Ceritasilat Novel Online

Cinta Di Ujung Batas 2

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng Bagian 2


Aku bersyukur sekali keluargaku termasuk para
asisten di rumah, semuanya tertarik untuk ikut acaraacara seperti ini. Iman Islam kita harus selalu dijaga.
Kita mintakan kepada Allah untuk memantapkan
ke?imanan kita, karena Dia-lah yang berkuasa mem?
bolak-balikkan hati kita.
Cinta di Ujung Batas Ya Allah jangan Engkau bolak-balikkan hati kami
setelah mendapat petunjuk dari-Mu, pintaku dalam
hati. Malam ini kami menghadiri undangan Diah
dan Diaz, yang berulang tahun ke-20. Sepupuku
ini merayakan hari kelahirannya dengan undangan
makan malam di rumahnya untuk keluarga besar serta
teman-temanya. "Diah, Diaz, selamat ya. Semoga kalian bahagia,
lebih pandai lagi mengevaluasi diri. Dengan berulang
tahun berarti kita setahun menjauh dari waktu kela?
hiran kita dan setahun lebih mendekat ke batas akhir
dari waktu yang diberikan Allah kepada kita. Berarti
kita harus semakin pandai memanfaatkan sisa waktu
ini. Iya nggak?" Ucapan selamat sengaja kusampaikan untuk kedua
sepupuku tersayang, untuk bisa lebih mengotrol ke?
bahagiaan yang diaplikasikan dengan pesta mewah
semacam ini. "Terima kasih Kak. Memang Kak Haekal cocok?
nya jadi Ustadz. Ustadz keren jemaahnya pasti cewek
semua deh Kak," canda Diaz yang disambut tawa
kami semua yang berdiri di sekelilingnya.
Malam ini kami lalui dengan saling bersilatura?
him, dan makan malam. Pukul 21.00, kami berpami?
tan untuk pulang lebih dulu kepada Om Rasyid seke?
luarga, yang masih melanjutkan pestanya, entah sam?
pai jam berapa, karena teman-teman Diah dan Diaz
masih banyak sekali yang hadir.
Getaran Cinta di Antara Napas-Napas Zikir di Sentul
Terus terang kami tidak terlalu nyaman berlamalama berada di tempat pesta seperti ini. Ditambah ke?
biasaan kami untuk tidur cepat supaya bisa bangun di
sepertiga malam. Malam ini aku menikmati istirahat di rumah yang
aku rindukan. Menikmati kehangatan dengan ke?
luarga tercinta. Sebelum memasuki kamar, tadi aku,
Mama dan Tyas mengobrol di teras depan untuk me?
lepas kangen. Jelas terlihat Tyas bahagia sekali kami
bisa berkumpul kembali, tentunya begitu juga dengan
aku dan Mama. Cinta di Ujung Batas 6. Permata Itu Bersinar di Dekatku __Haekal__ agi ini kami sekeluarga, akan melaksanakan
shalat sunah Idul Adha, di masjid Al-Azhar.
Semuanya ikut, dan kebetulan Arman juga sedang
ada di Jakarta, mengambil cuti beberapa hari untuk
merayakan lebaran haji. Pagi ini kebahagiaan kami sangat lengkap. Kami
semua bersiap untuk berangkat shalat di Masjid AlAzhar, sesuai permintaan Mama.
Pukul 6.15, kami semua sudah berangkat. Yang
membawa mobil kali ini Arman. Kami parkir di be?
lakang mobil Alphard hitam yang baru saja merapikan
parkirnya. Kami segera keluar dari mobil dan bergegas
memasuki masjid. "Nak Haekal!" aku menoleh dan menghentikan
langkah diikuti dengan rombonganku. Mama, Tyas,
Arman dan yang lain semua berhenti.
"Siapa mereka Kal?" Mama bertanya padaku yang
tertegun kaku menatap rombongan Om Maulana.
Tanpa sepatah kata pun aku menjawab pertanyaan
Permata Itu Bersinar di Dekatku
Mama. Rombongan Om Maulana yang ada di be?
lakangku, segera mendekat menghampiri rombong?
anku. "Apa kabar Nak" Kapan datang" Shalat di sini
juga?" Om Maulana memberondongkan pertanyaan
yang membuyarkan kekakuanku.
"Eeee ... iya Om, kami semua shalat di sini. Ee ...
Haekal sudah agak lama di Jakarta Om. Oh iya Om,
perkenalkan ini semua keluarga Haekal," segera aku
memperkenalkan Mama, Tyas, Arman, dan yang lain
kepada Om Maulana. Semua saling mengangguk dan merapatkan kedua
tangan sebagai tanda penghormatan dan perkenalan.
Aku yakin pasti suaraku parau dan gemetar.
"Oh iya Nak, ini Istri Om, Tante Aisya, dan mere?
ka ini putri-putri Om, Anissa dan Lia," Om mem?
perkenalkan keluarganya. Di situ juga ada Pak Gino
dan Pak Yatno yang sudah kukenal.
Ya Allah ... Deg! Jantungku terasa copot.
Ini adalah dua wanita yang selalu muncul dalam
shalat malamku. Ini adalah dua wanita yang ada di
majelis zikir itu. Ingatkah dia padaku" Duh, gimana
ini" Ya Allah, bantu aku untuk menguasai situasi ini.
"Maaf, kalau nggak salah, kami sudah pernah ber?
temu dengan kedua putri Bapak di majelis zikir Us?
tadz Arifin. Ingat nggak kalian sama Tante?"
Pertanyaan Mama di luar dugaanku. Spontan
kami semua terkejut. Om Maulana menatapku tajam,
Cinta di Ujung Batas seolah ada sejuta kata yang akan disampaikan padaku.
Aku bersyukur, Om dapat menguasai diri, karena me?
mang selama ini hanya ia yang tahu pergolakan ha?
tiku. "Iya Tante, kami ingat," jawab kedua wanita itu
hampir bersamaan. Segera mereka mencium tangan
Mama, dan entah kenapa Mama segera memeluk
mereka dan mengucapkan rasa terima kasih kembali
atas kejadian beberapa tahun yang lalu.
Aku masih tertegun kaku. Tak ada kata-kata se?
patah pun yang keluar dari bibirku lagi. Selain rasa
syukurku yang terus-menerus kuucapkan dalam hati.
Sehingga aku tak memperhatikan suasana lingkung?
an. Entah apa yang terlihat di wajahku saat ini" Aku
tidak tahu. Aku sibuk dengan olah batinku sendiri.
Ternyata dia sangat dekat denganku. Ternyata dia
tidak jauh dariku. Ternyata ini jawaban-Mu. Ternyata
mereka putri Om Maulana, dan masih banyak ter?
nyata, ternyata, dan ternyata lagi yang bermunculan di
pikiranku. "Yuk, kita masuk ke masjid. Sudah mulai padat,
nanti kita nggak kebagian tempat," ajak Om Maulana
sambil menepuk pundakku yang membuyarkan per?
golakan jiwaku. Aku tidak bisa menguasai pergolakan batinku. Be?
gitu memasuki masjid, aku langsung sujud syukur atas
kejadian ini. Atas semua jawaban dari doaku. Lama
aku membenamkan wajahku, sebagai ungkapan rasa
syukur yang teramat dalam.
Permata Itu Bersinar di Dekatku
Tak terasa ada tangan kekar yang menepuk-nepuk
pundakku. Kulihat wajah Om Maulana terharu.
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hanya
pandang?an tajamnya mewakili semuanya. Hingga
Shalat Idul Adha selesai, dan kami pulang kembali ke
rumah masing-masing. Berhari-hari aku mencoba menenangkan pera?
saanku. Aku belum berani menghubungi Om Maula?
na, karena ragu pandangannya terhadapku. Semakin
hari aku semakin ragu, apakah Om Maulana tak
berkenan padaku karena beliau tak bicara sepatah kata
pun mengutarakan pendapatnya"
Ingin rasanya aku menghubungi Om Maulana,
tapi aku belum ada keberanian. Padahal hanya Om
Maulanalah yang mengetahui semua ini. Hanya ke?
pada Om Maulanalah satu-satunya orang yang me?
ngetahui apa yang berkecamuk dalam hati ini selama
bertahun-tahun. Mama dan Tyas juga belum tahu.
Duh, apa yang harus aku lakukan"
### Sementara Pak Maulana sendiri, sedang memantap?
kan hatinya untuk mengambil langkah yang paling
bijaksana. Seusai makan malam, masih duduk di meja
makan, Pak Maulana menanyakan kepada putri-pu?
trinya pandangan mereka terhadap Haekal.
Cinta di Ujung Batas "Nissa, Lia, masih ingat, kenalan Papa yang ber?
temu beberapa minggu lalu di Masjid Al-Azhar" Na?
manya Haekal. Apa pendapatmu mengenai dia?" Per?
tanyaan Pak Maulana yang sama sekali tidak diduga
Nissa maupun Lia. Ya Allah, mengapa Papa menanyakan ini" Tahukah
Papa perasaanku padanya" Lia berguman di dalam
hati?nya, tetapi dia pun khawatir kakaknya mempu?
nyai perasaan yang sama dengan dirinya.
"Kak Nissa aja yang jawab. Gimana Kak pendapat
Kakak mengenai pemuda itu" Sesuai kriteria Kakak
nggak?" tanya Lia. Sebenarnya dia sendiri merasa tak
siap mendengar jawaban Nissa, tetapi dia tidak mau
menampakkannya. "Insya Allah, hampir mendekati sempurna de?
ngan figur yang Nissa ikhtiarkan ke Allah. Nissa terus
terang mengagumi dia karena kecintaannya kepada
Allah. Dari awal bertemu, Nissa berpendapat dia
pemuda yang saleh, dan kayaknya kriteria yang ada di
kaset Ustadz Arifin ada di dia semua deh Pa. Sepintas
jelas dia pemuda yang saleh, cerdas, ganteng banget
dan sepertinya sudah mapan ya Pa. Keluarganya ka?
yaknya keluarga taat, benar nggak Pa" Papa kan yang
lebih tahu." Pendapat Kak Nissa yang panjang lebar, sebe?
narnya membuat hatiku sedih. Berdebar tak menentu
karena ternyata Kak Nissa mempunyai perasaan yang
sama denganku. Tetapi tak mungkin aku menam?
pakkan perasaanku ini. Permata Itu Bersinar di Dekatku
"Insya Allah pendapatmu benar Nissa. Jadi gimana
kalau suatu saat dia melamarmu" Apakah kamu setu?
ju?" Derrr! Rasanya disambar petir aku mendengar perta?
nyaan Papa. Sungguhkan" dalam hati aku bertanya.
Terus terang semenjak pertemuan kami di Sentul be?
berapa tahun yang lalu, sosok pemuda itu memang
lekat di benakku. Ya Allah apakah dia jodoh kak Nissa"
Tetapi kenapa aku merasa dekat dengannya" Kenapa ya
Allah" guman Lia kaku dalam hati.
"Beri Nissa waktu untuk menjawabnya ya Pa. Nis?
sa mau istikharah dulu, biar Allah memantapkan hati
Nissa. Tapi kalau boleh tahu, seandainya Nissa setuju,
apakah Papa dan Mama merestuinya?" pertanyaan
Kak Nissa serius untuk memastikan pendapat orang?
tuaku. Membuatku semakin miris, tapi aku harus
ikhlas demi kebahagiaan keluarga tercinta ini.
"Insya Allah Nissa. Papa sudah sejak lama mem?
bicarakan ke Mama masalah pemuda itu. Papamu
sudah kenal dekat dengannya, dan insya Allah kami
yakin dia pemuda terbaik untuk kamu," jelas Mama
yang dimantapkan dengan anggukan serius Papa.
"Kalau pendapatmu Lia?" Kak Nissa memantap?
kan hatinya dengan meminta pendapatnya dariku.
Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui perasaanku.
Seandainya mereka juga tahu perasaanku. Ah nggak
mungkin ini kusampaikan. Aku ingin Kak Nissa ba?
hagia. Kukuatkan hatiku, kuhalau perasaanku. Segera
Cinta di Ujung Batas kudukung penuh dengan persetujuanku akan penda?
pat Kak Nissa. "Iya Kak, Lia setuju banget dengan pandangan
Kakak. Dia pemuda yang pas untuk Kakak. Doa Lia,
semoga dia jodoh yang dikirim Allah untuk Kakak."
Pendapatku kusampaikan dengan setulusnya,
walaupun di sisi relung hati yang lain aku merasa ada
kesedihan yang teramat berat aku rasakan. Tak ada se?
orang pun yang tahu bertahun-tahun sejak pertemuan
itu, pemuda itu tertaut erat di dalam hatiku.
Om Maulana bahagia mendengar pendapat putriputrinya, yang ternyata sama dengan yang diharap?
kan. Setelah selesai makan malam yang penuh arti
malam itu, kami semua melanjutkan dengan kegiat?
an kami masing-masing. Aku memilih membaca
buku di ruang baca yang bersebelahan dengan ruang
kerja Papa. Kuambil buku koleksi Papa yang berjudul
Ikhlas. Belum juga mulai membaca, Papa menghampiriku
dan berkata, "Lia, Papa bahagia dengan sikapmu. Ber?
sabarlah, hidup ini sudah ada yang mengatur. Hadapi
dengan ikhlas. Yakinlah skenario Allah itu indah, asal
kita bisa memaknainya dengan benar."
Deg! Apa yang diucapkan Papa barusan" Apa maksudnya"
Tahukah Papa mengenai perasaanku" Tahukah Papa
aku juga mencintainya" Apakah secara kebetulan saja
Permata Itu Bersinar di Dekatku
Papa berpendapat begitu, karena Papa melihat aku memegang buku ini"
Tak sepatah kata pun keluar dari bibirku, sam?
pai Papa berlalu memasuki ruang kerjanya, sembari
menepuk lembut bahuku. Aku termangu, tak kuasa
menanyakan pernyataan Papa padaku.
Cinta di Ujung Batas

Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

7. Buah Kesabaran Itu Indah ___Haekal___ ssalamualaikum Anakku Haekal. Tetesan air
mata tahajudmu untuk mendapatkan cintaNya, sekejap pun tak akan terabaikan dari pandanganNya. Sambutlah dengan kebahagiaan apa yang sudah
Nak Haekal nantikan. Yakinlah Allah mencintai-Mu
karena kamu pun mencintai-Nya. Om tunggu di kantor
pagi ini jam 10. Alhamdulillah, aku sujud syukur setelah mendapat
SMS dari Om Maulana. Akhirnya terjawab sudah.
Allah menjawabnya di saat yang indah, di waktu qiyamul lail, handphone-ku berdering dan ternyata SMS
indah dari Om Maulana. Setelah selesai shalat witir,
segera kubalas SMS Om Maulana.
Wa `alaikumsalam Om. Tak ada ucapan yang ter?
indah selain alhamdulillah Haekal panjatkan. Insya
Allah Haekal ke kantor Om pukul 10.00 pagi ini. Terima kasih Om ... terima kasih.
Klik! Kukirimkan SMS-ku ke Om Maulana.
Kusambut pagi ini dengan rasa syukur yang tak
terkira. Buah Kesabaran Itu Indah Pukul 09.30 kumasuki area perkantoran sesuai
yang tertera di kartu nama Om Maulana, di Kawasan
Thamrin. Aku turun di lobi, diantar Mang Mamat.
Deg-degan, menebak-nebak apa yang akan disam?
paikan Om Maulana padaku.
Sekretaris Om Maulana mempersilakanku masuk
ke ruangan Om Maulana yang luas, rapi tertata apik.
Nuansa Islami tak terlepas dari penataan ruangan?
nya. Segera kuucapkan salam dan kucium tangan Om
Maulana. Kami berpelukan, haru, bahagia, silih ber?
ganti itu yang aku rasakan.
Bertahun-tahun aku bermunajah untuk menda?
patkan jawaban ini. Subhanallah, alhamdulillah,
Allahu akbar. Indah sekali jawaban-Mu ya Allah. Jan?
ji-Mu adalah benar. Subhanallah.
"Ayo, ayo, silakan duduk, Nak," Om Maulana
mempersilakan aku duduk di sofa hijau lembut di
ruang kantornya. "Terima kasih Om."
Jeda sebentar. "Om ... apa yang harus Haekal lakukan, karena
ternyata mereka putri-putri Om" Haekal mohon
nasihat Om," kunyatakan kegalauan hatiku pada Om
Maulana. "Nak Haekal, sekarang saatnya kamu harus me?
ngetahuinya. Anissa Maulana adalah putri kandung
Om satu-satunya. Sedangkan Amelia, lebih muda tiga
tahun dari Anissa. Namanya Amelia putri Arman. Dia
bukan putri kandung Om, tetapi putri sahabat Om,
Cinta di Ujung Batas Om Arman namanya. Beliau sudah meninggal, begitu
juga dengan istrinya Tante Irma, dalam suatu kece?
lakaan. Sejak usia tiga tahun, Lia dalam pengasuhan
Om dan Tante, dan menjadi anak angkat kami, se?
suai dengan amanat almarhum. Walaupun masih ada
saudara dari Om Arman, tetapi almarhum memerca?
yakan pada Om." "Nak Haekal, dari apa yang pernah Nak Haekal
sampaikan pada Om, sudah beberapa hari ini Om
memantapkan hati dengan bermunajah kepada Allah.
Sampailah pada suatu keputusan yang insya Allah
terbaik. Nikahi Anissa, dan untuk selanjutnya hanya
Allah yang Maha Mengetahui. Biarlah berjalan se?
suai kehendak-Nya," panjang lebar Om Maulana me?
nyampaikannya padaku. Aku lega mendengarnya
"Alhamdulillah, baik Om. Insya Allah itu jalan
Allah yang terbaik. Terima kasih, Haekal akan lak?
sanakan," kucium tangan Om Maulana sebagai peng?
hormatan dan rasa terima kasihku padanya.
"Nak Haekal, pesan Om, apa yang bertahun-tahun
ini Nak Haekal alami, jangan Nak Haekal ceritakan
kepada siapa pun, karena hanya Allah yang Maha
Mengetahui perjalanan hidup kita. Apa yang akan
terjadi hanya Dia yang Maha Mengetahui. Selain itu,
biar tidak ada fitnah di antara kalian semua. Paham,
Nak?" nasihat Om Maulana yang aku iyakan dengan
sungguh-sungguh. "Om, nanti sore setelah Shalat Asar, bolehkah
Haekal main ke rumah Om" Haekal ingin bersilatura?
Buah Kesabaran Itu Indah him dengan Om sekeluarga," aku meminta izin untuk
lebih mengenalkan diri. "Silakan. Om tunggu, biar kalian mengenal.
Walaupun masih harus sesuai dengan syariat. Nggak
keberatan kan?" "Insya Allah enggak Om. Justru Haekal berterima
kasih," aku menjawab agak tersipu, karena melihat
raut Om yang sedikit meledekku.
Pembicaraan di kantor Om Maulana telah usai.
Dengan perasaan lega aku keluar. Plong rasanya!
Sore harinya aku menepati janjiku untuk bersila?
turahim ke rumah Om Maulana. Om Maulana mene?
rimaku di ruang tamu yang luas ditemani Tante Aisya.
Pembicaraan kami akrab, sesekali kami bercanda ri?
ngan. Tante Aisya banyak menanyakan perihal Mama
dan Tyas. Sedangan Anissa dan Amelia, hanya seben?
tar mengucapkan salam padaku, dan mereka kembali
ke ruang yang tak terjangkau dari pandanganku.
Ya, aku bersyukur didekatkan dengan keluarga ini.
Keluarga yang insya Allah menjunjung tinggi Islam.
Anissa maupun Amelia saat ini memang belum mah?
ram bagiku. Waktu terus berlalu, setengah jam lagi azan ma?
grib. Aku segera bergegas berpamitan. Kuniatkan un?
tuk mampir ke Al-Azhar yang tak jauh dari rumah
Om Maulana untuk Shalat Magrib.
"Om, Tante, sebentar lagi waktu Magrib. Haekal
mohon pamit," aku berpamitan dengan santun.
Cinta di Ujung Batas "Baik. Oh ya Nak Haekal. Kita tadi pagi sudah
bicara. Untuk langkah selanjutnya, Om serahkan pa?
damu," Om Maulana berpesan dan menepuk-nepuk
pundakku. Kulalui sore ini dengan kebahagiaan dan rasa syu?
kur. Kulanjutkan malam dengan penuh keimanan.
Kupenuhi waktuku, dengan berzikir, tadabur. Ku?
sampaikan rasa syukurku kepada Zat yang Maha Pe?
ngasih dan Maha Penyayang. Detik ini semakin aku
merasa Allah teramat sangat mencintaiku. Belaian
kasih sayang-Nya, terasa lembut membelaiku melalui
alunan firman-firman-Nya yang kubaca.
Malam ini aku hanya tidur sesaat. Kurang lebih
hanya satu jam aku terlelap, aku sudah bangun lagi.
Kulanjutkan kembali dengan mohon petunjuk kepa?
da Allah untuk memantapkan hatiku.
Apa yang harus aku lakukan" Kumantapkan lagi,
dan lagi. Sampai aku benar-benar mantap dengan
langkahku. Ya! Insya Allah, ini saat yang baik, saat
yang tepat aku mengambil keputusan. Kumantapkan
lagi habis Shalat Subuh berjemaah di masjid nanti aku
akan melamar Anissa. Ya, habis Shalat Subuh nanti.
Insya Allah waktu yang tepat. Aku berdoa dalam hati.
Perjalanan pulang dari masjid, aku berdoa terus
untuk menguatkan hatiku. Untuk dimantapkan niat?
ku melamar Anissa. Sesampai di kamar aku segera me?
mutar nomor rumah Om Maulana.
"Assalamualaikum," jawab lembut dari ujung te?
lepon. Aku yakin suara lembut itu milik Anissa.
Buah Kesabaran Itu Indah "Wa `alaikumsalam. Maaf apakah ini Dik Anissa?"
suaraku mantap untuk meyakinkan.
"Iya betul saya Anissa. Apakah ini Kak Haekal?"
jawab Anissa, terdengar malu-malu.
"Iya Dik, saya Haekal. Langsung saja ya Dik. Saya
menelepon, ingin melamar Adik untuk menjadi istri
saya. Saya mencintai adik karena Allah. Saya ingin
membangun keluarga sakinah bersama Dik Nissa.
Saya berharap lusa pagi seperti saat ini, adik sudah
memberi jawaban ke saya. Nanti saya yang telepon,
terima kasih. Assalamualaikum," kututup teleponku
setelah Anissa membalas salamku. Tertangkap jelas
kegugupan Anissa mengenai permintaanku. Semoga
Allah memberi petunjuk. Setelah menelepon Anissa, aku segera menemui
Mama dan Tyas yang sedang berada di ruang makan.
"Sarapan Kal. Mau mama ambilkan apa" Roti apa
nasi?" tanya Mama sambil menuangkan segelas susu
cokelat panas yang menjadi minuman wajibku setiap
pagi. "Roti saja Ma," jawabku pendek.
"Ma, Haekal mau minta doa Mama. Subuh tadi
Haekal melamar seorang gadis, insya Allah yang ter?
baik untuk Haekal. Doakan dia menerima Haekal ya
Ma," pintaku. "Alhamdulillah ... akhirnya kamu dipertemukan
dengan jodohmu. Kalau Mama boleh tebak, gadis
itu adalah salah satu dari putri Pak Maulana ya" Insya
Allah dia yang terbaik untukmu, cintailah dia karena
Cinta di Ujung Batas Allah," terdengar jelas Mama menyambutnya dengan
gembira. Begitu juga dengan Tyas. Dia tampak senang
sekali dengan berita ini.
"Aduh Kak, asyik banget. Tyas punya Kakak pe?
rempuan. Yang mana Kak yang kakak lamar" Yang
Kak Nissa atau Kak Lia?" Tyas menggebu bertanya
padaku. "Anissa, Yas. Mudah-mudahan ya, Kak Nissa bisa
menjadi Kakak ipar yang baik buat kamu, dan ten?
tunya menantu yang baik buat Mama, " doaku ku?
ucapkan yang diaminkan oleh Mama dan Tyas.
Dua hari ini bagiku panjang sekali. Rasanya jarum
jam malas berdetak. Detik demi detik terasa lama
sekali kulalui. Tetapi aku segera berusaha menguasai
pe?rasaanku. Aku tidak mau dimonopoli kegelisahan
yang diembuskan oleh setan. Kuhalau semuanya
dengan sabar dan shalat. Kuagungkan asma-Nya,
kubenamkan wajahku ke dalam kekhusyukan sujud?
ku. Berdendang riang kalbu ini mensyukuri nikmatNya.
Fabi ayyi aalaa "irabbikumaa tukadzibaan ....
Ya Allah, sungguh indah ayat dalam surah Ar-Rah?
man ini. Nikmat Allah yang mana yang bisa kudus?
takan" Betapa banyak nikmat-nikmat yang Engkau
berikan Ya Allah. Akhirnya subuh yang kami sepakati tiba juga. Seu?
sai Shalat Subuh segera kutelepon Anissa untuk men?
dapatkan jawabanya. Buah Kesabaran Itu Indah "Assalamualaikum Kak Haekal," suara lembut
di ujung sana penuh dengan keyakinan kalau yang
menelepon adalah aku. "Wa `alaikumsalam Dik. Bagaimana, sudah bisa
menjawab lamaran saya" Apakah Adik menerima la?
maran saya?" tanyaku mantap seolah aku telah yakin
dengan jawabannya. "Insya Allah Kak, Anissa menerima Kakak untuk
menjadi imam Nissa dalam membina rumah tangga.
Bimbing Nissa ya, Kak," suara lembut itu semakin
menyejukkan dadaku. "Alhamdulillah, terima kasih Dik Nissa. Kita niat?
kan semuanya untuk ibadah. Baiklah, insya Allah
Ahad depan saya beserta keluarga besar akan melamar
Adik. Dan dua pekan kemudian, yaitu tanggal 1 Mu?
haram Insya Allah saya akan menikahi Adik. Terima
kasih ya. Tolong sampaikan ke keluarga besar Dik
Anissa, dan salam hormat saya untuk Om dan Tante.
Assalamu`alaikum," aku menutup telepon setelah
Anissa membalas salamku. Lagi-lagi aku menangkap
Nissa tertegun mendengar rencanaku.
Ya, aku memang nggak mau berpanjang lebar
berbicara. Kusampaikan yang seperlunya. Dia belum
mahramku, jadi aku harus masih membatasi diri.
Aku sujud syukur kembali, dengan apa yang Allah
telah berikan padaku. Segera kuhampiri Mama untuk
menyampaikan berita ini. Mereka pun setuju saja atas
semua rencanaku. Cinta di Ujung Batas "Insya Allah Kal, semua lancar sesuai keinginan?
mu," begitulah Mama berpendapat atas rencanaku.
Kami mengakhiri pembicaraan. Aku melanjutkan
aktivitasku pergi ke kantor, sedangkan Mama segera
menghubungi Om Rasyid dan Tante Ade menyam?
paikan rencanaku ini. Mama dan Tyas mulai sibuk merencanakan
pernikahanku. Dari hantaran lamaran, segala tetek
bengeknya Mama langsung yang mengurus, karena
memang waktunya sangat pendek.
"Ma, untuk mahar, biar Haekal sendiri yang siapin
ya Ma. Untuk lainya terserah Mama dan Tyas," pin?
taku pada Mama sambil berpamitan untuk berangkat
ke kantor. Pagi ini aku berangkat ke kantor dengan hati yang
berbunga-bunga. Kusampaikan ke Mang Mamat
untuk bersiap mengantarku ke suatu tempat setelah
makan siang. Aku punya kenalan yang bisa memban?
tu mempersiapkan mahar yang akan kuberikan pada
Anissa. Setelah selesai mengurus mahar untuk Anissa, aku
instruksikan ke Mang Mamat untuk meluncur ke ru?
mah pribadiku yang selama ini hanya ditungguin oleh
Bik Siti, Mang Gugun serta satpam Pak Kirno.


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rumah pribadiku tidak jauh dari rumah Mama,
paling 15 menit sudah sampai. Ini memang per?
mintaan Mama. Mama tidak ingin terlalu berjauhan
dengan anak-anaknya, walaupun Mama sendiri yang
mengharuskan kami untuk mandiri setelah menikah.
Buah Kesabaran Itu Indah "Selamat sore Den. Tumben nggak hari libur Aden
ke sini. Alhamdulillah nih Den," salam Pak Kirno
dengan gembira, Mang Gugun manggut-manggut di
sebelahnya. "Kirno, tutup pagar! Kalian saya tunggu di gaze?
bo," pintaku. Aku segera menuju gazebo, tempat biasa kami ber?
santai dan mengobrol kalau aku sedang berkunjung
ke sini. Bik Siti membawakan teh panas untuk kami
semua. "Mang, Bibi dan Kirno, Alhamdulillah sesuai de?
ngan doa kalian selama ini. Akhirnya Allah memper?
temukan jodoh saya. Insya Allah tanggal 1 Muharam
nanti saya akan menikah, dan setelah menikah saya
akan menempati rumah ini. Saya mohon bantuan
kalian semua untuk mempersiapkan rumah ini, agar
lebih nyaman untuk kami tempati," pintaku dengan
penjelasan yang detail. Setelah aku instruksikan detail-detail yang harus
dibereskan, aku sendiri mengecek ke seluruh pen?
juru rumahku. Kamar kami aku rencanakan di lantai
atas yang luas. Aktivitas pribadi semua aku pusatkan
di lantai atas. Aku ingin nanti Anissa nyaman berak?
tivitas, tanpa pandangan mata yang bisa menggang?
gunya. Aku hubungi Diaz, dan aku percayakan desain
interior untuk rumahku padanya, karena sesuai
bidang?nya. Selama ini pilihannya sesuai dengan se?
leraku, sederhana tapi anggun. Sentuhan interiornya
Cinta di Ujung Batas mempunyai penjiwaan yang dalam. Aku ingatkan
padanya, tidak boleh lebih dari dua minggu harus su?
dah beres. Setelah urusan rumah selesai, aku segera meluncur
pulang ke rumah Mama. Ternyata Mama nggak ka?
lah sibuk. Di rumah juga ada Tante Ade dan Om Ra?
syid, yang sangat serius mengurus acara lamaran dan
pernikahanku. Aku jadi merasa bersalah membuat
mereka sesibuk itu. "Assalamualaikum Ma, Tante, Om. Haekal jadi
nggak enak nih, semuanya jadi direpotkan," salamku
sambil menghampiri mereka.
"Wa `alaikum salam," jawab mereka hampir se?
rempak. "Direpotkan gimana sih Kal" Kami tuh sudah
lama menunggu saat-saat seperti ini. Kami justru sa?
ngat bahagia," protes Tante Ade sambil menepuk lem?
but pundakku. Kami semua dalam suasana bahagia. Rasa syukur?
ku terus-menerus kupanjatkan kepada Rabb Yang
Maha Penyayang, yang begitu indah memberiku ke?
bahagiaan. ### Hari demi hari kami disibukkan dengan persiapan
untuk tahap pertama lamaran yang akan kami lak?
sanakan dua hari lagi. Perasaan kangen dengan
100 Buah Kesabaran Itu Indah suara Anissa aku redam dalam-dalam. Komunikasi
terakhirku ketika aku meminta jawaban dari Anis?
sa mengenai lamaranku. Semenjak itu aku belum
berkomunikasi secara langsung sama sekali.
Setiap pagi setelah qiyamul lail, aku kirimkan
kata-kata hikmah dan doa yang akan menuntun kami
berumah tangga kelak. Yang membuatku penasaran,
dan semakin kangen dengan suaranya karena dia se?
lalu menjawab SMS-ku yang panjang hanya dengan
satu atau dua patah kata saja.
Tapi, bagaimanapun perasaanku padanya, aku
harus bisa menguasainya. Aku nggak mau terpropa?
ganda oleh rayuan setan. Kutanamkan dalam diriku,
dia belum mahramku. Hari Ahad pun tiba. Aku dan seluruh keluargaku
mengunjungi keluarga Anissa untuk saling berke?nalan
sekaligus melamar Anissa secara resmi. Om Rasyid
mewakili keluarga besar kami untuk menyampaikan
lamaran. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Kedua ke?
luarga berkoordinasi menyusun rencana pernikahan
kami pada tanggal 1 Muharam nanti, semuanya lan?
car dan tersusun rapi. Terpilih sebagai ketua panitia
adalah Om Rasyid dan Tante Ade. Aku percaya sekali
pada mereka. Insya Allah semuanya beres, gumanku dalam hati.
Di Acara pertemuan ini aku berkali-kali mencuri pan?
dang ke arah Anissa. 101 Cinta di Ujung Batas Subhanallah, indah sekali ciptaan-Mu ya Allah.
Jadikanlah dia bidadari yang akan selalu membahagiakanku. Aku berdoa dalam hati.
Beberapa kali, Mama maupun Tante Ade memuji
kecantikan Anissa, yang membuat Anissa merona me?
rah pipinya. Duh, Humairahku, kembali aku bergu?
man dalam hati. "Kal, cantik sekali Anissa. Dia juga lembut tutur
katanya. Bersyukur kamu Kal, dapat jodoh se?perti
Anissa. Semoga kalian bahagia," pujian serta doa
Tante Ade yang segera aku aminkan.
Tak terasa waktu berjalan cepat. Seminggu lagi
adalah hari bersejarah bagiku. Semakin hari aku se?
makin kangen dengan Anissa. Apalagi ketika aku
mengingat SMS Anissa tadi pagi. Baru sekali ini ia
mengirim SMS lumayan panjang dengan kata-kata
indah yang membahagiakanku. Berulang-ulang SMS
itu aku baca, dan aku semakin mencintainya.
Wahai calon imamku, samudra cintaku kan kulabuhkan di hatimu sepanjang hayatku. Ketulusan
kasih sayangku kan kutumpahruahkan hanya untukmu.
Bersabarlah sampai engkau halal menjadi imamku.
Bila saatnya tiba, kan kululuhlantahkan jiwaku ini di
dalam pelukanmu. Setelah berulang-ulang aku baca SMS Nissa, aku
bergegas membalasnya. Klik aku kirimkan SMS-ku.
Duhai sang bidadari sebelum bidadari surga, permata hati yang berkilau di relung hati. Bila saat itu
tiba, kan kurengkuh jiwamu ke dalam jiwaku, kita kan
102 Buah Kesabaran Itu Indah berlabuh bersama dalam ibadah suci. Jadilah engkau
penguat dan cahaya imanku, wahai Humairah-ku.
Semakin mendekati hari di mana aku akan men?
jalankan kehidupanku bersama Anissa, semakin sering
pula aku saling menasihati walaupun hanya melalui
SMS. Sama sekali tidak pernah berkomunikasi secara
langsung sampai saatnya tiba. Biarlah kami semakin
kangen satu sama lain. Semua persiapan pernikahanku sudah tersusun
rapi. Undangan sudah tersebar semua, katering, ge?
dung, dan pernak perniknya semuanya sudah beres.
Om Rasyid dan Tante Ade memang ahli mengurus
hal-hal seperti ini. Tapi justru kesiapan hatiku yang
semakin hari semakin dag dig dug. Mungkinkah ini
wajar mengingat aku akan menghadapi babak baru
yang paling berarti dalam sejarah kehidupanku"
Tiba-tiba tebersit kekhawatiranku, tentang tugas
Diaz untuk mendesain rumahku. Sudah beres kah"
Aku sama sekali nggak diizinkan ikut campur dalam
persiapan ini. Katanya biar surprise.
Aku sudah sampaikan pada Anissa. Setelah acara
pernikahan nanti. Kami sepakat untuk langsung pin?
dah ke rumah sendiri. Kami akan mengukir kenangan
kami berawal dari rumah sendiri. Rumah yang kami
niatkan akan menjadi surga sebelum surga yang sebe?
narnya. Amin. Malam ini, insya Allah malam terakhir aku me?
nyandang status lajang, karena esok pagi insya Allah
103 Cinta di Ujung Batas sudah ada wanita cantik yang akan kujadikan istriku.
Ya, Anissa Maulana Putri.
Sesaat aku terbayang wajah Amelia yang beberapa
tahun ini ikut menari-nari dalam pencarianku. Alham?
dulillah semenjak Om Maulana memintaku untuk
menikahi Anissa, bayangan Amelia tidak pernah hadir
lagi dalam shalat malamku Kini dia akan menjadi adik
ipar angkatku. Aku berdoa semoga dia pun segera
mendapatkan jodoh yang akan menjadi imam yang
terbaik baginya. Amin. Saat itu pun akhirnya tiba. Pagi setelah subuh sua?
sana rumahku sudah ramai sekali. Semua keluarga
besarku sudah berkumpul. Terus terang degup jan?
tungku pun terasa bertambah kencang.
Akad nikah akan dilaksanakan di rumah Anissa
pukul 09.00, jadi pukul 08.00 pagi kami dijadwalkan
sudah sampai di rumah Anissa.
Perasaan bahagia dan rasa syukur tak henti-henti?
nya aku panjatkan. Sampai di rumah Anissa, aku sama
sekali belum bisa menemui Anissa. Kami ditempatkan
di ruang yang terpisah. Aku mencoba terus bersabar
untuk menemui calon istriku, sampai prosesi akad
nikah selesai. Ternyata buah kesabaran itu indah sekali. Ijab ka?
bul selesai aku ucapkan di hadapan saksi dan wali. Al?
hamdulillah aku resmi menikahi Anissa. Ijab kabul te?
lah terlewati dengan lancar tanpa rintangan suatu apa
pun. Anissa sekarang sah menjadi istriku, dia sekarang
halal bagiku. 104 Buah Kesabaran Itu Indah Acara akad nikah ini hanya dihadiri keluarga be?
sar dan kerabat dekat, karena setelah akad nikah acara
akan diteruskan dengan resepsi yang kami selenggar?
akan di hotel ternama di ibu kota ini. Banyak tamu
dari relasi keluargaku maupun keluarga besar Om
Maulana. Aku mengundang juga teman-teman se?
kolahku dulu, maupun teman-teman Anissa. Banyak
yang memuji keserasian kami. Alhamdulillah.
Begitu acara selesai, kami berpisah ke rumah orang?
tua kami masing-masing. Anissa ikut Om Maulana,
begitu juga aku ikut rombongan Mama pulang.
"Ibu, Anissa saya ajak pulang dulu. Nanti akan
kami antar secara resmi ke rumah mereka, setelah
mag?rib. Begitu juga dengan Haekal, saya berharap
Ibu sekeluarga bisa mengantarkan ke rumah mereka
setelah Maghrib ya. Ibu setuju?"
Pernyataan Mama Anissa ini, seolah meledek kami
berdua. Mama dengan senang hati menyetujuinya.
Sepertinya mereka sudah janjian.
"Nissa, Haekal, kalian nggak keberatan kan"
Kami akan pisahkan kalian sementara, untuk me?
numbuhkan rasa kangen," jelas Mama yang aku iya?
kan dengan senyum malu. Begitu juga kulihat Anissa
tersenyum sambil geleng-geleng menyikapi ulah or?
angtua kami yang kompak mengerjai kami.
Tapi nggak apa-apa lah, buah kesabaran itu indah,
gumamku menghibur diri. Keluar dari hotel kami
berpisah untuk pulang ke rumah orangtua kami ma?
sing-masing. 105 Cinta di Ujung Batas Benar juga kata orangtua kami. Begitu berpisah di
depan lobi hotel, perasaan kangen merayap dalam diri.
Menunggu waktu tiga jam terasa lama sekali. Setelah
ini, insya Allah kami akan selalu bersama. Sesampai di
rumah aku diminta Mama untuk istirahat.
"Kal, kamu tidur dulu, nanti menjelang asar mama
bangunin," pinta Mama sembari meyodorkan susu
cokelat panas kesukaanku.
"Baik Ma." Aku menurut saja bak anak kecil yang disuruh ti?
dur siang oleh mamanya. Entah kenapa setelah mi?
num susu hangat, aku tertidur pulas. Mungkin ke?
lelahan. Aku terbangun ketika mendengar azan asar.
Sekitar pukul 05.00, Mama menghampiri kamarku
untuk menanyakan kesiapanku.
"Kal, kamu sudah siap pindah rumah" Biarin saja
kamarmu di sini seperti ini. Mama nggak akan meng?
ubah sedikit pun. Nanti kalau kamu kangen ingin ber?
nostalgia dengan kamar ini, kamu sama Nissa tinggal
nginap saja di sini, pasti Mama akan senang," kata
Mama. Terlihat jelas gurat kesedihannya akan ber?
pisah denganku. "Ma, Mama bahagia kan Haekal sudah menikah"
Lagi pula rumah Haekal nggak terlalu jauh. Kapan
pun Mama kangen Haekal, Haekal akan datang, atau
mungkin sebaliknya Mama yang main ke rumah
Haekal. Jangan sedih dong Ma, Haekal jadi nggak
tega ninggalin Mama nih," jawabku merajuk sambil
memeluk Mama tercinta. 106 Buah Kesabaran Itu Indah Jujur aku pun sebenarnya sedih dan nggak tega
meninggalkan Mama dan Tyas. Tetapi ini semua juga
arahan Mama untuk mandiri dan terpisah dari Mama
setelah menikah. "Mama bahagia Nak. Pesan Mama, jadilah imam


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang baik untuk istrimu dan anak-anakmu kelak.
Berlemah lembutlah dengan istrimu, karena sebaikbaik seorang suami, adalah suami yang berlemah lem?
but kepada istrinya. Ingat ya Kal, berjanjilah untuk
membahagiakan istrimu dari sekarang." Panjang lebar
Mama menasihatiku. Kupeluk Mama erat.
"Kal, bersiaplah. Habis magrib kita langsung be?
rangkat, jangan sampai keduluan istrimu," pesan
Mama sembari keluar dari kamar.
Belum sempat aku menutup pintu, ponselku ber?
dering. Ada SMS masuk. Ya, memang hari ini banyak
sekali SMS masuk, dari teman-temanku yang tidak
bisa hadir. Mereka mengucapkan selamat.
Ada SMS dari temenku Ardan, Hudaan, Dwiki,
Rifki, Revi, Adit, Andrian. Mereka semua teman-te?
man dekatku, yang kebetulan sekarang tinggal jauh
dari Jakarta. Mungkin karena undangan kukirim ter?
lalu mepet waktunya, jadi mereka tidak sempat mem?
persiapkan diri. Tapi mereka hampir semua janji akan
mengunjungiku dan Nissa lain waktu di kala mereka
libur. Ada sebuah SMS dari Kanya yang membuatku
sedikit trenyuh. Sejak SMA dia selalu berusaha men?
dapatkan perhatianku. Semoga dia kelak mendapatkan
jodoh yang terbaik. 107 Cinta di Ujung Batas Terengah lelah aku mengejarmu, tapi kini aku
menye?rah. Engkau tak boleh lagi kukejar, karena kini
kusadar sampai kapan pun kutakkan pernah sampai.
Selamat menempuh hidup baru, semoga engkau bahagia
bersama istrimu. Kanya. Kubalas semua SMS dengan ucapan terima kasih.
Lalu sebuah SMS dari Anissa, istriku masuk.
Selamat datang imamku. Kubuka lebar semua relung hatiku untukmu. Suamiku, rengkuhlah jiwaku
dengan indah sebagai hadiah penantian panjangmu.
Kini engkau halal untukku dan aku halal untukmu.
Subhanallah, alhamdulillah, laillahailallah, Allahu
akbar. Maka nikmat Allah yang mana yang bisa aku
dustakan. Aku bersyukur sekali diberi jodoh Anissa.
Sejak pertama dia menjadi istriku, dia sudah bisa
membahagiakanku. Hari ini banyak sekali SMS dia
kirimkan, yang membuatku terbuai dengan keba?
hagiaan dan kata-kata indahnya.
Setelah Shalat Magrib, aku segera berangkat ke
rumah pribadiku, diantar Mama, Tyas, Arman, Om
Rasyid, Tante Ade, Diah dan Diaz. Kami datang lebih
awal. Sepuluh menit kemudian rombongan Anissa
datang. Kami semua memasuki ruang tamu yang su?
dah tertata apik. Aku sempat tertegun melihat detail-detail ru?
mahku yang sudah berubah indah dibanding dua
minggu yang lalu saat aku ke sini. Kami semua
mengelilingi seluruh penjuru rumah. Tapi entah ke?
napa semua menolak untuk melihat kamarku.
108 Buah Kesabaran Itu Indah "Ah, untuk kamar kami nggak usah lihat ya Jeng.
Itu spesial untuk mereka," canda Mama Aisya yang
mengerlingkan mata ke arah Mama. Kami sambut
dengan tawa riang bersama.
"Kak, suka nggak dengan interiornya" Sesuai selera
nggak Kak?" tanya Diaz padaku.
"Sangat suka, sesuai banget Di. Thanks ya," jawab?
ku mantap. "Tahu nggak Kak, ini selera siapa" Kak Anissa
project managernya! Hahaha, Kak Nissa pengen man?
jain Kakak dengan hasil sentuhannya. Biar Kakak
nyaman katanya," jelas Diaz yang membuatku kaget
sekaligus bangga. Kutatap penuh arti istriku yang ter?
sipu manja. Pantas saja selama dua minggu ini aku
nggak boleh ke sini, ternyata ini jawabanya.
Setelah melihat semua penjuru rumah, mereka se?
mua berpamitan. Mereka bilang nggak mau berlamalama mengambil waktu kami. Duh, iseng banget ya
candanya" Tinggalah aku dan Anissa. Segera kubimbing
Anissa untuk menuju kamar kami. Kembali aku ter?
tegun. Indah sekali kamar kami. Lembut dan anggun,
itu kesan yang aku tangkap. Semerbak wewangian
samar-samar tercium di seluruh penjuru kamar kami.
Aku suka sekali. Kembali kutatap Anissa penuh
arti. Saat itu panggilan azan isya berkumandang.
Pang?gilan itu mengalahkan segala hasrat. Aku ajak
Anissa untuk Shalat Isya berjemaah di rumah. Aku
sekarang benar-benar sudah menjadi imamnya. Aku
109 Cinta di Ujung Batas merasa lebih mencintai Anissa dari sebelumnya,
mencintainya karena Allah.
Setelah Shalat Isya berjemaah, Anissa mencium
tanganku yang kubalas ciuman di keningnya. Ini
ciuman keduaku untuk Anissa setelah ciuman perta?
maku setelah akad nikah tadi. Ya Allah ... indahnya
segala sesuatu yang telah Engkau halalkan ini. Setelah
penantian panjangku, ternyata semuanya terasa indah
pada waktunya. Alhamdulillah.
"Kak, ganti baju dulu ya. Sudah Nissa siapkan di
ruang ganti," pinta Anissa sambil menunjuk ruang
ganti yang bersebelahan dengan kamar mandi di
dalam kamar kami. Aku segera menuruti permintaan Anissa. Kamar
ganti ini pun tak lepas dari sentuhannya. Sangat rapi
dan wangi. Anissa telah menggantungkan baju gantiku untuk
malam ini. Sebuah kimono pendek berwarna putih.
Kuturuti saja kemauan istriku. Toh aku sekarang mi?
liknya dan aku akan membahagiakannya dengan apa
yang dia suka. Setelah berganti kimono aku becermin. Belum per?
nah aku berpakaian seperti ini. Hanya mengenakan
kimono tanpa kaos dalam. Terlihat jelas dadaku yang
bidang. Aku memang kelihatan lebih .... Astaghfirul?
lah. Aku memangkas kesombonganku.
Aku mohon ampun karena sudah berbangga diri
dengan fisikku. Segera kuberbalik dari cermin dan
masuk ke kamar tidurku. Menghampiri Nissa yang
110 Buah Kesabaran Itu Indah masih menggunakan gamis lengkap dengan kaos kaki?
nya. Anissa tersenyum nakal melihat penampilanku
malam ini. "Kak, Nissa ganti baju dulu ya," pamitnya sambil
berbisik lembut di kupingku.
Sambil menunggu istriku berganti pakaian, kuli?
hat ada buku di sudut meja. Kuhampiri, ada tulisan
tangan Nissa, Kak hafalin doa ini ya.
Ternyata Nissa menandai doa yang diperuntukkan
untuk pasangan suami istri, agar mendapatkan ketu?
runan yang saleh. Duh, istriku. Sampai seperti ini dia
mempersiapkan segala sesuatunya.
Memang begitu seharusnya seorang istri. Tidak
boleh ragu dan malu untuk mengekpresikan cinta
dan kasih sayangnya pada suaminya, begitu juga se?
baliknya. Segala sesuatu yang halal tidak perlu ragu
untuk diekspresikan. Lima belas menit berselang, Anissa keluar dengan
penampilan yang membuat jantungku hampir ter?
lepas. Subhanallah ... cantik sekali istriku.
Tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki
kupandangi dalam-dalam. Kuhampiri Anissa, tubuh?
nya wangi lembut. Semuanya memesona dan sangat
terawat. Dia pandai merawat diri, dan ternyata sangat pan?
dai membahagiakan dan memanjakan pandangan
suami. Di luar dia menutup rapat-rapat auratnya dari
pandangan orang-orang yang tidak berhak meman?
dangnya. Sedangkan di hadapanku, dia memanjakan
111 Cinta di Ujung Batas pandangan suami untuk menjelajah bebas dalam ke?
halalan ibadah suci. Dengan rida ia mempersiapkan
diri sebagai ladang ibadah bagi suaminya.
Malam ini tak terlukiskan kebahagiaanku bersama
Anissa. Rasa syukur atas segala nikmat yang Allah
berikan tak henti-hentinya aku panjatkan. Allah yang
menciptakan kenikmatan ini. Kenikmatan ini milikNya. Kembali terdengar lembut di dalam hatiku surat
Ar-Rahman, "Fabi ayyi aalaa "irabbikumaa tukadzii?
baan." Semenjak hari pertama, kebahagian demi ke?
bahagiaan kurengguk. Semakin hari, aku semakin
mencintainya. Aku semakin menyadari Anissa adalah
wanita hebat, wanita yang pandai membahagiakan
suami. Setiap detail dibuatnya indah.
Semua keperluanku tak pernah dilewatkannya. Se?
muanya sampai padaku melalui sentuhan lembutnya.
Aku diperlakukan bak raja maka aku pun bertekad
memperlakukan Anissa bak ratuku yang aku manja
dan aku kasihi. Ternyata benar kata orang, perlakukan suamimu
bagaikan raja, pasti kamu pun akan diperlakukan sua?
mimu bagaikan ratu. "Sayang, hari Rabu malam tahun baru. Ada zikir
Ustadz Arifin Ilham. Di situ juga ada K.H. Zainudin
MZ. Kita hadir yuk, di Masjid At-Tin. Kita ajak se?
muanya. Udah kangen banget nih, zikir sama Ustadz
Arifin," ajakku sambil merebahkan kepala di pang?
112 Buah Kesabaran Itu Indah kuan Anissa yang sedang bersantai di sofa. Spontan
Anissa membalas dengan mengelus kepalaku lembut,
dan mengangguk setuju. "Kita telepon Mama Nadia, Ayah, dan Mama ya
Kak. Mudah-mudahan semuanya bisa ikut."
Akhirnya keluarga besar kami bermalam tahun
baru dengan berzikir di Masjid At-Tin. Menurut kami
ini lebih indah daripada kami harus merayakan tahun
baru dengan berpesta pora menyalakan kembang api,
yang menurut kami mubazir.
Jemaah zikir di Masjid At-Tin sangat penuh, hing?
ga pelataran masjid pun dipenuhi jemaah. Alhamdu?
lillah, rasanya bahagia sekali kami bisa dikumpulkan
Allah kembali dalam majelis kebanggaan ini untuk
bersama-sama mengagungkan asma Allah, mengeva?
luasi diri atas dosa-dosa kita dari tahun yang kita le?
wati dan memohon perbaikan diri untuk tahun yang
akan kita hadapi. Perbaikan, perbaikan dan perbaikan.
Kumpulkan, kumpulkan, dan kumpulkan bekal kita
untuk kembali. Di sudut masjid, sambil menunggu waktu zi?
kir dimulai, aku mencoba merenung. Di luar sana
perayaan tahun baru banyak orang membuat pes?
ta ingar-bingar. Berjingkra-jingkrak tidak karuan
mengekspresikan kebahagiaannya. Tetapi mereka me?
lupakan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya.
Aku berulang kali bersyukur kepada Allah. Allah
menanamkan dalam hati kami, kecintaan untuk selalu
113 Cinta di Ujung Batas berkumpul dalam majelis seperti ini, untuk berzikir,
beristigfar dan selalu mengagungkan Asma-Nya. Ya
Allah, jangan bolak-balikkan hati kami setelah mendapat petunjuk. Kuatkan selalu iman Islamku. Amin
114 Arman Pilihan Terbaik untuk Tyas
8. Arman Pilihan Terbaik untuk Tyas ___Haekal___ "K ak, pagi ini jadwal Kakak padat nggak" Ar?
man mau ke kantor Kakak, pukul 10.00,
bisa nggak Kak?" Arman meneleponku. Kebetulan
hari ini aku tidak sibuk, jadi kupersilakan Arman un?
tuk datang. Betapa banyak kenikmatan yang Allah berikan
padaku dan keluarga. Semakin kami yakin betapa
Allah mencintai kami. Sungguh di luar dugaan, pagi ini Arman mene?
muiku untuk melamar Tyas. Sebenarnya memang se?
ring aku berharap dan berdoa, kelak Armanlah yang
akan mendapingingi Tyas. Arman pemuda yang berakhlak baik, walaupun
dia hanya anak Bi Sumi, seorang pembantu rumah
tangga. Tetapi akhlak Bik Sumi sangat mulia. Sudah
puluhan tahun Bik Sumi ikut keluarga kami, dan
Alhamdulillah kami tidak pernah menganggapnya
lebih rendah. Bagiku dan Tyas, Bik Sumi adalah orang?
tua ke?dua kami. Apalagi sosok Arman adalah anak
115 Cinta di Ujung Batas yang membanggakan baik di bidang karier maupun
akhlaknya. Jadi memang tidak ada alasan bagiku un?
tuk kebe?ratan. Sejak kecil aku sudah menganggapnya
sebagai saudaraku. Tyas juga sangat menyayangi Bik
Sumi. "Arman, alhamdulillah, kamu punya niat untuk
melamar Tyas. Kak Haekal sama sekali enggak ke?
beratan. Nanti biar Kak Haekal yang sampaikan ke
Mama," aku menguatkan Arman atas niat mulianya.
Sepulang kantor aku bergegas mampir ke rumah
Mama untuk menyampaikan niat baik Arman. Sesuai
dugaanku, Mama sedikit pun tidak keberatan. Justru


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebaliknya Mama sangat bahagia dan menyetujuinya.
"Kal, lucu juga ya kalau Tyas kita nikahkan bareng
dengan Diah dan Diaz," kata Mama tersenyum me?
nerawang. "Maksud mama?" "Tadi pagi, Tante dan Om Rasyid ke sini, me?
nyampaikan niatannya untuk menikahkan Diah dan
Diaz. Kebetulan mereka sudah diminta oleh keluarga
Arli dan Aldi. Ternyata, Aldi dan Arli itu sepupuan
Kal. Mereka tinggal menentukan tanggalnya saja. Ke?
napa nggak kita barengin aja sama Tyas Kal. Lebih
praktis, toh panitianya kita-kita juga, iya nggak?" urai
mama bersemangat. "Haikal setuju banget Ma. Coba Mama bicarakan
dengan Om dan Tante. Kalau mereka setuju, nanti
biar Haekal dan Anissa yang mengatur segala sesua?
tunya," aku tak kalah bersemangat.
116 Arman Pilihan Terbaik untuk Tyas
"Dan jangan lupa Kal, kamu sampaikan juga ke
Tyas dan Arman ya. Mama mau kerumah Om-mu
dulu untuk ngobrolin masalah ini," Mama segera
mencari Bik Sumi untuk diajak ke rumah Om Rasyid.
Aku yakin, Om dan Tante pun tidak akan kebe?
ratan, begitu juga dengan Diah dan Diaz. Mereka se?
mua sudah lama mengenal Bik Sumi sekeluarga dan
mereka pun menyayanginya.
Setelah semuanya dibicarakan, alhamdulillah tidak
ada yang keberatan. Acara pernikahan akbar itu pun
kami gelar dengan konsep santai dan nyaman tapi
sakral dan berkesan. Semuanya bahagia. Lega rasanya
bidadari-bidadari kecilku sekarang sudah mempunyai
imam yang siap membimbingnya. Insya Allah ipariparku adalah pilihan yang terbaik untuk adik-adikku.
Ya Allah ... aku titipkan adik-adikku kepada
hamba-hamba yang Kau pilihkan untuk mereka. Se?
moga mereka Engkau ridai untuk mendapatkan keba?
hagiaan, amin. Tyas dan Arman, Diaz dan Arli, Diah dan Aldi.
Tiga pasang pengantin yang sangat berbahagia. Ku?
lihat Mama dan Bik Sumi tersenyum sumringah,
begitu juga dengan Tante dan Omku. Semuanya ba?
hagia. Sungguh pesta yang berkesan.
117 Cinta di Ujung Batas 9. Berbagi Cinta" Sanggupkah" ___Anissa___ agi ini Anissa kembali digelisahkan dengan
mimpi?nya yang akhir-akhir ini menghantui.
Tiga bulan belakangan ini, Anissa sering dihantui per?
golakan jiwa. Amelia adik angkatnya selalu membayangi keba?
hagiaanya di setiap waktu. Seolah-olah Amelia datang
mengiba, agar Nissa bisa membagi kebahagiaannya.
Apa maksud semua ini" Mengapa rasa iba, sayang,
dan ingin berbagi cinta dengan adik angkatnya ini se?
makin bergejolak" Nissa shalat istikharah untuk men?
dapat jawaban. Semakin waktu justru semakin kuat
keinginannya untuk melindungi dan berbagi rasa ke?
bahagiaan dengan adik angkatnya.
Nissa belum berani menyampaikannya pada
Haekal, karena takut Haekal akan salah mengerti.
Duh, kepada siapa aku harus mendapatkan bim?
bingan mengenai perasaanku ini" Mungkinkan aku ber118
Berbagi Cinta" Sanggupkah"
harap Amelia bisa mendapatkan kebahagiaan yang aku
dapatkan juga" mungkinkan aku berharap Amelia bisa
mendapatkan kasih sayang seperti yang aku rasakan"
Setiap saat Nissa memohon petunjuk kepada Allah,
untuk membuka tabir ini, karena hanya Dia Yang
Maha Mengetahui. Setelah melalui pemikiran panjang, akhirnya Nissa
memutuskan untuk menemui Ayahnya. Ia berharap
Ayah bisa mencarikan jawabannya.
"Yah, Nissa minta nasihat. Akhir-akhir ini pera?
saan Nissa agak kacau, karena Anissa terbayang Ame?
lia dalam keadaan sangat lemah. Seolah-olah ia me?
ngiba pada Nissa untuk berbagi kebahagiaan. Padahal
Amelia sehat-sehat saja kan, Yah?"
"Sudah lama kamu merasakan perasaan sepeti ini,
Nak" Apa kamu sudah istikharah untuk mendapatkan
petunjuk?" Pertanyaan ayahnya ini membuat Nissa
sedikit merinding. "Kurang lebih tiga bulanan ini Yah. Setelah Nissa
melahirkan Ibrahim. Nissa sudah sering istikharah,
justru keinginan itu semakin kuat," jawab Nissa. Ibra?
him adalah buah hatinya yang kedua, sekarang baru
berumur empat bulan. "Kalau begitu, kamu sudah tahu jawabannya.
Sekarang tinggal kamu ikhlas nggak membagi keba?
hagiaan terbesarmu dengan Amelia?" tanya Ayah.
"Maksud Ayah apa?" jawabnya sedikit gemetar.
"Nissa, kebahagiaan terbesar yang kamu miliki ini
sekarang apa?" tanya ayahnya lagi dengan serius.
119 Cinta di Ujung Batas Nissa mulai bertanya dalam hatinya. Kebahagiaan
terbesar yang ia rasakan saat ini adalah memiliki suami
dan anak-anak. Begitu menyadari hal itu, spontan ia
terhenyak. Masya Allah. Haruskah" Tubuhnya terasa
terempas lemas. "Bagaimana Nissa" Kamu sudah menemukan ja?
wabannya?" Ayah bertanya hati-hati.
"Iya Yah, Nissa sudah menemukan jawabanya."
Sejenak ia menghela napas panjang dan terus beris?
tighfar. Ampuni dosaku ya Allah. Selama ini aku terlalu bahagia dengan pernikahanku, dengan kasih sayang suamiku, dengan rumah tanggaku. Aku sadar sumber semua
kebahagiaan ini adalah dari-Mu, milik-Mu. Sedikit
aku diuji untuk berbagi kebahagiaan ini, sanggupkah
aku" Ikhlaskah aku" Aku sangat mencintai suamiku.
Haruskah aku berbagi" Relakah aku, ada wanita lain
yang akan merasakan kasih sayang suamiku" Walaupun
itu adik angkatku sendiri, yang selama ini aku sayangi"
Mungkinkah" Pertanyaan demi pertanyaan berebut ia
bayangkan. "Yah, kebahagiaan Nissa saat ini adalah kasih sayang
Kak Haekal, suami Nissa. Haruskah Nissa berbagi
Yah?" tanya yang terlontar dengan penuh keraguan.
Apakah aku bisa" kembali ia bertanya dalam hati.
Ikhlaskah aku" "Mantapkan hatimu Nak, kebahagiaan itu sum?
bernya dari Allah. Semuanya bergantung keikhlas?
anmu. Kalau kamu bisa ikhlas yang sesungguhnya,
120 Berbagi Cinta" Sanggupkah"
yakinlah kebahagianmu tidak akan berkurang, tapi
justru akan lebih bertambah. Sekali lagi niatkan segala
sesuatunya untuk ibadah. Hasilnya pasti kamu tidak
akan kecewa. Semakin kamu bersyukur dengan ke?
adaan ini, semakin kamu akan ditambah nikmatnya.
Rencana Allah kita tidak tahu, tetapi pasti yang ter?
baik untuk kita," nasihat Ayahnya sambil mengelus
kepala Nissa dengan kasih sayang.
Sementara Pak Maulana sendiri, sangat yakin
bahwa ini sudah takdir yang digariskan dan ternyata
inilah jawaban dari pertanyaan Haekal beberapa ta?
hun lalu. Ternyata Haekal memang ditakdirkan untuk
menikahi putri kandungnya Anissa dan putri angkat?
nya Amelia. Justru sekarang yang digerakkan adalah
hati Anissa. Mudah-mudahan Anissa bisa ikhlas ber?
bagi kebahagiaan. Sedangkan Anissa sendiri belum mengambil kepu?
tusan apa-apa. Perang di hatinya belum usai. Masih
banyak pertimbangan yang bermunculan. Haruskah"
Haruskah" Haruskah"
Pak Maulana sangat memahami putrinya. Dia
tidak mau mendesak Anissa untuk segera mengam?
bil keputusan. Ia hanya berdoa jika tiba saatnya nanti,
Anissa akan mengambil keputusan penuh keikhlasan,
sesuai dengan hati nuraninya sendiri, supaya tidak ada
penyesalan. "Nissa, kamu ingat Nak, etika Nabi Ibrahim dipe?
rintahkan Allah untuk menyembelih Ismail" Belajar?
lah ikhlas dari kisah tersebut. Walaupun keikhlasan
121 Cinta di Ujung Batas yang harus kita berikan sekarang jauh lebih ringan,
dan justru kita harus lebih bersyukur dengan ujian
ini. Berarti Allah sayang pada kita. Sekali lagi Ayah
berharap ambillah langkah sesuai dengan hati nurani?
mu. Bermunajatlah terus sampai kamu betul-betul
yakin dengan keputusanmu. Jadi nanti setelah kamu
mengambil keputusan, jangan pernah tebersit penye?
salan, karena nanti ibadahmu menjadi sia-sia."
Kembali Pak Maulana menasihati putrinya pan?
jang lebar, penuh kasih sayang. Sama sekali tidak me?
maksa. Setelah hampir dua jam Anissa berada di kantor
Ayah, ia pamit, karena harus segera memberi ASI
bayi?nya. Sorenya perasaan Nissa masih tidak karuan, wa?
laupun keinginan untuk berbagi semakin mantap.
Mungkin sekarang tinggal memantapkan keikhlas?
annya. Selesai menyusui bayi, ia bergegas menyem?
purnakan wudu lagi. Mengambil Al-Qur"an dan me?
ngaji sampai Magrib tiba. Haekal hari ini sepulang
dari kantor akan langsung menjemput Mama untuk
periksa ke dokter. Akhir-akhir ini kesehatan Mama
agak menurun. Sore itu Nissa membaca firman Allah surat Al
Baqarah dan mentadaburinya, sampai ayat terakhir.
Ia membaca ayat yang benar-benar sesuai dengan
kondisinya saat ini. "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya,...."
122 Berbagi Cinta" Sanggupkah"
Mungkinkah aku memiliki kesanggupan untuk menjalankan semuanya ini" Inikah jalan hidup yang harus
kulalui" Kuyakini dalam hatiku, kalaupun itu terjadi
pastilah sudah kehendak-Nya. Kuyakinkan hatiku lagi,
manusia semuanya ada dalam genggaman Sang Maha
Pencipta yang mengatur segala hidup dan kehidupan.
Semakin ia yakinkan hati bahwa tak ada suatu ke?
jadian pun bisa terjadi tanpa seizin-Nya. Menyakini
bahwa, tak ada selembar daun pun bisa jatuh dari po?
honnya tanpa seizin dan sepengetahuan-Nya. Nissa
menghela napas panjang. Lega .... Bebannya terasa
berkurang. "Assalamu `alaikum Humairahku Sayang. Ka?ngen
banget nih, Kak Haekal hari ini sama kamu." Tibatiba Haekal sudah memeluk istrinya dari belakang
sambil memberikan bingkisan istimewa.
Anissa tidak menyadari kalau suaminya sudah pu?
lang dan memasuki kamarnya. Haekal memang sering
memberikan hadiah kejutan untuk istrinya. Kadang
Haekal memberi setangkai bunga yang dibawanya
sendiri, kadang juga dikirim melalui kurir. Buket
bunga mawar atau lili putih. Tak jarang juga, pada
jam makan siang Haekal mengirimi makanan kesu?
kaan istrinya. Membuat Nissa benar-benar merasa
sangat dimanja oleh suaminya.
Maka sangatlah pantas, Nissa pun membalasnya
dengan totalitas kesetiaan dan cinta. Tak terasa Nissa
meneteskan air mata. Dipandangnya lekat-lekat sua?
minya. 123 Cinta di Ujung Batas Dia sungguh sempurna untukku, dan cinta serta
kasih sayangku terus-menerus bertambah serasa tak
bermuara. Setiap aku dekat dengannya hatiku selalu bahagia. Suamiku memperlakukanku bak ratu yang selalu
dipuja. Sekarang mungkinkah aku rela ada wanita lain
yang akan mendapatkan kebahagiaan ini dari suamiku
yang sangat aku cintai"
Air matanya semakin deras mengalir. Nissa meme?
luk erat Haekal. Menyatakan cinta padanya dan pe?
rasaan takut kehilangan. Nissa menangis sesunggukan
hingga mengundang kebingungan suaminya.
"Sayang kenapa ini" Kok menangis" Ada yang salah
dari Kak Haekal" Kak Haekal minta maaf ya," Haekal
kebingungan melihat istrinya, sementara Nissa hanya
menggeleng dan semakin mengeratkan pelukan.
Haekal pun tidak memaksa Nissa untuk men?
jelaskan. Kata-kata indah dan menenangkan hati,
serta belaian kasih sayangnya menenangkan batin
sampai Nissa tertidur dalam pelukan suaminya.
Sepertiga malam terakhir ia kembali terbangun
oleh percikan air, yang dipercikan suaminya untuk
membangunkan. "Sayang, kita tahajud yuk, sudah 02.30," dibelai?
nya dengan lembut wajah istrinya.
Nissa pun segera bangun. Selesai berwudu Nissa
lihat suamiku sudah menggelarkan sajadah serta
mukena untuknya. Mereka pun tenggelam dalam
kekhusyukan di keheningan malam. Di penghujung
124 Berbagi Cinta" Sanggupkah"
waktu tahajjud, Nissa mentadaburi Al-Qur"an surah
Al-Ankabut ayat 2-3: "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka di?
biarkan (saja) mengatakan, `Kami telah beriman,` sedang mereka tidak diuji lagi. Dan sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang sebelum mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan se?


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta,..."
Mengucur deras air mata Nissa. Apakah selama ini
aku terlalu serakah dengan kebahagiaan yang aku rasakan" Ataukah ini ujian yang diberikan kepadaku untuk
menaikkan derajat keimananku, seperti dalam petikan
ayat yang barusan aku tadaburi"
Hari demi hari kegalauan hati ini semakin men?
jadi. Apakah ini saatnya aku menceritakan semuanya
kepada suamiku" Tapi apakah saat ini aku benar-benar
sudah siap membagi kebahagiaanku"
Kembali ia terngiang nasihat ayahnya, "Nissa, ka?
lau kamu bisa ikhlas membagi kebahagiaanmu, jus?
tru kebahagiaan itu tidak akan berkurang, tapi justru
akan bertambah." Mungkinkah" Duh, berarti aku belum siap. Masih
ada pertanyaan `mungkinkah` di dalam hatiku. Berarti
aku belum yakin. Nissa mengurungkan niat untuk menyampaikan?
nya pada suaminya, karena ia sendiri belum yakin
dengan keputusannya. Biarlah kutunggu sampai hatiku benar-benar yakin dan ikhlas atas semua keputusan
yang akan kuambil. Sekali lagi biar tidak ada penyesal?
125 Cinta di Ujung Batas an yang akan merusak pengorbanan yang aku niatkan
untuk ibadahku. Semakin aku akan berusaha ikhlas,
semakin besar pula rasa cintaku kepada suamiku. Apakah ini godaan yang mengujiku"
"Sayang, aku adalah suami yang sangat mencin?
taimu. Aku sangat peka dengan apa yang terjadi pa?
damu. Saat ini aku yakin, ada yang mengganggu ke?
tenteraman jiwamu, yang engkau sembunyikan da?
riku. Tapi sekali lagi aku nggak memaksa penjelasan?
mu, sebelum kamu sendiri siap menjelaskannya. Yang
harus kamu tahu, kapan pun kamu akan berbagi, aku
akan selalu siap, kapan pun."
Ungkapan lembut itu disampaikan Haekal tadi
pagi ketika hendak pergi ke kantor. Nissa paham betul
gaya bahasa suaminya kalau sudah mulai serius me?
nyikapi sesuatu. Berarti ia sudah mulai gelisah dengan
apa yang terjadi pada istrinya.
"Insya Allah Kak, beri kesempatan Nissa meman?
tapkan hati dulu. Maafkan Nissa," jawab Nissa sambil
memeluk suaminya. Duh, sandaran nyaman yang selalu menyejukkan
hati, yang selalu menggetarkan dada ini. Relakah
aku membaginya untuk wanita lain" Kembali Nissa
mengeratkan pelukan. Entah kenapa, rasanya pagi ini Nissa tak ingin
terlepas dari suaminya. Dengan penuh kasih sayang
Haekal memberi ketenangan pada istrinya. Pagi ini
dia mengesampingkan waktu kerjanya untuk istrinya.
126 Berbagi Cinta" Sanggupkah"
Diteleponnya sekretarisnya untuk menunda semua
jadwal sampai habis makan siang. Haekal memu?
tuskan berangkat kantor setelah makan siang, dan
memilih menemani Nissa sepanjang pagi ini.
Nissa menangkap kebingungan suaminya ter?
hadap sikapnya. Terima kasih Ya Rab, gumam Nissa
dalam hati. Alhamdulillah, aku memiliki suami yang
sangat mencintaiku. Apakah mungkin aku merelakannya ada wanita lain yang bisa menikmati semua ini
seperti apa yang aku nikmati sekarang" Sungguh perlu
kesiapan dan perenungan panjang agar aku bisa benarbenar ikhlas.
127 Cinta di Ujung Batas 10. Aku Melamarnya untuk Suamiku ___Anissa___ alam ini bintang-bintang indah bertaburan
meng?hiasi malam. Dingin malam membelai
lembut kulitku. Angin seolah menyejukkan jiwaku.
Jiwaku sudah mantap akan cinta Kak Haekal
padaku. Aku yakin, Allah akan menjaga cinta Kak
Haekal untukku. Aku yakin cinta Kak Haekal padaku
tak kan berubah walaupun ada wanita lain di sam?
pingnya. Ya, kenapa aku harus takut berbagi" berbagi ke?
bahagiaan di jalan Allah tidak akan mengurangi
kebahagiaan. Aku yakin Allah justru akan melipat?
gandakan kebahagiaanku. Aku yakin Kak Haekal
mencintaiku karena Allah, begitu juga aku.
Kumantapkan hatiku. Saat inilah saat yang tepat
untuk menyampaikannya kepada Kak Haekal. Sele?
sai suamiku mandi, kuniatkan dan kumantapkan hati
untuk menyampaikannya. Ya, saat ini aku benar-be?
nar sudah yakin. 128 Aku Melamarnya untuk Suamiku
Keluar dari kamar mandi, Kak Haekal tampak
le?bih segar. Kusodorkan segelas cokelat panas yang
kami nikmati bersama di sofa, di ujung kamar kami.
"Kak, ada permintaan dariku yang kuniatkan
untuk ibadah, yang sudah berbulan-bulan ini aku
pertimbangkan. Maukah Kakak bantu Nissa untuk
mewujudkannya?" Hati-hati permintaan ini aku sam?
paikan pada Kak Haekal. "Insya Allah Sayang, Kak Haekal bantu. Apalagi
niat untuk ibadah, sungguh tidak ada alasan untuk
menolaknya. Permintaan apa itu" Sampaikanlah,"
Kak Haekal berkata lembut sembari memelukku. Aku
yakin Kak Haekal nggak akan pernah menyangka apa
yang akan aku sampaikan "Kak, nikahi Amelia. Cintai Lia, jadikan dia
istrimu, seperti Kakak menikahi dan mencintai Nissa
sebagai istri Kakak. Sungguh Kak ini permintaan tu?
lusku. Semuanya kuniatkan untuk ibadah, semuanya
sudah Nissa istikharahkan, dan keinginan ini semakin
mantap Nissa sampaikan ke Kakak."
Panjang lebar aku meyakinkan suamiku untuk
bisa menikahi adik angkatku. Sesaat suamiku hanya
termangu tanpa berkata-kata. Sepertinya dia sangat
terkejut dengan apa yang aku sampaikan. Tak ada se?
patah kata pun keluar dari bibir suamiku.
"Kak, Nissa yakin Kakak pasti terkejut dengan
yang Nissa sampaikan. Tapi Nissa mohon, lapang?
kanlah hati Kakak untuk memenuhi permintaan ini,
karena Nissa yakin ini memang sebagian skenario
hidup kita. Ikhlaskan untuk ibadah Kak."
129 Cinta di Ujung Batas Aku merajuk lagi agar Kak Haekal memenuhi per?
mintaanku, karena Kak Haekal masih seperti orang
kebingungan. "Sayang, kamu yakin dengan apa yang kamu ucap?
kan?" Akhirnya keluar juga kata-kata dari lisan Kak
Haekal. "Sangat yakin Kak. Nissa sudah melalui perenung?
an panjang. Hampir setiap malam Nissa shalat isti?
k?harah untuk masalah ini, dan jawabannya semakin
meyakinkan hati Nissa," aku menjawab sambil me?
megang tangan Kak Haekal untuk meyakinkan.
Sementara Haekal sendiri sedang mengolah batin?
nya, dan mencoba meyakini atas semua tanda-tanda
yang diberikan Allah beberapa tahun lalu.
Ternyata ini jawaban dari semua yang pernah aku
alami sebelum aku menikah dulu. Ternyata sekarang
saatnya semua itu terjawab. Ternyata aku harus melalui
tahap seperti ini, karena apa yang dirasa dan diinginkan
Nissa ternyata bersinergi dengan apa yang pernah aku
alami dulu. Aku sudah sangat bahagia berumah tangga dengan
Nissa. Aku sangat mencintainya. Apa yang ada pada
Nissa sudah membuatku bahagia. Kalau sekarang aku
harus menikahi Amelia, sanggupkan aku hidup di
antara dua wanita" Bisakah aku berlaku adil" Bisakah
cinta dan kasih sayang ini berbagi"
Tetapi untuk menolak pun aku tidak berani. Apa
yang terjadi saat ini aku yakini memang jalan hidupku
yang sudah tersurat, yang harus aku lalui. Aku meng?
hela napas berat. 130 Aku Melamarnya untuk Suamiku
"Kak, bagaimana" Kakak setuju untuk menikahi
Lia?" aku mendesak. Entah kenapa aku rasanya nggak
mau menunda. "Sayang, aku mau jujur sama kamu. Kalau kamu
yakin ini jalan Allah yang diberikan kepada kita, aku
pun demikian. Sebelum aku menikahimu, semenjak
kita bertemu di Sentul waktu itu, memang bayangan
kalian berdualah yang selalu muncul dalam setiap sha?
lat malamku bertahun-tahun. Hal ini aku sampaikan
kepada Ayah. Sesuai nasihat ayahlah aku mengambil
keputusan untuk menikahimu, dan aku menyerahkan
cerita selanjutnya kepada Dzat yang berhak atas skena?
rio hidup kita. Alhamdulillah setelah aku mengambil
keputusan untuk menikahimu, tak ada lagi bayangan
yang muncul yang merisaukan hatiku. Aku mencin?
taimu seutuhnya selama ini. Sampai tibalah saat ini,
melalui olah batinmulah skenario itu dilanjutkan.
Kamu yang memintaku menikahi Amelia. Sekali lagi
aku berusaha memantapkan hatiku, ini kehendak Allah.
Ternyata inilah hidupku. Sayang aku mantapkan ha?
tiku. Bismillah ..."
Sejenak Kak Haekal menghela napas, "Aku
menyetujui dan menerimanya karena Allah. Aku
yakin apa yang terjadi padaku dulu dan sekarang,
adalah benar-benar petunjuk dari Allah. Rida saja kita
jalani ya." Plong, lega rasanya dan semakin yakin aku begitu
mendengar cerita suamiku. Ini adalah jalan hidup
yang harus kami lalui dan insya Allah kami bisa ikhlas
131 Cinta di Ujung Batas menjalankannya. Kupeluk suamiku penuh kasih sa?
yang, dan sekali lagi aku pun yakin kasih sayang dan
cinta Kak Haekal tidak akan berubah walaupun aku
sangat berharap Kak Haekal juga bisa mencintai dan
mengasihi Lia seperti dia mengasihi dan mencintaiku.
Ya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, luas?
kanlah samudra cinta suamiku, agar aku dan Lia kelak
tidak pernah kekurangan dan tidak pernah kehausan
dengan cinta dan kasih sayangnya. Amin
"Istriku Nissa, kelak kalau aku sudah menikahi
Lia, bantu aku untuk menjadi suami yang amanah,
yang berlaku adil. Bantu aku untuk tidak menyakiti
ataupun mengecewakan di antara kita. Terus terang
aku masih ragu, apakah aku bisa amanah nanti?" jelas
terukir kegamangan Kak Haekal menyikapi masalah ini.
"Sudahlah Kak. Kita harus yakin dan jangan me?
nunda-nunda niat baik ini. Besok kita ke rumah Ayah.
Aku akan melamar Lia untuk menjadi istrimu. Insya
Allah kita semua bisa menjalankannya. Kita harus
berprasangka baik pada Allah, agar apa yang terjadi
adalah yang terbaik dan terindah buat kita semua."
Pembicaraan ini mengakhiri kegalauanku selama
ini. Titik terang sudah terungkap, dan kami lalui
malam ini dengah penuh cinta dan kebahagiaan.
Esok harinya aku segera menghubungi Ayah,
untuk menyampaikan semua niat kami. Semoga se?
muanya bisa berlapang dada menerima ini, khususnya
Lia. Mudah-mudahan dia bisa ikhlas menerimanya.
Sudah kami putuskan, yang berbicara dengan Lia
dan melamarnya aku duluan, nanti baru Kak Haekal
132 Aku Melamarnya untuk Suamiku
yang meyakinkan kembali. Semoga semuanya lancar,
amin. Pintaku terukir dalam hati.
"Assalamualaikum Yah, rencananya Nissa sama
Kak Haekal mau ke rumah. Ada hal penting yang
akan kami sampaikan ke Ayah, Mama dan Lia. Hari
ini nggak ada acara ke mana-mana kan Yah?"
"Kami nggak ada rencana ke mana-mana Nis.
Kami tunggu ya. Jangan lupa ajak cucu-cucu Ayah,"
pinta Ayah. Aku yakin Ayah pasti sudah bisa menebak
untuk apa kedatangan kami kali ini ke rumah Ayah.
Sesampainya di rumah Ayah, aku minta izin ter?
lebih dahulu untuk berbicara empat mata dengan
Amelia, sedangkan kedua putraku Amr dan Ibrahim
bermain riang dengan Eyang putri dan Eyang kakung?
nya di taman depan. Kak Haekal sendiri kulihat
memasuki musala di sudut rumah Ayah.
Aku memahami perasaan Kak Haekal saat ini,
karena dia harus mempersiapkan babak baru yang
akan segera dihadapinya. Aku yakin kegamangan Kak
Haekal memosisikan dirinya di antara kami orangorang yang dicintai. Kecanggungan itu pasti ada. Se?
muanya butuh waktu, dan aku sendiri sudah mantap
mendampingi waktu itu berjalan.
"Amelia, kak Nissa sebelumnya minta maaf, kalau
apa yang akan kak Nissa sampaikan nanti tidak ber?
kenan di hati Lia," aku mulai pembicaraanku dengan
hati-hati sekali. Lia wanita yang berperasaan sangat
lembut, aku nggak mau melukainya.
133 Cinta di Ujung Batas "Kak, serius amat sih. Ada apa" Sampaikan saja ke
Lia, insya Allah nggak ada kata yang nggak berkenan
di hati Lia," rajuknya manja padaku.
"Lia, Kak Nissa beberapa bulan terakhir ini
memikirkan sesuatu, dan sudah kakak istikharahkan."
Sejenak aku menghela napas panjang dan tersenyum.
"Untuk hal ini Kak Nissa sudah bicarakan dengan
Kak Haekal. Kami berdua yakin ini adalah jalan yang


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus kami lalui." Lia bingung menangkap arah pem?
bicaraanku. "Kak, apa yang terjadi" Lia bingung nih, kayaknya
pembicaraan kakak serius," Lia memotong pembi?
caraanku. "Lia, menikahlah dengan Kak Haekal karena Allah,"
pintaku serius. "Apa Kak"! Lia nggak salah dengar" Apa maksud
Kakak?" Lia tampak gugup dan bingung mendengar
permintaanku. "Lia, dengan hati yang tulus, sekali lagi Kakak
melamarmu untuk menjadi istri Kak Haekal. Pertim?
bangkan Lia. Hal ini sudah kami yakini. Mengenai
hati dan perasaan Kak Nissa, kamu nggak usah ragu,
Insya Allah Kak Nissa ikhlas. Kak Nissa yang me?
mohon Kak Haekal untuk menikahimu. Sekali lagi
Lia niatkan semuanya ini untuk ibadah." Aku kem?
bali meyakinkan Lia untuk menerima lamaran yang
kusampaikan. "Kak Nissa, keyakinan apa yang membuat Kak
Nissa membagi kebahagiaan terbesar yang Kakak
134 Aku Melamarnya untuk Suamiku
punya dengan Lia, Kak?" Nada pertanyaan Lia me?
ninggi. "Lia, Kak Nissa nggak membagi kebahagiaan de?
nganmu, karena kalau Kak Nissa membagi berarti
kebahagiaan Kakak berkurang. Tapi Kakak memohon
kita bisa bahagia bersama. Lia, keyakinan Kakak ini
Kakak yakini betul sebagai ibadah, begitu juga dengan
Kak Haekal. Kakak berharap kamu mau menerima?
nya semata-mata hanya untuk ibadah Lia," pintaku
sambil membelai Lia. "Kak, sekali lagi pikirkan kembali permintaan ini.
Lia nggak mau menyakiti kakak," Lia menangis se?
sunggukan di pangkuanku. "Lia, di sini tidak ada yang disakiti. Kakak yang
minta kamu bisa menjadi istri Kak Haekal. Kakak
melamarmu dengan tulus. Ayolah Lia, terimalah Kak
Haekal sebagai suamimu. Lia, Kak Nissa bukan ber?
bagi suami, atau berbagi kebahagiaan, tapi sematamata semuanya ini kakak niatkan untuk ibadah. Un?
tuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari-Nya,"
berkali-kali aku kembali meyakinkan Lia.
"Kak, sekali lagi Kakak yakin dengan keputusan
ini?" Lia menatapku tajam.
"Insya Allah yakin! Kamu nggak usah ragu,"
kuyakinkan kembali Lia dengan senyum dan belaian
kasih sayangku. "Baiklah Kak, bismillaahirahmaanirrahiim. Lia
mau menerima lamaran Kakak untuk menjadi istri
135 Cinta di Ujung Batas Kak Haekal." Alhamdulillah lega rasanya. Kupeluk
Lia sebagai rasa terima kasihku.
"Baiklah Lia, di depan ada Ayah, Mama dan Kak
Haekal yang menunggu keputusanmu ini. Kita ke
sana, kita sampaikan semuanya ini kepada mereka,"
ajakku sambil menggandeng Lia menuju ruang depan
di mana semuanya berkumpul.
Kami berdua memasuki ruangan depan. Lia ter?
tunduk, sepertinya belum sanggup menghadapi kepu?
tusan ini. Kuajak dia untuk berdampingan duduk
denganku dan Lia pun masih tetap tertunduk tanpa
kata-kata. Kuisyaratkan Kak Haekal untuk memulai
pembicaraan selanjutnya "Assalamualaikum Lia. Lia, Kak Haekal yakin
kamu sudah paham dengan apa yang disampaikan
Kak Nissa. Di sini Kak Haekal pun sudah menyam?
paikannya kepada Ayah dan Mama. Beliau berdua
pun tidak keberatan dan sangat memahami apa yang
kakak sampaikan." Sampai di sini, Lia masih tetap tertunduk tanpa
sepatah kata, kecuali menjawab salam Kak Haekal.
"Lia, dengan restu Ayah, Mama dan restu tulus
dari istri Kak Haekal yaitu Kak Nissa. Kakak melamar
Lia untuk menjadi istri Kakak. Bersediakah kamu,
Lia?" Pertanyaan Kak Haekal disampaikannya dengan
lembut dan serius. Sementara Lia justru menangis se?
sunggukan, dan akhirnya Lia pun membuka suara.
"Kak, apakah ini tidak akan menyakiti Kak Nissa?"
Lia justru balik bertanya padaku. Kebingungan masih
136 Aku Melamarnya untuk Suamiku
tertangkap jelas di wajah Lia. Tetapi aku berusaha un?
tuk selalu meyakinkan dengan langkah apa yang akan
kami ambil. "Masya Allah Lia, Kakak sudah sampaikan, ini
permintaan tulus kami. Tidak ada yang akan disakiti.
Kita akan meraih kebahagiaan bersama Lia. Mantap?
kan hatimu Lia." Kembali aku meyakinkan Lia yang
masih ragu atas keputusannya.
"Baiklah Kak. Bismillah, Lia menerima lamaran
ini, karena Allah. Mohon doa restu dari semuanya
agar kehadiran Lia bisa semakin meningkatkan ibadah
kita semua," jawab Lia melegakan kami semua.
"Alhamdulillah, amin," jawab kami hampir se?
rempak. Lega rasanya kami semuanya sudah bisa memu?
tuskan. Pernikahan ini akan segera kami laksanakan.
Kami tentukan Ahad depan adalah hari pernikah?an
Lia dan suamiku. Aku yang akan mempersiapkan
semuanya. Aku menjadi ketua panitia pernikah?
an suamiku. Aku nggak mau lagi merepotkan Om
dan Tante, seperti pernikahanku dulu dengan Kak
Haekal. "Nissa, kamu yakin kamu bisa menjalankan se?
muanya ini Nis?" Beberapa pertanyaan dari Om dan
Tante padaku, mengenai pernikahan suamiku ini.
Panjang lebar perdebatanku dengan Om dan Tante
mengenai keputusan kami ini.
"Nis, kamu nggak takut dikemudian hari terjadi
konflik di antara kalian" Coba kamu pikirkan kembali,
137 Cinta di Ujung Batas mumpung belum terlambat," Tante Ade menyatakan
keresahannya padaku. "Tante, Om, nggak usah khawatir pada kami. Se?
muanya sudah melalui olah batin yang panjang sam?
pai kami meyakini keputusan ini semata-mata untuk
meningkatkan ibadah kami. Doakan saja ya Om,
Tante, semuanya akan mengundang rida-Nya," aku
yakinkan kembali agar mereka tidak cemas.
Akhirnya semua keluarga besar berbesar hati
menerima semua keputusan kami, termasuk Tyas dan
Arman yang tadinya keberatan seperti keluarga yang
lain. Akhirnya mereka semua terlibat mendukung
kami untuk mewujudkan keyakinan kami ini.
Dalam waktu seminggu, keluarga besar kami sibuk
mengurus persiapan pernikahan ini. Aku memu?
tuskan pernikahan dilaksanakan di rumah kami yang
besar dan berhalaman luas. Sebagai wali Lia, Ayah
sudah menguhubungi Om Imran adik kandung Om
Arman yang sekarang juga sudah hadir dan menginap
di rumah. Aku dan Kak Haekal memutuskan kami akan
tinggal bersama. Lia akan menempati kamar di lantai
bawah yang sudah aku benahi menjadi kamar yang
sangat nyaman untuk ditempati Lia sebagai kamar
pengantinnya. Hari demi hari mendekati pernikahan suamiku,
aku semakin merasakan cinta yang semakin besar
dari suamiku untukku. Hal ini semakin menguatkan
keyakinanku bahwa Allah mengabulkan doaku un?
138 Aku Melamarnya untuk Suamiku
tuk meluaskan samudra cinta dan kasih sayang sua?
miku untuk aku dan Lia merengguk cintanya tanpa
pernah kehausan dan berebut cinta dan kasih sayang
suami. Aku berharap rumah kami bisa menjadi surga bagi
kami semua. Baiti jannati, aku dan Lia bisa menjadi
bidadari-bidadari bagi suamiku saat ini sebelum bida?
dari surga untuk suami kami kelak.
"Sayang, betapa banyak engkau memberi kenik?
matan kepada suamimu ini. Sungguh tak kan pernah
aku menyakitimu. Bantu aku untuk menjadi suami
yang baik untukmu," bisik lembut Kak Haekal sambil
memelukku, menyapa pagiku hari ini. Indah dan tak
tebersit perasaan was-was sedikit pun pada diriku atas
cinta suamiku padaku. Subhanallah.
"Kak. Nissa sangat bahagia menjadi istri Kakak.
Cinta dan kasih sayang Kakak rasanya tak pernah le?
pas dari Nissa. Aku mencintaimu karena Allah, Kak."
Berjuta kali kunyatakan cintaku pada suamiku.
Esok sore adalah hari pernikahan suamiku. Esok
sore adalah hari bahagia suamiku dan Lia. Kuniatkan
hatiku untuk menyempurnakan kebahagiaan mereka.
Semua persiapan sudah aku cek sampai aku nilai
tidak ada yang kurang, terutama untuk kamar pe?
ngantin. Aku menatanya sesuai dengan selera sua?
miku dan Lia. Semoga mereka bisa melewatinya de?
ngan kebahagiaan. Sampai detik ini aku masih disibukkan dengan
segala tetek bengek pernikahan ini. Alhamdullilah ti?
139 Cinta di Ujung Batas dak bermunculan pikiran yang merusak keyakinanku
ini. Aku bersyukur, semoga hati ini selalu dijaga-Nya.
Akhirnya tibalah saat di mana suamiku akan
menikahi Lia sebagai istrinya, Aku pandangi suamiku
yang menurutku semakin memesona. Suami yang se?
makin membuatku jatuh cinta. Suami yang membuat
hatiku semakin bergetar ketika berdekatan dengan?
nya. "Sayang, sesaat lagi aku akan menikahi Lia untuk
menjadi istriku. Sekali lagi aku akan meyakinkan diri?
ku, apakah kamu benar rida dan ikhlas akan semua
keputusan yang kita ambil ini" Aku nggak mau me?
nyakiti kamu Nissa. Aku sangat mencintaimu. Cin?
taku padamu yang teramat dalam karena Allah. Kamu
yakin Sayang?" Dipeluknya aku dengan lembut.
Duh, pelukan ini semakin hangat terasa di dadaku.
"Kak Haekal suamiku, sampai detik ini dan insya
Allah sampai kapan pun aku akan selalu berdoa agar
keyakinan dan keridaan ini akan terjaga selalu di hati
Nissa, Kak," lembut kulirihkan keyakinanku ini, ku?
bisikkan di telinga suamiku.
"Alhamdulillah, semoga Allah selalu menjaga hati
kita untuk selalu berbaik sangka atas semua rencanaNya," kembali dipeluknya aku. Sekali lagi Kak Haekal
minta restuku untuk melanjutkan menikahi Lia.
Kami bahagia dan melangkah yakin. Aku bimbing
Kak Haekal untuk mendatangi tempat ijab kabul di
lantai bawah yang sudah aku persiapkan.
140 Aku Melamarnya untuk Suamiku
Acara demi acara sudah kami lalui tanpa rintangan
suatu apa pun. Sekarang Lia resmi menjadi istri kak
Haekal suamiku. ### Semua tamu sudah berpamitan untuk pulang. Tinggal
kami bertiga yang ada dirumah kami. Aku menang?
kap sekali kegalauan hati Kak Haekal dan Lia. Aku
yakin mereka bingung memosisikan diri.
"Kak Haekal, Lia, malam ini adalah malam pe?
ngantin kalian. Malam ini milik kalian dan jangan
pernah ada yang diragukan. Sekarang kalian halal
di hadapan Allah satu dengan yang lain. Niatkan se?
muanya karena ibadah. Selamat datang Lia, selamat
datang kebahagiaan. Malam ini milikmu Lia," aku
menghampiri mereka dan meyakinkannya.
Segera aku mencium tangan suamiku untuk ber?
pamitan menuju kamarku di atas dan meninggalkan
mereka berdua di lantai bawah.
Segera aku menaiki tangga untuk menuju kamarku.
Begitu memasuki kamar, aku segera me?ngunci pintu
kamarku. Biasanya kalau suamiku masih di luar, aku
tidak pernah mengunci pintu. Tapi malam ini sua?
miku bukan untukku. Malam ini kamar suamiku bu?
kan di kamarku, tetapi di kamar Lia yang sudah aku
persiapkan. Di kamar Lia segala keperluan Kak Haekal juga
sudah tersedia di sana. Hampir sama dengan apa yang
141 Cinta di Ujung Batas ada di sini. Aku ingin suamiku selalu nyaman, baik di
kamarku maupun di kamar Lia.
Aku segera mandi dengan air hangat menghi?
langkan kelelahanku mengurusi pernikahan ini. Aku
berendam di air hangat sambil menenangkan jiwa.
Meredakan buih-buih kecemburuan yang berusaha
bermunculan mengotori hatiku. Memadamkan api
cemburu yang berusaha menyeruak di dasar kesa?
daranku. Ya, aku hanya manusia biasa. Hanya Engkau
yang berkuasa membolak-balikkan hatiku. Jagalah
keikhlas?anku ini ya Rab. Segera aku sudahi mandiku.
Aku ingin segera menghampiri Cinta sejatiku, melalui
sujudku kepada-Nya. Aku harus bisa menghalau pikiran tentang apa
yang terjadi dengan suamiku dan Lia saat ini. Aku


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus semakin meyakinkan bahwa ini takdir-Nya.
Mereka halal di hadapan Allah satu sama yang lain.
Kutenangkan hatiku, bahwa semua yang aku mi?
liki hanyalah pinjaman dari-Nya. Suatu saat, Sang
Pemilik akan mengambilnya. Harusnya aku semakin
bersyukur bahwa sampai saat ini aku masih bisa
menikmati kebahagiaan yang dipinjamkan-Nya un?
tukku. Haruskah aku mengeluh yang menjadikan aku
kufur nikmat" Naudzubillah.
Bergegas kuhamparkan sajadah, setelah shalat
mag?rib kulanjutkan membaca firman Allah yang
membuat hatiku tenang dan semakin yakin dengan
kasih sayang-Nya. Sampai shalat Isya tiba, rasanya
142 Aku Melamarnya untuk Suamiku
detik yang aku miliki sangatlah indah dengan dite?
mani ayat demi ayat yang menenggelamkanku dalam
kekhu?syukan yang dalam. Indah sekali ...
Selesai Shalat Isya kurebahkan tubuhku di pem?
baringan yang selama ini membuaiku dengan kenya?
manan yang memberikan kebahagiaan bersama sua?
miku Kak Haekal. Kubelai bantal dan guling yang bia?
sa dipakai suamiku. Kutetapkan hatiku mulai malam
ini untuk ikhlas menyambut malam yang berbeda.
Sekarang, tidak setiap malam ada yang memelukku
untuk menghantar tidurku seperti yang biasa dilaku?
kan suamiku. Mungkinkah ini cara Allah mencintai
kami" Kurenungkan kembali, dengan hadirnya Lia,
banyak waktu dalam kesendirian malamku akan ku?
habiskan untuk bermesraaan dengan Sang Pencipta
melalui firman-firman-Nya yang aku tadaburi, mela?
lui tahmid, tahlil, istigfar yang kudendangkan me?
menuhi malamku. Subhanallah ... sungguh besar kasih sayang-Mu ya
Rabb. Tak terasa air mataku mengalir deras menyadari
semua kebahagiaan dan kenikmatan yang telah Allah
kirimkan untukku, termasuk kebahagiaan pernikahan
suamiku dengan Lia. Ini kuyakini sebagai kebahagiaan
yang dihadiahkan pada kami. Dengan hadirnya Lia di
kehidupan rumah tangga kami, semoga menambah
kebahagiaan kami yang sesungguhnya.
Aku mulai merasakan ketenangan yang luar biasa.
Malam ini aku bisa tertidur pulas tanpa berkepan?
jangan memikirkan saat kesendirianku. Tidak diko?
143 Cinta di Ujung Batas tori oleh kecemburuan dengan apa yang membuai
suamiku, dan Lia. Mereka mereguk kebahagiaannya
malam ini. Alhamdulillah, Engkau menjagaku ya Rab.
Pukul 2.30 aku terbangun, dengan alarm ponsel
yang sudah aku siapkan sebelum tidur. Kebetulan
berbarengan dengan bunyi SMS yang ternyata dari
suamiku, karena memang selama ini ia yang biasa
memercikkan air di wajahku sambil membelai untuk
membangunkanku shalat tahajud.
Selesai mandi dan hendak bersiap untuk shalat
tahajud, pintu kamarku diketuk. Mungkinkah Kak
Haekal yang datang" Bagaimana dengan Lia" Bukan?
kah ini masih terlalu pagi untuk meninggalkannya"
Segera kubuka pintu kamarku, ternyata Lia yang da?
tang dan Kak Haekal ada di belakangnya.
"Lia" Kak Haekal" Kenapa?" Aku heran kenapa
sepagi ini mereka menghampiri kamarku.
"Kak, maafkan Lia. Maafkan Lia Kak .... Lia minta
maaf Kak," tanpa penjelasan Lia langsung mencium
dan memeluk kakiku sambil menangis sesunggukan.
Aku semakin kebingungan. Apa yang sebenarnya ter?
jadi" "Lia ... Lia, please. Kak Nissa bingung, apa yang
terjadi" Apa yang harus Kak Nissa maafkan" Ada apa
Lia" Tolong jelaskan... " sergahku sambil mengang?
kat wajah Lia. Sementara Kak Haekal sendiri, hanya
berdiri sambil membelai lembut rambutku, sambil
berulang mengucap maaf, yang menambah kebi?
ngunganku. 144 Aku Melamarnya untuk Suamiku
"Kak, maafkan Lia Kak, " tangisan Lia tambah
menjadi tanpa penjelasan. Segera Kak Haekal meng?
ambil posisi bijaksana. "Sudah... sudah. Kita semua tahajud dulu, biar
hati kita lebih tenang. Kita tahajud bersama saja di
ruang musala," ajak Kak Haekal penuh kasih sambil
membimbing kami berdua. Kak Haekal membelai dan memeluk Lia untuk
menenangkannya. Ini kali pertama aku melihat sua?
miku memeluk wanita lain. Sesaat aku merasa ada
aliran listrik yang menyambar tubuhku ketika meli?
hat adegan ini. Tapi aku segera memadamkannya. Lia
sekarang halal untuk Kak Haekal. Segera aku terse?
nyum untuk menyiram api cemburuku.
Ya, aku manusia biasa. Aku harus belajar menjaga
hati, agar ibadah ini tidak sia-sia. Aku bersyukur Kak
Haekal pun berupaya menunjukkan kasih sayangnya
untuk kami berdua. Segera dipeluknya juga aku, dan
kami bertiga menuju musala.
Selesai shalat malam, seperempat jam sebelum
subuh Kak Haekal berpamitan kepada kami untuk
pergi ke masjid. Kami berdua melanjutkan berzikir
menanti shalat Subuh. Di sela-sela zikirku, Lia meme?
lukku dan meminta maaf lagi kepadaku.
"Ada apa Lia" Jelaskan dong sama Kak Nissa. Kak
Nissa sedih ngeliat Lia nangis terus," desakku agar Lia
mau cerita. "Kak, Lia sudah menyakiti Kakak. Lia sudah
meng?ambil kebahagiaan Kakak. Kak, ampuni Lia
Kak, ampuni Lia, " semakin menjadi tangisan Lia.
145 Cinta di Ujung Batas "Oh itu penyebabnya Lia. Kak Nissa memang
manusia biasa yang terkadang muncul perasaan-pe?
rasaan seperti itu. Lia... tujuan akhir kita dari per?
jalanan ini adalah ibadah. Semua kita niatkan untuk
ibadah, jadi kita bertiga harus membantu untuk saling
menguatkan keikhlasan, agar kebahagiaan kita nggak
berkurang, tapi justru bertambah," kubelai adikku pe?
nuh kasih sayang. "Tapi Kak, dengan hadirnya Lia, Kak Nissa akan
sering merasakan kesepian. Waktu Kak Haekal akan
terbagi. Kakak ikhlas" Lia merasa berdosa kalau Kakak
sedih," kembali Lia minta kesediaanku.
"Lia, percayalah itu salah satu cara Allah mencintai
kita. Dia adalah pemilik cinta sejati. Dan Sang Pemi?
lik cinta sejati sangat pencemburu kalau hamba-Nya
mengesampingkan-Nya. Dengan kondisi kita yang
demikian ini insya Allah kita semakin banyak waktu
untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sudahlah ja?
ngan pikir macam-macam, nanti setan akan mengua?
sai hawa nafsu serta merusak niatan kita. Sudah, lu?
ruskan semuanya karena ibadah, semoga Kak Haekal
bisa membimbing kita menjadi istri-istri yang shali?
hah. Amin." Aku segera menyudahi pembicaraan ini dengan
pelukan lembut. Kubelai wajah Lia dengan penuh
kasih sayang. Aku memosisikan Lia bukan sebagai
madu, tapi lebih sebagai tim untuk menuju tujuan
positif, karena posisi maupun sikap kita semua sangat
menentukan tercapainya tujuan.
146 Aku Melamarnya untuk Suamiku
Dalam kehidupan yang kita jalani ini, wajib bagi
kita untuk pintar menata hati, sikap dan menjaga
pikiran kita selalu positif. Fokus pada apa yang sebe?
narnya kita perjuangkan. Kita harus menghapus ruang
sekecil apa pun yang mengotori hati kita. Jangan sam?
pai ada celah untuk hal-hal yang negatif, seperti cem?
buru, iri dengki dan hal hal lain yang tentunya akan
merusak segala sesuatu yang telah kita niatkan untuk
ibadah. Kesiapan harus benar-benar matang dan harus kita
format dalam diri kita sebelum semuanya kita laku?
kan. Setelah kita menyiapkan semuanya secara lahir
dan batin, barulah kita mengambil keputusan men?
jalankan semuanya. ### Wangi embun pagi terasa lembut menyapaku. Ku?
langkahkan kakiku dibumi-Mu yang memberikan
sejuta kebahagiaan. Pagi ini, adalah pagi di mana aku
hidup berpoligami. Sepanjang jalan menuju rumah
Allah istigfar kubiarkan mengalun lembut di dalam
batinku. Kumantapkan batinku akan perjalanan hidup
yang kujalani ini. Jujur ternyata batinku masih tarik
ulur berdiskusi untuk mendapatkan solusi yang bijak
dan adil untuk istri-istriku.
147 Cinta di Ujung Batas Aku harus bijak mengatur waktu, kasih sayang,
perhatian, dan segala sesuatu yang kumiliki. Yang
kurasa paling berat dalam hidup berpoligami ini
adalah keadilan hati. Aku takut dalam hatiku nanti
ada kecenderungan. Sanggupkah aku" Berdosakah
aku apabila dalam perjalananku nanti, hati ini lebih
tertambat memilih salah satunya, yang pasti akan
diketahui oleh Sang Pencipta hati ini"
Terus terang ada ketakutan dalam hatiku un?
tuk masalah keadilan ini. Aku sendiri belum paham
dengan batas keadilan dalam hidup berpoligami ini.
Menyadari ini aku semakin beristigfar menghadapi
ketakutan pikirkanku. Aku takut ... sanggupkah aku
menjadi suami yang baik untuk istri-istriku"
Sepulang dari masjid kuhampiri istri-istriku yang
sedang menyiapkan sarapan pagi untuk kami semua.
Kulihat kedua buah hatiku sedang bergelayut manja
kepada tantenya. Mereka masih belum tahu dengan
apa yang dijalani orangtuanya. Mereka tampak ba?
hagia sekali, karena memang mereka sudah terbiasa
dengan Lia. "Assalamu`alaikum," aku menyapa dan mereka
membalas hampir serempak.
"Wa `alaikum salam Papa," balas si sulung. Segera
kupeluk dan kugendong. Amr anak sulungku ham?
pir empat tahun sudah usianya dan Alhamdulillah
tumbuh sebagai anak yang sehat, pintar dan lucu.
Celotehnya selalu membuatku kangen apabila jauh
darinya. 148 Aku Melamarnya untuk Suamiku
"Pa, Amr seneng deh, Tante Lia bobo di rumah
Amr. Besok Tante Lia nginap lagi ya Pa," ucapan
polos anakku yang kusambut dengan ciuman meng?
iyakan. "Amr, sayang Papa, mulai hari ini Tante Lia akan
tinggal bersama kita semua di rumah ini. Tante Lia
akan bantu Mama jagain Amr dan Dede. Makanya
mulai hari ini Amr panggil Tante Lia, Bunda ya. Jadi
... Amr punya Bunda dan Mama. Oke sayang, main
lagi sama Bunda ya," kulepaskan anakku dari pelu?
kan dan kutepuk lembut pantatnya yang lucu dan
menggemaskan. "Oke Papa. Ayo Bunda kita main lagi," putraku
dengan gaya polosnya berlarian menghampiri bun?
danya. Kuhampiri Nissa, "Sayang, aku ingin bicara seben?
tar. Bisa kita ke atas?" pintaku pada Nissa. Aku pun
minta izin pada Lia. Dengan mengangguk tersenyum
Lia mengizinkan kami ke kamar atas.
"Tinggal saja Kak, nanti Lia teruskan," senyuman
ikhlas Lia meyakinkan Nissa yang tampak agak ragu.
Mungkin dia nggak enak pada Lia. Segera kugandeng
tangan Nissa menuju kamar kami di atas.
"Nissa, maafkan aku," kupeluk penuh kasih istriku
tercinta. "Sayang, apa yang harus aku maafkan. Apakah
Kak Haekal berbuat salah ke Nissa?" Nissa bertanya
lembut padaku. 149 Cinta di Ujung Batas "Sayang, aku takut semalam kamu sedih karena
pernikahanku dengan Lia. Aku khawatir kamu men?
derita karena pernikahan poligami yang aku jalani ini.
Sungguh Nissa, aku nggak mau menyakiti kamu,"
aku memeluk istriku. Terasa benar getar cintanya un?
tukku. "Kak, kita semua masih belajar ikhlas satu sama
lain. Nissa sadar kita manusia biasa yang mempu?
nyai keterbatasan. Kita berusaha saja kak untuk saling
membahagiakan. Semoga hati kita ini selalu dijaga,
dan tidak dikuasai hawa nafsu yang akan merusak
niatan kita. Insya Allah Kak, kita saling medoakan
saja. Semoga dari perjalanan ini, kebahagiaan bisa kita
raih," ucap Nissa tulus. Kupeluk lagi istriku dengan
penuh kasih sayang. 150 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
11. Lia, Partnerku Mencari Rida Allah __Anissa__ ari demi hari, bulan demi bulan, kehidupan
rumah tangga kami semakin harmonis. Aku


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah mulai terbiasa melihat suamiku memperlaku?
kan Lia dengan penuh kasih sayang. Begitupun Lia,
dia juga tampak bahagia melihatku sangat dicintai
oleh Kak Haekal. Kami pun hidup rukun dan bahagia
menjalankan semuanya ini.
Alhamdulillah rasa sayangku pada Lia tak ber?
kurang. Sekarang aku memosisikannya bukan hanya
sebagai adik, tapi lebih sebagai partner setia dalam
mencari rida Allah. Kami berdua harus kompak
dalam satu visi. Kalau di antara kami ada yang me?
ngotori hati dengan kecemburuan, iri dengki dan
penyakit hati lainnya, pastilah bukan kebahagiaan
dan rida Allah yang kami dapat, tapi malahan seba?
liknya. Naudzubillah. Jaga hati kami ya Rab.
"Lia, kenapa kamu tampak pucat" Kamu sakit?"
tanyaku mengkhawatirkan "Entahlah Kak, badan Lia nggak enak. Lia mual,
pusing. Apa ini tanda hamil ya Kak?" jawab Lia lemas.
151 Cinta di Ujung Batas "Alhamdulillah, insya Allah benar Lia. Kamu tele?
pon Kak Haekal. Minta Kak Haekal antar ke dokter,"
pintaku bahagia. "Kak, Kak Nissa saja ya yang sampaikan ke Kak
Haekal. Lia malu." "Malu"! Lia, Kak Haekal itu suamimu. Harus
dari kamu sendiri kabar gembira ini sampai ke Kak
Haekal," tolakku, sambil menekan nomor ponsel Kak
Haekal dari pesawat telepon di ruang baca, di mana
aku dan Lia sekarang sedang bersantai.
"Ini sudah nyambung, sampaikan sendiri Lia,"
pintaku sembari memberikan gagang telepon ke Lia.
"Assalamu`alaikum Kak. Ini Lia," aku mendengar
Lia sudah mulai pembicaraan dengan Kak Haekal.
Aku pun segera pergi meninggalkan Lia sendiri un?
tuk menikmati saat bahagianya bersama Kak Haekal.
Aku nggak mau membuat Lia risih karena ada aku di
sampingnya. Kehamilan Lia kami sambut dengan kebahagiaan
dan rasa syukur kami kepada-Nya. Bertambah lagi ke?
bahagiaan yang Allah berikan untuk kami. Semuanya
merasakan kebahagiaan itu. Putra sulungku Amr sa?
ngat ceria dan tak sabar lagi menunggu adik kecilnya
yang akan lahir dari bundanya.
"Bunda, Bunda, Amr mau punya adik lagi ya" Yang
banyak ya Bunda, biar Amr bisa main bola lame-lame
nanti," itu celoteh Amr yang sering kudengar bila ber?
dekatan dengan bundanya. 152 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Insya Allah, Amr doain adik bayi di perut Bun?
da ya biar sehat, dan nanti lahir kuat kaya Kak Amr.
Oke?" jawab Lia dengan penuh kasih sayang kepada
putra sulungku. Ya, aku bersyukur Lia mencintai putra-putraku,
seperti darah dagingnya sendiri. Tulus dan penuh
kelembutan. Waktu pun berlalu dengan indah. Tak terasa ke?
hamilan Lia sudah menginjak bulan keenam. Keha?
milan Lia, terbilang tidak rewel. Lia tidak ngidam
yang aneh-aneh, sama seperti kedua kehamilanku
dulu. Kak Haekal pun dengan penuh kasih sayang
menjaga Lia, persis dengan apa yang dilakukan ke?
padaku dulu. Alhamdulillah aku pun turut bahagia
dengan keadaan ini. "Lia, jangan lupa minum vitamin ya, juga susu
dan jus buahnya biar badan segar. Selain untuk bayi?
mu, stamina untuk ibunya juga sangat penting untuk
mempersiapkan kelahiran nanti," aku menasihati Lia
seperti ibuku menasihatiku.
Terus terang aku agak bawel semenjak Lia hamil,
karena aku tahu benar untuk masalah makanan Lia
paling malas dan kurang memperhatikan semenjak
gadis dulu. Lia hanya senyum-senyum dengan ke?
bawelanku ini. Mungkin Lia pun sudah sangat paham
dengan kebiasaanku ini. "Kak, kenapa ya hari ini badan Lia lemes dan
kepala ini pusing sekali?" keluh Lia sore ini padaku.
153 Cinta di Ujung Batas "Coba periksa ke dokter, minta antar Kak Haekal
sepulang kantor nanti. Biar dokter memeriksanya
Lia," anjurku. Memang kulihat sore ini Lia tampak
diam dan wajahnya pucat. Aku khawatir dia sakit.
"Enggaklah Kak, sore ini aku malas keluar. Mung?
kin nanti juga sembuh sendiri. Jangan bilang Kak
Haekal dulu ya Kak, nanti aku dipaksa ke dokter,"
rajuk Lia padaku. "Aduh ... Lia. Kamu nggak berubah dari dulu,
pa?ling takut sama dokter. Paling alergi sama rumah
sakit. Kayak anak kecil saja sih Bu?" candaku padanya.
Memang Lia ini paling takut dengan rumah sakit
maupun dokter dan paling susah kalau disuruh mi?
num obat. Waktu kecil dulu kalau diajak ke rumah
sakit, dia sudah mual-mual duluan membayangkan
bau rumah sakit. Ternyata sampai sekarang pun Lia
belum berubah "Ya sudah Lia, kamu masuk kamar saja istirahat.
Mau Kak Nissa bikinin teh panas biar enakan badan?
nya ya?" ### Sore ini kak Haekal, pulang agak awal. Kami me?
nyambut dengan bahagia. Amr putra sulungku ber?
larian menghampiri ayahnya. Aku pun menghampiri
suamiku sambil menggendong si bungsu. Sesaat Kak
154 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
Haekal memeluk kami, dan menyadari Lia tidak ada
di antara kami. "Nissa, mana Lia?"
"Lia istirahat di kamar, sepertinya lagi nggak enak
badan. Coba Kakak tengok deh ke kamar Lia, biar
Nissa bikinkan dulu cokelat panas buat Kakak ya."
"Terima kasih sayang atas semua kebaikanmu,"
Kak Haekal memelukku, dan minta izin untuk me?
lihat keadaan Lia di kamarnya sambil menggendong
Amr anak sulungku. Aku tersenyum bahagia. Alhamdulillah, hampir
tak ada konflik yang berarti di antara kami. Suamiku
sangat bijak menyebarkan cintanya untuk kami se?
muanya. Aku selalu berdoa semoga suamiku diberikan
kekuatan untuk membimbing kami mewujudkan ke?
luarga bahagia penuh cinta kasih.
Aku bersyukur, kami semua hidup bahagia. Apa?
lagi sebentar lagi Lia akan dikaruniai keturunan yang
tentunya akan lebih menambah kebahagiaan kami
lagi. Kalau tidak ada halangan kurang lebih tiga bu?
lan lagi Lia akan melahirkan. Semua keperluan si kecil
yang akan lahir sudah kami persiapkan.
Aku menghidangkan cokelat panas, minuman fa?
vorit suamiku di ruang tengah. Sambil menunggu kak
Haekal keluar dari kamar Lia aku bercanda dengan si
kecil. "Nissa, kenapa Lia ya" Katanya kepalanya pusing
sekali. Dokter Anita hari ini praktik sampai jam berapa
155 Cinta di Ujung Batas Nis?" suamiku tampak cemas sekali dengan keadaan
Lia. Dokter Anita adalah dokter kandungan Lia.
"Astaghfirullah, kasihan sekali Lia. Padahal hari ini
Dokter Anita cuma sampai jam 6 sore, sudah nggak
mungkin keburu. Nissa daftarkan untuk besok pagi
saja ya Kak" Atau kita bawa ke dokter lain?" aku minta
persetujuan suamiku "Terima kasih Sayang, Kak Haekal tanya ke Lia
dulu ya. Kamu tahu sendiri kan Sayang, Lia paling
takut berurusan dengan dokter dan rumah sakit. Aku
coba bujuk Lia dulu ya," pamit suamiku lagi sambil
memberikan elusan lembut di rambutku, dan aku
pun tersenyum menyetujuinya.
Suamiku bergegas kembali ke kamar Lia, dan be?
berapa saat kemudian terdengar azan magrib. Aku
segera berwudu dan menuju musala rumah kami
menunggu suamiku dan anggota keluarga yang lain
untuk shalat berjemaah. Tak berapa lama Kak Haekal
datang sambil memapah Lia. Kami Shalat Magrib
berjemaah, tak ketinggalan sulungku Amr yang juga
sudah terbiasa mengikuti.
Walaupun dalam keadaan sakit, Lia tetap meng?
ikuti shalat berjemaah. Suamiku mempercepat sha?
latnya dengan memilihkan surah-surah yang pendek,
karena mengingat kondisi Lia. Seusai shalat kami ber?
doa bersama. Belum sampai selesai, Lia merebahkan
kepalanya di pangkuanku. "Kak Nissa, kepala Lia pusing sekali," mendengar
keluhan Lia, Kak Haekal segera mengalihkan doanya.
156 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui, Engkau
Maha Pengasih dan Penyanyang, dan Engkau Maha
Berkehendak atas segala sesuatu. Hamba mohon
kuatkan Lia, dan angkatlah derita yang dirasakannya.
Amin." Kak Haekal segera membalikkan badannya
untuk melihat keadaan Lia.
"Sayang, kalau kamu nggak mau ke rumah sakit,
kita panggil dokter keluarga saja ya, Dokter Bihaqqi.
Biar segera diobati dan kamu tidak tersiksa. Lagian
kasihan kandungan kamu, dia ikut merasakan apa
yang kamu rasakan," bujuk Kak Haekal. Kali ini tidak
ditolak lagi oleh Lia, mungkin karena Lia sudah tidak
tahan dengan sakitnya. Aku bergegas menghubungi Dokter Bihaqqi,
"Kak, tolong jagain Lia, biar Nissa yang telepon Dok?
ter Bihaqqi," pintaku.
Setengah jam setelah teleponku, dokter kami da?
tang. Aku segera mengantarnya ke kamar Lia. Lia
terlihat kesakitan dan merebahkan kepalanya di atas
pangkuan suamiku sambil menekan kepalanya. Duh,
apa yang dirasakan Lia" Kenapa sepertinya dia tersiksa
sekali" "Assalamu`alaikum," dokter segera mengikutiku
masuk kamar Lia. "Wa `alaikumsalam. Alhamdulillah dokter sudah
datang. Silakan Dok, periksa istri saya," Kak Haekal
mempersilakan Dokter Bihaqqi untuk memeriksa
Lia. Kurang lebih lima belas menit Dokter Bihaqqi
157 Cinta di Ujung Batas memeriksa Lia dengan saksama. Akhirnya dokter
meminta bicara empat mata dengan Kak Haekal.
"Bisa saya bicara dengan Anda di luar?" bisik Dok?
ter Bihaqqi sembari membimbing suamiku keluar
kamar. Tebersit kekhawatiran yang sangat bergejolak
pada diriku. Duh, ada apa dengan Lia" Kenapa Dokter Bihaqqi
kelihatan serius sekali" Aku pun mendampingi sua?
miku untuk berbicara dengan Dokter Bihaqqi.
"Maaf, saya sarankan istri Anda segera dibawa ke
rumah sakit. Pusing yang diderita istri Anda bukan
pusing biasa, harus segera ditindaklanjuti sebelum
semuanya terlambat," Dokter Bihaqqi menjelaskan
dengan sangat hati-hati. Jantungku serasa berhenti mendengar penjelasan
dokter kepada Kak Haekal. Apa yang terjadi pada
Amelia, adikku, istri suamiku" Bagaimana dengan
kandungannya" Bagaimana aku harus menjelaskan?
nya pada Amelia" "Apa yang terjadi sesungguhnya Dok" Apa ada
sesuatu yang gawat yang terjadi pada istri saya?" Kak
Haekal mendesak dokter Bihaqqi untuk menjelaskan?
nya. "Semuanya harus melalui pemeriksaan lebih lanjut
di rumah sakit, karena di sana alat-alat tersedia. Saya
belum berani menyimpulkan. Segera bawa istri Anda
ke rumah sakit, saran saya lebih cepat lebih baik," pen?
jelasan dokter semakin membuatku dan Kak Haekal
nggak karuan. 158 Lia, Partnerku Mencari Rida Allah
"Bertawakallah kepada Allah, ikhlas dan serahkan
semuanya kepada-Nya. Tugas kita adalah berikhtiar
dan berdoa. Semoga kita semua bisa ikhlas dan ber?
sabar. Sekali lagi berserah diri kepada Allah membuat
hati kita tenang karena apa yang akan terjadi hanya
Allah yang Maha Mengetahui. Oke, Pak Haekal saya
tunggu Anda dan istri Anda di rumah sakit untuk
pemeriksaan lebih lanjut."
Nasihat dokter sedikit menekan kegelisahanku. Ya,
semua Engkau Yang Maha Memiliki.
?"Dok, bagaimana kalau besok pagi ke rumah sa?
kitnya" Biar kami pelan-pelan memberi pengertian
kepada Lia, istri saya," pinta Kak Haekal memohon
pertimbangan dokter. "Baiklah, sementara saya kasih obat untuk me?
nahan rasa sakitnya, dan agar Ibu Lia bisa tidur dan
istirahat. Tapi saya sarankan, besok pagi segera bawa
ke rumah sakit, saya tunggu," Saran Dokter Bihaqqi
dengan bijak sambil menepuk-nepuk pundak sua?
miku. Dokter berpamitan diantar Kak Haekal sampai


Cinta Di Ujung Batas Karya Wahyu Henneng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman rumah ### Setelah dokter pulang, aku bergegas menghampiri
Matahari Esok Pagi 11 Dewa Iblis Karya Tak Diketahui Pedang Pembunuh Naga 15

Cari Blog Ini