Ceritasilat Novel Online

Refrain 2

Refrain Karya Winna Efendi Bagian 2


sekolahnya, perlombaan cheerleading yang akan
diadakan bulan Desember, dan segudang aktivitas lain
yang biasa diikutinya. Oliver tertawa mendenghar
jokes-nya, juga berbagi cerita mengenai dirinya sendiri.
Melalui ceritanya, Niki mengetahui kalau Oliver adalah
anak tunggal, dan ulang tahunnya hanya berbeda lima
hari dengan Nata, sama-sama berzodiak Capricorn
walau sifat mereka berbeda jauh.
Niki hampir saja merasa kecewa ketika perjalanan
mereka berakhir, seperti Cinderella yang sudah harus
berlari pulang pada pukul dua belas malam.
"Thanks yah udah nganterin aku pulang." "tunggu.
Kamu lupa sesuatu." Niki merogoh saku bajunya, memeriksa apa yang
kelupaan. "Apa?"
"Nomor telepon."
Niki tertawa sumringah, bersiap-siap mengeluarkan
pulpen untuk mencatat nomor teleponnya pada secarik
kertas. Namun, sebuah ide iseng muncul, dan dengan
raut nakal, dicoretkannya deretan angka itu dengan
lipstik pink yang selalu dibawanya ke mana-mana.
Mengikuti gaya flirty perempuan-perempuan yang
pernah dilihatnya dalam film, diselipkannya kertas
tersebut dalam saku kemeja Oliver. "Supaya aku nggak
berutang lagi sama kamu," ujarnya sebelum masuk ke
dalam rumah, meninggalkan Oliver yang
memandangnya dengan ekspresi melongo bercampur
kagum. *** Wish #12: cerita kakak (Acha)
Acha yang sedang mengerjakan tugas Fisika
di atas meja makan melirik kakak perempuannya
dengan bingung. Ada sesuatu yang aneh dengan kakak
hari ini, dia menyimpulkan. Sepulang sekolah tadi, Niki
langsung berlari ke kamarnya sambil
menyenandungkan lagu favoritnya. Tidak lama
kemudian, dia mondar-mandir di depan meja telepon,
sampai akhirnya duduk termenung dengan raut dreamy
di wajahnya. Mama yang melihatnya Cuma gelenggeleng sambil tersenyum kecil, sedangkan Acha masih
tidak mengerti juga apa yang telah terjadi pada
kakaknya. Setiap kali telepon berdering, Niki akan
terlonjak dari kursinya dan mengangkatnya dengan
waswas. Wajahnya berubah kecewa jika telepon itu
ternyata bukan untuknya. Ketika telepon itu masih juga
tidak berdering untuk jangka waktu yang lama,
akhirnya Niki menyerah dan duduk di samping adiknya.
"Acha" "Hmmm?" "Mau denger cerita, nggak?"
Acha meletakkan pulpennya, berhenti menuliskan
rumus-rumus yang membuat otaknya ngejelimet. Sejak
kecil, Niki selalu bercerita mengenai apa saja. Kadangkadang, Niki suka membangunkannya di tengah malam,
lalu membisikkan sebuah rahasia di telinganya. Acha
menyukainya, hal itu membuatnya merasa penting dan
dipercaya. "Cerita apa?" Dulu cerita Niki penuh dengan dongeng fantasi tentang
seorang pangeran rupawan yang menyelamatkan
seorang putri dari negri yang sangat jauh. Hari ini, Niki
bercerita tentang seorang murid laki-laki sekolah
sebrang yang tampan, yang mengantarnya pulang dan
meminta nomor teleponnya.
"Jadi yang dari tadi kakak tunggu itu telepon dari dia?"
Ekspresi Niki sarat dengan kebahagiaan dan rahasia.
"Iya. Namanya Oliver."
"Orangnya seperti apa?"
Niki menjelaskan rupa pangeran tampannya"tidak
berkuda putih, tapi lengkap dengan sedan biru yang
mewah. Kapten tim basket, walau sempat kalah di
pertandingan kemarin. Senyum yang menarik, suara
tang menggetarkan, sosok yang sempurnya.
"Memangnya ada, ya, orang yang sempurna di dunia
ini?" Acha ingin tahu.
"Sempurnya itu relatif," jawab Niki, senyum itu masih
enggan meninggalkan wajahnya.
Telepon berbunyi. Segera setelah satu dering, Niki
menyambar gagangnya. Tiba-tiba, ekspresinya berubah
cerah, dan dia mengedipkan sebelah mata pada Acha
sambil terus mengobrol di telepon. Ini dia, bisiknya
sambilk menunjuk-nunjuk telepon.
Oh. Acha ikut tersenyum, akhirnya mengerti. Kakaknya
ternyata sedang jatuh cinta.
*** KISS Wish #13: segala sesuatunya untuk tidak berubah
(Nata) Nata gondok setengah mati. Pasalnya, dari
satu jam yang lalu, yang dibicarakan Niki Cuma satu
hal"Oliver. Setelah diantar pulang waktu itu, mereka
ternyata membuat janji untuk bertemu lagi. Kesalnya
lagi, akhir-akhir ini Niki selalu pulang bareng cowok
itu. Wajahnya selalu berbinar-binar ketika bel terakhir
berdentang tepat pukul tiga sore, lalu dia langsung
melesat keluar ke arah parkiran.
"Jadi, hari Sabtu nani aku nggak bisa pergi bareng
kalian." Niki menyelesaikan kalimatnya. Mereka
bertiga baru saja menyelesaikan kelas lab Biologi, dan
kini merapikan alat-alat yang tersebar di atas meja
sebelum pulang. "Masa aku dan Nata jadi Cuma pergi berdua...?"
Annalise mengeluh kecewa. Hari Sabtu nanti mereka
bertiga sudah janjian untuk nonton film action terbaru
di mal, sekaligus mencoba tempat makan sushi yang
baru buka di sana. "Maaf..." Niki melekatkan kedua telapak tangannya di
depan dada untuk memohon maaf. "Sekali iniii... aja.
Kali ini penting." Nata membuang muka. "Kalau begitu, hari ini aja kita
nontonnya, sehabis pulang sekolah bisa langsung ke
mal." "Iya, ide bagus tuh," dukung Annalise.
Lagi-lagi, Niki membungkuk minta maaf. "Aduh... hari
ini aku juga nggak bisa. Mau pulang bareng Oliver,
sambil coba yogurt smoothie di counter Boost Senayan
City yang baru buka."
Kali ini Nata menggeram tak sabar. "Jadi, kapan dong,
kita bisa ngumpul bareng?" Sudah seminggu Niki tidak
bertandang ke rumahnya. Padahal biasanya cewek itu
selalu datang setiap sore setelah makan malam, entah
hanya untuk mengobrol atau minta diajari Matematika.
Sekarang, boro-boro menelepon atau menumpang
sepedanya Nata, setiap pagi dan sore selalu diantar
jemput oleh "sopir" barunya.
"Hari Minggu, deh!" Niki berjanji. "Minggu pagi. Nanti
kubuatin apple struddle untuk kalian berdua."
Belum sempat Nata berkata apa-apa, sedan biru itu
meluncur memasuki parkiran sekolah. Dengan
semangat, Niki langsung menarik tasnya dan berlari
kecil untuk menyambutnya. Nata menghela napas.
Bagian belakang sepedanya kosong. Walaupun dulu
setiap hari punggungnya habis ditepuk-tepuki dan dia
harus mendengarkan celoteh ringan tentang hal-hal
yang gak penting, rasanya Nata lebih senang begitu
daripada hanya bersepeda pulang sendirian.
*** Wish #14: ..... (Nata) Sore hampir berganti malam. Warna biru
langit sudah pecah, berganti dengan kombinasi ungu
oranye yang menyerupai palet warna dari olesan kuas.
Nata menemukan Niki sedang tertidur di atas trampolin
mereka, sebelah tangannya menggenggam plastik berisi
satu gelas stereofoam dengan label Boost tercetak di
tengah-tengah. Niki tadi berlari ke sini untuk menunggu
Nata selesai makan malam, rencananya ingin membawa
oleh-oleh satu gelas smoothie buah untuk Nata. Niki
merasa bersalah, sudah lama dia tidak menghabiskan
waktu berdua saja dengan sahabatnya itu. Padahal, dulu,
mereka tidak terpisahkan. Akhir-akhir ini, dia juga
kangen mendengar nyanyian Nata yang srak-serak
basah diiringi petikan gitar yang lembut.
Setelah setengah jam menunggu, Niki jadi
bosan. Angin sepoi-sepoi membuatnya mengantuk, dan
dia terbuai dalam lelap di bawah langit sore.
Nata ingin membangunkannya, tapi tidak jadi.
Ingin juga mengisenginya dengan menggambar kumis
di atas bibirnya dengan spidol, tapi tidka tega. Jadi dia
hanya duduk menatap Niki yang tertidur, menjulurkan
sebelah tangan untuk membelai helai-helai halus yang
membingkai wajahnya. Wajah Niki yang sedang tertidur seperti anakanak. Seperti seorang anak perempuan yang baru saja
mendapatkan lolipop kesukaanya, lalu mengisapnya
habis sampai tertidur. Seperti seorang gadis kecil yang
menyimpan senyum dalam tidurnya, dan akan bangun
bersamanya juga. Entah apa yang membuat Nata tergugah.
Seulas senyum lembut menyelinap di wajahnya yang
biasa berekspresi keras. Dia menunduk, ragu-ragu
sejenak, lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Niki dan
mengecup bibir gadis itu pelan.
Dengan wajah memerah, dia kembali ke
posisi duduknya, menyentuh bibirnya sendiri sambil
tersenyum. *** Wish #16: melihat Niki tidak jadi pergi (Nata)
Nata menyingkap tirai jendela kamarnya sambil
setengah mengintip. Tidak menemukan apa yang dicari,
kembali ditutupnya tirai tersebut sambil mengembuskan
napas yang memburu. Lima menit kemudian, ia
kembali mengintip. Begitu seterusnya sampai deru
mobil terdengar samar-samar di kejahuan.
Mobil BMW biru tua milik Oliver berhenti tepat di
depan rumah Niki. Nata melihat gadis itu setengah
berlari keluar, mengenakan terusan merah jambu dipadu
dengan sepatu berwarna senada, rambutnya diurai
hingga menyentuh bahu. Wajahnya dihiasi senyum lebar penuh antisipasi, seakan
dia sudah menunggu kedatangan Oliver sejak tadi.
Oliver membukakan pintu mobil untuk Niki, lalu
berjalan memutar ke arah pintunya sendiri. Nata melihat
sebuket mawar merah dalam genggamannya.
Cih. Hanya playboy yang membawa bunga untuk
cewek, hatinya tidak tahan untuk tidak berdesis sinis.
Mobil itu berjalan menjauh, meninggalkan Nata yang
masih terpaku di depan jendela dengan tatapan kurang
senang. Akhirnya, disambarnya telepon dan segera
menekan nomor Annalise. "Kita cabut, yuk."
*** Wish #17: percakapan bersama Nata (Annalise)
Annalise agak terkejut ketika Nata meneleponnya
barusan. Tadinya, ia mengira janji mereka untuk nonton
bareng dibatalkan, berhubung Niki tidak bisa hadir.
Sejam kemudian, mereka berdua sudah berdiri
bersebelahan di hadapan poster-poster film di sebuah
teater bioskop. Nata tidak bicara, dengan kedua tangan
dalam saku bajunya"hari ini ia mengenakan kaus band
warna hitam dan jeans belel serta sepasang sandal.
Annalise menunduk menatap pakaiannya"skinny jeans
dan atasan lengan panjang putih berkerah sabrina,
dengan rambut dibiarkan tergerai. Dia hanya
mengambil pakaian yang paling praktis dari lemarinya,
dan kini sedikit menyesali pilihannya yang sederhana.
Apalagi, ini kali pertama dia pergi berdua dengan
cowok, tepatnya... dengan Nata.
"Mau nonton apa?" Nata menunjuk pada barisan poster
film di balik lemari kaca, tampaknya tidak terlalu
bersemangat untuk memilih.
Annalise mengulum senyum, tiba-tiba saja menyadari
mengapa Nata begitu uring-uringan hari ini.
"Sebenarnya, Nat, you look like you'd rather be
anywhere but here." Ketika mendengarnya, Nata langsung mengangkat
wajah dengan raut bersalah. "Sori, Ann. Mood gue lagi
jelek banget." Annalise menggeleng. "Nggak apa-apa, kok. Kita ngopi
aja, yuk?" Mereka masuk ke sebuah kedai kopi mungil di sudut
lantai tiga, tempat yang lengang tanpa pengunjung,
hanya seorang barista yang menunggu di balik counter
dengan wajah bosan. Annalise meletakkan bawaannya
di atas meja dan Nata melihat sudut kamera Lomo
merah yang menonjol dari tas itu.
"Gue jadi penasaran... sejak kapan, sih, lo hobi motret?"
Annalise tersenyum sendu, mengingat kali pertama ia
memegang sebuah kamera dan merasakan berat benda
itu di tangannya yang mungil. Membiarkan tangan yang
kokoh membimbing jemarinya untuk menekan tombol,
dan suara yang berisik di telinganya, tahan napas...
dan, klik. "Umur delapan tahun. Papa memberikan aku hadiah
kamera pertamaku." Dulu, Papa sering menyebutnya 'asisten cilik'. Mereka
memotret Mama, pura-pura mendandaninya dalam
kostum, lalu menjepret aksi konyol itu. Mereka
memotret langit sebelum berubah gelap, bayangan
pohon yang memanjang, sepeda pertama Annalise,
boneka beruang kesayangannya, mobil baru Papa.
Annalise senang memperhatikan Papa bekerja dengan


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kameranya, di bawah lampu suram kamar gelap
tempatnya mencuci foto, mengamati buram berubah
bentuk. "Aku suka konsep fotografi"seakan-akan momen yang
ditangkap lensa akan tetap di sana untuk selamanya."
Dan, mereka memang tetap ada, bahkan saat dunia
berputar dan berubah, kenangan yang tercetak pada
lembaran foto itu tidak pernah berubah. Photographs
last for a lifetime. "Papa selalu bilang, manusia akan menua, tempat bisa
berubah, kita bisa melupakan. Karena itulah kamera
digunakan, untuk merekam hal-hal yang tidak dapat
diingat manusia dengan sempurna."
Ia mengangkat kamera, menahannya tepat di depan
wajah Nata. Nata bergeming, tidak tersenyum dan tidak
memintanya untuk berhenti, hingga Annalise menekan
tombol shutter. Klik. "Kamu sendiri, sejak kapan suka musik?" tanyanya.
Nata mengangkat bahu. "Nggak inget tepatnya kapan.
Keluarga gue fanatik musik"selalu ada musik yang
diputar di rumah. Mulai dari oldies, jazz, rock sampai
pop. Dulu, bokap gue pernah jadi drummer, lho."
Annalise tidak bisa membayangkan ayah Nata yang
sekarang bekerja di sebuah kantor pengacara terkenal,
ternyata pernah jadi anggota band kawakan.
"Tapi, buat gue, musik itu sebuah bentuk obsesi. Gue
merasa tenang kalau ada musik, mungkin dengan cara
yang sama, seorang atlet bisa nyaman berada di
lapangan, atau seorang pelukis saat megang kuas."
Jawaban gamblang itu sama-sekali tidak mengejutkan
Annalise. Sebaliknya, dia mengerti. Fotografi dan
musik sama-sama merupakan bagian dari seni;
keinginan untuk menyampaikan sesuatu. Obsesi untuk
mencari nada yang tepat, atau menciptakan bait lagu
yang sempurna. Sama seperti keinginan memotret objek
yang istimewa atau mengabadikan satu fragmen
kenangan. "Niki selalu bilang gue kelihatan kayak orang yang
berbeda kalau lagi pegang gitar," kata Nata.
"Kurasa, buat sebagian orang, seni menjadi bagian
penting yang sulit dipisahkan dari diri mereka. Seni
juga merupakan bentuk pelarian, cara untuk
melampiaskan emosi. Mungkin karena itulah, seni
terkadang bisa mengubah orang."
Nata mengangguk-angguk setuju terhadap observasi itu,
lalu berkomentar, "Lo lebih dewasa dari kebanyakan
orang yang gue kenal, Ann."
"Dan, kamu nggak sesinis yang orang lain kira."
Annalise membalas kalem sambil tersenyum.
Nata tertawa. "Gue bukannya sinis, tapi prinsipil. Gue
nggak suka orang yang suka pura-pura, dan gue terbiasa
ngomong apa adanya ke semua orang. Kadang, itu
disalahartikan sebagai sarkastis."
"Kamu punya sisi lembut kalau berhadapan dengan
Niki," kata Annalise pelan.
Nata terdiam di balik kepulan kopi tubruknya, tidak
membantah pernyataan tersebut. Raut wajah itu
membuat Annalise turut larut dalam hening. Diamdiam, dia sadar, hening semacam ini, hanya Niki yang
mampu mengisinya. *** Pada waktu yang sama, Oliver dan Niki sedang
menikmati makan malam, setelah satu jam puas
bermain bowling di sebuah pusat perbelanjaan di
Jakarta Pusat. Niki mengetuk-ngetuk jari di atas meja
sambil menikmati sepiring salad buah, hentakan itu
seirama dengan detak jantungnya yang tidak keruan.
Oliver tidak pernah berhenti mengejutkannya; mulai
dari serangkai mawar segar hingga perlakuannya yang
gentleman membuatnya merasa bagaikan seorang putri.
Akhir-akhir ini, mereka selalu berangkat dan pulang
sekolah bersama. Dalam waktu singkat perkenalan
mereka, ternyata ia dan Oliver sering sependapat
mengenai banyak hal. Mereka sama-sama tidak
menyukai pelajaran Matematika dan lebih memilih
pelajaran olahraga daripada harus menyelesaikan soal
rumit yang berkaitan dengan angka. Mereka memiliki
selera musik yang sama, juga menyukai genre film
serupa. Niki merasa dapat mengobrol dan berdiskusi
mengenai banyak hal bersama Oliver. Percakapan
mereka selalu menyenangkan, diselingi dengan tawa
dan canda. Oliver mengangkat beberapa potong kentang goreng
dan memasukkannya ke dalam mulut. "Minggu depan,
tim basketku tanding dengan tim basket sekolah putra di
Tangerang. Mau datang nonton?"
Niki tersenyum mendengar ajakan itu. "Kalau aku
datang, memangnya kamu bisa menang?"
"Kalau kamu datang, seenggaknya aku akan lebih
terpacu untuk menang." Dia menjawab dengan mudah,
membuat Niki memukul lengannya dengan canda.
"Gombal!" ucapnya di tengah tawa. Tanpa disangka,
Oliver meraih kedua tangannya yang sibuk memukul,
lalu meremas jari-jarinya lembut. Niki terdiam, pipinya
memerah karena malu. Tapi, kali ini, dia tidak
melepaskan pegangan itu. *** Wish #18: supaya... hujan ini tidak pernah berhenti
(Niki) Gerimis. Niki menatap rinai hujan mengalir turun seperti butiran
salju. Ia menempelkan telapak tangannya ke kaca
mobil, merasakan permukaannya yang dingin dari
rintik-rintik kecil yang mulai mengaburkannya.
"Kamu suka hujan?" Oliver bertanya dari tempat
duduknya di balik kemudi. Air keruh kecokelatan mulai
menggenang di sisi-sisi jalanan, campuran dari air got
yang meluap karena hujan. Mereka sudah terjebak
dalam kemacetan selama hampir dua jam, dan langit
semakin gelap tak berawan tanpa tanda-tanda hujan
akan berhenti. Niki tersenyum tipis dan menggeleng. "Enggak. Aku
nggak suka hujan sama sekali. Mendung, kelabu,
membosankan karena gak bisa main di luar."
Oliver ikut mengangguk mendengar jawabannya.
"Sama, aku juga. Gak bisa basket outdoor, jalanan
becek dan macet di mana-mana, kayak sekarang."
"Iya, pokoknya nggak ngenakin."
Oliver tersenyum melihat gelagat Niki."Terus, kenapa
sekarang kamu memperhatikan hujan sampai
segitunya?" Niki memejamkan mata, mendengarkan riuh bunyi
hujan yang mulai deras di sekitarnya. Merasa aman
karena dia terlindung di balik kap mobil.
"Nata yang suka hujan," jawabnya. "Setiap kali hujan,
Nata pasti akan menengadahkan kepala memperhatikan
langit dan menjulurkan tangan untuk menyentuh hujan."
"Nata, teman kamu itu?"
Niki mengangguk. "Kebiasaan yang aneh, kan" Sejak
kecil dia begitu." "Kalian pasti udah lama sekali saling mengenal."
Lagi-lagi, Niki mengiyakan. "Kami tumbuh besar
bersama. Sering main dan belajar bareng karena rumah
kami berseberangan."
Dengan nada hati-hati, Oliver mencetuskan rasa
penasarannya. "Cuma teman?"
Niki membelalak dan tertawa spontan. "Maksudnya...?"
Oliver mengangkat bahu. "Siapa tahu..."
"Serius, kami hanya sahabat." Senyum Niki semakin
lebar, diam-diam senang ditanya seperti itu. Dia dapat
dengan mudah menangkap nada cemburu dan ingin
tahu dari lawan bicaranya.
Tiba-tiba saja, mesin mobil berhenti. Hujan mulai turun
dengan deras, dentum airnya menghantam kaca jendela
danatap mobil dengan kerasnya. Oliver memucat,
mencoba menstater kendarannya berulang-ulang, tetapi
tidak berhasil. "Kenapa?" Niki bertanya dengan panik, mulai khawatir
seiring dengan bunyi klakson mobil-mobil di belakang
mereka yang dengan tak sabar meminta mereka untuk
meminggirkan mobil. "Mobilnya mati," desis Oliver bingung. "Mungkin
karena mesinnya kemasukan air."
"Jadi gimana?" Oliver memandang sekeliling, sulit melihat melalui
kaca yang buram oleh air hujan. Air sudah naik hingga
hampir melewati ban, hasil dari hujan yang tidak
berhenti sejak beberapa jam yang lalu. Bentuk mobilnya
yang dimodifikasi sehingga lebih rendah dari
kebanyakan sedan lain juga memperparah keadaan.
"Kamu tunggu di sini." Sebelum sempat Niki
memprotes, Oliver sudah berlari ke luar dan menerobos
hujan. Tidak lama kemudian, mobil didorong manual
oleh beberapa orang yang sedang nongkrong di warung
sekitar. Oliver kembali masuk ke mobil dalam keadaan
basah kuyup dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Kita harus nunggu mobil derek."
"Basah-basah begitu, nanti kamu masuk angin."
Oliver mencoba tersenyum, tapi tubuhnya mengigil.
"Nggak apa-apa."
Mobil derek baru datang tiga jam kemudian. Mereka
berdua berdiri di emperan, melihat mobil tersebut di
angkut dan dibawa pergi. Beberapa kendaraan bermotor
lainnya juga mogok di tengah jalan, menambah
kemacetan di sore yang kelabu ini. Niki memasukkan
kedua tangan ke dalam saku terusannya, kini ikut basah
karena hujan kiand eras. Oliver melepaskan jaketnya
yang basah dan melingkarinya di pundak Niki, mereka
berdua gemetar kedinginan.
"Kamu nggak apa-apa kan?"
Suara Oliver terdengar aneh karena gigi yang
gemeletuk, membuat Niki ingin tertawa. Pipinya sendiri
sudah seputih kertas, dengan rambut lembap dan bibir
pucat. "Dingin, ya?" Oliver bertanya lagi. Niki hanya bisa
mengangguk singkat. Oliver menariknya mendekat, lalu
merapatkan tubuh untuk menghangatkannya. Hati Niki
berdesir, dengan malu-malu, ia mendongak. Oliver
tersenyum, lalu meraih tangan Niki dan
memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, masih
dengan tangannya yang membungkus jemari gadis itu.
Mereka berdua seperti itu untuk sementara waktu,
menyaksikan hujan berderai-derai, tetapi Niki merasa
hangat luar dalam. *** FEVER Wish #19: mengetahui rahasia Niki (Nata)
Nata meletakkan beberapa buku pelajaran di atas meja
belajar Niki, menyingkirkan bungkusan obat yang
sudah tak terpakai dan segelas air yang sudah setengah
kosong. Niki terbaring lemas dengan wajah pucat di
atas tempat tidur, mengenakan piyamanya yang
kebesaran dan bersembunyi di balik selimut tebal.
Sudah dua hari dia sakit, akibat kehujanan akhir pekan
lalu. Waktu itu, Niki pulang tengah malam dengan
tubuh basah kuyup, tapi di wajahnya tersungging
senyum lebar yang terlihat sangat bahagia. Entah apa
yang telah terjadi; Nata gengsi menanyakannya
walaupun ingin tahu, padahal dia sudah khawatir
setengah mati. "Gue bawain catatan pelajaran yang ketinggalan hari
ini," Nata berkata sambil menjatuhkan tasnya di atas
karpet dan berjalan menghampiri sisi tempat tidur. Niki
mengerang tanpa suara. "Kenapa sih orang lagi sakit harus disuguhi PR dan
catatan pelajaran?" tolaknya kesal.
Nata tidak menjawab. Diulurkannya sebelah tangan
untuk meraba kening Niki, merasakan panasnya.
"Masih demam, nih," dia menganalisis, "udah makan
obat" Buburnya udah dihabisin?"
Niki memasang raut cemberut. "Nata cerewet, ih."
Nata balas memasang muka berang. "Mau cepat
sembuh, nggak?" Niki memang ingin cepat sembuh, karena kangen pada
latihan cheers dan acara senam pagi sebelum kelas
pertama setiap hari. Dia kangen makan bakso kuah
superpedas Mbok Nah di kantin,dan mencicipi lemper
ayam serta jajanan lainnya setiap jam makan siang. Ia
bersin sekali, lalu sibuk menyeka hidung dengan
selembar tisu. "Lagian kenapa sih, bisa sampai flu berat begini"
Memangnya lo mandi hujan semalaman?" Nata
melanjutkan, memberikan pertanyaan sebagai umpan
untuk memancing cerita mengenai kejadian Sabtu lalu.
Tapi, Niki malah tersenyum lagi, seakan-akan sedang
mengingat kembali momen-momen manis yang hanya
menjadi miliknya dan Oliver.
"Kan, udah kubilang, mobil Oliver mogok jadi kita
harus nunggu mobilnya diderek di tengah hujan. Udah,
cuma itu." Dia menjawab dengan kurang meyakinkan,
membuat Nata makin curiga.
"Cowok itu nggak macem-macem sama lo, kan?"
Dipandang begitu, Niki jadi salah tingkah. Pipinya
sedikit bersemu, tapi ia menggeleng mantap. "Enggak
sama sekali. Oliver baik banget, kok. Pas kami lagi
nunggu, dia ngasih jaketnya supaya aku nggak
kedinginan. Ini pertama kalinya lho, Nat, ada cowok
yang care banget sama aku."
Enggan mendengar pujian mengena Oliver yang selalu
mahabaik dan mahasempurna, Nata akhirnya


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengalihkan pembicaraan, menyerahkan sebutir obat
flu pada Niki yang meminumnya dengan ogah-ogahan.
"Anna titip salam. Dia ada klub fotografi hari ini, jadi
baru bisa menjenguk besok."
Niki menyambut selembar foto yang dititipkan Annalise
untuknya sambil tersenyum. Foto itu adalah foto yang
diambilnya dengan kamera Lomo minggu lalu"saat
Niki sedang kepedesan dengan sepiring pempek, dan
Nata duduk di sebelahnya, ikut kerepotan memesankan
segelas teh dingin. Di baliknya, tertulis get well soon
dalam tulisan tangan Annalise yang rapi.
"Aku bosan, Nat. Di rumah sepi, apalagi Acha juga
pergi ke sekolah. Coba kamu dan Anna bisa bolos buat
nemenin aku." "Huuu." Nata geleng-geleng mendengar usulan itu dan
menyentil kening Nikidengan ujung jari. Tapi, tiba-tiba
saja, dia teringat sesuatu. "Eh... tunggu sebentar, ya."
Niki menyibakkan selimut dengan penasaran. Nata
cepat-cepat menuruni tangga dan berlari ke rumahnya
sendiri sebelum ke kamar Niki, terengah-engah dan
mengepit satu set permainan Monopoli di bawah
lengan. "Karena lo nggak bisa keluar, gue temenin main, deh."
"Monopoli!" Niki berseru riang, ikut duduk di atas
karpet sambil memasang papan karton dan menyusun
uang-uang kertas di atasnya. Dia jadi ingat, dulu setiap
salah satu di antara mereka sakit, mereka akan
mengeluarkan permainan Monopoli dan bermain berdua
di dalam rumah. Kadang, Nata juga akan
menyelinapkan es krim untuk Niki yang sedang sakit
walau mereka tahu makanan tersebut dilarang.
Nata dapat membaca senyum Niki itu, lalu berkata,
"Setiap kali kita main Monopoli, lo selalu kalah." Sejak
kecil begitu. Niki merebut dadu, lalu melemparnya asal di atas
karpet. Angka tiga. "Itu kan karena aku lagi sakit, atau
lagi kurang beruntung."
Nata mengambil gilirannya. Angka enam. "Monopoli
nggak ada hubungannya dengan keberuntungan.
"Yang penting senang." Niki berargumen, lalu sibuk
memajukan patung manusia plastik yang menandakan
posisinya. "Itu, kan, intinya semua permainan?"
Nata mengangkat bahu dan melangkah. Niki berseru
heboh ketika masuk penjara, dengan boros membeli
semua perhotelan tanpa banyak pikir, dan merengut jika
kena denda, seolah lupa akan sakitnya. Diam-diam,
Nata tersenyum sendiri melihat polah gadis itu. Saatsaat seperti ini adalah yang paling menyenangkan,
ketika dia bisa memiliki Niki untuk dirinya sendiri.
Pikiran yang agak egois, memang, tapi, itulah yang dia
rasakan kini. *** Wish #20: bertemu Niki (Oliver)
Oliver berhenti di depan rumah bercat gading itu,
memandang ke arah jendela kamar lantai dua yang
bertirai merah muda. Sambil mengusap hidung dengan
sapu tangan, dia menekan bel.
Otaknya penuh dengan wajah gadis itu. Senyumnya,
tawanya, suaranya, juga sentuhan tangannya. Dia tidak
sabar ingin bertemu lagi walau dalam keadaan seperti
ini. Pintu terbuka. Seraut wajah yang tidak asing
menyambutnya, dari datar menjadi tidak ramah ketika
melihat Oliver. "Niki ada?" Nata yang membuka pintu dengan terpaksa menjawab,
"Ada di atas, lagi istirahat." Ada penekanan pada kata
terakhir yang diucapkan dengan nada kurang senang.
"Bisa ketemu sebentar?"
Walaupun enggan, Nata mempersilakan Oliver masuk
untuk menunggu dan ia menaiki tangga untuk memberi
tahu Niki. Masing-masing memikirkan hal yang sama"
kenapa dia bisa ada di sini" Tidak lama kemudian, Niki
turun sendirian, mengenakan sehelai sweatshirt hijau
muda dengan leggings hitam. Rambutnya tergerai dan
wajahnya agak pucat walau dengan sedikit sapuan
lipgloss pink di bibir. "Kamu sakit?" Oliver tidak tahan untuk tidak
menyentuh pipinya, lalu merasakan hangat dari
temperatur tubuh Niki yang meningkat.
"Demam dan flu. Kamu?" Niki memperhatikan Oliver
yang juga kelihatan lemas, dengan mata kuyu dan
kantung hitam di bawah mata.
"Sama." Mereka berdua tertawa geli, menertawakan nasib yang
sama akibat berbagi beberapa jam di bawah hujan.
"Kok, gak istirahat?"
"Mau ngecek nasib kamu."
Niki merasa hatinya melambung. "Aku nggak apa-apa.
Mendingan kamu pulang dan istirahat."
"Kamu juga, tidur yang panjang."
Tangan mereka bertaut, masing-masing enggak
melepaskan genggaman. "Bye, Oliver." Oliver berdiri di depan pintu, lalu mengeluarkan
setangkai mawar kuning dari sakunya, sedikit layu
karena terlalu lama disimpan di dalam saku. "Buat
kamu. Mawar kuning untuk menjenguk orang sakit."
Niki menganggukkan terima kasihnya. Dia memandang
Oliver masuk ke kursi belakang mobil yang dipandu
oleh seorang sopir, lalu melambaikan tangan hingga
mobil itu menghilang di tikungan.
Dia menghirup aroma mawar kuning itu dalam-dalam,
lalu tersenyum penuh makna. Nata bersembunyi di
balik tangga, berusaha menguping dengan raut wajah
masam. *** LOVE Wish #21: menghindari hari valentine (Nata)
"Lo tahu gimana rasanya jatuh cinta?"
Hari Valentine sudah tinggal dua hari lagi, dan seisi
sekolah heboh mempersiapkannya. Majalah dinding
memuat artikel cinta lebih banyak dari biasanya,
horoskop di radio isinya tentang asmara semua, dan
yang paling parah lagi, seluruh ruangan di sekolah
dihiasi dengan ornamen hati dan pita warna pink.
Nata bosan melihaat warna itu di mana-mana. Kesal
juga melihat oknum-oknum penyebar iklan yang
menawarkan jasa mengantar bunga dan cokelat dari
kelas ke kelas. "Kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih bermutu aja,"
begitu katanya setiap kali iklan-iklan sampah itu
mengotori mejanya. Niki memutar mata, bosan mendengar gerutuan Nata
yang nonstop menjelek-jelekkan hari Valentine. "Itu
karena kamu nggak punya gebetan. Makanya, lebih
ramah dikit dong, biar cewek-cewek nggak kabur."
Annalise tersenyum geli mendengar ejekan Niki,
sedangkan Nata melengos. Dia tahu sejak dulu Niki
suka bunga, berharap ada cowok yang memberikannya
sekotak cokelat dengan pesan manis. Dia tahu Niki suka
segala sesuatu yang romantis. Tapi, segala aksi
romantisme itu tidak sesuai dengan dirinya.
Tanpa sengaja, pandangan matanya menangkap tulisan
di ujung pamflet merah yang terselip di halaman buku
pelajaran. Secret Admirer katakan cinta pada cinta rahasiamu!
Mukanya memerah dengan sendirinya. Tagline iklan itu
membuatnya penasaran. Sialan, Nata memaki dalam
hati. Kenapa jadi kepikiran terus"
*** Wish #22: mengetahui rahasia Nata (Annalise)
Annalise sedang melewati rak-rak perpustakaan dengan
setumpuk buku sastra Inggris di tangan ketika dia
melihat Nata celingukan di sudut yang kosong. Ia ingin
memanggil, tapi kelihatannya Nata sedang gelisah.
Dengan hati-hati, Annalise berhenti dan mengamati
Nata dari tempatnya berdiri, bersembunyi di balik rak
kayu tinggi. Nata berhenti di hadapan sebuah kotak, lalu
mengeluarkan selembar amplop biru dari kantong
celananya. Sambil melongok ke kiri dan kanan untuk
memastikan tidak ada yang memperhatikannya di sana,
ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak dan segera
berlalu dengan langkah terburu-buru.
Annalise tidak sadar dia telah menahan napas. Ketika
menyadari apa yang sedang Nata lakukan, entah
mengapa hatinya berdegup tidak keruan.
*** Wish #23: menikmati hari Valentine! xoxo (Niki)
Niki merentangkan tangan lebar-lebar sambil
menghirup udara segar. Langit pagi sangat cerah"biru
dengan awan seputih kapas yang merentang di manamana. Hari ini hari yang sudah ditunggu-tunggunya,
hari yang identik dengan warna pink, pernyataan cinta
dan eksibisi kasih sayang. Beberapa kotak cokelat
buatan tangan yang dikerjakannya semalam bersama
Acha, Annalise, dan Mama sudah rapi terbungkus
plastik bermotif hati. Penampilannya juga spesial untuk
hari ini"serba pink dari ujung rambut hingga kaki.
Dilihatnya Nata berjalan ke luar untuk mendorong
sepedanya sambil menguap lebar-lebar.
"Nataoo, kok sepedanya nggak dicat pink aja?" godanya
sambil tertawa, disambut oleh pelototan Nata.
Sahabatnya ini tidak suka pada ungkapan cinta yang
ekstravagan, tidak suka pada public displays of
affection, tidak suka pada yang namanya hari spesial
untuk memperingati romantisme secara internasional.
Lagu-lagu cinta yang sendu saja sudah membuatnya
muak, apalagi ini" Niki tersenyum geli ketika memanjat
boncengan sepeda Nata, lalu berbisik ringan di
telinganya, "Happy Valentine"s Day, Nata."
Hari ini akan menjadi hari yang istimewa, Niki yakin
itu. *** Pelajaran pertama dimulai dengan gaduh karena muridmurid lebih bersemangat mengenai perayaan hari
Valentine ketimbang pelajaran Kimia. Pak Marwan
mulai kewalahan mencoba menenangkan isi kelasnya.
Hari ini seluruh dunia blingsatan untuk sebuah hari
yang menurutnya tidak lebih penting dari hitungan mol
dan elektron partikel. Nata duduk di kursinya dengan gelisah. Tadi pagi, Niki
sempat memeluknya erat dan mengucapkan selamat
hari Valentine, bisikannya menggelitik kuping dan
membuatnya merinding. Dia hanya bisa berpura-pura
cuek dan mengangguk pasif begitu mendengarnya"
walaupun ucapan itu membuatnya deg-degan setengah
mati. Ada satu hal lagi yang membuatnya tak tenang"
program secret admirer konyol yang akhirnya
diikutinya. Hatinya mulai berdetak kencang ketika
seorang wakil OSIS berseragam pink mengetuk pintu
kelas mereka, disambut oleh sorak sorai murid-murid
yang sudah tak sabar lagi.
"Seperti kebiasaan kita dari tahun ke tahun, hari ini kita
akan mengantarkan hadiah dari sang penggemar
rahasia," ujar kakak senior tersebut memulai dengan
senyum. Di tangannya sudah ada beberapa kantong
plastik yang penuh dengan hadiah dan surat,
kebanyakan berbungkus kertas kado merah jambu.
Ajang popularitas ini memang terkenal di SMU mereka.
Setiap murid yang ingin menyampaikan rasa cinta tanpa
mengungkapkan identitas dapat memasukkan surat
bertuliskan nama pujaan mereka ke dalam sebuah kotak
yang diletakkan tersembunyi di sekolah. Surat tersebut
akan diberikan kepada orang-orang yang berhak
mendapatkannya pada hari Valentine. Nata selalu
menganggapnya bodoh dan pengecut, sesuatu yang
tidak ada gunanya"tapi toh dia melakukannya juga.
Setelah memasukkan suratnya ke dalam kotak, rasanya
ingin sekali mengambilnya kembali, tetapi tidak bisa.
Untung saja tidak ada yang tahu dia turut berpartisipasi.
"Helena!" Ketika nama itu dibacakan, seisi kelas riuh rendah
menyorakinya. Helena, yang sudah terbiasa menjadi
pusat perhatian, hanya tersenyum bangga dan maju
untuk mengambil tumpukan surat dari penggemarpenggemarnya yang sebagian besar adalah murid-murid
populer dari kelas sebelah.
"Vanya!" Beberapa nama kembali dibacakan"Annalise bahkan
mendapatkan lima surat, dan tanpa diduga Nata juga
mendapatkan tiga. Niki tersenyum begitu mendengar
namanya dipanggil, kemudian beranjak untuk menerima
empat amplop yang dilem rapi. Nata melihat miliknya
ada di dalam tumpukan itu, dan berusaha menahan diri
untuk tidak menaariknya dari tangan Niki, lalu
merobek-robeknya supaya perasaannya tidak ketahuan.
Namun, dia hanya terpaku di mejanya, meremas eraterat surat-surat miliknya yang sama sekali tidak
menarik perhatiannya. *** Annalise melihat Nata mengaduk-aduk kuah baksonya
tanpa selera, lalu meletakkan sendok di tepi mangkuk.
Sedari tadi, dia berusaha memulai percakapan, tapi Nata
sepertinya tidak terlalu memperhatikan.
"Nat, kok baksonya nggak
dimakan?" Ketika melihat
Nata masih diam saja, Annalise sedikit kehilangan
kesabaran. "Nata!"
Kali ini, untungnya Nata merespons. "Huh?"
"Kamu kenapa sih?"
Nata tidak ingin mengakui bahwa kegilaan di hari
Valentine ini sudah hampir mengganggu mentalnya


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga. "Nggak apa-apa."
Annalise tersenyum maklum. "Kalau memang nggak
ada apa-apa, kamu nggak bakalan bengong begini."
Nata menegakkan tubuh dan segera menyuap
makanannya, baru sadar bahwa bahasa tubuhnya begitu
mudah terbaca oleh Annalise. "Niki mana?"
"Pulang duluan, ada janji dama Oliver."
Kuping Nata memanas mendengar nama itu disebut.
"Lagi?" Ia tak tahan untuk tidak berkomentar sinis.
"Hari ini, kan, hari Valentine." Annalise beralasan
seadanya. Dia tidak ingin bilang bahwa Niki sudah
mempersiapkan segalanya hingga detail terakhir untuk
kencan kali ini, termasuk sekootak cokelat buatannya
sendiri yang sudah didekorasi secantik mungkin.
Cokelat yang berbeda dari yang diberikannya pada Nata
dan murid-murid lain di kelas, karena khusus untuk
yang ini, Niki begadang untuk membuatnya.
Nata mengangguk tanpa makna, menyeruput kuah
baksonya tanpa kata-kata dan menatap lurus ke depan.
Annalise menghela napas, lesu. Sejak melihat Nata
memasukkan surat yang kini ada dalam ransel Niki,
hatinya tidak tenang. Sering kali dia ingin mengaku saja
bahwa dia menyaksikan aksi Nata itu, tapi setiap kali
ingin buka mulut, dia kembali bungkam. Annalise kerap
kali mengingatkan dirinya sendiri bahwa masalah ini
tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Namun, harus diakuinya"ia kecewa ketika melihat
surat itu diserahkan kepada Niki. Lalu dia ingin
menertawakan dirinya sendiri keras-keras. Dasar
bodoh, kamu kira surat itu akan ditujukan kepada
siapa" Untuk kamu" Sejak awal, Annalise sudah
menduga siapa penerimanya, tetapi hal itu tidak
menghentikan secercah harapan untuk menyeruak
masuk ke dalam hatinya. Dan kini, ketika dia sudah
yakin akan perasaan Nata pada Niki, dia cukup senang
hanya dengan mendampingi pemuda itu
memperjuangkan perasaannya. Ah, mungkin itu yang
seharusnya dilakukannya. Memberikan dukungan, dan
sedikit dorongan. "Nat." Annalise menyentuh lengan Nata lembut, lalu
menarik tangannya. "Menurutku, kamu harus jujur
sama Niki." Nata mengangkat muka, namun tidak segera menjawab.
"Maksudnya?" Sebagai teman dekat mereka, Annalise merasa tidak
bisa diam saja melihat keduanya tidak sepaham. Entah
sudah berapa kali dia harus menengahi pertengkaran
mereka ketika Nata uring-uringan karena Niki terlalu
banyak menghabiskan waktu bersama Oliver. Niki pun
tampak adem-ayem saja, terlalu terhanyut dalam kisah
cintanya sendiri untuk menyadari bahwa kecemburuan
Nata punya alasan yang kuat.
Annalise memutuskan bahwa basa-basi hanya akan
membuat Nata kesal, jadi dia langsung ke topik
pembicaraan sesungguhnya. "Aku liat kamu masukin
surat ke dalam kotak secret admirer yang ada di
perpustakaan." Wajah Nata menegang. "Surat itu untuk Niki, kan?" Annalise mempertegas.
Nata diam saja, raut wajahnya sulit dibaca"sebuah
kombinasi antara rasa kesal, malu dan entah apa lagi.
"Aku tau kamu sayang sama Niki"sesuatu yang lebih
dari sekedaar persahabatan."
Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab, sedikit
terkejut karena Annalise yang biasanya memilih untuk
diam dapat secara gamblang membeberkan rahasianya.
"Jadi, gue harus gimana?" Ia bertanya setenang
mungkin walau perasaannya sudah campur aduk.
"Bilang sama Niki yang sesungguhnya, kalau kamu
sayang dia." Nata mendorong mangkuknya jauh-jauh, benar-benar
kehilangan selera untuk makan. Secara otomatis ia
menampik, menggunakan alasan yang selama ini
dipakainya untuk meyakinkan diri sendiri bahwa tidak
ada yang berubah di antara mereka. "Gue dan Niki
hanya sahabat, nggak lebih."
"Is that how you reallu feel?"
Nata terdiam lagi, tidak tahu bagaimana harus
menjawab. "Gue sendiri nggak tahu." Akhirnya, dia
berkaata lirih. Itu jawaban yang jujur. Nata tidak mampu mengartikan
perubahan rasa yang dimilikinya untuk Niki. Dia tidak
tahu sejak kapan dia mulai berdebar-debar setiap kali
berdekatan dengan sahabat perempuannya itu. Dia tidak
mengerti mengapa dia merasa kesal ketika Niki
bercerita tentang cowok-cowok yang mendekatinya,
marah pada teman-teman laki-lakinya yang
menggosipkan Niki. Dia tidak tahu mengapa
perasaannya terombang-ambing seperti ini. Sukakah"
Cintakah" Bukankah Nata kebal terhadap segala sesuatu
yang berkaitan dengan cinta" Dia selalu menganggap
jatuh cinta sebagai sesuatu yang bodoh dan
menyebalkan, yang membuat orang kehilangan akal
sehat dan jungkir balik karenanya.
Ia merasakan Annalise memperhatikan perubahan raut
wajahnya, lalu tersenyum simpul. "Perasaan semacam
ini wajar kok. You just have to fight for it."
Untuk pertama kalinya hari ini, Nata mendongak dan
berhenti menghindari tatapan Annalise. "Gue nggak
bisa," desisnya. Semuanya tidak semudah itu. Nata dan Niki"mereka
sudah terlalu lama bersahabat, dan Nata tahu Niki tidak
ingin ada apa pun yang berubah di antara mereka. Dia
pun tidak ingin persahabatan mereka goyah hanya
karena ada cinta yang menyeruak secara sepihak.
Annalise membalas tatapannya. "Cinta itu nggak
memiliki, Nat. Semua orang bebas merasakannya,
menyimpannya. Tapi, kalau kamu terlalu takut untuk
mengakuinya, selamanya kamu bisa terperangkap di
dalamnya." Wish #24: sebuah pertanyaan (Niki) & sebuah
jawaban (Oliver) Niki memeluk karangan mawar merah segar di
hadapannya, sesekali menunduk untuk menghirup
aroma harumnya. Dia tersenyum lebar kepada Oliver
yang sedang menyetir, sebelah tangannya
menggenggam jemarinya sepanjang perjalanan pulang.
Niki ingat beberapa tahun yang lalu, dia pernah dengan
polos bertanya pada Nata, bagaimana rasanya jatuh
cinta yang sesungguhnya" Kini dia sudah tahu
jawabannya"persis seperti apa yang diimpikannya
selama ini. Bahagia. Begitu senangnya hingga tidak
bisa berhenti tersenyum. Berdebar-debar hingga mau
pingsan rasanya. Oliver sering memujinya. Tidak pernah ada cowok yang
begitu blak-blakan memberi tahu Niki bahwa ia cantik,
sekalipun belum sempat berganti pakaian, masih
mengenakan seragam sekolah dengan rambut tergerai
seadanya, juga wajah yang hampir polos tanpa makeup. Saking terburu-burunya, sore ini Niki hanya sempat
mengulaskan pelembap bibir berwarna pink, juga
mengoleskan sedikit cologne bayi beraroma lembut
kesukaannya. Niki menunduk, wajahnya berser-seri. Di hadapan
Oliver, dia terus-menerus tersenyum bodoh dengan
wajah hangat yang memerah. Dia ingin berhenti
memasang ekspresi konyol seperti itu, tapi dia tidak
mampu. Rasanya dia sudah tidak bisa menahan
kebahagiaan ini sendirian. Mungkin ini terdengar aneh,
tapi Niki ingin cepat-cepat pulang dan memberi tahu
segalanya pada Nata. Mobil berhenti di depan rumahnya. Oliver berdiri di
depan pintu mobil yang terbuka, seakan
menghalanginya keluar. "Niki, aku mau ngomong sesuatu yang penting."
Niki menatap Oliver, menunggu apa yang ingin
dikatakannya dengan hati berdebar.
"Sejak pertama kali melihat kamu, aku selalu merasa
ada sesuatu mengenai kamu yang sangat istimewa...,
seakan-akan kamu bersinar di antara orang-orang lain.
Aku senang bisa kenal sama kamu, ngobrol dan jalan
bareng kamu." Oliver menelan ludah, terdiam sejenak seakan sedang
mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
"Kamu... mau jadi pacarku?"
Lidah Niki kelu. Dia ingin menjawab, ingin
meneriakkan satu kata itu keras-keras, tapi otaknya
kosong. Dengan lemas, Niki mengangguk,
genggamannya pada ikatan mawar-mawarnya
melonggar. Ketika Oliver merunduk untuk mengecup
bibirnya, Niki memejamkan mata dan membisikkan
jawaban itu untuk mereka berdua.
*** Wish #25: sebuah pernyataan (Nata)
Nata menunggu di atas trampolin hingga lewat jam
makan malam. Matahari sudah terbenam dua jam yang
lalu, dan perutnya sudah keroncongan, tapi Niki belum
pulang juga. Sesekali deru mesin mobil atau langkah
kaki membuatnya terjaga, namun Niki tidak kunjung
datang. Kata-kata Annalise tadi siang terus mengganggu
pikirannya, membuatnya bingung dan serba salah. Dia
sudah memikirkannya matang-matang, memainkan
berbagai jenis skenaNata yang mungkin terjadi, juga
mempertimbangkan masak-masak segala kemungkinan
yang ada jika dia mengakui perasannya pada Niki. Dia
rela mengambil resiko itu. Dan yang paling penting,
Nata ingin berhenti berpura-pura.
Ki, gue sayang lo. Nata mengakuinya. Entah sejak kapan, entah mengapa
dan entah bagaimana, dia tidak tahu. Yang diketahuinya
adalah, dia mencintai Niki, dan apa pun yang terjadi,
dia akan terus menyayanginya seperti itu. Apa pun
jawabannya nanti, Nata hanya ingin melepaskan
pernyataan itu dari hati kecilnya. Tidak ingin
membohongi Niki lagi dengan kedok persahabatan,
sedangkan yang diinginkannya adalah merengkuh
pundak mungil itu dalam satu dekapan hangat.
Deru mobil terdengar di kejauhan. Nata memasang
telinga dan menunggu. Tidak lama kemudian
didengarnya langkah kaki Niki mendekat. Sebelum
kehilangan keberanian, Nata buru-buru berkata.
"Ki, gue pengen bilang sesuatu sama lo. Penting."
Niki mengambil tempat di sebelahnya, memeluk lutut
dengan ekspresi yang sulit dibaca. Tampaknya dia tidak
memperhatikan raut wajah Nata yang cemas, juga tidak
mendengar urgensi dalam suaranya.
"Aku juga, Nat. Tahu nggak" Barusan Oliver minta aku
jadi pacarnya, dan aku bilang iya." Senyumnya
melebar, lalu Niki menoleh dan menatap Nata dengan
raut tidak percaya. "Can you believe it" Aku dan
Oliver. Rasanya nggak nyangka, sesuatu yang dari dulu
kuimpikan sekarang jadi kenyataan. Ternyata Prince
Charming memang bener-bener ada. Love at the first
sight betul-betul ada."
Nata hanya bisa menelan kembali kata-kata yang belum
sempat diucapkan. Momen yang dipersiapkannya sejak
tadi lenyap begitu saja, tergantikan oleh euforia sepihak
yang membuatnya kebas. "Oh ya?"
Niki tertawa kecil. "Kok, ekspresinya datar, sih"
Mestinya, kamu seneng, Nat, sahabatmu ini udah
dewasa. Udah bisa nemuin kebahagiaannya sendiri.
Sekarang nggak akan manja dan ngerepotin kamu lagi
untuk urusan-urusan kecil, dan kamu nggak usah
ngomel lagi karena aku lelet atau berat-beratin
boncengan sepeda kamu setiap hari."
Nata tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Sebenarnya, Nata ingin sekali mengatakan bahwa
Oliver bukanlah orang yang tepat untuk Niki, juga ingin
menyampaikan perasaannya sendiri. Tapi, ekspresi
gembira di wajah Niki membuatnya bungkam. Katakata yang akan diucapkannya hanya akan melukai gadis
itu, dan Nata tidak ingin melakukannya.
Dipaksakannya seulas senyum. "Jadi, gue harus bilang
apa, nih" Selamat...?"
Niki mengangguk bahagia. "Kamu orang pertama yang
kukasih tahu." Ditariknya Nata mendekat dan
dipeluknya eraat-erat. "Thanks ya, Nata. Kamu memang
teman yang baik walau suka nyolot, galak dan sensi.
Selamanya kamu akan jadi sahabat Niki yang terbaik,
ya kan?" Nata tersenyum pahit, untuk segala sesuatu yang sudah
terlambat. Niki menggumam pelan, masih dengan Nata dalam
rangkulannya. "Inget janji kita waktu itu?"
Nata ingat. "Waktu itu gue bilang kalau lo pasti lebih
dulu jatuh cinta dibanding gue."
Niki terSarah. "Kamu bener, Nat. Dan ternyata jatuh
cinta itu bener-bener menyenangkan. Kamu akan ngerti
maksudku kalau kamu mengalaminya nanti."
Nata memandang Niki yang melonjak-lonjak ringan di
atas trampolin, wajahnya tidak pernah tampak
sebahagia sekarang. Lo salah, Ki. Yang duluan jatuh cinta di antara kita
ternyata bukan lo, tapi gue.
** Wish #26: a cure for broken hearts (Annalise)
Annalise berdiri di depan pagar rumah Nata,
menggenggam erat sekotak cokelat terakhir. Entah apa
yang membawanya di sini, dia sendiri masih belum
bisa memutuskan apa yang akan dikatakannya pada
pemuda itu jika mereka bertemu nanti. Dengan ragu, ia


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menekan bel, lalu merasa serbasalah ketika Dhanny
yang membukanya. "Cari Nata?" tanyanya, sambil mengusap rambut yang
masih setengah basah dengan sebelah tangan.
Annalise mengangguk. "Dia ada?"
"Lagi semedi di kamar, sepertinya mood-nya kurang
bagus. Kamu... tau kenapa?"
"Mungkin." Annalise mengulas senyum melihat
ekspresi Dhanny yang khawatir. Ia meniti tangga ke
kamar Nata, lalu mengetuk pintunya dua kali. Ketika
tidak ada yang menjawab, dia memutar gagang dan
beranjak masuk. Nata sedang duduk di atas karpet,
memetik senar gitar dengan asal-asalan.
"Boleh masuk":"
Nata mengangguk samar. Annalise duduk di sebelahnya
dan meletakkan kotak cokelat berpita putih itu di atas
meja. "Buat kamu. Aku menyisakannya semalam."
"Jadi ini cokelat sisa?" Nata separuh bercanda, tapi
nadanya tanpa humor. Ia lalu mengubah topik
pembicaraan; sepertinya hal itu sudah mengganggu
pikirannya sejak tadi. "Tadi... gue ketemu Niki."
Nata tidak perlu melanjutkan kalimatnya karena
Annalise sudah tahu. Barusan Niki meneleponnya untuk
bercerita panjang lebar mengenai Oliver. Karena itulah
dia buru-buru datang ke sini.
"Sejak dulu Niki pengen punya cowok yang sempurna,
yang nggak takut untuk bilang sayang dan ngasih
berbagai macam kado. Dan, gue bukan tipe cowok
seperti itu." Nata menjauhkan gitarnya dan tersenyum
pada Annalise. "Thanks buat nasihat lo, Ann. Gue tau lo
care sama gue dan Niki. Tapi kita berdua Cuma
sahabat, nggak bisa lebih dari itu. Nggak akan ada yang
berubah." Annalise bersandar pada tepi tempat tidur Nata,
pandangannya menerawang jauh. "Kamu nggak bakalan
nyesel?" "Kalo dia seneng, itu udah cukup buat gue."
Ekspresi di wajah Nata membuatnya merasa sedih.
Kata-kata penghiburan yang ingin dikatakannya terasa
klise dan kaku di lidah sehingga Annalise tidak jadi
mengatakannya. Nat, apa Cuma Niki yang bisa bikin kamu tersenyum"
Apakah nggak ada orang lain lagi yang mampu
menggantikan posisinya di hati kamu"
Annalise ingin menanyakannya. Ingin mengatakan
bahwa dia mengerti perasaan Nata, karena dia pun
merasakan hal serupa. Tapi, dia malahan berusap, "Apa
pun yang terjadi, kita bertiga masih sahabat. Itu yang
penting." Nata tersenyum sendu sebagai balasannya. "Iya, kita
bertiga selamanya temenan."
Tanpa sadar, sebutir air mata meluncur turun, dan
Annalise mengusapnya sebelum Nata sempat melihat.
*** Ifu duduk di depan meja belajarnya, dengan lampu tidur
yang dinyalakan remang-remang supaya tidak
mengganggu Acha yang sedang terlelap. Sudah hampir
tengah malam, tapi dia masih belum bisa tertidur.
Rasanya seluruh kebahagiaan hari ini terlalu
menyesakkan sehingga dia terlalu bersemangat untuk
istirahat. Besok pasti seluruh tubuhnya pegal-pegakl
dan jadi mengantuk di kelas.
Dia baru saja menghabiskan satu jam terakhir bercerita
pada Acha mengenai Oliver, sampai adiknya itu bosan
dan tertidur. Bunga-bunga pemberian Oliver sudah
ditata rapi di dalam sebuah vas kaca, beberapa tangkai
yang sudah layu bahkan sudah dikeringkan untuk
disimpan. Niki membelai kelopaknya yang sehalus
beludru sembari tersenyum-senyum sendiri.
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Empat surat dari
penggemar rahasianya yang didapatnya di sekolah tadi
siang masih belum sempat dibuka. Dikeluarkannya dari
ransel dan ditelitinya satu per satu. Salah satu dari
keempat surat itu menarik perhatiannya karena
amplopnya yang biru di antara warna merah jambu.
Amplop itu sederhana, tanpa nama, dan di dalamnya
hanya ada selembar kertas tipis.
Isinya adalah sepotong sajak yang diketik rapi.
Niki bertopang dagu di atas meja, menggunakan
remang cahaya kuning untuk membacanya.
Bulan emas tinggal separuh
Bintang-bintang sangat pemalu
Kau terduduk di sampingku
Aku lantas mencintai bayanganmu
Kau menoleh untuk tersenyum
Hatiku berserakan... lebur dan lepuh
*** ACCIDENT Wish #27: memenangkan kompetisi basket (Oliver)
Niki takjub bukan main saat ia pertama kali
menginjakkan kaki di gerbang depan sekolah Oliver.
Pasalnya, sekolah elite yang selama ini hanya
dikenalnya melalui kabar burung dan omongan orangorang ternyata memang seperti yang digosipkan. Pagar
utamanya tinggi dan kokoh, dipoles mengilap tanpa
karat. Pekarangan sekitarnya asri, seperti kampuskampus luar negeri yang dipenuhi pohon rindang dan
kursi taman yang terbuat dari tembaga. Lapangannya
dua kali lebih besar dari milik sekolah Niki, dilengkapi
pula dengan fasilitas kolam renang indoor yang dapat
dilihat melalui kaca transparan besar. Belum lagi
gedung-gedungnya yang bercat kuning pucat, semuanya
tinggi dan rancangan modern, pastinya karya arsitektur
ternama. Masing-masing ruang kelas memiliki jendela
tinggi yang transparan, terlihat seperti rumah kaca
dengan ruang belajar luas, lengkap dengan loker
pribadi. "Pasti mahal sekali ya, sekolah di sini?" celetuknya
polos. Oliver, yang baru saja memarkir mobil di area
yang tak kalah lapang, ikut tersenyum.
"Yang sekolah di sini kebanyakan anak-anak diplomat,
selebritas atau warga negara asing," jawabnya sambil
menenteng duffle bag berisi perlengkapan olahraga./
"Yuk, masuk. Jangan bengong aja di sana."
Niki berusaha keras terlihat biasa di dalam sekolah itu.
Bahkan, siswa-siswinya tampak amat modis dalam
seragam serbaputih. Banyak murid berambut pirang dan
bermata biru di sana-sini, mengingatkannya akan
Annalise. Oliver sepertinya sangat populer, karena
mereka semua menyapanya dan tak sedikit yang
menepuk pundaknya untuk mengucapkan selamat
bertanding. "Ayo." Oliver menggandeng tangannya dan menariknya
menuju lapangan basket indoor sekolahnya. Gestur
posesif ini membuat Niki senang.
Lapangan basket indoor yang luas sudah dipadati orang.
Hari ini, tim basket SMU Pelita akan bertanding dengan
tim SMU Aksara yang tahun lalu memenangi kompetisi
regional. Niki tahu Oliver sudah berlatih keras, dan
setiap hari yang diomongkannya hanya pertandingan
ini. Sebagai bentuk dukungannya, Niki menawarkan
diri untuk datang memberi semangat.
Bangku-bangku penonton sudah hampir penuh. Niki
menyelinap ke baris ketiga, duduk di ujung sembari
memperhatikan Oliver mengenakan jersey putih emas
di atas kausnya, lalu membungkuk untuk mengikat tali
sepatunya. Tim lawan juga sudah siap, beberapa di
antaranya bahkan sudah berlaga di sudut lapangan
untuk melakukan latihan kecil.
Niki merasa kikuk dalam seragam sekolahnya yang
beda sendiri dengan orang-orang di sekelilingnya.
Bandana biru muda yang melilit di kepala dan gelanggelang oversized plastik berwarna pelangi di
pergelangan tangannya membuatnya lebig selfconscious lagi, kekanakan dibanding dengan aksesoris
platina dan jam bermerek milik siswi-siswi yang duduk
tidak jauh darinya. Tapi, lalu Oliver menangkap pandangannya dan
mengedipkan sebelah mata, tidaklupa melambaikan
tangan dengan senyum percaya diri. Niki merasa jauh
lebih baik setelahnya, walau beberapa gadis berbalik
memelototinya dengan sengit. Dia sudah tahu Oliver
adalah salah satu That It Guy di sekolah ini"dan dia
merasa sangat, sangat beruntung.
Peluit dibunyikan dan anggota masing-masing tim
berlari kecil ke tengah lapangan. Bola basket dilempar
tinggi-tinggi, dan permainan pun dimulai begitu Oliver
berhasil menyentuh bola sedetik lebih cepat dari ketua
tim basket lawannya. Para pemain bergerak cepat,
masing-masing mengambil posisi dan mengikuti arah
bola dengan lincah. Decit sepatu dan dentuman bola
berbaur dengan seruan dan bunyi peluit. Niki menonton
dengan tegang, ikut berseru riuh rendah ketika skor
pertama jatuh ke tim Oliver. Mata pemuda itu sama
sekali tidak meninggalkan bola, dengan seksama
memperhatikan kinerja timnya dan tidak ragu
meneriakkan instruksi. Sesekali,dia mengelap
keringatnya dengan ujung kaus, gayanya yang tenang
dan penuh kalkulasi membuat tim lawan gerah.
Baru saja permainan berlangsung lima belas menit,
handphone Niki bergetar di dalam tasnya. Terganggu
dan tidak berkonsenterasi, Niki membaca pesan singkat
yang barusan masuk. Jantungnya nyaris berhenti
berdetak ketika otaknya mencerna kalimat pendek itu.
Sender: Annalise Ki, Nata kecelakaan. Sekarang masuk rumah sakit.
Tanpa banyak pikir, Niki melesat dari bangkunya dan
berlari ke arah pintu keluar. Dengan panik, ia
memanggil taksi dan meminta pengemudinya untuk
ngebut menuju rumah sakit. Yang dibayangkannya
hanya Nata yang terbaring di atas ranjang rumah sakit,
darah memenuhi seprai putihnya. Dia berusaha
mengenyahkan pikiran itu dengan menggelengkan
kepala kuat-kuat. "Pak, tolong lebih cepat, ya," pintanya, berdoa dan
berdoa untuk keselamatan Nata.
*** Wish #28: supaya Nata baik-baik saja (Niki)
Niki menghambur ke dalam ruangan tempat Nata
sedang dirawat, menemukan sahabatnya sedang dalam
posisi duduk, menggunakan dua bantal besar sebagai
penyangga. Perban besar menutupi danhi dan beberapa
bagian tubuh lainnya. "Hai, Ki." Teguran santai itu tidak membuat Niki lega,
malahan semakin panik. "Kamu nggak apa-apa kan, Nat" Mananya yang sakit?"
Niki membalikkan tangan Nata yang dibalut dengan
hati-hati, mencoba mencari bekas luka. "Aduh... kok
bisa begini, sih?" "Segitu khawatirnya sama gue?" Nata menggoda,
senyumnya senang, bertukar pandangan dengan
Annalise yang juga tersenyum geli di sampingnya.
"Serius, nih! Yang mana yang luka?"
Senyum Nata semakin mengembang. "Cuma lecet-lecet
kecil aja, kok. Yang parah di sini." Ia menunjuk
keningnya, "kena enam jahitan."
"Hah?" Niki merinding mendengarnya. "Kok bisa?"
Annalise ikut bicara untuk menenangkan Niki. "Nata
terserempet mobil sampai jatuh dari sepedanya, tapi
hanya lebam dan luka ringan di sekujur tubuh. Luka di
keningnya cukup besar, tadi sampai berdarah-darah
banyak sekali, tapi untungnya sekarang udah nggak
apa-apa." Niki mengembuskan napas lega. "Bawa sepedanya
nggak hati-hati, ya?" tuduhnya curiga. "Ngebut, kan?"
Nata mendelik, kesal dituduh yang bukan-bukan. "Enak
aja. Yang ngebut tuh mobil yang nyerempet gue, nikung
sembarangan lagi," gerutunya. "Lo dari mana aja sih,
kok datengnya lama?"
Mendengar pertanyaan itu, mendadak saja Niki teringat
pada apa yang ditinggalnya. Oliver, pertandingan
basket, lapangan SMU Pelita. Gawat! Dia benar-benar
lupa sama sekali. "Tadi aku lagi nonton pertandingan basket di
sekolahnya Oliver." Niki menggigit bibir dengan rasa
bersalah. Mendengar nama Oliver disebut, raut Nata
berubah masam, tapi dia tidak berkata apa-apa.
Sudah ada lima missed call di handphone Niki yang
tidak disadarinya. Niki beranjak keluar ruangan dan
menekan nomor Oliver dengan speed dial.
Panggilannya terjawab dalam satu kali dering.
"Halo" Niki?" Suara Oliver sulit terdengar dalam
kehebohan riuh-rendah di ujung telepon. "Kamu di
mana, kok tiba-tiba menghilang?"
"Sori... tadi aku dapat SMS kalau Nata kecelakaan, jadi
aku langsung ke rumah sakit dan lupa ngabarin kamu."
"Oh." Oliver terdengar kecewa. "Dia nggak apa-apa?"
"Luka-luka ringan, dan ada luka yang dijahit."
"Kamu bakal balik ke sini, kan?" Nada suaranya penuh
harapan. "Kita menang lho, sayang kamu nggak lihat."
"Sori," Sekali lagi Niki meminta maaf, "kita rayainnya
besok aja, ya" Aku yang traktir deh." Ia kian merasa
bersalah, apalagi ia sama sekali tidak melihat akhir dari
pertandingan itu. Kini dia malahan menolak ajakan
perayaan kemenangan Oliver.
Hening. Agak lama sebelum Oliver menjawab.
"Kamu... mau nemenin Nata di sana, ya?"
"Iya," jawab Niki jujur. "Kasihan Nata sendirian di
rumah sakit, belum bisa pulang karena masih harus
check-up." "Oh..., ya udah."
Telepon ditutup. *** Wish #29: Niki (Nata)

Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah sakit setelah lewat visiting hours sangat
lengang. Lorong-lorongnya sepi, hanya sesekali
terdengar bunyi pintu kaca didorong, dan langkah kaki
serta bisikan kecil para dokter dan suster yang sedang
jaga malam itu. Dua tempat tidur lain yang berbagi
ruang dengan Nata kosong tanpa pasien, membuatnya
lega karena memiliki lebih banyak privasi.
Nata menatap Niki yang sedang tertidur sambil
menelungkupkan tangan di tepi tempat tidurnya.
Lembaran kartu Uno berserakan di sampingnya, belum
sempat dibereskan. Tadi mereka bermain kartu untuk
melewati waktu, tapi yang ada malah Niki kelelahan
dan dengan mudah terlelap dalam hitungan menit tanpa
pembicaaraan. Nata tidak punya masalah dengan itu,
dia cukup senang memperhatikan Niki beristirahat
dengan muka angelic seperti sekarang.
Dia gembira karena Niki segera datang ke rumah sakit,
meninggalkan pertandingan basket Oliver yang
sepertinya cukup penting. Dia juga senang Niki tidak
langsung pulang ke rumah atau kembali menemui
Oliver, malah mengajukan diri untuk menemaninya
semalaman, menggantikan Annalise dan keluarganya
yang sudah lama menungguinya di rumah sakit. Dalam
hati, dia bersorak"ini artinya Niki memilihnya. Pikiran
kekanakan itu membuatnya tak berhenti tersenyum,
hampir sama sekali melupakan mobil yang tadi sore
menyerempetnya hingga terjatuh ke tepi jalan,
membuatnya terpaksa menghabiskan semalam di rumah
sakit. "Gue sayang lo, Ki. Sayang banget."
Kata-kata itu belum pernah diucapkannya benar-benar,
tetapi sama-sekali tidak terasa janggal.
*** Wish #30: menemani Nata di rumah sakit (Annalise)
Annalise mengendap masuk ke ruang tepat Nata
dirawat, meraih gagang pintu dan memutarnya sepelan
mungkin supaya tidak menimbulkan suaara. Barusan
dia berbohong pada suster bahwa dia adalah adik Nata,
supaya bisa diizinkan masuk.
Sebuah kantong plastik bening berisi beberapa batang
es krim kesukaan Nata sudah dibelinya dalam
perjalanan ke sini. Nata pasti kebosanan bukan main di
kamarnya, hanya ditemani satu unit televisi yang
menyajikan siaran sinetron sepanjang malam. Niki
bilang dia akan pulang pukul delapan, jadi Annalise
bermaksud menggantikannya untuk menemani Nata.
Langkahnya terhenti. Dia melihat pemuda itu terbaring
di atas tempat tidur dalam pakaian rumah sakit
berwarna biru muda, di wajahnya sebuah ekspresi
lembut yang sulit dijelaskan. Lalu, Annalise melihat
Niki yang sedang terlelap, dan sayup-sayup mendengar
kalimat yang dikatakan Nata. Dan, dia mengerti.
Ia mengambil beberapa langkah mundur yang agak
terburu-buru, lantas menabrak seseorang di depan pintu.
Ketika menoleh, Annalise bertatapan langsung dengan
Dhanny. *** Wish #31: membaca pikiran seseorang (Dhanny)
Dhanny menyandang tas berisi pakaian dan handuk
kotornya setelah dua jam penuh bermain futsal. Dia
melangkah masuk ke dalam rumah sakit untuk
menjenguk adik satu-satunya yang hari ini bermalam di
sini. Kasihan, pasti suram banget hidupnya di sini, begitu
putusnya, jadi ia pun membawakan beberapa jilid
komik baru kesukaan Nata untuk santapan malam ini.
Lumayan untuk melewati bosan.
Di lantai tiga, dia bertemu dengan seorang suster yang
menghalangi jalannya. "Maaf, Dik, jam besuk sudah
habis." "Saya kakaknya," Dhanny berkata, menunjuk
bawaannya, "Saya Cuma sebentar kok, hanya mau
membawakan barang." Suster itu tampak ragu, tetapi luluh melihat senyum
Dhanny yang memohon. "Ya sudah, tapi jangan lamalama ya. Barusan adik perempuannya juga datang
berkunjung, mungkin sekarang masih ada di dalam."
Adiknya" Dhanny tidak habis pikir, tapi dia diam saja
dan segera berjalan ke kamar rawat Nata. Baru saja ia
ingin masuk, tapi pintu terbuka dan muncul salah satu
teman Nata"gadis bule itu"dengan ekspresi tidak
keruan. Dhanny mengingat namanya. "Annalise?"
"Anna." Dia mengangguk singkat, masih tampak
terkejut. "Ada apa" Nata ada di dalam, kan?" Sebelum Annalise
mampu merangkai kata untuk menjawab, Dhanny
menjulurkan kepala dan melihat adiknya, yang sedang
menarik selimut miliknya sendiri untuk menghangatkan
Niki yang sepertinya sedang pulas. "Nggak mau
masuk?" Annalise menggeleng. "Aku mau pulang saja."
Alvim mengamati perubahan raut wajah Annalise, tibatiba saja mengerti apa yang membuat gadis ini berubah
pikiran begitu saja. Digosok-gosokkannya kedua
telapak tangan yang mulai dingin karena sejuknya
malam. "Kuantar pulang, ya?" Melihat Annalise
mempertimbangkan ajakannya dengan ragu, senyum
Dhanny mengembang. "Aman kok, pasti selamat tiba di
rumah. Tapi sebelummnya, temenin aku makan dulu
sebentar." Annalise terdiam sejenak, lalu mengangguk dengan
senyum kaku dan mengikutinya menuju 24-hour caf?
di lantai bawah. "Percaya atau tidak, rumah sakit ini punya caf? dengan
makanan yang enak banget, walaupun banyak orang
bilang makanan rumah sakit nggak bisa dimakan sama
sekali." Dhanny memilih runa casserole hangat dan
secangkir espresso, lalu memilih sebuah meja di sudut
yang agak jauh dari pintu keluar. Dilihatnya Annalise
hanya memesan semangkuk sup krim asparagus dan
segelas teh tawar hangat sehingga ia memotong sedikit
makananannya dan meletakkannya di piring gadis itu.
"Kamu belum benar-benar mengenal yang namanya
makanan enak kalo belum nyobain ini."
Sekali lagi, Annalise mengulas senyum tipis, lalu
menyesap minumannya. "Di New York ada sebuah
kedai yang menjual kudapan seperti ini. They have the
best burritos and casserols in town."
Dhanny mengunyah makanannya tanpa suara. "Kamu
kangen New York?" Ekspresi Annalise melembut ketika menjawab.
"Kadang-kadang. City view di sana sangat indah,
terutama Natal di daerah Rockefeller."
"Kamu pernah memotretnya?"
Annalise mendongak, seakan terkejut ditanya demikian.
"Pernah, beberapa kali."
Senyum Dhanny melebar. "Kapan-kapan boleh
kulihat?" Annalise memiringkan kepala, mengamati pemuda yang
begitu ramah walaupun belum pernah benar-benar
berkenalan. "Kamu juga suka fotografi?"
"Ah, ya. Sebenarnya hanya belajar secara otodidak.
Lebih tepatnya bisa dibilang hanya pengagum."
"Pengagum pun harus ngerti fotografi untuk bisa benarbenar mengapresiasinya."
"Betul, makanya aku kagum melihat hasil fotomu
waktu pameran tempo hari. Foto-foto itu punya nyawa,
terutama foto seorang anak kecil yang sedang tertawa di
balik air matanya." Annalise menunduk, tidak menyangka Dhanny masih
mengingat foto-fotonya yang dipajang untuk pensi
bulan lalu. "Nata juga bilang begitu... tentang fotofotoku."
"Kamu dan Niki adalah dua orang yang oenting buat
adikku." Ketika Annalise memandangnya dengan
bingung, Dhanny menjelaskan. "Sejak kecil, Nata benci
sama yang namanya perempuan. Dia paling ogah deketdeket dengan perempuan, bahkan cenderung
menyendiri dibanding bergaul dengan teman-teman
seumutnya. Nata orangnya susah bergaul, nggak
terbuka dan nggak gampang percaya sama orang.
Karena sifatnya ini, orang-orang jadi males ngedeketin,
karena mereka sulit ngerti dia. Waktu kecil, tementemen sekelasnya nggak ada yang mau main sama Nata.
Nata juga nggak pernah mau berbagi mainannya sama
orang lain. Cuma Niki yang keukeuh ngajak dia main
bareng, naik sepedalah, main bonekalah, sampai
nangkep jangkrik di pinggir kali. Walau dicuekin Nata
berkali-kali, Niki nggak nyerah atau pun marah."
Dhanny tersenyum mengingat kejadian itu. Niki dengan
senyum lebar dan gigi ompong terus-menerus
berjongkok di samping Nata, tidak peduli bahwa anak
cowok itu tidak memedulikannya dan menyembunyikan
seluruh mainannya dari jangkauan Niki. Setiap sore,
Niki tetap datang ke rumahnya dan berteriak dengan
lantang. "Nata, main yukkk!", sampai akhirnya adiknya
itu memberikan satu mobil mainannya kepada Niki.
"Mungkin yang dibutuhkan Nata adalah orang-orang
percaya sama dia. Sahabat seperti kamu dan Niki."
Melihat Annalise termenung memikirkan perkataannya,
Dhanny bangkit dan tersenyum pada Annalise. "Yuk,
kita pulang." *** MAMA Annalise terjaga dari tidur lelapnya ketika mendengar
ribut-ribut di luar kamar. Terang dari lampu ruang
keluarga menyisip masuk melalui celah-celah pintu,
membuatnya membuka mata untuk melirik ke arah jam
weker yang ada di tepi tempat tidurnya. Hampir tengah
malam. Ia bangkit dan mengucek mata yang masih sarat
akan kantuk, lalu menyeret langkah untuk melihat siapa
yang malam-malam begini masih terjaga. Ternyata
Tante Nadja sudah mendahuluinya, kacamatanya yang
bersiluet tegas terlihat kurang cocok dengan rambut
yang berantakan dan muka mengantuk.
Annalise berusaha membiasakan pandangannya pada
terang yang tiba-tiba menyala, dan melihat sebuah
sosok di balik pintu. Perempuan itu mengenakan mantel
dengan gaun selutut dalam siluet warna krem, serta
sepasang boots suede berwarna senada. Rambutnya
diikat dalam sebentuk chignon longgar, dengan
kacamata diangkat ke atas seperti bando. Tingginya
tidak kurang dari seratus delapan puluh sentimeter,
terlihat semakin jenjang dengan hak sepatu yang
runcing. Bunyi yang ditimbulkannya cukup membuat
Annalise tersadar dari keterkejutannya.
"Mama"!" Tantenya tampak sama kagetnya dengan dirinya.
Mereka berdua sama-sama masih mengenakan piyama
tidur, dengan keadaan yang disoriented, terlihat seperti
dua orang kebingungan yang terkejut luar biasa. Mereka
melongo melihat Mama dengan ribut membuka pintu
dan menarik masuk kedua kopor besarnya.
"Surprise!!" Mama merentangkan tangan lebar-lebar, tersenyum
senang melihat kekagetan yang telah disebabkannya.
Beliau berhenti dan memandang Annalise lekat-lekat.
Annalise tidak bergerak saat jemari Mama mengusap
helai-helai rambut yang berantakan di keningnya, lalu
mendekapnya erat. Harum parfum Mama masih tidak
berubah"Miracle dari Lancome. Rasanya sudah lama
sekali, tetapi anehnya bau itu masih tidak asing di
hidung Annalise. Ia memejamkan mata dalam dekapan Mama, terlalu
terkejut untuk membalas pelukannya.
*** Wish #32: mama untuk tetap tinggal (Annalise)
Sudah beberapa hari ini Annalise tidak henti-hentinya
tersenyum, tidak kalah dengan Niki yang masih berseriseri sejak peresmian hubungannya dengan Oliver.
"Kalau ada di samping kalian, gue keliatan kayak
manusia paling murung di dunia," begitu komentar Nata
ketika melihat kedua sahabatnya memasang ekspresi
gembira yang identik. Annalise bertukar pandang
dengan Niki dan mereka berdua menyeringai.
Nata dan Niki adalah orang pertama yang
diberitahukannya mengenai kepulangan Mama
beberapa hari yang lalu. Rumahnya tidak lagi penuh
dengan kesunyian yang sering kali mengisi percakapan,
kini sarat dengan obrolan yang bermakna untuk
melepas rindu. Pada pagi hari setelah Mama kembali,
Annalise bahkan mengecek kamar Mama untuk
memastikan bahwa kejadian semalam bukan hanya
imajinasinya. Bertapa leganya saat menemukan Mama
di balik selimut, raut damai dalam nyenyak tidurnya.
Annalise tidak pernah berharap lebih dari ini.
"Mamamu sekarang akan tinggal di Jakarta?"
Ketika Nata menyeletukkan pertanyaan sederhana itu,
Annalise terhenyak. Dia tidak berani menanyakan
apakan Mama akan tinggal lebih lama di Jakarta kali
ini. Dia tidak tahu apakah Mama akan segera terbang ke
luar negeri lagi untuk pekerjaan, lantas tidak kembali
beberapa bulan lamanya. Dia juga belum sempat
bertanya mengapa Mama melupakan hari ulang
tahunnya waktu itu, mengapa Mama tidak menepati
janji kepulangannya. "Nggak tahu," Annalise dengan jujur menjawab,
"mudah-mudahan kepulangan Mama kali ini for god."
Harapannya ini dikukuhkan juga oleh kegiatan Mama
yang tidak sepadat biasanya. Setiap sore, Annalise
menemukan Mama sedang melukis di patio rumah
mereka, bergulat dengan kuas, palet warna, dan
secangkir kopi. Dia akan duduk saja di samping Mama,
memperhatikan garis wajahnya dan kadang-kadang
memotretnya. Sesekali, mereka mengobrol, bertukar


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerita mengenai banyak hal yang tidak bisa diceritakan
panjang-lebar melalui telepon. Sore ini, Annalise pun
duduk di kursi beranda, melihat Mama menyapukan
wanra merah jambu untuk pemandangana matahari
terbenam di atas kanvas. "Udah lama nggak ke Jakarta, ternyata Mama kangen
juga sama kota ini." Mama tersenyum sekilas sambil
tersu melukis, rambutnya yang panjang tergerai dan
melambai ringan ketika ditiup angin. Wajahnya bersih
tanpa make-up, sesuatu yang jarang Annalise lihat,
tetapi sangan disukainya. Inilah Mama apa adanya,
Mama yang dikenalnya. "Kamu sudah terbiasa di sekolah baru" Punya banyak
teman?" "Ada dua sahabat baruku, namanya Nata dan Niki.
Mereka penggemar berat Mama."
"Oh ya?" Mama tampak senang mendengarnya.
"Mama." Annalise terdiam sejenak, ragu untuk
menanyakan pertanyaan Nata yang membebani
pikirannya belakangan ini. Dia takut mendengar
jawabannya, tapi lebih takut lagi menemukan Mama
mendadak pergi seperti yang sering dilakukannya.
"You"re going to stay, aren"t you?"
Kali ini, Mama meletakkan kuas dan mengelap kedua
tangan dengan celemek yang melilit di pinggang.
Dipandangnya Annalise dengan seksama, tatapan
matanya lembut. Mama tidak menjawab, hanya
memeluknya seakan tidak ingin melepaskannya lagi.
*** PHOTOGRAPHS Tanggal batas terakhir pengiriman materi untuk lomba
fotografi sudah dekat. Nata dan Niki sibuk membantu
Annalise memilih foto untuk kompetisi tahun ini, yang
diusung dengan tema lokalitas. Tadinya, Annalise
enggan untuk ikut, merasa bahwa foto-fotonya masih
belum pantas untuk dijagokan dalam lomba bertaraf
nasional, bersaing dengan ribuan bahkan jutaan remaja
lain yang sama-sama punya bakat di dunia fotografi.
Namun, tentu saja, Niki mendesaknya untuk ikut
mendaftar. Belum lama ini, dia melihat selembar flyer
yang mengiklankan lomba ini di mading sekolah, dan
dengan persuasif diajaknya Annalise ikut. Hampir
separuh siswa dari grup ekstrakulikuler fotografi di
sekolah mereka akan berpartisipasi, katanya, dan tidak
ada alasan bagi Annalise untuk menolak ikut. Annalise
sengaja mengulur-ulur waktu hingga waktunya dekat,
berharap mereka akan melupakannya. Namun, Nata,
dengan netral sempat berkata padanya, "Kalau lo
merasa terbebani untuk ikutan, lebih baik gak usah,
daripada terpaksa. Tapi, menurut gue, foto-foto lo
nggak kalah dengan milik fotografer andal, dan lo harus
percaya pada kemampuan lo sendiri."
Akhirnya, Annalise pun memutuskan untuk ikut. Hanya
saja, hingga sekarang dia masih belum bisa memilih
foto mana yang akan diikutsertakannya dalam lomba.
Tema lokalitas adalah subjek yang tricky baginya,
karena fotonya harus mencerminkan kepribadian
bangsa dan kultur negara, tetapi juga harus memiliki
sisi emosional yang mampu menangkap perhatian para
juri. Karena itulah mereka bertiga kini mengobok-obok
seluruh isi lemari foto Annalise, mencoba menemukan
sebuah shot yuang sempurna, sekaligus memikirkan
objek yang menarik untu dijadikan fokus utama.
"Kalau candi-candi atau kerajinan tangan gimana?"
Niki mengusulkan, keningnya berkerut selagi ia
membuka album demi almbum foto lama milik
Annalise. "Misalnya batik, tanah liat, kendi atau
anyaman." "Terlalu biasa," Nata berkomentar singkat dari sudut
ruangan, berkutat dengan rol flm lama yang disimpan
dalam kotak. "Pasti banyak banget karya serupa, nanti
jadi kurang menonjol."
"Kalau pemandangan alam?" Niki melempar ide lagi,
kali ini mengangkat beberapa tumpuk foto sekaligus
dan mengaduk-aduknya di lantai.
"Biasa juga, kecuali ada fenomena yang fantastis."
Sahut Nata. Annalise tidak terlalu memperhatikan, sedang sibuk
menyortir foto-foto hitam putih yang dulu sempat
menjadi obsesi eksperimennya bertahun-tahun lalu.
"Sawah dan pedesaan?" Niki memutar otak lagi,
berusaha keras untuk memikirkan sebuah tema yang
unik. "Perkampungan kan sekarang sudah lebih maju,
tapi kita bisa menampilkan sisi modern sekaligus
tradisional yang gak ditemukan di kota."
"Lumayan sih. Tapi takutnya banyak peserta lain yang
memikirkan ide yang sama."
Niki mengerut. "Semua ideku nggak ada yang kamu
anggap bagus." Nata terSarah. "Habisnya kita butuh sesuatu yang
bener-bener "beda", yang bisa bikin orang tertegun
dalam sekali lihat."
"Iya juga, sih." Niki setuju, lalu memasukkan hasil
sortirannya ke dalam sebuah folder plastik. Ia beralih ke
sebuah kotak sepatu tua yang cukup ringan dan
tersembunyi di balik lemari, lalu membuka tutupnya
perlahan. Isinya adalah puluhan lembar foto dengan
fokus sebuah siluet wajah, dan beberapa benda lainnya.
Penasaran, Niki menumpahkan seluruh isinya ke dalam
pangkuan dan mulai menelitinya.
Wajah Nata memenuhi setiap lembaran foto. Ada foto
mereka semasa pentas seni catur wulan lalu, foto Nata
ketika sedang memegang gitar dan menulis tangga lagu
di buku tulisnya, figurnya dari kejauhan saat lomba
basket sedang berlangsung, Nata yang sedang tertidur di
kelas, juga Nata yang sedang duduk di atas trampolin,
beberapa menit sebelum matahari terbenam. Niki
menahan napas, berusaha mengingat-ingat setiap
kejadian saat foto-foto itu diambil tanpa sepengetahuan
mereka karena hampir di setiap foto, Nata sepertinya
tidak sadar sedang dipotret dan tidak melihat langsung
ke arah lensa. Niki melarikan ujung jarinya memutari garis wajah
Nata di atas foto, memperhatikan dalam-dalam tegas
raut matanya, tulang pipinya yang tinggi, dan
hidungnya yang sedikit mancung. Kedua ujung bibirnya
yang tipis, sedikit melengkung ke bawah ketika tidak
sedang tersenyum. Ikal rambutnya yang halus
melingkari wajah, lalu bentuk telinganya yang lebar dan
berdaun keras. Apakah Annalise mengambil foto-foto
ini untuk mengambil detail yang sama" Apakah...
"Gimana kalo Pecinan" Foto pasar malam dan wihara di
daerah kota pasti mernarik, ya kan?" Tiba-tiba Nata
berseru, mengganggu konsentrasi Niki sehingga gadis
itu menjatuhkan foto-foto di tangannya. Secara otomatis
Annalise mendongak, dan begitu melihat apa yang ada
di pangkuan Niki, wajahnya memucat.
"Ah, iya, ide kamu bagus juga...," Niki menjawab,
mencoba mengumpulkan kembali barang-barang
pribadi milik Annalise yang tidak seharusnya
dilihatnya. "Lagi lihat apa, sih?" Nata yang kebosanan bangkit dan
menjulurkan kepala untuk melihat foto-foto yang masih
berserakan di sekitar Niki. Gerakan ini membuat Niki
gugup, dan Nata semakin curiga. Ia tertegun ketika
melihat apa yang ada di sana.
Annalise pun tampak salah tingkah. "Itu...."
Nata segera mengerti. Ia mencari-cari kebenaran di
wajah Annalise, ingin mengetahui apa tebakannya tidak
salah, tetapi Annalise menghindari tatapannya dan
malah berlari keluar dari ruangan.
"Anna...?" Niki yang kebingungan segera berdiri, lalu
memandang Nata dengan raut bersalah. "Maaf, aku
nggak sengaja...." Nata menghela napas. Dia membungkuk untuk
membereskan foto-foto yang berantakan di atas lantai.
Apakah Annalise menyukainya" Ia tidak pernah
menyangka, karena selama ini Annalise selalu bersikap
netral di hadapannya, bahkan lebih sering menjadi
tempat curhatnya mengenai Niki.
Dia memandang lekat-lekat wajahnya dalam foto"
wajah yang sama sekali tidak menyadari apa-apa.
*** Wish #33: tidak melukai perasaan Anna (Nata)
Niki berdiri dengan serbasalah di antara hamparan fotofotoyang seharusnya tidak pernah dilihatnya, sedangkan
Nata menuruni tangga untuk mencari Annalise. Gadis
itu sedang terpaku di balik pantry dapur, dengan posisi
membelakanginya. Kedua bahu itu tampak rapuh.
Bahasa tubuh Annalise membuatnya tidak berjalan kian
dekat. "Ann," Nata memanggil lembut, "foto-foto itu..." Dia
tidak bisa menyelesaikan pertanyaan itu, takut salah
bicara. Annalise memejamkan mata, merasa malu pada dirinya
sendiri. Jika selamanya dia bisa bersahabat dengan
Nata, dia tidak akan pernah mengungkapkan perasaan
yang sebenarnya pada pemuda itu. Sebisa mungkin dia
berusaha menghindari kejadian seperti ini, saat mereka
berdua akan berubah canggung dan melupakan
kedekatan mereka ketika sedang berteman. mungkin dia
memang munafik"ketika Nata tidak ingin berkata jujur
pada Niki mengenai cintanya karena alasan yang sama
dia justru menasihatinya untuk tidak berbuat demikian.
Sedangkan dia sendiri dengan pengecut
menyembunyikan perasaannya baik-baik. Tapi
salahkah, bodohkah, jika dia hanya berharap Nata ada
di sampingnya dan cukup puas dengan diam-diam
menyayanginya" Masih dengan membelakangi Nata, Annalise menarik
napas pajang. Kini mungkin yang terbaik adalah
mengatakan yang sebenarnya.
"Gue....," Asilla berbalik dan tersenyum, kali ini lebih pasti dari
sebelumnya. "Aku sayang kamu, Nat."
Nata tidak jadi menyelesaikan kalimatnya, terdiam dan
menganga setelah pernyataan simpel itu keluar dari
mulut Annalise. "Maaf kalau aku membuat kamu merasa nggak nyaman.
" Annalise meregangkan pegangannya pada gelas di
tangannya, yang tanpa terasa sudah menyisakan bekas
di kulit. "Kamu nggak usah bilang apa-apa. Aku nggak
butuh jawaban, karena aku lebih suka kita berteman
seperti biasa. Bisa, kan?"
Nata mengangguk, senyumnya perlahan mengembang.
Annalise lega melihatnya. "Ini pertama kalinya ada
cewek yang nembak gue langsung seperti ini. I
appreciat that, Anna, karena lo jujur sama gue."
Annalise membalas senyuman, walau matanya berkacakaca untuk sebuah penolakan yang tidak terucapkan,
namun sudah diketahuinya dengan jelas. "Kamu berhak
tahu yang sebenarnya."
"Friends?" Annalise mengulurkan tangannya untuk menyetujui
janji itu, tapi Nata mendekat dan membuat gestur
seakan sedang memeluknya. Annalise menegang ketika
kulit mereka bersentuhan ringan, lalu ia menyandarkan
kepalanya pada bahu Nata dan membiarkan pundaknya
ditepuk lembut, canggung, tetapi bersahabat. Nata
memang tidak tahu bagaimana menjawab
pertanyaannya barusan, tapi pelukannya yang kikuk
sudah cukup untuk mengenyahkan ketidaknyamanan di
antara mereka. Tidak perlu ada penjelasan. Tidak perlu ada kata maaf.
Baik Nata maupun Annalise sama-sama mengerti.
*** Wish #34: telling the truth (Annalise)
Niki sudah membereskan sebagian foto-foto milik
Annalise dan mengembalikannya ke tempat semula . ia
menunggu dengan gelisah, merasa bersalah karena telah
menguak sebuah rahasia yang mungkin tidak ingin
Annalise ungkapkan kepada siapa pun"terutama pada
Nata. Apakah Annalise pernah diam-diam mengikuti gerakgerik Nata dengan ekor matanya ketika mereka
berbicara" Sudah sejak kapan ia memendam perasaan
itu, dan bagaimana mungkin Niki tidak pernah
menyadarinya" Ketika Annalise kembali, Niki menyerahkan kotak foto
itu dengan ragu-ragu. Ia menunggu reaksi marah, tapi
dia hanya melihat senyum di wajah Annalise.
"Kamu nggak marah?" Niki bertanya takut-takut.
Annalise tertawa geli melihatnya. "Kenapa harus
marah?" "Karena gara-gara aku, rahasia kamu jadi ketahuan."
"Karena kalau bukan karena kamu, mungkin aku nggak
akan pernah jujur sama kalian berdua."
Niki tersenyum, nadanya berubah menggoda.
"Ternyata, kamu beneran suka sama Nata. Sejak
kapan?" Pipi Annalise memerah malu. "Sejak pertama kali
masuk sekolah, mungkin," ia mengakui.
"Apa sih yang kamu suka dari Nata?" Niki berjongkok
di samping Annalise, raut wajahnya penuh rasa ingin
tahu. "Dia kan jutek, nyolot, dan sok dewasa. Sikapnya
aja yang keliatan cool, tapi sebenernya dia kayak anak
kecil." Annalise tersenyum. "Justru hal itu yang bikin Nata
menarik. Hal-hal kecil kayak kebiasaannya ngomel
panjang-pendek kalau ngerasa direpotin walau akhirnya
dia lakukan juga. Sering kali Nata terkesan cuek,
padahal dia sebenernya peduli."
Niki ikut tersenyum dan menyandarakan kepala di bahu


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Annalise ketika mereka berdua duduk sambil
memandang foto-foto yang berhamburan di atas karpet.
"Nata memang sejak kecil begitu."
Selamanya aku nggak akan bisa mengenal Nata seperti
kamu mengenal dia, Ki. "Kenapa kamu nggak pernah cerita-cerita kalau kamu
suka sama Nata" Seenggaknya kan aku bisa jadi mak
comblang yang baik untuk kedua sahabatku."
Karena aku udah tahu perasaan Nata yang
sesungguhnya. "Oh ya, terus tadi Nata bilang apa?"
Dia nggak bilang apa-apa. Aku tahu dia hanya sayang
kamu, dan hanya kamu. Annalise tidak bisa dengan jujur menjawab pertanyaanpertanyaan Niki tersebut, karena dia mengerti ada
beberapa hal yang harus Nata ucapkan sendiri pada
Niki, dan dia tidak berhak menyampaikannya untuk
Nata. Jadi, ia pun berujar bijak, "Aku cukup senang kita
bisa berteman. Begitu juga dengan Nata."
Tapi, aku iri, Ki. Iri sekali sama kamu. Pikiranitu lepas
tanpa bisa ditekan. Niki mengangguk seakan bisa membaca pikirannya,
lalu meremas pundak sahabatnya pelan sebagai bentuk
simpati. Annalise merasakan kulit Niki yang hangat,
merasa begitu dekat dengan kedua sahabatnya
sekaligus. Dia tahu, jika harus memilih antara Nata dan
persahabatan mereka bertiga, Annalise tidak akan
pernah ragu, menentukan pilihannya.
*** Sebelum memulai latihan hari ini, Niki menemukan
sebuah pesan singkat Oliver dalam handphone-nnya. Ia
tersenyum saat membacanya.
Ntar selesai latihan, kita pergi ke FX, ya. Ada surprise
untuk kamu. Miss you. "Pasti Oliver." Linny menyikutnya sambil menggoda.
"Cie... yang lagi dimabuk cinta...."
"Ah, kamu sama Dayat juga kayak gitu, malah sampai
ninggalin voice mail yang isinya bunyi-bunyi ciuman
semua...." Mereka tergelak.
"Ngomong-ngomong tentang Oliver, kemarin gue
ketemu dia lho," Helena tiba-tiba berkata. "Ternyata
bokap gue kenal deket sama bokapnya dia. Jadi
daripada gue nggak kenal siapa-siapa di acara yang
isinya orang tua semua, kita ngobrol semalaman."
Mereka berbaris sembari melakukan pemanasan ringan
di tepi lapangan. Niki ingat semalam Oliver memang
sempat mengatakan bahwa dia harus menghadiri acara
keluarga. "Dia cerita tentang bisnis perhotelan keluarganya. Sejak
kecil dia sering ikut papanya travelling keluar negeri,
belajar tentang perhotelan dan seluk-beluknya. Gue
nggak nyangka, ternyata dia udah pernah ke Afrika,
Mesir, Ukrania, sampe Bhutan segala. Bokap gue
bilang, keluarga Damanik bener-bener tajir, termasuk
salah satu keluarga terkaya di Asia versi majalah
Forbes." Niki mengangguk, tidak tahu bagaimana harus
menanggapi karena dia tidak tahu"menahu tentang
Oliver. "Terus, rumahnya luas banget, sampai ada satu ruangan
khusus untuk memamerkan lukisan antik punya
nyokapnya. Sekali lihat juga tahu harganya ratusan juta
rupiah. Selain itu, ternyata Oliver juga bisa golf.
Kemarin gue nyoba main mini golf di sana."
"Serius, denger cerita Helen bikin gue tambah naksir
sama Oliver. Lo beruntung banget, Ki, dapet calon
suami kayak dia," Sara meledek lagi, "udah ganteng,
kaya, romantis... Kalo udah nggak mau, dilempar buat
gue ya." "Huuu..!" Yang lain berseru dengan heboh, sedangkan
Niki hanya tersenyum setengah hati untuk membalas
candaan itu. Jenis hal-hal lain yang dibicarakannya dengan Oliver
seperti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan
percakapan Helena barusan. Begitu banyak yang tidak
diketahuinya mengenai Oliver, sedangkan dia ingin
mengenal cowok itu luar-dalam. Bahkan, dia belum
pernah dikenalkan kepada kedua orang tua Oliver, juga
menginjakkan kaki di rumahnya.
Niki menggigit bibir, tiba-tiba merasa kesal saat
menyadari perasaannya. Dia cemburu.
*** MILAN Sore itu, ketika Annalise memasuki rumahnya sepulang
sekolah, sayup-sayup didengarnya argumen dari arah
patio. Dia mengenali suara Tante Nadja yang bernada
kesal. "Bukannya kamu baru beberapa minggu pulang" Kali
ini, mau pergi untuk berapa lama lagi, tiga bulan" Lima
bulan?" "Jangan sarkastis begitu, Nad. Kamu, kan, tahu aku
bukannya pergi untuk senang-senang. "Suara Mama
yang membalasnya terdengar defensif. "Butikku akan
buka cabang di sana, dan ada proyek baru yang harus
kuselesaikan." "Aku tahu, tapi kamu, nggak bisa terlalu sering dinas ke
luar negeri. Bagaimana dengan Annalise" Waktu itu,
kamu bahkan lupa hari ulang tahunnya."
"When are you going to forgive me about that" Aku
sudah bilang nggak sengaja. Lagi pula, bukankah waktu
itu aku kirim hadiah untuk Anna?"
Hening. Tidak lama kemudian, ia mendengar tantenya
menghela napas. "Hadiah itu nggak sama dengan
kehadiran kamu, Vidia. Kamu bukan hanya seorang
fashion designer dan model, tapi juga seorang ibu.
Annalise butuh kamu."
Argumen itu berlanjut, tapi Annalise tidak ingin lagi
mendengarkan. Dia meninggalkan tempatnya
bersembunyi dan beralih ke kamar. Kado ulang tahun
dari Mama masih tersimpan di dalam lemari.Annalise
tidak pernah membukanya, sebagian besar karena ia
tahu apa yang ada di dalamnya hanya akan membuatnya
semakin sedih. Dalam hitungan hari, Mama akan mengepak koper, lalu
mengecup pipinya sebelum mengucapkan selamat
tinggal. Terkadang, Annalise takut Mama tidak akan kembali
lagi. Terkadang, ia takut ia akan berhenti membutuhkan
Mama. Atau Mama yang berhenti membutuhkannya.
*** Annalise berjingkat ke arah kamar Mama, mendorong
sedikit pintunya hingga terbuka. Perlahan, Annalise
menyibakkan selimut dan berbaring di samping Mama.
Sudah lama sekali sejak mereka tidur bersama, padahal
waktu kecil dulu dia sering memanjat ranjang orang
tuanya di tengah malam. Tanpa disangkanya, Mama belum tertidur. Beliau
berbalik sehingga mereka berdua saling berrhadapan,
lalu mengusap sehelai rambut yang menutupi mata
Annalise dan menyibakkannya di balik telinga, sesuatu
yang selalu dilakukannya sejak Annalise kecil.
"Mama akan pergi lagi,, kan" Suara Annalise tidak
lebih dari sebuah bisikan. Ia ingin mendengar sendiri
kalimat tersebut dari mulut Mama, ingin
mempersiapkan diri sebelum kepergian Mama kali ini.
Tapi, Mama tersenyum. Senyumnya terlihat misterius
dalam kegelapan, seakan menyimpan sebuah rahasia.
"Milan. And you"re coming with me, Honey."
*** Annalise punya sebuah ritual sebelum tidur"minum
segelas susu hangat dengan taburan bubuk sokelat dan
marshmallows di atasnya. Kebiasannya ini bermula
sejak ia sulit tidur setiap kali Mama tidak ada di rumah.
Malam ini, ia kembali tidak bisa tidur. Annalise
menemukan tantenya di dapur, sedang duduk sendirian
dengan secangkir kopi, berkas-berkas pekerjaan
tersebar di atas meja. Kacamatanya bergantung di ujung
hidung, meninggalkan jejak tanda sudah lama
bertengger di sana. Tante Nadja adalah adik bungsu ibunya, satu-satuna
kerabat keluarga mereka di jakarta. Beliau adalah
arsitek yang memiliki studio kerja sendiri di rumah.
Usianya hampir empat puluh tahun, dan memilih untuk
tetap melajang. Berbeda dengan kakaknya, Tante Nadja
berpenampilan bersahaja, berambut pendek dan tak
pernah merias diri. Sifatnya tegas, menyerupai seorang
anak tertua yang mandiri walau sebenarnya beliau
adalah anak bungsu. Ketika Annalise kembali ke
Jakarta, Tante Nadja menawarkan diri untuk tinggal
bersama mereka dan membawa bisnis kecilnya yang
cukup sukses ke rumah itu.
Beliau mendongak ketika melihat Annalise, lalu
menarik bangku"sebuah undangan untuk bergabung.
"Nggak bisa tidur?"
Annalise mengiyakan. "Mau cerita?" Tantenya selalu bertanya demikian saat AAnn tampak
muram. Beliau adalah teman curhat yang setia, baik saat
ia mendapat nilai ulangan yang jelek di sekolah, atau
saat hal-hal menyenangkan terjadi. Tante Nadja adalah
salah satu orang dewasa favoritnya, seseorang yang
selalu mendengarkan dengan sabar dan memiliki
nasihat bijak. Annalise menggigit bibir. "Kami akan pindah lagi dari
sini. Tante juga udah tahu, kan."
Tantenya mengangguk. "Gimana pendapat kamu
tentang kepindahan ini?"
Annalise mengangkat bahu. Kemungkinan besar, Mama
akan tetap sibuk seperti dulu. Mereka akan teruus
berpindah-pindah dari kota ke kota mengikuti tuntutan
pekerjaan Mama. Dia akan keluar masuk sekolah baru,
berulang-ulang merangka kehidupan baru sedangkan ia
bergerak lambat untuk menyesuaikan diri. Tapi, dia
ingin memastikan satu hal tidak akan pernah berubah"
Annalise dan Mama, satu kubu yang selalu saling
mendampingi. "Kukira kami akan tinggal lebih lama di sini," Annalise
mengaku. Seharusnya, dia tahu kepindahan mereka ke
Jakarta juga tidak permanen. Seharusnya, dia tidak usah
bersusah-payah mengikuti banyak aktivitas sekolah,
tidak perlu repot berpartisipasi dalam sayembara
fotografi, toh dia tidak akan ada di sini untuk melihat
pengumuman pemenangnya. "Tapi, kepindahan kamu ke sini ada baiknya juga, kan."
Tante Nadja mengingatkan, "kamu jadi ketemu Niki
dan Nata." Annalise tercenung. Tantenya benar. Kedua sahabatnya
adalah alasan terbesar dia ingin tetap tinggal. Dia dapat
melihat kesedihan yang membayangi raut wajah mereka
ketika dia mengabari perihal kepindahannya. Niki
bilang, mereka harus menghabiskan hari-hari terakhir
Annalise di Jakarta sebaik mungkin, menciptakan
banyak kenangan. Kalimat itu membuatnya sedih.
"Jadi keputusan kamu udah bulat, untuk ikut ke Milan
dengan Mama?" Pertanyaan itu mengejutkan Annalise, dan untuk sesaat
ia terdiam. Kepindahan ini adalah sepenuhnya
keputusan Mama, tapi mengatakan tidak tak pernah
terlintas dalam pikirannya.
"Segala sesuatu tentang hidup adalah sebuah pilihan,
Anna. Bukannya Tante meminta kamu untuk melawan
mamamu atau bebas melakukan apa pun yang kamu
mau, tapi kadang kita harus berani memilih dan
mempertahankan apa yang kita inginkan. Mama banting
tulang demi keluarga dan pekerjaan yang dicintainya,
kamu pun harus berjuang untuk apa yang penting bagi
kamu." Annalise mengerti, tapi bagaimana jika keduanya
adalah hal yang sama-sama berarti baginya"
*** Wish #35: Annalise tetap tinggal (Niki dan Nata)
Niki merapikan terusan yang dipilihnyauntuk acara
farewell party kecil-kecilan milih Annalise, menatap
Nata yang mengenakan kemeja kotak-kotak senada.
Hitam. "Kok, kita seperti mau menghadiri pemakaman ya?"
Niki mengeluh, membiarkan Nata membawakan hadian
yang nantinya akan diserahkan kepada Annalise.
Minggu depan sahabat mereka itu akan bertolak ke
Milan. Barang-barang di rumahnya sudah dipak, surat
transfer sekolah sudah diurus dan tiket sudah dibeli,
difinalisasikan oleh sebuah acara untuk mengucapkan
selamat tinggal yang dihadiri oleh teman-teman sekelas
mereka dan beberapa teman Annalise dari klub
fotografi. "Orang dewasa itu egois ya, Nat?" Niki berkata,
memeluk pinggang Nata selagi pemuda itu
memboncengnya dengan sepeda. "Mereka selalu bebas
ngelakuin apa aja yang mereka suka, tanpa mikirin
perasaan orang lain."
"Nggak semua orang dewasa kayak begitu," tegur Nata.
Niki terdiam. "Menurut kamu, Anna bener-bener mau
pindah ke Milan atau Cuma karena terpaksa, ya?"
"Terpaksa" Bukannya Anna sendiri yang milih untuk
ikut ke sana?" Niki menggeleng, napasnya hangat di tengkuk Nata.
"Aku selalu ngerasa Anna sebenernya enggak mau
pergi dari ini. Tapi, karena satu-satunya keluarga yang
dia punya sekarang Cuma mamanya, Anna berusaha
mempertahankan hubungan itu sebisa mungkin. Masuk


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akal, nggak?" "Tumben omongan lo tepat sasaran."
"Hehehe." Niki terSarah ketika dipuji, tapi segera
berubah serius lagi. "Kesimpulannya, Anna mungkin
"terpaksa" setuju untuk ikut ke Milan supaya dia nggak
kehilangan mamanya."
"Mungkin juga." Nata berkomentar.
"Kalau ternyata emang begitu, kita harus gimana
dong?" Niki dengan panik mencengkeram ujung kaus
Nata. "Apanya yang gimana" Anna udah akan berangkat
minggu depan, dan tugas kita itu mengantar dan
ngucapin selamat tinggal, supaya dia nggak merasa
terbebani dan malah tambah sedih."
"Nata gimana sih"! Kita harusnya ngebantuin dia
supaya nggak nyesel!"
Nata memperlambat kayuhan sepedanya dan berusaha
menjelaskan sesabar mungkin. Dia tahu sulit mengubah
apa-apa jika Niki sedang keras kepala mempertahankan
pendapatnya seperti ini. "Anna pasti punya alasan
sendiri buat pergi dari sini. Mendingan kita dukung aja
apa yang dia pilih bukannya bikin kacau. Lagian...."
"Kamu pasti mau bilang lebih baik jangan ikut campur
masalah orang lain, kan?" Niki menyela."Kita mungkin
nggak akan bisa ketemu Anna lagi, lho. Gimana kalau
setelah tiba di sana, ternyata Anna nggak bahagia" Dia
pasti akan terus pindah-indah tempat tinggal kayak
dulu, sendirian di rumah tanpa orang tua, dan kita
nggak bisa ada di sana buat nemenin dia."
Nata menggeleng dan berhenti untuk menjitak ringan
pelipis gadis itu. "Dasar keras kepala."
"Kamu mau Anna begitu?" desak Niki sekali lagi.
"Enggak!" Nata akhirnya menjawab. "Iya, iya, gue
ngerti maksud lo." Raut Niki semakin muram. "Sekarang, kita Cuma butuh
cara supaya Anna nggak jadi pergi."
*** Pesta kecil itu berlangsung di patio samping kolam
renang, sebuah pesta barbecue sederhana yang dihadiri
oleh beberapa teman dekat Annalise dan mamanya di
Jakarta. Aroma daging bakar menyulut selera Niki, tapi
dia bergegas untuk menemukan Annalise sebelum
perutnya memberontak dan menggodanya untuk
mencicipi sepotong scampi.
Mereka menemukan Annalise di salah satu kursi
panjang di tepi kolam, mengenakan pakaian hitam
seperti Nata dan Niki. Niki tersenyum geli melihatnya,
hal ini membuatnya merasa seakan-akan mereka punya
kemampuan telepati. "Ini buat kamu." Disodorkannya sebuah korak yang
sudah dibungkus kertas kado pink. "Hasilnya jelek, tapi
kuharap kamu suka." Isinya adalah sebuah album foto dengan hasil jepretan
Niki selama belajar memotret. Dia sama sekali tidak
punya bakat di bidang itu; hampir seluruh hasil fotonya
terpotong, entah objeknya tanpa kepala atau anggota
tubuh, dan beberapa buram karena dia tidak mampu
menahan napas ketika memencet shutter. Annalise
tertawa melihat foto-foto mereka bertiga diambil secara
ngawur dengan kemampuan memotret yang pas-pasan.
"Kalau nggak bisa jadi kenangan yang mengharukan,
lumayanlah bisa bikin kamu ketawa." Niki melanjutkan,
dan Annalise berhenti tertawa. "Ann, kita Cuma pengen
tau satu hal. Kamu bener-bener mau pergi?"
"Maksudnya?" Annalise terlihat bingung.
"Apa kamu bener-bener yakin mau pergi dari sini, atau
kamu memutuskannya karena hal yang lain?"
Annalise terlihat serbasalah. Tante Nadja pernah
menanyakannya, dan saat itu ia tidak mampu
menjawab. Kini, ketika disudutkan oleh pertanyaan
sederhana yang sama, dia kembali tidak dapat
menemukan jawabannya. "Gue dan Niki ngedukung lo. Tapi, kita nggak bisa
diem aja kalu nantinya lo akan menyesal."
Annalise mendongak untuk menatap Nata. Air mata
memenuhi pelupuk matanya, dan ia mengangguk.
Niki menggenggam kedua tangannya yang bergetar,
lalu berujar dalam suara pelan. "Kita ngerti, kok,
kenapa kamu ngerasa harus pergi. Tapi Anna, kamu kan
nggak bisa terus diam.... Kamu harus ngomong apa
yang sejujurnya kamu rasain, walaupun itu mungkin
menyakitkan." Annalise merasa air matanya mulai mengaliri wajahnya,
terharu mendengar Niki berkata begitu. Belum sempat
dia berkata apa-apa, mereka berdua mendengar bunyi
gelas champagne diketuk dengan sendok perak, tanda
tamu harus berkumpul. Vidia Rossa berdiri di hadapan para tamu, terlihat
anggun dan mewah dengan gaun selutut bertali spageti,
warna kuning gadingnya terlihat begitu serasi dengan
kulitnya yang putih. Rambut kecokelatannya yang
diberi sentuhan burgundy ditata dalam bentuk French
braid yang membesona. "I thank everyone for coming today. It will be a great
loss leaDhang such good friends. But rest assured,
good friends remain forever. We wiil always have you
in our hearts." Seluruh tamu mengangkat gelas mereka untuk toast,
tetapi Nata, Niki, dan Annalise tetap berada dalam
posisi yang sama, duduk berdampingan dengan tangan
mereka saling bertaut erat.
*** Nata dan Niki tetap tinggal hingga pesta selesai. Tamutamu sudah beranjak pulang, pelayang dari perusahaan
catering sedang mengangkat piring dan gelas kotor, dan
musik sudah berhenti bermain.
Niki baru saja keluar dari kamar kecil ketika ia
menemukan Vidia Rossa sedang berdiri di salah satu
balkon yang menghadap kolam renang, tampak sedang
mengamati kekosongan di tempat pesta barusan. Dari
belakang, entah mengapa Niki merasa perempuan itu
terlihat kesepian, dengan bahu yang terlihat ringkih,
ikal rambut yang terlepas dari tatanannya terurai lembut
di leher. Dan, Niki merasa sedih, mengetahui bahwa
Annalise tetap memutuskan untuk pergi, untuk
melindungi perempuan ini. Demi keluarga kecilnya.
Ketika Vidia Rossa berbalik, ia sedikit terkesiap melihat
Niki sedang berdiri di belakangnya. Seketika, Niki
kehilangan kemampuan berbicara. Setiap kali melihat
idolanya live seperti ini, dia akan berubahspeechless
dan otaknya kosong. Vidia Rossa memang sangat
cantik, bulu matanya lentik, kulitnya sempurna... tapi
apakah dia juga merasa kesepian"
"You"re on of Anna"s friends, right" Oki?"
Niki tergagap ketika ditodong begitu. Ia hanya dapat
mengangguk kaku. Setelah menelan ludah dengan susah
payah, ia menemukan kembali suaranya. "Maaf,
Tante.." Seulas senyum kembali merekah di wajah Vidia Rossa.
"I told you to just call me Vidia, didn"t I?"
Sangat janggal memanggil ibu temannya dengan nama
depan saja. Sesaat, Niki merasa blank lagi, tapi sebelum
Vidia Rossa beranjak pergi, ia segera menyambung,
"Ummm.... apakah Tante tahu Anna sangat suka
memotret?" Vidia Rossa tampak bingung. Niki merasa seperti orang
bodoh yang mengoceh tak jelas.
"Tante tahu karyanya dipajang di galeri sekolah waktu
pentas seni" Salah satu fotonya adalah foto Tante saat
melukis, itu foto favoritnya. Dan, apa Tante tahu, Anna
paling suka memotret objek yang bergerak" Kata guru
seni, karyanya pantas dimasukkan dalam sayembara."
Niki mengumpulkan keberaniannya dan melanjutkan,
"Waktu pertama kali kami ketemu, Anna sama-sekali
nggak pernah bicara mengenai Tante. Teman-teman
nganggep dia sombong karena kami nggak pernah
diajak ke rumahnya. Dia nggak punya teman dan nggak
terbuka walau kami coba berteman dengannya. Di ulang
tahun Anna yang ketujuh belas, kami nunggu Tante di
bandara sampai malam. Anna memang nggak pernah
bilang apa-apa, tapi kami tahu... dia sebenarnya
kesepian." Vidia Rossa tercengang, dan seketika Niki berhenti,
takut kata-katanya terlalu lancang. "Maaf." Ia segera
meminta maaf, tapi tiba-tiba saja Nata muncul di
sisinya, lalu menggenggam sebelah tangannya dan
meremasnya lembut. "Maaf, kami memang nggak pantas bicara begini," ia
menggantikan Niki bicara, "tapi Anna sahabat kami,
dan kami Cuma ingin yang terbaik buat dia. Anna selalu
membanggakan Tante, dan berusaha bikin Tante
senang, sampai kadang-kadang menyembunyikan
perasaannya sendiri. Begitu juga mengenai
kepindahannya ke Milan."
Mereka terdiam, melihat Vidia Rossa memandang
mereka dengan asing, seakan kata-kata mereka barusan
tidak terdengar. Lalu, beliau meletakkan gelas wine
kosong di atas meja, meninggalkan balkon itu hingga
hanhya suara hak sepatunya yang terdengar, suara
paling sepi yang pernah mereka dengar.
*** Vidia Rossa mendorong pintu kamar anaknya hingga
terbuka, lalu melepaskan kedua sepatu pestanya dan
berjalan masuk, merasakan sejuk karpet di bawah
telapak kakinya. Cahaya bulan sangat terang, merambah
masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Dia tidak
ingin menyalakan lampu. Perlahan, ia memandang seisi kamar itu. Kepalanya
terasa kosong, tetapi hatinya berat. Suara anak-anak
yang barusan mendatanginya untuk berbicara mengenai
Annalise mengganggu pikirannya.
Dia tidak mengenali isi kamar ini. Dia jarang berada di
dalamnya, juga tidak mengenali barang-barang yang
ada di sana dengan baik. Apakah itu berarti ia juga tidak
mengenal pemiliknya"anaknya sendiri, dengan baik"
Foto-foto bertebaran di mana-mana. Dia tahu Annalise
suka memotret, tapi dia tidak pernah benar-benar
memperhatikan hasilnya. Dia tidak tahu Annalise
mengikuti sayembara, mengikuti pameran sekolah,
memasang potretnya di penjuru kamarnya"di dalam
bingkai di atas meja belajar, tergantung di dinding,
ditempel di papan kecil dekat tempat tidurnya, bersama
dengan foto-foto masa kecilnya bersama mantan
suaminya, juga foto-foto sahabatnya.
Ia tersandung sebuah album foto besar di kaki tempat
tidur. Vidia Rossa berjongkok untuk mengambilnya dan
meletakkannya di atas meja belajar Annalise, tetapi
berhenti. Cover depan album tersebut bertuliskan
namanya, juga tahun-tahun yang menandakan usia
kariernya. Halaman pertama berisi potongan kliping
wawancaranya. Halaman-halaman selanjutnya berisi
fotonya di media. Beberapa berupa print out dari
internet. Vidia Rossa tidak mampu melihat dengan jelas
dalam kegelapan, tapi dia tahu isi album tersebut adalah
esensi dirinya"pekerjaan yang selama ini menjadi
hidupnya. Tagline majalah dicetak besar-besar di setiap halaman.
The next Cindy Crawford. Life begins at forty: model Vidia Rossa starts her new
fashion line. Vidia Rossa will stop at nothing.
Dan, di halaman terarkhir, Vidia Rossa is moDhang to
Milan! Majalah tersebut memberitakan kepindahannya
ke Milan, serta butik dan pagelaran busana baru yang
sedang dipersiapkan untuk launching di sana. Ia
tersadar, ia sama sekali tidak pernah menanyakan
pendapat Annalise mengenai kepindahan mereka ke
Milan, juga sebelum-sebelumnya ketika mereka harus
pindah karena tuntutan pekerjaan.
"Mama?" Lampu kamar dinyalakan dan segalanya bagaikan hitam
putih"terang dan gelap bersatu dalam sepersekian
detik, dan Vidia Rossa mengerti sesuatu. Secara tidak
sadar, dia sudah berhenti menjadi seorang ibu lagi bagi
Annalise, dan tidak pernah seharusnya membiarkannya
terjadi. *** Annalise keheranan menemukan Mama di kamarnya,
dalam kegelapan. Pesta telah usai dan ia lelah.
Sebenarnya, ia membenci pesta semacam ini,ini
membuat segalanya terasa lebih final. Tapi, ia ingin
benar-benar mengucapkan terima kasih dan selamat
tinggal kepada teman-temannya sebelum ia pergi.
Wajah mamanya pias, Annalise melihat kliping yang
selalu dibuatnya di tangan Mama, dan ia mengerti.
Seperti katat Tante Nadja, dia harus berani membuat
pilihan. Seperti kata Niki, dia harus berani
mengungkapkan perasaannya. Ia menggeleng, perlahan
mengambil satu langkah ke belakang dan berbalik.
Menghindar, bersembunyi, menurut, seperti yang
selama ini selalu dilakukannya. Tapi, ia melihat
tantenya berdiri di ambang pintu, tersenyum untuk
memberikan kekuatan sebelum beranjak pergi untuk
meninggalkan mereka berdua.
"Do you hate me?"
Pertanyaan Mama membuat Annalise sedih. Terkadang,
ia ingin menanyakan hal yang sama pada Mama"
apakah Mama tidak lagi menyukainya, apakah Mama
membencinya sehingga lebih sering meninggalkannya.
"No." Jawabannya lembut, hampir tidak terdengar.


Refrain Karya Winna Efendi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kadang, aku cukup egois untuk berharap... Mama bisa
seperti ibu-ibu lainnya, yang hadir untuk mengambil
rapor, datang ke acara-acara sekolah... and just be here.
Aku ngerti, punya orangtua yang terkenal berarti harus
kompromi dengan jadwal yang ketat, dan aku bangga
karena Mama adalah seorang ibu yang patut
dibanggakan. It"s just that...." Annalise tahu kalimat
selanjutnya akan menyakiti hati Mama, tapi dia harus
mengatakannya. "sometimes I really wish, I can see
more of my mother in person than in those magazines
covers." Sudah. Annalise sudah mengatakan apa yang
sebenarnya, perasaan yang selama ini ditutupinya
karena tidak ingin melukai dan bertengkar dengan
Mama. Dia tidak ingin menjadi seperti Papa yang
menceraikan Mama karena tidak bisa menerima
kesibukannya. Dia tidak ingin mengulang kembali
pertengkaran otangtuanya yang mempertahankan
iVanyalisme dan keinginan masing-masing. Dia tidak
ingin ditinggalkan Mama karena tidak bisa menerima
Mama apa adanya. Dan, Annalise sangat ingin
melindungi Mama, karena dia tahu hanya dirinya yang
Mama miliki sekarang. Pandangan mata Mama yang basah membuatnya
tercekat. Apakah Mama marah" Kecewa padanya"
Sedih" Tapi, Mama justru bergerak untuk merengkuhnya lalu
menangis di pelukannya. *** Tiga hari kemudian, Annalise masuk sekolah seperti
biasa. Niki dan Nata mendongak kaget ketika
melihatnya di ambang pintu kelas, tertawa ceria sambil
menenteng dua kotak Grodiva truffles sisa pesta
kemarin sore. Ini hanya berarti satu hal...
"Aku nggak jadi pindah."
Niki bersorak heboh, tetapi Nata lebih waspada. "Terus,
Mama kamu tetap akan pergi?"
"Ya, tapi hanya untuk serah-terima pengurusan butik ke
asistennya di sana."
Pada malam seusai pesta, dia dam Mama menghabiskan
semalaman mengobrol dan menonton Breakfast on
Tiffany"s, kebiasaan yang sudah lama sekali tidak
mereka lakukan. Padahal dulu, ketika Annalise masih
SMP, mereka berbagi tempat tidur yang sama,
menonton film klasik dan mengobrol hingga larut
malam. Mama bercerita mengenai kisah-kisah masa
mu danya, sesuatu yang paling suka didengarkannya.
Cerita mengenai Mama dan Papa adalah salah satu hal
yang paling sering Annalise tanyakan pada
orangtuanya. Mendengar kisah tentang pertemuan
mereka dua puluh tahun yang lalu"di sebuah lokasi
pemotretan di Bali, sangatlah romantis bagi Annalise.
Dulu papanya juga seorang fotografer paruh waktu,
yang kebetulan mendapat kesempatan memotret
mamanya untuk halaman depan sebuah majalah bertaraf
internasional. Mereka jatuh cinta dan menikah setahun kemudian,
walaupun ditentang oleh keluarga kedua belah pihak.
Annalise masih menyimpan foto pernikahan mereka"
Papa dalam setelan adat jawa dan Mama dalam kebaya
ketat berwarna kuning keemasan, sebuah kombinasi
yang kontras melihat garis wajahnya yang asing.
Sewaktu Annalise masih belita, kedua orantuanya mulai
sering bertengkar seiring dengan karier Mama yang
mulai menanjak. Ketika mereka bercerai, Mama
memboyong Annalise ke London untuk tinggal di sana
selama beberapa tahun. Selepas itu, dimulailah
kehidupan mereka yang berpindah-pindah.
"Keluarga Mama menentang keputusan Mama untuk
jadi model. Juga ketika menikah dengan Papa dan
melahirkan kamu. But you know, life"s all about
choices. Kita tidak akan tahu jika kita tidak berani
menuruti kata hati."
"Mama pernah menyesal?"
Mama menggeleng. "Mama akan lebih menyesal kalau
menuruti mereka untuk studi hukum dan menjadi
pengacara." "Maksudku, Mama pernah menyesal udah menikah dan
melahirkan aku?" Saat itu, Mama terdengar sangat shocked. "Tanpa kamu,
Mama akan sendirian menghadapi semuanya, Anna. If
there should be one decision I regret, it"s definitely not
about you." Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat
saling mendengarkan ritme pernapasan masing-masing.
"I"ve always thought I should work my hardest for both
of us... I realize too late that it"s actually hurting you.
Maaf ya, Sayang." Annalise mencaari-cari dalam gelap, meraba wajah
Mama dan merasakan kerutan lembut di sudut
lengkungan matanya yang terpejam. Perlahan diusapnya
air mata tersebut, lalu berkata, "It"s not too late, Ma."
Dirasakannya Mama tersenyum. "Kedua teman kamu,
Nata dan Niki... They are remarkable friends."
Annalise turut tersenyum. "Yes. They are remarkable
friends." ** FUTURE Apa artinya sebuah mimpi" Sesuatu yang diinginkan,
sesuatu yang harus dicapai, atau hanya satu fragmen
harapan" Apakah semua orang harus memiliki mimpi"
Bagaimana jika kita tidak memiliknya"
Menjelang kelulusan SMU, Niki semakin bingung.
Setiap orang di sekelilingnya seakan memiliki mimpi
yang solid; Nata dengan musiknya, Annalise dengan
fotografi, Helena dengan fashion designer, Oliver
dengan prestasi basketnya, belum lagi teman-temannya
yang berusaha menggapai cita-cita setinggi langit"
menjadi dokter, penulis, arsitek.... Sementara, dia
sendiri bagaikan terperangkap di tengah-tengah.
Teman-teman sekelasnya sudah mulai mendaftar ke
berbagai universitas ternama, beberapa bahkan sudah
diterima dan bisa menjalani sisa semester dengan
tenang. Mereka sepertinya sangat yakin dengan masa
depan mereka. Niki merasa menjadi satu-satunya orang
yang tidak punya cita-cita.
"Cita-cita itu apa sih?" Dia sempat bertanya kepada
Nata suatu sore, ketika cowok itu sedang asyik memetik
gitar. Nata hanya menepuk ringan badan gitarnya, lalu
berujar. "Ini cita-cita gue."
"Mimpi" Keinginan?"
Nata memikirkannya sejenak, lalu mengangguk.
"Obsesi. Sesuatu yang menjadi penuntun hidup."
"Sejak kapan kamu yakin kalau musik akan jadi citacita kamu?"
Seulas senyum tipis menghiasi wajah Nata, sesuatu
yang hanya terjadi jika Nata membicarakan hal-hal
yang disukainya. "Sejak gue pegang gitar."
Niki tahu Nata pertama kali menyentuh gitar saat
berumur sepuluh tahun. Gitar akustik miliknya adalah
pemberian ayahnya sebagai hadiah ulang tahun. Sejak
saat itu, Nata tidak pernah berhenti memainkannya,
mulai dari gerakan kaku bernada sumbang yang
berkembang menjadi petikan mantap yang diselingi
dengan senandung. "Ada nggak ya, orang yang nggak tahu cita-citanya
apa?" Nata berhenti bermain. "Kayak lo, maksudnya?"
Niki melayangkan cubitan ringan di pinggang
sahabatnya. "Ngeliat kalian begitu bersemangat
mengejar mimpi, ngedaftar sana-sini untuk
mengamankan posisi di jurusan favorit... semuanya
bikin aku semakin gamang, Nat. Aku nggak tahu mau
jadi apa." "Itu tandanya lo udah beranjak dewasa, udah mulai
mikirin masa depan."
"Bukannya orang dewasa tahu jelas mereka mau jadi
apa?" Nata melengos. "Nggak banyak orang yang seratus
persen yakin sama diri mereka sendiri. Justru orangorang yang serius mikirin itulah yang benar-benar
dewasa." Dipandangnya Niki yang masih tampak
bingung, lalu dicubitnya pipi gadis itu dengan gemas.
"Mimpi itu bukan Vanyadline, Ki. Bukan sesuatu yang
nggak bisa berubah. Bukan sesuatu yang datang dan
pergi begitu aja. Nggak usah terlalu stres mikirinnya."
"Tapi, kalau nggak ada cita-cita yang jelas, bukannya
kita bakal ngerasa hampa ya?"
Nata berpikir sejenak lalu mengangguk. Diulurkannya
sebelah tangan untuk mengacak rambut Niki, lalu
kembali memainkan gitarnya.
Apa itu mimpi" Apakah semua orang harus memiliki
mimpi" *** CONFESSION Wish #36: persahabatan yang tidak pernah berubah
(Niki) Niki meniti tangga dan mendorong pintu kamar Nata
hingga terbuka. Ia menemukan kamar tersebut kosong,
lalu duduk di tepi tempat tidur untuk menunggu cowok
itu pulang. Seperti biasa, kamar Nata sangat rapi untuk ukuran
cowok, bahkan lebih bersih dari kamarnya sendiri.
Kamar itu tidak terlalu besar, didominasi oleh warna
tanah"mulai dari lemari pakaiannya. Beberapa poster
band indie yang disukai Nata ditempel di dinding,
Misteri Tukang Sihir 2 Omega Swordsman Karya Mogei Empress Orchid 9

Cari Blog Ini