Ceritasilat Novel Online

Padang Bulan 1

Padang Bulan Karya Andrea Hirata Bagian 1


Padang Bulan Andrea Hirata Edit & Convert Jar: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Mozaik 1 Lelaki Penyayang SYALIMAH gembira karena suaminya mengatakan akan memberinya hadiah kejuatan. Syalimah tak tahan.
"Aih, janganlah bersenda, Pak Cik. Kita ini orang miskin. Orang miskin tak kenal kejutan." Mereka tersenyum.
"Kejutan-kejutan begitu, kebiasaan orang kaya. Orang macam kita, ni" Saban hari terkejut. Datanglah ke pasar kalau Pak Cik tak percaya."
Suaminya-Zamzami-tahu benar maksud istrinya. Harga-harga selalu membuat mereka terperanjat.
"Telah lama kau minta," kata Zamzami dengan lembut.
Syalimah kian ingin tahu. Waktu mengantar Zamzami ke pekarangan dan menyampirkan bungkus rantang bekal makanan di setang sepeda, ia bertanya lagi, Zamzami tetap tak menjawab.
"Sudah bertahun-tahun kauinginkan, baru bisa kubelikan sekarang, maaf."
Zamzami meninggalkan pekarangan, namun ia kembali. Ia mengatakan ingin mengajak Syalimah melihat-lihat bendungan.
"Apa Yahnong takkan bekerja""
Yahnong, singkatan untuk ayah bagi anak tertua mereka, Enong. Kebiasaan orang Melayu menyatakan sayang pada anak tertua dengan menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua itu.
Bendungan itu tak jauh dari rumah mereka. Dulu dipakai Belanda untuk membendung aliran anak-anak Sungai Linggang agar kapal keruk dapat beroperasi. Sampai di sana, mereka hanya diam memandangi permukaan danau yang tenang,. Tak berbicara, seperti mereka dulu sering bertemu di situ.
Mereka pulang. Zamzami berangkat kerja dan Syalimah tak memikirkan kejutan itu. Ia bahkan lupa pernah meminta apa dari suaminya. Delapan belas tahun mereka telah berumah tangga, baru kali ini suaminya akan memberi kejutan. Semua hal, dalam keluarga mereka yang sederhana, amat gampang diduga. Penghasilan beberapa ribu rupiah mendulang timah, cukup untuk membeli beras beberapa kilogram, untuk menyambung hidup beberapa hari. Semuanya dipahami Syalimah di luar kepala. Tak ada rahasia, tak ada yang tak biasa, dan tak ada harapan yang muluk-muluk. Tahu-tahu, macam bakung berbunga di musing kemarau, suaminya ingin memberinya kejutan.
Syalimah dan Zamzami berjumpa waktu pengajian ketika mereka masih remaja. Zamzami yang pemalu, begitu pula Syalimah, menyimpan rasa suka diam-diam. Zamzami tak pernah berani mengatakan maksud hatinya, dan Syalimah takut menempatkan diri pada satu keadaan sehingga lelaki lugu itu dapat mendekatinya.
Namun, lirikan curi-curi di tengah keramaian itu kian hari kian tak tertahankan. Zamzami mengurangi kecepatannya menambah juz mengaji, padahal ia membaca Alquran lebih baik dari ia membaca huruf Latin. Tujuannya agar makin lama dapat berada di dalam kelas yang sama dengan Syalimah. Berulang kali ditanyakannya pada ustaz hal-hal yang ia sudah tahu. Dibentak bebal, ia tersenyum sambil menunduk. Adapun Syalimah, berpura-pura bodoh membaca tajwid, dimarahi ustaz, biarlah. M aksudnya serupa dengan maksud Zamzami. Semua taktik yang merugikan diri sendiri itu, jika boleh disebut denang satu kata, itulah cinta.
Sungguh indah, atas saran ustaz-lantaran mencium gelagat yang tak beres antara dua murid mengaji yang tak tahu cara mengungkap cinta itu-mereka malah dijodohkan.
Sejak mengenal Zamzami, Syalimah tahu ia akan bahagia hidup bersama lelaki itu, meski, ia juga mafhum, ada satu hal yang harus selalu ia hindari: minta dibelikan apa pun. Sebab lelaki baik hati yang dicintainya itu hanyalah lelaki miskin yan berasal dari keluarga pendulang timah. Sebaliknya, Syalimah tak perlu dibelikan harta benda. Ia telah punya Zamzami dan itu lebih dari cukup. Zamzami adalah hartanya yang paling berharga, melebihi segalanya. Lelaki itu amat penyayang pada keluarga sehingga Syalimah tak memerlukan apa pun lagi di dunia ini.
Menjelang tengah hari. Sebuah mobil pikap berhenti di depan rumah. Dua lelaki mengangkat benda yang dibungkus dengan terpal dari bak mobil itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Syalimah bertanya-tanya. Mereka tak mau menjawab
"Malam ini ada pasar malam di Manggar, Mak Cik," kata salah satu le laki itu sambil tersenyum.
Syalimah memandangi benda itu dengan gugup, tapi gembira. Pasti
benda itu yang dimaksud suaminya dengan kejutan. Rupanya sungguh luar biasa pengaruh sebuah kejutan. Sekarang ia paham mengapa orang-orang kaya menyukai kejutan. Kucing-kucingan yang lucu melingkari benda itu, menggodanya untuk mendekat. Syalimah melangkah maju, namun di tengah jalan, ia ragu. Ia kembali ke ambang pintu.
Syalimah menertawakan kelakuannya sendiri karena keranjingan menikmati sensasi sebuah kejutan. Lalu, ia berpilir, kejutan itu tak sanggup ia atasi dan terlalu indah untuk ia nikmati sendiri. Ia akan menunggu Enong, putri tertuanya itu, pulang dari sekolah. Mereka akan menikmati kejutan itu berdua. Tentu akan sangat menyenangkan.
Namun, Syalimah tak tahan untuk segera tahu apa yang dibelikan suaminya untuknya, sedangkan Enong, baru akan pulang sore nanti. Sesekali ia melongok ke arah benda misterirus itu. Ia memberanikan diri dan melangkah pelan mendekatinya. Di depan benda itu jantungnya berdebar-debar. Ia memejamkan mata dan menarik terpal. Ia membuka matanya dan terkejut tak kepalang melihat sesuatu berkilauan: sepeda Sim King made in RRC!
Syalimah terhenyak. Ia tak menyangka sepeda itu dihadiahkan Zamzami untuknya sebagai kejutan. Bukan hanya karena sepeda itu akan menjadi benda paling mahal di rumah mereka, melainkan karena ia memintanya hampir empat tahun silam. Itu pun sesungguhnya bukan meminta. Waktu
mengandung anak bungsunya, ia berkisah pada Zamzami, betapa dulu ia bahagia sering dibonceng almarhum ayahnya naik sepeda ke pasar malam, dan di sana dibelikan balon gas.
"Kalau anak ini lahir," kata Syalimah sambil bercanda. "Sepeda kit a tak cukup lagi untuk membonceng anak-anak ke pasar malam." Karena anak mereka akan menjadi empat, sedangkan mereka hanya punya dua sepeda reyot.
Syalimah tak dapat menahan air matanya. Ia terharu mengenang suaminya telah menyimpan percakapan itu selama bertahun-tahun dan memegangnya sebagai sebuah permintaan. Betapa baik hati lelaki itu. Lalu, Syalimah terisak begitu ingat bahwa hari itu Sabtu dan malam nanti ada pasar malam di Manggar. Kini ia paham maksud lelaki yang mengantarkan sepeda itu. Suaminya pasti merencanakan berangkat sekeluarga naik sepeda ke pasar malam, seperti dulu ayah Syalimah selalu memboncengnya naik sepeda ke pasar malam.
Selanjutnya, Syalimah hilir mudik di dapur menghitung bagaimana membagi anak -anaknya pada tiga sepeda. Sang ayah, satu-satunya lelaki di dalam keluarga, berarti yang paling kuat, akan membonceng keranjang pempang dan di dalamnya akan dimasukkan si nomor dua, gadis kecil yang bongsor itu.
Si nomor tiga, yang cerewet, akan dibonceng oleh kakanya, Enong, dan si bungsu akan dibonceng Ibu, naik sepeda baru Sim King made in RRC, hadiah kejutan itu. Tak terperikan bahagianya perjalanan ke pasar malam itu nanti. Meski telah menetapkan pengaturan pembagian sepeda, Syalimah berulang kali menghitungnya di dalam hati, karena perhitungan itu menimbulkan perasaan indah dalam hatinya.
Kemudian, Syalimah tak sabar menunggu suaminya pulang. Ia berdiri di ambang jendela, tak lepas memandangi langit yang mendung dan ujung jalan yang kosong. Ia ingin segera melihat suaminya berbelok di pertigaan di ujung jalan sana, pulang menuju rumah, ia akan menyongsongnya di pekarangn dan mengatakan betapa indahnya sebuah kejutan. Ia mau mengatakan pula bahwa mulai saat itu meraka harus lebih sering memberi kejutan karena kejutan ternyata indah.
Syalimah gembira melihat sesorang bersepeda dengan cepat. J ika orang itu-sirun-telah pulang, pasti suaminya segera pula pulang, namun, sirun berbelok menuju rumah Syalimah dengan tergesa-gesa. Buruh kasar itu langsung masuk dan dengan gemetar mengatakan telah terjadi kecelakaan. Zamzami tertimbun tanah. Syalimah terpaku di tempatnya berdiri. Napasnya tercekat. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Sirun memintanya menitipkan anaknya-anaknya kepada tetangga dan mengajaknya ikut ke tambang.
Sampai di sana, Syalimah mendengar orang berteriak-teriak panik dan menggunakan alat apa saja untuk menggali tanah yang menimbun Zamzami. Para penambang yang tak punya cangkul menggali dengan tanggannya, secepat-cepatnya. Syalimah berlar
i dan bergabung dengan meraka. Ia menggali tanah dengan tangannya sambil terseda-sedak memanggil-manggil suaminya. Keadaan menjadi semakin sulit karena hujan turun. Tanah yang menimbun Zamzami berubah menjadi lumpur. Para penambang berebut dengan waktu. Jika terlambat, Zamzami pasti tak tertolong dan Zamzami mulai memasuki saat-saat tak tertolong itu. Syalimah menggali seperti orang lupa diri sambil menangis, sampai berdarah ujung-ujung jarinya. Ia berdoa agar Zamzami tertimbun dalam keadaan tertungkup. Penambang yang tertimbung dalam keadaan telentang tak pernah dapat diselamatkan. Galian semakin dalam, Zamzami belum tampak juga. Tiba-tiba Syalimah melihat sesuatu. Ia menjerit.
"Ini tangannya! Ini tangannya!"
Orang-orang menghambur ke arah tangan itu. Syalimah gemetar karena tangan yang menjulur itu terbuka. Suaminya telah tertimbun dalam keadaan telentang. Para penambang cepat-capet menarik Zamzami. Ketika berhasil ditarik, lelaki kurus itu tampak seperti tak bertulang. Tubuhnya telah patah. Pakainya compang-camping menyedikan. Zamzami diam tak bergerak. Semuanya telah terlambat.
Syalimah tersedu sedan. Ia bersimpuh di samping zamzami yang telah mati. Ia mengangkat kepala suaminya ke atas pangkuanya. Kepala itu terkulai seperti ingin bersandar. Syalimah membasuh wajah Zamzami dengan air hujan. Lalu tampak seraut wajah yang pias dan sepasang mata yang lugu. Syalimah mendekap lelaki penyayang itu kuat-kuat. Ia beratap-ratap memanggil suaminya.
Mozaik 2 Bahasa Inggris SELAIN menggabungkan nama ayah dan nama anak tertua, orang Melayu udik biasa pula menamai anak dengan bunyi senada seirama. Jika nama anak tertua Murad, misalnya, tujuh orang adik di bawahnya adalah Muzir, Munaf, Munir, Muntaha, Munawaroh, Mun'im, dan Munmun. Lantaran anak sangat banyak, hal itu kerap menimbulkan kekacauan. Sering kali nama-nama itu tertukar. Dalam keadaan panik, umpama, salah satu anak menyiramkan minyak tanah pada kambing yang akan dikurbankan pada hari raya Idul Adha, dalam rangka membuat obor-ini berdasarkan pengalaman pribadiku-ibunya hanya bisa berteriak histeris, "Mun! Mun! Mun!" sambil berp ikir keras mengingat-ingat Mun yang mana yang berkelakuan macam setan itu.
Ajaibnya budaya. Selidik punya selidik, ternyata huruf awal nama anak sering tak ada hubungannya dengan huruf awal nama ayah-ibunya. Artinya, huruf awal itu dipilih suka-suka saja sesuai suasana hati. Maka dapat disimpulkan bahwa kekacauan itu disengaja dan merupakan bagian dari seni punya anak banyak, dan kasih sayang tak terperikan pada anak yang berderet-deret macam pagar itu.
Lalu, ada pula kebiasaan yang unik. Anak muda sering dipanggil Boi. Ini tidak ada hubungannya dengan Boy dalam bahasa Inggris sebab anak perempuan pun sering dipanggil Boi. Namun, Enong adalah kisah yang berbeda. Enong adalah panggilan sayang untuk anak perempuan. Begitulah cara Zamzami memanggil anak tertuanya.
Enong duduk di kelas enam SD dan merupakan siswa yang cerdas. Ia selalu menjadi juara kelas. Pelajaran favoritnya bahasa Inggris dan cita-citanya ingin menjadi guru seperti Bu Nizam.
Ibu Nizam adalah guru senior. Ia berasal dari Pematang Siantar. Puluhan tahun lampau ia ditempatkan pemerintah untuk mengajar di kampung kami. Ia sangat dihormati karena keberaniannya merantau demikian jauh dalam usia sangat muda, demi pendidikan. Dialah guru bahasa Inggris pertama di kampung kami.
Zamzami amat bangga akan cita-cita Enong. Ia ingin Enong mendapat kesempatan pendidikan setinggi-tingginya. Sekolah Enong adalah nomor satu baginya. Selelah apa pun bekerja, ia tak pernah lalai menjemput Enong. Sering Zamzami bercerita pada Sirun.
"Run, dapatkah kaubayangkan, anakku mau menjadi guru sebuah bahasa dari barat""
Sirun takjub. "Kita-kita ini, Run, bahasa Indonesia pun tak lancar."
"Bahasa dari Barat" Bukan main, Bang, bukan main."
Kemudian menjadi guru dari sebuah bahasa yang asing dari Barat itu yang membuat Zamzami tak pernah mengeluh meski harus bekerja membanting tulang seperti kuda beban. Ia berusaha memenuhi apa pun yang diperlukan Enong untuk cita-cita hebatnya itu.
Zamzami sering mendengar En
ong berbicara soal kamus bahasa Inggris. Dari nada suaranya, ia tahu putrinya ingin sekali punya kamus. Sebaliknya, meskipun masih kecil, Enong paham bahwa ayahnya miskin. Ia tak pernah minta dibelikan kamus, tak pernah minta dibelikan apa pun.
Zamzami sendiri pernah melihat kamus yang hebat di pedagang buku bekas kaki lima di Tanjong Pandan. Kamus itu adalah Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Sejak melihat kamus itu dan mengenang keinginan putrinya, membeli kamus telah menjadi impian Zamzami dari hari ke hari. Ia bekerja lebih keras di ladang tambang dan menambah penghasilan dengan berjualan air nira setiap ada pertunjukan orkes Melayu. Hari Sabtu ia ke laut mencari kerang untuk dijual di pasar ikan. Hari Minggu ia berjualan tebu yang ditusuk dengan lidi. Setelah berbulan-bulan seperti itu dan memfokuskan pikirannya hanya untuk membeli kamus bahasa Inggris untuk anaknya, akhirnya Zamzami punya uang lebih. Dengan gembira ia berkata,
"Mulai sekarang, jangan kau cemas lagi, Nong, Ayah akan belikan kamus untu kmu. Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar kata!"
Enong terbelalak. "Satu miliar"" napasnya tertahan.
"Iya, Nong, tak kurang dari satu miliar kata!"
Wajah Enong pucat. Ia terpana karena akan segera punya kamus dan karena kamus itu berisi satu miliar kata! Lalu, ia saling menyentuhkan ujung-ujung jarinya dan mulutnya komat-kamit menghitung jumlah nol dalam satu miliar.
"Satu miliar itu banyak sekali, Nong. Ayah pun tak tahu berapa jumlah nolnya. Tujuh belas barangkali."
Mulut Enong masih komat-kamit dan jarinya masih sibuk menghitung jumlah nol dalam angka satu miliar.
Esoknya, mata Enong merah. Zamzami tahu, anaknya pasti tak bisa tidur karena terus -menerus membayangkan kamus itu. Maka, tanpa ambil tempo, ia segera mengajak Sirun ke Tanjong Pandan. M ereka bersepeda hampir seratus kilometer.
Senangnya Zamzami mendapati kamus yang dilihatnya dulu masih ada di pedagang kaki lima buku bekas itu. Terbayangkan sinar mata anaknya nanti jika menerima kamus itu. Ia menimang-nimang dan terkagum-kagum pada tulisan di sampulnya Kamus Bahasa Inggris Satu miliar: 1.000.000.000 Kata. Diikutinya pelan-pelan angka nol itu. Baru ia tahu bahwa jumlah nol dalam satu miliar ada sembilan.
Zamzami sempat heran melihat kamus itu ternyata ringan dan tipis saja. Padahal, isinya satu miliar kata. Jiwanya yang lugu berkata, mungkin yang dimaksud pengarang buku itu bukan satu miliar kata, tapi huruf. Pengarangnya mungkin salah tulis, seharusnya satu miliar huruf. Tapi, andai kata jumlah huruf pun, masih tetaplah buku itu terlalu tipis. Sekali lagi, hatinya yang putih, tetap saja membela penyusun kamus itu, Drs. It. Siapa, M.B.A., B.A., yang sama sekali tak dikenalnya.
"Kurasa kamus ini macam buku Kho Ping Hoo, Run," katanya pada Sirun.
"Ini pasti baru jilid satu. Nanti kalau sudah lengkap empat puluh delapan jilid, barulah jumlah katanya tergapai satu miliar. Macam mana pendapatmu, Run""
"Kemungkinan besar, Bang."
Jika menyangkut buku, Sirun serupa tikus mendengar pembicaraan ayam. Gelap. Soal begitu, ia akan percaya apa pun yang dikatakan oleh siapa pun, sebab ia tak pernah sekolah.
"Tak apalah, berarti aku masih harus menabung. Bukan begitu, Run"
"kemungkinan besar, Bang."
Zamzami malah senang karena akan memiliki 48 jilid kamus. Baginya, kamus-kamus itu dapat menjadi koleksi yang berharga. Mungkin pula ia berpikir; semakin banyak ia dapat membelikan anaknya kamus, semakin anaknya akan senang. Ia juga kagum pada orang yang mampu membuat kamus. Ia menatap deretan gelar sarjana Drs. Siapa yang menyusun kamus itu sambil membayangkan anaknya menjadi guru bahasa Inggris.
"Enong bisa menjadi guru bahasa Inggris yang baik dengan kamus ini, Run"
Sirun mengangguk-angguk dengan khidmat.
"Kemungkinan besar, Bang."
Pedagang buku bekas kaki lima tertarik melihat semangat Zamzami, yang tampak seperti baru menemukan benda ajaib. Ia bertanya, mengapa begitu riang"
"Buku ini untuk anakku, Pak Cik."
"Berarti hadiah untuk anak. Biar lebih berkesan, orang di kota biasa menulis sesuatu di halaman muka. Tanda tangan, ucapan salam, ucapan selamat ulang tahun, atau
apa saja." "Begitukah""
"Anak perempuankah""
"Iya, Pak Cik, sudah kelas enam."
"Elok kalau disampuli dengan kertas kado yang cantik. Anak perempuan akan senang hatinya."
Mata Zamzami berbinar-binar. Ia pergi sebentar, lalu kembali membawa kertas kado dan menyampulinya di depan pedagang kaki lima itu. Kemudian, ia minta diajari cara menulis ucapan di halaman muka itu. Setelah berunding cukup lama, ia menemukan kalimat yang ingin ditulisnya. Ia mengukirkannya dengan pena, kata demi kata.
Sementara itu, Enong hilir mudik di beranda menunggu ayahnya kembali dari Tanjong Pandan. Seharian ia tak enak makan karena pikirannya tak dapat lepas dari Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata itu. Ketika ayahnya tiba, ia menyongsongnya di pekarangan, ia melonjak-lonjak senang menerima kamus itu.
"Ini baru jilid satu, Nong. Nanti kalau ada sambungannya, Ayah belikan lagi," kata ayahnya sambil menyeka keringat.
Zamzami pun gembira karena pendapat pedagang buku bekas kaki lima itu semuanya benar. Enong berulang kali memuji indahnya sampul kamus itu. Zamzami mengatakan bahwa ia sendiri yang memilih kertas sampul itu da nada tulisan untuk Enong di halaman muka. Enon g membukanya dan menemukan tulisan itu. Ia membacanya.
Buku ini untuk anakku, Enong. Kamus satu miliar kata.
Cukuplah untukmu sampai bisa menjadi guru bahasa Inggris seperti Ibu Nazam. Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda, Ayahmu Enong terdiam, lalu ia menangis untuk sebuah alasan yang ia tidak mengerti.
Mozaik 3 Kemarau BARANGKALI karena hawa panas yang tak mau menguap dari kamar-kamar sempit yang dimuati tujuh anak. Barangkali lantaran mertua makin cerewet karena gerah. Barangkali karena musim kemarau telanjur berkepanjangan, kampung kami menjadi sangat tidak enak setelah bulan Maret sampai Desember.
Tidak ada yang betah di rumah, dan makin menyusahkan karena tak ada hiburan di luar. Adakalanya biduanita organ tunggal meliuk-liuk seperti belut sawah di atas panggung berhias pelepah kelapa di pinggir pantai, lebih menyanyikan maksiat daripada lagu. Tapi itu hanya lama-lama sekali, pun kalau harga timah sedang bagus -yang amat jarang bagus.
Tak ada galeri seni, gedung bioskop, kafe-kafe, atau pusat perbelamjaan untuk dikunjungi. Yang sedikit menarik perhatian hanya sebuah jam besar di tengah kota dan jam itu sudah rusak selama 46 tahun. Jarum pendeknya ngerem mendadak di angka lima. Jarum panjangnya menghembuskan napas terakhir di pelukan angka dua belas. Jarung detik telah minggat dengan perempuan lain, tak tahu ke mana. Melihat jam itu sejak kecil aku punya firasat bahwa jika nanti dunia kiamat, kejadiannya akan tepat pukul lima.
Namun, tak pernah kami risaukan semua itu, karena kami punya museum, dan museum kami paling hebat di dunia ini. Tak ada yang bisa menandinginya, sebab ia museum sekaligus kebun binatang.
Baiklah, mari bicara soal musem. Di sana ada sebuah ruangan yang jika dimasuki harus membuka sandal dan mengucap Assalamualaikum, demi menghormati tombak-tombak karatan, peninggalan para hulubalang antah berantah. Uang kecil yang diselipkan ke dalam kotak di samping tombak -tombak itu dapat menyebabkan pendermanya awet muda dan enteng jodoh. Anak-anak yang tak sengaja menunjuk tombak itu harus menghisap telunjuknya, agar tidak kualat.
Dari jendela museum, istimewa sekali, tampak hewan-hewan berkeliaran. Itulah kebun binatang kami. Setiap minggu tempat itu dipenuhi orang yang ingin melihat kijang yang saking buduknya sudah tampak serupa kambing. Ada pula unta gaek yang menderita sakit batuk kering sedium 4. Setiap kali dia batuk, nyawanya seperti mau copot. Ada zebra jompo yang hanya memandang ke satu jurusan saja. Tak paham aku apa yang tengah berkecamuk di dalam kalbunya. Ada orang utan uzur yang sudah ompong dan tampak terang-terangan menafsui bebek-bebek gendut di kolam butek sebelah sana. Tak ada malu sama sekali. Lalu ada singa tua kurapan bermata sendu macam penyanyi dangdut. Singa itu sepertinya sangat benci pada hidupnya sendiri. M ereka muak melihat orang-orang udik yang menonton mereka di dalam kandang. Konon, mereka dihibahkan ke k
ampung kami karena telah apkir dari sebuah kebun binatang di Jawa, di mana mereka dianggap tidak sexy lagi, namun, seperti segala sesuatu yang lalu kami terima apa adanya, seperti segala sesuatu tak pernah berubah di kampung kami, makhluk -makhluk hidup segan mati tak mau itu selau punya tempat di dalam kebun binatang kami, di dalam hati kami. Hewan hewan itu menguap sepanjang hari, mereka hanya seekor saja dari jenisnya masing-masing, jadi mereka adalah pejantan bujang lapuk seumur-umur. Seungguh mengerikan hidup ini kadang-kadang.
Jika kemarau makin menggelegak, aku menyingkir dan duduk melamun dibelai angin di sebuah kapal keruk yang termangu-mangu di pinggir sungai. Kapal itu hanya tinggal segunung besi rongsokan. Mesin besar nan digdaya, dulu selalu dikagumi anak-anak Melayu.
Saat maskapai Timah Berjaya, jumlahnya puluhan. Mereka mengepung kampung, menderu siang dan malam, mengorek isi bumi untuk meraup timah. Kini, satu-satunya yang tertinggal, tempatku melamunkan nasib ini, teronggok seperti fosil dinosaurus.
Kapal keruk pernah menjadi pendendang irama hidup kami. Ia adalah bagian penting dalam budaya kami. Karena semua lelaki angkatan kerja bekerja bergantian selama 24 jam. Takkan pernah kulupa, setiap pukul dua pagi truk pengangkut buruh kapal keruk menjemput ayahku. Kudengar suara klakson. Ayah keluar rumah di pagi buta itu sambil menenteng rantang bekal makanan dari Ibu.
Jika melihatku terbangun, Ayah kembali untuk mengusap rambutku dan tersenyum. Dari dalam rumah kudengar Ayah mengucapkan salam pada kawan-kawan kerjanya yang telah berdesakan di dalam bak truk. Kawan-kawan kerjanya itu adalah ayah-ayah dari kawan-kawanku. Lalu kudengar gemerencing besi saling beradu, kemuadian truk menggerung meninggalkan rumah.
Sering aku minta dibangunkan jika Ayah berangkat kerja pukul dua pagi itu. Karena aku ingin melihat Ayah dengan seragam mekaniknya yang penuh wibawa, yang ada taspen di sakunya, yang berbau sangat lelaki.
Ayah melangkah tangkas sambil menyandang ransel berisi tang, ragum, dan sekeluarga kunci inggris. Kunci-kunci baja putih itu jika dibariskan akan membentuk satu segitiga yang sangat hebat. Kubayangkan, tugas-tugas yang berat diemban oleh bapak kunci yang paling besar, dan tugas-tugas sepele adalah bagian anak-anaknya.
Aku senang melihat Ayah melompat ke dalam bak truk. Dia, pria yang gagah itu, penguasa sembilan kunci Inggris anak-beranak itu, adalah ayahku, begitu kata hariku. Lalu aku tidur lagi, sambil tersenyum.
Berlangsung terus seperti itu, hari demi hari, selama bertahun -tahun, tak berubah. Setelah dewasa, jika secara tak sengaja aku terbangun pukul dua pagi, di negeri mana pun aku berada, se akan kudengar suara klakson mobil truk, lalu menguar suara orang-orang mengucapkan salam dan gemerencing besi saling beradu, aku termangu. Kerinduan pada Ayah menjadi tak tertanggungkan. Tanpa kusadari, air mataku mengalir, mengalir sendiri, tak mampu kutaha-tahan.
Mozaik 4 Gamang JENAZAH Zamzami digotong pulang dari ladang tambang. Setelah berunding singkat, diutuslah Sirun untuk menjemput Enong di sekolah. Bu Nizam tengah mengajar bahasa Inggris ketika Sirun tiba. Ia terkejut mendengar berita buruk itu.
Sirun sedih melihat Enong yang tengah menekuri bukunya dengan tekun. Ia mendekatinya. Seisi kelas memperhatikannya. Ia mencoba menahan persaannya ketika mengajak Enong pulang. Enong bertanya mengapa diajak pulang. Katanya, ia sedang belajar dan ia senang pelajaran bahasa Inggris.
"Nanti saja, sampai di rumah, kau akan tahu." Enong bergeming. Ia tak mau pulang. Katanya, ia sedang belajar dan ia senang pelajaran bahasa Inggris.
Sirun mendesaknya berkali-kali. Ia beranggapan tak baik mengabarkan petaka yang menimpa keluarga anak kecil itu di depan teman-temannya.
"Harus ada alasan, Pak Cik," ujar Enong dengan jenaka.
"Harus ada alasan jika seseorang meninggalkan pelajaran, dan alasan itu harus kuat." Pendapat itu disambut riuh persetujuan teman-temannya. Apalagi, katanya, ia baru dibelikan ayahnya kamus. Ia kemudian mengatakan tentang menariknya pelajaran behasa Inggris yang tengah diajarkan Bu Nizam.
"Pelajaran tentang anggota keluarga, Pak Cik," ia memberi contoh.
"Mother artinya ibu, father-ayah, daughter-anak perempuan, son-anak laki-laki." Kawan-kawannya tertawa melihatnya menjelaskan pelajaran bahasa Inggris pada seorang kuli tambang. Bu Nizam tersenyum getir melihat semangat Enong dan mendengarkan pengucapannya yang kaku. Sirun membujuknya lagi. Enong tetap tak mau, ia bersikeras minta alasan. Sirun tak punya pilihan lain.
"Kau harus pulang, Nong, ayahmu meninggal."
Enong yang sedang ingin mengucapkan sesuatu, tersentak.
Seisi kelas diam. Senyap. Wajah Enong pucat. Ia menapat Sirun.
"Iya, Nong, pukul tiga tadi."
Mata Enong mendadak merah.
"Pak Cik pasti salah. Aku baru dibelikan Ayah kamus bahasa Inggris. Sebentar lagi aku dijemput Ayah," suaranya bergetar-getar. Ia menatap Bu Nizam, minta dibela.
"Benarkah ini""
"Benar, Nong, kecelakaan di tambang."
Mata Enong berkaca-kaca, lalu ia terisak-isak. Ibu Nizam tampak sedih. "Pulanglah, Nong," katanya.
Enong menangis. Air matanya berjatuhan di atas halaman kamusnya.
Dari kejauhan, Enong melihat orang berduyun-duyun melayat dengan membawa rantang berisi beras. Di dalam rumah, jenazah ayahnya terbujur. Enong memeluk ibunya. Ia tak bisa lagi menangis.
Usungan jenazah dipikul ke pemakaman. D i antara para pelayat menguar kabar tentang makin banyaknya tambang menelan korban. Timah terbaik yang mengalir di permukaan yang dangkal dan mudah ditambang telah dijarah Belanda selama ratusan tahun. Yang tersisa timah yang masih baik, namun lebih dalam. Telah pula diraup kapal-kapal keruk maskapai timah selama berpuluh tahun. Sisa dari yang tersisa, hanyalah timah buruk yang terlipat amat dalam di bawah tanah. Bulir demi bulir timah itu ditambang penduduk asli dengan pacul, didulang dengan tangan, dan dengan satu sikap dipaksa rela oleh kemiskinan untuk terkubur hidup-hidup. Berkubang berminggu-minggu tak jarang hanya menghasilkan beberapa ribu rupiah, di dalam tanah yang gelap itulah Zamzami menemui ajal.
Pulang dari pemakaman, Enong heran melihat banyak orang memandanginya. Magrib menjelang. Syalimah dan anak-anaknya mengantar pelayat terakhir ke pekarangan. Anak-beranak itu memandangi jalanan kosong kerikil merah yang sekarang tampak seakan tak berujung. Mereka saling merapatkan diri demi mengumpul-ngumpulkan keberanian untuk menghadapi hidup setelah itu, yang tak terbayangkan kerasnya.
Subuh esoknya, Syalimah lekas-lekas bangun mendengar panggilan azan. Ia ke dapur dan menanggar air. Ketika meniup siong untuk menghidupkan kayu bakar, ia tersentak karena sebuah kesenyapan, ia baru sadar, untuk siapa ia menyeduh kopi" Ia bangkit dan beranjak menjauhi tungku tanpa merasakan kakinya menginjak lantai. Suara suaminya mengaji Alquran saban subuh telah menemaninya menghidupkan api dapur selama berbelas tahun Syalimah duduk termangu, berkali-kali ia mengusap air matanya.
Secara mendadak kehilangan tiang penopang, keluarga Syalimah langsung limbung. Tak punya modal, tak punya keahlian, dan tak ada keluarga lain dapat diminta bantuan-karena semuanya miskin- membuat keluarga itu mati kutu. Tak pernah terpikir nasib sepedih itu akan menimpa mereka secara sangat tiba-tiba. Sang suami adalah tulang punggung keluarga satu-satunya dan hal itu baru disadari sepenuhnya setelah ia tiada.
Sedangkan Enong, bermalam-malam tak bisa tidur. Ia gamang memikirkan apa yang selalu dikatakan orang tentang anak tertua. Namun, ia bahkan sepenuhnya paham makna kata tanggung jawab. Ia takut membayangkan akibat dari kata itu. Apakah ia harus bekerja" Bagaimana ia akan menghidupi keluarga, seorang ibu, dan tiga orang adik" Apakah harus berhenti sekolah" Ia amat mencintai sekolahnya. Ia bingung karena masih terlalu kecil untuk dibenturkan dengan perkara seberat itu. Sekarang ia paham mengapa waktu itu banyak pelayat memandanginya.
Belum sebulan ditinggal suami, Syalimah telah kehabisan beras. Bahkan, beras yang diantar orang ketika melayat itu pun telah habis, ia mulai meminjam beras dari tetangga demi menyambung hidup hari demi hari.
Enong tahu, beberapa anak perempuan tetangga sesama keluarga pendulang telah
berangkat ke Tanjong Pandan untuk bekerja sebagai penjaga toko, tukang cuci di rumah orang kaya, atau buruh pabrik. Ia berusaha meyakinkan ibunya bahwa ia bisa bekerja seperti itu. Apa susahnya menjaga toko" Katanya.
Syalimah semula menolak. Berat baginya melepaskan Enong dari sekolah dan harus bekerja jauh dari rumah. Anak itu baru kelas enam SD. Tapi akhirnya ia luluh karena Enong mengatakan tak bisa menerima jika adik-adiknya harus berhenti sekolah karena biaya. Ia sendiri rela mengorbankan sekolahnya. Ini adalah keputusan paling pahit bagi Syalimah. Putrinya tak pernah sekalipun meninggalkan kampung, kini harus berjuang menghadapi hidup yang keras di kota. Ia sendiri tak mampu berbuat apa-apa karena tak bisa mengalihkan perhatian dari tiga anak lainnya.
Mozaik 5 Rahasia 23 Oktober DIAM-DIAM, sejak masih kecil dulu, telah kutandai, kalau hujan pertama musim hujan turun pas pada 23 Oktober, dan sore, pasti kampungku akan tampak lebih memesona. Jika sebelum dan sesudah hari itu, alam kacau-balau macam tak bertuan. Hujan tumpah sembarang waktu, sering menjadi badai dan banjir. Kadang ia turun subuh-subuh, merepotkan orang yang ingin ke masjid, sekolah, pasar, dan kantor. Singkat pula waktunya atau terlalu lama, sampai Mei tahun muka.
Kalau ia pertama kali turun pada 23 Oktober, nah, ia akan mengguyur dengan teratur, usai asar biasanya, lembut, berkawan, dan adakalanya syahdu. Karena itu, banyak orang kawin pada bulan Oktober. Delima, angsana, kemang, dan kecapi akan memucuk bersama. Jamur tiong yang indah dan dapat dimakan akan subur. Bunga bakung akan bersemi awal sampai sempat dua kali berbuah sepanjang musim hujan itu. Akibatnya, burung punai akan makin besar rombongan migrasinya. Gelap awan selatan dibuatnya.
Tengah hari yang panas akan diusir awan kelabu yang dikirim angin dari barat. Satu masa ajaib yang singkat, meruap. Semua orang mendadak riang tanpa dapat dijelaskan mengapa. Sambil bersenda gurau, perempuan-perempuan Melayu mengangkat jemuran pakaian yang hampir kering, lalu memekik rara riri, krat krut krat krut memanggil pulang ayam dan entok-entoknya. Lelakinya tergopoh-gopoh meneduhi sepeda dan jemuran batu baterai. Pada momen emas itu, kami melompat dari rumah panggung menghambur ke pekarangan masjid Al-Hikmah, bertengkar-tengkar kecil di bawah menara masjid soal rencana asyik untuk hujan sore yang segera tumpah. Guruh halus menggoda-goda.
Hujan akan berhenti tak sampai matahari terbenam. Kami beramai-ramai berlari ke tali air. Di bantaran danau. Kami duduk saling berpeluk pundak, memandangi anak-anak belibis berenang berbaris-baris dan lingkar terang pelangi. Saban sore, selama musim hujan, seseorang memindahkan surga dari langit ke kampung kami.
Lalu, langit dikuasai berkawan-kawan burung punai dan kami bertengkar lagi menentukan raja burung punai yang memimpin kafilahnya, beribu-ribu jumlahnya. Skuadron berwarna hijau melesat di atas danau tali air. M ereka tak peduli pada kami, bahkan tak peduli pada kecantikan mereka sendiri, yang selalu kami kagumi sejak kami diizinkan orangtua bermain di pinggir danau itu. Yang ada di dalam kepala mereka hanya hamparan bakung yang ranum nun di hulu sungai dan beradu cepat dengan kawanan lainnya agar tak kehabisan buah bakung.
Punai-punai itu menyihir kami sampai mulut-mulut kecil kami ternganga. Mereka bak lukisan yang beterbangan di angkasa. Sang raja punai terbang paling muka. Jika ia menukik sedikit saja, ribuan punai di belakangnya serentak menukik. J ika ia berbelok, semuanya berbelok. Sesekali ia bermanuver k e puncak pohon-pohon kenari yang ada di pekarangan rumah di kampung, tapi sebentar saja, lalu sang raja
mengepakkan sayapnya, dan terangkatlah ke udara permadani hijau itu. Hebat sekali raja punai itu. Dialah raja diraja di angkasa raya.
Awal Februari, secara misterius hujan beranjak ke malam. Ia mengunjungi kampung saban malam dan baru benar-benar lenyap pada akhir Maret. Sebuah musim hujan yang sempurna telah sirna. Ia memohon diri lewat rintik-rintik lembut di ujung musim, lalu bersama kawannya sang guruh yang gagah perkasa itu, mereka pergi, tak t
ahu ke mana. Demikian teoriku tentang hujan pertama pada 23 Oktober. Teori yang konyol tentu saja sehingga tak pernah kukisahkan pada siapa pun. Ia telah menjadi rahasiaku yang terpendam lama.
Lambat laun, teori itu berubah menjadi semacam godaan. Aku sering meyakinkan diriku sendiri untuk memercayai sesuatu yang dibangun di atas logika yang aneh. Aku, alam, dan hujan pertama, telah membentuk semacam persengkokolan, yang begitu ganjil sehingga di dunia ini, hanya aku yang boleh tahu. Aku malah sering merahasiakannya, dari diriku sendiri.
Namun, bukankah adakalanya, menyerahkan diri pada godaan dan memelihara rahasia, menjadi bagian dari indahnya menjalani hidup ini"
Mozaik 6 Tanjong Pandan HARUSNYA sejak kemarin Syalimah menyiapkan keberangkatan Enong ke Tanjong Pandan, tapi ia tak sanggup. Jika melihat tas yang akan dibawa putrinya, air matanya berlinang. Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menguatkan hati anaknya, dan itu tak mungkin ia lakukan jika ia sendiri tampak kalah atas situasi yang menjepit mereka.
Maka, Syalimah selalu menyembunyikan kesedihannya. Namun, pertahanan yang sesungguhnya rapuh itu runtuh hari ini waktu ia melihat Enong menyimpan buku-buku sekolahnya di bawah dipan, Enong menyimpan semua buku, kecuali Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata hadiah dari ayahnya dulu. Katanya, ia akan membawa kamus itu ke mana pun ia pergi. Tangis Syalimah terhambur. Ia tersedu sedan dan memohon maaf pada putri kecilnya itu.
Sebelum berangkat, Enong mengatakan ingin berjumpa dengan teman-temannya di tempat mereka biasa bermain di lapangan sekolah. Dulu, setiap minta izin untuk bermain di sana, Enong selalu gembira. Kali ini ia muram. Syalimah tahu, di lapangan itu Enong akan mengucapkan perpisahan.
Di lapangan telah menunggu Nuri, Ilham, Nizam, dan Naila. Merekalah sahabat terdekat Enong, sesama penggemar pelajaran bahas Inggris. Ilham hanya diam. Enong dan Ilham saling menyukai dengan cara yang tak dapat mereka jelaskan. Ketika akan berpisah, keduanya merasakan kehilangan, juga dengan cara yang tak dapat mereka jelaskan. Anak-anak itu bergandengan tangan dan menangis.
"Suatu ketika nanti, kita akan berbicara bahasa Inggris lagi!" kata Enong menghibur teman -temannya.
"Aku akan bekerja dulu di Tanjong Pandan. Kalau dapat uang, nanti aku akan kursus bahasa Inggris," semangatnya meluap. Mendengar itu, teman-temannya malah makin deras tangisnya.
Esoknya, pagi buta, kelima anak-beranak Syalimah bergegas ke tepi kampung. Sang ibu menggendong si nomor tiga sambil menjinjing tas putrinya yang akan merantau. Enong sendiri menggendong si bungsu. Si nomor dua berlari-lari kecil di belakang. Mereka melintas padang ilalang, meloncati parit-parit kecil galian tambang, memotong jalan menuju jalur truk-truk timah yang akan berangkat ke Pelabuhan Tanjong Pandan.
Sebuah truk disamarkan halimun di kejauhan lalu mendekat dan berhenti. Enong naik ke baknya. Tak ada ucapan selamat tinggal, hanya sedu sedan tangis. Truk berlalu. Enong menatap ibu dan adik-adiknya sambil berpegang erat pada bak truk. Berulang kali ia menyeka air mata dengan jilbabnya.
Pukul 7 Senin pagi, puncak kesibukan di ibu kota kabupaten. Truk berhenti di simpang lima tengah kota. Enong menyembul di antara tong-tong timah. Dengan takjub bercampur gugup ia menyaksikan kendaraan yang ramai lalu-lalang, lengking klakson yang saling gertak, dan orang yang berduyun-duyun, tergesa menuju pasar, sekolah, dan kantor-kantor. Baru kali ini melihat kota. Sopir truk menurunkannya di pinggir jalan lepas simpang lima pusat kota. Ia bertanya sana-sini di mana lokasi pabrik es. Tetangganya bekerja di pabrik itu dan di bedeng karyawan pabrik itu ia akan tinggal.
Setelah menemui kawannya, hari itu juga Enong langsung hilir mudik di pasar menawar-nawarkan diri untuk bekerja apa saja.
Namun, tak semudah sangkanya, juragan menyuruhnya pulang dan kembali ke sekolah. Banyak yang mengusirnya dengan kasar. Ketika ditanya ijazah, ia hanya bisa menjawab bahwa ia hampir tamat SD. Ia pun ditampik untuk pekerjaan rumah tangga atau pabrik karena tampak sangat kurus dan lemah. Penolakan in
i ia alami berkali-kali, selama berhari-hari.
Pabrik kerupuk, kelebihan karyawan. Pabrik cincau, kekurangan order sehingga tak perlu karyawan.
Usaha parutan kelapa, menolaknya. Restoran mi rebus, menolaknya. Warung mi rebus, apalagi.
Kantor Syah Bandar, menolaknya karena mereka memerlukan sarjana. Kantor bupati-menjadi tenaga suruh-suruh-misalnya, tukang seduh kopi atau membeli rokok bagi para ajudan bupati- menolaknya, karena sudah ada sarjana yang melakukan semua itu.
Seminggu kemudian, Enong gembira melihat pengumuman lowongan untuk seorang pelayan toko. Pelamar bisa datang esok pagi, pukul 10. Muda, perempuan, belum kawin, dan menarik, begitu bunyi taklimat yang tertempel di kaca jendela.
Pukul 8, bahkan sebelum toko itu buka, Enong sudah stand by di bawah pohon kersen. Tak ada siapa-siapa, yang ada hanya seekor anjing pasar yang kurap dan lanjut usia, yang bahkan tak punya tenaga lagi untuk menyalak. Salakan salam sekalipun. Anjing itu memandangi Enong penuh tanda tanya.
Menjelang pukul 10, pesaing Enong berdatangan. Mereka adalah gadis -gadis muda berbadan padat dan berbibir penuh. Make up tebal macam perempuan di televisi, potongan rambut masa kini, berbaju bak orang kota. Merona-rona. Sementara Enong, pakaiannya seperti orang mau mengaji khatam Quran. Jilbabnya lusuh. Ia bahkan tak berbedak.
Toko-toko, juragan menyuruh para pelamar berbaris. Gadis-gadis cantik dipanggil satu per satu. Enong berada di dalam barisan, tapi tak seorang pun memanggilnya. Anjing kurap tadi masih saja memandanginya penuh tanda tanya.
Enong tak berkecil hati. Kejadian itu memberinya pelajaran yang berharga. Bukannya sedih karena tak dipedulikan, ia malah senang sebab lain waktu ia tahu apa yang harus dilakukan.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba. Sebuah toko kembali membuka lowongan. Enong siap meluncurkan strateginya. Sebelum masuk ke dalam barisan pelamar bersama gadis-gadis yang semlohai itu, ia menyelinap ke gang sepi di samping toko. Ia membuka tasnya, mengeluarkan beberapa helai baju
dan memakainya berlapis-lapis. Baju-baju itu sebagian baju ibunya yang kebesaran untuknya. Maksud hatinya, calon majikan akan melihatnya lebih besar, kuat, dan padat seperti perempuan lainnya, sehingga diterima bekerja.
Strateginya sukses, paling tidak ia disuruh masuk untuk ditanyai ini-itu. Ia melangkah bersama seribu doa. Di depan calon majikan ia berusaha menampilkan yang terbaik dari dirinya, dan yang terbaik itu hanyalah seorang perempuan kecil yang tak pernah mengenal kata berdandan, bibir pias tak pernah tersentuh gincu, wajah pucat kurang makan, dan tampak aneh karena berbaju berlapis -lapis. Sang majikan tersenyum senang, dan menolaknya.
Enong sadar bahwa ia tak tampak cukup untuk menjual tenaga dan tak berwajah cuk up menarik untuk menjadi penjaga toko. Ia maklum pula bahwa ia tak punya selembar pun ijazah. Ia melamun, seandainya ayahnya meninggal tidak bulan lalu, tapi empat bulan setelahnya, setidaknya ia akan punya ijazah SD. Ia berkeliling kota, terus mencari kerja, lalu ia merasa haus. Di pinggir jalan ia membeli es air nira. Ketika membuka tasnya, ia mendapat satu pencerahan, yaitu uang yang dibekali ibunya tinggal tujuh ratus lima puluh rupiah. Pencerahan itu lalu mengarahkannya pada satu profesi yang agung: tukang cuci pakaian.
Sayang seribu sayang, tukang cuci dewasa ini telah berkembang menjadi profesi yang dilematis. Rumah tangga yang kaya memakai mesin cuci. Nyonya rumah hanya perlu mencemplungkan cucian ke dalam sebuah alat yang berdesing dengan lembut, lalu membiarkan alat itu melakukan tugas ajaib sementara sang nyonya menonton televisi. Cukup satu episode sinetron, semua beres.
Orang miskin, yang harus mencuci pakaian kumal suami dan enam anak, tak mampu menyewa tukang cuci
Uang yang tinggal tujuh ratus lima puluh rupiah itu ternyata tak bertahan lama meski telah dihemat sekuat tenaga dan telah dikelola melalui kebijakan moneter yang paling servatif sekalipun. Enong malu menumpang makan pada kawannya yang bekerja di pabrik es. Malam itu, Enong tak pulang. Malam itu, Enong tidur beralaskan kardus di emper toko, di Jalan Sriwi
jaya, dekat kantor DPRD. Malam itu, Enong mulai menggelandang.
Hari-hari berikutnya Enong mulai terlunta-lunta, namun ia berpantang meminta-minta. Ia makan dengan mengais-ngais sisa makanan di pasar. Suatu malam, di emper toko itu, ia terbangun, dibukanya Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar kata itu, dibacanya lagi pesan ayahnya:
Kejarlah cita-citamu, jangan menyerah, semoga sukses.
Tertanda, Ayahmu Semangat Enong kembali meletup. Ia kembali mencari kerja.
Pada juragan pabrik sandal cunghai ia mengatakan bersedia bekerja apa saja, tak digaji boleh saja, asal diberi makan.
"Makan dua kali saja sehari, tak apa-apa, Pak," kata perempuan kecil drop out kelas 6 SD itu dengan lugu. Ia malah kena hardik.
"Pulang sana! Kalau sudah besar, datang lagi!"
Padahal, Enong sudah memakai baju empat lapis. Enong berpamitan dengan santun dan pergi dengan perut lapar. Pada juragan pabrik tali, ia membanting harga habis-habisan.
"Tak perlu digaji, tapi diberi makan, sekali sehari, tak apa-apa." Namun, tubuhnya memang tak tampak seperti orang yang sanggup untuk bekerja. Ia ditolak lagi.
Enong tak patah semangat. Ia telah ditolak oleh puluhan juragan. Strategi baju berlapis-lapis rupanya tak mampu mengesankan siapa pun.
Siang itu Enong melihat toko kelontong yang tampak seperti akan bangkrut. Bangunan toko itu dari kayu, kuno dan reyot. Dagangannya adalah keperluan sembahyang orang Konghucu, yaitu berupa-rupa lilin dan dupa.
Seorang Tionghoa tua termangu di depan toko itu sambil menghadapi papan catur. Ia seperti sedang menunggu lawan yang tangguh untuk duduk di bangku kosong di depannya, namun lawan itu tak kunjung datang. Tak seorang pun berani menghadapinya.
"Maaf, Anak Muda, aku ingin sekali membantu, tapi toko ini mau gulung tikar." Enong pami t dan beranjak. Bapak tua itu menyodorkan tangannya.
"Ambillah ini, sedikit uang, untuk ongkos pulang ke kampung.
Enong berusaha menolak. Orang itu memaksa. Enong memandangi toko yang kuyu dan bapak tua Tionghoa yang tulus itu. Sudah berhari-hari ia terlunta-lunta. Tak ada pilihan selain pulang dan mencari pekerjaan di kampung.
"Terima kasih, Ba, suatu hari nanti kita akan berjumpa lagi. Akan kukembalikan uang ini." Langit menyaksikan semua itu.
Mozaik 7 Detektif M. Nur DI PASAR, orang-orang mengerumuni seorang pemburu yang tampak sangat bangga pada seekor burung punai di dalam kandang rotan, di boncengan sepedanya. Orang-orang yang merubungnya kelihatan takjub.
Memiliki burung punai adalah hal yang sangat biasa bagi kami, jika musim hujan dan bakung berbuah, berburu punai telah menjadi tradisi. Berpuluh ekor punai bisa ditangkap melalui umpan seekor burung punai lain yang disebut pekatik. Hidangan burung punai merupakan menu musim hujan yang selalu dinantikan.
Hanya melalui pekatik, punai bisa ditangkap. Sebuah cara berburu yang unik dan mengasyikkan. Pekatik yang terlatih ditenggerkan di dahan dan dimain-mainkan melalui tali oleh pemburu yang bersembunyi di bawah pohon. Kawanan punai yang terbang di udara akan tergoda pada pekatik yang mengepak-ngepak, lalu menghampirinya, dan terjebaklah mereka pada getah lengket yang dipasang pemburu di sekitar pekatik. Mengapa punai di dalam kandang itu membuat orang-orang berdecak kagum" Rupanya ia adalah salah satu dari raja punai. Sang pemburu dianggap sangat hebat sekaligus beruntung berhasil menangkapnya. Jika sang raja dijadikan pekatik, ia mampu menarik kawanan besar yang berjumlah ribuan punai.
Kulihat punai itu. Tubuhnya lebih besar dari punai biasa. Matanya hitam dan tajam. Paruhnya seperti mata panah. Bulunya hijau berkilat-kilat. Kakinya seperti kaki rajawali. Kuku-kukunya laksana besi. Ia gagah, menantang, dan tak takut. Burung itu memang berkarisma seorang raja.
Kerumunan orang-orang itu teralihkan oleh omelan Moi Kiun di kios cincau. Ia merepet jengkel pada suaminya, Lim Phok.
Soal kedua orang tua itu yang sudah tua itu selalu berselisih, bukan berita baru. Mereka beradu mulut soal segala rupa, mulai soal anak sampai soal sandal tertukar. Pertengkaran kali ini gara-gara gigi palsu.
Alkisah, gigi palsu itu hilang secara misterius dari dalam mulu
t Lim Phok ketika ia sedang tidur. Keributan meletup lantaran secara sembrono Lim Phok menuduh istrinya sendiri, Moi Kiun, yang telah mencuri gigi palsu itu dari mulutnya, sebagai bagian dari perbuatan istrinya yang bertahun-tahun selalu menyabotasenya.
"Bhaghaimanha ghighi phalhu bhiha hilhang dhari mhulhut nghai, haiyaa," gerutu Lim Phok di mana-mana. Suaranya aneh. Mulut tanpa pagar rupanya membuat huruf h berhamburan dan huruf s agak susah dikendalikan.
Moi Kiun tak terima, namun sulit membela diri. Tak ada orang, kejadian, dan tempat lain yang dapat dijadikan alibi. Didamaikan oleh ketua RT, Lim Phok tak sudi. Ia ngotot, katanya istrinya mencongkel gigi palsunya ketika ia sedang terlelap. M enurutnya, istrinya sengaja menambahkan sesuatu pada makanannya sehingga ia tidur seperti orang mati. Moi Kiun, katanya, telah melakukan kejahatan yang termasuk terencana. Maka, hukumannya harus berat. Alasan kejahatan itu tak lain istrinya jengkel karena ia sering main catur di warung kopi sampai lewat tengah malam dan pulang dalam keadaan setengah mabuk.
Betapa Lim Phok dongkol. Ia sangat sayang pada lima bilang gigi palsu itu. Ia telah berganti-ganti gigi palsu belasan kali, tapi tak ada yang cocok. H anya gigi palsu ciptaan tukang gigi ternama dari Manggar-A Phan-itu saja yang pas dan tak membuat gerahamnya sakit. Saking pasnya, bahkan ketika tidur tak dilepasnya. Gigi-gigi palsu itu telah melekat seperti gigi asli. Ia makin merana karena A Phan telah meninggal kena setrum tempo hari sehingga tak bisa membuat duplikat gigi palsunya.
Karena tak tahan menjadi tertuduh, dalam keadaan frustrasi dan tersinggung berat, Moi Kiun bertanya sana-sini, siapa gerangan yang dapat membantunya menyelesaikan urusan yang runyam ini. A Nyim, nyonya cerewet tukang mi rebus, memberi tahunya bahwa ia kenal seorang Melayu yang pernah membantunya waktu sepedanya hilang.
Orang Melayu itu, dengan sukses berhasil menemukan sepedanya yang ternyata telah digadaikan anaknya sendiri di Kelapa Kampit. Ia, kata A Nyim berapi-api, bahkan bisa mencari suami yang hilang. M. Nur, begitulah nama orang Melayu itu.
Mari kuceritakan sedikit soal Ichsanul Maimun bin Nurdin Mustamin padamu, kawan. Ia seumur denganku dan adalah tetanggaku. Badannya kecil. Maka, bolehlah ia disebut kontet. Kulitnya gelap, rambutnya keriting kecil-kecil. Alisnya hanya satu setengah. Maksudnya, setengah alis mata kirinya tak ada sebab terbakar ketika ia meniup karbit yang menyala di dalam meriam bambu. Sisa alis itu hanya berupa bulu yang remang-remang. Kurasa semua itu akibat kualat pada guru ngaji di masjid.
Namun, alis satunya, lebat sekali. Rahangnya seperti manusia Neanderthal. Matanya, sudah mata manusia modern meski agak juling. N amun, mata itu seperti mata anak kecil, jenaka sekali dan selalu berbinar.
Waktu kelas tiga SD ia tidak naik kelas karena pernah terjatuh dari pohon nangka. Kalau kami naik pohon, ia memang suka sesumbar paling berani naik ke dahan tertinggi. Tubuhnya berdebam ke tanah seperti nangka disambar petir.
Karena ia tak bisa sekolah beberapa lama, setelah sembuh, ia sekolah lagi. Tapi, ia menjadi pelupa dan sering mendengus-dengus seperti kambing bersin: nges, nges. Mata pelajaran berhitung harus diulang lagi seperti ia baru masuk kelas satu. Merah di rapornya yang biasanya tiga, menjadi lima. Alhasil, tiga tahun berturut-turut ia tak naik kelas. Ia bosan, guru-gurunya bosan, orangtuanya bosan, menteri pendidikan bosan, ia berhenti sekolah.
Yang kutahu selanjutnya, sepulangku dari pengembaraan di negeri-negeri antah-berantah, ia telah menjelma menjadi M. Nur, seorang detektif swasta. Pembawaannya yang ramah dan humoris, membuatnya amat popular. Ia pun melakukan penyelidikan atas kasus rumit yang menimpa M oi Kiun.
Namun, penyelidikan Detektif M. Nur menghadapi jalan buntu. Bagaimana gigi palsu secara misterius tahu-tahu raib dari dalam mulut seseorang memang bukan perkara remeh.
Keadaan bertambah rumit lantaran A Nyim yang bawel itu merepet sana sini. Seisi pasar tahu kejadian itu dan makin senang menggunjingnya. Detektif M. Nur bekerja di bawah tekanan dan
merasa bertanggung jawab moral pada kliennya, Moi Kiun, yang kian terpojok sampai tak berani ke pasar.
Jika Detektif M. Nur masuk ke warung kopi, semua orang bertanya, dengan nada mengejek, soal kemajuan penyelidikannya, lalu mereka terbahak-bahak. Namun, tak dinyana, dari tawa itulah justru Detektif mendapat inspirasi yang akan memecahkan kasus supersulit itu.
Esoknya Detektif mendatangi seorang pemburu pelanduk dan meminta anjingnya menciumi seperangkat gigi palsu yang ia pinjam dari tukang gigi. Anjing pemburu pelanduk sangat hebat dalam mencium jejak. Aku bingung. Kutanyakan padanya, apa yang ia lakukan" Pakai anjing segala"
"Tengok saja nanti, Boi, nges, nges."
Dua hari ia melatih anjing itu untuk mengenali gigi palsu. Tindakannya semakin menambah ledekan untuknya di warung-warung kopi.
Lalu, Detektif membawa anjing itu ke warung kopi tempat terakhir Lim Phok berada sebelum gigi palsunya raib. Dituntunnya anjing itu ke parit di belakang warung. Anjing itu mendengus-dengus. Ekornya mengibas-ngibas penuh semangat. Orang-orang di warung kopi terpingkal-pingkal melihat tingkah Detektif dan anjing itu.
Sungguh besar pertaruhan Detektif. Apalagi ada Moi Kiun dan A Nyim di situ. Jika gigi palsu itu tak ditemukan, Detektif M. Nur dan Moi Kiun pasti jadi bahan tertawaan. Orang Melayu gemar benar menertawakan orang. Namun, tak lama kemudian anjing itu menyalak-nyalak. Ia mengitari sesuatu dan memungutnya dengan mulutnya. Detektif terkekeh. Ia bersuit. Anjing itu berlari kecil ke arahnya dan memuntahkan sebuah benda berwarna pink di depannya: gigi palsu Lim Phok.
Semau orang terpana. Lim Phok mengucek-ngucek matanya, tak percaya melihat gigi palsunya terbaring di tanah. Ia tampak ingin sekali memungutnya, namun tampak pula jijik.
A Nyim memarahi Lim Phok karena sembarang tuduh pada istri sendiri. Sebaliknya, Moi Kiun girang tak terbilang. Giliran ia menohok suaminya dengan mengatakan gigi palsunya yang terhormat, yang disayanginya lebih dari menyayangi istri, telah masuk ke dalam mulut anjing.
"Ni, rasakan itu! Mulut anjing kampung lagi!" letupnya berkali-kali sambil tertawa riang.
Menyaksikan semua itu, mulutku ternganga. Bagaimana Detektif M. Nur bisa melakukan semua itu" Bagaimana ia sampai pada pemikiran untuk mencari gigi palsu itu di comberan dengan menggunakan anjing pencium jejak pelanduk" Sungguh ia seorang detektif swasta yang berbakat!
Detektif M. Nur menghempaskan tubuhnya di atas bangku. Kutanyakan semua keherananku padanya. Ia tak menjawab, namun menjentikkan jarinya pada seorang gadis pelayan. Kutatap ia dan ia menikmati kekagumanku padanya. Gadis tadi telah hafal pesanannya, secangkir k opi, sedikit gula, dua butir cengkeh. Kopi sempurna untuk sore yang sangat mengesankan itu.
"Nges, nges!" Mozaik 8 Sungai BULAN Oktober tahun ini, dadaku tak hanya berdebar untuk tanggal 23 menunggu hujan pertama, tapi juga untuk ayahku. Tak pernah terbayangkan aku akan berada dalam situasi ini: memusuhi ayahku sendiri.
Genap sebulan kutinggalkan rumah. Kecewa pada ayah. Alasannya sungguh absurd: cinta. Aku menumpang di rumah Mapangi, orang bersarung kawan lamaku. Sering sepupu-sepupuku datang diutus Ayah untuk membujukku pulang, aku bergeming.
Semuanya akan sempurna andai Ayah mau menerima A Ling. Sekarang, saban hari aku menunggu Mualim Syahbana melayarkan perahunya. Akan kubawa lari saja perempuan Tionghoa itu. Kubawa lari ke Jakarta. Meski itu berarti terang-terangan, seterang matahari di atas ubun-ubun, bahwa aku melawan ayahku.
Sungguh menyedihkan keadaan ini. Aku telah mengalami banyak peristiwa yang buruk, namun permusuhan dengan Ayah adalah hal terburuk yang pernah terjadi padaku. Tak pernah, tak pernah meski hanya sekali sebelumnya, aku menentang Ayah. Aku telah dibesarkan dengan cara bahwa memusuhi orangtua adalah sesuatu yang tak mungkin terjadi. Apa yang kulakukan sekarang, seumpama burung ronggong ingin melawan angin. Dua hal yang diciptakan untuk tidak saling bertentangan.
Malam-malam yang senyap di perahu, sering aku kesulitan tidur. Wajah Ayah terbayang-bayang. Sering kudengar kabar, kerap kubaca kisah-kisah
yang disebut sebagai menggiriskan yang dapat orang lakukan karena cinta, ditinggalkan keluarga bahkan sampai meninggalkan keyakinan. Rasanya tak percaya, aku mendapati diriku sekarang menjadi bagian dari cerita-cerita yang disebut sebagai menggiriskan itu.
Lalu, sisa malam kulewatkan dengan melamun. Sebuah lamunan yang menyesakkan karena di dalamnya berkecamuk kekecewaan pada Ayah dan harapan agar Mualim Syahbana segera berlayar, agar segera dapat kutinggalkan Ayah dan kampung yang tak lagi indah bagiku ini. Kampung yang hanya memberiku kisah-kisah yang sedih ini. Jakarta, Jakarta berdua dengan A Ling, di sanalah masa depanku. Usai dilanda kemarahan dan harapan sengit yang melelahkan itu, waktu merayap ke dini hari, pukul dua pagi, kupandangi Jembatan Linggang dari haluan perahu, dan aku rindu pada ayahku, rindu sekali.
Di dalam kepalaku lalu muncul gambar-gambar yang lama: gambar Ayah memetikkanku jambu mawar dari puncak yang paling tinggi; gambar Ayah mengajariku membuat perahu dari pelepah sagu; gambar Ayah memboncengku naik sepeda ke pasar malam; gambar Ayah membuka tas sekolahku, lalu menyerut pensil-pensilku dan menyampuli buku-bukuku; gambar Ayah mengikat tali sepatuku kalau aku akan berangkat sekolah; gambar Ayah mengambil raporku dengan bajunya yang terbaik. Semua yang kutahu tentang kasih sayang, ketulusan, pengorbanan, dan kebaikan, semuanya, berasal dari ayahku.
Ayah yang tak pernah sekalipun menaikkan kata-katanya padaku. Ayah juara satu seluruh dunia. Kini ia harus kutentang. Keadaan ini benar-benar menghancurkan hatiku.
Berulang kali kusesali mengapa Ayah musti berada di tengah pilihan yang runyam ini. Mengapa ia yang tak pernah mengatakan tidak padaku, mengatakan tidak untuk sesuatu yang paling kuinginkan. Sungguh jiwaku tak kuat jika harus memusuhi ayahku sendiri, namun kemungkinan lain yang tak dapat kutanggungkan adalah jika h arus kehilangan perempuan Tionghoa itu. Ia bak sendi pada buku -buku jemariku. Ia bak arus dalam sungaiku. Aku tak sanggup, tak sanggup.
Mozaik 9

Padang Bulan Karya Andrea Hirata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan Pendulang KEMBALI dari Tanjong Pandan, Enong mendapati keadaan di rumahnya amat memilukan. Yang paling ia takutkan terjadi, ibunya harus mengeluarkan adik-adiknya dari sekolah karena tak mampu membayar iuran.
Enong semakin kalut karena, jangankan di kampung, di Tanjong Pandan yang banyak lowongan saja, ia tak mampu mendapat pekerjaan. Semangatnya menggebu. Ia siap menerima semua tanggung jawab. Ia rela berkorban apa saja demi ibu dan adik-adiknya, tapi semua jalan buntu. Sore itu, ia mengambil sepeda dan mengayuhnya keluar kampung untuk melarikan pesanannya yang risau. Diselusurinya padang dan bukit-bukit pasir. Lalu, ia melamun di pinggir danau. Ia hampir sampai pada tahap putus asa. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan keluarganya. Nalurinya sebagai anak tertua makin membuatnya tersiksa.
Ia membasuh wajahnya yang berlinang air mata. Di pandanginya tubuhnya yang berpendar di atas permukaan air yang bisu. Ditatapnya lekat-lekat matanya yang basah. Kemilau kuarsa di dasar danau membuatnya terpesona dan satu ide yang ajaib menamparnya. Ia mengangkat wajahnya, lalu bangkit dan terpaku. Ia berlari menuju sepedanya dan pontang-panting pulang.
Sampai di rumah, ia mengambil pacul dan dulang milik ayahnya dulu, lalu segera kembali ke danau. Ia menyingsingkan lengan baju, turun ke bantaran dan mulai menggali lumpur. Ia terus menggali dan menggali. Ia berkecipak seperti orang kesurupan. Keringatnya bercucuran, tubuhnya berlumpur lumpur. Ia mengumpulkan galiannya ke dalam dulang, mengisinya dengan air, dan mengayak -ngayaknya. Sore itu, pendulang timah perempuan pertama di dunia ini, telah lahir.
Pekerjaan mendulang timah amat kasar. Berlipat-lipat lebih kasar dari memarut kelapa, menyiangi kepiting, kerja di pabrik es, tukang cuci, atau sekadar menjaga toko.
Pendulang timah dipanggil kuli mentah, artinya kuli yang paling kuli. Jabatan di bawah mereka hanya kuda beban dan sapi pembajak.
Pendulang berendam seharian di dalam air setinggi pinggang dan ditikam langsung tajamnya sinar matahari. Berkubik tanah basah be
rcampur batu dan kaolin sehingga sangat berat, harus dimuat ke dalam dulang, yang juga beratnya tak kepalang. Sendi pinggang yang tak kuat dapat bergeser.
Pendulang timah tradisional selalu pensiun dini seperti direkrut BUMN. Bukan karena mereka telah kebanyakan duit, bosan rapat, atau ditalak pemerintah, melainkan karena tubuh mereka soak sebelum tua. Radang sendi, wabah kaki gajah, penyakit kulit yang aneh karena virus lumpur, paru-paru yang hancur karena selalu menahan dingin dengan terus-menerus merokok, dan lantaran miskin, rokok
yang dibeli adalah rokok murah sekali yang tak keruan asal-muasalnya, lalu dirampas arus, ditimpa longsor, diisap pasir hidup, adalah bentuk-bentuk tragis dari berakhirnya karier mereka yang singkat dan
agung. Namun, putri kecil Syalimah itu gembira bukan main mendapat pekerjaan yang baru sebagai pendulang timah karena pekerjaan itu tak mengharuskannya memoles gincu, berbedak, berdandan, dan tak perlu membuatnya berbaju berlapis -lapis, dan terutama, karena ia memang tak punya pilihan lain.
Usai salat subuh, ia melilit jilbabnya kuat-kuat, mengemasi pacul, dulang, dan sepeda, mencium tangan ibunya, menggendong adik-adiknya sebentar, lalu meluncur dengan sukacita sambil menyiulkan lagu-lagu kebangsaan menuju bantaran danau. Kadang kala ia menyiulkan lagu anak-anak berbahasa Inggris yang dulu pernah diajarkan Bu Nizam padanya: if you'rehappyand you know it, clap yourhands. Ia adalah pendulang perempuan pertama dalam sejarah penambangan timah. Usianya tak lebih dari 14 tahun.
Mozaik 10 Ulang Tahun BARANGKALI karena orang Melayu seperti kami tak pernah merayakan ulang tahun, dan tak pernah peduli akan hari kelahiran, sebaliknya bagi orang Tionghoa hal itu amat penting-maka waktu masih kecil, aku sering heran mendengar A Ling berbicara tentang hari ulang tahunnya yang kian dekat, dan betapa ia gembira. Waktu itu aku baru kelas 3 SD, baru kenal dengannya.
Kutanyakan pada teman-teman sekelasku di sekolah Laskar Pelangi itu, kebanyakan tak paham soal ulang tahun. Mahar menggeleng. Kucai, ketua kelas kami yang sok pintar, menerangkan bahwa ulang tahun adalah acara sunatan bagi orang bukan Islam. Aku tak percaya. Sahara tak tahu dan tak mau tahu. Lintang tak berminat pada pertanyaan bodoh semacam itu. Ia terlalu asyik dengan geometri jurusan tiga angkanya. Perkara ulang tahun adalah gelap bagi anak-anak Melayu melarat yang udik di kampung paling timur, di pulau terpencil Belitong ini.
Karena mulutku cerewet, Syahdan menjelaskan-sambil malas-malasan-bahwa ulang tahun adalah acara untuk memperingati arwah seorang pencipta lagu. Arwah gentayangan itu-katanya acuh tak acuh-baru bisa disuruh pulang ke alam baka setelah diberi kue yang di atasnya dipasangi lilin merah dan lagi ciptaannya dinyanyikan bersama-sama. Borek, yang berotot dan selalu ngotot-meskipun selalu salah-langsung mendebat Syahdan. Katanya, ulang tahun justru acara untuk menghormati arwah pencipta kue bertingkat-tingkat dan lilin merah bernomor itu. Syahdan tersinggung.
"Dari mana kau dapat kabar bohong itu!""
Borek tergagap-gagap, karena tadi jelas ia hanya mengarang-ngarang, namun ia tak mau kalah. Ia mencoba memojokkan Syahdan.
"Kalau begitu, mengapa hanya orang Tionghoa yang merayakan ulang tahun, kita tidak"!"
Syahdan bangkit. "Sebab pencipta lagu itu berasal dari Taiwan!"
"Na! itu baru bohong. Dia bukan orang Taiwan, dia adalah orang Madagaskar! Kalau kau mau
tahu!" Mengapa tahu-tahu-tak ada ombak tak ada angin-Madagaskar" Aku tak tahu. Kutaksir Borek pun begitu. Hanya mulut dan pikirannya yang tahu. Ia sendiri tak tahu. Borek semakin ngelunjak gara-gara merah di rapornya dari 4 telah turun menjadi 3. Ia tertolong pelajaran PKK. Lalu, dengan serius ia mengingatkan bahwa kue itu tidak cocok bagi perut orang kampung macam kami.
"Bisa mencret-mencret, Boi. Itulah kenyataan sebenarnya tentang ulang tahun!"
Syahdan dan borek lalu bertengkar sengit soal kesahihan asal-muasal arwah gentayangan ulang tahun. Pertengkaran itu menjalar-jalar soal jin jahat, jin baik, dan jin insyaf. Untung ada Trapani.
Berkatalah si tampan Trapani, bahwa ul
ang tahun tak ada sangkut pautnya dengan hantu, tapi justru dengan pangkat orangtua. Menurutnya, ulang tahun hanya diperbolehkan bagi anak -anak orang kaya yang tinggal di kompleks elite Gedong milik para petinggi maskapai timah. Atau, boleh saja dirayakan anak-anak karyawan timah di luar gedong, dengan syarat pangkat bapaknya minimal 2D semistaf. Bahkan, sambungnya dengan serius, seorang anak yang sangat kaya di Gedong berhak merayakan ulang tahun 2 kali dalam setahun. Ia pun mengingatkan, jika anak-anak orang miskin berani-berani melakukan ulang tahun, mereka akan ditangkapi polisi.
Lalu, Trapani yang rupawan tersenyum simpul. Katanya, ia telah menghitung-hitung, andai kata tak ada aral melintang pada karier bapaknya sebagai operator telepon analog di maskapai, Insya Allah, 12 tahun lagi ia berhak merayakan ulang tahun.
Mendengar itu, aku gemetar, Borek membanting bukunya, Syahdan pucat. Karena walaupun sampai pensiun, lalu bekerja lagi dari mula di maskapai timah, dan pensiun lagi, begitu terus sebanyak 4 kali, ayahku-selaku kuli mentah tukang cedok timah-takkan pernah mencapai pangkat 2D. adapun Ayah Borek-seorang pejabat teras penjaga pintu air-bahkan tak pernah diberi pangkat oleh maskapai. Namun, Syahdanlah yang paling sial di antara kami, sebab ayahnya tidak bekerja di maskapai. Ayahnya hanya seorang nelayan yang kadang-kadang nyambi menjadi asisten juru dempul perahu.
Belakangan, melalui tukang azan di masjid Al-Hikmah, aku mendapat ilmu bahwa orang Melayu kampung hanya merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad, itulah yang disebut Maulid Nabi, dan darinya pula aku tahu bahwa pada hari ulang tahun orang memberi hadiah.
Maka, biarlah aku takkan pernah punya hak untuk merayakan ulang tahun, tapi aku ingin memberi A Ling hadiah ulang tahun. Sebuah hadiah yang paling mengesankan, yaitu layang-layang buatanku sendiri, lengkap dengan segulung benang gelas untuk beradu. Bahwa anak perempuan tak pernah main layang-layang, aku tak terpikir sampai ke sana.
Layang-layang ikan bulan dari kertas kajang itu sangat indah. Bisa berdengung pula karena dari sayap kiri ke sayap kanannya telah kupasang pita kaset dari album Rhoma Irama: Hak Asasi, yang kasetnya telah rusak lantaran terlalu sering diputar abangku. Kupasang pula ekor b ersurai-surai dari sisa kertas minyak dekorasi perkawinan kakak sepupuku. Lalu, inilah inti yang sebenarnya, dekat terajunya kutulis namaku: Ikal.
Waktu memberikan hadiah itu, dadaku bergemuruh, karena itulah pengalamanku paling dekat dengan sesuatu yang bernama ulang tahun. Aku ragu, malu, dan merasa berdosa-teringat akan cerita tukang azan di masjid itu-sekaligus gembira dengan cara yang tak dapat kujelaskan.
Maka, kupejamkan mata dan kuserahkan layangan ikan bulan bersurai-surai itu padanya. Sebuah penyerah diri bulat-bulat pada godaan yang menyenangkan. A Ling menerimanya sambil tersenyum. Senyum yang menggelembung-gelembung seperti busa sabun ditiup lewat pelepah papaya. Aku tak tahu makna senyum itu, yang kutahu, senyum itu membuat badanku panas dingin. Oh, ulang tahun, ternyata sangat menakjubkan!
Setelah itu, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu memberi A Ling hadiah ulang tahun karena aku ingin lagi melihat senyum gelembung busa sabun itu. Perkara pangkat semistaf dan Maulid Nabi, itu perkara lain.
Pada ulang tahun berikutnya, berarti waktu aku kelas 4, kupersembahkan padanya se untai tasbih dari biji-biji buah berang berjumlah 33, sejumlah puji syukur umat Islam atas keagungan Allah, yang selalu dirapalkan usai salat. Sampai jauh malam aku memilin akar benar dan biji-biji berang itu.
Seperti layangan dulu, tak sampai ke kenyataan bahwa A Ling adalah umat Konghucu. Aku hanya senang membayangkan prakarya itu pasti elok tampaknya jika dipakai A Ling sebagai kalung. Aku masih terlalu naif untuk mengerti implikasi angka 33 itu.
Aku senang A Ling selalu memakai kalung tasbih dariku. Ia pasti tak paham pula makna angka 33. Tapi, tak pernah kulihat layangan ikan bulan bersurai-surai mengudara.
Dewasa ini, mungkin karena terlalu banyak menonton televisi atau mendengar lagu Barat, orang Melayu
pun mulai merayakan ulang tahun. Meriah, anak-anak kecil saling mengirim kartu undangan yang juga kecil-kecil. Huruf-huruf di dalam kartu itu mungil dan kalimat mengundangnya lucu. Keponakanku menulis untuk kawannya: kalau kau tak datang, aku akan menangis. Ulang tahun tak lagi misterius seperti kami masih SD dulu.
Kemarin aku mengunjungi A Ling. Ia sedang menggoda-goda sepasang kenari yang ditenggerkan pamannya di dahan rendah pohon kecapi di pekarangan rumahnya. Sore yang indah itu kami lalui dengan percakapan soal betapa ia jatuh hati pada kenari itu. Katanya, diam-diam sejak kecil, sebenarnya ia selalu terpesona pada kecantikan burung. Ia berkisah, minggu lalu ia hampir pingsan lan taran takjub melihat belasan ekor burung punai tersasar dan hinggap di dalam kecapi itu.
"Empat ekor! Aku terpaku, tak dapat bergerak!" matanya yang kecil terbelalak.
"Dekat sekali denganku! Itulah pertama kali kulihat burung punai dekat! Burung yang s angat megah, indah sekali!"
kejadian itu sampai terbawa-bawa ke dalam mimpinya. Setelah itu, saban sore ia berharap satu-dua ekor dari belasan kawanan punai yang melintas kampung kami tersasar lagi ke p ohon kecapinya. Katanya, ia telah menjadi rindu pada bidadari-bidadari hijau itu. Punai, memang burung yang penuh pesona. Tak heran A Ling tak dapat melupakannya. Yang dapat mengalihkannya dari soal punai hanya ulang tahunnya yang kian dekat.
Aku merasa senang setiap kali mendengarnya bicara soal ulang tahun. Bagiku, seseorang yang menunggu hari ulang tahun tak ubahnya ia menempatkan diri pada suatu titik waktu di depannya, dan ia berdiri di sana menunggu waktu menyusulnya, dan semua itu, burung punai itu, ulang tahun itu, telah memberiku sebuah inspirasi.
Mozaik 11 Pasir Yang Pandai Menipu DENGAN jemari halusnya, Enong belajar menggenggam gagang pacul. Ditariknya napas dalam-dalam, digigitnya kuat-kuat ujung jilbabnya, untuk mengumpulkan segenap tenaga kecilnya. Diangkatnya pacul yang besar, lalu dihantamkan ke tanah yang liat. Lumpur pekat terhambur ke wajahnya. Begitu berulang -ulang, seharian, sampai melepuh tangannya. Ia mendulang timah samp ai terbungkuk-bungkuk. Kadang ia limbung karena tak kuat menahan berat dulang.
Namun, mirisnya nasib, sejak pagi ia berkubang, setiap kali pasir menepi di bibir dulangnya, yang tampak hanya kerikil, bulir-bulir kuarsa, zirkon, dan ilmenit yang tak bernilai, tak sebijipun timah mengendap. Demikian hari demi hari pasir menipunya. Seperti Tanjong Pandan, bantaran danau itu, pelan namun pasti mulai menghianatinya.
Sebaliknya, seorang perempuan mendulang timah merupakan hal yang tak mudah diterima di kampung. Mendulang adalah keniscayaan lelaki, bahkan timah itu sendiri adalah seorang lelaki. Cangkul dan ladang tambang juga lelaki.
Enong menjadi bahan gunjingan yang berakhir menjadi olok-olok, lantaran tak kunjung mendapat timah. Namun, meski dihina, ia tak mau berhenti karena ia bertekad mengembalikan adik -adiknya ke sekolah. Ia tak boleh berhenti karena jika berhenti, keluarganya tak makan. Gadis kecil itu terperosok pada satu pilihan saja: kerja kasar tanpa belas kasihan sampai denyut tenaga terakhir. Dan pelan-pelan, nasib kelu yang meninjunya bertubi-tubi, mengkristalkan mentalnya.
Jika lelah, ia membuka lagi Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata peninggalan ayahnya itu. Aneh, kamus itu selalu mampu meledakkan semangatnya, ia sering menandai kata yang sangat asing baginya, yang belum pernah diajarkan Bu Nizam, misalnya sacrifice, honesty, danfreedom, ia tak paham cara memakai tiga ekor kata itu di dalam kalimat Inggris. Ia hanya terpesona karena kata-kata itu berbunyi sangat hebat dengan arti yang hebat pula. Pengorbanan, kejujuran, dan kemerdekaan. Arti yang mewakili jeritan hatinya. Ia siap berkorban untuk keluarganya, ia ingin menjadi orang yang jujur, dan ia ingin memerdekakan dirinya dari kesedihan.
Disimpannya kata-kata itu di dalam hati, disayanginya, dan diperamnya seperti memeram mempelam di dalam bejana pualam. Ia merasa punya janji pasti dengan tiga ekor makhluk Inggris itu. Suatu hari nanti, ia ingin berjumpa dengan mereka pada satu k
esempatan sangat manis, di ruang kursus bahasa Inggris. Itulah mimpi terindah Enong, yang disimpannya diam-diam.
Enong terus bekerja tanpa hasil. Semuanya menjadi semakin sulit karena ia hanya mampu menggali pada lapisan dangkal, jarang sekali timah ada di sana. Timah di tempat itu telah diraup Belanda, maskapai timah, dan pendulang lelaki lainnya. Ia berusaha menemukan lokasi baru.
Namun, lokasi tambang adalah tanah perebutan yang tak jarang menimbulkan keributan, bahkan pertumpahan darah. Ini perkara sensitif. Jika petani bergantung pada apa yang ditanam, penambang bergantung pada lahan yang dikuasai.
Mereka yang ngeri akan ancaman kelaparan dan gelapnya masa depan, menguasai lahan dengan kalap. Saling intai lokasi timah yang menghasilkan telah menjadi perang dingin yang berbahaya antar para penambang. Akhirnya Enong masuk ke dalam hutan, yang dianggapnya tak mungkin dikuasai siapa pun.
Ia menghantamkan cangkul beratus-ratus kali pada lumpur yang pekat dan membakar semangatnya sendiri dengan menggumam sacrifice, honestly, freedom! Lalu, ia terkejut melihat serpih tanah berwarna hitam. Digenggamnya tanah itu. Air dan pasir meleleh di sela jemarinya, namun tak diikuti bulir-bulir hitam di cekung telapaknya. Ia terbelalak karena menyadari hukum kimia yang sangat sederhana, yaitu air tak dapat membawa bulir-bulir legam itu lantaran berberat jenis lebih dari pasir. Diraupnya lagi segenggam tanah, dibiarkannya air dan pasir meleleh di sela jemarinya, diangkatnya tinggi-tinggi berjatuhan di wajahnya. Ia gemetar melihat sisa lapisan di telapaknya: bulir yang legam, bernas, berkilau-kilau, dan berberat jenis lebih dari pasir. Maka benda itu, tak lain tak bukan, adalah timah!
Enong melompat-lompat girang. Ia berputar dan menari. Ia menyanyikan If you're happy and you know it, clap your hands, dan ia bertepuk tangan, sendirian, di tengah hutan. Beban yang amat berat di pundaknya dirasakannya terlepas seketika. Akhirnya, ia menggenggam timah, akhirnya ia menggenggam harapan.
Ketika Enong tiba di tempat juru taksir, puluhan penambang pria telah berkumpul di sana. Hari Rabu, tempat itu selalu dipenuhi para penambang untuk menjual hasil dulangan mereka selama seminggu. Pria-pria itu memandang heran waktu Enong masuk ke dalam barisan antre. Mereka ingin mengejek, namun ragu sekaligus takjub. Siapa menduga, perempuan kecil berusia 14 tahun itu akhirnya mampu mendapat timah. Antara kagum, malu, dan iri, mereka kesulitan memulang-mulangkan kata meremehkan mereka pada Enong selama ini.
Enong tak memikul timah sekarung seperti pendulang pria lainnya. Timahnya hanya sekaleng susu kecil, tapi lebih dari cukup untuk sepuluh kilogram beras. Ia tak memedulikan pria-pria penambang yang memandanginya dan tak menyadari bahwa beberapa pria bermata jahat dan mengancam tengah mengamatinya dari pojok sana.
Malangnya, juru taksir yang culas, dengan berbagai alasan, tak menghargai timahnya.
"Kadar timahmu rendah sekali, Nong, tak lebih dari pasir!"
Enong tak paham dengan segala koefisien takaran timah. Ia bisa dibodohi siapa saja, yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana mendapat uang sesegera mungkin untuk mengatasi situasi darurat di rumah. Tanpa banyak cincong, ia menerima segenggam uang receh dari bekerja membanting tulang sehari-hari.
Enong bangga tak terkira. Ia membeli beras. Semangatnya meluap -luap karena untuk pertama kalinya ia merasa mampu berbuat sesuatu untuk ibu dan adik -adiknya. Sepanjang perjalanan pulang, sambil mengayuh sepeda dengan kencang agar cepat sampai di rumah, air matanya mengalir tak henti-henti.
Mozaik 12 Seribu Malaikat AKU tahu, orang yang dapat membantuku adalah Detektif M. Nur. Kusampaikan padanya bahwa kami harus menemui pemburu yang berhasil menangkap raja punai yang dirubung orang di pasar tempo hari. Di warung-warung kopi kudengar kabar, sang raja telah menjadi seekor pekatik-umpan-yang ulung.
Detektif M. Nur bertanya mengapa, kujawab: aku memerlukan pekatik itu karena ingin menghinggapkan punai di pohon kecapi di pekarangan A Ling, pada hari ulang tahunnya karena A Ling sangat kagum dan telah dirundung rindu
pada burung punai. Itulah hadiah ulang tahun dariku untuknya tahun ini.
Mendengar rencana yang ganjil sekaligus sangat ambisius itu, Detektif M. Nur yang memang memiliki struktur mulut cenderung menganga sendiri di luar kehendak tuannya, menjadi umpama buaya yang mau mendinginkan tekak. Tapi, mengingat perkawanan kami, yang telah terjadi bahkan sebelum kami lahir, serta utang uang-uang recehnya padaku-yang dengan cara menghina kecerdasannya sendiri, ia selalu berpura-pura lupa-ia tak punya pilihan lain selain menyokong apa pun yang kurencanakan. Hal serupa selalu kulakukan untuknya. Dalam sebuah kalimat bebas matematika, aku dan Detektif M. Nur disandingkan = kesintingan simetrik.
Tapi, kurang ajar betul, pemburu itu, yang buta huruf itu, dan berwajah seram itu, menyayangi pekatik-nya lebih dari ia menyayangi istrinya. Dari setiap pilihan katanya, jelas benar ia menekankan bahwa hanya dengan melangkahi mayatnya kami bisa memanfaatkan pekatik-nya.
Semula aku jengkel, tapi kuamati sekeliling ruang tengah rumah pondok berdinding kayu gelam yang dihuni pemburu itu dan keluarganya, satu-satunya hal yang mungkin bisa ia banggakan adalah sebuah almanak tahun lawas bergambar bintang film Richie Richardo. Maka, wajar saja ia bersikap fanatik pada raja punai itu karena hewan itulah satu-satunya benda di muka bumi ini yang dapat menopang harga dirinya.
Pekatik itu bertengger di setang sepeda. Waktu kulihat di pasar, ia sangat liar, matanya berkilat -kilat garang. Kuku-kukunya seperti mau merobek. Sekarang, ia masih memiliki aura seorang raja, tapi matanya redup dan gerak lakunya jinak. Pemburu menyentak setang, pekatik terbang, dan aku ternganga. Pekatik itu hanya terbang sejauh dimungkinkan tali rami yang menjalin kakinya, tanpa sedikitpun menegangkan tali itu, berarti, ia telah dilatih agar lihai mengulur tali. Pekatik mengambang macam capung, lalu hinggap kembali ke setang dengan anggun. Luar biasa, seekor raja punai yang sangat liar, yang pernah memimpin kawanan ribuan punai, telah dimentahkan pemburu menjadi serupa kumbang sagu mainan. Betapa adiluhung pemburu itu.
Tanpa kemampuan mengulur tali, seekor pekatik akan tergantung-gantung tanpa daya dengan kaku terjengkang, kepala mengarah ke bumi, dan mata melotot. Kawanan punai yang dipancing segera menjauh karena tahu punai kampungan macam itu hanyalah umpan.
Pembicaraan dengan pemburu selanjutnya menyakitkan hatiku. Sambil mengaduk-aduk rambut gondrongnya yang tak pernah disisir itu, ia mengumbar kisah tentang ribuan punai yang berkali-kali berhasil diperdaya pekatik-nya, sampai getah perangkapnya habis, sampai ia tak sanggup lagi menangkapi punai yang berserakan di tanah, sampai karung kecampangnya kepenuhan burung pun ai.
Dan bahwa, punai-punai tangkapannya disampir-sampirkannya seantero sepeda, dan ia melewati kampung sambil mendapat aplaus.
Dan bahwa, ia dan keluarganya sampai bosan makan burung punai, dimasak dengan cara apa
pun. Dan bahwa, namanya menjadi sangat tenar gara-gara pekatik itu.
Semua itu ia ceritakan tanpa sedikit pun tercium kesan ia rela pekatik-nya dipakai orang lain yang memerlukan. Seakan Allah menciptakan burung punai di dunia ini hanya untuk dirinya sendiri. Ia tak peduli padaku, tak peduli pada ulang tahun A Ling, dan tak mau tahu bahwa cintaku yang syahdu bersangkut paut dengan pekatik sialan itu.
Berkali-kali aku dan Detektif M. Nur datang ke rumahnya, ia tak bisa dirayu untuk meminjamkan pekatik-nya, diimingi apa pun ia bergeming, mau dibelikan tembakau, peneng sepeda, beras, tiket bioskop, baju Lebaran, lampu minyak, radio 2 band, ditampiknya, ia malah ketus.
Sayangnya, aku tak punya banyak uang yang mungkin bisa membuatnya berubah pikiran, jarang kusesali diri menjadi orang miskin, hanya pada saat-saat seperti ini, kupandangi sekeliling pondoknya dengan menanggung perasaan putus asa. Richie Ricardo tersenyum dari balik pilar sebuah rumah mewah. Lalu, ajaib, Richie mengerdipkan matanya padaku. Eureka! Aku terpikir akan sesuatu. Kubalas senyum Richie. Kudekati pemburu, kubisikkan bahwa aku punya banyak gambar Richie Richardo. Wajah pemburu menjad
i serius. "Bersama artis-artis ibu kota, Pak Cik!"
Pemburu tersenyum. Pada hari ulang tahun A Ling, subuh-subuh, aku dan Detektif M. Nur menyelinap dan naik ke dahan tertinggi pohon kecapi di pekarangan rumahnya untuk menenggerkan pekatik itu. Seutas tali rami yang tersambung ke dahan itu kami sembunyikan di pokok pohon.
Sore harinya, aku mengunjungi A Ling. Kupakai baju terbaikku. A Ling tampak sangat anggun dibalut chong kiun berwarna biru laut, pakaian kebangsaannya khusus untuk hari istimewa.
Sore itu sepi. Kami duduk di beranda. Angkasa kosong, hampa. Menjelang pukul 4, satu per satu kawanan burung punai mulai melintasi kampung menuju hamparan buah bakung di hulu sungai, nun di utara. Saat makan sore mereka tiba.
Burung-burung itu berarakan dari sarang-sarangnya di puluhan pulau terkecil Pulau Belitong. Kawanan-kawanan beranggota puluhan punai melesat dengan cepat, susul-menyusul dengan kawanan lain yang berjumlah ratusan.
A Ling terpesona melihat punai-punai itu dan mulai membicarakannya. Ia bersedih karena punai tak pernah lagi hinggap di pohon kecapinya. Kukatakan padanya, aku punya hadiah ulang tahun untuknya, ia bertanya, hadiah apa"
"Burung-burung punai itu."
Ia tergelak. "Terima kasih, tapi punai-punai itu punya Tuhan. Mereka ada di langit, tak bisa kauberikan padaku."
Aku memintanya berdiri di tengah pekarangan. Ia merasa heran dan sungkan, tapi akhirnya ia menurutiku, malas-malasan ia berjingkat-jingkat dengan terompah kayunya yang tinggi dan rok panjang chong kiun-nya yang pas, susah untuk berjalan.
Aku menuju pokok kecapi dan mulai menarik tali yang terhubung dengan dahan tempat pekatik bertengger. Kudengar kapak sayapnya. A Ling memandangiku penuh tanda tanya. Ia tak mengerti apa yang kulakukan dan ia tak tahu ada pekatik di dahan kecapi itu. Punai-punai yang bermata sangat tajam melihat pekatik dan tertarik. Mereka menukik dengan deras menuju kecapi, tapi kemudian kembali ke jalur asalnya. Kawanan-kawanan di belakangnya menyusul dan tampak takut dan ragu seperti kawanan tadi. Mereka kembali terang menjauh. Keadaan mulai menegangkan.
Kawanan lain bermanuver menuju kecapi, meliuk-liuk seakan menyelidiki situasi, pecah ke langit, semburat ke sembarang arah, bersatu kembali, lalu meluncur kencang ke utara. A Ling terkesima melihat punai yang tadi tinggi di angkasa tahu-tahu berkelebat-kelebat di dekatnya. Aku terus menyentak dahan, pekatik terbang mengulur tali sehingga terlihat oleh kawanan yang jauh. Mereka menyerbu pohon kecapi, tapi belum seekor pun yang berani hinggap A Ling makin heran melihat kelakuanku, namun ia tak mampu bergerak. Ia terpukau oleh kawanan punai yang berdesingan dari berbagai penjuru, hanya beberapa meter darinya. Wajahnya pucat, mulutnya komat-kamit.
"Punai ... punai ... punai
Tiba-tiba terdengar suara kepakan yang sangat besar, makin lama makin besar seperti puting beliung mendekat. Suara yang dahsyat itu berasal dari arah belakang rumah. Lalu, pekarangan menjadi gelap. A Ling menatap ke atas. Tubuhnya bergetar hebat. Sekawanan punai, beribu-ribu jumlahnya, terbang pelan dan sangat rendah mendekati kecapi, kemudian hinggap bergelayutan pada setiap dahan, ran ting, dan daunnya. Kecapi berubah menjadi pohon punai, tak tampak lagi daunnya.
Aku terpana, ternyata pemburu itu tak berdusta. Ternyata cerita yang selalu kudengar sejak kecil, tentang raja punai jika menjadi pekatik akan mampu memancing ribuan punai, bu kanlah cerita kosong. Namun, hampir tak terdengar suara apa pun. Ribuan burung yang cantik itu hanya diam seperti takzim di bawah daulat raja mereka. Sinar matahari menyirami bulu mereka, memantulkan warna hijau yang berkilauan. Sungguh sebuah pemandangan yang takkan gampang kulupakan.
Pekatik tak lagi terbang mengulur tali karena ia telah mendapatkan seluruh rakyatnya di depannya. Ia mengamati rakyatnya itu seperti menghitung jumlah mereka satu per satu. Ia sangat berbeda dari punai lainnya. Ia tampak sangat berwibawa, sangat dihormati. Ia benar-benar paduka raja yang penuh karisma. Wajah A Ling pias, gabungan antara terkejut, takjub, sekaligus takut.
Namun, semuanya berl angsung hanya sekejap, tak lebih dari 30 detik. Punai-punai itu kemudian bangkit bak sesosok raksasa dengan satu nyawa, lalu terangkat seperti helikopter ingin tinggal landas, dan terbang melewati A Ling sampai rambutnya tersibak sebab kepakan sayap beribu punai hanya berjarak sejengkal darinya. A Ling tak dapat bernapas. Burung-burung yang hebat itu lalu serentak melejit ke udara. Kepakan sayap mereka membahana memecah langit, lalu skuadron udara itu melesat dalam kecepatan yang mengagumkan. A Ling masih berdiri dengan gemetar. Ia memandangi punai-punai itu sampai jauh. Pipinya basah oleh air mata. Ia seperti baru saja melihat seribu malaikat. Lalu, ia jatuh terduduk di tengah pekarangan. Angkasa kembali kosong, hampa.
Mozaik 13 Bunga Serodja BERSEMANGAT setelah mendapat timah pertama, Enong semakin giat bekerja, ia tidak tahu, di pasar, di balik gelapnya subuh, pria-pria bermata jahat di tempat juru taksir itu telah bersiap membuntutinya. Mereka ingin mengintai lokasi Enong mendapat timah.
Enong melintas dengan riang sambil menyiulkan lagi If You'reHappyAnd You Know It, Clap Your Hands. Lima pria menjaga jarak dengan cermat dan bersepeda diam-diam di belakangnya. Di luar kampung, Enong memasuki jalan setapak menuju hutan. Kelima pria itu menyebar.
Siang itu, ketika tengah menggali tanah, Enong mendengar salak anjing. Salak dari begitu banyak anjing. Ia berbalik dan terkejut melihat beberapa orang pria berlari menyongsong dari pinggir hutan sambil mengacung-ngacungkan parang, panah, dan senapan rakitan. Mereka berteriak-teriak mengancam dan melepaskan tali yang mengekang leher belasan ekor anjing pemburu.
Enong sadar mungkin ia telah memasuki lahan orang. Ia maklum akan bahaya besar baginya. Ia berlari menyelamatkan diri. Melihatnya kabur, orang-orang itu makin bernafsu mengejarnya. Mereka mengokang senapan rakitan, menembaki dan memanahnya. Enong pontang-panting menerabas gulma. Ia panik mendengar letusan senjata dan melihat anak -anak panah berdesingan di dekatnya.
Salak anjing meraung-raung. Enong diburu seperti pelanduk. Ia berlari sekuat tenaga karena takut diperkosa dan dibunuh. Ia tak memedulikan kaki telanjangnya yang berdarah karena duri dan pokok kayu yang tajam. Malangnya, ia tak dapat lari lebih jauh karena di depannya mengadang tebing yang curam. Di bawah tebing itu mengalir sungai yang berjeram-jeram. Enong menoleh ke belakang. Anjing-anjing pemburu sudah dekat. Ia berlari menuju tebing dan tanpa ragu ia meloncat. Tubuh kecilnya melayang, lalu berdentum di permukaan sungai. Ia tenggelam bak batu, tak muncul lagi.
Enong lolos dari orang-orang yang memburunya karena nekat terjun dari tebing hulu sungai. Harapannya untuk selamat amat kecil, namun dimakan buaya, mati terbentur batu di dasar sungai, atau tewas tenggelam, jauh lebih baik daripada diperkosa dan dibunuh. Di tengah hutan itu, hukum tak berlaku, tak seorang pun akan menolongnya.
Kepalanya terhempas di dasar sungai. Ia pingsan. Arus yang deras mengombang-ngambingkannya sekaligus membuatnya terlepas dari incaran buaya. Ia terlonjak-lonjak menuju ke hilir. Ia masih bernapas.
Ketika sadar, ia mendapati dirinya tersangkut di akar bakau. Rembulan kelam terpantul di atas sungai yang keruh. Ia bangkit dengan susah payah, compang-camping. Kepalanya terluka dan mengeluarkan darah, ia terseok-seok meninggalkan muara.
Sungguh mengerikan apa yang telah ia alami. Beberapa hari Enong tak berani keluar rumah. Ia tak pernah menceritakan kejadian itu pada siapa pun. Tidak juga pada ibunya. Sejak itu, Enong tak bisa mendengar suara anjing menggonggong. Jika mendengarnya, ia merinding ketakutan. Kejadian itu telah membuat Enong trauma. Namun, di rumah ia dihadapkan pada pilihan yang amat sulit. Ia berusaha melupakan kejadian yang menakutkan itu. Ia harus kembali menambang karena ia, adik -adiknya, dan ibunya, sudah memasuki tahap terancam kelaparan.
Suatu ketika, dalam perjalanan menuju ladang tambang, Enong mendadak berhenti di muka warung kopi Bunga Serodja. Enong tertegun di samping sepedanya. Tubuhnya gemetar melihat wajah-wajah lelaki sangar yang minggu lalu m
emburunya di hutan. Mereka mengelilingi seorang pria yang tampak amat disegani. Ia paham bahwa lelaki-lelaki pemburunya itu adalah orang bayaran pria itu. D ibenamkan wajah pria itu ke dalam benaknya. Kemudian, setelah sekian lama menatap wajah lelaki itu, Enong mendengar salakan belasan ekor anjing yang ganas, memekakkan telingannya. Padahal, tak ada seekorpun anjing di situ. Enong ketakutan dan menutup telinganya dengan tangan sehingga sepedanya terjatuh.
Pria tak menyadari bahwa Enong sedang menatapnya, bahwa saat itu mereka terisap ke dalam pusaran nasib yang sama, dan ketika nanti mereka berjumpa lagi, Enong yang teraniaya akan membatalkan pria kejam itu dari ambisi besarnya.
Mozaik 14 Numpang Miskin NUMPANG Miskin adalah sebuah tempat yang semula asrama yang disediakan pemerintah untuk menampung mantan pekerja tambang dari Tiongkok. D ulu mereka didatangkan ke pulau kami oleh Belanda. Mereka tak bisa berbahasa Melayu atau Indonesia.
Sesuai kontrak yang mereka sepakati dengan kompeni, buruh yang setia itu tak satu pun pernah kawin. Meski kompeni sudah terpelencat, mereka tak pernah mengkhianati kontrak itu, jika ingin melihat contoh kehormatan akan profesi dan janji, lihatlah mereka. Kini mereka renta dan saru per satu meninggal. Orang-orang Tionghoa lain yang bermukim di seputar asrama itu membuat Numpang Miskin menjadi kampung. A Ling tinggal dengan pamannya di sana.
Beberapa hari setelah kejadian burung punai itu, aku berkunjung lagi ke Numpang Miskin, kulihat sebuah layangan ikan bulan terapung-apung di atas atap rumah A Ling. Kuingat, layangan itu adalah hadiah ulang tahunku yang pertama untuknya waktu aku kelas 3 SD dulu. M asih ada Tulisan namaku, Ikal, dekat terajunya. Ternyata ia masih menyimpannya. Lalu, aku mengunjungi pemburu.
Kudesak pemburu agar membebaskan pekatik. Tentu saja ia menolak dengan keras sambil bertanya dengan marah, mengapa aku memberinya usulan yang sama sekali takkan mungkin diterimanya itu. Pekatik itu segala-galanya baginya, lambang wibawanya di kampung. Ia merasa tersinggung. Sulit kutemukan kata-kata untuk menjelaskan pada manusia berkepala batu itu tentang ap a yang telah kusaksikan di pohon kecapi antara sang raja punai dan rakyatnya.
Kudekati ia, kubisikkan bahwa aku masih punya banyak gambar Richie Richardo dan akan kubingkai dengan indah di Tanjong Pandan. Ia mulai ragu. Kugunakan politik lain, yakni membuatnya merasa hebat dengan meyakinkannya bahwa membebaskan pekatik justru akan menambah harum namanya.
"Bayangkan, orang lain setengah mati ingin menangkap raja burung punai, gagal, Pak Cik justru melepaskannya. Bukan main agungnya jiwa Pak Cik, ni."
Hidungnya mengembang dan ia semakin ragu. D etik itu aku tahu, pemburu b erwajah seram itu sedikit banyak seorang megalomania. Lalu, aku menjadi tendensius.
"Tengoklah, kurap di leher Pak Cik itu tak sembuh-sembuh karena Pak Cik terlalu banyak makan daging punai!"
Pemburu terpana. Richie Richardo, nama yang harum, dan kurap adalah kombinasi tiga hal yang melumpuhkannya. Ia tersenyum. Aku minta diizinkan membuka tali rami yang telah lama melilit kaki pekatik itu. Kubuka lilitan itu pelan-pelan, lalu kugenggam pekatik dengan kedua tangan. Segenggam penuh. Kurasakan jantungnya berdetak dengan keras pasti karena ia ingin sekali bebas, pasti karena ia
marah, merasa terhina, dan ingin melawan, ia adalah paduka raja yang seharusnya bersama rakyatnya. Detak jantungnya mengalir melalui telapak tanganku, melewati pembuluh nadiku, lalu berkejaran dengan degup jantungku.
Kuangkat tanganku dan kutunjukkan sang baginda kepada matahari. Aku merasa terho rmat dapat membebaskannya. Kulontarkan sang raja ke udara. Ia terbang dengan gagah membentuk putaran kecil mengelilingi rumah pemburu, terus berputar, semakin lama putarannya makin besar, kemudian ia melesat ke utara menuju rakyatnya. Sang raja telah bebas merdeka.
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan tak sabar menunggu Mualim Syahbana berlayar ke Jakarta. Tekad untuk melarikan A Ling semakin kuat, sekuat rasa sakit karena memusuhi Ayah, sekuat pula rasa rindu pada kedua orang itu. A Ling dan
Ayah telah berkembang menjadi pilihan sulit yang semakin kejam menderaku. Lalu, pelan-pelan cinta itu menang, sebuah kemenangan yang penuh kesedihan.
Jika sore, aku minta penyiar Radio AM Suara Pengejawantahan untuk memutar lagu pesananku. Lalu, aku bersepeda pontang-panting ke Numpang Miskin, hanya untuk menanyakan pada A Ling apakah ia mendengar lagu yang baru saja kukirim untuknya. Ia mengangguk sambil tersenyum, dan aku pulang lagi, ya, aku pulang lagi, begitu saja. Tak dapat dipungkiri, hal paling sinting yang mungkin dilakukan umat manusia di muka bumi ini sebagian besar berasal-muasal dari cinta.
Sore itu, aku kembali mengirim lagu, dan lintang pukang ke Numpang Miskin. Namun, tak seperti biasanya, A Ling tak ada. Aku sedih karena tak jumpa, dan kecewa, karena ia tak mendengar lagu kirimanku. Tetangganya memberi tahuku, seorang pria telah menjemputnya. Pria itu memboncengnya naik sepeda ke pasar.
Selidik punya selidik, soal pria menjemput A Ling itu rupanya telah beb erapa kali terjadi. Informasi itu kudapat dari Detektif M. Nur.
"Aku punya mata-mata ni Numpang Miskin, Boi," dengusnya.
"Lelaki yang suka menjemput A Ling itu ganteng bukan main. Macam bintang pelem Hong Kong! Tinggi pula badannya. Terbantinglah kau, nges, nges."
Detektif M. Nur mengipas-ngipasiku sambil menatapku dari kaki ke kepala. Terang sekali ia menyebut kata saingan, kentara sekali ia menyebut tinggi. Aku jengkel dan penasaran, benarkah semua itu" Siapakah lelaki yang tak tahu adat itu" Geram nian hatiku. Aku merasa telah dilahirkan ke muka bumi ini sebagai satu-satunya lelaki yang berhak membonceng A Ling naik sepeda!
Beberapa hari kemudian, sungguh mengejutkan, melalui jaringan penggosip warung kopi, kudengar kabar angin yang merisaukan bahwa lelaki itu akan melamar A Ling. Skandal pun dimulai.
Mozaik 15 Jose Rizal AKU terkejut, seekor merpati pos hinggap di beranda rumah Mapangi. Ia menggerung-gerung seolah aku disuruhnya mendekat. Kuhampiri dan ia jinak. Aku terkesima melihat gulungan kertas kecil terikat di kakinya. Astaga, rupanya burung itu bukan sekedar merpati pos hiasan yang dipelihara para penghobi, tapi benar-benar merpati pos yang dititipi surat. Ia berjingkat-jingkat, seakan menyuruhku membuka ikatan kertas di kakinya itu.
Jantungku berdebar karena banyak alasan. Pesan itu pasti bersangkut paut denganku karena keluarga Mapangi selalu berada di laut. Hanya aku yang tinggal di rumahnya. Menerima sepucuk surat dari seekor burung merpati, bukankah menakjubkan " Rasanya aku berada di masa lalu, pada masa jaya Kesultanan Melaka, waktu para punggawa saling bertukar pesan lewat burung merpati. Hebat sekali, orang yang bisa melatih hewan sehingga begitu pintar.
Berdesir hatiku membuka gulungan pesan itu. Di sana tertulis:
Ke hadapan kawanku, Ikal....
Melalui Jose Rizal, kusampaikan betapa aku merasa bersedih atas kesusahan yang menimpamu. Aku tahu kau merana. Aku tahu kau tersiksa. Cinta, memang kejam tak terperi. Tapi, aku di sini, Kawanku, siap sedia membantumu, dan aku punya informasi lebih mendalam soal ini. Aku telah mengenal sainganmu itu. Tegakkan badanmu, tabahkan hatimu.
Ttd, M. Nur, detektif Oh, rupanya detektif swasta itu. Ia memang terkenal sebagai pelatih merpati. Detektif M. Nur yang eksentrik. Rumahnya hanya berjarak tujuh wuwungan dari rumah Mapangi, tapi ia harus menyampaikan berita simpati atas penderitaanku melalui burung merpati. Ia memang selalu terobsesi dengan rahasia, spionase, mengintai, menyamar, menyelinap, dan mengendap -endap. Itu sakit gila nomor 31.
Mulanya aku heran, siapakah Jose Rizal" Kuamati gelang yang melingkar di kaki kanan burung merpati itu. Mata gelang itu sebuah lempeng aluminium dengan inisial: J.R. Na! aku mengerti, Jose Rizal tak lain nama merpati pos itu. Sungguh luar biasa, lebih bagus dari nama orang Melayu mana pun.
Kubelai-belai Jose Rizal. Kupikir ia akan segera terbang setelah menyampaikan amanah. Tapi, tidak. Ia berjingkat-jingkat. Dipatukinya kertas kecil di tanganku. Aku terpana karena paham maksudnya. Ternyata Detektif M. Nur telah melatih Jose sedemikian hebat. Ia tak mau pergi s
ebelum menerima balasan surat.
Aku mengambil pulpen, lalu menulis di belakang kertas pesan tadi: Detektif M. Nur, Kawanku....
Terima kasih atas kebaikanmu yang telah membesarkan hatinya yang sengsara ini. Suratmu sungguh telah melapangkan dadaku. Betapa mulia hatimu. Surga, itulah ganjaran yang mahatinggi untuk orang sepertimu. Namun, Kawanku, sudikah kauberitahukan padaku, siapakah gerangan lelaki yang telah mencuri belahan hatiku itu"
Ttd, Ikal, yang dilanda nestapa.
Menanggapi orang sakit gila nomor 31 adalah sakit gila nomor 32. Kuikatkan gulungan kertas itu di kaki Jose, ia take off. Tak lama kemudian, Jose kembali. Pesannya: Ikal yang budiman....
Nama orang itu adalah Zinar! Nama yang hebat, bukan" Nama itu seindah orangnya. Tampan bukan buatan, Boi. Tinggi semampai. Kurasa kau harus datang ke rumahku untuk membicarakan hal ini!
Ttd, M. Nur, detektif Aku merinding membaca surat itu, dan tentu saja Jose Rizal tak mau pergi sebelum aku menjawab.
Baiklah, aku akan datang ke rumahmu, nanti malam, pukul8. Jose Rizal terbang. Sejurus kemudian, datang lagi. Kutunggu.
Aih, betapa merepotkan, kasihan aku melihat Jose Rizal yang agak gendut itu bolak-balik. Ia tersengal-sengal meski tetap riang. Padahal, Detektif M. Nur bisa dengan gampang ke rumah Mapangi untuk membicarakan semuanya. Tapi, kuikuti saja pikiran sintingnya, lagi pula jika tak kujawab, Jose Rizal tak mau pulang.
Baiklah. Jose Rizal tak datang lagi.
Mozaik 16 Waktu WAKTU yang hakikat. Bagi para pesakitan, waktu adalah musuh yang mereka tipu saban hari dengan harapan. Namun, di sana, di balik jeruji yang dingin itu, waktu menjadi paduka raja, tak pernah terkalahkan. Bagi para politisi dan olahragawan, waktu adalah kesempatan yang singkat, brutal, dan mahal.
Para seniman kadang kala melihat waktu sebagai angin, hantu, bahan kimia, seorang putri, payung, seuntai tasbih, atau sebuah rezim. Salvador Dali telah melihat waktu dapat meleleh.
Bagi para ilmuwan, waktu umpama garis yang ingin mereka lipat dan putar-putar. Atau lorong, yang dapat melemparkan manusia dari masa ke masa, maju atau mundur. Bagi mereka yang terbaring sakit, tergolek lemah tanpa harapan, waktu mereka panggil-panggil, tak datang-datang.
Bagi para petani, waktu menjadi tiran. Padanya mereka tunduk patuh. Kapan menanam, kapan menyiram, dan kapan memanen adalah titah dari sang waktu yang sombong. Tak bisa diajak berunding. Tak mempan disogok.
Bagi yang tengah jatuh cinta, waktu mengisi relung dada mereka dengan kegembiraan, sekaligus kecemasan. Karena teristimewa untuk cinta, waktu menjelma menjadi jerat. Semakin cinta mel ekat, semakin kuat waktu menjerat. Jika cinta yang lama itu menukik, jerat itu mencekik.
Patung Emas Kaki Tunggal 10 Rajawali Emas 14 Tapak Asmara Selir Pamungkas 1

Cari Blog Ini