Ceritasilat Novel Online

Gadis Misterius 4

Gadis Misterius Karya Sherls Astrella Bagian 4


itu terpisah dari ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara bebas. Kamar
Raja dan Pangeran serta berbagai ruangan lain yang tidak dapat dimasuki
secara bebas semuanya terletak di lantai pertama dan lantai kedua. Hanya
ruangan itu yang terletak di lantai teratas Istana Plesaides."
"Aku rasa tidak ada yang aneh, mungkin saja Raja sengaja menyendirikan
ruangan itu dari ruangan-ruangan lainnya yang terlarang," kata Eisench Mantrix.
"Memang hal itu mungkin saja. Tetapi yang membuatku merasa ruangan itu
aneh adalah ijin untuk dapat memasuki ruangan itu."
"Tidak ada yang aneh bila untuk memasuki suatu ruangan di Istana memerlukan
ijin khusus dari Raja," kata Eisench Mantrix.
"Di situlah keanehannya, Mantrix. Untuk memasuki ruangan itu kita harus
meminta ijin dari Pangeran bukan dari Raja."
"Mungkin saja Raja memberi tugas pada Pangeran untuk memberi ijin orang
yang ingin memasuki ruangan itu," gumam Al.
"Tidak, hal itu memang aneh sekali. Bila aku bercerita pada kalian aku yakin
kalian tidak mempercayaiku."
"Coba ceritakan kepada kami," kata Duke, "Mungkin kami mempercayainya."
Trown Townie mulai bercerita pengalamannya di Istana,
"Ketika Kepala Pengawal Istana mengantarkanku mengelilingi Istana, ia hanya
melalui ruangan itu. Aku bertanya kepadanya, "Mengapa kita tidak memasuki pintu itu?"
"Maafkan saya, saya tidak dapat mengajak Anda memasuki ruangan itu karena
untuk memasukinya memerlukan ijin Pangeran dan saat ini Pangeran sedang
sibuk di kebun." Aku keheranan mendengar kata-kata Kepala Pengawal itu. "Apa yang dilakukan
Pangeran di kebun bunga itu?" tanyaku.
"Pangeran sedang memetik bunga untuk menghiasi ruangan ini."
Jawaban Kepala Pengawal itu semakin membuatku merasa heran dan bingung.
Tidak mungkin rasanya bagiku Pangeran yang gagah mencari bunga untuk
menghiasi kamarnya. Tetapi kamar itu bukan kamarnya karena kamarnya
terletak di lantai dua, di samping kamar Raja.
Dan pertanyaan-pertanyaanku itu terjawab ketika pada sore harinya aku
menyempatkan diri untuk menuju ruangan di lantai empat itu. Tujuanku yang
semula adalah untuk melihat ukiran pintu yang menarik hatiku itu.
Pintu itu berukiran seorang bidadari sedang memegang seikat bunga yang besar
dan beberapa peri kecil di sekelilingnya. Ukiran itu demikian indahnya sehingga
aku ingin terus memandanginya.
Saat itu aku melihat Pangeran membuka pintu itu dengan sepasang keranjang
besar yang berisi berbagai macam bunga di tangannya.
"Selamat sore," sapa Pangeran.
"Selamat sore, Pangeran," balasku.
"Apakah Anda yang tadi hendak memasuki ruangan ini?" tanya Pangeran.
Aku heran mengapa Pangeran tahu aku tadi siang ingin sekali memasuki
ruangan itu. Aku menduga Kepala Pengawal Istana yang memberi tahu
Pangeran. Tanpa menanti jawabanku, Pangeran membuka sepasang pintu itu lebar-lebar
dan mengajak aku masuk. Aku terkejut sekali ketika berada di dalam ruangan itu. Ruangan itu sama
seperti ruangan lainnya yang dihias dengan mewah. Tetapi menurutku, ruangan
itu lebih sederhana dibandingkan ruangan-ruangan yang lain.
Dan yang lebih membuatku merasa sangat terkejut adalah ruangan itu penuh
berisi bunga. Hampir di setiap sudutnya ada pot-pot bunga yang berisikan
berbagai macam bunga segar.
Aku heran sekali dari mana Pangeran memperoleh bunga-bunga itu padahal
waktu itu adalah musim gugur.
Rupanya Pangeran mengerti kebingunganku karena ia berkata, "Bunga-bunga ini
didatangkan dari berbagai tempat. Khusus untuk menghias ruangan ini."
Aku diam saja memandangi bunga-bunga yang ada di ruangan yang sangat
besar itu. Ruangan itu terdiri dari tiga buah kamar tidur dan sebuah kamar duduk.
Masingmasing kamar dihias bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga membuat
ruangan yang besar itu wangi.
Aku bersyukur sekali karena aku tidak mempunyai alergi terhadap serbuk bunga
karena dengan demikian aku bisa mengamati ruangan yang mengagumkan itu.
Ada sebuah piano putih kuno dari jaman Bartolome Cristofori di sudut ruangan
duduk yang dilengkapi dengan sofa yang indah dan perapian yang besar.
Besar perapian itu juga membuatku merasa heran karena perapian itu lebih
besar dibandingkan perapian pada umumnya.
Aku tidak sempat memasuki kamar tidur yang lain karena aku terlalu sibuk
memperhatikan ruang duduk. Salah satu sisi ruangan duduk itu ada dua kamar
dan di sisi lainnya hanya satu kamar yang terus memanjang hingga serambi.
Tetapi aku sempat melirik kamar tidur yang terletak di depan dua kamar tidur
lainnya itu ketika Pangeran memasuki ruangan itu.
Sekilas, aku melihat kamar tidur itu sangat indah dan seperti ruang duduk,
kamar itu penuh dengan berbagai macam bunga. Tempat tidurnya yang besar
berwarna putih dengan tiang-tiang besi yang berwarna keemasan. Kamar tidur
itu sangat indah sehingga sukar bagiku untuk menggambarkannya dengan
tepat. Tetapi aku yakin kalian akan terpesona juga pada ruangan di lantai empat yang
tidak semewah ruangan lainnya tetapi penuh bunga.
Aku yakin ruangan lainnya lebih mewah tetapi tidak seindah ruangan di lantai
empat itu. Ketika aku berada di ruangan itu. Aku merasa sangat damai dan tentram dan itu
membuat aku ingin terus berada di sana.
Aku terlalu terpesona pada ruangan itu sehingga tidak sempat bertanya pada
Pangeran mengenai ruangan itu lebih jauh."
"Aneh sekali," gumam Alexander.
"Ya, memang aneh sekali. Dan yang lebih aneh lagi adalah setiap pagi dan sore,
Pangeran selalu memeriksa ruangan tersebut. Dan tiap kali Pangeran memeriksa
ruangan itu, Pangeran selalu membawa seikat besar bunga, padahal ruangan itu
sudah penuh bunga." "Apakah orang yang pernah menempati ruangan itu sudah meninggal dan
arwahnya bergentayangan sehingga tidak ada orang yang berani tinggal di
ruangan itu dan ruangan itu selalu dipenuhi bunga untuk mencegah arwah itu
mengganggu penghuni Istana Plesaides yang lain?" tanya Eisench Mantrix.
"Tidak, Mantrix. Menurut Kepala Pengawal Istana yang waktu itu mengantarku
berkeliling Istana, ruangan itu ada yang menempati. Tetapi selama aku di sana,
aku tidak pernah melihat orang lain memasuki ruangan itu selain Pangeran."
"Pasti arwah orang yang dulu tinggal di situ yang kini masih menempati ruangan
itu," kata Eisench Mantrix dengan yakin.
"Tidak, Mantrix. Karena Pangeran sendiri mengatakan bahwa ruangan itu
ditempati adiknya bersama pengasuhnya," kata Trown Townie sambil
menggelengkan kepala. "Adik Pangeran!" seru tamu-tamu yang terkejut mendengarkan kalimat terakhir
Trown Townie. "Setahuku Pangeran tidak mempunyai adik," kata Eisench Mantrix.
"Engkau salah lagi, Mantrix. Pangeran mempunyai seorang adik perempuan
hanya saja kita tidak pernah mendengar namanya maupun melihatnya," kata
Trown Townie. "Apakah engkau yakin, Townie?" tanya Duke.
"Aku yakin sekali. Karena yang memberi tahuku adalah Kepala Pengawal
Istana." "Mengapa Princess tidak pernah muncul?" tanya Eisench Mantrix.
"Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya pada Pangeran. Kepala Pengawal
Istana yang kutanyai tidak tahu menahu tentang itu. Ia hanya mengatakan Putri
jarang berada di Istana."
"Ke manakah Princess bila ia sedang tidak berada di Istana?"
"Aku tidak tahu, Mantrix. Jangan bertanya lebih banyak lagi kepadaku mengenai
Princess kita yang tidak pernah muncul itu karena aku sendiri juga tidak
mendapat jawaban yang memuaskan dari Kepala Pengawal Istana."
"Apakah engkau tidak bertanya pada penghuni Istana yang lain?" tanya Eisench
Mantrix. "Pelayan-pelayan lainnya juga tidak menjawab banyak pertanyaan yang muncul
di benakku. Mereka tidak memberi tahu lebih banyak kepadaku selain mereka
selalu merindukan Princess, yang kata mereka sangat cantik tak tertandingi,
seolah-olah mereka sengaja ingin menyembunyikannya."
"Aneh sekali," kata Duke.
"Hingga kapan pun, Istana Plesaides akan selalu menyimpan misteri. Seperti
menyimpan misteri politik dan sebagainya," kata Maria.
Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. "Anda benar. Istana
Plesaides akan selalu menyimpan rahasia Kerajaan Zirva."
"Di manapun, Istana adalah tempat penyimpanan rahasia suatu negara."
"Saya senang berbicara dengan Anda, pengetahuan Anda membuat saya
kagum," kata Trown Townie.
"Apa yang saya ketahui masih kalah jauh dibandingkan Anda," kata Maria
merendahkan diri. "Mengapa kita membicarakan urusan Kerajaan di pesta ini?" kata Duke dari
ujung meja, "Saat ini kita berkumpul di sini untuk bersenang-senang bukan
untuk membicarakan masalah politik."
"Maafkan saya. Saya terlalu terpesona pada gadis ini," kata Trown Townie.
"Kita semua juga terpesona padanya sejak kedatangannya. Kita tidak tahu siapa
dia. Mungkin hanya Alexander saja yang mengetahui siapa gadis yang
mempesona ini sebenarnya," kata Eisench Mantrix.
"Sejujurnya, saya juga tidak tahu siapa dia. Ia terlalu membingungkan dan tidak
dapat ditebak. Saat ini ia sudah memberi banyak kejutan pada saya, saya tidak
tahu apalagi yang akan dilakukannya untuk membuat saya semakin terpesona,"
kata Alexander sambil tersenyum pada Maria.
"Mari kita kembali ke Ruang Besar dan melanjutkan pesta kita sebelum hari
semakin malam," kata Duke.
Semua tamu berdiri dan mengiringi Duke menuju Ruang Besar.
Maria dan Alexander masih duduk menanti semua tamu meninggalkan ruangan
itu. Duchess juga masih menanti semua tamu meninggalkan ruangan.
Eisench Mantrix telah beranjak meninggalkan meja makan. Tetapi Trown Townie
masih tetap berada di ruangan itu.
Ketika semua tamu telah meninggalkan ruangan, Alexander membantu Maria
bangkit dari kursinya kemudian menanti Duchess dan Trown Townie.
"Engkau sangat mengejutkanku, anakku," kata Duchess pada Maria.
"Maafkan saya bila saya terlalu mengejutkan Anda," kata Maria.
"Jangan berkata seperti itu. Aku sangat senang bertemu dengan gadis seperti
engkau. Tidak seorang pun yang menduga engkau mengetahui banyak
mengenai politik, kecuali Al."
"Sejujurnya, Mama, aku sendiri juga terkejut," kata Al, "Seperti kataku, ia
selalu membuat aku terkejut."
"Sebenarnya siapakah Anda?" tanya Trown Townie.
"Saya tidak mengetahui siapa saya yang sebenarnya. Saya tidak dapat
mengingat masa lalu saya," kata Maria.
"Oh, saya turut menyesal. Di manakah Anda tinggal?" tanya Trown Townie.
"Anda pernah mendengar bidadari yang ditemukan di Sungai Alleghei?" tanya
Duchess sebelum Maria menjawab pertanyaan Trown Townie.
"Saya hanya sekali mendengarnya yaitu ketika kusir kuda yang saya sewa
menceritakan bahwa penduduk Obbeyville mendapatkan seorang bidadari yang
sangat cantik dari dewa-dewi di Holly Mountain. Ia mengatakan gadis itu
ditemukan di Sungai Alleghei."
"Bidadari itu sekarang berdiri di hadapan Anda," kata Duchess.
Trown Townie berseru terkejut. "Saya tidak pernah membayangkan akan
bertemu sendiri dengannya. Saya sangat senang sekali dapat bertemu dengan
Anda. Saya merasa kusir itu berlebihan ketika menceritakan hal itu tetapi
sekarang saya merasa kusir itu kurang tepat menggambarkannya, ia jauh lebih
baik dari yang diceritakan."
"Dapatkah saya meminta Anda berjanji untuk tidak mengatakannya kepada
siapapun yang hadir di pesta ini?" kata Alexander.
"Mengapa?" tanya Trown Townie keheranan.
"Karena Maria tidak ingin siapa pun mengetahui ia hadir di pesta ini. Tentunya
Anda mengerti bila ia menghindari penduduk Obbeyville yang selalu
membicarakan segala tindakannya."
"Tentu, Alexander. Aku berjanji akan merahasiakan hal ini dari siapa pun."
"Terima kasih, Mr. Townie," kata Maria.
"Jangan terlalu sopan seperti itu, Maria," kata Trown Townie, "Jangan
memanggilku seperti itu, panggil aku dengan nama depanku saja, Trown."
Duchess tertawa mendengar kata-kata Trown Townie yang sama seperti yang
pernah diucapkannya kepada Maria.
"Anda tidak akan berhasil. Ia selalu sopan terhadap siapa pun walaupun telah
dilarang," kata Duchess.
"Itulah kelebihannya yang lain, Mama. Ia masih mempunyai banyak kelebihan
lain yang tidak akan Mama percayai."
"Tidak, saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Apa yang saya lakukan adalah
wajar, tidak dapat dikatakan kelebihan," kata Maria.
"Ini salah satu kelebihannya yang lain, Mama."
"Aku jadi tertarik untuk mengenal engkau lebih jauh, Maria. Aku ingin
mengetahui apa saja kelebihanmu dan apakah yang dikatakan Al benar."
"Tentu saja benar, Mama. Bila Mama telah cukup lama mengenal Maria, Mama
akan mengetahui kelebihannya yang lain," kata Alexander, "Saya ingin Mama
sendiri yang menemukan kelebihan Maria yang lain."
"Engkau gadis yang menyenangkan, Maria," kata Trown Townie.
Maria tersenyum mendengar pujian Trown Townie, "Anda juga menyenangkan,
Mr. Townie. Saya senang berbicara dengan Anda."
"Aku juga senang berbicara dengan gadis yang berpengetahuan luas sepertimu,"
kata Trown Townie. "Pengetahuan saya tidak seluas yang Anda katakan. Saya tidak mengerti
mengenai segala hal yang disukai wanita seperti Baroness Lora. Saya tidak
mengerti mengenai gaun-gaun dan segala macam permata," kata Maria sambil
tersenyum. "Itulah yang membuat dirimu berbeda dengan wanita-wanita yang lain, anakku,"
kata Duchess sambil menggandeng Maria, "Sekarang bukan saatnya kita
membicarakan masalah politik. Sekarang saatnya kita menuju Ruang Besar."
Trown Townie tertawa, "Anda benar, Duchess. Tetapi saya harus mengatakan
bahwa saya senang sekali membicarakan masalah politik bersama Maria. Ia
dapat menambah pengetahuan saya."
"Bukan Anda, Mr. Townie. Tetapi sayalah yang akan bertambah
pengetahuannya." Alexander membukakan pintu untuk mereka dan berkata, "Mari kita menuju
Ruang Besar. Para tamu pasti telah menanti kehadiran kita."
BAB 10 Duchess berjalan bergandengan dengan Maria menuju Ruang Besar.
Pembicaraan mereka yang sangat akrab seperti seorang ibu dengan putrinya,
membuat Maria merasakan sesuatu yang aneh.
Maria merasa sangat bahagia bila berbicara dengan Duchess yang saia ngat
lembut padanya. Suatu perasaan yang tidak pernah muncul di hatinya selama ia
berada di Obbeyville. Maria merasa seperti berjalan dan berbicara dengan akrab bersama ibu
kandungnya. Cara Duchess memperlakukannya, cara memandangnya, caranya
tersenyum pada dirinya, membuat Maria merasa seperti berhadapan dengan ibu
kandungnya. Teringat akan ibu kandungnya, Maria berusaha mengingat wajah
ibunya. Dan seperti biasanya, Maria tidak dapat menyingkap lebih jauh kabut
gelap yang menyelubungi masa lalunya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan
bahwa ibu kandungnya sangat mirip seperti Duchess of Blueberry.
Ibu kandungnya sangat cantik dan anggun seperti Duchess. Matanya selalu
tersenyum pada setiap orang. Tutur kata Duchess yang lemah lembut juga mirip
dengan cara ibunya berbicara. Ibunya yang cantik, yang baik, dan sangat
menyayanginya. Semua yang ada di diri Duchess mengingatkan Maria pada
ibunya yang tidak dapat diingat wajah juga namanya.
Ia merasakan kerinduan yang sangat dalam merasuk ke hatinya. Ia merindukan
ibunya, ayahnya dan keluarganya.
Tidak ada yang menyadari perasaan Maria.
Ketika mereka tiba di Ruang Besar, pesta dansa telah dimulai. Beberapa
pasangan telah mulai berdansa di Ruang Besar yang luas itu dengan diiringi
musik yang lembut. Duchess segera membaur di antara tamu-tamunya.


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alexander membawa Maria ke pojok ruangan yang dekat jendela. Mereka berdiri
di sana sambil memperhatikan tamu-tamu.
Di seberang tempat mereka berdiri, adalah tempat mereka berada sebelumnya
ketika Marcel mencoba mendekati Maria.
Tirai jendela yang berwarna hijau cerah melambai-lambai tertiup angin malam
yang menerobos masuk Ruang Besar dari halaman yan luas.
Maria mendekati jendela itu dan memandang halaman Blueberry House yang
terhampar di depannya. Pintu gerbang Blueberry House yang tak sempat diperhatikan Maria ketika ia
tiba kini tampak bersinar dengan warna putihnya di antara kegelapan malam
dan menampakkan bentuknya yang unik.
Bagian atas gerbang putih yang tinggi itu menyirip seperti daun dan
ujungujungnya yang runcing yang mengelilingi ujung pintu gerbang yang meruncing
itu membuat pintu gerbang itu tampak seperti daun Blueberry yang bergerigi.
Pada bagian tengahnya tergambar lambang keluarga Blueberry, sepasang daun
Blueberry dengan buah Blueberry tepat di tengahnya. Halaman Blueberry House
tidak kalah indahnya dengan pintu gerbang putih itu. Dari dalam Blueberry
House, Maria dapat melihat lebih jelas halaman itu. Mawar-mawar dengan
berbagai macam warna yang tetap tumbuh di musim panas, bermekaran dengan
indahnya dan menyemarakkan Blueberry House. Demikian pula bunga-bunga
lainnya dan pepohonan yang terus bertahan hidup di musim panas.
Langit malam itu sangat cerah, berbeda dengan malam-malam musim panas
sebelumnya. Bintang-bintang di langit seolah-oleh tersenyum pada Maria
demikian pula bulan purnama yang menghiasi langit malam yang cerah itu.
Sinar mereka menghiasi langit malam yang kelam dan menyejukkan hati setiap
orang yang memandangnya. Maria tidak menyadari dirinya yang sedang memandang langit malam itu
tampak cantik sekali dengan rambut panjangnya yang melambai-lambai tertiup
angin malam musim panas yang nakal.
Alexander berdiri di samping Maria sambil terus memandangi wajah gadis itu
dari samping. Ia merasa Maria tetap terlihat sangat cantik dalam keadaan
apapun. Dilihat dari manapun ia selalu terlihat cantik.
Mulutnya yang mungil tersenyum lembut. Matanya memandang takjub pada
langit malam. Alexander percaya andai topeng yang menutup mata gadis itu dilepas, ia akan
melihat mata ungu itu bersinar indah dan akan membuat semua orang yang ada
di ruangan ini terpesona.
Maria sangat asyik dengan pemandangan malam yang dilihatnya hingga tak
menyadari bukan hanya Alexander yang terkagum-kagum pada dirinya yang
saat itu terlihat sangat agung seperti bidadari.
"Ia cantik sekali dalam keadaan seperti itu," kata Trown Townie, "Sejak tadi aku
memperhatikanya dan aku yakin tidak ada yang lebih cantik dari Maria dalam
keadaan seperti ini. Ia terlihat seperti bidadari yang ingin kembali ke
kahyangan." Alexander terkejut mendengar suara Trown Townie yang tiba-tiba
mendekatinya, "Ya, ia sangat cantik."
"Engkau sangat beruntung, Alexander. Andai aku lebih muda darimu, aku akan
merebutnya darimu," kata Trown Townie pura-pura menyesali dirinya.
"Harus saya akui ia wanita tercantik yang pernah saya temui dan saya kenal."
"Apakah engkau menyadari sejak tadi tamu-tamu pria lainnya memandangi
Maria terutama Marcel?"
"Ya, bahkan Marcel telah mencoba merayu Maria sebelum makan malam tadi.
Tetapi Maria dapat mengatasinya dengan mudah. Ia membuat Marcel merasa
malu sekali dan membuat saya ingin tertawa melihat apa yang dikatakannya
pada Marcel." "Ia tidak mengatakan kata-kata yang kasar, bukan?" tanya Trown Townie
dengan cemas. "Tentu saja tidak. Maria terlalu sopan untuk mengatakan kata-kata itu. Ia hanya
mengatakan suatu kebenaran dengan tenang dan sopan. Tetapi itulah yang
membuat Marcel kesulitan membalasnya. Bagaimana kita dapat membalas
seseorang yang berkata dengan tenang dan sopan tetapi tepat mengenai kita?"
"Aku tidak percaya ada orang seperti itu," seru Trown Townie.
"Saya juga sukar mempercayai tindakan Maria terhadap Marcel. Ia seperti
sangat pandai menghadapi orang seperti Marcel ketika itu. Saya yakin Anda
akan sependapat dengan saya bila Anda mengetahuinya," kata Alexander.
"Bila demikian engkau harus menjaganya sebaik mungkin, jangan sampai ia
jatuh ke tangan pria lain. Aku juga yakin ia satu-satunya gadis yang berhasil
menundukkan kekerasan hatimu atau lebih tepat kukatakan kedinginanmu,"
kata Trown Townie sambil tersenyum.
Seperti orang-orang lainnya, Trown Townie telah mengetahui juga bahwa
Alexander bukan orang yang mudah bila berhadapan dengan wanita. Banyak
sekali bahkan terlalu banyak wanita yang dibuatnya patah hati.
Alexander jarang terlihat bersama wanita lain selain ibunya. Dan tentu saja apa
yang terjadi hari ini membuat semua tamu menjadi terkejut.
Alexander datang bersama seorang gadis yang sangat cantik dalam
kemisteriusannya. Gadis itu telah menyita perhatian semua tamu sejak kedatangannya dan
membuat Lady Debora yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian, menjadi
marah dan jengkel karena kedudukannya telah terebut oleh gadis itu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Lady Debora sangat ingin menjadi Duchess
of Blueberry. Berbagai usaha dilakukan wanita itu untuk menarik perhatian
Alexander. Namun gadis misterius itu tanpa melakukan apa-apa telah berhasil membuat
semua orang di pesta dansa itu terpesona padanya terutama Alexander. Dan itu
membuat Lady Debora semakin marah.
Ketika kedua orang itu muncul dan mengejutkan semua tamu, Trown Townie
mendengar wanita itu berkata dengan marah,
"Siapa wanita itu" Mengapa ia berani sekali muncul bersama-sama Alexander?"
"Tenanglah, anakku. Mungkin wanita itu tamu kehormatan Duke dan Alexander
ditugasi oleh Duke untuk menjemput dan mengawal wanita itu selama di pesta
ini," kata Baroness Lora membesarkan hati putrinya.
"Mengapa bukan aku yang menjadi tamu kehormatan Duke, Mama?" rujuk Lady
Debora. "Mungkin saja wanita itu putri teman Duchess akrab atau Duke," kata Baroness
Lora. "Tetapi aku juga putri teman Duke. Bukankah keluarga kita telah berteman lama
dengan keluarga Duke?"
"Aku tidak tahu. Semoga Alexander hanya menjemput wanita itu dan tidak terus
menerus berada di sisi wanita itu," kata Baroness Lora.
"Lihat, Mama!" pekik Lady Debora, "Ia mengajak wanita itu menemui Duke."
Saat itu Alexander sedang memperkenalkan Maria kepada orang tuanya. Semua
tamu terkejut melihat sambutan hangat kedua orang tua Alexander kepada
gadis itu terutama Duchess. Dan mereka semakin terkejut ketika gadis itu
membungkuk seperti menghormat pada keluarga Raja.
"Aku akan menemui Alexander sekarang," kata Lady Debora sambil mendekati
Alexander yang memperkenalkan gadis itu pada tamu-tamu yang lain.
Trown Townie melihat Lady Debora mendekati Alexander dengan cemburu.
"Ya, ia sangat sempurna. Jauh lebih sempurna dari yang kubayangkan sehingga
saya takut itu semua hanya khayalanku," kata Alexander.
"Tetapi ia nyata, bukan" Percayalah Alexander, orang yang sedang jatuh cinta
akan merasa semuanya menjadi sempurna," kata Trown Townie sambil
meninggalkan Alexander. Gelak tawa Trown Townie masih terdengar ketika pria itu mendekati seorang
wanita dan mengajaknya berdansa.
Duchess mendekat, "Mengapa engkau tidak berdansa bersama Maria, Al?"
"Maria sedang sibuk memandangi langit, Mama. Aku tidak ingin
mengganggunya," kata Alexander.
"Ajaklah ia berdansa," kata Duchess.
"Aku tidak yakin ia akan setuju," kata Alexander.
"Mengapa?" "Ia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak yakin ia bisa berdansa," jawab
Alexander. "Dan engkau mempercayainya?" tanya Duchess.
"Aku tidak tahu, Mama."
"Baiklah," kata Duchess, "Sekarang dengarkan, anakku. Ia bukan gadis biasa. Ia
memiliki keanggunan yang sangat berbeda dengan wanita-wanita lainnya dan ia
memiliki kepandaian yang tak mungkin kautemui pada wanita lainnya. Aku
memang baru mengenalnya, tidak selama engkau, tetapi aku yakin ia bukan
gadis sembarangan. Aku sependapat dengan penduduk Obbeyville, ia memang
seorang bidadari." "Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain yang pernah kutemui," kata
Alexander. Mendengar nada keragu-raguan dalam kata-kata putranya, Duchess berkata,
"Baiklah, anakku, bila engkau tidak percaya, aku akan membuktikannya
untukmu." "Bagaimana caranya, Mama?" tanya Alexander ingin tahu.
"Engkau akan tahu, tetapi sekarang engkau harus mengajaknya berdansa dan
aku yakin ia akan berdansa jauh lebih baik dari wanita-wanita lainnya termasuk
aku." "Mama jangan merendahkan diri seperti itu. Kita semua tahu Mama pandai
berdansa. Dulu Mama menang dalam lomba dansa yang diadakan di Blueberry
dan membuat Papa jatuh cinta," kata Alexander.
"Sudahlah, itu sudah lama sekali. Saat itu aku masih muda sekarang aku telah
tua," kata Duchess sambil tersenyum.
Duchess selalu tersenyum bila diingatkan pada masa lalunya.
Saat itu ia masih sangat muda ketika ia mengikuti lomba dansa di musim semi
yang selalu diadakan penduduk Blueberry setiap tahunnya. Sebagai penduduk
Blueberry, ia turut serta dalam lomba itu ketika ia sudah menginjak usia
dewasa. Sebagai salah satu peserta yang termuda, ia merasa putus asa ketika melihat
kemahiran wanita-wanita lainnya. Tetapi ia segera membesarkan hatinya sendiri
dengan mengatakan, "Aku pasti bisa melakukannya lebih baik dari mereka."
Dan benar, saat itu Duchess sangat senang dan terkejut ketika juri memutuskan
dialah pemenangnya. Sungguh suatu hal yang tidak pernah diduganya.
Saat itu pula ia bertemu dengan Duke dan jatuh cinta padanya.
Duke seorang yang romantis karena itu ia selalu menceritakan kepada putranya
bagaimana ia dulu bertemu dengan Duchess.
Karena telah sering mendengar cerita itu, Alexander sering pula menggoda
ibunya yang sangat disayanginya itu.
"Sekarang cepat ajak Maria," perintah Duchess.
Alexander tersenyum pada ibunya dan mendekati Maria yang masih asyik
memandangi langit malam. "Mereka tersenyum untukmu, Maria," kata Alexander.
Maria menoleh dan tersenyum manis pada Alexander, senyuman yang akan
membuat siapa pun terpesona, "Mereka seperti menyambut saya."
"Mereka memang menyambutmu dan akan selalu menyambutmu," kata
Alexander, "Tetapi sekarang aku tidak mengijinkan engkau terus menerima
sambutan mereka. Engkau bisa jatuh sakit bila terus berada di sini."
"Anda benar," kata Maria menyadari kesalahannya, "Maafkan saya."
"Aku ingin mengajakmu berdansa," kata Alexander.
"Saya tidak yakin bisa berdansa."
"Kita akan membuktikannya, Maria," kata Alexander sambil meraih tangan Maria
yang berada pada tepi jendela itu.
Maria menurut saja ketika Alexander membawanya ke tengah ruangan dan
mengajaknya berdansa. Alexander tidak terkejut ketika Maria dengan mudah mengikuti iringan lagu yang
lembut itu. Beberapa tamu yang duduk di sekeliling Ruang Besar memandang terpesona
pada gerakan Maria yang gemulai.
Gaun gadis itu semakin bersinar-sinar seperti rambutnya setiap kali ia bergerak.
Syal putih panjang itu selalu melambai-lambai.
Nuansa yang diciptakan gadis itu dengan gerakannya membuat tamu-tamu tidak
dapat melepaskan pandangannya dari tengah Ruang Besar.
Maria tidak menyadari semua pandangan mata itu.
Maria hanya tahu ia kembali berada di masa lalunya. Ia merasa sering berdansa
bersama pria yang juga tinggi dan gagah seperti Alexander.
Ia seperti melihat wajah pria itu tersenyum padanya dan mengatakan sesuatu,
"Engkau semakin hari semakin pandai berdansa, ..."
Tidak ada yang dapat diingatnya lagi selain sepatah kata itu.
Sesuatu di dalam hatinya mengatakan kata-kata pria dalam ingatannya itu tidak
semuanya diingatnya. Masih banyak kata yang diucapkan pria itu tetapi ia tidak
dapat mengingatnya. "Apakah engkau lelah, Maria?"
Suara Alexander yang dalam itu membuat Maria menyadari ia berada di Ruang
Besar keluarga Blueberry bukan di ruangan dalam ingatan Maria yang jauh lebih
besar dari ruangan ini. Ruangan dalam ingatan Maria sangat besar dan banyak lukisan yang besar di
dindingnya yang putih. Ia tertawa riang di pelukan pria yang terus menerus
memuji dan menggodanya itu.
Kini setelah ia menyadari tempatnya berdiri, ia merasakan kembali kerinduan di
dalam hatinya. Kerinduan itu seakan menyesakkan dadanya dan ingin sekali ia
pulang ke pelukan pria dalam ingatannya itu.
Maria menggelengkan kepalanya.
"Apakah engkau yakin?" tanya Alexander.
Sebenarnya, Alexander tidak perlu khawatir karena tak lama kemudian lagu itu
berhenti. Alexander segera membimbing Maria ke tempat duduk yang masih kosong
sebelum lagu baru dimainkan.
"Kita telah membuktikan bahwa engkau pandai berdansa," kata Alexander.
Maria mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Tampaknya engkau tidak terlalu senang menyadarinya, Maria."
"Tidak, saya senang sekali. Hanya saja saya merasa seperti kembali ke masa
lalu saya ketika saya berdansa dengan Anda."
"Apakah pria itu pria yang memiliki nama sama denganku?" tanya Alexander.
"Saya tidak tahu. Saya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas," kata Maria
sambil tersenyum. "Aku yakin tidak lama lagi engkau akan segera mengingat masa lalumu dan
engkau akan kembali ke keluargamu," kata Alexander.
"Saya juga berharap seperti itu," kata Maria.
"Bila engkau kembali ke keluargamu, Maria. Apakah engkau masih akan
berkunjung ke Obbeyville?" tanya Alexander.
"Tentu," jawab Maria dengan yakin, "Saya mencintai tempat ini dan walaupun
saya telah mengingat kembali masa lalu saya, saya akan sering pergi ke
Obbeyville." "Apakah engkau juga akan berkunjung ke Blueberry?"
"Tentu saja. Blueberry tidak akan pernah terpisahkan dari Obbeyville."
"Apakah engkau hendak mengatakan mitos Obbeyville tidak terpisahkan dengan
mitos Blueberry?" tanya Alexander sambil tersenyum.
"Saya rasa bukan hanya itu saja. Obbeyville hingga kapan pun tidak akan
pernah terpisah dari Blueberry karena banyak penduduk Obbeyville yang bekerja
di kebun Blueberry Anda," kata Maria balas tersenyum.
"Aku rasa bukan hanya itu saja alasannya," kata Alexander memancing Maria
berkata lebih banyak. "Benar. Masih ada beberapa alasan lainnya. Dan beberapa di antaranya ada
hubungannya dengan mitos-mitos itu."
"Apakah alasan ini ada hubungannya dengan mitos ketiga?" tanya Alexander.
"Tidak." "Engkau mau mengatakannya padaku?"
"Tentu saja." "Kalau begitu tunggulah sebentar, Maria. Aku akan memanggil ayahku, ia pasti
akan senang bila engkau menceritakan hal itu kepadanya. Sejak dulu ayahku
memang menyukai segala hal yang berhubungan dengan mitos," kata
Alexander. "Jangan, biarkan saya yang ke sana dan menceritakannya pada mereka," cegah
Maria. "Tidak apa-apa, Maria. Papa lebih menyukai datang menemui orang itu sendiri
bila ia membutuhkan sesuatu darinya daripada meminta orang itu datang
kepadanya," kata Alexander dan segera beranjak dari duduknya sebelum Maria
mencegahnya. Maria tersenyum memandangi Alexander yang menyeberangi Ruang Besar


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menuju tempat orang tuanya duduk.
Ia memperhatikan beberapa pasangan yang masih berdansa di tengah Ruang
Besar. Lady Debora berdansa bersama Marcel. Sebelum itu ia berdansa bersama
seorang pria yang kini tengah berbicara dengan Baroness Lora.
Entah apa yang mereka bicarakan, Maria tidak dapat mendengarnya di tengah
musik yang mengalun dan suara orang yang berisik walaupun mereka berdiri tak
jauh dai tempat Maria duduk.
Seorang wanita muda merampas perhatian Maria. Wanita itu mengenakan batu
jamrud hijau yang besar di lehernya dan gaunnya yang terbuat dari kain satin
bertaburan permata kecil.
Wanita itu tampak berkilauan ketika berjalan mendekatinya.
Ketika wanita itu semakin dekat, Maria menyadari wanita itu tidak semuda yang
dibayangkannya. Rambutnya juga tidak semerah yang dilihatnya dari kejauhan.
"Selamat malam," sapa wanita itu sambil duduk di kursi yang tadi diduduki
Alexander. "Selamat malam," kata Maria sambil menganggukkan kepalanya.
"Saya mengucapkan selamat kepada Anda," kata wanita.
Maria melihat wanita itu dan kini ia ingat di mana ia pernah melihat wanita
muda itu. Wanita muda itu tadi duduk di hadapan Lady Debora selama makan
malam. Dan selama itu sikap keduanya seperti dua orang musuh yang terpaksa
berhadapan di meja yang sama.
"Selamat atas apa?" tanya Maria tak mengerti.
"Anda telah berhasil mengalahkan Lady Debora."
"Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa yang bicarakan," kata Maria.
"Anda jangan berpura-pura tidak mengerti. Semua tamu wanita yang hadir di
sini sudah mengetahui bahwa Anda berhasil menarik perhatian semua tamu
yang hadir di sini. Bahkan Alexander yang terkenal sulit didekati dapat dengan
mudah Anda tundukkan," kata wanita itu.
Maria mulai memahami apa yang hendak dikatakan wanita itu. Cara wanita itu
mengatakan nama Lady Debora menampakkan kebenciannya.
Maria pernah mendengar Lady Debora dengan mudahnya menjadi pusat
perhatian di mana pun ia berada. Dan hal itu membuat wanita lainnya menjadi
iri. Lady Debora juga tak jarang merebut teman pria wanita-wanita itu.
Dan wanita yang duduk di sisi Maria itu satu dari sekian banyak wanita yang
dibuat marah oleh Lady Debora. Kebencian yang tampak dari cara
memandangnya kepada Lady Debora sewaktu di Ruang Makan tadi telah cukup
membuktikan dugaan Maria.
"Al selalu berada di sisi saya karena ia telah berjanji kepada orang tua saya
untuk selalu menjaga saya," kata Maria.
"Anda pandai sekali menggunakan orang tua untuk mendekati Alexander," kata
wanita itu. "Saya tidak pernah menggunakan orang tua untuk kepentingan saya. Al sendiri
yang berkata seperti itu kepada mereka."
"Saya tidak peduli lagi apa alasan Anda. Tetapi saya mengucapkan selamat
kepada Anda karena telah berhasil mengalahkan Lady Debora. Menurut kami
semua, Anda lebih pantas menjadi Duchess of Blueberry daripada Lady Debora.
Dan kami merasa kagum pada pengetahuan Anda dan kecantikan Anda. Saya
ingin mengatakan Andalah wanita tercantik yang pernah saya lihat."
"Terima kasih. Anda jauh lebih cantik dari saya," kata Maria.
Wanita itu tertawa senang, "Anda memang pandai mengambil hati orang. Tak
salah bila Alexander jatuh cinta pada Anda. Saya masih ingin berbicara dengan
Anda tetapi saya masih punya urusan penting."
Wanita itu meninggalkan Maria dalam keadaan bersemu merah.
Maria tidak mengerti mengapa wanita itu berkata seperti itu. Mungkin karena ia
dan Al selalu berdua sejak mereka tiba.
Setelah kepergian wanita itu, seorang pria mendekati Maria dan duduk di tempat
yang sama. Maria tersenyum memikirkan hal itu. Ia merasa seperti orang penting yang
selalu mendapatkan teman berbicara walaupun ia duduk seorang diri.
"Mengapa Anda duduk sendirian di sini?" tanya pria itu sambil tersenyum.
"Saya sedang menanti Al," jawab Maria.
"Bagaimanakah hubungan Anda yang sebenarnya dengan Alexander?"
"Kami teman," kata Maria sambil tersenyum memikirkan semua orang salah
menduga. Ia percaya semua orang yang hadir di situ memiliki dugaan yang sama seperti
pria itu dan wanita yang baru saja berbeicara dengannya.
"Mereka menduga aku adalah kekasih Alexander. Tetapi itu tidak benar," kata
Maria pada dirinya sendiri.
Saat itu juga Maria menyadari apa yang dikatakannya tidak benar. Ia tidak
mengerti mengapa hati kecilnya berkata seperti itu.
"Apakah Anda sudah lama berteman dengan Alexander?"
"Tidak. Kami baru beberapa hari berkenalan."
"Saya kagum Anda dapat membuat Alexander tertarik pada Anda hanya dalam
beberapa hari. Dan Anda telah membuat saya jatuh cinta hanya dalam beberapa
jam," kata pria itu.
Maria tidak menyukai arah pembicaraan pria itu. Ia merapatkan syal putih itu ke
bahunya yang terbuka dan beranjak bangkit dari situ.
"Maafkan saya. Saya harus menemui Alexander. Saya rasa ia pergi terlalu
lama," kata Maria. "Lupakan saja Alexander. Berdansalah bersama saya," kata pria itu sambil
beranjak berdiri. "Terima kasih, tetapi saya lebih suka mencari Alexander. Saya tidak pandai
berdansa," kata Maria.
"Anda jangan merendahkan diri seperti itu. Tadi saya melihat Anda berdansa
dengan gemulai. Tadi Anda nampak seperti seorang bidadari yang sedang
menari dan saya terpesona karenanya."
"Terima kasih. Saya akan senang sekali dapat berdansa dengan Anda di lain
waktu. Saat ini saya harus mencari Al," kata Maria.
"Alexander sedang bersama orang tuanya," kata pria itu sambil menunjuk
Alexander yang sedang berbicara bersama kedua orang tuanya di tepi Ruang
Besar. "Karena itulah saya harus ke sana. Saya berjanji pada Al untuk menemui Duke."
"Tidak dapatkah Anda meluangkan waktu untuk berdansa dengan saya?"
"Maafkan saya. Saya tidak dapat," kata Maria.
Maria berjalan meninggalkan pria itu. Ia hendak menuju ke tempat Alexander
berada ketika seorang pria lain mencegatnya di tengah Ruang Besar.
"Apakah Anda mau berdansa bersama saya?" tanya pria itu sambil mengulurkan
tangannya. "Saya akan senang sekali tetapi saat ini saya harus menemui Duke," kata Maria
dengan tenang melihat teman pria itu mendekat.
Tak lama kemudian Maria telah dikerumuni pria, tetapi ia tetap tenang sambil
berjalan mendekati Alexander.
Seolah ada sesuatu pada diri Maria yang membuat pria-pria itu memberi jalan
kepadanya. Mereka yang semula hendak mengajak Maria berdansa menepi
ketika gadis itu terus melangkah dengan anggun, tanpa sempat mengutarakan
keinginan mereka. Alexander tersenyum ketika Maria mendekat. Tangannya terulur pada Maria.
"Engkau membuatku semakin kagum," kata Alexander sambil mengangkat
tangan Maria ke mulutnya dan menciumnya.
Jantung Maria berdebar karena tindakan Alexander yang tidak terduga itu. Ia
tidak menyadari pipinya memerah karenanya.
"Apa yang kaukatakan pada mereka sehingga mereka tidak menggodamu?"
tanya Duchess ingin tahu.
"Saya tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Saya hanya terus berjalan ke
mari dan mereka memberi jalan kepada saya," jawab Maria.
"Engkau memiliki sesuatu yang membuat semua orang tidak berani
menganggumu," kata Duke.
"Itulah kharisma. Setiap orang memiliki kharisma sendiri-sendiri. Ada yang
memiliki kharisma yang membuat orang itu disegani orang lain ada pula
kharisma yang membuat orang itu tampak bersinar di tengah orang lain," kata
Maria. "Siapakah yang mengatakannya kepadamu?" tanya Duchess kagum pada katakata Maria. "Saya tidak dapat mengingatnya," kata Maria.
"Kharisma apa yang terlihat dari kami semua yang ada di sini, Maria?" tanya
Trown Townie yang duduk di dekat orang tua Alexander.
"Seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap orang memiliki kharisma
sendirisendiri yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Anda, Mr.
Townie, memiliki kharisma yang membuat semua orang senang berbicara
dengan Anda," kata Maria.
Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. "Engkau pandai mengambil
hati orang, Maria." "Saya tidak mengambil hati siapa pun. Saya hanya mengatakan yang
sebenarnya," kata Maria sambil tersenyum.
"Engkau selalu mengatakan yang sebenarnya tetapi hampir semua kebenaran
yang kaukatakan membuat semua orang menyukaimu," kata Trown Townie.
"Tidak semua kebenaran yang saya katakan itu menyenangkan semua orang.
Anda sebenarnya memiliki sesuatu yang membuat sebagian orang kurang
menyukai Anda." "Katakan kepadaku apakah itu, Maria?" kata Trown Townie.
"Apakah Anda yakin mau mendengarnya?" tanya Maria.
"Katakanlah Maria. Aku menyukai kebenaran."
"Saya tahu Anda tidak menyukai kebohongan. Tetapi saya harus mengatakan
kepada Anda apa yang akan saya katakan ini akan sangat menyakitkan hati
Anda." "Tidak apa-apa, Maria. Ia tidak akan pernah marah," kata Duke.
"Itulah hal yang kurang disukai sebagian orang dari Anda, Mr. Townie. Anda
selalu santai menghadapi setiap masalah. Bahkan terkesan menganggapnya
sebagai suatu lelucon. Hal itu membuat sebagian pejabat Istana kurang
menyukainya." Trown Townie tertawa lagi mendengar kata-kata Maria.
"Aku telah menduganya, Maria. Menteri-menteri yang kuno itu memang selalu
menganggap serius setiap masalah. Menurutku setiap masalah jangan dianggap
terlalu serius atau kita akan menjadi cepat tua karenanya."
"Tidak semua menteri beranggapan seperti itu. Masih banyak pejabat yang
menyukai cara Anda memandang suatu masalah," kata Maria, "Memang dalam
hidup ini selalu saja ada orang yang menyukai kita dan membenci kita."
Trown Townie terkejut mendengar kalimat terakhir Maria demikian pula Duke
dan Duchess. Maria menyadari keterkejutan mereka bertiga dan berkata, "Apakah yang saya
katakan salah?" "Jangan cemas seperti itu, Maria. Mereka hanya terkejut pada kata-katamu yang
seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini," kata Alexander.
"Ya, engkau mengatakan itu seperti orang yang telah berpengalaman dalam
hidup ini," kata Duke.
"Engkau mengejutkanku, anakku," kata Duchess sambil menarik Maria
mendekat, "Aku tidak menduga engkau akan berkata seperti itu. Aku yakin
engkau juga telah membuat Mrs. Vye bahkan seluruh penduduk Obbeyville
menjadi terkejut dengan kata-katamu yang seperti orang bijak itu."
"Ia memang telah mengejutkan Mrs. Vye, Mama. Mrs. Vye mengatakan padaku
Maria sangat bijaksana untuk ukuran gadis seusianya. Kata-katanya selalu
terkesan seperti orang yang sangat berpengalaman di dunia ini," kata
Alexander. "Suatu hari nanti aku akan memintamu untuk mengajariku kebijaksanaan yang
lain. Engkau mau bukan?" goda Trown Townie.
"Saya khawatir saya akan mengecewakan Anda. Saya tidak mempunyai banyak
waktu di siang hari dan sebentar lagi saya akan selalu sibuk mulai dari pagi
hingga malam," kata Maria.
"Apa lagi yang hendak engkau lakukan, Maria" Bukankah engkau selalu
mempunyai banyak waktu di sore hari," kata Alexander.
"Mulai esok saya tidak akan mempunyai banyak waktu lagi. Saya telah berjanji
pada Ityu untuk menceritakan mitos-mitos itu padanya di sore hari," kata Maria.
"Ityu salah satu dari anak-anak itu?"
"Ya, ia sangat tertarik pada mitos. Tetapi yang diketahuinya hanya satu. Saya
berjanji padanya akan menceritakan semua mitos itu."
"Apakah engkau juga akan menceritakan mitos ketiga itu padanya?"
"Mengenai itu saya masih ragu. Suku itu telah beratus-ratus tahun
menyimpannya dari pengetahuan orang lain."
"Sebenarnya berapakah mitos yang ada di Kerajaan Zirva?" tanya Duke yang
tertarik mendengar percakapan Alexander dengan Maria.
"Banyak sekali tetapi hanya tiga yang terkenal. Dan buku yang Anda katakan itu
mungkin berisi semua mitos yang ada di Kerajaan Zirva."
"Sayang saat ini kita sedang berpesta bila tidak aku akan memintamu untuk
membacakannya untukku. Aku sama sekali tidak mengerti tulisan buku itu yang
bagiku lebih menyerupai huruf Mesir Kuno daripada huruf Latin."
"Besok aku akan mengajak Maria ke sini lagi," kata Alexander berjanji pada
ayahnya. "Besok saya tidak mempunyai banyak waktu," kata Maria mengingatkan.
"Jangan khawatir, Maria. Aku dapat mengatasinya."
"Sebenarnya siapakah engkau, Maria" Dan apa saja yang engkau ketahui"
Mungkin lebih tepat apa yang tidak engkau ketahui. Aku percaya engkau lebih
banyak mengetahui daripada tidak mengetahui segala sesuatunya," kata Trown
Townie. "Ia lebih tepat menjadi bidadari dari Holly Mountain daripada yang lain," kata
Duchess. "Aku akan percaya sekali bila ia mengatakan ia berasal dari Holly Mountain,"
kata Alexander menambahkan.
"Anda jangan melihat seseorang dari luarnya saja. Hati seseorang bisa lebih
buruk dari yang terlihat," kata Maria memperingatkan.
"Engkau tidak hanya menampakkan kecantikanmu yang terlihat dari luar, Maria,
tetapi juga kecantikkan hatimu," kata Alexander.
"Engkau memiliki hati yang cantik, anakku," kata Duchess sambil tersenyum
,"Itulah yang membuat engkau berbeda dengan wanita-wanita lainnya."
"Bagaimana pendapatmu mengenai diriku?" tanya Trown Townie.
"Saya menyukai Anda dan cara Anda menghadapi hidup ini. Setiap orang
memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghadapi hidup yang penuh tantangan
ini," kata Maria. "Aku senang mendengarnya," kata Trown Townie, "Sejak tadi aku khawatir
engkau tidak menyukaiku."
"Saya menyukai Anda terutama kecaman Anda terhadap politik perdagangan
Blueberry," kata Maria.
"Politik perdagangan Blueberry kerajaan ini memang buruk sekali waktu itu,
tetapi sekarang menjadi lebih baik," kata Trown Townie.
"Aku setuju denganmu yang tidak menyukai cara Istana menjual Blueberry ke
luar negeri. Dulu Istana memang lebih menyukai menjual seluruh persediaan
Blueberry ke luar negeri daripada membusuk di gudang penyimpanan. Tetapi
sekarang kita dapat mengubahnya menjadi selai dan itu tidak akan membuat
Blueberry menjadi cepat membusuk," kata Alexander.
"Memang seharusnya dari dulu itulah yang dilakukan pemerintah. Tetapi apa
boleh buat saat itu yang memerintah Raja Croi I dan ketika Raja Croi II
menggantikan ayahnya, peraturan itu diubah. Tetapi Raja tidak segera
mengubahnya, baru setelah aku memberikan kecaman yang cukup keras, Raja
mengubahnya," kata Trown Townie.
"Saat itu Raja masih sibuk mengadakan pembaharuan di berbagai bidang. Di
samping itu Raja juga menghadapi menteri-menteri yang masih berpikiran kuno
seperti Raja Croi I. Dan setelah sebagian besar menteri itu diganti, Raja bisa
mengadakan pembaharuan di bidang perdagangan," kata Alexander.
"Ya, perjuangan yang sangat berat dari Raja Croi II telah berhasil membuat
kerajaan kita menjadi lebih dikenal penduduk dunia. Kerajaan kita telah cukup
lama terkurung di sekitar pegunungan Skandinavia," kata Trown Townie.
Selama beratus-ratus tahun Kerajaan Zirva tidak berhubungan dengan dunia
luar melalui daratan karena pegunungan Skandinavia yang tinggi itu. Baru
setelah Perancis di bawah pemerintahan Napoleon Bonaparte mengadakan
perluasan wilayah, jalan ke Kerajaan Zirva terbuka.
Kerajaan Zirva sangat beruntung karena Napoleon tidak tertarik pada kerajaan
yang letaknya cukup terpencil ini.
Armada laut Kerajaan Zirva menjadi semakin kuat setiap tahunnya karena
selama beratus-ratus tahun mereka berhubungan dengan dunia luar hanya
melalui lautan yang terletak di sebelah barat kerajaan.


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai kerajaan yang cukup terpencil, tidaklah mengherankan bila banyak
penduduk Kerajaan Zirva yang berpikiran kuno.
Sejak pemerintahan Raja Croi I telah banyak diadakan perubahan di segala
bidang. Dan baru pada masa pemerintahan Raja Croi II perubahan itu terasa
sangat nyata dan berdampak cukup besar bagi perekonomian Kerajaan Zirva.
Raja Croi I kurang mampu menghadapi para menteri yang kebanyakan masih
berpikiran kuno itu. Dan itulah yang menyebabkan perubahan yang
dilakukannya kurang terasa.
Sedangkan Raja Croi II mampu menghadapi menteri-menteri yang kuno itu.
Raja Croi II mengambil tindakan yang cukup tegas ketika ia memutuskan
mengganti menteri yang kuno dengan menteri-menteri yang berpandangan
modern. Langkah pertama yang diambil Raja Croi II ketika ia naik tahta cukup
mengejutkan penduduk Kerajaan Zirva. Namun banyak dari penduduk Kerajaan
Zirva yang telah mengenal pendidikan di luar Kerajaan Zirva, yang menyetujui
usul itu. Tidak semua menteri diganti oleh Raja Croi II. Sebagian dari menteri yang masih
muda dan bermanfaat bagi kerajaan tetap digunakan. Sebagian lainnya diganti
dengan menteri baru. Sejak perubahan yang dilakukan Raja Croi II pada pemerintahannya,
perubahan-perubahan yang lain terjadi.
Raja Croi II telah banyak membuat perubahan di segala bidang. Dan kini yang
sedang diperdebatkan adalah Undang-Undang Hukum Kerajaan Zirva.
Masih banyak orang yang ragu mengganti hukum yang keras itu dengan hukum
baru yang lebih lunak. Selama ini Kerajaan Zirva terkenal damai dengan hukumnya yang keras. Banyak
orang yang khawatir kedamaian yang selama ini tercipta dengan hukum yang
keras menjadi rusak bila hukuman itu diperingan.
"Aku rasa kita bisa memulainya setelah lagu ini selesai," kata Duchess.
"Kurasa lagu ini akan selesai tak lama lagi," kata Duke.
Maria tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Duke dan Duchess. Tetapi
Alexander dan Trown Townie tampaknya mengerti apa yang dibicarakan Duke
dan Duchess. Tak lama kemudian lagu itu selesai. Tetapi tidak ada lagu yang menggantikan
lagu terakhir itu. Duchess berjalan ke depan menuju ke sebuah piano yang terletak di dekat
tempat itu. Saat itulah Maria menyadari keberadaan piano itu. Mungkin warna piano yang
hitam itulah yang membuat Maria tidak menyadari keberadaan piano itu.
"Mama pandai bermain piano dan ia selalu memainkan beberapa lagu di setiap
pesta dansa yang diadakan," bisik Alexander sambil mengajak Maria mendekati
piano itu. Duchess tidak duduk di depan piano itu seperti yang diduga Maria. Duchess
berdiri di tepi piano itu.
Ia tersenyum pada Maria dan Alexander yang semakin mendekat. Tangannya
terulur pada Maria. Maria tidak mengerti apa yang akan dilakukan Duchess.
"Ulurkan tanganmu, Maria," bisik Alexander.
Maria menerima uluran tangan Duchess. Duchess menarik Maria hingga gadis itu
berdiri tepat di depan piano itu.
"Mainkanlah lagu untuk kami semua, Maria," kata Duchess kemudian ia berdiri
di samping Alexander. Maria tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memandang wajah Duchess sebelum
ia mengalihkan perhatiannya ke piano itu.
Maria meletakkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan di atas piano itu.
Tangannya bergerak perlahan di permukaan piano itu, seperti menyentuh
sesuatu yang sangat halus dan menakjubkan.
Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Semua menanti tegang tindakan yang akan
dilakukan Maria. Perlahan-lahan, Maria membuka tutup piano itu yang menutupi tuts-tuts tetapi
ia tidak segera memainkan piano itu. Ia menyentuh permukaan tuts-tuts itu.
Perasaan aneh menjalari tubuhnya. Ia merasa rindu. Bukan rindu memainkan
piano tetapi kerinduan yang lain.
Saat jari-jarinya menyentuh piano itu, ia merasakan kerinduan yang sangat
dalam pada sesuatu yang tak dapat diketahuinya dengan pasti.
Ia merasa rindu pada orang-orang yang selalu mendengarkan permainannya di
ruangan yang besar. Ia merindukan suasana yang ia ciptakan dengan
permainannya. Ia merindukan semuanya.
Tergerak perasaannya, Maria duduk di depan piano itu dan mulai menekan tutstuts
yang sejak tadi hanya disentuhnya.
Tidak ada perasaan ragu ketika ia mulai menekan satu per satu tuts itu.
Lagu pertama yang dimainkannya merupakan lagu Gereja karya Mozart.
Duchess tersenyum pada Alexander. "Tepat seperti yang kukatakan, bukan" Ia
pandai bermain piano dan ia bukan gadis sembarangan," katanya pada
Alexander. Semua tamu yang memandang Maria merasa kagum mendengar permainan
Maria yang merdu dan penuh perasaan itu. Permainan piano Maria sangat jernih
dan merdu seakan-akan menggambarkan sifatnya yang selalu tenang dan
disukai banyak orang. Mendengar permainan Maria yang berisi pujian kepada Bunda Perawan Maria,
Alexander teringat kembali perbincangan ayahnya dan tamu yang lain.
Ia sedang mengawasi Maria yang tengah berbicara dengan seorang wanita
ketika ayahnya tiba-tiba berkata, "Aku masih tidak percaya Pangeran
mempunyai adik." Trown Townie menyahut, "Memang sukar dipercaya. Walaupun Pangeran sendiri
yang memberitahuku tetapi aku sejujurnya sendiri masih ragu."
"Itu benar. Pangeran mempunyai adik yang sangat cantik," kata pria yang juga
duduk di dekat kedua orang tua Alexander.
"Cara bicara Anda seperti telah melihat sendiri Princess."
Pria tua itu membalas senyuman Duchess dan berkata, "Anda benar, Duchess.
Aku pernah bertemu dengannya."
Pernyataan pria itu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya terkejut.
"Sungguhkah itu?" tanya Duke dan Trown Townie hampir bersamaan sedangkan
Duchess hanya terpana mendengar ucapan itu.
Alexander yang semula melihat ke Maria juga menoleh ketika mendengar
ucapan yang mengejutkan itu.
"Benar. Saat itu Princess masih kecil tetapi ia telah tampak menarik tentu
sekarang ia jauh lebih menarik," kata pria itu.
Mereka terdiam. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Pria itu melanjutkan ceritanya,
"Saat itu aku dipanggil Raja untuk membantunya menangani suatu urusan yang
sangat penting dan rahasia.
Ketika aku dan Raja serta beberapa menteri lainnya telah menyelesaikan
pertemuan kami, Raja mengajak kami semua berkumpul di suatu ruangan.
Sampai saat ini aku masih ingat kejadian yang tak pernah kuduga sebelumnya
yang terjadi di ruangan itu."
Pria itu berhenti dan mengenang kembali saat ia mengunjungi Istana Plesaides.
"Ratu dan Pangeran sedang bercanda ketika kami tiba. Mereka tampak seperti
sedang menanti sesuatu. Tak lama setelah kami terlibat pembicaraan yang menarik, seorang gadis cilik
yang sangat cantik membuka pintu.
Ketika melihat gadis itu aku menduga ia adalah anak pelayan. Tetapi ketika ia
menyapa Raja dan Ratu, aku terkejut sekali terlebih lagi ketika semua menteri
menyapanya, "Selamat siang, Putri kecil."
Aku sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa gadis itu adalah Princess."
Pria itu terdiam lagi dan tersenyum seolah menertawakan kebodohannya sendiri.
Trown Townie menggunakan kesempatan ini untuk bertanya, "Mengapa ketika
engkau melihatnya, engkau tidak menduga ia adalah Princess?"
"Karena saat itu Princess tidak mengenakan gaun yang seharusnya dikenakan
putri raja," jawab pria itu.
"Gaun apa yang dikenakannya" Apakah Raja tidak menyayangi Princess?" tanya
Duchess tak mengerti. "Tidak, Duchess. Raja dan Ratu juga Pangeran serta semua orang di Istana
sangat mencintai Princess."
"Lalu mengapa Anda tidak mengenalinya sebagai putri raja?" tanya Duchess.
"Saat itu Princess muncul dengan rambut terkepang dua seperti gadis desa dan
sebuah nampan besar di tangannya.
Bukan hanya itu saja yang membuatku menduga ia anak salah seorang pelayan
Istana. Saat itu sebuah celemek menutupi gaun sederhana yang dikenakan
Princess. Apalagi ketika ia memasuki ruangan itu, beberapa pelayan wanita yang juga
membawa nampan di kedua tangan mereka, masuk.
"Kali ini apa yang kaubawa?" tanya Pangeran sambil mendekati Princess.
Princess mengelak ketika Pangeran hendak mengambil kue yang ada di atas
nampan itu. "Engkau tidak boleh mengambilnya dulu," kata Princess menggoda Pangeran
sambil berlari menjauh dari Pangeran yang terus mengikutinya.
Aku keheranan melihat semua itu tetapi semua orang di sana hanya tersenyum
melihat tingkah kedua putra raja itu.
"Musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides," kata seseorang
kepadaku. Princess berlari mendekati Raja dan Ratu. "Papa Mama, ambillah dulu sebelum
dia," kata Princess sambil melirik menggoda pada Pangeran.
"Kue apa yang kali ini engkau buat?" tanya Raja menggoda Princess, "Apakah
kue ini enak" Warnanya seperti kue yang hangus."
"Papa coba saja. Kue ini sangat enak. Mrs. Wve juga mengatakan kue ini enak."
"Kali ini siapa yang mengajarimu membuat kue ini?" tanya Ratu.
"Seorang nenek tua di dekat Small Cottage yang mengajariku," kata Princess
sambil tersenyum, "Cobalah. Kue ini sangat enak."
"Apa namanya?" tanya Ratu.
"Nenek itu tidak tahu namanya."
"Karena warnanya seperti kue hangus, aku akan menamakannya 'Kue Hitam',"
kata Ratu. "Nama yang lucu. Cobalah, Mama. Jangan khawatir akan rasa kue ini,"
kemudian ia berkata kepada kami, "Kalian juga harus mencobanya."
Pangeran cemberut, "Begitu, ya. Aku diletakkan yang paling akhir."
Princess meletakkan nampan-nampan yang dibawanya di atas meja kemudian
mendekati Pangeran dan memeluknya.
"Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangimu. Tetapi aku tidak boleh
mendahulukan orang lain sebelum orang tuaku dan itu termasuk engkau,"
katanya. Aku terkejut mendengar kata-kata Princess itu. Ia berkata seperti orang yang
telah dewasa padahal waktu itu ia masih sangat kecil, mungkin usianya tak lebih
dari lima atau enam tahun.
Pangeran tersenyum dan menggendong adiknya. "Aku selalu kesepian bila
engkau tidak ada." "Apa yang dapat kulakukan" Aku hanya dapat berada di sini selama musim
semi. Setelah musim semi berakhir, aku harus pergi dan kembali lagi pada
musim semi berikutnya. Aku sendiri tak ingin pergi tetapi aku harus," kata
Princess. Sekali lagi aku terkejut mendengar kata-kata Princess yang seperti orang
dewasa itu. "Aku mengerti," kata Pangeran sambil menurunkan Princess.
Princess segera berlari mengikuti pelayan-pelayan yang telah meninggalkan
ruangan itu setelah mencium pipi Pangeran.
"Mereka selalu seperti itu," kata Ratu padaku, "Mereka tidak dapat dipisahkan
tetapi apa yang dapat kami lakukan."
"Adikku hanya berada di Istana Plesaides selama musim semi. Dan setiap musim
semi adalah musim ceria Istana Plesaides," kata Pangeran. "Setiap kali ia ada di
sini, ia selalu mengumpulkan kami di ruangan ini. Setiap hari ia mengajak kami
untuk mencoba kue yang dibuatnya. Aku percaya bila ia mau menulisnya, ia
akan membuat buku resep yang sangat tebal."
"Putri kecil sangat pandai membuat kue. Aku tidak tahu ia belajar dari mana.
Kue yang selalu dibuatnya bukan berasal dari koki Istana. Mungkin ia
mendapatkan resep kue itu dalam setiap petualangannya," kata Ratu.
"Ambillah, Mathwe. Kue ini cukup untuk kita semua," kata Raja.
"Jangan khawatir. Kue buatan Putri kecil selalu enak, Mrs. Wve selalu
membantunya setiap kali Putri kecil membuat sesuatu di dapur," kata Menteri
Luar Negeri melihat keragu-raguanku.
Aku hingga saat ini masih merasa tak percaya bila mengingat hal itu. Rasanya
aneh bagiku seorang putri kecil bisa menarik seperti itu. Kalian akan
mengatakan aku berlebihan bila aku mengatakan Putri kecil itu tidak hanya
membuatku kagum akan kecantikkannya dan keanggunannya tetapi juga semua
orang yang tinggal di Istana Plesaides."
"Aku tidak percaya," kata Trown Townie.
"Kenyataannya memang seperti itu. Aku pernah mendengar berita kelahiran
Princess tetapi setelah itu aku tak pernah mendengar lagi. Jadi aku mengira
berita itu hanya kabar burung saja. Dan aku juga tidak mempercayainya pada
mulanya tetapi semua itu nyata bukan karanganku belaka," kata Mathwe.
"Mengapa Princess jarang berada di Istana?" tanya Duke of Blueberry.
"Aku tidak tahu, aku lupa menanyakannya karena saat itu aku terlalu terpesona
pada Putri kecil yang lincah," pria itu terdiam dan mengenang masa lalu.
"Hingga saat ini aku masih ingat bagaimana wajah Putri kecil yang cantik dan
rambut panjangnya yang terkepang dua serta gerakannya yang gemulai. Tetapi
lebih dari itu, aku masih ingat jelas tutur katanya yang lembut dan seperti
orang dewasa." Ketika lagu pertama selesai dimainkan Maria, semua tamu bertepuk tangan.
Namun Maria tidak berhenti, ia terus melanjutkan permainannya.
Sementara jari jemarinya terus menari-nari di atas tuts piano, pandangan Maria
menerawang ke depan ke dinding di hadapannya. Namun pikirannya melayang
jauh ke belakang ke masa lalunya.
Topeng yang menutupi mata Maria membuat tiada seorangpun yang mengetahui
pandangan mata Maria yang menerawang itu.
Maria merasa seperti mendengar kata-kata seseorang yang menggodanya
sementara ia terus bermain piano putih yang sangat unik karena kekunoannya.
Di samping suara pria itu, ia mendengar suara orang lain yang marah pada
orang yang menggodanya. Pria itu mendekatinya dan memegang pundaknya, ia menghentikan
permainannya dan menatap wajah orang itu. Tetapi wajah orang itu kabur, ia
tidak dapat melihat wajah orang itu juga wanita yang memarahi pria itu.
Wajah mereka seperti tertutup kabut. Tetapi ia masih dapat melihat samarsamar
tempat ia bermain piano putih itu.
Ruangan tempatnya bermain piano berdinding putih yang cerah, di sampingnya
ada dinding besar berpintu dua yang terbuka lebar. Tirainya yang berwarna
putih tipis tertiup angin. Sesekali tirai itu menerpa wajahnya.
Langit yang cerah dengan awan-awan putihnya seperti tersenyum mendengar
permainannya. Angin sejuk yang menerobos masuk membawa harum bungabunga.
Sentuhan tangan seseorang di pundaknya, membuatnya terhenyak.
Alexander menyadari keterkejutan Maria. Sekilas mata gadis itu tampak
menerawang ketika menatapnya.
Sekilas Maria melihat wajah pria yang dilamunkannya ketika ia memalingkan
wajahnya. Duchess yang berdiri di belakang Alexander sekilas juga terlihat
seperti wajah seorang wanita yang memarahi pria yang menggodanya ketika ia
sedang bermain piano. "Beristirahatlah, Maria. Engkau pasti lelah," kata Alexander.
Maria menggelengkan kepalanya. "Tidak, saya tidak lelah."
"Engkau telah memainkan banyak lagu. Engkau pasti lelah. Beristirahatlah atau
engkau lebih baik pulang, hari telah larut malam. Engkau tidak ingin
kemalaman, bukan?" kata Alexander.
Maria terkejut. Ia tidak menyadari telah banyak lagu yang dimainkannya ketika
ia melamun. "Biarkanlah saya memainkan lagu terakhir sebelum saya kembali," kata Maria
sambil tersenyum. Alexander tersenyum dan menepi untuk memberi Maria kesempatan memainkan
lagu terakhirnya. Maria kembali meletakkan jari-jarinya yang lentik di atas tuts-tuts piano dan
mulai memainkan lagu Polonaise karya Johann Sebastian Bach yang berisi pesan
kepada istrinya dan ketiga belas putranya.
Ketika ia telah menyelesaikan lirik terakhir dari lagu itu, ia segera bangkit


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan mendekati Duchess. "Engkau memang seperti yang kuduga, Maria. Permainanmu sangat merdu dan
menyejukkan hati," kata Duchess.
"Anda terlalu berlebihan, Duchess," kata Maria merendah.
"Aku tidak berlebihan, Maria."
Sebelum ibunya sempat mengatakan lebih banyak lagi, Alexander segera
berkata, "Sudahlah, Mama. Aku ingin mengantar Maria sekarang. Ia tidak ingin
kemalaman." "Engkau akan pulang sekarang?" tanya Duke yang telah berdiri di samping
Duchess. "Ya, saya tidak ingin membuat Mrs. Vye menanti saya terlalu lama. Mungkin
saat ini ia cemas menanti saya," kata Maria.
"Sayang sekali engkau harus cepat pulang. Aku harus mengatakan aku
menyukai lagu terakhirmu, Maria. Lagu yang indah di pesta dansa seperti ini,"
kata Duchess, "Datanglah kemari besok atau kapanpun engkau suka."
BAB 11 Maria berjalan sendirian di tepi Sungai Alleghei.
Vye hampir saja bangun kesiangan andaikata Maria tidak membangunkannya.
Maria merasa bersalah telah membuat wanita tua itu menantinya hingga larut
malam. Saat ia tiba di pondok Mrs. Vye, waktu menunjukkan hampir pukul dua belas
malam. Wanita itu tampak sangat lelah pagi ini, karena itu ia tidak ikut Maria
berjalan-jalan di tepi sungai Alleghei.
Sebenarnya Mrs. Vye merasa enggan tidak pergi ke Sungai Alleghei seperti
biasanya, tetapi karena tubuhnya sangat letih, ia dengan terpaksa memilih
untuk tidak pergi berjalan-jalan.
Walaupun Mrs. Vye tidak tampak menyesal apalagi marah pada Maria karena
pulang larut, tetapi Maria merasa bersalah.
Pagi tadi ketika Mrs. Vye mengatakan ia akan tinggal di rumah, Maria ingin
menemani wanita itu. Mrs. Vye menggelengkan kepala dan menyuruh Maria pergi sendirian.
Maria mulanya merasa enggan tetapi ketika ia teringat janjinya pada Ityu, ia
akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian menyusuri sungai yang cukup besar
itu sebelum menuju rumah Ityu.
Kini ketika Maria memandangi sungai yang bercahaya tertimpa sinar mentari
pagi itu, Maria teringat kembali perjalanan pulangnya dari rumah Alexander.
Malam itu, mereka tidak langsung menuju pondok Mrs. Vye. Mereka berhenti
sebentar di tepi Sungai Alleghei.
Ketika mereka melewati sungai itu, Maria memandang terus sungai yang
tertimpa cahaya lembut sang dewi malam.
Seperti mengetahui pikiran Maria, Alexander segera menyuruh kusir kereta
menghentikan kereta dan mengajak Maria menuju sungai itu.
Maria merasa sangat senang. Selama ini ia selalu ingin menikmati keindahan
sungai itu di malam hari. Tetapi karena mengetahui kepercayaan penduduk
Obbeyville, ia memilih untuk mengikuti kepercayaan itu.
Maria tidak pernah mengatakan keinginannya itu kepada siapa pun. Dan kini
tanpa diberitahu Alexander mengajaknya menuju sungai itu.
"Sungai ini selalu terlihat indah dan bercahaya," kata Maria.
"Seperti engkau," timpal Alexander.
Maria yang asyik memandang permukaan Sungai Alleghei yang memantulkan
cahaya bulan, menatap Alexander. "Mengapa Anda berkata seperti itu?"
tanyanya. Alexander tersenyum dan berkata, "Karena memang demikian yang kulihat.
Seperti sungai ini, engkau selalu terlihat bercahaya di manapun dan kapan pun
juga." "Tidak sama, Al," kata Maria, "Sungai ini bercahaya karena kejernihannya dan
terlebih lagi karena sinar yang selalu menyertainya baik di siang hari yang
panas maupun di malam hari yang dingin."
"Aku melihat engkau menyerupai sungai ini. Engkau tampak menarik di
manapun engkau berada," Alexander mengulurkan tangannya.
Maria terkejut ketika Alexander menyentuh pundaknya yang telanjang. Tangan
pria itu menaikkan syal putih yang terjatuh dari pundaknya.
Walaupun sentuhan itu sesaat, tetapi sudah dapat membuat Maria merasa
pipinya memerah dan jantungnya berdebar-debar.
"Apakah engkau kedinginan?" tanya Alexander kemudian ia meraih tubuh Maria,
"Engkau mengigil."
Maria menggeleng di pelukan Alexander namun tidak berusaha melepaskan diri.
Sikap melindungi yang ditunjukkan Alexander membuatnya teringat pada
pelukan yang sama dari seseorang di masa lalunya yang selalu melindunginya
dan menjaganya dari apa pun.
"Apakah engkau yakin?"
"Ya," jawab Maria lirih.
Mendengar jawaban yang hampir seperti bisikan itu, Alexander berkata,
"Sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Udara malam musim panas di
sini sangat dingin, aku tidak ingin engkau jatuh sakit karenanya. Di samping itu
besok engkau mempunyai banyak pekerjaan."
Seperti biasanya, Alexander mengangkat tubuh Maria tanpa meminta ijin Maria
terlebih dahulu. Dan sesuai yang dikatakannya, Alexander mengantar Maria
kembali ke sisi Mrs. Vye yang telah menantinya.
Maria membelok ke sebuah rumah batu yang beratap jerami yang berdiri tak
jauh dari Sungai Alleghei.
Ketika Maria akan melangkah masuk ke dalam pagar semak-semak yang
mengelilingi rumah itu, pintu rumah itu terbuka dan seorang anak berlari
dengan riang menyambut kedatangannya.
"Saya senang sekali Anda mau datang. Saya khawatir Anda tidak datang," kata
anak itu. Maria tersenyum pada Ityu, "Aku telah berkata padamu aku akan datang."
Suara kuda yang mendekat membuat keduanya memalingkan kepala.
Dengan senyum yang menghias wajahnya, Alexander mendekati mereka. ia
turun dari kudanya ketika ia semakin dekat dengan Maria.
"Selamat pagi," kata Maria.
"Selamat pagi," balas Alexander sambil menuntun kudanya mendekat.
Kemudian is berkata kepada Ityu, "Di mana saya dapat meletakkan kuda ini?"
"Di sana," jawab Ityu sambil menunjuk tempat menambatkan tali kekang kuda
di bawah sebatang pohon yang mulai mengering.
Menyadari kebingungan Ityu, Maria segera berkata, "Ia teman saya, namanya
Alexander." Ityu mengangguk tetapi sorot matanya masih memancarkan kebingungan. Maria
hanya tersenyum melihat sorot mata anak itu.
"Aku melihat engkau menuju rumah ini maka aku memutuskan untuk
mengikutimu. Engkau tidak keberatan, bukan?" kata Alexander.
"Sama sekali tidak. Tetapi saya tidak tahu bagaimana dengan ayah Ityu."
"Ayah tidak akan keberatan," kata Ityu dengan cepat, "Silakan masuk."
Maria mengikuti Ityu memasuki rumah yan cukup besar itu. Alexander mengikuti
di belakang Maria. Suasana di rumah itu terasa sangat sunyi. Perabotannya yang sederhana namun
memiliki kekhasan asli suku asal mitos ketiga, membuat Maria tersenyum.
Pada saat yang bersamaan, Maria merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada
sesuatu di ruangan itu yang membuat ia merasa seperti berada di masa lalu.
Anehnya, Maria tidak merasa berada di masa lalunya yang sekarang berada di
balik kabut yang pekat tetapi seperti berada ke relung ingatannya yang tak
tertutup kabut. Alexander memandang Maria dengan cemas, "Ada apa, Maria" Engkau baik-baik
saja?" "Ya, saya baik-baik saja," jawab Maria.
"Engkau terlihat aneh."
"Saya saat ini memang merasa aneh," kata Maria mengakui perasaannya, "Saya
merasa seperti pernah ke sini sebelumnya. Dan berbeda dengan biasanya, saya
tidak merasa seperti berada di masa lalu saya yang sekarang berada di kabut
pekat itu." "Apakah engkau telah ingat siapa dirimu?" tanya Alexander penuh harapan dan
kecemasan. "Tidak. Saya masih belum dapat mengingat siapa saya di masa lalu. Saya hanya
ingat saya pernah berada di ruangan yang persis seperti ini. Saya juga masih
ingat rumah itu dengan baik," kata Maria.
Maria memalingkan kepalanya ketika ia mendengar langkah-langkah kaki
mendekat. Ityu muncul dari dalam rumah dengan menggandeng ayahnya.
Ayah Ityu terkejut ketika melihat Maria berdiri di ruangan itu dengan memeluk
sebuah buku di dadanya, seperti anak sekolah yang siap menerima pelajaran
dan Alexander yang berdiri di dekat pintu seperti seorang pengawal yang
menjaga putrinya. "Saya merasa tersanjung Anda bersedia datang ke rumah saya yang sempit ini,"
kata ayah Ityu. "Saya berharap kedatangan saya tidak terlalu pagi, Quiya," kata Maria dengan
tersenyum. Alexander mengangkat alisnya tanda tak mengerti ketika mendengar panggilan
yang ditujukan Maria pada ayah Ityu. Ityu juga memandang Maria tak mengerti.
Ayah Ityu terlihat terkejut mendengar panggilan itu. "Jangan panggil saya
dengan sebutan itu. Saya merasa tidak pantas dipanggil 'Quiya' oleh Anda,"
katanya. "Mengapa" Anda seorang dari pendeta itu," kata Maria bersikeras, "Saya tidak
melihat ada yang salah bila saya memanggil Anda seperti itu."
"Ya," kata pria itu sambil mengangkat bahunya, "Saya memang salah satu dari
mereka tetapi saya merasa kurang pantas bila seorang bidadari yang dikirim
dewa memanggil saya seperti itu."
Maria tersenyum, "Saya telah menduganya. Biarkanlah saya memanggil Anda
seperti itu sebagai tanda penghormatan saya kepada Anda sebagai pendeta
yang sama seperti pendeta suku itu."
"Suku itu?" tanya pria sambil memegang janggut putihnya yang panjang.
"Suku yang dulu ada di Death Rocks tetapi sekarang telah banyak dari mereka
yang menyebar ke beberapa daerah di kerajaan ini," kata Maria, "Dan
membentuk keluarga dengan orang di luar suku mereka."
"Ya, saya ingat," kata pria itu, "Saya memang suka lupa bila menyangkut
mereka." "Saya mengerti. Mereka memang telah lama menyembunyikan diri mereka
seperti mereka menyembunyikan mitos mereka. Dan sekarang hanya sedikit
sekali keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan nenek
moyang mereka. Termasuk Anda, saya kira," kata Maria.
Pria itu terkejut. "Saya tidak dapat mempercayai ini. Anda telah mengetahuinya
sebelum saya mengatakannya. Tak salah lagi Anda pasti kiriman dewa."
Maria menggelengkan kepalanya, "Bukan. Saya yakin saya bukan kiriman para
dewa yang agung itu. Saya mengetahuinya dari ukiran-ukiran kursi di rumah
Anda yang masih sangat kentara menunjukkan ciri mereka."
"Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan," kata Ityu sambil
menggelengkan kepalanya dengan bingung.
Maria mendekati anak itu. "Jangan khawatir, Ityu. Tak lama lagi engkau akan
mengerti. Aku telah memutuskan untuk memberi tahumu mengenai suku itu dan
bila mungkin mitos mereka."
"Mitos ketiga?"
Ityu berseru senang ketika melihat Maria menganggukkan kepalanya.
Maria menatap Alexander yang masih berdiri di pintu. Kedua tangan pria itu
terlipat di dadanya sementara itu badannya menyandar pada pinggiran pintu.
Matanya tak pernah lepas dari Maria.
Sorot matanya yang penuh tanda tanya itu menampakkan dengan jelas bahwa
ia tidak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan Maria dengan ayah
Ityu. Sekali lagi Maria merasa sikap berdiri pria itu mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang yang juga sering bersikap seperti itu sambil mengawasinya.
Maria tersenyum pada Alexander sebelum ia memalingkan kepalanya kepada
Ityu. "Saya membawakan sebuah buku untukmu," kata Maria sambil menunjukkan
buku itu pada Ityu. Ityu mengambil buku itu dan mengamatinya. Anak itu tidak membuka isinya, ia
hanya melihat sampul buku itu sambil berusaha membaca tulisan yang tertulis
di sana. Karena tak dapat membacanya, Ityu mendekati ayahnya dan menunjukkan buku
itu padanya. Sang ayah mengerti keinginan anaknya. Ia meraih buku itu dari tangan Ityu dan
berusaha membaca tulisan itu.
"Tulisan ini adalah tulisan terkuno suku itu," kata Quiya pada putranya,
"Maafkan aku. Aku tidak dapat membacanya."
Ityu kecewa mendengar jawaban ayahnya itu. Ia berjalan mendekati Maria yang
masih terus berdiri di tengah ruangan itu.
"Tolong bacakan buku ini untuk saya," kata Ityu sambil menyodorkan buku itu.
Maria tersenyum dan menerima buku itu. Dengan mudah ia membaca judul
buku itu. "Anda mengerti tulisan kuno itu?" kata Quiya tak percaya.
"Dari mana engkau mempelajari tulisan ini?" tanya Alexander yang telah berdiri
di belakang Maria. Alexander mengambil buku itu dari tangan Maria. Setelah mengamati halaman
demi halaman buku itu ia berkata, "Tulisan ini mirip tulisan Mesir Kuno. Aku
pernah melihat buku seperti ini di Perpustakaan. Mungkinkah buku yang
dikatakan ayahku adalah buku yang sama dengan buku ini?"
"Mungkin saja."
Hampir saja Alexander melupakan pertanyaannya yang belum terjawab oleh
Maria. "Engkau belum menjawab pertanyaanku, Maria."
"Saya tidak ingat dari mana saya mempelajarinya," jawab Maria.
"Dapatkah aku mempelajarinya?" tanya Ityu penuh harap.
"Tentu saja," kata Maria.
Suasana di ruangan itu menjadi hening ketika seorang wanita tinggi yang telah
tua memasuki ruangan itu dengan nampn di tangannya.
"Ibu," kata Ityu sambil mendekati wanita itu.
"Jangan nakal, Ityu," katanya kepada Ityu yang berlari mendekat kemudian ia
berpaling kepada Maria, "Saya berharap anak saya tidak merepotkan Anda."
"Tidak, ia tidak senakal yang Anda katakan," kata Maria sambil tersenyum
menatap Ityu yang cemberut mendengar kata-kata ibunya.
"Saya tidak menduga Anda akan datang kemari," kata wanita itu, "Dan saya
minta maaf karena suami saya dan anak saya ini tidak dapat menjadi tuan
rumah yang baik, mereka tidak mempersilakan Anda berdua untuk duduk."
Wanita itu memandang marah pada Quiya yang tersenyum dan Ityu yang
tertunduk malu menyadari kecerobohannya. Kemudian ia berpaling kepada
Maria yang masih tersenyum melihat wanita itu.
Wanita itu tampak terbiasa menghadapi kecerobohan suaminya dengan sikap
yang tegas. "Silakan duduk," kata wanita itu.
"Terima kasih, Quiyi," kata Maria.
Wanita itu mengerutkan kening mendengar panggilan yang diberikan Maria.
"Jangan memanggil saya seperti itu, saya memang istri seorang pendeta
upacara mitos itu, tetapi saya merasa tidak pantas dipanggil seperti itu oleh
Anda," katanya. Maria memperhatikan wanita itu meletakkan nampan yang dibawanya di atas
meja di hadapan Maria dan Alexander. Kemudian ia duduk di hadapan mereka.
"Sudah seharusnya keluarga pendeta upacara mitos dipanggil Quiya dan Quiyi,"
kata Maria sambil tersenyum.
Wanita itu tertawa, "Sepertinya Anda tidak dapat dihentikan."
"Anda telah mengetahuinya," kata Maria.
Quiyi tertawa lagi. "Adakah yang dapat kami lakukan untuk Anda sehingga Anda datang kemari,"
katanya setelah tawanya mereda.
"Saya hanya ingin memintakan ijin untuk Ityu. Anda tentu sudah mengerti apa
yang saya katakan," kata Maria.
Wanita itu mengangguk, "Saya mengerti. Tetapi saya tidak dapat mengijinkan
Ityu menganggu Anda."
"Saya tidak merasa terganggu oleh Ityu," kata Maria sambil memandangi Ityu
yang berdiri penuh harapan.
"Anda tentunya telah mengerti bahwa bagi penduduk Obbeyville, khususnya


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami, Anda adalah bidadari yang tidak boleh diganggu," kata Quiya sambil
duduk di samping istrinya.
"Saya mengerti. Tidak dapatkah Anda mengijinkan Ityu sekalipun bidadari itu
yang memintanya?" tanya Maria sambil tersenyum.
Alexander melihat senyum Maria yang penuh keyakinan itu. Sebuah senyum
kemenangan yang sangat manis yang akan meluluhkan hati setiap orang yang
melihatnya. Alexander melihat wajah kedua orang tua Ityu tampak bimbang, tetapi ia telah
mengetahui jawaban keduanya. Ia tahu kedua orang itu takkan mengatakan
'Tidak' terhadap pertanyaan Maria yang tepat itu ditambah dengan senyum
kemenangannya yang manis.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa," kata Quiya sambil mengangkat bahunya.
"Anda hanya perlu melakukan satu hal, mengijinkan Ityu. Saya akan
menjaganya selama ia bersama saya dan bila Anda masih tidak percaya, saya
dapat datang setiap pagi," kata Maria meyakinkan kedua orang tua Ityu.
Sekali lagi Quiya mengangkat bahunya dan berkata, "Itu akan semakin
merepotkan Anda. Sepertinya saya hanya dapat mengatakan 'Ya' terhadap ijin
yang Anda inginkan itu."
Sekali lagi senyum kemenangan menghiasi wajah Maria.
Ityu berseru kegirangan dan berlari mendekati ayahnya. Kemudian memeluk
erat-erat ayahnya. "Aku senang sekali, Ayah. Aku senang Ayah mengijinkanku."
Melihat tindakan Ityu itu, Maria merasakan suatu perasaan bergejolak di
dadanya. Perasaan yang sangat aneh seperti melihat dirinya sendiri melakukan
hal yang sama ketika ia masih kecil.
"Tetapi Ityu, engkau harus ingat, engkau tidak boleh menganggu bila...," kata
Quiyi, "Bolehkah saya memanggil Anda Maria?"
"Silakan, saya tidak tahu Anda harus memanggil saya dengan apa selain nama
itu." Entah untuk keberapa kalinya wanita periang itu tertawa mendengar kata-kata
Maria, "Anda menyenangkan sekali. Anda membuat saya selalu ingin tertawa
mendengar kata-kata Anda."
"Tertawa itu sehat. Tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda sakit perut
karenanya," kata Maria sambil tersenyum.
"Ya, tentu saja," kata Quiyi meyakinkan, "Ityu, engkau boleh pergi ke pondok
Mrs. Vye dengan syarat engkau tidak menganggu Maria."
"Tentu," kata Ityu riang, "Dapatkah kita memulainya hari ini?"
"Tentu. Pagi ini aku berniat untuk meminjamkan buku ini kepadamu," kata Maria
kemudian ia berkata kepada Quiya, "Anda tentu dapat membacanya, Quiya,
walaupun sedikit." "Tetapi saya tidak akan dapat menerjemahkan bahasa itu dengan tepat seperti
Anda," kata Quiya. "Anda dapat?" tanyanya pada Quiyi, "Mungkin Anda dapat membacanya. Anda
salah satu dari keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan
nenek moyang mereka, bukan?"
Wanita itu memandang heran pada Maria, "Bagaimana Anda tahu?"
"Anda memiliki ciri khas wanita suku itu. Anda telah menunjukkan sikap Anda
yang penuh kekuasaan terhadap keluarga Anda. Seperti wanita suku itu bila
menghadapi sikap suami mereka yang sering ceroboh."
Wanita itu tertawa mendengar kata-kata Maria, "Anda tepat. Pria suku Deady
memang ceroboh. Mereka tidak akan dapat bertahan bila tidak ada wanita yang
suka memerintah." "Anda mau mencoba membacanya?" tanya Maria sambil menyerahkan buku itu
kepada Quiyi. Wanita itu meraih buku itu dan membacanya. Kerutan yang menghiasi dahinya
bertambah banyak ketika ia membuka buku kuno itu.
"Anda mendapatkannya dari mana?"
"Dari Sidewinder House."
"Ya, tentu saja. Di sini tidak ada yang memiliki buku itu selain keluarga
Sidewinder," gumam Quiyi, "Dulu ketika saya masih kecil, ayah saya pernah
membacakan buku ini untuk saya. Saya masih ingat sedikit arti tulisan-tulisan
ini." "Sudah saya duga, Anda dapat membacanya," kata Maria.
"Ya, tentu saja. Wanita suku Deady lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
menenun permadani yang bertuliskan tulisan kuno suku Deady daripada kaum
pria," kata Quiya. "Tentu saja," kata ibu Ityu membanggakan dirinya, "Wanita suku Deady terkenal
pandai membuat permadani yang bertuliskan huruf ini."
"Sedangkan prianya terkenal sebagai pemburu yang ulung," sahut Quiya.
Maria tersenyum. "Dua masalah telah terselesaikan sekarang," katanya pada
Ityu, "Engkau dapat meminta ibumu membaca buku itu untukmu. Dan di malam
hari, aku akan mengajarimu bahasa itu dan memberitahu lebih banyak tentang
segala hal yang ingin kauketahui sejauh menyangkut mitos itu."
"Anda akan kembali sekarang?" tanya Ityu kecewa mendengar nada bicara
terakhir Maria seperti orang yang telah menyelesaikan tugasnya dan siap
kembali untuk melapor hasilnya pada sang komandan.
"Saya masih mempunyai banyak waktu. Tetapi lebih baik saya segera kembali,"
kata Maria. "Tidak dapatkah Anda tinggal lebih lama" Saya ingin sekali berbincang-bincang
dengan Anda," kata Quiya.
"Saya khawatir saya tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda," kata Maria.
"Justru sayalah yang merasa khawatir tidak dapat mengimbangi pembicaraan
Anda," kata Quiya, "Anda mengetahui lebih banyak daripada saya."
"Tentang mitos itu?" tanya Maria tak percaya.
Quiya mengangguk. "Saya tidak mengerti apa-apa mengenai mitos ketiga itu
walaupun saya salah satu keturunan yang masih memiliki hubungan kental
dengan leluhur kami."
"Yang membuat kami heran adalah bagaimana Anda mengetahuinya" Satusatunya
jawaban yang terpikirkan oleh kami hanya satu, Anda berasal dari Holly
Mountain," tambah Quiyi.
"Saya tidak ingat darimana saya mengetahuinya, yang pasti bukan dari buku itu
walaupun hal itu termuat di dalamnya. Seseorang sering menceritakannya
kepada saya jauh sebelum saya membuka buku itu," jawab Maria.
"Siapakah orang itu?" tanya Alexander yang sejak tadi mendengarkan
pembicaraan Maria dengan kedua orang tua Ityu.
"Saya tidak ingat," kata Maria.
"Apa yang dikatakan orang itu kepadamu mengenai mitos itu?" tanya Alexander.
"Mitos itu berhubungan erat dengan kehidupan suku Deady, karena itu saya
tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun dengan sembarangan. Dan
diterimanya suku Deady di masyarakat luas dipengaruhi juga oleh mitos yang
disembunyikan itu." "Mitos itu disembunyikan hingga kami pun yang masih memiliki hubungan kental
dengan leluhur kami, tidak mengetahuinya," kata Quiya.
"Sekarang hanya suku Deady yang tinggal di Death Rocks yang mengetahui
mitos itu dan orang yang dapat membaca buku itu," kata Maria.
"Mengapa engkau dapat mengetahuinya" Kurasa engkau bukan keturunan suku
Deady yang tinggal di Death Rocks," kata Alexander.
"Saya tidak tahu."
"Engkau tidak berasal dari Death Rocks, bukan?" tanya Quiyi pada Maria.
"Tidak," kata Maria dengan yakin.
"Mengapa orang itu memberi tahumu yang bukan suku itu?" kata Alexander
seperti kepada dirinya sendiri.
"Saya tidak mengerti dan tidak dapat mengingatnya, Al. Yang saya mengerti dan
saya ingat saat ini adalah saya berada di Obbeyville sebagai gadis yang bernama
Maria." "Hari semakin siang, apakah engkau tidak segera kembali ke Sidewinder
House?" tanya Alexander.
"Apakah Anda tidak dapat menundanya?" tanya Ityu.
"Sayang sekali, saya tidak dapat. Saya harus segera kembali ke Sidewinder
House. Mereka membutuhkan saya," kata Maria.
"Jangan engkau ganggu Maria, Ityu. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan,
tidak seperti engkau yang hanya sibuk bermain tetapi tidak pernah mau
belajar," tegur Quiyi sebelum anaknya sempat mencegah kepergian Maria.
"Bila engkau selalu bermain, Ityu, aku khawatir engkau tidak akan dapat
mempelajari bahasa itu," kata Maria.
"Tidak, saya berjanji tidak akan banyak bermain lagi. Saya akan giat belajar.
Saya pasti bisa," kata Ityu meyakinkan Maria.
Maria tersenyum. "Aku senang mendengarnya."
"Sayang sekali Anda harus segera kembali padahal masih banyak yang ingin
saya bicarakan dengan Anda," kata Quiya.
"Kita dapat berjumpa kembali esok atau kapanpun," kata Maria.
"Selama Anda masih berada di Obbeyville," tambah Quiyi.
"Ya, selama saya masih berada di Obbeyville," ulang Maria perlahan.
Keluarga itu mengantarkan Maria dan Alexander sampai ke depan pintu rumah
mereka. Ityu melambaikan tangannya dengan penuh semangat pada Maria.
Maria membalasnya dengan senyuman.
Ketika mereka telah cukup jauh dari rumah Quiya, Alexander berkata, "Selama
ini engkau tidak pernah membicarakan masa lalumu."
"Saya cukup sering mengatakan kepada Anda apa yang saya ingat menyangkut
masa lalu saya," kata Maria.
"Ya, engkau sering mengatakannya. Tetapi yang kumaksud dalam hal ini adalah
sejauh mana engkau dapat mengingat masa lalumu itu."
"Saya hanya mengingat sedikit sekali. Setiap kali saya berusaha mengingat
masa lalu saya, selalu saja ada sesuatu yang sepertinya menahan saya untuk
mengingatnya seolah tidak ingin saya ingat masa lalu saya."
"Apa saja yang kauingat?" tanya Alexander.
"Sebuah ruangan putih dan samar-samar wajah seorang pria dan seorang
wanita, hanya itu yang muncul ketika saya berusaha mengingat masa lalu saya
itu." "Sudah sebulan lebih sejak engkau ditemukan Mrs. Vye di Sungai Alleghei tetapi
engkau masih belum dapat mengingat sesuatu pun. Aneh sekali," kata
Alexander. "Karena ada sesuatu yang menghalangi saya itu, maka saya tidak dapat
membuka tirai kegelapan yang menutupi masa lalu saya itu."
Ketika melihat Alexander ingin membicarakan masa lalunya lagi, Maria segera
berkata, "Mengapa Anda tadi seperti ingin saya segera meninggalkan rumah
itu?" "Karena aku ingin berdua saja denganmu. Aku sama sekali tidak menduga
engkau akan pergi ke rumah Ityu pagi ini."
"Maafkan saya. Saya lupa mengatakannya kepada Anda."
"Aku sedang berpikir, Maria. Sejak aku mengenalmu, berapa kali engkau
meminta maaf kepadaku, sedangkan aku rasanya tidak pernah meminta maaf
kepadamu," kata Alexander sambil tersenyum.
"Apakah itu salah?" tanya Maria.
Alexander tersenyum lagi, "Tidak, Maria. Engkau tidak salah."
"Saya senang mendengarnya. Sekarang saya telah berdua dengan Anda, apa
yang akan kita atau tepatnya Anda lakukan?"
"Aku tidak mempunyai rencana apa-apa selain menemuimu seperti biasanya di
tepi Sungai Alleghei dan memenuhi janjiku pada Papa untuk membawamu ke
Blueberry House hari ini."
"Anda telah tahu saya tidak dapat meninggalkan Sidewinder House di siang
hari," kata Maria mengingatkan.
"Jangan khawatir tentang itu, Maria. Aku telah mengaturnya dengan rapi dan
sekarang engkau boleh pergi menemui Mrs. Vye."
Maria memandang Sidewinder House yang berdiri di depannya. suasana di
rumah itu masih tampak sunyi seperti rumah kuno yang tak berpenghuni.
"Sebenarnya apa yang sedang Anda rencanakan" Sikap Anda tidak seperti
biasanya," kata Maria.
"Seperti biasanya bagaimana, Maria?"
"Biasanya Anda selalu berusaha mencegah saya bila saya hendak kembali ke
Sidewinder House tetapi pagi ini Anda seperti mendorong saya untuk segera ke
rumah itu." "Percayalah kepadaku, Maria. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa di luar
yang telah kukatakan kepadamu."
Maria berjalan beberapa langkah mendekati Sidewinder House kemudian
membalikkan badannya dan memandang Alexander yang tengah mengawasinya.
Kini pria itu sudah siap mengarahkan kudanya kembali ke Blueberry. Pria itu
tersenyum kepadanya sebelum melarikan kudanya.
Setelah pria itu menghilang, Maria kembali melangkahkan kakinya menuju
Sidewinder House dan tugas-tugas yang telah menantinya.
Maria segera menemui Mrs. Vye di dapur.
Wanita itu sedang duduk di meja sambil menanti masakannya mendidih ketika
Maria tiba di sana. "Mengapa engkau sudah kembali, Maria?"
"Seperti biasanya, Mrs. Vye. Saya ingin membantu kalian," kata Maria sambil
menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
Walaupun tadi Alexander telah mengatakan untuk mempercayainya, tetapi Maria
tetap sukar mempercayai pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang sedang
direncanakan Alexander. Hal itu membuat ia merasa risau.
"Hari ini aku tidak menemukan sesuatu untuk kaukerjakan, Maria. Engkau telah
menyelesaikan semuanya selama beberapa hari ini. Engkau membantu Mrs. Fat
dan Mr. Liesting membersihkan rumah ini dan engkau telah banyak
membantuku di dapur."
"Belum semuanya, Mrs. Vye. Saya masih belum membantu Mr. Liesting merawat
halaman Sidewinder House."
"Engkau jangan melakukan itu, Maria. Engkau tidak boleh..."
Suara Mrs. Vye menghilang ketika pada saat yang bersamaan Maria ingat ia
pernah mendengar kata-kata yang bernada sama,
"Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh terkena sinar matahari..."
Wanita itu mengucapkannya dengan penuh kecemasan seperti Mrs. Vye.
"Tidak apa-apa. Aku akan mengenakan topi," jawab Maria.
Maria ingat jawaban yang diberikannya pada Mrs. Vye sama seperti jawaban
yang diberikannya pada wanita di masa lalunya.
"Baiklah, aku akan mencarikanmu topi yang cukup lebar untuk mencegah
matahari menyengatmu," kata Mrs. Vye.
Yang dikatakan selanjutnya berbeda dengan yang dikatakan wanita di masa lalu
Maria. Wanita di masa lalu Maria tidak mengijinkan Maria walaupun ia telah
berusaha membujuknya. Setelah membujuk cukup lama, barulah wanita itu mengijinkannya. Sedangkan
Mrs. Vye segera mengijinkannnya.
Mrs. Vye menghilang di balik pintu dapur tetapi tak lama kemudian ia muncul
lagi dengan sebuah topi bertali yang cukup lebar.
"Lucu sekali topi ini," kata Maria, "Seperti topi boneka yang bertali apalagi
bila diberi renda di tepinya."
"Pendapatmu tentang topi ini berbeda dengan pendapat Lady Debora. Ia tidak
pernah mengenakan topi ini, entah dari mana ia mendapatkannya. Tetapi begitu
ia membawanya, ia segera menyuruhku membuangnya."
"Terima kasih atas topi ini,Mrs. Vye," kata Maria sambil mengenakan topi itu.
Setelah ia mengikat tali topi itu kuat-kuat di bawah dagunya, ia meninggalkan
dapur dan mendekati Mr. Liesting yang sibuk membersihkan halaman.
Pria itu terkejut ketika melihatnya.
"Selamat pagi, Mr. Liesting," sapa Maria.
"Selamat pagi, Maria. Engkau hendak pergi ke mana?"
"Tidak kemana-mana. Saya hanya ingin membantu Anda merawat bunga-bunga
ini," jawab Maria. "Aku tahu tidak ada gunanya aku melarangmu karena itu aku tidak mengatakan
apa-apa," kata Mr. Liesting sambil tersenyum mengawasi Maria yang sudah
sibuk dengan bunga-bunga liar di depannya.
Tak lama kemudian Mr. Liesting juga menyibukkan dirinya dengan
membersihkan halaman Sidewinder House yang dipenuhi daun-daun kuning
yang berguguran. Ketika sebuah kereta mendekat, Maria tidak menyadarinya. Ia masih sibuk
dengan bunga-bunga di hadapannya.
Entah sudah berapa tangkai bunga yang layu dan kering yang ia tarik dari
tanah, tampatnya semula. Mr. Liesting yang lebih dulu menyadari kedatangan kereta itu segera
menyambutnya. "Inikah keahlianmu yang lain?" tanya seseorang di belakangnya.
Maria terkejut mendengar suara yang telah biasa didengarnya itu, ia segera
memalingkan kepalanya.

Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alexander tersenyum padanya sambil mengulurkan tangan.
"Terima kasih tetapi saya tidak ingin mengotori tangan Anda," kata Maria
menolak uluran tangan itu.
"Tidak apa-apa," kata Alexander dan sebelum Maria sempat mengatakan apaapa untuk
menolaknya, ia memegang tangan Maria dan membantunya berdiri.
"Sekarang engkau tidak perlu khawatir lagi karena aku telah memegang
tanganmu," kata Alexander sambil tersenyum.
"Senyum Anda itu mengingatkan saya pada seseorang," kata Maria tiba-tiba.
"Siapakah dia" Selama ini aku selalu mengira senyumanku tidak ada yang dapat
menyamainya," kata Alexander pura-pura sedih.
"Senyuman Anda memang tidak pernah ada yang dapat menyamainya. Tetapi
bila Anda tersenyum nakal seperti itu, Anda membuat saya teringat akan
seseorang." "Aku ingin tahu siapakah dia. Rasanya engkau sering mengatakan aku mirip
seseorang, aku ingin tahu apakah mereka orang yang sama."
"Saya memang sering merasa demikian, Anda mirip dengan seseorang tetapi
saya tidak ingat siapa dia."
"Apakah dia tunanganmu?" tanya Alexander dengan curiga.
"Saya tidak ingat, tetapi kita jangan membicarakan hal itu lagi. Anda datang
kemari tentu ada tujuannya bukan?"
"Ya, aku ingin menemui Lady Debora," kata Alexander.
"Saya rasa Lady Debora masih tidur."
"Aku percaya, ia akan segera bengkit dari tidur panjangnya bila mendengar aku
mencarinya," kata Alexander.
Maria mengantar Alexander memasuki Sidewinder House.
"Tunggulah sebentar di sini, Al. Saya tidak bisa segera menemui Lady Debora, ia
pasti marah bila melihat saya dalam keadaan seperti ini," kata Maria.
"Tentu saja. Ia pasti tidak senang bila mengetahui engkau tidak hanya
memperhatikan dirinya."
Maria segera menuju dapur untuk membersihkan tangannya yang penuh tanah.
Tak lama kemudian ia telah kembali di Ruang Besar.
Alexander tersenyum melihatnya.
Maria menapaki satu per satu anak tangga tanpa menyadari mata Alexander
yang terus mengawasinya bahkan ketika ia memasuki kamar Lady Debora.
Seperti yang telah diduganya, Lady Debora masih tertidur.
Mula-mula Maria tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk membangunkan
wanita itu, tetapi ia terus saja mendekati wanita itu.
Ketika ia melihat tirai yang terutup itu, ia mempunyai ide.
Maria menarik tirai tebal itu sehingga matahari dapat memasuki kamar Lady
Debora. "Apa yang kaulakukan?" bentak Lady Debora ketika sinar matahari mengenai
matanya. "Maafkan saya, Tuan Puteri tetapi Tuan Muda Alexander menunggu Anda di
bawah. Ia berkata ingin menemui Anda secepat mungkin karena ada keperluan
yang mendesak," jawab Maria.
"Biarkan saja. Aku tidak peduli. Seharusnya ia tahu saat ini adalah waktuku
untuk tidur. Semalam aku baru tiba jam dua malam. Siapapun dia, katakan
kepadanya aku tidak ingin diganggu dan sekarang tutup kembali tirai itu," kata
Lady Debora. "Baik, Tuan Puteri, saya akan mengatakannya kepada Tuan Muda Alexander."
"Cepat katakan kepada Alexander," tiba-tiba Lady Debora terdiam.
"Alexander katamu?" serunya terkejut seakan baru menyadari pria yang sedang
menantinya adalah pria yang tengah diincarnya.
"Ya, Tuan Puteri. Tuan Muda Alexander, putra Duke of Blueberry," kata Maria.
Seperti yang telah dikatakan Alexander, wanita itu segera bangkit dari tempat
tidurnya. "Apa yang dilakukannya di sini" Kemarin aku kesulitan berbicara dengannya
gara-gara wanita itu tetapi sekarang ia mencariku. Ia pasti telah menyadari
bahwa aku lebih baik dari wanita yang kurang ajar itu. Wanita itu telah berani
merebut semua perhatian tamu terutama Alexander tetapi hari ini ia kalah,
Alexander menemuiku bukan menemuinya," katanya kepada dirinya sendiri
dengan penuh kemenangan. Lady Debora memandang Maria yang menahan perasaan bersalahnya, "Katakan
kepadanya, aku akan segera siap."
"Baik, Tuan Puteri."
Maria meninggalkan Kamar Lady Debora dengan perasaan bersalah. Ia telah
menduga sebelumnya Lady Debora akan membenci dirinya karena ia telah
menghalangi niat wanita itu untuk berdua dengan Alexander.
Maria tidak menduga kebencian wanita itu demikian besarnya hingga
mengetahui Alexander mencarinya membuat dirinya menjadi sangat senang.
Entah apa yang akan dilakukan Lady Debora yang memang telah tidak
menyukainya bila ia mengetahui Marialah wanita yang dimakinya.
Maria segera mengatakan pesan Lady Debora kepada Alexander kemudian
kembali ke kamar Lady Debora untuk membantunya mempersiapkan diri.
Seperti biasanya, Lady Debora selalu ingin tampil menarik. Tetapi pagi ini Maria
merasa keinginan Lady Debora untuk tampil menarik berlebihan. Wanita itu
memintanya untuk menyanggul rambutnya dan menghiasinya dengan butiranbutiran
permata kecil yang sangat indah. Selebihnya, Lady Debora sendiri yang
mempersiapkannya. Ia melarang Maria membantunya apalagi mengajukan
pendapatnya. Maria merapikan kamar Lady Debora ketika wanita itu turun untuk menemui
Alexander yang sejak tadi telah menantinya.
Sambil merapikan kamar yang seperti tertiup badai itu, Maria memikirkan
berapa jam yang telah dihabiskan Alexander untuk menanti wanita itu tampil
secantik mungkin. Maria tersenyum geli membayangkan Alexander yang memang bukan orang
penyabar menanti sekian lama sementara Lady Debora membuat badai di
kamarnya sendiri. Baru saja Maria selesai merapikan hampir seluruh ruangan itu ketika Lady
Debora muncul kembali dengan wajah berseri-seri tetapi ketika melihat Maria, ia
menutupinya. "Apa yang kaulakukan?" tanyanya.
"Saya sedang merapikan kamar Anda," jawab Maria.
"Kerjakan itu nanti saja sekarang cepat bantu aku mempersiapkan diri. Duchess
ingin menemuiku pagi ini," kata Lady Debora sambil duduk di depan meja rias.
Maria keheranan melihat tingkah wanitai tu. Ia tidak mengerti mengapa wanita
itu ingin berdandan lagi sedangkan ia baru saja berdandan tidak lebih dari
setengah jam yang lalu. Seperti biasanya, Lady Debora mengeluarkan perintah-perintahnya dengan
cepat dan Maria menyelesaikannya dengan cepat pula.
Setelah merasa penampilannya menarik, Lady Debora meninggalkan kamarnya.
Maria baru saja hendak merapikan ruangan itu lagi setelah dua kali dibuat
berantakan oleh Lady Debora dalam waktu yang hampir bersamaan, ketika
wanita itu muncul lagi di ambang pintu.
"Tinggalkan pekerjaanmu," perintah wanita itu.
Maria memandang wanita itu yang kini tampak sangat jengkel. Maria benarbenar
tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Alexander sehingga
membuat wanita itu tampak riang beberapa saat yang lalu dan kini tampak
sangat jengkel. "Apa lagi yang kautunggu. Tinggalkan pekerjaanmu dan segera ikuti aku ke
Blueberry House," bentaknya.
"Baik, Tuan Puteri."
Setelah mendengar jawaban Maria, Lady Debora membanting pintu itu keraskeras.
Maria mulai dapat menduga rencana Alexander. Ia menduga pria itu sengaja
mengundang Lady Debora ke rumahnya agar dirinya dapat diajak serta dan
Duke dapat bertemu dengannya tanpa khawatir Lady Debora curiga padanya.
Secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya yang hampir tuntas dan
kemudian segera meninggalkan kamar itu.
Ketika ia menutup pintu kamar itu, ia melihat Lady Debora sedang menaiki
tangga dengan kesal. "Cepat! Jangan santai-santai saja, Duchess ingin menemuiku sesegera
mungkin," katanya. "Baik, Tuan Puteri. Saya sudah siap berangkat," kata Maria sambil tersenyum
melihat Lady Debora yang tidak sabar ingin segera tiba di Blueberry House.
Lady Debora segera meninggalkan Maria yang masih menuruni tangga itu.
Di luar, Maria melihat Alexander masih berdiri di luar sedangkan Lady Debora
telah berada di dalam kereta.
Alexander tersenyum ketika melihatnya. Ia membantu Maria naik kereta kuda
itu sebelum ia memberi perintah kepada kusirnya.
Ketika melihat Alexander membantu Maria menaiki kereta kuda yang besar itu,
Lady Debora menahan marah yang bergejolak di dadanya.
Sikap permusuhan yang ditampakkan oleh matanya, membuat Maria memilih
duduk di hadapan wanita itu, tetapi itu juga salah karena Alexander juga
memilih duduk di hadapan wanita itu.
Tetapi Lady Debora tidak putus asa, ia memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Selama perjalanan ia mencoba merayu Alexander.
Maria diam saja. Ia hanya memandang keluar kereta sambil menikmati
pemandangan yang terus berlalu lalang di hadapannya dan angin yang menerpa
wajahnya. Ia tidak lagi mendengar kata-kata manja Lady Debora yang semula membuat
dirinya merasa jenuh, ketika Sungai Alleghei terlihat di antara rumah-rumah
penduduk dan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya. Sungai Alleghei yang
memanjang seperti pita dan bersinar membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu
yang juga memanjang seperti pita dan bersinar di antara hijaunya dedaunan.
Angin sejuk yang menerpa wajahnya membuatnya teringat sejuknya udara
ketika ia melihat pita putih kebiru-biruan yang bersinar itu.
Ketika mereka tiba di Blueberry House, Maria masih teringat akan kenangan
yang tiba-tiba muncul itu.
Alexander yang menyadari hal itu berkata, "Sebaiknya aku segera mengantarmu
menemui Mama." Alexander membawa mereka ke Ruang Besar di mana Duchess telah menanti.
"Selamat datang, Lady Debora," kata Duchess.
"Terima kasih, Duchess. Saya merasa tersanjung atas undangan Anda yang tak
terduga ini," kata Lady Debora.
Duchess tersenyum pada Lady Debora tetapi matanya mengawasi wajah Maria,
"Jangan berkata seperti itu, Lady Debora. Persahabatan di antara keluarga kita
sudah terjalin puluhan tahun. Tak ada yang perlu merasa tersanjung bila kita
saling mengundang." Kemudian Duchess berkata kepada Maria, "Al, antarkan ia ke ruang yang lain.
Aku ingin berbicara berdua dengan Lady Debora."
Alexander pura-pura terkejut, "Mengapa Mama berkata seperti itu" Bukankah
tadi Mama yang meminta agar aku juga membawa pelayannya karena Mama
ingin mengenalnya?" "Ya, tetapi baru saja aku berubah pikiran. Aku tiba-tiba teringat sesuatu yang
harus kubicarakan berdua saja dengan Lady Debora."
"Baik, Mama," kata Alexander.
"Ayo, Maria," bisiknya.
Tanpa mengatakan apa-apa Maria segera mengikuti Alexander. Gadis itu tahu
Lady Debora merasa cemburu melihat ia berjalan berduaan dengan Alexander
yang tampan. Setelah mereka menutup pintu Ruang Besar, barulah Alexander berbicara,
"Inilah yang kurencanakan, Maria. Aku telah merencanakan agar Lady Debora
dapat berdua dengan Duchess sedangkan aku dan Papa bisa mendengar
ceritamu." "Bila Anda terus-menerus menipu Lady Debora dengan cara seperti ini, ia pasti
akan sadar juga pada akhirnya."
"Aku telah menyiapkan berbagai macam cara untuk itu, Maria."
"Apakah Duchess tidak berkeberatan untuk menemai Lady Debora?" tanya
Maria. "Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria?"
"Karena tadi saya melihat Duchess sebenarnya enggan menemani Lady Debora."
Alexander tertawa mendengarnya, "Aku jadi ingin tahu, Maria, apakah engkau
bisa membaca pikiran orang" Engkau memang benar. Ketika Mama tahu apa
yang harus diperankannya, ia tidak menyukainya karena seperti halnya aku dan
Papa, ia lebih senang bersamamu daripada dengan Lady Debora. Tetapi demi
aku dan Papa, ia setuju."
"Saya merasa bersalah membuat Duchess melakukan hal yang sebenarnya tidak
diinginkannya," kata Maria.
"Tidak perlu merasa seperti itu, Maria. Karena kami telah membagi tugas. Mama
tidak akan selalu menemani Lady Debora."
Duke sedang duduk sambil membalik-balik sebuah buku di hadapannya. Ia
tampak berusaha keras mengerti isi buku itu. Ketika melihat mereka datang
mendekat, ia menoleh. "Selamat siang," sapa Maria.
"Selamat siang, Maria. Duduklah dan akan kutunjukkan buku yang kemarin
malam aku maksudkan," kata Duke.
Maria memandang sekelilingnya dan ia merasa kagum melihat buku-buku yang
ada di Ruang Perpustakaan itu. Walaupun Ruang Perpustakaan itu tidak sebesar
yang ada di Sidewinder House.
Keadaan kedua Ruang perpustakaan itu berbeda. Di Ruang Perpustakaan yang
dilihat Maria, semua almarinya penuh berisi buku. Sedangkan di Ruang
Perpustakaan di Sidewinder House sebaliknya.
"Ruang Perpustakaan ini memang tidak sebesar yang ada di Sidewinder House
tetapi aku yakin buku-buku yang ada di sini tidak kalah dari yang ada di sana."
"Ruang Perpustakaan di Sidewinder House memang lebih besar dari Ruang
Perpustakaan ini tetapi bukunya lebih banyak di ruang ini," kata Maria.
Duke menatap terkejut kepada Maria.
"Ruang Perpustakaan di sana hampir kosong, sudah tidak pantas lagi disebut
Ruang Perpustakaan," kata Maria menerangkan.
"Aku tak percaya. Padahal sejak dulu keluarga Sidewinder paling gemar
mengumpulkan buku. Kami semua percaya Ruang Perpustakaannya berisi
banyak buku dan hampir sebanding dengan jumlah buku di Ruang Perpustakaan
Istana Plesaides." "Segalanya berubah sejak Baron Marx Sidewinder meninggal sepuluh tahun
yang lalu," kata Maria.
"Ini buku yang aku katakan kemarin malam," kata Duke sambil menyerahkan
buku yang semula dibukanya tanpa dapat dimengerti olehnya.
"Ini buku yang sama seperti yang ada di Sidewinder House," kata Maria sambil
menatap Alexander. "Ya, buku ini dan buku yang di Sidewinder House berasal dari nenek moyangku.
Nenek moyangku memberikannya sebuah kepada keluarga Sidewinder," kata
Duke, "Aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku yang belum tentu dapat
dibaca keturunannya. Ayahkupun tidak dapat membaca buku itu."
"Ia dapat membacanya, Papa," kata Alexander.
"Benarkah?" tanya Duke.
"Ya, aku telah mengetahuinya," kata Alexander meyakinkan Duke.
"Dapatkah engkau membacakan untukku apa yang tertulis di dalam buku itu?"
kata Duke antusias melihat Maria menganggukan kepalanya, "Percuma
mempunyai buku tetapi tidak mengerti isinya."
"Tentu saja." Maria menghabiskan waktunya sepanjang hari itu di Ruang Perpustakaan
bersama Duke dan Alexander sementara Duchess menghadapi Lady Debora.
Duke terkejut ketika mendengar Maria membaca setiap baris tulisan itu tanpa
mengalami kesulitan, tetapi ia juga merasa senang ketika mengetahui isi buku
itu. Beberapa kali Alexander menemui Duchess di Ruang Besar agar Lady Debora
tidak curiga, tetapi ia tidak pernah lebih dari sepuluh menit menemui kedua
wanita itu. Rencana Alexander benar-benar sempurna, selama beberapa kali ia mengajak
Lady Debora dan Maria ke rumahnya dengan berbagai alasan, wanita itu tidak
nampak curiga. Sebaliknya wanita itu tampak semakin antusias.
Demikian pula Baroness Lora ketika mengetahui apa yang telah terjadi. Wanita
itu semakin memberi semangat putrinya untuk terus berusaha.
Maria menduga itu karena wanita itu menduga rencananya hampir berhasil.
Memikirkan kemungkinan rencana wanita itu berhasil, hati Maria menjadi sedih.
Tetapi ia tidak menyadari perasaan apa yang membuatnya merasa demikian.
Hari-hari Maria semakin dipenuhi kesibukan.
Di pagi hari ia berjalan-jalan bersama Mrs. Vye kemudian berbicara bersama
Alexander kadang-kadang mereka juga mengunjungi rumah Ityu.
Di siang hari Maria menemani Lady Debora ke Blueberry House dan bercerita


Gadis Misterius Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang mitos itu kepada Duke dan di malam hari ia juga bercerita lagi
mengenai mitos itu kepada Ityu ditambah mengajari anak itu bahasa yang sulit
itu. Tetapi itu semua tidak membuat Maria lelah ataupun bosan. Gadis itu tampak
sangat menikmati kesibukannya. Suatu hal yang membuat Mrs. Vye dan ketiga
pelayan lainnya di Sidewinder House merasa heran.
BAB 12 "Aku tidak percaya!" seru Lady Debora dari atas tempat tidurnya.
Maria yang sibuk merapikan meja rias segera memalingkan wajahnya dan
menatap heran kepada wanita itu.
Lady Debora mengangkat tinggi-tinggi koran yang dibacanya dan
Pendekar Sakti Suling Pualam 6 Pendekar Mata Keranjang 24 Bukit Siluman Peristiwa Merah Salju 11

Cari Blog Ini