Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja Bagian 13
yang sehari-hari menjadi pekatik meskipun ia tidak pandai
menyabit rumput. "Aku sedang melihat perkelahian yang tidak atau jarang
sekali terjadi di padukuhanku" jawab Mahisa Asni.
"Gila. Pergi atau aku cekik kau sampai mati"
Witantra yang semula memperhatikan orang itu, segera
harus berloncatan, karena pemimpin pengawal itu telah
menyerangnya pula dengan garangnya.
"Jangan melibatkan diri" berkata Mahisa Agni, " aku
tahu bahwa kau adalah salah seorang pengikut Pangeran
Kuda Rukmasanti. Tetapi sebaiknya, kau menyingkir saja"
"He, apakah kau sudah gila" bentak anak muda itu, "aku
dapat membunuhmu" Mahisa Agni tersenyum. Sementara itu justru Mahendra
telah terlibat dalam perkelahian melawan beberapa orang
yang mendekatinya. "Menyingkirlah anak muda" berkata Mahisa Agni,
"besok aku ajari kau menyabit rumput"
Anak muda itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia
meloncat menyambar kepala Mahisa Agni.
Namun kali ini anak muda itu terkejut. Mahisa Agni
tidak berteriak kesakitan dan minta maaf. Tetapi tangannya
sama sekali tidak menyentuh apapun juga.
Mahisa Agni yang meloncat menghindari tangan pekatik
muda itu tersenyum. Katanya, "Jangan terlampau garang.
Sayang, bahwa aku sekarang bukannya pekatik tua yang
membiarkan dirinya kau bentak-bentak"
"Siapakah kau?" geram pekatik muda itu.
"Baiklah aku katakan dengan terus terang agar kau tahu
duduk persoalannya" jawab Mahisa Agni, "aku adalah
petugas dari Singasari yang berkewajiban untuk mengetahui
keadaan istana ini sebenarnya. Nah, kau tentu tahu
maksudnya, karena kau tentu juga terlibat dalam persoalan
ini" "Persetan" geram anak muda itu, "sementara itu ia
melihat beberapa orang kawannya telah semakin dekat,
"kau dapat terbunuh tanpa ampun disini. Aku sudah curiga,
bahwa kau bukan pekatik kebanyakan"
Mahisa Agni tidak menjawab. Beberapa orang sudah
mengepungnya. Yang lain, bersama dengan pemimpin
pengawal itu mengepung Witantra, sementara yang lain lagi
bertempur melawan Mahendra.
Di dalam bilik itu, Mahisa Bungalan masih bertempur
dengan sengitnya melawan Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran dari Kediri itu sama sekali tidak menduga, bahwa
pada suatu saat ia akan berhadapan dengan anak muda
yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi
kemampuannya. Bahkan beberapa orang lain yang datang
bersamanya telah berusaha membongkar kelicikan yang
telah dilakukan beberapa lama untuk menghapus keturunan
kakak kandungnya yang kaya raya, sehingga segalanya
akan dapat dimilikinya bersama seorang perempuan yang
disebutkan sebagai isteri kakak kandungnya itu.
Tetapi agaknya ancaman yang selama itu
dipergunakannya untuk menjerat kakak kandungnya, yaitu
kematian isterinya dan anaknya, telah disingkapkan
kenyataannya oleh orang-orang yang menyebut dirinya
petugas sandi dari Singasari itu.
Betapa kemarahan menghentak-hentak dadanya. Namun
ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa
sebenarnyalah ia tidak dapat memaksakan kehendaknya
atas lawannya itu. Sementara itu, Pangeran Kuda Padmadata bertempur
dengan marahnya melawan dua orang yang untuk beberapa
lamanya selalu membayangi, sehingga sebenarnyalah.
bahwa Pangeran Kuda Padmadata benar-benar telah muak
kepadanya. Setiap kali kedua orang itu selalu menyebut
isteri dan anak laki-lakinya jika ia membantah atau
menentang kehendak mereka.
Tetapi saat ia menyadari, bahwa keduanya tidak lagi
dapat menakut-nakutinya lagi dengan nasib anak istrinya,
maka iapun dapat menumpahkan segala gejolak
perasaannya yang tertahan.
Dengan demikian, maka Pangeran itupun bertempur
dengan sepenuh tenaga. Namun demikian kedua
lawannyapun berusaha untuk melawannya. Keduanya
adalah orang orang yang sudah terpilih untuk melakukan
tugas mereka. Karena itu, merekapun pada saatnya merasa
wajib pula untuk bertahan.
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata yang selama ini sama
sekali tidak dapat menentang mereka berdua, tiba-tiba saja
telah menjadi sangat girang. Tombaknya menyambarnyambar
dengan dahsyatnya. Sekali-kali berputar namun
tiba-tiba tombak itu terjulur mematuk dengan dahsyatnya.
Agaknya kemarahan Pangeran Kuda Padmadata benarbenar
tidak tertahankan. Dengan segenap kemampuannya
ia melibatkan kedua lawannya dalam putaran senjatanya
yang bergulung-gulung seperti angin pusara. Betapa sulitnya
berusaha untuk melepaskan diri dari kuasa kemampuan
Pangeran Kuda Padmadata yang untuk beberapa lamanya
justru berada di bawah kekuasaan mereka berdua.
Mahisa Agni yang berhadapan dengan pekatik muda itu
beserta beberapa orang yang lain masih berusaha
meyakinkan mereka bahwa mereka tidak dapat berbuat apaapa.
"Menyerahlah. Kalian tidak akan terlibat banyak
pengkhianatan." "Lebih baik aku membunuhmu" geram pekatik muda
itu, "aku akan menyesal bahwa kadang-kadang aku masih
juga berbaik hati kepadamu. Jika tidak kemarin aku
membunuhmu, maka sekarang aku akan mencekikmu."
Pekatik muda itu masih akan berbicara terus. Tetapi
Mahisa Agni sudah jemu mendengarnya. Karena itu
sebelum ia meneruskan kata-katanya, tiba-tiba saja terasa
mulutnya menjadi sakit. Ia tidak tahu, kapan Mahisa Agni itu bergerak. Namun
tiba-tiba saja bibirnya bagaikan menjadi pecah.
"Sebuah peringatan" desis Mahisa Agni, "aku dapat
berbuat lebih keras terhadapmu dan terhadap siapapun"
Pekatik muda itu bergeser surut. Ketika ia mengusap
bibirnya, terasa tangannya menjadi hangat. Dalam cahaya
lampu yang lamat-lamat ia melihat warna merah telah
mengotori jari-jarinya. "Darah" desisnya.
Namun dalam pada itu, iapun tiba-tiba berteriak,
"Bunuh orang tua gila ini"
Beberapa orang yang memang di bawah perintahnya
yang tersebar di istana itupun segera berloncatan maju.
Namun satu demi satu mereka terlempar menjauh.
Demikian mereka terjatuh, maka mereka merasa sulit untuk
dapat bangkit kembali. Demikian pula lawan Mahendra yang dikepung oleh
beberapa orang. Bahkan tiba-tiba saja ia mendengar suara
Ki Wastu, "Aku sudah berada di sini".
Mahendra berpaling sejenak, sementara Ki Wastu
berkata, "Maaf aku telah memasuki halaman karena aku
mendengar keributan yang lamat-lamat."
"Jadi keributan itu terdengar sampai di jalan di depan
istana itu?" bertanya Mahendra.
"Tetapi tidak jelas. Karena aku sudah membayangkan
apa yang terjadi, maka aku segera mengetahui, bahwa
pertempuran telah terjadi."
Mahendra mengangguk-angguk, sementara lawannya
mengitarinya semakin rapat. Ketika beberapa orang
menyerangnya, maka Mahendra pun berkata, "Jangan
tergesa-gesa. Sebaiknya kalian memikirkan sekali lagi apa
yang kalian kerjakan."
Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi beberapa
orang dari mereka telah terlempar, sementara yang lain tibatiba
saja bagaikan dihentakkan oleh kekuatan yang luar
biasa, sehingga mereka telah terlempar jauh.
Agaknya Ki Wastu pun tidak tinggal diam. Iapun telah
mulai memasuki arena. -oo0dw0oo- Jilid 11 Jilid 11 ini sumbangan dari Ki Arema
DEMIKIAN Ki Wastu mengambil alih lawan
Mahendra, maka Mahendra yang tidak lagi dikepung oleh
lawannya yang harus menghadapi Ki Wastu, sempat
menghindarkan diri dan melihat perkelahian anaknya
dengan hati yang berdebar-debar.
Ternyata bahwa Pangeran Kuda Rukmasanti benarbenar
seorang yang pilih tanding. Dengan mengerahkan
segenap kemampuannya Mahisa Bungalan berusaha untuk
mengimbangi ilmu lawannya. Dalam ruangan yang tidak
terlalu luas itu, maka diperlukan ketangkasan dan
kecepatan bergerak yang tinggi, karena masing-masing akan
dengan mudah dapat menjangkau lawannya dengan ujung
senjata. Setiap kelengahan akan berakibat tersayatnya kulit
daging mereka. Dalam pada itu, Pangeran Kuda Padmadata yang marah
itupun bertempur dengan segenap kemampuannya. Bukan
saja karena ia ingin melindungi dirinya. Tetapi tekanan
batin yang dialaminya untuk beberapa waktu lamanya itu,
bagaikan meledak tidak terkendali. Dua orang itu untuk
beberapa lama merupakan hantu yang setiap hari menakutnakutinya,
menyiksa perasaannya dan kadang-kadang
bahkan menyakiti tubuhnya.
Keringat telah membasahi segenap tubuh kedua orang
lawan Pangeran Kuda Padmadata. Jika setiap hari
keduanya dapat melaksanakan kehendaknya tanpa banyak
kesulilan, maka kini mereka benar-benar telah berhadapan
dongan Pangeran Kuda Padmadata seutuhnya.
Dalam kemarahan yang memuncak, maka ujung tombak
Pangeran Kuda Padmadata seolah-olah telah mengejar
keduanya, kemana keduanya menghindar. Ketika Pangeran
yang marah itu mendesak salah seorang dari mereka, maka
yang lain berusaha untuk menyerangnya dari samping.
Tetapi tanpa diduganya, tombak itu telah berkisar.
Meskipun ujungnya tidak berputar arah, namun tiba-tiba
saja terasa sebuah hentakan pada pundaknya.
Ternyata Pangeran Kuda Padmadata tidak
menyerangnya dengan mata tombaknya. Tetapi dengan
pangkal landean, ia menghantam pundak salah seorang
lawannya. Orang itu terdorong dengan kuatnya, sehingga tubuhnya
berputar. Bahkan kemudian ia telah kehilangan
keseimbangannya sama sekali.
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tidak sempat
memburunya. Ketika ia berkisar, maka lawannya yang
seorang lagi telah siap menyerangnya.
Namun Pangeran Kuda Padmadatapun telah bersiap
pula. Tombaknya telah siap merunduk menyongsong
serangan lawannya, sehingga lawannya itu
mengurungkannya. Tetapi yang sekejap itu telah memberikan kesempatan
kepada orang yang terjatuh itu untuk meloncat bangkit.
Tetapi ia masih harus menyeringai menahan sakit.
Meskipun yang mengenai pundaknya itu adalah pangkal
landean tombak Pangeran Kuda Padmadata, tetapi rasarasanya
tulang-tulangnya telah berpatahan.
"Gila" orang itu menggeram "apakah Pangeran benarbenar
tidak dapat menahan diri?"
"Persetan" geram Pangeran Kuda Padmadata.
"jika demikian, maka saatnya telah tiba. Kami tidak
akan berbelas kasihan lagi. Kami dapat membunuh
Pangeran" Tetapi orang itu tidak sempat menyelesaikan katakatanya.
Ia harus meloncat menjauh beberapa langkah,
balikan mirip seperti seseorang yang berlari sipat kuping
untuk menghindari serangan tombak Pangeran Kuda
Padmadata yang meloncat pula beberapa langkah.
Pangeran itu berhenti ketika lawannya yang lain telah
memburunya pula dengan senjata teracu. Tetapi demikian
Pangeran itu berhenti dan memutar tubuhnya, maka orang
itupun berhenti pula. Sejenak kemudian, lawannya yang telah terluka di
pundaknya itupun mendekatinya pula selangkah demi
selangkah dengan sangat berhati-hati. Ketika Pangeran
Kuda Padmadata menggerakkan tombaknya kearah
lawannya orang lain, maka orang yang telah terluka itupun
meloncat maju sambil menjulurkan senjatanya.
Tetapi Pangeran itu cukup tangkas. Ia berkisar dan
memutar tombaknya mendatar.
Perkelahian itupun menjadi semakin dahsyat. Pangeran
Kuda Padmadata benar-benar tidak mengekang diri lagi.
Ujung tombaknya kemudian bagaikan berterbangan
memutari tubuh lawannya. Ketika kemudian terdengar desah tertahan, maka
seorang lawannya telah terlempar lagi jatuh terguling di
tanah. Dengan susah payah kawannya berusaha mencegah
agar Pangeran itu tidak sempat memburunya dan
menghunjamkan ujung tombaknya, dengan sebuah
serangan yang cepat. Namun, orang itu bernasib malang,
karena Pangeran Kuda Padmadata yang sudah
memperhitungkannya, tiba-tiba telah berputar sambil
berjongkok. Orang itulah yang kemudian menujamkan
dadanya sendiri ke ujung tombak Pangeran Kuda
Padmadata, orang yang untuk beberapa saat lamanya
berada dibayangan kekuasaan adik kandungnya.
Dengan tangkasnya Pangeran itupun menghentakkan
tombaknya. Ketika tombaknya itu terlepas dari dada
lawannya, maka orang yang dikenainya itupun kemudian
terhuyung-huyung sejenak, namun sesaat lagi iapun jatuh
pada lututnya, dan ketika ia terbanting ke tanah maka
jiwanya tidak dapat tertolong lagi.
Kawannya yang terjatuh oleh dorongan tangkai tombak
Pangeran Kuda Padmadata itu melihat, bagaimana
kawannya yang berusaha menyelamatkannya itu justru
telah terbunuh lebih dahulu dari padanya.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi dalam pada itu, maka iapun telah dibayangi oleh
kecemasan yang amat sangat. Berdua ia tidak dapat
mengalahkan Pangeran yang untuk beberapa saat lamanya
telah tunduk pada perintahnya itu, yang kemudian dengan
tiba-tiba saja telah menghentak dengan ledakkan
kekuatannya yang tidak terlawan.
Karena kesadarannya bahwa Pangeran Kuda Padmadata
adalah seorang prajurit linuwih, maka tiba-tiba saja jantung
orang itu telah dicekam oleh ketakutan yang amat sangat. Ia
merasa bahwa ia telah dihadapkan pada suatu kenyataan
tentang Pangeran yang untuk beberapa saat menjadi jinak
itu. Itulah sebabnya, maka ketika Pangeran Kuda Padmadata
kemudian berputar menghadapnya setelah kawannya
terbanting jatuh, maka tidak ada jalan lain yang nampak
dihadapannya, selain melarikan diri.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja ia meloncat berdiri
dan mencoba berlari meninggalkan arena tanpa
menghiraukan kawan-kawannya yang justru baru mulai
bertempur. Pangeran Kuda Padmadata yang menjadi muak melihat
kedua orang yang untuk beberapa saat lamanya seolah-olah
berkuasa atasnya itu ternyata telah tidak dapat menahan
diri lagi. Dengan dada yang membara, maka ia melihat
lawannya berusaha menyelamatkan diri dengan licik.
Dengan demikian, maka kemarahannyapun menjadi
semakin melonjak didesak oleh kebenciandan rasa muak.
Hampir diluar sadarnya, maka tiba-tiba saja tangannya
telah bergerak terayun dengan cepatnya.
Tidak seorangpun yang mampu mencegahnya. Tombak
di tangannya tiba-tiba saja telah meluncur mengejar orang
yang melarikan diri itu. Sejenak kemudian terdengar jerit melengking. Tubuh
yang sedang berlari itupun tiba-tiba saja telah terhenti.
Sesaat tubuh itu terhuyung-huyung, namun kemudian jatuh
berguling di tanah. Di punggungnya tertanam tombak yang
membenam sampai kepangkal tajamnya.
Semua orang yang mendengar jerit itu, dan kemudian
melihat tubuh itu jatuh ditanah, merasa tubuhnya
meremang. Namun Pangeran Kuda Padmadata yang
sedang marah itu, seolah-olah tidak menghiraukannya lagi.
Demikian ia kehilangan lawannya, maka iapun segera
berlari menuju kepintu untuk melihat, apa yang telah terjadi
dengan adiknya yang telah mengkhianatinya itu.
Ternyata Mahendra masih berdiri dipintu. Orang-oi ang
yang mengepung mereka yang berusaha membebaskan
Pangeran Kuda Padmadata itu telah bertempur melawan
Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastu. Mereka ternyata
tidak banyak mendapat kesempatan Meskipun jumlah
mereka lebih banyak. Beberapa orang diantara mereka adalah orang-orang
yang dianggap cukup memiliki kemampuan sehingga
mereka telah mendapat perintah untuk melindungi istana
itu dari kemungkinan seperti yang telah terjadi.
Tetapi berhadapan dengan Witantra, Mahisa Agni dan
Ki Wastu mereka tidak banyak dapat berbuat sesuatu.
Bahkan pemimpin pengawal itupun tidak dapat menguasai
lawannya meskipun ia dibantu oleh beberapa orang
pengikutnya. Mahendra yang melihat Pangeran Kuda Padmadata
mendekatinya, maka iapun beringsut. Tetapi ketika
Pangeran itu mendekat lagi, ia berkata "Biarlah keduanya
bertempur dengan jantan"
"Kuda Rukmasanti adalah seorang yang luar biasa" desis
Pangeran Kuda Padmadata "biarlah aku yang akan
menyelesaikannya" Tetapi Mahendra menjawab "Lihatlah Pangeran, apakah
kira-kira yang akan terjadi?"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya. Ia
melihat perkelaian yang dasyat diruang yang tidak begitu
luas. Tetapi kedua orang yang bertempur itu ternyata
memiliki kemampuan yang tinggi, yang tidak segera dapat
saling menguasai. "Siapakah anak muda itu?" bertanya Pangeran Kuda
Padmadata. "Mahisa Bungalan. Ia adalah anak hamba" jawab
Mahendra. "Jadi ia benar-benar anakmu?" bertanya Pangeran itu.
"Ya Pangeran" Pangeran Kuda Padamadata termangu-mangu. Agaknya
anak muda yang bernama Mahisa Bungalan itu memang
memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi
kemampuan Pangeran Kuda Rukmasanti"
"Anakmu luar biasa" guman Pangeran Kuda Padmadata
"selama ini aku belum pernah melihat seorangpun yang
dapat mengimbangi Kuda Rukmasanti, apalagi yang
umurnya masih sebaya. Aku sendiri tidak yakin, apakah
aku akan dapat mengalahkannya. Tetapi nampaknya anak
muda itu benar-benar memiliki kemampuan yang
mengagumkan" "Ia masih memerlukan banyak pengalaman" jawab
Mahendra "karena itu, biarlah ia mendapatkan pengalaman
baru disini" Pangeran Kuda Padmadata menjadi termangu-mangu
Namun ia masih berdiri tegak disebelah Mahendra.
Sementara itu kedua orang itu masih bertempur dengan
sengitnya. Kemarahan Pangeran Kuda Rukmasanti benarbenar
telah membakar dadanya. Namun iapun harus
melihat kenyataan, bahwa lawannya benar-benar anak
muda yang tangguh dan tanggon.
Sementara itu, didalam bilik yang lain perempuan yang
disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata sedang menggigil
ketakutan Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi. Sementara
emban yang menungguinyapun tidak dapat mengatakan,
apa yang sebenarnya telah terjadi diluar.
Meskipun mereka mengetahui bahwa telah terjadi
pertempuran, tetapi mereka tidak dapat mengatakan, siapa
saja yang telah terlibat dan apalagi tentang keseimbangan
pertempuran itu. "Apakah kakang mas Kuda Padmadata telah berusaha
untuk melawan kehendak adimas Kuda Rukmasanti?"
bertanya puteri itu. "hamba tidak tahu puteri. Tetapi suara itu ramai sekali"
jawab embannya. "Ternyata bahwa kakangmas Kuda Padmadata adalah
seorang yang paling bodoh jika ia berani melakukan
perlawanan justru pada saat para pengawal sedang berjagajaga
karena kehilangan yang nampaknya sudah mulai
terdapat tanda-tanda siapakah yang telah mengambilnya"
berkata puteri yang ketakutan itu.
Tetapi emban itupun tidak dapat menjawab. Bahkan
iapun telah menggigil pula ketakutan seperti puteri itu juga.
Dalam pada itu, pertempuran itupun masih berlangsung
dengan dahsyatnya. Di halaman Mahisa Agni, Witantra
dan Ki Wastu telah berhasil menguasai lawan-lawan
mereka,. Beberapa orang telah terluka dan bahkan mereka
telah terdesak mundur, beberapa orang pengawal telah
mengerang kesakitan karena luka-luka mereka. Sementara
beberapa orang telah pingsang.
Tetapi Mahisa Bungalan masih bertempur dengan
gigihnya melawan Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Inikah salah seorang contoh dari anak-anak muda
Singasari?" desis Pangeran Kuda Padmadata.
Mahisa tidak menjawab. Tetapi perkelahian itu benarbenar
merupakan perkelaian yang sengit. Keduanya saling
mendesak dan dalam kedudukan yang seimbang. Pangeran
Kuda Rukmasanti memiliki kecepatan bergerak. Senjatanya
berputaran dalam ruangan yang tidak terlalu luas itu,
sehingga seolah-olah setiap jengkal telah tersentuh oleh
tajamnya senjatanya. Namun Mahisa Bungalan telah memagari dirinya
dengan putaran tombaknya yang bagikan perisai yang tidak
tertembuskan oleh senjata lawannya. Bahkan kadangkadang
senjata yang melindungi tubuhnya itu bergeser dan
mematuk dengan cepatnya mengarah kebagian yang paling
berbahaya ditubuh Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Mengagumkan" desis Pangeran Kuda Padmadata.
Mahendra tidak menyambut. Ia benar-benar dicengkam
oleh keterangan Dalam pada itu, Mahisa Agni, Witantra
dan Ki Wastupun telah menyelesaikan pertempuran di
halamanan. Beberapa orang memang berhasil melarikan
diri. Tetapi beberapa orang telah menyerahkan dan tidak
bermaksud melawan lagi. Kedua orang yang terbunuh oleh
Pangeran Kuda Padmadata itu ternyata telah berpengaruh
sekali pada setiap orang yang mengadakan perlawanan.
Bahkan pekatik muda yang garang itupun telah berjongkok
sambil minta maat kepada Mahisa Agni.
"Aku tidak menyangka, bahwa kau, bahwa kau,
bukannya pekatik tua" desahnya.
Mahisa Agni memandanginya dengan tajamnya. Dalam
keremangan cahaya lampu dikejahuan ia melihat wajah
pekatik muda itu disaput oleh kecemasan dan ketakutan.
"Aku adalah seorang pekatik tua" berkata Mahisa Agni
tetapi aku bukan penjilat seperti kau"
Pekatik muda itu membungkuk dalam-dalam sampai
dahinya menyentuh tanah "Aku mohon ampun"
Mahisa Agni, Witantra dan Ki Wastupun kemudian
mengumpulkan orang-orang yang sudah menyerah. Mereka
harus merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan
membawanya ke serambi, sementara yg lain harus duduk
bejajar ditunggui oleh Ki Wastu dan Witantra. Beberapa
orang yang tidak tahu menahu tentang persoalan yang
menyangkut hubungan antara kedua Pangeran kakak
beradik itupun menjadi sangat bingung. Namun sebagian
dari mereka telah terlibat kedalam perkelahian yang tidak
mereka ketahui artinya, sehingga diantara mereka ada pula
yang harus duduk berjajar bersama beberapa orang abdi
yang lain, yang memang ditetapkan di istana itu oleh
Pangeran Kuda Rukmasanti.
Sementara itu. Mahisa Bungalan dan Pengaran Kuda
Rukmasanti telah sampai kepuncak ilmu masing-masing.
Keduanya telah menjadi wuru dan kehilangan segala
macam pertimbangan yang dapat mengekang gerak mereka.
Dalam kekalutan itu, ruangan tempat kedua anak muda
itu bertempur telah berubah menjadi sebuah bilik yang
ditaburi dengan segala macam perabot yang pecah
berserakan. Senjata kedua anak muda itu lelah
memecahkan segala yang berada didalam ruang an itu.
Amben kayu berukhir, geledeg kayu, songsong kehormatan
yang lumat, beberapa macam perabot yang lain hancur
sama sekali. Sementara kedua orang itu masih bertempur
dengan dahsyatnya. Sekali-sekali Mahisa Bungaian berhasil
mendesak lawannya sampai kesudut ruangan. Tetapi
kemudian Pangeran Rukmasantilah yang seolah-olah telah
menguasai Mahisa Bungalan. sehingga Mahisa Bungalan
harus berloncatan menjauh.
Namun dalam puncak pertempuran itu, senjata-senjata
mereka mulai ikut berbicara. Mahisa Bungalan berdesis
ketika terasa ujung senjata lawannya tergores di pundaknya.
Titik darah yang membasahi kulitnya, bagaikan titik-titik
minyak yang jatuh kedalam api, menyalakan kemarahan di
hatinya. Dengan dahsyatnya iapun kemudian telah melihat
lawannya kedalam putaran selanjutnya yang mengerikan.
Pangeran Kuda Rukmasanti itu mengaduh ketika ia
terdorong oleh sentuah senjata Mahisa Bungalan.
Lengannyalah yang kemudian mengalirkan darah karena
tersobek oleh pedang anak muda dari Singasari itu.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti tidak menyerah.
Iapun kemudian meloncat kesamping. Namun senjatanya
langsung terjulur lurus ketika ia meloncat pula menyerang
Ketika Mahisa Bungalan berusaha menghindar, maka
serangan berikutnya telah memburunya.
Mahisa Bungalan berkisar surut. Tetapi ketika ia
melangkah setapak lagi mundur, maka terasa punggungnya
telah melekat pada dinding kayu.
Pangeran Kuda Rukmasanti yang marah
memandanginya dengan tajamnya. Kemudian terdengar
mulutnya menggeram "Mati kau sekarang jahanam"
Mahisa Bungalan berdiri melekat dinding. Tetapi ia
merendahkan diri pada lututnya. Sambil bergeser miring ia
menggerakkan pedangnya menyongsong serangan
Pangeran Kuda Rukmasanti.
Mahendra menjadi berdebar-debar. Kesempatan
menghindar sudah terlalu sempit baginya. Namun bukan
berarti bahwa ia telah kehilangan segala macam cara untuk
menghadapi lawannya. Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti berdiri dengan
garangnya. Kemudian dengan langkah pendek ia bergerak
mendekat sambil berkata pula "Jangan menyesal, bahwa
kau sudah ikut campur dalam persoalanku. Sekarang, kau
akan mati sia-sia" Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi tatapan
matanya terikat pada tangan Pangeran yang bagaikan
kesurupan itu. Ketika tangan itu bergerak, maka Mahisa Bungalan pun
bergeser. Ia melihat Pangeran Kuda Rukmasanti dengan
serta merta, telah menjulurkan senjatanya menusuk kearah
dadanya. Dengan tangkas, Mahisa Bungalan menyilangkan
pedangnya menangkis serangan itu. Tetapi ternyata bahwa
lawannya telah menarik serangannya. Dengan cepat,
Pangeran Kuda Rukmasanti mengayunkan pedangnya
mendatar, menyambar perut Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan tidak mungkin lagi bergeser surut.
Karena itu maka iapun dengan cepat menggerakkan
pedangnya menyilang serangan lawannya.
Yang terjadi adalah sebuah benturan yang keras. Kedua
anak muda itu ternyata memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Serangan Pangeran Kuda Rukmasanti yang
cepat dan kuat itu telah membentur senjata Mahisa
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bungalan, sehingga bungaapipun telah meloncat di udara.
Pangeran Kuda Rukmasanti menggeram. Ia bergeser
setapak surut. Serangannya ternyata tidak berhasil
menyobek perut lawannya. Namun dengan demikian,
kemarahannya benar-benar telah sampai keubun-ubun.
Sejenak Pangeran Kuda Rukmasanti berdiri dengan
tegangnya. Ketika ia kemudian mengangkat pedangnya,
maka tangan kirinyapun telah bergetar pula. Ketika tangan
itu menyilang di dadanya, maka Pangeran Kuda
Padmadata pun tiba-tiba melangkah selangkah maju. Tetapi
Mahendra cepat menahannya sambil berkata "Kita akan
menyaksikan keduanya bertempur dengan jujur Pangeran"
"Tetapi sikap itu berbahaya sekali" desis Pangeran Kuda
Padmadata "anak itu telah sampai ke puncak ilmunya"
Mahendra menjadi berdebar-debar. Tetapi ketika ia
melihat Mahisa Bungalanpun mengangkat pedangnya pula
menyilang, serta dengan ketajaman tatapan matanya
Mahendra melihat ujung pedang itu bergetar dengan
getaran yang bagaikan memancarkan tenaga yang tidak
kasat mata, maka Mahendrapun tahu, bahwa Mahisa
Bungalan tanggap menghadapi lawannya yang telah
mengerahkan puncak ilmunya, sehingga Mahisa
Bungalanpun telah mengimbanginya pula.
"Tetapi, apakah kekuatan puncak ilmu mereka juga
seimbang pertanyaan itu telah mengganggu perasaan
Mahendra. Sementara Pangeran Kuda Padmadata menjadi gelisah.
Dengan nada rendah ia berkata "ilmu itu tidak ada
bandingnya. Biarlah aku yang melawannya"
Tetapi Pangeran Kuda Padmadata tidak sempat berbuat
sesuatu Dengan jantung yang berdegup keras ia melihat
Pangeran Kuda Rukmasanti meloncat mengayunkan
senjatanya langsung mengarah kedahi lawannya tanpa
menghiraukan kemungkinan lawannya menangkis
serangannya. Jantung Pangeran Kuda Padmadata bagaikan berhenti
berdetak. Ia tahu, bahwa kemampuan tenaga cadangan
adiknya telah tersalur sepenuhnya lambaran ilmunya yang
dahsyat, yang sukar dicari bandingnya.
Tetapi Mahisa Bungalan memiliki puncak ilmu rangkap
dari dua perguruan yang meskipun berbeda, telah berhasil
luluh didalam dirinya. Ia telah menimba ilmu dari Mahisa
Agni dan sekaligus mewarisi ilmu ayahnya sendiri dan
saudara seperguruan ayahnya, Witantra.
Namun demikian, Mahisa Bungalan masih
mempergunakan nalarnya sepenuhnya. Ketika ayunan
senjata lawan nya itu menghantam kearah dahinya, maka ia
tidak langsung membenturkan ilmunya, tetapi ia masih
berusaha untuk mengelak. Mahisa Bungalan yang tidak dapat lagi bergeser mundur
itu masih sempat menghindar kesamping. Namun dalam
pada itu, hatinya bergetar ketika ia melihat, betapa
dahsyatnya senjata lawannya itu menghantam dinding kayu
yang tebal. Terdengar suara gemeretak serta derak yang
memekakkan telinga. Sebagian dinding kayu itu ternyata
terbelah oleh kekuatan ilmu dan senjata Pangeran Kuda
Rukmasanti. Pangeran Kuda Padmadata menahan nafasnya.
Demikian cepat segalanya telah terjadi. Pada saat itu pula,
Mahisa Bungalan yang telah mengerahkan ilmunya pada
senjatanya, tiba-tiba telah mengayunkan pedangnya,
menghantam senjata Kuda Rukmasanti.
Benturan telah terjadi. Jauh lebih dahsyat dari benturanbenturan
sebelumnya. Dua ilmu telah beradu. Namun
Mahisa Bungalan yang memukul punggung senjata
lawannya agaknya lebih mapan. Namun senjatanyalah
yang agaknya kurang baik, Senjata yang dapat direngut dari
seorang pengawal itu tidak mampu menahan benturan
ilmu. yang luar biasa, sehingga ketika bunga api memercik,
ternyata bahwa pedangnya telah patah.
Tetapi dalam pada itu, senjata Pangeran Kuda
Rukmasanti yang dihantam pada punggungnya itupun telah
terlepas dari genggamam Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran Kuda Rukmasanti terkejut mengalami
benturan yang dahsyat itu. Ia sama sekali tidak menduga,
bahwa lawannya itu tidak saja mampu mengimbangi
kekuatan dan kemampuan wajarnya, tetapi iapun mampu
membentur kekuatan puncak ilmunya dengan pengerahan
tenaga cadangan. Bahkan dengan demikian, lawannya itu
telah mampu menghantam dan melepaskan genggaman
senjatanya, meskipun senjata lawannya itupun telah patah
pula. Pangeran Kuda Padmadatapun menjadi berdebar-debar.
Ternyata anak orang yang berdiri di pintu, disisinya itu,
memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi
kemampuan adik kandungnya, kemampuan yang sukar
dicari bandingannya. "Luar biasa" desis Pangeran Kuda Padmadata "itulah
sebabnya mereka berani bertindak pada keadaan yang
sangat gawat. Jika anak muda itu mampu berbuat
demikian, bagaimana dengan ayahnya dan orang-orang
yang lain yang termasuk didalam kelompok mereka"
Diluar sadarnya, maka Pangeran Kuda Padmadata
itupun memandang ke sekelilingnya. Dengan berdebardebar
ia melihat beberapa orang yang sudah mutlak
dikuasai oleh beberapa orang yang mengaku petugas dari
Singasari itu. Para pengawal, bahkan pemimpin-pemimpin
nya sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang tua
dari Singasari itu, sehingga mereka dapat ditundukkan
tanpa mengorbankan jiwa. Sekilas Pangeran Kuda Padmadata melihat dua orang
pengawalnya yang telah dibunuhnya. Tetapi ia tidak
menyesal. Kedua orang itu benar-benar merupakan hantu
yang paling licik yang selalu membayanginya.
Dalam pada itu, kedua orang anak muda yang telah
kehilangan senjata masing-masing itu ternyata masih
bertempur terus. Mereka sudah berada pada puncak
kemampuan mereka. Meskipun bertempur dengan tangan
mereka namun kedahsyatan sentuhan tangan mereka tidak
kalah dahsyatnya dari benturan-benturan senjata.
Ruang yang menjadi arena pertempuran itu sudah
berserakkan. Bukan saja perabotnya. Tetapi dindingdindingnyapun
sudah menjadi pecah oleh hentakan
kekuatan yang tidak ada taranya.
Benturan demi benturan telah terjadi. Masing-masing
dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dan
mengerahkan segenap daya tahan tubuhnya.
Namun demikian, setelah memeras tenaga dan
kemampuan, maka ternyata bahwa beta pun tinggi ilmu
yang mereka miliki, tetapi mereka masih tetap didalam
lingkup keterbatasan. Kedua anak muda yang sedang
bertempur itu masih tetap dua orang yang terdiri dari wadag
mereka. Daging dan tulang mereka masih juga daging dan
tulang se wajarnya. Dengan demikian, maka setelah ilmu mereka
berbenturan dengan dahsyatnya pada puncak kemampuan,
maka mulai nampak tenaga merekapun mulai susut.
Pengerahan tenaga cadangan mereka pada puncak ilmu
mereka tidak lagi sedahsyat pada benturan-benturan yang
pertama. Namun pada saat-saat yang demikian, maka perbedaan
tingkat kemampuan kedua anak muda yang seimbang itu,
mulai nampak. Ternyata bahwa ketahanan merekalah yang
berbeda. Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang anak muda
yang luar biasa. Yang memiliki ilmu yang tidak ada
taranya, yang seimbang dengan ilmu yang dimiliki oleh
Mahisa Bungalan. Namun kemampuan yang seimbang itu
ternyata didukung oleh daya tahan yang berbeda. Mahisa
Bungalan adalah seorang yang membiasakan diri hidup
dalam keprihatinan. Bahkan ia adalah seorang perantau
yang dengan caranya telah menempa diri. Sementara
Pangeran Kuda Rukmasanti adalah seorang Pangeran yang
terbiasa hidup dalam genangan pesona hidup duniawi.
Meskipun Pangeran Kuda Rukmasanti telah bekerja keras
untuk menguasai ilmu yang dahsyat seperti juga kakaknya
Pangeran Kuda Padmadata, bahkan mungkin dalam tataran
yang lebih baik, namun ia tidak menempa dirinya sedahsyat
Mahisa Bungalan. Karena itulah, Maka pada saat-saat terakhir, Mahisa
Bungalan yang mempunyai daya tahan yang lebih besar,
ternyata sedikit demi sedikit, berhasil mendesak lawannya.
Namun demikian, itu belum berarti akhir dari
pertempuran itu. Jika Mahisa Bungalan melakukan
kesalahan sedikit saja, maka ia akan terperosok kedalam
kesulitan yang berbahaya.
Tetapi Mahisa Bungalanpun ternyata berusaha untuk
bertempur dengan cermat di saat-saat terakhir. Ia tidak mau
membuat kesalahan sama sekali. Bahkan ia telah
mengambil keputusan untuk melumpuhkan lawannya yang
dianggapnya seorang pengkhianat terhadap saudara
kandungnya sendiri. Perlahan-lahan Mahisa Bungalan berhasil mendesak
lawannya. Ketika Pangeran Kuda Rukmasanti
menghentakkan kekuatannya menghantam Mahisa
Bungalan dengan tangan terjulur lurus mengarah kedada,
maka Mahisa Bungalan sempat mengelak. Yang terdengar
kemudian adalah gemeretak dinding yang pecah. Namun
pada saat yang tepat, Mahisa Bungalan sempat
merendahkan dirinya. Kakinya dengan cepat terayun
menghantam lambung. Kemampuan yang dilambari dengan ilmunya yang
dahsyat itu telah melemparkan Pangeran Kuda
Rukmasanti. Meskipun tubuh Pangeran muda itu juga
dilambari dengan kemampuan puncaknya, namun kekuatan
kaki Mahisa Bungalan masih terasa menyesakkan nafasnya.
Dengan sigapnya Pangeran Kuda Rukmasanti berusaha
untuk meloncat bangkit. Namun demikian ia berdiri tegak,
Mahisa Bungalan telah meluncur bagaikan anak panah
yang dilontarkan dari busurnya. Dengan kaki terjulur lurus
menyamping, Mahisa Bungalan menyerang Pangeran Kuda
Rukmasanti yang baru bangkit berdiri. Tidak ada
kesempatan apapun juga yang dapat dilakukan. Demikian
Pangeran itu berdiri tegak, maka serangan Mahisa
Bungalan menghantam tengkuknya sehingga sekali lagi
Pangeran Kuda Rukmasanti terdorong jatuh terbanting di
lantai. Pangeran Kuda Rukmasanti mengeluh tertahan. Tetapi
kemarahan didadanya telah menghentakkannya untuk
bangkit. Betapapun perasaan sakit mencengkamnya, tetapi
dengan tangkasnya ia meloncat berdiri. Ia tidak mau sekali
lagi dikenai serangan Mahisa Bungalan. Karena itu, maka
dengan cermat ia mengamati setiap gerak lawannya.
Mahisa Bungalan yang tidak mau kehilangan
kesempatan telah meloncat sekali lagi. Tangannyalah yang
kemudian terjulur menghantam kening.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti masih sempat
mengelak. Ia memalingkan wajahnya sambil menarik
tubuhnya secengkang, sehingga tangan Mahisa Bunglan
tidak menyentuhnya. Bahkan dengan serta merta, maka
Pangeran Kuda Rukmasanti itu berkisar setapak kesamping.
Dan dengan kuatnya ia menghantam bagian samping dada
Mahisa Bungalan dengan kerasnya.
Terasa nafas Bungalan menyesak. Bahkan sebelum ia
sempat memperbaiki keadaannya, Pangeran Kuda
Rukmasanti telah berputar. Dengan kerasnya Pangeran itu
menghantam pangkal leher Mahisa Bungalan dengan sisi
telapak tangannya. Mahisa Bungalanlah yang kemudian menyeringai
menahan sakit yang menyengat. Namun ia tidak mau
membiarkan dirinya dikenai beruntun olah lawannya.
Pada jarak gapai tangannya, justru pada saat Pangeran
Kuda Rukmasanti menyerangnya, Mahisa memiringkan
tubuhnya, sehingga ia sempat menangkis serangan kaki
lawannya dengan sikunya. Benturan itu memang
merupakan benturan ilmu yang sangat dahsyat, sehingga
ternyata bahwa Mahisa Bungalan dan Pangeran Kuda
Rukmasanti telah terdesak surut beberapa langkah.
Demikian keduanya memperbaiki kedudukan mereka,
maka keduanya telah berhadapan dengan garangnya.
Pada keadaan yang demikian, baik Pangeran Kuda
Padmadata, maupun Mahendra dapat melihat dengan jelas,
bahwa keadaan Mahisa Bungalan masih lebih baik dari
lawannya. Pernafasan Kuda Rukmasanti menjadi semakin
memburuk oleh sesak didadanya, juga oleh tenaganya yang
terperas. Meskipun Mahisa Bungalan telah mandi keringat, serta
pernafasannyapun mulai semakin cepat mengalir, namun ia
masih nampak lebih kuat dari lawannya.
"Kuda Rukmasanti" panggil Pangeran Kuda Padmadata
dengan cemas. Lalu "Sudahlah. Marilah kita berbicara
dengan baik. Semuanya telah dapat diketahui dengan pasti"
Pangeran Kuda Rukmasanti memandang kakak
kandungnya dengan tatapan mata penuh kebencian.
Dengan kasar ia menjawab "Kau harus tunduk kepadaku.
Aku akan membunuh siapa saja yang menentang
maksudku" "Adimas" berkata Pangeran Kuda Padmadata "marilah
kita berbicara. Bagaimana juga, aku adalah kakak
kandungmu. Kau adalah adikku"
"Cukup" Pangeran Kuda Rukmasanti berteriak "jangan
merajuk. Sudah saatnya kau mengetahui segala rencanaku.
Kau akan kehilangan anak isterimu yang kau ambil dari
padukuhan itu. Jika pada saatnya kau mati, mungkin
karena kecelakaan atau karena sebab-sebab lain sehingga
kau mati muda, maka segala warisan akan jatuh
ketanganku dan puteri yang disebut isterimu itu"
"Ya, ya. Aku tahu" berkata PangeranKuda Padma data
"untuk itu kau tidak perlu menunggu aku mati. Kau tidak
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perlu membunuh anak isteriku. Biarlah aku serahkan
semuanya kepadamu. Aku akan menyingkir dan hidup di
kalangan orang-orang padesan bersama isteri dan anakku,
aku tidak akan mengingat lagi, bahwa aku dalah Pangeran
Kuda Padmadata" "Omong kosong. Kau hanya ingin menyelamatkan
dirimu" geram Pangeran Kuda Rukmasanti "pada saatnya
kau akan berusaha membunuh aku"
"Orang yang hina" Mahisa Bungalanlah yang tidak
tahan lagi mendengar percakapan itu "kau tidak
mempunyai kesempatan lagi tanpa belas kasihan Pangeran
Kuda Padmadata" "Mahisa Bungalan" potong Mahendra "biarlah
masalahnya diselesaikan antara kakak beradik itu"
Mahisa Bungalan menggeram. Rasa-rasanya ia tidak
sabar menunggu lagi. Tangannya sudah gemetar, sementara
ilmunya masih mapan pada puncak kemampuannya.
Setiap saat ia menerkam lawannya, maka pada jarijarinya
masih terungkap kekuatannya yang tiada taranya,
yang tiap saat pula dapat merengut nyawa lawannya itu.
Namun dalam pada itu, ruangan itu telah digetarkan
suara Pangeran Kuda Rukmasanti "jangan bicara lagi.
Marilah, siapa yang ingin aku bunuh, majulah. Aku akan
membunuh kalian semuanya. Kalian orang dungu, dan
kakangmas Kuda Padmadata. Kemudian siapapun juga
yang mencoba melibatkan diri dalam masalah kami"
Pangeran Kuda Padmadata melangkah maju. Dengan
hati-hati ia berkata "Kau sudah tidak banyak kesempatan
adimas. Orang-orangmu telah terbunuh. Kedua orang yang
kau tempatkan disisiku itupun telah terbunuh. Darahku
masih mendidih pada saat mereka melawanku, sehingga
aku tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan
lain kecuali membunuh mereka"
"Aku tidak tergantung kepada siapapun juga" teriak
Pangeran Kuda Rukmasanti "aku adalah aku. Dan aku
akan membunuh semua orang disini"
Jantung Mahisa Bungalan bagaikan akan meledak. Ia
sudah tidak dapat menahan diri lagi melihat sikap Pangeran
Kuda Rukmasanti. Darah yang meleleh dari luka masingmasing,
nampaknya telah membuat jantung mereka hangus
terbakar oleh gejolak kemarahan yang tidak terkekang.
Hanya karena ayahnyalah maka Mahisa Bungalan masih
berusaha untuk menahan diri.
Namun agaknya Pangeran Kuda Padmadata yang marah
itu, telah berusaha menguasai perasaannya. Kemarahannya
telah tersalur dan terhunjam lewat tombak nya ketubuh
kedua orang yang setiap hari membayanginya dan yang
baginya sangat memuakkan itu. Bahkan kadang-kadang
kedua orang itu berani membentaknya, mendorongnya dan
justru kadang-kadang menyakitinya, dengan ancaman,
bahwa setiap perlawanan akan bera-khibat kematian anak
dan isterinya. Selangkah lagi ia maju mendekati adiknya. Dan dengan
suara lunak ia berkata "Sudahlah adimas. Marilah kita
berbicara sebagai dua orang saudara. Selain kita, masih ada
paman dan bibi kita yang dapat memberikan beberapa
petunjuk tentang hidup kita dimasa datang. Atau barangkali
orang-orang tua lainnya yang kita anggap cukup bijaksana"
"Persetan dengan orang lain" geram Kuda Rukffia santi
"kau akan menyeret aku kepada pengadilan keluarga" Kau
akan menyudutkan aku kedalam kesulitan, karena orangorang
tua itu akan menunjuk hidungku sambil menyeringai
dengan bengis. Mereka akan meneriakkan hukuman yang
paling berat yang harus aku tanggungkan"
"Tidak. Tidak" sahut Pangeran Kuda Pamdadata dengan
serta merta "jika memang tidak kau kehendaki, aku tidak
akan minta nasehat kepada siapapun juga. Kita akan
menyelesaikan persoalan kita. Aku akan menurut apa yang
akan kau putuskan tentang istana ini, tentang isinya dan
tentang apapun juga yang kau kehendaki"
"Kau memancing aku. Kau sudah menjadi licik
kakangmas. Jika kau masih jantan marilah. Kita masih
mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan persoalan
kita dengan sikap laki-laki"
"Apakah yang akan kita pertengkarkan dengan perang
tanding semacam itu adimas"
"Istana peninggalan ayahanda, isinya dan perempuan
itu" "Ambillah semuanya tanpa perang tanding. Aku sudah
mengaku kalah. Ambillah isinya, dan ambillah puteri yang
memang belum pernah menjadi isteriku itu" Pangeran
Kuda Padmadata berhenti sejenak "lalu apa lagi?"
"Licik. Licik. Licik kau. Marilah, aku bunuh kau" teriak
Pangeran Kuda Rukmasanti.
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia benar-benar tidak ingin melawan adiknya. Adik
kandungnya, yang pada masa kecilnya setiap hari bermain
bersama, berlari-Iarian dan memang kadang kadang mereka
bertengkar. Tetapi tidak lebih lama dari sepenginang.
Ternyata bahwa Kuda Padmadata benar-benar tidak
ingin berkelai melawan adiknya. Dengan susah payah ia
mencoba membujuknya. Namun dengan keras adiknya
membentak dan bahkan mengumpat.
"Lalu apakah yang kau kehendaki sebanarnya adimas?"
bertanya Pangeran Kuda Padmadata "Aku sudah
menyerahkan segala-galanya tanpa kecuali. Aku bersikap
jujur. Bukan sekedar ingin menjembakmu, karena
kedudukanku sekarang jauh lebih baik dari kedudukanmu"
"Bohong" teriak Pangeran Kuda Rukmasanti.
"Lihatlah. Orang-orang sudah terbunuh. Yang lain
menyerah dan meletakkan senjatanya" jawab Pangeran
Kuda Padmadata. "Tetapi isterimu itu akan aku bunuh dengan anak lakilakimu
sekaligus" teriak adiknya.
"Ia sudah berada ditangan yang aman. Kau tidak akan
dapat melakukannya" sahut Pangeran Kuda Padmadata
"karena itu, tidak ada gunanya aku menjebakmu dengan
licik. Jika aku mau, segala dapat terjadi tanpa jebakjebakan.
Tanpa melakukan kelicikan dan tanpa
pengkhianatan. Kau memang sudah tidak berdaya. Karena
itu, jika aku bertanya untuk menyerahkan apa saja selain
nyawa isteri dan anak laki-lakiku itu, aku tidak akan
berkeberatan" "Aku minta nyawamu" teriak Pangeran Kuda
Rukmasanti. "Adimas" Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Ia tidak
menduga sama sekali bahwa kesesatan hati itu sudah
mencekamnya demikian dalamnya.
Sejenak Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu.
Namun dalam pada itu, Pangeran Kuda Rukmasanti
berteriak "Cepat. Ambil keputusan. Menyerahkan lehermu
di sini, atau bertempur sampai mati"
Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu. Namun
kemudian dengan kepala tunduk ia berkata "Aku tidak
dapat bertempur melawannya. Aku tidak tahu apakah aku
akan kalah atau menang seandainya aku harus berperang
tanding. Tetapi aku adalah saudara tuanya. Demikian pula
didalam perguruan. Aku kira aku tidak kalah daripadanya.
Tetapi aku tidak dapat melakukannya"
"Jadi, apa yang akan terjadi selanjutnya Pangeran?"
bertanya Mahendra. Pangeran Kuda Padmadata merenung sejenak. Namun
iapun kemudian justru memutar diri dan melangkah keluar
dari ruangan itu. Tetapi iblis benar-benar telah menyala dihati adik
kandungnya. Demikian Pengeran Kuda Padmadata
melangkah menjauh sambil membelakangi adiknya, tibatiba
saja Pangeran Kuda Rukmasanti telah menyerangnya
dengan garangnya. Kedua tangannya berkembang
menerkam tengkuk kakaknya.
"Pangeran" Mahendra berteriak.
Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Iapun telah
meloncat berpaling. Namun yang dilihatnya adalah Mahisa
Bungalan yang meloncat dengan serangan kakinya
mendatar. Demikian cepatnya, sehingga kaki itu telah lebih
dahulu menyentuh tubuh Pangeran Kuda Rukmasanti
daripada tangan Pangeran Kuda Rukmasanti yang
menerkam kakaknya. Demikian kerasnya, dilambari dengan kemampuan
puncaknya, maka hantaman kaki Mahisa Bungalan telah
membenturkan Pangeran Kuda Rukmasanti pada dinding.
Tetapi daya tahan tubuh Pangeran Kuda Rukmasantipun
ternyata luar biasa pula. Karena itu, maka tubuh yang
terlempar itu telah memecahkan dinding kayu yang
membatasi bilik itu dengan ruang lainnya.
Demikian tinggi kemampuan Pangeran Kuda
Rukmasanti, didorong oleh kemarahan yang membakar
jantungnya, maka iapun dengan serta merta telah meloncat
berdiri. Dengan tangkasnya iapun telah bersiap untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Sikap itu telah membuat darah Mahisa Bungalan
mendidih. Ia masih terlalu muda untuk dapat menahan diri
dalam keadaan seperti itu. Karena itu, maka tanpa
menghiraukan lagi Pangeran Kuda Padmadata dan
ayahnya. Mahisa Bungalan meloncat menyerang.
Pertempuranpun segera menyala kembali dengan
sengitnya. Keduanya tidak lagi menghiraukan siapapun
juga. Mahisa Bungalan tidak lagi melihat ketika
Witantrapun kemudian berdiri dipintu bersama Mahisa
Agni. Dengan dahsyatnya Mahisa Bungalan menyalurkan
tangannya mengarah kepada Pangeran Kuda Rukmasanti.
Tetapi Pangeran itu menarik sebelah kakinya dan bergeser
kesamping. Dengan sekuat tenaga, maka ialah yang
kemudian menyerang dengan hentakkan tangan mendatar
kelambung Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan yang marah itu sengaja tidak
menghindar. Ia telah menangkis serangan itu dengan kedua
sikunya yang merapat dihadapan dadanya sambil merendah
kan lututnya. Telah terjadi benturan kekuatan yang dahsyat. Pangeran
Kuda Rukmasanti menyeringai menahan sakit tangannya,
sementara Mahisa Bungalan terguncang selangkah surut.
Namun dalam pada itu, meskipun perasaan nyeri
menyengat tangannya,, tetapi Pangeran Rukmasanti tidak
menghiraukan. Sekali lagi ia berputar pada sebelah
tumitnya sementara kakinya yang lain dengan dahsyatnya
menghantam lawannya. Mahisa Bungalan tidak membentur kekuatan kaki
lawannya. Ia meloncat menghindarkan. Tetapi kemudian
iapun melenting seperti seekor bilalang, dengan tangannya
terjulur lurus menghantam kearah kening.
Pangeran Kuda Rukmasanti menyilangkan tangannya,
ketika terjadi benturan sekali lagi maka tangan Mahisa
Bungalan telah bergeser. Setapak ia beringut surut.
Sementara Pangeran Kuda Rukmasantipun terdorong
selangkah. Tetapi kecepatan bergerak Mahisa Bungalanlah yang
kemudian mengejutkan lawannya. Sekejab kemudian,
tubuh Mahisa Bungalan bagaikan lurus mendatar dan
bertumpu pada satu kakinya, sedangkan kakinya yang lain
telah menyambar dada lawannya.
Pangeran Kuda Rukmasanti berusaha memukul kaki itu
kesamping. Tetapi ia tidak berhasil sepenuhnya. Ternyata
kaki Mahisa Bungalan masih mengenai pundaknya,
sehingga ia terdorong setapak.
Mahisa Bungalan tidak melepaskan setiap kesempatan
Dengan tangkasnya ia meloncat sekali lagi menyerang
lawannya. Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti masih
sempat memperhitungkan serangan itu, Justru kerena ia
masih belum mapan, maka ia justru menjatuhkan dirinya.
Dengan demikian, maka serangan Mahisa Bungalan
tidak mengenai sasarannya. ketergesa-gesaannya telah
membenturkannya pada dinding kayu dibagian lain dari
ruang itu. Sekali lagi terdengar dinding kayu itu berderak pecah
berserakan. Dengan demikian, maka bilik itu sudah tidak berujud
lagi. Semuanya berserakkan. Dindingpun telah pecah dan
patah-patah. Namun pertempuran itu masih berlangsung
terus. Mahisa Bungalan segera memperbaiki keadaannya,
sementara Pangeran Kuda Rukmasanti telah tegak pula.
Tetapi pernafasan Pangeran Kuda Rukmasanti menjadi
semakin cepat berdesakkan di lubang hidungnya.
Keringatnya telah terperas, bercampur dengan titik-titik
darahnya. Wajahnya yang tegang kadang-kadang nampak
merah membara. Namun kadang-kadang nampak keputihputihan
dan bagaikan tidak dialiri oleh darahnya lagi.
Sementara Mahisa Bungalan justru menjadi semakin
garang. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati
lawannya. Pecahan dinding kayu yang berserakan tidak
dihiraukannya lagi. Iapun sama sekali tidak tertarik untuk
memungut senjata yang terlepas dari tangan Pangeran kuda
Rukmasanti. rasa-rasanya ia lebih percaya pada tangannya
yang dialiri oleh kemampuan puncaknya.
Pangeran Kuda Rukmasanti ternyata sama sekali tidak
menyadari, betapa kemampuannya telah mulai susut.
Nafasnya mulai mengganggunya. Namun gejolak
perasaannya justru menjadi semakin menyala membakar
kesadarannya bagaikan hangus.
"Adimas" suara Pangeran Kuda Padmadata menjadi
parau. Bagaimapun juga, ia merasa gentar di sudut
jantungnya, melihat keadaan adik kandungnya.
Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti tidak mendengarnya.
Wajahnya yang kadang-kadang pucat, kadang-kadang
menyala itu menjadi semakin liar. Bahkan semakin lama.
kesan keagungannya sebagai seorang bangsawan tinggi dari
Kediri telah lenyap. Yang nampak adalah wajah iblis yang
paling buas menghadapi bayangan kebenaran yang menjadi
semakin nyata.
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adimas, kau dengar suaraku?" suara Pangeran Kuda
Padmadata bergetar. Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti justru telah meloncat
menyerang Mahisa Bungalan yang telah menjadi semakin
dekat. Demikian tiba-tiba dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Mahisa Bungalan yang masih selalu bersiap, tidak
sempat mengelak. Sekali lagi mengerahkan segenap kekuat
an dan kemampuan puncak ilmunya untuk membentur
serangan Pangeran Kuda Rukmasanti.
Akibat benturan yang terjadi berlandaskan segenap
kemampuan dari dua orang yang memiliki kekuatan dan.
kematangan ilmu yang luar biasa itu, maka akibatnyapun
luar biasa pula. Mahisa Bungalan telah terdorong beberapa langkah
surut. Bahkan, oleh pecahan perabot dan dinding yang
pecah berserakan, kaki Mahisa Bungalan telah terantuk dan
membuatnya terhuyung-huyung. Tenaganya yang telah
diperas itu, tidak lagi mampu mempertahankan
keseimbangannya, sehingga akhirnya ia terjatuh meskipun
ia masih dalam keadaan sepenuhnya menghadapi
kemungkinan yang dapat memburunya.
Tetapi dalam pada itu, akibat yang terjadi pada pangeran
Kuda Rukmasantipun ternyata menggetarkan jantung.
Pangeran Kuda Rukmasanti telah terlempar beberapa
langkah dan jatuh terbanting diatas pecahan kayu perabot
dan dinding yang berserakkan. Namun yg berakibat sangat
buruk baginya adalah, bahwa kepala Pangeran Kuda
Rukmasanti itu telah membentur batu pada tiang yang
terdapat diantara bilik itu tanpa dapat mengelak lagi.
Namun yang terdengar dari bibir Pangeran Kuda
Rukmasanti mengejutkan sekali. Dengan suara gemetar dan
terputus-putus Pangeran yang masih muda itu menggeram
"Aku bunuh kau, isteri dan anakmu yang tidak pantas
mewarisi segala yang kau miliki karena derajatnya.
Terdengar Pangeran itu mengaduh. Betapa gejolak yang
menggelora didalam dadanya masih sempat
menghentakkannya bangun. Namun sekali lagi terhuyunghuyung
dan jatuh terbaring dilantai. Tangannya mengusap
bagian belakang kepalanya yang telah membentur sudut
batu yang telah melukai bagian belakang kepalanya itu.
"Adimas" Pangeran Kuda Padmadata yang mengetahui
apa yang telah terjadi itu, telah berlari-lari mendekatinya.
Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata, saudara
yang lebih tua dari Pangeran Kuda Rukmasanti benar-benar
berusaha untuk melenyapkan segala pertengkaran yang
pernah terjadi. Dengan perasaan haru seorang kakak
kandung, maka pangeran Kuda. Padmadata itu telah
mengangkat kepala adiknya dan diletakkan pada
pangkuannya. "Adimas" desisnya.
Ternyata bahwa keadaan Pengeran itu benar-benar telah
parah. Dari bagian belakang kepalanya telah mengalir
darah, Agaknya berbentur ompak itu telah melukai tulang
belakang kepala itu. Pangeran Kuda Rukmasanti menyeringai menahan,
sakit. "Adimas, kau mendengar suaraku?" sekali lagi Pangeran
Kuda Padmadata berdesis ditelinga adiknya.
Namun yang terdengar dari bibir Pangeran Kuda
Rukmasanti mengejutkan sekail Dengan suara gemetar dan
terputus-puuv Pengaron yang masih muda itu menggeram "
Aku bunuh kau, istri dan anakmu yang tidak pantas
mewarisi segala yang kau miliki karena derajatnya"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Katanya "Baiklah. Segalanya akan terjadi. Tetapi sadarilah
keadaanmu Tenangkan hatimu. Kau memerlukan seorang
tabib yang baik untuk mengobati luka-lukamu"
Aku tidak terluka" tiba-tiba saja Pangeran itu
menghentakkan dirinya. Namun ternyata tenaganya sama
sekali tidak mampu lagi mendukungnya. Karena itu, maka
iapun terkulai lagi dengan lemahnya. Bahkan dari sudut
bibirnya mulai mengalir darah yang kehitam-hitaman.
"Adimas, adimas" panggil Pangeran Kuda Padmadata.
Tidak ada jawaban. Nafas Pangeran yang masih muda
itupun menjadi semakin sendat.
Akhirnya, yang sangat dicemaskan itu telah terjadi.
Pangeran yang masih sangat muda untuk berpeluk dengan
maut itu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Yang lebih menggelisahkan hati Pangeran Kuda
Padmadata ialah bahwa adiknya di saat-saat terakhir, masih
belum dapat mengerti, apa yang telah terjadi pada dirinya.
Ia masih belum melihat kesalahan yang telah
menggerakkannya untuk melakukan suatu pengkhianatan
terhadap kakak kandungnya sendiri.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Kuda
Padmadata berdesis "Ia telah kehilangan segala
kesempatan. Kesempatan terakhirpun tidak
dipergunakannya untuk menghubungkan dirinya dengan
Yang Maha Agung" Mahendra telah berlutut pula disisinya. Disebelah lain
Mahisa Agni dan Witantrapun telah duduk pula diatas
pecahan kayu yang berserakkan, sementara Mahisa
Bungalan masih berdiri dengan nafas terengah-engah.
"Kemarilah Mahisa Bungalan" panggil ayahnya.
Mahisa Bungalan memandang orang-orang yang berada
didalam bilik itu sejenak. Namun iapun kemudian beringsut
maju dan duduk dibelakang Mahisa Agni.
"Maafkan anak itu Pangeran" berkata Mahendra "iapun
masih terlalu muda untuk mengekang diri"
"Tidak. Ia tidak bersalah. Ia sudah melakukan sesuatu
yang menurut keyakinannya, akan dapat bermanfaat bagi
sesamanya. Ia telah berjuang untuk tegaknya keadilan
didalam lingkungan keluarga kecilku. Bahkan ia telah
berjuang untuk memulihkan keluargaku yang terpecah dan
terancam akan punah" berkata Pangeran Kuda Padmadata.
Mahendra mengangguk-angguk, sementara Mahisa
Bungalan menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Terbayang segalanya yang telah dilakukannya sejak ia
bertemu dengan seorang laki-laki yang dengan segenap
kemampuan yang ada padanya, berusaha menyelamatkan
seorang cucu laki-lakinya, yang ternyata adalah putera
Pangeran Kuda Padmadata. "Ki Sanak" berkata Pangeran Kuda Padmadata
kemudian "cobalah, panggillah puteri yang berada di bilik
depan. Biarlah ia melihat akibat dari akhir permainan yang
telah dilakukan oleh Rukmasanti bersamanya"
Witantra menjadi ragu. Namun iapun berdiri pula ketika
Mahisa Agni menggamitnya dan mengisyaratkannya agar
mereka berdua melakukan permintaan itu.
Mahisa Agni dan Witantrapun kemudian pergi ke bilik
depan. Bilik yang tertutup rapat dan disel arak dari dalam.
Perlahan-lahan Mahisa Agni mengetuk pintu itu sambil
berkata "Puteri. Hamba mendapat perintah untuk me
manggil puteri" "Siapa kau?" terdengar suara dari dalam.
"Hamba adalah pekatik yang telah bersalah mengambil
barang-barang milik puteri di ruang penyimpanan" berkata
Mahisa Agni. "Apa yang terjadi?" bertanya puteri itu.
"Sebaiknya puteri datang sendiri. Pangeran memanggil
tuan puteri" "Pangeran siapa?" bertanya puteri itu.
"Sejenak Mahisa Agni ragu-ragu. Namun kemudian
katanya "Pangeran Kuda Rukmasanti"
Sejenak bilik itu menjadi sepi. Namun telinga Mahisa
Agni dan Witantra yang tajam mendengar embannya
berbisik "Berhati-hatilah puteri. Mungkin orang-orang itu
ingin menjebak tuan puteri dengan maksud buruk"
Mahisa Agni termangu-mangu. Agaknya puteri itupun
mendengar hiruk pikuk yang terjadi. Bahkan puteri itupun
tentu mengetahui, bahwa telah terjadi pertempuran yang
sengit. Sejenak Mahisa Agni menunggu. Namun kemudian ia
mendengar puteri itu berkata "Lihatlah, siapakah orangorang
itu" Emban itu tidak membuka pintu. Tetapi ia telah
mencoba melihat orang-orang yang mengetuk pintunya dari
lubang daun pintu yang sempit. Namun dari lubang yang
sempit itu ia melihat Mahisa Agni dan seorang yang tidak
dikenalnya. Tetapi agaknya kedua orang itu tidak
berbahaya bagi mereka. Apalagi keduanya agaknya tidak
bersenjata" "Yang seorang memang hamba istana ini" bisiknya
kepada puteri yang gelisah.
"Bukalah pintu" perintah puteri itu.
Emban itu telah menarik selarak dan membuka pintu.
Selarak yang sebenarnya tidak berarti bagi Mahisa Agni
apabila ia ingin memaksa membuka pintu itu.
"Puteri" Mahisa Agni dan Witantra mengangguk dalamdalam.
Demikian hormatnya, sehingga puteri itupun
kemudian tidak mencurigainya lagi.
"Hamba mendapat perintah untuk memanggil tuan
puteri" berkata Witantra kemudian.
"Siapakah yang memerintahkanmu" Benar Pangeran
Kuda Rukmasanti?" bertanya puteri itu.
"Hamba tuan puteri" jawab Mahisa Agni.
"Apakah yang sudah terjadi?" bertanya puteri itu pula.
"Sedikit perselisihan. Tetapi semuanya sudah selesai"
"Kenapa bukan para pengawal yang datang
menjemputku?" bertanya puteri itu.
Sejenak Mahisa Agni termangu-mangu. Namun iapun
kemudian menjawab "Para pengawal sedang mengawasi
beberapa orang yang terlibat dalam perselisihan itu tuan
puteri" "Perselisihan apa sebenarnya?" bertanya puteri itu.
"Hamba tidak jelas tuan puteri. Tetapi persoalannya
memang menyangkut persoalan perhiasan itu"
Puteri itu masih ragu-ragu. Namun kemudian katanya
kepada embannya "Ikut aku"
Puteri itupun kemudian diantar oleh embannya menuju
keruang yang khusus dibagian belakang istana itu, Ketika ia
sampai di serambi, maka iapun terkejut. Ia melihat
beberapa orang diantara para pengawal, justru duduk diam,
sementara seorang tua berdiri mengawasi mereka.
"O" Puteri itu hampir menjerit ketika ia melihat dua
sosok mayat di halaman. "Silahkan puteri" berkata Mahisa Agni "jangan hiraukan
yang terjadi, Pangeran Kuda Rukmasanti telah menunggu"
Puteri itu menjadi semakin ragu-ragu. Apalagi ketika ia
melihat sebuah bilik yang pecah dindingnya dan perabotnya
berserakan. "Masuklah" Mahisa Agni mempersilahkan.
Dengan hati yang berdebar-debar puteri itu berdiri
dimuka pintu Jantungnya bagaikan berhenti berdetak ketika
ia melihat seseorang yang memangku kepala orang lain
yang terbujur diam. "Siapa?" suaranya tertahan dikerongkongan.
Puteri itu menjadi pucat ketika ia melihat Pangeran
Kuda Padmadata berpaling. Dengan suara tertahan
Pangeran itu berkata "Lihatlah. Inilah Pangeran Kuda
Rukmasanti" Puteri itu maju selangkah. Namun puteri itu tiba-tiba
telah memekik tinggi sambil berlari-lari mendekati sesosok
mayat yang terbujur dipangkuan Pangeran Kuda
Padmadata. "Pangeran, Pangeran" teriak puteri itu.
"Tetapi Pangeran Kuda Rukmasanti sama sekali tidak
menyahut. "Kenapa Pengeran?" bertanya puteri itu sambil
memandang wajah Pangeran Kuda Padmadata.
"Ia telah membentur ompak batu itu" jawab Pangeran
Kuda Padmadata. "Kenapa hal itu dapat terjadi?"
Pangeran Kuda Padmadata termangu-mangu sejenak.
Lalu katanya "Aku menyesal bahwa adikku telah terbunuh
Tetapi aku tidak dapat menyalahkan orang lain. Ia telah
memetik buah dari tanamannya sendiri" Pangeran Kuda
Padmadata berhenti sejenak, lalu "semuanya sudah
berakhir" "Maksud Pangeran?" bertanya puteri itu.
"Selama ini aku selalu dibayangi oleh niat dan maksud
yang kurang baik dari adikku, aku sama sekali tidak ingin
mengakhiri dengan cara ini. Tetapi demikianlah yang
terjadi" Puteri itu terdiam sejenak. Namun tiba-tiba saja ia
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata "Semuanya
berakhir. Akupun kini akan bebas dari ketakutan dan
kepura-puraan" Semua orang terkejut mendengar kata-kata puteri itu.
Semua matapun tertuju kearahnya. Dengan ragu-ragu
Pangeran Kuda Padmadata bertanya "Apakah
maksudmu?" Puteri itu termenung sesaat. Namun kemudian ia
menundukkan kepalanya Perlahan-lahan terdengar
suaranya sendat "Ampun Pangeran. Selama ini aku merasa
diriku dipanggang oleh api yang paling panas" ia berhenti
sejenak. Bahkan kemudian terdengar ia terisak "aku telah
dikuasai oleh Pangeran Kuda Rukmasanti yang tamak aku
sama sekali tidak dapat melawan kehendaknya, karena aku
tidak sampai hati menyakiti hati Pangeran Kuda
Padmadata. Aku tahu, bahwa isteri Pangeran yang
pertama, dan putera Pangeran laki-laki berada dibawah
kekuasaan Pangeran Kuda Rukmasanti, sehingga apabila
aku melawan kehendaknya, maka isteri Pangeran yang
pertama dan putera Pangeran itu akan mengalami kesulitan.
Karena itu, aku terpaksa berbuat sesuai yang dihendaki oleh
Pangeran Kuda Rukmasanti, demi kesetiaanku kepada
Pangeran Kuda Padmadata, meskipun aku adalah seorang
isteri yang kedua. Namun adalah menjadi kewajibanku
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untuk menunjukkan bakti dan kesetiaan, yang barangkali
terpaksa aku lakukan dengan cara yang tidak terpuji"
Ruangan itu menjadi hening sesaat. Perlahan-lahan
Pangeran Kuda Padmadata meletakkan tubuh adiknya yang
membeku. Kemudian ditatapnya wajah puteri itu dengan
sorot mata yang aneh. "Apakah benar yang kau katakan?" tiba-tiba Pangeran
Kuda Padmadata bertanya. "Ampun Pangeran, hamba berkata sebenarnya" jawab
puteri itu "jika Pangeran tidak percaya, belahlah dada ini"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya "Aku benar akan membelah dadamu Dan aku
akan melihat, bahwa pada jantungmu tumbuh bulu-bulu
sebagai pertanda kelamnya sifat dan watakmu"
"Pangeran?" "Puteri yang manis" desis Pangeran Kuda Padmadata
"siapakah sebenarnya yang telah mendorong adikku
berbuat seperti ini" Siapakah sebenarnya yang telah
membakar istana ini dengan ketamakan dan kedengkian?"
"O" puteri itu terkejut "apakah maksud Pangeran
dengan tuduhan-tuduhan semacam itu?"
Puteri itu mulai menjadi ketakutan. Namun ia masih
mencoba mengelak "Pangeran, Hamba adalah isteri
Pangeran, meskipun hanya isteri kedua. Tetapi hambapun
mempunyai kewajiban sebagaimana seorang isteri yang
setia. Hamba sudah mengatakan bahwa mungkin cara yang
hamba tempuh tidak sesuai dengan keinginan Pangeran.
Tetapi dengan demikian, hamba sudah berusaha
memperpanjang umur isteri Pangeran yang pertama dan
putera laki-laki Pangeran itu"
"O, puteri yang maha bijaksana" berkata Pangeran Kuda
Padmadata dengan suara gemetar oleh gejolak perasaannya.
"Jika puteri tidak mengatakan demikian, tidak memutar
balik kenyataan dan membebankan semua dosa kepada
adikku, mungkin aku masih mempunyai perasaan belas
kasihan kepadamu. Tetapi ternyata kau adalah iblis yang
paling licik. Kau adalah iblis yang berkedok seorang wanita
yang paling cantik di Kediri. Kau telah membius adikku
dengan kecantikanmu. Kau telah bersepakat dengan Kuda
Rukmasanti untuk membelengguku dalam sarang raksasa
ini. Tetapi yang Maha Agung telah membebaskan aku
dengan lantaran beberapa orang yang ternyata adalah para
petugas sandi dari Singasari"
"Paman Mahisa Agni pernah mewakili kuasa Singasari
di Kediri" tiba-tiba saja Mahisa Bungalan memotong
"Demikian pula paman Witantra. Keduanya adalah
Senopati Agung, seperti yang sudah aku katakan"
Wajah puteri itu menjadi pucat. Sementara Pangeran
Kuda Padmadata berkata "Aku mengucapkan terima kasih
kepada tuan-tuan sekalian, mungkin sikapku terlampau
kasar. Tetapi keadaanku saat ini agak berbeda dengan
keadaan seorang Pangeran sewajarnya"
"Kami mengerti Pangeran" jawab Mahisa Agni.
"Aku ingin menyerahkan puteri ini kepada kekuasaan
tertinggi di Kediri. Mungkin perlu juga diketahui oleh
Singasari apa yang telah terjadi disini. Tetapi peristiwa ini
adalah peristiwa yang kecil sekali dalam hubungan
Singasari dan Kediri, tetapi peristiwa yang maha besar bagi
keluargaku" Pangeran Kuda Padmadata berhenti sejenak
memandang puteri yang kemudian menangis sambil
meratap "Ampun Pangeran. Hamba mohon ampun"
"Kesalahanmu berlipat ganda. Kau telah
menjerumuskan adikku kedalam kesulitan ini. Dan pada
saat terakhir kau telah mengkhianatinya pula" geram
Pangeran Kuda Padmadata. "Bukan maksud hamba sendiri" jawab puteri itu "tetapi
juga dalam persetujuan dengan Pangeran Kuda
Rukmasanti" "Sebenarnya sulit dipercaya, bahwa adikku pada suatu
saat akan memusuhi aku tanpa pengaruh orang lain. Ia
adalah seorang anak yang baik. Ia sangat penurut, dan
bahkan ia kadang-kadang menunjukkan kesediaannya
berkorban untuk kepentinganku. Namun pada suatu saat, ia
menjadi liar dan buas, justru setelah ia berhubungan dengan
kau" "Hamba mohon ampun. Tetapi jangan serahkan hamba
kepada kekuasaan di Kediri, meskipun tuanku akan
menghukum hamba dengan cara apa saja" berkata puteri itu
"hamba iklas menerima hukuman Pangeran, karena hamba
telah berdosa kepada Pangeran"
"Aku tidak berhak. Biarlah kau berada ditangan mereka
yang wajib mengadilimu. Yang wajib menghukum atau
mengampunimu" jawab Pangeran Kuda Padmadata.
Puteri itu menangis tertahan-tahan. Seolah-olah ia
melihat apa yang pernah dilakukannya. Ia telah
menjerumuskan Pangeran Kuda Rukmasanti kedalam
keadaan yang paling pahit. Pangeran yang masih muda itu
telah mengakhiri hidupnya dalam keadaan yang
mengerikan. Yang terakhir melukainya, bukanlah ujung
tombak atau keris. Tetapi ompak batu yang menjadi alas
tiang didalam ruang sudah berserakan itu.
Tiba-tiba saja penyesalan yang dalam telah mengorek
jantungnya. Dengan suara tertahan-tahan ia berkata
"Pangeran Kuda Padmadata. Hamba memang sudah
sepantasnya dihukum. Tetapi aku mohon, hendaklah tuan
yang menjatuhkan hukuman atas hamba. Hamba adalah
perempuan yang paling hina diseluruh Kediri"
"Sudah aku katakan" jawab Pangeran Kuda Padmadata
"bukan aku yang berhak"
"Meskipun tuan tidak berhak. Tetapi seandainya
Pangeran menghendaki, maka tuan dapat menghukum
hamba sekarang. Tuan dapat membunuh hamba dihadapan
para saksi, bahwa sebenarnyalah hamba telah bersalah"
tangis puteri itu. "Tidak. Tidak" desis Pangeran Kuda Padmadata.
"Jika hamba Pangeran serahkan kepada kekuasaan
Kediri, maka hamba hanya akan menjajakan aib yang.
tergores dikening. Setiap orang akan memandang hamba
seperti memandang seekor binatang melata yang paling
rendah derajadnya. Jika hamba kemudian dibawa ketiang
gantungan di ara-ara atau hukuman lain yang harus hamba
lakukan, maka kematian hamba akan diiringi oleh perasaan
malu yang tentu tidak akan tertanggungkan" puteri itu
menangis semakin menjadi jadi "tetapi jika tuan
membunuh aku sekarang, maka perasaan itu akan jauh
berkurang menghimpit jantung hamba. Kematian tidak lagi
menakutkan bagi hamba, tetapi yang paling mengerikan
bagi hamba sekarang, adalah justru perasaan malu dan
tidak berharga" Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam
Katanya kemudian "Aku tidak dapat bebuat apa-apa
terhadapmu. Tetapi aku bersedia menolongmu,
menjauhkan kau dari perasaan malu, Seandainya kau harus
aku hukum, maka hukumanmu tidak akan dilakukan di
hadapan rakyat Kediri"
Puteri itu mengingat wajahnya. Namun wajah itupun
kembali tertunduk. Tetapi terdengar suaranya parau
"Hamba mengucapkan terima kasih tuan. Sebenarnyalah,
bahwa kebaikan hati Pangeran itu akan hamba imbangi
dengan perasaan sesal yang tidak ada taranya. Tentu tuanku
tidak akan percaya lagi kepada hamba, apapun yang hamba
katakan. Tetapi biarlah hamba mengatakannya juga, bahwa
jika hamba melakukannya, bukanlah semata-mata karena
keinginan hamba sendiri, meskipun ada juga keterlibatan
hamba secara batin dalam muslihat ini"
Pangeran Kuda Padmadata mengerutkan keningnya.
Namun kemudian sambil mengangguk-angguk ia berkata
"Aku sudah menduga. Tetapi siapakah orangnya"
Puteri itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian Pangeran, bukan maksud hamba ingin
mengurangi kesalahan hamba. Tetapi sebenarnyalah bahwa
Pangeran Kuda Rukmasantipun mengetahui segalagalanya.
"Ya, katakan siapakah orang yang berada bersama kalian
itu" desak Pangeran Kuda Padmadata.
Sejenak puteri itu ragu-ragu. Namun tiba-tiba, sebelum
puteri itu menjawab, Mahisa Agni meloncat dengan
cepatnya, mendorong puteri itu sehingga jatuh
tertelungkup. Namun bersamaan dengan itu, seleret anak panah telah
menyambar ke dalam bilik itu. Hampir saja mengenai
Mahisa Bungalan. Tetapi dengan gerak naluriah. Mahisa
Bungalan agaknya telah beringsut pula.
Sementara puteri itu terjatuh, maka tiba-tiba pula
Witantra telah meloncat bagaikan terbang, keluar dari bilik
itu. Hampir tidak dapat di ikuti dengan tatapan mata
sewajarnya. Yang dapat dilihat oleh orang-orang yang
berada diserambi seolah-olah hanyalah sebuah bayangan
yang terbang menghilang ke dalam gelap.
Ki Wastupun tertegun melihat peristiwa itu. Barulah ia
sadar sepenuhnya, bahwa Mahisa Bungalan benar-benar
seorang anak muda dari lingkungan yang pilih tanding.
Orang yang disebut ayahnya, paman-pamannya dan iuga
yang dianggapnya sebagai gurunya.
Mahendra dan Mahisa Agnipun kemudian menolong
puteri itu duduk kembali. Namun kemudian iapun dibawa
beringut ketempat yang lebih terlindung. Sementara
Mahendrapun kemudian bangkit dan melangkah keluar
untuk mengamati keadaan. Tetapi keadaan diluar terasa sangat sepi. Meskipun
diserambi beberapa orang duduk dibawah pengawasan Ki
Wastu, namun seolah-olah mereka adalah patung yang
mati. Perlahan-lahan Mahendra mendekati Ki Wastu yang
termangu-mangu sambil berkata "Ada seseorang yang
terlihat didalam persoalan yang gawat ini"
"Aku adalah orang tua yang tidak berarti sama sekali.
Aku berada disini, tetapi aku tidak melihat sesuatu yang
ternyata hampir saja merusak keadaan seluruhnya" berkata
Ki Wastu. Ada orang yang berusaha menghilangkan jejak dengan
membunuh puteri itu" berkata Mahendra.
Ki Wastu mengangguk-angguk. Dipandanginya arah
Witantra menghilang dalam gelap. Namun ia tidak melihat
sesuatu. "Kita akan menunggu" berkata Mahendra.
"Sekedar menunggu?" bertanya Ki Wastu. Mahendrapun
termangu-mangu. Namun katanya kemudian "aku akan
melihat, apa yang terjadi dengan kakang Witantra. Berhatihatilah
kiai. Didalam ada Mahisa Agni dan Mahisa
Bungalan. Jika perlu, kau harus memanggilnya"
"Baiklah" jawab Ki Wastu.
Mahendrapun termangu-mangu sejenak, la tidak tahu,
kemana Witantra menyusul orang yang telah berusaha
membunuh puteri yang sedang mengucapkan beberapa
pengakuan itu. Namun iapun kemudian melangkah memasuki
kegelapan, kearah Witantra menghilang.
Tetapi Mahendra tidak menjumpai sesuatu. Dengan
ketajaman inderanya ia berusaha mencari, apakah di
halaman yang gelap dibagian belakang istana itu telah
terjadi perkelahian. Namun agaknya, yang didapatnya
adalah getar dedaunan disentuh angin malam yang lembut.
Karena itu, maka Mahendiapun tidak melanjutkan
langkahnya. Ia sudah kehilangan jejak. Sehingga iapun
justru melangkah kembali ke serambi. Namun ia terkejut
ketika ia mendengar desir lembut. Dengan tangkasnya ia
berkisar, menghadap kearah suara itu.
Yang dilihatnya adalah sesosok bayangan yang terkejut
pula melihat kehadirannya. Tetapi segera mereka saling
mengenal, bahwa yang datang itu adalah Witantra.
"Bagaimana?" bertanya Mahendra.
"Aku kehilangan jejak" jawab Witantra.
"Ternyata bahwa segalanya belum berakhir. Jika orang
itu dapat melepaskan diri dari tangan kakang Witantra,
maka orang itu tentu bukan orang kebanyakan"
"Ya" jawab Witantra "karena itulah, maka segalanya
masih harus dipersoalkan. Pangeran Kuda Padmadata
mungkin akan berhadapan dengan orang-orang yang justru
lebih berbahaya dari orang-orang yang nampak dan
membayanginya selama ini. Mungkin orang-orang yang
tersembunyi itu merasa bahwa tidak ada lagi kesempatan
yang dapat dilakukannya, selain dengan kekerasan terbuka,
sementara mereka adalah orang-orang yang pilih tanding"
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata "Untunglah bahwa perempuan dan anak lakilakinya
itu telah dititipkan ke dalam istana Singasari,
sehingga mereka berada dalam perlindungan para prajurit.
Mungkin orang-orang yang tersembunyi itupun tidak akan
tinggal diam. Mungkin merekapun akan mempergunakan
perempuan dan anak laki-lakinya itu sebagai bahan untuk
mematahkan perlawanan Pangeran Kuda Padmadata atas
segala maksudnya" "Tetapi jika yang mereka maksudkan adalah warisan,
maka mereka tidak akan mendapatkan saluran lagi" berkata
Witantra kemudian "tidak ada perempuan yang dapat
disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata, dan tidak ada
orang yang dapat disebut saudara kandungnya lagi"
"Kecuali dengan kekerasan" desis Mahendra.
"Maksudmu, perampokan?" berkata Witantra.
Mahendra mengangguk, sementara Witantra berkata
"Jika demikian, para pengawal di istana ini yang tentu akan
dibangun lagi oleh Pangeran Kuda Padmadata, akan lebih
mudah menghadapinya. Betapa besar kekuatan mereka,
maka isyarat yang disembunyikan, akan terdengar dari
gardu-gardu perondan para pengawal kota. Mereka akan
segera datang membantu sehingga perampokan itu akan
dapat digagalkan" Witantra mengangguk-angguk. Katanya kemudian
"Mungkin akan dicari cara lain. Namun sebaiknya
Pangeran Kuda Padmadata tidak meninggalkan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kewaspadaan menghadapi segala kemungkinan yang
mungkin kasar, tetapi mungkin juga dengan halus"
"Tetapi puteri itu dapat diselamatkan oleh Mahisa Agni"
desis Mahendra "ia akan dapat menjadi sumber keterangan
yang mudah-mudahan dapat mengungkapkan persoalan ini
sampai tuntas" Keduanyapun kemudian kembali keserambi. Mereka
masih melihat Ki Wastu berada ditempatnya, mengawasi
orang-orang yang duduk dengan lesu.
"Bagaimana?" bertanya orang tua itu. Witantra
menggeleng. Jawabnya "Aku tidak menemukannya"
Ki Wastu menarik nafas dalam-dalam. Iapun menyadari,
bahwa persoalan yang mereka hadapi memang belum
selesai. TetapHa tidak mengatakan sesuatu. Ia menunggu
perkembangan terakhir dari pembicaraan orang-orang yang
berada didalam. Meskipun ia adalah mertua Pangeran
tetapi Ki Wastu merasa dirinya tidak lebih dari orang padesan
yang tidak berhak untuk berbuat sesuatu selain me
nunggu dan menjalankan perintah yang akan diterimanya.
Dalam pada itu, maka Witantra dan Mahendrapun telah
masuk kembali ke dalam bilik yang sudah menjadi porak
poranda itu. Mereka melihat puteri yang ketakutan itu
duduk disudut, dijaga oleh Mahisa Agni dengan tubuh
gemetar. Sementara Pangeran Kuda Padmadata berdiri
disamping tubuh adiknya yang membeku.
"Tidak ada seorangpun yang dapat aku ketemukan"
berkata Witantra. "Tentu bukan orang kebanyakan" desis Mahisa Agni
"bahwa ia berhasil mendekati pintu itu tanpa diketahui oleh
seorangpun, merupakan pertanda bahwa ia termasuk orang
yang pilih tanding" Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dipandanginya perempuan yang pernah disebut
sebagai isterinya itu dengan tajamnya. Kemudian katanya
"Katakan, siapakah orang yang berada dibelakang kalian,
yang hampir saja membunuhmu itu?"
Puteri itu masih menggigil. Namun Mahisa Agnipun
kemudian berkata "Jangan takut puteri. Puteri akan aman
disini, karena disini ada beberapa orang pengawal dan
usaha itu telah digagalkan, sehingga tidak akan ada orang
yang berani mencoba lagi"
Puteri itu masih ragu-ragu. Wajahnya masih pucat, dan
bibirnya nampak bergetar oleh ketakutan yang sangat.
Tetapi Puteri itu tidak segera mengatakan, nama yang
dikehendaki oleh Pangeran Kuda Padmadata. Bahkan
puteri itu telah menutup wajahnya dengan kedua telapak
tangannya sambil terisak.
"Puteri" berkata Mahisa Agni "jika puteri
mengatakannya, maka beban didalam dada puteri akan
menyusut. Seolah-olah beban itu sudah puteri letakkan.
Bukankah puteri sudah mengatakan, bahwa hukuman
apapun tidak lagi menggetarkan jantung puteri, jika
hukuman itu harus puteri lakukan, kecuali apabila puteri
harus menanggung malu dihadapan rakyat Kediri?"
Puteri itupun mengangguk kecil.
"Nah, katakan" desis Mahisa Agni "dengan demikian
maka kesalahan dari peristiwa ini tidak akan memberati
pundak puteri, sehingga puteri akan diarak berkeliling kota
sebelum dibawa ketiang gantungan"
"O" desahnya. "katakan" desak pangeran Kuda Padmadata. Karena
puteri itu masih berdiam diri, maka Pangeran
Padmadatalah yang kemudian menyebut sebuah nama
"Apakah paman Herbuntala, ayahmu itulah yang telah
menggerakkan hatimu untuk melakukan pengkhianatan
ini?" Puteri itu menggelengkan kepalanya.
"Jika bukan ayahmu, siapa" Dan apakah ayahmu tidak
tahu menahu akan segala muslihatmu itu?"
"Tidak Pangeran" jawab puteri itu sambil menangis
"ayahanda sudah terlalu tua untuk melakukannya"
"Jadi siapa?" Pangeran Kuda Padmadata sudah hampir
kehilangan kesabaran. Lalu katanya "Baiklah. Jika tidak
ada orang lain, maka kau adalah pangkal dari segala yang
telah terjadi. Kau akan menanggung segala kesalahan dan
dosa itu seluruhnya, karena adikku sudah mati"
"Pangeran dapat menghukum mati hamba sekarang
juga" tangis puteri itu.
"Bukan aku" suara Pangeran Kuda Padmadata semakin
keras "tetapi penguasa di Kediri. Mungkin kau tidak saja
diarak keliling kota sebelum digantung, tetapi kau akan
diikat disimpang empat pusat kota, agar setiap orang dapat
melihat betapa seorang puteri yang cantik, tetapi hatinya
segelam hati iblis" "Jangan Pangeran jangan. Ayahanda akan tersiksa
melampaui yang hamba derita sendiri" minta puteri itu.
"Apaboleh buat. Jika kau tidak mau menyebut nama
orang yang bertanggung jawab atas segala kejadian ini"
Sejenak puteri itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berkata ampun pengeran. Hamba tidak kuasa untuk
mengatakannya, karena hamba takut akan mengalami
kutuknya. Tetapi carilah orang yang paling dekat dengan
Pangeran dan kakanda Kuda Rukmasanti dalam hubungan
ilmu kanuragan" Wajah Pangeran Kuda Padmadata menegang. Dengan
suara bergetar ia berkata "Aku tidak mempunyai saudara
seperguruan yang lain, kecuali adimas Kuda Rukmasanti.
Mungkin guru mempunyai murid yang lain diluar
pengetahuanku. Tetapi aku tidak mengenalnya"
"Tidak Pangeran" desis puteri yang ketakutan itu
"memang tidak ada muridnya yang lain kecuali Pangeran
berdua kakak beradik seperti yang dikatakan oleh kakanda
Pangeran Kuda Rukmasanti"
"Jadi, jadi siapakah yang kau maksud" Siapa?" Pangeran
Kuda Padmadata yang tidak sabar lagi itu telah
mengguncang tubuh puteri itu.
Hampir saja Pangeran itu meremas lengan puteri itu, jika
Mahendra tidak menggamitnya, ketika puteri itu
menyeringai menahan sakit yang menyengat lengannya
yang digenggam kuat-kuat oleh Pangeran Kuda Padmadata.
"Siapa?" Pangeran itu berteriak.
Puteri itu masih terisak. Tetapi ia berdesis "Siapakah
orang yang hamba maksud itu. Tuan tentu dapat
menyebutnya" "Guru sendiri. Guru sendiri" Pangeran Kuda Padmadata
benar-benar telah berteriak "benar begitu" Atau kau
memang harus dipacung kepalamu jika kau berbohong?"
"Ampun Pangeran" puteri itu menangis "jangan dipaksa
hamba menyebutkannya. Hamba tidak berani, ka rena
hamba akan dikutuknya sehingga hamba akan dapat
menjadi seekor kelinci, atau seekor katak, atau seekor
binatang melata yang paling hina dalam jenis hamba, atau
hamba akan dapat menjadi gila dan kehilangan akal dan
ingatan, sehingga hamba akan berkeliaran disepanjang jalan
tanpa mengenal malu sama sekali"
"Tidak" teriak Pangeran Kuda Padmadata "tidak ada
orang yang dapat mengutuk orang lain menjadi seekor
binatang jika ia sendiri berhati binatang. He, apakah benar"
Kau tidak usah menyebutnya. Jika benar, anggukkan
kepalamu" Puteri itu ragu-ragu. Namun akhirnya ia mengangguk
kecil. Namun dalam pada itu, meledaklah tangisnya betapapun
ia mencoba menahan. Wajahnya menjadi pucat seperti
kapas. Tubuhnya gemetar seperti orang kedinginan.
Betapa ketakutan yang sangat telah mencekamnya.
Tetapi Mahisa Agni kemudian berkata "Puteri, apakah
puteri pernah melihat, bagaimana ia mengutuk seseorang
menjadi seekor binatang?"
Puteri itu ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
menggeleng. "Nah, itu adalah pertanda, bahwa ia tidak dapat
melalukannya. Mungkin ia dapat membuat orang lain
menjadi gila dengan cara yang khusus. Tetapi bukan
dengan kutukan. Aku dapat membuat orang lain kehilangan
ingatan dengan reramuan obat-obatan, tetapi juga dengan
mengganggu syaraf pada simpul-simpul yang paling peka.
Jika tuan puteri tidak percaya, aku dapat mencobanya"
Puteri itu memandang Mahisa Agni dengan tatapan
mata yang buram. Tetapi ia mengangguk lemah. Di selasela
bibirnya yang gemetar terdengar ia berdesis "apakah
benar demikian?" "Ya. Seandainya ia mencoba melakukannya, maka kita
akan dapat mencoba menghindar" jawab Mahisa Agni.
Puteri itu mencoba menenangkan hatinya. Tetapi ia
masih pucat dan gemetar. "Ya Pangeran. Guru Pangeran Kuda Rukmasanti la
telah mengatur segalanya" desis puteri itu dengan ragu
ragu. "Jadi, benarkah guru telah melakukannya?" sekali lagi
Pangeran Kuda Padmadata bertanya.
"Ya Pangeran. Guru Pangeran Kuda Rukmasanti. Ia
telah mengatur segalanya" desis puteri itu dengan raguragu.
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Diantara getar jantungnya, ia berkata terbata-bata "Aku
tidak menduga bahwa guru dapat bertindak sedemikian
jauhnya. Aku sudah merasa, bahwa guru lebih dekat
dengan Kuda Rukmasanti. Meskipun pada mulanya tidak
ada bedanya antara kami berdua. Tetapi di saat-saat
terakhir terasa, bahwa guru lebih banyak berada bersama
Kuda Rukmasanti. Bahkan kadang-kadang aku merasa
ditinggalkan. Karena itulah, maka aku ragu-ragu, meskipun
aku saudara yang lebih tua bukan saja dalam umur, tetapi
juga dalam olah kanuragan, namun aku tidak yakin bahwa
ilmuku lebih baik dari ilmu Kuda Rukmasanti.
Mahisa Agni, Witantra, Mahendra dan Mahisa
Bungalan termangu-mangu mendengarkan keterangan
Pangeran Kuda Padmadata itu. Selanjutnya Pangeran itu
berkata "Agaknya puncak dari sikap guru itu tercermin
pada peristiwa yang pahit yang aku alami untuk beberapa
lama. Hampir saja aku menjadi putus asa, bahwa aku tidak
akan dapat keluar lagi dari istana ini sebagai seorang yang
bebas. Bahkan aku mengira, bahwa isteri dan anakku itu
tidak akan mampu lagi aku selamatkan"
"Semuanya sudah lewat Pangeran" desis Mahisa Agni.
"Belum. Masih ada yang dapat terjadi. Ternyata guru
masih belum menganggap bahwa peristiwa ini telah selesai.
Gurulah yang agaknya telah mencoba membunuh puteri.
Untunglah bahwa usaha itu dapat digagalkan"
"Mudah-mudahan segalanya akan dapat menjadi
semakin terang" desis Witantra.
"Tetapi aku tidak tahu, kenapa sikap guru demikian
tidak adil. Aku merasa bahwa aku tidak pernah berbuat
kesalahan. Mungkin aku tidak mempunyai kesempatan
sebanyak yang dilakukan oleh adimas Rukmasanti"
Namun dalam pada itu, semua orang telah berpaling ke
pintu ketika mereka mendengar suara "Hambalah yang
menyebabkannya Pangeran"
Pangeran Kuda Padmadata terkejut. Dengan serta merta
ia bangkit dan melangkah mendekat "Ki Wastu"
"Ya, hambalah ini angger Pangeran" jawab orang tua
itu. "Marilah Ki Wastu" Pangeran Kuda Padmadata
mempersilahkan. "Biarlah hamba disini Pangeran. Hamba mengawasi
orang-orang yang berada diserambi itu" jawab Ki Wastu.
"Tetapi apa hubungannya guru dengan Ki Wastu,
sehingga Ki merasa, bahwa Ki Wastu adalah penyebab dari
kebencian guru kepadaku"
"Sebenarnya itu tidak perlu terjadi" berkata Ki Wastu
"semuanya sudah dilupakan oleh orang yang aku anggap
guruku. Agaknya orang yang Pangeran sebut sebagai guru
Pangeran itu adalah musuh bebuyutan dengan orang yang
aku anggap sebagai saudara tua seperguruanku, yang
kemudian aku anggap sebagai pengganti guruku"
"O" Pangeran Kuda Padmadata terkejut "adalah
kebetulan sekali Pangeran. Ketika Pangeran mengambil
anakku menjadi isteri Pangeran dan Pangeran tinggalkan di
padesan untuk waktu yang lama, hamba sudah merasa,
bahwa ada hubungannya dengan orang yang Pangeran
sebut guru itu. Pada saat itu Pengeran masih selalu datang
ke padukuhan hamba. Tetapi pada suatu saat Pangeran
bagaikan melupakan kami. Selain seorang yang Pangeran
tinggalkan bersama kami, maka seolah-olah hubungan kita
sudah terputus sama sekali. Sehingga akhirnya datang
malapetaka itu. Orang yang tuanku tinggalkan itu ternyata
adalah seorang yang sangat setia. Tetapi akhirnya ia
terbunuh oleh orang-orang yang telah mengambil anak
perempuan hamba itu dan kemudian menyembunyikannya.
Sementara itu mereka masih saja mengancam keselamatan
hidup cucu hamba yang lahir dari anak perempuan hamba
itu, yang sebenarnya adalah putera Pangeran sendiri"
Pangeran Kuda Padmadata menarik nafas dalam-dalam.
Katanya kemudian "Tetapi guru tidak pernah mengatakan
sesuatu tentang permusuhannya dengan saudara
seperguruan Ki Wastu itu"
"Mungkin ia menganggap hal itu tidak perlu
dikatakannya. Sementara ia mempunyai cara dan pamrih
ganda. Ia dapat melepaskan dendamnya karena Pangeran
telah berhubungan dengan musuh bebuyutannya, tetapi
juga dapat mengharapkan harta peninggalan yang akan
Pangeran wariskan kepada Pangeran Kuda Rukmasanti dan
puteri yang disebut isteri tuanku ini"
"Aku mengerti" desis Pangeran Kuda Padmadata "jika
segalanya berjalan lancar, maka umurkupun tidak akan
panjang. Aku akan mereka lenyapkan, meskipun mereka
tentu berusaha untuk melenyapkan jejak. Mungkin
kematian yang mereka rencanakan, akan memberikan
kesan, bahwa aku mengalami kecelakaan. Mungkin aku
akan mengalami sakit beberapa hari lamanya, atau alasanalasan
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lain yang dapat mereka lakukan. Namun puteri
itupun tidak akan menikmati kemenangannya. Ia akan
tersisih, sehingga segalanya akan jatuh ke tangan guru.
Mungkin Kuda Rukmasanti akan ikut menikmatinya pula
sebagai murid terdekat. Atau puteri itupun akan dapat ikut
serta memiliki jika ia diperlukan oleh Kuda Rukmasanti"
Terdengar puteri itu terisak tertahan-tahan. Namun
iapun kemudian berkata "Aku memang seorang perempuan
yang tidak berharga Aku tidak akan dapat mencuci
tanganku, seolah-olah aku sama sekali tidak bersalah"
"Aku akan menyerahkan kau kepada paman Herbuntala.
Aku akan menyelesaikan masalah ini dengan guru sampai
tuntas. Aku akan mencarinya kemana guru pergi" geram
Pangeran Kuda Padmadata. "Jangan serahkan aku kepada ayahanda" tangis puteri
itu. "Lalu apa yang harus aku lakukan" Kau tidak mau
diserahkan kepada penguasa di Kediri. Dan kau juga tidak
mau diserahkan kepada ayahandamu. Jadi kau mau apa?"
tiba-tiba saja Pangeran Kuda Padmadata membentaknya.
Puteri itu menjadi semakin ketakutan. Sementara
Pangeran itu berkata "aku tidak akan mengatakan sesuatu
kepada paman Herbuntala"
"Tetapi ayahanda menyangka bahwa aku akan tinggal di
rumah ini sebagai isteri Pangeran suara puteri itu gemetar.
"Itu tidak mungkin. Bukankah Rukmasanti yang selalu
datang menjemputmu jika kau pulang. Dan Rukmasanti
pula yang mengantarmu?" geram Pangeran Kuda
Padmadata. "Ya Pangeran. Tetapi atas nama Pangeran Kuda
Padmadata" "Jika kau tidak mau kembali ke rumahmu lalu kau mau
kemana lagi?" "Biarlah hamba disini, meskipun hamba harus menjadi
juru pengangsu atau juru madaran" tangis perempuan itu.
"Persetan" wajah Pangeran Kuda Padmadata menjadi
merah "kau harus kembali. Jika kau ingin menjaga
namamu, maka katakan kepada ayahmu, bahwa kaulah
yang telah minta aku mengantarmu pulang. Katakan
kepada ayahmu, bahwa aku sudah membohongimu.
Ternyata aku sudah mempunyai isteri dan anak. Biarlah
paman Herbuntala marah kepadaku dan mengutukku"
"Tidak. Pangeran tidak bersalah. Aku tidak akan dapat
mengatakannya kepada ayahanda demikian"
"Terserah kepadamu, apa yang akan kau katakan. Tetapi
kau hanya mempunyai dua pilihan. Aku serahkan kepada
penguasa di Kediri yang akan menghukummu, atau aku
kembalikan kau kepada orang tuamu"
Puteri itu tidak dapat membantah lagi. Ia tidak
mempunyai pilihan lain, sehingga karena itu, maka iapun
harus pasrah kepada nasibnya. Betapa penyesalan telah
mencekamnya. Betapa rendah budinya dan betapa ringkih
hatinya. Dalam pada itu, maka Pangeran Kuda Padmadatapun
kemudian memerintahkan membenahi keadaan yang telah
terserak-serak tidak menentu. Demikian juga mereka harus
menyelenggarakan mayat Pangeran Kuda Rukmasanti.
Kepada orang-orang yang tidak lagi dapat berbuat apaapa
itu, Pangeran Kuda Padmadata berpesan, agar mereka
tidak usah menceriterakan apa yang telah terjadi Mereka
akan diampuni, sepanjang mereka mengerti, bahwa yang
telah mereka lakukan itu adalah kesesatan.
"Aku tidak akan sampai hati membiarkan nama adikku
tercemar" berkata Pangeran Kuda Padmadata "Karena itu,
kalian yang pernah menjadi pengikutnya dan
berpengharapan untuk mendapatkan keuntungan apapun
juga, harus membantuku. Aku akan mengatakan bahwa
rumah ini telah didatangi oleh sekelompok perampok. Kita
semuanya telah bertempur. Dan adikku telah terbunuh.
Dengan demikian, namanya tidak akan direndahkan oleh
orang-orang Kediri. Ingat, jika penguasa di Kediri
mengetahui, bahwa adikku pernah melakukan kesalahan
yang harus dihukum, maka tentu akan dilakukan
pengusutan. Kalian, yang pernah menjadi pengikutnya akan
diseret pula ke tiang gantungan. Tetapi aku berpendirian
lain. Siapa yang menyesali kesalahannya dan tidak akan
melakukannya lagi, maka aku akan mengampuninya"
Beberapa orang yang berada di serambi itu
menundukkan kepalanya. Ketika pekatik muda itu
mencoba mengangkat wajahnya, tiba-tiba saja terpandang
olehnya Mahisa Agni. Pekatik muda itu cepat-cepat
menundukkan kepalanya ketika ia melihat Mahisa Agni
justru tersenyum kepadanya.
Demikianlah, maka malam itu juga istana Pangeran
Kuda Padmadata telah disibukkan dengan penyelenggaraan
mayat Pangeran Kuda Rukmasanti dan pengawal yang
telah terbunuh. Tetapi seperti yang dipesankan oleh
Pangeran Kuda Padmadata, tidak seorangpun yang berani
mengatakan, apakah yang sebenarnya telah terjadi, agar
mereka tidak terseret ketiang gantungan karena mereka
telah terlibat ke dalam kesalahan itu. Bahkan kepada
mereka yang tidak tahu menahu tentang peristiwa itu, tetapi
melihat pertengkaran yang telah terjadi antara kakak
beradik itupun telah mendapat pesan pula dari Pangeran
Kuda Padmadata agar mereka tidak menceriterakan lain
dari yang dipesankannya. "Jika tidak, kalianpun tentu akan diusut. Satu persatu
kalian akan dipanggil untuk didengar keterangannya oleh
para prajurit" berkata Pangeran Kuda Padmadata Sehingga
dengan demikian, maka penghuni istana itupun merasa
takut untuk menceriterakan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Sementara itu, maka Pangeran Kuda Padmadata telah
mempersilahkan Mahisa Agni. Witantra, Mahendra, Ki
Wastu dan Mahisa Bangalan untuk masuk keruang dalam.
Puteri yang ketakutan itupun telah dipersilahkan masuk ke
dalam bilik diruang dalam yang terlindung rapat, sehingga
tidak seekor lalatpun yang akan dapat mengganggu nya,
ditunggui oleh embannya yang juga gemetar karena
ketakutan. Sementara orang-orang yang tidak terlibat, abdi istana
Pangeran itu yang sudah berada menghambakan diri,
diperintahkannya mengawasi kawan-kawanya yang
ternyata adalah para pengikut Pangeran Kuda Rukmasanti.
Meskipun demikian, orang-orang di serambi itu benarbenar
tidak berani lagi berbuat sesuatu, Mereka yang men
dapat tugas menyelenggarakan mayat-mayat itupun tidak
berani berusaha untuk berbuat lain, Jika orang-orang yang
mengawasi itu berteriak, maka yang akan keluar adalah
orang-orang yang luar biasa yang sedang berada diruang
dalam. Yang paling muda diantara mereka ternyata telah
mampu membunuh Pangeran Kuda Rukmasanti, yang
mereka anggap orang yang tidak terkalahkan.
Dipagi harinya, maka seluruh Kediripun telah
mendengar apa yang terjadi. Tetapi seperti yang dikatakan
oleh Pangeran Kuda Padmadata, bahwa yang terjadi itu
adalah satu kecelakaan, Sekelompok perampok telah
memasuki istana itu. Dalam pertempuran yang terjadi,
maka Pangeran Kuda Rukmasanti telah terbunuh.
"Dua orang perampok itupun telah terbunuh pula"
berkata Pangeran Kuda Padmadata sambil menunjuk mayat
dua orang yang sehari-hari nampaknya seperti dua orang
pengawalnya yang paling setia, namun orang yang baginya
justru paling memuakan. Lebih memuakkan dari adiknya
yang telah berkhianat itu.
Sementara itu, maka seperti yang sudah dikatakannya,
orang yang disebut isteri Pangeran Kuda Padmadata itupun
telah diserahkannya kembali kepada orang tuanya,
demikian upacara penyelenggaraan mayat itu sudah selesai.
Tetapi ternyata bahwa puteri itu tidak ingin merendah
kan nama Pangeran Kuda Padmadata. Yang dikatakannya
kepada ayahnya, bahwa ia sebenarnya telah ditekan oleh
perasaan takut yang sangat untuk berada di istana itu.
Meskipun ia sadar, bahwa pada suatu saat ayahnya akan
bertanya, kapen ia akan kembali kepada suaminya, Namun
ia akan mendapat kesempatan untuk memikirkannya.
Mungkin ia dapat berterus terang setelah berjarak waktu.
Mungkin ayahnya akan marah dan menghukumnya, Tetapi
keadaannya tentu sudah berubah.
Namun dalam pada itu, yang kemudian menjadi
pembicaraan Pangeran Kuda Padmadata adalah persoalan
yang tentu masih akan berkepanjangan. Gurunya tentu
tidak akan tinggal diam, karena rencana jahatnya telah
diketahui oleh Pangeran Kuda Padmadata.
"Ki Wastu" berkata Pangeran itu ketika mereka duduk
diserambi samping istana setelah keadaan mereda, dan
suasaa di istana itu telah berjalan wajar, meskipun agaknya
lain bagi Pangeran Kuda Padmadata sendiri. "Apakah tidak
mustahil bahwa dendam guru akan dijatuhkan kepada anak
perempuan Ki Wastu serta anak laki-lakinya?"
"Mereka sudah berada dibawah perlindungan para
prajurit di Singasari Pangeran" jawab Ki Wastu.
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk.
Namun masih nampak kecemasan diwajabnya. Bahkan
kemudian katanya "Apakah para prajurit di Singasari itu
menyadari, bahwa perempuan itu terancam bahaya yg
dapat menyergapnya dengan segala cara. Mungkin
seseorang mengaku akan mengunjunginya karena ia
saudaranya, atau mungkin dengan cara apapun juga,
sehingga memberi kesempatan kepadanya untuk melakukan
niatnya yang jahat. "Mudah-mudahan para prajurit tetap waspada" sahut
Mahendra. Namun akhirnya ia berkara "Pangeran Aku kira
memang lebih baik jika aku kembali. Aku akan dapat
memberikan beberapa peringatan kepada prajurit-prajurit di
Singasari. Karena menurut perhitungan, lebih baik jika
isteri Pangeran itu untuk sementara tidak berada di istana
ini. Orang yang Pangeran katakan sebagai guru itu, tentu
masih akan tetap berusaha melakukan sesuatu. Meskipun
mungkin ia sudah melepaskan niatnya untuk memiliki harta
dan benda yang ada di istana ini, tetapi dendamnya akan
menuntut pembalasan"
Pangeran Kuda Padmadata mengangguk-angguk. Tetapi
katanya kemudian "Tetapi ia adalah isteriku. Aku lah yang
paling berkewajiban untuk melindunginya. Anak itupun
adalah anakku. Biarlah aku mempertanggung
jawabkannya" "Sebaiknya kita melihat keadaan yang tentu masih akan
berkembang Pangeran" berkata Witantra "aku setuju jika
Mahendra dan Ki Wastu kembali ke Singasari. Aku dan
Mahisa Agni akan berada disini. Mungkin Pangeran masih
memerlukan aku" Pangeran Kuda Padmadata berpikir sejenak. Sementara
Mahisa Bungalan bertanya "Bagaimana dengan aku
paman?" Witantra memandang anak muda itu sambil berkata
"Kau akan menentukan sikapmu. Meskipun aku
mengatakannya, namun agaknya lebih suka memilih
sendiri. Jika kau menganggap perantauanmu sudah selesai,
maka kau dapat kembali ke Singasari. Tetapi jika kau masih
ingin melihat kelanjutan dari peristiwa ini kau dapat tinggal
disini" Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun akhirnya ia
berkata "Aku akan tinggal disini. Tetapi tidak di istana ini"
"Lalu dimana?" bertanya Pangeran Kuda Padmadata.
"Di rumah Ki Daredu. Aku sudah kerasan tinggal di
rumah itu. Mungkin untuk beberapa lamanya aku akan
menunggu perkembangan keadaan di rumah Ki Daredu"
Tetapi Witantra menggeleng. Katanya "Yang kita hadapi
bukan kanak-kanak. Sebaiknya kau berada disini untuk
beberapa saat sampai segalanya nampak lebih jelas. Guru
Pangeran Kuda Padmadata tentu bukan orang kebanyakan.
Ia tentu memiliki sesuatu yang jauh melampaui Pangeran
Kuda Rukmasanti itu"
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.,Tetapi
iapun kemudian mengangguk sambil menjawab "Terserah
kepada paman" "Nah, baiklah kita akan melihat perkembangan keadaan.
Biarlah Mehendra dan Ki Wastu segera kembali ke
Singasari" gumam Witantra,
Demikianlah, Maka pembicaraan itupun telah
mengambil kesimpulan, agar Mahendra dan Ki Wastu
kembali ke Singasari. Mereka harus memberitahukan segala
persoalannya kepada para prajurit di Istana Singasari.
Dengan demikian, maka perhatian mereka kepada
perempuan itu akan memberikan pertimbangan, agar
perlindungan kepadanya menjadi lebih baik. Bahkan jika
diijinkan oleh pimpinan prajurit pengawal, maka biarlah Ki
Wastu berada didekat anak perempuan dan cucunya, agar
ia akan dapat bertindak langsung jika terjadi sesuatu,
sementara ia dapat mengharapkan bantuan para prajurit.
"Tidak mustahil guru Pangeran Kuda Rukmasanti itu
akan mengambil jalan yang licik. Ia dapat memberikan
uang atau bentuk suap yang lain kepada para pengawal
untuk mendapat kesempatan bertemu dengan orang yang
seharusnya dilindungi itu. Ia akan dapat saja memberikan
seribu satu alasan, sehingga para pengawal yang menerima
suap itu tidak mengetahui, bahwa orang yang mungkin
mengaku saudaranya,mungkin mengaku utusan dari siapa
pun, namun yang sebenarnya akan dapat membunuh pada
kesempatan yang sangat kecil sekalipun" berkata
Mahendra. Ki Wastu mengangguk-angguk. Agaknya sebaiknya
memang demikian apabila ia mendapat ijin dari yang
berwenang dalam pasukan pengawal istana itu.
"Sementara itu" berkata Mahendra lebih lanjut "aku
dapat kembali kepada kedua anak-anakku yang bengal itu.
Mereka tentu sudah menunggu dan mengumpat setiap saat
karena aku terlalu lama pergi"
Ki Wastupun mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia
Panasnya Bunga Mekar Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata "Ki Mahendra ternyata mendapat kurnia yang tiada
taranya dari Yang Maha Agung. Putera-putera Ki
Mahendra ke-tiga-tiganya dapat dibanggakan"
"Aku selalu mengucapkan terima kasih kepada
kemurahan Tuhan Yang Maha Penyayang. Namun
sebenarnyalah bahwa anak-anakku itu adalah anak-anak
yang bengal" "Mereka memiliki ilmu yang luar biasa pada umurnya
yang masih sangat muda. Ketika aku melihat, bagaimana
Mahisa Bungalan mempertahankan diri dari orang-orang
yang berusaha membunuhnya, pada saat pertama kali aku
melihatnya, aku hampir tidak percaya akan penglihatanku
atas kemudian anak itu"
"Ki Wastu selalu memuji. Tetapi Ki Wastu juga telah
memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi Mahisa
Bungalan" jawab Mahendra.
"Tidak ada artinya baginya. Hanya sekedar melengkapi
ilmu geraknya" sahut Ki Wastu.
Demikianlah, maka ketika Mahendra dan Ki Wastu
kembali ke Singasari, mereka sempat singgah di rumah Ki
Daredu. Kepada orang tua itu Mahendra mengatakan,
bahwa segalanya telah selesai. Ia tidak perlu merasa cemas
lagi" "Aku tidak mengerti, apakah yang sebenarnya telah
terjadi di Istana Pangeran Kuda Padmadata" berkata Ki
Daredu. "Tidak ada apa-apa. Seperti berita yang barangkali
pernah kau dengar, bahwa rumah itu telah dirampok oleh
sekelompok penjahat yang merasa sangat kuat
kedudukannya. Tetapi untunglah pada saat itu Mahisa Agni
dan Kakang Witantra berada di istana itu" jawab
Mahendra. Tetapi Ki Daredu tertawa sambil berkata "Jadi aku harus
mempercayainya?" Mahendrapun tersenyum. Jawabnya "Terserah
Kepadamu Ki Daredu" Ki Daredu masih tertawa sambil mengangguk-angguk.
"Baiklah. Aku akan mempercayainya. Tetapi aku tahu
bahwa Tuanku Mahisa Agni dan Tuanku Witantra pernah
memegang kekuasaan tertinggi Singasari di Kediri. Akupun
mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak wajar terjadi di
istana itu seperti yang pernah dikatakan oleh Tuanku
Mahisa Agni sebelumnya. Tetapi sebaiknya aku memang
tidak mengatakannya kepada siapapun"
Mahendra dan Ki Wastupun tertawa. Pekatik tua itu
agaknya bukannya orang yang terlalu bodoh, sehingga ia
pun dapat mengerti beberapa persoalan yang dilakukan oleh
Mahisa Agni. Namun, bahwa segala sesuatu telah selesai
dilakukan oleh Mahisa Agni dan Witantra, membuat hati
Ki Daredu menjadi tenang. Beberapa hari lamanya, iapun
mengalami ketegangan. Yang dilakukan oleh Mahisa Agni
tentu bukannya sesuatu yang tidak akan dapat menyangkut
banyak pihak. Demikianlah, maka Mahendra dan Ki Wastupun
meninggalkan Kediri, kembali ke Singasari. Bagaimanapun
juga, mereka merasa cemas, bahwa guru Pangeran Kuda
Rukmasanti itu akan mencari sasaran dendamnya kepada
anak perempuan Ki Wastu, mungkin mengambilnya untuk
dipergunakan sebagai alat memaksakan kehendaknya
kepada Pangeran Kuda Padmadata seperti yang pernah
terjadi. Sepeninggal Mahendra dan Ki Wastu, maka Mahisa
Agni dan Witantra telah ditempatkan ditempat yang khusus
didalam istana Pengeran Kuda Padmadata.
Tetapi karena Mahisa Agni dan Witantra masih tetap
ingin dianggap sebagai orang-orang yang tidak banyak
berarti, maka iapun telah memilih tempat diluar lingkungan
bangunan induk istana Pangeran Kuda Padmadata.
Meskipun Mahisa Bungalan pernah mengatakan pada saat
hatinya terbakar oleh kemarahannya dihadapan Pangeran
Kuda Rukmasanti, tetapi hanya orang-orang tertentu
sajalah yang telah mendengar bahwa ia adalah Mahisa Agni
dan Witantra yang pernah mewakili kekuasaan Singasari di
Kediri. Sementara orang-orang itu telah dipesan untuk tidak
mengatakan sesuatu tentang kedua orang itu.
Dalam kehidupan sehari-hari di istana, Mahisa Agni dan
Witantra, mencoba untuk meluluhkan diri ke dalam
keluarga besar yang mulai tenang itu.
Dalam pada itu, selagi Pengeran Kuda Padmadata sibuk
dengan usaha penyelamatan keluarganya, sebelum mereka
merasa aman untuk membawanya ke istana, maka seorang
yang memiliki ilmu yang mumpuni sedang dicekam oleh
kekecewaan. Bahkan kecemasan bahwa rahasianya telah
terbuka. "la tentu akan mengatakannya" geramnya. Namun ia
tidak mempunyai cara untuk mencegahnya. Dalam pada
itu, seorang pengikutnya yang terdekat duduk dengan
kepala tunduk diatas amben yang besar, sementara orang
yang berilmu mumpuni itu berjalan hilir mudik didalam
bilik itu. "Ada beberapa orang gila di rumah Kuda Padmadata"
orang itu bergeremang "tidak banyak yang mengetahui
siapa mereka. Tetapi agaknya mereka pulalah yang telah
berhasil membebaskan isteri Pangeran gila itu"
Orang yang menundukkan kepalanya itu mengangguk
angguk kecil. Katanya kemudian "Tetapi belum terlambat
Masih ada kesempatan untuk membunuhnya atau mencari
kembali sampai kita dapatkan perempuan dan anak lakilakinya
itu" "Jika Pangeran itu mati, maka tidak banyak lagi artinya
atas harta benda yang dimilikinya. Tetapi aku kini telah
dibakar oleh dendam. Aku tidak mau berpikir lagi. Yang
penting bagiku adalah kematiannya. Ada atau tidak ada
gunanya lagi bagiku"
"Kita masih dapat mengumpulkan kekuatan" berkata
pengikutnya. "Tetapi aku kehilangan muridku yang paling baik.
Pangeran Kuda Rukmasanti. Ada juga setan yang mampu
mengalahkannya" geramnya " ukannya saja seorang.
Tetapi aku yakin, bahwa beberapa orang yang ada di istana
itu, tentu memiliki ilmu yang tinggi. Setidak-tidaknya
mereka dapat mengimbangi ilmu murid-muridku. Tetapi
dalam jumlah empat atau lima orang, maka sulit bagiku
untuk mengatasinya. Aku tidak sempat memanggil orang
lain diantara kalian"
"Sekarang masih ada waktu" berkata pengikutnya.
"Aku sudah kehilangan dua orang muridku yang paling
baik. Kuda Rukmasanti sudah jelas, ia terbunuh. Sedang
Padmadata benar-benar telah berkhianat. Ia telah membuat
jalur hubungan dengan iblis yang paling terkutuk itu.
Langsung atau tidak langsung. Sengaja atau tidak sengaja"
"Kita dapat berbuat cepat" berkata pengikutnya.
Orang yang dibakar oleh dendam itu menganggukangguk.
Katanya "Kau tinggal satu-satunya muridku.
Itupun agak terasing dari kedua muridku yang berdarah
bangsawan itu, sehingga kau tidak nampak sebagai saudara
seperguruannya. Tetapi aku yakin, justru karena itu, maka
kau telah menempa dirimu sebaik-baiknya meskipun jarang
dibawah pengawasanku langsung"
"Aku sedang mencoba untuk dapat menjadi murid di
padepokan kecil itu" berkata pengikutnya.
Jangan sebut lagi padepokan itu. Aku tidak akan kembali
kesana. Kuda Padmadata telah pernah datang ke
padepokan itu. Ia akan dapat datang kesana mencari aku
dengan membawa beberapa orang pilihan" guman orang
yang sedang mendendam itu.
"Ki Dukut Pakering" berkata pengikutnya "jika
demikian, maka apakah yang akan kita lakukan sekarang?"
"Untuk sementara aku akan tinggal di pondok ini. Aku
akan membuat hubungan dengan beberapa orang kawankawanku,
Aku sudah hampir kehilangan kesempatan
karena kegagalan-kegagalan yang terjadi. Semula aku masih
dapat menjanjikan sebagian dari kekayaan Pangeran gila
itu, jika kelak jatuh ketanganku lewat adik dan perempuan
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 8 Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun Suling Naga 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama