Cahaya Bintang Karya Bois Bagian 1
Cahaya Bintang Sebuah cerita fiksi yang ditulis oleh Bois, penulis copo yang masih harus banyak belajar. Cerita ini hanyalah sarana untuk mengilustrasikan makna di balik kehidupan semu yang begitu penuh misteri. Perlu anda ketahui, orang yang bijak itu adalah orang yang tidak akan menilai kandungan sebuah cerita sebelum ia tuntas membacanya.
e-book ini gratis, siapa saja dipersilakan untuk menyebarluaskannya, dengan catatan tidak sedikitpun mengubah bentuk aslinya.
Jika anda ingin membaca/mengunduh cerita lainnya silakan kunjungi : www.banqbois.bloqspot.com www.banqbois.co.cc
Salurkan donasi anda melalui:
Bank BCA, AN: ATIKAH, REC: 1281625336
SATU Di tengah hamparan rumput yang luas, seorang
pemuda tampak asyik terlentang di atas jok sepeda motornya. Kedua matanya yang bening tampak memandang ke langit lepas, memperhatikan pesona malam yang begitu indah. Saat itu, ribuan bintang yang dilihatnya seolah menghibur, memberi ketenangan pada hatinya yang lara. Dalam renungannya dia tak mengerti, kenapa gadis yang begitu dicintainya lebih memilih pemuda lain" Padahal dia sendiri begitu tampan, bahkan sifatnya pun penuh dengan kasih sayang.
"Duhai bintang yang gemerlap, duhai malam yang menyelimutiku. Kalian adalah teman sejatiku, yang senantiasa menemaniku di dalam keresahan ini. Ketahuilah... Hatiku hancur berkeping-keping ketika dia mengatakan tak bisa bersamaku. Saat itu juga harapanku punah seketika, berganti dengan segala penderitaan yang amat sangat. Kini aku tak punya gairah untuk hidup, sepertinya kehidupanku ke depan akan selalu dipenuhi dengan segala kesepian yang kian hari memang sudah terasa sepinya.
Kini pemuda itu teringat kembali dengan gadis pujaannya, betapa dia tak mungkin sanggup jika hidup tanpanya. Tiba-tiba saja, ingatan pemuda itu buyar seketika lantaran deru motor yang kian bertambah dekat. Dilihatnya sorot lampu yang menyilaukan terus melaju, menuju ke tempatnya berada. Namun pemuda itu mencoba tak mempedulikannya, dalam hati dia sudah bertekad, siapa pun yang datang tidak akan membuatnya bergeming dari posisinya sekarang, yang kini sedang asyik merenung dan mengadu pada malam berbintang. Kini pemuda itu sudah tak mendengar lagi deru motor yang semula mengganggunya, bahkan ingatan sudah kembali tertuju ke berbagai peristiwa yang kian membuatnya bertambah sedih.
"Malam yang indah ya"" ucap seorang gadis tiba-tiba.
Seketika pemuda itu menoleh, memperhatikan seorang gadis yang kini duduk bersantai di atas sepeda motornya seraya terus memandangnya. Wajah gadis itu tak kelihatan jelas, hanya berupa siluet yang disebabkan oleh efek sinar rembulan. Kini pandangan gadis itu sudah beralih ke langit lepas, memperhatikan keindahan gemerlap bintang yang bercahaya.
"Aku sungguh tidak menduga, ternyata ada juga manusia yang berprilaku sama sepertiku," kata gadis itu lagi.
Saat itu, pemuda yang bernama Bobby tidak mempedulikan kata-katanya, dia malah memalingkan pandangannya pada bintang-bintang seperti semula.
"Kau sedang ada masalah"" tanya gadis itu padanya.
Bobby tidak menjawab, dalam hati dia sempat bertanya-tanya, "Emm... Apa sebenarnya keperluan gadis itu datang ke mari" Apakah dia juga sedang sedih dan mengadu pada malam berbintang""
"Kau salah, aku memang sedang sedih. Namun aku tidak mengadu pada malam berbintang, melainkan pada Tuhan yang menciptakannya," jawab gadis itu tiba-tiba.
Bobby terkejut mengetahui gadis itu menjawab apa yang ada di pikirannya, "Ka-kau bisa membaca pikiranku"" tanyanya tergagap.
"Entahlah, aku juga tidak tahu" Kenapa tiba-tiba aku ingin bicara seperti itu," jawab gadis itu lagi.
"Hmm... Siapa sebenarnya dia"" Tanya Bobby dalam hati. "Eng... Ja-jangan-jangan..."
"Kau tidak perlu takut!" pinta gadis itu tiba-tiba, kemudian dia melanjutkan kata-katanya. "Aku ini juga manusia sepertimu, hanya jenis kelamin kita saja yang berbeda."
Lagi-lagi Bobby terkejut, sebab gadis itu kembali mengetahui apa yang ada di benaknya. Namun karena gadis itu mengatakan kalau dia tidak perlu takut, akhirnya dia berani untuk tidak mempedulikannya. "Hmm. Biarpun gadis itu hantu atau dedemit, pastilah
dia itu hantu atau dedemit yang baik hati. Tapi... Apa iya ada hantu atau dedemit yang sedih dan mengadu pada Tuhan" Tuhan..."""" tiba-tiba Bobby tersentak menyadari sesuatu. "Ya, pantas saja selama aku tidak pernah mendapat jawaban. Sungguh aku telah salah memilih tempat mengadu. Padahal, sejak kecil aku sudah dikenalkan perihal Tuhan, namun entah kenapa Tuhan selalu aku nomor dua kan. Sejak kecil aku juga sudah diajarkan ilmu agama, namun entah kenapa ilmu yang kudapat itu selalu kupandang dengan sebelah mata. Apakah semua ini karena pengaruh lingkungan yang senantiasa mempengaruhiku dengan berbagai ajaran materialistis sehingga nilai spiritual menjadi aku kesampingkan"" Tanya Bobby tersadar.
Kini Bobby teringat kembali akan bayang-bayang gadis yang begitu dicintainya. Parasnya cantik dan begitu manis. Tubuhnya pun tampak indah dan menggugah selera. "Ya Tuhan, kenapa aku selalu memikirkannya. Apakah aku memang sudah begitu terobsesi dan sulit untuk keluar dari jerat cinta yang begitu mendalam. Cinta... Terdengar manis dan membahagiakan. Itulah yang selalu kubayangkan bersama gadis yang begitu aku cintai, aku bahagia bersamanya di dalam kesepian yang memang selalu hadir. Bahkan di dalam anganku dia selalu memanjakanku dengan segala kasih sayangnya, kemudian membelaiku dengan begitu mesra. Padahal pada kenyataannya, dia itu sudah menjadi kekasih orang. Ya Tuhan, sungguh aku tak sanggup lagi hidup tanpanya""
Kini pemuda itu terbayang kembali dengan narkoba yang dulu pernah menjadi sahabat setianya. Dia sempat berpikir untuk menggunakannya kembali, dengan alasan untuk mengembalikan gairahnya yang kini terkubur.
"Jangan biarkan dirimu termakan oleh godaan setan yang senantiasa hadir di benakmu. Betapa setan sangat menginginkanmu untuk selalu murung dan terus merana. Dan jika kau sampai menggunakan benda laknat itu sebagai jalan keluar, maka setan akan bersorak di atas penderitaanmu," kata gadis yang sejak tadi selalu berhasil membaca pikiran Bobby.
Mendengar itu, Bobby langsung tersadar. Semua itu memang sebuah bisikan sesat yang akan membawanya kembali menggunakan barang haram itu. Untuk sementara Bobby bisa menyingkirkan pikiran sesat yang semula begitu menggebu-gebu. Namun tak lama kemudian keinginan itu sudah kembali lagi, dia benar-benar sulit menahan sugesti yang sudah sekian lama mendarah-daging.
"Menyesallah kalau kau pernah menggunakan barang haram itu, dan berdoalah kepada Tuhan agar kau segera dijauhkan dari pikiran sesat yang terus menghantuimu!" kata gadis itu kembali memperingati.
Bobby pun segera menurut, hingga akhirnya pikiran itu kembali lenyap dan berganti dengan pikiran yang lain. Saat itu di benaknya ada sebuah harapan yang begitu gemilang. Bahkan dia sempat terperanjat ketika hal itu mampu membuka pintu hatinya, dan hal itulah yang membuatnya ingin terus bertahan hidup.
Sebuah keinginan untuk menjadi manusia yang menjalankan misinya dengan penuh keridhaan Illahi.
Tiba-tiba Bobby mendengar deru motor yang kembali membuyarkan pikirannya. Kemudian dengan segera pemuda muda itu duduk dan memperhatikan apa yang sedang terjadi. Dilihatnya gadis yang tadi bersamanya kini telah pergi bersama tunggangannya dan akhirnya menghilang di kejauhan.
"Hmm... Sebenarnya siapa gadis itu" Kenapa dia datang dan pergi begitu saja" Ah, sudahlah.... Aku tidak mau pusing, yang terpenting setelah kedatangannya itu aku merasa mempunyai harapan baru. Sebuah harapan yang tidak pernah terpikirkan olehku."
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Bobby memutuskan untuk pulang. Kini dia sedang menghidupkan sepeda motornya dan bersiap untuk pergi. Namun belum sempat dia melaju, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada sebuah benda yang tampak mengkilat-tersorot lampu motornya yang terang-benderang. Lantas dengan segera pemuda itu turun dari motor dan melangkah mengambil benda yang menarik perhatiannya itu. "Hmm... Apakah benda ini milik gadis tadi"" tanya Bobby seraya mengamati benda yang kini ada digenggamannya.
Benda yang terbuat dari perak itu tampak unik, bentuknya seperti limas yang tersusun dari empat bagian terpisah, tersusun mulai dar
i bagian bawah hingga ke puncaknya. Setiap bagian yang membangun limas tersebut bisa diputar hingga 360 derajat, dan pada setiap sisi bagian yang terpisah itu mempunyai sebuah simbol yang berbeda, sehingga total keseluruhan simbolnya berjumlah 16 buah. Pada bagian terbawah yang merupakan susunan pertamanya mempunyai simbol Lafaz Allah, nama Muhammad, Al-Quran, dan Hadist Rasul. Kemudian pada susunan keduanya mempunyai simbol hati, dua tangan menadah, orang sujud, dan bayi. Lalu pada susunan ketiganya mempunyai simbol tangan yang memberi, tangan yang menggenggam, bibir, dan pedang. Pada susunan terakhir yang merupakan puncaknya mempunyai simbol Lafaz Allah yang bercahaya, matahari yang bercahaya, bintang yang bercahaya, dan bulan yang bercahaya.
"Hmm. ini pasti limas teka-teki, sebab jika aku memutar setiap bagian dari limas ini tentu akan membuat kombinasi simbol yang berbeda. Dan aku yakin, jika kombinasinya tersusun dengan benar pasti akan terjadi sesuatu yang tak disangka-sangka. Hmm. mungkin gadis tadi memang bukan manusia seperti apa katanya, mungkin dia itu Jin yang menyerupai manusia dan sengaja meninggalkan benda ini untukku. Bukankah kehadiran gadis itu memang sangat tidak lazim, bahkan dia bisa membaca pikiranku. Hmm. Apa ya kira-kira yang akan terjadi" Apa mungkin benda ini seperti lampu aladin, yang jika aku berhasil menemukan kombinasinya, maka aku boleh meminta tiga hal yang kuinginkan. Kalau begitu, aku akan meminta kekayaan, kemudian aku akan meminta kedudukan, dan terakhir aku akan meminta agar Winda jatuh kepelukanku. Hmm. Jika memang seperti itu, aku akan berusaha untuk menemukan kombinasinya.
Sebab aku menduga, ini adalah cara Tuhan untuk menolongku, yaitu dengan perantara benda yang diberikan oleh Jin itu. Namun Tuhan tidak begitu saja memberikan pertolongan-Nya padaku, melainkan aku harus berusaha keras dulu untuk memecahkan teka-teki ini."
Setelah berpikir agak lama, akhirnya Bobby memutuskan untuk pergi. Dan tak lama kemudian, dia sudah melesat menembus gelapnya malam, hingga akhirnya menghilang di kejauhan.
Esok harinya, Bobby tampak duduk mengutak-atik benda teka-teki yang ditemukan semalam. Dia duduk di atas langkan balkon rumahnya sambil sesekali memandang ke arah kolam yang dipenuhi oleh ikan mas berwarna-warni. Setelah pusing tujuh keliling lantaran tak berhasil memecahkan teka-teki itu, akhirnya dia memilih untuk termenung, memikirkan gadis pujaannya yang tanpa disadari sudah membuka jalan kepada setan untuk menyesatkannya. Oleh karena itu, kepalanya yang semula dipenuhi berbagai rencana gemilang mendadak lenyap seketika, dan hal itu benar-benar membuatnya tak mampu lagi menuangkan ide-ide yang semula begitu banyak. Bahkan energinya dirasakan turun dengan sangat drastis, tubuhnya pun terasa begitu lemas dan tidak bergairah. Tiba-tiba pemuda itu terbayang kembali dengan narkoba yang pernah digunakan. Ingin rasanya dia menggunakannya benda haram itu demi untuk mengembalikan gairahnya yang lagi-lagi terkubur. "Tidak! ini sebuah bisikan sesat yang akan membawaku kembali menggunakan barang haram itu. Ya Tuhan lindungilah aku dari pikiran yang menyesatkan ini!" kata Bobby kembali tersadar.
Untuk sementara, Bobby bisa menyingkirkan pikiran sesat yang kembali menerpanya. Namun tak lama kemudian, keinginan itu sudah kembali lagi dan hampir saja membuatnya terpedaya. Untunglah pemuda itu cepat tersadar dan segera memohon kepada Tuhan agar menghilangkan pikiran sesat yang terus menghantuinya. Hingga akhirnya pikiran itu pun lenyap dan berganti dengan pikiran yang lain, yaitu mengenai gadis pujaannya. "Ups! Apa yang baru saja kupikirkan tadi sudah merupakan bisikan setan yang kembali menggodaku. Padahal masih banyak yang bisa aku kerjakan selain memikirkan gadis yang sama sekali tak mempedulikan aku. Aku tahu dia memang sudah menjadi kekasih orang, dan aku sadar bahwa aku hanya bertepuk sebelah tangan. Tapi aku sudah terlanjur sayang. Kedengarannya memang seperti judul lagu, tapi itulah aku. Sudah terlanjur sayang kepada orang yang salah. Padahal semula aku tak mencintainya, bahkan tak begitu menghir
aukannya. Dia itu hanya gadis biasa, bahkan tubuhnya pun kurang proporsional. Tapi entah kenapa sekarang justru sebaliknya, dia itu tampak begitu cantik, bahkan tubuhnya pun terlihat sempurna. Apakah ini karena aku masih menjalani hukuman atas penghinaanku dulu, yaitu telah mencela mahluk ciptaan-Mu. Oh Tuhan, jika demikian ampunilah semua dosaku itu. Bukanlah selama ini aku sudah menyesalinya. Dan aku pun sudah berjanji untuk tidak mencela mahluk ciptaan-Mu lagi. Namun, entah kenapa Engkau masih terus menghukumku. Tidak layakkah aku mendapat kebahagiaan dengan menjalani kehidupan bersama gadis yang pernah kuhina itu""
Kini Bobby kembali terkenang akan masa lalunya, yaitu disaat dia jatuh cinta dengan gadis pujaannya. Dulu, ketika dia sedang nongkrong bersama teman-temannya, gadis itu sengaja datang menghampiri. Karena tidak mau dianggap sombong, Bobby pun mencoba untuk menerima kehadirannya. Saat itu, segala pikiran tidak nyaman terus menghantamnya bertubi-tubi, ungkapan hati atas penampilan fisik gadis itu terus tersirat di benaknya. Saat itu Bobby memang jahat karena telah menghina mahluk ciptaan Tuhan begitu. Hal itu memang sulit, sebab dia tidak mungkin bisa membohongi pengelihatannya sendiri. Sebagai pemuda tampan, rasanya mustahil dia bisa berpikir positif atas penampilan fisik si Gadis yang menurut penglihatan lahirnya memang kurang cantik. Apalagi saat itu teman-temannya berusaha menjodohkan. Dan karena itulah, lagi-lagi Bobby kembali berpikiran jahat. "Kenapa gadis seperti itu dijodohkan denganku"" tanya Bobby waktu itu. Dalam hati dia sungguh tidak menerima, jika gadis yang kurang cantik itu berdampingan dengan dirinya yang tampan.
"Sungguh jahat aku waktu itu," ungkap Bobby menyesal.
Tiba-tiba Bobby kembali teringat dengan peristiwa yang mengubah penilaiannya. Waktu itu, si gadis sempat bicara padanya, kalau dia mendekati Bobby bukan lantaran ingin menjadi pacarnya, namun sekedar mau berteman dengan Bobby yang dinilainya begitu enak untuk diajak curhat. Dia pun menyadari kalau dirinya memang tidak pantas berdampingan dengan Bobby yang tampan. Saat itu dia justru minta maaf lantaran kehadirannya telah membuat Bobby ikut diolok-olok.
"Sungguh teman-temanku memang jahat... Ternyata mereka menjodohkan aku dengan maksud mengolok-oloknya," saat itu air mata Bobby kembali menetes bersamaan dengan hatinya yang kembali merasakan kepiluan.
Sejak mengetahui hal itulah, akhirnya Bobby tidak risih lagi jika berada di dekatnya. Bahkan setelah sekian lama mengenal pribadinya, akhirnya Bobby justru merasa sangat nyaman dan tidak peduli lagi dengan segala kekurangannya. Semua itu dikarenakan kecantikan hati si Gadis yang benar-benar sudah merubah pandangannya. Walaupun akhirnya si Gadis pergi meninggalkannya karena dia merasa tidak enak melihat Bobby yang terus diolok-olok.
"Dia memang gadis yang baik. Kecantikan hatinya itu telah membuatku tersadar, kalau dia itu memang patut kucintai," ungkap Bobby mengakui kalau gadis itu telah mengubah kehidupannya.
Kini Bobby kembali teringat disaat dia mulai jatuh cinta. Waktu itu, setelah sekian lama tak berjumpa, hatinya pun senantiasa dilanda kerinduan. Sungguh saat itu Bobby sendiri tak mengerti akan perasaannya, yang jelas saat itu dia benar-benar sangat mendambakan kehadirannya. Bahkan di setiap saat dia selalu teringat dengan segala budi baiknya. Bagaimana dulu gadis itu memberinya pengertian mengenai dampak narkoba yang membahayakan, hingga akhirnya dia mau meninggalkan prilaku buruk itu dan kembali ke jalan yang lurus. Dan kata-kata terakhir yang masih diingatnya adalah doa dari gadis itu, yang mana telah mendoakan dirinya agar mendapatkan gadis yang diidam-idamkannya.
"Sungguh aku tidak menyangka, ternyata kini aku sudah begitu mencintainya. Entah kenapa, pada saat itu semua yang pernah kubenci dari dirinya sirna begitu saja" Mungkinkah semuanya itu karena sudah terkubur oleh kebaikan hatinya yang begitu tulus"" tanya Bobby mengenai ketidakmengertian akan perasaan cinta yang telah merasuki hatinya.
Tiba-tiba pemuda itu kembali meneteskan air matanya. Rupanya dia kembali tering
at dengan kejadian yang membuat hatinya hancur berkeping-keping, yaitu disaat gadis itu menolak cintanya lantaran dia sudah mempunyai kekasih. Sungguh pengalaman itu telah menjadi kenangan pahit yang tak akan pernah dilupakan. Dan dia betul-betul menyesal, kenapa baru menyadari itu setelah semuanya terlambat. Haruskah ia membenci gadis yang sangat dicintainya itu, atau haruskah ia terus mencintainya dengan sepenuh jiwa-padahal dia tahu cintanya hanya bertepuk sebelah tangan. Kata penyair, bukankah cinta itu tak harus memiliki, namun ketulusan mencintai itulah yang terpenting. Sungguh klise kedengarannya, sama sekali tidak masuk di akal. Apa mungkin ia bisa mencintai gadis yang telah membuat hatinya begitu terluka, yang telah membuat kehidupannya begitu menderita. Sakit... Sungguh sakit jika harus terus mencintainya. Benci... Sungguh benci kala cintanya harus tertolak. Kecewa. sungguh kecewa karena tak bisa memiliki. Benci! Benci! Benci! Semakin benci semakin terus terbayang, membuat hati semakin sakit. sakit. dan sakit. Sungguh dilema, mencintai salah, benci apalagi. Begitulah perasaan pemuda itu selama ini, sehingga dia memutuskan untuk tetap mencintainya, walaupun ia harus menderita karenanya.
Kini pemuda itu memutuskan untuk melupakan gadis pujaannya sesaat, dia menyadari kalau ada hal lain yang lebih penting dari itu, yaitu mengenai benda yang ditemukannya waktu itu. "Hmm... Sebetulnya apa maksud dari semua gambar di benda ini" Sungguh sangat membingungkan," kata Bobby sambil terus memperhatikan setiap simbol yang ada dan berusaha memahami maksudnya.
Kini pemuda itu kembali memutar-mutar setiap bagian limas hingga membuat kombinasi baru yang sesuai dengan pikirannya, "Aduh, kenapa masih salah juga. Hmm. Kira-kira apa maksud dari gambar yang satu ini"" tanya Bobby berusaha menerka sebuah simbol bergambar bayi.
Pemuda itu terus berusaha memecahkan teka-teki yang membingungkan itu, bahkan ia sampai mencatatnya di selembar kertas agar kemungkinan yang sudah dicobanya tak diulangi lagi. Hingga akhirnya dia sudah mencoba 64 kali kemungkinan.
"Aduh, kenapa belum ketemu juga" Hmm. Bagaimana jika kombinasinya bukan hanya satu arah, tetapi juga dua arah seperti yang ada pada brankas. Gila...! Kalau begitu kemungkinannya bisa banyak sekali dan tidak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan cara menebak-nebak seperti yang kulakukan sekarang. Huh! Mau tidak mau aku memang harus memecahkan makna dari setiap simbol itu. Kalau begitu, ini sama saja artinya dengan menambah penderitaanku. Sebab aku sendiri tidak tahu, entah sampai kapan aku bisa mengerti makna dari semua simbol itu. Hmm. Sebaiknya aku menyerah saja, percuma jika aku terus memikirkannya. Biarlah aku tak menjadi orang kaya, biarlah aku tak mempunyai kedudukan, biarlah aku... Tidak! Winda harus bisa menjadi milikku. Ya Tuhan... kenapa harus sesulit ini" Kenapa tidak kau berikan saja cara yang mudah agar aku bisa memilikinya" Kenapa." Aku kan sudah mengaku salah, dan aku pun sudah menyesalinya. Tapi. Kenapa Engkau masih juga mempersulitnya"" tanya pemuda itu berkali-kali.
Kini pemuda itu melangkah menuju ke kolam ikan yang ada di taman rumahnya. Setibanya di tempat itu dia langsung duduk di tepian kolam dan memanggil ikan-ikannya untuk mendekat. Tak lama kemudian, ikan-ikan yang ada di kolam itu tampak menghampiri tangannya, kemudian berkeliling-mengharap mendapat makanan. Sejenak Bobby memperhatikan keindahan warna-warninya, kemudian memperhatikan prilakunya yang tampak begitu gembira menyambut kehadirannya. Karena tak mau mengecewakan ikan-ikan yang sudah bergembira itu, Bobby pun segera mengambil pelet dan memberikannya kepada mereka. Sungguh senang hati pemuda itu ketika melihat ikan-ikannya yang makan dengan begitu lahap. Sejenak ia terlena dengan kesenangan itu sehingga ia pun lupa akan penderitaannya.
Esok harinya, seusai mandi dan sarapan pagi, Bobby kembali memikirkan soal Winda. Sungguh setiap kali dia memikirkan gadis itu, setiap kali itu pula dia merasakan sakit yang tak terkira. Namun karena dia menyadari kalau semua itu bisa menghambat kemajuannya, akhirnya d
ia memilih untuk menemui teman-temannya.
Kini Bobby sudah melangkah menuju ke suatu tempat dimana teman-temannya biasa berkumpul, yaitu di atas balai bambu yang berdiri di tengah rimbunnya perkebunan singkong dan di bawah rindangnya sebuah pohon asam. Setelah agak lama berada di tempat itu, hati Bobby pun sedikit demi sedikit mulai terhibur lantaran bisa bercanda ria dan bernyanyi bersama teman-temannya yang sama-sama masih pengangguran. Sungguh keadaan itu telah membuat Bobby merasa tentram dan nyaman karena tak melulu diingatkan soal Winda, yang selama ini memang selalu hadir di benaknya dan membuatnya sakit.
Pemuda itu terus bergembira bersama teman-temannya. Namun ketika seorang temannya membawakan lagu yang berjudul Pujangga, hati Bobby pun langsung sedih dibuatnya.
"Hidup tanpa cinta... bagai taman tak berbunga... O... begitulah kata para pujangga," lantun temannya dengan penuh perasaan.
Seketika Bobby kembali teringat akan bayang-bayang Winda, sang Pujaan Hati yang bak bunga tak menghiasi taman hatinya. Betapa selama ini dia memang begitu mengharapkan kalau Winda mau menjadi pendampingnya. Namun apa daya, selama gadis itu tak mau membalas cintanya, maka semua itu hanya mimpi yang justru membuatnya kian menderita dan sulit melepaskan diri dari cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan.
Tiba-tiba ingatan Bobby buyar lantaran ada seorang pemuda yang datang mengucapkan salam kepada semua orang yang nongkrong. Kini pemuda itu tampak menghampiri Bobby dan duduk di sebelahnya. "Hi, Bob! Ikut aku yuk!" ajaknya kepada Bobby.
"Ke mana, Ran""
"Sudah... Ikut saja! Nanti kau juga akan tahu."
"Eng... Kalau begitu baiklah, ayo Ran!"
Setelah pamit dengan teman-temannya, Bobby dan pemuda itu tampak melangkah pergi. Kini keduanya sedang menyusuri jalan sambil bercakap-cakap perihal kegiatan masing-masing. Ketika sampai di sebuah warung makan, mereka pun mampir dan menikmati santap siang bersama. Usai makan, mereka tidak langsung pergi, melainkan melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda.
Kedua pemuda itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya. "Benarkah yang kau katakan itu, Bob"" tanya Randy seakan tak percaya.
"Iya, Ran. Aku mau berubah. Aku bosan jadi pengangguran."
"Kalau begitu kebetulan sekali, Bob. Sebetulnya aku datang memang mau menawarkan pekerjaan padamu."
"Eng... Kerja apa itu, Ran"" tanya Bobby.
"Kerja di percetakan, Bob. Pada bagian finishing."
"Wah, Ran. Apa mampu aku menjalani pekerjaan yang menjemukan seperti itu""
"Coba saja dulu. Barangkali saja kau menyukainya."
"Ran. Se-sebenarnya aku masih berat untuk bekerja. Boro-boro mau bekerja, mau hidup saja rasanya enggan. Apalagi sekarang, disaat aku sedang tertekan oleh berbagai hal yang membuatku ingin mati saja."
"Semua itu karena Winda kan""
"Iya, Ran. Aku tidak tahu lagi bagaimana cara melupakannya."
"Karena itulah aku datang menemui, Bob. Dengan harapan kau mau bekerja guna mengalihkan pikiranmu dari Winda."
"Emm. Bagaimana ya"" Bobby tampak berpikir keras. "O ya, Ran. Apakah pemilik percetakan itu sedang buru-buru mencari pekerja."
"Sama sekali tidak, Bob. Malah pemilik percetakan itu belum membutuhkan pekerja baru."
"Lho, kalau begitu untuk apa kau menawarkan pekerjaan padaku""
"Ya untuk membantumu agar kau bisa mengalihkan pikiran dari Winda. Bob ketahuilah, pemilik percetakan itu teman baikku sejak kecil, dan dia bersedia menolongmu, asal kan kau memang betul-betul mau bekerja. Katanya jika ia menambah satu karyawan saja, tentu tidak akan menjadi masalah."
"Eng. kalau begitu, bisakah aku memikirkannya lebih dulu. Terus terang, aku tidak bisa mengambil keputusan sekarang."
"Baiklah, Bob. Pikirkanlah dengan matang tawaranku itu. Jika kau sudah siap segera hubungi aku!"
"Iya, Ran. Aku pasti akan menghubungimu. O ya, Ran. Ngomong-ngomong, kau tahu arti simbol-simbol ini tidak"" tanya Bobby seraya menyerahkan limas teka-teki yang ditemukannya kepada Randy.
Randy pun segera menanggapi limas itu dan mengamatinya dengan penuh seksama. "Hmm. sebenarnya benda apa ini, Bob"" tanya Randy seraya mengembalikannya kepada Bobby.
"Entahlah. Aku juga tidak tahu. Menurutku
ini adalah limas ajaib, yang jika seseorang bisa membukanya, maka ia akan diperkenankan untuk meminta tiga permintaan."
"Itu syirik, Bob. Ketahuilah, sebaik-baiknya tempat meminta hanya kepada Allah, bukan kepada benda seperti itu."
"Ran, ketahuilah! Aku tidak meminta kepada benda ini, namun kepada Allah. Benda ini kupercaya hanya sebagai perantara saja, yaitu dengan bantuan jin yang menjadi penghuninya. Sama seperti ketika aku minta tolong kepadamu, yang kuyakini kau menolongku karena sebab Tuhan menjadikanmu sebagai perantara-Nya."
"Bob, itu berbeda. Sebagai manusia aku memang sudah diberikan kuasa untuk menjadi khalifah, yang mana setiap kebaikan yang aku lakukan hanya mengharap ridha dari-Nya. Sedangkan jin sudah tidak diberikan kuasa untuk menjadi khalifah, sebab semenjak Nabi Adam diciptakan hanya manusia yang diberi tugas mulia itu. Dan sebagai khalifah tidak sepantasnya manusia meminta bantuan dengan perantara jin."
"Tapi, Ran. Bagaimana dengan kisah Nabi Sulaiman yang meminta bantuan jin untuk membangun istananya, dan juga ketika membawa singgasana Ratu Bilqis."
"Ketahuilah, Bob! Nabi Sulaiman tidak meminta bantuan, tapi memerintahkan. Dan yang membawa singgasana itu bukanlah jin, melainkan karena doa seorang manusia yang sholeh, yang mana doanya senantiasa Allah kabulkan. Ketahuilah, Bob. Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah mengajarkan manusia untuk meminta bantuan kepada jin, yaitu dengan perantara jimat atau benda magis. Melainkan dengan mengajarkan doa-doa yang tujuannya adalah meminta langsung kepada Allah."
"Tapi, Ran..." "Apa lagi, Bob" Tidak jelaskah apa yang kusampaikan padamu""
"Entahlah, aku masih bingung," jawab Bobby seraya membatin, "Kau tidak tahu, Ran. Kalau sebenarnya jimat atau benda magis secara khusus memang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW sehingga tidak masuk ke dalam Syariat Islam yang diajarkan olehnya. Namun kata seorang ahli hikmah, firman Allah terbagi menjadi dua bagian, yaitu yang tersurat berupa Al-Quran dan yang tersirat yaitu segala kemahakuasaan Allah SWT yang tampak di mata dan hati manusia."
"Bob, apa yang kau pikirkan"" tanya Randy tiba-tiba.
"Eh, Tidak. Bukan hal yang penting. O ya, Ran. Sebetulnya aku tidak mau membahas soal boleh tidaknya memiliki benda gaib, melainkan aku hanya mau tahu saja apakah kau mengetahui arti dari simbol-simbol yang ada di limas ini."
"Bob, sebenarnya hanya ada beberapa simbol saja yang kuketahui. Namun, mengenai makna yang terkandung di dalamnya, juga mengenai hubungan dengan simbol lainnya sama-sekali tidak aku ketahui."
"Ya sudah, kalau begitu. Nanti biar aku tanyakan kepada orang lain saja."
"Bob, sebaiknya kau jangan menyimpan benda seperti itu, sebab aku khawatir kau akan tergelincir. Sekali lagi aku ingatkan, sebaiknya kau ikuti saja apa yang diajarkan Rasulullah, yang mana beliau tidak mengajarkan untuk bergantung pada benda-benda seperti itu. Melainkan hanya kepada Allah, yaitu dengan berdoa kepada-Nya dan berusaha sesuai dengan kemampuanmu. Ingatlah, kalau iman seseorang akan selalu mengalami pasang surut. Karenanya, hindarilah berbagai hal yang sekiranya bisa membahayakanmu!"
"Baiklah, Ran. Aku akan memikirkan dan mempertimbangkan semua perkataanmu itu."
"Baguslah kalau begitu. O ya, Bob. Sebaiknya aku pamit pulang. Bukankah kau masih mau nongkrong dengan teman-teman di kebun""
"Tidak, Ran. Aku langsung pulang saja."
"Kalau begitu, kita bisa jalan sama-sama, Bob."
"Iya, Ran. Kalau begitu mari!"
Setelah Randy membayar apa yang mereka makan, lantas keduanya segera melangkah beriringan, membicarakan berbagai hal mengenai keagamaan. Selama ini Randy memang sahabat Bobby yang paling baik, sebab pemuda itu selalu memberikan masukan positif dan selalu membantunya dikala susah. Karenanyalah Bobby sangat respect padanya dan mau mendengarkan setiap nasihat darinya, yang terkadang memang suka berseberangan dengan pendapatnya sendiri. Walaupun begitu, Bobby tetap menghormati apa pun yang Randy katakan, dan dia berusaha untuk tidak terjebak di dalam sebuah perdebatan yang tak perlu, yang mungkin saja bisa membuat hubungan keduanya menjadi rengg
ang. Randy pun begitu, walaupun ia tahu Bobby terkadang enggan menuruti nasihatnya karena sebab perbedaan pendapat, namun ia tak pernah bosan untuk terus menasihati sahabatnya itu. Baginya kebenaran harus tetap disampaikan, dan mengenai Bobby mau menerima atau tidak, semuanya dikembalikan kepada budinya sendiri.
DUA Kini Bobby mulai melupakan gadis pujaannya,
namun dikesehariannya dia lebih sering berandai-andai. Andai dia jadi orang kaya, andai ia jadi orang terkenal, andai ia punya istri cantik, andai ia punya anak-anak yang menggemaskan, sungguh membahagiakan. Memang asyik jika berandai-andai seperti itu, bisa senyam-senyum sendiri, terlena dengan angan yang melambung tinggi, bahkan hingga lupa diri. Maklumlah, selama ini dia merasa kalau dirinya adalah orang yang tidak mempunyai keahlian, ditambah lagi dengan dampak narkoba yang telah membuatnya menjadi seorang pemalas. Sungguh dia tidak tahu harus bagaimana menjalani kehidupannya yang dirasakannya begitu monoton, tak ada warna-warni, hanya berupa beribu penderitaan yang membuat batinnya merintih, merasakan beratnya persaingan hidup di dunia yang menjemukan. Namun setelah pertemuannya dengan Randy, semuanya pun mulai berubah, ada sebuah harapan akan masa depannya. Sayangnya, harapan itu terlalu tinggi dan membuatnya justru jadi sering berandai-andai.
Untunglah keadaan itu tak berlangsung lama, sebab sahabatnya yang bernama Randy kembali mengingatkan akan makna hidup yang telah dikaruniakan kepadanya, yaitu mengenai misi kekhalifahannya yang mana harus dijalani guna mengubah kehidupannya sesuai dengan keinginan Allah. Dan karena itulah akhirnya Bobby sadar untuk tidak lagi berandai-andai, melainkan berusaha merelisasikannya dengan langkah nyata. Bahkan dia menjadi begitu bersemangat untuk merubah dirinya menjadi lebih baik, yaitu menjadi orang yang mengisi hidupnya dengan seproduktif mungkin guna mengemban misi kekhalifahannya. Sungguh dia merasa hidupnya menjadi begitu indah jika dia mau mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat dan tak menyia-nyiakan waktunya sedikit pun.
Sebagai langkah awal, dia pun tak mau menyia-nyikan kesempatan yang ditawarkan Randy. Kini dia sudah bekerja di sebuah perusahaan percetakan, yaitu di bagian finishing. Pekerjaannya adalah menyelesaikan setiap hasil cetakan. Dari menyusun halaman buku sampai dengan mengelemnya menjadi bentuk buku yang utuh. Dari menyatukan potongan kertas sehingga menjadi sebuah map yang siap pakai. Dan masih banyak lagi jenis pekerjaan finishing yang mesti dia lakoni.
Bos Bobby adalah seorang keturunan Tionghoa yang baik hati, dan dia sangat senang jika ada karyawannya yang mau meningkatkan kemampuan. Karenanyalah, ketika bosnya mengetahui kalau Bobby mempunyai ketertarikan menjadi seorang graphic designer, akhirnya dia diberi kesempatan untuk mempelajarinya. Kata Bosnya, selama Bobby tidak ada kerjaan dan komputer juga sedang bebas, Bobby diizinkan untuk menggunakan komputer. Mengetahui itu, Bobby pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Pokoknya setiap ada waktu luang digunakannya untuk belajar dan belajar, hingga akhirnya dia dipercaya untuk menjadi seorang setter yang pekerjaannya membantu seorang designer dalam menyelesaikan tugas. Pekerjaannya setiap hari adalah berbagai hal yang berkenaan dengan setting materi. Dari men-tracing logo, meng-cropping foto, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya dia semakin mahir dan diperkenankan untuk mulai mendisain.
Setelah beberapa tahun bekerja, akhirnya Bobby menjadi seorang graphic designer yang cukup mahir. Karena keinginannya mengembangkan karir, akhirnya Bobby meminta izin untuk mencari pengalaman di tempat lain. Saat itu Bosnya yang begitu pengertian sama sekali tidak keberatan, dia memang begitu memaklumi jiwa muda Bobby yang masih penuh semangat. Setelah keluar dari perusahaan itu, Bobby terus mendalami ilmunya dari perusahaan satu ke perusahaan lain. Hingga akhirnya dia betul-betul menjadi seorang graphic designer yang professional. Pendapatannya saat itu pun terbilang besar untuk orang yang hanya tamatan SMK, yaitu sekitar lima juta rupiah per bulan. Apalagi ji
ka dia mendapatkan order sampingan dari perusahaan asing, yang hanya dengan sekali desain bisa mendapatkan uang puluhan juta rupiah. Sungguh semua itu telah membuatnya terpedaya dengan urusan dunia, dimana kini dia lebih sering menghabiskan uangnya untuk hal-hal yang tidak penting. Bahkan dia sudah tidak ingat dengan tekadnya yang ingin mengemban misi khalifahannya sesuai dengan keinginan Tuhan.
Kini Pemuda itu sedang asyik berduaan dengan seorang gadis yang dikenalnya saat clubbing. Mereka duduk berdua di dalam mobil yang diparkir di bahu jalan sambil menikmati udara malam yang semakin dingin.
"Mmm... Ternyata kau ini memang gadis yang tahu segalanya, ya." Puji Bobby kepada lawan bicaranya.
"Ah tidak juga. Aku sungguh tidak menduga, kalau kau ternyata pemuda yang pandai merayu," balas gadis itu.
Bobby tersenyum, "Merayu..." Kenapa kau pikir aku sedang merayu"" tanyanya seraya membelai rambut gadis yang kini bersandar di bahunya.
"Sudahlah, Kak! Aku tahu betul kok mana yang merayu dan yang tidak," kata gadis itu sambil memainkan kancing baju Bobby.
"Ya sudah, kalau begitu terserah kau saja."
Nita tersenyum, "Kau memang pandai, Kak."
"Pandai."" Bobby tampak mengerutkan keningnya.
"Ya, kau pandai mengambil hati wanita, Kak," jelas Nita tersipu.
"Sudahlah, Nit.! Kau jangan terlalu memuji begitu. O ya, ngomong-ngomong sekarang enaknya kita ke mana ya"" tanya Bobby seraya kembali membelai rambut gadis itu.
"Terserah Kakak saja," jawab Nita manja.
"Lho, kok terserah aku. Kalau aku ajak ke kantor polisi, apa kau mau""
"Ah, Kakak ada-ada saja. Hmm. Bagaimana kalau kita menginap di hotel saja""
"A-apa!!!" Bobby terkejut.
"Kenapa kau begitu terkejut, Kak" Bukankah itu yang biasanya pria inginkan."
"Maksudmu"" tanya Bobby seraya memandang mata Nita dalam-dalam.
"Ya, mau apa lagi" Kalau kita sudah saling suka, bukankah sebaiknya kita ML."
"ML." Ta-tapi."
"Ayolah, Kak.! Terus terang, sudah lama juga aku tak merasakan nikmatnya bercinta."
Saat itu Bobby benar-benar dalam ujian yang cukup berat lantaran digoda wanita cantik yang bersedia tidur bersamanya. Sungguh tawaran itu benar-benar membuatnya serba salah, di satu sisi dia takut akan dosa, namun di sisi lain dia memang sangat menginginkan tubuh molek milik Nita. Setelah berpikir keras, akhirnya Bobby mau juga menuruti ajakan Nita. "Mmm. Baiklah. Kalau begitu kita ke hotel sekarang," kata Bobby setuju.
Mengetahui itu, Nita pun senang bukan kepalang. Terbayang sudah kebahagiaan yang akan dialaminya, bersama pemuda tampan yang menurutnya tampak perkasa. "Nah, begitu dong. Kau memang pria yang mengerti wanita, Kak," katanya seraya mencium Bobby mesra.
Setelah mendapat ciuman yang terasa hangat itu, Bobby pun segera memacu mobilnya menuju hotel yang tak begitu jauh. Hingga akhirnya sepasang muda-mudi itu sudah berada di kamar yang lumayan besar. Kamar itu tampak bagus, dindingnya yang berwarna putih kebiruan adalah wallpaper bermotif bunga yang dihiasi dengan beberapa lukisan yang begitu indah. Tempat tidurnya pun tampak besar, bergaya classic dengan ukiran kayu yang dihiasi ornamen emas. Dan ketika Bobby duduk di atasnya, dia pun merasakan kasur yang didudukinya itu terasa begitu empuk. Pemuda itu sejenak merebahkan diri, merasakan kelembutan bed cover-nya yang berwarna cokelat muda. Saat itu, Nita yang agak binal tampak membuka kancing baju Bobby satu per satu sambil terus menciuminya mesra. Dan ketika dia hendak membuka retsleting celana pemuda itu tiba-tiba,
"Hentikan Nit!" tahan Bobby seraya kembali mengancingi bajunya yang sudah terlepas semua.
Sesaat Nita sempat melongo dibuatnya, lalu tak lama kemudian gadis itu sudah kembali berkata-kata. "Kenapa, Kak. Apa ada yang salah""
"Ya... Ini sangat salah, Nit. Kita tidak sepantasnya melakukan ini."
"Kau jangan munafik, Kak. Kau sangat menginginkannya kan""
"Ya, aku tidak memungkiri itu. Tapi..."
"Kau takut dosa kan" Dari gelagatmu aku sudah bisa menduga kalau kau memang takut. Kini aku yakin kalau kau memang masih perjaka, dan karenanya kau merasa takut."
Bobby tidak menjawab, karena saat itu dia yakin kalau Nita sudah memahaminya.
"Ka k... Pertama kali aku melakukannya juga sepertimu, takut akan dosa. Tapi setelah aku merasakan nikmatnya bercinta, akhirnya aku tidak mempedulikannya lagi. Kak, kita masih muda, masih banyak kesempatan untuk bertobat."
"Benarkah masih banyak kesempatan"" tanya Bobby ragu.
"Iya lah. Kita ini kan masih muda dan sehat. Kalau kita sudah tua dan mulai sakit-sakitan barulah kita bertobat."
"Nit... Aku tidak yakin. Sesungguhnya aku takut sekali, bagaimana jika belum sempat bertobat aku keburu mati" Kecelakaan mobil atau apalah."
Nita tampak terdiam, sungguh dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Ya sudah kalau begitu. Terus terang, aku menyesal telah mengenalmu, Kak. Ternyata kau bukan pemuda seperti yang kuduga. Kau terlalu naif."
"Maafkan aku, Nit! Sungguh bukan maksudku membuatmu kecewa. Selama ini aku memang telah salah langkah, sehingga harus membuatmu kecewa. Andai dari awal aku sudah menyadari kalau perbuatanku ini salah, tentu aku tidak akan melibatkanmu."
"Sudahlah, Kak! Kalau memang tidak bisa, sebaiknya kau antar aku pulang."
"Baiklah, Nit. Sekali lagi aku minta maaf karena telah mengecewakanmu!"
"Iya, aku mengerti. Kau memang tidak seperti pemuda kebanyakan yang kukenal."
Akhirnya Bobby mengantarkan Nita pulang. Saat itu Bobby benar-benar lega karena tidak jadi melakukan perbuatan yang sangat tidak patut itu. Dia bersyukur karena masih mau mendengarkan hati nuraninya, yang andai saat itu tidak dituruti mungkin akan membuatnya semakin sulit untuk memadamkan hasrat birahi yang saat itu sudah begitu bergelora.
Esok paginya di hari Minggu yang cerah, Bobby tampak duduk di atas balkon rumahnya sambil memperhatikan limas teka-teki yang ditemukannya. Pemuda itu tampaknya masih penasaran dengan benda yang kata sahabatnya bisa menjerumuskannya ke hal-hal yang membahayakan. "Hmm... Bagaimana jika benda ini bukan berisi Jin, melainkan diberikan kekuatan oleh Tuhan. Benda ini tidak memberikan kekuatan, namun diberi kekuatan. Dengan begitu tidak mustahil jika benda ini bisa memberikan pengaruh positif kepadaku, yaitu dengan membuatku mempunyai aura positif yang bisa membuat orang-orang di sekitarku menjadi segan, sehingga segala yang aku inginkan pun bisa diraih dengan mudah. Buktinya, setelah memiliki benda ini kehidupan sosialku menjadi lebih baik. Aku mempunyai pekerjaan yang kusuka, berpenghasilan cukup, dan berbagai hal yang kuinginkan sudah tercapai. Tanpa benda ini, rasanya mustahil aku bisa seperti sekarang. Kini hanya satu yang belum bisa aku dapatkan, yaitu seorang pendamping yang betul-betul mencintaiku. Walau selama ini banyak gadis cantik yang mau padaku, namun tak satu pun yang menarik hatiku. Aku merasa mereka cuma mau uangku saja, yang tentunya akan mudah diperoleh setelah menjadi istriku kelak. Mungkin aku bisa merasa demikian karena pengaruh benda ini pula, yang dengan kekuatannya telah membuatku bisa merasakan perasaan itu. Sungguh benda ini sudah membuatku betul-betul beruntung, padahal aku sendiri belum berhasil memecahkan teka-tekinya. Hmm. Bagaimana jika kelak aku berhasil memecahkannya, tentu aku akan menjadi orang yang bahagia dunia dan akhirat."
Bobby terus berusaha memecahkan teka-teki yang ada di limas itu hingga akhirnya dia pusing sendiri. "Hmm. Sebaiknya aku pergi berlibur saja. Mungkin setelah otakku fresh, aku akan bisa memecahkannya," kata pemuda itu seraya berkemas pergi.
Tak lama kemudian, pemuda itu tampak melaju dengan jeep merahnya menuju ke daerah puncak, tepatnya ke sebuah villa mewah yang sangat nyaman. Setibanya di tempat itu, dia merasakan kesejukan udara yang sangat berbeda dengan yang ada di Jakarta-betul-betul bersih dan menyegarkan. Kini pemuda itu sedang memandang hijaunya perkebunan teh yang menyejukkan mata, yang tumbuh hampir di setiap lekuk perbukitan. Di kejauhan juga terlihat gunung yang berselimutkan kabut putih, berdiri dengan kokoh memperlihatkan keperkasaannya. Sungguh pesona alam yang indah, ciptakan Tuhan yang membuat dirinya bukanlah apa-apa.
Usai menikmati indahnya pesona alam, kini pemuda itu segera berganti pakaian dan melangkah ke tepian kolam renang yang airny
a tampak begitu jernih. Sejenak pemuda itu melakukan pemanasan dengan melakukan gerakan ringan yang dapat melemaskan setiap persendiannya. Setelah itu dia duduk di tepian kolam sambil menggoyangkan kakinya di dalam air, dia melakukan itu agar tubuhnya tak terkejut dengan suhu air di kolam. Setelah dirasa cukup, akhirnya pemuda itu menceburkan diri. Seketika itu rasa dingin langsung menyeruak, membuat tubuh pemuda itu menggigil hebat bagai direndam air yang dipenuhi ribuan balok es. Karena tak sanggup melawan dingin yang tak terkira, akhirnya pemuda itu segera naik dan kembali duduk di tepian. Saat itu rasa dingin tak kunjung lenyap, justru semakin bertambah-tambah. Pada saat itulah, tiba-tiba seorang penjaga villa datang menghampirinya.
"Den, Bobby. Saya lihat anda tampak begitu kedinginan. Apakah anda butuh sesuatu untuk menghangatkannya""
"Iya, Mang. Tolong carikan minuman yang dapat menghangatkan tubuhku ini!" pinta Bobby seraya memberikan uang kepada penjaga villa itu.
Tak lama kemudian, penjaga villa itu tampak melangkah pergi. Beberapa menit kemudian, dia sudah kembali dengan sebotol whisky di tangannya. "Ini, Den," kata penjaga villa itu seraya menyerahkan minuman yang dibawanya.
"Terima kasih ya, Mang. O ya, ambil saja kembaliannya untukmu."
"Terima kasih, Den," kata penjaga villa seraya melangkah pergi.
"Brrr... Dinginnya. Tentu tidak apa-apa kalau minum sedikit saja. Sebab, aku memang betul-betul sedang kedinginan. Tuhan pasti memaklumi aku yang terpaksa meminum cairan beralkohol ini. Bukankah Al-Quran juga membolehkan makan daging babi yang diharamkan itu, jika ia memang betul-betul sedang dalam keadaan darurat."
Setelah berpikir begitu, akhirnya Bobby segera pergi ke teras dan duduk menikmati minuman itu seteguk. Hangat sekali rasanya di kerongkongan, dan setelah masuk ke lambung terasa betul-betul hangat. Sayangnya keadaan itu tak berlangsung lama, rasa dingin pun kembali datang. "Hmm... kalau begitu seteguk lagi saja," kata Bobby seraya meneguknya sekali lagi.
Keadaan itu terus berlanjut hingga akhirnya sudah setengah botol minuman itu ia habiskan. "Ah, sekarang sudah lebih baikan," gumam Bobby seraya meneguknya sekali lagi. "Sungguh indah hidup ini, dunia pun seakan terang-benderang. Sungguh tidak sia-sia Tuhan menciptakan semua ini. Aku heran, kenapa agama melarang minuman keras ini, yang nyatanya tidak membuatku mabuk, aku justru merasakan kebahagiaan yang tiada tara. Saat ini aku betul-betul konsen, bahkan aku merasa justru bisa berpikir dengan jernih dan masih ingat Tuhan."
"Maaf, Den Bobby!" ucap penjaga villa yang tiba-tiba sudah berada di tempat itu. "Sekali lagi maaf, Den! Saya lihat anda duduk sendirian saja. Apakah anda butuh teman untuk diajak bicara"" tanyanya kemudian.
"O, kau rupanya. Apakah kau mau menemaniku bicara""
"Bukan saya, Den. Tapi seorang wanita yang masih muda dan cantik."
"Eng... Kalau begitu mana wanita itu""
"Maaf, Den! Saya harus menjemputnya dulu""
"O..." Kata Bobby mengerti. "Kalau begitu, apa segini cukup"" kata Bobby seraya menyerahkan sejumlah uang kepada penjaga villa itu.
"Cukup, Den." Jawab penjaga villa dengan raut wajah berseri.
"O, ya nanti temui aku di ruang tamu saja, tampaknya di sini sudah mulai gelap, dan kabut dingin juga sudah mulai turun," kata Bobby seraya melangkah pergi.
"Baik, Den," kata penjaga villa seraya memperhatikan kepergian Bobby yang tampak berjalan dengan agak terhuyung. "Hehehe... ! Ternyata Den Bobby sudah mabuk berat, jalannya saja sudah tidak lurus begitu, dan bicaranya tadi juga sudah tidak jelas," duga penjaga villa itu seraya melangkah pergi. Pada saat yang sama, Bobby sudah berada di dalam ruang tamu dan duduk di sebuah sofa cokelat yang empuk.
"Hmm... Seorang wanita muda yang cantik. Tentu tidak apa-apa jika hanya sekedar berbincang-bincang. Aku ini kan masih konsen, bicara dan jalanku saja masih lancar. Tentu aku masih bisa menjaga diri dari hal-hal yang sekiranya bisa membahayakan. Aku tidak akan sampai jauh seperti kejadian kemarin malam, sebab aku memang hanya mau sekedar berbincang-bincang saja."
Setelah menunggu agak lama, akhirn
ya penjaga villa sudah kembali bersama seorang wanita muda yang cantik. Usianya baru 20 tahun, dia mengenakan kaos you can see putih dengan jeans biru yang tampak ketat. Sungguh saat itu Bobby dapat melihat keindahan tubuhnya yang tampak sempurna.
Kini wanita itu sudah duduk di samping Bobby dan berbincang-bincang mengenai suasana malam dan keindahannya. Lama mereka berbincang-bincang hingga akhirnya, "O ya, Kak. Ngomong-ngomong, dari tadi kulihat Kakak sering menggoyangkan bahu. Apakah bahu Kakak terasa pegal"" tanya wanita muda itu.
"Ya, kau benar. Saat ini bahuku memang terasa pegal sekali," jawab Bobby terus terang.
"Eng.. Kalau begitu, biar aku memijatmu, Kak." Tawar wanita muda itu.
Mendapat tawaran itu, Bobby pun langsung berpikir. "Hmm... Kalau cuma dipijat sih tidak apa-apa, sebab tidak akan membuatku terangsang."
Setelah Bobby mengijinkan, lantas dengan segera wanita itu mulai memijatnya. "Bagaimana, kak. Apa segini cukup"" tanya wanita muda itu mengenai kekuatan memijatnya.
"Ya cukup. Oh, nikmat sekali rasanya!" ungkap Bobby merasakan jemari gadis itu terus menari-nari di bahunya yang terasa pegal. Bahkan saking nikmatnya membuat Bobby merasa betul-betul mengantuk.
"Kak, bagaimana jika aku memijatmu di kamar saja, sebab aku lihat Kakak tampak mulai mengantuk. Nanti jika Kakak sampai tertidur, aku bisa langsung menyelimutimu dan membiarkanmu tidur dengan nyenyak."
"Kau benar, kalau begitu mari!"
Lantas anak manusia yang bukan muhrim itu segera menuju kamar yang tampak nyaman. Saat itu Bobby langsung tengkurap di kasur yang empuk, sedangkan gadis yang bersamanya kembali mijat bahunya. Bukan hanya bahu, tapi juga punggung dan pinggangnya. "Oh, benar-benar nyaman sekali," ungkap Bobby senang. "O ya, dari mana kau belajar memijat seenak ini"" tanya pemuda itu kemudian.
"Dulu aku pernah bekerja di sebuah panti pijat, Kak. Dan karenanya aku bisa memijat seperti yang kau rasakan sekarang."
"O, jadi begitu. Pantas saja pijatanmu terasa betul-betul enak."
Saat itu Bobby bukan hanya merasakan enaknya dipijat, tapi ia juga merasakan perasaan lain yang membuatnya benar-benar lupa diri. Saat itu dia sedang merasakan sebuah bentuk perhatian dan kasih sayang dari seorang wanita, yang mana tak pernah dirasakan sebelumnya. Sungguh sebuah bentuk perhatian dan kasih sayang semu yang membahagiakan, bahkan rasa kesepian yang selama ini menerpanya sudah sirna seketika-berganti dengan perasaan syahdu yang terus mengisi relung jiwanya yang haus akan kasih sayang.
Esok paginya ketika baru bangun tidur, Bobby dikejutkan oleh keadaan dirinya yang sudah tanpa busana. Apalagi di sebelahnya ada seorang wanita cantik yang juga tanpa busana, gadis itu sedang terlelap di bawah selimutnya. "Ya Tuhan... sudahkah aku melakukan itu"" tanya Bobby merasa takut dan cemas akan dosa yang mungkin sudah diperbuatnya. Seketika Bobby mencoba mengingat kejadian semalam, mengenai apa saja yang telah dilakukannya bersama wanita itu-dari awal kedatangannya hingga akhirnya dia dipijat, dan setelah itu dia tak ingat lagi. Lantas dengan segala perasaan resah dan gelisah, pemuda itu segera mengenakan pakaiannya kembali dan mencoba membangunkan gadis yang bersamanya. "Len, Leni! Bangun Len!" pinta Bobby sambil menepuk-nepuk bahu gadis itu.
"Ada apa, Kak"" tanya Leni seraya bersandar di kepala dipan dengan tubuh yang masih tertutup selimut.
"Len... A-apakah semalam kita melakukan itu"" tanya Bobby cemas.
"Melakukan apa, Kak""
"A-apakah semalam kita berhubungan intim""
"Tidak, Kak. Bukankah kau sudah berpesan padaku agar tidak melayanimu."
"Be-benarkah"" tanya Bobby hampir tak mempercayainya.
"Iya, Kak. Semalam kau sudah bicara panjang lebar mengenai siapa dirimu. Bahkan mengenai gadis yang bernama Winda pun kau ceritakan pula."
"A-aku cerita soal Winda""
"Iya, Kak. Bahkan kau menceritakannya begitu detail, sehingga aku pun bisa merasakan perasaanmu yang sudah begitu mencintainya. Kak... Terus-terang, baru kali ini aku melayani pemuda sepertimu, yang dengan polosnya menceritakan segala masalah pribadinya. Ternyata kau mengundangku lantaran sedang kesepian dan butuh t
eman untuk curhat." "La-lalu kenapa aku bisa sampai tak berpakaian""
"Se-sebenarnya semalam kau sudah mau melakukan itu, namun karena aku menyadari kalau kau sedang mabuk, aku pun lantas menolak dan berusaha kembali mengingatkanmu. Terus-terang, aku kasihan padamu, Kak. Bukankah kau sudah menceritakan siapa dirimu, dan karenanyalah aku yakin sekali-jika pikiranmu sedang sehat, kau pasti tak menghendakinya."
"Kau benar, Len. Aku memang tidak menghendaki hal itu. Terima kasih, Len. Kau memang gadis yang baik."
"Sudahlah, Kak. Aku ini bukan gadis baik-baik. Aku ini hanyalah kupu-kupu malam yang dibayar demi mendapatkan cinta sesaat. Namun untukmu ada pengecualian, sebab aku menganggapmu bukanlah sebagai pemuda hidung belang yang harus aku layani demi memuaskan hasrat birahinya. Kau sudah kuanggap sebagai seorang sahabat yang membutuhkanku sebagai tempat curahan hatimu."
"Tidak, Len. Kau itu gadis yang baik, kau berbeda dengan lain. Aku yakin, kau menjalani profesi ini karena terpaksa. Andai kau berpeluang mendapat pekerjaan yang lebih baik, aku yakin kau tidak mau melakukannya. Kau itu hanya tidak tahu saja bagaimana caranya menemukan peluang."
"Entahlah, Kak. Mungkin begitu, mungkin juga tidak. Terus terang, aku sendiri bingung, harus bagaimana lagi menjalani hidupku ini. Sesungguhnya aku jadi begini lantaran ulah pacarku yang tidak bertanggung jawab. Semenjak dia merenggut kesucianku, aku merasa hidupku sudah hancur berkeping-keping, dan aku merasa tidak punya masa depan. Dia telah menghancurkan cita-citaku untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, ibu rumah tangga yang bersama suami tercinta membesarkan anak-anaknya di dalam sebuah mahligai perkawinan yang penuh dengan kebahagiaan," cerita Leni seraya menitikkan air matanya.
Pada saat itu Bobby betul-betul prihatin dengan cerita Leni yang menyedihkan itu. Dalam hati pemuda itu sempat berpikir, andai saja ia seorang pemuda yang siap mental, tentu ia akan menikahi dan membawanya ke kehidupan yang lebih baik. Namun, saat ini ia hanya pemuda yang juga sedang dilanda berbagai kesusahan yang membebani hatinya.
Sungguh dia tak kuasa untuk menolong Leni selain hanya dengan doa yang tulus.
TIGA Setelah peristiwa dua malam yang membahayakan itu, akhirnya Bobby tersadar dan takut sekali jika sampai terjerumus ke lembah nista. Karenanyalah dia memutuskan untuk bertemu Randy, sahabatnya yang sudah dianggap sebagai saudara kandungnya sendiri. Barangkali saja dia bisa membantunya mencarikan jalan keluar agar bisa lepas dari bayang-bayang Winda, yang mana selama ini telah membuatnya terpedaya sehingga harus lari ke hal-hal yang negatif. Kini pemuda itu tampak disambut hangat oleh sahabatnya dan dipersilakan masuk ke kamar kos-kosannya yang terasa cukup nyaman.
"Kau masih suka hura-hura, Bob"" tanya Randy perihal kebiasaan buruk Bobby yang membuat pemuda itu merasa perlu untuk menanyakannya.
"Eng... Kenapa kau menanyakan hal itu, Ran"" Bobby malah balik bertanya.
"Tidak... Aku cuma prihatin saja. Andai kau mau menggunakan uangmu untuk hal-hal yang bermanfaat, tentu Tuhan akan memuliakanmu."
"Ran, ketahuilah. Kini aku sudah sadar, kalau perbuatanku yang lalu itu memang salah. Karenanyalah, kini aku datang menemuimu karena ingin meminta masukan darimu."
"Benarkah yang kau katakan itu""
Bobby mengangguk. "Begini, Ran. Terus terang, hingga hari ini aku tidak bisa melupakan Winda. Sebenarnya selama ini aku melakukan itu agar bisa lepas dari bayang-bayangnya. Namun cara yang kutempuh itu keliru, sebab cara itu merupakan upaya setan untuk pemperdayaku. Selama ini aku merasa bisa menjaga diri hal-hal yang membahayakan, sebab aku punya iman yang menjadi tameng pelindungku. Pikirku tidak apa-apa jika aku pergi ke tempat-tempat hiburan demi mengobati hatiku yang lara. Aku merasa pasti tidak akan terjerumus ke arah yang menyimpang selama aku bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak. Namun pada kenyataannya, sedikit demi sedikit setan berhasil memperdayaku. Dan yang terakhir setan hampir saja berhasil menjerumuskanku ke lembah nista. Karenanyalah kini aku benar-benar bingung, bagaimana caranya
agar bisa melupakan dia, namun dengan cara-cara yang tidak menyimpang."
Randy menepuk bahu Bobby pelan, "Kau tidak mungkin untuk bisa melupakannya, Bob. Namun jadikanlah itu sebagai pelajaran yang berharga. Sungguh Tuhan telah menciptakan episode yang demikian agar kau bisa menjadi lebih baik. Ketahuilah, tidak akan bertambah kemuliaan seseorang sebelum Tuhan memberikan ujian kepadanya. Karena itulah, kau tidak perlu melupakannya, namun ambillah hikmah dari peristiwa itu."
"Hikmah apalagi yang bisa kuambil selain dari kekecewaan dan sakit hati lantaran telah mencintai gadis yang salah."
"Banyak... banyak sekali, Bob. Andai kau bisa mengikhlaskannya, kau tentu akan betul-betul menjadikan peristiwa itu sebagai ujian. Pikirkan kenapa Tuhan tak mengizinkanmu menjalin cinta dengannya. Pikirkan juga kenapa Tuhan menakdirkanmu untuk bertemu dengannya dan jatuh cinta kepadanya. Berprasangka baiklah pada Tuhan yang telah menciptakan episode yang demikian demi untuk kebaikanmu, yang mana bisa memetik segala pelajaran darinya. Dan jika kau sudah memahaminya, lalu kau ikhlas dan sabar dalam menjalaninya, maka Insya Allah kau akan menjadi lebih baik. Kau akan menjadi lebih dewasa dan lebih bijaksana ketika menjalani episode selanjutnya."
"Ikhlas dan sabar.""
"Ya, itulah kuncinya. Sebab untuk menjadi lebih baik, tidak ada cara lain lagi selain harus latihan dan latihan. Episode yang sedang kau jalani selama ini adalah bagian dari sarana latihan itu. Karenanya kau tidak perlu lari, namun hadapi sekuat kemampuanmu. Jika kau tak sanggup, jangan sampai kau putus asa, sebab kepasrahan adalah sebaik-baiknya jalan yang bisa kau tempuh."
Bobby pun terdiam merenungi semua perkataan Randy barusan, hingga akhirnya dia bisa memahami kalau semua peristiwa di dalam kehidupannya adalah sarana latihan agar kelak dia bisa memahami arti kehidupan.
Esok siangnya, Bobby dan Randy datang menemui teman mereka yang bekerja sebagai seorang satpam di sebuah perumahan mewah. Kini ketiganya tampak asyik berbincang-bincang di dalam gardu yang diteduhi oleh rindangnya pohon beringin, dan terkadang angin sepoi-sepoi bertiup melewati tempat itu, hingga membuat tempat itu kian bertambah sejuk. Ketiga pemuda itu terus berbincang-bincang hingga akhirnya perbincangan mereka terhenti oleh kedatangan seorang gadis cantik.
"Hai, Kak Haris!" sapa gadis itu kepada pemuda yang duduk di sebelah Randy.
"Hi, Nur..! Apa kabar"" Balas pemuda itu.
"Baik, Kak," jawab gadis itu singkat.
"O ya, Nur. Kenalkan, ini teman-temanku!"
Gadis itu tampak tersenyum, kemudian dengan segera dia bersalaman dengan Randy, "Aku Nuraini," katanya kepada pemuda itu.
"Aku Randy," balas Randy seraya membalas senyum gadis itu.
Entah kenapa, saat itu Nuraini langsung duduk di sebelah Haris dan berbincang-bincang dengannya seolah tak mengindahkan kehadiran Bobby.
"O ya, Kak Haris. Jadi malam nanti kita pergi"" tanya gadis itu pelan.
"Iya, tentu saja. Setelah penggantiku datang, aku pasti langsung pulang untuk bersiap-siap," jawab Haris.
Pada saat yang sama, Bobby tampak masih terheran-heran. Sungguh dia tidak mengerti dengan sikap gadis yang baru dikenalnya itu, dalam hati dia pun merasa agak kesal, "Hmm... Sombong sekali dia. Masa dia hanya kenalan dengan Randy saja, memangnya aku ini dianggap apa""
"Bob, nanti malam kau ikut ya!" ajak Haris membuyarkan pikiran pemuda itu.
"Eng. I-ikut"" tanya Bobby setengah terkejut. "Me-memangnya kalian mau pergi ke mana"" lanjutnya kemudian.
"Kami akan pergi memancing, Bob." jawab Haris.
"Me-memancing"" Bobby tampak melongo. "Bersama gadis itu"" tanyanya kemudian.
"Kenapa, Bob. Kau heran"" tanya Haris.
"Iya, tidak biasanya. Apa mungkin dia akan sabar menemani kita memancing, jangan-jangan nanti malah jadi pengganggu."
"Nuraini tidak cuma menemani, Bob. Tapi dia juga ikut memancing."
"Benarkah" Sungguh aku tidak menduga, aku pikir selama ini seorang gadis maunya hanya pergi makan, nonton, atau belanja. Tapi ternyata."
"Nuraini itu memang tidak seperti gadis kebanyakan, Bob. Sebab katanya dengan memancing dia bisa menjadi gadis yang lebih sabar, dan terbukti dia memang
Cahaya Bintang Karya Bois di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang gadis yang penyabar," jelas Haris.
Mendengar itu Bobby langsung berpikir, "Gadis sesombong itu. Apa mungkin dia juga gadis yang penyabar"" tanya Bobby dalam hati.
"Bagaimana, Bob. Mau tidak."" tanya Haris membuyarkan pikiran Bobby.
"Sudahlah, Kak Haris. Aku yakin, pemuda loyo seperti dia mana bisa memancing," komentar Nuraini.
"Siapa bilang aku tidak bisa" Huh, kau memang sok tahu. Ok, Har. Nanti malam aku ikut," jawab Bobby seraya melirik kepada Randy yang dilihatnya tampak senyam-senyum sendiri. "Kau kenapa, Ran"" tanya Bobby perihal keanehan itu.
"Tidak... Tidak ada apa-apa kok," jawab Randy.
"Tadi, kenapa kau senyam-senyum sendiri"" tanya Bobby lagi.
"Hehehe.!" "Aneh." Sekarang kau malah cengengesan." Bobby semakin bertambah bingung.
"Sudahlah, Bob. Tidak usah dipikirkan! Memangnya tidak boleh apa orang senyam-senyum sendiri""
"Boleh saja sih, tapi. Sepertinya aku merasa sedang dipermainkan."
"Maaf deh, kalau senyam-senyumku tadi membuatmu merasa demikian!" ucap Randy seraya tersenyum tipis.
"Ya sudah, kita lupakan saja masalah itu. O ya, Ran. Ngomong-nomong kau ikut juga kan""
"Tentu saja aku ikut, kan aku yang mempunyai ide memancing itu."
"Ka-kau yang punya ide."" tanya Bobby dengan kening berkerut.
"Betul. Aku pikir liburan akhirnya pekan ini lebih asyik kalau memancing. Apa lagi kalau ada seorang gadis yang ikut, pasti tambah asyik. Hehehe.!"
Mendapat jawaban itu, Bobby pun kembali memikirkan sesuatu, "Hmm. tidak biasanya Randy seperti ini, ja-jangan-jangan... "
"Bob! Kalau kau tidak punya pancing, aku akan meminjamkannya. Kebetulan aku punya dua," kata Haris membuyarkan pikiran Bobby.
"Eh i-iya, Har. Terima kasih."
"Apa lagi yang kau pikirkan, Bob" Aduh, kau ini jangan terlalu banyak mikir! Nanti cepat tua loh," kata Randy yang mengetahui Bobby baru saja memikirkan sesuatu.
"Entahlah, Ran. Sebab, aku merasa ada sesuatu yang aneh."
"Aneh."" tanya Randy dengan wajah serius.
"Iya, tidak biasanya kau bersikap seperti ini""
"Bob, ketahuilah. Kita tuh tidak harus mikir serius melulu, sekali-kali bolehlah kita santai sejenak. Dan karenanya, saat ini aku tidak mau memikirkan sesuatu yang berat. Lagi pula, bukankah ini hari libur, dimana kita seharusnya rileks guna menghilangkan kepenatan setelah bekerja hampir satu minggu."
"Aku rasa kau benar, Ran. Mungkin aku saja yang terlalu curiga sehingga jadi berpikiran yang tidak-tidak."
"Sudahlah, Bob! Lupakan saja itu! O ya, bagaimana kalau sekarang kita pergi ke pasar untuk membeli keperluan memancing""
"Ok, Ran. Aku setuju."
"O ya, Har! Jangan lupa! Sebelum pukul delapan kita sudah harus berkumpul di rumahku," kata Randy mengingatkan.
"Sip, Ran. Aku dan Nuraini pasti sudah berada di rumahmu sebelum pukul delapan."
Setelah saling berpamitan, Bobby dan Randy tampak melangkah menuju ke mobil jeep yang diparkir tak jauh dari gardu satpam, dan tak lama kemudian jeep merah yang saat itu dikemudikan Bobby langsung melesat menuju pasar.
Malam harinya, Bobby dan ketiga temannya sudah berada di tepian telaga. Telaga itu cukup luas, dikelilingi beragam pepohonan liar. Ada rumpun bambu yang tampak lebat dengan sebagian daunnya tampak menjuntai ke air, juga ada pohon kirai yang tumbuh persis di tepian telaga dengan akarnya yang terendam air. Saat itu Randy dan Haris duduk berdampingan, asyik memancing di bawah terangnya cahaya bulan. Sedangkan di tepian yang berbeda, Bobby dan Nuraini tampak duduk berdampingan, memancing dengan sabar, menunggu pelampung mereka bergerak, sebuah pertanda kalau kail sedang dimakan ikan. Lama keduanya duduk berdampingan tanpa mengucap sepatah kata pun, hingga akhirnya, "Malam yang indah ya," komentar Nuraini tiba-tiba.
"I-iya..." jawab Bobby tergagap. "Eng... Langit malam ini memang lagi cerah. Lihatlah bintang-bintang yang bertaburan itu, juga rembulan yang hampir bulat sempurna," sambungnya kemudian.
"O ya, kalau kau mau tahu. Karena sebab itulah aku suka memancing di malam hari. Cobalah kau dengar suara serangga-serangga itu! Terasa menentramkan jiwa bukan""
"Kau benar. Sungguh suara-suara yang terdengar itu begitu menentramkan jiwa. Selama ini
, suara-suara merdu itu telah luput dari pendengaranku."
"O ya, maafkan aku ya! Kalau siang tadi aku sudah bersikap tak semestinya. Tadinya kupikir kau itu bukan pemuda baik-baik. Lihat saja penampilanmu itu, berambut gondrong, pakai anting, dan bercelana jeans robek-robek begitu, malah di lenganmu aku melihat ada tatonya. Untunglah ketika di mobil tadi Kak Randy sempat cerita, kalau kau itu adalah seniman grafis, dan tatomu itu pun hanya yang temporary. Karenanyalah kini aku bisa memaklumi, bukankah kebanyakan seniman memang seperti itu""
"Entahlah, sebetulnya aku menjadi begini bukan lantaran aku seniman, tapi lebih kepada ekspresi kekecewaanku yang mendalam. O ya, aku juga minta maaf karena sudah menganggapmu sombong."
"Lihat!!! Pelampungmu bergerak! Ayo cepat hentakkan sebelum umpannya habis dimakan!" seru Nuraini tiba-tiba.
Lantas dengan panik, Bobby pun segera menghentakkan joran yang dipegangnya. Sungguh sangat disayangkan, akibat kurangnya pengalaman membuat ikan itu terlepas kembali.
"Sial... Tidak kena!" keluh Bobby seraya mulai menggulung benang pancingnya.
"Tidak apa-apa. kau kan masih pemula," kata Nuraini mencoba membesarkan hati pemuda itu.
"Pemula.! Huh, andai saja tadi kau tidak mengejutkan aku, mungkin ikan itu kini sudah berada di genggamanku."
Mendengar tuduhan itu, Nuraini pun merasa kesal sekali. Ingin rasanya dia membela diri dengan sebaris kalimat yang menikam, namun akhirnya dia memilih untuk mengalah. "Maaf! Sungguh aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Aku cuma merasa senang karena setelah sekian lama menunggu akhirnya ada juga ikan yang memakannya," kata Nuraini seolah menyesal.
"Sudahlah. lupakan saja! Lain kali, kau jangan mengejutkan aku ya!"
"Iya. aku janji," kata Nuraini seraya menggerutu dalam hati, "Huh, ternyata dia itu pemuda yang gengsian. Baru dibilang pemula saja sudah semarah itu."
"Tuh. pelampungmu bergerak!" kata Bobby membuyarkan pikiran Nuraini.
Mengetahui itu, lantas dengan mantap Nuraini menghentakkan joran yang dipegangnya, dan karena kepiwaiannya memancing membuatnya berhasil mendapatkan ikan itu . "Lihat.! Besar kan ikan yang kudapat ini""
"Ah, itu sih masih belum seberapa. Lihat saja nanti, aku pasti bisa mendapatkan yang lebih besar dari itu."
"I-iya. iya. kau memang lebih hebat dariku," kata Nuraini merendah. "Huh, dasar manusia yang tidak bisa menghargai orang lain. Sungguh sombong manusia yang merasa lebih hebat seperti itu," lanjutnya dalam hati.
"Kau kenapa" Kenapa raut wajahmu berubah seperti itu"" tanya Bobby ketika melihat beberapa kerutan tanda tak senang tampak menghiasi wajah Nuraini.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Nuraini merahasiakan.
"Kau kesal ya atas kata-kataku barusan. Maaf ya! Sesungguhnya aku tidak mengatakan itu dari lubuk hatiku terdalam. Terus terang, aku hanya mengujimu, apa betul kau itu gadis yang penyabar."
"Kau itu seperti anak kecil, Kak. Dewasalah sedikit, sebab memainkan perasaan orang lain itu bisa menyakitkan dan membuat orang lain jadi berprasangka buruk."
"I-iya.. iya.. kau benar. Semua ini memang agak dilema. sebagai manusia yang mempunyai banyak kekurangan tentu sulit menilai kepribadian manusia jika hanya menebak-nebak tanpa melakukan pengujian. Namun begitu, aku akan selalu berusaha untuk kembali meluruskannya."
"Benarkah.""
Bobby mengangguk, sedang di bibirnya tersungging sebuah senyum yang menandakan kerendahan hatinya. Melihat itu, Nuraini pun jadi terpana. "Sungguh dia memang pemuda yang baik, namun."
"Hai, kalian! Tampaknya malam sudah semakin larut. Ayo sebaiknya kita lekas pulang!" Ajak Randy yang tiba-tiba sudah berada di tempat itu bersama Haris.
"Betul. Coba rasakan, bukankah udara malam ini sudah semakin menusuk kulit"" timpal Haris.
"Baiklah... aku juga sudah mulai merasa lelah. O ya, ngomong-ngomong kalian dapat ikan berapa"" tanya Nuraini.
"Aku dapat lima," jawab Haris.
"Kalau aku tujuh," jawab Randy. "O ya, kalian dapat berapa"" tanyanya kemudian.
"Aku satu," jawab Nuraini.
"Kalau aku, sama sekali tidak dapat," timpal Bobby.
"Huh, kalian sih bukannya memancing, tapi malah ngobrol. Iya kan"" kata Randy mengomentari.
"Kami me mancing kok" Mungkin itu karena ikannya lagi pada sentimen sama kami," kelit Bobby.
"Hihihi. kau ini ada-ada saja, Kak. Kalau memang masih amatir bilang saja, jangan pakai alasan ikannyalah dibilang sentimen!" kata Nuraini mengomentari.
"Iya.. iya. aku memang amatir. Dan kau juga amatir, buktinya kau cuma dapat satu."
"Kak, sebetulnya ini karena kita ngobrol melulu. Betul kata Randy tadi. Sebab, jika kita tadi berkonsentrasi memancing tentu filing kita akan lebih bermain. Kita akan menyadari kalau di lokasi ini ikannya sedikit, dan dengan demikian kita tentu akan mencari lokasi yang lebih baik."
"O, begitu." kata Bobby mengangguk-angguk.
"Sudahlah! Dapat ikan berapa pun tidak menjadi masalah, yang terpenting kita bisa menikmati malam ini dengan suka-cita," kata Randy.
"Betul, bukankah kita memancing ke sini karena mau mencari suasana yang berbeda," timpal Haris.
"Kalian, benar. selama berada di sini. Aku memang merasakan suasana yang betul-betul menyenangkan," kata Bobby sependapat.
"Tentu saja. bagaimana tidak menyenangkan jika berduaan dengan gadis cantik di tempat sepi seperti ini."
"Ran! Kau bicara apa""
"Hehehe. terlambat, Bob. Sudah tertelan tuh."
Saat itu, dalam hati Bobby mengakui kalau keberadaan Nuraini memang sudah membuat malam itu menjadi istimewa, dan pemuda itu pun sudah bisa menebak kalau pertemuannya dengan Nuraini memang sudah diaturnya. "Hmm. Randy memang pandai membuat sandiwara ini menjadi sangat berkesan. Aku yakin, dia sengaja mengenalkanku pada Nuraini dengan maksud mengalihkan pikiranku dari Winda. Tapi sayang... hingga kini Winda tetap menjadi gadis pujaanku. Tapi Biar pun begitu, aku sangat menghargai upayanya, dan tidak mustahil,
setelah malam yang berkesan ini lambat-laun hatiku pun bisa berpaling dari Winda."
"Oi.! Ayo kita pergi, jika ingin memikirkannya nanti saja di rumah!" kata Randy membuyarkan pikiran Bobby.
"I-iya, iya... Yuk kita pulang!"
Lantas keempat anak manusia itu segera kembali ke mobil dan langsung melaju pulang. Di dalam perjalanan, mereka terus berbincang-bincang seputar kegiatan memancing tadi. Bahkan saat itu Haris sempat cerita kalau ketika memancing tadi ia melihat bayangan putih yang berkelebat melintasi semak belukar. Mengetahui itu, Bobby jadi sedikit merinding. Bagaimana jika dia yang mengalami kejadian itu, tentu dia akan lari terbirit-birit. Tapi untunglah dia tak mengalaminya, sebab saat bersama Nuraini tadi, dia sama sekali tidak memikirkan hal itu, yang ada dipikirannya hanyalah soal Nuraini dan kegiatan memancingnya. Andai saat itu dia memikirkan soal hantu, kemungkinan besar dia akan merasa takut, dan karena rasa takut itulah yang sebenarnya dapat menyebabkan seseorang bisa melihat hal-hal yang membuatnya takut.
EMPAT Semenjak pertemuannya dengan Nuraini,
kehidupan Bobby pun mulai berubah. Sungguh dia tidak menduga kalau gadis itu ternyata bisa membahagiakannya. Gadis itu memang pandai bertutur kata, dan setiap apa yang dikatakannya selalu membuat pemuda itu menjadi lebih baik. Canda dan tawanya pun membuat pemuda itu merasa begitu damai, sehingga dia selalu betah untuk selalu berada di dekatnya.
Kini Bobby dan Nuraini tampak asyik memancing di laut, keduanya duduk berdampingan di tepian pantai tak jauh dari sebuah mercu suar. Saat itu mereka begitu menikmati suasana pantai yang indah, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang terus bertiup di bawah teriknya sinar mentari yang semakin menyengat.
"Tarik terus, Nur. Ikannya pasti besar!" teriak Bobby senang ketika mengetahui kail Nuraini dimakan ikan.
"Wah, tarikannya kuat sekali, Kak. Aku yakin ikannya pasti besar."
Setelah berusaha keras, akhirnya ikan itu pun berhasil diangkat, namun sayangnya hanya sebesar telapak tangan. "Apa!!! Kok cuma sebesar ini," kata Nuraini terkejut plus kecewa.
"Iya, ya. Padahal tadi joranmu itu sampai menekuk sekali."
"Hmm... ikan laut itu kuat-kuat ya, Kak. Yang kecil begini saja tarikan begitu kuat, apalagi jika dapat yang besar, tentu aku akan kewalahan. O ya, Kak. Apa mata kailmu belum juga dimakan""
"Belum, Nur. Dari tadi aku tidak merasakan getaran apa-apa."
"Kak, getaran nya memang tak terlalu terasa."
"Hmm... apa mungkin getaran yang sekarang aku rasakan."
"Kalau begitu cepat dihentakkan, Kak!"
Bobby pun menurut, saat itu juga dia langsung menghentakkan joran yang dipegangnya. Ternyata benar, saat itu mata kailnya telah dimakan ikan. "Wah, sepertinya besar, Nur. Lihatlah! Joranku sampai menekuk seperti ini."
"Ah, paling juga sama seperti tadi. Bukankah tadi joranku juga menekuk seperti itu."
"Beda, Nur. Aku yakin yang ini pasti besar. Soalnya aku sendiri merasakan betapa besarnya tenaga ikan ini."
"Ikan yang kudapat tadi juga tarikan kuat sekali."
"Aduh...!" keluh Bobby tiba-tiba ketika merasakan benang pancingnya mendadak putus begitu saja.
"Wah, berarti tadi itu memang ikan yang besar, Kak. Seharusnya tadi jangan ditarik terus. Sekali-sekali kau harus mengulurnya."
"Iya, Nur. Soalnya tadi aku begitu bersemangat sehingga melupakan aturan memancing. Wah, timahnya juga hilang! Bagaimana nih, padahal aku sudah tidak mempunyai timah dan mata kail lagi."
"Aduh, kau ini boros sekali sih, Kak. Masak timah dan mata kail selusin sudah habis."
"Bagaimana tidak habis, Bur. Bukankah kau tahu kalau sejak tadi pancingku nyangkut terus di karang."
"Jika nyangkut seharusnya kau berusaha untuk bisa melepaskannya dengan cara ditarik-ulur. Tapi apa yang telah kau lakukan" Kau malah menariknya terus. Kalau sudah begitu, bagaimana tidak putus."
"Kenapa kau baru bilang sekarang""
"Jika aku bilang, kau pasti tidak akan terima. Bukankah kau memang suka begitu. Lagi pula, memangnya ketika Haris menjelaskan perihal tata-cara memancing di laut kau tidak menyimaknya."
"Aku menyimaknya, tapi kan aku tidak mungkin mengingat semuanya."
"Wah, kalau begitu ingatanmu payah juga ya""
"Ya begitulah. Hehehe... "
Melihat Bobby cengengesan, Nuraini pun jadi bingung. "Tumben kau tidak marah, Kak," komentarnya akan ketidaklaziman itu.
"Itu karena ingatanku memang payah. Hehehe... aku jadi ingat masa sekolah dulu."
"Hmm... memangnya kenapa""
"Dulu, ketika aku masih sekolah. Aku pernah bercita-cita jadi ahli kimia. Namun lantaran ingatanku payah, akhirnya aku membakar buku kimia dan meminum abunya. Dengan harapan aku mampu menghafal rumus kimia yang ada di buku itu. Sebab, kata seorang para normal memang bisa. Tapi ternyata, tidak ada pengaruhnya sama sekali. Aku malah jadi mules karenanya."
"Wah, kau ini memang payah sekali. Percaya saja dengan yang begituan."
"Kau jangan salah, Nur! Saat itu aku justru tidak percaya, makanya tidak berhasil. Sedangkan temanku yang percaya justru sukses menghafal."
"Kau yakin, dia hafal karena berbuat begitu""
"Entahlah... temanku bilang sih memang begitu."
"Jangan kau mudah percaya kalau temanmu melakukan itu, Kak! O ya, kalau kau mau tahu, sebenarnya rumus-rumus itu begitu mudah untuk dihafal."
"Apa! Mudah..." Kau ini jangan mengada-ada, Nur. Aku ini kan laki-laki, mana mungkin aku bisa menghafal seperti perempuan."
"Lho memangnya ada hubungannya"" tanya Nuraini bingung.
"Tentu saja. Bukankah daya ingat perempuan itu lebih baik daripada laki-laki."
"Masa sih"" kata Nuraini seakan tak percaya.
"Bukan cuma daya ingat, tapi juga tingkat ketelitiannya," jelas Bobby lagi.
"Apa iya begitu"" tanya Nuraini meragukan.
"Ya, kata peneliti sih memang begitu. Tapi entahlah.... "
"Kak, kalau kau mau tahu. Sebenarnya aku mampu menghafal bukan karena kelebihan gadis yang kau katakan itu, tapi lebih kepada teknik yang aku gunakan."
"Teknik"" Bobby mengerutkan keningnya.
"Tentu saja. Menghafal itu kan ada tekniknya. Yaitu, bisa dengan persamaan pola, persamaan gambar, persamaan benda, atau dengan cara menyingkatnya. Dan masih banyak lagi cara lain yang bisa digunakan, tergantung otak mana yang lebih berperan, kiri atau kanan."
"Nur, aku betul-betul tidak mengerti"" tanya Bobby bingung.
"Begini, Kak. Misalkan kau ingin mengingat nomor telepon, kau bisa menggunakan persamaan pola. Dan jika kau ingin mengingat kata kau bisa menggunakan persamaan gambar atau benda aslinya. Dan jika kau ingin mengingat urutan warna atau planet, kau tinggal menyingkatnya menjadi sebuah kata yang mudah diingat."
"Wah, Nur. Aku sama s
ekali tidak mengerti akan keteranganmu itu," ucap Bobby sambil garuk-garuk kepala.
"Wah, kalau begitu berarti nalarmu juga payah," kata Nuraini mengejek.
"Entahlah... aku tidak mau memikirkan masalah itu, yang lagi kupikirkan sekarang adalah, bagaimana caranya agar aku bisa memancing lagi."
"Ups! Iya, ya... maafkan aku, Kak! Aku lupa."
"Tidak apa-apa, Nur. Aku memakluminya kok, no body perfect."
"Kau sih, pakai ingat masa lalu. Coba kalau tidak, aku kan tidak perlu bicara panjang lebar."
"Aduh, kenapa kau malah masih bicara saja. Bagaimana dengan soal memancingku""
"Hihihi...! Kau ini ternyata tidak sabaran juga ya. Kalau begitu, ini pakai timah dan mata kailku saja. Jangan dihilangkan lagi ya!"
"Beres, Nur. Aku tidak akan menghilangkannya lagi, bukankah aku sudah mengetahui caranya."
Setelah berkata begitu, Bobby segera memasang mata kail dan timah yang tadi diberikan oleh Nuraini. Setelah memasang umpannya, pemuda itu pun segera melemparnya jauh ke laut. Memancing di pantai memang agak berbeda dengan memancing di telaga. Untuk mengetahui mata kailnya di makan ikan atau tidak sama sekali tidak menggunakan pelampung, tapi hanya menggunakan timah besar sehingga membuat benang pancing menegang, dan jika terasa getaran yang merambat melalui benang pancing yang menegang itu berarti mata kailnya sedang dimakan. Seperti yang dirasakan Bobby sekarang. "Kena!" ucap Bobby senang karena hentakkannya berhasil mengenai ikan.
"Jangan lupa, Kak! Sesekali diulur!"
"Beres... " kata pemuda itu meyakinkan.
Sambil terus menuruti instruksi dari Nuraini, Bobby tampak berusaha keras, hingga akhirnya dia pun berhasil mendapat ikan itu.
"Kenapa, Kak"" tanya Nuraini bingung ketika melihat wajah pemuda itu tampak kecewa.
"Aku pikir akan mendapat ikan yang lebih besar darimu. Tapi... ternyata malah lebih kecil."
"Sudahlah! Kau itu kan masih amatir. Jadi, wajar saja jika kalah denganku."
"Ya, aku memang amatir. Namun begitu, tidak seharusnya aku kalah dengan pemancing yang juga amatir sepertimu."
"Hihihi. begitu saja ngambek," kata Nuraini dalam hati. "Iya deh. aku memang amatir, dan kau itu memang pemancing amatir yang lagi sial saja. Andai kau lebih beruntung, tentu kau bisa mendapat ikan yang lebih besar dariku," kata Nuraini merendah.
Saat itu Bobby langsung memandang Nuraini, kemudian diperhatikan kedua bola matanya dengan mata tak berkedip. "Dia memang gadis yang mengerti aku," kata Bobby dalam hati.
Saat itu Nuraini langsung berpaling dan membereskan alat pancingnya. "Kak, kita istirahat dulu yuk!" ajaknya kemudian.
Mengetahui itu, Bobby langsung setuju, kemudian dengan segera dia membereskan alat pancingnya dan melangkah bersama Nuraini menuju ke mercu suar. Kini mereka sedang menikmati bekal yang mereka bawa dengan lahapnya. Angin sepoi-sepoi yang terus berhembus membuat keduanya merasa betul-betul nyaman.
"Wah, nikmat sekali makanku hari ini," kata Bobby seraya membereskan sisa makanan dan menyimpannya di dalam ransel. Setelah itu pemuda itu segera duduk berdampingan dengan Nuraini seraya memandang ke laut lepas. Tak lama kemudian, pandangannya sudah beralih memperhatikan kulitnya yang terasa agak nyeri. "Wah, kulitku terbakar matahari," keluh Bobby ketika melihat kulitnya yang putih tampak kemerahan.
"Kau sih, tadi kan sudah kubilang untuk memakai lotion pelindung. Tapi kau tetap menolak. Kau bilang, kau itu pemuda yang tidak perlu lotion segala, sebab kulitmu lebih kuat ketimbang aku. Tapi pada kenyataannya, kulitmu kini terbakar. Dan dalam hitungan hari, kulitmu itu akan menghitam dan mengelupas."
"Benarkah akan seburuk itu""
"Tentu saja. Karenanyalah cepat kau pakai lotion
ini!" "Hmm... tidak usah, Nur. Terima kasih. Biarlah... aku ini kan laki-laki, jadi wajar saja jika terbakar sedikit."
"Sedikit kau bilang" Lihatlah wajahmu juga. Dalam hitungan hari wajahmu itu akan menghitam dan membuatmu malu untuk keluar."
"Sudahlah, Nur. Kau tidak perlu menakutiku begitu! Memangnya kau senang ya kalau wajahku jadi jelek."
"Kak, aku justru khawatir dan sama sekali tidak menghendaki hal itu. Karenanyalah tadi aku menyarankanmu agar mau menggunaka
n lotion ini. Tapi pada dasarnya kau ini memang suka ngeyel."
Lagi-lagi Bobby memandang Nuraini, kemudian diperhatikan kedua bola matanya dengan mata tak berkedip. "Dia memang gadis yang perhatian," kata Bobby dalam hati.
Saat itu Nuraini langsung berpaling dan melangkah menuju ke ujung karang, kemudian berdiri mematung di tempat itu. Sementara itu, Bobby terus memperhatikan Nuraini yang kini masih berdiri memandang ke laut lepas, diperhatikannya wajah gadis itu dengan penuh kekaguman, sungguh tampak cantik dan penuh pesona. Apalagi jika dia tersenyum, sungguh sangat manis dan memikat hati. Rambutnya pun tampak indah, panjang dan hitam pekat. Disaat angin meniupnya tampak semakin indah, berkibar dengan penuh kilauan perak.
Kini gadis itu menatap Bobby, kedua matanya yang indah tampak menghujam ke lubuk hatinya yang paling dalam. Pada saat itu, Bobby pun merasakan ribuan bunga warna-warni seakan bertebaran mengelilinginya. Harum semerbaknya pun tercium hingga pusat saraf dan membuatnya seakan melayang, melayang tinggi sekali bersama ribuan bunga warna-warni yang terus berputar mengelilinginya. Mendadak sensasi itu lenyap, bersamaan dengan pandangan Nuraini yang kini kembali ke laut lepas. "Nur. aku mencintaimu." ungkap pemuda itu dalam hati.
Pada saat yang sama, di atas karang yang tak pernah bergeming dari hempasan ombak, gadis manis yang bernama Nuraini masih berdiri mematung. Perasaan bahagia akan sensasi yang baru dirasakan membuatnya seakan menjadi seorang putri raja yang berdiri di hamparan permadani sutra dengan taburan bunga yang harum semerbak. Berdiri dengan anggun memamerkan keindahan tubuhnya yang mengenakan gaun sutra mahal berhiaskan emas permata yang berkilauan, dan semakin tampak sempurna dengan adanya sebuah mahkota indah yang bertengger serasi menghias tatanan rambutnya yang membanggakan.
"Kak, Bobby. aku mencintaimu." ungkap gadis itu dalam hati.
"Duhai gadis yang penuh misteri... Maukah kau mendengar isi hatiku ini..."" tanya seorang pria tiba-tiba.
Mendengar itu Nuraini tersentak, saat itu dilihatnya Bobby sudah berdiri di sampingnya. Lantas dengan penuh rasa penasaran, gadis itu pun terpaku menunggu apa yang akan Bobby katakan. Namun entah kenapa, pada saat itu lidah Bobby justru terasa kelu, sungguh pemuda itu tak kuasa lagi untuk mengontrol perasaannya yang kini sudah semakin tak terkendali. Hanya ada satu kata yang bisa ia katakan untuk meredakan semua itu. "Lupakanlah...!" pinta Bobby seraya melayangkan pandangannya ke laut lepas.
Kini kedua muda-mudi itu tampak bersama-sama memandang ke laut lepas, memperhatikan hamparan biru yang tak bertepi, juga burung-burung camar yang mereka lihat begitu lincah menunggang angin yang terus berhembus. Suara nyanyian mereka pun terdengar merdu, menyatu dengan hempasan ombak yang memecah di karang. Sungguh semua itu telah membuat perasaan keduanya menjadi begitu damai, hingga akhirnya membuat emosi mereka lebih santai.
"Duhai gadis yang memikat hatiku... Ketahuilah, bahwa sebenarnya a-aku sangat mencintaimu... " ungkap Bobby tiba-tiba.
"Duhai pemuda yang meluluhkan hatiku... Ketahuilah, kalau sebenarnya aku pun sangat mencintaimu... "
Kini kedua muda-mudi itu tampak saling berpandangan. Seiring dengan itu, kedua tangan Bobby tampak sudah mendarat di bahu Nuraini, kemudian dengan segala perasaan sayang, pemuda itu pun berniat mencium kening gadis yang dicintainya itu. Namun, ketika bibir pemuda itu hampir mendarat di kening yang tampak begitu mulus itu, tiba-tiba "Jangan, Kak!" tolak Nuraini seraya kembali memandang ke laut lepas.
"Kenapa" Bu-bukankah kita saling mencintai"" tanya Bobby heran.
"Apakah setelah saling mencintai berarti kita juga saling memiliki" Tidak, Kak. Selama kita belum diikat dalam suatu ikatan perkawinan, aku belumlah menjadi milikmu," jelas Nurnaini.
"Kau benar, Nuraini... maafkanlah aku yang sudah merasa memilikimu!"
"Sudahlah, Kak! Sesungguhnya aku pun sangat ingin kau perlakukan begitu, namun karena aku takut noda hitam ini semakin melebar karenanyalah aku harus bisa menahan diri."
Kini kedua muda-mudi itu membisu, sedang di dalam ben
ak keduanya terlintas berbagai harapan akan masa depan yang menjanjikan. Bahwasannya setelah menikah kelak, tentu mereka akan mendapat kebahagiaan yang selama ini hanya bisa didengar dari cerita orang. Penuh dengan nuansa keindahan yang melengkapi kehidupan, suasana romantis yang betul-betul hak dan tak bercela noda hitam. Sungguh sebuah surga dunia yang dilandasi atas hasrat cinta yang diridhai Tuhan.
Kedua muda-mudi itu terus terlena dengan tujuan mulia yang mereka harapkan akan bisa segera terwujud, hingga tak terasa matahari pun kini sudah separo menghilang, menciptakan pemandangan indah yang selalu dinantikan. Bahkan sering diabadikan dalam sebuah karya seni yang indah.
Esok paginya, disaat Bobby baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pemuda itu dikejutkan oleh kehadiran Randy yang datang dengan sangat mendadak. Kini kedua pemuda itu sedang berbincang-bincang di teras, membicarakan perihal limas teka-teki.
"Bob, aku mohon kiranya kau mau ikut denganku!"
"Ran, hari ini aku harus menemui Nuraini. Aku sudah berjanji mau mengajaknya jalan-jalan."
"Kemarin kan sudah, Bob. Masak sekarang mau jalan-jalan lagi."
"Tapi kan aku sudah janji, Ran."
"Kalau begitu batalkan janjimu itu, bilang padanya ada hal penting yang tidak mungkin ditunda-tunda."
"Kalau begitu kau saja yang bilang!"
"Baiklah, kalau begitu aku yang akan bilang padanya."
Setelah berkata begitu, Randy pun segera menghubungi Nuraini dan menjelaskan perihal batalnya janji Bobby. Hingga akhirnya, "Terima kasih, Nur. Kau memang gadis yang pengertian. Kalau begitu, sudah dulu ya! Wassalamu'alaikum!" pamit Randy seraya menyimpan HP-nya ke dalam saku. "Ayo, Bob. Kita pergi sekarang!" ajaknya kemudian.
Lantas kedua pemuda itu segera memasuki mobil dan meluncur menuju ke rumah teman Randy yang katanya mempunyai kemampuan mendeteksi benda gaib. Rupanya Randy sengaja mengajak Bobby untuk mengungkap perihal limas teka-teki yang menurut dugaannya sudah membuat Bobby mulai terpedaya. Dan setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya kedua pemuda itu tiba di tempat tujuan. Kini Bobby, Randy, dan teman Randy yang bernama Abas tampak duduk saling berhadapan.
"Ini bukan benda gaib," jelas Abas yang baru saja melakukan pengujian.
"Lalu, itu benda apa"" tanya Randy penasaran.
"Ini hanya benda biasa yang aku sendiri tidak tahu gunanya," jawab Abas.
"Kau yakin benda itu tidak diberi kekuatan"" tanya Bobby tak mau percaya begitu saja.
"Tentu saja. Kau lihat sendiri kan, tadi bandul milikku tidak bereaksi apa-apa ketika berada di atasnya," jelas Abas berusaha meyakinkan.
"Hmm... mungkin saja bandulmu itu yang tidak mempunyai kekuatan," bantah Bobby.
"Kau benar. Ini memang bandul biasa, namun tadi aku sudah meminta kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan padanya agar ia bisa mendeteksi suatu energi yang ada di sekitarnya."
"Apa iya begitu"" tanya Bobby ragu.
"Sudahlah, Bob. Kau jangan keras kepala begitu. Abas ini memang temanku yang dulu pernah mendalami ilmu mistik, namun akhirnya dia memilih meninggalkan itu semua lantaran ia menyadari bahayanya. Karenanyalah kau tak perlu ragu, sebab kini dia hanya menggunakan doa yang terbukti lebih ampuh."
"Hanya doa" Lalu bandul itu""
"Bob, jika tanpa bandul itu bagaimana ia bisa tahu. Bandul itu hanya sebagai media yang berguna untuk memberitahukan kepada indera manusia. Fungsinya hampir sama seperti alat pengukur suhu."
"Hmm... Jadi benar ini cuma benda biasa"" tanya Bobby lagi hampir tak mempercayainya.
Randy mengangguk. "Nah... Sekarang apa kau sudah yakin, kalau keberhasilanmu selama ini bukanlah karena pengaruh benda itu, melainkan karena sebab doa dan kerja kerasmu sendiri."
"Iya, Ran. Sepertinya memang begitu."
"Kok sepertinya" Jadi, kau belum yakin100%""
"Entahlah, Ran. Kini aku jadi bingung. Jika ini memang benda biasa, lalu kenapa saat mendapatkannya diawali dengan kejadian yang tak lazim." Lantas Bobby pun menceritakan kejadian yang dialaminya ketika menemukan benda itu.
"Mungkin benda itu milik gadis itu, Bob. Dan dia itu hanya manusia biasa, bukannya Jin yang menyerupai manusia."
"Ran, apa iya ada manusia yang bisa memba
ca pikiran orang lain""
"Entahlah, Bob. Kalau menurut keyakinanku sih tidak ada, tapi mungkin saja dia itu manusia yang memang dikaruniai kemampuan itu, yaitu dengan dibantu oleh Jin yang baik. O ya, Bas. Kalau menurutmu bagaimana""
"Wah, aku juga tidak tahu pasti. Kalau mengenai benda gaib sih mungkin aku bisa menjawabnya, tapi kalau soal membaca pikiran masih cukup membingungkanku. Seperti halnya hipnotis, sungguh hingga kini aku belum mendapat jawaban yang memuaskan, walau hati nuraniku mengatakaan kalau itu hanyalah muslihat para jin fasik.
Menurut pengetahuanku, manusia mempunyai semacam antena semu di dahinya, yang mana jika ia bisa menggunakan antena itu, maka ia bisa mengendalikan apa saja melalui pikirannya. Antena itu berfungsi sebagai perangkat yang menghubungkan manusia dengan keadaan dunia sebenarnya, yaitu dunia yang benar-benar nyata, tidak seperti dunia semu yang kita lihat sekarang.
Aku Menggugat Akhwat 4 Pendekar Rajawali Sakti 115 Pusaka Pantai Selatan Manusia Harimau Jatuh Cinta 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama