Bidadari Bidadari Surga Karya Tere Liye Bagian 5
cemas apakah kali ini mereka akan berhasil atau gagal total. Dua sigung bebal itu malah asyik bermain ke kota kecamatan. "Kenapa sih ia harus sibuk lapor Mamak.... Sok ngatur. Lihat, dua tiga tahun lagi, pastilah kita lebih tinggi dibanding tubuh pendeknya...." Ikanuri bergelung, terus ngomel. Gerimis membasuh lembah. Deru angin lembah membawa rinai air. Membasahi tubuh mereka yang sejak tadi sore berusaha tidur. "Pendek! Hitam! Jelek!" Puas sekali Ikanuri mendesis.
Desisan yang membuat langkah Yashinta terhenti. Yashinta saat itu sembunyi-sembunyi hendak mengantarkan selimut buat kakaknya, biar tidak kedinginan di luar. Desisan yang membuat Yashinta membeku. Saat itu usia Yashinta delapan tahun, sudah bisa mengerti banyak hal. Malam itu Yashinta akhirtiya tahu satu fakta yang akan ia simpan seumur hidupnya. Gemetar Yashinta kembali menaiki anak tangga, ke atas. Urung memberikan selimut. Nafasnya tersengal. Kak Ikanuri jahat. Jahat sekali. Menghina Kak Laisa seperti itu. Ingin rasanya Yashinta berteriak. Menimpuk Kak Ikanuri dengan bongkahan tanah. Tapi ada hal lain yang membuatnya lebih sesak: Ia bukan kakak kita. Ia pendek. Hitam. jelek. Yashinta berlari masuk ke dalam kamar. Malam itu ingin sekali Yashinta langsung bertanya pada Mamak, bertanya pada Kak Dalimunte, apa maksud kata-kata Kak Ikanuri barusan. Apa benar Kak Laisa bukan kakak mereka. Tapi mulutnya bungkam. Yashinta tidak pernah kuasa bertanya. Malam itu saat yang lain sudah jatuh tertidur (termasuk dua sigung nakal di bawah rumah), Yashinta masih terjaga. Ia merangkak mendekati Kak Laisa. Lembut jemari Yashinta mengusap wajah Kak Laisa. Rambut gimbalnya. Wajah dengan kulit hitam. Hidung pesek. Mulut Kak Laisa yang sedikit terbuka, memperlihatkan gigi-gigi besar, tidak proporsional. Yashinta menelan ludah, Membandingkan wajah itu dengan wajahnya melalui cermin peraut pensil. Kak Laisa sungguh berbeda.... Tapi bagaimann mungkin Kak Laisa bukan kakaknya" Dan Yashinta entah oleh kekuatan apa, tidak pernah kuasa menanyakan soal itu kepada yang lain. Tidak pada Mamak. Tidak pada Kak Dalimunte. Tidak pada dua kakaknya yang nakal itu. Pernah ia hampir terlepaskan bertanya pada Wak Burhan, tapi segera menutup mulutnya. Bagaimanalah kalau itu semua benar" Bagaimanalah kalau Kak Laisa memang bukan kakaknya" Yashinta, sejak sekecil itu sudah amat menghargai Kak Laisa. Ketakutannya atas kemungkinan jawaban tersebut, membuatnya bungkam selama puluhan tahun.Bahkan memutuskan untuk tidak akan pernah bertanya.Tidak akan ada bedanya. Apapun jawabannya, Kak Laisa tetap menjadi kakaknya. "Tapi Tante Yash sekarang sudah di mana, Wak" Kok nggak nyampe-nyampe, sih"" Intan bertanya ingin rahu. Yang ditanya tidak menjawab. Mata Wak Laisa sudah kembali terpejam. Tertidur. Di manakah Yashinta"
Seekor peregrin melenguh. Melintas kabut yang menutupi lereng terjal Semeru. Kepakan sayapnya terlihat elok. Bagai pesawat tempur F-16. Menderu membelah senyap. Menerabas pucuk-pucuk pohon. Lantas bagai ballerina sejati, berhenti tepat sebelum menghantam salah satu dahan, anggun mendarat. Perfecto, Peregrin itu melenguh lagi. Kemudian loncat menuruni dahan kayu satu demi satu. Hingga tiba di semak-semak. Satu meter dari tanah basah lereng Semeru. Kepalanya bergoyang-goyaitg. Ekornya bergerak-gerak. Suaranya mendesis, tapi sekarang terdengar seperti cicitan iba, menatap ke bawah. Menatap ke tubuh yang terbanting, tidak sadarkan diri di atas belukar. Tubuh yang tidak sadarkan diri selama dua puluh jam terakhir. Di sekitar tubuh itu, dua ekor bajing juga ikut mendekat. Kepala mereka naik turun. Mendesis. Berlari kesana-kemari. Berhenti. Berlari lagi kesana-kemari. Berhenti. Ikut menatap tubuh yang tergolek lemah itu. Dan, ya Allah, siapa bilang tidak ada lagi harimau jawa di Gunung Semeru" Penelitian itu, yang menyimpulkan spesies langka itu sudah punah di rimba Semeru seperti sebuah kesia-siaan besar. Lihatlah, seekor harimau jawa, yang lebih besar dibandingkan penguasa Gunung Kendeng, berjalan memutari belukar itu. Berhenti sejenak. Mendengkur.
RRR. Tapi itu bukan dengkuran bahaya. Itu dengku
ran penuh rasa iba. Seperti induk melihat anaknya terluka. Menatap tubuh yang tergolek lemah. Lantas berpulang lagi. Seperti seekor penjaga. Begitu saja yang dilakukan harimau besar itu dua puluh jam terakhir. Ya Allah, hanya Wak Burhan yang pernah tahu sejatinya apakah penduduk Lembah Lahambay pernah memiliki kemampuan mengendalikan binatang liar. Ilmu Pesirah itu. Tubuh itu adalah Yashinta. Gadis manis, 34 tahun. Yang dua puluh jam lalu bergegas menuruni lereng terjal Semeru demi mendengar kabar Kak Laisa sakit keras. Nahas, setetah rekor mendaki 27 gunung di seluruh dunia dengan seluruh stamina fisik yang luar biasa, dua puluh jam lalu, kakinya terperosok ke batuan ringkih. Batu itu merekah. Yashinta kehilangan keseimbangan. Lantas tubuhnya mental. Bagai burung tanpa sayap, menghujam masuk ke dalam lembah menganga. Sekali. Dua kali. Berkali-kali tubuhnya menghantam dahan-dahan kayu. Terus jatuh berdebam Semakin dalam. Sangkut-menyangkut di ranting pohon, Jatuh lagi. Sangkut di semak belukar. Jatuh lagi. Terjepit. Lantas meluncur ke dasar lembah. Menghantam rerumputan dangkal. Seketika tak sadarkan diri. Telepon genggam satelit itu sudah sejak lima belas detik lalu jatuh menghajar bebatuan. Pecah berhamburan. Dan gadis cantik itu tergolek tak berdaya di atas rumput. Sempurna terputus dari hingar-bingar dunia. Tidak ada yang tahu. Dua rekan penelitinya tertinggal dua ratus meter di belakang. Tidak melihat saat Yashinta jatuh. Dua rekan penelitinya terus saja turun sambil mengomel soal betapa cepatnya kaki Yashinta. Lupa memperhatikan dahan kayu yang patah. Lupa memperhatikan jejak kaki Yashinta sudah tidak ada lagi di jalan setapak. Yashinta dengan muka luka, kaki patah, tergolek tak berdaya. Dua puluh jam lamanya, hingga keajaiban itu terjadi. Hingga kecintaan pada saudara karena Allah, rasa berserah diri yang tinggi kepada kuasa langit, ritual ibadah yang penuh pemaknaan, kebaikan dengan sesama, proses bersyukur yang indah, mampu membuat manusia menembus batas-batas akal sehat itu. Ya! Kak Laisa-lah yang membangunkan Yashinta dari pingsannya. Yashinta kecil berangsur-angsur sembuh. Pertolongan mahasiwa kedokteran yang sedang KKN itu tepat waktu. Panasnya mereda. Batuknya berkurang. Muka pucatnya kembali memerah. Satu minggu kemudian gadis kecil itu malah sudah bisa kembali sekolah. Tetapi Kak Laisa belum. Mata kakinya yang bergeser setelah menghajar tunggul kayu di lereng lembah, membuatnya tersiksa hampir sebulan. Diurut berkali-kali oleh Wak Burhan. Benar-benar ngeri melihat Kak Laisa diurut. Bagaimanalah" Persendian itu dipaksa kembali ke tempat semula. Kak Laisa menggigit gumpalan baju. Matanya berair. Tubuhnya mengejang. Tapi ia tidak berteriak. Dua sigung kecil itu saja yang selama ini tidak peduli dengan Kak Laisa ikut jerih melihatnya. Dalimunte hanya diam. Yashinta menangis. Ia tahu kalau kaki Kak Laisa begitu karena memaksakan diri malam-malam menjemput mahasiswa KKN di kampung atas. Tapi Kak Laisa tidak mau membicarakan kejadian malam-malam di tengah hujan Itu ia sudah kembali sibuk. Meski kakinya belum sembuh benar, Kak Laisa tetap memaksakan diri bekerja di kebun. Makanya butuh waktu sebulan untuk sembuh total, karena lagi-lagi persendian itu bergeser. Pagi datang menjelang di Lembah Lahambay. Burung berkicau bagai orkestra. Kabut putih mengambang. Ditembus sinar matahari. Berlarik-larik seperti lukisan, elok melihatnya. Uwa di kejauhan sibuk berteriak. Meningkahi desis jangkrik dan ribuan serangga lainnya. "Kau benar kuat mengangkat segitu, Yash"" "He-eh."
Yashinta mengangguk, merengkuh dua belas batang umbut rotan (ujung rotan yang masih muda). Di potong potong sepanjang enam jengkal. Bisa disayur. Bisa juga dijual ke kota kecamatan. Harganya lumayan mahal. Kak Laisa pagi ini mengajak Yashinta mencari umbut rotan di pinggir hutan. Sekalian melihat lima anak berang-berang itu lagi. Sebenarnya Yashinta tidak terlalu yakin apa ia cukup kuat mengangkat dua belas potong umbut rotan itu. Kak Laisa kakinya kan masih sakit, masih dibebat kain, jadi ia memutuskan mengangkut segitu. Biar beban Kak Laisa banyak.
Terhuyung. Tubuh kedl Yashinta terhuyung. "Kau benaran kuat, Yash"" "He-eh." Yashinta mengangguk lagi. Berpegangan kokoh ke ranting semak belukar. Menggigit bibir. Lantas mulai melangkah. Sebentar lagi ia juga terbiasa kok dengan berat ini. Awalnya bergetar, tapi perlahan kakinya mulai mantap menyusuri jalan setapak. Tuh kan, Yashinta kuat kok. Nyengir. Kak Laisa yang berjalan di belakangnya tersenyum. Suara burung semakin ramai menjemput pagi. Saling sahut. Dua ekor bajing berlarian di dahan-dahan tinggi. Kecipak suara air mengalir di sungai kecil terdengar menyenangkan, Yashinta mulai ikut bersenandung. Tadi seru sekali melihat kembali berang-berangnya. "Kau minggu depan mau ikut Kakak lagi ambil umbut rotan"" "He-eh." Yashinta langsung menjawab. Tertawa. Kak Laisa ikut tertawa. Mereka tiba di anak sungai yang lebih lebar. Harus meniti jembatan kayu kecil untuk menyeberanginya. Yashinta kembali bersenandung. Semakin lama, dua belas potong umbut rotan di pundaknya semakin terasa ringan. Sayang, seekor kodok yang sedang mematung di jembatan kayu itu tiba-tiba loncat. Yashinta berseru kaget. Kodok itu cueknya justru loncat ke perut Yashinta. Gadis kecil itu reflek menghindar. Celaka! Kakinya kehilangan keseimbangan. Berdebum. Tubuhnya yang melintir terjatuh dari atas jembatan. "YASH!" Kak Laisa berseru tertahan. Tinggi jembatan itu hanya satu meter. Masalahnya air sungai di bawah dangkal, hanya sejengkal. Dipenuhi bebatuan pula. Dan kesanalah tubuh kecil itu terhujam. Dua belas potong umbut rotan itu berhamburan. Dan dalam gerakan lambat yang mengerikan, kepala Yashinta menghantam bebatuan. "YASH! YA ALLAH!" Kak Laisa pias sudah. Tersadarkan dari pemandangan itu. Melempar bawaan di pundaknya. Gemetar menuruni jembatan. Gemetar meraih tubuh adiknya yang basah. "YASH.... YASH!" Tubuh adiknya, ya Allah, pelipis adiknya berdarah. Luka. Cairan merah itu menggenangi sungai. Membuat garis panjang. Kak Laisa pias. Sungguh pias. Tangannya patah-patah merengkuh Yashinta. Menggendong ke tepi sungai Tidak peduli persendian mata kakinya bergeser lagi. Tidak peduli rasanya amat sakit. Kak Laisa benar-benar takut. Lihatlah. Adiknya seketika pingsan. "Yash.... Yash, bangun " Gemetar Kak Laisa memeriksa seluruh tubuh Yashinta. Tidak ada yang luka, hanya pelipis. Tapi lukanya besar. Robek. Melepas bebat kain di kepala. Mengelap darah. Percuma. Darah kembali mengucur deras. Aduh, Kak Laisa semakin gugup. "Yash.... Kakak mohon, bangunlah..." Kak Laisa menangis. Ketakutan itu tiba-tiba mencengkeram jantungnya. Ia sungguh lebih takut dibandingkan saat kejadian di Gunung Kendeng lalu. Ini semua salahnya. Tidak
seharusnya mengajak Yashinta yang baru sembuh dari sakit ikut mencari umbut rotan sekalian melihat anak berang-berang. Tidak seharusnya ia membiarkan Yashinta menggendong lebih banyak potongan umbut rotan. Tubuh Yashinta mulai dingin. "Yash...." Kak Laisa panik menciumi pipi adiknya. Suaranya mencicit. Ya Allah, bagaimanalah ini" Apa yang harus ia lakukan" Menggendong Yashinta pulang" Ya Allah, kenapa jemari adiknya semakin dingin. Apa yang akan ia bilang ke Mamak" Lais jaga adikmu. Mamak selalu berpesan begitu, bahkan meski untuk urusan sepele saat mengajak Yashinta mandi di sungai cadas. Tubuh Laisa ciut oleh perasaan takut. Amat gentar. Darah semakin banyak keluar. Tubuh itu semakin dingin. "Yash.... Ya Allah..."Kak Laisa tersungkur sudah, suaranya mendecit penuh permohonan, "Lais mohon.... Ya Allah, jangan ambil adik Lais " Kak Laisa kalap memeluk tubuh adiknya. Menciumi rambut basah adiknya. "Lais mohon, ya Allah... Jika Engkau menginginkannya, biarkan Lais saja, biarkan Lais saja...." Kalimat itu begitu ihklas terucap. Oleh rasa sayang yang tak terhingga.
Harimau besar itu menghentikan putarannya. Ekornya berkibas pelan. RRR. Menggerung pelan. Lantas terdiam. Menatap tubuh Yashinta yang tergolek di atas belukar. Semburat cahaya matahari pagi yang menerobos dedaunan menyinari tubuh itu. Kabut mengambang. Tadi malam berjaganya harimau itu membuat seekor beruang gunung mengurungkan niat mencabik-cabik tubuh tak berdaya Yashinta. Ha
rimau itu sekarang mematung, seperti bisa menatap siluet indah yang sedang mengungkung tubuh Yashinta. Dua bajing yang juga mengawasi tempat itu ikut terdiam Naik turun, celingak-celinguk kepalanya terhenti, Menatap siluet indah yang sedang mendekat. Mengambang turun. Burung peregrin itu melenguh lemah. Kemudian senyap. Cahaya indah itu menguar di atas tubuh Yashinta. Seperti parade yang turun membelah kabut. Kemilau tiada tara. "Ya Allah, Lais mohon, jangan ambil adik Lais...." Siluet cahaya itu membungkuk, mencium kening Yashinta lembut Senyap. Lereng Gunung Semeru hening. "Bangunlah adikku, Kakak menunggu di rumah...." Lantas sekejap kemudian sirna. Menghilang. Tubuh yang sudah dua puluh jam pingsan itu pelan membuka mata. Mengerjap-ngerjap. Yashinta berseru terbata "Kak Lais...""
38 MAAFKAN KAMI TENGAH malam kedua di lembah sejak SMS dari Mamak. Dalimunte masih terjaga. Juga Mamak dan yang lain. Kak Laisa jatuh tertidur, kondisinya tetap status quo. Kata dokter, tidak membaik, juga tidak memburuk. Juwita dan Delima meski tadi ngotot bilang ingin menunggu Abi-Abi mereka (Ikanuri dan Wibisana) tiba, tapi tubuh kanak-kanak mereka terlanjur lelah. Digendong Ummi masing-masing masuk kamar besar, lantai dua. Intan yang terakhir digendong masuk kamar. Telepon genggam Dalimunte berdengking. Buru-buru diangkat, siapa pula yang tengah malam begini menghubunginya. Tidak mungkin Ikanuri dan Wibisana, karena mereka lima belas menit lalu baru saja lapor sudah tiba di kota kecamatan. Sekarang sedang ngebut
secepat mobil balap itu bisa melaju ke perkebunan strawberry. Berusaha menepati janji, tiba sebelum tengah malam. Apakah Yashinta yang telepon" Goughsky. Ternyata yang menelepon WNI keturunan Uzbekistan itu. "Yashinta sudah ditemukan, Kak Dali " Pelan saja Goughsky melapor. Langsung ke pokok pembicaraan. Tapi meski pelan, membuat Dalimunte berseru tertahan. "Kami menyebar belasan orang mencarinya. Menyusuri jalan setapak, memeriksa lembah, sia-sia... Saat kami mulai putus-asa, ia sendiri yang datang ke posko pendakian, dengan kaki patah. Ya Allah, andaikata Kak Dali bisa melihat energi sebesar itu. Yashinta memaksa kakinya berjalan delapan kilometer, dengan tubuh terluka, pelipis berdarah...." Dalimunte sudah tidak mendengarkan detail lagi. Kabar adiknya ditemukan selamat membuatnya lega bukan main. Sejak Ikanuri dan Wibisana mengontak Goughsky tiga puluh enam jam lalu dari Paris, kecemasan atas nasib Yashinta meninggi. Apalagi dua rekan Yashinta justru bingung saat tahu Yashinta belum tiba di posko awal pendakian Gunung Semeru. Tim SAR setempat diturunkan, Goughsky yang sama hafalnya dengan Yashinta jalur pendakian Semeru memimpin pencarian. Siang malam. Menyusuri semua kemungkinan. Dua puluh empat jam berlalu, mereka akhirnya menemukan telepon genggam satelit Yashinta yang remuk, tapi tidak ada tubuh Yashinta di atas belukar itu. Hanya seekor peregrin dan dua ekor bajing yang sibuk memperhatikan. Dan lima menit yang lalu, betapa terkejutnya Tim SAR yang berjaga di posko awal pendakian, Yashinta datang sendiri dengan tubuh luka, tertatih dengan tongkat seadanya di tangan. Langsung jatuh pingsan. Goughsky segera meluncur turun. Menghentikan pencarian. Menelepon Dalimunte. Melaporkan kondisi terakhir. "Yashinta baik-baik saja.... Hanya lelah, terlalu lelah.... Ya Allah, saya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.... Dia bertahan hidup selama tiga puluh enam jam tanpa air minum sekalipun..." Dalimunte menelan ludahnya. Ketegangan itu mencair. Mamak menatapnya. Ingin tahu apa yang membuat wajah Dalimunte berubah sedemikian rupa. Juga Cie Hui, Wulan dan Jasmine. "Aku akan segera membawa Yashinta pulang ke perkebunan. Sebentar lagi helikopter milik Mr dan Mrs Yoko tiba.... Langsung setelah mendapatkan perawatan, Yashinta akan segera pulang, Mr dan Mrs Yoko mengijinkan helikopternya dibawa ke Lembah Lahambay " Goughsky herjanji. Menutup pembicaraan. Dalimunte menghembuskan nafas lega. "Ada apa"" Cie Hui bertanya, memegang lengan suaminya. "Yashinta, Yashinta sudah ditemukan " Dalimunte berbisik pelan. Ditemukan" Cie Hui melipat d
ahi. Tidak mengerti. Beruntung Mamak tidak mendengarkan. Kalau tidak akan timbul banyak sekali pertanyaan. Karena Dalimunte selalu bilang Yashinta masih di perjalanan. Terlambat saat turun dari Gunung Semeru. Hujan deras disana. Penerbangan juga banyak di cancel. Menutupi fakta kalau sudah 36 jam tdepon genggam satelit Yashinta putus kontak. Beruntung pula, sebelum Mamak benar-benar ingin bertanya, mendadak terdengar suara derum mobil di luar. Pintu-pintu yang dibanting. Seruan Bang Jogar. Langkah kaki yang berderak menaiki anak tangga kayu. Dan sekejap, Ikanuri dan Wibisana sudah masuk ke dalam ruangan. Setengah berlari. Dengan wajah cemas Ikanuri bahkan tidak mempedulikan Dalimunte yang berdiri di depan kamar. Melewati Cie Hui, Jasmine, Wulan, bahkan Mamak. Ikanuri langsung menghambur ke ranjang Kak
Laisa. Matanya berkaca-kaca. Sungguh ia sesak menahan kalimat itu. Kalimat yang tertahan seperempat abad lebih, 25 tahun. Sungguh sejak di kereta ekspress Eurostar dia takut tak sempat lagi mengatakannya. Ikanuri langsung bersimpuh, gemetar menciumi tangan Kak Laisa, Wajahnya buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis "Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Laisa bukan kakak kami "" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu. Padahal saat itu Kak Laisa masih tertidur.
39 BAYI YANG DITINGGAL PERGI
TERUS-TERANG, mengungkit masa lalu Laisa bukanlah bagian yang menyenangkan. Tetapi tidak adil jika kalian tidak tahu ceritanya. Apalagi untuk mengerti utuh semua kisah ini. Mengerti betapa Kak Laisa tulus melakukan semuanya. Maka, dengan melanggar janjiku kepada keluarga mereka, ijinkanlah aku menceritakannya. Ikanuri benar. Kak Laisa bukan kakak mereka. Sedikitpun tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga mereka. Mamak Lainuri sebenamya menikah dua kali. Pernikahan pertama, dengan lelaki pendatang di kampung atas. Saat umurnya baru enam belas tahun. Lelaki itu 24, duda dengan seorang bayi berusia enam bulan. Si kecil Laisa. Wak Burhan, satu-satunya kerabat Mamak (karena Mamak Lainuri yatim piatu sejak usia sebelas tahun), amat berkeberatan dengan pernikahan itu. Pernikahan yang keliru, Mereka tidak mengenal baik pemuda tersebut. Tidak mengenal keluarganya. Hanya wajahnya saja yang terlihat tampan menyenangkan. Tapi itu 180 derajat kontras dengan kelakuannya. Kecemasan Wak Burhan benar, duda dengan bayi mungil itu memperlakukan Mamak sama seperti memperlakukan istri pertamanya. Kasar. Suka memukul Berteriak. Dan kerjanya hanya mabuk di kota kecamatan Berjudi di lapak-lapak pasar. Menurut bisik-bisik tetanga konon istri pertamanya dulu meninggal juga karena ulahnya. Tapi tidak ada yang bisa mencegah pernikahan tersebut. Dan tidak ada juga yang kuasa memperbaiki keputusan yang terlanjur dibuat. Entahlah mengapa Mamak amat menyukai pemuda itu (duda dengan bayi enam bulan pula). Mamak sebenarnya mewarisi tanah cukup luas dan banyak perabotan dari orang-tuanya yang meninggal saat banjir bandang di sungai cadas lima meter. Tapi semuanya tergadai satu persatu oleh tabiat judi suaminya. Dan yang paling menderita atas tabiat buruk tersebut adalah Laisa. Bayi berumur enam bulan tersebut pernah jatuh ke dalam baskom air saat berumur sembilan bulan. Terendam. Mamak yang pulang dari kebun amat terkejut melihat Laisa sudah membiru. Sedangkan yang bertugas menjaga justru tertidur dengan mulut bau minuman keras di samping ranjang. Maka rusuhlah kampung mereka. Amat cemas Mamak melakukan apa saja untuk menyelamatkan bayi mungil itu. Seolah bayi itu darah dagingnya sendiri. Melakukan apa saja. Dan ajaib, Laisa terselamatkan. Meski bayi montok dan lucu itu harus membayar mahal sekali. Karena sejak saat itu pertumbuhan Laisa mulai tidak normal. Saraf bicara, mendengar, kemampuan berpikir, dan sebagainya memang tumbuh normal. Tapi badan Laisa tumbuh lebih pendek dibanding teman seusianya. Wajahnya juga terlihat sedikil tidak proporsional. Soal rambut gimbal dan kulit hitam, itu mewarisi ayahnya. Ayah yang saat Laisa berumur dua tahun justru tega pergi begitu saja dari lemba
h tersebut. Tidak ada yang tahu kemana. Dia menghilang begitu saja setelah Mamak jatuh miskin, kehilangan tanah dan perabotan. Menyedihkan sekali melihat bayi kecil itu ditinggal pergi. Membuat nestapa Mamak jadi sempurna. Sudah kehilangan suami. Mesti merawat bayi yang bukan darah dagingnya pula. Tapi Mamak menyayangi bayi kecil itu seperti anaknya sendiri. Lagi pula keputusan menikah
dulu juga keputusannya sendiri. Maka dengan kehidupan yang semakin susah di lembah, Mamak memutuskan bertahan hidup. Tiga tahun hidup sesak, kabar baik itu tiba.Mamak menikah untuk kedua kalinya dengan pemuda kampung atas. Babak mereka sekarang. Pemuda yang dulu amat patah hati melihat Mamak menikah dengan orang lain. Sekarang mendapatkan kembali cinta terpendamnya. Babak bisa menerima Mamak apa adanya. Janda miskin. Juga bisa menerima si kecil Laisa dengan baik. Meski hidup mereka tidak berubah, tetap susah, tapi kehidupan berkeluarga mereka berjalan normal, bahkan dalam banyak waktu terlihat cukup bahagia. Saat Laisa berumur enam tahun, lahirlah Dalimunte. Dua tahun kemudian Wibisana, menyusul Ikanuri dengan jarak hanya sebelas bulan, dan terakhir ditutup dengan lahirnya si bungsu yang manis; Yashinta. Anak-anak yang lucu. Menggemaskan. Sayang, masa-masa bahagia itu terputus saat Yashinta masih dalam kandungan. Ikanuri dan Wibisana juga masih terlalu kecil untuk mengerti. Babak mereka diterkam sang penguasa Gunung Kendeng. Maka yatimlah anak-anak tersebut. Semua penduduk Lembah Lahambay tahu persis kisah ini. ini kalau Laisa bukanlah siapa-siapa di rumah panggung tersebut. Hanya bayi yang ditinggal pergi. Dalimunte yang beranjak besar tahu fakta tersebut dari bisik-bisik tetangga. Ikanuri dan Wibisana. Bedanya, Dalimunte tidak ambil pusing. Sedangkan dua sigung nakal tersebut menjadikan itu alasan untuk membantah, tidak menurut. Yashinta saja yang terlalu takut bertanya yang tidak pernah tahu detailnya. Meski saat ia mulai sekolah di kota provinsi, Yashinta jelas bisa mengambil kesimpulan sendiri kalau Kak Laisa memang bukan kakak mereka. Mereka terlalu berbeda. Mamak tidak pernah mengungkit-ungkit kisah suram tersebut. Memutuskan untuk tidak menceritakan kejadian jatuhnya Laisa ke dalam baskom air. Yang membuatnya tumbuh cacat. Mamak tidak pernah menganggap Laisa orang lain, baginya sulung di keluarga itu adalah Laisa. Juga Babak mereka semasa hidup. Malam sebelum kejadian Babak diterkam harimau. Babak sempat mengusap rambut Laisa yang saat itu baru berumur sepuluh tahun. Tersenyum, "Lais, kau bantu Mamakmu menjaga adik-adik hingga Babak pulang dari mencari kumbang " Laisa kecil mengangguk mantap sekali. Anggukan yang menjadi janji sejati. Karena Babak ternyata tidak pernah pulang-pulang. Janji seorang kakak. "Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Lais bukan kakak kami " Ikanuri masih tersungkur. Kak Laisa membuka matanya. Mengerjap-ngerjap. Tadi ia baru saja bermimpi saling berkejaran dengan adik-adiknya di hamparan kebun strawberry. Ia yang berusia enam belas tahun, Dalimunte dua belas, Wibisana hampir sembilan, Ikanuri delapan, dan Yashinta enam tahun. Berlarian di sela-sela buah merah-ranum menggoda. Mamak yang berdiri meneriaki di lereng atas. Langit membiru. Seekor elang melenguh di garis cakrawala Gunung Kendeng. Amat menyenangkan. Kak Laisa membuka matanya. Kepalanya sedikit terangkat. Perlahan mengerti apa yang sedang terjadi. Ikanuri dan Wibisana sudah tiba. Lihatlah, adiknya yang paling nakal, adiknya yang paling keras kepala, sedang tersungkur menciumi tangannya. Menangis penuh rasa sesal. Kak Laisa terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Cie Hui buru-buru mendekat, meraih tissue, membersihkan. Mamak sudah menangis di pelukan Dalimunte. Mamak yang jarang sekali menangis, tersedu. Tudung kepalanya lepas. Rambut putihnya terlihat. Bahunya naik
turun menahan rasa sesak. Dan Wibisana menambah senyap suasana. Wibisana ikut bersimpuh di samping Ikanuri. Ikut menangis. "Sungguh, maafkan Wibisana...." Dan kamar Kak Laisa sempurna sudah menyisakan desau sepotong kisah su
ram masa lalu itu. Bagi Mamak, melihat semua ini seperti mengembalikan seluruh kenangan hidupnya. Masa-masa keliru. Masa-masa yang seharusnya ia isi dengan penjelasan. Tidak seharusnya ia menutupi kenyataan itu. Bagi Dalimunte, melihat adik-adiknya bersimpuh penuh penyesalan, mengembalikan seluruh kejadian di sungai cadas lima meter. Dia yang melihat Kak Laisa bekerja keras terpanggang matahari di kebun jagung demi mereka. Kak Laisa yang berjanji akan membuatnya terus sekolah. Yang boleh malu dan sakit itu Kak Laisa, bukan adik-adiknya.... Bagaimana mungkin Kak Laisa bukan kakak mereka dengan: semua itu" Dalimunte tahu persis kalau adik-adiknya suka bilang kalimat menyakitkan itu, tapi dia tidak pernah kuasa untuk menegur. Lagipula, Ikanuri dan Wibisana belum mengerti. Lihatlah, bertahun-tahun saat sudah sekolah di kota provinsi, saat adik-adiknya mengerti, mereka amat menghargai Kak Laisa. Lebih dari siapapun. Bagi Ikanuri dan Wibisana, jelas-jelas semua ini mengembalikan kenangan masa kecil mereka. Perlakuan buruk mereka kepada Kak Laisa. Dan perlakuan sebaliknya Kak Laisa kepada mereka. Janji sejuta kunang-kunang. Janji kesempatan yang lebih besar di luar lembah. Kak Laisa yang tidak pernah datang terlambat. Malam di lereng Gunung Kendeng.... Kamar itu menyisakan isak tertahan. Tangan Kak Laisa gemetar mengangkat kepala adiknya. Mata itu menatap begitu tulus. Tersenyum, "Kakak selalu memaafkan kalian.... Kakak selalu memaafkan kalian.... Ya Allah, meski dunia bersaksi untuk menyangkalnya, meski seluruh dunia bersumpah membantahnya, tapi mereka, mereka selalu menjadi adik-adik yang baik bagi Laisa.... Adik-adik yang membanggakan...." Kak Laisa ikut menangis. Terbatuk. Bercak darah itu mengalir. Dan kamar itu menyisakan tangis dua sigung nakal yang mengeras. Semua masa lalu itu, tidak akan pernah bisa dipisahkan dari kehidupan mereka, tidak peduli seberapa baik kehidupan mereka sekarang.
40 PRIA UZBEK "SEMUA VIRUS, bakteri, dan sumber penyakit jahat lainnya selalu datang dari hewan liar, Miss Headstone " Pria tinggi, kekar, dan tampan itu menyeringai. Mengangkat tangannya. "Kau tahu, virus flu pertama kali yang menyerang dunia tahun 1918, yang menewaskan 100 juta orang, itu jelas mutasi virus flu dari hewan liar.... Sebagai ahli biologi, konservasi dan sebagainya aku pikir kau pernah diajarkan soal itu di bangku kuliah." "Aku tahu itu " Yashinta menukas, tersinggung "Juga Ebola, HIV/AIDS yang berasal dari kera hutan pedalaman Afrika. Dan berarus-ratus penyakit mematikan lainnya.... Kau tahu, tahun 1960 virus flu bermutasi lagi, mematikan jutaan orang di seluruh dunia. Aku berani bertaruh, dengan siklus penyakit flu empat puluh tahunan tersebut, awal abad 21 nanti, mungkin 2008, 2010, empat puluh, lima puluh tahun dari 1960-an, juga akan terjadi mutasi flu dari hewan liar lainnya, dan itu kemungkinan besar dari unggas.... Membawa virus flu yang lebih mematikan, dan bisa jadi mengulang tragedi tahun 1918, ratusan juta meninggal. Jadi bagaimana mungkin kau akan membuktikan bahwa virus, bakteri, dan semua penyakit jahat itu tidak berasal dari hewan liar." Goughsky nama pemuda itu, terlihat begitu menikmati perdebatan tersebut.
Mereka sedang berdiri di ramainya gala dinner yang diadakan institusi donor (pemberi dana) konservasi alam terbesar dunia. Di convention center salah satu hotel mewah London. Sejak bekerja menjadi peneliti lingkungan hidup, Yashinta sering terlibat dalam acara seperti ini. Mencari pendanaan untuk proyek konservasi dan penelitian flora-fauna langka di Indonesia. Termasuk minggu-minggu ini saat menghadiri pertemuan aktivis di London. Awalnya hanya Yashinta yang berbicara dengan Mr dan Mrs Yoko, salah-satu pendiri institusi donor raksasa itu, membicarakan tentang konservasi elang jawa. Entah mengapa, pemuda sialan ini, tiba-tiba ikut mendekat, ikut berbicara. Dan entah apa pasalnya mereka sudah berdebat soal mutasi genetik virus penyakit mematikan dari hewan liar ke manusia. "Aku tahu kalau semua penyakit itu dari hewan liar, tapi bukan berarti mereka penjahatnya!" Yashinta mendesis sebal. Siapa pul
a pemuda ini yang mengganggu rencananya. Ia sejak kemarin merencanakan memberikan proposal konservasi elang jawa itu secara personal ke Mr dan Mrs Yoko. Mencari waktu yang tepat. Dan pemuda sialan ini tiba-tiba ikut masuk dalam pembicaraan. "Well, aku kan tidak bilang mereka penjahatnya. Hanya bilang fakta kalau semua virus itu berawal dari hewan liar.. Come on, kau saja yang terlalu mencintai hewan-hewan itu, keras kepala, tidak mau mendengarkan kalimat orang lain dengan baik " Goughsky mengangkat bahunya. Tersenyum lebar ke arah Mr dan Mrs Yoko. Dasar penjilat, pemuda ini pasti juga berkepentingan dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko, mungkin untuk membiayai proyek sialan miliknya. Mencari perhatian di depan pasangan ini. Yashinta mengatupkan rahang. Wajah cantiknya memerah. "Goughsky benar, my darlingl" Mr Yoko tertawa kecil, menengahi, "Kau memang terlalu mencintai hewan-hewan itu, sehingga selalu otomatis bilang tidak untuk fakta yang menjelek-jelekkan mereka. Kau tahu, terlalu mencintai terkadang membuat kita berpikir tidak rasional, tidak fair, my dear-" "Bukan itu maksudku," Yashinta menjawab cepat berusaha mengendalikan diri, "Aku setuju kalau virus dan bakteri itu berasal dari mereka, tapi manusialah yang mengganggu keseimbangan alam, mengintervensi mekanisme mutasi virus tersebut dengan polusi produk kimia, industri yang berlebihan, perubahan iklim, kerusakan hutan, kapitalisme dan sebagainya.... Jadi jelas, bukan hewan-hewan liar itu penjahatnya!" "Well, bukankah dari tadi di sini memang tidak ada yang bilang hewan-hewan itu penjahatnya"" Goughsky nyengir lebar sekali. Mrs Yoko yang sudah beruban tertawa, melambaikan tangan "Sudah! Sudah, Goughsky, Jangan diperpanjang lagi. Kau jangan membuat Yashinta marah, Goughsky.... Hush! Mari, Yash sayang, kita mengambil sesuatu untuk mengganjal perut. Biar perdebatan menyebalkan seperti ini dilanjutkan para pria." Yashinta mendelik ke arah pemuda sialan itu. Berusaha tetap sopan menggandeng Mrs Yoko. Melangkah menuju meja hidangan. "Kau mungkin lupa namanya, pemuda itu Goughsky, ayahnya Uzbekistan, ibunya dari negaramu, Indonesia.... Haha, dia memang terkadang menjengkelkan seperti itu...." "Kalian" Kalian sudah mengenalnya"" Yashinta mengambilkan piring buat Mrs Yoko. "Tentu saja my sweetheart, kemarin kami baru saja menyetujui salah satu proyek penelitiannya. Seratus ribu dollar. Penelitian yang hebat." "Kalian" Kalian sudah memutuskan" Sudah memberikan dana itu ke orang lain"" Yashinta menelan ludah. Apa yang ia cemaskan tadi terbukti, kan" Pemuda sialan itu akan mengambil dana penelitiannya. "Kau tetap akan mendapatkan dana konservasimu, sayang. Kami tahun ini memutuskan untuk mendanai dua proyek penelitian ekologi sekaligus.
Mendanai peneliti yang penuh semangat seperti kalian." Mrs Yoko tertawa, melambaikan tangan. Yashinta ikut tertawa, meski tawanya sedikit kebas. Lega. Bercampur sisa-sisa perasaan sebal. Dan entahlah. Bercampur jadi satu. Itu pertemuan pertama Yashinta dengan Goughsky. Pertemuan pertama yang jauh dari mengesankan. Malah bagi Yashinta amat menyebalkan. Yang sialnya, entah mengapa ternyata diikuti dengan pertemuan-pertemuan lebih menyebalkan berikutnya. Bukankah pernah dibilang sebelumnya, Yashinta tidak terlalu suka bergaul dengan teman-teman lelakinya. Gadis cantik itu dalam kasus tertentu malah membenci kolega lelaki. Benci melihat kelakuan mereka yang sibuk mencari perhatian. Apakah mereka akan tetap sibuk mencari perhatian jika wajah dan fisiknya seperti Kak Laisa" Bah! Mereka hipokrit sejati. Nah, ditambah tingkah Goughsky yang suka mentertawakan, menyeringai kepadanya seperti sedang menghadapi anak kecil yang bandel dan keras kepala, kebencian Yashinta bertumpuk-tumpuk sudah. Celakanya, Mr dan Mrs Yoko sengaja memberikan dana konservasi buat mereka berdua karena proyek mereka bersisian, saling melengkapi: tentang pemetaan dan konservasi elang jawa. Maka Yashinta benar-benar meledak saat tahu hal tersebut. Yashinta diberitahu saat sedang makan malam di rumah Mr dan Mrs Yoko. Tahu kalau Goughsky ikut diundang saja sudah membuat Yashinta mengka
l, apalagi saat Goughsky dengan ringannya bilang, "Miss Headstone ini akan jadi sekretaris proyek yang baik. Ia akan selalu melaporkan kemajuan program kepadaku, Mr Yoko." Yashinta tidak ingin bekerja satu tim dengan pemuda Uzbek sialan ini. Apalagi di bawah supervisinya. Tapi di meja makan itu seperti tak ada yang memperhatikan raut merah padam keberatan Yashinta. "Kalau tidak salah, Goughsky kakak kelasmu di Belanda, bukan" Terpisah tiga tahun" Jadi aku pikir dia lebih pantas menjadi leader proyek ini, sayang " Mrs Yoko mengangguk setuju. Memangnya kenapa" Yashinta mendesis sebal dalam hati. Memangnya kenapa kalau dia lebih senior dibandingkan dirinya. Ia bisa mengurus proyek risetnya sendirian. Tidak perlu digabungkan dengan pemuda sok pintar dihadapannya! Tapi hingga makan malam itu usai, Yashinta masih bisa mengendalikan diri. Berusaha terus tersenyum. Mengangguk. Menurut. Meski ia kesal sekali melihat gaya Goughsky didepannya. Menyeringai, seolah-olah menganggap dirinya peneliti kemarin sore, yang harus belajar lebih banyak. Maka setahun terasa bagai seabad bagi Yashinta. Proyek itu dimulai segera sekembalinya mereka dari pertemuan di London. Basecamp konservasi dibangun di Taman Nasional Gunung Gede. Berbagai peralatan didatangkan. Mereka didukung oleh sebelas peneliti lokal, dari berbagai universitas sekitar. Juga petugas Taman Nasional, institusi terkait, dan penduduk setempat. Andaikata proyek ini tidak penting. Andaikata Mr dan Mrs Yoko bukan orang penting. Andaikata.... Sudah dari dulu Yashinta ingin menimpuk pemuda setengah bule setengah melayu itu dengan gumpalan tanah (sama seperti ia menimpuk anak-anak nakal dulu). Mereka selalu bertengkar di basecamp Selalu berdebat. Dan karena Yashinta di bawah komando Goughsky, maka suka atau tidak suka, ia lebih banyak makan hati. "Tahu nggak sih, temanku juga begini nih dulu. Bertengkar mulu tiap hari, eh belakangan malah jadi suami istri." Rekan peneliti lokal yang cewek seringkali menggoda Yashinta. "Lu gila ya, ganteng gini setiap hari malah diajak ribut Yash. Harusnya disayang-sayang...." Tertawa. Itulah masalahnya. Yashinta sejak kecil Sudah keras kepala. Dan penyakit orang keras kepala adalah jika sejak awal ia tidak suka, maka seterusnya ia akan memaksa diri untuk tidak suka. Tidak rasional. Seringkali perdebatan (pertengkaran) mereka sebenarnya karena
kesalahan Yashinta. Hal-hal kecil. Bahkan dalam banyak kasus Yashinta sendiri yang mencari-cari masalah. Ingin menunjukkan ketidak sukaannya. Jadi tidak aneh jika Yashinta banyak melupakan detail yang lebih besar. Seperti betapa tampannya Goughsky, ergh, maksudnya bukan itu. Yashinta bahkan tidak menyadari kalau Goughsky berbeda sekali dengan tipikal teman lelaki yang dikenalnya selama ini. Tidak sibuk mencari perhatian. Bahkan sedikit marah jika rekan peneliti lokal cewek lainnya bergenit-genit ria dengannya. Goughsky juga tipikal pemuda yang menyenangkan. Dekat dengan penduduk setempat lokasi basecamp, suka bergurau, dan yang pasti amat sabar. Kalau saja Yashinta mau menghitung perdebatan mereka, hanya Goughsky yang bisa sabar dengannya. Yang lain sudah mengkal sejak tadi. Pemuda Uzbek itu juga alim. Dia yang selalu meneriaki rekan kerjanya untuk shalat. Terkadang meneriaki Yashinta, yang dijawab teriakan pula. Membuat Yashinta mengomel dalam hati, sejak kecil Yash sudah terbiasa shalat malam bersama Kak Lais dan Mamak, tidak perlu diteriaki, mentang-mentang muslim Uzbek, sok alim. Maka jadilah setiap dua bulan sekali, saat jadwal pulang ke lembah, Yashinta selalu mengeluhkan siapa lagi kalau bukan Goughsky. Goughsky. Dan Goughsky. "Ia bahkan hingga sekarang tetap memanggilku, Miss Headstone.... Miss Headstone " Yashinta berseru sebal, menirukan intonasi suara Goughsky dengan jijik. Kak Laisa yang melihatnya tertawa. Juga Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang duduk melingkar di ruang depan rumah panggung. "Dan bule sialan itu selalu bilang, 'Memangnya kau tidak diajarkan itu di bangku kuliah" Memangnya dosenmu tidak pernah bilang itu" Memangnya....' Bah! Bukan dia saja yang lulus cumlaude di Belanda. Sok paling pi
ntar!" Intan yang sekarang sudah tiga tahun cuek berlenggak-lenggok di depan tantenya yang sedang bete. Memegang kedua pipi tantenya, Sengaja menekan-nekannya. Meniru ulah tantenya kalau lagi gemas dan mencubit pipi tembamnya. Yang lain tertawa. Lihatlah, Intan persis meniru kelakuan Yashinta. Berseru, "Iiihhh!" Sok mengerti apa itu gemas. Mencubit pipi tantenya. "Hush, kalian jangan banyak tertawa, nanti bayinya keluar mendadak seperti Kak Cie" Ikanuri yang baru bergabung duduk di ruang tengah rumah panggung pura-pura marah. Menyuruh istrinya diam. Wulan dan Jasmine sedang hamil tua. Sama seperti Cie Hui, Wulan dan Jasmine juga ingin anak-anak mereka di lahirkan di perkebunan. Menghirup udara segar lembah untuk pertama kalinya. Merasakan sejuknya. Menginjak rerumputan yang berembun. Tertawa lagi menatap wajah Ikanuri yang serius sekali saat mengatakan itu. Ruang tengah itu dipenuhi banyak energi bahagia. Jadi siapa pula yang peduli dengan suara mengkal Yashinta" Toh yang lain menganggap keluhan Yashinta tidaklah seserius itu. Bagaimana akan serius" Yashinta meski wajahnya sebal, tapi setiap pulang selalu saja sibuk dan merasa berkepentingan untuk menceritakan kelakuan Goughsky, Goughsky. Dan Goughsky. Masa yang begitu dibilang benci"
41 MASA - MASA BERBAIKAN "BAGAIMANA kabar bayi-bayinya"" Goughsky bertanya, suaranya pelan. Sengaja, biar tidak mengganggu pengamatan. Berdua berdiri di atas menara intai setinggi dua belas meter. Ada sepuluh menara seperti itu di Taman Nasional Gunung Gede, masing-masing berjarak seratus meter. Menyeruak di tengah-tengah rimba, di atas kanopi pepohonan. Dibangun dengan dana dari Mr dan Mrs Yoko. Tempat yang paling tepat untuk mengintai elang jawa. "Apa"" Yashinta menoleh. Meski suaranya juga pelan, tapi intonasinya tetap ketus. Ia sebal sekali, setelah cuti dua minggu yang menyenangkan di perkebunan, saat kembali ke basecamp, siang ini, di jadwal pembagian tugas mengintai mereka tertulis: Goughsky &
Yashinta, menara 9. Itu pasti kerjaan rekan peneliti lokal yang bertugas menyusun jadwal. Sengaja benar. Lihatlah, dari beberapa menara di kejauhan, beberapa kolega peneliti melambai-lambaikan tangan. Tersenyum. Mengacungkan jempol. Terlihat jelas wajah puas mereka dari teropong. "Apa kabar bayi-bayinya"" Goughsky tersenyum, mengulang pertanyaan. "Baik!" Yashinta menjawab pendek. Menyeringai. Sejak kapan mahkluk setengah bule setengah melayu ini bertanya soal pribadi" Sambil tersenyum pula" Yashinta mendesis sebal dalam hati. Itulah tabiat keras kepala, jelas-jelas sejak dulu Goughsky selalu peduli dengan anggota timnya, dan selalu tersenyum saat bicara. "Pasti salah satu nama anak itu Delima, bukan"" "Bagaimana kau tahu"" Yashinta melipat dahinya. Goughsky tertawa pelan, mengangkat bahu, "Yang memberikan nama pasti Laisa, kan" Anak Profesor Dalimunte kalau tidak salah, Intan. Jadi mudah ditebak, Laisa sejak awal sengaja memberikan nama-nama batu permata ke mereka!" "Kau tahu dari rnana anak Kak Dali bernama Intan"" Yashinta benar-benar melipat dahinya. "Ssst!" Goughsky menyuruhnya diam. Dari kejauhan terlihat seekor burung terbang rendah. Teropong-teropong terangkat. Juga milik peneliti di menara lainnya. Bukan. Itu bukan elang jawa. "Dari mana kau tahu Kak Laisa" Kak Dali" Intan"" Yashinta melepas teropongnya. Bertanya sekali lagi. Menyelidik. "Loh, bukannya kau sendiri yang sering menceritakan mereka" Keluarga di lembah indah itu" Sibuk bercerita saat makan malam, makan siang, sarapan. Di mana saja. Membuat yang lain pekak mendengarnya. Tentu saja aku tahu " "Tapi, tapi aku tidak bercerita untukmu." Yashinta memotong, seperti biasa ngotot. Goughsky hanya tertawa, menatap Yashinta lamat-lamat. Yang bagi Yashinta tatapan itu sama saja seperti kemarin-kemarin: merendahkan, menilainya anak kecil yang keras kepala. "Yash, aku tidak tahu mengapa kau sebenci itu kepadaku.... Aku tadi kan hanya bertanya baik-baik, apa kabar bayi Ikanuri dan Wibisana" Kau tidak perlu ketus, bukan"" "Siapa pula yang ketus"" Yashinta menyergah. Goughsky menghela nafas. Sudahlah. Memasang teropongnya. Kembali menyapu
langit hutan Gunung Gede. Penelitian mereka sudah separuh jalan. Sudah berhasil menginventarisir jumlah populasi elang langka tersebut. Bulan depan sudah mulai masuk ke fase lebih penting. Menyiapkan system perlindungan. Mulai dari pemetaan area konservasi, sosialisasi kepada penduduk setempat, hingga kemungkinan mengembang biakkan burung itu di luar ekosistem hutan ini. Membawa beberapa pasangan ke kebun binatang yang lebih maju misalnya. Hingga sore, tidak ada satupun elang jawa yang teramati dari menara 9. Nihil. Bagaimana akan dapat" Jika Yashinta hanya sibuk menyumpah-nyumpah dalam hati. Yashinta ingat sekali, pertama kali menara itu didirikan, Goughsky memberikan latihan tentang insting, bagaimana menemukan elang-elang itu: "Kita tidak menemukan mereka.... Merekalah yang akan menemukan kita.... Berlatihlah mengenali objek dengan baik. Mengenali ciri-ciri fisik elang jawa dengan sempurna. Kesempatan melihat mereka terbang di langit hanya beberapa detik, dan kita tidak mau menjadi orang paling tolol karena ragu-ragu apakah itu elang jawa atau bukan. Kecuali kalian bisa menyuruh elang itu untuk pose di langit sana, lantas kalian mencocokkannya dengan gambar di buku " Yang lain sih tertawa, asyik mendengarkan Goughsky dengan tatapan terpesona. Yashinta hanya menatap sebal. Ia tidak perlu diajari soal itu. Sejak kecil ia terlatih di hutan. Belajar langsung dari ahlinya. Tahu apa coba mahkluk setengah bule ini soal rimba"
"Tentu saja aku tahu, aku dibesarkan di hutan salju Uzbekistan. Sendirian. Yatim piatu. Menghadapi kerasnya belantara. Umur dua belas tahun aku harus berkelahi dengan beruang salju raksasa. Memitingnya dengan tangan ini." Goughsky tertawa menjelaskan, sambil menunjukkan lengannya yang kekar. Saat itu mereka sedang menemukan jejak beruang di lereng Gunung Gede. Menjawab pertanyaan kolega peneliti lokal yang bertanya itu jejak apa. Yang lain lagi-lagi terpesona. Dan Yashinta lagi-lagi menatap sebal. Itu pasti bohong. Bule sialan ini sengaja memancing-mancing emosinya, karena semalam di basecamp, Yashinta menceritakan kejadian Kak Laisa dan tiga harimau di Gunung Kendeng. Mahkluk setengah-setengah ini pasti tidak mau kalah dengannya. Mengarang cerita-cerita menyebalkan itu. "Hati-hati, Yash! Itu sarang landak, biasanya ada sisa durinya." Goughsky sigap menarik lengan Yashinta. "Aku tahu!" Yashinta yang melamun, menjawab pendek. Menarik kakinya yang terlanjur melangkah. Senja membungkus lereng Gunung Gede. Garis horizon terlihat merah. Kabut turun melingkupi. Dingin. Mereka beriringan berjalan menuju basecamp. Kembali dari menara 9. Yashinta memperbaiki syal di leher. Menyibak belukar di sebelahnya. Menghindari sarang landak itu. Berdiam diri sepanjang jalan. Diam-diam berpikir. Yang itu sebenarnya ia tidak tahu. Bahkan Yashinta tidak yakin apakah Kak Laisa bisa mengenali sarang landak hanya dengan melihat selintas di tengah remang senja seperti ini" Melirik ke belakang Goughsky terlihat melangkah santai. Mata birunya terlihat indah di remang senja. Yashinta buru-buru menoleh ke depan lagi. Kemajuan proyek konservasi elang jawa mereka sejauh ini menggembirakan. Mr dan Mrs Yoko datang di bulan ke sembilan. Kunjungan selama seminggu. Langsung membawa helikopter pribadi mereka. Pasangan itu terlihat senang memperhatikan foto-foto, peta area konservasi, rencana program sosialisasi, dan sebagainya. "Kemajuan yang baik, very well.... Awalnya aku cemas kalian akan lebih sering bertengkar dibandingkan mengerjakan proyek ini, my dear." Mrs Yoko menyentuh lembut lengan Yashinta. "Tidak. Tentu saja kami tidak sibuk bertengkar. Kalian tahu, Yash ternyata bisa diandalkan.... Ia bisa menjadi sekretaris proyek yang baik. Ia pandai sekali kalau urusan catat-mencatat." Goughsky yang menjawab. Sambil tertawa. Yashinta ikut tertawa. Dua bulan terakhir, meski ia masih sering bertengkar dengan Goughsky, sering menjawab ketus, tapi ia mulai terbiasa. Seperti batu yang terkena tetesan air, keras kepalanya mulai bisa berlubang dengan sabaaaarnya Goughsky. Jadi ia hanya ikut tertawa dengan gurauan pemuda Uzbek itu. Tidak sibuk me
ndesis sebal dalam hati. Dan itu bermula dua bulan lalu, saat jadwal pulang rutin dua bulanan Yashinta ke perkebunan strawberry, bule itu berbaik hati mengantarnya ke bandara. Menyerahkan dua ukiran kayu sebelum ia melangkah menuju pintu keberangkatan. "Aku membuatnya sendiri " "Tidak mungkin!" Yashinta memotong. Bagaimana mungkin mahkluk setengah-setengah ini bisa mengukir kayu seindah ini. Dengan masing-masing bergambar beruang salju sedang bermain. Pohon-pohon cemara. Bukankah ia tidak pernah melihat Goughsky melakukan kerajinan tangan itu selama di basecamp. "Aku membuatnya saat kalian masih sibuk mendengkur tidur shubuh-shubuh. Terserah Yash sajalah. Percaya atau tidak," Goughsky tertawa, mengangkat bahu,
"Berikan ke Delima dan Juwita, hadiah dariku. Dari paman setengah-setengahnya.... Kalau kau tidak keberatan, bisikkan ke telinga-telinga kecil mereka, selamat datang di dunia yang indah." Sejak saat itu, Yashinta sedikit banyak menyadari beberapa hal. Cerita-cerita hebat masa kecil Goughsky benar. Ayahnya yang bekerja di Siberia, salah-satu teknisi pengeboran ladang minyak di sana. Sebelumnya, ayah Goughsky pemah kerja di pengilangan minyak Arun, Aceh, makanya menikah dengan wanita Indonesia. Sayang, tragedi badai salju menghabisi komplek ladang minyak di Siberia. Meninggalkan Goughsky yang baru berumur enam tahun. Yatim piatu. Dibesarkan kerabat di pinggiran hutan salju. Makanya pemuda Uzbek iiu jauh lebih tangguh dan tahu lebih banyak tentang kehidupan liar dibandingkan Yashinta. Cerita soal memiting beruang salju raksasa itu benar adanya. Fase sosialisasi proyek kepada penduduk lokal juga membuat Yashinta menyadari sisi lain Goughsky. Pemuda bule itu memang tidak sok akrab, sok alim, dan sok sebagainya. Penduduk yang suka sekali menangkapi elang jawa itu jauh lebih menyukai Goughsky dibandingkan peneliti lokal lainnya. Mereka lebih menurut dengan kalimat-kalimat pemuda Uzbek itu. Yang meski saat memberikan penyuluhan, intonasi melayunya masih terdengar agak ganjil. Dan yang lebih penting lagi, tentu saja Yashinta mulai menyadari kalau mahkluk setengah-setengahnya itu cukup tampan. Menatap mata birunya.... Jadi sejak itu, Yashinta dan Goughsky mulai terlihat rukun, membuat rekan peneliti lokal lainnya lebih sering menggoda, "Kalian sejak kapan pacaran"" Maka Yashinta akan melotot marah. "Apa kubilang dulu" Bertengkar sekarang, bersenang-senang kemudian!" Kalau yang ini, Goughsky ikutan melempar spidol. Membuat yang lain semakin semangat menggoda. Seminggu berlalu, Mr dan Mrs Yoko kembali ke London dengan setumpuk progress report, Yashinta baru tahu, saat Goughsky kuliah di Belanda, Mr dan Mrs Yoko-lah yang menjadi sponsor, sekaligus menjadi anak angkat pasangan tersebut. Jadi tidak mungkin Goughsky sibuk mencari perhatian untuk mendapatkan dana penelitian kepada keluarga kaya itu. Justru sebenarnya, Goughsky lah yang merekomendasikan keluarga Yoko untuk mendanai penelitiannya, Memasuki bulan-bulan terakhir proyek konservasi mereka, kedekatan Yashinta dan Goughsky sudah sedemikian rupa berubah. Tidak ada lagi seruan-seruan sebal. Teriakan-teriakan marah. Jawaban-jawaban ketus. Bagaimana tidak" Saat Goughsky harus presentasi ke London, Yashinta justru uring-uringan di basecamp, Bosan. Tidak seru. Tidak ada yang jahil dan mengajaknya bertengkar. Selama dua minggu tidak ada yang menatapnya seperti anak kecil keras kepala. Tidak ada yang mentertawakannya. Benar-benar tidak ada. Terasa sepi. Ah, si bungsu keluarga Lembah Lahambay, yang dulu muka imut menggemaskan miliknya begitu riang menatap berang-berang mandi di sungai, yang suka sekali berlarian di lereng lembah, akhimya jatuh cinta. Maka tersipu malulah Yashinta saat kolega peneliti lokal bilang, "Gough, selama kau pergi dua minggu.... Kau tahu, ada yang selalu berdiri di menara 9 malam-malam, menatap bulan lamat-lamat, berharap menemukan wajahmu." Yashinta menimpuk rekan kerjanya dengan sepatu.
42 BIDADARI - BIDADARI SURGA
"KAU ada di Four Seasons Hotel, Miss Headstone. Kamar suite terbaik yang kami miliki. Aku manajer hotel ini, ada yang bisa kubantu""
Gough sky nyengir, menatap wajah lebam Yashinta. Wajah yang mulai sadar. Matanya mengerjap-ngerjap. Menatap sekitar. Ingin tahu. Di mana ia sekarang" Seperti biasa, Si Mata Biru nya yang duduk di sebelah lebih dulu mengendalikan situasi. Menjelaskan sambil bergurau. Yashinta berusaha duduk. Sakit. Semua bagian tubuhnya terasa sakit. Tapi ia bisa beranjak duduk. Kaki kirinya di gips. Tulangnya ternyata hanya retak, tidak patah. Luka di badannya sudah dikeringkan. Menyisakan gurat lebam membiru hampir di sekujur tubuh. Kepalanya di bebat kain, ada dua luka di sana. Jadi rambut panjangnya yang indah tertutupi. Lima belas menit Goughsky tiba di posko awal, helikopter milik Mr dan Mrs Yoko, yang sedang ada urusan bisnis di Indonesia juga tiba. Pasangan paruh baya itu kebetulan sedang berada di sekitar Gunung Semeru. Berbaik hati mengirimkan helikopter. Jadi tubuh pingsan Yashinta bisa segera dilarikan ke rumah sakit kota provinsi terdekat. Mendapatkan pertolongan pertama. "Kau sama sekali tidak terllhat cantik lagi, Miss Headstone." Goughsky nyengir amat lebar. Bahkan tertawa. Membantu Yashinta duduk bersandarkan bantal-bantal. Yashinta tidak menjawab.Tubuhnya masih mengumpulkan tenaga. Kalau sedikit sehat, ia otomatis akan mendelik, menyahut ketus, pura-pura marah. Ia sedang membiasakan diri menatap ruang rawatnya yang terang benderang. Matanya silau setelah pingsan dua puluh jam. Berjalan menyeret kakinya selama dua belas jam. Kemudian pingsan lagi enam jam. Di luar sana semburat merah mulai terlihat, Pagi datang menjelang. "Jam berapa sekarang"" "05.30, masih sempat untuk shalat shubuh " Yashinta memejamkan mata. Mengangguk. Kepalanya masih terasa nyeri. Berusaha mengingat kejadian dua hari terakhir. SMS dari Mamak. Bergegas turun dari puncak Semeru. Kakinya yang menginjak batuan getas. Jatuh, Menghajar dahan-dahan. Entahlah.... ia lupa. Yang Yashinta ingat ia justru sedang bermimpi setelah itu. Duduk seharian melihat anak berang-berang bermain di sungai. Celap-celup. Puas sekali. Membuatnya lupa waktu. Hingga Kak Laisa menepuk bahunya. Mengajak pulang. Cahaya-cahaya itu. Ia yang siuman. Tubuhnya yang terasa sakit. Kakinya yang patah. Mengigit bibir, berjuang untuk keluar dari lembah tempat ia jatuh. Melangkah tertatih dengan bantuan dua tongkat kayu di tangan. Turun. Ia harus bergegas. Kak Laisa menunggu di perkebunan mereka. Kak Laisa" "Kak Lais"" Yashinta menoleh ke Goughsky. "Baik.... Kak Lais baik-baik saja. Lima belas menit lalu Profesor Dalimunte menelepon, Kak Laisa baik-baik saja, Kau tahu, saat Profesor Dalimunte menelepon, tiga monster sibuk menyela, sibuk berteriak kapan kau tiba. Mereka seperti lupa kalau Wawak mereka sedang sakit keras." Yashinta tertunduk, menghela nafas, sedih. Bagaimanalah" Dengan gips di kaki, dengan tubuh lemah seperti ini, bagaimanalah ia bisa segera pulang. Kak Laisa pasti menunggunya.... Kak Laisa yang selalu ada ketika ia butuh. Sekarang" Saat Kak Laisa sakit keras dan membutuhkan adik-adiknya" Tubuh Yashinta bergetar menahan sesak. Ia menangis tertahan. "Kau jangan menangis, Yash." Goughsky menelan ludah. Meski dia tipikal pemuda yang suka bergurau, Goughsky amat perasa. Tak tahan melihat orang lain menangis. Mengingatkan ia dengan masa-masa yatimpiatu. Apalagi yang menangis, Miss Headstone tersayangnya ini. "Aku harus pulang, Gough. Harus segera pulang.... Tapi kaki ini.... Ya Allah " "Kau akan segera pulang, Yash. Pagi ini juga. Aku berjanji, paling lambat kita tiba di Lembah Lahambay sebelum siang berakhir" Goughsky berkata mantap. "Bagaimana" Bagaimana caranya"" "Kalau Wawak sakit gini, nggak asyik! Kemarin nggak ada yang nemenin kita keliling perkebunan. Padahal Delima sudah bawa sepeda BMX!"
Delima, gadis kecil enam tahun itu mengurut kaki kanan Wak Laisa. Mengeluh. "Iya, Juwita juga sudah bawa sepeda." Juwita, 'saudara kembar'-nya (mereka lahir dihari yang sama) menimpali. Mengurut kaki kiri Wak Laisa. "Wawak sakit apa sih" Sudah dua hari kok nggak sembuh-sembuh"" Delima bertanya, menghentikan gerakan tangannya. Laisa tersenyum. Berusaha memperbaiki duduknya. Cie Hui membantu, sek
alian membenahi posisi infus dan belalai plastik. "Kalian jangan banyak tanya, napa. Kata dokter tadi, Wak Laisa nggak boleh banyak bicara dulu." Intan yang duduk di samping Wak Laisa dengan tissue di tangan menyergah. Menyuruh adik-adiknya diam. Sok mengerti apa yang dokter bilang. "Yeee.,.. Orang nanya gitu doang. Emang nggak boleh!" Delima mendesis sebal dalam hati. Persis sekali ulah Ikanuri dulu waktu kecil. Bersungut-sungut. Meneruskan mengurut kaki Wak Laisa. Mereka baru saja selesai shalat shubuh. Duduk berkeliling memenuhi kamar Kak Laisa. Di luar semburat merah semakin terang. Embun menggantung di buah strawberry yang memerah, ranum. Ikanuri dan Wibisana sudah jauh lebih tenang. Menatap anak-anak mereka yang sejak tadi sibuk protes. "Kan kalau Wawak sehat, harusnya Wak Laisa bisa ngelanjutin cerita sebulan lalu." Itu keluhan pertama Delima. Ia menunggu cerita-cerita itu. "Kan setelah cerita, Wak Laisa nemenin kita jalan-jalan di lereng, mengambil embun dengan tangkai rumput. Membuat kristal-kristal di telapak tangan." Itu keluhan kedua Delima. Tidak mengerti soal kristal-kristal itu" Begini, kalian mencari tangkai rumput yang lembut, gagang rumput teki misalnya. Lantas pelan-pelan mengambil embun menggelayut di daun. Jangan sampai pecah. Kemudian diletakkan di telapak tangan. Membuat lukisan dengan kristal embun. Berkilau diterpa cahaya matahai pagi. Saling sombong telapak tangan siapa yang paling indah. Nah, karena sudah terlanjur menjelaskan bagian yang ini, kalian juga berhak tahu jawaban bagaimana sebenamya Mamak mendidik anak-anaknya hingga menjadi begitu cerdas dan membanggakan. Tumbuh dengan karakter yang kuat. Ahklak yang baik. Tentu saja semua itu hasil dari proses yang baik. Tidak ada anak-anak di dunia yang instant tumbuh seketika menjadi baik. Masa kanak-kanak adalah masa 'peniru'. Mereka memperhatikan, menilai, lantas mengambil kesimpulan. Lingkungan, keluarga, dan sekitar akan membentuk watak mereka. Celakalah, kalau proses 'meniru' itu keliru. Contoh yang keliru. Teladan yang salah. Dengan segala keterbatasan lembah dan kehidupan miskin, anak-anak yang keliru meniru justru bisa tumbuh tidak terkendali. Saat aku berkesempatan mampir di lembah indah mereka, saat bicara dengan Mamak yang usianya hari itu sudah tujuh puluh tahun (meski masih terlihat gagah), aku mengerti satu hal: bercerita. Mamak tidak bisa memberikan mekanisme pendidikan canggih selain bercerita. Keluhan Delima pagi ini tentang kelanjutan cerita dari Wawaknya adalah warisan mekanisme belajar Mamak tersebut. Selepas shubuh, meski penat karena dua jam memasak gula aren di dapur, seusai shalat bersama, mengaji bersama, Mamak akan menyempatkan diri lima belas menit hingga setengah jam bercerita. Tentang Nabi-Nabi, sahabat Rasul, tentang keteladanan manusia, tentang keteladanan hewan dan alam liar (dongeng-dongeng), negeri-negeri ajaib, dan sebagainya. Dari situlah imajinasi mereka terbentuk. Tidak ada gambar-gambar, karena Mamak tidak bisa membelikan mereka buku cerita. Juga tidak ada televisi. Mereka bisa melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka. Dan proses bercerita itu dilengkapi secara utuh dengan teladan. Kerja keras. Berdisiplin. Laisa sejak umur dua belas tahun, terbiasa bangun jam tiga shubuh. Shalat malam bersama
Mamak, lantas membantu di dapur. Sejak kecil Mamak mengajarkan ritus agama yang indah kepada mereka. Shalat maiam salah satunya. "Lais, seandainya kita bisa mengukurnya seperti timbangan beras, shalat malam yang baik seharga seluruh dunia dan seisinya." Dengan teladan yang ada di depan mata, maka Yashinta kecil saat usianya menjejak belasan tahun, tidak perlu disuruh-suruh untuk shalat malam, gadis kecil itu melihat Mamak dan Kakak-kakaknya, maka otomatis ia ikut. Kebiasaan yang terus ada hingga mereka tumbuh besar. Saat perkebunan strawberry memberikan janji kehidupan yang lebih baik, Mamak dan Kak Lais tentu saja tak perlu lagi memasak gula aren selepas shalat malam. Waktu itulah yang sering digunakan Kak Laisa untuk berdiri di lereng lembah. Menatap hamparan perkebunan, menghabiskan penghujung malam dite
mani Dalimunte Bersyukur atas kehidupan mereka. Apakah dengan cerita dan teladan itu maka kelakuan ansk-anak bisa dikendalikan" Belum tentu. Lihatlah Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu tetap saja nakal tapi pemberontakan masa kecil mereka memang khas ulah anak kecil yang butuh proses untuk mengerti. Saat cerita-cerita, teladan, berbagai kejadian itu berhasil memberi sekali saja pengertian, maka mereka akan berubah. Seperti pagi ini, jika ada Ikanuri, maka yang menjadi imam shalat bukan Dalimunte. Ikanuri jauh lebih pandai mengaji. Suara dan tartil-nya lebih baik. Meski dialah yang paling bandel belajar mengaji dulu. "Pagi ini biar Eyang yang cerita...." Suara Eyang memutus wajah-wajah cemberut Delima dan Juwita. Anak-anak menoleh. Eyang tersenyum mendekat. Memperbaiki tudung rambutnya. Naik ke atas ranjang besar Wak Laisa. "Horee!" Delima berseru senang. Eyang sama jagonya dengan Wak Laisa kalau bercerita. Jangan dibandingkan Abi mereka. Tidak seru. Kalau Abi yang cerita, kebanyakan ngarangnya. Pagi itu, saat semburat matahari mulai menerabas jendela kamar Kak Laisa yang dibuka lebar-lebar. Menimpa wajah anak-anak. Menimpa wajah Mamak. Menimpa wajah Kak Laisa yang terlihat begitu damai. Ikut mendengarkan cerita. Pagi itu, saat kabut masih mengambang di atas hamparan merah ranum buah strawberry, Mamak bercerita tentang: bidadari-bidadari surga. Melanjutkan cerita Laisa ke anak-anak sebulan yang lalu. Andaikata di sini ada Yashinta, ia akan senang sekali, itu cerita favoritnya waktu kecil. Dan sungguh di surga ada bidadari-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). "Eyang, cantikan mana, bidadari atau Delima"" Delima menyela. Membuat Kak Laisa tertawa, meski kemudian tersengai. Intan meraih tissue, membersihkan bercak darah. Dulu Yashinta dengan pedenya akan menyela Mamak, "Hm.... Pasti tetap lebih cantik Yash, kan"" Andaikata ada seorang wanita penghuni surga mengintip ke bumi, niscaya dia menerangi ruang antara bumi dan langit. Dan niscaya aromanya memenuhi ruang antara keduanya. Dan sesungguhnya kerudung di atas kepalanya lebih baik daripada dunia seisinya (Hadits Al Bukhari). "Wuih" Keren. Memangnya wangi bidadari itu seperti apa, Eyang"" Delima sibuk menyela lagi. "Berisik. Diam saja napa, biar Eyang terus cerita." Intan mendelik galak. Kak Laisa sekali lagi tertawa kecil. Dulu Yashinta juga suka sekali memotong cerita. "Bidadari itu kan untuk perempuan" Kalau untuk anak laki nyebutnya apa, Mak"" Dan biasanya Ikanuri yang kesal cerita Mamak dipotong terus menjawab asal, "Nyebutnya bidadara.... Bidadara-Bidadara Surgi!"
Tidak dulu. Tidak sekarang. Kanak-kanak selalu memberikan respon yang sama atas mekanisme ini. Membuat imajinasi mereka terbang, dan tanpa mereka sadari, ada pemahaman arti berbagi, berbuat baik, dan selalu bersyukur yang bisa diselipkan. Pagi semakin tinggi. Eyang terus bercerita hingga lima belas menit ke depan. Kak Laisa memejamkan matanya. Ia pagi ini benar-benar merasa lelah. Tiga monster kecil ini memberikan energi tambahan untuk bertahan lebih dari 48 jam. Tetapi waktunya tinggal sedikit lagi. Hanya menunggu Yash, adiknya tersayang. Suara Mamak berkata lembut terngiang di telinganya: bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49).... Kak Laisa jatuh tertidur, dengan sungging senyum dan satu kalimat doa: Ya Allah, jadikan Lais salah satu bidadari-bidadari surga.... Sementara ratusan kilometer dari arah barat. Helikopter itu melesat dengan cepat. Sebelum matahari tenggelam. Sebelum semuanya benar-benar terlambat. Yashinta harus tiba di perkebunan strawberry.
43 ROMANTISME MATA BIRU "ADA yang berubah darimu, Yash!" Kak Laisa memainkan matanya. Menahan tawa. "Apanya"" "Kau tidak sibuk lagi " Muka Kak Laisa terlihat jahil. Yashinta menyeringai, sejak kapan cqba Kak Laisa macam Kak Ikanuri. Ikutan menggodanya. Mereka sedang duduk di ruang depan rumah panggung. Beramai-ramai. Delima dan Juwita yang baru enam bulan tertid
ur lelap di ayunan. Wulan dan Jasmine sebenarnya membawa box bayi. Tapi Mamak sudah memasang dua ayunan dari kain, disambung dengan tali. Menjuntai dari atap ruang depan. Di dalamnya diberikan bantal-bantal lembut. Kata Mamak, bayi lebih senang tidur di ayunan kain, dibandingkan kotak. Lagipula di lembah, cara-cara pedesaan lebih menyenangkan. "Sibuk apanya"" Yash yang sedang memangku Intan bingung. Mengangkat bahu. Bukannya semua terlihat biasa-biasa saja. "Sudah sehari kau pulang, tapi kau tidak sibuk Lagi bilang Goughsky yang menyebalkan. Goughsky yang sok tahu. Goughsky yang sok pintar." Kak Laisa tertawa. Menggoda. Cepat sekali muka Yashinta memerah. Seperti lembayung senja. Membuat Cie Hui, Wulan, dan Jasmine ikut tertawa. "Dia tetap menyebalkan, kok. Tetap sok tahu." Yashinta menukas cepat. Berusaha mengalihkan perhatian dan muka merah padam dengan memainkan tangan Intan. "Tetap memanggilmu, 'Miss Headstone'" 'Miss Headstone'!" Kak Laisa menirukan intonasi Yashinta selama ini saat mengulang kata-kata ini. Bahkan Mamak ikut tertawa. "Ada apa ini" Ada sesuatu yang kami tidak tahu"" Ikanuri yang baru melangkah masuk dari pintu depan bertanya. Diiringi Wibisana dan Dalimunte. Mereka baru pulang dari acara syukuran kecil di rumah Bang Jogar. Kebetulan lagi di lembah. "Tidak ada apa-apa, kok!" Yashinta menjawab sebelum yang lain membuka mulut. Melotot kepada Kak Laisa. "Ya, tidak ada apa-apa.... Hanya bertanya kabar rekan kerja Yash di Gunung Gede. Mahkhluk setengah-setengah itu, kan Yash"" Malam itu menyenangkan menggoda Yashinta. Melihat Yash salah tingkah. Berkali-kali menghindar. Mengancam Kak Laisa dan yang lain agar berhenti bertanya. Tapi semakin ia rnembantah dan menghindar, semakin ia menunjukkan perasaannya. Membuat ruang depan rumah panggung dipenuhi tawa. Baru terhenti saat Delima yang tidur di ayunan merengek.
"Tuh, kan, Pada berisik, sih." Yashinta buru-buru melangkah mendekati ayunan. Tangisan Delima menyelamatkannya. Esok hari, saat berjalan bersisian dengan Kak Laisa menemani Intan mengelilingi lereng perkebunan. Berdiri membiarkan Intan yang sudah empat tahun berjalan sendiri tidak tahu arah. Memetik buah-buah strawberry. Memenuhi kantong-kantongnya. Kak Laisa memegang lengan Yashinta lembut. "Kau menyukainya"" "Menyukai apaan sih, Kak"" Yashinta yang segera tahu kemana arah bicara pura-pura tidak mengerti. "Kau menyukai Goughsky"" Muka Yashinta langsung tersipu. Wajah cantik itu kebas, meski matanya terlihat sekali bercahaya, ditimpa cahaya matahari pagi, "Kalau begitu, apalagi yang kau tunggu" Umurmu sudah 33 tahun, Bahkan di bagian dunia manapun, kau sudah terhitung 'gadis tua' seperti Kakak!" Kak Laisa tersenyum. Yashinta tidak menjawab. Wajahnya yang menjawab. Semakin tersipu. Berusaha menunduk. "Akan menyenangkan sekali jika Kakak, Mamak, dan kami semua bisa berkenalan langsung dengan mahkluk setengah-setengah itu. Ajaklah dia ke lembah ini. Kakak ingin melihat mata birunya. Apakah itu seindah yang sering kau ceritakan!" Yashinta terbatuk pelan. Entah hendak bilang apa. Beruntung Intan mendekati mereka, berseru, memutus pembicaraan, "Tante, Tante, buahnya besal-besal... Kantong Intan sudah penuh semua.... Tante dan Wawak pegang sepaluh, deh!" Enam bulan kemudian, akhirnya Goughsky ikut pulang ke Lembah Lahambay. Si mata biru itu menyetujui ide Kak Laisa. Jadi saat Yashinta malu-malu mengajaknya, malu-malu menyampaikan undangan itu, Goughsky mengangguk mantap. Kabar ikut pulangnya Goughsky ke perkebunan membuat basecamp ramai oleh seruan, "Wah, ada yang mau ketemu dengan calon mertua!" Goughsky ikut tertawa lebar. Yashinta masih saja tersipu malu. Urusan mereka sama seperti Dalimunte dan Cie Hui, atau Ikanuri-Wibisana dengan Wulan-Jasmine. Mereka tidak saling mengungkapkan perasaan secara langsung. Tapi bukankah perasaan itu tidak selalu harus dikatakan" Cara menatap, cara bertutur sungguh cermin dari isi hati. Lagipula sama seperti kakak-kakaknya, Yashinta tidak mengenal proses pacaran. Mereka tahu batas-batasnya. Jadilah itu kunjungan pertama Goughsky, kunjungan yang ditunggu-tunggu Kak Laisa.
Yang celakanya, ternyata justru sekaligus menjadi kunjungan terakhir Goughsky. Pria Uzbek itu seperti biasa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Menjawab gurauan Kak Laisa dengan baik. Membantu Yashinta lebih santai, yang mukanya sepanjang hari memerah. Mengerti benar menempatkan diri di hadapan Mamak, akrab dengan Ikanuri dan Wibisana. Dan cepat nyambung bicara dengan Dalimunte, "Tentu saja aku tahu, Yash.... Aku sudah mengenal Profesor Dalimunte ketika kuliah di Belanda. Membaca banyak penelitiannya.... Yang aku tidak tahu dan benar-benar tidak menduga selama ini, ternyata Profesor punya adik sekeras kepala kau!" Tertawa. Dan sebelum senja tiba, Goughsky sudah menjadi 'paman' yang hebat buat Intan. Hanya satu yang keliru. Yang membuat kunjungan itu menjadi kacau-balau. Saat berjalan dengan Kak Laisa, menggendong Intan di bahu, melewati jalur-jalur batangstrawberry. Saat Kak Laisa bilang tentang: apalagi yang kalian tunggu. Goughsky mengangguk. Dia sudah mengenal dengan baik keluarga ini dari cerita-cerita Yashinta di basecamp. Dan keluarga itu juga sudah mengenal baik dirinya juga melalui cerita-cerita Yashinta di perkebunan setiap pulang. Dia menyukai Yashinta, bahkan sejak pandangan pertama di London.
Goughsky menyetujui ide Kak Laisa, apalagi yang mereka tunggu" Maka malam itu Goughsky melakukan kesalahan fatal. Karena dia amat yakin Yashinta juga menyukainya. Mereka sudah lebih dari dewasa. Sudah lebih dari siap untuk berkeluarga. Tanpa bicara terlebih dahulu dengan Yashinta, ketika mereka berkumpul di ruang depan rumah panggung, sambil menyentuh takjim lengan Mamak, Goughsky meminang Yashinta. Saat Goughsky mengatakan kalimat, "Umurku enam tahun saat Ayah-Ibu pergi ditelan badai salju.... Bertahun-tahun hidup tanpa keluarga.... Sesak atas kerinduan memiliki ayah, ibu, kakak, adik, sebuah keluarga... Baru sehari di sini, tidak pernah kubayangkan, seperti menemukan kembali makna keluarga yang utuh.... Mamak, aku sejak kecil tidak pemah belajar dengan baik arti kasih sayang keluarga.... Malam ini, ijinkan aku belajar kata-kata itu, ijinkan aku menjadi bagian dari keluarga ini.... Ijinkan... ijinkan aku memperistri Yashinta. Aku sungguh mencintainya...." Ruang depan itu senyap. Bahkan Intan yang tadi sibuk merengek minta dibuatkan ukiran beruang salju juga diam. Mamak menatap wajahGoughsky lamat-lamat. Lantas menoleh ke arah Yashinta. Kak Laisa menyeka pelupuk matanya, terharu. Cie Hui menggenggam jemari Dalimunte.Tersenyum. Ikanuri dan Wibisana sih nyengir lebar, lumayan, tapi masih saktian kalimat mereka dulu waktu melamar Wulan dan Jasmine. Mamak menunggu anggukan dari Yashinta. Menatap Yashinta yang entah mengapa justru diam seribu bahasa. Sejak dulu, bagi Mamak, urusan perjodohan tergantung anak-anaknya. Ia tidak melarang, tapi juga tidak menyuruh. Sepanjang calon pasangan mereka berakhlak baik, bertanggung-jawab, pandai membawa diri, dan saling menyukai, itu sudah cukup. Sisanya bisa dicari saat menjalani pernikahan. Lima belas detik senyap. Sekarang semua menoleh ke arah Yashinta. Dan celakanya, gadis itu mendadak berdiri. Melangkah keluar, melewati pintu depan. Menuruni anak tangga. Berlarian menuju lereng perkebunan. "YASH!" Goughsky terkesiap, bangkit berdiri, hendak mengejar. Bingung. Tidak mengerti. Bagaimanalah jalan cerita berubah jadi seperti ini" Ada apa dengan Miss Headstone-nya" "Biar.... Biar aku yang menyusulnya!" Kak Laisa menahan lengan Goughsky. Tentu saja Kak Laisa tahu permasalahannya. Biar ia yang mengajak bicara Yashinta. Goughsky yang tidak terlalu paham masalahnya justru akan membuat semuanya menjadi puing tidak terselamatkan. Membuat rasa suka itu menjadi kebencian. Yashinta keras kepala. Gadis itu sejak kecil amat keras kepala. Sekali ia mengambil keputusan, maka butuh waktu lama melunakkannya. Kak Laisa tahu betul itu. Urusan ini benar-benar tidak akan mudah seperti Dalimunte, seperti dua sigung nakal itu. "Kau menyukainya"" Kak Laisa bertanya tegas. Memegang lengan Yashinta yang duduk menjeplak di lembabnya tanah. Bulan sabit seperti digelantungkan menghias langit. Bintanggemintang. Wangi semerbak perkebunan menyergap hidung.Yashinta hanya diam. Menyeka matanya yang basah. "Kau menyukainya atau tidak"" Kak Laisa mendesak.Yashinta tetap diam seribu bahasa. "Kakak tahu sekali apa yang kau pikirkan, Yash.... Tahu sekali.... Apa yang dulu Kakak sering bilang" Kau tidak usah menunggu Kakak.... Menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan " "Tapi harusnya Goughsky bilang ke aku.... Bilang sebelum menyampaikannya ke Mamak!" Yashinta memotong. "Apa bedanya, Yash" Kau jelas menyukai Goughsky. Bukan itu masalahnya, kan" Bukan soal bilang dulu masalahnya hingga kau lari begitu saja dari ruang depan"" Yashinta diam kembali. Menyeka pipinya. "Kalau kau marah Goughsky tidak bilang dulu, kau sepatutnya marah pada Kakak... Karena Kakak lah yang memintanya melakukannya segera."
Kak Laisa mendekap lembut bahu adiknya.Menatap hamparan perkebunan. Senyap. Menyisakan kerlip lampu gudang pengalengan. Ada tiga truk di sana. Berjejer. "Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah " "Aku tidak akan menikah sebelum Kak Lais menikah!" Yashinta memotong. Suaranya serak. "Kau tidak perlu menunggu Kakak" Ya Allah, berapa kali lagi Kakak harus bilang hingga kau akhirnya mengerti"" "Yash tidak akan menikah...." Gadis itu memotong keras kepala. "Tidak ada yang tahu kapan Kakak akan menikah, Yash. Tidak ada yang tahu.... Bahkan mungkin Kakak ditakdirkan tidak akan pernah menikah.... Kau harusnya tahu persis itu." Suara Kak Laisa serak. Menatap wajah adiknya lamat-lamat. Adiknya yang sekarang mulai terisak. Membuat Kak Laisa tertunduk dalam. Menggigit bibir, pelan mendesah ke langit-langit, " Ya Allah, setelah Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana, apa aku harus selalu menanggung penjelasan ini kepada mereka.... Ya Allah, apa aku harus selalu menjadi penghalang pernikahan adik-adikku.... Lais sungguh ihklas dengan semua keterbatasan ini, Ya Allah. Sungguh,... Biarlah seluruh bukit dan seisinya menjadi saksi, Lais sungguh ihklas dengan tegala takdirMu.... Tapi setiap kali harus mengalami ini, menjadi penghalang kebahagiaan mereka...." Suara Kak Laisa menghilang di ujungnya. Getir. Dan Yashinta seketika menangis tertahan. Memeluk Kak Laisa erat-erat. Untuk pertama kalinya, kalimat seperti itu meluncur dari mulut Kak Laisa. Kalimat penjelasan. Sepenuh hatinya. Semua ini memang benar-benar sederhana baginya. Kesendirian. Rasa sepi. Kerinduan. Semua itu benar-benar sederhana baginya. Ia merasa cukup dengan segalanya.... Lihatlah, malam itu ia justru hanya mengeluh telah menjadi penghalang jalan kebaikan adik-adiknya.... Tetapi pembicaraan di lereng perkebunan itu tidak berguna. Meski tahu secara utuh apa yang ada di kepala Kak Laisa, tidak membuat Yashinta berubah pikiran sedikitpun. Keras kepala. Apa yang dulu dibilang Ikanuri benar. Yashinta belum mengalami sendiri betapa susahnya memutuskan untuk menikah, melintas Kak Laisa. Apalagi dengan fakta menikahnya Yashinta, maka sempurna sudah Kak Laisa dilintas oleh seluruh adik-adiknya. Itu sungguh bukan keputusan mudah. Dengan semua yang telah dilakukan Kak Laisa demi mereka. Kak Laisa yang selalu menganggap Yashinta sebagai adik tersayangnya. Besok pagi, Goughsky yang mendapatkan penjelasan dari Kak Laisa dan Dalimunte pulang lebih dulu. Rekan-rekan peneliti di basecamp urung menggodanya saat tiba. Wajah lelah dan kusut Goughsky menjelaskan banyak hal, Yashinta tiba tiga hari kemudian. Langsung mengemasi barang-barang. Memutuskan keluar dari proyek konservasi. Lebih banyak diam. Matanya sembab. Mereka berdua sempat bicara sebentar di malam sebelum kepulangan Yashinta ke Bogor. "Maafkan aku yang tidak mengajakmu bicara lebih dulu." Goughsky menatap bulan yang mulai penuh. Yashinta hanya diam. Merapatkan syal di leher. Mengusir rasa dingin di kulit. Juga dingin di hati. Ia dari tadi ingin sekali menatap wajah si mata birunya. Tapi mati-matian menahan diri. "Maafkan aku yang tidak mengerti situasinya.... Meski mungkin aku tidak akan pernah mengerti, tapi penjelasan Profesor Dalimunte membantu banyak.... Kau mungkin benar, tidak pantas mendahului Kak Laisa menikah.... Tidak pantas...."
Yashinta tetap diam. "Yash, aku akan tetap menunggu.... Aku sungguh mencintaimu, entah bagaimana aku harus melukiskan perasaan tersebut karena teramat besarnya cinta ini.... " Yashinta menggigit bibir. Bagaimanalah" Kalau saja ia tidak menahan diri, dari tadi ia sudah menghambur di pelukan mahkluk setengah-setengahnya. Bilang betapa ia juga amat
mencintainya. Tapi ia tidak akan pernah bisa melintas Kak Laisa. Hubungan ini tidak akan berhasil. Jika mereka tidak bisa bergerak ke fase komitmen, pernikahan, maka lebih baik ia mundur. Lebih baik mereka saling menjauh. Menunggu. Menunggu hingga kapanpun, Yashinta tertunduk. Bagaimanalah ia akan melintas" Setelah begitu banyak kebaikan Kak Laisa" Kenangan-kenangan itu melintas di kepalanya. Kak Laisa yang menggendongnya pulang dari jembatan kayu. Tersuruk-suruk sambil menangis, cemas. Kak Laisa yang berteriak-teriak memanggil Mamak. Gemetar meletakkannya di bale bambu. Berbisik. "Kakak mohon, bangunlah Yash" Kak Laisa yang bahkan tulus menukar nyawanya demi kesalamatan adik-adiknya. Kak Laisa yang mengajarinya tentang alam, "Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat. "Kau tahu" Saat ada ular pemangsa yang mengancam sarangnya, saat ada hewan buas lain yang mengincar anak-anaknya, induk kukang akan habis-habisan mempertahankan sarang. Sampai mati. Dan ketika ia mati, sekarat, induk kukang akan mengambil cairan di ketiak kiri dan kanannya, menjadikannya satu, mengusapkannya ke seluruh tubuh. Jika dua cairan ketiak kukang digabungkan, itu menjadi racun mematikan. Yang akan membunuh ular atau pemangsa lain saat memakan tubuhnya.... Kau tahu apa gunanya pengorbanan itu" Agar anak-anaknya tetap selamat. Induk kukang mati bersama dengan pemangsanya!" Saat itu Yashinta kecil hanya tertawa. Apalagi saat Kak Laisa bilang soal cairan di ketiak. Tapi saat kuliah di Belanda, bahkan prof esor biologi di sana tidak tahu fakta tentang kukang tersebut. Juga beberapa reporter senior National Geographic. Hanya orang seperti Kak Laisa, yang mewarisi kebijakan alam Lembah Lahambay yang tahu. Belajar langsung dari alam liar. Dan mungkin kebijakan seperti itulah yang dimiliki Kak Laisa, mengorbankan seluruh hidupnya demi adik-adiknya. Yashinta menelan ludah. "Kaubawa ini, Yash!" Goughsky yang berdiri di sebelahnya mengulurkan sesuatu. Seuntai kalung, berhiaskan delima. "Itu milik Ibu-ku. Satu-satunya yang tersisa di rumah kami saat badai salju itu pergi.... Aku akan selalu menunggumu... Hingga kapanpun..." Dan Yashinta sudah menangis terisak. Itu pembicaraan mereka enam bulan lalu. Enam bulan sebelum SMS Mamak terkirimkan. Yashinta memutuskan untuk memulai proyek sendiri. Konservasi alap-alap kawah. Peregrin. Pergi ke Gunung Semeru. Goughsky juga berhenti dari proyek konservasi elang mereka. Tidak kuasa melihat jejak Yashinta di mana-mana. Membuat Mr dan Mrs Yoko berteriak-teriak tidak mengerti. Kabar baiknya proyek mereka sudah selesai di bulan kedua belas. Hanya tinggal masa transisi sebelum diserahkan kepada petugas Taman Nasional Gunung Gede. Kak Laisa sejak pembicaraan di lereng itu tidak banyak lagi membujuk Yashinta. Dia sudah amat lelah. Kalimat terakhir yang diucapkarmya di lereng waktu itu menjelaskan betapa lelahnya Kak Laisa. Kanker paru-paru nya sudah stadium III. Semakin ganas. Susah payah Kak Laisa menyembunyikan penyakit itu di hadapan adik-adiknya. Meminum obat berkali-lipat dosis normal menjelang jadwal pulang dua bulanan mereka. Ia selalu tngin terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang tahu kalau Kak Laisa bolak-balik ke rumah sakit kota provinsi. Tetapi energi yang hebat itu, kecintaan atas adik-adiknya, rasa cukup dan syukur atas hidup dan kehidupan, akhirnya tidak kuasa mengalahkan fisik yang semakin lemah. Sebulan yang lalu, ia terjatuh di lereng perkebunan. Di tandu pulang. Kak Laisa menolak dirawat di rumah sakit, jadi peralatan, dokter, dan suster yang didatangkan dari sana. Dua hari lalu, setelah bertahan selama seminggu dengan infus dan belalai plastik, SMS itu terkirimkan.
"Pulanglah. Sakit kakak kalian semakin parah. Dokter bilang mungki
n minggu depan, mungkin besok pagi, boleh jadi pula nanti malam. Benar-benar tidak ada waktu lagi. Anak-anakku sebelum semuanya terlambat, pulanglah...."
44 PERNIKAHAN TERAKHIR SENJA datang untuk ke sekian kalinya di lembah indah itu. Lantas apa peranku dalam cerita ini" Aku hanya saksi hidup. Aku yang menerima SMS dari Mamak Lainuri dua hari lalu, di senja itu akhirnya tiba (sesungguhnya ada lima sms yang terkirimkan; satu untukku). Berdiri sejenak di atas bukit tertinggi Lembah Lahambay. Memarkir motor besarku di jalanan. Jalan selebar tiga meter yang sekarang beraspal mulus. Tentu saja, bagianku tidak terlalu penting di keluarga ini. Hanya turis yang pernah mampir. Pertama kali singgah, begitu terpesona melihat kehidupan mereka. Begitu terpesona melihat lembah mereka. Begitu terpesona melihat apa yang telah dilakukan keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik bagi penduduk lembah. Bermalam di rumah Mamak Lainuri. Dan menjadi sahabat baik keluarga itu. Turis yang selalu singgah dengan ransel besar di punggung. Lihatlah, sore ini sempurna merah. Langit terlihat merah. Awan-awan putih terlihat memerah. Dari atas bukit ini kalian bisa melihat kanopi pepohonan. Hamparan perkebunan strawberry sejauh mata memandang. Di batasi oleh sungai besar dengan cadas setinggi lima meter itu. Di batasi kawasan hutan konservasi, yang lebat mengelilingi lembah. Seekor elang melenguh di kejauhan, aku tersenyum, melambaikan tangan. Membalas salam hangatnya, Dari atas bukit ini, empat desa yang terdapat di lembah itu terlihat berjejer rapi. Rumah-rumah semi permanen yang asri. Seperti villa-villa indah. Satu dua lampu rumah mereka mulai menyala. Bersamaan dengan lampu jalanan. Kerlip kuning yang menawan. Suara orang mengaji di surau terdengar. Menunggu saat adzan maghrib setengah jam lagi. Ayat-ayat itu terdengar menyenangkan. Seperti mengalir bersama angin lembah yang segar. Buah strawberry terlihat merah di seluruh tepian perkebunan, ranum menggoda. Aku lembut memetiknya satu. Menciumnya lekat-lekat. Buah yang besar. Tersenyum. Memasukkan buah itu ke saku jaket. Nanti akan bilang ke Mamak Lainuri, aku baru saja memetik satu buah strawberry mereka. Belum halal di makan kalau belum bilang. Dan Mamak sambil tersenyum akan bilang, "Kau aneh sekali, Tere.... Selalu hanya memakan satu butir buah strawberry setiap kali datang ke sini.... Dan selalu saja merasa wajib untuk bilang sudah memetiknya.... Kau bagian dari keluarga ini, anakku..." Keluarga yang menyenangkan. Meski mungkin sore ini, suka atau tidak suka, siap atau tidak, waktu yang berputar akan mengambil seseorang, akan mengakhiri kisah hidupnya. Sungguh begitulah hidup ini. Datang. Pergi. Senang. Susah. Tidak peduli meski seseorang itu anggota keluarga yang amat kita cintai. Tidak peduli. Aku menghela nafas panjang. Kembali menaiki motor besarku. Menghidupkan mesin. Menderu. Meski derumnya lembut, tapi amat bertenaga. Tapi ada yang lebih menderu lagi. Lebih bising. Aku menolehkan kepala ke garis cakrawala, helikopter itu mendekat. Terbang rendah dengan kecepatan penuh. Membawa anggota terakhir keluarga mereka. Si bungsu dari Lima bersaudara, Aku tersenyum lebar, lantas menekan pedal gas, meluncur menuju rumah panggung itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisah-kisah masa kecil mereka yang indah. Satu jam lalu, saat Intan, Juwita dan Delima duduk melingkar di ranjang besar Wak Laisa. Menunggui bersama yang lain, sibuk bercerita tentang sekolah masing-masing (Wak Laisa yang meminta mereka bercerita). Sibuk melaporkan ponten masing-masing. Sibuk
melaporkan soal 'Safe The Earth'. Hamster belang Intan tiba-tiba ikut loncat ke ranjang. Mengagetkan yang lain. Tertawa. Tapi bagi Laisa yang sudah lelah, kaget sekecil itu membuatnya tersengal. Peralatan medis berdengking. Grafik hijau itu putus-putus. Dokter segera mengambil alih urusan. "RIO JAHAT!" Intan berteriak sambil menangis. Mencengkeram hamstemya, bersiap melemparkannya lewat jendela. "Jangan, sayang.... Jangan dilempar " Cie Hui berusaha membujuk, berusaha menarik tangan putrinya, "
Rio Jahat, Ummi! Rio bikin Wawak pingsan! Intan benci!" Gadis itu tidak mendengarkan. Maka rusuh dokter mengembalikan kesadaran Laisa, rusuh pula yang lain membujuk Intan agar diam, membujuk agar ia meletakkan kembali hamster belangnya. Setengah jam berlalu, situasi berangsur-angsur terkendali, meski tetap tak sadarkan diri, nafas Kak Laisa kembali normal. Hamster belang itu juga urung dilempar, terlanjur loncat dan kabur duluan saat Intan masih bersikukuh hendak menghukumnya. Juwita dan Delima sekarang duduk di pojok kamar. Takut-takut Mereka amat gentar melihat Wak Laisa-nya yang mendadak kejang-kejang. Melihat Dalimunte yang berteriak cemas. Abi mereka yang berlarian mendekat. Mereka bahkan menangis bingung. Intan ikut bergabung duduk di pojok kamar. Menyeka pipinya yang basah. Masih merasa amat bersalah. Semua ini gara-gara hamster belang miliknya. Berjanji dalam hati akan menghukumnya besok lusa. Eyang Lainuri duduk di sebelah ranjang, membelai lembut jemari Kak Laisa yang mulai membiru. Menatap wajah sulungnya lamat-lamat. Wajah yang tetap tak sadarkan diri. Usia Mamak saat itu sudah tujuh puluh sekian, Mamak mengerti hanya keajaiban yang bisa menyelamatkan Laisa. Saat itulah, helikopter itu tiba. Suara baling-balingnya sampai lebih dulu. Menderu. Lantas mendarat di halaman gudang pengalengan. Empat ratus meter dari rumah panggung. Membuat Mamak menoleh. Siapa" Itu suara apa" Juga Cie Hui, Wulan, dan Jasmine yang tidak tahu apa kabar Yashinta selama 48 jam terakhir. "Itu Yashinta " Dalimunte berkata pelan. Menelan ludah. Menghela nafas lega. Akhirnya adik bungsu mereka tiba. Ikanuri dan Wibisana menuruni anak tangga. Menghidupkan mobil modifikasi mereka. Meluncur menjemput ke gudang pengalengan. Sama seperti Dalimunte, mereka sudah tahu Yashinta akan datang dengan helikopter, diantar Goughsky. Maka tidak seperti yang lain, yang datang terburu-buru. Bergegas belarian di atas anak tangga. Menyibak daun pintu. Menerobos kamar. Yashinta datang dengan digendong Ikanuri dan Wibisana. Tertatih-tatih. Berkali-kali terhenti. Goughsky melipat kursi dorongnya. Membawanya menaiki anak tangga. Membukanya lagi di beranda depan. Yashinta didudukkan kembali di kursi roda. Mata gadis itu sembab, sejak dari rumah sakit ia menangis. Tidak sabaran dengan kecepatan maksimal helikopter. Mendesah berkali-kali. Tidak bisakah helikopter ini terbang lebih cepat. Menatap resah hamparan biru lautan, wajah Kak Laisa yang terukir di gumpalan awan. Cemas. Takut. Yashinta amat takut. Kursi dorong itu tiba di daun pintu kamar. Mamak bangkit dari duduknya. Tidak sempat bertanya kenapa Yashinta datang dengan kaki mengenakan gips. Tidak sempat melihat seksama tubuh putri bungsunya yang lebam. Mamak langsung mendekap Yashinta erat-erat. Menangis. Apalagi Yashinta. Terisak sudah. Menyisakan senyap di kamar Kak Laisa Mamak membimbing kursi roda Yashinta mendekati ranjang Kak Laisa. Dan entah dengan kekuatan apa, Kak Laisa yang pingsan selama satu jam terakhir, pelan membuka matanya saat Yashinta menyenruh lembut jemari kakaknya,
"Kak Lais " Serak Yashinta memanggil kakaknya. "Yash" ...." "Kak Lais-" "Yash... Itu Yash" Kau sudah tiba, Yash" Kau ti-ba"" Percuma, meski membuka mata, Kak Laisa sudah tidak bisa melihat lagi. Kesadarannya sudah habis. Matanya hanya melihat gelap. "Kak Lais " Yashinta berseru tertahan. Gemetar menciumi jemari kakaknya yang pendek-pendek. Tidak normal. Jemari yang dulu setiap hari membersihkan gulma, membantu Mamak memasak gula aren, merawat satu persatu batang strawberry. Menciumi tangan yang legam, yang dulu sering terpanggang matahari. "Mendekat, Yash.... Mendekat kemari...." Kak Laisa berbisik. Suaranya antara terdengar dan tidak. Dokter ingin bilang ke Dalimunte agar Kak Laisa dibiarkan sendiri dulu. Tapi urung. Dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban itu. Biarlah Laisa sempurna di kelilingi orang-orang yang amat dicintainya dan mencintainya di penghujung waktunya. Yashinta mendekatkan mukanya. Membiarkan Kak Laisa meraba. Merasakan pipi adiknya yang berlinang air mata. Mengusap kepala adiknya yang terbungkus perban. Me
lihnt wajah adiknya dengan ujung-ujung jari. "Dali.... Di mana Dali " Kak Laisa lemah memanggilDalimunte. Ia ingin mereka semua ada di sampingnya sekarang. "Saya di sini, Kak." Suara Dalimunte parau. Menyaksikan Yashinta menangis sudah membuatnya sesak, apalagi saat Kak Laisa memanggilnya pelan. Dalimunte mendekat, duduk di sebelah Yashinta. "Dali di sini, Kak." Meraih tangan Kak Laisa, menyentuhkannya ke wajah. Kak Laisa tersenyum. Meraba wajah Dalimunte. "Ikanuri.... Wibisana.... Di mana dua sigung itu"" Kak Laisa berusaha tertawa kecil, meski itu sama saja dengan keluarnya bercak darah yang lebih banyak. Mamak mengelapnya dengan lembut, tangannya bergetar. "Ikanuri di sini, Kak." Ikanuri menghambur. Duduk di sebelah Dalimunte. Menciumi tangan Kak Laisa sambil menangis. "Ini, ini Wibisana.... Wibisana di sini " Wibisana ikut duduk di sebelahnya. Menyentuh jemari Kak Laisa. "Intan.... Juwita.... Delima...." Intan menarik tangan adik-adiknya mendekat. Intan menyeka matanya yang basah. Naik ke atas ranjang. Tangan Kak Laisa mengusap wajah tiga monster kecil itu. Juwita dan Delima masih takut-takut. Tapi pemahaman itu datang dengan cepat. Mereka menatap amat sedih wajah Wawak yang meski matanya terbuka, tapi tidak bisa melihat apa-apa lagi. "Mamak...." Kak Laisa menciumi tangan Mamak. Tersenyum. Mamak sudah kehilangan kata-kata. Memperbaiki tudung rambutnya. "Ya Allah, terima kasih atas segalanya.... Terima kasih...." Kak Laisa mendesah pelan.... "Ya Allah, Lais sungguh ihklas dengan segala keterbatasan ini, dengan segala takdirmu.... Karena, karena kau menggantinya dengan adik-adik yang baik...." Nafas Kak Laisa tersengal. Satu dua. "Yash-" "Yash di sini, Kak." Yashinta memegang lembut tangan Kak Laisa. "Kau pulang bersama si mata biru mu"" Yashinta mengangguk. Menjawab pelan. Tangisnya mengeras.
"Menikahlah, Yash.... Sekarang " Kak Laisa tersengal. Nafasnya benar-benar tidak terkendali lagi. "Biar, biar Kak Laisa masih sempat melihat betapa bahagianya kau.... Biar, biar Kak Laisa masih sempat menyaksikan betapa cantiknya mempelai wanita." Yashinta tersedu. Menciumi jemari kakaknya. Bagaimanalah ini" Bagaimanalah" Yashinta patah-patah menoleh ke Mamak. Mamak mengangguk pelan. Menoleh ke Dalimunte. Dalimunte mengangguk, menyeka hidung. Menoleh ke Ikanuri dan Wibisana, dua sigung itu tidak memperhatikan, lebih sibuk mengendalikan perasaan. Lebih emosional dibandingkan yang lain. Dua sigung itu tertunduk menatap wajah Kak Laisa. Terisak. Menoleh ke arah Goughsky. Pemuda Uzbek itu mengusap wajahnya. Menggigit bibir menahan rasa sesak menyaksikan semua ini sejak masuk kamar tadi. Goughsky menyeka matanya. Lantas melangkah mantap, mendekat. Menyibak adik-kakak yang duduk berjejer. Duduk di sebelah Yashinta. "Aku akan selalu mencintaimu, Yash." Berbisik, meyakinkan. Yashinta tertunduk. Menggigit bibir. "Menikahlah, Yash " Kak Laisa tersenyum. Dan Yashinta gemetar mengangguk. Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar. Berpendar-pendar jingga. Sungguh senja itu wajah Kak Laisa terlihat begitu bahagia. Mungkin seperti itulah wajah bidadari surga. Lima menit kemudian pernikahan itu dilangsungkan. Dalimunte yang menjadi wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung lainnya menjadi saksi. Pernikahan terakhir di lembah indah mereka. Seusai Goughsky mengucap ijab-kabul. Saat Yashinta menangis tersedu. Ketika Mamak menciumi kening bungsunya memberikan kecupan selamat. Saat yang lain buncah oleh perasaan entahlah. Semua perasaan ini.... Saat itulah cahaya indah memesona itu turun membungkus lembah. Sekali lagi. Seperti sejuta pelangi jika kalian bisa melihatnya. Di sambut lenguhan penguasa Gunung Kendeng yang terdengar di kejauhan. Kelepak elang yang melengking sedih. Bagai parade sejuta kupu-kupu bersayap kaca. Menerobos atap rumah, turun dari langit-langit kamar, lantas mengambang di atas ranjang. Lembut menjemput. Kak Laisa tersenyum untuk selamanya. Kembali. Senja itu, seorang bidadari sudah kembali di tempat terbaiknya Bergabung dengan bidadari-bidadari surga lainnya.
Dan sungguh di surga ada bidadar
i-bidadari bermata jeli (Al Waqiah: 22). Pelupuk mata bidadari-bidadari itu selalu berkedip-kedip bagaikan sayap burung indah. Mereka baik lagi cantik jelita. (Ar Rahman: 70). Suara Mamak berkata lembut saat kisah itu diceritakan pertama kali terngiang di langit-langit ruangan: bidadari-bidadari surga, seolah-olah adalah telur yang tersimpan dengan baik (Ash-Shaffat: 49)....
tamat Bagus Sajiwo 7 Siluman Ular Putih 03 Sumur Kematian Kelana Buana 14
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama