Ceritasilat Novel Online

Kemelut Tahta Naga 1

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp Bagian 1


1 CETAKAN PERTAMA CV GEMA SALA - 1987 2 Kemelut Tahta Naga bagian 1, selesai di write ulang di
Pringsewu " Lampung dari tanggal 26 April 2018 " 26 Mei
2018. Terdiri dari 24 Jilid Total sekitar 1500-an halaman.
KONTRIBUTOR IMAGE : KOH AWIE DARMAWAN
PERTAMA KALI DI SHARE DI GROUP FACEBOOK :
Kolektor E-Book HAPPY READING" "
3 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilid I Rombongan tentara kekaisaran itu tengah
menggiring tiga orang pesakitan yang terbelenggu tangan dan kaki mereka, bahkan
leher ketiga-tiganya juga dljepit papan kayu
yang teba1 dan berat. Mereka memang
bekas pesakaitan-pesakitan berbahaya,
perampok-perampok berilmu tinggi yang sudah
membunuh banyak petugas keamanan; yang
berusaha menangkap Namun kini ketiga
manusia berbahaya itu sudah tertangkap dan
sedang menyeret kaki menuju tiang gantungan
yang sudah tersedia di kota Tay tong.
Untuk keberhasilan meringkus ketiga bandit
itu, Panglima Tay-tong yang bernama Ji Kim
liong itu patut menepuk dada. Entah berapa
banyak jago-jago pe merintah yang gagal
menangkap ketiga bersaudara seperguruan
4 yang jahat itu, dan semua jago-jago pemerintah
itu kern ba1i dengan tangan hampa, atau
malahan tidak kembali sama sekali kecuali
arwahnya. Tapi belum ada setengah tahun Ji
Kim Iiong menjadi Panglima di Tay-tong, dan ia
teiah berhasil meringkus ketiga bandit perkasa
itu. Sarang bandit beserta seluruh gerombolan
peram-pok juga sudah ditumpas, sebagian besar
mati dan sebagian kecil yang tidak berarti dapat
iolos, namun bukan lagi kekuatan yang
berbahaya. Panglima Tay-tong yang mahir Cui-sian-kun
(silat dewa mabuk) itu sudah membayangkan
hadiah besar yang bakal diterimanya, atau
kenaikan pangkat, kalau pusat pemerintahan di
Pak-khia ke-lak menerima laporannya disertal
bukti tiga butir kepala manusia.....
Dengan gagahnya Ji Kim-liong menunggangi
kuda coklatnya, berjalan paling depan dari
pasukan kecilnya. Benteng kota Tay-tong sudah
kelihatan di kejauhan, seperti seleret garis
bergerigi, dan di balik tembok itu tentu rakyat
5 sudah siap menyambut keberhasilannya dan
mengelu-eIukannya. Namun lamunan yang mengasyikkan itu
bubar berantakan ketika di hadapan pasukannya tiba-tiba muncul seorang lelakl
bertubuh tinggi tegap dan berpinggang ramping
kokoh, tetapi wajahhya tak terlihat, sebab
disembunyikan dl balik selembar kedok kain
hitam. Bah-kan orang berkedok itu mengangkat
ta-ngan sambil berkata dengan nada memer i n
tah, "Berhenti.!" Ji Kim Liong terkejut dan menghentikan
pasukannya, Siapakah yang bernyali begitu
besar sehingga berani menghadang Panglima
Tay-tong dan dua ratus lima puluh perajurtnya"
Kemudian ternyata keberanian orang
berkedok itu cukup beralasan, sebab diapun
tidak sendirian. Dari balik batang pohon-pohon
besar, dari atas po-hon, dari belakang semaksemak, malah ada yang seolah muncul dari
tanah, berlompatanlah orang-orang yang
menunjuk-kan gerak-gerik tangkas dan 6 membawa senjata, tapi semuanya memakai
kedok kain. Dalam beberapa detik saja, pasukan Ji Kim-liong sudah dikepung oleh orangorang berkedok yang jumlahnya cukup banyak
itu. Tapi Ji Kim liong tidak gentar, tubuhnya
bagaikan dilempar dari atas pelana kudanya
untuk berdiri dltanah, sambil memerintah
pasukannya, " Jaga tawanan jangan sampai lepas!"
Pasukan kecil yang terlatih itupun segera
membentuk pertahanan melingkar yang berlapis-lapis, sementara tiga orang tawanan
yang terbelenggu itupun ditempatkan di
tengah-tengah. Detik berikutnya, Ji Kim liong sudah
menghunus siang-kek (sepasang tombak
pendek) yang tadinya tergendong bersilangan
di punggungnya, Gertaknya, "Kalian rupanya
sudah bosan hidup se-hingga berani menghadang tentara kekaisaran yang sedang
menjalankan tugas keamanan. Siapa kalian
sebenarnya?" 7 Orang berkedok bertubuh tinggi tegap yang
muncul pertama kali tadi, bukannya menjawab,
malah balas menggertak tidak kalah garangnya,
"Ji Kim-liong, tidak ada waktu menerangkan
tentang siapa kami ini. Sekarang bagimu hanya
ada dua piiihan. Serahkan tawanan-tawanan Itu,
dan kau akan selamat, bahkan di kemudian hari
kau akan menemui perjalanan gemilang daIam
jalur ke pangkatanmu. Tapi kalau kau menolak
kami, kami akan menumpasmu sampai habis"
Ji-Kim-Liongg yang berotak cerdas itu toh
kebingungan juga mendengar ucapan orang
berkedok itu. Dengan susah payah otaknya
mencoba mencari hubungan yang masuk akal
antara "melepaskan tawanan" dengan "perjalanan gemilang dalam jalur kepangkatan"
dan ia tidak berhasil menemukan jawabannya.
Kalau orang-orang berkedok ini adalah perampok, mana ada perampok yang
menjanjikan "perjalanan gemilang dalam
jalur kepangkatan segala?"
Tapi Panglima Tay-tong ini cepat-cepat
membuang semua kebimbangannya dan
8 mengambil sikap tegas. Baru setengah tahun ia
menduduki jabatannya dan baru saja hendak
mendirikan pahala dengan menangkap penjahat-penjahat itu, tentu saja ia tidak ingin
menyerahkan tawanannya kepada orang-orang
tak dikenal itu. Karena itulah ia segera
memerintahkan, "Tumpas kurcaci-kurcaci itu"
Maka pinggiran hutan yang sepi itu pun
berubah menjadi arena pertempuran yang
hebat antara pihak yang hendak me rebut
tawanan melawan yang mempertahan kannya.
Perajurit-perajurit kota Tay-tong itu tangkastangkas, sebab Ji-Kim-Liongg selama ini
mewajibkan mereka latihan setiap hari. Selain
tangkas, juga mahir bertempur secara teratur
sebagai sebuah pasukan, saling membantu dan
memperkuat antar bagian serta ti-dak berkelahi
sendiri-sendiri. Tapi orang-orang berkedok yang menghadang jalan mereka itupun menunjukkan perlawanan yang diluar dugaan. Jumlah
mereka leblh sedikit, tapi per-lahan-lahan
ternyata malah mampu menekan pasukan dari
9 Tay-tong. Mereka tidak mirip perampokperampok yang bertempur secara liar, tapi lebih
menyeru pai ketangkasan prajurit-prajurit
istimewa semacam Han-Lim-kun, Gi-limkun atau Hui- Liong-kun, pasukan Naga Terbang
bawahan Pak-kiong Liong yang dibawah
komando Pangeran In Te itu.
Mellhat kenyataan itu, JiKim-liong merasa
heran dan sekaligus gentar juga . Inilah lawanlawan
yang misterius, menimbulkan kebingungan. Namun ia masih mengeraskan hati untuk
tidak menyerah begitu saja. Pikirnya, "Persetan
dari mana asal-usul mereka, tapi siapapun yang
kuhadapi ini harus kulawan demi tugasku.
Bahkan sean-dainya mereka ini jagoan-jagoan
Gi-ci-an-si-wi (Pengawal Kaisar) sendiri, tapi
karena memakai tutup muka dan bertingkah
seperti bandit, aku tidak akan disalahkan kalau
menumpas mereka tanpa ampun!"
la sendiripun memutuskan untuk ber
tempur. Sepasang tombak pendeknya segera
diputar kencang sampai mengeluarkan angin
10 menderu, lalu ia melangkah maju melakukan
serangan Siang-Iiong-jut-hai (Sepasang Naga
Muncul di Samudera) untuk menikam serempak
dada sebelah kanan dan kirl orang berkedok
yang menjadi pimpinan itu.
Biarpun orang berkedok itu bertu-buh
tinggi-besar seperti menara besi, namun juga
punya gerakan licin seperti belut. Serangan JiKim-Liongg dengan mudah dapat dihindari
dengan sebuah langkah pendek ke samping
sambil membungkuk, berbarengan dengan
telapak tangan nya menyodok ke rusuk Ji Kimliong yang
terbuka. Agaknya ia juga seorang yang sombong dan mencoba mengalahkan Ji-Kim-Liongg dengan tangan
kosong saja. Tetapi sebagai penanggung jawab keamanan
kota Tay-tong dan sekitarnya, Ji-Kim-Liongg
juga bukan orang lernah. Badannya tiba-tiba
terhuyung ke bela-kang, seolah hendak roboh,
tetapi diba re ji kaki kanannya terangkat dan ujungnya hendak menendang ke siku tangan
lawan yang tengah terjulur. Kaki lebih panjang
11 Biarpun orang berkedok itu bertubuh tinggi.
besar seperti manusia besi . namun ia juga
mempunuai gerakan licin seper belut
12 dari tangan, jika orang berkedok itu tidak cepatcepat menarik lengannya, maka jalan darah
Jing-ling-hiat di lengannya akan kena
tendangan dan lumpuh seketika.
"Cui-sian-kun-hoat yang benar-benar hebat!"
geram orang berkedok itu sambil cepat-cepat
mundur selangkah dan menekuk lengannya.
Sadar bahwa dirinya tak mungkin
dengan mengalahkan Ji-Kim-Liong tangan kosong, orang berkedok itu dengan gerak cepat menghunus pedang yang tadi-nya
tergantung di pinggangnya.
Sebenarnya Ji-Kim-Liong sudah bertekad
untuk mempertahankan tawanannya matimatian, tapi demi melihat pedang yang
dipegang lawannya itu, maka tekadnya pun
terguncang. Bagian pelindung tangan dari pedang itu
terbuat dari emas dan berbentuk ukiran seekor
naga. Itulah pedang yang diidamkan oleh orangorang yang mengabdi kepada Kerajaan sebagai
prajurit.Pedangitu biasanya dianugerahkan oleh


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaisar sendiri kepada prajurit-prajuritnya yang
13 berjasa besar dari tingkat kepangkatan tertentu,
yaitu ha nya yang sudah mempunyai Hoa-leng
(bulu burung merak yang dipasang pada topi
para pejabat Manchu dari tingkatan tertentu).
Ji-Kim-Liongg sendiri sudah memakai Hoa-leng
di topinya, namun untuk mendapat anugerah
pedang macam itu agaknya ia masih harus
berbakti bertahun-tahun lagi. Maka timbullah
keragu-annya, siapakah orang berkedok yang
di lawannya itu" Apakah juga seorang perwira
kerajaan yang pangkatnya justru lebih tinggi
darinya" "Darimana kaucuri peaang itu" Darimana
pula asalmu?" Ji-Kim-Liongg mencoba membentak segarang mungkin, namun hatinya
sebenarnya sudah goyah. Melihat kebimbangan Ji-Kim-Liongg, orang
berkedok itu juga tidak menye-rang. Pedangnya
ditimang-timang, membe ri kesempatan kepada
Ji-Kim-Liong untuk melihat lebih jelas. Katanya
sambil tertawa, "Tentang siapa diriku, maaf, aku
tidak bisa memberi tahu. Tapi pedang ini,kuberi
tahu bahwa aku menda patnya bukan dengan
14 mencuri. Aku terima sambil berlutut dengan
kedua tangan ku sendiri, langsung dari salah
seorang putera Kaisar!"
Keragu-raguan Ji-Kim-Liong tak dapat
disembunyikan lagi. Kalau ia berhadapan
dengan kelompok hitam bagaimanapun
ganasnya, ia slap melawan habis-habisan. Tapi
kini lawannya mengaku menerima pedang itu
langsung dari tangan seorang Putera Kaisar,
sikapnyapun tidak mirip orang-orang Hek-to
(jalan hi tam) , melainkan agak keningratan. Sia
pa orang ini" Sesaat Ji-Kim-Liong hanya berdiri mematung, mencari keputusan yang tepat. la
curiga bahwa soal yang dihadapinya saat itu
jangan-jangan adalah riak kecil dari kemelut
yang sedang berlangsung di pemerintahan
pusat di Pak-khia" la tahu, Kaisar Khong-hi yang
sudah lanjut dan lemah tubuhnya itu
mempunyai belasan orang putera yang hampir
semuanya berebut ingin menggantikan kedudukannya. Persaingan antar Putera Kaisar
itu juga merembet menjadi persaingan antar
15 Panglima dan Gubernur yang mendukung
pilihan masing masing. Pergolakan itu membuat
panglima-panglima kecil di daerah-daerah yang
jauh, seperti Ji-Kim-liong, jadi kebingungan
menentukan kiblat. Harus berpihak kepada
Pangeran yang mana Kalau terang-terangan
berpihak kepada Pangeran yang satu, janganjangan yang kelak naik tahta malah Pangeran
lain-nya" Maka jalan yang paling aman
hanya lah menunggu arah angin. Tetapi disamping orang-orang tak berpendirian macam itu,
banyak pula jenderaI-jenderaI atau panglimapanglima yang dengan beraninya langsung
memihak salah satu putera kaisar yang bersaing
itu, semacam permainan untung-untungan.
Kalau pangeran dukungannya berhasil naik
tahta, maka pendukungnya pun akan
menjadi orang dekatnya Kaisar yang baru.
Kalau Pangeran yang didukungnya kalah, ya
berantakanlah semua perhitungan, atau siapsiap
untuk ganti haluan yang paling menguntungkan. 16 Ji-Kim-Liong bukanlah orang toloI. Penghadangan yang dihadapinya itu, ia yakin,
pasti berlatarbelakang kemelut perebutan kekuasaan di Pak khia. Kalau demikian,
persoalannya tidak sesederhana kalau menghadapi perampok-perampok biasa. Yang
ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan
untung-rugi, agar tidak membahayakan
kedudukannya di kemudian hari.
Karena itulah Ji-Kim-Liong tidak bersikap
garang lagi, tapi mencoba me-mancing.
"Sahabat, aku menduga tindak-anmu ini
di1atar-belakangi persaingan antar Putera
Kaisar di Pak-khia. Benar tidak?"
"Terus terang, ya," sahut orang berkedok itu.
"Aku menganjurkan agar pandai melihat
gelagat, supaya masa de panmu cerah. Kelak
apabila Pangeran junjunganku berhasil naik
tahta, beliau tidak akan melupakan budimu,
sekecil apapun ." "Kalau gagal naik tahta?"
"Pangeran akan menanggung akibat-nya
sendiri, tanpa menyeret-nyeret dirimu. Kau
17 tidak rugi apa-apa, kecuali kehilangan sedikit
pahala karena ketiga tawanan penting itu hilang
ditengah jalan. Namun yakinlah, Pangeran
junjunganku adalah yang paling berpeluang
naik tahta dibandingkan Pangeran-pange ran
lainnya. Pendukungnya tidak banyak, tapi
kekuatan yang menentukan" "Pangeran yang mana?"
"Masih harus kurahasiakan. Maaf."
"Kalau sudah merasa begitu yakin akan
menduduki Tahta Naga, kenapa masih juga di
sembunyikan namanya?"
"Sekedar supaya tidak menimbulkan
pergantian keributan. Kelak pemegang kekuasaan harus berjalan dengan
mulus, tanpa gejolak sedikitpun
Sebetulnya Ji-Kim-Liong hampir berhasil
menebak Pangeran yang mana yang dibicarakan
orang berkedok itu, namun ia merasa lebih
aman untuk tetap berpura-pura bodoh saja.
Batok kepala dan kedudukannya terlalu
berharga untuk di pertaruhkan karena berlagak
pintar. Tetapi, main untung-untungan sedikit
18 apa salahnya. Mungkin ini sebuah kesempat-an
untuk melonjakkan pangkatnya. Tapi ia tidak
ingin ikut "bermain" terlalu dalam,dalam
kemelut itu, cukup di "pinggiran" saja, sehingga
kalau keadaan tidak menguntungkan maka ia
dengan gampang akan dapat keluar arena dan
cuc i tangan. Sesaat otak Ji-Kim-Liong menghitung-hitung,
lalu keputusanpun diambil nya, "Baik. Aku akan
tutup mata dan tutup telinga siapa kalian atau
apapun yang kalian lakukan. Bawa ketiga
tawanan itu." Orang berkedok itu tertawa sampai
pundaknya tergoncang-goncang. Ji Cian kun
(Panglima Ji), kau benar-benar hati-hati dalam
memainkan kartu. Baik-lah, terima kaslh."
Ketika kemudian Ji-Kim-Iiong memerintahkan pasukannya agar menghentikan
perlawanan dan menyerahkan tawanan-tawanan itu, maka anak buahnya menjadi heran
campur penasaran. Untuk menangkap tawanantawanan itu, korban sudah jatuh, kenapa
diserahkan begitu saja ke tangan orang-orang
19 berkedok itu" La gjpula pertempuran tadi
belum tentu di menangkan oleh orang-orang
berkedok itu, kenapa menyerah begitu cepat"
Tapi perintah sudah jatuh dan tak bisa dibantah lagi. Dengan berat hati, tiga pesakitan
yang mereka tangkap dengan susah-payah itu
harus mereka serahkan ke pihak orang-orang
berkedok itu. Para prajurit keroco itu lebih tidak mengerti
lagi ketika melihat Ji-Kim-Liong ternyata malah
bersikap ramah dan hormat kepada orang
berkedok yang memimpin itu. Sebelum berpisah, keduanya saling memberi hormat, dan
entah apa yang mereka percakapkan, prajuritprajurit itu tidak mendengarnya .
Setelah rombongan orang-orang berkedok
itu menghilang ke dalam hutan, seorang
perwira bawahan Ji-Kim-Liong segera mengutarakan rasa penasarannya, mewakili
teman-temannya, "Ciangkun, siapakah mereka,
sehingga kita enak saja menyerahkan tawanantawanan yang kita tangkap dengan susah-payah
20 dan pengorbanan tewasnya beberapa orang
kita?" Ji-Kim-Liong menjawab sambil menegakkan
kepalanya, "Aku tahu apa yang aku perbuat. Kau
tidak usah coba-coba mengatur aku."
Tapi perwira itu masih juga penasaran, "Tapi
apakah nyawa teman-temanku yang tewas
ketika menangkap ketiga penjahat itu juga tidak
kita hargai" Setidak-tidaknya kita harus tahu
kepada siapa tawanan-tawanan itu kita serahkan, sedang orang-orang tadi membu-ka
kedoknyapun tidak mau....."
Dalam hati, sebenarnya Ji-Kim-Liong merasa
kurang enak juga kepada pasukannya yang
sudah menyabung nyawa menggempur sarang
perampok itu. Namun ia tidak mau kehilangan
muka kalau didebat di hadapan prajuritprajuritnya, maka dengan pura-pura marah dia
memben tak, "Sudah, diam! Aku sudah memperhitungkan semua tindakanku, kalian sebagai
bawahan hanya wajib menjalankan semua
perintah!" 21 Para perwira dan prajurit bawahan itu
bungkam. Namun dalam hati mengeluh,
alangkah tidak enaknya menjadi ba wahan dari
orang macam Ji-Kim-Liong. Mereka seperti
bidak-bidak di atas papan catur saja. Kadangkadang disuruh maju ke depan untuk
mempertaruhkan nyawa, namun tiba-tiba
nyawa yang sudah terlanjur melayang itu jadi
kehilangan harganya karena tindakan "kebijaksana-an" dari atasan.
Pasukan itu kemudian mengatur diri,
berbaris kembali ke kota Tay-tong. Namun
jangan harap akan mendapat sambutan meriah
dari penduduk, sebab penjahat-penjahat yang
mereka tangkap sudah "hilang" di tengah jalan.
Sementara itu, tiga penjahat itu digiring oleh
orang-orang berkedok Itu ke sebuah tempat
tersembunyi dalam hutan. Ketiga tawanan itu
sendiri tidak tahu bagaimana nasib mereka
nanti, namun mereka berharap akan menemui
nasib yang lebih baik daripada harus mati
dijerat tali gantungan di hadapan penduduk
kota Taytong. 22 Tak lama kemudian, rombongan itu tiba di
seberang hutan, di sebuah lapangan rumput. Di
tempat itu ternyata telah bergerombol ratusan
orang berpakaian prajurit Kerajaan Hanchu.
Sebagian besar dari mereka bersenjata tombak,
pedang dan perisai, namun ada sebagian kecil
yang membawa bedil-bediI seperti yang sering
dibawa pelaut-pelaut barat. Bubuk mesiu yang
menjadi "nyawa" bedil -bedil itu sebenarnya ditemukan orang Cina di jaman dinasti Tong, abad
ke delapan. Kemudian ketika Jengish Khan si
penaluk Mongol itu menyerbu sampai ke Eropa,
bahan peledak itupun dikenal dan dipelajari
orang-orang Eropa, sehingga terciptalah
bedil dan pistol. Di jaman Kaisar Khonghi berkuasa di negeri Cina saat itu, sudah
banyak orang-orang Eropa mendarat di negerinegeri timur sehingga jenis-jenis senjata api
itupun mulai dikenal bangsa-bangsa timur.
Meskipun senjata api itu ada kelemahannya,


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yaitu setiap habis melepaskan satu peluru akan
makan waktu untuk mengisi obat peledak dan
pelurunya lagi, tapi toh senjata itu ikut
23 berperanan mengubah jalannya sejarah negerinegeri timur.
Begitu melihat munculnya orang-orang
berkedok itu, para prajurit serempak menekuk
sebelah lututnya sambiI memberi salam secara
serempak, "Hormat untuk Ni Goan-swe
(Jenderal Ni)!" Ada seorang pendeta Tibet berjubah kuning
dirangkapi kain merah, di antara prajuritprajurit itu. Tapi pendeta itu tidak ikut berlutut,
hanya merangkap dua telapak tangan sambil
sedikit membungkuk. Orang berkedok yang menjadi pernimpin itu
melepaskan kedoknya, sehingga nampaklah
seraut wajah lelaki muda tampan dan gagah,
dengan alis tebal dan hidung agak besar yang
menggambarkan orang yang selalu mengejar
ambisinya. Dengan langkah agung, ia langsung
menghampiri kursi berlapis kulit macan yang
tersedia baginya meskipun di pinggir hutan, dan
mendudukinya. Seorang prajurit menjunjung
tinggi nampan teh hangat di atas kepalanya, dan
menyuguh kannya sambiI berlutut.
24 Lebih dulu Jenderal Ni menghirup tehnya
dengan nikmat, lalu menatap ke-tiga penjahat
tawanan rampasannya itu, dan memerintahkan
anak-buahnya , "Buka ikatan mereka!"
Tiga prajurit membuka belenggu tiga
penjahat itu, dan seorang dari pra-jurit-prajurit
itu berkata, "Berlutut-lah kepada Jenderal Ni
Keng-Giau yang sudah melepaskan kalian dari
jalan ke-matian!" Disebutnya nama Jenderal Ni membuat hati
ketiga tawanan itu terguncany hebat. Itu sebuah
nama terkenal dari seorang jenderal muda yang
sudah mendudukl jabatan ketentaraan berkekuasaan besar, karena la adalah adik
seperguruan dari Pangeran In Ceng, salah
seorang Pangeran yang berpengaruh di
Pak khia. Kini ketiga tawanan itu tldak ta hu apa
maksud Ni Keng-giau merebut diri mereka dari
tangan pasukan Tay-tong"
Maka meskipun dengan agak serabutan, dua
dari tiga tawanan itu cepat-cepat berlutut.
Namun yang seorang lainya tidak mau berlutut,
25 hanya menganggukkan kepalanya sedikit,
sikapnya itu tentu saja sangat menyolok.
Ni Keng-giau melirik sekejap ke arah
penjahat yang enggan berlutut itu, namun kesan
wajahnya dingin saja. Kata Ni Keng-giau
kemudian, "Aku sudah mendengar tentang diri
kalian. Tapi supa-ya aku yakin tidak keliru, coba
kalian sebutkan nama kalian sendiri-sendiri!"
"Entah keberuntungan entah bencana yang
sedang menghadang di depan kami ini?" begitu
kurang lebih pikiran ketiga tawanan itu. Namun
menilik lepasnya belenggu-belenggu mereka,
agaknya mereka tidak perlu cemas akan nyawa
mereka, setidak-tidaknya untuk sementara.
Penjahat yang paling tua umurnya segera
menjawab, "Hamba bernama Ho Ti-an-ek dan
berjulukan Tiat-jio-hui-hou (Macan Terbang
Bertumbak Besi)l" Disusul yang kedua, "Hamba Ho Tian sek,
dijuluk Tiat-jiau-him (Beruang Berkuku Bes i)!"
Tawanan yang enggan berlutut itu menjawab
paling akhfr, "Dan aku Ko Leng-tay, si Jian-Lihui-Lok (Menja-ngan Terbang Seribu Li)!"
26 Kalau kedua rekannya menggunakan kata
"hamba" untuk menyebut diri sendiri, maka dia
cukup dengan "aku" saja.
Sikap angkuh Jian-Li-hui-lok Ko Leng-tay itu
membuat beberapa anak-buah Ni-Keng-giau
kurang senang, tapi si Jenderal muda sendiri
berwajah setenang danau yang amat dalam,
sulit ditebak apa yang sedang dipikirkan atau
di rasakannya . Tanpa peduli lagak Ko Leng-tay, Ni Kenggiau berkata, "'Aku'tidak akan bicara panjang
lebar, langsung saja. Aku tawarkan dua pilihan
kepada kalian. Pertama, dengan ilmu kalian
yang pernah menggegerkan wilayah Siam-si
Utara, Pangeran menginginkan kalian bergabung dengan beliau. Kelak jika Pangeran
naik tahta, kalianpun akan ikut mencicipi
kemuliaan. Kedua, kalau kalian menolak, kalian
akan tetap bergelandangan sebagai penjahat
yang mengadu nyawa hanya untuk berebutan
setahil dua tahil, dan kalau tertangkap
kalian akan dijerat oleh tali gantungan
27 atau dipenggal oleh algojo pemerintah. Nah, pik
irkan . " Dua bandit berseudara, Ho Tian-ek dan Ho
Tian-sek nampaknya mulai tertarik oleh
tawaran menggiurkan itu. Dari seorang
perampok yang senantiasa di uber-uber, akan
menjadi orang terhormat yang dipanggil "taijin", siapa ti dak tertarik" Hereka saling lirik sebentar satu sama lain, lalu Ho Tian-ek bertanya,
"Ni Goan-swe, kalau hamba boleh tahu,
mengabdi Pangeran dengan cara bagaimana?"
"Pangeran sedang membentuk sebuah
pasukan rahasia yang terdiri dari orang-orang
luar daerah, tak peduli asal-usul atau latar
belakang kehidupanya. Kelak kalau Pangeran
menang dalam perebutan tahta, anggotaanggota pasukan rahasianya itu akan menjadi
resmi dan diberi pejabat-pejabat seragam seperti mereka...." kata Jenderal
Ni Keng-giau dengan menunjuk barisan pengawalnya.
Dua saudara Ho mengikuti arah te-lunjuk Ni
Keng-giau. Mereka nelihat deretan perwira yang
28 berjubah ungu dengan ikat pinggang berkepala
batu giok hijau, memakai topi mirip caping
berhi as benang merah dan bulu burung
merak yang indah. Kedua saudara Ho itu
memba yangkan, alangkah gagahnya kalau
mere-kapun memakai pakaian seperti itu.
Tidak usah takut lagi kepada petugas-petugas keamanan yang selama ini mengu-beruber mereka, sebab mereka akan ber
kedudukan lebih tinggi sebagai pengawalpengawal dari seorang Pangeran yang akan
menduduki tahta.... Mata Ni Keng-giau yang lihai itu dengan
sekali pandang saja sudah berhasil membaca
pikiran kedua orang itu. Diam-diam ia merasa
bahwa kedua orang itu sudah dalam genggaman
tangannya. Tapi alisnya berkerut ketika
melihat Ko Leng-tay acuh tak acuh saja menghadapi tawaran mengiurkan itu. Bahkan Ko Lengtay kemudian berkata kepada kedua rekannya,
"Lo-toa dan Lo-ji , meskipun kita adalah orangorang bernama busuk dan sering dikutuk dunia
persilatan, tapi bagaimanapun juga selama ini
29 kita punya harga diri dan kebebasan. Akankah
kita jual harga diri dan kebebasan itu, lalu
menjadi anjing-anjing pemburunya pihak
kerajaan?" Ucapan itu bukan saja mengagetkan dua
saudara Ho yang kuatir kalau Ni Keng-giau
marah dan membatalkan tawarannya, tetapi
juga membuat darah Ni Keng-giau menggelegak
karena marah bahwa makian "anjinganjing pemburu" itu juga menyerempet
dirinya. Sekilas sebuah seringai kejam
tersungging di wajah Jenderal muda itu.
Lebih dulu Ni Keng-giau bertanya kepada
dua saudara Ho, "Bagaimana pendapat kalian
sendiri tentang tawaran tadi ?"
Keduanya memang sudah mengambil ke
putusan, karena itu tanpa pikir panjang lagi
merekapun menjawab serempak, "Kami bersedia, Goan-swe!"
"Dan kau?" tanya Ni Keng-giau kepada Ko
Leng-tay. Lebih dulu Ko Leng-tay melirik penuh
penghinaan ke arah kedua rekannya, lalu
30 menjawab, "Aku cuma seorang gunung yang
bodoh, tidak berbakat menja-di orang
berpangkat. Aku mohon diri, Goa n-swe !"
Habis kata-katanya, ia segera memutar
tubuh untuk melangkah pergi. Tapi langkahnya
tertahan oleh bentakan Ni Keng-giau, "Tunggu!"
"Ada apa lagi, Goan-swe?"
Perlahan-lahan Ni Keng-giau bangkit dari
kursinya, suaranya berqetar menahan kemarahannya, "Sudah kaupikir kan baik-baik
keputusanmu untuk menolak uluran tangan
kerja-sama ini?" Ternyata bandit itu tetap kukuh pada
pendiriannya. "Kerja sama apa" Paling-paling
tenaga kami hanya akan diperas habis-habisan
demi kepentingan majikanmu. Setelah tujuan
majikanmu tercapai, nasib kami sendiripun
akan sulit diramalkan. Selamat tinggal..."
"Jangan pergi dulu!"
"Apakah Goan-swe menyesal telah me
ngambil aku dari tangan Ji Kim-Liong, dan kini
akan menangkapku kembali?"
31 "Ya, aku menyesal membebaskanmu, orang
tak kenal budi. Seharusnya kau kubiarkan saja
mati digantung atau dipenggal di Tay-tong.
Namun sekarang pun rasanya belum terlambat
untuk mengambil nyawamu"
Ko Leng-tay bergidik hatinya. Diri nya tidak
bersenjata sepotongpun, sementara di pihak Ni
Keng-giau ada sekelompok prajurit bersenjata
lengkap. Namun ternyata Ko Leng-tay tetap
nekad membangkang, dengan tajam ia menatap Ni Keng-giau sambil berkata, "Baik,
ambillah nyawaku, Goan-swe. Tapi aku akan
melawan habis-habisan biarpun hanya dengan
sepasang tangan kosong, sedang di pihakmu ada
ratusan pucuk senjata....."
Ni-Keng-giau menyeringai kejam. "Julukanmu adalah Menjangan Terbang Seribu
Li, tentunya ilmu meringankan tubuhmu berani
diuji bukan" Nah, kita adakan permainan
sedikit. Kalau kau menang, kau selamat. Kalau
kalah ya mampus. Tapi aku tidak akan
menyuruh anak buahku untuk mengeroyokmu"
32 Manusia yang mana pun juga, kalau
hidupnya sudah terjepit dan kemudian mendapat setitik peluang untuk
hidup, tentu akan berjuang sekuat-kuatnya
untuk merebut peluang itu. Begitulah dengan
Ko Leng-tay yang dengan tegang siap mengikuti
"permainan" Ni Keng-giau. Kalau benar ucapan
Ni-Keng-giau tadi bahwa "ilmu meringankan
tubuhnya akan "diuji", itu justru keahliannya.
Sementara itu Ni Keng-giau telah menunjuk
sebatang pohon di kejauhan, sambil berkata,
"Pohon itu letaknya hanya tigapuluh langkah
dari sini. Kalau kau berhasil melewati pohon itu,
kau bebas . .. Hati Ko Leng-tay melonjak mende-ngar
"permainan" itu ternyata hanya demikian saja.
Seringan itukah "ujian" bagi Si Menjangan
Terbang Seribu Li" Masa tidak bisa berlari
melewati pohon itu dalam beberapa detik saja"
Namun ia agak ragu-ragu juga, jangan-jangan Ni
Keng-giau menyiapkan semacam akal Iicik.
Agaknya paham apa yang sedang terpikir
oleh Ko Leng-tay, Ni Keng-giau berkata, "Jangan
33

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

khawatir, tak akan seorangpun anak buahku
bergeser dari tempatmu sekarang, di dekat
pohon itu juga tidak ada perangkap."
"Hemm, memang anak-buahmu tidak perlu
bergeser selangkahpun, Goan-swe, kalau menggunakan .bedil, panah atau lembing untuk
mengincar punggungku . .."
"Tidak akan ada bediI, panah lembing yang
dilepaskan. Kenapa ragu-ragu, bergeraklah.
Jalan kebebasan sudah terbentang di
hadapanmu, tergantung kau berani melangkah
atau tidak?" Akhirnya Ko Leng-tay jadi nekad. la sadar,
kalau ia masih menunda-nunda tindakan, maka
semangatnya akan semakin merosot di bawah
tekanan sorot mata Ni Keng-giau yang amat
berkuasa itu Maka sambil mengertak gigi dan
seluruh semangatnya, mengerahkan tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah pohon
itu. Gerakannya begitu cepat, sehingga tak percumalah dia berjulukan Jian-li-hui-lok.
Tetapi pada detik Ko Leng-tay ber-gerak, Ni
Keng-giau memberi isyarat anggukan kepala
34 kepada si Pendeta Tibet yang berdiri di sebelah
kursinya. Di tangan. pendeta itu ada benda
seperti kantong kulit besar yang menggelembung, besarnya seukuran semangka
lebih, sedang pada pantat kantong kulit itu ada
sehelai rantai yang tipis tapi kuat, tergulung di
lengan si pendeta. Begitu mendapat isyarat Ni-Keng-giau, si
pendeta menyeringai sadis, berbarengan
dengan melemparkan kantong kulitnya ke
udara. Kantong kulit itu, seperti sebuah Iayanglayang saja, berpusing di udara dan
mengeluarkan suara gemerincing, memburu ke
arah kepala Ko Leng-tay. Jian-1i-hui-lok Ko Leng-tay yang tengah
berlari kencang untuk mencapai "batas kebebasanMnya, terkejut ketika mendengar
suara gemerincing di atas ke palanya. la agak
tertegun langkahnya karena menoleh ke atas,
melihat sebuah kantong kulit besar sedang
menungkrup kepalanya dari atas dengan
kecepatan luar biasa. Bukan kantong kulit
itu yang menyeramkan, melainkan bagian da35
lamnyalah, yang terdapat kerangka besi tipis,
sedang di mulut kantong bagian dalam ada
jajaran pisau-pisau tipis yang menyilang.
Darah Ko Leng-tay berdesir melihat iitu,
namun pohon "batas kebebasan" itu kurang dua
langkah lagi la tingkatkan kecepatan langkahnya, berbareng dengan itu pandangannya terasa gelap karena kepalanya
terkerudung kantong terbang itu, dan lehernya
terasa pedih bukan main...
Ni Keng-giau dan anak-buahnya melihat
bagaimana Ko Leng-tay berhasil melewati
pohon itu, namun tanpa mengikut sertakan
kepalanya, Tubuh tanpa kepala itu masih berlari
beberapa langkah ke depan sambil menggapaigapaikan kedua tangannya, sebelum ambruk,
bergetar seperti ayam disembelih, lalu diam
selama-lamanya. Dimana kepalanya" Kepalanya sekarang dalam kantong kulit
besar itu. Ketika si pendeta Tibet menyentakkan
rantai itu, kantong kulit itu melayang kembali
ke arahnya dan ditangkap dengan tangannya.
36 Digoyangkannya kantong itu keras-keras
dan batok kepala Ko Leng-tay menggelundung keluar. Wajah penjahat itu
seolah masih hidup saja, matanya membelalak,
kerut kulit wajahnya memancarkan kenge-rian
dan ketidak-percayaan, sedang lehernya yang
terpotong itu hanya mengeluarkan beberapa titik darah saja.
Dua saudara Hot bahkan beberapa perwira
bawahan Ni-Keng-giau, memaling kan mukanya
karena tidak berani menatap kepala tanpa
tubuh dengan ekspresi yang mengerikan itu.
Tapi Ni-Keng-giau malah bertepuk tangan dan
memuji pendeta Tibet itu, "Biau-beng Lama,
sungguh hebat senjatamu itu. Apa namanya?"
Biau-beng Lama nampak bangga, sahutnya,
"Senjata perguruanku ini membunuh korban
tanpa darah yang berceceran maka guruku
almarhum menamainya Hiat-ti-cu (Setetes
Darah)." Ni-Keng-giau sebenarnya sudah lama tahu
nama senjata itu, namun ia senga ja
mengulanginya panjang lebar 37 untuk diperdengarkan kepada dua saudara
Ho, "Hiat-ti-cu" Nama yang tepat. Bagaimana
kemajuan pasukan rahasia kita yang dilatih
menggunakan Hiat-ti-cu itu?"
Biau-beng Lama menyahut, "Dalam dua atau
tiga bulan lagi, semua anggota pasukan rahasia
akan mahir mengguna kan Hiat-ti-cu, sehingga
pihak kita akan memiliki algojo-algojo yang
ampuh. Siapapun lawan-lawan kita, ataupun
orang-orang kita sendiri yang bermaksud
berkhianat, akan segera kita " lenyapkan kepalanya! Ho Tian-ek dan Ho Tian-sek berkeringat
dingin mendengar tanya-jawab anta ra Ni-Kenggiau dan pendeta Tibet itu. Mereka sadar bahwa
percakapan itu ditujukan kepada mereka,
semacam peringatan agar jangan coba-coba
berkhianat. Kata Ni Keng-giau kemudian kepada kedua
penjahat yang ditaklukkan itu, "Kalau kalian
sudah setuju bergabung dengan kami, maka
tata-tertib kelompok kamipun berlaku untuk
kalian berdua. Paham?"
38 Dua saudara Hot bahkan beberapa perwira bawahan Ni-Kenggiau, memaling kan mukanya karena tidak berani menatap
kepala tanpa tubuh dengan ekspresi yang mengerikan itu
39 Apa lagi yang bisa diperbuat oleh Ho
bersaudara itu kecuali mengangguk-angguk
dengan patuh" Kombinasi antara ancaman
kematian yang mengerikan dengan bujukan
hidup mewah dan berkekuasaan, membuat
kedua begal itu bertekad untuk bersungguhsungguh menjalani "hidup baru" mereka.
"Karena kalian berdua sudah menjadi orangorang sendiri," kata Ni-Keng-giau lagi, "Tak ada
halangannya kalian tahu kepada siapa kita
mengabdi, yaitu kepada Pangeran In Ceng,
pangeran keempat, yang dimasa mudanya
pernah mengembara di Kang-lam sebagai
seorang pendekar dengan nama Su Liong-cu.
Kita harus bersungguh-sungguh bekerja untuk nya supaya kelak Pangeran dapat
naik tahta Kembali Ho Tian-ek dan Ho Tian-sek hanya
bisa mengangguk-angguk,sementara di anganangan
mereka sudah terbayang betapa menterengnya hidup mereka di kemud ian hari.
Rombongan Itu kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Tubuh dan kepala Ko
40 Leng-tay yang terpisah jauh itu ditinggalkan
begitu saja untuk "disumbangkan" kepada
anjing-anjing liar, burung gagak, atau semutsemut. Kedua saudara Ho rasanya tidak tega
juga membiarkan mayat bekas rekan
"seprofesi" mereka selama belasan tahun itu.
Namun hati mereka terlalu kecut untuk
bicara kepada Ni-Keng-giau yang sadis itu.
Di saat-saat berikutnya, Pangeran In Ceng
dibantu oleh Ni Keng-giau dan orang-orang
kepercayaannya yang lain, tak pernah berhenti
mengumpulkan jagoan-jagoan ke pihaknya,
tidak peduli latar-belakang riwayat para jagoan
itu hitam atau putih. Pangeran In Ceng juga
menjalin hubungan baik dengan oranq kuat di
istana, yaitu Liong Ke-toh, ipar Kaisar Khong-hi,
yang dengan demikian juga terhitung sebagai
pamanda Pangeran In Ceng sendiri. Maka
pengaruh Pangeran In Ceng di istana maupun
di Ibukota Kekaisaranpun semakin kuat
mencengkeram, tak peduli ada desasdesus bahwa In Ceng adalah pangeran yang
41 paling tidak disukai oleh ayahanda Kaisarnya
maupun oleh saudara-saudaranya sendiri.
Tapi perjuangan untuk menduduki Slnggasana Naga agaknya akan memerlukan
perjuangan berat In Ceng. Kaisar Khong-hi
punya enam belas orang anak la ki-lakl yang
hampir semuanya mengincar Singgasana Naga
pula, dan saudara-saudara In Ceng itupun
punya pendukung-pendukung yang tak bisa
diabaikan kekuatannya. Tetapi saingan In Ceng
yang terberat adalah Pangeran In Te, putera ke
empatbelas Kaisar Khong-hi. In Te bukan cuma
putera yang paling disayangi oleh ayahandanya,
tapi juga memegang kekuasaan atas Angkatan
Perang Kekaisaran. Pangeran In Te juga
berjasa besar menaklukkan wilayah Jing-hai
dan Sin-kiang sehingga suku-suku padang rumput di sana tunduk kepada
Kerajaan Manchu. Dengan demikian, persaingan paling sengit
dalam memperebutkan tahta adalah antara
Pangeran In Ceng dan Pangeran In Te. Tetapi
pangeran-pangeran berambisi lainnyapun tidak
42 putus asa. Disela-sela pertarungan kedua
"raksasa" itu, mereka tetap mencari peluang untuk mewujudkan ambisi mereka.
Nasib orang siapa tahu"
Kaisar Khong-hi semakin hari semakin lemah
tubuhnya karena usianya yang sudah lanjut.
Kelemahan tubuhnya ditam bah keprihatinan
melihat putera-puteranya bukannya menggalang persatuan demi kejayaan kekaisaran, tapi malah cakar-cakaran memperebutkan tahta. Kaisar tua itu cemas, jika
kelak dirinya tiada, maka kekaisaran besar yang
telah dibinanya baik-baik selama hampir enam
puluh tahun itu akan terpecah-belah karena
pertikaian putera-puteranya sendirl. Kalau di
hadapannya, putera-puteranya kelihatan alim


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan rukun satu sama lain, tapi didengarnya
kabar bahwa putera-puteranya sudah memupuk basis kekuatan masing-masing sampai jauh di luar dinding kota Pak-khia.
Salah satu upaya mencegah perpecahan di
kemudian hari, Kaisar Khong-hi menulis
sepucuk surat wasiat yang menunjuk siapa
43 penggantinya kelak, surat yang hanya boleh
dibaca kelak setelah dirinya wafat. Surat itu
disimpan di bagian istana yang siang malam
dijaga ketat oleh Pasukan Han-Lim-kun,
pasukan yang hanya setia kepada Kaisar,
sehingga para Pangeranpun tidak berani cobacoba menerobos penjagaan pasukan istimewa
ini. Pak-khi a , ibukota Kerajaan.
Itu adalah sebuah kota tua dengan jalan-jalan
lebar yang senantiasa pe-nuh orang-orang hilirmudik. Di beberapa tempat nampak pagodapagoda, gedung-gedung
kediaman para bangsawan yang megah, rumah-rumah makan
besar yang menjanjikan pemanjaan selera, dan
dibagian lain adalah orang-orang berpakaian lusuh yang hidup berjubel-jubel di
lorong-lorong kecil, bertetangga dengan tikus
dan kacoa. Di kota tua itu sejarah mencatat
bangkit dan runtuhnya banyak dinasti-dinasti di
daratan Cina. Jaman dinasti Kim, ibukota itu
disebut "Tay-toh", kemudian ketika orangorang Mongol masuk dan mendirikan Dinasti
44 Goan, Tay-toh diganti ke dalam bahasa Mongol
"Khan-baluk" atau "kota Khan". Awal Dinasti
Beng, kota Pak-khia pernah digantikan Lamkhia di selatan sebagai ibukota, namun
kemudian Pak-khia kembali menjadi ibukota
Beng sampai runtuh oleh pemberontakan Li Cuseng, kemudian Li Cu-seng pun hanya berkuasa
dalam waktu singkat karena masuknya orangorang Manchu yang kemudian berkuasa di
daratan sampai detik itu. Itulah Pak-khia, "buku
sejarah raksasa" yang menggoreskan hurufhurufnya dengan pedang dan tombak sebagai
pena, darah sebagai tinta dan mayat-mayat
sebagai tanda-tanda halamannya.
Sore itu di jalan besar Pak-khia nampak
beberapa penunggang kuda yang menjalankan
kuda mereka perlahan-lahan saja. Orang-orang
di pinggir jalan dapat melihat, yang berkuda
paling depan adalah seorang tua berpakaian
pejabat tinggi Kerajaan Manchu. Meski alis, rambut dan jenggotnya telah seputih kapas,
namun kulitnya nampak tetap segar, tubuhnya
ramping dan tatapan mata nya tajam. Beberapa
45 orang di pinggir jalan segera mengenalnya
sebagai Panglima Pasukan Naga Terbang, Huiliong-kun,
Pak-kiong Liong, saudara sepupu Kaisar Khong-hi yang berilmu tinggi.
Pak-kiong Liong dan pengawal-pengawa lnya
berhenti di depan sebuah gedung besar dan
indah yang dijaga pintunya oleh beberapa
prajurit, sehingga mudah disimpulkan bahwa
gedung itu tentu kediaman seorang pejabat
tinggi Kerajaan. Prajurit-prajurit penjaga gerbang itu
membungkuk hormat kepada Pak-kiong Liong,
sementara Pak-kiong Liong dan pengawalpengawalnyapun berlompatan turun dari kuda.
"Bok-ciangkun (Panglima Bok) mengundang
aku secara llsan," kata Pak-kiong Liong singkat
kepada pemimpin regu penjaga gedung itu.
Pemimpin regu itu sudah kenal siapa Pakkiong Liong, maka dengan hormat ia
mempersilakan Pak-kiong Liong masuk gedung
kediaman Bok Eng-siang, Panglima Hui-hou-kun
(Pasukan Macan Terbang) itu.
46 Baru saja Pak-kiong Liong berjalan
menyeberangi halaman depan, Bok Eng-siang
sudah menyambut dengan berlutut. Sebagai
Panglima dari sebuah pasukan jalan-kaki yang
disebut terbaik di ke-kaisaran, sebenarnya
pangkat Bok Eng-siang sama dengan Pak-kiong
Liong yang memimpin pasukan berkuda itu.
Tetapi Bok Eng-siang menghormati Pak-kiong
Liong karena dua hal. Pertama, Pak-kiong Liong
masih dekat hubungan darah nya dengan
Kaisar, sehingga putera-putera kaisarpun
menyebut "paman" kepadanya. Kedua, usia Pakkiong Liong yang jauh lebih tua dari Bok Engsiang. Pada saat Pak-kiong Liong menjadi seorang panglima yang perkasa di medan-medan
pertempuran dulu, ketika keadaan belum
setenang itu, ketika itulah Bok Eng-siang baru
belajar membersihkan hidungnya dari ingus. ,
Di ruangan tengah, Bok Eng-siang berkata,
"Goan-swe, aku mohon maaf telah bertindak
kurang sopan dengan memanggil Goan-swe ke
rumah ini, bukan-nya aku yang menghadap
Goan-swe di Kun hu, Namun aku berbuat begini
47 demi kea-manan seseorang yang ingin
berbicara dengan Goan-swe."
Dengan akrab Pak-kiong Liong merangkul
pundak Bok Eng-siang sambil berkata, "Kita
sama-sama abdi Kaisar, saudara Bok, tidak usah
sungkan-sungkan. Tapi siapa yang ingin
berbicara denganku itu?"
Bok Eng-siang cepat menekuk sebelah
kakinya untuk berlutut sambil berkata,
"Hormatku untuk Pangeran."
Sebelum Bok Eng-siang menjawab, dari pintu
berbentuk bundar yang menghubungkan
ruangan itu dengan taman bunga di belakang
gedung', telah terdengar suara seseorang, "Aku
yang Ingin bertemu denganmu , Paman."
Kedua Panglima itu serempak menoleh, dan
melihat seorang lelaki muda berperawakan
gagah, berpakaian sederhana namun memancarkan keagungan, tengah melangkah
perlahan memasuki ruangan itu.
Sedangkan Pak-kiong Liong hanya membungkuk tanpa berlutut. "Selamat datang
kembali ke Pak-khia, Pangeran..."
48 Setelah membangunkan Bok Eng-siang dari
berlututnya dan mengucapkan sedikit kata
sopan-santun, lelaki muda itu berkata kepada
Pak-kiong Liong. ''Paman, baik-baikkah Paman
selama ini..?" "Terima kasih atas perhatian Pangeran.
Hamba selama ini baik-baik saja." Pak-kiong
Liong memang merasa amat di luar dugaan
bahwa di rumah Bok Eng-siang ini dia
menjumpai Pangeran In Te putera kesayangan
Kaisar Khong-hi, Bukankah Pangeran ini sudah
setahun lebih meninggalkan Pak-khia untuk
memimpin angkatan perang, menumpas
pemberon takan di Sin-kiang" Kenapa tibatiba muncul di Pak-khia yang berjarak ribu-mil
dari garis depan" Siapa yang memim pin
pasukan itu sekarang" Pak-kiong Liong menarik
napas menyesal ketika samar-samar dapat
menduga kenapa Pangeran In Te mendadak
muncul di Pak-khia. Pangeran ke empatbelas itu
tentu cemas melihat pergolakan di Pak-khia,
dan ta kut kehilangan impiannya, Singgasana Naga. 49 Seolah dapat membaca pikiran Pak-kiong
Liong, Pangeran In Te berkata, "Barangkali
Paman heran bahwa aku muncul seorang diri
tanpa angkatan perang ku. Perlu Paman
ketahui, pemberontakan di Sin-kaing dan Jinghai sudah padam, tinggal sisa-sisanya yang
kekuatannya tak berarti. Sudah aku tinggalkan
He-hou Tok dengan 250.000 prajuritnya disana
untuk menjaga keamanan. Sedang angkatan
perang aku bawa pulang. ke Pak khia untuk
menjaga keamanan ibukota, terutama keselamatan Hu-hong (ayahanda Ka isar).."
Pak-kiong Liong dapat memaklumi alasan
yang dikemukakan Pangeran In Te itu.
Pangeran itu tentu gelisah mendengar
ayahandanya mulai menurun kesehatannya,
sementara pengaruh kakandanya, Pangeran In
Ceng, semakin kuat mencekam. Bahkan
kabarnya jagoan-jagoan pengikut-pengikut In
Ceng sudah menempati titik-titik penting di
istana. "Di manakah sekarang pasukan Pangeran?"
tanya Pak-kiong Liong. 50 Sahut In Te, "Sedang dalam perjalanan
pulang ke Pak-khia, mungkin sudah masuk
propinsi Kam-siok. Namun perjalanan itu amat
lambat dan membuatku tidak sabar, sehingga
aku mendahului masuk ke Pak-khia dengan
beberapa pengawal saja."
"Apakah Pangeran sudah menghadap Huhong?"
Pangeran In Te mendudukkan dirinya di atas
kursi, sahutnya dengan wajah murung, "Paman,
untuk menyelundup masuk Pak-khia inipun aku
harus mempertaruhkan nyawa, sampai menyamar sebagai pengemis Segala. Namun di
daIam kota-pun ternyata aku tidak bisa berbuat
apa-apa kecuall berkerut seperti kura-kura.
Sudah kuperintahkan orangku untuk menyelidiki istana, dan ternyata benarlah
desas-desus bahwa istana hampir mutlak dalam
genggaman Kakanda In Ceng, jago-jago.
bawahan Kakanda In Ceng sudah menyebar di
semua sudut. Kalau dia tahu aku ada di Pak-khia
tanpa pasukanku, habislah aku. Karena itu, aku
belum memberitahukan kehadiranku ini kepada
51 Hu-hong. Aku mohon perto-longan Paman
untuk memberitahukannya kepada Hu-hong,
bukankah setiap pagi Paman masih tetap pergi
ke istana?" "Jadi inikah maksud Pangeran memanggil
hamba lewat Bok-ciangkun?"
Suara Pangeran In Te terdengar memelas,
"Hanya Paman yang dapat menolong aku, sebab
pengaruh Paman di istana masih cukup besar,
bahkan tidak jarang Hu-hong mendengar dan
melaksana-kan pendapat Paman. Aku lebih
percaya kepada Paman daripada kepada Pamar
Liong Ke-toh, meskipun ia juga pamanku, sebab
Paman Liong Ke-toh sudah berkomplot dengan
Kakanda In Ceng. Tolonglah bagaimana caranya
agar aku dapat menghadap Hu-hong...."
Hampir saja Pangeran In Te berlutut kepada
Pak-kiong Liong untuk menekankan permintaannya. Tapi panglima tua itu cepatcepat mencegahnya. "Jangan berlutut kepada
hamba, Pangeran, hamba tak sanggup menerima kehormatan sebesar ini dari Rutera
Kaisar junjung an hamba. Tentang permohonan
52 Pangeran tadi, baiklah pelan-pelan kita pikirkan cara yang terbaik..."
"Paman menyanggupi ?"
"Sedang hamba pikirkan caranya."
"Kalau Paman sanggup, aku harus
menghadap Hu-hong dalam waktu tidak lebih
dari tiga hari, sebab waktunya sudah mendesak.
Pengaruh Kakanda In Ceng semakin tajam


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terasa, dan aku tidak boleh kalah cepat dalam
bertindak. Kalau dalam tiga hari ini Paman gagal
membawa aku menghadap Hu-hong, terpaksa
aku akan mengambil jalan pintas untuk mengambil hakku yang hendak direbut Kakanda In
Ceng ... Pak-kiong Liong maupun Bok Eng-siang
sama-sama terkejut mendengar ucapan itu.
"Jalan pintas bagaimana maksud Pangeran?"
tanya Pak-kiong Liong sambil menatap dengan
tajam. Pangeran In Te berdiri dari kursi-nya dan
berkata sambil mengepalkan tinjunya. "Singgasana adalah hakku, sebab Hu-hong
pernah mengucapkannya sendiri, tidak 53 mungkin beliau salah bicara-atau kupingku
yang salah dengar. Coba Paman pikir, di antara
saudara-saudaraku, siapa yang pernah menerima anugerah Jubah Naga Kuning dari
Hu-hong" Hanyalah aku. Kakanda In Si sebagai
putera tertuapun tidak, apalagi Kakanda In
Ceng, In Gi, In Tong atau In Go. Anugerah Jubah
Naga Kuning itulah sebuah isyarat bahwa Huhong menginginkan aku menggantikannya,
bukan orang lain. Tapi kini kedudukanku
terancam, apa salahnya kalau kugunakan
kekuasaanku atas Angkatan Perang untuk
memaksa Kakanda In Ceng minggir"
Pak-kiong Liong cemas melihat sikap In Te
yang nampaknya sulit "dijinakkan" itu. Katanya,
"Pangeran, hamba mengharap agar penggunaan
Angkatan Perang itu hanyalah menjadi cara
terakhir , kalau cara-cara lain menemui jalan
buntu. Tidak sedikit pengorbanan nyawa dan
tenaga ketika mendirikan dan mempersatukan
kekaisaran ini, jangan-lah kita terperosok ke
dalam perpecahan yang menghancurkan diri
54 sendiri karena terdorong marah tak terkendaIi.." Bok Eng-siang ikut berbicara pula, hamba
mohon maaf karena ikut bicara tanpa diminta .
Ucapan Pak-Kiong Liong Goan-Swe itu benar
adanya. Saat ini sisa-sisa dinasti Beng belum
tertumpas sama sekali, mereka masih
menyusun kekuatan sambiI menunggu kesempatan untuk bangkit. Kalau kekaisaran kita
menunjukkan kelemahan, itu akan menjadi
peluang emas buat sisa-sisa Dinasti yang lama
itu untuk bangkit. Pangeran In Te termangu-mangu mendengar pendapat kedua Panglima itu. la berjalan
mondar-mandir di ruangan itu sambil mengepal-ngepalkan tangannya de ngan gelisah, kemudian berkata kepada Pak-kiong
Liong, "Paman, kalau Paman melarangku
menggerakkan Angkatan Perang, apakah aku
harus gigit jari saja melihat Kakanda In Ceng
semakin berkuasa dan mengangkangi apa yang
menjadi hakku?" 55 "Masih ada banyak jalan untuk mempertahankan hak tanpa kekerasan," kata Pakkiong Liong, meskipun dalam hati-nya diapun
ragu-ragu sendiri kalau membaca situasinya.
"Kalau Pangeran yakin bahwa diri Pangeranlah
pilihan Kaisar, janganlah kuatir. Hamba tahu
Hong-siang menulis sepucuk surat wasiat yang
dijaga ketat prajurit-prajurit Han-lim-kun, surat
itu menunjuk siapa pengganti Kaisar berikutnya. Kelak kalau surat wasiat itu dibuka,
siapa berani menentang pesan Kaisar?"
"Tetapi aku tetap ingln menghadap Hu-hong.
Aku dengar belakangan ini sakitnya semakin
menjadi, sedangkan kakanda In Ceng kurang
memperhat ikan kesehatan Hu-hong.."
Kuatir kalau permohonan itupun ditolak dan
Pangeran In Te menjadi kalap serta
mengobarkan perang, maka Pak-kiong-Liong
terpaksa menyetujui, "baiklah hamba sudah
mendapat akal. Besok sudah ada persidangan di
istana dipimpin sendiri oleh Kaisar. Hamba
tentu harus menghadiri persidangan itu, dan
kalau Pangeran tidak keberatan, Pangeran
56 boleh menyamar sebagai salah seorang
pengawal hamba supaya bisa masuk istana..."
"Tentu saja tidak keberatan, Paman ,
menyamar yang lebih hina pun aku pernah.
Ketika masuk Pak-khia, aku dan pengawaIpengawalku menyamar sebagai segerombolan
pengemis..," diselingi helaan napas bernada
penasaran dari Pangeran In Te, lalu dilanjutkan,
"Itulah nasib celakaku. Untuk pulang ke
ru mahku sendiri saja harus menyelundupnyelundup seperti maling takut ketauan. Semua
ini gara-gara ketamakan kanda In Ceng....
Sementara itu, tanpa dirasakan oleh Pakkiong Liong, ketika tadi ia masuk gedung
kediaman Bok Eng-siang, ada dua pasang mata
yang mengawasinya. Dua orang yang berpakaian seperti penduduk biasa, hilir-mudik
di jalan di depan gedung Bok Eng-siang. Tak ada
yang men curigai mereka, sebab jalanan itu memang ramai menjelang sore.
Setelah Pak-kiong Liong dan pengawalpengawal menghilang dalam gedung, kedua
orang itu saling berbisik-bisik. "Perkembangan
57 menarik. Harus segera di ketahui oleh Pangeran
." Temannya yang bertampang agak ketololtololan berkata, "Hanya Pak-kiong Liong
mengunjungi Bok Eng-siang saja, apanya yang
menarik?" "Kau benar-benar berotak udang. Coba pikir,
Bok Eng-siang adalah pendukung Pangeran In
Te yang gigih, terang terangan berani
menunjukkan ketidak-senangannya kepada
Pangeran junjungan kita. Kini Pak-kiong Liong
mendadak berkunjung ke gedungnya, tidakkah
ini membuktikan desas-desus Itu tidak bohong?"
"Desas-desus yang mana?"-Pak-kiong Liong
yang dulunya bersikap tidak memihak itu, kini
agaknya menunjukkan kecenderungan memihak kepada Pangeran In Te. Ini tidak boleh
di-abaikan, sebab Panglima tua itu punya pengaruh kuat dalam pemerintahan
maupun kemiliteran, ilmu silatnya tinggi dan
perhitungannya cermat. Kalau dia sudah
memihak Pangeran In Te, dialah lawan yang
58 sulit dihadapi. Pangeran kita harus segera
mengetahuinya... "Bagaimana kalau kita coba-coba me
nyelundup ke gedung itu dan mencoba
menguping pembicaraan Bok-Eng-siang dan Pak-kiong Liong?" si wajah bego mengeluarkan usul .
Temannya menyahut, "Kalau kau ngin
melakukannya sendiri. silakan, jangan mengajak
aku. Kelak kalau kau tiada, aku berjanji akan
merawat ibumu yang sudah tua itu,."
"Apakah Pak-kiong L.ong begitu he-bat?"
"Entahlah, aku belum pernah bertempur
dengannya. Tetapi kalau kau ingin menjajalnya,
apa salahnya?" "Kalau kau tidak mau akupun tidak usah
saja." "Nah, itu baru bijaksana dan ada
kemungkinan untuk panjang umur."
Kedua mata-mata itupun menuju ke gedung
Pangeran junjungan mereka, yang bukan lain
adalah Pangeran In Ceng, saingan terberat
Pangeran In Te, Kalau Pangeran In Te
59 menguasai Angkatan Perang, maka Pangeran ln
Ceng menguasai dukungan pendekar-pendekar
tangguh di wilayah Kang-lam, sebab masa
mudanya ia pernah mengembara sebagai
pendekar bernama Su Liong-cu. Kepada para
pende kar, In Ceng pernah mengobral
janji, kalau berhasil naik tahta dia akan menghapus semua undang-undang yang
merendahkan derajat bangsa Han, dia hendak
mengumumkan undang-undang bahwa bangsa
Manchu dan Han sederajat. Karena itulah ia
mendapat dukungan banyak pendekar bangsa
Han, meskipun banyak juga pendekar yang
tidak tergiur janji Itu, dan lebih suka
melanjutkan perjuangan bawah-tanah untuk
membangun kembali Dinasti Beng. Sedangkan
pendekar-pendekar pendukung In Ceng itu,
begitu mendengar bahwa situasi. di Pak-khia
mu lai menghangat, banyak yang sudah berbondong-bondong datang ke utara.
Ketika mendengar laporan kedua matamatanya, Pangeran In Ceng mengerut-kan
60 alisnya. Katanya, "Baik, laporan sudah kuterima
dan kalian boleh pergi"
Kedua mata-mata itu berlutut dan mohon
diri dengan perasaan puas, karena mereka tel
ah ikut membuat pahala untuk calon Kaisar
yang amat berambisi itu. Kalau In Ceng berhasil
naik tahta, merekapun berharap akan ikut naik
pangkat pula. Kemudian Pangeran In Ceng menyuruh
seorang anak-buahnya yang lain untuk memanggil Ni-Keng-giau datang ke gedungnya untuk merundingkan masalah itu
Ni-Keng-giau, jenderal muda yang menjadi
adik seperguruan Pangeran In Ceng karena
sama-sama murid Pun-bu Hwe sio darl SiauIim-si, sekaligus juga tangan kanan dan algojo
terpercaya In Ceng untuk menyingklrkan orangorang yang dianggap merintangi ambisinya, tak
lama kemudian sudah ada di gedung Pangeran
In Ceng. "Sute (adlk seperguruan), baru saja aku
terlma laporan orang-orangku bahwa tandatandanya semakin jelas, Pak-kiong Liong
61 semakin memihak Adinda In Te, padahal dia
adalah kekuatan yang cukup menentukan dalam
percaturan ini," kata In Ceng sambi1 menepuk
meja keras-keras. "Ini harus kita cegah!"
"Pangeran," kata Ni Keng-giau yang tidak
berani membalas memanggil "su-heng" (kakak
seperguruan) kepada In Ceng yang "calon
Kaisar" itu. "Seharus nya kecenderungan Pakkiong Liong untuk memihak Pangeran In Te itu
sudah kita ketahui sejak dulu. Kita sekarang tidak perlu kaget melihat dla
membuka kedoknya sendlri, setelah sebelum
ini ia berlagak sebagai seorang Paman yang adil
dl tengah pertikaian keponakanke ponakannya."
. "Paman Pak-kiong harus segera dijungkirkan
dari kedudukannya sebagai Panglima Hui-liong-kun" kata In Ceng gelisah.
"Sute, bagaimana hasilnya kau membujuk
beberapa perwira Hui-Liong-kun agar memihak


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kita?" Ni Keng-giau menarik napas beberapa kali
dan menundukkan kepalanya. "Boleh dikatakan
62 belum ada hasllnya, Pange-ran. Perwiraperwira keras kepala itu terlalu terbius oleh
wibawa Pak-kiong Liong, andaikata mereka
disuruh mati-pun, mereka akan melakukannya
sambil mengangkat kepala dengan bangga..."
"Apakah segala cara menurut petunjukku
dulu sudah kauterapkan?"
"Sudah sebagian, Pangeran, dan belum ada
basilnya. Hamba sudah menghubungi beberapa
perwira Hui-Liong-kun yang kelihatannya
sedang mengalami kesulitan keuangan, membujuk mereka agar bergabung dalam
gerakan kita dan menjanjikan masa depan
gemilang. Tapi mereka tetap menggelenggeleng kepala lebih suka berhutang kepasa
sesama perwira daripada menerima uluran
pertolongan kita .. '"Tidak kau gertak dengan kekerasan?"
"Melihat sikap bandel mereka, hamba tidak
berani melakukannya. Gertakan kepada mereka
malah akan mendorong mereka semakin dalam
ke dalam rangkulan Pangeran In Te. Harus
dicari cara lain, Pangeran."
63 "Kalau begini lambat kita bergerak, kita
bakal kalah. Seorang mata-mata kita sudah
melaporkan bahwa Adinda In Te sudah
membawa Angkatan Perangnya kembali ke Pakkhia, setelah menakluk-kan pemberontakan di
Sin-kiang dan Jing-hai. Kalau Angkatan Perang
itu ti ba di Pak-khia sebelum kita berhasil merebut kemenangan, itu berarti
kita tidak pernah akan menang sama sekali.."
Sesaat kesunyian merajai ruangan itu.
"Pangeran, hamba punya sebuah pikiran,"
tiba-tiba Ni Keng-giau berkata sambil
mengangkat kepalanya.. "Katakan, sute!"
?"Pangeran In Te adalah seorang putera yang
amat berbakti dan menuru pada Ayahandanya,
karena itu hamba berpendapat bahwa kunci
kalah-menangnya kita bukan Pak-kiong Liong,
melainkan Surat Wasiat yang ditulis oleh Hongsiang itu..."
64 Lalu Ni Keng-gau mendekatkan mulutnya ke telinga
Pangeran In Ceng, dan membisikkan beberapa kalian
yang membuat wajah Pangeran itu berubah hebat
kare-na terkejut 65 Lalu Ni Keng-giau mendekatkan mu-lutnya
ke telinga Pangeran In Ceng, dan membi sikkan
beberapa kalimat yang membuat wajah
Pangeran itu berubah hebat karena terkejut."
Bersambung Jilid II 66 67 KEMELUT TAHTA NAGA Karya : STEFANUS S .P. Jilld II "Otakmu sudah miring agaknya!" kata In
Ceng Keras sambil mendorong pundak Ni Keng
Giau. "Surat Wasiat itu tersimpan diruangan
yang dijaga ketas oleh prajurit-prajurit HanLim-Kun yang hanya tunduk kepada peintah
Ayahanda Kaisar ! Usulmu itu adalah usul gila!
Tidak masuk akal!" "Waktu sudah mendesak, Pangeran, apa kita
mesti menunggu Pangeran In Te dan
pasukannya datang dan menyumbat semua
peluang kita" Terpaksa kita harus berani
menyerempet Bahaya untuk memenangkan
pertarungan ini "."
Sejak mendengar dua kabar kurang
menguntungkan berturut-turut, yaitu kabar
kembalinya adiknya dari Jing-Hai yang disusul
kabar bahwa Pak Kiong Liong berkunjung ke
68 gedung kediaman Bok Eng Siang, Pangeran In
Ceng memang kebingungan dan merasa
terdesak. Maka "usul gila" Ni Keng-Giau itu
ibarat sepotong papan yang ditemukan oleh
seorang yang hampirmati tenggelam di lautan.
Ahirnya diapun menganggukkan kepalanya.
Itulah jalan yang singkat. Menang atau hancur
sama sekali. Tanyanya. "kau punya perincian bagaimana
pelaksanaanya?" Sahut Ni Keng Giau, "aka nada banyak orang
yang bersedia melakukannya untuk kita."
Wajah Pangeran In Ceng masih kelihatan
ragu-ragu. Ia senang bahwa banyak jagoanjagoan silat yang berpihak kepadanya. Tapi
diapun sadar bahwa kebanyakan mereka tidak
mengabdi dengan tulus kepadanya, melainkan
hanya memperjuangkan diri sendiri di hari
depan, kalau ia berhasil naik tahta. Kalo orangorang macam itu diserah tugas seperti rencana
Ni Keng Giau, dan kemudian tertangkap oleh
pasukan Han-Lim-Kun, maka dengan sedikit
siksaan atau tekanan saja, orang-orang eitu
69 akan mengaku siapa yang menyuruhnya. Kalau
Kaisar sampai mendengarnya dan marah,
habislah peluangnya. Gelar kebangsawanannya
akan dicabut dan ia kan mengalami nasib
malang seperti kakak tertuanya, Pangeran In Si.
Membayangkan hal itu, punggung Pangeran In
Ceng itu dialiri keringat dingin. Itulah perjudian
dengan taruhan yang kelewat mahal.
"Bagaimana, Pangeran?" Ni Keng Giau
mendesak. Bukannya langsung menjawab, Pangeran IN
Ceng malah balik bertanya, "Sute, menurutmu,
orang yang bagaimana yang cocok untuk tugas
berbahaya ini?" Sekarang Ni Keng Giau sudah berani
tersenyum, karena yakin Pangeran junjungannya itu akan menerima usulnya.
Sahutnya perlahan, agar jelas didengar
Pangeran In Ceng, "Jelas bukan orang-orang
bayaran yang dengan gampang melepaskan
kesetiaan apabila terancam bahaya. Orang
untuk tugas ini cukup mempunyai dua syarat.
Pertama, ilmu meringankan tubuhnya cukup
70 lihai, sehingga dapat masuk keluar ruang
penyimpanan Surat Wasiat itu dengan
kemungkinan tertangkap kecil sekali. Kedua,
seandainya ia tertangkap juga, dia harus lah
orang yang sanggup menutup mulutnya biarpun
menghadapi siksaan bagaimanapun beratnya,
atau bahkan diancam akan dibunuh?"
"Persyaratan yang berat. Di antara orangorang kita dalam istanaku ini, siapa kira-kira
yang memenuhi kedua macam syarat itu?"
Tanya Pangeran In Ceng harap-harap lesu.
"Tidak ada," jawab Ni Keng Giau kalem.
Pangeran In Ceng hamper terlonjak di atas
kursinya, dan hampur pula berteriak, "Kalau
tidak ada, apa gunanya usulmu tadi" Atau kita
akan menugaskan sesosok arwah gentayangan
yang bias menghilang?"
Jawab Ni Keng Giau masih setenang semua.
"Di antara jago-jago kita di istana ini memang
tidak ada seorang pun yang memiliki dua syarat
itu sekaligus. Ki Yong sangat setia kepada
Pangeran, namun ilmu meringankan tubuhnya
cukup untuk membobol kandang ayam di
71 desanya sana. Tong Hong Lui lihai ilmu
meringankan tubuhnya, namun dia seekor ular
berkepala dua yang mudah berganti haluan
apabila keadaan tidak menguntungkan. Keduaduanya tidak cocok untuk tugas ini?"
"Dua orang yang baru saja kau bawa dari
Tay-tong itu, bagaimana?"
"Dua saudara Ho" Kepandaian mereka juga
kurang mencukupi tugas berat ini"."
"Kalau begitu, usulmu tadi hanya usul di atas
kertas saja dan tidak bias dilaksanakan?"
Pangeran In Ceng hampir-hampir kehabisan
kesabarannya. Tapi Ni Keng Giau malah tersenyum.
"Pangeran, apakah Pangeran lupa ketika dulu
mengembara ke selatan, Pangeran mendapatkan sahabat-sahabat yang bisa
dipercaya" Baik ketangguhan ilmunya maupun
kelurusan hati mereka?"
Otak Pangeran In Ceng yang keruh oleh
kegelisahan itu tiba-tiba terasa jernih kembali
dan iapun mulai tersenyum sendiri. Di masa
muda, ia pernah minggat dari istana, berguru di
72 wihara Siau-lim-si di Siong-san, kemudian
mengembara dengan nama samara Su Liong Cu.
Dalam pengembaraannya, ia mendapatkan
beberapa sahabat, bahakan salah seorang
sahabatnya adalah Kang-lam Tai-hiap (pendekar Agung Kang-lam) Kam Hong Ti yang
amat terkenal. Ketika kedoknya sebagai
Pangeran Manchu terbongkar, hampur saja ia
kehilangan sahabat-sahabatnya yang bangsa
Han itu. Saat itulah ia melontarkan sebuah janji
manis, apabila kelak berhasil naik tahta , ia akan
menghapus undang-undang yang merendahkan
martabat bangsa Han agar sederajat dan
berdampingan dengan bangsa Manchu. Beberapa pendekar Han terpikat oleh janji itu
dan berjanji akan mendukung In Ceng merebut
tahta. Para pendekar bangsa Han itu agaknya
berpendapat, dapipada ngotot memperjuangkan bangunnya kembali DInasti
Beng, suatu cita-cita yang entah berapa abad
lagi baru terwujud karena semakin kokohnya
kekuasaan Manchu jaman itu, lebih baik
mendukung In Ceng yang diharapkan akan
73 mengangkat martabat bangsa Han tanpa
melalui pemberontakan. Beberapa pendekar
kuatar, kalo orang Han dan Manchu bertikai tak
henti-hentinya, negeri besar itu akan menjadi
lemah dan dicaplok bangsa asing kulit putih,
seperti nasib beberapa negeri diselatan. Karena
itulah mereka sepaka, perlawanan kepada
pemerintah Manchu harus dihentikan, asalkan
bangsa Han mendapatkan kehormatannya lagi.
Apalagi kalau dipikir bahwa kaisar Khong Hi
yang bertahta itu tidak sepenunhnya tepat
kalau disebut "raja berdarah Manchu"; sebab
ibundanya adalah perempuan berdarah Han.
Dengan begitu terasa cukup adil kalau tahta di
duduki orang yang "setengah Manchu setengah
Han". Dalam beberapa tahun belakangan itu,
pangeran In Ceng telah menghentikan
pengembaraanya, kembali ke ibukota untuk
mempersiapkan diri merebut tahta. Ketika usul
Ni Keng Giau itu, barulah Pangeran In Ceng
ingat sahabat-sahabatnya itu, dan merasa itulah
saatnya yang tepat untuk menagih janji mereka
74 dulu. Pangeran In Ceng kenal wakt mereka.
Teguh pada janji dan cita-cita, sedangkan ilmu
silat merekapun tinggi, jauh bedanya dengan
jago-jago bayaran yang saat itu mengelilinginya. Jadi merekalah orang-orang
yang tepat untuk mengambil surat wasiat
tulisan ayahandanya itu.

Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hampir saja aku melupakan mereka, sute"
kata Pangeran In Ceng sambil menepuk
pahanya sendiri. Namun sedetik kemudian,
wajahnya menjadi murung kembali. "Tapi
"cukupkah waktu untuk mencari dan
mengundang mereka dari Kang Lam, sementara
Angkatan Perang Adinda In Te sudah hampir
sampai di Ambang pintu kota Pak-Khia?"
"Pangeran, ada sesuatau kabar gembira yang
belum Pangeran ketahui. Sejak kemelut
perebutan tahta ini menghangat, sahabatsahabat Pangeran itu sudah banyak yang
meninggalkan Kang-Lam dan sekarang mereka
berkumpul di Gunung Siong-San di Ho-lam.
Untuk mengundang mereka, tidak perlu
Pangeran sampai melintasi Sungai Yang-Cu75
Kiang. Dengan menunggangi seekor kuda yang
baik, Pangeran dapat ".."
"Tunggu! Dalam keadaan tak mentu seperti
ini, aku tak boleh meninggalkan Pak-Khia
biarpun hanya selangkah atau sedetik. Aku
harus tetap di sini untuk mengikuti
perkembangan yang berubah-ubah dengan
cepat"." "Kalau begitu, Pangeran, biarlah hamba yang
pergi ke sana dengan beberapa pengawal.
Cukup kalau Pangera menyertakan sepucuk
surat pribadi Pangeran kepada hamba,
semuanya akan hamba bereskan " "
"Baik. Tunggulah sebentar."
Pangeran In Ceng masuk sebentar dan
beberapa saat kemudian keluar kembali dengan
membawa sepucuk surat bersampul rapat, dan
sebatang pedang pendek bersalut emas.
Katanya, "Sahabat-sahabatku di selatan bukan
saja akan mengenali tulisanku dalam surat ini,
tapi juga pedang pendek yang disebut LiongHong Po-Kiam ( Pedang pusaka Naga dan hong )
itu, disamping toya hitamku yang dulu kubawa
76 berkelana di selatan. Tapi toya hitam itu biarlah
tetap disampingku, untuk berjaga-jaga kalau
keadaan memburuk. Sambil menerima kedua benda itu dengan
sikap hormat, Ni Keng-Giau merasa bangga
sekali mendapat kepercayaan begitu besar dari
"calon kaisar" ini. Rasanya ia sudah bukan lagi
Jendral yang menjadi tangan kanan seorang
Pangeran saja, melaikan sudah menjadi seorang
Panglima Tertinggi di kekaisaran itu, yang
tengah menerima tugas dari Kaisarnya.
"Hamba akan berangkat mala mini juga
dengan menunggangi Jian-Li-Ma (Kuda Seribu
Li ), Pangeran, "kata Ni Keng-Giau. "Hamba
mohon pamit, harap Pangeran menjaga diri
baik-baik"." "Kaupun harus berhati-hati di jalan, Sute.
Gagal atau berhasilnya perjuangan kita,
tergantung dari hasil perjalananmu ini." Kata
Pangeran In Ceng sambil menepuk-nepuk
pundak adik seperguruannya. "Tolong sampaikan salam hormatku kepada suhu Punbu Hwesio, semua paman-paman guru dan
77 saudara-saudara seperguruan lainnya di Siau
Lim-si?" "Baik, Pangeran."
Pada saat yang hampir bersamaan, di gedung
kediaman Bok Eng Siang juga terjadi sebuah
kesibukan. Seandainya Pangeran In Ceng atau
Ni Keng-giau tahu bahwa saingan berat mereka,
Pangeran In Te, tengah berada di gedung itu,
barangkali gedung itu sudah dikepung rapat
oleh pasukan-pasukan di ibukota yang
beberapa bagian sudah berada di bawah
pengaruh Pangeran In Ceng. Namun Pangeran
In Ceng agaknya masih mengira bahwa
adindanya itu masi berada di tengah-tengah
angkatan perangnya yang sedang dalam
perjalanan pulang dari Jing-hai sana".
Di ruangan belakang gedung kediaman Bok
Eng-Siang itu, Pangeran In Te tengan didandani
untuk menyamar sebagai salah seorang prajurit
pengawal Pak-Kion Liong, wajahnyapun
disamarkan dengan kerut merut palsu dan
kumis palsu pula. Untuk mendapatkan
pakaiannya, seorang pengawal Pak Kiong-Liong
78 yang berperawakan tubuh mirip Pangeran In Te
disuruh mencopot pakaiannya, dan pengawal
itu sendiri dipinjami baju penduduk biasa oleh
Bok Eng Siang untuk pulang ke rumahnya.
Maka ketika rombongan Pak Kiong Liong itu
meninggalkan gedung itu, mata-mata Pangeran
In Ceng yang berpapasan di Jalan tidak ada yang
tahu bahwa salah seorang dari pengawal Pak
Kiong Liong itu sudah bertukar orangnya.
Bentrokan senjata atara para pengikut
Pangeran-pangeran yang bersaing memang
belum secara terbuka, namun situasi kota PakKhia sudah menghangat seperti dipanggang
diatas bara. Hanya saja, ketegangan itu hanya
terasakan oleh mereka yang terlibat dalam
kemelut, sedangkan bagi rakyat kecil yang tidak
tahu apa-apa, rasanya situasi tetap adem-ayem
saja. Subuh, sebelum mentari muncul menunaikan
tugasnya, lonceng Keng-yang-ciong di sebelah
kanan istana Kerajaan serta tambur Lionghong-kou di sebelah kiri istana, sudah berbunyi,
menandakan sidang istana akan dimulai dengan
79 dipimpin Kaisar sendiri. Dalam kesehatannya
yang semakin menurun, Kaisar Khong Hi masih
saja sering memaksakan diri untuk memimpin
sidang. Sementara lonceng dan tambur berbunyi,
para Pangeran dan Bangsawan, Menerti,
Panglima-panglima Perang dan beberapa
Gubernur atau Raja Muda, cepat-cepat
merapikan diri dan berdiri dalam dua barisan
menghadap kea rah kursi emas berukir Naga
berkuku lima yang masih kosong itu. Semuanya
memakai jubah dan topi menunjukkan
kedudukan dan pangkat masing-masing.
Di antara orang-orang itu, Nampak Pak
Kiong Liong berdiri di deretan agak depan. Ia
memakai jubah ungu tua yang bagian bawahnya
bersulam garis-garis putih dan hitam, dirangkap
lagi dengan jubah panjang sepanjang lutut
berwarna merah darah yang punggung dan
dadanya bersulam. Kepalanya yang sudah
berambut putih semua itu memakai topi hitam
beludru berhias benang-benang merah serta
hoa-leng, bulu burung yang dipasang rebah di
80 belakang. Dalam usianya yang enam puluh lima
tahun lebih, Pak Kiong Liong masih berpundak
tegap, perutnya tetap datar dan tidak
menggelembung ke depan, sepasang matanya
tajam berpengaruh. Sebagai anggota keluarga istana, sebenarnya
Pak Kiong Liong syah memiliki kehormatan
untuk memakai jubah kuning bersulam burung
Hong, burung Hong adalah lambing hanya
setingkat di bawah lambing Naga, namun Pak
Kiong Liong agaknya lebih suka seragam
kebesarannya sebagai Panglima, bukan sebagai
anggota keluarga istana. Sementara menunggu hadirnya Kaisar,
orang-orang penting di kekaisaran itu masih
sempat bercakap-cakap satu sama lain dengan
suara perlahan. Beberapa putera Kaisar Khong
Hi sempat menyapa Pak Kiong Liong dengan
sebutan "paman", tetapi dengan derajat
keakraban yang berbeda-beda satu sama lain.
Pangeran In Ceng yang juga hadir, bukan saja
menyapa dengan sepatah kata, melainkan juga
berjalan mendekatinya dan bercakap-cakap,
81 "Selamat pagi Paman, rasanya sudah lama aku
tidak bercakap-cakap dengan Paman."
Pak Kiong Liong tersenyum sehingga kumis
putihnya bergerak-gerak. "Selamat pagi,
Pangeran. Hamba dapat memaklumi, tentu di
hari-hari belakangan ini Pangeran sangat
sibuk." Ada sindiran halus terkandung dalam
kalimat itu, tetapi Pangeran In Ceng
menanggapinya sambil tersenyum-senyum saja,
"Kita semua mendadak jadi sibuk di hari-hari
ini, Paman, bukankah Paman sendiri juga amat
sibuk" Dalam beberapa bulan, aku dengar
Paman menggembleng pasukan Paman di Bukit
Patat-nia. Untuk apa, Paman?"
Nada pertanyaan itu tidak menuduh, seperti
orang bertanya biasa saja, namun Pak Kiong
Liong sadar bahwa ia tidak boleh tergelincir
sejengkalpun dalam menjawab. Ia sadar sedang
berada di Sidang Kerajaan, bukan di warung
arak atau pasar kuda. Kalau di warung arak
orang bisa mengumbar mulut seenaknya,
resikonya paling-paling kepalanya benjol
82 dipukul pengunjung lainnya, maka salah bicara
di Sidang Kerajaan bisa berakibat gawat. Bisa
menyangkut nasib jutaan rakyat, sebab Sidang
Kerajaan adalah tempat kebijaksanaankebijaksanaan besar ditetapkan.
Sahut Pak Kiong Liong, "Prajurit-prajurit
Kekaisaran tentu saja harus selalu siap,
Pangeran. Kalao prajurit-prajurit kita lengah,
tentu musuh-musuhmu akan segera menerkam
kita, baik musu dari dalam maupun dari luar?"
"Keadaan Negara cukup tenang, Paman,
kekuatan kita juga disegani sampai ke seberang
lautan. Siapa berani memusuhi kita?"
"Beberapa tahun yang lalu Pangeran pernah
berkelana di wilayah selatan, apakah Pangeran
tidak mendengar bahwa sisa-sisa Dinasti Beng
belum kehilangan kekuatan sama sekali"
Mereka adalah musuh-musuh dalam negeri
yang tetap berbahaya. Sedang musuh dari luar
ialah orang-orang kulit putih yang semakin
ramai berkeliaran di Laut Timur dengan kapalkapal meriam mereka. Meskipun mereka
berkedok berdagang, siapa berani bilang
83 mereka bukan ancamanan" Pemberontakan di
Sin-Kian dan Jing-hai itupun membuktikan
bahwa kita tetap harus waspada."
"Pemberontakan di Sin-kiang dan Jing-hai
telah ditumpas oleh Adinda In Te dan kekuatan
mereka tak seberapa lagi. Sisa-sisa Dinasti Beng
memang masih mengacau di beberapa tempat.
Tapi kekuatan merekapun terlalu kecil untuk
menumbangkan Kekaisaran kita. Dan orangorang kulit putih itu " Mereka memang garang
di lautan, namun begitu berani menginjak
daratan, mereka akan kita gulung dan kita
lempar kembali ke laut."
"Tapi ancaman yang bagaimanapun kecilnyapun tidak boleh kita abaikan. Pangeran
Seekor gajah bisa mati gara-gara seekor semut
yang masuk ke kupingnya. Karena itu, prajuratprajuritku harus selalu latihan untuk menjaga
kesegaran jasmani dan semangat mereka, agar
setiap saat dapat digerakan untuk membendung
bahaya yang mengancam kekaisaran."
"Hemm, pandai bener Paman berdalih, Tapi
apakah Paman tidak punya tujuan lain yang
84 tersembunyi?" Pangeran In Ceng tiba-tiba
menyerang secara langsung.
Ternyata Pak Kion Liong tenang-tenang saja
menjawab tuduhan itu, "Tidak ada tujuan lain,
Pangeran." Sedangkan Pangeran In Ceng semakin
jengkel oleh ketenangan Pamannya itu, "Paman
hanya pura-pura saja, sebenernya Paman ingin
ikut menentukan calon Kaisar pengganti
Ayahanda, bukankah begitu" Untuk itu Paman
melatih pasukan Paman, seolah-olah ada
ancaman buat Kekaisaran, padahal ancaman itu
terhadap ambisi Paman sendiri"."
Pembicaraan yang semakin keras dan hangat
itu menarik perhatian pejabat-pejabat tinggi
kekaisaran yang tengah menunggu hadiranya
Kaisar itu. Pembicaraan-pembicaraan di antara
mereka sendiri segera dihentikan, dan hampir
seluruh perhatian di tujukan kearah Pangeran
In Ceng dan Pak Kiong Liong. Namun tak
seorang pun berani ikut campur.


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mana berani hamba ikut menentukan calon
pengganti Kaisar?" kata Pak Kiong LIong. "Calon
85 itu sudah ditentukan oleh Hong Siang dalam
Surat Wasiatnya. Siapa berani melanggar pesan
dalam Surat Wasiat itu , berarti dia seorang
pengkhianat, bahkan hamba serta pasukan
hamba siap mempertahankan amanat Hong
Siang itu dengan taruhan nyawa!"
Pak Kion Liong mengucapkannya tanpa
berteriak atau mengacungkan tinju ke langit,
namu nada suaranya mengandung sikap tegas
yang tak bisa ditawar tawar lagi. Pangeran In
Cengyang baru kemarin malam kasak-kusuk
dengan Ni Keng Giau untuk mencoba
membongkar Surat Wasiat Kaisar, seketika
tergetar hatinya, merasa dirinya seperti
tertuduh yang telanjang di depan meja hijau.
Tatapan tajam Pak Kion Liong itu tak berani
ditentangnya. Seandarainya tidak sedang berhadapan
dengan Pak Kion Lion, Pangeran In Ceng tentu
sudah mengayunkan tinjunya untuk meremukkan hidung orang dihadapannya. Tapi
sadar bahwa ilmunya kalah jauh dibandingkan
ilmu Pamannya itu, maka terpaksa 86 kemendongkolannya ditelannya sendiri mentah-mentah. Yang gembira melihat keteguhan sikap Pak
Kion Liong itu adalah salah seorang pengawal
Pak Kion Liong di luar aula persidangan itu
karena pengawal itu bukan lain adalah samara
Pangeran In Te. Biarpun ia ada di luar aula, tapi
karena aula itu bagian depannya tidak
berdinding, hanya ada pilar-pilar merah besar,
maka percakapan Pak Kion Liong dan Pangeran
In Ceng itu dapat didengarnya. Sikap Pak Kiong
Liong yang teguh akan "membela amanat
Kaisar" itu berarti dukungan bagi Pangeran In
Te, sebab meskipun Surat Wasiat itu belum
dibuka, bukan rahasia ladi dikalangan
pemerintahan, bahwa Pangeran In Te adalah
putera yang paling disayangai Kaisar Khong Hi
dan hampir pasti namanyalah yang tertulis
dalam Suarat Wasiat itu. Sementara itu, Pangeran In Ceng gagal
menyudutkan Pak Kiong Liong,
malahan dirinya sendiri yang tersudut. Ia kini dalam
keadaan serba salah. Kalau mundur begitu saja,
87 pamornya dihadapan begitu banyak pejabat
tinggi akan merosot, dukungan terhadap
dirinyapun mungkin akan berkurang. Tetapi
kalau nekad membentur Pak Kiong Liong,
kekalahan yang dikhawatirkannya itu bahkan
akan datang lebih cepat lagi. Sesaat ia
kebingungan. Untunglah, seorang berpakaian bangsawan
yang setua Pak Kion Liong, segera menengahi
pembicaraan itu, "Pangeran, tidak lama lagi
persidangan akan dimulai, Hong Siang akan
segera tiba kalau kesehatannya mengijinkan.
Hamba mohong Pangeran dan Saudara Pak
Kiong LIong kembali ketempata masingmasing."
Bangsawan tua itu adalah Liong Ke Toh, ipar
Kaisar Khong Hi sendiri, sehingga kdudukannya
membuat ia cukup pantas untuk memperingatkan Pangeran In Ceng agar tertib
dalam persidangan. Teguran seorang paman
terhadap keponakannya. Namun dengan cara
itu, Liong Ke Toh juga berhasil memberikan
88 jalan mundur bagi Pangeran In Ceng tanpa
membuat sang pangeran kehilangan muka.
Pangaeran In Ceng merasa lega, namun
sebelum meningglkan Pak Kion Liong , ia
sempat berkata, "Paman Liong Ke Toh, menurut
Paman Pak Kiong Long ini, kekaisaran kita
sedang menghadapi ancaman dari mana-mana.
Bagaimana kalau kelak diusulkan kepada HuHong (ayahanda Kaisar) agar Paman Pak Kiong
dan pasukannya dikirim untuk melawan
musuh-musuh itu?" Hati Pak Kiong Liong berdenyut keras
mendengar dirinya akan disingkirkan dengan
cara ditugaskan ke tempat yang jauh dari
ibukota. Sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi persaingan antar pangeran. Hal
itu bukan tidak mungkin kalau Liong Ke Toh
mau membujuk kaisar dengan lidahnya yang
lihai itu. Kalau kaisar sendiri sudah mengeluarkan perintah, tentu saja Pak Kiong
Liong tidak mungkin lagi membantahnya.,
Liong Ke Toh sesaat menatap Pak Kiong
Liong samba menunjukkan senyuman liciknya
89 seolah sedang memamerkan kekuasaanya
sambil bertanya tanpa kata, tidak percayakah
kau bahwa aku dapat membuangmu sejauhjauhnya dari ibukota "
Sebaliknya Pak Kiong Liong dengan muka
jijik memandang kearah lain, tidak sudi
memandang kearah wajah Liong Ke Toh. Ia tahu
manusia macam apa ipar Kaisar itu. Licik,
penjilat, penyebar fitnah, berambisi mendapat
kekuasaan sebesar-besarnya dengan segala
cara. Baru saja Liong Ke Toh hendak
mengucapkan beberapa kata gertakan atau
sindirian kepada Pak Kiong Liong, tiba-tiba
lonceng Keng-Yang-ciong dan tambur LiongHong-kou di samping istana kembali berbunyi,
dari belakang tirai singgasana muncul seorang
thai-kam (pelayan kebiri) yang berseru, "Hong
Siang telah tiba!" Semua orang di aula persidangan itu cepatcepat berdiri di tempatnya masing-masing dan
merapikan pakaian mereka.
90 Tirai kuning di samping singgasana tersibak
oleh dua orang thai-kam, disusul munculnya
dua prajurit pengawal Kaisar, setelah itu
barulah Kaisar Khong Hi sendiri muncul menuju
singgasana. Kaisar ke dua dari Dinasti Manchu
itu berjalan tidak terlalu tegap, karena usianya
yang tua dan kesehatannya yang menurun,
namun ia berjalan sendiri tanpa dituntun oleh
pelayan-pelayannya. Orang-orang di aula persidangan serempak
berlutut dan serempak menyerukan pujian
mereka, "Ban-swe! Ban-swe!"
Suara Kaisar Khong Hi yang tidak keras itu
masih terdengar jelas di aula yang sunyi senyap
itu, "Bangun kalian?"
Setelah seruan "terima kasih, Tuanku"
dikumandangkan secara serempak pula, orangorang di aula itupun bangkit dari berlututnya.
Dari singgasananya, Kaisar Khong Hi
menyapukan pandangannya untuk meneliti
wajah-wajah yang hadir dalam persidangan itu,
kepalanya terangguk-angguk kecil ketika
melihat putera-puteranya hadir pula. Dari
91 tatapan matanya hinggap agak lama pada diri
Pangeran In Ceng, putranya yang ke-empat,
yang beberapa tahun yang silam pernah
minggat dari istana karena merasa tidak disujau
Ayahandanya sendiri. "Kau, In Ceng?" Tanya Kaisar.
Cepat-cepat Pangeran In Ceng berlutut lagi
dan menjawab, "Hamba Ayahanda."
Sudah hampir satu bulan kau tidak hadir
dalam persidangan-persidangan, juga tidak
pernah menghadap aku di Yang-wan-kiong,
kemana saja kau selama ini?"
"Hamba mencoba melihat-lihat situasi di luar
ibukota, untuk mengetahui bagaimana keadaan
Kekaisaran ini." "Kenapa tidak kau laporkan kepadaku
tentang kegiatanmu itu?"
"Hamba mendengar dari Tabib istana
tentang keadaan Ayahanda yang kurang sehat,
maka hamba tidak melaporkannya karena
kuatir menambah beban pikiran Ayahanda. Apa
yang bisa hamba kerjakan tanpa menambah
beban Ayahanda, biarlah hamba kerjakan
92 sendiri, sambil mengharapkan Ayahanda cepat
sehat kembali." "Wah, benar-benar anak manis," piker Pak
Kiong Liong dalam hatinya.
Kaisar Khong Hi mengurut-urut janggutnya
sambil mengangguk-ngangguk pula, sementara
Pangeran In Ceng pun membatin. "Ayahanda
pura-pura saja mempercayai aku, tapi aku yakin
dia pasti tidak pernah percaya sedikitpun.
Namun tidak apa-apa, akupun toh Cuma
pembual?" Saat itulah di ruang persidangan yang sunyi
itu terdengar suara tertawa mengejek yang
tertahan. Itu mengejutkan semua orang, siapa
yang berani bersikap kurang sopan di depan
Kaisar" Waktu semua orang menoleh ke arah asal
suara itu, ternyata adalah putera tertua Kaisar
Khon g Hi, Pangeran In Si yang dulu punya gelar
kebangsawanan Tit-hun-ong, namun saat itu
gelarnya sudah dicabut, sekaligus juga
kehilangan haknya untuk mewarisi tahta.
Karena itulah Pangeran In Si punya rasa dengki
93 terhadap pangeran-pangeran lainnya, adikadiknya sendiri, sebisa-bisanya ingin menjegal
dan mengacau semua rencana mereka.
Mendengar ejekan, lupa kalau saat itu tengah
berada di Sidang Kerajaan.
Ketika berpuluh-puluh pasang mata tertuju
ke arahnya, seolah-olah menegurnya, terutama
sorot mata Kaisar sendiri, Pangeran In Si
menjadi agak gugup. Cepat-cepat ia berlutut dan
berkapa, "Harap Ayahanda mengampuni
ketidak sopanan hamba dalam sidang ini?"
Kaisar Khong Hi menarik napas untuk
menekan kejengkelannya. Harusnya putera
tertuanya itu paling berhak menggantikannya,
tapi ia tahu bahwa Pangeran In Si adalah
seorang yang berwatak lemah, terlalu senang
memikirkan diri sendiri, kemampuannya tidak
seimbang dengan ambisinya yang besar
sehingga kekaisaran terancam runtuh kalau
dikendalikan orang macam itu. Dan akibat
kelambatan Kaisar dalam menyiapkan penggantinya itulah maka putera-puteranya
terjerumus dalam persaingan sengit yang
94 Pangeran In Si menjadi agak gugup. Cepat-cepat ia
berlutut dan berkapa, "Harap Ayahanda mengampuni
ketidak sopanan hamba dalam sidang ini?"
95 membahayakan persatuan kekaisaran. Persaingan yang belum tentu reda dengan
dibukanya Surat Wasiatnya kelak"
Kaisar menatap Pangeran In Si dengan
pandangan sedih, katanya, "Bangunlah, aku
maafkan kau. Tapi lain kali berilah contoh yang
betul kepada adik-adikmu. Dan menilik sikapmu
tadi, tentunya ada sesuatu yang ingin kau
katakana?" "Terima kasih, Ayahanda. Hamba memang
ingin mengatakan sesuatu," sahut Pangeran In
Si. Setelah bangkit dari berlututnya, ia berdiri


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan kepala tunduk dan dua tangan lurus di
samping tubuh. "Katakanlah." Sekilas Pangeran In Si melirik Pangeran In
Ceng dengan pandangan penuh kebencian, lalu
berkata, "Ayahanda, meskipun Adinda In Ceng
tidak pernah menengok Ayahanda, namun
agaknya dia berusaha menjaga Ayahanda
sebaik-baiknya. Buktinya, Adinda In Ceng
menempatkan banyak jago-jago silatnya untuk
memenuhi istana. Kemarin, ketika hamba
96 hendak menjenguk kesehatan Ayahanda, hamba
dihadang di pintu gerbang Yang-wan-kiong oleh
orang-orang Adinda In Ceng, dan hamba
dipaksa pulang kembali sebelum berhasil
menjenguk Ayahanda?"
Sebelum Kaisar menjawab, tiba-tiba Pangeran In Gi, putra ke delapan yang bertubuh
tinggi besar dan bersuara kasar itupun telah
maju berlutut dan suaranya memenuhi aula
persidangan itu. "Ayahanda, hamba mohon
ampun karena lancang bicara tanpa perkenan
Ayahanda. Tetapi hamba harus melapor juga,
apa yang dikatakan Kakanda In Si itu benar
adanya. Hamba juga pernah mengalami
perlakuan kasar dari orang-orang Kakanda In
Ceng ketika hendak menengok Ayahanda. Istana
ini seolah-olah sudah menjadi milik Kakanda In
Ceng pribadi!" "Hamba juga mengalami perlakuan serupa,
Ayahanda," Kata Pangeran In Tong putera
Kaisar ke Sembilan, sambil berlutut pula.
Disusul putera ke sepuluh Pangeran In Go.
"Ayahanda, seharusnya Kakanda In Ceng
97 menertibkan orang-orangnya untuk sedikit tahu
adat. Ini adalah istana Kerajaan, kalau anak
buah Kakanda In Ceng berkelakuan seperti
orang-orang Hun yang biadab itu dibawa masuk
ke istana semuanya, rusaklah tata-tertib istana
ini dan akan menodai kehormatan Keluarga
Aishin Gioro kita yang agung!"
Dalam mengumpukan pendukungpendukungnya, Pangeran In Ceng memang tidak
peduli darimana asalnya, pokoknya asal
sanggup bergabung dengannya. Sebelum orangorang itu diberi seragam mentereng untuk
ditempatkan di istana dengan bantuan Liong Ke
Toh, orang-orang itu memang beberapa hari
dilatih tata karma dalam istana. Namun "Kursus
kilat" itu sulit mengubah watak orang-orang
yang sebagian besar dari golongan hitam itu,
meskipun mereka telah diberi baju seragam
yang rapi. Dalam urusan ilmu silat, memang
orang-orang Pangeran In Ceng itu rata-rata
tergolong jagoan, sehingga para pengawal
istanapun kalau tidak terpaksa enggan
berhantam dengan mereka. Sementara itu, para
98 menteri, panglima dan gubernur yang
sebenarnya sudah siap dengan laporan masingmasing, kini terpaksa harus bersabar dulu.
Mereka geleng-geleng kepala melihat sidang
Kerajaan mendadak berubah menjadi "sidang
keluarga" dimana seorang ayah dihadapkan
kepada pertengkaran anak-anak nya
Pangeran In Ceng tegang wajahnya
mendengar tuduhan saudara-saudaranya
itu. Setelah keadaan agak reda, barulah ia
berbicara lagi, "Ayahanda, sebenarnya
hamba bermaksud baik, ingin member
kesempatan Ayahanda beristirahat dengan
tenang tanpa diganggu siapapun. Tetapi
agaknya saudara-saudaraku sendiripun
salah paham. Kalau Ayahanda merasa
kesalahan hamba ini patut dihukum, hamba
tunduk keputusan Ayahanda...u
Kaisar tua itu agak bingung mengha dapi
itu. Apalagi ketika Pangeran In Gi dengan
berangasan telah berkata lagi, "Ayahanda,
99 sebaiknya orang-orang Kakanda In Ceng
yang liar seperti orang hutan itu
disingkirkan semua dar istana !"
Usui itu mendapat dukungan dari Pa
ngeran-pangeran lainnya. Tentu saja
masing-masing ingin agar kekuatan
Pangeran In Ceng di bagian dalam istana
bisa dikurangi, supaya bisa digantikan pendukung-pendukung mereka
masing-masing. Tapi pangeran-pangeran
itupun sadar, kalau Pangeran In Ceng
berhasil disingkirkan, mereka masih harus
bergulat satu sama lain untuk mendapatkan hanya satu "pemenang". Atau
barangkali takkan ada "pemenang"nya
satupun, alias hancur bersama.
Kaisar kemudian bertanya kepada In
Ceng, "Anakku, bagimu, mana yang
lebih berat" Saudara-saudaramu atau orang-orangmu yang asal-usulnya tak
100 keruan itu Aku sendiri tidak senang dikeliling istana ini bertebaran orang-orang
kasar seperti orang-orangmu itu."
Memang, sejak orang-orang In Ceng
masuk istana, kebersihan istana, jadi agak
terganggu. Kalau mereka ngin kencing,
cukup mencari rumpun pohon dan
kencinglah mereka di situ. Bahkan kolam
ikan emas juga pernah dikecingi sehingga
ikannya mabuk semua. Meskipun Kaisar telah berusaha bertindak sebagai seorang ayah yang
adil namun ucapan terakhirnya tadi
menunjukkan ketidaksenangannya terhadap putera keempatnya yang sejak
kecil memang paIing bengal itu
Untuk merebut simpati para menteri,
panglima dan gubernur yang tengah hadir
di aula persidangan itu terpaksa Pangeran
In Ceng harus bersandiwara sebagai
101 seorang anak yang "menurut" dan
"berbakti". Kalau Ayahnda dan saudarasaudara kurang berkenan, baiklah secepat
mungkin hamba akan menarik anak buah
hamba itu." Tapi dal am hatinya la
mengutuk"Semakin jelaslah bahwa aku memang di
anak tirikan oleh Ayahanda. Melihat
gelagatnya, mustahil namaku yang tercantum dalam Surat Wasiat itu. Kalau begitu,
aku takkan sungkan-sungkan lagi, dalam
beberapa hari aku harus mengambil
langkah-Iangkah kilat. Setelah aku bertahta
kelak, tahu rasalah penentang penentangku
itu." Demikianlah tekad Pangeran In Ceng
dalamhatinya.Biarpunsaudarsaudara sedar
ah-sedaging,kalau menghalangi tu juannya,
akan dibabatnya tanpa belas kasihan lagi.
Namun rencana itu tersimpan rapat dalam
102 hatinya, tak seorangpun tahu, kecuali di
saat pelaksanaan rencananya kelak.
Ucapan kesanggupan untuk membubarkan "pengawaI-pengawal liar"nya itu
membuat para penuduh tak berkutik lagi.
Pangeran In Si meskipun sangat benci dan
dengki, namun tak tahu harus mengucapkan
apa lagi. Apalagi ketika In Ceng dengan
wajah memelas berlutut di depan Kakanda
tertuanya itu untuk mohon maaf.
Pangeran In Si tak bisa bilang apa lagi,
kecuali wajahnya yang menjadi masam.
Kaisar Khong Hi melihat itu semua
dengan perasaan pedih. Setelahnya nanti,
akankah kekaisaran yang sudah dibinanya
berpuluh tahun Itu hancur berantakan
karena pertengkaran putera-puteranya"
Tapi masih ada setitik harapan di hati
Kaisar tua itu. Pangeran In Te, puteranya
yang paling diharapkan itu, mudah103
mudahan kelak setelah bertahta dapat
mengatasl ulah saudara-saudaranya sendiri.
la gemblra mendengar kabar putera ke
empatbelas itu sedang dalam perjalanan
pulang ke ibu kota, setelah memadamkan
pemberontakan di Jing-hai.
Tuduh-menuduh antar pangerann sudah
mereda, namun kebencian hati masingmasing justru kian membara.
Para menteri dan pejabat-pejabat tinggi
lainnya segera bersiap-siap menyodorkan
laporan mereka, namun agaknya mereka
harus bersabar lagi, sebab Pangeran In
Ceng kembali merebut kesempatan bicara,
"Ayahanda, kehadran hamba ini sebenarnya
juga membawa sebuah laporan penting
untuk dihatur-kan kepada Ayahanda.."
Betapapun tidak senangnya Kaisar
Khong Hi kepada puteranya yang satu ini,
namun ia tidak dapat 104 menunjukkan ketidaksenangannya terangterangan dihadapan sidang. Terpaksa ia
membolehkan Pangeran In Ceng bicara.
"Ayahanda, hamba mendengar bahwa
Adinda In Te dengan gemilang telah
berhasiI menumpas perlawanan di Sinkiang dan Jing-hai..."
Semua yang mendengarnya tercengang
mendengar Pangeran itu malah memujimuji saingan besarnya, sedangkan yang
di sebut "laporan penting" itu tak
lain adalah berita yang sudah diketahui
semua orang. Namun sementara itu Pangeran In Ceng
telah melanjutkan kata-katanya, "Tetapi
kemudian ada tanda-tanda Adinda In Te
akan memaksakan mempercepat pewarisan
tahta kepada dirinya. la kini membawa
pasukan besarnya ke Pak-khia, dengan
maksud menguasai secara kekerasan.."
105 "Bohong! Fitnah!" dari luar aula
persidangan tiba-tiba terdengar teriakan
marah. Seseorang yang berpakaian seragam
prajurit Hui-Liong-kun, anak-anak buah Pak
Kiong Liong, menerjang masuk aula tanpa
peduli cegahan prajurit pengawal istana.
Dengan sigap, beberapa anggota Lwe
teng-wi-su (Pasukan Pengawal Istana)
menghunus pedang atau tombak mereka
untuk merintangi orang itu. Dua prajurit dijotosnya terpental, lalu orang
itu merenggut kumis dan jenggot palsunya,
mengusap wajahnya sehingga rontoklah lapisan lilin kuning yang tadinya
menyamarkan wajah aslinya. Bentaknya
kepada para prajurit perintangnya, "Kalian
berani merintangi aku?"
Prajurit-prajurit istana kaget ketika
mengenali wajah orang yang dihadangnya.
Serentak mereka berlutut sambil memberi
106 salam, "Hormat kepada Cap-si Pwe-lek
(Pangeran ke empatbelas)!"
Kemunculan Pangeran In Te secara
mendadak itu kontan mengagetkan seisi


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aula, kecuali Pak Kiong Liong yang memang menyelundupkan Pangeran In Te
ke istana sebagai salah seorang pengawalnya. Namun Pak Kiong Liong sendiri merasa kurang senang akan pemunculan Pangeran In Te yang agak gegabah itu. Mau
tidak mau dirinya akan terlibat juga.
Sesaat Kaisar Khong Hi tercengang,
namun kemudian menjadi amat gembira melihat putera tersayangnya itu
diluar dugaan muncul di hadapannya.
Gejolak perasaan seorang ayah tak dapat
disembunyikan lagi, ia sampai bangkit
dari singgasananya dan berkata terbatabata , "'Anakku..... anakku . . . ."
107 Pangeran In Te telah berlutut di bawah
tangga singgasana dengan air mata membasahi wajahnya, katanya dengan
suara parau, "Hamba sudah mendengar
tentang kesehatan Ayahanda yang memprihatinkan, itulah sebabnya hamba
mendahului pasukan untuk buru-buru
menengok Ayahanda. Namun dalam beberapa hari ini hamba tak berhasil
menembus penjagaan orang-orang Kakanda
In Ceng yang disebar di seluruh ibukota ini.
Ucapan Kakanda In Ceng tadi juga hanya
fitnah, hamba tidak berani memikirkan
tahta selama Ayahanda dikarunia umur
panjang oleh Langit!"
Demikianlah, hanya dengan beberapa
kalimat saja Pangeran In Te mencoba menumpahkan
semua pikiran dan perasaannya yang menumpuk selama ini,
sehinga suaranyapun tergagap-gagap tak
108 keruan Namun justru menimbulkan simpati
oran orang yang mendengarnya, karena
pangeran ini dikenal ketulusan hatinya
dibandingkan pangeran-pangeran lainnya.
Sementara itu, Pangeran In Ceng
mencium gelagat tidak menguntungkan, namun ia masih belum
tahu hendak mengambil tindakan yang
bagaimana" Detik itulah tiba-tiba Liong Ke
Toh yang ber diri di belakangnya telah
menggamit pinggangnya dan berbisik, ?"Pangeran, kalau sampai Hong Siang
mengumumkan pengangkatan Pangeran In
Te secara Iisan sekarang ini, biarpun kita
berhasil me ngubah Surat Wasiat pun
percuma saja. Hal itu mungkin saja dilakukan oleh
Hong Siang kalau beliau sudah jemu mennyaksikan pertikaian putera-puteranya
Karena itu, Pangeran, jangan ragu109
ragu bertindak sekarang, jangan sampai Pangeran
In Te berbicara langsung dengan Hong Siang. Pangeran In Te sedang
terpisah dengan pasukannya, itu berarti seperti ikan dalam jaring."
Pak Kiong Liong tak sempat melihat
bisik-bisik antara kedua orang itu, sebab
perhatiannya sedang tercurahke pembicaraan Kaisar dan Pangeran In
Te yang bakal berlangsung. Begitu pula
semua orang di aula persidangan itu.
Sedangkan Pangeran In Ceng menelan
bulat-bulat anjuran Pamannya itu. Apa-lagi
ketika dengan matanya sendiri ia melihat
Kaisar dengan sikap terharu tengah
melangkah menuruni tangga singgasana
untuk memeluk Pangeran In Te, maka
Pangeran In Ceng merasa saatnya harus
bert indak berani. 110 Karena itulah di tengah suasana
mengharukan itu, Pangeran ke empat
itu tiba-tiba melompat sambi membentak,
"Adinda In Te. setelah niatmu untuk
memberontak diketahui orang, sekarang kau masih berani kembali ke
istana dan bersandiwara di hadapan
Ayahanda dengan airmata buayamu" Mana
pengawal Tangkap pemberontak ini!"
Tindakan In Ceng itu menggemparkan
persidangan. Kaisar sampa menghentikan
langkahya di tangga singgasana karena
kagetnya. Suaranya gemetar "In Ceng, apaapaan ucapanmu ini" Adik mu bukan
pemberontak!" Sekali melangkah, In Ceng hanya punya
dua pilihan: menang atau hancur. Kali ini
pun dia tidak sudi mundur selangkahpun,
apalagi karena jagoan-jagoan pengikut
111 sudah siap di luar sejak tadi, meskipun
belum diperintahkannya menyerbu masuk.
Sahut In Ceng kepada Kaisar, "Harap
Ayahanda tidak tertipu oleh pemberontak
yang berpura-pura menjadi anak berbakti
ini. Hamba persilakan Ayahanda mundur
dulu untuk beristirahat di Yang-wan-kiong,
agar kesehatan Ayahanda cepat pulih!"
Dan tidak lagi menunggu persetujuan
Ayahandanya sendiri, In Ceng berkata
kepada Liong Ke Toh, "Paman, antarkanlah
Ayahanda masuk ke Yang-wan-kiong dan
perhatikan kesehatannya."
Liong Ke-Toh cepat naik ke tangga
singgasana, menyongsong Kaisar dan tanpa
tata-krama lagi langsung memegang lengan
Kaisar, sambil berkata, "Tuan-ku , mari
hamba antarkan ke Yang-wan-kiong untuk
menenangkan diri. Putera Tuanku Pangeran
112 Liong Ke Toh cepat naik ke tangga singgasana,
menyongsong kaisar dan tanpa tata karma lagi langsung
memegang lengan Kaisar 113 In Ceng akan dapat mengurus urusan di
sini dengan baik...."
Kaisar Khong Hi mengibaskan tangan
Liong Ke Toh sambil berkata gemetar , "Aku
tidak percaya In Te memberontak! Itu
hanyalah tuduhan palsu!"
Namun tangan Liong Ke Toh yang dikibaskan itu kemba1i memegang erat-erat
tangan Kaisar, sehingga Kaisar membentak
dengan marah, "Liong Ke Toh! Kau bosan
hidup sehingga berani berbuat seperti ini
kepadaku"!" Meskipun Kaisar sudah lanjut usia dan
tubuhnya semakin lemah, namun wibawanya sebagal Kaisar tetap berhasil
menguncupkan keberanian Liong Ke Toh
adik iparnya sendiri. Tetapi Liong Ke Toh
melihat dibawah tangga singgasana itu In
Ceng sudah bertarung dengan sengit
dengan In Te yang tak mau diringkus
114 mentah mentah Liong Ke Toh pun menjadi
nekad. Sudah terlanjur bertindak, melangkah mundurpun pasti takkan
diampuni, yang lebih baik maju terus
apapun resikonya. Pegangannya pada lengan Kaisar malah semakin kuat, untuk
ditarik ke ruangan dalam, sambil berkata, "Marilah, Tuanku, beristirahatilah saja di Yang-wan-kiong"."
"Kau... kau berani?" bentak Kaisar lagi.
Tiba-tiba ia menyeringai kesakit an sambil
menekan dadanya sendiri dengan telapak
tangannya. Rupanya karena terguncang
melihat apa yang berlangsung di aula yang
kacau itu, maka kesehatannya yang
memang rapuh itupun mengguncangnya
kembali. Setengah diseret oleh Liong Ke
Toh, dia dibawa ke dalam, sementara para
pelayan thai-kam kebingungan dan ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
115 Para hadirin dalam persidangan itu pun
tidak segera mengambil sikap, khawatlr
kalau mengambil sikap keliru akan
membahayakan diri mereka jika Kaisar
baru sudah bertahta kelak. Bebera gubernur
malah bersorak dalam hati , mengharap
pertikaian itu agar melumpuhkan pemerintah pusat, dan mereka akan mendapat peluang untuk melepaskan
propinsi masing-masing dari perintah
pusat. Eh, siapa tahu akan menjadi cikal
bakal sebuah dinasti baru"
Yang je|as tak bisa tinggal diam adalah
Pak Kiong Liong. Darahnya mendidih
melihat Kaisar diperlakukan kasar oleh
Liong Ke Toh . Kaisar secara pribadi adalah
saudara sepupunya, tetapi juga lambang
kewibawaan kekaisaran, dan lambang itu
sedang dicoba dihinakan oleh Liong Ke-Toh
demi menuruti ambisi In Ceng. Seperti
116 seekor burung rajawali yang terbang
mengembangkan sayapnya-sayapnya, PakKiong Liong melonpat tinggi melalui kepala
belasan menteri, panglima dan gubernur,
langsung ke a rah Liong Ke-Toh.
Cengkeramannya dari awang-awang
terjulur ke batok kepala Liong Ke
Toh sambil membentak, "Pengkhianat!
Inikah balas budimu kepada kebaikan
Hong-siang selama ini"i"
Melihat kegarangan Pak Kiong Liong
kuncuplah nyali Liong Ke Toh yang tak bisa
bermain silat itu. la mengerutkan kepalanya
sambil berseru, "Goan-swe! Jangan salah
paham...." Seruan itu tidak digubris oleh Pak Kiong
Liong yang sudah lama menahan rasa muak
melihat malang-melintangnya komplotan
kotor Liong Ke-Toh di istana. Pak Kiong
Liong tidak mau kehilang an detik berharga
117 dimama dia mempunyai alasan yang kuat
untuk memusnahkan biang keladi komplotan itu. Setelah itu, gampanglah
besok ia minta maaf secara terbuka kepada
Permaisuri Tek Huai, kakak perempuan
Liong Ke Toh. Namun saat tangan Pak Kiong Liong
nyaris meremuk kepala korbannya, seorang berseragam perwira menengah Lweteng Wi-su (Pasukan Pengawal Istana) telah
melompat melindungi Liong Ke Toh, dengan


Kemelut Tahta Naga Bagian 1 (tamat)karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beraninya menyongsong pukulan Pak Kiong
Liong dengan tangannya pula. Orang Itu
sebenarnya adalah seorang jagoan dari luar
istana yang diselundupkan oleh In Ceng ke
dalam pasukan pengawal istana untuk
memperkuat Jaring-jaring komplotannya .
Kini dia dengan berani menyongsong Pak
Kiong Li ong, biarpun sudah mendengar
kemasyhuran silat Panglima tua itu, namun
118 in berambisi untuk mengalahkannya agar mendirikan pahala besar bagi Pangeran In Ceng. Tapi malanglah nasib orang yang tak
tahu mengukur kekuatannya sendiri Dalam
kemarahannya, Pak Kiong Liong telah
memukul dengan llmu kebanggaanya yang
disebut Hwe-Liong Sln-kang (Keku atan
Sakti Naga Api). Begitu pukulan nya
berbenturan dengan jagoan gila pahala itu,
si Jagoan terpental tanpa sempat menjerit
lag! . Tubuhnya terhempas ke lantal dengan
tulang-tulang luluh lantak, separuh kulit
badannya yang baglan kanan hangus
menjadi arang, termasuk pakaiannya.
Nyawanya jelas melayang. Aula persidangan seketika menjadi
ka1ang-kabut. Menteri-menteri bidang sipil
seperti Huo-poSiang-si (Menterl Keuangan),
Kong-po Siang-si (Menterl Pekerjaan 119 Umum), Heng-po Siang-sl (Menteri Keadilan), Le-po Slang-si (Mente-ri Kebudayaan) yang umumnya sudah tua-tua
dan tak bisa bermain silat itu kebanyakan
hanya menggigil ketakutan sam bil berdiri
merapat ke tembok atau mengamankan diri
di belakang pilar-pilar besar penyangga
atap istana. Sedang para Panglima memang
mempunyai kemampuan silat yang cukup,
namun tidak berani sembarangan memihak
para pangeran yang berbaku hantam itu.
Keputusan untuk memihak berarti menyangkut masa depan kekaisaran,
karena itu mereka amat berhatl-bati
menentukan langkah. Pak Klong Liong kembali memburu Liong
Ke Toh, lagi seorang jagoan In Ceng yang
berambut putlh menghadangnya orang ini
bangsa Manchu yang bernama Kim Seng Pa
dari Jiat-ho. ibukota Kera jaan Manchu
120 Lama sebelum menguasal daratan tengah. la
seorang ahli main golok dan pukulan Liokhap Sin-ciang (Pu ku)an Sakti Enam
Lapisan). Tiba di hadapan Pak Kiong Liong, Kim
Seng- Pa langsung gerakkan goloknydengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang
Naik Turun). Kekuatan, kecepatan dan
kemahiran main goloknya sekaligus diperagakan olehnya. Bayangan
goloknya gemerlapan menebar ke seluruh
tubuh Pak Kiong Liong, selain membawa
getar tenaga yang agak mengejutkan Pak
Kiong Liong. Pak Kiong Liong tak menduga di pi-hak
Pangeran In Ceng ada yang setangguh itu.
Namun demi ingin segera menolong Kaisar
dari cengkerarnan Liong Ke Toh, Pak Kiong
Liong tidak tanggung tanggung mengerahkan Ilmu Hwe- liong; Sin-kang
121 yang menghanguskan kulit Itu. Sabetan
beruntun golok musuh berhasil dihindari
dengan langkah-langkah pendeknya, lalu
secepat kilat menyerobot maju dengan
gerak tipu In-Liong-sam-hian (Naga Muncul
Mega Tiga Kali). Seketika itu Kim Seng Pa
terlanda badai angin panas yang hebat
sekali. Tapi jagoan tua dari Jiat-ho ini memang
istimewa tangguh. Gempuran Pak-Kiong
Liong cuma mampu memaksanya mundur
dua iangkah, tak peduli Pak Kiong Liong
sudah sampai ke puncak ilmunya. Kemudian, begitu
gelombang kekuatan panas mengendor, dia kembali
menubruk maju dengan bersemangat.
Sementara itu, pertarungan antara
Pangeran In Ceng dan Pangeran In Te ju ga
berlangsung seru. In Ceng adalah mu rid
Siau-lim-pai yang mahir Lo-han-kun hoat.
122 Sepasang tangannya menghantam dan
menyabet dengan tangguh bagaikan potongan-potongan besi, sepasang
kaki-nya melangkah dan menendang
dengan lincah pula, semuanya adalah
pukulan-pukulan yang mampu meremukkan batu. Pangeran ini memang
seorang yang bertenaga raksasa. Di kota Seshia dalam pengembaraannya dulu, ia
pernah memindahkan letak sebuah singa
batu raksasa di depan gedung Hek-hou
Piau-tiam, dengan mengangkatnya seorang
diri. Dan dalam tahun-tahun terakhir itu ia
terus meningkatkan iImu silatnya dengan
tekun. Sedangkan Pangeran In Te adalah jagoan
mengatur siasat di medan perang, tetapi
kemampuan silatnya secara pribadi
tertinggal agak jauh dari Kakanda-nya,
sehingga diapun mulai terdesak hebat.
123 Tangannya serasa hampir patah setiap kali
berbenturan dengan tangan kakandanya
yang sekeras besi , sedang untuk
menghindari benturannya pun tidak gampang. Suatu ketika, tendangan
Pangeran In Ceng berhasil mengenai perutnya, sehingga isi perutnya serasa jung kir
balik. Tapi tubuhnyapun cukup tergembleng kuat, sehingga tidak roboh begitu
saja. Dicabutnya pedangnya untuk memperhebat perIawanannya.
Namun In Ceng dengan tangan kosong
nya tidak gentar sedikitpun. "Menyerah sajalah, Adinda, mengingat kau
masih termasuk keluarga istana, hukuman
pemberontakanmu itu bisa diringankan..."
"Pendusta!" sahut In Te marah. ?"Kakanda
sendirilah yang memberontak dengan
berkomplot dengan Paman Liong Ke Toh
124 untuk mengekang kegiatan Ayahanda dii
stana..." In Ceng sdah tak peduli tuduhan macam
apapun yang ditimpakan kepada dirinya.
Kata-kata adiknya itu tak digubrisnya,
malah tiba-tiba ia meneriakkan perintah
agar pengawaal -pengawaI pribadinya yang
berada di luar aula persidangan itu masuk
semuanya. Maka dari luar aula itu berlompatanlah
orang-orang berseragam jubah ungu kain
satin, pengawal-pengawal pribadi In Ceng
yang tangan masing-masing sudah bersenjata terhunus. Prajurit-prajurit Lweteng Wi-su tak kuasa menghalangi tandang
jagoan-jagoan kasar itu, malah beberapa
pengawal istana dirobohkan.
Di dalam aula, mereka sudah berusaha
ikut menangkap Pak Kiong Liong serta
Pangeran In Te. 125 Saat itu sebenarnya Pak Kiong Liong
sudah berhasil mendesak Kim Seng Pa,
keruntuhan jagoan she Kim itu tinggal
beberapa saat lagi, namun seorang bermuka
berewokan dan bersenjata seutas rantai
baja segera memasuki arena dan langsung
membantu Kim Seng Pa . Si berewokan ini bernama To Jiat Hong,
ayahnya orang Manchu dan ibunya; orang
Sian-bi, julukannya Hong-hek-sit (Malaikat
Hitam Gila), ketangguhannyo hanya selapis
di bawah Kim Seng Pa. Ketangguhannya terbukti ketika ia
sudah melompat masuk arena, la
tidak tersengat roboh oleh hawa panas
Hwe-liong Sin-kangnya Pak Kiong Liong
yang bukan main-main itu, melainkan
hanya nampak kaget dan melompat
mundur. Kemudian dengan senjata rantainya yang panjang itu, ia dapat
126 mengulur jarak anta ra dirinya dengan Pak
Kiong Liong agar tak terlalu terganggu oleh
hawa panas. Rantainya menderu hebat dan
berusaha melibat pinggang Pak Kionq Liong
untuk ditarik roboh. Di antara jagoan-jagoan Pangeran In
Ceng, tak ada satupun yang bisa
disejajarkan dengan Pak Kiong Liong. Kim
Seng Pa yang ilmunya paling tinggi itupun
masih bisa didesak oleh Pak-Kiong Liong.
Namun setelah Kim Seng Pa dan To Jiah
Hong bergabung, mau tak mau Pak Kiong
Liong merasakan tekanan berat juga.
Ketika Pak Kiong Liong melirik
Pangeran In Te, dilihatnya pewaris tahta
Playboy Dari Nanking 14 Pendekar Rajawali Sakti 28 Macan Gunung Sumbing Gambar Orang Menari 1

Cari Blog Ini