Ceritasilat Novel Online

Monk Sang Detektif Genius 4

Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Bagian 4


Monk memakai kembali sarung tangannya dengan wajah cerah, mulai memindahkan kantong-kantong sampahnya ke belakang tali pembatas.
"Anda baik sekali, Mr. Grimsley," kataku.
Grimsley menggeleng. "Mr. Monk adalah orang yang sangat unik. Saya bisa m
erasakan tantangan yang harus dia hadapi agar mampu seharian mengoreki sampah. Itu patut dihargai, Miss Teeger. Wajib dihargai dan diakui."
Grimsley menunjuk kantong-kantong biru di tengah area yang baru saja dibaptis jadi zona sembilan itu. "Dan hanya ini yang bisa saya lakukan."
Saat Monk kembali, terlihat jelas kelegaan di wajahnya Kami memang belum menemukan barang bukti yang dibutuhkan untuk mendakwa Lucas Breen, tapi setidaknya secuil keteraturan telah berhasil ditegakkan.
18 MR. MONK TINGGAL DI RUMAH
Monk membiarkanku mandi lebih dulu-sadar bahwa ia selalu lama kalau mandi. Malah, ia juga menyarankan bahwa mungkin Julie mau mengatur jadwal tertentu dengan Mrs. Throphamner untuk minta izin memakai kamar mandinya jika dibutuhkan.
Saat Monk mandi, kududukkan Julie di ruang tengah dan memberinya instruksi terperinci tentang kegiatan malam ini. Aku ingin ia mengawasi Monk baik-baik dan memastikannya tidak menata ulang lagi rumah kami sementara aku pergi, dan agar segera meneleponku kalau ada apa-apa.
"Jadi pendek kata, Mama mau aku menjaganya seperti baby sitter" tandas Julie.
"Mama tidak bilang begitu," jawabku. "Mama minta kamu menjaga rumah kita, barang-barang kita, privasi kita."
"Dengan kata lain, Mama ingin aku menjaga Monk dan menjaga keamanan." "Maksudmu apa""
"Lebih baik mengerjakan hal lain daripada mengawasi Mr. Monk semalaman sementara Mama asyik kencan dengan Joe," ujar Julie. "Kalau mau aku menjaganya, Mama harus bayar. Enam dolar sejam, plus pengeluaran lain."
"Pengeluaran apa""
"Yaah, kan bisa saja terjadi sesuatu yang tidak diharapkan," kilah Julie.
"Kalau kerjamu benar, tak akan terjadi hal seperti
itu." "Oke. Enam dolar sejam, plus Mama telepon layanan antar ayam goreng," jawab Julie cepat. "Kecuali Mama lebih suka Mr. Monk memasak di dapur kita tanpa pengawasan Mama. Mana tahu ada lagi yang ia temukan, tata ulang, atau buang""
Benar juga. Sejak kapan Julie sedemikian jeli" Dan dari mana ia belajar negosiasi bisnis" Dasar anak zaman sekarang. Mereka tumbuh terlalu cepat.
"Baiklah," aku mengangguk.
Kami berjabat tangan meresmikan kesepakatan, lalu kutarik dan kupeluk ia. Setelannya, Julie menatap dengan kening berkerut.
"Pelukan tadi untuk apa"" ia bertanya.
"Untuk kedewasaanmu," jawabku. "Karena kamu begitu menggemaskan. Mengejutkan mama. Karena kamu menjadi diri sendiri. Mama teruskan""
"Jangan," geleng Julie. "Sudah cukup."
Terdengar ketukan di pintu. Julie melompat dari sofa dan membuka pintu. Joe Cochran berdiri di situ, menggenggam seikat bunga seperti minggu lalu.
"Kau tak harus membawakanku bunga setiap kali kemari," aku berkata.
"Ini bukan buatmu, kok. Ini buatku sendiri... kalau-kalau mandiku tak cukup bersih setelah pesta kita di tong sampah." Joe tersenyum. "Baunya harum sekali. Boleh kubawa terus sepanjang malam ini""
"Jangan, ah. Sini." Aku tersenyum sambil menggeleng. Kuambil dan kuletakkan buket itu di jambangan. Pada Julie kukatakan agar jangan melek terus sampai malam, lalu kucium pipinya dan langsung pergi.
Joe membawaku makan malam di Audiffred, sebuah bistro Prancis yang letaknya berseberangan dengan Gedung Audiffred di Jalan One Market di daerah pelabuhan. Gedung itu dibangun pada akhir 1800-an oleh seorang Prancis yang kangen rumah. Tak heran jadi begitu kental dengan motif-motif arsitektural Prancis seperti atap sirip dengan dua landaian di tiap sisi, tembok bata ala benteng berdekorasi, dan jendela-jendela tinggi berujung lengkung.
Audiffred juga terhitung rumah makan mewah. Untung saja kebanyakan tempat makan di San Francisco mengadopsi filosofi Los Angeles di mana kita bisa pergi ke mana pun dalam setelan jins dan sepatu joging, asal tetap menjaga sikap.
Baguslah. Aku paling jago menjaga sikap. Andai ini juga bisa dipakai membayar hipotek rumah.
Joe memesan steak sapi, dimasak matang dengan taburan kentang dan bayam. Tertulis di menu bahwa sapi yang mengorbankan dirinya demi makan malam Joe adalah seekor vegan-vegetarian ketat, dan tak pernah mengonsumsi hormon. Sumpah, aku tak pernah melihat diet sapi ditulis di menu, di restoran mana pun.
Aku memesan domba panggang.
Waktu kutanya pelayan yang sok gagah apakah dombaku vegan atau tidak, ia hanya menatap kosong. Senyum pun tidak waktu kutanya apa makanan favorit ikan di sini sebelum berakhir di piring pelanggan. Masa bodoh kalau aku terlihat norak. Yang penting Joe tampak terhibur.
"Mereka tegang sekali, ya"" ujar Joe. "Dan makanannya juga tidak cukup enak untuk membuat mereka pantas bersikap pongah."
"Lalu, kenapa kita kemari""
"Makanannya lumayan, dekorasinya bagus, dan tempat ini sudah lebih dari seratus tahun berhubungan baik dengan Departemen Pemadam Kebakaran."
"Maksudmu, pemilik tempat ini sering menyumbang ke pemadam kebakaran""
"Lebih dari itu," jawab Joe. "Mereka menyumbang miras."
Joe menjelaskan bahwa Gedung Audiffred adalah satu dari sangat sedikit bangunan yang selamat dari gempa dahsyat tahun 1906 dan kebakaran yang menyusul kemudian.
"Pemiliknya waktu itu menawarkan satu tong wiski untuk setiap petugas pemadam kalau mereka menyelamatkan gedung ini dari kebakaran," tutur Joe. "Mereka setuju, dan sejak itu petugas pemadam kebakaran boleh minum gratis di sini."
"Mungkin para pelayan bersikap pongah padamu lantaran tahu bahwa kau minum gratis di sini," kataku bercanda. "Aku bukan perawat atau apa, tapi apa kau sudah boleh minum alkohol setelah musibah kemarin malam""
Joe menyentuh perban di kepalanya. "Oh, ini" Ah, bukan apa-apa, kok. Aku pernah terluka lebih parah." "Masa""
"Aku punya bekas luka bakar parah di punggung dari kebakaran beberapa tahun lalu," ujar Joe. "Buruk sekali kelihatannya, makanya aku pakai kemeja untuk makan malam kali ini."
"Hmm... begitu, ya."
Begitulah, Joe pun menceritakan bagaimana luka bakar itu terjadi. Jujur saja, aku tak banyak ingat detailnya, kecuali bahwa peristiwa itu melibatkan kebakaran di sebuah rumah petak, tangga yang runtuh, dan bahwa ia nyaris tewas dalam usaha menyelamatkan diri. Sementara bercerita, wajah Joe bercahaya, bersemangat, tampak begitu seru dan kata-kata mengalir cepat penuh gairah. Kiranya itu merupakan kenangan yang traumatis namun dengan senang hati diceritakan, walau telah meninggalkan luka parut seumur hidup.
Aku lebih dari mafhum bahwa memang begini lazimnya kencan awal: Kita bercerita tentang diri sendiri sejelas mungkin, atau setidaknya mengilustrasikan aspek-aspek dalam hidup kita dan karakter pribadi yang kita anggap penting untuk diunjukkan. Jeleknya, kadang ini juga mengungkap sisi-sisi yang sejatinya tak ingin diungkapkan.
Kisah ini jelas membuktikan Joe sebagai sosok penyayang, pemberani, dan heroik, tapi bukan itu kesan yang kutangkap. Kesan yang kuterima adalah betapa sukanya ia menantang api-tidak, ia mencintai pekerjaan menantang api. Risiko nyawa melayang sama sekali tidak dianggap. Kecelakaan yang menimpa bertahun lalu dan yang baru saja terjadi malam kemarin adalah hal-hal biasa yang pasti akan dialami lagi.
Ah, biasa saja. Sudah jadi risiko pekerjaan.
Ia mencintai pekerjaan menantang api sebagaimana Mitch mencintai pekerjaan menerbangkan pesawat tempur. Tak heran aku menyukai Joe. Ia tampan, dengan tubuh yang bagus dan sifat yang mengingatkanku pada Mitch.
Tapi makin banyak ia bicara dan makin aku merasa terpikat, kegelisahanku juga makin menggila.
Apa ini sekadar perasaan takut memulai hubungan baru" Atau sesuatu yang sama sekali lain"
Hidangan kami tiba. Joe bertanya bagaimana aku menyeimbangkan antara posisi sebagai orang tua tunggal dan bekerja untuk Monk. Kurasa ia tanya ini karena ia ingin segera menyantap steak-nya sebelum dingin. Tak mungkin melahap nikmat sambil bertukar anekdot seru soal kebakaran.
Jadilah kini giliranku menuturkan cerita yang bisa mencitrakan betapa pandai, lucu, penyayang, kuat, dan hebatnya diriku. Kegelisahan makin terasa dan merambat menuju panik. Cerita dahsyat macam apa yang kupunya yang mampu melakukan semua itu" Rasanya aku tak punya.
"Aku tidak menganggapnya sebagai usaha penyeimbangan antara menjadi orang tua tunggal dan apa pun selainnya. Julie tetap nomor satu. Melebihi aku dan apa pun juga. Aku hanya berusaha melalui hari demi hari sebaik mungkin. Itu saja."
"Bagaimana ceritanya sampai kau bisa bekerja un
tuk Monk"" Oke, ini memang kisah yang bagus. Tapi aku cenderung segan menceritakannya. Aku lebih fasih menuturkan anekdot lucu soal keanehan perilaku obsesif-kompulsif Monk, meski selalu merasa bersalah setelannya karena seperti mengkhianati kepercayaan.
"Ada yang masuk ke rumahku pada suatu malam. Aku memergokinya dan dia mencoba membunuhku. Tapi, malah aku yang membunuhnya. Polisi tak bisa mengungkap kenapa orang itu masuk ke rumah, jadi mereka memanggil Monk untuk membantu menyelidiki."
Joe meletakkan garpunya. "Kau membunuh orang""
Aku mengangguk,"Tidak bermaksud begitu. Aku membela diri. Aku sendiri masih tak percaya pernah membunuh orang. Dalam situasi demikian, kupikir insting lebih banyak mengambil alih. Kulakukan apa yang mesti kulakukan untuk bertahan hidup. Aku beruntung ada gunting tergeletak tak jauh dari posisiku saat dicekik. Kalau tidak, aku pasti sudah mati."
Tak pernah terbayang aku mampu melakukan kekerasan, apalagi sampai membunuh orang. Kenangan ini selalu kuhindari. Menakutkan. Bukan soal si penyerang, perkelahian, atau fakta bahwa aku nyaris mati yang menakutkanku. Aku lebih memikirkan apa yang akan terjadi pada Julie kalau aku terbunuh.
Apa yang akan dilakukan si penjahat padanya" Pun andai Julie lolos, bagaimana kehidupannya kelak setelah kehilangan kedua orang tua dalam kematian berdarah"
Mungkin alasan dari rasa takut ini yang membuatku mampu balas menyerang dengan sengit. Lebih baik membunuh daripada dibunuh. Membuatku mampu melakukan sesuatu yang tak mungkin kulakukan dalam situasi berbeda.
Setelah pengalaman itu, aku segera mendaftarkan Julie ikut kursus Tae Kwon Do, walau ia protes. Aku ingin memastikan bahwa kalau kelak ia diserang, instingnya juga mengambil alih untuk menyerang balik.
Bisa kulihat betapa Joe ingin tahu lebih banyak detail tentang pembunuhan itu, tapi ia cukup baik hati dan pengertian untuk tidak memaksakan pertanyaan. Ia beralih ke topik lain.
"Kenapa penjahat itu masuk rumahmu""
"Monk berhasil mengetahui bahwa dia mengincar sebuah batu dalam akuarium ikan mas koki milik putriku," tuturku. "Batu itu berasal dari bulan."
"Dari bulan" Maksudmu, bulan yang itu"" unjuk Joe.
"Yeah, bulan yang itu," aku mengangguk. "Ceritanya panjang."
"Iya, ceritamu memang panjang-panjang." Joe menggapai tanganku. "Aku ingin mendengar semuanya."
Tangan Joe besar, hangat, dan kuat. Membuatku tak sanggup mengelak membayangkan bagaimana rasanya jika ia menyentuh pipi, punggung, dan kakiku.
Aku jadi makin sadar, sudah berbulan-bulan sejak terakhir kali aku bersama seorang lelaki. Kegelisahan pun bergolak.
Aku wanita normal, sehat, relatif masih muda, dan tak malu mengakui kebutuhanku, jadi bukan itu yang jadi masalah. Bukan pula soal prospek mengundang seorang lelaki ke dalam hidupku. Ada beberapa lelaki setelah Mitch, dan Joe adalah lelaki pertama yang mampu memberi perasaan mendalam. Bukan pula soal sosok Joe sebagai pribadi atau bagaimana perasaan Julie terhadapnya.
Namun, kegelisahan dan ketakutan tetap bercokol. Tak mau pergi.
Dering ponsel menyelamatkanku dari keharusan bercerita lebih banyak. Dengan enggan aku menarik tanganku dari genggaman tangan Joe untuk menjawab telepon.
Aku sudah yakin ini pasti telepon dari Julie, dengan laporan bahwa Monk lagi-lagi bertindak sinting, seperti mengatur ulang isi laci di kamar tidurku, misalnya. Aku merinding membayangkan apa yang bakal ditemukan Monk-dan Julie, di dalamnya.
Ternyata bukan dari Julie, dan rahasia kamar tidurku tetap aman. Panggilan ini dari Kapten Stottlemeyer.
"Kau bersama Monk"" ia bertanya.
"Tidak," jawabku. "Kenapa""
"Ada kasus pembunuhan, dan aku butuh pendapat Monk. Bisa bawa dia kemari""
Bukan hal aneh bagi Stottlemeyer meminta bantuan Monk memecahkan kasus pembunuhan pelik. Monk sering dimintai bantuan konsultasi oleh SFPD, hampir dalam setiap kasus, walau tak ada yang bilang berapa besar ia dibayar.
Stottlemeyer memberi arahan jalan menuju TKP. Tak jauh dari restoran, tapi aku harus pulang dan menjemput Monk lebih dulu.
"Kami ke sana sejam lagi." Aku langsung menutup telepon. "Maaf, Joe, tapi kita harus pergi. Ada pembunuha
n, dan polisi minta bantuan Monk."
"Tak bisa menunggu sampai hidangan penutup""
"Anggap saja panggilan ini sebagai panggilan kebakaran."
"Aku mengerti." Joe melambaikan tangan memanggil pelayan.
*** Dalam perjalanan pulang, kujelaskan hubungan kerjaku dengan Monk. Joe tak terlalu paham apa pekerjaanku
sebenarnya. Kujelaskan bahwa pekerjaanku lebih banyak membantu Monk menata tuntutan hidup sehari-hari dan memuluskan interaksinya dengan orang lain agar ia bisa berkonsentrasi memecahkan kasus pembunuhan. Juga bahwa aku banyak memberi tisu basah dan menjaganya agar tidak dehidrasi dengan bekal Sierra Springs, satu-satunya air yang mau ia minum.
"Aku tidak tahu bagaimana kau mampu melakukan semua itu," kata Joe saat mengantar sampai depan pintu.
"Sering kali aku juga tidak tahu."
Ia menciumku. Ciuman sungguhan yang dalam, penuh gairah dan membuat sebelah kaki terangkat seperti di film-film lawas. Aku membalas dengan tulus. Ciuman itu hanya berlangsung sekitar semenit, tapi begitu selesai jantungku berdebar keras seperti habis lari satu kilometer. Ciuman yang begitu menjanjikan banyak hal, lahir dari kegentingan akibat keharusan berpisah. Buatku sendiri, ada sedikit kesan melankolis. Entah kenapa rasanya seperti ciuman perpisahan, padahal kami akan bertemu lagi di tempat pembuangan sampah besok pagi.
Aku tak punya waktu meneruskan renungan, karena buru-buru. Kugedor pintu kamar mandi agar Monk segera keluar. Kukatakan bahwa Stottlemeyer membutuhkannya segera di TKP. Lalu kupanggil Mrs. Throphamner. Untunglah ia bersedia datang dan menjaga Julie.
"Aku masih berhak dibayar per jam atas layananku, Ma," Julie berkata.
"Tapi Mr. Monk kan tidak pernah keluar dari kamar mandi," elakku. "Kau tak harus melakukan apa-apa."
"Bukan urusanku dia mengurung diri di situ," jawab Julie sambil mengangkat bahu.
Akhirnya aku mengalah. Kurogoh dompet dan memberi selembar dua puluh dolar karena tak ada pecahan sepuluh atau satu dolar. Hanya ini yang kudapat dari ATM. "Ini. Sisanya simpan buat tagihan berikut, kalau mama meminta jasamu lagi."
Monk muncul dari kamar mandi dengan pakaian lengkap dan rapi, seperti hendak memulai hari baru. Di belakangnya, kamar mandi tampak seperti belum pernah dipakai sama sekali. Monk menggeliat tak nyaman di balik pakaian.
"Ada apa"" tanyaku.
"Aku masih merasa kotor," jawab Monk.
"Nanti juga terbiasa."
"Iya, setelah beberapa tahun..."
"Beberapa tahun""
"Mungkin tak lebih dari dua puluh tahun," tandas Monk. "Atau bisa juga tiga puluh tahun. Tapi ini perhitungan kasar saja."
Aku menghitung dalam hati, jadi kira-kira satu tahun untuk setiap ton sampah yang harus kami bongkar.
Monk mendapati bunga di jambangan. "Siapa yang membawa ini""
"Joe. Sebenarnya, ia membawa itu untuk dirinya sendiri. Takut masih bau sampah," kataku. "Mungkin Anda suka""
Monk membungkuk mengendus, tegak lagi dan mulai menyentak-nyentak leher seperti yang pernah ia lakukan di meja dapurku tempo hari. Biasanya ini terjadi kalau ada fakta yang tidak pas.
Aku baru hendak bertanya ada apa di bunga itu ketika Mrs. Throphamner tiba dan langsung menuju TV.
"Maaf, serial Murder, She Wrote sedang tayang," ujarnya. "Aku tak ingin ketinggalan pembunuhan."
"Silakan," ujar Monk sopan sambil berjalan ke pintu. "Kami juga agak terlambat menghadiri pembunuhan."
19 MR. MONK DAN TISU WET ONES
Kapten Stottlemeyer menunggu kami di Jalan Harrison. Gabungan angin dingin dan bisingnya lalu lintas menciptakan jeritan keras seperti derak tulang, seolah bumi ikut menjerit kesakitan.
Jalan ini melewati sebidang tanah kosong bersaput alang-alang, dibatasi pagar cor karatan yang ambruk dan berlubang di banyak tempat. Stottlemeyer berdiri di depan salah satu bukaan pagar itu, dengan tangan terselip erat di saku mantel dan kerah terangkat tinggi menghalangi gigitan angin. Di belakang, para ahli forensik dalam balutan jaket biru bergerak lambat-lambat menyisir lapangan, mencari petunjuk.
Macam-macam sofa bekas bertebaran, juga kasur rusak, gubuk-gubuk kasar dari potongan kayu, lempengan besi karatan dan kotak kardus yang didirikan di atas ranjang kayu pelabuhan. Kereta-ker
eta dorong khas supermarket berisi kantong-kantong sampah diparkir di depan salah satu gubuk, seperti mobil parkir.
"Maaf menyeretmu jauh-jauh kemari, Monk," ujar Stottlemeyer.
"Ke mana orang-orang"" tanya Monk.
"Orang-orang apa"" Stottlemeyer balik bertanya.
"Penghuni tempat ini." Tangan Monk menunjuk berkeliling, ke arah gubuk-gubuk kardus dan potongan kayu di tempat ini.
"Mereka langsung kabur seperti tikus panik setelah seseorang dari mereka menemukan mayat," ujar Stottlemeyer. "Beberapa petugas dalam mobil patroli kebetulan lewat saat kehebohan terjadi. Ini memicu keingintahuan dan mereka lantas menyelidiki. Untung saja mereka lewat, kalau tidak, bisa berminggu-minggu sebelum mayat itu ditemukan-itu pun kalau ketemu."
"Kenapa begitu""
"Kami j arang melewati tempat ini," jelas Stottlemeyer. "Pun kalau iya, posisi mayat cukup tersamar."
Sang kapten mengajak kami melewati sebuah lubang di pagar sementara ia menahan tudung yang menutupi lubang itu. Monk ragu sebentar, lalu menoleh padaku.
"Aku butuh pakaian khusus itu lagi," ujar Monk.
"Pakaian khusus apa"" tanyaku.
"Pakaian anti-epidemi yang kupakai seharian tadi," jawab Monk. "Aku harus memakainya."
"Kita sudah mengembalikan pakaian itu dalam perjalanan pulang," kataku. "Anda sendiri yang berkeras bahwa pakaian itu harus dibakar."
"Aku tahu," angguk Monk. "Aku mesti beli atau menyewa lagi."
"Tokonya sudah tutup."
"Tak apa," jawab Monk. "Kita bisa menunggu."
"Mereka tutup permanen, setidaknya buat Anda," tukasku. "Pemilik toko sudah menegaskan begitu."
"Aku akan menunggu di mobil. Kau yang masuk."
Stottlemeyer menggeram jengkel. "Monk, ini sudah malam. Aku kerja hampir enam belas jam. Dan ini pembunuhan ketiga seharian ini. Aku lapar, kedinginan, dan ingin cepat pulang."
"Tak masalah kalau begitu," ujar Monk. "Kita kembali ke sini besok pagi."
Monk mulai melangkah hendak pergi, tapi Stottlemeyer menyambar lengannya. "Maksudku, kau boleh memilih: lewati lubang di pagar itu sendiri atau kulempar."
"Aku lebih suka pilihan ketiga."
"Tidak ada pilihan ketiga."
"Bagaimana dengan pilihan keempat" Soalnya, tiga bukan bilangan bagus."
"Bagaimana kalau kau kulempar sekarang juga""
"Itu pilihan ketiga. Tadi kau bilang hanya ada dua pilihan," timpal Monk. "Bagaimana kita bisa bicara serius kalau kau kacau begitu""
Stottlemeyer mendekat dengan lagak mengancam. Matanya menyipit bengis.
"Baik, baik," ujar Monk, mendorong Stottlemeyer agar menjauh. "Beri aku waktu barang sebentar."
Monk menatap lubang itu, melihat lapangan, menatapku. Lalu melihat berkeliling lagi.
"Waktumu lima detik,", tukas Stottlemeyer dengan nada jengkel, sarat ancaman kekerasan.
Monk menjangkau ke arahku sambil menjentikkan jari. "Lap."
Kuberi empat bungkus. Monk memakai dua bungkus untuk mengelap patahan cor pagar yang akan disentuh saat melewati lubang. Sisanya dipakai untuk melindungi jari saat menyentuh ujung-ujung pagar yang baru dibersihkan.
Monk mengambil napas dalam-dalam, lalu bergegas melewati lubang. Di seberang, terdengar ia melompat dan menjerit menghindari sesuatu di tanah.
"Ada apa"" tanyaku.
"Tutup botol." Monk mengucapkannya dengan napas tertahan, seolah baru saja nyaris menginjak ranjau.
Aku menyusul melewati lubang, diikuti Stottlemeyer yang langsung melotot ke arah Monk.
"Lewat sini," pandu sang kapten. Ia langsung memimpin jalan di depan, menuntun menyusuri lapangan ke arah jalan tol.
Monk menjerit lagi. Aku menoleh.
"Bungkus permen," ia berkata.
"Kau seharian berkubang di tengah tiga puluh ton sampah dan sekarang takut gara-gara bungkus permen""
"Waktu itu aku pakai pelindung," jawab Monk. "Dan bungkus permen ini besar sekali."
Aku lelah. Jadi kupunggungi ia dan berjalan lagi melintasi alang-alang.
Monk melangkah hati-hati melintasi lapangan seperti anak kecil main jingkat-jingkatan.
Entah apa yang dihindari Monk, aku tak peduli. Mungkin kotoran anjing atau bunga dandelion. Buat Monk, dua-duanya sama-sama menjijikkan.
Kalau aku terdengar kesal, itu karena aku memang kesal. Sudah cukup menyebalkan harus terpaksa pergi dari kencan yang menyenangkan ke perkampungan gembel berbau pesing dem
i sesosok mayat. Kalau sekarang harus mengurusi ketakutan irasional Monk juga, wah... kelewatan.
Tapi kalau mau jujur, kekesalanku sebenarnya tidak disebabkan oleh tempat ini, pembunuhan, atau Monk, tapi
lebih oleh perasaan yang timbul sewaktu mencium Joe, dan makna yang kurasakan.
Stottlemeyer membawa kami ke pematang di jalan setapak di bawah jalan tol, ke sebuah gubuk kardus sempit nan miring di dasar jembatan penyeberangan. Terlihat dua buah kaki, disatukan dan diikat dengan plester pipa, muncul dari pintu gubuk. Mengingatkanku pada Si Penyihir Jahat setelah tertiban rumah dalam film Wizard ofOz.
"Korban ditemukan di sini," ujar Stottlemeyer.
"Ya, aku lihat," timpal Monk.
"Tak mau masuk untuk melihat lebih jelas""
"Tidak, sampai aku mengenakan pakaian khusus."
"Kenapa tidak kau pakai saja pakaian sialan itu setiap saat"" tukas Stottlemeyer. "Dengan begitu, kau tak harus khawatir lagi bernapas atau menyentuh apa pun."
"Karena akan tampak aneh," jawab Monk kalem. "Secara sosial."
"Secara sosial," aku membeo.
"Aku tidak suka menarik perhatian," ujar Monk lagi. "Salah satu keuntungan terbesarku sebagai detektif adalah kemampuan alamiah untuk menyelinap dengan mulus dan tak disadari ke hampir semua situasi sosial."
"Tapi pikirkan uang yang bisa kau hemat untuk membeli tisu basah," kata Stottlemeyer.
Monk mengeluarkan gantungan kunci dari saku dan menyorotkan pulpen senter dari gantungan itu ke gubuk. Berkas cahaya menampilkan seorang pria terbaring telentang. Ia mengenakan setidaknya setengah lusin kemeja dan jenggotnya lebat tak terurus. Lebih dari itu, ia tak bisa dikenali. Kepalanya remuk oleh hantaman bata, kemungkinan bata yang kini tergeletak bersimbah darah di sampingnya.
Aku membuang muka. Sebelum bertemu Monk, aku sukses menjalani hidup tanpa pernah melihat mayat. Tak pernah melihat tubuh-tubuh tak bernyawa karena ditembak, ditusuk, dicekik, dipukuli, diracun, dipotong-potong, atau dihajar batu. Sekarang aku melihat korban pembunuhan seperti itu sedikitnya dua atau tiga kali seminggu. Aku berpikir, kapan atau apakah akhirnya aku akan terbiasa" Apakah aku tetap jadi orang baik jika tak pernah terbiasa"
"Temanmu"" tanya Stottlemeyer pada Monk.
"Apa dia tampak seperti temanku" Bukannya tadi kita sedang membahas pakaian khusus""
"Aku tak akan pernah lupa diskusi yang tadi," tegas Stottlemeyer. "Tapi tetap saja, kupikir kau mengenalnya. Makanya aku panggil kemari."
"Hari ini aku mandi melebihi dia dalam sepuluh tahun terakhir," protes Monk sambil menunjuk korban. "Apa yang membuatmu berpikir kami saling kenal""
Stottlemeyer menunjuk pinggiran pematang. Monk mengintip ke arah itu dan melihat beberapa lusin bungkus tisu basah merek Wet Ones tercecer di alang-alang.
"Hanya kau yang aku tahu selalu membawa-bawa segitu banyak Wet Ones."
Monk menatapku dan kami langsung menyadari satu hal. Tubuhku menggigil, tapi bukan karena tiupan angin.
"Jadi, kalian memang kenal dia, ya"" tegas Stottlemeyer setelah membaca wajah kami.
"Kami pernah melihat orang ini mengemis di gang dekat Excelsior," aku menjelaskan. "Dia minta uang, tapi Mr. Monk malah memberinya Wet Ones."
"Yeah, tak heran," ujar Stottlemeyer.
"Tak mudah mengenalinya begitu saja," aku menambahkan. "Dia tampak jauh berbeda dalam kubangan darah menutupi wajah, dan...."
Aku tak sanggup meneruskan. Stottlemeyer mengangguk. "Aku mengerti, tak apa."
"Bukan hanya itu alasan kami tak mengenali dia," imbuh Monk.
Ia berbalik ke gubuk, membungkuk dekat pintu, mengarahkan senter ke tubuh korban dan seluruh bagian dalam gubuk. Lalu bersin.
Monk berdiri lagi, memutar bahu, dan saat menatap kami, mata basahnya berkilapan.
"Aku tahu siapa pembunuhnya," kata Monk, lalu bersin lagi.
"Benarkah"" tanya Stottlemeyer takjub. "Siapa"" "Lucas Breen."
"Breen"" Stottlemeyer mendesah lelah. "Yang benar saja, Monk. Kau yakin" Kau mendakwanya dengan tuduhan membunuh seorang nenek-nenek, seekor anjing, dan sekarang gelandangan. Memangnya dia apa, pembunuh berantai""
Monk menggeleng dan bersin lagi. "Hanya seorang pria yang ingin lolos dari tuduhan pembunuhan. Sialnya, dia harus terus membunuh u
ntuk itu." "Kenapa kau pikir ini perbuatan Breen"" tanya Stottlemeyer.
"Lihat saja dirimu, Kapten. Mantelmu terkancing rapat sampai hidung." Monk berbalik menyorotkan senter ke tubuh korban. "Tapi dia tidak."
"Mungkin karena tidak punya mantel," timpal Stottlemeyer.
"Oho, dia punya dan mengenakan mantel waktu kami melihatnya kemarin," ujar Monk. "Mantel besar, kotor, dan compang-camping."
Tidak, tidak kotor dan compang-camping. Lebih tepat gosong bekas terbakar. Dan kami luput memperhatikan. Kalau saja kami tahu apa yang kami cari
dan apa yang kami lihat waktu itu, kasus ini sudah selesai dan mungkin bisa menyelamatkan nyawa si gelandangan.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Monk merasa bersalah dan bodoh sebagaimana aku saat ini.
"Lucas Breen membunuh korban demi sebuah mantel dan melempar tisu yang ada dalam kantongnya begitu saja." Monk bersin lagi. "Ini membuktikan betapa rendah dia memandang nyawa manusia."
Aku tak yakin maksud Monk. Apa memang begitu sudut pandang yang benar soal kekejian Breen" Aku tak berani tanya.
Stottlemeyer menunjuk ke arah mayat. "Maksudmu, orang ini mengenakan mantel Lucas Breen""
Monk mengangguk dan membuang ingus. "Dia pasti berkeliaran di sekitar tong sampah hotel pada malam pembunuhan. Manusia nekat yang menantang kematian, dan akibatnya fatal."
"Rasanya dia tewas bukan lantaran mengorek-ngorek sampah," ujar Stottlemeyer.
Monk mengambil kantong plastik Ziploc yang bisa disegel dari saku, lalu membuang tisu Kleenex bekas ingus ke dalamnya. "Kalau tidak gara-gara mantel pengantar bencana, sudah pasti dia bakal mati mengerikan bersimbah liur gara-gara virus pemakan daging dari tong sampah."
"Pengantar bencana"" tanya Stottlemeyer.
"Mati mengerikan bersimbah liur"" aku membeo, menanyakan maksud hiperbola Monk.
"Syukurlah kita punya Wet Ones" tukas Monk.
"Bagaimana Breen tahu orang ini mengambil mantelnya"" tanya Stottlemeyer.
Aku tahu jawabannya, tapi ini tidak membuatku merasa pintar. Justru sebaliknya.
"Waktu kita bicara dengan Breen di lobi gedung kantornya, orang ini lewat di luar jendela bersama kereta barangnya. Breen melihatnya dan langsung mengenali mantel yang dikenakannya."
"Dia pasti memaki dalam hati," timpal Stottlemeyer. "Waktu itu dia duduk di sana, bersama seorang detektif pembunuhan dan kalian yang menuduhnya sebagai pembunuh. Sementara di luar jendela, seorang gelandangan lewat mengenakan barang bukti yang bisa menggiringnya ke hukuman mati. Sejak itu Breen mungkin jungkir balik seperti orang gila mencari gelandangan ini."
"Yeah." Aku mengangguk. "Sedangkan kami malah menghabiskan waktu sia-sia mengorek-ngorek sampah San Francisco.
"Petugas medis sudah kemari"" tanya Monk.
"Dia sudah pergi, persis sebelum kalian tiba."
"Apa dia sempat bilang, sudah berapa lama orang ini tewas""
Sang kapten mengangguk. "Sekitar dua jam."
"Mungkin masih ada waktu," ujar Monk. "Waktu untuk apa"" "Untuk mencegah Breen lolos diri dari tiga pembunuhan," tegas Monk.
20 MR. M0NK MAIN KUCING-KUCINGAN
Bay Bridge, jembatan yang menghubungkan Oakland dengan San Francisco, sebenarnya terdiri atas dua jembatan-satu menuju Pulau Yerba Buena dan satu lagi menjauh dari pulau tersebut, tergantung kita datang dari sisi pelabuhan yang mana. Kedua jembatan dihubungkan oleh terowongan yang memotong persis di tengah pulau.
Treasure Island atau Pulau Harta berada persis di sebelah Pulau Yerba Buena-sebuah gugusan pulau datar buatan manusia yang dibuat sebagai lokasi Eksposisi internasional Golden Gate tahun 1939 dan pernah dipakai pemerintah AS selama Perang Dunia II sebagai pangkalan Angkatan Laut.
Nama Pulau Harta berasal dari butiran-butiran emas di Delta Sungai Sacramento yang dibuang ke pelabuhan untuk membuat pulau tersebut. Tapi kalau menurutku, harta sesungguhnya dari Pulau Harta ini berada di seberang pelabuhan, sebelah utara San Francisco di Marin County, tepatnya di Pulau Belvedere.
Pulau ini berukuran panjang satu mil, lebar setengah mil, menjadi tempat bermukim orang-orang superkaya, dalam rumah-rumah megah berharga jutaan dolar berpemandangan cantik ke arah San Francisco, pelabuhan, dan jemb
atan Golden Gate. Tanahnya mungkin tak punya butiran emas, tapi sejengkal tanah di sana nilainya jauh melebihi satu are tanah di mana pun di California.
Jadi, kalau misalnya aku yang jadi gubernur, dan demi ketepatan penamaan pulau, mestinya mereka mencabut nama "Pulau Harta" dari pulau kecil di tengah pelabuhan dan menganugerahkan nama itu untuk Belvedere.
Bisa ditebak, Lucas Breen juga tinggal di sini, karena memang inilah satu-satunya tempat yang pantas. Mr. dan Mrs. Breen menempati sebuah istana Tuscan dengan gaya pamer berlebihan, bahkan sampai memiliki dermaga air dalam sendiri untuk menampung kapal pelesir mereka. (Bukannya dengki terhadap orang kaya. Aku sendiri berasal dari keluarga berada, walau secara pribadi tak punya uang banyak. Aku hanya tak tahan pada kepongahan, keangkuhan, dan superioritas mereka.)
Untuk menuju kediaman Lucas Breen, kami harus menyeberang jembatan Golden Gate sampai ke luar kota, melewati Sausalito, lalu melintasi jalan sampai ke Belvedere dan terus menanjak sisi bukit berhutan lebat. Seluruh perjalanan memakan waktu empat puluh menit.
Padahal sudah berbekal lampu suar dan sirene segala, agar tidak tersasar. Stottlemeyer mematikan semua lampu saat melintas, agar tidak membuat panik para penghuni pulau.
Pintu gerbang kediaman Breen terbuka lebar, seolah ia memang telah menunggu kami. Ini bukan pertanda bagus.
Istana Breen terletak di ujung jalur beraspal di sisi bukit yang memberi pemandangan ke Pulau Angel, Semenanjung Tiburon, kaki langit kota San Francisco, dan jembatan Golden Gate. Langit lumayan terang dan kabut agak tipis saat kami tiba.
Kami parkir di belakang mobil sport Bentley Continental bercat perak milik Breen. Dengan tubuh pegal-pegal kami turun dari mobil. Stottlemeyer menyempatkan diri mengelus kap mesin Bentley itu.
"Masih hangat," ia berkata. Tangannya mengusap permukaan mobil seperti mengusap tubuh wanita. "Monk, kira-kira bagaimana penampilanku kalau membawa mobil ini""
"Yaa... seperti layaknya orang duduk di dalam mobil."
"Ini bukan sembarang mobil, Monk. Ini Bentley."
"Kelihatannya seperti mobil biasa," ujar Monk. "Memangnya yang ini bisa apa"" imbuhnya lagi dengan mimik serius.
"Lupakan sajalah," keluh Stottlemeyer, lalu memimpin jalan sampai ke pintu depan. Ia bersandar tangan ke bel pintu dan memperlihatkan lencana ke kamera keamanan di atas pintu. Kupikir Breen pasti sudah mengetahui kedatangan kami sejak melewati gerbang depan.
Setelah satu atau dua menit, Lucas Breen membuka pintu. Matanya merah, hidungnya basah dan ia mengenakan pakaian olahraga berlapis jubah mandi. Tampangnya berantakan sekali. Baguslah, pikirku. Makin menderita, makin baik.
"Mau apa kalian keman" Saya baru mau tidur," sungut Breen. "Apa kalian tak kenal yang namanya telepon""
"Saya tak biasa menelepon dan bikin janji temu dengan pembunuh," jawab Stottlemeyer dingin.


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kapten, saya sedang kena flu, istri saya pergi, dan saya ingin segera tidur," tukas Breen sengit. "Lain kali saja."
Breen hendak menutup pintu, tapi ditahan Stottlemeyer sambil terus menerobos masuk. "Tidak. Harus sekarang."
"Anda akan menyesali ini nanti," ancam Breen. Hidung basah dan mata berair membuat Breen tampak dan terdengar seperti bocah pemarah.
"Terserah," jawab Stottlemeyer. "Toh, tanpa penyesalan dalam hidup, saya tak akan punya alasan untuk merenung atau minum-minum di bar."
Kami mengikuti sang kapten masuk, melewati Breen ke ruang lobi dua lantai berbentuk dan beratap bundar dengan lapisan kubah kaca. Monk menutup hidung, melewati Breen dengan lagak menjauh.
Ruangan bundar ini berpemandangan terbuka ke ruang tengah yang didominasi seperangkat pintu-pintu Prancis dan jendela-jendela besar berpemandangan megah ke kaki langit San Francisco. Kerlap-kerlip lampu kota tampak di sela kabut. Di sebelah kiri, di samping sebuah tangga besar, ada ruang belajar sarat buku, lengkap dengan perapian raksasa menghangatkan ruangan.
"Saya yakin Anda sudah diperintahkan untuk berhenti mengganggu saya," ujar Breen sambil mengelap hidung dengan sapu tangan.
"Saya pergi ke mana pun berdasarkan tuntunan barang bukti," jawab Stottle
meyer. "Saya jamin, Anda akan segera mencari pekerjaan baru," ancam Breen. "Kenapa begitu nekat mempertaruhkan jabatan seperti ini""
"Seorang gelandangan dibunuh tadi malam," Stottlemeyer memulai.
"Menyedihkan sekali. Lalu, saya harus bagaimana"" "Mengakulah," timpal Monk. "Mr. Monk, apa Anda hendak menuduh saya atas semua pembunuhan yang terjadi di San Francisco""
"Gelandangan itu tadinya mengenakan mantel Anda." Monk bersin dan langsung menjangkau ke arahku, meminta tisu. Kuberi beberapa lembar
"Sudah saya katakan, itu karena istri saya menyumbang pakaian bekas kami ke yayasan amal." Breen masuk ke ruang belajar, duduk di kursi kulit besar yang menghadap ke perapian. Segelas brandy tergeletak di atas meja dekat kursi. Tak butuh kecerdasan berlebihan untuk menyimpulkan bahwa Breen pasti sedang duduk di sini waktu kami mengetuk pintu.
"Wah, tampaknya semua orang yang kami temui membeli pakaian bekas Anda, ya"" sindir Stottlemeyer.
"Hanya mereka yang beruntung," angguk Breen.
"Tapi gelandangan itu jelas tidak beruntung," aku berkata. "Seseorang menghancurkan wajahnya dengan batu."
"Mantel yang kami maksud sama sekali bukan barang donasi." Monk membuang ingus, lalu melempar tisunya ke perapian. "Mantel itu dijahit khusus dan Anda pakai ke malam penggalangan dana Save The Bay Jumat lalu. Mantel yang tidak lagi Anda pakai saat pulang dari acara tersebut."
Monk berjongkok di depan perapian, menonton tisu terbakar.
"Mantel itu pula yang Anda kenakan saat ke rumah Esther Stoval dan membakar rumahnya," susul
Stottlemeyer. "Mantel yang lantas ketinggalan, membuat Anda terpaksa menyamar jadi petugas pemadam untuk mengambilnya kembali, lalu Anda buang ke tong sampah di luar Hotel Excelsior, untuk kemudian ditemukan oleh gelandangan yang Anda bunuh tadi malam."
"Anda berkhayal. Ngaco!" tukas Breen pada Stottlemeyer, lalu menatap Monk yang masih asyik menatap perapian. "Anda bahkan lebih sinting dari dia."
"Anda membakarnya," ujar Monk tiba-tiba.
"Membakar apa"" tanya Breen.
"Mantel itu." Monk menunjuk perapian. "Saya bisa melihat salah satu kancingnya "
Stottlemeyer dan aku ikut berjongkok di samping Monk, menatap api. Memang benar, ada sebuah kancing kuningan dengan inisial nama Breen berkilauan di tengah kayu bakar.
Sang kapten berdiri dan langsung menatap Breen. "Anda sering memakai pakaian sendiri untuk menyulut perapian""
"Tentu saja tidak." Breen menyesap brandy, lalu mengangkat gelas ke arah perapian, mengamati kilauan cahaya yang terpantul dalam minuman. "Kancing itu pasti lepas dari jaket saya waktu menaruh kayu bakar ke perapian."
"Saya ingin melihat jaket itu," ujar Stottlemeyer.
"Saya ingin melihat surat perintah penggeledahan," tantang Breen.
Stottlemeyer menatap tajam. Sadar sedang diejek dan dikalahkan. Kami juga begitu. Breen tersenyum pongah. Kubayangkan ia bahkan menghiasi giginya dengan kepongahan setara.
"Sayang sekali kita tidak selalu memperoleh apa yang kita inginkan. Untungnya, saya tidak begitu." Breen menunjuk Stottlemeyer dengan gelas. "Tapi sebaliknya, demikianlah Anda. Tak bisa saya bayangkan bagaimana rasanya."
"Saya juga tak bisa membayangkan bagaimana rasanya dijatuhi hukuman mati," desis Stottlemeyer. "Kelak Anda akan mengatakan bagaimana rasanya."
Monk bersin lagi. Kuberi selembar tisu.
"Bagaimana cara Anda membuat saya dijatuhi hukuman mati, Kapten"" lanjut Breen. "Taruhlah saya memang bersalah atas semua tuduhan itu. Masalahnya, meskipun Anda benar, satu-satunya bukti yang dibutuhkan sudah musnah terbakar, berikut harapan untuk mengusut saya lebih jauh."
Breen menyesap lagi, lalu membaui gelasnya. Sikap yang makin memperkeras aroma kekejian dan kepongahannya dalam permainan ini. Nyaman dalam kesadaran bahwa ia telah mengalahkan kami.
Stottlemeyer dan aku menoleh ke arah Monk. Saatnya mengemukakan deduksi hebat yang akan menghancurkan orang sialan ini dan membuktikan bahwa ia memang seorang pembunuh keji.
Dahi Monk berkerut, matanya menyipit, lalu bersin.
*** Stottlemeyer menuntun kami kembali ke mobil. Tak ada yang berkata apa pun. Monk bahkan tidak menyedot hidung, padahal sedang pilek. Tak a
da yang bisa dikatakan lagi. Lucas Breen benar. Ia menang telak. Ia akan lolos begitu saja dari tiga tuduhan pembunuhan.
Ini jelas amat mengganggu kami. Tapi kupikir, yang mengganggu Monk dan Stottlemeyer lebih dari sekadar ketidakadilan situasi yang membuat seorang penjahat lolos. Kegundahan mereka jauh lebih dalam dan bersifat pribadi.
Selama bertahun-tahun, persahabatan mereka didasarkan pada satu fakta sederhana: Monk adalah seorang detektif genius, sedangkan Stottlemeyer "hanya" seorang detektif. Bukan berarti Stottlemeyer bodoh atau apa. Ia berhasil menjadi seorang kapten polisi atas dasar kerja keras, dedikasi, dan keahlian di bidangnya. Ia mampu menyelesaikan hampir semua kasus pembunuhan yang ditangani dan punya tingkat keberhasilan penyidikan yang patut dibanggakan di kota mana pun.
Masalahnya, ia tidak bertugas di sembarang kota. la bekerja di San Francisco, kampung halaman Adrian Monk. Detektif mana pun bakal sulit menandingi kegeniusan Monk dalam hal membongkar kejahatan. Parahnya lagi, Stottlemeyer adalah mantan mitra Monk saat Monk masih bekerja di kepolisian. Kariernya terkait erat dengan Monk. Meski kelainan obsesif-kompulsif Monk berisiko membuatnya kehilangan jabatan, sang kapten dan Monk akan selalu bermitra di mata mereka sendiri dan di mata SFPD.
Betapapun benci dan irinya Stottlemeyer terhadap kehebatan observasi dan kemampuan deduksi Monk, ia sudah terlanjur kecanduan. Balikan merembet sampai ke seluruh SFPD. Itu sebabnya mereka sedemikian menoleransi keeksentrikan Monk. Aku yakin Monk juga sadar akan hal ini.
Setiap kali ada kasus pembunuhan yang terlalu pelik, dengan enteng mereka memanggil Monk. Kecuali untuk kasus pembunuhan istrinya sendiri, Monk selalu berhasil menangkap penjahat yang diincar.
Tapi sekarang.... Kondisinya lebih parah buat Monk karena ini dalam kasus ini bukan Stottlemeyer yang meminta bantuan. Monk-lah yang menyeret Stottlemeyer sampai terpaksa mempertaruhkan jabatannya.
Masa depan Monk sebagai konsultan kepolisian juga terancam. Kalau Monk tak lagi bisa diharapkan untuk membongkar setiap kasus, untuk apa Stottlemeyer-atau departemen kepolisian, memakai jasanya lagi" Alasan apa yang bisa dipakai untuk menoleransi kelainan Monk yang menyebalkan itu"
Sungguh kesalahan besar buat Stottlemeyer sampai begitu yakin bahwa Monk tak akan pernah gagal. Bahwa ia akan selalu membuat deduksi dahsyat pada saat yang tepat. Tapi karena Monk telah begitu sering melakukan itu sebelumnya, apa yang sejatinya merupakan harapan tak wajar, malah menjadi basis hubungan profesional.
Malam itu Stottlemeyer bertaruh terlalu tinggi dan kalah. Kalau Stottlemeyer sampai turun pangkat atau ditendang dari kepolisian gara-gara Monk, maka karier Monk sebagai konsultan SFPD juga berakhir.
Plus, barangkali, persahabatan mereka. Jika tidak ada misteri atau kasus, untuk apa mereka bertemu" Perbedaan mereka terlalu jauh, bahkan untuk sekadar iseng kongko-kongko sambil minum bir.
Mungkin aku terlalu berlebihan menganalisis, tapi saat kami berkendara pulang melewati kegelapan dan kabut, suara inilah yang kudengar di kesunyian suasana dan wajah-wajah kuyu mereka.
Setiba di rumah, kami mendapati Mrs. Throphamner ketiduran di sofa. Ia mendengkur keras sekali. Gigi
palsunya ada di dalam gelas di atas meja. Film seri Hawaii Five-O sedang diputar di TV, menampilkan Jack Lord dalam seragam rapi warna biru sedang menatap Ross Martin yang tampak konyol, memainkan peran sebagai seorang raja kriminal Hawaii.
Monk berjongkok di samping gelas berisi gigi palsu itu seperti melihat spesimen dalam botol cairan formalin.
Kumatikan TV. Mrs. Throphamner terbangun tiba-tiba dengan dengkur terputus, mengagetkan Monk yang kehilangan keseimbangan dan terjengkang dalam posisi duduk.
Dalam kaget dan bingung, Mrs. Throphamner segera meraih gigi palsu. Karena buru-buru, tangannya malah menyenggol gelas, menumpahkan isinya ke pangkuan Monk.
Monk melenguh dan mundur. Gigi palsu itu jatuh persis di selangkangan Monk.
Mrs. Throphamner berusaha menggapai giginya tapi malah terjatuh menimpa Monk. Monk makin ribut melenguh dan menjerit minta tol
ong karena tak sudi menyentuh Mrs. Throphamner.
Julie terbangun, dengan mata sayu keluar kamar memakai piyama. "Ada apa ribut-ribut""
"Mrs. Throphamner menjatuhkan giginya ke pangkuan Mr. Monk," jawabku. "Ayo, bantu mama sebentar."
Julie dan aku membantu membangunkan Mrs. Throphamner. Dengan marah ia menyambar giginya dari pangkuan Monk, dimasukkannya ke mulut dan langsung keluar rumah tanpa mengucapkan selamat malam. Aku balikan tak sempat membayarnya.
Monk tetap berbaring di lantai, menatap langit-langit. Tidak bergerak atau bahkan berkedip. Jangan-jangan syok. Aku bersimpuh di sampingnya.
"Mr. Monk" Anda tidak apa-apa""
Ia tidak menjawab. Aku menoleh ke belakang, memanggil Julie.
"Ambilkan sebotol Sierra Springs dari kulkas."
Julie mengangguk dan lari ke dapur.
"Mr. Monk, jawablah."
Monk berkedip. Suaranya serak berbisik. "Hari ini benar-benar mimpi buruk." "Ya, begitulah."
"Benar-benar mimpi buruk," lanjut Monk. "Mengaduk-aduk sampah kota, ke perkampungan gembel, sekarang tertimpa gigi palsu. Semua ini tidak benar-benar terjadi, kan""
Julie kembali dengan sebotol Sierra Springs. Kubuka dan kutawarkan pada Monk.
"Sayangnya, begitulah yang terjadi, Mr. Monk."
Ia duduk, mengambil botol dari tanganku, lalu menenggaknya seperti minum wiski.
Monk melempar botol kosong ke belakang, melewati bahu.
"Tambah lagi." Ia menatap Julie. "Sebaiknya kau tidur, Sayang."
21 MR. MONK DAN MARMADUKE Monk menenggak dua botol Sierra Springs, membawa empat botol lagi ke kamarnya, lalu membanting pintu.
Esok paginya, aku temukan ia lelap dalam posisi menelungkup di kasur dengan pakaian lengkap. Lantai berserakan botol kosong. Diam-diam kupunguti sampah-sampah itu dan keluar lagi tanpa membangunkannya.
Pagi ini giliranku menjadi supir bagi Julie dan kawan-kawannya ke sekolah. Kuakui, aku cemas meninggalkan Monk sendirian. Bukan cemas ia bakal bunuh diri atau semacamnya, tapi apa yang akan ia lakukan dengan rumahku tanpa pengawasan. Jangan-jangan lemari kamarku ditata ulang" Baju-bajuku disusun berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna"
Terpikir untuk membangunkan dan menyeretnya ke mobil. Kuajak mengantar anak-anak. Tapi membayangkan ia berhimpitan dalam jip berisi gadis-gadis ABG membuatku berpikir ulang. Peristiwa kemarin sudah cukup
menyeramkan buat Monk, dan-terus terang, buatku juga.
Kuputuskan mengambil risiko dan meninggalkan Monk sendiri. Kuminta Julie segera menyelesaikan sarapan, lalu menulis pesan buat Monk tentang kepergianku, kemudian segera menjemput anak-anak lain dan mengantar mereka ke sekolah.
Monk masih tidur waktu aku pulang empat puluh menit kemudian. Aku lega sekaligus cemas. Janggal sekali buat Monk sampai kesiangan begini-setidaknya selama ia tinggal bersama kami. Aku hendak menelepon Dr. Kroger ketika Monk akhirnya bangun sekitar pukul sembilan. Wajahnya seperti orang habis pesta semalaman di bar. Pakaiannya kusut, rambut awut-awutan, wajah tak dicukur.
Aku tak pernah melihatnya begitu kumal. Begitu... manusiawi.
"Selamat pagi, Mr. Monk," sapaku seceria mungkin.
Monk menjawab dengan anggukan dan langsung masuk bertelanjang kaki ke kamar mandi. Ia tak keluar sampai siang, bersalin pakaian bersih, tampak sesegar dan serapi biasa. Tapi bukannya datang ke dapur untuk sarapan, ia malah masuk kamar tidur lagi, menutup pintu, menikmati air mineral dengan tenang.
Aku tak tahu harus bagaimana, jadi kusibukkan diri dengan kegiatan mengurus rumah, seperti membayar
tagihan dan membereskan cucian. Sementara bekerja, aku berusaha tidak memikirkan soal Lucas Breen dan pembunuhan yang dilakukannya. Aku juga mencoba untuk tidak memikirkan Joe dan kegelisahan seputar hubungan kami. Tapi, malah dua hal itu yang terus berputar-putar di kepala.
Aku tak bisa membuktikan bahwa Breen bersalah atas tuduhan pembunuhan, tapi aku berhasil menemukan jawaban soal Joe. Yeah, hal yang semula kabur kini jadi begitu jelas. Memang begitu kalau orang sedang kasmaran, meski baru kencan dua kali. Begitu terbungkus dalam ketidaknyamanan diri sendiri, hasrat, dan harapan... sampai tidak melihat apa yang persis di depan mata.
Mungkin begitu juga buat seoran
g detektif di tengah penyelidikan. Di tengah tekanan besar menyelesaikan kasus, dibombardir sekian banyak fakta, sampai hampir tidak mungkin melihat apa pun dengan jelas. Alih-alih gambar, yang terlihat malah perang semut-seperti layar TV saat siaran usai.
Kubayangkan bahwa ini mungkin sering dialami Stottlemeyer atau Disher. Kulihat sendiri bagaimana mereka mencurahkan diri dalam penyelidikan, betapa keras usaha mereka untuk berhasil.
Dalam kasus Monk, kondisinya malah terbalik. Penyelidikan adalah hal yang sangat mudah, sementara hal-hal lain begitu sulit.
Kita begitu sibuk melihat betapa sulitnya ia menuntaskan apa yang kita anggap normal dan mudah dalam keseharian, sampai tak melihat usaha yang ia curahkan dalam membongkar kejahatan dan kerelaannya mempertaruhkan nyawa.
Kemampuan menemukan solusi dan memecahkan misteri tampak begitu cepat dan alami baginya. Kita cuma bisa menggeleng heran dan menganggapnya sebagai keajaiban. Kita sama sekali tak memikirkan betapa besar usaha mental dan emosional yang ia kerahkan untuk mewujudkan "keajaiban" itu.
Bagaimana tidak" Kita bicara soal orang yang tak mampu memilih kursi di bioskop tapi mampu memetakan ribuan petunjuk dalam sebuah kasus untuk sampai pada satu solusi akhir. Ini bukan perkara mudah. Tidak mudah buat siapa pun. Pasti ada usaha keras yang dilakukan. Aku yakin, pasti ada kalanya ia juga luput memperhatikan apa yang sebenarnya begitu jelas di depan mata, atau apa yang sebenarnya bisa dengan mudah ia lihat.
Pada siapa ia berpaling di saat menyedihkan seperti itu" Tidak ada. Karena tak ada orang lain yang seperti Adrian Monk. Setidaknya, sejauh yang kutahu.
Maka, kuputuskan untuk coba melakukan yang terbaik. Kukunjungi kamarnya dan mengetuk pintu.
"Masuklah," jawab Monk dari dalam.
Kubuka pintu, mendapati Monk duduk di pinggir ranjang dengan sebuah buku terbuka di pangkuan. Ia
menyeringai sambil mengetuk-ngetukkan jari di halaman buku tersebut.
"Ini luar biasa," katanya.
Aku duduk di sisinya, melihat apa yang sedang dibaca. Rupanya bundel komik Marmaduke, seekor anjing jenis Great Dane yang tubuhnya sebesar kuda.
Dalam komik yang dilihat Monk, Marmaduke sedang kembali ke rumahnya sambil membawa sebuah ban mobil di mulut. Tulisan di bawahnya berbunyi: Marmaduke sangat suka mengejar mobil.
"Anjing Mannaduke ini," ujar Monk, "dia besar sekali."
"Ya, lelucon ini tak pernah basi," aku mengangguk.
Ini tentu saja bohong. Aku tak bisa membayangkan, apa lucunya komik ini" Tapi setidaknya aku tahu rahasia menyembuhkan diri setelah semalaman "mabuk" air mineral.
"Dia begitu cerdik." Monk membalik halaman dan menunjuk sebuah komik di mana Marmaduke mengajak pemiliknya jalan-jalan, berlari-lari kecil sampai pemiliknya terbang dengan tangan masih memegang tali. Tulisan di bawahnya berbunyi: Selalu ada angin saat aku mengajak Marmaduke jalan-jalan!
"Bagaimana Anda hari ini""
"Baik," jawab Monk tak acuh. Ia membalik halaman.
"Anda pasti bisa meringkus Lucas Breen. Saya percaya itu."
"Bagaimana kalau tidak"" tanya Monk. "Kapten Stottlemeyer bisa turun pangkat dan Julie bakal kecewa."
"Mereka akan baik-baik saja," kucoba menghibur.
"Tapi aku tidak," tandas Monk, lagi-lagi membalik halaman. Marmaduke sedang melompat ke kolam renang, menumpahkan airnya keluar hingga mengosongkan seisi kolam. Siapa yang mengundang Marmaduke ke pesta kolam kami"
Monk menggeleng dan tersenyum. "Badannya besar sekali."
"Mustahil memecahkan semua kasus, Mr. Monk. Anda terlalu keras menuntut diri sendiri."
"Jika berhasil menemukan pembunuh istriku, maka aku tak butuh memecahkan pembunuhan apa pun lagi seumur hidup," jawab Monk. "Jadi, sampai hari itu tiba, aku harus memecahkan semua kasus."
"Maksud Anda""
"Ada keteraturan dalam segala hal, Natalie. Jika aku tak mampu mendapatkan keadilan buat Esther Stoval, Sparky, dan gelandangan itu, bagaimana mungkin aku mendapatkan keadilan buat Trudy""
Sama sekali tidak masuk akal buatku. Tapi ini juga hal paling menyedihkan yang pernah kudengar.
"Bagaimana mungkin Anda memikul semua beban sendirian" Semua pembunuhan itu sama sekali tidak berhubungan dengan kematian
Trudy." "Segalanya dalam hidup ini memiliki keterkaitan. Itu sebabnya kita mampu menemukan hal-hal yang tidak tepat atau tidak cocok."
Aku menggeleng. "Tidak, saya tidak percaya itu. Maksud Anda, jika kita memecahkan kasus dalam jumlah tertentu, berarti kita sudah melakukan penebusan dosa dan Tuhan akan mengatakan siapa pembunuh istri Anda" Begitu" Klenik sekali."
Monk menggeleng. "Sama sekali bukan soal klenik atau gaib, Natalie. Aku hanya merasa belum cukup pandai untuk menyelidiki siapa pembunuh Trudy. Jadi, jika aku memecahkan cukup banyak kasus, mungkin suatu saat aku akan cukup pandai. Itu saja."
"Mr. Monk," kataku lembut, "Anda adalah detektif terbaik di dunia."
"Itu belum cukup," geleng Monk. "Karena siapa pun pembunuh Trudy, dia masih enak-enakan di luar sana. Begitu pun Lucas Breen."
Monk membalik halaman berikut.
"Anda tak bisa begini terus, Mr. Monk. Standar kesempurnaan Anda terlalu tinggi untuk dicapai siapa pun."
"Anjing ini selalu mengacau." Monk tersenyum sambil menunjuk halaman komik.
Dalam gambar, Marmaduke sedang mengejar seekor kucing sampai ke pohon dan sukses menumbangkan pohon cemara yang tinggi itu, membuat kecewa beberapa bocah yang memegang papan, palu, dan paku. Rasanya kami tidak jadi membangun rumah pohon hari ini.
"Begitulah." Kutepuk punggung Monk, lalu pergi keluar kamar.
Tak diragukan lagi, Adrian Monk adalah manusia paling kompleks yang pernah kutemui, dan barangkali juga paling tragis. Kuharap suatu hari kelak ia mampu melepaskan sebagian perasaan bersalah yang ditanggungnya.
Kalau mau jujur, sebenarnya aku sendiri bukan orang yang tepat untuk diajak bicara. Entah berapa malam kuhabiskan waktu menatap langit-langit kamar dan bertanya apakah Mitch tewas gara-gara aku. Kalau saja aku lebih mencintainya, ia pasti tak akan tega meninggalkan kami. Ia tak akan pergi ke belahan dunia lain. Ia tak akan ditembak di angkasa. Kalau saja aku lebih mencintainya, Mitch tak akan merasa butuh menerbangkan pesawat tempur. Ia tidak akan butuh apa pun selain aku. Jelas bahwa aku kurang mencintainya, karena nyatanya ia pergi. Dan tewas.
Aku sadar betapa bodoh dan konyolnya menyalahkan diri sendiri atas kematiannya, tapi aku tak bisa mungkir bahwa perasaan bersalah itu ada dan masih terus bercokol sampai sekarang.
Berbedakah aku dari Monk"
Tapi ia lebih beruntung dariku. Ia tahu apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki dunianya. Sedangkan aku" Sama sekali tidak. Penebusan dosa macam apa yang bisa kulakukan untuk mengembalikan tatanan ke duniaku"
Aku pergi ke dapur, melihat ke luar jendela, pada Mrs. Throphamner di kebun belakang yang sedang asyik merawat bunga. Aroma mawar mengisi seluruh rumah. Kuharap peristiwa tadi malam tak membuatnya kapok menjaga Julie. Duh, aku jadi ketergantungan.
Aku baru hendak menuju ruang tengah mencari dompet untuk membayar upah Mrs. Throphamner ketika tiba-tiba Monk berlari keluar kamar, memegang buku komik dalam keadaan terbuka dengan senyum lebar di wajahnya.
"Dia berhasil!" pekik Monk gembira.
"Siapa"" "Marmaduke," jawab Monk. Jarinya mengetuk halaman komik dan bagian yang tadi kulihat tentang Marmaduke menumbangkan pohon. "Dia berhasil menemukan cara meringkus Lucas Breen!"
*** Stottlemeyer duduk di ruang kantornya dengan wajah murung. Buku komik Marmaduke tergelar di atas meja
di depannya. Disher berdiri di belakang, mengintip lewat bahu.
"Ini pemecahan kasus kita," ujar Monk.
Kami duduk di depan meja Stottlemeyer, menunggu reaksinya. Stottlemeyer melirik komik itu, lalu kembali ke Monk.
"Kau pasti bercanda," ketus Stottlemeyer.
Mungkin bukan itu reaksi yang diharapkan Monk, tapi mestinya tidak mengherankan. Reaksiku pun sama.
"Aku setuju. Tidak mungkin seekor anjing merubuhkan pohon seperti itu," ujar Disher. "Bahkan yang sebesar Mannaduke."
"Tentu saja bisa," sahut Monk.
"Bukan masalahku," timpal Stottlemeyer.
"Tapi pohon sebesar itu akarnya pasti sangat dalam," sambung Disher. "Dihajar mobil saja tak akan tumbang."
"Marmaduke adalah anjing yang sangat energik," jelas Monk. "Mobil tidak begitu."
"Kalian bisa diam"!" bentak Stottlemeyer. "Monk, aku tak yakin kau sa
dar betapa serius situasi yang kuhadapi. Pagi ini aku mendapat teguran resmi dari komisaris tentang kejadian semalam. Aku harus menghadap dewan penilai administratif minggu depan untuk menjelaskan tindakanku. Aku bisa turun pangkat!"
"Tidak akan, setelah kau menangkap Lucas Breen," jawab Monk.
"Maksudmu setelah aku mengusiknya berbekal komik Mannaduke ini dan dia mengaku""
"Kira-kira begitu," ujar Monk, kembali mengetuk halaman komik. "Ini akan langsung mengaitkan Breen dengan ketiga tuduhan pembunuhan."
"Terus terang, Monk, aku tak mengerti maksudmu," timpal Stottlemeyer.
Jadilah Monk menjelaskan maksudnya, menceritakan bagaimana ide itu muncul saat membaca komik, dan rencana implementasinya yang sederhana. Aku hanya bisa tersenyum dalam hati. Lagi-lagi dibuat kagum oleh kemisteriusan cara kerja otak Monk. Tapi aku tahu ia benar. Hanya ini harapan satu-satunya untuk menjatuhkan Lucas Breen.
Stottlemeyer terdiam sejenak, merenungkan penuturan Monk.
"Kalau aku menentang Breen dan kalah lagi, lencanaku bakal dicabut," gumam Stottlemeyer. "Aku harus yakin bahwa kali ini kau benar."
"Aku yakin," ujar Monk serius.
Stottlemeyer mengerutkan bibir, lalu mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Ayo, kita lakukan!"
Ia bangkit dari kursi dan mengenakan mantel.
"Bagaimana dengan saya, Pak"" tanya Disher. "Apa yang harus saya lakukan""
"Kau tetap di sini, Randy. Pastikan pengujian forensik pada jasad gelandangan dan barang-barang miliknya, seperti saran Monk," perintah Stottlemeyer.
"Saya bisa selesaikan itu dengan sekali telepon," timpal Disher. "Saya bisa ikut Anda."
"Aku tahu," jawab Stottlemeyer. "Tapi kalau ini salah dan karierku berantakan, aku tak ingin kau kena getahnya.. Taruhan ini hanya untuk Monk dan Marmaduke. Plus, ini balas dendamku."
Disher mengangguk. Stottlemeyer meremas bahunya, lalu kami keluar.
"Marmaduke," gumam Stottlemeyer. "Anjing itu bongsor sekali, ya""
"Yang terbesar," timpal Monk.
22 MR. MONK DAN ROTI MASAM Perjalanan ke atas dalam lift menuju kantor Lucas Breen di lantai tiga puluh berjalan lebih cepat tanpa Monk. Stottlemeyer menyilang tangan di dada sambil menderapkan sebelah kaki dengan gugup. Kejutan buat Lucas Breen kubawa di dalam tas yang kini separo terbuka, sambil menyimak versi instrumental lagu Can't Get You Out of My Head-nya. Kylie Minogue. Musik lift yang menyebalkan ini terus terngiang di kepala, bahkan setelah kami keluar dan berjalan menuju ruang tunggu.
Resepsionis Asia nan cantik menyambut kami dengan senyum munafik yang terbaik. Ia mengenakan headset tipis yang terhubung ke sistem komunikasi. Beberapa layar monitor datar tertata di mejanya, menunjukkan berbagai sudut pandang kamera keamanan di gedung ini. Di salah satu layar aku melihat Monk duduk di meja di luar Boudin Bakery, di lobi lantai dasar. Permukaan kursinya dialasi serbet sebelum diduduki.
"Sebagaimana dijelaskan oleh satpam kami di lantai bawah," ujar si resepsionis pada Stottlemeyer, "Mr. Breen sedang sibuk dan lebih suka jika Anda kembali lain kali."
jemari lentik berkuku panjang dengan kuteks merah mengilap itu membuka kalender dan memeriksa sejenak. "Saya rasa Mr. Breen baru bisa menerima Anda bulan Maret tahun depan. Itu pun dengan asumsi bahwa Anda belum pindah posisi di kepolisian."
Stottlemeyer memaksa diri untuk tersenyum. "Katakan pada Mr. Breen bahwa saya menghargai kesibukannya dan hanya butuh beberapa menit untuk minta maaf."
"Anda datang untuk minta maaf"" tanya si resepsionis. Sebelah alisnya terangkat.
"Saya datang untuk menyembah dan mencium kakinya," jawab Stottlemeyer.
"Saya juga," aku menimpali.
"Mr. Breen akan senang sekali." Si resepsionis tersenyum. Kali ini sungguhan dan tampak agak sadis.
"Saya yakin begitu," ujar Stottlemeyer.
Jadilah ia menghubungi Breen dan mengatakan maksud kedatangan kami. Aku tak tahu Breen bilang apa, tapi tak lama kemudian si resepsionis mengangguk.
"Silakan masuk." Kepalanya menunjuk ruang kantor Breen. Aku mendusin dalam hati, orang ini asli atau robot, ya" Kenapa suara gumamnya terdengar seperti musik lift"
Pintu ruang kantor Breen membuka sendiri saat kami mendekat. Bree
n berdiri di tengah ruangan, dengan penampilan sama sekali berbeda dengan yang kami lihat malam sebelumnya. Kini ia sudah benar-benar sembuh dari flu, mengenakan setelan supernecis yang dijahit khusus untuknya.
"Anda tampak lebih baik pagi ini," salam Stottlemeyer berbasa-basi.
"Waktu Anda enam puluh detik," ujar Breen tanpa tedeng aling-aling sambil mengecek jam tangan. Monogram mansetnya berkilauan.
"Lebih dari cukup kalau begitu," angguk Stottlemeyer. "Saya ingin meminta maaf karena telah menyulitkan Anda beberapa hari ini. Anda sudah mengatakan sejak awal bahwa Anda tidak pernah menginjakkan kaki di rumah Esther Stoval."
"Saya tidak pernah bertemu wanita itu," jawab Breen. "Tapi Anda tak mau dengar. Malah menuduh saya melakukan semua pembunuhan di kota ini."
Stottlemeyer mengangkat kedua tangan seperti orang menyerah. "Anda benar. Saya salah. Mestinya saya lebih mendengar Anda ketimbang Monk. Saya maklum kalau Anda marah."
Breen bersin, lalu mengelap hidung dengan sapu tangan. "Sudah seharusnya. Omong-omong, di mana Monk""
"Dia punya masalah dengan lift," aku menjawab. "Jadi dia menunggu di lobi. Tapi bisa saya hubungi dengan ponsel saya. Dia pasti juga ingin menyampaikan sesuatu pada Anda."
Kukeluarkan ponselku, kutekan speed dial, suara kuset ke speaker, lalu kuacungkan ponsel ke depan agar semua mendengar perkataan Monk.
"Di sini Adrian Monk," ujar Monk. "Bisa dengar saya""
"Ya," jawabku. "Tes, tes... satu, dua, tiga...," balas Monk.
Stottlemeyer menyambar ponselku dan berteriak, "Kami dengar, Monk. Cepatlah. Mr. Breen tidak bisa menunggu seharian. Kita sudah cukup membuang waktunya."
Breen mengangguk senang pada Stottlemeyer, mendengus dan merapatkan hidung dengan sapu tangan. Matanya mulai berair.
"Saya ingin menghaturkan permintaan maaf karena telah melancangi Anda tadi malam," ujar Monk. "Saya harap Anda mau menerima hadiah kecil ini sebagai tanda penyesalan mendalam atas segala kesulitan yang Anda alami."
Aku meraih ke dalam tas, mengeluarkan seekor kucing besar jenis Turkish Van berbulu putih nan lebat dengan bintik-bintik cokelat di kepala dan ekornya, lalu mengangsurkannya pada Breen.
Breen langsung bersin-bersin dan menjauh. "Saya hargai niat baik Anda, tapi saya alergi kucing."
"Jadi, Anda tak mungkin punya kucing di rumah"" tanya Monk.
"Tentu saja tidak." Breen melotot ke arah ponsel seolah Monk berdiri di situ, lalu menggeser pandangan ke arahku. "Bisa minta tolong jauhkan kucing itu""
Kumasukkan kembali si kucing ke tas.
"Anda tidak flu tadi malam. Anda alergi," ujar Monk. "Mantel Anda penuh partikel bulu kucing Esther Stoval. Partikel-partikel itu masuk ke rumah Anda saat Anda membawa masuk dan membakar mantel itu di perapian. Itu sebabnya saya bersin. Saya juga alergi kucing- karena itu saya langsung tahu bahwa Anda yang membunuh Esther Stoval, Sparky si anjing pemadam kebakaran, dan gelandangan malang itu."
Ternyata kucing di atas pohon tumbang dalam komik -Marmaduke yang memicu gagasan Monk. Ia bersin waktu pertama kali bertemu gelandangan itu di gang beberapa hari lalu, dan bersin lagi saat berada di gubuknya di bawah jalan tol. Semula dikira bahwa gelandangan itu pasti
memelihara kucing, tapi tak ada kucing di mana pun dekat tempat tinggalnya.
Wajah Breen memerah murka. Tatapan tajamnya diarahkan ke Stottlemeyer. "Saya pikir Anda kemari untuk minta maaf."
"Saya bohong. Saya datang untuk menahan Anda dengan tuduhan pembunuhan. Sekalian saya bacakan hak-hak Anda. Anda berhak untuk diam...."
Breen memotong, "Saya alergi serbuk bunga, jamur, dan salah satu parfum istri saya. Hidung basah sama sekali tidak membuktikan apa-apa."
"Tapi bulu kucing iya," timpal Monk. "Esther mendapatkan kucing Turkish Van itu beberapa hari sebelum dibunuh. Itu kucing langka. Saya berani bertaruh, kami pasti akan menemukan partikel dari kucing itu-dan dari kucing-kucing lain yang dipelihara Esther-di rumah dan di mobil Anda."
"Kami sedang menggeledah rumah Anda sekarang," tambah Stottlemeyer. "Kami lakukan analisis DNA dan membandingkan partikel kucing yang kami temui di sana dengan partikel kucing di tubuh si gelandan
gan dan kucing-kucing lain milik Esther. Hasilnya pasti akan cocok."
"Anda bilang bahwa Anda tidak memelihara kucing dan tak pernah menginjakkan kaki di rumah Esther
Stoval," lanjut Monk, "berarti penjelasannya cuma satu: Andalah pembunuhnya."
Aneh sekali. Monk mengungkap kasus dan tanpa berada dalam satu ruangan dengan penjahatnya. Kepuasannya mungkin tidak sama dengan jika ia mampu menatap sendiri mata lawan. Aku sendiri tak ada masalah. Maksudku, begini saja sudah cukup. Yang penting Breen akan masuk penjara.
Breen tersenyum sinis. Sungguh pemandangan menyenangkan. Senyum itu, walau sinis, namun terasa lemah dan setengah hati. Tidak sekuat dan sepongah senyumnya beberapa hari belakangan ini.
"Simpan saja senyum itu buat di pengadilan nanti," ujar Stottlemeyer. "Anda ikut kami sekarang."
Breen tak mengindahkan dan langsung menuju meja resepsionis. "Tessa, panggil pengacaraku sekarang juga."
Kami menyusul keluar ruangan. Saat hampir meraih Breen, tiba-tiba ia berbalik, menyambar si kucing dari tasku dan melempar binatang kaget itu ke wajah Stottlemeyer. Kontan sang kapten terdorong ke belakang, berusaha mengatasi amukan si kucing.
Breen kabur ke ruangan kantor, menghunuskan remote control ke pintu begitu ia lewat. Stottlemeyer mendorong si kucing dari wajahnya, dilemparkannya ke pangkuan si resepsionis dan segera mengejar Breen. Tapi
pintu terlanjur menutup dengan bunyi keras di depan wajahnya, persis saat tangan menggapai.
"Brengsek!" maki Stottlemeyer.
"Ada apa"" seru Monk di telepon.
"Breen meloloskan diri,"kukatakan padanya, lalu berbalik dan mencekal Tessa, si resepsionis yang malah asyik mengelusi si kucing. "Buka pintunya."
"Tidak bisa." Ia menggeleng.
Ingin kucekik saja orang ini.
"Baiklah." Stottlemeyer mencabut pistol. Sejenak aku cemas ia akan menembak Tessa. "Biar aku yang buka."
Ia membidik ke arah pintu.
"Percuma. Pintu itu antipeluru," ujar Tessa.
Stottlemeyer menyumpah serapah, mengembalikan pistol ke sarungnya. "Apa dia punya lift pribadi di dalam situ""
Tessa bungkam. Stottlemeyer memutar kursi si resepsionis, membungkuk sampai wajah mereka berhadapan.
Darah menetes dari goresan-goresan bekas cakar kucing di wajah sang kapten. Entah bagaimana perasaan Tessa melihat pemandangan itu dalam jarak begitu dekat, tapi si kucing jelas ketakutan. Ia lompat dari pangkuan, melingkar di kakiku dan masuk ke tas.
"Jawab pertanyaan saya," desis Stottlemeyer.
"Simpan pertanyaan Anda untuk pengacara Mr. Breen," jawab Tessa. Suaranya sedikit tercekat.
"Anda ingin didakwa sebagai kaki tangan pembunuh""
"Tidak bisa begitu," geleng Tessa. "Saya tidak membunuh siapa-siapa"
"Anda membantu seorang pembunuh meloloskan diri. Saya yakin juri pasti bersimpati pada Anda," ujar Stottlemeyer sinis.
"Ya," imbuh Monk di ponsel. "Mereka akan segera melihat betapa baik dan jujurnya Anda."
Mata Tessa berkedip sekali. "Ya, ada lift pribadi di dalam."
"Mengarah ke mana"" desak Stottlemeyer. "Ke tempat parkir."
Stottlemeyer menunjuk layar monitor keamanan di meja resepsionis. "Tunjukkan."


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tessa menekan tombol. Salah satu layar segera menampilkan Bentley mulus Breen berkilauan di ruang parkir bawah tanah. Di monitor lain kami melihat Monk berjalan mondar-mandir di lobi, dengan ponsel menempel ke telinga.
Stottlemeyer berseru ke ponselku.
"Monk, Breen berusaha kabur! Dia lari ke tempat parkir. Mustahil aku menyusulnya. Kau harus mencegatnya!"
"Bagaimana caranya"" tanya Monk panik.
"Entahlah!" seru Stottlemeyer. "Tapi segera pikirkan sesuatu. Cepat!"
Monk melesat menghilang dari pantauan monitor. Stottlemeyer mengembalikan ponsel ke tanganku, mengeluarkan ponselnya sendiri dan meminta bantuan dari markas.
Aku berbalikmenghadap si resepsionis, menunjuk salah satu layar yang mengawasi lobi. Aku ingin melihat apa yang dilakukan Monk.
"Kameranya bisa digerakkan tidak"" aku bertanya.
"Tidak." Tentu saja begitu. Seluruh jaringan sistem keamanan biasanya memang diprogram untuk tidak melakukan apa-apa. Hanya mengawasi. Aku dan Stottlemeyer yang gelisah ingin bertindak.
"Bisa tunjukkan pintu keluar tempat parkir dan jalan di seberangnya""
Tessa men ekan tombol, menampilkan dua gambar di layar. Satu kamera mengarah ke dalam tempat parkir dari arah jalan, yang lain mengarah-keluar, menunjukkan pintu keluar dan trotoar di depan tempat parkir.
Kulirik layar lain, yang menunjukkan mobil Bentley Breen di tempat parkir. Breen muncul dari lift dan masuk ke mobil.
Kulihat lagi layar yang menampilkan dua gambar. Mana Monk" Sedang apa dia" Jawabannya mudah. Kudekatkan ponsel ke telinga, tapi yang terdengar hanya nada sambung. Monk memutuskan komunikasi.
Stottlemeyer menutup ponselnya, bergabung denganku. "Mana Monk""
"Entahlah." Kami mengawasi monitor tempat parkir saat Breen memundurkan mobil dan ngebut keluar dari situ sampai ban berdecit.
"Bantuan sudah kupanggil, sekalian menyebar berita pencarian terhadap mobil Breen," ujar Stottlemeyer. "Bentley seperti itu tak akan sulit dikenali dijalan atau di salah satu jembatan di kota ini."
"Itu kalau dia tidak membuangnya begitu keluar dari sini," timpalku.
"Kami akan menghubungi bandara, stasiun kereta api, dan perbatasan."
Tidak terlalu menjamin bahwa Breen bakal tertangkap. Banyak buronan yang lebih miskin dari Breen sukses meloloskan diri bertahun-tahun. Kemungkinan Breen sudah menyiapkan dana darurat entah di mana. Yang jelas, dan aku tahu pasti, kalau Breen sampai keluar gedung ia bakal lenyap sama sekali
Tak akan pernah lagi ditemukan.
Kami terus mengamati perkembangan situasi dari layar keamanan di meja resepsionis. Bentley milik Breen tengah menanjak lerengan parkir menuju pintu keluar. Lalu muncul Monk.
Ia berdiri di trotoar, persis di depan pintu keluar, memegang roti di kedua tangan.
Stottlemeyer memicingkan mata menatap layar. "Yang dia pegang itu... roti""
"Sepertinya begitu," aku menjawab, bolak-balik menatap dua layar monitor. Satu layar menampilkan Monk menghadang pintu keluar dan lainnya menampilkan Bentley milik Breen meluncur deras ke arahnya.
"Sedang apa dia"!" seru Stottlemeyer.
"Dia sedang nekat," jawabku. "Breen akan melindasnya tanpa ampun!"
Mobil Breen melesat ke pintu keluar, sama sekali tidak menurunkan kecepatan. Malah sepertinya dipacu makin kencang.
Tapi Monk bergeming. Ia berdiri menantang seperti Clint Eastwood, dengan tatapan kalem memandang mobil, menggenggam bongkahan roti di kedua tangan. Bahkan Clint pun bakal tampak konyol dan sinting kalau begini.
Di detik-detik terakhir, Monk melempar bongkahan roti ke kaca depan mobil dan melompat ke samping. Bongkahan itu langsung terburai begitu mendarat, menebar
potongan tebal dan remah roti ke permukaan kaca, menutupi pandangan Breen.
Bentley meluruk keluar tempat parkir ke arah jalan. Karena pandangan terhalang, Breen menyetir kalang kabut, membanting setir sampai akhirnya membentur deretan mobil parkir di seberang jalan. Bentley mulus itu koyak seperti kaleng soda, memicu alarm mobil sepanjang jalan.
Stottlemeyer menatapku dengan pandangan tak percaya. "Apa aku tak salah lihat" Monk menghadang mobil ngebut dengan melempar dua bongkah roti ke kaca depan""
"Roti masam," kataku mengoreksi, dengan tatapan tak kalah kaget.
"Maksudku begitu," ujar Stottlemeyer, lalu berlari ke lift. "Tak sabar rasanya menulis ini dalam laporan."
Kulirik layar monitor, melihat Monk bangkit dengan gemetar. Tangannya mengeluarkan ponsel dan menekan tombolnya. Ponselku berdering persis pada saat Stottlemeyer masuk lift.
"Tolong panggil petugas medis," ujar Monk. "Breen terluka"" aku bertanya.
"Aku yang terluka," jawab Monk. "Telapak tanganku tergores."
"Tenanglah kalau begitu. Anda tidak apa-apa," aku menghibur.
"Kau tahu berapa banyak orang lalu-lalang di trotoar ini setiap hari" Entah apa yang ada di bawah sepatu mereka. Aku bisa mati karena infeksi!"
Sementara Monk bicara, kulihat sesuatu yang lebih menakutkan dari kuman trotoar. Lucas Breen keluar dari mobil koyak itu. Tampak berantakan, belepotan darah dan pecahan kaca.
Tangannya menggenggam pistol.
"Mr. Monk! Breen bawa pistol! "jeritku. "Lari!"
Monk menoleh, melihat Breen melangkah tertatih-tatih ke arahnya, menghunus pistol dengan tangan gemetar. Orang-orang di jalan berteriak histeris, panik mencari perlindungan.
Bahkan si resepsionis terkesiap melihatnya. Padahal ia berada tiga puluh lantai di atas sini, aman di belakang meja, menonton dari layar monitor.
Aku tahu perasaannya. Seperti menonton film horor, hanya saja yang ini bukan akting.
Hanya ada Breen dan Monk dijalan saat itu. Wajah Breen begitu murka.
"Anda tidak ingin melakukan ini," ujar Monk, masih menempelkan ponsel ke telinga.
"Aku begitu mengnginkannya," desis Breen. Pistol di tangannya gemetar oleh rasa sakit dan amarah sekaligus. "Aku membencimu lahir-batin."
Bisa kudengar Breen begitu jelas di telepon. Plus, seluruh adegan dari berbagai sudut di layar monitor.
"Buat dia terus bicara," bisikku di telepon. "Stottlemeyer sedang menyusul turun."
"Anda akan membuat kesalahan besar," lanjut Monk pada Breen.
"Oh, begitu" Beri satu alasan agar aku tidak menembak kepalamu sekarang juga!" tukas Breen.
"Karena akan berdampak buruk pada industri pariwisata."
Breen menyeringai, memperlihatkan beberapa giginya yang tanggal. "Sampai jumpa di neraka, Monk."
Terdengar suara tembakan. Tapi bukan dari pistol Breen. Ia malah berputar terjengkang. Pistol di tangannya terlempar jauh.
Monk melihat berkeliling, mendapati Letnan Disher bangkit dari persembunyian di belakang sebuah mobil. Pistol teracung ke arah Breen, yang kini mengaduh memegangi tangan.
"Polisi!" seru Disher. "Angkat tangan dan telungkup di lantai. Lakukan!"
Breen berlutut, dengan perlahan dan gemetar berbaring menelungkup. Kedua tangan terpentang ke depan.
Disher bergegas menyusul, menarik tangan Breen dengan kasar dan memasang borgol. "Tembakanjitu,"puji Monk.
"Tembakan untung-untungan," jawab Disher. "Aku membidik dadanya."
"Peduli amat dia membidik apa," kataku dari ponsel. "Ucapkan terima kasih, Mr. Monk."
"Kau menyelamatkanku," ujar Monk. "Terima kasih."
"Sudah tugasku." Disher tersenyum merendah, tapi tak bisa menutupi perasaan bangga. Aku juga.
Stottlemeyer muncul dan segera menghampiri mereka. "Randy, kenapa kau di sini""
"Saya pikir Anda pasti butuh bantuan," ujar Disher. "Jadi saya buntuti dan parkir di sini."
Stottlemeyer menilik situasi dengan cepat, mengambil sarung tangan karet dari kantong dan memakainya untuk memungut pistol Breen.
"Dengan kata lain," ia berkata, "kau melanggar perintah langsung dariku."
"Saya tak ingat Anda mengucapkannya sebagai perintah, Pak," elak Disher.
"Bagus," angguk Stottlemeyer. "Kalau begitu, aku juga tidak ingat."
"Tolong cepat panggilkan ambulans," rengek Monk.
Stottlemeyer menatap Breen, yang melenguh dan meringis kesakitan di tanah. "Yeah, dia sedang kesakitan."
"Maksudku buat aku," ujar Monk sambil menunjukkan telapak tangannya Aku tak bisa melihat jelas
bagaimana kondisi telapak tangan Monk, tapi bisa menduga dari ekspresi Stottlemeyer. "Cuma tergores, Monk."
"Banyak orang meludah di trotoar," bantah Monk. "Belum lagi kencing anjing. Goresan ini bisa berakibat fatal."
"Kau benar," ujar Stottlemeyer. "Randy, segera panggil petugas medis."
Disher mengangguk, mengeluarkan ponsel dan menelepon ambulans.
Stottlemeyer melingkarkan lengan ke bahu Monk. "Tindakanmu hebat, Monk. Roti itu benar-benar memberi inspirasi."
"Tidak juga," geleng Monk sambil menunjukkan setitik noda di jaketnya. "Jaketku rusak."
23 MR. MONK DAN KAMAR SEMPURNA
Sementara berada di kantor polisi untuk memberi pernyataan, Monk dan Stottlemeyer beroleh kabar bahwa dugaan mereka benar. Petugas di TKP menemukan partikel kucing di rumah Breen dan di mobil Bentley milik Breen. Setidaknya berdasarkan kajian awal, bukti ini cocok dengan partikel di rambut si gelandangan dan kucing-kucing Esther. Mereka segera mengirim sampel buat uji DNA, tapi kami sudah yakin bagaimana hasilnya. Di pihak lain, unit forensik juga masih memproses jejak dan serat yang mereka dapat dari peralatan pemadam kebakaran.
Apa pun itu, yang terpenting sekarang Lucas Breen sedang ditahan tanpa jaminan dan langsung dikurung di penjara rumah sakit.
Dengan demikian, tuntaslah misteri pembunuhan Esther Stoval, Sparky si anjing pemadam, dan si gelandangan.
Kami duduk di ruang kantor Stottlemeyer Untuk membereskan administrasi prosedur penangka
pan, selain menyempatkan Monk, Stottlemeyer, dan Disher untuk saling beramah-tamah memberi selamat, karena orang lain tak akan melakukan itu buat mereka.
"Setelah kejadian hari ini," ujar Stottlemeyer, "boleh jadi kami akan meresmikan penggunaan roti sebagai perangkat standar untuk setiap mobil patroli. Tak hanya berguna untuk memangkas kasus pengejaran, rasanya juga enak."
Monk tak sempat mengapresiasi lelucon ini karena perhatiannya tercurah ke hal lain. Ia sibuk mengelap noda remah roti dari jaketnya dengan Wet Ones. Ini tidak mudah. Bukan hanya karena nodanya bandel, Monk juga kesulitan memegang tisu dengan tangan bengkak oleh perban. Lebih banyak perban di telapak tangannya yang tergores ketimbang di tangan Breen yang terluka tembak.
"Bagaimana dengan sidang penilaian administratif minggu depan"" tanyaku.
"Dibatalkan," jawab Stottlemeyer puas. "Komisaris malah bicara soal upacara penghargaan."
"Buatmu"' Stottlemeyer menggeleng, lalu melirik Disher yang asyik menonton Monk dengan noda jaketnya. "Buatmu."
Disher menatap tak percaya. Pipinya memerah. "Saya, Pak" Benarkah""
"Kau bukan hanya menyelamatkan nyawa Monk, ~ tapi juga berhasil menggagalkan situasi berbahaya dengan pelaku kejahatan bersenjata tanpa membuat orang lain terbunuh atau terluka, termasuk si pelaku sendiri."
Aku suka mendengar fakta bahwa Breen kini tak lebih dari sekadar pelaku kejahatan. Oh, senangnya mendapati si pongah itu jatuh.
"Anda sendiri bagaimana"" tanya Disher. "Anda kan juga berhak diakui karena pantang mundur di tengah tekanan politik seorang komisaris polisi yang korup."
"Jabatanku tidak diusik. Itu sudah cukup," jawab Stottlemeyer. "Menentang otoritas dan sifat keras kepala bukan kualitas personel yang layak didukung departemen kepolisian."
"Mr. Monk dapat apa"" aku lanjut bertanya.
"Rasa terima kasih dan hormat dari seluruh personel SFPD," tandas Stottlemeyer.
"Pembersih noda yang kuat saja sudah cukup," timpal Monk.
Apa pun dan bagaimanapun, hari ini adalah hari yang baik. Sebuah perkembangan tak terduga, di mana sehari sebelumnya kami masih mengais sampah.
"Apa saya boleh memberi tahu para petugas pemadam bahwa pembunuh Sparky sudah tertangkap"" aku bertanya.
Stottlemeyer mengangguk. "Tentu. Asal tidak diumumkan di media. Pak komisaris tidak suka kalau sampai kalah tenar di TV."
Setelah itu, kami berpamitan. Dalam perjalanan pulang, aku dan Monk mampir ke stasiun pemadam untuk mengumumkan berita penahanan Breen.
Tiba di sana, para petugas sedang sibuk membersihkan dan mengilapkan mobil pemadam di bawah arahan dan pengawasan ketat Kapten Mantooth. Monk langsung menuju rak handuk dan mengambil satu.
"Boleh ikutan"" tanya Monk,
"Suatu kehormatan buat kami, Mr. Monk," angguk Kapten Mantooth.
Monk tersenyum gembira dan mulai bekerja memoles mobil yang sudah mengilap.
Joe turun dari mobil pemadam untuk bergabung. Ia mengenakan kemeja petugas pemadam yang agak kekecilan, memamerkan dada bidang dan lengan berotot. Napasku tercekat. Ia tampan sekali.
"Kau berhasil memecahkan pembunuhan yang semalam"" tanya Joe.
Aku mengangguk. "Bukan aku, tapi Mr. Monk. Dia juga menangkap pembunuh Sparky. Namanya Lucas Breen."
"Si pengembang terkenal itu"" tanya Kapten Mantooth kaget.
"Benar," jawabku.
Mendengar ini, segenap petugas pemadam ikut terperanjat dan meninggalkan pekerjaan. Ribut bertanya-tanya.
"Kenapa orang kaya dan berkuasa seperti dia membunuh anjing pemadam"" tanya Joe.
Pertanyaan bagus. Para petugas pemadam segera berkerumun mendengar penjelasanku yang panjang dan detail. Meninggalkan Monk sendirian mengilapkan mobil pemadam sesuka hati.
Selesai bercerita, tampak wajah-wajah kaget dan kepala menggeleng setengah tak percaya. Kutarik lengan baju Joe dan kuajak ia menjauh sementara teman-temannya sibuk berdiskusi.
"Ini sungguh berita hebat. Ayo kita jalan-jalan minggu ini untuk merayakan keberhasilanmu," ujar Joe.
"Usul yang manis sekali, tapi...."
Ia memotong, "Ajak Julie juga. Aku ingin berterima kasih lagi karena telah membawa Mr. Monk ke dalam kasus ini. Kita liburan sepuasnya. Lagi pula, aku juga ingin mengenalnya secara lebih baik."
Kus entuh pipinya agar ia diam sebentar. "Tidak, Joe. Aku tidak bisa."
"Lho, kenapa tidak""
"Karena aku tak ingin Julie jadi sayang padamu sebagaimana aku," aku berkata lirih. "Itu sebabnya kita tidak bisa bertemu lagi."
Kujauhkan tanganku. Wajah Joe seperti baru saja ditampar.
"Aku tak mengerti," ujar Joe terbata-bata. "Kupikir kita baik-baik saja."
"Memang." Aku mengangguk. "Kau baik, dan aku sangat menikmati kebersamaan kita. Kita jadi makin dekat."
Joe menggelengkan kepala tak mengerti. "Lalu, apa masalahnya""
"Masalahnya adalah siapa dirimu. Dan semua ini." Tanganku menyapu ruangan stasiun pemadam kebakaran di sekeliling kami. "Kau seorang petugas pemadam kebakaran."
"Lalu kenapa""
"Kau mencari nafkah dengan mempertaruhkan nyawa. Itu hebat, mulia, dan heroik," kataku cepat. "Tapi tidak cocok buatku, dan buat Julie. Kami telah kehilangan seorang laki-laki yang kami cintai, yang juga melakukan pekerjaan yang hebat, mulia, dan heroik. Kalian begitu mirip. Kami pasti akan sangat mencintaimu, dan aku tak bisa kehilangan lagi."
Joe memaksa tersenyum. "Bagaimana kalau aku janji tak akan terluka""
"Kau tidak bisa berjanji seperti itu."
"Tidak ada yang bisa... justru itu maksudku," tegas Joe. "Kau bisa saja tertabrak truk besok waktu menyeberang jalan."
"Aku tahu, tapi aku tidak mencari nafkah dengan menghadang truk ngebut setiap hari," balasku. "Aku tak bisa jatuh cinta lagi dengan orang yang memiliki pekerjaan berbahaya. Aku tak sanggup khawatir tiap saat dan menanggung risikonya-dan aku tak mau putriku menanggung beban yang sama. Ia butuh... kami butuh laki-laki dalam hidup kami dengan pekerjaan paling aman di muka bumi."
"Aku bukan lelaki seperti itu," lirih Joe.
"Aku harap kau seperti itu."
"Aku harap juga begitu." Joe menarikku, memelukku dan mendaratkan ciuman lembut, manis, dan sedih. "Kalau kau berubah pikiran, kau tahu di mana mencariku."
Joe tersenyum, berbalik memunggungiku lalu berjalan keluar. Kutatap ia sampai menghilang di balik pintu, berusaha keras untuk tidak menangis, lalu melihat Kapten Mantooth dan Monk yang menonton sejak tadi. Monk melempar handuk kotor ke keranjang, lalu menghampiri.
"Kau... tidak apa-apa"" ia bertanya lembut.
"Nantinya begitu," aku menjawab.
Monk melihat mataku berair dan bibirku gemetar.
"Mau pinjam komik Marmaduke""
Aku tersenyum mengangguk. Air mataku meleleh. "Boleh juga."
*** Waktu kami ceritakan pada Julie bahwa pembunuh Sparky sudah tertangkap, ia langsung menghambur dan memeluk Monk.
"Terima kasih, Mr. Monk."
"Senang mendapat klien yang puas." Monk tersenyum.
"Aku melakukan sesuatu buat Mr. Monk," kata Julie. "Boleh kutunjukkan"" "Tentu," angguk Monk.
Julie memberi isyarat agar kami mengikuti. Ia berlari lebih dulu ke kamarnya. Begitu Julie berbalik memunggungi, Monk memberi isyarat minta tisu. Kuberi satu.
"Anak-anak adalah makhluk yang luar biasa," katanya sambil mengelap tangan. "Tapi mereka juga ibarat tangki penyakit berjalan."
Kutatap ia dengan sengit. "Anda bilang putriku tangki penyakit berjalan""
"Dia juga cerdas, menggemaskan, dan manis," lanjut Monk. "Dari jarak aman tentunya."
Julie berdiri di depan pintu kamar. Tangannya di pegangan pintu.
"Oke, siap-siap ya...," katanya.
Monk melirikku. "Apa aku bakal butuh suntikan setelah ini""
Sebelum aku sempat menjawab, dengan bersemangat dan senyum lebar Julie membuka pintu dan melambai ke arah kami agar masuk.
Aku mengintip. Julie telah membersihkan dan membereskan kamarnya. Tapi bukan hanya itu. Kamar ini kelewat rapi. Segalanya tertata.
"Lihat ini, Mr. Monk," kataku.
Monk ragu-ragu menyembulkan kepala di pinggir pintu, lalu menatap Julie. "Kau bikin apa""
"Kamar ini sudah di-Monk" ujar Julie.
"Di-Monk"" tanya Monk.
"Aku menyusun buku berdasarkan nama pengarang, genre, dan tahun hak cipta. Koleksi CD kuatur berdasarkan nomor genap dan nama penyanyinya." Julie masuk kamar dan membuka lemari baju. Baju-bajunya disusun berdasarkan warna dan jenis. Juga sepatunya. "Kutata ulang isi lemari baju dan semua laci di kamar ini."
Monk mendekat, memperhatikan salah satu rak berisi boneka binatang dengan kagum. "Kau menata ulang bone
ka-boneka binatang ini berdasarkan spesies."
"Dan ukuran," timpal Julie. "Juga tergantung tipenya, apakah amfibi, reptil, burung, atau mamalia."
"Pasti menyenangkan, ya...," komentar Monk. Bahkan dari ekspresi wajahnya, kurasa Monk sungguh-sungguh iri pada Julie.
"Oh, tentu," jawab Julie. "Aku senang sekali."
Aku sungguh tak percaya. Ini perubahan dahsyat untuk seorang bocah yang bahkan enggan membereskan tempat tidur sendiri.
"Pasti makan waktu berjam-jam membereskan semua ini," aku ikut berkomentar.
"Berhari-hari," ujar Julie. "Tapi aku ingin menunjukkan pada Mr. Monk bahwa... Julie terhenti dan mengangkat pundak. Kehilangan kata-kata untuk menjelaskan maksudnya. "Yaa... pokoknya begitulah. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih."
Kucium dia dengan lembut. "Mama sayang kamu."
"Ini bukan buat Mama, kok."
"Memangnya mama tidak boleh bangga""
Julie" menatap Monk. "Bagaimana menurut Mr. Monk""
Aku juga ingin tahu. Monk menyentuh surai salah satu boneka singa, lalu tersenyum.
"Rasanya aku bakal sedih harus meninggalkan rumah ini besok."
24 MR. MONK DAN GIGI YANG SALAH
Aku bangun pagi, mendapati Monk telah berkemas, berpakaian rapi dan siap berangkat. Ia memaksa untuk menyiapkan sarapan. Kupikir kami bakal makan Chex lagi, tapi ia mengejutkanku dengan mengatakan bahwa ia akan memasak telur.
"Punyaku tolong didadar, ya," pinta Julie.
"Kenapa tidak tambah LSD dan ganja sekalian"" Monk melirik dengan tatapan mencela, lalu melirikku seolah aku gagal mendidik anak.
Alis Julie berkerut karena bingung. "Apa itu LSD" Kenapa juga aku ingin makan ganja""
"Tidak usah dibahas," kataku, balas menatap Monk dengan tatapan mencela. "Jadi, telurnya harus diapakan""
"Hanya ada satu cara menggoreng telur yang baik," ujar Monk.
Dengan ahli ia meretas telur di pinggir wajan. Kuning telurnya keluar membulat di atas wajan, sementara bagian
putihnya membentuk lingkaran sempurna. Aku tidak melebih-lebihkan-lingkaran sempurna.
"Kok bisa" Belajar di mana""
"Banyak latihan," jelas Monk. "Rahasianya di pergelangan tangan."
"Bisa ajari aku"" tanya Julie.
"Rasanya kita tidak punya cukup telur untuk itu," jawab Monk.
"Memangnya butuh berapa banyak buat latihan""
"Seribu." Julie dan aku saling tatap tak percaya.
"Anda menghitung jumlah persisnya"" aku bertanya.
"Sebenarnya sembilan ratus sembilan puluh tiga," ujar Monk. "Tapi kubulatkan ke atas biar genap."
"Pantas." Aku mengangguk. "Masuk akal kalau begitu."
"Mama bisa beli tambahan telur lagi hari ini"" tanya Julie.
"Mama tidak mau membeli seribu butir telur," tegasku. "Kalau mau, belajarlah memakai dua telur saja tiap sarapan pagi."
"Yaah, itu kan bisa tahunan," keluh Julie.
"Setidaknya sekarang kau punya tujuan hidup," jawabku.
Monk memanggang beberapa bongkah roti, dipotong-potong menjadi beberapa bagian yang sama
persis, lalu disajikan di piring-piring terpisah, bersama jeruk yang dikupas dan juga dipotong menjadi bagian-bagian yang sama persis.
Sarapan pagi ini begitu sempurna. Saking sempurnanya sampai tampak sintetis dan tak mengundang selera. Seolah semua ini dibuat dari plastik.
Julie tidak berpikir demikian. Ia melahap sarapan sampai habis. Jemputan sekolah datang tak lama kemudian. Julie mencium pipiku dan berlari keluar.
Monk membereskan meja sementara aku mencuci piring. Setelah itu, kami duduk-duduk saja karena memang tak ada yang dikerjakan. Tak ada misteri pembunuhan, tak ada kejahatan.
"Jadi, apa agenda hari ini"" aku bertanya.
"Pulang ke rumah dan bebersih," jawab Monk. "Banyak bersih-bersih."
"Baru beberapa hari," sanggahku. "Apanya yang dibersihkan""
"Setiap jengkalnya," tandas Monk. "Seluruh gedung telah diasapi dan rayap telah dibuat keluar. Ini perangkap maut. Kita bakal mengerik dan mengepel lantai berhari-hari."
"Anda saja yang begitu. Saya tidak," tandasku. "Saya bekerja sebagai asisten, bukan pembantu. Kalau mau, saya jadi mandor."
"Apa maksudmu""
"Saya duduk di sofa membaca majalah sambil mengawasi pekerjaan Anda," jelasku. "Kalau ada lantai yang lupa dibersihkan, saya beri tahu."
Kusambar dompet dan kunci mobil. Monk mengangkat koper dan kami keluar rumah menuju mobil.
Mrs. Throphamner sedang berkebun, lagi-lagi sibuk mengurus mawar. Aku ingat masih punya utang padanya.
"Selamat pagi, Mrs. Throphamner," sapaku. "Bunga Anda cantik sekali hari ini."
"Begitu juga kamu, manisku," jawabnya.
Syukurlah. Setidaknya ia tidak dendam padaku atas peristiwa tempo hari.
"Oh," Monk berkata. "Aku hampir lupa."
"Saya juga," kataku sambil meraih dompet. Belum sempat aku membayar, mobil Stottlemeyer datang dan parkir di depan rumah. Ia keluar, menghela napas.
Monk meletakkan koper dan menyambut Stottlemeyer bersamaku.
"Monk, Natalie," angguk Stottlemeyer membalas salam. "Hari yang indah, ya""
"Ya." Heran juga ia masih sanggup menghargai indahnya hari, kalau mengingat betapa ia selalu berhadapan dengan hal-hal buruk dan kematian. "Belum-belum sudah butuh Mr. Monk lagi""
"Tidak," geleng Stottlemeyer. "Aku dalam perjalanan ke kantor dan ingin mampir memberi kabar baik. Kami berhasil menjerat Breen."
"Breen kan sudah kita tangkap kemarin," tukas Monk.
Stottlemeyer menggeleng. "Barang bukti kita kemarin cuma bulu kucing. Hari ini kita dapat sidik jari. Lab forensik menemukan sidik jarinya di bagian dalam salah satu sarung tangan pemadam kebakaran. Dia mungkin bisa menjelaskan soal bulu kucing, tapi untuk yang ini dia tidak mungkin mengelak. Aku utang budi lagi padamu, Monk. Seperti biasa."
"Sama-sama, Kapten," angguk Monk. "Dan kalau mau membalas, ada satu hal yang bisa kau lakukan sekarang."
"Apa" Mengikat ulang tali sepatuku" Membetulkan posisi sabuk" Mengubah nomor plat mobilku agar semua angkanya genap""
"Ya, begitu boleh juga," jawab Monk. "Dan kalau sempat, tolong tangkap Mrs. Throphamner juga."
Aku melirik Mrs. Throphamner yang muncul dari kebun belakang membawa selang air.
"Apa tidak kelewatan, Mr. Monk"" bisikku. "Malam itu dia menimpa Anda karena tidak sengaja"
Stottlemeyer menatapku bingung. "Itu Mrs. Throphamner""
"Benar," angguk Monk.
"Dan dia jatuh ke pangkuanmu""
"Benar," angguk Monk lagi.
"Mungkin justru kau yang seharusnya kutahan," ujar Stottlemeyer.
Monk menatap kesal pada Stottlemeyer, lalu menghampiri Mrs. Throphamner yang sedang sibuk mengurai selang.
"Maaf, Mrs. Throphamner"" panggil Monk. Yang dipanggil menoleh. "Anda ditangkap dengan tuduhan pembunuhan."
"Pembunuhan"" Aku, Stottlemeyer, dan Mrs. Throphamner berseru bersamaan. Seperti paduan suara.
"Suaminya tidak sedang memancing di kabin dekat Sacramento," tutur Monk. "Tapi dikubur di pekarangan ini. Itu sebabnya dia menanam bermacam mawar yang paling harum dan terus diganti-untuk menyembunyikan aroma pembusukan mayat."
Aku tahu bahwa Monk selalu benar soal pembunuhan, tapi kali ini ia pasti salah. Mrs. Throphamner seorang pembunuh" Yang benar saja.
Mrs. Throphamner mendesah lemas. Bahunya turun. "Bagaimana Anda tahu""
"Apa"" lagi-lagi aku berseru. Dua kali kaget. Mrs. Throphamner mengangguk. "Saya senang Anda tahu, Mr. Monk. Capek rasanya mengurus kebun... dan perasaan bersalah membuat saya gila. Saya sangat mencintainya"
"Saya tahu," ujar Monk. "Itu sebabnya Anda tak bisa merelakan kematian suami Anda sepenuhnya. Anda menyimpan giginya"
"Giginya"" tanya Stottlemeyer.
"Gigi palsu," jelas Monk. "Sekarang dipakai di mulut Mrs. Throphamner."
"Benarkah"" mata Stottlemeyer menyipit, meniliki mulut Mrs. Throphamner. Tapi si nyonya menutup mulut rapat-rapat dan memalingkan wajah.


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kau bisa tahu, Monk"" tanya Stottlemeyer.
"Setiap kali diminta untuk menjaga Julie, Mrs. Throphamner suka menaruh gigi palsu itu di meja di sampingnya, sambil nonton TV," tutur Monk. "Aku sempat mengamati dari dekat kemarin malam. Tidak salah lagi, itu gigi palsu untuk pria Potongan lateral rahang atas begitu jelas dan lebar, sementara punya wanita biasanya lebih sempit. Lalu, tulang alveolar pria memiliki lengkungan lebih besar. Lantas bagian internal gusi...."
"Oke, oke...," potong Stottlemeyer. Ia masih mengamati wajah Mrs. Throphamner, menunggu kilasan gigi palsu itu. "Aku percaya. Dari mana kau-dapat ilham""
"Bunga yang dibawa Joe saat kencan dengan Natalie," ujar Monk. "Joe bilang, bunga itu sengaja dibawa untuk menutupi aroma sampah di tubuhny
a. Ini membuat aku berpikir tentang Mrs. Throphamner, dan sisanya mengalir setelah itu."
Butuh waktu sedetik, tapi aku juga langsung sadar. Itu dua hari lalu. Sekujur tubuhku gemetar menahan marah. Kedua tangan terkepal keras. Rasanya jari kakiku juga.
"Milton selingkuh setelah empat puluh tahun kami menikah. Saya tidak terima," ujar Mrs. Throphamner. "Itu yang dia lakukan selama ini di Sacramento. Saya terpaksa membunuh...."
"Tunggu dulu," aku memotong pembicaraan, berbalik menghadap Monk. "Anda tahu sejak hari Rabu bahwa dia seorang pembunuh dan tidak bilang apa-apa""
"Pikiranku sedang disarati banyak hal lain," Monk membela diri. "Kau tahu sendiri waktu itu kita begitu sibuk menghadapi tiga pembunuhan."
"Anda membiarkan putri saya sendirian bersama monster ini""
"Aku sadar betapa kau butuh bantuan menjaga anak sementara kita menangani kasus."
"Dia itu pembunuh!" aku berteriak.
"Memang. Tapi selain dari itu, dia bisa diandalkan," kilah Monk.
"Bisa diandalkan"" Aku maju selangkah. Monk mundur lima langkah. "Dia mengisap gigi suaminya yang sudah mati!"
"Justru itu maksudku," jawab Monk cepat. "Dia hanya membunuh suami. Satu suami. Entah kalau kawin lagi dan punya kesempatan kedua. Itu pun peluangnya kecil. Jadi, Julie aman-aman saja."
"Tapi Anda tidak," desisku, lalu berbalik menghadap Stottlemeyer. "Bawa Mr. Monk pergi dari sini. Jauhkan dia dari saya sebelum saya bunuh dan kubur di kebun."
Tanpa banyak omong lagi aku berlalu masuk rumah. Sayup kudengar komentar Monk pada Stottlemeyer. Komentar yang akan diakui pengadilan mana pun di dunia sebagai alasan dan provokasi paling tepat untuk membunuh:
"Dasar wanita." Monk menggeleng-gelengkan kepala. "Sangat tidak rasional."
TAMAT tamat Misteri Bunga Noda 3 Roro Centil 15 Langkah-langkah Manusia Beracun Mrs Mcginty Sudah Mati 1

Cari Blog Ini