Ceritasilat Novel Online

Matahari Esok Pagi 8

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 8


"Soma. Soma pahing" jawab Ki De mang. "Soma bernilai e mpat, dan Pahing bernila i se mibilan. Jumlah tiga be las" "Bagus" sahut yang lain "hari itu adalah hari yang paling baik. Tiga belas" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya "Baru sepekan ini aku me mperingati, hari kelahiran itu" "Lima hari yang lalu?" "Tepatnya empat hari yang lalu. Bukankah hari ini hari Jumat?" Para tetua Kademangan ituupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bersepakat, bahwa perkawinan Ki Demang akan berlangsung di hari kelahirannya itu. Tigapuluh satu hari yang akan datang. Di hari Soma-Pahing. Ketika keputusan itu telah jatuh, maka berkatalah Ki Demang kepada Ki Reksatani "Nah, kau dengan keputusan itu. Kau besok harus pergi ke rumah gadis itu. Katakan kepada kakeknya, karena ia tidak me mberikan ancar-ancar hari, maka Ki De mang telah me mutuskan, agar perkawinannya dengan Sindangsari dilakukan pada hari yang sudah ditentukan itu" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Baiklah. Besok aku akan pergi ke rumah gadis itu. Aku akan mengatakan keputusan para tetua Kademangan ini, bahwa sebaiknya hari itulah yang dipergunakan" "Kau jangan berbuat seperti kanak-kanak. Kau dengan, bahwa hari adalah keputusan yang tida k dapat dirubah lagi?" "Ya, aku dengar" "Lakukan tugasmu baik-baik. Tida k ada orang lain yang dapat berbuat lebih baik dari kau. Karena itu kalau kau tidak dapat menyelesaikannya, apalagi orang lain"
"Apa yang harus aku selesaikan dengan tugas ini. Bukankah aku hanya menyampaikan keputusan kakang Demang saja, bahwa perkawinan akan berlangsung besok pada hari Soma-Pahing, sebulan lagi?" Ki De mang menganggukkan kepalanya. "Anak kecilpun dapat melakukannya seandainya pantas. Tetapi karena masalahnya adalah masalah perkawinan, maka me mang sepantasnya bahwa orang tualah yang menyebutkan kalimat itu" "Begitulah. Besok kau dapat langsung pergi ke rumah gadis itu. Kau tidak perlu singgah kemari. Tetapi setelah kau selesai, maka kau harus singgah ke mari dahulu, sebelum pulang" "Baik kakang" jawab Ki Re ksatani "tetapi apakah aku sekarang sudah boleh pulang" Ki De mang me ngangguk-anggukkan kepa lanya "Ya. Persoalan kita sudah matang. Tetapi sebaiknya kau t inggal dahulu sebentar. Kita akan makan bersa ma-sa ma" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepa lanya. Namun ke mudian ia berkata "Terima kasih ka kang. Aku sudah makan di rumah" Ki Reksatani t idak menunggu pe layan Ki De mang menyuguhkan makan bagi tamu-tamunya yang sedang me mperbincangkan hari-hari perkawinan Ki De mang di Kepandak. Pada senja di hari berikutnya. Ki Reksatani berangkat ke rumah kake k Sindangsari. Ia tidak pergi sendiri, tetapi ia me mbawa seorang kawan untuk menyaksikan pe mbicaraan mereka. Kedatangannya telah mengejutkan seisi rumah yang sederhana itu. Dengan tergopoh-gopoh kakek Sindangsari segera mempersilahkannya masuk. Dengan ramahnya orang tua itu menyapanya sebagai adat kebiasaan. Mereka saling
bertanya tentang keluarganya.
keselamatan diri masing-masing dan Sejenak ke mudian maka hangat di dala m mangkuk.
dihidangkannyalah minuman Baru setelah mereka meneguk minuma n hangat itulah Ki Reksatani berkata "Sekali lagi aku datang atas nama kakang Demang di Kepanda k" Kakek Sindangsari "Apakah Ki De mang cucuku?" mengangguk-anggukkan kepalanya menanyakan hari-hari perkawinan
Ki Re ksatani menggelengkan kepalanya "Tidak, bukan itu" "Apakah Ki De mang ingin menggagalkan pe mbicaraan ini?" "O, tidak, Tentu tidak" "Seandainya demikianpun aku kira justru akan lebih ba ik bagi ke luarga kecil ini" "Tida k. Bukan maksudnya. Juga bukan untuk menanyakan hari apa yang sebaiknya untuk melangsungkan perkawinan itu. Tetapi kakang De mang justru me mberitahukan keputusan yang telah dia mbilnya tentang hari perkawinan itu" "O, kenapa Ki De mang yang me mutuskan hari itu" Seharusnya akulah yang menentukan. Pihak calon penganten perempuan" "Aku tahu. Tetapi keluarga calon penganten perempuan telah terlampau la ma tidak me mberikan kepastian, sehingga kakang De mang telah menga mbil keputusan untuk menentukan hari perkawinan itu" Kakek Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. "Jadi, kapankah hari yang telah dipilih itu?" "Hari kelahiran kakang De mang. "Hari apa"
"Soma Pahing" "Soma bernilai e mpat, dan paling bernilai se mbilan. Jumlahnya tigabelas. Tigabelas" orang tua itu merenung sejenak. Lalu tiba-tiba "O, tentu tidak mungkin. Tidak mungkin" "Kenapa?" Ki Reksatani mengerut kan keningnya. "Hari itu adalah hari yang paling jele k bagi Sindangsari" "Kenapa?" "Hari itu adalah ke matian ayahnya di peperangan. Hari itu adalah hari kedatangan utusan Ki De mang pertama kali untuk me la mar Sindangsari. Hari itu hari yang pasti tidak me mbuat kesan yang baik bagi cucuku itu" Ki Reksatani terbungka m sebentar. Lalu katanya "Tetapi, tetapi ketika ka mi datang untuk pertama kali, ka mi me mang me milih hari itu pula. Atau kebetulan sekali. Ya. hanya kebetulan karena ka mi sama sekali tida k me mperhitungkan hari saat itu" "Mungkin hanya sekedar kebetulan bagi Ki De mang. Tetapi tidak bagi Sindangsari" ka kek gadis itu berhenti sejenak, lalu "pada suatu hari seorang prajurit datang ke rumahnya. Prajurit yang kurus dan pucat, meskipun sorot matanya masih tetap menyala. Ia adalah salah seorang prajurit yang baru datang dari perjalanan yang jauh, memerangi orang-orang asing yang katanya mulai menginja kkan kakinya di tanah Jawa. Prajurit itu berkata kepada anak pere mpuanku, ibu Sindangsari itu "Sua mi Nyai telah gugur di medan perang" Tentu saja isterinya menjerit. Dan prajurit itu me neruskan "Ia gugur di sebelahku, karena akupun terluka wa ktu itu, meskipun tida k parah. Pada hari Soma-Bang. He, bukankah Soma-Bang itu Soma Pahing" Ki Reksatani menjadi termangu-mangu sejenak. Terngiang pesan kakaknya "Karena itu, kalau kau tidak dapat
menyelesaikan, apalagi orang lain" Dan ia menjawab waktu itu "Bukankah aku hanya menya mpaikan keputusan Ki De mang saja" lalu "anak kecilpun dapat melakukannya seandainya pantas" Namun tiba-tiba ia kini menghadapi masalah itu. Kakek Sindangsari me nolak hari yang diputuskan oleh Ki De mang. Meskipun de mikian Ki Reksatani masih mencoba menekankan hari itu, katanya "Tetapi ini keputusan Ki Demang" "Tetapi apakah Ki De mang benar akan menyiksa Sindangsari dengan sega la maca m cara. Ia sudah menga mbilnya meskipun ia tahu, gadis tersebut tidak menghenda kinya. Kini ia me milih hari yang paling pahit bagi bakal isteri yang terpaksa menjalani perkawinan itu. Hari ke matian ayahnya. Itu tidak baik. Tida k baik untuk segalagalanya" Ki Reksatani menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan me ma ksakan kehendak Ki De mang seperti yang dikatakannya, atau ia harus menyampaikan jawaban kakek tua ini kepada kakaknya. Jika ia kembali tanpa keputusan itu, maka kakaknya pasti akan me maki-makinya. Tetapi kalau ia me maksakan kehendak itupun, agaknya kesannya akan terla mpau je lek. Berbagai maca m pertimbangan telah melintas di dala m kepalanya. Namun ia masih tetap ragu-ragu. "Kalau aku pulang, ma ka kakang De mang pasti akan menunjuk hidungku sambil berkata "Nah, percaya" Bukankah kau tidak dapat menyelesaikannya?" desah Ki Reksatani di dalam hatinya. Karena Ki Reksatani tidak segera menjawab, maka kakek Sindangsari itupun berkata "Nah, Ki Reksatani. Sebaiknya hal ini sekali lagi dibicarakan dengan Ki De mang. Aku harap Ki Demang sudi me mpertimbangkan keadaan bakal isterinya. Aku tidak berkeberatan hari apapun juga. Aku memang
menganggap bahwa se mua hari itu baik. Tidak ada hari pantangan. Tidak ada hari yang mencelakakan kita. Tetapi pertimbangan ka mi tentang hari Soma-Pahing ini la in. Bukan karena hari itu sendiri, tetapi apa yang telah terjadi pada hari itu, yang akan selalu me mbayangi cucuku. Kalau pada hari itu ia harus menjalani hari perkawinannya, tetapi pada hari itu ia mengenang ke matian ayahnya, apakah perkawinan itu akan dapat me mbuat kesan yang baik baginya?" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Dan tiba-tiba saja ia berkata kepada diri sendiri "Apa pedulimu" Biarlah kakang Demang marah. Lebih baik lagi kalau t iba-tiba saja ia me mutuskan semua hubungannya dengan gadis itu karena ke marahan yang meluap-luap. Alangkah baiknya" Karena itulah maka Ki Reksatanipun ke mudian menjawab "Baiklah. Aku akan ke mba li kepada Ki De mang. Aku akan mengatakan kepadanya, jawaban yang aku terima tentang hari itu" "Ya, sebaiknya de mikian. Dan aku mengucapkan, terima kasih atas kesediaan Ki Reksatani" Dan apa yang dibayangkan oleh Ki Reksatani benar-benar telah terjadi. Ki De mang menjadi marah bukan buatan. Kalau saja ia belum setua itu, mungkin ka kaknya itu sudah mena mparnya. Namun justru yang diharapkan oleh Ki Reksatani tidak terjadi. Ki Demang itu dengan serta-merta me mbanting mangkuk di atas batu umpak saka guru, sambil berteriak "Aku batalkan perkawinan ini!" "Tida k!" Yang dikatakan ke mudian adalah "Ke mbali ke rumah itu. Aku tidak mau menunda lagi" "Kakang" Ki Reksatani mencoba menjelaskan "masalahnya bukan untuk menunda hari perkawinan itu. Tetapi hari yang dipilih itulah yang tidak sesuai. Hari itu adalah hari ke matian ayah Sindangsari"
"Persetan dengan ke matian siapapun juga " "Kalau kakang De mang me mang ingin lebih cepat, kakang Demang dapat me milih hari lain, justru lebih cepat dari hari itu" Ki De mang mengerutkan keningnya. Bahkan ia berkata di dalam hatinya "O, jadi perkawinan itu dapat berlangsung lebih cepat. Sepuluh hari lagi misa lnya, atau setengah bulan. Sejenak ia merenung. Tetapi tiba-tiba ia sadar, bahwa sebulan itu adalah hari yang sebaik-baiknya. Ia me mperhitungkan bahwa di hari-hari itu Pa mot sudah tidak ada lagi di Kade mangan ini. Tetapi apabila lebih cepat dari itu, mungkin para pengawal khusus masih belum ditarik ke Mataram, sehingga apabila Pamot menjadi mata gelap, masalahnya akan menjadi bertambah sulit. Karena itu maka katanya "Tidak. Aku tidak mau merubah hari yang sudah menjadi keputusan itu. Bukan keputusanku sendiri, tetapi keputusan beberapa orang tetua Kademangan Kepandak. "Aku tahu kakang. Tetapi untuk kebaikan kakang sendiri. Para tetua Kademangan tidak tahu, masalah apa yang dapat tumbuh pada keluarga kakang nanti. Apakah ka kang sa mpai hati melihat, justru di hari perkawinan itu isteri kakang Demang me njadi murung dan sedih" Dan untuk seterusnya isteri kakang De mang itu sa ma sekali tidak berani mengenangkan hari perkawinannya justru karena hari perkawinannya itu adalah hari duka baginya, hari kematiannya ayahnya" "Mungkin sebulan dua bulan ia akan selalu terkenang. Tetapi la mbat laun ia akan me lupakannya" sahut Ki De mang "dan apakah gunanya kami kelak selalu mengingat-ingat hari perkawinan itu" Yang penting bagi ka mi adalah keserasian hidup di hari-hari berikutnya"
Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Apalagi ketika ke mudian mendengar kakaknya berkata "Pokoknya, aku sudah berkeputusan. Hari itu adalah hari yang paling baik. Katakan kepada kakek gadis itu" Ki Re ksatani mengumpat-umpat di da la m hatinya. "Nah, pergilah ke mba li ke rumah itu" "Tetapi tentu tidak sekarang, kakang" jawab Ki Reksatani "besok aku akan ke rumahnya " "Kenapa besok?" "Bukankah sekarang sudah terla mpau ma la m?" "Baikklah. Kau besok harus pergi ke rumah itu. Katakan bahwa keputusanku tidak dapat berubah" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia mengumpat-umpat di da la m hati. Demikianlah, di perjalanan pulang ke rumahnya, tidak henti-hentinya ia berdesah. Perkawinan kakaknya kali ini benar-benar telah menyiksanya. Perkawinan itu sendiri telah me mbuatnya gelisah dan ce mas, bahwa harapannya akan musna. Sedang pelaksanaannyapun telah me mbuatnya pusing kepala. Namun tiba-tiba Ki Reksatani itu tertegun. Sejenak ia merenung, dan sejenak ke mudian kepalanyapun teranggukangguk. "O, aku me mang bodoh sekali" Ia menggera m "Kenapa aku tadi terpengaruh oieh kata-kata kakek Sindangsari dan bahkan mengharap Kakang De mang me mbatalkan niatnya" Bodoh sekali. Seharusnya aku tahu, bahwa kakang Demang tidak akan mengurungkan niatnya apapun yang akan terjadi. Sebenarnya bagiku lebih ba ik bertinda k kasar seperti kakang Demang. Biar kakek Sindangsari sakit hati, atau gadis itu akan selalu sedih. Aku tidak peduli. Itu lebih baik bagiku. Menurut
beberapa orang, perkawinan yang selalu dibayangi oleh ke murungan dan kesedihan tidak akan dapat melahirkan anak. Bahkan seandainya hari itu me mang me mpunyai pengaruh, dan hari yang bernilai tigabelas itu tidak baik, sokurlah. Biarlah salah seorang dari mereka mati atau ke mudian bercerai atas perkawinan itu sehingga perkawinan itu gaga l dan tidak ada anak-anak yang dilahirkan karenanya " Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekilas ia berpikir "tetapi kelak kakang De mang pasti akan kawin lagi dengan orang lain" Ki Reksatani menarik nafas dalam-dala m. Na mun ke mudian ia berdesis "Persetan waktu mendatang. Sekarang yang sedang aku hadapi adalah Sindangsari" Ki Reksatanipun ke mudian me mpercepat langkahnya, mene mbus ge lapnya ma la m. Titik e mbun yang dingin me mbasahi ikat kepala dan pakaiannya. Tetapi ia sudah tidak menghiraukannya sa ma sekali. Angin mala m yang dinginpun sama seka li tidak terasa menyentuh kulitnya. Di ma la m hari berikutnya, sekali lagi Ki Reksatani dengan seorang kawannya pergi ke rumah Sindangsari, Tetapi kini sudah me mbawa ketetapan, bahwa hari yang ditentukan oleh Ki De mang t idak a kan dapat dirubah-rubah lagi. Kakek Sindangsari yang menerimanya mengerutkan keningnya ketika Ki Reksatani itu berkata "Maaf, bahwa kakang De mang agaknya sudah tidak mau merubah rencananya" "Itu kurang bija ksana" jawab kakek Sindangsari. "Aku juga sudah berusaha mengatakan alasan-alasan yang bagiku masuk aka l. Tetapi kakang De mang sama sekali tidak mau bergeser. Ia sudah terlampau lama menunggu. Bahkan di dalam nada kata-katanya, ia merasa, seakan-akan dirinya sama seka li tidak diacuhkan oleh ke luarga ini, sehingga sama
sekali tidak ada niat untuk menentukan hari perkawinan yang sebaik-baiknya. "Bukan maksud ka mi" jawab ka kek Sindangsari yang terpotong oleh kata-kata Ki Reksatani "Aku tahu. Dan aku sudah mengatakannya kepada kakang Demang. Tetapi kakang Demang sa ma seka li tidak me mpercayai" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "pada pokoknya, dengan menyesal aku harus menya mpaikan keputusan Kakang De mang, bahwa hari yang sudah ditentukan itu tida k akan dapat berubah" Kakek Sindangsari menarik nafas dala m-dala m. Kini tidak ada lagi cara yang dipergunakannya untuk menunda hari perkawinan itu. Ia harus melaksanakannya kalau keluarganya tidak ingin mendapat kesulitan karena Ki De mang. "Bagaimana pendapat Ki De mang, ka lau aku minta waktu sekedar untuk mengadakan persiapan secukupnya" Seandainya Ki De mang sudah ma ntap dengan hari itu, bukankah se lapan lagi hari itu akan datang ke mbali" "Maaf, maaf. Aku tidak dapat mengatakan apa-apa lagi. Aku mendapat pesan dari kakang De mang, bahwa hari itu tidak akan dapat bergeser sekejappun" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu "me mang sebenarnya terlampau berat bagiku untuk mengatakannya. Tetapi apa boleh buat" Kakek Sindangsari menarik nafas dalam-dala m. Sekali lagi, dan sekali lagi, seakan-akan ingin me lepaskan himpitan perasaan di dala m dadanya. Namun ia tidak pernah berhasil meyingkirkan kepepatan yang menyesak itu. "Nah, apakah yang harus aku sampaikan kepada kakang Demang nanti?" bertanya Ki Reksatani. Orang tua itu menggeleng "Tidak ada. Tidak ada yang pantas disampa ikan kepada Ki De mang" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia duduk merenungi la mpu minyak di atas ajuk-ajuk.
Sejenak mereka saling berdia m diri. Berbagai gambaran hilir mudik diangan-angan kakek Sindangsari. Ia mengangkat wajahnya ketika ia mendengar la mat-la mat suara cucunya menangis "Agaknya anak itu mendengar pembicaraan ini" katanya di dala m hati. Ki Reksatani dan kawannyapun mendengar suara isak yang tertahan-tahan. Merekapun segera mengerti, bahwa Sindangsarilah yang menangis itu. "Menangislah sampai air matamu kering" berkata Reksatani di dala m hatinya "mudah-mudahan kau menjadi sakit karenanya, kemudian mati" Mala m menjadi se ma kin ma la m. Ki Reksatani dan kawannyapun ke mudian minta diri. Na mun ketika ia berdiri di muka pintu, ia teringat suatu. Sejenak ia berpikir, na mun ketika nafsunya me lonjak di dadanya, ia berkata kepada diri sendiri di da la m hati "Aku harus mengatakannya. Biarlah hatinya menjadi se makin sakit. Biarlah ia dimakan oleh duka dan sedih" Maka berkatalah Ki Reksatani itu ke mudian "Suruhlah cucumu itu dia m. Aku tahu, betapa pahit jalan hidup yang harus ditempuhnya. Tetapi aku kira ia harus berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan kenyataan. Aku tahu bahwa cucumu tidak akan dapat me lepaskan tali perasaannya atas pemuda yang berna ma Pa mot. Tetapi Pa mot segera akan hilang dari Kade mangan ini. Bersama-sa ma dengan para pengawal khusus ia akan dikirim ke Mataram, karena Mataram me merlukannya untuk mengge mpur orang orang kulit putih yang kini mula i menja mah Tanah ini. Suruhlah anakmu berdoa agar Pamot selamat, meskipun jarang sekali orang yang dapat pulang dari medan yang ganas itu. He, kau tahu, bahwa orang orang asing itu sa ma seka li tidak mengenal perike manusiaan" Bertanyalah kepada anakmu, dimana suaminya sekarang" Ki Reksatani berhenti sejenak, lalu tiba-tiba suaranya menurun "Maaf. Bukan maksudku untuk menakut-na kuti. Tetapi
agaknya aku sudah terdorong perasaan, karena kebencianku kepada orang-orang asing itu" Sekali lagi ia berhenti berbicara, lalu "Sudahlah. Aku minta diri. Tetapi, lupakanlah saja kata-kataku yang terakhir. Mudah-mudahan pendengaranku itu tidak benar, bahwa Pamot dan beberapa orang pengawal khusus a kan segera berangkat ke medan perang" Wajah kakek Sindangsari itu menjadi tegang. Sebelum ia bertanya Ki Reksatani sudah menyambung "Aku me mang terdorong kata. Hal ini masih menjadi rahasia. Karena itu, aku minta kau dan seisi rumah ini merahasiakannya juga. Bahkan seandainya kalian bertemu dengan Pamot, kalian jangan mengatakannya lebih dahulu. Jika rahasia ini bocor sebelumnya, maka ka kang De mang pasti a kan marah sekali. Dan sumbernya tidak ada dua. selain keluarga ini, karena belum ada orang lain yang mengetahuinya" "Tetapi, tetapi" suara kakek Sindangsari tergagap "seandainya rencana itu benar, kapankah mereka akan berangkat?" "Aku tida k tahu. Itupun rahasia pula" Kakek Sindangsari menundukkan kepalanya. Terbayang anak muda yang berna ma Pa mot itu berada diantara para prajurit yang sedang berjalan dala m satu iringan menuju ke Barat. "Sudahlah, aku minta diri" "O, silahkan, silahkan" jawab kake k Sindangsari yang ke mudian mengantarkan ta munya sa mpai ke regol hala man. Sepeninggal Ki Reksatani, Sindangsari sa ma sekali tidak dapat menahan hatinya yang pedih. Berita kepergian Pamot, keputusan hari-hari perkawinan yang tidak dapat berubah, dan sikap Ki De mang yang keras telah me mbuatnya ha mpir berputus-asa. Bahkan kadang-kadang me mang terbersit suatu pendirian "Alangkah senangnya kalau maut datang menje mput
sebelum hari perkawinan itu "tetapi untuk me mbunuh dirinya, Sindangsari masih dibayangi oleh ajaran aga manya, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan yang bertentangan dengan agama Isla m. "Tetapi apakah aku akan dapat menanggung segala penderitaan ini?" pertanyaan itu selalu mengguncangguncangkan dadanya. Keluarga kecil itu benar-benar merasa ditimpa ke ma langan. Masalahnya berkisar pada gadis yang bernama Sindangsari itu. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya tinggal menerima nasib mereka yang sura m. Dala m pada itu, Sindangsari benar-benar tenggela m dala m duka. Pamot telah tidak pernah mengunjunginya lagi sejenak peristiwa mala m itu. Meskipun ia masih selalu mengharap bahwa pada suatu ketika ia akan dapat bertemu lagi dengan Pamot, namun berita tentang hari perkawinannya dan keberangkatan Pamot me ningga lkan padukuhan Ge mulung, telah me mbuat hatinya menjadi se makin sakit. Sementara itu Ki Reksatani menjadi sedikit berlega hati, bahwa ia telah mengatakan sesuatu yang dapat me mbuat keluarga kecil itu menjadi se makin jauh dari Ki De mang di Kepandak, meskipun pada suatu saat Ki De mang akan masuk ke dala m lingkungan keluarga itu apabila perkawinan telah berlangsung. Kebencian keluarga itu kepada Ki Demang, lebihlebih lagi Sindangsari, pasti akan me mbuat perkawinan itu tidak tenteram. Tetapi ternyata bahwa pemberitahuan secara resmi, bahwa Mataram me merlukan anak-anak muda yang sudah mendapat latihan khusus itu datang lebih dari dugaan Ki De mang. Karena Mataram sendiri ingin segera menyelesaikan persiapan pengiriman pasukan itu, maka se muanya berjalan dengan cepat pula.
Ki Jagabaya di Kepandak tidak me mpunyai pilihan lain untuk menentukan siapa saja yang akan berangkat ke Mataram, kecuali seperti yang dikehendaki oleh Ki De mang. Ia harus menunjuk limapuluh orang pengawal khusus yang akan mewakili Kade mangan mereka di dala m perjuangan melawan orang-orang asing yang mulai menginjakkan kakinya dibumi tercinta ini. Dan diantara limapuluh orang itu harus terdapat nama Pa mot. Berita itupun dala m sekejap, telah menjalar dari telinga ketelinga. Setiap anak muda me mpercakapkan ke mungkinan bahwa lima orang kawan-kawan mereka a kan segera berangkat ke Matara m. Hampir setiap orang yang merasa dirinya anggauta pengawal khusus berharap, agar ia dapat terpilih untuk mengikut i pasukan yang akan menjelajahi pulau Jawa ini sampai ha mpir ke ujung Kulon. Ki Jagabayapun segera melakukan persiapan secukupnya. Selain me milih na ma-na ma dari antara pasukan pengawal, Kademangan Kepandak harus me mpersiapkan juga senjatasenjata yang mereka perlukan, meskipun Mataram pasti akan menyediakan pula. Pakaian dan kelengkapan-kelengkapan yang lain. "Kalian tidak usah terlampau ribut" berkata seorang perwira yang pada suatu hari datang di Kepandak "Mataram sudah menyediakan segala-galanya. Apabila tidak semua dari yang lima puluh orang itu akan berangkat. Kami masih harus mengadakan latihan-latihan yang berat. Dalam latihan-latihan itu akan dapat kami tentukan, siapakah yang benar-benar me menuhi syarat untuk bersama dengan prajurit Mataram me lawat ke Barat" Ki De mang dan Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa hati Ki De mang menjadi berdebardebar pula. Pamot pasti dapat berbuat sedemikian, sehingga
ia tidak cukup me menuhi syarat untuk dipilih menjadi bagian dari pasukan Mataram itu. "Tetapi perkawinan itu sudah berlangsung" berkata Ki Demang di dala m hatinya "ia tidak akan dapat mengganggu lagi. Paling sedikit ia akan berada di Mataram sela ma tiga bulan, sebelum pilihan terakhir jatuh. Dan waktu yang tiga bulan itu sudah cukup bagiku untuk me mbuat Sindangsari seorang isteri yang baik" Sementara itu Ki Jagabaya telah bekerja dengan keras untuk menentukan siapa yang akan dipilihnya. Ia baru me mpunyai sebuah na ma yang pasti. Pa mot. Yang empatpuluh sembilan masih harus ditentukannya dari seluruh anggauta pasukan pengawal. Di hari-hari latihan, Ki Jagabaya dengan tekun menunggui para anggauta pengawal itu. Bersama-sama dengan prajurit Mataram yang me mimpin latihan itu, ia mencoba me milih antar mereka. Ternyata bahwa prajurit yang me mimpin latihan itupun telah menunjuk anak muda yang bernama Pa mot itu pula. Ki Jagabaya yang mengerti latar belakang dari kehidupan Pamot, hanya dapat menarik nafas dalam-dala m. Anak-anak muda yang lain, dapat berbangga diri, bahwa mereka terpilih untuk mewakili Kade mangan Kepandak ikut serta berjuang me lawan tangan-tangan asing yang mulai menyentuh Tanah ini. Tetapi apakah Pa mot juga dapat berbangga demikian, meskipun sebenarnya ia me mang me miliki ke ma mpuan yang cukup" Pamot me mang kadang-kadang merasa dirinya terlampau kecil. Perasaan yang aneh tumbuh di dala m hatinya. Seperti yang diduga oleh Ki Jagabaya. "Apakah kau hanya sekedar disingkirkan?" Pertanyaan itu selalu melonjak-lonjak di dala m hatinya. Sehingga pada suatu saat ia tidak dapat menahan hati lagi. Ditemuinya kawannya
yang dianggapnya cukup mengerti tentang keadaannya, Punta. "Apakah kau yakin bahwa aku pantas untuk ikut bersama mu dan kawan-kawan yang la in?" bertanya Pamot. Punta menjadi heran "Kenapa ?" "Aku merasa bahwa aku me mpunyai masalah yang khusus. Seandainya aku tidak pantas sekalipun, maka aku pasti akan diikut sertakan di dalam latihan yang akan diadakan di Mataram itu" "Kenapa kau sebenarnya" Puntalah yang ke mudian bertanya "bukankah Ki Jagabaya, pelatih yang datang dari Mataram itu, dan atas persetujuan Ki De mang, kau terpilih?" "Tetapi aku merasa bahwa ada persoalan lain yang me ma ksa untuk me milihku. Agar aku pergi dari Kademangan ini" "Kau berprasangka" sahut Punta, namun kemudian ia meneruskan "atau kau me mang berkeberatan untuk pergi" "Tentu tidak Punta. Buat apa aku tinggal di Kademangan ini lebih la ma" Itu hanya akan menyiksaku" "Kalau begitu kita pergi" "Tetapi aku tidak mau, kalau aku terpilih sekedar karena aku harus pergi. Tetapi sebenarnya aku tidak me menuhi syarat untuk dipilih" "Ah, kau me mpersulit dirimu sendiri. Ka lau begitu, kau dapat mengajukan alasan, agar kau t idak ikut " Itupun tidak dapat aku lakukan. Mereka pasti akan menyangka la in. Dikiranya aku tidak mau pergi karena gadis itu" "Jadi bagaimana?" berkata Punta kemudian "kau telah terlihat dala m suatu lingkaran yang tida k berujung pangka l"
"Ya" jawab Pa mot "karena itu a ku minta pertiMbanganmu" Punta menarik nafas dalam-dala m. Ia me mang melihat kesulitan di da la m hati Pamot. Karena itu, maka iapun mencoba ikut me mikirkannya, pemecahan apakah yang sebaik-baiknya dila kukan. "Pamot " berkata Punta ke mudian "sekarang kau harus me lepaskan dirimu dari masalah masalah yang seolah-olah tidak akan dapat kau pecahkan itu, Bagaimanakah kata hatimu. Apakah kau ingin berangkat atau tida k?" "Sudah tentu, aku ingin berangkat" berkata Pa mot. "Kau benar-benar ingin berangkat?" "Ya, tentu" "Kenapa kau ingin berangkat?" Pa mot menjadi terheranheran "Pertanyaanmu aneh Punta" "Tida k. Aku ingin tahu apakah yang sudah mendorongmu untuk berangkat ke Mataram, sudah tentu dengan harapan untuk dapat ikut serta dala m pasukan yang akan dikirim ke Barat" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Katanya "Meskipun aku sama seka li tidak berarti apa-apa Punta, tetapi aku akan menyumbangkan tenagaku untuk mengusir orang-orang asing itu" Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya sekedar me larikan diri dari kegagalanmu?" "Jadi bukan
"Gila kau. Kau sudah me na mbah hatiku menjadi bingung. Kalau de mikian, aku tidak perlu ikut di da la m pasukan ini. Aku dapat me mbunuh diriku, terjun keju-rang di sebelah bendungan, atau menggantung diri" "Jangan marah Pa mot. Aku hanya sekedar meyakinkan"
"Punta. Kau harus mengerti hal ini. Aku tidak mau kalau kau kawanku yang terdekat masih meragukan. Kau ingat, di saat-saat kami menyatakan diri ka mi untuk mendapat kesempatan me masuki pasukan pengawa l khusus" Bukankah sejak saat itu kita sudah meletakkan diri dala m suatu arah, pada suatu saat kita akan mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu bagi Kepandak. bagi Matara m" Pada saat itu Kademangan Kepandak belum disentuh oleh masalah-masalah seperti kini. Sindangsari masih belum pulang ke padukuhan, karena ayahnya masih be lum dinyatakan gugur" Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Aku mengerti Pa mot. Aku minta maaf, bahwa aku masih harus meyakinkannya sekali lagi. Kehadiran gadis itu, dan perkembangan keadaan, kadang kadang me mang dapat merubah pendirian seseorang" Punta berhenti sejenak, lalu "tetapi kau masih tetap di dala m pendirianmu seperti yang kita nyatakan di saat saat kita menyatakan diri kita untuk ikut serta di dala m pasukan pengawal khusus. Dengan demikian, maka kau tidak perlu ragu-ragu. Kalau kau akan pergi, pergilah. Kita bersama-sama atas nama Kade mangan Kepandak, telah berbuat sesuatu, ikut menegakkan Mataram yang Agung ini" Pamot tida k segera menjawab. "Kau tidak usah me mikirkan, apakah kau pantas atau tidak. Atau orang orang Kepandak ini sekedar menyingkirkan kau, atau alasan alasan yang apapun juga. Kalau kau memang sudah bertekad untuk berjuang, kau tidak usah me mpedulikan apapun juga. Kau tidak usah me mpersoalkan suara burung kedasih yang merindukan ke matian, atau kaok burung gagak yang keta-gihan bangkai. Pergilah, kita akan pergi bersamasama, kita seorang me mang tidak berarti, tetapi keseluruhan pasukan Mataram itu kela k pasti akan terdiri dari kita seorang dalam suatu kesatuan yang besar"
Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya. Aku akan pergi. Keputusan itu sebenarnya sudah ada sejak aku me masuki pasukan pengawal khusus" Punta mengangguk-anggukkan kepa lanya "Kalau kau sudah menga mbil keputusan jangan hiraukan apapun lagi" Pamot mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. "Apakah kau masih juga ragu ragu?" "Tida k" Pa mot menjawab dengan nada yang rendah "tetapi aku harus minta diri kepada Sindangsari. Aku harus mengatakkan kepadanya, bahwa aku akan pergi" Punta menarik nafas dalam-dala m. "Aku bisa mengerti Pa mot " Demikianlah, Pa mot menjadi gelisah. Ia sudah bertekad bulat untuk pergi meninggalkan padukuhannya. Apapun yang dikatakan kepada Punta, tetapi ia tidak dapat berbohong kepada diri sendiri, bahwa ia me mang ingin pergi dari Gemulung. Pergi, sejauh-jauhnya agar ia dapat melupakan kepahitan yang mencengka mnya. "Tetapi bukan itu alasanku satu-satunya "ia menggeram "Aku adalah pasukan pengawal khusus. Kepergianku adalah tugas utama yang aku tunggu se la ma ini" Di rumahnya Sindangsaripun selalu dibayangi oleh kepahitan hati. Hampir setiap saat ia menangis. Kadangkadang di tengah-tengah mala m ia menghentak-hentakkan tangan dan kakinya. Tetapi ia tidak dapat mengatakan, bahwa sebenarnya ia selalu diganggu oleh keinginannya untuk bertemu lagi dengan Pa mot" "Meskipun hanya satu kali" desisnya.
Tetapi ia terpaksa menekan keinginannya itu dala m-dala m di dala m lubuk hatinya. Bahkan akhirnya, harapannya untuk dapat bertemu dengan Pa motpun menjadi se makin luluh. Tetapi Pa mot sendiri tidak pernah berputus-asa. Ketika ia sudah mendapat kepastian bahwa ia harus berangkat, maka tanpa menghiraukan apapun lagi, ketika matahari menjadi semakin dala m terbenam, dan mala mpun menjadi sema kin kela m, dengan hati-hati Pamot keluar dari hala man rumahnya. Niatnya sudah bulat, bahwa ia ingin berte mu dengan Sindangsari meskipun hanya untuk minta diri. Sebelum :a dapat bertemu dengan gadis itu, rasa-rasanya hatinya sama Sekali belum tenang. Dengan hati-hati Pa mot menyusuri jalan se mpit menuju ke rumah Sindangsari. Meskipun kadang-kadang tumbuh pula seperti yang pernah terjadi, namun nalarnya telah menjadi buram. Ia sudah tidak dapat lagi berpikir dengan bening. Yang menjadi persoalan baginya adalah minta diri kepada Sindangsari. Pamot sa ma sekali tidak menyadari, bahwa sepasang mata selalu mengikutinya. Setiap langkahnya. Dengan diam-dia m orang yang selalu me mandanginya itupun melangkah sema kin mende katinya. Pamot yang berjalan sambil berjingkat-jingkat itu terkejut bukan kepalang, ketika sebuah lengan terjulur dari dala m gerumbul mencengka m bahunya. Dengan serta-merta ia mengge liat, lalu me loncat menjahuinya. Pada saat kedua kakinya berjejak di atas tanah, maka iapun sudah bersiaga, apapun yang akan terjadi ke mudian. "Akan ke mana kau Pa mot" terdengar sebuah pertanyaan. Pamot menarik nafas dala m-dala m. Ia mengenal suara itu dengan baik. Dan ternyata pula, sejenak kemudian orang itupun telah muncul dari balik gerumbul. "Kau me mbuat aku terkejut, La mat" desis Pa mot.
"Apakah kau akan mengunjungi Sindangsari?" Pamot termangu-mangu sejenak. Tetapi ke mudian ia menganggukkan kepalanya. Untunglah bahwa a ku me lihat kau. Kalau t idak mungkin kau akan me ngala mi nasih yang kurang baik" "Kenapa ?" bertanya Pamot. "Aku melihat dua orang yang bersembunyi di pinggir ja lan, di tempat kau berkelahi dahulu, meskipun agak bergeser sedikit" "Siapa?" "Aku tidak jelas. Tetapi aku dapat menduga, bahwa mereka adalah pengawas-pengawas yang dikirim oleh Ki De mang. Apalagi setelah mereka me mutuskan, bahwa kau akan ikut serta bersama kelimapuluh orang yang akan dikirim ke Mataram" Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Ternyata perhitungan mereka tepat. Kau masih berusaha untuk berte mu dengan Sindangsari" "Aku akan minta diri" "Aku mengerti. Dan akupun mendapat tugas serupa. Manguripun menduga, bahwa kau pasti masih berusaha untuk bertemu dengan Sindangsari" Pamot tida k menjawab. "Sebaiknya, kau ke mbali saja Pa mot" Tiba tiba Pa mot me ngangkat wajahnya yang tegang. Dengan tegas ia menjawab "Tidak. Aku harus bertemu dengan Sindangsari. Setiap saat aku dapat diberangkatkan. Aku tidak mau pergu sebelum a ku mengatakan kepadanya, bahwa aku tidak lari"
"Kau tidak perlu mengatakan kepadanya ,bahwa kau tidak akan lari" "He, jadi kaupun se karang juga sudah menghalang aku" "Jangan lekas menjadi bura m. Aku kira kau la in dengan Manguri. Dengarlah, aku belum selesai" Pamot menarik nafas dala m-dala m. Terdengar suaranya menurun "Maaf. Aku sedang bingung" "Maksudku Pa mot, kau jangan mengatakan bahwa kau tidak akan lari. Sebaiknya kau minta diri. Minta diri saja, secara wajar, agar gadis itu tidak mencoba mencari-cari jawab atas teka-tekimu yang sulit itu" Pamot tidak segera menyahut. Namun ke mudian iapun mengangguk-anggukkan kepalanya "kau mengerti maksudku?" "Ya" "Tetapi apakah kau harus mene muinya sekarang?" "Aku takut, bahwa aku akan terlambat. Siapa tahu, besok aku harus sudah masuk barak bagi mereka yang akan diberangkatkan ke Mataram, agar ka mi masing-masing mendapat pengawasan yang se-baik-baiknya. Lamat menarik nafas dala m-dala m. Dipandanginya jalan yang menjelujur di hadapannya, menusuk kegelapan. Ia tahu dengan pasti, bahwa di pinggir jalan ini dua orang sedang duduk terkantuk-kantuk untuk mengawasi apakah Pa mot pergi mene mui Sindangsari mala m ini. "Pamot " berkata Lamat kemudian "ka lau kau me mang berkeras hati untuk pergi ke rumah Sindangsari, kau harus me milih ja lan la in, meskipun lebih jauh. Tetapi dengan demikian, kau tidak akan dilihat oleh kedua orang yang bersembunyi itu, karena mereka mengawasi jalan yang me lalui regol hala man rumah Sindangsari"
"Jadi, apakah aku harus me milih ja lan bela kang?" "Ya. Jangan mela lui regol. Kau harus me loncat dinding halaman, dan mendekati rumahnya me lalui kebun belakang. Pamot menjadi berdebar-debar. Ia benar-benar harus berbuat seperti seorang pencuri. Tetapi ia sudah me mutuskan, mala m ini ia harus bertemu dengan Sindangsari. Kalau tidak ma ka ia dapat kehilangan setiap ke mungkinan untuk itu. Karena itu, maka iapun ke mudian menjawab "Kalau menurut pendapat mu, aku harus mela lui hala man bela kang., maka aku akan me lakukannya. Aku me mang harus bertemu dengan Sindangsari mala m ini. Rasa-sanya, aku tidak akan dapat bertemu lagi untuk selanjutnya" Lamat mengangguk-anggukkan "Pergilah.Tetapi hati-hatilah" kepalanya. Katanya
Pamotpun ke mudian meneruskan langkahnya. Tetapi ia me milih jalan yang lain. Ia berbelok pada sebuah jalan yang sangat sempit diantara dinding batu-batu hala man rumah di sebelah menyebelah. Lamat yang masih berdiri di te mpatnya menarik nafas dalam-da la m. Perlahan-lahan terdengar ia berdesis "Kasihan anak itu. Ia jauh lebih menderita dari Manguri, karena cinta Manguri tida k mendapat tanggapan dari Sindangsari. Tetapi anak ini merasa, bahwa ia sudah mendapat tempat di hati gadis itu. Na mun tiba-tiba ia telah dica mpakkan dengan semena-mena" Lamat meraba kepalanya yang botak. Perlahan-lahan dilingkarkannya ikat kepala yang hanya tersangkut dilehernya., berjuntai menutupi bagian dadanya yang telanjang. Perlan-lahan ia me mutar tubuhnya. Tetapi ketika kakinya terayun selangkah, ia tertegun. Sekali lagi ia berpaling.
Dipandanginya kehitaman ma la m yang kela m, meskipun Pamot sudah tidak kelihatan lagi. Ternyata Lamat tidak sa mpai hati melepaskan Pa mot berjalan sendiri. Dengan tergesa-gesa iapun seka li lagi berbalik dan berjalan searah dengan langkah Pa mot. "Kalau terjadi sesuatu atasnya" guma mnya. Sementara itu, Pamot telah menyusupi gelapnya mala m diantara pagar-pagar batu. Sekali-sekali ia meloncat-loncat, namun ke mudian ia berhenti melekat dinding batu apabila ia mendengar sesuatu. Na mun ternyata langkahnya tidak terganggu sampai ia me loncat, me masuki kebun belakang rumah Sindangsari. Tetapi kini tiba-tiba saja hatinya menjadi berdebar-debar. Sejenak ia dia m me matung, me mandang rumah yang me mbe ku di da la m kekela man ma la m. Pamot menarik nafas dalam-da la m. Sekali lagi dan sekali lagi. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya dan mengatur pernafasannya yang melonja k-lonja k. "Aku harus mene muinya" Pa mot menggeretakkan giginya, untuk mengerahkan keberaniannya yang serasa me mbeku. Perlahan-lahan Pa mot merangka k diantara pepohonan maju mende kati rumah Sindangsari. ia tahu benar dimana Sindangsari sedang tidur. Tetapi tumbuh pula keraguankeraguannnya. Apakah anak itu belum berpindah te mpat?" "Persetan" sekali lagi ia menghentak "Aku tida k boleh kehilangan banyak wa ktu, sebelum a ku gagal oleh sebabsebab yang tidak aku duga-duga" Pamotpun merayap semakin dekat. Seperti yang pernah dijanjikan, maka iapun mengetuk dinding bilik Sindangsari dari luar dengan isyarat yang sudah mereka bicarakan sebelumnya.
Sindangsari yang berada di dala m bilik itu terkejut. Ia me mang belum tidur. Ha mpir setiap mala m ia menunggu isyarat itu. Dan karenanya hampir setiap mala m ia hanya tidur beberapa saat, justru menje lang fajar, sehingga tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya menjadi pucat. Sindangsaripun ke mudian mengetuk biliknya perlahanlahan seperti isyarat Pamot. Isyarat Sindangsari itu ternyata telah me mbuat hati Pa mot yang seakan-akan sedang me mbara itupun me njadi sejuk. "Untunglah, Sindangsari masih berada di te mpatnya" Gejolak yang ada di dala m hati Sindangsari, sebagai seorang gadis re maja yang diba kar oleh kepahitan cinta yang patah, telah mendorong Sindangsari untuk perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati bangkit dari pe mbaringannya. Seperti Pamot, gadis itu sa ma sekali tida k menghiraukan apapun lagi, meskipun ia masih se mpat untuk berhati-hati. Kali ini, ternyata kakeknya tidak mendengar gerit pintu butulan di belakang. Karena itu, tidak seorangpun yang mengetahui bahwa Sindangsari telah ke luar dari biliknya, dan bahkan ke luar dari rumahnya. Ketika pintu butulan itu terbuka sejengkal, terasa bulu-bulu Sindangsari mere mang. Yang melintas di depan pintu adalah kegelapan mala m yang pekat. Sehingga yang tampak olehnya hanyalah hitam bela ka. Namun dala m kebimbangan itu, terdengar suara perlahanlahan di sisi pintu "Sari. Aku disini" "Pamot " desis Sindangsari. "Ya" Hati Sindangsari menjadi berdebar-debar. Dengan kaki gemetar ia melangkah keluar pintu, dan dengan hati-hati sekali didorongnya pintunya sehingga tertutup ke mba li.
Tetapi Sindangsari tidak segera dapat melihat Pamot di dalam kegelapan. Karena itu, sejenak ia berdiri, me matung di depan pintu yang sudah tertutup dengan dada yang berdebardebar. "Sari" terdengar suara berdesis perlahan-lahan. Sindangsari mencoba me mandang ke arah suara itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Gadis itu terperanjat ketika didengarnya desah nafas dekat di sa mpingnya, kemudian sentuhan tangan dibahunya. "Marilah" Sindangsari t idak se mpat berbuat apa-apa ketika tangannya ditarik oleh Pamot menjauhi pintu butulan, masuk ke dala m kebun yang kela m. Ketika mereka ke mudian terhenti, sejenak mereka saling berpandangan meskipun yang tampak hanyalah bayangbayang yang kehitam-hitaman. Na mun mata hati masingmasing seolah-olah dapat langsung me mandang ke pusat jantung. Sejenak mereka terpaku dia m. Na mun sejenak ke mudian, tanpa disadari, didorong oleh ge lora hari yang sela ma ini tertahan, Sindangsari dengan serta-merta menjatuhkan kepalanya di dada Pa mot yang bidang; Tangisnyapun ke mudian me mbanjir tanpa dapat di tahan-tahan lagi, meskipun Sindangsari berusaha sekuat-kuatnya. Yang terdengar kemudian hanyalah isak tangis gadis itu, yang menyentuh-nyentuh sepinya mala m. Namun sejenak ke mudian Pa mot menyadari, bahwa suara tangis itu akan dapat didengar orang. Karena itu, ma ka iapun berbisik di telinga Sindangsari "Dia mlah Sari. Mala m terlampau sepi, Suara tangismu akan didengar orang"
Sindangsari tida k menyahut. Tetapi air matanya masih saja me mbasahi dada Pa mot yang berdebar-debar. "Jangan menangis" Sindangsari mencoba menahan tangisnya. Namun ke mudian ia berkata lirih diantara isaknya "Kakang Pamot, apakah aku dilahirkan se kedar untuk me mbasahi padukuhan ini dengan air mata?" "Ah, jangan berpikir begitu" "Sejak aku menginjakkan kakiku di padukuhan te mpat aku dilahirkan ini, aku selalu menit ikkan air mata. Hampir di setiap saat. Tetapi agaknya air mataku tidak juga akan setiap kering. Bukankah aku akan berangkat ke Mataram, selanjutnya kau akan turut melawat ke Barat?" "Ya Sari" "Seperti ayah?" Pamot tida k menyahut. Terasa dadanyapun berdesir. Teringat olehnya, pasukan Matara m yang pertama ha mpir setahun yang lalu, mengala mi kegagalan dengan korban yang tidak sedikit. "Katakan, apakah kau akan ke mbali?" desak Sindangsari "Aku tida k tahu Sari. Tetapi aku percaya bahwa se muanya ada di tangan Tuhan Yang Maha Esa" "Kakang" suara Sindangsari menjadi lirih seka li, tetapi kau akan ke mbali bukan" Pamot menjadi termangu-mangu sejenak. Na mun ke mudian ia menjawab "Kita akan selalu berdoa Sari, mudahmudahan aku diperkenankan untuk ke mbali ke padukuhan ini" Sindangsari se ma kin melekatkan tubuhnya. Kini dipeluknya Pamot erat-erat seperti tidak akan dilepaskannya lagi, seperti Pamot juga me meluknya.
"Kakang Pa mot" suara Sindangsari sema kin lirih "ka lau kau tidak ditunjuk menjadi sa lah seorang dari mereka yang akan berangkat ke Matara m" t iba-tiba suaranya terputus. "Kenapa Sari?" Sindangsari t idak segera menyahut. "Kenapa Sari" desak Pa mot. "Kalau kau tida k pergi kakang" desis Sindangsari "Aku akan mengajakmu lari" "Lari?" Pa mot mengulangi kata-kata itu tanpa sesadarnya. Kata-kata itu me mang pernah melintas di kepalanya. Dan kini Sindangsari me ngucapkan kata-kata itu pula. "Ya ka kang" desis Sindangsari "tetapi, kini aku tidak dapat me lakukan justru karena kau terpilih diantara mereka yang akan berangkat ke Matara m. Aku tidak ma u, bahwa aku akan disebut seseorang yang hanya sekedar me ment ingkan diriku sendiri, selagi Mataram da la m bahaya. Ayahku sudah gugur. Tetapi seperti juga ibuku, ayah dilepaskannya dengan ce mas. Apakah sekarang aku akan menghalang-halangi kau, karena kau harus lari dengan seorang gadis?" Terasa dada Pamot menjadi sesak. Dala m keadaan yang demikian gadis itu masih juga se mpat berpikir tentang Tanah Tumpah darahnya. "Tetapi" Sindangsari berdesis "Aku harap kau kembali kakang. Kau harus berusaha ke mba li ke padukuhan ini" "Ya Sari. Aku akan berusaha ke mbali" "Kau, kau" suaranya terputus. "Apa Sari?" "Kau jangan pergi karena aku ka kang. Kau jangan me lepaskan hari depanmu, karena aku tidak dapat me menuhi hasrat nuraniku. Impian kita bersa ma-sama "
Pamot tidak menjawab. semakin rapat di dadanya.
Tetapi ditekannya gadis itu "Kakang, berjanjilah. Bahwa kau akan datang ke mba li" Pamot masih berdia m diri. Kini ia menyadari maksud Sindangsari. Gadis itu mence maskannya, bahwa karena kegagalannya mendapatkan Sindangsari, ia akan lari dan me mbunuh diri di peperangan. "Kakang, kenapa kau dia m saja?" "Pamot menarik nafas dalam-dala m. Jawabnya terbata-bata "Sari. Aku tentu akan berusaha untuk kembali, kecuali Tuhan me mang tida k mengijinkannya. Tetapi percayalah bahwa aku tidak akan me mbiarkan diriku terbenam da la m keputus-asaan" Pamot berhenti sejenak, lalu "Sari, akupun pernah beranganangan untuk lari seperti yang kau katakan. Lari bersama-sama mencari daerah yang dapat me mberikan perlindungan kepada cinta kita. Tetapi sekarang aku tidak dapat melakukannya. Kecuali aku tida k yakin bahwa kau akan dapat mene mukan ketenteraman dari bayangan Ki De mang dan mungkin juga Manguri, ma ka kini kita dihadapkan kepada tugas yang berat itu" "Aku akan berdoa untukmu kakang" suara Sindangsari hampir tida k dapat didengar lagi "maafkan aku" "Kau tidak bersalah Sari" "Tetapi, tetapi, kau berangkat ke medan perang dala m keadaan yang buram" "Aku akan selalu berdoa, mendapat terang dari padanya " mudah-mudahan hatiku"O" tiba-tiba tangis Sindangsari me nyentak. Air matanya seperti dicurahkan dari rongga matanya. Tubuhnya terguncang-guncang karena isaknya yang tertahan-tahan. "Kakang maaf kanaku kakang"
"Kau tidak bersalah Sari" "Tetapi percayalah, cintaku pada mu tidak tergeser seujung rambutpun. Aku selalu mengenangmu dan mengharap kau pulang meskipun yang kau jumpai di padukuhan ini hanyalah kegagalan dan keha mpaan" "Ya Sari" "Meski tubuhku akan direnggut oleh Kademangan ini, tetapi hatiku tetap padamu" kekuasaan di
Pamot tidak menjawab. Tetapi terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Apalagi Sindangsari yang telah kehilangan kesadaran dirinya sebagai seorang gadis itu, seakan akan tidak mau me lepaskannya sa ma sekali. Dala m dekapan mala m yang sepi, maka keduanyapun tenggelam se makin dala m di lautan darah remaja yang bergelora di dala m diri masing-masing-Himpitan perasaan yang selama ini menindih hati Sindangsari, seakan-akan me ledak tanpa dapat dikendalikannya lagi. Bahkan kini jantungnya serasa menyala dalam sentuhan tangan-tangan seorang laki-laki yang dicintainya. Tiba-tiba sebuah hati terguncang melihat peristiwa yang terjadi ke mudian, di luar kesadaran manusia yang terikat oleh adab yang berlaku. Lamat yang selalu mengamat-a mati Pa mot karena kecemasannya bahwa anak itu akan mengala mi bencana, me malingkan wajahnya yang tegang. "Setan, anak setan kau Pamot" gera mnya di da la m hati "aku tidak peduli lagi, apakah kau akan dicekik iblis. Tidak ada gunanya aku berbuat kebaikan atasmu sela ma ini. Kenapa kau tidak mati dikeroyok oleh orang-orang dari gerombolan Sura Sapi?" Dengan gigi yang terkatup rapat-rapat, Lamat bergeser dari tempatnya, meningga lkan ha la man yang telah dinodai justru
oleh cinta yang tulus. Betapa penyesalan mengguncangkan dada keduanya, tetapi semuanya itu sudah terjadi. Sindangsari duduk bersimpuh sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang basah oleh air mata. Air mata penyesalan yang bercampur dengan kepahitan yang seakan-akan semakin la ma se makin bertimbun-timbun di dalam dirinya. "Kenapa hal ini terjadi kakang?" isak Sindangsari. Dada Pamotpun serasa menjadi retak karenanya. Terputusputus ia berkata "A ku, aku.....................tetapi aku tidak tahu Sari. Semuanya terjadi dengan tiba-tiba di luar sadarku. Aku minta maaf" Sindnagsari t idak me njawab. "Kalau ada yang dapat aku lakukan, apapun aku mau me lakukkannya" suara Pamot menjadi serak "apakah aku harus mengatakan kepada Ki De mang?" "Kenapa?" bertanya Sindnagsari. "Seandainya aku harus menja laninya" dihukum picis, akupun akan
"Bukan salahmu sendiri kakang" "Jadi" Apakah yang harus aku lakukan?" "Tinggalkan aku sendiri. Kalau kau akan berangkat ke Mataram aku hanya dapat mengucapkan sela mat jalan" "Lalu, apa yang akan kau lakukan?" "Aku tidak akan me mbunuh diri kakang. Aku sadar bahwa dengan demikian aku hanya akan mena mbah panasnya api neraka" "Lalu?" "Tinggalkan aku sendiri"
Pamot masih me matung di te mpatnya. Dilihatnya Sindangsari me ngusap air matanya yang tiba-tiba saja menjadi kering. Bahkan sa mbil menengadahkan wajahnya ia berkata "Kakang Pa mot, aku tidak dapat membebankan kesalahan ini hanya kepadamu. Akupun sudah bersalah. Kalau ada azab karena perbuatan kita, biarlah aku juga menanggungnya. Karena itu, aku tidak akan me mbunuh diri: Aku akan berterus terang kepada setiap orang yang akan bertanya kepadaku, seandainya ada akibat yang tumbuh karenanya. Biarlah aku dica mpakkan sebagai sa mpah, atau diarak keliling padukuhan. Tetapi aku tidak akan me mbunuh diri, dan kau juga tidak akan me mbunuh dirimu di peperangan" Sepercik keheranan melonjak di dada anak muda itu. Apakah yang telah me mbuat Sindangsari t iba-tiba saja menjadi begitu tabah menghadapi keadaan" Tetapi ia tidak perlu bertanya, karena Sindangsari berkata "Kakang, akhirnya aku menjadi kenyang akan kepahitan hidup ini. Kini rasa-rasanya aku sudah sampai ke puncaknya. Aku tidak dapat lagi merengek seperti anak-anak. Aku sudah dewasa. Apa yang terjadi agaknya telah mengguncang isi dadaku, dan justru me mbuat aku sadar, sebenarnya aku me mang sudah dewasa. Semua masalah tida k akan selesai dengan tangis dan keluh-kesah. Betapa penyesalan berkobar di dadaku, tetapi semuanya telah terjadi. Apakah aku akan dapat ingkar lagi" Aku sudah terdampar ke dala m suatu kenyataan, bahwa aku me mang me ncintaimu sepenuh hati. Tetapi cintaku sela ma ini adalah cinta yang belum dewasa. Peristiwa yang sekejap ini agaknya telah me mbuat aku menyadari segala-galanya. Pamot hanya dapat menundukkan kepalanya, Kini ia seakan-akan tidak berhadapan lagi dengan Sindangsari yang selama ini sela lu me meras a ir matanya. "Pamot, tingga lkan aku sendiri" "Tetapi............" desis Pamot.
"Tinggalkan, aku sendiri" Seperti dipukau oleh pesona yang tidak terlawan, tiba-tiba Pamot bergeser mundur. "Sela mat jalan Pamot. Mungkin kita tidak akan bertemu lagi sampai kau berangkat nanti. Tetapi a ku masih menghadap me lihat, kau ke mbali, me mbawa ke menangan bagi Mataram. Setidak-tidaknya kau dapat mengobati sakit hatiku, karena ayahku telah gugur oleh ketamakan orang-orang asing itu" Pamot menganggukkan kepalanya. Mulutnya serasa kini terkunci. Setapak demi setapak ia bergeser ke dalam gelapnya ma la m di dala m kebun yang rimbun. Namun ke mudian dipaksa kannya juga berdesis "Sela mat tinggal Sindangsari, Se moga kau berbahagia " Kata-kata itu hampir saja telah mele mparkan Sindangsari ke dala m percikan air matanya kemba li. Na mun ia bertahan sekuat-kuat tenaganya. Bahkan ia masih se mpat berkata "Hatiku besertamu" Sejenak Pamot me mandangi, Sindangsari yang masih duduk bersimpuh. Ke mudian selangkah lagi anak muda itu telah hilang di dala m mala m yang kela m. Sepeninggal Pa mot, barulah Sindangsari me mbenahi dirinya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia masuk lewat pintu butulan dengan hati-hati. Tetapi ketika tubuhnya telah terbujur di pe mbaringannya, ma ka sekali lagi ia menumpahkan air matanya, seakan-akan ingin diperasnya sampai kering. Kini bukan saja hari depannya yang sura m yang me mbenahi hatinya, tetapi juga penyesalan, penyesalan yang maha dalam. Sementara itu Pamot berjalan tertatih-tatih di jalan sempit menjauhi rumah Sindangsari. Seperti gadis itu, Pamotpun telah dicengka m oleh penyesalan yang luar biasa. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia le lah me lakukannya.
Pamot terkejut ketika t iba-tiba saja seseorang yang bertubuh tinggi, kekar, berkepala botak berdiri di hadapannya. Tanpa sesadarnya Pamot berdesis "La mat" Tetapi wajah Lamat kini nampa k lain dari wajah yang selalu dilihatnya. Wajah itu benar-benar mengerikan, seperti bentuk tubuhnya. Laki-laki itu bagaikan seorang raksasa yang berdiri di tengah-tengah jalan siap untuk menerka mnya. "La mat" seka li lagi Pa mot berdesis. "Kau me mang anak yang tidak pantas dilindungi" tiba-tiba Lamat me nggeram. Pamot menjadi heran. "Kau sangka aku tida k mengerti apa yang sudah kau lakukan?" suara La mat parau meninggi. "Apa yang aku lakukan?" bertanya Pa mot. "Perbuatan terkutuk itu" "Oh, kau mengintip?" Tiba-tiba Pa mot terdorong beberapa langkah, sebelum ia terbanting jatuh. Terasa pipinya menjadi sakit, seakan-akan giginya berguncangan. Ketika tangannya mengusap mulutnya, setitik cairan yang hangat me mbasahi tangannya. Darah. "La mat, kau me mukul aku?" "Ya. Aku me mukulmu" La mat menggera m "bahkan aku akan me mbunuhmu" Wajah Pamot menjadi merah. Darah di bibirnya telah me mbuat darahnya mendidih. "Aku menyesal, bahwa aku tidak pernah mendengar perintah Manguri sela ma ini. Kalau aku me matuhi perintahnya, aku sudah me matahkan kakimu sejak se mula, maka kau tidak akan melakukan perbuatan setan itu"
Pamot masih me mbeku di te mpatnya. "Dan kau masih juga berani menuduhku, mengintip perbuatan iblismu itu?" nafas Lamat menjadi terengah-engah "dengar, dengarlah. Aku tidak sampai hati melihat kau kehilangan kese mpatan untuk bertemu dengan gadis itu, sehingga aku berusaha untuk menolongmu. Aku mencoba mengawasimu agar kau tidak terjebak oleh orang-orang yang me mang sedang menunggumu. Tetapi ternyata yang kau lakukan adalah perbuatan terkutuk itu. Tiba-tiba terasa sesuatu menghentak di dada Pa mot. Perlahan-lahan kepalanya terkulai le mah, seakan-akan ia tidak berani lagi menatap sorot mata La mat yang menghunja m kedadanya. "Pamot " berkata Lamat "sekarang aku berdiri di tempatku. Aku adalah pesuruh yang setia dari Manguri. Aku harus me mbuat kau lumpuh atau mati sama sekali. Kalau kau akan mencoba me lawan, melawanlah. Ka lau kau ingin berteriak me manggil kawan-kawanmu, Punta dan siapa lagi, berteriaklah. Aku dapat membunuh kau dala m rangkap lima sekaligus" Tetapi Pamot tidak mengangkat wajahnya. Jawabannya sama sekali tida k disangka-sangka oleh La mat "Ka lau kau ingin melakukan, lakukanlah La mat. Barangkali itu me mang lebih ba ik" Pa mot berhenti sejenak "Aku juga menyesal, kenapa kau selama ini selalu berbaik hati kepadaku. Kalau kau bunuh aku sejak semula kau mendapat perintah itu, maka aku tidak akan me mpunyai kese mpatan me mbiarkan hatiku dicengka m oleh setan seperti yang baru terjadi. Penyesalan yang bagaimanapun juga tidak akan ada gunanya La mat. Karena itu, aku me mang mengharapkan sesuatu terjadi atasku, agar dapat mengurangi beban penyesalan yang hampir tida k tertanggungkan lagi" Lamat yang berdiri tegak di tengah jalan itu mengerutkan keningnnya. Dan ia mendengar Pa mot berkata "Kalau kau
ingin me lakukan sesuatu, lakukanlah. Aku sudah siap untuk menja lani apa saja. Apalagi kau, yang sela ma ini selalu berbuat baik kepadaku. Bahkan kaulah yang selama ini me lindungi a ku dari bahaya yang ternyata selalu mengerumuni aku" Lamat justru seakan-akan me mbe ku di te mpatnya Dipandanginya saja Pamot yang menundukkan kepalanya dalam-da la m. Bahkan ke mudian perlahan-lahan kekesalan hatinyapun menjadi ca ir. Meskipun de mikian La mat berusaha untuk tidak me na mpakkannya, sehingga dengan nada yang keras ia berkata. Jadi apa yang kau kehendaki sebenarnya sekarang" Mati atau apa?" Pamot menggelengkan kepa lanya "Aku tidak me mpunyai suatu keinginan apapun. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku kehendaki dala m saat-saat seperti ini" Lamat menarik nafas dalam-dala m. Ia tidak dapat terus menerus menegangkan lehernya, sehingga terdengar suaranya yang menurun "kau sadari bahwa kau sudah berbuat suatu kesalahan yang besar sekali?" "Ya" "Pamot " tiba-tiba suara Lamat merendah "kau tahu akibat dari perbuatanmu?" Pamot mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab. "Dengan de mikian kau telah menaburkan bibit di ladang orang lain. Kalau yang tumbuh itu tidak dikehendaki, maka akan tersia-sialah a khirnya. Bukan kau. Bukan kau yang akan menanggung kepahitan yang berkepanjangan" Dada Pamot berdesir tajam. Dan kepalanyapun terkulai le mah. Tetapi La mat tidak segera meneruskan kata-katanya. Tampak sesuatu melintas di dadanya. Sekali lagi La mat
mencoba menarik nafas dalam-dala m untuk menenteramkan hatinya. Tiba-tiba terlintas di kepa lanya di saat-saat keluarganya menga la mi bencana. "Tida k" tiba-tiba ia menggeram dala m hatinya "Aku tidak pernah me mpersoalkan kenapa ayah Manguri itu ada di rumahku pada saat timbul kebakaran. Kenapa ia berkeras hati untuk menolong a ku" Tida k. Itu adalah suatu kebaikan" Lamat gelengkan kenyataan me motong me meja mkan matanya sambil me nggelengkepalanya. Sejak semula ia tidak berani melihat itu selengkapnya. Ia selalu mencoba untuk kenangan itu seperti yang dilakukan setiap kali.
"Aku wajib berterima kasih kepadanya, ia selalu berteriak di dalam hatinya untuk mengatasi masalah-masalah lain yang tumbuh di hatinya. Tetapi apa yang terjadi atas Pamot dan Sindangsari kini seakan-akan telah mengungkat seluruh isi dadanya betapa ia mencoba mengenyahkannya. "Hubungan yang de mikian dapat melahirkan anak-anak yang tidak dikehendaki" suara itu serasa bergumam di dala m rongga dadanya. Terus menerus tidak henti-hentinya. Apalagi ke mudian diantara suara itu terdengar sebuah desis la matla mat "kaupun sa lah satu dari anak-anak yang tidak dikehendaki" "Tida k, tidak" tiba-tiba La mat menggeram, sehingga Pa mot terkejut karenanya. "Apa maksudmu La mat?" bertanya Pamot. Lamat menjadi tegang sejenak. Namun ke mudian ia menjawab "Aku tidak akan berbuat apa-apa atasmu sekarang" Pamot menjadi heran me lihat tingkah laku La mat. Tetapi ia tidak ingin bertanya. Agaknya Lamatpun sedang diamuk oleh
perasaan yang terungkat dari dalam lubukhatinya yang paling dalam. Selagi Pamot termangu-ma ngu, terdengar Lamat berdesis "Pulanglah. Pulanglah, selagi orang orang yang mencarimu itu belum mene mukan kau disini" Pamot tidak segera dapat mengerti, kenapa La mat sendiri menjadi seakan-akan terombang-a mbing oleh keadaan yang tidak menentu. Tetapi Pa mot ke mudian mendengar La mat itu berkata pula "Cepat. Pergilah" "Baiklah La mat" jawab Pa mot "Aku akan pulang". Seperti anak-anak yang ketakutan melihat peronda yang marah, Pa motpun segera berjalan tergesa-gesa pulang ke rumahnya. Tetapi ia tida k segera dapat melepaskan diri dari kerisauan yang menghentak-hentak. Akhirnya, hari yang ditentukan itupun datang. Di halaman Kademangan, limapuluh orang pengawal khusus telah siap dalam sebuah barisan me manjang. Mereka sedang mendengarkan beberapa penjelasan dari seorang perwira prajurit Mataram yang akan membawa pasukan pengawal khusus itu. Kemudian Ki Jagabaya dan Ki Demangpun me mberikan pesan-pesan kepada anak-anak mereka yang akan berangkat menunaikan kewajiban mere ka sebagai anakanak Mataram yang merasa tersinggung kehormatannya karena kehadiran orang-orang asing di bumi tercinta. Pamot yang ada diantana mereka, masih juga dirisaukan oleh keadaan dirinya sendiri. Ia ha mpir t idak dapat mendengar sama sekali pe mbicaraan dari orang-orang tua dan pe mimpinpemimpin Kade mangan, yang mengucapkan selamat jalan dan beberapa nasehat itu. Hanya sepatah-sepatah ia menangkap penjelasan dari perwira prajurit Mataram yang me mberikan ga mbaran kepada pa rapengawal khusus itu, apa yang akan mere ka la kukan ke mudian.
"Tida k ada keharusan bagi kalian untuk berangkat" berkata perwira itu "pasukan yang akan berangkat harus merupakan pasukan yang kuat dan tabah, sehingga dengan demikian harus didasari atas niat yang mantap dan dengan suka rela. Kalian mungkin pernah mendengar bahwa pasukan yang pernah dikirim sebelumnya, mengala mi kegagalan. Kini kita harus me mpersiapkan diri sebaik-ba iknya. Pada saatnya kita akah mengulangi lagi. Tetapi waktu yang tepat masih harus kita perhitungkan" Para pengawal khusus itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa sesadarnya Pamot me mandang wajah Ki Demang dengan sudut matanya. Sekilas ia melihat kegelisahan yang me mbayang disorot matanya. "Apakah Ki De mang meragukan aku?" berkata Pamot diliatinya "barangkali a ku mengajukan keberatan dan tidak bersedia berangkat sekarang?" Tetapi Pamot me mang sudah bertekad untuk pergi ke Mataram, ikut di dala m persiapan untuk me lawan ke Barat. Tidak seorangpun yang tahu pasti, kapan mereka akan berangkat, karena seperti yang dikatakan oleh perwira prajurit Mataram itu, bahwa keberangkatan pasukan itu harus diperhitungkan masak-masak dari sega la segi. Namun ternyata bahwa yang limapuluh orang itu tetap dalam sikap mereka. Mereka telah menyediakan diri untuk mendapat tempaan lahir dan batin dalam bidang keprajuritan di Mataram. "Ada dua kemungkinan bagi seorang prajurit" berkata perwira itu "di peperangan kalian dihadapkan pada keadaan yang tanpa pilihan selain dua ke mungkinan itu. Hidup atau mati. Ke mungkinan itu kedua-duanya sama harganya dan kedua-duanya dapat terjadi atas kalian se mua " Setiap wajah kini menjadi tegang. Na mun hati mereka benar-benar telah mantap. Mereka a kan pergi.
Maka setelah semua pesan-pesan dan pembicaraan selesai, pasukan kecil itupun segera sipersiapkan. Beberapa orang keluarga mereka me ngantarkan dengan wajah yang mura m. Mereka melepas anak-ana k mereka dengan hati yang berat. Tetapi seperti anak-anak itu sendiri, merekapun menyadari, bahwa itu adalah suatu kewajiban bagi setiap putera Matara m. Meskipun de mikian ketika pasukan itu bergerak, ada juga beberapa orang ibu yang menitikkan a ir mata. Anak-anak mereka itu seakan-akan telah pergi dan tidak akan ke mba li lagi. Diantara mereka yang mengantarkan pasukan kecil itu sampai ke pinggir padukuhan adalah orang tua Pamot. Mereka me mandang anaknya dengan dada yang berdebar-debar. Kedua orang tuanya menyadari bahwa pamot pergi bukan saja me lakukan kewajibannya, tetapi iapun telah dibebani oleh masalah pribadinya, meskipun kedua orang tua itu tidak tahu, bahwa beban yang sebenarnya bagi anaknya adalah lebih dari yang mereka duga. Ketika ibunya menitikkan air mata, ayah Pamot berkata "Itu akan lebih baik bagi anakmu. Ia akan mendapat saluran untuk me lepaskan himpitan perasaannya selama ini. Ka lau ia dan seluruh pasukannya berhasil, ma ka ia a kan mendapat obat bagi dirinya sendiri" Ibunya menganggukkan kepalanya, tetapi titik air matanya justru sema kin banyak mengalir. "Sudahlah. Marilah kita pulang" ajak ayah Pa mot. Keduanyapun kemudian meninggalkan orang-orang yang masih berkerumun di tepi padukuhan sa mbil me la mbaila mbaikan tangan mereka. Dengan langkah yang berat keduanya berjalan pulang ke Ge mulung. Ki De mang yang ikut mengantar mereka sa mpa i ke regol padukuhan menarik nafas dalam-da la m ketika pasukan kecil itu menjadi se makin la ma se makin jauh. Keberangkatan
pasukan itu terasa me mbuat hatinya menjadi lapang. Sebagai seorang pemimpin di Kade mangan Kepandak ia sudah menyerahkan anak-anak terbaik yang ada di Kade mangannya untuk suatu tugas yang berat, tetapi mulia. Namun bersa maan dengan itu, ia sudah melepaskan pula sepucuk duri yang menghunja m di da la m dagingnya. Pamot. Pamot telah pergi bersama pasukan itu, sehingga ia tidak akan dapat mengganggu lagi hubungannya dengan Sindangsari. "Ia tidak akan segera kembali" berkata Ki de mang di dala m hatinya "seandainya ia sengaja membuat dirinya tidak terpilih, maka wa ktunya pasti sudah akan lewat dari hari perkawinan itu" Dengan demikian, maka Ki De mang merasa bahwa jalannya sudah menjadi licin. Manguri tidak begitu penting baginya, karena Sindangsari sendiri tidak menghendakinya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa anak itu tidak perlu diawasi. Sebab masih ada juga ke mungkinan, meskipun kecil sekali, Manguri akan menga mbil Sindangsari dengan kekerasan. "Tetapi se muanya sudah jelas" berkata Ki De mang "kalau pada suatu saat Sindangsari hilang, maka hal itu pasti dilakukan oleh keluarga Manguri. Meskipun di dala m keluarga itu ada raksasa bodoh itu sekalipun, persoalannya tidak akan menjadi terla mpau sulit, karena agaknya raksasa itupun tidak setia mut lak kepada ke luarga Manguri" Maka sehari setelah pasukan itu berangkat ke Mataram. Ki Demang sudah mulai sibuk me mbicarakan hari-hari perkawinannya. Persiapan-persiapan sudah dilakukan sebaikbaiknya. Bahkan apa yang diperlukan, oleh ba kal isterinyapun sudah dicukupinya. "Rumah itu harus diperbaiki" berkata Ki de mang "dan di saat-saat hari perkawinan pada rumah itu harus dipasang tarub. Peralatan akan berlangsung di rumah penganten
perempuan dan Kademangan"
di hari ke lima akan berlangsung di Orang-orang tuapun mulai sibuk pula. Bahkan setiap orang di Kade mangan Kepandak menjadi sibuk. Meskipun tidak dengan sepenuh hati, namun kakek, nenek, dan ibu Sindangsaripun harus mengadakan persiapanpersiapan pula. Bahkan beberapa orang tetangga telah sibuk me mbantu, orang-orang laki-laki me mbantu me mperbaiki rumahnya tanpa diminta, sedang perempuan-perempuan me mbantu menyediakan ma kan untuk mereka. "Aku tida k dapat menola k" berkata kake k sindangsari. Sindangsari me ngangguk-anggukkan kepalanya. Adalah mengherankan sekali bahwa tiba-tiba saja sindangsari tidak lagi selalu menangis meksipun masin tampak dari sorot matanya, luka yang pedih di hatinya. Namun anak itu agaknya telah menemukan kenyataan diri, bahwa ia me mang harus menja laninya. Mau tidak mau. Namun justru ibunyalah yang menjadi semakin bersedih hati Sindangsari yang pasrah itu terasa sebagai suatu pengorbanan yang tiada taranya dari anak gadisnya itu. Sikapnya yang tiba-tiba menjadi matang dan dewasa menghadapi keadaannya, menumbuhkan perasaan iba yang menyayat. Sebagai seorang ibu, maka ikatan yang paling halus yang menghubungkan perasaannya dengan perasaan puterinya, telah tergetar. Tetapi ibunya tidak tahu, kejutan apakah yang telah membuat Sindangsari menjadi dewasa sepenuhnya. Ketika ibunya melihat sindangsari justru ikut me mbantu persiapan-persiapan yang dilakukan oleh tetanggatetangganya, hatinya menjadi trenyuh. Ia tidak dapat menahan titik air mata yang mele leh di pipinya. Semakin dekat hari-hari yang ditentukan itu, ma ka sema kin sibuklah rumah Sindangsari dan rumah Ki De mang. Bahkan
regol-regol di padesan-padesan yang termasuk wilayah Kademangan Kepandak telah diperbaiki pula tanpa ada yang me mberikan perintah. Rakyat Kepandak menyambut perkawinan Ki De mang dengan ge mbira, karena sudah menjadi kebiasaan mereka berbuat de mikian. Setiap Ki Demang kawin, maka seluruh Kade mangan seolah-olah ikut menyelenggarakan peralatan, meskipun terbatas sekali. Dan kali ini, seperti biasanya, Ki de mangpun menyelenggarakan pertunjukan tiga mala m di rumah penganten perempuan dan tiga mala m di Kade mangan. Wayang beber, tari topeng dan sebagainya. Namun dala m pada itu, semakin de kat hari perkawinan itu berlangsung, hati Manguripun menjadi se makin ge lisah. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan gadis itu. Sindangsari telah benar-benar menjerat hatinya. "Aku mengena l puluhan gadis di Ge mulung dan padukuhan-padukuhan la in di Kepanda k, bahkan di luar Kademangan ini. Aku pernah berhubungan dengan beberapa diantaranya. Tetapi tidak seorangpun yang dapat mencengka m perasaanku seperti gadis ini" katanya di dala m hati "me mang Sindangsari bukan gadis yang mudah tunduk dan me mang bukan gadis yang pantas untuk mengisi waktu yang sepi. Tetapi aku pasti akan segera kehilangan se mua kesempatan untuk me milikinya " Manguri yang tidak pernah murung, kali ini selalu duduk termenung. Sekali-ka li ia me manggil La mat, tetapi tidak ada yang dapat diperintahkan kepadanya lagi. "Kau tidak perlu berke liaran lagi di mala m hari La mat" berkata Manguri "Pa mot sudah pergi. Aku kira ia tida k akan ke mbali lagi" Lamat t idak me njawab.
"Tetapi aku kira itu lebih baik daripadaku yang setiap kali masih akan me lihat gadis itu, yang kemudian akan menjadi Nyai de mang" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "He, kenapa kau mengangguk-angguk ?" tiba-tiba Manguri me mbentak. Lamat terkejut. Na mun ia menjawab "A ku sependapat dengan kau, bahwa memang lebih baik meninggalkan Kepandak seperti Pa mot" "Tetapi Pamot me mpunyai alasan yang kuat. Bahkan alasan yang dapat dikagumi oleh seluruh rakyat Kepandak, bahwa ia akan pergi berjuang" Manguri berhenti sejenak, lalu "tetapi aku tidak me mpunyai kese mpatan serupa" Hampir saja La mat menunjukkan kesalahan Manguri, bahwa selama ini ia tida k bergaul rapat dengan anak-anak muda yang lain. Tetapi niatnya diurungkannya, karena hal itu pasti akan menumbuhkan ke marahannya saja. Tetapi tiba-tiba Manguri menggera m "Persetan dengan perang. Biarlah mereka yang tidah menghargai nyawanya sendiri pergi berperang. Tetapi aku tidak. Aku me mpunyai kepentingan pribadi yang lebih penting dari kepentingan orang lain, daripada perang itu. Biarlah orang la in berperang, tetapi aku akan me ncari ja lan untuk mendapatkan ana k itu. Lamat menarik nafas dalam-dala m. Manguri telah benarbenar tergila-gila kepada sindangsari. Tetapi bagaimanapun juga, apabila Sindangsari telah menjadi isteri Ki De mang, semua ja lan pasti sudah tertutup" "Aku masih me mpunyai satu ke mungkinan" desis Manguri "laki-laki itu harus me mbantuku. Kalau tidak, aku dapat menghancurkannya. Namanya maupun tubuhnya "
Tetapi Manguri terkejut ketika ia melihat La mat mengge leng-gelengkan kepalanya "Laki-laki itu bukan laki-la ki kebanyakan" "He" Manguri terkejut "kau kenal siapa la ki-laki itu?" Lamat tiba-tiba terdia m. Kepalanya tertunduk dalam-da la m. Tetapi ia t idak me njawab. "Baik. Aku tidak berkeberatan kalau kau me ngenal siapa laki-laki itu. Itu bukan salahmu, seperti bukan juga salahku kalau aku juga mengetahuinya" Manguri terdia m sejenak lalu "tetapi kenapa kau menganggapnya bahwa ia bukan laki-la ki kebanyakan?" Lamat tidak dapat menolak untuk menjawab. Maka katanya "Ia me miliki ke ma mpuan diatas ke ma mpuan kita kebanyakan" "Dan kau?" Namun La mat menggeleng. Jawabnya "Aku tidak tahu. Tetapi ia pasti dapat melawan lima orang gerombolan Sura Sapi sekaligus apabila ia mau" Manguri me ngerutkan keningnya. Kemudian katanya "Itu kebetulan sekali. Ia akan dapat me mbantu kita. Kau dan orang itu" Dada Lamat berdesir. Tetapi ia berkata "Maksudku, kau tidak akan dapat menganca mnya. Baik na manya maupun tubuhnya, karena seisi rumah ini bersa ma-sa ma sulit lah untuk mengatasinya" Manguri me ngangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa laki-laki itu me mang bukan laki-laki kebanyakan. Bahkan ayahnyapun pasti tidak akan dapat me lawannya. Tiga orang setingkat ayahnyapun akan dapat dikalahkannya. "Tetapi" berkata Manguri ke mudian "meskipun ia dapat menga lahkan seisi rumah ini seka ligus, na mun ia tida k akan dapat mengalahkan ibu"
Sesuatu yang tajam serasa menusuk jantung Lamat. Sambil menahan perasaannya ia berkata di dalam hatinya "Dunia ini telah menjadi sede mikian kotornya. Dimana-mana aku menjumpai tingkah la ku yang me muakkan. Manguri, ayahnya, ibunya, dan bahkan Pamot, anak yang aku anggap bersih itupun telah terjerumus ke da la m perbuatan yang serupa" Lamat menggigit bibirnya ketika ia sampai pada suatu pertanyaan "tetapi apakah perbuatan Ki Demang itupun tidak dapat dimasukkan ke dala m suatu tinda kan yang tercela" Ia dapat me maksakan kesaksian yang me mbenarkan kekeliruannya itu. Sehingga dengan de mikian ia tida k perlu me lakukan kesalahannya sa mbil berse mbunyi" Namun kepala La mat menjadi se makin tertunduk ketika ia bertanya pula kepada diri sendiri "La lu. Bagaimana dengan aku" Aku adalah orang yang paling tida k jujur di muka bumi. Aku telah mengia kan yang tidak sesua i dengan nuraniku. Aku telah mela kukan yang sebenarnya tidak aku kehendaki. Tetapi itupun aku telah berkhianat karena perasaanku yang ingkar" "He" tiba-tiba Manguri me mbentak "Kenapa kau dia m saja?" Lamat terkejut. Diangkatnya kepalanya sambil bertanya "apakah yang harus aku katakan" Semuanya benar dan me mang de mikianlah adanya" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya. Aku harap ibu dapat me mbantu a ku. Sekarang harapanku satu-satunya adalah, agar ayah pergi mengurus ternaknya ke luar. Sema kin jauh sema kin baik, agar laki-laki itu mendapat kese mpatan mene mui ibu" Kata-kata itupun terasa menusuk jantung Lamat. Tetapi ia tidak dapat berkata apapun. "La mat" tiba-tiba Manguri berkata "apakah kau tidak dapat berusaha bertemu dengan Sindangsari" Lamat terkejut me ndengar pertanyaan itu "Seka li saja?"
"Untuk apa?" bertanya La mat. "Cobalah bertanya kepadanya. Sepeninggal Pamot, ia hanya dapat memilih satu diantara dua. Aku atau Ki De mang. Kalau ia se mpat berpikir, maka aku kira ia a kan me milih a ku. Ia sudah mengena l aku sebagai seorang yang kaya raya, meskipun Ki De mang juga kaya. Tetapi Ki Demang sudah lima kali kawin, dan umurnya sudah tidak dapat disebut muda lagi" Dada Lamat menjadi berdebar-debar. Terlonjak suatu jawaban, tetapi hanya di dalam hatinya "Kau seharusnya sudah berapa kali kawin Manguri, apabila kau bukan anak muda yang licik?" "Bagaimana" Manguri mendesak. "Tetapi" suara La mat dala m sekali "ha mpir setiap kali aku mengawasi Pa mot sela ma ini, aku selalu me lihat dua orang petugas yang dikirim oleh Ki De mang. Meskipun aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas, karena aku tida k dapat mende katinya, namun tampak bahwa keduanya adalah orangorang pilihan" "Kau tidak berani?" "Bukan tidak berani. Tetapi apabila terjadi benturan kekuatan, meskipun mungkin aku tidak ka lah, namun mereka akan segera mengenal aku. Bukankah dengan demikian Ki Demang akan dengan mudahnya bertindak terhadapku dan mungkin terhadap seluruh keluarga ini" Kecuali ka lau kita me mang sudah siap untuk menyatakan perang" "Gila kau" bentak Manguri "tetapi, baiklah, aku akan mencari ja lan lain. Mudah-mudahan ayah segera pergi. Agaknya sudah ada tanda-tanda itu, karena ayah sudah mulai menyiapkan beberapa puluh ekor ternak dan sudah ada pembicaraan-pembicaraan tentang pengiriman ternak itu ke Mataram, sebagai bekal para prajurit yang akan menyerang orang-orang asing itu"
Lamat tida k menjawab, tetapi ia menge luh di dala m hatinya. Rumah ini benar-benar seperti neraka yang diisi dengan setan-setan iblis dan sebangsanya. Namun kini je las bagi La mat, bahwa agaknya Manguripun tidak akan berhenti sa mpai t itik perkawinan Ki De mang. Anak muda yang licik itu pasti akan mencari jalan apapun juga untuk mendapatkan Sindangsari. Ketika Manguri ke mudian meningga lkannya, Lamat menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia melangkah sa mbil menundukkan kepalanya. Terbayang di mata hatinya, betapa kedua anak-anak muda, Pamot dan Sindangsari saling mencintai. Tetapi cinta mereka telah direnggut oleh kekuasaan Ki De mang di Kepandak . "Seandainya mereka tidak menjadi putus-asa, hal itu pasti tidak akan terjadi. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan dapat saling me mperte mukan hati ke mbali" tetapi tiba-tiba Lamat me nggeram "apapun alasannya, tetapi mereka telah me lakukan perbuatan terkutuk itu" Dala m pada itu, persiapan yang dilakukan oleh keduabelah pihak, keluarga Sindangsari dan Ki De mang sudah se ma kin sempurna. Rumah-rumah mereka sudah mulai me masang kerangka-kerangka tarub. Janur-janur kuning sudah mulai disiapkan, sehingga saatnya menjadi se ma kin dekat untuk menyangkutkannya pada kerangka-kerangka yang sudah siap. Sejalan dengan itu, ayah Manguripun menjadi se makin sibuk menyiapkan ternak-ternaknya. Ia me mang mendapat pesanan dari orang-orang yang memang menjadi lengganannya, untuk menyerahkan beberapa puluh ekor sapi, yang harus disiapkan pula sebagai bekal dari pasukan Mataram yang akan mengulangi serangannya atas orangorang asing yang mulai me mbangun sebuah kota yang mereka na makan Betawi.
"Aku harus pergi di hari-hari peralatan itu" berkata ayah Manguri "adalah me ma lukan seka li apabila aku mendapat undangan untuk menghadirinya. Aku tidak dapat menolak untuk tidak hadir, tetapi apabila aku hadir, perasaanku pasti akan menjadi panas, karena aku sendiri pernah me mbicarakan masalah gadis Itu dengan Ki De mang" "Lalu, apakah cukup bagi ayah dengan meningga lkan Kademangan ini?" bertanya Manguri. "Maksudmu?" "Apakah tidak ada usaha la in yang dapat dilakukan?" Ayahnya menggelengkan kepalanya "Kedudukanku pasti akan menjadi sangat sulit. Aku tidak dapat melawan kekuasaan Ki De mang di Kepandak" "Kita me mpunyai uang ayah. Kita dapat berbuat banyak" "Sudahlah Manguri. Jangan menjadi gila. Persoalan hidup ini bukan sekedar persoalan Sindangsari. Aku harus mengurus perdaganganku. Kalau aku tenggelam di dalam masalahmu saja, masalah yang sebenarnya sudah jelas, maka hubunganku dengan orang-orang yang sela ma ini selalu menga mbil daganganku akan menjadi berkurang. Mereka akan lari kepada orang lain, sehingga kita akan kehilangan banyak pasaran" ayahnya berhenti sejenak, lalu "sebaiknya kau mulai sejak sekarang. Isilah waktumu dengan kerja. Aku masih sempat untuk mengajarimu sekarang. Kalau ke lak aku menjadi semakin tua, dan pada suatu saat aku sudah tidak kuat lagi bekerja, kau sudah pandai menga mbil a lih pe kerjaan ini" Manguri tidak segera menyahut. Dan tiba-tiba ayahnya berbisik "Di sepanjang jalan, di kotakota lain, kau akan menjumpa i lebih dari sepuluh Sindangsari. Bahkan yang jauh lebih cantik daripadanya. Kalau kau
http://www.mardias.mywapblog.com
me mbawa uang banyak di dalam ka mpilmu, ma ka tidak akan ada kesulitan apapun untuk mendapatkan mereka " "Jangankan sepuluh ayah" berkata Manguri sa mbil bersunggut-sungut "sedang dengan uang ayah yang banyak sekali ini, satupun tidak kita dapatkan" "Bukan Sindangsari yang itu" berkata ayahnya "karena itu berlajarlah merantau sebagai seorang pedagang" Manguripun ke mudian terdiam. Na mun sekilas terbayang di dalam angan-angannya, apabila ayahnya pergi, maka laki-la ki itu pasti akan datang. Dan ia akan dapat minta tolong kepadanya. Setidak-tidaknya ia akan dapat me mberikan petunjuk, jalan apakah yang harus dite mpuhnya. "Kalau ibu bersedia me mbantu, ma ka aku berharap untuk mendapatkan ja lan itu" katanya di dala m hati. Maka ternyata beberapa hari kemudian ayah Manguripun sudah siap. Pada saat di rumah Sindangsari mulai dipasang tarub, demikian pula di rumah Ki De mang, maka ayah Manguripun pergi meninggalkan padukuhan Ge mulung. "Aku harus menuna ikan panggilan suci" katanya kepada utusan Ki De mang yang datang kepadanya, mengundangnya untuk datang keperalatan perkawinannya "karena aku sudah tidak muda lagi, dan tidak dapat ikut di dala m pasukan pengawal khusus, maka aku a kan berjuang dengan cara yang lain. Aku akan mengusahakan perbekalan mere ka, supaya mereka t idak kehilangan kekuatan dipeperangan" "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya utusan itu. "Aku akan menyediakan ternak. Berpuluh-puluh. Aku harus segera menyerahkan sebagian yang sudah dapat aku kumpulkan" Utusan itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Ba iklah" katanya "nanti aku sa mpa ikan kepada Ki De mang"
"Aku minta maaf "sambung ayah Manguri "mudahmudahan se muanya dapat berlangsung dengan baik" "Terima kasih. Ki De mang tentu a kan dapat mengerti" Sepeninggal orang itu, Manguri mengha mpiri ayahnya dan bertanya "Ayah benar-benar tidak akan hadir?" Ayahnya mengangguk "Ya. Aku tida k akan hadir" "Karena tugas suci itu?" Ayahnya mengerutkan keningnya, namun ke mudian ia tersenyum "Kau harus pandai me mpergunakan kesempatan. Biarlah anak-anak muda itu berperang. Na mun justru dala m keadaan ini ternak menjadi meningkat harganya, dan aku mendapat banyak keuntungan" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan ayahnya berkata pula "Karena kau tidak ikut di dala m lingkungan pasukan pengawal, maka kau dapat pergi bersa maku dala m tugas suci ini. Kau dapat ikut me mbangga kan dirimu, bahwa kaupun telah me mbantu perjuangan. Kau dapat berkata kepada anak-anak muda yang menyabung nyawanya itu, bahwa tanpa perbekalan yang cukup mereka bukan apa-apa. Dan kitalah yang mengusahakan perbekalan itu" "Tetapi bukankah persediaan itu bukan milik kita" "Tentu bukan. Kau jangan terlampau bodoh, seperti sudah aku katakan, kita me manfaatkan keadaan. Aku me mbe li ternak itu dengan harga biasa. Tetapi aku dapat menjual kepada orang-orang yang ada di dala m lingkungan dala m keprajuritan Mataram dengan harga yang tinggi. Mereka tidak akan menolak karena mereka me merlukannya segera. Sudah tentu mereka tidak akan se mpat me mbe li seekor de mi seekor seperti aku di padukuhan-padukuhan kecil" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tibatiba ia menjawab "tetapi tidak kali ini ayah. Kali ini aku akan
mencoba mengatur perasaanku lebih dahulu. Aku ingin menye mbuhkan luka yang telah me ngoyak hatiku" "O, kau sekarang tiba-tiba saja menjadi cengeng. Seperti pangripta cerita-cerita dalam tembang macapat. Bukankah hatimu tidak terbuat dari daun pisang yang mudah koyak?" Manguri tidak menyahut. "Besarkan hatimu. Hari-harimu masih panjang. Kau masih mungkin sekali me miliki hari-hari yang cerah. Hari ini matahari tenggelam, tetapi esok pagi, matahari itu akan terbit ke mbali" Manguri tidak menjawab, dan ayahnya berkata seterusnya "Tetapi lain ka li kau harus bersedia belajar mela kukan pekerjaan ini, supaya kau kela k dapat menya mbung usaha ayah yang sudah kau lihat sendiri hasilnya " Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. "Jika demikian, hati-hatilah kau di rumah. Kendalikan La mat baik-baik. Jangan terlampau kau sia-siakan anak itu. Jangan terlalu sering kau bentak-bentak. Ia anak baik. Ia dapat menjadi pelindung dari seluruh ke luarga ini" Manguri menganggukkan kepalanya pula. "Jaga ibumu baik-baik. Jangan kau sakiti hatinya. Ia menjadi se makin tua meskipun tampa knya seperti kaka knya saja" Sekali lagi Manguri me nganggukkan kepalanya. "Kau menjadi penggant iku di rumah kalau a ku tidak ada" "Baik ayah" jawab Manguri ke mudian. Maka ayah Manguri itupun ke mudian minta diri kepada isterinya dan seisi rumahnya. Beberapa orang pengawal sudah siap di hala man yang luas itu yang ke mudian akan pergi bersama-sama dengan ayahnya, mengambil ternak-ternak yang sudah terkumpul di kebun peternakannya, dan me mbawanya ke Mataram.
Ketika ayah Manguri itu melintasi pintu regol, ia melihat Lamat berdiri termangu-mangu. Sejenak ia berhenti, katanya "Jaga rumah ini ba ik-ba ik" Lamat me nganggukkan kepalanya dala m-dala m. "Kea manan rumah ini adalah tanggung jawabmu. Kau tahu, bahwa banyak masalah masih dapat timbul karena pokal Manguri itu. Mungkin orang-orang Sura sapi, mungkin anakanak muda yang mendenda mnya, atau barangkali karena kesalahannya, maka Ki Demang berbuat sesuatu atas keluarga ini" "Aku akan berusaha sebaik-ba iknya" jawab La mat. Ayah Manguri tersenyum. Ia tahu benar kema mpuan yang tersimpan di dala m diri raksasa itu. Sekali lagi ayah Manguri itu berpa ling. Dilihatnya isteri dan anaknya berdiri termangu-mangu di bela kangnya. "Ingat Manguri" katanya "jangan berbuat aneh-aneh" Manguri mengangguk. Maka iring-iringan kecil itupun ke mudian me ningga lkan regol rumah Manguri yang besar, menuju ke sebuah pategalan yang dipergunakan oleh ayah Manguri untuk menyimpan ternaknya yang sudah terkumpul sebe lum terjual. Manguri dan ibunyapun ke mudian berdiri di regol sa mbil me mandangi iring-iringan yang sema kin la ma menjadi semakin jauh. Perlahan-lahan Manguri mengangguk-angguk. Tanpa sesadarnya ia berkata "Se muanya me mbawa senjata" "Pekerjaan ayahmu adalah pekerjaan yang berbahaya dalam keadaan seperti sekarang ini" berkata ibunya "di sepanjang jalan dapat saja iring-iringan ternaknya bertemu dengan beberapa orang penjahat"
Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya, dan tiba-tiba saja ia berkata "Pekerjaan yang menyenangkan, sebuah petualangan yang dapat me mberikan banyak penghasilan" Ibunya me mandang wajah Manguri yang masih terpaku pada bintik-bintik yang bergerak semakin jauh "Kau mulai tertarik pada pekerjaan itu?" Manguri mengangguk "Ya. Banyak sekali yang dapat dikerjakan. Mendapat uang, bertualang, dan apa saja di sepanjang perjalanan" "Manguri" ibunya mengerutkan keningnya "itukah yang menarik perhatianmu" Bukan usaha yang memerlukan ketekunan dan keuletan?" "Tentu ibu. Tanpa ketekunan dan keuletan, ayah tidak akan dapat menjadi pedagang ternak yang besar seperti se karang" "Nah, hal itulah yang harus mendapat perhatian" "Tentu. Tetapi di samping kesibukan itu kadang-kadang seseorang me merlukan juga selingan yang segar" "Manguri, apa ma ksudmu, dengan mengatakan hal itu?" "Tida k ibu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Ibu tahu, saat ini hatiku serasa sedang terluka. Aku me merlukan te mpat yang dapat me mberikan kesejukan di dada ku yang serasa gersang" Ibunya menarik nafas dalam-dala m "Ah kau" tetapi Manguri justru tersenyum. Bintik-bintik di kejauhan itu kini sudah hilang ditelan tikungan. Dala m pada itu, bintik-bintik di kejauhan itupun kini telah hilang di balik tikungan, sehingga Manguri ke mudian berkata "Ayah sudah tidak kelihatan lagi. Perjalanannya kali ini adalah perjalanan yang pendek. Ayah hanya pergi ke Mataram me mbawa ternaknya, sehingga tidak lebih dari tiga atau empat hari ayah pasti akan sudh selesai dengan segala urusannya "
"Belum tentu" sahut ibunya "kadang-kadang ayahmu me merlukan waktu sepekan untuk menunggu penyelesaian pembayarannya. Kalau uang itu ditinggalkannya; maka pembayaran itu justru akan tertunda-tunda se makin la ma " Manguri mengangguk-angguk, tetapi ia tidak menjawab lagi. Keduanyapun kemudian me langkah meninggalkan regol halaman na ik ke pendapa, sementara Lamat yang masih berdiri di regol megge leng-gelengkan kepalanya. "Keluarga ini adalah keluarga yang kaya raya" desisnya "tetapi sekedar kekayaan lahiriah. Mereka sama sekali tidak me miliki kekayaan batiniah. Kekayaan rohani" Lamat me narik nafas dala m-dala m. Tetapi iapun ke mudian me langkah ke hala man belakang. Tetapi ia masih se mpat bertanya kepada diri sendiri "tetapi kenapa aku masih juga berada disini?" Pertolongan yang diberikan oleh ayah Manguri, dan sekaligus sebagai belenggu yang dipasang di hati Lamat itu agaknya benar-benar sulit untuk dilepaskannya. Dala m pada itu, Kade mangan Kepandak menjadi se makin ramai karena hari perkawinan Ki De mangpun akhirnya sampai juga. Tiga hari tiga ma la m di rumah Sindangsari akan diselenggarakan pertunjukan yang pasti akan sangat menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. bukan saja dari padukuhan Ge mulung, tetapi juga dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Sedang pada hari kelima, bertepatan dengan boyongan penganten, di Kade manganpun akan diadakan peralatan yang serupa. "Na mun penghuni rumah yang kini sudah dihiasi dengan tarub itu sama sekali tidak mewarna i peralatan yang diselenggarakannya. Wajah-wajah mereka ta mpak sura m, betapapun mereka mencoba tersenyum dengan tetanggatetangga mereka yang telah me mbantu menyiapkan segala keperluan perkawinan itu. Meskipun de mikian seorang pere mpuan ge muk berkata kepada kawannya yang duduk di sa mpingnya "Lihat, bukankah Sindangsari sudah t idak menangis lagi" Meskipun wajahnya masih mura m, namun nanti, setelah ia tinggal di Kademangan, ia akan segera tersenyum. Pamot itupun akan segera dilupa kannya. Baru berapa hari anak itu pergi, Sindangsari sudah ha mpir melupa kannya" Kawannya mengerutkan keningnya. Jawabnya "Tentu, ia berpura-pura menolak, karena ia sudah terlanjur menyatakan cintanya kepada Pamot, supaya kelihatannya ia seorang gadis yang setia. Tetapi lihat saja, sebentar lagi ia akan menjadi Nyai Demang yang baik. Mungkin ia adalah gadis yang terbaik yang pernah menjadi isteri Ki De mang" "Apa yang baik pada gadis ini?" "Ia adalah gadis yang cantik" "Belum tentu seorang gadis yang cantik dapat menjadi seorang isteri yang baik. apalagi pada dasarnya Sindangsari tidak menyuka i Ki De mang" "Ia akan segera menyukai. Pakaian yang bagus, perabot rumah tangga yang lengkap dan kedudukan yang baik akan me mbuatnya menjadi seorang istri yang baik. Lebih daripada itu, melihat badannya yang segar dan berisi, ia akan dapat me mberikan seorang ana k atau lebih kepada Ki De mang" Tetapi kawannya mengerutkan keningnya. Dengan bersungguh-sungguh ia berbisik "Apakah begitu?" Kenapa isteri-isteri Ki De mang yang lain tidak pernah punya anak" He" suaranya menjadi semakin lirih "isteri-isteri Ki de mang yang terdahulu tidak pernah merasa bersalah karena mereka tidak punya anak. Apakah kau pernah berbicara dengan salah seorang dari mereka?"
"Tentu, tidak seorang pere mpuanpun yang mau mengakui, bahwa ia tidak a kan me mpunyai anak. sebagai seorang janda ia tentu akan menga la mi banyak kesulitan untuk dipinang orang, apabila ia tidak akan dapat me mpunyai anak. Mereka mencoba me le mparkan kesalahan kepada suami-sua mi mereka. Kepada Ki De mang misalnya" Kawannya tidak menyahut lagi, karena beberapa orang yang lain mende kati mereka dan me mbantu pula pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Demikianlah, maka ketika saat yang ditentukan tiba, hari itu adalah hari Soma Pahing, rumah Sindangsari menjadi sangat ramai. Obor-obor telah dipasang di regol halaman yang sudah diperbaiki. La mpu-la mpu minyak yang terletak diatas ajuk-ajuk ba mbu berserakan di seluruh halaman. Tarub janur kuning menghiasi segala sudut dan bahkan di depan tarub di tengah-tengah terikat sepasang tundun pisang, dua ikat padi, jagung dan dedaunan. Ke mudian di hadapan pintu depan tergolek sebuah pasangan lembu, sejembangan air dan bermaca m-maca m rangkaian upacara penganten. Peralatan yang diselenggarakan di rumah sindangsari itupun menjadi sangat meriah. Ibu Sindangsari tida k hentihentinya me mpersilahkan ta mu-ta munya duduk, menerima sumbangan berupa apa saja, kelapa, beras, dan sayursayuran, mempersilahkan mereka makan, ke mudian me mpersilahkan mereka pindah ke ruang depan. Tiga hari tiga mala m, rumah itu dihiasi dengan la mpula mpu minyak yang terang dan obor-obor di regol. Tiga hari tiga ma la m seisi rumah itu seakan-akan tidak tidur sekejappun. Ki De mang yang sudah untuk kesekian kalinya menjadi pengantin, untuk sepekan akan tinggal di rumah Sindangsari setelah di hari yang pertama ia menginjakkan kakinya sebagai me mpelai dila kukan segala maca m upacara adat.
Tetapi Ki De mang sendiri se la ma sepekan itu sa ma sekali tidak dapat beristirahat pula. Tamu-tamunya datang setiap saat dari segala penjuru Kademangan. selain itu, kawankawannya para Demang dan bebahu Kade mangan yang lainpun berdatangan pula untuk mengucapkan selamat. Kadang-kadang disuatu saat, di halaman rumah penganten perempuan itu terikat lebih dari sepuluh ekor kuda sekaligus. Kuda yang dibawa oleh para tamu yang datang dari luar Kademangan Kepandak. Namun Ki De mangpun kadang-kadang harus mengerutkan keningnya. Ada pula beberapa orang tamu yang kurang dapat menyesuaikan dirinya. Meskipun hanya sambil bergurau, namun ada diantara mereka yang berkata "He, Ki De mang di Kepandak, kau benar-benar seorang yang paling beruntung. Bukankah kau kali ini kawin untuk yang kesekian ka linya" Kau masih juga berhasil me mikat hati seorang perawan yang begitu cantik dan muda" Kawan-kawannya tertawa serentak, meskipun Ki De mang sendiri me njadi tersipu-sipu dan menegangkan keningnya. Tetapi betapa terkejutnya hati Ki De mang, ketika ia melihat beberapa ekor kuda memasuki regol hala man rumah Sindangsari. Ternyata yang datang itu adakah beberapa orang perwira dan prajurit Mataram. "Apakah yang mereka kehendaki" katanya di dala m hatinya yang berdebar-debar "Aku baru kawin. Agaknya ada sesuatu yang penting, sehingga beberapa orang prajurit datang sekaligus" Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh Ki De mang sendiri turun dari tangga rumah Sindangsari menyongsong kedatangan mereka. Tetapi Ki De mang itupun ke mudian berdiri termangumangu. Sebelum ia mene mui mere ka, ternyata ibu Sindangsari telah mendahuluinya.
"Nyai tidak mengabari ka mi" berkata salah seorang perwira. "Maaf kakang. Sebenarnya aku me mang tidak ingin mengabari siapapun juga" "Aku mendengar dari prajurit yang bertugas di Kademangan Ini untuk melatih para pengawal khusus yang masih tinggal dan me nurut pendengaranku akan ditambah lagi" "Tentu, tentu mereka mengetahuinya" Nyai Wiratapa berhenti sejenak, lalu "silahkan" Ketika Nyai Wiratapa berpaling, dilihatnya Ki De mang sudah berdiri di depan tangga rumahnya. "Itulah menantuku" desis Nyai Wiratapa. Para prajurit itu mengerutkan keningnya "Bukankah ia Demang di Kepanda k" "Benar. Orang itulah Demang di Kepandak" Beberapa orang perwira saling me mandang sejenak. Tetapi mereka tidak bertanya sesuatu. Meskipun de mikian Nyai Wiratapa telah dapat menebak isi hati mereka, sehingga tanpa malu-ma lu, bahkan seolah-olah ia mendapat saluran untuk menumpahkan perasaannya, iapun berkata "Jangan terkejut kalau menantuku terlampau la mbat kawin" "Apakah ia belum pernah kawin?" salah seorang dari prajurit yang datang itu bertanya. Tetapi kawannya segera mengga mitnya, sambil berbisik "Aku dengar perkawinan ini adalah yang keena m kalinya" Prajurit muda yang bertanya itu terkejut "He, bukankah Sindangsari itu anak Ki Wiratapa itu?" "Sst "kawannya berdesis. Prajurit muda itupun terdia m. Yang terdengar kemudian adalah suara Nyai Wiratapa "Marilah, silahkan ka lian masuk"
Para prajurit itupun ke mudian berjalan perlahan-lahan mengikut i Nyai Wiratapa setelah menambatkan kuda-kuda mereka. Na mun prajurit muda itu masih saja bertanya kepada kawannya yang terdekat "He mana mungkin Sindangsari kawin dengan seorang yang telah kawin untuk ke lima kalinya" "Jangan ribut. Hal itu sudah terjadi" "Kalau aku tahu, aku datang melamarnya meninggalkan Mataram" sejak ia
Para prajurit itupun kemudian diperkenalkannya dengan Ki Demang di Kepandak, me mpela i la ki-laki, menantu Nyai Wiratapa. Beberapa orang diantara para prajurit itu terpaksa menahan perasaannya, agar tertawanya tidak terloncat di bibirnya me lihat kejadian yang ganjil itu. Selain dengan Ki De mang, ma ka para tamu itupun diperkenalkan pula dengan Ki Reksatani dan Ki Jagabaya, yang seolah-olah menjadi pelindung Ki De mang sela ma Ki Demang menjalani masa-masa perkawinannya di rumah isterinya. di samping beberapa orang kepercayaan Ki De mang sendiri yang bertebaran disegala sudut hala man" "Mereka adalah kawan-kawan ayah Sindangsari Ki De mang berkata ibu Sindangsari. "O terima kasih. Terima kasih atas kunjungan ini" berkata Ki De mang. Para prajurit itu mengangguk-anggukkan kepa lanya. Seorang perwira yang tertua berkata "Kami sekedar datang untuk mengucapkan sela mat. Meskipun ka mi tidak diundang, tetapi kami adalah kawan-kawan baik Ki Wiratapa. Ki Wiratapa adalah seorang prajurit yang jarang ada duanya. Berani, tangkas dan me miliki ke ma mpuan untuk menghadapi persoalan yang tiba-tiba. Tetapi ia adalah seorang yang tidak me mentingkan diri sendiri, sehingga justru ia menjadi korban karena berusaha melindungi te man-temannya"
Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kunjungan kawan-kawan ayah Sindangsari itu merupakan suatu persoalan baru baginya. Ternyata bahwa pengaruh keadaan dan persamaan nasib di medan perang, telah me mpengaruhi hubungan para prajurit itu. Meskipun Ki Wiratapa sudah tidak ada lagi, na mun mere ka masih tetap bersikap baik dan akrab dengan keluarganya. "Aku harus me mpertimbangkan keakraban hubungan ini" berkata Ki De mang di dala m hatinya. Sehingga dengan demikian perlakuannya terhadap keluarga Sindangsaripun harus dipertimbangkannya pula. Tetapi tamu-ta mu itu tidak la ma duduk bercakap-cakap dengan ibu Sindangsari dan menantunya. Setelah mereka mendapat sekedar ja muan dan me ngucapkan se la mat kepada sindangsari sendiri, maka merekapun segera minta diri. "Ka mi baru me mpunyai banyak pekerjaan" berkata perwira yang tertua. "Kalian tidak pernah me mpunyai waktu terluang. Ka lian selalu mengatakan banyak pekerjaan" sahut Nyai Wiratapa. "Tetapi kali ini ka mi benar-benar me mpunyai banyak pekerjaan. Bayangkan, kami menerima anak-anak muda dari Kademangan di sekitar Mataram. Ka mi harus melatih mereka sebelum ka mi me milih siapakah diantara mereka yang dapat kami kirimkan ke medan" "Jadi kalian akan mengulangi serangan itu" Seperti yang dilakukan oleh kakang Wiratapa?" "Ya" "Ha mpir setahun yang lalu, dua ge lombang serangan telah gagal. Apakah sekarang hanya prajurit-prajurit dari Mataram saja yang berangkat"
"Tentu tidak" jawab perwira itu "kekuatan Mataram tidak berada di Matara m saja. Tetapi para prajurit di daerah pantai Utarapun akan berangkat juga" "Lewat laut seperti gelombang yang pertama ha mpir setahun yang lalu?" Perwira itu mengge lengkan kepa lanya "Kami tidak tahu. Apakah ka mi harus mengulangi lagi serangan lewat lautan, atau kami akan menga mbil cara lain" Nyai Wiratapa mengangguk-anggukkan kepalanya "Mudahmudahan kalian berhasil. Seorang ke mana kanku ada di dala m pasukan itu" "Dari Kepandak?" "Ya. Kalau ia ikut terpilih ke lak, aku titipkan ia kepada kalian" "Siapa na manya?" Nyai Wiratapa ragu-ragu sejenak. Dengan sudut matanya di sambarnya wajah Ki De mang yang tegang. "Siapa?" desak prajurit itu. Nyai Wiratapa menarik nafas dalam-dala m. Ia terlanjur mengatakannya kepada para prajurit itu oleh desakan perasaannya, tetapi ketika ia menyadari bahwa Ki De mang duduk diantara mereka, ia menjadi ragu-ragu. Meskipun de mikian ia tidak dapat menolak pertanyaan perwira itu, sehingga betapapun beratnya ia menjawab "Na manya Pamot " Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya "Pa mot" ia mengulangi. Namun na ma itu telah menggetarkan jantung Ki de mang. Apakah maksud ibu sindangsari itu" Kenapa ia masih saja menyebut-nyebut nama Pamot dihadapannya justru pada harihari perkawinannya" Dan kenapa mertuanya itu menyebut Pamot sebagai ke menakannya" Pertanyan-pertanyaan itu bergolak di dala m dada Ki Demang. Na mun ke mudian iapun dapat menga mbil kesimpulan bahwa bukan saja Sindangsari yang berkenan atas kehadiran Pamot di dala m ke luarga itu. Tetapi juga keluarganya. Seluruh ke luarganya. "Aku akan me mbuktikan bahwa aku adalah menantu yang baik" berkata Ki de mang di dala m hatinya. Ternyata prajurit yang bertanya itu sama sekali belum mengenal anak muda yang bernama Pamot. Karena itu katanya "Baiklah Nyai. Aku a kan mencari anak yang bernama Pamot dari Kepandak. Kalau ia ke manakanmu, aku berharap bahwa ia akan menjadi seperti pa mannya Ki Wiratapa" "Gugur dipeperangan?" bertanya Nyai wiratapa. "Tida k. Tidak. Ma ksudku, seperti Ki Wiratapa di dala m olah tata dan sikap keprajuritannya" Nyai Wiratapa menarik nafas dala m-dala m. "Sudahlah Nyai" berkata periwa itu "aku kini benar-benar minta diri. Aku dapat berbicara sa mpa i ma la m apabila aku lupa waktu. Tetapi ka mi harus segera ke mbali" Para prajurit itupun ke mudian meninggalkan rumah bekas sahabatnya yang telah gugur. Mereka masih juga saling me mpercakapkan, kenapa Nyai Wiratapa menga mbil menantu seorang yang telah beberapa kali kawin. "Aku kira Ki De mang itu agak menekan ke luarga kecil itu" tiba-tiba salah seorang berdesis. Kawan-kawannya mengerut kan keningnya "Mungkin. Hal itu me mang mungkin sekali. Tetapi kenapa Nyai Wiratapa tidak mengatakannya?"
Ching Ching 8 Gue Anak Sma Karya Benny Rhamdany Ilmu Ulat Sutera 10

Cari Blog Ini