Ceritasilat Novel Online

Supernova Petir 2

Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari Bagian 2


Mari, kita ringkas sekali lagi: bambu hitam bernoda darah, pohon beringin
istana jin, kendi tua isi abu orang mati, ijuk rambut monster, sapu lidi
penyihir-penyihir yang dikalahkan, tanaman kering untuk ramuan racun.
Baru setahun yang lalu aku tahu bahwa rumah yang menjadi objek
fantasi masa kecilku ternyata sebuah toko. Jualan semua keperluan 'aneh-aneh', begitu kata orang-orang. Dan kami tahu sama tahu, yang dimaksud
'aneh-aneh' tadi merupakan keperluan klenik.
Seumur hidup, belum pernah aku melewati gerbang bambu itu.
67 Mentok-mentok cuma ngintip lima detik lalu lari kencang-kencang
sambil teriak-teriak sendiri. Aku selalu percaya sesuatu yang menakutkan
tengah berlangsung di dalam sana. Tapi setiap kali ada kesempatan pergi
ke daerah ini, aku harus mampir. Seperti kalau ke Pasar Cihapit dan harus
singgah ke toko langganan (sebuah toko kue yang tak pernah kutahu
namanya, jadi kujuluki saja toko langganan), walaupun tidak beli apa-apa aku sudah cukup senang mengintip Chupa Cups yang disusun seperti
jamur besar dekat kasir. Rasa takut ternyata memiliki magnet sama besar
dengan rasa suka. Siang itu, di tangan kiriku tergenggam selembar kertas daftar
belanjaan, sementara tangan kananku mendorong pelan pintu bambu
yang tidak diselot. Siang itu, aku akan berhadapan dengan rasa takutku
sendiri. Siang itu, khayalan terbaikku akan rontok.
Aku melangkah masuk. Rumah itu, sekalipun gelap, ternyata bersih
dan wangi. Tercium harum dupa dicampur wangi bunga segar. Ada lima
baskom besar yang isinya aneka bunga tabur. Tiga hio dibakar, tertempel
di dinding. Aku mendongak. Rak bersusun sampai ke langit-langit. Botol besar-kecil berjajar rapi. Tak jelas isinya apa. Ada yang seperti akar-akaran, biji,
butir beras warn a-warni, ada juga yang isinya seperti manisan Garut.
Barangkali ginseng direndam, atau bayi menjangan. Sejujurnya, tempat
ini tak jauh beda dengan toko obat Cina atau warung jamu komplet.
Selamat siang, bisa dibantu" Suara perempuan dewasa menyapa.
Datangnya dari belakang. Aku menoleh. Seorang ibu gemuk umur 40-an berwajah hangat tersenyum lebar padaku. Tampak seperti turunan
India. Pakaiannya putih-putih serba longgar, seutas kalung manik-manik
di leher, selopnya juga full terbuat dari manik-manik. Manis sekali.
Ini saya bikin sendiri, katanya ramah, setelah melihat mataku yang
terhenti di kakinya. Cari apa, Dik" ia bertanya seraya menyelisip ke balik
dagangannya. Siap melayaniku.
Ehh-aku gelagapan. Canggung. Akhirnya kuserahkan saja daftar
68 belanjaanku. ia menerimanya, lalu manggut-manggut. Sebentar ya,
ujarnya. Dan selagi si ibu mencari-cari, mataku kembali liar melihat-lihat, menyapu semua sudut. Mumpung ada di sini. Mungkin tidak
akan dua kali. Ternyata banyak hal menarik. Tadinya kupikir si ibu beragama Islam
karena ada kaligrafi hurut Arab bertulis 'Allah' dipajang dalam pigura.
Tapi aku baru sadar, di sebelahnya ada foto Sai Baba sedang nyengir lebar.
Di pojok belakang, aku lihat lagi ada kepala Buddha sebesar bola voli. Di
sebelahnya, tahu-tahu ada patung Dewa Shiwa dari kayu hitam. Aneh
betul. Tinggal Yesus yang absen, aku terkekeh dalam hati. Dan bertepatan
dengan itu, mataku tertumbuk pada pigura berisi poster Yesus yang sedang
berdoa di taman Getsemani. Di sebelahnya masih ada lagi poster lain.
Pemuda bersorban putih yang sedang tertawa lepas. Siapa lagi ini . . .
Lagi-lagi, si ibu membaca arah mataku. Tahu nggak itu siapa! tanyanya.
Aku menggeleng. Nabi Muhammad, jawabnya santai.
Napasku kontan tercekat. Waktu beliau umur 14 tahun, lanjutnya lagi.
Aku tercekat dua kali. Saya dapat dari Iran. Kalau di sana kan foto Nabi dijual bebas. ia lalu
tertawa melihat reaksiku. Udah, Dik. Nggak pa-pa. Orang-orang juga
nggak ada yang tahu kalo bukan saya yang bilang.
Diam-diam aku meliriknya. Mengagumi air muka yang begitu rileks,
yang kalau detik ini ada petasan meledak di kakinya, palingan cuma
nyengir dan angkat bahu. Ini-masing-masing mau dibeli berapa banyak" ia bertanya seraya
mengacungkan daftarku. Mmm . . . secukupnya, Bu.
Kemenyannya satu kilo cukup"
Mukaku memerah. Tidak tahu mesti jawab apa.
Mungkin sedikit-sedikit, kali ya. ia tersenyum. Minyak jakfaronnya
69 mau yang asli atau campuran" tanyanya lagi.
Ha! Pertanyaan yang mudah ditebak. Dengan yakin aku menjawab:
Yang asli, dong! Yang asli 100 ribu satu botol, kalau campuran 7500 perak.
Hmm, gumamku. Pura-pura berpikir keras. Yang campuran dulu deh,
Bu. Takutnya, masih ada persediaan yang asli di rumah.
Oh, boleh, boleh. ia mengeluarkan botol kecil sebesar shampo hotel
berisi cairan merah muda. Idih, cuma segitu"! teriakku dalam hati. Untuk
7500 perak pun aku tak rela.
Kemenyan madunya juga segini saja, ujarnya sambil memasukkan
dua bongkah kecil ke dalam plastik obat. Bunganya saya ambil ke belakang
dulu, ya. Ibu punya yang lebih segar.
Dadaku kembali longgar. Oke, tahap pertama lewat sudah. Fiuh.
Begitu bayar, pokoknya langsung ciao!
Tak lama, ibu itu kembali. Bunga rupa-rupaku dibungkusnya pakai
koran dikerucutkan. Segini saja, Dik" Nggak mau ambil hionya" Ibu ada
yang wangi vanili. Anak muda banyak yang beli.
Anak muda" Banyak yang ke sini" batinku. Anak-anak muda apaan,
tuh! Tapi melihat wajah si ibu yang ramah membikinku ingin membantu
usahanya. Boleh deh, saya ambil sebungkus, kataku akhirnya. Jadi berapa
semua, Bu" Enam belas ribu. Lima belas aja.
Aku merogoh dompet. Dari ekor mata, aku tahu ia sedang menatapku
seperti meneliti. Seluruh kecanggunganku bagaikan billboard yang meng-umumkan besar-besar: ELEKTRA BELUM PERNAH BELI KEPERLUAN
KLENIK. Hati-hati ia bertanya: Maaf, ya, kalo lancang, tapi boleh tahu
agamanya Adik apa" Aku sedikit kaget oleh pertanyaan itu. Berusaha menebak maksud di
baliknya. Perlahan, kutunjuk poster Yesus.
Gereja mana" GKI, jawabku pendek. Agak tidak enak menyebut karena sudah satu
70 tahun lebih tidak kuinjak tempat itu
. Kalau saya sukanya ke Katedral. Tiap malam Natal saya misa ke sana.
Oh, ibu Katolik" ia tak menjawab. Hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum.
Sebuah ekspresi abu-abu yang mana engkau tidak bisa menebak apakah
itu 'ya' atau 'tidak' atau 'begitulah' atau 'ada deeeh!'.
Ada satu pertanyaan tersisa. Dan sekalipun canggung luar biasa,
tampaknya aku tidak punya pilihan berhubung tak tahu lagi harus
bertanya pada siapa. Bu, mau tanya-aku sungguh ragu. Wajah itu
menunggu. Mmm-Ibu ngerti tanggalan Saka, nggak"
Tangannya sigap mengambil carikan kertas dan pulpen. Tanggal
berapa, Dik" Aku menyodorkan catatanku.
Sehabis membaca sepintas, ia langsung mengambil sesuatu dari laci
kasirnya. Sebuah buku tipis yang halamannya sudah kekuningan.
Tampak ada semacam tabel-tabel. Jemarinya bergerak menyusuri. Malam
Jumat sekarang, ia bergumam.
Kamis malam" ulangku, berusaha menetralkan 'malam Jumat' yang
terdengar horor. Ya. Tanggal 17 ini. Aku mengangguk-angguk. Bu, makasih banyak, ya.
Sama-sama, sahutnya. Diambilnya selembar kartu lalu diberikan
padaku. Nama saya Sati, ini nomor telepon toko. Kalau butuh apa-apa,
telepon saja, ya. Sebagai balasnya, aku menyodorkan tangan. Nama saya Elektra, Bu.
Kapan-kapan saya mampir ke sini lagi.
Saya tunggu. Ada sedetik mata kami berdua bertemu. Dalam waktu yang
sedemikian singkat, aku merasakan banyak. Aku merasa akan bertemu
dengannya lagi. Aku merasa hati ini sesuatu yang besar terjadi dalam
hidupku. Aku merasa telah memasuki sebuah zaman baru yang belum
71 sempat kuberi judul, tapi aku merasakannya. Sebuah perasaan halus
serupa bisikan peri dalam mimpi, tapi aku mendengarnya. Jelas.
Agak linglung, kuberjalan keluar. Menutup pagar bambu itu. Lama
aku mematung di tepi jalan. Angkot yang seharusnya kutumpangi sekian
banyak lewat-lewat dan mengklaksoni dengan ganas. Namun aku
mematung. Bisikan itu . . . halus, sekejap. Namun detik yang
ditumpanginya mampu membengkak hingga ke saat ini. Memaku kaki
dan pikiranku hingga tak mau bergerak ke mana-mana.
... Operasi Pandu Jaya Aku yang belum pernah menulis CV sempat agak bingung juga.
Untung ada buku Sukses Melamar Kerja milik Watti yang tidak terbawa ke
Tembagapura. Dan berhubung ini bukan CV biasa, aku tambahkan
keterangan unik lain yang sekiranya membuat pihak STIGAN percaya
aku memang berpotensi gaib, antara lain: kesetrum listrik waktu umur
sembilan tahun dan selamat tanpa cedera, ahli memanggil petir, lolos
dari sambaran halilintar, menyetrum seorang dukun sakti. Semoga
tambah meyakinkan. Amin. Tahap kedua: packaging. Tadinya, CV dan segala aksesori klenik hendak kupaketkan dalam
satu boks kotak sepatu, tapi takut terlalu mencolok. Akhirnya
kumasukkan semua hati-hati ke dalam amplop besar. Minyak
jakfaronnya kubungkus lagi dengan plastik supaya tidak tumpah di
perjalanan ke alam gaib nanti. Jaga-jaga. Tak tahu berapa lama dan
bagaimana medan ke sana, kan!
Tahap ketiga: delivery. Tidak ada kuburan yang dekat dari rumah. Untuk itu aku terpaksa
melakukan survei ke tiga kuburan umum. Satu-satunya pertimbanganku
adalah mana yang paling sepi. Coba, seberapa sering orang datang ke
72 kuburan untuk ngasih amplop" Kasih telur bebeklah. kue-kuelah, semua
itu masih jamak. Tapi amplop berisi surat lamaran" Aku boleh jadi gila,
tapi yang namanya gengsi harus tetap dijaga.
Rintangan utama adalah para penjaga kuburan yang selalu mengintai
seperti burung nasar. Dengan sapu lidi di tangan. mereka datang
bergerombol, bisa tiga atau empat orang, muncul dari sudut-sudut yang
tak diduga, kadang dari balik pohon, kadang dari balik nisan. Cara
menghindari mereka hanyalah datang di luar jam kerja. Bisa pagi-pagi
buta, atau sore menjelang magrib. Aku memilih yang kedua, karena kupikir
kurir gaib pasti beroperasi pada malam hari. Jangan sampai suratku kena
ekspos sinar matahari dan terlihat orang.
So, dari ketiga kandidat tempat, yang kuanggap paling lumayan adalah
kuburan Pandu karena punya akses masuk dari Jalan Pasteur. Berkat
lampu jalan dan mobil-mobil lewat, aku cukup berani datang menjelang
gelap. Akan kupilih kuburan paling dekat jalan, simpan amplop di semak-semak,
cabuuut! Angkot yang kutumpangi berhenti di pinggir pekuburan, berbarengan
dengan adzan magrib berkumandang. Waktuku tidak lama. Padahal Mami
dan Dedi dikubur di sini. Tapi sekarang bukan waktunya ziarah, harus
bergegas. Kawanan kunang-kunang dan sunyi khas pekuburan
menyambutku. Sunyi yang padat seperti hawa mampat dalam kukusan.
Sunyi yang membikin jantung berdegup kencang tanpa alasan. Datang
ke kuburan malam-malam memang tidak baik untuk kesehatan.
Baru sepuluh meter berjalan masuk, sebuah vespa datang dengan
kecepatan lambat dari arah berlawanan. Lampunya dinyalakan. Buru-buru aku menunduk. Jalan semen yang membelah kuburan ini lebarnya
paling-paling 1,5 meter, jadi ketika kami berpapasan, vespa dan aku
terpaksa melambat. Etra-Etra, ya" Bercampur bunyi mesin vespa yang menggerung nyaring, aku
73 berusaha menganalisa suara si wajah remang-remang yang menyapa.
Dodi" sapaku setengah ragu. Dan ternyata benar. Dodi, teman kuliah,
mahasiswa abadi yang mengenal dan dikenal hampir semua orang. Ah,
dan vespa pink-nya, tak salah lagi. Ingin sekali bertanya pada siapapun
yang bertanggung jawab pegang skenario: dari semua probabilitas yang
tersedia di alam semesta, kenapa harus sekarang aku bertemu orang yang
kukenal-yang jumlahnya pun tak banyak itu" Bukankah sudah kupilih
tempat paling tak lazim dalam kamus pergaulan muda-mudi" Dan
ternyata, masih juga harus bertemu dengan si Dodi . . . di kuburan!
Kamu ngapain" tanyaku takjub.
Rumah saya kan di jalan Pandu, mau ke rumah teman di Cibogo, jadi
nembus ke sini aja. Biar dekat. ia menjawab ringan. Lalu ia gantian
bertanya, dengan lebih takjub, tentunya: Kamu ngapain"
Mm-mau motong jalan juga ke Pajajaran. Aku nyengir.
Weisss, edun, berani pisan malem-malem! Sendirian lagi. Ngetes jimat" Ia
tertawa. Yuk, saya antar!
Nggak usah, Dod- Kudu, ah! Dia memaksa. Masa kamu saya tinggal di kuburan . . .
Sambil menelan ludah, aku terpaksa naik. Vespa Dodi membawaku
jauh, jauuuh ... dari sasaran. Dalam perjalanan kami membelah kuburan
Pandu, Dodi dengan semangat bercerita tentang proposal skripsinya yang
sudah enam kali diajukan dan akhirnya diterima. Sudah enam kali pula
aku berpikir untuk melemparkan saja amplop ini ke sembarang arah, tapi
. . . sabar, Etra, sabar.
Di mulut jalan Pajajaran, ia memberhentikan vespanya. Sampai di
sini aja nggak pa-pa" tanyanya memastikan.
Ya, di sini aja. Makasih banget. Tinggal jalan dikit, kok. Aku tersenyum
lebar-lebar. Oh, ya, kerja di mana sekarang, Tra" Udah lama lulus, kan" Dodi
bertanya sambil membetulkan posisi helm di kepalanya.
Aku menghela napas. Tanganku mencengkeram ujung amplop. Aku
74 masih pengangguran, gara-gara KAU! Kenapa harus muncul magrib-magrib di kuburan dengan vespa pink bak pangeran dari planet Valentine"
Kalau tidak, kurir gaib pasti sudah mengambil CV-ku. dan minimal aku
jadi pengangguran berprospek.
Plan A alias Operasi Pandu Jaya, gagal. Terpaksa pakai plan B. Operasi
Lukman Jaya. Malam itu juga aku menelepon Oom Lukman. kakak sepupu Dedi
yang kaya dan sedikit nyentrik. Kami tidak begitu akrab, tapi aku yakin,
untuk urusan ini, ia bisa membantu.
Oom, ini Etra. Eeeh, Etra. Apa kabar"
Baik, Oom. Mau tanya, kalau kuburan yang di belakang rumah Oom
masih ada nggak" Masih, dong. Siapa yang berani gusur! Ia tertawa.
Tak sampai sejam, aku muncul di rumah pamanku. Membawa seplastik
bunga tabur. Oom Lukman memandangiku dengan tatapan haru. Kamu
kangen banget sama si Kambing, ya" Kirain kamu sudah lupa, katanya
sambil mengusap sekilas rambutku.
Dibiarkannyalah aku sendiri di pekarangan belakangnya yang luas,
tanpa mau menggangguku yang ingin mengenang saat-saat terindah
bersama si Kambing, kucingku pertama dan terakhir yang mati kegencet
teve 17 tahun yang lalu. Kambing tutup usia pada umur dua bulan. Dan
aku tidak ingat, apakah warnanya putih atau kuning atau campuran
keduanya. Kambing nebeng dikuburkan di rumah Oom Lukman yang
punya lahan pemakaman khusus untuk hewan peliharaannya yang
bejibun. Kambing bahkan dibikinkan satu nisan mini seperti yang lain-lainnya.


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di balik nisan Kambing, aku selipkan surat lamaranku. Sebagian
kututupi tanah agar tak terlalu kentara. Aku melengak menatap angkasa.
Ayo, kurir-kurir gaib, di mana pun kalian berada, kalau pada akhirnya aku
tidak diterima sekalipun, mohon jangan bikin malu dengan tidak
75 menjemput surat ini hingga akhirnya pamanku dan tukang kebunnyalah
yang membaca. Dan jangan bilang kalian mendiskriminasikan kuburan
binatang. Mereka juga makhluk Tuhan.
... Kenapa Tuhan harus dicari"
Senin jadi Selasa. Selasa jadi Rabu. Dan sebelum Rabu jadi Kamis, aku
sudah harus menguasai satu ilmu yang aku buta total. Lagi-lagi, pro-blem klasik datang menghadang. Pada siapa gerangan aku bertanya"
Satu nama muncul. Dan dialah pilihan tunggal. Siapa sangka Elektra
akan melewati gerbang bambu itu lagi.
Ibu Sati bersedia menerimaku sesudah toko tutup. Tepat pukul lima,
aku sampai. Beliau masih pakai baju putih-putih (tanpa bermaksud
menuduhnya tidak pernah ganti baju).
Halo, Elektra. Mari, masuk. Dengan keramahannya, ia kembali
menyambut. Suara itu-seperti kucuran air sejuk, yang sampai pada
satu titik, aku merasa Ibu Sati bisa membual seenak perut, dan aku akan
tetap percaya setiap kata.
Kita duduk di dalam, ya. ia membawaku masuk ke sebuah ruangan
yang cuma dibatasi oleh tirai kerang. Lampu dinyalakan dengan menarik
tali. Bohlam pijar 25 watt digantung paralel dengan bohlam 5 watt warna
merah. Ibu Sati kemudian membakar sebatang hio, serta menyalakan
sebuah lilin gendut warna putih. Tidak ada kursi di ruang itu. Kami berdua
duduk di atas karpet motif ia Persia, dikelilingi tumpukan bantal yang
tergeletak bebas di sana-sini.
Setelah nyaman dengan posisi duduknya, Ibu Sati pun bertanya: Apa
yang bisa saya bantu, Elektra"
Pertama-tama, aku harus bilang bahwa aku agak senang mendengar
ia menyebutkan namaku lengkap. Jarang, soalnya. Kedua, aku juga sudah
siap dicap sinting. Gini, Bu, aku mulai bicara. Saya kepingin tahu caranya
76 semadi. Barangkali lbu bisa bantu, atau kenal seseorang yang bisa saya tanya.
Meditasi, maksud kamu"
Aku mengangguk ragu. Tidak tahu apa bedanya.
Kenapa kamu mau belajar meditasi" ia bertanya tenang.
Aduh. Ini dia. Bagian paling menyebalkan. Kenapa orang-orang harus
selalu penasaran dengan 'kenapa'" Kenapa tidak langsung to-the-point, hajar
bleh, dar-dar-dar! Dan barusan, sudah dua kali pula aku tanya 'kenapa'.
Ih. Kenapa, ya" Aduh.
Soalnya, saya harus . . .
Stop, Etra. Berhenti cari alasan. Akui, kamu mentok. Mungkin sudah
saatnya kamu seratus persen jujur. Oke. Sembilan lima. Hmm. Delapan
tujuh, deh. Aku pun menjawab terbata: Karena . . . karena saya sedang
mencari Tuhan. Wuaduh! Gobloknya kamu Etraaa . . . belajar matematik nggak, sih"!
87% # 0% ~ ngibul total! Ibu Sati tersenyum kecil. Kenapa Tuhan harus dicari" tanyanya.
Duh! Bagian menyebalkan ini lagi"! protesku dalam hati, menyadari
posisiku yang mati langkah. Namun, aku teringat prinsip mafia dan jawara
seluruh dunia. Api dibalas api, mata dibayar mata, 'kenapa' dibalas 'kenapa'.
Kenapa-enggak" Aku membalas. Hati-hati.
Senyum Ibu Sati kini menunjukkan gigi. Saya suka jawaban kamu,
ujarnya. Betul, kenapa tidak" Dan kalo kamu sudah ketemu, kamu mau
ngomong apa" Oke. Pertanyaan 'apa'. Seharusnya lebih mudah. Kuputuskan untuk
memakai rumus yang sama. Biar aman.
Apa-kabar" kataku. Sedikit lebih yakin.
Ibu Sati mengangguk-angguk puas. Dari semua pertanyaan di dunia
yang ingin manusia ajukan pada Tuhannya, kamu memilih 'apa kabar'.
Luar biasa sekali, pujinya lagi. Kamu juga percaya tidak ada satu peristiwa
pun yang kebetulan, kan"
Aku putuskan untuk mengangguk. Belakangan hari, aku memang
setuju. Bukanlah kebetulan Ibu Sati ternyata seorang instruktur meditasi,
77 seorang yogi, yang sudah pengalaman puluhan tahun bahkan sampai
berguru ke India segala, tanah kelahirannya. Bukan juga kebetulan kalau
perempuan inilah yang kelak membukakan pintu-pintu pengetahuanku.
Bukan kebetulan gerbang bambu di depan ternyata menjadi gerbang
zaman baru Elektra. Ibu Sati lalu mengajakku berdiri. Meditasi pun punya intro.
Serangkaian senam pemanasan bernama asana. Katanya, sebelum pikiran
bermeditasi tubuh pun harus disiapkan. Aku menurut saja. Lumayan,
hitung-h itung gerak badan. Terakhir olahraga waktu opspek.
Kami berdua tutup mata. Suara Ibu Sati mengalun halus: Amati gerak
pikiran .. . ikuti. . . jangan dilawan . . .
Sambil meratapi kakiku yang semutan, dalam hati aku berteriak-teriak: Hoooi, surat lamaran! Jangan lupa tujuan asal! Surat lamaraaan!
Harapanku sesi ini sama seperti acara mengheningkan cipta yang
diakhiri dengan ucapan 'Selesai!' dari pemimpin upacara. Bedanya,
mengheningkan cipta paling lama lima menit, dengan parameter iringan
lagu paduan suara. Tapi hening tanpa iringan ini seperti tak selesai-selesai.
Aku khawatir Ibu Sati lupa aku ada. Betisku rasanya tertusuk-tusuk
seperti dibenamkan ke dalam sarang semut.
Kugeser kakiku sedikit, berharap bunyi gesekan karpet akan berfungsi
seperti bel. Tidak ada respons. Aku memberanikan diri berdehem. Spada!
Spada! Tok-tok-tok! Namun inspektur upacara masih bergeming juga.
Tak ada jalan lain. Terpaksa memakai teknik kuno yang sering kupakai di
gereja untuk menggoda Watti dulu: batuk rejan buatan. OHOK-OHOK-HHHKKK!
Wah, wah, wah. Tetap tidak ada sahutan. Aku beranikan diri mengintip
. . . ampun, Gusti. . . Ibu Sati melayang!! Matanya terpejam dengan posisi
lotus, tapi dengan ketinggian sepuluh senti dari lantai! Badanku seketika
kaku. Rasa ngeri dan takjub merasuk sampai sesak dada ini. Aku tak bisa
berkata-kata, tak bisa bergerak. Tolong, jangan kau terbang lalu hilang
menembus atap. Trauma Ni Asih saja belum sembuh. Jangan tambah
lagi dengan ini. 78 Pelan-pelan, tubuh itu turun. Mendarat hati-hati bagai seutas benang
masuk jarum. Kedua mata itu membuka. Segaris senyum samar hadir di
wajahnya. Senyuman orang semalam menang lotere dan bangun pagi
dengan bahagia. Aku masih terpana. Jangan takut, Dik. Ia berkata lembut. Kalau nanti cakra Anahata kamu
terbuka, ia menunjuk dadaku, kita akan mengetahui rahasia udara dan
bisa berelevasi. Kenapa jadi kompleks begini" tanyaku dalam hati. Aku ke sini kan
untuk belajar kirim surat, bukan belajar terbang.
Bagi yang belum pernah meditasi sebelumnya, pasti pikirannya sulit
diam, tuturnya. Tapi nggak apa-apa. Kalau Elektra punya waktu, saya
mau jadi pembimbing. Kita cukup latihan di sini dua kali seminggu. Mau"
Sesuatu bergolak di dalam, dan kutatap matanya lurus-lurus, sampai
keluarlah pertanyaan itu: Kenapa-kok, Ibu mau jadi pembimbing saya"
Supaya kamu mendengar, jawabnya lembut. Elektra, yang menjadi
persoalan bukannya apa yang kita tanyakan, tapi bagaimana kita bisa
mendengar jawaban. Aku tercenung. Tersentuh oleh kalimat dan ketulusannya. Saatnyalah
aku jujur seratus persen. Bu, sebenarnya-sudut mataku tiba-tiba
menangkap sebuah benda yang kukenal-itu . . . apa" tunjukku pada
lipatan kertas yang setengah terbuka, tergeletak di meja dekat punggung
Ibu Sati. Ibu Sati berbalik. Oh, ini" Ia tertawa kecil. Langganan saya yang bawa,
nggak tahulah itu apaan, Dik. Sekolah tinggi gaib ceritanya-mm,
STIGAN" Dia diajak jadi dosen di sana. Terus, dia kebingungan, suratnya
dikasih lihat ke saya, minta pendapat. Hahaha!
Hahaha! Tawaku penuh selidik. Terus, Bu" Ibu bilang apa" Haha . . .
Ya, tadinya saya pikir juga serius. Lama kita baca bareng-bareng di sini.
Pada halaman terakhir Ibu baru sadar-sambil terpingkal ia meraih surat
itu dan menunjukkannya padaku-nih, lihat, Dik. Ibu Sati
membentangkan halaman ke-4. Daftar mata kuliah, lengkap dengan kode
79 dan nama dosen. Aku beringsut mendekat. Jari Ibu Sati menyusur kolom
kode mata kuliah, tawanya terdengar tertahan. Mataku memicing,
berusaha mencari kelucuan yang dimaksud: KEl0l, KE102 . . . TI203, TI204
. . . PU316 . . . NI414 . . . YE508, YE509 ... aku tidak mengerti.
Elektra bisa lihat, nggak" Ibu Sati terkikik geli.
Aku memicing sekali lagi. Ada apa, sih" Ada pola tiga dimensi" Holo-gram" Atau ada energi-energi transparan yang cuma bisa dilihat orang-orang yang melayang dari lantai" Dengan frustrasi, aku pun menggeleng.
Lihat ini, KE . . . TI. . . PU . . . NI. . . YE . . . hahaha!
Ha-haha, aku berusaha keras ikut tertawa. Supaya kedengaran lebih
alami, aku pun berusaha menyumbang komentar: Ha, ha-padahal, 'ni
ye' kan udah nggak jaman l
agi, ya Bu! Ha, ha, ha. Betapa pegalnya tawa yang dipaksa ada.
... Bertanya pada segelas air
Ibu Sati dan aku janjian bertemu lagi minggu depan. Tempat dan jam
sama. Ia mengajariku salam khusus. Kedua tangan ditangkup, ditempelkan
di kening lalu di depan dada. Artinya ia menghormatiku dan roh kudus
yang bersemayam di dalam aku. Salam dobel kompak, begitu aku
menginterpretasikannya. Dan seperti guru di sekolahan sebelum kelas
bubar, Ibu Sati berkata: Ada pertanyaan"
Ada. Cepat-cepat kubiarkan mulut ini bicara sebelum pikiranku
menyesatkannya: Saya harus bayar berapa sama Ibu" Bagaimana juga,
waktu Ibu kan nanti tersita untuk saya.
Ia menggeleng cepat. Nggak, nggak ada bayar-bayaran. Saya wajib
membantu kamu, ujarnya tegas.
Serta-merta aku meraih tangannya. Makasih sekali, Bu. Tapi saya
80 harus jujur, saya ini nggak tahu apa-apa, termasuk tujuan saya belajar . . .
Ibu Sati memotong: Ada yang perlu kamu tahu, Elektra. Tentang diri
kamu sendiri. Tapi saya belum bisa bilang sekarang. Satu hari nanti. Oke"
Sejenak aku kembali tercenung.
Ada pertanyaan lagi"
Ada. Mulutku bersuara: Agama Ibu-sebenarnya apa"
Untuk kedua kalinya kudapatkan ekspresi abu-abu yang mana engkau
tidak bisa menebak apakah itu 'ya' atau 'tidak' atau 'begitulah' atau 'ada
deeeh!'. Namun kali ini Ibu Sati melengkapinya dengan jawaban: Itu sama
dengan bertanya pada segelas air, Dik. Air bisa men jawab dirinya 'air sungai'
atau 'air laut', tapi kalau ia memilih menjawab 'air' saja, itu juga tidak
salah,kan. ... Mau nyekar lagi"
Mendapat petuah kehidupan dari Ibu Sati bukan berarti semua
urusanku selesai. Ada satu yang belum, dan harus cepat-cepat dibereskan.
Harus! Sehabis dari Buah Batu, tanpa pulang ke rumah aku langsung
menempuh perjalanan sejam lebih ke daerah Setiabudi atas.
Satpam mengantarku ke depan pintu rumah utama. Oom Lukman
sendiri yang membukakan. Halo, Etra! sapanya. Kok, tumben, nggak
telepon dulu" Iya, nih, Oom. Mendadak kangen si Kambing. Aku cengengesan.
Oh, mau nyekar lagi" Kamu kesepian kayaknya. Pelihara kucing lagi
aja! Oom punya peranakan Anggora. Mau"
Waduh . . . masih belum bisa ngelupain si Kambing, nih, Oom. Aku
mencoba mengelak. Atau mau yang lain" Monyet Oom baru beranak. Atau kalau berani,
mau coba pelihara ular" Seru, deh! Iguana Brazil" . . .
Sebelum pamanku membacakan habis seluruh daftar binatang
81 peliharaannya yang semeriah Taman Safari, cepat-cepat aku mengaku
butuh kesendirian itu lagi. Demi mengenang momen-momen tak
terlupakanku bersama si Kambing. Sesampainya di pekarangan belakang,
dengan panik aku jongkok membongkari tanah di balik nisannya. Amplop
itu tidak ada! Kukitari semua nisan sampai tiga kali putaran, amplop itu
tetap tidak kelihatan. Hanya ada dua kemungkinan: orang rumah ini,
atau . . . kurir gaib memang benar ada. Aku tak tahu mana yang lebih
mengerikan. Lunglai, kutinggalkan taman makam hewan itu. Permisi pulang pada
pamanku. Ketika baru mau balik badan, istri Oom Lukman, Tante Esther,
turun dari lantai atas, memanggilku: Etra! Bentar dulu . . .
Eh, Tante, apa kabar! sapaku sopan. Namun dalam waktu sedetik,
tampang basa-basiku berubah jadi pucat pasi. Di tangan Tante Esther
tergenggam amplop cokelat besar, sedikit kusam bernoda tanah.
Ini teh punya kamu, ya" Kamari
21 si Mahmud nemuin di belakang!
lya, Tante . . . jawabku ragu.
Kunaon bisa ketinggalan atuh! tegur Tante Esther sambil mengembalikan
amplop itu ke tanganku. Aku menyambutnya tegang. Tanpa melepaskan mata dari mereka
berdua, jari-jariku mengecek kondisi surat itu diam-diam. Gusti nu Agung!
Amplop itu terbuka! Tanpa diminta, Tante Esther segera menjelaskan: Kirain teh apa gitu,
jadi sama kita dibuka aja. Makanya bisa tahu punya kamu juga. Tapi
nggak kita oprek-oprek, ia. Masih lengkap semuanya.
Oh iya, Tante. Makasih. Etra pulang dulu, ya. Dan baru saja aku ingin
memanjatkan doa agar punggung ini bisa membalik tanpa perlu
mendengar suara mereka lagi . . .
Tra, ngalamar kerja teh atuh, ka nu bener-bener. Ulah ka nu gaib,
Entar duitna ge gaib, siah! Suara Tante Esther melengking tinggi, dicampur bunyi-bunyi kerongkongan seperti orang membendun
g tawa. Andaikan aku bisa memilih untuk tidak menoleh dan melihat muka-muka itu.
Nggak, kok, Tante. Ini mah iseng, kataku lirih dibarengi cengiran tak
jelas bentuk. Tak tahu lagi harus berkata apa.
Oom Lukman meremas bahuku dengan muka prihatin. Kalo kamu
memang pingin serius jadi dosen, Oom kenal sama rektor Maranatha.
Tulis saja CV yang baru, yang bener-bener, nanti titip ke Oom atau ke
Tante, ya" ujarnya bersungguh-sungguh.
Dengan jatuhnya amplop itu ke tangan Tante Esther, berarti pada
arisan keluarga besar bulan depan, semua orang, dari buyut sampai cicit,
akan tahu bahwa Elektra, anaknya Wijaya, telah melamar kerja jadi asisten
dosen ke perguruan tinggi gaib. Dan untuk itu, ia letakkan surat
lamarannya di kuburan binatang. Kini aku tahu mana yang lebih
mengerikan. Dari dasar hati yang paling jujur, betapa aku berharap kurir gaib itu
sungguhan ada. ... The Dark Side of the Moon
Percaya atau tidak, aku agak merasa kehilangan STIGAN.
Bagaimanapun itu sebuah prospek. Sebuah karier. Sebuah kesempatan.
Oke, oke . . . sebuah KEGIATAN! Kupandangi buku organizer-ku yang
kosong, yang mengecoh seolah-olah setiap hari adalah awal tahun karena
tidak lecek-lecek. Aku tidak ingin kembali ke hari-hari hampa itu.
Lenyapnya STIGAN dari To-Do List membuat pertemuan dua kali
seminggu dengan Ibu Sati menjadi tujuan hidup. Kadang-kadang aku
datang sejam-dua jam lebih awal dan bantu-bantu Ibu Sati di toko. Lalu
pulang sejam-dua jam lebih telat dari jadwal, karena, he-he-he, Ibu Sati
suka menawarkan makan malam. Mana mungkin kulewatkan. Ia masak
dengan sangat cepat, sangat enak. Masakannya tanpa garam, tanpa gula,
dan tanpa daging. Tumisan sayur segar dengan tempe. Atau oseng-oseng
tahu pakai sayur setumpuk. Herannya, aku selalu bisa makan dengan
lahap dan nikmat. Apalagi kalau belum makan dari siang.


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami semakin kenal satu sama lain. Aku membeberkan seluruh
perjalanan hidupku yang habis diceritakan dalam waktu 15 menit. Dan
sebaliknya, Ibu Sati juga mengisahkan kisah hidupnya yang sepadat
dongeng 1001 malam. Setiap kali bertemu pasti ada saja cerita yang belum
pernah kudengar. Aku sangat menikmati waktuku di sana. Ada semacam
keteduhan yang mengalir dari keberadaannya. Di dalam rumah maupun
di toko, memori dan waktu terasa jauh. Hanya kami berdua tanpa bayang-bayang dunia.
Sayangnya, aku belum sanggup mempertahankan kondisi mental
itu terus menerus. Begitu sampai di rumah, keteduhan tadi terputus,
digantikan oleh gambaran si malang Elektra yang sampai hari ini masih
belum punya pekerjaan. Hal yang kutakutkan pun terjadi: telepon berdering. Mengerikan.
Miliaran umat ada di dunia tapi cuma satu orang yang berminat
menelepon ke rumah ini. Loha, sapaku ogah-ogahan.
Halo, Asisten Doseeen . . .
Aku melenguh dan mengeluh. Setelah kalian mengalami apa yang
baru saja kulewati, tidakkah lengkingan kalimat 'asisten dosen' menjadi
begitu menyebalkan di luar batas akal" Tak ubahnya seperti disuntik dua
kali di tempat sama karena yang pertama gagal menembus nadi dan si
dokter cuma ngomong 'anak pinter' seakan-akan kemampuanmu
menahan tangis dan bogem punya korelasi dengan IQ.
Keterima, Tra" tanya Watti diikuti sendatan tawa kecil. Bagai kuda
pacu yang bersiap melesat, tinggal tunggu pistol meledak.
Saya mengundurkan diri, ucapku dingin.
Uuuu! Gayanya! Kenapa" Duit kamu kebanyakan, atau bentrok sama
tidur" Kampusnya kejauhan. Di mana memangnya" Di alam gaib. DOR! Tawa Watti merepet seperti derapan kaki kuda. Hihihi . .. kecian,
adikku! Udah susah-susah ngarang cerita!
Puas ketawanya" ujarku datar. Udah dulu, ya . . . DAH!
Eh, eh, bentar! Tra! Etra!!
Aku diam. ETRA! Hmm. Leon nanyain. Kamu kok sombong, katanya. Nggak nelepon.
Hmm. Dia udah lihat foto kamu. Berminat tuh dia.
Foto saya kan nggak ada yang bagus.
Justru itu! Lihat foto kamu yang lagi merem aja dia suka, berarti itu
cinta sejati . . . Udah, deh! Ngaku aja! Dia pasti kontet, bulet, terus jelek, kan"!
Kalo kamu masih belum punya kerja juga, janji sama aku, ya. Kamu
mesti nelepon dia, terus janjian ketemu. Sekaliiii . . . aja. Udah gitu aku
diem, deh. Sediem apa" Nelepon seminggu sekali. Kura ng. Dua minggu sekali. . . Sebulan. Oke, sebulan! Kan kalo kamu jadi sama dia, kamu bakal pindah ke sini
juga, terus kita ketemu tiap hari! Hahaha . . .
Watt . . . kamu kesepian, ya" tanyaku curiga.
Ada sepotong sunyi sebelum ia menjawab: Enak aja! Aku banyak
teman kok di sini! Kamu bosan" tanyaku lagi.
Nggak! Di sini enak, lagi!
85 Oh. Ya udah, kalo gitu. Tak sampai sepuluh detik, tahu-tahu Watti sesenggukan. Nangis. Dan
selama setengah jam ke depan, aku mendengarkan kakakku mengeluh
tak kunjung surut tentang kebosanannya, rasa sepinya, kegiatannya yang
monoton, kurang hiburan, teman-temannya yang nggak oke, dst, dsb,
dll. Sampai akhir pembicaraan kami, aku masih merasa bukan itu yang
sesungguhnya membikin Watti sebegitu sedih. Bukan aku menuduhnya
ngibul, semua keluh-kesahnya memang nyata terjadi. Namun, di bawah
sadarnya, akii yakin Watti membutuhkanku di sana agar ia bisa kembali
bersinar seperti dulu. Ia membutuhkan pembanding. Antagonis. Seperti
gambar malaikatnya yang harus selalu disandingkan dengan gambar si
Kambing. Seperti kisah si Cantik yang baru signifikan kemolekannya kalau
ada si Buruk Rupa. Kututup telepon itu sambil geleng-geleng kepala. Kapankah Watti
menyadari" Bahwa ia hanyalah Bulan yang meminjam terang Matahari
agar bersinar di malam gelap. Aku, si Matahari, cuma bisa memandangi
iba pada sang Bulan yang tanpa terelakkan harus berotasi memunggungi
sumber cahaya. Pinjaman ditutup. Watti, welcome to the Dark Side of the Moon.
Esoknya, aku terbangun dengan bohlam ide yang berpijar terang di
otak. Oke, barangkali ini bukan temuan semegah Archimedes, tapi bisa
menyambung hidup. Amat, sangat, realistis. Dengar, kawan-kawan: aku
akan melamar kerja di toko Ibu Sati. Ha!
Tidak lagi kupikirkan gaji atau gengsi. Dibayar pakai makan pun tidak
apa-apa. Berhenti berpikir muluk-muluk. Aku yakin bisa membantunya,
akan kuhafalkan nama-nama ramuan, jenis-jenis minyak, menimbang
kemenyan, pokoknya semua yang ia lakukan selama ini. Dan yang
penting, aku bisa dekat dengan beliau.
Siang itu, aku langsung pergi ke toko. Tampak ada bapak tua penjaga
portal yang sering kusapa sedang mengecek selot-selot pagar bambu itu.
86 Aku pun tersadar, pagar tersebut terkunci.
Pak ...tokonya tutup"
Iya, Neng. Bu Sati ke Solo. Dititipkeun ke saya. Suruh meriksa
gemboknya tiap hari. Ibu pergi berapa lama, Pak"
Nggak tahu atuh, Neng. Katanya ada saudaranya yang sakit keras.
Barangkali lama, ya. Aku terkulai loyo. Ibu Sati pergi tanpa meninggalkan pesan sama
sekali. Bagaimana bisa" Berapa lama ia pergi"
Sebelum pulang, aku mampir ke ATM. Saatnya belanja stok makanan
ke pasar. Telur setengah kilo, lalu tempe-tahu sebanyak mungkin. Namun
bahu ini rasanya semakin tertekuk ke dalam ketika membaca struk.
Tabunganku sudah menyusut setengahnya.
Kukorek-korek dompet, berharap pada masa lalu ada satu momen
kuselipkan uang di sana lalu terserang amnesia. Tapi tak ada apa-apa.
Cuma kartu-kartu identitas tak berharga, dan secarik kertas berisi nomor
ponsel Napoleon Bonaparte yang barangkali masih ada harganya.
Kutarik balik ucapanku kemarin. Aku dan Watti sama, satelit-satelit
kelam yang tak menghasilkan cahaya. Matahari. . . entah siapa itu. Yang
jelas, ia sedang pelit. Kini, aku lebur dengan gulita.
Gelap . . . ni, ye. ... elektra@kokom.com Ini dia. Momen magis yang kupikir tak akan pernah hadir. Sejenak
kupandang langit biru sebelum kepalaku dikuasai imaji Watti tertawa
terbahak-bahak, bengis, berlebihan, bergema, seperti tawa orang jahat di
sinetron. Sengaja kupilih sebuah wartel di dekat kampusku dulu. Kenapa
demikian" Supaya semua tempat bersejarah Elektra Wijaya berkumpul di
87 sini. Praktis. Kelak, aku akan berjalan-jalan dengan anak cucuku, bercerita:
Di sebelah kiri itu kampus Nenek. Di sebelah kanan, adalah wartel tempat
Nenek menelepon Kakek pertama kali. Sekarang, mari kita pulang. Dan
semoga, cucu-cucuku manis, kalian menyadari bahwa kakek kalian,
sekalipun namanya sama, tidak ada hubungan darah sama sekali dengan
Napoleon Bonaparte jenderal Perancis. jadi, hentikan bualan-bualan kalian
di sekolah. Namun sebelum aku melangkah masuk ke
wartel, mendadak terdengar seseorang memanggil. Aku menoleh, celingak-celinguk. Di
antara jajaran toko-toko yang rapat, ada seorang perempuan berdiri di
teras luar, melambaikan tangan.
Betsye! Aku balas berseru. Teman kuliahku, namanya Beatrix. Dia
juga kurang beruntung. Mungkin hanya di negara ini, dan tepatnya di
kota ini, namanya yang indah itu bisa berubah menjadi Betsye, atau
Bedseu--dalam lafal Sunda.
Aku menghampirinya, sambil sekilas memperhatikan plang berwarna
cerah di atas kepalanya: Trix.net & Cafe. Tempat apaan, nih, tanyaku
sambil melongok ke dalam.
Saya buka warnet sekarang, Betsye menjawab berseri.
Kafenya mana" Hanya itu yang menarik perhatianku.
Ada di belakang, Betsye menunjuk sebuah bolongan di dinding,
tempat petugas dapur melongokkan kepala untuk menerima order.
Sekilas aku membaca daftar menu yang ditulis besar-besar: indomie re-bus, indomie goreng, kopi, teh botol, STMJ-dahiku berkerut sedikit.
Kira-kira apa bedanya kafe Betsye dengan warung kopi di belokan jalan
dekat rumahku" Chatting di sini, dong, Tra. Nanti saya kasih gratisan satu jam, ujarnya.
Seakan-akan hal itu amat menarik. Dan aku cuma bisa mengangguk
kosong. Alamat e-mail kamu apa" Nanti kita email-email-an, Betsye bertanya.
88 Merogoh kertas dari kantong dan siap mencatat.
E-mail-ya, aku sudah sering dengar dan tahu apa itu, sekalipun
terakhir aku memakai komputer adalah ketika menulis skripsi, di rental
seberang kampus. Itu pun selalu dibantu petugasnya, karena aku hanya
ingin tahu mengetik dan tidak buka apa-apa lagi. Komputer di rumahku
sudah tewas lebih dari sepuluh tahun yang lalu, gara-gara Watti membawa
disket DD 360 KB yang terinfeksi virus "Brain. Virus yang konon tak
ada penangkalnya itu. Aku amat menyesal, karena berarti tidak bisa main
Digger lagi. Dan pada detik-detik terakhir sejarah perkomputeranku, baru
aku tahu kalau Den Zuko juga nama virus. Aku pikir itu semacam bahasa
mesin nan canggih untuk 'selamat tinggal' sebelum komputer dimatikan.
Saya nggak punya e-mail, jawabku sambil mengangkat bahu.
Muka Betsye langsung berubah drastis, seperti baru menelan sandal.
Dengan mata melotot ia berseru kaget: Hari gini kamu nggak punya e-mail". Bo'ong!
Aku berusaha memahami reaksi dahsyatnya. Sedemikian besarkah
dosaku" Kugelengkan lagi kepalaku pelan.
Kok kamu kayak anak dusun aja, sih"! Reaksinya semakin ekstrem.
Betsye seperti baru tersedak sepatu cheko Jatayu.
Dosaku ternyata sebesar itu. Lalu ke mana aku harus meminta ampun"
Sini, ajaknya sambil menggiringku masuk. Mendudukkanku di depan
sebuah komputer. Dengan terampil ia memainkan mouse, ceklak-ceklik
sana-sini. Entah apa saja yang ditunjuknya.
Saya buatin alamat e-mail untuk kamu, ya.
Aku mengangguk lagi sembari melirik sekelilingku, menatap sekat-sekat berisi aneka wajah dengan aneka ekspresi. Ada yang cekikikan sendiri.
Ada yang senyum-senyum. Ada yang serius. Tapi tidak ada lagi yang
bengong kosong selain aku. Aku tidak tahu apa-apa. Aku ingin pergi saja
rasanya. Menelepon Napoleon. Tangan Betsye yang cekatan di atas mouse
membuat diriku merasa seperti manusia neanderthal.
Nih, sudah: elektra@kokom.com. Betsye menahan napas sedikit.
Kayak pingin ketawa. Apa" Elektra-et-kokom-dot-kom. Bahkan Betsye harus mengejakannya
untukku. Kokom-dot-kom" Rasanya ada bola ping-pong menggulung di lidah.
Nama itu-kok aneh. Tidak keren. Tapi aku tidak berani bertanya.
Ini inbox kamu, ini kalau kamu mau nulis e-mail, ini kalau kamu mau
kirim e-mail. Betsye menerangkan satu per satu.
Terus, apa" Aku berharap Betsye paham bahwa sebuah kotak pos tidak
ada gunanya kalau tidak ada yang menyurati.
Tenang, kamu bakal saya daftarin ke milis-milis. Angkatan kita punya
milis, lho. Kamu hobinya apaan, sih" Suka kucing, ada milis kucing . . .
Kambing" Betsye menatapku datar, rehat sedetik, lalu kembali berceloteh: Mau
cari cowok" Mau curhat" Mau nonton be-ef" Mau lihat Keanu Reeves
telanjang" Etra, di internet kamu bisa dapat apa aja!
Pekerjaan" Aku langsung bertanya, sambil berpikir-pikir 'milis' itu
apa maksudnya. Wah, ada ribuan pekerjaan yang bisa kamu lamar lewat internet! Tapi,
sekarang, g imana caranya supaya inbox kamu nggak sia-sia. Caranya ada
dua. Ikutan milis yang banyak, dan chatting. Oh ya, milis-mating list, itu
artinya kamu ikutan satu grup yang setiap posting-nya. bakal dikirim ke
setiap anggota. Kamu ngomong 'hai', si A, B, C en D juga bakal tahu.
Saya daftarin kamu ke milis angkatan kita dulu, oke" Sebentar, ya. Jemari
Betsye kembali mengklak-klik mouse-nya.
Aku menyimak suara mouse-klik, dobel klik, klik, klik, dobel klikterdengar 'gurih'. Ada beberapa bunyi lain yang menurutku 'gurih'. Suara
putaran roda becak di jalan menurun, hentakan sol sepatu pestanya Dedi,
suara sisir sikat menggerus kulit kepala ... hei, saya nggak suka horoskop!
Spontan aku protes ketika di layar monitor terpampang 12 lambang zodiak
90 dan Betsye menuliskan alamatku.
Sori, Tra, saya udah keburu submit. Nanti aja, kalo kamu pingin quit,
tinggal unsubscribe ke list-owner, atau langsung ke web-nya. Setting-nya. kita
bikin daily digest aja, ya" Atau cuma web-only"
Kini Betsye membuatku merasa seprimitif dinosaurus. Bet, udah deh,
saya benar-benar nggak ngerti, nih. Saya pulang aja, ya" Aku mengemis,
bahkan rela menyembah. Nanti dulu! Kita coba chatting, oke" Sebentar-sabar dulu, ya. Mau teh
botol" Woy! Kewoy! Teh botol satu, komputer G!
Aku mengerti sekarang kenapa warnetnya bisa sebegini penuh. Duduk
20 menit, aku sekarang punya satu alamat e-mail, anggota tiga milis, dan
dapat gratis teh botol dingin. Bisa-bisa sebentar lagi ditawarkan jadi
anggota kehormatan. Hei, nanti kamu jadi member di sini, ya" Betsye berkata mantap, matanya
tetap lurus ke monitor. Cuma 3000 perak sejam, Iho. Bulan ini dapet free
drink lagi. Dan ia semakin membuatku kagum. Pikiran Betsye benar-benar
bergerak selincah tangannya.
Oke, kamu udah connect. Ini channel-nya. asyik. Gaul abis. Oh ya, nick
kamu sengaja saya bikin tetap Elektra. Pasti laku. Percaya, deh. Nama
kamu komersil. Memang yang komersil itu yang kayak apa" tanyaku.
Yang funky, yang cool. Pokoknya yang, yah, gimaaana . . . gitu.
Jawaban Betsye semakin membingungkan. Lho, jadi, kamu biasanya
nggak pakai nama sendiri" Aku terus bertanya.
Nggak, dong! Ia mengeluarkan tawa kecil yang bernada 'oh,
gobloknya'. Saya biasa pakai Nadya, Nathalie, Natasya-kata cowokku
yang nama depannya dari 'Na' biasanya cakep-cakep.
Nanang" Nasrul" Nano" Na-sgor"
Betsye tidak tertawa. Padahal nama 'Beatrix' kan bagus. Aku berusaha menyenangkan
hatinya sedikit. 91 Ah, kayak guru Sekolah Minggu. ia melengos. Kesannya gimanaaa . . .
gitu, kayak bangsawan Inggris. Ngebosenin.
Bangsawan Inggris-aku meliriknya, sekadar memastikan, betapa
nama bisa sangat mengaburkan fakta.


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba Betsye berseru: Tuh! Lihat Tra, udah ada tiga yang manggil
kamu. Mataku mencari-cari liar. Mana" Mana"
Itu tuh, yang kelap-kelip, tunjuknya tidak sabar.
Co-seksi . . . co-ingintante . . . co-cool. Ketiganya hanya mengirimkan
sepotong 'hi'. Siapa, nih" Aku bertanya heran.
Udah bales aja! Terus saya nulis apa"
Betsye langsung mengambil alih. ia menuliskan 'hi' balik.
Segitu doang" Kalem, Tra. Tuh, dia nanya /s/1. Age, sex, location. Ayo, cepat tulis: 19/f/
bdg. Jangan pernah ngaku di atas 22, deh. Nggak bakalan laku.
Memangnya tujuan kita supaya cepat laku, ya" Aku dan pertanyaan-pertanyaan bodohku.
Mau cepat banyak teman, nggak" Atau mau kuper terus"! Betsye
setengah menghardik. Tepat menusuk titik lemah Elektra si anak sebatang
kara yang krisis pergaulan. Segera aku putuskan untuk mengikuti segala
petunjuknya. Lewat sepuluh baris, Betsye pun melepasku sendirian.
Dari komputer G, sebentar-sebentar terdengar suara bersahut-sahutan:
Bet! 'gtg' artinya apa"
Got to go! Bet, kalo 'brb'" Be right back! Disco nih apa maksudnya"
Disconnect! Cara bikin bunga" Bikin muka senyum" Bet, dia minta pic, artinya"
92 Itu artinya picture alias foto, dogol!
Tiba-tiba aku sadar-perutku keroncongan. Aku mengintip jam: 20.30!
Sudah lima jam lebih aku di tempat ini. Sedikit panik aku buru-buru
mengetik puluhan 'gtg'. Bestye sudah menunggu di meja kasir, senyum-senyum.
Lima jam seperempat, non-member, es teh manis dua, coffee mix satu . . .
dia memencet- mencet kalkulator. Trix.net & Cafe hanya menyisakanku
ongkos pulang naik angkot sekali. Seperempat perjalanan sisa, aku
terpaksa jalan kaki dengan perut berbunyi engsel reot. Sudah jatuh miskin,
tertimpa tangga kelaparan pula.
... Makhluk So Sial Malam itu aku terbaring di atas tempat tidur dalam keadaan terjaga.
Lama sekali. Mengingat-ingat orang-orang yang kukenal tadi: Michael
kayaknya baik, Doni yang orang Yogya itu nyeniman banget, si Kodok-Terbang . . . ah, sayang tadi tidak sempat menanyakan nama aslinya.
Darren cakep, deh. Black-Rain misterius banget. Mendadak aku
terbangun-pic! Aku harus cari foto.
Menemukan foto diriku yang layak edar lebih sulit dari mencari harta
karun Dinasti Ming. Serius. Di hadapanku kini terhampar tiga laci penuh
foto sejak aku jabang bayi sampai wisuda kemarin, dan baru aku tersadar,
apabila ada kegagalan hidup yang secara konsisten terus kulakukan, tak
salah lagi, itu pasti berfoto. Sejak kecil, selalu sama. Watti berdiri paling
depan, berkacak pinggang aksi, tertawa penuh gigi dengan kepala miring
ke kiri atau ke kanan. Aku adalah pelengkap pinggiran foto yang selalu
bersembunyi di balik Dedi atau Mami, dengan kepala tertunduk, mulut
cemberut, dan mata menatap takut.
Lebih besar sedikit, tetap sama. Watti dengan fashion up-to-date pada
zamannya, dan aku dengan penampilan satu dekade lebih mundur karena
93 pakai barang-barang warisan. Dia tersenyum fotogenik dengan sudut
andalan yang sudah dihafalnya mati, dan aku, tanpa niat sengaja, selalu
ketinggalan setengah detik dari bidikan. Akibatnya, mata terpejam mulut
senyum, mata membuka mulut menganga. Bahkan dalam foto wisuda
yang memakai jasa profesional, kamera membidik tepat ketika tali topiku
sedang disilangkan Pak Rektor, yang entah bagaimana, dengan presisi
membentuk sudut tertentu sehingga tercipta ilusi optik seolah-olah dari
mulutku tersemburkan gumpalan benang kuning.
Namun, pergaulan memang harus dibayar mahal. Lagi-lagi, kuperas
tabunganku yang sudah kering tandus untuk mengucurkan dana demi
berfoto dalam sebuah photo box di mall. Satu-satunya tempat paling aman
agar bisa mengatur muka menuju titik paling mending tanpa
kemungkinan salah tempo bidik karena kali ini kontrol ada di tanganku
Hasilnya: empat lembar foto diri terbaik sepanjang hayat dikandung
badan. Dua pertama memang agak kaku, seperti foto SIM. Tapi yang
ketiga dan keempat, aku mulai bisa tersenyum, dan yah . . . manis juga.
Kalau dilihat dari sedotan.
Sepanjang perjalanan dari mall ke rumah, aku hampir tak bisa
menahan senyum. Ternyata . . . begini rasanya. Inilah yang dirasakan
anak-anak sekolah dulu ketika mereka mengirim pasfoto ke kolom
perkenalan majalah-majalah. Inilah yang dirasakan kawula muda saat
hormon-hormon mereka bergolak dan memacu untuk bersosialisasi.
Inilah . . . inilah anugerah yang diberikan Khalik kepada makhluk-Nya,
yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk SO-SI-AL.
Sebentar . . . so sial" Ya! Hadir!
Besoknya aku kembali ke Trix. Berbekal foto untuk di-scan dan juga
uang yang lebih banyak. Setidaknya cukup untuk biaya membership dan
semangkok indomie rebus. Alhasil, aku anggota nomor 47. Kartu itu
kusisipkan rapi di dompet, bersama dengan KTP dan tiga KTM yang belum
kubuang. Hari ini ada 10 pesan masuk di inbox-ku. Tidak pernah aku terima
surat sebanyak itu seumur hidup. Tahun ini cuma satu kartu Imlek dari
94 Watti, satu kartu Lebaran salah alamat, dan seperti sudah kita tahu
bersama, undangan STIGAN.
Kalau boleh berbangga, aku ternyata mampu menyerap teknologi ini
dengan cepat. Seperti ibu-ibu kaya pergi ke supermarket yang tanpa
berpikir dua kali memasukkan berjubel barang ke kereta belanja karena
tinggal gesek kartu kredit, aku pun surfing ke puluhan situs dan men-download macam-macam tanpa berpikir apa kegunaannya. Dua hari
kemudian aku sudah bisa scan fotoku sendiri, pergi ke meja printer dengan
percaya diri tanpa perlu bantuan Betsye ataupun asistennya, Kewoy.
Bahkan mereka berdua mengakui kemajuan pesatku. Akhirnya, tidur
siang bukan satu-satunya keahlian Elektra Wijaya.
Sekarang aku tak pernah mempedulikan orang-orang sekelili
ng. Ekspresiku sudah sama dengan mereka. Kadang-kadang serius, senyum
sendirian, tertawa sendirian. Tapi tidak bengong kosong. Elektra sudah
berubah. Bergerak dari era dinosaurus, keluar dari kumpulan manusia
gua, meninggalkan disket DD
menuju CD Rom, melepaskan pelukan
DOS 2.0 dan menghambur ke Windows Millennium Edition,
mengenyahkan Digger demi Minesweeper, melupakan kenangan
WordStar dan menyambut MSWord. Aku tak ingat loncatan mana lagi
yang lebih besar selain langkah pertama Neil Armstrong di bulan.
Untuk pertama kalinya aku menghayati makna dunia baru. Sekarang
aku bagian dari Bumi yang jarak geografisnya kian menyusut; dunia tanpa
batas. Akulah penghuni alam virtual yang bertumbuh terus setiap detik.
Elektra ... si manusia milenium.
. .. Jamu rasa bangsat Menjadi manusia milenium tidak berarti menjadi manusia sehat.
Manusia Milenium bangun pukul satu siang dengan kepala pusing,
tidak sempat mengerjakan pekerjaan rumah tangga, makan pukul empat.
95 mandi pukul lima, pergi ke Trix, duduk di depan komputer selama delapan
jam ke depan dengan perut diganjal kopi dan mie instan, kadang Kewoy
menemani pulang, kalau tidak Manusia Milenium numpang tidur di
kasur darurat sampai adzan subuh, lalu pulang naik angkot yang penuh
dagangan pasar pagi. Bangun pukul satu . . . dst, dst.
Betsye beberapa kali menyindir Manusia Milenium: Kewoy aja nggak
serajin kamu. Udah, jadi satpam aja di sini. Gajinya pakai chatting gratisan.
Mau, nggak" Manusia Milenium (MM) tentunya tidak semudah itu dipengaruhi.
Sekalipun sungguhan tergoda, MM memutuskan tetap jadi pelanggan
biasa. Pertimbangan MM adalah kesehatan. Jadi pelanggan saja badan
rasanya reot begini, apalagi merangkap satpam! MM tidak pernah lagi
kena sinar matahari, didera udara malam terus menerus, makanan kurang
bergizi, tidur tanpa selimut. Tubuh MM mulai melemah.
Satu hari aku kena demam dibarengi mencret-mencret, dadaku sakit,
batuk tak henti-henti. Benar-benar neraka. Seorang diri kujerang air panas,
tertatih-tatih bikin bubur pakai telur, mencampursari aneka obat di lemari.
Kumaki-makilah si Manusia Milenium karena membiarkan dirinya jatuh
sakit. Padahal kunci orang yang miskin dan sebatang kara itu cuma satu:
jangan sampai sakit. Kalau sampai sakit, matilah.
Tergeletak dengan panas membara, keringat dinginku mengucur
tanpa henti. Tenaga yang tersisa hanya untuk memejam dan membuka
mata. Dalam kepalaku berseliweran nama teman-teman baruku di
internet, dan betapa aku ingin menghubungi mereka semua. Oh, jangan
lupakan aku, wahai sobat-sobat. Memang aku sudah tak muncul
seminggu, tapi please, kalian tak bisa bayangkan seberapa panjang
perjalananku untuk mengumpulkan teman sebanyak itu. Aku tidak siap
kehilangan . . . Susah-payah aku paksakan diri bangun dari tempat tidur. Sandalku
bergerak menyeret-nyeret ke arah pintu. Dengan tangan gemetar, kuraih
jaket dan dompet. Kunci yang kupegang sampai terjatuh. Lunglai, aku
96 membungkuk, dan ketika aku bangkit . . . memasukkan kunci ke lubang
adalah ingatanku yang terakhir.
Selebihnya, aku teringat Ibu Sati dalam baju putih-putih. Beliau berdiri
setengah memunggungi dan tangannya sedang menggerus sesuatu. Tak
lama, ia berbalik dengan senyum khasnya, membawa sebuah cawan di
tangan, mengangkat kepalaku dan berkata lembut: Minum.
Inikah darah Kristus" O Bapa, terima kasih aku diberi kesempatan
untuk perjamuan kudus, menyucikan dosa ini, kita memang jarang
berjumpa di gereja, maafkan ak . . . BLEHH!! PUH!!
Rasa pahit yang lebih kejam dari fitnah menyerbu lidahku.
Menyiagakan sistem saraf dan otak pada posisi siaga 1. Dalam hitungan
kecepatan cahaya, kesadaranku utuh kembali. Ibu Sati ternyata betulan
ada di samping, memegang gelas belimbing yang hampir kujatuhkan,
membujuk pelan sambil terus meminumkan cairan jahanam itu: Ayo,
ditahan . . . sedikit lagi.
Sambil menahan batuk dan muntah, aku menatapnya nanar. Ibu . . .
kok, ada di sini" tanyaku terbata.
Elektra, Elektra .. . belum sebulan ditinggal, kamu sudah kurus kering
begini. Dehidrasi. Usus kamu infeksi. Paru-paru kamu jadi nggak beres.
Ngapain aja, sih" Ibu Sati berdecak gemas. Un
tung pintunya kebuka, jadi
Ibu bisa masuk. Masih bagus kamu nggak gegar otak, benjol doang.
Bersamaan dengan tercernanya informasi itu, denyutan rasa sakit pun
terbit di belakang kepalaku seperti godam yang mengetuk dari dalam.
Ibu Sati benar. Ada benjol besar di sana. Hasil adu tulang tengkorak dan
ubin. Kamu tadi mau ke dokter, ya. Kasihan. Orang sakit berobat sendirian,
gumamnya lirih. Ingin aku meralat, bahwa aku ini sesungguhnya orang sakit yang
ingin bergaul, tapi tak sampai hati. Aku pun bertanya lagi: Kok, Ibu bisa
ke sini" Ada radar, jawabnya dengan senyum simpul.
Ibu Sati pernah berkata, seorang guru spiritual bagi muridnya adalah
bapak-ibu-saudara-sahabat dijadikan satu. ia yang membangunkan
kundalini adalah ia yang menuntun jiwa mencapai brahman, demikian
istilahnya. Guru merupakan perwujudan kasih sayang yang mampu
menembus dimensi waktu dan ruang. Atau, bisa juga dipandang
sesederhana berikut: Ibu Sati pulang dari Solo, ingin tahu kabarku lalu
meneleponi rumah tapi tidak ada yang mengangkat, dan karena
kebetulan ia punya janji dekat-dekat sini, Ibu Sati lalu memutuskan
mampir ke rumahku, mengetuk-ngetuk pintu tapi tidak ada yang
membukakan, sampai akhirnya ia coba membuka sendiri dan . . . taa-daa!
Manusia Milenium tergeletak di lantai!
Manapun versi yang lebih benar, yang jelas pada sore itu Ibu Sati
telah membuktikan kata-katanya. Ibu memesan taksi kemudian
memboyongku ke rumahnya. ia tidak mungkin mengurusku di rumah
Dedi karena harus jaga toko. Lima hari aku beristirahat di sana, dalam
kamar tidur tamu yang kecil tapi nyaman. Setiap pagi aku terbangunkan
oleh Ibu yang masuk untuk mengganti bunga segar di vas. Tanpa berkata
apa-apa, ia hanya tersenyum lalu menutupkan pintu pelan-pelan sekali.
Membuatku tidak enak hati karena sikapnya yang seperti pelayan dan
aku tuan besar tak tahu diri.
Pagi-siang-malam aku dicekoki aneka jamu rasa bangsat tapi
berkhasiat mujarab. Hari pertama aku diberi semacam jamu kuat tidur,
dan jadilah aku seonggok manusia tiada guna yang terbujur di tempat
tidur dengan iler melumeri bantal. Hari kedua, jamu tolak kuman, dan
suhu tubuhku pun mendingin pertanda infeksi di ususku sudah teratasi.
Hari ketiga, jamu penjinak batuk, dan lambat-laun dadaku tak lagi sesak,
frekuensi batukku berkurang jauh. Hari keempat, jamu kuat malu, karena
makanku jadi serakus babi.
... Hidup seperti hujan Baru sekarang aku bisa mengamati kehidupan Ibu Sati sedekat ini. ia
tak banyak bicara, mengingatkanku pada Dedi. Ketekunannyalah yang
berkata banyak. ia perlakukan 24 jam harinya seperti ritual panjang dan
rumah mungil ini menjelma menjadi rumah ibadah. Hampir semua
kegiatan diawalinya dengan mandi setengah, tidak cuma untuk meditasi,
tapi juga makan, jaga toko, baca buku, sampai berangkat tidur. ia
melakukan rangkaian asana tepat ketika matahari terbit dan terbenam,
kemudian bermeditasi lamaaa . . . sekali. Giliran membersihkan rumah,
Ibu Sati rela berjongkok-jongkok untuk memunguti kotoran renik di
lantai, membersihkan semua sudut dengan teliti memakai sikat gigi bekas,
mengelap semua barang dengan penuh penghayatan. Pada petang hari,
ia mulai menyalakan beberapa lilin untuk penerangan, membakar
beberapa hio wangi, kemudian memasak untuk kami berdua. Hidupnya
yang konstan sirkular kadang-kadang membuatku ingin bertanya:
tidakkah ia merasa bosan" Bakalkah ia bosan"
Pada hari kelima, aku sudah meninggalkan tempat tidur dan ikut
makan dengannya di meja makan. Cuma ada suara malam dan kami
yang bercakap-cakap. Tak ada teve. Hanya sebuah tape deck kuno yang
sekali-sekali memainkan lagu-lagu India.
Malam itu, aku tak bisa menahan diri untuk bercerita semua
perkembanganku dengan berapi-api. Soal internet, punya e-mail, berfoto
sukses di photo box, chatting dengan umat seluruh dunia, teman-teman di
ICQ... Setelah sekian lama, Ibu Sati tertawa, lalu berkata: Sadar nggak, Tra"
Kamu jadi cerewet. Iya, ya, Bu! Aku ikut tertawa. Saya memang nggak pernah sesemangat
ini sama apapun. Kayaknya saya bisa lupa segala kalo sudah di depan
komputer, kalo sudah nginternet!
Seperti menemukan cinta, ya.
99 Aku berpikir se jenak. Mm-barangkali, gumamku.
Belum pernah jatuh cinta" tanyanya.
Aku meneliti air mukanya, berusaha mencari unsur-unsur kejahilan
di sana, tapi tidak ketemu. Kesimpulan, itu pertanyaan serius. Dengan
ringan aku mengangkat bahu: Belum tuh, Bu!
Pantesan. Ibu Sati berkomentar singkat.
Aku mendelik curiga. Maksudnya apa"
Sambil memainkan sendok, Ibu tahu-tahu bertanya: Kamu tahu
bagaimana petir terjadi di langit"
Sejak awal perkenalan kami, belum pernah aku menyinggung-nyinggung soal petir. Dan malam ini, tiba-tiba ia mengungkitnya begitu


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja. Aku menggeleng pelan.
Ia lalu bertutur sambil menggunakan sendok sebagai alat peraga: Petir
itu terjadi kalau atmosfer tidak stabil. Panas Bumi membuat udara di
permukaan jadi panas, dan udara panas ini bergerak naik , . . teruus,
teruuus, mereka berkelompok di sekitar udara yang lebih dingin, sampai
terbentuklah awan kumulonimbus, yang di dalamnya ion positif-negatif
bergumul, bergumul, jadi kekuatan listrik yang besar, kemudian-BUM!
Ibu Sati menjatuhkan sendoknya, lalu menatapku yang menatapnya
bingung. Jadi, lanjutnya lembut, petir terjadi ketika Bumi dan langit ingin
menyamakan persepsi. Kalau kamu mendengar bunyi guntur di luar
sana, artinya ada konflik sedang berusaha diselesaikan. 70 sampai 100
kilatan setiap detiknya di seluruh Bumi, bayangkan. Alam tidak pernah
berhenti membersihkan dirinya. Dan kalau kamu sadar bahwa kita
sepenuhnya bercermin pada alam, kamu bisa lebih mengenali diri kamu
sendiri. Setiap orang punya potensi dalam dirinya, Elektra. Setiap orang
sudah memilih peran uniknya masing-masing sebelum mereka
terlahirkan ke dunia. Tapi, setiap orang juga dibuat lupa terlebih dulu.
Itulah rahasia besar hidup. Nah, alangkah indahnya, kalau kita bisa
mengingat pilihan kita secepat mungkin, lalu hidup bagai hujan. Turun,
100 menguap, ada. Tanpa beban apa-apa.
ia sudah tahu, batinku dalam hati. ia tahu! Bu, saya ingin cerita, ujarku
lirih. Selama ini saya punya penyakit yang-aneh. Tadinya saya pikir itu
epilepsi ... Kamu KIRA itu epilepsi, Ibu Sati memotong lalu menggenggam
tangan kiriku. Matanya kemudian memejam sejenak. Kamu bukan
epilepsi, tapi setiap kali itu terjadi tubuh kamu kadang-kadang bereaksi
persis seperti orang epilepsi, sambungnya.
'Itu'-apa, Bu" tanyaku tegang.
Ibu Sati menghela napas. Seperti ada dua jawaban yang ia siapkan.
Dan ia memutuskan untuk mengatakan yang kedua, sementara yang
pertama disimpan. Kamu-ia mengetuk dadaku pelan-punya sebuah
potensi besar di dalam sana. Kamu seperti permukaan Bumi yang
mengirimkan panas, energi, lalu alam merespons. Ia mencoba
berkomunikasi. Memberi tanda. Tapi, tubuh kamu nggak disiapkan,
ketidaktahuan kamu membuat jiwamu sendiri jadi bingung. Makanya
kamu nggak ngerti-ngerti.
Tapi, bukan cuma pernah mau disamber petir aja, Bu, cerocosku
akhirnya membabi-buta. Saya juga pernah nyetrum orangApa bedanya" Kamu pikir orang terpisah dari alam" potongnya tajam.
Kamu pikir diri kamu berhenti di ujung jari" Di lembar kulit" Kamu pikir
diri kita hanya ini" Yang saya ketuk tadi bukan Elektra, tapi apa yang tetap
hidup ketika Elektra mati. Kenali itu.
Aku tak bereaksi. Hanya bulu kudukku yang berdiri kompak. Apa-apaan nih, kenapa harus sebut 'mati' segala . . . jangan, dong. Masih harus
balas e-mail. Ada beberapa proses yang masih harus kamu lewati, Elektra. Dan
sebagian sudah ada yang kamu mulai.
Oh, ya" celetukku spontan. Mataku langsung berbinar semangat.
Akhirnya, ada juga langkah tepat yang kuambil dalam belantara
kehidupan ini. 101 Pertama, kamu telah menemui saya. Kedua, sudah kamu temukan
dunia kamu. Selebihnya-ia tertawa santai-jalani saja. Ada atau nggak
ada saya, kita selalu bersama.
Muncul lonjakan nyelekit dalam dadaku. Bu, kita tetap bisa ketemu,
kan" tanyaku cemas. Barangkali Ibu Sati belum jelas tentang semua ini.
Belum pernah aku diurus sebegini apik oleh seseorang. Seakan ekstrak
semua hal yang kusayang ada dalam diri manusia satu itu. Hanya di
depannya aku bisa selepas ini, mengoceh panjang lebar, keluar dari
kepalaku yang pengap. Jangan sampai kami tidak bertemu lagi.
Pasti, Elektra, jawabnya tenang. At
au berusaha menenangkan. Aku
tidak tahu. Akhirnya aku putuskan untuk nekat, mengungkapkan ide
yang sudah terendap lama dalam kepala: Bu, gimana kalo saya kerja di
sini" Jaga toko, ujarku bersemangat. Ibu nggak usah gaji saya gede-gede.
Saya memang butuh kerjaan, tapi saya juga kepingin bisa sering ketemu
Ibu. Ibu Sati tertawa lagi. Kamu kayak nggak tahu aja toko ini gimana,
nanti kalo kamu yang jaga, saya ngapain, dong" Kita kan nggak kedatangan
ratusan orang tiap hari. Toko ini terlalu kecil untuk kamu, Elektra. Dunia
kamu kan sudah ketemu. Tinggal kamunya yang lebih berani ambil risiko.
Sesudah itu tekuni benar-benar. Cintai. Tapi jangan lupa jaga kesehat-an ...
Aku mencureng. Dunia yang mana, Bu"
Ibu Sati berdiri, mengambil piringku. Sambil berjalan ke bak cuci ia
berkata selewat: Daripada kamu bolak-balik ke warnet, pulang subuh-subuh, rumah nggak keurus, badan nggak keurus, mending kamu beli
komputer. Internetnya dari rumah aja.
Beli komputer, katanya! Beli telur sekilo pun sudah terlalu ambisius!
Aku terkikik. Nggak punya duit, Bu! seruku.
Masa" cetusnya dari dapur.
Mendadak aku terdiam. Aku pribadi memang tidak punya duit, tapi
.. . seseorang telah mewariskan duitnya ke tanganku, yang belum pernah
102 kusentuh dari hari beliau wafat hingga kini. Dedi. Hmm. Kepalaku
manggut-manggut. Kedengarannya tidak masuk akal cenderung goblok,
memang. Sebuah komputer di rumah tetap saja tidak menghasilkan
uang, malah semakin banyak menghabiskannya. Namun, entahlah,
rasanya aku telah diberi petunjuk oleh . . . kepalaku menoleh,
mendapatkan punggung Ibu Sati yang tengah mencuci piring, dan tiba-tiba aku merasa semuanya masuk akal.
Ibu Sati memperlakukan tubuh dan rumahnya seperti Bumi yang
senantiasa membersihkan diri. Setiap kotoran yang menempel di rumah
ditepisnya jauh-jauh. Ia manjakan indra-indranya dengan aroma wangi,
lilin temaram, sunyi alam. Panas tubuhnya senantiasa ia dinginkan seperti
hujan yang membasuh wajah Bumi. Dan semua itu dilakukannya dengan
penuh bakti. Layaknya sebuah panggilan, bukan beban.
Pertanyaanku terjawab. Ia tidak mungkin bosan.
... Drama Firdaus Beberapa hari kemudian, aku sudah muncul di Trix. Segar bugar.
Etra! Ke mana aja" Kewoy berdiri menyambutku dengan gayanya
yang khas. Tubuh kurus keringnya yang ikut berguncang setiap kali ia
bicara, rambutnya yang lepek berminyak tanda belum kena air. Siap chat-ting, yeuh" Ia bertanya berseri-seri. Letak kacamata Superman-nya
dibetulkan. Woy, bisikku, pingin cari komputer, nih. Yang murah aja, tapi lumayan
buat nginternet. Oh, sip! Ia mengacungkan jempol. Mau saya temenin" Lagi ada
pameran di Landmark. Teman saya buka stand di sana. Bisa murah.
Berapaan ya, kira-kira" tanyaku was-was. Harga merupakan masalah
paling sensitif. 103 Etra punya budget berapa"
Aku berpikir-pikir. Hmm . . . tujuh ratus ribu"
Tawa Kewoy meledak keras. Hoi! Beli komputer ini, mah! Bukan beli
Nintendo! Jadi, berapa, dong" Etra udah pernah beli komputer belum" ia menatapku geli.
Aku menggeleng. Nih, duduk dulu aja. Baca-baca ini. Kewoy membawakanku setumpuk
majalah komputer. Kebanyakan yang di sini mah bermerk semua,
lanjutnya. Tapi kalo ada yang Etra mau, kita nanti cari yang spec-nya
sama. Sepanjang sore itu, aku duduk di sebelahnya, membuka lembar demi
lembar. Sebentar-sebentar mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh.
Bisa kulihat ekspresi Kewoy yang semakin lama semakin frustrasi, dan
barangkali menyesal telah menawarkan diri menemaniku belanja
komputer. Setelah berdebat panjang lebar, baru pada malam harilah kami
memutuskan apa-apa yang akan kami beli. Semuanya tercatat rapi di
kertas. Kewoy mengestimasikan tidak lebih dari 2,2 juta.
Malam sebelum pergi ke pameran, aku tidak bisa tidur. Gelisah. Resah.
Berdebar-debar. Aku . . . akan punya komputer! Seumur hidup rasanya
belum pernah aku benar-benar memiliki sesuatu. Sampai-sampai
kutelepon Ibu Sati. Minta doa restu. Besok muridnya akan menjadi
Manusia Ultramilenium. Rasanya persis seperti apa yang kubayangkan. Kumasuki pintu depan
Landmark bersama Kewoy dengan langkah-langkah tegap berisi.
Pameran komputer-taman Firdaus abad 21
. Di antara sekian banyak pemandangan yang disodorkan, langkahku
terhenti di sebuah stand. Bahkan kami belum sempat mengunjungi stand
temannya Kewoy. Namun kaki ini rasanya tak mau bergerak. Di stand itu,
kulihat semua impian yang kemarin hanya ada dalam lembar majalah.
104 Kewoy menatapku tak percaya: Tra, kamu nggak akan belanja di sini,
kan" Ini mah atuh, kelas dunia! Udah, kita ke yang teman saya aja . . .
Namun seperti orang kena sirep, aku terus melihat-lihat dengan wajah
terkesima. Sampai akhirnya terperangkaplah kami oleh bujuk rayu maut
para penjaga stand. Kewoy geleng-geleng kepala, kalau begini sudah susah!
Kami berdua didudukkan manis. dihujani brosur, dibekali aneka petuah
tentang kecanggihan komputer mereka. Dengan berbagai cara Kewoy
mengelak, sekaligus mengingatkanku halus untuk kembali berpedoman
pada catatan yang sudah kami sepakati. Namun, biarkanlah diriku hanyut
dalam drama Firdaus ini. . .
Akulah Hawa yang disodori apel pengetahuan: PC ber-harddisk 40 giga,
motherboard double processor, RAM DDR 1 giga, Pentium 4, monitor 17 inci
LCD Flat, graphic card G-Force 3, mouse dan keyboard infrared, DVD Rom, CD
writer 16X, scanner, sepasang speaker active 300 watt, tak ketinggalan modem
56 K duplex. Mereka bilang semua itu bagus. Semua itu baik. Dan aku tergoda. Tak
seratus persen paham, tapi benar-benar tergoda. Adam, yang diperankan
Kewoy, sudah melakukan gerakan-gerakan panik ketika aku
memberanikan diri menanyakan harga.
Jantungku pun berdebar saat disodorkan secarik kertas putih tempat
Koh San-san, pemeran tokoh Ular dalam drama Firdaus sore itu,
berhitung penuh semangat dengan kalkulator berbungkus plastiknya.
17 yuta. Sudah diskon. Boleh dicek. ia tersenyum manis.
Di stand hiruk-pikuk itu kontan ada suara tercekik halus-yang
mungkin cuma aku sendiri yang dengar. 17 juta" Seumur hidup belum
pernah aku mengeluarkan uang sebanyak itu. Hanya Tuhan yang tahu
betapa marahnya arwah Dedi, dan juga Watti-yang gawatnya masih
belum jadi arwah--kalau mereka sampai tahu aku akan membelanjakan
uang sebanyak ini. Moal aya nu ngelehkeun(Tidak akan ada yang mengalahkan). Ini mah udah yang paling top untuk tahun 2001, tandas Koh San-San.
Aku menatap senyum manis Ular Firdaus itu sekali lagi. Lalu aku
menatap Kewoy, yang cuma memonyongkan mulut sambil
mengacungkan jempolnya di bawah meja. Harga bagus, desisnya. Tapi
kemudian sang Adam memiringkan telunjuknya di dahi. Maneh gelo(Kamu gila),
desisnya lagi. Aku membuang pandanganku ke arah orang banyak, berharap akan
ada satu sinyal dari alam baka yang membantuku untuk memutuskan
keputusan besar ini. Dan pada saat itulah, aku tahu . . . Tuhan ada.
Seorang karyawan Koh San-san tahu-tahu menjulurkan tangannya,
di depan mukaku (tidak sopan, memang, tapi bukan itu intinya),
menggenggam test-pen! leu, Koh. Si karyawan berujar dengan muka acuh tak acuh.
Eeh . . . lainna test-pen. Obeng! Teu baleg pisan(Nggak becus banget)
31 . Koh San-san menggerutu.
Aku tercenung. Test-pen. Ini dia! Kamsiah, ya Allah. Memang apel itu
kan sudah ditakdirkan untuk dimakan Hawa! Dasar bego.
Tanpa ragu lagi, sore itu aku membayarkan uang muka. Apel itu
kukunyah sudah, dan rupanya Koh San-san tidak ingin aku tersedak.
Kami berdua langsung disuguhi air mineral gelas. Masih belum cukup,
Koh San-san meningkatkan servis: Baso tahu"
Aku menggeleng. Nggak usah, Koh . . .
Namun Kewoy cepat menyambar. Mukanya semrawut. Boleh, boleh,
Koh! Telur 2, siomay 3, baso tahu 3, paria 1, kol 1 . . .
Ternyata bukan kaum hawa doang yang jadi rakus kalau sedang stres
Adam bisa lebih parah. ... Akulah kol dalam bakul
Tidak bisa kujabarkan betapa asyiknya pergi bergaul tanpa harus pergi
ke mana-mana. Usai sudah hari-hariku naik angkot di pagi buta
berdesakan dengan bakul kol. Aku bagaikan pohon yang terpantek di
depan komputer. Stasioner. Statis. Akulah kol dalam bakul. Aktivitasku
yang berarti hanya merendam mata dalam boorwater, monitor segede buta
itu memang terkadang bikin dunia pendar-pendar.
Kewoy menjadi tamu tetap karena dialah mentor yang
membimbingku meniti jembatan pengetahuan baru ini. Sedikit-sedikit,
dia m engajakku melangkah lebih jauh dari sekadar klik Internet Explorer
dan direktori Games. Kemarin ini aku sudah bisa membuat screen saver
sendiri. Sebaris tulisan yang konstan lewat-lewat seperti efek hipnotis:
ELEKTRA KEREN... ELEKTRA KEREN... ELEKTRA KEREN... ELEKTRA
KEREN . . . (sudah mulai terhipnotis" Belum" Tarik jabriiik!!) ELEKTRA
KEREN . .. ELEKTRA KEREN ... ELEKTRA KEREN . . .
Sudah seminggu aku absen dari Ibu Sati. Satu malam aku
meneleponnya, merasa bersalah, tapi Ibu bersikap sehangat biasa seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Saya malah senang kok, kamu sekarang punya kesibukan, katanya
lembut. Tapi saya udah lama nggak semad-eh, meditasi, Bu.
Jangan kamu meditasi karena saya. Meditasilah untuk kebaikan kamu
sendiri, timpalnya cepat. Nada bicaranya terdengar menegas. Satu hal
yang perlu kamu ingat, Elektra, lanjutnya, meditasi itu seperti
mengonsumsi vitamin. Kamu hanya merasakan faedahnya kalau
dilakukan teratur. Iya, Bu. Saya coba. Saya janji.
Janji pada diri kamu sendiri. Janji pada orang lain adalah janji yang
paling mudah dilalaikan. 107 Iya, Bu. Coba mulai masak sendiri. Di luar telur ceplok. Atau, kalau perlu,
kamu rantangan. Jangan cuma makan mie instan pagi-siang-malam. Usus
kamu bukan dari karet ban.
Oke! (masih ada lagi, Bu")
Usahakan bangun pagi, kena sinar matahari. Kalau kamu masih
ngantuk, siangnya boleh tidur sejam dua jam. Tapi bangunnya jangan
lewat magrib. Sip! (apa lagi, hayoo"!)
Jangan malas mandi setengah, ya. Terutama sebelum makan.
Yap! (tambo cie!) Dan . . . coba bayangkan, rumahmu dengan banyak komputer.
Dudukku yang sudah melorot, sedikit menegak. Mata kiriku
memicing. Mmm, banyak komputer" tanyaku.
Mulai malam ini, bayangkan, di rumahmu yang besar itu, ada jajaran
komputer. Bukan cuma satu punyamu itu. Ada banyak orang seliweran.
Bukan cuma kamu sendirian. Dan pada akhirnya, uangmu yang sudah
hampir habis nanti bisa kembali terkumpul. Sedikit demi sedikit.
Mulutku manyun-manyun tanda bingung. Masih tidak mengerti
kenapa Ibu berbicara seperti itu.
Tapi ingat ini, Elektra . . .
Punggungku kembali melorot. Posisi diberi petuah, begitu aku
menyebutnya.

Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pekerjaanmu kelak hanya penyambung nafkah, sebesar apapun kamu
mencintainya, jangan takut untuk meninggalkan semua itu bila saatnya
datang. Jangan ragu. Dirimu lebih besar dari yang kamu tahu.
Ingin sekali aku menimpali, atau bertanya sedikit, tapi mulutku
rasanya terkunci. Kalimat barusan seolah melesak ke dalam lapisan otakku
paling bawah, bersembunyi di sana, untuk satu hari nanti melompat ke
luar seperti penari dalam kue tart di komik Lucky Luke. Aku selalu
memimpikan kue tart seperti itu. Bertingkat-tingkat. Krim putih dan
108 merah jambu. Seperti nya enaaak. . . sekali. Baru pada pernikahan Watti
aku tahu bahwa kue besar begitu 90% bohong. Cuma puncaknya saja kue
betulan. Sisanya gabus ditutupi krim. Dan kenapa aku malah membahas
kue" Usai percakapanku dengan Ibu Sati, aku pun berdiri di tengah-tengah
ruang tamuku yang lengang. Tidak sulit membayangkan ada jajaran
komputer di situ. Ada gajah juga mungkin. Orang seliweran apalagi.
Sebagian duduk di depan komputernya, sebagian lagi menemani di
sebelah, lalu ada yang nongkrong di sofa itu sambil ngobrol, main gitar,
ada suara musik berkumandang . . . hmm. Dan semua itu
menghasilkan-uang" Malam itu kukitari rumah berkali-kali. Bayangan demi bayangan
melekat di benak. Semakin lama semakin jelas. Komputer-komputer . . .
suara-suara . . . seolah bisa kuraba dan kudengar saat itu juga. Dan semua
itu menghasilkan-uang"
...TOGE Percakapan telepon: Elektra & Kewoy
20.17 WIB Oktober 2001 E: Kapan saya bisa ketemu"
K: Nanti malam. E: Dia sendiri" K:Ya. Pertemuan langsung: Elektra & Kewoy & Pria A
23.08 WIB Oktober 2001 E: Apa tidak bisa ditawar lagi"
A: Tidak. K: Tapi penawaran ini terlalu tinggi.
A: Kalian akan dapatkan yang terbaik.
Pembicaraan empat mata: Elektra & Kewoy
00.43 WIB Oktober 2001 K: Kita coba yang lain. E: Sudah kamu temukan orangnya"
K: Sudah, dan dia bersedia.
E: Kalau begitu, atur pertemuan secepatnya.
Pertemuan langsung: Elektra & Kewoy & Pria B
19.19 WIB November 2001 K: Bag us. E: Saya setuju. B: Deal" K&E: Deal! Selang sebulan dari percakapan di atas, sebuah tonggak sejarah
terpancangkan. Sebulan! Namun 30 hari itu ibarat evolusi satu milenia di
mata Charles Darwin. Watti bisa hilang ingatan dan menceraikan Atam
lalu kawin dengan kepala suku Dani kalau ia tahu ini: aku membuka
warnet. (Diulang dengan huruf kapital agar dramatis:) WARNET.
Demikianlah aku menerjemahkan wangsit yang numpang lewat via
Ibu Sati. Warnet memang bukan bisnis yang cepat mengembalikan
investasi, tapi cukup buat makan sehari-hari. Bagiku, itu seperti kembali
menabung dalam celengan ayam. Bukankah persistensiku sudah teruji"
110 Empat tabungan kanak-kanak terbukti berhasil menghidupi seorang
Elektra. Kini aku memulai tabungan orang gede, dengan warnet sebagai
celengan pertama. Kalau dulu tabungan kanak-kanak merupakan remah dari uang jajan,
dikumpulkan oleh seorang individu saja, tabungan orang gede (TOGE)
adalah leher sendiri yang dikonversikan ke dalam rupiah, tidak mutlak
dari kocek satu individu, dan nominalnya tergantung seberapa besar urat
nyali masing-masing. llmumnya, TOGE memang hasil urunan beberapa
orang gede yang sama-sama bertekad mempertaruhkan leher. Warnet
kami merupakan manifestasi TOGE yang di dalamnya terdapat tiga
manusia nekat: aku, Kewoy, dan temannya bernama Toni-akrab disebut
Mpret. . .. Mpret setegas kentut
Aku menyukai Toni alias Mpret sejak pertemuan pertama. Barangkali
karena semangat hidupnya yang menyala-nyala, atau kegilaannya pada
dunia digital yang tidak kepalang tanggung, atau kegigihannya (baca:
kelicikan) berbisnis, atau . . . namanya.
MPRET! Dari menyebut namanya saja kalian sudah bisa meraba, kan"
Mpret setegas kentut. Bukan kentut berpanjang-panjang dan berbisik-bisik, tapi yang keras, pendek, dan hadir. Seperti anak penongkrong warnet
lainnya, Mpret juga punya ciri khas yang sama: kaosnya kusut tak
tersetrika karena biasanya dipakai dua-tiga hari untuk berbagai aktivitas,
rambutnya jabrik dan sedikit berminyak hingga konstan disangka bangun
tidur, badan kurus dikikis angin malam. Untungnya, Mpret dikaruniai
kedua mata tahan banting hingga tidak berkacamata sampai sekarang,
padahal ia bisa nongkrong di depan komputer 15 jam sehari.
Mpret bersuara keras dan anti basa-basi. Hobi nomor satunya (melebihi
komputer) adalah tertawa. Tawa Mpret ibarat tawa seorang kaisar. Dua
111 detik ia terbahak, satu ruangan seolah wajib untuk ikut. Ada ritme dan
nada tertentu dalam tawanya yang menyebabkan kami semua tertulari
dengan cepat. ia orang paling menyenangkan sesudah Srimulat, tapi
begitu bicara bisnis, rasanya lebih baik ngobrol dengan nyamuk. Jangan
bermimpi bisa seperti supermarket yang mengganti uang kembali dengan
permen, atau menihilkan lima belas perak dari bon, Mpret akan
mengejarmu sampai ke satuan uang terkecil. Satu butir beras pun bisa
mengacaukan timbangan, begitu prinsipnya.
Pada tahun kedua, Mpret drop out dari kuliahnya di GeoIogi ITB. Baginya,
bebatuan hanyalah pemberat. Ia ingin terbang. Dan sayap-sayap itu
diperolehnya dari dunia cyber nan tak bercakrawala. Agaknya Mpret
termasuk penerbang pertama di langit. internet, buktinya bisa-bisanya
dia punya alamat e-mail: toni@yahoo.com. Dari jutaan Toni di dunia, ia
keluar sebagai pemenang. Hasil dua belas tahun berwara-wiri, Mpret telah menyumbangkan
dua belas virus komputer ke daftar Norton Antivirus, meng-hack hampir
semua jaringan belanja on-line dan membuat kerugian puluhan ribu dol-lar, belakangan ini ia bahkan sudah bisa menyusup ke beberapa internet
banking. Sembari ketawa-ketawa, menghirup kopi tubruk, jari telunjuknya
mengklik mouse dan tertransferlah satu rupiah dari sejuta lebih rekening
yang kemudian dihabiskannya dalam sekejap di toko games. Dengan adanya
jari telunjuk itu di dunia internet, aku ingin kembali menyimpan uang di
bawah kasur. Sekarang, mari kita runut ke belakang: Mpret adalah Pria B. Pria A
adalah seorang businessman berdasi yang bertitel Sarjana Informatika.
Pria A pernah menjadi konsultan untuk tiga warnet di daerah
bergengsi, yang semua bangunannya mewah dan parkirannya luas. Pro-posal darinya d
ijilid rapi, pakai printer tinta warna, dibungkus map yang
terbuat dari kertas fancy, logo perusahaan di pojok. Masih belum cukup, ia
menyelipkan lagi CD berisi profil perusahaan dan proposal dalam format
dokumen Power Point. Sempat juga aku mabuk kepayang oleh keindahan
112 kertas dan komposisi grafis itu, tapi semuanya bubar jalan ketika mataku
tertumbuk pada angka di baris paling bawah: Kp 75.000.000,-Mataku langsung mengerdip-ngerdip, mencari fokus. Kuhitung nol
yang kelihatan begitu banyak, merunutnya dengan jari. Betul. Ada enam
nol. Bukan tujuh juta lima ratus ribu. Tujuh puluh lima juta. TUJUH
PULUH LIMA JUTA"! Kalian sudah bisa menduga apa reaksiku, kan" Rasanya ingin kujambak
habis rambut Pria A sampai ia harus merendam kepala dalam belanga isi
tonik ginseng, lalu kulahap kertas-kertas indahnya pakai cocolan sambal
terasi seperti menyantap lalap mentah. Dan itu semua layak dilakukan
karena proposalnya nyaris menggugurkan imanku terhadap wangsit
sedemikian sakral. Baru sesudah itulah, Kewoy mengeluarkan kartu As-nya: Mpret. O-rang yang paling sulit dicari. Sekalipun punya warnet pribadi, Mpret
memilih keliling ke warnet-warnet yang ia asuh, dan selalu membayar
penuh. Mpret merasa punya kewajiban membantu pengusaha kecil
sekalipun ia sendiri yang membidani usaha tersebut. Ia juga memiliki
satu warnet sukses di belakang gedung Telkom. Berlokasi di jalan sempit,
nyaris tidak ada tempat parkir, kecuali sebuah lapangan besar yang dipakai
bersama oleh semua penghuni jalan. Warnet tanpa plang, buka 24 jam,
dan orang terus masuk keluar seperti kerajaan semut yang tak pernah
tidur. Tadinya aku tidak mengerti, kok, tempat sesumpek itu bisa laris"
Namun belakangan aku paham. Pertama, tarifnya setengah dari tiga
warnet mahal tempat si Pria A bekerja, 30% lebih murah dari Trix. Kedua,
Mpret bukan hanya punya pelanggan, tapi juga komunitas. Orang-or-ang yang pergi ke sana merupakan bagian dari komunitas tak bernama
yang diikat oleh karisma seorang Mpret. Dari cuma ikatan pertemanan,
lama-lama berkembang menjadi ikatan semi profesional. Mereka yang
ketahuan punya talenta lebih, diasah oleh Mpret menjadi programmer
handal, lalu sama-sama mereka mengerjakan aneka proyek: web design,
113 portal, e-book, dan Iain-lain. Tak cuma berhenti pada bidang itu, banyak
yang jadi desainer grafis dadakan, mulai dari order mendesain stiker, kaos,
sampai company profile. Komunitas Mpret punya dua kelebihan utama: murah dan handal.
Mereka tidak dibebani sewa tempat, pajak, gaji karyawan, konflik
perusahaan. Mereka dikaruniai orang-orang muda yang bebas
tanggungan, kantor dengan biaya operasional sangat murah, pelatihan
SDM gratis, jam lembur nan panjang karena besoknya bebas bangun
siang. Kewoy beruntung bisa menemukan Mpret. Selebihnya adalah
permainan insting. Kami gunakan ketajaman penciuman masing-masing.
Mpret langsung tertarik pada Eleanor, dan ia senang berbisnis dengan
anak muda. Aku suka gaya bisnisnya yang sederhana tapi efektif, juga . . .
namanya. Matanya yang bulat dan cerdas menatapku lurus-lurus: Kalo lu minta
gua jadi konsultan, biayanya nggak murah. Mungkin lebih mahal dari
orang yang lu temuin kemarin. Karena apa" Ta berhenti sejenak, namun
mata itu tidak belok ke mana pun juga. Karena semua warnet rancangan
gua akan menghasilkan keuntungan paling besar, dengan biaya yang
paling rendah. Biaya konsultan cuma tai kucing dibanding apa yang bakal
lu dapat. Ia melirik Kewoy yang sepertinya ingin menyeletukkan sesuatu,
lalu sambil tersenyum tipis Mpret menjawab pertanyaan yang tersumbat
itu: Memang, gua sering bantuin orang. Gratis. Tapi gua jujur sama lu,
gua tertarik sama tempat ini. Lu goblok kalo cuma pingin bikin warnet.
Saingan banyak, maintenance rumah ginian tinggi, mau berapa tahun duit
lu balik" Mendingan ngontrak rumah aja di gang, dijadiin warnet. Lebih
nguntungin. Kita bisa bikin lebih besar dari itu. Pelan-pelan, memang.
Tapi rencana besarnya sudah harus siap dari sekarang. Kalo lu mau, gua
ikut invest. Aku terenyak. Konsep TOGE tidak pernah ada dalam kamusku
sebelumnya. Satu-satunya model bisnis yang kutahu hanyalah
Wijaya 114 Elektronik, yang mana Dedi menjadi pemilik tunggal dan bisnis tiga
dekadenya cukup dikondens dalam dua puluh satu buku tulis.
Mpret melanjutkan: Tempat ini akan gua hargai tinggi. Pasti. Tapi
kalo lu masih mau nyetor modal, oke. Nggak ada masalah.
Aku menelan ludah: Memangnya-selain warnet, mau dibikin apa
lagi" Kita bikin ini jadi zona. Tempat nongkrong tapi menghasilkan duit.
Warnet bisa jadi start, sesudahnya kita bisa bikin rental play station, multi player
games, kalo masih ada space kita bisa sewain jadi distro. Banyak teman-teman gua yang punya bisnis independen. Baju kek, merchandise, kaset, apa
saja. Desainer-desainer gua juga bisa ditaro di sini. Klien mereka udah
banyak. Lu nggak usah pasang plang. Gua jamin, nggak sampai seminggu,
semua anak Bandung udah tahu tempat lu.
Mpret beralih pada Kewoy: Woy, lu dibutuhin di sini. Gua nggak
mungkin terus-terusan stand-by, dan lu udah punya pengalaman ngelola
warnet. Jadi, nanti Etra dan elu yang me-manage tempat ini sehari-hari.
Kewoy pun bersuara: Dipikirin aja dulu, Tra.
Aku menatap Mpret sekali lagi. Menantang matanya. Kami sudah
saling membaui lewat insting masing-masing, selebihnya . . . reaksi kimia.
Ada sesuatu di mata bulat itu. Rasa percaya.
Aku mengulurkan tanganku. Anggap ini MoU, ujarku pendek.
Mpret tersenyum kecil. Kami pun bersalaman.
Esok harinya, ia mengembalikan kertas proposal dari pria A. Membuat
proposal tandingan di atasnya. Ia bahkan tidak mau susah-susah mengetik.
Berbekal spidol merah Mpret mencorat-coret angka-angka dalam pro-posal itu. Banyak sekali yang ia gasak. Membacanya nyaris membangkitkan
trauma masa bersekolah saat hasil ulangan Bahasa Sunda dibagikan. Aku
payah sekali, cuma tahu bahasa Sunda kasar buah pergaulan dengan
tukang-tukang, dan guruku mengira aku sengaja menghinanya. Diberilah
aku angka 4,5 di raport. Angka empat di sekolah negeri" Aku pun gantian
115 marah-marah karena merasa dihina.
Namun kali ini lain kasusnya. Semakin banvak coretan vang kulihat,
semakin sering aku tersenyum. Mpret menuliskan angka-angka yang
setengah lebih kecil dari apa yang tercetak, mengeliminasi begitu banyak
item, dibumbui komentar-komentar tak perlu tapi aku setuju semua:
'apaan, nih"!', 'guoblok!', 'tukang catut!', 'ayam pop 1, gule tempe 2, jus
alpukat 1'. Seakan menggenapi pelecehannya, dia bahkan menuliskan
pesanan nasi Padang di atas proposal malang itu.
Mataku mengerdip-ngerdip, mencari fokus, merunut angka akhir yang
dilingkarinya. Aku tak percaya kami akan memiliki warnet dua kali lebih
besar dengan harga sepertiganya. Namun Mpret membuktikan bahwa
itu bisa terjadi. Minggu itu juga, salah satu desainer interiornya datang,
mulai merancang wajah baru Eleanor. Pertama-tama ia bertanya: apa
yang aku butuhkan. Aku butuh kamar tidurku, kamar mandi, dan sebuah
kamar serba guna untuk menampung Watti kalau-kalau ia berkunjung.
Sisanya, nggak perlu lagi, kan" tanyanya mengonfirmasi. Sekaligus
mempersuasi. Aku menggeleng. Dengan resmi, kulepas sudah 90% lebih tubuh
Eleanor. Kini aku hanyalah kutu air yang menetap di sela-sela jempol
kakinya. .. . Selekta Pop Semua urusan teknis warnet menjadi bagian Mpret. Aku tidak perlu
tahu bagaimana dia bisa menyulap tegangan listrik, koneksi internet yang
supercepat, dan cara-cara ekonomis lain yang bersanding tipis dengan
kriminalitas. Semua perbaikan rumah menjadi bagianku. Kami harus membongkar
atap, menambah titik listrik, stop kontak, exhaust fan, dan beberapa bagian
rumah dicat lagi. Bangunan tambahan Dedi juga perlu diperjelas apa
116 maunya, untuk itu kami mendesain ulang bentuk serta penyekatan.
Khusus untuk dapur, aku melakukan sedikit upgrading, yakni penambahan
jumlah panci, wajan, mangkok, piring, dan gelas. Pada cetak biru dalam
kepalanya, Mpret merancang sebuah warung makan yang buka semalam
suntuk. Dalam tiga minggu, perbaikan di dalam telah selesai. Mpret
menurunkan tukang-tukang terbaiknya, dibantu oleh teman-temannya


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang sekompi itu. Aku, yang menyaksikan perubahan rumah dari hari ke
hari, tetap takjub melihat hasil akhir. Tempat yang dulu tertatih
tersandung zaman, kini mema
ncarkan semangat kebaruan dari setiap
sudut. Lampu yang tertata, warna yang dipadu-padan dengan terencana,
peletakan barang yang menggunakan perhitungan . . . semuanya
mendadak simetris. Semuanya mendadak indah.
Mari, kuajak kalian berkeliling. Halaman depan: pagar besi dicat ulang
warna putih, pagar tanaman yang melapisinya dipangkas sehingga
permukaannya (akhirnya) rata, pelataran kami yang tak berumput dan
selalu berdebu sebagian ditutup dengan paving block, sisanya dirapikan
untuk tempat parkir. Bangunan darurat Dedi yang dulu belang-bentong
dicat seragam warna krem pucat, lalu sebagian dinding-dindingnya dibuka
sehingga menjadi area semi terbuka, tanaman potku disusun di sana.
Fisik bangunan utama tidak kami ubah, demi melestarikan arsitektur
Belanda yang sudah langka dan agar tidak dihujat mahasiswa Arsitektur
se-Bandung Raya. Bukalah pintu depan. Kalian akan disambut oleh 24 komputer yang
tersusun dalam sekat-sekat, tak perlu keringat dingin kalau lagi ngintip
situs tujuh belas tahun ke atas. Tidak ada kursi. Hanya karpet dan bantal-bantal (catatan: aku yang mengusulkan, terinspirasi oleh Ibu Sati dan
ruang tamunya yang membuat kita enggan pulang, dan tak lupa hio
aroma vanili yang konon disukai anak muda ditempel pada empat penjuru
dinding). Eternit rumah Belanda yang tinggi 'didekatkan' dengan cara
menggantung lampu-lampu ke bawah. Bukan sembarang lampu. Lagi117 lagi, terinspirasi oleh kehangatan India, kami membuat rangka lampu
heksagonal yang dilapisi kain, dihiasi ornamen kaca, diisi bohlam pijar
kecil berselang-seling; merah dan kuning. Penerangan global dibantu
lampu-lampu downlight yang ditanam di langit-langit. Tapi, percayalah,
lewat pukul satu pagi, engkau hanya ingin lampu-lampu kain itu yang
menyala. Tepat di seberang pintu, ada bagian menjorok yang akan menjadi
singgasanaku dan Kewoy kelak. Tempat komputer 17 yuta yang berperan
sebagai induk warnet ini bersemayam. Tersimpan juga sebuah sofa, dan
gitar-sumbangan dari Mi'un, desainer interior kami yang gemar
membuat bebunyian. Kami tak sampai hati menganggapnya 'bernyanyi'.
Pintu kedua akan membawa kalian ke ruang yang sedikit lebih kecil.
Hamparan karpet dengan tujuh teve 14 inci, tempat mereka-mereka yang
ingin mendadaskan jempol di joystick Play Station. Untuk ruang ini, kami
beri penerangan yang benderang. Jangan sampai mereka terdistraksi
suasana dan kehilangan konsentrasi bermain. Kami ingin mereka semua
jadi juara. Pintu ketiga akan menghantarkan kalian ke obsesi pribadi Mpret.
Ruang ini tidak ada dalam skema kami sebelumnya. Namun karena Mpret
bersikeras dan setuju untuk tidak menghitungnya ke perhitungan
investasi, akhirnya aku merelakan. Sejak dulu, Mpret ingin menikmati
satu set home theatre hasil carding-nya. yang tidak pernah optimal dinikmati
karena terperangkap dalam kamar kos 3X3. Untuk itu, ia menjadikan
mantan ruang makan 5X6 kami sebagai sarana pembalasan dendam.
Seluruh dinding ia pasang peredam dari lapisan tripleks dan karpet, lalu
satu demi satu kawanan ini datang: sofa kulit, AC split bekas, teve 42 inci,
DVD player, amplifier, equalizer, sub woofer, enam speaker, dan dua ratusan lebih
film koleksi pribadinya yang bisa disewa untuk ditonton di tempat.
Terpajang papan peringatan besar pada dinding: NO SMOKING. Mpret
memungut biaya sewa film dan ruangan, sembari berharap-harap cemas
118 tidak ada yang menyewa supaya ia bisa selamanya di sana.
Masih ada pintu keempat, bekas kamar Watti. Cukupan untuk jadi
tempat pertemuan kami, para pemilik dan pengurus inti. Di sini tempat
para desainer bertemu dengan kliennya, tempat mereka bekerja dengan
notebook, tempat Mpret bernegosiasi dengan pihak luar, dan tempat Kewoy
ingin tidur pulas tak terganggu.
Sekarang, mari kita melongok ke garasi yang sudah bersih dari segala
benda dan bulan depan siap diisi oleh lima merk clothing. Tata letak dan
perabot sepenuhnya diserahkan ke pihak penyewa, dengan Mi'un sebagai
supervisor. Dari sana, kita akan kembali menembus ke area depan, ke bangunan
darurat yang minggu depan akan diubah menjadi warung. Kehabisan
rokok" Haus" Lapar" Tinggal teriak. Ata
u duduk-duduk doang demi menghirup udara segar juga boleh. Mpret punya sahabat tukang nasi
goreng tek-tek yang terkenal enak masakannya. Mas Yono, asal Klaten,
bersedia pensiun dari trek aspal dan menggantungkan wajan demi
membantu Mpret menjalankan warung. Di tangannya, mie instan hadir
dengan berbagai variasi. Kelihaiannya dengan telur pun bukan main.
Ada nasi goreng dibungkus telur dadar. Telur dadar gulung isi mie goreng.
Orak-arik mie dan telur. Menjadikanku merasa sangat bodoh dan tolol.
Puluhan tahun aku mengonsumsi telur, tak satu pun metode yang
terpikir selain menceploknya. Mas Yono pun piawai dalam meramu
minuman. Berbekal krimer, vanili bubuk, kayu manis, daun pandan, serta
air jahe, ia membuat dua minuman paling klasik di dunia, teh dan kopi,
dipertanyakan identitasnya (slurp. Ini teh" slurp. Kopi ini teh").
Tinggal satu masalah terakhir: nama tempat. Sekalipun tidak akan
pasang plang, tapi kami sepakat harus ada satu nama yang membenderai
semua kegiatan bisnis ini. Wahana-wahana di tempat ini terlalu kompleks
untuk dibiarkan tak berjudul. Di ruang rapat, sebuah debat seru pun
berlangsung: Kita kan penganut budaya pop" Komersil dan terdengar cakep Lucu kedengarannya. Seperti 'Selekta Pop' yang dulu ada di TVR1 itu, lho, Mbak! Hihihi. Ide Mas Yono, yang cuma numpang dengar dan numpang lewat,
menjadi favorit semua. Bukan karena namaku yang dipakai atau karena
kami maniak budaya pop, tapi karena sebuah memori kolektif yang sudah
terkubur dalam-dalam mendadak tergali, dan serempak kami teringat
acara Selekta Pop, lalu tertawa-tawa lama sekali. Oh, zaman itu. Saat
stasiun teve cuma satu, saat Unyil menjadi pujaan semua anak bangsa,
saat kami begitu peduli isi acara Aneka Ria Safari, dan saat kami terpana
akan kecanggihan teknologi grafis Selekta Pop. Huruf-huruf warna-warni
terpuntir-puntir. Melayang dari kiri ke kanan .. . kanan ke kiri. . . ke atas
ke bawah. Berkedip-kedip. Oh, betapa menyedihkan.
Mi'un tak kurang akal. Dipanggilnya tukang tembok terbaik, dengan
tugas menyulap tulisan 'Eleanor' menjadi 'Elektra Pop'. Bukan hal yang
gampang. Pertama, huruf zaman kolonial itu tidak mudah ditiru. Kedua,
harus dibuat serapi mungkin agar mengecoh masyarakat Bandung,
khususnya para fundamentalis arsitektur kuno. Dengan serangkaian uji
121 coba yang gagal berkali-kali, akhirnya sang tukang tembok berhasil
melaksanakan tugas: ELEKTRA POP 1931 Giliranku yang kaget setengah mati ketika melihat tagihan dari si
tukang. Ternyata kemampuan antik harus dibayar dengan harga tak
wajar. Mi'un yang merasa bersalah akhirnya berinisiatif ikut menyumbang
. . . dalam bentuk doa. Plus, e-card gratisan bertuliskan besar-besar:
MAAFKAN DAKU. Namun setidaknya kata-kata Mpret terbukti. Aku melupakan dosa
Mi'un dengan cepat. Manalah sempat, begitu aku dan Kewoy kelabakan
menghadapi pengunjung yang membludak. Bertambah terus setiap hari.
Bosan main internet, mereka pindah main Play Station. Kadang-kadang muncul dua belas orang kepingin nonton film ramai-ramai. Ada
yang jadi fanatik masakan Mas Yono tanpa perlu nginternet atau apapun.
Anak-anak dari distro di garasi selalu membawa umat, tak jelas apakah
mereka itu pembeli atau aksesori ruangan. Yang paling gila kalau sudah
ada rombongan yang ingin adu tangkas lewat Counter Strike. Permainan
on-line itu bisa membuat rumahku jadi istana raja yang sedang pesta tujuh
hari tujuh malam. Mobil-mobil padat terparkir sampai pagi. Mas Yono
tiada henti mengantarkan makanan, minuman, sampai ia akhirnya
menyerah dan ngorok di bangku depan. Mereka yang lapar masak sendiri,
lalu menyelipkan uang di sarung Mas Yono, kadang-kadang digulung
dan diselipkan ke kupingnya.
Seminggu pertama, ada saat-saat aku ingin meledakkan tangis. Antara
bahagia dan ingin gila. Belum pernah aku melihat orang sebanyak itu
lalu lalang di rumah. Mentalku dipacu untuk beradaptasi dengan cepat.
122 Rumah yang dulu tidur nyenyak kini menyalak-nyalak seperti anjing
kesambit. Setiap ruang berbunyi. Setiap sudut mengeluarkan suara. Tak
ada lagi tidur siang. Tak ada lagi gua beruang. Kamarku menjadi benteng
Alamo. Pertahanan terakhir
ku menghadapi hiruk-pikuk ini.
... Aku berkenalan dengan Toni
Itu jugalah yang membikinku tambah kagum pada Mpret. Bisnisnya
yang tersebar di mana-mana menuntut Mpret untuk berpikir paralel
macam Windows. Namun pada saat yang bersamaan, tidak ada yang
mampu menyentuh keheningannya. Seakan-akan ia dikelilingi sekotak
dinding, yang di dalamnya ia menjadi Toni yang tak kami ketahui siapa
dan bagaimana. Saat ia dengan khusuk menonton film di ruang home
theatre, rasanya aku melihat sosok lain yang keluar dari sorot mata itu.
Pancaran nan pasrah. Merapuh.
Satu kali, aku pernah nekat bertanya, kenapa ia lakukan itu semua"
Dan bagaimana ia menentukan orang-orang yang rekening atau kartu
kreditnya akan digasak" Apakah ia memikirkan mereka, orang-orang yang
seolah dirampok dalam mimpi"
Mpret mengangkat bahu: Gua ngerasa uang itu cuma ilusi. Apa coba
ini, Tra" Ia mengklik mouse. Nih, gua klik, duitnya pindah ke sono. Keringat
yang punya duit pindah, nggak" Kerja kerasnya ngikut, nggak" Gua klik
lagi, duitnya pindah ke sini. Mau sepuluh kali bolak-balik" Bisa. Mau jadi
nol" Bisa juga. Tapi orang yang punya duitnya bisa bunuh diri kali, ya.
Haha! Mpret tertawa keras, dan tak lama aku ikutan. Orang yang menukar
jiwanya sama duitlah yang bikin duit punya nyawa, katanya lagi. Padahal,
kalo dia duduk bareng sama gua di sini, kali dia bisa ketawa-ketawa
juga... Jadi kamu pikir semua ini cuma main-main" tanyaku tak percaya.
Kurang lebih, jawabnya ringkas. Orang-orang yang gua kerjain ada
123 baiknya bersyukur. Mereka jadi tahu, duit itu cuma mainan. Jangan terlalu
dianggap seriuusss! Tapi, kok, kamu pelit! Itungan!
ia seketika menoleh, dan aku tertegun. Berharap ia akan menatapku
bengis, tapi tidak, justru matanya bersinar lembut. Seolah memandang
jabang bayi. Tra, mana bisa gua pelit" ujarnya. Teliti, iya. Tapi tidak pernah
pelit. Apa yang mau gua pelitin" Gua nggak punya apa-apa. Barang-barang
ini semua sulap. Besok kebakar juga nggak jadi duit lagi. Mpret kemudian
menepuki komputernya: Mulut gua bisa ngomong, ini sejuta, ini dua
juta, tapi dalam hati gua nggak pernah ngelihat itu. Gua cuma ngelihat
apa yang bisa bikin gua senang, bisa bikin teman-teman gua hepi, mereka
jadi maju, jadi rajin. Cukup.
Tapi... tapi, ya, duit tetep duit! timpalku. Memang enak kerampokan"!
Mpret tersenyum samar. Seperti mengeja, ia berkata: Besok pagi,
bayangin, lu bangun, dan satu dunia sepakat kalo uang itu nggak ada.
Bisa" Pasti bisa. Uang bisa hilang dalam sedetik. Tapi coba lu bayangin, lu
dan dunia sepakat kalo rasa bahagia itu nggak ada . . . cinta itu nggak ada
. . . bisa" Mpret pun nyengir mendapatkanku yang bungkam dan
termangu. Bisa, nggaaak" oloknya.
Senyumnya sirna, dan dengan lebih pelan ia berkata: Sejak gua
ngebayangin itu, Tra, gua jadi tahu apa yang bisa bikin orang kaya. Dan
sampai kiamat kek, sampai otak gua segede duren kek . . . sesuatu itu . . .
nggak akan mungkin bisa gua curi.
Aku pun yakin, barusan aku telah berkenalan dengan Toni.
Mpret yang kutahu, akan kembali melenggang dengan langkahnya
yang sedikit terseret, bahu kurus yang agak bungkuk, tapi bola matanya
siap merobekmu seperti kuku macan. Ia lalu akan mencegat angkot, duduk
di paling pinggir dekat pintu, dan ketika angin mulai bertiup menerpa
wajah, sorot itu kembali merapuh . . . Toni, tengah merenungi dunia. Di
perhentian berikut, sandal gunung itu menyeretnya ke tempat di mana
ia hidup sebagai Mpret, si penjahat internet yang mencecar setiap sen
uang. 124 Kadang aku berpikir, sungguh hidup ini tak adil. Pada level substansi,
Mpret dan maling jemuran sama adanya. Sama-sama rampok. Tak lebih
dan tak kurang. Yang membedakan adalah, Mpret perampok digital,
sementara maling jemuran adalah perampok manual. Maling jemuran
paling-paling dapat untung sekian ribu perak hasil melego pakaian ke
tukang loak, dan untuk itu ia harus siap dengan risiko digebuki orang
sekampung. Mpret adalah seorang miliarder andai semua uang
kejahatannya dikumpulkan. Namun ia berkeliaran sebebas burung gereja
tanpa ada yang mengira bahwa di balik kaos lisut dan tampang belum
mandi itu, Mpret adalah penja
hat kelas kakap-yang menyenangkan.
Aku harus menambahkan itu. Melihat bagaimana ia menikmati dan
mengapresiasi hidup, membuatku merasa Mpret layak diampuni.
... Hidup ini indah Tentunya aku tidak ingin melupakan jasa Betsye, yang berhasil
mengubah garis hidupku dengan memperkenalkan dunia cyber ini. Tapi ia
tidak mau menemuiku, tidak membalas e-mail, tidak merespons
panggilanku lewat Yahoo!Messenger. Alasannya jelas, Kewoy telah dibajak
menjadi manajer di Elektra Pop. Betsye menganggap aku tidak punya
etika bisnis, merampas Kewoy begitu saja-yang padahal sama sekali
tidak 'begitu saja'. Kewoy telah menyerahkan lehernya pada TOGE. Tak
cuma dapat gaji, ia juga akan menikmati profit sharing. Singkatnya, masa
depan yang lebih baik. Cukup fair, kan; Dan untuk sikap Betsye, aku hanya
bisa mengangkat bahu, dan berkata: business is business.
Sementara Watti . . . ya, sudah bisa ditebak. Empat kali dia berteriak
'HA"!' di telepon (makin lama makin keras). Dan percaya atau tidak, aku
harus menjelaskan padanya arti 'warnet'. Bayangkan! Kakakku satu itu.
Intinya, ia tidak mau terima kalau adik kecil(dan bodoh)nya
bermetamorfosis menjadi seorang entrepreneur, apalagi menyangkut bidang
125 yang ia tidak mengerti sama sekali sehingga tidak punya kesempatan
untuk sok pintar. Putus asa mencecar soal bisnis, ia pun kembali mencoba jalur klasik:
jodoh. Jangan sampai kamu mabuk karier terus lupa kawin ya, katanya.
Nggak ada gunanya uang banyak kalau nggak laku-laku.
Aku sudah punya pacar, jawabku santai.
Siapa"! Banyak. HA"!! (lebih keras lagi daripada yang tadi-tadi)
Ada Jlirgen, dari Hamburg. Ada Pierre Laurent, panggilan imutnya Pi-Lau, anak Perancis, tapi lagi kerja di hotel bintang tujuh Burj Al Arab di
Dubai. Ferdy, di Jakarta. Oh ya, Ivan, di Yogya. Di Bandung aja ada tiga.
Sekarang lagi dekat juga, sih, sama anak Amrik, tapi-ETRA! Kamu gila! Awas, ya. Berani-berani pacaran sama bule lagi.
Masih perawan, nggak kamu"!
Nggak. Aku menjawab cepat, tegas.
Tidak ada sahutan. Ia pasti sedang sibuk cari alas untuk pingsan.
Tenang, nggak bakalan sampai hamil, kok

Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Telepon itu ditutup. I.agi-lagi, aku hanya bisa mengangkat bahu. Bagaimana bisa
menjelaskan konsep cyber sex kepada seseorang yang bahkan tidak tahu
apa itu warnet" Ah, well. . .
Inilah kerajaan mungilku. Singgasanaku adalah tempat aku duduk
on-line merangkap jadi kasir. Lagu-lagu boy band terbaru" Aneka soundtrack
film Hollywood sampai Bollywood" Lagu dubbing yang lagi ngetop" Silakan
tanya Elektra sekarang. Koleksi MP3 kami ada ratusan. Tidak akan lagi
kujawab kalian dengan muka bengong pertanda kurang pergaulan.
Elektra, sang penonton setia bioskop zaman, kini terjun langsung ke
dalam layar untuk jadi pemain. Eleanor pun bukan lagi sarangnya benda-benda teknologi usang, melainkan salah satu simpul penghubung lalu
lintas manusia modern menggunakan teknologi terkini. Siapa yang bisa
menduga" 126 Untuk itu, aku hanya bisa menghela napas, dan berkata: hidup ini
indah. Kutatap salesman yang masih sibuk mendemonstrasikan ketajaman
pisau Swiss-nya. Tertarik, Mbak Elektra" 15 ribu saja.
Aku menggeleng dengan senyum lebar.
15 ribu dua" Kalau beli satu, saya kasih harga 8 ribu, deh.
Aku menggeleng lagi, berjalan pergi.
Oke! 7500 dan bisa beli paket permen ini seharga 15 ribu saja! Untuk
keponakan atau anak tetangga, barangkali" Kali ini dia mengacungkan
setoples raksasa permen Trebor yang selama itu entah disembunyikan di
mana. Aku tertawa geli, dan berjalan semakin cepat.
Mbak Elektra! Ayo, dong! Biar Mas James Bond-nya makin cinta, lho!
Mbak- Baru dua malam yang lalu aku menonton film itu di ruangan Mpret.
Lidahku gatal ingin mengoreksi, bahwa dalam film itu Elektra sebenarnya
mencintai si penjahat. Dan Mas James Bond cuma ia tiduri demi
mengalihkan perhatian. Jadi permen Trebor itu . . . dan pisau Swiss . . .
benar-benar tidak ada gunanya. Tapi, sudahlah.
Aku cuma ingin pulang. Singgasanaku pasti sudah dingin.
... Menyalakan lampu Batman
Begitulah ringkasan hidup orang yang tak kalian kenal dikemas dalam
jeda singkat antara kalimatnya dan kalimat seorang salesman serbaneka.
Luar bia sa, bukan" Kalian pasti tidak menyangka akan dijebak untuk
mengikuti cerita sepanjang itu dengan cara sekotor ini. Namun aku
percaya, cerita metamorfosis selalu menarik untuk diikuti. Itik buruk
rupa jadi angsa cantik, ulat bulu mengerikan jadi kupu-kupu menawan,
127 Wijaya Elektronik jadi Elektra Pop. Tinggal kisah metamorfosis Elektra
Wijayalah yang belum selesai.
Tiga bulan bersibuk-sibuk dengan urusan warnet, sesuatu yang tidak
diharapkan terjadi. Aku jatuh sakit. Kali ini tidak ada diagnosa radang
usus atau kebanyakan begadang. Hidupku justru sangat teratur
menyamai ritme prajurit di kompleks militer dekat rumah semenjak
Elektra Pop berdiri. Sakit ini memang aneh. Selalu hilang ketika aku sudah
memantapkan hati pergi ke dokter, selalu muncul saat aku ingin
menyibukkan diri lagi. Membuat semua orang termasuk aku terbingung-bingung, apa maunya si Elektra" Tiap mau berangkat berobat langsung
segar, tapi begitu melangkah menuju singgasanaku di kursi kasir tubuh
ini ambruk lagi. Praktis, aku teronggok tanpa fungsi. Diperbaiki tak bisa,
didiamkan juga tak jalan-jalan.
Dilihat dari gejalanya, penyakit yang menyerangku itu harusnya bisa
ditaklukkan hanya dengan obat warung. Tidak ada demam, batuk, atau
produksi ingus berlebih. Tubuh lemas, kepala pusing. Itu saja. Namun
lemas dan pusing ini mengundang banyak pertanyaan. Kalau lagi kumat,
duduk tegak pun aku tidak bisa. Harus merangkak-rangkak seperti cicak
tersesat di lantai demi menggapai segala sesuatu. Posisi setengah duduk
pun langsung membuatku melorot, terkapar dengan napas satu-satu,
kepala berputar. Mau mati rasanya. Darahku seperti disedot vampir lahir
kemarin sore yang saking hausnya dengan ceroboh mengisap darah
korban sampai denyut nadinya hilang (ini kesalahan klasik vampir-vampir
baru, korban harusnya tidak boleh sampai mati karena darah mati malah
akan berbalik jadi racun. Dan kalian pasti takjub bagaimana aku bisa
tahu. Apakah ternyata aku vampir atau punya kenalan vampir" Temukan
jawabannya sesudah yang satu ini!).
Penyakit itu merambat hingga menyerang aspek psikologis.
Bagaimana tidak" Aku terpaksa membuat Kewoy, Mi'un, bahkan seorang
Mpret, menyusun jadwal aplusan untuk menjagaku. Dan itu menjadikan
perasaanku tidak karu-karuan. Baru aku tersadar betapa terbiasanya aku
128 dengan kesendirian, kesebatangkaraan, dan betapa canggungnya aku
menghadapi perhatian, meski dalam format sederhana sekalipun.
Jangan bayangkan tiga anak itu berlaku seperti suster teladan atau
induk kangguru yang mengeloni anaknya 24 jam dalam kantung hangat.
Seringnya mereka cuma seperti desertir yang kabur dari tugas demi
numpang tidur tak ketahuan, duduk tegak tak bergeming di sudut
dengan iler menetes sementara aku wara-wiri seperti binatang melata
untuk ambil minum atau majalah. Namun itu sudah cukup untuk
mendatangkan rasa bersalah. Ibu Sati yang juga sendirian akan dengan
mudah serta naluriah mengurusku, tapi. . . anak-anak ini" Dengan segala
keterbatasan, mereka berusaha hadir. Tulus. Tanpa pretensi. Mi'un boleh
jadi kugaji, Kewoy bisa jadi cuma karyawan, Mpret boleh teriak binis, tapi
kenyataannya mereka bagaikan keluarga yang lama hilang dan kini
kembali pulang. Kenapa aku merasa bersalah" Karena semua itu terasa berlebih, terasa
tak layak. Aku tak pernah mengurus apa-apa dalam hidupku. Aku tak
pernah menjadi anggota keluarga yang baik. Selama ini aku bersimbiosa
komensalisme dengan Dedi, Watti, dan semua orang di sekitarku. Aku
ada tapi tak pernah hadir. Aku bersuara tapi tak berguna. Kini, ketika
muncul secercah kesempatan untuk memperbaiki itu semua, mereka
tak lagi ada. Dan akhirnya dibutuhkan penyakit tidak jelas ini untuk
menyadarkanku. Jadi, tak hanya melumpuhkan fisik, penyakit ini juga melemahkan
mental. Sentimental di luar akal. Bayangkan ... bagaimana bisa air mataku
menetes melihat Kewoy tidur bergulung dalam sarung sembari memeluk
buku TTS dan sudah tak bangun-bangun sejak tiga jam yang lalu padahal
sudah kupanggil keras-keras" Aku . . . yang berair mata hanya kalau
menguap kebanyakan atau kelilipan!
Genap seminggu umur serangan penyakit aneh itu, akhirnya par
a penjagaku menyerah. Diam-diam, mereka berencana untuk
memboyongku ke rumah sakit secara mendadak dan tak terduga-duga,
129 tepatnya ketika aku sedang terkapar lemah. Menurut mereka, itulah satu-satunya cara untuk bersiasat dengan virus atau jin atau apapun itu yang
merasuki tubuhku. Maka mengendap-endaplah Mpret, Kewoy, Mi'un, dan Mas Yono ke
dalam kamarku satu sore. Saat itu aku sedang terbaring setengah tidur,
memang bukan gara-gara mengantuk, tapi karena lemas luar biasa.
Cukupan untuk memblokir suara pintu kamar yang membuka dan
langkah berjingkat empat pria dewasa. Nanar, mataku menangkap
bayangan orang-orang berkerumun mendekat. Namun untuk membuka
kelopak secara sempurna pun tenagaku sudah tak ada.
Saking takutnya kecolongan momen, mereka benar-benar
memperlakukan penyakitku seperti kelinci buruan yang kalau telat
disergap bakal melompat kabur. Dan karena yang namanya penyakit tak
kelihatan mata telanjang, maka mereka menjadikan aku yang terlihat
ini sebagai target pengganti. Dengan komando tiga hitungan yang
diucapkan bisik-bisik, keempat pasang tangan itu serentak menyergap
tubuhku untuk dibopong pergi.
Dan ... terjadilah. Peristiwa yang mengubah total citra seorang Elektra
selama-lamanya. Bertepatan dengan kekagetanku dan mendaratnya tangan mereka,
terpancarlah aliran listrik entah dari mana yang menyetrum keempat-empatnya hingga mereka semua terjengkang ke belakang.
Sontak aku duduk tegak. Hening menyelimuti kamar. Semua mata
kami membelalak, saling berpandang-pandangan. Lama sekali.
Mbak Etra . . . nyetrum. Tergagap, Mas Yono memecah sunyi.
Telunjuknya menunjukku takut-takut.
Mpret kelihatan tidak terima. Sorot matanya penuh protes, liar
mencari-cari sumber yang lebih logis di sekitar kami, kabel listrik terjurai
atau apa pun, tapi tidak ada apa-apa.
Kewoy juga ikut mencari-cari, bola matanya bahkan menyapu eternit,
tembok, dan tempat-tempat tak mungkin lainnya. Mengenal Kewoy
130 selama ini, aku yakin yang ia cari lebih condong ke bentuk-bentuk gaib
dari alam lain. Dengan air muka kalut, Mi'un berkomentar pelan: Tra, lu bener-bener . . . SAKIT.
Terjadilah beberapa kesepakatan tak tertulis pada sore itu, antara lain:
mereka tak akan mengulangi lagi penyergapan mendadak model begitu,
dan sesuai dengan permintaanku, mereka tak akan bilang pada siapa-siapa tentang kejadian tadi. Terakhir, yang tak diucapkan tapi semua tahu
sama tahu, mereka tidak akan menyentuh kulitku tanpa memakai san-dal karet.
Sore itu, memang tak banyak yang terucap. Keempatnya
membubarkan diri dengan mulut terkunci, sibuk dengan dugaan dan
kesimpulan masing-masing yang selanjutnya akan mereka diskusikan
diam-diam di ruangan Mpret, tentunya. Dan aku, tetap tak bisa
menjelaskan apa-apa. Hanya kalimat terakhir Mi'un yang terus bergema.
Kata-kata itu sangat menusuk kuping sekaligus sangat benar. Aku bukan
vampir, dan tidak punya kenalan vampir (info tadi kudapat dari film Inter-view with the Vampire yang telah membuatku merasa perlu mempelajari kiat
menjadi vampir yang baik, semua demi cintaku pada Lestat yang
ganteng). Aku memang SAKIT-dengan huruf kapital.
Tak ada jaminan kalau mulut keempat temanku itu dapat digembok
rapi selamanya. Satu saat, cerita sore tadi pasti merembes, membesar,
lalu membuas, hingga mewujudlah sesosok monster penyengat yang
menghabiskan lawannya dengan setrum yang keluar dari sungut yang
tumbuh di jidat. Dan sebelum itu terjadi, sudah saatnya aku menyalakan
'lampu Batman', mengontak pahlawan penolong dalam segala situasi . . .
menelepon Ibu Sati. 131 ... Tari kejang vs Breakdance
Bu . . . saya nyetrum orang lagi.
Cukup lima kata itu di telepon dan Ibu Sati segera meluncur ke rumah.
Sekalipun memajang tampang cuek, keempat korban kejadian tadi sore
tidak bisa menyembunyikan ekspresi ingin tahu mereka ketika Ibu Sati
muncul di depan pintu. Sosok beliau yang tidak biasa-penampilan luar
sangat India plus pembawaan dalam yang sangat berkharismamemperhebat kasak-kusuk di antara mereka berempat. Siapa ibu-ibu
misterius ini" Dukun" Ketua sekte pemuja listrik" Apa urusannya dengan
Elektra" Sesuai dugaan, penyakitku hil
ang tanpa bekas ketika Ibu Sati tiba.
Dengan segar bugar aku menyambutnya dan segera menggiring Ibu Sati
menuju kamar. Namun beliau malah berhenti di setiap ruangan,
berkenalan sopan dengan para pengurus Elektra Pop, asyik memandangi
komputer-komputer kami seperti anak kecil tersesat di Time Zone.
Kamu ternyata lebih maju dari yang Ibu duga. Hebat sekali, decaknya
kagum. Kamu makin dekat dengan pintu pencarianmu . . .
Tampang cengengesanku berubah mendengar pernyataannya
barusan. Apalagi tadi listrik kamu sudah keluar lagi, ya" sambung Ibu Sati berseri.
Volume suara maksimal. Mpret, Kewoy, dan Mi'un yang ada di ruangan
serta-merta menoleh. Ketiga wajah mereka menyerukan 'A-HA!'.
Aku langsung salah tingkah. Hello" Earth to Sati" Bukankah itu rahasia
di antara kita berdua" Perlukah kubeberkan 'meditasi terbang'-nya supaya
skor kami 1-1" Masih dengan muka tak bersalah, Ibu Sati berkata: Ada ruangan
kosong supaya kita bisa mulai pelatihan"
Antena ketiga orang yang tengah menguping itu kian membubung
tinggi. Pelatihan apa, Bu" Aku terkekeh gugup.
132 Mpret ternyata tak bisa menahan diri lagi. Dibukanya ruang home the-atre lebar-lebar. Silakan di sini saja, ujarnya bersemangat.
Terima kasih, Dik. Ibu Sati mengangguk ramah lalu menggandengku
masuk. Dan ketiga penguping itu membuntuti dari belakang tanpa rasa
malu. Maaf ya, kami berdua dulu, Ibu Sati berkata pada mereka.
Ketiganya beringsut mundur, cengar-cengir masam.
Giliranku yang bertanya-tanya. Berdua dulu" Berarti nanti bisa bertiga"
Berlima" BERAMAI-RAMAI" Saat pintu tertutup, aku memberondong
Ibu Sati dengan pertanyaan: Bu, kok ngomongnya keras-keras, sih" Tiga
orang tadi itu yang kesetrum! Kan mereka jadi tambah curiga. Terus,
mau ada pelatihan apa"
Ingat latihan pernapasan yang Ibu ajarkan waktu kamu tinggal di
rumah" Aku mengangguk. Ibu senang, kamu ternyata terus berlatih. Karena kalau enggak,
peristiwa tadi sore tidak akan mungkin terjadi.
Dibilang begitu, aku tambah bingung. Asal kalian tahu saja, latihan
yang dimaksud sangatlah sederhana. Aku hanya disuruh menarik napas
panjang-panjang memakai perut kemudian mengeluarkannya pelan,
sangat pelan-pelan, sambil membunyikan huruf 's' panjang. Awalnya,
lima menit saja sudah bikin kepala pusing. Kata Ibu Sati, itu karena selama
ini manusia jarang sekali bernapas dengan benar. Kadar oksigen di udara
makin menurun karena kualitas lingkungan yang memburuk, dan kita
hanya tahu cara mendapatkan energi sebatas dari makanan, padahal energi
tidaklah terbatas dan tak berbatas. Pernapasan yang dia ajarkan bukan
hanya sekadar menarik udara seperti yang kebanyakan kita lakukan, tapi
juga menarik energi. Udara hanya disedot oleh organ-organ pernapasan,
tapi energi ditarik dan diolah oleh seluruh sel tubuh. Setelah
133 melakukannya tiap hari secara teratur, lama kelamaan aku bisa bertahan
sepuluh menit, dua puluh menit, hingga nyaris satu jam.
Terus terang, satu-satunya alasan kenapa aku dulu mau
melatihkannya setiap hari adalah, aku butuh energi. Ya. ENERGI.
Bayangkan, cuma nasi sekepal dan telur ceplok mau berenergi dari mana"
Makanya, ketika Ibu Sati memberi tahu bahwa melatih pernapasan seperti
itu berarti dapat udara plus energi, aku tak berpikir dua kali. Ini dia cara
paling ekonomis! Memang, efeknya tidak langsung terasa. Namun lewat lima-enam
hari, aku mulai merasakan tubuhku lebih fit, tidak mudah sakit, meski
bukan berarti rasa lapar bisa lenyap kalau lambung memang tak ada
isinya. Sampai pada satu titik, latihan itu berubah menjadi kebiasaan.
Ritual harian yang tak lagi diingat dan diwaktu. Aku melakukannya sambil
main game, sambil melamun sebelum tidur, sambil bengong di angkot,
dan seterusnya. Nggak mungkin, Bu. Aku membantah, mantap. Itu pasti karena . . .
karena... Karena apa" Ibu Sati balas menantangku.
Ternyata memang tak ada jawaban yang lebih baik. Jauh di lubuk
hati, aku tahu ini bukan karena epilepsi. Aku tahu ini bukan gara-gara
tarian memanggil petir. Aku tahu ini tak ada hubungannya dengan
kutukan turun-temurun Ni Asih. Sesuatu yang tidak beres bersemayam
di dalam diriku, entah sejak kapan. Sesuatu itu telah
memilih tubuhku. Tapi, siapa itu" Kalau 'itu' bukan Elektra Wijaya, berarti siapa" Siapa
sesungguhnya 'aku'" Aduh, kenapa jadi sampai ke situ masalahnya . . .
Ibu pernah bilang, kamu punya potensi besar di dalam sana. Dan


Supernova Petir Karya Dee Dewi Lestari di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

akhirnya dengan latihan rutin yang kamu lakukan, tubuh kamu mulai
memasuki tahap persiapan. Sudah berapa lama kamu mulai mencoba
rutin" tanyanya. 134 Aku mengingat-ingat. Kira-kira tiga bulan, jawabku.
Baru-baru ini kamu pasti sering nggak enak badan. lya"
I-iya, jawabku lagi. Mulai curiga. Kok, bisa tahu"
Oke, sekarang, dengar baik-baik. Pertama, itu bukan penyakit, tapi
tahap kesiapan yang ditunjukkan fisik kamu. Seperti detoksifikasi, latihan
pernapasan dan meditasi yang kamu lakukan sebetulnya mengikis residu
yang menumpuk pada tubuh astral, membersihkan aura, dan
memperkuat pancaran energi kamu. Hampir semua proses detoksifikasi
membuat badan seperti tambah sakit, padahal sebenarnya justru segala
mekanisme yang selama ini salah sedang dikoreksi. Kedua-Ibu Sati
menarik napasnya, seolah akan mempermaklumkan sesuatu yang
dahsyat-kamu memang . . . kelainan.
Kerongkonganku tercekat. Dikiranya mencerna semua kata-katanya
tadi itu gampang, apa" Sekarang, ditambah lagi dengan keterangan kalau
aku memang kelainan. Ini lebih buruk dari terinfeksi kuman atau
kerasukan. Mutan! Tolooong . . . aku mutan!
Kelainan yang patut kamu syukuri, mulai dari sekarang. Camkan itu,
lanjut Ibu Sati tegas. Memanfaatkan listrik untuk terapi badaniah bukan
hal baru, berabad-abad manusia sudah melakukannya. Tapi, tubuh kamu
mampu menyerap dan mengolah medan listrik di sekitarmu, lalu
mengalirkannya tanpa alat bantu apa pun. Lihat ini . . .
Dari tas tangannya, Ibu Sati mengeluarkan seutas kabel listrik yang
kelihatan aneh. Pencocok di ujung satu, sementara di ujung lain kabel
yang dipisah dua itu disambung ke plat timah. Selembar kertas koran
yang menumpuk di atas meja ia tarik, dibolongi kecil, lalu diletakkan di
bawah telapak kakiku. Dan tanpa ragu, ia colokkan steker itu ke stop
kontak, lantas menginjak ujung kabel yang positif dengan tapak kakinya
yang telanjang. Belum beres aku terkesiap melihat aksi berbahaya Ibu
Sati, sekonyong-konyong ia menotokkan dua jarinya ke bahu kiriku.
Aliran listrik merembet seketika. Aneh. Tidak menyengat seperti kalau
menusukkan jari ke stop kontak. Aliran ini bergetar teratur dan lembut
135 seperti gelombang air. Persis mesin pijat di mall-mall yang suka
ditempelkan ke badan pengunjung secara semena-mena oleh para sales-nya.
Rangkaian terapi shock itu masih berlanjut. Tangan kiriku yang ditotok
tiba-tiba bergerak-gerak sendiri tak terkendali. Bu . . . bu, kenapa, nih"!
seruku panik. Hehe, seperti tari kejang, ya" Ibu Sati malah terkekeh.
Tari kejang. Shock berikutnya. Sudah lama sekali tidak mendengar
istilah itu. Kenapa bukan breakdance, gitu lho"
Tangan Ibu Sati bergeser ke bahuku yang lain. Seperti boneka yang
digerakkan tali, bagian tubuhku yang lain ikut menari-nari seiring
pergeseran tangannya. Tuh, berarti badan kamu sebenarnya sehat. Kalau ada yang nggak
beres, pasti aliran saya terhambat, tangan kamu nggak akan gerak-gerak
begini... Kutatap Ibu Sati tajam, berusaha mentransfer ratusan pertanyaan
yang saking membingungkannya sudah tidak sanggup lagi kuutarakan.
Tapi beliau mengoceh terus tanpa peduli.
. . . tegangan 220 volt dari stop kontak rumah ini saya tahan sampai
yang keluar ke tubuh kamu cuma berkisar 10 watt. Jadi, sekarang ini saya
juga berperan sebagai resistor. Sekali lagi-ulangnya penuh penekananlewat kabel ini, yang saya tahan hanyalah daya listrik satu rumah ini saja.
Ibu Sati pun melepaskan tangannya dari bahuku. Sekarang, coba saya
tanya, mana kabel kamu selama ini"
Tatapan (sok) tajamku seketika menumpul.
Berarti, daya listrik macam apa yang kamu tahan" sambungnya.
Oh. Pertanyaan lagi, pertanyaan lagi. Kebalik, ibuku manis! Dari tadi
kami menunggu jawaban, bukan pertanyaaaan!
Nah, Elektra, di situlah kelebihan kamu. 'Kelainan' kamu, ujar Ibu
Sati akhirnya, dibarengi senyum hangat.
136 Saya . . . wireless" ucapku ragu.
Ibu Sati menelan ludah, tersadar harus menjelas
kan lebih gamblang: Kamu itu . . . kapasitor alami.
Tercipta hening panjang. Kami saling menatap dalam.
Ngerti, kan" Ibu Sati mengonfirmasi setelah begitu lama mata kami
beradu penuh arti. Perlahan dan pasti, aku menggeleng.
... Bagi kalian yang mengerti
Bagi kalian yang cerdas, berintuisi tajam, berwawasan spiritual, paham
listrik baik AC maupun DC, juga wahai sekalian mahasiswa Elektro dari
mulai arus lemah sampai arus deras, pasti dari tadi sudah gemas ingin
melempariku dengan tomat busuk. Bagi kalian yang sama-sama tidak
Dihantui Haunted 2 Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Rahasia Secret 1

Cari Blog Ini