Ceritasilat Novel Online

Orang Ketiga 2

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella Bagian 2


"Anda tidak perlu melakukannya untuk selama-lamanya," Fulvia menambahkan, "Saya
hanya membutuhkannya untuk dua minggu mendatang."
Irvingmemperhatikan raut memohon di wajah yang polos di wajah Fulvia itu. "Gadis
ingusan ini lumayan bagus," ia memuji Fulvia dalam hatinya.
"Saya tidak keberatan,"Irvingmemutuskan untuk membiarkan dirinya terjun dalam
rencana Fulvia, "Setiap pagi di waktu yang sama dan setiap sore di tempat dan waktu yang sama,
bukan"' "Terima kasih, M'lord," Fulvia gembira.
Irvingingin tahu bagaimana gadis ini akan menjeratnya.
Fulvia tersenyum gembira. Ia tidak perlu memikirkan alasan untuk meninggalkan
Unsdrell lagi. Audrey juga tidak perlu mengkhawatirkannya.
Fulvia sangat puas. Ia ingin segera memberitahukan kabar gembira ini pada kakak
sepupunya. Ia ingin sekali kakak sepupunya itu juga merasa gembira seperti dirinya.
Atas dasar keputusan itulah Fulvia berkata, "Besok sore Anda tidak perlu
merepotkan diri menjemput saya." Mata Irving mengawasi Fulvia.
"Saya ingin menjenguk kakak sepupu saya," Fulvia memberikan alasannya.
"Kurasa aku telah membuat janji padamu,"Irvingtidak sependapat, "Keluargamu
pasti akan mencariku bila terjadi sesuatu padamu. Aku akan menjemputmu seperti hari ini dan aku akan
mengantarmu ke rumah kerabatmu itu" Fulvia terperanjat. "Anda... bersedia, M'lord?" ia tidak percaya.
"Kurasa kita telah jelas mengenai hal itu,"Irvingberkata dingin.
"Terima kasih, M'lord," Fulvia tersenyum bahagia, "Saya sangat menghargainya."
Mata Irving menangkap senyum bahagia yang penuh kepuasan itu.
"Gadis ini tidak terlalu pintar untuk membohongiku," pikirnya sinis.
Fulvia melihat kereta mulai memasuki pekarangan Unsdrell. Sesaat kemudian kereta
berhenti di depan pintu masuk Unsdrell. "Selamat malam, M'lady,"Irvingmencium tangan Fulvia.
"Selamat malam, M'lord," kata Fulvia pula.
Fulvia memperhatikanIrvingmasuk dalam kereta. Ia tetap disanahingga kereta
menghilang dari pekarangan Unsdrell. Hari ini Fulvia pulang sedikit lebih awal dari kemarin. Langit musim panas masih
kemerahan di ufuk barat. "Selamat datang, Tuan Puteri," pelayan menyambut kedatangan Fulvia.
"Apakah aku terlambat untuk makan malam?"
"Tidak, Tuan Puteri. Anda datang tepat pada waktunya. Kami baru saja akan
menyiapkan makan malam." Fulvia sangat gembira mendengarnya. Ia bergegas ke kamarnya untuk berganti dan
bersiap untuk menemui kedua orang tuanya.
Fulvia sangat merindukan kedua orang tuanya. Rasanya sudah lama ia tidak bertemu
mereka. Fulvia tersenyum geli. Semenjak ia memutuskan bekerja untuk mendapatkan uang membeli hadiah ulang
tahun pernikahan orang tuanya, ia menghabiskan sedikit waktu bersama mereka.
Setiap pagi ia meninggalkan Unsdrell setelah makan pagi bersama mereka dan ia
baru pulang ketika waktu makan malam menjelang. Sesudahnya, mereka hanya menghabiskan waktu
untuk melakukan kegiatan masing-masing. Kali ini Fulvia tidak dapat menceritakan kegiatannya sepanjang hari kepada
Countess. Mengatakan kepadanya sama saja dengan membongkar rahasianya.
Untunglah Countess Kylie tidak pernah mencoba membuatnya berbicara. Mungkin
Countess mengerti dan ia ingin Fulvia bercerita atas keinginannya sendiri.
Fulvia heran melihat kakaknya berada di Ruang Makan seorang diri.
"Di mana Papa Mama?"
"Inilah akibat kau terus meninggalkan Unsdrell sepanjang hari," Davies
menyalahkan. Fulvia mengambil tempat di depan kakaknya.
"Mereka pergi menerima undangan Paman Graham."
"Paman Graham?" ulang Fulvia, "Apakah ada sesuatu yang terlewat olehku?"
"Banyak," Davies berkata tajam, "Kau melewatkan omelan-omelan Trevor juga Richie
sepanjang hari. Kau melewatkan kecemasan Mama begitu mendengarIrvingmenjemputmu."
"Kau memberitahu Mama!?" Fulvia terperanjat.
"Ya," kata Davies, "Dan aku sedang mempertimbangkan untuk memberitahu Trevor
juga Richie." "Jangan kaulakukan itu!" Fulvia menegaskan, "Jangan memberitahu Trevor maupun
Richie." Davies memincingkan matanya.
"Aku tidak yakin mereka akan senang mendengarnya," Fulvia memberitahu, "Kupikir
ada beberapa hal yang pantas disembunyikan dari mereka."
Davies tidak mengerti jalan pikiran adiknya.
"Kau sendiri tahu bagaimana Trevor dan Richie begitu ketatnya
mengawasiku.Irvingadalah teman baik
mereka dan aku tidak ingin merusak hubungan mereka."
Davies menahan tawa gelinya. Fulvia masih tidak tahu apa yang sedang direncakan
kedua pria itu dengan memperkenalkanIrvingpadanya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Lady Margot?" Fulvia mengalihkan pembicaraan.
Tawa tertahan Davies langsung menghilang.
"Jangan kaukatakan kau masih tidak pernah berkunjung ke rumahnya. Jangan
katakana padaku kau masih tidak pernah mengajaknya keluar."
Davies tidak menjawab. "Oh, Davies," Fulvia mendesah, "Kau benar-benar tidak tertolong. Bagaimana
hubunganmu dengan Lady Margot akan mendapat kemajuan bila kau sendiri seperti ini" Apakah kau kira
kau bisa menemuinya di setiap pesta?" "Jangan menceramahiku," Davies tidak senang, "Sebaiknya kau menyelesaikan
sendiri masalahmu." "Masalahku?" Fulvia heran, "Aku tidak mempunyai masalahasmaraapa pun."
Fulvia menatap kakaknya lekat-lekat. "Sebaliknya, kakakku sayang, aku melihat
kaulah yang mempunyai masalah besar di sini," ia tersenyum nakal.
"Jangan memancingku, Fulvia," Davies memperingatkan.
"Ayolah, kakakku sayang," Fulvia meneruskan godaannya. "Jangan malu-malu
mengatakannya. Adikmu ini pasti akan membantumu mendapatkan wanita idamanmu."
Davies berdiri. Fulvia pun berdiri. "Apakah kau akhirnya mengakuinya?"
"Jangan sampai aku menangkapmu," Davies mendekati Fulvia.
"Cobalah kalau kau bisa," Fulvia menertawakan Davies dan berlari menghindari
kakaknya. Inilah akhir dari acara makan malam berdua mereka. Makan malam yang belum sempat
dimulai itu akhirnya berakhir dengan canda tawa mereka sepanjang malam.
Fulvia sudah sangat lelah ketika akhirnya ia menyerah.
"Aku menangkapmu," Davies memeluk adiknya erat-erat.
"Aku lelah, Davies," Fulvia melingkarkan tangannya di leher kakaknya dengan
manja, "Dan lapar." "Kaulah yang memulainya," Davies menyalahkan.
"Apakah menurutmu mereka akan keberatan menyiapkan sesuatu untuk kita?"
"Kurasa tidak," Davies melepaskan Fulvia, "Tetapi hari sudah terlalu larut untuk
menganggu mereka." Fulvia melihat bintang-bintang mulai menghiasi langit malam.
"Aku yakin kita bisa menemukan sesuatu di dapur," Davies menggandeng tangan
Fulvia. Fulvia tertawa. Davies memperhatikannya dengan bingung.
"Sudah lama sekali," kata Fulvia, "Sudah lama sekali kita tidak mengendap-endap
ke dapur di malam hari seperti ini." Semasa mereka kecil, mereka sering kali terbangun pada malam hari hanya untuk
mendapati perut mereka sedang kelaparan. Mereka selalu mengendap-endap ke dapur untuk mencari
makanan dan keesokan paginya Countess akan menyalahkan mereka.
"Itulah akibat kalian bercanda terus sepanjang hari," katanya setiap saat
menemukan dua pencuri kecil telah menjarah dapur mereka di malam hari.
"Ya," Davies tertawa, "Sudah lama sekali. Mungkin sudah sepuluh tahun lebih."
-----0----"Fulvia, aku mendengar dari kakakmu kemarin kau pergi bersamaIrving."
"Ya, Mama. Ia mengajakku pergi berjalan-jalan," jawab Fulvia seraya menambahkan,
"Pagi ini ia juga akan menjemputku."
Mata Davies langsung membelalak lebar-lebar.
"Apa yang ia lakukan padamu?" Count cemas, "Sebaiknya kau tidak bergaul
dengannya." Fulvia tersenyum geli. "Apakah kalian menduga aku tertarik padanya?"
"Fulvia, aku ingin kau tahu. Kami tidak melarang kau bergaul dengan siapa pun.
Kami hanya ingin kau berhati-hati." "Jangan khawatir, Mama. Aku tidak tertarik padanya," Fulvia berkata mantap, "Aku
tidak akan pernah jatuh cinta pada pria seperti dia."
Countess hanya menatap putrinya lekat-lekat.
Fulvia melihat grandfathers clock di ruangan itu. "Oh," Fulvia terpekik kaget,
"Sudah hampir waktunya." Fulvia berdiri, "Aku harus segera bersiapIrvingakan segera datang
menjemputnya." Dahi orang tua Fulvia langsung berkerut.
Mata Davies menatap tajam adiknya.
"Jangan khawatir, Mama," Fulvia mencium pipi Countess, "Aku tidak akan tertarik
padaIrving. Ia juga tidak akan mencelakakan aku. Kami hanya teman." Lalu Fulvia berkata pada mereka,
"Aku akan kembali sebelum makan malam."
Fulvia pun pergi meninggalkan mereka.
Fulvia yakin kali ini mereka tidak akan mencurigainya terutama Davies yang sudah
mencurigai gerak geriknya. Fulvia juga tahu keluarganya mulai mencemaskan kedekatannya
denganIrving. Kecemasan mereka benar-benar membuat Fulvia merasa geli. Ia tidak benar-benar
dekat denganIrvingseperti yang mereka bayangkan.
Bagi keluarganya, Fulvia telah menghabiskan waktu bersamaIrvingseharian kemarin
tetapi bagi Fulvia,Irvingtelah memberikan bantuan yang sangat besar kemarin juga hari ini
dan untuk beberapa hari mendatang. Tidak ada apa-apa di antara mereka. Mereka juga tidak berbicara banyak sepanjang
perjalanan dari Unsdrell kekotamaupun darikotake Unsdrell.Irvingdapat dikatakan hanya seorang
teman Fulvia yang membantunya meloloskan diri dari Unsdrell setiap pagi dan mengantarnya pula
setiap sore.Irvinghanya membantunya menjalankan rencananya.
Fulvia tidak khawatir akan terbongkarnya rahasianya. Sekarang yang perlu ia
khawatirkan hanyalah kecurigaan keluarganya yang terlalu dibesar-besarkan itu. Tetapi, bagi Fulvia,
itu jauh lebih mudah daripada mencari alasan untuk meninggalkan Unsdrell.
Dengan hati riang, Fulvia berangkat kekotabersamaIrving. Fulvia yakin ia akan
bisa mengatasi kecurigaan keluarganya. Suasana hati Fulvia yang gembira itu tertangkap olehIrving.
"Kulihat pagi ini kau sangat bersemangat," komentar pria itu setelah kereta yang
mereka tumpangi meninggalkan Unsdrell. "Apakah terjadi sesuatu yang baik?"
"Bagaimana Anda tahu?" Fulvia terkejut.
"Semuanya tergambar jelas di wajahmu," jawabIrving.
Fulvia spontan memegang wajahnya. "Benarkah?" rona merah menghiasi pipi Fulvia.
Irvingtidak ingin menjawabnya.
Fulvia tidaklah terlalu pintar untuk mengelabuhi dirinya.
Fulvia juga tidak terlalu pintar untuk menutupi rahasianya.
Fulvia salah besar bila ia mengiraIrvingtidak tahu kegembiraannya karena
rencananya telah berhasil. Untuk sementara ini,Irvingmemutuskan untuk membiarkan gadis itu bergembira dulu
dengan keberhasilannya. Ia ingin mengetahui apa yang direncanakan gadis itu. Ia ingin
tahu sampai di mana kepandaian gadis ini dalam menyusun dan merancang rencananya yang 'sempurna'
itu. 6 Kereta kuda bergerak perlahan memasuki pekarangan Greenwalls.
Greenwalls, rumah yang terkenal oleh pekarangan hijaunya yang membatasi bangunan
utama dengan rumah-rumah yang lain itu sudah berubah.
Di sisi kanan kiri tampak tanaman-tanaman yang kering tak terawat. Bunga-bunga
liar menampakkan diri di antara rerumputan yang telah meninggi. Bentuk-bentuk indah semak-semak


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di antara kedua sisi jalan utama sudah tertutup oleh liarnya pertumbuhan semak-semak itu. Disanasini
terlihat retakan tanah yang mongering. Suasana hijau yang dulu pernah menghiasi pekarangan Greenwalls sudah tidak ada
lagi. Patung-patung yang meramaikan pekarangan Greenwalls juga tampak kotor tak
terawat. Tanaman telah tumbuh hingga melilit mereka. Di kejauhan tampak lumut hijau telah turut memberi
warna baru pada patung-patung itu. Air mancur yang dulu terus mengalir di salah satu sisi tempat itu juga tampak
kering dan kusam. Warnanya yang cerah kini tampak hijau oleh lumut.
Keadaan tidak jauh berbeda dengan gedung utama Greenwalls. Gedung megah yang
dulu bersinar indah dengan warnanya yang putih cerah itu tampak begitu kusam. Di sanasini
masih terlihat jelas bekas kebakaran hebat yang dulu melahap tempat ini.
Jendela-jendela yang terbakar masih meninggalkan bekas kebakaran hebat itu. Dari
jendela yang terbengkalai itu terlihat dinding gelap bagian dalam Greenwalls, dinding yang
terbakar setahun lalu. Tempat ini telah terbengkalai semenjak setahun yang lalu. Hanya pintu masuk yang
telah dibenahi dan jendela di sekitar pintu itu yang menunjukkan tempat ini masih dihuni.
"Sudah lewat setahun lebih dan tempat ini masih belum juga dibenahi,"
komentarIrving. "Bagaimana Anda tahu?" pertanyaan itu terlempar begitu saja dari mulut Fulvia
dan sesaat kemudian Fulvia menyadari kebodohannya.
Kebakaran hebat yang melanda Greenwalls setahun lalu ramai dibicarakan orang.
Hampir setiap hari ia mendengar orang-orang membicarakan kebakaran yang melanda rumah pedagang
kaya itu. Sangat tidak mungkinIrvingtidak mengetahuinya.
"Mereka mengalami kerugian besar akibat kebakaran itu," Fulvia menjelaskan, "Dan
Lewis tidak mau menerima bantuan siapa pun."
Irvingtidak menanggapi. Kereta berhenti di depan pintu Greenwalls.
Irvingturun dan kemudian mengulurkan tangannya.
Fulvia menerima uluran tangan itu dan membiarkan pria itu membantunya turun dari
kereta. Pintu terbuka dan seorang pelayan muncul dengan cemas. "Anda sudah pulang,
Tuan?" Fulvia kebingungan. Pelayan itu terkejut melihat Fulvialah yang muncul bukan majikannya.
"Syukurlah Anda datang, Tuan Puteri," pelayan itu berkata penuh kelegaan,
"Nyonya terus mengurung dirinya di kamar sejak pagi ini. Ia juga menolak untuk makan."
Fulvia terperanjat. "Apa yang terjadi?"
"Mereka bertengkar lagi pagi ini kemudian Tuan Lewis pergi hingga sekarang. Saya
kurang jelas tentang ini, tetapi sepertinya pertengkaran ini lebih parah dari yang
sebelumsebelumnya." "Aku akan melihat keadaan Audrey," Fulvia langsung berlari menuju kamar Audrey.
Pintu kamar Audrey terkunci rapat-rapat. Tidak sebuah suara pun terdengar dari
dalam. "Audrey! Audrey!" Fulvia menggedor pintu, "Buka pintu, Audrey."
Tidak ada jawaban dari dalam.
"Audrey!" Fulvia berseru panik, "Apa yang terjadi padamu" Kau baik-baik saja?"
Tetap tidak terdengar apa pun dari dalam.
"Audrey!" "Minggir," sebuah tangan memegang pundak Fulvia dan sesaat kemudian pintu kamar
Audrey didobrak dengan paksa. Fulvia terperanjat Ia benar-benar melupakan keberadaanIrving.
Audrey yang berbaring telungkup di ranjang terkejut.
"Audrey!" Fulvia langsung berlari ke sisi wanita itu. "Kau tidak apa-apa?"
Audrey menatap Fulvia lekat-lekat. "Apa yang kaulakukan di sini?" Pandangan
Audrey terarah pada pria yang berdiri di belakang Fulvia.
Audrey menatap lekat-lekat pria bertubuh tegap itu. Rambut keemasannya tampak
begitu menawan. Wajahnya yang tampan sungguh mempesona dengan bola mata biru tuanya.
Sayangnya, sepasang mata itu
bersinar dingin. Tiba-tiba Fulvia menyadari kebingungan Audrey.
"Ia adalah putra Duke of Engelschalf," Fulvia memperkenalkan.
"Aku tahu," suara Audrey masih menampakkan keheranannya. "Bagaimana ia berada di
sini?" tanyanya lalu menatap Fulvia penuh pertanyaan.
Fulvia menangkap luka di bibir Audrey.
"Audrey!" pekiknya panik, "Apa yang terjadi padamu!" Apa yang terjadi pada
bibirmu!?" Tangan Fulvia terulur untuk menyentuh luka itu.
"Tidak apa-apa. Aku hanya terjatuh," Audrey memalingkan kepala.
"Apakah kau ingin aku menginap di sini" Aku akan menemanimu sampai pagi," Fulvia
berkata cemas, "Aku akan tinggal bersamamu."
"Aku tidak apa-apa, Fulvia," Audrey meyakinkan. "Tinggalkan aku sendiri."
"Aku tidak dapat meninggalkanmu," Fulvia bersikeras.
"Kumohon, Fulvia, tinggalkan aku," pinta Audrey, "Saat ini aku ingin sendirian."
"Audrey," Fulvia memegang pundak Audrey.
Audrey berbalik. Fulvia terperangah melihat air mata Audrey.
"Tinggalkan aku," Audrey mendorong Fulvia, "Aku tidak ingin diganggu. Biarkan
aku sendiri." Fulvia tidak dapat melawan dorongan Audrey yang begitu kuat itu.
"Jangan katakan apapun pada siapa saja," kata Audrey dan ia menutup pintu
rapatrapat. "Audrey!" Fulvia menggedor pintu keras-keras, "Buka pintu!"
"Biarkan ia sendiri."
Fulvia terkejut. Ia menatap pria yang bersandar santai di dinding itu. Sekali
lagi Fulvia telah melupakan kehadiranIrving.
"Ia tidak ingin diganggu,"Irvingmelangkah pergi.
Fulvia bertanya-tanya kapankah pria itu meninggalkan kamar Audrey.
"Audrey akan dapat mengatasi masalahnya."
"Tetapi luka Audrey...," Fulvia bertahan di tempatnya. "Luka itu..."
Irvingberhenti. "Bukan Lewis yang melakukannya."
Fulvia menatap punggungIrving.
"Mereka menikah atas dasar cinta, bukan?"
Fulvia terperangah. Ia menatap pintu yang tertutup rapat itu.
Benar, Audrey mencintai Lewis demikian pula pria itu. Cinta mereka itulah yang
membawa mereka pada pernikahan. Dan cinta itu pulalah yang menyatukan mereka. Tidak ada alasan
bagi Lewis untuk memukul Audrey. Fulvia pun mengikutiIrving.
Irvingmeyakinkan dirinya dan Fulvia mempercayainya tetapi bayangan luka di bibir
Audrey tidak dapat membuat hati Fulvia tenang. Kecemasan dan kegelisahannya itu tergambar
begitu jelas di wajahnya hingga keluarganya ikut mencemaskannya.
"Apa yang terjadi, Fulvia?" tanya Countess pada saat mereka berkumpul di Ruang
Makan. Fulvia terkejut. "Tidak ada apa-apa, Mama."
"Apa Irving melakukan sesuatu padamu?" Davies bertanya serius."
"Tidak," Fulvia mencoba tersenyum, "Tidak terjadi apa-apa."
Countess menatap Fulvia lekat-lekat. "Mama percaya padamu. Bila kau mempunyai
masalah, ingatlah aku selalu ada di sisimu."
Fulvia mengangguk dan tersenyum.
Sesungguhnya, Fulvia ingin mengatakan semuanya pada keluarganya. Fulvia yakin
Countess tentu dapat memberikan penjelasan padanya mengenai luka di bibir Audrey itu. Tetapi
Audrey telah memintanya untuk tidak memberitahu siapa pun dan Fulvia tidak dapat menolaknya.
Audrey berkata padanya bahwa ia terjatuh.
Irvingberkata padanya Lewis tidak mungkin melakukan itu.
Pelayan itu berkata padanya mereka bertengkar sesaat sebelum Audrey mengurung
diri di kamar. Fulvia tahu mereka menikah atas dasar cinta kasih.
Tetapi... Fulvia tidak pernah melihatnya tetapi Fulvia pernah mendengar seseorang yang
mabuk tidak mempunyai kesadaran atas apa yang dilakukannya. Dan akhir-akhir ini Lewis
semakin sering mabukmabukan bahkan ia mulai berani bermain perempuan di luarsana.
Apakah mungkin Lewis memukul Audrey"
Pelayan itu mengatakan pertengkaran mereka pagi ini lebih parah dari yang
sebelumsebelumnya. Tetapi ini tidak mungkin. Lewis mencintai Audrey. Fulvia percaya itu.
Apakah Audrey mengatakan yang sebenarnya" Tetapi bagaimana mungkin Audrey
hanya terluka pada bagian bibirnya" Apakah mungkin Audrey terjatuh dari tempat tidur" Ataukah
Audrey terjatuh di tangga" Atau mungkin... Fulvia tidak tahu. Ia tidak dapat mendapat gambaran bagaimana cara
Audrey terjatuh tanpa melukai bagian tubuhnya yang lain kecuali bibirnya itu.
Wajah Audrey yang dipenuhi air matanya kembali terlintas di pikiran Fulvia.
Fulvia tidak pernah melihat kakak sepupunya itu menangis. Tidak sekali pun walau
Lewis telah berubah sedemikian rupa. Audrey adalah wanita yang tabah. Ia tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada
siapa pun termasuk keluarganya. Audrey bahkan sering berusaha menutupi pertengkarannya dengan
Lewis. Melalui pelayan keluarga itulah orang tua Audrey mengetahui adanya pertengkaran
di antara mereka dan biasanya Countess Horacelah yang memutuskan untuk menemui Greenwalls.
Audrey tidak pernah secara khusus memanggil mereka.
Audrey tidak pernah mengeluh.
Audrey selalu terlihat ceria di hadapan orang lain.
Apakah Audrey telah berkata jujur padanya"
Wajah yang dipenuhi air matanya itu tidak terlepas dari benak Fulvia. Sepasang
mata hijau yang bersinar sedih itu membuat Fulvia tetap terjaga sepanjang malam. Dan bibir yang
terluka itu terus menghantui pikiran Fulvia hingga Brent dan Jehona mencemaskannya.
"Apakah terjadi sesuatu?" Jehona bertanya cemas.
Fulvia terkejut. "Jangan ragu untuk mengatakan pada kami kalau kau membutuhkan bantuan," kata
Brent pula. "Tidak," Fulvia mengelak, "Tidak terjadi apa-apa."
"Kami mengerti ada saatnya kami tidak ikut campur tangan dalam urusan keluarga
orang lain," Jehona berkata bijaksana, "Tetapi tidak ada salahnya kau berbagi dengan kami."
"Tidak campur tangan," gumam Fulvia.
Fulvia teringat Lewis selalu marah-marah setiap kali keluarga Garfinkelnn
menawarkan bantuannya. Lewis selalu murka setiap kali orang tua Audrey mencoba melakukan sesuatu untuk
mereka. "Jangan campur tangan!" Lewis selalu berteriak marah, "Ini adalah urusan
keluargaku!" Itukah sebabnya Audrey tidak pernah menunjukkan kesedihannya pada orang lain"
Itukah sebabnya Audrey mengusirnya kemarin"
Fulvia tidak mengerti. Ia tetap tidak mengerti ketika sore ituIrvingmenjemputnya
di tempat yang telah mereka janjikan. "Kau masih memikirkannya?"
Fulvia terkejut. "Kau tidak terlalu pandai untuk menyembunyikan perasaanmu
dariku,"Irvingmemberitahu dengan
tenang. "Ya," Fulvia mengakui, "Saya tidak dapat menghilangan wajah Audrey dari pikiran
saya." Fulvia menarik baju Irving dan menatapnya lekat-lekat. "Katakan pada saya,
M'lord. Lewis tidak akan melukai Audrey walaupun ia mabuk."
Irving terkejut. "Apa yang kau katakan?"
"Saya pernah mendengar," Fulvia menjelaskan dengan suaranya yang lirih,
"Seseorang yang berada di bawah pengaruh minuman keras akan dapat berbuat apa saja tanpa menyadari
tindakannya bahkan... bahkan pada orang yang mereka cintai." Fulvia menatap Irving lekat-lekat
kemudian ia berkata dengan serius. "Katakan pada saya Lewis tidak akan melakukan itu."
Air mata membasahi sepasang bola mata biru keunguan itu.
Irving tertegun. "Katakan," pinta Fulvia lirih.
Fulvia mendekatkan dirinya pada Irving dan menunduk. Tangannya mencengkeram
kemeja Irving eraterat dan air matanya terus berjatuhan.
Irving tercengang. Ia benar-benar tidak dapat mengerti gadis ini.
"Apa yang ingin kau lakukan?"
"Pergi ke Greenwalls," Fulvia mengangkat kepalanya. "Saya ingin memastikannya
sendiri," ia

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menatap langsung ke mata Irving.
"Aku mengerti," Irving membawa gadis itu ke kereta kudanya lalu ia meminta kusir
kuda untuk mengantar mereka ke Greenwalls.
Tangis Fulvia mulai mereda ketika kereta bergerak menuju Greenwalls.
"Kau sudah lebih baik?" Irving memberikan saputangannya kepada Fulvia.
Fulvia mengangguk dan menerima sapu tangan itu.
"Tak lama lagi kita akan tiba di Greenwalls," lanjut Irving, "Kau bisa bertanya
langsung pada Audrey." Fulvia mengangguk lagi. Ia segera menyeka air matanya. Fulvia tidak mau Audrey
melihatnya dengan mata sembab. Fulvia tidak mau Audrey mengkhawatirkannya.
Seperti yang dikatakan Irving, kereta tiba di pintu depan Greenwalls dalam waktu
singkat. Kaki Fulvia baru saja menginjak pekarangan Greenwalls ketika sebuah jeritan
terdengar dari dalam. Fulvia terperanjat. "Mau apa kau, wanita jahanam!"
Fulvia mengenal seruan kasar itu.
"Aku adalah pemilik Greenwalls! Kau tidak berhak mengaturku!"
Tanpa berpikir dua kali, Fulvia langsung menerjang masuk.
"Kau tidak berhak melarangku!"
Lewis menampar Audrey sedemikian kerasnya hingga wanita itu jatuh terpelanting.
"AUDREY!" Fulvia berteriak panik.
Audrey terkejut. "Audrey!" Fulvia menjatuhkan diri di sisi Fulvia dan memeluk wanita itu eraterat. Lalu ia menatap Lewis penuh kemarahan, "Apa yang kaulakukan pada Audrey!?"
"Apa lagi kau, gadis kecil?" Lewis meraih tangan Fulvia dan menariknya dengan
kasar, "Apa kau juga ingin melarangku" Apa kau ingin mencampuri urusanku?"
Fulvia tidak menyukai bau yang tersebar dari mulut pria itu. "Lepaskan aku!"
Fulvia melepaskan tangannya dari genggaman pria itu.
"APA!?" Lewis murka, "Kau juga berani menentangku! Kau berani memerintahku!"
Lewis melayangkan tangannya. Fulvia memejamkan matanya erat-erat.
Irving menangkap tangan Lewis. Sebelum seorang di antara mereka menyadarinya,
Irving telah melayangkan tinjunya di pipi kiri Lewis.
"Apa yang kaukira kaulakukan!?" bentaknya murka.
Lewis terjatuh di lantai.
Fulvia jatuh dengan lemas.
"Kalau kau tidak ingin orang lain mengurusi masalahmu, lakukan sesuatu! Jangan
hanya menjadi pengecut!" Irving mencengkeram kerah baju Lewis dan mengangkatnya berdiri, "Apa
kau kira selama ini kau telah menyelesaikan masalahmu!" Kau hanya membuat orang mengasihimu,
pengecut!" Tidak seorang pun di ruangan itu yang berkutik.
Mereka terlalu kaget melihat reaksi Irving yang tidak terduga itu.
Mereka terlalu takut melihat kemarahan Irving yang menakutkan itu.
"Kalau kau mengira kami peduli padamu, maaf, kami tidak peduli apa yang terjadi
padamu! Kami hanya peduli pada Audrey!"
Fulvia yang pulih dari kekagetannya cepat-cepat berdiri. Ia menarik lengan pria
itu. "Hentikan," pintanya. Irving melihat wajah memelas gadis itu.
"Kalau kau mengira kau telah menyelesaikan masalahmu, kau salah," Irving
melemparkan pria itu, "Kau hanya pengecut yang bisa bersembunyi dalam minuman keras!"
Sekali lagi Lewis terjatuh di lantai.
Fulvia menarik pria itu dengan cemas.
"Mari kita pergi," Irving memegang lengan Fulvia dan menyeretnya dengan paksa.
Fulvia tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikuti pria itu.
"Lewis," Audrey mendekati Lewis. Air matanya kembali bercucuran melihat luka
memar di wajah Lewis. Lewis menatap istrinya. "Maafkan aku, Audrey," bisiknya perlahan, "Aku benarbenar seorang pengecut." "Aku memaafkanmu," Audrey memeluk Lewis, "Aku memaafkanmu."
Fulvia meringkuk di pojok. Matanya melirik Irving. Ia tidak berani mengeluarkan
suara. Ia juga tidak berani bergerak. Fulvia tahu pria itu masih marah.
Walau Irving suka berganti-ganti pasangan, ia bukanlah tipe pria yang suka
bermain kekerasan pada wanita. Irving sudah tahu. Ia sudah tahu sejak ia melihat luka di bibir Audrey kemarin.
Tetapi ia tidak menyangka Lewis juga akan menyerang Fulvia.
Irving tidak pernah mempercayai cinta. Ibunya juga mencintai ayahnya ketika
mereka menikah tetapi ibunya kemudian meninggalkan ayahnya bersama kekasih gelapnya. Ayahnya yang
buta karena cinta juga terus menyalahkan Nelson, kekasih gelap ibunya, walau sudah jelas ibunya
meninggal dalam perjalanan kabur bersama pria itu. Duke masih terus dan terus mempercayai Duchess walau
kenyataan sudah berbicara banyak. Dan gadis di sisinya ini...
Gadis ingusan ini masih mempercayai kesempurnaan apa yang disebut cinta. Gadis
ini masih memujamuja cinta. Irving ingin sekali membuat Fulvia tahu apa sebenarnya yang disebut cinta itu
tetapi itu akan terlalu sangat kejam untuk gadis manja seusianya. Sementara ini Irving akan membiarkan
Fulvia bersama mimpimimpi
indahnya. Ia akan melihat bagaimana kenyataan akan merusak impian indah gadis
itu. Suasana mencengkam di dalam kereta membuat Fulvia merasa tidak nyaman.
Fulvia tidak tahu ia harus berbuat apa untuk meredakan hawa yang menyesakkan
dada ini. "Maafkan aku." Fulvia terkejut. "Kurasa aku telah bersikap kasar terhadapmu," mata Irving terlihat begitu sedih.
Fulvia terperangah. "Jangan bertemu dengannya lagi," Irving memperingatkan Fulvia dengan tegas.
"Mengapa" Ia adalah saudara saya."
"Apakah kau masih belum mengerti juga!" Apa kau masih ingin mencampuri urusan
orang lain!?" Irving tertegun melihat wajah pucat Fulvia.
"Aku tidak yakin ia tidak akan mencoba menyakitimu lagi," Irving berkata pelan.
"T-tidak akan. Ia tidak akan berani melakukannya lagi. Anda telah
memperingatinya, bukan?" "Katakan padaku kalau kau akan kesanalagi."
Nada dingin itu membuat Fulvia ketakutan.
"Aku akan memastikan ia tidak menyakitimu." Irving memalingkan kepala ke luar
jendela. Fulvia terperangah. "Terima kasih," bisiknya lirih dan ia kembali tenggelam
dalam pikirannya. Mencampuri urusan orang lain...
Apakah salah mencampuri urusan orang lain"
Malam itu Davies juga memintanya untuk tidak mencampuri urusannya.
Lewis juga selalu marah setiap kali ada yang mencoba membantunya.
Tadi siang Jehona berkata tidak baik untuk terus mencampuri masalah orang lain.
Irving juga menegaskan untuk tidak turut campur dalam masalah orang lain.
Apakah ini salah" Fulvia hanya ingin membantu Audrey. Fulvia hanya ingin melihat Audrey kembali
tersenyum seperti dulu. Apakah ini salah"
Sekarang semuanya sudah jelas bagi Fulvia. Fulvia sudah yakin darimana Audrey
mendapatkan luka di bibirnya itu. Fulvia tahu mengapa Audrey menangis. Dan sekarang harusnya ia
bersikap seolah-olah ia tidak pernah mengetahuinya"
Haruskah ia tetap berdiam diri walaupun ia tahu Lewis menyakiti Audrey"
Haruskah ia tetap berdiam diri setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri
Lewis melukai Audrey" Fulvia terus berkutat pada pikirannya hingga tak seorang pun mencoba mengusiknya
sepanjang malam itu. Kerisauan Fulvia itu juga membuat Brent maupun Jehona tidak mengusik gadis itu
sepanjang hari ini. Tim yang biasanya suka membuat sibuk Fulvia juga menjauhinya.
Semua yang melihat gadis ini tahu ia sedang menghadapi sebuah masalah besar.
Davies yakin Irvinglah penyebab semua ini tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia
ingin Fulvia sendiri yang bercerita padanya daripada ia yang langsung mencari Irving dan berkelahi
dengannya dengan segala resikonya. Countess dan Count Silverschatz percaya pada Fulvia dan mereka akan menanti
sampai gadis itu menceritakan masalahnya pada mereka.
Hari ini Fulvia ingin sekali pergi menemui Audrey dan memastikan Audrey baikbaik saja. Tetapi Fulvia tidak mempunyai keberanian untuk mengatakan itu.
Sepanjang perjalanan pulang kemarin Irving terus menutup mulutnya rapat-rapat
sambil memasang muka kesal. Sepanjang perjalanan kemarin kediaman Irving benar-benar membuat
Fulvia merasa tidak nyaman. Fulvia tahu Irving tidak dapat memaafkan Lewis dan apakah Irving masih akan
mengantarnya walau ia telah mengatakan kesediaannya"
Fulvia harus segera memutuskan. Ia harus segera memutuskan sebelum kereta
berjalan. Ia harus sudah mengatakannya sebelum kereta meninggalkan pusatkota. Ia...
Mata Fulvia menangkap suasana tak terawat halaman Greenwalls.
Sepasang bola mata biru keunguannya menatap Irving penuh ingin tahu dan
ketakjuban. "Kau ingin melihat mereka, bukan?" Irving menjelaskan singkat.
Senyum bahagia menghiasi wajah Fulvia. "Terima kasih," Fulvia ingin sekali
melompat dalam pelukan pria itu. Ia ingin mengungkapkan luapan kegembiraannya ini.
Kereta berhenti tepat di depan pintu masuk.
Tanpa banyak berbicara, Irving melompat turun kemudian membantu Fulvia.
Suasana di dalam Greenwalls sangat sunyi.
Kesunyian itu tidak membuat Fulvia merasa lega. Sebaliknya, ia merasa semakin
cemas. "Audrey! Audrey!" Fulvia terus memanggil-manggil
"Fulvia?" Audrey muncul dari dalam Ruang Duduk dengan wajah keheranannya, "Kau
datang lagi?" "Audrey!" Fulvia memeluk wanita itu erat-erat, "Audrey, kau baik-baik saja?"
Audrey tersenyum lembut. "Lihatlah kau," ia menghapus air mata yang mulai
membasahi mata Fulvia, "Apa yang harus kujelaskan pada Davies bila ia melihatmu dalam keadaan seperti
ini." "Kau baik-baik saja?" Fulvia bertanya cemas, "Apakah Lewis melukaimu lagi?"
"Tidak," Audrey tersenyum, "Lewis sudah jauh lebih tenang sekarang."
"Apakah ia meninggalkanmu lagi?" Fulvia terus bertanya dengan cemas, "Apakah ia
pergi bermabukmabukan lagi?" "Tidak, Fulvia. Sekarang ia mengurung dirinya di kamar. Ia terus mengurung
dirinya semenjak kepulangan kalian kemarin sore."
"Apa yang dilakukannya" Apakah ia sedang merencanakan sesuatu?"
"Jangan khawatir, Fulvia," Audrey menenangkan, "Ia sedang berpikir." Audrey
tersenyum bahagia. Secercah harapan tersinar di mata hijau tuanya, "Aku yakin ia sedang berpikir."
Fulvia terperangah. Ia tidak pernah melihat kakak sepupunya secantik ini. Fulvia
tidak pernah melihat Audrey tampak begitu anggun dengan rambut merahnya yang terikat rapi. Fulvia
tidak pernah melihat Audrey tampak begitu mempesona dengan wajahnya yang penuh harapan ini.
"Katakan padaku, Fulvia, apa yang membuatmu datang," Audrey merangkul pundak
Fulvia dan membawanya duduk di sofa.
Mata Audrey menatap Irving yang berdiri di pintu dengan tenangnya. "Apakah Anda
bersedia bergabung bersama kami?"
Audrey lalu menatap Fulvia lekat-lekat. "Keluargamu tidak akan keberatan bila
kau bergabung bersamaku untuk makan malam, bukan?"
Fulvia tercengang melihat kegembiraan Audrey.
Sikap Audrey menunjukkan tidak pernah terjadi apa pun dalam kehidupannya. Tidak
ada yang terjadi dalam rumah tangganya. Audrey tampak seperti sudah melupakan kejadian kemarin.


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Fulvia tersenyum bahagia karenanya dan ia berkata gembira, "Tidak. Aku yakin
mereka tidak akan keberatan." Fulvia sudah benar-benar melupakan Irving. Dan ketika Fulvia menyadarinya, pria
itu telah duduk bersama mereka di meja makan sambil berdiam diri mendengarkan pembicaraan kedua
wanita yang terpaut dua belas tahun itu.
7 Sudah seminggu lebihIrvingmenyediakan antar jemput bagi Fulvia.
Sudah seminggu lebih ia muncul di Unsdrell pagi hari dan mengantar Fulvia pulang
di sore hari. Seminggu lebih dan ia belum mendengar apa pun dari gadis itu.
Seminggu lebih dan ia masih belum mempunyai gambaran mengenai rencana gadis itu.
Irvingbenar-benar tidak mempunyai gambaran tentang tindakan Fulvia dan
rencananya itu. Pagi iniIrvingbergegas menghabiskan sarapannya seperti biasa dan segera
berangkat ke Unsdrell. Ketika ia tiba di Unsdrell, Fulvia baru saja keluar.
"Anda datang tepat waktu," sambut Fulvia.
"Aku telah menangkap waktu kau siap," balasIrving.
Fulvia tersenyum mendengar balasan asal-asalan itu. Tanpa berkata panjang lebar,
ia menerima uluran tanganIrving. Seperti biasa, mereka berdiam diri selama perjalanan menujukota.
Irvingtidak tertarik untuk membka pembicaraan dengan Fulvia. Demikian pula gadis
itu. Bagi Fulvia, mereka hanyalah teman biasa. Tidak ada suatu hal khusus yang dapat
ia bicarakan denganIrving. Fulvia tidak ingin menanyakan kabar-kabar burung tentangIrvingdan wanitawanitanya maupun mawar merahnya yang terkenal itu. Fulvia juga tidak ingin bertanya tentang keluarga
pria itu. Fulvia tahu pria tidak menyukai topik tentang dirinya dan tiga pemuda dalam hidupnya telah
menegaskannya. Semasa kecil Fulvia suka sekali bertanya banyak hal kepada ketiga kakaknya itu.
Ia selalu ingin tahu banyak hal tentang mereka bertiga. Ketiganya juga tidak pernah menutup-nutupi
rahasia mereka pada Fulvia. Tetapi dengan beranjaknya usia mereka, Fulvia mulai merasakan ketiganya
mulai tertutup padanya. Fulvia pernah menanyakannya pada ibunya dan Countess Kylie berkata, "Setiap
orang pasti mempunyai hal yang ia tidak ingin orang lain ketahui dan seorang pria adalah seorang
makhluk yang paling peka terhadap hal ini." Fulvia dapat memahami hal tersebut. Ia juga mulai menyadari ia juga tidak suka
menceritakan semua hal pada keluarganya seperti semasa ia kecil. Rencananya ini adalah salah satu
contohnya. Hari Minggu yang baru lewat ini, kedua kakak sepupunya mulai mengeluhkan
kepergiannya selama hari-hari belakangan ini.
"Aku mempunyai urusan dikota," Fulvia menjelaskan singkat.
"Urusan apa?" Trevor tidak dapat menerima jawab itu, "Jangan katakan padaku kau
mengunjungi Audrey. Semua orang sudah tahu Lewis tidak pernah berulah lagi dan Audrey tidak
membutuhkanmu lagi."
Fulvia juga tahu ia tidak bisa menggunakan Audrey sebagai alasannya pada kedua
kakak sepupunya ini. Lewis tidak pernah keluar rumah lagi semenjakIrvingmemukulnya. Sekarang
Lewis menghabiskan waktunya untuk mengurung diri di kamar. Hal ini membuat Audrey lebih lega dan
bergembira. Audrey tidak pernah mengatakan apa-apa tentangIrvingdan kemarahannya pada hari
itu. Keluarga Garfinkelnn juga tidak pernah menanyakannya. Mereka hanya percaya
sesuatu telah terjadi dan itu membuat Lewis menyadari kesalahannya. Sekarang mereka tengah menantikan
sesuatu yang lebih baik lagi. Fulvia juga tidak ingin mengatakan apa pun mengenai peristiwa hari itu. Fulvia
tidak dapat membayangkan reaksi kedua kakak sepupunya dan ia terlebih tidak dapat
membayangkan kemurkaan Davies mendengar ia pergi ke Greenwalls bersamaIrving.
Semenjak Irving muncul untuk menjemputnya di pagi itu, Davies sudah menampakkan
rasa tidak sukanya dan ia semakin tidak senang karenaIrvingterus datang tiap pagi.
"Aku mempunyai urusan penting," Fulvia menegaskan.
"Apa?" Richie mendesak.
Fulvia kewalahan menghadapi ketidaksabaran kedua kakak sepupunya itu. Fulvia
tidak ingin mengatakan sesuatu yang dapat menyakiti keduanya dan ia juga tidak dapat
memberitahu mereka. "Sudahlah," Davies muncul tepat pada waktunya, "Hormatilah Fulvia."
"Bagaimana kau yakin ia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya?" tanya Trevor
dan Richie bersamaan. "Aku...," Davies ragu-ragu.
Fulvia tahu Davies selalu mencurigaiIrving.
"Aku percaya Fulvia tidak melakukan sesuatu yang berbahaya," Davies berkata
tegas, "Aku dapat menjaminnya." Fulvia lega mendengar dukungan Davies itu. Davies bisa saja mengatakan semuanya
pada mereka tetapi ia masih memegang janjinya untuk merahasiakan hal ini dari mereka.
Jaminan Davies itu benar-benar bermanfaat. Kedua kakak sepupunya tidak
mendesaknya lagi. Sebaliknya, mereka menegaskan berulang kali untuk meluangkan waktu bagi mereka
di hari Minggu. Fulvia telah berjanji pada mereka dan ia dapat memastikan ia tidak mempunyai
acara di hari Minggu. Fulvia tidak mengerti mengapa Davies tidak pernah mempermasalahkan lagi
kepergiannya bersamaIrvingseperti di hari-hari awal lalu. Tetapi hal ini membuat Fulvia
gembira. Kereta berhenti di tempat biasa. Dan seperti biasa pula,Irvingturun terlebih
dahulu untuk kemudian membantunya. "Selamat bersenang-senang," Fulvia tersenyum penuh arti sebelum
meninggalkanIrving. Fulvia yakinIrvingakan segera menuju tempat kencannya hari ini dan ia tidak
ingin menyita waktu pria itu. Bila teringat perhatianIrvingpadanya dan sikapnya yang menghormati wanita itu,
Fulvia merasa iri pada teman-teman kencan pria itu. Fulvia juga sempat berandai-andai pria itu
adalah pria yang setia. "Sayangnya," Fulvia berkata pada dirinya sendiri, "Ia suka melompat dari satu
wanita ke wanita yang lain." Irvingkebingungan melihat senyum penuh arti itu tetapi ia tidak mau terlalu
pusing memikirkannya. "Kembali ke Nerryland,"Irvingmemberitahukan tujuan mereka selanjutnya kepada
kusir kuda sebelum memasuki kereta. Irvingtidak mempunyai janji hari ini dan ia tidak sedang berselera untuk mencari
teman kencan baru. Duke of Engelschalf keluar dari Ruang Baca. Rambutnya yang putih menunjukkan
usianya yang sudah tidak muda lagi tetapi wajahnya masih meninggalkan bekas-bekas ketampanannya di
masa muda. Tangannya menenteng koran hari ini.
"Dari mana kau?" tanya Duke. "Sudah beberapa hari ini aku memperhatikan kau
selalu pergi di pagi hari." Irvingmengacuhkan pertanyaan itu.
"Kau tidak pergi lagi?" Duke bertanya heran.
"Kau sudah selesai?"Irvingmengulurkan tangan.
"Ya, aku sudah selesai membacanya," Duke menyerahkan koran itu kepadaIrving.
Irvingmembuka pintu Ruang Baca.
"Aku senang kau sudah mulai berubah akhir-akhir ini. Kau memang sudah seharusnya
bersikap lebih serius," Duke of Engelschalf tersenyum.
Irvingtidak ingin meneruskan pembicaraan yang membosankan ini. Ia tidak ingin
mendengar ayahnya kembali memberikan ceramahnya tentang apa yang harus dilakukannya. Duke yang
membiarkan dirinya dibodohi cinta itu tidak mempunyai hak untuk mengatur hidupnya dan petualangan
cintanya. "Aku tahu," kataIrvingdingin lalu ia masuk ke dalam Ruang Baca tanpa
mempedulikan ayahnya lagi. Irvingduduk di sofa panjang di Ruang Baca itu dan mulai membaca halaman pertama
koran hari ini. Belum lama ia membaca ketika seseorang mengetuk pintu.
"Masuk," sahutIrving.
Seorang pelayan muncul. "Maaf menganggu Anda, Tuan Muda," kata pelayan itu
sopan, "Lady Clementine datang menemui Anda, Tuan Muda."
Irvingmengerutkan dahi. "Apa kabarmu,Irving?" Clementine muncul di belakang pelayan itu.
Irvingmelanjutkan kegiatannya membaca koran. Ia sudah tahu gadis itu akan muncul
sebelum ia menyatakan kesediaannya. "Jangan begitu kepadaku," rengek Clementine manja, "Aku datang untuk melihat
keadaanmu. Kudengar engkau sudah lama tidak meninggalkan Nerryland."
"Kau sudah melihatnya," jawabIrvingdingin.
Irvingtidak terlalu menyukai sepupunya ini. Ia sangat mirip dengan ibunya dan
itu membuatnya semakin tidak menyukainya.
"Jangan bersikap sedingin itu padaku," Clementine berdiri di belakangIrvingdan
mengulurkan tangan merangkul pria yang masih duduk dengan santai membaca koran itu. "Apakah kau
telah melupakan masamasa indah di antara kita berdua?"
"Tidak ada masa-masa indah di antara kita," kataIrvingtegas namun dingin.
Mereka memang pernah melewatkan waktu bersama. Mereka tumbuh dewasa bersama
sebagai saudara. Hanya sepupu. Tidak lebih dari itu!
"Ayolah, Irving," Clementine duduk di sisiIrving. Tangannya terlingkar di
leherIrvingdan ia menempelkan tubuhnya di tubuh pria itu. "Apa kau kira mawar merahmu itu dapat
mencampakkanku?" Irvingmelepaskan diri. "Kau tahu, mawar merah adalah tanda kasih sayang bukan tanda perpisahan."
"Apa maumu?" tanyanya tajam.
Clementine tersenyum gembira. Inilah yang diharapkannya dariIrving. "Aku ingin
kau menemaniku hari ini." "Aku tidak punya waktu."
"Ya, tetapi kau punya waktu untuk mengurung dirimu di sini."
Irvingtidak menyukai gadis ini dan ia menunjukkannya dengan jelas.
"Kau bisa mengajak ibumu," katanya sinis.
"Mama pergi bersama teman-temannya. Ia tidak akan pulang sebelum malam. Hanya
engkau yang tersisa." Irvingmenatap tajam sepupunya itu.
Irvingyakin Clementine tidak jauh lebih tua dari Fulvia tetapi mereka sangat
jauh berbeda. Clementine adalah gadis manja yang penuh percaya diri. Mata hijau tuanya
bersinar penuh percaya diri. Rambut merah membaranya ditata rapi dan berhiaskan batu-batuan indah. Ia
tahu bagaimana menonjolkan tubuh moleknya dengan gaun-gaun indahnya.
Fulvia, si gadis yang keemasan, tampak sangat kekanak-kanakan. Rambut
keemasannya selalu ditata
sekedarnya.Irvinghampir tidak pernah melihat hiasan mewah di rambut emasnya itu
kecuali di pesta itu, di hari pertama ia bertemu dengannya. Dengan mata biru keunguannya yang selalu
bersinar lembut, Fulvia tampak sangat menarik. Tutur kata gadis itu juga lembut tetapi sering kali mulut


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mungil itu mengucapkan kata-kata yang tidak terduga.
Satu-satunya persamaan di antara keduanya adalah mereka tahu bagiamana
memanfaatkan kecantikan mereka. Bagi Irving, menebak Clementine jauh lebih mudah daripada menebak Fulvia. Dan
sekarang ia tahu Clementine pasti akan mengusiknya hari ini dan hari-hari mendatang sampai ia
menuruti keinginan gadis itu. "Aku hanya punya waktu kosong sampai sore hari," kataIrving.
"Aku janji aku tidak akan menahanmu lebih dari itu," Clementine merangkul
tanganIrvingdengan mesra. "Aku hanya ingin kau menemaniku berbelanja dikota."
Hari ini akan menjadi hari yang menjemukan bagiIrving.
-----0----Seorang pria muncul di jendela di samping pintu masuk. "Kau mempunyai
gadis cantik di sini," pria itu berkata sambil menatap Fulvia yang sibuk mengajari Tim sambil menggendong si
kecil Sammy di meja kecil dalam ruangan depan itu.
"Jangan mengusiknya, Janus!" Brent memperingati dengan tajam.
"Siapakah dia, Brent?" Janus bertanya ingin tahu, "Aku melihatnya terus berada
di sini beberapa minggu terakhir ini."
"Bukan urusanmu!" bentak Brent, "Jangan kaudekati dia!"
"Kalau kau berani menyentuhnya sejari saja," Jehona muncul dari dalam dengan
wajah garangnya, "Aku tidak akan segan menghajarmu!"
"Jangan bersikap sekasar itu, Jehona. Kau hanya akan memberi contoh yang buruk
bagi putramu," Janus tertawa, "Lagipula aku hanya bercanda."
Fulvia menyadari mereka tengah membicarakan dirinya dan itu membuatnya merasa
tidak nyaman. "Tim," katanya pada anak itu, "Mari kita melanjutkan di dalam."
Tim menutup buku yang sedang dibacanya bersama Fulvia dan mengikuti gadis itu ke
dalam. Jehona memperhatikan Tim yang berjalan beriringan dengan Fulvia ke dalam.
"Kulihat semenjak kedatangannya, bisnismu menjadi lebih baik," gumam Sammy
sambil memperhatikan Fulvia menghilang di balik pintu.
"Ya, harus kuakui itu," Brent sependapat.
Janus menyandarkan punggung di bingkai jendela. "Kurasa pembeli-pembelimu hanya
tertarik pada kecantikannya. Aku sungguh tidak menyangka engkau mampu menyewa guru secantik
itu untuk putramu. Aku berharap aku bisa terus melihatnya."
"Ia tidak akan berada di sini untuk selama-lamanya," Brent menegaskan, "Ia bukan
bagian tempat ini!" "Sampai kapankah ia akan berada di sini?" tanya Janus tertarik.
"Apa urusanmu!?" Jehona balik bertanya dengan marah.
"Aku ingin mempersiapkan perpisahanku dengannya," jawab Janus santai.
"Sebaiknya engkau mempersiapkan kepergianmu sekarang juga," kata Jehona tajam.
Janus tertawa. "Jangan bersikap sekarang itu padaku, Jehona," katanya, "Brent
tidak keberatan aku mampir ke sini." Jehona benar-benar tidak menyukai pemuda ini. Bila bukan karena Janus adalah
putra tetangga mereka, tempat dulu mereka menitipkan kuda Fulvia, Jehona pasti sudah
menghajarnya. Baginya pemuda
pengangguran ini sangat berbahaya bagi Fulvia.
Semenjak ia bertemu Fulvia ketika ia hendak membeli roti, Janus selalu datang
tiap hari. Ia selalu berkata ia ingin membeli roti tetapi Jehona tahu itu hanya alasannya saja.
Jehona tahu tujuan utama pemuda itu. Harus diakui Jehona semenjak kedatangan Fulvia di sini, toko mereka mengalami
kemajuan yang tidak sedikit. Tiap hari pembeli mereka terutama pembeli pria makin bertambah. Jehona
tahu semua itu karena kecantikan Fulvia yang menyebar dengan cepat di antara pembeli dan tetangga
mereka. Bertambahnya pembeli membuat mereka harus menyediakan lebih banyak roti dan itu
benar-benar menyita waktu Jehona terutama Brent, sang pemilik toko roti ini.
Sekarang Jehona sudah benar-benar menyerahkan kedua putranya pada Fulvia. Walau
Jehona tahu Fulvia adalah anak gadis orang kaya, ia percaya padanya. Gadis itu telah sangat
membantunya. Gadis itu juga telah memberikan sesuatu yang tidak bisa mereka berikan pada putranya yaitu
pendidikan. Sebagai seorang penjual roti yang pendapatannya pas-pasan, mereka tidak pernah
berpikir untuk memberikan pendidikan pada putranya. Bagi mereka, yang terpenting adalah Tim
dapat membantu mereka dan mau meneruskan usaha turun temurun keluarga Brent ini.
Jehona benar-benar berterima kasih pada gadis itu. Dan yang bisa ia lakukan
untuk menyatakan terima kasihnya adalah mewujudkan cita-cita mulia gadis itu untuk membahagian kedua
orang tuanya. "Aku akan melihat mereka," kata Jehona dan meninggalkan kedua pria itu.
"Katakan, Brent, sampai kapan gadis itu akan berada di sini," Jehona mendengar
Janus mendesak suaminya sebelum ia menutup pintu yang membatasi ruang depan tempat Brent
bekerja dan ruang kecil yang menjadi ruang makan mereka.
"Ia belum pergi, Nyonya Jehona?" tebak Fulvia melihat raut wajah Jehona.
"Ya," Jehona duduk di depan Fulvia, "Jangan khawatir. Aku tidak akan
membiarkannya mengusikmu." Fulvia tersenyum. "Terima kasih."
"Aku juga tidak menyukainya," Tim berkata, "Aku akan menjagamu darinya, Fulvia."
Fulvia menatap anak lelaki itu. "Aku percaya," katanya sambil tersenyum.
"Tak lama lagi sudah genap sebulan," Jehona mendesah.
"Ya," gumam Fulvia, "Waktu benar-benar berlalu dengan cepat."
"Apa kau berencana memberitahu keluargamu tentang kepergianmu selama sebulan
ini?" Jehona tibatiba
bertanya dengan tertarik.
Fulvia merasa serba salah melihat sepasang mata yang menatap langsung kepadanya
dengan penuh rasa ingin tahu itu. "Saya rasa... saya pikir mereka tidak akan senang mendengarnya."
"Aku rasa juga demikian," kata Jehona.
Fulvia tersenyum. Fulvia yakin Davies pasti akan memarahinya sepanjang hari bila
ia mengetahui semua ini dan ibunya pasti akan pingsan.
"Apa kau telah memberitahu temanmu itu?"
Fulvia terperanjat. Kepada Brent dan Jehona yang keheranan melihatnya datang tanpa mengendarai
kudanya sendiri, Fulvia menjelaskan bahwa seorang temannya bersedia menyediakan antar jemput
baginya. Jehona lalu bertanya mengapa ia tidak membiarkan temannya itu mengantarnya sampai di depan
rumah mereka dan menjemputnya di sini pula. Fulvia lalu mengatakan sejujurnya pada mereka bahwa
temannya itu tidak tahu apa yang dilakukannya dikotasetiap hari. Mereka tidak pernah bertanya lagi
setelahnya. "Belum," Fulvia berkata dengan penuh rasa bersalah.
Beberapa hari ini Fulvia terus memikirkan masalah ini.
Irvingtelah bersikap begitu baik padanya.Irvingtelah bersedia menjemputnya di
Unsdrell setiap pagi dan mengantarnya pulang setiap sore.Irvingjuga tidak pernah keberatan bila
mereka pergi ke Greenwalls dulu sebelum pulang. Bahkan semenjak kejadian ituIrvingselalu mengantar Fulvia
melihat keadaan Audrey sebelum mengantarnya pulang.Irvingbenar-benar seorang teman yang baik.
Segala kebaikanIrvingitu membuat Fulvia merasa bersalah. Fulvia semakin merasa
bersalah bila ia teringat kebaikan dan perhatianIrvingpadanya.
Fulvia ingin mengatakan semua ini pada pria itu tetapi ia tidak tahu bagaimana
harus memulainya. Fulvia juga tidak tahu apa reaksi pria itu setelah mengetahui semua ini. Fulvia
benarbenar tidak tahu. "Aku ingin kau tahu aku tidak ingin mencampuri urusanmu," kata Jehona bijaksana,
"Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa tidak baik kau terus menutupi semua ini darinya."
Fulvia menatap wanita itu lekat-lekat.
"Aku hanya khawatir temanmu itu merasa kau telah menyalahgunakan kepercayannya
padamu. Mungkin setelah ia mengetahui tujuan muliamu ini ia akan membantumu," Jehona
tersenyum, "Kau mempercayainya bukan?"
Fulvia terperangah. Ya, Fulvia mempercayai Irving. Fulvia percaya pria itu.
Karena itulah ia tidak pernah takut berduaan bersama pria itu walau ia tidak mengenal pria itu dengan
baik. Fulvia mengangguk. Senyum bahagia menghiasi wajah cantiknya yang berseri itu.
Fulvia telah memutuskan. -----0----Irving melihat waktunya untuk menjemput Fulvia hampir tiba.
"Kita pulang sekarang," Irving berdiri.
"Tetapi aku belum menghabiskan minumku," rengek Clementine.
"Kita tidak punya waktu untuk itu," Irving menarik tangan gadis itu.
Hari ini Clementine benar-benar membuat Irving kesal. Clementine telah menyita
waktunya. Gadis ini telah membuat Irving merasa ia tidak lebih dari seorang kurir pembawa barangnya.
Dan gadis ini juga membuat Irving menemaninya menghabiskan waktu minum teh dikota.
"Kau mau ke mana?" Clementine bertanya heran.
"Aku mempunyai urusan," jawab Irving singkat.
"Urusan apa?" Clementine ingin tahu.
"Bukan urusanmu," sahut Irving dingin.
Clementine tersenyum. "Jadi itu benar?"
Irving tidak menanggapi. "Kudengar akhir-akhir ini kau suka menghilang ke suatu tempat dan tampaknya kau
juga sudah mengurangi jadwal kencan-kencanmu itu."
"Jangan percaya pada gosip," Irving berkata sinis. Irving tidak pernah menikmati
gosipgosip yang beredar tentang dirinya itu.
"Kau benar-benar berubah," Clementine tersenyum simpul, "Kau seperti bukan
Irving yang dulu lagi." Irving mengacuhkan komentar itu dan terus menarik gadis itu ke kereta yang terus
menanti mereka di depan kedai itu. Clementine terdiam. Ia tahu Irving benar-benar marah kali ini.
Irving membuka pintu kereta dan mengulurkan tangannya.
Tanpa membantah, Clementine menerima uluran tangan itu.
Irving puas akhirnya Clementine mau berdiam diri menuruti keinginannya.
Irving baru saja menapakkan kaki kanannya ke dalam kereta ketika ia melihat
sesosok gadis di seberang yang menarik perhatiannya.
Gadis itu begitu mirip Fulvia tetapi Irving yakin ia bukanlah Fulvia. Gadis itu
mengenakan gaun seorang pelayan, bukan gaun indah yang dikenakan Fulvia pagi ini. Gadis itu
membungkuk pada seorang anak kecil kemudian ia menuntun anak kecil itu memasuki sebuah toko roti tak
jauh darisana. "Adaapa, Irving?" Clementine bertanya ingin tahu.
"Tidak ada apa-apa," jawab Irving singkat.
Irving tidak mempunyai waktu untuk menjawab ketertarikannya pada sosok gadis
yang mirip Fulvia itu. Sekarang ia tidak mempunyai banyak waktu. Ia harus segera mengantar pulang
Clementine sebelum kembali lagi kekotauntuk menjemput Fulvia.
Keterburu-buran Irving tidaklah sia-sia. Ia tiba lebih awal di tempat
perjanjiannya dengan Fulvia dari waktu yang mereka janjikan. Irving tidak ingin pergi ke sebuah tempat pun dan ia
memutuskan untuk menanti Fulvia disana. Irving berdiri disanasambil memperhatikan orang-orang yang terus berlalu-lalang.
Tiba-tiba Irving teringat komentar Clementine hari ini.
Irving tahu Clementine benar. Ia pun dapat merasakan perubahan dalam dirinya.
Irving merasa ia sudah tidak lagi terlalu tertarik untuk menghabiskan waktu bersama sejumlah
wanita yang siap menantinya. Minatnya untuk berkencan dengan penggemarnya tampaknya sudah tidak ada. Ia yang
biasanya menghabiskan waktu dari satu wanita ke wanita yang lain, sekarang lebih suka
mengurung diri di Ruang Baca. Bunga-bunga mawar di Nerryland pun tumbuh dengan subur dan menghiasi setiap
sudut halaman Nerryland. Sudah lama bunga-bunga mawar merah itu tidak dipetik. Sudah lama


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungabunga mawar merah itu tidak tersentuh.
Ia yang semula merasa dipaksa Fulvia, kini selalu menantikan saat menjemput
gadis itu. Baik menjemputnya di Unsdrell maupun menjemputnya di pusatkota.
Irving tahu ia sudah berubah dan ia tahu penyebabnya adalah apa.
Sudah seminggu ini ia mengikuti keinginan Fulvia dan ia masih belum mendapatkan
ide tentang rencana gadis itu. Ia tidak tahu bagaimana Fulvia akan menjeratnya dengan tiap
hari memintanya mengantar jemput kekota. Irving tidak mempunyai gambaran apa pun.
Irving mulai ingin tahu apa yang dilakukan Fulvia di pusatkotaseorang diri
setiap hari. Selama ini Irving tidak pernah bertanya pada Fulvia. Irving juga tidak pernah
peduli. Tetapi beberapa hari belakangan ini ia mulai mencurigai gadis itu. Ia mulai curiga ia telah
terlibat dalam sebuah rencana yang tidak diketahuinya, rencana yang tidak ditujukan pada dirinya tetapi pada
orang lain. Semakin ia teringat pada sosok gadis yang dilihatnya beberapa saat lalu, semakin
ia mencurigai Fulvia. Irving memutuskan untuk memeriksanya sendiri dan ia melangkah ke toko roti
tempat ia melihat gadis itu masuk bersama seorang anak kecil.
Seorang gadis muda duduk di hadapan seorang anak kecil yang sibuk membaca. Gadis
itu mendengarkan anak itu dengan tekun.
Irving tertegun melihat gadis itu.
"Apa yang kaulakukan di sini?"
Fulvia terperanjat. "M'lord!?"
Mata Irving menatap Fulvia tajam-tajam dan penuh kecurigaan.
Jehona melihat mereka berdua dengan bingung. "Fulvia, kau mengenalinya?"
"Ya, Nyonya Jehona," jawab Fulvia lalu ia bertanya pada Irving, "Mengapa Anda
berada di sini?" "Aku datang untuk menjemputmu."
Jehona tiba-tiba sadar siapa pria itu. "Fulvia, segera bergantilah," katanya
pada Fulvia, "Jangan membiarkan temanmu menantimu."
"Baik," Fulvia bergegas masuk ke dalam dan sesaat kemudian ia muncul dengan gaun
yang dikenakannya pagi ini. "Hari ini cukup sampai di sini," kata Brent.
"Apakah besok kau akan datang lagi?" Tim menarik gaun Fulvia.
"Ya," Fulvia berlutut di hadapan Tim.
"Jangan lupa janjimu."
"Tentu. Selama kau juga tidak melalaikan tugasmu."
"Aku pasti akan melakukannya!" kata Tim penuh keyakinan.
Fulvia tersenyum. "Kami tidak akan menahanmu lagi," kata Jehona - memotong pembicaraan antara
Fulvia dan Tim. "Saya mengerti," Fulvia berdiri, "Besok saya akan datang lagi."
Fulvia mengikuti Irving yang telah menantinya di depan.
"Sampai jumpa, Tuan Brent, Nyonya Jehona, dan Tim," Fulvia berpamitan sebelum
berjalan di sisi Irving. "M'lord," Fulvia berkata perlahan, "Dapatkah saya meminta Anda untuk
merahasiakan hal ini dari keluarga saya?" Irving tidak mengerti tindakan gadis ini. Ia benar-benar tidak mempunyai
gambaran tentang rencana gadis ini. "Saya tidak ingin menutupi hal ini dari Anda," Fulvia kembali merasa bersalah,
"Tetapi saya tidak dapat menjamin Anda akan tetap membantu saya setelah Anda mengetahuinya." Fulvia
menambahkan, "Saya tidak sedang berkata saya ingin terus menyembunyikannya dari Anda. Siang
ini saya tengah berpikir bagaimana memulai semua ini dan karena Anda telah melihatnya sendiri, hal ini
akan semakin mudah bagi saya." "Apa yang kaulakukan?" Irving mengulang pertanyaannya dengan tajam.
"Seperti yang Anda lihat, saya sedang memberikan pelajaran pada putra mereka,"
Fulvia menjelaskan, "Mereka adalah keluarga yang baik. Mereka telah memberikan bantuan yang sangat
besar kepada saya. Karena itulah saya memutuskan untuk memberikan pelajaran pada putra mereka."
"Bantuan apa?" selidik Irving.
"Mereka membantu saya mengumpulkan uang."
"Uang?" Irving curiga, "Aku tidak percaya kau membutuhkan uang. Aku yakin orang
tuamu tidak keberatan memberimu uang sebanyak yang kauinginkan."
"Ini adalah sesuatu yang istimewa," Fulvia menjelaskan dengan penuh semangat,
"Saya ingin membeli sebuah hadiah untuk orang tua saya. Saya ingin sebuah hadiah istimewa yang saya
peroleh dengan jerih payah saya sendiri. Saya mengerti tindakan saya ini sungguh tidak masuk akal.
Audrey juga sempat mengatakan saya sudah gila. Tetapi saya benar-benar memberi mereka sebuah hadiah
yang sangat spesial. Davies pasti tidak akan marah besar mendengarnya dan orang tua saya mungkin akan
pingsan. Karena itulah saya harus menyembunyikan hal ini dari keluarga saya."
Irving terperangah. "Jadi semua ini karena itu," gumamnya.
Fulvia menatap pria itu lekat-lekat.
Irving tidak suka sinar mata yang penuh rasa ingin tahu itu.
"Anda khawatir saya seperti mereka?" Fulvia membuat Irving terperanjat, "Saya
tidak tertarik pada Anda." Irving terdiam. "Saya tidak menyukai pria seperti Anda," lanjut Fulvia singkat, "Bagi saya, Anda
hanyalah seorang teman dan itulah bagaimana saya mengharapkan Anda memperlakukan saya."
Irving tidak dapat berkata apa-apa. Selalu dan selalu ia dikejutkan oleh gadis
ini. Selalu dan selalu mulutnya dibungkam oleh kata-kata tak terduga gadis ini.
Fulvia tersenyum manis. "Saya sangat senang Anda mau membantu saya dan saya
sangat berterima kasih karenanya." Irving tertegun. Ia mulai meragukan pengertiannya tentang wanita. Selama ini
Irving selalu benar tentang wanita dan ia selalu dapat memperlakukan wanita-wanita itu seperti yang
mereka harapkan. Semua kecuali gadis satu ini.
Mereka tiba di sisi kereta kuda keluarga Engelschalf.
"Apakah Anda bersedia menemani saya hari ini?" Fulvia tersenyum manis.
Irving benar-benar tidak dapat menebak pikiran gadis ini.
"Saya ingin pergi ke sebuah tempat," Fulvia berteka-teki, "Sebuah tempat indah
yang telah lama terbengkalai, Greenwalls."
"Dengan senang hati," kata Irving kemudian memberitahukan tujuan baru mereka
pada kusir kuda. Sesaat kemudian mereka telah tiba di rumah Audrey.
Mata Irving menatap tajam seekor kuda yang ditambatkan tak jauh dari pintu
masuk. Fulvia juga melihat kuda itu dan ia tidak mempunyai ide siapa tamu Audrey yang
lain. Pelayan membukakan pintu bagi Fulvia.
"Anda juga datang, Tuan Puteri?" sambut pelayan itu, "Tuan Muda Davies juga
datang. Sekarang ia bersama Nyonya di Ruang Makan."
Fulvia terkejut. "Davies datang?"
Irving tidak senang. Dengan malas ia mengikuti langkah-langkah riang Fulvia.
"Davies!" Fulvia berseru riang memanggil kakaknya.
"Fulvia, kau juga datang," sambut Audrey.
Mata Davies langsung menatap tajam Irving. Ia tahu pria itu pasti ada bersama
adiknya. Irving membalas tatapan tajam itu dengan tatapan dinginnya.
"Mengapa kau bisa berada di sini?" Fulvia memecahkan suasana sengit di antara
kedua pria itu. "Apa kau saja yang boleh datang ke sini?" Davies bertanya kesal.
Fulvia terperanjat. "Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya merasa heran."
Audrey tersenyum. "Ia baru saja pulang dari rumah Lady Margot."
Mata Fulvia membelalak lebar-lebar. "Benarkah itu, Davies?" tanyanya antusias.
Davies membuang mukanya. Fulvia menangkap rona merah di wajah Davies.
"Oh, Davies," kata Fulvia gembira, "Akhirnya kau mengalami kemajuan."
Audrey tersenyum geli melihat ulah sepasang kakak adik itu.
"Mengapa kalian tidak bergabung bersama kami?" undang Audrey. "Kalian tidak
mempunyai acara lagi, bukan?" "Tidak," jawab Irving singkat dan ia mengambil posisi di depan Audrey.
Fulvia duduk di sisi pria itu.
"Katakan," Audrey menatap mereka lekat-lekat, "Apa saja yang kalian lakukan hari
ini?" Fulvia terperanjat. "Tidak ada," ia cepat-cepat menjawab, "Tidak ada yang kami
lakukan." Pelayan muncul membawa peralatan makan untuk mereka.
Tiba-tiba Fulvia menyadari sebuah keganjilan. "Di mana Lewis?" tanyanya heran.
"Apakah ia tidak makan bersama kita?"
"Pelayan akan mengantar makan malam untuknya."
Seorang pelayan lagi mengantar hidangan malam itu.
"Audrey, apakah kau mempunyai anggur merah?" tanya Davies.
"Anggur" Untuk apa?" Audrey keheranan.
"Apakah kau tidak merasa kalkun bakar kurang lengkap tanpa anggur merah?"
Audrey melihat ayam kalkun di antara mereka yang baru saja diletakkan pelayan.
"Aku tidak mempunyainya," katanya kecewa.
"Aku akan pergi membelinya," sahut Fulvia dan berdiri.
Irving berdiri. "Aku akan mengantarmu."
Davies langsung berdiri sambil memelototi Irving.
"Terima kasih, Fulvia," Audrey cepat-cepat berkata, "Kau sangat membantu."
"Kami akan segera kembali."
Mereka berdua menghilang di balik pintu.
Davies geram. Andai saja bukan karena Audrey, ia pasti sudah mencegah mereka.
"Davies," Audrey menarik kemeja pria itu untuk mendapatkan perhatiannya.
"Mengapa kedua musuh bebuyutan itu membiarkan mereka berduaan?"
Davies menoleh. "Akhir-akhir ini aku sering melihat mereka berdua berjalan bersama-sama," lanjut
Audrey, "Dan itu membuatku heran." "Ini semua karena dua pria itu," Davies kesal, "Mereka mencari Irving untuk
mendapatkan jawaban."
Davies duduk dengan kesal.
"Jadi mereka berdua membiarkan Irving pergi bersama Fulvia untuk mendapatkan
jawaban," gumam Audrey lalu ia berkata serius, "Aku tidak tahu bagaimana pandangan Fulvia
tetapi, kulihat, Davies, Irving mulai tertarik pada Fulvia."
"Ya," Davies mendengus kesal, "Ia tertarik untuk menjadikan Fulvia satu di
antara koleksi perempuan-perempuannya."
"Bukan itu yang kumaksud," Audrey tidak sependapat, "Tidakkah kau dengar
gosipgosip itu" Semua
orang sibuk membicarakan mengapa Irving akhir-akhir ini lebih jinak. Ia sudah
hampir tidak pernah lagi terlihat bersama wanita mana pun. Juga tidak pernah terdengar kabar ia berganti
pasangan." Davies menatap tajam kakak sepupunya itu. "Ternyata kau masih punya waktu
mengurusi gosip-gosip itu," katanya curiga, "Kurasa kami tidak perlu mengkhawatirkan kau lagi."
Audrey tertawa. "Aku juga tidak akan tertarik kalau bukan karena aku melihat
Fulvia datang bersama Irving." "Mereka pernah datang ke sini?" Davies curiga.
"Beberapa kali."
"Apa yang mereka lakukan di sini!?" Davies melonjak bangkit. Emosinya kembali
meluap-luap, "Apa yang dilakukan pria itu pada Fulvia!?"
Audrey tersenyum penuh arti. "Kau sangat peduli pada Fulvia."
"Tentu saja! Dua pria tolol itu telah membiarkan Fulvia jatuh dalam perangkap
Irving dan akulah satusatunya orang yang bisa menyelamatkannya."
"Aku lebih melihatnya kau cemburu karena Fulvia lebih memilih Irving sekarang."
"Aku!?" "Ya," kata Audrey tenang - tidak terusik oleh emosi Davies yang kian memuncak
itu, "Apa yang dapat kukatakan tentang seorang kakak yang terus meluap-luap karena adiknya pergi


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersama pria lain?" "Dia itu berbahaya, Audrey! Dia pasti hanya ingin mempermainkan Fulvia!"
"Aku rasa tidak," Audrey membuat Davies heran dengan kata-katanya yang penuh
keyakinan itu, "Irving tidaklah seburuk yang kaukatakan itu. Ia juga mempunyai sisi baik."
"Apa sisi baiknya?"
"Ia telah membantuku menyadarkan Lewis. Luka memar di wajahnya itu adalah
pemberian Irving." Davies tercengang. "Beberapa hari lalu Fulvia datang tepat ketika Lewis sedang marah-marah.
Untunglah waktu itu Irving ada di sini. Ia menghentikan Lewis sebelum ia menyakiti Fulvia."
"Untung?" Davies mengejek.
"Aku tidak dapat membayangkan apa yang terjadi pada Lewis sekarang bila saat itu
ia berhasil menyakiti Fulvia. Aku tidak mengkhawatirkan Trevor maupun Richie. Yang lebih
kutakuti adalah," Audrey menatap Davies lekat-lekat. "Reaksimu. Kau memang tidak pernah mengerti
wanita, tetapi aku percaya kau akan melakukan apa saja untuk adikmu itu."
Davies terdiam. "Irving meninjunya dan memarahinya. Sejak itulah Lewis menjadi lebih tenang. Ia
terus mengurung diri di kamar sejak kemarin tetapi aku percaya ia sedang berpikir keras," Audrey
tersenyum. Senyuman itu membuat Davies terperangah. Sudah lama ia tidak melihat Audrey
tersenyum bahagia seperti ini. "Aku percaya Lewis akan kembali ke masa-masa sebelum semua ini terjadi."
Davies duduk kembali dan termenung.
8 "Adaseorang pria yang menanti Anda, Tuan Puteri," seorang pelayan memberitahu
Fulvia. "Ia mengatakan Anda mempunyai janji dengannya."
"Janji?" Fulvia heran, "Hari ini aku tidak mempunyai janji dengan siapa pun."
Hari ini adalah hari Minggu. Ia telah berjanji pada Trevor juga Richie untuk
menemani mereka hari ini. Apakah ini adalah salah satu dari permainan mereka"
"Ia menanti Anda di serambi," kata pelayan itu lagi.
Fulvia bergegas ke serambi. Ia memutuskan untuk melihat siapakah pria itu.
Seperti yang dikatakan pelayan padanya, seorang pria muda berdiri di serambi.
"M'lord"!" Fulvia terkejut, "Mengapa Anda di sini" Bukankah saya telah
mengatakan pada Anda bahwa hari ini Anda tidak perlu datang menjemput saya?"
Fulvia ingat jelas ia telah mengatakan pada Irving bahwa ia tidak perlu
kesanapada hari Minggu. Brent mengatakan ia tidak perlu datang di hari Minggu. Hari itu Brent dan
keluarganya akan pergi ke gereja demikian pula Fulvia.
"Aku tidak suka setiap hari membohongi keluargamu dan kupikir tidak ada salahnya
bila aku benarbenar menjemputmu untuk suatu alasan yang benar."
Fulvia tersenyum. Ia mengerti keinginan Irving.
"Tunggulah sebentar. Saya akan segera siap," Fulvia berlari ke dalam kamarnya.
Davies melihat adiknya berlari menuju kamarnya dengan riang.
"Kau mau ke mana?" cegat Davies.
"Irving menjemputku," jawab Fulvia tanpa berhenti, "Ia ingin mengajakku
berjalan-jalan." Mata Davies langsung mengawasi Irving yang menanti di depan Unsdrell melalui
jendela lorong. Tanpa berpikir panjang, Davies langsung menapaki tangga menuju serambi tempat
pria itu sekarang berada. "Apa yang sedang kaurencanakan?" Davies langsung bertanya sinis.
"Tidak ada," jawab Irving. Ia benar-benar tidak menikmati cara pria ini
memperlakukannya. Davies selalu mencurigainya seakan-akan ia adalah seorang penipu besar!
"Mau apa kau dengan Fulvia?"
"Aku hanya ingin mengajaknya ke sebuah tempat."
Sudut mata Davies langsung meruncing. "Kuperingatkan kau, jangan bermain-main
dengan Fulvia. Fulvia bukanlah wanita-wanita simpananmu itu."
"Aku tidak pernah berniat menjadikannya satu dari sekian koleksiku," Irving
menjawab tak kalah sinisnya, "Aku tidak tertarik pada gadis ingusan seperti dia."
"Mengapa kau terus berada di sekitarnya?"
"Itu adalah urusanku," jawab Irving dingin.
Davies tahu. Seharusnya sudah dari awal mula ia menghentikan kedua sepupu itu.
Seharusnya sudah dari awal ia mencegah Fulvia bertemu Irving.
"Maaf," Fulvia muncul dengan tergesa-gesa, "Apakah Anda lama menanti saya?"
Fulvia heran melihat kakaknya berada disana.
"Tidak, M'lady," Irving mengulurkan tangan mencium punggung tangan Fulvia.
Matanya melirik Davies dengan sinar matanya yang setajam pisau, "Saya sungguh merasa terhormat
Anda bersedia berdandan dengan cantik untuk saya."
Fulvia tersipu. Davies tidak suka cara pria itu memuji Fulvia tapi demi kebaikan Fulvia, ia tahu
ia harus dapat menahan diri. "Selamat bersenang-senang," Davies memeluk Fulvia dan mencium pipinya lalu ia
melirik tajam Irving, "Berhati-hatilah."
Fulvia tersenyum. "Tentu, Davies."
"Kuserahkan Fulvia padamu," Davies mendekati Irving lalu dengan nadanya yang
mengancam, ia berbisik, "Kalau sesuatu terjadi pada Fulvia, akulah yang pertama akan mencari
perhitungan denganmu."
Irving tersenyum sinis. "Terima kasih."
Fulvia keheranan melihat sikap aneh kedua pria itu.
"Mari kita pergi, M'lady," Irving mengulurkan tangannya.
Fulvia menyambut uluran tangan itu.
Irving langsung mengapit tangan Fulvia di sikunya. Sekali lagi ia menatap sinis
Davies sebelum membawa Fulvia ke kereta yang telah menanti mereka.
Davies ingin sekali melempar sesuatu ke pria sinis itu.
Fulvia mengeluarkan kepalanya di jendela kereta. "Davies, tolong katakan pada
Papa Mama aku akan kembali sebelum makan malam."
"Tentu," Davies melambaikan tangan, "Selamat bersenang-senang."
Davies geram. Ia benar-benar ingin sekali menghantam muka sombong Irving. Ia
ingin sekali mencekik pria itu. "Apa yang terjadi?"
Davies terperanjat. "Apakah kau mempunyai tamu yang tak menyenangkan?" Trevor melihat kereta yang
telah melewati gerbang Greenwalls. "Tidak," Davies berbohong lalu ia bertanya, "Apa yang membuatmu datang sepagi
ini?" "Kau tahu jawabannya, Davies. Aku tidak dapat membiarkan Richie mendahuluiku,"
Trevor tersenyum penuh kemenangan. Ia merangkul Davies dan berjalan bersamanya ke dalam, "Apakah
Fulvia ada di kamarnya?" Davies tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. Ia tidak ingin
mengingkari janjinya kepada Fulvia. Ia juga tidak ingin memberitahu mereka kepergian Fulvia bersama
Irving seminggu terakhir ini. Di sisi lain, ia juga tidak mempunyai alasan lain.
"Ia baru saja pergi."
"APA!?" Mereka terperanjat. Richie muncul di pintu masuk dengan wajah geramnya. Pria yang baru datang itu
langsung mendekat dan mencengkeram kemeja Davies dengan kesal, "Dan kau membiarkannya pergi!?"
Davies menepiskan tangan Richie. "Ia pergi bersama pria pilihan kalian," Davies
berkata tidak kalah kesal. Davies sudah tidak dalam suasana hati gembira semenjak mendengar kedatangan
Irving dan kedua pria ini semakin memperburuk suasana hatinya dengan menuduhnya.
"Pria pilihan kami?" keduanya bertanya bersamaan.
Davies membuang mukanya. Ia tidak mau berurusan dengan mereka lagi. Mereka telah
merusak suasana hatinya pagi ini.
"Siapa?" keduanya mencegat Davies.
"Jangan ganggu aku!" Davies marah.
Kedua pria itu terkejut. "Aku tidak mau campur tangan urusan kalian lagi," Davies pergi meninggalkan
kedua pria itu dalam keheranan. Davies benar-benar kesal. Ia ingin sekali melepaskan diri dari semua ini dan ia
tahu ke mana ia bisa mendapatkan kembali kebahagiannya.
Davies pun bersiap untuk menemui kekasihnya, Margot.
-----0----"Anda mencampakkan seorang lagi?" Fulvia bertanya.
Irving tidak mengerti. Fulvia menunjuk sekuntum mawar merah di sudut kereta. Fulvia memang tidak banyak
tahu tentang Irving tetapi ia banyak mendengar cerita tentang pria itu dan mawar-mawar
merahnya. "Saya rasa sudah saatnya Anda berhenti mempermainkan perasaan Anda sendiri."
Irving tidak suka. Apakah gadis ini akan menceramahinya tentang filsafat
cintanya seperti ayahnya" Gadis ingusan ini tidak pantas menceramahinya. Gadis ini tidak mengerti apa-apa
tentang cinta. "Mungkin saya tidak pantas mengatakan ini," Fulvia tersipu-sipu, "Saya juga
seperti Anda," Fulvia membuat Irving tidak mengerti, "Tidak. Mungkin saya lebih buruk dari Anda."
"Apa yang kaukatakan?"
"Anda tahu, M'lord," mata Fulvia menerawang ke luar jendela kereta, "Kedua kakak
sepupu saya itu, Trevor dan Richie. Mereka menyukai saya dan mereka selalu bertengkar karenanya.
Saya tidak mengerti mengapa mereka memperkenalkan Anda pada saya. Saya menduga ini berhubungan
dengan pertengkaran mereka." Irving terperanjat. Gadis ini tahu!
"Mereka pikir saya tidak tahu tetapi saya mengetahuinya. Saya mengetahuinya
semenjak kecil dan saya membiarkannya," mata Fulvia kembali menatap pria itu, "Apakah Anda tidak
berpendapat saya sangat kejam?" Irving tidak menjawab. "Keduanya adalah kakak bagi saya. Saya tahu saya tidak akan pernah mencintai
mereka melebihi Davies. Saya tahu saya tidak memilih seorang pun di antara mereka tetapi saya
tidak sanggup mengatakannya pada mereka."
Irving tidak tahu bagaimana menghadapi pengakuan ini.
"Ke mana kita akan pergi, M'lord?" Fulvia bertanya manis.
"Apakah engkau ingin pergi ke sebuah tempat?"
"Saya ingin sekali ke pantai," Fulvia berkata penuh semangat, "Semua orang
mengatakan musim panas adalah waktu yang tepat untuk bermain ke pantai."
"Aku sependapat," Irving menatap Fulvia lekat-lekat, "Sayangnya aku tidak dapat
membawamu kesanakali ini." Fulvia kecewa mendengarnya.
"Tidak ada pantai terdekat yang bisa dicapai dalam satu hari perjalanan pulang
pergi," Irving menjelaskan, "Dan aku yakin Davies akan membunuhku bila aku membawamu pergi
lebih dari sore hari."
Fulvia tertawa geli mengingat sinar mata tajam kakaknya ketika Irving membawanya
ke dalam kereta yang telah menanti mereka.
"Ya," katanya menahan tawa, "Bahkan saya hampir yakin Davies akan membunuh
Anda pagi ini bila saya tidak segera keluar."
"Sebagai penggantinya," Irving berkata, "Ijinkanlah aku membawamu ke sebuah
tempat indah kesukaanku." Fulvia terperangah. "Benarkah?"
"Apakah aku pernah berbohong padamu?"
-----0----Margot tertawa terbahak-bahak.
"Kau menertawakanku," kata Davies kesal.
"Kau kalah dari Irving, Davies," Margot tidak dapat menahan tawanya, "Kau
cemburu pada Irving." "Irving berbahaya!" Davies marah, "Ia hanya tahu menyakiti Fulvia!"
Kegembiraan Margot menghilang melihat kemarahan Davies yang meluap-luap itu.
"Aku iri pada Fulvia," gumam Margot murung.
Davies terkejut. "Fulvia mempunyai Trevor dan Richie yang selalu memperebutkannya. Ia juga


Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai seorang kakak sangat memperhatikannya," Margot bertopang dagu dan pandangannya
menerawang, "Sedangkan
aku hanya mempunyai seorang pria yang tidak mengenal romantis. Ia tidak pernah
mengajakku pergi. Ia juga tidak pernah datang menemuiku. Sekarang ia datang tetapi ia membawa
masalahnya bukan bunga yang
indah ataupun hadiah."
Davies terperanjat. "Aku tidak bermaksud seperti itu," Davies duduk di sisi
Margot, "Aku... aku..."
Margot meletakkan jari-jari lentiknya di bibir Davies. "Aku tahu," Margot
tersenyum lembut, "Karena itulah aku mencintaimu."
Davies terpesona. "Kau tidak pernah tahu bagaimana merayu wanita. Kau juga tidak tahu apa itu
romantis," Margot merangkulkan tangannya di leher Davies, "Tetapi kau rela melakukan apa saja demi
orang yang kaucintai." Davies memeluk Margot dan mencium bibir wanita itu. "Aku akan melakukan
segalanya untuk membahagiakanmu," bisiknya mesra.
"Kurasa, Davies," Margot menyandarkan kepala di dada Davies, "Kau harus mulai
melepaskan Fulvia." "Melepaskan Fulvia!?"
"Tidakkah kau dengar sebuah kabar burung, Davies?" Margot menatap Davies
lekatlekat, "Irving telah mematahkan kian banyak hati para wanita."
"Itu bukan berita baru," kata Davies mencemooh.
"Tetapi Irving tidak pernah mengirimkan mawar-mawar merahnya lagi," Margot
menambahkan dengan serius - membuat Davies keheranan, "Irving tidak pernah lagi terlihat bersama
wanita mana pun. Semua mengatakan ia telah menjadi lebih jinak. Aku tidak pernah mengetahui apa yang
membuat Irving berubah tetapi dari ceritamu itu aku mulai mengerti. Irving tertarik pada Fulvia."
Davies kehabisan kata-katanya. Audrey pernah mengatakan hal yang sama padanya
dan sekarang Margot menegaskannya kembali dengan serius.
"Fulvia adalah gadis baik," Margot tersenyum, "Ia adalah gadis yang penuh
perhatian. Aku tidak akan terkejut bila ia berhasil menundukkan Irving."
Davies teringat wajah gembira Fulvia ketika Irving menjemputnya pagi ini. Davies
tidak pernah melihat wajah adiknya yang dipenuhi kebahagiaan seperti yang dilihatnya pagi
ini. Tidak sekalipun Trevor ataupun Richie mengajaknya pergi.
Davies tersenyum. "Ya," Davies merangkul pundak Margot, "Fulvia adalah gadis yang manis."
"Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan musuh bebuyutan itu bila mereka
mengetahuinya," Margot
menyandarkan kepala di pundak Davies.
"Siapa tahu," gumam Davies, "Mereka sendirilah yang mencari masalah."
-----0----Fulvia terpesona.
Di depannya, Fulvia dapat melihat daratan yang membentang luas ke seluruh
penjuru. Kumpulan pemukiman penduduk tampak berkumpul di satu tempat dikelilingi hijaunya
pepohonan. Di kejauhan tampak gunung-gunung tinggi membentengikotayang nampak kecil dari tempat tinggi
ini. Dan lebih jauh lagi, Fulvia dapat melihat sebuah garis panjang yang membentang dari timur ke
barat. Garis itu membatasi laut dan langit biru. Fulvia membentangkan tangan lebar-lebar. Ia menyukai angin sejuk yang berhembus
di tebing tinggi ini. Fulvia merasa ia tengah berada di puncak dunia. Dari tempatnya yang sangat
tinggi, Fulvia dapat melihat semuanya tampak kecil dan indah.
"Ini benar-benar luar biasa," Fulvia memuji. "Tempat ini pastilah sangat
tinggi." "Jangan melihat ke bawah," Irving memperingatkan namun sayang ia terlambat
beberapa detik. Fulvia memandang daratan tepat di bawahnya dan ia merasa kepalanya pusing.
Fulvia merasa tubuhnya seolah-olah tertarik ke bawah dan ia tengah jatuh bebas.
Irving memegang lengan Fulvia. "Sudah kuperingatkan," katanya menuduh Fulvia.
"Terima kasih," Fulvia memeluk lengan Irving. "Saya hanya ingin tahu seberapa
tingginya tempat ini."
"Apakah perjalanan kita kurang memberi jawaban padamu?"
Fulvia tersenyum mendengar nada tidak senang itu.
Irving benar. Mereka tidak dengan mudah mencapai tempat tinggi ini. Kereta yang
mereka tumpangi juga tidak dapat mencapai tempat ini.
Kereta keluarga Engelschalf hanya mengantar mereka hingga ke desa di kaki bukit
ini. Selanjutnya, Irving menyewa seekor kuda.
Irving menegaskan perjalanan mereka tidak akan mudah. Irving mendudukkan Fulvia
di belakangnya dan meminta Fulvia untuk memeluknya erat-erat.
Duduk di belakang punggung lebar itu, Fulvia tidak dapat melihat seberapa
sulitnyamedanyang mereka lalui tetapi dari cara Irving mengendalikan kuda, Fulvia tahu perjalanan ke
tempat tinggi ini tidak mudah bahkan berbahaya. Fulvia tidak takut. Ia percaya pada Irving.
Irving adalah pria yang suka mempermainkan wanita tetapi Fulvia tahu Irving
tidak pernah bermain dengan wanita yang telah berkeluarga atau pun gadis kecil seperti dirinya. Ia
hanya bermain dengan wanita-wanita cantik yang dewasa.
Fulvia tidak khawatir Irving sedang mempermainkannya. Ia mempercayai pria itu
dan pria itu telah menjaganya dengan baik hingga saat ini. Irving juga tidak segan menunjukkan
perhatiannya. Fulvia mengangkat kepalanya. "Saya rasa saya mulai tertarik pada Anda," ujarnya
sambil tersenyum. "Kupikir kau tidak pernah tertarik padaku."
"Itu adalah dulu sebelum saya mengenal Anda," Fulvia tersenyum, "Setelah saya
mengenal Anda, saya merasa Anda tidaklah seburuk yang saya anggap. Anda juga memiliki sisi baik."
Fulvia menatap Irving lekat-lekat, "Kecuali kegemaran Anda melompat dari satu
wanita ke wanita yang lain itu." Lalu gadis itu tersenyum penuh arti, "Andai saja Anda adalah
seorang pria yang setia, saya pasti telah tergila-gila pada Anda."
Irving terperangah. Fulvia melepaskan tangannya dari lengan Irving dan berjalan membelakangi pria
itu. "Sayang sekali," Fulvia memperhatikan tanah lapang di depannya, "Kita tidak
membawa bekal piknik." Fulvia membersihkan tanah terjal itu dari debu dan duduk di atasnya.
"Tentu akan sangat menyenangkan sekali bermalam di sini," Fulvia menengadahkan kepalanya, "Saya
membayangkan bagaimana rasanya tidur di bawah bintang-bintang."
"Ya," Irving duduk di sisi Fulvia, "Dan Davies mungkin akan mencekikku."
Fulvia tertawa. "Saya yakin Davies akan melakukannya. Dan Mama akan menanti kita
di pintu dengan ceramahnya sepanjang hari. Kemudian Papa akan menyiapkan sebuah ruangan untuk
mengurungku selama sebulan mendatang." "Keluargamu sangat memperhatikanmu," komentar Irving dan ia berbaring di tanah
terjal itu. Kedua tangannya terlipat di belakang kepalanya dan kakiya menjulur panjang.
"Mereka sering membuat saya merasa tidak bebas," Fulvia mengeluh, "Terlebih lagi
Trevor dan Richie." Irving menutup matanya dan menajamkan pendengarannya.
"Mereka terlalu memperhatikan saya dan itu membuat saya merasa sangat tidak
nyaman. Mereka selalu bersikeras untuk mengawal saya ke mana pun saya pergi. Saya benar-benar
harus berusaha keras untuk melepaskan diri dari mereka. Biasanya saya meminta Davies membantu saya
tetapi itu sudah tidak mungkin lagi. Sekarang Davies mempunyai Margot."
Fulvia menarik kakinya merapat dan ia merebahkan kepala di atas lututnya.
"Mungkin saya harus segera mencari cara lain."
Irving tidak menanggapi. Ia juga tidak dapat membantu Fulvia. Ini adalah masalah
mereka dan ia tidak mau campur tangan. Kedua pria itu pernah meminta bantuannya tetapi sampai
sekarang ia belum memberikan jawabannya. Malam itu, setelah ia mengantarkan kepulangan Fulvia, kedua sepupu itu
mendekatinya. "Bagaimana?" tanya Richie penuh ingin tahu.
"Aku tidak tahu," jawab Irving singkat, "Ia tidak mengatakan apa-apa."
"Bukankah mereka mengatakan kau tahu apa yang dipikirkan wanita hanya dengan
melihatnya saja?" Richie mendesak. "Aku bukan seorang peramal," sahut Irving tidak senang.
"Apa saja yang kalian bicarakan?" Trevor yang sifatnya lebih tenang dari Richie
bertanya. "Tidak ada," kata Irving, "Ia hanya berterima kasih padaku dan ia memutuskan
untuk pulang." "Fulvia pulang!?" kedua pria itu terkejut.
Irving tidak ingin melibatkan diri terlalu lama lagi dengan kedua pria yang
sedang dimabuk cinta dan cemburu itu. Ia pun pergi meninggalkan mereka.
Baik Trevor maupun Richie tidak pernah mencarinya lagi semenjak hari itu. Irving
sendiri sudah yakin ia telah melepaskan diri dari masalah mereka ketika ia kemudian bertemu Fulvia
dan gadis itu menariknya ke dalam sebuah rencana yang sama sekali tidak diduganya.
Irving benar-benar tidak dapat memahami Fulvia.
Sepintas gadis dengan wajah kekanak-kanakannya ini tampak seperti sebuah buku
terbuka tetapi... Ya, ia mungkin adalah sebuah buku yang terbuka lebar tetapi tulisan dalam buku itu
sangat sulit dimengerti. Irving mendesah. Entah mengapa ia merasa ia telah melibatkan diri dalam sebuah
masalah yang sangat besar dan ia tidak akan dapat melepaskan diri dengan mudah.
"Adaapa?" Fulvia bertanya cemas.
Irving bingung. "Saya mendengar Anda mendesah," Fulvia memperhatikan wajah Irving, "Apakah Anda
mempunyai masalah?" "Aku akan mempunyai masalah besar," tangan Irving terulur mengambil topi di sisi
Fulvia yang lain, "Bila kau terserang sinar matahari," ia meletakkan topi itu di kepala Fulvia.
Fulvia tersenyum. "Udara di sini sangat sejuk dan itu membuat saya melupakan
sinar matahari yang terik." "Rasanya masalah tidak pernah lepas dariku selama kau berada di sekitarku."
Fulvia tertawa mendengar keluhan itu. "Anda mencemaskan Davies?" ia tidak dapat
menahan rasa gelinya, "Atau Trevor dan Richie?"
"Ketiganya," jawab Irving singkat dan ia kembali memejamkan mata.
"Jangan khawatir. Saya tidak akan membiarkan mereka melakukan sesuatu terhadap
Anda," Fulvia membesarkan hati Irving. Sebaliknya, Irving merasa gadis ini akan memperburuk masalah.
Fulvia melayangkan pandangannya pada langit biru dan pada daratan yang
terbentang luas di bawah tebing curam itu. Fulvia menikmati perjalanan ini. Ia menyukai pemandangan indah ini.
Sementara mereka saling berdiam diri menikmati waktu masing-masing, sang mentari
terus menapaki jalur panjangnya di langit biru. Sinarnya yang terik kian memudar seiring
merendahnya posisinya. Fulvia tidak tahu berapa lama mereka berada disana. Ia hanya tahu ia menikmati
waktunya di tempat ini. "Sudah saatnya kita pulang" Irving tiba-tiba berdiri.
Fulvia terkejut. "Aku tidak yakin kita dapat mengejar waktu kalau kita tidak bergegas pulang," ia
mengulurkan tangan

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada Fulvia. Fulvia melihat mentari yang mulai condong di barat dan langit yang kemerahan.
Fulvia menerima uluran tangan Irving. Irving membawanya ke kuda yang sedang sibuk merumput di belakang mereka. Begitu
mereka tiba di sisi kuda itu, Irving menggendong Fulvia dan mendudukkannya di belakang pelana
kemudian ia duduk di depan Fulvia. "Berpeganglah yang erat," kata Irving sesaat sebelum menjalankan kudanya.
Tanpa perlu diperintahpun, Fulvia tahu ia harus mengencangkan pelukannya di
punggung pria itu. Seperti keberangkatan mereka, Fulvia tidak merasa takut sedikitpun oleh cepatnya
laju kuda itu menapaki jalanan yang curam dan sempit di punggung bukit itu.
Namun, tidak seperti kepergiannya, mereka tengah berpacu dengan waktu. Fulvia
menyadari Irving menjalankan kuda lebih cepat dari keberangkatan mereka.
Dalam waktu singkat mereka tiba di desa di kaki bukit.
Irving bergegas mengembalikan kuda dan memerintahkan kusir kuda untuk mengantar
mereka ke Unsdrell. "Sepertinya kita tidak dapat mengejar waktu."
"Ya," Fulvia melihat langit yang telah gelap, "Saya yakin Davies telah berdiri
di pintu sambil memasang mukanya yang menakutkan itu."
"Aku tak meragukannya," kata Irving tepat ketika kereta berhenti.
Fulvia begitu yakin Davies telah menanti mereka. Karena itu ia merasa sangat
heran ketika ia tidak melihat Davies di pintu. Ia juga tidak melihat bayangan kakaknya itu.
Irving juga keheranan. Sesaat lalu ia yakin Davies pasti telah menantinya di
depan pintu dengan senjata tajamnya dan sekarang ia tidak dapat menemukan pria itu.
"Sebaiknya saya segera masuk sebelum Davies keluar," kata Fulvia lalu ia
beranjak dari sisi pria itu. "Fulvia!" Irving menarik tangan Fulvia.
"Ya?" Fulvia membalikkan badannya.
Irving menarik Fulvia ke dalam pelukannya.
Fulvia terkejut. Ia melihat tatapan lembut di mata biru tua itu dan wajahnya
memerah. Irving mendekatkan wajahnya.
Jantung Fulvia berdebar kencang. Jari jemari Fulvia saling bertautan di depan
dadanya dan matanya menutup rapat. "Selamat malam," Irving mencium dahi gadis itu.
Fulvia terbelalak. Sedetik lalu ia sangat yakin Irving akan mencium bibirnya.
"Kau tidak keberatan aku memberimu ciuman selamat malam, bukan?" kata Irving.
Fulvia masih terpaku di tempatnya ketika pria itu melambaikan tangan padanya dan
menaiki kereta kudanya. Kereta bergerak perlahan meninggalkan Fulvia dan ia semakin menambah
kecepatannya ketika ia semakin mendekati Unsdrell.
Fulvia menatap kereta yang semakin menjauh itu dan ia memegang dahinya tepat di
tempat Irving menciumnya. Wajah Fulvia kembali memerah.
"Ia sudah pulang?"
Fulvia terperanjat. "M... Mama?"
Countess Kylie berdiri di pintu sambil tersenyum.
"M...mama kau...," rona merah di wajah Fulvia semakin jelas.
"Mengapa kau tidak segera kembali ke kamarmu?" Countess masih tersenyum, "Kau
sudah lelah bukan?" Fulvia tersipu-sipu melihat senyum penuh arti ibunya itu.
Countess mendekati putrinya. "Aku akan menyuruh pelayan segera mempersiapkan
makan malam untukmu. Aku yakin peringatan Davies telah membuat kalian terburu-buru dan
melupakan makan malam kalian." Rona merah di wajah Fulvia kian menjadi-jadi.
"Ia pria yang baik."
"Ya," Fulvia sependapat, "Ia sangat baik."
"Kurasa malam ini aku akan mendengar cerita yang menarik," Countess Kylie
meletakkan tangan di punggung Fulvia dan mendorongnya dengan lembut ke dalam Unsdrell.
Senyum di wajah Countess Kylie semakin lebar melihat putrinya yang masih
tersipusipu itu. 9 Waktu terasa berjalan sangat lambat ketika Fulvia menantikan hari yang
dijanjikannya dengan Brent. Tetapi ia terasa berlalu dengan cepat ketika Fulvia menyadari hari itu sudah ada
di depan matanya. Hal ini membuat Fulvia sangat gembira. Hari yang dinanti-nantikannya akan tiba.
Bukan hanya Fulvia yang menyadari hal itu. Jehona yang selama ini sangat
mendukung rencananya, hari ini berkata, "Sungguh tak terasa. Sudah hampir satu bulan kau berada di sini. Tak lama lagi
kau akan meninggalkan kami." Fulvia tersenyum tetapi itu masih tidak cukup untuk menutupi kesedihannya
mendengar nada-nada sedih dalam suara wanita itu.
Fulvia sadar setelah ia mendapatkan apa yang diinginkannya, ia tidak akan bisa
setiap hari datang ke tempat itu. Ia juga tidak akan bisa sesering ini pergi kesana.
Di satu sisi ia sudah tidak mempunyai alasan lagi dan di sisi lain ia tidak akan
bisa menemukan seseorang yang mau menemaninya datang ke tempat ini tanpa mempertanyakan
hubungan mereka. Irving bukanlah orang yang dapat diandalkan Fulvia. Fulvia yakinIrving tidak
akan keberatan mengantarnya. Ia juga tidak perlu kebingungan menjelaskan perkenalannya dengan
mereka karena Irving telah mengetahuinya. Audrey juga bukan orang yang bisa dipilih Fulvia. Sekarang Lewis terus mengurung
diri di kamar dan itu membuat Audrey lebih tenang. Sekarang Audrey mempunyai banyak waktu untuk
melakukan banyak hal selain sepanjang hari bersedih memikirkan kondisi suaminya.
Setiap hari Audrey selalu disibukkan urusan memulihkan kondisi Greenwalls dan
merawat Lewis. Kondisi keuangan mereka memang tidak memungkinkan untuk memulihkan keadaan
Greenwalls sepenuhnya tetapi Audrey telah berusaha untuk merapikan kembali rumah yang
pernah terkenal oleh hijaunya tanaman yang memagarinya itu.
Fulvia juga dapat melihat perubahan perlahan di pekarangan Greenwalls dalam
kunjungannya akhirakhir ini. Irving juga pernah berkomentar 'Tampaknya mereka sudah mulai melakukan sesuatu
dengan tempat ini' ketika mereka melihat beberapa pelayan yang tersisa dalam keluarga kecil
itu sedang sibuk merapikan semak-semak. Dari keluarganya, Fulvia juga mendengar Countess Horace sering pergi ke
Greenwalls di siang hari untuk membantu Audrey. Trevor secara diam-diam mulai menghitung total biaya yang
diperlukan untuk memulihkan kondisi Greenwalls.
Fulvia menyukai keadaan ini. Setiap hari ia selalu menyempatkan diri berkunjung
ke Greenwalls sepulang dari tempat kerjanya untuk melihat apakah ada sesuatu yang bisa
dilakukannya. Tentu saja tidak ada yang dapat dilakukan Fulvia karena Audrey juga tidak akan
pernah merepotkan orang lain terlebih keluarganya sendiri.
Setelah berhari-hari tidak pergi memastikan keberadaan barang yang diincarnya,
Fulvia memutuskan untuk pergi melihatnya sore ini.
Sehari tidak pergi ke Greenwalls tidak akan membuat Audrey heran. Sebaliknya,
Audrey akan merasa senang karena inilah keinginan wanita itu sendiri. Tetapi hal ini membuat Irving
heran. "Adasesuatu yang ingin saya pastikan," kata Fulvia memberi alasannya.
"Ke mana?" tanya Irving.
"Ke sebuah toko di dekat tempat ini."
"Toko apa?" Fulvia terkejut. Tiba-tiba saja ia menyadarinya. Selama ini ia hanya
memperhatikan kotak musik itu dan tidak pernah mengingat apa nama toko itu.
"Saya tidak pernah memperhatikan nama toko itu," katanya menyesal kemudian ia
segera menambahkan, "Tetapi saya tahu di mana lokasinya. Kita bisa melewatinya dalam
perjalanan menuju kereta Anda." "Bukan masalah bagiku," kata Irving singkat tanpa menghentikan langkah kakinya.
Kini setelah mengetahui rahasia Fulvia, Irving selalu menjemput gadis itu di
toko itu. Karena permintaan Fulvia yang ingin menyembunyikan identitasnya, kereta keluarga
Engelschalf tetaplah berhenti
di tempat biasa. Irvinglah yang mengantar dan menjemput gadis itu ke tempat
kerjanya. Berjalan berdampingan seperti ini kadang membuat Fulvia merasa mereka seperti
sepasang kekasih andai mereka berjalan sambil bergandengan tangan. Tetapi tentu saja itu tidak
akan pernah terjadi karena mereka hanyalah teman biasa.
Langkah kaki Fulvia terhenti.
Irving heran. Mata Fulvia bersinar-sinar melihat kotak musik di balik kaca itu. Ia begitu lega
dan gembira mendengar musik yang merdu itu masih mengalun di tempat yang sama.
Irving mengikuti pandangan Fulvia.
"Cantik bukan?" Fulvia berkata, "Aku suka menatap mereka berdansa dengan anggun
diiringi musik yang merdu itu. Lihatlah pemuda itu ketika ia menatap gadis itu. Ia tampak
begitu mengagumi gadis itu dan gadis itu tampak begitu bahagia."
Irving diam melihat sepasang muda-mudi yang berdiri kaku di atas lantai dansa
mereka yang kecil. Ia tidak melihat sesuatu pun yang menarik dari benda kaku itu.
"Aku ingin musik mereka menghiasi Unsdrell," mata Fulvia bersinar-sinar ketika
menatap Irving. Irving membuang muka. "Kita tidak ada waktu berlama-lama di sini," katanya
berlalu, "Kau tidak ingin orang tuamu curiga, bukan?"
Fulvia menatap sepasang boneka kayu itu. "Sedikit lagi," ia berbisik seolah
ingin memberitahu mereka, "Aku akan membawa kalian pulang."
Fulvia pun meninggalkan tempat itu dan mengikuti Irving dengan riang.
Mata Irving melirik sinis Fulvia yang berjalan dengan riang di sisinya. Ia
salah. Fulvia tidak berbeda dari wanita-wanita itu. Fulvia hanyalah mempunyai cara yang unik untuk
mendapatkan keinginannya. "Hari ini saya ingin sekali segera pulang," kata Fulvia ketika sampai di sisi
Irving, "Saya sudah tidak sabar menanti esok."
Irving mengacuhkan nada gembira dalam suara itu. Tentu saja Fulvia akan sangat
menantikan hari esok. Rencananya telah berjalan dengan sempurna.
Apa yang dipikirkan Irving tidaklah salah. Fulvia begitu bersemangat menanti
datangnya hari esok. Kegembiraanya itu tergambar jelas di wajahnya.
"Apa yang membuatmu gembira seperti ini?" tanya Countess dalam makan malam.
"Aku terus melihatmu tersenyum gembira sejak kedatanganmu," Count Clarck
sependapat, "Apakah terjadi sesuatu yang baik selama kepergian kalian hari ini?"
"Apakah ada perkembangan yang baik di antara kalian?" Countess berkata dengan
penuh ingin tahu. Fulvia terperanjat. "Tidak ada. Tidak ada apa-apa di antara kami," Fulvia
mewaspadai keingintahuan ibunya itu. Semenjak secara tidak sengaja Countess melihat Irving menciumnya, Countess
tertarik

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengetahui hubungan di antara mereka. Fulvia telah berulang kali menjelaskan
bahwa mereka hanyalah teman. Tetapi sepertinya Countess tidak pernah mempercayai itu. Tidak setelah
setiap hari mereka pergi berdua selama dua minggu terakhir ini.
"Tadi aku hanya melihat sesuatu yang menarik," Fulvia melanjutkan dengan penuh
semangat, "Aku sangat menyukainya."
"Apakah itu?" tanya Countess tertarik.
Jika Countess tertarik untuk mengetahui lebih banyak mengenai benda itu, Count
Clarck was-was. "Kau tidak meminta Irving membelikannya untukmu, bukan?" tanyanya waspada.
"Tentu tidak," sahut Fulvia, "Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu."
Fulvia tidak pernah melakukan hal itu bukan karena Count Clarck tidak
menyukainya tetapi lebih karena ia sendiri. Fulvia tidak suka meminta seseorang memberinya apa yang
diinginkannya secara cumacuma.
Fulvia juga tidak suka menerima sesuatu di hari-hari biasa.
Trevor dan Richie akan rela melakukan apa saja untuk menyenangkan Fulvia
termasuk membelikan semua barang yang diinginkan Fulvia. Mereka juga siap merebut hati Fulvia dengan
setumpuk hadiah. Mereka bisa melakukan itu semua tetapi mereka tidak pernah melakukannya. Di satu
sisi Fulvia tidak akan pernah menerimanya dan di sisi lain mereka tahu Fulvia tidak menyukai pemberian
cuma-cuma. Karena itulah mereka selalu memanfaatkan hari ulang tahun gadis itu dengan baik dan
juga hariNatal. Mereka hanya dapat berlomba untuk memberikan hadiah yang terbaik bagi Fulvia di dua
hari itu dalam setahun karena hanya pada hari itu saja Fulvia mau menerima pemberian secara cuma-cuma.
Ketika kedua sepupu itu mengetahui dengan baik apa yang disukai Fulvia dan apa
yang tidak disukai Fulvia, Irving masih belum dapat mengerti gadis itu. Dalam matanya Fulvia tidak
jauh berbeda dengan semua wanita yang dikenalinya, wanita yang hanya memanfaatkan kecantikan mereka
untuk kepuasan mereka sendiri. Setelah mengantar pulang Fulvia, ia kembali ke toko tempat Fulvia
menunjukkankotak musik itu padanya. Ia membeli kotak musik itu dan meminta mereka untuk mengirimkannya ke
Unsdrell besok. Irving tidak pernah menyukai wanita-wanita seperti itu, tetapi ia selalu
membelikan apa yang mereka inginkan. Dan bila ia telah jenuh dengan wanita itu, ia akan mengirimkan bunga
mawar beserta pemberiannya itu. Namun bila wanita itu masih menarik hatinya, ia hanya akan mengirimkan hadiah
yang dipilih sendiri oleh wanita tersebut. Tentu saja ia tetap akan mengirimkan mawar merahnya pada
wanita itu. Hanya saja saat itu belum waktunya. Mawar merahnya akan terkirim ke tempat wanita itu bila
ia telah jenuh dengannya, bila ia telah menemukan wanita baru yang menarik hatinya.
Untuk kali ini, Irving tidak mengirimkan mawar merahnya. Ia masih ingin tahu
lebih banyak tentang Fulvia. Irving masih ingin mengerti isi buku terbuka dengan bahasanya yang sulit
dimengerti ini. Dan mawar merahnya... Irving ragu apakah ia bisa mengirimkan mawar merahnya pada gadis itu. Mereka
tidak mempunyai hubungan seperti yang biasa ia miliki bersama wanita-wanita lain.
Mereka hanya teman, kata Fulvia.
Tepatnya Fulvia memanfaatkannya dengan caranya yang unik, menurut Irving.
Besok pagi ketika Irving menjemputnya, Fulvia tentu belum menerima pemberiannya
itu. Fulvia baru akan melihatnya sepulangnya darikota. Dan Irving ingin tahu apa yang akan
dilakukan gadis itu esok lusa. Irving ingin tahu bagaimana reaksi gadis yang sulit dimengerti itu. Tetapi ia
bisa meyakinkan Fulvia pasti akan sangat gembira seperti wanita-wanita itu. Karena itulah ia tidak
terlalu terkejut ketika keesokan sorenya Fulvia berkata dengan gembira,
"Terima kasih, M'lord. Terima kasih atas segala bantuan Anda selama ini."
Irving tersenyum puas pada dirinya sendiri. Ia puas bukan karena keberhasilannya
membuat Fulvia gembira tetapi terlebih pada tebakannya yang tepat.
"Besok Anda tidak perlu lagi mengantar jemput saya. Saya telah mendapatkan apa
yang saya inginkan." Tentu saja Fulvia tidak perlu lagi menjalankan rencana anehnya yang melelahkan
ini. Ia sudah mendapatkan apa yang telah diinginkannya. Dan ia pasti telah mengetahuinya
bahkan sebelum ia melihat sendiri benda itu. Irving mengakui kecerdikan Fulvia dan kepercayaan dirinya
yang jauh lebih besar dari Clementine itu. Ketika Irving merasa sangat puas dengan tebakannya itu, Fulvia merasa sangat
puas dengan keberhasilannya. Sesaat yang lalu sebelum ia meninggalkan tempat kerjanya selama sebulan ini,
Brent memberikan uang seperti yang mereka sepakati sebelumnya.
"Ini adalah kesepakatan di antara kita," kata Brent sambil memberikan kantung
uang kepada Fulvia, "Tidak lebih dan tidak kurang."
"Terima kasih," Fulvia menerimanya dengan gembira, "Terima kasih atas bantuan
kalian selama ini. Terima kasih atas bantuan kalian mewujudkan keinginan saya."
"Tidak perlu sungkan," kata Jehona, "Kami juga patut berterima kasih padamu.
Engkau banyak membantu kami selama sebulan ini."
"Saya senang dapat membantu," Fulvia tersenyum lalu ia menatap Tim yang berdiri
di sisi Jehona, "Saya akan mengkhawatirkan kalian setelah ini."
"Kau tidak perlu mengkhawatirkan kami," Brent berkata dengan penuh keyakinan,
"Tim telah menjadi seorang anak yang patuh setelah kau mengajarinya. Aku yakin ia tidak akan
terlalu merepotkan kami." "Aku tidak akan kewalahan lagi selama Tim tidak membuat keributan," timpal
Jehona mantap. Fulvia mencondongkan badannya ke Tim, "Berjanjilah padaku kau akan patuh pada
keduaorang tuamu." Tim menyadari makna yang lebih dalam dalam perkataan itu dan ia bertanya sedih,
"Apakah besok kau tidak datang lagi?" "Aku masih akan datang menengokmu," Fulvia membesarkan hati anak itu, "Aku
berjanji akan meluangkan waktu untuk melihat keadaanmu."
Jawaban itu membuat Tim semakin kecewa.
Raut wajah anak itu membuat Fulvia tidak tega.
"Jangan bertindak kekanak-kanakan!" hardik Jehona - menyadari suasana saat itu,
"Fulvia tidak akan ke mana-mana. Ia masih bisa datang setiap saat."
"Benarkah?" Tim menatap Fulvia lekat-lekat.
"Tentu," janji Fulvia, "Dan aku akan membawakan makanan kesukaanmu setiap kali
aku datang." Kesedihan di wajah Tim berubah menjadi senyum lebar. "Kau telah berjanji,"
katanya memperingati. "Kau tidak boleh lupa."
"Aku tidak akan lupa," Fulvia tersenyum lembut.
"Yang mengingkari janji adalah pembohong!" Tim berkata dengan penuh semangat.
Fulvia tersenyum. Ia tahu ia tidak bisa datang sesering ini setelah hari ini. Ia
hanya bisa menjanjikan untuk melihat mereka ketika ia mempunyai waktu.
Fulvia juga tahu ia tidak akan bisa melihat Irving sesering ini setelah hari
ini. Ia juga sadar hubungan baik di antara mereka yang terjalin selama ini akan meregang dan ia tidak ingin
itu terjadi. Fulvia tetap ingin berteman dengan Irving besok dan untuk seterusnya. Maka, ia berkata dengan
sungguh-sungguh, "Walaupun kita tidak bertemu lagi, dapatkah kita menjadi teman?"
Irving terkejut. "Saya rasa saya mulai menyukai Anda dan...," Fulvia tersipu-sipu, "Saya akan
sangat sedih sekali bila kita memutuskan hubungan begitu saja setelah ini."
"Apakah gadis ini mempunyai rencana baru lagi?" pikir Irving. Irving tidak
benar-benar dapat mengerti Fulvia tetapi ia tahu Fulvia tidak jauh berbeda dari semua wanita yang
pernah dikenalnya. "Tentu," Irving memberikan jawabannya.
Senyum di wajah Fulvia semakin melebar.
Tidak ada yang dapat menggantikan kegembiraannya hari ini. Jerih payahnya selama
sebulan ini telah membawa hasil. Fulvia sudah tidak sabar untuk segera membeli kotak musik itu. Ia
tidak sabar untuk segera membawanya pulang.
Kemarin ia telah meyakinkan untuk terakhir kalinya bahwa kotak musik itu masih
ada disanamenantinya. Hari ini pun Fulvia yakin ia masih menantinya dengan setia.
Dan besok Fulvia akan membawanya pulang. "Apakah Anda bersedia menemani saya ke tempat biasa untuk terakhir kalinya
sebelum mengantar saya pulang?" Saat ini Fulvia ingin sekali segera menemui Audrey. Ia ingin membagikan
kebahagiannya ini kepada Audrey yang telah mendukungnya selama ini.
"Tentu." Fulvia tahu Irving takkan menolak. Irving tidak pernah menolak mengantarkannya
ke Greenwalls. Ia terus mengantarkannya ke rumah kakak sepupunya ini berturut-turut dalam beberapa
hari ini. Pelayan mereka pun telah mengenali kereta kuda keluarga Engelschalf. Mereka
selalu bergegas menyambut kedatangan mereka begitu melihat kereta keluarga Engelschalf memasuki
pekarangan Greenwalls. Demikian pula hari ini. Ketika kereta berhenti di depan pintu masuk, seorang
pelayan membuka pintu. "Selamat datang," ia memberikan sambutannya.
Dan seperti biasa pula, Fulvia bertanya "Apakah Audrey ada di dalam?" walaupun
Fulvia tahu Audrey pasti ada di dalam. Ini sudah menjadi kebiasaan Fulvia setiap kali ia
berkunjung ke Greenwalls. Sekarang pun ini tetap menjadi kebiasaannya. Fulvia tidak pernah merasa ini
adalah kebiasaan yang buruk. Ia hanya ingin memastikan kedatangannya tidak sia-sia.
"Nyonya tidak ada di rumah," jawab pelayan itu, "Ia bersama Tuan Lewis pergi ke
Osbesque pagi ini." "Mereka pergi ke Osbesque?" Fulvia mengulangi dengan penuh rasa tidak percaya.
"Tuan Lewis dan Nyonya Audrey pergi sejak pagi," pelayan itu mengulang dengan
lebih jelas, "Mereka berencana untuk menginap disanamalam ini."
Fulvia terperangah. Ia tidak pernah mendengar rencana Audrey ini. Kemarin ia
juga datang menemui mereka tetapi Audrey tidak mengatakan apa-apa.
"Aku mengerti," kata Fulvia kecewa.
"Kau ingin ke Osbesque?"
Fulvia terperanjat. "Tidak," jawabnya panik.
Fulvia tidak akan menyusul Audrey ke Osbesque walaupun ia sangat ingin tahu apa
yang membuat

Orang Ketiga Karya Sherls Astrella di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya pulang setelah sekian lamanya. Fulvia memilih untuk menahan keinginan
itu daripada menimbulkan ingin tahu keluarga Garfinkelnn melihat kemunculannya bersama
Irving. "Saya tidak ingin menganggu pertemuan keluarga mereka," kata Fulvia, "Lagipula
saya ingin segera pulang." Irving memperhatikan Fulvia yang membalikkan badan ke kereta kudanya. Tentu saja
Fulvia ingin segera pulang. Ia tentunya telah tidak sabar melihat benda itu.
Keyakinan Irving bertambah kuat ketika ia melihat Fulvia berlari-lari kecil
memasuki Unsdrell setelah mengucapkan selamat tinggal padanya.
Fulvia bergegas menujukamarnya. Fulvia begitu tidak sabar menanti hari esok.
Rasanya ia ingin sekali langsung melompati waktu ke esok siang.
Besok Fulvia akan pergi membelikotak musik itu. Besok ia akan dapat membawanya
pulang. Senyum Fulvia kian lebar ketika ia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent.
Fulvia duduk di meja riasnya dan mengeluarkan isi kantung itu.
Fulvia tahu Brent tidak akan menipunya. Fulvia hanya ingin sekali melihat uang
hasil kerja kerasnya selama sebulan ini. Tengah Fulvia sibuk menghitung dan menatapi uang-uang itu dengan matanya yang
berbinar-binar, seseorang mengetuk pintunya.
Ketukan di pintu itu membuat Fulvia terkejut dan panik. Fulvia segera memasukkan
kembali uang itu dan menyembunyikannya di dalam laci meja riasnya.
Fulvia tidak ingin seorangpun melihatnya.
Ketukan di pintu kembali terdengar. "Apakah Anda di dalam, Tuan Puteri?"
Fulvia sadar orang yang mengetuk pintukamarnya bukan Davies ataupun ibunya. "Aku
di dalam," kata Fulvia lega, "Masuklah."
Pintu terbuka dan seorang pelayan wanita melangkah masuk.
"Adaapa?" tanya Fulvia.
"Anda mendapat kiriman, Tuan Puteri," pelayan itu menyodorkan sebuah kotak merah
muda berukuran sedang kepada Fulvia, "Siang ini seorang pria mengantarkannya. Katanya ini untuk
Anda." Fulvia memperhatikan kotak itu. Tidak ada tulisan ataupun gambar pada
permukaannya yang dilapisi kain merah muda itu. Beberapa bunga kain yang berwarna senada menghiasi salah
satu sudut penutupkotak itu. Fulvia bisa memastikan ini bukanlah ulahTrevor maupun Richie terlebih lagi
Davies. Ketiganya tahu ia tidak akan pernah menerima pemberian mereka.
"Dari siapakah?" gumam Fulvia heran sambil menerima kotak itu.
"Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Saya hanya diminta untuk memberikankotak ini pada
Anda begitu Anda tiba." "Aku mengerti," kata Fulvia sambil membuka tutup kotak itu.
Pelayan itu masih berada disanauntuk menanti perintah Fulvia.
Mata Fulvia terbelalak melihat isi kotak itu. Tangannya meraih secarik kertas di
dalam kotak. Fulvia tidak tahu harus mengucapkan apa tapi ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Maka iapun menuju meja kecil di sisi tempat tidurnya dan mengambil selembar kertas serta pena dan
mulai menulis. -----0----Irving bangun lebih siang hari ini. Ia juga menikmati waktu makan
paginya lebih lama dari beberapa hari terakhir ini. Hari ini ia tidak perlu menjemput Fulvia.
Hari ini ia bisa melakukan semua yang ingin dilakukannya tanpa perlu memusingkan
diri dengan jadwal menjemput Fulvia. Setelah menghabiskan sarapannya seorang diri di Ruang Makan, Irving melangkahkan
kaki ke Ruang Baca. Irving masih tidak tertarik untuk menemui wanita-wanita penggemarnya. Ia masih
ingin meneruskan kegiatan membaca yang telah ditekuninya belakangan ini.
Mata Irving menangkap sesuatu di meja bacanya.
Irving keheranan melihat kotak di meja bacanya. Ia mengenal kotak itu. Ia tidak
mungkin salah ingat pada hadiah yang dibelinya untuk Fulvia - hadiah yang dipilih sendiri oleh gadis
itu. Apalagi maksud gadis itu menunjukkan kotak musik itu padanya bila bukan karena
gadis itu ingin ia memberinya sebagai hadiah" Ia tidak mungkin salah! Semua wanita selalu bersikap
seperti itu. Mereka sengaja menunjukkan ketertarikannya pada sebuah benda di depannya karena mereka
ingin ia membelinya untuk mereka. Dan Fulvia adalah satu dari mereka.
"Seorang lagi," dengusnya.
Ini bukan sekali atau dua kalinya gadis yang dikirimi hadiah olehnya
mengembalikan pemberiannya. Ia tahu mengapa mereka mengirimkan kembali hadiah itu padanya. Ia yakin gadis itu
pun mempunyai tujuan yang sama: mereka menuntut lebih dari hadiah itu!
Karena itulah ia tidak tertarik untuk melihat secariksuratyang terikat bersama
kotak itu. Dan ia memindahkan kotak itu ke lantai untuk kemudian diurus oleh pengurus rumah
tangganya. Pedro tentu tahu apa yang harus dilakukannya dengan hadiah itu termasuk
mengirimkan mawar merahnya. Irving telah mengerti gadis itu dan ia tidak perlu lagi meneruskan hubungan
dengan gadis cerdik yang berbahaya itu. Irving meninggalkan Ruang Baca. Keberadaan kotak itu telah membuang hasratnya
untuk membaca buku disana. Ketika melintasi Hall, Irving melihat ayahnya baru saja pulang.
"Kau tidak pergi?" tanya Duke keheranan melihat putranya masih di rumah.
"Aku tidak punya keperluan," jawab Irving tanpa menghentikan langkahnya ke Ruang
Perpustakaan. Duke Engelschalf juga tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu Irving tidak pernah
suka setiap pertanyaannya. Bagi Irving, hari ini berlalu dengan tenang. Ia tidak perlu terus memperhatikan
waktu dan cemas terlambat. Ia juga tidak perlu terus memperingati dirinya untuk tidak terlalu
larut dalam kegiatan membacanya. "Tuan Muda," Pedro menghadap.
Irving keheranan melihat kotak merah di tangan Pedro. Ini kedua kalinya ia
melihat kotak itu di hari ini. "Mereka mengatakan benda ini tidak dapat dikembalikan karena ia tidak memiliki
cacat apa-apa." "Dikembalikan?" Irving tidak mengerti, "Apa maksudmu?"
"Bukankah Anda ingin saya melakukan sesuai yang ditulis di dalamsuratyang
disertakan dalam kotak ini?" Pedro juga kebingungan dan ia menambahkan, "Seperti biasanya."
"Apa isisuratitu?" tanya Irving gusar, "Berikan padaku."
Dengan tanggap, Pedro memberikan secariksurattulisan tangan Fulvia kepada
Irving. Saya sungguh berterima kasih atas pemberian Anda ini tetapi maafkan
ketidaksopanan saya. Saya tidak dapat menerima pemberian ini. Bila Anda benar-benar ingin memberikannya kepada
saya sebagai hadiah, tolong kembalikanlah kotak musik ini. Biarlah saya yang membelinya dengan
keringat saya sendiri. Sesuatu yang berharga adalah sesuatu yang diperoleh dengan jerih payah. Tanpa
mengurangi hormat saya pada Anda, saya mengucapkan banyak terima kasih.
Fulvia. Irving menatap Pedro. "Apa yang harus saya lakukan?"
Irving termenung. Pedro pun menanti perintah tuannya dengan setia.
Irving tidak mengerti. Ia tidak dapat memahami permainan apa yang tengah
dimainkan oleh Fulvia. Bukankah ia sangat menginginkan kotak musik ini" Bukankah ia sengaja
memberitahunya" Bukankah ia
sengaja menunjukkan benda ini padanya"
Apa pun permainan yang sedang dimainkan Fulvia, Irving tidak akan terperangkap
ke dalamnya. Ia tahu seribu satu permainan wanita untuk menjerat pria!
Fulvia salah besar bila ia mengira ia lebih pandai dari Irving. Irving lebih
licik dan lebih berpengalaman dari Fulvia dalam hal ini!
"Berikan benda sial itu padaku," akhirnya Irving berkata.
10 Fulvia duduk termenung di dalam kamarnya.
Setelah berhari-hari menghabiskan waktu dikota, kini tiba-tiba saja Fulvia
merasa jenuh berada di dalam rumah. Fulvia ingin sekali keluar tetapi ia tidak mempunyai tujuan.
Fulvia ingin sekali mencari seseorang untuk berbicara tetapi tidak ada seorang
pun yang mempunyai waktu untuknya. Count pergi entah ke mana semenjak makan pagi. Davies pergi
menemui Lady Margot. Dan Countess menyibukkan diri entah dengan urusan apa. Hari ini Trevor maupun
Richie juga tidak muncul. Tidak pernah sekali pun terlintas dalam benak Fulvia bahwa ia akan bosan berada
di dalam rumah. Berpikir ulang tentang kedua kakak sepupunya itu, Fulvia merasa kedatangan
mereka ke Unsdrell tidaklah sia-sia. Mereka selalu saja mempunyai cara untuk membuatnya tidak
jenuh. Hari ini tentu saja mereka tidak datang. Mereka tentunya masih mengira hari ini
pun ia pergi kekota. Fulvia menimang-nimang kantung uang pemberian Brent dan mendesah. Ia tidak dapat
membeli kotak musik itu sekarang. Irving telah membeli kotak musik itu untuknya namun Fulvia tidak dapat menerima
pemberian itu. Kemarin malam Fulvia telah mengirimkannya kembali dan sekarang Fulvia hanya
dapat berharap Irving segera mengembalikan kotak musik itu.
Fulvia ingin segera membawa pulang kotak musik itu.
"Aku mendengar kau sedang bermurung diri."
Fulvia terkejut. Tangannya segera menyembunyikan kantung uang itu ke dalam saku
gaunnya dan ia melihat Margot melangkah masuk kamarnya dengan senyumannya yang manis.
"Kau tidak keberatan aku langsung masuk tanpa seijinmu bukan?"
"Tidak," kata Fulvia lalu ia bertanya, "Apa yang membuatmu kemari?"
"Davies. Ia mengatakan kau mungkin akan jenuh maka ia memboyongku pulang."
Margot duduk di sisi Fulvia.
"Pria itu...," keluh Margot, "Ia selalu saja memikirkanmu." Margot menatap Fulvia
Pelangi Di Majapahit 1 Wiro Sableng 038 Iblis Berjanggut Biru Wanita Iblis 24

Cari Blog Ini