Lupus Topi Topi Centil Bagian 1
Lupus - Topi-topi Centil Djvu by Syauqy_arr Download Ebook Jar Lainnya Di
http://mobiku.tk http://inzomnia.wapka.mobi
1. Topi-Topi Centil KAMU tau Lupus, kan" Nah, dia itu ternyata punya satu adik yang manis. Namanya Lulu. Umurnya lima belas tahun. Tapi dia sekarang sudah kelas satu esema. Dan menurut Lupus, Lulu itu termasuk anak yang centil, walau sedikit sentimentil. Hobinya di samping ngumpulin boneka, juga bermain orgen porta-sound sambil bernyanyi keras-keras. Itu suara udah kayak kaleng dipukul-pukul. Bikin tetangga pada step. Lagunya adalah lagu ciptaannya sendiri, Jangan Ditanya Ke Mana Boim Pergi... (lagian siapa yang nanya")
Dan kalau lagi iseng, sebagaimana biasaya cewek yang berjiwa romantis, Lulu juga suka bikin puisi. Tapi menurut Lupus, puisi-puisi Lulu benar-benar out of imagination. Benar-benar kacangan. Sampai merinding sendiri Lupus kalau baca puisi Lulu. Cuma satu karya masterpiece Lulu yang patut diketengahkan di sini. Yaitu puisi perpisahannya yang berjudul Jarum Patah. Isinya singkat :
Kalo ada jarum patah Siapa yang matahin" Tapi kamu harus hati-hati menghadapi makhluk kayak gini. Kalo tu anak sampai ngambek, wah - susah ngatasinya. Tujuh hari tujuh purnama mesti ngasih sesajen kembang setaman, mandi di tujuh sumur, jalan-jalan ke tujuh gunung, menyediakan tujuh rupa cokelat... dan tujuh-tujuh lainnya, kecuali nujuh bulanan.
Beneran kok. Saya nggak boong. Makanya hati-hati aja menghadipi makhluk kayak Lulu. Tapi meski tu anak minta ampun galaknya, sebetulnya dia anak yang manis. Apalagi kalo tersenyum wah... maniiiiiss sekali. Di sekolah aja banyak yang suka. Suka nyambitin, maksudnya... hehehe. Dan di sore yang cerah ini, anak manis itu lagi asyik berjalan kaki menelusuri jalan sendirian. Masih berseragam sekolah, dengan tas mungil yang ada gambar Lupus-nya. Itu memang sengaja Lupus gambar. Maklum, tu anak suka kege-eran sih, ngegambar wajah sendiri di mana-mana.
Sekedar informasi, Lulu emang masuk sekolah sore. Biasa, biar bisa gantian jaga rumah sama Lupus. Soalnya tu rumah kalo nggak dijagai, suka kelayapan ke mana-mana. Repot kan nyarinya" Dan meski bisa naik becak, Lulu lebih suka jalan kaki kalo pulang sekolah. Iitung- hitung olahraga. Tapi tujuan mulianya sih sebetulnya Cuma pengen ngeceng doang. Liat-liat pemandangan bagus, berupa cowok-cowok kece yang sedang lari sore, yang main sepatu roda atau bersepeda-ria.
Atau kalo kebetulan ketemu teman yang lagi dimarahin ibunya di depan rumah, Lulu suka mampir. Turut menyumbangkan rasa bela sungkawa.
"Santi memang keterlaluan, Nak Lulu," ungkap ibu Santi, teman Lulu yang sore itu kena giliran dimarahin di depan rumah, karena ulangan matematikanya ancur-ancuran. "Seharian suka maiiiin melulu. Pulang sekolah, tak langsung pulang. Entah main ke mana. Pulangnya malam. Besoknya pagi-pagi, bukanya belajar, malah bermain-main lagi. Bagaimana bisa pintar""
Santi hanya tertunduk dekat pagar.
"O, kalo saya pulang sekolah langsung pulang, Tante," ujar Lulu serius.
"Nah, dengar itu, Santi...," sela ibu Santi.
"Dan besok paginya juga jarang bermain-main, kecuali kalo lagi libur. Soalnya mami saya kerja, Lupus sekolah, jadi saya jaga rumah. Sambil baca-baca...," lanjut Lulu.
"Pasang telingamu baik-baik, Santi. Dengar sendiri apa kata temanmu!" sela ibu Santi lagi.
Santi makin menunduk. "Kalau di kelas juga, saya selalu mendengarkan apa yang diterangkan guru, Tante. Tidak pernah bermain-main."
"Kamu anak yang baik. Lantas, bagaimana hasil ulangan matematikamu, Nak Lulu" Dapat nilai sembilan""
Lulu diam sejenak. Memandang wajah ibu Santi dengan serius, "Tidak. Saya dapat nilai empat, seperti Santi."
Ibu Santi melongo. *** Dan pas sampai di rumah, Lulu langsung menghitung uang tabungannya di kamar. Wah, kayaknya sudah cukup nih, pikirnya senang.
Dia memang punya rencana dengan uang-uangnya itu. Andi, teman Lulu yang jago basket itu mau ulang tahun. Kedengarannya biasa saja, tapi tidak buat Lulu. Soalnya, si centil itu diam-diam emang naksir Andi. Andi yang suka pake topi pet yang lucu-lucu, Andi yang punya badan atletis, Andi yang suka me
ncuri-curi pandang ke arah Lulu kalo Lulu lagi nonton basket, Andi yang anak kelas dua, Andi yang pernah sekali menegurnya di perpustakaan. Wah, pokoknya kalo kamu tanya apa aja soal Andi, Lulu pasti dengan mata berbinar-binar menjelaskannya. Soalnya, katanya Andi juga naksir Lulu.
Dan sekarang Andi tersebut mau ulang tahun. Tentunya Lulu jadi mendadak sibuk sendiri. Memikir-mikir, kado apa ya yang paling tepat buat anak kece itu"
Tapi suatu ketika, saat Lulu sedang bermain-main di pusat pertokoan, Lulu melihat ada toko yang menjual topi-topi pet yang lucu-lucu. Yang bentuknya ada yang seperti topi pelaut, ada yang seperti topi jenderal, ada yang model detektif zaman dulu, yang merah, biru, hitam, kuning, wah... pokonya centil-centil deh. apalagi dengan ditempeli lencana yang lucu-lucu.
Lulu langsung ingat Andi. Andi yang juga suka pakai topi centil macam gitu. Wah, tentunya ini bakal jadi hadiah yang amat menarik buat dia.
Lulu langsung ngumpulin duit buat beli topi itu.
*** Minggu pagi, Lupus menjerit histeris ketika menemukan sebuah topi yang lucu, berwarna biru muda, di kamar tidur Lulu. Masih dibungkus plastik dan terletak rapi di meja belajar.
Dari dulu, Lupus emang kepingin punya topi kayak gitu, supaya nggak kepanasan kalo lagi ngejar-ngejar bis. Maka tanpa tanya-tanya sama Lulu, Lupus langsung membuka bungkusan plastik itu, dan berkaca sambil memakai topi biru muda. Ai, ai, si Lupus jadi tambah manis dengan topi pet mungil ini, pikir Lupus sambil berkaca.
Lalu ia pun berjalan berkeliling-keliling rumah dengan topinya. Kayaknya girang banget Lupus dengan mainan baru itu.
Sampai ketika Lulu baru pulang dari warung membeli bawang merah..
"Lupus!!! Kembalikan topiku!!!" teriak Lulu keras.
Lupus kaget. "Kembalikan! Lancang amat sih ngambil-ngambil barang orang. Harganya mahal, tau!!"
"O, ini topi kamu, tho" Pinjam bentar kenapa sih" Biasanya kamu juga suka pinjam kaus oblong saya!"
"Pokoknya kembalian," ujar Lulu sambil merampas topis dengan kasar, "Ini hadiah buat seseorang, bukan buat saya."
"Aduh, Lulu, sayang amat topi sebagus itu dihadiahkan kepada orang lain. Mending kamu hadiahkan ke saya aja. Saya pasti suka sekali."
"Enak aja." Lulu langsung membawa topi itu dan kembali membungkusnya di kamar.
Lupus Cuma gigit jari. *** Rasanya ada yang aneh. Besok Andi ulang tahun. Tapi kenapa sampai hari ini dia belum nyebar-nyebar undangan" Padahal bisanya, kata teman-teman, si Andi kalo ulang tahun seminggu sebelumnya sudah nyebar berita dan undangannya. Maklum, tu anak termasuk kaya juga. Katanya pernah, mau ulang tahun aja, nyewa tempat di Mandarin. Pakai diskotek segala.
Tapi sampai hari ini kok belum"
Ah, mungkin nanti sore, batin Lulu sambil kembali memasukan topi yang sudah terbungkus rapi ke dalam laci terkunci. Takut dicolong Lupus lagi. Lalu dia berangkat ke sekolah.
Sempat juga ketemu Santi sebelum masuk ke kelas.
"Eh, Lulu. Ini catatan kimia kamu. Sori kelamaan minjemnya, " sapa Santi.
Lulu menerima buku itu sambil memeriksa isinya. Jangan-jangan ada yang dicoret-coret Santi. Tiba-tiba, pluk! Sesuatu jatuh dari buku Lulu. "Eh, apaan tuh, San""
Santi memungut. "Oo, ini undangan saya. Untung nggak kebawa..."
"Undangan apa" Kenduri""
"Sori ya, emangnya kamu, hobi ke tahlilan" Ini undangan dari Andi."
"Andi"" "Iya. Dia kan ulang tahun besok. Kamu udah dapet undangannya" Berangkat bareng, yuk""
"Eng.. eh, anu... udah. Saya udah dapet kok..." Lulu gelagapan.
Santi pun pergi. Meninggalkan Lulu yang terdiam.
*** Sampai pulang sekolah sorenya, Lulu belum juga dapat undangan dari Andi.
Lulu nggak sedih. Dia Cuma jadi kesal sama Lupus.
"Sialan, kamu selalu beruntung, Pus! Topi centil itu untuk kamu," ujar Lulu setiba di rumah. Lupus bagai dapat rejeki nomplok, ketika Lulu melempar bungkusan topi ke arahnya.
"Beneran nih" "Saya lebih baik ngasih topi itu ke kamu, dari pada ngasih ke orang yang suka milih-milih teman kayak Andi. Huh!" sungut Lulu kesal.
"Wah, kamu baik sekali, Lu. Gimana balas jasanya nih"" ujar Lupus riang. Lalu dia pun langsung lari ke kaca besar. Mengagumi dirinya
yang tambah manis dengan topi biru itu.
Besok-besok, dia pasti nggak bakal kepanasan lagi kalo ngejar-ngejar bis.
"Si Andi kenapa emangnya, Lu" Nggak ngundang kamu ke ulang tahun""
Lulu Cuma diam. Tapi Lupus menangkap mata Lulu yang sedikit berair. Seakan menyimpan kekecewaan.
Lupus langsung menghibur, "Eh, kalo gitu malam minggu ini kamu ikut saya aja, Lu"
"Ngapain""
"Pokoknya sip deh. Itu lho, engkongnya si Gusur ngadain kenduri. Tadi siang sempet potong ayam sepuluh biji. Asyik, kan" Kita makan-makan..."
"Dalam rangka apa, Pus""
"Enggak tau. Mungkin nujuh bulanin si Gusur. Hahaha..."
Mau nggak mau, Lulu tertawa juga. Dan mereka pun segera rebutan ke kamar mandi, pengena cepat-cepat ke rumah Gusur. Soalnya telat dikit aja, pasti nggak kebagian makan. Maklum, di sana ada Boim, Gusur, Anto, yang napsu makannya pada gila-gilaan..."
2. Lupus Sakit SI Lulu ternyata gokil juga. Dia nekat bersandal-jepit-ria ke sekolahnya Lupus. Padahal maminya udah wanti-wanti ngebilangin, "Nanti perginya pakai sepatu ya, Lu" Jadilah anak yang manis." Tapi Lulu cuwek. Emang sih, dari rumah dia udah pake sepatu, tapi pas sampe di halaman depan, dicopot diganti sandal jepit swallow biru. Sepatunya dilempat ke kamar lewat jendela. Setelah itu berlarilah dia sekencang-kencangnya ke jalanan. Takut ketauan maminya.
Lulu emang paling hobi pake sandal jepit ke mana-mana. Dalam acara apa pun, dia selalu hadir dengan sandal jepit kesayangannya. Katanya, antara dia dan sandal jepit telah terjalin suatu hubungan batin yang maha dahsyat, yang tak seorang pun bisa memisahkan.
Makanya ke mana-mana Lulu selalu bersandal jepit.
Tapi kali ini, ngapain sih Lulu main-main ke SMA Merah Putih"
Tentu ada misinya. Kalo enggak, dia nggak bakalan segitu kurang kerjaanya main-main ke sekolah kakaknya itu. Lulu ceritanya, dipaksa-paksa si Lupus nganterin surat ke wali kelasnya, ngasih tahu kalo Lupus terpaksa dengan sangat menyesal tak bisa mengikuti pelajaran hari ini berhubung sakit. Tadinya Lulu ogah. Tetapi setelah dirayu-rayu pake cokelat toblerone, akhirnya mau juga.
Pas istirahat, Lulu nongol di gerbang SMA Merah Putih. Melongok-longok sebentar, lalu nekat masuk ke dalam. Berjalan sesantai mungkin, agar tak menarik perhatian para makhluk yang ada di situ. Tapi...
"Ai... ai... anak siapan nih nyasar kemari""
Waduh ketauan juga. Lulu bego juga sih. Kenapa dia pake kaus merah" Kan jadi nampak menyolok sekali di antara anak-anak lain yang berseragam.
"Gile, mulus amat... jidatnya..."
Anak-anak cowok yang nongkrong dekat gerbang, kumat agresifnya.
"Coba itu liat jempol kakinya, kayak bet ping-pong."
"Eh, tapi manis juga, lho. Kenalan , yuk""
"Hei, perawan! Ada yang mau kenalan tuh! Si Kodri. Katanya, salam perkenalan paling hangat. Sehangat pantat pengorengan."
Lulu berlagak cuek. Padahal deg-degan juga. Entah kenapa, sandal jepit kesayangannya jadi keseret-seret, menimbulkan suara aneh mirip-mirip kentut.
"Doyo... baru digodai segitu aja kentut. Nggak biasa, ya""
Lulu jadi mendelik sewot. Memelototi mereka. Tapi mereka malah terpingkal-pingkal. Sialan!
Dan setelah tanya sana-sini, akhirnya sampai juga Lulu di depan kelas Lupus. Tumben anak-anaknya lagi pada ngumpul di kelas. Sibuk belajar fisika.
"Halo, permisi, Assalamualaikum, kulo nuwun! Bisa ketemu sama wali kelas IIA"" sapa Lulu pada seorang cewek yang duduk di dekat pintu kelas.
"Aiii... Lulu manis, apa kabar"" Boim yang duduk di pojok kelas berteriak ribut sambil melompat ke depan. Anak-anak lain serentak menoleh ke arah Lulu.
"Ngapain ke sini, Lu" Cari saya, ya"" ujar Boim kege-eran.
Anak-anak cowok lainnya pada merubung. Maklum, enggak bisa geliat barang bagus.
"Oto... ini to adiknya si Lupus jelek itu"" Aji menatap Lulu dengan pandangan tak berkedip. "Boleh juga. Paling tidak jauh lebih bagus dibanding Lupus. Siapa namanya tadi" Lulu, ya""
Lulu jengkel juga dirubung oleh cowok-cowok bawel itu. Dia langsung meninggikan suaranya, "Siapa di antara kamu yang jadi wali kelas ini""
Anak-anak saling berebut mengacungkan jari dengan noraknya.
"Saya!" "Saya!" "Bukan, saya!" "S aya!" "Jadi, kamu-kamu semua wali kelas IIA"" tanya Lulu lagi.
"Ya!" mereka menjawab serempak.
"Bagus. Kalo gitu saya nggak usah repot-repot mencari lagi. Gini ya, para Bapak Wali yang saya hormati, si Lupus jelek yang punya satu adik yang manis itu hari ini nggak bisa masuk sekolah, berhubung saki gawat."
Anak-anak pada kaget. "Sakit apa""
"Nggak tau ya," Lulu mengatur napas sejenak. "Pokoknya sakit. Dia nggak pesen sakitnya apa. Mungkin sakit hati" Entahlah, yang jelas anak itu sekarang lagi terkapar tak berdaya di tempat tidurnya, ditemani nyamuk-nyamuk kecil yang setia setiap saat. Kasihan deh, dia nggak bisa jaipongan seperti biasanya. Ini gara-gara kemarin abis manjat pohon jambu tetangga di saat hujan turun lebat. Wah, bego deh. tentu aja batang pohonnya jadi licin. Tapi si Lupus nekat manjat sampe tinggi sekali. Sampe suatu ketika ada petir menggelegar. Lupus kehilangan keseimbangan, dan mendarat mulus di tanah becek. Langsung deh semaput, nggak bisa bangun. Mungkin tangan dan kakinya patah!"
"Patah" Kamu serius, Lu"" Aji jadi kaget. Anak-anak yang lain pada ngerubung.
"Dua rius malah. Dan kamu tau, Im, ini untuk keempat kalinya Lupus pulang dengan tubuh dan baju penuh tanah begitu. Aji gile... tu anak emang bandel banget. Nggak kapok-kapok, manjatin pohon jambu tetangga. Oya - coba kamu tebak, Im, kalo si Lupus dekil itu selesai mandi di bak, apanya yang masih tetap dekil""
Boim ditanya begitu, langsung mengernyitkan dahi.
"Lho, kok malah main tebak-tebakan""
"Nggak apa-apa. Iseng-iseng berhadiah."
"Apanya, ya" Rambutnya""
"Salah!" "Bajunya"" tebak Gito.
"Lupus nggak pernah pake baju kalo lagi mandi," ujar Lulu.
"Abis apanya dong" Kukunya""
"bukan!" Nyerah deh, Lu. Nyerah."
"Bak mandinya," jawab Lulu penuh kemenangan. "Sekarang, gimana cara ngebedain kaleng bekas susu kental Indomilk sama kaleng susu kental cap Bendera""
Boim mikir lagi. "Gimana, ya" Bentuknya kan sama" Atau..."
"Fifi ikutan ngejawab dong, kok bengong aja""
"Ike lagi nggak mood main tebak-tebakan."
"Payah." "Abis cara ngebedainnya gimana, Lu"" kejar Boim. "Ya, baca aja mereknya. Bego amat si kamu, Im""
Suasana makin rame. Makin banyak yang merubung. Lulu jadi serasa penjual obat pinggiran jalan. Padahal tadi anak-anak kelas Lupus pada bela-belain nggak keluar main, cuma mau belajar fisika yang bakal ulangan abis keluar main ini. Tapi kini mereka lupa hanya karena ulah Lulu yang hobi ngocol itu.
Sampe tiba-tiba Poppi yang baru dateng dari kantor guru. Dan sempet kaget juga mendengar kabar tentang Lupus.
"Wah, yang bener, Lu. Pantes aja tu anak nekat nggak masuk. Padahal ada ulangan fisika, lho!" ujar Poppi.
"Sebagai temen setia, kita tentu menjenguk. Mungkin sepulang sekolah ini," kata Meta. Anak yang lain manggut-manggut setuju.
"Nggak nangka, tu anak bisa sakit juga," komentar Boim.
"Iya. pada jenguk aja. Kasihan lho, Lupus. Hiburlah barang sedikit. Mungkin penyakitnya akan cepat sembut dengan kedatangan kawan-kawan semua. Apalagi kalo ada bawa buah-buahan segar atau makanan lain. Cokelat, misalnya. Wah, pasti dia suka. Terutama adiknya yang manis itu. Pasti suka juga," ujar Lulu bersemangat.
"Iya-lah, nanti kita sama-sama ke sana. Tapi kamu bawa surat buat wali kelas, kan" Soalnya pasti nanti ditanyakan Mr. Punk," tanya Poppi.
Lulu segera menyerahkan surat yang dibawa-bawa sejak tadi.
Setelah itu dia pun permisi. Balik lagi ke rumahnya.
*** "Sukses, lu""
"Sukses besar. Bayangkan, anak-anak sekelas kamu pada kaget semua demi mendengar kamu sakit. Wah, hebat ya saya bersandiwara. Sakit pada terpengaruhnya, mereka sapai pada sepakat bakal datang menjenguk nanti siang."
"Apa"" Lupus yang lagi asyik mencoret-coret buku gambarnya terlonjak. "Mereka mau ke sini""
"Iya." "Aduh, Lulu bego, kenapa kamu biarkan mereka mau kemari" Kamu cerita apa aja sama mereka, heh""
"Wah, macem-macem," sahut Lulu sambil mengambil kursi di depan Lupus. "Pokoknya untuk meyakinkan mereka bahwa kamu bener-bener terkapar tak berdaya di tempat tidur, nggak bisa ikut ulangan fisika gara-gara kaki dan tanganmu patah."
"Tangan saya pat ah"" "Iya." "Anak jelek! Kamu kan nggak usah mengarang cerita sedahsyat itu untuk meyakinkan mereka kalo saya bener-bener sakit!" Lupus ngotot.
Lulu diam "Abis udah terlanjur..."
"Kamu sih jadi anak bego banget!"
"Kamu juga bego. Kamu kan Cuma memberi instruksi untuk meyakinkan temen-temen kamu kalo kamu serius sakit dan mengantarkan surat sakit. Semua udah saya kerjakan. Apa lagi""
Ya, apa lagi" Lupus bener-bener bingung. Soalnya kamu tau, Lupus itu sebenernya nggak sakit. Dia cuma pura-pura aja. Kemarin itu ceritanya Lupus sehari semalam bantuin maminya bikin adonan kue pesanan pesta. Jadi besoknya, dia bener-bener nggak siap ulangan fisika. Langsung aja dia merayu-rayu maminya minta dibikinin surat sakit, "Tolonglah, Bu. Saya bener-bener nggak siap buat ulangan kali ini. Saya mau ikut ulangan susulan aja. Salah ibu sendiri, kan, kenapa nyuruh-nyuruh saya bikin kue" Ayo dong, bu..."
"Lho, ibu kira kan kamu nggak ada ulangan fisikan besok harinya" Lagian, kenapa kamu nggak memberi tau dari kemarin-kemarin" Kan ibu bisa nyuruh yang lain..," bela maminya.
Lupus cengar-cengir. Sebetulnya emang dia yang kepingin banget bantuin bikin kue. Soalnya, biar bisa sambil mencicipi. Dia kan suka sekali makan kue. Dan kemarin itu, dia berusaha belajar sambil bikin kue, tapi ternyata banyakan kue yang masuk ke mulutnya daripada pelajaran fisika yang masuk ke otaknya.
Walhasil, pagi-pagi sekali setelah mengantar pesanan kue, Lupus merengek-rengek minta dibikinin surat.
Maminya iba juga. Maka dia mengabulkan, "Untuk sekali ini saja, ya" Lain kali tidak."
"Terima kasih, mami tersayaaaang...,"jerit Lupus kegirangan.
Tapi sekarang" Huh, gara-gara Lulu.
*** "Lupus... teman-temanmu sudah datang!" jerit Lulu tertahan, ketika Lupus sibuk memoles-moles luka boongannya dari lutut kaki sampai jempol.
Lupus pun langsung melompat ke tempat tidurnya.
"Kamu harus berlagak sakit parah, Pus. Ekspresi muka kamu dibikin memelas, kayak Boim kalo lagi mau ngutang, " bisik Lulu.
"Iya, saya tau!" teriak Lupus jengkel.
"Ssst... nanti mereka mendengar!" Lulu pun berlari-lari kecil ke depan. Menyambut teman-teman Lupus yang datang bawa buah-buahan dan kue.
Ide gila-gilaan ini memang datang dari Lulu. Walau jengkel setengah mati, Lupus toh tak punya pilihan lain. Harus berlagak sakit parah.
"Lumayan kan, Pus, Kita bakal dapet kiriman makanan gratis."
Lupus saat itu cuma cemberut.
Tapi rupanya cobaan bagi Lupus tak hanya sesederhana itu. Sebab beberapa menit kemudian, Lulu muncul lagi dari balik pintu.
"Pus, Pus, gawat, Pus."
"Ada apa lagi""
"Mr. Punk juga datang menjenguk!"
"Mr. Punk""
Lupus jadi pingsan beneran.
*** Ketika Lupus siuman, wajah Mr. Punk nampak dekat sekali dengannya. Sementara teman-teman lain pada ngerubung. Siang itu mami Lupus memang lagi pergi. Cuma ada Lulu doang.
"Tenanglah, Puz. Istirahatlah. Bapak doakan zemoga lekaz zembuh," ujar Mr. Punk.
Setelah itu, Mr. Punk pun minta diri (emangnya tadinya siapa yang pinjem"). karena ada tugas yang harus dikerjakan. Lupus mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Setelah itu satu persatu anak-anak menyalaminya. Di situ, seperti biasa, ada Poppi, Boim, Fifi, Gito, Aji, Meta, Ita, Utari,dan Gusur. Anak yang lain kirim salam aja, berhubung mobil Gito dan Poppi nggak muat.
Mr. Punk pun diantar pulang oleh mobil Poppi.
"Ah, sayang sekali kamu sakit, Pus. Kita-kita padahal hari ini mau rencana ke Puncak, ngerayain ulang tahun Meta. Renananya memang cukup mendadak," ujar Aji setelah suasana tenang.
"Ulang tahun Meta" Wah, selamat, Met, saya lupa," kata Lupus.
"Trims. Sayang ya, kamu nggak bisa ikut. Abis mau diundur nggak bisa lagi sih. Takut nggak ada izin dari ibu. Oya, kata anak-anak, ini juga sebagai syukuran karena dibatalkannya ulangan fisika tadi."
Batal ulangan" Lupus kaget setengah mati. Jadi...
Tapi sudah terlanjur. Lupus jelas tak bisa ikut ke Puncak. Di samping statusnya masih dianggap sakit gawat, dia juga nggak bisa ninggalin Lulu sendirian sampe malam. Soalnya, maminya baru pulang deket-deket tengah malam. Tapi kalo makan-makan di Puncak, wah - ini tawaran
menarik. "Kalo gitu selamat istirahat aja deh, Pus. Nanti saya ceritai sepulang dari sana," ucap Boim setengah berolok.
"Iya - kamu tenang-tenang aja di rumah, ya"" tambah Fifi meracuni.
Lupus mulai ragu. "Yaaa... saya gimana, dong""
"Ya, gimana" Kamu kan jelas nggak bisa ikut" Kamu sendiri kan bilang begitu""
"Dipaksa dong, masa langsung nyerah begitu"" rengek Lupus.
Anak-anak bengong. Lho, udah nggak bisa, kok malah minta dipaksa"
"Ayo dong, paksa! Ntar saya mau, deh!"
Dengan heran, anak-anak pun memaksa Lupus ikutan. Lupus langsung mau, walau tadinya malu-malu.
"Tapi, kamu nanti nggak kenapa-kenapa"" Poppi agak cemas.
"Nggak," Lupus menjawab kalem, lalu berteriak, "Luluuuuu... ogut diajak ke Puncak. Kamu jaga rumah, ya""
"Ikuuuuut!" suara Lulu tak kalah keras.
"Rumah siapa yang jaga""
"Kunci aja. Ibu kan bawa kunci serep juga!"
Dan anak-anak pun terbengong-bengong ketika dengan cekatan Lupus bangun, mengganti baju dan menyiapkan jaketnya.
"Jadi kamu, Pus..." Boim tercengang.
Hahahaha... Lupus terpingkal-pingkal.
*** Beberapa jam kemudian, Lupus cs asyik nyanyi-nyanyi di mobil Gito dan Poppi. Rame-rame menuju Puncak. Lulu nggak ketinggalan ikut di situ. Di jalan, mereka ketemu sapi-sapi yang pada nyebrang. Busyet baunya. Apalagi kotorannya.
"Im, kalo seumpama di tengah jalan begini kita nemu tai kebo, mau nggak kalo dibagi dua"" cetuk Lupus tiba-tiba.
"Enak aja. Nggak mau dong!"
"Wah, kamu serakah dong kalo gitu. Mau dimakan sendiri!"
Boim bengong. Telmi dia. Anak-anak lain pad terbahak-bahak.
Ha ha ha. 3. Ayam-ayam Arisan Lupus menarik napas lega.
"Huh, akhirnya selesai juga!" ujarnya sambil merentangkan kedua tangannya. Lalu cepat-cepat mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan di lantai. Sementara Anto dan Boim masih sibuk menulis sesuatu.
"Kayaknya saya mau balik duluan, Nto!" ujar Lupus sambil memasuk-masukkan buku ke dalam tas.
"Wah, tungguin saya dong. Saya mau nebeng nih sampe rumah," ujar Boim.
"Sampe rumah siapa""
"Rumah gue dong. Masak rumah tetangga""
"Itu namanya nganter, bukan nebeng!" gerutu Lupus. "Dan berhubung kamu bukan pacar saya, maka saya menolak mengantar kamu. Wassalam."
Pada saat itu, maminya Anto masuk, dan membawa sepiring kue bikinannya. Lupus jadi ragu-ragu mau pulang.
"Katanya mau pulang duluan, Pus. Sana, gih!" usir Boim kejam.
Lupus mencibir, "Sori, terpaksa ditunda."
"Lho, mau ke mana, Pus" Kok buru-buru"" sapa maminya Anto.
"Anu, Tante. Lupus harus cepat-cepat pulang. Kucingnya mau beranak, jadi dia harus bertanggung jawab!" jawab Boim spontan.
Lupus melotot, Boim dan Anto ketawa.
"Pada nginep sisi aja, Pus, Im. Tante bikin kue banyak, lho!" tawar maminya Anto.
"Wah, makasih, tante. Yang ini aja saya bawa. Buat oleh-oleh," ujar Lupus sambil mencomot kue di piring.
"Bawa aja semuanya, Pus," ujar maminya Anto seraya memberikan plastik kepada Lupus. Lupus dengan semangat memasukkan kue itu ke kantung plastik. Semuanya, sampai tak tersisa. Boim jelas Cuma bisa bengong aja.
"Lho, jatah untuk saya mana, Tante"" protes Boim.
"Kamu kalem aja, Im," ujar Lupus. "Itu di oven yang belum matang masih banyak. Paling telat, besok pagi juga udah matang. Sementara menunggu kue itu matang, kamu gigit-gigit aja ujung bantal. Lumayan, kan" Dan jangan lupa berdoa semoga kuenya nggak pada gosong!"
Lalu Lupus buru-buru keluar kamar.
"Yuk ah, Nta. Saya pulang. Makasih ya, Tante, kuenya..."
"Kamu bener-bener nggak mau nginap, Pus"" kok buru-buru"" sapa maminya Anto.
"Makasih deh, Tante. Saya tiap pagi ada kewajiban sih. Jadi nggak bisa nginep," jawab Lupus sopan.
"Kewajiban apa""
"Ngasih makan ayam, tante. Kalo telat dikit aja, ayam-ayam saya suka pada ngambek. Pernah suatu kali saya telat ngasih makan, akibatnya itu ayam pada mengadakan aksi unjuk rasa. Pada mogok makan. Kalo saya ke kandang, dicuekin. Nggak ada yang negro..."
Maminya Anto tertawa. "Ada-ada saja."
"Iya, Tante. Ayam-ayam saya memang suka mengada-ada saja. Kalo sore hari lagi pada ngumpul, mereka saring main tebak-tebakan. Misalnya, apa bedanya bis umum dengan telepon umum" Nah, Tante pasti ka
n nggak bisa jawab" Begitu pula dengan saya yang saat itu kebetulan ikut mendengar. Saya penasaran pengena tau jawabannya. Maka saya tungu terus sampai si ayam yang ngasih tebakan itu menjawab. Dan ternyata jawabannya begini, Kalo bis umum dinaikin orang bisa penuh, sedang telepon umum kalo mau pake harus diangkat dulu gagang teleponnya. Coba aja, Tante, apa hubungannya" Memang ada-ada saja tu ayam..."
Setelah ngoceh begitu, Lupus pun bersepeda-ria pulang ke rumahnya.
*** Lupus emang punya peliharaan beberapa ekor ayam. Ayam-ayam itu dibikinkan kandang di halaman belakang. Di bawah pohon jambu yang rindang. Tiap pagi, mereka dapat jatah makan.
Ayam-ayam itu sebagian dibeli Lupus dari tukang ayam yang lewat waktu masih kecil-kecil. Harganya murah, Cuma gocap. Kadang-kadang ditukar botol juga mau. Sebagian lagi, ayam yang cewek, dibeli murah dari peternakan ayam dekat pasar.
Pada awal-awalnya sih, Lupus rajin amat memelihara tu ayam. Dikasih lampu biar angket, dibeliin makanan yang enak-enak, dikasih obat dan lain-lain. Dan ayam-ayamnya pun dikasih nama bagus-bagus. Yang cowok ada yang bernama Boim, Gusur, Anto, Aji, Gito, dan yang cewek bernama Fifi, Yanti, Wati, Ita, Meta, Nyit-nyit. Wah, pokoknya bagus-bagus deh. Lupus aja sampe salut sendiri.
Lupus Topi Topi Centil di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi dasar Lupus, lama-lama dia bosen juga memelihara ayam. Mulai deh tu ayam dibiarkan Lupus cari makan sendiri. Si Boim, ayam yang paling item sendiri, sempat protes. Dengan aksi mogok makannya. Tapi Lupus cuek, "Sebagai ayam, harus belajar bertanggung jawab, dong. Kalian kan udah pada gede-gede. Masak nggak bisa cari makan sendiri"" hardik Lupus di depan ayam-ayamnya yang pada cemberut. Terus terang, di depan ayam-ayamnya, Lupus ternyata punya wibawa yang gede juga. Hingga ayam-ayam itu akhirnya pada nurut.
Tapi pas sore-sore. Lupus jadi kerepotan sendiri. Terpaksa harus nangkepin ayam-ayam itu. Mana pada bandel-bandel, lagi. Apalagi ayam cewek yang bernama si Fifi. Itu ayam paling centil, paling susah ditangkep.
Walhasil, tiap sore Lulu dapat tontonan gratis ngeliatin tingkah Lupus yang berkejar-kejaran dengan ayam-ayamnya. Mending kalo cuma satu, ini mah lebih dari lima belas ekor. Dan kadang yang sudah masuk kandang suka berusaha keluar lagi sambil berkaok-kaok ribut meledek Lupus.
Dan pagi itu, Lupus nampak sudah rajin bangun pagi. Sibuk memberi makan ke ayamnya yang berkaok-kaok. Hari ini mereka semua nyaris berumur dua bulan. Yang dulu nampak imut-imut, sekarang sudah mulai kelihatan jeleknya. Apalagi si Gusur, sudah mulai genit menggoda ayam tetangga.
"Wah, sudah gede-gede. Sudah waktunya dipotong ya, Pus"" cetus Lulu yang pagi itu iseng ikut ke kandang bersama Lupus. Lagaknya kayak panglima perang memerikasa barisan.
"Enak aja! Saya capek-capek memelihara dari kecil, udah gede mau dipotong!" bentak Lupus.
"Lha, abis mau diapain" Dikasih makan terus sampe bangkotan""
"Pokokmu nggak boleh dipotong! Titik."
"Ya, kalo gitu disate aja."
"TIDAK!!!" "Ya, kalo gitu jangan dipotong."
*** Tapi ternyata Lulu memang bener-bener keterlaluan. Dua ekor ayam Lupus nekat dipotongnya, ketika Lupus pergi nginap dua malam di rumah Anto. Padahal Lulu sudah dipesan, wanti-wanti untuk tiap pagi dan sore memberi makan ayamnya, bukan malah memotongnya.
Lupus jalas gusar. "Pokoknya Lupus nggak bisa terima! Si Fifi dan si Gusur harus hidup lagi!!!" teriak Lupus sore itu.
Ibu Lupus geleng-geleng kepala mendengar jeritan Lupus. Dengan sabar dia berusaha menengahi.
"Lulu sebenarnya tak terlalu keliru. Dua ayam itu nampaknya sakit. Bengong terus. Seperti sudah mau mati. Daripada yang lain ketularan sakit, lebih baik dipotong saja. Lumayan, menghemat uang belanja."
"Alaaaah, itu kan cuma alasan dia, Bu. Lagian siapa bilang kalo ayam bengong itu mau mati" Siapa tau lagi jatuh cinta" Saya tau, si Lulu kemarin ngundang-ngundang temanya untuk acara arisan. Iya, kan""
"Enggak, Pus. Ibu benar, kok. Bukan karena arisan itu. Ayam kamu memang lagi sakit," elak Lulu.
"Iya. Ibu lihat sendiri kok, ayam kamu sakit," tambah ibunya.
"Bohong. Bohooooong!" Lupus berteriak-teriak kesal. Lalu
keluar dengan sepeda balapnya. Menghilang entah ke mana.
Lulu dan ibunya saling berpandangan. Ada tatapan sedih di mata Lulu. Tapi ibunya tersenyum menenangkannya. Merangkul pundak Lulu dan mengajak masuk.
** Besoknya, Lupus hampir tak percaya ketika memberi makan ayamnya, si Anto dan si Wati terkapar tak berdaya. Mati. Tidak ada tanda-tanda dibunuh atau disembelih. Lupus mencoba membangunkan, jangan-jangan lagi tidur. Tapi tetap tak bergerak.
"Oh, kenapa kalian"" bisik Lupus sedih. Tenggorokannya terasa kering. Matanya sedikit berair.
Lalu diam-diam Lupus mengangkat kedua ayam itu, dan menguburkan di kebun belakang. Dari jendela kamar, Lulu sempat menyaksikan kejadian itu. Lulu ikut-ikutan sedih juga. Bukan hanya karena geliat Lupus sedih, tapi juga karena Lupus nggak mau ngomong dengannya sejak kejadian kemarin itu.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, besok harinya Lupus kembali mendapatkan tiga ekor ayamnya terkapar tak bergerak. Oh, malapetaka apa ini" Kenapa mendadak semua ayam Lupus kompak pada mati" Apa Lupus salah ngasih makan" Atau..
Lupus hampir menangis. Tidak, dia tidak akan menuduh Lulu meracuni ayam-ayamnya. Lulu tak sejahat itu. Lantas kenapa"
Apa memang ayam-ayam terkena wabah penyakit menular, seperti yang pernah Lulu dan ibunya bilang"
Ada setitik penyesalan. Penyesalan karena dia pernah berkata kasar pada Lulu dan ibunya. Penyesalan karena dia tak mempercayai kata-kata Lulu dan ibunya.
Dan sore itu, Lupus kembali membuat lubang secara diam-diam di kebun belakang untuk mengubur ayam-ayamnya yang malang. Lalu dia duduk sendirian di kebun itu. Hatinya sedih. Ibu Lupus bukan tak mengetahui hal ini.
"Memang menyakitkan sekali kalau harus kehilangan sesuatu yang kita miliki. Yang kita sayangi. Yang kita pelihara sejak kecil...," suara pelan ibunya mengagetkan Lupus.
Lupus menoleh, dan berusaha menyembunyikan air matanya.
"Tapi kamu harus rela. Ayam-ayam yang kamu pelihara, bukan jenis bibit unggul. Ayam-ayam itu ayam afkiran. Jadi amat mudah kena penyakit. Apalagi kalo memeliharanya kurang cermat. Dan resiko kita kalau pelihara ayam, satu kena penyakit, mudah menular ke yang lain," lanjut ibunya.
Lupus masih diam. Tak mampu berkata-kata.
"Ibu bisa merasakan kesedihanmu. Ibu tau, betapa gembiranya kamu waktu pertama kali bisa membeli beberapa ekor anak ayam. Lalu kamu membuatkan kandang untuk mereka, dan terus memeliharanya sampe besar. Tapi ketika sudah besar, Lulu malah menyuruh kamu memotongnya. Kamu tentu tak rela. Tapi tanpa harus dipotong, ayam itu akan mati juga. Kamu tak bisa memilikinya untuk selama-lamanya. Dan sebetulnya, itulah kehidupan, Pus. Untuk mendapatkan seteguk kenikmatan, kita kadang harus berjuang keras dan lama sekali. Setelah kenikmatan itu kita reguk, kita pun harus memulai dari bawah lagi. Mengulangi perjuangan yang sama. Begitu seterusnya.
"Makanya Lulu benar, Pus. Sebelum kamu kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil kerja keras kamu, nikmatilah sekarang. Mungkin sekarang memang saatnya kamu memotong ayam-ayammu sebelum mati sia-sia."
Lupus memandang ibunya. Hatinya mulai sedikit tenag.
"O ya, Pus, besok adikmu kan ulang tahun, kamu mau ngajak teman-temanmu kemari" Undang aja semuannya. Seperti siapa tuh" Boim, Gusur, Anto, Fifi...
*** Pagi itu Lulu bangun agak kepagian. Langsung membuka jendela kamar dan menuju kaca besar sudut kamar. Hehehe, hari ini umur saya tambah satu! Ungkap Lulu dalam hati. Tapi pandangannya lantas tertuju pada secarik kertas kecil yang tertempel di kaca. Lulu membacanya :
Halo, adik manis, kamu masih idup"
Hehehe, selamat ulang tahun, ya" Sori waktu kemarin-kemarin saya sempet sebel sama kamu. Tapi sekarang enggak kok. O ya, kamu mau dikasih kado" Nah, kao dari saya, kamu boleh memotong ayam-ayam saya yang masih hidup untuk perayaan ulang tahun kamu. Serius.
Sebelum berpisah, saya punya tebakan. Tebak, ya" Buah apa yang kulitnya ada di dalam"
Nah, silakan berpikir. Sampai ketemu di meja makan besok pagi. Dag!
Salam manis buat kamu yang manis, dari saya yang juga manis.
Lupus. Lulu berteriak-teriak girang. Dia langsung ke kamar L
upus. Rasanya nggak sabar menunggu saat sarapan di meja makan, untuk mengucapkan terima kasih.
"Pus! Pus! Bangun. Makasih ya buat ucapan selamat dan ayam-ayamnya!" ujar Lulu sambil mengguncang-guncang tubuh Lupus.
Lupus terbangun, dan mengucek-ngucek mata dengan heran, "Apaan, Lu""
"Itu, makasih buat ucapan selamat kamu. Juga buat ayam-ayamnya..."
"Oo." "Terus soal tebak-tebakan itu, jawabnya apaan sih""
"Kamu nggak tau""
"Enggak." "Gampang kok. Buah yang kulitnya ada di dalam itu adalah buah yang menyalahi kodrat... Hahahaha..."
Lupus tertawa terpingkal-pingkal. Lulu juga.
Tinggal ayam-ayamnya yang pada bengong. Saling berpandangan heran.
4. Hari Paling Sial dalam Hidup Nyit-nyit
BOIM jatuh cinta lagi. Nggak heran memang. Anak ini emang hobi banget jatuh cinta. Sama siapa aja. Kambing pun kalo dibedakin, dikasih lipstik, bisa-bisa ditaksir Boim.
Tapi kali ini, katanya, jatuh cintanya serius. Nggak kayak yang dulu-dulu. Cintanya terpendam sudah cukup lama. Sejak pertama masuk SMA Merah Putih ini. Dan, cewek yang ketiban malapetaka kena taksir Boim, nggak lain dan nggak bukan adalah Nyit-nyit. Teman sekelas Lupus juga. Nyit-nyit. Nama benerannya sih Yunita. Ciri-ciri, selain punya anatomi tubuh yang mirip-mirip kunyit, cewek manis ini hobi banget pake kaos kaki bola. Lucu memang. Tapi Boim cinta.
"Kayaknya sih udah ada tanda-tanda, Pus," celoteh Boim penuh semangat kepada Lupus.
"Tanda-tanda apa" Tanda-tanda bakal ditolak"
Boim cemberut. Dongkol Lupus menyembunyikan senyum, sambil pura-pura nyeruput teh angketnya. Anak-anak yang lain juga banyak yang jajan di kantin. Saat itu emang jam istirahat.
"Gimana ya, Pus, pendekatan selanjutnya," lanjut Boim. "Soalnya sulit juga, mau sering-sering main ke rumahnya, enggak enak sama orang-orang di rumah. Naga-naganya sih ibu bapak, dan tetangganya pada nggak merestui. Cuma pembantunya aja yang kelihatan setuju."
"Ya, udah. Kamu pacaran aja sama pembantunya."
Boim cemberut lagi. Anto, Aji, yang kebetulan nguping, sempat ngakak.
"Serius dong, Pus. Saya butuh saran kamu. Gimana ya bisa pacaran tanpa keluar modal banyak" Soalnya belakangan ini saya lagi cekak."
"Ajak aja jalan-jalan ke museum. Murah kok, Cuma gocap. Sepi lagi..."
Dengan dongkol, Boim ngeloyor keluar kantin. Begitulah kebiasaan jeleknya kalo lagi ngambek. Suka pura-pura lupa ngebayar makanan. Anto, Lupus, Aji, dan nggak ketinggalan Gusur, ketawa bareng di kantin. Sedang Boim dengan judesnya membuang muka pura-pura cuek.
Abis ketawa, anak-anak pada laper. Gusur langsung pesen telor asin sama nasi setengah. Setengah bakul, maksudnya. Soalnya napsu makan doi emang dahsyat sekali. Sedang Anto sibuk nyari goreng-gorengan.
"Goreng-gorengannya mana lagi, Bu" Kok cuma pisang goreng aja" Nggak angket, lagi. Mana kecil-kecil...," ujar Anto cerewet.
"Oto, mau yang gede" Ada tuh. Penggorengan. Ditanggung angket, deh," cetus Lupus ngebelain Bu Kantin. Anto pura-pura nggak denger, sambil sibuk nyomot pisang. Matanya iseng jelalatan ke dinding kantin yang ditempeli poster-poster pengumuman.
Di dekat kaleng kerupuk, segerombolan anak-anak lagi pada asyik berkerumun. Kayaknya di dinding ada pengumuman baru. Anto langsung tertarik. Berdiri dan menghampiri. Lupus dan Aji ikut-ikutan. Beberapa detik kemudian, mereka bertiga ikut-ikutan berdesakan di antara bau keringat anak-anak. Asyik membaca pengumuman.
Ternyata, tentang rencana anak-anak Bio berstudy-tour-ria ke Kebun Raya Bogor.
*** Kesempatan emas itu jelas tak disia-siakan Boim. Soalnya hampir semua anak-anak kelas Lupus, kelas IIA2, ikutan. Termasuk Nyit-nyit. Selama di perjalanan, tentu terbentang luas kesempatan Boim untuk mengadakan aksi gerak cepat mendekati Nyit-nyit. Sukur-sukur bisa duduk sebangku.
Maka hari itu, hari keberangkatan mereka ke bogor, Boim dandan manis sekali. Rambut diminyaki, jenggot yang muncul dengan malu-malu dicukur, dan tak lupa sisir merah lima ratus perak nongol di saku celana belakangnya. Buat jaga-jaga kalo ada angin nakal yang bakal menyibak rambutnya. Malah di rumah, hampir aja dia nekat pake minyak goreng, ketika nya
ri-nyari minyak wangi nggak ketemu.
Lupus, Anto, Aji, Fifi dan semua (nggak ketinggalan Gusur yang anak bahasa!), juga sudah asyik ngejogrok di dalam bis carteran. Ribut nyanyi-nyanyi. Anak-anak ini emang paling bahagia kalo ada acara piknik. Bisa gila-gilaan sepuas-puasnya. Dan, belum lagi bis besar itu masuk jalan tol, lupu sudah sibuk dengan tebak-tebakannya.
"Ayo, anak-anak. Coba sebutkan tiga peristiwa monyong. Siapa bisa jawab, saya traktir jajan es lilin di Kebun Raya. Ayo... siapa cepat, dia dapat. Iseng-iseng berhadiah... hehehe."
Anak-anak yang kompakan duduk di bangku bis paling buncit, sibuk mikir. Artis kita Fifi Alone, yang saat itu pakai baju berenda-renda kayak artis safari, nggak mau keduluan ngasih jawaban. "Ike tau. Kapal terbang konkord kejebur got!" teriaknya nyaring. Artis kita ini emang daya pikirnya cekak banget. Suka ngejawab sembarangan.
"Salah!" sahut Lupus.
Fifi nyengir. Katanya sih, biar aja salah, yang penting penampilan.
"Tiga ekor anjing pudel lagi berantem!" cetus Anto.
"Salah! Udah deh, pada nyerah aja, ya" Ntar saya kasih tau jawabannya."
"Ogah! Nanti dulu," anak-anak masih penasaran.
"Yaaa... nyerah aja deh!" rengek Lupus, dan dia langsung berdiri untuk segera memberi tau jawabannya. "Jawaban yang benar, saudara-saudara, Bokir nai bemo ketemu Dono. Tepuk tangan untuk saya, plok-plok-plok!"
Anak-anak nggak ada yang tepuk tangan.
"Ike juga punya tebakan," cetus Fifi dengan gaya artisnya. Mengais-ngais rambutnya yang sengaja dibikin mirip Farah Fawcett. "Tebak ya, teman-teman. Gede, item, bau tapi lincah. Ayooooo, apaan!"
Anak-anak serentak menoleh kepada Fifi. Pada nggak tau.
"Nggak bisa negak, ya" Jawabannya mudah, Idi Amin di Stardust.... Horeeee, seratus untuk ike...!"
Anak-anak keki. Fifi Alone langsung kena sambit kulit kacang. Bosan main tebak-tebakan, anak-anak pun mulai nyanyi-nyanyi. Lagunya seperti biasa... dang-dut. Lupus sama Gusur yang main gitar. Lupus main di kunci C, sedang Gusur main di kunci G. Jadinya memang aneh. Tapi anak-anak yang nyanyi juga pada ngaco. Walhasil lagunya kemanaaaa, musiknya juga ke mana. Nggak kompak. Jalan sendiri-sendiri. Yang paling asyik sih si Anto, dengan gendangnya yang khusus dia bawa dari rumah.
Semua anak bergembira. Semua" Ooo, ternyata tidak. Ada makhluk yang lagi gelisah di pojokan. Siapa dia" Ternyata Boim. Di saat yang lain lagi asyik bercanda-ria, Boim malah gelisah mikirin gimana langkah-langkah yang harus diambil untuk ngedeketin Nyit-nyit. Itulah nggak enaknya orang yang lagi jatuh cinta. Gelisah terus.
"Im, tumben, kalem amat," tegur Anto.
Boim pura-pura nggak denger. Takut anak-anak lain menyadari kekalemannya. Pelampiasannya, dia jadi pura-pura sibuk ngebuka bekal. Nah, ini ada sekotak cokelat. Cokelat yang rencananya mau dikasihi ke Nyit-nyit. Soalnya, denger-denger, Nyit-nyit juga hobi makan cokelat. Tapi, gimana ya cara ngasihin ke dia, supaya nggak nampak menyolok di mata teman-temannya" Supaya nggak diledekin teman-temannya"
Aha, Boim dapat akal. Dia pun berdiri, dan berbasa-basi dulu menawarkan cokelatnya ke anak-anak yang duduk dekat Nyit-nyit. Soalnya, secara nggak langsung, cokelat itu kan bakal sampai ke tangan Nyit-nyit. Ini juga sekaligus untuk memperbaiki citranya di mata Nyit-nyit, bahwa ternyata Boim adalah anak yang baik. Nggak pelit, seperti yang sering diucapkan Lupus.
Meta, Ita, Utari, yang duduk di kanan kiri Nyit-nyit, tentu saja bagai mendapat rejeki nomplok. Langsung menyambut mesra cokelat yang disodorkan Boim.
"Ai... ai.. Boiiiim. Angin surga mana yang mengubah kamu jadi begitu baik hati sama kita-kita...," seru Ita nyaring.
Boim jadi tersipu-sipu malu.
"Hei, teman-teman, kita dapat rejeki, nih! Boim dengan baik hatinya nawarin kita sekotak cokelat. Siapa mau""
Tanpa menunggu aba-aba selanjutnya, Gusur, Lupus, Anto, Aji dan anak-anak lain segera menyerbu ke bangku Ita. Dalam beberapa detik saja, kotak cokelat milik Boim jadi kosong melompong, Boim jelas terbengong-bengong. Soalnya, kotak cokelat itu belum lagi sampai ke tangan Nyit-nyit.
Tapi anak-anak pada nggak peduli. Pada ng
gak tau niat suci Boim. Mereka malah sibuk berkemas-kemas, ketika bis sudah keluar dari jalan tol, memasuki kota Bogor.
Lupus yang paling duluan melompat turun, langsung disambut hangat oleh seorang tukang jeruk. "Jeruk, Jang. Manis."
"Manis" Siapa" Saya"" Lupus nggak nyimak.
"Ini, Jang. Jeruknya. Kalo asem nggak usah bayar."
Lupus mengernyitkan kening. "Eng... kalo gitu saya ambil yang asemnya aja, deh!"
Tukang jeruk itu ngeloyor pergi.
*** Bukan hanya tukang jeruk, Boim pun merasa keki sekali. Pasalnya ya soal cokelat tadi. Dia mengutuki teman-teman dan dirinya yang bego. Kenapa ngasih cokelatnya nggak di tempat sepi aja" Supaya anak-anak yang lain nggak tau" Seperti sekarang misalnya, anak-anak lagi asyik menelusuri jalan-jalan setapak di Kebun Raya. Sambil asyik mencatat apa-apa yang dijelaskan sambil lalu oleh Bu Sut, guru Biologi.
Boim menyesal. Beberapa langkah di depannya, Nyit-nyit asyik bisik-bisikan dengan Ita. Sedang Lupus, Aji, Anto, Gusur, sibuk main kereta-keretaan. Lupus yang jadi lokomotif, mulutnya ribut ber-tut-tut-tut-tuuut. Kalo Bu Sut menoleh, mereka pura-pura sibuk mencatat.
Di bagian lain, Fifi Alone nampak mengobrol akrab dengan beberapa cowok kece yang ia temui di jalanan.
"Huh! SKSD Palapa juga tu anak!" cibir Ruri sinis.
"Apa tuh"" Suli nggak ngerti.
"Sok Kenal Sok Dekat Padahal nggak tau apa-apa," jelas Ruri.
Suli manggut-manggut. Padahal ia nggak ngerti. Sama seperti Boim yang sama sekali nggak nyimak Bu Sut yang sibuk berangin. Hatinya hanya tertuju ke Nyit-nyit yang manis. Nyit-nyit buah hatinya. Ooooh... tadi sebelum berangkat, Boim udah pesan wanti-wanti sama Lupus, supaya selalu siap sedia untuk menjepret dia, kalo kebetulan dekat dengan Nyit-nyit. Demi teman, Lupus menyanggupi.
Dan pas break makan siang, sekitar jam satuan, suasana nampak tenang dan santai. Secara perlahan tapi pasti, Boim beringsut-ingsut menghampiri Nyit-nyit, yang lagi asyik dengan bekalnya. Melihat moment bagus, Lupus langsung sigap. Pasang kuda-kuda.
Boim mendekat dan mendekat. Dan ketika Boim hendak berbasa-basi nawarin bekalnya, berupa semur jengkol favoritnya, suatu benda mirip-mirip karet menyengatnya tepat di dahi. Boim tersentak kaget, Nyit-nyit juga. Ita, Utari, Meta yang duduk dekat-dekat situ heran campur lucu.
"Siapa yang jepret gua"!"" hardik Boim kesakitan sambil memegang jidatnya. Lupus dengan spontan keluar dari persembunyiannya, dan mengacungkan jari. Anak-anak da yang ketawa, ada yang bengong.
Serta-merta Boim menyeret Lupus ke tempat sepi.
"Keparat, kenapa kamu jepret saya seenaknya" Cemburu ya, saya bisa deket-deket Nyit-nyit""
"Lho, kan disuruh kamu"" jelas Lupus tanpa merasa dosa.
"Disuruh"" Boim berpikir sejenak. Lalu...
"Bego, gue kan nyuruh lu jepret pake tustel, bukan pake karet!!"
Lupus setengah mati menahan senyum. Boim pergi sambil menyemburkan sumpah serapah.
Ternyata, meski pada awal-awalnya Boim ketimpa bencana terus, akhirnya toh dia berhasi menjalin hubungan yang menjurus mesra sama Nyit-nyit. Nggak percaya" Buktinya pas sore-sore, saat Bu Sut sudah menjelaskan ini-itu tentang tumbuh-tumbuhan, Boim kelihatan jalan berduaan sama Nyit-nyit. Ngobrol,bercanda meski masih nampak malu-malu. Lupus saja sampai heran.
Kemesraan itu berlanjut ketika Boim dan Nyit-nyit duduk sebangku di bis yang mengangkut mereka ke Jakarta. Ita, Meta, Utari, yang sobat lengketnya Nyit-nyit, mengumpat-ngumpat karena terpaksa harus pindah duduk. Mereka-mereka ini, di samping memang pada dasarnya sebel sama Boim (meski udah disogok cokelat!), juga sebel sama Nyit-nyit yang mudah jatuh di pelukan dada begeng playboy cap duren tiga.
Kekuatiran, kekecewaan, ataupun keheranan memang amat sangat beralasan. Bukan hanya Ita, Meta, Utari, Lupus ataupun teman-teman Nyit-nyit lainnya, tapi bahkan ketika mereka keluar dari Kebun Raya, banyak orang lain yang terheran-heran melihat Boim berjalan dengan Nyit-nyit.
Mereka rata-rata pada terkejut, sambil mengelus dada. "Betapa malangnya gadis itu...," ujar mereka sambil menatap kasihan pada Nyit-nyit, dan menatap penuh kebencian pada Boim.
Ya, banya k yang nggak simpati dan nggak rela geliat gadis semanis Nyit-nyit bisa intim dengan perjaka butut macam Boim.
Tapi, kalo emang udah jodoh, mau apa"
Dan sialnya, malam sepulang dari Bogor, Boim ikutan anak-anak nginep di rumah Lupus. Udah deh, semalaman si Boim sibuk ngerumpi sambil tu bibir kiwir-kiwir, nyeritain tentang kesuksesan dia ngegaet Nyit-nyit. Anak-anak jelas pada suntuk ngedengerinnya.
"Nyit-nyit, cewek yang sedingin biang es itu, akhirnya toh bisa kutaklukkan. Coba, selama ini, mana ada cowok yang bisa ngobrol akrab dengannya" Mana ada yang bisa duduk berduaan dengannya" Mana"" ujar Boim begitu yakin.
"Nyari apa, Im"" sahut Lupus disela-sela rasa kantuknya.
Boim cuek. "Dan... baju ini, yang kupakai hari ini, nggak bakal saya cuci selama seminggu. Bakal saya pake terus, untuk mengingatkan saya pada Nyit-nyit dan pada masa-masa bersamanya di Kebun Raya Bogor...,"lanjut Boim. "Dan, jangan heran kalo malam minggu depan, saya bisa ngajak dia nonton."
Pada saat yang sama, beberapa kilometer dari situ, Nyit-nyit, Ita, Meta dan Utari juga pada asyik ngerumpi di kamar rumah Nyit-nyit. Semua cekikikan, kayak kuntilanak.
"Pokoknya, kamu-kamu nggak usah cemas. Saya masih Yunita yang dulu. Soal kebaikan saya sama Boim tadi siang sih, yaa... itung-itung amal. Nolongin orang susah kan nggak ada salahnya," ujar Nyit-nyit sambil ketawa-ketawa.
"Ih, kamu kok jahat gitu sih sama cowok!"
"Biarin. Dia juga sering jailin kita, kan""
Ita, meta, Utari mengangguk-angguk setuju.
Besoknya, pagi-pagi, Nyit-nyit dtemani sobat-sobatnya, sibuk ribut-ribut mengelilingi api unggun. Baju Nyit-nyit, yang dikenakan kemarin siang saat bersama Boim, dibakar habis. Sebagai peringatan dari hari paling sial dalam hidup Nyit-nyit.
O, andai Boim tau semua itu...
5. Anak Kecil yang Selalu Lapar.
PUKUL satu siang di bulan puasa kali ini bikin Lupus keki berat. Lapernya nggak ketulungan. Mana udara rasanya gerah banget. Bikin tenggorokan kering kerontang. Lupus berkali-kali berusaha menelan ludah, tapi rasanya getir banget. Wah, untuk menjadi baik, memang membutuhkan banyak pengorbanan. Gimana enggak, Lupus yang badannya udah cukup ceking itu nekat bela-belain enggak makan mulai dari beduk imsak sampai magrib. Meski... yeah, alasan berpuasanya Lupus memang sederhana dan nggak dipaksa-paksain.
Pasalnya di rumah kan semua pada puasa. Termasuk si Gegi, anjing peliharaannya Lulu. Nah, kalo udah gitu, biasanya maminya Lupus Cuma mau masak kalau sahur sama mau beduk magrib aja. Prinsip Lupus, dari pada kalo enggak puasa tetep nggak dapet makan, kan lebih baik puasa.
Dan sekarang yang membikin Lupus keki, karena dia mendapat tugas mendadak dari pem-red majalah Hai, tempat Lupus jadi wartawan freelance. Terpaksa siang panas sepulang sekolah yang enaknya dipake buat tidur, dipergunakan Lupus untuk ngejengukin sang pem-red yang nggak begitu kece di kantor redaksi.
Sesampai di sana, Lupus memang langsung dapet sambutan hangat dari Mas Wendo, sang pem-red. Dan yang bikin shock, ternyata Mas Mendo lagi asyik menyantap sepiring gado-gado dengan lahapnya. Sementara di samping piring, ada tulisan gede banget : Hormatilah Orang yang Tidak Berpuasa .
Gimana nggak keki" Tapi Lupus tabah. "Ada apa, Mas Pemimpin Redaksi" Mau disuruh ngeliput pameran elektronika""
"Lho, kok kamu tau, Pus" Kamu jadi pem-red aja kalo gitu...," sahut Mas Wendo sambil senyum.
"Jangan kuatir, Mas, cepat atau lambat aksi kudeta itu pasti terjadi," balas Lupus kalem.
Mas Wendo tertawa. "Eh, ngomong-ngomong, apa sih menariknya ngeliput pameran begituan. Mending saya tidur aja, Mas. Ngantuk," Lupus berdalih.
"Lho, kamu ini gimana" Apa nggak tau kalo pengunjung remajanya ternyata membludag" Itu yang harus kamu tulis, apa remaja sekarang memang punya minat besar pada teknologi moderen" Sekaligus tulis opini para pengunjung remaja..."
"Aduuuuh, Mas ini, yang namanya remaja saban ada tontonan gratis ya pasti dibela-belain dateng. Kan lumayan, itung-itung..."
"L-u-p-u-s..." "Eh, iya deh, Mas, saya berangkat!"
Tanpa semangat Lupus menuju ke mejanya. Membaca-baca sebentar. Sem
pat keki juga geliatin Mas-mas redaktur lainnya yang pada nggak puasa. Cuma Jipi - perjaka asli dari Jawa yang berkulit agak kelam - yang kelihatan tak mengunyah apa-apa. Wah, dia barangkali puasa juga!
Lupus - seperti mendapat teman senasib - menghampiri Jipi.
"Puasa, Mas""
Jipi mendelik sewot. "Jangan nuduh sembarangan dong! Saya nih capek-capek dari Jawa ngungsi ke Jakarta pengena cari makan, kok malah disuruh puasa!" cetus Jipi cepat.
Lupus jadi kaget. Sementara di luar, yang tadi panas, kini mulai turun rintik-rintik hujan. Alhamdulillah, deh, paling enggak Lupus nggak bakal mati kehausan di jalan.
Lupus pun segera mengemasi alat-alat perangnya. Kamera, film, kaset, dan notes. Semua dimasuki ke dalam tas birunya. Busyet, berat banget!
"Silahkan lho, kalo mau pergi...," sapa Mas Wendo ketika lewat dekat meja Lupus,"... dan jangan main hujan-hujanan lagi, ya" Nanti pilek."
Lupus cuek. Setelah semuanya sip, dia pun melangkah ke luar ruangan. Turun pake lift, dan pamitan sama resepsionis yang kece di lantai satu. Lumayan, sempet dapet senyum pepsodent.
Ketika melangkah ke luar, gerimis kecil-kecil masih turun. Wah, gimana, ya" Mana enggak bawa payung.
"Puuuusss... mau ke mana ente"" teriakan jelek terdengar dari belakang. Lupus menoleh. Nampak Jipi berlari-lari kecil mengejarnya. "Mau keluar, ya" Sekalian, yuk""
"Ogah ah, nanti ketularan aids. Eh, kamu jangan ikut keluar, Jip, ntar kehujanan."
"Kok tumben lu cemasi gue" Gue nggak pernah pilek kok."
"Bukannya takut pilek, tapi gue kuatir jangan-jangan kulit lu luntur kalo kena hujan."
Jipi nyengir. *** Sekarang, Lupus sudah berada di tempat pameran. Buset, penuh banget tu manusia" Sementara udara diluar kembali menyengat. Membuat kerongkongan bertambah kering. Dengan semangat perang yang tinggal seberapa, Lupus berjalan memasuki gedung. Ikut berdesak-desakan dengan manusia lain. Di ruang pameran utama, berbagai televisi dan komputer dipamerkan. Suasana jadi kayak tontonan gratis. Sebab di setiap stand, anak-anak pada duduk ngejogrok di depan televisi ukuran besar kecil yang dipajang berderet-deret. Bukannya pada kagum pada tivinya, malah asyik menikmati suguhan video musik dan film yang diputar. Di satu sudut, malah ada satu ruangan bikinan yang memuat tipi segede walapdolin (walapdolin means gede banget!). Di dalemnya - yang kayak rumah-rumahan - anak-anak pada numpang nonton. Serasa di bioskop.
Lupus langsung tancap gas, mewawancarai seseorang gadis manis yang asyik nonton di pojokan.
"Apa yang membuat anda tertarik nonton pameran ini"
"Eh... saya mah Cuma ngabuburit aja. Nungguin waktu beduk, daripada bengong di rumah. Di sini kan enak, ada tontonan gratis," jawab gadis manis itu sambil senyum.
"Kalo saya, ya... di samping memang tertarik sama barang-barang elektronik, di sini juga banyak cewek kece lho. Lumayan, buat iseng-iseng...," tanpa ditanya pelajar lain ikut ngasih komentar.
"Eng... anu, itu, videonya asyik-asyik lho. Ada tari hulu-hula segala. Kali-kali aja abis ini diputar tarian tanpa busana... he..he..he..," ujar cowok lain yang duduk di dekat panggung. (Busyet, puasa-puasa kok nonton yang beginian")
"Kita cukup bangga bahwa bangsa Indonesia tak ketinggalan dalam kemajuan teknologi. Yeah, meski masih dalam taraf mengagumi doang, belum bisa memiliki. Tapi siapa tau dari situ timbul keinginan untuk memiliki, lantas membuat sendiri. Entah kapan, tapi itu pasti terjadi. Eh, ini buat terbitan kapan" Jangan lupa, ya, nama saya Robert Siagian. Status, mahasiswa. Hobi, pergi ke pameran, ngumpulin brosur-brosur. Silahkan lho kalo mau difoto...," ujar seorang mahasiswa berkaca mata.
"Lho, saya ini ke sini cuma mau janjian sama pacar saya kok. Doi nggak berani ngejemput ke rumah. Biasa, ortu nggak setuju. Ngomong-ngomong, kamu liat pacar saya, nggak"" ujar cewek lain yang lagi asyik mejeng.
"Saya ke sini diajak istri saya. Wah, cilaka, Nak, jangan-jangan dengan nonton beginian, istri saya jadi menuntut beli yang macam-macam lagi...," seorang bapak ikut berkomentar.
"Ini kegiatan positif. Perlu dilestarikan. Dibudidayakan. Jangan sampai puna
h...," ujar mahasiswa lainnya. (Emang binatang langka apa" Pake dibudidayakan segala.)
*** Setelah capek ngumpulin beberapa pendapat dan bingung gimana cara ngegabungkannya nanti, Lupus duduk di dekat pintu keluar. Badannya terasa lemas, habis berdesak-desakan. Sementara kerongkongannya ikut-ikutan terasa haus. Lupus melirik jam tangannya. Wah, baru jam tiga. Beduk masih lama.
Kenapa waktu berjalan begitu lambat"
Lamunannya kemudian dikejutkan oleh seorang anak tanggung yang sibuk dengan roti dan esnya. Asyik memamerkan ke orang-orang di sekelilingnya. Suatu pemandangan yang menjengkelkan di bulan puasa. Dan Lupus tak akan begitu peduli kalau anak itu tidak datang menghampiri dan berkata lantang, "Mas, mau roti, Mas" Enak deh. isinya kejut. Atau Mas mau es jeruk ini""
Lupus diam saja. Maklum anak kecil.
"Kok diam saja, Mas" Jangan malu-malu, lho. Saya punya dua biji kok..."
"Jangan becanda, ya" Saya puasa!" bentak Lupus.
Anak itu tertawa. Betapa menjengkelkannya" Dan kemudian kembali menggoda orang-orang di sekelilingnya. Anak aneh. Senakal-nakalnya Lupus, dia toh tak akan sekurang ajar dia. Benar-benar keterlaluan. Tapi karena ini bulan puasa, Lupus masih menahan emosi untuk menendang anak itu kuat-kuat.
Beberapa menit kemudian, Lupus mendengar anak kecil itu berteriak-teriak. Lupus sempat kaget juga. Ternyata ada beberapa anak muda yang nggak bisa menahan diri untuk ngerjain anak kecil itu. Lupus jadi kasihan, lalu menghampiri, "Eh, lepaskan. Itu adik saya. Maaf, dia memang nakal sekali..."
Anak-anak muda itu serentak memandang Lupus.
"Adik kamu kurang ajar sekali. Nggak pernah diajar sopan santun, ya"" cetus salah satu dari mereka.
"Maaf, Mas, dia memang kelewatan nakalnya. Biar saya bawa pulang aja," sahut Lupus sambil menuntun anak itu keluar.
"Hu-kalo gede aja, udah gue hajar!" gerutu mereka.
Sesampainya di luar gedung. Lupus menjewer anak nakal itu.
"Nah, anak nakal. Sekarang kamu sudah selamat. Untuk saya masih baik. Kalo enggak, kamu pasti dihajar mereka."
Anak itu diam. Menunduk dalam-dalam.
"Apa kamu nggak pernah diajar ibu kamu untuk menghormati orang yang berpuasa""
Anak itu tetap diam. Tak berani memandang ke wajah Lupus. Tangannya sibuk meremas-remas sisa roti yang belum habis dimakan.
"Sekarang kamu pulang aja. Dan jangan nakal lagi, ya" Kalo bisa, besok kamu belajar ikut puasa. Biar kamu ngerasin juga, gimana kekinya melihat orang makan seenaknya di depan kita yang lagi kelaparan."
"Saya sering merasakan itu!" anak itu tiba-tiba berkata ketus. Matanya mulai berani menentang Lupus.
"Saya sering merasakan betapa pedihnya hati saya melihat orang lain makan roti seenaknya di depan saya. Di depan mata saya. Sementara saya begitu kelaparan. Tapi mereka nggak peduli. Mereka nggak mau memberikan sebagian rotinya untuk saya yang kelaparan. Saya memang orang miskin yang selalu kelaparan sejak saya nggak boleh jualan koran lagi. Sekarang, apa saya salah membalas sikap mereka yang tak pernah peduli pada saya""
Lupus jadi bengong. Sedang mata anak itu mulai berair.
"Saya hanya ingin mereka juga bisa ngerasain, gimana pedihnya jadi orang kelaparan itu, sementara di depan mata kita orang lain seenaknya makan roti. Saya dendam sama mereka. Dan di bulan puasa inilah saya bisa memuaskan dendam saya..."
Lupus melihat bahwa anak itu memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata yang jatuh satu-satu. Lupus jadi terharu.
"Ah, Setan kecil, nggak semua orang berbuat begitu kepadamu. Jangan nangis, nasib kamu masih terlalu pagi untuk ditangisi. Sekarang kamu ikut saya aja dulu. Kita cerita-cerita lagi. Siapa tau saya nanti berbaik hati nawarin kamu ikut berbuka puasa di rumah saya. Oke"" Lupus berusaha membuat hati anak itu riang.
"Ayolah, ikut saya. Nanti kamu saya kenalin sama adik saya yang nakal kayak kamu. Dia juga paling hobi ngegangguin orang yang lagi puasa, kalo kebetulan dia lagi halangan untuk puasa. Namanya Lulu. Orangnya cakep kayak saya..."
Anak itu masih diam. Tapi tak menolak diajak Lupus pergi.
*** Besoknya ketika Lupus ke Hai, Mas Wendo dengan noraknya sudah menagih-nagih hasil re
portase pandangan mata Lupus tentang pameran elektronika.
Lupus tak menanggapi, "Nanti ah, saya masih bingung nyusunnya. Saya sekarang lagi sibuk bikin cerpen dulu. Mood-nya lagi enak."
"Bikin cerpen"" Mata Mas Wendo membelalak.
"Iya, Mas pasti nangis deh kalo ngebaca cerpen saya. Ceritanya sedih, tentang anak kecil yang kelaparan...."
"Mau sedih kek, lucu kek, pokoknya jangan harap bisa dimuat di majalah Hai, ya" Saya cuma mau terima laporan tentang pameran kemarin!"
"Ya... kalau Mas takut kesaing, jangan gitu dong caranya. Nggak sportif ah!"
Misteri Peramal Tua 2 Keponakan Penyihir The Magician's Nephew Karya C S. Lewis Candi Murca 10
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama