Touche Karya Windhy Puspitadewi Bagian 1
Prolog Riska menangis. Dia terpisah dari mamanya di festival kota karena terlalu
asyik memperhatikan mainan burung yang dijual di salah satu lapak. Dia tidak
sadar mamanya sudah berjalan agak jauh. Riska masih berumur enam tahun
dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menangis. Tinggi badannya
yang belum seberapa membuat dia luput dari perhatian orang-orang yang lalu
lalang di depannya. Akhirnya dia hanya bisa berjongkok di bawah salah satu
pohon dan menangis. Setelah lelah, Riska berhenti menangis. Saat memandang sekeliling barulah
dia menyadari seorang anak laki-laki seumuran dengannya sedang duduk tidak
jauh darinya. "Siapa?" Tanya Riska masih terisak.
Anak laki-laki itu diam saja. Matanya lurus tertuju ke keramaian di
depannya. "Kau tahu mamaku?" Tanya Riska lagi.
Anak laki-laki itu masih bungkam.
Sama sekali tidak diberi tanggapan, Riska kembali menangis. Sarung tangan
warna pink-nya basah. Mamanya selalu memakaikan Riska sarung tangan saat
pergi keluar, karena jika tidak Riska pasti menangis dan mengeluh pusing.
Anak laki-laki itu tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Riska. Dia
mencondongkan tubuhnya lalu mengulurkan tangan pada Riska.
Riska menghentikan tangisnya dan menyambut uluran tangan anak itu
dengan tatapan bingung. Sesaat setelah anak itu menjabat tangan Riska, dia mengangguk lalu menarik
Riska menuju keramaian. "Ayo," katanya kemudian. "Kita cari mamamu."
"Eh?" Anak itu tidak mengubrisnya. Mereka terus berjalan di sela-sela orang yang
berlalu lalang. Tidak jarang mereka ditabrak orang-orang yang lebih tinggi
daripada mereka, tapi Riska mendapati kadang anak itu memang sengaja
menabrakkan diri. "Tidak lama lagi," kata anak itu.
"Mama?" Kata-kata Riska terhenti. "Kau tahu mamaku?"
Di depan pos keamanan, Riska melihat mamanya sedang menangis di
hadapan dua polisi wanita. Anak laki-laki itu melepaskan tangannya.
"Itu mamamu," katanya.
Tiba-tiba air mata Riska mengalir lagi.
Anak laki-laki itu agak kaget dan mulai ketakutan melihat Riska menangis
lagi, tapi kemudian tanpa diduga Riska memeluknya.
"Terima kasih, Superman!" Kata Riska cepat hingga mungkin anak itu tidak
mengerti apa yang dia ucapkan, lalu Riska berlari ke arah mamanya. Mamanya
yang melihat kedatangannya langsung menjerit histeris dan memeluknya.
"Riskaaa...!" Kedua polisi itu tersenyum.
Mamanya menciumnya berkali-kali. "Bagaimana kau bisa menemukan
Mama?" "Ah! Itu tadi... Ada anak..." Saat Riska menoleh ke tempat anak laki-laki yang
membantunya tadi berdiri, dia sudah tidak ada.
BAB 1 "AKU sudah tak tahan lagi," Dini terisak. "Mereka bertengkar terus tiap
malam, aku jadi ingin kabur saja dari rumah."
Sahabat-sahabatnya langsung merangkul dan menghiburnya. Mereka
menunjukkan wajah bersimpati, dua di antaranya bahkan mengucapkan
berbagai kalimat untuk menunjukkan mereka mengerti perasaannya.
Riska yang duduk tidak jauh dari meja mereka tak sengaja ikut mendengar
keluhan Dini. Setidaknya orangtuamu masih utuh, batinnya.
Riska melirik jam tangannya, lalu memutuskan untuk kembali ke kelas. Jam
istirahat sudah selesai, dan anak-anak yang lain juga mulai meninggalkan
kantin. Sial baginya, saat dia melewati meja Dini, seorang anak lelaki
menabraknya karena terburu-buru.
Karena kehilangan keseimbangan, spontan Riska bertumpu pada apa pun
atau siapa pun yang ada di dekatnya.
"Kau tak apa-apa?" Tanya Dini, matanya masih sembap dan suaranya masih
serak. Ternyata lengan Dini yang menjadi tumpuan Riska.
Riska menelan ludah. Gawat!
Sesuatu dari tangan tempatnya bertumpu mulai menjalari tubuh Riska.
Dadanya sesak, seolah dipenuhi air hingga ke pelupuk matanya. Tidak sampai
sedetik kemudian, air itu pun mengalir dari kedua sudut matanya.
"Kau tak apa-apa?" Tanya Dini lagi dengan panik diikuti pandangan khawatir
teman-temannya yang lain.
Riska menggeleng. "Aku tak sengaja mendengar ceritamu tadi."
"Eh?" "Aku merasakan apa yang kaurasakan," Riska menatap kedua mata Dini.
Dini tertegun. "Kau pernah mengalami apa yang kualami?"
"Aku merasakan apa yang kaurasakan," ulang Riska.
Dini tidak mengatakan apa-apa, tapi dia tampak terharu.
*** "Kamu sudah makan, Ris?" Tanya Mama begitu sampai di rumah.
"Yup!" Riska menyiapkan piring untuk Mama di meja makan.
"Ada kejadian apa di sekolah?"
"Tidak ada yang spesial, hanya saja aku terpaksa ikut merasakan seperti apa
jika orangtuaku bertengkar."
Mama meringis. "Lalu bagaimana rasanya?"
"Super!" Jawab Riska. "Seharusnya ada yang merekamku dengan video dan
memasukkan ke Youtube, then I'll go global!"
"Kau berharap ada produser film yang menawarimu?" Mama langsung
mengambil beberapa sendok nasi.
Riska menghela napas. "Tentu saja!"
Mama tertawa. "Rasanya aneh. Padahal sejak kecil aku hanya punya Mama karena Papa
sudah meninggal," Riska duduk di sebelah mamanya. "Tapi aku tahu
bagaimana jika orangtuaku bertengkar."
Mama terdiam sesaat. "Kalau begitu anggap saja ini berkah," kata Mama. "Ibaratnya, kamu bisa
tahu bagaimana rasanya daging walau selama ini kamu hanya makan sayuran."
Riska mengerutkan kening.
"Mama selalu saja membuat perumpamaan yang aneh."
"Tentu saja, itu salah satu keahlian Mama," kata Mama sebelum
memasukkan sesuap nasi ke mulutnya.
Riska tersenyum. Tidak ada rahasia antara dia dan mamanya karena mereka hanya punya satu
sama lain. Papa meninggal ketika Riska masih berumur lima tahun akibat
serangan jantung. Saat itu jugalah untuk pertama kalinya kemampuan Riska
disadari oleh mamanya. Ketika maupun setelah Papa meninggal, Mama tidak pernah menangis
sedikit pun. Bahkan dia selalu berusaha tersenyum. Anehnya, Riska selalu
menangis setiap kali menyentuh mamanya, apalagi Riska juga selalu menjawab
"tidak tahu" setiap kali ditanya apa yang terjadi. Sampai akhirnya, setelah
cukup lama didesak, dia mengatakan, "Karena kata tanganku, Mama sedih."
Saat itulah Mama sadar akan kemampuan Riska. Anaknya yang saat itu baru
berumur lima tahun mengungkapkan perasaan yang tidak bisa dia keluarkan
sendiri. Anaknya menangis untuknya. Satu-satunya hal yang masih Riska ingat
tentang kejadian sebelas tahun yang lalu itu hanyalah tangisan mamanya yang
tumpah sambil memeluknya karena Riska tidak pernah melihat hal seperti itu
lagi hingga sekarang. *** Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling dibenci Riska, apalagi jika
olahraga yang dilakukan berisiko bersentuhan dengan orang lain seperti
basket. Itu penyiksaan tersendiri baginya. Walau begitu, setiap hal pasti ada
pengecualian. Dan hari ini, pengecualian itu adalah...
"Pelajaran olahraga kali ini adalah...," Pak Robert mengumumkan, "lari 100
meter." Horeee!!! Sorak Riska dalam hati.
Sebagian besar anak mengerang, tapi Riska tidak. Dia tersenyum lebar. Dia
sangat suka lari. Bahkan dia salah satu atlet kebanggaan klub atletik di
sekolahnya. Setidaknya, dia tidak perlu menyentuh siapa pun saat sedang
berlari. Hanya ada dia melawan rekornya sebelumnya.
"Sepertinya kau senang," komentar Tari melihat wajah Riska.
"Tentu saja," Riska meregangkan otot. "Tidak ada yang lebih menyenangkan
daripada melawan dirimu sendiri."
"Jangan bilang kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu memang
berasal dari dirimu sendiri," Tari menyipitkan mata.
"Memangnya kenapa?"
"Karena aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kamu tidak
mungkin sebijaksana itu."
"Cih." Tari tertawa. "Oh iya, apa kamu sudah dengar bakal ada guru baru" Guru
pengganti Bu Mitha. Katanya pernah kuliah di Amerika dan anak kenalannya
kepada sekolah kita. Kamu sudah dengar tentang hal itu?"
"Sudah," jawab Riska. "Darimu, baru saja."
"Aku tersanjung, menjadi orang pertama yang memberitahumu."
"Memang sudah seharusnya," Riska mengangguk. "Berterimakasihlah."
"Kadang-kadang aku ingin memukul kepalamu," kata Tari kesal.
"Kau punya banyak kesempatan untuk itu."
*** "Aku nggak nyangka guru barunya bakal sekeren ini," bisik Tari. "Kalau
begini, mendingan Bu Mitha melahirkan terus saja."
"Mungkin kau lupa, Bu Mitha itu manusia," timpal Riska, "bukan tikus."
Tari terkikik. Sebenarnya, dalam hati Riska sependapat dengan Tari. Pak guru baru itu
memang keren. Dia tampak lebih muda daripada umurnya walau dia
berkacamata. Gaya berpakaiannya bagus, mungkin pengaruh budaya luar
tempat katanya dia pernah tinggal. Tatapannya teduh dan cara bicaranya juga
menyenangkan. Sepertinya orangnya periang.
"Oke," kata guru baru itu setelah memperkenalkan diri dengan nama Yunus
King. "Let's start the lesson!"
"Seperti Bu Mitha," dia melanjutkan dengan logat asing. "Saya akan
memberi kebebasan seluas-luasnya untuk kalian berekspresi. Tidak ada benar
dan salah ataupun baik dan jelek di sini."
Pak Yunus mengambil biola, memandangi dan menyentuhnya selama
beberapa saat, lalu mulai memainkan lagu. Kelembutan dan ketegasan
gesekannya berada pada tempo yang tepat. Jika diibaratkan, gaya
permainannya mungkin seperti tinjunya Muhammad Ali : float like a butterfly
and sting like a bee alias melayang seperti kupu-kupu dan menyengat seperti
lebah. Semua murid memejamkan mata mencoba menikmatinya. Beethoven's
Symphony No. 7. Begitu Pak Yunus selesai, semua anak bertepuk tangan.
"Thank You," kata Pak Yunus. "Jangan terintimidasi dengan apa yang baru
saja saya mainkan. Permainan yang bagus bukan berasal dari skill. Permainan
yang bagus berasal dari feel, dari perasaan. Music adalah tentang bagaimana
kita menyampaikan perasaan kita kepada orang lain."
Pandangan Pak Yunus menyapu semua anak, lalu berhenti pada Riska. Kali
ini dia tersenyum. "Kita disebut berhasil memainkan musik jika orang yang mendengar
permainan musik kita dapat merasakan apa yang kita rasakan," katanya.
"Without touching us-tanpa menyentuh kita."
EH" DIA TAHU" Riska menelan ludah.
*** BAB 2 "ADA apa denganmu?" Tanya Pak Joni sambil menunjukkan stopwatch-nya.
"Tiga belas koma tujuh detik, jauh lebih lambat daripada sebelumnya."
"Maaf," kata Riska.
Pak Joni menghela napas. "Kalau setiap kali mengatakan 'maaf'
kecepatanmu bertambah, kamu sekarang pasti bisa melaju secepat pesawat
concorde." "Maaf," kata Riska lagi tanpa sadar. "Eh... Anu..."
"Sudah, sudah...," desah Pak Joni. "Latihan hari ini selesai, kita lanjutkan
besok. Kita istirahat saja."
"Jangan dimasukkan ke hati," Jena menepuk bahu Riska.
Riska mengangguk. "Thanks."
Ini pasti gara-gara Pak Yunus, gerutu Riska dalam hati. Riska merasa ada
sesuatu yang aneh pada orang itu, seolah Pak Yunus tahu sesuatu tentang
kemampuannya. Riska mengambil handuk lalu berjalan ke ruang ganti. Di antara lapangan
dan ruang ganti terdapat aula yang biasanya digunakan untuk berlatih bela diri,
terutama judo. Sekolah Riska terkenal karena telah memenangi banyak sekali
pertandingan judo hingga tingkat nasional. Tidak heran jika klub judo menjadi
anak emas di sekolahnya. Di depan aula yang dipenuhi teriakan itu, Riska berhenti sejenak untuk
melihat latihan yang tengah berlangsung. Beberapa orang berlatih
berpasangan. Mereka semua tampak hebat dan tangguh, tapi ada satu yang
paling menonjol. Cowok tinggi kurus yang sekarang sedang berlatih di sudut
aula. Dia bahkan bisa membanting lawannya tidak sampai lima menit seolah
dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu.
"Hei kamu!" Riska menoleh dan melihat murid laki-laki yang masih mengenakan seragam
berjalan menghampirinya dari ujung koridor.
"Apa aku mengenalmu?" Tanya Riska.
"Tidak," jawab anak laki-laki yang rambutnya dicat cokelat itu. Belum
sempat dia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara menggelegar
dari sudut ruangan. "TOMMY!" Seseorang yang tampaknya sang pelatih judo terlihat sedang
memarahi salah satu muridnya.
"Kamu tahu tinggal berapa minggu lagi hingga kejuaraan judo tingkat
kotamadya?"?" Sembur pelatih itu. Murid di hadapannya hanya diam saja
tanpa berani mengangkat wajahnya.
"Sudah berapa hari kita latihan intensif seperti ini" Kamu ini bukannya
menunjukkan kemajuan, malah mundur JAUH dibanding sebelumnya!!!"
Semua mata tertuju ke arah mereka.
"Kalau memang masalah pribadimu lebih penting daripada kejuaraan ini,
lebih baik kamu mundur saja. Jadi Bapak bisa segera mencari penggantimu!"
Anak itu masih tertunduk.
"Sekarang pulang!" Perintah pelatih itu. "Bapak beri waktu sampai besok
sore. Kalau kamu belum juga menyelesaikan masalahmu, akan Bapak copot
nama kamu!!!" Anak itu mengangguk tak berdaya, lalu pergi mengambil tasnya dan keluar.
Semua anak di tempat itu hanya bisa memandangnya iba tanpa bisa berbuat
apa-apa. Begitu melihat semua anak menghentikan aktivitasnya, pelatih yang
galak itu langsung berteriak, "APA YANG KALIAN LAKUKAN"! AYO MULAI
LATIHAN LAGI!!!" Riska menelan ludah. Apa pelatih itu mau mencoba melatih dengan gaya
Sparta" Anak yang tadi dimarahi habis-habisan berjalan melewatinya. Wajahnya
pucat dan bibirnya bergetar. Dia hampir terjatuh kalau saja Riska tidak
memegangi tangannya. Hawa dingin langsung menyelimuti Riska. Jantungnya berdetak kencang.
Napasnya sesak. Apa ini" Frustasi" Sakit" Sedih"
"Terima kasih," kata anak itu pelan, lalu pergi.
"Ugh!" Riska menutup mulutnya, merasa mual. Merasa tidak kuat, dia
berjongkok. Keadaan anak itu tidak baik, dia tidak bisa dibiarkan sendirian.
"Hoi, kau tidak apa-apa?"
Riska mendongak. Anak laki-laki yang tadi memanggilnya berdiri di
depannya dengan wajah khawatir.
"NDRA!" Si anak laki-laki itu memanggil temannya yang berada di dalam
aula, cowok tinggi kurus yang tadi diperhatikan oleh Riska.
"Ada apa, Dan?" Tanya anak bernama Indra yang masih memakai baju
judoka. "Kenapa dia?"
"Hei, namaku Dani," kata anak yang berdiri di depan Riska. "Kau tidak apaapa?"
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bu-bukan aku," sekuat tenaga Riska mencoba bicara sekaligus berusaha
meredam rasa mual. "Temanmu tadi..."
"Temanku kenapa?" Tanya Indra bingung.
"Apa kau tidak melihat temanmu tadi tampak pucat?"
Dani tampak bingung. "Hah?"
"Tommy?" Indra mengernyit.
"Apa kalian tahu kira-kira dia berjalan ke arah mana?" Tanya Riska.
Indra tampak berpikir. "Mungkin tempat parkir."
Riska langsung berdiri dan segera berlari sambil berjuang mengatasi rasa
mualnya. "Ikut aku! Aku bakal butuh bantuan kalian!" Perintahnya.
Dani dan Indra berpandangan tak mengerti, tapi mereka menurut saja dan
mengikuti langkah Riska. Dugaan Indra benar. Mereka menemukan Tommy terkapar dengan napas
tersengal-sengal tidak jauh dari tempat parkir.
"TOM!!!" Pekik Indra dan Dani hampir berbarengan sambil berusaha
memapahnya. "Kenapa dia?" Tanya Dani, menatap Riska.
"Aku tidak tahu, aku hanya bisa merasakannya," jawab Riska panik.
"Dia kena asma, inhaler-nya ketinggalan di kelas," kata Indra. "Di gedung
utara." Bagaimana dia bisa tahu padahal Tommy bahkan tidak punya tenaga untuk
bernapas apalagi bicara" Batin Riska heran.
"Lebih baik bawa saja dulu ke UKS," saran Dani.
Ternyata begitu mereka sampai di UKS tidak ada siapa pun di sana. Dokter
Ronald, dokter UKS, tidak ada di tempat. Napas Tommy sudah tinggal
setengah-setengah. Dia ditempatkan di tempat duduk karena satu-satunya
pertolongan pertama yang mereka tahu untuk orang yang mendapat serangan
asma adalah dia harus duduk tegak.
"Gawat! Jika dia tidak segera dapat obat bisa bahaya," kata Dani khawatir.
"Aku bisa mengambilnya! Aku toh salah satu pelari tercepat di sekolah ini,"
Riska menawarkan diri. "Tetap saja, kau tidak akan bisa bolak-balik dari sini ke gedung utara kurang
dari lima menit!" Indra tampak berpikir keras.
Riska memandang sekeliling ruangan dan menemukan buku cara-cara
melakukan P3K di salah satu rak. Secepat mungkin dia mengambilnya dan
mencari petunjuk pertolongan pertama untuk orang asma.
"Apa yang kaulakukan?" Tanya Indra.
"Mencari pertolongan pertama untuk orang asma," Riska membolak-balik
halaman. Mungkin karena panik, dia malah kesulitan menemukan apa yang
dicarinya. "Dan!" Indra menatap Dani.
Dani mengangguk lalu menghampiri Riska.
"Pinjam bukunya ya," kata Dani sambil tersenyum. Riska menyerahkan buku
tebal itu padanya. Tidak sampai semenit Dani memegangnya, bahkan belum
sempat membuka halamannya, dia sudah langsung tahu apa yang harus
dilakukan. "Kopi!" Perintahnya. "Beri dia kopi!"
"Eh, bagaimana kau...?" Riska menatapnya bingung.
Dani tidak menggubris pertanyaan itu. "Sebagai pertolongan pertama, kopi
bisa membuka saluran udara ke paru-paru. Tertulis begitu di buku itu."
Tertulis begitu" Dia bahkan belum membuka satu halaman pun! Pikir Riska.
Indra melesat ke meja periksa. Ada segelas kopi yang masih agak hangat di
sana, entah milik siapa. Tanpa banyak berpikir lagi, dia langsung meminta
Tommy meminumnya. Setelah beberapa teguk, keadaan Tommy agak lebih baik walau dia masih
tampak kesulitan bernapas.
Indra menoleh ke arah Riska. "Sekarang giliranmu."
Riska mengangguk, mengerti. "Di kelas berapa?"
"Kelas XI-6," jawabnya.
Secepat yang dia bisa, Riska berlari ke gedung utara menuju kelas paling
ujung di gedung itu. Dengan napas terengah-engah, Riska masih harus mencari
inhaler Tommy laci demi laci. Untunglah tidak sampai harus merogoh semua
meja yang ada di situ, dia menemukannya.
Di UKS bukan hanya ada Tommy, Dani, dan Indra saat Riska kembali karena
Pak Yunus juga ada di sana. Riska menyerahkan inhaler pada Tommy, yang
segera mengisapnya. Tidak lama kemudian ada mobil keluaran Eropa datang
dan berhenti tepat di depan ruang UKS.
Pengemudi mobil itu keluar dengan tergesa-tega dan langsung menghadap
Pak Yunus. "Ada apa, Pak?"
"Antar anak ini ke rumahnya," perintah Pak Yunus.
Dani dan Indra memapah Tommy ke dalam mobil. Begitu pintu mobil itu
tertutup, mobil itu pun melaju.
"Tadi Pak Yunus kebetulan lewat sini," Dani menghela napas.
"Untunglah," desah Riska lega.
"Lebih tepatnya, untung ada kalian," kata Pak Yunus. "Kalianlah yang
memberi pertolongan pertama, bukan saya."
Mereka bertiga berpandangan.
"Kebetulan yang menyenangkan," Riska tersenyum.
"Tapi sebenarnya, pertemuan ini bukan hanya kebetulan, Riska," kata Pak
Yunus sambil menatap lurus ke arah Riska. "Kami memang bermaksud
menemuimu." "Eh?" "Dengan begini, ketiga tokoh utamanya lengkap," lanjut Pak Yunus.
"Ketiga tokoh utama?" Riska mengernyitkan dahi.
"Of course," jawab Pak Yunus. "The mind reader, the empath, and the text
absorber." Riska tertegun. Semua langsung terdiam. Jantung Riska serasa berhenti
berdetak. Berarti benar, orang ini sudah tahu tentang kemampuanku. Eh!
Tunggu! Riska menatap Indra dan Dani. Jika the empath yang artinya orang yang bisa
merasakan perasaan orang lain adalah dia, maka pembaca pikiran dan
penyerap tulisan adalah...
Mereka berdua! PLOK! Tepukan Pak Yunus memecah keheningan.
"Aku akan dengan senang hati menceritakan padamu apa yang sebenarnya
terjadi, tapi karena cukup berbahaya jika kita membicarakan hal itu di sini,"
katanya. "Let's talk about it at my house, if you don't mind, of course."
Riska mengangguk, dia benar-benar ingin mengetahui apa yang sedang
terjadi padanya dan siapa mereka ini.
"Great," Pak Yunus tersenyum. "Kalau begitu aku akan memberi kalian
waktu untuk berganti pakaian. Kutunggu di gerbang depan."
"Kalian berdua," dia menunjuk Indra dan Dani. "Mungkin sebaiknya kalian
juga ikut karena walaupun aku sudah memberitahu kalian, aku belum
memberitahu kalian semuanya."
Setelah berkata seperti itu, Pak Yunus keluar.
Riska segera menuju ruang ganti. Di depan gerbang, Pak Yunus sudah
menunggu mereka di dalam mobil yang tadi mengantar Tommy. Tanpa
menanyakan apa pun, mereka bertiga menaiki mobil itu.
"Ini rumahku," jelas Pak Yunus begitu mobil melambat beberapa saat
kemudian, tanda mereka sudah mendekati tempat yang dituju.
"Rumah" mungkin bukan kata yang tepat, karena bangunan itu lebih mirip
istana. Dua pilar besar replika pilar Kuil Parthenon menyangga rumah
bertingkat tiga itu. Tidak ketinggalan taman bunga dengan air mancur
berpatung Dewa Cupid. "Wow!" Seru Dani spontan.
Pak Yunus hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih. Mereka lalu
dibawa ke ruang tamu, tempat mereka melihat piano tua besar.
"Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ayah Bapak?" Tanya Dani. "Mafia?"
"Al Capone sudah ketinggalan zaman. Dan, my father is the CEO of King
Group," jawab Pak Yunus santai sambil meminta pelayannya untuk
menyediakan minuman. "Kalian suka jus jeruk?"
BAB 3 "SAYA ingin memulai pembicaraan ini dengan satu pertanyaan bodoh," kata
Riska, masih terkagum-kagum dengan rumah Pak Yunus. "Tapi saya sangat
ingin tahu enak nggak sih jadi orang kaya" Maksud saya, kita sering mendengar
atau membaca cerita pewaris perusahaan besar mendapat tekanan sejak kecil,
nggak happy, hidupnya diatur dan seterusnya sehingga ingin hidup normal
sebagai orang biasa. Is it true atau mereka hanya berusaha menjadi drama
queen?" Pak Yunus tertawa. "Kau terlalu banyak menonton sinetron," katanya, masih tergelak. "Are you
kidding me" Being rich is a wonderful thing! Aku bisa mendapatkan semua
yang kumau, pergi ke semua tempat yang ingin kukunjungi, dan banyak orang
rela membunuh untuk bisa berada di posisiku. Dengan apa yang kumiliki ini,
mana mungkin aku mau menukarnya hanya agar bisa hidup sebagai orang
biasa" You must be joking!"
"Nice," kata Dani kagum. "Sepertinya Indra bahkan tidak perlu menyentuh
Bapak untuk mengetahui apakah Bapak berbicara jujur atau tidak."
"Karena kau menyinggungnya, mungkin sebaiknya kita mulai saja," kata Pak
Yunus setelah meminta semua pelayan pergi dari ruangan itu.
"Selama ini kalian pasti punya segudang pertanyaan menyangkut
kemampuan yang kalian miliki itu, right?" Pak Yunus memulai. Mereka bertiga
mengangguk. "And still no answer," kata Dani.
"Not even from the internet," timpal Riska.
"Hingga Bapak menceritakan pada kami," kata Dani lagi lalu melirik Riska.
"Tapi belum pada Riska."
"Kemampuan kita ini diturunkan," lanjut Pak Yunus. "Walau tidak pada tiap
generasi." "Kita?" Ulang Riska. "Memangnya apa kemampuan Bapak?"
Pak Yunus mendekati piano tua yang ada di ruangan itu lalu duduk di
depannya. Dia menyentuh tutsnya selama beberapa saat dan mulai
memainkan The Nutcracker dari Tchaikovsky.
"Sejujurnya," katanya sambil terus memainkan piano, "aku tidak bisa
membaca not balok. Aku bahkan buta nada. Aku juga tidak pernah mengikuti
les piano sebelumnya. Aku sudah memberitahukan hal ini pada Indra dan
Dani." "Jadi Bapak bisa memainkan lagu hanya dengan menyentuh alat musiknya?"
Riska ternganga. Pak Yunus menghentikan permainannya. Dia menatap Riska sambil
tersenyum. "Kemampuan kita tidak berjalan seperti itu," jelasnya. "Jadi walaupun kau
membaca pikiran dan perasaan seseorang, pada kenyataannya yang
kaulakukan adalah menyerap. Your touch absorbs other's mind or feeling,
seperti halnya Dani menyerap tulisan. Hanya saja memang ada beberapa orang
dengan pengecualian."
"Tunggu, apa kita masih berbicara dalam bahasa yang sama" Karena saya
tidak mengerti apa yang Bapak katakan," kata Riska sambil mengernyitkan
dahi. "My ability sama seperti kalian bertiga," Pak Yunus bangkit lalu berjalan
kembali ke kursinya semula. "My touch menyerap ingatan alat-alat musik itu
akan permainan yang sebelumnya pernah dimainkan. Aku bisa memainkan The
Nutcracker-nya Tchaikovsky karena sebelumnya sudah ada orang yang
memainkannya menggunakan piano tua itu. Hal yang sama juga berlaku ketika
aku bermain biola di sekolah kalian."
"Jadi artinya, jika Bapak diminta untuk memainkan lagu dari alat musik yang
benar-benar baru, Bapak tidak akan bisa melakukannya?" Tanya Riska.
"Tepat," Pak Yunus tersenyum. "Seperti itulah cara kerja kemampuan
sentuhan milik kita, kaum touch?."
"TUSYE?" "That's how we say it," Pak Yunus membenarkan. "Tapi kita menuliskannya
T-o-u-c-h-?. It's a France word."
"Kalian sudah tahu tentang ini semua?" Riska mengalihkan pandangannya
pada Indra dan Dani. Dani mengangkat bahu. "Hanya sampai di situ."
"Bapak tidak sedang mengada-ada kan?" Riska kembali menatap Pak Yunus
dengan curiga. "What for?" Pak Yunus menghela napas. "Kemampuan kita ini sudah
diturunkan secara acak dari generasi ke generasi. Aku sudah menyelidikinya
dan memang kaum touch? sudah ada sejak dulu. Kalian pasti tidak menyangka
siapa saja yang termasuk kaum touch?."
"Shoot!" "Karl Friedrich May adalah touch?," Pak Yunus memulai.
"Penulis Winnetou dan Old Shatterhand itu?" Riska menatapnya tak
percaya. "Bohong!"
"Kau pikir bagaimana dia bisa menceritakan dengan detail apa yang terjadi
di Amerika padahal dia belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana?"
Pak Yunus menatap mata mereka. "Dia menggunakan sentuhannya untuk
membawa pikirannya ke daerah itu."
"Dengan cara apa?" Tanya Indra, pertama kalinya membuka suara sejak tiba
di rumah Pak Yunus. "Surat kabar," jawab Pak Yunus. "Dia menyerap kejadian dan pemandangan
yang ditampilkan oleh foto maupun cerita disurat kabar itu tentang Amerika.
Kalau tidak salah, saat membuat Winnetou dia sedang di penjara tapi dia
diperbolehkan membaca surat kabar sebagai satu-satunya benda yang
menghubungkan dirinya dengan dunia luar."
Mereka bertiga menahan napas.
"Beethoven is a touch?," Pak Yunus melanjutkan.
"Bohong," desis Dani.
"Dia tuli, remember?" Pak Yunus menatapnya. "Bagaimana seseorang bisa
membuat lagu dalam keadaan tuli" Dengan sentuhannya, dia menyerap
partitur sehingga dia bisa menemukan nada yang benar dan tidak. Dia tidak
perlu menggunakan telinganya untuk itu, dia menggunakan tangannya."
"Lalu siapa lagi?" Tanya Indra.
"Kau mulai bersemangat, ya?" Pak Yunus tersenyum. "Berikutnya Flavio
Blondo, dia adalah arkeolog abad pertengahan. Dia meneliti semua
peninggalan Romawi abad pertengahan dan dengan kemampuan sentuhannya,
dia bisa merenkonstruksi kejadian pada masa itu."
"Apa yang dia lakukan?" Tanya Riska.
"Dia menyerap ingatan bangunan," jawab Pak Yunus. "Hampir sama dengan
kemampuanku, hanya saja dia tidak melakukannya pada alat musik. Banyak
orang yang punya kemampuan seperti ini dan aku berani bertaruh bahwa lebih
dari setengah arkeolog terkenal adalah touch?."
"Masih ada lagi?" Tanya Indra.
"Aku bisa memberimu jutaan nama," jawab Pak Yunus. "Unfortunately,
waktu kita tidak sebanyak itu jadi aku hanya bisa memberitahumu satu orang
lagi. Dia adalah Dr. Joseph Bell."
"Siapa tuh?" Tanya Dani.
"Inspirasi Conan Doyle untuk membuat Sherlock Holmes," Indra
menjelaskan. "Dr. Joseph Bell adalah Sherlock Holmes di dunia nyata."
"Nice, obviously you know a lot," puji Pak Yunus. "Benar, karakter Sherlock
Holmes dan kemampuan analisisnya didasarkan pada Dr. Bell. Dr. Bell bisa
melakukan deduksi hanya dari benda, bahkan menerka dari mana seseorang
berasal hanya dari pasir di sepatunya dikarenakan dia adalah touch?. Dia
menyerap ingatan benda-benda itu."
Pak Yunus menyesap minumannya lalu memandang mereka. Mereka bertiga
hanya diam, terlalu shock hingga tak sanggup berkata apa-apa. Semua
informasi itu terlalu tiba-tiba dan terlalu banyak untuk dapat mereka terima.
"Kereeen..." Gumam Dani. Matanya terlihat berbinar-binar.
"Lalu, dari mana sebenarnya kemampuan kami?" Tanya Indra, wajahnya
tetap dingin. Kalaupun shock, dia bisa menutupinya dengan baik.
"Sayangnya aku belum berhasil menemukannya," Pak Yunus menghela
napas. "Penelitianku juga masih belum menyentuh abad sebelum masehi. But I
found something." "Kekuatan kita diturunkan secara acak dan tidak selalu pada tiap generasi,"
lanjutnya. "I mean, kalau kita memiliki kekuatan ini belum tentu ayah-ibu kita
juga memiliki kekuatan yang sama sehingga kemungkinan mereka tahu tentang
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hal ini nearly zero percent. Bisa jadi generasi terakhir sebelum kita adalah
kakek buyut kita." Mereka terdiam. "Dan apakah kalian tahu ada berapa orang yang memiliki kemampuan
seperti kita di luar sana?" Tanya Pak Yunus sambil melepas kacamatanya lalu
menatap mereka bertiga yang langsung menelan ludah. "Thousands."
"Tersebar di seluruh dunia," dia menaruh gelasnya lagi ke meja. "Dan
selama ini kalian merasa sendirian?"
"Seperti halnya bakal melukis, kemampuan yang sejenis dengan kita tidak
diturunkan pada satu orang," Pak Yunus melanjutkan. "Kemampuan menyerap
tulisan seperti yang dimiliki Dani, di luar sana juga ada beberapa orang yang
memiliki kemampuan yang sama. Milikku pun begitu, dalam pencarian saat
melakukan penelitian aku menemukan beberapa orang yang memiliki
kemampuan sepertiku."
"Berarti... Bukan hanya aku saja yang punya kemampuan seperti ini..." Dani
menatap kedua tangannya dengan wajah terkejut.
"Dengan pengecualian..." Pak Yunus menatap Riska dan Indra. "The mind
reader and the empath. Dalam tiap generasi hanya ada satu orang yang
memiliki kemampuan seperti kalian."
"HEEEEEEEEEE?" Riska dan Dani menjerit hampir berbarengan tapi Indra
diam saja. Namun kali ini sorot matanya menunjukkan keterkejutan yang sama.
"Aku sendiri juga tak tahu kenapa," aku Pak Yunus. "Tapi dari penelitianku,
selalu hanya ada satu orang mind reader dan satu orang empath. Orang yang
terakhir memilikinya lahir pada abad ke-18, setiap tiga abad sekali lahir orang
dengan kemampuan seperti kalian.
"Ini juga sebabnya banyak yang mengincar kalian," tambahnya.
"Mengincar kami?" Ulang Indra.
"Yes, and especially you," jawab Pak Yunus. "KGB, CIA, SAS, Mossad, dan
lain-lain akan lebih mudah menentukan mana orang yang berbahaya dan tidak
dengan kekuatanmu. Dengan alasan yang sama juga, kemungkinan organisasiorganisasi dan orang-orang jahat di muka bumi mengincarmu untuk dibunuh."
"Bapak bercanda, kan?" Riska memaksakan diri untuk tertawa.
"Kalian pikir untuk apa aku tiba-tiba datang ke Indonesia?" Pak Yunus
menghela napas. "To warn you! Agar kalian lebih waspada dan lebih berhatihati dalam menggunakan kemampuan kalian."
"Tapi bagimana mungkin mereka tahu tentang kami?" Tanya Dani. "Pasti
tidak akan ada yang menyangka pemilik kemampuan yang hanya ada 300
tahun sekali itu ada di Indonesia."
Pak Yunus mencondongkan tubuhnya ke depan dan memasang wajah serius.
"Kalau aku saja bisa menemukan kalian, why don't they?" Katanya. Mereka
bertiga langsung membeku.
"Dari mana Bapak tahu tentang istilah touch??" Tanya Indra tiba-tiba.
"Apakah Bapak mengarangnya sendiri?"
Pak Yunuh tersenyum. "Aku menemukannya di tengah-tengah penyelidikan
tentang kemampuanku. Aku membacanya di naskah asli buku Histoire de Ma
Vie yang kudapatkan dari lelang pasar gelap."
Napas Indra tertahan. "Casanova."
"You do know a lot," Pak Yunus mengangguk. "Dalam buku Histoire de Ma
Vie atau History of My Life yang terbit dan beredar sekarang, touch? tidak
pernah disinggung karena penerbitnya menyunting habis-habisan agar tidak
terjadi kontroversi di dalam masyarakat. As we all know, hal ini bukan sesuatu
yang bisa dibuktikan dengan mudah dan pihak penerbit takut Casanova akan
mengalami nasib sama seperti Joan of Ark yang mati dibunuh karena dianggap
memiliki kemampuan sihir."
"Jadi Casanova touch??" Tanya Riska tak percaya.
"Yes," jawab Pak Yunus. "And for your information, he was a mind reader,
sama seperti Indra."
Dani dan Riska langsung mengalihkan tatapannya pada Indra.
"Jadi mind reader terakhir yang lahir di abad 18 yang Bapak maksud tadi itu
Casanova?" Tanya Dani.
Pak Yunus mengangguk. "Di Histoire de Ma Vie versi asli dijelaskan bahwa
itulah sebabnya dia bisa menjadi womanizer, penakluk wanita, karena dia bisa
membaca pikiran mereka."
"Ternyata begitu..." Riska terpana.
"Kenapa Bapak melakukan ini?" Tanya Indra tiba-tiba setelah keheningan
yang cukup lama. "Maksud saya, kenapa Bapak menolong kami sampai sejauh
ini?" Pak Yunus menatap Indra cukup lama sebelum menjawab.
"Aku hanya menolong kaumku," jawabnya. "Karena aku pernah melihat
dengan mata kepalaku sendiri seorang touch? mati dibunuh."
"EEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH?" Mereka serempak berteriak.
"Oleh siapa?" Tanya Indra lagi.
"Musuh abadi kita," jawab Pak Yunus.
"Paladine?" Tanya Dani.
"Sort of." "Tapi kita bukan Jumpers."
"Itu sebabnya kubilang 'sort of'."
"Kenapa dia dibunuh?" Tanya Indra masih penasaran.
"He was data absorber," jelas Pak Yunus. "Just like Dani hanya saja dia
menyerap data digital, semacam hard disk eksternal berbentuk manusia. Ini
fenomena baru karena sebelumnya belum pernah ada touch? yang memiliki
kemampuan seperti itu. Apalagi di era digital seperti sekarang, kemampuan ini
sangat berguna karena sekali sentuh dia dapat menyerap data yang paling
rahasia sekalipun." "Jadi karena itu dia diincar?" Kali ini Dani yang penasaran.
"Yap!" Pak Yunus mengangguk. "Bersyukurlah kau hidup di abad 21, jika kau
hidup di abad sembilan belas aku yakin touch? dengan kemampuan
sepertimulah yang diincar."
"Benar, aku harus berterima kasih pada ayah dan ibuku," Dani meneguk
minumannya dengan lega. Riska tersenyum melihatnya.
"Setelah ini apa?" Tanya Indra tiba-tiba. Mereka semua memandangnya.
"I beg your pardon?" Pak Yunus mengernyit.
"Bapak bukan hanya datang untuk menjelaskan tentang siapa kami dan
memperingatkan kami untuk waspada, kan?" Indra menatap tajam Pak Yunus.
Pak Yunus terdiam sejenak lalu tersenyum.
"Kurasa terlalu sering membaca pikiran orang membuatmu belajar untuk
melihat isi kepala mereka tanpa menyentuhnya ya," kata Pak Yunus sambil
tersenyum. "Ini pujian, terimalah."
Tak ada seorang pun dari mereka yang bicara.
"Kau benar, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan pada kalian," dia
menghela napas. "But I'll save it for the right time. Setelah ini, berlakulah dan
jalanilah hidup seperti biasa walaupun..."
"Walaupun?" Ulang Riska.
"Sepertinya tidak lama lagi kalian akan sadar hidup kalian tidak akan pernah
sama lagi," Pak Yunus masih tersenyum tapi matanya menatap tajam. "Banyak
orang mungkin akan memilih untuk tidak tahu akan kebenaran agar mereka
bisa hidup normal." "Sepertinya tadi kami tidak diberi pilihan," kata Riska sinis. Benar! Setelah
mengetahui semua ini, bagaimana mungkin aku merasa hidupku normal!
"My mistake," Pak Yunus meminta maaf. "Seharusnya aku tidak mengatakan
kebenaran itu, atau mungkin seharusnya sejak pertama aku tidak perlu datang
ke Indonesia." "Dan Bapak baru memikirkannya sekarang," kata Indra tajam.
Pak Yunus mengangkat bahu. "Hey, you can't please everybody. Lagi pula ini
juga untuk kebaikan kalian sendiri agar lebih waspada."
"Oh ya, ada satu lagi yang harus aku katakan." Dia mengalihkan tatapannya
pada Riska. "Biasanya kemampuan touch? hanya diturunkan pada laki-laki."
"EEEEEEEEEEEEHHHH?" Spontan Riska berteriak.
"Lalu kenapa Riska..." Tanya Indra.
"Dengan pengecualian empath," Pak Yunus tersenyum. "Aku juga ingin tahu,
dari yang kuteliti sejak dulu empath selalu diturunkan pada wanita. Hingga
sekarang aku belum mendapatkan jawabannya."
"Jangan-jangan sebenarnya semua empath adalah perempuan jadi-jadian."
Dani menatap Riska dengan wajah serius.
"Kau ingin mati muda ya?" Gerutu Riska.
*** "Sekarang secara resmi kita sudah jadi anggota Heroes?" Kata Riska di dalam
mobil Pak Yunus. Mereka akan diantar kembali ke rumah masing-masing
kecuali Indra karena sepeda motornya masih tertinggal di sekolah.
"Indra sudah pasti jadi Matt Parkman," kata Dani.
Indra tidak mengatakan apa-apa.
"Menurut kalian, apakah dia melebih-lebihkan?" Tanya Riska. "Tentang
kemungkinan bahwa kita diincar."
"Kurasa iya," Dani mengangguk. "Mungkin ini semacam permainan anak
orang kaya dan kita jadi bonekanya."
"Tidak," kata Indra tiba-tiba. "Dia tidak sedang berbohong."
Riska dan Dani menatapnya.
"Seseorang memang telah mati," lanjut Indra. "Data absorber itu memang
ada dan dia memang baru saja meninggal di depan mata Pak Yunus. Bahkan
yang menyedihkan, orang itu adalah kakak Pak Yunus sendiri."
"Ba... Bagaimana kau tahu?" Riska menelan ludah.
"Apa kau lupa?" Indra balas menatap Riska dan Dani. "Aku ini mind reader,
aku menyalaminya saat berpamitan tadi. Aku membacanya."
Mereka bertiga langsung terdiam.
"Tapi tadi aku juga menyentuhnya," Riska melihat telapak tangan kanannya.
"Dan yang kurasakan bukan kesedihan."
Dia lalu menatap Indra dan Dani. "Tapi kemarahan."
BAB 4 JANGAN terlalu memikirkannya, Ndra," Dani memukul bahu Indra.
"Terima kasih," kata Indra datar. "Nasihat yang bagus."
"Hey, if it works for me, it works for you too!" Ujar Dani.
"Tentu saja, karena kau memang tidak pernah berpikir."
"Hoi, apa tidak ingat kalau aku adalah komputer dengan hard disk lebih dari
100 gigabyte?" Dani membela diri merujuk pada kemampuannya menyerap
teks. "Komputer dengan hard disk lebih dari 100 gigabyte," kata Indra datar.
"Tanpa operating system."
"Ah, kau hanya iri," Dani meringis.
"Anggap saja begitu kalau itu membuatmu senang," jawab Indra.
Dani tertawa. Jason yang duduk di belakang mereka mengeluh keras hingga menarik
perhatian mereka berdua. Jika Jason sampai mengeluh seperti itu, hanya ada
satu sebab. "Cewekmu pasti marah-marah lagi?" Tanya Dani pada Jason.
Jason mengerang. "Untuk kesekian kalinya dan aku tak tahu apa sebabnya."
"Hormonal mungkin."
"Hanya itu satu-satunya hal yang terpikirkan," desah Jason.
"Memangnya kau bisa memikirkan apa lagi?" Dani menyeringai.
"Wanita memang membingungkan," Jason mengeluh lagi lalu merebahkan
kepalanya di atas meja. "Kadang-kadang aku sampai berharap punya kekuatan
membaca pikiran seperti Mel Gibson di What Women Want."
Indra dan Dani berpandangan.
"Hati-hati dengan apa yang kauinginkan," kata Dani sambil menepuk bahu
Jason lalu beranjak dari kursi. "Ayo, Ndra!"
Indra menyambar tasnya dan segera berdiri.
"Kalian mau ke mana?" Tanya Jason bingung.
"Ada senior yang menantang Indra Judo," jawab Dani.
"Hah! Dan hanya demi alasan itu kalian tega meninggalkan teman kalian
yang sedang les miserables ini?" Pekik Jason dramatis.
"Man's gotta do what a man's gotta do."
"Aku berteman dengan orang yang salah," Jason menghela napas. "Dan
Indra, wajah 'tak ada hubungannya denganku' itu menjengkelkan!"
Indra mengangkat bahu. Dani tertawa. "Manusia tidak bisa memilih takdirnya sendiri."
Jason berdecak. "Aku menyerah, kalau begitu sebagai ganti penghiburan
kalian yang tidak akan pernah datang, aku ingin bertanya satu hal padamu,
Ndra." "Apa?" Jawab Indra datar.
Jason menatap lurus matanya. "Kenapa selain saat judo, kau selalu
menutupi tanganmu dengan sarung tangan?"
Indra terdiam sesaat. "Karena kakiku tidak bisa ditutupi dengan sarung tangan," jawabnya asal lalu
pergi keluar kelas diikuti Dani yang tampak sekuat tenaga menahan tawa.
*** Indra mencengkeram judogi lawannya tepat di dada dan sikunya.
"Aku akan mempermalukan anak sombong ini. Lihat saja nanti, kau akan
kupermalukan dengan Harai Tsurikomi Ashi!"
Orang ini terlalu banyak berpikir, batin Indra.
"Kaki kiri! Kesempatan!"
Tepat saat lawannya hendak menyerang kaki kiri Indra, dia berhasil
menghindar bahkan dengan sigap menendang kaki lawannya itu hingga
kehilangan keseimbangan. Tak butuh banyak tenaga, Indra menarik lengannya
dan membantingnya lalu...
"IPPON!" "Siaaaaaaaallll!"
Indra cepat-cepat melepaskan tangannya.
"Aku kalah," kata lawannya sambil berusaha berdiri. "Kau memang lebih
hebat dariku." "Tidak," jawab Indra. "Kekuatan kita sama."
Senior itu tersenyum sinis. "Kau tidak perlu menghiburku, aku tidak
membutuhkannya." Dia lalu berjalan menuju teman-temannya.
Tidak, kita benar-benar setara, kata Indra dalam hati. Hanya saja aku punya
sedikit keistimewaan yang tidak kaumiliki.
Indra sudah memiliki kemampuan membaca pikiran ini sejak kecil, mungkin
sejak dia baru dilahirkan. Membaca sebenarnya bukan kata yang tepat karena
Indra mendengar pikiran seolah-olah melalui telinganya. Bahkan jika orang itu
tidak senang berpikir melainkan membayangkan sesuatu, dia juga bisa
melihatnya seakan ada proyektor di kepalanya. Jadi ketika orang yang dia baca
pikirannya sedang berpikir sekaligus membayangkan sesuatu, yang terjadi
adalah seperti dalam permainan virtual reality. Dan tentu saja, dia harus lebih
dulu menyentuh orang itu, karena pikiran tidak disalurkan melalui udara.
Ibaratnya jika ingin mendengar suara seseorang yang jauh dari kita, kita masih
harus mengangkat telepon terlebih dahulu.
"Yo!" Dani menyambutnya begitu Indra keluar dari ruang ganti. "Kau
memang benar-benar kuat."
Mereka berjalan menuju tempat parkir.
"Tidak juga," kata Indra tanpa bermaksud merendah sedikit pun. "Judo itu
hampir sama dengan poker, masing-masing pemain memiliki kartu dan
kemenangan terletak pada siapa yang paling cepat membaca kartu lawan."
"Berarti kau curang," cibir Dani.
"Et tu-kau juga," Indra menyipitkan mata padanya. "Kalau aku curang,
berarti et tu." Dani tertawa. "Honestum non est semper quod licet-apa yang
diperbolehkan tidak selalu terhormat."
"Oh ya, tadi itu dia bermaksud menggunakan Harai Tsurikomi Ashi ya?"
Tanya Dani kemudian. "Lalu kau membalikkan dengan Deashi Harai?"
"Setelah Proverbia Latina, sekarang apa?"
"Aku membaca Judo for Dummies."
"Membaca?" Dani menyeringai. "Oke, oke, menyerap."
"Hei, itu si Riskan, kan?" Tanya Dani saat mereka sudah tiba di tempat
parkir, menunjuk ke anak perempuan berpostur tinggi dan berambut panjang
yang sedang berjalan menuju lapangan.
"Yeah." "Apakah kita perlu memanggilnya?" Tanya Dani. "Mengingat secara resmi
sekarang kita sudah berteman, m?nage ? trois."
"Apa kau tahu kata arti kata terakhir yang kau ucapkan?" Indra menghela
napas. "Tentu saja," jawab Dani sambil meringis.
Indra melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh bahu Dani.
"Artinya kurasa sesuatu yang cukup keren."
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Indra menarik tangannya lagi. "Sedikit saran, mungkin sebaiknya kau
menyerap kamusnya dulu sebelum mengatakan apa pun dalam bahasa asing."
"Apa kau tahu yang namanya privacy?" Protes Dani.
"Tahu dan aku tidak melihat papan bertuliskan itu di kepalamu," jawab
Indra. Dani menghela napas lalu menyerahkan helm padanya. "Aku benar-benar
ingin tahu apa yang membuatku bisa berteman denganmu selama ini."
"Kau mau aku membantumu?" Tanya Indra. "Mumpung aku belum memakai
sarung tanganku lagi."
Dani hanya bisa mendengus.
"Omong-omong tentang permintaanku kemarin, apa kau sudah
melakukannya?" Tanya Dani begitu mereka sampai di depan rumah Indra.
"Ya," jawab Indra. "Melisa ingin boneka beruang dengan pita hijau, Sarah
ingin candle light dinner di SPI, dan Lucy ingin tahu apa kau mau berenang
bersamanya." "Sip! Sip! Sip!" Dani mencatat di PDA-nya. "Para wanita itu memang tidak
pernah mau jujur tentang apa yang mereka pikirkan."
"Aku heran, kau itu punya modal kuat untuk jadi playboy bahkan yang
sekelas Casanova," Dani menatap Indra sambil masih sibuk mengetik. "Tapi
kenapa tak kaulakukan?"
"Sudah kauwakili," jawab Indra datar.
*** Pelajaran yang paling tidak dikuasai Indra adalah pelajaran yang
membutuhkan hafalan. Dia suka sains dan apa pun yang memerlukan
hitungan, dia bahkan termasuk di atas rata-rata untuk hal itu. Dia juga suka
membaca buku dari novel hingga ensiklopedia, semua bacaan tanpa paksaan.
Tapi jika yang dibaca adalah buku pelajaran terutawa dengan kewajiban
menghafal, dia menyerah. Hari itu ulangan sejarah dan Indra merasa sudah mulai mual. Semua yang
dihafalnya semalam serasa menguap tak berbekas. Susah payah dia berhasil
mengingat kapan pembentukan PRRI dan PERMESTA. Sayangnya itu belum
cukup karena Pak Heri, guru Sejarah, masih menuntut disebutkannya nama
Dewan-dewan berikut pemimpinnya.
Indra menyadarkan tubuh dan menghela napas panjang. Dani yang duduk di
depannya tampak sudah hampir selesai. Kehabisan akal, Indra mencondongkan
tubuhnya lagi, melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh punggung
Dani. "Dan, pinjam penggaris."
Dani semula terkejut tapi dia kemudian sadar apa yang sedang Indra lakukan
hingga dia pun berlama-lama mencari penggarisnya untuk memberi Indra
waktu membaca pikirannya.
Semoga tidak makan waktu lama, batin Indra mengingat Dani menyerap
semua isi buku sejarah hingga dia harus memilah mana yang dicari. Ah! Ini dia!
"Sjahrir mengemukakan pendapatnya ini dalam menanggapi pembentukan
PRRI pada 15 Februari 1958, dan PERMESTA pada 17 Februari 1958. Sejak
Desember 1958 benih-benih kedua kejadian itu sudah ditanam dengan
terbentuknya Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Sumatra
Utara, Dewan Garuda di Sumatra Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi
Utara. Dewan-dewan ini berturut-turut dipimpin oleh Achmad Husein, Maludin
Simbolon, Barlian, dan Sumual."
Indra menarik tangannya lagi.
Dani menoleh ke belakang sambil menyerahkan penggarisnya. "Nih."
"Thanks," Indra tersenyum.
Seperti itulah hubungan antara Indra dan Dani, mutualisme. Indra
membantu Dani dalam mata pelajaran yang tidak membutuhkan hafalan yang
sudah pasti merupakan kelemahannya, sebaliknya Dani membantunya dalam
pelajaran yang membutuhkan hafalan. Jika Indra melihat Dani sudah tampak
kebingungan atau panik-yang biasanya ditunjukkan dengan seringnya dia
menggaruk-garuk kepala- dia akan berpura-pura menjatuhkan lembar
jawabannya tak jauh dari meja Dani. Dani akan berbaik hati mengambilnya
untuk Indra dan pada saat yang sama menyerap semua yang ditulis di kertas
itu. Nasib buruk hanya terjadi jika tempat duduk mereka di tentukan dan
diletakkan berjauhan. Saat itu mereka hanya bisa memasrahkan hasil ujian
pada Tuhan. BAB 5 RISKA memegangi lututnya dan terengah-engah.
"Tiga belas koma satu detik," Pak Joni memberitahu. "Coba lebih baik lagi,
Ris. Bapak tahu kamu bisa."
Riska mengangguk. Sebentar lagi kejuaraan atletik antar SMA dan cukup banyak orang yang
berharap padanya di kejuaraan lari 100 meter. Riska merasa harus bisa
menang, walau dia melakukan ini bukan demi mereka. Dia melakukannya demi
dirinya sendiri sebagai pembuktian bahwa dia bisa lebih cepat dari yang
dibayangkannya. Melewati aula, Riska berhenti lagi untuk melihat. Kali ini matanya langsung
tertuju pada Indra. "Kau selalu melihat mereka latihan ya?" Tanya Dani pada Riska yang
memergokinya masih dalam pakaian lari berdiri di depan aula.
"Begitulah," jawab Riska. "Sepertinya kau juga."
Dani memperhatikan baju Riska. "Kau ikut atletik, ya?"
Riska mengangguk. "Kau sendiri?"
"Ronin," jawab Dani dengan bangga. "Tidak ikut klub mana pun."
"Lalu kenapa kau di sini?"
Dani mengedikkan kepalanya ke dalam aula.
"Aku mendukung temanku," katanya. "Yang sekarang sedang melemparkan
lawannya ke lantai."
Indra tampak berdiri terengah-engah sambil menatap dingin lawannya yang
terkapar, nyaris tanpa ekspresi.
"Indra?" Tanya Riska.
"Siapa lagi?" "Sebenarnya, setelah melihat temanmu melemparkan lawannya suatu hari
itu, sepertinya ada yang menarikku untuk melihatnya lagi," aku Riska.
"Terima kasih, aku tersanjung," kata Dani senang.
Riska menatapnya. "Aku memujinya, bukan memujimu."
"Aku mewakilinya, jadi terimalah."
Riska menghela napas. "Setelah ini menurutmu apa yang akan terjadi?"
"Setelah apa?" "Setelah penjelasan Pak Yunus, touch?, dan sebagainya."
Dani mengangkat bahu. "Aku tak tahu, tapi sepertinya akan ada kejadian
besar." "Atas dasar?" "Entahlah, ini insting saja."
"Jawaban tidak ilmiah, bukti tidak cukup, kasus ditolak."
"Kau tahu" Seperti katak yang bisa tahu kalau sebentar lagi turun hujan."
Dani masih berusaha meyakinkan pendapatnya.
"Dan kau katak?" Tanya Riska.
"Itu tadi majas," jelas Dani. "Perumpamaan."
"Majas dan perumpamaan adalah dua hal yang berbeda," kata Riska.
"Kata siapa?" "Kau belum menyerap Kamus Besar Bahasa Indonesia?"
"Apakah ini topik yang semula kita bicarakan?" Dani mengerutkan kening.
"Tidak." "Sampai di mana kita tadi?"
"Katak," jawab Riska.
Dani tertawa. "Sepertinya aku jadi suka padamu."
"Terima kasih, tapi aku tidak."
"Belum," ralat Dani
Riska hanya tersenyum lalu mengalihkan tatapannya lagi pada Indra.
*** "Aku tidak tahu kalau kau kenal Dani," kata Tari. "Aku tadi melihatmu
ngobrol dengannya di depan aula."
"Aku juga tidak menyangka aku mengenalnya," kata Riska. "Memangnya dia
siapa?" "Hah! Kau tidak tahu?" Tanya Tari tak percaya.
"Dia itu Dani, hanya itu yang kutahu," jawab Riska. "Kenapa?"
Tari menghela napas. "Dia itu peringkat pertama di sekolah kita, bahkan
mungkin di kotamadya ini. Dia itu genius, pengetahuannya luas seakan dia
telah membaca semua buku yang ada di dunia ini."
"Kau terlalu melebih-lebihkan," kata Riska datar.
"Serius!" Tari meyakinkan. "Bahkan sepertinya dia bisa menyerap isi buku
hanya dengan menyentuhnya."
"Walau tentu saja itu tidak mungkin," tambahnya.
Riska mengangkat alis. "Yah... Itu lebih menjelaskan semuanya."
"Satu plus lagi, Dani bersahabat dekat dengan Indra!" Kata Tari agak histeris.
"So?" "Kau tahu sendiri, kan, Indra itu kebanggaan sekolah kita, dia juara judo
tingkat propinsi, bahkan mungkin nasional," lanjut Tari. "Ditambah lagi wajah
'bukan urusanku' itu membuatnya tampak cool."
"Oke," Riska mengangguk walau agak heran dengan perumpamaan Tari.
"Lalu?" "Dan dia sulit didekati, misterius, tak ada seorang pun yang bisa
mendekatinya," jawab Tari.
"Kenapa?" Tanya Riska.
Tari mengangkat bahu. "Entahlah, dia bahkan selalu menggunakan sarung
tangan. Kesannya tidak mau bersentuhan langsung dengan orang lain."
"Oh..." Riska termenung.
"Sama sepertimu, sebenarnya," Tari menatapnya. "Sama sepertimu yang
selalu memasukkan tangan ke dalam jaket atau kantong rok saat istirahat."
"Kalau aku kan karena tidak tahan dingin," Riska memberi alasan.
Tari memutar bola matanya. "Ini di Surabaya, memangnya akan sedingin
apa?" Bel masuk berbunyi. Riska menarik tangannya dari kantong roknya.
*** "YO!!!!!!" Dani berseru begitu Riska membuka pintu rumahnya. Indra berdiri
di belakang Dani tapi pandangannya lurus ke jalan.
"Bagaimana kalian bisa tahu alamat rumahku?" Tanya Riska heran.
"Malu bertanya sesat di jalan," jawab Dani. "Kami ingin menjemputmu."
"Ke mana?" Riska mengernyit dahi.
"Pak Yunus belum menghubungimu?"
Riska menggeleng. "Dia meminta kita berkumpul di Kafe Pelangi malam ini," jelas Dani. "Karena
kafe itu tidak jauh dari rumahmu, kami berpikir untuk menjemputmu lebih
dulu dan berangkat ke sana bersama-sama."
"Aku ambil jaket dulu," kata Riska lalu masuk ke rumah.
"Siapa?" tanya Mama.
"Ah... itu... teman," jawab Riska. Dia belum memberi tahukan kepada
mamanya tentang apa yang telah terjadi. Dia memang telah berjanji tidak akan
menyembunyikan apa pun dari mamanya, tapi karena rahasia ini juga
menyangkut orang lain, Riska memutuskan untuk tutup mulut walau dalam
hati dia merasa bersalah pada mamanya.
"Teman?" Mama menatap mata Riska.
"Iya, mereka mengajakku pergi ke acara di sekolah," Riska tak berani
membalas tatapan mata mamanya.
Mama Riska terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk sambil
tersenyum. "Oke," Mama duduk di sofa dan menyalakan TV. "Jangan pulang terlalu
larut." Riska menarik napas lega. "Siap!"
Setelah mengambil jaket di kamarnya, Riska bergegas menuju pintu depan.
"Aku pergi dulu, Ma," pamitnya.
"Ris," kata Mama. Riska menghentikan langkahnya.
"Apa pun yang kaulakukan," Mama tidak menoleh sedikit pun, "berhatihatilah."
Riska tertegun tapi kemudian mengangguk. "Ya."
"Kau tidak apa-apa?" tanya Dani sambil berjalan.
"Hah?" "Wajahmu," Dani menelengkan kepalanya. "Seperti sedang memikirkan
sesuatu." "Itu..." kata Riska, bimbang sesaat. "Aku masih belum menceritakan yang
sebenarnya pada Mama tentang apa yang sedang terjadi. Tentang kalian, Pak
Yunus, dan terutama tentang touch? padahal aku sudah berjanji sejak Papa
meninggal tidak akan pernah menyembunyikan apa pun dari Mama. Tapi aku
takut jika menceritakannya, bisa membahayakan kalian semua."
"Begitu?" Mereka lalu terdiam. "Memangnya kau umur berapa?" Indra yang pertama membuka suara.
Matanya yang hitam pekat menatap Riska.
"Hah?" "Jika kau masih mengeluh seperti itu katakan semuanya saja pada mamamu,
jangan jadikan kami sebagai alasan," kata Indra tajam. "Bingung dengan
keputusan yang sudah diambil sendiri, kau pikir berapa umurmu?"
Riska langsung merasa tertampar dengan kata-kata Indra.
Dia mengernyitkan dahi dan memasang wajah cemberut tapi tak mampu
berkata apa-apa untuk membalasnya. Di dalam hatinya, Riska mengakui bahwa
kata-kata Indra benar. "Indra, kata-katamu agak keterlaluan," kata Dani setelah melihat raut wajah
Riska. "Jika kata-kataku salah, dia bisa membalasnya," jawab Indra dingin.
Dani melirik Riska, tapi gadis itu hanya diam. Karena tidak melihat jalan, Dani
bertubrukan dengan seseorang hingga dia dan orang yang ditubruknya
terjatuh. "Hoi! Kau taruh di mana matamu?"
Orang yang ditubruk Dani sepertinya preman yang agak mabuk dan dia tidak
sendirian. Ada sekitar tiga orang yang tampak di belakangnya.
"Maaf, Bang, saya nggak sengaja," kata Dani sambil berdiri. Dia mengulurkan
tangan pada preman itu tapi tangannya ditepis dengan kasar.
"Enak aja cuman minta maaf!" bentak preman itu. "Kalau tulang rusukku
patah, kau mau tanggung jawab" Pokoknya aku minta ganti rugi!"
"Bagaimana kalau saya antar Abang ke dokter, kalau memang tulung rusuk
Abang patah, saya ganti semua biaya pengobatannya," kata Dani ringan.
"Kau!!!" Preman itu melotot karena merasa Dani menantangnya.
Dani membalas tatapannya dengan santai karena mengira preman-preman
itu hanya berani di mulut saja, tapi dia salah. Preman yang tadi ditubruknya
maju dan menarik kerah Dani lalu menendang perutnya hingga dia jatuh
tersungkur. "Dani!" pekik Riska yang langsung membantu Dani duduk. Dani terbatuk
sambil meringis kesakitan.
"Itu akibatnya kalau mau jadi orang sok tahu!" kata preman itu diikuti
iringan tawa teman-temannya.
Indra yang dari tadi diam saja, maju dan melepas kedua sarung tangannya.
"Apa?" kali ini preman itu melotot padanya. "Kau mau membalaskan
dendam temanmu, kerempeng?"
Preman itu sudah melakukan ancang-ancang untuk memukulnya tapi Indra
sempat mengelak dan memegang tangannya. Si preman mengira Indra
terkecoh karena serangan sebenarnya adalah tendangan yang diarahkan ke
rusuk. Begitu preman itu menendang, Indra menjegal kaki tumpuannya hingga
preman itu kehilangan keseimbangan lalu dengan mudah membantingnya.
Indra sudah membaca apa yang dipikirkannya. Ketiga teman preman itu juga
mengalami nasib serupa saat ingin menolong temannya. Mereka tak berdaya
menghadapi Indra. Melihat semua lawannya terkapar, Indra masih belum
berhenti. Dia menarik kerah preman yang tadi menendang Dani, lalu
memukulnya berkali-kali. Bahkan sampai akhirnya preman itu memohon
ampun, Indra tidak menghentikan pukulannya.
Riska yang melihat kejadian itu membeku. Dia bisa melihat mata Indra yang
berkilat seperti orang kesurupan. Tangannya mulai bergetar.
"Indra! Sudah cukup! Hentikan!" teriak Dani. "Kau bisa membunuhnya!"
Indra tidak menggubrisnya. Dia sudah hendak melayangkan pukulan lagi
ketika Dani kembali berteriak.
"Aku tidak apa-apa! Sudah! Hentikan! Aku tidak apa-apa!"
Barulah Indra berhenti. Tangannya yang sudah siap untuk memukul lagi dia
turunkan.
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Indra berjalan mendekati Dani tanpa mengatakan apa-apa. Tanpa sadar
Riska mundur selangkah ketika Indra datang. Sadar telah membuat gadis itu
ketakutan, Indra meminta maaf.
"Maaf." Kilatan di mata Indra sudah menghilang, diganti tatapan gelap dan suram
lebih dari biasanya. Dani menghela napas lalu menepuk-nepuk pundak teman baiknya itu. "Kau
kehilangan kendali lagi."
Indra hanya diam. BAB 6 "KENAPA wajah kalian seperti itu?" tanya Pak Yunus heran, ketika mereka
bertemu di Kafe Pelangi. Ketakutan di wajah Riska masih belum hilang
sepenuhnya begitu juga hawa gelap Indra yang lebih pekat. Hanya Dani yang
tidak menunjukkan perubahan.
"Ceritanya panjang," jawab Dani.
"Kalau begitu persingkat," kata Pak Yunus sambil memanggil pelayan.
"Kami bertemu preman," jelas Dani.
"Lalu?" "Bapak minta versi singkat, kan?" balas Dani. "Itu versi singkatnya."
Pak Yunus mendengus lalu tersenyum. "Smart."
"Untuk apa Bapak memanggil kami ke sini?" tanya Dani setelah mereka
selesai memesan makanan dan minuman.
"Pertama-tama aku harus bertanya dulu," Pak Yunus memasang wajah
serius dan memandang mereka bertiga secara bergantian. "Apakah kalian tahu
akhir-akhir ini mulai banyak penculikan terhadap kaum touch??"
"EEEEEEEEHHHH?" Dani dan Riska spontan berteriak tapi kemudian cepatcepat membekap mulut masing-masing.
Pak Yunus mengangguk. "Tapi mereka adalah touch? yang berada di luar
negeri, jadi tidak heran jika kalian tidak mengetahuinya."
"Semuanya berasal dari luar negeri?" tanya Indra, akhirnya membuka suara.
"Sepanjang pengetahuanku," jawab Pak Yunus. "Iya."
"Menurut Bapak, apakah orang yang melakukan penculikan-penculikan itu
adalah orang yang sama?" tanya Indra lagi.
Pak Yunus mengangguk mantap. "Tentu saja."
"Dari mana Bapak tahu?"
"Setiap melakukan penculikan itu, mereka selalu meninggalkan sepucuk
surat untuk keluarga korban."
"Meminta tebusan?" tanya Dani.
Pak Yunus menggeleng. "Salah satu sumber kepolisian di sana yang juga
kenalanku mengatakan isi surat itu hanya dua baris dari puisi kuno. Dari situlah
aku bisa menarik kesimpulan."
"Puisi?" ulang Riska.
"Aslinya berasal dari bahasa Latin," jelas Pak Yunus. "You only have to look
behind you, at who's underlined you."
Dani mengerutkan kening. "Lalu apa hubungannya dengan kaum touch?"
Bukankah itu berarti yang menculik mereka adalah orang-orang terdekat
mereka" Kata-katanya saja 'look behind you'."
"Lanjutan puisi itu," jawab Indra.
Dani dan Riska langsung menoleh ke arahnya.
Pak Yunus menatap Indra kagum. "Pengetahuanmu memang di atas anakanak seumurmu."
"Apa lanjutannya?" tanya Riska penasaran.
"Destroy everything you touch today, destroy me this way," kata Indra.
"Touch... Touch?..." gumam Dani.
Mereka terdiam. Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Setelah pesanan selesai
diantar, mereka mulai berbicara lagi.
"Tapi penculikan itu belum sampai ke Indonesia, kan?" Riska menatap Pak
Yunus, khawatir. "Belum..." jawab Pak Yunus, "...hingga kemarin. Penculik itu sudah sampai
ke kota ini." Saking kagetnya, mereka sampai tidak bisa mengatakan apa pun.
"Apa yang terjadi?" tanya Indra.
"Koki terkenal yang pernah menimba ilmu di Prancis dan sekarang menjadi
koki di salah satu hotel berbintang empat di Surabaya diculik dari rumahnya,"
jelas Pak Yunus. "Dia adalah touch? yang memiliki kemampuan bisa
mengetahui komposisi bahan pembuat makanan, baik jenis maupun ukuran
hingga gram terkecil hanya dengan menyentuhnya.
"Hari Jumat pagi dia pamit dari rumahnya untuk pergi ke hotel tempatnya
bekerja dan hingga hari ini belum kembali. Ketika dihubungi di tempat
kerjanya, hari Jumat itu ternyata dia bahkan tidak datang kerja."
"Apa kata polisi?" tanya Riska.
"Polisi menganggapnya kabur dari rumah," jawab Pak Yunus sambil
menuang air mineral ke gelas. "Mereka tidak paham dengan maksud puisi itu,
lagi pula mereka juga tidak tahu telah terjadi penculikan dengan modus yang
sama di luar negeri."
"Payah," cibir Dani.
"Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Indra tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" tanya Dani bingung.
"Bagaimana penculik itu bisa mengenali kaum touch??" jelas Indra, menatap
tajam Pak Yunus. "Apa seperti bapak mengenali kami" Apa karena semua
kaum touch? tanpa sadar selalu menyembunyikan tangannya seperti aku dan
Riska" Tapi bukankah yang melakukan ini hanya touch? yang kemampuannya
berhubungan dengan manusia?"
Riska dan Dani langsung melongo karena apa yang dikatakan Indra tidak
terpikirkan oleh mereka. "Ternyata bukan hanya kemampuan touch?-mu yang mengagumkan," Pak
Yunus tersenyum. "Otakmu pun sepertinya akan diperebutkan banyak pihak."
Indra hanya diam, tak menunjukkan ekspresi apa pun.
"Apakah kalian ingat ketika aku menjelaskan tentang touch?, aku menyebut
bahwa ada beberapa orang dengan pengecualian?" Pak Yunus mulai
menjelaskan. "Salah satunya, aku menyebutnya sebagai track finder. Orang
yang dari sentuhannya bisa mendeteksi keberadaan orang lain atau minimal
kaum touch? yang lain."
"Track finder?" Riska mengernyit. "Apa yang dia sentuh?"
Pak Yunus mengangkat bahu. "Mungkin peta, globe, atau apa pun yang
menunjukkan wilayah."
"Kekuatan seperti yang dimiliki Profesor X di X-Men dengan mesin Cerebronya?" tanya Dani.
"Yah mungkin semacam itu," Pak Yunus meneguk minumannya. "Ini baru
teoriku saja, tapi kupikir hanya inilah alasan yang masuk akal."
"Berarti ada kemungkinan sebentar lagi kami yang diincar?" tanya Indra
datar. Riska dan Dani menelan ludah.
Pak Yunus mengangguk. "Sebaiknya mulai sekarang kalian saling menjaga."
"Bukankah berkumpul seperti ini justru membuat kita lebih mudah
ditangkap?" "Aku bilang saling menjaga," Pak Yunus mengambil garpu dan piisaunya.
"Tidak mengharuskan kita untuk saling berkumpul. Let's eat!"
Mereka bertiga makan dengan tidak tenang. Apa yang telah dikatakan Pak
Yunus sudah mulai memengaruhi mereka. Menyadari telah membuat ketiga
muridnya tidak nyaman, setelah selesai makan Pak Yunus memainkan lagu
dengan piano di kafe itu.
"Indah sekali ya," celetuk pelayan restoran itu.
"Memangnya belum pernah ada yang memainkannya?" tanya Indra.
Pelayan itu mencoba mengingat-ngingat. "Seingat saya belum, tapi jangan
percaya dengan ingatan saya. Soalnya piano sebelum ini sudah memainkan
banyak sekali lagu yang saya nggak tahu hingga saya lupa."
"Piano sebelum ini?"
Pelayan itu mengangguk. "Sudah rusak, karena tua dan terlalu sering
dimainkan. Piano ini baru datang tadi pagi, berarti bapak itu yang melakukan
premier. Bagus ya suaranya."
Indra mengangguk. "Apa judul lagu yang dimainkannya?"
"Hana's Eyes," jawab Indra setelah terdiam sesaat.
Setelah selesai, Pak Yunus dijemput sopirnya dan dia pulang lebih dulu. Dani,
Riska, dan Indra masih di kafe itu selama beberapa saat sebelum memutuskan
beranjak. "Kalian berdua pulanglah dulu," kata Indra. "Masih ada yang ingin
kupastikan." Dani mengangguk. "Dia tidak berbahaya," kata Dani pada Riska dalam perjalanan pulang. "Indra
tadi hanya kehilangan kendali dan itu hanya terjadi jika orang-orang yang
penting baginya disakiti."
Riska menatapnya. "Tapi aku baru pertama kali ini melihat orang seperti
itu." Dani tersenyum. "Kalau kau lebih mengenalnya, kau akan tahu orang sebaik
apa dia. Walau tampak dingin seperti itu, tapi sebenarnya dia adalah orang
yang paling peduli pada sekelilingnya."
"Bagaimana aku bisa mengenalnya kalau dia saja tidak mau membiarkan
orang lain mendekatinya?" tanya Riska, mengingat betapa dinginnya Indra.
Dani menghela napas. "Tak bisa disalahkan. Kau sendiri, apa yang akan
kaulakukan jika orang yang paling dekat denganmu, keluargamu, tidak mau
mendekatimu." "Jadi keluarganya seperti itu" Tidak mungkin! Ibuku saja tidak
mempermasalahkan kemampuanku." Riska tertegun.
Dani tersenyum. "Tidak semua orang seberuntung dirimu yang memiliki ibu
seperti itu dan tidak semua orang sehebat ibumu, yang mau saja dibaca
perasaannya." "Itukah sebabnya tadi dia marah padaku?" gumam Riska.
"Dia tidak marah padamu," kata Dani. "Itu bukan bentuk kemarahan,
buktinya kau masih utuh. Kau kan sudah lihat sendiri bagaimana dia marah."
Riska tersenyum. *** "Aku tidak menyangka ruang kelas kita ternyata berdekatan," kata Dani saat
menghampiri kelas Riska di jam istirahat.
"Surprise," Riska mengangkat bahu. "Ada apa?"
"Pak Yunus minta kita berkumpul di ruang musik," kata Dani.
"Untuk?" "Mendengarkan konser tunggalnya," jawab Dani asal. "Mana kutahu."
"Dan, sudah waktunya masuk kelas," Indra menepuk bahu Dani. Dia tidak
mengatakan apa-apa pada Riska tapi mengangguk saat mata mereka
bertatapan. Setelah Dani dan Indra pergi, hampir semua murid perempuan di kelas Riska
bergegas menghampirinya. "Apa yang terjadi?" jerit Tari.
"Sejak kapan kalian akrab?" tanya Pipit.
"Kenalkan aku pada mereka!" teriak Jena.
Riska sampai harus menutup kedua telinganya. Kericuhan itu baru berhenti
begitu Bu Rita, guru matematika masuk.
"Kalian berniat membunuhku, ya?" keluh Riska, ketika Dani dan Indra
menjemput di kelasnya begitu bel pulang berbunyi. Dia bisa merasakan
punggungnya panas karena tatapan tajam teman-temannya.
"Hah?" Dani mengernyit.
"Lupakan," Riska menggeleng. "Ke mana kita?"
"Ruang musik." Mereka mengarah ke gedung utara. Di ujung gedung itu, di dekat tangga
terdapat ruangan besar dengan berbagai macam alat musik dari yang
tradisional sampai kontemporer. Dari ukulele, banjo, grand piano sampai drum
tersedia di sana. Pak Yunus sedang memainkan Mozart's Twinkle Twinkle Little
Star saat mereka bertiga datang.
"Kalian sudah datang," Pak Yunus menghentikan permainan pianonya.
"Ada apa, Pak?" tanya Dani.
Pak Yunus beranjak dari kursinya.
"Aku mendapat informasi bahwa si track finder sudah mencium keberadaan
kita," kata Pak Yunus sambil menatap koleksi flute di lemari kaca.
"HAAAAAAHHH?" teriak Dani dan Riska berbarengan.
"Kita harus meningkatkan kewaspadaan," Pak Yunus menatap mereka. "Kita
masih tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan penculik ini tapi ada baiknya
kita berhati-hati, walaupun sepertinya tidak mungkin kita bisa bersembunyi
tanpa diketahui track finder."
Riska dan Dani terdiam, mereka tampak shock. Hanya Indra yang tidak
menunjukkan ekspresi apa pun.
Pak Yunus berjalan lagi ke deretan biola dan mengambil yang terkecil yang
terletak di ujung lemari. Dia mengambil biola paling baru di situ yang
bentuknya kecil. Biola hibahan violis internasional. Pak Yunus menggeseknya
lalu memainkan Bengawan Solo karya Gesung.
"Cepat sekali," kata Indra tiba-tiba.
"Apa maksudmu?" Pak Yunus menurunkan penggesek biolanya.
"Saya merasa semuanya terlalu cepat," kata Indra, tatapan matanya dingin.
"Dimulai sejak kedatangan Bapak, penjelasan tentang kaum touch?, lalu tibatiba penculikan ini. Semua itu berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan.
Rasanya seperti..." Indra menyandarkan punggungnya ke kursi dan menatap lurus Pak Yunus.
"Sudah direncanakan sebelumnya."
Pak Yunus membalas tatapannya. Baik Dani maupun Riska tak ada yang
berani bersuara. Tapi kemudian Pak Yunus tersenyum.
"Ini kesalahanku," katanya. "Seharusnya aku datang lebih awal untuk
memperingatkan kalian. Kedatanganku ini memang bisa dikatakan terlambat
sehingga semuanya tampak datang bertubi-tubi. If you look at the big picture,
semuanya tidak berlangsung sesingkat itu. Apa yang terjadi tidak bisa dihitung
sejak aku datang ke Indonesia tapi sejak kalian memiliki kemampuan itu."
Indra terdiam. "Lagi pula, bukan hanya kalian yang dalam bahaya di sini," Pak Yunus
menatap mereka bergantian. "Aku juga."
Setelah hening sejenak, Dani membuka suara.
"Apa yang terjadi dengan touch?-touch? yang diculik itu?" tanyanya.
"Apakah mereka selamat?"
"Aku tidak tahu," aku Pak Yunus. "Karena tidak ada kabar dari mereka
setelah itu." "Berarti dibunuh?" muka Riska memucat.
"Belum tentu juga," Pak Yunus mencoba menenangkan. "Lagi pula aku juga
tidak yakin touch? yang di Surabaya ini akan dibawa ke luar negeri. Sekarang
ini agak sulit keluar masuk suatu negara. Jadi mungkin dia akan dibawa ke
suatu tempat di dalam negara ini."
"Jadi menurut Bapak, touch? itu masih berada di Indonesia?" tanya Dani, dia
mulai antusias. Pak Yunus mengangguk. "Bahkan aku menduga dia masih di Pulau Jawa."
"Dari mana Bapak tahu?" Dani mengerutkan kening.
"Surat itu," jelas Pak Yunus. "Kalian pasti masih ingat bagaimana bunyi puisi
itu: You only have to loock behind you, at who's underlined you. Destroy
everything you touch today, destroy me this way."
"Ada apa dengan puisi itu?" tanya Riska bingung.
"Sejak awal aku tahu tentang surat itu, aku sudah menduga ini bukan
penculikan biasa," kata Pak Yunus sambil mendentingkan satu dua nada di
piano. "Dia memberikan petunjuk dalam puisi itu. Petunjuk tempat mereka
menculik para touch?."
"Kenapa mereka harus memberikan petunjuk setelah sudah susah payah
menculik?" tanya Dani tak mengerti.
"Apa kau tak mengerti" Surat itu adalah tantangan untuk kita," jawab Pak
Yunus. "Mereka ingin adu kepandaian dengan kita."
"Lalu kenapa Bapak tidak bisa menyelamatkan para touch? yang diculik di
luar negeri itu?" tanya Indra dingin. "Bukankah Bapak sudah berhasil
memecahkan kodenya?"
Raut muka Pak Yunus berubah tegang.
"Aku terlambat," katanya dengan suara tertahan. "Ketika akhirnya polisi tiba
di tempat itu, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi ada beberapa tanda
bahwa tempat itu pernah ditinggali dan ada petunjuk berupa barang-barang
kaum touch? yang diculik. Jadi mungkin mereka memberi batas waktu, hanya
waktunya sampai kapan aku tidak tahu atau lebih tepatnya belum tahu.
Mungkin dalam dua baris puisi itu ada lebih banyak petunjuk."
"Berarti," gumam Riska. "Kita harus cepat-cepat menyelamatkan touch?
yang baru saja diculik itu, sebelum terlambat..."
Pak Yunus mendentingkan piano lagi. "Atau sebelum ada korban lagi."
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mereka terdiam lagi. Pertemuan kali ini membuat mereka lebih sering
terdiam karena banyaknya berita yang mengejutkan. Hal-hal yang sebelumnya
tidak pernah terbayangkan akan mereka alami.
"Lalu bagaimana Bapak memecahkan kode itu?" tanya Indra. Di antara
mereka bertiga, mungkin memang hanya Indra yang tidak membiarkan
emosinya mengambil alih hingga tetap berkepala dingin.
Pak Yunus mengangguk tapi saat hendak menjelaskan, ponselnya tiba-tiba
berbunyi. Setelah menjawab telepon itu, dia meminta maaf karena harus
mengakhiri pertemuan itu karena ada sedikit masalah di perusahaan ayahnya.
"Aku akan jelaskan besok," kata Pak Yunus.
Sebelum pergi, dia menatap Indra dan tersenyum. "Kata kuncinya ceci n'est
pas une pipe." BAB 7 "BAGAIMANA DIA TAHU YANG KUPIKIRKAN?"
"IPPON!" Indra cepat-cepat melepaskan tangannya. Lawannya memandangnya
dengan kagum bercampur heran karena baru kali ini dia menghadapi orang
yang seakan bisa membaca pikirannya.
"Kau hebat," puji lawannya. "Sekolahmu beruntung mempunyai kau sebagai
wakilnya." "Terima kasih."
Lawannya mengulurkan tangan tapi Indra hanya menjawab dengan
membungkukkan badan tanda hormat. Membaca pikiran lawan yang kalah
adalah hal yang paling dihindarinya, karena dia tahu tidak pernah ada katakata bagus di dalamnya.
Hari ini adalah pertandingan persahabatan antara sekolahnya dan sekolah
dari luar wilayah sebagai persiapan kejuaraan judo nasional tingkat SMA. Dari
sejak pertama mengikuti perlombaan judo, rekor tidak pernah kalah Indra
belum ada yang bisa mematahkan.
Sambil mengusap keringatnya, Indra melirik pintu
keluar. Dia melihat Riska
sedang berdiri di sana. Sudah beberapa kali ini dia memergoki Riska
mengamatinya latihan masih dengan seragam atletiknya.
"INDRAAAAAAAA!!!!! HEBAAAAAAAAATTTT!!!!!" teriak Dani yang ternyata
berdiri di belakang Riska. Riska sampai menutup telinga saking kerasnya suara
Dani. Indra menghela napas lalu menghampirinya.
"Hentikan, kau membuat malu dirimu sendiri," kata Indra dingin.
"Jangan khawatir, kau tahu sendiri aku orang yang tidak peduli dengan
pendapat orang lain," jawab Dani sambil meringis.
"Bukannya justru sebaliknya?" Indra mendesah. "Karena kau peduli
makanya kau suka melakukan hal-hal yang menarik perhatian orang lain?"
Dani berdecak lalu menatap Riska. "Saranku, jangan terlalu lama dekatdekat orang ini atau dia akan bisa membaca pikiranmu walau tanpa
menyentuh." Riska tertawa. "Aku rasa itu hanya berlaku untukmu karena kepalamu yang
paling transparan." Dani melotot lalu memandang Riska dan Indra bergantian. "Kalian
bersekongkol di belakangku ya!"
"Sudahlah..." Indra menghela napas. "Kau sudah dihubungi Pak Yunus?"
"Belum," Dani menggeleng. "Bahkan sepertinya hari ini dia tidak masuk,
sepertinya perusahaannya sedang gawat. Mungkin kena imbas krisis global."
Indra mengangguk. "Mungkin. King Group kan memang perusahaan
multinasional." "Ah!" pekik Dani setelah melihat jam tangannya. "Aku sudah ditunggu Pak
Fajar!" "Untuk apa?" tanya Riska.
"Aku ditunjuk untuk mewakili lomba biologi tingkat provinsi," Dani meringis.
"Oke, kalau begitu aku pergi dulu," dia bergegas. "Karena aku harus mampir
sebentar ke perpustakaan untuk 'belajar'."
"Mungkin sebaiknya kau 'belajar' di toko buku," kata Indra. "Ada lebih
banyak buku yang bisa kauserap."
Dani hanya mengacungkan jempol lalu berlari meninggalkan mereka. Riska
dan Indra berpandangan tapi tak tahu apa yang harus dikatakan dan keadaan
mulai canggung. Selama ini memang Dani-lah yang menjadi jembatan antara
mereka berdua. "Kau benar-benar hebat," Riska mencoba memulai pembicaraan. "Aku
sudah berkali-kali melihatmu latihan dan merasa tidak ada judoka sehebat
dirimu." "Itu karena ini," Indra mengangkat kedua telapak tangannya.
"Tapi kurasa bukan hanya itu," kata Riska.
"Aku tidak sepertimu," kata Indra dingin. "Kau hebat dalam atletik karena
kekuatanmu sendiri. Lari tidak perlu menyentuh orang. Kalau tidak ada
kemampuan touch?, aku tidak ada apa-apanya dan aku tidak sedang
bermaksud merendah."
"Ternyata kau orang yang tidak bisa menghargai kemampuanmu sendiri ya,"
Riska menatapnya. "Kalau hanya mengandalkan kemampuan touch?, aku yakin
kau tidak akan sehebat itu. Judo kan bukan cuma masalah bisa atau tidak
membaca pikiran jadi bisa dibilang kemampuan touch?-mu cuma bonus."
Indra balas memandang Riska dan mendapati kesungguhan tersirat di kedua
mata cewek itu. "Coba pikir, kalau memang kemampuan judomu itu hanya karena
kemampuan touch? tidak mungkin aku jadi tertarik untuk melihatnya lagi dan
lagi," lanjut Riska, sepertinya dia tidak sadar apa yang dikatakannya. "Sejak
pertama aku melihatmu membanting lawan, aku langsung merasa dirimu
hebat bahkan setelah aku tahu kemampuanmu membaca pikiran. Gerakanmu
seperti magnet yang menarik orang-orang untuk menontonnya. Indah dan aku
yakin itu bukan karena touch?, itu karena..."
Kata-kata Riska terhenti, akhirnya dia sadar telah kehilangan kendali. Dia
berdeham, wajahnya memerah. Mereka terdiam lagi.
Indra menatap lurus ke depan, sebenarnya dia bingung harus memberikan
jawaban seperti apa. Ini pertama kalinya ada seseorang yang mengatakan hal
itu padanya. Pertama kalinya mendengar ada orang yang tulus mengaguminya
terlepas dari kemampuan touch?-nya dan pertama kalinya ada yang
menganggap gerakannya "indah". Tapi ini bukan pertama kalinya ada yang
menghargai kemampuannya. Dulu, dulu sekali saat dia masih kecil, sudah ada
yang pernah melakukannya.
"Terima kasih," kata Indra pelan.
"Eh?" Riska menatapnya, tidak tampak ekspresi apa pun di wajah Indra. Hanya saja
sekarang sorot matanya lebih lembut dan tidak sepekat sebelumnya.
"Sama-sama," Riska tersenyum.
Indra membalas senyumannya. Walau samar, ini juga pertama kalinya dia
tersenyum pada orang lain selain Dani.
*** Sudah hampir seminggu ini Pak Yunus tidak datang ke sekolah. Saat Dani
menanyakan hal ini pada guru-guru yang dikenalnya, mereka mengatakan
tidak tahu apa-apa dan Pak Yunus maupun kerabatnya tidak memberikan
pemberitahuan apa pun. Hal ini mulai membuat Riska khawatir.
"Sebaiknya kita ke rumahnya," kata Indra saat istirahat, di depan kelas Riska.
Riska dan Dani mengangguk.
"Kapan?" tanya Dani.
"Hari minggu besok," jawab Indra. "Agak sulit jika ke rumahnya malam hari.
Apalagi kalau ternyata dia memang harus bekerja di perusahaan ayahnya,
malam hari pasti dia ingin istirahat."
"Benar," sahut Riska. "Kuharap dia tidak apa-apa."
"Kurasa..." Indra tampak berpikir keras.
"Hari ini kau pulang denganku, Dan?" Indra menoleh pada Dani.
Dani menggeleng. "Pak Fajar ngotot memberiku pelajaran tambahan untuk
persiapan lomba." Dani memasang tampang memelas hingga Riska tertawa. Saat mereka
sedang bercakap-cakap tiba-tiba datang bola sepak yang mengarah ke kepala
Riska jika saja Indra tidak menangkap bola itu tepat pada waktunya.
"HOI! JANGAN BERMAIN BOLA DI SINI! BERBAHAYA! DASAR BODOH!"
bentak Dani kesal lalu menatap Riska khawatir. "Kau tidak apa-apa?"
Riska menggeleng tapi wajahnya masih tampak pucat. Dia sampai jatuh
terduduk. Melihat lajunya bola yang cepat, tadi sebenarnya dia sudah pasrah
karena tidak sempat menghindar.
"Maaf... maaf..." kata anak yang tadi menendang bola sambil cengengesan.
Dia hendak mengambil bola di tangan Indra ketika dalam kecepatan yang lebih
tinggi, bola itu datang sendiri menerjang perutnya hingga dia jatuh tersungkur.
Indra menendangnya. Semua anak yang ada di tempat itu langsung terdiam dan menghentikan
aktivitas mereka untuk melihat apa yang terjadi. Mereka semua terpaku. Riska
bisa melihat mata Indra berkilat saat menatap anak yang dibuatnya jatuh
tersungkur. "Aku kembali ke kelas dulu," kata Indra kemudian pada Dani dan Riska. Dia
membelah kerumunan yang penuh tatapan kagum, takut, dan kaget. Setelah
Indra menghilang masuk ke kelasnya, kericuhan dimulai. Beberapa
menganggapnya keren, beberapa menganggapnya menakutkan, dan tidak
sedikit anak laki-laki yang kemudian malah menjadikan panutan.
"Aku tak tahu apa yang telah terjadi di antara kalian berdua," Dani
mendesah lalu tersenyum. "Tapi kau sudah dianggap penting olehnya."
"Eh?" Riska melongo.
Dani mengangguk. "Kau lihat kan tadi" Dia marah."
"Dia marah karena ada orang yang akan menyakitimu," lanjut Dani,
mengulurkan tangan untuk membantu Riska berdiri.
Riska tidak mengatakan apa-apa tapi jantungnya berdebar kencang. Entah
itu sisa kejadian barusan atau karena sebab lain yang dia sendiri tidak
mengerti. *** Sepeda motor Indra tiba-tiba berhenti di depan Riska saat dia sedang
berjalan keluar gerbang sekolah.
"Naiklah," Indra menyodorkan helm padanya.
"Ha?" Riska menatapnya bingung tapi kemudian memutuskan menurutinya.
"Di mana Dani?" tanya Riska begitu motor Indra melaju.
"Kau dengar sendiri kan tadi, dia ada pelajaran tambahan," jawab Indra.
Setelah itu mereka berdua diam hingga sampai di depan rumah Riska.
Saat Riska hendak mengembalikan helm yang baru saja dipakainya, tetangga
sebelahnya keluar rumah dan bergegas menghampirinya. Tetangganya itu
tampak panik. "Ris, aku titip rumahku ya," kata tetangganya sambil menyerahkan segepok
kunci. "Ada apa, Om Pras?" tanya Riska.
"Aku baru datang dinas dari Solo dan sesampainya di rumah tiba-tiba aku
dapat kabar istriku melahirkan," jawabnya dengan terburu-buru. "Aku mau
segera ke sana." "Wah! Selamat ya, Om!" Riska mengulurkan tangannya. "Laki-laki atau
perempuan?" "Perempuan," senyum Om Pras melebar, matanya berbinar-binar. "Akhirnya
aku tetap menjadi yang paling ganteng di rumah."
Riska tertawa. "Salam buat Tante Nelly!" kata Riska saat Om Pras naik ke mobil. Om Pras
membunyikan klakson satu kali dan melambaikan tangan lalu mobilnya
bergerak menjauh. "Kau tidak apa-apa?" tanya Indra.
"Ha?" Riska menatapnya bingung.
"Kau tadi menyentuhnya, kan?"
"Oh itu," Riska tersenyum sambil mengamati telapak tangan yang tadi dia
gunakan untuk menyalami Om Pras. "Itu tadi namanya recharge energi. Aku
kadang-kadang sengaja melakukannya," lanjutnya. "Saat mengetahui ada
orang lain yang perasaannya sedang senang, kadang-kadang aku sengaja
menyentuhnya agar memiliki perasaan yang sama. Rasanya menyenangkan."
"Aku..." kata Indra pelan. "Tak mengerti. Berarti kau bersyukur memiliki
kemampuan touch?-mu itu" Kalau kemampuan seperti milik Dani, aku
mengerti tapi kemampuan sepertimu yang mirip dengan punyaku... apanya
yang menyenangkan?" Riska tampak bingung menjawab pertanyaan Indra.
"Aku juga tak mengerti," kata Riska. "Tapi walau cukup sering aku merutuki
kemampuanku ini terutama ketika harus mengalami perasaan-perasaan
seperti sedih, frustasi, iri, sakit hati yang dimiliki orang lain. Tidak jarang aku
bersyukur bisa ikut merasakan perasaan positif mereka. Perasaan senang,
bangga, puas, bahkan cinta."
"Semakin dipikir, ternyata kemampuan ini tidak jelek juga. Apalagi saat tahu
ternyata kemampuan ini bisa berguna bagi orang lain," Riska tersenyum.
"Kemampuan ini diberikan pada kita, aku yakin pasti ada alasannya."
Raut wajah Indra berubah menjadi dingin. Dia mengambil helm dari tangan
Riska lalu pergi tanpa mengatakan apa-apa.
*** Dia tidak tahu apa-apa, batin Indra sambil membanting helmnya di tempat
tidur. Apanya yang tidak jelek dari memiliki kemampuan ini! Aku bahkan rela
menukar apa pun bahkan keahlian judoku asal kemampuan touch? ini hilang!
Tok! Tok! Pintu kamar diketuk. "Masuk," jawab Indra dari dalam kamarnya. Pintu terbuka dan ibunya
berdiri di depan kamarnya.
"Ibu mau pergi ke bandara untuk menjemput teman ibu," kata ibunya agak
canggung. "Ayahmu dinas ke Pekanbaru jadi kau di rumah sendirian. Tidak apaapa?"
Indra mengangguk. "Kau mau Ibu belikan apa untuk oleh-oleh?" tanya Ibu.
"Tidak ada," jawab Indra. Mereka terdiam cukup lama hingga akhirnya Ibu
menutup kamar Indra. Sikap dingin ibunya itu sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan bukan
hanya ibunya, ayah dan kakaknya yang sekarang di Jakarta pun
memperlakukan Indra sama dinginnya. Ini bukan disebabkan karena perbuatan
Indra karena dia anak baik, tampan, penurut, dan berprestasi. Tipe anak yang
seharusnya menjadi kebanggaan orangtuanya. Indra juga hampir tidak pernah
melakukan kesalahan apalagi kesalahan besar. Jika memang ada yang disebut
kesalahan mungkin itu adalah saat di mana kemampuannya membaca pikiran
disadari oleh orang-orang terdekatnya.
Saat itu dia masih kecil dan dia bisa mengatakan apa pun yang ada dalam
pikiran orang-orang yang menyentuhnya. Lambat laun Ibu, Ayah, dan kakaknya
sedikit demi sedikit menjauhinya. Tidak ada yang menyentuhnya apalagi
memeluknya. Sejak itu dia berhenti merasakan apa yang disebut kehangatan
keluarga. Kakaknya memutuskan untuk kuliah ke Jakarta agar bisa jauh
darinya, Ayahnya menerima tawaran dinas ke mana pun yang bisa
membuatnya pergi dari rumah dan ibunya menyibukkan diri dengan arisanarisan. Walaupun tidak terkatakan, semua itu adalah bentuk ketakutan
mereka. Di zaman di mana hampir tak ada rahasia lagi karena semua hal bisa
dengan mudahnya diketahui publik, hanya pikiran satu-satunya tempat pribadi
yang tersisa. Bayangkan apa yang akan terjadi jika tempat pribadi itu akhirnya
bisa dibaca. Mungkin itulah yang dirasakan keluarganya.
"Apanya yang tidak jelek juga..." Geram Indra. Dia menjatuhkan tubuhnya di
kasur lalu memandangi langit-langit. Pikirannya terbang ke masa sepuluh
tahun yang lalu saat dia pergi ke festival kota dan bertemu anak perempuan
yang terpisah dari mamanya. Kata-kata "Superman" dan wajah anak itu waktu
mengatakannya masih terbayang hingga sekarang. Hari itulah untuk pertama
kalinya dia merasa kemampuannya ternyata sangat berguna. Anak itu pula
yang memberinya harapan bahwa masih akan ada lagi orang-orang yang
menghargai kemampuannya. Harapan yang membawanya bertemu dengan
Dani dan Riska. Dering ponselnya membuyarkan lamunan Indra.
"Halo?" Jawab Indra.
"Ini aku," kata suara di seberang. "Riska."
"Dari mana kau tahu nomorku?" Tanya Indra dingin.
"Dani," jawab Riska pelan, nada suaranya menunjukkan kalau dia takut.
"Aku mau minta maaf karena sepertinya kata-kataku tadi membuatmu
marah." Indra terdiam sesaat. "Tidak," katanya kemudian. "Aku tidak apa-apa."
Terdengar helaan napas. "Syukurlah..." "Kau memang tidak bersalah," lanjut Indra. "Karena kau memang sedikit
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar." "Eh?" Indra termenung. "Tidak apa."
BAB 8 "RUMAH Pak Yunus benar-benar besar, bahkan pagarnya pun sebesar ini,"
gumam Riska sambil menatap kagum pagar kokoh di depannya.
"Tak ada waktu untuk kagum," kata Indra lalu memencet belnya.
"Kediaman King, ada yang bisa saya bantu?" Jawab suara dari pengeras
suara di bel itu. "Kami murid-murid Pak Yunus, bisakah kami bertemu dengan beliau?"
Tidak ada jawaban selama beberapa saat.
"Maaf, Pak Yunus sedang ke luar negeri dan tidak tahu kapan beliau
kembali," katanya kemudian.
"Aneh," kata Dani. "Dia tidak memberitahu apa-apa tentang hal ini pada
kita." "Mungkin keadaan perusahaannya begitu gawatnya," sahut Riska mencari
alasan yang masuk akal. Indra tidak mengatakan apa-apa, dia tampak berpikir keras. Dia lalu
memandang sekeliling dan matanya terhenti pada pos satpam tak jauh dari
rumah Pak Yunus. Indra bergegas menuju tempat itu.
"Apa yang kaupikirkan?" Tanya Dani sambil mengikuti langkah Indra.
Indra tidak menjawab, alih-alih melepas sarung tangannya.
"Hoi, aku tidak punya kemampuan sepertimu jadi tolong beritahu aku apa
yang ada dalam pikiranmu!" Protes Dani. Sebelum Dani mengatakan sesuatu
lagi, Riska menarik bajunya dan menggeleng.
"Percaya saja pada temanmu itu," katanya. Dani akhirnya mengangguk dan
mereka berdua berjalan di belakang Indra.
"Maaf, Pak," Indra menyapa satpam yang sedang berjaga di pos itu.
"Ya?" Satpam itu mengernyit dan memandangnya dengan heran.
Indra mengulurkan tangannya. "Saya Indra, murid Pak Yunus King."
"Yunus King yang tinggal di rumah itu?" Satpam itu menunjuk rumah Pak
Yunus sebelum menjawab uluran tangan Indra.
"Kami ingin menitipkan sesuatu pada Pak Yunus," jelas Indra tanpa
melepaskan jabatan tangannya. "Tapi beliau tidak ada di tempat dan para
pelayan di rumahnya tidak mau membukakan pintunya untuk kami. Kira-kira
kami bisa menitipkannya pada Bapak?"
"Wah..." Satpam itu menelengkan kepalanya. "Saya nggak tahu ya. Setiap
beliau lari pagi, kami memang sering berpapasan bahkan tidak jarang beliau
mampir di pos saya, tapi akhir-akhir ini saya jarang, eh, malah nggak pernah
melihatnya lagi." Satpam itu sepertinya ingin melepaskan tangannya dari genggaman Indra
tapi Indra tidak mau melepaskannya begitu saja.
"Kapan Bapak terakhir melihatnya?" Tanya Indra.
Satpam itu tampak berusaha mengingat-ingat.
"Seminggu yang lalu..." Katanya agak ragu. "Tidak... Jumat minggu lalu!
Benar! Itu terakhir kalinya saya melihatnya."
"Setelah itu Bapak tidak pernah bertemu dengannya lagi?"
"Tidak," satpam itu menggeleng.
"Bapak tahu di mana saya bisa menemui sopirnya?" tanya Indra.
Raut wajah satpam itu berubah, rahangnya agak menegang.
"Saya tidak tahu," jawabnya.
Mereka terdiam selama beberapa saat sampai Indra menarik tangannya. Dia
menghela napas. "Terima kasih," katanya. "Kalau begitu kami akan pikirkan bagaimana
sebaiknya kami menyerahkan tugas sekolah ini."
"Oh ya... ya... maaf juga saya nggak bisa bantu," satpam itu tersenyum. Dani
dan Riska membalas senyumannya dengan sopan lalu mereka undur diri.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Dani tidak sabar di dalam taksi yang
mereka tumpangi. Dia menggoncang-goncang bahu Indra yang duduk di
depan. Riska memberi tanda agar Dani diam dulu, dia melihat dari kaca spion wajah
Indra memucat. "Kau tidak apa-apa?" tanya Riska khawatir.
Indra menggeleng. "Aku hanya terlalu banyak membaca pikirannya karena
aku tidak bisa memilah yang kuserap. Kita bicarakan hal ini di rumahmu saja."
Riska dan Dani mengangguk.
Sesaimpainya di rumah Riska, Indra langsung menuju garasi mencari
motornya yang tadi dia titipkan di sana.
"Tunggu sebentar!" cegah Dani. "Kesabaranku sudah mulai habis!
Setidaknya katakan dulu kau mau ke mana dan bukankah kau sudah berjanji
memberitahu kami apa yang terjadi?"
Indra menatapnya lalu menepis tangan Dani dengan halus.
"Aku ingin memastikan sesuatu, aku berjanji akan segera mengatakannya
padamu," katanya sambil menyalakan mesin lalu melaju menjauhi rumah
Riska. "Aku sudah sering mendengar kata-kata itu," desah Dani. Dia menoleh pada
Riska. "Jadi, apa yang kita lakukan sekarang?" tanyanya.
Riska mengangkat bahu. "Menunggunya?"
"Kau mau minum apa?" tanya Riska sembari mereka menunggu Indra di
kamarnya. "Pina Collada," jawab Dani sambil nyengir.
"Ooooh..." Riska manggut-manggut lalu mengambil komik di dekatnya dan
mulai membaca. "Lho, kau tidak membuatkannya untukku?"
"Aku kan hanya bertanya," kata Riska datar. "Siapa yang bilang aku akan
membuatkannya untukmu?"
Dani tergelak. "Dalam satu dan lain hal, kau dan Indra itu mirip.
"Mungkin itu sebabnya aku juga merasa cocok berteman denganmu,"
tambah Dani, dia memandang Riska dengan lembut hingga Riska merasa agak
salah tingkah. "Kau..." Riska menutup komiknya, "...sudah lama berteman dengannya, ya?"
"Sejak kami kecil," jawab Dani. "Sejak SD sepertinya."
"Dari dulu dia seperti itu?"
"Seperti itu bagaimana?" tanya Dani bingung.
"Muram, gelap, dan pendiam."
"Saat aku mengenalnya, dia sudah seperti itu," Dani mencoba mengingatingat. "Aku ingat, dia satu-satunya anak yang tidak pernah dijemput
orangtuanya sama sekali. Berangkat dan pulang sekolah sendiri. Bahkan saat
penerimaan rapor pun, ibunya pulang terlebih dahulu. Selalu seperti itu."
"Kau berteman dengannya karena kasihan?"
Dani menggaruk-garuk kepalanya. "Aku ini tidak sebaik itu. Mana mungkin
aku punya empati sebesar itu. Aku berteman dengannya justru karena dia mau
berteman denganku." "Hah?" Riska menatapnya bingung.
"Kau tahu sendiri, aku ini tanpa belajar pun selalu mendapat nilai bagus,"
Dani tersenyum. "Tidak sedikit teman-teman yang tidak suka padaku. Padahal
aku juga tidak minta diberi kemampuan ini. Aku lebih memilih hidup normal
dengan nilai biasa-biasa saja daripada menjadi orang dengan kemampuan aneh
walaupun mendapat nilai luar biasa, karena toh nilaiku itu bukan karena
kepandaianku yang sebenarnya. Apa yang orang lihat dariku bukanlah diriku
yang sebenarnya. Baru Indra saja yang mau berteman denganku karena diriku
sendiri." "Aku tahu, mungkin itu karena dia bisa membaca pikiranku," lanjut Dani.
"Tapi aku sangat menghargainya."
Hening di antara mereka. Riska menyentuh pundak Dani. Rasa haru dan
senang menjalar ke tubuhnya, seperti desakan untuk tersenyum.
"Aku tahu," kata Riska. "Aku bisa merasakannya."
Dani menatapnya. "Itu kan memang kemampuanmu," katanya sambil meringis.
Sekitar hampir dua jam kemudian Indra datang. Wajahnya lebih pucat dari
sebelumnya dan kali ini napasnya mulai terengah-engah.
"Ada apa?" tanya Dani khawatir dan segera merangkul sahabatnya itu, takut
sewaktu-waktu Indra roboh. Riska mengambil air dan cepat-cepat
memberikannya pada Indra.
Indra duduk di kasur, mencoba mengatur napasnya.
"Pak Yunus menghilang," kata Indra akhirnya.
Dani dan Riska langsung melongo.
"Aku tadi menemui sopirnya," kata Indra setelah menghabiskan air dengan
sekali tegukan. "Bagaimana kau bisa menemukan sopirnya" Bukankah satpam itu bilang dia
tidak tahu alamatnya?" tanya Dani heran.
"Satpam itu berbohong," jawab Indra. "Aku membaca pikirannya. Sopir Pak
Yunus yang memintanya merahasiakan alamatnya."
"Untuk apa?" "Karena Pak Yunus diculik," jawab Indra. "Sopirnya takut si penculik akan
mengincarnya juga sebagai orang terdekat Pak Yunus saat terjadi penculikan."
"Orang terdekat saat terjadi penculikan?" Riska mengernyit.
Indra mengangguk. "Pak Yunus menghilang hari Jumat lalu saat sopir itu
ditugaskan untuk menjemputnya karena Pak Yunus harus segera ke
perusahaan di Jakarta. Sopir itu sudah menunggunya berjam-jam tapi Pak
Yunus tidak juga nampak. Sesampainya di rumah, ternyata Pak Yunus juga
belum pulang. Pelayannya berinisiatif menelepon ke perusahaan di Jakarta
karena siapa tahu Pak Yunus sudah berangkat sendiri ke sana tapi hasilnya
nihil. Keesokan harinya datanglah surat itu."
Riska tertegun. "Surat itu?"
"You only have to look behind you, at who's underlined you," Indra
mengulang kata-kata yang tertulis di surat itu. "Sampai di situ saja apa yang
bisa kubaca dari pikiran sopir pak Yunus karena sejujurnya tadi dia hampir
tidak menceritakan apa pun kecuali kapan Pak Yunus menghilang."
"Jumat lalu..." Dani mencoba mengingat-ingat. "Bukankah itu saat kita
disuruh berkumpul di ruang musik dan Pak Yunus tiba-tiba harus pergi setelah
menerima telepon?" "Benar!" seru Riska. "Berarti terakhir kali kita melihatnya adalah saat
penculikannya! Tapi bagaimana mereka menculiknya, dan yang lebih penting:
di mana mereka menyembunyikannya?"
Indra menggeleng. "Apa kata polisi?" tanya Dani.
"Sepertinya mereka tidak melaporkannya kepada polisi," jawab Indra.
"Mungkin untuk mencegah kegemparan dan jatuhnya harga saham dan
mungkin juga disebabkan oleh hobi Pak Yunus yang sering pergi berlibur tanpa
kabar." "Hah?" Indra mengangguk. "Dari yang kubaca dari sopirnya, Pak Yunus sering pergi
tanpa memberi kabar. Seperti sebelum pergi ke Indonesia, beliau pergi ke
Rumania, Prancis, dan beberapa negara lain. Awal-awal dia menghilang
keluarganya sempat melapor pada polisi tapi karena dia berkali-kali
melakukannya, situasi dia 'menghilang' akhirnya dianggap biasa. Jadi secarik
kertas bertuliskan potongan puisi itu pun pasti dianggap iseng belaka."
"Jika memang dianggap biasa, kenapa sopirnya sampai ketakutan?" tanya
Riska tak habis pikir. "Sopirnya tidak tahu kebiasaannya itu," jawab Indra. "Dia baru datang ke
Indonesia setelah sekian tahun, apa kau ingat?"
Dani dan Riska terdiam. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Dani kemudian.
"Pak Yunus bilang dia sudah bisa memecahkan kode puisi itu," Indra
menatap kedua temannya. "Aku yakin masih ada sedikit catatan yang bisa
dijadikan petunjuk di kamarnya atau pada barang-barangnya. Hal pertama
yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana mendapatkan izin untuk bisa masuk
ke kamarnya atau minimal mendapat akses ke komputernya."
Dani dan Riska mengangguk.
"Aku sependapat denganmu," kata Dani. "Tapi sekarang masalahnya,
bagaimana kita bisa masuk ke kamar Pak Yunus kalau masuk ke rumahnya saja
tidak bisa" Apa kita mau mulai latihan jadi maling?"
"Terlalu sulit," Indra menggeleng. "Ada sekitar sepuluh CCTV yang terpasang
sepanjang pagar rumahnya dan mereka punya lima anjing yang dilepas setiap
malam. Belum lagi ditambah dua orang satpam yang menjaga rumah itu 24
jam. Aku mengetahuinya saat membaca pikiran sopir Pak Yunus."
Mulut Dani ternganga. "Aku tak menyangka hal itu benar-benar sempat terpikir olehmu," katanya
tak percaya. "Di meja Pak Yunus di ruang guru sepertinya ada komputer," kata Riska tibatiba hingga Dani dan Indra menatapnya.
"Pak Yunus tidak pernah tampak membawa laptop jadi kemungkinan besar
dia menyimpan datanya di komputer itu," lanjut Riska. "Semoga saja itu
termasuk data lokasi dimana kaum touch? di luar negeri diculik."
"Tapi memangnya kita, para murid, boleh mengotak-atik komputernya?"
tanya Dani agak ragu. Riska menyeringai. "Kalau murid biasa seperti aku mungkin tidak, tapi kalau
kalian kurasa bisa."
"Hah?" Dani melongo.
Setelah terdiam sesaat, Indra mengangguk. "Kurasa aku mengerti
maksudmu." *** "Minggu yang lalu sebelum Pak Yunus izin, beliau memberi kami soal untuk
diselesaikan selama beliau tidak mengajar," kata Dani dengan tegas pada Pak
Marjoko, wakil kepala sekolah sekaligus penanggung jawab bidang akademik.
"Lalu?" tanya Pak Marjoko.
"Beliau meminta saya mengambil sendiri soal itu di komputernya," jawab
Dani. "Di dalam file TUGAS MURID."
Pak Marjoko menatap Dani lekat-lekat. "Benarkah itu" Pak Yunus tidak
mengatakan apa-apa pada saya tentang itu."
"Benar, Pak," Indra yang dari tadi di belakang Dani, maju menghadap Pak
Marjoko. "Saya ada di sana saat Pak Yunus meminta Dani mengambil soal itu
dari komputernya, tampaknya saat itu Pak Yunus terburu-buru hingga lupa
memberitahu Bapak karena keesokan harinya Pak Yunus langsung mengajukan
izin tidak bisa mengajar."
Pak Marjoko mengangguk-angguk. Kata-kata dan keteguhan wajah Indra
seperti menegaskan kebenaran hal itu. Lagi pula mana mungkin juara kelas
seperti Dani sampai harus berbohong.
"Baiklah," Pak Marjoko lalu menunjukkan meja Pak Yunus. "Mejanya ada di
sana, kalian cari sendiri file-nya."
Indra dan Dani mengangguk. "Terima kasih, Pak."
"Kau layak dapat Oscar," bisik Dani sambil menuju meja Pak Yunus.
"Seperinya aku berbagi kemenangan itu denganmu," jawab Indra datar. "File
'tugas murid'" Aku hampir mati tertawa."
Dani meringis. Untunglah komputer Pak Yunus tidak diberi password hingga mereka bisa
masuk dengan leluasa. Anehnya, komputer itu tampak seperti komputer yang
baru saja di-install ulang, hampir kosong. Hanya beberapa file berisi partitur
serta sejarah para komponis. Kalau ada yang bisa dikatakan rahasia, mungkin
hanya nilai para murid warisan dari Bu Mitha.
"Tidak ada apa-apa," gumam Dani. "Apa mungkin dia menyembunyikannya
di suatu tempat tapi masih di komputer ini?"
"Komputer ini tidak dipartisi," kata Indra, masih mencoba mengutak-atik.
"Dan itu berarti what you see is what you get."
Dani mendesah. "Semuanya sia-sia."
"Kita harusnya tahu Pak Yunus bukan orang bodoh yang membiarkan
informasi tentang penculikan para touch? tersimpan dalam komputer tanpa
password seperti ini."
"Sekarang bagaimana?" tanya Dani putus asa.
Indra menggeleng. "Sekarang kita hanya bisa mengandalkan otak kita sendiri
untuk memecahkan kode puisi itu."
"Rasanya aku sakit perut," keluh Dani.
BAB 9 MEREKA bertiga sepakat untuk bertemu di ruang musik sepulang sekolah
demi memecahkan kode yang ada dalam puisi yang ditinggalkan penculik Pak
Yunus. "You only have to look behind you, at who's underlined you," Riska
membaca puisi yang dia tuliskan juga di papan tulis itu keras-keras. "Dibaca
berkali-kali pun aku tak mengerti apa maksudnya."
"Apalagi aku," Dani menghela napas.
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukannya kau ini juara kelas?" Riska mengerutkan kening.
"Berkat tanganku ini," Dani meringis.
"Lalu siapa yang mungkin bisa memecahkannya?" desah Riska.
"Dia sepertinya bisa," Dani tersenyum lalu mengedikkan kepalanya pada
Indra yang tampak serius menelaah puisi yang ditulis Riska.
"Semoga saja," harap Riska.
Selama beberapa saat, mereka bertiga berada dalam diam. Dani dan Riska
tanpa kata-kata, sepakat untuk memberi ketenangan bagi Indra. Indra sendiri
hanya berdiri mematung, tapi siapa pun bisa melihat dari matanya bahwa
otaknya sedang bekerja. "Mungkin..." kata Indra tiba-tiba.
"Mungkin apa?" Indra terdiam lagi lalu menggeleng.
"Bukan... itu hanya perkiraanku dan aku sendiri tidak yakin."
"Katakan pada kami apa perkiraanmu itu," kata Dani tidak sabar. "Berapa
kali kubilang aku tidak punya kemampuan untuk membaca pikiranmu?"
Indra menatapnya lalu menghela napas.
"Ini karena aku belum yakin," katanya. "Mana bisa aku mengatakan pada
kalian apa yang masih berupa dugaan."
"Kalau itu masih berupa dugaan, kami bisa membantu membuktikannya
apakah itu benar atau tidak," kata Riska. "Atau kau sudah berencana
melakukan semuanya seorang diri?"
Indra tertegun mendengar kata-kata Riska tapi kemudian menatapnya sinis.
"Kau ini memang cuma pandai bicara."
"Ugh," Riska tertohok.
"Baiklah, aku akan mengatakan apa dugaanku," lanjut Indra. "Tapi ini hanya
agar kau bisa membuktikan bahwa kau cuma pandai bicara."
Riska merengut lalu mengangguk keras.
Dani tersenyum, mungkin Riska tidak tahu bahwa sebenarnya baru saja
Indra luluh dengan perkataannya.
"Pak Yunus pernah bilang, puisi ini adalah surat tantangan bagi kaum
touch?," Indra mulai menjelaskan. "Tantangan untuk menemukan tempat, jadi
kata-kata 'You only have to look behind you, at who's underlined you' tidak
bisa diterjemahkan seperti biasa. Pasti tiap kata adalah petunjuk ke suatu
tempat. "Jika kita mencari suatu tempat atau ingin pergi ke suatu tempat," lanjutnya.
"Benda apakah yang kita butuhkan?"
"Peta," jawab Dani.
Indra mengangguk. "Betul. Dari kalimat 'at who's underlined you', kita diberi
petunjuk kasar di mana tempat yang dimaksud. Menurut kalian, yang tampak
seperti line atau garis di peta itu apa?"
Mata Dani dan Riska melebar.
Riska terpaku. "Sungai..."
"Tepat," kata Indra. "Kalimat terakhir puisi itu merujuk pada tempat di
bawah sungai." "Lalu bagaimana dengan kalimat pertama?" tanya Dani.
"Aku masih belum mengerti," jawab Indra. "Sebenarnya kalau saja kita tahu
kota-kota mana saja di luar negeri tempat terjadinya penculikan para touch? di
sana, mungkin kita bisa mengerti polanya. Tapi karena kita sama sekali tidak
punya petunjuk tempat terjadinya penculikan apalagi tempat mereka disekap
seperti perhitungan Pak Yunus, aku hanya bisa menebak-nebak apakah itu
maksudnya tempat persembunyiannya terletak di balik tempat penculikan
atau letaknya berseberangan atau namanya hampir mirip, aku tak tahu. Aku
bahkan mengira kata 'look behind you' merujuk pada Rusia karena di sana ada
patung The Motherland."
"The Motherland?" tanya Riska.
"Itu patung berukuran 82 meter karya Yevgenyi Vuchetich yang dibuat untuk
mengenang perempuan bangsa Rusia pada saat Perang Dunia II di Stalingard,"
jawab Indra. "Patung itu berbentuk wanita yang mengacungkan pedang dan
menoleh ke belakang. Tapi sepertinya dugaanku itu salah karena di Indonesia
tidak ada patung yang mirip dengan The Motherland, lagi pula kata Pak Yunus
setelah terjadi penculikan atas touch? di bidang masak itu, kemungkinan besar
mereka masih berada di pulau Jawa."
"Lalu bagaimana?" Riska menatap Indra putus asa. "Kita memang sudah
punya satu petunjuk, tapi itu masih belum cukup."
"Aku tahu," Indra balas menatapnya, tapi kali ini pandangannya lembut
seakan berusaha menenangkan Riska. "Karena itu besok jam setengah enam
kita bertemu lagi di ruang geografi. Kelas dimulai jam tujuh jadi sepertinya
waktu satu setengah jam cukup."
"Kenapa di ruang geografi?" tanya Dani.
"Karena ruangan yang memiliki peta dunia yang lengkap dan sangat besar
hanya ruang geografi," jawab Indra.
"Kenapa besok" Kenapa tidak sekarang saja?" tuntut Dani. "Kalau begini,
aku tidak akan bisa tidur malam ini."
"Karena persiapan kita tidak cukup," kata Indra tegas. "Aku minta kita
berkumpul lagi besok karena dengan begini kau bisa pergi ke toko buku dan
menyerap sebanyak mungkin buku di sana. Saat inilah kemampuanmu
diperlukan." Dani menatap temannya itu dengan kagum, Indra memang selalu
memikirkan segalanya dengan matang.
"Serap sebanyak mungkin buku tentang sejarah dunia, orang-orang penting,
karya seni, geografi, dan ensiklopedia," perintah Indra.
"Lalu aku?" tanya Riska.
Indra tampak berpikir sebentar.
"Kau punya laptop?" tanyanya.
"Aku punya netbook," Riska mengangkat bahu.
"Itu malah lebih baik karena ringan dan tidak mencolok," Indra mengangguk.
"Sekolah kita diselimuti wi-fi jadi kita bisa leluasa mencari info lewat internet."
"Berarti sebenarnya kemampuanku tidak diperlukan?" tanya Dani kecewa.
"Bodoh!" Indra menatapnya tajam. "Justru apa yang kauserap itulah yang
paling kupercaya. Karena buku tetap lebih valid daripada internet. Aku
membutuhkannya hanya jika hal yang kucari tidak tertulis di buku yang kau
serap." "Karena bagaimanapun," lanjutnya, "diakui atau tidak, internet telah
terbukti berperan besar dalam menyebarkan informasi yang keliru."
*** Indra mengamati dengan seksama peta besar di depannya. Merunut satu
demi satu sungai yang ada di dunia.
Kira-kira sungai mana yang dimaksud" batinnya.
"Sedang apa kau di sini?" suara Pak taufik, guru geografi, membuyarkan
konsentrasinya. "Pagi sekali kau datang."
"Maaf, Pak, saya diberi tugas oleh Pak Yunus mencari letak kota-kota
komponis dunia," Indra berbohong. "Saya ingin memastikan sendiri di mana
tempat itu di peta."
"Pak Yunus?" Pak Taufik menatapnya tak percaya. "Bukankah dia izin tidak
mengajar?" Indra mengangguk. "Tugas ini diberikan sebelum beliau izin, sepertinya saat
itu beliau sendiri tidak merencanakan akan rehat mengajar."
"Sepertinya begitu," Pak Taufik mengangguk-angguk. "Kudengar
perusahaannya di Jakarta mengalami sedikit masalah karena krisis jadi dia
harus cepat-cepat ke sana. Orang kaya memang beda."
Indra tersenyum sopan. "Jadi, bagaimana?" tanya Pak Taufik. "Kau sudah menemukan tempat yang
kaucari?" "Ternyata jika hanya melihat dari peta, agak sulit membayangkan
bagaimana tempat itu sebenarnya," kata Indra.
"Kalau kau belum pernah ke luar negeri, pastinya seperti itu," Pak Taufik
tertawa. "Tapi omong-omong, kau pernah ke luar negeri" Namamu Indra,
bukan?" "Saya belum pernah ke luar negeri," jawab Indra.
"Bukankah kau jago judo itu" Belum pernah dikirim untuk pertandingan di
luar negeri?" "Saya belum mendapat kesempatan besar itu."
"Berarti Pak Yunus orang yang beruntung karena berkali-kali mendapat
kesempatan besar itu," Pak Taufik mengalihkan pandangannya pada
bentangan peta besat di ruangan itu.
"Kami pernah sedikit ngobrol saat pagi-pagi aku menemukannya sedang
menatap peta dengan serius sepertimu," katanya sambil tersenyum.
Jantung Indra berdegup kencang.
"Apakah Bapak memperhatikan kota mana yang sedang beliau lihat?" tanya
Indra penuh harap. Pak Taufik mengernyit. "Untuk apa?"
Indra berusaha keras menyembunyikan rasa kecewanya. "Negara mana saja
yang pernah dikunjungi Pak Yunus?"
Pak Taufik mencoba mengingat-ingat. "Dia pernah bilang kalau dia baru saja
terbang bolak-balik Rumania-Hongaria."
"Hanya di negara-negara Semenanjung Balkan?" gumam Indra.
Sepertinya Pak Taufik mendengar gumaman Indra.
"Dia juga pernah ke Prancis," katanya. "Dia bilang, dia pernah tinggal di
Dijon." "Dijon?" "Dan sempat pergi ke Sa?ne-et-Loire," Pak Taufik mengangguk. "Aku yakin
dia sudah pernah mengelilingi hampir seluruh negara di dunia ini tapi hanya itu
yang dia ceritakan padaku. Mungkin dia tidak ingin dianggap sombong."
"Selamat pagi," Riska dan Dani mengetuk pintu.
"Oh, kalian janjian, ya?" Pak Taufik mengangkat alis lalu melihat netbook
yang dipegang Riska. "Bagus... bagus... saya suka melihat murid yang antusias
belajar bersama. Senin depan kalian kan libur karena anak-anak kelas 12 ujian,
jadi kalian bisa maksimalkan kegiatan belajar kelompok kalian itu."
Dani meringis. "Terima kasih, Pak."
Pak Taufik lalu pergi meninggalkan ruangan.
"Dan..." panggil Indra ketika akhirnya hanya mereka bertiga di ruangan itu.
Sekarang matanya tidak lepas dari Benua Eropa di peta.
"Uhm?" sahut Dani.
"Beritahu aku nama sungai paling panjang di Eropa-ah, bukan! Di Uni Eropa
yang melewati Hongaria dan Rumania," perintahnya.
"Danube, Donau, Dunaj, Dunav, Tuna, Duna," jawab Dani. "Yah... sungai itu
punya banyak nama." "Danube ya..." Indra merunut aliran sungai Danube di peta dengan jarinya.
"Bagaimana dengan Prancis?" tanyanya lagi. "Sungai paling panjang di
Prancis apa?" "Loire," jawab Dani. "Panjangnya 1013 kilometer."
Kali ini Indra berkonsentrasi pada Prancis dan merunut aliran sungai Loire.
Dia tampak berpikir keras dan berkali-kali mengurut matanya, lalu seperti
teringat akan sesuatu tiba-tiba dia terpaku.
"Ris! Beritahu aku, kota mana saja yang termasuk dalam Sa?ne-et-Loire!"
perintah Indra. Untung saja Riska sudah siap dari tadi hingga dia hanya tinggal
mengetik kata kuncinya di mesin pencari.
"Banyak sekaliiiiiiiiii..." Riska membaca nama-nama kota yang muncul di
komputernya. "Yang berhubungan dengan sungai Loire!
Setelah membaca dengan saksama, Riska berseru. "Digoin! Yang dialiri
dengan sungai Loire adalah kota Digoin."
Indra menghela napas, lalu tersenyum.
Dia menoleh ke arah kedua temannya. "Aku sudah memecahkan kode puisi
itu." "EEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH!!!!!!" seru Dani dan Riska berbarengan.
"Seperti dugaan awal, kata 'underline' berarti di bawah sungai," Indra mulai
menjelaskan. "Ada banyak sungai di dunia ini jadi pastilah yang mencolok,
entah itu terpanjang atau terlebar. Masalahnya kemudian, sungai di negara
mana yang dimaksud" Untunglah tadi Pak Taufik sempat mengatakan tentang
pembicaraannya dengan Pak Yunus. Pak Taufik memberi petunjuk negaranegara mana saja yang pernah dikunjungi Pak Yunus baru-baru ini, yang kupikir
pasti berkaitan dengan penculikan para touch?."
"Negara mana saja yang pernah dikunjungi Pak Yunus?" tanya Riska tidak
sabar. "Pak Taufik bilang, Pak Yunus pernah bolak-balik Hongaria-Rumania," jawab
Indra. "Lalu di Perancis beliau pernah tinggal Dijon lalu pergi ke Sa?ne-etLoire."
"Dengan petunjuk seminimal itu, bagaimana kau bisa memecahkan
kodenya?" tanya Dani.
"Inti pemecahan kode, ada pada kalimat awal puisi itu," jelas Indra. "'You
only have to look behind you'. Jika aku bilang, kota-kota yang dimaksud adalah
Budapest-Bucharest dan Dijon-Digoin, pola apa yang kalian dapatkan?"
Dani melongo. "Suku kata pertamanya..."
"Sama..." Riska tertegun.
Indra mengangguk. "Kita hanya perlu melihat yang di belakang, karena yang di depan pasti
sama, walau belum tentu satu suku saja, bisa dua atau tiga," jelas Indra. "Itulah
maksud kalimat pertama puisi itu. Sekarang jika kita sudah punya pola bahwa
kota tempat persembunyian berada di bawah sungai terpanjang dan suku kata
depannya sama dengan kota tempat korban diculik, kita pasti bisa segera
menemukan Pak Yunus."
"Sungai terpanjang di Pulai Jawa," Dani masih tak percaya mereka bisa
memecahkan puisi itu. "Bengawan Solo."
"Lalu yang satu atau dua suku depannya sama dengan Surabaya dan dekat
dengan sungai, itu berarti..." Riska maju mendekati peta. "Surakarta."
"Pak Yunus disembunyikan di Surakarta!" pekiknya.
"Tunggu dulu!" potong Dani lalu mengamati letak Surakarta. "Kota Surakarta
nggak terletak di bawah sungai Bengawan Solo. Letaknya di samping!"
"Kau benar," keluh Riska.
Mereka terdiam. "Bukankah masih ada satu petunjuk lagi?" kata Indra kemudian.
Riska dan Dani menoleh padanya.
"Ceci n'est pas une pipe," lanjut Indra. "Itu petunjuk yang diberikan Pak
Yunus sebelum dia menghilang."
"Ini bukan pipa," sahut Dani.
"Hah?" Riska menatapnya bingung.
"Kalian kan pernah menyinggung agar aku membaca kamusnya dulu
sebelum mengatakan kata-kata asing," Dani menghela napas. "Akhirnya aku
menyerap kamus bahasa Prancis termasuk tata bahasanya. Ceci n'est pas une
pipe artinya 'ini bukan pipa'."
Mereka terdiam lagi. "Aku tambah binguuuung..." keluh Riska. "Lalu kita harus mencari sungai
yang bentuknya seperti pipa" Atau mencari kota yang bukan penghasil pipa"
Aku menyerah..." Dani mendudukkan diri di meja yang ada di ruangan itu. "Aku juga
menyerah." Hanya Indra yang masih belum menyerah. Matanya menunjukkan otaknya
sedang bekerja keras. Tapi tidak lama kemudian dia menghela napas panjang,
tampaknya dia sudah menyerah juga.
"Kurasa kita lanjutkan besok saja," katanya.
Dani dan Riska mengangguk.
BAB 10 INDRA terus berkutat di depan layar komputernya, mengetik BudapestBucharest serta Dijon-Digoin mencoba mencari persamaannya. Tetapi semakin
dicari dan semakin banyak data yang dia peroleh, dia semakin tak mengerti.
Bagaimana Pak Yunus memecahkan kode ini, batinnya. Dia melihat
kamarnya yang berantakan penuh buku-buku berserakan. Dari ATLAS, buku
Sejarah dunia sampai Ensiklopedia dia buka tapi hasilnya nihil.
Indra menghela napas, meregangkan tangannya. Saat dia hendak
melanjutkan mencari, ponselnya berbunyi.
"Halo?" "Ndra," terdengar suara Dani di seberang. "Temui aku di restoran cepat saji
dekat sekolah kita."
"Memangnya kenapa?"
"Kita makan malam," jawab Dani. "Ini sudah jam setengah sembilan dan aku
yakin kau belum makan."
Indra melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul setengah sembilan
lebih lima menit. "Bagaimana kau..."
"Aku sudah cukup lama berteman denganmu," desah Dani. "Aku tahu
sekarang pasti banyak buku berserakan di kamarmu dan dari tadi kau berkutat
Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di depan komputer atau pikiranmu sibuk memecahkan kode itu."
Indra tidak mengatakan apa-apa.
"Sudahlah," lanjut Dani. "Aku juga belum makan. Aku baru saja selesai
dilatih spartan oleh Pak Fajar untuk persiapan olimpiade biologi dan itu
membuatku hampir mati kelaparan. Bagaimana" Setuju?"
Indra terdiam sesaat. "Terserah apa katamu saja."
"Hehehehe sesekali kau memang harus menurut pada temanmu ini," kata
Dani. "Oh ya, aku tadi juga mengajak Riska," kata Dani sebelum menutup
teleponnya. "Kuharap kau tak keberatan."
Indra tidak diberi kesempatan untuk memberikan reaksi karena Dani
langsung menutup teleponnya. Indra menghela napas, dia sudah terbiasa
dengan tabiat sahabatnya itu. Dia mengambil kunci motornya lalu bergegas ke
garasi. Di restoran cepat saji yang dimaksud Dani, Indra melihat Riska duduk di meja
paling ujung sedang mengutak-atik ponselnya. Indra langsung menarik kursi di
depannya hingga membuat Riska kaget.
"Kau memang tidak pernah diajari sopan santun untuk menyapa, ya?" tanya
Riska agak sebal. "Hai," Indra menatapnya dingin.
Riska memutar bola matanya.
"Yah sudahlah..." desahnya. "Kau pesan saja dulu, aku sudah pesan."
Riska mengedikkan kepalanya ke burger dan kentang goreng di depannya.
"Aku akan menunggu Dani," jawab Indra.
"Terserah kalau begitu," Riska mengangkat bahu lalu sibuk dengan
ponselnya lagi. Setelah itu tak ada satu pun dari mereka yang bicara atau bahkan berusaha
mencari topik pembicaraan. Keduanya seperti sedang berada di dunianya
masing-masing hingga akhirnya Dani datang.
"Kau lama sekali sih, Dan..." kata-kata Riska terpotong melihat luka di sudut
bibir Dani dan matanya yang lebam. "Kau kenapa?"
Dani hanya meringis. "Tadi aku ceroboh akibat buru-buru datang ke sini dan
terjatuh di tangga."
Indra menatapnya tajam setengah tak percaya lalu melepas sarung
tangannya. "Jangan menyentuhku!" sergah Dani dengan nada tinggi yang membuat
perhatian orang-orang di sekitar mereka tertuju padanya. "Sesekali percayalah
apa yang kukatakan."
Indra terpaku sesaat, lalu memakai kembali sarung tangannya. Dia bangkit
dari kursinya. "Aku akan pesan makanan," katanya dingin dan pergi meninggalkan meja.
"Ah, aku pesan..." belum selesai Dani meneruskan kalimatnya, Indra sudah
memotong. "Seperti biasa, kan?"
Dani meringis. "Yup! Seperti biasa!"
Dani duduk di kursi yang ditinggalkan Indra. Riska buru-buru mengambil tisu
dan memberikannya pada Dani.
"Masih ada sedikit darah," kata Riska sambil menunjuk sudut bibirnya.
"Terima kasih," Dani mengangguk.
"Katakan padaku sejujurnya apa yang terjadi?" tanya Riska, kali ini wajahnya
serius. Dani terdiam sesaat lalu tersenyum.
"Masalah sepele," katanya. "Ada yang tidak suka padaku."
"Eh?" "Yah... tipe sepertiku kan memang tidak begitu disukai," Dani mengangkat
bahu. "Tidak pernah belajar tapi selalu mendapat nilai bagus, murid
kesayangan guru-guru dan banyak sekali cewek yang tergila-gila padaku walau
yang terakhir lebih banyak karena bantuan Indra."
"Aku tak tahu apakah aku harus bersimpati padamu atau sebal dengan
kenarsisanmu," kata Riska.
"Beberapa orang yang tidak menyukaiku yang sialnya salah satu ceweknya
sedang kudekati ingin menunjukkan rasa tidak suka mereka secara frontal,"
Dani menghela napas. "Mereka mengeroyokmu?"
"Yeah." "Kau tidak apa-apa?"
"Seperti yang kau lihat, I'll survive," Dani meringis.
"Tapi kenapa kau tidak ingin kejadian ini diketahui oleh Indra?" tanya Riska
tak mengerti. Mendengar pertanyaan Riska, raut wajah Dani berubah.
"Karena aku tahu dia akan lepas kontrol," katanya serius.
"Maksudnya?" "Kau sudah pernah lihat sendiri kan bagaimana Indra sangat melindungiku?"
Dani menatapnya. Riska mengangguk, teringat kejadian saat Indra seperti orang kesurupan
ketika ada yang memukul Dani.
"Dulu sering ada kejadian seperti ini," jelas Dani. "Aku tidak pernah
menceritakannya tapi tentu saja dengan kemampuannya, Indra tahu dengan
sendirinya. Semua anak yang melukaiku selalu berakhir dengan luka-luka yang
jauh lebih berat dari yang kudapatkan. Indra sering sekali kena hukuman garagara ini. Bahkan pernah, saat ada yang melukaiku agak parah, aku merasa
Indra benar-benar akan membunuhnya jika saja aku tidak menghentikannya."
Riska menelan ludah. "Sejak itu tidak ada lagi yang berani macam-macam denganku," Dani
mengambil kentang goreng milik Riska lalu memakannya. "Ini pertama kalinya
setelah dua tahun. Mungkin mereka belum mendengar tentang Indra."
"Sampai segitunya?" tanya Riska tak percaya.
"Dia itu sangat melindungi orang-orang yang dia anggap penting dan
menganggapnya penting," jelas Dani.
"Tetapi memangnya harus sampai seperti itu?" Riska mengernyitkan kening.
Dani menghela napas. "Seperti yang pernah kubilang dulu, tidak semua
orang seberuntung dirimu. Selama ini, orang-orang yang dianggap penting oleh
Indra termasuk keluarganya tidak menganggapnya sama penting bahkan
mereka cenderung tidak memedulikannya."
"Kenapa?" "Karena mereka merasa terancam dengan kemampuannya," jawab Dani.
"Pikiran adalah tempat paling pribadi seseorang. Tidak ada yang suka jika
tempat pribadinya bisa dilihat orang lain."
Riska terdiam sesaat. "Kau menganggapnya penting?"
"Tentu saja," jawab Dani mantap. "Dia sahabatku."
"Hanya karena itu dia melindungimu mati-matian?"
"Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya," desah Dani. "Yang kutahu,
memang itulah yang dia lakukan."
"Jadi itu sebabnya kau tidak menceritakan kejadian sebenarnya pada Indra?"
Riska mengangguk-angguk. "Kau tidak ingin dia melakukan sesuatu yang
membuatnya di hukum lagi." Dani mengalihkan tatapannya ke jalan, kali ini
matanya menerawang. "Bukan," katanya. "Aku melakukannya untukku sendiri. Aku merasa sudah
terlalu sering dilindungi," lanjutnya. "Dilindungi oleh orang yang justru lebih
memerlukan perlindungan daripada aku. Aku ingin Indra belajar untuk
memikirkan dirinya sendiri."
Riska tidak begitu paham arti kata-kata Dani dan dia tidak punya
kesempatan untuk menanyakannya karena tak lama kemudian Indra datang
dengan pesanannya. "Cheeseburger tanpa acar dan Milo," Indra menyerahkan nampan itu pada
Dani. "Kau tidak makan?" tanya Dani.
"Aku sudah kenyang," jawab Indra.
"Aktingmu buruk."
"Kode itu belum kuselesaikan, aku tidak punya nafsu makan."
"Bagaimana kau akan menyelesaikannya?" tanya Riska. Indra mengangkat
bahu. "Aku pergi sebentar, ada urusan mendadak," Indra menepuk bahu Dani.
"Sebentar lagi aku kembali."
Indra lalu pergi keluar menuju tempat parkir.
"Dia mau pergi ke mana?" tanya Riska.
"Entah," jawab Dani sambil menggigit cheeseburger-nya.
Seakan menyadari sesuatu, Riska langsung terpaku.
"Ada apa?" tanya Dani lalu mengambil Milo-nya.
"Indra," kata Riska pelan. "Tadi dia menepuk bahumu tanpa menggunakan
sarung tangan. Dani tampak terkejut mendengar kata-kata Riska dan langsung menoleh ke
tempat parkir, Indra sudah tidak ada di sana.
"SIAL!" umpatnya.
*** "Apa yang kaupikirkan?" tanya Mama saat Riska pulang dengan wajah yang
agak aneh. "Eh?" Riska menatapnya.
Mama menepuk sofa di sebelahnya, menyuruh Riska duduk. Dia
mengangguk. "Apa yang kaupikirkan?" ulang Mama.
Riska menghela napas lalu menceritakan tentang Indra minus kemampuan
touch?-nya. Tentang bagaimana Indra selalu melindungi mati-matian sahabatsahabatnya.
"Kau bilang, keluarganya tidak menganggapnya penting" Kenapa?" tanya
Mama. "Entahlah, mungkin dia punya sesuatu yang ditakuti keluarganya," Riska
Petualangan Manusia Harimau 1 Omega Swordsman Karya Mogei Ki Ageng Tunggul Keparat 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama