Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan Bagian 2
aku duduk di sana, semakin marah aku jadinya.
Luke telah mengakibatkan hal ini. Aku ingat senyum liciknya, codet
cakar-naga yang melintang di wajahnya. Dia berpura-pura menjadi temanku,
dan selama itu diam-diam dia telah menjadi pengabdi Kronos nomor wahid.
Aku membuka telapak tanganku. Luka yang diberikan Luke padaku
musim panas lalu perlahan memudar, tapi aku masih dapat melihatnya"luka
berbentuk bintang bekas sengatan kalajengking.
Aku berpikir akan apa yang Luke katakan padaku sebelum dia mencoba
membunuhku: Selamat tinggal, Percy. Ada Zaman Emas baru yang akan datang. Kau
tak akan menikmatinya. *** Di malam hari, aku bermimpi lagi tentang Grover. Kadang-kadang, aku
hanya mendengar sekilas suaranya. Sekali, aku mendengarnya berkata: Benda itu
ada di sini. Di waktu lain: Dia suka domba.
Aku berpikir untuk mengatakannya pada Annabeth tentang mimpimimpiku ini, tapi aku pasti akan terdengar bodoh. Maksudku, Dia suka domba"
Annabeth pasti akan mengira aku sudah sinting.
Malam sebelum perlombaan, Tyson dan aku sudah menyelesaikan kereta
tempur kami. Tyson membuat bagian-bagian logamnya di tempat penempaan
alat-alat persenjataan. Aku mengampelas kayunya dan menyatukannya jadi
kereta. Warnanya biru dan putih, dengan desain ombak di pinggir dan sebuah
trisula dilukis di muka. Setelah semua rampung, rasanya sudah sepantasnya
Tyson diajak serta naik kereta ini bersamaku, walau aku tahu kuda-kuda itu tak
akan menyukainya, dan bobot lebih Tyson akan melambatkan kami.
Selagi kami bersiap untuk tidur, Tyson berkata, "Kau marah?"
Kusadari wajahku cemberut dari tadi. "Nggak. Aku nggak marah."
Dia berbaring di tempat tidurnya dan hening dalam kegelapan. Tubuhnya
terlalu jangkung untuk tempat tidurnya. Kalau dia menarik selimutnya, kakinya
tampak menjejak lantai. "Aku monster."
"Jangan ngomong begitu."
"Nggak apa-apa. Aku akan jadi monster yang baik. Jadi kamu nggak
harus merasa marah."
Aku tak tahu harus bilang apa. Aku menatap langit-langit dan merasa
diriku seperti tengah sekarat perlahan-lahan, mengikuti pohon Thalia.
"Hanya saja " aku belum pernah punya saudara-tiri sebelumnya." Aku
berusaha menjaga suaraku agar nggak terdengar emosional. "Ini pengalaman
baru buatku. Dan temanku yang lain, Grover " dia mungkin sedang
menghadapi masalah. Aku selalu merasa kalau aku harus melakukan sesuatu
untuk menolong, tapi aku nggak tahu apa."
Tyson tak mengatakan apa pun.
"Maafkan aku," kataku padanya. "Ini bukan salahmu. Aku marah pada
Poseidon. Aku merasa sepertinya dia mencoba mempermalukanku, seolah dia
mencoba membandingkan kita atau apa, dan aku nggak ngerti kenapa."
Aku mendengar suara dengkuran pelan. Tyson sedang mengorok.
Aku menghela napas panjang. "Selamat malam, Jagoan."
Dan aku pun memejamkan mataku.
Dalam mimpiku, Grover sedang mengenakan gaun pengantin.
Gaun itu tidak pas buatnya. Gaunnya terlalu panjang dan kelimannya
dipenuhi bercak lumpur kering. Garis lehernya terus melorot dari bahunya.
Tudungnya yang koyak menutupi wajahnya.
Dia sedang berdiri di gua yang gelap dan dingin, hanya diterangi nyala
obor. Ada sebuah buaian di satu sudut dan sebuah perkakas tenun kuno di sisi
lain, secarik kain putih tampak setengah terajut pada bingkai tenunnya. Dan dia
sedang menatap tepat padaku, seolah aku ini acara TV yang dia tunggu-tunggu.
"Terpujilah dewa-dewa!" pekiknya. "Bisakah kau mendengarku?"
Diriku yang di dalam mimpi lamban bereaksi. Aku masih memandang ke
sekeliling, memerhatikan langit-langit berstalaktit, bau domba dan kambing
yang menusuk, suara menggeram dan menggerutu dan mengembik yang
sepertinya bergema dari belakang batu seukuran lemari es, yang menghalangi
satu-satunya jalan keluar dari ruangan itu, seolah masih ada gua yang jauh lebih
besar di luarnya. "Percy?" Grover berseru. "Tolonglah, aku nggak punya cukup kekuatan
untuk memproyeksikan diri lebih baik lagi. Kau harus dengarkan aku!"
"Aku mendengarkan," kataku. "Grover, apa yang terjadi?"
Dari balik batu besar itu, suara seorang monster terdengar berteriak,
"Manisku! Apa kau sudah selesai?"
Grover berjengit. Dia berseru dengan suara falsetonya, "Belum
sepenuhnya, Sayang! Beberapa hari lagi!"
"Bah! Bukankah sudah dua minggu berlalu?"
"B-belum, Sayang. Baru lima hari. Artinya masih ada dua belas hari lagi."
Monster itu terdiam, barangkali mencoba berhitung. Penjumlahannya
pasti lebih buruk dari aku, karena dia kemudian berseru, "Baiklah, tapi cepatlah!
Aku ingin LIHAAAT di balik tudung itu, heh-heh-heh."
Grover berbalik ke arahku. "Kau harus menolongku! Nggak ada waktu!
Aku tertahan di dalam gua ini. Di sebuah pulau di tengah laut."
"Di mana?" "Aku nggak tahu persisnya! Aku pergi ke Florida dan belok kiri."
"Apa" Bagaimana kau?"
"Ini adalah perangkap!" kata Grover. "Itulah alasan nggak ada satu pun
satir yang pernah kembali dari misi ini. Dia adalah penggembala, Percy! Dan dia
memilikinya. Sihir alaminya begitu kuat sampai-sampai benda itu tercium persis
seperti dewa besar Pan! Para satir datang ke sini berpikir mereka telah
menemukan Pan, dan mereka akhirnya tertangkap dan dimakan oleh
Polyphemus!" "Poly-siapa?" "Sang Cyclops!" ujar Grover, kesal. "Aku sudah hampir lolos. Aku sudah
berlari sampai ke St. Augustine."
"Tapi dia mengikutimu," kataku, mengingat mimpi pertamaku. "Dan
memerangkapmu di butik pengantin."
"Benar," kata Grover. "Sambungan empati pertamaku berhasil kalau
begitu. Dengar, gaun pengantin ini adalah satu-satunya hal yang membuatku
masih bertahan hidup. Dia mengira bauku enak, tapi aku katakan padanya
bahwa itu hanya bau parfum kambing. Untunglah dia nggak bisa melihat
dengan jelas. Matanya masih setengah buta dari terakhir kalinya seseorang
menusuknya. Tapi nggak lama lagi dia akan menyadari siapa aku sesungguhnya. Dia hanya memberiku waktu dua minggu untuk menyelesaikan
ekor gaun pengantin ini, dan dia makin nggak sabaran!"
"Tunggu bentar. Cyclops ini mengira kau?"
"Betul!" ratap Grover. "Dia mengira aku Cyclops betina dan dia ingin
mengawiniku!" Dalam kondisi yang berbeda, aku pasti sudah tertawa terbahak-bahak,
tapi suara Grover terdengar sangat serius. Dia bergetar ketakutan.
"Aku akan datang menyelamatkanmu," janjiku. "Kau di mana?"
"Laut Para Monster, tentu saja!"
"Laut apa?" "Tadi sudah kukatakan! Aku nggak tahu persisnya di mana! Dan dengar,
Percy " em, aku benar-benar minta maaf sebelumnya, tapi sambungan empati
ini " yah, aku nggak punya pilihan lagi. Emosi kita berhubungan sekarang.
Kalau aku mati " "
"Jangan bilang padaku, aku akan mati juga."
"Eh, yah, mungkin nggak juga. Kau bisa saja bertahan hidup bertahuntahun dalam kondisi koma. Tapi, eh, akan jauh lebih baik kalau kau bisa
membebaskanku dari sini."
"Manisku!" sang monster berteriak. "Waktunya makan malam! Daging
domba nyam nyam!" Grover meringis. "Aku harus pergi. Cepatlah!"
"Tunggu! Kau bilang 'benda itu' ada di sini. Apa maksudmu dengan
'benda itu'?" Suara Grover mulai menghilang. "Mimpi indah. Jangan biarkan aku
mati!" Mimpi itu mengabur dan aku tersentak bangun. Hari masih amat dini.
Tyson menatapku, satu mata cokelat besarnya penuh kekhawatiran.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya.
Suaranya mengirimkan rasa menggigil ke sekujur punggungku, karena
suaranya hampir terdengar serupa dengan monster yang kudengar dalam
mimpiku. Pagi hari saat perlombaan udara terasa panas dan lembap. Kabut merayap
rendah di tanah seperti uap sauna. Jutaan burung masih tidur di pepohonan"
merpati abu-abu dan putih gendut, hanya saja mereka nggak berdekut seperti
merpati biasanya. Mereka membuat suara denyitan menyebalkan yang
mengingatkanku pada radar kapal selam.
Lintasan perlombaan dibangun di lapangan rumput diapit antara area
panahan dan hutan. Kabin Hephaestus menggunakan banteng-banteng
perunggu, yang telah dijinakkan sepenuhnya semenjak kepala mereka
dipenyokkan ke dalam, untuk membajak lintasan berbentuk oval dalam
hitungan menit. Ada barisan tangga berbatu bagi para penonton"Tantalus, para satir,
beberapa peri pohon, dan semua pekemah yang nggak berpartisipasi. Pak D
tidak kelihatan. Dia tak pernah bisa bangun sebelum jam sepuluh pagi.
"Baik!" Tantalus mengumumkan saat para tim mulai berkumpul. Seorang
peri air membawakannya sepiring besar kue, dan selagi Tantalus bicara, tangan
kanannya mengejar cokelat ?clair di depan meja juri. "Kalian semua tahu
peraturannya. Jalur lintasan sepanjang empar ratus meter. Dua putaran untuk
memenangkannya. Dua kuda untuk satu kereta. Masing-masing tim terdiri dari
satu pengemudi dan satu petarung. Senjata diperbolehkan. Trik-trik kotor
diharapkan. Tapi berusahalah untuk tak membunuh siapa pun!" Tantalus
tersenyum pada kami seolah kami semua anak-anak nakal. "Aksi menghilangkan nyawa akan dikenai hukuman keras. Tak diperbolehkan ikut
makan s'more di api unggun selama seminggu penuh! Sekarang persiapkan
kereta tempur kalian!"
Beckendorf memimpin tim Hephaestus ke lintasan. Mereka memiliki
kendaraan keren yang terbuat dari perunggu dan besi"bahkan kuda-kudanya
sekalipun, yang merupakan mesin otomatis yang ajaib seperti banteng-banteng
Colchis itu. Aku yakin kereta tempur mereka memiliki segala jenis perangkap
mekanis dan tawaran yang lebih menarik daripada mobil balap Maserati
beraksesori lengkap. Kereta tempur Ares berwarna merah darah, dan ditarik oleh dua rangka
tulang kuda yang menyeramkan. Clarisse menaikinya dengan sekumpulan
lembing, bola-bola berduri tajam, jarum-jarum tusuk, dan sekumpulan mainan
mengerikan lainnya. Kereta tempur Apollo tampak rapi dan anggun dan berwarna emas
sepenuhnya, ditarik oleh dua kuda palomino emas nan cantik. Petarung mereka
dipersenjatai dengan busur, meski dia berjanji tak akan menembakkan panah
biasa ke arah pengemudi lawan.
Kereta tempur Hermes berwarna hijau dan tampak usang, seolah-olah
kereta itu sudah bertahun-tahun nggak dikeluarkan dari garasi. Tidak ada yang
istimewa dari tampilannya, tapi kereta itu dikendarai oleh Stoll bersaudara, dan
aku merinding memikirkan trik-trik kotor apa yang telah mereka siapkan.
Tersisa dua kereta tempur lagi: satu yang dikendarai Annabeth, dan
satunya lagi olehku. Sebelum pertandingan dimulai, aku berusaha mendatangi Annabeth dan
menceritakannya tentang mimpiku.
Annabeth langsung memasang kuping saat aku menyebut Grover, tapi
saat aku mengatakan padanya apa yang Grover katakan, dia tampak menjauh
lagi, curiga. "Kau mencoba mengalihkan perhatianku," putusnya.
"Apa" Sama sekali nggak!"
"Oh, ya! Seolah-olah Grover secara kebetulan saja menemukan satu hal
yang bisa menyelamatkan perkemahan."
"Apa maksudmu?"
Dia memutar matanya. "Kembalilah ke keretamu, Percy."
"Aku nggak mengarang-ngarang tentang ini. Dia sedang dalam bahaya,
Annabeth." Annabeth tampak ragu. Aku tahu dia mencoba memutuskan untuk
memercayaiku atau tidak. Di luar pertengkaran- pertengkaran kami yang sering
terjadi, kami berdua telah melalui banyak hal bersama. Dan aku tahu dia tak
akan mau sesuatu yang buruk menimpa Grover.
"Percy, sambungan empati sangat sulit untuk dilakukan. Maksudku, bisa
jadi kau benar-benar cuma bermimpi."
"Sang Oracle," kataku. "Kita bisa mencari nasihat dari sang Oracle."
Annabeth mengerutkan kening.
Musim panas lalu, sebelum mengawali misiku, aku telah mengunjungi
arwah aneh yang hidup di loteng Rumah Besar dan ia telah memberiku ramalan
yang terbukti benar dengan cara yang tidak kusangka-sangka. Pengalaman itu
membuatku ketakutan selama beberapa bulan. Annabeth tahu aku tak akan
mengajak untuk kembali ke sana kalau aku tak benar-benar serius.
Sebelum dia sempat menjawab, bunyi terompet kerang terdengar.
"Para pengendara kereta tempur!" panggil Tantalus. "Bersiaplah!"
"Kita bicara nanti," kata Annabeth padaku, "setelah aku menang."
Selagi aku berjalan kembali ke keretaku, kusadari betapa semakin
banyaknya merpati di pepohonan sekarang"berdenyit-denyit seperti burung
sinting, membuat seluruh hutan bergemeresik. Tak ada seorang pun yang
menaruh perhatian pada mereka, tapi kawanan merpati itu membuatku resah.
Paruh mereka berkilat-kilat aneh. Mata mereka tampak lebih bersinar daripada
burung-burung biasa. Tyson menemui kesulitan mengendalikan kuda-kuda kami. Aku harus
bicara pada mereka cukup lama sebelum mereka tenang.
Dia monster, Tuan! keluh mereka padaku.
Dia adalah putra Poseidon, kataku pada mereka. Sama seperti " yah, sama
seperti aku. Tidak! desak mereka. Monster! Pemakan-kuda! Tak bisa dipercaya!
Aku akan memberimu bongkah gula di akhir perlombaan, bujukku.
Bongkah gula" Bongkah gula yang sangat besar. Dan apel. Apa aku juga menyebut apel"
Akhirnya mereka setuju untuk membiarkanku memasang tali kekang
mereka. Nah, jika kau belum pernah melihat kereta tempur Yunani, kereta itu
dibangun untuk kecepatan, bukan keamanan atau kenyamanan. Pada dasarnya
ia adalah keranjang kayu, terbuka di belakang, ada tempat berdiri di poros
antara dua roda. Pengemudinya berdiri sepanjang waktu, dan kau bisa
merasakan setiap tonjolan di jalan. Kereta ini terbuat dari bahan kayu tipis
sampai-sampai kalau kau berbelok tajam sedikit saja di ujung lintasan, kau
paling-paling akan terguling dan merusakkan baik keretanya maupun dirimu
sendiri. Kereta ini memberi sensasi yang lebih seru daripada ber-skateboard.
Aku mengambil tali kekangnya dan mengarahkan kereta ke jalur start.
Aku berikan Tyson galah sepanjang tiga meter dan memberitahunya bahwa
tugasnya adalah mendorong kereta-kereta lain kalau mereka terlalu mendekat,
dan untuk menangkis apa pun yang mungkin akan mereka lemparkan ke arah
kami. "Jangan pukul kuda poni dengan tongkat," desaknya.
"Benar," aku setuju. "Atau orang-orang, juga, kalau nggak diperlukan.
Kita akan melakukan pertandingan bersih. Pokoknya singkirkan saja rintangan
dan biarkan aku berkonsentrasi untuk mengendarai kereta."
"Kita akan menang!" Dia tersenyum gembira.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita sudah pasti bakal kalah, pikirku pada diri sendiri, tapi setidaknya
aku harus berusaha. Aku ingin menunjukkan pada yang lain bahwa " yah, aku
juga tak yakin apa yang ingin kutunjukkan, sebenarnya. Bahwa Tyson bukanlah
orang jahat" Bahwa aku tak merasa malu terlihat bersamanya di muka umum"
Barangkali bahwa mereka sama sekali tak menyakitiku dengan semua lontaran
lelucon dan nama-nama ejekan mereka"
Saat seluruh kereta berbaris, semakin banyak merpati bermata-cerah
berkumpul di pepohonan. Mereka berdenyit begitu nyaringnya sampai-sampai
para pekemah yang duduk di barisan penonton mulai memerhatikan,
memandangi pepohonan dengan gugup. Pepohonan itu sendiri tampak
merinding ketakutan di bawah beban berat burung-burung yang bertengger.
Tantalus tak tampak cemas, tapi dia jadi harus berbicara lantang untuk membuat
suaranya terdengar di tengah kebisingan itu.
"Para pengendara kereta!" teriaknya. "Bersiaplah pada posisi kalian!"
Dia melambaikan tangan dan memberi sinyal tanda pertandingan
dimulai. Kereta-kereta tempur mulai meraung. Kaki-kaki kuda berderap
memukuli tanah. Penonton bersorak-sorai.
Hampir seketika itu terdengar suara krak keras. Aku menoleh ke belakang
tepat saat kereta Apollo terguling. Kereta Hermes telah menabraknya"mungkin
tak sengaja, mungkin juga disengaja. Para pengendaranya melompat keluar, tapi
kuda-kuda mereka yang panik menyeret kereta emas mereka menyeberangi
lintasan. Tim Hermes, Travis keberuntungan mereka, dan dan kereta Connor Hermes Stoll, tertawa langsung menyadari terbalik juga, meninggalkan tumpukan kayu patah dan empat kuda yang panik dalam
kepulan debu. Dua kereta sudah jatuh hanya dalam jarak lintasan enam meter pertama.
Aku senang dengan pertandingan ini.
Aku kembali dengan memusatkan perhatianku ke depan medan. Kami
cukup lumayan, lebih depan dari kereta Ares, tapi kereta Annabeth jauh di
depan kami. Dia sudah memutar melewati pos pertama, cowok pemegang
lembing di kereta Annabeth menyeringai dan melambai-lambai ke arah kami,
meneriakkan: "Sampai ketemu!"
Kereta Hephaestus juga mulai mendekati kami.
Beckendorf menekan tombol, dan sebuah panel terbuka di sisi keretanya.
"Maaf, Percy!" teriaknya. Tiga bola dan rantai meluncur tepat ke rodaroda kami. Mereka sudah akan menghancur lumatkan kereta kami kalau saja
Tyson tak sempat memukulnya ke samping dengan sabetan cepat galahnya.
Tyson memberi pukulan balasan ke kereta Hephaestus dan membuat kereta
mereka melaju keluar jalur sementara kami terus meluncur.
"Kerja yang bagus, Tyson!" teriakku.
"Burung-burung!" raung Tyson.
"Apa?" Kami meluncur begitu cepat sampai sulit untuk mendengar atau melihat
sesuatu, tapi Tyson menunjuk ke arah hutan dan aku melihat apa yang dia
khawatirkan. Merpati-merpati itu telah meninggalkan pepohonan. Mereka kini
berputar-putar seperti angin topan besar, menuju ke arah lintasan.
Bukan masalah, kataku pada diri sendiri. Toh mereka cuma merpati.
Aku berusaha berkonsentrasi pada perlombaan.
Kami menyelesaikan putaran pertama, roda-roda berderak di bawah
kami, kereta ini terancam terguling, tapi sekarang kami hanya sejarak tiga meter
di belakang kereta Annabeth. Kalau saja aku bisa sedikit lebih dekat, Tyson bisa
menggunakan galahnya "
Petarung kereta Annabeth sudah tidak menyeringai sekarang. Dia
menarik lembing dari persediaannya dan menyasar ke arahku. Dia sudah
hampir melemparnya saat kami mendengar suara teriakan itu.
Merpati-merpati itu sudah mengumpul dalam kerumunan besar"ribuan
merpati terbang menukik ke arah kerumunan di deretan penonton, menyerang
ke arah kereta-kereta lain. Beckendorf diserang. Petarungnya mencoba mengusir
pergi burung-burung itu tapi dia tak bisa melihat apa pun. Kereta itu meluncur
keluar jalur dan mengeruk melintasi ladang stroberi, kuda-kuda mekaniknya
mengeluarkan asap. Di kereta Ares, Clarisse meneriakkan perintah kepada petarungnya, yang
dengan cepat melemparkan sehelai jaring kamuflase menyelubungi badan
keretanya. Burung-burung mengitarinya, mematuk dan mencakar-cakar jemari
petarungnya saat dia berusaha untuk menahan jaring, tapi Clarisse hanya
menggertakkan giginya dan terus melaju. Kuda-kudanya yang hanya berbadan
rangka tulang terlihat kebal terhadap gangguan itu. Merpati-merpati itu
mematuk rongga mata mereka yang kosong dengan sia-sia dan terbang
melewati rangka tulang rusuk mereka, tapi kuda-kuda itu tetap terus melaju.
Para penonton tak seberuntung itu. Burung-burung itu menyambar kulit
daging yang terlihat sekecil apa pun, membuat semua orang panik. Begitu
burung-burung itu mendekat, kelihatan jelas sekarang kalau mereka bukan
merpati biasa. Mata mereka berbentuk manik dan tampak bengis. Paruh mereka
terbuat dari perunggu, dan mendengar dari jeritan para pekemah, paruhnya
pasti setajam silet. "Burung-burung Stymphalian!" teriak Annabeth. Dia melambat dan
menarik keretanya ke sisiku. "Mereka akan menguliti semua orang sampai ke
tulang kalau kita nggak mengusir mereka!"
"Tyson," kataku, "kita akan berbalik arah!"
"Pergi ke arah yang salah?" tanyanya.
"Selalu begitu," gerutuku, tapi aku tetap menyetir keretanya menuju stan
penonton. Annabeth berkendara persis di sebelahku. Dia meneriakkan, "Pahlawanpahlawan, siapkan senjata!" Tapi aku tak yakin orang-orang bisa mendengarnya
di tengah kegaduhan burung-burung itu dan kekacauan yang terjadi.
Aku memegang tali kekangku di satu tangan dan berhasil menghunus
Riptide saat segelombang burung menukik ke arah mukaku, paruh-paruh logam
mereka mengatup-ngatup keras. Aku menebas mereka dari udara dan mereka
meledak jadi gumpalan debu dan bulu, tapi masih tersisa jutaan lagi dari
mereka. Satu berhasil mematuk punggungku dan aku nyaris terlompat keluar
dari kereta. Annabeth juga sama tidak beruntungnya. Semakin dekat kami ke stan,
kelihatannya kawanan burung itu semakin banyak.
Sebagian penonton berusaha melawan. Para pekemah Athena menyerukan perlindungan. Para pekemah dari kabin Apollo menyiapkan busur
dan panah mereka, bersiap membunuh para pengacau, tapi dengan begitu
banyaknya pekemah yang bercampur dengan kumpulan burung, tak aman
untuk memanah. "Terlalu banyak!" aku berteriak ke Annabeth. "Bagaimana kau bisa
mengusir mereka?" Annabeth menusuk satu merpati dengan belatinya. "Hercules menggunakan suara-suara bising! Bel kuningan! Itu bisa membuat mereka
ketakutan dengan suara paling mengerikan yang bisa dia?"
Matanya membeliak. "Percy " koleksi Chiron!"
Aku langsung mengerti. "Kau pikir itu akan berhasil?"
Dia menyerahkan tali kekang pada petarungnya dan melompat dari
keretanya ke keretaku seolah itu adalah hal termudah untuk dilakukan di dunia.
"Ke Rumah Besar! Itu satu-satunya kesempatan kita!"
Clarisse baru saja menginjak garis finis, sama sekali tanpa pesaing, dan
tampaknya baru menyadari untuk pertama kalinya betapa seriusnya masalah
burung itu. Saat Clarisse melihat kami meluncur pergi, dia berteriak, "Kau pergi"
Pertarungan ada di sini, dasar pengecut!" Dia menghunus pedangnya dan
menyerbu ke stan. Aku menghela kudaku berlari kencang. Kereta itu bergetar melintasi
ladang stroberi, melewati lapangan voli, dan berhenti dengan goncang di muka
Rumah Besar. Annabeth dan aku berlari ke dalam, menyusuri lorong menuju
kamar Chiron. Boom box alias pemutar CD portabelnya masih bertengger di meja
samping tempat tidurnya. Begitu pula dengan koleksi CD-CD favoritnya. Aku
mengambil satu yang tampak paling memualkan, Annabeth menyambar boom
box itu, dan bersama-sama kami berlari keluar.
Di jalur lintasan, kereta-kereta terbakar. Para pekemah yang terluka
berhamburan ke segala arah, dengan burung-burung mencabik-cabik baju
mereka, sementara Tantalus mengejar kue sarapannya di sepanjang stan, sambil
berteriak, "Semua dalam kendali! Jangan khawatir!"
Kami berhenti di garis finis. Annabeth menyiapkan boom box. Aku
berdoa agar baterainya belum mati.
Aku menekan tombol PLAY dan mulai menyalakan CD favorit Chiron"
All-Time Greatest Hits of Dean Martin. Tiba-tiba udara dipenuhi bunyi biola dan
sekumpulan laki-laki merintih dalam bahasa Italia.
Merpati-merpati iblis itu langsung bertingkah. Mereka mulai beterbangan
dalam lingkaran, menabrak satu sama lain seolah-olah ingin menghancurkan
otak mereka sendiri. Kemudian mereka meninggalkan jalur lintasan berbarengan dan terbang ke langit dalam gelombang besar kegelapan.
"Sekarang!" teriak Annabeth. "Pemanah!"
Dengan target yang jelas, para pemanah Apollo bisa menembak dengan
jitu. Sebagian besar dari mereka bisa menembakkan lima atau enam panah sekali
tembak. Dalam hitungan sekian menit, tanah dipenuhi bangkai merpati
berparuh-perunggu, dan yang masih bertahan hidup tinggal berupa sisa samar
asap di cakrawala. Perkemahan terselamatkan, tapi kerusakan yang diakibatkan lumayan
juga. Sebagian besar kereta tempur sudah hancur total. Hampir semua orang
terluka, berdarah dari patukan burung bertubi-tubi. Anak-anak dari kabin
Aphrodite menjerit-jerit karena tata rambut mereka telah dirusak dan pakaian
mereka koyak. "Bravo!" seru Tantalus, tapi dia tak menatap ke arahku atau Annabeth.
"Kita mendapatkan juara pertama kita!" Dia berjalan ke garis finis dan
menghadiahi mahkota daun dafnah emas untuk perlombaan ke Clarisse yang
tampak terkejut. Kemudian dia berbalik dan tersenyum ke arahku. "Dan sekarang untuk
menghukum para penyulut masalah yang telah mengganggu acara lomba."
Ak u M e ne r ima H a d i a h d a r i
O r a n g A si n g Menurut penglihatan versi Tantalus, burung-burung Stymphalian itu hanya
sibuk dengan urusan mereka sendiri di hutan dan tak akan menyerang kalau
saja Annabeth, Tyson, dan aku tak mengusik mereka dengan aksi mengendara
kereta yang buruk. Ini sangat tidak adil. Kukatakan pada Tantalus untuk pergi saja mengejar
donatnya, dan itu tak membantu mengubah suasana hatinya. Dia menghukum
kami dengan tugas patroli dapur"menggosok panci dan piring sepanjang sore
di dapur bawah tanah bersama para harpy pembersih. Para harpy mencuci
dengan menggunakan lahar bukannya air, untuk mendapatkan kilatan
tambahan sekaligus membasmi sembilan puluh sembilan koma sembilan persen
semua kuman yang ada, jadi Annabeth dan aku harus mengenakan celemek dan
sarung tangan asbes. Tyson tak menemui kesulitan. Dia langsung menjulurkan tangannya
memasuki lahar dan mulai menggosok, tapi Annabeth dan aku sendiri harus
berjuang menghabiskan waktu berjam-jam dalam hawa panas, dengan tugas
berbahaya, terutama karena ada berton-ton piring tambahan. Tantalus telah
memesan jamuan makan istimewa untuk merayakan kemenangan Clarisse
dalam lomba kereta tempur"dengan menu lengkap menampilkan bangkaiburung goreng Stymphalian.
Satu-satunya hal baik dari hukuman kami adalah bahwa hal itu memberi
Annabeth dan aku musuh bersama dan banyak waktu untuk bicara. Setelah
mendengarkan mimpiku lagi tentang Grover, dia kelihatan seperti hampir
memercayaiku. "Kalau dia benar-benar menemukannya," gumamnya, "dan kalau kita
bisa mengambilnya?" "Tunggu dulu," kataku. "Kau bertingkah seolah benda " benda apa pun
itu yang Grover temukan adalah satu-satunya benda di dunia yang bisa
menyelamatkan perkemahan. Apa sih benda itu?"
"Akan kuberi kau petunjuk. Apa yang kau dapatkan dari menguliti
domba jantan?" "Berantakan?" Dia mendesah. "Bulu domba. Dan kalau domba jantan itu kebetulan punya
bulu emas?" "Bulu Domba Emas. Apa kau serius?"
Annabeth membersihkan sepiring penuh tulang bangkai-bangkai burung
ke dalam lahar. "Percy, ingatkah kau pada Abu-Abu Bersaudari" Mereka bilang
mereka tahu lokasi dari benda yang kau cari. Dan mereka menyebut nama Jason.
Tiga ribu tahun lalu, mereka mengatakan pada-nya bagaimana cara menemukan
Bulu Domba Emas. Kau tentu ingat kisah Jason dan para Argonaut?"
"Yeah," kataku. "Film lama itu kan, dengan kerangka tulang dan tanah
liat." Annabeth memutar matanya. "Demi dewa-dewa, Percy! Kau betul-betul
payah." "Apa?" desakku.
"Dengar baik-baik. Kisah nyata tentang Bulu Domba itu: pada masa
dahulu ada dua anak Zeus, Cadmus dan Europa, oke" Mereka sedang akan
dijadikan sebagai persembahan bagi manusia, saat mereka berdoa pada Zeus
untuk menyelamatkan mereka. Maka Zeus mengirimkan domba terbang ajaib
berbulu emas, yang menjemput mereka di Yunani dan membawa mereka pergi
ke Colchis di Asia Minor. Yah, sebetulnya, domba itu cuma mengangkut
Cadmus. Europa terjatuh dan mati di jalan, tapi itu nggak penting."
"Itu mungkin penting bagi Europa."
"Intinya adalah, ketika Cadmus tiba di Colchis, dia mengorbankan domba
emas itu kepada para dewa dan menggantung Bulu Domba itu di sebuah pohon
di pusat kerajaan. Bulu Domba itu membawa kemakmuran bagi negeri. Hewanhewan nggak sakit lagi. Tanaman tumbuh lebih subur. Para petani mendapat
panen melimpah. Serangan hama nggak lagi datang. Itu sebabnya Jason
menginginkan Bulu Domba itu. Bulu Domba itu bisa memulihkan tanah mana
pun tempat ia diletakkan. Ia bisa menyembuhkan penyakit, menyuburkan alam,
membersihkan polusi?"
"Ia bisa menyembuhkan pohon Thalia."
Annabeth mengangguk. "Dan ia tentu akan menguatkan perbatasan
Perkemahan Blasteran. Tapi Percy, Bulu Domba itu telah menghilang selama
berabad-abad. Sudah banyak sekali pahlawan yang mencarinya tanpa hasil."
"Tapi Grover menemukannya," kataku. "Dia pergi mencari Pan dan dia
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
malah menemukan Bulu Domba itu karena keduanya memancarkan sihir. Itu
masuk akal, Annabeth. Kita bisa membebaskan Grover sekaligus menyelamatkan kemah di waktu bersamaan. Sempurna!"
Annabeth tampak ragu. "Bukankah rasanya sedikit terlalu sempurna"
Bagaimana kalau ini perangkap?"
Aku teringat musim panas lalu, bagaimana Kronos telah memanipulasi
misi kami. Dia hampir saja mengerjai kami untuk membantunya menyulut
perang yang akan menghancurkan Peradaban Barat.
"Pilihan apa yang kita punya?" tanyaku. "Apa kau mau membantuku
menolong Grover atau nggak?"
Dia memandang Tyson, yang kelihatan sudah kehilangan minat pada
perbincangan kami dan dengan senangnya membuat perahu mainan dari gelasgelas dan sendok-sendok di dalam lahar.
"Percy," ujar Annabeth dengan napas berat, "kita harus bertarung
melawan Cyclops. Polyphemus, Cyclops terburuk. Dan kemungkinan hanya ada
satu tempat di mana pulaunya berada. Laut Para Monster."
"Di mana itu?" Dia menatapku seolah berpikir aku sedang berpura-pura bego. "Laut Para
Monster. Laut yang sama yang diarungi Odysseus, dan Jason, dan Aeneas, dan
yang lainnya." "Maksudmu Laut Mediterania?"
"Bukan. Eh, iya " tapi bukan."
"Jawaban yang jitu. Makasih."
"Dengar, Percy, Laut Para Monster itu adalah laut yang diarungi semua
pahlawan pada petualangan mereka. Dulunya itu ada di Mediterania, benar.
Tapi sama seperti yang lainnya, lokasinya berpindah-pindah mengikuti
peralihan pusat kekuasaan Barat."
"Sama dengan Gunung Olympus yang berada di atas Empire State
Building," kataku. "Dan Hades yang berada tepat di bawah Los Angeles."
"Betul." "Tapi lautan penuh monster"bagaimana kau bisa menyembunyikan
sesuatu seperti itu" Memangnya manusia nggak akan menyadari hal-hal aneh
terjadi " seperti, kapal-kapal yang ditelan dan semacamnya?"
"Tentu saja mereka sadar. Mereka nggak mengerti, tapi mereka tahu ada
sesuatu yang aneh dari bagian laut itu. Laut Para Monster terletak di lepas
pantai timur Amerika Serikat sekarang, di arah timur laut Florida. Kaum
manusia bahkan punya nama untuknya."
"Segitiga Bermuda?"
"Tepat." Aku berusaha mencernanya. Kurasa itu nggak seaneh hal-hal lain yang
kupelajari sejak datang ke Perkemahan Blasteran. "Oke " jadi setidaknya kita
sudah tahu ke mana harus mencari."
"Itu masih area yang sangat luas, Percy. Mencari satu pulau kecil di lautan
penuh monster?" "Hei, aku putra Dewa Laut. Ini teritori rumahku. Seberapa sulit sih
pencarian ini?" Annabeth menautkan alisnya. "Kita harus bicara dulu dengan Tantalus,
meminta izin untuk menjalankan misi. Dia akan menolak."
"Tidak kalau kita mengatakan padanya malam ini di acara api unggun di
depan semua orang. Seluruh pekemah akan turut mendengar. Mereka akan
mendesaknya. Dia nggak bisa menolak."
"Mungkin." Sedikit harapan merayap ke dalam suara Annabeth. "Kita
harus segera menyelesaikan piring-piring ini. Tolong beri padaku semprotan
lahar itu." Malam itu di api unggun, kabin Apollo memimpin acara bernyanyi bersama.
Mereka mencoba mengangkat semangat semua orang, tapi hal itu tak mudah
setelah serangan burung sore itu. Kami semua duduk di sekitar tangga batu
setengah lingkaran, bernyanyi setengah hati dan menatap nyala api unggun
sementara anak-anak laki-laki Apollo memetik gitar dan lyre, alat musik Yunani
kuno yang berbentuk seperti harpa.
Kami melantunkan lagu-lagu standar perkemahan. "Mengarungi Laut
Aegea", "Aku adalah Kakek Buyutku Sendiri", "Tanah ini adalah Tanah Minos".
Api unggun itu memiliki sihir, jadi semakin keras kau menyanyi, semakin tinggi
nyala apinya, dengan warna dan panas berubah-ubah bergantung pada suasana
hati kerumunan itu. Pada malam yang baik, aku pernah melihat api itu berkobar
hingga enam meter, berwarna ungu terang, dan sangat panas sampai-sampai
marshmallow barisan depan hangus terbakar. Malam ini, apinya hanya setinggi
satu setengah meter, hangat saja tidak, dan lidah apinya sepucat perban.
Dionysus pergi lebih awal. Setelah menahan siksaan mendengarkan
beberapa lagu, dia menggumamkan sesuatu tentang bagaimana permainan
pinochle dengan Chiron saja lebih menyenangkan daripada ini. Lalu dia
memberi tatapan muak pada Tantalus dan berjalan pulang ke Rumah Besar.
Ketika lagu terakhir usai, Tantalus berkata, "Yah, tadi sungguh indah
sekali!" Dia maju dengan marshmallow panggang dalam tusukan dan mencoba
mencomotnya, dengan gaya santai. Tapi sebelum dia bisa menyentuhnya,
marshmallow meluncur dari tusukan. Tantalus langsung menyambarnya, tapi si
marshmallow mamilih bunuh diri, mencemplungkan diri ke kobaran api.
Tantalus berbalik kembali menghadap kami, tersenyum dingin. "Nah
sekarang! Beberapa pengumuman tentang jadwal besok."
"Pak," kataku. Mata Tantalus berkedut-kedut. "Bocah dapur kita ingin mengatakan
sesuatu?" Beberapa pekemah Ares mendengus, tapi aku tak akan membiarkan siapa
pun mempermalukanku hingga aku jadi tutup mulut. Aku berdiri dan menatap
Annabeth. Terpujilah dewa-dewa, dia berdiri bersamaku.
Aku berkata, "Kamu punya ide untuk menyelamatkan perkemahan."
Keheningan total, tapi aku tahu aku telah mendapat perhatian semua
orang, karena api unggun itu menyala dengan warna kuning terang.
"Tentu," ujar Tantalus datar. "Yah, kalau ini ada hubungannya dengan
kereta tempur?" "Bulu Domba Emas," kataku. "Kami tahu di mana ia berada."
Nyala api berubah jingga. Sebelum Tantalus bisa menghentikanku, aku
menyebutkan masalah mimpiku tentang Grover dan pulau Polyphemus.
Annabeth menyela dan mengingatkan pada semua orang akan kegunaan dari
Bulu Domba itu. Kedengarannya lebih meyakinkan kalau dia yang bicara.
"Bulu Domba Emas ini bisa menyelamatkan perkemahan," simpulnya.
"Aku yakin akan hal itu."
"Omong kosong," kata Tantalus. "Kita tak butuh penyelamatan."
Semua orang menatapnya sampai Tantalus merasa rikuh.
"Lagi pula," tambahnya cepat, "Laut Para Monster" Itu sama sekali bukan
nama satu lokasi. Kau bahkan tak akan tahu di mana harus mencari."
"Ya, aku akan tahu," kataku.
Annabeth mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berbisik, "Benar kau
akan tahu?" Aku mengangguk, karena Annabeth telah menyentak sesuatu di
memoriku saat dia mengingatkanku tentang perjalanan taksi kami bersama
Abu-Abu Bersaudari. Pada waktu itu, informasi yang mereka berikan padaku
terdengar nggak masuk akal. Tapi sekarang "
"30, 31, 75, 12." kataku.
"Ooo-ke deh," seru Tantalus. "Terima kasih sudah membagi nomornomor tak berarti itu."
"Itu angka-angka koordinat pelayaran," kataku. "Garis bujur dan garis
lintang. Aku, eh, belajar tentang itu di mata pelajaran ilmu sosial."
Bahkan Annabeth tampak terkesan. "30 derajat, 31 menit lintang utara, 75
derajat, 12 menit bujur barat. Dia benar! Abu-Abu Bersaudari memberi kami
koordinat itu. Itu akan berada di suatu tempat di Samudra Atlantik, di lepas
pesisir Florida. Laut Para Monster. Kami perlu sebuah misi!"
"Tunggu sebentar," kata Tantalus.
Tapi para pekemah lain mengikuti seruan itu. "Kami perlu misi! Kami
perlu misi!" Lidah api menjulang makin tinggi.
"Itu tidak perlu!" desak Tantalus.
"KAMI PERLU MISI! KAMI PERLU MISI!"
"Baiklah!" teriak Tantalus, matanya terbakar dengan kemarahan. "Kalian
anak-anak nakal ingin aku menugaskan misi?"
"YA!" "Baiklah kalau begitu," dia menyetujui. "Aku akan menugaskan seorang
juara untuk mengarungi perjalanan berbahaya ini, untuk mengambil Bulu
Domba Emas dan mengembalikannya ke perkemahan. Atau mati dalam
tugasnya." Hatiku penuh dengan semangat. Aku tak akan membiarkan Tantalus
menakut-nakutiku. Inilah yang harus kulakukan. Aku akan menyelamatkan
Grover dan perkemahan. Tak ada yang bisa menghentikanku.
"Aku akan mengizinkan juara kita berkonsultasi dengan sang Oracle!"
Tantalus mengumumkan. "Dan memilih dua pendamping untuk menemani
perjalanan. Dan kurasa pilihan akan juara itu sudah jelas."
Tantalus memandang Annabeth dan aku seolah ingin menguliti kami
hidup-hidup. "Sang juara adalah orang yang telah mendapatkan rasa hormat
dari para pekemah, yang telah terbukti cerdik dalam perlombaan kereta tempur
dan begitu berani dalam mempertahankan keselamatan kemah. Kau akan
memimpin misi ini " Clarisse!"
Api berdenyar-denyar dengan ribuan warna berbeda. Penghuni kabin
Ares mulai mengentak-entakkan kaki dan bersorak, "CLARISSE! CLARISSE!"
Clarisse berdiri, tampak terkejut. Lalu dia menelan ludah, dan dadanya
membusung bangga. "Aku terima misi ini!"
"Tunggu!" teriakku. "Grover adalah temanku. Mimpi itu datang pada
aku." "Duduklah!" teriak salah seorang pekemah Ares. "Kau sudah mendapat
kesempatanmu musim panas lalu!"
"Yeah, dia cuma ingin mendapat sorotan lagi!" seru yang lainnya.
Clarisse melotot padaku. "Aku terima misi ini!" ulangnya lagi. "Aku,
Clarisse, putri Ares, akan menyelamatkan perkemahan!"
Pekemah Ares bersorak makin riuh. Annabeth memprotes, dan para
pekemah Athena lainnya mengikuti. Para pekemah dari kabin lain mulai
memihak"berteriak dan bertengkar dan saling melempar marshmallow. Kukira
akan segera meletus perang s'more hingga Tantalus berteriak, "Diam, kalian
anak-anak nakal!" Suaranya bahkan membuatku terkesiap.
"Duduk!" perintahnya. "Dan aku akan ceritakan pada kalian kisah
hantu." Aku tak tahu apa rencananya, tapi kami semua bergerak dengan enggan
kembali ke tempat duduk kami. Aura kejahatan yang memancar dari Tantalus
sama kuatnya seperti yang biasa dimiliki para monster yang pernah kutemui.
"Pada suatu masa ada raja manusia yang merupakan kesayangan para
dewa!" Tantalus meletakkan tangannya di dada, dan aku mendapat firasat dia
sedang membicarakan tentang dirinya sendiri.
"Raja ini," katanya, "bahkan diizinkan untuk menikmati perjamuan di
Gunung Olympus. Tapi ketika dia hendak mengambil sedikit ambrosia dan
nektar untuk dibawa kembali ke bumi untuk mencari tahu resepnya"hanya
sekantung kecil porsi makanan anjing"para dewa menghukumnya. Mereka
melarangnya kembali memasuki tempat mereka selama-lamanya! Rakyatnya
sendiri mengejeknya! Anak-anaknya mengasarinya! Dan, oh ya, pekemah, sang
raja memiliki anak-anak yang mengerikan. Anak-anak"persis"seperti"
kalian!" Dia menunjuk jemari bengkoknya pada beberapa orang yang menonton,
termasuk aku. "Tahukah kau apa yang dia lakukan terhadap anak-anaknya yang tak
bersyukur itu?" Tantalus bertanya dengan lembut. "Tahukah kalian bagaimana
dia membalas para dewa atas hukuman keji mereka" Dia mengundang bangsa
Olympia untuk perjamuan di istananya, hanya sekadar untuk menunjukkan
bahwa tak ada masalah lagi di antara mereka. Tak ada yang memerhatikan kalau
anak-anaknya menghilang. Dan saat sang raja menyuguhkan para dewa makan
malam, pekemahku yang baik, bisakah kalian tebak apa yang ada dalam sup
mereka?" Tak ada yang berani menjawab. Pijar api bersinar biru gelap,
memantulkan aura jahat pada wajah licik Tantalus.
"Oh, para dewa menghukumnya di akhirat," Tantalus bicara dengan
suara parau. "Mereka jelas menghukumnya. Tapi dia telah memperoleh momen
kepuasan tersendiri baginya, bukan" Anak-anaknya tak pernah lagi menyanggah perkataannya atau membantah perintahnya. Dan tahukah kalian"
Menurut rumor yang beredar, arwah raja itu sekarang menetap tepat di
perkemahan ini, menanti datangnya kesempatan untuk melancarkan pembalasan terhadap anak-anak yang tak bersyukur dan suka membangkang.
Dan sekarang " apakah ada keluhan lagi, sebelum kita mengirim Clarisse
menjalankan misinya?"
Hening. Tantalus mengangguk ke Clarisse. "Sang Oracle, Nak. Pergilah."
Clarisse bergerak gelisah, seolah bahkan dia sendiri tak menginginkan
kegemilangan jika harus menjadi murid kesayangan Tantalus. "Pak?"
"Pergi!" bentaknya.
Dia membungkuk dengan kikuk dan berlari cepat menuju Rumah Besar.
"Bagaimana denganmu, Percy Jackson?" tanya Tantalus. "Tak ada
komentar dari pencuci piring kita?"
Aku tak mengatakan apa pun. Aku tak akan memberikannya kepuasan
untuk menghukumku lagi. "Bagus," ujar Tantalus. "Dan biarkan aku mengingatkan kalian semua"
tak ada seorang pun yang boleh meninggalkan kemah tanpa seizinku. Siapa pun
yang mencoba " yah, jika mereka berhasil keluar, mereka akan dikeluarkan
untuk selamanya, tapi tidak sampai di situ saja. Para harpy akan menegakkan
jam malam mulai dari sekarang, dan mereka selalu lapar! Selamat malam,
pekemah. Tidurlah yang nyenyak."
Dengan kibasan tangan Tantalus, api unggun pun padam, dan para
pekemah melangkah gontai menuju kabin mereka dalam kegelapan.
Aku tak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Tyson. Dia tahu aku sedih. Dia
tahu aku ingin pergi melakukan perjalanan dan Tantalus tak mengizinkannya.
"Kamu akan tetap pergi?" tanyanya.
"Aku nggak tahu," aku mengakui. "Akan sulit. Sangat sulit."
"Aku akan Bantu."
"Jangan. Aku"eh, aku nggak bisa memintamu untuk melakukan itu,
Jagoan. Terlalu berbahaya."
Tyson menatap ke bawah memandangi potongan-potongan logam yang dia
kumpulkan dalam pangkuannya"per dan roda gigi dan kawat-kawat kecil.
Beckendorf telah memberinya beberapa peralatan dan suku cadang, dan kini
Tyson menghabiskan tiap malamnya mengutak-atik alat-alat itu, meski aku tak
mengerti bagaimana tangan besarnya bisa memegang potongan-potongan kecil
dan rapuh itu. "Apa yang kau buat?" tanyaku.
Tyson nggak menjawab. Alih-alih dia membuat suara merengek di balik
tenggorokannya. "Annabeth nggak suka Cyclops. Kamu " nggak pengin aku
ikut?" "Oh, bukan itu," kataku dengan ragu. "Annabeth menyukaimu kok.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh." Air mata menggenangi sudut matanya.
Aku ingat bahwa Grover, seperti para satir lainnya, dapat membaca emosi
manusia. Aku penasaran apakah Cyclops juga memiliki kemampuan yang sama.
Tyson membungkus proyek pernak-pernik logamnya dalam taplak meja. Dia
berbaring di ranjangnya sambil mendekap bundelan itu seperti boneka beruang.
Saat dia berbalik menghadap tembok, aku bisa melihat bekas luka yang aneh di
punggungnya, seolah seseorang pernah membajaki tubuhnya dengan traktor.
Aku bertanya-tanya untuk kesejuta kalinya bagaimana dia bisa mendapat luka
itu. "Ayah selalu memerhatikan a-aku," isaknya. "Sekarang " aku rasa dia
marah karena memiliki anak Cyclops. Aku nggak seharusnya lahir."
"Jangan bicara seperti itu! Poseidon mengakuimu, kan" Jadi " dia pasti
peduli padamu " sangat peduli ". "
Suaraku menghilang saat aku memikirkan bagaimana selama bertahuntahun Tyson menghabiskan hidupnya di jalanan kota New York dalam kardus
bekas lemari es. Bagaimana Tyson bisa berpikir bahwa Poseidon selama ini
peduli padanya" Ayah macam apa yang akan membiarkan hal itu terjadi pada
anaknya, meski anaknya adalah seorang monster"
"Tyson " perkemahan ini akan jadi rumah yang baik untukmu. Anakanak lain akan terbiasa denganmu. Aku janji."
Tyson mengembuskan napas. Aku menantinya mengucapkan sesuatu.
Kemudian aku tersadar dia sudah tertidur.
Aku berbaring di ranjangku dan berusaha menutup mataku, tapi aku tak
bisa. Aku takut aku akan bermimpi lagi tentang Grover. Kalau sambungan
empati itu sungguh nyata " kalau sesuatu terjadi pada Grover " apakah aku
akan terbangun lagi"
Bulan purnama memantulkan cahayanya ke jendelaku. Suara debur
ombak bergemuruh di kejauhan. Aku bisa menghirup bau akrab ladang stroberi,
dan mendengar tawa para peri pohon saat mereka mengejar burung hantu yang
melintasi hutan. Tapi ada sesuatu yang terasa salah pada malam itu"sakit yang
diderita pohon Thalia, telah menyebar ke seluruh lembah.
Bisakah Clarisse menyelamatkan Bukit Blasteran" Aku merasa kemungkinannya tak lebih baik dari kesempatanku mendapatkan penghargaan
"Pekemah Terbaik" dari Tantalus.
Aku keluar dari tempat tidur dan mengambil baju luarku. Aku
mengambil selimut pantai dan satu pak berisi enam kaleng Coke dari bawah
ranjangku. Coke sebenarnya melanggar peraturan. Tak ada camilan atau
minuman luar yang diperbolehkan, tapi kalau kau bicara pada orang yang tepat
di kabin Hermes dan membayarnya beberapa keping emas drachma, dia dapat
menyelundupkan hampir semua jenis barang dari toko kelontong terdekat.
Mengendap keluar melewati jam malam juga melanggar peraturan. Kalau
aku tertangkap, entah aku akan mendapat masalah besar atau dimakan para
harpy. Tapi aku ingin sekali melihat laut. Aku selalu merasa lebih tenang saat
berada di sana. Pikiranku lebih jernih. Kutinggalkan kabin dan pergi menuju
pantai. Kutebarkan selimutku dekat ombak dan membuka satu kaleng Coke. Entah
kenapa gula dan kafein selalu menenangkan otak hiperaktifku. Aku berusaha
memutuskan apa yang mesti kulakukan untuk menyelamatkan perkemahan,
tapi tak ada ide yang datang. Andai Poseidon bicara padaku, memberiku nasihat
atau semacamnya. Langit jernih dan berbintang. Aku sedang mengamati rasi bintang yang
diajarkan Annabeth padaku"Sagitarius, Hercules, Corona Borealis"saat
seseorang berkata, "Indah, ya?"
Aku hampir saja menyemburkan sodaku.
Berdiri di sebelahku, seorang pria dengan celana pendek lari nilon dan
kaus New York City Marathon. Tubuhnya langsing dan fit, dengan rambut
putih-kelabu dan senyum jahil. Dia tampak familier, tapi aku tak tahu kenapa.
Pikiran pertamaku adalah pria ini pasti habis berjoging di tengah malam
menyusuri pantai dan kesasar ke dalam perbatasan kemah. Itu tidak semestinya
terjadi. Manusia biasa tak bisa memasuki lembah. Tapi barangkali dengan sihir
pohon yang melemah, dia entah bagaimana bisa masuk. Tapi di tengah malam
begini" Dan tak ada apa pun di sekitar perkemahan kecuali lahan pertanian dan
tanah kosong milik negara. Habis joging di mana sih pria ini"
"Boleh aku bergabung denganmu?" tanyanya. "Sudah lama sekali aku
tidak duduk." Sekarang, aku tahu sudah"pria sinting di tengah malam. Akal sehat: Aku
mestinya lari, berteriak minta tolong, dll. Tapi pria ini bertingkah begitu santai
jadi susah buatku untuk merasa takut.
Aku berkata, "Eh, tentu."
Dia tersenyum. "Keramahanmu adalah nilai plus buatmu. Oh, dan CocaCola! Bolehkah?"
Dia duduk di ujung lain selimut, membuka kaleng soda dan
menenggaknya. "Ah " tepat ke sasaran. Damai dan tenang di?"
Ponsel berbunyi di sakunya.
Si pelari itu mendesah. Dia menarik keluar teleponnya dan mataku
membelalak, karena teleponnya itu bersinar dengan cahaya biru. Saat dia
memanjangkan antenanya, dua makhluk mulai menggeliat mengitarinya"ularular hijau, tak lebih besar dari cacing tanah.
Pelari itu sepertinya tak memerhatikan. Dia mengecek layar LCD-nya dan
mengumpat. "Aku harus terima ini. Tunggu sebentar " " Kemudian bicara ke
teleponnya: "Halo?"
Dia mendengarkan. Ular-ular mini menggeliat naik-turun antena tepat di
telinganya. "Iya," ujar pelari. "Dengar"aku tahu, tapi " Aku tak peduli kalaupun
dia dirantai ke batu dengan burung predator mematuk hatinya, kalau dia tak
punya nomor bukti pengiriman, kita tak bisa menemukan paketnya " Hadiah
untuk umat manusia, hebat " Kau tahu berapa banyak barang semacam itu
yang kami antar"Oh, lupakan saja. Dengar, suruh dia ke Eris di layanan
konsumen. Aku harus pergi."
Dia menutup telepon. "Maaf. Bisnis pengantaran ekspres larut malam
sedang menjamur. Sekarang, seperti yang kukatakan tadi?"
"Ada ular-ular di teleponmu."
"Apa" Oh, mereka tidak menggigit, kok. Bilang halo, George dan
Martha." Halo, George dan Martha, suara parau pria terdengar dalam kepalaku.
Jangan sarkastis gitu, kata suara wanita.
Memangnya kenapa" tuntut George. Toh aku yang mengerjakan semua
pekerjaan betulan. "Oh, jangan membahas itu lagi deh!" Pelari itu menyelipkan kembali
telepon genggamnya ke dalam sakunya. "Nah, sampai di mana kita tadi " Ah,
ya. Damai dan tenang."
Dia menyilangkan kakinya dan memandang ke bintang-bintang. "Sudah
lama sejak aku bisa begini rileks. Semenjak adanya telegram"lari, lari, lari. Apa
kau punya rasi bintang favorit, Percy?"
Aku masih penasaran dengan ular-ular hijau kecil yang dia masukkan
dalam celana jogingnya, tapi aku berkata, "Eh, aku suka Hercules."
"Kenapa?" "Yah " karena nasibnya apes banget. Bahkan lebih buruk daripada aku.
Itu bikin aku merasa lebih baik."
Pelari itu terkekeh. "Bukan karena dia tuh kuat atau terkenal dan
semacamnya?" "Bukan." "Kau pemuda yang menarik. Jadi, sekarang bagaimana?"
Aku langsung tahu apa maksud pertanyaannya. Apa yang akan
kulakukan terhadap Bulu Domba itu"
Sebelum aku sempat menjawab, suara Martha si ular yang teredam
terdengar dari dalam sakunya: Ada Demeter di jalur dua.
"Tidak sekarang," ucap pelari. "Bilang saja padanya untuk tinggalkan
pesan." Dia nggak akan suka itu. Terakhir kalinya kau mengabaikannya, semua bunga di
divisi pengantaran bunga layu.
"Bilang saja padanya aku sedang ada pertemuan!" Pelari itu memutar
matanya. "Maaf sekali lagi, Percy. Tadi kau bilang " "
"Eh " siapa kau, sebenarnya?"
"Apa kau belum bisa menebak sampai sekarang, bocah pandai
sepertimu?" Tunjukkan padanya! Martha memohon. Sudah berbulan-bulan aku nggak
menggunakan ukuran tubuhku sebenarnya.
Jangan dengarkan dia! kata George. Dia Cuma mau pamer!
Pria itu mengeluarkan ponselnya lagi. "Tolong bentuk asli."
Telepon itu bersinar dengan warna biru terang. Ia memanjang menjadi
tongkat kayu sepanjang satu meter dengan sayap merpati mencuat di atasnya.
George dan Martha, sekarang seukuran ular hijau normal, saling bergelung di
tengah. Itu adalah caduceus, simbol Kabin Sebelas.
Tenggorokanku tercekat. Baru kusadari pelari ini mengingatkanku pada
siapa dengan tampilan menyerupai peri, sinar jahil di matanya ".
"Kau ayah Luke," kataku. "Hermes."
Sang dewa mengerutkan bibirnya. Dia menancapkan caduceusnya di
pasir seperti gagang payung. ?"Ayah Luke." Biasanya sih, itu bukan kesan
pertama orang mengenaliku. Dewa pencuri, ya. Dewa Pengantar Pesan dan
Pengembara, kalau mereka mau lebih sopan."
Dewa Pencuri lebih cocok, timpal George.
Oh, jangan pedulikan George. Martha menjulurkan lidahnya padaku. Dia
cuma sinis karena Hermes lebih menyukaiku.
Dia nggak lebih menyukaimu!
Memang iya kok! "Sopanlah, kalian berdua," Hermes memperingatkan, "atau aku akan
mengubah kalian kembali dalam bentuk ponsel dan memasang kalian dalam
nada getar! Sekarang, Percy, kau masih belum menjawab pertanyaanku. Apa
yang hendak kau lakukan mengenai misi ini?"
"Aku"aku nggak punya izin untuk pergi."
"Memang jelas tidak. Apakah itu akan menghentikanmu?"
"Aku ingin pergi. Aku harus menyelamatkan Grover."
Hermes tersenyum. "Dulu aku pernah kenal dengan seorang bocah " oh,
jauh lebih muda darimu. Masih sangat kecil sekali, bahkan."
Mulai lagi deh, kata George. Selalu bicara tentang dirinya sendiri.
Tutup mulut! gertak Martha. Apa kau mau dipasang dengan nada getar"
Hermes tak mengacuhkan mereka. "Suatu malam, saat ibu anak laki-laki
ini tidak melihat, dia mengendap keluar dari gua mereka dan mencuri beberapa
hewan ternak kepunyaan Apollo."
"Apa dia kemudian diledakkan jadi serpihan-serpihan kecil?" tanyaku.
"Hmm " tidak. Sebenarnya, segalanya berakhir dengan cukup baik.
Untuk menebus kesalahan mencurinya, bocah itu memberikan pada Apollo
sebuah instrumen yang dia ciptakan"sebuah lyre. Apollo sangat terkesan
dengan musik itu hingga dia melupakan segala amarahnya."
"Jadi apa inti pesan dari cerita itu?"
"Inti pesan?" tanya Hermes. "Ya ampun, kau bersikap seolah cerita itu
hanya dongeng belaka. Ini kisah nyata. Apakah kenyataan memiliki inti pesan?"
"Em " " "Bagaimana dengan ini: mencuri tak selalu buruk?"
"Kurasa ibuku nggak akan suka dengan pesan itu."
Tikus tuh lezat, saran George.
Apa hubungannya itu dengan ceritanya" desak Martha.
Nggak ada, kata George. Tapi aku lapar.
"Aku tahu," kata Hermes. "Anak muda tak selalu mengikuti apa yang
diperintahkan, tapi kalau mereka bisa mengakalinya dan melakukan sesuatu
yang cerdik, kadang-kadang mereka bisa terbebas dari hukuman. Bagaimana
dengan itu?" "Menurutmu aku mestinya tetap pergi," kataku, "bahkan tanpa adanya
izin." Mata Hermes berbinar. "Martha, boleh kuambil paket pertamanya?"
Martha membuka mulutnya " dan terus menganga hingga mulutnya
seluas lenganku. Dengan bersendawa, ia memuntahkan kaleng baja"sebuah
termos perlengkapan makan kuno dengan tutup plastik hitam. Sisi termos itu
dilapisi dengan gambar-gambar peristiwa zaman Yunani Kuno berwarna merah
dan kuning"pahlawan membunuh singa; pahlawan mengangkat Cerberus,
anjing berkepala tiga. "Itu Hercules," kataku. "Tapi bagaimana?"
"Jangan pernah tanyakan pemberian," ujar Hermes. "Ini adalah koleksi
terbatas dari Hercules Mengganyang Musuh. Seri pertama."
"Hercules Mengganyang Musuh?"
"Acara yang keren." Hermes mendesah. "Jauh sebelum TV, Hephaestus
hanya menyiarkan program acara realita. Tentu saja, termos itu akan jauh lebih
berharga kalau aku punya satu set perlengkapan makannya?"
Atau kalau termos itu nggak disimpan di mulut Martha selama ini, tambah
George. Aku akan membalasmu untuk itu. Martha mulai mengejarnya mengitari
caduceus. "Tunggu sebentar," ujarku. "Ini pemberian?"
"Satu dari dua," kata Hermes. "Ayo, ambil."
Aku hampir menjatuhkannya karena termos itu dingin membeku di satu
sisi dan panas membakar di sisi lain. Anehnya adalah, saat aku memutar
termosnya, sisi yang menghadap laut"utara"selalu jadi sisi yang dingin "
"Ini kompas!" seruku.
Hermes tampak terkejut. "Pintar sekali. Itu tak pernah terpikir olehku.
Tapi fungsi sebenarnya sedikit lebih dramatis dari itu. Buka tutupnya, dan kau
akan melepaskan angin dari empat sudut bumi untuk mempercepatmu dalam
perjalanan. Jangan sekarang! Dan tolong, bila waktunya tepat, cukup buka
tutupnya sedikit. Angin itu sedikit mirip diriku"selalu tak terduga. Kalau
empat-empatnya terlepas bersamaan " ah, tapi aku yakin kau akan berhati-hati.
Dan sekarang pemberian keduaku. George?"
Dia menyentuhku, George mengeluh saat dia dan Martha menggeliat di
seputar tongkat. "Dia memang selalu menyentuhmu," kata Hermes. "Kalian kan saling
bertaut. Dan kalau kalian tak hentikan itu, kalian akan terikat simpul lagi!"
Ular-ular itu berhenti bergumul.
George membuka tutup katupnya dan dengan batuk, memuntahkan
sebuah botol plastik kecil berisi vitamin kunyah.
"Kau bercanda," seruku. "Bentuknya Minotaurus, ya?"
Hermes memungut botol itu dan menggoyangkannya. "Yang rasa lemon,
iya. Yang rasa anggur berbentuk Erinyes, sepertinya sih. Atau apakah lebih
menyerupai hydra" Apa pun itu, vitamin-vitamin ini amat ampuh. Jangan telan
satu, kecuali kau benar-benar memerlukannya."
"Bagaimana aku tahu kapan aku benar-benar memerlukannya?"
"Kau akan tahu, percayalah padaku. Sembilan vitamin penting, mineral,
dan asam amino " oh, pokoknya apa pun yang kaubutuhkan untuk segar
kembali." Dia melempar botol itu padaku.
"Em, makasih," kataku. "Tapi Tuan Hermes, kenapa Anda membantuku?" Dia memberiku senyum sendunya. "Barangkali karena aku berharap kau
akan menyelamatkan banyak orang dalam misi ini, Percy. Bukan hanya
temanmu Grover." Aku menatapnya. "Kau nggak bermaksud " Luke?"
Hermes tak menjawab. "Dengar," kataku. "Tuan Hermes, maksudku, terima kasih dan segalanya,
tapi lebih baik kau ambil kembali semua pemberianmu ini. Luke nggak bisa
diselamatkan. Bahkan kalau aku bisa menemukannya pun " dia bilang padaku
bahwa dia ingin meruntuhkan Olympus batu demi batu. Dia telah mengkhianati
semua orang yang dia kenal. Dia"dia sangat benci padamu."
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hermes mendongak menatap taburan bintang. "Sepupu kecilku, jika ada
satu hal yang kupelajari sekian ratus tahun ini, itu adalah bahwa kau tak bisa
menyerah begitu saja menghadapi anggota keluargamu, betapa pun buruknya
tingkah mereka. Tak masalah kalau mereka membencimu, atau mempermalukanmu, atau sekadar tak menghargai idemu menciptakan Internet
?" "Kau menciptakan Internet?"
Itu adalah ideku, kata Martha.
Tikus tuh lezat, kata George.
"Itu adalah ide-ku!" ujar Hermes. "Maksudku tentang Internet, bukan
tikus. Tapi bukan itu maksudku. Percy, mengertikah kau dengan apa yang
kumaksud dengan keluarga?"
"A"aku nggak yakin."
"Kau akan tahu sendiri suatu saat nanti." Hermes bangkit dan
mengibaskan pasir dari kakinya. "Sementara itu, aku harus pergi."
Ada enam puluh panggilan yang harus kau balas, kata Martha.
Dan seribu tiga puluh delapan surat-elektronik, tambah George. Belum
termasuk penawaran online untuk potongan harga ambrosia.
"Dan kau, Percy," kata Hermes, "punya tenggat waktu lebih singkat
daripada yang kau sadari untuk menuntaskan misimu. Teman-temanmu akan
datang kira-kira " sekarang."
Aku mendengar suara Annabeth memanggil-manggil namaku dari bukit
pasir. Tyson, juga, memanggilku dari jarak sedikit lebih jauh.
"Kuharap aku telah mempersiapkan perlengkapanmu dengan baik," ujar
Hermes. "Aku punya sedikit pengalaman dengan perjalanan."
Dia menjentikkan jarinya dan tiga buah tas ransel kemah warna kuning
muncul di kakiku. "Kedap air, tentu saja. Kalau kau meminta dengan sopan,
ayahmu tentu akan bisa membantumu menuju kapal."
"Kapal?" Hermes menunjuk. Benar saja, sebuah kapal pesiar besar sedang
membelah Selat Long Island, lampu-lampu putih dan emasnya bersinar
mencolok di lautan gelap.
"Tunggu," seruku. "Aku nggak mengerti sama sekali dengan ini. Aku
bahkan belum menyetujui untuk pergi!"
"Aku akan memutuskan sikapku dalam waktu lima menit, kalau aku jadi
kau," saran Hermes. "Itulah saat para harpy akan datang melahapmu. Sekarang,
selamat malam, Sepupu, dan bolehkah aku mengatakannya" Semoga para dewa
menyertaimu." Dia membuka kepalan tangannya dan caduceus terbang menghinggapinya. Semoga berhasil, Martha memberitahuku.
Bawakan aku tikus yah, kata George.
Caduceus itu berubah ke dalam bentuk telepon genggam dan Hermes
menyelipkannya ke dalam sakunya.
Dia berjoging kembali menyusuri pantai. Dua puluh langkah ke depan,
dia bersinar dan menghilang ditelan udara, meninggalkanku sendiri dengan
sebuah termos, satu botol vitamin kunyah, dan lima menit untuk mengambil
keputusan yang tak masuk akal.
K ami M e n a i ki P u t r i A n d r o me da
Aku sedang menatap laut saat Annabeth dan Tyson menemukanku.
"Apa yang terjadi?" tanya Annabeth. "Aku dengar kau teriak-teriak minta
tolong!" "Aku, juga!" kata Tyson. "Dengar kau teriak, "Hal-hal buruk sedang
menyerang!?" "Aku nggak memanggil kalian," kataku. "Aku baik-baik saja."
"Kalau begitu siapa " " Perhatian Annabeth tiba-tiba terpaku pada tiga
tas ransel warna kuning, kemudian termos dan botol vitamin yang kugenggam.
"Apa?" "Dengar," kataku. "Kita nggak punya banyak waktu."
Aku memberi tahu mereka tentang percakapanku dengan Hermes. Pada
saat aku selesai bicara, aku bisa mendengar suara lengkingan nyaring di
kejauhan"para patroli harpy telah mengendus bau kami.
"Percy," kata Annabeth, "kita harus melaksanakan misi ini."
"Kita akan dikeluarkan, kautahu. Percaya deh padaku, aku nih pakarnya
dikeluarkan." "Lalu" Kalau kita gagal, nggak akan ada perkemahan lagi sebagai tempat
kembali." "Benar, tapi kau sudah berjanji pada Chiron?"
"Aku berjanji aku akan menjagamu dari bahaya. Aku hanya dapat
melakukannya dengan ikut pergi bersamamu! Tyson bisa tinggal di sini dan
bilang pada mereka?"
"Aku mau pergi," ujar Tyson.
"Jangan!" Suara Annabeth terdengar seperti panik. "Maksudku " Percy,
ayolah. Kau tahu itu nggak masuk akal."
Aku kembali tak habis pikir mengapa Annabeth begitu menyimpan benci
pada Cyclops. Ada sesuatu yang tidak dia katakan padaku.
Dia dan Tyson memandangku bersamaan, menanti jawaban. Sementara,
kapal pesiar tampak makin menjauh.
Sebenarnya, setengah bagian diriku tidak menginginkan Tyson ikut. Aku
telah menghabiskan tiga hari terakhir tidak lepas dari sisinya, mendapat ejekan
dari pekemah lain dan dipermalukan jutaan kali tiap harinya, terus-terusan
diingatkan bahwa aku sedarah dengannya. Aku butuh sedikit kebebasan.
Lagi pula, aku nggak tahu seberapa besar dia bisa membantu, atau
seberapa sulit aku harus menjaganya. Jelas, dia kuat, tapi Tyson hanyalah anak
kecil dalam artian Cyclops, barangkali sama seperti anak usia tujuh atau delapan
tahun, secara mental. Aku bisa melihatnya ketakutan dan mulai menangis saat
kami berusaha mengendap-endap melewati monster atau semacamnya. Dia
akan membuat kami semua terbunuh.
Di sisi lain, suara para harpy itu semakin mendekat "
"Kita nggak bisa meninggalkannya," aku memutuskan. "Tantalus akan
menghukumnya atas kepergian kita."
"Percy," kata Annabeth, berusaha tetap terdengar tenang, "kita akan pergi
ke pulau Polyphemus! Polyphemus adalah tempat S-i-k " tempat C-y-k " "
Annabeth mengentak-entakkan kakinya dalam frustasi. Seberapa pun pandainya
dia, Annabeth juga seorang pengidap disleksia. Kita bisa berada semalaman di
sana menunggunya selesai mengeja kata Cyclops. "Kau tahu maksudku!"
"Tyson boleh ikut," desakku, "kalau dia memang mau."
Tyson menepuk tangannya. "Memang mau!"
Annabeth memberiku tatapan galaknya, tapi kurasa dia sendiri tahu aku
tak akan mengubah pikiranku. Atau mungkin dia hanya sadar bahwa kami tak
punya waktu untuk berdebat.
"Baiklah," katanya. "Bagaimana kita bisa sampai ke kapal itu?"
"Hermes bilang ayahku akan membantu."
"Baiklah kalau gitu, Otak Ganggang" Apa lagi yang kau tunggu?"
Aku selalu kesulitan untuk memanggil ayahku, atau memanjatkan
permohonan, atau apa pun sebutannya, tapi aku berjalan memasuki ombak.
"Em, Ayah?" aku memanggil. "Bagaimana kabarmu?"
"Percy!" bisik Annabeth. "Kita buru-buru!"
"Kami butuh bantuanmu," aku memanggil dengan lebih kencang. "Kami
harus tiba di kapal itu, Yah, sebelum kami dimakan dan semacamnya, jadi " "
Awalnya, tak ada apa pun yang terjadi. Ombak menggulung ke tepi
pantai seperti biasa. Para harpy terdengar seperti mereka tepat berada di balik
bukit pasir. Kemudian, sekitar seratus meter di laut lepas, tiga garis putih
muncul di permukaan. Mereka bergerak cepat menuju bibir pantai, seperti cakar
merobek laut. Saat mereka mendekati pantai, ombak itu membelah terbuka dan kepala
tiga kuda putih jantan muncul dari balik gulungan ombak.
Tyson menahan napasnya. "Kuda poni ikan!"
Dia benar. Saat makhluk-makhluk itu membawa diri mereka ke pantai,
aku bisa melihat bahwa mereka hanya tampak bagai kuda dari depan; separuh
tubuh bagian belakang mereka berupa ikan perak, dengan sisik bercahaya dan
sirip ekor serupa pelangi.
"Hippocampus!" seru Annabeth. "Mereka sungguh indah."
Kuda terdekat meringkik tersanjung dan menyodok Annabeth dengan
moncongnya. "Kita akan mengagumi mereka nanti saja," kataku. "Ayo!"
"Di sana!" sebuah suara melengking di belakang kita. "Anak-anak nakal
keluar kabin! Waktu camilan buat harpy yang beruntung!"
Lima dari mereka mengepak-ngepak di puncak bukit"nenek-nenek
bertubuh pendek gempal dengan muka masam dan cakar kait dan bulu sayap
terlalu kecil untuk badannya. Mereka mengingatkanku pada miniatur wanita
pramusaji kafetaria yang diperanakkan dengan burung dodo. Gerak mereka tak
begitu cepat, terpujilah dewa-dewa, tapi mereka amat ganas sekalinya mereka
menangkapmu. "Tyson!" seruku. "Ambil tas ranselnya!"
Dia masih menatap ketiga hippocampus dengan mulut menganga lebar.
"Tyson!" "Eh?" "Ayo cepat!" Dengan bantuan Annabeth, aku mendesaknya bergerak. Kami mengambil
tas-tasnya dan meletakkannya di kuda kami. Poseidon pasti tahu Tyson adalah
salah satu penumpangnya, karena satu dari hippocampusnya jauh lebih besar
dari yang dua"pas untuk mengangkat Cyclops.
"Ayo berangkat!" kataku. Hippocampusku berbalik dan mencebur ke
ombak. Annabeth dan Tyson menyusul di belakang.
Para harpy mengutuki kami, melambai-lambai agar camilannya kembali, tapi
ketiga hippocampus itu terus melaju di laut dengan kecepatan sebuah jet ski.
Para harpy tertinggal di belakang, dan segera, tepi pantai Perkemahan
Blasteran tidak tampak kecuali bagai titik coreng gelap. Aku tak tahu apakah
aku akan melihat tempat itu lagi. Tapi saat itu, aku menghadapi masalah lain.
Kapal pesiar itu tampak tepat di depan kami"kendaraan kami menuju
Florida dan Laut Para Monster.
Menunggangi hippocampus lebih mudah daripada menunggangi pegasus. Kami
berderap cepat mengikuti deru angin yang menampar muka kami, melesat
menembus laju ombak dengan begitu mulus dan mantap sampai-sampai aku tak
perlu berpegangan sama sekali.
Saat kami makin mendekati kapal pesiar, baru kusadari betapa besarnya
kapal itu. Aku merasa seolah aku tengah memandangi gedung di Manhattan.
Lambung kapal putihnya setidaknya setinggi sepuluh lantai, ditambah dengan
lusinan tingkat geladak lagi dengan balkon dan jendela-jendela bundar
berpencahayaan terang. Nama kapal itu dicat tepat di atas haluan kapal dengan
huruf-huruf hitam, bersinar dengan lampu sorot. Butuh beberapa detik untukku
mengartikannya: PUTRI ANDROMEDA Sebuah tiang kapal besar terikat pada haluan kapal"berwujud wanita
setinggi tiga lantai mengenakan gaun tunik Yunani kuno berwarna putih,
terpahat seolah-olah dia terpasung pada muka kapal. Wanita itu tampak muda
dan cantik, dengan rambut hitam berombak, tapi ekspresi wajahnya penuh
kengerian. Entah mengapa ada orang yang mau seorang putri berteriak
ketakutan di depan kapal berliburnya, aku tak mengerti.
Aku teringat mitos tentang Andromeda dan bagaimana dia dipasung
pada sebuah batu oleh orangtuanya sendiri sebagai persembahan bagi monster
laut. Barangkali nilai rapornya kebanyakan F-nya atau apa. Omong-omong,
seseorang dengan namaku, Perseus, telah menyelamatkannya pada waktu yang
tepat dan mengubah monster laut itu jadi batu dengan menggunakan kepala
Medusa. Perseus yang itu selalu menang. Itulah sebabnya ibuku menamaiku
Perseus, meskipun dia adalah anak dari Zeus dan aku anak Poseidon. Perseus
asli adalah satu-satunya pahlawan dalam mitologi Yunani yang mendapatkan
akhir hidup bahagia. Para pahlawan yang lain tewas"entah karena dikhianati,
dianiaya, dimutilasi, diracun, atau dikutuk oleh para dewa. Ibuku berharap aku
akan mewarisi keberuntungan Perseus. Menilik dari kehidupanku sejauh ini,
aku tak terlalu optimis. "Bagaimana kita menaikinya?" Annabeth berteriak di balik suara
gemuruh ombak, tapi para hippocampus sepertinya mengerti akan kebutuhan
kami. Mereka langsung menyusuri sisi kanan kapal, meluncur dengan mudah
melewati jaluran ombak besarnya, dan berhenti di tangga petugas yang
terpancang pada sisi lambung kapal.
"Kau duluan," kataku pada Annabeth.
Dia menyampirkan tas ranselnya di bahu dan menjangkau anak tangga
paling bawah. Begitu dia menarik tubuhnya ke jajaran tangga, hippocampusnya
merengek mengucap perpisahan dan menukik ke dalam air. Annabeth mulai
memanjat. Aku biarkan dia menaiki beberapa anak tangga dulu, sebelum
mengikutinya. Akhirnya hanya Tyson yang masih berada di air. Hippocampusnya
melontarnya ke udara dan menjungkirbalikkannya, dan Tyson tertawa histeris,
sampai suaranya bergema sepanjang sisi kapal.
"Tyson, sttt!" seruku. "Ayolah, Jagoan!"
"Tidak bisakah kita membawa Pelangi?" tanyanya, senyumnya memudar.
Aku menatapnya. "Pelangi?"
Hippocampus itu meringis seolah ia menyukai nama barunya.
"Em, kita harus segera pergi," kataku. "Pelangi " yah, ia kan nggak bisa
memanjat tangga." Tyson menahan isaknya. Dia membenamkan wajahnya di surai sang
hippocampus. "Aku akan merindukanmu, Pelangi!"
Hippocampus itu mengeluarkan suara ringkikan persis seperti suara
menangis. "Mungkin kita akan bertemunya lagi di lain waktu," bujukku.
"Oh, kumohon yah!" seru Tyson, langsung terdengar antusias. "Besok!"
Aku tak memberi janji apa-apa, tapi aku akhirnya berhasil meyakinkan
Tyson untuk mengucap selamat tinggal dan meraih tangga. Dengan rengekan
sedih terakhir, Pelangi sang hippocampus melakukan salto dan menukik ke
dalam air. Tangga itu mengarah ke geladak pemantauan yang dipenuhi dengan
sekoci penolong warna kuning. Ada sederet pintu ganda terkunci, yang
Annabeth berhasil buka dengan belatinya dan ditambah dengan sedikit
umpatan dalam bahasa Yunani Kuno.
Kupikir kami harus berjalan sembunyi-sembunyi, mengingat bahwa kami
ini penyelundup, tapi setelah memeriksa beberapa koridor dan mengintip ke
balik balkon pada geladak promenade pusat yang luas dan dijajari dengan tokotoko tertutup, aku mulai menyadari bahwa tak ada seorang pun yang membuat
kami harus bersembunyi. Maksudku, memang benar saat itu sudah tengah
malam, tapi kami sudah berjalan melewati separuh badan kapal dan tak
menemui satu manusia pun. Kami telah melewati empat puluh atau lima puluh
pintu kabin dan tak mendengar suara sedikit pun dari balik pintunya.
"Ini kapal hantu," gumamku.
"Bukan," kata Tyson, sambil memainkan tali ranselnya. "Bau nggak
enak." Annabeth mengerutkan alisnya. "Aku nggak cium bau apa-apa."
"Cyclops sama seperti satir," kataku. "Mereka bisa mencium bau monster.
Bukankah betul begitu, Tyson?"
Dia mengangguk gugup. Sekarang karena kami sudah menjauh dari
Perkemahan Blasteran, Kabut mengaburkan wajahnya. Kalau aku tak
berkonsentrasi kuat, kelihatannya dia punya dua mata bukan satu.
"Oke," kata Annabeth. "Jadi apa sebenarnya yang kau cium?"
"Sesuatu yang buruk," jawab Tyson.
"Hebat," gerutu Annabeth. "Itu menjelaskan segalanya."
Kami berjalan keluar ke lantai kolam renang. Ada deretan bangku-bangku
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dek kosong dan sebuah bar tertutupi tirai dari rantai. Air di kolam berkilat aneh,
berayun maju mundur mengikuti gerak kapal.
Di atas kami, di muka dan depan, ada lebih banyak lantai lagi"ada
tembok panjat, miniatur lapangan golf, restoran putar, tapi tak ada tanda-tanda
kehidupan. Dan tetap saja " aku merasakan sesuatu yang familier. Sesuatu yang
berbahaya. Aku merasa bahwa kalau saja aku tak terlalu letih dan kecapekan
dari pacuan adrenalin malam panjang kami, aku mungkin bisa mengenali
sesuatu yang salah ini. "Kita butuh tempat sembunyi," kataku. "Di suatu tempat yang aman
untuk kita tidur." "Tidur," Annabeth menyetujui dengan letih.
Kami menjelajah beberapa koridor lagi sampai kami menemukan kamar
VIP kosong di lantai sembilan. Pintunya terbuka, yang menurutku aneh. Ada
sekeranjang cokelat di meja, ada sebotol sari apel dingin berbuih di meja
samping tempat tidur, dan sebuah permen mint di atas bantal dengan kertas
bertulisan tangan: Nikmati perjalanan Anda!
Kami membuka tas-tas ransel kami untuk pertama kalinya dan menyadari
bahwa Hermes telah mempersiapkan segalanya"pakaian tambahan, perlengkapan mandi, jatah makan pekemah, satu kantong plastik berisi penuh
uang tunai, dan satu kantong kulit penuh dengan drachma emas. Dia bahkan
telah mengemas taplak Tyson berisi peralatannya dan pernak-pernik logamnya,
dan topi tak kasat mata kepunyaan Annabeth, yang membuat mereka berdua
merasa lebih tenang. "Aku akan tidur di kamar sebelah," kata Annabeth. "Kalian jangan minum
atau makan apa pun."
"Menurutmu tempat ini memiliki sihir?"
Dia mengerutkan dahi. "Aku nggak tahu. Ada sesuatu yang nggak beres.
Pokoknya " berhati-hatilah."
Kami mengunci pintu masing-masing.
Tyson menyandarkan badannya ke sebuah sofa. Dia mengutak-atik
proyek prakarya logamnya selama beberapa menit"yang masih belum mau dia
tunjukkan padaku"tapi tak lama dia sudah menguap. Dia membungkus
taplaknya dan tertidur. Aku berbaring di ranjang dan memandang keluar jendela bundar. Kupikir
aku mendengar suara-suara di lorong, seperti suara bisikan. Aku tahu itu tak
mungkin. Kami sudah berjalan menyusuri seluruh kapal dan tak melihat siapa
pun. Tapi suara-suara itu membuatku terjaga. Ia mengingatkanku pada
perjalananku ke Dunia Bawah"seperti suara-suara para arwah mati saat mereka
melintas. Akhirnya keletihanku mengalahkanku. Aku pun tertidur " dan
mengalami mimpi terburukku.
Aku tengah berdiri di sebuah gua di tepi lubang yang amat besar. Aku sangat
kenal dengan tempat ini. Pintu masuk menuju Tartarus. Dan aku kenal dengan
tawa dingin yang bergema dari kegelapan di bawah sana.
Wah, wah, inilah sang pahlawan muda. Suara itu setajam belati menggores
batu. Dalam perjalanannya menuju kemenangan besar lain.
Aku ingin berteriak pada Kronos untuk meninggalkanku sendiri. Aku
ingin menghunus Riptide dan menebasnya. Tapi aku tak bisa bergerak. Dan
kalau pun aku bisa bergerak, bagaimana bisa aku membunuh sesuatu yang
sudah pernah dihancurkan"dicincang hingga beberapa keping dan dibuang ke
kegelapan abadi" Jangan biarkan aku menghentikanmu, kata sang Titan. Mungkin kali ini, saat
kau gagal, kau akan bertanya-tanya apakah ada gunanya menjadi budak bagi para dewa.
Bagaimana tepatnya ayahmu menunjukkan penghargaannya padamu akhir-akhir ini"
Tawanya membahana sepenjuru gua, dan tiba-tiba saja pemandangannya telah berubah.
Ini gua yang lain"kamar tidur pernjara Grover di sarang Cyclops.
Grover sedang duduk di perkakas tenunnya dengan mengenakan gaun
pengantinnya yang terkotori tanah, sibuk mengurai benang-benang dari ekor
gaunnya yang belum selesai ditenun.
"Manisku!" sang monster berteriak dari balik batu.
Grover memekik dan mulai menenun benang-benang itu kembali.
Ruangan itu berputar saat batu besar itu didorong ke samping. Berdiri di
mulut gua, tampak seorang Cyclops, begitu besarnya hingga membuat Tyson
tampak kontet. Dia memiliki gigi kuning bergerigi dan tangan berbonggol
sebesar seluruh tubuhku. Dia mengenakan kaus ungu pudar bertulisan
PAMERAN DOMBA SEDUNIA 2001. Tubuhnya paling tidak setinggi empat
setengah meter, tapi yang paling mengejutkan adalah mata putih besarnya,
digoresi luka dan dijaringi dengan katarak. Kalau matanya tidak buta total, pasti
dia sudah nyaris mendekati Grover.
"Apa yang kaulakukan?" desak sang monster.
"Bukan apa-apa!" seru Grover dengan suara falsetonya. "Hanya menenun
ekor gaunku, seperti yang kaulihat sendiri."
Cyclops itu menjulurkan satu tangannya ke dalam ruangan dan merabaraba ke sekitar sampai dia menemukan alat tenun itu. Dia merabai kain itu. "Ini
tidak makin panjang!"
"Oh, em, sudah kok, Sayang. Lihat" Aku sudah tambah setidaknya dua
senti." "Terlalu banyak penundaan!" teriak sang monster. Kemudian dia
mengendus udara. "Baumu wangi! Kayak kambing!"
"Oh." Grover memaksakan tawa lemah. "Kau suka" Ini parfum Eau de
Ch?vre. Aku pakai khusus untukmu."
"Mmmm!" Cyclops itu memamerkan gigi runcingnya. "Cukup enak buat
dimakan!" "Oh, kau betul-betul pandai menggoda!"
"Tak ada tunda-tunda lagi!"
"Tapi Sayang, aku belum selesai!"
"Besok!" "Jangan, jangan. Sepuluh hari lagi."
"Lima!" "Oh, yah, tujuh deh. Kalau kau memaksa."
"Tujuh! Itu kurang dari lima, kan?"
"Tentu. Jelas itu."
Monster itu menggerutu, masih tak puas dengan tawarannya, tapi dia
meninggalkan Grover dengan kegiatan menenunnya dan mendorong batu itu
kembali ke tempatnya. Grover memejamkan matanya dan mengambil satu helaan napas dengan
bergetar, berusaha menenangkan kegelisahannya.
"Cepatlah, Percy," gumamnya, "Kumohon, kumohon, kumohon!"
*** Aku terbangun mendengar suara peluit kapal dan sebuah suara lain yang
muncul dari interkom"suara seorang pria dengan aksen Australia yang
terdengar terlalu gembira.
"Selamat pagi, para penumpang! Kita akan berada di laut sepanjang
waktu hari ini. Cuaca cerah untuk pesta joget mambo di tepi kolam! Jangan lupa
permainan bingo berhadiah jutaan dolar di Ruang Santai Kraken pada pukul
satu, dan bagi tamu-tamu istimewa kami, latihan disemboweling"mengeluarkan
isi perut"di geladak Promenade!"
Sontak aku bangkit duduk. "Apa tadi yang barusan dia katakan?"
Tyson mengerang, masih setengah tidur. Dia berbaring menelungkup di
sofa, kakinya terjulur jauh di ujung sofa sampai masuk kamar mandi. "Pria
gembira itu bilang " latihan bowling?"
Kuharap dia benar, tapi kemudian ada ketukan keras pada pintu interior
dalam kamar. Annabeth menjulurkan kepalanya ke dalam"rambut pirangnya
kusut. "Latihan mengeluarkan isi perut?"
Begitu kami semua selesai berpakaian, kami berjalan-jalan ke sekitar
kapal dan terkejut melihat kehadiran orang lain. Selusin orang sepuh pergi
untuk menikmati sarapan. Seorang ayah menemani anaknya ke kolam renang
untuk berenang di pagi hari. Beberapa anggota kru berseragam putih kaku
berjalan di geladak, mengangkat topi menyambut para penumpang.
Tak ada yang menanyakan siapa kami. Tak ada yang menaruh perhatian
pada kami. Tapi ada sesuatu yang salah.
Saat keluarga perenang itu melewati kami, sang ayah memberi tahu pada
anak-anaknya. "Kita sedang pesiar. Kita sedang bersenang-senang."
"Ya," ketiga anaknya berkata serempak, ekspresi wajah mereka kosong.
"Kita lagi asyik. Kita akan berenang di kolam."
Mereka melintas pergi. "Selamat pagi," seorang anggota kru menyapa kami, matanya tampak tak
fokus. "Kami semua menikmati perjalanan kita bersama Putri Andromeda.
Selamat menikmati hari Anda." Dia berlalu pergi.
"Percy, ini aneh," bisik Annabeth. "Mereka semua kayak kesurupan."
Kemudian kami melewati sebuah kafetaria dan melihat monster pertama
kami. Ia adalah anjing neraka"anjing besar berbulu hitam dengan cakar depan
yang bersandar ke meja saji dan moncong yang dibenamkan di telur orak-arik.
Anjing itu pasti masih muda, karena ukurannya kecil dibanding biasanya"tak
lebih besar dari beruang grizzly. Tetap saja, darahku membeku. Aku pernah
hampir terbunuh oleh salah satu dari makhluk itu.
Hal anehnya adalah: satu pasangan paruh baya sedang berdiri di meja saji
tepat di belakang anjing neraka itu, dengan sabar menanti giliran mereka untuk
mendapat telur. Mereka tampaknya tidak menyadari adanya hal aneh.
"Nggak lapar lagi," gumam Tyson.
Sebelum Annabeth dan aku bisa menjawab, suara reptil datang dari
lorong koridor, "Ssss " enam lagi bergabung kemarinsss."
Annabeth berlari panik ke tempat persembunyian terdekat"WC wanita
"dan kami bertiga merunduk ke dalam. Aku begitu ketakutan sampai-sampai
aku tak kepikiran lagi untuk merasa malu.
Sesuatu"atau mungkin dua sesuatu"merayap melewati pintu WC,
memunculkan suara seperti kertas ampelas digesekkan ke karpet.
"Betulsss," suara reptil kedua berkata. "Dia menarik merekassss. Tak
lama lagi kita akan jadi kuatsss."
Makhluk itu merayap memasuki kafetaria dengan desisan dingin yang
mungkin merupakan suara tawa ular.
Annabeth memandangiku. "Kita harus keluar dari sini."
"Apa kau kira aku mau terus berada di WC perempuan?"
"Maksudku dari kapal ini, Percy! Kita harus cepat-cepat keluar dari
kapal." "Baunya buruk," Tyson menyetujui. "Dan anjing-anjing memakan semua
telurnya. Annabeth benar. Kita harus meninggalkan WC dan kapal."
Aku gemetar. Kalau sampai Annabeth dan Tyson benar-benar menyepakati
satu hal, kurasa aku sebaiknya menuruti.
Kemudian aku mendengar suara lain di luar"suara yang paling
mendirikan bulu kudukku daripada suara monster lainnya.
"Hanya masalah waktu. Jangan mendesakku, Agrius!"
Itu suara Luke, jelas. Aku tak akan pernah bisa melupakan suaranya.
"Aku tak mendesakmu!" pria lain menggeram. Suaranya lebih dalam dan
bahkan lebih marah dari Luke. "Aku hanya bilang, kalau pertaruhan ini tak
membawa hasil?" "Ia akan membawa hasil," bentak Luke. "Mereka akan mengambil
umpannya. Sekarang, ayo, kita harus pergi ke kamar utama dan periksa peti
matinya." Suara mereka makin menghilang dari lorong koridor.
Tyson merengek. "Pergi sekarang?"
Annabeth dan aku bertukar pandang dan membuat kesepakatan dalam
hati. "Kita nggak bisa," kataku pada Tyson.
"Kita harus cari tahu apa yang hendak dilakukan Luke," Annabeth
menyetujui. "Dan kalau memungkinkan, kita akan menggebukinya, mengikatnya dengan rantai, dan menyeretnya ke Gunung Olympus."
A k u M e n j a l a n i Re u n i Ke l u a r g a
Te r b u r u k Annabeth mengajukan diri untuk pergi sendiri mengingat dia punya topi tak
kasat mata, tapi kuyakinkan dia bahwa itu terlalu berbahaya. Baik kita pergi
sama-sama, atau tidak ada yang pergi sama sekali.
"Nggak ada sama sekali!" Tyson memilih. "Kumohon?"
Tapi pada akhirnya dia ikut, menggigiti kuku jarinya yang besar dengan
gugup. Kami berhenti di kabin cukup lama untuk mengumpulkan barangbarang kami. Kami memutuskan apa pun yang terjadi, kami tak akan menginap
semalam lagi di atas kapal pesiar zombie ini, meskipun mereka benar memiliki
permainan bingo berhadiah jutaan dolar. Kupastikan Riptide tersimpan di
sakuku dan vitamin-vitamin dan termos dari Hermes berada di tumpukan
teratas isi tasku. Aku tak ingin membiarkan Tyson mengangkut semuanya, tapi
dia memaksa, dan Annabeth memberitahuku untuk tak mengkhawatirkannya.
Tyson bisa mengangkut tiga tas ransel bermuatan penuh di bahunya semudah
aku menyandang tas punggung sekolahku.
Kami berjalan mengendap melintasi koridor-koridor, mengikuti tanda
KAU ADA DI SINI pada denah kapal menuju kamar utama. Annabeth
menjelajah di depan dengan topi tak kasat matanya. Kami bersembunyi setiap
kali seseorang lewat, tapi sebagian besar orang yang kami temui hanyalah
penumpang zombie dengan tatapan kosong.
Saat menaiki tangga menuju geladak tiga belas, tempat kamar utama itu
mestinya berada, Annabeth mendesis, "Sembunyi!" dan mendorong kami ke
lemari persediaan. Aku mendengar dua laki-laki berjalan menyusuri lorong.
"Kaulihat drakon Aethiopia di tempat penyimpanan kargo?" salah satu
dari mereka berkata. Yang satunya lagi tertawa. "Yeah, keren banget."
Annabeth masih tak kasat mata, tapi dia meremas tanganku dengan kuat.
Aku mendapat firasat bahwa aku seharusnya mengenali suara pria kedua itu.
"Kudengar ada dua lagi dari mereka yang datang," suara familier itu
berkata. "Mereka terus berdatangan dengan cepat, wah, hebat deh"tak ada
tandingan!" Suara-suara itu lalu menghilang di balik koridor.
"Itu Chris Rodriguez!" Annabeth mencopot topinya dan kembali terlihat.
"Kau ingat kan"dari Kabin Sebelas."
Aku ingat samar-samar akan sosok Chris dari musim panas sebelumnya.
Dia adalah salah satu dari kumpulan pekemah yang belum ditentukan, yang
terpaksa mendekam di kabin Hermes karena ayah atau ibu bangsa Olympianya
tak pernah mengakuinya. Sekarang saat kuberpikir, baru kusadari aku belum
melihat Chris di perkemahan musim panas ini. "Apa yang dilakukan satu anak
blasteran lagi di sini?"
Annabeth menggelengkan kepalanya, jelas tampak gelisah.
Kami terus menyusuri koridor. Aku tak memerlukan peta lagi untuk
mengetahui apakah aku makin mendekati Luke. Aku bisa merasakan sesuatu
yang dingin dan tak nyaman"kehadiran suatu kejahatan.
"Percy." Annabeth mendadak berhenti. "Lihat."
Dia berdiri di depan dinding kaca yang menghadap ke bawah pada
jurang dari beberapa lantai di pusat kapal. Di dasarnya ada Promenade"pusat
perbelanjaan penuh dengan toko"tapi bukan itu yang menangkap perhatian
Annabeth. Sekumpulan monster berkumpul di depan toko permen: selusin raksasa
Laistrygonian sama seperti yang menyerangku dalam permainan bola karet, dua
anjing neraka, dan beberapa makhluk yang lebih aneh lagi"wanita menyerupai
manusia namun dengan ekor ular kembar sebagai pengganti kaki.
"Drakaina Skythia," bisik Annabeth. "Wanita naga."
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Monster-monster itu membentuk setengah lingkaran mengitari seorang
pria muda dalam baju zirah Yunani yang sedang menebas boneka target dari
jerami. Sebuah ganjalan menyekat tenggorokanku saat kusadari boneka itu
mengenakan kaus jingga Perkemahan Blasteran. Saat kami menonton, pria
dengan baju zirah itu menikam boneka itu pada perutnya dan menyobek ke atas.
Jerami bertebaran ke mana-mana. Para monster bersorak dan melolong.
Annabeth melangkah mundur dari jendela. Wajahnya pucat pasi.
"Ayo," kukatakan padanya, berusaha terdengar lebih berani daripada
yang kurasakan. "Lebih cepat kita menemukan Luke lebih baik."
Di ujung lorong ada pintu ganda kayu ek yang tampaknya mengarah
pada tempat yang penting. Saat kami berjarak sepuluhan meter darinya, Tyson
terhenti. "Suara-suara di dalam."
"Kau bisa mendengar sejauh itu?" tanyaku.
Tyson memejamkan mata seolah dia sedang berkonsentrasi keras. Lalu
suara Tyson berubah, jadi suara serak menyerupai Luke. ?"ramalan kita
sendiri. Orang-orang bodoh itu tak akan tahu ke mana harus berbelok."
Sebelum aku bisa bereaksi, suara Tyson berubah lagi, jadi lebih dalam dan
parau, seperti suara pria lain yang kami dengar bicara dengan Luke di luar
kafetaria. "Kau benar-benar mengira pria kuda tua itu sudah menghilang untuk
selamanya?" Tyson tertawa dengan cara tertawa Luke. "Mereka nggak bisa
memercayainya. Tidak dengan adanya kerangka di lemari-nya. Racun di pohon
itu adalah pukulan terakhir."
Tubuh Annabeth gemetar. "Hentikan itu, Tyson! Bagaimana kau bisa
melakukannya" Itu mengerikan."
Tyson membuka matanya dan tampak bingung. "Cuma mendengarkan."
"Teruskan," kataku. "Apa lagi yang mereka katakan?"
Tyson memejamkan matanya lagi.
Dia mendesis dalam suara parau seorang pria: "Diamlah!" Lalu suara
Luke, berbisik: "Kau yakin?"
"Ya," kata Tyson dengan suara parau. "Tepat di luar."
Terlambat, kusadari apa yang tengah terjadi.
Aku baru sempat berkata, "Lari!" saat pintu-pintu ruang utama
membanting terbuka dan di sanalah berdiri Luke, diapit oleh dua raksasa
berbulu menyandang lembing, mata perunggu lembing itu diarahkan tepat ke
dada kami. "Wah," kata Luke dengan senyum jahatnya. "Ini dia nih, dua sepupu
favoritku. Ayo, silakan masuk."
Kamar utama itu begitu indah, sekaligus mengerikan.
Bagian indahnya: Jendela-jendela besar melengkung sepanjang dinding
belakang, memandang keluar ke buritan. Lautan hijau dan langit biru
membentang sejauh mata memandang. Karpet Persia melapisi lantai. Dua sofa
mewah mengisi tengah-tengah kamar, dengan ranjang berkanopi di satu sudut
dan meja makan mahoni di sudut lain. Meja itu dipenuhi dengan makanan"
kotak-kotak pizza, botol-botol soda, dan setumpuk roti isi daging panggang di
piring perak. Bagian mengerikannya: Pada mimbar beledu di belakang ruangan,
tergeletak sebuah peti mati emas sepanjang tiga meter. Sebuah sarkofagus,
dengan ukiran Yunani Kuno menggambarkan kota-kota terbakar dan para
pahlawan mati secara mengerikan. Meski ada sinar matahari memasuki jendela,
peti mati itu membuat seluruh ruangan terasa dingin.
"Yah," kata Luke, merentangkan tangannya bangga. "Sedikit lebih
nyaman daripada Kabin Sebelas, kan?"
Dia telah berubah sejak musim panas terakhir. Alih-alih mengenakan
celana pendek Bermuda dan kaus, kini dia mengenakan kemeja berkancing,
celana panjang khaki, sepatu santai kulit. Rambut pirangnya, yang biasanya
dibiarkan berantakan, sekarang terpangkas pendek. Dia tampak seperti model
pria jahat, memamerkan apa yang dikenakan para penjahat kuliahan trendi ke
Harvard tahun ini. Dia masih memiliki codet di bawah matanya"garis putih tak rata dari
pertarungannya dengan seekor naga. Dan tersandar di sofa adalah pedang
sihirnya, Backbiter, berkilat aneh dengan mata pisau setengah-besi, dan setengah
perunggu-langit yang ampuh untuk membunuh manusia maupun monster.
"Duduk," katanya pada kami. Luke melambaikan tangannya dan tiga
kursi makan membawa diri mereka sendiri ke tengah ruangan.
Tak ada satu pun dari kami yang duduk.
Teman-teman besar Luke masih mengarahkan tombaknya pada kami.
Mereka tampak kembar, tapi mereka bukan manusia. Pertama karena mereka
setinggi kira-kira dua setengah meter, dan mereka hanya mengenakan celana
jins biru, barangkali karena dada ular biasa besar mereka sudah dilapisi dengan
karpet-bulu cokelat tebal. Mereka punya cakar sebagai pengganti kuku jari
tangan, dengan kaki menyerupai cakar beruang. Hidung mereka menyerupai
moncong, dan gigi mereka semuanya bertaring seperti anjing.
"Di mana sopan-santunku?" ujar Luke santai. "Ini adalah para asistenku,
Agrius dan Oreius. Barangkali kalian sudah pernah mendengar tentang
mereka." Aku tak mengatakan sepatah kata pun. Meskipun mata lembing
mengarah padaku, namun bukan kembar beruang itu yang menakutiku.
Aku sudah beberapa kali membayangkan bertemu kembali dengan Luke
sejak dia berusaha membunuhku musim panas lalu. Aku membayangkan diriku
dengan begitu berani berdiri di hadapannya, menantangnya untuk berduel. Tapi
sekarang saat kami sudah berhadapan muka, aku bahkan tak bisa membuat
tanganku berhenti bergetar.
"Kau tahu kisah Agrius dan Oreius?" tanya Luke. "Ibu mereka " yah,
kisahnya sedih sih, sebenarnya. Aphrodite memerintahkan wanita muda itu
untuk jatuh cinta. Wanita itu menolak dan mengadu ke Artemis untuk meminta
bantuan. Artemis membiarkan wanita itu menjadi salah satu dari pemburu
wanitanya, tapi Aphrodite berhasil membalasnya. Dia menyihir wanita muda itu
untuk jatuh cinta dengan seekor beruang. Saat Artemis mengetahui itu, dia
meninggalkan wanita itu dengan jijik. Tipikal kelakuan para dewa, bukankah
begitu" Mereka bertengkar dengan satu sama lain dan manusia yang malang
terjepit di tengah-tengah. Anak kembar wanita itu, Agrius dan Oreius, tak
menyukai Olympus sedikit pun. Mereka sebenarnya cukup menyukai anak-anak
blasteran " " "Buat santap siang," geram Agrius. Suara paraunya adalah yang
kudengar bicara dengan Luke sebelumnya.
"Hehe! Hehe!" Saudaranya Oreius terkekeh, menjilati bibirnya yang
berbulu. Dia terus terkekeh seolah sedang mengalami serangan asma sampai
Luke dan Agrius menatapnya.
"Diam, kau idiot!" geram Agrius. "Ayo hukum dirimu sendiri!"
Oreius merengek. Dia berjalan gontai ke pojok ruangan, menjatuhkan diri
ke kursi, dan membenturkan jidatnya ke meja makan, membuat piring-piring
perak berderak. Luke bersikap seolah itu adalah perilaku yang sepenuhnya normal. Dia
menyandarkan tubuhnya ke sofa dan menumpangkan kakinya ke atas meja
kopi. "Yah, Percy, kita sudah membiarkanmu selamat selama setahun ini.
Kuharap kau menghargainya. Bagaimana kabar ibumu" Bagaimana kabar
sekolah?" "Kau meracuni pohon Thalia."
Luke mengembuskan napas. "Langsung blak-blakan, yah" Oke, memang
betul aku meracuninya. Trus kenapa?"
"Teganya kau!" Annabeth terdengar begitu marah sehingga kukira dia
akan meledak. "Thalia sudah menyelamatkan nyawamu! Nyawa kita!
Bagaimana bisa kau tega mencemarinya?"
"Aku nggak mencemarinya!" bentak Luke. "Para dewalah yang
mencemarinya, Annabeth! Kalau saja Thalia masih hidup, dia pasti sudah akan
memihakku." "Pembohong!" "Andai kautahu apa yang akan terjadi nanti, kau pasti mengerti?"
"Aku mengerti kau ingin menghancurkan perkemahan!" teriaknya. "Kau
seorang monster!" Luke menggelengkan kepalanya. "Para dewa telah membutakanmu. Tak
bisakah kau bayangkan dunia tanpa mereka, Annabeth" Apa gunanya sejarah
kuno yang kau pelajari" Tiga ribu tahun sampah! Dunia Barat sudah membusuk
hingga ke akarnya. Sudah waktunya ia dihancurkan. Bergabunglah denganku!
Kita bisa memulai sebuah dunia baru. Kita bisa memanfaatkan kepandaianmu,
Annabeth." "Karena kau sendiri nggak punya!"
Matanya memicing. "Aku tahu kau, Annabeth. Kau pantas mendapatkan
yang lebih baik daripada membuntuti sebuah misi konyol untuk menyelamatkan kemah. Bukit Blasteran akan dikuasai para monster dalam
bulan ini. Para pahlawan yang selamat tidak akan punya pilihan selain untuk
bergabung dengan kami atau diburu hingga punah. Kau benar-benar ingin
berada di pihak yang kalah " dengan teman kayak gini?" Luke menunjuk pada
Tyson. "Hei!" seruku. "Menempuh perjalanan dengan Cyclops," ejek Luke. "Dan kau sok bicara
tentang mencemari kenangan Thalia! Aku nggak sangka kau bisa begitu,
Annabeth. Kau dari semua orang yang kukenal?"
"Hentikan!" bentak Annabeth.
Aku tak mengerti apa yang Luke maksudkan, tetapi Annabeth
membenamkan mukanya di balik tangannya seolah dia akan segera menangis.
"Tinggalkan dia," kataku. "Dan jangan bawa-bawa Tyson dalam masalah
ini." Luke terkekeh. "Oh, iya, aku sudah dengar. Ayahmu mengklaimnya."
Aku pasti tampak terkejut, karena Luke tersenyum. "Benar, Percy, aku
tahu tentang semua itu. Dan tentang rencanamu pergi mencari Bulu Domba
Emas. Apa yah koordinat itu, lagi " 30, 31, 75, 12" Asal kautahu, aku masih
punya teman-teman di perkemahan yang terus mengirimkan informasi tekini
padaku." "Mata-mata, maksudmu."
Dia mengedikkan bahu. "Berapa banyak hinaan lagi dari ayahmu yang
bisa kau terima, Percy" Kaupikir dia berterima kasih padamu" Kaupikir
Poseidon lebih peduli padamu daripada sikap pedulinya pada monster ini?"
Tyson mengepalkan tinjunya dan membuat suara menggeram dengan
tenggorokannya. Luke hanya terkekeh. "Para dewa sudah betul-betul memanfaatkanmu,
Percy. Apa kautahu apa yang akan kau hadapi kalau kau berulang tahun
keenam belas" Pernahkah Chiron memberitahumu tentang ramalan itu?"
Aku ingin sekali mendamprat Luke dan menyuruhnya untuk menghentikan ocehannya, tapi seperti biasa, dia tahu persis bagaimana
mengejutkanku. Ulang tahun keenam belas"
Maksudku, aku tahu Chiron pernah menerima ramalan dari sang Oracle
beberapa tahun silam. Aku tahu sebagian dari ramalan itu menyangkut tentang
diriku. Tapi, kalau aku menginjak ulang tahun keenam belas" Aku tak suka
bunyi kalimat itu. "Aku tahu apa yang perlu kuketahui," kataku akhirnya. "Seperti, siapa
musuhku sebenarnya."
"Kalau begitu kau benar-benar bodoh."
Tyson merusakkan kursi makan terdekat menjadi serpihan. "Percy tidak
bodoh!" Sebelum aku bisa menghentikannya, dia menyerang Luke. Bogemnya
mengarah ke kepala Luke"serangan dobel di atas kepala yang akan melubangi
sebuah titanium"tapi si kembar beruang menyela. Masing-masing mereka
menangkap satu lengan Tyson dan menghentikannya saat itu juga. Mereka
mengempasnya balik dan Tyson terhuyung. Dia terjatuh ke atas karpet dengan
begitu keras sampai-sampai lantai geladak bergetar.
"Sayang sekali, Cyclops," kata Luke. "Sepertinya kedua teman grizzlyku
lebih kuat dari tenagamu. Barangkali sebaiknya aku biarkan saja mereka?"
"Luke," aku menyela. "Dengarkan aku. Ayahmu mengirim kami."
Wajahnya berubah sewarna cabai. "Jangan"sekali pun"menyebut
namanya." "Dia menyuruh kami menaiki kapal ini. Kukira itu hanya sebagai
kendaraan tumpangan, tapi dia mengirim kami ke sini untuk menemukanmu.
Dia mengatakan padaku bahwa dia nggak akan menyerah terhadapmu, betapa
pun marahnya kamu." "Marah?" Luke meraung. "Menyerah terhadapku" Dia menelantarkan aku,
Percy! Aku ingin Olympus dihancurkan! Setiap singgasana dihancurkan hingga
rata dengan tanah! Kau bisa katakan pada Hermes hal itu pasti akan terjadi.
Setiap kalinya seorang anak blasteran bergabung dengan kami, bangsa Olympia
makin melemah sementara kami makin kuat. Dia tumbuh semakin kuat." Luke
menunjuk ke sarkofagus emas.
Kotak itu membuat bulu kudukku merinding, tapi aku bertekad untuk
tak menunjukkannya. "Lalu kenapa?" desakku. "Apa istimewanya " "
Lalu sebuah pikiran menusukku, akan benda apa yang mungkin
tersimpan dalam sarkofagus itu. Temperatur ruangan rasanya merosot turun
dua puluh derajat. "Hah, maksudmu?"
"Dia sedang mewujud kembali," kata Luke. "Sedikit demi sedikit, kami
memanggil sumber kehidupannya keluar dari lubang. Dengan setiap anggota
baru yang kami rekrut yang bersumpah untuk berbakti pada tujuan kami,
potongan kecil lainnya terbentuk?"
"Itu menjijikkan!" kata Annabeth.
Luke menyeringai ke arahnya. "Ibumu sendiri terlahir dari belahan
tengkorak Zeus, Annabeth. Aku nggak akan bicara. Tak lama lagi, akan datang
lebih banyak lagi penguasa Titan sehingga kami akan bisa membuatnya pulih
kembali sepenuhnya. Kami akan menyusun kembali tubuh baru baginya, sebuah
pekerjaan yang setara dengan tugas penempaan Hephaestus."
"Kau sinting," kata Annabeth.
"Bergabunglah dengan kami dan kau akan mendapat perhargaannya.
Kami memiliki teman-teman berkuasa, para sponsor yang cukup kaya untuk
membeli kapal pesiar ini dan masih banyak lagi. Kau bisa membelikan untuknya
rumah mewah. Kau akan memiliki kekuasaan, ketenaran"apa pun yang
kauinginkan. Annabeth, kau bisa mewujudkan impianmu menjadi arsitek. Kau
bisa membangun monumen yang akan bertahan hingga ribuan tahun. Sebuah
kuil bagi para penguasa di masa mendatang!"
"Pergi saja kau ke Tartarus," katanya.
Luke mendesah. "Sayang sekali."
Dia memungut sesuatu yang tampak seperti remote TV dan menekan
tombol merahnya. Dalam sekian detik, pintu kamar utama membuka dan dua
anggota kru berseragam datang, sambil membawa pentungan. Mereka memiliki
tatapan kosong sama seperti manusia lain yang kulihat dari tadi, tapi aku punya
firasat hal itu tak akan membuat mereka lebih kurang berbahaya dalam
pertarungan. "Ah, baguslah, petugas keamanan," ujar Luke, "kurasa kita memiliki
beberapa penyusup." "Baik, Pak," kata mereka seperti terhipnotis.
Luke berpaling pada Oreius. "Waktunya memberi makan drakon
Aethiopia. Bawa orang-orang bodoh ini ke bawah dan tunjukkan pada mereka
cara membereskan segalanya."
Oreius menyeringai dungu. "Hehe! Hehe!"
"Biarkan aku pergi, juga," gerutu Agrius. "Saudaraku payah. Cyclops itu
?" "Bukanlah ancaman," kata Luke. Dia memandang kembali pada peti
emas, seolah ada sesuatu yang mengusik pikirannya. "Agrius, tetaplah di sini.
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kita punya masalah penting untuk dibahas."
"Tapi?" "Oreius, jangan kecewakan aku. Tetaplah di palka untuk memastikan
drakon itu diberi makan yang cukup."
Oreius menyodok kami dengan ujung tombaknya dan menggiring kami
keluar dari kamar utama, diikuti oleh dua manusia petugas keamanan.
Selagi aku berjalan menyusuri koridor dengan tombak Oreius menusuk
punggungku, aku berpikir akan apa yang dikatakan Luke"bahwa sang kembar
beruang berdua bukanlah lawan sepadan bagi kekuatan Tyson. Tapi mungkin
kalau sendiri " Kami keluar koridor pusat kapal dan berjalan melintasi geladak terbuka
dengan deretan sekoci penyelamat. Aku sudah cukup mengenali kapal ini untuk
menyadari ini akan jadi pandangan terakhir kami akan sinar matahari. Begitu
kami tiba di sisi lain, kami akan menaiki lift turun memasuki palka kapal, dan
itulah akhir dari segalanya.
Aku menatap Tyson dan berkata, "Sekarang."
Terpujilah dewa-dewa, dia mengerti. Tyson berpaling dan menghajar
Oreius hingga terjungkal sepuluh meter ke kolam renang, tepat ke tengahtengah keluarga turis zombie yang tengah berenang.
"Ah!" anak-anak berteriak serempak. "Kita nggak asyik di kolam ini!"
Salah satu petugas keamanan mengeluarkan pentungannya, tapi
Annabeth membuatnya tak berdaya dengan menendangnya tepat di sasaran.
Petugas keamanan satunya lagi berlari ke kotak alarm terdekat.
"Hentikan dia!" teriak Annabeth, tapi sudah terlambat.
Tepat sebelum aku membenturkan kepalanya dengan bangku geladak,
dia menekan alarmnya. Lampu merah menyala. Sirene meraung.
"Sekoci penolong!" teriakku.
Kami berlari ke sekoci terdekat.
Begitu kami melepas selubung penutupnya, para monster dan beberapa
petugas keamanan lain memenuhi geladak, mendorong para turis dan pelayan
yang menjatuhkan senampan minuman tropis. Seorang pria berbaju zirah
Yunani menghunus pedangnya pi?a colada. Para pemanah Laistrygonian
berkumpul di geladak di atas kami, menyiapkan panahnya pada busur raksasa
mereka. "Bagaimana cara kau menjalankan perahu ini?" teriak Annabeth.
Seekor anjing neraka melompat ke arahku, tapi Tyson memukulnya ke
samping dengan tabung pemadam api.
"Ayo masuk!" teriakku. Aku melepaskan tutup Riptide dan menebas
semburan panah-panah pertama ke udara. Sekian detik lagi kami akan segera
kewalahan. Sekoci penyelamat masih menggantung di sisi badan kapal, masih tinggi
di atas air. Annabeth dan Tyson belum berhasil melepaskan kerekannya.
Aku melompat ke sebelah mereka.
"Pegangan!" pekikku, dan aku menebas talinya.
Hujan panah kembali berdesing di atas kepala kami saat kami terjun
bebas memasuki laut. 10 K a m i M e n u mpa n g Ke n d a r a a n
Be r s a m a H a n t u - H a n t u A n g g o t a
K o n f e de r a s i "Termos!" teriakku saat kami menukik cepat ke dalam air.
"Apa?" Pasti Annabeth mengira aku sudah tak waras. Dia sedang
berpegangan erat pada tali tambat perahu berusaha bertahan hidup, rambutnya
berkibar tegak seperti obor.
Tapi Tyson mengerti. Dia berhasil membuka tas ranselnya dan
mengeluarkan termos ajaib Hermes tanpa kehilangan pegangan pada termos
atau perahu. Panah dan tombak melayang ke arah kami.
Aku meraih termos dan berharap aku melakukan hal yang benar.
"Pegangan!" "Aku sedang pegangan!" jerit Annabeth.
"Lebih kuat!" Aku menyangkutkan kakiku di bawah kursi tiup sekoci, dan selagi Tyson
memegang Annabeth dan aku pada belakang kaus kami, aku memutar tutup
termos itu seperempat lingkaran.
Seketika, seberkas angin putih memancar keluar dari termos dan
mendorong kami ke samping, mengubah arah terjun kami jadi menukik darurat
dengan sudut empat puluh lima derajat.
Angin itu seperti tertawa saat melesat keluar dari termos, seolah ia begitu
senang bisa terbebas. Saat kami menabrak laut, kami membentur satu kali, dua
kali, memantul seperti batu, lalu kami melesat cepat seperti speedboat, semburan
garam menampar muka kami dan di depan kami hanya tampak bentangan luas
lautan. Aku mendengar raungan amarah dari kapal di belakang kami, tapi kami
sudah berada di luar jangkauan senjata. Putri Andromeda memudar hingga
seukuran mainan perahu putih di kejauhan, dan kemudian ia pun menghilang.
Selagi kami berpacu membelah laut, Annabeth dan aku berusaha mengirim
pesan Iris ke Chiron. Kami berpikir alangkah pentingnya untuk memberi tahu
seseorang akan rencana Luke, dan kami tak tahu siapa lagi yang bisa dipercaya.
Angin dari termos mengaduk semburan buih laut yang menghasilkan
pelangi di bawah sinar matahari"sempurna untuk melakukan pesan Iris"tapi
koneksi kami masih payah. Saat Annabeth melempar drachma emas ke arah
kabut dan berdoa pada Dewi Pelangi untuk menunjukkan Chiron pada kami,
wajahnya memang benar muncul, tapi ada semacam lampu sorot aneh yang
berdenyar-denyar di latar belakang dan musik rock menggelegar, seolah dia
sedang berada di lantai diskotek.
Kami memberitahunya tentang aksi kami menyusup keluar dari kemah,
dan Luke dan Putri Andromeda dan kotak emas yang menyimpan jasad Kronos,
tapi dengan selingan suara berisik di ujung sana dan deru angin dan air di ujung
kami, aku tak tahu seberapa banyak yang bisa dia tangkap.
"Percy," teriak Chiron, "kau harus waspada terhadap?"
Suaranya teredam oleh teriakan keras di belakangnya"sekumpulan suara
sorak-sorai seperti para prajurit suku Comanche.
"Apa?" teriakku.
"Terkutuklah para kerabatku!" Chiron menunduk saat sebuah piring
terbang ke kepalanya dan pecah di suatu tempat yang tak terlihat. "Annabeth,
seharusnya tak kau biarkan Percy meninggalkan kemah! Tapi kalau pun kau
berhasil mendapatkan Bulu Domba?"
"Yeah, baby!" seseorang di belakang Chiron berteriak. "Wuu-huuuuuu!"
Ingar-bingar musik makin menggelegar, subwoofer-nya begitu kencang
hingga membuat perahu kami bergetar.
"Miami," teriak Chiron. "Aku akan berusaha untuk terus mengawasi?"
Layar kabut kami membuyar seolah seseorang di ujung lain melempar
botol ke arahnya, dan Chiron pun menghilang.
Sejam kemudian kami melihat pulau"bentangan panjang pantai dijajari dengan
hotel-hotel bertingkat tinggi. Air jadi dipenuhi dengan perahu-perahu
penangkap ikan dan kapal tangki. Kapal patroli penjaga pesisir melintasi sisi
kanan kami, lalu berbalik seolah ia ingin melihat untuk kedua kalinya. Kurasa
tak setiap harinya mereka melihat sekoci penyelamat kuning tanpa mesin yang
melintas dengan kecepatan seratus knot per jam, dikendarai oleh tiga bocah.
"Itu Pantai Virginia!" ujar Annabeth saat kita mendekari garis pantai. "Oh
demi dewa-dewa, bagaimana Putri Andromeda bisa berlayar secepat itu dalam
semalam" Itu kayak?"
"Lima ratus tiga puluh mil laut1," kataku.
Dia menatapku. "Bagaimana kau bisa tahu itu?"
"A"aku nggak yakin."
Annabeth berpikir sejenak. "Percy di mana posisi kita?"
"36 derajat, 44 menit lintang utara2, 76 derajat, 2 menit bujur barat,"
ujarku langsung. Lalu aku menggelengkan kepala. "Wow. Bagaimana aku bisa
tahu itu?" ?"?"?"?"?"?"?"?"?"?"
Bahasa Inggrinya adalah nautical mile atau sea mile, 530 mil laut kurang lebih sama dengan 982 kilometer.
1 menit lintang/bujur hampir sama panjangnya dengan 1 mil laut.
"Karena ayahmu," tebak Annabeth. "Saat kau berada di laut, kau punya
petunjuk arah yang sempurna. Itu keren banget."
Aku tak yakin tentang itu. Aku tak ingin jadi unit GPS versi manusia. Tapi
sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Tyson mengetuk bahuku. "Perahu
lain datang." Aku memandang ke belakang. Kapal patroli petugas pesisir jelas
membuntuti kami sekarang. Lampunya menyala dan kecepatannya bertambah.
"Kita nggak bisa membiarkan mereka menangkap kita," kataku. "Mereka
akan mengajukan banyak pertanyaan."
"Teruslah melaju ke Teluk Chesapeake," kata Annabeth. "Aku tahu
tempat di mana kita bisa sembunyi."
Aku tak bertanya apa maksudnya, atau bagaimana Annabeth bisa tahu
area itu dengan baik. Aku mengambil risiko kehilangan tutup termos itu sekali
lagi, dan sebuah semburan kencang angin mengirim kami melesat ke ujung
utara Pantai Virginia menuju Teluk Chesapeake. Kapal petugas pesisir itu makin
tertinggal di belakang. Kami tak melambatkan laju perahu hingga tepi pantai
teluk menyempit di kedua sisi, dan kusadari kami telah memasuki mulut
sungai. Aku bisa merasakan perubahan dari air garam ke air tawar. Tiba-tiba aku
merasa letih dan terkuras, seolah sensasi tambahan akibat asupan gula sudah
kehilangan efeknya. Aku tak tahu lagi di mana aku sekarang, atau ke arah mana
untuk mengemudikan perahu. Untung saja Annabeth memanduku.
"Ke sana," katanya. "Melewati bukit pasir itu."
Kami berbelok ke area berlumpur diselingi dengan rerumputan rawa.
Aku tinggalkan sekoci di kaki pohon cypress raksasa.
Pohon-pohon dengan sulur rambat tampak di hadapan kami. Serangga
berdengung di balik pepohonan. Udara terasa lembap dan panas, dan uap
mengepul keluar dari aliran sungai. Pada dasarnya, tempat ini bukanlah
Manhattan, dan aku tak menyukainya.
"Ayolah," kata Annabeth. "Tempat itu berada di tepi sungai."
"Apa sebenarnya tempat itu?" tanyaku.
"Ikuti saja." Dia meraih tas ranselnya. "Dan sebaiknya kita tutupi
perahunya. Kita kan tak ingin menarik perhatian."
Setelah menutupi perahu itu dengan ranting-ranting pohon, Tyson dan
aku mengikuti Annabeth menyusuri tepi sungai. Kaki-kaki kami terbenam
genangan lumpur merah. Seekor ular merayap melewati sepatuku dan
menghilang di balik rimbunan semak.
"Bukan tempat yang bagus," kata Tyson. Dia menepis nyamuk-nyamuk
yang membentuk jajaran prasmanan di lengannya.
Setelah beberapa menit berlalu, Annabeth berseru, "Ini dia."
Yang kulihat hanyalah sepetak semak rasberi. Kemudian Annabeth
menggeser ke samping ranting-ranting yang melingkar rapi, seperti sebuah
pintu, dan kusadari aku sedang memandangi sebuah tempat persembunyian.
Ruang dalamnya cukup luas untuk menampung tiga orang, meskipun orang
ketiga seukuran Tyson. Dinding-dindingnya dianyam dari bahan-bahan
tanaman, seperti gubuk bangsa Indian, tapi tempat ini tampak cukup kedap air.
Menumpuk di pojok adalah semua perlengkapan yang akan kau butuhkan
untuk berkemah"kantong tidur, selimut, peti es, dan sebuah lampu minyak.
Ada perlengkapan khas setengah-dewa juga"lembing bermata perunggu,
kantong penuh anak panah, pedang tambahan, dan satu kotak ambrosia. Tempat
ini berbau jamur, seolah ia sudah lama sekali ditinggalkan kosong.
"Tempat persembunyian blasteran." Aku memandang Annabeth kagum.
"Kau yang buat tempat ini?"
"Thalia dan aku," ujarnya pelan. "Dan Luke."
Mestinya hal itu tidak mengusikku. Maksudku, aku tahu Thalia dan Luke
telah mengurus Annabeth saat dia masih kecil. Aku tahu mereka bertiga menjadi
pelarian bersama, bersembunyi dari para monster, bertahan hidup sendiri
sebelum Grover menemukan mereka dan berusaha membawa mereka ke Bukit
Blasteran. Tapi setiap kalinya Annabeth membicarakan tentang masa ketika dia
menghabiskan waktunya bersama mereka, aku seolah merasa " aku tak tahu
cara menyebutnya. Tak nyaman"
Bukan. Bukan itu kata tepatnya.
Kata tepatnya adalah iri.
"Jadi " " kataku. "Apa menurutmu Luke nggak akan mencari kita di
sini?" Dia menggeleng. "Kami membuat lusinan tempat persembunyian seperti
ini. Aku ragu Luke bahkan akan mengingat letak-letaknya. Atau peduli."
Annabeth menjatuhkan dirinya ke atas selimut dan mulai merogoh-rogoh
isi tas ranselnya. Bahasa tubuhnya cukup meyakinkanku bahwa dia sedang tak
ingin bicara. "Em, Tyson?" kataku. "Apa kau keberatan untuk melihat-lihat keluar"
Misalnya, melihat apakah ada toko kelontong alam liar atau semacamnya?"
"Toko kelontong?"
"Iya, buat camilan. Kue donat atau apa kek. Asal jangan pergi terlalu
jauh." "Kue donat," ujar Tyson bersemangat. "Aku akan mencari kue donat di
alam liar." Dia mengarah ke luar dan mulai memanggil-manggil, "Ke sini,
donat!" Begitu Tyson pergi, aku duduk di seberang Annebeth. "Hei, maafkan aku
tentang, kautahu, menemui Luke."
"Itu bukan salahmu." Dia mengeluarkan belati dari sarungnya dan mulai
membersihkan pisaunya dengan secarik kain lap.
"Dia membebaskan kita terlalu mudah," kataku.
Aku berharap itu bayanganku saja, tapi Annabeth mengangguk. "Aku
memikirkan hal yang sama. Perkataannya yang kita curi-dengar tentang
taruhan, dan 'mereka akan mengambil umpannya' " Aku pikir dia sedang
membicarakan tentang kita."
"Bulu Domba itu adalah umpannya" Atau malah Grover?"
Annabeth menekuni ujung belatinya. "Aku nggak tahu, Percy. Barangkali
dia menginginkan Bulu Domba itu untuk dirinya sendiri. Barangkali dia
berharap kita akan mengerjakan tugas beratnya dan kemudian dia tinggal
mencurinya dari kita. Aku hanya nggak bisa memercayai bisa-bisanya dia
meracuni pohon Thalia."
"Apa maksudnya," tanyaku, "bahwa Thalia akan berada di pihaknya?"
"Dia salah." "Kau nggak kedengaran yakin."
Annabeth memelototiku, dan aku mulai berharap seandainya aku tak
bertanya tentang hal ini saat dia sedang menggenggam belatinya.
"Percy, kautahu kau sangat mengingatkanku pada siapa" Thalia. Kalian
berdua begitu mirip sampai-sampai terasa menakutkan. Maksudku, entah kalian
berdua akan jadi sahabat terdekat atau kalian akan saling mencekik satu sama
lain." "Kita ambil saja pilihan 'sahabat terdekat'."
"Thalia kadang-kadang merasa begitu marah pada ayahnya. Begitu pula
denganmu. Apa kau akan berbalik memusuhi Olympus karena itu?"
Aku memandang pada sekantong anak panah di pojokan. "Tidak."
"Baiklah, kalau begitu. Begitu pula dengan Thalia. Luke salah besar."
Annebeth menancapkan pisau belatinya ke tanah.
Aku ingin bertanya kepadanya tentang ramalan yang disebutkan Luke
dan apa hubungannya dengan ulang tahunku yang keenam belas. Tapi kupikir
dia tak akan memberitahuku. Chiron sudah menetapkan dengan jelas bahwa
aku tak diperbolehkan mendengar isi ramalan itu sampai para dewa
memutuskan sebaliknya. "Jadi apa maksud Luke tentang Cyclops?" tanyaku. "Dia bilang kau dari
semua orang yang dia kenal?"
"Aku tahu apa yang dia katakan. Dia " dia sedang membicarakan
tentang penyebab sebenarnya Thalia terbunuh."
Aku menunggu, tak yakin apa yang harus kukatakan.
Annabeth menarik napas dengan bergetar. "Kau nggak pernah bisa
memercayai seorang Cyclops, Percy. Enam tahun lalu, pada malam saat Grover
memimpin kami memasuki Bukit Blasteran?"
Dia tersela saat pintu gubuk membuka. Tyson merayap masuk.
"Donat gula!" serunya bangga, sambil mengangkat kotak kue.
Annabeth memandanginya. "Dari mana kau bisa dapat itu" Kita berada
di tengah-tengah hutan belantara. Nggak ada apa pun di sekitar setidaknya
sampai sejauh?" "Lima belas meter," ujar Tyson. "Toko Donat Monster"tepat di balik
Lautan Monster The Sea Of Monsters Percy Jackson And The Olympians 2 Karya Rick Riordan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bukit!" "Ini buruk," gumam Annabeth.
Kami sedang membungkuk di balik pohon, memandangi toko donat di
tengah hutan. Toko itu kelihatan baru, dengan jendela-jendela berpencahayaan
terang, area parkir, dan sebuah jalan setapak mengarah ke hutan, tapi tak ada
apa pun di sekitarnya, dan tak ada satu pun mobil terparkir di area parkir. Kami
bisa melihat seorang pegawai membaca majalah di balik meja kasir. Hanya itu.
Pada plang nama toko, dengan huruf-huruf hitam besar yang bahkan aku
Pedang Dewa Naga Sastra 5 Di Bawah Lentera Merah Karya Soe Hok Gie Sang Penebus 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama