengan hasil yang memuaskan."
Francesca memberinya tatapan kering. "Aku baru saja
menyelesaikan tes menyetir. Hal pertama yang aku lakukan saat aku
membawa mobil ke jalanan adalah memotong pengemudi lain."
"Tetapi itu hanya Satu-satunya kesalahan," ingat Jacob padanya. Pria
yang baik. Seseorang memanggil namanya.
"Doakan semoga aku beruntung," kata Francesca ragu kepada Jacob
saat ia berdiri. "Keberuntungan tidak diperlukan. Kau bisa melakukan ini," kata
Jacob dengan rasa percaya diri yang lebih besar dari yang di
butuhkan, menurut pendapat Francesca.
Francesca mengambil bagian menyetir untuk tes mengemudi motor
di sepeda motor Ian: motor yang mengkilap, Motor eropa yang
keren. Jacob mengatakan padanya beberapa hari lalu, kalau Ian
punya sejarah panjang dengan motor itu.
"Kupikir ia mengatakan padaku kalau ia memperbaiki motor saat ia
masih anak-anak. Ia punya bakat menakutkan dengan motor itu.
Kurasa itu ada hubungannya dengan matematika, otak komputer
yang ia miliki. Dari semua yang aku tahu, ia bisa memperbaiki mobil
dua kali lebih cepat dibanding aku, dan aku hampir berusia dua kali
lipatnya," Jacob mengatakan padanya beberapa hari lalu, isyarat
kebanggaan pada suaranya.
Francesca juga tahu dari Jacob kalau Ian adalah salah satu pemilik
dari perusahaan berkembang yang terkenal dan inovatif di Prancis
yang membuat sepeda dan skuter berteknologi tinggi dengan harga
yang sangat mahal. Satu-satunya alasan Francesca setuju untuk berlatih naik motor
bersama Jacob adalah ia menduga Ian ingat apa yang ia katakan
tentang skuter motor di Paris. Dan sebenarnya, salah satu dari skuter
itu cocok dengan anggarannya yang terbatas, transportasinya dan
tempat parkir di kota yang sibuk, belum lagi rasa mandirinya yang
berkembang dan keinginan yang lebih baik untuk menjalani
hidupnya. Francesca berencana untuk membeli skuter murah setelah
ia mendapatkan SIM-nya, dan persetan jika ia mengambil
keuntungan dari apa yang Ian berikan setelah ia meninggalkan
Francesca. Francesca menerima seratus ribu dolar yang ia hasilkan dari
komisinya. Ia akan mengambil semua yang Ian berikan dan
meninggalkannya, seperti Ian meninggalkan Francesca.
Itulah yang ia katakan pada dirinya sendiri. Kata-kata itu
menghiburnya dengan bayangan ia tidak punya perasaan pada Ian
sama seperti Ian padanya.
Bajingan itu. Datang dan pergi dari kota setelah Francesca
membuka diri padanya...setelah ia seolah juga melakukan hal yang
sama pada Francesca. "Baiklah?" tanya Jacob, berdiri ketika Francesca mendekatinya di
ruang tunggu setelah ia menjalani tes sepeda motornya, ekspresi
Francesca muram. Jacob mengamati wajahnya cemas, matanya
melebar. "Jangan khawatir. Kita akan melakukan tesnya lain kali saat
kau sudah berlatih lebih banyak."
Francesca menyeringai. "Aku mengerjaimu. Aku lulus. Dengan
hasil memuaskan sekarang."
Jacob memberinya pelukan singkat dan ucapan selamat, Francesca
tertawa, meluap-luap oleh rasa lega. Ia melakukannya! Lebih baik
terlambat dari pada tidak sama sekali.
Jacob mohon diri untuk meletakkan sepeda motor Ian di belakang
limo - ia terkejut melihat betapa luas ruang di dalam kabin mobil
mewah itu setelah Jacob melipat dan menyimpan meja di antara
tempat duduk. Francesca duduk di ruang tunggu, menunggu lagi
hingga ia dipanggil untuk foto SIM-nya. Berada di kantor DMV
sama artinya dengan menunggu. Setelah beberapa menit Francesca
menjadi tidak sabar dan bosan, ia membuka tablet Ian, senang
karena bisa melihat apapun yang ia inginkan untuk menghabiskan
waktu daripada mempelajari peraturan jalan raya. Francesca
mengklik search dan beberapa item keluar dari menu drop-down...
jelas merupakan situs yang sering Ian kunjungi. Merasa sedikit
bersalah, Francesca mempelajari riwayat pencarian. Kemana Ian
berselancar di Internet" Sebagian besar topiknya masuk akal urusan bisnis dan orang-orang yang sedang Ian periksa latar
belakangnya. Salah satunya bukan. Francesca mengkliknya, menatap waspada
kesamping memastikan Jacob tidak berada di sana saat ia mengorek
apa yang dilakukan Ian. The Genomics Research and Treatment Institute - tempat penelitian
dan fasilitas pengobatan disegani yang terletak di tenggara London
dengan pemandangan hutan yang indah. Francesca mengamati
pemandangan pohon-pohon dan gedung luas yang sangat modern.
Hal ini membawanya untuk mengerti kalau fasilitas itu adalah hal
pertama di dunia dalam penelitian dan pengobatan untuk
schizophrenia. Francesca berpikir tentang ibu Ian dan jantungnya seakan tenggelam.
Apakah ia menyimpan ini untuk menghilangkan rasa sakit,
mengurangi sakit tentang ingatan dari Helen Noble" ia
melakukannya, mungkin, mendanai suatu penelitian"
"Jacob" Kau tahu the Genomics Research and Treatment Institute?"
tanya Francesca dengan nada pura-pura santai ketika Jacob datang
dan duduk disampingnya beberapa menit kemudian.
"Tidak tahu. Kenapa?"
"Kau tidak tahu" Itu adalah semacam fasilitas penelitian dan rumah
sakit. Kau tidak pernah dengar kalau tempat ini ada hubungannya
dengan Ian?" Jacob menggelengkan kepala. "Tidak pernah. Di mana tempat itu
berada?" "Di tenggara London."
"Itu menjelaskan semuanya." kata Jacob terus terang saat ia melipat
korannya. "Jika itu adalah salah satu perusahaan Ian di Inggris, aku
tidak tahu banyak tentang itu."
"Kenapa?" "Ia tidak pernah membawaku ke London. Ia menyetir sendiri
mobilnya ke apartemennya di kota."
"Oh," kata Francesca santai, berharap ia bisa menyembunyikan
keingintahuannya yang cukup gila. "Dan adakah tempat lain di mana
ia mengemudi sendiri dan tidak membawamu?"
Jacob berpikir sebentar. "Tidak, tidak juga, sekarang aku baru
memikirkannya. Aku ikut kemana pun selain London. Tapi itu tidak
mengejutkan. Ian orang Inggris, bukan" Itulah alasan mengapa ia
tidak butuh supir di London. Itulah kenapa aku tidak mengemudi
untuknya sekarang." "Benar," Francesca setuju, mengangguk, nadinya berpacu oleh berita
tak terduga itu. Ian ada di London. Ian tidak bilang padanya, tentu
saja, dan Mrs. Hanson juga tidak tahu di mana ia berada atau tidak
mengatakan apa-apa tentang itu sesuai perintah Ian. Ini aneh. Ian
Noble berada di rumah dimanapun itu. Ia bisa pergi ke seluruh kota.
Ia tidak butuh supir. Ia hanya ingin kenyamanannya. Ia adalah
kucing yang berjalan sendiri, itu saja. Semua tempat sama baginya.
Francesca mengingat bagaimana ia menangkap aspek dari karakter
Ian dalam lukisannya beberapa tahun yang lalu, dan
membandingkannya dengan cerita Rudyard Kipling. Francesca tahu
dari pengalaman jika kemanapun Ian pergi, ia begitu percaya diri,
tentu saja, sepenuhnya menjadi penguasa dari lingkungannya...
memutuskan untuk sendirian.
Jadi mengapa London berbeda" Disamping itu, mengapa ia tidak
membawa supir kepercayaannya, Jacob"
Kepala Francesca berputar ketika namanya dipanggil.
"Ini dia," kata Francesca, tidak bisa menahan kegembiraannya
mendapatkan SIM-nya-tidak untuk membicarakan tentang
menghentikan dirinya dengan keras untuk menekan Jacob tentang
pertanyaan lebih mengenai Ian dan London.
"Kau yang mengemudi pulang," kata Jacob.
"Kau sebaiknya percaya padaku," kata Francesca menyeringai.
*** Esok sorenya, Francesca duduk di bangku sendirian di lobi Noble
Enterprises. Pintu masuknya diatur untuk menyampaikan kesan rapi,
efisiensi modern, mewah, dan hangat - berkat lantai pualam merah
muda kecoklatan dan dinding kayu kecoklatan. Penjaga keamanan di
meja bundar di tengah lobi mengamatinya dengan rasa curiga yang
berlebihan. Francesca berada di sana hampir selama dua jam,
mengamati cahaya pada petak lebar dinding dimana lukisannya akan
tergantung, sesekali mengambil foto dengan ponselnya.
Penjaga keamanan akhirnya memutuskan bahwa Francesca adalah
orang yang mencurigakan dan meninggalkan meja bundarnya.
Francesca berdiri, menyimpan ponselnya di saku belakangnya.
Francesca merasa tidak ingin menjelaskan siapa dirinya. "Aku
pergi," ia meyakinkan pria yang lebih muda yang berwajah seperti
batu besar dan tangan yang besar. Namun mata pria itu waspada
bukannya jahat. "Apakah ada yang bisa saya bantu, nona?"penjaga itu memburunya.
"Tidak," Francesca mengelak, berjalan mundur. Ketika penjaga itu
melangkah untuk mendekatinya, Francesca mendesah. "Aku adalah
seniman yang membuat lukisan yang akan dipajang di sini," kata
Francesca, menunjuk pada permukaan luas dinding yang menjalar di
atas meja keamanan. "Aku melihat perubahan cahaya di lobi."
Ketika penjaga itu menatapnya ragu, tatapan tak masuk akal,
Francesca menatap ke samping dan melihat Fusion restoran. "Er...
Permisi. Aku akan pergi kedalam Fushion dan menyapa Lucien."
Selama beberapa detik, Francesca berpikir penjaga itu akan
mengikutinya ketika ia masuk ke restoran, namun ketika ia menatap
sekelilingnya setelah mendekati bar elegan, pintu kaca tertutup dan
penjaga itu tidak ada. Ia mendesah lega.
"Francesca!" Francesca mengenali suara beraksen Prancis Lucien.
"Hi, Lucien. Zoe! Hi, bagaimana kabarmu?" Francesca menyambut
pasangan itu, senang melihat wanita muda cantik yang mencoba
membuatnya menjadi dirinya berada di rumah saat pesta koktail
untuk menghormatinya. Zoe dan Lucien berdiri berdampingan. Saat
ini jam tiga sore di hari selasa dan bar itu kosong kecuali mereka
bertiga. Francesca berhenti tak yakin ketika ia melihat tangan Lucien
menjauh dari pinggang Zoe dan sedikit bersalah melihat ekspresi
mereka berdua. Kenapa mereka harus malu untuk menyentuh satu
sama lain" "Baik sekali," kata Zoe menggelengkan kepalanya. "Bagaimana
lukisannya?" "Baik seperti yang diharapkan. Aku punya masalah dengan
pencahayaan. Aku duduk di lobi untuk mengamati seperti apa
cahaya jika lukisan sepanjang hari, dan keamanan mengusirku," kata
Francesca memberi senyum malu-malu pada mereka. "Aku masuk
kesini berharap kabur darinya."
Lucien tertawa kecil. "Kau ingin sesuatu untuk diminum?" tanya
Lucien, berjalan kearah pintu masuk bar luas dari kayu kenari. "Soda
dengan lemon, kan?" "Ya," kata Francesca, terkejut dan senang karena Lucien
mengingatnya. Zoe duduk disampingnya di salah satu tempat duduk
bersandaran, menanyainya beberapa pertanyaan tentang lukisan.
Francesca menyadari kalau Lucien tidak bertanya pada Zoe untuk
minuman pesanannya, secara otomatis meletakkan sebotol ginger ale
di depan Zoe. "Jadi kalian berdua berkencan?" tanya Francesca beberapa menit
kemudian, menyesap sodanya. Francesca mengerjap ketika ia
melihat ekspresi terkejut Lucien dan Zoe. "Maksudku...Kupikir
kalian terlihat seolah...sudahlah," kata Francesca, meneguk lagi
minumannya dan meletakkan gelasnya di konter. "Abaikan saja aku.
Aku selalu mengatakan hal bodoh."
Lucien tertawa. Zoe tersenyum tergagap. "Tidak seperti itu. Ya. Zoe
dan aku berkencan. Kami hanya mencoba untuk menghindari radar,
itu saja." "Radar?" tanya Francesca, bingung.
"Ian, maksudnya," kata Lucien, tetap tersenyum.
"Ian" Kenapa kalian mencoba menghindari Ian?" tanya Francesca.
"Ini akan menjadi bahan pergunjingan bagi karyawan Noble
Enterpises untuk berkencan, terutama manajer dan bukan manajer,"
kata Lucien. "Aku terus mengatakan pada Lucien kalau aku asisten manajer," kata
Zoe menekankan, menatap pada Lucien. Nyatanya masalah ini
terlalu banyak untuk dibicarakan, topik kacau diantara pasangan.
"Kupikir kita tidak melanggar peraturan apapun. Kita berdua berada
di industri berbeda di perusahaan ini. Tentu saja Ian tidak akan
keberatan." "Siapa peduli pada pendapat Ian?" sembur Francesca, bersandar
pada bar dan mengerutkan dahi, "Kenapa setiap orang harus tunduk
padanya seolah ia adalah raja dunia atau semacamnya?" Kalian
berdua benar untuk menjalani kehidupan sesuai dengan keinginan


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalian, bukan si pengecut Ian Noble."
Kesunyian kental mengikuti semburan Francesca, membuat
Francesca menyadari jika Lucien menatap kebelakangnya dan Zoe
berbalik perlahan dari kursinya, ekspresinya membeku.
Francesca menutup matanya dan menghirup nafas melalui paruparunya yang
mengkerut. "Ian di belakangku, bukan?" ia berbisik
pada Lucien. Ekspresi datar Lucien menjawab pertanyaannya.
Francesca berputar dari kursinya, keraguan mulai timbul dalam
dirinya. Ian berdiri diantara pintu masuk restoran dan di bagian bar
dimana Zoe dan ia duduk. Melihat Ian telah merobek celah bergerigi
yang mendalam pada pertahanan dirinya. Kerinduan mengaliri
dirinya, begitu kuat hingga mencuri nafasnya. Ian memakai setelan
hitam tanpa cela yang menyoroti garis maskulin dari tubuh tingginya
dengan sempurna, salah satu dari kemeja putih yang ia sukai, dan
dasi abu-abu pucat. Wajahnya seperti pualam terukir, indah, dingin,
tenang. Namun matanya berkilat oleh kehangatan saat ia mengamati
Francesca - dan hanya dirinya - dari bayangan cahaya samar di bar
restoran. "Kapan kau kembali?" tanya Francesca, mulutnya kering.
"Baru saja," jawab Ian. "Mrs. Hanson bilang kau menyebut
rencanamu untuk mengamati lobi. Ketika aku tidak melihatmu, aku
langsung masuk ke kantorku, dan Pete-penjaga keamananmengatakan padaku tentang
pertemuannya dengan wanita muda
yang duduk di lobi sepanjang sore menatap ke langit-langit, sesekali
mengambil gambar tak berarti dan mengatakan padanya ia sedang
mengamati cahaya." Apakah bibirnya yang penuh sedikit mengejang
karena geli karena hal itu" "Aku merasa ia tidak yakin jika kau
adalah ancaman potensial untuk keamanan atau seorang peri?"
"Oh...Aku tahu," kata Francesca, merasa aneh seolah Ian baru saja
meraih dan memeluknya dengan komentar terakhirnya. Francesca
menatap tidak nyaman pada Zoe. Apakah mulut besarnya telah
membuat Lucien dan Zoe dalam masalah"
"Istirahat, Ms. Charon?" tanya Ian dengan sikap ramah yang dingin.
Zoe turun dari kursinya dan merapikan roknya, pipinya memerah.
"Saya sedang istirahat, tapi sekarang waktunya untuk kembali ke
kantor." Ian mengangguk, menatap pada kebingungan Zoe yang melihat
Lucien. "Ya. Selama bisa dijaga dengan hati-hati tentang hal ini,"
kata Ian, bertemu degan tatapan Lucien.
Lucien mengangguk. Francesca sadar, bingung, Ian baru saja
mengatakan pada pasangan itu jika ia setuju dengan hubungan
mereka selama mereka memamerkannya.
"Bisakah aku bicara denganmu sebentar" Ada sesuatu yang ingin
kutunjukkan padamu," kata Ian pada Francesca. Zoe sudah pergi,
jelas sekali maksud kepergiannya untuk kebaikan.
"Aku...Ok," kata Francesca, merasa sedikit terjebak oleh situasi ini,
bukan karena tatapan memaksa Ian dan kerinduan liarnya yang terus
naik. Apakah ia benar-benar bisa menghapus Ian dari pikiran dan
jiwanya begitu mudah hanya karena marah" Betapa besar
kemarahan, perasaannya tidak bisa dipahami untuk Ian"
Francesca pamit pada Lucien, memberinya tatapan meminta maaf
bersamaan. Lucien tersenyum meyakinkan.
"Kemana kita akan pergi?" tanya Francesca pada Ian ketika ia
berjalan bersama Ian keluar dari Fushion dan mereka berjalan
menuju pintu keluar lobi yang berlawanan dengan lift. Francesca
berpikir Ian akan membawanya ke kantornya, tapi ia malah
membawanya berputar ke trotoar.
"Kembali ke penthouse. Ada sesuatu yang inginku tunjukkan
padamu di sana." Francesca tiba-tiba berhenti, tatapannya menuju pada Ian. Sesuatu
berkedip di sepanjang wajah tenangnya, dan Francesca bertanyatanya jika Ian juga
mengingat bagaimana ia mengatakan hal yang
sama padanya beberapa minggu yang lalu...di malam saat mereka
bertemu pertama kali disini di Noble Enterprises.
"Aku tidak ingin pergi ke penthouse bersamamu," kata Francesca
kaku. Bukankah itu terdengar seperti kebohongan untuk Ian" Pasti
baginya. Bagian dari dirinya ingin sekali pergi ke penthouse dengan
Ian. Kenapa ia harus melihat Ian begitu menarik" Ian seperti narkoba
bagi tubuhnya bahkan lebih buruk dari kecanduan narkoba. Lebih
buruk karena jiwanya telah terlibat. Lebih buruk karena ia tidak bisa
menolak kecuali melihat sebagian dari jiwa Ian juga...tidak bisa
menolak kecuali dibayangi oleh apa yang dilihatnya.
"Kuharap kau merubah pikiranmu tentang apa yang kau katakan
sebelum aku pergi," kata Ian pelan, melangkah ke depannya. Awan
membujuk diatas sinar matahari dengan susah payah. Mata Ian
terlihat cemerlang dengan awan gelap, yang tergantung rendah
sebagai latar belakang. Mereka berdiri di trotoar yang ramai orang
sibuk lalu lalang. Tapi seolah ia hanya berdua dalam gelembung
dengan Ian. "Bukan masalah bagiku jika kau melemparkan kemarahan seperti
yang kau lakukan minggu lalu, Ian," kata Francesca. "Kau lari
dariku." "Aku kembali. Aku sudah bilang padamu aku akan kembali."
"Dan aku bilang aku tidak akan bersedia untuk berhubungan lagi
denganmu ketika kau kembali." Sesuatu menyala di mata Ian oleh
perkataan Francesca. Bagaimana pun juga, ia tahu Ian tidak suka ia
mengatakan suatu hal tertentu.
Aku ingin tahu jika kau bersedia untukku.
Tubuh Francesca menggeliat oleh memori itu. Ia menjauh dari
tatapan mempesona Ian dan menatap kosong kearah sungai.
"Lukisannya akan segera selesai."
"Aku tahu. Aku pergi dan melihat kemajuanmu ketika aku kembali
ke rumah sore ini. Itu mengagumkan."
"Terima kasih," kata Francesca, tetap menghindari tatapan Ian.
"Jacob mengatakan padaku jika kau lulus untuk semua tes
mengemudimu. Ia sangat bangga padamu."
Ia tidak bisa menahan tetapi tersenyum sedikit oleh hal itu. Itu saat
membanggakan untuknya, juga-sangat dalam hal apa pun. Ia
berhutang pada Ian untuk hal itu.
"Ya. Terima kasih telah menyarankannya padaku untuk
melakukannya." Francesca mengamati sepatunya. "Apakah
perjalanmu ke London menyenangkan?"
Ketika Ian tidak langsung menjawab, Francesca menatapnya.
"Aku tidak tahu jika aku mengatakan padamu kemana aku pergi,"
kata Ian. "Kau tidak mengatakannya. Aku hanya menebak. Kenapa kau selalu
pergi sendiri ke London?" tanya Francesca mengikuti kata hatinya.
"Jacob bilang padaku kau tidak pernah mengajaknya."
Francesca melihat ekspresi gelapnya. "Jangan menyalahkan Jacob. Ia
juga tidak tahu kau ada di mana. Aku bertanya padanya tentang hal
ini dan ia bilang ia tidak pernah menyetir untukmu di London. Aku
menduga kau pasti ada di sana, karena Jacob berada di Chicago."
"Kenapa kau begitu ingin tahu?"
Francesca mengerjap oleh pertanyaan Ian. Memangnya kenapa, jika
ia bilang tidak tertarik pada Ian lagi"
"Apa yang ingin kau tunjukkan padaku di penthousemu?"
Tatapan lembut Ian mengatakan padanya jika Ian sangat tahu kalau
Francesca menghindar untuk menjawab pertanyaan Ian. Ian
mengambil tangannya, mendorongnya untuk berjalan disamping Ian.
"Sesuatu untuk ditunjukkan, bukan dijelaskan."
Francesca ragu selama beberapa detik. Apakah ia benar-benar telah
memaafkan Ian karena pergi tiba-tiba Jumat lalu tanpa menjelaskan
kepentingannya" Francesca mendesah dan melangkah kesampingnya.
Francesca tidak ingin menyerah, tapi seperti malam pertama, perlu
upaya keras untuk menolaknya. Mungkin karena hari sepinya tanpa
kehadiran Ian, atau kemunculannya yang mendadak telah
meruntuhkan pertahanannya, atau mungkin karena rasa
memabukkan oleh kehangatan dan kebahagiaan yang ia rasakan
sejak melihatnya lagi. Apapun alasannya, sore ini kemampuan untuk melawan semakin
lemah ketika berhadapan dengan Ian Noble.
*** Because I Need To Bab 14 Francesca melangkah keluar dari lift, jalan masuk ke dalam serambi
penthouse Ian menghantamnya seolah tempat yang asing, meskipun
ia merasa akrab dengan rumah ini beberapa minggu terakhir. Banyak
hal berubah sejak pertama kalinya melongok ke dalam dunia Ian.
Namun perasaan gembira sekaligus gelisah saat memasuki
penthouse yang tenang dengan Ian tepat di belakangnya terasa begitu
familiar. "Sebelah sini," kata Ian, suaranya parau dan tenang saat buku jarinya
dengan lembut membelai belakang lehernya. Antisipasi dan
keingintahuannya muncul ketika ia mengikuti Ian ke ruangan yang ia
tahu itu adalah perpustakaan juga kantor tempat dimana lukisan
bernama "The Cat That Walks By Himself" tergantung.
Ketika Ian membuka pintu dan Francesca yang pertama masuk ke
ruangan itu, hal pertama yang terlintas di benaknya adalah sosok
seorang pria yang sedang melakukan pekerjaannya.
"Davie?" seru Francesca, merasa sangat terkejut melihat temannya di
tempat yang tak terduga. Davie menengok dari balik bahunya dan menyeringai. Ia meletakkan
lukisan yang telah ia susun dan berbalik menghadapnya. Francesca
menatap bergantian atas kehadiran temannya yang mengejutkan dan
lukisan yang ia tempatkan pada meja panjang di dekat dinding.
"Oh Tuhan! Dari mana kau mendapatkan lukisan ini?" Francesca
terkesiap tak percaya, menatap pada lukisan pemandangan kota
yang ia buat untuk Wringley Building, the Union dan Carbide
Building dan Gothic-rocket masterpiece, 75 East Wacker. Francesca
melukisnya ketika ia berusia duapuluh tahun dan menjualnya
seharga dua ratus dolar di galery pinggiran kota. Ia tidak ingin
menjualnya, namun ia tidak punya pilihan.
Sebelum Davie bisa menjawab, Francesca menatap sekeliling
ruangan, mulutnya ternganga dengan terkejut. Ia tidak bisa bernapas.
Lukisannya mengelilingi seluruh perpustakaan. Davie meletakkan
semua itu di ruangan, enam belas atau tujuh belas lukisan itu kekasih yang hilang - semuanya tersebar dari rak di atas tungku dan
The Cat That Walks By Himself, yang tergantung paling atas.
Francesca belum pernah melihat begitu banyak karyanya terkumpul
secara bersamaan. Ia menjual mereka satu demi satu, bagian dari
jiwanya terpisah setiap kali ia menjualnya. Bagian dari dirinya selalu
membenci dirinya sendiri karena tidak bisa menyimpan bagian
berharga dari kreativitasnya yang nyaris...sakral.
Dan sekarang di sini semua lukisannya berada dalam satu ruangan.
Francesca terguncang oleh emosi.
"Cesca," kata Davie, suaranya terdengar tegang. Davie
mendekatinya, senyum bahagianya adalah sesuatu dari masa lalu.
"Kau yang melakukan ini?" suara Francesca melengking.
"Aku melakukannya menurut permintaan," kata Davie. Francesca
mengikuti lirikannya. Ian hanya berdiri di ambang pintu perpustakaan, menatap Francesca
dengan tatapan sayu yang berubah menjadi kekhawatiran - dan
sesuatu yang lain, sesuatu yang gelap...menyedihkan - saat ia
mengamati wajah Francesca.
Oh, tidak. Francesca bisa melindungi dirinya dari kesombongan Ian.
Sifat mengontrolnya. Keangkuhannya.
Tetapi ia tidak bisa melindungi diri dari kegelisahan, ekspresi
tersesat yang samar telihat di wajah tampannya yang tegas. Ini tak
tertahankan. Beban emosinya menggelora seperti badai yang
menyerbu pantai. Francesca buru buru keluar dari ruangan.
*** "Aku saja," kata Davie ketika Ian berbalik untuk mengikuti
Francesca, wajahnya merengut oleh bayangan kesedihan di wajah
cantiknya. Ian benci merasa tak berdaya. Sepanjang hidupnya ia
menjauhi sensasi yang tidak menyenangkan itu. Namun ia harus
menerima emosi penuh kebencian itu saat ia dengan susah payah
menghentikan langkah kakinya dan melihat Davie melewatinya
untuk mengejar Francesca.
*** "Bagaimana caramu melakukan ini, Davie?" tanya Francesca ketika
temannya masuk ke studio beberapa menit kemudian. Ia senang itu
adalah Davie dan bukan Ian. Ian telah meratakan sisa pertahanannya
yang rapuh dengan melakukan apa yang telah ia lakukan. Bagaimana
Ian tahu kalau memberinya kepingan masa lalunya akan
menghapuskan pertahanan diri Francesca terhadapnya"
Davie mengangkat bahu dan berjalan menuju meja dimana
Francesca menyimpan peralatannya. Davie menarik secarik tisu dan
memberikannya pada Francesca.
"Ian memberiku kekuasaan penuh menemukannya dan membeli
sebanyak mungkin. Ketika kau punya banyak uang, tidak sulit
bagimu untuk melakukannya."
"Tentang uang, maksudmu," kata Francesca. menghapus air mata di
pipi dengan tisu. Davie menatapnya penuh perasaan. "Aku tahu kau bilang padaku
minggu lalu apa yang terjadi diantara kau dan Ian telah berakhir, tapi
kami mulai melakukan ini sudah cukup lama...bahkan sebelum kau
pergi ke Paris. Kau marah padaku?"
"Karena bekerja sama dengan Ian?" Francesca menarik napas,
tersenyum sedih. "Aku tidak akan akan melakukannya untuk alasan yang lebih rendah.
Kau tahu aku telah mencoba untuk mendapatkan beberapa lukisan
lamamu sekarang. Itu karena kupikir kau adalah seniman berbakat
hingga aku mau melakukannya, Cesca. Itu adalah tujuan utamaku
kerena setuju untuk membantu Ian mengumpulkan karyamu. Bukan
uangnya." Perhatiannya teralih. Davie berdiri di depan lukisan. "Kau
mengalahkan dirimu sendiri," kata Davie dengan nada
menenangkan. "Ini adalah lukisan terbaik yang pernah kau
kerjakan." "Kau pikir begitu?" tanya Francesca, berjalan kearah Davie.
Davie mengangguk dengan sungguh-sungguh, tatapannya
menelusuri lukisan besar itu. Tatapannya bertemu dengan tatapan
Francesca. "Aku tahu, kau bilang kalau...hubunganmu dengan Ian
sudah berakhir, Ces, aku menyadari jika Ian Noble tergila-gila
padamu. Memang, aku pernah mengungkapkan keraguanku tentang
hubunganmu dengannya beberapa waktu lalu. Tapi ini bukan hanya
tentang Ian yang menghambur-hampurkan uangnya. Kau tidak akan
percaya berapa banyak usaha dan pikiran yang ia keluarkan untuk
mendapatkan kembali karyamu."
Francesca tidak yakin apa yang seharusnya ia rasakan. Dua titik air
mata jatuh dari matanya. "Dia melakukannya karena ia bisa, Davie."
"Apa yang salah dengan itu?" tanya Davie, terlihat bingung. "Apa
karena Ian Noble begitu mengintimidasimu" Aku bisa bilang kau
tertarik padanya, tapi juga terkoyak. Apa yang dia lakukan padamu?"
tuntut Davie, kebingungannya berubah menjadi khawatir saat
mengamati wajah Francesca.
"Oh, Davie," gumamnya sedih. Francesca tidak pernah mengatakan
pada Davie tentang kehidupan seksnya dan hubungannya dengan
Ian...tentang Ian yang menjadi dominan secara seksual dan


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memintanya menjadi submisif. Ia tiba-tiba menceritakan semuanya,
penjelasannya keluar dengan tidak nyaman dan ia mulai mencoba
menjelaskan kepada Davie dalam versi halus dan mengetahui
hampir tidak mungkin untuk melakukannya.
"Francesca," kata Davie, terlihat sedikit tidak nyaman.
"Berhubungan seks secara kinky bukanlah sesuatu yang buruk. Aku
tahu kau tidak punya banyak pengalaman - "
"Tidak punya sedikitpun...sebelum bersama Ian," Francesca
mengingatkannya. "Benar. Tetapi banyak orang melakukan begitu banyak hal kinky di
ranjang. Selama itu suka sama suka dan tidak ada yang tersakiti..."
Davie memucat saat ia mundur. "Ian tidak menyakitimu, kan?"
"Tidak...tidak, bukan seperti itu," seru Francesca. "Maksudku... aku
suka...aku sangat suka cara dia bercinta denganku," kata Francesca
dengan wajah merah padam. Ia tidak pernah berbicara seperti ini
sebelumnya bersama Davie...ataupun yang lain, sebenarnya. "Itu
hanya karena dia gila kontrol sepanjang waktu. Lihat apa yang dia
lakukan di belakangku dan melakukan hal ini denganmu! Kau tahu
ini akan membuatku ingin memaafkan dia karena lari dariku minggu
lalu tanpa penjelasan setelah kami mulai dekat."
Davie mendesah. "Sudah kubilang padamu. Ian memintaku
mengumpulkan lukisanmu sudah cukup lama. Ian tidak tahu kalau
kalian nantinya akan bertengkar dan menyarankan hal ini untuk
memperbaiki hubungan kalian. Dengar, aku menghabiskan waktu
berhadapan dengannya selama lebih dari beberapa minggu ketika
aku mengumpulkan lukisanmu dan kami merundingkan harga. Aku
tahu ia mendominasi, namun dia juga bijaksana. Yeah, dia keras
kepala, dan ini adalah bagaimana dia, sulit untuk berdebat
dengannya ketika dia jelas sangat ingin melakukan ini untuk
membuatmu senang." Francesca hanya menatap temannya...ingin mempercayainya...
"Aku hanya tahu satu orang yang sama keras kepalanya dengan dia,"
kata Davie masam, mengubah nada suaranya. Francesca tertawa. Ia
tahu siapa orang itu. "Jika kau ingin menegaskan kepadanya kalau dia hanya boleh
mendominasimu sebatas seks dan ranjang, apakah itu bisa
membantu?" tanya Davie.
"Tapi dia sangat sedikit membagi masa lalunya. Ia bisa menutup diri
dariku seperti mematikan lampu."
Davie mengangguk paham. "Baiklah, itu keputusanmu, tentu saja.
Aku tidak yakin dia bisa menutup diri darimu, bagaimana pun juga.
Ian adalah orang yang paling tidak dapat dibaca sepanjang waktu,
tidak diragukan lagi, tapi itu bukan karena kurangnya perhatian.
Artinya dia pintar menyembunyikannya. Baiklah, aku ingin kau tahu
betapa fokus dan dermawannya Ian ketika dia mengumpulkan
lukisanmu. Ian seperti pria dalam sebuah misi." Davie memeriksa
arlojinya. "Aku harus pergi. Aku menutup gallery sore ini."
"Terima kasih, Davie," kata Francesca, memberinya pelukan erat.
"Untuk mengumpulkan lukisanku dan untuk berbicara tentang Ian."
"Sama-sama," kata Davie padanya dengan pandangan penuh arti.
"Kita akan membicarakannya lebih banyak nanti, kalau kau mau."
Francesca mengangguk, melihat Davie keluar ruangan,
meninggalkannya dalam keraguan dan harapannya.
*** Sepuluh menit kemudian, Francesca mengetuk pelan pintu kamar
Ian. Francesca masuk ketika ia mendengar suaranya dari jauh
"Masuk". Ian duduk di sofa ruang duduk, setelan jasnya tidak
terkancing, kaki panjangnya ditekuk di depannya, membuka pesan
pada ponselnya, tatapannya tetap tertuju pada Francesca saat ia
mendekat. "Aku hanya melihat lukisan itu lagi," kata Francesca. "Aku minta
maaf karena aku pergi begitu saja."
"Kau baik-baik saja?" tanya Ian, meletakkan ponselnya di sofa.
Francesca mengangguk. "Aku hanya...kewalahan menghadapinya."
Keheningan terjadi saat Ian mengamati Francesca.
"Kupikir itu akan membuatmu bahagia. Lukisan itu."
Mata Francesca seakan terbakar dan ia menunduk menatap karpet
Oriental. Ia pikir ia sudah menghilangkan semua air matanya.
"Lukisan itu membuatku bahagia. Lebih dari yang bisa kukatakan."
Francesca memberanikan diri menatap Ian. "Bagaimana kau tahu
kalau lukisan itu akan membuatku bahagia?"
"Aku melihat betapa bangganya kau pada hasil karyamu," kata Ian
berdiri. "Aku hanya bisa membayangkan betapa sulitnya kau
berpisah dengan lukisanmu."
"Seperti memberikan sebagian dari diriku pergi setiap kali
melakukannya," kata Francesca, mencoba tersenyum, memutar
tangannya dengan gugup. Tatapannya tertuju pada wajah Ian ketika
dia mendekatinya, dan ia tertahan oleh tatapan Ian. "Aku tak tahu
bagaimana aku bisa membayarmu. Maksudku...Aku tahu lukisan itu
milikmu. Kau yang membelinya. Tapi bagiku melihat lagi semua
lukisan itu terasa begitu istimewa. Tapi tidak kau pikir ini semua
terlalu berlebihan?"
"Kenapa ini jadi berlebihan" Kau pikir aku melakukannya untuk
membawamu kembali ke ranjang?"
"Tidak, tapi - "
"Aku melakukannya karena kau luar biasa berbakat. Kau tahu betapa
aku menghargai seni. Menyenangkan bagiku melihat karyamu
dihargai seperti yang seharusnya. Perlindunganku tidak berarti apaapa jika kau
tidak begitu berbakat, Francesca."
Francesca menghembuskan napas perlahan. Bagaimana bisa ia
mendebat Ian dengan wajahnya yang terlihat benar-benar tulus.
"Terima kasih. Terima kasih banyak karena memikirkan aku, Ian."
"Aku memikirkanmu lebih dari yang kau tahu."
Francesca menelan dengan susah, mengingat apa yang Davie
katakan tadi..."Dia pintar menyembunyikannya."
"Aku minta maaf karena membuatmu kesal minggu lalu. Aku benarbenar punya keadaan
darurat yang harus diselesaikan. Aku tidak
mencoba untuk menghindarimu," kata Ian. "Perasaanku tentang
hubungan kita tetap sama. Aku harap kau mempertimbangkan lagi
apa yang kau katakan beberapa hari yang lalu. Aku tidak bisa
berhenti memikirkanmu, Francesca," kata Ian, perkataannya yang
terakhir membuat Francesca menatapnya.
"Jika...jika kita melanjutkan apa yang telah kita lakukan
sebelumnya, Ian...maukah kau berjanji hanya mencoba dan
mengontrolku...mendominasiku di ranjang?" tanya Francesca smbil
terengah. Mengatakan hal itu ternyata lebih sulit dari yang sudah
Francesca siapkan. Saat Ian tidak langsung menjawab, jantungnya
seakan tenggelam di dadanya. Ekspresi Ian tenang, namun matanya
berkilat oleh emosi. "Maksudmu selama seks" Karena aku tidak bisa menjamin bahwa
aku hanya akan menginginkanmu sebatas di ranjang. Seperti yang
kau tahu saat di Paris, gairah bisa muncul di mana pun."
"Oh...baiklah, ya. Itu juga maksudku. Aku mengakui kalau aku
menyukainya saat kau...mendominasiku selama seks, tapi aku tidak
ingin hidupku jadi dikontrol."
"Maksudmu seperti aku mencoba untuk mengontrol Elizabeth?"
"Kau bilang kalau kau mempercayaiku lebih dari Elizabeth."
Francesca merasa Ian sedang mempertimbangkan usulannya dan
merasa perlu untuk menjelaskannya sendiri.
"Aku sebenarnya ingin berterim kasih padamu untuk
menganjurkanku agar bisa mengontrol hidupku lebih baik," kata
Francesca, tidak ingin Ian berpikir jika ia tidak tahu apapun tentang
perubahan yang Ian lakukan padanya selama hubungan mereka yang
relatif singkat. "Aku sangat menghargai kau telah melakukannya.
Tapi aku ingin menjadi orang yang memegang kendali, Ian.
Maksudku diluar hubungan seks," tambah Francesca dengan lirih.
Bibir Ian membentuk garis tajam. "Aku tidak bisa menjamin aku
tidak akan melakukan apa yang tidak kau inginkan."
"Tapi maukah kau mencoba?"
Tatapan Ian menelusuri wajahnya sebelum tatapannya menjauh dan
menghembuskan napas. "Ya. Aku akan mencoba."
Hati Francesca melambung. Francesca bergegas mendekati Ian dan
memeluknya, meremas pinggangnya hingga Ian mendenggus. Ian
terlihat senang ketika Francesca menatapnya beberapa saat
kemudian. Ian pasti menyadari kegembiraan yang melanda
Francesca oleh perkataannya. Aku akan mencoba.
"Aku punya ide," kata Francesca. "Aku akan mengajakmu naik
motor." "Aku tidak bisa," kata Ian menyesal sambil membelai pipinya.
"Tapi Jacob bilang aku adalah pengemudi yang baik - lebih baik dari
pada menyetir mobil."
Ian tersenyum lebar, dan Francesca mengerjap oleh senyumnya.
"Bukan itu maksudku. Aku harus pergi ke kantor. Aku harus masuk
ke kantor. Aku harus bekerja."
"Oh," kata Francesca, sangat kecewa. Francesca dengan cepat
menutupinya, bagaimana pun juga. Ia mengerti kalau Ian punya
tanggung jawab yang besar.
"Tapi karena kau sekarang sudah menyebutkannya, aku membawa
kejutan untukmu dari London," kata Ian, seringai tetap menghantui
mulutnya yang tegang. "Apa?" Ian menurunkan tangannya dan berjalan melewatinya menuju ke
lemari. Ketika Ian kembali, ia membawa helm hitam di salah satu
tangannya, sepasang sarung tangan kulit hitam terselip didalamnya,
dan jaket kulit hitam super ketat yang tergantung di hanger.
"Oh Tuhanku, aku menyukainya," Francesca berteriak, langsung
menuju ke jaket. Jaket itu panjangnya mencapai pinggang, dengan
resleting diagonal perak dan kancing. Francesca tahu kalau jaket itu
sangat pas dengan tubuhnya. Jemarinya menelusuri kulit lembut itu
dengan gembira. "Bisakah aku mencobanya?" ia bertanya pada Ian,
penuh kegembiraan. "Tidak ada protes untuk hadiah ini?" tanya Ian bergurau ketika
Francesca dengan cepat melepas jaket dari gantungan.
Francesca tersipu karenanya. "Aku seharusnya protes...tapi...ini
terlihat seolah dibuat khusus untukku," kata Francesca, menatap
helm dengan gembira. "Karena memang begitu," gumam Ian. Francesca tersenyum sambil
menengok dari balik pundaknya ketika ia terburu buru masuk ke
kamar mandi, ingin melihat bayangannya memakai jaket. Bagaimana
ia bisa tahu hadiah yang begitu sempurna" Francesca berharap bisa
melakukan hal yang sama pada Ian sebagai balasan. Ia mendengar
ponsel Ian berdering dari kejauhan ketika ia menutup resliting jaket
dan berputar dari sisi ke sisi. Jaket itu pas sempurna - ketat,
megkilap, dan seksi. Francesca berjalan kembali ke kamar tidur, berseri-seri. Ian duduk di
sofa lagi, berbicara di ponselnya. Alisnya terangkat menahan
kekaguman saat Francesca memeragakan jaket itu untuknya, mata
birunya menelusuri Francesca dari kepala hingga ke kaki.
"Mari lihat pada pajak pengeluaran," Ian bicara pada siapa pun di
ujung sana. Francesca berjalan ke arah Ian, merasa luar biasa
gembira setelah percakapannya dengannya. Apakah ia membuat
kesalahan dengan mengingkari tantangannya untuk mengakhiri
hubungan dengannya" Namun Ian bilang ia akan mencoba untuk tidak menjadi begitu
mengontrol. Itu semua sangat berarti bagi Francesca. Francesca tahu
orang tidak bisa merubah pendiriannya dalam semalam, dan menurut
pendapat Ian, hasratnya untuk mengontrol dan mengawasi segala
sesuatu disekelilingnya mengingatkan dirinya kembali pada ke masa
kecilnya, ketika Ian terpaksa untuk menjaga ibunya atau sebaliknya.
Mungkin ini adalah sebagian dari kesediaannya untuk menerima
pemberian Ian. Jika Ian bilang akan mencoba dan sedikit lentur, ia
seharusnya juga bisa. Tentu saja, jaket menawan dan helm
merupakan hadiah yang mudah untuk diterima, ia mengakui pada
dirinya, tangannya menelusuri pada garis mengkilap jaket itu.
Sesuatu berkilau di mata Ian ketika ia membelai kulit di bawah
dadanya. Sesuatu juga menyala dalam darahnya. Francesca melangkah kearah
Ian. Ian terus menerus menatap Francesca, cuping hidungnya sedikit
melebar. Saling berjauhan satu sama lain - ketakutan terdalam
Francesca jika ia tidak akan pernah menyentuh Ian lagi - tiba-tiba
begitu jelas dalam pikirannya.
"Mari lihat bunga surat obligasi dan biaya pengajuan, dan kita akan
bandingkan dengan pinjaman bank," kata Ian melalui telepon.
Keanehan yang timbul dari keberaniannya, rasa terima kasih, dan
gairah bergerak di dalam dada Francesca. Ian memberinya hadiah
yag tak terhitung dari lukisannya. Ian membawa kembali masa
lalunya. Francesca ingin memberinya sesuatu sebagai balasan.
Ekspresi Ian datar ketika Francesca datang di depannya dan dengan
lembut menyentuh lututnya. Mata Ian melebar ketika Francesca
berlutut diatara kedua kakinya. Ian menangkap tangannya ketika
Francesca meraih gesper peraknya. Tatapan mereka bertemu,
memohon dengan diam, dan genggamannya pada Francesca
mengendur. Francesca membuka gespernya dan melepaskan celananya dengan
cekatan. "Tapi surat penerbitan obligasi akan memberi kita lebih banyak
kelonggaran untuk akuisisi di masa depan disaat kita ingin
menggunakan pinjaman bank," Ian berkata di telepon. Buku jarinya
menyapu disepanjang celana dalamnya yang menutupi kejantanan
Ian ketika Francesca mencoba untuk menurunkan ban pinggang
celana dalamnya. Ian mendengus dan kemudian berdehem untuk
menutupinya. Francesca menatap Ian dengan pandangan terima
kasih ketika Ian mengangkat pinggangnya sedikit, membantu
Francesca untuk membuka celana panjang dan celana dalam
menuruni pahanya. Francesca memegang ereksi Ian ditangannya beberapa saat
kemudian, mengamatinya dengan terpesona. Miliknya begitu lembut
seperti yang pernah Francesca lihat. Gelombang kelembutan dan
gairah melandanya oleh pemandangan darinya, oleh sensasinya...
oleh aroma pria yang merembes ke hidungnya. Dalam beberapa
detik Francesca merasa Ian mengeras, melihatnya menjadi lebih
panjang dan membesar. Mengagumkan. Francesca menutup matanya dan menyelipkan milik Ian ke dalam
mulutnya, ingin merasakan miliknya menjadi lebih keras di sana.
Oh, aku menyukai ini, pikir Francesca ketika kabut gairah
melingkupinya. Saat Francesca membawanya ke mulutnya sebelum
ia benar-benar mengeras, Francesca bisa memasukkan milik Ian
lebih dalam lagi. Kepala Francesca mengayun di pangkuan Ian
ketika ia lebih bersemangat. Ereksinya telah membesar,
meregangkan bibirnya melebar. Francesca bergetar saat Ian
membelaikan jarinya pada rambutnya, dan kemudian menyebar pada
tulangnya. Di kejauhan, Francesca mendengar Ian berkata, "Uh...
tentang apa itu, Michael" Ya, lakukan evaluasi harga dari dua
skenario itu." Ereksinya sekarang sudah membengkak sepenuhnya, memenuhi
mulut Francesca...terlalu penuh, tangan Ian berada di belakang
kepalanya menggenggam rambutnya, menggunakan genggamannya


Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lembut memandu irama. Francesca mulai menggunakan
tangannya bersama-sama dengan mulutnya, membelai batang tebal
itu keatas ketika ia menyelipkannya keluar dari mulutnya,
menggenggamnya kuat dalam gerakan menurun ketika ereksinya
turun ke bawah. Ian memebuat suara tercekik tertahan dan terbatuk.
"Uh...ya, lakukan untukku Michael, dan berikan aku skenario harga
untuk sepuluh tahun penerbitan obligasi dan dua puluh tahun. Aku
akan membuat keputusan ketika aku sudah melihat semua datanya.
Ya, itu saja sekarang, terima kasih."
Francesca samar-samar menyadari jika ponsel Ian jatuh ke bantalan
sofa. Francesca menatapnya, ereksinya terbenam separuh dalam
mulutnya. "Jangan menatapku dengan tatapan tak berdosa," gumam Ian,
menggunakan genggamannya pada rambut Francesca untuk
mengerakkannya maju dan mundur pada batang ereksinya,
mengontrolnya. "Kau tahu dengan baik apa yang kau lakukan, benar,
kan" Benar, kan?" ia bertanya lebih tegas meskipun ia mendorong
Francesca lebih cepat. Francesca mengangguk dan menggumam
sebagai tanda setuju. Ian mendesis. "Kau dengan sejngaja ingin
menyiksaku, Francesca."
Francesca menghisap dengan semua kemapuannya dan
menggelangkan kepalanya sedikit. Ian terengah.
"Tidak perlu mengingkari kenyataan, sayang," kata Ian, suaranya
berubah kasar. Francesca mengerang dengan gugup, tersesat dalam sihir untuk
memberikannya kenikamatan.
Francesca memasukkan milik Ian ke dalam tenggorokannya. Ian
mendesis dalam kenikmatan dan kemudian menarik rambutnya,
menuntutnya untuk menghisap lebih cepat dan menelan. Francesca
memompa dengan kepalan tanngannya, ingin memuaskan Ian,
merasa liar untuk melihatnya kalah, putus asa ingin merasakan Ian.
Ian mendorong kepalanya turun, dan Francesca mengambilnya lagi
ke dalam tenggrokannya, cuping hidung melebar untuk bernapas.
Pinggangnya terangkat sedikit dari sofa, dan ia terengah. Rintihan
tertahan Ian berubah menjadi geraman ketika ia mulai klimaks.
Francesca merasa ia bertambah besar, matanya melebar saat Ian
mulai ejakulasi, memotong gerakan tercekiknya agar langsung
menuju ke tengorokannya. Ian mundur hanya satu atau dua detik, menghujam kedepan dan
belakang diantara jepitan bibirnya, mengosongkan dirinya di lidah
Francesca. Setelah beberapa saat, genggaman eratnya di rambut Francesca
mengendur sambil memijat kulit kepalanya. Tubuhnya yang besar,
kokoh merosot pada bantalan sofa. Francesca mengeluarkan
ereksinya dengan suara letupan basah.
"Kau pantas dihukum hingga pantatmu merah karena melakukan
ini," kata Ian, menatap Francesca dengan mata menyipit saat
Francesca menjilatkan bibirnya pada sisa ejakulasinya. Francesca
melihat senyum kecil Ian dan balas tersenyum. Ian sama sekali tidak
terlihat marah. Lebih mirip seperti pria yang sangat terpuaskan, pria
yang sepenuhnya senang. "Apa kau akan memberiku hukuman?" tanya Francesca, getaran
gairah melandanya. "Tidak diragukan lagi. Kau akan menerima pukulan yang
sepantasnya. Aku tidak bisa membiarkanmu menggangguku saat
aku bekerja, Francesca," gumam Ian, tindakan Ian bertolak belakang
dengan kata-katanya saat ia membelai rambut Francesca dengan satu
tangan dan membelai pipinya dengan tangannya yang lain, sikapnya
lembut. Menyayangi. Francesca merasa kalau Ian benar-benar
menikmati diganggu olehnya.
"Pergilah ke kamar mandi dan pakai jubah," kata ian.
Francesca berdiri dan mengikuti perintahnya, nadinya berdenyut di
tenggorokannya. Ketika ia masuk kembali ke suite beberapa menit
kemudian, ia berhenti memandang Ian yang sedang menunggunya,
hanya memakai celana panjangnya, tubuhnya yang berotot telanjang.
"Ikut aku," kata Ian, meraih tangannya. Mata Francesca melebar
ketika ia melihat Ian mengambil kunci dari tasnya.
"Yang kulakukan tidak terlalu buruk, bukan?" tanya Francesca
gelisah ketika Ian membuka kamar dimana ia bilang Francesca akan
menerima hukuman yang lebih keras.
"Kau mengganggu kemampuanku untuk berpikir secara rasional
sementara aku membuat keputusan bisnis," renung Ian sambil
membawanya masuk ke kamar dan menutup pintu di belakang
mereka, menguncinya. Ian membawanya menuju tempat duduk tinggi yang ia lihat di saat
pertama ia berada di kamar ini, salah satu yang terletak di depan
seperti ballet bar di dinding dan melengkung kebelakang secara tidak
biasa. Dari depan terlihat normal, seperti setengah lingkaran. Tapi
dari belakang kursi itu masuk ke dalam, seolah bulan sabit dari
lingkaran yang terpotong. Ian meninggalkannya dan pergi ke lemari
kayu cherry, membuka laci. Francesca mengamati tempat duduk itu,
bingung dan makin senang. Ketika Francesca melihat Ian membawa
sebotol perangsang klitoral dan tongkat kulit hitam, kewanitaannya
berdenyut erat. Ian menatap wajahnya intens beberapa saat kemudian sambil ia
menggosokkan krim di klitnya.
"Aku akan memberikanmu lima belas pukulan keras. Kau layak
menerima atas apa yang kau lakukan."
Pipi Francesca memanas oleh perasaan ingin membangkang dan
juga gairah. "Kau bahkan tidak mengeluh."
Mulut Ian menegang keras oleh perkataan Francesca.
"Duduk di kursi itu, wajah menghadap di dinding," perintah Ian.
Francesca menurut, duduk di depan kursi dengan tujuan menghindari
guntingan bulan sabit di belakang kursi. "Bergeser kebelakang
hingga pantatmu berada di ujung. Miring ke depan dan letakkan
tanganmu di bar. Benar begitu."
Francesca segera menyadari ketika ia miring dan memberikan tiang
itu berat tubuh bagian atasnya dan pantatnya jatuh dari ujung kursi
ke guntingan. Krim itu mulai membuat klitnya terbakar sementara ia
melihat Ian bergerak di belakangnya, tongkat hitam besar itu
digenggam tangannya yang lebar.
Oh, tidak. Pantatnya benar-benar terbuka dan rentan...dan berada di
tempat yang sempurna untuk ayunan lengannya.
Plakkk. Rintihan keluar dari tenggorokannya oleh sengatan cepat dan rasa
terbakar yang berkepanjangan.
"Shhh," Ian menenangkan, membelokkan tongkat dan menggosok
pantatnya dengan bulu. "Terlalu keras?"
"Aku bisa menerimanya," kata Francesca sambil terengah.
Ian menangkap tatapannya di cermin dan tersenyum.
Ian mengayunkan lengannya dan mendaratkan pukulan lainnya, dan
kemudian lainnya. Kali ini, Ian menggunakan tangannya untuk
meredakan nyeri di pantatnya, mengelus tangannya dan dengan
lembut mendekap masing-masing pantatnya dengan telapak
tangannya. "Sayangnya kau punya pantat yang begitu indah." gumam Ian ketika
ia melihat dirinya memukul Francesca.
"Kenapa?" "Mungkin jika tidak, aku tidak akan menghukumnya terlalu keras."
Dengusan Francesca berubah menjadi erangan ketika Ian
memukulnya lagi, menyengat lengkung terbawah dari pantatnya.
Francesca melihat ereksinya menonjol pada kain celananya. Ian
mendesis dan menggenggamnya dari balik celananya.
"Kupikir aku dihukum karena mengganggumu saat sedang bekerja,"
kata Francesca, melihat dengan mata terbelalak saat ia mengusap
ereksinya sementara ia mengayunkan tongkat lagi. "Ohhh," kata
Francesca dengan nada mengejek beberapa saat kemudian ketika ia
memukulnya di tempat yang sama- lengkung terendah dari
pantatnya. Ia benar-benar memukulnya di sana. Meskipun pukulan
itu cepat, klitnya terjepit ketat oleh gairah.
"Maaf," gumam Ian, sekarang mendaratkan pukulan di bagian teratas
pantatnya. "Kau di hukum karena menggangguku. Aku hanya ingin
bilang...kalau pantat indah ditakdirkan untuk di hukum sesering
mungkin," kata Ian, bibirnya menarik senyum kecil. Francesca
menahan erangan ketika Ian mendaratkan pukulan lainnya. Ia bisa
melihat pantatnya berubah jadi merah muda dari kaca di
sampingnya. Francesca tidak bisa menahan erangan dari gairah murni ketika Ian
membuka celana panjangnya dan mendorongnya dan celana dalam
di bawah bola dan ereksinya.
"Ian," Francesca mengerang melihat ereksinya yang terpampang.
"Kau lihat apa maksudku?" tanya Ian, memukulnya lagi dan
membuat udara keluar dari paru-parunya. Ian membelai ereksinya
dan memukulnya lagi. Francesca tidak bisa mengalihkan tatapannya
dari tangannya yang bergerak naik turun pada batang penisnya yang
keras. "Aku tidak berencana untuk bercinta denganmu, hanya
menghukumnya. Tapi pantat manismu membuatku mengubah
pikiranku." "Ooh," jeritan keluar dari tenggorokannya ketika Ian memukul
pantatnya lagi. Pantatnya mulai terbakar. Francesca menggertakkan
giginya ketika ia melihat Ian mengayunkan tangannya ke belakang.
"Berapa banyak lagi?" tanya Francesca,merintih ketika Ian
memukulnya lagi. "Aku tidak tahu. Kau telah membuatku teralihkan lagi," kata Ian
muram, mendaratkan pukulan lagi. Francesca melihat ia membelai
ereksinya yang telah mengeras lebih keras, mengeryit saat ia
melakukannya. Ian memukul Francesca di bagian cekungan terendah
pantatnya lagi, membuat daging itu melambung ke atas oleh
pukulan keras. Ian memaki penuh semangat dan melemparkan
tongkat itu di sofa, mengejutkan Francesca.
"Hukumanku selesai?" tanya Francesca, mengabaikan sikap kasar
Ian. "Belum," kata Ian, berjalan cepat ke lemari dan mengambil
kondom. "Giliran ereksiku yang akan menghukummu," kata Ian
dengan tegang. Francesca menatapnya penuh antisipasi saat Ian
dengan tergesa-gesa melepas pakaian dan mendekatinya,
menggulung kondom pada ereksinya yang besar.
"Berdiri," kata Ian, berjalan di belakangnya.
Klitnya membara diantara pahanya saat ia melakukan permintaan
Ian. Pantatnya serasa terbakar. Francesca menahan keinginan untuk
menggosoknya untk meredakan rasa sakitnya.
"Berpegangan pada tiang dan membungkuk ke depan," kata Ian,
sentuhannya lembut pada pinggang Francesca. Francesca mengikuti
perintahnya. Hampir setelah ia menegakkan bagian atas tubuhnya
dengan berpegangan pada tiang, Ian memisahkan pantatnya dan
mendorong ereksinya memasuki Francesca.
"Begitu basah. Begitu menggairahkan," Ian menggeram, menatap
pada pantatnya. "Ahhhhh," Francesca mengerang, matanya melebar seketika,
miliknya sepenuhnya. "Kukatakan padamu," gumam Ian dengan suram, menguatkan
pegangannya pada pinggang Francesca dan mulai memompa masuk
dan keluar. "Kau melakukan ini padaku, Francesca. Kau akan
menerima hukumannya. Aku akan mengambilmu untuk
kesenanganku saja." Francesca merasa Ian memenuhi seluruh dunianya selama beberapa
menit ke depan saat Ian menyetubuhinya. Francesca melihat Ian di
cermin, mulutnya ternganga, saat ia menghantam ke dalam dirinya
lagi dan lagi, setiap otot di tubuh indahnya mengeras, batang
ereksinya telah terlumasi dengan baik bergerak di dalam vaginanya
yang basah dengan keras. Ian tidak perhatian tentang kenikmatannya, namun melihatnya
mencapai kepuasannya sendiri, tekanan nikmat dari ereksinya
muncul dari dalam diri Francesca, krim klitoris itu...semuanya
terasa tak tertahankan. Francesca ambruk oleh klimaksnya, gemetar
di dekatnya, mengerang tak terkendali. Ian menyumpah dan
menampar pantatnya sebelum ia menguatkan pegangannya pada
Francesca, mendekatkan pantat Francesca padanya saat ia meraung
oleh orgasme. Mereka tetap menyatu seperti itu selama beberapa menit, meskipun
ia mengira seperti itu kemudian ternyata ia salah. Ian adalah tipe
orang yang begitu hati-hati membuka kondom setelah bercinta. Ian
tentu saja membelai punggungnya, pinggang, dan pantat dengan
lembut untuk apa yang nampak kenikmatan abadi, bagaimana pun
juga. Napas mereka melambat.
Akhirnya Ian menarik diri, erangan kasar merobek tenggorokannya
ketika ia melakukannya. Ian membantu Francesca berdiri,
Tersiksa Seperti Di Neraka 2 Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam Pedang Tanpa Perasaan 7

Cari Blog Ini