Ceritasilat Novel Online

Atheis 3

Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Bagian 3


Aku menjatuhkan diri ke atas kasur. Rusli mengangkat
kedua belah kakiku, setelah sepatuku dicopotinya. Kartini
bergegas ke kamarnya, mengambil sebuah botol eau
decologne yang kemudian diciprat-cipratkannya ke atas
sehelai saputangan. Lalu sapu tangan itu diletakkan di atas
hidungku. 'Terima kasih," bisikku sambil menggeserkan saputangan itu
sedikit ke bawah dari hidungku. Kemudian kupejamkan mata.
Bibir terasa bergetar sedikit.
"Biarlah ia berbaring-baring dulu," kata Rusli dengan
tenang, takkan lama pun ia akan baik kembali. Lalu keluarlah
ia, duduk lagi di atas fauteuil.
"Kukompres dulu keningnya dengan eau'de cologne", kata
Kartini. Diciprat-cipratkannya lagi minyak wangi itu ke atas
telapak tangannya sebelah kiri . Kemudian diusap-usapkannya
tangannya itu ke atas kening rambutku. Kubuka mata sejenak.
Lesu dan pudar terasa sinarnya. Memandang sebentar ke
dalam mata Kartini. Sebentar menyalalah sesalan yang tajam
dalam mataku. Kemudian kupejamkan lagi.
'Tidurlah saja dulu Saudara," bi sik Kartini sayu. Lalu keluar.
Rusli dan Kartini tidak meneruskan makannya. Memang tadi
pun mereka sudah hampir selesai. Mereka duduk-duduk saja
lagi seperti tadi di serambi muka. Sayup-sayup kudengar
mereka bercakap-cakap. Kedua-duanya masih heran serta
bertanya-tanya, apa sebetulnya yang menyebabkan aku
muntah-muntah dengan sangat tiba-tiba itu. Kudengar Kartini
sangat menyesal. Dan merasa malu katanya terhadapku.
Pada akhirnya kata Rusli, "Mungkin Saudara Hasan itu
mengira, bahwa masakan-masakan yang kita makan tadi itu
dipesan dari sebuah restoran Cina. Bukankah kita tadi
menyebut-nyebut nama restoran Wang Seng""
"Ya, mungkin. Tapi kita kan cuma berolok-olok saja.
Restoran Wang Seng kan tidak ada. Yang ada, hanya restoran
Wangsa." "Ya, ya, aku mengerti tapi Bung Hasan tidak tahu. Dia
memang bukan "ahli restoran". Disangkanya Wang Seng itu
betul-betul sebuah restoran Cina. Padahal itu Wangsa. Aku
bisa mengerti kau berolok-olok saja."
"Lagi pula saya pun tahu, ba hwa Saudara Hasan itu seorang
kiyai. Masa kupesankan makanan dari sebuah restoran Cina.
Masa aku...." Belum juga habis Kartini bicara, maka menonjollah sudah
aku dari kamar. Kataku dengan sangat gembira, "Jadi tadi itu
bukan dari restoran Cina, Saudara" Bukan"!"
Kartini dan Rusli terperanjat melihat aku itu. Kartini lekas
memburu, lalu dibimbingnya aku ke dipan tempatku tadi.
'Terima kasih! Terima kasih Sa udara!" (menjatuhkan diri ke
atas dipan). "Jadi tadi itu betul-betul bukan dari restoran
Cina"! Bukan"! Sungguh-sungguh bukan"!"
"Ah masa saya mau menipu Saudara" Saya pun tahu,
bahwa saudara seorang yang alim."
"O maaf saja Saudara. Maaf! Saya sudah bikin onar. Bukan
maksud saya .. Sesungguhnya, saya merasa malu terhadap
Saudara berdua. Sekali lagi, janganlah berkurang-kurang
memaafkan aku. Saya menyesal. Saya terburu-buru......"
" Aku sangat gugup. Dan ketenangan yang terbaca pada
muka Rusli, malah membikin aku bertambah gugup saja.
Kulihat Kartini. Ia memandan g dengan lembut kepadaku.
'Tak usah Saudara merasa malu apa-apa (senyum). Tak
usah Saudara minta-minta maaf. Sebaliknya, sayalah yang
harus minta maaf." Aku tunduk. Serasa hendak pecah lagi dadaku. Sarat
dengan perasaan gembira dan terima kasih. Gembira dan
terima kasih yang mendesak ke atas. Ke kelopak mata yang
terasa panas. Panas tergenang.
Bagian V Hari Sabtu kantor-kantor peme rintah hanya bekerja sampai
jam satu siang. Melancar sepedaku di atas jalan Merdeka Lio. Aku tak usah
banyak mendayung, kare na jalannya mudun. Alangkah ramainya di jalan. Apalagi di jalan Braga, "Urat
nadi masyarakat burjuis di Bandung," kata Rusli.
Bermacam-macam kendaraan simpang-siur. Delman, mobil
demmo dan yang sangat banyak ialah sepeda, oleh karena
kantor-kantor dan sekolah-sekolah semuanya baru bubar.
Anak-anak sekolah, guru-guru, klerek-klerek, komis-komis,
semuanya naik sepeda. Hanya tuan-tuan besar, dari
referendaris ke atas atau opsir-opsir, naik mobil.
Seperti kendaraan yang bermacam-macam itu di atas aspal,
bersimpang siurlah pula bermacam-macam suara di udara.
Membikin keadaan lebih ramai lagi. Delman berkeleneng-keleneng, mobil berdedot-dedot, sepeda berkerining-kerining.
Dan seringkah pula terdengar "Hallo Piet" atau "dag zus!" dari
belakang stang stirnya, yang segera disambut dengan "hallo!"
kembali atau kadang-kadang pula dengan "hou je kop, aap!"*)
Aku tidak suka kepada keriuhan dan keramaian seperti itu.
Oleh karena itu aku tidak mengambil jalan Braga, melainkan
membelok ke kanan, kejalan Landraad, terus ke alun-alun,
lewat Ban-ceuy. Aku mendayung dengan tenang. Tidak terlalu cepat, tidak
pula terlalu alon-alon. Fo ngersku sudah hafal jalan.
Sampai di depan mesjid, terdengarlah tiba-tiba dari tepi
jalan orang berseru-seru.
"San! Saudara Hasan!"
Segeralah aku menoleh ke arah suara itu. Maka di antara
orang-orang yang beratus-ratus berjalan di atas trotoir itu,
nampaklah kepadaku wajah Rusli berseri-seri dengan tangan
melambai-lambai memanggil aku. Dan di belakang dia
kelihatan pula wajah *) "Diarr lu monyet!"
99 Kartini, sedikit tersembunyi di belakang orang-orang yang
ber-jubel-jubel itu. Cit-cit-cit! Fongers berhenti dengan tersentak. Tersentak
pula aku turun. Beberapa mobil dan delman kubiarkan lewat dulu.
Kemudian barulah dengan cepat -cepat aku lari menyeberang
ke trotoir, tempat Rusl i dan Kartini berdiri.
"Ya, hari Sabtu kami pulang pukul satu. Dari mana""
"Jalan-jalan saja. Lihat-lihat toko."
"Borong"" "Ah tidak, cuma lihat-lihat sa ja. Dompet proletar paling-paling cuma sanggup borong kacang goreng." (tertawa).
Orang yang lalu berdesak-desak, dan kami berdiri seperti
serumpun pohon-pohon di te ngah-tengah arus sungai.
"Jalan terus!" perintah seorang agen polisi.
"Mari kita sama-sama jalan," ajak Rusli.
"Baik," sahutku.
Hupla! Sepeda kuangkat ke atas trotoir. Kami berjalan
terus, melenggak-lenggok ke kiri ke kanan mengelak-elak
jangan sampai bertabrakan dengan orang-orang berpapasan
atau menyusul kami. Tapi kare na terlalu ramai mereka toh
menyinggung kami. Menyinggung sepedaku.
Sampai depan sebuah restoran , Rusli mengajak aku masuk.
"Mari kita sedikit makan-makan dan minum-minum."
'Terima kasih, saya mesti lekas pulang."
"Kenapa" Ada apa sih di rumah""
"Ya, marilah kita....."
Seperti Kartini, ketika mau ma in piano tempo hari, aku pun
sekarang menunggu saat dipaksa. "Mari Saudara," ajak
Kartini. "Ini rejeki. Rejeki tidak boleh ditolak. Itu kan kata agama,
bukan"" Dan serentak dengan ajakan itu, tanganku ditarik
oleh Rusli. Sepeda hampir jatu h dan aku ditarik terus. Sepeda
terseret-seret. Kami masuk. Tamu-tamu yang sedang makan atau minum-minum mengangkat dulu kepalanya, melihat kami masuk.
Seorang tamu laki-laki berbisik -bisik dengan kawannya seraya
ter-senyum-senyum. Tersenyum-senyum sambil melirik ke
arah Kartini. Lain tamu lagi, seorang laki-laki yang setengah putih
rambutnya, yang rupanya sedang mencoba meyakinkan
istrinya, bahwa ia benci kepa da perempuan-perempuan yang
modern, berhenti untuk melirik sebentar dengan ekor matanya
ke arah Kartini. 'Teruskan bicaramu!" bentak istrinya.
Kami mengambil tempat di sudut yattg mejanya agak jauh
terpisah dari tamu-tamu lain oleh deretan meja-meja yang
masih kosong. Jongos memburu dengan sebuah menu dan
bloknot dalam tangannya. "HaiRus!" Tiba-tiba terdengar seruan itu melayang dari sudut
belakang ke sudut tempat kami.
Rusli melihat ke kiri ke kanan seperti induk ayam
mendengar suara ganjil. Ia agak terkejut, tapi sejurus
kemudian meriaklah dalam wajah sinar gembira bercampur
heran, "Kau di sini" (menunjuk ke arah seorang pemuda yang
datang hampir). Kapan datang"" Dari jauh pemuda itu sudah menjulurkan tangannya selaku
orang buta yang minta jalan. Maka sebentar kemudian tangan
kedua orang itu sudah berentak-rentakan.
"Kapan datang"" tanya Rusli pula.
"Baru saja, dengan kereta api pukul 12," sahut pemuda itu
sambil menarik sebuah kursi yang paling dekat.
"Perkenalkan dulu. Saudara Anwar, seniman anarkhis dari
Jakarta," kata Rusli.
Sambil tertawa ia berj abatan dengan kami.
Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti
kulit orang Cina dan matanya pun agak sipit. Mungkin ia
keturunan Cina atau Jepang. Ia berkumis kecil seperti
sepotong sapu lidi masuk ter dan janggutnya jarang-jarang
seperti akar yang liar. Rambutnya belum bercukur dan
pakaiannya sekumal pakaian kerja seorang montir.
Kepada Rusli diceritakannya, bahwa ia hendak pindah ke
Bandung. "Aku sudah bosan di Jakarta," katanya.
Walaupun tampang mukanya sangat simpatik, tapi
entahlah, aku kurang merasa senang dengan kehadiran dia
itu. Dalam bercakap-cakap itu ku lihat dia berkali-kali melirik
dengan ekor matanya ke arah Kartini, yang sedang tunduk
membaca daftar makanan. Jilatan matanya itu tidak
menyenangkan hatiku. Jilatan mata orang pelacuran.
"Saudara-saudara mau apa"" tanya Kartini tiba-tiba,
mengangkat kepalanya, dan sambil menggigit potlot siap sedia
untuk menulis pesanan. "Saya sudah minta sate ayam dua puluh tusuk dan gado-gado, zus," kata Anwar sambil menjangkau sebuah tusuk gigi
dari dalam gelas kecil yang berada di depan hidungku.
"Minumnya buat saya kopi es susu." Matanya menjilat lagi.
Kini mengenai tujuannya rupanya. Aku makin tidak senang.
Setelah Kartini selesai menulis segala pesanan kami, maka
segeralah bonnya dikasihkan kepada jongos, yang selama itu
dengan sabar berdiri di belakang Kartini.
Sambil menunggu makanan, kami bercakap-cakap lagi.
Anwar ternyata seorang periang. Suka tertawa. Ia
menceritakan peng-alaman-pengalamannya selama ia berpisah
dengan Rusli. Bicaranya keras. Dan sambil bicara itu mulutnya
selalu menggigit kayu tusuk gigi. Kadang-kadang ia berdiri
untuk memperlihatkan sesuatu sikap atau gerak yang
berhubungan dengan apa yang sedang diceritakannya itu.
Tentu saja para tamu lainnya pada menoleh kepadanya. Ada
yang turut tertawa, kalau Anwa r menceritakan sesuatu yang
lucu. Dan Anwar lekas menoleh dulu ke arah orang-orang
yang turut tertawa itu, sambil mengangkat sebentar
tangannya ke atas secara menabik. Ada pula orang-orang
yang mengangkat hidungnya atau membuang mukanya,
karena merasa terganggu oleh cara Anwar bercerita itu.
Kadang-kadang aku pun suka pula turut tertawa tergelak-gelak. Tapi kadang-kadang pula aku merasa aneh melihat
gerak geriknya yang luar biasa itu.
"Satu kali aku pernah menempeleng seorang bujangku!"
(begitulah ia bercerita). "Kutem peleng dia, karena dia tidak
mau menurut perintahku. Tela h kularang dia bersembah
jongkok terhadap siapa pun juga. Tapi pada suatu hari kulihat
dia membikin sembah terhad ap seorang wedana. Seorang
feodal, dus. Maka pada saat itulah, di depan paduka tuan
feodal itu, kutempeleng bujang ku itu sehingga dia melongo
saja, seperti paduka tuan feodal itu juga."
Anwar tertawa. Yang lain-l ain pun tertawa. Hanya aku
tersenyum saja. Tersenyum, karena tidak melihat
kelucuannya. Mengapa seorang bujang yang karena membikin sembah
saja harus ditempeleng" Sungguh aneh orang ini, pikirku.
"Nee zeg, weg met dat mens onterende feodalistisch
gedoe*) (membanting tusuk giginya). En weet je, lain kali lagi
saya terang-terangan berkata begini kepada ayahku sendiri.
Ayahku, kau tahu Rus, dia seorang bupati. Jadi seorang
fe^dalis nomor wahid, bukan" Nah, dengan terang-terangan
kukatakan begini kepadanya. "Pa, tidakkah Bapa merasa diri
seperti seorang raja dari ketoprak, kalau Bapa dengan
berpakaian kebesaran model kuno itu dipayungi oleh seorang
opas" Kenapa Bapa mesti dipayungi orang lain" Payung toh
satu barang yang ringan, bisa Bapa pegang sendiri. Dalam
mata saya, semua itu sangat lucu, Pa!" (menoleh kepadaku).
Bagaimana pendapat Saudara" (kemudian menoleh kepada
Kartini). You miss Tini, what's your opinion" It is ridicu-lous,
isn't it"**) (mengedip). Sesu ngguhnya, dalam mata saya,
semua itu sangat lucu. Kehormatan, katanya. Pada hal dat is
toch gewoon baduti sme, nietwaar"***).
Dari sebuah meja lain, seorang tamu mendelik-delik
matanya. Mendelik-delik seperti mata ikan gurami. Rupanya ia
seorang pegawai Pamong Praja model kuno.
"Ha! Gado-gadoku datang!" teriak Anwar.
Dengan lincah jongos menaruh segala makanan dan
minuman yang dipesan. Meja terlalu kecil. Diseret lagi sebuah
meja yang lain. "Ayo, kita mulai saja," kata Ru sli, setelah jongos selesai.
"Marilah kita makan seperti bu ruh tani yang kelaparan",
kata Anwar sambil mengaduk-ngaduk gado-gadonya dengan
sendok dan garpunya. "Ya, sambung Rusli. Jangan seperti kapitalis yang harus


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan makanan kaum proletar."
Mereka makan sangat gelojoh. Terutama Anwar. Ia makan
seperti kuda. Rupanya karena memang ia yang paling lapar,
sebab makannya pun paling cepat pula selesainya.
"Coba keluarkan dulu rokoknya, Bung!"
Rusli yang masih menguyah kerupuk Palembang, merogoh
dulu pak sigaret baru dari dalam kantongnya.
** ***! *) Basmilah kebiasaan feodal yang merendahkan
martabat manusia itu ) ba gaimana pendapatmu, nona Tini"
Lucu bukan-) 1 Sungguh badu t-badutan melulu, bukan"
"Ini sudah habis!" sambung Anwar, sambil meramas
bungkus rokok yang sudah kosong yang lalu dibantingnya ke
lantai. Anwar mengambil satu batang dari rokok Rusli. Kemudian
dari kantongnya sendiri diam bilnya sebuah tube kecil.
"Apa itu"" tanya Rusli, sambil memasukkan suapnya yang
penghabisan. "Madat," sahut Anwar, seraya mengelus-elus zat yang hitam
itu kepada batang sigaret ya ng hendak dirokoknya itu.
Kami bertiga memperhatikan ti ngkah laku Anwar itu. Orang
istimewa, kawan ini, pikirku. Pemadat juga ia rupanya.
"Ah, kenapa kamu heran-heran" Ini kan Tuhan yang kuulas-ulaskan kepada sigaretku."
"Ah kau ini berkata seperti orang yang mengigau saja War,"
kata Rusli, sambil mengerling sekilat ke arahku.
"Kenapa mengigau" Bukankah itu perkataan Marx"
Bukankah Marx berkata, bahwa Tuhan itu madat bagi
manusia"" "Audzubillah," pikirku.
Biarpun sudah banyak perobahan padaku sejak berkenalan
dengan Rusli dan Kartini, namun ketika mendengar ucapan
Anwar itu aku tidak bisa mengekang perkataan "audzubillah"
itu, sekalipun cuma dalam hati . Hatiku memberontak. Ingin
berdebat dengan orang istimewa itu. Maka aku pun
bertanyalah, "Apa arti perkataan saudara itu""
"Zeer eenvoudig!"*) Tuhan itu madat!"
'Tuhan madat"" tanyaku pula.
"Ya, madat! Artinya menurut kata Marx (menepuk lengan
Rusli). Bukan begitu, Bung""
Rusli tersenyum. Meneguk kopi susunya.
"Kalau menurut saya," sambung Anwar, 'Tuhan itu adalah
aku sendiri (telunjuknya sendiri menusuk dadanya). Dan
bersama Kloos aku berkata. Ik ben een god in het diepst van
mijn gedach-ten *). . . " (tanga nnya melambai seperti seorang
raja opera stambul terhadap rakyatnya).
Gila orang ini, pikirku. Menganggap dirinya Tuhan pula! Aku
makin tidak mengerti. Rusli melirik ke arahku. Di lihatnya rupanya keningku
menger *) Mudah sekali. * ) "Dalam pikiranku yang sedalam-dalamnya akulah
Tuhan." nyit seperti orang yang tersinggung hatinya. Sudut bibirku
bergetar, seolah ada sesuatu yang hendak kukatakan. Dan
memang ada yang hendak kukatakan, tapi tidak keburu,
karena tersela oleh Rusli yang segera berkata, "Memang Marx
pernah berkata, bahwa agama itu adalah madat bagi manusia.
Tapi ucapan itu hanya suatu kiasan semata-mata. Suatu
kiasan seperti misalnya kiasan yang sering kita dengar, ialah
bahwa Tuhan itu adalah tiang pegangan bagi manusia dalam
kehidupannya. Atau kiasan lain lagi, yang sering pula kita
dengar juga, ialah bahwa Tuhan itu adalah cahaya atau obor
di dalam kehidupan yang serba ge lap ini. Banyak lagi 'kiasan-kiasan' yang bermacam-macam bunyinya. Dan kiasan yang
diambil oleh Marx itu tidak kurang tepatnya ialah Tuhan itu
(atau persisnya Marx itu bilang "agama"), bahwa agama itu
adalah madat bagi manusia. Apa itu artinya""
Rusli sangat tenang suaranya , seperti biasanya kalau ia
sedang menguraikan sesuatu so al. Dan mungkin pula, karena
di dalam pergaulan akhir-akhir ini yang m
akin erat itu, perasaan kurang harga diri terhadap dia sudah bertambah
besar padaku, maka aku pun sekarang kurang berani untuk
membantah sesuatu teori atau pendapatnya. Prasangka,
bahwa Rusli "lebih tahu" dari-padaku, sudah bertambah dalam
mencekam dalam jiwaku. Maka aku pun cuma mendengarkan
saja. Tidak membantah apa-apa. Kata Rusli selanjutnya, "Itu
tiada lain artinya ia lah bahwa seperti halnya dengan madat,
Tuhan atau agama itu adalah satu sumber pelipur hati bagi
orang-orang yang berada dalam kesengsaraan dan kesusahan.
Suatu sumber untuk melupakan segala kesedihan dan
penderitaan dalam dunia yang tidak sempurna ini.
Sesungguhnya, janganlah kita lu pakan, bahwa (seperti tempo
hari saya uraikan kepada saud ara) agama dan Tuhan adalah
hasil atau akibat dari sesuatu masyarakat yang tidak
sempurna, tegasnya ciptaan atau bikinan manusia juga.
Manusia dalam keadaan serba kekurangan."
"Hai jongos! Minta air teh satu ya!" teriak Anwar tiba-tiba,
sehingga orang-orang pada kaget. Kemudian seolah-olah tak
peduli akan orang-orang sekelilingnya, ia mengisap rokoknya
dengan helaan napas pa njang, Hffff! Hffff!
"Sampai kaget saya, Tuan!" kata Kartini tertawa,
memegang gelasnya depan mulutnya.
"Ah.. .zus kaget" Terlalu keras barangkali suara saya" Maaf
saja' zus, lain kali saya akan berbisik."
Sambil berkata demikian itu, ia melihat ke arah jongos yang
lincah melenggok-len ggok cji, antara kursi-kursi dan meja-meja, memburu ke arah kami. "Minta air teh, Tuan""
"Ha! Zie je! (memukul meja sa mbil melihat kepada Kartini).
Toh suaraku masih kufang keras juga! Ia bertanya
juga---- (kepada jongos). Ya, air teh satu gelas! Lekas!"
Jongos bergegas ke belakang.
Selingan air teh itu berlangsung beberapa menit. Tapi
sementara itu pikiranku masih te rikat juga kepada keterangan
Rusli tadi itu. "Jadi pada hemat saya" begitulah Rusli mulai lagi
pembicaraannya tadi, "kiasan tiang atau obor yang biasa kita
dengar itu, dengan kiasan mada t dari Marx, pada hakekatnya
sama saja. Kedua-duanya hany a kiasan semata. Bagaimana
pendapat Saudara""
Aku tidak menjawab. Terasa olehku Kartini memandang
aku. Anwar mengepul-ngepulkan asap dari rokoknya. Rupanya
perhatiannya sudah berpindah kepada tamu-tamu yang
keluar-masuk. "Lihat, montok seperti Mae West," katanya mengungkitkan
dagunya ke arah perempuan gemu k yang baru masuk diiringi
oleh suaminya. "Tapi sementara itu, saudara-sa udara, tidakkah sudah tiba
waktunya kita pulang"" tanya Kartini seolah-olah menghitung-hitung bahwa saat itulah ya ng setepat-tepatnya untuk
menyetop perdebatan. "Aku mesti tunggu air te hku dulu," kata Anwar.
"O, ya. Tapi kami pergi duluan saja ya!" ujar Rusli. "Di
mana kau menginap""
"Sementara ini di rumah seorang paman di Kaca-kaca
Wetan. Tapi besok atau lusa mungkin aku datang ke
rumahmu. Bersama koporku tentu. Rumahmu kan besar,
bukan"" "Boleh! sahut Rusli pula. "Baikl ah! (bangkit). Sekarang kami
pergi duluan, ya." Setelah selesai semua bon diba yar oleh Rusli, maka kami
pun minta diri dari Anwar. Dan ketika kami hampir sampai di
ambang pintu ke luar, berteria klah pula Anwar, "Hai Rus!
Bonku sudah dibayar juga toh""
"Ah, seperti aku tidak kenal kau saja," sahut Rusli berolok-olok, sambil mengedipkan matanya sebelah.
"Ali right! Ali right! (setenga h menyanyi sambil jari-jarinya
menokok-nokok meja). Hai jongos! Mana air tehku""
Bagian VI Waktu beredar terus. Seakan-akan tak kenyang-kenyangnya menelan hari, bu alan tahun. Tak kenyang-kenyangnya seperti imperialis me mau menjajah terus, mau
menguasai terus . Tapi waktu tidak terasa berlalu oleh orang yang seluruh
perhatiannya terikat kepada sesuatu hal atau soal. Misalnya
olehku sendiri tidak terasa bahwa sudahlah empat bulan lalu,
sejak aku bertemu dengan Rusli dan Kartini. Makin hari makin
rapatlah pergaulan kami bert iga. Dan bertambah rapat,
bertambah banyaklah aku tertarik oleh uraian Rusli yang suka
sekali membawa aku berpikir tent ang pelbagai soal hidup, baik
soal-soal kemasyarakatan, politik, ekonomi dan lain-lain yang
selama itu tidak pernah menjadi soal bagiku.
"Padahal itu pun tidak kurang -kurangnya
dari soal-soal agama", kata Rusli selalu, "sebab seluruh hidup manusia
diliputi oleh soal-soal tersebut."
Aku sekarang mulai merasa menjadi manusia, sebab seperti
kata Rusli tempo hari, di samping berperasaan peri-kemanusiaan, tanda yang terutama bagi manusia itu ialah
berpikir. Manusia mempunyai soal-soal yang harus dikupasnya
dan diselesaikannya. Makin banyak aku mencurahkan perhatian kepada soal-soal
baru, yang dikemukakan oleh Rusli, makin kurang aku
menaruh perhatian kepada soal-soal agama dan mistik, yang
sebetulnya memang tidak pernah menjadi soal bagiku. Dari
mulai kecil, aku menjalankan agama dengan tidak pernah
bersoal-soal. Memang sesungguhnya perhatian manusia itu
laksana sekelompok ayam di dalam kandang. Ditaburkan beras
di sudut utara, semuanya membum ke sudut utara. Tempat
lain kosong. Ditaburkan ke sudut selatan, semuanya memburu
ke sudut selatan. Tidak pernah merata pada suatu saat yang
sama. Demikian perhatian dan pikiran sekarang tumpah
seluruhnya kepada soal-soal yang dibawakan oleh Rusli. Dan
haruslah kuakui, bahwa lambat-laun aku bertambah berat
dipengaruhi oleh Rusli. Sukses Rusli itu terutama letaknya
pada caranya ia berbicara dan mengemukakan pendapatnya.
Cara memberi nasehat seperti se orang kiyai kepada santrinya
dengan menakut-nakuti dengan siksaan kubur dan lain-lain,
apalagi cara bertengkar seperti orang polemis atau agitator
yang suka menyerang mendadak dan mengejek, semua itu
tidak pernah dipakainya. Memang sebagai seorang propagandis ulung, Rusli selalu
berpegang pada semboyannya, bahwa dengan cara yang
selalu disertai senyuman, orang lebih mudah dibikin yakin
daripada dengan cara mendesak-desak yang kasar.
Akan tetapi harus kuakui pula, bahwa di atas semua itu ada
lagi yang paling penting, yaitu bahwa semua itu sebetulnya
tidak akan berlangsung dengan begitu lancar, kalau Kartini
tidak ada. Pengaruh Rusli sebetulnya melalui Kartini sebagai
katalisator. Suara hatiku yang mula-mula hanya sayup-sayup terdengar
makin hari makin jelas. Suara bahwa aku mencintai Kartini,
seperti pernah aku mencintai Rukmini dulu.
Dalam keadaan demikian, maka tiap gerak dan ucapanku
selalu ku timbang-timbang dulu dengan insyaf: Apa akan kata
dia" Akan marahkah dia" Suka kah dia pada potongan bajuku
ini" Dan sebagainya.
Terasa sekali betapa besarnya perubahanku dibanding
dengan dulu. Dulu, artinya empat bulan yang lalu segala jejak
dan ucapanku selalu kusesuai kan dengan "pendapat umum",
terutama dengan pendapat para alim-ulama. Aku selalu
berhati-hati jangan sampai menjadi noda dalam pandangan
umum, alias "kias alim-ulama" itu. (Benar kata Rusli, bahwa
tiap orang itu dipengaruhi dan ditetapkan oleh pendapat dan
nilai-nilai yang berlaku di antara golongannya atau kiasnya
sendiri). Tapi sekarang pandangan umum itu sudah tidak
begitu kuhiraukan lagi. Bagiku sekarang lebih penting
pendapat Kartini. Sekarang aku sudah tidak malu lagi berjalan-jalan dengan Kartini, bahkan ke pasar, ke restoran, dan
pernah pula berapa kali pergi nonton bioskop. Geli juga kalau
aku memikirkan, bahwa empat bulan yang lalu aku masih
mengelak ke belakang sebatang pohon tepi jalan untuk
menyembunyikan diri terhadap sebuah delman atau mobil
yang lewat. Takkan heran rasanya, kalau, banyak di antara kenalan-kenalan-ku yang geleng-geleng kepala, kenapa aku yang alim
dan saleh itu tiba-tiba bisa berubah demikian.
Yang mengerti tentu hanya tersenyum saja. Dan seperti
yang kulihat maka yang mengerti itu ialah orang-orang tua
yang telah banyak berpengalama n hidup. Di antaranya bibiku
sendiri. Bibi itu pun hanya tersenyum saja.
"Ah," katanya pada suatu hari kepadaku, "engkau masih
muda, harus tahu hidup. Lagi pula engkau seorang laki-laki,
tidak akan bunting. Dan laki-laki itu seperti duit benggol. Petot
atau bercacat masih bisa laku. Tidak seperti anak perempuan
yang ibarat uang perak sudah hilang harganya kalau cacat
sedikit." Pernah pula aku membayangkan apa yang terkandung
dalam hatiku terhadap Kartini kepada bibi itu. Dia hanya
tersenyum. Tegas katanya, "San , kau seorang laki-laki yang
sudah dewasa. Tempuhlah jalan hidup dengan hat
i yang tabah dan berani. Tapi itu tidak berarti bahwa kau tidak usah
berhati-hati." Perempuan tua itu lantas menceritakan masa mudanya.
Ketika ia masih perawan, orang tuanya terlalu keras
mengajar. Sebagai seorang gadis yang sudah mengangkat
berahi, ia malah makin keras "dibui", tidak boleh bergerak
sama sekali. Begitulah kata bibi. Maka ketika ada seorang laki-laki datang menggoda dia, muda h saja ia terpikat dan dibawa
lari. Dibawa lari seperti seekor burung yang sudah lama
menunggu kurungannya terbuka. "
Tapi sang suami yang pertama itu kemudian ternyata tidak
setia (barangkali karena itulah bibi itu selalu memperingatkan
aku, bahwa tabah dan berani itu tidak berarti bahwa aku tidak
usah berhati-hati). Si bibi itu lant as lari dari dia. Lari, tapi tidak
mau kembali ke rumah orang tuanya. Malu. Karena itu lantas
turut bekerja membantu-bantu rumah tangga pada seorang
waknya yang suaminya menjadi wedana. Mereka banyak
anaknya sehingga sungguh dibut uhkan benar pertolongan bibi
itu. Akan tetapi malangnya, si wedana itu kemudian
menggoda dia, sehingga ia terpaksa lari lagi dari sana.
Sungguh banyak pengalaman bibiku itu. Enam kali ia
berganti suami. Baru pada usia setengah abad ia mulai ingat
kepada mukena dan tasbeh. Dan sekarang ia sangat rajin
melakukan ibadatnya. '* Rajin dengan mengambil suatu dalil
Nabi sebagai semboyannya: Sembahyanglah seperti kau ini


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akan mati besok. Sikap bibi yang mengerti itu, yang tidak merintang-rintangi
atau mencela jejakku itu, meri ngankan sekali tindak tandukku
dalam pergaulan dengan Kartini dan Rusli.
Akan tetapi biarpun begitu, sampai kini aku masih berada
dalam kebimbangan hati. Bimbang, karena serasa masih ada
sesuatu yang menjadi penghalang antara Kartini dan aku itu.
Seringkali aku bertanya-tanya dalam hati, bagaimanakah
sebetulnya perhubungan Rusli dengan Kartini itu. Kartini
mengakukan dirinya adik Rusli, dan Rusli memang pernah
berkata, bahwa Kartini itu adalah adiknya. Akan tetapi segala
gerak-gerik kedua orang itu ti dak seperti kakak beradik.
Seperti dua orang "ber-sahabatan "" Ya, kira-kira begitulah.
Semacam dua orang bersa-habatan. Akan tetapi, mungkinkah
ada persahabatan antara seoran g laki-laki bujangan dengan
seorang janda muda, dengan tidak mengandung perasaan-perasaan yang lebih mendalam dari cuma perasaan
persahabatan saja" Ah nonsen s, aku tidak percaya akan
adanya persahabatan demikian.
Kadang^adang aku merasa sebal memikirkannya.
Terbayang-bayang olehku, bahw a persahabatan semacam itu
tentu tidak lepas dari perbuatan-perbuatan yang keji, yang
haram, yang kotor. Dalam keadaan demikian aku in gin sekali melepaskan diri
dari cengkeraman pergaulan ke dua orang itu. Akan tetapi
ternyatalah, bahwa tali asmara tidak bisa dihilangkan begitu
saja. Kartini pun rupanya sudah merasa pula apa yang
terkandung dalam hatiku itu. Kadang-kadang ia suka pula
membikin aku cemburuan, terutama terhadap Rusli. Dalam
saat-saat demikian, maka aku pu n selalu berdaya upaya untuk
menyembunyikan perasaan cemburuanku itu. Akan tetapi
kadang-kadang serasa dari kaca kulit mukaku ini. Tak sanggup
menyembunyikan api yang menyala di belakangnya.
Akan tetapi Kartini bukan seorang wanita yang sudah
banyak pengalamannya, kalau ia tidak bisa membujuk-bujuk,
membelai-belai lagi hatiku, sehingga cemburuku itu lantas
berbalik menjadi perasaan ka sih yang lebih mesra lagi.
Pendek kata, makin lama aku bergaul dengan dia, makin
tumbuh cintaku kepadanya, dan makin besar pula
pengaruhnya atas diriku. Dan me lalui dia, pengaruh Rusli.
Bagian VII Di rumah Rusli sudah banyak "kawan-kawan" berkumpul
ketika aku bersama Kartini datang ke sana. Setengah jam
yang lalu, serambi belakang tempat mereka berkumpul itu
masih kosong. Satu stel kursi rotan, beberapa kursi makan dan
sebuah bangku yang panjang sekarang sudah diduduki kawan-kawan. Dan meja yang dilingkungi kawan-kawan itu pun
sekarang sudah "diduduki" pula oleh cangkir-cangkir yang
berisi kopi manis dan beberapa stoples kue-kue. Dua belas
orang, di antaranya tiga orang wanita, menyambut kami
dengan ramah-tamah. Ada yang berdiri hendak menyodorkan
ku rsi, ada pula yang duduk saja tapi tertawa riang.
Kartini mencari tempat dekat ketiga wanita itu, sedang aku
diberi kursi di samping Anwar, yang menggeserkan kursinya
sedikit ke pinggir untukku. Mulutnya menggigit sebuah pisang
goreng. Ia ternyata sudah dua ha ri itu pindah ke rumah Rusli.
Ketiga wanita dekat Kartini itu adalah istri Bung Yahya,
* Bung Mitra, dan Bung Ramli yang juga turut hadir pada
pertemuan itu. "Ini Bung Parta dari Garut, " kata Rusli memperkenalkan
seorang laki-laki yang kira-kira 38 tahun umurnya, yang duduk
di sebelahnya, kepada Kartini dan aku. "Bapa kita semua."
Sambil berjabatan tangan Bung Parta tersenyum-senyum.
Senyum gadis yang senang karena dipuji cantik.
Kawan-kawan yang lain sudah kukenaj; mereka sudah biasa
datang ke rumah Rusli, di an taranya Bung Suma, Bung Gondo
dan Bung Bakri. Ketiga kawan ini adalah bekas pegawai
pemerin- * tah jajahan. Tentang riwayat hidup mereka telah
kuketahui dari T"___"" Bung Suma adalah bekas agen pel-polisi.*) Sepuluh tahun
yang lalu ia dilepas, karena ketika dimarahi oleh seorang
atasannya yaitu seorang komisaris Belanda, ia melawan
karena tidak merasa salah. Da n komisaris itu ditempelengnya,
sehingga ompong. Sekarang Bung Suma menjadi sopir otobis
dan memimpin gerakan sopir-sopir.
Rusli. politie (bahasa Belanda) = polisi lapangan yang bergerak di
luar kota. Bung Gondo adalah bekas guru HIS. Ia kemudian minta
lepas dari jabatannya, oleh karena ia tidak merasa senang
untuk (seperti katanya sendiri) "meracuni anak-anak kita
dengan pelajaran dan pendidikan kolonial." Ia sekarang
menjadi seorang pamong Taman Siswa.
Dan Bung Bakri dulunya pernah menjadi pegawai SS*) Tapi
ketika ia turut memimpin pe mogokan VSTP**) di tahun 1922
ia dilepas. Sekarang ia menjadi opmaker di salah sebuah
percetakan yang besar serta memimpin kaum buruh
percetakan. Sebelum menjadi opmaker ia pernah menjadi
wartawan, pokrol bambu, pedagang kecil, kemudian setelah
rugi dagangnya, kembali menjadi pokrol bambu, dan pada
akhirnya masuk sebuah percetakan, belajar mengezet,
kemudian menjadi opmaker, sampai kini.
Tapi di antara kawan-kawan itu tidak ada yang melebihi
pengalaman Bung Parta itu. Dan tidak ada pula yang melebihi
keradikalannya. Ketika masih berumur kira-kir a 17 tahun, ia sudah turut
berjuang di kalangan Serikat Islam. (Begitulah ia bercerita
pada malam itu). Ia pandai sekali berpidato. Sebagai
propagandis dan demagog rupanya sukar mencari
bandingannya, suatu tenaga yang luar biasa bagi SI. Akan
tetapi kemudian ia bertukar halu an. Ia terpengaruh oleh aliran
sosialisme radikal yang ketika itu baru mulai merembes ke
tanah air kita Indonesia. Maka Serikat Islam lantas
ditentangnya dengan sekeras-kerasnya.
Pernah ia berpidato di salah sebuah rapat umum yang
diadakan pada bulan puasa. Begitulah ceritanya dengan
berkelakar. Di atas podium ia lantas minum di muka hadirin
yang kebanyakannya terdiri dari orang-orang Islam yang
berpuasa. Tentu saja hadirin berteriak-teriak serta memaki-maki, malah ada juga yang melempar-lempar dengan apa saja
yang bisa dilemparkannya ke podium. Sandal, tongkat, kerikil,
cengklong beterbangan ke arah ke pala Bung Parta. Tapi Bung
Parta berteriak-teriak dan memaki-maki kembali. Sebuah
cengklong kena kepala seoran g wakil polisi yang sedang
berseru-seru dan menggedor-gedor di atas meja, menyuruh
rapat bubar.... Seminggu Bung Parta harus berobat di rumah sakit, sebab
kepalanya benjol-benjol kena ti nju halayak yang katanya nyata
*) Staatspoorwegen = Jawatan Kereta Api **) Vereniging
van Staatspoor en Tram Personeel
= Serekat Sekerja para pegawai Kereta api dan Tram.
masih kuat memukul, walaupun sedang berpuasa. Dan
lucunya, ia berbaring di su atu ruangan dengan dua orang
yang benjol-benjol pula kepalanya, karena tinju balasan dari
Bung Parta sendiri. Dan tinjunya tentu lebih keras, kata Bung
Parta, karena bukan "tinju puasa".
Dalam menceritakan peristiwa yang lucu itu, kawan-kawan
sampai riuh tertawa. Perempuan terpingkal-pingkal sambil
menutupi mulut dengan sapu tangan. Anwar berkali-kali
bertepuk tangan seraya berseru-seru, "Bagus Bung! Bagus
!" Tapi sedang orang-orang pada riuh itu, tangannya lekas
menjangkau lagi sebuah pisang goreng yang lekas
dijubalkannya ke dalam mulutnya, selaku tukang copet yang
bertindak pada saat riuh dan ribut.
Sesungguhnya, Bung Parta pandai sekali bercerita lucu.
Di jaman VSTP mogok, ia turut pula memelopori
pemogokan-pemogokan tersebut. Kemudian ia menjadi kelasi
dari sebuah kapal Rotterdamsc he Lloyd. Sebagai kelasi ia
pernah belajar mengelilingi du nia, ke Australia, Tiongkok,
Jepang, Eropah dan sampai pula ke Amerika. Di New York ia
melihat nasib orang-orang Negro yang mempunyai kedudukan
sosial yang rendah sekali, lebi h rendah daripada orang-orang
kulit putih berwarna lainnya. Di New York misalnya, Bung
Parta bisa menginap di hotel tempat orang-orang kulit putih
menginap, tapi seorang Negro tidak boleh sekalipun orang
hitam itu misalnya menjabat pangkat pro-fessor.
Juga menarik sekali nasib kaum penganggur yang berjuta-juta jumlahnya, yang harus hidup di gubug-gubug, yang
berkeluyuran dalam pakaian compang-camping depan toko-toko pakaian yang mentereng, yan" menderita kelaparan dan
kekurangan di tengah-tengah kekayaan kaum kapitalis yang
bertimbun-timbun banyaknya. Di samping itu nasib kaum
buruh yang hidup di teratak-teratak dan gubug-gubug pula.
Begitulah cerita Bung Parta.
Ia turut aktif bergerak di kalangan serikat buruh perkapalan
yang corak internasional, dan turut juga melopori pemogokan-pemogokan di kalangan mereka.
Ketika kembali ke tanah air, ia menceburkan diri dalam
pergerakan non-koperasi. Beberapa kali ia masuk bui atau
dipanggil oleh PID*) Kali ini untuk persdelict, lain kali untuk
spreekdelict, atau karena ti ndakan-tindakan lain yang
melanggar artikel "Haret"
*) Politieke Inlichtingen Diensl = Jawatan Penyelidik
Politik. dari buku undang-undang hukum pidana Hindia Belanda.
Tapi Bung Parta tetap teguh dalam pendiriannya. Dalam
keradikalannya. Teguh seperti gunung batu.
Memang ia hidup semata-mat a untuk berjuang mengejar
cita-cita dan ideologinya. Sekarang ia tinggal di Garut, tapi
hanya untuk sementara saja, karena baru saja kawin dengan
seorang perempuan berasal dari sana. Karena pengalamannya
yang begitu banyak dan keteguhan hatinya yang begitu kuat,
maka oleh kawan-kawannya Bung Parta dipandang sebagai
"bapa" mereka. Bermacam-macam perasaan menguasai seluruh jiwaku di
tengah-tengah kawan-kawan itu. Kadang-kadang aku merasa
kecil terhadap orang-orang yang telah begitu banyak
pengalamannya itu, kadang-kadang merasa malu atau gelisah
dan tidak senang. Malah-sekali-sekali jengkel. Jengkel pada
diriku sendiri, karena aku tidak seperti mereka. Terutama
sekali, jengkel kepada mereka, karena mereka sangat
berlainan dalam segala-galanya dengan aku.
Akan tetapi pada umumnya aku tertarik oleh percakapan-percakapan mereka itu, oleh keberanian mereka, oleh
kebebasan jiwa mereka. Sore itu kawan-kawan berkumpul di rumah Rusli itu
sebetulnya secara kebetulan saja. Mereka telah mencium
kabar, bahwa di rumah Rusli itu ada Bung Parta. Mencium
kabar seperti semut-semut mencium bau gula. Lantas pada
datang berkerumun mengerumuni Bung Parta. Seperti santri-santri mengerumuni kiyai atau wartawan-wartawan
mengerumuni pembesar yang akan diinter-view.
Kalau pada pertemuan-pertemuan lain Rusli yang biasanya
menjadi "dalang", maka pada sore itu jabatan terhormat itu
telah seratus persen diserahkan kepada Bung Parta. Dan Bung
Parta ternyata lebih berat menderita "penyakit bicara"
daripada Rusli. Ditambah juga ia pandai sekali berkelakar dan
melucu. Kadang-kadang pula memaksa-maksa dirinya melucu.
Pendeknya pada malam itu pusat perhatian semua ialah
Bung Parta. Rusli telah berkisar sedikit ke belakang.
Bagi Anwar hal itu agaknya kurang menyenangkan hatinya.
Sudah biasa ia menjadi pusat perhatian orang. Berusaha untuk
menjadi pusat. Kalau Bung Parta melucu, Anwarlah yang
paling keras tertawa. Kalau Bung Parta mengemukakan
sesuatu teori, Anwarlah yang paling dulu berseru: Betul! Betul!
Dan kalau Bung Parta menyeropot kopi manisnya, maka
Anwarlah pula yang mem- persilakan orang-orang lain meminum kopinya atau
mengambil kue -kuenya. Dia sendiri menjangkau lagi pisang
goreng. Tapi rupanya cara demikian itu belum cukup juga bagi
Anwar. Ia mau lebih mendapat perhatian umum. Barangkali
juga memang ia-mau mengemukakan pendapatnya secara
jujur. Pendeknya, Bung Parta yang selama itu tidak pernah
didebat orang, tiba-tiba mendapat perdebatan dari Anwar.
Perdebatan itu mencetus ketika Bung Parta menguraikan
arti teknik di jaman modern ini. Dengan tegas ia berkata pada
akhirnya bahwa "tekniklah Tuhan kita".
Ucapan itu sangat berkesan dalam hatiku. Aku menoleh ke
arah Rusli, kemudian kepada Kartini dan kawan-kawan
lainnya, tapi semuanya hanya mengangguk-angguk saja
seperti mandor onderneming*) terhadap administraturnya.
Aku sebetulnya mau membantah, akan tetapi pengalaman-pengalaman yang pahit dalam perdebatan dengan mereka itu,
mengunci mulutku erat-erat. Hanya kukuku menggaruk-garuk
dempul kursi makin dalam.
Apakah mereka itu pun sudah menjadi dogmatis seperti aku
dulu terhadap dalil-dalil agama" Tiadakah timbul hasrat dalam
hati mereka untuk menyusul lebih dalam soal itu" Kalau
mereka suka mencemoohkan orang-orang agama dengan
mengatakan bahwa orang-orang alim itu dogmatis, suka
mengunyah-ngunyah dalil-dalil Alquran tapi tidak diselidiki
benar tidaknya, kenapa mereka sendiri pun tidak mau
menyelidiki lebih kritis ucapan-ucapan lain seperti ucapan-ucapan Marx, Lenin, Stalin dan lain-lain"
Sesungguhnya, aku mau mendebat atau sekurang-kurangnya mau bertanya, akan tetapi ketika melihat Rusli dan
Kartini yang nampaknya setuju dengan ucapan Bung Parta itu,
maka pikiran-pikiran dan pertanyaan-pertanyaanku hanya
sampai di dalam hati saja. Ya, siapa tahu, barangkali ucapan
itu memang benar. Barangkali sudah dipikirkan dalam-dalam
oleh mereka. Dan apa salahnya, kalau mereka sudah pernah
mengemukakan pendapat, bahwa Tuhan itu madat, kenapa
sekarang aku harus hirauk an benar, kalau mereka
berpendapat, bahwa Tuhan itu teknik. Mungkin besok atau
lusa akan dikemukakannya pula, bahwa Tuhan itu buku, listrik,
ekonomi, politik atau apa saja. Entahlah.
"Tuhan itu tidak ada. Yang ada ialah teknik. Dan itulah
Tuhan kita! Sebab tekniklah yang memberi kesempatan hidup
kita." Begitulah kata Bung Parta menegaskan lagi uraiannya.
*) perusahaan perkebunan Bermacam-macam perasaan .
"Tidak!" seru Anwar tiba-tiba. "Tidak! Teknik itu cuma alat."
Kawan-kawan pada kaget mendengar suara itu. Dua lusin


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata menentang wajah Mongol yang bulat kekuning-kuningan
itu. Tapi sejurus kemudian kedua lusin mata itu sudah
berpindah lagi arahnya. Sekarang mengarah ke wajah pelaut
yang kehitam-hitaman terbakar dan setengah bopeng itu;
wajah Bung Parta. Dengan tangkas sambil tertawa Bung Parta menjawab,
"Betul kata saudara itu : "cuma alat". Memang, kan Tuhan pun
hanya cuma alat bagi orang-orang yang percaya kepadanya.
Alat yang katanya memberi keselamatan dan kesempurnaan
kepada hidup manusia. Begitu pula teknik bagi kami. Alat yang
memberi kesempurnaan bagi hidup manusia. Dus apa
bedanya" Tak ada toh selain daripada yang satu lebih nyata,
lebih kongkret daripada yang lain. Teknik nyata, tegas
konkret. Tapi Tuhan samar-samar, kabur-kabur, melambung-lambung ke daerah yang tak te rcapai oleh akal, ke daerah
yang gaib-gaib, yang tidak ada bagi kami. Tapi baik teknik
maupun Tuhan, adalah "alat" jua. Betul tidak"'
Orang-orang pada mengangguk, tapi Anwar tangkas lagi
berkata, "Betul, tapi kalau menurut saya, apa artinya alat
kalau tidak ada manusia" Kalau tidak ada aku" Yang harus
mempergunakannya" Apa gunanya mesin-mesin, kalau tidak
ada tangan yang menjalankannya" Oleh karena itu, bagiku,
Tuhan itu adalah aku sendiri, manusia, bukan teknik dan
mesin-mesin." "Baiklah, kalau pendapat sa udara begitu," sahut Bung
Parta, 'Tapi bagi kami, Tuhan itu hanya alat, persis seperti
teknik. Dan karena kami lebih suka pada yang kongkret-kongkret, yang tegas-tegas daripada kepada yang kaburkabur, yang gaib-gaib dan samar-samar, maka kami pilih alat
teknik yang utama daripada alat yang samar-samar seperti
Tuhan itu. Itulah maka bagi kami, cuma teknik yang ada, yang
bisa memberi kesempurnaan hidup kepada
manusia. Bukan Tuhan, Tuhan tidak ada. Tuhan kabur, samar-samar, tidak
jelas, gaib. Oleh karena itu pula tekniklah yang harus kita
kuasai sebagai alat, bukan Tuhan dengan men-doa-doa dan
minta-minta atau membaca-baca kulhu, fatehah atau sahadat
beberapa ratus kali. Sedang ap a artinya, kita tidak tahu!"
"Tapi bagi saya, alat itu tetap tidak ada artinya, kalau tidak
ada kita manusia." "Memang. Dalam hal ini kita sama sekali tidak bertentangan
faham. Hanyalah bagi saya, manusia pun tidak akan banyak
artinya, kalau ia tidak mempergunakan alat yang utama untuk
kesempurnaan hidupnya, yaitu alat teknik itulah! Alhasil,
dengan tidak usah kita bercekcokan tentang apa Tuhan itu
teknik ataukah "aku" seperti kata bung tadi, maka bagi saya
manusia dan teknik seolah-olah tidak bisa lepas satu sama
lainnya, apabila manusia mau mengejar kesempurnaannya."
"Artinya manusia dalam arti yang sesungguh-sungguhnya,
yang berpikir dan berperik emanusiaan," sela Rusli.
"Ya, Ya, (Bung Parta mengangg uk-angguk ke arah Rusli)
tentu saja, manusia yang bisa mempergunakan akal pikirannya
dan yang mengutamakan perasaan peri kemanusiaannya
sebagai dasar hidupnya."
"Ya! (angguk kembali dari Rusli) sebab keluhuran dan
kemajuan teknik akan menghancurkan kemanusiaan, apabila
itu dipergunakan oleh misalnya kaum imperialis untuk
menindas kias-kias dan bangsa-bangsa lain."
"Betul itu!" sahut Bung Parta. "Dan selanjutnya tak usah
kita bikin ribut dan membuang-buang waktu tentang perkara
yang tidak penting seperti soal Tuhan itu. Lebih baik kita
curahkan segenap pikiran dan perhatian kita kepada soal-soal
yang berarti mati hidup bagi kita, soal-soal yang nyata, yang
kongkret, seperti soal kebodohan kita yang masih gelap diliputi
awan buta huruf, pendeknya soal nasib kita sebagai bangsa,
itulah yang terpenting bagi kita. Soal Tuhan dan lain-lain yang
gaib-gaib itu saya serahkan kepada orang-orang tukang
ngelamun. Saya sendiri tidak sudi ngelamun atau diajak
ngelamun. Dus basta!"
"Dur! Dur! Dur! Tabuh di langgar berbunyi untuk sembahyang Magrib.
"Diam!" teriak Anwar tiba-tiba.
Kami kaget. Kusangka Anwar membentak Bung Parta.
Marah sama Bung Parta. Tapi kemudian sambungnya sambil
tertawa. "Kita kan lebih baik mempelaj ari teknik daripada memukul
beduk" Memuja teknik daripada memuja Tuhan. Bukan begitu
Bung"" (menoleh kepadaku).Dia tertawa. Tertawanya begitu aneh, sehingga tidak bisa
kupastikan, apakah dia men cemoohkan modin yang memukul
beduk itu, atau mencemoohkan "Tuhan itu teknik"" atau
mencemoohkan aku" Tapi Bung Parta rupanya sangat setuju dengan "cemoohan"
Anwar itu. Dia pun tertawa. Se mua tertawa. Hanya aku cuma
tersenyum-senyum lagi, tidak mengerti apa yang harus
diketawa-kan Empat bulan yang lalu aku masih meloncat dari kursiku
mendengar tabuh berbunyi itu," lekas-lekas bergegas ke
kamar mandi mengambil air wudhu. Tapi sekarang aku tetap
saja terpaku pada kursiku. Tetap juga terhad ap tertawaan orang yang
mentertawakan modin yang melakukan kewajibannya itu.
Lampu mulai dipasang. Persis pada saat mulai padamnya
api perdebatan antara Anwar dan Bung Parta.
Dari langgar terdengar orang berazan, memanggil umat
untuk memuja Tuhan. Persis pada saat soal Tuhan lenyap dari
ruangan perhatian kawan-kawan.
Mereka terus beromong-omong. Tentang soal-soal yang
nyata, yang kongkret, yang masuk akal. Persis pada saat
orang-orang alim di langga r berbuih-buih mengucapkan
kalimat-kalimat Arab kuno yang tidak dimengertinya.
Baru jam setengah sembilan aku dan Kartini bangkit dan
ber-pamit pergi duluan, seba b hendak nonton bioskop.
Di bioskop perhatianku tidak genap. Kesan perdebatan
antara Anwar dan Bung Parta tadi itu tidak lepas sama sekali
oleh permainan Dorothy Lamour dan Ramon Novarro dalam
"Pagan Love Song."
Kira-kira setengah dua belas bioskop bubar. Penonton-penonton mengalir dari ruangan melalui pintu-pintu "bahaya"
keluar. Berjejal-jejal depan pintu gerbang yang terlalu sempit,
seperti potongan-potongan kayu dan sampah-sampah depan
pintu air. Dan dalam berjejal demikian Kartini erat sekali
memegang tanganku. Orang mendorong-dorong, menghimpit-himpit, me
ndesak-desak. "Heheh!" kata Kartini melepaskan napas panjang, ketika
sudah bebas dari aliran manusia yang berdesak-desak itu.
Angin malam menyongsong kami dijalan besar. Sejuk
membelai muka. Bulan memandang tenang dari langit.
"Sangat segar, ya! (Kartini menghirup hawa) Kita jalan kaki
saja ya, hawanya enak sejuk, dan angin tidak berapa. Terang
bulan lagi! (kepada kusir yang menawarkan delmannya). Tidak
Kang!" "Ya baik!" sahutku. "Kita jalan-jalan saja dulu." Kami
berjalan berdampingan. Mantel Kartini tidak dipakai. "Boleh
saya bawakan"" ujarku dengan galant. Kartini memberikan
mantelnya. Kuselampaikan berlipat dua di atas lenganku.
Sambil berjalan kami me mbicarakan film yang
baru kami lihat itu. Sampai di perapatan Kompa, Kartini
mengusulkan, "Kita jalan terus saja, ya." "Baik," sahutku.
Sudah biasa aku menurutk an segala usulnya.
Jadi kami tidak berbelok ke jalan Pasar Baru dan alun-alun,
melainkan mengambil jalan terus, melalui jalan Suniaraja,
jalan Landraad dan Pieterspark.
Sampai di muka park tersebut, Kartini diam sebentar.
"Kita duduk-duduk dulu"" usulnya pula.
"O baik," jawabku. Terdengar suaraku sangat riang.
Memang aku pun sebetulnya ingin mengemukakan usul
tersebut kepada Kartini. Tapi aku tidak berani. Takut kalau-kalau dipandang kurang senonoh.
Kami masuk park. Mencari bangku yang bagus letaknya.
"Di sana!" kata Kartini, menunjuk ke arah bangku kosong di
bawah sebatang pohon pisang kipas.
Maka tak lama kemudian, aku pun sudah duduk di samping
Kartini. rv'ami hanya berdua orang saja di sana. Bangku-bangku yang dekat kosong semua. Hanya tiga bangku yang
sedikit jauh letaknya, yang masing-masing berjauhan pula
letaknya satu sama lain, berisi . Kabur-kabur terlihat di atas
tiap bangku itu dua tubuh melekat.
Bulan sangat indahnya. Hampir bulat benar. Jernih seperti
piring emas muda yang baru digo sok. Awan kecil-kecil bertitik-titik di bawahnya bergerak-g erak. Membikin bulan hidup.
Sayang aku bukan penyair. Tak sanggup aku melukiskan
keindahan malam itu. Tapi biarpu n begitu, terasa benar olehku
pengaruh yang gaib menimpa ji waku. Mungkin juga kepada
jiwa Kartini. Ia pun terpukau juga agaknya oleh keindahan
bulan itu. Ia duduk bersilangkan tangan di atas dada,
menengadah ke langit menatap bulan.
"Naaah! Kowe lonte! Hai jangan lari!"
Kami sangat terkejut. Menoleh ke belakang, ke arah suara
geram itu datang memben tak dengan tiba-tiba.
"Ampun Tuan! Ampun!" suara perempuan menjerit. "Kejar
itu yang satu lagi!"
Dan suara laki-laki yang geram itu segera disusul oleh bunyi
sepatu berat berketepok-ketep ok di malam sunyi. Segera
disusul pula oleh suara seorang perempuan lagi yang menjerit-jerit dan menangis-nangis minta ampun.
"Lonte! Lonte! Masih berani juga kamu menyelundup!"
Kedua laki-laki itu ternyata agen polisi. Mereka membentak-bentak seperti anjing galak menggonggongi pencuri.
"Kowe tidak mau tahu undang-undang negeri, hah" Ayo
ikut! Binatang jalang!"
Kedua orang perempuan itu menangis terhisak-hisak.
Tak lama kemudian kulihat dua badan berpakaian kehitam-hitaman digiring oleh kedua orang polisi itu. Mereka keluar
dari bawah bayang pohon-pohon yang gelap, menginjak
lorong park yang terang bermandi cahaya, menuju ke arah
kami. Kedua agen polisi itu tidak habis-habisnya membentak-bentak dan mendorong-dorong dan menendang-nendang
kedua mangsanya itu, yang tak henti-hentinya menangis.
Ketika lewat di bangku kami, agen-agen polisi itu menoleh
kepada Kartini, menegas-negas sambil berjalan terus. Yang
satu menyorotkan lampu senternya ke muka kami.
Kurang ajar! gerutuku dalam hati.
Tapi mereka tidak apa-apa. Mereka berjalan terus.
Mendorong-dorong terus. Dan kedua mangsanya terhisak-hisak terus.
"Lagi orang-orang yang malan g," kata Kartini setengah
dalam mulut. Mengeluh ia serta sambungnya, "Korban
kapitalisme! Mereka sampai-sam pai menjual kehormatannya,
karena tak sanggup mencari sesuap nasi. Karena masyarakat
terlalu bobrok, tak sanggup memberi pekerjaan yang halal
kepada orang-orang yang malang itu! (mendesis-desis
suaranya). Cih! Massssyyaraka t bobrok kaya gini. Mana
jaminan hidup untuk warganya!"
Ak u melenguk saja. Oleh peri stiwa yang tiba-tiba itu aku
seakan-akan direnggutkan dari dunia mimpi yang indah,
pindah ke dunia nyata yang pahit.
Beberapa jurus sunyi antara kami berdua. Kartini agaknya
asyik dengan sesuatu pikiran. Entahlah, aku tidak tahu apa.
Masih nasib perempuan-perempuan tadi itu" Masih
masyarakat yang bobrok itu"
Tapi tiba-tiba kudengar ia bertanya, "Sering saudara duduk-duduk di sini""
Terkejut aku mendengar pertanyaan itu. Lantas dengan
tidak bermaksud apa-apa yang insaf, bertanyalah pula aku,
"Kenapa saudara tanya begitu""
"Ah tidak apa-apa," sahut Kartini.
Henine pula sebentar. "Dulu saya agak sering juga duduk-duduk di sini, ketika
saya masih sekolah," ujarku pula.
"Malam"" "Siang. Sekali-sekali juga malam."
Hening lagi. Kartini menyandarkan kepalanya ke atas
sandaran bangku. Menengadah lagi ke langit. Wajahnya yang
cantik itu pudar putih dalam cahaya bulan.
"Bulan ini juga yang menyaksikan saudara dalam park ini
dulu"" Pertanyaan itu yang diucapkannya dengan suara yang
lembut itu, dengan suara yang lembut merayu-rayu, membikin
aku sayu dan sentimentil. Terasa bahwa dalam pertanyaan itu
ada tersimpul sesuatu yang membikin hatiku berdegup agak
deras. Kutekan-te-kan supaya jangan sampai terdengar oleh
Kartini. Akan tetapi pertanyaan itu seakan-akan memberi
keberanian pula kepadaku untuk membukakan hatiku lebih
lebar lagi. Kataku dengan sadar, "Saudara! Bolehkah saya
bertanya sedikit""
Dengan tidak mengangkat kepalanya dari sandaran bangku
Kartini menoleh kepadaku seraya tersenyum lembut, "Apa
saudara"" Melihat ketenangan Kartini itu aku menjadi agak kaku.
Sebentar aku tunduk, tapi segera berkatalah pula, "Bagaimana
peman ... eh pandangan saudara terhadap Saudara Rusli""
"Terhadap dia" (tetap tenang, agak tak acuh malah). Dia
orang baik, kawan baik (kemudian sambil menegakkan
dirinya). Kenapa""
"Ah tidak, sahutku lambat -lambat, seakan-akan mau
mundur kembali karena pertanyaan "kenapa" itu. Tapi
sebetulnya aku itu bukan takut, entahlah, keadaanku adalah
samar-samar antara malu dan takut, atau malu bercampur
takut. Pendeknya akibatnya sama: lidahku menjadi berat
seperti dari timah. Maka seol ah-olah sepatah demi sepatah
kata-kataku yang sudah berkumpul di ujung lidahku itu,
berjatuhan kembali ke dalam hati.
"Kenapa Saudara, tapi eh, tidakkah lebih baik kita saling
tegur dengan nama saja" Perkataan "saudara" itu agak kaku
rasanya, bukan" Panggillah saya "Tin" saja, tak usah pakai
"saudara" lagi. (duduknya lebih tegak lagi). Dan bolehkah
kupanggil saudara "San" saja"" (tersenyum lagi).
Alangkah gembiranya aku deng an usul Kartini itu. Maka
kata-kata yang tadi sudah berjatuhan ke dalam hatiku itu,
seakan-akan sudah pada berlon catan lagi ke atas, naik
berkerumun ke ujung lidah, berd esak-desak mau keluar paling
dulu. Maka terjatuhlah sebuah pertanyaan dari mulutku,
"Bagaimana sebetulnya tali kekeluargaanmu dengan Bung
Rusli itu. Betulkah dia itu kakakmu""
'"Ah memang kami suka meng emukakan kepada orang lain,
bahwa kami adalah kakak-beradik. Itu oleh karena memang
saya merasa seperti adiknya, dan dia seperti kakak saya. Dan
.... (diam sebentar). Dan dia adalah pelindungku."
"Pelindung""
Maka diceritakannyalah kepadaku apa yang telah kudengar


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dulu dari Rusli tentang riwayat hidupnya, tentang ancaman
dan gangguan dari keponakan Arab tua itu.
Pada akhirnya berkatalah ia, "Jadi perhubungan dengan
Bung Rusli itu, hanyalah sebagai kakak-beradik semata-mata."
Aku tetap tidak percaya akan perhubungan "kakak-beradik"
itu dengan tiada perasaan-peras aan lain yang mengikat kedua
hati mereka. Maka herankah, kalau dalam hatiku timbullah
semacam api cemburu terhadap Rusli"
"Saya kira, Saudara itu betul-betul adiknya. Tapi ternyata
bukan. Berbahagia juga rupanya Rusli dengan adiknya seperti
Saudara ini." Mungkin karena suaraku agak cynis, maka agaknya
terasalah pula oleh Kartini bahwa perkataanku itu timbul dari
dasar hati yang cemburu. Sebab ia berkisar duduknya, lebih
dekat lagi kepadaku, seraya katanya setengah berbisik,
"Marah San""
"Ah tidak, kenapa mesti marah""
"Syukurlah kalau tidak marah. Kukir
a marah, karena barusan kau bilang "saudara" lagi kepadaku. Kenapa tidak
suka memanggil aku Tin atau Tini" (lembut). Ah inginlah aku
mendengar nama kasihku itu dari mulutmu."
"Belum cukup dari mulut kakakmu Rusli""
Entahlah, tidak kepercayaanku terhadap mungkinnya
persahabatan "kakak-beradik" itu, agaknya membikin aku
menjadi pahit. Menjadi sinis.
Badan lampai itu bersandar lagi. Kepalanya terkulai lagi di
atas sandaran bangku. Mena tap bulan. Cahaya perak
berbanjiran menggenangi wajahnya. Rupanya ia kecewa
dengan kepahitanku itu. "Kau tidak mengerti aku," bisiknya sambil mengeluh ringan.
Mengapa tidak suka memanggil aku Tin...
Sunyi beberapa jurus. Aku tunduk seolah-olah ada yang ku-pelajari di atas tanah dekat kakiku. Bila aku mengangkat
kepala lagi serta menoleh kepa da Kartini, maka kulihat dia
masih menengadah ke langit, menatap bulan.
"Rupanya kau cemburu kepada dia, San"" ujarnya tiba-tiba
dengan tidak menoleh kepadaku.
Kutatap dia dari samping.
"Bagaimana aku bisa mencintai dia," bisiknya pula, "kalau
aku tahu bahwa untuk dia ha nyalah perjuangannya yang
menjadi tujuan hidupnya. Pada nya perjuangan seolah-olah
sudah tidak menjadi jalan atau syarat lagi, melainkan sudah
menjadi tujuan semata-mata. Ta k ada yang lebih dicintainya
daripada ideologie dan cita-cita politiknya."
Mengeluh ia, sedih agaknya. Tapi sebaliknya, aku sangat
riang. Terlalu riang untuk menginsyafi benar akan alasan yang
dikemuka-kan oleh Kartini itu.
"Jadi kau tidak mencintai dia, Tin""
Suaraku harap-harap cemas. Harap-harap cemas seperti
seorang pengarang muda menunggu putusan redaksi.
Kartini tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke dalam
wajahku dengan sinar mata yang mesra. Seolah-olah berkata
hatinya':; Mengapa belum juga mengerti engkau"!
Maka berdegap deguplah lagi hatiku seperti tadi. Makin
lama. makin keras.......dan dengan tidak terinsyafi lagi olehku",
maka badan yang lampai itu tiba-tiba kurentakkan, sehingga
jatuhlah ke dalam pelukanku. Bibir sama bibir bertemu dalam
kecupan yang mesra. Dan melekat panas dalam pelukan yang
erat. "Lindungilah daku," bisiknya, meletakkan kepalanya di atas
dadaku. Bagian VIII Memang benar kata Rusli, bahwa hidup itu adalah untaian
perubahan, tak ada yang diam, tak ada yang kekal, melainkan
berganti-ganti, berubah-ubah terus, bergerak terus. Panta rei,
seperti kata Herakleitos, mengalir terus.
Sejak malam di taman itu, aku pun sudah merasa menjadi
seorang manusia baru lagi. Du nia pun sudah berganti pula
bagiku. Makin indah. Makin riang. Memberi harapan. Memberi
bahagia. Sesungguhnya, alangkah bahagianya bercinta.
Tapi kini aku bukan lagi hanya bercinta saja, tapi pun tahu,
bahwa aku dicintai kembali.
Dan itulah agaknya yang disebut bahagia sejati: bercinta
dan dicintai. Dengan merasakan sedalam-dalamnya akan kebahagiaan
sejati itu, maka mengertilah aku, mengapa para nabi besar
seperti Budha, Jezus, Muhammad, dan pada jaman modern
sekarang ini Gandhi, selalu menganjurkan cinta dan kasih-sayang di antara sesama makhluk. Sebab bukankah, apabila
seluruh umat sudah cinta-mencintai, sudah kasih-mengasihi,
itu berarti bercinta dan dicintai kembali, berkasih dan dikasihi
kembali" Bukankah keadaan demikianlah yang disebut bahagia
sejati, seperti keadaanku sekarang ini"
Aku yakin, bahwa keadaan kasih-mengasihi dan cinta-mencintai di antara seluruh umat itu, akan berarti bahagia
yang lebih sejati, lebih utama, lebih sempurna, daripada
keadaanku sekarang, sebab keadaanku sekarang hanya berarti
cinta-mencintai dan kasih-mengasihi antara cuma dua orang
saja, antara aku dan Kartini.
Akan tetapi akan mungkinkah dunia semacam itu
terlaksanakan" Mungkinkah surga bahagia yang sejati, yang
sempurna, dan utama itu, bisa tercapai di dunia ini" Dengan
lain perkataan mungkinkah sifa t iri, dengki dan benci hapus
sama sekali dari kamus dunia ini"
Para nabi tersebut menganjurkan syarat mutlaknya kepada
manusia, dan Marx mendorongkannya pula ke depan sebagai
humanisme serta memberi ketera ngan dan alasan-alasan yang
bersifat ilmu pengetahuan dan filsafat, bahwa keadaan itu bisa
tercapai di dalam sesuatu "heilstaat" a
tau "kerajaan Tuhan"
menurut istilah Kitab Injil.
Tapi sesuaikah itu dengan ke nyataan, bahwa di dunia ini
segala-gala selalu berubah, selalu berganti, selalu bergerak"
Jadi pun apabila andaikata "heils taat" atau kerajaan Tuhan" itu
sudah tercapai, tidakkah hal itu pun hanya untuk sementara
saja, sebab harus mengalami pula hukum undang-undang
alam "selalu berganti, selalu berubah" itu"
Entahlah. Tapi biar bagaimanapun juga yang nyata kini,
ialah bahwa aku sekarang suda h berganti keadaan. Keadaan
bahagia sejati. Tak ada di dunia ini yang diam, yang kekal, melainkan
berganti-ganti terus, berubah-ubah terus.
Kalau dulu aku hidup di .dalam ketenangan hati seperti air
di danau, maka sekarang air itu seakan-akan sudah
mendesah-desah penuh dinamik se perti air di sungai gunung.
Dulu tak ada padaku kegiatan untuk mencari kemajuan di
lapangan hidup di dunia yang fa na ini. Segala langkah hidupku
ditujukan semata-mata ke arah hidup di dunia yang baka, di
alam akhirat. Aku (seperti kata Rusli) mengelakkan hidup yang
nyata. Lari ke alam baka, ke alam gaib, ke Tuhan. Itu (kata
Rusli pula) hakekah mistik: lari dari dunia yang nyata. Dan itu
adalah akibat dari kebobrokan yang merajalela dalam
masyarakat feodal dan kolonial yang primitif, yang tidak
memberikan kebahagiaan kepada manusia, yang memaksa
manusia yang lemah jiwanya lari dan mencari pelipur di dalam
mistik. Itulah maka (menurut pendapat Rusli pula) nonsens
orang mengatakan bahwa orang Indonesia itu "mistisch
aangelegd". Orang Indonesia bukan berbakat mistik,
melainkan banyak yang merasa terpaksa dirinya mencari
hiburan di dalam mistik, karena masyarakatnya terlalu bobrok.
Tiap orang dari bangsa apa sa ja mudah berbakat mistik",
apabila keadaan masyarakatnya bobrok dan primitif seperti
keadaan masyarakat bangsa In donesia. Begitulah pendapat
Rusli. Sampai di mana benarnya pendapat itu, aku tidak bisa
menetapkannya. Hanyalah harus kuakui, bahwa "tuduhan"
Rusli bahwa orang yang suka kepada mistik itu adalah seorang
"pelarian" yang lemah jiwanya, yang tidak sanggup
menempuh jalan hidup yang ny ata ini, sangat berpengaruh
kepada pendirianku sekarang. Makin hari makin berkurang
perhatianku ke arah dunia yang baka, ke arah dunia di balik
kubur, bahkan pada akhirnya berubahlah sama sekali
perhatianku itu, dari akherat ke dunia yang nyata kembali.
Kini rajinlah sekali aku belajar. Dan dalam hal ini pengaruh
Kartini besar sekali. Dalam cintaku, aku masih suka beriri hati
atau cemburuan kepada Rusli, kalau Kartini memuji atau
mengagumi kepandaian Rusli. Dan iri serta cemburu inilah
yang memberi dorongan yang luar biasa kepadaku untuk
belajar dengan rajin. Apa yang dulu tidak pernah terjadi, sekarang seolah-olah
menjadi suatu kebiasaan bagiku: mencari buku-buku politik di
toko-toko buku twedehan atau pada tukang-tukang loak.
Sekali-sekali juga, apabila uang ku cukup, kubeli yang baru.
Tapi banyak juga buku yang kupinjam dari Rusli sendiri.
Seperti lima-enam bulan yang lalu aku sangat rajin
beribadat, melakukan sembahyang, puasa dan lain-lain, maka
sekarang aku rajin membaca buku dan bertukar pikiran
dengan Rusli atau kawan-kawan lain.
Sembahyang hanya kadang-kadang saja lagi kulakukan,
yaitu apabila aku merasa terlalu berat tertimpa oleh tekanan
kesedihan yang tak terpikul lagi oleh batinku. Puasa sama
sekali sudah kupandang suatu perbuatan yang sesat. Dan
tidak muntah-muntah atau merasa jijik lagi kalau makan-makan di restoran Cina.
Dan kalau dulu aku suka member i uang kepada fakir miskin,
apalagi kalau hari Jumat pulang dari mesjid, maka sekarang
aku tidak merasa segan-segan lagi mengusir orang-orang
minta-minta. Sebab, bukankah kata Mara, bahwa menolong
orang-orang miskin itu reaksioner, karena dengan perbuatan
demikian itu kata Marx, kita memperlambat jatuhnya
kapitalisme" Memperlambat, sebab kita menahan-nahan
mendalamnya dan meluasnya kebencian orang terhadap
susunan masyarakat sekarang yang harus dirombak menjadi
masyarakat sosialis untuk kemudian meningkat lagi ke
masyarakat komunis yang "serba sempurna" itu.
Juga Lenin di masa kekuasaan Czar, pernah melarang
ka wan-kawan seperjuangannya memberikan bantuan kepada
rakyat yang tertimpa oleh bahaya kelaparan, ialah dengan
maksud supaya kebencian rakyat terhadap susunan
masyarakat dan pemerintahan Czar itu lebih meluas dan
mendalam lagi, sehingga mudah timbul pemberontakan untuk
menggulingkan kekuasaan dan susunan masyarakat yang
bobrok itu. Jadi kenapa aku pun harus memberi apa-apa
kepada fakir miskin Indonesia itu, pikirku.
Pendeknya, kurasai benar perobahan jiwa dan pendapatku.
Artinya kalau aku membanding -banding keadaan diriku
sekarang dan setengah tahun yang lalu.
2 Pernah kukatakan, bahwa bahagia sempurna hanya bisa
tercapai apabila seluruh umat manusia cihta-meneintai dan
kasih-mengasihi. Bila hal itu ba ru hanya berlangsung di antara
dua orang saja seperti halnya antara aku dan Kartini maka
bahagia semacam itu belum lagi cukup, belum lagi sempurna.
Dan teoriku itu dibenarkan oleh praktek yang nyata.
Di dalam kebahagiaanku berkasih-kasihan dengan Kartini
itu ada suatu gangguan yang bagi ku laksana pasir di atas nasi
putih yang sedang kunikmati.
Maksudku adanya Anwar dalam pergaulan kami.
Anwar rapat bergaul dengan Rusli, malah serumah dengan
Rusli. Oleh karena kami suka datang ke rumah Rusli, maka
mau tak mau dengan Anwar pun terpaksalah kami bergaul
dengan agak rapat juga. Akan tetapi, entahlah, terhadap
Anwar itu, sejak mulai berkenalan di restoran dulu, tidak
pernah aku menaruh perasaan si mpati kepadanya. Selalu ada
semacam penghalang di antaraku dengan dia itu, sekalipun
tidak bisa dengan pasti kukatakan, apakah yang menjadi
penghalang itu: benci, iri, de ngki, cemburu" Entahlah mungkin
salah satunya, mungkin pula semuanya. Mungkin juga hal itu
dilantarankan, karena kesan pertama daripada dia kepadaku
sudah menimbulkan perasaan yang tidak enak, yaitu jilatan
matanya kepada Kartini dan segala gerak-geriknya, sampai-sampai kepada sikapnya mengemukakan dirinya sebagai
Tuhan. Tapi di samping itu, yang te rutama merenggangkan hatiku
dari dia itu, ialah caranya ia mengambil sikap terhadap segala
sesuatu di dalam pergaulan hi dup. Untuk dia seolah-olah tak
ada yang baik, tak ada yang benar. Harus dirombak
semuanya, harus dihancurkan. Apalagi segala tali-temali yang
dipandangnya mengikat diri dan pribadi individu, baik tali-temali yang berupa adat-istiadat yang dipandangnya hanya
untuk menjamin kekuasaan kias feodal dan kolonial melulu,
maupun tali-temali yang diadakan oleh agama Islam, yang
dipandangnya "agama borjuis", karena menurut hematnya,
agama Islam itu menyetujui adanya "perdagangan merdeka"
dan "persaingan merdeka" yang memungkinkan
bertumpuknya kekayaan dalam cuma beberapa tangan saja,
sehingga dengan demikian agama Islam tidak menolak
sesuatu masyarakat di mana dalamnya ada golongan-golongan kaum kaya dan kaum miskin.
Semua pendapatnya itu barangkali masih mungkin
kuhargai, apabila ia tidak mengambil sikap dan cara yang suka
menyinggung hati atau mencolok mata orang lain. Ia suka
sekali mendesak-desakkan kehendak atau pendapatnya
sendiri. Dalam segala hal ia sela lu agresif, selalu polemis, dan
mengemukakan dirinya sendiri seolah-olah dialah saja yang
paling pintar, paling penting, paling benar, tak diinsyafinya
agaknya, bahwa kebenaran itu terlalu besar untuk dimonopoli
oleh hanya seorang saja, apabila oleh seorang orang macam
Anwar. Pendeknya tepat juga, kalau Rusli menamakan Anwar itu
seorang individualis anarkhis.
Akan tetapi, walaupun aku tidak begitu membukakan hati
untuk dia itu, namun apabila ada sesuatu permintaan
daripadanya, entahlah, sukarlah rasanya bagiku untuk
menolaknyiL Dan selanjutnya harus kuakui pula, bahwa
sekalipun cara mengemukakannya itu tidak begitu
menyenangkan hati, namun pendapat-pendapat Anwar itu
tidak semuanya kutolak. Banyak juga yang pada hematku ada
benarnya. Bagian IX Kami, Anwar dan aku, dijemput dengan sebuah delman
yang sengaja dikirim oleh ayahku ke halte Wanaraja. Dengan


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

delman itu kami dibawa ke kampung Panyeredan, kira-kira
lima kilometer ke atas. Beberapa hari yang lalu, ak u bercerita kepada Anwar,
bahwa aku hendak menengok orang tuaku di Panyeredan. Aku
mengat akannya begitu saja dengan tiada maksud apa-apa.
Tidak mengira, bahwa Anwar mau ikut. Tentu saja orang
"mudah" seperti aku sukar menolak permintaannya itu.
"Biarlah aku jadi kusir, Kang!" kata Anwar sambil merebut
kendali dari tangan kusir serta menyuruhnya duduk di
belakang bersama-sama aku.
Sepanjang jalan Anwar memegang kendali. Dicambuknya
kuda berkali-kali, sehingga ia la ri cepat-cepat di atas aspal.
"Hus! Husss!!!" teriak Anwar dan kakinya memijak-mijak bel
seperti seorang drummer yang bermain lagu hot. Orang-orang
yang lewat beterbangan ke pinggir seperti ayam ketakutan.
Anwar tertawa gembira. Tapi sebaliknya aku cemas-cemas
menahan napas. Takut delman akan terbalik atau menabrak
tukang jualan sirop. "Pelan-pelan, War!" teriakku, kalau Anwar melarikan
kudanya seperti Caesar mengejar tentara Cleopatra.
Tiba-tiba Anwar menyetop kudanya. Tersentak-sentak kuda
menahan cepatnya. Kakinya bergel osor di atas aspal. Hampir
terpelecok. Busa bercipratan dari mulutnya.
Mau apa tiba-tiba menyetop, pikirku keheran-heranan.
"Kebon siapa ini, sir"" ia bertanya, sesudah kudanya
berhenti, sambil menunjuk ke sebuah kebon jeruk tepi jalan
yang lebat buahnya dan su dah banyak yang kuning.
"Kebon Haji Kosasih,Tuan!"
"Ah jangan sebut Tuan, dong! Bung saja! Bung Anwar!
Begitu namaku! Ya!" Kusir heran bercampur malu.
"Banyak kebon haji itu"" sambung Anwar.
"Banyak juga." "Kalau begitu ia kenyang makan jeruk."
Kusir tertawa seraya katanya, "Masa dimakan semua,
Tuan!" "Ah Tuan lagi, Tuan lagi! Ti dak ada Tuan, semua saudara,
semua sama, sama-sama manusia, tahu! Saya sama bung
kusir sama anak jajahan, jadi sama-sama saudara."
Kusir tertawa heran. Demikian juga aku. Memang kadang-kadang aku heran akan pendirian Anwar itu. Seringkah ia tidak
konsekwen. Ia menganggap dirinya Tuhan, tapi kenapa ia
menganggap orang-orang lain sebagai "sesamanya""
Barangkali ia mau konsekwen dalam arti anarkhismenya,
dalam tidak beraturan dan tidak berketetapannya. Entahlah.
"Untuk apa haji itu tanam jeruk banyak-banyak"" tanya
Anwar pula. "Heheh, tentu saja untuk dijual. Dan ini pun sudah dijual.
"Dikemplang" kata orang di sini . Artinya dijual sedang buahnya
masih kecil, kadang-kadang malah masih berupa bunga.
Dijualnya dengan harga borongan kepada tengkulak-tengkulak."
"O kalau begitu, jeruk itu buka n kepunyaan haji itu lagi."
"Bukan lagi. Sekarang sudah kepunyaan tengkulak haji
Ramli, atau sebenarnya kepunyaan si A Heng."
"Si A Heng" Siapa si A Heng itu"" tanya Anwar pula.
"Babah yang punya modal, yang menyuruh tengkulak-tengkulaknya memborong jeruk-jeruk dari daerah ini dengan
jalan dikemplang tadi itu. Si tengkulak-tengkulak itu
sebetulnya hanya kaki tangan dari Cina yang punya modal itu.
Dalam pada itu Anwar sudah loncat dari delman dan
mengembalikan kendalinya kepada kusir. Dengan beberapa
langkah ia sudah tiba ke ping gir pagar kebun jeruk itu, dan
dengan satu langkah saja ia dengan kakinya yang panjang
seperti Uncle Sam, sudah ada di dalamnya memetik buahbuah jeruk dengan semena-m ena seolah-olah kebun itu
kepunyaannya sendiri. Kusir melongo saja keheran-heranan, sedang aku tertawa.
Sebentar kemudian Anwar sudah kembali lagi dengan
semua kantong bajunya dan cel ananya serta kedua belah
tangannya penuh dengan buah jeruk.
"Nah! Makanlah!" katanya sambil melimpahkan buah-buah
jeruk dari kantong-kantong baju dan celananya ke dalam
delman. "Toh kapitalis punya!" (menggerutu), kemudian sambil
mengupas yang paling besar, "Jalan, sir!"
Sepanjang jalan Anwar makan je ruk. "Kugaras kapitalisme!"
katanya. Tidak kurang dari lima buah ha bis dimakannya. Yang sedikit
masam dibuangnya begitu saja.
"Aku tiru kaum kapitalis ya ng membuang kopi di sungai
Ama-zone!" Begitulah katanya. Bung kusir tidak ikut makan sama sekali. Ternyata ia
seorang menantu kiyai Hamid, yang mengharamkan makanan
curian. "Curi dan curi ada dua macam, Bung!" ujar Anwar, seolah-olah mau membenarkan tindakannya. "Mencuri dari penindas
halal!" Di sini Anwar memperlihatka n lagi tidak konsekwennya.
Agama Islam dicelanya. Dinamakannya "agama burjuis",
karena tidak melarang pedagang merdek
a, konkirensi merdeka yang bisa mengakibatkan bertimbunnya kekayaan dalam
beberapa tangan kapitalis saja. Tapi kalau ia mencela
"perdagangan merdeka", kenapa ia tidak mencela "pencurian
merdeka" seperti yang dilakukannya itu" Kenapa agama Islam
dicelanya, tapi kenapa dirinya sendiri tidak" Itukah barangkah
akibat pendiriannya yang menganggap dirinya Tuhan"
Sedang aku berpikir-pikir demi kian itu, Anwar masih terus
mengunyah-ngunyah jeruknya.
Ayah sedang membaca kitab "Illya Ulum Adin" di serambi
muka, ketika delman berhenti di muka rumahku. Bila
dilihatnya kami datang, maka bangkitlah dia dengan segera
sambil mencopot kacamatanya. Berseru-seru dia, "Bu, Ibu! Ini
anakmu datang!" Ibu menonjol dari dapur. Pada tangan kirinya berayun-ayun
sebuah sinduk sayur. "Tim! Tim! Ini kakakmu datang!"
Fatimah, adik pungutku, menonjol pula dari kamarnya.
Ketiga orang itu memburu ke halaman, memancarkan sinar
matahari pagi dari masing-masing wajahnya.
Aku lekas membungkuk-bungkuk bersalaman secara Sunda
dengan Ayah dan Ibu, yaitu dengan membikin sembah dulu.
Anwar mengangkat bahu melih at aku membikin sembah.
"Anwar, Pa, seorang teman baru."
Ayah mengulurkan tangannya hendak bersalaman. Anwar
menyambutnya secara internasional dengan tangan sebelah.
Begitu pula terhadap Ibu dan Fatimah. Kedua orang tua itu
merasa heran melihat cara Anwar itu.
Semuanya kemudian masuk ruma h. Ayah duluan, diiringi
oleh Ibu, aku dan Anwar. Fatimah menyelinap di antara Ayah
dan Ibu ke depan. Kursi-kursi dan meja di tengah rumah lekas
diberes-bereskannya. Kemudian menghilang ke dapur. Cepat
dan lincah segala gerak geriknya itu.
Kami masuk ke ruang tengah.
Di ambang pintu antara serambi muka dan ruangan tengah,
Anwar tertegun sebentar. Terpancang matanya, melihat
sebuah pigura bergantung di atas pintu.
"Aduh!" katanya seperti yang kagum, "bagus sekali ini!"
Kami sekalian tertegun pula mendengar kekaguman Anwar
itu. Melihat juga ke atas.
"Kau bilang bagus juga"" tanyaku.
"Ya (senyum) pinggirannya! Sayang dipakai bingkaian
lapad! Nanti kubikin sebuah gambar yang bagus sekali
untuknya: lukisan seorang tengku lak, kaki tangan kapitalis
imperialis yang sedang memeras.....jeruk! Haha!"
Aku turut tertawa. Tertawa setengah-setengah. Ayah dan
Ibu tersenyum-senyum tak mengerti.
Sebentar kemudian kami sudah duduk di ruangan tengah.
Ibu di atas dipan seperti biasa be rsimpuh, Ayah di atas sebuah
kursi kulit model kuno yang hitam besar di bawah jam, dan
seperti biasa juga bersila. Anwar dan aku masing-masing di
atas sebuah kursi kayu depan meja makan.
Seperti galibnya di antara orang-orang yang sudah lama
tidak bertemu, maka percakapan kami pun tidak beres teratur,
meloncat-loncat. Apa saja yang teringat lebih dulu, meluncur
lebih dulu dari ujung lidah. Dan seperti biasanya pula, orang
tuaku pun banyak sekali bertanya-tanya. Misalnya: bagaimana
kau sehat-sehat saja" Jam berapa kau berangkat dari sana"
Penuh di kereta api" Bagaiman a dengan bibimu" etc. etc.
Dalam pada itu Fatimah sudah menyajikan minuman dan
kue-kue serta pisang raja yang besar-besar di atas meja. Juga
jeruk yang kuning-kuning.
Setelah ayah dan ibu cukup mengetahui tentang keadaan
diriku dan lain-lain yang menarik perhatiannya, maka
berpalinglah Ayah kepada Anwar. Dan seperti galibnya pula,
ditanyakannya terlebih dahulu tentang orang tuanya.
"Siapa orang tua Anak""
"Ayah saya seorang bupati pensiun," jawab Anwar.
Mendengar keterangan dari Anwar itu, Ayah segeralah
mengubah sikapnya terhadap Anwar. Seolah-olah baginya
Anwar itu dengan tiba-tiba su dah menjadi seorang manusia
lain. "Maaf saja Aom, *) bapa kira...."
"Ah kenapa tiba-tiba bilang Aom" (sela Anwar memotong
kalimat ayah). Saya tidak mau disebut Aom. Saya benci
kepada sebutan feodal itu! Saya bukan Aom!"
Ayah dan Ibu tercengang-cengang mendengar selaan
Anwar itu. "Apa bedanya anak bupati dengan anak Madhapi atau anak
Pak Kromo," sambung Anwar. "Kedua-duanya manusia juga
toh" Dan kedua-duanya anak jajahan juga. Tidak merdeka
sama sekali!" Aku merasa sedikit jengkel karena sikap dan ucapan-ucapan
Anwar itu. Merasa jengkel pula terhadap dirik
u sendiri. Aku tahu dia seorang anarkhis. Te ntu akan menyinggung hati
orang tuaku. Tapi kenapa kubawa juga dia ke sini" Maka
kubelokkan saja percakapan kami ke lain soal.
Dur! Dur! Dur! "Alhamdulillah!" kata ayah, berdiri sambil menepuk-nepuk
abu dari kain pelekatnya. "Asar ini. Mari kita melakukan
kewajiban kita dulu."
"Silakan!" sahut Anwar, duduk terus sambil mengotrekkan
korek api untuk rokoknya, dan kepadaku dalam bahasa
Belanda: "Di mana kamar kita""
"O, ya, di sana!" (menunjuk ke depan).
Aku dan Ibu sudah bangkit. Kemudian Anwar pun bangkit.
Menggeliat sedikit. "Tim! Tim!" Ibu memanggil. "Kama'r untuk kakakmu dan
tamu sudah beres""
"Sudah, Bu!" sahut Fatimah memburu dari dapur.
Anwar dan aku mengikuti Fatimah ke kamar depan.
"Sini Kak!" kata gadis yang lincah itu, seraya membukakan
pintu kamar depan. Agak malu-malu Fatimah itu. Malu-malu
tapi kemayu seperti tiap gadis di hadapan seorang tamu laki-laki muda yang baru dikenaln ya. Anwar menjilat dengan ekor
matanya. Jilatan mata seperti pertama kali kulihat
dijilatkannya ke dalam wajah Kartini dulu.
"Ah, segala berantakan," kata Fatimah pula. Wajahnya
meleng-gak-lenggik seperti daun sirih ditiup angin kecil.
"Ah ini kan beres, Zus!" kata Anwar. Matanya menjilat lagi.
Fatimah makin malu. Makin gugup. Seolah-olah ia berdiri
setengah telanjang depan Anwar.
Pa Emad, bujang ayah menjinjing kopor kami dari ruangan
tengah ke kamar. Setelah kami bersalin memakai piyama, maka pergilah kami
ke kamar mandi. Anwar dengan menggigit sikat gigi dan
dengan handuknya diikatkan pada kepalanya seperti destar
haji. Aku kembali duluan ke kamar. Lalu bersembahyang Asar.
Tengah aku bersembahyang, masuklah Anwar sambil
bersiul-siul lembut. Tertegun ia. Dan ketika aku melakukan
awe-salam, nampaknya ia masih berdiri sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebentar ia memandang aku dalam
wajahku, dan kemudian sambil mengangkat bahunya
melangkah ia ke depan sebuah kaca besar, yang bergantung
di atas sebuah meja kecil. Menyisir. Siulnya berbunyi lagi.
"Kau sembahyang juga, Bung"" ujarnya sejurus kemudian.
Terasa suara ejekan pahit tajam menusuk hatiku. "Aku
sembahyang sekedar jangan me nyinggung hati orang tuaku
saja." "Aneh," sahutnya, menyisir terus. "Aneh" Kenapa aneh""
Anwar tidak menjawab. Menyisir terus. Bersiul terus.
Seakan-akan tak acuh. Tapi dari kaca itu kulihat ia
memperhatikan aku dengan saksama.
"Tidakkah engkau main sandiwara dengan dirimu sendiri,
Bung"" tanyanya sebentar kemudian, sambil menciprat-cipratkan air dari sisirnya.
"Main sandiwara""
"Ya! Main sandiwara!" jawabnya sambil berputar 180 ke
arahku. "Dalam lingkungan pergaulan dengan Bung Rusli,
Kartini dan kawan-kawan lain tidak'pernah sembahyang. Tapi
sekarang, dengan mendadak kau tiba-tiba menjadi orang alim.
Menjadi saleh, oleh karena kau berada dalam lingkungan
orang-orang alim. Mana pendirianmu" Itulah yang kunamakan
sandiwara dengan diri sendiri. Mengelabui mata sendiri. Tidak setia pada pendirian
sendiri. Oportunis, sebab selalu mau tiru-tiru orang lain saja.
Selalu mau menyesuaikan diri kepada keadaan lingkungan,
sekalipun lingkungan itu bertentangan dengan pendirian
sendiri. Itu yang kubenci, sebab dengan begitu sudah
hilanglah kepribadian kita, persoonlijk-heid kita."
Berderai-derai kata-kata itu keluar dari mulutnya. Berderai-daerai seperti peluru dari mulut mitralyur. Ditujukan semua
kepadaku. Kepada hatiku! Tapi tenang saja kujawab, "Memang aku pun tahu, bahwa
aku bermain sandiwara dengan diriku sendiri. Tapi itu
terpaksa." "Itulah yang kubenci. Main pura-pura, dan menipu diri-sendiri. Dan kalau dicela, cuma mengangkat bahu sambil
menjawab; ya, karena terpaksa."
"Tapi aku tidak mau menyakit i hati orang lain. Apalagi
orang tuaku sendiri. Mereka sudah tua."
"Ya, itulah kelemahan Saudara. Saya berpendirian lain.
Saya mau berterus terang dala m segala hal. Dan terhadap
siapa pun juga. Kalau berterus te rang itu menyakiti hati orang


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, itu pun bukan salah saya. Itu salah yang menerimanya
saja. Sebab maksudku bukan mau menyakiti hati orang lain.
Maksudku hanya berterus terang saja. Konsekwen berterus
t erang. Dan berterus terang ya ng konsekwen itu bertentangan
dengan main pura-pura, main sandiwara, main menipu diri
sendiri." Peralihan "aku" menjadi "saya" dan "engkau" menjadi
"saudara" terasa benar dalam hatiku. Anwar nyata merasa
kecewa. Tapi biarpun begitu , aku masih menjawab juga:
"Ya, tapi dalam hidup ini segala-gala meminta cara. Sikap
berterus terang yang baik tidak identik dengan kurang ajar,
atau dengan cara lain yang menyinggung hati orang lain!"
Anwar diam. Entahlah, karena perkataanku itu barangkali
meresap juga ke dalam hatinya, atau mungkin juga, malah
karena ia merasa terlalu "benar" untuk berdebat terus dengan
aku. Aku pun tidak berkata apa-apa lagi. Tunduk saja di atas
tempat tidur dengan kedua bela h kakiku berjuntai ke bawah.
Anwar setengah duduk di atas meja kecil depan jendela
dengan kakinya yang kiri berjengket di atas lantai. Bersiul-siul
lagi ia. Membuang pandanga n lepas ke luar jendela.
Walaupun aku mentenang-tenangkan hatiku, namun
perkataan Anwar dan seluruh sikapnya itu, membikin aku agak
bimbang. Dalam hatiku, aku merasa malu dikatakan "menipu diriku
sendiri". Dituduh "bersandiwara dengan diri sendiri". Tapi
jengkel juga. Seolah-olah aku bukan-orang yang sudah
dewasa. Bukan orang ya ng "berkepribadian".
Jengkel dan malu aku. Tapi te rutama sekali malu terhadap
Kartini dan Rusli. Terbayang-bayang sudah dalam mata hatiku. Anwar sedang
menceritakan peristiwa ini kepada kedua orang itu. Menekan
benar semua itu kepada jiwaku. Ak u tunduk lebih berat lagi ke
lantai, seolah-olah kulihat lubang yang dalam di bawah kakiku.
Tasbeh yang ada dalam tanganku, kususukkan ke dalam
saku, seolah-olah tak akan kupakai lagi. Tapi dengan tidak
kuinsafi benar benda itu tiba-tiba sudah berada lagi dalam
tanganku kembali. 2 Malam itu, setelah kenyang ma kan, Anwar lantas bermohon
diri hendak mencari bantalnya. Sedikit pening kepala, katanya.
Ditanya mau minum aspirin, ia menolak. Menghilanglah ia ke
dalam kamar. Aku beromong-omong terus dengan Ayah, Ibu dan Fatimah.
Kira-kira pukul sepuluh, barulah kami pun mencari tempat
tidur masing-masing. Fatimah membereskan dulu meja yang
penuh dengan mangkok, stople s, puntung rokok dan kulit
pisang. Anwar sudah mendengkur, ketika aku masuk. Aku merayap
ke sampingnya, membungkus diri dalam selimut. Maklum
hawa malam di gunung. Anwar merongkol seperti arit. D^n
ketika tak sengaja kusinggung punggungnya dengan sikut
maka memanjanglah arit itu menjadi linggis. Tangannya
memeluk bantal di bawah kepalanya, sehingga linggis menjadi
palu. Aku tidak bisa memejamkan mata. Hati dan pikiran mengait
ke Bandung. Ke Lengkong Besar. Baru sekali ini aku
meninggalkan Kartini. Kira-kira pukul dua belas, ak u belum juga tidur. Hanya
menguap makin sering. Di kamar samping kudengar Ayah
bersembahyang. Salat taat. Pada akhirnya kudengar dia
berzikir. Lailaha illallah! Lailaha illall ah! Makin lama makin cepat.
Makin cepat makin keras. Tiba-tiba Anwar bangun terperan jat. Duduklah ia. Kemudian
melompat dari tempat tidurnya selaku ada kebakaran.
Rupanya belum pernah ia mendengar orang berzikir sekeras
itu. Dalam sinar lampu minyak tanah yang samar-samar,
kakinya berseok-seok di atas lantai mencari kedua belah
sandalnya. Setelah ketemu, barulah ia dengan menguap dan
menggeliat pergi ke nintu. Tapi ketika ia memutar knop pintu,
kutegur dia, "Mau ke mana, Bung""
"Keluar dulu," sahutnya, membuka pintu. "Mau kencing" Di
bawah meja ada pispot, Bung!" "Ah bukan," sahutnya pula
seraya menutup pintu di belakangnya.
Aneh dia, pikirku. Mau apa dia malam-malam keluar.
Aku duduk. Meruncingkan telinga. Kudengar Anwar
berdehem. Sebentar kemudian kudengar pula dia berkata,
"Aduh Bung (suara kagum) betapa bagus itu lampu-lampu di
kejauhan." Mendengar itu kusiakkan lekas selimut, lantas keluar.
Sejurus kemudian aku sudah berdiri di samping Anwar
meninjau ke bawah, ke pedaratan, tampak berpuluh-puluh
lampu berkelip-kelipan kecil seperti ceka-ceka.
"Itu kampung Wanaraja," kataku, menunjuk ke arah
sekumpulan lampu-lampu yang berkelip-kelip di kejauhan itu.
"Dan itu kampung Sadang!" (m enunjuk pula ke sekumpu
lan lagi). Malam itu malam jernih. Bintang bertaburan di langit, bulan
tidak ada. Kubuang pandanganku ke arah barat-laut. Ke arah
kota Bandung. Ke arah Lengkong Besar. Gunung Guntur
merunduk kehitam-hitaman di bawah beribu-ribu titik-titik
cemerlang pada lengkungan hitam cakrawala. Alangkah
indahnya gunung itu merunduk laksana dirundung rindu.....
Entahlah, melihat keindahan alam itu, serasa hanyutlah aku
turut mengalun dengan arus romantik, meluncur ke laut rindu.
Rindu keoada "orang Lengkong Besar".
"Bagus malamnya, (agak terhar u, suara sedikit gemetar)
sayang bulan tidak ada. Alangkah indahnya, pabila Soma Dewi
turut bersolek menyinarkan ca haya wajahnya berseri-seri
menerangi alam semesta."
Mendengar suaraku yang sayu dan romantis itu,
meloncatlah Anwar tiba-tiba ke halaman. Dan dengan kedua
belah tangannya tertadah ke langit, seperti Nabi Musa
bermohon rahmat selamat kepada Tuhan, ketika dikejar-kejar
oleh tentara Firaun, supaya Laut Merah melingkup kembali,
maka berkatalah Anwar dengan suara yang gemetar dan
mengejutkan hatiku, "O Soma Dewi! Terimalah nyanyi kelana
ini. Kelana Putra yang benc i kepadamu! Benci, karena
dikaulah, O Dewi nan membik in insan menjadi madznun
karena memuja dikau. Mereka mengembara di alam mimpi,
mengalun di alun lamun, buta dan lupa akan dunia nan nyata.
Dunia nan nyata dengan masyarakatnya nan bobrok penuh
ketidakadilan, O Soma Dewi, te rimalah lagu himpitan benci,
dendang puspa tindasan dendam. Tapi O Dewi, ketahuilah,
bahwa benciku adalah suci, bahwa dendamku adalah mulia.
Suci mulia, karena O Dewi, hatiku penuh belas kasihan kepada
insan nan memujamu. Dengan insan nan lemah lunak. Lemah
lunak, karena 'lah luluh jiwanya kauracuni dengan keindahan
wajahmu......" Aku heran, malah agak takut-takut mendengar Anwar itu.
Apalagi ketika ia sekonyong-konyong tertawa meringkik-ringkik sendirian. Akan tetapi segeralah terasa olehku, bahwa
dalam tertawanya itu terdengar suara ejekan dan sindiran
kepada diriku sendiri. Tapi apakah mengejeknya itu karena ia
barangkali benci dan cemburu kepadaku, karena aku menjadi
romantis itu, sebab rindu kepada Kartini" Atau mungkinkah
juga karena ia sebagai seorang seniman modern, tidak suka
kepada romantik dan hal-hal yang sentimentil" Mungkin sekali,
karena ia membenci romantik, sebab pernah ia dulu berterus
terang kepadaku, bahwa katanya romantik ftu: telah
menghancurkan bangsa kita. Romantik dan mistik, begitulah
katanya tempo hari. Dua "tik" itulah yang telah meruntuhkan
bangsa kita, karena si dua "tik" itulah yang telah membawa
bangsa kita lari dari dunia ya ng nyata, sehingga dunia yang
nyata itu berabad-abad dikuasai dan diperas madunya oleh
bangsa-bangsa asing. Tapi biarpun begitu, tidak le bih mungkinkah bahwa ejekan
Anwar itu dilantarankan oleh karena cemburu kepadaku" Lebih
daripada oleh karena ia benci romantik" Entahlah, barangkali
mungkin kedua-duanya. Tak lama kemudian kudengar ia mengajak aku jalan-jalan
sedikit. Aku sebetulnya sega n-segan, karena malam gelap
buta, dan dingin pula. Tapi unt uk menolak pun kurasa kurang
pada tempatnya sebagai tuan rumah. Maka sahutku: Baik!
Keluarlah kami dari halaman. Lantas berjalan di lorong kecil
yang biasa disebut jalan rondaa n. Sepi seluruh alam. Kecuali
jeng- kerik dan katak yang bernyany i-nyanyi dan kadang-kadang
suara celepuk berkueuk dari jauh, tak ada lagi yang terdengar.
Dan kami pun tidak berkat a-kata. "Siapa itu"!"
Aku terkejut. Bukan main! Kudengar suara geram itu
dengan tiba-tiba datang dari sebuah gubug kecil yang samar-samar hitam kelihatan di tepi lorong. Tertegun kami. Hatiku
terasa berdegup dalam kerongkongan.
"Siapa itu"!" suara geram itu mengulang lebih keras.
Aku makin takut. Tapi dengan suara yang tetap, dijawab
oleh Anwar, "Saya!"
"Saya siapa" Dan mau ke mana malam-malam"!"
"Di situ siapa"!" tanya Anwar kembali dengan tidak gentar
sedikit pun, bahkan suaranya agak membentak.
"Kamu tak usah tanya-tanya!" bentak suara geram itu
kembali. Dan bersama bentakan itu, kelihatanlah dalam
cahaya bintang-bintang tubuh seorang laki-laki yang besar
tinggi ke luar dari gubug itu diiring
i oleh seorang laki-laki lagi.
Aku sedikit gentar, tapi Anwar lantas menghadapi kedua
orang yang datang itu. Tanganku sudah bergerak hendak
mencegat Anwar supaya jangan didekati orang-orang itu,
melainkan balik saja lagi ke rumah. Tapi seketika itu juga
Anwar sudah berhadap-hadapan dengan mereka.
"Hai kamu siapa! Kenapa kamu tidak mau bilang!" Anwar
mendahului orang-orang itu dengan suara membentak.
Beberapa jurus kemudian, "Saya, eh... eh kami ronda,
juragan!" sahut orang yang geram tadi itu, seraya mundur dua
tiga langkah dengan agak malu-malu hormat.
Rupanya mereka itu melihat pakaian Anwar, yang memberi
tanda kepada mereka, bahwa yang dihadapi mereka itu
bukanlah orang yang jahat, tapi malah sebaliknya, tentu
seorang "menak" atau orang yang berpangkat. Karena itulah
mereka itu menjadi hormat.
"Saya kira......bukan juragan....."
Aku memburu, sambil bertanya, "Siapa kamu"" "Kami
ronda, juragan." "Ah jangan bilang juragan!" sela Anwar. "Bung saja! Saya
Bung Anwar, dan ini Bung Hasan, anak Pak Wiradikarta."
"O Den Hasan ini! Aduh raden, maaf saja raden! Bapak
tidak tahu. Bapak kira orang sembarang saja. Tidak kira raden."
Berkali-kali orang-or ang itu minta maaf.
Sambil berkali-kali minta ma af, ronda itu mengulurkan
kedua belah tangannya. Mereka bersalaman dengan kami.
Sangat hormat mereka, membungkuk-bungkuk mengangguk-angguk.
"Eh, maaf saja, Raden," katanya lagi.
"Jangan bilang Raden!" ka ta Anwar pula, setengah
membentuk. Tapi kedua orang kampung itu sama sekali tidak
mengerti. "Maklum Den jaman sekarang banyak sekali maling. Itulah
maka biarpun bapak ini suda tua tapi bapa pun masih ikut-ikut
juga meronda bergiliran dengan kawan-kawan sekampung
yang lain. Bapa dan Pak Ahim ini, dapat giliran pada tiap
malam Jumat, yaitu sekarang. Ya Den, sungguh tidak aman
akhir-akhir ini. Banyak maling dan bongkar, Den!"
"Tentu saja, kalau rakyat pada miskin semua, ya dengan
sendirinya banyak maling," kata Anwar. "Dikiranya maling dan
rampok itu akan pada lenyap karena diadakan ronda, haha
(tertawa). Itu kan terlalu picik. Haha!.....Berilah rakyat kemakmuran,
berilah mereka pakaian, berilah mereka mobil . . . lihatlah, dengan
sekaligus saja maling-maling itu akan pada lenyap semuanya.
Dengan sendirinya bapa-bapa ini tidak usah menongkrong lagi
kedinginan menjaga gubug kecil ini."
Ronda-ronda itu mengerti tak mengerti. Mungkin lebih
banyak tidak mengerti daripada mengerti.
Dalam pada itu kukeluarkan rokok dari kantong, lalu
kusodor-kan kepada Pak Artasan dan Pak Ahim (begitulah
nama mereka). Dengan amat riang masing-masing mengambil
satu batang. Tapi dengan royal kutumpahkan rokok itu
semuanya dari bungkusannya."
Pak Artasan dan Pak Ahim sangat gembira. Masing-masing
mendapat delapan batang. "Terima kasih, Raden! Terima kasih! sambil mengangguk-ngangguk dan membungkuk-bungkuk.
"Tak usah bungkuk-bungkuk!" kata Anwar. "Biasa saja!
(kepadaku). Memangnya kita ini le Roi soleil"! Raja
matahari"!" Tak lama kemudian kami masuk gubug Anwar hendak
duduk di atas sebuah bale-bale panjang dari bambu, di
samping Pak Ahim. Tapi sepert i ayam disergap anjing Pak
Ahim loncat dari tempat duduknya.
"Jangan pergi!" kata Anwar, menarik Pak Ahim pada
lengannya. Kainnya yang tidak diikat dengan sabuk, lepas,
sehingga kakinya hampir terjerat olehnya. Semua itu samar-samar masih bisa kulihat dalam cahaya bintang yang beribu-ribu berkedip-kedipan di langit hitam.
"Ah, biarlah bapa duduk di atas dingklik itu saja."
"Di sini!" perintah Anwar. "Tidak boleh Bapa malu-malu.
Kita sama-sama manusia. Dibikin oleh Tuhan dari tanah,
menurut dongeng agama."
Karena dipaksa maka pada akhirnya Pak Ahim pun lantas
duduk di sebelah Anwar. Tapi ia tidak tenang hatinya.
Aku pun sudah duduk juga di atas bale-bale Anwar. Di
sampingku duduk Pak Artasan, suara geram yang tadi
menakutkan aku itu. Tak lama kemudian kami berempat sudah ramai bercakap-cakap. Keempatnya merokok. Api merah kecil bergiliran turun-naik dari mulut ke bawah, dari bawah ke mulut. Tiap kali
dihisap, hidung masing-masing menjadi merah.
Pak Artasan, suara geram tadi itu, ternyata bukan saja
pandai membentak, tapi juga pandai mendongeng. Dongeng-dongeng si Kabayan dan Abunawas banyak dikenalnya. Juga
ia menceritakan pengalaman-pen galamannya ketika kecil yang
sangat lucu. Aku sangat suka mendengarkan orang kampung


Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sederhana itu mendonge ng. Acapkali kami meletus
dalam tertawa yang berderai-derai di malam sunyi, sehingga
sampai ke kampung, dan membikin anjing-anjing di kampung
menggonggong-gonggong. "Sayang orang ini anak jajahan," kata Anwar kepadaku
dalam bahasa Belanda. "Di negeri yang merdeka ia bisa
mengembangkan bakatnya yang lucu itu sebagai seorang
Bernard Shaw atau Pallie-ter."
Siapa kedua badut yang lucu itu, aku tidak tahu. Setahu
aku Chaplinlah yang paling terkenal.
Mendengar Anwar berbahasa Belanda itu, Pak Artasan
agaknya pungak pinguk saja, seperti si Piet mendengar si
Husin ngomong Sunda. "Pak, mau turut saya ke Bandung"" tanya Anwar. "Ah
berabe, Den! Anak saya ada selusin, masih kecil-kecil
semuanya." Menurut keterangannya, Pak Artasan sudah kawin empat
belas kali, dan Pak Ahim yang lebih muda baru delapan kali.
Anwar merasa heran mendengarnya, tapi segeralah katanya,
"Ini adalah semacam "verkapte pr ostitutie"*) satu akibat lagi
dari kapitalisme. Dari kapitalisme dan feodalisme!" "Dari
kebodohan juga"" tanyaku.
"Ya, ya! Ya, ya! Dari kebodohan juga! Dari kebodohan
dan..... dan.... ya dan nafsu kawin ju ga! Tentu nafsu kawin juga!
Pendeknya akibat dari masyarakat yang bobrok."
Api kecil merah berdansa-dansa, seirama dengan kata-kata
yang keluar dari mulut Anwar it u. Sekali membikin garis dari
atas ke bawah yang membentang hanya sedikit saja lamanya.
Hilang lagi ditelan kelam yang hitam.
Bini Pak Artasan semuanya sudah kawin lagi dengan laki-laki lain, kecuali yang sekarang, yang belum bercerai dengan
dia. Juga nomor tujuh kecuali, sebab meninggal.
"Nyi Emeh sangat aneh matinya. Ia mati, karena diminta
kawin oleh Embah Jambrong. Embah Jambrong itu adalah
dedemit atau hantu yang berkuasa di kuburan Garawangsa."
Begitulah cerita Pak Artasan.
"Ah bohong itu!" kata Anwar. "Tidak ada dedemit atau
hantu!" "Sungguh mati, Raden!" Pak Artasan menjawab dengan
suara yang tidak kalah yakinnya dari suara Anwar. "Itu bukan
dongeng!" "Memang itu bukan bohong, Raden!" kata Pak Ahim seolah-olah mau turut meyakinkan An war. "Bukan dongeng!" "Ya!
Ahim pernah melihatnya!"
"Memang, saya pernah melihatnya. Dan bukan saya saja,
tapi banyak lagi kawan-kawan di kampung ini yang sudah
pernah melihat Embah Jambrong itu."
"Ah bohong itu! Bohong! Aku tidak percaya! Tidak! Tidak
mau percaya!" Api kecil merah itu tiga kali membikin garis di udara hitam.
"Bagaimana rupanya""
"Uuh, menakutkan sekali, Den! Mukanya seperti singa.
Rambutnya panjang. Juga jan ggutnya. Tingginya setinggi
pohon kelapa, dan....."
"Bohong! Itu bohong! Itu tahyul saja! Masa ada macam
begitu! Haha!" Tertawa Anwar. Tertawanya seperti seorang guru yang
mendengarkan muridnya sedang berbohong.
"Eh, Pak Artasan, bagaimana Bapak tahu, bahwa bini Bapak
Istana Gerbang Merah 1 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Pedang Kiri 19

Cari Blog Ini