Ceritasilat Novel Online

I For You 3

I For You Karya Orizuka Bagian 3


sering bertemu dan beradu fisik. Berkali-kali, tembakan Benji berhasil
dipatahkan Surya. Namun tak jarang pula, Benji dengan lihai menghindarinya
dan mencetak skor. Anak-anak perempuan sudah riuh mendukung Benji.
Cessa menatap teman-temannya yang sibuk meneriakkan nama Benji. Saat
melihat Surya dan Benji bertarung dengan sengit seperti ini, mendadak ia
mengalami dilema. Keduanya sama-sama bermain bagus dan sama-sama
penting dalam kehidupan Cessa. Namun jika ia harus memilih"
Cessa menarik napas dalam-dalam. "SURYAAAA!!! LO BISAAAAA!!!"
Teriakan Cessa membuat semua orang menoleh kepadanya, termasuk
mereka yang sedang bermain. Surya menatap Cessa salah tingkah, lalu
merebut bola dari tangan Benji yang juga sedang lengah. Surya mengopernya
pada Syahrul yang menyambutnya dengan baik dan menyelesaikannya dengan
lay up sempurna. Pertandingan pun akhirnya berakhir dengan skor 24-25 untuk kemenangan
tim Surya. Anak-anak pun segera ramai berbisik"bukan mengenai skor,
melainkan tentang siapa yang dibela Cessa. Walaupun sudah tahu kalau Cessa
dan Surya berpacaran, tetap saja terasa aneh karena Benji masih bersamasama Cessa setiap saat.
"Yak, sekarang tim putri." Omar bangkit, tak ingin direpotkan dengan urusan
romansa remaja. "Yang dipanggil silahkan masuk lapangan. Sasha, Friska,
Dahlia?" "Pak!" Cessa tahu-tahu bangkit, tangannya sudah teracung. "Saya mau ikut!"
Benji segera bangkit, bermaksud mencegah Cessa. Anak perempuan itu
benar-benar keras kepala.
"Sekali ini aja." Cessa bermohon kepada Benji. "Please?"
Benji menatap Cessa cemas sementara semua orang sudah mengamati
mereka dengan penuh minat, ingin tahu drama apa lagi yang akan terjadi.
"Emangnya kenapa sih, Ben?" Sasha menyeletuk, membuat semua orang
menatapnya. "Kan nggak apa-apa sesekali ikutan olahraga."
Sekarang semuanya mengangguk-angguk, membuat Benji merasa tersudut.
"Tapi?" "Pak! Sekali iniiii aja." Cessa mengganti strateginya dengan
memohon pada Omar. Omar tampak berpikir sesaat, lalu mengangguk. "Baik. Kamu main 5 menit."
Cessa segera bersorak sementara Benji segera menghampiri Omar. Omar
menghalaunya, lalu menggiring anak-anak perempuan yang lain ke dalam
lapangan. Cessa sendiri tampak luar biasa bersemangat. Ia hanya pernah
menonton basket saat jam istirahat atau di televise, tetapi tak pernah benarbenar melakukannya. Ia bahkan tak pernah berani untuk memimpikannya.
Oleh Omar, Cessa ditempatkan sebagai center. Peluit pun ditiup, dan anakanak mulai melakukan passing pada teman satu timnya. Cessa sendiri bingung
harus bagaimana, jadi ia hanya berlari-lari mengikuti pergerakan bola sambil
tertawa-tawa, menikmati embusan angin yang menerpa rambutnya.
Dari pinggir lapangan, Benji mengawasinya, was-was. Ia memijat kepalan
tangan, matanya mengikuti pergerakan Cessa dengan seksama. Menurutnya,
ini benar-benar bodoh. Cessa tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.
Sementara itu, Surya menatap Benji tak habis pikir. Ia harus membuat
perhitungan dengan anak laki-laki itu sepulang sekolah nanti.
Tim Cessa berhasil memasukkan bola. Skornya sekarang 2-0. Cessa tampak
senang, menyambut high five teman-temannya walaupun tidak memiliki andil.
Sekarang, tim Friska berbalik menyerang. Friska yang tampak kelewat
bersemangat berhasil membawa bola menuju ring. Cessa yang terlambat
kembali ke posisinya hanya bisa menatap Friska, bingung harus bagaimana.
Friska berhasil melakukan lay up tanpa kesulitan berarti, namun tidak
menyadari bahwa Cessa berdiri di bawahnya. Sikunya pun membentur rahang
Cessa. "Eh, sori." Friska buru-buru meminta maaf. Benturan itu tidak terlalu keras,
harusnya Cessa tidak apa-apa.
Friska sudah jauh kembali ke tengah lapangan begitu menyadari Cessa jatuh
terduduk di bawah ring sambil membekap mulut. Sasha, yang menyadarinya
lebih dulu, segera menghampiri Cessa.
"Cess, lo nggak apa-apa?" tanyanya.
Cessa tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, lalu melirik Benji yang
sudah bangkit di pinggir lapangan. Seolah bisa membaca pikiran Cessa, Benji
segera berlari dan berlutut di sebelahnya. Omar meniup peluit time out.
"Cess, lo nggak?" Benji menatap Cessa yang bersikeras membekap mulut,
lalu paham di detik itu juga. Tanpa banyak berpikir, Benji menggendong Cessa,
lalu membawanya keluar lapangan menuju kelas.
Semua orang yang melihat kejadian itu saling tatap bingung, tidak mengerti
dengan apa yang terjadi. Cessa tadi hanya terbentur sedikit saja, kenapa ia bisa
sampai terjatuh" Dan mengapa Benji harus membawanya seperti itu"
Omar meniup peluit lagi, membuat perhatian semua anak kembali padanya.
"Ayo semua kumpul di tengah."
Semua anak tampak sibuk menceritakan kejadian tadi dalam versinya
masing-masing, kecuali Friska yang tampak terpukul. Ia tidak merasa
melakukan hal yang parah, tetapi reaksi Benji membuatnya seperti sudah
melakukan kejahatan tingkat tinggi.
Di lain sisi, Surya bungkam, walaupun otaknya terus berpikir keras. Selama
pertandingnya, matanya selalu tertancap kepada Cessa, jadi ia tahu persis apa
yang terjadi. Benturan itu tidak keras, tetapi Cessa tahu-tahu terjatuh dan Benji
terbang ke arahnya dan menggendongnya pergi.
Semuanya tampak seolah hanyalah drama.
***** Benji menendang pintu kelas sehingga menjeblak terbuka, lalu membawa
Cessa masuk dan membuatnya duduk di atas mejanya. Dalam hitungan detik,
ia membuka ransel, mengeluarkan sebuah kotak berisi beberapa kemasan
putih bertuliskan "hemostatic gauze" dan membuka beberapa dengan terburuburu. Ia lantas mengeluarkan kantong plastic dan memberikannya kepada
Cessa. "Buang di sini," perintah Benji, membuat Cessa membuka mulutnya di atas
plastic, meludahhkan darah segar. Benji lantas memberinya kain kasa tadi.
"Sumpal pake ini dulu. Bentar gue balik."
Setelah mengatakannya, Benji segera meleset ke kantin, membuka pintu
lemari pendingin dan mengeluarkan tumbler yang selama ini disimpannya.
Tanpa mengindahkan Kelly yang heran karena botol-botol minuman soda
menggelinding jatuh, ia melesat kembali ke kelas.
Begitu sampai di samping Cessa, Benji membuka tumbler dan mengeluarkan
sebuah alat suntik beserta dua buah botol kecil berisi cairan bening. Dengan
cekatan, ia mencampur kedua isi botol itu menggunakan alat penghubung, lalu
menyedot isinya ke dalam alat suntik. Alih-alih jarum, ia memasang sebuah
tudung sembur berbentuk kerucut di ujungnya.
Setelah alatnya siap, Benji mengeluarkan perban dari mulut Cessa yang
sudah basah oleh darah dengan hati-hati. Luka itu ternyata ada di pipi bagian
dalam sebelah kiri dan masih terus mengeluarkan darah.
Berusaha untuk tetap tenang, Benji membidik alat itu kea rah luka, namun
tangannya bergetar karena terlalu lama tidak melakukannya. Benji lantas
meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sudah terlatih. Ia terlahir untuk ini.
"Tahan sebentar, Ces," katanya lalu menekan alat itu, menyemprotkan
isinya tepat pada lukanya. Selama beberapa saat, Benji mengamati luka itu,
hingga akhirnya darah berhenti mengalir.
Setelah menghela napas lega, Benji kembali menyodorkan kantung plastik
untuk Cessa. Sementara Cessa membuang sisa darah pada mulutnya, Benji
meletakkan alat yang telah sekian lama tidak dipegangnya kembali ke dalam
tumbler. Detik berikutnya, Benji memukul meja di samping Cessa, membuat
anak perempuan itu terlonjak.
"Jangan pernah," ucap Benji, frustrasi, "jangan pernah kamu lakuin itu lagi."
Cessa menatap Benji penuh penyesalan. "Maaf, Ben."
Benji menggeleng-geleng, lalu membalik badan sambil menjambak
rambutnya sendiri. Apa yang ia harapkan untuk tidak pernah terjadi lagi, hari
ini terjadi. Ini semua karena kelalaiannya. Ini karena ia tidak tegas. Karena ia
tidak bertanggung jawab. "Ini salahku, Cess. Aku yang minta maaf."
"Bukan, ini salahku. Aku yang" aku?" Cessa menunduk. "Aku yang sok
kelihatan normal." Benji menatap Cessa nanar. "Kamu spesial."
"Aku nggak mau jadi spesial." Cessa menatap lantai, merasakan denyutan
pada pipinya. "Aku mau jadi normal. Seperti anak-anak kebanyakan."
Benji menggeleng-geleng lagi, putus asa. Ia selalu tahu, permintaan Cessa
untuk masuk sekolah formal itu bencana. Harusnya, Cessa tidak pernah
mengenal kata "normal". Ia cukup tahu bahwa ia spesial. Harusnya tidak pernah
ada orang yang masuk menembus lingkaran tembus pandang mereka.
Harusnya tidak ada siapa pun selain "kita".
BAB 13 And I don't want the world to see me.
'Cause I don't think that they'd understand.
[Goo Goo Dolls"Iris]
Karena kejadian kemarin, hari ini Cessa tidak masuk sekolah. Benji tampak
melangkah seorang diri ke dalam kelas, menghindari tatapan semua orang.
Setelah menghela napas, ia menghampiri Friska yang duduk dengan tatapan
kosong. "Fris," kata Benji, membuat Friska mendongak. "Cessa bilang yang kemarin
bukan salah lo. Lo nggak usah khawatir."
Friska mendengus. "Gue cuma nabrak dia sedikit aja kok, dia yang jatuh
sendiri. Sekarang apa, dia nggak masuk" Supaya gue dibenci sama semua
orang?" "Cessa memang nggak bisa masuk." Benji teringat lutut dan pipi Cessa yang
bengkak. "Dia nggak biasa olahraga."
"Nyesel gue ngajak dia main kemarin." Friska menggeleng-geleng.
"Dia yang mau, kok. Lo nggak salah." Benji mencoba menghibur Friska,
namun anak perempuan itu tampaknya sudah keburu kesal.
Tak kunjung mendapat reaksi dari Friska, Benji kembali ke bangkunya. Tanpa
sengaja, tatapannya bertemu dengan Surya. Benji membalas tatapan tajam itu
lelah, lalu duduk di bangkunya sendiri sambil menatap ke luar jendela.
Hari ini, awan kelabu menggelayuti langit Jakarta, seolah mengerti perasaan
Benji. Mau tidak mau, Benji mengingat kejadian kemarin, saat Cessa duduk
pada meja ini meludahkan darah segar ke dalam kantong plastik, dan
bagaimana ia harus kembali memegang alat yang ia harap tak pernah
dipegangnya lagi. Pada akhirnya, ia kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.
Melihat Cessa berdarah adalah hal terakhir yang ingin dilihatnya. Selama ini,
ia berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Cessa, membuat anak perempuan
itu tidak mengingat apa yang terjadi padanya, membuatnya tetap stabil dan
tidak trauma. Kejadian kemarin merupakan alarm baginya, pertanda bahwa
Benji harus tetap siaga. Benji mengepalkan telapak tangan, sadar sepenuhnya
pada apa yang seharusnya menjadi tugasnya.
Herman sudah masuk ke kelas saat terdengar gemuruh guntur yang
menyadarkan Benji. Herman meletakkan buku-bukunya di meja, lalu menatap
bangku Cessa yang kosong.
"Yak, hari ini Princessa tidak masuk karena sakit." Herman memulai kelas.
"Mari kita doakan semoga dia cepat sembuh."
Friska mendengus skeptis. Kebanyakan anak pun setuju padanya,
menganggap Cessa sangat berlebihan karena tidak masuk sekolah setelah
bermain basket selama dua menit dan tersenggol sedikit. Tak ada seorang pun
yang mau mendoakan seorang putri drama.
Benji mengedarkan pandangan pada teman-temannya, lalu menggeleng
pelan. Mereka semua tidak tahu apa yang terjadi. Andaipun tahu, mereka tak
akan bisa berbuat banyak. Cessa hanya akan menjadi bulan-bulanan. Tempat
ini tidak bisa menerima Cessa tanpa membuatnya jadi orang aneh. Membuat
mereka semua mengerti pun akan sangat melelahkan.
Cessa tak butuh siapa pun selain dirinya.
***** Benji melangkah ke arah lapangan belakang sekolah, tetapi tak tampak
seorang pun di sana. Langit yang mendung membuat semua orang asyik
bercengkerama di dalam kelas, menghindari hujan yang mungkin akan turun.
Benji sendiri tak pernah keberatan dengan hujan. Ia justru menyukainya.
Saat hujan, orang tidak tahu apakah ia sedang menangis atau tidak. Hujan
menyelamatkannya. Benji melangkah ke arah bangku beratap di pinggir jauh lapangan, tempat ia
biasa menonton Bulan latihan panahan. Selama beberapa bulan terakhir,
tempat ini adalah tempat favoritnya selama jam istirahat. Disinilah ia
menemukan dunia baru yang tak pernah disangkanya. Di sini juga, ia
menemukan seorang dewi yang memanah hatinya.
Sambil menatap kosong lapangan itu, Benji duduk. Kejadian kemarin
membuatnya banyak berpikir. Apa yang harus ia jelaskan pada Surya" Pada
Bulan" Haruskah ia memberi tahu mereka segalanya" Bagaimana jika mereka
lari" Jika saat Benji bersama Bulan hanya memikirkan dirinya sendiri, ia bisa
kembali berpikir jernih. Kelahirannya, pertemuannya dengan Cessa, dan
kesamaan yang mereka miliki adalah pertanda. Ia tahu itu dari sejak bisa
berpikir, dan karena itulah ia menyambut dengan baik tanggung jawab yang
diberikan padanya. Ia juga paham, kalau menerima tanggung jawab itu
membuatnya tak akan bisa memiliki kehidupan pribadi.
"Kak?" Benji mengangkat kepala dan mendapati Bulan sudah berdiri di hadapannya.
Seketika, Benji merasa lemah dan ingin menangis. Ia selalu merasa lemah saat
berhadapan deengan anak perempuan itu, hal yang tidak boleh ia rasakan saat
sedang bersama Cessa. "Hei." Benji berusaha tersenyum. "Nggak latihan?"
Bulan menggeleng. "Mau hujan. Kakak sendiri ngapain di sini?"
Benji menatap Bulan selama beberapa saat, lalu menepuk bangku di
sampingnya. "Duduk sini."
Sambil memandang Benji khawatir, Bulan duduk di sampingnya. Walaupun
Surya tidak mengatakan apa pun, ia tahu tentang kejadian kemarin. Semua
orang di sekolah membicarakannya. Teman-teman sekelasnya pun
menghiburnya karena menganggap Benji menjadikannya pacar gelap. Namun,
Bulan tidak percaya karena ia belum mendengarnya sendiri dari Benji.
"Lo udah dengar soal kemarin?" tanya Benji, membuat jantung Bulan terasa
mencelos. "Lo... marah?"
Bulan menggeleng. "Aku harus dengar alasannya dari Kakak sendiri."
Rintik air hujan mulai turun dari langit yang kelabu. Benji menunggu hujan
itu untuk turun sedikit lebih deras, berharap suaranya akan menenggelamkan
kalimat yang akan ia ucapkan.
"Alasannya seperti yang terlihat." Benji meneguk ludah. "Nggak ada alasan
lain. Gue harus menjaga Cessa."
Mata Bulan mulai terasa perih. "Tapi... kenapa" Kan sudah ada Kak
Surya?""Kakak lo nggak akan mau menjaga dia." Benji menatap rumput yang
sudah mulai basah. "Kalaupun dia mau, dia nggak akan mampu."
Mulut Bulan sudah separuh terbuka, tetapi tak ada kata-kata yang keluar.
"Cuma gue yang bisa benar-benar menjaga dia," lanjut Benji. "Tapi... itu
nggak..." "Masuk akal" Memang," tandas Benji. "Tapi, gue udah nyerah mikirin itu
sejak dulu. Gue anggap ini takdir dan semuanya jadi lebih mudah untuk
diterima." "Kenapa harus begitu?" Bulan tetap tak paham. "Kenapa Kakak harus jagain
Kak Cessa?" Benji menatap Bulan, tak langsung menjawab. Ia tahu anak perempuan itu
bingung, tetapi Benji tak semudah itu memberi tahunya. Ia terikat oleh janji
seumur hidup dengan Cessa dan ayahnya.
"Maksudku, aku tahu Kak Cessa memang... tuan putri. Tapi..." Bulan
berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tapi, kenapa harus dijagain
segitunya" Kenapa harus... berlebihan kayak gini?"
Bulan sekarang paham benar perasaan Surya yang dulu menganggap Benji
dan Cessa pasangan yang hiperbol. Mendadak, Bulan menyesal sudah
bertanya. Ia tidak ingin mendengar jawabannya.
"Cessa itu spesial, Lan. Itu aja yang harus lo tahu."
Bulan menatap Benji nanar. "Kalo Kak Cessa spesial, lalu... aku apa?"
Hujan deras sekarang turun di sekeliling mereka, membuat mereka tak bisa
mendengar yang lain, termasuk isi hati masing-masing. Keduanya hanya bisa
saling tatap, berharap bisa memahami perasaan satu sama lain.
"Sori, Lan," kata Benji akhirnya, menyudahi percakapan mereka siang itu.
Mulai saat ini, Benji akan membenci hujan.
***** Benji membuka pintu kamar Cessa, lalu masuk. Anak perempuan itu masih
berbaring di tempat tidur dengan lutut di kompres kantung es batu yang
dibalut handuk. Pipinya pun masih tampak sedikit bengkak. Benji melirik ke


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah tumbler-nya yang terbuka di atas meja samping tempat tidur.
"Eh, Ben, udah pulang?" Cessa mengalihkan pandangan dari iPad, lalu
tersenyum lebar saat melihat Benji. "Gimana, udah kamu sampein ke Friska?"
Sambil tersenyum lelah, Benji meletakkan tas di lantai dan berbaring di
samping Cessa. Setiap pulang sekolah, ia memang sudah biasa mengantarkan
Cessa dan menemaninya dulu sebelum pulang ke rumahnya sendiri yang hanya
berjarak dua rumah dari sini.
Cessa menatap Benji bingung, lalu berusaha untuk duduk. "Ada apa di
sekolah?" Benji menatap langit-langit kamar Cessa yang kerlipnya tidak tampak di
siang hari. Padahal, saat ini Benji ingin melihatnya. Ia ingin tenggelam di
kegelapan bersama bintang-bintang itu.
"Semua orang ngomongin kita, Cess." Benji akhirnya membuka mulut.
Mata Cessa melebar. "Eh?"
"Kita nggak bisa berteman dengan mereka," lanjut Benji lagi.
"Tapi, kemarin..." Cessa tergagap, tak mengerti. Kemarin, semua temannya
tampak bisa menerimanya. "Kamu udah sampein pesanku sama Friska?"
"Udah, tapi mereka nggak bisa ngerti. Kecuali, kalo kita bilang alasan yang
sebenarnya." Cessa meneguk ludah. Benji sendiri sekarang sudah bangkit dan mulai
berjalan mondar-mandir, tampak berpikir keras. Bayangan wajah kecewa Bulan
sekarang melayang-layang di benaknya, membuatnya kembali ingin menjadi
egois. Mendadak, sebuah ide gila muncul di kepalanya.
"Kalo kita bilang semuanya sekarang, mungkin mereka bisa paham..."
Cessa menatap kosong langit-langit kamarnya. "Kamu pikir begitu?"
Langkah Benji terhenti. "Kalo kita bilang, mungkin mereka bisa bantu
ngejagain kamu. Mungkin mereka nggak akan ngajak kamu olahraga lagi..."
"Tepat." Cessa tersenyum sedih. "Mereka akan nganggep aku aneh."
Benji sudah tahu tentang itu. "Tapi seenggaknya mereka bisa bantu aku
jagain kamu dan nggak macem-macem, kan?"
"Kalo buat jagain, aku punya kamu, kan?" balas Cessa, membuat mata Benji
melebar. "Aku mau teman, Ben. Aku mau ngobrol soal fashion sama mereka.
Shopping bareng mereka..."
Benji menatap Cessa nanar. Ia tahu benar bagaimana perasaan Cessa.
Seumur hidupnya, anak perempuan itu hanya memiliki satu tteman, itu pun
laki-laki. Benji tahu, Cessa selalu menatap iri tokoh-tokoh dalam film Disney,
berharap ia juga punya teman untuk menginap bersama dan saling
memakaikan kuteks. Saling menyemangati saat sakit karena menstruasi atau
mengobrol sampai tengah malam soal cowok tampan di kelas hingga akhirnya
jatuh tertidur berdampingan.
Namun, Benji juga tahu, semua itu tidak mungkin. Cessa juga tahu kalau
impiannya itu nyaris mustahil. Tidak akan ada yang mau berteman sekaligus
menjaganya, berhati-hati untuk tidak memberinya snack yang bisa membuat
gusinya terluka, atau memapahnya setiap kali terlalu asyik shopping. Cessa
bahkan sudah tidak mengalami menstruasi semenjak tiga tahun lalu.
"Tapi, kayaknya itu juga nggak bisa, ya..." gumam Cessa sambil menatap
kantong es pada dua lututnya. "Untuk sesaat, aku lupa kalo aku nggak normal."
"Spesial," ralat Benji, seperti robot yang telah terprogram. Dirga dan
orangtuanya sudah memasukkan data itu ke kepalanya sejak lama.
Cessa menatap Benji seraya memaksakan senyum. "Kalo mereka nggak bisa
nggap aku teman... seenggaknya mereka nggak anggap aku aneh."
Benji menghela napas, lalu duduk di samping Cessa. Mungkin masalah
dengan teman-temannya tidak bisa selesai, tetapi mereka bisa coba mencari
cara agar Surya dan Bulan bisa mengerti.
"Kalo Surya?" tanya Benji lagi.
"Surya..." Cessa menatap kantong es lagi. "Surya juga nggak boleh tahu."
Walaupun sudah tahu jawabannya akan seperti ini, Benji tetap bertanya,
"Kenapa?" Cessa jadi teringat kata-kata Surya saat di perpustakaan beberapa hari lalu,
bahwa ia sedang belajar demi beasiswanya. Jika ia mengatakan yang
sebenarnya pada Surya, bisa-bisa anak laki-laki itu malah khawatir berlebihan
dan melupakan beasiswanya. Itu pun kalau ia tidak lebih dulu mundur setelah
mendengar apa yang terjadi dengan Cessa.
"Dia lagi sibuk belajar, Ben. Aku nggak bisa ganggu dia dengan masalah ini.
Lagi pula... dia bisa jijik sama aku." Cessa mencengkeram seprai. "Kamu tahu
kan... Aku bisa gimana."
Benji mengangguk-angguk. Jika tidak terlatih, Benji yakin siapa pun akan
merasa jijik. Beberapa tahun lalu saat berita seseorang yang keadaannya mirip
dengan Cessa muncul di televisi, semua bersimpati. Semua tak habis pikir.
Semua merasa jijik. "Tapi, Surya dia marah besar," kata Benji. "Kamu harus menyiapkan alasan,
atau enggak..." Benji kembali teringat kejadian di lapangan tadi siang. Ia tidak memiliki
alasan yang bagus untuk Bulan, jadi pada akhirnya ia meminta maaf walaupun
tahu itu tidak menyelesaikan apa pun.
"Aku juga nggak tahu." Cessa menggeleng pelan. "Aku... aku pasrah aja."
Kepala Cessa sekarang terasa pening. Surya sudah mengatakan dengan jelas
bahwa ia ingin pacar yang bisa menjaga diri sendiri, tetapi setelah kejadian ini"
Besok, Surya mungkin akan memutuskan hubungan dengannya.
Saat melihat wajah Cessa, Benji mendadak menyadari sesuatu. "Ya udah,
kamu nggak usah banyak mikir. Sekarang istirahat aja."
Sambil mengangguk, Cessa kembali berbaring dan menatap langit-langit. Ia
perlu bintang-bintang itu sekarang. Karena memikirkan alasan yang harus ia
katakan pada Surya, kepalanya terasa mau pecah.
Secara cukup harfiah. BAB 14 We can't live at the same time without trivial fights.
If I can' be honest, then rapture and sorrow are meaningless.
[Remioromen"Snow Powder]
Pagi ini, Cessa dan Benji memasuki sekolah dengan langkah berat. Seperti
biasa, semua orang menatap mereka dan berbisik, tetapi kali ini dengan
konsten yang sama sekali berbeda. Jika dulu tatapan dan bisikan itu berupa
kekaguman dan pujian, sekarang tatapan itu terasa mencemooh, dan bisikan
yang keluar merupakan ejekan.
"Lihat tuh si tuan putri. Lagaknya selangit!"
"Iya, baru olahraga segitu. Kasihan kan si Friska!"
Cessa menundukkan kepala, bisa mendengar dengan jelas kata-kata itu.
Mungkin mereka sengaja mengeraskan suara agar ia bisa mendengarnya.
"Terus apaan deh si Benji, katanya pacaran sama Bulan! Tetap aja ngurusin
Cessa!" Benji menghela napas. Ia sudah menduga akan menjadi bulan-bulanan
sekolahnya, jadi ia tidak heran. Ia bisa menerima semuanya dengan lapang
dada. Namun, sepertinya tidak demikian dengan Cessa.
"Katanya dia ngegendong Cessa di depan mata Surya! Nggak banget!"
"Si Surya jadi keliatan bego!"
Langkah Cessa sekarang terasa semakin berat. Lututnya yang masih terasa
sakit sekarang seperti ditusuk ribuan jarum. Ia merasa seperti putri duyung
yang tak seharusnya menjejak bumi dan tetap berada di laut yang sepi.
Tahu-tahu, cemoohan itu tak terdengar lagi. Cessa menyentuh kedua
telinganya yang telah terpasang headphone, lalu menoleh kepada Benji. Anak
laki-laki itu sekarang sedang menekan iPod, mencari lagu.
And so it is. Just like you said it would be...
Lagu itu mengalun lembut ke dalam telinga Cessa, menggantikan segala
ejekan dari teman-temannya. Benji memasukkan iPod itu ke saku Cessa.
Cessa menatap Benji. "Thanks, Ben."
Benji tersenyum, lalu kembali melangkah. Cessa menatap punggung Benji
yang hari ini tampak kecil dan kesepian. Walaupun semua ejekan itu
menyakitkan, Benji tak memedulikan dirinya sendiri dan meminjamkan iPod ini
kepada Cessa. "Thanks, Ben. It really do," gumam Cessa, lalu kembali melangkah, mengikuti
jejak anak laki-laki itu seperti yang dilakukannya selama 17 tahun ini. Jejak
Benji adalah yang paling aman baginya.
Tak lama kemudian, Benji dan Cessa sampai di kelas yang segera senyap.
Walaupun tak bisa mendengar apa-apa, Cessa bisa melihat tatapan temanteman sekelasnya yang memojokkan. Tatapan Cessa pun akhirnya bertemu
dengan Friska. Cessa melepas headphone-nya, lalu menghampiri anak perempuan itu.
"Pagi, Fris." Alih-alih menjawab sapaan itu, Friska menatap Cessa tajam. "Udah baikan
lo?" Senyum segera terkembang di wajah Cessa. "Udah."
"Bagus deh." Friska bangkit. "Lain kali, nggak usah ikut olahraga lagi.
Nyusahin aja." Mata Cessa melebar sementara Friska melangkah melewatinya menuju
pintu kelas. Selama beberapa saat, Cessa membatu di depan bangku Friska,
berusaha untuk mengingat bagaimana cara bernapas dengan normal.
Cessa membatu di depan bangku Friska, berusaha untuk mengingat
bagaimana cara bernapas dengan normal.
"Sok-sokan kaget lagi, baru digituin sama Friska, bisa-bisa pingsan lagi."
Mendadak, Cessa kembali bisa mendengar ejekan itu. Cessa memutar badan
perlahan, menatap teman-temannya. "Maaf ya, gue udah nyusahin."
Anak-anak menatapnya dengan berbagai macam ekspresi. Sebagian besar
tampak skeptis, sisanya masih tampak kesal, tetapi ada pula yang simpatik.
Friska bahkan menahan langkahnya di depan pintu.
"Waktu olahraga kemarin itu, gue... bener-bener senang." Cessa
memaksakan senyum, berusaha untuk tidak menangis. "Gue... nggak akan ikut
olahraga lagi." Selama beberapa saat, kelas terasa hening. Semua orang sibuk menatap
Cessa yang berdiri canggung di tengah kelas dengan tubuh bergetar.
"Selamat pagi, Anak-anak!"
Herman memasuki kelas dengan ceria, tetapi segera bingung saat menyadari
suasana kelas yang terlalu sepi. Tanpa harus melihat, Herman tahu siapa yang
sedang menjadi pusat perhatian. Ia sudah mendengar tentang kejadian di
lapangan beberapa hari lalu.
"Ayo semua, duduk! Pelajaran mau dimulai!"
Walaupun enggan, anak-anak mulai bergerak ke bangkunya masing-masing.
Cessa tersaruk ke bangkunya, lalu duduk.
"Yak, hari ini, Bapak akan membagikan hasil ulangan kemarin. Yang
dipanggil, silakan maju untuk mengambil!"
Cessa menatap kosong mejanya yang putih bersih, hampir tak mendengar
kata-kata Herman. Kata-kata Friska tadi benar-benar menancap di hatinya.
Sebelum pelajaran olahraga kemarin, Cessa selalu berusaha untuk menjadi
kasat mata. Tak tersentuh. Namun, saat ia ingin mencoba untuk menjadi
normal, ia malah menjadi beban. Ia menyusahkan orang-orang.
Keputusan Cessa untuk tak memberi tahu teman-temannya adalah tepat.
Seharusnya, ia tidak pernah mencoba.
***** Cessa menatap ragu pintu perpustakaan. Kakinya kembali membawanya ke
sini, tempat di mana ia menghabiskan waktu bersama Surya selama beberapa
bulan terakhir. Tinggal beberapa bulan lagi menjelang Ujian Nasional. Ia tidak
yakin apa masih mau terus mengganggu anak laki-laki itu.
"Nggak masuk?" Cessa menoleh dan mendapati Surya sudah berdiri di sampingnya. Alih-alih
terlihat marah, anak laki-laki itu malah membukakan pintu baginya. Cessa
melangkah ragu, lalu mengikuti Surya masuk. Tidak seperti Benji, langkah anak
laki-laki itu besar-besar, sehingga sulit untuk diikuti. Surya seperti memiliki
kecepatan sendiri yang menolak untuk menunggu siapa pun. Cessa tak yakin
apa ingin menahannya, atau memintanya untuk menunggu dan berjalan lebih
lambat. Surya berhenti di depan rak biografi, lalu mulai memilih buku. Cessa
memperhatikannya dari samping. Anak laki-laki itu tampak tak begitu peduli
kepada Cessa. Mungkin, ia memang tak peduli. Cessa tahu, yang terpenting
baginya adalah pelajaran.
Saat Surya duduk di lantai, Cessa memutuskan untuk ikut duduk di
sampingnya. Sambil mencengkeram buku sketsa, Cessa berpikir keras. Apa ia
harus bertanya pada Surya" Apa ia harus membahas kejadian kemarin lebih
dulu" Atau tidak"
Seperti bisa membaca pikiran, Surya melirik Cessa. "Lo nggak apa-apa?"
Mata Cessa melebar saat mendengar pertanyaan Surya. "Gue... maaf."
"Gue nggak pengin denger itu." Surya membolak-balik halaman bukunya.
"Gue mau denger lo baik-baik aja."
Cessa menunduk. "Gue... baik-baik aja."
Surya menatap Cessa lama. Ia memang marah karena kejadian saat olahraga
kemarin, tetapi saat melihat Cessa tadi pagi, ia merasa masalah itu bukan lagi
yang paling penting. "Lo... nggak pernah punya temen, ya?"
Saat mendengar pertanyaan Surya, mendadak Cessa ingin menangis. Air
mata yang tadi pagi berhasil ditahannya, sekarrang terasa mulai menggenang.
Cengkeraman Cessa pada buku sketsa mengencang hingga buku itu penyok.
Surya meraih kepala Cessa, lalu merengkuhnya. Seketika, air mata Cessa
berderai. Semakin ingin ditahan, tangisan itu semakin keras. Seumur hidupnya,
Cessa tidak pernah menangis hingga dadanya terasa sakit seperti ini.
Surya sendiri tidak tahu persis masalahnya. Yang ia tahu, Cessa memang
lemah dan tidak punya teman. Ia juga tahu, saat pelajaran olahraga tempo hari
adalah saat pertama Cessa berusaha untuk berteman, tetapi ia tidak berhasil.
Cessa memang terlahir sebagai putri. Tidak seharusnya putri berteman dengan
rakyat jelata. Selama 10 menit, Cessa menangisi hatinya. Hari ini, ia kehilangan temantemannya. Hari ini, ia harus mengucap selamat tinggal pada mereka dan
kembali ke kehidupan lamanya yang hanya terdapat dirinya dan Benji.
Kehidupan yang sepi dan tidak menarik.
Surya membiarkan Cessa menangis di pundaknya. Walaupun dengan alasan
yang berbeda, ia juga tidak punya teman, jadi sedikit banyak, ia mengerti
perasaan anak perempuan itu.
"Lo masih punya gue," hibur Surya setelah tangis Cessa mereda.
Cessa mengangkat kepala, menatap Surya dengan mata basah. "Lo nggak
marah?" "Marah." Surya mendesah. "Kenapa kemarin lo nggak panggil gue?"
"Gue..." Cessa kehilangan kata-kata. "Gue nggak bisa."
Surya menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak bertanya lebih
lanjut. "Mulai sekarang, kalo lo kenapa-kenapa, jangan panggil Benji lagi."
Cessa menatap Surya, antara tak percaya dan takjub.
"Gue cowok lo, kan?" Surya balas menatap Cessa. "Kalo lo kenapa-napa, lo
cuma harus panggil gue. Bukan orang lain."
Cessa menatap buku sketsanya yang sudah kusut. Ia tidak tahu harus
menjawab apa. Walaupun setengah mati ingin mengiyakan, namun
kenyataannya tidak semudah itu. Surya tidak memiliki apa yang Benji miliki.
Cessa berpacaran dengan Surya tidak lantas menjadikan Benji orang lain.
"Lo nggak percaya sama gue?" Surya menangkap keraguan pada wajah
Cessa. Cessa segera menggeleng. "Bukan itu."
"Terus apa?" desak Surya. "Lo lebih seneng Benji yang ngejaga lo daripada
gue?" "Bukan itu..." Cessa membasahi bibir. "Gue sama Benji udah 17 tahun
bareng. Ya. Kita nggak biasa terpisah."
"Kalau begitu, biasakan dari sekarang." kata Surya tegas. "Kalian nggak bisa
bareng-bareng selamanya, kan?"
Cessa menatap Surya. "Tapi..."
"Kalo lo mau hubungan kita berlanjut, lo harus dengerin gue." Surya
menutup bukunya, lalu balas menatap Cessa tajam. "Gue nggak bisa pacaran
sama cewek yang dijagain cowok lain, apa pun alasannya."
"Tapi..., lo kan harus konsentrasi sama pelajaran?"
"Lo pikir gue bisa konsentrasi setiap liat lo bareng Benji?" potong Surya,
membuat mata Cessa melebar.
Cessa kembali menunduk, tak tahu kalau Surya berpikir seperti itu. Tadinya,
Cessa berpikir Surya akan marah dan memutuskan hubungan dengannya.
Sekarang, alih-alih merasa bahagia Surya mau menjaganya, Cessa merasa
bingung. Tahu-tahu, Surya mengacak rambutnya. Seperti beberapa bulan lalu, Cessa
kembali bisa merasakan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Hal ini
pula yang membuatnya melepaskan akal sehatnya dan mengangguk. Ia mau
berada di dalam dunia ini selamanya.


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tidak mau Surya menganggapnya lebih lemah daripada ini. Cessa ingin
menjadi sumber kekuatannya, bukan beban.
Surya mengangguk-angguk, lalu kembali membuka bukunya. Cessa
menyandarkan kepala pada bahunya, bersiap-siap mendengar pengetahuan
menarik. Saat ini adalah saat-saat Cessa membutuhkan Surya. Surya akan berusaha
untuk menghiburnya dan membuatnya tidak merasa perlu teman lagi.
Cessa hanya butuh Surya. ***** Benji menutup lemari pendingin, lalu menatap kosong tumbler yang sudah
tersembunyi di balik belasan botol minuman soda. Hari ini, ia membawa alatalat baru sebagai cadangan. Alat-alat mahal yang khusus didatangkan Dirga
dari Amerika. Semalam, Dirga akhirnya pulang untuk melihat keadaan Cessa. Walau tak
berkata apa pun, tatapannya kepada Benji sudah lebih dari cukup untuk
membuatnya mengerti. Bahwa Dirga kecewa padanya. Bahwa Dirga tak lagi
melihatnya sebagai pria yang kuat.
Karena kedua orantuanya nyaris tak pernah di rumah, Benji tumbuh besar
dengan menatap punggung Dirga. Ia adalah panutannya. Suri teladannya.
Orang yang ia ingin jadi di suatu saat nanti. Melihatnya kecewa adalah pukulan
telak bagi Benji. Menunjukkan bahwa Benji masih seratus tahun terlalu muda
kalau ingin menjadi seperti Dirga.
Benji membalik badan, bermaksud untuk kembali ke taman depan
perpustakaan untuk menunggu jam istirahat berakhir. Ia tidak ingin bertemu
Bulan setelah apa yang terjadi beberapa hari lalu. Ia tak tahu harus bagaimana
menghadapi tatapan kecewa anak perempuan itu. Mungkin ia memang
pengecut karena ia lebih ingin mengobrol dengan Piko yang sudah sehat.
Langkah Benji terhenti saat ia melihat
sepasang sepatu menghadangnya.
Benji mengangkat kepala, lalu mendapati Surya sudah berdiri di hadapannya.
"Kita perlu ngomong," katanya tajam. Seisi kantin segera berbisik seru, tahu
pasti mereka sedang membicarakan apa.
"Sounds bad." Benji berusaha bergurau, walaupun ia tahu itu bakal sia-sia.
"Cessa mana?" "Lagi menggambar di perpus." Surya melewati Benji. "Ikut gue."
Tanpa banyak bicara lagi, Benji mengikuti Surya menuju koridor ruang ganti
yang tampak sepi. Surya lantas membalik badan. Bahasa tubuhnya
mengatakan bahwa ia sedang sangat-sangat marah. Benji hanya tersenyum
lemah, bisa memakluminya.
"Mau ngomong apa?" tanya Benji.
"Lo tahu gue mau ngomong apa." Surya menjawab dingin. "Cessa."
"Kenapa dengan Cessa?"
"Lo tahu kan, kalo Cessa sekarang udah sama gue?" tanya Surya, retoris.
"Gue mohon lo mundur. Gue bisa jaga dia."
Selama beberapa saat, Benji menatap Surya dengan senyum lemah. "Sori,
tapi lo nggak bisa."
Surya menatap Benji tajam. "Apa maksud lo?"
"Gue punya apa yang lo nggak punya. Gue punya apa yang dia butuhin."
Benji balas menatap Surya menantang. "Sampai kapan pun, lo nggak bisa
bareng dia tanpa ada gue di sampingnya."
"Lo ngomongin soal harta?" tanya Surya dingin. "Lo punya kekayaan
sedangkan gue nggak punya?"
"Lo pikir gue sepicik itu?" Benji balik bertanya. "Ini bukan soal harta. Ini soal
kebiasaan selama 17 tahun dan hal-hal lain yang lo nggak tau."
Mendadak, Surya merasa kesulitan bicara. 17 tahun adalah seumur hidup
mereka. Surya memang tak tahu tentang Cessa sebanyak Benji.
Pengetahuannya soal Cessa memang masih terlalu dangkal.
"Lo nggak punya banyak pilihan," lanjut Benji. "Kalo lo masih mau pacaran
sama Cessa, lo harus terima kehadiran gue juga."
Surya mendengus. "Itu nggak masuk akal."
"Then break her up," kata Benji tegas, membuat mata Surya melebar. "Kalo
lo ngerasa nggak mau atau nggak mampu. Lebih baik lo putusin aja dia."
"Kayak yang lo lakuin sama adik gue?" Surya menatap Benji tanpa berkedip,
tangannya sudah terkepal keras di samping paha.
Benji terdiam untuk beberapa saat. "Exactly."
Tangan Surya sudah terangkat, bermaksud untuk memukul Benji, saat tahutahu Cessa muncul di antara mereka.
"STOP!" seru Cessa, tangannya terentang di depan Benji. Ia tahu ada yang
tidak beres saat tadi Surya keluar perpustakaan dengan alasan ingin ke kamar
kecil. Surya menurunkan tangan yang masih terkepal, mengurungkan niatnya.
Matanya menatap Cessa setajam elang. "Sekarang lo bilang. Selain harta, apa
yang dia punya dan gue nggak punya?"
Cessa meneguk ludah, lalu menoleh kepada Benji yang tidak bisa berbuat
apa-apa. Apakah Cessa mau memberi tahu Surya atau tidak, keputusannya ada
di tangan Cessa sendiri. "Bukan apa-apa," kata Cessa akhirnya. "Lo nggak usah khawatir."
"Kalo bukan apa-apa terus kenapa lo nggak bisa lepas dari dia?" Surya nyaris
berteriak, frustrasi. Dua orang di depannya ini begitu rumit hingga nyaris
membuatnya menyerah. "Lo cuma harus percaya sama gue, Ya."
Selama beberapa saat, Surya menatap mata Cessa tanpa berkedip, berusaha
untuk menyelami isi hati anak perempuan itu. Apa ia sungguh-sungguh" Atau
ia hanya mempermainkannya"
Saat melihat mata hazel itu tergenang air mata, Surya akhirnya
memutuskan. Untuk saat ini, Surya akan berusaha untuk memercayai anak
perempuan itu. Untuk saat ini. BAB 15 Are we too late" Do not we have a chance"
I still think about you and you might know this.
Is it finally this" [Ji Sun" What Should I do]
"Lan! Bulan!" Bulan melepaskan pelindung tangan dengan mata menerawang, sama sekali
tak sadar kalau Kendra, temannya, sedari tadi memanggilnya dari pinggir
lapangan. Kendra menghela napas, lalu menghampirinya. Sepertinya Bulan
masih terpukul karena kata-kata Benji tempo hari.
"Bulaaaannn!" Kendra memeluk Bulan dari belakang. "Bengong aja sih
lo!?"Elo, Ken." Bulan segera mendorong Kendra. "Diem-diem aja lo kayak
cicak." Kendra menatap Bulan datar. "Gue sampe serak kali, manggilin lo dari tadi."
"Oya?" Bulan menggaruk tengkuk. "Nggak denger."
Kendra memperhatikan Bulan yang membereskan peralatan panahan ke
dalam kotak. Walaupun sedang tidak ada kompetisi, hari ini Bulan tetap
berlatih di jam istirahat. Dalam keadaan patah hati pun, ia tetap rajin. Atau
malah karena patah hati, ia jadi punya pelampiasan"
Bantalan target puluhan meter depannya tampak penuh tertancap oleh
anak panah. Kendra melirik Bulan. Sahabatnya ini memang benar-benar
seorang titisan Srikandi. Saking hebatnya, Kendra sampai merasa kesepian.
Bulan hampir tidak pernah berada di dalam kelas saat istirahat. Ia pun tidak
pernah mau diajak nongkrong di mal sepulang sekolah.
Saat Bulan duduk di bangku panjang untuk beristirahat, Kendra segera
mengikutinya. Kendra memperhatikannya yang sedang minum air mineral.
"Kak Benji nggak pernah ke sini lagi?" tanya Kendra hati-hati setelah Bulan
menghabiskan minumnya. Di kelas, Kendra hampir tak pernah menanyakan
soal itu padanya. Teman-teman sekelasnya bisa jadi sangat primitif kalau
mendengar kata 'Benji'. Bulan menggeleng sambil memasukkan botol air mineralnya ke dalam kotak,
berusaha untuk tidak peduli.
"Lo... nggak apa-apa?" tanya Kendra lagi, membuat Bulan menoleh.
"Nggak apa-apa kok, Ken." Bulan menyodok rusuk Kendra pelan. "Tumben lo
khawatir." "Yah, gue kan kehilangan lo yang biasa, Lan," ucap Kendra jujur. Bulan
memang jadi lebih pendiam beberapa hari terakhir. Kelas jadi tidak
menyenangkan lagi. Bulan menatap Kendra lama, memikirkan kata-katanya. Sahabatnya itu
benar. Gara-gara Benji, ia kehilangan dirinya sendiri. Ia tidak lagi ceria dan
melarikan diri dari keramaian, takut orang-orang membicarakannya. Padahal,
ia yang dulu tak pernah merasa demikian.
"Sori Ken." Bulan nyengir pada Kendra. "Gue janji bakal balik kayak biasa
lagi." Mata Kendra segera berbinar. "Bener ya?"
Bulan mengangguk. Sahabat dan teman-temannya jauh lebih penting
daripada pangeran yang plin-plan itu.
"Oya, Lan, kemarin Papa baru pulang dari Jepang, bawa oleh-oleh. Lo main
ke rumah ya?" ajak Kendra. "Kita pajamas party."
Bulan terkekeh mendengar ajakan Kendra. "Lo izin Kak Surya dulu sana."
"Ih, ogah! Galak!" tolak Kendra dengan senang hati, membuat Bulan
tergelak. Saat Kendra dan Bulan masih asyik bercanda, mereka menyadari bahwa ada
orang lain di sana, menatap mereka dari pinggir lapangan. Tawa mereka segera
berhenti saat tahu siapa orang itu.
"Lan, gue pergi dulu ya." Kendra melirik Bulan, lalu buru-buru bangkit. Saat
melewati Benji, ia mengangguk kaku. "Halo, Kak."
"Hai," balas Benji sambil tersenyum.
Pandangan Benji mengikuti punggung Kendra hingga anak perempuan itu
masuk ke sekolah, lantas beralih pada Bulan yang sudah kembali sibuk dengan
peralatannya. Pelan namun pasti, Benji menghampirinya.
"Latihan lagi, Lan?"
"Begitulah," jawab Bulan tanpa mengangkatt kepala. Ia bangkit dan
melangkah ke arah bantalan target, bermaksud melepas panah-panah yang
masih menancap. Ia tahu kalau Benji mengikutinya, membantunya mencabut
panah-panah itu, namun ia membiarkannya.
Benji menyodorkan beberapa panah yang sudah dicabutnya. "Ini."
Bulan menghela napas, lalu menerimanya. "Makasih."
Setelah kejadian beberapa hari lalu, Benji maklum dengan perlakuan Bulan
padanya. Benji memang seorang berengsek yang egois, yang mengatakan
semua hal indah itu di rumah sakit, dan menghancurkan semuanya di sini. Ia
memulai apa yang tidak bisa ia pertanggungjawabkan. Namun, kemarin, Surya
dan Cessa membuatnya kembali melihat setitik cahaya. Surya bisa menerima
kehadiran dirinya, mengapa Bulan tidak bisa menerima Cessa" Bulan sudah
kembali duduk di bangku, memasukkan anak-anak panah ke dalam kantong.
Benji menghampirinya, lalu duduk di sampingnya.
"Untuk apa ke sini lagi?" tanya Bulan akhirnya, memecah keheningan.
Benji tersenyum. "Gue penasaran lo lagi apa."
Sayangnya, Bulan tidak terhipnotis senyuman itu. "Kemarin-kemarin nggak
penasaran?" Senyuman Benji segera memudar. Beberapa hari terakhir, Benji memang
menahan diri untuk tidak melangkah ke tempat ini karena jika ia
melakukannya, ia akan kembali mengharapkan Bulan.
"Kemarin" Surya bisa nerima gue."
Bulan menatap Benji tak mengerti. "Maksudnya?"
"Gue bilang, dia harus menerima kehadiran gue kalau tetap mau bareng
Cessa." Benji menatap Bulan yang terbelalak. "Dan dia terima."
"Kak Surya bilang begitu?"" seru Bulan, tak habis pikir. Kakaknya adalah
seseorang yang mendahulukan logikia di atas segalanya. Apa yang
membuatnya mau menjalani hubungan absurd ini" Apa ia sebegitu menyukai
Cessa" "Lo bisa begitu?" tanya Benji, membuat mata dan mulut Bulan terbuka
semakin lebar. "Lo bisa nerima Cessa tanpa bertanya apa-apa?"
Pertanyaan Benji itu terdengar seperti lelucon bagi Bulan. Walaupun Bulan
sangat menyukai Benji, ia tidak segila itu.
"Maaf Kak." Bulan menggeleng. "But that sounds crazy."
"I know." Benji menatap busur di dalam kotak. "Tapi kalau lo tahu
alasannya, lo nggak akan bilang begitu."
"Apa alasannya?" tanya Bulan. "Oh, tunggu. Kakak nggak bisa bilang."
Benji tersenyum lemah. "Yang gue bisa janjiin sama lo, gue nggak ada
perasaan cinta sama Cessa. Itu aja."
Bulan menatap Benji ragu, lalu mengalihkan pandangan pada lapangan yang
hijau. Ia tidak tahu apa harus percaya pada anak laki-laki itu atau tidak. Apa
mungkin ini yang Cessa katakana kepada Surya hingga ia menyanggupi" Apa
Surya memercayai Cessa"
"Kalau aku dan Kak Cessa sama-sama tenggelam di laut, siapa yang akan
Kakak selamatkan?" tanya Bulan tiba-tiba.
Benji meneguk ludah. "Lan?"
"Tentu aja Kakak akan menyelamatkan Kak Cessa." Bulan tersenyum miris.
"Karena Kakak tahu aku bisa menyelamatkan diri."
Selama beberapa saat, Benji hanya menatap Bulan nanar.
"Hanya karena aku bisa berenang, bukan berarti aku nggak butuh
diselamatkan," lanjut Bulan. "Tapi, pada akhirnya, aku akan sadar, kalau
keputusan yang Kakak ambil benar. Jadi, Kakak nggak usah mengkhawatirkan
aku." "Walaupun lo kuat, bukan berarti gue nggak akan khawatir," desah Benji.
"Gue akan menyesal seumur hidup."
Rintik hujan sekarang sudah turun, membuat keheningan di antara mereka
semakin terasa menyakitkan. Benji benar-benar akan membenci hujan yang
selalu turun di saat yang tidak tepat.
"Maaf Kak, tapi aku nggak bisa," kata Bulan akhirnya. "Ini" terlalu aneh
buatku." Benji bisa mendengar hatinya sendiri yang hancur. "Gue paham. Gue yang
harusnya minta maaf, Lan. Maaf karena" hubungan kita nggak berhasil."
Kata-kata Benji akhirnya membuat Bulan benar-benar jatuh ke dasar jurang.
Jurang yang nekat dilangkahinya beberapa bulan lalu. Saat itu, ia berharap
Benji akan menangkapnya, membawanya hingga sampai ke seberang, namun
ternyata semuanya hanyalah mimpi.
Dering telepon memecah keheningan, Benji mengeluarkan ponsel dari saku,
lalu menatap horor layarnya.
Benji mengangkat telepon itu, setengah mati berharap tak terjadi apa pun
yang serius. "Halo?"
Detik berikutnya, Benji bangkit. Kakinya sudah mau membawanya pergi saat
ia teringat pada Bulan. Benji menoleh, lalu menatap Bulan, seolah meminta
maaf karena harus meninggalkannya.
Bulan balas tersenyum lelah. Inilah tepatnya mengapa ia tak mau menjalani
hubungan aneh ini. Ia tidak mau menjadi orang bodoh yang selalu ditinggalkan
setiap kali Benji menerima tanda bahaya dari orang lain.
Mendadak, Bulan teringat kata-kata ibunya beberapa tahun lalu, saat ia
bertanya seperti apa rasanya jatuh cinta. Saat itu, ibunya menjawab dengan
satu kalimat yang tak akan dilupakannya seumur hidup.
Jika hal yang paling sulit untuk kamu lakukan adalah mengucap "selamat
tinggal", saat itulah kamu tahu kamu sedang jatuh cinta.
Bulan menatap nanar punggung Benji yang sekarang sudah menjauh. Air
mata sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Selamat tinggal, Kak?"
^^^ Cessa mengintip ke balik rak astronomi, lalu mendapati Surya sedang serius
memelototi punggung buku-buku yang tersusun di rak. Sepertinya, anak lakilaki itu sedang mencari buku. Tanpa bersuara, Cessa berjingkat ke arah Surya,
lalu berjinjit dan menutup kedua matanya.
"Baa?" kata Cessa begitu Surya melepas jemarinya dan menengok.
Surya menatap Cessa yang tampak ceria, lalu tersenyum. Kecantikan anak
perempuan itu selalu berhasil membawa mood-nya kembali baik setelah
semua yang terjadi kemarin.
Sebenarnya, Surya tak tahu apa yang membuatnya menyanggupi
permintaan gila Benji kemarin. Menerima Benji untuk tetap berada di samping
Cessa membuatnya seperti laki-laki tak berguna. Namun, entah mengapa Surya
tidak ingin kehilangan Cessa begitu saja. Kata-kata Cessa untuk
mempercayainya terasa seperti mantra yang menyihirnya.
"Kok bengong?" tanya Cessa, menyadarkan Surya. "Lagi nyari buku apa?"
"Buku tentang perbintangan," jawab Surya, kembali memfokuskan diri pada
pencariannya. Seseorang telah sembarangan mengembalikan buku itu ke rak
ini sehingga sulit untuk dicari.
"Memangnya kenapa?" Cessa tiba-tiba tertarik. "Kalau mau tahu soal


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bintang, tanya sama yang ini."
Cessa menunjuk dirinya sendiri, jadi Surya mendengus. "Kamu masih
ngerasa seperti Bintang" Yang paling terang?"
Cessa mengangguk. "Gue tetap bintang yang paling terang. Walaupun paling
cepat mati, gue nggak akan menyesal."
Jari Surya berhenti menyusuri punggung buku. Ia menoleh kepada Cessa
yang tampak bersandar di rak, menatap langit-langit perpustakaan.
"Yang penting, gue udah menerangi mereka yang membutuhkan cahaya
gue." Cessa menatap Surya. "Bener, kan?"
Surya tersenyum, lalu kembali mencari buku itu. Beberapa bulan lalu, ia
pernah membaca sebuah buku tentang bintang dan nama-nama rasi yang
lengkap. Ia harus menemukannya. Ada sesuatu yang mengganjal di otaknya. Ia
tidak bisa memamerkan trivia itu kepada Cessa jika ia sendiri tidak yakin.
"Kalo lo, butuh cahaya gue, nggak?" tanya Cessa, membuat Surya terkekeh.
"Kita kan sama-sama bintang, buat apa cahaya lo," jawab Surya.
Cessa mengernyit, tak paham. "Maksudnya?"
Surya menatap Cessa. "Surya itu kan kata lain matahari, matahari itu
bintang." "Matahari itu bintang?" Cessa memekik, baru tahu. "Yang bener?""
Surya sendiri segera melongo parah. Detik berikutnya, ia bertepuk tangan.
"Epic. Ini, Princessa Setiawan, adalah hal paling epic yang pernah lo katakan."
Mulut Cessa masih terbuka. "Tapi" matahari ya matahari. Bintang ya"
Bintang. Bintang nggak bersinar di siang hari!"
Surya menggeleng-geleng, merasa bersalah karena belum menanamkan
pengetahuan dasar itu ke dalam otak Cessa. Ia lantas menghampiri Cessa dan
menatapnya lekat. "Bintang nggak terlihat di siang hari karena sinar matahari mengalahkan
cahayanya." Surya menjelaskan dengan bahasa yang sesimpel mungkin.
"Makanya kamu baru bisa lihat mereka di malam hari setelah matahari
tenggelam. Tapi pada dasarnya, mereka sama-sama bintang. Hanya saja
matahari jaraknya dekat, sedangkan bintang-bintang itu sangat jauh."
Surya mendadak terdiam, menyadari sesuatu dari perkataannya. Dulu, ia
menganggap Cessa adalah salah satu bintang itu, jauh dan tidak
tergapai. Sinarnya yang sangat terang membuat semua orang hanya bisa
mengaguminya dari jarak jutaan kilometer.
"Jadi" matahari itu bintang?" Cessa masih belum mau menerimanya.
Selama ini, ia percaya bahwa bintang dan matahari adalah dua benda angkasa
yang berbeda. Walaupun Surya"atau ilmuwan terpandai sekalipun"
mengatakannya, kepercayaan selama bertahun-tahun akan sulit untuk terganti
begitu saja. "Lo bener-bener ya." Surya menatap Cessa nyaris takjub. "One in a million."
Kata-kata Surya membuat Cessa terpaku selama beberapa saat. "Itu" dalam
artian yang bagus" Atau buruk?"
Surya menatap Cessa lama. "Apa ada bintang yang buruk?"
Cessa balas menatap Surya, lalu tersenyum lemah. "Adanya bintang yang
terlalu terang dan cepat mati."
Senang Cessa mengingat pengetahuan darinya, Surya mengangguk dan
kembali menyusuri rak buku, sama sekali tidak menyadari Cessa yang jadi
murung di sampingnya, memikirkan setiap kata-kata itu secara harfiah.
Cessa sedang mengalihkan pandangan saat tahu-tahu melihat sebuah buku
yang tergeletak di rak paling atas. Menyangka itu buku yang sedang dicari
Surya, Cessa melangkah naik tangga kecil, lalu menggapainya.
Cessa baru berhasil menggapai ujung buku itu saat ia kehilangan
keseimbangan. Refleks, tangannya mencari apa pun untuk berpegangan dan
akhirnya mendarat pada sebuah paku yang menonjol dari rak. Surya yang
melihatnya segera berlari ke arah Cessa, dan berhasil menangkapnya sebelum
anak perempuan itu terjatuh ke lantai.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Surya, diam-diam menyadari bahwa tubuh Cessa
sangat ringan, nyaris tak bermassa.
Cessa sendiri masih terkejut untuk menjawab. Beberapa detik berikutnya, ia
sadar kalau ia sedang berada dalam pelukan Surya. Mendadak, Cessa ingin
berada di sini selamanya. Di bahu Surya yang tidak kokoh namun terasa hangat
dan nyaman. Surya merasakan pelukan Cessa yang semakin erat, lalu menoleh ke
sekeliling. Kalau ada orang yang menemukan mereka seperti ini, hanya
masalah waktu hingga ia ditendang keluar dari sekolah ini. Dan itu tidak boleh
terjadi. Otaknya hanya sempat berpikir demikian selama beberapa saat karena
selanjutnya, hatinya yang mengambil alih. Harum sampo Cessa yang memikat
membuatnya tidak peduli lagi. Ia berhasil melindungi Cessa. Ia akan
membuktikan kalau Benji salah telah meremehkannya.
Perlahan, tangan Surya terangkat dan mendarat di puncak kepala Cessa. Ia
mengelusnya pelan, seolah takut merusak mahkota indah itu. Seolah tangan
jelatanya bisa mengotorinya. Beberapa bulan lalu, Surya bahkan tak pernah
memimpikannya. Cessa baru memejamkan mata saat merasakan sesuatu yang lengket pada
telapak tangan kanannya. Cessa mengangkat tangannya, lalu segera
terperanjat. Telapak tangan itu sekarang sudah berlumuran darah. Cessa sama
sekali tidak sadar bahwa paku yang tadi ia gapai ternyata melukainya.
"Ah." Cessa tercekat saat melihat luka sayatan itu.
Saat merasa tubuh Cessa gemetar, Surya mendorong tubuh anak
perempuan itu hingga terduduk. Ia lantas melotot saat melihat tangan Cessa
yang terluka. "Lo nggak apa-apa?" tanya Surya, khawatir.
Alih-alih menjawab pertanyaan Surya, Cessa malah menengok sekeliling,
tampak cemas. Tak memedulikan itu, Surya mengeluarkan saputangan dari
sakunya, bermaksud untuk menyeka darah itu. Namun, Cessa segera menarik
tangannya. "Gue" Benji?"
"Mata Surya melebar saat mendengar nama itu, Cessa sekarang tampak
salah tingkah. Surya menarik napas, berusaha untuk tetap tenang.
"Sini, gue lap dulu darahnya, baru kita ke?"
Cessa menggeleng. "Gue butuh Benji," katanya gugup, terburu-buru
mengeluarkan ponsel dari saku dan menekan tombol satu dengan tangan
kirinya yang gemetar. Ia pun menempelkan ponselnya ke telinga. "Ben,
tolong?" Surya menatap Cessa tanpa berkedip hingga matanya terasa panas.
Tangannya sudah terkepal, menggenggam keras saputangan yang tidak
terpakai. Dan seolah kata-kata Cessa tadi belum cukup menusuk hatinya, mata
Surya sekarang menangkap sesuatu yang seumur hidup ia harap tidak pernah
ia lihat. Kalung yang Cessa kenakan menjuntai keluar. Namun, bukan itu yang
membuat darah Surya mendidih. Kalung itu berbandul sebuah tanda pengenal
seperti plat militer. Pada plat itu, terpahat suatu tulisan.
Menyadari arah pandang Surya, Cessa segera meraih bandul itu dan
memasukkannya kembali ke kemeja. Namun, Surya sudah keburu membaca
sedikit, dan menurutnya, itu sudah lebih dari cukup.
Dalam hitungan detik, Benji muncul. Wajahnya pucat pasi, tetapi tak sepucat
siapa pun yang ada di sana. Surya dan Cessa menatap Benji bersamaan,
dengan tatapan yang berbeda.
Tak punya waktu untuk mengurusi Surya, Benji segera berlutut di samping
Cessa. "Kenapa?"
Cessa menunjukkan tangannya yang terluka. Selama beberapa detik, raut
wajah Benji berubah panik. Namun, ia segera mengangguk dan mengeluarkan
saputangan untuk membebat luka itu.
"Ayo, Cess." Benji merangkul pundak Cessa dan membantunya berdiri.
Sebelum pergi, Cessa menoleh kepada Surya yang masih menatap kosong.
Urat-urat di kepala dan tangan anak laki-laki itu bermunculan. Jelas sekali
Surya marah padanya. "Percaya sama gue, Ya." Cessa berucap, lalu Benji membawanya pergi.
Sepeninggal Cessa, Surya hanya terduduk di lantai perpustakaan yang
dingin, berusaha melupakan apa yang baru saja ia lihat. Namun, tulisan pada
tanda pengenal di kalung Cessa terus berputar di otaknya.
Benjamin Andrews. 081xxxxxxxxxx
^^^ Cessa menatap tangan yang sudah terbebat perban. Lagi-lagi, ia melakukan
sesuatu yang bodoh hingga Benji harus menolongnya. Tadi, ia tidak
membiarkan Surya untuk melakukannya karena tidak ingin anak laki-laki itu
tahu. "Kamu tunggu di sini. Aku ambil tas."
Suara Benji menyadarkan Cessa. Sekarang, mereka sedang berada di ruang
kesehatan yang sepi. Walaupun harus memeriksakan lukanya ke dokter, Cessa
tidak ingin langsung pulang. Ia ingin bicara lebih dulu dengan Surya.
"Kita balik ke kelas dulu aja, Ben," kata Cessa membuat Benji yang sedang
membereskan sisa-sisa pembungkus kain kasa menatapnya.
Cessa bangkit dan melangkah pelan keluar dari ruang kesehatan, jadi Benji
mengikutinya. Tadi saat melihatnya berdarah di samping Surya, Benji
menyadari ekspresi horor Cessa. Anak perempuan itu pasti tidak ingin Surya
menolongnya. Namun, sikap Cessa itu sudah pasti akan menimbulkan
konsekuensi. Surya tampak luar biasa marah. Benji bisa tahu saat ia melihat
tangan Surya yang terkepal dan matanya yang memerah.
Tepat pada saat Benji sedang memikirkan Surya, anak laki-laki itu muncul
dari koridor sekolah. Langkah Cessa segera terhenti. Surya sendiri tampak
terkejut, namun ekspresinya berubah masam saat melihat Benji yang ada di
belakang Cessa. Cessa mengangkat tangan yang sudah dibalut, mencoba untuk tersenyum.
"Gue udah nggak apa-apa kok, Ya."
Surya mengalihkan pandangan dari Benji untuk menatap Cessa tajam. "Oya"
Bagus lah kalo begitu."
"Cess, aku duluan ke kelas," dusta Benji, memahami situasi itu. Ia akan pergi
dari sana, tetapi berada cukup dekat untuk tetap mengawasi mereka.
Surya menatap Benji hingga ia menghilang ke koridor kelasnya, lalu kembali
menatap Cessa yang tampak salah tingkah.
"Yang tadi itu?"
"Memang orang kaya segitu nggak ada kerjaannya, ya?" Surya memotong
kata-kata Cessa. "Kalian segitu nggak ada kerjaan sampai harus menghabiskan
waktu dengan mempermainkan orang-orang kayak gue dan Bulan?"
Mata Cessa melebar. "Bukan begi?"
"Lo tuh ya," sambar Surya sebelum Cessa sempat meneruskan bicara.
"Cantik, tapi busuk."
"Eh?" Cessa bergumam, tak percaya pada pendengarannya.
"Lo cuma cewek kaya yang senang mempermainkan orang lain," kata Surya
lagi. "Harusnya gue tahu. Harusnya gue nggak terjebak permainan lo."
"Gue?" Mendadak, Cessa kesulitan berkata-kata. Semuanya tercekat di
tenggorokan. Ia merasa seperti ingin menangis mendengar segala tuduhan
Surya. "Gue bodoh karena selama ini udah percaya sama lo." Surya menggelenggeleng pelan. "Lo bukan Cuma manja, tapi juga penipu."
Selama beberapa saat, Cessa hanya bisa terdiam. Kepalanya tertunduk,
memikirkan kata-kata Surya. Saat Surya berbalik dan melangkah pergi pun, ia
tidak bisa bereaksi. Seluruh tubuhnya terasa bergetar, menahan air mata yang
sudah hendak tumpah. Surya sendiri tak ambil pusing. Cerita anak perempuan itu soal tangis
pertamanya kemungkinan besar juga suatu kebohongan. Ia tak tahu lagi. Ia tak
mau peduli. Ia hanya ingin lepas dari anak perempuan itu dan juga Benji. Ia
sudah cukup dipermainkan oleh anak-anak itu.
Langkah Surya terhenti saat melihat Benji berbelok. Rupanya, Benji tidak
pergi ke kelas. Ia tetap di sana, mendengar pembicaraan mereka, mungkin
dengan alasan menjaga Cessa lagi. Surya sudah muak.
"Puas lo, mempermainkan gue sama Bulan?" tanya Surya tajam.
Benji tak menjawab. Senyuman yang biasa tersungging di bibirnya pun tak
tampak. Ia hanya menatap Surya nanar, seolah mengatakan bahwa apa yang ia
tuduhkan tidak benar, namun enggan mengatakan alasannya.
"Mungkin sebaiknya kami memang nggak bergaul dengan orang luar." Benji
membuka mulut, membuat mata Surya melebar. "Mungkin seharusnya kami
nggak ada di sini. Apa pun yang dia sentuh, semua menyakitinya. Kalian semua
berduri." "Hah?" gumam Surya marah, tetapi Benji sudah melangkah pergi.
Walaupun setengah mati ingin, Surya menahan diri untuk tidak menyusul
dan memukulnya. Ia tidak akan kehilangan beasiswa hanya demi memukul
orang seperti Benji. Orang kaya yang tidak berguna.
^^^ Benji menatap taman depan perpustakaan yang tampak di kejauhan, lalu
menghela napas. Saat ini, ia sedang bersandar di dinding luar toilet wanita,
menunggu Cessa yang mengaku ingin buang air kecil. Namun, ia tahu, Cessa
tidak sedang buang air kecil. Anak perempuan itu sedang menangis. Benji bisa
mendengar setiap isakannya.
Semenjak bertemu dengan Surya, Cessa menangis lebih sering daripada
yang ia lakukan 17 tahun sebelumnya. Jika selama ini Benji dan Dirga selalu
bisa mencegah Cessa untuk menangis, sekarang tak ada yang bisa Benji
lakukan untuk mencegahnya. Harusnya, Benji tak pernah membiarkan Surya
mendekatinya. Benji melongokkan kepala ke dalam. Selain Cessa, tak ada satu orang pun di
dalam kamar mandi itu karena letaknya yang terpencil dan digosipkan
berhantu. Detik pertama melihat Cessa, Benji segera terperanjat. Bukan karena anak
perempuan itu sedang berlinang air mata, namun karena ia sedang
mencodongkan tubuh di depan wastafel, membiarkan darah segar mengalir
dari hidungnya. "Cessa!!" Benji segera melompat ke dalam, lalu meraih bahu Cessa yang
bergetar hebat. Tanpa banyak bicara, Benji membantu Cessa memijat lembut hidungnya.
Sejalan dengan air mata Cessa, darah bergumpal masih terus keluar, seperti
tak bisa berhenti. "Ben, maaf?" Cessa bergumam, air matanya kembali mengalir.
Benji menatap mata Cessa, lalu meneguk ludah. Hari ini mungkin hari paling
menakutkan dalam hidupnya. Dalam satu hari, Cessa terluka dua kali. Ini bukan
lagi pertanda. Ini peringatan terakhir.
"Cessa." Benji bisa getar dalam suaranya sendiri. "Ayo kita pergi dari sini."
Mata Cessa melebar. "Eh?"
Benji membuang tisu yang sudah penuh darah, lalu memegang kedua bahu
Cessa, menatapnya dalam-dalam.
"Kita keluar dari sini. Dari sekolah ini."
BAB 16 I want to yell out and call you, I love you.
I'm sorry I can't smile as I let you go.
Can't you look back"
[K.Will"Dropping Tears]
"Kak, ini uang dari ibu Kelly."
Surya mengangkat kepala dari buku Fisika, lalu menatap Bulan yang sudah
duduk di sampingnya dengan sebuah amplop.
"Kakak bisa bayar Kak Benji, soal uang kontrakan yang dulu itu," lanjut
Bulan. Surya segera teringat kejadian beberapa bulan lalu, saat Benji membayarkan
uang kontrakannya. Saat itu, ia belum punya cukup uang untuk membayarnya
balik. Kelly pun tidak kunjung membayarnya karena ia memiliki masalah
dengan keuangan kantin, jadi mereka harus menunggu selama beberapa bulan
sampai akhirnya uangnya cair.
Surya menerima amplop itu, lalu memasukkannya ke ransel.
"Kak." Bulan memperhatikan Surya yang sudah kembali sibuk dengan
bukunya. "Kakak sama Kak Cessa... masih pacaran?"
"Nggak usah ngomongin itu." Surya membalik halaman dengan sedikit kasar.
"Aku mau konsentrasi sama pelajaran."
Bulan mengangguk-angguk, otaknya masih memutar kata-kata Benji
beberapa hari lalu. Menurut Benji, Surya menerima Benji tetap berada di
samping Cessa. Namun, mengapa akhir-akhir ini Surya terlihat senewen"
"Kamu sendiri, masih sama orang itu?" Surya balas bertanya, menyadarkan
Bulan. Bulan menggeleng. "Nggak."
"Bagus." Surya mengangguk-angguk. "Memang kita seharusnya nggak


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah berurusan sama mereka."
Bulan menatap Surya kaget. Apa ini berarti Surya sudah tidak bersama Cessa
lagi" Bulan hendak menanyakannya, namun Surya tampak sudah kembali
tenggelam dalam bukunya. Kakaknya sudah kembali dingin seperti dulu.
***** Abdul sedang mengisi kelas XII IPA 2 dengan membagikan ulangan Fisika.
Seperti biasa, suasana kelas sekarang sepi, terbawa oleh auranya. Beberapa
siswa mendapatkan nilai buruk seperti biasa, dan Abdul tak pernah heran.
Namun semalam, saat ia memeriksa nilai ulangan Surya, ia harus
melakukannya sebanyak 3 kali. Dan hasilnya tetap sama.
"Surya." Surya bangkit saat namanya disebut, lalu melangkah ke arah Abdul yang
menatapnya penuh selidik. Tak peduli, Surya menerima kertas ulangannya.
"Apa yang terjadi?"
Seketika, kelas menjadi super hening. Semula, anak-anak menunggu
informasi tambahan seperti 'nilai sempurna', 'bagus sekali' atau 'kalian harus
mencontoh Surya'. Surya sendiri menatap Abdul bingung, lalu membuka kertas
ulangannya. Matanya pun melebar, tak percaya.
Enam puluh empat dari seratus.
Surya meneguk ludah. Tak sekalipun dalam sejarah SMA-nya, ia
mendapatkan nilai di bawah delapan puluh. Pertanyaan Abdul tadi sekarang
berputar di benaknya. Apa yang terjadi"
"Silakan menghadap saya jam istirahat nanti."
Surya mengangkat kepala dan menatap Abdul. Ia paham benar, kata-kata itu
tidak pernah berarti baik. Setelah menghela napas, Surya tersaruk kembali ke
bangkunya, diiringi oleh tatapan penasaran dari teman-temannya.
Sebelum duduk, Surya menangkap tatapan Cessa. Anak perempuan itu baru
masuk setelah izin selama 3 hari dan tampak sedikit lebih pucat dari biasanya,
tetapi Surya tidak punya waktu untuk mengkhawatirkannya. Surya sudah
berusaha tidak peduli dari kemarin.
Yang harus ia pedulikan sekarang adalah masa depannya sendiri.
***** "Jadi begini, Surya."
Surya memasang telinga baik-baik saat Abdul membuka percakapan. Saat
ini, ia sedang berada di depan meja Abdul di dalam ruang guru yang luas dan
nyaman. Para guru sedang menikmati makan siang sambil bercengkerama di
lobi tengah ruangan. Namun, entah mengapa, Surya merasa pada saat yang
sama para guru itu menguping pembicaraannya dari Abdul.
"Akhir-akhir ini, nilaimu turun semua. Drastis." Abdul menyodorkan secarik
kertas pada Surya. "Fisika. Matematika. Sampai Biologi juga. Ada apa?"
Surya meneguk ludah saat melihat nilai-nilainya sendiri. Memang, untuk
ukuran anak-anak lain, nilai itu biasa-biasa saja. Standar. Namun, Surya bukan
anak-anak lain. Ia tidak punya orang tua yang bisa membiayai kuliahnya nanti.
"Saya..." Tenggorokan Surya terasa kering. "Nggak ada apa-apa, Pak."
"Apa ini karena... Princessa?" Abdul mencondongkan kepala, mencegah
guru-guru lain untuk mendengar. "Semenjak kamu pacaran dengannya, nilaimu
jadi seperti ini.Surya menatap Abdul nanar, memikirkan kata-katanya. Kalau
dipikir-pikir, kata-kata gurunya itu ada benarnya. Nilai-nilai Surya memang
turun semenjak ia mengenal Cessa lebih dekat. Namun, Surya masih belum
mau percaya. "Saya udah nggak pacaran sama Cessa, Pak," kata Surya. "Mulai sekarang,
saya akan belajar lebih giat lagi. Saya akan perbaiki nilai-nilai saya."
Selama beberapa saat, Abdul menatap Surya simpati. "Surya, ada yang harus
Bapak beri tahu pada kamu. Harusnya ini wewenang Wakil Kepala Sekolah,
namun beliau sudah menyerahkannya sama saya selaku pembimbingmu."
Mata Surya membulat. "Kenapa, Pak?"
Abdul menghela napas. "Soal tawaran beasiswa donatur. Mereka sudah
memutus beasiswa untuk kamu."
Jantung Surya terasa berhenti berdetak. "A-apa?"
"Sesuai perjanjian di awal, beasiswa kamu akan hangus begitu kamu
menunjukkan tanda-tanda penurunan. Kamu masih ingat, kan?"
Surya berusaha mengingat isi perjanjian penawaran beasiswa itu, namun
percuma. Otaknya yang berisi miliaran neutron itu sekarang sama sekali
membeku dan tak berguna. "Sekarang, beasiswa itu jatuh pada Karmi, yang nilainya masih stabil." Abdul
menyebut nama anak penjaga sekolah, satu-satunya murid selain Surya yang
ada di daftar penerima beasiswa. "Bapak minta maaf, Ya."
Surya masih belum bisa berpikir. Ia seperti baru dihantam ombak setinggi
puluhan meter dan pecah menjadi serpihan. Dan mendadak, telinganya
menajam. Ia jadi bisa mendengar bisikan para guru dari ruang tengah.
"Saya... saya bisa memperbaikinya, Pak!" Surya akhirnya tersadar. "Saya
nggak akan mengulanginya!"
Namun, Abdul menggeleng pelan. "Kamu tahu perjanjiannya."
Surya tahu. Setahun lalu, ia menandatangi perjanjian itu karena
menyanggupi isinya. Ia yakin pada kemampuannya untuk tidak mendapat nilai
di bawah delapan puluh dalam setiap mata pelajaran. Sekarang, saat ia
mendapat nilai di bawah 80 dalam 4 mata pelajaran sekaligus, ia tahu itu
adalah hukuman mati bagi harapannya.
"Tapi kamu masih bisa mencoba jalur beasiswa kampus, Ya," hibur Abdul,
tak tega melihat wajah Surya. "Ada beberapa beasiswa yang ITB tawarkan."
Beasiswa kampus berarti ia harus bersaing dengan ribuan"atau ratusan
ribu"anak lain. Bukannya ia tidak yakin dengan kemampuannya sendiri,
namun kehilangan beasiswa sekolah ini benar-benar memukulnya. Di sekolah
ini, ia hanya melawan Karmi sementara di kampus nanti, hanya Tuhan yang
tahu jumlah pesaingnya. Namun, saat itu Surya tidak punya pilihan lain. Karmi benar-benar pintar
hingga Surya yakin anak perempuan itu tak akan bisa digulingkan hingga tahun
ajaran berakhir. Cita-cita yang sudah tinggal sekian senti dari ujung jarinya,
terpaksa harus terbang lebih jauh lagi.
"Kamu harus belajar dan berdoa lebih giat lagi, Surya. Jangan pikirkan yang
lain." Sambil mencengkeram celana abu-abunya, Surya mengangguk. Ia akan
melakukan apa yang gurunya perintahkan. Mulai sekarang, ia hanya akan
berkonsentrasi pada cita-citanya. Pada masa depannya. Pada apa yang nyata.
Cita-cita yang sudah jauh itu, akan segera ia kejar dan raih. Bagaimanapun
caranya. ***** Cessa baru mengembalikan buku Nostradamus ke rak saat menyadari ada
langkah yang mendekatinya. Cessa menoleh, lalu terkejut saat melihat orang
yang sedang ia pikirkan sudah berdiri di sampingnya.
Senyum Cessa segera mengembang. Walaupun di luar kesadaran otaknya
memutar kata-kata kejam Surya kemarin, Cessa tetap senang Surya datang.
Anak laki-laki itu pasti menyesali apa yang ia katakan kemarin.
"Lihat apa yang lo udah lakuin sama gue." Surya menyerahkan kertas yang
tadi diberikan Abdul kepada Cessa.
Dengan tampang bingung, Cessa menerima dan membacanya. "Ini..."
"Semenjak kenal lo, nilai-nilai gue turun," kata Surya dingin, membuat Cessa
mendongak. "Gara-gara lo, gue gagal dapet beasiswa."
Cessa membelalak, tak memercayai pendengarannya. "Apa...?""Lo puas?"
Surya nyaris tak berkedip. "Mimpi yang selama ini gue bangun dari bawah,
sedikit demi sedikit harus rusak begitu aja karena anak-anak orang kaya yang
suka mempermainkan orang lain kayak kalian."
Cessa membuka mulut, bermaksud mengatakan sesuatu. Namun, tak satu
kata pun keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu harus berkata apa, jadi sekarang ia
hanya bisa tertunduk, menatap lantai perpustakaan.
"Lo adalah ujian buat gue." Surya tersenyum miris. "Dan gue kalah."
"Ya..." "Karena gue kalah, gue menyerah. Gue pergi." Surya tak membiarkan Cessa
berkata apa pun. "Gue harap lo juga melakukan hal yang sama."
Cessa mendongak, lalu menatap Surya dengan air mata
menggenang."Jangan ganggu gue lagi." Surya mengatakannya dengan suara
bergetar. "Gue mohon."
Walaupun Cessa berusaha membekap mulut, tangisnya pecah juga.
Berusaha untuk tak peduli, Surya berbalik dan melangkah pergi. Ia tidak ingin
melihat Cessa lebih lama lagi. Jika ia melakukannya, ia akan kembali pada anak
perempuan itu dan jika demikian, ia harus mengucap selamat tinggal pada
mimpi-mimpinya. Surya mendorong pintu perpustakaan dengan sekuat tenaga, membuat
pintu itu terbanting pada dinding di belakangnya. Benji yang sedang berada di
taman perpustakaan, menoleh. Sejurus, pandangan mereka bertemu, tetapi
Benji membuang muka terlebih dahulu.
Benji berderap menuju perpustakaan, ingin membawa Cessa pergi dari sana.
Ia salah soal tempat ini. Tempat ini tidak aman. Tempat ini hanya akan
membuat Cessa sedih berkepanjangan. Walaupun Cessa memohon dengan
mata berkaca-kaca seperti tadi, Benji tak akan mengizinkannya untuk ke sini
lagi. Tidak ada tempat yang aman bagi Cessa selain di sampingnya.
"Ben," panggil Surya sebelum Benji masuk. "Gue perlu ngomong."
Benji menoleh enggan. "Ada apa?"
Surya mengeluarkan sebuah amplop dari saku kemeja, lalu menyerahkan
kepada Benji. "Uang kontrakan gue dulu."
"Nggak perlu diganti." Benji segera menolaknya, ikhlas berniat untuk
membantu Surya dan Bulan.
"Jangan mempermalukan gue lebih dari ini," kata Surya dingin. "Jangan
membuat gue seperti orang miskin yang gampang dipermainkan sekaligus
nggak tahu malu." Benji menatap Surya tanpa berkedip. Tak pernah sekalipun pemikiran
seperti itu terbersit dalam benaknya. Sepertinya Surya sudah salah paham.
"Gue nggak pernah bermaksud?"
"Terima aja." Surya memasukkan amplop itu ke dalam saku kemeja Benji.
"Seenggaknya gue bisa ngedapetin harga diri gue balik walau cuma sedikit."
Setelah mengatakannya, Surya membalik badan dan melangkah pergi. Benji
menatap punggung Surya hingga ia menghilang di antara anak-anak lain, lalu
mengeluarkan amplop dari sakunya.
Ia tidak pernah tahu, harga diri bisa ditukar dengan uang.
***** "Cessa, kamu harus berhenti nangis."
Benji mengelus rambut Cessa yang halus, berusaha untuk menghibur anak
perempuan itu. Semenjak jam istirahat, Benji sudah membawanya pulang
karena anak perempuan itu tak kunjung berhenti menangis dan kembali
mimisan. Sekarang, setelah pendarahan di hidungnya berhasil dihentikan,
Cessa tampak kelelahan. Ia terbaring lemah di ranjang, tetapi air matanya
seolah tak bisa berhenti.
"Cess, aku mohon." Benji menyeka air mata itu dengan tisu. "Bisa bahaya
kalo kamu terus-terusan begini."
Namun, Cessa seperti sudah tenggelam dalam kesedihannya. Ia tak
mendengar Benji. Yang terputar di kepalanya sekarang adalah kata-kata Surya
tadi. Seumur hidup, baru kali ini Cessa merasakan kesedihan yang luar biasa.
Seolah hatinya teriris oleh ribuan pisau dan ilmu kedokteran mana pun tak
akan bisa menyembuhkannya. Dan sebentar lagi, ia akan mati karenanya.
Seperti bintang yang paling terang, cahayanya perlahan meredup dan ia akan
meledak. Menjadi satu di antara sejuta adalah hal terakhir yang diinginkannya. Ia ingin
menjadi normal, seperti jutaan orang lainnya.
"Kenapa...," ucap Cessa lirih. "Kenapa aku...?"Mata Benji melebar saat
mendengar kata-kata Cessa. "Cess. Kita udah membicarakan ini. Kamu orang
yang dipilih Tuhan karena Dia tahu kamu bisa melewatinya."
Cessa memejamkan mata, membuat air matanya mengalir semakin deras.
"Tapi, aku nggak bisa..."
"Kamu bisa." Benji meraih tangan Cessa. "Kita bisa, Cess."
"Ben," kata Cessa di sela isaknya. "Ayo kita berhenti dan keluar dari sekolah
ini." Benji menatap Cessa tak percaya. Saat kemarin mengajak Cessa keluar dari
sekolah, itu hanya terpikir begitu saja. Saat itu, ia mengatakannya hanya
karena tidak ingin melihat Cessa terluka lebih dalam lagi. Sekolah itu seperti
hutan yang kejam, dan berada di sana hanya akan menyakitinya.
"Kamu yakin?" tanya Benji pelan. Ia sendiri tidak yakin. Walaupun kejam, ia
sedikit menyukai sekolah itu. Saat ia sekolah, ia bisa merasakan dirinya seperti
kebanyakan anak. Ia bisa menjadi pelajar seperti yang seharusnya. Ia pun bisa
melihat Bulan dan merasakan hatinya berdebar.
Cessa memejamkan mata, lalu mengangguk. Walaupun bertepuk sebelah
tangan, ia menyukai sekolah itu. Ia senang hanya dengan berada di sana.
Namun, ia harus membuat keputusan. Surya membuatnya sadar, bahwa
kondisinya membuat semua orang hanya akan menganggapnya beban. Cessa
tidak ingin menjadi beban bagi lebih banyak orang.
"Cessa." Cessa mendengar suara Benji yang penuh horor, jadi ia membuka mata.
Entah mengapa, bayangan Benji terlihat mengabur. Cessa mengerjap, namun
Benji masih tampak berbayang.
Benji sendiri menahan napas saat melihat tisu yang sedang ia pegang.
Tangannya gemetar. "Kenapa, Ben?" tanya Cessa sambil berusaha bangkit, melirik tisu yang
dipegang Benji. Seketika, mata Cessa melebar. Setetes air mata berwarna
merah turun dari mata dan meluncur ke ujung hidungnya, mendarat pada
seprai yang berwarna putih. Selama beberapa saat, Cessa dan Benji menatap
noda merah itu. Cessa mengangkat kepala, menatap Benji yang balik menatapnya tanpa
berkedip. Wajah anak perempuan itu sekarang bersimbah darah walaupun ia
sudah berhenti menangis. Tanpa banyak bicara lagi, Benji segera meraih tumbler-nya, mengeluarkan
sebuah pil dan memberikannya kepada Cessa. Setelah Cessa meminumnya,
Benji menggendong dan segera membawanya turun menuju mobil. Setiap
darah yang menetes dari mata Cessa terasa menyakiti hatinya, seolah bagian
dari dirinya ikut berdarah.
Mendadak, Benji merasa sangat takut.
BAB 17 Forget I ever said I love you.
Erase the memory buried in your heart.
Your eyes are filled with tears that I cannot wipe away for you.
[Park Shi Hoo"For You]
"Kenapa ini bisa terjadi, Benjamin?" Benji menunduk, tangannya
mencengkeram sisi jeans-nya. Saat mendengar kabar Cessa mengalami
pendarahan melalui mata, Dirga meninggalkan rapat yang dipimpinnya di Kuala
Lumpur dan mengambil penerbangan pertama kembali ke sini. Sekarang,
mereka sedang berada di ruang tunggu rumah sakit sementara Cessa diperiksa
oleh dokter. Benji membuka mulut. "Maaf, Om."
"Selama ini, Om tidak membiarkan kalian masuk sekolah mana pun karena
Om ingin kalian cuma mengenal satu sama lain." Dirga menerawang. "Om tidak
ingin kalian bertemu dengan orang lain karena Cessa cuma butuh kamu. Kalau
bukan kamu, dia akan terluka. Seperti saat ini."
Benji meneguk ludah. Ia paham benar apa maksud dari perkataan Dirga.
Membiarkan Cessa masuk sekolah itu adalah kesalahan besar.
"Seharusnya Om tidak membiarkan kalian masuk sekolah itu," kata Dirga
lagi. "Seharusnya Om tahu, sekolah terlalu berat untuk kalian lalui."
Mendadak, bayangan Bulan terlintas di benak Benji. Jika ia tak pernah
masuk sekolah itu, mereka mungkin tak akan pernah bertemu. Benji mungkin
tak akan pernah merasakan seperti apa rasanya jatuh cinta. Namun, sekarang,
bukan hal itu yang penting. Cessa-lah yang penting, yang terbaring dengan
selang infus dan mendapat suntikan faktor, berusaha menelan rasa sakit dari
sendi-sendinya yang bengkak. Jika mereka tidak pernah masuk sekolah itu,
Cessa mungkin masih baik-baik saja, berada di rumah yang aman, makan bubur
bayi rasa kacang hijau sambil menonton Rugrats, tertawa-tawa seperti anak
kecil yang tidak pernah merasa sedih.
Dirga menghela napas. "Dan mungkin memang saya yang terlalu banyak
berharap sama kamu. Saya memberi kamu tanggung jawab yang terlalu besar."
Kepala Benji tertunduk semakin dalam. Dulu saat orangtuanya menjelaskan
keadaan Cessa padanya, ia bersedia untuk membantunya. Saat itu, ia memang
masih kecil, namun ia paham kalau Cessa adalah anak perempuan yang spesial


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan membutuhkannya sebagai pelindung. Benji setuju dengan konsep putri
dan pangeran itu, dan menyandang gelarnya dengan bangga. Sampai
kapanpun, ia akan selalu ada untuk Cessa dan bertanggung jawab atas dirinya.
"Kamu masih terlalu muda untuk mendapat tanggung jawab seperti ini."
Dirga menepuk bahu Benji. "Saya minta maaf."
Benji segera menggeleng. "Saya sudah besar, Om. Saya tahu apa yang saya
inginkan." "Apa yang kamu inginkan?"
"Saya mau terus melindungi Cessa." Benji berkata mantap. "Saya nggak akan
mengulangi kesalahan saya. Apa pun yang terjadi, saya nggak akan
membiarkan Cessa seperti ini lagi."
Selama beberapa saat, Dirga menatap Benji lama, seolah menilai. Dirga
bertemu anak ini saat ia baru lahir. Saat melihat kesamaan yang Benji miliki
dengan Cessa, Dirga tahu kalau anak ini lahir untuk anaknya. Walaupun
demikian, setelah bertahun-tahun membesarkan mereka bersama, Dirga pun
sadar kalau Benji dan Cessa memiliki ikatan kuat sebagai saudara, bukan
kekasih. Hari ini, akhirnya Dirga terpukul oleh keadaan Cessa yang menurun karena
seorang anak laki-laki lain bernama Surya.
Walaupun demikian, Dirga tidak bisa menjaga Cessa setiap waktu karena ia
harus bekerja siang dan malam demi membeli segala kebutuhan Cessa yang
tidak murah. Oleh karena itu, sekali lagi, Dirga akan mencoba untuk
memercayai Benji. "Kalau begitu, kamu harus menjauhkan Cessa dari anak itu." Dirga menatap
Benji sungguh-sungguh. "Kamu harus membuatnya jelas bahwa Cessa tidak
bisa diganggu." Benji mengangguk. Ia tahu, hal itulah yang harus ia lakukan. Sekarang, ia
akan benar-benar melindungi Cessa, dan tak akan membuat Dirga kecewa lagi.
Ia akan membuktikan diri bahwa ia adalah orang yang bisa diandalkan.
***** Benji melangkah mantap ke sekolah. Setelah bicara dengan Dirga tadi pagi,
ia seperti mendapat kekuatan baru. Ia akan menjadi pangeran yang kuat, yang
bisa diandalkan oleh Cessa dan Dirga.
Beberapa anak yang dilewatinya berbisik seru. Sudah tersiar kabar bahwa
lagi-lagi Benji membawa Cessa pulang sebelum bel usai sekolah berbunyi.
Pihak sekolah yang membiarkannya pun kena imbasnya. Anak-anak mulai
menyangka sikap sekolah kepada Benji dan Cessa berlebihan. Sebagai anakanak dari dua donator sekolah paling besar, Benji dan Cessa dianggap
mendapatkan perlakuan khusus.
Benji bukannya tidak tahu kabar itu. Ia menutup telinga. Orang-orang itu
boleh menyangka apa pun yang mereka mau, Benji tidak peduli. Ia hanya akan
bersekolah disini hingga kedua orangtuanya pulang dari Madagaskar dan
menarik segala berkasnya untuk kembali mendapatkan pengajaran di rumah.
Langkah Benji terhenti saat melihat Bulan lewat di depannya, kepayahan
menenteng keranjang roti yang masih penuh. Karena tak bisa melihat jalan di
depannya, Bulan tersandung oleh undakan di depan koridor kelas dua belas.
Kaki Benji refleks melangkah"bermaksud membantu anak perempuan itu"
namun otaknya dengan segera melarang. Jika ia melakukannya, itu tidak akan
baik bagi siapa pun. Benji kembali melangkah, tetapi berusaha untuk tak memedulikan Bulan
yang sibuk memungut roti. Tak ada seorang pun yang membantu Bulan karena
menyangka Benji akan melakukannya.
Saat melihat sepatu Benji, Bulan mendongak. Namun, anak laki-laki itu
hanya melewatinya dengan tampang datar, lalu menghilang begitu saja koridor
kelas dua belas. Walaupun mereka sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi,
tetap saja hati Bulan terasa sakit. Sepertinya, Bulan salah karena masih
menyimpan perasaan padanya.
"Lan?" Bulan menoleh dan mendapati Surya ada di sampingnya, menatapnya
bingung. "Udah aku bilang tungguin." Surya berjongkok dan mulai memunguti roti,
tak habis pikir pada Bulan yang tidak menunggunya saat ia ke kamar kecil.
"Nggak sabaran banget, sih."
"Kak," gumam Bulan, membuat Surya mengangkat kepala. "Kita bakalan
baik-baik aja, kan?"
Selama beberapa saat, Surya menatap Bulan tak paham. Ia menatap
sebungkus roti di tangannya, lantas teringat beasiswanya yang hangus.
Kehidupannya dan Bulan akan jauh lebih sulit di masa depan, namun Surya
akan berusaha untuk membenahinya.
Sambil tersenyum lelah, Surya mengangguk dan memasukkan roti terakhir
ke dalam keranjang. Surya mengangkatnya, lalu membawanya menuju kantin
yang masih sepi. Kelly tak terlihat di mana pun, jadi Surya meletakkannya di
tempat biasa. Melihat roti-roti itu, Surya jadi teringat pada perjuangan Bulan. Tak
sekalipun, Surya terpikir untuk bekerja. Ia hanya belajar dan belajar, demi
masa depannya. Ia tak pernah berpikir kalau Bulan pun mungkin memiliki citacita, namun tak sempat untuk memikirkannya karena terlalu sibuk mengurus
rumah. Mungkin seperti kata Benji, Surya tidak pantas untuk menjaga siapa
pun, termasuk adiknya sendiri.
Saat sedang menghela napas, tanpa sengaja pandangan Surya terjatuh pada
sebuah tumbler yang tidak biasa di dalam lemari pendingin. Penasaran, Surya
mendekati lemari itu dan melihat lebih jelas.
Tahu-tahu sebuah tangan membuka pintu lemari itu, membuat Surya
terdorong ke samping. Benji sudah ada di sampingnya, menarik keluar tumbler
tadi. Tidak berminat untuk bertanya, Surya melangkah pergi. Namun, Benji
menghadangnya. "Mau apa lo?" Surya menatap Benji tak suka.
"Gue cuma mau bilang, lo jangan pernah deketin Cessa lagi."
Surya mendengus. "Kapan gue ngedeketin dia" Selama ini, dia yang
ngedeketin gue." "Kalopun dia melakukan itu, lo tau harus gimana," tandas Benji. "Walaupun
dia memohon di kaki lo, jangan peduliin dia lagi."
Surya menatap Benji tanpa berkedip. "Lo tenang aja. Gue memang udah gak
peduli. Lo lupa kalo dia yang bikin beasiswa gue hangus?""Dia yang bikin
beasiswa lo hangus?" ulang Benji sinis. "Apa lo cuma Amoeba" Lo pikir lo sama
sekali nggak bersalah, nggak punya andil atas segala yang terjadi?"
Surya belum juga berkedip. "Ap?"
"Memangnya dulu siapa yang nerima dia" Siapa yang buat dia berharap
banyak sama lo?" potong Benji. "Kalo dulu lo nggak plin-plan dan nolak dia dari
awal, lo juga nggak akan kehilangan beasiswa itu."
Surya meneguk ludah, pandangannya mulai turun ke arah lantai kantin. Jauh
sebelum ia menerima Cessa, ia tahu ini akan terjadi. Ia bisa melihatnya, namun
ia memilih untuk menutup mata dan membiarkan hatinya mengambil alih.
"Sekarang lo nyalahin dia" You're so much of a gentleman," sindir Benji.
"Tapi, gue harap dengan putus sama Cessa lo jadi bisa kembali fokus sama
pelajaran lo." Surya kembali menatap Benji. Walaupun sudah beberapa hari ini
hubungannya dan Cessa berakhir, ia masih belum bisa berkonsentrasi. Dan ia
tidak tahu di mana masalahnya.
Saat Benji mulai melangkah pergi, Surya membuka mulut. "Kenapa dia nggak
masuk?" Benji menoleh sedikit. "Jangan tanya apa-apa lagi. Demi lo juga."
Setelah mengatakan itu, Benji kembali melangkah dan menghilang di balik
tembok kantin. Sepeninggalnya, Surya menghela napas. Selama ini, ia
menyalahkan Cessa atas apa yang terjadi padanya. Ia bahkan memarahi anak
perempuan itu di perpustakaan, tanpa menyadari apa yang dulu bisa ia
lakukan. Seperti kata Benji, Surya memiliki kendali penuh atas segala yang
terjadi padanya. Tidak seharusnya ia menyalahkan Cessa.
Mendadak, kepala Surya terasa sakit. Ia pikir, menyudahi hubungannya
dengan Cessa bisa menyelesaikan segalanya. Namun, yang terjadi adalah
sebaliknya. Ia semakin hancur, semakin tidak bisa fokus, dan sekarang ia
menjadi orang paling egois yang pernah ada.
Surya melirik keranjang roti yang masih penuh. Sebagai seorang laki-laki,
mendadak ia merasa tak berguna.
BAB 18 Please don't go, but I love you.
You will leave me all alone.
Don't go, don't go, don't go.
[Brown-eyed Soul"Don't go]
Setelah beberapa hari izin, hari ini akhirnya Cessa kembali ke sekolah. Dirga
sudah melarangnya, tetapi Cessa bersikeras untuk masuk. Ada yang ingin Cessa
lakukan sebelum ia benar-benar menyesal.
Cessa menatap gerbang sekolahnya. Sebelumnya, ia tidak pernah
memperhatikan bahwa gerbang itu berkarat. Bahwa gerbang itu tidak sekokoh
yang ia duga. Cessa pun mengalihkan pandangan pada lantai koridor
sekolahnya yang berkilau. Dari Benji, Cessa tahu bahwa Dasman, penjaga
sekolah itu, selalu mengepelnya dengan rajin sebelum sekolah dibuka.
Saat melewati lapangan basket, Cessa menatap bangku taman tempat ia
biasa menghabiskan waktu sebelum bertemu dengan Surya. Bangku itu masih
tetap tampak nyaman, terlindung dari sinar matahari oleh pohon akasia yang
sedang berbunga indah. Cessa sampai di depan koridor kelasnya, lalu mendongak pada papan nama
kelas itu. Ia ingat, saat pertama kali masuk kelas ini, ia membencinya karena
mendapat bangku di tengah. Ia sama sekali tidak pernah menyangka, posisi
bangku itu akan mengubah segalanya.
Setelah Benji membuka pintu, Cessa melangkah masuk. Jika ada yang
berubah dari sekolah ini, itu adalah teman-temannya. Tidak seperti pada saat
pertama kali masuk, mereka sekarang tidak peduli padanya dan Benji. Alih-alih
mengatakan pujian kagum seperti dulu, mulut mereka sekarang mencetuskan
cemoohan dan prasangka. Cessa melangkah pelan ke arah bangkunya di tengah kelas. Seperti biasa,
Surya sudah duduk tenang di bangkunya, membaca sebuah buku tebal yang
kertasnya sudah menguning. Cessa bisa tahu kalau Surya mengawasinya
melalui sudut mata, namun Cessa memilih untuk tidak menyapaya seperti
dulu. Cessa sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menyanggupi permintaan
anak laki-laki itu. Tak lama setelah Cessa duduk, Herman muncul dengan wajah tak secerah
biasanya. Anak-anak segera duduk di bangku sementara Herman meletakkan
buku-buku di mejanya. "Yak, jadi hari ini kita akan mengadakan observasi di luar kelas." Herman
memulai pelajarannya dengan gugup. Ia bahkan lupa untuk mengucapkan
selamat pagi. Yang ada di otaknya sekarang adalah pemberitahuan di rapat
guru sebelum bel berbunyi tadi.
Dengungan bersemangat sekarang mulai terdengar dari seluruh penjuru
kelas. Hanya Benji, Cessa dan Surya yang tampak tidak bereaksi.
Herman berdeham. "Sekarang, bawa buku cetak kalian dan pensil, lalu
berkumpul di taman depan perpustakaan."
Satu per satu, anak-anak melangkah riang keluar kelas. Cessa menunggu
hingga semua orang keluar, lalu bangkit. Herman menatapnya simpati, lalu
membiarkannya keluar lebih dulu bersama Benji.
Setibanya di taman sekolah, Herman segera membuat anak-anak
mengelilingi sebuah ember.
"Seperti yang sudah kita pelajari pada pertemuan terakhir, ini adalah salah
satu contoh bioteknologi." Herman berjongkok, lalu menunjukkan isi ember itu
pada semua anak. "Ini adalah pupuk kompos yang dibuat sendiri oleh Pak
Dasman." Anak-anak mengangguk sementara Herman mulai menjelaskan cara
pembuatannya. Cessa dan Benji pun tampak serius mencatat. Surya
mengawasi mereka dari sudut lain.
Selama setengah jam, mereka di sana untuk melihat cara pembuatan pupuk
kompos. Setelah mengisi tabel pada buku cetak, Herman mulai menyuruh
mereka untuk membersihkan diri dan kembali ke kelas.
"Eh, tunggu." Semua anak berhenti melangkah, lalu menatap Cessa yang tadi menyahut.
Cessa sekarang tampak salah tingkah.
Cessa mencengkeram bukunya erat. "Boleh... kita foto dulu?"
"Hah?" celetuk Friska bingung, dan semua anak setuju padanya. Permintaan
itu terlalu absurd dan tiba-tiba.
"Buat apa?" tanya Syahrul.
"Buat... kenang-kenangan," jawab Cessa. "Sebentar lagi kita kan lulus..."
Herman yang tersadar, segera maju ke depan anak-anak sebelum mereka
bertanya apa pun lagi. "Ide bagus, Cessa! Ini bisa untuk dokumentasi!"
Anak-anak mulai berbisik enggan, namun tetap berkumpul di tengah saat
Herman mengatur mereka. Cessa mengeluarkan ponsel, lalu berjalan ke
undakan, bermaksud mengambil foto mereka.
"Lo yang ambil?" tanya Sasha bingung. "Lo nggak ikut?"
"Aaahh! Sini Bapak yang ambil!" Herman segera maju dan merebut ponsel
Cessa. "Sana, kamu masuk barisan!"
Cessa melangkah ragu, bergabung dengan teman-temannya. Saat Herman
mulai meneriakkan aba-aba, Cessa berusaha tersenyum. Namun, dadanya
terasa sesak. Entah wajah seperti apa yang akan tampak di foto itu.
***** Cessa mendorong pintu perpustakaan, lalu melangkah masuk. Seperti biasa,
perpustakaan itu terlihat lengang dan damai. Jika dulu saat pertama kali
menghirup udaranya Cessa merasa sesak, namun sekarang, udara
perpustakaan itu membuatnya rindu.
Cessa mulai menyusuri lorong-lorong rak perpustakaan, mengumpulkan
segala kenangan indah yang pernah ia dapat di sana.
Masih jelas di ingatan Cessa semua pengetahuan yang pernah Surya
tanamkan padanya. Mengalahkan teks macam apa pun, suara Surya menempel
lebih lama di otaknya. Menjadikannya seorang anak perempuan yang
setidaknya memiliki pengetahuan yang berguna dan tak lagi dangkal.
Cessa berbelok ke rak astronomi, tempat yang paling berkesan di antara
semuanya. Di sini, ia banyak menghabiskan waktu, mendengarkan Surya
menceritakan bagaimana semesta terbentuk. Di sini juga, Cessa menyatakan
cinta yang diterima Surya walaupun penuh keraguan. Dan di sini pula, ia
diputuskan oleh orang yang sama.
Walaupun hubungan mereka sangat singkat, namun Cessa tidak merasa
menyesal. Mengenal anak laki-laki itu adalah sebuah karunia yang luar biasa,
walaupun mungkin Surya merasa sebaliknya. Oleh karena itu, Cessa
menyanggupi permintaan Surya untuk menjauhinya.
Anak laki-laki itu akan lebih baik tanpanya.
***** "Kalo gue pergi, lo jangan sedih, ya."
Benji menatap Piko yang menelengkan kepala. Saat ini, Cessa sedang berada
di perpustakaan. Benji mengizinkannya karena ini kali terakhir Cessa bisa ke
sana. Benji pun menggunakan kesempatan itu untuk mengunjungi Piko. Burung
itu sedang dalam kondisi ceria, mungkin karena pihak sekolah baru membeli
pasangan baru untuknya, Pika.
"Lo kan udah punya cewek. Ntar juga lupa sama gue."
Piko sekarang menoleh pada Pika yang asyik bersiul. Benji tersenyum, lalu
mengelus kandang Piko dan melangkah pergi. Ia akan mengunjungi kantin
untuk berterima kasih pada Kelly karena sudah menjaga tumbler-nya selama
ini. Langkah Benji mendadak terhenti saat melihat bayangan Bulan yang tampak
sedang berjalan menuju lapangan belakang. Melupakan segala janji yang ia
pernah buat sendiri, Benji mengikuti anak perempuan itu.
Alih-alih berlatih, Bulan tampak duduk di bangku samping lapangan, sibuk
dengan kertas-kertas di tangannya. Di luar kesadarannya, Benji menghampiri
anak perempuan itu. "Nggak latihan?"
Bulan segera terlonjak kaget saat mendengar suara Benji. "Ngagetin aja,
Kak," katanya sambil membereskan berkasnya begitu Benji mengerling. Namun
karena ia terburu-buru, sebuah kertas meluncur dari tangannya dan jatuh ke
tanah. Benji memungutnya, lalu mengernyit saat membacanya. "Formulir
pendaftaran beasiswa prestasi olahraga?"
Bulan segera merebut kertas itu, lalu memasukkannya dalam map. "Aku"
nggak mau nyusahin Kak Surya. Aku nggak pintar kayak dia, jadi aku harus
dapat beasiswa ini tahun depan."


I For You Karya Orizuka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Benji mengangguk-angguk, lalu duduk di samping Bulan. "Lo memang cewek
istimewa." Selama beberapa saat, Benji dan Bulan hanya saling diam, memandang
lapangan rumput yang hijau. Hari ini hujan tidak turun, jadi Benji memilih
untuk menjadi laki-laki kuat yang mampu menahan segala emosinya.
Lagi pula, tidak ada hujan yang cukup deras yang bisa menenggelamkan
kata-kata "selamat tinggal".
***** Bel sekolah berbunyi nyaring. Semua anak sibuk membereskan buku-buku
dan alat tulis ke dalam tas sambil bercengkerama sementara Surya membantu
Abdul membawa buku-buku latihan anak-anak ke ruang guru.
Cessa menatap pemandangan itu nanar, dan entah kekuatan apa yang
membuatnya bangkit. "Teman-teman!" seru Cessa, membuat semua anak berhenti beraktivitas
demi menatapnya. Cessa segera tersenyum. "Makasih ya, untuk yang tadi."
Selama beberapa saat, semua masih menatapnya bingung sampai Friska
meraih ransel dengan berisik. Menurutnya, Cessa sangat berlebihan tentang
semua hal. "Apaan sih, cuma foto doang," gumamnya sambil melewati Cessa begitu
saja. Semua anak mulai mengikuti Friska keluar kelas dengan pandangan dingin,
kecuali beberapa anak laki-laki yang mencoba tersenyum. Benji menatap Cessa
dari bangkunya. Anak perempuan itu tampak berdiri rapuh, dengan tatapan
kosong ke arah papan tulis.
"Ayo," ajak Benji setelah semua anak pergi.
"Sebentar, Ben."
Pendekar Binal 2 Joko Sableng 12 Warisan Laknat Manusia Dari Pusat Bumi 1

Cari Blog Ini