Ceritasilat Novel Online

Cewek 4

Cewek Karya Esti Kinasih Bagian 4


"Cuma gue sendiriii!"" Fani memekik panjang saat Langen memberitahu perubahan rencana itu. "Nggak! Nggak! Gila lo! Bisa tamat riwayat gue!"
"Abis gimana" Gue nggak ada alasan untuk gabung lagi kayak dulu, Fan. Ntar dikira gue pengen balik, lagi. Gue udah coba nelepon Febi lagi, tapi yang ngangkat masih nyokapnya juga." "Aduh, ck!" Fani garuk-garuk kepala. Mukanya cemas. "Gue nggak akan jauh-jauh dari elo!" janji Langen. "Bener, ya" Awas lo kalo sampe nggak ada!" ancam Fani. Jadi, melihat kondisi yang ada, bisa dipastikan game yang akan dipertandingkan hanya
tinggal satu partai. Yaitu partai tunggal campuran, Bima vs Fani!
Tapi meskipun hanya satu partai, game ini diprediksi akan menjadi game yang amat sangat mendebarkan. Boleh tanya pada semua pengamat olahraga baik tinju, gulat,smackdown, karate, silat, kempo, yudo, maupun kungfu mereka pasti akan mengatakan, kemenangan mutlak akan berada di tangan Bima. Bahkan dipastikan pertandingannya hanya akan berlangsung satu ronde, dan lamanya cuma satu detik pula!
Tapi, ini yang harus diketahui dan dicamkan, wahai manusia diseluruh jagat raya. Di atas segalanya, tetap semua keputusan ada di tangan TUHAN Yang Maha Esa. Manusia hanya mampu berencana, tapi TUHAN jualan penentunya. Karena DIA-lah penguasa tunggal atas segalanya!
Jangankan cuma lawan Bima, Fani cs Mike Tyson pun, kalau TUHAN mengatakan yang menang Fani, mau ngomong apa" Itulah keyakinan Langen. Mengacu ke peristiwa perang besarnya dengan Rei saat itu Langen berhasil meraih kemenangan mutlak Langen tetap optimis kali ini Fani juga bisa menang.
Karena itu, mengingat beratnya pertarungan kali ini, persiapan Fani juga tidak main-main. Tiap pagi, sebelum mandi dan berangkat kuliah, cewek itu joging keliling halaman depan-belakang sebanyak sepuluh kali, dan langsung dilanjutkan dengan sit-up, push-up, angkat barbel, dan lompat tali. Selain itu, kalau biasanya tukang gas elpiji meletakkan tabung gasnya langsung di dapur, di dekat kompor, sekarang cukup diletakkan di pintu pagar. Fani yang mengangkat ke dapur! Tapi cuma sekali doang, karena untuk sampai ke dapur kayaknya perlu waktu satu minggu. Soalnya, dalam satu jam cuma bergeser lima belas senti meter, itu juga pakai acara nyaris ketiban segala. Tapi Salsha punya pendapat lain, yang menurutnya lebih simpel tapi hasilnya dijamin. "Untuk ngelawan cowok lo itu, lo nggak perlu sampe kayak gitu, Fan. Cukup satu. Lo cuma perlu kesurupan aja! Gue jamin, dia pasti kalah!"
"Ini serius, Sha!" Langen menyikut pinggang Salsha dengan jengkel.
"Gue juga serius, La!"
Fani garuk-garuk kepala. Sementara Iwan, yang terus mengikuti semua perundingan itu tanpa ikut campur tangan, sampai memalingkan muka ke luar jendela. Menahan tawanya supaya tidak muncrat keluar. Soalnya di depannya sedang ada meeting serius.
Itu persiapan fisik. Untuk persiapan mental, Langen terus-menerus mengingatkan Fani betapa banyak kesempatan (kesempatan hunting cowok pastinya) jadi hilang gara-gara dia terpaksa jadian sama Bima, betapa banyak cowok lebih memilih mundur teratur daripada mati muda.
Hasutannya Salsha lebih parah lagi. Dia mengambil referensi dari koran, majalah, juga berita-berita kriminal di tivi. "Cowok lo itu, Fan, ntar kalo udah merit, dia itu tipe suami yang bakalan menggunakan kekerasan. Jangankan jadi suami, lo pacaran dua taun lagi aja gitu, bangsa muka bengep atau satu-dua copot sih bakalan kejadian!"
Bukan cuma Fani yang kaget, Langen juga sampai ternganga. Ditatapnya Salsha dengan tampang ngeri. "Masa, Sha"" desisnya. Salsha langsung memberikan syarat diam-diam. Langen tersadar. Segera dia ikut memperkisruh. "Oh, iya! Iya! Kayaknya sih emang gitu, Sha! Dari sekarang aja udah keliatan tanda-tandanya!"
Mendengar semua itu, seketika tampang Fani seperti orang yang sedang menonton film horor dan setannya melompat keluar dari tivi!
*** Bak singa-singa lapar yang mengendap di antara rumput-rumput padang Afrika, Langen dan Fani terus mengawasi setiap gerak-gerik Bima dengan ketat dan sangat saksama. Tanpa lengah sedikit pun. Keduanya siap menyambut serangan Bima yang mereka prediksi pasti akan secara barbar dan biadab sesuai dengan penampilan dan profilnya yaitu teror mental, penculikan, penyanderaan, dan akhirnya....interogasi dengan kekerasan!
Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam. Gempuran balik akan langsung mereka lancarkan. Sudah pasti akan secara barbar dan biadab pula!
Tapi menghadapi Bima ternyata memang tidak gampang. Tidak seperti Rei, yang masih bisa dibaca sedikit-sedikit, gorila itu benar-benar blank!
Satu hari lewat tanpa terjadi apa-apa. Lalu dua hari, tiga hari, seminggu, dan ak
hirnya dua minggu berlalu. Tetap tanpa terjadi sesuatu. Akhirnya Fani, yang harus bangun subuh-subuh tiap hari, jadi kesal.
"Ini perangnya kapan sih" Besok gue libur olahraga dulu deh." "Jangan!" cegah Langen seketika.
"Lo enak aja ngomong gitu. Gue nih! Ngangkat-ngangkat barbel tiap pagi! Emang nggak pegel, apa" Liat dong tangan gue, udah kayak singkong!"
"Tapi jangan, Fan. Ntar kalo mendadak Bima nyerang gimana" Pokoknya lo kudu ready to war setiap saat!"
*** Suasana untuk sementara memang aman dan damai, karena Bima sedang mempelajari medan. Dan yang sekarang sedang menjadi pusat perhatiannya adalah Rei. Dia ingin tahu apa rencana sobatnya itu.
Saat ini kebenaran yang telah terungkap baru cewek imut misterius itu. Salsha. Sisanya masih tetap dugaan. Meskipun dugaan-dugaan itu semakin menguat, tapi selama belum ada bukti konkret, Bima tak ingin bicara apa-apa. Cowok itu tidak ingin dianggap menghalangi niat Rei untuk kembali pada Langen. Sama seperti keinginan Rangga, target utama Bima sebenarnya juga Langen. Soalnya, semua kejadian itu, dari munculnya Salsha di kampus sampai peristiwa kebut gunung, sudah bisa dipastikan otaknya adalah mantan cewek Rei itu. Kalau hubungan keduanya tersambung kembali, berarti target berpindah dari Langen ke Fani. Meskipun itu pada akhirnya akan menyeret Langen juga, keasyikannya jelas jauh berkurang. Sementara kalau hubungan Rei-Langen benar-benar telah berakhir, itu artinya Bima bisa memaksa Langen untuk buka mulut dengan cara-cara yang dia inginkan. Tanpa harus peduli dengan perasaan Rei. Karena mantan adalah mantan! Hari ini, setelah berhari-hari menghilang, Rei muncul kembali di rumah Bima. Tuan rumah terpaksa menahan sabar saat tamunya itu hanya berdiri diam. Bersandar di salah satu pilar teras belakang, dengan kaleng Cola-Cola di tangan. "Kayaknya gue harus ngalah...." suara pertama Rei setelah bermenit-menit diam membuat Bima berdecak kesal. "Betapa berhari-hari hasilnya cuma ide tolol begitu" Kenapa nggak dari kemaren-kemaren aja lo sujud di depan kakinya" Di depan banyak orang sekalian. Dengan gitu lo nggak akan ditolak, karena semua tau, lo yang minta balik. Bukan dia!" Rei ketawa pelan.
"Bukan ngalah begitu yang gue maksud. Mengalah untuk duluan memulai. Gue mau dia balik. Tapi nggak akan begitu kesan yang ditangkep orang." diletakkannya kaleng Cola-Cola di meja, lalu ditepuknya bahu Bima. "Gue balik dulu." Seketika Bima mencekal satu lengan Rei. "Gue bukannya mau ikut campur. Lo nggak mau cerita"" Bima memang tidak ingin ikut campur. Dia hanya harus tahu rencana Rei. Soalnya itu menyangkut rencana yang akan disusunnya!
*** Banyak jalan menuju Roma.
Bima duduk bersila, diam tak bergerak, di atas singgasana kebesarannya. Di dalam ruangan yang didesain sedemikian rupa, sehingga sekali lihat saja orang langsung tahu kalau penghuninya masih titisan Tarzan si Raja Rimba.
Rei telah menceritakan seluruh rencananya. Bima tidak banyak mengomentari apa yang di katakan sahabatnya itu meskipun sebenarnya tidak setuju. Di kamusnya tidak ada kata "dienyahkan", "ditinggal", apalagi "ditendan". Untuknya, yang seharusnya terjadi adalah sebaliknya!
"Lupain yang udah lewat. Mulai babak yang baru, dan harus bisa saling memaafkan. Gue akuin gue egois. Dan akan gue coba terima kenyataan, dia bisa nenggak alkohol." Itu ucapan terakhir Re, sebelum pamit pulang. Bima cuma mengangguk mendengar kalimat-kalimat Rei yang menurutnya terlalu romantis itu. Bima bahkan sampai menundukkan kepala dalam-dalam untuk menyembunyikan senyum yang tak bisa lagi ditahannya. Shock atau love is blind"
"Paling nggak cara lo nggak bikin malu." hanya itu komentar yang bisa dikatakannya. Tapi dia telah menyusun rencana sendiri. Tidak hanya untuk Rei, tapi juga untuk Rangga, sobatnya yang lain. Karena dilihatnya Febi juga mulai bertingkah sekarang. Memulai lagi dari awal" Itu masalah gampang! Memaafkan" Juga masalah gampang! Tapi tunggy sampai berhasil dibongkarnya semua kebohongan. Tunggu sampai dia beberkan bukti-bukti pengkhianatan. Tunggu sampai dibuatnya ketiga cewek itu tidak bisa
berkutik! Memulai lagi awal yang baru" Akan jadi keharusan. Tapi dengan kondisi, ketiganya tidak lagi bisa dipercaya. Tentu saja ketiga cewek itu akan diajak ke sana atau ke sini seperti tujuan aksi unjuk rasa mereka itu, tapi itu hanya akan terjadi dengan kemurahan hati.
Juga tentu saja akan ada penjelasan. Tapi tidak di setiap ketidakhadiran! Dan yang pasti, peringatan untuk ketiga cewek itu: Jangan coba-coba untuk sekali lagi bikin udah macam-macam!
Dan karena Rei benar-benar ingin mantan ceweknya kembali, maka target berubah dari Langen ke Fani. Dan karena Fani adalah full otoritas Bima, cowok itu bisa menggunakan cara apa pun yang disukanya untuk memaksa Fani mengaku. Yang jelas, Bima tidak akan mempergunakan cara-cara Rei. Karena terbakar cemburu, Rei main tancap gas dan akhirnya justru gagal. Mending kalau sekadar gagal. Ini...kalah dengan cara yang benar-benat memalukan!
Kalau saja Rei itu bukan sahabatnya semenjak kecil, panggilannya sudah berubah jadi "Pengemis Cinta" dari kemarin-kemarin!
Rei dan Bima. Keduanya memang tidak lagi sepenuhnya sama. Kali ini bagi Rei lebih banyak cinta yang bicara. Sementara bagi Bima, tetap sembilan puluh persen ego yang bicara, karena itu dia bisa menyusun strategi dengan hanya melibatkan sedikit perasaan. Hasilnya.....
Jauh dari prediksi Langen dan Feni. Sama sekali bukan barbar apalagi biadab. Bima justru melancarkan serangan yang dikemas dalam strategi Smooth and Romantic. Satu strategi yang benar-benar jitu, brilian, cermat, dan.....cantik!
Dia tidak hanya menciptakan cover manis yang membuat tujuan utamanya jadi terbungkus rapi tak terdeteksi, tapi langkah pertama yang juga manis. Soalnya ada pepatah bilang, langkah pertama adalah langkah yang menentukan. Ada banyak jalan menuju Roma!
Bima menyeringai lebar. Untuk pertama kalinya sejak berjam-jam lalu, dia bergerak dari posisi duduk bersila, kemudian turun dari tempat tidur besarnya. Satu dari sekian banyak jalan ke Roma itu telah dipilihnya. Jalan yang paling jauh dan paling ruwet. Jadi siapa pun yang mencoba memberikan pertolongan, atau mengikuti dari belakang, tidak akan pernah bisa menebak akhir tujuan!
Roma atau Milan" Venesia or Vatikan"
Pertempuran telah dimulai!Benar-benar telah dimulai! Di kubu Bima yang di-backup Rangga, semua persiapan telah selesai dilakukan. Senapan-senapan telah dalam keadaan terkokang. Samurai dan bayonet telah diasah dan siap dihunuskan. Meriam-meriam telah ditarik ke posisi yang telah ditentukan, siap memuntahkan batu hitam.
Sementara di kubu Fani yang dibackup Langen, meskipun selalu dalam kondisi ready to war sejak berhari-hari sebelumnya, tapi karena peta kekuatan lawan sama sekali tak terbaca, akibatnya keduanya juga tidak dapat memprediksi bentuk serangan yang akan mereka hadapi. Apakah lawan akan menggukan rudal jarak jauh" Ataukan senjata biologi" Atau senjata kimia" Atau dengan menggunakan tank" Pesawat tempur" Pasukan kavaleri" Pasukan katak atau amfibi" Atau yang cukup satu kali tapi hasilnya dijamin yahud. Nuklir!
Asli, ternyata teknik yang digunakan Bima dan Rangga jauh dari dugaan kedua cewek itu. Seseorang yang justru tidak tahu-menahu perihal perang tersebut akan ikut terjun ke dalam kancah pertempuran. Ya, Rei ikut serta memeriahkan tanpa menyadarinya.
Rei meminta kedua sahabatnya membantunya mengembalikan Langen. Maka dibeberkannyalah rencananya. Dan karena rencana itu hanya menyangkut sang mantan, maka Fani harus disingkirkan. Yang mendapatkan tugas untuk melakukan penyingkiran itu, tentu saja Bima. Dalam pelaksanaannya nanti, Bima akan dibantu Rangga.
Sudah pasti Bima dan Rangga langsung menjawab "Oke!", disertai anggukan tegas. Tapi tanpa sepengetahuan Rei, sebenarnya Rangga dan Bima punya tujuan sendiri.Dan untuk menyesuaikan rencana rei tersebut, pertempuran akan berlangsung dalam dua babak. Pertempuran yang akan dihadapi Langen, dan pertempuran yang akan dihadapi Fani. Sendiri-sendiri!
*** Babak pertama!Tepat jam satu siang, kuliah berakhir. Langen dan Fani berjalan bersisiran keluar kelas, tetap dengan kesiagaan seting
gi hari-hari kemarin. Tapi keduanya sama sekali tidak menyadari perang telah dimulai hari ini. Saat ini!
Di tempat parkir mereka menemukan fakta, bahwa mereka tidak mungkin bisa pulang. Tempat parkir masih selengang tadi pagi saat Kijang itu ditinggalkan. Di kiri-kanannya masih tetap kosong. Tapi persis di depan Kijang, ada mobil diparkir dengan jarak yang benar-benar rapat. Kurang dari satu meter. Dan itu Jeep Rei!
Mobil memang bisa maju, mundur, belok kiri atau belok kanan. Tapi belum ada mobil yang bisa geser kiri geser kanan. Jadi mau tidak mau, Jeep itu harud dipindahkan.
"Kurang ajar! Cari gara-gara dia!" desis Langen. "Lo tunggu sini, Fan. Bentar gue cari tuh orang! Apa sih maksudnya""
Langen pergi dengan muka marah. Begitu dia menghilang di koridor utama kampus dan Fani tinggal sendiri, dua pasang mata yang sejak tadi terus mengawasi dari satu sudut tersembunyi, segera bertindak. Bima lebih dulu. Dibuangnya bunga rumput yang sedari dari digigitinya. Dia bangkit berdiri sambil menepuk satu bahu Rangga.
"Gue duluan!" "Sip. Good luck!"
Bima menyelinap di antara mobil-mobil yang terparkir dan menghampiri Fani dari arah belakang, tanpa suara.
"Halo, Sayang," bisiknya. Fani menoleh kaget dan kontan terperangah. Bima menyambut dengan senyum. "Ikut yuk" Aku punya surprise untuk kamu." tangan kiri Bima langsung terlurur, merangkul cewek di depannya.
"Nggak! Nggak!" Tolak Fani panik. "Gue nggak seneng surprise!" dia berusaha menyingkirkan tangan Bima yang memeluknya, tapi tidak bisa.
"Diliat dulu, ya" Baru bilang nggak suka. Jangan langsung begitu. Nanti kalo aku tersinggung, bisa gawat akibatnya. Oke"" Bima mengangkat kedua alisnya. "Yuk."
"Tapi.....tapi gue lagi nunggu Langen!" Fani berusaha keras mengerem langkah-langkah Bima.
"Biar dia pulang sendiri. Surprise ini cuma untuk kamu."
Dengan paksa Bima menyeret Fani menuju Baleno hitam yang diparkir dekat rumpun asoka, memaksanya masuk dan tak lama Baleno itu melesat meninggalkan tempat itu. Tertawa pelan, Rangga memerhatikan adegan itu dari balik kaca mobil. Setelah kedua orang itu pergi, dengan cepat dia berlari menghampiri Jeep Rei. Dia melompat ke belakang setir dan sedetik kemudian Jeep itu melesat meninggalkan tempat parkir. Tak lama Rangga kembali dengan Jeep lain dan memarkirnya tepat di tempat Jeep Rei tadi terparkir, setelah itu melompat turun dan kembali ke tempat persembunyian.
Langen baru sekali ke fakultas perminyakan dan sebenarnya ogah dua kali. Tapi yang kedua kali ini mau tidak mau harus dilakukan. Tidak ada yang lebih sial selain menemukan Rei di tengah segerombolan besar teman-temannya, yang anehnya minus Bima dan Rangga.
Ruangan yang tadinya bising karena hampir semua isinya berbicara, langsung berubah senyap begitu Langen muncul di ambang pintu. Siulan-siulan nyaring segera terdengar di sana-sini. Rei dan Langen saling tatap. Rei dengan ekspresi pura-pura terkejut, agar tak terbaca bahwa ini telah diatur sebelumnya. Sementara Langen tentu saja dengan roman perang.
"Tolong singkirin mobil lo! Gue mau pulang!" cewek itu to the point. Kedua alis Rei menyatu.
"Singikirin gimana maksudnya."
"Lo nggak usah pura-pura deh! Mobil lo rapet di depan mobil gue! Gue nggak bisa keluar!"
"Tapi hari ini gue lagi nggak bawa mobil, La. Udah dua hari tuh mobil nginep di bengkel. Gue dijemput Rangga tadi pagi. Lagian kalo gue bawa, gue selalu parkir di sini. Nggak pernah di depan rektorat. Lo salah liat, kali""
"Nggak mungkin! Gue apal mobil lo!"
"UUUUU!" langsung terdengar koor kompak dan nyaring.
"Dia masih apal mobil lo, Rei!" celetuk salah satu teman Rei.
"Itu berarti dia sebenernya masih cinta!" yang lain menyambung.
Muka Langen langsung merah. Rei menghentikan celetukan teman-temannya.
"Dia bukannya masih cinta sama gue. Justru saking udah nggak cintanya, sampe berhalusinasi ngeliat mobil gue."
"Bukan halusinasi! Itu jelas-jelas Jeep elo!" bantah Langen hampir menjerit.
"Kita liat aja kalo gitu." Rei melangkah keluar. Seluruh isi ruangan segera mengekor di belakangnya. Langen yang paling
akhir, berjalan sambil cemberut.
Begitu sampai di tempat parkir, Langen tertegun tak percaya. Di depan Kijang-nya bukan lagi Jeep Rei.Rei balik badan. Menatapnya dengan kedua alis terangkat tinggi.
"Ini bukan Jeep gue."
"Tapi..tadi.." Langsung terdengar gemuruh "UUU" yang diikuti dengan celetukan-celetukan.
"Yang diparkir mobilnya siapa, yang dicari siapa!"
"Sengaja, kaliii" Orang itu jelas-jelas bukan Jeep-nya Rei!"
"Yang namanya kata hati emang nggak bisa disangkal. Otomatis semua Jeep jadi keliatan seperti Jeep-nya dia yang sesungguhnya masih kucinta dalam hatiku!"
"ihik! Ihik!" "HUAAAA!!!" "Tangisan" salah satu teman Rei yang melengking gila-gilaan membuat Langen akhirnya naik darah. Dan meskipun yang memberikan komentar teman-temannya yang lain, cowok itu yang kena semprot.
"Tadi jelas-jelas Jeep elo! Gue nggak mungkin salah liat! Lo pasti udah sekongkol! Pasti ada yang mindahin itu Jeep waktu gue pergi!"
"Oke deh. Oke!" Rei mengangkat kedua tangannya. "Gue nggak mau dituduh dua kali!" dia menoleh ke kerumunan temannya. "Jeep siapa nih""
"Edgar kayaknya. Anak mesin," jawab salah satu. "Tapi tuh anak sama sekali nggak mirip elo, jack. Jeep-nya apalagi! Kok mantan lo ini bisa salah liat sih""
"Diem lo!" bentak Langen.Cowok itu menyeringai dan mengedipkan satu matanya.
"Lo tunggu sini, La. Sebentar gue cari Edgar!" ujar Rei. Cowok itu berjalan dengan langkah-langkah cepat menuju koridor utama kampus, meninggalkan Langen sendirian. Langen langsung buang muka begitu teman-teman Rei memandanginya sambil tersenyum-senyum. Tak lama Rei kembali. Segera dipindahkannya Jeep di depan Kijang Langen jauh-jauh.
"Oke, udah gue pindahin. Sekarang lo bisa pulang."
Tapi Langen tidak mendengar. Soalnya mendadak dia menyadari sesuatu. Seketika cewek itu menatap berkeliling dengan panik.Fani raib!Ruangan di depan Kijang-nya sekarang kosong. Tapi Langen malah berlari pergi dengan terburu-buru. Setelah sekali lagi menatap ke semua sudut areal parkir, dia menghilang koridor utama kampus. Seketika kerumunan teman Rei berkomentar ramau melihat itu.
"Kaaaan" Gue bilang juga apa" Cuma alasan aja dia. Tujuan utamanya cari perhatian!"
"Kalo pengen balik, bilang aja."
"Iyaaa. Kalo masih cinta, bilang ajaaa."
Komentar-komentar itu diucapkan dengan keras. Sengaja, supaya sampai di telinga Langen. Dan memang sampai. Jelas malah. Langkah-langkah setengah berlari Langen seketika terhenti. Hampir dia balik badan dan kembali ke tempat parkir lalu berteriak bahwa itu sama sekali tidak benar! Tapi kemudian dia ingat, ada masalah yang jauh lebih gawat. Fani lenyap tanpa bekas.
Langen berlari ke sana kemari, tapi tak satu pun orang-orang yang ditanyainya tahu keberadaan Fani. Setelah hampir satu jam berlarian, naik-turun tangga, memeriksa setiap ruangan yang dilewati, akhirnya cewek itu menyerah. Bisa tewas kalau memaksakan diri memeriksa seluruh gedung dan ruangan yang ada di areal kampus.
Langen kembali ke tempat parkir. Mengintip dulu dari balik salah satu dinding untuk memastikan Rei dan teman-temannya sudah pergi, baru berjalan ke mobil. Karena tak tahu lagi ke mana harus mencari, maka tidak ada lagi yang bisa dilakukan Langen selain menunggu.
Cewek itu duduk gelisah di belakang setir sambil sebentar-sebentar menatap berkeliling. Hal pertama yang disesalinya adalah keterlambatannya menjemput Fani tadi pagi. Jadi saat sahabatnya itu menyadari ponselnya tertinggal di meja kamar, tidak ada waktu untuk kembali. Dan sekarang percuma saja dihubunginya nomor itu, karena yang mengangkat sudah pasti si Ijah.
Langen tidak tahu, kalaupun ponsel itu tidak tertinggal, Fano tetap tidak akan bisa dihubunginya. Soalnya Bima tidak akan membiarkan Langen tahu di mana keberadaan sahabatnya.
*** Di sudut areal parkir Fakultas Kedokteran, yang gedungnya terletak di areal kampus paling belakang, berbatasan langsung dengan halaman belakang sebuah rumah sakit swasta, Fani terjebak dalam Baleno berkaca gelap. Meringkuk ketakutan di sebelah Bima. Tubuhnya melekat di pintu rapat-rapat. Tidak bisa me
mbuka pintu lalu melarikan diri, karena jangkauan pintu di sebelahnya itu cuma lima belas senti. Lebih dari itu, Audi biru yang diparkir di kiri mereka akan mendapatkan tambahan aksesori, berupa garis-garis horisontal atau biasa disebut baret. Atau kalau tidak, lekukan tak beraturan ke arah dalam, atau biasa disebut penyok! Buntutnya bukan cuma tetap tidak bisa melarikan diri, tapi dia juha akan ditagih selembar kuitansi reparasi. Jadi lebih baik ambil risiko yang paling kecil.
Bima sengaja berdiam diri agak lama untuk menciptakan suasana horor. Setelah intensitas ketakutan di dua manik mata yang terus menatapnya lurus-lurus itu sampai di ambang yang telah dia tentukan, cowok itu baru buka suara. Tentu saja dengan sikap seolah-olah dia tidak menyadari ketakutan itu sama sekali.
"Aku punya sesuatu buat kamu," katanya. Diulurkannya satu tangannya ke jok belakang, diambilnya sebuah bungkusan, lalu diulurkannya ke Fani. "Mudah-mudahan kamu suka."
Fani menatap bungkusan besar berbentuk permen itu dengan jantung berdetak kencang.
"Gue nggak....."
"Aku!" ralat Bima seketika "Yang sopan!"
Seketika Fani jadi cemberut, tapi tidak bisa berbuat lain kecuali terpaksa menunjukkan sikap kooperatif.
"Aku nggak lagi ulang taun!" ucapnya ketus. Bima tersenyum lebar.
"Siapa bilang ini hadiah ulang tauh" Tadi aku udah bilang, kan" Ini surprise."
"Tapi gue, eh, aku.....nggak seneng surprise, tau!"
"Dibuka dulu, oke"" Bima meletakkan bungkusan itu di pangkuan Fani.
Gugup, tegang, cemas, Fani membuka bungkusan di pangkuannya pelan-pelan. Bersiap-siap untuk kemungkinan terburuk. Seekor ular berbisa tiba-tiba melongokkan kepala lalu menggigit tangannya, sebilah pisau tajam tiba-tiba melejit keluar lalu menancap di dadanya, atau apa pun yang membuat hidupnya tamat saat ini juga. Tapi ketika bungkusan itu terbuka, dia justru jadi tertegun.Boneka kucing"
"Boneka kucing"" tanyanya bego.
Bima tersenyum lembut lalu bicara dengan nada yang juga lembut. "Iya. Aku tau kamu sangat sangat suka kucing."
"Eee...iya sih. Tapi kucing yang hidup." Pelan jemari Fani menyentuh boneka di pangkuannya. Halus dan lembut. Benar-benar seperti bulu kucing yang hidup.
Ketegangan Fani langsung hilang. Dibelainya boneka kucing berwarna oranye itu dengan kerinduan akan sesuatu yang pernah dimilikinya dulu. Cewek itu memang pencinta berat kucing, tapi selama ini tidak kesampaian untuk memelihara. Setelah Garfield satu-satunya kucing yang pernah dimilikinya mati karena sakit, mamanya melarang memelihara kucing lagi. Gara-garanya si Garfield membuat semua sofa di ruang tamu jadi berumbai-rumbai dan kain gorden pada mbrodol.
Bima berusaha keras menahan tawa ketika kemudian Fani memeluk boneka kucingnya erat-erat. Sepasang matanya yang berbinar jadi memunculkan keharunan.
"Aku anter pulang, ya" Udah lama kita nggak pernah lagi pulang sama-sama."
Pertanyaan Bima tak terjawab karena Fani sedang asyik menempelkan kedua pipinya bergantian di bulu-bulu lembut boneka barunya. Perlahan Bima menginjak pedal gas dari Baleno itu kemudian meninggalkan tempat parkir tanpa Fani menyadarinya.
"Garfield warna bulunya juga begini. Tapi badannya nggak segede gini. Ini sih anak macan!"
Kalimat itu membuat Bima tak bisa lagi menahan tawa. Tapi tawanya itu menyebabkan ekspresi Fani langsung berubah.
"Tapi tetep lebih bagus kucing hidup!" sambungnya dingin.
"Kucing hidup itu bisa nyakar, Sayang," ucap Bima lembut. "Dan bawa penyakit, kan" Bahaya buat cewek." diteruskannya topik pembicaraan tentang kucing agar cewek disebelahnya itu tidak menyadari bahwa mereka telah jauh meninggalkan tempat parkir.
Akhirnya mobil berhenti tepat di depan rumah Fani. Cewek itu turun masih sambil memeluk erat-erat boneka kucing pemberian Bima.
"Terima kasih ya"" ucapnya kikuk. Dan wajahnya seketika memerah.
"You're welcome, honey," Bima menjawab, lagi-lagi dengan nada yang begitu lembut.
"Sampe ketemu di kampus besok ya" Bye."
Begitu mobil Bima berllau dari hadapannya, Fani langsung berlari masuk halaman sambil menjerit nyaring.
"Ijaaah ! Gue dibeliin bonekaaa!!!"
Bima yang masih sempat mendengar jeritan itu kontan tertawa. I got you! Desisnya puas.Ijah berlari kelua dengan sodet di tangan.
"Apaan, Non""
"Gue dibeliin boneka kucing. Nih!" Fani memamerkan boneka barunya. Ijah terbelalak.
"Idih, capek amaaat" Siapa yang beliin, Non" Mas Genderuwo ya" Ih, baik ya dia"" dibuntutinya majikannya ke dalam. "Pasti mahal deh. Gede banget gitu. Bagus, lagi!"
"Heh! Jangan pegang-pegang. Tangan lo berminyak, tau!" sentak Fani begiru Ijah mengulurkan tangan.
"Ntar Ijah pinjem ya, Non""
"Pinjem"" Fani melirik dengan pandang dingin. "Enak aja!"
"Pelit! Eh tadi Mbak Langen nelepon sampe tiga kali, Non. Kayaknya dia kuatir banget."
Seketika Fani memekik."Aduh, iya! Lupa gue tuh anak masih di kampus!"
Ditepuknya kening keras-keras. "Mampus deh! Dia pasti ngamuk!"
Sepertinya prediksi para pengamat olahraga tinju, smackdown, dan lain-lainnya itu, bahwa Bima akan menang mutlak, akan jadi kenyataan. Soalnya, selain Fani benar-benar senang dengan surprise yang diberikan Bima, tuh cewek langsung lupa pada sahabatnya yang sedang menunggu dengan setres di tempat parkir kampus.Tiba-tiba telepon berdering. Fani langsung berlari menghampiri.
"Lo ke mana aja sih!"" seru suara di seberang begitu Fani bilang
"halo". "Eh, itu, La...." Fani jadi malu mau ngomong. "Tadi gue dikasih boneka sama Bima."
"Apa!"" Langen kontan memekik. "Lo pergi sama Bima" Lo gimana sih" Ketemu di mana lo sama tuh orang!""
"Ya di tempat parkir. Waktu lo pergi nyari Rei, tau-tau dia udah ada dibelakang gue. Nggak tau nongol dari mana. Trus gue diajak pergi. Katanya dia punya surprise buat gue."
"Trus lo mau, gitu" Lo gimana sih, Fan""
"Jangan nuduh sembarangan, La! Lo kayak nggak tau dia aja. Gue ditarik ke mobil. Lo tau sedan item yang diparkir deket pohon asok" Itu mobilnya dia! Mendingan lo ke sini aja deh. Ntar gue ceritain semuanya."
"Trus lo diajak ke mana""
"Deket. Cuma ke tempat parkir fak kedokteran. Aneh, kan" Gue aja heran. Gue kirain bakalan pergi ke mana, gitu. Yang jauh. Nggak taunya cuma ke situ. Dan kami juga cuma sebentar di sana. Dia cuma mau ngasih surprise itu doang. Biar nggak diliat orang."
"Apaan surprise-nya""
"Boneka kucing. Lucu banget deh, La. Persis banget si Garfield. Lo liat ke sini deh!" Fani tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Bima nggak ngomong apa-apa" Nanya-nanya apa, gitu""
"Nggak. Cuma ngasih boneka itu aja. Trus dia nanya gue suka atau nggak. Udah. Tadinya gue pikir dia bakalam nanya-nanya soal kebut gunung atau soal Salsha. Ternyata nggak sama sekali."
"Masa gitu doang" Aneh! Ya udah deh."
Langen menutup telepon dengan jidat yang bukan keriting lagi. Kribo! Soalnya ini benar-benar aneh. Tapi baru lima meter Kijangnya bergerak, mendadak diinjaknya rem, kemudian disambarnya ponselnya di dasbor.
"Fan! Jauhin itu boneka! Cepet!" jeritnya sebelum Fani sempat buka mulut.
"Emangya kenapa""
"Lo inget legenda Kuda Troya""
"He-eh." "Makanya! Jauhin tuh boneka! Gue ke rumah lo sekarang!"
Telepon langsung ditutup. Fani terbengong-bengong. Dan makin bengong lagi begitu setengah jam kemudian Langen tiba dengan heboh. Cewek itu mengerem mobilnya mendadak, membuka pintu, meloncat turun, menutup pintu dengan bantingan, dan berlari terbirit-birit masuk halaman. Cuma dalam hitungan kurang dari sepuluh detik, sahabatnya itu sudah berdiri di hadapannya.
"Mana" Mana" Mana bonekanya" Mana cepet! Gue mau liat!" panik banget Langen ngomongnya. Sampai loncat-loncat.
"Ngapain sih lo" Santai aja kenapa""
"Santai! Santai! Ini masalah hidup dan mati, tau!"
Kening Fani kontan berkerut.
"Emangnya apa hubungannya""
"Udah, mana bonekanya" Cepetaaan!"
"Iya! Iya!" Fani bangkit dari kursi teras, tempat dia duduk ternganga menyaksikan reaksi Langen.
Saat boneka itu disodorkan, Langen juga sempat terpesona. Tapi hanya sedetik. Bayangan Bima membuat pandangannya seketika berubah total. Dibalik-baliknya boneka kucing itu. Diamatinya dengan sangat teliti.
"Ijaaah! Ambilin piso yang taj
em! Buruan!" "Mau lo apain"" tanya Fani curiga.
"Dibredel. Liat dalemnya."
"Gila lo!" Fani ternganga. "Jangan! Jangan!"
"Boneka ini pasti ada apa-apanya, Fan. Lo jangan liat cakepnya."
"Bukan gitu, La. Ntar kalo Bima nanya bonekanya mana, gimana gue jawabnya""
"Jadi gimana""
"Tadi udah gue periksain. Gue pencet-pencet dari kepala sampe ujung buntut. Sampe tiga kali! Nggak ada apa-apanya. Nggak terasa ada something yang mencurigakan. Kalo lo masih nggak yakin, kita periksa lagi aja deh. Kalo emang dalemnya dimasukin apa-apa, pasti kan ada bekas jaitannya."
"Iya, ya"" kedua alis Langen menyatu. "Iya , bener. Ya udah. Yuk, kita periksa."
Boneka kucing itu kemudian diletakkan di atas bagian karpet yang terkena sinar matahari. Langen duduk di salah satu sisi, Fani di sisi satunya. Dengan saksama keduanya mulai menyibak bulu boneka kucing itu mili demi mili. Mencari-cari bekas jaitan yang mencurigakan. Tapi ternyata tidak ada. Ijah yang datang dengan pisau di tangan, menatap bingung.
"Kenapa" Kenapa" Tanyanya sambil berlari mendekat lalu berjongkok di antara Langen dan Fani. Ia ikut memerhatikan boneka kucing itu dengan serius. "Masa ada kutunya sih" Nggak mungkin ah. Ini kan boneka!"
Langen dan Fani serentak mengangkat kepala dan menatap Ijah dengan jengkel."Ganggu aja lo!" dengus Langen.
"Sana! Sana!" usir Fani. "Kepala lo ngengelapin, tau!"
"Ada apaan sih"" Ijah bergeming. Dia penasaran ingin tahu "Ngeliatinnya kok sampe kayak gitu" Belom pernah punya boneka kayak gini, ya" Kasian amat!"
Langen dan Fani mengangkat kepala bersamaan lagi. Detik berikutnya tubuh Ijah terjengkang ke belakang.
"Kurang ajar!" dengus keduanya bersamaan.Tiba-tiba Langen tersentak.
"Ya ampun! Iya, Fan!"
"Apaan!" Apaan!"" Fani langsung waswas.
"Ini pasti voodoo! Iya, bener! Udah nggak salah lagi..... Pasti voodoo!"
"Ah! Voodoo itu justru dia yang pegang bonekanya, lagi! Bukan gue. Lagian juga kalo voodoo tuh bonekanya bentuk orang yang mau di-voodoo. Bukan boneka kucing! Gimana sih lo""
"Oh, iya, ya"" Langen menepuk keningnya. "Bego gue! Jadi ini maksudnya apa dong""
"Nggak ada maksud apa-apa kali, La. Ya cuma ngasih doang."
"Tampang kayak Bima" Nggak mungkin! Udah pasti nih boneka ada apa-apanya!"
"Ya udah, kita tunggu aja. Kalo besok-besok gue mendadak sakit, atau tiba-tiba gue jadi tergila-gila banget sama Bima, berarti bener. Nih boneka emang ada apa-apanya!"
Cantik memang langkah pertama yang dilakukan Bima. Bukan cuma tidak terbaca apa maksud dibalik tindakannya, tapi itu juga mulai mengubah pendangan Fani tentang dia. Meskipun cuma sedikit, perubahan itu akan melemahkan kewaspadaan! Babak kedua!
Kekalahan telak. Sayangnya Langen dan Fani sama sekali tidak menyadarinya. Mereka meningkatkan kewaspadaan hanya karena insting mereka mengatakan sepertinya telah terjadi sesuatu dan kembali akan terjadi sesuatu. Sayangnya, "sesuatu" itulah yang sama sekali tidak mereka ketahui.
Saat ini yang sedang mereka awasi dengan ketat adalah gerak-gerik Rei dan Bima. Padahal itu salah besar, karena kali ini Rangga-lah yang memegang peranan.
Apa yang diinginkan Rei adalah A, dan apa yang diinginkan Bima adalah B, dan jadi tugas Rangga untuk mencari cara agar dua keinginan yang berbeda itu bisa terlaksana dalam waktu yang sama. Dan Rangga sudah menyiapkan skenarionya.
Sebagai pembukaan babak kedua ini, ketiga cowok itu akan jarang terlihat bersama-sama, dan akan berakting seolah mereka sangat sibuk, jadi tidak hanya waktu untuk merencanakan macam-macam seperti yang telah dituduhkan kedua lawan mereka lewat sorot mata.
Gimana Langen dan Fani nggak bingung, coba" Mereka telah mengangkat senjata tinggi-tinggi, tapi musuh-musuh mereka malah sibuk berlalu-lalang dengan buku-buku tebal di tangan, atau berjaket lab dengan tabung-tabung reaksi dalam genggaman. Kali lain mereka menemukan salah satu musuh sedang serius berdiskusi dengan dua atau tiga teman, sementara yang lain membaca buku sendirian di pojok-pojok sepi atau terhalang.
Begitu sibuk dan seriusnya Rei cs, sampai sekadar m
enoleh pun mereka tidak sempat lagi. Akhirnya Langen dan Fani terpaksa menurunkan lagi senjata yang sudah mereka acungkan tinggi-tinggi. Kewaspadaan mereka pelan-pelan mengendur. Jangan-jangan perang sudah selesai" Atau jangan-jangan sebenarnya malah sama sekali tidak ada perang"
Rei cs pilih menahan senyum dan meneruskan aksi serius dan sibuk mereka. Tidak ada yang lebih seru daripada mempermainkan lawan yang bingung.
Dalam babak kedua ini juga akan ada kehadiran satu bintang tamu yang akan ikut memeriahkan jalannya pertempuran, tentu saja tanpa si bintang tamu itu tahu.
Ada budi ada balas. Itu sebabnya kenapa ada Dekha di babak kedua ini. Dekha anak teknin kimia yang pernah jadi teman sekelas Rangga di SMA dulu, yang akhirnya berhasil mendapatkan Shanti, cewek cakep yang berbulan-bulan diincarnya. Keberhasilan Dekha tak luput dari campur tangan Rangga. Sebagai balas budi, setiap kali engkongnya yang punya kebun luas di pinggir Jakarta panen durian, Dekha mempersilakan Rangga untuk makan sampai pingsan.
Momen inilah yang akan dimanfaatkan.Setelah mencari ke sana kemari, akhirnya Rangga menemukan cucu juragan durian itu di sebuah lab. Dekha sedang serius menekuri tabung-tabung reaksi dan selembar kertas di meja di depannya. Rangga segera menghampiri."Serius bener" Ngapain lo" Bikin bom""Tanpa mengangkat kepala, Dekha menjawab pelan, "Sst, jangan bilang-bilang. Gue lagi bikin lemper!"
Rangga menyeringai, ketawa pelan. "Kha, gimana acara makan durennya nih" Gue liat udah banyak yang numpuk di pinggir-pinggir jalan."
"Oh, iya." Dekha langsung menghentikan kesibukannya. "Sori, gue lupa ngasih tau elo. Besok Jumat. Ajak dong cewek lo sekali-sekali. Jangan sendirian terus. Malu lo ya, ketauan maruk duren gratis""
"Siapa juga yang nggak maruk sama duren gratis" Tapi sekarang gue mau ngajak temen nih. Bima sama ceweknya. Bisa, nggak""
"Bisa aka. Rei nggak sekalian""
"Dia lagi patah hati. Percuma diajak. Nggak bakalan bisa bedain duren sama kedondong."
Dekha ketawa. Dia lalu menunduk, menyambung kembali kesibukannya.Rangga bangkit dari kursi. "Oke deh, Ka. Thanks banget. Sori ngeganggu." ditepuknya bahu Dekha lalu melangkah keluar.
*** Seluruh persiapan selesai dilakukan. Namun karena adanya perbedaan kepentingan dan tujuan, Rangga terpaksa mengadakan dua kali pembicaraan. Sekali dengan kehadiran lengkap Rei dan Bima. Tapi Bima hanya jadi pendengar karena topik pembicaraan adalah Langen. Dan pembicaraan yang lain dilakukan Rangga hanya dengan Bima. Dengan topik, jelas saja Fani.
Langkah selanjutnya adalah melaksanakan rencana masing-masing eksekutor. Rangga akan ada bersama Rei, sedangkan Bima akan dibantu Dekha. Dan kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka kiamat untuk Langen akan segera tiba. Sementara Fani tinggal menunggu hari kapan dia akan dieksekusi!
*** Dan hari inilah pelaksanaaan rencana itu!Rangga berjalan menuju kelas Dekha. Langkahnya yang semula normal segera diubahnya menjadi tergesa-gesa saat akan mendekati kelas yang dituju.
"Kha, sori banget nih. Gue batal ikut. Kudu cabut. Ada urusan mendadak. Tapi Bima jadi kayaknya. Dia ada di ruang senat," katanya sambil bergegas menghampiri Dekha.
"Kok kayaknya""
"Gue belom sempet bilang ke dia. Ntar lo tanya aja, mau ikut apa nggak."
"Iya deh." Dekha mengangguk tanpa curiga.
"Ya udah. Gue cuma mau ngasih tau itu. Cabut dulu, Kha. Emergency banget nih!"
"Yoi!" Rangga keluar ruangan kembali dengan langkah tergesa-gesa. Cowok itu langsung hilang begitu sebuah dinding telah menghalanginya dari pandangan Dekha. Beberapa saat kemudian, ketika matanya menangkap sosok Bima yang sedang berdiri menunggunya di pintu ruang senat, diacungkannya kedua ibu jarinya. Tanda semua berjalan sesuai rencana.
Bima mengangguk dan segera meninggalkan ambang pintu tempat dia berdiri. Cowok itu berjalan menuju kelas Fani. Sementara Rangga lanjut ke tempat parkir di depan rektorat, melakukan bantuan terakhirnya untuk Bima sebelum kemudian giliran Rei yang harus dibantunya.
Langkah selanjutnya benar-benar spekulasi. Rangga ber
harap, tingkat kewaspadaan Langen dan Fani yang tidak lagi setinggi hari-hari kemarin akan membuat kedua cewek itu lengah.
Sementara itu Bima berspekulasi, apa yang dia berikan akan membawa Fani padanya. Dan untuk memperbesar kemungkinan keberhasilan spekulasinya itu, cowok itu sengaja berlama-lama di kelas Fani, yang juga kelas Langen itul tindakan itu juga dilakukannya untuk sedikit memperbaiki citra diri. Terutama di depan cewek-cewek yang berpikir rasional, yang tidak kepincut dengan tampang dan penampilan, yang menganggap semua kebrengsekannya sudah cukup sebagai alasan untuk memasukkannya ke dalam krematorium dalam keadaan hidup!
Jadi, Bima harus memberi kesan bahwa meskipun tampangnya sangar dan sifatnya cenderung prosesif, playboy, egois, dan kecenderungan-kecenderungan negatif lainnya, semua itu tidak sepenuhnya benar.Contohnya adalah apa yang sedang dilakukannya saat ini.
*** Di menit ketujuh belas, Rangga bersembunyi di belakang deretan mobil para dekan saat kedua orang yang ditunggunya datang. Langen dan Fani turun dari Kijang tanpa firasat apa pun. Keduanya kemudian berpisah di tempat parkir.
Spekulasi Rangga berhasil!Sebelumnya, kepada pemilik kios fotokopi yang jadi langganan Langen dan Fani, Rangga telah meminta agar diktat di difotokopi Langen baru bisa selesai pagi ini. Permintaan yang bukan hanya disampaikan dengan menggunakan kata-kata, tapi juga sedikit cinderamata.
"Gue ambi fotokopian dulu, Fan."
"Belom" Lama amat""
"Tau tuh. Lo duluan deh."
"Oke. Daaah!" "Dah." Begitu Langen dan Fani saling melambaikan tangan, tanpa buang waktu lagi Rangga segera meninggalkan pos pengintaiannya. Dia berjalan cepat menuju kelas kedua cewek itu, lalu melintas juga dengan cepat di luar ruangan. Harus dengan cepat, untuk meminimalisasi saksi mata yang melihatnya berada di tempat ini di saat yang bersamaan dengan Bima.
Bima, yang sedang ngobrol dengan Ruben, salah satu teman sekelas Fani, dan sengaja duduk menghadap koridor, segera mengakhiri obrolan mereka begitu dilihatnya kelebat bayang Rangga. Diliriknya jam tangannya lalu pura-pura kaget.
"Gue harus balik dulu, Ben," ucapnya sambil bangkit berdiri. "Bentar lagi masuk."
"Iya deh. Nggak ada pesen""
"Nggak. Gue udah titip ke Dhila. Thanks ngobrolnya."
"Oke!"

Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan langkah cepat Bima meninggalkan kelas Fani. Orang yang ditunggunya muncul tidak berapa lama kemudian, dan langsung disambut satu berita.
"Fan, tadi Bima ke sini. Nungguin elo sampe lama. Dia titip ini ke gue. Suruh kasih elo kalo ntar lo udah dateng," ucap Dhila sambil membuka tasnya.
"Bima ke sini"" dengan alis terangkat tinggi, Fani menghampiri Dhila.
"He-eh. Ngobrol sama Ruben sambil nungguin elo. Nih."
Sebuah tas plastik putih disodorkan Dhila. Fani menerima dan buru-buru berjalan ke kursi yang biasa didudukinya. Tergesa dibukanya tas plastik itu. Ada kotak di dalamnya. Dan begitu kotak itu terbuka, hampir saja cewek itu memekik. "Kucing-kucing" mungil berderet di dalamnya dengan berbagai pose dan warna.
"Ih, ya ampun! Lucuuu!" desisnya dengan kedua mata berbinar. Secarik kertas terselip di antara dua "kucing".
Honey yang ketemu baru ini. Sebenernya ada banyak, cuma nggak tau pada jalan-jalan ke mana. Nanti kalo ada waktu, aku cari yang lainnya. Oke" Mudah-mudahan kamu suka.
Dimasukkannya kembali kotak itu ke tas plastik. Dan tanpa berpikir lagi, Fani berdiri lalu berlari keluar. Mencari sang pengirim kucing-kucing porselen itu. Bima berhasil ditemukannya di ruang senat Fakultas Perminyakan.Spekulasi Bima berhasil!Belum ada sepuluh menit dia berada di ruang senat fakultasnya, mangsa yang ditunggunya datang dan dengan sukarela memasukkan dirinya sendiri di dalam jebakan.
"Hai!" Bima menoleh dan pura-pura terkejut. "Hai," balasnya lembut.
"Aku udah terima." Fani menggoyang-goyangkan tas plastik di tangannya dengan riang. Bima tersenyum lebar di luar, tapi menyeringai di dalam.
"Suka"" "He-eh. Makasih ya"" Fani melangkah masuk. "Kemaren-kemaren kayaknya sibuk banget deh."
"Lagi banyak banget tugas. Aku nunggu lama di
kelas kamu tadi." "Langen datengnya kesiangan." Fani menatap seisi ruangan. Bingung di mana akan duduk. Setumpuk diktat bertengger di sebuah kursi. Kursi yang lain "diduduki" sebuah carrier besar. Sementara kursi yang lainnya lagi memangku sebuah kotak berisi sebuah stoples besar. Stopleas itu berisi cairan hitam pekat dan sangat kental. Minyak mentah. Satu-satunya kursi yang menganggur dalam keadaan cacat. Salah satu kakinya patah dan disambung dengan besi lalu diikat kawat. "Gue duduk di mana nih""
Bima memandang berkeliling. Pura-pura bingung. Padahal sengaja dibuatnya ketiga kursi itu berpenghuni, karena dia butuh alasan untuk menjalankan misinya, yaitu mematikan ponsel yang menggantung di dada Fani!
"Di sini aja. Ini kuat. Baru dibenerin Andreas tadi pagi." ditariknya kursi cacat itu ke depan Fani.
"Bener nih"" Fani menatap kursi itu dengan ragu, tapi akhirnya didudukinya juga. Seketika tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Bima buru-buru menangkap dengan satu tangan sementara tangannya yang lain, tanpa kentara, meraih ponsel Fani lalu menon-aktifkannya.
"Sah. Nggak kuat!" cowok itu pura-pura ketawa. "Di meja ajalah," katanya sambil menyingkirkan kertas, buku, bolpoin, dan segala maca, benda dari atas salah satu meja. Dia tersenyum samar saat melirik kucing di layar ponsel Fani telah menghilang.
Fani melangkah mendekati meja lalu bertengger di salah satu sisinya. Kemudian terjadilah obrolan ringan dan akrab. Untuk pertama kalinya! Bima sengaja menahan topik pembicaraan di sekitar area "kucing", agar mangsanya ini merasa nyaman bersamanya sampai Dekha datang. Dan sekali lagi spekulasinya berhasil. Fani tetap betaj duduk di tempat sampai akhirnya Dekha muncul di ambang pintu. Cowok itu tampak buru-buru.
"Bim, lo mau nggak""
"Ke mana""
"Makan duren di kebun engkong gue. Gratis nih. Yuk, buruan!"
"Wih! Oke banget tuh!" Bima berlagak amat sangat surprise. "sekarang""
"Iya, sekarang. Temen-temen gue udah nunggu. Lo semobil sama gue aja. Masih ada tempat. Soalnya kalo sampe berderet tiga mobil yang dateng, ntar engkong gue ngira kebonnya mau dijarah. Yuk, cepet!"
"Oke, sip!" Bima bergegas berjalan ke sudut, menyambar ranselnya. "Yuk, Fan! Asyik nih. Makan duren gratis!"
"Tapi aku ada kuliah. Lagian juga...."
"Sekali-kali cabut kan nggak apa-apa. Ini kesempatan langka!"
Bima meraih pinggang Fani, menariknya dari atas meja, lalu mengajaknya mengejar Dekha yang sudah berjalan pergi.
*** Dari rumah engkong Dekha yang benar-benar bergaya Betawi asli, mereka masih harus berjalan kaki kira-kira satu setengah kilometer.
"Enakan makan di deket pohonnya, Fan," kata Bima sambil meraih tangan Fani. Yang lain mengiyakan.
"Deket kok. Cuma satu setengah kiloan, lebih-lebih dikitlag," kata Dekha. Juga sambil menggandeng ceweknya.
Cuma satu setengah kilometer, kalau jalannya rata memang tidak masalah. Tapi kalau jalannya naik-turunm lama-lama kaki keriting juga!
"Digendong aja, ya"" kata Bima. Setelah untuk yang kesekian kali, di jalan menanjak yang kesekian kali pula, dia harus menarik Fani dengan dua tangan. Soalnya kalau cuma dengan satu tangan, badan Fani akan oleng ke sana kemari, mirip layangan putus.
Fani geleng kepala. Tidak bisa langsung menjawab karena napasnya amburadul.
"Malu, lagi!" jawabnya sesaat kemudian.
"Daripada begini. Jalan aja udah nggak bener. Muka kamu juga udah merah begitu."
"Lagian sih jauh banget!"
"Namanya juga udah diajakin makan gratis. Masa mau protes""
Tapi begitu mereka sampai di tujuan dan melihat durian-durian bergelantungan pegal-pegal di kaki langsung hilang. Napas juga mendadak jadi lancar. Mirip segerombolan bocah kecil, semuanya langsung berlarian sambil bersorak-sorak girang lalu berebut memanjat.
Fani juga larut dalam kegembiraan. Dia menjerit keras pada Bima, menunjuk durian yang dinginkan.
"Nih." Bima meletakkan buah itu di depan Fani. "Abis" Ini gede lho, Fan."
"Abis!" jawab Fani langsung. "Sekalian bukain dooong!"
"Sabar dong, sayang. Baru juga turun dari pohon."
Bima mengusap kepala Fani dengan ekspres
i gemas yang sengaja dia perlihatkan ke orang-orang di sekitar, lalu menghapiri salah seorang teman Dekha. Tak lama dia kembali dengan sebilah golok di tangan. "Makannya sama Shanti aja, ya" Temenin dia sekalian."
"He-eh." Fani mengangguk. Diikutinya langkah Bima, menghampiri Shanti. Setelah membelah durian itu menjadi beberapa bagian, Bima bergabung dengan Dekha dan teman-temannya.
"Gue males gabung sama mereka. Berisik banget," kata Shanti.
"Iya, emang." Fani mengangguk. Pilih setuju aja deh, soalnya yang ngomong ceweknya Dekha. Segalanya terasa sangat menyenangkan, sampai kemudian mendadak dia tersadar, ada sesuatu yang janggal.
Kalau semua makan duriannya benar-benar aji mumpung, satu orang setumpuk, tidak begitu dengan Bima. Di depannya cuma ada satu buah. Itu juga baru dihabiskannya setengah.
Cara cowok itu duduk, cara dia mengunyah daging durian yang begitu perlahan, sorot matanya yang menerawang, juga ketidakpeduliannya dengan obrolan ramau di sekelilingnya, cuma nimbrung sekali-sekali, membuat Fani tersentak. Seketika ia berhenti mengunyah.
Aduh! Goblok banget sih gue! Desisnya dalam hati. Sial! Mati deh gue!
Dan dengan cemas terus diperhatikannya Bima tanpa kentara. Berharap semoga dugaannya salah.
Tapi Bima memang tidak pernah bisa terbaca. Jadi Fani juga tidak bahwa kecemasannya percuma saja, soalnya sudah terlambat! Karena otak Bima telah selesai menganalisis sejak mereka masih dalam perjalanan ke tempat ini. Sekali lihat, dia sudah tahu Shanti itu tipe cewek rumahan. Cewek yang dia berani jamin, tidak pernah mengikuti kegiatan keras, dan daya jelajahnya yang terjauh paling cuma ke mal-mal atau bioskop.
Dan Fani, ceweknya yang supermowan itu, yang waktu itu ditemukannya sedang duduk santai di puncak gunung setelah berhasil mengalahkan dirinya dalam satu tantangan kebut gunung, ternyata mempunya stamina yang cuma beda tipis dengan Shanti!
Aneh, kan" Kepala Bima mengangguk-angguk tanpa sadar, seiring hasil akhir analisis yang sekarang telah berupa kesimpulan.Kebut gunung"Satu senyum tipis muncul di bibir Bima. Itu jelas benar. Karena kalau tidak benar, tidak akan mereka bertemu di puncak saat itu.Lewat mana"Ini yang jadi satu-satunya pertanyaan. Yang jelas, jalur itu pendek dan tidak banyak orang tahu. Bahkan bisa jadi baru dibuka!Dengan siapa"Itu juga bukan pertanyaan. Karena jawabannya juga sudah ada di puncak waktu itu.Lima cowok!Hebat juga cewek dua itu. Febi tidak bisa dihitung karena sudah bisa dipastikan, terkena hasutan. Cewek model Febi memang tidak mungkin punya pikiran untuk unjuk rasa!Dan Bima paling tidak senang dibohongi!Apalagi yang parah seperti ini. Meskipun hanya membantu, bukan berarti kelima cowok itu baru eksis di hari tantangan kebut gunung itu dilontarkan. Pasti jauh sebelum itu. Soalnya sebelumnya harus ada pengenalan singkat soal gunung, pengenalan jalur yang akan dilalui, dan.....penempaan fisik. Meskipun penempaan fisik ketiga cewek itu jauh dari maksimal, frekuensinya jelas di atas sepuluh kali pertemuan, karena setiap karnaval butuh persiapan.
Tanpa sadarm kedua rahang Bima mengatup keras.Berapa lama Langen dan Fani merencanakan semua itu" Balas dendam itu! Unjuk rasa itu! Tantangan itu....! Dua bulan" Tiga bulan"
Dan seberapa sering mereka bertemu kelima cowok itu untuk berunding" Satu minggu sekali" Dua kali!" Atau jangan-janan malah.....setiap hari"
Dan bagaimana bisa dirinya tidak tahu sama sekali"
Brengsek! Sialan!Kemarahan yang menggelegak membuat Bima tanpa sadar melempar biji durian di tangannya. Dengan satu teriakan keras.
Suasana kontan berubah hening. Semua berhenti mengunyah dan menatap Bima tak mengerti. Cowok itu tersadar. Secepat kilat otaknya mengeluarkan satu alasan untuk berkelit.
"Perut gue panas. Kayaknya mulai overdoisi. Ehm itu....," ditunjuknya tempat biji durian tadi terjatuh, "bisa tumbuh, kan" Sayang, ada tanah kosong. Makanya gue lempar ke sana."
"Bisa sih," Dekha menjawab agak hati-hatii. "tapi taun depan. Berbuahnya juga masih lama, kalo anak lo mau masuk SMP."
Bima tertawa, dan itu mencairkan ket
egangan di sekitarnya. Sekarang ganti Fani yang kehilangan selera. Dan omongan Shanti, yang duduk di sebelahnya, cuma terdengar satu-dua kata.Seketika jantung Fani berdetak keras. Sadar, saat ini mungkin Bima telah berhasil mengetahui semuanya. Tanpa sadar kedua matanya terus-menerus melirik. Tapi Bima tidak menoleh lagi. Sama sekali!
Sekarang Fani benar-benar tinggal menghitung hari, kapan dirinya akan dieksekusi!
Langen sampai di kelas dan jadi heran karena tidak mendapati Fani.
"Paling nyari Bima," kata Dhila.
"Nyari Bima" Kenapa dia nyariin Bima!"" seketika Langen memekik.Kedua alis Dhila sontak menyatu rapat. "Ih, lo kenapa sih, La" Segitu histerisnya. Ya dia mau bilang makasih, kali. Namanya juga udah dikasih hadiah."
"Hadiah apaan!"" Langen memekik lagi. Sekarang malah sambil dipelototinya Dhila. Seakan-akan Dhila-lah yang memberikan hadiah itu.
"Mana gue tau. Gue cuma dititipin doang. Tadi Bima ke sini. Nungguin lama banget. Bete kali dia. Terus pergi. Hadiahnya dititipin ke gue. Tuh cowok baik ah, La. Nggak kayak yang diomongin orang-orang."
"Baik!"" kedua mata Langen melotot maksimal. "Tunggu aja sampe lo jadi korban dia yang berikutnya!"
"Buktinya, dia mau nunggu di sini sampe lama cuma supaya bisa ngasih hadiahnya langsung ke Fani. Trus ngobrol sama kita-kita. Gue juga sempet ngobrol bentaran sama dia. Orangnya enak kok. Asyik."
"Dhila sayaaaang," ucap Langen gemas. "Dia kan nggak mungkin pake jubah hitam dan ngasih liat tampang drakulanya siang-siang. Kudu nunggu malem. Iya, kan" Dan lagi cuma sama calon korbannya aja dia kasih liat jelas aja akan dia perlihatkan gigi-giginya yang putih terawat, bersih, dan berkilau. Iya, kaaan" Dan lagi juga...." kalimat Langen terpenggal. Mendadak dia sadar, sesuatu telah terjadi.....lagi!
"Mampus deh! Sial!" desisnya. Buru-buru dikeluarkannya ponsel dari kantong baju. "NGGAK AKTIF"" jeritnya kemudian, membuat Dhila dan teman-teman sekelasnya menatapnya heran.
"Lo kenapa sih, La"" tanya Dhila bingung.
"HP-nya Fani nggak aktif, Dhil! Biasanya selalu aktif kok!" seru Langen panik, seolah ponsel Fani yang akan terjadi gempa dahsyat. Dikantonginya kembali ponselnya dan bergegas disambarnya tasnya. "Dhil, tolong absenin gue sama Fani!" serunya sambil berlari keluar.
Langen tidak tahu bahwa pencariannya akan percuma. Soalnya Panther Dekha sudah jauh meninggalkan gerbang kampus. Dan cewek itu juga tidak sadar, sebuah perangkap lain telah disiapkan Rei untuknya.Dan kegigihan Langen untuk menemukan sahabatnya, telah menggiringnya semakin dekat ke mulut perangkap itu.
*** "Huh, ke tempat itu lagi"' keluh Langen dengan perasaan campur aduk. Marah, dongkol, ngeri, cemas. Tapi kali ini, apa boleh buat lagi. Mau tidak mau lagi. Tapi cewek itu tidak langsung memasuki gedung Fakultas Perminyakan. Sama seperti saat mencari Rei dulu, untuk memperkecil risiko, dia memilih mengawasi lebih dulu gedung empat lantai itu dari salah satu tempat tersembunyi di areal parkirnya.
Tapi ternyata sama sekali tidak berguna. Beberapa orang yang terlihat di koridor-koridor, tidak ada yang dikenalnya sama sekali. Tidak ada kelebat bayang Rei cs apalagi Fani. Terpaksa, tidak ada cara lain kecuali memasuki gedung yang benar-benar sarangnya alligator itu.
Setelah menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat, Langen meninggalkan barisan cemara kipas dan semak kembang sepatu tempat dia melakukan pengintaian. Ada lima tempat kemungkinan Fani berada. Kantin di lantai dua dan empat, ruang senat di lantai dasar, perpustakaan di lantai dua, dan terakhir, ruang kelas ketiga cowok itu, di lantai tiga. Langen benar-benar berharap, bukan yang terakhir itu yang harus didatanginya.
Tapi seperti kata pepatah, yang namanya untung itu memang tidak dapat diraih. Dan yang namanya malang juga, kalau sudah takdir, tidak akan bisa ditolak.
Fani tidak ada di empat tempat pertama. Langen tidak begitu yakin sebenarnya. Tapi tidak ada banyak waktu untuk memerhatikan setiap kepala yang ada di setiap ruangan. Fakultas Perminyakan, seperti juga fakultas-fakultas teknik lainnya, misk
in dari makhluk yang namanya cewek. Sehingga setiap kali ada cewek yang tersesat atau menyesatkan diri ke wilayah-wilayah itu, respons para penghuninya benar-benar mirip sekawanan singa yang menemukan seekor zebra. Makanya, begitu ada yang menyadari kehadiran Langen, mereka lalu berteriak.....
"Woi! Woi! Ada cewek!!!"
Langen buru-buru melarikan diri. Dia tidak menyadari, seseorang terus mengikuti setiap gerak-geriknya, bahkan sejak dia merasa telah menemukan tempat mengintai di tempat parkir tadi. Dan seseorang itu, Rangga, langsung mengambil arah yang berlawanan begitu Langen menuju lantai tiga. Cowok itu cepat-cepat berlari ke ruang kelasnya, menghampiri Rei, lalu menepuk bahunya.
"Target ke sini!" bisiknya pelan.Rei langsung berdiri. Ia berjalan cepat ke luar kelas, lalu berbelok ke arah yang berlawanan dengan kedatangan Langen. Rangga kemudian duduk. Mengatur napas sambil menatap seisi ruangan. Memerhatikan teman-temannya sekilas.
Sama seperti babak pertama, di babak kedua ini juga akan melibatkan beberapa figuran. Mereka diberi kebebasan penuh untuk berimprovisasi. Bukan karena sang sutradara pengertian, tapi karena para figuran itu tidak dibayar, alias dimanfaatkan secara diam-diam. Sutradara tinggal mengawasi agar improvisasi para figuran itu tidak membahayakan sang calon korban.
Langen sampai di luar kelas hanya sepersekian detik setelah Rangga memulai akting "sibuk belajar"-nya. Menunduk menyimak buku di depannya dengan ekspresi sangat serius, dan berlagak cuek saat salah satu temannya berseru nyaring.
"EH! EH! ADA CEWEK TUH!!!"
Tapi sepasang mata Rangga langsung melirik. Mengawasi dengan tajam saat seruan itu mengakibatkan seluruh isi kelasnya melejit dari kursi masing-masing, dan dengan penuh semangat berlari keluar sambil berseru riuh."Mana!" Mana!" Mana ada cewek!""
"Wah, iya! Asyiiik!" "Cakep, jak! Gile!"
"Eh! Eh! Stop! Stop!" salah seorang yang posisinya paling depan, mendadak menghentikan larinya lalu balik badan. Dihentikannya teman-temannya. "Itu ceweknya Rei, lagi!"
"Mantan!" langsung terdengar bantahan nyaring.
"Biar udah mantan, mendingan kita tanya Rei dulu. Kan nggak enak kalo...."
"Aah! Kebanyakan birokrasi, lo!" cowok itu langsung dienyahkan jauh-jauh.
Langen terperangah mendapatkan penyambutan heboh ala selebriti begitu. Dia menatap ketakutan dan seketika bergerak mundur. Tapi baru saja dibaliknya badan dan bersiap melarikan diri, gerombolan teman Rei yang lain muncul dari arah tangga menuju kelas. Mereka langsung bereaksi sama, berlari mendekat dengan seruan-seruan riuh."Ada cewek! Ada cewek!"
"Mana!" Wah, iya! Yihaaa!"
"Asyiiiiiik!" "Woi, mantan ceweknya Rei tuh!"
"Masa bodo!" Rangga yang terus mengawasi tajam-tajam, segera bertindak begitu dilihatnya teman-temannya mengerumuni Langen seperti sekawanan barakuda Karibia yang kelaparan.
"WOI! WOI!!!" teriak Rangga. Dia melompat berdiri dan buru-buru berlari keluar. Dengan paksa disibaknya kerumunan itu. Sesaat dia tertegun mendapati Langen yang benar-benar pucat pasi. Ketakutan, cewek itu menatap cowok-cowok yang mengelilinginya, dan berusaha melindungi diri dengan memeluk tasnya kuat-kuat. Tanpa berpikir lagi, Rangga mengulurkan kedua tangannya. Ditariknya Langen ke dalam pelukannya kemudian dilindunginya dengan punggung.
"Eh, udah! Udah! Pergi lo semua! Cewek temen sendiri nih!" "Na, itu lo peluk malah!"
"Omongan sama tindakan nggak sinkron amat sih, lo!"
"Tau tuh, dasar!"
Bertubi tepukan keras di punggungnya membuat Rangga menyeringai kesakitan.
"Woi! Gue serius nih!" sentak Rangga.Bersamaan dengan itu, Rei datang. Seketika dia terperangah menyaksikan perlindungan yang diberikan Rangga untuk Langen tidak seperti pembicaraan mereka pada saat penyusunan rencana. Rangga langsung melepaskan pelukannya.
"Gue nggak ngambil untung!" tegas Rangga. Bukan cuma dengan penekanan dalam ucapan, tapi juga dengan sepasang mata yang menatap Rei dengan sorot tegas.
"Bohong! Bohong!" beberapa suara kontan membantah pernyataannya itu.
"Cewek lo tadi dikekepin sama Rangga, Rei. Bener
an sumpah! Gue liat pake mata kepala gue sendiri!"
"Iya, bener! Meluknya hot banget si Rangga tadi!"
"Dasar Rangga! Temen makan temen!"
Rangga menatap teman-temannya dengan jengkel. "Kalo nggak gue bekep, bisa abis dia sama elo-elo!" sentaknya.
"Ah! Alasan aja, lo!" salah seorang temannya seketika membantah.
"Lo udah memanfaatkan kesempatan, masih nuduh kami pula!" yang lain menyambung.
Sadar percuma saja berdebat, Rangga berdecak lalu kembali menatap Rei. Rei juga tengah menatap dirinya dengan sorot tajam menusuk dan kedua rahang terkatup keras.
"Kita beresin ini nanti aja, Rei."
"Jangan! Jangan! Jangan mau, Rei! Lo harus menuntut keadilan yang seadil-adilnya! Sekarang juga! Hukum harus ditegakkan!"
"Apa sih lo!"" Rangga melotot jengkel. "Jangan pulang dulu ntar lo, ya" Tunggu gue!"
Cowok yang barusan berteriak memperkisruh keadaan itu, kontan meringis geli. Kerumunan itu kemudian bubar. Meninggalkan Rangga, Rei, dan Langen. Sekali lagi kedua sahabat itu saling tatap.
"Itu tadi bener-bener refleks," ucap Rangga pelan. Kemudian ditatapnya Langen. "Sori banget, La," sambungnya, lalu balik badan dan berjalan masuk kelas.
Rei menatap cewek disebelahnya. Langen masih pucat. Dia menunduk dalam-dalam dan memeluk tasnya kuat-kuat. Melihat seperti itu, Rei merasa bersalah dan jadi bimbang. Antara meneruskan rencananya atau menghentikannya sampai di sini, llau menyusun lagi rencana baru yang tidak terlalu riskan seperti ini.
Rei membungkukkan tubuhnya, berusaha melihat wajah tertunduk Langen.
"Kamu nggak apa-apa"" satu tangannya terulur.
Seketika Langen bergerak mundur. "Nggak. Gue nggak apa-apa!"
Penolakan Langen itu seketika menghilangkan kebimbangan Rei, sekaligus membangkitkan kemarahannya. Uluran tangannya ditolak, sementara pelukan Rangga....!"
Rei menegakkan kembali tubuhnya. Kedua rahangnya kembali mengatup keras. Dadanya bergolak menahan cemburu, dan diputuskannya untuk meneruskan rencana semula. Ini selesai, Rangga menyusul!
Dosen untuk mata kuliah berikut muncul di ujung tangga.
"Dosennya dateng, La." Rei meraih satu tangan Langen.
"Eh....tapi...." Langen meronta. Rei pura-pura tidak mendengar,
dan ditariknya Langen masuk kelas.
Rangga sudah menyediakan tempat di deretan paling belakang. Langen akan duduk diapit dirinya dan Rei. Tapi setelah kejadian tadi, dia tidak lagi yakin Rei akan tetap mengikuti skenario yang telah disusun.
Rei menjawab pertanyaan yang diajukan Rangga lewat sorot mata, dengan anggukan samar. Anggukan yang jelas-jelas terpaksa karena kedua matanya masih memancarkan kemarahan, membuat Rangga menarik napas lalu mengembuskannya kuat-kuat.
Sang dosen hari ini ada keperluan di tempat lain. Sesuatu yang telah diketahui Rei dan Rangga, karena itu rencana mereka dilaksanakan hari ini. Setumpuk slide kata sang dosen, slide itu diringkasnya sendiri dari sebuah buku berbahasa Jerman ditinggalkan untuk dicatat. Harus dicatat! Dosen satu ini memang antipasi terhadap mahasiswa tukang fotokopi. Menurutnya, mencatat akan meninggalkan memori di kepala. Meskipun mungkin hanya sedikit. Tapi itu masih lebih baik daripada fotokopi, yang lebih sering cuma meninggalkan judul materi.
Setelah ber-blablabla selama lima menit, menceritakan secara singkat isi tumpukan slide-nya, dosen itu pun pergi.
Seluruh isi kelas langsung mengalihkan perhatian mereka ke makhluk asing cantik yang terdampar di deretan kursi paling belakang.
"Apa!"" sambut Rei seketika. "Catet tuh! Jangan nengak-nengok ke belakang!"
Kemarahan di mata Rei rupanya juga terbaca teman-temannya yang lain. Mereka jadi batal ingin menggoda Langen. Gantinya, mereka menatap Rangga dengan jengkel.
"Gara-gara elo sih!"
Rangga mengangkat kedua alisnyam menahan senyum. Tiba-tiba Rei berdiri. "Tunggu di sini sebentar, La."
"Mau ke mana"" tanya Langen langsung.
"Sebentar aja," jawab Rei. Ditatapnya Rangga. Lagi-lagi dengan sorot yang memancarkan peringatan "Tolong jagain, Ga."
Menurut skenario, Rangga harus pura-pura keberatan. Tapi kali ini Rangga benar-benar keberatan. Dia
tidak ingin Rei semakin salah paham. Beruntung para figuran di sekitar mereka telah lebih dulu berebut menawarkan jasa, sehingga Rangga tidak perlu mengatakan keberatannya terang-terangan.
"Sini, gue aja yang ngejagain!"
"Jangan! Jangan! Dia wanitavora. Pemangsa wanita! Gue aja!"
"Gueeee! Gueeee!"
"Yang paling aman sama gue! Soalnya gue nggak buaya kayak elo-elo! Gue gentleman sejati! Sangat menghormati kaum wanita! Gue.....Adaow! Siapa yang ngeplak kepala gue!""
"Gue! Abis elo berisik banget sih!"
Antusisme radikal itu membuat Langen jadi ketakutan. Sifat bengal dan nekatnya kontan menguap sampai benar-benar hilang.
"Kamu mau ke mana"" dicengkeramnya pergelangan tangan Rei kuat-kuat.
"Cuma sebentar."
"Ikut!" "Aku mau ke toilet!"
Langen tercengang. Tapi dia tidak punya pilihan. Di sekelilinnya telah berkumpul begitu banyak sukarelawan yang mengajukan diri. Siap melindungi dan menjaganya selama Rei pergi ke toilet. Salah satu cowok malah sudah duduk di sebelahnya. Rangga entah dia enyahkan ke mana.
"Ya udah. Ayo kalo mau ikut," ucap Rei lembut, seperti sedang menenangkan anak kecil yang ketakutan.
Dia ulurkan tangan kirinya dan dipeluknya Langen lekat di sisinya. Kali ini tanpa mengawasi sekeliling. Lagi pula dipeluk Rei jelas jauh lebih aman ketimbang dibekap sekawanan siamang. Seisi ruangan kemudian mengiringi kepergian dua sejoli itu dengan riuh.
"Cihui!" "Asyooooi!" "Aduh mak, asyiknye. Pegi dua-duaan!"
"Wah! Itu tidak boleh itu!"
"Kata nenek berbahaya lho, Nak!"
"Itu kan kata nenek lo! Kata neneknya mereka, nggak apa-apa. Asal pulangnya jangan malem-malem!"
Seisi kelas kontan terbahak-bahak mendengar komentar terakhir yang nggak nyambung itu. Akhirnya Langen jadi naik darah. Dia tidak bisa lagi menahan emosi.
Cukup sudah! Harga dirinya benar-benar tercoreng! Martabatnya sebagai wanita juga seperti diinjak gepeng!Langen melepaskan diri dari pelukan Rei. Lalu sambil bertolak pinggang, dipelototinya seisi kelas.
"Awas kalian ya! Bakalan gue kirimin pesaway kamikaze! Gue runtuhin nih gedung sampe elo-elo semua nggak bakal bisa teridentifikasi!"
Cowok-cowok itu kontan bengong sambil ternganga lebar-lebar. Tapi sambil menahan tawa juga.
"Aduuuuh, kejamnya!"
"Cakep, tapi kok sadis banget!"
"Teganya! Teganya! Teganya!"
Kelas malah jadi geger. Semuanya makin tertawa terpingkal-pingkal. Termasuk Rangga. Slide yang diletakkannya di proyektor sampai terbalik. Tiba-tiba....
"AAAA!!!"Teriakan panik itu membuat kelas kontan jadi sunyi senyap. Semua kepala menoleh ke asal suara. Seroang cowok sedang menutupi mulutnya rapat-rapat dengan kedua telapak tangan. Sementara sepasang matanya terbelalak lebar-lebar menatap Langen, benar-benar ketakutan. Kemudian seperti mendadak tersadar, buru-buru cowok itu membereskan diktat-diktatnya, sampai buku-bukunya bolak-balik berjatuhan. Dan dengan ransel yang masih menganga lebar, dia berlari ke depan kelas dan meloncat-loncat di sana.
"AWAS! ADA TERORIS! ADA TERORIS! AYO KITA CEPAT-CEPAT MELARIKAN DIRI KITA MASING-MASING!"
Seisi kelas makin terpana begitu cowok itu ternyata benar-benat terbirit-birit ke luar kelas, sambil berteriak-teriak panik di sepanjang koridor.
"TOLONG! TOLONG! ADA WANITA TERORIS! ADA WANITA TERORIS!!!"
Kelas kembali jadi ingar-bingar. Banyak yang kemudian ikut berlari keluar. Dan begitu melewati Langen, mereka serempak berteriak....
"HIIIYYY, TAKUUUTTT!!!"
Muka Langen benar-benat merah. Di sebelahnya, Rei sampai membungkukkan badan dan memegani perut, tertawa sampai kedua matanya berair.
"Iya! Ketawa aja terus!"
Rei mengangkat tangan kanannya karena mulutnya tidak bisa bicara. Tapi begitu dilihatnya muka Langen, cowok itu mati-matian memaksa tawanya untuk hilang. Kemudian diraihnya wajah cemberut Langen dan dipeluknya di dada.
"Udah nggak usah didengerin," bisiknya lembut. Tapi tetap bibirnya meringis lebar-lebar. Tidak bisa ditahan. "Mereka emang begitu. Jangankan kamu, dosen aja sering dikerjain. Anggep aja mereka-mereka itu orang gila!"
"Emang gila!" jawab L
angen ketus, membuat sepasang bibir Rei yang tidak bisa dilihatnya, meringis semakin lebar.
Berita Rei dan Langen masuk ke toilet berdua, langsung menyebar. Semua yang diberitahu perihal kabar itu kontan ternganga tak percaya. Kampus jadi gempar. Semua orang mengira, Langen nekat begitu mendatangi gedung fakultas Rei bahkan membuntuti cowok itu sampai ke toilet karena saking inginnya kembali ke pelukan mantan cowoknya itu!
Mati-matian Langen dan Fani berusaha meyakinkan seisi kampus bahwa berita itu sama sekali tidak benar. Asli bohong. Seratus persen fitnah. Tapi bantahan yang mereka teriakkan sampai urat leher nyaris putus itu, juga segala macam sumpah fatal yang mereka umbar, tetap tak mampu membuat satu orang pun percaya. Soalnya, Rei persis Desy Ratnasari cuma bilang "No comment", tapi sambil senyum-senyum. Dia selalu begitu setiap kali ditanya. "No comment"-nya memang sempat membuat orang-orang yang bertanya padanya jadi ragu, tapi senyum misteriusnya kemudian mematahkan keraguan itu.
Ditambah lagi jawaban Bima dan Rangga yang seperti mengiyakan. "Tanya sama yang bersangkutan aja, biar kronologinya jelas," membuat orang semakin yakin bahwa berita itu bukan sekadar gosip atau kabar angin. Artinya.....berita itu benar!
Dan nama Langen kontan hancur!Tidak tanggung-tanggung, Langen langsung menggeser posisi Stella. Cewek yang paling ngetop di kampus karena penampilannya yang hampir menyaingi Brithney Spears itu langsung terlihat seperti "cewek laim" dibanding Langen. Soalnya, Stella itu cuma ngablak penampilannya aja, dan cuma rada kecentilan aja. Sedangkan Langen, penampilannya sih sopan. Baju-bajunya selalu tertutup, meskipun sering berpotongan seksi dan ketat. Tapi ternyata..... "
*** "Kita dijebak!"
Langen tidak bermaksud menyalahkan, tapi Fani merasa dialah yang paling bersalah. Kalau saja rasa "cinta kucing"-nya tidak kelewatan, semua ini tidak akan terjadi.
"Sori, La" ucap Fani lirih.Langen mengibaskan tangan. "Bukan salah lo. Rapi banget cara mereka. Bener-bener nggak kebaca. Sampe sekarang gue masih belom bisa nebak, gimana cara mereka ngatur semuanya."
Fani bangkit berdiri dan meraih tasnya. "Lo nggak masuk lagi nih"" tanyanya.Dengan malas Langen menggelengkan kepala."Udah tiga hari lo cabut, La. Akuntansi nih sekarang."
"Maka gue ini, Fan."
"Iya. Iya. Sori. Ntar gue absenin lagi deh. Gue jalan dulu ya. Udah mau telat."
Lagi-lagi hari ini Fani berangkat ke kampus sendiri.Sepuluh menit setelah sahabatnya itu pergi dan dia dikurung sunyi, mendadak Langem menemukan satu cara untuk mengakhiri bencana ini. Dia harus menemui Rei dan memaksanya mengumumkan apa yang sebenarnya terjadi. Buru-buru cewek itu berdiri, menyambar kunci mobil, dan berlari keluar sambil berseru keras.
"Mama! Langen pinjem mobilnya Mas Radit bentar!"
Terpaksa dibajaknya mobil kakaknya. Soalnya, sejak peristiwa memalukan itu, bukan hanya namanya yang melambung, tapi juga Kijang-nya. Jadi percuma saja bersembunyi di dalamnya.
Diparkirnya mobil di dekat pintu keluar kampus. Dan begitu dilihatnya Jeep Rei muncul dari jalan utama di dalam kompleks kampus, Langen langsung bersiap-siap. Dia rendahkan tubuhnya sementara tangan kanannya memutar kunci. Begitu Jeep Rei melintas di depannya, langsung dikuntitnya dari belakang. Tetap seperti itu selama beberapa saat. Baru setelah gerbang kampus hilang di tikungan belakang, diinjaknya pedal gas dan disejajarinya Jeep Rei.
Rei yang belum menyadari, menggeser Jeep-nya ke kiri, mempersilahkan sedan putih di sebelah kanannya untuk melaju. Tapi sedan itu justru memaksanya menepi dengan bantingan setir mendadak. Gesekan tak terelakkan. Diiringi bunyi benturan keras, sedan putih itu kehilangan spion kirinya.
Rei terperangah. Ditekannya klakson kuat-kuat. Dia menoleh dan siap memaki. Tapi suaranya langsung tersangkut di tenggorokan begitu tahu siapa yang berada di dalam sedan itu dan saat ini tengah menatapnya dengan bara meletup. Buru-buru dibelokkannya mobil, masuk ke sebuah jalan kecil. Sedan di sebelahnya mengikuti dengan posisi tetap merapat. Begitu mereka be
rhenti di satu sisi jalan, Langen langsung turun dan menutup pintu dengan bantingan. Dihampirinya Rei dengan langkah-langkah cepat, lalu berhenti tepat di depannya.
"Lo harus bilang kalo kita nggak masuk toilet berdua!"
Kedua alis Rei menyatu rapat mendengar perintah yang diberikan dengan bentakan galak itu. Ditundukkannya kepala hingga ujung hidungnya nyaris menyentuh ujung hidung Langen yang mendongak.
"Aku bersihin nama kamu. Tapi dengan satu syarat." ditatapnya cewek itu dengan berjuta sinar dalam sepasang matanya. Ada senyum geli, ada kelembutan, ada cinta, ada kerinduan, tapi ada juga tantangan dan sorot kemenangan. "Kita jalan sama-sama lagi. Aku mau kamu balik!"
Langen terperangah dan mundur selangkah tanpa sadar. Tawaran yang benar-benar manis!Setelah berita menggemparkan yang membuat seisi kampus guncang dan nama Langen meroket dengan segala macam tudingan negatif, menyatunya mereka kembali hanya akan membenarkan tudingan-tudingam itu. Dan Langen sudah tahu apa yang akan muncul dalam benak setiap orang.
"Jelas aja mereka jadian lagi. Udah masuk toilet berduaan gitu. Jelas aja tuh cewek nggak bakalan ngelepas Rei!" seperti itulah yang bakalan disimpukan orang-orang.Dirinya lagi yang akhirnya kena tuduh!
"Nggak! Terima kasih!" Langen menggeleng tegas. "Lo boleh ngimpi!"
Ganti Rei terpana. Tak menyangka tekanannya tak mampu melumpuhkan lawan. Dan dia jadi benar-benar gemas.
"Kalo begitu, jangan paksa aku untuk meng-clear-kan soal itu!"
"Tapi itu kan jelas-jelas nggak bener! Gue cuma nunggu lo di luar! Di lorong!" seru Langen.
"Justru karena itu nggak bener, makanya biarin aja. Nanti juga mereka diem sendiri kalo udah bosen." Rei mengangkat alisnya dan tersenyum santai. Melihat sikap Rei yang sangat tenang itu, Langen jadi kalap.
"Elo kurang ajar!"
"Hei! Hei!" Rei berusaha menghindar dari serangan bertubi Langen. "Kamu kok jadi kasar begini""
"Elo yang mulai duluan!"
"Mulai apa"" Rei menangkap tangan kanan Langen yang mengarah tepat ke dadanya. Berusaha mencegah kelima jari berkuku tajam itu mencubit atau membuat cakaran di sana.
Sial untuk Langen. Segerombolan saksi mata melintas dan sudah pasti mereka menyaksikan apa yang sedang dilakukannya terhadap Rei. Di mata mereka, itu benar-benar penyerangan yang sangat brutal. Serentak gerombolan saksi mata itu berhenti berjalan lalu ramai berkomentar.
"Waaaah! Ck ck ck! Ternyata dia emang cewek ganas!"
"Gila banget, ih! Di pinggir jalan aja kayak gitu. Gimana waktu di dalem toilet ya" Pasti seru!"
"Pasti!" "Jangan-jangan tuh cewek.....maniak""
"Kayaknya sih gitu. Liat aja tuh!"
Tamatlah sudah riwayat Langen. Berita penyerangan itu semakin memperparah predikat negatifnya, dan justru menempatkan Rei dalam posisi tak bersalah. Semua menganggap betapa malahnya cowok itu, karena dipaksa untuk kembali oleh ceweknya yang ganas dan maniak!
Nama Langen hancur total. Bahkan ini untuk pertama kalinya dia sampai kehilangan keberanian untuk muncul di kampus. Rei, yang diam-diam terus memantau hasil akhir rencananya yang berjalan sangat sukses dan sangat tidak terduga itu, mulai cemas saat tidak lagi melihat Langen muncul di kampus. Bagaimana inginnya dia menaklukkan Langen dan memaksa cewek itu kembali dengan cara-cara yang dia inginkan, bagaimanapun menyenangkan game yang saat ini dia menangkan, tapi kalau akibatnya mulai serius begini, dirinya pilih mengalah dan meminta untuk bisa kembali. Dia cinta gadis pemberontak itu, yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah. Tapi keinginan Rei itu langsung ditentang keras kedua sahabatnya. Reaksi Bima sama sekali tidak membuat Rei heran. Soalnya menurut Bima, pengkhianatan cewek adalah satu tindak kriminal yang tingkatannya lebih tinggi dari pembunuhan! Tapi penolakan Rangga membangkitkan kembali kemarahan dan kecurigaan Rei yang sudah sempat menghilang. *** Rangga baru saja menyentuh hendel pintu Jeep Wrangler-nya saat seseorang menepuk bahunya dari belakang. Dia menoleh dan satu hantaman keras langsung menyambutnya di ulu hati. Tubuhnya seketika terdorong mundur dan membentur ba
dab mobil. "Gue lupa kalo ada urusan kita yang belom selesai!" "Itu refleks, Rei.
Bener! Gue sama sekali nggak...." "Refleks yang pake perasaan!"" "Rei, waktu itu....." "Waktu itu dia terdesak.
Dikurung banyak orang, tapi mereka bukan orang asing, Ga!" Rei menepuk keras sebelah pipi Rangga. "Gue kenal mereka semua, dan mereka juga tau gue!" "Itu kan elo! Yang mereka kurung, Langen. Bukan elo!" "Sialan lo!" desis Rei berang. Dengan kedua tangan, dicengkeramnya kerah kemeja Rangga kuat-kuat, sampai membuat Rangga nyaris tercekik. "REI!!!" Bima berteriak daru kejauhan, lalu cepat-cepat berlari menghampiri. "Apa-apaan sih lo" Lepas!" "Dia...." "Gue bilang lepas!" Dengan paksa Bima melepaskan cengkeraman Rei di kerah kemeja Rangga, lalu menyentakkan tubuh Rei sampai terdorong mundur beberapa langkah. "Lo nggak tau...." "Gue udah tau!" potong Bima, nyaris membentak. "Tunggu sampe gue peluk cewek lo di depan mata. Baru lo bener-bener tau!" Rei menantang Rangga. Bima berdecak. Jadi semakin jengkel. "Pikir dong, lo! Febi dibanding Langen.... Jauh! Ga, sori kalo gue kasar. Ini bukan soal tampang.
Rei, cewek lo tuh cantik. Mungkin karena itu lo nggak bisa ngeliat jelas, silau ama kecantikannya!" "Apa maksud lo!"" desis Rei tajam. Dia tersinggung. "Lo masih belom sadar juga"" Bima menggelengkan kepala. "Langen itu tukang bikin onar! Cewek pemberontak! Coba liat ulahnya" Lo tonjok temen deket lo sendiri!" "Ini nggak ada hubungannya...." "Ada! Nanti gue kasih tau kalo gue udah dapet bukti lengkap!" Setelah mengatakan itu, Bima balik badan dan pergi. Rei menatapnya tak mengerti. Rangga menghela napas. "Lo tau cewek yang pernah dateng ke kampus" Yang ngebongkar abis soal gue sama Ratih"" Rei menoleh dan Rangga langsung menyambutnya dengan tatapan tepat di manik mata. "Dia temen sekelas Langen sama Fani di SMA. Dan Langen yang nyuruh tuh cewek dateng ke sini. Gue marah, Rei! Febi sekarang mulai mirip cewek lo. Mulai mirip Fani. Tapi gue nahan diri, karena gue mandang elo!" Rei terpana. Rangga menepuk pelan bahu sahabatnya itu, lalu masuk mobil dan pergi tanpa bicara lagi. *** "Ada apa sebenernya" Apa yang lo berdua sembunyiin dari gue"" Pertanyaan Rei membuat Rangga menatap Bima. "Lo aja yang ngomong. Gue nggak mau dituduh dua kali." Tapi Bima geleng kepala. "Nanti aja. Gue cari bukti dulu. Gue nggak mau ngomong tanpa bukti. Setelah itu, urusan lo, Rei. Lo mau balik sama Langen, silakan. Gue nggak akan ikut campur. Cuma untuk sekarang ini....," Bima menggeleng lagi, "sebaiknya jangan. Gue mau elo bener-bener tau, siapa mantan cewek lo itu!" "Dia takut keburu jadi properti orang." Rangga melirik Rei. "Kayak begitu dipikirin." Bima berdecak meremehkan. "Itu masalah gampang. Siapa aja yang deketin Langen....tonjok!" Rangga menunduk sejenak, menyembunyikan senyumnya. "Buruan lo kerjanya, Bim." "Ini gue lagi mikir, gimana caranya." Tapi ternyata Bima kalah langkah. Fani tahu persis, tanpa Langen dan Febi, kampus akan menjadi tempat yang benar-benar berbahaya untuknya. Firasatnya memperingatkan, Bima sedang mencarinya. Maka jadwal kuliahnya kontan berubah. Dalam satu hari, kadang dia masuk kuliah jam pertama, terus jam keduanya cabut. Terus jam pejaran berikutnya nongol lagi. Malah kadang-kadang bolos seharian. Mirip kutu loncat, dia muncul di kampus dan cabut tanpa pola yang tetap. Hasilnya top! Bima tidak berhasil mengejar apalagi menemukan. "Sialan!" Bima mendesis pelan. Senyum tertahan kemudian muncul di bibirnya. Ini tidak akan lagi semudah hari-hari kemarin. Tapi kita lihat saja! *** Fani duduk termenung di teras kamar. Bingung memikirkan cara agar Langen bisa secepatnya kembali ke kampus. Sudah hampir dua minggu sahabatnya itu bolos kuliah. Masalahnya, ada beberapa mata kuliah yang akan sulit dimengerti tanpa mendengar penjelasan langsung dari dosen. Dan ada beberapa dosen yang gemar mengabsen mahasiswanya satu per satu untuk memastikan jumlah kepala yang hadir sebanding dengan jumlah tanda tangan. Tapi sampai hari ini, cara itu tidak juga ketemu! Fani menghela napas lalu menepuk-nepuk kening dengan kesal. Tiba-tiba Ijah datang
tergopoh. "Non Fani! Ada telepon dari Mbak Febi. Suruh cepetan. Katanya penting banget!" Fani tersentak dan bergegas berlari turun. Disambarnya gagang telepon dan langsung diberondongnya orang di seberang dengan bertubi pertanyaan. "Feb, lo ke mana aja sih" Gue cari-cariin, juga! Lo masih kuliah nggak sih" Kok gue nggak pernah ngeliat lo lagi di kampus" Lo pulang ke Jawa, ya" Disuruh kawin"" Telepon di seberang langsung ditutup. Fani tercengang. "Feb! Febi! Sensitif amat. Gitu aja tersinggung. Balik kayak dulu lagi tuh anak!" gerutunya sambil meletakkan gagang telepon. Tak lama benda itu berdering lagi. Kalo ini Fani bicara hati-hati. "Sori, Feb." "Sori apaan" Lo tadu teriak-teriak. Gue kaget, tau!" "Oh....gue kirain lo marah. Kenapa sih lo ngomongnya bisik-bisik"" "Nanti aja gue ceritain. Gosip itu bener, Fan"" "Nggak! Itu fitnah! Jebakan! Kita nggak tau...." "Udah. Udah. Gue cuma mau tau, bener apa nggak aja. Ya udah. Eh, HP lo berdua kenapa sih nggak aktif"" "Langen kena teror. Gue bosen jawab pertanyaan yang itu-itu melulu. Kayak lo barusan tadi. Nggak brenti-brenti," tanpa sadar Fani jadi ikut bicara berbisik. "Ya udah. Aktifin HP lo sekarang deh. Buruan!" "Eh, bentar, Feb! Lo sekarang di mana" Masih di rumah lo atau di mana"" "Di tempat yang tidak terjangkau!" Telepon di seberang ditutup. Fani termangu-mangu bingung. Buru-buru dia berlari ke kamar dan mengaktifkan ponselnya. Tapi ditunggu sampai tengah malam, Febi tidak menelepon sama sekali. Sementara saar dicobanya untuk menghubungi, ponsel Febi masih seperti dulu, saat cewek itu mendadak lenyap. Mailbox! *** "Nggak cerita apa-apa. Cuma nanyain gosip lo itu bener apa nggak. Yang bikin gue heran, ngomongnya itu, La. Pelan banget. Bisik-bisik. Udah gitu, waktu gue tanya dia dimana, dia cuma bilang di tempat yang tidak terjangkay. Bingun, kan" Di mana coba tuh"" "Di bulan!" dengus Langen. "Kalo nggak, tuh anak lagi ada di kutub atau Puncak Everest!" Bunyi SMS masuk terdengar dari ponsel Fani yang menggeletak di meja, tapi si pemilik tidak mengacuhkan. Bosan. Paling soal gosip itu lagi. Terdengar lagi bunyi SMS masuk. Dan lagi, tidak berapa lama kemudian. Dan lagi dan lagi dan lagi. Terus berturut-turut. Langen dan Fani saling pandang lalu langsung berlari menghampiri benda itu. Lima belas SMS masuk, dari nomor yang sama. Nomor yang tidak dikenal. "Bener dari Febi, La. Ternyata dia ganti nomer!" Febi menceritakan dengan singkat kenapa dia mendadak menghilang. Keluarganya gusar dengan tingkah lakunya yang dianggap mulai melanggar norma dan adat, yang dikhawatirkan akan membuat nama keluarga jadi tercemar lalu rusak. Rapat keluarga kemudian memutuskan, gadis itu harus diawasi. Bukan saja dengan siapa dia bergaul, tapi juga tempat-tempat yang didatangi. Ponselnya disita dan setiap telepon masuk untuknya, disaring. Dan selama di kampus, Rangga-lah yang bertugas sebagai sipir pribadi Febi, untuk mengawasinya. "Kurang ajar si Rangga!" desis Langen. "Abis ini langsung kita calling Febi, La!" Tapi keinginan itu terpaksa dibatalkan karena bunyi SMS Febi yang terakhir. Jngn bales SMS gw. Ini pnjem hp orng. Tlng keluarin gw secptnya. GW STRES!!! *** Langen dan Fani langsung gerak cepat. Malamnya Fani menelepon Salsha. "Sha, please banget. Tolong keluarin Febi." Salsha langsung memekik nyaring. "Kenapa emangnya" Dia dipenjara" Gue nggak percaya dia masuk sel! Orang nggak ada tampang kriminal gitu. Lo sewa pengacara dong!" "Apa sih lo"" Fani berseru dongkol. "Keluarin dia dari rumahnya!" "Emang rumahnya kenapa, sampe dia nggak bisa keluar sendiri" Kelelep banjir" Apa roboh" Kan gempa sama tsunaminya di Aceh"" "Aduuuh!" Fani mengentakkan kaki dengan jengkel. "Gue nggak lagi bercanda, Sha!" "Sama. Gue juga nggak!" "Yah, yang bener dong lo ngasih responsnya!" di seberang, Salsha meringis. "Iya, iya. Apaan"" Fani menceritakan permasalahan yang saat ini sedang dihadapi Febi. Sementara Langen mem-forward semua SMS cewek itu ke ponsel Salsha. "Ah, elo! Kayak beginian apa pake panik-panik nelepon gue. Ini sih keciiil!" "Itulah bedanya. Otak gue waras, sementara otak lo kan sakit. Makany
a buat elo ini soal kecil." "Ah, elo!" seru Salsha. "Udah minta tolong gratis, ngatain gue, lagi!" "Iya, sori. Maap." Fani terkikik. "Jadi gimana"" "Oke, sip! Kebeneran, gue juga punya dendam pribadi sama cowoknya tuh cewek!" "Tapi yang profesional dong. Jangan sampe ketauan lagi." "Sori banget soal itu, Fan. Gue bener-bener terdesak waktu itu. Janji, kali ini nggak bakalan gagal!" *** Salsha benar-benar bekerja dengan spirit dendam. Lima hari kemudian dia menelepon. "Fan, besok kita mau ke perpus PPHUI, Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Lo berdua ke sana juga. Tapi pake baju agak out of date, ya" Takutnya sopirnya Febi ikutan naik. Bener-bener ketat tuh anak diawasinya." "Out og date" Maksud lo, pake kain sama konde, gitu" Atau pake baju zaman kerajaan"" Salsha ketawa geli. "Bukan. Itu sih parah banget. Jins sama kaus juga nggak apa-apa. Tapi kausnya yang biasa-biasa aja, Fan. Yang longgar. Jangan yang ketat. Jangan yang gambar atau tulisannya aneh-aneh. Trus, anting lo yang berendeng tuh lepasin. Pake satu aja. Bilangin juga si Langen. Eh, ke mana tuh anak"" "Stres. Trus"" "Anting cuma di kuping. Laen di situ, lepas! Trus, pake cincin satu atau dua aja. Dan jangan yang modelnya aneh-aneh. Bilangin Langen, rambutnya dikucir atau dijepit, gitu. Pokoknya yang rapi. Jangan dibiarin berantakan kayak biasanya. Kayak gitu-gitu deh. Lo kan temennya. Masa nggak tau"" "Iya. Iya. Tau." "Ya udah kalo gitu. Sampe ketemu besok di Kuningan." *** Langen dan Fani sampai di perpustakaan PPHUI lima belas menit sebelum Salsha dan Febi. Keduanya baru berganti baju di toilet perpustakaan. Biasa tampil trendi dan funky ala VJ-Vj MTV, eh sekarang harus pakai kaus longgar yang dimasukkan ke pinggang celana, benar-benar kemunduran parah. Apalagi Langen juga bangga banget dengan rambut-nya yang ala Beyonce. Menyisirnya rapi-rapi lalu mengikatnya menjadi ekor kuda benar-benar penindasan hak asasi. Sesuai instruksi Salsha, mereka akan berpura-pura "kebetulan" ada di situ. Dan juga akan berpura-pura "sibuk membaca", sehingga Febi yang akan melihat mereka lebih dulu. Setelah itu akan dilanjutkan dengan berpura-pura "sangat terkejut", karena setelah menghilang sekian lama, tidak menyangka bisa bertemu lagi. Itu semua soal kecil. Salsha hampir tidak bisa menahan tawa melihat akting kaget kedua temannya, saat Febi menyerukan nama mereka. Terdengar "Sst! Sst!" para pengunjung perpus dan pandang marah dari segala penjuru, membuat keempat orang itu terpaksa keluar lalu bicara di depan lift. Febi yang paling bersemangat, karena bagi dia, Langen dan Fani memang membawa percerahan dalam ritme hidupnya yang membosankan dan penuh peraturan. "Lo berdua tumben ancur gini"" Dua orang di depannya kontan meringis, tidak punya jawaban pas. "Ganti penampilan aja, Feb," jawab Langen, yang lalu berbisik di telinga Febi. "Temen lo lebih parah lagi tuh. Kayak yang ada di foto-foto di buku Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia." Febi ketawa geli. "Eh, iya. Kenalin nih temen gue. Fiona." Sepasang alis Langen dan Fani kontan terangkat tinggi-tinggi. Duileeeh, keren banget si Salsha ganti namanya! Salsha maju ke hadapan mantan teman-teman sekelasnya saat kelas satu SMA itu. Dia ulurkan tangan kanannya. "Fiona," ucapnya ramah dan santun. Wig hitam kepang satu, dahi terbuka lebar-lebar, dan keseluruhan penampilan Salsha yang seperti ABG era tujuh puluhan, membuat Langen jadi tergagap membalas sapaannya. Sementara Fani menyambut uluran tangan Salsha, lalu menyebutkan namanya sambil garuk-garuk kepala. "Jadi cerita sebenernya gimana, La" Masalahnya, gosip yang gue denger heboh banget. Parah, tau nggak"" "Gue sama Fani dijebak, Feb. Rapi banget...." "Maaf," Salsha menyela. "Gue mau liat-liat Pasar Festival dulu, Feb," katanya. Pura-pura tidak enak dengan pembicaraan itu. "Oh, iya. Iya," jawab Febi cepat. "Tau jalannya, kan"" "Tau." "Tapi jangan sampe ketauan sopir aku kalau kamu jalan sendirian ya, Fio" Bahaya soalnya." "Iya. Aku mengerti sekali masalah kamu." Salsha menampilkan ekspresi simpati, membuat Langen dan Fani menggigit bibir menahan cengiran. "Eh, sebentar...." Feb
i merogoh salah satu saku celana panjangnya. Mengeluarkan selembar uang, lalu mengangsurkannya pada Salsha. "Barangkali ada yang pengen kamu beli di sana nanti." 'sha berlagak tidak enak dan pura-pura menolak. Tapi Febi menjejalkan uang itu ke dalam genggamannya. Gile, asyik amat! Berapa tuh" Langen menjulurkan lehernya, ingin tahu. Begitu Febi balik badan, Salsha menjawab keingintahuan Langen dengan cengiran lebar. Dia melambai-lambaikan lembaran seratus ribu di tangannya, lalu balik badan dan pergi dengan riang. "Temen lo dari Jawa ya, Feb"" pancing Langen. Dia penasaran, bagaimana caranya Salsha bisa mengeluarkan Febi dari kurungan dengan begitu cepat. "Bukan. Gila lo. Biar di Jawa, temen-temen gue nggak parah gitu, lagi. Nggak tau tuh. Tau-tau nongol di rumah. Katanya dia mahasiswi fakultas apa, gitu. Lagi nyusun makalan soal kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa dan....apa sih dia ngomongnya kemaren" Lupa gue. Biasanya sih dia lebih sering ngobrol sama Ibu atau Kangmas Pram. Liat tampangnya aja, gue udah males. Ini terpaksa aja gue ajak dia. Apa boleh buat, daripada sendirian. Boring banget, tau nggak" Nggak ada lo berdua, nggak seru!" Langen dan Fani meringis bersamaan. Tak lama kemudian ketiganya tenggelam dalam pembicaraan serius. "Jadi gitu ceritanya"" bibir Febi mengerucut dan kepalanya mengangguk-angguk. "Gini aja deh. Lo berdua ikut gue ke kampus. Gue bersihin nama lo, La. Dan kita liat.....bisa apa mereka!""
*** Efektif! Dengan darah biru kental yang ditandai sederet gelar kebangsawanan juga dengan sikap serta tingkah laku yang berbeda dengan gadis-gadis kebanyakan, Febi benar-benar menjadi perisai Langen yang sakti. Tidak ada yang berniat membantah saat Febi meluruskan gosip itu. Bahwa itu sama sekali tidak benar. Langen tidak mengikuti Rei masuk ke toilet. Cewek itu cuma menunggu di luar. Di lorong. Bersama dirinya! "Ada yang nggak percaya, gue ada sama Langen waktu itu""
tantangnya di depan sekelompok orang. "Tapi nggak ada saksi yang ngeliat lo berdua Langen waktu itu," bantah seseorang. "Nggak ada saksi juga, yang ngeliat gue nggak ada di sana waktu itu!" tandas Febi. "Tapi....." "Pake otak! Kalo dia mau begitu,
ngapain di kampus" Dia temen gue. Dan gue nggak suka bergaul sama orang yang kelakuannya nggak bener!" *** Lima hari setelah gosip panas itu mereda berkat campur tangan Febi, di ruang kelasnya di Fakultas Perminyakan, Rei sedang tertawa terbahak-bahak. Dia benar-benar geli, sampai kedua matanya jadi merah dan berair. Setelah tawanya reda, ditatapnya kedua sahabatnya bergantian. "Kita kalah!" Tidak satu pun dari keduanya bisa membantah, membuat Rei jadi terbahak-bahak lagi. "Suka tidak suka, terima tidak terima, kenyataannya......Kita kalah!"
VIRGO Keuangan: Sebaiknya Mulai Berhemat
Asmara: Berdebar-Debar Hari Sial: Kamis Biasanya Fani tidak pernah peduli ramalan bintang. Sama sekali! Tapi saat majalah itu datang pagi tadi, entah kenapa mendadak dia iseng ingin membaca. Cuma iseng. Makanya isi ramalan itu sama sekali tidak memengaruhinya.
Soalnya bagian pertamanya, "Keuangan: Sebaiknya mulai berhemat", itu saja sudah sangat tidak benar. Bukannya sombong, tapi Fani memang tidak pernah merasa harus berhemat. Wong papa-mamanya kerja. Sudah begitu, dia juga tidak punya saudara. Jadi otomatis selalu banjir uang. Yaaa, satu bulan tidak sampai satu miliar sih. Tapi pasti selalu ada deh. Jadi sama sekali tidak perlu berhemat.
Sedangkan "Asmara" tidak perlu diperhatikan karena dia tidak sedang kasmaran. Jadi kesimpulannya masih tetap sama seperti kemarin-kemarin. Ramalan bintang itu bullshit!
Tapi giliran "Hari sial", deh, ternyata benar-benar jadi kenyataan. Langsung besoknya, lagi! Tidak tunggu Kamis minggu depan, atau Kamis minggu depannya lagi.
Pagi-pagi Bima mendadak muncul di teras rumah Fani!Diulang......Bima mendadak muncul di teras rumah Fani!!!
"Hai."

Cewek Karya Esti Kinasih di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sapaan cowok itu tetap seperti biasa, lembut dan mesra seketika menyadarkan Fani dari keterpanaan. Fani seketika sadar dirinya berada dalam bahaya besar. Buru-buru cewek itu mengayunkan daun pintu. Tapi Bima
lebih cepat bergerak. Satu tangannya segera menahan pintu agar tidak tertutup, sementara tangannya yang lain merangkul pundak Fani. Dan sebelum Fani bisa menyadari apa yang sedang terjadi, dia telah terduduk dia salah satu sofa di ruang tamunya sendiri. Terkurung dalam rentangan kedua tangan Bima sementara cowok itu membungkuk rendah-rendah di depannya.Dan interogasi langsung dimulai!
"Lewat mana, Fan""
"Lewat mana apa"" tanya Fani. Mencoba terlihat gagah, tidak gentar.
Sepasang mata tajam Bima menikam lurus kedua bola mata cokelat Fani yang memancarkan ketakutan.
"Aku nggak lagi bercanda. Jadi jangan main-main!"
"Aku nggak ngerti maksud kamu. Bener! Lewat mana ke mana" Ke kampus apa ke mana"" Fani mencoba berkelit, meskipun dengan sisa-sisa keberanian.
Tanpa tatap tajamnya beralih, tangan kanan Bima merogoh salah satu kantong kemejanya. Setangkau kecil edelweis kering muncul dari sana. Fani terkesiap. Tapi buru-buru diubahnya air mukanya. Selama Bima tidak ngomong langsung "kebut gunung", biarpun di depannya diletakkan sekarung edelweis, dia akan terus berpura-pura tidak mengerti apa maksud pertanyaan cowok itu.
Bunga gunung itu kemudian diletakkan Bima lurus di arah pandang mata Fani, hingga cewek itu tidak mungkin mengelak dengan pura-pura tidak melihat.
"Kamu metik ini juga di sana""
Aduh! Desis Fani dalam hati. Kalo pertanyaannya begini sih susah ngelesnya!
"Di.....di....."
"Di kampus!" tandas Bima.
"Ng....gue, eh, aku nggak suka metik-metik bunga!"
Sedikit senyum muncul di bibir Bima.
"Good! Berarti kamu udah ngerti tempat yang aku maksud! Mau kusebut kampus kek, malm bioskop, kafe, terserah!" ditepuknya sebelah pipi Fani. "Kamu boleh muter ke mana aja kamu mau, sayang."
Aduuuh, bego amat sih gue! Jerit Fani dalam hati. Sementara itu Ijah berdiri di ambang pintu dengan kemoceng di tangan. Siap berjinaku kalau majikannya itu nanti diapa-apakan.
"Tapi itu kita jadiin pertanyaan terakhir. Yang aku bener-bener pengen tau....," Bima diam sejenak, "gimana caranya kamu bisa kenal kelima cowok itu""
Deg! Muka Fani langsung putih! Bima menikmati sinar ketakutan yang terpancar dari kedua bola mata Fani.
"Ng....co....wok....yang...."
"Yang di gunung!" tegas Bima. "Iwan, Evan, Theo, Yudhi, Rizal!"
Fani makin memucat. Gila! Dia inget semua namanya!
"Mmm...." Fani menggigit bibir. Kacau banget nih!
"Temen waktu SMA"" Bima membantu tawanannya menemukan jawaban.
Beruntung di detik-detik membahayakan itu, dewi penyelamat datang dan langsung melancarkan serangan. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Ijah memukul punggung Bima dengan kemoceng sekuat-kuatnya.
"AAKH!!!" Bima berteriak keras.
"Kalo di sini jangan macem-macem ya!" bentak Ijah galak. "Lepasin Non saya atau sampeyan saya laporin polisi!""
Begitu Bima melepaskan kurungannya dan berbalik menghadap Ijah, Fani langsung melejit dari kursi eksekusinya. Dia lari pontang-panting ke belakang punggung Ijah lalu merunduk di sana. Bima menegakkan badan dan perlahan menghampiri keduanya.
"Jah! Tolongin gue, Jah!" Fani mencengkeram satu tangan Ijah kuat-kuat.
"Jangan takut, Non!" kata Ijah gagah. Diacung-acungkannya kemoceng ke arah Bima dengan sikap mengancam.
"Jadi kamu nantangin saya, Jah"" Bima menggulung kedua lengan kemejanya. Melihat tangan-tangan yang nyaris sebesar batang pohon mangga di halaman rumah, mental Ijah langsung down.
"Ng.....nggak kok, Mas! Nggak!" gelengnya gagap.
"Kalo nggak, cepat menyingkir!" perintah Bima.
"Non saya....orangnya ba....baik kok, Mas."
"Emangnya siapa yang bilang Non kamu nggak baik""
"Tapi....tapi kok dimacem-macemin""
Bima menghela napas. Tampang orangutannya kemudian dibuatnya menjadi sediiih sekali.
"Soalnya Non kamu mau mutusin saya, Jah. Gimana saya nggak kalap, coba""
Ijah kaget. Fani ternganga. Ijah balik badan dan langsung mengecam Fani dengan keras. "Non kok begitu sih" Emangnya Mas Genderuwo salahnya apa""
Mas Genderuwo" Bima melongo. Tapi sedetik kemudian dia tidak peduli. Sudah biasa. Bulu tubuhnya yang lebat memang sering m
embuat orang memberinya julukan macam-macam.
"Yang kamu liat saya orangnya kasar, sadis, jahat. Tapi itu karena saya frustasi, Jah. Saya cinta sekali sama Non kamu. Tapi dia nggak cinta sama saya. Malah Non kamu ini sering bilang, katanya dia benci sekali sama saya. Gimana saya nggak jadi nelangsa, coba" Gimana hati saya nggak jadi sedih" Kamu tau nggak, Jah" Non kamu itu nggak pernah nelepon saya. Satu kali pun! Saya terus yang nelepon ke sini. Kalo saya tanya "kenapa sih kamu nggak pernah nelepon" Sekali-sekali kek". Tau nggak Bon kamu ini jawab apa""
"Jawab apa dia, Mas"" tanya Ijah. Nada galak dan mengancam dalam suaranya tadi kontan berubah menjadi nada iba dan simpati.
"Nggak butuh!" Begitu katanya, Jah. Sedih sekali hati saya, kan""
Mulut Ijah kontan mangap. Mulut Fani, jangan ditanya, dari tadi malah belum menutup. Ijah langsung mengecam Fani. Dengan keras, lagi!
"Non kenapa begitu sih" Kasian kan Mas Genderuwo! Orang telepon tinggal angkat! Deket. Tuh, di pojok! Nggak mesti jalan ke wartel. Lagian Non Fani kan juga punya HP. Telepon kek gitu sebentaran. Jangan begitu dong! Itu namanya nggak tau diri!"
"Hah" Ee...i..." Melihat keadaan yang berbalik begitu cepat, Fani jadi a-a-u-u.
Bima tertawa tanpa suara. Tapi langsung ditutupnya mulutnya begitu Ijah balik badan, diteruskannya "jeritan batin"-nya yang memilukan itu.
"Terus, Non kamu ini juga nggak pernah mau saya ajak ke rumah saya, Jah. Kamu tau nggak, apa katanya""
"Nggak. Apa katanya, Mas" Dia bilang apa"" tanya Ijah seketika.
Bima tak langsung menjawab. Lebih dulu ditampilkannya ekspresi "betapa pembicaraan itu semakin meremuk-redamkan hati dan perasaanya yang telah tercabik-cabik sebelumnya, betapa cinta sucinya yang telah terkoyak jadi semakin berkeping karenanya."
Aktingnya berhasil. Melihat keadaan Bima, Ijah jadi merasa sangat bersalah. Dan itu membuat rasa simpatinya membubung tak terkendali.
"Non Fani bilang apa, Mas"" Ijah mengulangi pertanyaannya. Kali ini dengan pelan dan sangat hati-hati. Seolah-olah mengatakan, "Tak usahlah kau cemas karena esok mentari masih bersinar lagi."
"Nggak sudi nginjek rumah saya!" begitu dia bilang, Jah. Waktu Non kamu ngomong begitu, saya sediiih banget. Soalnya saya pengen ngenalin dia ke orang-orang di rumah. Ke bapak-ibu saya, kakak-kakak saya, adik saya. Soalnya saya serius, Jah. Nggak main-main. Cinta saya sama Non kamu, tulus dan suci, Jah!"
Ijah kontan ternganga lagi. Sementara mulut Fani sepertinya sudah tidak bisa ditutup lagi. Kedua rahangnya macet. Ijah balik badan dan dipelototinya kalo jadi perempuan. "Nanti dapet karma, tau nggak" Kalo di kampung Ijah, perempuan kayak Non Fani gini, jahat sama laki-laki, langsung nggak laku! Tau nggak!""
"Ng....i...." "Jodoh itu nggak dateng dua kali, Non! Ijah kasih tau aja. Kalo sekarang Non Fani udah nyia-nyiain Mas Genderuwo, padahal dia udah baik banget, ntar kalo dia udah pergi, baru nyesel. Baru Non Fani tau rasa!"
Bima menyeringai lebar. Dikedipkannya sebelah matanya ke Fani.
"Makanya, Jah," ucap cowok itu dengan nada sendu, "gimana saya nggak jadi sedih banget, coba" Saya sampe frustasi, Jah. Waktu itu saya malah hampir bunuh diri!"
Ijah serta-merta menoleh. Shock banget dia mendengar kata-kata Bima barusan.
"Jangan! Jangan, Mas! Bunuh diri itu dosa. Nggak di terima sama Tuhan. Nanti bisa jadi arwah gentayangan," tanpa sadar Ijah menepuk-nepuk lengan Bima. Rasa simpatinya membubung semakin tak terkendali. "Gini aja deh. Nanti saya bantuin. Jangan kuatir. Kalo cuma Non Fani aja sih," dia jentikkan jarinya, "kecil!"
Bima segera menggenggam satu tangan Ijah dan mengucap terima kasih dengan cara yang membuat Ijah jadi semakin terharu."Terima kasih, Jah. Saya nggak nyangka, kamu ternyata pengertian sekali. Paham dengan penderitaan batin saya ini."
Wiiiih.....Ck ck ck! Merana banget nih orang ternyata, ya" Fani membatin sambil geleng-geleng kepala. Menyaksikan betapa wajah Sun Go kong di depannya itu sudah seperti orang yang benar-benar menderita, terluka, dan teraniaya karena kejamnya cinta!
Ijah, ya ng tidak melihat kilatan tawa di sepasang mata hitam Bima, yang menganggap apa yang menimpa cowok itu begitu tragis dan teramat menyayat jiwa, memutuskan untuk membantu saat itu juga.
"Maaf ya, Mas" Ijah nggak tau kalo ceritanya ternyata begini. Abis Non Fani ngomongnya lain banget sih. Ya udah kalo gitu. Terusin aja ngerayunya. Ijah tinggal ke belakang. Pokoknya dijamin aman. Kalo telepon bunyi, cuekin aja. Ntar Ijah angkat dari dapur. Oke""
Fani terperangah. "Terusin apanya" Jah, itu tadi gue mau dibunuh, bukan dirayu! Beneran, Jah! Sumpah! Elo jangan percaya omongannya! Semuanya bohong! Bohong! Sumpah biar gue disamber geledek kalo omongannya tadi bener!"
Namun Ijah menjawab jeritan minta tolong nona majikannya itu dengan jawaban santai. "Jelas aja Non Fani berani ngomong gitu. Panas-panas gini mana ada geledek, lagi""
"Gue pecat ntar lo, Jah! Liat aja!" seru Fani berang.
"Emangnya Non Fani yang bayar gajinya Ijah" Seenaknya aja main pecat. Berani amat!"
Fani ternganga. Sementara Bima nyaris saja tersedak gara-gara mati-matian menahan tawa. Kegusaran Fani langsung berubah menjadi kepanikan, begitu ternyata Ijag benar-benar akan meninggalkannya hanya berdua dengan Bima."Eh! Ijah! Dia bohong, Jah! Semuanya bohong! Ijah! Ijaaah!"
"Non Fani nggak usah main sinetron deh!" kata Ijah di detik-detik terakhir menjelang tubuhnya menghilang di ruang makan. Fani terkesiap.
"IJAH! TOLONGIN GUE, JAH! JANGAN TINGGALIN GUE! NTAR LO NGGAK BAKALAN NGELIAT GUE LAGI! BENERAN! IJAAAH!!!"
Jeritannya sia-sia! Dan hilanglah sudah suporter terakhirnya. Dia telah menyeberang ke pihak lawan. Bima merengkuh Fani dari belakang dengan tawa penuh kemenangan, dan memeluknya kuat-kuat.
"Curang! Elo curang!" jerit Fani. Tawa Bima makin keras dan pelukannya makin kuat. Dengan gemas, diciumnya puncak kepala Fani.
"Sekarang bilang, lewat mana"" desisnya tepat di daun telinga Fani. "Cepet bilang!"
Teng! Time for harakiri! Namun ternyata Dia Yang Di Atas mengirimkan bantuan. Di saat yang teramat genting itu, sebuah Lancer hitam berhenti di depan gerbang lalu membunyikan klakson.
"Yihaaa! Mama pulang! Mama pulaaang!" Fani menjerit girang. Bima terpaksa melepaskan pelukannya. Tapi ternyata Fani tidak bergerak terlalu jauh. Cuma dua langkah di depan Bima malah. Cewek itu lalu meleletkan lidah panjang-panjang.
"Cona kalo berani, peluk gue lagi!" tantangnya. "Ayo, peluk cepetan! Cium gue sekalian! Cepet cium!" cewek itu menyodorkan tubuhnya ke arah Bima lalu mengerucutkan sepasang bibirnya. Bima menatapnya geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Fani meleletkan lidah panjang-panjang lagi. "Gue bilangin mama gue lho! Rasain! Bentar lagi lo bakalan dipulangin ke habitat lo di hutan Kalimantan! Tamat sudah riwayat lo sekarang!"
Tantangan yang berakibat fatal. Bima menjawabnya dengan penculikan.
Diulang.....Penculikan! Diulang lagi.....PENCULIKAN!!! Dalam arti yang sebenarnya!
Gilanya, sang korban diciduk langsung di depan rumahnya. Hebatnya, itu terjadi pada hari Kamis yang sama. Hari yang telah diramalkan akan menjadi hari sial untuk mereka yang berbintang Virgo. Khususnya Virgo yang bernama Fani! Dan salutnya......ada begitu banyak orang di rumah sang korban pada saat peristiwa itu terjadi!
*** "Lagi banyak tamu ya, Fan"" Langen menghentikan Kijangnya lalu menatap heran mobil-mobil yang berderet di sisi ruas jalan di depan rumah Fani. Saat itu hari menjelang petang. "Yoi. Temen-temennya bokap." "Gue nggak mampir deh."
"Kenapa"" "Ogah! Ntar gue pasti disuruh bantuin elo sama Ijah cuci piring sama beres-beres kalo tamunya udah pada pulang." Langen melambaikan tangan sambil meringis. "Daaah. Met kerja paksa ya!"
"Dasar lo! Males!" seru Fani dongkol. Soalnya bagi Fani, kehadiran Langen memang sangat berarti, karena akan sangat mengurangi tumpukan gelas, piring, sendok, garpu, panci, dan segala macam perkakas lain yang harus dicucinya bersama Ijah nanti. Fani membalikkan badan sambil menggerutu. Masih terdengar tawa berderai Langen saat sebuah Jeep Canvas berhenti mendadak di dekat Fani. "Halo
, Sayang." Satu suara yang sudah amat sangat dikenalnya berkata pelan. Tepat di cuping telinga. Disusul tubuhnya dipeluk satu tangan dari arah belakang. Fani menoleh kaget. Bima langsung menyambutnya dengan senyum lembut, namun dengan kilatan berbahaya di sepasang mata hitamnya. "Aku mau ngajak kamu jalan-jalan."
"Nggak! Nggak! Nggak mau! Gue....!"
Protes tidak berlanjut. Bima membenamkan wajah Fani ke dadanya. Sementara tangan kanannya cepat-cepat membuka pintu mobil. Diangkatnya tubuh Fani ke belakang setir.
"Geser, cepet!"
Fani langsung menggeser badannya. Bukan karena menuruti perintah itu, tapi karena dia melihat peluang untuk melarikan diri. Dengan cepat Bima melompat ke belakang setir dan meraih tubuh tawanannya, beberapa detik sebelum tangan sang tawanan sempat meraih hendel pintu.
"Tolong! To...."
Jeritan sang tawanan langsung teredam. Sekali lagi Bima membenamkan wajah Fani di dadanya. Diinjaknya pedal gas dan cepat-cepat dilarikannya Jeep LC Hardtop Canvas-nya dari tempat itu. Dia menyetir hanya dengan satu tangan, karena tangannya yang lain mendekap tawanannya kuat-kuat. Dekapan itu baru dilepasnya setelah Jeep keluar dari kompleks. Fani langsung melejit jauh-jauh. Menempelkan tubuhnya rapat-rapat di pintu. "Ini penculikan, tau!" serunya dengan suara gemetar. "Tepat!" Bima menjawab kalem. "Pinter kamu, bisa langsung sadar kalo diculik!"
Fani tertegun. Ditatapnya Bima dengan sorot takut dan tak mengerti. "Apa sih mau lo""
"Apa mau gue"" Bima menoleh sekilas. "Aku orang yang nggak bisa ditantang, Sayang. Nggak satu, apalagi banyak!"
"Maksud lo""
Bima meraih sebuah bungkusan dari jok belakang dan meletakkannya di pangkuan Fani. Fani membukanya dan seketika terkesiap. Bikini warna biru!
"Punyaku warnanya juga biru." Bima menoleh dan menyeringai, lalu mengedipkan satu matanya. "Inget nggak, waktu kamu mabok sama Langen sama Febi habis turun gunung itu" Kamu nantang aku, berani nggak pake bikini" Inget"!"
Fani tersentak. Dia ingat, tapi nggak ditanggapinya pertanyaan Bima.
Jeep Canvas itu kemudian berbelok memasuki areal parkir sebuah bangunan dengan tulisan "TIRTASARI" besar-besar di atas atapnya. Setelah memarkir Jeep-nya di bawah pohon, Bima meraih sebuah bungkusan plastik hitam dari jok belakang lalu melompat turun. Dibukanya pintu di sebelah Fani. "Ayo, turun!"
Fani berpikir keras. Dijawabnya atau tidak tantangannya sendiri ini" Soalnya ada dua kemungkinan. Ini cuma gertak sambal dan dia bisa selamat, atau Bima memang berniat nekat. Dan itu artinya, akan dia pamerkan tubuh setengah bugilnya gratis-gratis untuk babon ini!
Bima menikmati ekspresi panik di depannya. Untuknya sendiri, ini juga harakiri. Bunuh diri total! Tapi untuk orang yang sudah mengatai dirinya "cowok tempe", tantangan apa pun akan dia layani! Apalagi cewek ini juga sudah berani mengatainya "ayam". Sampai tujuh turunan, itu benar-benar tidak bisa dimaafkan! Dan dibanding dua tantangan lain yang diajukan bersamaan pada saat kebut gunung itu, juga dua tantangan terakhir yang belum lama diterimanya, ini yang akibatnya paling fatal sekaligus paling efektif untuk mengenyahkan munculnya tantangan berikut. "Gimana" Jangan kelamaan mikirnya!"
Fani menggigit bibir. Lalu.....
"Ayo!" Akhirnya Fani nekat mengambil risiko. Dengan perhitungan, ini cuma sekadar gertakan. "Bagus!" Bima bersiul keras.
Keduanya lalu berjalan memasuki kompleks kolam renang. Bima memerintahkan Fani untuk memastikan ruang ganti khusus cewek dalam keadaan kosong, sebelum kemudian menyusul masuk.
"Yang selesai duluan ngasih tanda. Kayak gini!" Fani menjentikkan jari tiga kali.
"Oke!" Bima mengangguk. "Setuju!"
Keduanya balik badan dan menghilang ke dalam bilik yang mereka pilih. Di dalam biliknya, Fani menggantung bikini biru itu lalu menatapnya lurus-lurus. Perlahan ditanggalkannya pakaiannya satu demi satu, lalu dikenakannya bikini biru itu. Kemudian cewek itu menunggu cemas. Tapi sampai dia bosan memerhatikan tubuhnya yang berbalut busana sangat minim itu, tidak juga terdengar tanda dari luar. Yang artinya, Bima ju
ga belum keluar dari bilik tempat dia ganti baju. Fani meringis sendiri.
Biar tau rasa tuh cowok! Batinnya. Belagu sih. Terlalu bangga dan pede sama ke-"badak"-nya. Mampus dia sekarang!
Sambil menahan senyum, dibukanya pintu. Niatnya hanya akan memberi tanda kemudian menunggu lima detik saja. Biar "badak" itu tahu bahwa dirinya tidak bersembunyi!
Tapi pintu itu hanya sempat terbuka setengah, karena Fani langsung tersentak. Mulutnya menganga lebar, sementara kedua matanya melotot lebar-lebar. Di depannya, persis di depannya, berdiri monyet berbulu yang bergincu dan.....Bikini!!!
Hanya satu detik Fani menyaksikan pemandangan mengerikan itu, kemudian dia pingsan! Merosot ke lantai begitu saja sempat menjerit. Dan suara terakhir yang sempat didengarnya sebelum kesadarannya hilang total adalah....
"Menurut yey, penampilan eike gimana""
*** Fani tidak tahu berapa lama dia pingsan. Begitu sadar, yang pertama terasa adalah bantal empuk di bawah kepala. Lalu kasur yang juga empuk, dan selimut lembut yang menutupi tubuhnya sampai bahu.
Kisah Pedang Bersatu Padu 8 Matahari Terbit Rising Sun Karya Michael Crichton Sepasang Taji Iblis 2

Cari Blog Ini