Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Bagian 4
itu mati karena mau dikawin oleh hantu itu""
"Begini, Den! Nyi Emeh itu pada suatu hari jatuh sakit,
setelah pagi harinya mencari kayu bakar di kuburan
Garawangsa. Sakitnya makin hari makin keras, sehingga saya
terpaksa mencari obat pada beberapa dukun. Tapi tidak ada
yang bisa menyembuhkannya. Dan menurut Pak Dja'i, dukun
sakti dari kampung Segara, yang saya panggil juga, ia tidak
akan bisa sembuh lagi, se bab Embah Jambrong sudah
mengawininya, katanya. Dan sesungguhnya esok harinya Nyi
Emeh itu lantas mati."
"Ah bohong itu dukun! Ba gaimana ia tahu....."
"Ia melihatnya dari dalam sebuah gendi."
"Bagaimana""
"Dari muka air yang ada dalam gendi itu." "Pak Artasan
sendiri melihatnya juga""
"Tidak. Cuma dukun saja yang bisa melihatnya. Orang lain
tidak bisa, sebab tidak tahu jampenya.*)"
"Nah, itulah yang bohong. Si dukun itu, bohong! (api kecil
merah melesat ke tanah). Semua itu tahyul saja! Bohong
melulu! Tidak ada si Jambrong itu!"
Aku diam saja, tidak turut bicara selama itu.
"Kalau betul ada, saya ingin ta hu di mana si Jambrong itu!"
kata Anwar kemudian mengorekkan korek api hendak
menyalakan rokok bar u. Dari cahaya korek api itu, nampaklah Pak Artasan dan Pak
Ahim dengan muka keheran- heranan dan agak takut,
mendengar perkataan Anwar itu.
"Eh sakit apa istrimu Pak Artasan"" tanyaku.
"O ya, apa yang terasa oleh binimu itu"" tanya Anwar pula
seolah-olah pertanyaanku itu ku rang jelas, atau seakan-akan
tidak mau ia aku turut campur dalam percakapannya itu.
"Dalam perut" Dalam dada at au ....( mengisap-isap dulu
rokoknya karena belum meny ala benar) atau ... dalam
kepala"" "Dalam perut, Raden."
"Bagaimana sakitnya""
"Katanya melilit-lilit, seakan-akan ususnya itu diramas-ramas dan dililit-lilitkan kayak sepotong kain oleh tukang cuci.
Kalau dapat serangan, ia tidak tahan lagi. Ia berguling-guling
di atas tikar dan memijat-mijat perutnya."
"Panas badannya""
"Seperti dibakar, Raden!"
"Berapa lama ia sakit""
"Kalau bapa tidak lupa lagi , pertengahan Ruwah ia mulai
sakit dan meninggal kira-kira akhir bulan Sawal. Kau masih
ingat juga Ahim, kira-kira begitu, bukan""
"Ah, kalau begitu itu kan penyakit tipus," kata Anwar
kepadaku dalam bahasa Belanda." Sorry, mereka itu
seharusnya membawanya ke dokter, tapi mereka takut sama
dokter. Dan dokter pun begitu jauh. Dan mahal lagi! Verdomd!
Beroerd, zeg! Wat'n toestand - Wat'n toestand - Alles en
overal nog Middeleeuws onder ons volk! *)
Itu harus kita brantas lekas-le kas! Segala ketahyulan pada
bangsa kita itu! Revolusi jiwa! Revolusi dari kebodohan kepada
kepintaran, dari kegelapan ke dunia terang. Potverdorie, we
moeten van deze halve karb ouwen mensen maken, echte
individualisten, intellectualisten, anarchisten
desnoods!**)Seperti aku yang tidak mau terikat lagi oleh apa
saja yang bisa mengikat jiwaku sebagai individu. Dan
memang, kita semua harus menjadi anarkhis. Harus
membasmi segala norma dan ikatan yang membelenggu hidup
kita sebagai manusia. Segala kepercayaan dan ketahyulan
yang menggelapkan pikiran kita (kepada Pak Ahim yang duduk
di sampingnya). Eh ... di mana Bapak melihat si Jambrong
itu"!" "Eh, ... eh, sebetulnya saya sendiri tidak melihat, tapi....."
"Nah you see, begitulah selamanya. Mereka tidak melihat
sendiri (kembali kepada Pak Ahim). Tapi bagaimana menurut
orang-orang yang katanya sudah melihatnya itu" Di mana si
Jambrong itu"!"
"Di kuburan Garawangsa. Dan tidak pada sembarangan
waktu bisa bertemu." "Kapan saja""
"Pada malam Jumat atau malam Selasa."
"Malam Jumat" Sekarang ma lam apa".... Wah kebetulan
sekali sekarang kan malam Jumat juga. Kalau begitu cobalah
kita cari si Jambrong itu. Saya ingin ketemu dengan hantu gila
itu. Mau lihat giginya berapa meter. Halia!"
Anwar tertawa, dan dari tertawanya terdengar suara
kesombongan. Aku merasa bahwa sikap Anwar itu sedikit
keterlaluan. Tapi memang Anwar adalah orang yang istimewa.
Pak Artasan dan Pak Ahim agak cemas-cemas, sebab
bagaimana kalau semua itu terdengar oleh Emban Jambrong
itu" "Di mana kuburan Garawangsa itu"" tanya Anwar pula.
"Itu tuh, yang kelihatan pohon kiaranya *) yang hitam
besar!" sahut Pak Artasan sambil menunjuk kepada suatu
umplukan pohon-pohon yang kehitam-hitaman kelihatan tak
jauh dari sana. "O itu" Dekat ya! Tunggu dulu!"
Lari ia. "Hai mau ke mana"" seruku sambil bangkit. "Sebentar!"
teriak Anwar kembali. Kami bertiga termangu-m angu saja, penuh dengan
keheranan. Mau apa dia, pikirku. Dan Pak Artasan dan Pak
Ahim pun saling tanya. "Mau apa dia" Mau ke mana Raden itu, Den"" "Entah,"
sahutku sambil duduk lagi.
Sunyi beberapa jurus. Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba
kelihatan dari arah rumah orang tuaku cahaya lampu senter
meng-kilat-kilat, menggores-gores seperti sebatang kapur tulis
yang besar di udara hitam. Dan tak lama pula mengkilatlah
cahaya itu ke dalam gubug kami.
"Mari!" kata Anwar, menyorotkan lampunya dari tepi lorong
ke dalam gubug, "Mari, siapa mau ikut" Kita cari si Jambrong
itu!" Lampunya menyoroti seluruh gubug kecil itu. Barulah aku
bisa melihat muka Pak Artasan dan Pak Ahim itu dengan
tegas. Tak ada istimewanya. Pers is type orang tani biasa di
kampung. Wajah tembaga berkisut-kisut karena masuk hari ke
luar hari kena panas, kena huj an. Sinar derita dari matanya
di tambah dengan sinar kebodohan.
"Ayo, siapa ikut"" Anwar mengulang.
"Ke mana, Den""
"Ke kuburan itu. Cari si Jambrong. Saya mau ketemu
dengan dia!" Gila kawan ini, pikirku. "Ah saya takut, Raden!" jawab Pak Artasan terus terang.
Demikianlah pula kata Pak Ahim.
"Kenapa takut"! Nanti saya per lihatkan, bahwa si Jambrong
itu tidak ada. Itu semua bohong saja. Ayo, siapa mau ikut""
Sunyi beberapa jurus. Anwar mencetrek-cetrekkan
lampunya. Terang gelap, terang gelap. Muka Pak Artasan dan
Pak Ahim tilem timbul . Saling pandang, dan kemudian mereka
melihat kepadaku. Aku diam saja, duduk tak mengucap apa-apa.
"Mari, kalau tidak berani sampai di kuburan itu, turut saja
sampai ke dekatnya, supaya bisa menyaksikan, bahwa si
Jambrong itu tidak ada."
Aku merasa gelisah. Ikut kurang berani dan tidak ada
gunanya, tapi tidak ikut pun malu sama Anwar. Dan
bagaimana nanti, kalau.... (terbayang-bayanglah di mata
batinku, Anwar sedang bercer ita tentang "keberanianku"
kepada Kartini dan Rusli).
Maka aku pun menjadi berani.
"Mari Pak Ahim! Mari Pak Artasan! (bangkit) Mari kita
bersama, tak usah takut-takut!"
Aku sudah berdiri di samping Anwar, yang bermain-main
dengan lampu senternya, menyorot ke sini, menyorot ke sana.
"Iya, kenapa kita takut-takut Kang Asan" Ayo kita pergi
bersama-sama." Sambil berkata-kata demikian, Pak Ahim bangkit serta me-nyelubungkan kain sarungnya kepada badannya.
"Dicaplok satu, dicaplok semua!" sambungnya.
Pak Artasan rupanya masih agak takut-takut. Tidak
menjawab, tapi bangkit juga, sekalipun sangat segan.
Aneh, pikirku, orang ini tadi paling berani membentak
dengan suaranya yang geram. Tapi kenapa sekarang ia paling
takut"! Rupanya saja terhadap manusia ia tidak takut, tapi
jangan terhadap setan atau ha ntu. Mengerti aku sekarang,
kenapa kadang-kadang ada orang yang takut sama kue cucur,
atau perempuan yang takut melihat celana laki-laki. Mengerti,
bahwa takut seperti itu berdasarkan hayal semata-mata.
Bukan berdasar perhitungan yang sehat lagi, seperti halnya
dengan orang yang takut mengendarai mobil, karena mobil itu
loncer stirnya dan sebagainya.
Maka berjalanlah kami berempat meninggalkan gubug.
Anwar dengan lampu senternya paling depan. Silinder cahaya
yang keputih-putihan seperti air beras, menyolok-nyolok
ke*depan, ke kiri ke kanan menembus hitam malam. Batang-batang pohon dan semak belukar yang kena cahaya itu
seakan-akan hidup sejenak, .bermandi cahaya sejurus,
kemudian mati lagi ditelan hitam. Belalang, cihcir , jangkrik dan
katak diam sebentar seketika cahaya mengkilat ke tempatnya.
Anwar berjalan sambil menyanyi-nyanyi atau bersiul-siul.
Sekali-sekali lampunya dimatikannya agak lama. Sengaja
agaknya untuk menakut-nakutk an kami. Dan berhasil juga!
Sebab, entahlah makin lama makin takut saja aku.
Empat lima menit kira-kira kami berjalan. Sekonyong-konyong Pak Artasan tertegun, seraya katanya, "Raden, saya
sampai sini saja. Kuburan itu sudah di depan. Silakan Raden
saja yang masuk." Ia menunjuk ke pohon kiara yang kira-kira seratus meter
lagi jauhnya dari kami. "Saya pun sampai sini saja," kata Pak Ahim. "Baiklah, tapi
kau ikut, toh, Bung"" "Tentu," sahutku.
Terasa olehku, bahwa kebe ranianku itu keberanian
"bikinan". Aku tidak mau dipa ndang pengecut oleh kawanku
itu. Maka kami pun lantas berjalan lagi. Pak Artasan dan Pak
Ahim menunggu. Sambil berjalan , berkali-kali aku menoleh ke
belakang. Kedip-kedip kelihatan cahaya rokok kedua orang itu
di tepi lorong. Anwar berdendang-dendang menyanyikan lagu "The Pagan
Love Song". Lampu senternya digerak-gerakkannya seperti
orang menyapu-nyapu ke kiri ke kanan. Aku rapat berjalan di
sampingnya. Menoleh lagi ke belakang ke arah Pak Artasan
dan kawannya. Entahlah, tidak insyaf benar aku, mengapa
berkali-kali aku menoleh ke belakang. Tadi aku takut kepada
suara yang geram itu, sekarang malah ingin aku ditemani oleh
pemiliknya. Kadang-kadang pula aku memandang Anwar dari samping.
Kutegas-tegas dalam keadaan yang terang gelap, terang getep
itu. Terang gelap, terang gela p, karena Anwar bermain-main
terus dengan lampunya itu.
Makin dekat ke kuburan itu rh
akin berat terasa olehku perasaan takut menindas jiwaku. Hati berdegup. Kaki menjadi
lemas. Terasa lutut bergetar, seperti alang-alang di tengah
padang. Sesungguhnya, aku sangat takut. Sangat takut,
karena tiba-tiba aku teringat kepada suatu dongeng yang
pernah kudengar ketika kecil dari babuku.
Tidakkah mungkin, bahwa orang yang di sampingku ini pun
bukan Bung Anwar, melainkan siluman yang merupakan diri
Anwar untuk membawa aku ke dunia siluman seperti yang
diceritakan dalam dongeng babuku itu dulu" Bukankah Mak
Ioh dulu menceritakan pengalaman ayahnya, yang diajak oleh
seorang kawannya menangkap ikan malam-malam di sungai
Cimanuk, tapi ketika ia tengah malam itu sudah berada di
pinggir sungai itu, ternyata bahwa kawannya bukan
kawannya, "melainkan hantu yang telah merupakan diri
kawannya itu. Ingat kepada dongeng itulah yang membikin aku berkali-kali menegas-negas muka Anwa r dari samping. Tidakkah
mungkin Anwar ini pun bukan Anwar yang sebenarnya,
melainkan hantu juga yang mengajak aku ke tempat
tinggalnya, yaitu kuburan Embah Jambrong itu"
Berat, makin berat terasa olehku langkah kakiku. Lemas,
lemas sekali seluruh tubuhku. Serasa tak bertulang lagi
badanku. Serasa hilang segala daya tenaga. Hanyut dalam
arus takut. Tapi masih terseok-seok juga kakiku.
"Lihat Bung! Lihat itu! (Anwar tiba-tiba memadamkan
lampunya) lihat betapa indahnya itu!"
Bukan main aku terkejut. Hati berdegup makin keras.
Ia menunjuk ke arah beribu-ribu kelip-kelip dan kunang-kunang yang bertaburan di atas semak-semak. Bertaburan
seperti bintang-bintang, seakan-akan langit sudah pindah ke
bumi. Kukira apa, pikirku. Anwar menyalakan lagi lampunya.
"Sudah sampai kita!" katanya.
Kami berhenti sebentar, sebab harus meninggalkan lorong
"rondaan" itu, untuk menempuh jalan setapak di antara
semak-semak. Anwar menyorot-nyorot lagi dengan lampunya
ke tempat yang seram itu. Semak-semak, pohon-pohon dan
juga pohon kiara yang besar dan rindang itu disorotinya
dengan lampunya. Kelelawar be terbangan ketakutan melihat
cahaya yang tiba-tiba itu. Seekor burung hantu yang beberapa
saat yang lalu masih ber- kueuk-kueuk, terbang dan
menghilang entah ke mana.
Melihat tempat yang seram itu, aku makin takut.
"Mari kita masuk," kata Anwar.
Aku segan-segan. Serasa terpaku kakiku. Lutut terasa
makin gemetar. Gigi mulai gemeletuk seperti kanak-kanak
kedinginan mandi subuh. Daging pipiku bergetar pula. Hati
berdegup makin keras. Seolah-o lah beduk di langgar pindah
ke dalam dadaku. Dan kering at dingin keluar lagi.
Tiba-tiba mengkilatlah lagi pertanyaan dalam hatiku, "Tidak
mungkinkah ini pun bukan Anwar, melainkan...."
Maka dengan tak insyaf lagi, larilah aku sekonyong-konyong
dari sana. Lari meninggalkan An war. Lari sekuat tenaga. Lari
seolah-olah badanku bersayap. Sandalku copot terpelanting ke
dalam semak-semak. Terpelanting seperti lumpur kering dari
roda mobil yang jalan seratus kilometer.
Tapi seketika itu juga cahaya lampu senter Anwar sudah
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyoroti tubuhku yang lari pon tang- panting itu.
Bayanganku besar bergerak di hadapanku. Membikin kaku
dalam lari. Maka karena sorotan yang terang benderang itu, aku pun
insyaflah kembali. Insyaf pula karena Anwar terus berseru-seru, "Hai, Bung! Kenapa lari "!. Bung! Kenapa lari!"----"
Maka aku pun berhenti. Dalam pada itu aku sudah hampir sampai di tempat Pak
Artasan dan Pak Ahim tadi. Tapi mereka sudah lari juga
beberapa meter, seperti juara-juara estafette yang mendahului
lari sebelum kawan-kawannya sampai ke tempatnya.
Tak lama kemudian Anwar datang memburu, lalu menyoroti
wajah kami bertiga. Ketiga-tiganya pucat semua.
"Kenapa tiba-tiba lari" Ada apa" Ada si Jambrong" Aku tidak
lihat apa-apa. Tidak ada si Jambrong. Tidak ada hantu."
Aku tidak menyahut apa-apa. Malu. Terasa sekali olehku,
seolah-olah Anwar melihat kepa daku dengan belas kasihan.
Penuh belas kasihan selaku tiap pemberani melihat kepada si
penakut. Ya, terasa olehku bahwa aku seorang penakut.
"Mari kita pulang saja," kata Anwar.
3 Esok harinya kami kesiangan. Matahari sudah scpenggalah
tingginya. Sudah sekian derajat, kalau menurut ahli ilmu
binta ng. Artinya kalau ia membawa alat pengukurnya. Kalau
tidak, ia pun hanya mengira-ngira saja.
Kami berangkat lagi ke tempat kuburan Garawangsa.
Hendak mencari sandalku. Bayangan pepohonan sudah tegas hitam. Capung-capung
aan kupu-kupu beterbangan. Burung-burung sudah tidak
begitu ramai lagi bernyanyi. Rupanya sudah asyik mencari
makan. Dan kesungguhan mencari makan itu, rupanya seperti
juga halnya pada manusia, tidak mengizinkan dengan cara
sambil bersiul-siul atau bernyanyi-nyanyi (Bolehkah kita
mengambil kesimpulan, bahwa makin berat orang mencari
nafkah, makin jauh pula ia terasing dari kesenian" Bahwa
dengan demikian maka suatu bangsa kapitalis yang berat
mengejar materi, tidak mungkin tinggi keseniannya").
Beberapa ekor biri-biri dan kambing-kambing sedang makan
rumput di tegalan tepi jalan. Ketika kami lewat, bersuara
seperti panggil-mema nggil: be-be-beee! An ak-anaknya bersih-bersih, segar-segar melompat-lompat di sekitar induknya.
Melompat-lompat, bermain-main dengan tak ada kesusahan
hati sedikit pun, seperti demikian pula halnya dengan kanak-kanak manusia.
Seorang gembala lewat, menggi ring kerbaunya tiga ekor.
Seperti anak gembala itu, bina tang-binatang itu pun menoleh
ke arah kami, setelah berpapasan dengan kami. Anwar
menyepak salah satunya, sehingga binatang besar itu
meloncat ke depan, diiringi oleh tertawaan Anwar yang riang.
Bocah angon itu tertawa kaku keheran-heranan.
Untung sandalku belum ada yang mengambil. Kedua
belahnya masih ada di antara semak-semak. Yang kiri
berjauhan dari yang kanan, seolah-olah dilangkahkan oleh
orang yang jauh langkahnya. Agak basah, karena air embun.
"Aku ingin melihat kuburan it u," kata Anwar, sesudah aku
memakai lagi sandalku. "Tadi malam tidak begitu jelas."
Maka kami pun lantas menyimpang dari jalan rondaan itu,
menempuh jalan setapak yang kiri kanannya penuh dengan
semak-semak sahara dan alang-alang yang liar. Sebentar
kemudian kami sudah berada di bawah pohon kiara yang
rindang hitam itu. Alang-kah sejuknya keadaan di sana itu.
Tanahnya basah, karena hujan tertahan dalam humus yang
tebal. Belukar dan pohon-pohon ya ng lain tumbuh dengan liar.
Persis di antara akar kiara yang besar-besar itu, di atas
tanah yang bersih tidak berumput, adalah dua batu besar
yang bertentangan letaknya, yang nyata merupakan batu
kuburan, yang satu di ujung ke pala, yang satu lagi di ujung
kaki. Panjangnya kuburan itu kira-kira ada dua meter lebih*
Dekat nisan sebelah kepala, ad a sebuah pendupaan, yang
penuh berisi dengan abu dan ruhak arang. Basah. Di samping
itu, sebuah tempurung yang seperempatnya berisi air. Air
hujan rupanya. "Inilah kuburan si Jambrong itu!" kata Anwar
dengan bertopangkan tangan di pinggang. "Hai Jambrong! Ini
kami! Dua putra Embah yang ingin melihat wajahmu yang
kata orang seperti muka singa galak itu! Coba, muncullah di
depan kami! Kami tunggu kedatanganmu! Haha!"
Anwar tertawa. Aku tertawa kecil. Entahlah, sekarang aku
sama sekali tidak merasa takut lagi. Terutama pula, barangkali
karena tertawa itu sangat berpengaruh juga kepada jiwaku.
Sangat berpengaruh untuk menghilangkan segala perasaan
takut. Tapi biarpun begitu, sama sekali "jernih" perasaanku itu
tidak. Sebab, entahlah, cara Anwar berseru dan "menantang"
Embah Jambrong, demikian itu, membikin aku malah sangat
gelisah dalam hati. Gelisah, bukan takut!.
Setelah Anwar merasa cukup me lihat-lihat kuburan itu, dan
setelah dirasainya cukup pula memanggil-manggil Embah
Jambrong yang tidak muncul juga itu, maka kami pun
meninggalkan tempat istimewa itu. Sebelum berangkat,
pendupaan disepak dulu oleh Anwar. Berhamburan abunya.
Semut tanah dengan telornya putih-putih kecil yang beratus-ratus jumlahnya berlari-larian sim-pang-siur di atas tanah
bekas tempat pendupaan itu. Ribut agaknya seperti satu kota
mendapat serangan udara. Sampai di rumah Anwar bertanya kepadaku, "Bagaimana,
tidakkah timbul suatu pikiran padamu"" Aku tidak mengerti.
"Tidakkah menjadi soal bagimu, kenapa tadi malam kau
begitu takut, sedang sekarang tidak""
Aku tersenyum. Memang hal itu sedang menjadi pikiran
bagiku. Memang terasa benar
pe rbedaan perasaanku sekarang
dengan tadi malam. Seperti siang dan malam.
Tapi kenapa sebetulnya begitu" Padahal tempat itu itu-itu
juga. Kuburan itu-itu juga. Dan tadi malam kami berempat
orang, sedang sekarang cuma berdua. Alhasil, menurut
pikiranku, tiada lain yang menjadi sebab aku takut itu, ialah
oleh karena tadi malam gelap. Dalam keadaan gelap orang
menjadi takut. Tapi sebaliknya, dalam keadaan terang, orangtidak takut. Kukemukakan pendapatku itu kepada Anwar. Dia
mengangguk.,* Tapi bertanya pula ia, "Tapi kenapa
sebetulnya, kita menjadi takut karena gelap""
Aku tidak lekas-lekas menjaw ab. Berpikir dulu. Tapi
sebelum* sampai aku kepada suatu jawaban, berkatalah pula
ia "Karena, dalam gelap kita ti dak tahu apa-apa! Tidak tahu!
Yang menu bikin kita takut, (hujan ludah dari bibirnya, karena
terlalu gembira ia agaknya bisa mengemukakan jawaban yang
tidak cepat terdapa^ olehku). Memang takut itu adalah dua
macam: kesatu, yang berdasarkan tidak tahu, dan kedua,
yang berdasarkan tahu. Yang berdasarkan tidak tahu,
misalnya takut nama si Jambrong itulah, atau sama jin, hantu,
peri dan lain-lain. Dan takut yang berdasarkan tahu, ialah
misalnya takut mendekati orang yang berpenyakit longpes.
Tapi apakah sebetulnya tahu itu" Dan apakah tidak tahu""
Ia membiarkan aku mencari jawaban lagi. Tapi tak lama
kemudian ia sendiri lagi yang menjawab. Katanya, "Tahu
adalah berarti, bahwa kebenarannya tidak bertentangan
dengan akal dan pikiran. Di luar itu adalah "pengetahuan
tambahan". Aku maksudkan begini: Sifat manusia itu adalah
mau tahu semua. Kalau ia tidak tahu semua dibikinnya sendiri
"kira-kira"; dibikin hayaT; dibikinnya hypothese kalau menurut
istilah ilmu pengetahuan atau dibikinnya kepercayaan seperti
hal-hal yang gaib dalam agama. Dan kira-kira, hayal,
hypothese dan kepercayaan itu adalah hanya "penambah"
semata-mata kepada pengetahuannya yang terbatas itu.
Penambah yang dibikinnya sendiri. Penambah untuk
menenteramkan nafsunya ingin.tahu semua itu. Itulah maka
manusia itu maha pencipta. Maha pencipta juga dari maha
pencipta yang dianggapnya Maha Pencipta. Mengerti"!
(menatap ke dalam wajahku seperti seorang guru).
Kumaksudkan, juga pencipta dari Tuhan. Tegasnya Tuhan itu
adalah ciptaan manusia sendiri, yang dicipta-kannya sebagai
tambahan kepada pengetahuannya yang terbatas itu.
Mengerti"!" (menatap lagi seperti guru).
Aku merengut saja. Berlainan lagi agaknya keterangan
Anwar ini dari Rusli tentang soal "Tuhan bikinan manusia" itu.
Begitulah pikirku. Patut, ka wanku ini suka mengemukakan,
bahwa Tuhan itu adalah dia sendiri.
Tapi biarpun berlainan keterangan Rusli dan Anwar itu,
biarpun yang satu menyatakannya sebagai "akibat dari jiwa
manusia dalam keadaan masyarakat yang tidak sempurna"
dan yang satu lagi sebagai "penambah pengetahuan dalam nafsu mau
tahu semua", namun kedua-duanya adalah sama
kesimpulannya, ialah bahwa Tuhan itu adalah bikinan manusia
sendiri. Dan sesudah kualami pengalaman dengan "peristiwa
Embah Jambrong" itu^setelah kualami perbedaan perasaan
yang timbul karena perbed aan keadaan malam dan siang,
gelap dan terang, atau tidak tahu dan tahu, maka harus
sangsikah terus aku akan kebenaran kesimpulan kedua kawan
itu" Bagian X Kereta api merayap-rayap, seakan-akan segan ditumpangi
orang-orang atheis seperti kami.
Dan ketika jalannya makin naik, maka seolah-olah keluarlahl
keringatnya, mendesah-desah mengeluarkan uap dan asap,
seakan! akan berat nian da danya turun-naik memeras
segenap tenaganya! untuk maju terus.
Aku duduk merunduk di sudut gerbong. Sedang Anwar takl
tentu lagi duduknya. Berpindah- pindah saja seperti lalat.
KebetulJ an sekali kereta itu agak lowong.
Tiga hari kami berpakansi di Panyeredan. Sekarang hendalJ
pulang kembali ke Bandung,
Aku terus merunduk saja. Hilang riang. Memang,
bagaimana! mungkin hatiku bisa riang, jika seluruh jiwaku
masih terpukaii oleh kejadian-kejadian yang timbul tadi malam
antara aku dari Ayah. Semalam-malaman (malam penghabisan
di Panyeredan! aku tidak bisa menutup mata lagi barang
sejenak. Kejadian itu ter-J lalu hebat memukul jiwa, sehingga
aku merasa sakit. Aku tahu, bahwa kedatangan kami di Panyeredan itu
hendaki membawa bahagia seperti biasa. Tapi ini sebaliknya,
bahagia yangl selama itu meliputi rumah setengah tembok itu,
sekarang sudah' pergi meninggalkan ayah dan ibuku. Pergi,
seolah tamu lama tidak berpamitan dulu.
Ketenangan hati kedua orang tua itu kini sudah goncang,
di-goncangkan oleh angin ribut kekecewaan, kecemasan,
kesedihan. Kini insyaflah aku, betapa tersayat-sayatnya rasa hati ibu
dan ayah oleh perkataan-perkat aan tadi malam. Kini terasa
benar olehku, betapa tidak bijaksananya aku bercekcokan
dengan ayah tadi malam. Sesungguhnya, serasa remuk jiwaku
kini. Remuk, karena rasa sesal menyayat-nyayat, rasa sedih
mengiris-iris. Tadi malam, di dalam perdebatan yang hangat, di dalam
nafsu bertengkar faham, seakan-akan aku tidak berhadapan
dengan ayah, melainkan dengan seorang lawan yang
harus'kutundukkan dan kubikin insyaf akan kesalahan
fahamnya. Aku mendesak-desak, seakan-akan kebenaran
adalah monopoliku sendiri. Dan ayah yang salah. Dalam
keadaan demikian, maka deng an sendirinya, aku menolak
kata-kata nasihat dari ayah, betapa pun baik maksudnya.
"Sekarang saya sudah dewasa," kataku, "sudah cukup
matang untuk mempunyai pendirian sendiri dalam soal-soal
hidup. Ayah tidak boleh memaksa-maksa lagi kepada saya
dalam hal pendirian saya. Juga dalam pendirian saya terhadap
agama." Dan entahlah, walaupun saya masih sangsi akan kebenaran
teori-teorinya Rusli dan Anwar tentang "Ketuhanan bikinan
manusia" itu namun dalam reaksi terhadap desakan-desakan
ayah yang seperti biasa memuji aliran tarikat dan mistik pada
umumnya, maka ku tumpahkan segala teori Rusli dan Anwar
itu. Seolah-olah semua teori itu orisinil pendapatku sendiri.
Seolah-olah aku, sudah menjadi atheis pula. Atheis mutlak
seperti kedua kawan itu. Agaknya, tak ada pukulan yang lebih hebat bagi ayah
daripada ucapan-ucapan itu.
Sekarang terasa benar olehku, betapa kejamnya
perkataanku itu terhadap ayah dan ibu yang selama itu selalu
megah akan diriku sebagai anaknya yang "alim" dan "saleh".
Kereta api berdesah-desah terus. Anwar berpindah-pindah
terus. Dan aku ngelamun terus.
Terbayang-bayang lagi wajah ayah dan ibu yang penuh
dengan kesedihan. Kulihat ibu sedang melakukan sembahyang
Magrib. Air matanya berlinang. Titik ke atas pangkuannya,
membasahi mukenanya, tembus panas sampai ke atas kulit
lututnya. Kereta api merayap-rayap menaiki punggung gunung
Nagreg. Merayap-rayap seperti seekor lipan menaiki tebing.
Lokomotip-nya berat menghela napas. Matahari membakar
bumi. Rel mengkilap dalam tikungan. Sawah-sawah dan
kolam-kolam, gemerlapan seperti kaca. Pohon-pohon tak
bergerak. Hawa bergetar di atas rumput yang kering ke
kuning-kuningan. Bergetar-getar, sehingga pandanganku
seakan-akan menembus kaca yang tidak rata, beriak-riak.
Lambat-lambat tiang tilpon tepi jalan lalu, malas-malas
agaknya berjalan, karena teriknya matahari. Lesu, seperti
turut lesu dengan aku. "Kalau begitu, baiklah kita berpisahan jalan saja. Kau sudah
mendapat jalan sendiri, ayah dan ibu pun sudah ada jalan
sendiri. Jadi baiklah kita bernapsi-napsi saja menempuh jalan
masing-masing. Memang, ayah dan ibu pun hanya berbuat
sekadar sebagai orang tua saja, yang menjalankan sesuatu
yang dianggapnya memang kewajibannya terhadap anaknya,
ialah mendoakan semoga engkau di jalan hidup ini bertemu
dengan keselamatan lahir batin, dunia akherat. Hanya
sekianlah yang ayah dan ibu selalu pohonkan dari Tuhan
kami." Agak menusuk rasanya perkataan "Tuhan kami" itu bagiku.
Maka dijamahlah kepalaku oleh ayah dengan tangannya
yang kanan, sambil berbisik-bisik membaca ayat dari Alquran.
Suaranya terputus-putus, gemetar. Ibu menangis, sedang aku
tunduk duduk di atas kursi dengan kedua belah tanganku
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berlipat di atas pangkuanku.
Kereta api sudah lewat puncak Nagreg. Mulai menurun ke
pedataran Bandung. Ia meluncur cepat, seperti pikiranku yang
meluncur terus kepada peristiwa-peristiwa pada malam
penghabisan di Panyeredan itu. Tak mungkin agaknya lepas
dari himpitan pengaruhnya. Ya, betapa mungkin! Peristiwa-peristiwa itu terlalu heb
at bagi jiwaku. Aku merunduk saja di sudut wagon.
Leuwigoong, Kadungora, Lebakjero, Nagreg,
Cicalengka....... tak kuketahui sudah lewat. Ke reta api meluncur pesat.
Lokomo-tipnya sangat gelojoh. Tak kenyang-kenyangnya
seakan-akan menelan balok demi balok di bawah relnya. Tak
jemu-jemunya seolah-olah menghi tung kilometer, menghitung
tiang tilpon, mengeluarmasukkan manusia ke dalam perutnya.
Baru sekali ini aku bertengk ar dengan orang tua. Dan
alangkah hebatnya pertengkaran itu! Pertengkaran faham,
pertengkaran pendirian, pertengkaran kepercayaan.
Tapi ah, mengapa aku tidak bersandiwara saja" Mengapa
aku harus berterang-terangan memperlihatkan sikapku yang
telah berubah itu terhadap agam a" Karena Anwar tidak setuju
dengan sikap bersandiwara itu! Dengan sikap "huichelarij"
seperti katanya. Tapi tidakkah ada kalanya bersandiwara itu
lebih baik dan bijaksana daripa da berterus terang" Tidakkah
dalam hal dengan orang tuaku it u pun lebih baik" Lebih baik,
karena bisa menghindarkan segala kepahitan yang sekarang
harus kuderita itu" Kuderita bersama-sama dengan orang
tuaku juga. Sesungguhnya* sikap jujur dan terus terang
terhadap diri sendiri itu tida k usah berarti harus bersikap
demikian juga terhadap orang lain. Tegasnya, kebijaksanaan
tidak usah hilang karena pendir ian terus terang seperti itu.
Terus terang sekali-kali tidak identik dengan kurang ajar atau
sombong. Tidak identik dengan harus menyakiti hati orang
lain, seperti kalau tak salah- pernah kuutarakan tempo hari
kepada Anwar. Ah, kasihan orang tuaku yang sudah condong ke kubur itu!
Pada masa tuanya mereka masih harus mendapat pukulan
yang begitu getir. Dan notabene dari anaknya sendiri! Sedang
sebabnya cuma karena aku tidak bisa bijaksana, tidak mau
mengukur keadaan dan suasana, tidak sanggup menjaga hati
orang lain. Memang, semua itu bukan maksudku untuk melukai hati
orang tuaku sendiri. Tapi maksud baik bisa hilang sama sekali
oleh cara yang tidak baik, oleh cara yang tidak bijaksana, oleh
cara yang kurang ajar. Ses ungguhnya, cara itu alangkah
pentingnya di dalam hidup.
Demikianlah aku bercakap-cakap sendiri di dalam hati.
Mencela sikapku yang sudah lalu.
Tiba-tiba aku tersentak bangun dari lamunanku. Kulihat
kondektur mengulurkan tangannya minta karcis.
"Baru naik"" tanyanya.
Kuperlihatkan karcisku. Dan se telah dibolak-baliknya, maka
karcis itu pun segera dikemb alikannya dengan tidak diapa-apakan. Dan sebentar kemudian, pici putih dan pakaian hitam
itu hilanglah dari mataku me nyeberang ke lain gerbong.
Intermezzo habis. Kembali pula aku ke dalam arus ngelamun. Hanyut lagi.
"Mengapa pula mereka itu menyuruh aku kawin dengan
Fatimah" Memang aku tahu, bahwa gadis itu sebenarnya
hanya seorang saudara sepupu bagiku, bukan seorang adik
sekandung. Tapi oleh karena dia itu dari kecil bersama-sama
hidup dengan aku, maka sudah tak terasa lagi olehku, bahwa
dia itu bukan adik sekandungku. Tak mungkin rasanya aku
bisa kawin dengan dia. Dulu orang tuaku itu pernah juga
mendesak-desakkan seorang gadis, anak seorang menak
kepadaku. Aku tolak, karena cintaku sudah disita oleh
Rukmini. Dan sekarang" Rupanya orang tuaku itu mau
mencoba lagi mengawinkan aku dengan gadis yang
disetujuinya, setelah mereka tahu, bahwa Rukmini itu sudah
ada penggantinya, yaitu Kartini.
Terbayang-bayanglah wajah Kartini, membelokkan
pikiranku sebentar dari Panyeredan. Tapi hanya sebentar saja.
Segeralah aku pun kembali kepada peristiwa-peristiwa di
Panyeredan itu. Makin merunduk aku duduk di sudut gerbong.
Soal kawin itulah pula yang mula-mula menimbulkan
percekcokan mulut. Tapi kenapa sampai merembet-rembet
kepada soal agama" Memang, aku merasa diserang ketika itu
oleh ayah, sehingga aku merasa terpaksa harus menerangkan
pendirian' dan pikiran tentang soal perkawinan. Tapi kenapa
harus merembet-rembet sampai kepada soal kepercayaan dan
agama" Kenapa harus kuceritakan peristiwa tentang kejadian-kejadian di sekitar Embah Jambrong dengan menegaskan,
bahwa itulah yang mempertebal keyakinanku" Bahwa semua
yang gaib-gaib dan tidak dapat dibuktikan itu adalah ciptaan
khayali manusia belaka da
la m sesuatu keadaan jiwanya"
Bahkan itu cuma penambah belaka kepada pengetahuan
manusia yang terbatas itu" Kenapa aku harus berterus-terang
begitu" Padahal aku tahu, bahwa,dalam hal agama dan mistik
ayah sangat fanatik. Kereta api bercuit-cuit. Tajam suaranya. Tajam seperti
suara sesal dalam hatiku.
Haur Pugur sudah lewat, halt e kecil sesudah Cicalengka.
Aku masih terus merunduk di sudut. Anwar sebaliknya.
Terus lincah, terus berpindah- pindah. Sebetulnya tempatnya
ialah di sampingku, tapi hanya sebentar ia duduk di sana.
Kemudian berpindah-pindah dari satu tempat ke lain tempat,
seolah-olah di tempatnya sendiri banyak paku. Ia sangat suka
turun-naik di bordes. Kadang-kadang pindah ke gerbong lain,
mengobrol dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Atau
berdiri di atas bordes beromo ng-omong dengan tukang rem
sambil mencoba-coba memutar stang remnya. Dan kalau tidak
keburu ditegur oleh tukang rem, "jangan tuan!" maka bisa jadi
kereta api yang meluncur itu akan merayap kembali seperti
tadi. Kalau duduk kembali di sampingku, kepalanya ke luar-masuk jendela saja seperti burung jam kukuk. Meludah ke luar
atau me-negas-negas keadaan halte yang sedang disinggahi.
Kadang-kadang lengannya menjul ur ke luar jendela seperti
ular: jajan goreng oncom. Sudah habis jajanannya, bersiul-siul
kecil. Dan lagunya selalu lagu "Carolina's Moon".
Bosan bersiul, mengobrol. Bosan mengobrol, menyanyi.
Lagunya lagu "Di Timur matahari". Jelas-jelas ia menyanyi, "Di
Timur matahari mulai bercahya . Bangun dan berdiri kawan
semua! Marilah mengatur barisan kita! Segala pemuda
Indonesia." Bila dilihatnya aku masih terus merupakan sebuah karung
beras, maka katanya, "Ah kom nou, masa soal begitu saja
sudah menjadi pikiran benar. Kan sudah biasa, anak
bertentangan faham dengan orang tua. Itu malah harus
menggembirakan, sebab itu adalah suatu tanda, bahwa
manusia maju terus. Bukan begitu, Pak Haji"" (menupuk paha
manusia haji di sebelah kirinya).
Haji kakek-kakek yang ditanya itu tersenyum-senyum saja,
sambil menggeserkan rokok kaw ungnya dari sudut mulutnya
yang kiri ke kanan, melalui barisan gigi yang sudah tidak
komplit lagi. Pak Haji tidak mengerti, tapi mengangguk juga.
Anwar bersiul-siul lagi. Su dah bersiul, berkata lagi
kepadaku, "Dan tahu Bung, apa yang harus kita insyafi
sebagai pemuda perintis jala n" Tidak tahu" Ialah, bahwa
orang tua itu tidak selamanya benar. Lihat saja kepada Nabi
Muhammad! Ayahnya biadab. Kalau ia menurutkan pendirian
ayahnya, tidak akan ada ag ama Islam. Bukan begitu"
(matanya tajam menatap ke dalam wajahku). Lihat juga pada
Marx, Lenin! Lihat juga pada Nietzsche, ya Nietzsche, Bakunin
dan lain-lain. Mana bisa mereka menjadi penganjur dunia yang
begitu hebat, kalau mereka mau nongkrong saja tunduk
kepada kehendak orang tuanya (menggeliat dengan kedua
belah tangannya menjulur ke atas). Vooral Nietzsche! Ya ya,
Nietzsche! Heerlijk!vDer Uebermensch! Nietzsche, yang berani
berkata kepada Sang Surya, Gij grote ster, wat zult gij
betekenen zonder mij! (menepuk-nepuk dada).
Sesungguhnya, apa arti kamu, wahai bintang raya, kalau aku
tidak, ada"! Begitulah mestinya kita semua! Uebermensch!
(membusungkan dada). Uebermenschen, yang berani
merombak, menentang, menghancurkan untuk kepentingan
kepribadian kita sebagai manusia yang harus maju, harus
hidup, harus berkembang!"
Tajam lagi ia menatap ke dalam wajahku. Untung Anwar
duduk dengan mukanya ke arah lokomotip, sehingga hujan
ludah yang disemburkan oleh semangat dari mulutnya, tidak
jatuh kepadaku, melainkan kepada Pak Haji semuanya.
"Terlalu lama bangsa kita diinjak-injak, bukan saja oleh
bangsa lain, tapi pun juga oleh orang-orang tuanya sendiri.
Nee zeg, kita sekarang harus menjadi pahlawan semuanya.
Uebermenschen semuanya!"
Anwar berkata setengah berteriak, sehingga banyak orang
melihat kepadanya. Pak Haji menonjol ke luar jendela, seolah-olah baginya lebih baik matanya kemasukan pecahan arang
dari lokomotip daripada kehujanan ludah.
Dan sesudah berteriak begitu, maka menjangkaulah tangan
Anwar memetik sebuah rambutan yang tersembul ke luar dari
sebuah keranjang di kolong bangku. "Boleh toh satu!" katanya, menepuk paha Pak Haji lagi,
yang masih menonjol ke luar jendela.
Pak Haji menarik badannya dari jendela lalu mengangguk
kepada Anwar, yang sedang mengupas rambutan itu dengan
giginya. "Punya Pak Haji toh""
"Punya itu!" sahut Pak Haji, menunjuk kepada seorang laki-laki bungkuk yang tersaruk-saruk jalannya seperti serdadu
mabok hendak pergi ke w c.
"O dia punya"" (memetik lagi sebuah, dan kemudian
kepadaku kembali). "Heerlijk zeg! Gestolen vruchten smaken
inderdaad zoet!*) Si Macan lagi ni! (mulutnya mengunyah-ngunyah). No my boy, tidak baik kita beranggapan, bahwa
orang tua itu harus selalu benar. Kebenaran bukan monopoli
orang tua, melainkan disediakan untuk segenap kemanusiaan.
Kewajiban kitalah, sebagai pemuda perintis, untuk mencari
kebenaran yang betul benar."
Mendengar semua kata-kata Anwar itu, agak bersinar
kembali rasanya wajahku. Bersin ar kembali seakan-akan kaca
arloji yang penuh dengan abu tiba-tiba ditiup abunya. Dadaku
serasa lapang kembali, serasa ba ru turun dari kereta api yang
berjubel-jubel menginjak halaman stasiun yang luas.
Tapi biarpun begitu, perselisih an antara aku dan ayah itu
terlalu dalam berkesan dalam ha tiku, sehingga bukanlah suatu
perkara yang gampang untuk melipurkan kesedihan itu.
Dari kecil aku selalu menjad i pusat kemegahan orang tua.
Dari kecil seakan-akan tali kasih mengikat jiwa orang tua
kepadaku. Dan sekarang"... Sudah putuskah tali yang kuat
itu" ... Putus sesudah pertengkaran faham yang begitu hebat"
Putus, seperti kawat-kawat ti lpun putus dilantarankan oleh
suatu pertempuran yang hebat"
Aku merunduk lagi. Segala kata-kata Anwar tadi itu hanya
sebentar saja pengaruhnya. Kaca arloji sudah penuh dengan
abu kembali. Suram lagi seperti semula. Jarum di dalamnya
berdetik-detik dengan irama kebimbangan. Memang, belum
pernah aku sebimbang itu. Hati dan pikiran tidak tetap. Ah,
betapa mungkin kata-kata dari mulut Anwar itu bisa
mengembalikan keriangan hatiku lagi dengan cepat. Betapa
mungkin, kalau sinar matahari pun tidak sanggup
mengeringkan tanah-tanah basah bekas banjir dengan
sekaligus! Dan sesungguhnya, ibarat banjirlah pertengkaran
antara aku dengan orang tuaku itu! Banjir yang mengamuk!
Banjir yang meninggalkan segala-gala berantakan dan rusak-rusak. .
2 Tidak tetap langkahku, ketika malam itu kira-kira pukul
tujuh aku berjalan ke ru mah Kartini di Lengkong.
Kucurahkan segala isi hatiku, ketika ditanya mengapa aku
begitu sedih. Sungguh sakti kata hati seorang kekasih sebagai
pelipur lara. Alangkah bedanya kesaktian kata-kata Anwar tadi
di kereta api, dan kata -kata Kartini sekarang.
Sebimbang aku berjalan ke Le ngkong Besar, seringan aku
kemudian pulang. Pulang setela h tiga jam kurang-lebih aku
dibuai-buai dalam kemesraan berkasih-kasihan dengan
kekasihku itu. Pulang setelah ada sesuatu yang menetapkan
hatiku, setelah ada putusan yang membulatkan tekadku.
Memang, seperti jasadku dengan tetap menuju ke
rumahku, demikian pula tekadku sekarang menuju ke suatu
tujuan yang pasti, yaitu kawin selekas mungkin dengan
Kartini. Masih terdengar suara kekasihku yang lembut dan mesra
"aku mau", ketika aku menanyanya dalam pelukan.
Bagian XI Kami kawin dengan sangat sederhana. Sebagai "perayaan'!
cuma diadakan sekedar maka n-makan di antara kawan-kawan.
Aku tidak mau menginjak daerah romantik. Oleh karena ita
maka di sini tidak akan kuceritakan tentang kebahagiaanku
dengan Kartini dalam hari-hari kami. hidup sebagai sepasang
penganten yang sedang melaksan akan segala cita-cita lahir-batin. Padahal Rama dan Sinta (atau supaya lebih "modem"
bunyinya) Romeo dan Yulia, bertemu kembali dalam diriku dan
Kartini, seperti pernah pula bertemu dalam dirinya Lenin dan
Kroepskaya atau Louis XVI dan Maria Antoinette.
Atas permintaan Kartini aku pindah ke rumahnya di
Lengkong Besar. Maka mulailah halaman-halaman baru dalam hidupku. Dan
segala-gala terasa olehku berlaku dengan sangat cepatnya.
Bagian XII Waktu beredar terus. Dan tak bosan-bosannya manusia
menghitungnya. Hari dijumlahnya menjadi minggu. Minggu
dikumpulkannya menjadi bulan. Bulan dit
ambah-tambahnya, sehingga genap menjadi tahun, dan seterusnya.
Manusia suka menghitung waktu dan seluruh hidupnya
dikuasai oleh waktu. Dan alam membantu manusia dalam
kesukaannya. Tak bosan-bosannya pula alam menyuruh dunia,
matahari, bulan, bintang-bintang, planet-planet berputar-putar
terus, bergerak terus. Panta rei, mengalir terus, gerak terus.
Memang, adakah sesuatu yang diam" Adakah sesuatu yang
tidak berubah" Tidakkah semua itu berubah-ubah terus" Juga
kepercayaan manusia" Juga keadaan sesuatu bangsa" Juga
kekuasaan sesuatu stelsel"
Sebagai manusia, aku pun suka menghitung waktu.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kusobekkan satu halaman dari kalender. Lagi satu bulan
umurku tambah. Lagi satu bu lan dunia lebih dekat pada
saatnya untuk "diam". Untuk "diam", sebab tidakkah dunia
pun seperti gundu yang berputar pula, yang pada akhirnya
akan habis putarannya, lantas "diam""
1 Oktober! Kuhitung dengan jari: Februari, Maret, April, Mei, Juni.......
tiga tahun setengah kira-kir a sejak 12 Februari 1941. Sejak
aku kawin dengan Kartini.
Banyak, banyak sekali kejadian-kejadian dalam tempo
kurang lebih empat puluh bulan itu. Di antaranya yang
penting-penting ialah: 1. pemerintah Hindia-Belanda
tekuklutut kepada kekuasaan ba latentara Dai Nippon dengan
tidak memakai syarat apa-apa, 2. Rusli menjadi "catut besar"
dengan maksud, supaya bisa mengongkosi dan membiayai
"gerakannya di bawah tanah" melawan faseisme Jepang, 3.
beberapa kawan, di antaranya Bung Gondo masuk polisi
rahasia Jepang sebagai "pembantu" Kenpei, dengan maksud
infiltrasi, supaya melindungi ge rakan di bawah tanah dari Bung
Rusli c s , 4. kawan-kawan lain menginfiltrasi badan-badan
Jepang lainnya yang penting, di antaranya memasuki juga
pers, radio dan barisan propaganda, 5. Anwar menggoncang-kan dunia seniman, karena keda patan membikin suatu plagiat
gambar. Bagiku hal itu tidak mengherankan, karena orang
yang suka mencuri benda orang lain, tegasnya yang tidak
menetapkan batas yang tegas antara "lupunya" dan
"guapunya", akan mudah pula mencuri hasil rohani atau
pikiran orang lain. Dan yang aku kuatirkan sangat, ialah
bahwa dia akan berbuat yang lebih buruk lagi dari itu sebagai
akibat juga dari tidak adanya batas yang tegas tadi itu. Itulah,
maka aku tetap curiga terhadap Anwar itu, dan tidak suka aku
melihat istriku bergaul dengan dia.
Sungguh banyak kejadian-kejadian di dalam tempo empat
puluh bulan itu. Juga kejadian-kejadian yang seolah-olah mau
menyesuaikan diri dengan kejadian-kejadian di dalam politik
dunia, yang makin hari makin hebat, makin genting, dan pada
akhirnya memuncak pada me ncetusnya api peperangan:
Perang Dunia II. Perang Duni a II yang menyapu berstti
negara-negara kecil dari muka bumi ini, yang mengaduk-aduk
dan menginjak-injak benua Eropah dan Asia dengan sepatu
Hitler, Mussolini dan sepatu Tennoo Heika, untuk pada
akhirnya (melihat gelagatnya , sekarang pun sudah mulai)
mempersilakan palu arit Rusia menebang kaki-kaki tersebut,
menggodamnya sampai hancur, bersama-sama dengan Uncle
Sam yang mengikat dan mencekik leher ketiga diktator itu
dengan "Stars and Stripes"nya.
Dan seperti kepercayaanku makin hari makin tipis terhadap
kemungkinan akan adanya sesu atu perdamaian dunia yang
meliputi segenap manusia di seluruh jagat, oleh karena
manusia akan tetap subyektif dalam memberi arti hak dan
keadilan dengan menyesuaik an kepada kepentingan-kepentingan masing-masing, maka makin hari makin tipislah
pula kepercayaanku akan keju juran cinta Kartini terhadap
diriku. Hebat! Genting! Ya, kata apa lagi yang lebih tepat untuk
melukiskan keadaanku sekarang di dalam perkawinanku
dengan Kartini" Hebat! Genting! Sehingga akibatnya penyakitku dalam paru-paru terasa lagi. Aku batuk-batuk lagi.
Aku baru saja pulang dari ka ntor. Untuk kesekian kalinya
aku mendengar dari si Mimi, bahwa "nyonya pergi". Memang,
bukan sekali itu aku mendapatkan Kartini tidak ada di rumah
kalau aku pulang dari kantor. Jadi bukan satu kali itu saja, aku
kehilangan nafsu makan. Karena itu, maka aku pun tidak mau melihat meja makan
dengan sebelah mata. Aku duduk-duduk di atas fauteuil di
serambi muka, temp at aku empat tahun yang lalu mula-mula
mengagumi diri Kartini dalam piyamanya yang modern itu. Dia
sangat cantik, sangat ramah dan sangat lincah dalam
meladeni aku dan Ruslj. Sedang aku sangat asyik bercita-cita.
Cita-cita yang dibikin indah oleh fantasi. Tapi yang sekarang
telah hilang keindahannya oleh kenyataan-kenyataan. Dan
payahnya, fantasi tidak lari ke cita-cita lain, tidak
memindahkan keindahan ke ci ta-cita baru, sehingga aku
sekarang telah putus pengharapan, telah kehilangan segala
cita-cita, segala keindahan.
Sangat lesu aku duduk di atas fauteuil itu. Lesu karena
amarah terlalu mendesak. Terlalu mencekik.
Aku belum berganti pakaian. Hanya jas sudah
kugantungkan pada kapstok di kamar tidur. Kemeja kubuka
lehernya. Panas. Dasi berbelit lepas di atas dada. Tangan
meramas-ramas bulan September yang baru kusobekkan itu.
Ya, sejak hari "terkutuk" itu yaitu kira-kira sembilan bulan
yang lalu rumah tangga kami sudah menjadi suatu neraka
sungguh-sungguh bagiku. Pada hari itu, ketika aku lagi berada
di kantor Kartini sedang membenah-benah kamar. Ia
memberes-bereskan juga beberapa buku yang berantakan di
atas mejaku. Dengan tak tersengaja, salah-satu buku
tersinggung jatuh ke bawah. Terbuka lembaran-lembarannya,
dan melongsorlah dari dalamnya sebuah amplop surat yang
telah terbuka. Selekas Kartini membungkuk untuk memungut
buku itu, selekas itu pula ia membuka surat yang kemudian
dibacanya. Surat itulah pangkal mula perselisihan dan percekcokan
yang terus menerus antara kami. Pangkal mula neraka yang
sekarang sedang membakar aku.
Surat itu sebetulnya surat yang sudah lama umurnya, yang
bertanggal kurang lebih tiga tahu n yang lalu. Ditulis oleh ayah
kepadaku. Dan maksudnya, mencela perkawinanku dengan
Kartini. Mencela dengan terlalu tajam, dengan mengemukakan
pula keburukan-keburukan yang mengenai diri Kartini, yang
entahlah, dari jempol mana diisapnya, atau dari lidah buruk
siapa didengarnya. Umpatan-umpatan ayah itulah rupanya
yang sangat menyakiti hati Kartini. Luka seakan-akan hati
Kartini untuk selama-lamanya.
Dalam surat itu diajukan pula se kali lagi diri Fatimah, yang
katanya dengan "sabar masih menunggu-nunggu" aku, dan
yang kata ayah "sesungguhnya perempuan yang sederajat
dan setingkat" untuk menjadi jodohku.
Surat itu sudah lama aku lupakan, bahkan aku mengira,
bahwa ia telah aku bakar atau aku sobek-sobek. Tapi rupanya
saja dalam keteledoranku, kusimpan surat itu dalam buku tadi
itu. Entahlah peristiwanya tela h menjadi begitu , telah menjadi
celaka bagi perhubungan hidupk u sebagai suami-istri dengan
Kartini. Peristiwa surat ditambah lagi dengan suatu peristiwa lain
pula. Juga surat. Kali ini sura t anonim. Dalam surat anonim itu
aku difitnah telah "diketemukan" dalam sebuah hotel Tionghoa
dengan Fatimah. Segala daya upayaku untuk meyakinkan Kartini tentang
kebohongan fitnahan tersebut, boleh dibilang tidak berhasil
benar. Sebab walaupun Kartini pada prinsipnya (artinya
menurut pengakuannya sendiri) tidak mau percaya dan tidak
mau menaruh sesuatu penghargaan kepada sebuah surat
buta, namun rupanya ia berpegang pula kepada pribahasa
"tidak ada asap, kalau tidak ada apinya."
Sebenarnya, memang harus kuakui, bahwa ada sesuatu
"kejadian" antara Fatimah dan aku itu. Ialah begini: Pada
suatu hari Fatimah datang ke Bandung. Seminggu menginap
di rumah bibi di Sasakgantung. Rupanya ia tiada berani atau
tidak mau datang ke rumahku. Tapi, oleh karena ada sesuatu
yang harus disampaikannya kepadaku mengenai keadaan
ayahku, maka datanglah ia ke kantorku. Kemudian aku
datangi dia di rumah bibi.
Dari Fatimah aku mendengar, bahwa keadaan orang tuaku
(terutama ayah) sangat buruk, semenjak pertengkaran faham
dengan aku, dan kemudian diperburuk lagi oleh perkawinanku
dengan Kartini (tentang hal ini tentu saja tidak diceritakan
dengan tegas oleh Fatimah, tapi aku mengerti). Diperburuk
pula, oleh karena aku seolah-olah makin menjauhkan diri dari
orang tua. Fatimah menasihatkan, supaya aku sebagai
seorang anak yang harus berhutang budi kepada orang
tuanya, mau mengubah sikap.
Sekali aku bawa Fatimah ke sebuah rest
oran. Pada saat itu Anwar lewat dalam sebuah delman. Rupanya ia melihat kami,
tapi ia tidak turun malah menabik pun tidak. Mungkin tidak
melihat, tapi mungkin juga pura-pura saja tidak melihat.
Entahlah, ada suatu suara dalam hatiku yang mengatakan
bahwa surat anonim itu Anwarlah yang menulisnya. Tapi aku
tidak menghiraukan suara hati itu, karena aku pikir, bahwa
Anwar itu suka pada yang berterus terang. Jadi mengapa ia
harus lari kepada cara pengecut, menulis surat kaleng" Tapi
ah, kenapa tidak, kalau aku pikirkan lagi, bahwa seorang
individualis, ya, seorang anarkhis seperti dia, yang tidak
mengadakan batas-batas yang tegas antara lupunya dan
kupunya tidak mungkin melakukan perbuatan buruk seperti
menulis surat anonim itu" Mengapa tidak mungkin, kalau
kupikir lagi, bahwa dengan dasar hidup dan sikap hidup yang
begitu kacau dan goyah seperti dasar dan sikap hidup Anwar
itu, naluri buruk akan lebm mudah menguasai jiwanya.
Sejak peristiwa surat-surat itu, rupanya Kartini selalu
merasa, bahwa seakan-akan ada suatu tembok di antara dia
dan aku. Ia sangat mudah tersinggung hatinya.
Akan tetapi sebaliknya, pun aku sangat mudah naik darah.
Memang, aku berada dalam perselisihan dengan orang tuaku,
tapi entahlah, kalau ada orang lain, sekalipun itu istriku, yang
berani mengejek-ejek atau menghina mereka, maka marahlah
aku, walaupun yang diejekkannya itu adalah sesuatu pendirian
orang tua yang kutentang pula.
Ejekan Kartini itu biasanya di sertai dengan tertawa kecil
yang mencetus dari mulutnya seperti anak kuda meringkik.
Dan entahlah, tak tahan lagi aku, kalau aku mendengar
"ringkikan kuda" seperti itu. Sampai-sampai suka lupa.
Kutempeleng Kartini, sehingga ia menjerit.
Keadaan rumah tangga yang penuh dengan ketegangan
dan perkelahian itu, bukan saja bagiku merupakan suatu
neraka, tapi tentu saja bagi Kartini pula.
Dalam keadaan demikian maka tidak mengherankan pula, .
kalau Kartini mencari orang tempat mdncurahkan kesedihan
atau kejengkelan hatinya.
Besar kecurigaanku, bahwa orang itu tak lain tak bukan
adalah Anwar sendiri. Dengan hilangnya kepercayaan dan timbulnya kecurigaan
antara kami, maka api neraka sudah sampai kepada
puncaknya. Memang hancurlah segala perhubungan, segala
pergaulan apabila dasarnya yang mutlak, yaitu kepercayaan
sudah tidak ada lagi. Hancur perhubungan antara sahabat
dengan sahabat, antara kenalan dengan kenalan, ya bahkan
antara bangsa dengan bangsa, apalagi antara suami dengan
istrinya. Herankah, apabila aku sekarang sudah tidak mengenal
keindahan lagi dalam hidup di dunia ini" Kalau aku sekarang
sudah menjadi seorang defaitis , seorang pesimis, seorang
putus harapan" Aku bangkit dari fauteuil. Jam menunjukkan hampir pukul
tiga. Kucoba makan. Dengan lambat-lambat aku makan. Amat
berat rasanya aku mengangkat sendok dan garpuku.
Kupanggil si Mimi. "Mimi, dari pukul berapa nyonya pergi"" "Kira-kira pukul
sepuluh, Tuan." "Jadi nyonya pergi dengan Tuan Anwar"" "Ya,
betul Tuan." Kukunyah nasi dengan alon-alon. Kepala tunduk serta mata
terpancang kepada gambar bunga-bunga di atas tutup
sangku. Tapi gambar itu tidak terlihat olehku. Tidak sampai
terwujud dalam batinku. Hati dan pikiran penuh dengan
bayangan-bayangan lain, dengan hayal-hayal lain.
Kuangkat kepala, ketika aku te rsadar oleh suara langkah si
Mimi yang hendak pergi ke belakang.
"Nanti dulu!" seruku.
Si Mimi menoleh, lalu mela ngkah kembali. Ragu-ragu.
"Seringkah tuan itu datang ke sini""
"Sering"" tanya si Mimi kembali dengan heran.
"Pagi-pagi, kalau aku sedang berada di kantor""
sambungku. "Sering juga." Aku merenung sejenak. Si Mimi berdiri depan meja seraya
memandang kepadaku, seolah-olah bersedia-sedia untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan kuajukan
kepadanya. "Apa kerjanya"" tanyaku sebentar kemudian, mengipas lalat
dengan serbet dari piringku.
Si Mimi tertawa kecil. Tertawa kecil, hampir seperti
"ringkikan kuda" yang biasa kude ngar dari mulut Kartini. Maka
aku pun membentak, "Kenapa tertawa""
"Tidak," sahut si Mimi agak takut-takut.
"Kenapa"! (suara keras) Kenapa kamu tertawa"!"
"Tuan tanya apa kerjanya, tentu saja omong
-omong, entah tentang apa, saya ti dak tahu. Saya kan banyak di belakang."
Aku terdiam lagi. Ingin aku bertanya terus. Ingin aku
bertanya: tidakkah kedua orang itu pernah masuk ke dalam
kamar tidur" Tidakkah Mimi disu ruh pergi ke pasar atau pergi
ke tempat lain yang agak jauh dari rumah, supaya kedua
orang itu leluasa bisa ber....... Aku tidak mau me neruskan perkataan itu.
Gramopon dalam hatiku seolah-olah tersentak diam. Tapi biarpun
begitu, terbayang-bayang sudah dalam hayalku apa yang
dimaksud dalam perkataan itu. Perasaan mual menyelekit
dalam hati, mendesak ke kerongkongan, menahan nasi yang
baru kutelan. "Pergilah!" kataku kepada si Mimi yang berdiri makin
cemas. Si Mimi sudah melangkah hendak pergi, tapi tertegun lagi,
karena aku sudah berseru la gi, "Eh Mimi, tidakkah....""
Ragu aku sebentar. Memandang si Mimi dengan muka
bertanya. Tapi pun si Mimi mukanya tanda tanya semata. Si
Mimi adalah seorang janda. Ta hu apa artinya pergaulan antar
seorang laki-laki dan seorang perempuan berempat mata ada
di dalam rumah yang sunyi.
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eh Mimi, tidakkah engkau sering disuruh pergi ke luar beli
ini atau itu oleh nyonya, kalau....."
Jarum gramopon diam tersentak lagi.
Kudengar di luar suara Anwar berseru, "Salamlah saja
kepada Bung Hasan. Aku tidak mampir dulu, karena sudah
lat." Kemudian suara kuda bertelepuk di atas aspal disertai suara
bel berkeleneng. "Angkat ini semua!" kataku kepada si Mimi.
Dalam pada itu pintu depan sudah terdengar menggeret
dibuka orang. Dan sejurus kemudian di belakangku sudah
mengalun suara Kartini, yang menegur dengan manis, "Ini San
kubawakan oleh-oleh....O ka u sudah selesai makannya!
(dilihatnya si Mimi mengangkat piring-piring). Tapi
tambullah*) saja San, ini seng aja kubelikan dari Ka Ping!"
Aku diam saja, hanya mengerli ng sekilat ke arah Kartini
dengan tidak memandang mukanya. Mataku terpicing sedikit,
tapi sinarnya sangat tajam. Dan otomatis hidungku terangkat
sedikit. Pipi terasa gemetar. Maka meloncatlah dari ujung
lidahku dengan suara yang taja m menyeripit udara, "Kenapa
tidak menjadi pelayan saja di sana"!"
Kartini tercengang. Terasa ru panya perkataanku yang tajam
itu. Tajam seperti pisau cukur menyerit daging. Beberapa jurus
ia diam berdiri di sampingk u. Aku pun tak bergerak. Api
amarah panas membakar dalam dada/
Sunyi terbentang antara kami berdua. Sunyi yang agaknya
pedih bagi Kartini, tapi panas bagiku.
Kemudian dengan sangat lamb at-lambat lambat-lambat dan
hati-hati selaku seorang juru rawat yang membuka pembalut
luka Kartini maju ke depan menarik kursi yang di sebelah
kananku dari kolong meja, lalu dengan pelan-pelan pula duduk
di atasnya setelah meletakkan tas dan segala oleh-olehnya di
atas meja. Ia duduk dengan me nelekankan lengan kanannya
di atas pinggiran meja. Dengan tenang, tapi sedikit pucat ia
memandang kepadaku dari samping. Mukaku masih masam
nampaknya'. "Kau marah, San"" tanyanya sejurus kemudian dengan
suara lembut. Aku tidak menjawab. Terbendung seolah-olah segala
perkataan di tengah-tengah kerongkongan. Bertumpuk
berimbun di sana, sehingga serasa gondok aku. Sunyi lagi
beberapa jurus. Kartini tunduk sambil menguntal-untal sapu
tangannya dengan kedua belah tangannya. Air matanya
mendesak ke atas. "Mimi!" teriakku dengan tiba-t iba. Menggeledek, sehingga
Kartini sangat terkejut. Karena si Mimi, yang dalam pada itu sudah kembali diam-diam ke belakang, tidak muncul juga, aku bertambah marah
lagi. "Mimi! Mimi! Lu goblok! Tuli! Tidak dengar"!"
Si Mimi memburu ketakutan dari dapur. Sanggulnya lepas
dalam lari. Dan sambil membenarkan sanggulnya kembali, ia
sejurus kemudian sudah berada di hadapanku.
"Kenapa tidak kau angkat terus ini"! Lu cuma bisa ngeloyor
saja seperti lonte"!"
Dengan gugup dan tangan geme tar si Mimi bergegas-gegas
membereskan piring-piring deng an tidak mengucapkan kata
sepatah. Perkataan yang tajam itu seolah-olah artak panah
yang meluncur dari busurnya, menggarut kulit si Mimi sedikit
untuk menancap kemudian di at as hati Kartini. Darahnya
terserap ke atas, seolah-olah me nyebrot dari lu ka yang dalam
di dalam hati Kartini yang terkena. A
ir matanya tak terbendung lagi, meluap dari kelopaknya. Bangkitlah ia
dengan tersentak, dan setelah tangannya menjangkau tasnya
dari meja, bergegaslah ia ke kamar tidur. Pintu berdentar.
Krrek-krrek! Dikuncinya. Mendengar suara kunci itu, aku lekas bangkit, bergegas
pula ke pintu. Kuputar-putar knopnya, mendorong-dorongnya,
tapi sudah terkunci dari dala m. Kutumbuk-tumbuk dengan
kedua belah tinjuku. Kutendang- tendang pula dengan sepatu,
seraya berteriak-teriak, "Buka! Buka!"
Terdengar olehku dari dala m kamar suara tersedu-sedu.
Oleh karena pintu tidak dibuka jua, maka aku pun lantas
kembali ke kursi lagi. Aku meneguk air, habis segelas.
Maksudku agar reda amarahku. Beberapa jurus, maka aku pun
agak tenang kembali. Akan tetapi cuma untuk beberapa jurus
saja. Api cemburu tiba-tiba menyala lagi. Bangkit pula aku.
Kembali lagi ke pintu. Kugedor-gedor lagi. Lebih keras lagi dari
tadi. Lebih berat dari tadi. Lebi h hebat! Dengan tinju, dengan
kaki, dengan badan! Sejurus lamanya, Kartini membiarkan saja aku menggedor-gedor demikian. Tapi rupanya, oleh karena makin lama, makin
terdengar, bahwa aku makin marah, dan makin keras pula
berku-tuk-kutuk, sehingga para tetangga pada menonjol dari
rumahnya dengan wajah yang penuh kecemasan, maka pada
akhirnya pintu dibuka juga.
Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk
ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau
menyergap mangsanya. Tar! Tar! Kutempeleng Kartini.
"Aduh!" pekiknya, sambil menutup pipinya yang kanan
dengan tangannya. Kujambak rambutnya! Kurentakkan dia
dengan sekuat tenaga, sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai.
Kepalanya berden-tar kepada da un pintu. Menjerit-jerit minta
ampun! Seluruh badanku bergetar! Seluruh badanku panas! Panas
terbakar api amarah! Api amarah yang menjolak-jolak ke luar
dengan sinar mataku, dengan suaraku membentak-bentak,
berkaok-kaok. 2 Jam bertiktak di dinding. Menghitung detik demi detik
dengan cermat, dengan teratur. Tak terasa olehnya cepat atau
lambatnya waktu, karena jam tidak berhati.
Tidak demikian halnya dengan aku yang sedang berdiri di
bawahnya melihat jarum panjan g dan jarum pendek masing-masing menunjuk angka 7 dan 11. Pada waktu itu seakan-akan bagiku kereta waktu menaiki gunung yang berat
mendaki. Hari sudah hampir pukul sebelas malam. Sudah sunyi
benar, seperti biasanya pada malam setelah hujan lebat. Angin
di luar yang tadi sebelum hu jan, meniup dengan derasnya,
sekarang seolah-olah telah puas dengan hasil pekerjaannya.
Dia masuk ke kandangnya. Maka tak terdengarlah lagi dahan-dahan berderak-derak atau jeritan daun-daun yang mengiris
sunyi. Seluruh alam tenang seol ah-olah sedang tidur, karena
capek sehabis dipukul dicambuk tadi oleh angin dan hujan.
Mungkin juga, karena takut akan kembali lagi nanti hujan dan
angin yang ganas itu. Hawa dingin menyelinap ke dalam dari
sela-sela di bawah pintu dan tingkap-tingkap berkaca. Dingin
meresap tembus ke dalam tulang sendi.
Sambil batuk-batuk aku melangkah ke tingkap kaca yang
ditutup dengan tirai renda. Kusiakkan tirai, lalu mengintai ke
luar. Uap dari napasku membikin bulatan pada kaca seperti
pupur yang ditotolkan dengan puderdons. Aku mengintai ke
jalan raya. Sunyi nampaknya. Tiada orang yang lewat. Dan
gelap pula. Hanya lampu jalan, yang diselubungi dengan
selubung hitam, berkaca di atas danau-danau kecil di atas
aspal, menerangi samar-samar keadaan jalan Lengkong Besar
itu. Rumah-rumah sudah pada tutup semuanya. Bintang tak
nampak satu pun di angkasa. Juga pada takut rupanya oleh
mendung dan kabut yang masih menguasai seluruh angkasa,
yang masih bergumpal-gumpal di angkasa seperti samudera
awan yang mengancam dengan ge-lombang-gelombangnya
yang hitam kelabu. Dari pukul 8 tadi hujan. Sedang dia, sudah
pergi sejak pukul 4. Pergi atau lebih tepat menghilang, dengan
tidak setahuku, karena aku sedang mandi.
"Ke mana dia"" tanyaku dalam hati, seraya melangkah ke
fauteuil. "Kenapa di a belum pulang""
Menoleh lagi aku kejam. Pukul 11 kurang 10 menit. Dari
jam ke pintu. Lampu yang diselu bungi pula dengan kain biru,
terbayang di atas kaca pint u. Di l
uar pintu hitam. Aku batuk-batuk. Entahlah, tiap kali aku habis bertengkar
dengan Kartini, maka terasala h lagi dadaku sakit dan batuk-batuk.
Halsduk yang -mengikat leher kubenarkan, supaya lebih
rapat menutupi di atas baju pi yamaku. Amat dingin di serambi
muka itu, biarpun ditutupi de ngan tingkap-tingkap berkaca.
"Ah salahku juga," pikirku. Mengeluh berat, sambil
menyenderkan badan kepada senderan fauteuil. Kepala
terkulai lemah, sedang mata kabur-kabur melihat ke kejauhan
yang tiada tentu. Kukatupkan kedua belah tangan di atas
pangkuan. Tulang dengkul memonclot tegas di bawah strip-strip celana piyamaku. Ya, alangkah kurusnya badanku
sekarang. "Salahku juga!" Bergemalah lagi seolah-olah suara hatiku
itu. "Mengapa aku sekarang begitu mudah naik darah""
Ya, setiap kali aku habis bertengkar, mestilah aku ditimpa
oleh perasaan sesal yang mendalam, mestilah aku mengakui,
bahwa aku terlalu lekas marah, terlalu lekas mengayun tangan
atau menghamburkan kutuk.
Serasa habis ludes segala perasaan bahagiaku sekarang.
Serasa terpencil sendirian aku hidup di dunia kini. Terpencil
dari istriku, terpencil dari orang tuaku, terpencil juga dari cita-citaku semula.
Cita-citaku semula: Rukmini di sampingku sebagai seorang
istri yang sejati, yang alim dan saleh, yang bersama-sama
dengan aku mengamalkan segala perintah agama. Hidup
sederhana dalam lingkungan rumah tangga yang tenang.
Mendidik anak-anak kami dalam suasana keagamaan.
Menabung uang untuk bekal di hari tua. Kalau sudah pensiun,
membeli rumah dan halaman dengan sedikit kebun dan sawah
di luar kota. Memelihara ternak. Di halaman rumah membikin
sebuah kolam, memelihara ikan mas dan mujair, dan di tepi
kolam itu dengan setengahnya berdiri di atas air, mendirikan
sebuah langgar kecii, tempat aku bersembahyang bersama-sama dengan orang-orang sefa ham, atau beromong-omong
dengan mereka tentang soal-soa l agama. Pendeknya, cita-cita
yang persis seperti jalan hidu p yang ditempuh oleh ayahku
sekarang. Dan sekarang sudah te rpencil aku dari cita-citaku
semula itu. Sudah terasing sama sekali. Alangkah lainnya jalan
riwayat yang kutempuh selama ini.
Aku tersenyum pahit. Melayang lagi mataku ke jam, yang
masih cermat berdetik-detik di atas dinding. Pukul 11 kurang 5
menit. Terkenang-kenang lagi olehku cita-cita yang pernah
kukandung ketika untuk pertama kalinya aku jatuh cinta
kepada Kartini. Kartini adalah seperti belahan terung dari
Rukmini "almarhum". Dia adalah "titisan" Rukmini, seperti
pernah aku menyebutnya. Dan karena itu, alangkah mudahnya seolah-olah cita-citaku
terhadap Rukmini itu berpindah kepada Kartini.
Tapi alangkah banyaknya pula perbedaan antara cita-citaku
semula itu dengan kenyataan sekarang. Aku melirik ke kiri,
kulihat piano. Menoleh ke kanan radio. Pada dinding
bergantungan potret-potret bint ang film Amerika, tapi ada
juga gambar Beethoven dan potret Marx di sela-selanya.
Menyeringai seolah-olah potret Greta Garbo yang setengah
telanjang itu. Menengadah aku ke para-para. Mata batinku berputar
menyinggahi perabot-perabot rumah tangga di ruangan
tengah, di serambi belakang da n di dalam kamar tidur: meja
makan, lemari makan, bupet, dressoir, frigidair, bantal-bantal
hias yang indah-indah di atas dipan yang halus, meja toilet
dengan ples-ples, botol-botol, cepu-cepu yang penuh dengan
bedak, rouge, dan minyak-minyak wangi.
Hampir terdengar hati tertawa - tertawa pahit - bila kuingati
betapa sederhananya lukisan ci ta-cita yang berupa Kartini
dalam mukena dan rumah di kampung dengan langgarnya itu.
Tiba-tiba aku batuk-batuk. Kosong seperti batuk kodok. Aku
batuk terus, berbarengan deng an jam berbunyi sebelas kali.
Setelah batukku reda kembali, aku dengan setengah
berbaring mengap-mengap di atas fauteuil, menarik napas
dengan sangat berat. Kartini belum juga pulang. Be lum pernah terjadi semacam
itu. Aku mulai betul- betul cemas. Gelisah.
Bangkit lalu melangkah ke radio. Tak! Kunyalakan.
Barangkali ada musik bagus. Jarum gelombang berputar dari
angka ke angka. Bercuit-cuit pada tiap stasion yang
terlanggar. Semuanya stasion dalam negeri, stasion "hoso
kyoku", sebab stasion luar negeri sudah dibikin "bungkem"
dengan segel yang dilak pada tiap pesawat radio oleh Jepang.
Dan yang berani bikin rusak segel itu akan berurusan dengan
Kenpeitai. Tak ada musik yang bagus. Tak! Padam!
Kembali aku ke fauteuil. Duduk. Tangan mengusai-usai
rambut. Menjangkau cepu sigaret. Hendak kuambil rokok
sebatang, tapi tiba-tiba kutarik tangan kembali. Teringat aku
kepada larangan dokter. Aku tidak boleh merokok. Enam bulan
yang lalu aku telah diperiksa lagi oleh dokter berhubung
dengan dadaku. Dokter menasihatkan aku, supaya dirawat di
rumah sakit. Tapi aku menolak sebab kurasa cukuplah dirawat
di rumah saja, karena aku tahu bahwa menurut keterangan
dokter sendiri paru-paru belum luka. Tapi, kata dokter, aku
harus berhati-hati benar. Dan kepada Kartini yang menemani
aku, dinasihatkannya, supaya ia baik-baik menjaga diriku.
Terutama sekali makananku harus diutamakan yang banyak
mengandung zat-zat yang kuat. Minyak ikan harus kuminum.
Juga air kapur. Susu tiap-tiap ha ri jangan sampai lewat. Telor,
bayam, tomat, daging, sedapat-dapat mesti dijadikan
makanan sehari-hari. Pendek kata, berat tubuhku jangan
sampai menjadi mundur. "Dan yang paling utama nyonya,"
begitulah nasihat dokter selanjutnya, "janganlah suami nyonya
itu sampai mendapat kesusahan atau keruwetan pikiran. Hati
dan pikirannya jangan banyak terganggu, harus tenang dan
tenteram. Jangan banyak susah atau jengkel."
Nasihat dokter itu masih aku ingat benar-benar. Aku
tersenyum pahit. Kulihat tangan dan jari-jariku. Tulang
bersalut kulit semata-mata. Kuraba pipiku: cekung. Pernah
badanku berat 58 kilo. Minggu ya ng lalu cuma 47 kilo lagi.
Terasa benar olehku, bahwa keadaan badanku makin lama
makin buruk. Dan keadaan demikian itu kadang-kadang
menguasai jiwaku dengan perasaan takut yang tak terhingga.
Takut, seolah-olah aku berdiri di tepi lubang yang dalam
ternganga di hadapanku dengan tidak tahu apa yang ada di
dalamnya. Jam berdetik terus. Menunjukkan pukul 11 lebih
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seperempat. Tiba-tiba aku tidak bisa berpikir lagi. Terdiam seolah-olah
pikiran dengan sekonyong-konyon g, seperti film yang sudah
tua putus di tengah-tengah cerita. Gelap di dalam kepalaku,
seperti dalam ruangan bioskop, selama film itu putus.
Aku makin gugup. Timbul lagi bermacam-macam pikiran.
Simpang siur, kacau. Kuramas-ramas kepala dengan kedua
belah tangan mengusai-usai rambut, lantas menjambaknya,
selaku orang yang sakit kepala, atau selaku pengarang yang
kehilangan inspirasi, mendehem-dehem, seolah-olah ada yang
gatal dalam kerongkongan.
Beberapa jurus kemudian, berj alanlah lagi dengan agak
teratur lagi, seolah-olah film yang putus tadi itu sudah selesai
tersambung lagi. Tapi sekarang mulai dengan scene baru.
Scene yang membakar aku kembali. Membakar seperti sore
tadi. Terbayang-bayang lagi dalam hayalan Kartini bersama
Anwar. Bersama si Anwar pada malam ini, pada saat aku
sedang duduk menu nggu-nunggu ....
Pusing, pusing kepalaku. Tidak bisa diam aku duduk di atas
fauteuil itu. Aku gelisah. Mau membunuh hayal yang
mendesak-desak ke muka mata batinku itu. Terpancang lagi
mata melihat cepu rokok. Ah, tak peduli, aku merokok. Tak
peduli nasihat dokter! Tak peduli mati! Dan seolah-olah tangan
berbalapan dengan pikiran, jari-jariku sudah mencapit
sebatang sigaret dari cepu itu. Kunyalakan, dan sebentar
kemudian asap sudah ber-ke pul-kepul dari mulutku.
Aku tidak bisa duduk lagi. Mau keluar. Jalan-jalan di luar
untuk menenangkan pikiran. Kn op pintu kupegang. Dingin,
seakan-akan tanganku mengepal sepotong es lilin.
Kuputarkan. Pintu terbuka sedikit. Syiiit! Angin dingin
menyeripit ke dalam. Celana piyamaku berkibar sebentar dan
garden melembung seperti layar kapal. Plup! Pintu lekas
kututup kembali. Krrk! Kukunci. Tidak berani aku! Melangkah
lagi ke feateuil. Kulihat lampu masih terayun-ayun.
Kujatuhkan badan ke atas fauteuil. Lemas rasanya. Batuk-batuk lagi. Berkikir kulitku seperti kulit ayam.
Demikianlah aku duduk meromok beberapa jurus di sudut
fauteuil. "Aku tidur saja," pikirku, sera ya bangkit, lalu terseok-seok
hendak ke kamar tidur. Tapi di ruangan tengah,
kubuka dulu fri-gidair, mencari es. Untung masih ada. Es kukulum dalam
mulut. Sejuk melengser ke da lam kerongkongan. Rasa gatal
dalam kerongkongan hilang sedikit.
Sampai di muka pintu kamar tidur, aku melangkah kembali.
Lupa memadamkan lampu depan dan di ruangan tengah.
Setelah lampu depan kumatikan, terseok-seok lagi aku ke
tempat knop lampu tengah. Ta pi ketika tangan hendak
memutarkan knopnya, tiba-tiba batuk-batuklah lagi aku
dengan sangat hebatnya. Badan yang telah lemah terpingkal-pingkal oleh kerasnya hawa batuk yang kosong. Tangan kiri
menekan dada, seakan-akan menjaga jangan sampai pecah
dadaku, sedang yang kanan mengepal sebuah saputangan
yang kutadahkan depan mulut. Ohho! Ohho! Aku batuk terus.
Sekonyong-konyong terasa olehku dahak dalam
kerongkongan. Batukku serasa menjadi longsor. Ehm! Ehm!
Kudehemkan dahaknya! Kutadahkan dengan saputangan.
Tapi, tapi .... apa yang kulihat itu"!
Berputar segala di muka mataku. Hilang serasa lantai di
bawah kakiku. Lemari, meja, lampu mereng mencong.
Mendesing-desing suara tak tentu dalam telinga. Pusing!
Pusing! .... Aku hendak jatuh. Tapi tangan segera bertopang
kepada dinding, menahan badan yang hendak jatuh. Keringat
keluar. Dengan bersender lemas kepada dinding, aku menyadarkan
diri. Mengumpulkan segala tenaga. Kaki kuseret-seret ke
kamar tidur. Dengan susah payah sampailah juga ke depan
pintu kamar. Tangan sudah menjangkau knop pintu. Kudorong
daun pintu dengan seberat badanku. Pintu terbuka dengan
tersentak, tapi terlalu lekas, sehingga aku hilang
keseimbangan badan, jatu h tersungkur ke lantai.
Aduh! pekikku. Untung aku masih sadar.
Dengan payah seperti babi hutan yang luka berat, aku
merangkak-rangkak hendak mencapai tempat tidur. Kuseret-seret badan yang lemas itu di atas lantai. Payah sangat. Napas
berat. Darah bertetesan dari bibir jatuh ke lantai. Dan
sebentar kemudian lantai sudah laksana langit suram penuh
dengan bintang-bintang merah ... .
3 Syiiit! .... mengkilap pisau belati yang kucabut secepat kilat
dari sarungnya. Mengkilap seperti sebilah kaca yang runcing
melepas dalam sinar matahari. Crat! Tepat mengenai
sasarannya. Terpejam mataku! Tepat menancap di atas
lehernya, mengenai urat lehernya.
Rubuhlah seketika itu juga tubuh yang segar bugar itu!
Tumbang laksana pohon di tebang. Berguling-guling dia di
atas tanah seperti kerbau yang sekarat. Dan darahnya
berkerolok-kerolok masuk ke dalam kerongkongan hawa.
Mati dia! Mampus dia! Darah meleleh pada pisau. Bertetesan dari ujungnya.
Kubuang lekas. Melayang di ud ara. Jatuh di kebun orang.
Berkeresek dalam semak-semak.
Maksud sekarang telah tercapai. Tekad telah terlaksanakan.
Puas aku! Dendam telah kubalas! Mampus dia sekarang! Si
pengkhianat! Si penggoda istri orang lain! Si pemecah belah!
Antara aku dan istriku! Antara aku dan orang tuaku! Si
penyebar pikiran* pikiran yang berbisa! Si anarkhis! Si nihilis!
Si individualis! Si pengacau!
Kutendang, kusepak badan yang berlumui^n darah tak
bernyawa lagi itu! Aku puas dengan pembalasanku itu! Tiada sesal sedikit
pun! Tiada belas seujung rambut!
Tapi sekarang ...."! Apa yang harus kuperbuat"!
Menyerahkan diri kepada polisi" Atau lari"!
Tapi ah, lari ke mana"!
Tangan polisi merangkum dunia. Mata dan telinganya
sedekat bayangan kita. Maka terbayang-bayanglah pula wajah Ayah. Berkatalah ia
dengan suara yang geram, sambil mengacungkan telunjuknya
ke atas, "Ingatlah anakku! Ingatlah! Kau telah berbuat dosa!
Dosa yang keji! Membunuh orang! Mencabut nyawa orang lain
yang bukan hakmu. Kau durhak a! Melanggar hukum Tuhan!
Belum cukupkah juga kau berdosa"! Harus kauperberat juga
siksa dan azab yang akan menimpa dirimu""
Menggigil aku ketakutan. Siksa akhirat terbayang-bayang.
Dan sebelum itu, siksaan dunia akan menimpa juga. Kuramas-ramas kepala dengan kedua belah tanganku. Kuusai-usai
rambut. Aku berputus asa ... . Astagfirullah haladim! Astaghfirullah haladim!
Dua tiga kali aku mengucapkan "istigfar". Berkali-kali
menarik napas panjang. Berkali-kali pula mengusap muka.
Alhamdulillah! bisik hatiku. Napas panjang melepas dari
dadaku. Lapang terasa dada. Al hamdulill
ah! Itu hanya hayal belaka. Hayal terbawa nafsu. Mungkin juga hayal, karena
kerasnya pe-nyakitku. Sejak kemarin malam, aku berbaring terus dalam tempat
tidur. Badan terasa sakit dan lemas. Untung darah hanya
sedikit keluar. Kartini belum juga pulang. Kini hari sudah pukul lima sore.
Menggigil lagi aku, teringat kepada "pembunuhan" barusan
itu! Terdengar lagi suara ayah yang menginsyafkan aku.
Aku mengucap beribu syukur alhamdulillah, bahwa aku
hanya menjadi "pembunuh" di dalam hayal. Mengucap syukur
al-hamdulillah, karena aku merasa sudah terlalu berat
berdosa. Berdosa terhadap orang tua sendiri. Berdosa .... juga
terhadap diri Kartini, yang terlalu bengis kuperlakukan.
Berdosa terhadap Tuhan Yang Mahakuasa. Ya, terhadap
Tuhan yang selama ini sudah kuabaikan segala perintahnya.
Kususukkan kepalaku di bawah bantal. Berbisik hatiku, "O
Tuhan, ampunilah segala dosa hamba-Mu ini!"
Air mata terasa panas meleleh di atas pipi. Jatuh ke sprei.
Lama aku terbaring demikian.
Sekonyong-konyong aku teringat kepada Hamlet, Prince of
Denmark, ciptaan Shakerpeare. Teringat kepada adegan,
ketika ia hendak membalas dendam kepada pamannya, yang
telah membunuh ayahnya untuk merebut mahkota dan
prameswarinya, yaitu ibu Hamlet sendiri. Terbayang-bayang di
muka mata batinku ujung pedang anak raja itu yang sudah
siap untuk ditusukkan ke dalam punggu ng pamannya yang
lalim itu. Tapi tak jadi, oleh karena pamannya itu ketika itu
sedang melakukan sembahyang, minta ampun kepada Tuhan
untuk segala dosanya. Hamlet tidak jadi membunuh, oleh karena ia percaya,
bahwa si paman itu akan langsung masuk surga, apabila
dibunuh sedang sembahyang. Jadi untuk apa ia menolong si
pembunuh itu masuk surga"
Kubandingkan halku dengan adegan Hamlet itu.
Hamlet tidak jadi membunuh, karena ia tidak mau
menolong si pembunuh ayahnya itu masuk surga. Sedang aku
tidak mau membunuh, karena ak u takut akan masuk neraka.
Tapi kedua peristiwa itu pa da hakekatnya sama, ialah
kedua-duanya terpengaruhi oleh kepercayaan kepada alam di
balik kubur. Padahal antara Shakespeare dan aku ini
terbentang jaman yang tidak kurang dari lima ratus tahun
jaraknya. Terbentang di antara nya jaman rasionalisme, jaman
intelektualisme jaman teknik.
Serasa kecil diriku dibandingkan dengan Hamlet, yang
biarpun ia banyak ragu-ragu, banyak berputus asa, dan tidak*
sanggup mengambil putusan dengan segera, namun pada
akhirnya ia menjelma juga se bagai seorang pahlawan yang
berani meluluskan tekadnya, membalas dendam kepada yang
lalim. Pamannya dibunuhnya juga pada akhirnya. Dengan
tiada takut ini itu. Tapi tidak! Aku tidak mau menjadi pembunuh. Aku tidak
mau seperti Hamlet. Biarlah Hamlet lebih kuat dari aku. Biarlah
aku tetap penakut. Penakut terhadap siksa dan azab, yang
ditimpakan oleh Tuhan kepada tiap orang yang melanggar
hukum-hukumnya. Aku batuk-batuk lagi. Dan tiap kali aku batuk itu, terasa
olehku seolah-olah suara tanganku mengetuk pintu kubur.
Terbayang lagi wajah ayah.
Dan kemudian kembali pula dongeng-dongeng Ma Ioh,
babuku dulu. Dongeng-dong eng tentang siksaan dalam
neraka. Aku menggigil....
Lubang kubur ternganga di hadapanku lagi.
Bagian XIII Neng-neng-neng! Persis pukul tiga malam, saya tamat membaca naskah
Hasan itu. Entah karena sudah lewat waktunya, entah karena
saya terbelenggu oleh isi naskah tersebut, maka biarpun
malam sudah selarut itu, namun saya tidak merasa
mengantuk. Setamat membacanya, saya beberapa jurus termangu-mangu saja. Terharu. Tak mengira sedikit pun, bahwa orang
yang kurus cekung dan sakit tbc itu, mendukung soal-soal
yang rupanya saja telah menguasai seluruh jiwanya,
sedemikian rupa sehingga ia tidak lepas dari akibat-akibatnya
yang buruk yang mengenai kesehatan badannya. Dan soal-soal itu agaknya tetap menjadi soal baginya dengan tidak bisa
mengambil sesuatu penyelesaian yang menenteramkan
jiwanya. Saya renungkan sebentar isi naskahnya itu.
Jelas kepadaku, bahwa di samping bimbang karena belum
ada keyakinan yang teguh perihal kepercayaannya terhadap
Tuhan, Hasan itu terdampar-dampar pula oleh perasaan-perasaan cemburu dan kompleks-kompleks lain terha
dap Anwar, Rusli dan Kartini. Dan ia sangat romantis sifatnya.
Lebih mudah dibawa mengalun oleh gelombang perasaan
daripada dibawa mengorek-ngorek sesuatu soal oleh pikiran
sampai habis kepada dasarn ya yang sedalam-dalamnya.
Kusimpan naskah itu baik-baik dalam laci meja tulisku.
Sambil memutar kunci laci itu, yakinlah saya, bahwa saya pun
sanggup untuk mempengaruhi Hasan yang bimbang itu. Saya
sanggup mempengaruhinya seperti orang-orang yang
diceritakannya dalam naskahnya itu. Saya sanggup
membimbingnya ke arah sesuatu tujuan menurut faham saya
sendiri. Dalam pada itu ingin sekali saya berkenalan juga dengan
orang-orang yang ada di sekitar pergaulannya itu, dengan
orang-orang yang dalam naskahnya ini diberi nama Kartini,
Rusli dan Anwar. Beberapa hari kemudian Hasan datang lagi ke rumahku.
Juga pada malam hari lagi. Jadi juga memakai mantelnya yang
hijau tua dan topi viltnya yang hitam itu.
Saya mempersilakannya duduk. Tapi sejenak ia berdiri saja
di ambang pintu, seperti ada yang dipikirkannya dulu.
"Duduk Saudara!" kataku untuk kedua kalinya.
Duduklah ia baru. Dan seperti yang sudah-sudah topi
hitamnya itu setengah dilemp arkannya ke atas kursi di
sampingnya. Sedang mantelnya, seperti yang sudah-sudah
juga, tidak dibukanya. Hals-duknya mengikat lehernya dengan
erat, sehingga dagunya hampir terbenam dalamnya.
Berdehem-dehem ia, sambil menutupi mulutnya dengan
tangan kanannya yang setengah dikepalkan. Gugup dia
nampaknya. Setelah saya bertanya "apa kabar" dan lain-lain lagi yang
mengenai hal-hal sehari-hari, mulailah dia bercerita. Masih
agak gugup dia. Memang malam itu sangat berbeda
nampaknya. Belum pernah saya melihatnya demikian.
"Entahlah Saudara," katanya dengan lemah, "saya merasa
takut. Saya merasa seperti.. . ."
Terdiam dia. Tidak dihabiskannya kalimatnya itu.
Saya perhatikan dengan pe nuh belas kasihan. Wajahnya
yang cekung itu pucat sekali nampaknya. Dengan bergetar
tangannya, dia menarik-narik jari-jarinya yang kurus itu satu
demi satu. Ditarik-tarik nya sehingga berbunyi berketak-ketak.
"Kenapa Saudara"" tanya saya dengan lembut, setelah saya
biarkan dia duduk merunduk beberapa jurus. "Kenapa takut""
Ia mengangkat kepalanya. Memandang sejenak ke dalam
mukaku. Batuk-batuk sebentar, lantas katanya, "Saya merasa,
bahwa .... bahwa umurku ini takkan lama lagi .. . ."
"Hahaha! (tiba-tiba saya tertawa). Kenapa saudara begitu
pesimis."
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saya tertawa itu setengah dibuat-buat dengan maksud,
supaya jiwa yang agaknya telah patah itu menjadi tegak
kembali. "Ah itu hanya perasaan Sa udara yang lesu saja,"
sambungku. 'Tidak boleh kita me mbiarkan diri kita dikungkung
oleh perasaan yang demikian."
Dia diam. Merunduk lagi seperti bunga yang layu.
"Dan sebetulnya, Saudara sebagai seorang atheis tidak
boleh berperasaan takut."
"Atheis" (tiba-tiba bunga layi" itu tegak kembali). Dari siapa
Saudara tahu saya atheis""
"Dari isi naskah Saudara, kan"!"
"O ya"!!" Mengheos suaranya seperti hembusan uap kereta api yang
menghilang. Diam lagi dia beberapa jurus. Saya pun tidak berkata apa-apa lagi. Hanya kuperhatikan gerak-geriknya lebih teliti lagi.
Mukanya pucat dan suram! Sangat suram. Merupakan kontras
dari lampu yang berseri-seri di atas kepalanya. Tangannya
bergerak-gerak lagi tak tentu.
Tiba-tiba setelah dia batuk-batuk lagi sedikit berkatalah dia,
"Kenapa Saudara bilang bahwa seorang atheis tidak boleh
berperasaan takut""
"Itu kan logis! (mengerling sedikit ke dalam matanya yang
penuh dengan pertanyaan). Seorang atheis tidak percaya
kepada adanya Tuhan. Jadi dengan sendirinya ia menyangkal
akan adanya hukum-hukum Tuhan, baik yang berupa rahmat
dan anugerah, maupun yang berupa siksaan."
Saya tidak lanjutkan bicaraku. Memberi kesempatan
kepadanya untuk berpikir. Tapi rupanya dia tidak berpikir.
Atau lebih tepat lagi, tidak berpikir tentang ucapanku itu,
sebab dengan tidak mengubah sikapnya dia bertanya,
"Saudara percaya pada neraka""
Pertanyaan itu tidak kusangka-sangka sama sekali,
sehingga beberapa jurus saya tak menyahut apa-apa. Cuma
saya lihat pada sinar matanya hasrat untuk mengetahui benar-benar bagaimana pendap
at saya tentang hal itu. Sambil
menunggu-nunggu jawaban saya, ia mengatupkan kedua
belah tangannya di atas pangku annya. Jari-jarinya bergetar-getar, berpeluk-pelukan seperti orang-orang yang kurus-kurus
berpeluk-pelukan karena kedinginan. Sebentar kemudian
berkatalah saya dengan suara yang tenang, "Sebagai atheis
Saudara sendiri tentu tidak percaya, bukan""
Rupanya karena perkataan "atheis" itu, bunga layu itu
dengan tiba-tiba sudah berobah menjadi seekor ular cobra
yang tegak mendesis-desis hendak menggigit, "Jangan!
Janganlah sekali lagi Saudara mengatakan, bahwa saya ini
atheis! Saya bukan atheis! Tidak pernah menjadi atheis ! Karena...........(hening
beberapa jurus, kemudian dengan suara merendah) karena
saya takut. Takut neraka! Dan memang neraka itu ada, Saudara!
Ada! (Suaranya naik lagi)."
Cetusan semangat yang tiba-tiba itu memberi kesimpulan
kepada saya, bahwa kelesuannya yang berat itu rupanya saja
disebabkan oleh karena dia sangat berat ditekan oleh
perasaan takut terhadap neraka , seperti memang jelas juga
dari bagian terakhir dalam naskahnya itu. Dia sedemikian
takutnya, sehingga dia marah disebut seorang atheis. Padahal
dalam lingkungan Rusli dan Kartini (artinya menurut
naskahnya yang kupandang "D ichtung und Wahrheit" itu)
baginya tidak ada yang lebih senang daripada dipandang
sebagai orang sefaham dengan mereka. Mungkinkah dia
menjadi sangat takut itu, karena penyakitnya itu" Karena ia
merasa sudah lebih dekat lagi ke lubang kubur" Dan merasa
banyak dosa".... Aku agak heran, mengapa dia tadi bertanya, apakah saya
percaya kepada neraka, tapi kemudian dengan tidak
menunggu jawabanku yang tegas, dia sendiri sudah
mengemukakan pendapatnya, malah seolah-olah mau
meyakinkan saya, bahwa neraka itu memang ada. Dengan
demikian, maka dia bertanya itu, mungkin cuma karena ingin
mencocokkan pendapatnya itu dengan pendapat saya. Atau
mungkin juga memancing uraian dari saya yang bisa
meyakinkan dia, bahwa neraka itu sebetulnya tidak ada.
Maksudnya, supaya dia bisa merasa agak tenteram dan
tidak takut-takut lagi. Entahlah!
Maka saya pun bungkam saja. Memberi kesempatan kepada
dia untuk melanjutkan bicaranya.
'Tapi saya percaya itu (begitul ah sambungnya dengan suara
yang merendah lagi) bukan sepe rti yang biasa diperdengarkan
oleh kiyai-kiyai kolot, ialah ba hwa neraka itu adalah di balik
kubur, di akhirat. Tidak! Tapi pun juga tidak seperti yang
kadang-kadang kita dengar dari mulut kiyai-kiyai modern,
bahwa neraka itu bukan di akhirat, melainkan di dunia ini juga,
di dalam hidup ini juga. Tidak! Saya percaya bahwa neraka
adalah di antara hidup dan mati itu, yaitu di dalam kita
berjuang dengan malaikalmaut, di atas jembatan di antara
hidup dan mati. Tegasnya di dalam kita sekarat. Itulah
neraka!" "Bagaimana itu persisnya, Saudara"" tanya saya dengan
penuh perhatian. Maka berceritalah dia, bahwa hari kemarinnya dia bertemu
dengan seorang bekas teman sekolahnya dulu di Mulo, yang
" sekarang sudah menjadi guru pada sekolah rendah. Dalam
bercakap-cakap dengan Hasan, guru itu menguraikan soal
psychoa-nalyse Freud dengan tingkatan-tingkatan sadar-bawah dan sadar-atasnya. Di antara kedua tingkatan itu ada
suatu batas yang disebut "sensor" atau juru periksa (begitulah
Hasan menguraikan lagi uraian guru itu). Tingkatan sadar-bawah itu tidak terbatas, penu h dengan 1001 macam pikiran,
perasaan, hayal, keinginan dan lain-lain yang bermacam-macam corak dan isinya. Pikiran perasaan, hayal, keinginan
yang gila-gila, pelik-pelik, yang buruk-buruk be rcampur-baur
dengan yang baik-baik, yang logis, yang teratur. Dan semua
pikiran, perasaan, hayal, keinginan dan lain-lain di dalam
daerah sadar-bawah itu semuanya mau muncul ke daerah
tingkatan sadar-atas. Akan tetapi tidak bisa, oleh karena ada
juru, periksa, sang "sensor" itu. Cuma pikiran-pikiran yang
logis, dan yang teratur saja bisa tembus ke atas sehingga kita
menjadi insyaf, yang lain-lain didesak kembali ke daerah
sadar-bawah, sehingga kita tidak insyaf akan pikiran-pikiran
dan hayal-hayal atau keinginan- keinginan yang didesak itu.
Akan tetapi ada kalanya juga, bahwa se
nsor itu lengah, atau tidak begitu keras melakuka n penjagaannya, sehingga
banyaklah pikiran-pikiran atau hayal-hayal dan keinginan-keinginan yang tidak pada tempatnya bisa tembus ke atas,
seperti kaum penyelundup bisa menyelinap, karena lengahnya
polisi dan douane." Aku menyela, "Sudah Saudara pelajari
sendiri teori Freud itu dengan membaca buku-bukunya
sendiri"" Jawaban "belum" keluar dengan agak ragu dan malu-malu.
'Tapi, biarpun begitu," katanya selanjutnya, "uraian
temanku itu cukup jelas dan meyakinkan, sehingga saya bisa
berpikir terus atas dasar teori itu." Aku mengangkat bahu, dan
dia meneruskan, "Saut-saktu sensor lengah itu misalnya kalau
kita sedang tidur, sedang saki t keras dan sebagainya. Di kala
tidur misalnya, sensor itu sama sekali tidak ada, sehingga
banyak pikiran, hayal dan sebagainya yang bukan-bukan
banyak menobros ke daerah sadar-atas, yaitu berupa mimpi.
Bukankah dalam mimpi itu kita sering melihat atau melakukan
perbuatan-perbuatan yang aneh, yang pelik, yang gila,
pendeknya yang tidak masuk di akal kita yang sehat"
Selain daripada waktu tidur, sensor itu hilang pula pada
masa kita sakit keras. Kita kadang-kadang mengigau, artinya
mengucapkan apa-apa yang tak terperiksa lagi oleh akal
pikiran kita. Dan paling hebat lagi, ialah pada saat kita sedang
sekarat." Sampai di sini Hasan terdiam sebentar dalam uraiannya itu.
Selama bercerita itu dia berkali-kali batuk. Untung
selamanya menutup mulutnya dengan sapu tangannya.
Biarpun begitu, saya selalu melengoskan muka sedikit.
"Dan kata temanku itu," begitulah Hasan melanjutkan
bicara," pada waktu kita sedang sekarat, segala macam hayal,
pikiran dan lain-lain yang bukan-bukan akan muncul
semuanya ke daerah sadar-atas. Terutama sekali perasaan-perasaan yang hingga sekarang bisa didesak oleh sensor ke
daerah sadar-bawah seperti perasaan-perasaan berdosa atau
"gewetenswroeging." Dan......"
Dia diam lagi. Mengeluh berat. Ingin saya menasihatkan
lagi, supaya dia mempelajari lagi teori Freud itu dan membaca
sendiri buku-bukunya. Tapi menarik juga bagiku untuk
mengetahui betapa pengaruh pengetahuan setengah-setengah
atas pribadi seseorang. "Saya merasa sangat banyak dosaku. Dan segala perasaan
di sekitar dosaku itu kelak akan muncul semuanya, akan
mencambuk, menyiksa aku dalam sekarat."
Diam lagi dia. Sangat takut nampaknya dia. Menarik-narik
lagi jari-jarinya dengan tida k mengangkat tangannya dari
pangkuannya. Matanya terpancang atas meja seolah-olah ada
yang dilihat di atasnya. Tapi jauh agaknya tinjauannya itu.
Jauh, entah ke alam mana.
"Dan temanku itu," sambungnya sebentar kemudian,
"pernah menyaksikan seorang-orang yang sedang sekarat.
Orang itu paling lama satu jam sekaratnya. Tapi lama sebelum
ia menarik napas penghabisan, tiba-tiba berkatalah ia seraya
berat sekali menghela napas dengan dadanya yang turun-naik," Aduh Tuhan! "Ampunilah hambaMu ini. Ampun! Hamba
sudah tak tahan lagi! Aduh, tolonglah aku! Tolonglah aku!" Ia
menangis seperti kanak-kanak, karena beratnya yang harus
diderita olehnya. Dan sambil meng-aduh-aduh terus, serta
dengan matanya terbelalak ke atas, berkatalah ia seperti
mengigau, "Aduh Tuhan, ampunilah dosa ham-ba-Mu ini!
Aduh, alangkah panasnya ini! Seribu tahun aku harus
menempuh api yang panas ini! Seribu tahun aku sudah
menempuh lautan! Harus berenang, berkecipak terus supaya
jangan mati aku tenggelam!" Nah, waktu yang cuma beberapa
menit itu, dirasai oleh orang sedang sekarat itu seolah-olah
beribu tahun. Begitulah kata temanku, guru itu.
Hasan diam lagi. Ia bimbang lagi nampaknya. Sungguh
kasihan dia. Ingin saya menerangkan kepadanya tentang
adanya suntikan morfin yang bisa- menghilangkan rasa sakit
dan menimbulkan mimpi yang indah-indah. Kalau suntikan itu
disuntikkan kepada orang ya ng sedang sekarat......"
"Jadi pun ilmu jiwa, dus ilmu pengetahuan membenarkan
adanya neraka," sambungnya la gi. "Dan saya sangat takut.
Jadi bagaimana saya bisa disebut atheis, kalau saya takut
akan adanya neraka"! Akan adan ya siksaan Tuhan, yang akan
menimpa diriku juga"!"
Batuk-batuk lagi dia. Agak he bat kali ini. Sangat kasi
han saya melihatnya. Apa yang harus saya perbuat untuk
melipurkan kebimbangan dan ketakutannya itu" Ternyata dia
sudah menjadi "korban" lagi dari orang yang dianggapnya
"lebih tahu". Habis batuk dia sangat capek nampaknya. Lesu sekali.
Duduknya seperti orang pesa kitan yang sedang menunggu
putusan hakim. Kepalanya terkulai, seolah-olah lehernya tak
bertulang. Dadanya turun-naik , dan matanya dipejamkannya
sebentar. "Saudara sakit rupanya," tanyaku.
Dia mengangguk lemah. Saya ambilkan air. Diminumnya.
"Sakit dadaku terasa lagi," ujarnya dengan suara lemah,
sambil menekan dadanya dengan tangannya sebelah kanan.
Sangat sedih dia nampaknya. Seperti sudah putuslah
harapannya. Dan sangat takut pula.
"Yah .... (berat dia mengeluh ). Terasa olehku, bahwa tak
lama lagi saya sendiri pun akan mengalami segala apa yang
diceritakan oleh temanku kemarin itu."
"Kenapa Saudara pesimistis" Janganlah Saudara berkata
begitu. Saudara masih muda. Masih kuat. Tegaklah!
Tempuhlah hidup ini dengan ke beranian seperti layaknya
untuk seorang muda seperti saudara. Penyakit saudara bukan
penyakit yang tidak bisa diobati. Saya tahu seorang kenalan
yang juga pernah diserang penyakit itu. Berbulan-bulan ia
dirawat di sanatorium. Kemudian sembuh. Dan sekarang dia
sudah lebih enampuluh umurnya. Masih kuat bekerja, malah
kawin lagi dengan gadis muda. Dia tahu "hidup...."
Dengan banyak kata-kata saya coba hiburkan lagi jiwa yang
telah patah itu. Ya dengan kata-kata, karena kepatahan
jiwanya itu pun disebabkan oleh kata-kata pula.
"Sesungguhnya Saudara, kita dila hirkan ke dunia ini dengan
satu tugas kewajiban yang maha penting, yaitu "hidup".
Tuhan telah menghidupkan kita di dunia ini. Karena itulah,
hidup itu adalah satu kewajiban yang paling utama, yang
paling penting, yang mengatasi segala kewajiban lain, yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Karena itulah pula,
maka kita harus memandang hidup ini sebagai satu-satunya
soal yang terpenting di dunia ini. Soal mati dan neraka tak
pernah merupakan soal dalam "h idup kita sebelum lahir", dan
karenanya bukan lagi soal dalam "hidup kita sesudah mati".
Oleh sebab itu maka menurut hemat saya-, soal hidup itulah
yang harus kita lebih pentingkan daripada soal mati, soal
neraka dan lain-lain itu. Dan soal hidup itu menurut pikiran
saya, ialah mencari kesempurnaan diri kita untuk
kesempurnaan segenap kema nusiaan di dalam segala
perhubungannya: perhubungan dengan sesama mahluknya,
perhubungan dengan alam sekelilingnya, perhubungan dengan
YangMaha'Esa, Pencipta-nya. Dan last but not least, juga
perhubungan dengan dirinya sendiri. Memang kadang-kadang
kita suka lupa akan perhubungan terakhir ini. Padahal itu pun
sama pentingnya, harus sempurna juga. Pribadi kita pun
berhak mendapat perhatian sepenuhnya dari kita, sebab
pribadi kita pun harus hidup, harus sempurna. Kita suka lupa,
bahwa kadang-kadang kita harus berhadapan dengan diri kita
sendiri. Dan sekali-sekali malah harus bertengkar dengan diri-sendiri. Harus mengeritik diri-sendiri. Begitulah Saudara pun
harus menyempurnakan perhubungan saudara dengan diri
saudara sendiri. Pada saat ini misalnya, saudara harus
menegur, mengeritik dan mencela diri sendiri, karena saudara
sudah tersesat mengesampingkan soal hidup yang lebih
penting itu untuk memberi tempat kepada soal-soal yang
bukan soal bagi kita dalam al am hidup kita sekarang ini.
Tegasnya, saudara sudah menempatkan sesuatu soal yang
tidak bisa kita selesaikan pada tempat yang seharusnya kita
kasihkan kepada ^"'-soal yang sewajibnya kita selesaikan".
Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hasan mengernyitkan keningnya. Berpikir dia agaknya
tentang segala perkataanku itu.
Saya lanjutkan, "Saya namakan soal-soal seperti soal
neraka dan lain-lain itu soal yang tidak bisa kita selesaikan,
tegasnya soal itu ada di luar kekuasaan kita untuk
menyelesaikannya, malah tentang seluk-beluknya yang
sebenarnya pun tidak sanggup kita mengetahuinya. Jadi
jangan dikata untuk menyelesaikannya."
Hasan mengangguk-angguk lemah. Hampir tak kelihatan.
Setujukah dia dengan pendapatku itu"
Karena dia tidak bertanya ap a-apa, maka saya lanjutkan
pula, "Dan apa yang harus menjadi pedoman bagi kita dalam
usaha menyempurnakan perhubungan kita ini" Bagi saya,
pedoman itu adalah rasa kema nusiaan semata-mata. Rasa
kemanusiaan-yang berpokok lagi pada rasa sayang-menyayangi, kasih-mengasihi, cinta-mencintai antara sesama
mahluk di dunia ini. Sesungguhnya, saudara, perikemanusiaan
dengan kasih-mengasihi, sayang-menyayangi dan cinta-mencintai itu adalah dasar hidup yang terutama, yang abadi,
yang harus hidup subur dalam hati tiap-tiap kita. Dan dengan
itu sebagai pedoman dan sebaga i dasar, kita gunakan alat
penyempurnaan yang paling utama, ialah akal dan pikiran
yang sehat." Hasan diam saja, seakan-akan tak acuh. Memang dia
mungkin tak acuh, karena rupanya saja segala perkataanku itu
sudah dianggapnya sebagai "kue basi" baginya, sebagai
pendapat yang sudah lama diketahuinya. Jadi bukan pikiran
yang memberi tinjauan baru kepadanya dalam menghadapi
soalnya. Kesan ini terasa benar olehku. Dan memang bukanlah
usaha atau maksud saya untuk memberi tinjauan baru
kepadanya dalam soalnya, oleh karena soalnya itu bukan
suatu soal yang bisa kita selesaikan. Jadi segala kata-kata
Seruling Perak Sepasang Walet 13 Pendekar Naga Putih 64 Gerombolan Setan Merah Hartanya Penghianat 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama