Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror Bagian 1
Prolog HANTU Cally Frasier mengintai melalui jendela loteng. Seperti
bayangan yang melayang di atas bayangan lain, ia melihat ke halaman
depan di bawahnya dan mengawasi keluarga baru yang akan
menempati rumah itu. Rumahku, pikir Cally. 99 Fear Street. Tempat tinggalku. Dan kuburanku.
"Kau akan menyesal," hantu Cally bergumam pahit. "Aku
berjanji kau akan menyesal."
Tak seorang pun mendengar janji Cally itu. Tak apa-apa.
Ia akan membuktikan janjinya.
Sambil mengawasi keluarga baru itu, seorang cowok belasan
tahun dan kedua orangtuanya, Cally jadi teringat keluarganya sendiri.
Habis. Lenyap. Mereka menguburku di sini, pikir Cally tanpa rasa sedih.
Amarah tidak mengizinkannya bersedih.
Roh jahat telah mengusir mereka.
Seperti yang dilakukannya sejak mereka pergi, Cally
memikirkan rumahnya, rumah yang sekaligus menjadi kuburannya.
Rumah ini dibangun lebih dari tiga puluh tahun silam, ia tahu
itu. Dibangun di atas tanah yang dikutuk.
Penghuni pertama tak pernah menempatinya. Lelaki yang
membangun rumah ini membawa keluarganya kemari untuk melihatlihat, dan meninggalkan mereka selama lima menit.
Lima menit. Ketika ia kembali, istri dan anak-anaknya sudah meninggal.
Kepala mereka terpenggal dari tubuh mereka.
Ia gantung diri sebulan kemudian.
Di sini. Di rumah ini. Selama tiga puluh tahun kemudian, tak seorang pun berani
menempati rumah ini. Kemudian keluargaku pindah kemari"dan menjadi korban roh
jahat. Adikku James. Dan anak anjingnya. Lenyap selamanya. Lenyap
ditelan dinding rumah ini.
Ayahku, menjadi buta oleh kabut roh jahat.
Ibuku dan Kody. Kody, saudara kembarku.
Semuanya terusir oleh roh jahat.
Tapi aku masih di sini, hantu Cally merenung. Roh jahat itu tak
mengizinkanku pergi. Cally mendongakkan kepalanya dan melepaskan lengkingan
marah dan frustrasi. Lalu ia kembali memandang ke luar jendela.
Orang-orang asing itu mulai masuk.
Sebuah mobil van diparkir di jalan masuk. Para kuli membawa
karton demi karton ke dalam rumah yang kosong.
Sepasang suami-istri berdiri memandang sambil berangkulan.
Kemudian mereka membuka bagasi mobil dan mulai membongkar
karton"kotak-kotak berbentuk aneh bertanda MUDAH PECAH
Anak lelaki mereka yang berusia belasan tahun berdiri di dekat
mereka, menggendong kucing berwarna hitam-putih. Cowok itu
bertubuh tinggi dan wajahnya lumayan tampan.
Seandainya masih hidup, Cally mungkin naksir. Ia mungkin
akan menganggap cowok itu oke.
Tapi Cally kini sudah mati. Dan cowok itu masih hidup.
Mereka tak mungkin berteman.
Dapatkah" Bayangan Cally menyelinap dan meluncur di antara bayangan
rumah yang gelap. Ia memandang keluarga itu.
Masuklah, desaknya tanpa suara.
Masuklah. Aku menunggu kalian di sini.
Aku siap menyambut kalian di 99 Fear Street. Kalian tak akan
melupakan sambutanku ini.
BAB 1 "HEI"hati-hati dengan kotak-kotak itu!" Mr. McCloy
berteriak. Brandt McCloy melihat ayahnya mengejar salah satu kuli, yang
menumpuk empat kotak besar di tangannya. Kotak teratas oleng,
begitu terjatuh Mr. McCloy langsung menangkapnya.
"Isinya topeng-topeng yang tak ternilai harganya," Mr. McCloy
membentak kuli itu. "Itu benda-benda kuno!"
"Maaf," sahut kuli itu sambil bergegas masuk. Tapi menurut
Brandt, suaranya tidak mencerminkan permintaan maafnya.
Brandt membelai Ezra, kucing hitam-putihnya, dan menghela
napas. "Dad dan topeng-topengnya," ia bergumam pada Ezra.
"Barangkali ia berpikir, kalau satu topeng pecah, bisa membawa sial
sampai tujuh tahun lamanya."
Ezra membalas dengan dengkuran pelan.
Brandt memandang rumah barunya dengan prihatin.
Kehidupan baru akan dimulai, pikirnya. Kehidupan yang benarbenar baru.
Rumah ini terdiri atas dua setengah lantai. Sirapnya sudah
berwarna kelabu, mengelupas, dan penuh noda. Pepohonan tua di
sekelilingnya menyembunyikan rumah itu dalam bayangan gelap.
Mungkin rumah ini dulu bagus, pikir Brandt, melihat dua daun
jendela yang lepas dari engselnya. Tapi sekarang ini benar-benar harus
diperbaiki. Lima anak tangga mengarah ke beranda mungil yang sudah
melesak. Pintu depannya dikelilingi jendela kaca berwarna yang sudah
retak, jelas harus segera diganti.
Rumah ini hampir runtuh, pikir Brandt. Tapi menurut
orangtuanya, mereka akan betah tinggal di sini.
Brandt juga berharap begitu.
Brandt cakep, rambut hitamnya bergelombang, membingkai
wajah tampannya dan matanya yang cokelat berbinar. Ia mengenakan
jeans belel dan kemeja yang terbuat dari kain tenun bercorak.
Kantong kecil dari kulit tergantung pada tali yang terikat di
sekeliling lehernya. Kalung itu tak pernah dicopot.
Brandt berpaling ketika Mr. McCloy keluar dari rumah sambil
mengomel. Mrs. McCloy bergegas menyusulnya.
"Di sini banyak tikus!" teriaknya marah. "Di ruang bawah
tanah!" Tikus, pikir Brandt tidak senang sambil membelai Ezra. Itulah
yang kita butuhkan. "Tidak ada masalah, Dad," katanya. "Di kota ini pasti ada
pembasmi tikus." "Aku sudah memeriksa setiap sudut rumah ini sebelum
membelinya," gerutu Mr. McCloy marah. "Tak ada tikus di ruang
bawah tanah dua bulan yang lalu."
"Mungkin kau tidak melihatnya waktu itu, John," Mrs. McCloy
menimpali. "Ini bukan kiamat."
"Aku akan memanggil agen real estat itu dan memintanya
membasmi tikus-tikus itu. Siapa namanya" Lurie?"
"Lurie?" ada suara lelaki yang menimpalinya. Tak jelas asalnya
dari mana. "Apakah ada yang menyebut Lurie?"
Brandt dan orangtuanya berpaling ke arah suara itu.
Seorang lelaki muda berdiri di trotoar, tersenyum pada mereka.
Rambutnya hitam lurus, dan kumisnya juga hitam. Ia mengenakan
overall kelabu dan membawa kotak peralatan.
"Aku tak bermaksud mengganggu," katanya. "Aku tadi tidak
sengaja dengar?" "Anda kenal dia?" tanya Mr. McCloy. "Anda kenal Mr. Lurie?"
"Cuma pernah mendengar namanya," jelas orang itu. "Mereka
yang dulu tinggal di sini... aku pernah mendengar mereka menyebut
namanya." Ia mengulurkan tangannya yang berjemari panjang. Mr.
McCloy menyalaminya. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Glen Hankers. "Aku
menerima pekerjaan yang sulit, pekerjaan pertukangan, dan
sebagainya." "Bagus," sahut ayah Brandt. "Aku John McCloy. Ini istriku,
Barbara, dan anak lelakiku, Brandt. Apakah Anda bisa membasmi
tikus, Mr. Hankers?"
Hankers mengangguk. "Aku spesialis membasmi tikus. Boleh
kuperiksa?" Mr. McCloy dengan senang hati mempersilakan Mr. Hankers
masuk. Brandt memandang para kuli, yang masih juga mengangkut
kotak-kotak ke dalam rumah. "Tolong gendong Ezra sebentar,"
pintanya pada ibunya. Ia memberikan kucing itu pada ibunya. "Kurasa
kuli-kuli itu perlu bantuan."
Mrs. McCloy mengerutkan dahi. "Sebaiknya jangan, Brandt.
Kau harus hati-hati. Ingat kondisimu?"
Brandt menghela napas. Ibunya selalu mengkhawatirkannya.
"Nggak masalah, Mom. Nggak ada yang berat kok," sahutnya,
setengah mendorong kucingnya pada ibunya. "Jangan terlalu
khawatir." Mrs. McCloy cemberut, tapi diterimanya juga kucing itu.
Brandt mengusap bekas luka di pipi kirinya. Lalu ia menuju mobil,
mengeluarkan karton kecil berisi buku, dan mengangkutnya ke dalam
rumah. Setelah dua atau tiga kali keluar-masuk, ia mendengar ayahnya
memanggil dari ruang tamu. "Hei, Brandt. Aku butuh bantuanmu."
Brandt meletakkan kotak berisi buku di lantai koridor dan
bergegas menuju ruang tamu.
"Mr. Hankers bilang, ia sanggup memberantas tikus-tikus itu
dalam sekejap," kata Mr. McCloy. "Kurasa aku tadi terlalu
berlebihan." Ayah Brandt duduk di lantai di antara lusinan kardus-kardus,
dengan hati-hati dibukanya peninggalan purbakala itu. Satu per satu
disingkirkannya koran yang membungkus tombak kuno yang
berukiran halus, topeng-topeng berwarna cerah, kebanyakan
berekspresi takut atau kejam.
Kemudian ia mengeluarkan pipa dari akar tanaman yang biasa
digunakan untuk meniupkan anak panah. Anak-anak panah itu terbuat
dari perak yang ujungnya diasah hingga tajam.
"Aku ingin menggantungkan barang-barang ini di tembok
sebelum melakukan pekerjaan lain," kata ayah Brandt. "Ini akan
menjamin nasib baik untuk kita di rumah ini."
"Dad tidak betul-betul percaya, kan?" tanya Brandt, membuka
salah satu kotak. "Kau tidak pernah tahu, Brandt," jawab ayahnya. "Toh tidak ada
ruginya, kan?" "Kurasa tidak," sahut Brandt.
Ia mendengar ibunya memasuki rumah dan mengangkut kotak
berisi buku yang tadi ditinggalkannya di lantai. Ezra masuk ke
ruangan dan menggosok-gosokkan tubuhnya di kaki Brandt.
Mr. McCloy memakukan kaitan di tembok. Brandt memegangi
tombak. Tombak itu panjang dan lurus, ujungnya yang tajam terbuat
dari perunggu. Ayah Brandt bergeser ke samping ketika Brandt hendak
menggantungkan tombak itu.
Tiba-tiba Brandt merasakan sentakan pada tombak itu. "Hei"
kenapa nih?" Tombak itu seolah melompat dari genggamannya. Ujungnya
yang tajam mengarah ke bawah, dan menghunjam ke lantai.
Lengkingan kesakitan memecah kesunyian.
Brandt memandang ke bawah"dan menjerit ketakutan.
"Ezra!" jeritnya.
BAB 2 KUCING itu mengerang lemah. Tombak menghunjam
tubuhnya yang berbulu. Darah merah menggenang di lantai.
Matanya nanar, dan kucing itu menggeliat-geliat dan
berkelojotan. Tapi ia tak bisa membebaskan diri.
"Ezra!" Brandt bersimpuh di sebelah kucingnya yang tersentaksentak.
"Jangan pegang dia, Brandt," cegah ayahnya. "Cepat telepon.
Cari dokter hewan." Dengan dada sesak, Brandt lari mencari telepon.
********** "Setidaknya Ezra tidak menderita terlalu lama," kata Mr.
McCloy di meja makan malam itu. "Dokter hewan itu bilang rasa
sakitnya berakhir dalam beberapa detik."
"Lagi pula Ezra sudah tua, Brandt," tambah ibunya. "Ia tak
mampu hidup lebih dari satu atau dua tahun lagi."
Brandt mengangguk. Ia tahu Ezra sudah tua dan akan segera
mati. Tapi mati dengan cara yang begitu kejam...
Ia masih bisa membayangkan kucingnya yang tertikam tombak.
Cara yang luar biasa untuk memulai kehidupan di rumah baru,
pikir Brandt muram. Permulaan yang hebat.
Ia menggelengkan kepala seolah hendak melupakan kejadian
itu. Ibunya meletakkan piring kertas di hadapannya. Sepotong piza.
Ia mengambilnya dan menggigitnya.
"Piza"hm, enak!" Mr. McCloy memuji dengan mulut penuh.
"Aku tidak pernah makan piza selama dua tahun ini. Itu waktu yang
lama sekali, kan, Brandt?"
"Aku sudah makan sepotong di bandara dua minggu lalu," sahut
Brandt. "Di perjalanan pulang dari Mapolo."
Ibunya tertawa. "Kau pasti ingin sekali makan piza selama kita
tinggal di pulau itu. Kau terus merengek dan mengeluh karena tak bisa
makan piza setiap hari."
"Apa pun lebih baik daripada bubur kentang!" jelas Brandt.
"Apakah pasar swalayan buka hari Minggu?" tanya Mrs.
McCloy. "Mungkin," sahut suaminya. "Tak ada toko yang tutup di
Amerika ini." "Kalau begitu aku akan pergi ke kota dan membeli makanan
sehat," ujar Mrs. McCloy sambil menggigit pizanya.
"Apakah ini ancaman?" gurau Brandt.
"Jangan meledek, Brandt," kata ibunya. "Kau juga suka
makanan sehat. Kau makan seperti penduduk asli saat kita harus pergi
dari pulau itu. Kau memintaku memasak sup jamur dan kelapa untuk
ulang tahunmu, ingat" Dan bukankah kau rindu makan nanas?"
Brandt ingat betul betapa manis dan segarnya nanas di Mapolo.
Mungkin ia memang agak merindukan pulau itu.
Brandt menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan
melakukan perjalanan ke tempat-tempat eksotis bersama orangtuanya.
Dua tahun terakhir mereka tinggal di sebuah pulau kecil di Samudra
Pasifik yang disebut Mapolo. Mr. McCloy, seorang antropolog,
melakukan penelitian mengenai ritual sihir.
"Kau ingin segera pergi ke sekolah hari Senin depan, Brandt?"
tanya Mrs. McCloy sambil mengangsurkan segelas Pepsi. "Gugup?"
Saat itu pertengahan Oktober. Brandt belum masuk sekolah.
"Kenapa harus gugup?" sahutnya. "Setelah tinggal di Mapolo,
high school pasti lebih mudah."
"Kau akan menyukainya," tutur Mr. McCloy, mengelap keju di
pipinya dengan serbet. "Ibumu betul"setelah hidup mengembara, kau
perlu menyesuaikan diri, paling sedikit dua tahun, agar bisa hidup
normal seperti orang Amerika."
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau kau tak suka," Mrs. McCloy mengusulkan, "anggap saja
itu proyek antropologi. Ritual murid-murid high school Amerika!"
Semua tertawa. Ketika tiba saatnya meninggalkan Mapolo, Mrs. McCloy ingin
agar Brandt tinggal di Amerika selama beberapa tahun, dan Mr.
McCloy menyetujuinya. Ia menerima pekerjaan sebagai dosen di
Waynesbridge Junior College"dan membawa keluarganya tinggal di
Shadyside, yang sekolahnya cukup baik.
"Ingat perempuan tua itu?" tanya Mrs. McCloy. "Siapa
namanya?" "Zina," sahut Brandt.
"Ya. Zina. Ingat waktu ia menghilang" Semua warga pulau itu
mencarinya. Tapi anak perempuannya ngotot ia telah berubah menjadi
macan kumbang." "Dan ia ingin aku yang menangkap macan kumbang itu,"
Brandt mengingat-ingat. "Aku sendiri bingung. Kenapa mesti aku"
Aku kan baru 14 tahun."
"Karena ramalan," jelas ayah Brandt. "Tukang sihir di kampung
itu bilang ada pendatang muda di pulau itu"dan cuma dialah yang
bisa melepaskan Zina dari kekuatan sihir. Kaulah satu-satunya
pendatang yang masih muda di situ."
"Aku masih curiga perempuan itu mengarang soal ramalan itu,"
ujar ibu Brandt. "Kurasa ia naksir kau, Brandt."
"Mom"ia sudah 20 tahun. Aku baru 14 tahun. Tak mungkin ia
naksir aku!" "Kau tidak tahu, Brandt," goda Mrs. McCloy. "Adat istiadatnya
berbeda, dan semuanya?"
"Pokoknya," Mr. McCloy menyela, "enak juga tinggal di rumah
sungguhan lagi. Aku tidak akan merindukan atap pondok kita yang
selalu bocor." "Walaupun ada tikus di ruang bawah tanah?" tanya Brandt.
Mr. McCloy tidak menyahut. Mrs. McCloy menyahut dengan
riang, "Tentu rumah ini masih perlu perbaikan. Itu yang selalu kita
lakukan setiap kali pindahan. Kita akan menganggapnya sebagai
proyek"proyek keluarga yang harus dikerjakan bersama-sama."
Brandt memutar bola matanya. Terkadang ibunya terlalu
gembira hingga membuatnya sebal.
"Dan kau boleh memelihara kucing lagi, Brandt"kalau mau,"
Mr. McCloy menawarkan. "Rasanya aku tidak ingin," sahut Brandt. "Tidak sekarang."
"Well, pikirkanlah," ujar Mrs. McCloy.
Brandt memejamkan mata dan terbayanglah Ezra, dengan
punggungnya yang tertusuk tombak.
"Yeah, aku akan memikirkannya. Trims, Dad," sahutnya lirih.
*********** Brandt berbalik di tempat tidurnya. Ezra biasa tidur di
sebelahnya. Otomatis Brandt meraih dan membelainya. Tangannya
mendarat di seprai katun yang dingin.
Aku tak percaya ia sudah mati, pikir Brandt.
Ia berbaring dalam gelap, mendengarkan keheningan yang
menekan. Orangtuanya sudah masuk kamar beberapa jam yang lalu.
Rumah itu sungguh-sungguh gelap. Brandt sama sekali tak bisa
melihat bulan yang bersinar di langit atau lampu jalanan yang menyala
di luar. Tak ada cahaya yang menembus pepohonan lebat yang
mengelilingi rumahnya. Tak ada mobil yang lewat. Tak ada angin yang meniup
dedaunan. Brandt berusaha mendengarkan suara burung-burung
malam dan serangga-serangga di halaman. Tapi tidak terdengar apaapa.
Kemudian samar-samar terdengar suara.
Brandt terpaku, mendengarkan.
Srek, srek, srek. Apa itu" pikir Brandt, mengangkat kepalanya dari bantal agar
bisa mendengar lebih baik.
Srek, srek, srek. Tikus, pikirnya. Di kamarku. BAB 3 BRANDT duduk tegak dan menyelimuti dirinya untuk berjagajaga.
Suara itu semakin jelas. Brandt mendengarkan baik-baik.
Srek. Srek-srek. Ia memandang langit-langit kamarnya. Bunyi itu seperti berasal
dari sana. Di atas ada loteng, ia teringat. Ia belum melihatnya. Tapi ia
ingat telah melewati tangga sempit yang menuju ke sana. Suara itu
semakin keras. Langkah kaki, pikir Brandt. Ia berbalik dan menurunkan
kakinya ke lantai. Apakah ada yang mondar-mandir di loteng"
Apakah ada orang yang masuk ke rumahnya"
Brandt berdiri lalu berjingkat-jingkat ke pintu. Ia mengintip ke
lorong yang gelap. Tak ada cahaya dari kamar orangtuanya. Ia yakin
mereka sudah tidur. Ia meraba-raba lorong yang gelap itu hingga menyentuh pintu
yang menuju tangga ke loteng. Dengan perlahan ia membukanya.
Ia mendengarkan. Tak ada suara. Haruskah ia naik ke atas"
"Ada orang di atas?" serunya, mencondongkan diri ke tangga.
Suaranya terdengar seperti bisikan serak. "Siapa di atas?"
Tak ada jawaban. Kemudian terdengar bunyi berderit di lantai papan loteng.
Langkah-langkah kaki. "Siapa di atas?"
Lagi-lagi tak ada yang menyahut.
Brandt menarik napas dalam-dalam dan mulai menaiki tangga
sempit itu. Anak tangga itu terasa hangat di bawah kakinya yang
telanjang. Ia tiba di atas dan melihat ruangan yang gelap.
"Ada orang di sini?"
Orangtuanya selalu menegurnya karena ia selalu menangani
sendiri masalahnya. Selalu menuruti kata hati.
Sembrono, begitu kata mereka.
Brandt tidak peduli. Ia cuma tidak ingin menjadi pengecut.
Jika ada orang di loteng, tak mungkin ia cuma berdiam diri di
kamarnya. Ia harus naik untuk memeriksanya.
Tapi loteng itu amat gelap.
Brandt meraba-raba dinding, mencari tombol lampu.
Lalu ia mendengar lantai papan berderit.
Srek. Srek-srek. Di kegelapan itu, sesuatu menggeram.
Brandt terpaku. Ia mendengar bunyi berdetik langkah kaki yang bercakar.
Sedang mendekat ke arahnya. Ia sadar ia sudah terlambat kalau
mau keluar dari situ. Dengan suara keras, makhluk itu menyerangnya di kegelapan"
cakar-cakarnya yang terkembang mengarah ke leher Brandt.
BAB 4 "TIDAAAAK!" Brandt menjerit ketakutan.
Ia melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.
Makhluk itu menabraknya, lalu jatuh berdebum di lantai.
Brandt merunduk dan menunggu.
Ke mana makhluk itu"
Mau menyerang lagi" Ia sama sekali tak bisa melihat dalam gelap.
Tapi ia bisa mendengar ada yang terpuruk di sudut sana.
Aku harus melihatnya, Brandt berpikir panik. Aku tak bisa
melawannya kalau tak tahu seperti apa makhluk itu.
Ia meraba-raba tombol lampu. Dengan cepat ditemukannya.
Lampu menyala suram. Brandt mengerjap. Matanya bergerak ke setiap sudut ruangan.
Loteng yang panjang, sempit, dan dindingnya diplester putih itu
berlangit-langit rendah. Di atas lantainya yang berdebu terdapat kotak
berserakan di sana-sini. Di sebelah kanan pintu, persis di bawah atap,
Brandt melihat jendela kecil yang terbuka lebar.
Tapi makhluk itu" Tak ada tanda-tandanya sama sekali.
Srek-srek. Dengan perlahan, hati-hati, Brandt meraih sapu yang ada di atas
sebuah kotak. Makhluk itu keluar dari balik salah satu kotak.
Brandt menyipitkan matanya.
Ternyata seekor raccoon yang gemuk.
Ia mendesah kesal. Ternyata cuma raccoon.
Tapi ia menyerangku, pikirnya. Seekor raccoon tak mungkin
melakukannya"kecuali ada yang tak beres dengannya.
Kecuali ia terkena rabies.
Ia memandang raccoon itu. Makhluk itu mendengus. Ekornya
bergoyang-goyang. Rupanya yang hitam balas memandang Brandt"
dan menggeram. Oh, tidak, pikir Brandt. Ia memang terkena rabies.
Raccoon itu berdiri di atas kaki belakangnya, bersiap-siap
menyerang lagi. Brandt menggenggam sapu dengan kedua tangan. Kalau saja
yang kupegang ini salah satu tombak milik Dad! pikirnya.
Raccoon itu menyerangnya.
Napas Brandt tersentak dan ia memukul binatang itu dengan
sapu. Makhluk itu menggeram marah ketika pukulan itu dengan telak
menjatuhkannya ke lantai.
Brandt memukulnya lagi. Dengan mendesis marah, raccoon itu
menyambar sapu itu dengan cakar-cakarnya.
Brandt mengayunkan sapunya. Dan memukulkannya lagi
dengan geram. Ia berhasil melemparkan makhluk itu ke tembok.
Dengan meraung marah, raccoon itu melompat ke ambang
jendela. Mulutnya terbuka dan ia memamerkan giginya yang tajam
pada Brandt. Brandt menusuk makhluk itu dengan gagang sapu. Raccoon itu
menangkap sapu dengan giginya"dan menggigitnya.
Karena terkejut Brandt menjatuhkan sapu. Sapu itu jatuh ke
lantai. Brandt hendak mengambil sapu itu"tapi segera mengurungkan
niat ketika dilihatnya raccoon itu tengah mendekam, bersiap-siap
menerjangnya. Kalau ia membungkuk mengambil sapu, pikir Brandt, raccoon
itu akan melompat dan menggigit lehernya.
Raccoon itu mengeluarkan desis marah. Air liurnya menetesnetes dari mulutnya.
Brandt pelan-pelan mundur ke belakang, matanya tetap terarah
pada binatang itu. Kaki kirinya menabrak sesuatu"kursi. Ia jatuh terjengkang
dengan terkejut. Raccoon itu kembali menyerang.
Brandt memaksa dirinya berdiri. Ia mengait kursi dengan
kakinya, mengangkatnya, lalu melemparkannya ke binatang yang
berliur itu. Raccoon itu mundur ke ambang jendela.
Dengan teriakan keras penuh kemarahan, Brandt melemparkan
kursi padanya. Kursi mengenai dinding. Makhluk itu menghilang di balik jendela.
Brandt meluncur ke jendela, tangannya meraih kusen bagian
atas, menutup jendela, dan menguncinya.
Sambil mengatur napas Brandt memandang loteng dengan
pandangan hampa. Seluruh tubuhnya gemetar. Ruangan yang sempit
itu terasa miring dan bergoyang-goyang.
Nyaris, pikirnya. Makhluk itu bertarung mati-matian.
Adakah binatang lain yang masuk lewat jendela loteng yang
terbuka ini" Adakah binatang lain yang bersembunyi di sini"
Brandt tak akan bisa tidur kalau belum tahu jawabannya.
Sambil masih terengah-engah, ia memeriksa semua kotak
dengan teliti. Tidak, tidak ada raccoon lagi. Tidak juga binatang lain.
Sudah aman sekarang, pikir Brandt.
Ia mematikan lampu dan, dengan kaki lemah dan gemetar, ia
menuruni tangga. Ayahnya berdiri di lorong mengenakan mantel kamar. Brandt
muncul di bawah cahaya lampu lorong yang suram.
"Brandt" Ada apa?" tanya ayahnya.
Brandt mengusap luka goresan di pipinya. Ibunya lari keluar
kamar, wajahnya amat cemas.
"Brandt, kau kelihatan kacau!" serunya. "Ada apa?"
"Aku mendengar suara-suara. Di loteng," sahut Brandt
terengah-engah. "Aku ke atas untuk memeriksanya. A"Aku
menemukan raccoon." "Masih ada di sana?" desak ayahnya, melihat lewat bahu Brandt
ke pintu loteng. "Sudah pergi," kata Brandt. "Kupaksa ia keluar."
"Ya Tuhan!" Mrs. McCloy menjerit, kedua tangannya
memegangi pipinya. "Siapa yang membiarkan jendela loteng itu
terbuka?" "A"Aku harus menceritakan sesuatu," Brandt memulai dengan
ragu-ragu. "Kupikir raccoon itu terkena rabies. Tingkahnya aneh. Ia
menyerangku." Mr. McCloy memegang tangan Brandt dan mulai
memeriksanya. "Apakah ia menggigitmu atau mencakarmu?"
"Kurasa tidak," sahut Brandt. "Aku baik-baik saja kok."
"Lebih baik kupastikan," kata Mr. McCloy.
Ia membawa Brandt ke kamarnya dan menyuruhnya berdiri di
bawah lampu. Orangtua Brandt dengan cermat meneliti tangan, leher,
muka, dan dadanya. "Aku tak menemukan bekas luka," ujar Mr. McCloy sambil
mendesah lega. "Kau harus lebih berhati-hati, Brandt," kata ibunya. "Apa sih,
yang kau mau" Tidak seharusnya kau ke atas sendirian, mencoba
bertarung dengan raccoon yang kena rabies!"
"Ingat kondisimu, Brandt," ayahnya mengingatkan.
Mana bisa aku melupakannya" pikir Brandt dengan pahit. Tapi
ia cuma menyimpannya dalam hati.
********* Hantu Cally melihat Brandt kembali ke kamar tidurnya. Tanpa
terlihat, ia melayang melalui pintu saat Brandt merebahkan diri ke
tempat tidur, menarik selimut hingga dagu.
Usaha yang bagus, Brandt, pikir Cally, tersenyum jahat.
Aku ingin memberitahu betapa menyenangkan melihatmu
bertarung di loteng tadi.
Tapi aku belum siap memperlihatkan diri padamu.
Tapi akan kulakukan. Segera.
Kau menjadi hiburan yang mengasyikkan, Brandt. Aku senang
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali melihatmu bertarung melawan raccoon tadi.
Sudah lama aku tidak mengalami hal-hal yang mengasyikkan.
Kau lucu sekali ketika ketakutan, Brandt. Aku suka melihat
matamu yang cokelat besar itu terbelalak, dan dagumu yang mencuat
ketika kau mengertakkan gigi.
Lucu. Sungguh lucu. Cally melihat Brandt berbalik.
Tidak bisa tidur, ya" pikirnya. Masih memikirkan nasib
baikmu"ebukulawas.blogspot.com
Well, kau tak perlu cemas terkena rabies, Brandt. Raccoon itu
tidak mengidap rabies. Ada hal lain yang membuatnya bertingkah aneh. Ada hal lain
yang membuatnya menjadi begitu kejam.
Roh jahat, Brandt. Roh jahat penghuni rumah ini.
Masih ada kesempatan untuk mengetahuinya. Masih banyak
waktu. Lebih baik tidur sekarang, Brandt. Lebih baik kau istirahat,
Cally memberitahu tanpa suara.
Karena aku punya banyak permainan untukmu.
Kau dan aku akan benar-benar menjadi sahabat karib.
Bab 5 BRANDT bangun siang esok paginya. Kamarnya gelap, tapi
ketika melirik jam, ternyata sudah jam sepuluh lewat. Melalui celah
pepohonan yang rapat di luar jendela, ia bisa melihat sepotong langit
biru di bulan Oktober. Hari Minggu yang cerah, pikirnya senang. Sangat tepat untuk
pergi bermobil. Aku harus menghindar dari Dad dan Mom selama
beberapa jam. Mereka membuatku kesal.
Di bawah, ia mendapati orangtuanya yang tengah menurunkan
bahan makanan dari mobil van biru.
"Cepat bantu ibumu," perintah ayahnya. "Ada enam kilo kalkun
di bangku belakang, dan aku tak ingin membuat ibumu kecapekan."
Brandt membawa masuk kalkun ke rumah. "Kami nyaris
memborong seluruh isi toko," ujar ibunya. "Aku beli daging
panggang, ayam, sayur-sayuran, tepung kue"Kau mau makan apa
malam nanti, Brandt?"
"Daging panggang enak juga," sahut Brandt, memasukkan
kalkun ke dalam kulkas. "Aku juga akan membuat kue," ujar Mrs. McCloy.
"Kau sudah selesai membongkar barang-barangmu, Brandt?"
tanya ayahnya. "Aku bahkan belum mulai," sahut Brandt. "Akan segera
kumulai. Tapi aku ingin bermobil dulu, melihat-lihat daerah sini.
Boleh kupakai Honda-nya?"
Ayahnya mengerutkan dahi. "Kita masih harus menata rumah.
Kuharap kau segera menata kamarmu dan setelah itu mengatur bukubuku."
"Akan kulakukan," janji Brandt, mengambil kunci mobil dari
meja dapur dan memainkannya dengan satu tangan. "Aku mau jalanjalan."
"Brandt!" protes ayahnya.
Brandt melesat keluar melalui pintu belakang sebelum mereka
bisa mencegahnya. Ia masuk ke Honda hijau tua itu, dengan cepat
memutari van, dan menyusuri jalan keluar.
Orangtuanya lari ke halaman depan, melambai padanya,
menyuruhnya kembali. Ia pura-pura tidak melihat. Ia menginjak pedal
gas dalam-dalam, melesat menyusuri Fear Street.
Ia mempercepat mobilnya ketika rumahnya sudah tidak
kelihatan. Ia melewati rumah-rumah tua. Seberkas sinar matahari pagi
mengintip melalui pepohonan yang berderet di sepanjang jalan itu. Ia
membuka jendela dan membiarkan udara musim gugur yang segar
menerpa wajahnya. Inilah yang kuinginkan, ia bergumam dalam hati. Keluar dari
rumah, jalan-jalan, menghirup udara segar.
Dengan roda berdecit, ia keluar dari Fear Street dan meluncur
ke kota. Ia memasukkan kaset ke dalam tape deck dan membesarkan
volumenya. Ia pun menyanyi. '"Jangan peduli kalau aku hidup, jangan
peduli kalau aku mati.'"
Tak ada pemandangan lain kecuali tanah pertanian di kedua sisi
jalan yang dilewatinya. Jalan besar yang panjang dan berkelok-kelok
itu nyaris kosong. Oke, aku mau lihat secepat apa aku! pikirnya.
Ia menekan pedal gas dan melihat speedometer, yang bergerak
naik. Tujuh puluh mil per jam. Delapan puluh. Ia membelok tajam,
memutar roda kemudi, menikmati kegairahan yang timbul karena
tidak tahu apa yang ada di balik tikungan berikutnya.
Jalan itu menanjak ke bukit yang bertanah cokelat. Brandt
membesarkan volume tape dan semakin memperdalam injakan pedal
gas. Jalan menikung ke kanan dan kemudian berbelok tajam ke kiri.
Ia melihat jurang curam di sebelah kanannya. Sungai sempit
yang mengitari lembah di bawah sana tampak berkilauan terkena sinar
matahari. Indah sekali, pikirnya, mengikuti kelokan sungai dengan
matanya. Ketika memandang ke jalan lagi, tampaklah truk tangki minyak
yang bergerak menuju ke arahnya.
Aku berada di jalur kiri! Brandt menyadari dengan panik.
Ia menjerit dan dengan panik membelokkan kemudi ke kanan.
Tapi mobilnya malah selip tidak terkendali.
Terlalu jauh! Terlalu jauh ke kanan!
Klakson truk itu seperti sirene.
Ia menginjak pedal rem. Mobil selip ke bahu jalan"mengarah ke jurang yang curam.
Bab 6 DENGAN kedua tangan mencengkeram kemudi, kaki
menginjak rem dalam-dalam, Brandt menutup matanya.
Dan menunggu terjatuh. Menanti tercebur ke jurang yang curam.
Ketika mobilnya tidak bergerak, ia membuka mata"dan
melihat mobilnya ternyata tidak jatuh.
"Astaga," serunya sembari keluar dari mobil. Roda kanan
depannya tergantung di tepi jurang. Ketiga roda lainnya aman di atas
tanah. "Astaga," ulangnya, sembari menggeleng-geleng.
Ia masuk kembali ke dalam mobil Hondanya yang mungil.
Brandt memasukkan gigi mundur dan menginjak pedal gas. Ban
berputar di tanah. Mobil bergerak, tapi ke arah yang keliru"semakin
masuk ke jurang. "Ayolah!" Brandt meneriaki mobilnya.
Ketika menginjak gas lagi, ban belakangnya berhasil menggigit
jalan beraspal dan mobilnya bergerak mundur. Roda depannya
terangkat dari tepi jurang dan kembali berada di bahu jalan.
Brandt berhenti sebentar untuk mengatur napas. Lalu ia.
berputar balik dan melesat ke rumahnya dengan kecepatan 80 mil per
jam. "Asyik sekali," teriaknya. "Asyik sekali!"
*********** Malam itu Brandt berbaring gelisah di kegelapan, menunggu
kantuk tiba. Aku sangat lelah karena sepanjang siang tadi sibuk mengatur
buku dan membongkar kotak-kotak itu, pikirnya. Tapi kenapa aku
tidak bisa tidur" Ia menatap langit-langit. Mendengarkan langkah-langkah kaki
raccoon. Tidak ada suara. Lalu kenapa perasaannya tidak enak" Seolah ada yang
membayanginya. Sesuatu yang berbahaya.
Ini pasti karena ia baru pindah di rumah yang asing, katanya
menenangkan diri. Atau mungkin karena ia sibuk memikirkan besok,
hari pertama masuk sekolah baru.
Shadyside High. Aku akan menjadi murid baru. Murid baru yang belum kenal
siapa pun. Ia melirik jam. Aku harus tidur, pikirnya. Atau besok akan ada
lingkaran hitam di bawah mataku seperti raccoon itu.
Ia mulai mengantuk. Ia memejamkan mata. Tiupan angin lembut dan dingin membuatnya merinding.
Ia membuka mata. Dari mana angin ini"
Lagi, tiupan angin dingin. Seperti embusan napas sedingin es.
Apakah ada orang di sini" pikirnya. Kulitnya merinding.
Ia merasakan sapuan bibir di tengkuknya. Bibir yang dingin,
amat dingin. Kemudian ada gigi tajam yang menggigit pundaknya"dan ia
pun menjerit. Bab 7 LAMPU kamarnya menyala. Mr. McCloy bergegas
menghampiri Brandt. "Ada apa" Apa yang terjadi?" Ia merangkul
pundak Brandt yang gemetaran dan berusaha menenangkannya.
Brandt menelan ludah. "Le"Leherku?" ia seolah tercekik. Ia
mengusap bekas gigitan tadi dengan tangannya. Bekasnya masih
terasa dingin. "Lehermu terluka" Kaku karena salah tidur?" tanya ayah
Brandt, suaranya masih terdengar sangat mengantuk. "Biar
kuperiksa." Brandt menunduk. "Sesuatu"menggigit leherku," katanya.
"Bekasnya ada?"
"Aku tidak melihat apa-apa," sahut Mr. McCloy, menunduk
memeriksa tengkuk Brandt.
"R-raccoon lagi?" Brandt tergagap.
"Moga-moga bukan," jawab ayahnya. Matanya menyapu isi
kamar. Kemudian ia membungkuk dan memeriksa kolong tempat
tidur. Ia membuka lemari dan memeriksa deretan pakaian Brandt. Ia
memeriksa kolong meja, isi kotak-kotak"semua yang ada di kamar
itu. Mr. McCloy mendesah lega. "Mungkin cuma mimpi, Brandt.
Mimpi buruk." Brandt mengusap tengkuknya. Sekarang sudah tidak apa-apa.
Tangannya bergerak mengusap bekas luka di pipinya. "Ini betulan,
Dad. Aku pikir?" "Kau pasti gelisah memikirkan sekolah besok. Pasti itu," Mr.
McCloy meyakinkannya. "Cobalah tidur lagi, oke?"
"Oke." Mr. McCloy mematikan lampu ketika hendak keluar kamar itu.
Brandt kembali merebahkan diri di dalam kamarnya yang gelap. Ia
menyelimuti dirinya hingga dagu. "Mimpi," gumamnya pelan. "Mimpi
tolol." Ia hampir tertidur, ketika kembali merasakan tiupan dingin di
wajahnya. *********** Brandt mendengar raungan vacuum cleaner ketika menuruni
tangga esok paginya. Ia mengintip ke ruang tamu, terkejut melihat
wanita bertubuh pendek, berambut kelabu, tengah mengisap debu.
Brandt belum pernah melihatnya.
"Hai," sapanya, tapi wanita itu tidak menoleh. Brandt berpikir
wanita itu pasti tidak mendengar panggilannya karena raungan alat
pembersihnya. Lalu ia ke dapur.
"Pagi, Brandt," sapa ayahnya dari meja. "Bisa tidur semalam?"
"Sedikit," sahut Brandt. "Siapa wanita di ruang tamu itu?"
"Namanya Mrs. Nordstorm," jawab Mrs. McCloy. "Ia akan
membantuku membongkar barang-barang dan menata rumah ini. Kau
sudah ketemu dia" Ia sangat baik lho."
"Aku menyapanya, tapi ia sedang sibuk dengan vacuum
cleaner-nya," jelas Brandt. "Dari mana dia?"
"Mr. Hankers yang merekomendasikannya," Mrs. McCloy
menjelaskan. "Aku baru mau meneleponnya pagi ini untuk
memastikan apakah ia bisa bekerja. Tapi ternyata ia sudah muncul.
Kurasa Mr. Hankers yang meneleponnya untukku."
"Ia bekerja untuk pemilik rumah sebelumnya," Mr. McCloy
menambahkan. "Mau jus, Brandt?" tanya ibunya. Ia membuka kotak jus dan
mengambil dua gelas. "Sedikit saja, ya" Ini kan hari pertamamu
masuk sekolah." "Tidak, terima kasih," sahut Brandt. Ia tidak pernah sarapan,
ibunya tahu itu. Tapi Mom tidak pernah berhenti mengganggunya
dengan pertanyaan itu. Ia duduk di meja makan, ayahnya membaca koran dan minum
kopi. Ibunya memasukkan gelas jus ke lemari.
"Aku terus memikirkan soal semalam," kata Brandt. "Gigitan di
tengkukku itu..." Mr. McCloy menyembulkan kepala dari koran, melempar
pandang pada istrinya. Mrs. McCloy berpaling dari lemari dan
bertukar pandang dengan suaminya, cemas.
"Semalam itu kurasa bukan mimpi buruk," Brandt meneruskan
dengan serius. "Benar-benar terjadi."
"Brandt?" Ibunya duduk, tak sadar mencengkeram dua buah
gelas di tangannya. "Apa benar ada orang di kamarmu tadi malam?" tanya Mr.
McCloy, menatap Brandt. "Sudah kuperiksa kamarmu. Bahkan kolong
tempat tidurmu." "Bukan"bukan orang," sahut Brandt, menyisir rambutnya yang
hitam berombak dengan tangannya. "Sesuatu. Roh atau apa." Ia
tersenyum. "Mungkin rumah ini berhantu."
Ayah Brandt tergelak. Ia meletakkan korannya. "Penelitianku
betul-betul melekat di kepalamu"mempengaruhi imajinasimu. Selain
itu, kau memang dibesarkan di berbagai tempat aneh, dan selalu
mendengarku berbicara soal ilmu gaib dan roh-roh?"
"Mungkin," tambah Brandt. "Tapi kurasa bukan karena itu."
Mr. McCloy menggosokkan tangannya sambil tersenyum.
"Hmmm. Sesuatu yang menarik. Luar biasa. Bagaimana kalau benar
ada roh halus di sini?"
Mrs. McCloy memandang suaminya dengan sebal. "Bisa kita
agak serius" Tidak ada hantu atau roh gentayangan di dunia ini, tahu"
Aku yakin rumah ini baik-baik saja," tegasnya.
"Bisa ya, bisa tidak," ujar Mr. McCloy bersikeras. "Kita lihat
saja nanti." "Dad akan memastikannya, kan?" tanya Brandt.
"Tentu. Mana mungkin aku diam saja?"
"Trims, Dad." Mrs. McCloy melihat jam dinding. "Sebaiknya kau cepat
berangkat, Brandt," katanya.
Brandt berdiri. "Aku ingin tiba lebih awal. Kurasa aku perlu
berkenalan dengan beberapa murid sebelum masuk kelas."
"Jangan berlebihan, Brandt," sahut ayahnya. "Ingat?"
"Ya, aku tahu, aku tahu. Aku akan hati-hati," erang Brandt.
Ia merenggut ranselnya dari meja dan menuju pintu.
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hari itu amat cerah dan hangat untuk bulan Oktober, tapi
halaman depan rumah keluarga McCloy gelap oleh bayang-bayang.
Pepohonan dan semak-semak yang rimbun menutupi sinar matahari.
Beberapa dedaunan telah berubah kuning dan merah, tapi tetap
melekat di dahan seolah bertahan.
Brandt menarik kerah jaket jeans-nya hingga menutupi leher. Ia
bergegas melintasi halaman depan, melewati pepohonan dan semak
yang rimbun. Rumput ini sudah terlalu tinggi, pikirnya, membuka jalan
dengan sepatunya. Payah sekali kalau harus memotongnya. Mungkin
Hankers bisa melakukannya.
Ketika tiba di trotoar, ia melihat matahari yang menyinari
trotoar. Begitu sampai di ujung halamanku, barulah tampak sinar
matahari, pikirnya. Aneh. Ia berjalan di trotoar, ketika tiba-tiba ada yang mendorongnya
dari belakang, keras sekali. Ada tangan sedingin es yang memegang
erat pundaknya. BAB 8 TERKESIAP kaget, Brandt berbalik. Dan melihat wajah cewek
yang sebaya dengannya. "Sori, aku tadi tersandung," jelas cewek itu dengan muka
memerah. "Aku tak bermaksud mencengkerammu."
Ia mungil dan cantik, berambut pirang, bermata biru. Ia
mengenakan rok mini dari wol kotak-kotak berwarna abu-abu di atas
celana ketat hitam, dan sweater biru muda yang longgar.
Brandt lega. "Kau mengagetkanku," akunya. "Kau tinggal di
sekitar sini?" Cewek itu mengangguk. "Aku Abbie Ayler," ujarnya,
merapikan sweater-nya. "Biasanya aku tidak kikuk begini. Bagaimana
rumah barumu" Kulihat kau pindah kemarin."
"Cukup oke," sahut Brandt. "Meski kelihatan sudah mau
roboh." Ia memberitahu namanya. "Kau juga mau ke sekolah?"
"Yeah, tapi arah kita berbeda," jawab Abbie. "Kau mau ke
Shadyside High, kan?"
Brandt mengangguk. "Kau tidak sekolah di sana?"
"Tidak. Darwin Academy." Ia membuat mimik lucu. "Sekolah
khusus anak-anak perempuan."
"Oh," ujar Brandt. " Sayang sekali."
Abbie tertawa. "Memang betul." Ia mengibaskan rambut
pirangnya. "Pindahan itu nggak enak, ya" Membuatmu gelisah" Atau
kau selalu melompat setinggi satu meter setiap kali ada yang
menyentuh pundakmu?"
"Aku memang agak tertekan," Brandt mengakui sambil
mengangkat bahu. "Halamanmu gelap, ya?" kata Abbie, matanya yang biru
menengadah ke matahari. "Dengan pepohonan tua itu."
"Yeah. Gelap sekali."
"Kurasa kau sudah banyak mendengar cerita tentang rumahmu
itu," kata Abbie pelan.
"Cerita" Cerita apa?" Brandt mendesaknya.
Abbie mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Cerita mengenai
orang-orang yang pernah tinggal di situ. Kurasa ada kejadian buruk
yang menimpa mereka."
"Hah" Kejadian apa itu?"
"Aku sih tidak percaya," sahut Abbie, memandang rumah
Brandt. "Ceritanya macam-macam. Kau sudah tahu, kan?"
"Kau kenal dengan keluarga yang sebelumnya menghuni rumah
ini?" tanya Brandt, memindahkan ransel ke bahunya yang lain.
"Tidak," ujar Abbie berterus terang. "Aku pernah melihat kedua
gadis itu. Mereka kembar, tapi tidak serupa. Mereka tidak tinggal
lama di sini." "Kenapa?" tanya Brandt.
Abbie ragu-ragu. "Kudengar salah satu cewek itu meninggal."
"Oh, kasihan," ujar Brandt. "Maksudmu ia meninggal di
rumahku?" Abbie mengangguk. "Yeah. Kurasa. Tragis, ya?" Ia tidak
memberi Brandt kesempatan berkomentar. "Pamanku"menurutnya
rumah ini dikutuk. Seperti ada roh jahat atau apa namanya."
Roh jahat" Brandt merinding. Ia teringat raccoon yang menyerangnya. Dan
ia teringat bibir sedingin es di tengkuknya, gigi yang menggigitnya.
"Tapi aku yakin itu cuma gosip," Abbie menambahkan, ketika
melihat wajah Brandt yang ketakutan. "Maksudku, orang-orang
sengaja menciptakan cerita-cerita aneh tentang Fear Street." Ia tertawa
kikuk. "Kapan-kapan tolong ceritakan lebih lengkap padaku," pinta
Brandt. Ia menarik juga, pikirnya. Kurasa aku suka punya tetangga
seperti dia! Tapi ucapannya itu telah mengusik Brandt. Ia memandang
rumahnya yang tertutup bayangan pepohonan besar dan rimbun.
Lalu matanya menangkap sesuatu.
Ada yang bergerak di jendela atas. Sesuatu yang gelap.
Berayun-ayun di balik kaca.
Brandt memandangnya baik-baik.
Bayangan gelap itu berayun-ayun di jendela kamar
orangtuanya. Brandt mengerjapkan mata, dan memandangnya lagi,
takut mempercayai penglihatannya.
Tidak mungkin. Tapi memang benar. Tubuh ayahnya tergantung di jendela.
BAB 9 BRANDT mendengar Abbie menjerit.
Ia melihat Abbie menunjuk ke jendela. Ia juga melihatnya.
Tanpa berkata-kata, Brandt lari tunggang-langgang melintasi
rumput yang tinggi, menuju beranda, terus masuk ke rumahnya. Abbie
mengikuti tepat di belakangnya.
"Dad!" panggil Brandt panik sambil melesat menaiki tangga.
"Dad!" Ia tersandung dan jatuh menabrak tembok, lalu menerobos
masuk kamar orangtuanya. "Dad!" "Brandt" Astaga, ada apa?" Mrs. McCloy berdiri dengan tenang
di sisi tempat tidur, tengah menepuk-nepuk bantal. "Ada apa, Brandt?"
"Hah?" Brandt bergumam serak.
Pintu kamar mandi terbuka. Brandt melongo ketika melihat
ayahnya keluar. "Ada apa?" tanya Mr. McCloy tajam. "Bukankah kau tadi sudah
berangkat sekolah?" Brandt berbalik memandang jendela. Salah satu setelan ayahnya
tergantung di sana. "Oh, wow," Brandt bergumam.
Ia mendengar suara cekikikan di belakangnya. Abbie
melangkah ke sebelahnya, matanya tertuju pada setelan ayahnya.
Brandt meledak dalam tawa. "Cuma pakaian!" teriaknya. "Ya.
Cuma pakaian!" "Brandt"kenapa kau ini?" tanya ibunya. Orangtuanya
menatapnya heran seolah ia sudah gila.
"Sori," kata Brandt, akhirnya bisa mengendalikan diri. "Kami
pikir setelan pakaian itu adalah Dad."
Mr. McCloy cemberut dan menggeleng-geleng. "Aku tak
mengerti." "Ini Abbie," Brandt memberitahu orangtuanya. "Ia salah satu
tetangga kita." "Senang bertemu denganmu, Abbie," ujar Mrs. McCloy. "Tapi,
Brandt, kumohon lain kali jangan mengajak tamu ke kamar kami
seperti ini. Aku bahkan belum sempat merapikan kamar."
"Sori, Mom," kata Brandt. "Ini kesalahan. Kesalahan besar." Ia
bertukar pandang geli dengan Abbie.
"Ayo kita berangkat," kata Abbie seraya keluar kamar. "Senang
bertemu Anda." Brandt dan Abbie lari menuruni tangga, keluar rumah, dan
tertawa sepanjang jalan. "Kupikir yang di jendela itu betul-betul seorang lelaki yang
menggantung diri," jelas Abbie. "Orangtuamu pasti mengira aku
sinting! Atau tidak sopan!"
"Aku berani sumpah itu tadi memang seperti Dad," Brandt
menambahkan. "A"Aku sangat ketakutan." Ia tersenyum padanya. Ia
bertanya-tanya apakah Abbie menyukainya. Atau akankah ia
menganggapnya aneh" "Bisa nggak kita ketemu Sabtu siang?" tanyanya. "Mungkin kita
bisa belajar bersama."
"Yeah. Boleh," sahut Abbie, membalas senyumnya. "Aku akan
datang sekitar pukul dua, oke?"
"Oke!" Brandt melihat jamnya. "Oh, habis sudah hari
pertamaku yang hebat. Aku sudah terlambat pada hari pertama masuk
sekolah!" Ia melambai pada Abbie dan bergegas menyusuri Fear Street,
mengejar bus Shadyside High.
********** Brandt sedang antre di kafeteria sambil memegangi nampan.
Bau brussel sprouts menguar dari dapur. Cewek di depannya
mengerutkan hidung dan menyindir, "Baunya sedap, ya" Aku yakin
kau tidak pernah makan yang beginian di sekolahmu dulu."
"Aku selalu makan steak setiap hari," canda Brandt. "Kami
minta salad, kacang hijau, dan brussel sprouts. Tapi mereka selalu
memberi kami french fries."
Cewek itu tersenyum. Ia tinggi dan cantik, rambutnya hitam
sebahu, dan mata birunya tampak menawan di bawah alis yang hitam
lebat. Ia mengenakan jeans belel yang robek di kedua lututnya, dan
sweater putih pendek. "Kudengar ada anak baru," ujarnya, mengamati Brandt dengan
matanya yang menawan. "Kau, ya?"
Brandt nyengir. "Yeah. Aku anak baru itu. Pokoknya serbabaru
deh. Aku baru pindah Sabtu kemarin." Ia memperkenalkan diri.
"Selamat datang di Shadyside, Brandt," kata cewek itu. "Aku
Jinny Thompson." Antrean itu bergerak, dan Jinny menambahkan,
"Sebaiknya biarkan aku menjadi pemandu antrean nampan ini. Aku
benci kalau kau sampai muntah-muntah pada hari pertamamu masuk
sekolah." Brandt mengambil pisau dan garpu dan meletakkannya di
nampan. Cewek berambut pirang menyela di antara mereka. "Aku
dului ya, Jinny," pintanya. "Antrean ini sangat panjang, dan aku sudah
lapar. Aku cuma sarapan setengah batang Snickers tadi pagi. Cuma
itu. Sungguh." Cewek berambut pirang itu lebih pendek beberapa inci dari
Jinny. Ia mengenakan sweater hitam longgar yang hampir menutupi
lututnya, di atas legging hijau yang menyala.
Ia manis juga, pikir Brandt. Ia meraih ke belakangnya,
mengambilkan sebuah nampan, dan memberikannya pada teman
Jinny. "Trims." Cewek itu memberinya senyum lebar. "Kau pasti anak
baru itu." "Namanya Brandt-Anu, dan ia sangat baik," Jinny
memberitahu. "Tapi aku yakin itu akan hilang dalam sekejap. Selalu
begitu kejadiannya." Ia menyeringai pada Brandt, memberitahu bahwa
ia hanya bergurau. "Ini temanku. Meg. Meg Morris."
"Kenapa nampan-nampan ini" Kenapa selalu basah?" ujar Meg,
melihat nampan plastiknya dengan muak. "Belum dipakai makan
siang, tapi sudah basah. Kenapa selalu begini?"
"Ini dibuat dari plastik khusus," Brandt bercanda. "Selalu basah
apa pun yang kaulakukan terhadapnya."
Kedua cewek itu tertawa. Tawa Meg terdengar lucu, tinggi
melengking seperti siulan.
Antrean bergerak lagi. Jinny membuka kulkas dan mengambil
salad yang dibungkus plastik selofan.
"Lihat seladanya," katanya, menunjukkan salad itu pada Brandt.
"Selada ini sudah cokelat, jadi mereka memberinya pemutih."
"Kenapa kauambil?" tanya Brandt.
"Lihat saja pilihan yang lain," ujar Meg, memutar bola mata.
Jinny dan Meg memberitahu Brandt tentang makanan di
kafeteria itu, lebih dari yang ingin diketahuinya. Ia berhasil keluar dari
antrean itu dengan sandwich ham dan keju, serta susu kotak.
Ia mengikuti Meg dan Jinny ke meja yang terletak di deretan
paling belakang. Seorang cowok tinggi, berambut pirang, dan
berbadan atletis, memegang bola basket di satu tangannya, berjalan
seenaknya memasuki kafeteria. Ia duduk di samping Jinny,
melingkarkan lengannya ke bahu Jinny yang ber-sweater putih.
"Hei, Jin," sapanya. "Hei, Meg." Ia mengangguk pada Brandt
sembari menyipitkan matanya.
"Jon Burks, ini Brandt McCloy," kata Jinny. "Ia anak baru.
Bersikaplah sopan padanya."
"Kenapa harus nggak sopan?" sahut Jon, pura-pura merasa
terhina. "Aku cowok baik-baik. Tanyakan pada yang lain." Ia
memutar bola basket di ujung jarinya. "Kau bisa main basket?"
tanyanya pada Brandt. "Tidak juga," sahut Brandt.
"Kau harus ikut seleksi untuk masuk tim," usul Jon. "Kami
butuh cowok-cowok berbadan tinggi."
Mom pasti mencak-mencak kalau aku bilang ingin main basket,
pikir Brandt. Ia selalu mengingatkan agar aku hati-hati.
Tapi ia terus berpikir: bisakah aku masuk tim"
Aku cukup baik dalam bidang olahraga.
Meski belum pernah ikut pertandingan. Cuma main-main di
lapangan dengan teman-teman. Pasti lebih menantang kalau main
dalam tim. Dan aku bisa berkenalan dengan banyak teman.
Aku akan ikut latihan, ia memutuskan. Tak ada ruginya. Lalu
aku bisa ikut seleksi. Mom dan Dad tak perlu tahu.
"Hei, Brandt," Jon menjentikkan jari, membuyarkan lamunan
Brandt. "Kau masih bersama kami?"
"Jam berapa latihannya?" tanya Brandt.
"Kau mau ikut" Bagus!" ujar Meg.
Jinny memutar bola matanya. "Jangan biarkan Jon
mempermainkanmu, Brandt."
"Kami latihan setiap sore jam setengah empat," Jon
memberitahu Brandt, mengabaikan peringatan Jinny. "Latihan akan
dimulai minggu depan."
Ia berpaling pada Jinny, bertanya, "Kau akan menemuiku seusai
latihan, kan?" Jinny menggeleng. "Tidak mungkin. PR bahasa Prancis-ku
seabrek dan tugas makalah harus segera kumulai."
"Kau cemas soal pekerjaan rumahmu?" Jon menggeleng, tidak
percaya. "Kau sekarang lain." Ia memandang Brandt dengan curiga.
Lalu tiba-tiba ia berdiri.
"Kuharap kau sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumahmu
itu sebelum hari Jumat," katanya. "Jangan lupa"kau sudah janji pergi
bersamaku hari Jumat malam. Aku sudah bersusah payah pinjam
mobil lho."
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku pasti ingat," janji Jinny. "Tidak masalah."
Jon pergi tanpa pamit, memantul-mantulkan bola basketnya
menyeberangi kafeteria. "Kenapa dia?" tanya Meg.
Jinny mengangkat bahu. "Mana aku tahu" Itulah Jon. Ia selalu
cemburu kalau melihatku duduk sendirian dan membaca buku."
Ia melempar senyum nakal pada Brandt dan menambahkan,
"Tapi tak pernah kubiarkan ia menghentikan kebiasaanku itu."
************ "Hei"kau datang juga, McCloy," Jon melemparkan bola basket
ke tangan Brandt yang tengah berjalan memasuki lapangan siang itu.
"Hei, guys!" Jon memanggil lima atau enam cowok, yang sedang
melakukan pemanasan di lapangan. "Ini dia! Anak baru itu! Ia bilang
akan jadi bintang berikutnya! Katanya julukannya adalah In Your
Face!" "Tidak! Aku nggak pernah bilang begitu!" seru Brandt,
mukanya memerah. "Katamu kau bintang all-state tahun lalu!" Jon membantahnya
cukup keras hingga setiap orang di lapangan itu bisa mendengarnya.
"Jangan percaya itu!" protes Brandt. Kenapa Jon melakukan itu
padanya" Apakah ia membual" Atau apakah ia sengaja
mempermalukan Brandt"
Jon mengambil bola, men-dribble-nya ke ujung lapangan, dan
mulai berlatih tembakan penalti. Brandt dengan pelan dan mudah
men-dribble bola di lapangan. Ia berbalik dan kembali men-dribble
bolanya untuk melakukan pemanasan.
Gampang saja, pikirnya. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Seorang lelaki botak, bertubuh tinggi, berusia 40-an,
mengenakan pakaian olahraga abu- abu, melihat Brandt dari pinggir
lapangan. "Aku Coach Hurley, pelatih," katanya, peluitnya tergantung
di leher. "Kau anak baru, kan" Kelas berapa?"
"Kelas 11," sahut Brandt.
"Bagus. Kau ikut tim di sekolahmu yang dulu?"
Brandt hampir tersenyum memikirkan permainan basket di
Pulau Mapolo. "Tidak," sahutnya. "Tapi aku rasa aku cukup bagus."
Mr. Hurley mengamatinya. "Ya, kau cukup jangkung. Jika kau
jangkung dan bernapas, kau punya kesempatan untuk memperkuat
tim," katanya datar. "Kita akan mulai berlatih beberapa menit lagi.
Akan kami lihat permainanmu."
Kemudian, Jon mengikat kepalanya dengan kain biru dan
melemparkan kain merah pada Brandt. Mereka berdiri berhadapan di
pinggir lapangan, dalam tim yang berlawanan.
Mr. Hurley meniup peluit. Pemain tengah berebut bola. Bola
melambung ke Jon. Jon men-dribble bola menyeberangi lapangan dan berusaha
memasukkannya ke ring. Brandt mencegatnya. Brandt melompat
dengan gesit"dan berhasil mencuri bola dari Jon.
"Bagus, McCloy!" teriak Mr. Hurley.
Jon menggerutu. Brandt menyeberangi lapangan bersama timnya.
Cowok kurus, agak pendek, dan berambut hitam keriting
melemparkan bola ke Brandt. Brandt menembakkan bola. Gagal.
Tim biru kembali membawa bola. Brandt berbalik melintasi
lapangan, membayang-bayangi Jon.
Brandt terengah-engah, berusaha mengatur napasnya. Keringat
bercucuran di dahinya. Ia memandang teman-temannya yang lain
untuk membandingkan seberapa banyak mereka berkeringat.
Kebanyakan dari mereka belum berkeringat.
Tidak apa-apa, Brandt menenangkan dirinya. Aku hanya kurang
berlatih. Jon menyelinap melewati Brandt dan menembakkan bola. Bola
meluncur masuk. Saatnya menyerang. Tim Brandt ketinggalan angka. Tangan dan
kakinya mulai terasa berat seolah dibebani puluhan kilo.
Terengah-engah, ia berhenti lari dan membungkuk, tangannya
bertumpu pada lutut. "Tidak mungkin kau sudah kecapekan, McCloy!" ia mendengar
teguran Coach Hurley. "Cobalah lari mengitari lapangan lima kali
seusai latihan." Brandt mengangguk, terengah-engah.
Aku bisa melakukannya, janjinya. Aku harus bisa. Harus bisa.
Akan kubuktikan. *********** Aku perlu alibi yang bagus, sore itu Brandt terus berpikir
sambil pelan-pelan menyusuri Fear Street menuju rumahnya. Mom
tidak akan berhenti mengomelinya kalau tahu ia ikut latihan basket.
Matahari hampir tenggelam di balik pohon tua. Angin yang
bertiup terasa dingin, lembap, mengisyaratkan musim dingin.
Ketika memandang rumahnya, 99 Fear Street, Brandt tiba-tiba
teringat ucapan Abbie tadi pagi. Ada cewek meninggal di rumahnya,
pikirnya ngeri. Rumah itu berhantu, kata Abbie.
Seluruh jalan ini berhantu.
Ia memandang rumah-rumah tetangganya. Semua kelihatan tua
dan gelap seperti rumahnya. Di mana Abbie tinggal" pikirnya.
Ia mengambil napas dalam-dalam, berusaha mencari alasan
kenapa terlambat pulang, lalu bergegas masuk.
Ia melihat ibunya mengobrol dengan Mr. Hankers. "Semoga
Anda benar," katanya. "Aku tak sanggup hidup serumah dengan tikustikus di ruang bawah tanah itu."
"Mereka tak akan mengganggu Anda lagi," sahut Mr. Hankers,
mengusap rambutnya yang hitam. "Kalau mereka menyusahkan lagi,
segera beritahu aku." Ia tersenyum ketika berpapasan dengan Brandt.
"Dari mana, Brandt?" tanya Mrs. McCloy. "Hari sudah gelap."
"Well?" Brandt ragu-ragu. "OSIS. Aku ikut organisasi itu agar
bisa cepat akrab dengan teman-teman di sekolahku."
Ibunya tersenyum. "Sungguh pilihan tepat," katanya.
"Setiap hari ada pertemuan sepulang sekolah," Brandt
memberitahu. "Pekerjaan rumahku juga sudah banyak. Lebih baik aku
segera naik ke kamar dan mengerjakannya."
Ibunya ingin sekali mendengar lebih banyak cerita tentang hari
pertamanya di sekolah. Tapi ia sudah bergegas naik dan menutup
pintu kamar. Ia tak ingin ibunya melihat betapa capek dirinya.
Tanpa menyalakan lampu, ia merebahkan diri di tempat tidur. Ia
mengendus. "Hei." Ada bau aneh di kamarnya, pikirnya.
Ia bangun. Bau itu tercium lagi. Sangat busuk. Busuk sekali.
"Wow," Bau sekali, pikir Brandt saat bau busuk itu semakin
tajam. Baunya seperti"
Ia tak ingin memikirkannya lebih lanjut. Ia tahu.
Baunya seperti sesuatu yang mati. Seperti daging yang busuk.
Aku mual, pikirnya. Ia berdiri, hendak membuka jendela untuk membiarkan udara
segar masuk. Tapi ia menghentikan langkah ketika melihat cahaya di celah
bawah pintu lemarinya. Tak ada lampu di dalam lemariku, Brandt mengingat-ingat.
Ia mendekat, matanya terus tertuju ke lantai. Sinar itu berwarna
hijau, hijau menjijikkan yang semakin terang ketika Brandt
memandangnya. Ia mendekati lemari. Semakin dekat.
Apa yang ada di dalam"
Ia meraih hendel pintu lemari"lalu melepaskannya seketika.
Hendel itu terasa basah dan licin.
Brandt melihat tangannya. Tangannya dilumuri cairan hijau
lengket. Ia mengusapkannya ke jeans-nya.
Cairan itu melekat di tangannya.
Sinar hijau itu bersinar makin terang, memancarkan cahaya
hijau menjijikkan ke seluruh kamar.
Bau busuk itu semakin menguar di sekitarnya.
Aku harus keluar dari sini, pikirnya.
Tapi tunggu. Ia harus mencari tahu apa sebenarnya yang ada di
dalam lemari. Ada apa di balik pintu"
Ia berusaha mengabaikan bau busuk itu dan memaksa diri
mendekati pintu lemari. Ia memegang hendel pintu yang licin dan memutarnya.
Pintu lemari terbuka. Ada kilasan cahaya putih.
Apa itu" Ada apa di dalam lemarinya"
Ketika bisa melihatnya, segalanya sudah terlambat.
Cahaya itu tiba-tiba menyerangnya, mencekik jeritan
kengeriannya. BAB 10 SEBERKAS cahaya putih. Menggumpal bagai asap.
Menyesakkan dan berbau busuk.
Cahaya itu keluar dari lemari ketika ia membukanya, dan
menyelimuti wajahnya bagai awan putih.
Ia"ia mencekikku, Brandt menyadarinya.
Ia berusaha menghalau awan itu dengan panik. Tapi tak
berhasil. Sambil terbatuk-batuk, tersedak, dan tersengal-sengal, ia
berjalan sempoyongan ke pintu kamar. Dan jatuh berlutut.
Pintu kamarnya terbuka. Lampu menyala. Mrs. McCloy
memekik ketakutan. "Brandt" kenapa kau berlutut begini?"
"Hah?" ia memandang ibunya, berusaha memfokuskan
pandangan. "Mom?"
Ibunya berlutut di sebelahnya. "Brandt?"
"Mom, aku"uh?" Brandt memandang pintu lemari yang
terbuka. Apa yang terjadi" Sinar itu lenyap.
Tak terlihat lagi gumpalan awan putih. Tak ada lagi cahaya
hijau. Tak tercium lagi bau bangkai.
Semuanya langsung lenyap begitu ibunya membuka pintu.
Tapi Brandt yakin semua itu akan kembali lagi.
Ia mengincarku, pikir Brandt, tak sanggup mengendalikan
badannya yang gemetar. Ada sesuatu di rumahnya"dan sedang mengincarnya.
*********** Well, well. Kau sudah mulai curiga, Brandt, pikir hantu Cally.
Ia tertawa, melihat Brandt berjalan mondar-mandir dengan
gelisah di kamarnya. Ia berkali-kali memeriksa lemari. Lalu duduk di
tempat tidurnya dan memandang langit-langit, berpikir keras.
Kau cowok pintar, Brandt, pikir Cally mencemooh.
Kau mulai paham. Ada yang mengincarmu. Aku-lah yang mengincarmu.
*********** Coach Hurley meniup peluit. "Satu lawan satu!" teriaknya.
"Berbaris." Esok sorenya Brandt berdiri di tengah lapangan, memegang
bola basket. Ia menoleh ke pinggir lapangan dan melihat Jinny dan Meg
menonton dari tempat duduk penonton. Jinny melambai padanya dan
meneriakkan sesuatu, tapi ia tak bisa mendengarnya.
Semoga aku tidak mengacau, pikir Brandt. Ia terus memikirkan
kedua cewek itu. Ia tak ingin tampil memalukan di hadapan mereka.
"Burks, McCloy"maju!" perintah Coach Hurley.
Kenapa pelatih selalu memasangkan aku dengan Jon" Brandt
berpikir. Ia pasti menganggap kami berteman.
"Ayo, McCloy. Kita mulai," ejek Jon.
Brandt men-dribble bola. Ia membungkuk dalam-dalam,
berusaha men-dribble melewati Jon dan menembakkan bola ke ring.
Jon membayanginya dengan ketat.
"Jangan main kasar, Burks!" pelatih mengingatkan Jon. "Kau
membuat tim kita bermain curang tahun lalu. Aku akan
mengawasimu." EB?K?L?W?S.BL?GSP?T.C?M
Brandt berusaha keras, berkelit melewati Jon. Kemudian,
sambil menggeram, ia menerjang ke kiri dan menembakkan bola.
Bolanya menghantam ring dan masuk.
Dengan cemberut, Jon menangkap bola dan membawanya ke
tengah lapangan. Brandt pasang kuda-kuda, mencegatnya.
Jon men-dribble ke dekat ring. Brandt di belakangnya, terus
membayanginya. Lalu, tiba-tiba, Jon menyikutnya.
"Hei!" Brandt jatuh terjengkang sambil berteriak. Ia menahan
tubuh dengan sikunya. Rasa sakit menjalar ke lengannya ketika
sikunya membentur lantai kayu yang keras.
Pelatih meniup peluit. "Jon! Aku memperingatkanmu!"
"Aku tidak menyentuhnya!" protes Jon. "Ia jatuh sendiri!"
Dengan gemetar, Brandt segera berdiri dan memeriksa sikunya.
Ia tersentak ketika melihat memar di lengannya menyebar bagai noda
hitam. Tidak! pikirnya ketakutan melihat luka memar yang semakin
melebar itu. Kondisiku... Noda di tangannya semakin menghitam dan melebar.
Bagaimana cara menyembunyikannya dari perhatian orang"
Brandt berpikir keras. Sudah terlambat, pikirnya, putus asa.
Coach Hurley dan pemain lain menatapnya dengan ngeri.
BAB 11 BRANDT menutupi luka memarnya dengan sebelah tangannya.
Coach Hurley membungkuk, matanya menyipit prihatin. "Kau baikbaik saja?" tanyanya, mengamati lengan Brandt. "Memarnya cukup
serius. Sepertinya kau tidak jatuh terlalu keras."
"Tak apa-apa kok," sahut Brandt, berusaha tenang. Ia berbalik,
menyembunyikan lengannya yang memar. "Tidak sakit kok."
"Kau boleh istirahat, kalau mau," Coach Hurley menasihati.
"Aku baik-baik saja," Brandt menegaskan.
Pelatih itu mengangkat bahu. "Terserah."
Brandt lari bergabung dengan timnya lagi. Ia melihat Jon tengah
men-dribble bola dengan sikap biasa saja. Ketika lewat di depannya,
Brandt menangkap seringai kemenangan di wajahnya.
********** Brand, berbaring dan membayangkan wajah teman-teman
barunya. Ia teringat Abbie, mata birunya yang jenaka, rambut
pirangnya yang lurus, tawanya yang renyah.
Jinny dan Meg memasuki pikirannya. Keduanya selalu
menggodanya setiap kali bertemu dengannya. Jelas keduanya bersaing
memperebutkannya"meski Jinny sudah berpacaran dengan Jon.
Jon... Latihan yang tidak menyenangkan hari ini, pikir Brandt, meraba
sikunya. Bekas memarnya sudah hampir memudar. Tapi Coach
Hurley telanjur melihatnya, menatap Brandt dengan curiga.
Besok pasti sudah membaik, janji Brandt. Akan kutunjukkan
pada Hurley betapa tangguh diriku.
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kriut. Wajah-wajah itu langsung lenyap dari benak Brandt ketika ia
mendengar suara di atas kepalanya.
Langkah kaki. Langkah-langkah kaki.
Brandt duduk di tempat tidurnya. Mendengarkan.
Kriut, kriut. Jangan naik ke atas, Brandt memperingatkan dirinya. Di sini
saja. Tetap di sini supaya aman.
Tapi ia yakin ia tak bisa diam saja.
Kriut,! kriut, kriut. Ia turun dari tempat tidur dan mengendap-endap ke lorong.
Orangtuanya sudah tidur. Pintu kamar sudah ditutup.
Pintu yang menuju tangga terbuka dengan deritan pelan. Brandt
mengintip dan mendengarkan bunyi langkah kaki.
Ia mendengarnya. Mantap, langkah demi langkah, seolah-olah
orang itu tengah berjalan di lantai papan yang berderit.
Pelan-pelan Brandt menaiki tangga. Ia meraba-raba dinding.
Menyalakan lampu. Ruangan yang panjang dan beratap rendah itu tampak remangremang. Ia mengerjap-ngerjap, menunggu sampai matanya terbiasa.
Tak ada orang. Aneh, pikir Brandt. Baru saja aku mendengar langkah kaki.
Ia memeriksa loteng, di balik semua kotak dan peti kayu. Tak
ada orang. Ia melihat sesuatu tergeletak di tengah lantai ruangan. Sebuah
buku catatan kecil. Kok tadi nggak kelihatan" ia membatin, memandangnya dengan
teliti. Sepertinya ada yang sengaja meletakkannya di situ.
Brandt duduk di lantai dan membuka buku itu.
Ternyata sebuah buku harian. Buku harian cewek. Ia
menuliskan namanya di halaman pertama.
CALLY FRASIER. Brandt membolak-balik halamannya. Ini pasti milik salah satu
cewek kembar yang pernah tinggal di sini, pikirnya. Salah satu cewek
yang diceritakan Abbie. Ia melompati bagian awal yang sepertinya menceritakan tentang
cowok yang ditaksir Cally. Tapi kemudian ia tertarik pada satu
kalimat: Anthony amat lucu. Hari ini ia menceritakan pada kami banyak
hal yang tak masuk akal. Tentu saja Kody langsung mempercayainya.
Saudara perempuanku itu mudah sekali dikibuli. Meski itu akan
membuatnya ketakutan. Padahal aku yakin cerita itu tidak benar.
Bagaimana mungkin" Anthony bilang, ada sebabnya rumah kami kelihatan seram.
Menurutnya, ini ada hubungannya dengan seorang laki-laki bernama
Simon Fear. Menurut Anthony, Simon dan istrinya, Angelica, adalah
penghuni pertama di daerah sini. Mereka tinggal di rumah terbesar di
jalan ini. Namanya kemudian diabadikan untuk jalan ini.
Suami-istri Fear amat kaya, dan sangat aneh. Mereka menyiksa
orang-orang dan membunuh mereka. Angelica memang suka
melakukan hal-hal yang ganjil, kata Anthony. Ia menggunakan orangorang untuk mencoba kekuatannya yang aneh.
Brandt membalik halaman dan meneruskan membaca.
Pasangan Fear mengubur korban-korbannya di halaman yang
tersembunyi. Ini terjadi kira-kira seratus tahun yang lain. Kemudian,
kira-kira tiga puluh tahun yang lalu, ketika para pekerja membangun
rumah ini, mereka menemukan kuburan itu. Tapi mereka terus
membangun dan mendirikan rumah ini di atas kuburan itu.
Ketika rumah selesai dibangun, keluarga yang membangunnya
datang untuk melihatnya. Seorang lelaki, istrinya, dan dua anak
mereka. Laki-laki itu meninggalkan keluarganya beberapa menit di
ruang tamu"dan ketika kembali ke situ, ia menemukan mereka sudah
mati. Anthony bersumpah kepala mereka lenyap. Sesuatu atau
seseorang telah merenggut kepala mereka! Benar-benar sadis!
Brandt meletakkan buku harian itu dan merenungkan ceritanya.
Sesuatu atau seseorang telah merenggut kepala mereka.
Ia mulai merasa mual. Tapi ia kembali mengambil buku harian
itu dan meneruskan membacanya.
Keluarga itu tidak pernah tinggal di sini. Tidak juga orang
lain"sampai kami pindah ke sini. Tentu saja Dad menjadi orang
pertama, setelah tiga puluh tahun kejadian itu, yang membeli tempat
ini! Kini Kody sangat yakin bahwa rumah ini berhantu. Aku sama
sekali tak percaya" tapi perlu kutambahkan, memang ada yang aneh
dengan tempat ini. Dan cerita Anthony betul-betul menakutkan...
Brandt menutup buku harian itu.
Aku benar, pikirnya ngeri. Rumah ini dibangun di atas tanah
yang dikutuk. Rumah ini berhantu.
Apa yang terjadi dengan Cally Frasier" pikirnya. Di mana dia
sekarang, apa yang dilakukannya" Kenapa ia meninggalkan buku
hariannya di sini" Sesuatu yang tidak enak mengganggu pikirannya: menurut
Abbie, salah satu cewek itu sudah meninggal. Cally-kah"
Ia meletakkan buku harian itu di lantai seperti ketika
menemukannya. Buku itu jatuh dan terbuka pada halaman terakhir.
Brandt melihatnya, rasa ngeri menjalari seluruh tubuhnya ketika
pertanyaannya terjawab. Pada bagian paling atas halaman terakhir itu, dengan tinta biru,
Cally menulis: Aku mati malam ini.
*********** Mr. Ross, guru kimia Brandt, mengetuk meja meminta
perhatian. "Anak-anak!" panggilnya. Kelas menjadi lebih tenang.
Brandt duduk di deretan bangku paling belakang. Meg duduk di
sebelah kirinya. Di sebelah kanannya Jinny, setelah itu Jon. Jinny
mengenakan rok mini hitam, stoking hitam, dan sweater hitam yang
sesuai dengan rambutnya yang hitam.
Ia cantik sekali, pikir Brandt.
"Kita telah belajar banyak rumus kimia," kata Mr. Ross, "kita
akan mengadakan praktikum. Silakan mencari pasangan. Kuberi
waktu sepuluh menit untuk memilih."
Kelas menjadi ribut. Jon bertanya, "Kita satu kelompok, kan,
Jinny?" Tapi Jinny melirik Brandt malu-malu, katanya, "Well, Jon,
bagaimana ya" Brandt dan aku sudah berjanji untuk jadi teman
praktikum. Aku sudah telanjur janji padanya. Ya, kan, Brandt?"
Ia berpaling pada Brandt.
Brandt ragu-ragu. Ia melihat Jon memandanginya dengan
marah. Baru kali ini ia mendengar rencana itu. Tapi pasti
menyenangkan bisa berpasangan dengan Jinny, pikirnya. Dan sudah
pasti menyenangkan kalau bisa membuat Jon cemburu.
"Yeah, betul," ujarnya. "Janji adalah janji."
Jinny nyengir. "Jinny, kau kan duduk di sebelah Jon," Meg protes. "Aku saja
yang jadi teman praktikum Brandt."
"Tak usah ya. Aku sudah janji pada Brandt," Jinny menegaskan.
Meg mengeluh dongkol. "Jinny, kenapa sih, kau ini" Kami kan
cuma teman praktikum. Kau berpasangan dengan Jon, sedangkan aku
dengan Brandt. Mudah, kan?"
"Kenapa bukan kau saja yang berpasangan dengan Jon?" Jinny
mengusulkan sambil menyeringai. "Itu mudah juga."
"Sudahlah," Brandt melerai. "Meg berpasangan dengan Jon.
Aku dengan Jinny. Aku akan melapor pada Mr. Ross."
Bel berbunyi ketika Brandt maju ke meja Mr. Ross. Brandt bisa
merasakan tatapan Jon seolah membor bagian belakang kepalanya.
Guru itu mencatat tugas setiap kelompok, lalu murid-murid
keluar kelas dengan berisik.
Brandt mendapati Jinny menunggunya di koridor. "Jangan
marah karena aku telah berbohong," katanya. "Maksudku, soal janji
menjadi teman praktikum tadi. Aku tak ingin berpasangan dengan Jon.
Ia kurang pandai pada pelajaran kimia, ia pasti menyuruhku
mengerjakannya sendiri."
"Hei, tidak masalah," ujar Brandt. "Mau nggak, kau datang ke
rumahku hari Sabtu" Kita bisa mulai mengerjakan tugas kita."
Mata Jinny yang gelap berbinar. Ia melemparkan senyum paling
memesona pada Brandt. "Boleh. Di mana rumahmu?"
"Di Fear Street. 99 Fear Street."
Senyum Jinny langsung lenyap. "Fear Street nomor 99" Kau
serius?" Brandt mengangguk. "Yeah. Aku serius."
"Aneh," gumam Jinny.
"Ah, itu cuma rumah," Brandt menyahut sambil mengangkat
bahu. "Well"rumah itu tidak terlalu buruk kalau kau yang tinggal di
sana," kata Jinny lembut, sambil terus menatap mata Brandt.
"Bagus!" seru Brandt. "Sekitar jam dua siang, ya?"
Brandt terus mengawasi Jinny ketika ia masuk kelas sebelah.
Yeah! pikirnya. Hebat. Sekarang"bagaimana cara agar Mom dan Dad keluar rumah"
********** "Oke! Ayo berbaris!" suara Coach Hurley bergema di lapangan.
Brandt berbaris bersama cowok-cowok lain, memasuki
lapangan, melompat di udara, dan memasukkan bola ke ring dengan
sebelah tangan. Ketika tiba gilirannya, Brandt men-dribble bola dengan cepat
dan mantap, lalu melemparkannya dengan halus. Bola itu bergulir di
ring lalu keluar. Aku bisa melakukannya nanti, pikirnya. Ia yakin mampu
melakukannya. Setelah Brandt, giliran Jon. Lemparannya masuk ring dengan
mulus. Setelah menyarangkan bola, ia langsung melirik Brandt.
Yeah, aku melihatnya, Jon, pikir Brandt sembari memutar
matanya. "Bagus, Jon. Kita lihat apakah kau bisa melakukannya lagi,"
teriak Brandt. "Kita lihat apakah kau bisa melakukannya!" ejek Jon.
Lemparan Brandt berikut sehalus yang pertama. Lengan dan
kakinya yang ramping bergerak harmonis.
Dan kali ini bola jatuh ke dalam ring dengan bunyi mendesis.
Ia tidak mau melihat reaksi Jon. Sebaliknya ia langsung kembali
ke barisannya seolah tak terjadi sesuatu yang istimewa.
Lemparan Jon berikutnya gagal.
Jon berdiri di belakangnya dan berbisik, "Seri, ya. Satu lawan
satu. Satu lagi untuk menentukan yang terbaik?"
Brandt mengangguk. Ia menggerakkan lengan dan kakinya.
Mulai berat dan letih. Ayolah, desaknya. Jangan menyerah dulu. Tinggal satu
lemparan lagi. Cowok di depan Brandt melemparkan bola padanya. Brandt
menangkapnya dan men- ribble-nya ke ring basket.
Ia melompat, hendak melakukan lemparan, bola di tangan
kanannya. Ia mengulurkan lengan kanannya tinggi ke udara.
"Owwww!" Ia menjerit ketika mendengar bunyi berdetak keras.
BAB 12 SENTAKAN rasa nyeri yang tajam menghunjam bahunya.
Sambil mengerang kesakitan, Brandt memegangi bahunya.
Lengannya tak bisa bergerak.
Lengannya tergantung di sisi, persendiannya sakit luar biasa,
lalu menyebar ke seluruh tubuhnya.
Coach Hurley tiba di sisi Brandt. "Kau pasti keseleo," katanya.
Yang mengejutkan Brandt, pelatihnya itu memegangi lengan
Brandt dengan kedua tangannya yang kokoh, lalu menariknya hingga
persendiannya kembali ke tempatnya.
"Auuuww!" Brandt menjerit kesakitan.
Tapi lengannya langsung terasa enak. Rasa sakit yang hebat tadi
mulai berkurang. "Belum pernah kutemukan orang yang bahunya mudah sekali
keseleo," kata Coach Hurley, mengusap kepalanya yang botak.
"Bahumu pernah keseleo?"
"Belum," jawab Brandt.
"Well, sebaiknya kau cepat pergi ke UKS minta kain ambin,"
kata Coach Hurley. "Kau juga harus dirontgen. Kurasa kesempatanmu
bermain sudah habis, Nak."
Dengan sudut matanya, Brandt melihat Jon menyeringai.
Brandt berbalik, menahan amarahnya, dan berjalan pelan-pelan
meninggalkan lapangan, menuju kantor UKS.
*********** Setengah jam kemudian Brandt berjalan pulang ke rumahnya,
bergerak kikuk karena tangannya yang digendong. Bagaimana cara
menjelaskannya pada Mom dan Dad" batinnya. Berkelahi dengan
salah satu anggota OSIS"
Ia melintasi Park Drive, melewati setengah blok berikutnya, lalu
tiba-tiba ada yang keluar dari semak dan mengejutkannya.
Brandt langsung mundur. "Minggir!" teriaknya.
"Hei, Brandt, ini aku." Ada cewek yang kemudian berdiri di
bawah sinar matahari. Meg. "Aku tahu kau tak mau jadi teman praktikumku," candanya,
"tapi aku tidak mengira kau takut padaku!" Ia tertawa melengking.
Brandt lega. "Sori, Meg," katanya. "Aku sedang sial."
Meg memperhatikannya baik-baik. "Hei" kenapa lenganmu?"
"Gara-gara latihan basket," gumam Brandt. "Bahuku keseleo."
Meg menyibakkan rambutnya yang cokelat keunguan. "Bukan
karena Jon, kan?" tanyanya curiga.
"Tidak. Kenapa?"
"Hati-hati dengannya," kata Meg dengan muram. Mereka mulai
berjalan bersama. "Apa maksudmu?" tanya Brandt.
"Jon amat berbahaya," Meg mengingatkan. Ia memetik ranting
dari dahan pohon. "Kau bisa menyesal kalau ia sedang tidak senang.
Kelakuannya mengerikan."
"Aku bisa mengatasinya," ujar Brandt pelan.
"Aku serius, Brandt. Ia benar-benar cemburu saat kau
mendekati Jinny." "Jinny dan aku cuma teman praktikum," Brandt menegaskan.
"Aku tahu," kata Meg. "Tapi kau belum kenal Jon. Kadangkadang ia bisa nekat. Tahun lalu ia diskors karena membuat babakbelur murid di Waynesbridge. Anak itu terpaksa dirawat dua minggu
di rumah sakit." Ia berhenti di persimpangan. "Aku belok di sini," katanya.
Sehelai rambutnya jatuh ke mata. Ia tidak berusaha
menyingkirkannya. "Terima kasih atas peringatannya," ucap Brandt. "Tapi kurasa
aku bisa mengatasi Jon."
Meg tidak menyahut. Sebaliknya, ia memberi Brandt kejutan. Ia
berjinjit dan mencium Brandt.
Brandt pulih dari rasa terkejutnya, dan menyadari ia membalas
ciuman Meg. Meg sungguh luar biasa, pikirnya.
Meg menarik diri lalu tersenyum. "Aku tahu kau akan belajar
dengan Jinny hari Sabtu," katanya. "Bagaimana kalau kau datang ke
rumahku hari Minggu" Tidak untuk belajar. Mungkin cuma untuk"
Fear Street Rumah Setan 2 The House Of Evil The Second Horror di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengobrol." "Boleh juga," sahut Brandt. "Sampai jumpa."
"Sampai jumpa." Meg memberinya senyuman lagi,
memindahkan ranselnya, dan bergegas pergi.
Beberapa menit kemudian, masih memikirkan Meg, Brandt tiba
di halaman rumahnya. Abbie duduk di anak tangga serambi,
menunggunya. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya: rok abuabu berlipit, blus putih, dan sweater biru. Ia tersenyum dan melambai
ketika melihatnya. Oh, wow! pikir Brandt. Ketika melihat Abbie, ia langsung
teringat"ia sudah janji belajar dengannya hari Sabtu. Tapi ia juga
mengundang Jinny hari Sabtu siang.
"Apa kabar, Brandt?" sapa Abbie sembari berdiri. "Hei"
kenapa lenganmu?" Mata birunya menyipit, memperhatikan.
"Cuma keseleo," sahut Brandt, masih memikirkan hari Sabtu.
"Uh"begini, Sabtu ini?" ia mulai.
"Kau mau kubawakan sesuatu" Popcorn, mungkin?" usul
Abbie. Ia tersenyum memikat.
"Tidak, tidak usah," kata Brandt. "Aku" uh"Sabtu ini aku
sibuk. Aku harus mengerjakan tugas. Bisa diganti hari lain?"
Ekspresi Abbie yang gembira berubah kecewa. Tapi ia berusaha
menyahut riang, "Ya. Lain kali saja. Tak apa-apa kok. Sungguh."
Ia berdiri cepat dan bergegas melintasi rerumputan. "Sampai
jumpa," katanya. "Ya." Brandt melihatnya menghilang di balik pagar.
Moga-moga ia mau mengerti, katanya dalam hati.
Brandt tersenyum. Cewek-cewek sibuk memperebutkan
dirinya! Mungkin aku akan suka tinggal di sini, pikirnya.
Ia berbalik dan bergegas masuk rumah. "Mom"coba terka,"
teriaknya. "Mom pasti tak percaya betapa kikuknya aku hari ini! Aku
jatuh dari tangga!" *********** Bel pintu berbunyi tepat pukul dua Sabtu siang itu. Brandt
duduk di dapur, menonton pertandingan bola di TV
Ia masih menonton sebentar sampai babak pertama berakhir.
Lalu ia mematikan TV dan pergi membuka pintu.
Bahunya sudah hampir sembuh dan tidak lagi membutuhkan
kain ambin. Tapi pelatihnya tetap melarangnya main basket.
Aku bisa hidup tanpa main basket, pikir Brandt. Aku masih
punya banyak kegiatan yang membuatku tetap sibuk. Kebanyakan
cewek-cewek itu! Bel berbunyi lagi. Brandt memasang senyum, lalu membuka
pintu. Jinny memandangnya, menggigiti bibir bawahnya. Ia
mengenakan sweatshirt Shadyside High berwarna merah tua-putih dan
jeans hitam. "Ini rumahmu?" tanyanya, mengamati cat berandanya
yang mengelupas. "Yeah," sahut Brandt. "Parah sekali, ya" Kami sedang
memperbaikinya." Ia menepi dan menyilakan Jinny masuk. Lalu menutup pintu.
"Aku akan memberi tur istimewa. Ini ruang makan?"
Ia menunjuk ruang makannya yang gelap, dengan langit-langit
rendah dan penuh noda. Di salah satu sudutnya, kertas dindingnya
yang memudar terkelupas. Brandt menunjuk sebuah pintu, katanya, "Di sana itu dapur."
Jinny mengintip ke dapur, yang kelihatan lebih ceria. "Di mana
orangtuamu?" tanyanya.
"Mereka menghadiri acara pesta minum teh di Wynesbridge,"
jelas Brandt. "Ayahku mengajar di college setempat."
"Hebat," sahut Jinny.
Ia membawa Jinny masuk ke sebuah ruangan. "Ini ruang tamu."
Ada sofa, meja, dan dua kursi. Di sekitarnya terdapat kartonkarton yang setengah terbuka. Ruangan itu penuh dengan koleksi
senjata dan baju baja milik Mr. McCloy.
"Benda apa ini?" tanya Jinny, menyentuh salah satu anak panah.
"Ayahku seorang peneliti benda-benda purbakala," jelas Brandt.
"Benda-benda ini biasa digunakan untuk perang oleh suku-suku
zaman dulu." Ia menunjuk sebuah tombak. "Ini tombak kuno yang digunakan
penduduk di kepulauan Pasifik tempat kami pernah tinggal," tuturnya.
"Dan anak-anak panah ini?" ia menyentuh ujung anak panah yang
berbulu, ?"bisa mematikan. Mereka menggunakannya dengan
sumpitan. Penduduk di pulau itu meniupkan anak panah ke leher
musuh-musuhnya. Bidikan mereka selalu tepat ke leher."
Brandt diam sebentar, lalu mendesak Jinny, "Peganglah,
rasakan ketajamannya."
Jinny menyentuh ujung anak panah itu dengan jarinya. "Ouw,"
pekiknya, menariknya kembali.
"Itu baju baja," lanjut Brandt, "digunakan para ksatria pulau
itu." "Untuk melindungi mereka dari hujan anak panah, ya?" canda
Jinny. Brandt melihat Jinny mengamati baju baja itu. Berat sekali,
terbuat dari besi, tapi tergantung kokoh di tembok. Pembuatnya
mengecatnya dengan gambar matahari, bulan, piramid, dan simbolsimbol lain di dadanya.
"Ayo mulai belajar," ajak Jinny, masih memandangi senjatasenjata itu.
"Ayo naik ke kamarku," usul Brandt. "Semua buku dan barangbarangku ada di sana."
Mereka menaiki tangga ke kamar Brandt. Jinny duduk di
bangku. Brandt membungkuk mengambil buku catatan.
Jinny menarik kantong kulit yang melingkari leher Brandt.
"Apa ini?" tanyanya. "Seperti dompet antik."
Brandt menarik kantong itu. "Ini jimat keberuntungan,"
Kelembutan Dalam Baja 4 Pendekar Rajawali Sakti 132 Misteri Rimba Keramat Titik Muslihat 8
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama