Ceritasilat Novel Online

Separuh Bintang 2

Separuh Bintang Karya Evline Kartika Bagian 2


ke sekolah hanya berkisar lima belas menit___jantungnya selalu berhenti berdenyut setiap Rico
mengincak rem mendadak. "Sekarang kita mau puterin lagu yang udah lumayan lama nih. Tapi masih enak banget. Andre
Hehanusa dengan Karena kutahu Engkau Begitu."
Mendengar suara penyiar itu, Ciya refleks mematikan radio. Rico mengernyitkan dahu. "Kenapa"
Lagunya kan bagus?" jari Rico mengarah ke tombol on.
"Jangan dinyalain!" teriak Ciya.
"Kenapa sih?" Rico tetap memencet tombol tadi. Ciya langsung mematikannya lagi. Rico
memencet tombol on lagi. Tapi kemudian Ciya mematikannya lagi. Begitu terus sampai....
"Kenapa sih"!!" bentak Rico. "Lagunya tuh bagus! Lo nggak tahu ya, yang nyanyi tuh Andre
Hehanusa. Liriknya juga bagus. Nggak ngerti seni ya" Lagunya...."
"Berisik!!" bentak Ciya yang langsung membuat Rico diam.
Ciya mengatupkan bibirnya hingga membentuk garis tipis mendatar. "Lagu itu ngingetin gue
sama Billy," Ciya berkata lirih. "Dulu dia suka nyanyiin lagu ini."
Rico sesaat terdiam. Sebenarnya ada berapa banyak kenangan pahit yang dialami adik
angkatnya ini" Seperti saat ini, tatapan Ciya seperti orang yang terempas dalam suasana dunia
yang bernama putus asa. Mata yang penuh tanda mencari cara menghilangkan suasana tidak
enak ini. Kemudian senyum iseng muncul di bibirnya. "Kalo gitu sekarang gue aja yang nyanyiin."
Ciya mendelik. "Nggak usah."
"Menghina banget sih! Gini-gini kan anak band. Biar bukan vokalis, gue bisa nyanyi." Matanya
menatap Ciya lalu langsung kembali melihat jalanan, takut nabrak lagi. Tapi dia sempat melihat
perubahn pada raut muka Ciya.
"Eh...." Rico menyenggol Ciya dengan sikutnya. "Kalo mau nangis, nangis aja," tangan kanannya
melepas setir, menepuk bahu kirinya beberapa kali. "Nih, pake bahu gue."
Ciya mendengus. "Nggak mau nangis kok...."
** Panggung superbesar berdiri di atas lapangan upacara yang gedenya bermeter-meter. Sound
system-mya ada di sisi kanan dan kiri panggung. Tapi, panggungnya kok lebih mirip buat orang
kawinan" Atap panggung berhiasan kain rumbai-rumbai warna kuning. Terus kalo ketiup angin,
ada yang nyangkut ke atas. Jadi kesannya agak-agak norak.
Permadani merah tergelar panjang di lapangan berumput dari gerbang masuk menuju tangga ke
arah panggung. Para dancer yang menggunakan kostum dan dandanan heboh mulai
berdatangan. Eyeshadow di sekeliling mata dengan bentuk aneh-aneh, baju superketat dan
bolong-bolong___ada juga yang nggak sih. Rambut mereka digerai acak ala Britney Spears. Iya
lah, mana ada dancer yang rambutnya dikonde ala emak-emak" Badan mereka juga penuh
glitter warna-warni. Tadinya Ciya pikit badannya belang-belang. Buat Ciya, para dancer itu lebih
mirip kampaye Halloween pagi-pagi.
Koridor lantai dasar bagian belakang yang berdampingan dengan panggung penuh dengan
pameran-pameran anak-anak IPA dan IPS. Sementara yang bagian depan penuh dengan
peralatan games anak-anak kelas 1 dan kelas 2. Koridor sebelah kanan, di depan ruang
komputer, dihiasi tirai-tirai hitam yang bergelantungan. Lampu-lampu diganti dengan penerangan
lilin. Beberapa nisan tiruan dipasang bergelantungan. Di dinding penuh dengan poster-poster dan
tulisan "Say No To Drungs!", "Berhenti Merokok Kalau Mau Panjang Umur", "Gue Bego Kalo
Pake Narkoba", dan petuah-petuah lain semacam itu deh. Yang intinya sih cuma mau bilang kalo
pake narkoba bakal cepet mati.
Mau tak mau, hal itu mengingatkan Ciya pada Billy. Sehingga dia lebih memilih jalan memutar
lewat koridor yang satunya lagi ketimbang lewat koridor itu.
Ibu-ibu kantin mendapat rezekinya. Murid-murid yang memadati acara ini bisa dibilang tiga kali
lipat dari jumlah normal. Gimana nggak, tiket masuknya ja gratis. Soalnya ini acara perdana, jadi
belum dipungut bayaran. Konter-konter past food lain yang menyewa tempat di sana juga ikut
dikerubungi anak-anak yang kelapan saat hari beranjak siang.
Alumni-alumbi juga banyak yang datang buat sekadar bersay hi___reuni tepatnya___satu sama
lain, begitu juga dengan katanya sekarang sudah merambah ke dunia model dan sinetron, juga
datang. Buat anak-anak panitia dan OSIS sih luar duit. Soalnya dana mereka memang udah
nggak cukup buat manggil bintang tamu. Paling-paling cuma bisa manggil pengalaman yang
bagus-bagus amat. Jadi belum banyak sponsor yang mau nyumbang dana.
Terus kalau ada yang mau foto-foto, ada juga konter photo box. Tapi rata-rata sih pada bawa
kamera sendiri. Murah meriah euy....
Buat cowok-cowok yang mau nembak gebetannya, atau buat yang mau ngerayu pasangannya,
juga ada konter bunga mawar. Lumayan mahal sih, satu tangkai harganya dua puluh ribu rupiah.
Tapi demi cinta apa sih yang nggak?"
Soal MC.... Lumayanlah! Biarpun nggak terkenal-terkenal amat, yang penting bisa bikin penonton
ngakak. Bikin suasana yang panas begini jadi nggak tambah garing. Ditambah dengan dance
heboh para dancer seksi yang membuat liur cowok-cowok menetes-netes.
Ciya sendiri menutup kupingnya saat bergerombolan band beraksi. Entakan drum dan petikan
gitar yang menyatu membuat aura sekolah itu lebih liar. Area sekeliling panggung penuh sesak,
meloncat-loncat, bergoyang-goyang, berisik banget pokoknya. Mau tak mau dia dan Natya
berusaha keluar dari kerumunan, kalo nggak mau badan mereka keinjek-injek.
"....Forget tomorrow.... I just wanna jump... Don't wanna think about tomorrow.... I just don't care
tonight.... I just wanna jump.... Don't wanna think about my sorrow.... Lest's go...."
Warna suara Rangga nggak beda jauh dengan Pierre Bouvier, vokalisnya Simple Plan. Lagu
Jump yang nge-rock itu dibawakan dengan suara yang nggak kalah cadas. Masalahnya, Rangga
itu terlalu cool. Banyak yang mengkritik gaya bernyanyi Rangga yang cuma diam di tempat
seperti itu. Tapi mau gimana lagi" Udah bawaan orok.
Christian akhirnya mau manggung setelah Ciya membujuknya dan bilang bahwa dia dan Rico
cuma pura-pura pacaran. Walaupun Christian masih sesekali melirik Rico dengan tatapan sebal,
gebukan drumnya tetap seirama.
Rico masih tetap dengan gaya tebar pesonya. Mulai dari sekadar mengedipkan mata, tersenyum
menggoda, bukan baju, bukan celana.... Nggak deh.... Hehehe.... Sementara Viktor tetap dengan
gaya sok asyiknya sewaktu memetik bas.
Senyum Ciya mengembang melihat Aldy yang celingukan di gerbang masuk. Tanpa
memedulikan rambutnya yang berantakan bekas desak-desakan di depan panggung tadi, Ciya
mengangkat dan melambaikan tangannya tinggi-tinggi.
"Kenalin ini temen gue." Ciya menyikut Natya yang masih terpana dengan penampilan pacarnya
yang sibuk memetik bas di atas sana. Mereka kini berada di baris paling belakang dari
gerombolan penonton. "Natya!!" setelah tersadar dari keterpanaannya, Natya berteriak agar suaranya bisa terdengar.
"Aldy!!" Aldy juga berteriak sambil menjabat tangan Natya.
Lalau Aldy mengeluarkan setangkai mawar putih dari balik punggungnya dan memberikannya
pada Ciya. Ciya tertawa sementara Natya melotot, berharap nggak ada satu pun yang melihat
kejadian tadi. Kalo nggak, bisa-bisa nyawa temannya terancam.
Sementara itu, di balik panggung, sepasang mata ternyata melihat.... Melihat dengan sangat
jelas kejadian tadi ** Hari beranjak sore. Matahari sudah mulai tidak terlihat lagi sinarnya. Hiruk-pikuk juga sudah
mulai berkurang. Beberapa panitia sudah mulai membereskan pameran-pamerannya. Guru-guru
sudah tidak ada yang kelihatan batang hidungnya. Murid-murid juga sudah beranjak pulang.
Suasananya, paling tidak, jauh lebih hening dibanding tadi siang. Walaupun masih ada DJ yang
asyik menyetel lagu dengan volume besar dan beberapa murid berdugem ria di depan panggung.
Ciya berdiri, yang sudah kelelahan, duduk di lantai di depan Health Center___satu-satunya
tempat yang terbebas dari pameran dan games___sementara Natya dan Aldy juga tepar di
sampingnya. Viktor yang juga tampak kelelahan duduk di samping Natya sambil mengipasngipas. Anggota band yang lain masih membereskan peralatannya di ruang band.
"Gue haus nih," ujar Ciya sambil mengelus tenggorokannya.
"Gue beli minum dulu ya."
"Mau gue beliin?" tanya Aldy yang disambut gelengan Ciya.
Sudah dua kali Ciya direpotkan temannya yang satu ini. Pertama, saat waktu mau ke WC, Aldy
malah nyasar ke gudang. Kedua, waktu mau ke WC (lagi), malah nyasara ke ruang guru.
"Nggak usah." Ciya lalu bangkit dan belok ke kanan. Sesaat dia teringat soal koridor tentang
antinarkoba. "Eh, salah...." Lalu dia berbalik ke kiri, memutar arah.
Tak lama kemudian, Rico yang menenteng gitar elektriknya, serta Rangga dan Christian dengan
simbal dan tiang penyangganya, datang.
"Gue balik duluan ya," ujar Rangga sambil membetulkan letak ranselnya. "Capek banget nih.
Mau tidur." "Ati-ati ya, man," kata Viktor sambil melambaikan tangannya.
Rico meletakkan gitarnya di lantai lalu duduk di samping Aldy. Rambutnya sudah tidak serapi tadi
pagi walaupun gelnya masih terlihat kaku. Christian juga sama kusutnya. Rupanya, menggebuk
drum lima lagu berturut-turut cukup menguras tenaganya.
"Mana Ciya?" tanya Rico.
"Lagi beli minum di kantin. "Natya menyandarkan kepalanya di bahu Viktor.
"Oh iya, kenalin nih." Rico menepuk bahu Christian kemudian menunjuk Aldy. "Ini temen
deketnya Ciya." Christian mengulurkan tangannya, membalas uluran tangan Aldy.
"Gue mau ngomong sama lo bentar," ujar Aldy pada Rico tiba-tiba. "Bisa?"
Rico masih terlihat bingung, tapi anggukan muncul dari kepalanya. Mereka berdua berjalan ke
arah ruang band, yang tidak jauh dari situ, tapi cukup menyembunyikan suara mereka.
"Hei...." Viktor menyenggol Christian___yang duduk di depannya___dengan kakinya. "Lo yakin
masih mau suka sama Ciya?" jari telunjuk Viktor menunjuk Aldy. "Itu.... Saingan lo juga."
Christian mendengus. Bagus sekali!! Seorang Rico aja udah cukup bikin dia minder sampe nggak
berani ngapa-ngapain. Sekarang muncul lagi seorang Aldy.
"Nggak tahulah... Gue mau minum. "Christian bangkit menuju kanton. Sementara Natya dan
Viktor terkikik-kikik. Kasihan juga temannya yang satu intu.
Brak.... Brak.... Brak....
Belum ada lima belas menit, Christian menggedor pintu ruang band dengan kekuatan penuh.
Rico dan Aldy itu ngapain sih" Pake ngunci pintu segala.
Brak.... Bark.... Tuk....
Tangan Christian tanpa sengaja memukul kepala Rico yang sudah membukakan pintu. Rico
mengelus kepalanya di bagian yang terkena pukulan Christian itu.
"Kenap..." "Ciya dilabrak Jesse di depan kantin...."
Ciya bersnadar pada pilar yang menyangga atap kantin. Dua cewek menjambak rambutnya,
membuatnya mendongakkan kepala beberapa senti ke atas. Di hadapannya berdiri seorang
cewek yang bertolak pinggang. Rambut cewek itu dikuncir kuda, roknya sepuluh senti di atas
lutut, bajunya agak kependekan sehingga memperlihatkan pusarnya.
"Lo pacaran sama Rico tapi masih nerima bunga dari cowok lain?"" tanpa pengeras suara pun
suara Jessica sudah bisa di dengar oleh seantero sekolah.
Beberapa kali terlihat dia menampar dan menendang kali Ciya sambil mengucapkan umpatanumpatan yang terdengar aneh di kuping Ciya.
"Udah selesai?"!!" bentak Ciya setelah kesabarannya habis. Dia menepiskan tangan-tangan
yang menjambak rambutnya. Kupingnya sakit mendengar teriakan-teriakan Jessica yang nggak
jelas. Jessica mengerjapkan mata. Tapi sebelum dia membuka mulut....
Plak.... Plak.... Plak.... Duk.... Duk....
"Lima kali tamparan, tiga kali tendangan, empat kali cubitan, dan...."
"Auww....!" tangan Ciya menarik rambut dua cewek yang berdiri di kanan-kirinya.
"Dua jambakan...."Ciya memperlihatkan beberapa hlai rambut yang berada di sela-sela jarinya
dan menjatuhkannya ke tanah.
Jessica mengerjapkan matanya marah.
Ciya membalasnya dengan tersenyum sinis. "Tadinya gue bingung kenapa Rico mati-matian
nolak lo." Ciya menghunjamkan pandanganya ke arah Jessica. "Dan ternyata.... Lo itu nggak
lebih dari sekadar cewek aneh.... Sampah... Dan kecentilan!!!"
Mendengar itu, Jessica mencengkeram rahang Ciya dengan tangan kanannya. Sementara kedua
temannya mengcengkeram tangan Ciya erat-erat agar tidak bisa melawan. Ciya memejamkan
matanya menahan sakit. "Sakit lagi lo...."
Plok.... Plok.... Plok.... Plok....!
"Udah main-mainnya, nona-nona?"
Jessica menoleh ke arah sosok yang menganggu acaranya. Aldy menepukkan tangan dengan
frekuensi tetap, sementara Rico berdiri di sampingnya. Christian terlihat berlari menyusul di
belakang mereka. Jessica melepaskan cengkeramannya dan Ciya menepiskan tangannya dari cengkeraman dua
cewek di sampingnya itu. "Masih zaman ya, main keroyokan?" Aldy berjalan mendekati Jessica. "Tiga lawan satu....
mmm.... Perbandingan yang lumayan." Dia menyentuh dagu Jessica dengan telunjuknya sambil
tersenyum nakal, kemudian berlalu menghampiri Ciya. Jesse terlihat pucat pasti sekarang.
Matanya memandang Rico dan Ciya bergantian.
Aldy merangkul Ciya. "Boleh dia gue bawa pergi?" tanya Aldy masih dengan senyuman. Jessica
sepertinya tidak sanggup berbicara apa-apa. Aldy mengerjapkan mata. "Sepertinya boleh....," dia
berkata lagi dan menuntun Ciya pergi dari situ.
Setelah tiga langkah, Ciya berbalik. "Oh ya, gue sama Rico cuma pura-pura pacaran kok." Lalu
dia menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
Aldy menepuk bahu Rico___yang masih memandang lurus ke arah Jessica___beberapa kali.
Sepertinya tepukan itu menyatakan, "Giliran lo sekarang!"
part* 8 She Is Sha-Sha.... Sudan tiga minggu berlalu sejak kejadian labrakan itu. Dan sepertinya apa pun yang dikatakan
Rico kepada Jesse waktu itu berhasil!!
Walaupun sempat gempar dengan adegan pacaran pura-pura itu, toh akhirnya semua kembali
seperti biasa. Apalagi saat itu sudah mendekati jadwal ujian. Jadi, para penggosip itu lebih
mengkhawatirkan nasib kelulusan mereka dibandingkan dengan berita kebenaran tentang "Ada
apa dengan Ciya dan Rico?"
Jesse juga seperti lenyap ditelan bumi. Nggak ada kabarnya lagi, nggak keliatan hidungnya lagi.
Dan itu artinya___ khususnya buat Rico___adalah KEDAMAIAN! Sekarang dia bisa berangkat
dan pulang sekolah dengan tenang. Tanpa ada yang mengatakan "Kita balikan lagi yuk!"
Tapi, buat Ciya, sepertinya dia nggak mau ambil pusing dengan semua itu. Satu hal yang
membuatnya lega adalah tidak perlu nyamar jadi ceweknya Rico lagi. Kepura-puraan itu
membuatnya hampir gila! Selama dua minggu mereka pura-pura jadian___berlangsung sejak
acara Rico memproklamirkan hubungan mereka di depan Jesse sampai acara Art and
Science___lebih pantes kalau mereka dibilang sebagai majikan dan pembantu dibanding pacar.
Iya lah, banyak sekali aturan yang harus dijalani Ciya!
1. Ciya harus membelikan minum setiap pelajaran olaharaga.
"Kenapa nggak lo yang beliin minum buat gue" Sekarang kan emansipasi"
"Dan zaman ke zaman, cewek gue selalu ngebeliin gu minum. Perhatian sedikit kenapa sih"!"
ujar Rico masih dengan seragam yang penuh keringat.
Ciya mendengus. "Nih!" Dia memberikan botol minumnya.
"Nggak mau, gue mau Pocari!"
Ciya mengepalkan tangan kanannya sambil mendengus kesal. "Cerewet!!"
Kalau saja semua orang tidak memperhatikan mereka saat itu, Ciya lebih memilih membuat Rico
mati kering kehausan dibanding harus berjalan ke kantin, yang jauhnya satu kilometer dari
lapangan bola, hanya untuk membelikan cowok belahu itu minuman.
Rico tersenyum saat melihat Ciya berjalan menjauh sambil mengumpat-umpat. Kenapa sih
cewek itu suka sekali mengumpat orang"!
2. Setiap istirahat panjang, Ciya harus menemani Rico dan bandnya latihan.
"Nggak mauuu!!" Ciya mati-matian berpegangan pada tiang bendera saat Rico menyeretnya ikut
ke ruang band. "Itu ritual cewek-cewek gue!"
"Kenapa cewek-cewek lo itu bego semua sih!"
Kalau tidak ada Natya yang mengalah untuk ikut menemaninya, diseret sepuluh kuda pun, Ciya
nggak bakal mau mendekam di ruang band selama satu jam!! Bayangkan! Satu jam! Satu jam
hanya untuk mendengarkan musik yang sama sekali tidak dimengerti Ciya di mana sisi
bagusnya. Nggak budek aja udah untung! Sekadar catatan, Ciya nggak suka musik rock. Dia
lebih suka musik pop yang agak-agak mellow. Kayak musiknya Norah Jones dan Enya.
Dan karena itu juga, Ciya harus makan siang___dengan piring styrofoam, karena nggak bisa
makan di kantin___ diiringi lagu yang membuat jantungnya berdenyut-denyut setiap Christian
memukul drumnya. Indah sekali, BUKAN?"!!
Untung ajamsa kepura-puraannya selesai dalam jangka waktu dua minggu. Kalau lebih, mungkin
Ciya bakal bener-bener harus pindah ke sekolah khusus tunarungu.
3.Ciya harus bersedia dirangkul semaunya oleh Rico.
"Emang orang pacaran nggak boleh rangkulan?" tanya Rico saat Ciya menepis tangannya
sewaktu mereka berjalan menuju kantin.
"Emang di sekolah perlu pamer kalo kita pacaran?" Ciya melotot. Sementara Rico hanya nyengir
kuda. "Ayolah, sayang! Jangan malu-malu...." Rico makin mempererat rangkulannya saat gerombolan
Meta cs___ mantannya sebelum jadian sama Jesse___lewat di depan mereka.
Jadi mau tak mau Ciya hanya bisa menyeringai kalau tidak mau penyamarannya terbongkar.
4. Ciya harus menemani Rico makan di kantin saat istirahat pertama.
"Emang nggak bisa makan sendiri?" Ciya meletakkan bukunya dengan kasar di atas meja. Dia
lebih suka mengobrol di kelas bersama Natya dibanding ke kantin selama lima belas menit lalu
lari sekencang-kencangnya agar tidak ketinggalan pejalaran berikutnya.
"Cuma nemenin doang kok." Rico menowel-nowel dagunya. "Ayolah, sayang! Sayaaang!!!"
Hiaahh!!! Mendengarnya saja Ciya sudah bergisik! Mau tidak mau, daripada ntar malem mimpi
aneh, dia menemani Rico ke kantin. Walaupaun sebelumnya dia sempat melemparkan buku
yang tadi dipegangnya___sampai menghasilkan suara. "buk!"___tepat ke muka Rico.
5. Rico bener-bener nempel sama Ciya kayak cicak setiap hari.
Saat di sekolah, Rico tidak pernah menjauh sedetik pun dari Ciya. Mau di kantin, di perpus, di
kelas, di laboratorium, di ruang band semuanya bareng. Paling-paling cuma ke WC aja yang
nggak barengan. Natya sendiri sampai geleng-geleng kepala. Kalau dia tidak diberitahu Ciya keadaan yang
sebenarnya, mungkin dia pun akan mengira mereka benar-benar pacaran. Gimana nggak, sama
pacar sebelum-sebelumnya aja Rico nggak selengket ini.
Walaupun lebih sering bertengkar dibanding sayang-sayangannya, kalau di depan orang lain,


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berubah menjadi pasangan yang lebih berbahagia dibandingkan Britney Spears dan
Justin Timberlake semasa jadian. Jadi nggkak banyak yang curiga, kecuali satu-dua orang yang
sempat memergoki mereka timpuk-timpukan buku.
6. Udah cukup ah! Pokoknya banyak banget deh!
Untung saja hampir setiap malam, Rico membawakan sekeranjang cokelat sebagai upah tutur
mulut. Sehingga walaupun tidak tersenyum, Ciya tidak komplain apa pun tentang
penderitaannya. Dan hari ini adalah hari pertama liburan tengah semester. Yes!! Setelah seminggu kemarin harus
jungkir balik belajar buat ujian, liburan penuh satu minggu tampaknya cukup membuat semua
muris terpingkal bahagia.
*** Pari ini cuaca cerah. Ciya memilih kegiatan pertamannya di hari pertama liburan ini dengan berselonjor di kursi malas
yang terletak di pinggir kolam renang sambil membaca novel Harry Potter V yang sudah
berpuluh-puluh kali dibacanya, ditemani jus stroberi buatan Bik Nah. Matahari bersinar di balik
awan, jadi tidak cukup panas untuk membuat Ciya memakai sunblock. Lagi pula, sinar matahari
pagi kan memang bagus untuk mengubah pro vitamin D di dalam tubuh menjadi vitamin D.
"Haloo...." Rico mesem-mesem, memaksa Ciya menggeser duduknya, dan berselonjor di
samping Ciya. Ciya menutup kasar novelnya. Untung aja tangannya nggak kejepit. Harry Potter V kan tebelnya
cukup buat nimpuk anjing. "Emangnya nggak tempat duduk lain ya" Kenapa mesti duduk di
sini?" Rico hanya tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Tuhaaannn! Kenapa di dunia ini harus ada playboy yang genitnya nggak ketulungan"!!!" Ciya
melempar bukunya ke bagian bawah perut Rico___ "Auuwww!!!!___kemudian ngeloyor pergi.
"Hei! Mau ke mal nggak?" tanya Rico masih mengusap-usap bagian sensitifnya itu.
Mendengar kata mal, Ciya langsung bernalik dengan senyuman selebar bahu. Dia mengangguk
beberapa kali. "Cih.... Dasara." Rixo lalu bangkit dan berjalan masuk ke rumah.
"Tapi naik mobil ya, Kyoooo!"
*** Ciya berjalan sempoyongan mengikuti Rico yang berada semeter di depannya. Di tangannya
bertumpuk kantong-kantong belanjaan yang membuat kakinya hampir tidak terlihat.
"Dasar berengsek cowok itu!"
Dari dua jam yang lalu merek berputar-putar memasuki seluruh toko HANYA untuk membeli
kaus, kemeja, jaket, kardingan, celana pendek, celana panjang, topi, ikat pinggang, sepatu, kaus
kaki, tas pinggang, tas selempang, tas ransel, dan entah apa lagi..... Tapii semuanya itu buat
Rico. Tidak habis pikir! Sebenarnya buat apa barang sebanyak ini" Kalo Oom Henry tahu, apa dia
nggak jantungan ya" Dalam dua jam anaknya menghabiskan tiga juta buat semua barang ini.
Emang beda ya kalo jadi anak orang kaya. Cukup gesek-gesek kartu, barang langsung
berpindah tangan. "Kyoooo!!!" semua orang yang ada di situ mendadak melihat ke arah mereka.
Rico berbalik. "Kenapa?"
Ciya mengempaskan semua kantong belanjaannya. "Bawa sendiri!! Gue mau pulang!"
"Yakin?" tanya Rico saat Ciya hendak berbalik. "Barang yang mau gue beli udah cukup kok.
Sekarang mau nyari buat lo. Bener nggak mau?"
Ciya berbalik, senyuman tiak tulus tersungging di wajahnya.
*** Wuaouw....! Baru kali ini Ciya belanja barang sebanyak ini. Sudah lima belas toko yang dia kunjungi. Di setiap
toko dia mencoba minimal lima baju, dan membeli minimal dua baju. Dari kaus tangan pendek,
celana tiga perempat, tank top, gaun baby doll, celana panjang, rok mini, kulot, sepatu hak tinggi,
clutch bag, dan jaket. Dan itu berarti beban bawaannya semakin BANYAK.
"Nih, gue bantuin deh," ujar Rico sambil menenteng dua kantong. Dan itu berarti beban bawaan
Ciya masih dua puluh enam kantong!
"Kyo, tunggu dong!" teriak Ciya saat Rico sudah menuruni tangga eskalator.
Kaki Ciya mencoba meraih anak tangga berjalan itu, tapi sepertinya lebar eskalator tidak cukup
besar untuk memuat lebar tubuh Ciya ditambah dengan kantong-kantong belanjaannya.
Braakk.... Bruukk.... Seluruh kantong belanjaan menimpa muka Rico, kemudian jatuh bergelindingan, isinya
berhamburan ke mana-man. Ada yang nyangkut di kepala oom-oom, ada yang nyangkut di
kondenya ibu-ibut, ada yang nyangkut di....
Ciya sendiri kehilangan keseimbangannya. Rico, yang masih kaget akibat tertimpa kantong
belanjaan tadi, hanya bisa membelalakkan mata saat tubuh Ciya melayang ke arahnya. Dan
yaakk.... Mereka sukses guling-gulingan dan tumpuk-tumpukan
*** "Iya, maaf...," kata Rico sambil menyodorkan sekaleng Coca-cola ke arah Ciya. Kepalanya
memar akibat kepentok pegangan tangga. Ciya duduk di sofa dengan muka ditekuk. Walaupun
tadi dia mendarat tepat di atas punggung Rico, sekaranf seluruh badannya sakit semua.
Dua puluh delapan kantong belanjaan sudah tersusun rapi di tempat tidur Rico. Gara-gara
insiden jatuh tadi, tanpa disadarinya kunci kamar Ciya ikut terjatuh. Jadi, sekarang dia nggak bisa
masuk ke kamarnya. Sambil menunggu tukang kunci datang, dia duduk di kamar Rico.
Baru kali ini Ciya masuk ke sana. Nuansanya hitam-putih. Di pojok ruangan ada gitar eletrik, gitar
biasa, dan keyboard. Permadaninya bercorak zebra terhampar di seluruh ruangan. Sofanya
berwarna hitam dengan garis putih. Selebihnya, posisi barang-barang lainnya tidak beda jauh
dengan yang ada di kamar Ciya. Buat Ciya, kamar ini terlalu rapi untuk ukuran cowok.
"Lagian pake acara bawa kunci kamar segala. Udah, tenang aja, bentar lagi juga tukang
kuncinya dateng." Rico mengempaskan tubuhnya di samping Ciya sambil meneguk Cocacolanya. Dia meringis sambil memegangi kepalanya yang biru.
"Sakit ya?" tanya Ciya.
Rico mengangguk. Tangannya masih mengusap-usap dahinya.
"Sini liat!" Ciya mencodongkan kepalanya. Tapi tiba-tiba....
CUP.... Rico mencium pipi Ciya. "Hiiaa!!!" Ciya berteriak-teriak sekerasnya. Rico membelalakkan matanya, kaget. Apa lagi ini?"
Ciya mengusap-usap pipinya. "Ngapain cium-cium gue!?""
Rico mendelik. "Cuma mau bilang makasih aja karena hari ini udah mau nemenin gue ke mal."
Dia bilang apa tadi" Makasih" Makasih" Sejak kapan makasih mesti ditunjukkan dengan
ciuman?" Ciya membulatkan matanya. "Tuhan, kenapa gue mesti ditakdirkan serumah sama PLAYBOY
kayak lo"! Asal lo tahu ya! Ini pertama dan terakhir kalinya gue nemenin elo ke mal!!" Ciya
memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Kenapa gue setuju buat tinggal di sini." dia
menepuk-nepuk pipinya. "Gue pasti udah gila! Ini pasti mimpi! Iya, kan" Ini pasti mimpi......
Aduuuhhhh....." Rico tertawa sekeras-kerasnya melihat tingkah Ciya. Tubuhnya benguncang-guncang, membuat
Coca-cola-nya bercipratan keluar dari kaleng. Ciya yang seperti ini nih yang membuatnya tidak
tahan. Cewek itu sendiri mungkin tidak pernah menyadri terkadang dia bisa menjadi.... Sangat
lucu. "Heh!! Nggak lucu!" Ciya bangkit dan beranjan ke ranjang, mengempaskan tubuhnya di sana.
Rasanya pegal banget! Dia sendiri masih tidak percaya, dapet kekuatan dari mana bisa
membawa belanjaan sebanyak itu hanya dengan dua tangan. Dia berbalik. Matanya menangkap
sesuatu di meja belajar Rico.
"Hei, siapa nih?" Ciya mengambil foto yang terpasang di sana. Seorang anak kecil, umurnya kirakira sembilan tahun. Rambutnya dikucir kuda, pipinya merah terkena sinar matahari. Bergaya
bertolak pinggang sambil tertawa. "Lucu banget!" Ciya membawa foto itu dan duduk di samping
Rico. "Siapa nih, Kyo?"
"Jangan liat-liat!" Rico merampas foto tadi dan kembali menaruhnya di meja.
"Pelit! Siapa sih?"
Rico terdiam selama beberapa menit, sebelum mengucapkan satu patah nama. "Sha-Sha."
Ciya memandangnya dengan tatapan ingin tahu. "Sha-Sha?"
dahinya berkerut, memikirkan semua kemungkinan tentang cewek itu. Lalu cibiran kecil muncul.
"Cewek pertama lo, kan?"
Toeng!!! Tepat sekali! "Ya, kan?" Ciya tertawa penuh kemenangan saat melihat pipi Rico bersemu merah. "Cerita dong!
Gimana ceritanya?" Rico duduk di ranjangnya. "Malu ah."
Gubrakk!! Gubrak!!! "Malu apaan" Dasar aneh! Paling juga dia sama kayak mantan-mantan lo yang lain, kan?"
"Jangan sembarangan! Dia nggak sama!" Rico menatap Ciya marah. "Dia satu-satunya cewek
yang gue sayangi!" Ciya melongo, mulutnya membulat membentuk huruf O. "First love ceritanya" Hebat juga!
Ternyata ada cewek yang bisa bikin lo jatuh cinta beneran. Nggak nyangka. Gimana orangnya?"
Pandangan Rico sekilas menerawang .muncul senyum kecil di bibirnya. "Dia cewek hebat.
Cewek yang ngajarin gue segalanya. Cewek yang selalu ada tiap kali gie butuh dia. Satu-satunya
orang yang bakal selalu ada di hati gue."
Ciya mendengarkan cerita Rico sambil sesekali tersenyum kecil. Baru kali ini Ciya melihat Rico
sangat antusias terhadap sesuatu. Dia menceritakan segal hal tentang Sha-Sha dengan mata
berbinar-binar. Mulai dari saat mereka kecebur watu mancing, waktu pertama kali belajar naik
sepeda, waktu dia mengajak Sha-Sha manjat pohon, waktu dia mencuri mangga di rumah
sebelah, waktu tidur bareng di samping kolam renang, sampai saat kepergian Sha-Sha ke
Taiwan. Ciya terkadang tergelak saat Rixo meneragakan ceritanya dengan gaya-gaya aneh.
Tidak disangka ada juga sisi baik cowok ini! Tadinya Ciya pikir semua playboy itu nggak pernah
mau tahu tentang cinta. Ternyata nggak juga. Tapi satu-satunya orang yang bisa mengeluarkan
sisi baik Rico hanyalah Sha-Sha. Hanya satu orang, Sha-Sha.
"Lo sayang banget sama dia ya?" tanya Ciya.
Rico mengangguk. Tiba-tiba Ciya melihat ada sebutir kristal bening yang menetes. "Kyo..."
Rico cepat-cepat mengusap air matanya.
"Kyo...." Ciya menepuk-nepuk bahunya meniru ucapan Rico.
"Kalo mau nangis, nangis aja."
Rico menatapnya. "Siapa yang mau nangis?" ujarnya ketud.
Ciya mengeluarkan suara "cih" pelan, rasa simpatinya jadi hilang semua. Dia beranjak ke meja
belajar Rico, melihat foto itu lagi. "Anaknya lucu ya, Kyo!"
Pandangannya beralih pada kalender yang terpajang di sana. Alisnya naik. Bukan karena
kalender itu memuat foto artis seksi yang mengenakan baju renang, tapi karena dia melihat
sebuah tanggal yang dilingkari dengan spidol merah dan bertulis "My birthday".
"Kyo, lo besok ulang tahun?" tanya Ciya.
Rico mengangguk. Ciya tertawa kecil sambil menarik napas lega. "Untung deh. Tadinta gue pikir
lo alien. Ternyata li punya tanggal lahir juga, manusia beneran ternyata, hahaha...."
Rico melotot. "Heh! Nggak lucu!" ujarnya meniru ucapan Ciya.
Ciya masih cengengesan. "Bercanda.... Ada acara apa besok" Lo kan lagi nggak ada cewek, jadi
besok dirayain bareng-bareng aja. Ajak temen-temen band lo sama Natya. Ajak Yoyo juga ya."
"Eh! Yang ulang tahun siapa" Kenapa malah lo yang ngatur?"
Ciya mendesis. "Ya udah, terserah lo deh...."
Rico memutar-mutar bola matanya. "Gue mau ke Dufan. Lo ikut ya?"
Ciya mengerutkan dahinya. Tadinya Rico pikir Ciya bakal menertawakannya. Iya lah, siapa
sangka Rico kena sindrom Peterpan! Cowok umur enam belas tahun kok malah masih suka main
komidi putar" Tapi ternyata Ciya cuma menggeleng.
"Nggak ah." Rico memasang tampang jeleknya. "Kenapa?"
"Tempat itu ngingetin gue sama Billy," ujar Ciya sedih.
Rico terdiam melihat Ciya. Entah kenapa setiap ali menyebut nama Billy, cewek itu memasang
tampang sedih yang sama. "Eh...." Rico menyikut Ciya. "Sebenarnya udah lama gue mau nanya ini sama lo. Tapi takut lo
marah." "Kenapa" Tanya aja?"
"Billy itu kan kakak lo, kok lo malah...."
"Billy bukan kakak kandung gue. Dia anak angkatnya adik nyokap gue. Bibi dan paman gue udah
meninggal waktu Billy umur dua tahun karena kecelakaan mobil. Jadi, sejak itu dia tinggal sama
bokap gue. Lagian gue kan...." Ciya tidak melanjutkannya. "Ganti tempat aja ya" Jangan ke
sana!" Rico sebenarnya masih tidak puas. Tapi melihat raut muka Ciya saat ini, Rico hanya bisa
mengangguk. "Ya udah, mau ke mana?"
Ciya tampak berpikir. Alisnya bergerak-gerak. Susah juga ya! Arena ice skating (ulang tahun kok
main ice skating"), pantai (ih, kayak orang pacaran aja), kebun binatang (ini lebih nggak banget!),
apa lagi ya.... Ah iya....
"Kyo, kita barbekyu aja yuk! Kita barbekyu di sini aja! Ntar gue suru Bik Nah siapin
panggangannya sama bahan-bahannya. Ntar gue suruh nyokap Yoyo bikinin puding. Pudingnya
nyokap Yoyo enak banget! Kalo soal kue, nggak usahlah.... Udah makan daging pasti rasanya
kalo dicampur sama cake. Lagian kan udah ada puding. Teman belakang kan luas, kita barbekyu
di sana aja. Jangan bilang kita tinggal serumah , bilang aja gue udah duluan dateng. Beres,
kan?" Rico tertawa kecil sambil mengacungkan kedua jempolnya, berbarengan dengan teriakan Bik
Nah dari bawah. "NON!!! TUKANG KUNCINYA DATENG NIIHH!!!"
part* 9 Happy Birthday! Pukul 07.00 Bik Nah meletakkan dua keranjang besar di dapur___yang berisi, daging, udang, ikan, salmon,
saus barbekyu, arang, daun selada, bubuk cokelat, dan entah ada benda apa lagi___kemudian
memukul-mukul pinggangnya, pegal. Man Ujang sibuk nyulap taman belakang menjadi tempat
pesta mini. Sebuah meja bundar besar yang dikelilingi tujuh bangku plastik diletakkan di tengahtengah taman, dua panggangan beserta kipas angin___biar nggak usah capek ngipas-ngipas,
jadi pake kipas angin___dan meja kecil berjajar agak jauh di sampingnya. Rumput-rumput sudah
dipangkas rapi, kolam renang juha terlihat jernih.
Dari jam empat pagi Ciya sudah sibuk mencoret-coret daftar belanjaan yang akan diberikannya
pada Bik Nah. Dia juga yang menyuruh Mang Ujang membereskan taman. Sepertinya dia jauh
lebih bersemangat dibandingkan yang berulang tahun.
Rico sendiri sampai sekarang cuma duduk-duduk di sofa, sibuk mengangkat telepon dan
membalas berpuluh-puluh SMS ucapan ulang tahun, walaupun mama dan papanya sendiri tidak
ingat. Dia masih mengenakan celana pendek dan kaus kutung. Matanya sesekali menatap Ciya
yang sedang memotong-motong daging bersama Bik Tum dan Bik Nah. Heran, kenapa ada
cewek yang suka banget masak"!
"Heh, mandi sana!" ujar Ciya saat mendapati Rico sedang memandangnya.
"Ngapain" Lagi libur ini. Lagian yang dateng juga cuma anak band doang. Wangi kok!" ujarnya
menghampiri Ciya. "Apaan tuh?" tanyanya menunjuk jamur putih yang sedang dipotong Ciya.
Ciya hanya mengedarkan pandangan malas seakan ingin bilang, "Jorok banget sih nih cowok!"
"Yee, nggak percaya kalo gue wangi" Nih cium!" Rico membuka ketiaknya lebar-lebar ke depan
muka Ciya. Dan..... Plukkkkk seonggok daging tepat mendarat ke muka Rico.
*** "Happy birthday!"
Natya langsung menghambur ke dalam rumah. Tangannya membawa satu kotak besar berpita.
"Nih, kadonya! Tapi patungan sama anak-anak bertujuh," ujarnya nyengir sambil menunjuk
kawanan cowok di belakangnya. Viktor, Rangga, Dan Christian melongokkan kepalanya dari
balik pintu. "Hei, man! Happy birthday!"
Rico tersenyum, ber-high five ria. Kalau mau jujur, baru kali ini dia merayakan ulang tahunnya di
rumah. Mmm..... Nggak pernah dirayain sih tepatnya. Paling-paling cuma traktiran ala kadarnya,
kalo nggak ya... Paling-paling juga kencan sama mantan-mantannya. Tapi.... Tunggu....
Bertujuh?" Siapa aja" Natya, Viktor, Christian, Rangga.... Dua lagi pasti Ciya sama Aldy. Tapi
satu lagi?" "Eh, kadonya patungan berenam, kali. Bertujuh sama siapa lagi?" tanya Rico. Berbarengan
dengan itu, muncul lagi satu sosok cewek dari balik pintu.
Oh, my God! Dia lagi?"!!
Christian tersenyum melihat perubahan mimik muka Rico. "Tenang.... Dia udah jinak kok!" lalu
dia merangkul Jessica dan membawanya ke depan Rico. "Dia cewek gue sekarang."
"Haah"!" Rico melongo. Tapi Jessica hanya senyum-senyum.
Ceritanya begini. Ternyata sebulan yang lalu, setelah Rico marah habis-habisan karena Jessica
ngelabrak Ciya. Christian tidak sengaja menemukan cewek itu sedang menangis sendiri di depan
kamar mandi. Tanpa sadar, kakinya melangkah begitu saja.
Tau-tau lima menit kemudian mereka ngobrol panjang lebar. Dan ternyata alasan sebenarnya
Jesse ngelabrak Ciya bukan karena dia merasa Ciya merebut Rico.
"Tadi gue ngeliat Ciya nerima bunga dari cowok lain. Gue cuma nggak pengen Ciya melakukan
hal yang sama kayak gue. Gue nggak mau ada orang yang nyakitin Rico lagi. Tapi ternyata dia
malah salah paham." Saat itu Christian jadi merasa ternyata Jesse tidak sejahat yang diceritakan kebanyakan orang.
Apalagi, dia juga sangat cantik. Sejak itu, dimulailah pertualangan mereka. Awalnya SMS-an,
membicarakan Rico, kemudian telepon. Dari pembicaraan tentang Rico dan Ciya beralih tentang
Christian, kemudian belajar bareng. Ngomongnya sih demi persiapan UTS, nyatanya cuma
ngobrol doang. Dan dari topik tentang Christian beralih menjadi topik tentang Jesse. Dari topik
tentang Jesse berputar lagi menjadi topik tentang Christian dan Jesse. Akhirnya.... Yah begitu
deh. "Iya, gue juga tadi pas jemput si Chris. Tahu-tahu aja ada Jesse di rumahnya. Jadi tenang aja,
Ric. Saingan lo buat ngedapetin Ciya berkurang satu," ujar Viktor cengengesan.
"Eh, Ciya mana" Belom dateng ya?"
"Udah, tuh di taman. Lagi bantuin naro makanan."
Tanpa berpikir dua kali, Natya langsung ngacir ke arah sahabatnya itu. "Ciyaaaaaa....!"
*** Jangan ditanya bagaimana tampang Ciya saat melihat cewek, yang menurutnya berdada
tempayan, melongokkan wajahnya di taman. Kalau tidak ada Natya yang mendekapnya habishabisan, mungkin Icya sudah membuat Jesse menjadi pengganti daging panggang. Setelah
diberi penjelasan panjang-lebar oleh Christian, akhirnya Ciya berhenti mengamuk. Jessica malah


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengulurkan tanganya untuk minta maaf. Wuaah.... Hebat juga si Christian!
Hari ini bisa dibilang sebagai hari teramai sejak Ciya melangkahkan kakinya ke sini. Cewekcewek sibuk panggang-panggang, sedangkan cowok-cowok sibuk nyanyi-nyanyi sambil main
gitar. Ciya sesekali menatap sebal ke arah mereka. Kenapa sih cowok-cowok itu selalu tidak
punya inisiatif?"! Kalo segitu sukanya sama musik, kenapa nggak jadi pengamen aja sekalian"
Tapi berhubung Natya sudah sibuk menceramahinya panjang-lebar___"Sekali-sekali nggak papa
lah, Ci. Kan hari ini ulang tahunnya Rico. Jadi hari ini dia nggak perlu ngapa-ngapain. Lagian kan
sekalian juga ngerayain jadiannya Jesse sama Christian terus sekalian ngerayain persahabatan
lo sama Jesse juga trus bla.... bla...."___Ciya jadi malas berkata-kata lagi. Jessica juga
tampaknya kewalahan mengatasi hobi berbicaranya Natya itu. Jadi, dia sesekali hanya meringis
saat Natya berbicara tanpa titik koma.
"Eh....," Natya menyenggol Ciya, "Lo bener-bener nggak ada apa-apa sama Rico?"
Ciya mendelik. Saking seringnya Natya menanyakan hal itu, Ciya ingin sekali menyumpal mulut
cewek itu dengan daun selada dan udang mentah. Tapi sepertinya Natya tidak mengerti.
"Tenang aja. Jesse kan udah nggak ngejar-ngejar Rico lagi. Ya, kan?" Natya memalingkan
wajahnya ke Jessica yang hanya menonton mereka bekerja. Sebenarnya Jessica juga mau
membantu. Tapi waktu disuruh memotong daging, Jessica malah memotong jarinya sendiri. Saat
disuruh membalik daging yang di panggang, dia malah membuat daging itu jatuh ke arang.
Alhasil, Ciya melarangnya menyentuh apa pun. Jadi Jessica hanya menonton saja.
"Iya, soal yang kemaren itu, maaf ya." Jessica tersenyum. Ciya sampai melongo. Beda sekali
Jessica hari ini dengan rok mini, masih pake make-up yang tebelnya setengah senti, masih
ngomong dengan suara selembut burung camar dan nggak becus disuruh ngapa-ngapain,
setidaknya tingkah lakunya hari ini sudah membuat Ciya agak berubah pikiran.
Ciya mendecakkan lidahnya. "Mau sampe kapan lo baru bosen nanyain gue soal itu" Gue aja
sampe bosen ndengerinnya! Heran gue....."
Natya mencibir. Mestinya dia yang heran, bilang nggak ada apa-apa, tapi Ciya deket banget
sama Rico. Sejak dia jadian sama Viktor, jarang banget Rico gabung sama mereka berdua. Tapi
sejak ada Ciya, apalagi sejak insiden pacaran pura-puranya mereka, mereka berempat jadi
sering bareng. Ke kantin bareng, praktikum satu kelompok, ngobrol bareng. Hari ini aja Ciya yang
dateng duluan. Masih bilang nggak ada apa-apa.
*** "Gue nggak nyangka lo bisa jadian sama Jesse," ujar Rangga sambil menyuapkan sepotong
daging ke mulutnya. Telunjuknya mengarah ke seorang cewek berambut pirang yang berada tiga
meter di samping mereka. Cukup jauh agar mereka tidak mendengar pembicaraan masingmasing.
Christian cuma cengar-cengir. "Gue juga nggak kepikiran kok sebelumnya. Tapi ternyata
nyambung aja. Lagian anaknya ternyata nggak sejahat yang gue kira kok." Dia mengalihkan
pandangannya ke Rico. "Lo nggak mau jadian beneran sama Ciya" Baru kali ini gue ngedenger
Enrico Leman pura-pura pacaran." Christian meneguk Cola-Cola-nya. "Kenapa" Ciya nggak
tertarik sam lo ya?"
Rico tersentak. Gengsinya terlalu besar untuk sekadar menganggukan kepala. Tapi sepertinya
tanpa mengangguk pun Christian sudah mengerti, buktinya dia ketawa terpingkal-pingkal.
"Hahaha.... Bener ya" Kacau juga tuh cewek! Baru kali ini gue liat ada cewek yang nggak nafsu
sama lo. Tinggi juga seleranya."
Rico mendengus mendengar sahabatnya berkata begitu. "Kenapa" Seneng ya" Gue juga nggak
tertarik sama dia kok."
Viktor berhenti memetik gitar dan tertawa. "Yakin lo, nggak ada apa-apa" Terus tadi Ciya dateng
ke sini sama siapa?"
"Hah" Itu.... ngg.... itu.... Tadi gue jemput." Rico memamerkan tawa terpaksanya. Otaknya tidak
bisa memikirkan alasan lain yang lebih menyakinkan.
"Tuh kan! Dibela-belain jemput. Masih bialng nggak ada apa-apa," sembur Viktor.
"Lagian....," sambing Christian, "baru kali ini gue liat lo betah nggak nyari pacar selama lebih dari
dua bula9. Lo udah jomblo tiga bulan, man! Nggak nyadar ya" Udah gitu, selama gue temenan
sama lo baru kali ini gue liat lo nggak tertarik sama cewek yang naksir sama lo." Christian
menyuap sepotong daging. "Lo tahu kan, si Henny naksir banget sama lo" Tapi reaksi lo malah
biasa aja. Sebelumnya, nggak perlu mikir dua kali udah lo embat! Dan ga
ya tebar pesona lo udah berkurang.....JAUH!!" Christian mendengus. "Gue aja nyadar. Masa lo sendiri nggak nyadar!"
Rico tersentak. Iya juga ya, udah tiga bulan dia nggak pacaran. Tapi, entah kenapa, dia sama
sekali nggak kesepian. Biasanya dia juga selalu menyurvei cewek-cewek di setiap kelas. Tapi
belakangan ini dia memang sudah melupakannya. Bahkan lupa sama sekali. Apa iya semua itu
gara-gara Ciya" "Heh!" Viktor mengibaskan tangannya di depan muka Rico. "Malah bengong! Tuh, sainganlo
dateng." Telunjuknya mengarah ke sosok cowok yang berjalan sambil membawa kotak persegi.
"Puding datangg!" Ciya berteriak menghampirinya. "Lama banget sih, Yo?" kedua tangannya
mengambil puding tadi. "Nih," Aldy menyerahkan satu buket mawar putih.
Ciya terkejut sebentar, lalu tertawa. "Wahh.... Baik sekali."
Dia menggandeng Aldy menuju meja panggangan. Sepertinya Aldy juga agak heran___karena
dia mengerutkan dahinya dan mengerjap-ngerjapkan mata___saat melihat Jessica ada di sana.
Dia baru mengangguk-angguk mengerti saat Ciya terlihat berkomat-kamit mengucapkan
beberapa patah kata. "Lo mesti waspada sama cowok itu. Kayaknya Ciya lebih tertarik sama dia dibanding sama lo,"
ujar Rangga, masih dengan mulut penuh makanan. "Pas di Art and Science gue liat dia ngasih
mawar juga ke Ciya."
Rico tidak menjawab. Dia masih memandang tingkah Ciya dan Aldy. Dia sendiri menyadari hal itu
sejak pertama. Entah kenapa, dia tidak suka saat melihat mereka berdua. Masa sih dia
cemburu" Rico menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Nggak mungkin! Sejak kapan dia suka
sama cewek yang depan belakang rata"
"Cheers!" Akhirnya semua daging selesai dipanggang. Dentingan gelas dan gelak tawa mewarnai siang ini.
Semua sibuk berceloteh ria dengan mulut penuh makanan. Natya saling suap dengan Viktor,
Christian juga suap-suapan dengan Jesse. Aldy juga sesekali menyuapi Ciya. Rico hanya
menelan ludah melihat pemandangan di depannya. Mestinya kan dia yang jadi bintang utama
hari ini. Kenapa malah dia yang nggak ada pasangan" Masa dia mau suap-suapan sama
Rangga" Membayangkannya saja, jadi merinding. Tapi, sepertinya, Rangga tidak peduli tuh. Dia
tetap makan dengan sekuat tenaga, sampai-sampai tidak sempat mengambil napas karena
terlalu sibuk menelan. "Sekarang mana kotak kadonya, Ric?" tanya Natya.
"Ada di ruang tamu. Emangnya kenapa?"
"Itu kan cake-nya. Kenapa nggak dibawa ke sini?" Natya bangkit. "Udah, gue aja yang ambil.
Sekalian mau ke kamar mandi."
Rico melongo. Jadi kadonya cake doang. Dasar....!
Ciya cengengesan. "Jangan ngambek! Itu ide gue, hehehe..... Waktu itu kan gue bilang nggak
usah pake cake. Biar cake-nya buat kado aja. Lagian lo kan udah punya semua. Mau ngasih apa
lagi?" Ciya mengakhiri kalimatnya dengan cibiran.
*** Natya mendongakkan kepalanya ke setiap kamar. Kamar mandinya di mana ya" Kenapa sih
rumah ini besar begini"
"Kenapa, Non?" suara Bik Nah yang tiba-tiba berada di depannya membuatnya terlonjak ke
belakang beberapa senti. Tangan Natya menepuk-nepuk dada. Aduh, nenek ini bikin kaget aja.
Nggak heran sih kalo Natya kaget. Bik Nah memang punya tampang yang agak menyeramkan.
Ditambah keriput-keriput di wajahnya, membuatnya mirip dukun di film-film. Biarpun begitu,
wanita berusia enam puluhan itu biak kok.
"Anu, Bik. Kamar mandinya di mana ya?"
"Oh, mau cari kamar mandi. Yang di kamarnya Non Ciya aja, soalnya kamar mandi di bawah lagi
dibersihin sama Mang Ujang," ujar Bik Nah menyuruh Natya mengikutinya.
"Oh, gitu...." Natya mengangguk. Sedetik kemudian, dia terdiam. Tunggu.... Tunggu dulu. Tadi
nenek itu bilang apa" Kamar Non Ciya" KAMAR NON CIYA?""
"Mmm.... Bik, tadi Bibik bilang kamar Non Ciya?" Natya menowel punggung Bik Nah.
Bik Nah menggangguk. "Iya, kamarnya Non Ciya. Non Ciya kan tinggal di sini. Emang nggak
tahu" Sejak mama Non Ciya meninggal, Non Ciya diangkat anak sama Bapak. Bibik seneng deh
sama Non Ciya. Sejak Non Ciya datang, Mas Rico jadi sering ketawa. Biasanya.... Lho?" Bik Nah
melongo melihat dia tinggal begitu saja oleh Natya yang langsung lari kembali ke taman. "Non,
nggak jadi ke kamar mandinya" Ntar sembelit lho, Non!"
Natya kembali dengan napas terengah-engah. Telunjuknya mengarah ke Rico dan Ciya
bergantian. "Lo.... hhh..... hah...." Natya mengelus dadanya, mencoba menenangkan
jantungnya. "Hhh.... lo.... hh.... Tinggal serumah?"
*** Ciya meneguk Cola-Cola-nya banyak-banyak, sedangkan Rico sibuk menjelaskan duduk
perkaranya. Dia merasa seperti di persidanan. Semua mata mengarah ke mereka berdua.
Okelah, kecuali Aldy. Tapi kan itu karena dia udah tahu.
"Jadi begitu...." Viktor manggut-manggut. "Pantes aja lo ditutup-tutupi sih" Emangnya kalo kalian
tinggal serumah, kami bakal mempermasalahkan itu" Nggak, nggak?"
Ciya mencibir. "Tuh, si Rico tuh, gengsi dia."
Rico hanya mendelik. "Udah puas semuanya" Yang jelas, jangan ada yang bocorin ini ya. Gue
nggak pengen ada anggapan yang nggak-nggak soal gue dan Ciya."
Viktor memukul bahu sahabatnya. "Dasat! Tenanglah, kayak baru kenal kami aja. Pake
rahasiaan segala. Udah, potong kuenya! Aduh...."
Natya memukul kepala Viktor. "Heh! Mainp potong aja, nggak sopan! Tiup lilin dulu."
Lima belas menit kemudian semuanya sibuk kejar-kejaran sambil saling mencolekkan krim. Dan
di sela-sela keributan itu, Aldy menghampiri Rico.
"Gimana" Udah ketemu?" bisiknya.
Rico menggeleng. "Belum, kayaknya nggak gampang deh. Tapi tenang aja. Gue lagi usahain.
Mudah-mudahan dalam waktu beberapa bulan ini bisa ketemu. Lo gimana?"
Aldy menggeleng. "Gue juga belum...."
"Hiiiaat!!!" Ciya mengoleskan seluruh krim di tangannya ke pipi Aldy sambil tertawa lebar-lebar.
"Ngapain berduaan" Kayak homo aja. Nih....." dia mengoleskannya lagi di pipi Rico. Kemudian
kembali tertawa lebar sambil berlari menghindar saat Rico dan Aldy mengajarnya.
*** Rico termenung di balkon kamarnya. Angin malam sesekali menyapu wajahnya. Dia menengok
ke samping dan mendapati kamar Ciya sudah gelap. Dia pasti sangat lelah setelah seharian tadi,
sampai-sampai baru kali ini Rico melihat tertidur tanpa melihat bintang-bintang terlebih dulu.
Rico menengadahkan wajah. Apa sih bagusnya bintang" Bintang itu kan cuma titik-titik kecil di
langit, itu pun kalo lagi keliatan. Kalo lagi mendung, sampe mata mau copot pun pasti nggak
bakal keliatan. Huff..... Rico mengembuskan napas panjang. Kata-kata Christian tadi siang terngiang-ngiang di
telinganya. Masa sih dia jatuh cinta beneran sama Ciya" Mau dipikir berapa kali pun, satusatunya cewek yang mengisi hari-harinya belakangan ini memang Ciya. Sampai-sampai dia
sendiri lupa udah jomblo berapa lama. Biasanya nggak sampai sebulan, Rico pasti sudah
menargetkan incaran baru.
Rico tersenyum. Lucu juga ya" Pertama kali Ciya ke sini, dia benci setengah mati sama cewek
itu. Tapi sekarang, nggak melihatnya sehari saja rasanya pasti akan aneh. Sejak Ciya
merawatnya malam itu, Rico sendiri menyadari ada sesuatu yang menarik dari cewek itu. Ciya itu
spesial. Seseorang yang istimewa. Bukan istimewa karena dia secantik Katie Holmes, juga
bukan karena dia seseksi Mariah Carey. Ciya nggak cantik. Dia hanya cewek jangkung bertubuh
kurus dan.... Berdada rata. Mungkin satu-satunya kelebihan fisik yang dimiliki Ciya hanya kulit
kuning langsat yang mulus dan sepasang bola mata belo yang selalu berbicara.
Tetapi disaat mendekatkan diri padanya, ada sesuatu yang membuat siapa pun merasa sangat
nyaman berda di dekatnya. Saat Rico sedih, Ciya bisa membuatnya tertawa tanpa henti. Saat
Rico kesal, Ciya bisa membuatnya lupa akan segala hal. Walaupun banyak tingkah menyebalkan
Ciya yang bisa membuat Rico jengkel setengah mati, Rico tidak pernah bisa benar-benar marah
padanya. Ciya terlalu berbeda dengan semua cewek yang pernah dikenalnya. Apa pun yang ada di pikiran
Cia pasti akan dikeluarkan begitu saja. Tidak pedulu apakah kata-kata itu akan sangat
menyakitkan, atau malah sebaliknya.
Ciya bisa menjadi setegar tembok Cina dan di saat lain bosa tajam seperti mawar. Walaupn di
saat manja, Ciya lebih memuakkan dibanding putri malu, tapi di saat Rico memergokinya
menangis diam-diam, cewek itu menjadi serapuh kapas.
"Tuh, saingan lo dateng...."
Tiba-tiba Rico teringat sosok itu. Sosok yang semakin lama semakin membuatnya penasaran.
Apa sebenarnya hubungan mereka berdua" Rasanya aneh kalo cuma sekadar teman masa
kecil. Kalau mau jujur pun, Rico merasa kalah telak dengan Aldy.
Aldy sangat mengerti Ciya. Semua kesukaan, semua hal yang bisa membuat Ciya sedih, semua
hal yang bisa membuatnya tertawa terbahak-bahak, Aldy tahu semuanya. Satu hal lago, Aldy
sangat baik... Malah terlalu baik. Terhadapa semua teman Ciya maupun terhadap Rico sendiri,
dia tidak pernah menampakkan sesuatu yang dinamakan cemburu. Padahal Rico sangat yakin,
Aldy sangat menyukai Ciya. Ciya sendiri juga pernah bilang bahwa dia menyukai Aldy. Rico jadi
tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi.
Tapi satu hal yang Rico tahu, saingan terbesarnya saat ini bukanlah Aldy. Melainkan..... Billy!
part* 10 Dunia Fantasi Kalau sosok itu sudah tak lagi terjangkau, haruskah melepaskannya"
CIYA bangun dengan mata setengah tertutup. Sinar matahari yang menembus jendela kamarnya
memaksa dia meninggalkan mimpinya.
"Aduh, Kyo," Erang Ciya, menutup kepalanya denan bantal.
"Bangun!" Rico menarik bantal Ciya lalu duduk di sebelahnya.
"Ngapain sih" Masih ngantuk!" Merasa kehilangan bantalnya, Ciya menarik selimutnya tinggitinggi.
"Bangun! Udah jam sepuluh!" Rico mengguncang-guncang badan Ciya. "Kita ke Dufan!"
"Nggak mau! Gue masih ngantuk! Lo pergi sendiri aja sana!"
"Bangun!" Rico meloncat ke badan Ciya dan membuka selimut yang menutupi wajah cewek itu.
"Apa mau gue cium?" Rico mendekatkan wajahnya ke muka Ciya yang masih setengah melek.
Ciya hanya menutup mukanya dengan kedua telapak tangan tanpa berkata apa-apa.
"Rico mendengus. Dasar cewek kebo! "Bangun! Ayo, bangunnnn!!!" Rico mengguncang-guncang
bahu Ciya kuat-kuat. Tapi kemudian.....
"Hiiyyyaaaawwww....." Gabruk!!
Lutut Ciya tanpa sengaja menendang punggung Rico, dan tangannya mendorong tubuh cowok
itu sampai jatuh terlentang di lantai. Ciya akhirnya duduk tegak dan memamerkan tampang
marahnya. Matanya mencari-cari sosok pengganggu itu. Tapi begitu melihat Rico meringis di
bawah ranjang. Ciya malah tertawa keras.
"Makanya, gangguin mulu sih!"
*** Rico melepas sabuk pengamannya. Ciya masih memamerkan tatapan kesal. Setelah berantem
dan pukul-pukulan bantal selama satu jam, akhirnya Rico berhasil menyeret cewek itu ikut ke
Dufan. "Kenapa sih"! Gue kan udah bilang nggak mau ke sini. Kenapa nggak pergi sama yang lain aja?"
Rico mendesis. Dia nggak habis pikir kenapa ada cewek yang begitu keras kepala.
Ciya membenturkan kepalanya pada sandaran bangku. "Lo tuh kenapa sih" Salah makan ya"
Kemarin kan gue udah bilang, tempat ini ngingetin gue sama Billy. Gue nggak mau turun!"
Rico mendengus. "Heh.... Mau sampe kapan kayak gitu?" tanya Rico. "Mau sampe kapan lo
menghindar begitu?" "Menghindar apa?" Ciya mendelik. "Apanya yang menghindar?"
"Sampe kapan lo mau menghindar dari bayangan Billy"!" Rico menatapnya tajam. "Daripada
sibuk menghindar, lebih baik lo hadapin!"
Ciya mendengus. Bisa-bisanya cowok itu menceramahinya panjang-lebar. "Cih.... Elo sendiri"
Apa lo bisa ngelupain Sha-Sha?"
Rico menaikkan sebelah alisnya. "Siapa yan ngomong soal ngelupain" Gue nggak bilang lo
mesti ngelupain. Dia emang udah ada dalam ingatan lo. Sekeras apa pun elo mau ngelupain dia,
itu mus-ta-hil! Tapi seenggaknya, bisa kan, lo mengubah ingatan itu menjadi kenangan" Bukan
menyimpan ingatan tadi menjadi sesuatu yang menyakitkan. Bisa, kan?"
*** Ciya melangkah ragu. Memandang keseluruhan tempat ini dengan perasaan takut. Sedikit rasa
kangen menyelubungi hatinya. Terakhir kali ke sini, waktu dia kelas 3 SMP. Barisan mbak-mbak
yang bersiap-siap mengecap setiap tangan yang masuk membuat jantungnya berdetak keras.
"Chiara, sini!" Billy memanggilnya. Dia menggenggam tangan Chiara dan merangkulnya. "Hari ini
kita nge-date! Okay!"
Kalau saja Rico tidak menarik tangan Ciya, mungkin Ciya akan tetap mematung di depan loket
selamanya. Dengan mengandalkan senyum mautnya kepada si mbak pemegang stempel, Rico
mengambil cap Dufan dan tanpa ba-bi-bu lagi langsung memukulkannya ke tangan Ciya.
"Ayo, masuk!" Rico menarik lengan Ciya. Tapi, belum dua langkah Ciya menepisnya.
"Gue bisa masuk sendiri," ujarnya cemberut. Maunya apa sih cowok itu" Kenapa mesti maksa ke
sini" Ciya memandang sekelilingnya. Banyak yang berubah. Malah hampir semuanya berubah.
Sekilas semua kenangan kembali berputar ulang.
"Chiara...." Ciya berdiri mematung. Itu suara Billy.
"Chiara.... Chiara...."
itu Billy, itu suara Billy.
Ciya melihat ke sekelilingnya.
Di setiap sudut, di setiap tempat, dia melihat sosok Billy di sana. Billy yang tersenyum, Billy yang
melambaikan tangan, Billy yang tertawa.
Ciya merasakan detak jantungnya mulai tidak teratur.
"Chiara...." Ciya menutup telinganya. "Jangan panggil gue Chiara!!!"
Tapi semakin kencang dia menutup telinganya, suara itu semakin jelas. Ciya berjongkok.
"Jangan panggil gue Chiaraa!!"
Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipinya. Semua bayangan itu hilang. Berganti sosok Rico yang
ikut jongkok di depannya. Tangannya mencengkeram pipi Ciya erat-erat.
"LO PIKIR BILLY BAKAL TENANG KALO TAHU ELO KAYAK GINI"!" Rico tidak bakal mampu
lagi menahan emosinya . Kenapa Ciya yang di hadapannya sekarang menjadi begitu rapuh"
Kenapa Ciya yang dikenalnya berubah menjadi sangat cengeng" Kenapa Ciya sekarang ini


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi begitu pengecut"
Inikah sosok asli Chiara" Chiara yang sangat ingin melupakan masa lalunya"
"Denger!" Rico memaksa Ciya memandang matanya. "Walaupun gue nggak kenal siapa itu Billy,
biarpun gue nggak tahu kenapa dia ngelakuin semua itu, gue percaya, kalo dia ngeliat lo kayak
gini, dia pasti bakal kecewa karena pernah sayang sama cewek aneh kayak lo!"
Ciyam menangis. Dia sungguh ingin menangis. Tapi air matanya tidak bisa keluar. "Trus
kenapa?" tanyanya memandang Rico. "Trus kenapa kalo emang dia sayang sama cewek aneh
kayak gue" Kenapa...." Belum selesai Ciya bicara, tiba-tiba Rico memeluknya.
"Kalau mau nangis, nangis aja sepuasnya. Kalau mau teriak, teriak aja sepuasnya! Nggak usah
disimpen lagi. Lo mesti percay, apa pun itu, dia pasti pengen elo bahagia."
*** "Nggak mau naik itu!" teriak Ciya saat Rico menariknya ke arena Kora-Kora.
"Kenapa" Di sini elo bisa teriak sepuasnya. Ayo naik!" Rico menarik Ciya sekuat tenaga.
Menyeret tepatnya, karena kaki Ciya bergeser secara bersamaan.
Sebenarnya, Ciya tidak mau naik bukan karena takut akan kenangan dengan Billy. Tapi karena
dia.... Memang takut. Saat perahu itu berayun perlahan, Ciya memegang palang besi di
depannya kuat-kuat, sampai buku-buku jarinya memutih. Tadinya dia ingin berteriak, tapi begitu
perahunya mulai meninggi, dia malah mengcengkeram lengan Rico dan menyembunyikan
wajahnya di bahu Rico. Boro-boro teriak, nggak pingsan aja udah bagus.
"kenapa nggak bilang kal elo takut!" omel Rico mendapati tangannya___saking dicengkeram
terlalu keras___nyut-nyutan saat turun dari Kora-Kora. "Liat nih, sampe merah begini." Dia
menunjukkan capl ima jari yang masih berbekas.
Ciya mendelik. Wajahnya pucat. "Tadi kan gue udah bilang nggak mau naik. Salah sendiri
maksa." Tangannya masih mendekap mulutnya menahan takut. Tiba-tiba mata Ciya berbinar.
"Beliin gue itu dong!" Ciya berlari menuju penjual arum manis.
Rico menggelengkan kepalanya. Dasar cewek aneh! Sebentar marah, sebentar ketawa, sebentar
sedih. Hih! "Heh, mana duitnya?" Ciya menunjuk arum manis ukuran superbesar yang dibawanya. "Udah
gue makan nih! Tuh, abangnya nungguin. Kan gue nggak bawa duit. Elo yang bilang kalo...."
Rico menempelkan selembar lima ribuan ke muka Ciya. "Bayar sana! Dasar cerewet! Makan
mulu kerjanya! Kalo gigi lo bolong-bolong baru tahu rasa," omel Rico meninggalkan Ciya menuju
wahana berikutnya. "Apa sih"!" dengus Ciya sambil menyerahkan gocengan itu ke tukang arum manis. "Makasih ya,
Bang." Lalu dia berlari mengejar Rico
*** Power Surge baru saja berhenti. Tanpa memakai sandalnya lagi, Rico tiba-tiba langsung berlari
meninggalkan Ciya___yang masih gemeteran dijungkir-balikkan sampai 180 derajat. Rambut
panjangnya kusut, membuatnya mirip tokoh Hermione di film Harry Potter yang selalu tampil
dengan rambut mengembang dan awut-awutan. Ini juga salah satu alasan Ciya nggak mau naik
motor. Rambutnya gampang banget kusut. Dan kalo udah kusut pasti susah banget dirapiin lagi.
Boro-boro rapi, kadang-kadang malah sisirnya yang patah.
Ngapain sih tuh cowok" Udah maksa naik kipas angin nggak penting begini, lamah ngabur
duluan" Ciya ngedumel sambil mengambil sandal dan tas Rico dengan tangannya yang gemetar.
Kakinya masih belum bisa menapak dengan benae, sehingga dia berjalan seperti orang
sempoyongan. "Kyo, elo di man...." Ciya tidak melanjutkan perkataannya saat melihat Rico jongkok di selokan
mengeluarkan semua isi perutnya. Hah?" Yang bener aja" Cowok jagoan itu bisa muntah"!
Tadinya Ciya ingin berlari ke sana dan membantu, karena dia memang khawatir. Tapi sepertinya
hormon tertawanya lebih dulu bekerja.
"Huhahaha.... Cowok jagoan kok muntah!" Ciya mengusap-usap leher Rico. Rico ingin sekali
melotot dan menghajar Ciya, tapi perutnya tidak bisa kompromi.
"Hoeek...." *** Ciya berlari menghampiri Rico yang terduduk lemas di kursi taman di depan McD.
"Nih...." Ciya mnyerahkan sekantong besar makanan. "Sori, ngantrenya lama banget." Dia
mengipas-ngipas dengan tangan kanannya. "Haduh, ngapain makan di sini sih, Kyo" Panas, tau!
Kalo di dalem kan ada AC." Tangannya mengambil sebungkus Beef Burger dan satu cup CocaCola.
Rico tidak memedulikan ocehan Ciya. Dia sudah sangat kelaparan. Dua Big Mac aja sanggup
dihabisin sekali suap. Nggak ding, ekstrem.
"Eh...." Rico menyikut Ciya. "Ngu.... Sebuuk.... Tu.... Kan?" tanyanya dengan mulut masih penuh
berger. "Hah?" Ciya menajamkan telinganya. "Heh! Kalo ngomong, abisin dulu makanannya. Gue nggak
ngerti lo ngomong apa."
Alih-alih menelan, Rico malah tersedak, batuk-batuk sampai mengeluarkan air mata. Semua
yang ada di mulutnya berhamburan ke mana-mana. Ciya langsung melotot dan refleks berdiri.
Haduh.... Cowok ini!! "Minum.... Minum...." Cia menepuk-nepuk punggung Rico dan menyerahkan Cola-Cola-nya.
"Makanya, makan udah kayak babi. Nggak digigit, main telen aja. Pelan-pelan makannya. Tuh,
liat." Ciya menunjuk bajunya yang penuh percikan roti dan saus. "Jadi, kotor deh." Ciya
mengelapnya dengan tisu. Rico tidak mendengar kata-kata Ciya. Membuat makanannya kembali ke jalur yang benar aja
udah susah payah. Gimana mau dengerin Ciya"
"Tadi gue bilang 'Nggak seburuk itu, kan?" ujar Rico setelah semuanya tenang.
"Apanya yang nggak seburuk itu?" Ciya bicara dengan mulut yang agak berlepotan karea Mc
Flurry-nya sudah agak mencair.
Rico tidak menjawab. Matanya tepat menatap mata Ciya dalam-dalam. Sesaat Ciya merinding.
Mata itu.... Mata itu persis seperti mata Billy. Di balik selaput hitam-putih yang menyorot tajam itu
ada keteduha. Keteduhan yang selalu di dapatkannya dari Billy. Tapi, kenapa justru mata Rico
yang memiliki keteduhan yang sama"
Ciya buru-buru mengalihkan pandangannya. Dia takut.... Takut ada sesuatu yang l uruh, jauh di
dalam relung hatinya. Rico mengambil sejumput rambut Ciya dan memainkannya. "Yang namanya obat itu pasti
rasanya pahit. Justru karena pahit baru berkhasiat. Kalo dikasih gula, malah jadi nggak
berpengaruh. Makanya biar pahit, lo mesti tahan. Seenggaknya elo mesti sembuh dari semua
ketergantungan lo." Ciya menepis tangan Rico dan mengerutkan dahinya. "Lo ngomong apa sih" Semua orang juga
tahu kalo obat itu pahit. Tapi waktu kecil, gue suka kok minum obat pake gula. Tetep aja
berkhasiat. Lagian emangnya gue ketergantungan apaan" Lo kira gue pake narkoba" Ciya
menyorongkan bibirnya. "Dasar aneh!"
Cewek ini! Rico jadi ragu sebenarnya Ciya beneran pinter nggak sih" Masa juara kelas IQ-nya
jeblok" Rico kan tadi menggunakan perumpamaan.
"Eh...." Ciya menepuk bahu Rico. "Hari ini sebenarnya kenapa" Kenapa ngajak gue ke sini"
Kenapa hari ini tahu-tahu lo jadi baik" Ada maksudnya apa?" tanya Ciya sambil meminum ColaCola-nya. Mc Flurry-sudah habis.
Rico terdiam. Matanya memandang Ciya lekat-lekat. "Karena gue suka sama lo."
Ciya melongo. Sepertinya dia merasa ada yang tidak beres dengan telinganya. "Hah" Tadi lo
bilang apa?" Rico mendengus. "Gue bilang gue suka sama lo."
Ciya mengerjapkan matanya.
Sedetik.... Dua detik.... Tiga detik.... Empat detik....
"Huahuahahahahaha...." Ciya tertawa geli. Tapi kemudian. "Nggak lucu!" Dia merengut. "Nggak
bosen-bosennya iseng sama orang." Ciya bangkit dari duduknya. "Udah ah, sekarang kita main
lagi! Gue udah kenyang." Ciya menarik tangan Rico yang masih menatap denga9 pandangan
tidak percaya. *** Berhubung Ciya takut Rico muntah pagi, akhirnya mereka memutuskan melakukan permainan
yang "tidak berbahaya.". Ciya yang memegang kendali permainan apa saja yang boleh dan tidak
boleh dinaiki. "Pertama.... Komidi putar!!"
Rico melotot. Berkali-kali dia merasa tidak enak dengan anak-anak kecil yang berada di kiri dan
kanannya yang memandang mereka dengan tatapan aneh. Sementara Ciya sepertinya
menikmatinya saja. "Istana boneka...."
Whaattt!!! Istana boneka" Apaan tuh" Seumur-umur Rico nggak pernah masuk ke wahana nggak
penting itu. Kalau saja Ciya tidak selalu menepuk-nepuknya untuk menunjuk-nunjuk bonekaboneka yang cuma bisa geleng-geleng itu, mungkin Rico bisa tidur lelap di sana.
"Rumah miring!"
Berkali-kali Rico hampir terpeleset di dalam sana. Sandal yang dia pakai hari itu memang agak
licin. Jadi berkali-kali juga dia menarik baju Ciya. Untung aja pengunjung yang masuk ke sana
sedikit. Jadi, waktu Rico dan Ciya jatuh berbarengan, nggak ada yang ngeliat. Paling-paling Ciya
cuma ngedumel. "Rumah cermin!"
Mati deh! Kenapa begitu banyak rumah dan istana"! Rico hampir mati di dalam sana. Ciya
sengaja masuk belakangan. Tapi sampai Ciya keluar, Rico tetap berputar-putar di dalam sana
kurang-lebih setengah jam. Malah pake acara kepentok kaca segala. "Jangan cerewet! Siapa
suruh maen beginian. Gue nggak pernah masuk ke sana tahu!" bela Rico saat Ciya mengatainya
sambil ketawa-tawa. Jadi begini nih gaya pacarannya Billy dan Ciya kalau ke Dufan. Hebat juga ya si Billy, bisa tahan
ngadepin cewek kayak gini. Rico aja udah hampir gila.
"Wuahh.... Capek juga yaa...." Ciya merentangkan tangannya dan menarik napas panjangpanjang saat berada di atas Bianglala. Angin berembus agak kencang saat mereka berada di
posisi puncak. Rico terduduk lemas. Tahu gini nggak ada deh acara saingan sama Billy.
"Liat tuh.... Pantainya keliatan." Ciya menunjuk ke arah kejauhan. Matahari sudah mulai
tenggelam. Bias-bias keemasan mulai memudar. "Hari ini.... Makasih ya....," ujarnya tersenyum
sambil menatap Rico. Lagi-lagi senyum itu.... Saat tersenyum seperti itu, Rico merasa Ciya terlihat cantik.
"Sebenernya.... Gue ngerti kok maksudnya." Ciya tertawa kecil. "Itu lho... Tentang pepatah obat
pahit. Gue juga ngerti kok alasan sebenernya lo ngajak gue ke sini. Gue nggak nyangka lo bisa
mikir sejauh ini. Ketakutan akan kenangan dilawan dengan kenangan. Ternyata manjur juga."
Ciya manggut-manggut. "Billy memang sosok yang paling berarti. Tapi.... Di saat dia hilang, gue nggak harus hilang
bersama dia. Ya, kan" Maksud lo itu, kan?" Ciya kembali tersenyum. "Eh.... Tapi jangan
ngomong suka sama orang sembarangan, tahu! Entar kualat. Sampe suka beneran sama gue,
baru tahu rasa lo!" Rico ikut tertawa. Ternyata hari ini nggak terlalu buruk juga. Dia malah mulai menikmati angin
yang menerpa wajahnya dan wajah cewek di depannya.
Ciya mengikat rambutnya. Hanya poni dan anak-anak rambutnya yang masih bergerak-gerak
tertiup angin. Jari Rico terulur untuk menyampirkan anak rambut Ciya ke belakang telinga.
Lo cantik...." dua kata itu meluncur begitu saja dari mulut Rico.
"Haiya...." Ciya merinding. "Kenapa semua cowok playboy selalu ditakdirkan bermulut manis?"
part* 11 Masa Lalu Hitam VA-LAUCH CAFE.... Akhirnya Rico menemukan kafe ini setelah nyasar selama satu jam. Dia memarkir motornya di
samping pohon bear dekat pintu masuk.
"Dasar sinting!" gerutu Rico saat mematikan mesin motor.
"Tuh orang nyari tempat ketemu aja kenapa susah begini."
Maklumlah, Va-Lauch Cafe memang terletak di dalam perumahan, bukan di mal-mal seperti kafe
lainnya. Tapi jangan salah, walaupun letakknya sukar dicari, banyak yang datang jauh-jauh dari
Bandung dan Bogor cuma buat nyobain es krimnya. Tempatnya juga lumayan gede.
Seorang pelayan menyambut saat Rico membuka pintu kafe. Sesaat dia tercengang melihat
ruangan dalam kafe itu. Dari luar memang biasa aja, tapi dalamnya bagus banget. Kesannya
hangat. Matanya berputar mencari sosok yang satu jam lalu meneleponnya.
Aldy melambaikan tangan dari pojok ruangan.
Rico tersenyum, berjalan menghampirinya. "Gila lo, susah banget nyari tempatnya," ujarnya
menarik kursi. Seoran pelayan membawakan daftar menu. Rico membalik-balik halamannya dengan dahi
berkerut. "Mmm.... Yang enak apa, Dy?" sejujurnya sih Rico bingung dengan nama es krim yang
aneh-aneh itu. "Pesen Ferreeo Rochio-nya satu. Plus topping kacang almond ya. Sama cokelat panasnyasatu,
"ujar Aldy kepada pelayan tadi kemudian tersenyum ke arah Rico. "Itu kesukaan Ciya. Siapa tahu
li suka. Cobain aja."
Rico mengangguk-angguk. "Oh, begitu."
Di hadapan Aldy tersisa gelas kosong. "Udah lama nunggu ya?" Rico jadi merasa nggak enak.
"Lumayan. Sebenernya ini udah gelas kedua." Aldy tertawa. "Nggak papa kok. Kalo belom
pernah ke sini, emang susah nyari tempat ini." Aldy menyerahkan secarik kertas. "Gue uah dapet
sedikit kabar. Katanya dia tinggal di daerah ini. Lokasinya di Bandung. Tapi masih belum pasti.
Selama dua tahun ini, tempat tinggalnya masih pindah-pindah. Belum punya pekerjaan tetap."
Rico membaca sebaris tulisan yang tertera pada kertas itu. Griya Permai.
Nama sebuah perumahan di daerah Bandung. Rico mengerutkan dahinya. Sepertinya bukan
perumahan elite. "Kalo udah ada nama tempat, mungkin gur bisa minta tolong polisi kenalan bokap gur buat
bantuin kita. Cuma.... Oh ya, makasih Mbak." Pelayan mengantarkan es krim pesanan Rico dan
cokelat pesanan Aldy. "Cuma masalahnya, bokap gue baru pulang bulan depan. Itu juga kalo
nggak ada halangan. Tapi mestinya sih nggak ada bokap pun bisa. Yang penting kan ada ini
nih." Rico mengusap-usap jempol dengan telunjuknya.
Aldy mengerutkan bibirnya. Sepertinya dia tidak yakin akan berhasil.
"Tenang aja! Pasti dapet. Lo nunggu aja kabar dari gue."
Ricom menyendok es krimnya. "Sebenerya ada yang mau gue tanyain ke elo.... Soal Ciya."
Dahi Aldy berkerut. "soal Ciya" Kenapa Ciya?"
"Sebenernya ada apa sih dengan keluarga Ciya" Apa yang membuat keluarganya hancur seperti
ini" Dan kenapa Billy tiba-tiba overdosis?"
Aldy menatapa Rico lekat-lekat. "Kenapa lo mau tahu soal ini?"
Rico mengangkat bahu. "Karena... Selama ini gue emang nggak tahu apa-apa soal dia."
Aldy mengatupkan bibirnya. Memikirkan apakah harus memberitahu atau sebaliknya, walaupun
akhirnya sebuah kalimat meluncur dari bibirnya. "Gue nggak yakin apa lo bakal suka sama
jawaban gue. Tapi...." Aldy menatap Rico sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Ciya anak
haram." Rico terbelalak. "Apa?"
dia menanti reaksi Aldy selanjutnya. Menanti Aldy akan tertawa dan bilang dia hanya bercanda.
Tapi cowok itu hanya menunduk dan terdiam. Rico meletakkan sendoknya. Dia jadi tidak
berselera. "Gue juga nggak gitu mengerti gimana persisnya. Tapi ternyata Ciya bukan anak Oom Frans.
Oom Frans itu bokapnya Ciya," Aldy menjelaskan. "Ternyata selama ini Tante Merina, nyokapnya
Ciya, itu masih menjalin hubungan dengan pria lain yang kata nyokap gue sih mantannya Tante
Merina. Dan selama ini bokapnya Ciya nggak tahu hal itu. Sampe akhirnya dua tahun yang lalu,
entah gimana Oom Frans mengetahui kalau Tante Merina masih suka berhubungan dengan pria
itu. Dan hubungan Tante Merina dan pria itu sudah berjalan dari awal perkawinannya dengan
Oom Frans. Dan menurut Oom Frans, Ciya itu bukan anak kandungnya. Tapi anak kandung pria
itu." Aldy berhenti sebentar. Dia terlihat tidak suka menggunakan kata ganti "pria itu".
"Soal Billy, dia itu cowok paling setia yang pernah gue kenal. Tapi sekaligus juga paling goblok.
Gue yakin kejadian dia overdosis itu ada hubungannya dengan Ciya. Tapi sampai sekarang gue
juga masih nggak ngerti untuk apa semua itu."
Aldy terdiam sejenak. "Itu juga yang bikin gue kalah telak dari dia. Dia pantes ngedapetin Ciya."
Rico menyingkirkan es krim yang baru disendoknya satu kali. Dia benar-benar tidak selera
sekarang. "Hebatnya lagi.... Nyokapnya Ciya bisa menutupi hal ini selam empat belas tahun! Bayangin!
Empat belas tahun! Hal itulah yang membuat bokapnya marah besar dan pergi dari rumah. Dia
nyangka istrinya selingkuh. Dia juga nggak nyangka anak yang paling disayanginya ternyata
bukan darah dagingnya sendiri.
"Sejak bokapnya pergi dari rumah, Billy luntang-lantung nyari kerjaan. Tapi zaman sekarang,
siapa yang mau nerima lulusan SMP" Akhirnya dia cuma kerja kasar, pagi-pagi jadi loper koran,
pulang sekolah jadi pelayang restoran. Udah kerja seharian, tapi uang yang didapat nggak
mencukupi. Nyokapnya sakit jantung. Buat makan aja kadang-kadang suka nggak cukup, apalagi
buat bayar obat. Kadang gue juga menawarkan pinjaman uang buat Billy. Nyokap gue juga coba
membantu. Tapi Billy dan Tante Merina menolak. Mereka nggak mau ngerepotin keluarga gue.
Tapi keras kepalanya mereka justru memperburuk keadaan mereka sendiri. Waktu itu, Billy
bener-bener depresi. Rasa tertekan itu yang membuat dia banting setir jadi pengedar narkoba."
Rico membelalakkan mata. "Separah itu?"
Aldy mengangguk. "Tapi dia cuma ngedarin. Dia sama sekali bukan pecandu. Nggak jarang juga,
Billy berurusan sama polisi. Kalo dihitung-hitung, dia pernah ketangkep lima-enam kali. Tapi Ciya
dan nyokapnya sama sekali nggak tahu, karena gue udah nebus dia duluan."
Aldy mengembuskan napas panjang sejenak. "Gue terpaksa nyuri duit Bokap buat nebus dia.
Untung aja nggak pernah ketauan. Karena setelah keluar, Billy langsung balikin duit bokap gue.
Sebenarnya gue nggak setuju dia nyari duit dengan cara kayak gitu. Tapi mau gimana lagi. Kalo
ada di posisi dia, gue juga pasti bakal melakukan hal yang sama. Dan.... Waktu Ciya tahu, dia
sempet mikir buat bunuh diri."
Rico menahan napas. "Nggak mungkin." berita apa lagi ini" Kenapa begitu banyak hal yang tidak
diketahuinya sama sekali"
Aldy tertawa sini. "Tadinya gue juga berharap begitu. Untung aja, waktu itu kebetulan Billy udah
pulang. Dia menggendong Ciya ke rumah sakit.
"Tapi, dua minggu kemudian Billy overdosis. Sejak Billy meninggal, Ciya jadi sangat pendiam.
Dia tidak pernah bicara. Kerjanya hanya duduk di kamar Billy selama berhari-hari. Nggak mau
sekolah, nggak mau makan. Hanya menangis setiap hari." Aldy menghentikan perkataannya
sejenak. Pikirannya menerawang.
Cewek itu duduk sambil bertekuk lutut di samping tempat tidur. Sudah tidak ada air mata yang
keluar. Atau mungkin sudah tidak bisa keluar. Matanya bengkak, tampangnya lebih parah
dibandingkan orang mati. Tidak menyangka sebegitu berartinya sosok Billy bagi cewek ini.
Aldy menekuk tubuhnya dan duduk tepat di sebelahnya. Cewek itu tetap bergeming. Beberapa
hari ini keadaannya memang seperti itu. Tidak bersuara dan tidak mau mengeluarkan suara. Ada
siapa pun dan apa pun di sebelahnya tidak akan membuatnya bereaksi. Mukanya sudah semakin
tirus dan pucat. Setelah kematian Billy, jangankan nasi, setetes air pun tidak yang hinggap ke


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mulutnya. Kalau ada mesin waktu yang bisa mengubah segalanya, Aldy pasti akan membeli barang itu
berapa pun harganya. Hatinya sakit melihat cewek yang disayanginya tidak lebih dari sekadar
mayat hidup. "Chiara...." Aldy mengelus rambut cewek itu. Lewat celah pintu, Aldy dapat melihat dengan jelas,
mamanya sedang menemani mama Chiara yang sedang menangis. Saat ini, pasti jadi saat yang
sangat sulit untuk wanita yang baru saja kehilangan anak dan suaminya. Apalagi, anak
bungsunya berubah jadi seperti ini.
Chiara memang tidak pernah berniat bunuh diri lagi. Tapi keadaannya sekarang ini jauh lebih
parah daripada mencona bunuh diri. Dia berusaha menutup kehidupannya dari dunia luar. Dia
menciptakan dunianya sendiri. Tidak ada yang bisa masuk ke dalamnya. Itu sama saja dengan
bunuh diri pelan-pelan. Berhari-hari Aldy menemani Chiara yang dalam kondisi seperti itu. Berusaha menyuapinya,
berusaha mengajaknya bicara, berusaha mengembalikan kesadarannya. Tapi mungkin sia-sia.
Chiara tetap diam, berhari-hari tidak mau makan, tidak mau tidur, tidak mau bicara. Hanya duduk
di samping tempat tidur Billy. Menatap kosong ke arah lantai.
Tiga minggu kemudian, Chiara masuk rumah sakit. Dia mengalami dehidrasi hebat yang
membuatnya hampir kehilangan nyawa untuk kedua kalinya. Tapi, Tuhan memang maha
pengasih. Bukan saja Chiara selamat, tapi peristiwa itu menggugah kesadarannya.
Saat membuka mata, Chiara mencium bau obat. Tangannya basah. Air mata bundanya
membasahi tangannya selama dia tidak sadarkan diri. Detik itu, Chiara menangis. Menangis gilagilaan tanpa henti.
Selama ini, hanya ada Billy dalam otaknya. Selama ini, dia terlalu terbelenggu oleh kematian
Billy, hanya ada satu nama yang mengisi pikirannya. Nama yang membuatnya tidak lagi
mengingat dunia. Nama yang membuatnya lengah dan terlupa. Dia lupa.... Dia bahkan
melupakan sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya.... Seorang bunda....
"Maafin Chiara, Ma.... Maafin Chiara...." berkali-kali diucapkannya kata-kata itu sambil terisak.
Dan kata-kata itu serasa angin sejuk yang berembus ke dalam hati mamanya. Sambil berurai air
mata, mereka berpelukan di tengah heningnya rumah sakit.
Tak urung Aldy ikut gembira. Dia telah mendapatkan Chiaranya kembali. Seorang gadis kecil
yang amat disayanginya. Sejak itu, Chiara menyimpan semua ingatan tentang Billy. Seakan-akan dia memasukkannya ke
kotak, lalu menyimpan kotak itu ke suatu tempat dan menggemboknya. Tidak ada orang yang
bisa mengambil dan menyentuhnya. Bahkan Chiara sendiri. Karena kunci gembok itu.... Telah ia
patahkan. Chiara berusaha menyimpan Billy. Berusaha tidak mengingatnya lagi. Berusah menghindari
semua kenagan dan peristiwa atas nama Billy. Dia kembali belajar untuk tertawam belajar hidup
tanpa kehadiran separuh jiwanya. Hanya saja, Chiara tidak pernah belajar untuk menerima
kenyataan. Tidak pernah belajar untuk menerima bahwa Billy telah tiada. Chiara hanya
menghindar. Aldy tepekur mengingat semua kenangan tadi. Rasanya tidak percaya kematian sahabatnya
sudah berlalu lebih dari dua tahun.
"Mungkin sangat besar pengaruh seorang ibu. Hanya karena satu tetes air mata mamanya, Ciya
berusaha bangkit. Bangkit kembali untuk membenahi kehidupannya yang sudah luluh lantak.
Ciya kembali ceria. Hanya saja, dia jadi terlalu sering tertawa. Untuk hal-hal yang nggak lucu
sekalipun, dia bisa tertawa terbahak-bahak.
"Sebenarya Ciya itu cewek pendiam. Bahkan tergolong cengeng. Untuk hal-hal kecil pun, dia
gampang sekali menangis. Dia suka menangis." Aldy memamerkan deretan giginya. Rico tahu
mata Aldy sekarang sedang memandang jauh ke masa-masa silam.
"Tapi sejak hari itu, gue nggak pernah ngeliat dia nangis lagi. Dia benar-benar mengganti air
mata dengan derai tawa. Bahkan waktu mamanya meninggal pun, Ciya nggak ngomong satu
patah kata pun. Satu-satunya kalimat yang dia bilang adalah 'Jangan pernah panggil gue Chiara
lagi!"' Aldy meneguk cokelatnya sejenak. Tiba-tiba kerongkongannya terasa sangat kering. "Sola Billy,
gue masih nggak ngerti kenapa dia berbuat begitu. Tapi gue yakin, asal kita nemuin orang itu, dia
pasti bisa ngasih alasannya. Jadi gimana pun caranya, elo mesti nemuin orang itu!"
Rico terdiam. Tidak menyangka kisah sesungguhnya serumit itu. Tadinya, Rico pikir Ciya itu
ibarat warna putih, polos, tanpa goresan tinta. Ternyata di alah. Ciya justru memiliki warna putih
itu karena di dalamnya terkandung pelangi. Kumpulan teka-teki yang membentuk cinta dan
kehidupan. "Dia harta gue yang paling berharga," Aldy mengganti topik dari tentang Ciya menjadi tentang
mereka. Tatapannya saat ini tepat menusuk ke manik mata Rico. Seakan menyuruh Rico
bungkam. Selama ini Aldy merasa jika tidak membutuhkna Billy, Ciya akan membutuhkan dirinya. Tapi dia
salah! Dia salah besar! Karena perlahan-lahan.... Dan entah sejak kapan, di dalam kehidupan
gadis itu ada sosok lain yang mengisi hari-harinya. Satu sosok yang bahkan selama ini tidak
pernah dia perhitungkan. Dan Aldy tahu telah ada celah yang menganga lebar-lebar di antara dia dan Ciya. Terdapat
jurang pemisah yang membuat Ciya terlepas dari pandangannya. Dan jika dia tidak hati-hati,
satu-satunya jembatan kecil yang menghubungkan kedua tebing itu akan ambruk karena
keteledorannya. Saat ini, kebersamaannya dengan Ciya tidak sesering dulu. Ciya memang tetap Ciya. Tapi
banyak hal yang telah berubah. Rumah mereka sudah tidak berhadapan lagi. Ciya bukanlah lagi
Chiara kecil yang dengan gampang memanjat pagar rumahnya malam-malan dan berceloteh di
sana jika sedang bertengkar dengan Billy.
Aldy cuma berpikir bahwa saingannya hanya Billy. Hanya satu orang: Billy! Dia tidak pernah
memperhitungkan akan muncul Billy-Billy lain di dalam kehidupan Ciya. Dia tidak pernah berpikir
bahwa bisa saja Ciya akan jatuh cinta pada orang selain Billy dan dirinya. Dia tidak pernah
memperhitungkan hal itu. Memang tidak ada satu pernyataan terang-terangan dari mulut Ciya tentang perasaannya saat
ini. Aldy sendiri pun sudah berjanji akan menunggu Ciya dengan senang hati. Tapi dia lupa satu
hal. Dia juga harus berjuang! Berjuang untuk mendapatkan kembali gadis yang sempat kabur
dari genggaman. Dan bukan hanya menunggu.
Meski benci, dai harus mengakui cowok di hadapannya ini bukannya sosok yang bisa dilihat
dengan sebelah mata. Hanya dalam hitungan bulan, cowok itu telah bisa mengembalikan
senyum Ciya sepenuhnya. Senyum yang bahkan tidak pernah dia wujudkan selama ini. Senyum
yang hanya Ciya tunjukkan untuk Billy. Dan di saat ia mulai menyadarinya, semua sudah
terlambat. Dan sepertinya Rico mengerti maksud perkataan Aldy tadi karena dia membalas tatapan Aldy
dengan pandangan tajam. "Oh ya"!" ucapnya dingin. "Sekarang dia juga harta gue yang paling
berharga!" Tanpa ada yang menyadari, dua kalimat tadi telah berubah menjadi pernyataan dua cowok
terhadap cewek yang sama-sama telah memberikan untaian nada dalam kehidupan mereka.
Ciya duduk di tepi kolam renang. Separuh kakinya masuk ke air. Tampangnya sesekali melihat
ke sekeliling, mencari sosok Rico yang sejak jam delapan pagi sampai jam tiga sore ini nggak
kelihatan batang hidungnya. HP-nya juga nggak aktif. "Kira-kira ke mana ya" Mentangmentang hari Minggu, pergi seharian. Dasar...." Ciya memonyongkan bibirnya.
"Non, mau jus wortel nggak?" Bik Nah berdiri di belakang Ciya sambil mengacung-acungkan dua
wortel panjang. "Iya, tapi dicampur sama jeruk aja ya, Bi. Jangan dicampur sama belimbing. Rasanya aneh
banget!" Bik Nah ini suka banget bikin jus dengan mencampur berbagai jenis buah. Hanya saja kadangkadang rasanya nggak keruan. Bayangkan saja, minggu lalu dia dicampur alpukat dengan sawo.
Dua minggu sebelumnya, dai mencampur pepaya dengan ketimun. Alpukat dengan sawo masih
bolehlah.... Tapi pepaya dengan ketimun!!! Yaiks!
Ciya menggoyang-goyangkan kakinya sehingga membentuk riak-riak kecil di kolam renang. Dari
tadi dia sendirian di rumah, jadi merasa bosa. Tidak biasanya rumah jadi begini sepi.
Sesaat pikirannya menerawang.
Begitu banyak hal yang terjadi selama ini. Rasanya seperti melewati samudra besar dengan rakit
kecil. Salah sedikit saja, dia bisa tertelan hidup-hidup ke dalam lautan yang bernama kehidupan.
Begitu banyak peristiwa membuat Ciya merasa pikirannya hanyalah kecil. Begitu kecil dan
sempit. Di dalam panjangnya waktu, Ciya hanya bisa membuat otaknya berpikir akan satu hal.
Kehilangan.... Perasaan kehilangan yang begitu menusuk.
Bukan hanya tentang papanya, bukan hanya tentang sosok bundanya, bukan hanya tentang
pangeran berkuda putihnya. Ciya juga kehilangan dirinya. Dia kehilangan Chiara-nya.
Berbagai peristiwa kehilangan itu membuatnya takut menjadi sosok Chiara. Takut kalau janganjangan masih ada berbagai rentenan peristiwa semua itu jauh-jauh di belakang punggungnya dan
tidak pernah ingin berbalik untuk melihatnya.
Namun, peristiwa di Dufan beberapa waktu yang lalu selalu menari-nari dalam pikirannya. Rico
telah membuatnya sadar akan satu hal penting.
DIA MASIH HIDUP! Dia masih punya kehidupan, dia masih punya impian, dan dia masih punya
masa depan. Selama ini, Ciya tidak pernah memikirkan hal itu. Dia terlalu sibuk menghindar dari
semua perasaan kehilangannya.
Ciya sendiri pun kadang-kadang masih tidak percaya bahwa orang yang bisa menyadarkannya
adalah seorang Enrico Leman! Seorang cowok yang dikenal playboy yang masih kelas dua SMA
dan kini tinggal satu rumah dengannya. Ternyata ada juga sisi dewasanya cowok belagu itu, Ciya
tersenyum tipis. "Mau sampai kapan duduk di sini?" tanya Rico tiba-tiba. Tangannya menyodorkan segelas penuh
wortel yang baru saja keluar dari blender.
Ciya memamerkan senyumnya. "Dari mana?" Tangannya mengambil gelad dari tangan Rico.
Sesaat jantung Rico bergetar. Setiap kali cewek itu memamerkan senyum yang sama, sepertinya
ada sesuatu yang menyumbat pembuluh darahnya sehingga detak jantungnya tak keruan.
"Ketemu sama Aldy"
Ciya membelalakkan mata. Membuat matanya yang belo terlihat lebih besar. "Kok nggak ngajak
gue?" "Urusan cowok." Rico merebut gelas dari tangan Ciya dan ikut meminumnya.
"Cih...." Ciya mencibir. "Gue tahu kok elo ngapain." Ciya mengerling Rico nakal. "Elo homo, kan"
Hahaha...." Jus yang ada di mulut Rico hampir saja kembali berhamburan keluar kalau saja Rico tidak
menutup mulutnya dengan telapak tangan. Sementara Ciya tertawa ringan.
"Gue tahu kok, elo jadi playboy cuma buat nutupin kalo elo itu sebenarnya homo. Teruus... Elo
naksir Aldy. Ya, kan?" Ciya tertawa nakal kemudian mengibaskan tangannya. "Percuma deh....
Aldy itu cowok tulen. Nggak bakal naksir makhluk luar angkasa kayak lo!"
Ciya semakin ngakak melihat Rico yang semakin memerah. Tidak berpikir pun Ciya tahu darah
cowok itu sudah naik sampai ubun-ubun. "Maaf.... maaf.... Bercanda."
Tapi sebelum Ciya menyelesaikan kalimatnya, Rico sudah menceburkannya ke kolam renang.
Air kolam renang bercipratan ke mana-mana sementara tangan Ciya berusaha menggapaigapai udara.
"Ga...." Ciya megap-megap. "Ga.... Blup.... bi.... blup.... be.... blup.... nang...."
Rico, yang tadinya tidak mengerti ucapan Ciya, akhirnya sadar bahwa Ciya semakin lama
semakin tenggelam. Tanpa melepas bajunya, dia buru-buru berenang dan menarik Ciya dari
sana. "Hei.... Nggak apa-apa, kan?" Rico membaringkan Ciya hati-hati di rumput. Tetesan air
rambutnya jatuh mengenai wajah cewek itu. Ciya sudah tidak mampu berkata-kata. Napasnya
sudah satu-dua. Rico buru-buru menggendong Ciya ke kamar.
Bik Tum dan Bik Nah sama-sama panik melihat keadaan anak angkat majikannya itu. Mereka
buru-buru mengganti baju Ciya dan membuatkan teh hangat.
"Kenapa lo nggak bilang kalo nggak bisa berenang?" Rico duduk di samping tempat tidur Ciya.
Memeriksa apakah keadaan cewek itu baik-baik saja. Saat itu, Ciya sudah mengganti baju dan
memegang gelas tehnya. Rambutnya masih setengah basah. Dia hanya memandang Rico
dengan muka ditekuk. Rico menyodorkan sekotak cokelat. "Maaf deh...."
"Nggak mau cokelat lagi! Tiap gue bete bisanya cuma ngasih cokelat. Kalau tadi gue tenggelam
beneran gimana!?" Rico menggeser duduknya lebih dekat. "Ini gue beliin di Va-Lauch pas gue tadi ketemu sama
Aldy. Di sana cokelatnya banyak banget. Gue inget lo, makanya gue beli. Bukan cuma buat bikin
lo nggak bete. Soal tadi, gue minta maaf. Gue beneran nggak tahu kalo lo nggak bisa berenang.
Jangan marah lagi ya...." Rico menyerahkan cokelat itu ke dalam genggaman Ciya. Jemarinya
mengusap pipi Ciya pelan. "Gue juga sama takutnya ngeliat elo mulai tenggelam."
Ciya menepis tangan Rico. "Ya udah, dimaafin.... Tapi jangan begitu lagi ya."
Rico tersenyum tipis. Biasanya semua mantannya akan luluh jika dia sudah bersikap manis
seperti itu. Ternyata menundukkan seorang Ciya perlu energi ekstra!
Tapi Rico memang tidak berbohong. Saat dia melihat Ciya mulai tenggelam. Jantung Rico
langsung mencelos. Saat melihat Ciya lemas tidak berdaya dengan napas terputus-putus, dia
benar-benar sangat panik. Entah sejak kapan cewek itu bisa menempati posisi begitu penting di
hatinya. part* 12 Akhir Kisah Saat serpihan perlahan menghilang.... Itu pasti karena waktu....
ONLY TIME-nya Enya mengalun sendu. Membuat gelisah Ciya semakin menjadi-jadi. Sinar
bintang yang biasanya menentramkan hatinya hari ini serasa tidak berfungsi.
Ciya memandang diary biru di hadapannya. Diary yang terakhir kali ditulisnya pada saat
kematian Billy. Diary yang sejak hampir dua tahun yang lalu hanya disimpan di laci meja belajar
tanpa pernah tersentuh. Diary yang memuat semua kenangan dan ingatannya... Hanya tentang
Billy. Perlahan dibukanya halaman demi halaman. Diperhatikannya setiap ukiran tinta dan potonganpotongan foto. Sesekali bibirnya tersenyum tipis saat membaca beberapa baiy puisi yang
ditulisnya sendiri. Ciya memang lebih suka mengungkapkan isi hatinya lewat untaian bait dibandingkan bernarasi.
Kesannya keren, kilahnya saat Billy tanpa sengaj memergokinya sedang membuat puisi waktu
itu. _Jika sesuatu itu bisa seaneh cinta
_Berlari ke mana pun.... _Akan buntu oleh untaian angin
_Jika kehidupan itu adalah jalan tanpa ujung
_Akankah ada cabang yang berbeda
_Untukku dan untuknya"
_Jika harapan tak lagi ada
_Masihkah boleh mengharapkan keajaiban"
_Berpaling untuk menemukan serbuk peri
_Atau semanggi berdaun empat....
_Jika waktu hanyalah detik yang berputar
_Ingin kekacaukan mesinnya agar diam
_Memutar jarumnya pada sebuah masa lalu
_Jika perpisahan selalu akhir dari pertemuan
_Apalah arti sulaman panah cupid"
_Jika kemarin menjadi terlalu sempit
_Haruskah aku mengejarnya"
Itu puisi terakhir yang dibuatnya di hari kematian Billy. Puisi yang terakhir kalinya ditulisnya,
sekaligus menjadi puisi yang mengisi halaman terakhir diary-nya.
Akhirnya, semua memori yang selama ini dipendamnya rapat-rapat kembali muncul dan berputar
ulang di depan matanya. Di hadapannya seperti terbentang sebuah layar lebar yang
menayangkan seluruh masa lalunya.
Akhirnya, isi kotak yang di simpannya dalam ruangan tertutup itu berhasil meloloskan diri. Di saat
dia berpikir telah berhasil mengubur semuanya dalam-dalam, muncullah orang yang bisa
menyambung kunci yang telah dia patahkan. Orang yang sama sekali tidak pernah terduga
sebelumnya.... Rico. Masih berbekas dengan jelas di matanya, bagaimana pertahanannya runtuh saat menemukan
Billy yang telah tak bernyawa. Dengan mata tertutup pun, dia bisa membayangkan bagaimana
rapuhnya dia saat tahu orang yang paling dicintainya pergi begitu saja. Masih tersisa rasa sakit
hati yang selalu menggerogoti hari-harinya saat harus hidup tanpa Billy. Juga, bagaimana
penderitaan bundanya saat harus menghadapi kenyataan yang tergelar untuk mereka berdua.
Dia masih ingat bagaimana suasana hatinya saat menulis puisi tadi.
Sudah tidak terhitung banyaknya air mata yang keluar. Bagaimana penyesalan merobe-robek
hatinya. Bagaimana perasaan limbung yang menghantui emosinya. Bagaimana perasaan
menyerap semua harapannya yang bersisa. Bagaimana inginnya dia memutar ulang waktu dan
membuat dirinya bisa mencegah Billy saat itu. Bagaimana perasaan kehilangan menusuk
jantungnya beratus-ratus kali. Bagaimana dia mengharapkan adanya bintang jatuh yang bisa
melemparnya ikut ke luar angkasa.... Menjauh dari semua kepenatan yang ada.
Tadinya dia pikir Billy adalah satu-satunya hal yang akan menghantui dirinya sampai kapan pun.
Dia pikir Billy satu-satunya orang yang bisa dia cintai.
Tapi saat ini.... Semua itu hilang.
Tidak ada lagi perasaan sedih saat membaca semua itu, tidak ada lagi perasaan gelisah yang
mengetuk hatinya dan tidak ada lagi perasaan kecewa yang sama. Dia merasa puisi itu hanya
sebatas kata-kata yang tergores indah.
Apakah dia sudah bisa menjadikan Billy sebagai kenangan" Apakah kisahnya dan Billy sudah
mencapai kata The End"
Ciya menutup diary-nya dan memandang awan yang hitam legam. Sebenarnya apa yang terjadi
pada dirinya" "Hei...." Ciya terperanjat saat Rico tiba-tiba melongokkan wajah di hadapannya.
"Tiap kali masuk kamar orang kenapa nggak ketok pintu dulu sih?" umpat Ciya sambil melotot.
"Udah ketok kok dari tadi. Elonya aja yang budek," kilah Rico sambil menyandarkan tubuhnya di
balkon. Dipandanginya Ciya lekat-lekat. Tanpa berkata apa pun, Rico tahu apa yang ada di pikiran cewek
itu. Malas rasanya mengakui kalau seorang playboy terpandang seperti dirinya___Rico kadangkadang emang najis kok___kalah telak oleh seseorang yang sudah tidak kasatmata.
Rico mendengus. Kenapa sih cowok itu tidak membiarkan saja Ciya bebas" Tok mereka sudah
beda dunia. Kenapa masih saja mengendap di pikiran cewek ini"
Dan yang membuatnya lebih malas lagi untuk mengakui adalah dirinya memang benar-benar
telah jatuh cinta pada cewek ini. Cewek yang sama sekali jauh berbeda dengan tipe cewek
kriterianya. "Elo nggak niat buat nyari bokap lo?" tanya Rico setelah mereka hening sesaat. Dia teringat akan
pembicaraannya dengan Aldy tadi siang. Tentang satu-satunya orang yang tersisa dari masa lalu
Ciya. Ciya terlihat tidak menduga pertanyaan yang terlontar dari mulut Rico. Buktinya dia sempat
mengernyitkan dahi dan membuka mata lebar-lebar. "Buat apa?"


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rico menelengkan kepalanya. "Dia kan bokap lo...."
"Bokap gue"!" Ciya mendadak emosi.
"Bokap macam apa yang ninggalin keluarganya gitu aja" Bokap macam apa yang nggak punya
tanggung jawab" Apa lo pikir kalo gue nemuin bokap gue, dia bisa memperbaiki kesalahannya"
Apa lo pikir dia bisa menghidupkan Billy sama nyokap gue lagi" Kalo emang bokap gue masih
realistis, dia nggak perlu ninggalin keluarga gue hanya karena gue anak hara. Apa dia pikir gue
bisa milih mau dilahirkan jadi anak siapa" Apa dia pikir gue salah karena gue bukan anak
kandung dia" Gue juga nggak mau jadi anak haram, gue juga nggak jadi anak yang nggak ngerti
siapa bokap kandung gue sebenarnya. Tapi apa adil kalo dia menghukum gue dengan membuat
semua orang yang gue sayangi pergi dari gue?" Selaput bening mulai menggantung di sisi luar
bola mata Ciya. "Satu lagi.... Gue nggak butuh bokap PENGECUT!" Kata terakhir itu terasa
menggaung di telinga Rico. Dan bola mata itu tidak mampu lagi menampung kristal-kristal bening
yang menyeruak keluar. Ciya menangis.
Rico merengkuh cewek itu dalam pelukannya. Baru pertama kali ini Rico melihat Ciya sungguhsungguh menangis di hadapannya. Biasanya cewek itu terlalu angkuh untuk mengeluarkan air
mata. "Jangan peluk gue!" bentak Ciya sambil menghapus air matanya dengan kasar. "Kalau dipeluk,
malah nggak bisa berhenti nangisnya."
Rico tertawa kecil. Cewek ini....
"Kalo mau nangis, nangis aja. Tampang lo tuh udah jelek. Mau nangis apa nggak nangis,
jeleknya tetep sama."
Ciya merengut. Mendengar kata-kata tadi, dia kehilangan mood menangis. Gantinya, dia balik
bertanya. "Lo nggak kaget?"
"Hmm?"" "Lo nggak kaget waktu gue bilang kalo gue anak haram?"
"Gue tahu kok," Rico nyengir, "tadi gue nanya sama Aldy. Dia cerita semuanya tentang eli, Billy,
bokap lo, nyokap lo, tentang semuanya. Soalnya kalo gue nanya sama elo, pasti gue malah
dibentak-bentak." "Lo... Ketemu sama Aldy cuma buat nanyain itu?"
"Ya nggak juga, tapi salah satu faktornya ya.... Itu."
*** Dua nisan putih..... Hari ini Ciya bolos sekolah. Tadi pagi dengan suksesnya dia membohongi Rico dan Aldy
sehingga mereka percaya dirinya sakit beneran.
Jadi.... Di sinilah dirinya saat ini.
Billy Hermawan.... Merina Hermawan.... Berulang kali Ciya membaca tulisan yang tertera pada kedua nisan itu dan hasilnya tetap sama.
Billy Hermawan dan Merina Hermawan. Tidak terbayang olehnya, ada dua tubuh yang tertidur di
dalam sana. Di dalam sekotak batu yang hanya berhiaskan tanda salib di atasnya.
Tangan Ciya gemetar saat meletakkan satu buket lily putih di makam mamanya. Sekilas dilihat,
cewek itu tampak seperti orang kedinginan. Sudah lewat setengah tahun sejak terakhir kali dia
datang ke sini. Dan selama itu sudah banyak hal terjadi.
"Ma, aku datang...." Ciya berlutut di sisi makam. Tangannya terulur merayapin foto hitam putih
seorang wanita yang sedang tersenyum. Wajah yang selalu terlihat lelah. Sekaligus wajah yang
selalu memberinya ketenangan.
Selama setengah jam dihabiskannya untuk berceloteh tentang kehidupannya saat ini. Mulai dari
kepindahannya, rasa depresinya, kehidupannya yang mulai menjadi lebih baik, kesedihannya
kegembiraannya, dan emosinya.
Dia mengakhiri kalimatnya dengan tiga patah kata, yang bila didengar para bunda mana pun di
dunia ini pasti akan merasa lega setengah mati. "Ma, aku bahagia...."
Kemudian Ciya berpaling pada nisan sebelahnya dan meletakkan setangkai mawar putih.
Sebenarnya ini salah satu alasan kenapa Ciya sangat menyukai bunga itu. Mawar putih adalah
bunga pertama yang diberikan Billy kepadanya. Satu-satunya benda yang tidak mampu dia
lepaskan. Jemari Ciya menyentuh permukaan tulisan di atas nisan yang mulai berdebu. Memandang foto
cowok berusia 18-an itu dengan tatapan campur aduk
sebenarnya alasan utama Ciya ke sini hari ini untuk memastikan perasaannya yang
sesungguhnya. Baik tentang dirinya maupun tentang Billy. Dia tidak ingin lagi tenggelam dalam
semua ketidakpastian yang membuatnya sangat lelah.
Ciya menyebut nama Billy dengan gumaman tak jelas. Kemudian tercipta keheningan yang lama.
Sangat lama.... Entah apa yang ada di benak Ciya. Dia hanya duduk diam di sampihg nisan dengan pandangan
terarak pada langit. Tak ada air mata menetes di pipinya, juga tak ada mimik wajah menahan
tangis yang menyayat luar biasa. Di wajahnya hanya Tersungging senyum tipis yang samar.
"Billy, terima kasih." lagi-lagi hanya tiga kata yang terucapa sebelum akhirnya Ciya melangkah
meninggalkan tempat itu. Senyumnya masih melekat dan ayunan kakiya menyatakan bahwa semua bebannya memang
seharusnya dia tinggalkan.
*** Sesosok siluet memandang Ciya dari jauh. Tapi tidak cukup jauh untuk dengan jelas
memperhatikan gerak-gerik dan semua ucapan Ciya.
Aldy..... Dia berjalan mendekati makam Billy sesaat setelah Ciya pergi, lalu jatuh terduduk. Tanpa Ciya
mengucapkan sesuatu pun, Aldy cukup mengerti apa arti senyuman itu.
Billy adalah kenangan.... Hanya kenangan...
Hanya saja, bukan dia pengganti bukan dia yang ada di hadapan Ciya saat ini. Bukan dia
pengganti kenangan tadi. Aldy tahu bukan dirinya yang bisa membuat Ciya mengambil
keputusan sejauh ini. Aldy menyesal telah mengenal Ciya begitu lama. Seandainya dia baru mengenal Ciya minggu
lalu, atau bulan lalu, dia bisa menjadi keledai dungu yang tidak mengerti apa pun. Jika rasanya
juga pasti tidak akan sesakit ini.
Benarkah ada sesuatu yang disebut takdir di dunia ini"
Jika memang ada, akankah takdir itu menjadi begitu kejam" Membuat dirinya merasa
dipermainkan, dengan harus menyerahkan gadia yang paling dia sayangi kepada orang lain.
Bahkan untuk yang kedua kali.....
Ruang gereja terlihat lengang. Hanya ada beberapa orang sedang berdoa di pojok dan beberapa
petugas kebersihan yang sedang menyapu lantai. Suara lonceng terdengar samar-samar.
Ciya melangkahkan kakinya ragu-ragu. Sudah berapa lama dia tidak pernah ke sini" Setahun"
Dua tahun" Dia sendiri sudah lupa. Setelah tragedi itu datang, semuanya menjadi abu-abu.
Bahkan dia sendiri ragu apakah Tuhan masih mengenalinya.
Ciya berlutut di barisan bangku paling depan. Kepalanya menengadah ke patung besar Yesus di
kayu salib yang tergantung di belakang altar. Jemarinya saling mengatup di depan dada. Doa
kecil terucap lirih dari bibirnya.
Tuhan, bicaralah padaku, inikah jalanku" Benarkah tindakanku" Tuhanku, jangan tinggalkan
aku.... Jangan memintaku untuk memilih. Karena mereka semua sangat berarti.....
part* 13 Kembali Sebuah Masa Kecil
Ketika waktu telah kembali berdetak sempurna.... Kenapa justru bumi yang enggan berputar...."
NATYA memainkan bolpoinnya sambil menatap malas ke arah kertas-kertas soal yang
berserakan di hadapannya. Viktor yang ada di sampingnya juga tidak mempertinggi minat
mengerjakan PR matematika dari Pak Ebol. (sebenarnya namanya Pak Eman. Tapi karena
tubuhnya pendek, murid-murid lebih suka memanggilnya Ebol, alias Eman Cebol.) Viktor malah
lelap tertidur bersandarkan buku-buku matematika yang tebelnya bisa membuat rambut keriting
jadi lurus kalo dijepit sama buku itu.
"Ci, gue nyerah deh. Soal-soalnya lebih parah dibanding ikutan Fear Factor. Mendingan ikutan
Fear Factor deh. Biar pun makan kecoak, kita dapet duit. Lah ini.... Botak iya," Natya menunjuk
beberapa kali helai rambutnya yang rontok kemudian merebahkan tubuhnya di lantai.
Ciya sendiri tidak peduli dengan ucapan Natya barusan. Dahinya berkerut saking seriusnya
memperhatikan rumus-rumus yang masih belum dapat dihafalnya di luar kepala.
Kacamata___yang hanya dipakai saat belajar dan bermain komputer___mulai melotot dari
pangkal hidungnya. Jesse, yang walaupun bergelar sebagai kakak kelas, sepertinya enggan memberikan contoh
yang baik dalam hal sekolah, tapi memberikan contok yang sangat baik dalam hal pacaran. Sejak
tadi pagi mereka ngumpul di rumah Rico dalam acara belajar kelompok, Jesse malah mojok
sama Christian di taman. Rupanya, walaupun tiap hari ketemu di sekolah, tiap malem teleponan
sampe pagi, dan malem Minggu selalu jalan ke mal, masiih aja nggak puas. Apa jadinya
Indonesia kalau generasi mudanya cuma doyan pacaran" Kalau Chris sih nggak masalah.
Ujung-ujungnya dia bakal jadi pewaris PT Jaya Group yang kekayaannya nggak habis dimakan
tujuh turunan. Tapi masalahnya, bokapnya Chris akan mencabut hak warisnya kalau Chris nggak
lulus dengan nilai A. Kalau nggak, mana bisa Chris praktik di lapangan ngurusin saham dan tetek
bengeknya" Mudah-mudahan aja dia tahan ngadepin dolar yang kursnya cenderung abnormal.
Jadi, walaupun pacaran, Chris juga memegang coret-coretan jawaban yang sejak tadi
disiapkannya. Rico dan Rangga malah sibuk main piano. Mau bikin lagu, cetus mereka, saking stresnya
berhadapan sama angka-angka dan rumus-rumus nggak jelas.
Begini nih jadinya kalo uah mau menjelang ujian akhir. Lupain yang namanya jalan-jalan ke mal,
apalagi nongkrong di kafe. Jangankan 24 jam, kalau satu hari berubah menjadi 36 jam pun
rasanya nggak bakal cukup buat menyelesaikan latihan soal-soal latiha matfiskim yang kayak
setan. Bayangin aja, mana satu soal yang cuma dua baris ternyata jawabannya sepanjang
halaman folio.... Bola-balik!
Ciya sendiri benci setengah mati dengan salah satu guru fisika yang kepalanya botak. Yang
menjadikan guru itu lebih mirip tuyul dibanding mirip profesor. Udah neranginnya ngalorngidul___masa dia malah cerita soal film Yo Ko dan Siau Liong Lie! Ya Tuhan! Itu film zaman
kapan"___ngasih nilainya pelit pula.
Sedihnya lagi, mereka hanya dikasih waktu dua minggu untuk menyelesaikan semua soal tadi.
Menurut guru-guru sih itung-itung latihan sebelum ujian. Tapi bagi murid-murid, itu itung-itung
siksaan sebelum bunuh diri beneran.
Tapi jangan salah, hasilnya: hampir semua murid lulusan sekolah itu diterima dengan mulus di
berbagai universitas unggulan di Jakarta dan di luar negeri___kebanyakan sih di Aussie.
Pokoknya kalo orang gaul bilang sih, sekolah bonafid!
Tiba-tiba Bik Imah datang tergopoh-gopoh.
"Nyonya dan Tuan pulang...."
*** Ciya tercenang di bangkunya. Pikirannya sudah tidak tertambat pada otaknya dan kupingnya
juga sudah tuli terhadap Bu Anita___guru Bahasa Indonesia yang mirip helm___yang sedang
mengoceh tentang pembuatan drama.
Soal-soal ulangan PKKN (yang tadinya terkenal dengan sebutan PMP) tadi pagi tidak ada yang
dijawabnya dengan benar. Otaknya benar-benar kosong hari ini. Jangankan mengingat pasalpasal yang jumlahnya puluhan, isi Pancasila aja lupa.
"Sha-Sha...." Nama yang disebut lirih oleh Rico dengan pasti telah mengubah aura dalam rumah itu seketika.
Ciya yang sedari tadi hanya menunduk saat menghadapi kedatangan mama dan papa angkatnya
langsung mengangkat wajah dan membelalakkan mata.
Tadi Rico bilang apa" Sha-Sha" Sha-Sha yang ada di foto waktu itu" Sha-Sha yang dikucir dua
dan pipi tembem itu"
Ciya memperhatikan cewek yang kini diapit oleh Fatma dan Henry. Tinggi semampai, rambut
lurus sepinggang, memakai kemben putih dan jins selutut, bersepatu hak tinggi, berkulit putih,
dan kacamata merah jambu membingkai matanya yang sipit.
Yang benar aja! Cewek cantik itu.... Sha-Sha?"
Acara belajar selesai sampai di situ. Sisanya, di rumah itu serasa diputar film nostalgia yang
berjudul "Raisha Wellina dan kehidupannya di masa lalu bersama Enrico Leman". Dulu Sha-Sha
itu begini, Sha-Sha itu begitu, Sha-Sha yang jadi cantik, Sha-Sha yang tadi tambah manis,
menawan hati, memesona, mengesankan, bla.... bla.... bla.... Dan bejibun ungkapan serupa.
Dan hari itu, Ciya benar-benar jadi kambing congek tulen. Menyebalkan! Apalagi setelah Henry
dan Fatma beranjak ke tempat tidur. Sampai jam dua belas malam pu, Ciya masih melihay Rico
ngobrol berdua Sha-Sha di kolam renang.
Oh ya, masih ada lagi. Ternyata Sha-Sha jug akan tinggal SERUMAH dengan mereka, dan
NGGAK tahu kapan pindah rumahnya. Wuaw.... Kabar yang benar-benar bagus, kan"
Ciya mendengus sambil melemparkan tirai yang tadi dubkanya sedikit untuk mengintip. Dia
membanting tubuhnya di kasur dan mematikan lampu kamarnya. Hanya tersisa cahaya-cahaya
samar dari bintang-bintang glow in the dark yang menempel di langit-langit.
*** Ciya menopang dagunya dengan telapak tangan. Apa bagusknya cewek yang.... Paling-paling
kerjaannya cuma shopping barang-barang bermerek kelas atas. Tadi pagi aja bajunya Channel,
tasnya Prada, celananya Dior. Paling-paling setipe sama cewek-cewek di sekolahnya yang lebih
demen dandan dibanding nonton berita. Okelah, Sha-Sha masih lebih baik daripada Jesse.
Seenggaknya Sha-Sha nggak pake make-up yang tebelnya setengah senti. Hmm.... Oke, bukan
itu kok alasannya. Sebenarnya saat Ciya berkenalan dengannya, Sha-Sha memberikan first
impression yang baik. Dia murah senyum, baik, dan kelihatan tidak sombong.
Tapi masalahnya, Ciya salah besar.... Sha-Sha itu bukan sekadar cewek yang cuma doyan
dandan dan menghambur-hamburkan uang. Dia belajar di sekolah musik. Dan, menurut berita
yang sudah-sudah, cewek itu sudah pernah mengadakan konser di beberapa kota Taiwan.
Walaupun masih standar lokal, tetap saja hebat kalau dilihat dari umurnya yang belum lagi tujuh
belas. Pengetahuan Sha-Sha tentang musik jangan ditanya. Mau disuruh nyebutin siapa pemain
piano dari zamannya Mozart sampe era reformasi, dia hafal semua. Yang lebih mencengangkan
lagi, hampir semua lagu bisa dia mainkan___piano maksudnya. Dan untuk pemberitahuan,
ternyata sebelum beralih main gitar, Rico juga bermain piano klasik. Bisa dibilang itu awal mula
mereka bisa bermain musik, karena mereka berasal dari sekolah musik yang sama. Jadi sejak
siang tadi mereka hanya membahas tentang Khachaturian yang begini, Paul McCartney yang
begitu, Pachelbel yang bikin lahu ini, Tchaikovskt yang bikin lagu itu. Please dong! Mereka tuh
bikin lagu apaan" Mau baca namanya aja sudah bikin lidah keserimpet. Kenapa nggak
ngomongin Armand Maulana kek, Westlife kek, Ungu kek, atau siapa lah, yang penting Ciya
kenal. Getaran SMS dari HP di saku roknya membuat Ciya tersadar bel istirahat panjang sudah
berbunyi sejak tadi. SMS dari Aldy.
Ntar bisa pergi sebentar"
Ciya langsung membalasnya.
Lho, elo gank ada bimbel buat UAN"
Ada, tapi mau bolos aja. Ada yang mau diomongin. Boleh"
Blh dong. Tp kl lo gak lulus UAN, gue ngak ikutan ya"
Sip, bos. Gue jmpt plg sklh ya"
Ok d.... Asala jngn plg mlm2 ya" Ada oom ama tante. Gak enak kl plg mlm.
Tulisan delivered tertera di layar. Ciya langsung menghapusnya dan menaruh kembali HP-nya di
saku. Natya menarik bangku dan duduk di sampingnya. Dari tampangnya aja, Ciya sudah tahu kalau si
ratu gosip ini pasti mau nanyain kabar terbaru tentang cewek cantik berpostur tinggi langsing
yang dilihat Viktor dengan mata berbinar-binar kemarin siang.
"Eh, lo kenapa" Tampang lo kusut amat" Ulangan tadi nggak bisa ya" Udahlah, nggak udah
dipikirin. Gue juga nggak bisa kok tadi."
Lho, ternyata salah. Sahabatnya ini lebih memperhatikan dirinya dibanding memperhatikan ShaSha. Ciya jadi menyesal telah mengira yang bukan-bukan.
"Oh ,iya.... Gimana tuh Sha-Sha sama Rico?"
Jeng.... jeng.... Ciya jadi membuang kembali semua penyesalannya. Dasar cewek menyebalkan! Gerutunya.
Ciya melihat dari ujung matanya Angga dan Viktor menuju meja Rico. Pasti mau nanyain soal
Sha-Sha deh. Huh! "Heh! Ditanyain malah bengong!" Natya merengut. Namun, sedetik kemudian dia meluncurkan
senyum nakal dan berbisik ke telinga Ciya. "Kenapa" Merasa ada saingan ya" Makanya, kalo
suka tuh bilag aja. Jangan sok malu-malu. Ntar ujung-ujungnya malah malu-maluin. Tenang aja,
Anak Rajawali 14 Goosebumps - Darah Monster 4 Cakar Maut 2

Cari Blog Ini