Ceritasilat Novel Online

Beautiful Soul 2

Beautiful Soul Karya Stefiani E.i Bagian 2


memasukkan obat-obatanku ke tasnya. Aku hanya mengangguk-angguk, tidak
menjawab. "Ayo." Steven menarik tanganku berjalan menuju mobilnya. Jaket yang
kugunakan terlalu panjang sehingga jemariku tenggelam di dalamnya.
Aku masuk ke mobil dan Steven juga. Dia membantuku memakai sabuk
pengaman. Aku sudah menolak, tapi terlambat. Tangannya lebih dulu menarik
sabukku. Tapi yang aku suka, Steven tidak melakukannya dengan sengaja
untuk membuatku terpesona, seperti yang selalu dilakukan Rama. Dia
melakukannya dengan spontan, seperti sebuah kebiasaan. Berarti, dia selalu
bertindak seperti ini pada pacar-pacarnya" Hmm... Mungkin. Lalu, kenapa
hatiku terasa sakit sekarang"
*** Sekarang masih pukul 06.00. Kami berangkat pukul 05.30 dari rumah Steven
menuju Bandungan, salah satu tempat wisata di puncak Gunung Ungaran.
Steven memacu mobilnya di atas kecepatan 90 km/jam, jalan memang masih
sangat sepi tadi. Tapi tetap saja itu tidak bisa membuatku duduk tenang.
Sebaliknya, dia terlihat santai sekali berkendara pada kecepatan itu.
Kami sudah memasuki kawasan pegunungan, dan muncullah keanehan
tubuhku setiap kali bersentuhan dengan udara dingin. Telapak tanganku
memucat dan tenggorokanku terasa kering. Sejak kecil, tubuhku memang tidak
bisa menolerir udara dingin. Ditambah kondisiku sekarang sedang tidak fit.
Aku berusaha menghangatkan tubuh dengan menggesekkan telapak tanganku
lalu meniup-niupnya agar lebih hangat.
Ketika akhirnya Steven memarkir mobil di pelataran rumah dan aku terpaksa
turun, aku merasakan tubuhku tidak bisa digerakkan. Terlalu dingin untukku!
"Kenapa harus ke sini, Ven" Dingin..." Aku gemetaran. Gigiku gemeletuk. Aku
merasakan kupingku sudah mulai beku.
"Kamu kan sudah aku minta pakai jak... Astaga, Ame, kamu kenapa"!" Steven
yang baru saja menutup pintu mobilnya, kaget melihat wajahku. Dia
menjatuhkan tasnya di tanah lalu menghampiriku. Tangannya menyentuh
pipiku lalu menutup kedua telingaku dengan telapaknya.
"Aku... benci di...ngin... Ven..." Lidahku kaku. Aku benar-benar menggigil.
Usahaku menghangatkan badan benar-benar gagal. Angin gunung sukses
menembus jaket Steven yang sebenarnya sudah tebal. Tulangku seperti
ditusuk-tusuk, linu sekali.
"Kita masuk rumah, ya. Kamu lebih hangat di dalam." Steven memeluk
pundakku lalu menuntunku memasuki rumah yang membentang luas di
hadapanku. Aku hanya mengangguk menurut. Rumah itu terlihat terawat dan sepertinya
memang ada lebih dari dua orang yang tinggal di dalam sana. Entah siapa, tapi
aku senang Steven tidak sengaja membawaku ke tempat sepi, seperti yang
sering dilakukan cowok-cowok brengsek di film-film. Yah, itu sedikit
mengurangi tuduhanku pada Steven tentang kebiasaannya mempermainkan
cewek. Kami masuk ke rumah, dan ternyata benar, di dalam sana ada perapian yang
baru saja dinyalakan. Sofanya putih, bersih, dan terlihat belum pernah
digunakan. Rumah ini hanya terdiri atas satu lantai. Dua ruang tidur dengan
pintu besar, satu dapur, dan sisanya sekat kaca tembus pandang.
Indah, di sana indah, tapi tetap saja dingin.
"Duduk dekat api, Me. Aku ambilin kamu minum." Steven menuntunku ke
perapian kecil lalu menarik kursi pendek di dekatnya. Dia kemudian berjalan
menjauh dan menghilang di tikungan dapur. Aku menyeret kursiku mendekat
ke perapian hingga merasakan tubuhku mulai menghangat.
Tanganku mulai hangat, dan ketika aku menyentuhkannya ke pipi, pipiku juga
berubah hangat. Ini menyenangkan!
Otakku mulai bisa berfungsi. Apa yang sebenarnya kulakukan di sini" Kenapa
aku mau begitu saja mengikuti Steven ke sini" Apakah aku mulai gila"!
Bukankah aku tahu Steven itu brengsek" Tapi... kenapa aku tidak bisa
menolak" Ada apa denganku" Apa yang salah" Apa... jangan-jangan aku...
"Minum, Me." Steven tiba-tiba muncul dan menyodorkan segelas teh panas
untukku. Aku mengangguk kecil dan mengulurkan tangan menerimanya. Gelas itu
mungkin seharusnya panas sekali kalau bukan karena udara yang membuatku
beku di sini. Tapi itu membuatku juah lebih baik. Aku meniup-niupnya lalu
meminumnya sedikit demi sedikit. Ketika melewati tenggorokan, dadaku
terasa hangat. Aku menghela napas lega. Kurasakan pipiku mulai memerah dan
tubuhku tidak sekaku tadi. Aku mulai nyaman dengan suasana ini.
Steven tertawa kecil. Dia mengatakan sesuatu dalam bahasa asing, yang aku
tahu artinya "anak kecil". Aku mengerutkan alis. Lalu berusaha tetap
menenangkan diri, menatap wajahnya.
"Siapa yang tinggal di sini?" Aku meminum tehku lagi. Kali ini aku salah, air itu
masih panas. Aku merasakan ujung lidahku sedikit terbakar.
"Lima orang tua, atau mungkin, lebih tepatnya lima pensiunan karyawan
papaku." Steven tersenyum sedikit, kemudian meneguk kopinya.
"Lalu, di mana mereka?" Aku melihat sekeliling dan tidak melihat seorang pun
di sekitar sini. Di luar rumah juga tidak terlihat adanya kehidupan manusia lain.
"Berkuda, naik gunung, rutinitas setiap pagi," Steven menjawab dengan
tenang. Aku menelan ludah. Baik sekali papanya" Pensiunan karyawannya diberikan
rumah dan dibebaskan melakukan apa saja" Wow... Mataku berkedip-kedip
lagi, kebiasaan bodohku. Aku berusaha menguasai diri. "Oke, langsung aja, kenapa kita ke sini?" tanyaku
setelah tenang, menutupi rasa penasaran yang meledak-ledak di benakku.
Jujur saja, baru kali ini aku merasa bersalah jika bersikap sedingin ini terhadap
cowok. Padahal sebelumnya, justru sebaliknya, akan terasa salah jika aku
bersikap manis pada mereka.
Steven mengulurkan tangan, menyentuh pipiku lembut, lalu berganti
menyentuh dahiku. Dia tersenyum kecil merasakan suhu tubuhku yang kembali
menghangat. Aku berkedip-kedip ketika tangannya bebas menyusuri wajahku.
Jantungku sempat membeku, tapi kubiarkan.
Aku melakukan hal bodoh: menahan napas, tidak bergerak, dan tidak
merespons. Sungguh, dia berulang kali membuatku merasa seperti orang tolol.
Setelah memastikan suhu tubuhku, dia menarik tangannya. Ritsleting jaketnya
dibuka sedikit, lalu dia mengambil sesuatu dari bagian dalam sana.
Sebuah iPhone. Dia menyerahkan benda itu ke tanganku.
"Buka pesan seminggu yang lalu jam empat sampai delapan malam," ucapnya
dingin dan tenang. Dia kembali meneguk kopinya banyak-banyak, lalu sedikit
kesulitan menelan, entah karena pahit atau panas.
Aku menuruti perkataannya, membuka pesan yang telah tertumpuk selama
seminggu. Mataku langsung tertuju pada pesan dari Rama pada hari dan jam
yang diperintahkan Steven.
From : Rama 15.45 Ame nunggu kamu di Gejera Katedral setengah jam lagi. Dateng aja kalo mau
tahu kejutannya. From : Rama 17.56 Gimana" Cukup terkejut" Sekarang Ame ada di "Oit's". Kejutan berikutnya juga
di sana. From : Rama 20.34 Kejutan terakhir ada di E-Plaza. Ame pun di sana.
Alisku berkerut-kerut. Apa sih maksudnya" Kok aku sama sekali nggak ngerti"
"Ini apa?" Aku mengembalikan iPhone itu pada Steven.
Ketika mendengar pertanyaanku, dia memutar bola matanya. Wajahnya yang
sebelumnya tenang, berubah sebal dan kecewa. "Kamu lupa kejadian
seminggu yang lalu?" Steven sedikit membentakku.
Dia meletakkan gelasnya di meja dekat kami, lalu bersedekap.
Aku memutar otak, mataku menerawang, mencoba mengingat kejadian
seminggu yang lalu. Tiga detik, sepuluh detik, lima belas detik, dan kemudian...
KLIK! "YA AMPUN!" aku memekik lalu segera membekap mulutku dengan tanganku
sendiri. "Jadi itu...." Aku berkedip-kedip lagi, lebih cepat daripada sebelumnya.
Benarkah itu" Apakah otakku berfungsi dengan baik kali ini" Apakah benar
Rama dalang di belakang semua itu" Kenapa dia melakukan hal busuk
semacam itu" "Ya, itu Rama. Awalnya, aku hanya tertarik karena membaca namamu di pesan
itu. Jadi, kuputuskan mengikuti permainannya. Sampai di gereja, tiba-tiba ada
cewek yang masuk ke mobilku dan mengaku temanmu. Dia bilang, kamu minta
dia mengajakku duduk bareng. Ya sudah, aku nggak tahu mana yang benar, jadi
kuturuti. Tapi ternyata dia bohong. Selanjutnya, di restoran itu juga kejadian
yang sama terulang, sampai akhirnya di bioskop. Aku harus minta maaf, aku
memang sengaja menendang kepalamu waktu itu. Tapi kalo nggak begitu,
entah cewek itu sudah melakukan apa..."
Aku ternganga. Otakku masih bisa belum percaya. Benarkah ini semua hanya
tipuan Rama" Tapi kenapa dia melakukan hal semacam itu" Benarkah Rama
yang diidolakan satu sekolah bisa melakukan hal sejahat itu"
"Sejak itu, aku tahu Rama nggak suka aku deketin kamu...," Steven
melanjutkan. "Tunggu, ini semua bohong, kan" Rama nggak mungkin ngelakuin itu, kan" Dan
tadi kamu bilang Rama nggak suka... what"!" Aku berdiri dan memekik.
Suaraku melengking seperti lolongan serigala. Kalimat Steven yang belum
selesai seperti meninjuku.
Apa-apaan ini"! STEVEN MENDEKATIKU" Tampar aku ya Tuhan, jangan biarkan
aku bermimpi lagi! "Kalo menurutmu aku mengada-ada, berarti ada yang salah dengan otakmu,
karena aku tidak seperti Rama. Lagi pula, bukankah bukti itu sudah sangat
jelas" Apa kamu pikir aku punya waktu buat beli nomor dan handphone baru,
lalu ngirim pesan di hari dan waktu itu cuma buat menipumu" Apa kamu pikir
aku se "nggak ada kerjaan" itu" Maaf, Ame, tapi aku sibuk. Lagi pula, kalo
kamu nggak percaya, telepon saja nomor di SMS tadi, nanti juga bakal
ketahuan kalo itu nomornya Rama."
Steven mulai berdiri. Jelas sekali dia berusaha menahan diri agar tidak
meledak. Wajahnya memerah, tangannya mengepal. Dia melepaskan jaket lalu
melemparnya ke kursi. Aku berkedip-kedip lagi, belum mengerti penuh apa yang terjadi.
Alasan apa yang cukup kuat membuat Rama melakukan itu semua"
Tapi... benarkah Steven mendekatiku" Cowok sesempurna Steven" Apakah ada
yang salah dengan matanya"
Otakku kembali berputar, aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Mataku
beberapa kali terpejam-terbuka-terpejam lagi-terbuka lagi. Tunggu! Kalau
benar Steven mendekatiku, berarti...
Aku teringat pada pria yang datang ke sekolah dulu, yang menurut Steven
mencari papanya. Duh, apakah nyawaku dalam bahaya" Dia kan anak
seorang... "Sori," kata Steven tiba-tiba, memecah keheningan. Aku tersadar dari
lamunanku. Dia jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Napasnya kembali
teratur. Dia mengacak-acak rambutnya lalu menatapku seperti biasa, tenang
dan dingin. "Nggak, nggak. Aku yang minta maaf. Tadi, aku cuma... Rama... ternyata gitu.
Dan kamu... deketin... mm... Ah, udahlah. Jangan dibahas." Aku menatap
Steven lalu beralih menatap ke luar-menatap Steven lagi-menatap ke luar lagi.
Aku tidak kuat dipandangi Steven seperti itu. Tatapan itu terlalu kuat
menekanku. Aku memutuskan untuk keluar dari sini.
"Wait!" Steven mencegahku yang sudah ingin berbalik. "Mulai sekarang,
jangan pernah menganggapku suka mempermainkan cewek lagi. Oke" Promise
me!" Steven mencengkeram kedua lenganku.
Aku semakin gugup diperlakukan seperti itu.
Napasku semakin memburu, jantungku berdetak semakin cepat, tanganku
mulai gemetaran. Aku harus melarikan diri. "Mm... Nggak janji ya. Wek!" Aku
menjulurkan lidah sambil menjulingkan mata. Cepat-cepat aku berbalik dan
berjalan keluar melewati pintu kaca beberapa meter di belakangku.
Begitu berada di luar, tubuhku kembali membeku. Aku memekik dalam hati.
Bodoh sekali, aku lupa di mana aku berada sekarang! Udara di sini masih
sangat dingin. Tulangku kembali linu dan tanganku kembali pucat. Aku
menghentikan langkahku. Tak yakin, apakah aku harus berbalik" Tapi konyol
kalau aku mati di sini. Akhirnya, aku menyerah. Dengan bibir yang mungkin sudah memutih, aku
berputar. Dan saat itu juga, seseorang memelukku dari depan. Tangan kirinya
menyentuh lembut kepalaku. Aku menempel hangat pada tubuh jangkung itu.
Kali ini napasku terhenti lagi, bukan karena udara dingin, tapi karena pelukan
itu yang sangat tiba-tiba.
"Jangan keluar, terlalu dingin." Steven masih memelukku dan mengambil
beberapa langkah mundur, masuk kembali ke rumah. Aku hanya menurut dan
mengikuti langkahnya. Tangannya yang panjang menutup kembali pintu tadi
dan udara dingin berhenti menyerangku.
"Memeluk gadis yang kedinginan bukan perbuatan dosa kan?" Steven tertawa
kecil, kemudian melepas pelukannya. Aku merasakan pipiku terbakar karena
kata-katanya barusan. *** Berhubung udara dingin, Steven segera mengajakku pergi dari sana. Awalnya
aku tidak tahu ke mana kami akan menuju, hingga kami tiba di sebuah
restoran. "Tutup restoran ini sampai saya selesai. Terima kasih." Begitulah titah Steven
seraya menyerahkan kartu kredit dan kartu nama pada pelayan restoran yang
berdiri di belakang meja resepsionis. Dia tersenyum sedikit sambil
mengedipkan mata, mencoba merayu. Pelayan itu hanya tersenyum dan
mengangguk setelah membaca kartu nama di tangannya.
Alisku berkerut, apa ada yang khusus di kartu nama itu"
"Please come in, Mr. John." Pelayan itu meninggalkan mejanya lalu menuntun
kami masuk ke restoran. Seperti biasa, Steven menggandengku.
Aku berkedip-kedip lagi, berusaha berpikir.
Kami diantar ke meja tepat di tengah ruangan, di dekat grand piano berwarna
hitam legam. Meja itu disediakan khusus untuk dua orang, terlihat berbeda
dari meja yang lain. Ornamen pada meja dan kursi itu berwarna emas dan
mengilat. Aku menelan ludah. Mungkinkah itu benar-benar berlapiskan emas"
Steven memberi kode kepada pelayan agar pergi sebelum kami duduk di meja.
Steven menarik kursi untukku duduk. Lalu, dia merapikan jaketnya dan duduk
di seberangku. Aku mengamati setiap sudut ruangan dengan membelalak.
Semuanya berwarna putih bersih, berisi ornamen yang terlihat sangat mahal,
berkelas, dan hanya satu benda yang menjadi pusat di restoran berlantai satu
ini, yaitu piano yang sekarang hanya berjarak satu meter dari tempat dudukku.
Aku lupa sudah berapa kali menelan ludah.
Steven tertawa. "Sepertinya butuh satu jam lagi sampai kamu siap memesan.
Kalo gitu, biar aku yang pesan."
Aku tersentak, berusaha menguasai diri dan terlihat sesantai mungkin,
menutupi rasa malu yang meluap-luap di pipiku yang memerah. Steven
mengangkat tangan, memanggil pelayan, lalu membisikkan beberapa menu
makanan yang, entahlah, aku bahkan tidak pernah mendengar namanya. Kali
ini aku hanya berharap lidah Steven cukup normal untuk selera orang
Indonesia, jadi dia tidak akan memberiku makanan yang mencekik
tenggorokan. Hanya beberapa menit, pelayan itu sudah pergi. Kini kami terdiam lagi. Steven
menatap wajahku lekat-lekat. Aku gugup setengah mati. Tubuhku tampak tak
bisa kukendalikan lagi. Ayo, Ame, cari bahan omongan, sebelum kamu terlihat berkali-kali lipat lebih
konyol. Aku memutar bola mata ke sekeliling ruangan dan akhirnya menemukan satu
topik. "Kamu bisa main piano?" Aku menunjuk kecil pada piano di sampingku.
"Ame, aku yakin kamu dengar soal gosip ayahku. Jadi tolong, jangan mencoba
mengalihkan pembicaraan lagi." Steven mencondongkan tubuhnya ke meja,
lalu menatapku tajam sambil menumpukan sikunya di meja.
"Mmm... Cara kamu ngomong, seolah-olah kamu anak mutan atau
semacamnya. Why so serious?" Aku tertawa-tawa garing.
Steven tampaknya tidak menganggap topik itu patut ditertawakan, tapi aku
masih tidak bisa menangkapnya dengan jelas.
"Damn it!" Steven mengumpat. Dia berdiri, menarik kursinya ke sampingku,
memaksaku memutar kursi menghadapnya, lalu duduk sangat dekat denganku.
Lututnya menempel tepat di lututku. "Ini bukan mengenai film-film khayalan
itu, Ame! Ini kehidupan nyata. Dan begitu pula aku, anak pebisnis sukses, yang
disebut-sebut orang bisnis kotor sekarang duduk di hadapanmu! Apakah kamu


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlu menamparku atau aku yang perlu melakukannya agar kamu yakin bahwa
sekarang kakimu menapak tanah"!" Steven berbicara serius dengan penuh
penekanan. Keseriusan terpancar jelas di matanya.
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa.
"Ame... Please, say something!" Steven terlihat gelisah.
Aku ingin berteriak mengatakan sesuatu, tapi apa daya, lidahku bahkan tidak
bisa digerakkan. "Permisi, ini pesanan..." Pelayan datang dan menyela pembicaraan serius kami.
Aku menoleh, melihat asal suara itu, tapi tangan Steven menahan wajahku
agar tetap melihatnya. "Taruh di situ. Silahkan tinggalkan ruangan ini. Trims." Steven memotong
ucapan pelayan tadi, bahkan tidak meliriknya sedikit pun. Sikapnya benarbenar dingin.
Aku menelan ludah. Aku tahu ini tidak akan berakhir sebelum aku mengatakan
sesuatu. Jadi, mau tidak mau, bodoh atau tolol, aku harus mengucapkan
sesuatu. "Lalu, apa sekarang kamu berencana membunuhku karena aku tahu siapa
papamu?" Aku mengerutkan dahi ketika mengucapkannya. Berani sumpah, itu
perkataan terbodoh sepanjang abad ke-21.
Dugaanku tepat, Steven terbahak-bahak. Dia menutup mulutnya dengan
punggung tangan lalu berdiri, menarik kursinya kembali ke posisinya semula,
lalu duduk di sana masih sambil memegangi perutnya.
"Nanti aku jawab, makan dulu. Aku bisa mendengar konser musik cacingcacing di perutmu. Hahaha..." Steven mengambil serbet di samping piringnya
lalu mulai makan. Aku melakukan hal yang sama. Tanpa mengatakan apa pun, aku mengambil
sendok di sampingku lalu mulai menancapkannya ke makanan lembek
berwarna putih yang sejak kemarin malam terus memenuhi perutku.
Aku benci bubur! Tapi aku tidak punya pilihan lain. Benar-benar sial.
"Maaf, tapi kamu cuma boleh makan bubur." Steven tersenyum melirikku.
"Nggak papa, lagi pula aku punya motivasi menghabiskan makanan putih dan
lembek ini." Aku menjejalkan sesendok bubur lagi ke mulutku, dan segera
menelannya. Aku melirik makanan di mangkuk Steven. Makanan kami terlihat hampir sama.
"Steven, kamu juga makan... bubur?" Aku terbata-bata, tidak yakin dengan
ucapanku. Steven kan tidak sakit. Buat apa dia ikutan makan bubur" Apakah kali ini aku
akan ditertawakannya lagi"
Steven tidak mengangkat wajah. Dia habis menyuapkan makanan itu ke
mulutnya lagi. "Hmm... Nggak mungkin bisa makan enak melihatmu sakit
begitu." Dia masih menunduk.
Aku menelan ludah, tapi itu tidak berhasil membuat makanan itu lebih lezat
ditelan, tapi itu tidak berhasil membuat makanan itu lebih lezat ditelan. Aku
menyeruput teh manis di hadapanku. "Mmm... Apa aku perlu berbagi
motivasi?" Aku menimbang-nimbang, apakah akan mengucapkan kalimat
bodoh setelah ini atau tidak.
"Kalau motivasi itu tentang kelanjutan jawabanku, berarti motivasi kita sama.
Hahaha..." Steven lagi-lagi tertawa.
Aku hanya bisa mengan gguk pasrah, lagi-lagi merasa dibodohi. Tapi memang
benar, aku ingin cepat-cepat menghabiskan makanan itu agar tahu apa
jawaban Steven tentang pertanyaanku tadi.
Satu hal yang masih mengganggu pikiranku, Steven memang memakan bubur.
Dia tidak bisa makan enak karena melihatku sakit" Benarkah aku sebegitu
berpengaruh untuknya"
*** "Oke, kita sudah selesai makan, sekarang jawab pertanyaanku. Apa... kamu
berencana... membunuhku?" Aku menatap Steven lagi.
Steven tersenyum kecil. "Mungkin... Kalau kamu menolakku." Dia
mengedipkan mata padaku. "A... apa?" Aku menggeleng. "Menolak apa?"
Steven malah tersenyum makin lebar.
"Steven, tolong jangan bikin aku sepusing ini. Aku sama sekali nggak ngerti apa
maksudmu. Kenapa kamu nggak to-the-point aja?" Aku mulai frustrasi.
"Sstt... Oke, maaf, jangan marah." Steven mungkin kaget mendengar
bentakanku, dia kembali mencondongkan tubuh mendekat padaku. "Mmm...
Mungkin ini akan sulit, tapi coba saja memahaminya perlahan. Kamu boleh
memotong ucapanku kapan pun kamu mau. Oke?"
Steven menarik napas panjang. "Sudah lama aku... Aku suka sama kamu, Ame.
Aku nggak bisa bilang sejak kapan, suatu saat kamu bakal tahu. Yang penting
sekarang kamu tahu aku suka sama kamu. Tapi masalah utamanya adalah... I'm
not an ordinary boy." Steven menekankan kalimatnya. "Kamu tahu, aku anak
pebisnis. Papaku punya bisnis yang tersebar dan dicurigai bisnis kotor.
Sementara mamaku penulis yang sangat mandiri dan berprinsip. Tipe hidup
yang mereka jalani membuat mereka mendidikku dengan cara yang berbeda
dibandingkan orang biasa. Sejak kecil, aku diharuskan bisa melindungi diri
sendiri. Dan ketika aku berumur tujuh belas, Papa memintaku mulai
mempelajari bisnisnya dan ikut membantunya..."
"Apa papamu... benar-benar pebisnis kotor?" Aku menaikkan kedua alisku,
memandang matanya lekat-lekat.
"Bukan. Aku pastikan itu bukan bisnis kotor. Tapi memang ada pesaing yang
tidak terima ketika papa mengambil alih saham atau perusahaannya. Aku
minta maaf..." Steven menunduk, dia tidak melanjutkan kalimatnya yang
terputus tadi. Aku mencoba tetap tersenyum walaupun hasilnya tidak akan baik. "Mmm, apa
mamamu... Jessica Williams" Penulis buku yang kamu baca ktika kompetisi
sejarah kemarin?" Ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Buku
berjudul unik itu memang sempat menggelitik otakku. Jadi, tidak sulit
mengingat nama penulisnya.
Steven mengangguk, masih menunduk. "Dia menulis tentang kekerasan hidup
yang dialami masyarakat kelas bawah. Kebanyakan bukunya dianggap radikal.
Tapi sepertinya belum ada di Indonesia."
Alisku berkerut. Ada yang salah dengan Steven.
Kenapa dia sedih sekali mengakui keberadaan keluarganya" Di mataku,
orangtuanya terdengar sangat luar biasa. Yah, walaupun luar biasa yang
kurasakan terhadap mamanya bertolak belakang dengan papanya.
"Hei... Kenapa kamu malu mengenai keluargamu" Itu terdengar nggak adil
untuk mereka, Steven." Aku mengetuk kepala Steven dengan jari telunjukku
dua kali. Dia lalu mendongak menatapku.
Benarkah yang kulihat... Steven meneteskan air mata"
"Semua akan terdengar adil kalo bukan kamu yang aku sayang. Papa akan
mengirimku kuliah di Amerika nanti. Waktuku tinggal setahun di sini. Kalau aku
gagal, berarti selamanya aku nggak akan pernah ketemu kamu lagi. Apa itu...
masih terdengar adil?" Steven masih bergeming. Genangan air di matanya
terlihat semakin jelas. Dia menahannya mati-matian agar tidak jauh.
Alisku berkerut lagi mendengar jawabannya. Napasku sempat tertahan ketika
Steven mengatakan bahwa dia menyayangiku. Dia memang sudah
mengatakannya tadi. Tapi, aku masih belum terbiasa atau bisa menerima
kenyataan, entahlah, indah atau menakutkan ini.
"Apa ada yang salah sama aku" Memangnya kamu nggak punya kebebasan
memilih mau sayang sama siapa?" Aku belum mengerti.
"Nggak, Me... Bukan kamu yang salah..." Steven menyentuh pipiku. Tangannya
hangat, seperti biasa. Tapi kali ini dia cepat sekali menariknya kembali. "Tapi
apa mungkin kamu mau memberi kesempatan... for a boy like me" Apa kamu
pernah menduga aku bakal memaksa masuk dalam hidupmu" Lebih daripada
itu... what if I want you to come with me. Kita kuliah di America nanti?" Steven
menggenggam kedua tanganku. Matanya menatapku penuh harap.
Hah" Apa aku nggak salah denger" Kuliah di Amerika" Lalu bagaimana dengan
orangtuaku" Kenapa harus sesulit ini pilihannya" Aku pikir hanya cukup
memberikan kesempatan pada Steven, maka masalahnya hanya mengenai
waktu. Tapi... Aku tidak bisa memprediksi apa yang dirasakan Steven. Aku bahkan tidak tahu
bagaimana mengungkapkan perasaanku. Perkataan Steven membuatku sesak,
rasanya seperti melayang. Seolah jantungku berhenti berdetak dan darahku
berhenti mengalir ke otak. Mataku bahkan tidak bisa berkedip cepat seperti
biasanya. Tanganku berkeringat dan dingin.
Aku memang pernah berharap akan ada gebrakan cukup besar yang membuat
hidupku benar-benar penuh warna. Tapi haruskah Tuhan menggebrakku
seheboh ini" Dengan menghadirkan anak miliuner di hidupku yang memberiku
syarat yang tidak mungkin kupenuhi"
Apakah aku mampu menahan beban seberat ini" Tidak, tentu saja aku tidak
mampu. Lalu, pertanyaan selanjutnya, jika harus menghindari dan
menjauhinya... apakah aku juga mampu"
"Aku harus ke toilet, Ven." Aku tidak berani menatapnya lagi, hanya berdiri dan
langsung berjalan ke ujung ruangan. Sebenarnya tidak ada kontraksi di
perutku, tapi aku butuh sedikit ruang untuk bernapas.
*** This isn't goodbye, even as I watch you leave,
This isn't goodbye, I swear I won't cry, even as tears fill my eyes,
I swear I won't cry Itu suara Steven. Dia memainkan piano, dan suaranya... lirih sekali di telingaku.
Langkahku terhenti, tepat sebelum berbelok ke toilet. Tubuhku menuntunku
kembali dan tak bisa menahan diri ingin melihat wajah Steven saat
menyanyikan lagu itu. Aku... tidak bisa menghindarinya.
Steven duduk di sana, di belakang piano. Dia sempat berhenti ketika melihatku
berdiri di hadapannya. Tapi kemudian dia memejamkan mata sejenak, dan
kembali memainkan lagunya.
Any other girl, I'd let you walk away
Any other girl, I'm sure I'd be okay
Tell me what makes a man Wanna give you all his heart
Smile when you're around And cry when you're apart
If you know what makes a man
Wanna love you the way I do
Girl you gotta let me know
So I can get over you What makes her so right"
Is that the sound of her laugh"
That look in her eyes When do you decide" She is the dream that you seek
That force in your life When you apologize, no matter who was wrong
When you get on your knees if that would bring her home
Tell me what makes a man Wanna give you all his heart
Smile when you're around And cry when you're apart
If you know what makes a man
Wanna love you the way I do
Girl you gotta let me know
So I can get over you Other girls will come along, they always do
But what's the point when all I ever want is you, tell me
Tell me what makes a man Wanna give you all his heart
Smile when you're around And cry when you're apart
If you know what makes a man
Wanna love you the way I do
Girl you gotta let me know
So I can get over you Mata Steven terpejam. Setitik air mata meluncur di pipinya, menetes ke punggung tangannya.
Aku melihatnya menangis, hanya setitik, tapi itu membuat hatiku seperti
teriris, entah kenapa sakit sekali. Air mataku tergenang ketika mendengar lagu
itu mengalun lembut darinya.
Lagu itu membuat Steven terdengar sangat tersiksa. Benarkah sesakit itu yang
ia rasakan" Dan kini aku tidak kuasa menahan air mata. Aku cepat-cepat
menghapusnya sebelum membanjiri wajahku. Tapi sayang sekali, semakin
kuusap justru semakin deras, akhirnya aku menolak menghentikannya. Aku
membekap mulutku agar tidak terdengar tangisan.
Terdengar isakan kecil yang juga coba Steven sembunyikan. "Kenapa harus
sesakit ini menyayangi seseorang" Percayalah, sudah jutaan kali aku mencoba
meyakinkan diri sendiri bahwa ini tidak seburuk kelihatannya. Tapi setiap kali
membayangkan jauh darimu, itu... membuatku tidak bisa bernapas. Aku
seperti kehilangan akal. Ame..." Steven menitikkan air mata lagi.
Aku berusaha sekuat tenaga meredam tangisan. Hatiku sepertinya sudah
membuat keputusan gila dan kilat. Tapi aku tidak akan menyesali sesuatu yang
kuputuskan sendiri. Jadi, kali ini pun sama, hidupku adalah milikku. Aku yang
memutuskan langkah apa yang kuambil selanjutnya.
Mmm... hei! pikiran dan akal sehatku berusaha mencegah. Apa kamu benarbenar memutuskan untuk menerima Steven" Benarkah hatimu sudah secepat
itu menerimanya" Pikirkan akibatnya, Ame! Biarkan aku menjalankan fungsiku
kali ini. Sudah. Pasti sudah, hatiku berteriak keras. Entah seberapa besar, aku yakin dia
sudah masuk dalam hidupku. Titik. Keputusan sudah dibuat. Orang
mengatakan, saat kehilangan arah, biarkanlah hatimu yang memutuskan. Dan
kali ini, aku menuruti pepatah bijak itu.
Aku mengapus air mataku. "Satu lagu lagi. Setelah itu, mungkin aku akan
mempertimbangkan tawaran gilamu tadi."
Mati-matian aku mempertahankan kecongkakan di wajahku, menghilangkan
senyuman dari sana, lalu menyodorkan gitar pada Steven. Gitar itu tadi
bertengger indah di lemari yang ada di dekat belokan kamar mandi. Aku
mengambilnya ketika sibuk dengan diriku tadi.
Steven mendongak, matanya membelalak.
Dia menatapku, wajahnya terlihat bingung. "Sori?" Dia menaikkan sebelah
alisnya, belum yakin dengan apa yang didengarnya. Aku tidak tahan melihat
wajah polos itu, senyum pun terpaksa kumunculkan di bibirku. Aku
mengangguk sedikit, meyakinkannya untuk percaya pada apa yang ada di
hatinya, bukan di pikirannya.
Beberapa detik kemudian, dia tertawa kecil sambil mengusap matanya yang
basah. Dia menerima gitar dariku. "Oke... I see. So, when the song ends, you
belong to me then." Steven mengedipkan mata sambil menjulurkan lidahnya
sedikit. Aku tertawa mendengar kalimatnya dan melihat sikapnya barusan. "Jangan
terlalu tinggi bermimpi, Steven Williams."
"Come here." Steven menarik tanganku yang berjarak satu meter di depannya.
Dia memaksaku duduk di sampingnya. Tawa kecil muncul di wajahnya ketika
melihatku sedikit kaget dengan sikapnya. Lalu, ia mulai memetik gitarnya
dengan senyuman luar biasa tampan yang masih ada di wajahnya.
I know that you are something special
To you I'll be always faithful
I want to be what you always needed
Then I hope you'll see the heart in me
You might need time to think it over
But I'm just fine moving forward
I'll cease your mind if you give me then chance
I will never make you cry, c'mon let's try ...
Steven, thanks... Ini pertama kalinya aku merasakan kehangatan seperti ini.
Aku tidak tahu bagaimana kamu bisa menyukaiku. Aku juga tidak tahu kenapa
ditakdirkan bertemu denganmu. Kalau bukan Steven Williams, aku pasti sudah
berlari pulang tadi. Mungkin aku mulai buta atau penyakitan, tapi latar
belakang keluargamu sama sekali tidak memengaruhi perasaanku. Begitu
banyak pembelaan yang kusiapkan untukmu sehingga bisa menerima situasi
dan kondisi mengejutkan ini. Kamu... begitu ajaib datang dalam hidupku dan
begitu singkat mengubah semuanya.
I don't want another pretty face
I don't want just anyone to hold
I don't want my love to go waste


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

I want you and your beautiful soul
You're the one I wanna chase
You're the one I wanna hold
I won't let another minute to go waste
I want you and your beautiful soul
Aku tidak bisa memastikan semuanya sekarang. Aku takut menyakiti siapa pun.
Mungkin sebagian perasaanku sudah menjadi milikmu. Aku hanya berharap
kamu punya cukup kesabaran untuk menunggu bagian hatiku yang lain.
BAB 6 APA-APAAN INI" Kembali ke masa kini... "Ame! Ame!" Diva berbisik memanggil namaku dari seberang meja.
Aku tersentak. Mataku yang sudah melekat rapat terpaksa dibuka lagi. Aku
menoleh pada Diva yang duduk di samping kiriku, sedikit mengangkat alis.
Kepalaku masih menempel pada meja, berat sekali mengangkat dan
membiarkan leherku menopangnya sendiri.
"Jangan tidur! Setelah film ini selesai, kita harus bikin resume!" Diva berbisik
lagi, matanya menyipit. Aku hanya mengangguk-angguk mengerti. Rambutku menggesek permukaan
bukuku dan menimbulkan suara yang sedikit mencolok. Tapi aku tetap
menolak mengangkat kepala. Ada dua alasan kuat aku memilih tidur di kelas
sekarang. Pertama, pelajaran terakhir hari ini adalah bahasa Inggris. Bu Yola, yang
terkenal sebagai pemakan gaji buta, memberikan tontonan film yang sudah
puluhan kali kutonton, The Da Vinci Code. Aku hafal semua nama pemainnya,
perannya dalam film itu, dan jalan ceritanya. Aku bahkan sudah membaca
bukunya lebih dari dua kali. Jadi tadi sebelum tidur, aku sudah menyelesaikan
resumenya. Kini kertasku berputar entah ke mana. Aku yakin teman di
sebelahku meminjamnya lalu meminjamkannya pada teman lain, seperti
biasanya. Kedua, ini alasan terkuatku, mataku sepenuhnya menolak untuk dibuka! Hari
ini pun perjuangan besar bagiku bisa sampai pada pelajaran terakhir.
Bagaimana tidak, aku tidak tidur semalaman karena kemarin Pak Wowo
memaksaku mengumpulkan semua ringkasan PKn kelas sebelas, menjilidnya,
lalu menyerahkan padanya hari ini juga. Mataku melotot ketika mendengar
perintah itu. Tapi untung aku masih sepenuhnya sadar, karena menolak tugas
dari guru berkumis dan berjambang tebal itu sama saja bunuh diri! Jadi
terpaksa aku membongkar semua kardus berisi catatan dan fotokopi tahun
ajaran lalu yang ada di bawah kasurku. Semalaman penuh aku habiskan
dengan memelototi tulisan-tulisan di sana, memfotokopinya dengan printer 3
in 1 yang kupinjam paksa dari Steven tanpa mengatakan alasan meminjamnya,
lalu menjilidnya pukul lima pagi tadi.
"Ame, kamu pucat. Sakit lagi?" Steven yang duduk di depan Diva juga menolah
padaku. Ia bertanya dengan wajah antara khawatir karena aku sakit dan kaget
karena heran ada orang seringkih aku.
"Sayang sekali iya," aku berbisik dengan sedikit sebal padanya, lalu memutar
kepalaku, menghadap teman di samping kananku.
"Tidur aja, Me. Lagian... tuh Bu Yola juga tidur di meja guru." Amanda, yang
duduk di sampingku, tersenyum padaku. Kalimatnya yang terakhir memberiku
ketenangan, berdengung di telingaku seperti dongeng pengantar tidur.
*** "Jujur sama aku, untuk apa printer yang kamu pinjam semalam" Kita nggak ada
tugas hari ini. Lalu, untuk apa printer itu?" Steven menahan tanganku dari
belakang. Dia berdiri di depan pintu kelas dan mencegahku berjalan keluar
untuk menjauh. Aku menelan ludah. Haruskah aku jujur pada Steven" Tapi, dia pasti berlebihan
mengkhawatirkanku kalau aku mengakui apa yang terjadi. Lagi pula, aku hanya
butuh istirahat. Sepulang sekolah aku sudah berencana tidur sampai besok
pagi. Jadi, Steven nggak perlu kubuat cemas.
"Mmm, kalo aku pinjem printer, berarti aku butuh buat nge-print dong..." Aku
berusaha memasang wajah sesantai mungkin. Tanganku merapikan poni yang
menutup mata. "No, pasti bukan... Tell me the truth." Steven berkeras. Aku mulai kewalahan
mencari-cari alasan. Aku menelan ludah dan berkedip berkali-kali. Kebiasaan
ini tidak bisa aku hilangkan. Steven pasti semakin menyadari aku sedang
berbohong. "Amore..." Seseorang memanggilku dari belakang. Suaranya sangat aku kenal
dan cara penyebutan nama yang sangat tidak berkenan itu hanya mungkin
dilakukan oleh satu orang. Rama! Aku menoleh ke belakang, tidak berencana
menarik tanganku dari Steven, lalu menaikkan sebelah alis dan memasang
tampang "apa maumu?".
Rama menatapku lembut, awalnya.
Tapi tatapan itu begitu saja berubah menakutkan ketika dia melihat tanganku
yang berada di bawah kuasa Steven. Dia melangkah mendekat. Senyum di
wajahnya terlihat sekali dipaksakan. Matanya masih menyipit menatap
tanganku. Tapi aku tetap tidak ingin melepaskan tangan Steven.
"Lepaskan tangan Amor-ku, Steven Williams." Rama berkata tegas sambil terus
melangkah lambat. "Beberapa minggu yang lalu aku membiarkanmu
membawanya dari rumahku. Tapi kali ini nggak akan terulang lagi. Jadi,
lepaskan tanganmu!" Rama berhenti setengah meter di depanku, membuka
matanya lebar-lebar, dan menatap Steven tajam.
Tinggi mereka berdua hampir sama, membuatku merasa seperti kapal sekoci
yang diapit dua kapal pesiar.
"Kamu tahu persis apa jawabanku." Steven tertawa kecil, lalu langsung
berhenti dan membalas tatapan Rama.
Aku yang berada di tengah mereka, lelah terus-menerus mendongak,
memutuskan untuk berjalan keluar dan pulang.
Hari ini sudah cukup berat untukku. Kalau masih harus ditambah dengan
mendengarkan perdebatan mereka yang tidak bermutu, kurasa telingaku
terlalu berharga untuk itu.
Aku melenggang santai menuruni tangga. Tidak peduli lagi dengan apa yang
akan terjadi di belakang sana. Terserah mereka kalau mau membangun arena
tinju dadakan, atau melatih otot-otot mata. Akuuu tidaakk peduuli!
*** "Ikut aku." Rama tiba-tiba menyambar lenganku dari belakang. Aku kaget
setengah mati dan tidak siap mengikuti langkahnya yang lebar dan cepat,
hampir saja aku terjungkal ke depan dan meluncur ke tanah. Beruntung sekali
otak kecilku bisa menyeimbangkan tubuhku dengan sempurna kali ini.
"Nggak mau! Apa-apaan"! LEPASIN!" Aku berteriak keras-keras, meronta,
mencoba melepaskan diri, tapi hasilnya nihil. Rama seperti kesetanan. Aku
benci diperlakukan seenaknya seperti ini. Orangtuaku bahkan tidak pernah
melakukan hal sekasar ini padaku.
"LEPASIN AKU, RAMA!" Aku membentak Rama lagi, dua kali lebih keras. Sudah
ratusan kali muncul ide di benakku untuk menggigit tangannya, tapi sepertinya
itu tindakan yang tidak berpendidikan. Mungkin itu jalan terakhir yang akan
kulakukan jika semua upaya gagal.
"SHUT UP!" Dia membentakku dan mengumpat padaku. Tidak pernah Rama
berbuat begitu sebelumnya.
Ada apa dengannya" Pasti ada yang salah di sana.
Apa yang terjadi antara Rama dan Steven" Apa terjadi kesepakatan besar di
luar pengetahuanku" Tapi kesepakatan macam apa itu sampai Rama harus
melakukan tindakan kasar seperti sekarang"
BUUKKK!!! Steven tiba-tiba muncul dan menghantam wajah Rama. Pukulannya membuat
Rama limbung. Langkah Rama terhenti, aku mengambil kesempatan menarik
tanganku. Refleks, aku bersembunyi di balik punggung Steven.
"Once you hurt her, I swear I'll kill you!" kata Steven pelan dan tajam. Dia
bahkan tidak membentak. Tapi aku bisa merasakan setiap kata darinya benarbenar menusuk. Mungkin ini termasuk salah satu pelajaran "bela diri" yang
harus ia pelajari waktu kecil.
Rama tegak kembali, menghapus darah di bibir dengan ibu jarinya. Dia tertawa
kecil. Aku bergidik melihat wajahnya yang seperti pembunuh berdarah dingin.
Tanpa kuduga, Rama mengayunkan tangan dan membalas pukulan Steven jauh
lebih keras. "Steven!" aku memekik.
Steven jatuh ke tanah. Dia tidak menghindari pukulan tadi, sengaja
melindungiku yang berdiri di belakangnya. Kalau tadi dia membungkuk,
mungkin pukulan itu sudah membuatku gegar otak ringan. Aku berusaha
membantunya bangun. Dia masih terlihat syok.
"Ikut aku, Amor!" Rama menarik tanganku lagi, memaksaku berdiri, dan
menyeretku menuju mobilnya. Rama kuat sekali, percuma mengerahkan
tenaga melawannya. "Kamu gila, Rama!" Aku menampar wajahnya ketika berada dalam mobil.
Tanganku merah dan mati rasa karena tindakannya. Tapi lebih dari itu, dia
benar-benar mencoreng "harga diriku"! Bisa-bisanya dia bertindak sekasar itu.
Aku menoleh ke belakang, mendapati Steven berlari secepat mungkin ke
mobilnya. Rama melirik sedikit ke spion tengah, lalu segera menginjak pedal
gas, membuat mobil melaju di atas 80 km/jam di tengah keramaian jalan siang
hari. *** "Kamu mau apa"! Lepasin!" Bentakanku kesekian kalinya tidak membuat Rama
berhenti menyeretku masuk ke rumah kumuh yang atapnya hanya setinggi
tubuh orang dewasa. Tidak ada seorang pun di sekitar situ.
Dari ujung ke ujung, hanya deretan rumah kumuh tak berpenghuni. Pohon di
sini semuanya kering karena dibakar. Tanahnya pun becek dan berlubanglubang, seperti bekas mengubur sesuatu. Sampah bertebaran di mana-mana.
Tempat macam apa ini" Bagaimana bisa ada tempat seperti ini di tengah kota"
Aku melihat balok kayu cukup tebal di depan pintu pagar rumah. Tangan kiriku
meraihnya dengan gesit lalu menghantamkannya tepat ke belakang leher
Rama. Tanganku cukup kuat, walaupun dalam keadaan gemetar. Kini, Rama
terkapar tidak berdaya di tanah akibat pukulan tadi.
Tanganku lemas begitu selesai melakukan tindakan spontan itu. Aku hanya
berpikir, ini termasuk tindakan membela diri. Jadi, walaupun sesuatu terjadi
pada leher Rama, seperti patah, salah urat, atau semacamnya, pengadilan
tidak akan mengetuk palu tiga kali dan menjebloskanku ke penjara.
Aku terduduk lemas memeluk kedua kakiku di dekat Rama yang terkapar, tidak
peduli betapa kotor sekitarku. Aku hanya butuh menenangkan diri sejenak.
"Ame!" Steven! Dia berlari menghampiriku. Aku tersenyum melihat kedatangannya.
Dia benar-benar bagaikam embun di tengah gurun. Sepertinya cahaya
matahari kembali bisa menembus daerah ini ketika Steven datang.
"Is everything alright?" Steven melirik Rama yang tergeletak di sampingku,
balok kayu di dekat kepalanya, dan posisi dudukku. Dia mengerutkan dahi,
tampak berpikir, lalu terlihat mengabaikan pikirannya sendiri. Dia berjongkok,
meraih tangan kananku. Rasanya perih ketika Steven menyentuh luka kecil
akibat goresan cincin di ibu jari Rama, tapi aku cepat-cepat
menyembunyikannya. Bisa gawat kalau Steven menyadarinya.
Aku mengangguk, meyakinkannya bahwa semua baik-baik saja. Meskipun,
jantungku belum berdetak dengan normal. Aku takut kalau-kalau Rama nggak
bangun lagi. Mungkin aku bisa masuk rumah sakit jiwa karena trauma
membunuh seseorang. Lebih dari itu, manusia-manusia tergabung dalam Klub
Pecinta Rama akan menindasku sepanjang hari di sekolah. Mengerikan sekali
membayangkan mereka menarik rambutku ke sana kemari, menyembunyikan
cicak di dalam sepatuku, dan tindakan tidak manusiawi lainnya.
"He hurts you, doesn't he?" Steven berhasil menemukan luka kecil tadi lalu
menatap mataku dengan saksama. "Perih?" Suaranya melembut ketika
menanyakannya. Ini salah satu yang paling kukagumi darinya. Dalam kondisi
apa pun, dia selalu berusaha berbicara selembut mungkin padaku.
Padaku, hanya padaku. Dia tidak melakukan hal yang sama pada Diva atau teman cewek yang lain. Dia
memperlakukan mereka dengan dingin dan cuek, hanya berbicara seperlunya.
Tapi itu tidak berlaku untukku. Kapan pun aku lapar dan malas ke kantin, detik
itu juga roti, cokelat, atau makanan ringan yang seharunya tidak dibeli Steven
di kantin"karena aku tidak melihatnya dijual di sana"muncul di depan
hidungku. Hebat, bukan"
"Hey, does it hurt?" Steven menyentuh pipiku, seperti biasa ketika aku
melamun dan tidak segera menjawab pertanyaannya. Aku merasakan pipiku
memerah. Selalu begini, sibuk dengan pikiranku sendiri dan lupa dengan
sekitar. Aku mengangguk sedikit. "Tapi nggak papa kok. Tenang aja..."
"Nggak mungkin aku bisa tenang. Setelah ini kamu ikut ke rumahku, kita
sembuhin dulu lukamu. Lagi pula bekas tangan si brengsek ini kemungkinan
besar meninggalkan memar. Sialan! Bisa-bisanya dia ngelakuin ini sama
cewek!" Steven melirik Rama yang terkapar di tanah lagi.
Tiba-tiba, mataku menangkap bayangan yang membuat napasku berhenti.
Rama yang tadi masih tidak berdaya, kini menggeliat dan menggerakkan
tubuhnya. Melihat ekspresiku yang terkejut, Steven langsung menyadari ada
yang tidak beres. Dia kemudian berbalik menghadap Rama. Ketika melihat
Rama sudah sadar, Steven melindungi tubuhku di belakang punggungnya. Dia
berbisik, memintaku tetap di tempat.
"Aku bilang jangan sakiti dia. Kamu tuli?" Steven menatap tajam pada Rama
yang masih terkapar, mata Rama kini terbuka lebar, menatap kami bergantian
dan penuh amarah. Dia kemudian bersusah payah bangun dan duduk. Steven memerintahku
mundur, aku menurutinya. "Ini antara aku dan Amore, Steven." Rama membalas tatapan Steven,
kemudian melirikku. "Cuma Ame yang boleh minta aku keluar dari masalah ini," ujar Steven dingin.
Dia tetap pada posisinya, melindungiku.
"Amore, ada yang harus aku omongin sama kamu, please..." Rama menatapku,
sedikit melunak, tidak lagi terlihat seperti orang kesetanan.
Haruskah aku memberi kesempatan pada orang yang baru berlaku kasar
padaku untuk berbicara berdua denganku, tanpa Steven" Apakah benar Rama
tidak akan menyakitiku lagi" Aku menelan ludah, mataku mengerjap-ngerjap,
tidak yakin dengan apa yang akan kulakukan. Rama memang terlihat memiliki
sesuatu yang harus disampaikan padaku. Tapi... lagi-lagi pikiran dan hatiku
berperang. Aku tidak ingin memberinya kesempatan karena aku nggak butuh tahu apa pun
soal Rama. Aku nggak pernah menyukainya, tertarik dengan ceritanya, apalagi
berusaha larut dalam hidupnya. Jadi, bisa saja sekarang aku menendangnya
keluar dari hidupku. Ini akan menjadi momen paling pas untuk melakukannya.
Tapi di satu sisi, dia sudah sangat baik padaku. Selama lebih dari setahun,
dialah yang menolongku dalam kesulitan, walaupun aku tidak pernah
memintanya. Hhh, kali ini aku mengalah pada pikiranku. Memberinya satu
kesempatan juga bukan ide yang buruk. Sekali lagi menjadi malaikat mungkin
akan menjauhkanku dari kesialan-kesialan dunia. "Steven, tolong kamu keluar
dulu. I'll be fine," aku berbisik dari balik punggung Steven, bergeser sedikit ke
kanan. Awalnya Steven menolak, tapi akhirnya aku berhasil meyakinkannya bahwa
aku bisa menjaga diri. "Do not let him touch you...," Steven berbisik, kemudian bangkit, dan berjalan
keluar rumah. Dia berhenti ketika berada pada jarak sepuluh meter dari
tempatku berada. Rama tersenyum mengantar kepergian Steven, lalu melihatku dengan tatapan
rindu setengah mati. Aku mengenalinya karena sering melihat papaku
menatapku seperti itu. Tapi sayang sekali, aku tidak suka ditatap seperti itu,
apalagi oleh Rama. Entahlah, semua yang ada pada dirinya terasa salah
untukku. Apakah mungkin di kehidupan sebelumnya dia pernah berlaku jahat
atau bahkan berutang nyawa padaku" Mungkin saja.
"Tetap di situ. Bicaralah." Aku menunjuk tempat Rama duduk sekarang. Dia
terlihat sedikit kecewa, tapi kemudian memaksakan senyum.
"Amore...," dia mulai angkat bicara.
Kulitku seperti tertusuk, napasku tercekat. Caranya memanggil namaku, aku
membencinya. "Jangan panggil aku dengan..."
"Nggak akan pernah bisa," dia memutus kalimatku. "Sampai kapan pun kamu
akan tetap jadi Amor-ku." Rama tersenyum. Kedua alisnya terangkat,
menunjukkan kemenangan atasku.
"Terserah. Lanjutkan saja, kamu mau ngomong apa?" Aku mengangkat kedua
tangan, menghadapkan telapak tanganku padanya, tapi tidak melihat
wajahnya. Wajahku menunduk, memperhatikan tanah di sekitarku yang
merekah, tidak terawat. Rama tidak juga memulai. Dia diam. Aku mulai merasa ada yang berjalan


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti bukan seharusnya.
Rama menunduk melihat tanah, menekuk lututnya, dan membaringkan dahi di
atas lututnya. Dia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan,
menarik napas lagi, dan mengembuskannya lagi. Alisku berkerut melihat
sikapnya. "Semua tiba-tiba berantakan. Mama sakit dan sekarang terpaksa dirawat di
ICU. Kondisinya sama sekali nggak membaik selama tiga bulan terakhir. Aku
udah coba menghubungi Papa, tapi selalu gagal. Papaku menghilang dan nggak
peduli lagi dengan hidup kami berdua. Aku bener-bener merasa kesepian.
Aku... butuh kamu, Amor." Rama mengangkat wajahnya, akhirnya. Dia
menatap mataku lurus-lurus dan berusaha menyampaikan apa yang ada dalam
hatinya. Aku terdiam, menelan ludah yang terasa aneh melewati kerongkonganku.
Perasaan macam apa ini" Aku sama sekali tidak tersentuh pada apa pun yang
Rama katakan. Aku merasa, entahlah, dibohongi" Karena jika semua itu
memang benar, seharusnya aku merasa simpati padanya. Tapi aku tidak
merasakan apa pun. Pasti ada yang salah di sini.
Aku mengamati gerak-gerik mata Rama. Sejujurnya, aku tidak menemukan
gelagat bahwa dia sedang berbohong. Matanya menatap lurus dan mantap
padaku, tidak mencoba mengalihkan pandangan ke mana pun. Embusan
napasnya pun teratur, tidak seperti dibuat-buat. Dia terlihat tulus pada apa
pun yang dia katakan. Tapi kenapa... kenapa aku tidak bisa merasakan bahwa
dia tertekan" Apakah dia benar-benar membutuhkanku" Ataukah ini hanya alasannya untuk
menahanku dan tidak mau mengaku kalah pada Steven" Kalau benar seperti
itu, aku takkan pernah memaafkanmu, Rama.
Aku menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri, dan mencoba
berpikir positif. "Kamu... sampai kapan butuh aku?" Aku akhirnya menjawab.
Aku tahu itu jawaban paling tolol kedua yang kuucapkan. Seharusnya aku
bertanya bagaimana keadaan keluarganya, atau minimal menunjukkan
simpatiku. Bukannya malah menunjukkan bahwa aku sama sekali tidak ingin
berlama-lama di dekatnya.
Tapi benakku tidak bisa mengeluarkan jawaban lain yang lebih bermutu
daripada itu. Kalau kalian tahu apa yang sempat terlintas di otakku, kalau pasti
berpikir IQ-ku di bawah 80.
Dahi Rama berkerut, kaget mendengar jawabanku. "Kenapa kamu bertanya
begitu" Aku butuh kamu, sekarang, besok, lusa, selamanya, tanpa batasan
waktu. Kenapa kamu tanya seolah aku butuh kamu untuk sementara dan
setelah itu kamu bakal pergi?" Rama menegang. Tubuhnya tegak dan matanya
menatapku lekat-lekat, seperti mencoba menyelidik.
"Aku tanya duluan, kamu seharusnya menjawab, bukan membalas dengan
pertanyaan." Aku masih berusaha tenang. Tidak berani menatapnya, malah
menatap langit yang sudah berubah oranye.
Matahari mulai turun. "Nggak. Kamu harus jawab aku dulu. Kenapa kamu tanya 'sampai kapan aku
butuh kamu'" Pasti ada alasannya!" Rama mulai mengeras. Suaranya mulai
memekakkan telinga, membentakku. Dia tampak siap berdiri. Aku menelan
ludah, menekuk kaki, bersiap jika harus kabur sewaktu-waktu.
Aku yakin perasaan ini nggak mungkin salah. Pasti ada sesuatu yang dia
sembunyikan, yang membuatku tidak akan bisa menerimanya ketika
mengetahui itu. "Aku nggak akan jawab." Aku mengangkat dagu, menatapnya penuh
keyakinan, dan angkuh. Aku tidak akan mengalah pada pikiranku kali ini. Rama
pasti menyembunyikan sesuatu. Dia, entahlah, seperti sedang mencoba
bermain-main denganku. Rama berdiri. Dia menendang balok kayu di dekat kakinya, menjauh dari
jangkauanku. Aku menelan ludah. Tingkah Rama barusan, tatapannya, ekspresi
membunuh yang entah sejak kapan melekat di wajahnya, membuatku bergidik
ngeri. Aku berdiri, tetap berusaha membusungkan dada, mempertahankan
harga diri. Sudut mataku berusaha melirik Steven, yang sekarang terlihat mulai gelisah di
tempatnya berdiri. Dia terus-menerus melihatku. Jantungku berdetak lebih
cepat, sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi sebentar lagi. Kemudian aku
menyembunyikan tangan kananku di belakang punggung untuk memberi kode
pada Steven agar berjalan mendekat.
Akhirnya melangkah dengan sangat perlahan, mendekat ke tempatku berdiri.
"Apa ini... karena Steven"!" Rama membentakku. Tatapan itu... tatapan
menakutkan itu kembali ke wajahnya. Bulu kudukku merinding menyaksikan
bagaimana perubahan di wajah yang tadi terlihat lembut dan tidak berdaya,
sekarang berubah menjadi seperti pembunuh berdarah dingin.
Aku tersentak. Jangan, jangan sampai melibatkan Steven dalam keraguanku ini.
Itu akan menyulitkan Steven. Terpaksa, aku harus mengklarifikasi sendiri.
"Bukan. Sama sekali bukan karena Steven. Ini tentang kamu, Rama. Aku
merasa kamu nggak jujur tentang ceritamu tadi. Aku juga merasa kamu nggak
benar-benar butuh aku. Kamu cuma mau menarik simpatiku, menahanku agar
nggak bisa pergi dari kamu. Kamu..." Suaraku kembali tercekat.
Aku mengacak-acak rambutku. Semua ini membuat kepalaku pening. Mulutku
gatal ingin mengucapkan umpatan-umpatan tidak berpendidikan. Tapi aku
tidak ingin menjatuhkan harga diriku di hadapan Rama.
Rama mendekat, langkahnya cepat sekali. Tiba-tiba sekarang dia berada dua
puluh senti di hadapanku. Napasku menderu ketika merasakan tubuhnya
hampir menempel denganku. Aku berusaha menahan diri untuk tidak berteriak
memanggil Steven. Aku merasa masih bisa mengatasi ini sendiri.
Rama menunduk, melihatku. Aku pun melakukan hal yang sama, menunduk,
tapi menolak melihatnya. "Kamu bisa merasakan itu, hebat sekali. Tidak
banyak orang bisa menyadari kebohonganku. Kamu cerdas, Ame..." Tangannya
membelai rambutku. Dia menyibakkan poniku. Aku merasakan tubuhku mulai
gemetaran karena tindakannya.
Dia tidak membentakku, melainkan berbisik. Napasku terputus dan tercekat
setiap kali tangannya bergerak. "Cerita tadi karangan, itu benar. Semuanya
untuk menarik simpatimu, itu sangat benar. Tujuanku adalah menahanmu agar
tidak bisa pergi, itu analisis yang brilian. Lalu, sekarang, setelah kamu tahu aku
berbohong, apa yang ingin kamu lakukan, Ame" Lari" Pergi dariku?" Rama
tertawa kecil, meremehkanku. Tangan kanannya mengangkat daguku.
Matanya membelalak, melihatku dengan saksama.
Aku menatapnya penuh kebencian.
Aku menatap tajam padanya. Aku memilih tidak mengatakan apa pun karena
itu hanya akan membuatku kalah. Diam adalah emas, ungkapan itu benar.
Aku muak melihat wajahnya.
"Sayang sekali, aku udah nggak bisa melepaskanmu, Amor. Kamu boleh
mencoba lari ke mana aja atau ke siapa pun..." Rama tersenyum penuh
kelicikan, sambil mendekatkan wajahku ke wajahnya.
Oh Tuhan, aku tidak tahan!
"STEVEN!" Aku menutup mata dan memekik keras-keras, berharap seseorang
menyelamatkanku. BUKH! Saat kubuka mata, kulihat Steven menendang tubuh Rama dari samping,
membuat Rama terhuyung beberapa langkah ke kanan, menjauhiku. Steven
mengambil dua langkah lebar lalu menghadiahi dua pukulan tepat di wajah
Rama, hingga membuat Rama terlempar jatuh ke tanah.
"Jangan pernah coba menyentuh dia, atau aku patahkan tanganmu! Kamu tahu
itu tidak sulit untukku. Mungkin aku yang perlu mengingatkanmu, kamu boleh
mencoba melakukan apa pun padanya, tapi itu berarti kamu akan selalu
berurusan denganku. Kalau otakmu sulit mengingatnya, kamu boleh
mencatatnya." Steven melirik Rama, memberikan tatapan membunuh.
Aku mencoba menyipitkan mata. Saat mendengar apa yang Steven katakan,
jujur saja, aku menyukai perkataannya. Bibirku tidak bisa menyembunyikan
senyum karena mendengar itu semua.
"Ame, kita pergi." Steven menggandeng tanganku. Saat itulah aku berani
membuka mata. Aku mengikuti langkahnya yang tenang berjalan menuju
mobilnya. Sejenak aku meliriK Rama yang bangun dan duduk di tanah,
menghapus darah di bibirnya. Seluruh rasa hormat dan penghargaanku
untuknya benar-benar lenyap, digantikan kebencian yang menggebu-gebu.
Aku masuk ke mobil Steven, dan kami langsung pergi dari sana.
*** Steven menarik rambutku singkat. Aku melotot memprotes tindakannya
barusan. Aku tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.
"Jangan protes. Kamu salah. Pertama, menyuruhku pergi tadi. Kedua, memberi
Rama kesempatan menyentuhmu. Tindakanku barusan untuk membenarkan
letak otakmu." Dia balas melotot padaku.
Aku melunak. Sepertinya ucapan itu benar. Tapi sedikit membela diri nggak
ada salahnya. "Kepalaku sakit seharian, nggak perlu kamu tambah! Lagian, aku
hanya mencoba bersikap baik. Kalo tahu Rama bakal ngelakuin hal sebusuk itu,
aku nggak mungkin ngasih dia kesempatan." Wajahku manyun sementara
tanganku mengusap-usap pelipis.
"Oke, kalo gitu, karena kamu tadi mengusirku, aku mau kamu dihukum."
Steven bersedekap, menegakkan duduk, dan menatapku dengan sedikit
menyipitkan mata. "Hukuman apa lagi?" Aku mengembuskan napas panjang, menyibak poniku
yang menutupi mata, lalu membiarkannya berantakan.
"Sabtu minggu depan, setelah semua ulangan selesai, kamu harus ikut aku
pergi. Acaranya sudah diatur. Dan kali ini, tidak ada percobaan lari,
pemberontakan, dan lain sebagainya. Aku nggak akan menoleransi hal-hal
semacam itu. Titik." Steven mendekatkan wajahnya padaku. Kami berkedip
bersamaan beberapa kali, sampai aku berkedip cepat sekali.
"Acara apa?" Mataku mengerjap semakin cepat. Wajah tampan itu sangat
dekat di depanku, membuat otakku tidak menjalankan sebagian fungsinya.
Steven tersenyum dan lebih mendekatkan wajahnya. "Pesta dansa."
"HAH"!" BAB 7 PESTA DANSA Dua minggu berlalu. Menurut Steven, aku masih trauma. Jadi, jika berada pada jarak kurang dari 30
sentimeter dari seorang cowok, termasuk Steven, aku akan sangat takut.
Beberapa hari yang lalu, ketika Steven mencoba membantu mengambilkan
buku di dalam loker, tanganku refleks menyodok perutnya hingga dia mundur
beberapa langkah. Sejujurnya aku tidak bermaksud melakukan itu. Tapi dengan
dalih melindungi diri dari bahaya apa pun, aku tidak mau disalahkan. Steven
melotot ketika menyadari aku tertawa melihatnya kesakitan. Tapi bagaimana
mungkin aku tidak tertawa jika melihat cowok yang menguasai banyak ilmu
bela diri, bisa aku kalahkan hanya dalam satu gerakan" Itu cukup menghibur
tentu saja! Kembali pada Rama. Sejak dua minggu yang lalu pula, aku tidak pernah
bertemu Rama lagi di sekolah. Tiga hari pertama, aku tidak peduli dan
menganggapnya keuntungan besar karena tidak harus melihat wajahnya. Tapi
setelah seminggu dia belum juga memunculkan batang hidungnya, aku merasa
ada yang aneh. Aku bertanya pada teman sekelasnya, katanya Rama tidak masuk tanpa
keterangan, alias bolos. Itu semakin aneh lagi. Seharusnya anak yang menjaga
keutuhan KPR seperti dirinya tidak akan melakukan hal "tabu" semacam itu.
Aku mencoba tidak memikirkan Rama, seperti sebelumnya. Tapi kali ini
berbeda. Entah kenapa setiap memikirkan atau menyebut namanya, napasku
langsung sesak. Aku selalu mencoba mencari alasan kenapa Rama berubah
menjadi pribadi seperti itu. Sampai-sampai, aku mencari beberapa sumber,
semacam buku psikologi, yang membahas berbagai kemungkinan yang
membuat kepribadian seseorang berubah.
Tapi, dari semua penyebab yang kubaca sepintas, aku tertarik dengan salah
satu topik, broken home. Itu mengingatkanku pada perkataan Rama tentang
mama dan papanya. Mungkinkah waktu itu Rama mencoba mengatakan yang
sejujurnya" Tapi kenapa dia mengatakan itu bohong"
Hhh... entahlah, aku tidak mempunyai jawaban pasti atas kejadian kemarin.
Tapi menurutku, alasan yang paling masuk akal adalah Rama tertekan.
Mungkin masalah yang merundungnya sudah membuat jiwanya terguncang.
Hanya kesimpulan itu yang bisa aku dapat.
Sebenarnya aku sudah minta tolong pada Steven untuk mencari beberapa
informasi tentang keberadaan Rama. Tapi Steven menolak tanpa memberiku
alasan yang jelas. Dia hanya mengatakan "semua ada waktunya" setiap kali aku
bertanya. Menyebalkan! Jawaban itu tidak pernah memuaskan rasa
penasaranku. Justru aku semakin ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ponselku berdering, mengagetkanku, membuyarkan lamunanku.
Aku menerimanya, lalu menempelkannya ke telingaku. "Halo?"
"Aku tunggu kamu di luar sekarang." Suara di seberang sana menjawab ringan
dan terdengar riang bersemangat.
Aku menutup telepon, melihat jam tanganku, lalu memejamkan mata dan
mengembuskan napas panjang. Ini hari Sabtu. Tibalah waktuku untuk
membayar hukuman dari Steven. Entah harus senang atau frustrasi. Aku akan
menghadiri pesta dansa, yang akan dihadiri ratusan teman Steven, yang
menurutku juga tidak memiliki kehidupan yang biasa. Steven adalah tamu
utama karena acara pesta itu akan dipenuhi presentasi dari beberapa
perusahaan di Indonesia yang berharap saham perusahaan mereka akan lebih
kuat setelah papa Steven membelinya. Aku sama sekali tidak mengerti tentang
itu semua, atau bahkan tertarik.
Hebat sekali Steven, yang notabene seumuran denganku, bisa mengerti hal-hal
semacam itu dengan sangat baik.
Kalian tahu... setiap kali memikirkan Steven, aku selalu merasa seperti anak
bebek bodoh yang berjalan terlalu jauh hingga tidak sadar sudah menerobos
sarang phoenix. Sekarang, aku merasa sedikit nyaman di sarang itu, meskipun
belum sepenuhnya memutuskan akan tinggal di sana karena beban yang harus
aku tanggung untuk bisa bertahan hidup di dalamnya akan sangat besar. Yah...
Mungkin seperti itulah gambaran paling mudah mengenai perbedaan antara
kehidupanku dan Steven. *** Steven menjemputku hanya mengenakan kaus oblong dan celana tiga
perempat berwarna abu-abu kusam. Aku sangat yakin pakaian itu ada di
tumpukan terbawah lemarinya, atau bahkan di dalam kardus di gudangnya
yang bertuliskan "untuk disumbangkan".
"Apa ini 'hari hidup susah sedunia'" Atau tren pakaian terbaru memang seperti
itu?" Aku masih belum masuk ke mobil, atau bahkan berniat masuk. Aku
mengerjap, berusaha lebih meyakinkan diri bahwa itu memang Steven dan aku
tidak salah membuka pintu mobil.
Steven tertawa kecil. "Get in." Dia mencondongkan tubuhnya, lalu menarik
tanganku masuk ke mobil. Kami bukan ke mal, salon, sauna, atau tempat-tempat kecantikan. Kami ke
rumah Steven. Lagi-lagi ke rumahnya. Aku bosan karena terlalu sering ke sini.
Entah apa yang dia siapkan di sana. Tadi dia hanya memintaku mandi, tidak
berdandan, dan tidak berpakaian bagus.
"Kenapa ke rumahmu lagi?" aku bertanya ketika Steven memarkir mobilnya di
dekat pintu masuk. Steven tertawa. "Bosen?" Dia mematikan mesin, lalu mencabut kunci kotak.
"Little bit." Aku juga tertawa lalu melangkah turun dari mobil, atau mungkin
lebih tepatnya melompat turun dari mobil karena kali ini Steven menjemputku
dengan mobil Jeep-nya. Aku masuk ke rumah dan melihat lima perempuan berusia sekitar 25 tahun
berdiri menyambutku. Aku menelan ludah ketika melihat mereka tersenyum
penuh makna padaku. Mungkin dalam otak mereka terlintas: "Jadi dia yang
harus diurus?", "Hari ini harus kerja keras?", "Apa benar cewek ini yang
menarik perhatian cowok tampan itu?", semacam itulah.
Steven menyusul dan berdiri di belakangku. "Silahkan dimulai. Kalian punya
waktu tiga jam dari sekarang." Steven mendorong pinggangku dengan satu
tangan ke arah mereka berlima. Aku tidak bisa melawan dan tidak mungkin
melawan. Dimulailah pembantaian, pikirku.
Mereka menggiringku, masih dengan senyuman maut itu, ke dalam ruangan
berisi peralatan lengkap. Mereka mendudukanku di kursi serbaguna sehingga
dengan mudah melawan setiap kali merasakan sesuatu yang menggelikan,
menyakitkan, dan mengerikan.
Langkah pertama, wajah. Mereka mulai dengan mata, memaksaku
menggunakan lensa kontak, kemudian pipi dan bibir. Langkah kedua, tangan.
Mereka memermak kukuku dengan corak yang kata mereka sesuai dengan
kepribadianku. Sok tahu sekali. Langkah ketiga, kaki. Beruntung aku bukan


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makhluk berbulu sehingga mereka tidak perlu mencukur bulu kakiku. Langkah
keempat, rambut. Mereka memuji rambutku yang tebal, hitam, mudah diatur,
dan bla bla bla. Entahlah, bagiku itu hanya dalih untuk bisa membuat model
mengerikan di rambutku. Langkah kelima, pakaian. Pada tahan inilah Steven membuatku mengakui
bahwa dia benar-benar miliuner. Gaun-gaun yang tergantung di depanku
hanya pernah aku lihat di internet dan harganya mahal sekali.
Tapi, sikap Steven yang seperti ini tidak membuatku anti padanya. Berbeda
sekali jika Rama yang melakukannya. Aku pasti akan langsung menampar dan
mengembalikan baju itu padanya.
Aku terpesona pada gaun-gaun pendek itu. Kata para perias itu, Steven sendiri
yang memilihnya. Hebat sekali selera pakaiannya, simpulku. Dia tidak
memilihkanku gaun malam yang panjang dan gemerlap yang akan membuatku
bertambah tua tiga sampai lima tahun.
Aku menyukai hampir semua pilihannya.
Akhirnya setelah mencoba sekitar sepuluh pakaian, pilihanku jatuh pada gaun
berwarna biru toska yang panjangnya dua puluh sentimeter di atas lutut. Yah,
aku masih bisa tenang memakai gaun itu karena toh aku pasti memakai
stoking. Gaun itu sangat unik. Bagian punggung hingga pinggangnya transparan
dan lengannya sebatas siku, membentuk seperti rumbai-rumbai berhias payet.
Aku minta maaf jika kalian kecewa dengan penjelasanku. Tapi aku benar-benar
tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Pengetahuanku tentang fashion benarbenar nol.
Langkah keenam dan terakhir, sepatu. Ini tidak memakan waktu lama. Dari
beberapa pilihan sepatu, aku hanya menyukai yang berwarna silver,
berhiaskan glitter dan batu-batuan bercahaya di beberapa bagian. Ini
tantangan terbesarku untuk berjalan tanpa kesakitan ataupun canggung
menggunakan sepatu dengan hak setinggi sepuluh sentimeter. Beberapa kali
aku mencoba berjalan, namun terhuyung.
Kemudian para perias itu bertepuk tangan untukku, "Kau sudah siap, Cantik."
Tepat pukul 17.00 acara "penyiksaan" selesai. Aku tidak melakukan banyak
kegiatan, tapi entah mengapa ini membuatku sangat lelah. Ternyata benar,
kegiatan dan hobi seperti ini menyita waktu dan tenaga. Aku menarik napas
panjang, membuka mata perlahan, memberanikan diri melihat sosok di cermin
yang ada di depanku ini. Lima detik kemudian, mataku membelalak, dan aku
melihat gadis berusia 17 tahun berdiri anggun di depan kaca, tersenyum
dengan mata membelalak, dan terlihat seperti ada dewa kecantikan
menaunginya. Aku tidak percaya dengan semua ini. Ingin sekali aku memekik keras-keras.
*** Aku melangkah keluar ruangan.
Tak jauh dari pintu, aku melihat Steven berdiri memandang ke luar jendela,
membelakangiku. Dia memakai jas hitam legam yang menjuntai panjang dan
celana panjang yang juga berwarna hitam. Dengan setelan itu, tubuhnya
terlihat sempurna. Dia bersedekap, matanya menerawang jauh ke luar sana,
tampak menunggu sesuatu. Aku menarik napas dalam-dalam, memunculkan senyum kecil di bibirku, lalu
berjalan mendekatinya. Sepatuku berkelotakan, sangat mencolok di lorong
yang hening ini. Dia mendengarnya, tentu saja. Tubuhnya perlahan berputar.
Aku menahan napas ketika melihat tubuhnya hampir sepenuhnya
menghadapku. Langkahku berhenti, seirama dengan napasku. Aku lagi-lagi
menelan ludah yang terasa tidak cukup membasahi kerongkonganku.
"Oh, my Gosh...," Steven bergumam. Aku mendengarnya samar-samar.
Senyum lebar terulas di bibirnya. Matanya menatapku dan terlihat takjub. Dia
juga menahan napas ketika pertama kali menghadapku tadi, aku melihatnya.
Di sisi lain, aku pun melakukan hal yang sama. Melihatnya dari depan ternyata
jauh lebih sempurna. Dia berjalan ke arahku, masih dengan senyuman yang menawan. "Damn,
you're so beautiful! Kamu pasti menjadi pusat perhatian, Ame, bukan karena
aku... it is because of your perfect smile."
Steven berdiri di hadapanku. Dia mengangkat tangan, hampir menyentuh
pipiku. Napasku tercekat. Untung saja setelah itu dia mengurungkan niatnya.
Ini sedikit melegakan. "Thanks." Hanya itu yang mampu terucap dari bibirku. Aku berusaha tidak
tersipu dan tetap tenang, meskipun kuyakin kalian bisa mendengar detak
jantungku dari jarak setengah meter.
"Take my hand." Steven mengulurkan tangan, masih saja menatapku. Aku
menyambut tangannya, membiarkan dia membimbingku berjalan menuju
mobil sport berwarna merah menyala dengan lambang BMW di pintu. Ini akan
menjadi malam yang panjang, pikirku.
*** "Shall we dance?" Seseorang mengulurkan tangan padaku saat aku sibuk
tertawa dengan Steven, membahas seorang tante yang mengenakan berlian
dan selendang bulu-bulu. Itu tidak membuat si tante tampak lebih muda,
justru membuatnya seperti kalkun yang lehernya termutasi.
Aku tersentak melihat tangan yang terulur untukku.
Steven langsung berhenti tertawa. Dia memandangku dengan tatapan yang
sulit diartikan, antara tidak rela tapi juga harus rela karena dalam pesta dansa
orang kaya seperti mereka, diperbolehkan mengajak pasangan siapa pun
berdansa. Aku meneguk ludah, bingung.
"Mmm..." Sepertinya kali ini aku menolak saja.
"Go," Steven menyela. Dia mendorong pinggangku lembut ke arah cowok itu.
Dia tersenyum, dipaksakan, aku bisa melihatnya.
Aku menurutinya, meraih tangan yang terulur padaku lagu melangkah ke lantai
dansa. Tubuhku berdansa, tapi pikiranku tidak. Aku terus saja melirik Steven.
Dia menutupi separuh wajahnya dengan tangan yang memegang gelas, sambil
sesekali minum. Aku bisa merasakan matanya mengawasi gerakanku.
Kemudian, dia melirik cewek bergaun pink yang baru saja duduk di kursi di
dekatnya. Dia tersenyum kecil, mengedipkan mata padaku saat kebetulan
tatapan kami berbenturan tadi.
"May I?" Steven mengulurkan tangan pada cewek tadi, membungkukkan
badan sedikit, lalu memamerkan senyumnya yang luar biasa memesona. Aku
merasakan hatiku sedikit mencelos. Kenapa Steven mengedipkan mata padaku
tadi" Dia sengaja mengerjaiku" Atau dia punya rencana lain"
Cewek tadi sempat kaget dengan uluran tangan Steven, tapi kemudian
tersenyum dan langsung melangkah anggun bersama Steven ke lantai dansa.
Mereka terlihat serasi. Sekarang, setelah mereka tidak jauh dari tempatku berdiri, aku lebih tidak bisa
berkonsentrasi. Untung saja lagu pengiring dansa hampir selesai, berarti
penderitaanku bersama orang yang tidak kukenal ini juga hampir selesai. Tapi
penderitaan selanjutnya akan segera datang karena akulah yang akan melihat
Steven berdansa bersama cewek lain. Aku menghela napas kecewa, tapi
berusaha agar pasangan dansaku tidak menyadarinya.
Ame, he's not even yours! Kamu belum lama dekat dengannya, hanya sekitar
tiga bulan. Kamu juga belum seratus persen yakin benar-benar menyukainya.
Jangan melihatnya seperti takut orang lain merebutnya begitu! Dia bukan
milikmu, Ame! Aku berulang kali memasukkan doktrin-doktrin itu ke otakku
sendiri. Berusaha mengontrol diri agar tidak melupakan gerakan-gerakan
dansa ini karena terpengaruh Steven. Pasanganku, entah sudah berapa kali,
mengerutkan alis karena gerakanku yang salah.
Gerakan terakhir dansa ini adalah berputar. Aku mengembuskan napas lega
ketika mendengar melodi penutup lagu itu. Tangan kananku bergerak ke atas,
membiarkan tubuhku berputar melawan arah jarum jam, lalu melepaskan
tangan pasanganku untuk selanjutnya saling membungkuk memberi hormat.
Yah, memang seperti itulah gerakan penutupnya.
Sebenarnya, aku tidak bisa berdansa. Steven-lah yang mengajarkannya padaku
beberapa waktu lalu ketika aku memproklamasikan ketidakbisaanku yang satu
ini secara terang-terangan padanya. Jadi, terpaksa aku mengambil kelas khusus
dansa bersamanya minggu lalu. Hanya dua macam dansa yang sempat
kupelajari, yang menurut Steven paling sering digunakan. Terlalu banyak
belajar juga tidak akan baik menurutku karena aku tidak mungkin bisa hafal
seluruh gerakannya, dan itu akan menjadi bencana.
Seseorang tiba-tiba menerima tanganku tepat ketika aku selesai berputar dan
menarik pinggangku mendekat ke tubuhnya. Semuanya terjadi cepat sekali,
dan aku hanya bisa mengikuti gerakan yang menguasai tubuhku itu. Mataku
membelalak ketika menyadari sekarang wajah Steven-lah yang berada dekat di
hadapanku. Dia tersenyum sambil mengedipkan mata.
"No permission to hold other's hands, beautiful." Steven tertawa kecil lalu
meletakkan kedua tangannya di pinggangku. Aku tidak bisa menahan tawa
karena tingkahnya barusan. Sejujurnya aku terkejut, tapi akhirnya menyetujui
keputusannya. "Lalu kenapa tadi kamu mendorongku?" Aku menaikkan sebelah alisku,
bertanya. "Tidak ada pilihan lain. Melarang pasangan untuk berdansa dengan orang lain
adalah hal tabu dalam pesta dansa. Bukankah aku sudah mengatakan
sebelumnya?" Steven tersenyum.
"Ya. Terus kalo gi..." Aku masih berusaha memprotes tindakannya.
"Because my heart cant stand with it. Okay?" Steven memutus kalimatku. Dia
menatapku, memohon pengertian.
"Hmmm.... Alright. Lalu bagaimana dengan cewek yang kamu ajak dansa tadi?"
Aku tersenyum, sedikit menyindirnya.
"I don't really care about her."
Steven tertawa kecil, aku pun tertawa, kemudian kami melanjutkan dansa
hingga lagu selesai. Berdansa dengan Steven tidak membuatku kewalahan.
Mungkin karena dia sudah tahu sampai seberapa jauh kemampuan
berdansaku, dialah yang berusaha mengimbangiku.
Aku merasa semua orang di ruangan itu memperhatikan kami, atau mungkin
memperhatikan Steven lebih tepatnya. But, so what" Aku tidak melakukan hal
memalukan, dosa, atau sesuatu yang pantas dicatat dalam buku rekor. Aku
hanya berdansa, seperti yang lain, hanya saja kali ini pasanganku luar biasa
tampan. Yah, aku anggap saja mereka iri padaku. Itu bonusku.
*** Aku menahan tangan Steven ketika kami sudah berada di samping mobil. Dia
berhenti lalu memutar badan menghadapku. Aku menahan napas ketika
menyadari sulit sekali membiarkan udara melewati pita suaraku. Aku hanya
ingin berterima kasih padanya. Tapi lidahku kaku, sulit sekali digerakkan.
"Yes?" Steven mulai khawatir melihatku tampak kebingungan. Aku juga bukan
tidak mencoba mengatakannya, hanya saja ini tidak mudah untukku.
Cukup lama kami terdiam. Hingga akhirnya Steven tersenyum, terlihat seperti
ingin mengerjaiku. "Mmm... Is that a thank you" Or I love you?"
Aku tersentak. Pertanyaan Steven benar-benar membuatku hampir tersedak.
Cepat-cepat aku mendorong udara keluar dari tenggorokanku, memaksanya.
"None of them." Aku berkedip-kedip lagi, tampak sekali sedang berbohong.
Steven tertawa. Matanya menyipit dan terlihat bangga sekali dengan
kepanikan yang melandaku. Dia menutupi bibirnya dengan punggung tangan.
"Okay... I know it must be a thank you. You're welcome then." Steven
meredakan tawanya. Dia tersenyum padaku lalu menepuk kepalaku pelan,
tanpa merusak tatanan rambutku.
"Wait! What if is isn't a thank you?" Aku segera membekap mulutku saat itu
juga. Aku bahkan tidak sadar apa yang sudah kukatakan. Aku malu sekali.
Wajahku menunduk, mataku terpejam rapat. Ingin sekali aku memukul-mukul
kepalaku kalau saja itu mungkin.
Steven diam. Aku pun diam, tentu saja tidak bisa mengatakan apa pun setelah keceplosan
tadi. Aku juga tidak mengangkat wajahku, tidak sebelum Steven mengatakan
sesuatu. Membiarkan suasana berubah dengan sendirinya terasa lebih bijak untukku.
"So it must be I love you," akhirnya Steven menjawab, membuatku bisa
kembali bernapas lega. Aku masih menunduk. Bingung harus melakukan apa.
Saraf-saraf di leherku mungkin mulai lelah menunggu perintah selanjutnya dari
otakku. Dan entah bagaimana, ketika sadar, aku sudah mengangguk beberapa
kali atas pernyataan Steven.
Saat itu pula aku merasakan tangan Steven melingkar di pinggangku,
mendekap tubuhku, dan membaringkan kepalanya di atas kepalaku karena
tubuhnya yang luar biasa tinggi.
Dia memelukku! Tapi itu hanya terjadi selama beberapa detik. Kemudian, dia melepaskannya.
"Damn, we're in Indonesia." Steven tertawa.
Aku menatapnya bingung, berpikir sejenak, lalu juga tertawa. "Bagus kalo
kamu sadar." Steven mengangkat daguku, memastikan aku tidak menunduk dan
menghindari tatapannya lagi. "Hey, girl, listen. From now on, you belong to
me." Steven tersenyum lalu mengedipkan matanya padaku.
Aku tertawa mendengarnya. "Akan aku pertimbangkan."
"Hei!" BAB 8 FAKTA DI BALIKNYA "Hhh..." Aku mengembuskan napas panjang dan berat. Sejak seminggu yang
lalu kami menjalani tes akhir semester ganjil. Setiap hari rasanya lama sekali.
Kegiatan setiap hari selalu sama. Pagi bangun tidur, mengerjakan tes di
sekolah, pulang tidur siang, belajar sampai larut, tidur, lalu bangun pagi lagi.
Menjenuhkan! Ini sih namanya "bersakit-sakit dahulu, mati kemudian."
To : Ame Ame, siang ini aku belajar sama Denny. Mungkin baru malam nanti aku sampai
kos-kosan. Tolong sampein ke tante kos, ya. Biar dia nggak kebingungan cari
aku. Thanks. From : Diva Aku mengetik balasan SMS Diva, lalu memasukkan ponsel ke tas. Lagi-lagi aku
mengembuskan napas panjang.
Diva memang beruntung. Dia jauh-jauh dari Bandung ke Semarang, bermaksud
mencari sekolah yang menurutnya lebih nyaman dengan pergaulan yang tidak
"menyeramkan". Dan hanya dalam tempo tiga bulan, dia langsung bertemu
Denny, sang pujaan hati, cowok berkacamata lensa biru yang terkadang
tampak seperti tunanetra.
Mereka berdua cocok dan serasi. Entah bagaimana, Diva berikrar ingin
membawa hubungan mereka sampai pelaminan, yang sukses membuatku
tersedak ketika mendengarnya. Tapi, bagaimanapun, aku hanya berdoa untuk
kebahagiaan sahabatku itu.
Aku mendongak menatap langit. Siang itu begitu terik, matahari sama sekali
tidak bermaksud berlindung di belakang awan. Aku menarik napas dalamdalam lalu memutuskan berjalan pulang sendiri ke kos-kosan. Steven
menghilang entah ke mana sejak selesai tes tadi. Dia sibuk membantu papanya
di kantor, jadi tidak selalu ada waktu untukku. Tapi anehnya, kapan pun aku
benar-benar membutuhkan bantuan, dia selalu ada. Aku mulai curiga dia
memasang kamera CCTV di mana-mana untuk mengawasiku.
Selama menjalani hubungan dengan Steven, aku merasakan ada yang aneh.
Seharusnya kami sering bertengkar karena emosi yang belum stabil dan PMSku setiap bulan. Tapi nyatanya tidak sama sekali. Setiap kali aku hampir
meledak entah karena dirundung tugas dan kelelahan, Steven selalu bisa
mengalah dan mengerti keadaanku.
Begitu pula saat dia sedang "gila" dengan bisnis papanya yang tidak
kumengerti itu. Sampai sekarang, aku belum bercerita pada orangtuaku tentang hubunganku
dengan Steven. Aku belum siap dengan semua pertanyaan yang akan mereka
ajukan dan harus kujawab. Steven sudah beberapa kali menyarankan padaku
untuk segera memberitahu orangtuaku, tapi aku benar-benar belum ingin
melakukannya. Beruntung Steven bisa memahaminya. Dia bilang akan
menunggu sampai aku siap. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk
membawaku menemui orangtuaku.
Seseorang menutup mataku dari belakang. Langkahku terhenti. Aku sempat
panik, tapi ketika instingku menemukan aroma yang familier, aku tersenyum.
"Mungkin kamu perlu ganti parfum sebelum melakukan ini, Steven Williams."
Aku tertawa kecil. Steven pun tertawa lalu melepas tangannya. Dia mengambil dua langkah dan
kini berdiri di hadapanku.
"Capek?" Steven menatapku, dia tersenyum.
Aku mendongak dan menatapnya. Terkadang aku bisa sangat merindukan
senyum itu, padahal baru dua hari yang lalu aku bertemu dengannya.
Terkadang hal ini kuanggap kabar baik, tapi lebih sering kabar buruk, karena
aku merindukan orang yang kesibukannya luar biasa.
"Nggak." Aku tersenyum dan menggeleng sedikit, berbohong.


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Steven tertawa, menyadari kebohonganku tentu saja. Dia kemudian menarik
tangan kiriku, meletakkan sesuatu di dalamnya. Ketika aku mengecek apa yang
kini di tanganku, aku melihat dua bungkus Forrero Rotcher di sana.
"Thanks." Aku tersenyum lalu segera membuka satu bungkus dan melahapnya.
"Besok fisika. Butuh bantuan?" Steven bertanya padaku setelah aku
menghabiskan cokelat pertamaku dan mulai membuka yang kedua.
Aku berpikir sejenak. "Indeed." Aku tersenyum sambil memasukkan cokelat itu
ke mulutku. "Semoga kamu nggak bosan dengan rumahku." Steven tertawa lagi lalu
berbalik menarik tanganku menuju mobilnya.
*** "Steven, istirahat sebentar, aku capek." Aku menarik napas panjang lalu
bersandar di kursi. Mataku lelah sekali melihat angka-angka itu. Aku melepas
kacamataku lalu memijit-mijit tulang hidungku.
"Pusing?" Steven juga melepas kacamatanya.
Aku mengangguk, mengakui kepalaku yang berdenyut-denyut. Kemudian
Steven meraih tangan kananku dan memijit bagian yang rendah antara ibu jari
dan telunjukku. Sakit sekali ketika pertama kali Steven menekannya, sarafsarafku langsung menolak. Tapi setelah pikitan kesekian, aku merasakan
keadaan kepalaku mulai membaik. Saraf di wajah dan pundakku yang tadi
menegang karena nyeri juga perlahan mengendur.
"Better?" Steven bertanya lagi. Aku langsung menyadari sudah membuatnya
khawatir, terlihat sekali dari matanya.
"Don't worry." Aku mengibaskan tangan, mengangkat poniku ke atas, lalu
seperti biasa melepaskan dan membiarkannya berantakan.
"Mmm... setelah tes ini, aku punya banyak kejutan untukmu. Yah, aku tahu
sekarang bukan kejutan lagi karena aku mengatakannya. Tapi melihatmu
tersiksa seperti ini bukan pemandangan enak untukku." Steven mengangkat
bahu lalu menghela napas.
Aku tertawa kecil melihatnya terpaksa membuka salah satu kartu trufnya.
"Let's rush this," kataku, lalu kembali memakai kacamataku.
*** Hari ini kami selesai tes. Steven memintaku langsung pulang untuk bersiapsiap. Dia berpesan agar aku memakai kaus, jaket, dan celana panjang warna
gelap, tapi tidak mengatakan apa alasannya. Aku pun hanya menurutinya dan
tidak berpikir macam-macam. Dia menjemputku dengan Accord hitamnya.
Pakaiannya pun bernuansa gelap dan hampir sama denganku. Dia bertingkah
agak aneh hari ini. Tapi aku tidak berusaha mengorek apa pun. Aku percaya dia
punya alasan untuk segalanya.
Steven mengurangi kecepatan ketika deretan rumah besar menjulang di
samping kiri mobil. Aku mengernyit, panik bercampur bingung, ketika Steven
memastikan rumah itu adalah tujuan kami.
Rumah Rama! Kenapa harus ke sini"!
"Jadi ini kejutannya?" Aku melongo. Aku benar-benar tidak menduga kami
akan ke sini. Mungkin aku perlu sedikit tamparan agar yakin bahwa aku tidak
bermimpi. Steven menyentuh tanganku, membuatku tersentak dan menatapnya. "Apa
pun yang kamu lihat di sana, jangan menangis. Berjanjilah." Dia
mengatakannya dengan lembut, membuatku mengurungkan niat untuk
bertanya. Aku hanya mengangguk. Steven pun tersenyum dan kami berdua
melangkah turun dari mobil, memasuki rumah besar itu.
*** Seorang pria keluar dari gerbang besar itu dan melihat siapa yang menekan
bel. Di tubuhnya melekat seragam lengkap seorang satpam. Ketika melihat
Steven, dia tersentak dan buru-buru membuka lebar gerbang.
"Maaf, saya tidak tahu Anda berencana datang sore ini." Dia membungkuk,
memberi hormat pada Steven. Dia melirik mobil Steven yang diparkir di depan
gerbang. "Apakah saya perlu memasukkan mobil ke garasi?"
Aku melotot. Kenapa dia terlihat tunduk pada Steven" Dia bertindak seolaholah Steven-lah bosnya. Aku yakin beberapa bulan yang lalu satpam itu masih
orang yang sama, tetapi dia tidak bersikap begitu pada Steven. Apa yang
sebenarnya sudah terjadi selama ini"!
"Biarkan saja mobil saya di situ. Saya perlu bertemu Rama. Dia di dalam?"
Steven menjawab tenang, tidak sengaja menunjukkan keangkuhan.
"Iya. Tapi dia tidak sendiri." Satpam itu menjawab dengan nada bicara yang
aneh, seperti berusaha menyampaikan sesuatu yang tersirat pada Steven.
Steven hanya mengangguk, kemudian menggandengku masuk. Aku pun
mengikutinya, sedikit kaget karena lamunanku dibuyarkannya. Aku sempat
mengangguk dan tersenyum kecil pada satpam itu ketika tatapan kami beradu.
Dia tampak mengenaliku, tentu saja karena aku memang pernah menginjakkan
kaki di rumah ini. Tapi ada satu lagi makna di balik tatapan itu. Sayang sekali,
aku tidak tahu apa maksudnya.
Steven mendorong pintu hingga menimbulkan suara yang cukup berisik.
Beruntung sekali pintu itu tidak dikunci, hingga sekarang kami bisa langsung
melangkah masuk ke ruang tamu.
Ruangan ini gelap, tidak ada cahaya yang masuk. Semua jendela dan tirai
ditutup. Tak satu pun lampu dinyalakan. Aku yang tidak memakai kacamata
jadi kesulitan menyesuaikan keadaan ruangan karena sumber cahaya hanya
dari cahaya matahari yang terhalang tirai. Tapi kemudian, mataku samar-samar
menangkap bayangan yang cukup jelas. Sepertinya aku melihat sosok Rama.
"Steven, apa itu Rama?" Aku merapatkan tubuhku pada Steven, lalu berbisik
sangat pelan. "Ya. And his friends," jawab Steven, lalu meneruskan langkah menuju
kumpulan orang-orang di sana. Aku terus menyipitkan mata, berusaha melihat
sejelas mungkin. Benar-benar menyesal dengan keputusanku meninggalkan
kacamata di lemari. Kami sudah cukup dekat dengan orang-orang. Hanya berjarak sekitar empat
meter. Steven berhenti sejenak, mengambil sebotol Jack Daniel's di meja ruang
tamu. Aku bisa melihat Rama dengan jelas sekarang. Dia berada di ruang
keluarga bersama dua cewek cantik yang berpakaian sangat minim. Cewekcewek itu bergelayutan pada Rama sambil tertawa-tawa centil. Aku jijik sekali
melihatnya. Lebih daripada itu, ketika melihat Rama juga tertawa-tawa, aku
bertambah mual. Benarkah Rama menyewa... wanita murahan" Apakah
otaknya sudah tidak waras" Dia bahkan baru 17 tahun! Apa dia sudah
melupakan moral"! Rama tidak melihat kami. Steven menggenggam botol itu di tangan kanannya
yang bebas. "Good afternoon, Rama! And... Hei, girls!" Steven mengangkat
botol lalu berteriak lantang dengan senyum di wajahnya. Aku sedikit tersentak
dengan tindakan Steven, tidak tahu apa rencananya selanjutnya. Kemudian aku
menoleh, memperhatikan bagaimana Rama akan bereaksi.
Rama menoleh ke kanan, masih sempat tertawa. Kedua cewek itu melihat ke
arah kami. Tapi ketika Rama menyadari bahwa Steven-lah yang memanggilnya,
kepanikan langsung memenuhi wajahnya. Dia berdiri, melepaskan diri dari
kedua cewek itu. Kedua cewek itu kehilangan senyum karena perubahan sikap Rama yang tibatiba.
"What the hell are you doing here"!" Rama berteriak, menutupi kegugupannya
yang jelas terasa. Aku bergidik ketika Rama mengucapkannya.
Setelah sekian lama, suaranya terdengar jauh berbeda.
Steven tertawa kecil. "Oh c'mon, Rama. What am I doing in my own house"
Are you kidding me?" Steven menarik tanganku sedikit, memberiku kode untuk
mendekat dan berlindung di balik punggungnya. Aku menurutinya.
Rumah Rama kini menjadi milik Steven" Kenapa Steven tidak pernah
menceritakannya" Apa saja yang sebenarnya terjadi selama ini tanpa
sepengetahuanku" Kenapa tiba-tiba semuanya tampak begitu rumit" Dan
kalau benar ini rumah Steven, kenapa Rama masih tinggal di dalamnya"
Apakah terjadi kesepakatan" Ah, ini membuatku gila!
Rama terlihat gugup, tidak bisa membalas. Kakinya bergerak ke sana kemari,
mencoba mencari cara melakukan sesuatu. Tapi kemudian dia berhenti,
menyipitkan mata ke arah Steven. "Kamu membawa orang lain." Suaranya
tajam, mencurigai Steven.
"Ame, apa pun yang terjadi, jangan lepas tanganku," Steven berbisik padaku.
Matanya melirikku. Aku hanya mengangguk. Kemudian Steven menegakkan
kepalanya lagi, menatap Rama. "Kamu mau bertemu dengannya?"
"If needed," Rama menjawab.
"Oke, selama kamu bisa memastikan tidak akan bergerak dari tempatmu
berdiri sekarang," Steven mengancam.
"Deal!" Rama sepakat. Kemudian Steven menggerakkan tangan kirinya,
menuntunku keluar dari balik punggungnya. Aku menunduk, tidak yakin
apakah harus melihat wajah Rama atau tidak, aku takut mual dibuatnya.
"AMOR!" Rama memekik. Tanpa sadar dan lupa pada janjinya, dia langsung
mengambil langkah lebar mendekatiku. Aku memejamkan mata rapat-rapat
ketika menyadari tindakannya itu. Steven mundur beberapa langkah
mendorongku mengikutinya.
"I said not to move!" Steven membentak Rama. Ini seruan paling mengerikan
yang pernah kudengar. Aku bergidik ketika mendengarnya. Selama ini Steven
selalu berhasil mengendalikan emosinya. Tapi kali ini sepertinya dia gagal.
Wajahnya memerah dan napasnya menjadi lebih cepat. Tangannya pun
menggenggamku lebih erat.
Rama berhenti pada jarak dua meter dari kami. Aku bisa mencium bau alkohol
yang memuakkan pada jarak ini. Matanya menatap nanar padaku. Rambutnya
acak-acakan. Kemejanya tidak dikancingkan dengan rapi. Celananya pun kusut.
Entah sudah berapa hari dia menjauh dari jamahan kamar mandi.
"I miss her...," Rama berbicara pada Steven, namun matanya masih tertuju
padaku. Aku mulai mencoba memberanikan diri menatap matanya. Rasanya sudah
lama sekali tidak mendengar seseorang memanggilku "Amor." Kini, saat
bertemu dengannya, dia tampak sangat asing bagiku. Dari semua bagian
tubuhnya, hanya satu yang bisa membuatku merasa pernah mengenalnya,
yaitu matanya. Tatapan itu seperti saat pertama kali dia memanggil namaku.
Ya, aku masih mengingatnya. Itu pertama kalinya aku merasakan keberadaan
namaku yang unik sedikit mengusikku.
"Aku pernah memberimu kesempatan, Rama. Tapi kamu menyia-nyiakannya.
Ingat?" Steven mulai bisa mengendalikan diri. Nada bicaranya kembali tenang
seperti biasa. Dia pun mulai melonggarkan genggamannya.
"Aku mohon, Steven. Biarkan aku sekadar menyentuh tangannya kali ini."
Suara Rama serak, matanya terlihat merah. Aku berusaha menyipitkan mata,
meneliti wajah itu. Benarkah Rama menangis"
Detik berikutnya, aku tersentak, napasku tercekat. Air mata Rama benar-benar
jatuh ke pipinya. Genggaman tanganku pada Steven mengendur. Steven
menyadarinya. Dia memalingkan tubuh menghadapku.
"Steven, boleh aku..." Aku tidak menatap Steven. Mataku masih terpaku pada
Rama. "Yo can do anything you want, but please don't beg me to release your hand.."
Steven memperkuat cengkeramannya.
Aku mengangguk menyetujui permintaan Steven. Kini aku berdiri di
sampingnya, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, dan
meyakini bahwa tindakanku kali ini tepat, memberi Rama satu kali lagi
kesempatan... "Jawab aku, Rama, apa alasan untuk ini semua?" tanyaku dengan tenang dan
tegas. Rama menitikkan air mata lagi. Dia mengambil beberapa langkah pendek untuk
semakin dekat padaku. Aku merasakan Steven mengencangkan tangannya,
berusaha mengendalikan diri.
"Aku pernah mencoba mengatakan yang sejujurnya padamu, Amor. Mamaku
sakit dan papaku pergi. Tapi waktu itu kamu tidak memercayaiku. Bahkan
kamu lebih memilih Steven daripada aku...
"Aku semakin terpuruk ketika sadar kamu lebih memilih orang lain. Jadi, aku
putuskan untuk menghilangkanmu dari hidupku. Mungkin dengan tidak pernah
melihatmu, itu akan sangat membantu. Tapi aku salah. Amor... tidak bisakah
kamu..." "Jangan membuatku merasa menjadi satu-satunya pihak yang harus
bertanggung jawab atas kehancuranmu, Rama. Aku ingin membantumu lepas
dan masalah, tapi sepertinya aku salah. Kamu sendiri yang melibatkan diri
dalam masalah-masalah itu. Dan sekarang aku sendiri yang akan pergi dari
hidupmu, kamu tidak perlu repot-repot menghindar dariku." Aku
menjawabnya dingin. Hatiku tidak lagi tergerak seperti beberapa menit yang
lalu. "Amor, kumohon... jangan..." Rama berjalan mendekat lagi, berusaha
meraihku. Aku segera menarik tangan Steven agar berdiri di depanku lagi,
melindungiku. "Rama... sudah, jangan diurusin. Kan masih ada aku sama Mita." Salah satu
dari cewek tadi berbisik mesra dan menggelayuti lengan kiri Rama di depanku.
Bulu kudukku berdiri seketika.
"Aku tidak akan mengusir kalian dari sini, tapi jangan buat cewek di sampingku
ini mual karena tingkah kalian," Steven berkata dingin. Cewek tadi kemudian
menyibakkan rambutnya ke belakang, lalu melangkah kesal menjauhi Rama.
Sejujurnya, aku senang mendengar perkataan Steven barusan. Tapi mungkin
sedikit tidak pas jika aku tersenyum sekarang.
Rama masih menatapku dengan tatapan memelas dan memohon pengertian.
Tapi kurasakan hatiku sudah tertutup untuknya. Untuk terakhir kali, aku
mencatat wajah menyedihkan itu.
Tapi sesuatu menarik perhatianku, aku melihat keringat membasahi dahi,
wajah, dan kemeja Rama. Aku mengamati lebih jeli. Napas Rama menjadi lebih
cepat dan tersengal-sengal. Matanya meredup dan memerah.
Napasku tercekat dan jantungku berdetak cepat.
Apakah mungkin Rama menyentuh obat-obatan terlarang" Aku berusaha
melawan pikiranku sendiri.
"Rama... kamu ngobat?" Aku berusaha menekan suaraku agar tidak terdengar
menuduh, tapi juga meyakini apa yang kuucapkan.
"Ame, kita pergi sekarang. Masih banyak yang harus dikerjakan." Steven
berbalik, tangan kanannya memutar pinggangku agar mengikuti gerakannya.
Aku masih belum bisa meredakan rasa penasaranku.
*** Jika kalian tahu bangunan apa yang sekarang berdiri di hadapanku, kalian akan
bertanya-tanya sepertiku. Kejutan pertama tadi sudah cukup sukses
mengejutkanku, tapi kali ini Steven sukses lebih besar lagi. Dia membawaku ke
Rumah Sakit Jiwa! "Untuk apa?"
Steven tidak menjawab. Dia mengeluarkan handphone dan berbicara pada
seseorang, "Antar dia ke rumahnya sebelum aku kembali ke sana. Waktumu
kurang-lebih satu jam," Steven berbicara tegas, memerintah, dan sedikit
menekan. "Ada yang harus kamu kenal di dalam sana. Inilah alasanku memintamu
memakai pakaian gelap. Gangguan jiwa membuat dia berpikir semua orang
harus ikut berkabung, seperti apa yang dirasakannya. Jika tidak, dia akan
histeris, Ame, dengar, ini tidak akan mudah. Tapi aku yakin kamu bisa
mengatasinya." Steven tersenyum dan mengusap rambutku lembut.
"Oke." Aku pun hanya tersenyum. Otakku ma
sih melayang ke sana kemari,
menebak-nebak siapa yang akan kutemui di dalam sana.
Kami melangkah turun dari mobil, berjalan masuk, lalu menuju meja informasi.
"Ibu Josephine Christian," Steven menyebutkan sebuah nama. Petugas itu
membuka komputernya lalu mengetikkan beberapa huruf ke dalamnya.
"Mari ikut saya." Petugas membimbing kami berjalan menelusuri rumah sakit.
*** "Ini ruangannya. Kalian hanya punya waktu lima menit, tidak boleh lebih dari
itu." Petugas membukakan pintu yang semula terkunci. Ruangan ini berada di
bagian lorong paling pojok dan tersembunyi. Di pintunya ditempelkan tulisan
ISOLATED. Kami berdua melangkah ke dalam ruangan. Aku bergidik ngeri ketika
menyadari ruangan itu hanya menggunakan lampu temaram sebagai
penerangan. Awalnya aku kesulitan menemukan apakah ada orang di dalam
sana. Tapi akhirnya aku melihat sesosok wanita berusia sekitar 40 tahun yang
duduk termenung di dekat jendela bertirai abu-abu dan tidak tertembus
cahaya. Ruangan ini benar-benar seperti yang kulihat dalam rumah hantu di
TV. "Selamat malam, Bu. Boleh kami masuk dan bertanya sesuatu?" Steven
mengetuk pintu yang kini berada di sampingnya, di belakang kami petugas
masih terus berjaga dan mengawasi.
"Saya sedang sedih. Anak saya baru saja meninggal dibunuh ayahnya. Saya
tidak ingin kalian ada di sini. Silakan keluar," ibu itu menjawab dengan sangat
tidak bersahabat. Nada bicaranya datar dan dingin. Matanya memandang
kosong ke luar jendela, tidak memedulikan kami. Aku sedikit mensyukuri itu
karena aku tidak mungkin tanah melihat matanya.
Aku merinding. Bulu kudukku berdiri. Tanganku mencengkeram Steven sangat


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

erat. Keringat dingin muncul di sekujur tubuhku. Napasku memburu, detak
jantungku menjadi sangat cepat.
"Saya bisa melakukan apa saja jika kalian tidak juga meninggalkan ruangan ini.
Jadi, silakan kalian berpikir bijak sebelum terjadi sesuatu," dia kembali
melanjutkan. Nadanya masih tetap dingin dan menekan. Rambutnya yang
panjang dan kusut sedikit bergoyang. Ia bermaksud memalingkan wajah dan
melihat kami... Aku tidak bisa lagi, aku tidak tahan!
Aku melepaskan tangan Steven dan langsung berlari keluar dari ruangan
melewati petugas tadi. Aku bisa ikut gila bila berlama-lama dalam ruangan itu.
Aku mengambil jarak cukup jauh meninggalkan ruangan, lalu bersandar pada
tembok, mencoba mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk menenangkan
diri. Tanganku mengacak-acak rambutku dan menutup mataku, berusaha
melupakan kejadian tadi. Steven sudah benar-benar mengejutkanku kali ini.
"Forgive me." Steven tiba beberapa detik kemudian dan memelukku.
Tangannya merengkuh pundak dan kepalaku lalu mendekap tubuhku. Aku
ingin sekali marah padanya, tapi dia bahkan tidak melakukan kesalahan apa
pun. "Forgive me," ulang Steven. Aku menggangguk dalam pelukannya. Tanpa sadar
aku pun menangis. Sekuat tenaga aku berusaha menahannya. Tapi pelukan ini
melemahkanku, membuatku merasa sangat nyaman untuk meminta
perlindungan. "Kamu nggak salah. Aku yang penakut." Aku berusaha mengurangi rasa
bersalahnya. *** Kejutan itu belum berakhir. Masih ada satu kejutan lagi.
Steven memang sudah memeringatkanku tentang kejutan ketiga yang akan
menjadi puncak acara hari ini. Tapi apakah benar harus di tempat ini lagi"
Kami kembali ke rumah Rama. Kami melangkah ke dalam rumah. Matahari
mulai tenggelam, memancarkan sinar jingga yang membuat seluruh jiwa yang
sibuk tahu bahwa saat untuk beristirahat hampir tiba. Tapi sepertinya tidak
begitu dengan rumah ini. Terakhir kami tinggalkan, rumah ini gelap dan rapi.
Tapi sekarang, semua lampu dinyalakan walaupun seluruh tirai tertutup dan
berantakan! Beberapa sofa bergelimpangan, koran dan CD di dekat TV tersebar
di karpet, beberapa kemarik berubah menjadi kepingan dan berserakan di
lantai, bahkan di beberapa tempat samar-samar aku lihat bercak darah.
"Dasar anak liar!" Teriakan itu merusak gendang telingaku, membuatku
bergidik ketika mendengarnya. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh
ruangan dan mencoba mencari sosok yang mengucapkan sumpah serapah itu.
Tapi aku tidak menemukan siapa pun. Ini membuatku takut.
"Ugh!" Rintihan itu terdengar bersamaan dengan dilempar dan
dihantamkannya pemuda seusiaku ke tembok dari balik sekat ruangan yang
berupa kaca buram. "Anak tidak berguna!" Pria tua berperut buncit dan berambut putih berjalan
menghampiri anak itu, mencekiknya ke tembok hingga anak itu terbatukbatuk.
Awalnya aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa pemuda itu karena cacat
mata miopiku. Tapi setelah Steven mengajakku mendekat tadi, aku langsung
bisa memastikan itu Rama!
"Steven, siapa dia"!" Aku panik. Tanganku gatal ingin memukul orang tua itu
dari belakang. Tapi otakku menyadarkanku untuk berpikir dua kali. Pertama, ini
bukan urusanku. Kedua, orang tua itu berkali-kali menyebut "anak" pada
Rama. Kalau dugaanku benar... itu membuatku semakin tidak berhak ikut
campur dalam urusan keluarga ini.
Steven tidak menjawab. Dia fokus pada apa yang dilihatnya. Aku melihat
tangannya mengepal, menahan emosi. Mungkin dia juga merasakan hal yang
sama denganku. "Bunuh aja aku, Pa, bunuh... Aku tahu itu satu-satunya cara buat Papa senang.
Aku juga nggak mau hidup begini terus..." Rama merintih dan menangis. Katakatanya menyayat perasaanku. Pria itu menghadiahkan Rama dengan
beberapa pukulan lagi di wajah dan perut Rama. Kali ini, aku memercayai apa
yang kulihat. Rama benar-benar dalam masalah besar!
Aku menarik napas, mengembuskannya, menarik napas lagi, dan
mengembuskannya lagi. Mati-matian aku menahan diri untuk tidak melakukan
berbagai rencana jahat yang terlintas dalam benakku. Tapi aku remaja 17
tahun dengan emosi labil dan keberanian memuncak tanpa perlu memikirkan
akibat yang ditimbulkannya. Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak
menghentikan tindakan gila itu!
Akhirnya, dengan langkah berdebum, aku melangkah menghampiri Rama. Aku
merasakan Steven tersentak ketika aku mengambil langkah pertamaku. Dia
segera bergerak mengikutiku.
"Anda bisa membunuhnya!" Aku mendorong pria itu menjauh dari Rama
sekuat tenaga. Awalnya kupikir itu tidak akan berhasil karena tubuhnya jauh
lebih besar dibandingkan aku. Tapi sepertinya adrenalin mematahkan
dugaanku. Pria itu terguling dengan wajah kaget dan tidak siap menerima
serangan mendadak dari belakang.
"Amor?" Rama memanggilku. Aku mengalihkan pandangan dari orang tua itu
lalu menghampiri Rama. Dia meringkuk sambil memegangi perut. Wajahnya
penuh luka, lebam, dan darah. Tidak tampak lagi Rama yang tampan dan
dipuja-puja cewek satu sekolah. Aku menyentuh pipinya yang berdarah, dia
merintih. Semua kekesalanku padanya menguap saat itu juga. Ternyata dia tidak
berbohong. Dia hanya tidak tahu cara mengungkapkannya padaku.
Pria itu berusaha bangkit dari tempatnya. Dia berjalan mendekatiku. Napasku
tercekat membayangkan apa yang akan dilakukannya padaku.
"Jangan menyentuhnya atau kubuat hidupmu lebih buruk daripada ini." Steven
berdiri di belakangku, melindungiku dari orang tua ini. Aku tidak lagi tersentak
dengan apa yang akan dikatakannya. Aku sudah mulai bisa memahami
keluarga Rama berada di bawah kendali Steven. Aku tidak tahu bagaimana itu
bisa terjadi dan apa alasannya. Tapi aku yakin tidak lama lagi aku akan
memahami segalanya. "Siapa kalian"! Jangan ikut campur!" Orang tua itu mengayunkan tangannya,
ingin menghantam wajah Steven. Tapi Steven menangkis, lalu menelikung
tangan orang tua itu, hingga aku bisa mendengar rintihan yang masih penuh
keangkuhan. Aku berbalik, berdiri, lalu menatap berani pada orang tua itu. Steven tidak
mungkin membiarkan orang lain menyakitiku. Steven tidak mungkin kalah
hanya dengan orang tua gila seperti dia.
"Saya Steven Williams, putra tunggal John dan Jessica Williams. Ingat?" Steven
berucap tenang. "John... John Williams"!" Pria tua itu tergagap. Wajahnya memucat dan panik.
"Rumah ini milikku dan kau menghancurkannya." lanjut Steven. "Rama anak
Anda dan Anda menghajarnya. Tingkah laku Anda membuat saya mulai
mempertimbangkan cara untuk membuat Anda membusuk selamanya di
penjara." "Apa maumu"!" Orang tua itu masih saja tidak menyerah. Ternyata dia masih
punya harga diri. Atau mungkin lebih tepatnya keberanian untuk mencoba
mempertahankan harga dirinya yang sudah jelas hancur lebur.
"Mauku?" Steven melirikku. Dia mengangkat alis, mengisyaratkan apakah aku
ingin menyampaikan sesuatu. Aku mengangguk dan tersenyum puas karena
Steven tepat membaca isi pikiranku kali ini. "Dengarkan gadis ini." Steven
memaksa tubuh orang tua yang ditelikungnya tegak dan melihatku.
Aku menarik napas panjang dan berusaha mengendalikan kepalan tanganku
agar tidak melayang ke pipinya, lalu memasang senyum seinsah yang bisa
kuberikan. "Saya Ame, teman Rama. Ini pertemuan pertama kita, tapi sayang
sekali harus dalam suasana seperti ini. Hanya ada satu hal yang ingin saya
sampaikan. Mungkin akan sangat bijak jika Anda mendengarkan dengan
saksama." Aku berhenti sebentar, berusaha menenangkan diri lagi. Wajah
angkuh itu tidak mau menatapku. Dia terus-menerus memutar bola matanya
dan meremehkanku. Sesekali dia menatapku, lalu berpaling lagi.
"Saya tidak yakin apakah Anda pantas disebut sebagai Ayah." Aku berhenti
sejenak. Aku tahu perkataanku itu sangat tidak sopan untuk dikatakan pada
orang yang lebih tua. Tapi aku tidak peduli lagi. Orang seperti dia harus
dihentikan, bukan disadarkan.
"Tuhan akan berpikir ratusan kali untuk menciptakan seorang anak jika harus
lahir dari ayah seperti Anda. Mungkin Tuhan juga sudah ribuan kali berpikir
apakah akan menyambung napas Anda setiap pagi. Anda bahkan tidak
mencintai darah daging Anda sendiri. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa
hidup hanya sekali dan bukan untuk menyiksa jiwa lain." Aku tersenyum,
mengakhiri pidato singkatku.
Steven hanya tertawa kecil lalu membuat tubuh pria tua itu membungkuk
semakin rendah. "Tiga bulan dipenjara belum mengubahmu, Stefanus, kurasa
kau memang butuh hukuman seumur hidup."
Aku mendengar rintihan lagi, berasal dari seseorang di belakangku. Aku cepatcepat berbalik lalu mendekati Rama. Rama menggelepar di tanah, wajahnya
pucat, napasnya tersengal-sengal, tubuhnya dingin dan basah.
Dia sakau! Aku panik, tidak tahu harus bagaimana. Seluruh tubuh Rama gemetar hebat.
Dia membentur-benturkan kepalanya ke tembok. Aku tidak tega melihat harus
ada darah lagi yang mengucur dari tubuhnya. Aku menariknya secara paksa
menjauh dari tembok itu. Kini aku berteriak kesakitan dan meringkuk di lantai.
"Ame, ambil dua alat suntik di saku kanan jaketku!" Steven berseru
memanggilku. Aku segera mematuhi perintahnya. "Yang merah untuk pria tua
ini. Tancapkan di mana saja. Tenang, itu bukan euthanasia." Dia memintaku
melakukannya. Aku mengangguk. Dengan mata terpejam aku menancapkan jarum ke lengan
ayah Rama, lalu memaksa cairan yang ada di dalam suntikan memasuki
tubuhnya. Selang beberapa detik, ayah Rama melemah dan jatuh tak sadarkan
diri. "Berikan yang biru padaku." Steven mengulurkan tangan, meminta jarum
suntik di tangan kiriku. Steven langsung mengambil langkah lebar menghampiri
Rama. Dia membuka penutup jarum suntik, lalu memastikan alat itu bekerja
dengan baik. Tubuhnya merendah, kedua lututnya menahan tubuh Rama agar
tidak bergerak, tangan kirinya memaksa leher dan kepala Rama agar diam, lalu
tangan kanannya menyuntikkan jarum itu ke leher Rama. Seperti pria tadi,
Rama tidak sadarkan diri hanya dalam hitungan detik. Setelah memastikan
Rama tidak bergerak, Steven menarik napas panjang lalu berdiri.
Dia mengambil ponsel, menghubungi seseorang. "Bawa Stefanus kembali ke
penjara dan antar Rama ke panti rehabilitasi."
Hanya itu yang dia katakan, lalu mengakhiri telepon.
"We're done, honey. Let's go." Steven tersenyum padaku yang masih sedikit
syok. Dia kemudian menggandeng tanganku dan berjalan menuju pintu keluar.
BAB 9 JAWABAN "Boleh aku bertanya sesuatu?" Aku bersandar pada punggung Steven, tiba-tiba
semua masalah yang merundungku seperti menguap. Kehangatan yang selalu
dia berikan membuatku bisa memejamkan mata dan menarik napas lega,
memberi sedikit ruang untuk diriku sendiri.
"Sure." Suaranya lembut sekali ketika mengatakannya.
"Kapan kamu akan mulai menjelaskan semuanya, Steven" Apa kamu sengaja
agar aku menginap lagi untuk ketiga kalinya di rumahmu" Kalau orangtuaku
tahu soal ini, aku tidak yakin tahun depan aku bisa ikut bersamamu." Mataku
terpejam, dan merasakan kenyamanan ini mulai membuatku mengantuk. Aku
menguap lagi. Steven terus menghindar setiap kali kuminta kejelasan tentang hari ini.
Aku berusaha mati-matian menahan diri agar tidak membahas mengenai Rama
hingga kami tiba di rumahnya. Steven memintaku menunggu di ruang keluarga.
Aku pun menurut. Tapi setelah tiga puluh menit, Steven tidak juga keluar dari
kamar, aku mulai merasakan kejanggalan.
Selama itu dia berada di dalam sana tanpa suara. Apa yang sebenarnya sedang
dia lakukan" Ketika akhirnya dia keluar kamar, aku sudah sangat kelelahan. Bagaimana
tidak, aku menunggu selama dua jam sendirian di ruangan ini. Hanya ditemani
beberapa pelayan yang bergantian menawariku makanan dan minuman, dan
aku yakin Stevenlah dalang di balik itu.
"Kalo gitu, jangan sampai mereka tahu." Steven tertawa. Dia kemudian
mencondongkan tubuhnya terlalu ke depan sehingga membuatku yang sudah
lunglai ini tidak siap dan limbung ke belakang. Dia berbalik dan untung saja,
tangannya cepat menangkap kepalaku sebelum jatuh membentur karpet.
Wajahnya kini berada di atas wajahku, tersenyum penuh kepuasan setelah
mengerjaiku barusan. "Steven, berhenti mengerjaiku atau aku bersumpah nggak akan pernah
menginjakkan kaki di rumahmu lagi." Aku masih pada posisi tubuhku yang
berbaring di lantai dengan kepala sedikit terangkat dan menatap Steven
jengkel dengan kelopak mata hampir menempel.
Steven tidak menjawab. Dia hanya tersenyum penuh arti. Aku merasa apa yang
akan terjadi berikutnya tidak beres. Tubuhku tiba-tiba merinding. Saraf mataku
kembali terang. "Aku beberapa kali mempertimbangkan bagaimana ciuman pertamaku akan
direbut oleh gadis yang membuatku melakukan semua kegilaan ini." Dia
tertawa kecil lalu mengangkat kepalaku dan membiarkan tubuhku tegak.
"Jangan membahasnya, Steven, menjijikkan." Napasku tercekat mendengar
perkataan Steven barusan. Jujur saja aku sempat memikirkan kemungkinan itu
akan terjadi dan sudah bersiap-siap menghantam kepala Steven dengan bantal
kecil di dekat tanganku. Tapi, untungnya Steven masih waras dan tidak
melakukannya. "Hei, itu hal paling normal untuk dipikirkan remaja seusia kita, apalagi cowok
sepertiku." Steven tertawa lagi. "Hanya saja, aku tidak akan melakukannya
sebelum usia 21 tahun. Lagi pula, sepertinya aku yang akan merampas ciuman
pertama milik gadisku nanti dan bukan sebaliknya. Sayang sekali aku tidak
memikirkan kemungkinan itu, sehingga tidak berusaha menemukan momen
tepat untuk melakukannya selama ini." Dia mengedipkan mata.
"Steven!" Aku memekik lalu benar-benar mengambil bantal kemudian
memukulinya. Steven tertawa terbahak-bahak dan beberapa kali memohon
ampun. Kuakui pipiku memanas. Itu karena aku senang mendengar
pengakuannya. Aku merasa lebih aman bersamanya tanpa waswas dia akan
melakukan tindakan yang menurut kebanyakan remaja "sudah biasa
dilakukan". Selain itu, dia menyiratkan bahwa hubungan kami akan tahan
lama. Hatiku mencelos ketika mendengarnya, itu menyentuhku.
"Cukup bercandanya. Sekarang jelaskan!" Aku mencubit pinggangnya keraskeras ketika dia masih tertawa.
"Ampun, ampun, sakit, Sayang..." Dia merintih lalu mendorong tanganku, tetap
dengan gerakan lembut. Aku bergidik ketika dia memanggilku seperti itu.
Hanya Diva yang pernah memanggilku seperti itu. Tapi terasa berbeda ketika
Steven yang mengatakannya, tentu saja.
Aku berusaha tetap tenang dan tidak menunjukkan kepanikan yang sempat
merasukiku tadi. Di luar dugaan, Steven menghela napas panjang lalu mengambil gelas berisi air
mineralnya. "Bisakah malam ini kita melepaskan diri dari makhluk yang sudah
menghantuiku selama lebih dari tiga bulan?" Steven memandangku. Matanya
memang sedikit memerah dan terlihat lelah.
Aku sedikit merasa bersalah melihatnya. Steven pasti menghabiskan banyak
waktu dan tenaga untuk mencari tahu mengenai semua yang terjadi pada
Rama, entah itu sulit atau mudah untuk dilakukan. Aku tahu, dia butuh tenaga
yang cukup besar untuk melawan keinginannya "membunuh" Rama, dan
menjadi semakin sulit ketika dia harus mengorek informasi tentang kehidupan
rama, yang sama sekali tidak menguntungkannya.
Kini aku benar-benar sadar bahwa perkataanku selalu menjadi api bagi Steven.
Dia tidak pernah menganggapnya angin lalu. Semua tindakannya hari ini
menjawab ratusan pertanyaan dalam benakku mengenai Rama. Tapi kepingan
puzzle itu perlu disatukan. Dan aku tidak mau waktu menghapus satu per satu
kepingan itu tanpa aku pernah memahaminya. Mungkin kali ini, aku terpaksa
sedikit menyiksanya. Aku tidak menjawab. Aku hanya mengerutkan alis dan berusaha
menyampaikan maksudku secara tersirat dalam raut wajahku. Steven langsung
memahaminya. Dia menghela napas panjang lagi. Aku pun hanya bisa
tersenyum meminta maaf. "Oke... Come here." Steven menarik tanganku mendekat. Dalam sekejap,
pundakku sudah dirangkulnya dan kepalaku bersandar di pundaknya. Aku
berkedip-kedip beberapa kali menyadari keadaan ini. Awalnya tubuhku kaku
karena tindakannya. Tapi kemudian ketika aku bisa merasakan embusan napas
dan detak jantungnya, tubuhku rileks dan mulai nyaman. Kami bersandar pada


Beautiful Soul Karya Stefiani E.i di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sofa terdekat. Tangan kanannya yang bebas menggenggam tangan kananku.
Aku tidak melawan. Mungkin ini bisa dianggap sebagai harga yang harus
kubayar karena memaksanya.
"Baiklah. Sejak tiga bulan yang lalu, karena masalah yang merundungnya,
Rama terjerumus ke obat-obatan terlarang. Dia menghabiskan seluruh
uangnya, meninggalkan sekolah dan mamanya yang sudah sakit saat itu.
Perusahaan papanya tidak mengalami kemajuan. Semua investor mulai
melepaskan diri karena rumor tentang anak si pemilik yang menjadi pecandu.
Ini membuatnya kehilangan income. Akhirnya, papanya menjual rumah dan
perusahaannya pada papaku. Awalnya papaku menolak. Tapi saat dia terus
memohon, saat itulah Papa tahu dia benar-benar butuh uang. Entah, mungkin
papaku dipenuhi roh kudus saat itu, papaku pun membelinya. Tapi sayang
sekali, Rama tidak berubah. Dia bertambah parah dan mulai menyewa... yah,
you know, perempuan-perempuan itu." Steven berhenti sejenak.
Suhu ruangan mulai terasa dingin. "Lanjutkan," kataku sambil meminta Steven
mengambilkan jaketku. "Tentang kejutan kedua, aku benar-benar menyesal sudah membuatmu
menangis." Steven mencubit pipiku pelan. "Wanita itu mamanya Rama. Dia
sakit sejak enam bulan yang lalu. Jiwanya terganggu ketika melihat Rama
dihajar papanya hingga nyaris mengalami gegar otak ringan. Dia berpikir
anaknya sudah mati dan suaminya adalah penyebab kematian anaknya. Semua
pengobatan sudah dicoba, tapi dia tidak juga membaik. Di rumah sakit, dia
hanya diizinkan keluar ketika semua pasien sudah terlelap, karena pada siang
hari dia histeris melihat siapa pun yang tidak memakai pakaian gelap. Seperti
yang kukatakan tadi..." Steven berhenti lagi.
Memang cukup menyeramkan jika harus mengingat apa yang terjadi di rumah
sakit tadi. Tapi aku sama sekali tidak marah pada Steven. Kini setelah tahu
alasannya, aku semakin paham. Teka-teki di otakku sudah mulai terjawab.
Hanya beberapa bagian yang masih terlepas.
Aku mengangguk, memintanya melanjutkan.
"Tentang kejutan terakhir, mungkin sedikit sulit dipahami." Steven melepaskan
tangannya dariku. Dia memutar badan dan menghadapku yang kini sedikit
kebingungan dengan tindakannya yang serba tiba-tiba.
"Try me." Aku tersenyum.
"Oke, begini. Pria tua tadi, papanya Rama. Tujuh bulan yang lalu, dia
pengusaha sukses. Sekarang, dia narapidana. Bisa dikatakan penyebabnya
adalah papaku. Mmmm...?" Steven terpejam dan mengetuk-ngetuk bibirnya.
Dia terlihat gelisah. "Okey. Aku akan mencoba menjelaskan dan kamu boleh menyelaku kapan
saja." Steven mengangkat alisnya. Aku mengangguk setuju. "Tujuh bulan yang
lalu, papaku dan Stefanus terlibat dalam sebuah tender. Mungkin itu awal
mula penurunan prestasi perusahaannya dan berujung pada kebangkrutannya.
"Sebenarnya bukan cuma perusahaan mereka yang bersaing, tapi kegigihan
mereka yang paling kuat. Awalnya tender hampir dimenangkan Stefanus, tapi
Papa selalu selangkah lebih maju."
"Papa menceritakan triknya padaku, yang pasti tidak bisa kau mengerti, Ame.
Saat itulah aku melihat papaku mengulaskan senyum khasnya. Aku bersumpah
sudah berkali-kali melatih senyum itu, tapi belum pernah sama." Steven
berhenti dan tertawa kecil.
Steven menenguk minumannya lalu melanjutkan, "Senyuman yang hanya
bertahan tiga detik. Aku selalu terkagum menyaksikan kepercayaan dirinya.
Tapi, mana mungkin aku mendapatkan mewarisi kehebatannya jika tidak
mempelajarinya sendiri" Kuputuskan belajar langsung darinya. Nah,
tampaknya tender besar itulah yang membuka jalan bagi Stefanus untuk
melarat. Dia kehilangan semua hartanya begitu kehilangan banyak
kepercayaan kliennya. "Sejak kalah tender itu, ia terus di rumahnya. Sudah menjadi tabiatnya untuk
melampiaskan kemarahan pada seluruh keluarganya. Selama ini Rama bisa
hidup tenang karena papanya tidak pernah pulang selama lebih dari lima
tahun. Dan saat itu, ayahnya yang frustrasi menghajar Rama dan membuat
mamanya gangguan jiwa. Untung saja Rama bisa disembuhkan. Dan Rama
akhirnya terjerumus obat-obatan itu.
Stefanus di jebloskan Papa ke dalam penjara dengan melaporkan kekerasan
yang dilakukan terhadap anak dan istrinya. Ya, kira-kira seperti itu. Mmm...
Kelihatannya aku membuatmu bingung, ya?" Steven tertawa sambil mengacakacak rambutku. Aku hanya bisa berkedip-kedip dan menelan ludah setelah
semua itu menerjang otakku.
Semua teka-teki tadi memang sudah merekat dengan baik. Tapi aku tidak yakin
apakah membentuk rangkaian peristiwa yang benar.
"Maaf, Ven, tapi kamu tahu persis bagaimana keadaan otakku." Aku
menunduk, menggaruk-garuk kepalaku, lalu memainkan ritsleting jaketku naikturun. Steven tertawa lebih lebar lagi.
"Aku tahu. Sejak delapan tahun yang lalu pun aku sudah tahu. Hahaha..."
Steven mengucapkan kalimat itu di sela-sela tawa.
Aku berhenti memainkan ritsleting, berhenti bernapas, dan berhenti berkedip.
Aku mendongak cepat mendengar apa yang baru saja Steven katakan. Mataku
membelalak lebar dan tidak percaya dengan apa yang didengar telingaku.
"Sejak... apa?" Aku terbata-bata.
"Since eight years ago, sweet heart." Steven berhenti tertawa lalu duduk
menghadapku dan membelalakkan mata. Dia mengedipkan mata dan
tersenyum penuh arti. Aku terkesiap. Apakah benar dugaanku" Steven memang anak kecil yang
menyelamatkanku waktu itu" Benarkah dia yang selama ini kucari"
Mungkinkah kehangatan yang kurasakan selama ini karena dialah orang yang
paling ingin kutemui" "Steven, kamu...?" Aku terbata-bata, tidak bisa
menyelesaikan kalimatku. "Kamu ragu?" dia bertanya. Matanya masih menatapku. Sejujurnya aku bisa
melihat kesungguhan di sorot matanya. Tapi hatiku tidak bisa memercayai apa
yang kulihat. Aku pun menggangguk.
"Gadis yang saat itu menangis mencari orangtuanya, yang hampir tertimpa
reruntuhan kayu jika aku terlambat menyelamatkannya, yang pingsan ketika
melihat darah, adalah gadis yang telah membuatku gila selama delapan tahun
terakhir. Kupertaruhkan hidupku dan seluruh keluargaku untuk membuatnya
menerimaku di hatinya. Gadis itu bernama Amore Acresia Christine, yang
sekarang duduk di hadapanku dengan wajah bodohnya karena mengetahui
bahwa anak kecil yang pernah menyelamatkannya itu ternyata telah jatuh
cinta sejak pertama kali melihatnya menangis. Mmm... Apa itu cukup?" Steven
menyelesaikan kalimatnya dengan sangat lancar. Dia bahkan tidak terlihat
melupakan satu keping memori pun tentang kejadian yang telah lama berlalu
itu. Aku ternganga. Tidak satu pun dari kalimatnya yang membuatku bisa berkatakata lagi. Dia benar-benar anak itu! Anak yang sering kali hadir dalam mimpiku,
membuatku menghabiskan banyak waktu mencarinya dan selalu gagal,
membuatku tidak pernah jatuh cinta pada anak lelaki yang mendekatiku.
Ternyata dia tidak pernah jauh dari jangkauanku. Takdir macam apa yang
menghampiri hidupku ini"
"Steven, apa aku bermimpi?" Aku mengucapkan kalimat polos itu sambil
mendekap dua bantal kecil di kiri-kananku.
"Perlu aku menciummu untuk membuatmu yakin bahwa aku nyata?" Steven
membelalakkan mata lebih lebar lagi dan wajahnya sudah berada dua puluh
senti di hadapanku. Aku tersentak dan langsung membekapkan bantal-bantal itu ke wajah Steven.
"Nggak perlu. Sepertinya aku memang nggak mimpi." Aku menekan bantal itu
lebih rapat ke wajah Steven.
Benarkah benak anak lelaki seusiaku hanya dipenuhi fantasi seperti itu" Itu
cukup menakutkan untuk diketahui. Steven menyingkirkan bantal itu dari
wajahnya lalu tertawa dan bersandar ke sofa.
"Tenanglah. Aku tidak akan mengingkari perkataanku." Steven meredakan
tawanya. Tangannya bergerak cepat menarik tanganku. Tapi kali ini aku
sempat bereaksi dan menahan tanganku agar tidak dikendalikannya lagi.
"Kemarilah, aku hanya ingin mendekap anak kecil bodoh yang saat itu
menangis mencari orangtuanya di area pembangunan mal dan bukan ke pusat
informasi. I miss her." Steven tertawa lalu sekali lagi menarik tanganku lebih
kuat agar tubuhku limbung padanya.
Aku tidak melawan kali ini. Hanya saja, aku menolak menempel pada
pundaknya. Aku lebih memilih merebahkan kepalaku pada bantal yang ada di
pahanya. Tangannya menepuk-nepuk kepalaku dan membuat mataku semakin
mengantuk. Aku jatuh terlelap... Epilog "Tidurlah, perjalanan ini akan sangat melelahkan." Steven membenarkan letak
poniku lalu menarik kepalaku agar bersandar di pundaknya. Aku menurut dan
menutup mataku agar bisa merasakan kenyamanan berada di dekatnya.
Steven pun meletakkan kepalanya di atas kepalaku lalu berbisik lagi, "I love
you." Aku hanya tersenyum mendengarnya, sengaja tidak menjawab dengan
kata-kata, dan hanya menggandeng tangan kanannya dengan tangan kiriku,
seerat mungkin. Steven benar-benar keajaiban terbesar dan pernah hadir dalam hidupku.
Beberapa minggu yang lalu, orangtuaku datang. Dan mereka menemuiku
bersama orangtua Steven. Aku benar-benar syok dibuatnya.
Ketika akhirnya aku mendapatkan penjelasan lengkap dan masuk akal tentang
bagaimana semua keajaiban di hari kedatangan orangtuaku terjadi, aku tidak
bisa menahan diri untuk tidak memeluk Steven. Bagaimana tidak" Dia
membuatku hampir menangis ketika mendengar penjelasannya.
Steven menemui orangtuaku ke Padang. Dan dia menggunakan kesempatan itu
untuk mendapatkan izin orangtuaku, Steven terpaksa menginap di teras
rumahku dan hanya makan ketika ada penjual makanan yang lewat. Dia terusmenerus memohon pada orangtuaku untuk memberikan restu padanya agar
boleh mengajakku kuliah di Amerika. Tetanggaku bahkan sempat hampir
melaporkannya pada polisi. Tapi sepertinya kami memang diberkahi Tuhan.
Orangtuaku tidak tega melihat Steven dan akhirnya membuka hati untuk
menerima kami. Ketika orangtuaku setuju untuk datang ke Semarang, Steven memesankan
tiket kilat untuk penerbangan di hari yang sudah sangat penuh. Dia butuh
seharian untuk mendapatkan tiket. Dia bahkan beberapa kali diomeli oleh
petugas bandara karena terus-menerus bertanya, memohon, dan terkadang
merengek. Sehari sebelum keberangkatan orangtuaku ke Semarang, Jessica dan John
Williams pergi ke rumahku yang ada di Padang. Mereka memperkenalkan diri
sebagai orangtua Steven dan langsung menawarkan bisnis besar pada
orangtuaku. Aku pun tidak tahu bagaimana mereka bisa begitu mudah
mengambil hati mama-papaku.
Dan yang terakhir, Steven mengejutkanku dengan suatu program beasiswa.
Inilah yang membuatku benar-benar tersentuh. Ternyata sudah lama sekali
Steven mempersiapkan ini semua. Dia mencari berbagai sumber dan
menghubungi semua teman-temannya di Amerika untuk mendapatkan
informasi tentang beasiswa perguruan tinggi.
Steven membuat esai untukku, mengurus semua syarat pendaftaran itu,
memfotokopi dan melegalisir raporku, memohon surat rekomendasi dari
kepala sekolah untukku, membayar semua biaya administrasinya, bahkan
berlatih beberapa hari agar bisa meniru persis tanda tanganku. Yaa, aku tahu
biaya bukanlah masalah besar untuknya. Tapi bagaimana bisa dia melakukan
semua ini tanpa sedikit pun ketahuan olehku" Dan lebih dari itu, aku tidak bisa
membayangkan bagaimana repotnya dia mengurus dua pendaftaran sekaligus,
untukku dan untuknya. Aku bahkan tidak pernah berani membayangkan hal
seperti itu terjadi padaku. Tapi Steven melakukannya di belakangku, hanya
untuk memberikan kejutan menjelang Natal untukku.
Bagaimana bisa aku tidak menangis mendengar ini semua"
Lama-kelamaan, aku merasa hati Steven jauh lebih mulia dibanding hatiku.
Dua hari yang lalu, sebelum keberangkatan kami ke Amerika, Steven
mengajakku menjenguk Rama. Dia mengingatnya, musuh besarnya yang telah
sangat mengusik hidupnya. Ketika kami ke sana, Rama sudah jauh membaik
daripada saat terakhir kami melihatnya. Senyumnya sudah terlihat seperti saat
pertama kali aku mengenalnya. Dia bahkan bisa menerima hubunganku
dengan Steven. Ini hal yang sangat ingin aku dengar darinya sejak dulu.
Rama juga mendapat penyelesaian masalah keluarganya. Stefanus tidak jadi
dijebloskan Steven ke penjara. Sepertinya dia sudah bertobat. Setelah
pembebasannya, Stefanus menunjukkan perubahan sikap dengan
mengunjungi Rama dan merawat istrinya. Sepertinya, kata-kataku waktu itu
berhasil menyadarkannya dan suntikanku berhasil membersihkan darah
kotornya. Yah, bagaimanapun aku bersyukur untuk itu dan hanya berdoa untuk
kesembuhan mama Rama. Semuanya selesai dengan baik dan sempurna. Aku merasa setiap embusan
napasku kini sangat ringan dan terkadang masih tidak percaya dengan semua
kenyataan ini. Tapi ketika melihat senyum Steven, aku menyadari ini bukan
mimpi. Inilah hidupku. Semua memang berubah sejak kedatangan Steven Williams
dalam hidupku. Tak ada alasan jelas dan pasti mengapa semua itu terjadi.
Kapan pun aku menanyakan alasan Steven melakukan semua keajaiban itu, dia
hanya menjawab, "Car je t'aime aussi, Amore."
"Wake up, sweet heart." Steven mengusap pipiku dan ketika itu pula aku
merasakan tubuhku merinding karena kedinginan.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan melihat Steven melepas jaketnya lalu
menyelimutkannya ke tubuhku.
"Mmm, kita..." Aku masih belum sadar penuh. Aku melihat ke sekeliling dan
melihat hamparan putih yang sangat luas di luar jendela pesawat.
"Welcome to USA." Steven tersenyum. Aku kemudian sadar bahwa aku sudah
tidur lama sekali. Aku membalas senyumnya. Di sinilah hidup baruku akan dimulai.
End \ Seruling Sakti 9 Pendekar Rajawali Sakti 92 Kucing Siluman Perintah Kesebelas 5

Cari Blog Ini