Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 12

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 12


mereka memegat atau merintangi. Biat Touw Sin-Koen menjaksikan segala kedjadian
itu, untuk sedjenak, dia bingung. Bukankah Pek Yoe mengadjaknja untuk menawan
Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian ". Tapi sekarang Kok Sin Ong mengamuk, dia
mendjadi berkuatir untuk keselamatannja Khan. Tak dapat dia bersangsi pula, maka
dia melompat, guna memegat. "Bagus !", seru Kok Sin Ong melihat datangnja
perintang itu. Ia lantas menendang satu pengawal, jang menghadang didepannja,
hingga pengawal itu terdjungkal, lalu meneruskan, ia menikam Biat Touw, jang ia
papaki dengan pedangnja. Ia mengarah djalan darah soan-kie di dada. Ia berbuat
begini karena ia ketahui baik, dengan djumlah jang sedikit, sulit untuk melajani
lama2 kepada musuh jang banjak, sedang gelanggang adalah istana Khan. "Orang tua
she Kok, sungguh hebat ilmu pedang Liap In Kiam-hoat kau ini!", Biat Touw SinKoen memudji sambil ia menangkis, dengan sendjatanja, patjul peranti menggali
pohon obat2-an, hingga kedua sendjata djadi beradu. Njatalah mereka sama
unggulnja. Kok Sin Ong tidak mengambil mumat pudjian lawan, ia terus menjerang,
beruntun hingga tiga kali tikam pulang-pergi, selama mana, dengan patjul
pengoretnja, Biat Touw dapat menghindarkan diri dari antjaman mara-bahaja. Ia
menangkis dengan dua djurusnja "Bunga saldju menutup kepala", dan "Pohon tua
melingkarkan akarnja", rapat sekali pendjagaan dirinja. Dengan begitu ia membuat
serangan Sin Ong tidak berhasil. Kok Sin Ong berpikir : "Biat Touw mendjadi satu
jang terlemah diantara Hek Gwa Sam Hiong, njatanja dia liehay sekali, djikalau
aku tidak mengadu djiwa, sukarlah untuk menoblos kurungan ini !". Maka ia
mendjadi seperti nekat. Sin Ong tjuma menang seurat terhadap Biat Touw, karena
itu, untuk mendjatuhkan lawan itu, ia mesti berkelahi tiga-sampai lima-ratus
djurus, sekarang ia menghendaki keputusan jang tjepat, itulah sulit, terutama
musuh berdjumlah besar sekali. Lantaran ini ia menukar siasat, tidak mau ia
melajani terus2-an. Ketika itu pun, dengan satu lirikan, ia melihat Lie It sudah
kabur hingga diluar pintu. Segera ia melompat untuk menjingkir, sambil melompat,
ia menjerang hebat kekiri dan kanan, kedepan untuk membuka djalan. Dengan
tjaranja itu, kembali ia merobohkan beberapa pengawal. Biat Touw terhalang oleh
banjaknja pengawal, kalau ia turut mengamuk, ia bisa melukai kawan sendiri.
Karena ini, ia tidak dapat menjusul. Tidak lama, Kok Sin Ong sudah sampai di
luar pendopo. Tapi ia tidak mau sudah, ia mengedjar. Tatkala itu, djuga Hoe Poet
Gie dan Heehouw Kian sudah diluar. Itulah taman keradjaan. Ditaman itu, kawanan
pengawal Khan sudah menutup pelbagai djalan keluar. Ditengah taman, jang
mendjadi seperti kosong, Pek Yoe Siangdjin bersama Thian Ok Toodjin madju untuk
menghadang. Sambil berseru, Pek Yoe menjerang Heehouw Kian. Ketika ia melompat,
djubahnja berkibar bagaikan mega merah, jang hendak menungkrap kepalanja si
tabib atau si Ahli Djarum Emas. Heehouw Kian tidak berani keras melawan keras.
Ia tahu, dengan serangannja itu, Pek Yoe memandang enteng kepada lawannja.
Memangnja pendeta itu lebih tangguh daripadanja. Maka dengan kelintjahannja, ia
berkelit kebelakang. Pek Yoe Siangdjin tidak mau mengerti jang musuh dapat
lolos, dia melompat pula, untuk menjusul terus, bagaikan gerakannja bajangan.
Kembali dia berseru, kembali dia mentjelat madju, untuk menghadjar dari atas.
Menjaksikan aksi musuh itu, Hoe Poet Gie lompat mentjelat djuga, tubuhnja
seperti terapung naik. Ia mengarah kepada telapakan tangan musuh, untuk ditotok. la merasa tjuma itulah bagian jang lemah daripada si pendeta. Dengan
serangannja ini, ia mau menolong kawannja jang terdesak itu, jang terantjam
bahaja. Tadi Pek Yoe telah beladjar kenal dengan totokan orang she Hoe itu,
meskipun ia bertubuh kedot, ia toh djeri, maka atas sambutan Poet Gie, ia batal
menjerang terus kepada Heehouw Kian, ia meneruskan melompat kesamping. Sebagai
orang liehay, ia dapat menguasai segala gerak-geriknja sendiri. Karena lawan
membatalkan serangannja, Hoe Poet Gie tidak dapat menotok. Dilain pihak, Heehouw
Kian djuga tidak berdiam sadja. Ia kembali tidak mau menjambut serangan dahsjat
dari Pek Yoe itu, ia melompat. Djusteru itu, ia tiba disisi Thian Ok Toodjin,
jang telah mengambil kedudukan untuk mengimbangi Pek Yoe. Keduanja musuh besar,
satu dengan jang lain. Thian Ok bentji sangat si tabib, maka itu, tidak menanti
Kim Tjiam Kok-Tjioe menaruh kakinja ditanah, ia membarengi menjerang. Ia madju
sambil mengebut ke muka orang. Kebutannja ini merupakan pukulan dari kematian.
Hoed-tim, atau kebutannja itu, lantas sadja terbuka mentjar mendjadi ribuan
batang. Diwaktu dikerahkan seperti itu, setiap benang kebutan itu merupakan
seperti djarum jang halus tetapi kaku dan tadjam. Heehouw Kian boleh liehay, dia
memang menang seurat, akan tetapi didalam keadaan seperti itu, dia kalah angin.
Tentu sekali, dia tidak suka memperbahajakan dirinja. Sebagai orang liehay, dia
pun telah dapat menduga. Demikianlah selagi tubuhnja turun, tengah Thian Ok
menjambut dia dengan kebutan, mendadak dia mementang mulut, untuk meniup dengan
keras. Hebat tiupannja itu, anginnja membuat kebutan bujar balik. Berbareng
dengan meniup, dia djuga mengajun sebelah tangannja kearah musuh. Thian Ok
terkedjut lantaran kebutannja dipunahkan. Saking terkedjut, dia kelihatan gugup
dan lambat gerakannja, maka serangan si tabib mengenai tubuhnja, hingga dia
terhujung dua kali, mukanja mendjadi sangat putjat. Tapi karena dia tidak roboh,
dia tidak mau menjingkir. Lantas dia mengasi dengar tertawanja jang seram.
"Orang tua she Heehouw, kau hebat !", katanja tadjam. "Marilah, mari aku
mentjoba pula kepandaianmu memunahkan ratjun !". Heehouw Kian terkedjut. Ia
memang heran kenapa Thian Ok kena terhadjar barusan. Mestinja imam itu dapat
berkelit, atau kalau dia mau, dia bisa menangkis. Kenapa si imam seperti
sengadja manda digebuk " Maka tertawa dan kata2 si imam membuatnja sadar. Dengan lantas ia
merasakan tangannja gatal dan baal, kontan tangannja itu bengkak hingga
dilengan. Ia tahu bagaimana harus berbuat. Dengan lantas ia mengeluarkan djarum
emasnja, untuk menusuk diri hingga tiga kali, dimuka telapakan tangannja, di
djalan darah kiok-tie ditekukan sikut, dan didjalan darah giok-hie diketiak.
"Apakah ilmumu Hoe Koet Sin-Kang dapat berbuat atas diriku ?", ia kata dengan
tertawa dingin selekasnja ia selesai menusuk dirinja. Perkataannja ini dibarengi
terajunnja tangannja, untuk menerbangkan djarum emasnja kearah si imam. Maka
belasan batang djarum menjambar dengan berkeredepan dengan sinar emas.
Thian Ok terkedjut djuga. Ia tidak menjangka, sesudah terkena ratjun, si tabib
masih dapat membalas menjerang. Untuk membela diri, ia lantas menimpuk dengan
djarumnja, djarum Touw Koet Sin-Tjiam. Maka itu, kedua matjam djarum lantas
saling bentrok dan runtuh ditengah djalan, ketjuali beberapa djarumnja Heehouw
Kian, jang dapat melintasi rintangan. Inilah disebabkan tenaganja Thian Ok telah
berkurang, bekas tadi ia mengurasnja terhadap Guru Budi. Pek Yoe Siangdjin lagi
melajani Hoe Poet Gie kapan ia melihat Thian Ok terantjam bahaja, terpaksa ia
meninggalkan lawan itu, untuk mentjelat kearah si imam, untuk menjerang djarum
tanpa menanti turunnja tubuhnja. la menjerang dengan Pek Khong Tjiang, membikin
beberapa batang djarumnja Heehouw Kian djatuh ke tanah, hingga si imam djadi
ketolongan. Pertempuran diantara kedua rombongan ini djadi berimbang. Hoe Poet
Gie kalah tenaga-dalam dipadu dengan Pek Yoe Siangdjin, sebaliknja Thian Ok
keteter oleh Heehouw Kian. Hebat mereka bertarung. Karena itu, banjak pengawal
tidak berani madju menjelak, untuk membantu pihaknja. Lie It dilain pihak sudah
sampai djuga di taman, lantaran ia terus dikepung kawanan pengawal, tidak bisa
ia menghubungi diri dengan Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian. Sjukur untuknja, ia
menggenggam pedang mustika jang tadjam luar biasa, maka siapa terkena pedangnja,
sendjata atau pengawal, mereka tentu terluka. Ia sendiri sudah memperoleh
beberapa luka djuga, bagusnja semua luka bukan jang membahajakan djiwa. Lantaran
ia gagah dan pedangnja istimewa, kawanan pengawal tidak berani mengepung terlalu
rapat. Belasan pengawal sudah rebah ditanah sebagai kurban pedang mustika. Yang
Thay Hoa dapat menjandak selagi pertempuran berlangsung. Kok Sin Ong heran. "Dia
terhadjar tanganku, dia tidak terluka, dia tangguh ", pikir Sin Ong. "Kalau
begini, Lie it terantjam bahaja ...". Kok Sin Ong mendjadi saudara-angkat dari
Oet-tie Tjiong, gurunja Lie It. Datangnja ini djuga sengadja, untuk menolong si
pangeran, jang mendjadi keponakan-muridnja. Tapi ia dirintangi Biat Touw SinKoen. Meski dalam hal tenaga-dalam ia menang seurat, ia toh repot djuga. Dalam
saat2 itu, tidak bisa ia melepaskan diri dari libatannja Biat Touw. Setibanja
Yang Thay Hoa, rombongan pengawal jang mengepung Lie It lantas membuka djalan,
mereka mundur ke kedua samping. Segera muridnja Pek Yoe sampai didepan si
pangeran, lantas dia menjerang, tangan kirinja dipakai mengantjam, tindju
kanannja diadjukan tjepat, untuk menangkap tangan lawan. Dia telah menggunai
ilmu silat 'Tay Kim-na Tjioe' atau 'Tangan Menangkap', untuk merampas pedang
orang. Maka itu, sangat berani pertjobaannja itu. Lie It mendongkol, ia
menjambut dengan satu tabasan. Yang Thay Hoa menjampok, djari tangannja
menjentil. "Trang !", terdengar suara njaring, dan udjung pedang mental.
Djusteru itu, tangan kirinja Thay Hoa menggantikan madju, guna mendjambak dada !
Lie It terkedjut, tetapi ia melawan. Ia menarik pulang pedangnja, untuk dipakai
menikam. Dengan tangan kirinja, ia pun menjerang, guna merintangi djambakan
orang itu. Udjung pedangnja mendjurus kedengkul lawan. Kedua tangan mereka
bentrok satu dengan lain, hebat sekali. Lie It mendjerit keras, karena telapakan
tangannja petjah dan mengeluarkan darah, rasanja sangat sakit. la kaget dan
berkuatir. Akan tetapi didepannja itu, Yang Thay Hoa roboh terguling !. Yang
Thay Hoa menang unggul daripada Lie It, seharusnja ia menang dalam bentrokan
itu, akan tetapi baru sadja ia terhadjar Kok Sin Ong, benar ia tidak terluka
diluar, didalam ia mendapat gempuran hebat, maka itu, mengadu kekuatan dengan si
pangeran, ia mendjadi kalah tangguh. Benar Lie It sudah terluka tetapi dia
terluka diluar, tenaga-dalamnja tidak terganggu. Demikian dia rohoh dengan terus
memuntahkan darah, sedang dengkulnja djuga dimampirkan udjung pedang lawannja.
Lie It djuga terluka bukannja enteng, sebab luka ini mendjadi tambahan bagi
beberapa lukanja jang terdahulu. Dengan terlukanja telapakan tangan kirinja itu,
ia sekarang tjuma dapat menggunai tangannja jang kanan. Didalam keadaannja jang
sulit itu, kawanan boesoe Turki lantas meluruk. kepadanja. Mau atau tidak,
terpaksa ia berkelahi mati2-an, untuk membela dirinja. Ia mengandalkan betul
pedangnja jang tadjam luar biasa itu. Lagi beberapa pengawal terluka karenanja.
Karena kenekatannja ini, kawanan pengawal tidak dapat merangsak terus, bahkan
sebaliknja, mereka merenggangkan kurungan. Biar bagaimana, mereka djeri djuga.
Lie It bingung bukan main. Ini toh saatnja jang terachir. Maka dapat ia
mendobrak kurungan jang rapat itu " Ia merasa bahwa tenaganja sudah habis. Tepat
di detik bagaikan "lampu hendak padam" itu, tiba2 terdengar satu seruan
njaring : "Tian-hee, djangan bingung ! Lamkiong Siang disini !". Dan seruan itu
disusul muntjulnja orangnja, jang dengan bengis menerobos kurungan, goloknja
diputar hebat !. Lie It mendjadi girang, dengan sendirinja semangatnja berkobar
pula. "Mari kita keluar!", ia berseru. "Mari kita mempersatukan diri dengan Hoe
Lootjianpwee !". Belum berhenti suaranja pangeran ini, Lamkiong Siang telah
sampai dihadapannja. Mendadak orang she Lamkiong ini tertawa dingin dan berkata
dengan njaring : "Ja ...! Aku undang kau bertemu dengan Khan jang agung!".
Berbareng dengan itu, sebelah tangannja diajun, hingga terlihatlah berkelebat
menjambarnja sebatang hoei-too, atau golok terbang, jang putih mengkilap !.
Bukan main kagetnja Lie It untuk ini matjam bokongan, apa pula djarak diantara
mereka dekat sekali. Sama sekali ia tidak sempat menggeraki pedangnja, untuk
menangkis. Dalam keponggok itu, ia mengegos tubuhnja, untuk berkelit. Masih ia
tidak keburu, tanpa dapat ditjegah, golok-terbang nantjap di punggungnja.
"Lamkiong Siang, bagus ja !", ia berseru, menahan sakit, lantas tubuhnja roboh
bagaikan sepotong balok. Lamkiong Siang tertawa. "Tian-hee, maafkan aku!", ia
berkata seraja membungkuk, untuk memegang tubuh orang, untuk diangkat bangun.
Tapi selagi ia mau mengangkat itu, sekonjong-konjong Lie It berteriak bagaikan
guntur: "Djahanam, se-rahkanlah djiwamu!". Lalu bagaikan ikan gabus meletik,
tubuhnja si pangeran melompat bangun, sedang pedangnja meluntjur kearah dada,
nantjap dan nembus kepunggung!. Dengan tidak kurang tjepatnja, Lie It mentjabut
pedangnja, terus ia tertawa ber-gelak2. Semua pengawal kaget sekali menjaksikan
musuh jang sudah roboh itu masih dapat membinasakan Lamkiong Siang, sampai
mereka tidak berani madju menjerang. Yang Thay Hoa, jang tadi roboh, mendapat
dengar tertawanja Lie It itu. Sebagai ahli, ia mengerti tertawa itu kurang
dorongan tenaga-dalamnja, suatu tanda keadaannja si pangeran pun sudah letih
sekali. "Segala kantung nasi!", ia mendamprat kawanan pengawal itu. Ia terluka
dengkul kirinja, karenanja, ia roboh, tetapi kaki kanannja tidak kurang suatu
apa, maka ia lantas merajap bangun, lalu dengan sebelah kaki itu, ia melompat
menghampiri Lie It. Sebelum sampai, ia berdjumpalitan dulu, untuk membikin ia
bisa lompat lebih djauh. Sembari melompat itu, ia menjerang Lie It dengan
pukulan Tjit Kim Tjiang-hoat, mengarah ke punggung. Lie It dapat mendengar
dampratan orang dan dapat melihat djuga orang melompat kepadanja, ia memutar
tubuhnja. Ia tidak lari atau berkelit, ia djusteru memapaki, untuk menjerang.
Thay Hoa kaget. Ia tidak sangka orang masih demikian tangguh. Ia lantas menarik
pulang serangannja itu, tubuhnja djuga ditarik mundur selekasnja kakinja
mengindjak tanah. Tapi ia kalah sebat, maka djuga udjung pedang Lie It menantjap
ditelapakan tangannja jang kiri, tangan jang dipakai menjerang itu. "Ha
...ha ... ha ... ha ...!". Lie It tertawa pula. Sekarang tertawanja itu makin
lemah. Begitulah, selagi tubuh Thay Hoa roboh, tubuhnja sendiri, mengikuti
berhentinja tertawa itu, turut roboh djuga. Kawanan pengawal kaget dan heran,
akan tetapi mereka tidak berani madju, untuk menubruk atau menangkap. Mereka
takut pangeran itu menggunai akal seperti tadi, hingga Lamkiong Siang menerima
bagiannja. Mereka mengawasi, sampai mereka melihat tubuh orang tidak bergerak
lagi dan pedangnja pun terlepas dari tjekalan, baru mereka madju, untuk
menghampirkan. Lie It benar2 habis tenaganja. Kok Sin Ong kaget melihat pangeran
itu ditangkap, ia pun gusar, sambil berteriak njaring, ia menjerang Biat Touw
Sin-Koen. Ia menggunai dua2 pedangnja kiri dan kanan. Biat Touw terkedjut
diserang setjara demikian, dengan ter-gesa2 dia menangkis, hingga sendjata
mereka beradu dengan bersuara njaring, sampai lelatu apinja berpeletikan. Dia
mendjadi lebih terkedjut lagi sebab patjulnja hampir lepas dari tjekalannja.
"Kau membuka djalan atau tidak?", membentak Kok Sin Ong, jang mengulangi
penjerangannja jang dahsjat itu, dengan salah satu djurus ter-liehay dari Liap
In Kiam-hoat. Biat Touw kaget dan bingung, dengan lekas ia mundur. Latjur
untuknja, ia masih kurang sebat, udjung pedang mampir djuga dilengannja, hingga
lengan itu tergores merupakan sebuah luka pandjang. Karena dia terhalang Biat
Touw Sin-Koen, Kok Sin Ong terlambat, Lie It sudah keburu digotong pergi oleh
sedjumlah pengawal. Ia penasaran, ia hendak mengedjar, tetapi sekarang Pek Yoe
Siangdjin sudah datang kesitu, bahkan pendeta itu lantas menjerang dengan djubah
merahnja, jang menungkrap kepala. Dengan mengangkat tinggi pedangnja, Kok Sin
Ong membuat perlawanan. Ia menggunai djurus 'Kie hoh liauw thian' atau
'Mengangkat obor membakar langit'. Kedua pedangnja menusuk dengan berbareng.
Tiba2 ia mendjadi kaget. Pedangnja itu mengenai sasarannja, hanja bukan benda
jang keras tetapi jang lunak sekali, dan bukannja pedang menembusi sasaran,
sebaliknja kena tertekan keras, tertindih. Sia2 belaka ia mentjoba
mempertahankan diri, pedangnja itu tidak dapat dibikin bergerak. Hatinja Biat
Touw Sin-Koen mendjadi besar pula melihat datangnja bala bantuan. Ia madju untuk
menghadjar punggung musuh. Tepat di itu waktu, Hoe Poet Gie tiba disitu. Dengan
se-konjong2 Biat Touw merasai sambaran angin. Ia tahu apa
artinja itu, ia lantas bergerak untuk menolong diri, tetapi ia terlambat, tahu2
lengannja telah kena tertotok kipas, lantas patjulnja djatuh terlepas. Hoe Poet
Gie tertawa geli, katanja: "Kau djuga menjerahkan djiwamu!". Dan kipasnja, jang
dirangkap, udjungnja meluntjur ke djalan darah kie-hiat didada, suatu djalan
darah jang dapat meminta djiwa apabila terserang djitu. Pek Yoe Siangdjin sudah
menguasai Kok Sin Ong, hanja satu kali sadja ia mengerahkan tenaganja, untuk
mengulangi desakannja, tjelakalah orang she Kok itu. Djusteru itu, ia melihat
Biat Touw Sin-Koen djuga terantjam bahaja maut. Mana dapat ia tidak menolongi"
Terpaksa ia mesti melepaskan lawannja, untuk melajani jang lain. Dengan
menerbitkan suara angin, Pek Yoe menjambar dangan djubahnja, jang ia tarik
pulang dari atasan kepalanja Kok Sin Ong. Ia dapat bergerak sangat sebat dan
berbahaja. Sekarang djubahnja itu mengantjam Hoe Poet Gie. Hoe Poet Gie
meninggalkan Biat Touw, ia berkelit, sesudah itu, dengan ketjepatan jang luar
biasa, ia melakukan penjerangan membalas. Pek Yoe memasang kuda2 berat seribu
kati, ia menangkis, untuk menahan ladjunja kipas jang liehay dari si orang she
Hoe. Ia berhasil dengan tjegahannja itu, dan karena ia mengerahkan tenaga
setjara mendadak sekali, Poet Gie terhujung dua kali. Kok Sin Ong mendjadi bebas
dari tindihan, dengan lantas ia menjerang pula pada Biat Touw Sin-Koen. Dia ini
berlaku sebat, dia sudah mendjumput pula sendjatanja, maka itu, atas datangnja
serangan, dia bisa menangkis, hingga kembali mereka mendjadi berkutat.
Pertarungan terdjadi dalam tiga rombongan. Rombongan jang ketiga jalah diantara
Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian. Mereka semua bertempur setjara hebat sekali,
hingga umpama kata, 'matahari tidak bersinar, rembulan tidak bertjahaja'. Dua
diantara Hek Gwa Sam Hiong, tiga djago dari Hek Gwa, wilajah perbatasan, jalah
Biat Touw Sin-Koen dan Thian Ok Toodjin, telah terluka, meski benar luka mereka
tidak parah, toh tenaga-dalam mereka sudah mendapat gangguan. Dilain pihak,
lawan mereka djuga telah tidak waras lagi. Heehouw Kian terkena pukulan Hoe Koet
Sin-kang dari Thian Ok, betul ia bisa lantas menusuk diri dengan djarum emasnja,
akan tetapi disaat pertempuran itu, ia tidak mempunjai kesempatan untuk
beristirahat, bahkan sebaliknja ia mesti menguras terus tenaganja, dengan
berlarutnja sang waktu, ia mendjadi menghadapi bahaja. Segera ia merasakan
kepalanja pusing dan matanja mulai kabur. "Tjelaka!", serunja didalam hati. Kok
Sin Ong djuga merasa bahwa ia bakal tidak sanggup bertahan lagi. Ia mengadu
tenaga dengan Pek Yoe Siangdjin, kesudahannja itu hebat untuknja. Ia telah
menggunai tenaga berlebihan. Sjukur untuknja, seperti Heehouw Kian, ia djuga
menghadapi lawan jang sudah terluka itu, setjara demikian, ia masih sanggup
memaksakan diri bertarung terus. Tengah melajani Pek Yoe Siangdjin, Hoe Poet Gie
berlaku tjerdik, ia sudah menggunai ketikanja. Dengan mendadak ia mentjelat,
akan menjerang Biat Touw Sin-Koen, hingga djago perbatasan ini mesti melompat


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundur. "Kita telah makan dan minum tjukup, tjukup djuga kita berkelahi ", kata
Hoe Poet Gie sambil tertawa djenaka, "kita harus menghaturkan terima kasih
kepada tuan rumah kita untuk pelajanannja jang manis. Nah, marilah kita
pamitan!". Heehouw Kian dan Kok Sin Ong mendengar suaranja kawan itu, mereka
mengerti. Mereka insjaf, tidak dapat berdaja terus untuk menolongi Lie It, mesti
mereka menolong diri terlebih dulu. Maka mereka menjambut adjakan itu. Heehouw
Kian mendadak merabu dengan djarum emasnja, selagi lawan repot, dengan tjepat ia
melompat mundur, berlari pergi. Demikian djuga Kok Sin Ong selekasnja dia
merangsak musuhnja. Dibelakang mereka, Hoe Poet Gie mengiring, untuk mentjegah
Pek Yoe Siangdjin merintangi kaburnja mereka.
---oo0oo--DI dalam istana, hati Boe Hian Song sangat tidak tenteram. Ia mesti terus
mendampingi Khan Turki, tidak dapat ia pergi keluar untuk melihat Lie It.
Melainkan telinganja mendengar suara riuh dan berisik. Sjukur untuknja, Khan
tidak mendapat lihat air mukanja, sebab radja itu tengah mengawasi keluar,
hatinja pun berdebaran. Tidak berselang lama datanglah seorang pengawal dengan
laporannja bahwa Lie It telah terluka dan tertangkap. Djikalau si nona kaget
tidak terkira, Khan sebaliknja sangat girang. "Djangan bunuh dia!", segera ia
memberi pesan. "Aku perlu dengan dia. Lekas bawa dia kedalam istana dan panggil
tabib untuk mengobatinja!". Habis memberikan perintahnja, Khan mengisikan sebuah
tjawan, ia angkat itu kehadapan selirnja jang baru. "Minumlah, untuk melenjapkan
kagetmu!", ia berkata. Tapi segera ia mendjadi kaget. Baru sekarang ia menampak
muka sang selir putjat-pasi. Lekas ia berkata pula: "Djangan takut, djangan
takut, bahaja sudah lewat!". "Sungguh menakuti pertempuran itu ", berkata Hian
Song, bersandiwara, "Oleh karena jang satu sudah kena ditawan, biarlah jang
lainnja dilepaskan sadja ...". "Kau benar, mereka djangan dibikin mendjadi mogok
dan mengamuk ", kata Khan, jang lantas menitahkan agar Pek Yoe Siangdjin djangan
mengedjar musuh. Diantara tiga, Pek Yoe jang belum terluka, walaupun demikian,
seperti Biat Touw Sin-Koen dan Thian Ok Toodjin, hatinja sudah tidak tenang
lagi. Ia telah membuktikan liehaynja musuh. Melulu karena harus memegang
deradjat, ia terus mengubar musuh2-nja. Sekarang datang titah Khan, hati mereka
mendjadi lega. Dengan lekas mereka kembali ke istana. Semua pengawal djuga sudah
lantas menghentikan aksi mereka. Hoe Poet Gie bertiga memang sudah lolos dari
kepungan, dengan tidak dikedjar terus, mereka bebas dari antjaman bahaja.
Sekembalinja Pek Yoe semua, Khan memerintahkan pesta ditutup, sebelum kembali ke
keraton, ia memberitahukan, pertemuan akan dilandjuti besok.
---oo0oo--DI dalam keraton, Khan kata pada selirnja jang baru: "Hari ini hari baik kita
berdua, sajang ada gangguan. Sekarang kami hendak memeriksa Lie It, tidak dapat
kami menemani kau lebih lama, mungkin kau tidak menjesalkan kami tetapi kami
sendiri sangat menjesal !". "Sri Baginda baik sekali, aku berterima kasih ",
kata Hian Song. "Djikalau Sri Baginda tidak membuat halangan, aku suka sekali
turut menghadiri pemeriksaan itu ". Khan tertawa. "Kami tjuma kuatir kau nanti
kehilangan kegembiraanmu ", katanja, "Kau suka turut memeriksa, baiklah.
Sebenarnja kami pun tidak ingin berpisah dari kau ...". Habis berkata, Khan
mentjekal tangan Hian Song per-lahan2. Karena dia datang lebih dekat kepadanja,
Hian Song dapat mentjium bau engas, hingga ia mengerutkan alis. "Sekarang
biarlah ", kata si nona didalam hatinja, "Sebentar kau rasai!". Khan lantas
memberikan perintahnja agar Lie It dibawa menghadap. Seorang pengawal berkata
kepada djundjungannja: "Lukanja Lie It itu sudah berhenti mengeluarkan darah,
sekarang dia lagi dibalut, sebentar dia akan dibawa kemari. Inilah pedangnja,
jang dapat dirampas ". Hamba itu menjerahkan pedangnja Lie It dan Khan
menjambuti itu, untuk segera dihunus, ketika dia menjabet kesampingnja, maka
perapian kaki tiga jang berada disitu kena terbabat kutung dan ambruk karenanja.
"Sungguh pedang mustika!", pudjinja, kagum. Boe Hian Song sebaliknja berkata
didalam hatinja: "Pedangnja Lie It tidak dapat terdjatuh dalam tangan dia ini ".
Lantas ia tertawa, dan berkata: "Sri Baginda gagah, dengan mempunjai pedang ini
tambahlah kegagahannja! Aku tidak kenal pedang akan tetapi dengan melihat
sarungnja sadja, aku merasa pasti inilah pedang jang berharga sangat mahal ...".
Sarung pedang itu berlapiskan emas dan ditabur mutiara jang bersorot berkilau.
Hian Song memegang itu, untuk dilihat dan dilihat pula, agaknja tak ingin ia
melepaskannja pula. Khan tertawa melihat kelakuan selirnja itu. "Djikalau kau
menjukainja, ambillah ini untukmu!", ia berkata. "Ah, mana bisa?", kata si nona,
beraksi. "Dengan kau jang memakainja sama dengan kami jang memakai itu ", kata
Khan. "Bangsa Tionghoa mengatakan, pedang dihaturkan kepada orang gagah, kami
djusteru menghadiahkannja kepada si tjantik! Ha ... ha ..., tidakkah ini
bagus?". Hian Song tersenjum, ia terima pedang itu. "Terima kasih!", ia
mengutjap. Khan pun girang sekali, sembari tertawa, ia berkata: "Bangsa Tionghoa
bilang, satu kali si tjantik tertawa, dapat itu meruntuhkan negara dan kota,
sekarang dengan sebuah pedang kami dapat merebut hatimu, hadiahku ini sungguh
berharga!". Hian Song tertawa. Tapi sekarang ia terus menanja: "Lie It itu sudah
mengatjau, apakah Sri Baginda hendak menghukum mati padanja?". "Tidak," Khan
mendjawab. "Aku hendak menahannja, ia ada harganja untuk kita. Ialah turunan
kaisar Tong, djikalau dia suka menghamba padaku, kalau nanti kami menjerbu
Tiongkok, menteri2 keradjaan Tong pastilah akan menjambut kita, tentu mereka
akan membantu merobohkan si kaisar wanita. Kau tentunja pernah mendengar bahwa
kaisar wanita dari Tiongkok jalah Boe Tjek Thian dan mahkota keradjaan Tong
dialah jang merampasnja ". "Ja ..., pernah ku mendengarnja. Sebagai wanita Boe
Tjek Thian dapat mendiadi kaisar, boleh dikatakan dialah wanita gagah ".
"Memang! Maka itu kami hendak menggunai Lie It untuk melawan dia!". "Entah
bagaimana dengan Lie It itu. Maukah dia menjerah?". "Inilah jang kami pikirkan.
Lie It berkepala besar, pernah aku mengirim orang mengundangnja, dia menampik,
sebaliknja hari ini dia datang mengatjau ...". "Dia berani mengatjau dalam
pertemuan persilatan besar, dia benar tidak takut mati. Karena dia berani mati
itu, habis ada daja apa untuk membuatnja menjerah?". "Biar dia tidak takut mati,
masih ada dajaku ". "Apakah itu ?". "Dia mempunjai anak dan anaknja itu berada
dalam genggamanku ", Khan menuturkan bagaimana dia mentjulik anaknja Lie It.
Hian Song berdiam, ia beraksi seperti lagi memikir untuk membantu radja itu.
"Daja itu bagus ", katanja kemudian. "Kalau sebentar dia diperiksa, baiklah
anaknja dibawa kemari, supaja dia melihatnja. Orang tahu halnja tjinta ajah-ibu
terhadap anaknja, kalau dia melihat anaknja itu, masa dia tidak mendjadi lemah
hatinja?". Khan setudju, ia lantas menitahkan mengambil anaknja Lie It itu.
Tidak lama seorang dajang muntjul bersama anak Lie It. Hian Song mendapatkan
anak kurus tetapi matanja tjeli. la merasa berkasihan. "Ah ..., anak ini manis
", katanja. Ia mengulur tangannja, niatnja menarik. Tiba2 anak itu menghampirkan
sendiri, matanja menatap tadjam. "Lihat, anak ini pun dibikin tersengsem
ketjantikanmu ...!", kata Khan tertawa lebar. Anak itu tetap mengawasi. Bibi,
aku mengenali kau !", katanja tiba2. Di dalam hatinja, Hian Song terperandjat.
"Ah, kuat sekali ingatannja anak ini ", pikirnja. "Tjuma satu kali aku melihat
ia dikaki gunung Thian-san, sang waktu sudah berselang sebulan lebih dan warna
kulitku pun sudah berubah tetapi ia masih mengingatnja ...". Khan tertawa.
"Dasar botjah", katanja, "Kapannja kau pernah melihat selirku ?". Khan merasa
aneh berbareng lutju tetapi ia tidak bertjuriga. Anak itu menatap. Ia melihat
orang berdandan sebagai permaisuri dan bitjaranja pun dalam bahasa Uighur. Hian
Song tertawa, ia lantas merangkul, untuk mentjium pipinja, tetapi berbareng
dengan itu, ia berbisik dengan bahasa Tionghoa : "Djangan bilang kau mengenali
aku. Kalau sebentar ajahmu datang, aku akan menolongi kamu. Mengerti ?". Anak
itu mengangguk. Kepada Khan, ia kata: "Dia tjantik seperti ibuku. Ah, aku suka
padanja!". "Begitu ?", kata Khan tertawa. "Kau anggaplah dia sebagai ibumu itu
". Hian Song pudji ketjerdikan anak itu, ia pegangi tangan orang. "Aku djuga
suka padamu ", ia bilang. "Kamu berdua berdjodoh sekali!", kata Khan, kembali
tertawa. "Kalau Lie It suka menakluk padaku, nanti aku membiarkan kau ambil anak
ini sebagai anak-pungutmu ". Bitjara sampai disitu, dari luar terdengar suara
rantai borgolan beradu, maka hati Hian Song bertjekat. Lantas terlihat seorang
pengawal dengan tubuh tinggi besar menggiring Lie It masuk. Delapan tahun mereka
telah berpisah, sekarang mereka bertemu didalam istana keradjaan Turki, itulah
luar biasa. Itulah mereka berdua mengimpikan pun tidak. Lie It melihat Hian
Song. Terpisahnja mereka tjuma tiga tombak. Ia bisa melihat tegas. Maka katanja
dalam hatinja : "Ah, tidak salah, dia memang Hian Song!". Tentu sekali ia heran,
lebih lagi akan melihat anaknja menjender pada nona itu, seperti anak menjender
pada ibunja sendiri. "Ajah !", anak itu mendjerit seraja terus lari untuk
menubruk ajahnja. Pedih hati Lie It melihat anaknja kurus. "Anak Bin, ajahmu
terlambat ", katanja, "Kau tersiksa ...?". Diam2 Hian Song memperhatikan
pangeran itu. Dia putjat mukanja tetapi tidak ada tanda2-nja bahwa dia terluka
didalam badan. Dia mendapat beberapa luka dan luka dipunggungnja, meski telah
dibalut, darahnja menembus keluar. Ia berkasihan, ia sakit hatinja. Ia pikir :
"Kedjam kawanan budak ini ! Dia telah terluka, dia masih dipakaikan borgolan
berat!". Pengawal jang mengiring Lie It jalah Maitjan, ketika ia melihat anak
Lie It mau menubruk ajahnja, ia hendak mentjegah. "Biarkan ajah dan anak itu
bertemu !", Khan kata. Maitjan membatalkan niatnja, tetapi ia berkata : "Guru
Budi kuatir terdjadi sesuatu, ia turut datang, apakah perlu ia dititahkan
masuk ?". "Mintalah ia menanti sebentar diluar, untuk mendjaga kalau2 ada
pendjahat lainnja datang kemari ", mendjawab sang radja. Ia menghargai orang
jang hendak diangkat mendjadi Guru Negara itu, jang di negaranja itu mendjadi
orang kosen nomor satu. Sementara itu Hian Song berpikir keras, hatinja gelisah.
Ia tahu Maitjan gagah sedang diluar ada Guru Budi. "Bagaimana sekarang?",
pikirnja. "Ajah, mengapa mereka mengikat ajah?", si anak tanja. "Aku ingin ajah
mengempo aku !". Khan tertawa mendengar kata2 botjah itu. "Anak jang baik ",
katanja, "kau budjuki ajahmu supaja dia mendengar kata2-ku, segera aku nanti
melepaskan ikatan kepada ajahmu itu ". "Anak Bin, djangan dengar perkataannja
orang busuk!", Lie It kata kepada anaknja. "Pasti aku tidak akan mendengar
perkataannja!", sahut sang anak. Dan ia mengangkat dadanja, lantas ia teruskan
berkata kepada Khan: "Ajah telah mengadjari aku supaja aku djangan tunduk
terhadap manusia djahat! Kau berlaku begini rupa terhadap ajahku, kau manusia
busuk!". Wadjahnja Khan mendjadi guram, hanja sedjenak, ia tertawa, "anak jang
tjerdas!", katanja. "Sajang kau masih terlalu muda, kau belum mengerti apa2.
Terhadap ajahmu, aku bermaksud baik. Baiklah! Maitjan, kau singkirkan anak ini,
hendak aku bitjara sama ajahnja !". Anak itu tidak suka berpisah dari ajahnja
akan tetapi ia tidak dapat melawan pengawal itu. "Djangan ganggu dia!", Hian
Song berkata, lantas ia menarik anak itu, untuk berkata dengan perlahan: "Anak
jang baik, djangan bikin banjak berisik ". Anak itu mendengar kata, ia berdiri
diam disamping si nona. Lie It heran hingga ia merasa ia seperti tengah
bermimpi. "Kenapakah Hian Song mendjadi selir Khan ?", pikirnja berulang kali.
"Kenapa si Bin dengar kata terhadapnja?". Ia menggigit lidahnja, tetapi ia
merasakan sakit. Djadi ia bukan lagi mimpi. Karenanja, tidak dapat ia
memetjahkan keanehan itu. Walaupun demikian, ia mempunjai kepertjajaan tetap
tidak nanti Hian Song menghamba kepada Turki, dan terhadapnja, tidak nanti dia
bermaksud djahat. Khan menuang arak dalam sebuah tjawan, ia kata pada seorang
dajang di sisinja: "Kau bersihkan darah dimukanja orang itu, lantas kau suguhkan
ia arak ini". Perintah itu didjalankan, Lie It terbelenggu, ia membiarkan
mukanja disusuti sabuk basah, disusuti dengan per-lahan2, maka dilain saat,
bersihlah mukanja jang putih, hingga ia nampak tampan dan agung, sampai si
dajang sendiri tertjengang. "Kau tjukur kumisnja!", Khan memerintah pula. Dengan
memberanikan diri, dajang itu melakukan pula perintah itu. Setelah kumis
palsunja si pangeran disingkirkan, Khan tertawa lebar.
"Tidak salah, benarlah, Lie Tian-hee dari Keradjaan Tong! ", katanja. "Surup
sekali penjamaranmu, Tian-hee!". Khan ini mempunjai gambarnja Lie It, jang ia
terima dari Boe Sin Soe, gambar mana dibawa oleh Hong Bok Ya. Dengan begitu,
setelah penjamarannja disingkirkan, Lie It kelihatan mirip dengan gambarnja itu.
"Seorang laki2, djalan dia tidak merubah namanja, duduk dia tidak menukar shenja ", kata Lie It, gagah, "Aku memang Lie It, maka itu apakah halangannja untuk
aku menghadapi kau dengan romanku jang asli ?". "Aku kagum untuk njalimu jang
besar ", kata Khan, "Silahkan kau keringi tjawan itu, untuk menambah
semangatmu!". Lie It berkata didalam hatinja: "Dia hendak menggunai tenagaku,
tidak nanti dia menaruh ratjun dalam araknja ini ". Ia menjambuti tjawan arak
itu dari tangannja si dajang, ia bawa arak itu ke mulutnja, untuk lantas
ditjegluk isinja. Kemudian ia berkata njaring : "Satu laki2 tidak takuti gunung
golok dan rimba pedang, dia tidak takut djuga terhadap arak jang wangi dan
omongan jang manis! Nah, kau masih ada punja lain tjara, apa lagi ...?". Khan
mengeluarkan djempolnja. "Bagus, sungguh benar seorang laki2 !", katanja. "Aku
djusteru membutuhkan orang sematjam kau!". "Hmmm ...!", Lie It mengedjek. "Orang
sematjam Boe Sin Soe dapat kau gunakan, tetapi aku bukannja orang sebangsa
dia !". "Nantilah kita omong dengan per-lahan2 ", kata radja Turki itu. "Kau
telah bilang, terhadap manusia djahat kau tidak sudi tunduk, kata2-mu ini bagus
sekali. Sekarang aku hendak tanja kau, Boe Tjek Thian itu manusia baik2 atau
manusia busuk ?". Lie It melirik Hian Song, otaknja bekerdja. "Dia manusia busuk
atau tidak, belum dapat aku menetapkannja ", sahut Lie It. "Sedikitnja dialah
musuhmu, bukan ?", kata Khan. "Tidak salah! Dia telah merampas mahkota
keradjaan-ku, pasti dia musuhku ...!". Khan tertawa bergelak. "Kau tertawakan
apa?", Lie It tanja. "Aku mentertawakan kau, jang telah tidak dapat membedakan
apa jang baik, apa jang busuk!". Mata Lie It mentjilak. "Tutup mulutl", Lie It
bentak. "Apa?", Khan tertawa, "Apakah aku salah omong ?". "Pasti kau salah!",
kata Lie It, sungguh2. "Meski benar kami pihak she Lie bentrok memperebuti
negara dengan pihak she Boe, itu berarti kami Bangsa Tionghoa memperebuti
Tiongkok! Dengan begitu apakah sangkut pautnja kita dengan kau " Kau tjuma
memakai alasan menghukum Boe Tjek Thian, jang benarnja ialah kau hendak merampas
negaraku jang indah-permai dan kaja-raja. Maka itu siapa jang mengaku dirinja
putera Keradjaan Tong, dia mesti bangkit mengangkat sendjata untuk membela
negaranja, apa-lagi aku jang mendjadi turunan sah dari Keradjaan itu ?". Lega
hati Hian Song mendengar kata2 gagah dari Lie It itu. Pikirnja, "Meski benar dia
masih memberati kepentingan pribadinja, dia insaf akan peri-kebenaran, dia
sadar, pantas Bibi memikir untuk mengundang dia ...". Khan sebaliknja
tertjengang, hingga ia terdiam. Beginilah pendirian kau memusuhi aku. Khan
berkata. "Kalau begitu, kau masih keliru!", katanja. "Kau djangan lupa Boe Tjek
Thian telah mengganti nama keradjaanmu dari Tong mendjadi Tjioe! Tahukah kau
kenapa aku mengundang padamu?". Lie It tertawa dingin. "Biar bagaimana, itu toh
bukannja maksud baik, bukan?", sahutnja. "Maka itu aku bilang kau salah!". Khan
djuga tertawa. "Kau selalu mentjurigai aku! Tahukah kau bahwa aku hendak
menjerahkan tachta-keradjaan kepadamu" Apa jang aku hendak geraki adalah jang
disebut angkatan perang maha adil. Buat kebaikkan Tiongkok kamu, aku hendak
menjingkirkan wanita siluman jang mendjadi kaisar itu! Setelah nanti aku dapat
merobohkan Boe Tjek Thian, aku akan bantu kau mengangkat diri mendjadi kaisar,
untuk mempersatukan negara, untuk seluruhnja diserahkan kepada kau! Apa lagi
jang kau kehendaki" Bukankah ini suatu kebaikan untukmu?". Lie it tertawa
mengedjek. "Kata2 ini tjuma dapat di pakai mengabui botjah umur tiga tahun ...
Hmmm ...! Botjah umur tiga tahun djuga masih tidak dapat diperdajakan! Kau
mengangkat sendjata untukku, untuk meminta aku mendjadi kaisar ?". "Bagus,
pertanjaan kau ini bagus!" katanja. Djikalau aku bilang aku tidak memikir suatu
kebaikan, kau tentunja tidak mau pertjaja. Baiklah, mari aku omong terus-terang!
Keinginanku jalah agar Tiongkok mendjadi djadjahanku, negara dan rakjat
Tiongkok, tetap akan berada dibawah perintahmu, kaulah jang mengurusnja.
Bukankah dengan begitu, kebaikan jang kau peroleh mendjadi lebih besar daripada
jang diperolehku ?". Lie It tertawa sambil melenggak. "Khan jang Agung, kau
salah melihat orang!", bilangnja. Aku Lie It, aku bukannja orang jang suka
mendjadi kaisar boneka!". "Ah ..., kau tidak menghendaki kedudukan sebagai
kaisar?", Khan bertanja. "Habis, kau menghendaki apakah?". "Aku orang bangsa
Tionghoa, aku berdiam, di negaramu ini", ia menjahut. "Apa jang aku kehendaki
jalah agar kedua negara hidup rukun sebagai sahabat! Apa jang aku kehendaki
jalah meminta kau menghentikan peperangan!". "Hmmh ..., kau benar tidak tahu
diri! Kau pikirlah baik2 sebelum nanti kau menjesal!".
---oo0oo---- halaman sobek/hilang ----oo0oo--LIE It girang berbareng kaget. Hian Song sudah lantas bekerdja terlebih djauh.
Dengan hanja satu tabasan, belengguan putus, hingga ia mendjadi merdeka. "Lekas,
ambil pakaiannja Maitjan dan pakai itu!", kata Hian Song. Pangeran itu menurut,
ia bekerdja tjepat sekali. Ia pun menutupi tubuhnja dengan mantelnja pengawal
itu. Karena tubuh Maitjan terlebih besar, ia mendjadi berdandan tidak keruan.
Tapi karena mantel itu besar, didalam situ Lie It dapat menjembunjikan anaknja.
Boe Hian Song mengeluarkan obat peranti mengubah paras muka, ia serahkan itu
pada Lie It. Pangeran itu dapat membade maksud orang, ia menjambuti obat itu,
terus ia pakai, maka dilain saat, ia beroman mirip dengan pengawalnja Khan.
Dimana didalam istana itu ada banjak pengawal lainnja, tidak gampang untuk
mengenalinja. Boe Hian Song djuga meloloskan periasan rambutnja sebagai selir
Khan, ia masuk kebelakang sekosol, maka ketika ia keluar pula, ia sudah dandan
sebagai dajang. "Mari kita pergi!", katanja perlahan pada si pangeran. Lie It
heran. Ia telah berpikir: "Diluar ada Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin,
tjara bagaimana mereka dapat dilewatkan ?". Tengah ia berpikir itu, Hian Song
sudah bertindak ke samping pembaringan, disana dia merabah ke tembok dan
menekan, maka ditembok itu segera terpentang sendirinja sebuah pintu rahasia.
Itulah pintu kemana Hian Song diadjak masuk oleh Khan. Didalam situ ada kamar
berias jang indah. Khan sengadja memperabotinja lengkap, untuk mengambil hatinja
si nona bangsawan, jang ia sangka wanita biasa sadja. Padanja telah
diberitahukan, djendela kamar itu menghadapi taman bunga, tempat untuk pesiar.
Demikian Hian Song memasuki kamar rias itu, terus dia menolak daun djendela,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melongok keluar. Maka itu mereka mendjadi mendapat tahu, waktu itu waktu
maghrib. Hanja ketika mereka melongok kesekitarnja, di situ tak dapat orang
lain. Dengan mentjekal tangan orang, si nona mengadjak Lie It melompati djendela
itu, untuk berlalu dari kamar rias. Mereka bertindak dengan tjepat. "Siapa?",
mendadak terdengar teguran. Baru sadja mereka itu bertindak beberapa langkah.
Pula segera ternjata, penegur itu jalah Kakdu, pemimpin dari pasukan pengiring
radja. Lie It mengulapkan kimpay kemuka pemimpin barisan itu sembari ia kata
dengan perlahan: "Aku tengah melakukan titahnja Sri Baginda untuk mengantarkan
pelajannja selir jang baru keluar dari istana ". Kakdu kenal kimpay itu dan ia
ketahui baik selir jang baru, Karosi, jalah puterinja radja dari sebuah negara
ketjil, sedang menurut adat-istiadat Turki, kalau seorang puteri menikah,
setibanja si puteri ditempat suaminja pelajannja harus diperintah pulang untuk
membawa kembali pakaian pengantinnja, untuk ditundjuki kepada ibunja. Itulah
tanda bahwa si puteri, dirumah ia mengandal pada orang-tuanja, setelah menikah
ia mesti mengandal pada suaminja. Melihat demikian, tanpa sangsi lagi, Kakdu
mengidjinkan orang berlalu. Tentu sekali ia tidak mendapat tahu jang Karosi, si
selir baru, telah semendjak satu djam dimuka dengan menjamar djadi dajang, sudah
membolos pulang dengan menaiki kereta asalnja. Hian Song dan Lie It bertindak
setjepat bisa. Beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal2 pendjaga tetapi
dengan Lie It selalu memperlihatkan kimpay mereka dapat lewat tanpa rintangan.
Maka sebentar kemudian sampailah mereka dipintu belakang dari taman dimana ada
istal kuda serta pendjaganja. Lie It menundjuki kimpay, ia minta dua ekor kuda.
Permintaan itu diluluskan, setelah mana, ia perintah pendjaga istal itu untuk
membukai mereka pintu. "Berhenti!", tiba2 terdengar perintah. Si pendjaga istal
terkedjut. Ia mengenali Kakdu, jang lari mendatangi. Tentu sekali ia tidak
berani membukai pintu. "Kau berani menghalangi aku?", membentak Lie It. "Lekas
buka!". "Djangan keluar dulu!", Kakdu berteriak. "Tunggu!", Lie It tidak mau
bersabar, mendadak ia menotok pendjaga istal itu, sesudah mana, ia merampas anak
kuntji. Tapi sekarang Kakdu telah keburu sampai, bahkan ini pemimpin pengawal
sudah lantas melompat menerdjang si pangeran sambil dia berseru keras. Kakdu
kembali karena ia bertjuriga begitu lekas Hian Song dan Lie It diidjinkan lewat.
Ia telah menanja dirinja sendiri: "Siapakah pengawal itu " Kenapa aku tidak
kenal dia ?". Kakdu jalah kepala pengawal, dari beberapa puluh pengawal, ia
kenal semua, terutama sebab banjak pengawal diterima bekerdja menurut
pudjiannja. Tadi tjuatja guram dan Lie It pun mengalingi mukanja dengan mantel,
maka ia tidak dapat melihat tegas. Ia tjuma pertjaja sebab adanja kimpay. Baru
lewat sesaat, ketjurigaannja timbul pula, ia pun lantas ingat, mantel itu milik
Maitjan. Meski begitu, ia tetap bersangsi, maka itu, ia lari mengedjar untuk
memperoleh kepastian. Ia terkedjut mendapatkan Lie It menotok orang,
ketjurigaannja djadi keras, maka itu, ia lantas menjerang. Untuk negara Turki,
Kakdu jalah orang gagah jang tersohor, serangannja itu hebat luar biasa, umpamakata, batu dapat dihadjar petjah. Lie It tahu ia habis terluka, tidak berani ia
menjambuti serangan itu, sebaliknja ia mengandalkan keringanan tubuhnja, untuk
berkelit melompatan. Kakdu menjerang terus2-an, ia mendesak. Rangsakan ini
membuatnja Lie It tak sempat menghunus pedangnja. "Mana orang" Mana orang?",
Kakdu berteriak ber-ulang2. "Lekas ...! Lekas ...!". Melihat bahajanja sikap
Kakdu ini, Hian Song berlaku tjerdik. Ia kata dengan dingin pada pemimpin
pengawal itu: "Kau mau bikin apa berdiam lama2 disini" Telah ada orang djahat
lainnja jang sudah memasuki kamarnja Khan untuk membunuhnja! Kenapa kau tidak
mau lekas menolongi radjamu?". Kakdu kaget. "Apa kau bilang?", dia tanja. Tepat
selagi orang menanja itu, tjepat luar biasa, Hian Song menjerang dadanja,
mengenai djalan darah soan-kie. Tidak ampun lagi, robohlah pemimpin pengawal
itu. Inilah Kakdu tidak sangka. Meski ia tidak dapat menandingi si nona,
sedikitnja ia dapat bertahan sekian lama. Ia tidak menduga si "dajang" demikian
liehay. Lie It lompat kepintu, untuk membuka, setelah mana berbareng bersama
Hian Song ia lompat naik atas kuda masing2, untuk dikaburkan keluar dari taman.
Dibelakang mereka datang rombongan pengawal, jang mengikuti Kakdu tadi, mereka
itu menghudjani anak panah. Dengan memutar pedangnja, Lie It meruntuhkan setiap
anak panah, terus sadja ia lari, maka dilain saat, bersama Hian Song ia sudah
bebas dari antjaman panah. Tidak ada seorang pengawal djuga jang dapat menjandak
mereka. Kakdu telah dapat bangun pula, ia mentjegah barisannja mengedjar
terlebih djauh. Ia terpengaruh kata2 Hian Song bahwa radja terantjam pembunuh
gelap. Ia pikir, meski belum pasti baiklah ia pertjaja keterangan itu. Djiwa
radja tidak dapat dibuat permainan. Bukankah dua orang itu keluar dari dalam
istana dan si "pengawal" memakai mantelnja Maitjan ". Maka sambil balik, ia
mengasi perintah untuk mentjari orang atau orang2 djahat didalam istana. Lie It
dan Hian Song kabur terus. Mereka bisa menghela napas lega setelah mendapat
kenjataan mereka tidak dikedjar terlebih djauh. Tapi masih mereka melarikan kuda
mereka, jang dikasi berlari berendeng. Satu kali Lie it menoleh kepada Hian
Song, djusteru si nona pun menoleh kearahnja. Dengan sendirinja sinar keempat
mata bentrok satu pada lain. Lekas2 mereka melengos, hati mereka bekerdja
sendiri2. Mereka sama2 merasa hati mereka kosong. Segera didalam hati si
pangeran berpeta pelbagai peristiwa jang telah lewat, umpama hal adu pedang
dipuntjak Kim-teng dari gunung Ngo-bie-san dan pertemuan mereka didjalan
pengunungan Kiong-lay-san. Ia ingat bagaimana si nona, untuk minta obat dari
Heehouw Kian, telah melakukan perdjalanan belasan hari. Paling achir jalah
perpisahan berat dipuntjak gunung Lie San. Siapa sangka sekarang, disaat begini,
mereka bertemu pula satu pada lain. Bahkan sekali lagi si nona bangsawan sudah
menolongi padanja!. Saking gontjangnja hatinja, lagi sekali si pangeran
berpaling kepada si pemudi, hingga sinar mata mereka bentrok pula. "Terima
kasih!", ia berkata perlahan. Hati Hian Song pun gontjang tak kalah kerasnja. Ia
tidak dapat menjingkir djusteru dari orang siapa ia hendak mendjauhkan diri,
bahkan sekarang ia berada berendeng dengannja. Tjuma keadaan sekarang beda
dengan keadaan delapan tahun jang lalu. Orang itu sekarang lagi mengempo
putera!. "Buat apa mengutjap terima kasih?", sahutnja perlahan dan tunduk. "Kau
lolos dari bahaja, ini pun telah membikin hatiku lega". Suara itu tawar
terdengarnja. Untuk Lie It, hebat suara itu, tubuhnja menggetar, diatas kudanja,
ia terhujung dua kali, hampir ia jatuh. Hian Song melihat itu, ia tertedjut.
"Kau kenapa?", ia tanja. "Apakah lukamu kambuh?". "Tidak ", menjahut Lie It.
"Lukaku luka diluar, tidak berarti apa2. Mungkin aku letih sekali, hingga aku
perlu beristirahat sebentar ". Hian Song menduga mereka sudah kabur belasan lie
djauhnja. "Baik, mari kita singgah diatas bukit didepan itu ", sahutnja,
tangannja menundjuk. Lie It mengangguk. Sambil memondong anaknja, ia lompat
turun dari kudanja. Hian Song djuga lompat turun, lalu tanpa bersuara, ia
mengikuti mendaki bukit. Sampai diatas, belum lagi si nona berduduk, Hie Bin
sudah lari menubruk memeluk padanja. "Bibiku, kau benar pandai!", anak itu kata.
"Kau bilang kau hendak menolongi kami, benar2 kau telah menolong ...!". "Apa
jang aku bilang mesti terdjadi!", kata Hian Song tertawa. "Ajah, bibi ini sangat
baik!", kata anak itu kepada ajahnja. "Tjuma ibu agaknja kurang menjukainja.
Ketika itu hari bibi membagi makanan padaku, ibu melarang aku menerimanja. Ah,
ibu mana ketahui bibi begini baik " Aku sangat menjukainja !". Lie It
tertjengang. "Kau telah bertemu dengan Tiangsoen Pek?", ia tanja si nona, jang
ia awasi. "Ja ..., aku belum memberi selamat padamu!", kata Hian Song sambil
tersenjum. Dimuka nona ini tertawa, didalam hati, ia merasa sangat sedih. Segera ia
membajangi pula sinar mata djelus dari Tiangsoen Pek. Ia mentjoba menguasai
dirinja. Katanja didalam hatinja: "Aku mesti mendjaga supaja aku tidak mentjari
keruwetan sendiri!". "Dimana kau bertemu dengan Tiangsoen Pek?", Lie It tanja
pula. "Dikaki gunung Thian-san kita ", Hie Bin mendahului menjahut, "didalam
kemahnja orang Uighur. Ketika itu bibi tidak seperti sekarang ini. Ajah, kau
tidak tahu, djusteru itu malam aku ditangkap kedua pengawal Khan ". "Aku telah
mendengar hal itu dari ibumu ", kata Lie It. "Sekarang kita mengandal
pertolongan bibimu maka kita bebas dari malapetaka. Kau masih belum menghaturkan
terima kasih ". Anak itu mengerti, dia berlutut dan meng-angguk2 kepada Nona
Boe. "Bibi, terima kasih !", katanja. "Sampai aku besar tidak nanti aku melupai
kau! Sebenarnja paling baik djikalau kau dapat tinggal ber-sama2 kami! Djikalau
ibuku mendapat tahu kau jang telah menolongi aku, pasti ia bakal djadi girang
dan menjukai kau !". Hian Song tarik anak itu. "Sungguh satu anak jang
tjerdik!", katanja tertawa, "siapakah namanja?". "Hie Bin ", Lie It memberi
tahu. "Anak, aku djuga suka padamu!", si nona kata. "Nanti setelah kau besar
baru aku menemui pula padamu ". Anak itu nampak berduka. "Bibi, adakah kau
hendak pergi?", tanjanja. Hian Song mengangguk. "Benar. Aku mau pergi
sekarang!". "Apakah bibi tidak mau menunggu sampai kau bertemu dengan ibu ?".
"Anak jang baik, aku minta kau sadja jang menjampaikan hormatku kepada ibumu
itu! Dapatkah kau mengingatnja ?". "Habis, apa aku mesti bilang pada ibu"
Djikalau ibu ketahui kaulah jang telah menolongi aku, nanti ibu menjesalkan aku
sudah tidak minta kau menanti. Djangan kau anggap ibu galak, sebenarnja dia
sangat menjintai aku. Kau begitu baik terhadap aku, maka ibu tentunja akan
bersjukur ". "Aku tahu ", kata Hian Song bersenjum. "Kau bilangi ibumu bahwa
bibimu mengharap dia hidup berbahagia, agar segala keinginannja dapat
terwudjudkan!". Anak itu mengangguk. "Ja ..., aku nanti ingat ", sahutnja. "Eh,
ja, bibi, aku lihat kau tertawa tidak wadjar, apakah kau bukannja merasa kurang
senang ?". "Kau menerka keliru!", Hian Song tertawa, "Aku senang sekali ".
Tetapi botjah itu tidak menduga keliru. Lie It telah berdiam sekian lama,
hatinja mendjadi sedikit tenang. "Kalau orang tua lagi berbitjara, anak ketjil
tidak boleh tjampur2," katanja. Terus ia tanja si nona: "Kau djadinja pernah
pergi ke Thian-san?". "Benar", Hian Song membilangi terus-terang. "Disana aku
bertemu adik Pek. Ketika itu si Bin sudah ditjulik. Malam itu adik Pek memakai
obat untuk menukar warna kulitnja, baru di pertemuan jang kedua kali aku
mengenali dia ". "Oh ...!", kata Lie It seorang diri. Sekarang baru ia mengerti
kenapa waktu ia mengambil keputusan pergi sendiri menolongi anaknja, Tiangsoen
Pek nampak berkuatir, rupanja itu disebabkan dia kuatir ia nanti bertemu dengan
Hian Song. "Kalau begitu, untuk menolong si Bin, kau telah menjamar djadi selir
Khan?", kata Lie It pula. "Bagaimana duduknja itu?". Hian Song tuturkan apa jang
ia atur dan kerdjakan. Lie It kagum mendengar tjeritera si nona. Girang Hie Bin
mendengar sang bibi mempermainkan Khan Turki, dia saban2 tertawa. "Meski begitu
", kata Hian Song kemudian, "datangku ke negara Turki ini untuk mendjalankan
titahnja bibiku buat mentjari kau, untuk mengadjak kau pulang ". "Aku tahu itu.
Aku tidak mau pulang!". "Tetapi, kali ini keadaan lain ", Hian Song bilang.
"Bibiku itu telah mengambil keputusan untuk menjerahkan tachta-keradjaan kepada
Louw Leng Ong dan kau diminta pulang untuk membantu pangeran itu. Bukankah kau
ber-tjita2 supaja turunan sah dari Keradjaan Tong jang tetap memegang tampuk
pemerintahan" Sekarang ini negara tetap milik Keluarga Lie, kenapa kau ingin
berdiam dinegara asing sampai harimu jang terachir?". "Selama beberapa tahun ini
ludas sudah semangatku ", sahut Lie It menghela napas. "Sekarang aku tidak
perdulikan kaisar she Boe atau she Lie, dua2-nja djuga baik. Tak mau aku
terlibat lagi urusan itu. Ah, kau tidak ketahui hatiku. Aku ingin dapat
melupakan segala peristiwa dulu itu, dan djuga aku ingin orang tidak tahu akan
diriku. Aku tidak mau pulang lagi!". Hian Song berdiam. Ia dapat mengerti hati
pangeran ini. Lie It tidak mau pulang bukan sebab urusan siapa mendjadi kaisar,
dia hanja ingin menjingkir darinja, menjingkir djuga dari Siangkoan Wan Djie,
supaja dia tak terluka pula hatinja. "Sebenarnja dua hari jang lalu, aku pernah
memikir untuk pulang ", Lie It berkata pula. "Sekarang aku bertemu sama kau dan
kau mau pulang, tak usahlah aku turut. Djadi tak usah aku pulang sendiri!".
"Kenapa begitu?", si nona tanja. "Kau telah ketahui sekongkolnja Boe Sin Soe,
kakak sepupumu itu dengan Khan Turki, maka kau sadja jang pulang dan
menjampaikannja kepada bibimu itu. Dia pasti bakal mempertjajaimu ". Hian Song
berdiam. "Berpisah tjara begini pun baik ", katanja kemudian. "Achir2-nja kita
bertemu djuga. Melainkan sajang Wan Djie, dia sangat ingin bertemu dengan kau
tetapi tidak dapat ...". Mendengar disebutnja Wan Djie, hati Lie It berdebaran.
"Bagaimana Wan Djie sekarang?", ia tanja. "Katanja dia terang bintangnja dan
bakal lekas menikah. Benarkah itu?". "Siapakah jang membilangi kau hal dia
itu?". "Tiangsoen Tay ". "Oh, kiranja dia pun datang kemari! Apa jang dia bilang
bukannja tidak beralasan sama sekali. Hanja Wan Djie dia djusteru pusing karena
urusannja itu. Sebenarnja Wan Djie telah memesan kata2 padaku untuk disampaikan
kepada kau. Tapi sekarang ini baiklah aku tidak usah menjebutkannja ...", Lie It
berduka. "Tiangsoen Tay tidak dapat ditjela ", ia kata, "Pada delapan tahun dulu
aku telah mendo'akan agar Thian melindungi Wan Djie supaja dia mendapatkan
pasangan jang tjotjok dengan hatinja. Tentang aku sendiri, biar bagaimana, aku
memandang dia seperti adikku sendiri, semoga dia hidup berbahagia!". Hian Song
menghela napas. "Kau menduga keliru ", katanja. "Orang dengan siapa Wan Djie
dapat menikah bukannja Tiangsoen Tay. Maka itu dia ingin sekali dapat berbitjara
dengan kau, agar dapat dia mengambil keputusannja. Tapi urusan ini baiklah kita
djangan bitjarakan pula ". Lie It heran. "Kalau dia bukannja Tiangsoen Tay,
habis siapakah ?", ia tanja dalam hatinja. "Kalau ia tidak menjintai orang itu,
kenapa ia berduka sekarang" Ia berhati keras, ia pun pintar dan tjerdas,
djikalau ia tidak mau menikah, siapa dapat memaksanja?". Heran Lie It.
Sebenarnja ingin ia menanja Hian Song. Tapi ia ingat jang ia telah beristeri dan
mempunjai anak, dan Hian Song pula tak sudi me-njebut2-nja pula, terpaksa ia
berdiam sadja. "Baiklah ", kata Hian Song. Sekarang pergi kau tjari adik Pek,
aku pun mau pulang ke Tiang-an ". Meski ia berkata begitu, Hian Song pikir mau
djuga memberitahukan si pangeran bahwa Tiangsoen Pek telah meninggalkan gunung
Thian-san, atau ia mendjadi batal karena tiba2 ia melihat dua orang ber-lari2
keras bagaikan bergeraknja bajangan. Mulanja mereka itu nampak ketjil sekali,
hitam belaka, atau dilain saat ia mendjadi terperandjat. "Pek Yoe Siangdjin dan
Thian Ok Toodjin!", serunja terkedjut. Baru kata2 itu habis diutjapkan atau
kedua orang itu sudah sampai. Segera terdengar tertawanja Pek Yoe jang berkata:
"Aku mau lihat apakah kamu dapat kabur kelangit!". Mereka itu tertahan dimuka
pintu, sia2 mereka menanti, panggilan Khan tetap tidak kundjung tiba. Mereka
mengulangi minta bertemu, tetap mereka tidak memperoleh djawaban. Karena itu,
mereka djadi heran. Pek Yoe habis sabar, dengan mengandal kepada kedudukannja
sebagai Guru Negara, dia paksa membuka pintu, akan bersama Thian Ok nerobos
masuk. Achirnja mereka mendjadi heran. Khan dan Maitjan kedapatan sebagai
kurban2 totokan dan Lie It bersama selir jang baru tak nampak mata-hidungnja.
Dalam kagetnja, mereka lantas menolongi dua orang kurban totokan itu. Baru Khan
dapat ditolong, Kakdu muntjul bersama sedjumlah pengawal, maksudnja untuk
melindungi djundjungan mereka, maka sekalian sadja mereka menuturkan bagaimana
Lie It serta Hian Song dapat lolos dari istana. Khan kaget dan gusar, lantas dia
menugaskan Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjjn menjusul kedua orang buronan
itu. Mereka ini tjerdik, mereka menjusul dengan memperhatikan mengikuti tapak
kaki kuda, sampai dikaki bukit, Thian Ok lantas mendapat lihat dan mengenali
Hian Song sebagai si selir baru, dari itu, mereka mendaki gunung, untuk menjusul
terus, hingga achirnja, mereka lantas mengambil sikap mengurung dua orang
pelarian itu. Belum berhenti edjekannja Pek Yoe itu, mendadak terdengar suara
menggelegar. Tahu2 ada batu besar seperti batu penggilingan menggelinding djatuh
dari atas gunung. Sjukur ada suara berisik itu, Thian Ok mendjadi dapat lompat
menjingkir. Dia baru bebas, atau turun pula batu jang kedua, disusul dengan jang
ketiga, hingga dia mendjadi repot. Tentu sekali, biarnja gagah, imam ini tidak
berani melawan batu itu. Itulah Lie It dan Hian Song jang meng-guling2-kan batu,
untuk mentjegah Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin datang dekat pada mereka.
Berisik suara djatuhnja semua batu itu, jang menggelindingnja pun menggempur
hantjur pada es, jang petjah dan muntjrat. Karena ini, Thian Ok lantas berkaok2. Dia tidak ketimpa batu tetapi terkena peletikan potongan es itu, jang
mendatangkan rasa sakit, hingga dia kewalahan terkena belasan kali. Pek Yoe
dapat membebaskan diri, dia bukan mendamprat, dia djusteru tertawa besar dan
berkata njaring: "Kamu menggunai batu! Dapatkah kamu mentjegah aku!". Lantas
pendeta ini men-ngibas2 dengan djubahnja jang gerombongan. Hebat djubahnja itu,
potongan es bisa disampok mental, sedang setiap batu jang menimpa kearahnja,
sambil berkelit, ia tolak dengan tangannja, membikin batu menggelinding
disampingnja. Sembari berbuat begitu, ia mendaki terus, ilmu ringan tubuhnja
mahir sekali. Lie It dan Hian Song terkedjut menjaksikan liehaynja musuh itu,
apa pula setelah tiba diatas, Pek Yoe lantas
menjerang mereka dengan dia melompat sambil mementang kedua tangannja, untuk
menungkrap dengan kedua djubahnja jang lebar itu. Sembari melompat itu, Pek Yoe
Siangdjin tertawa berkakak. Dia rupanja pertjaja betul jang dia bakal berhasil
dengan serangan jang dahsjat ini. Tepat dengan serangannja itu, disana tertampak
berkelebatnja sinar pedang jang berwarna hidjau, disusul dengan seruannja Nona
Boe. Hian Song tidak mau mengasikan dirinja ditungkrap lawan, dia melompat,
kakinja mendjedjak udjung djubah pendeta itu, pedangnja sekalian menjambar
kekepala gundul. Itulah tipu pedang "Ajam emas berebut gaba". Dalam
penjerangannja ini, Pek Yoe Siangdjin menggunai tenaganja lima bagian. Ia mau
mentaati titah Khan, untuk kedua orang itu ditangkap hidup. Tapi ini djusteru
jang membuatnja gagal. Ia telah tidak perhitungkan pedangnja Lie It pedang
mustika dari kaisar. Pedang itu dapat menembuskan djubahnja. Sedang Nona Boe
mahir sekali ilmu enteng tubuhnja, hingga dia dapat bergerak sangat gesit dan
lintjah. Sambil menolong diri, si nona membalas menjerang. Kaget djuga Pek Yoe
melihat pedang si nona menjambar ke kepalanja, dengan sebat ia mengangkat
sebelah tangannja, untuk menjentil pedang itu, maka disitu terdengarlah satu
suara njaring, dan pedang kena dibikin mental. Hian Song terkedjut. Hampir
pedang itu terlepas dari tjekalannja. Untuk menjelamatkan diri, ia lompat
berdjumpalitan dengan tipu silatnja "Terbalik didalam mega", hingga ia dapat


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendjauhkan diri dua tombak. Untuk menjentil itu, Pek Yoe menggunai tudjuh
bagian tenaganja. Kesudahannja ia mendjadi heran. Pedang si nona tidak terlepas,
si nona sendiri lolos dari bahaja. Ia djadi berkata didalam hatinja: "Menurut
katanja Thian Ok, botjah wanita ini muridnja Yoe Tan Sin-nie, agaknja dia
terlebih liehay daripada Yang Thay Hoa ". Terus dia kata pada nona itu :
"Botjah, ilmu pedangmu tak ada ketjelaannja. Sajang gurumu sudah menutup mata,
djikalau tidak tentulah aku bakal tjari padanja untuk men-tjoba2 kepandaiannja
itu !". Hian Song tertawa dingin, dia berkata: "Itu tandanja untungmu bagus !
Djikalau guruku masih ada, mana dapat dia membiarkan kau melakukan kedjahatanmu
ini!". "Anak muda, kau kurang adjar!", bentak Pek Yoe gusar, "Sekarang kau
keluarkan kepandaian gurumu, mari menjambut lagi dua djurusku!". Kembali si
pendeta menggeraki djubahnja, hingga djubah itu mengasi dengar suara anginnja.
Gerakan djubah pun hendak menutup djalan kabur si nona. Lie It dan Hian Song
bekerdja sama menentang pendeta itu tapi segera mereka merasa bahwa lawan mereka
berat sekali. Saking bekerdja keras, napas mereka rasanja sesak. Si nona masih
mending, tidak demikian dengan Lie It, jang baru habis terluka. Ia mendapatkan
kepalanja pusing dan matanja mulai kabur. Saking kaget ia kata dalam hatinja:
"Aku tidak sangka disini aku bakal mati bersama Hian Song ...". Ketika itu,
karena tanpa rintangan lagi, Thian Ok Toodjin djuga berhasil sampai diatas. Ia
tdak pergi membantui Pek Yoe Siangdjin, karena itu tidak ada perlunja, pendeta
itu tjukup melajani sendiri kedua musuhnja. Ia mau tjari anaknja Lie It, jang
lari bersembunji dalam rimbunan rumput dan pepohonan didekat mereka. "Botjah
bernjali besar!", ia kata dengan tertawa aneh, "kenapa kau ber-lari2 " Bukankah
didalam istana ada banjak makanan dan tempatnja indah" Bukankah disana ada taman
permai dimana kau dapat ber-main2 " Kenapa kau buron" Mari turut aku pulang!".
"Aku tidak mau pulang! Aku tidak mau pulang", Hie Bin mendjawab berseru. "Aku
mau ikut ajahku!". "Ajahmu djuga mau kembali kepada Khan jang agung!", Thian Ok
berkata, membudjuk, "Ha ..., kau masih bersembunji" Djikalau kau tidak dengan
baik2 menurut kata2-ku, nanti aku bekuk padamu!". Lie It mendengar anaknja lagi
dipermainkan, ia kaget berbareng gusar, tetapi ia lagi dirintangi Pek Yoe
Siangdjin, tidak dapat ia melepaskan diri guna menolongi anaknja itu. Maka ia
mendjadi masgul dan berkuatir. Djusteru itu, ia mendjadi ajal gerakannja,
tatkala djubahnja si pendeta menjambar, ia rasakan dadanja sesak, sampai sukar
ia bernapas. "Ha ... ha ... !", tertawa Pek Yoe seraja dia mengulur tangannja,
guna mentjekuk orang jang tengah tak berdaja itu. Selagi Lie It terantjam bahaja
tertawan hidup2 itu, dari tempat sedikit djauh terdengar seruan jang keras dan
pandjang, mendengar mana semangatnja Hian Song terbangun, segera ia menjerang
hebat, untuk sekalian menolongi Lie It. Pek Yoe terkedjut mendengar seruan itu.
"Kiranja mereka ini mempunjai kawan jang liehay jang bersembunji didalam rimba
", pikirnja. Ia tahu, dari seruan itu, orang jang berseru itu mempunjai tenagadalam jang tak lemah. Tapi ia tidak takut, ia pertjaja Thian Ok masih dapat
melajani orang itu. Thian Ok tengah selandap-selundup diantara semak dan
gerumbulan pohon lebat mentjari Hie Bin, jang berlaku tjerdik, jang tidak lagi
mengasi dengar suaranja, hanja mengumpat terus sambil mendekam, ketika dia
mendengar seruan itu, jang membuatnja terkedjut. Dia lantas menoleh kearah
rimba, dari mana suara itu datang. Djusteru tengah dia mengawasi itu, mendadak
dia mendegar bentakan: "Tidak tahu malu menghina botjah tjilik!". Lantas dia
mendjadi kaget, sebab didepan matanja berkelebat sinar kuning ke-emas2-an.
Itulah djarum emas dari Heehouw Kian, maka sebat dia mengebut, untuk menangkis.
Dia kenali djarum itu kepunjaan siapa, dia menginsjafi bahajanja, dari itu,
gentarlah hatinja. Kesudahannja itu membuatnja kaget. Meskipun kebutannja
liehay, toh ada belasan lembar jang putus terkena djarum. Sjukur dia bebas dari
tusukan djarum. Karena ini, tidak dapat dia mentjari terus pada Hie Bin, mesti
dia menghadapi musuh jang berat itu. Dia lompat keluar dari gerumbulan, lantas
dia berdiri dengan memasang matanja, kebutannja dilintangi didepan dadanja.
Segera ternjata, Heehouw Kian bukan datang sendiri hanja berdua dengan seorang
laki usia pertengahan, jang imam ini kenali sebagai kakak seperguruannja Boe
Hian Song, jalah Pwee Siok Touw. Heehouw Kian tertawa dan berkata: "Ketika kita
bertempur didalam istana Khan, kita belum sempat memperlihatkan kepandaian kita!
Maka mari ...! Mari aku si orang tua beladjar kenal pula dengan ilmu-mu jang
liehay, Hoe Koet Sin Tjiang!". Pwee Siok Touw mendapat lihat adik seperguruannja
terantjam bahaja, tanpa banjak omong lagi ia melompat kearah Pek Yoe Siangdjin,
untuk menjerang dengan tikaman ke punggung si pendeta, mentjari djalan darah
hong-hoe. Pek Yoe melihat datangnja serangan, tanpa memutar tubuh, ia menangkis
ke belakang. Tepat tangkisan itu, pedangnja Siok Touw kena dibikin miring. Tapi
tikaman itu liehay, meski miring, udjung pedang meluntjur terus. Mau atau tidak,
terpaksa pendeta ini memutar tubuh, guna melajani depan berdepan. Ia lantas
dapat kenjataan, orang ini lebih liehay daripada Hian Song. Siok Touw tidak
berhenti dengan serangannja itu, ia mengulangi untuk kedua kalinja, terus untuk
ketiga kalinja, setelah mana pedangnja kena disampok djubah si pendeta, sampai
pedangnja mental balik, baru ia mendjadi terperandjat. Pikirnja : ,,Pantas
soehoe menganggap Pek Yoe sebagai lawan liehay dan menjesal tak pergi
menjingkirkannja, kiranja dia benar liehay sekali". Dengan datangnja Siok Touw,
Hian Song mendjadi dapat bernapas, djuga Lie It, jang lolos dari bahaja, tetapi
mereka tidak mau berhenti, mereka madju terus, untuk mengepung bertiga. Yoe Tan
Sin-nie hidup menjendiri diatas gunung Thian-san untuk beberapa tahun, selama
itu ia telah mejakini ilmu pedangnja, jang ia tjiptakan dari pelbagai ilmu silat
pedang lain partai jang ia kumpulkan, kepandaian itu ia wariskan pada Siok Touw,
hingga ia ini tinggal membutuhkan waktu latihannja sadja. Djuga Hian Song,
setelah mendapatkan kitab pedang gurunja, telah memperoleh kemadjuan pesat, dari
sang soeheng, kakak seperguruan, ia tjuma kalah sedikit. Maka itu sekarang,
dengan dibantu Lie It, jang meskipun habis terluka, dapat mereka melajani dengan
baik. Pek Yoe boleh gagah tetapi tidak dapat ia merebut kemenangan tjepat. Hian
Song girang berbareng heran mendapatkan bantuan kakak seperguruannja ini. Ia
berpikir: "Soeheng telah terlukakan Thian Ok, untuk berobat setelah berpisah
dari aku, ia membutuhkan waktu sedikitnja satu bulan, kenapa sekarang, belum
lewat dua puluh hari, ia sudah sembuh. Kenapa, selagi ia mesti beristirahat, ia
djusteru datang kemari" Kenapa ia nampaknja mendjadi lebih liehay" Kenapa ia
berada bersama Heehouw Kian?". Ia lagi berkelahi, tidak sempat ia berpikir
banjak. Maka ia terus berkelahi dengan keras. Pek Yoe djumawa, dia bangga akan
kegagahannja, tak puas dia dipermainkan anak2 muda, maka itu, dia menggunai
djubahnja dengan baik sekali, hingga suara anginnja berdeburan. Siok Touw dan
Hian Song bekerdja sama, Lie It membantu dengan pedang mustikanja. Pangeran ini
berkelahi sambil melindungi diri, karena ia ketahui liehaynja si pendeta. Mereka
dapat melawan sampai enam puluh djurus, hingga Pek Yoe mendjadi heran dan
penasaran. Ia kata dalam hatinja: "Muridnja Yoe Tan begini liehay, djikalau dia
masih hidup, mungkin aku bukan lawannja. Biar bagaimana, pendeta ini terlebih
liehay, maka itu, mendekati djurus jang ke-seratus, dia lantas mendjadi terlebih
unggul. Dengan djubahnja, dia seperti dapat menggulung ketiga pedang pengepung2nja itu. Diantara tiga kawan itu, Siok Touw paling liehay, tetapi ia pun mulai
gentar hatinja, pedangnja, umpama-kata, seperti tidak mau menuruti kehendak
hatinja. Lie It, jang mengandalkan pedangnja, tjuma dapat mendjaga diri sadja.
Dilain rombongan, Heehouw Kian menang diatas angin, tidak perduli Thian Ok
liehay kebutannja dan liehay djuga tangannja, karena dengan kepandaiannja Hoe
Koet Sin Tjiang, bila dia dapat menghadjar, dia bisa merusak tulang2 lawannja.
Setiap lembar kebutannja, jang dari kawat halus, dapat dipakai menotok djalan
darah musuh. Tangannja jang liehay itu, djuga dapat mengeluarkan bau amis jang
memuakkan. Meski begitu, Heehouw Kian tetap melajani dia dengan sepasang tangan
kosong. Dengan sentilan It Tjie Sian Kang, ia membikin lembaran2 kebutan terpental, sedang
dengan totokannja, ia membikin musuhnja mesti waspada. Delapan tahun lamanja
Thian Ok memahamkan Hoe Koet Sin Tjiang, sekarang hampir seratus djurus, dia
tidak dapat menggunakannja. Lawannja itu tidak terpengaruhkan bau amisnja itu.
Dia mendjadi gentar sebab dia tahu, dalam tenaga-dalam, dia kalah dari lawannja
lni. Demikian, selagi Thian Ok terdesak Heehouw Kian, Lie it bertiga terkurung
djubahnja Pek Yoe Siangdjin, dengan terpaksa mereka main mundur. Sjukur untuk
mereka, disaat mereka terancam bahaja maut itu, kembali terdengar seruan jang
njaring dan lama, disusul dengan tertawa dan kata-kata ini: "Aku tidak sangka
bahwa disini aku menjaksikan ilmu pedang Yoe Tan Sin-nie! Sungguh indah, sungguh
indah!". Habis itu muntjullah orangnja, jalah Hoe Poet Gie. Pek Yoe heran kenapa
orang tiba2 datang berkawan. Belum sempat ia mengambil sesuatu tindakan, Hoe
Poet Gie sudah menudingnja sambil mengedjek: "Ketjewa kau berkulit muka begini
tebal! Djubahmu sudah berliang tudjuh, apakah kau masih enak2-an berkelahi
terus?". Memang Pek Yoe menang unggul tetapi meski demikian, tudjuh kali
djubahnja kena ditoblosi pedangnja ketiga lawannja itu. Hoe Poet Gie baru sadja
sampai tetapi ia telah melihat ketudjuh lubang itu, maka ia lantas menggoda. Pek
Yoe malu dan mendongkol. Ia dapat membade apa jang sebenarnja hendak dikatakan
Poet Gie. Orang she Hoe ini seperti mau bilang: "Tjuma sebab mengandalkan
tenaga-dalam, kau menghina anak2 muda. Tjoba kau mengandalkan pedang, pasti
siang2 kau sudah kalah!". Mana dapat ia menelan edjekan ini sedang semendjak
meninggalnja Yoe Tan Sin-nie, ia telah menganggap dirinja djago nomor satu. Tapi
dapat ia menguasai diri, maka ia tertawa dingin dan berkata: "Kalau begitu
baiklah kau si mahasiswa rudin sadja jang menggantikan mereka!". Hoe Poet Gie
menerima baik tantangan itu, sembari meloloskan sepasang sepatunja, ia tertawa
dan berkata: "Kita memang belum bertempur hingga puas maka sekarang maulah aku
melajani kau satu kali lagi!". Pek Yoe gusar melihat orang mau menggunai sepatu
sebagai sendjata. "Aku menantang kau satu lawan satu, itu tandanja aku memandang
mata padamu!", dia kata sengit. "Kenapa kau sebaliknja menghina aku?". "Mana aku
berani" Mana aku berani?", sahut Poet Gie tertawa. "Aku si orang she Hoe jang
tua tidak sanggup lantas mendapatkan sendjata jang tjotjok untukku, maka itu aku
turut tjonto kau sadja, aku mengambil sekenanja barang jang berada ditubuhku!
Aku tidak memandang enteng kepada djubahmu, dari itu mana dapat kau memandang
ketjil sepatuku?". Panas hatinja Pek Yoe, jang biasa berkepala besar. "Si lidah
tadjam, djangan kau sesalkan aku keterlaluan!", dia berteriak, lantas dia
menjerang dengan djubahnja. Hoe Poet Gie masih tertawa ketika ia kata: "Benar2kah kau berani tidak melihat mata pada sepatuku" Baiklah, kau lihat ". Selagi
djubah Pek Yoe menungkrab, sepatu Poet Gie menangkis. Maka bentroklah kedua
sendjata jang istimewa itu, suaranja terdengar seperti besi mengenakan kulit
kerbau. Kedua pihak mengandalkan tenaga-dalamnja masing2, bentrokan itu membuat
mereka sama2 kaget dan telapakan mereka sama2 njer2-an, diluar kehendak mereka,
sama2 djuga mereka mundur tiga tindak. Hoe Poet Gie dojan bergurau, dia tertawa.
Dia lantas menanja: "Bagaimana" Bukankah sepatuku tak lebih lemah daripada
djubahmu?". Kata2 ini disusul dengan mentjelat madjunja tubuhnja, untuk
menjerang. Sepasang sepatu itu bergerak bagaikan pedang. Pek Yoe terkedjut
djuga. Sungguh ia tidak sangka sepatu lawan demikian liehay. Maka ia djadi
berkata dalam hati-ketjilnja: "Pantas si mahasiswa rudin ini besar mulutnja, dia
benar2 mempunjai kepandaian jang berarti!". Karena ini, ia djadi tidak berani
memandang enteng terlebih djauh. Terpaksa ia melajani setelah memutar
tjambuknja, untuk dibikin terlilit sebagai sebatang toja. Dengan satu
tangkisannja, ia mempunahkan serangan orang she Hoe itu. Djubah atau ka-see si
pendeta, dan sepatunja Hoe Poet Gie, dua2-nja benda biasa sadja, akan tetapi
ditangan orang2 liehay sebagai mereka itu, dua2-nja mendjadi gegaman jang
berbahaja. Pula, mereka itu telah berkelahi dengan sangat tjepat, hingga Hian
Song hampir sukar membedakan mana Pek Yoe dan mana Poet Gie. Apa jang terlihat
adalah sinar djubah jang merah jang bagaikan membungkus sepasang sepatu rumput.
Didalam tenaga-dalam, Pek Yoe Siangdjin menang daripada Hoe Poet Gie, akan
tetapi barusan ia telah mempergunakan tenaganja terhadap Hian Song bertiga, ia
letih, karenanja sekarang mereka djadi berimbang. Setelah menonton sekian lama,
sambil tertawa Pwee Siok Touw kata pada Hian Song: "Aku rasa, sebelum lewat
seribu djurus, sukar akan diketahui siapa diantara mereka ini jang terlebih
unggul! Pek Yoe si keledai botak, kali ini dia menemui tandingannja!". Hian Song
pertjaja keterangan soeheng itu, maka sekarang, sempatlah ia berbitjara, menanja
tentang si soeheng. "Sebenarnja tidak dapat aku sembuh begini tjepat", Siok Touw
memberi keterangan. "Sjukur sekali aku bertemu Heehouw Tjianpwee, jang menolong
aku dengan menusuk dengan djarumnja hingga sisa2 ratjun dapat disingkirkan.
Disamping itu, aku telah diberi makan obat ho-sioe-ouw jang umurnja seribu
tahun. Demikian, dari menghadapi malapetaka, aku mendjadi memperoleh
keberuntungan!". "Djadi Heehouw Tjianpwee, pun tiba di Thian-san?". "Ja ...,
tiga hari setelah keberangkatanmu. Dia datang ber-sama2 Kok Sin Ong dan Hoe Poet
Gie ". Heehouw Kian tidak mendapat tahu Yoe Tan Sin-nie sudah berpulang ke Dunia
Barat, dia hanja mendengar setelah penjelidikannja banjak tahun bahwa pendeta
wanita itu tinggal menjendiri di gunung Thian-san, maka dia mengadjak Kok Sin
Ong dan Hoe Poet Gie untuk mendjenguk. Dia berhasil menemui Pwee Siok Touw,
muridnja si bhiksuni. Baru sekarang dia mendapat tahu orang telah menutup mata,
bahkan sekalian dia mendapat ketahui djuga hal-ichwalnja Hian Song, dan bahwa
Lie It, untuk menolong anaknja, sudah pergi ke kotaradja Khan Turki. Kok Sin Ong
menganggap Lie It seperti anak atau keponakan, tidak dapat ia membiarkan sadja.
Heehouw Kian djuga ingin menjusul Hian Song jang katanja menjimpan warisan
untuknja. Hoe Poet Gie suka turut mereka, karena ia ingin menjaksikan
pertandingan orang2 gagah. Maka Siok Touw mengadjak mereka pergi bersama. Hanja,
ketika dibikin pertandingan itu, Siok Touw tidak turut ambil bagian, dia berdiam
dihotelnja. "Bagaimana sebabnja kamu mengetahui aku menghadapi bahaja?", Hian
Song tanja kemudian. "Bukankah itu gampang sadja?", sahut Siok Touw tertawa.
"Ketika Heehouw Tjianpwee melihat kau, dia lantas mengenali kau sebagai selir
Khan jang menjamar, jang memakai obat menjalin warna kulit muka, bahkan dia
dapat menduga, penjamaranmu itu tjuma dapat bertahan se-waktu2 sadja, maka dia
lantas mengatur untuk kami berempat bersiap untuk menolongimu. Isjarat kami
jalah seruan. Siapa paling dulu menemui kau, dia mesti mengasi dengar seruannja,
sebagai tanda untuk jang lainnja segera datang berkumpul. Maka itu aku rasa Kok
Sin Ong bakal segera sampai disini ". Baru sekarang Hian Song djelas segala apa.
Kapan ia ingat lelakonnja Oet-tie Tjiong dengan gurunja, ia mendjadi terharu, ia
menghela napas. Ia lantas memandang kearah Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian. Ia
mendapatkan pertempuran diantara mereka itu hebat sekali. Tangannja Thian Ok
menjiarkan bau ratjunnja jang amis, jang nampak bergumpal bagaikan kabut. Siok
Touw dan ia terpisah tjukup djauh dari mereka itu tetapi bau itu sampai djuga ke
hidungnja masing2. Keduanja mendjadi heran dan kagum untuk liehaynja imam itu.
Siok Touw merasa ngeri sendirinja kapan ia ingat peristiwa itu hari ia melajani
Thian Ok. Katanja dalam hatinja: "Sjukur soe-moay menggunai akal memakai soehoe
untuk me-nakut2-i dia, djikalau aku bentrok tangan dengannja, tentu tjelakalah
aku ". Hian Song menonton dengan perhatian. Thian Ok menjerang hebat, saban2 dia
berseru. Heehouw Kian main mundur, selang dari batok kepalanja terlihat
mengepulnja uap putih. Ia djadi berkuatir untuk orang tua itu. Maka ia kata pada
Siok Touw: "Soeheng, mari kita hadjar dia! Terhadap manusia sebagai imam ini tak
usahlah kita pakai lagi aturan kaum Kang-ouw!". Kakak seperguruannja itu
tertawa. "Tjukup Heehouw Tjianpwee seorang diri!", katanja. "Tetapi ...", kata
Hian Song, "tadi adalah Heehouw Tjianpwee jang menang unggul, sekarang ialah
jang berbalik terdesak Thian Ok! Lihat, bagaimana imam itu merangsak, aku kuatir
Heehouw Tjianpwee tidak dapat bertahan lama ". "Kau keliru melihat, soemoay!",
Siok Touw tertawa pula. "Aku pertjaja, tak usah sampai sepuluh djurus lagi,
Heehouw Tjianpwee bakal dapat merebut kemenangannja!". Hian Song mengawasi
terus. Ia mau pertjaja soehengnja tidak omong melantur. Ia sekarang mendapat
lihat sinar mata tadjam dari Heehouw Kian, dan sekalipun dia mundur terus, djago
tua itu tidak katjau gerakan tangan dan kakinja. Baru sekarang ia berlega hati.
Thian Ok merasa sulit merobohkan Heehouw Kian, jang menang tenaga-dalam. Ia
tahu, lama2 ia bakal letih sendirinja. Karena ini, ia mengambil keputusan
pendek. Lantas ia mengerahkan tenaganja ditangan, terus ia menjerang dengan
hebat sekali. Ia mau mengandal Hoe Koet Sin Tjiang jang liehay itu. Heehouw Kian
melihat orang mendjadi nekad, ia tidak mau melajani dengan sama kerasnja. Maka
ia main mundur, untuk sekalian bersiasat. Ia mau menanti sampai orang telah
mengurbankan tangannja. Kapan sang waktu sudah sampai, mendadak ia berseru:
"Thian Ok, telah habis tenaga dan kepandaianmu, apakah kau masih tidak sudi
menjerah?". Lantas ia mulai melakukan penjerangan pembalasan dengan tenaga jang
dikerahkan, senantiasa itu ditjampur dengan sentilan2 It Tjie Sian Kang. Dengan
lantas keadaan mendjadi terbalik pula. Thian Ok segera kena didesak, hingga dia
mendjadi repot. Dia kelabakan. "Dengan tjara begini kau merebut kemenangan,
meski aku kalah, aku tidak puas!", kata imam litjik ini. Heehouw Kian tertawa.
"Habis dengan tjara apa baru kau puas?", ia tanja. "Beranikah kau menjambut aku
keras dengan keras?", si imam balik menanja. "Kenapa aku tidak berani" Bahkan
aku bersedia diserang tanpa membalas! Beranikah kau" Hanja, djikalau dengan
seranganmu itu kau tidak dapat merampas djiwaku, kau sendiri harus menjerahkan
djiwamu! Akur?". Thian Ok tertawa bergelak. "Aku tidak pertjaja dikolong langit
ini ada orang jang sanggup menerima serangan Hoe Koet Sin Tjiang dari aku!",
katanja. "Djikalau karena aku gagal aku mesti membajar dengan djiwaku, aku puas!
Hanjalah tua-bangka she Heehouw, djikalau kau mampus, djangan nanti kau sesalkan
aku!", Heehouw Kian djuga tertawa. "Itulah pasti! Tak usah kau banjak omong!
Nah, kau pukullah ". Dengan menggendong tangannja, tabib liehay ini lantas
memasang dadanja. Lie It beristirahat sambil memeramkan matanja ketika ia
mendengar pembitjaraan diantara Thian Ok Toodjin dan Heehouw Kian itu, ia
terkedjut dan lantas membuka kedua matanja. Ia berpikir: "Saat delapan tahun
dulu, Hoe Koet Sin Tjiang dari Thian Ok ini belum terlatih sempurna, ketika itu
hari Heehouw Tjianpwee kena diserang dia, meski tjianpwee memakai badju lapis,
dia masih perlu waktu banjak hari untuk beristirahat merawat diri, sekarang
Thian Ok sudah mahir ilmu pukulannja itu, kenapa tjianpwee masih begini berani


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawannja?". Tidak sempat Lie It berpikir lama, ia sudah lantas dengar
seruannja si imam, jang membarenginja dengan serangannja. Ia mendjadi kaget,
begitu djuga Hian Song. Nona ini pun berkuatir. Suara "Buk ...!", keras sekali
segera terdengar, lalu terlihat tubuhnja Thian Ok Toodjin membal naik sendirinja
dan berdjumpalitan. Menjaksikan itu Siok Touw jang ada seorang ahli mendjadi
kagum. Ia tahu Thian Ok telah dilukai Heehouw Kian, dilukai dengan tenaga-balik,
tetapi si imam masih dapat membelai diri dengan djumpalitannja itu. Itulah bukti
dari ilmu ringan tubuh jang mahir. Tapi baru ia berpikir demikian, atau lantas
ia kena dibikin heran sendirinja. Setelah berdjumpalitan itu, tubuh Thian Ok
turun melajang seperti lajangan putus, djatuhnja langsung, ketika tubuh itu tiba
di tanah, dia mengasi dengar djeritan jang menjajatkan hati, jang berkumandang
diudara. Djeritan itu dapat membangkitkan bulu roma. Sebaliknja, apabila ia
melihat Heehouw Kian, ia mendapatkan si tabib berdiri tegak bagaikan tihang
pelatok, mukanja putjat seperti patung, hingga romannja itu mendatangkan rasa
takut apalagi selama delapan tahun Thian Ok melatih terus Hoe Koet Sin Tjiang
hingga ia berhasil memahirkannja, djuga Heehouw Kian mejakini terus ilmu
menghalau ratjun. Ia pula dengan diam2 sudah menelan Kouw Pok Pwee Goan Tan, pel
menguatkan tubuh, obat istimewa guna melawan pukulan beratjun dari si imam,
sedangkan didada dan punggungnja ia telah memasang lapis katja pembela diri,
lapisan mana terlebih tebal daripada lapisan kulit dulu-hari itu. Ini jang
menjebabkan ia berani menjambut tantangan Thian Ok itu, apalagi ia tahu benar,
mengenai tenaga dalam, ia menangkan si imam baru sadja berkelahi ratusan djurus
hingga tenaganja masih kurang banjak. Thian Ok masih hendak menolong mukanja.
Ketika ia terhadjar mundur oleh tenaga dalam Heehouw Kian, sekalian sadja ia
membal dan djumpalitan, tetapi tenaganja habis segera, habis berdjumpalitan itu,
habis djuga djiwa nahasnja, maka ketika ia djatuh, ia djatuhnja langsung, djatuh
terus mati sebab rusak sudah semua anggauta dalam dari tubuhnja. Hingga tidak
dapat ia terus melarikan diri. Pek Yoe Siangdjin berkelahi saban2 memasang mata
dan telinganja. Ia telah mendengar pembitjaraan diantara Thian Ok sekawan dan
Heehouw Kian, si tabib jang mendjadi lawan mereka. Ia merasa tidak enak, ingin
ia mentjegah kawannja itu, tetapi terlambat. Ia melihat, Thian Ok sudah
melakukan penjerangannja. Akan tetapi ia masih berseru, sambil meninggalkan Hoe
Poet Gie, ia lompat kepada Heehouw Kian. Hoe Poet Gie djuga mengetahui hal
Heehouw Kian dan Thian Ok itu,' dan ia pertjaja sahabatnja pun terluka, maka
itu, melihat sepak terdjangnja Pek Yoe, ia lantas lompat, untuk menjusul. Ia
bukan lagi mentjegah, ia menjerang dengan sepatu rumputnja. Pek Yoe mendapat
tahu ia diserang, ia berseru seraja djubahnja disampokkan ke belakang, untuk
menangkis, maka beradulah djubah dan sepatu, sampai sebuah sepatu terhadjar
djatuh. Hoe Poet Gie pun melompat tinggi, kaki kirinja dipakai mendjedjak kaki
kanan, guna menjingkir dari djubah jang liehay itu, jang terlilit bundar dan
pandjang mirip toja. "Bagus!", ia berseru. "Mari sambut lagi satu sepatuku
ini!". Kali ini serangan dilakukan dengan tenaga jang dikerahkan benar2. Pek Yoe
menangkis pula. Sekarang sepatu tertangkis lengan, maka hantjur rusaklah sepatu
itu, djatuh ke tanah. Akibatnja itu, si pendeta merasakan lengannja sakit.
Beradu dengan sepatu, lengan itu mendjadi bengkak dan merah!. Segera djuga Pek
Yoe Siangdjin datang dekat pada Heehouw Kian. Selama itu, walaupun ada
rintangannja Hoe Poet Gie, dia madju terus. "Orang tua she Heehouw, serahkan
djiwamu!", dia berseru. Tapi karena dia tahu Hoe Poet Gie pasti akan merintangi
terlebih djauh, dia memasang mata. Tiba2 sadja, dua sinar pedang berkelebat dari
sampingnja Heehouw Kian. Inilah Pek Yoe tidak sangka. Itulah serangan pedang
dari Pwee Siok Touw dan Boe Hian Song, jang hendak melindungi si tabib pandai.
Karena Hoe Poet Gie djuga menjerang, Pek Yoe mendjadi diserang tiga orang
berbareng. Dia mengetahui itu, dia gusar, dia berseru njaring, tubuhnja
mentjelat, djubahnja mengibas! Siok Touw dan Hian Song tidak dapat bertahan,
keduanja terguling roboh. Pek Yoe terus mentjelat djauh, sampai lima atau enam
tombak, dari sana terdengar suaranja jang keras dan bernada penasaran: "Tjepat
atau lambat, aku si pendeta tua nanti merampas djiwa kamu!". Lalu dengan
didahului suara "Hmmm!" tanda menghina, dia melompat pergi, hingga sekedjab
sadja lenjaplah ia dari pandangan mata. Bentrokan barusan itu, walaupun hanja
sekedjab, telah menundjuk bahaja hebat. Hian Song dan Siok Touw mau menolongi
Heehouw Kian, mereka menjerang dengan tipu silat mereka jang luar biasa, tikaman
mereka menudju ke pelbagai djalan darah jang membahajakan. Sjukur untuk Pek Yoe,
dia liehay tenaga dalamnja, karena mana, dia tjuma berkurban djubahnja itu, jang
mendjadi bolong disana-sini, sedang terlebih dulu daripada itu, badju sutji itu
memang sudah mendapatkan beberapa lubang. Untuk selandjutnja, tidak dapat djubah
itu dipakai lagi. Pek Yoe mendjadi djeri. Dia mengerti, Hoe Poet Gie dibantu
Siok Touw dan Hian Song bukanlah musuh2 jang dapat dilawan, maka malu atau
tidak, meskipun sangat mendongkol dan penasaran, dia lantas mengangkat kaki,
hingga dia melupakan Thian Ok si kawan!. Hian Song dan Siok Touw lantas merajap
bangun. Sjukur mereka tjuma terpelanting, mereka tidak mendapat luka parah.
Dengan lantas mereka menghampirkan Heehouw Kian. Tabib itu menjeringai, lalu
mendadak dia muntah darah. "Bagaimana, tjianpwee?", tanja si nona, berkuatir.
"Sjukur, sjukur, si imam tidak sampai merampas djiwaku!", sahut orang jang
ditanja. Habis muntah itu, ia dapat tertawa. Lantas dengan sebat ia mengeluarkan
tudjuh batang djarumnja, seorang diri ia menusuk ditudjuh djalan darahnja, jalah
yang-leng, wie-too, kwie-tjhong, giok-tjoan, thian-kwat, kwan-goan dan bengboen. Ketika selang beberapa menit ia tjabut semua djarumnja, setiap djarum emas
itu berubah warnanja mendjadi hitam-gelap, lenjap tjahajanja. Maka kagetlah
semua orang. "Dengan latihan dari delapan tahun aku melawan Hoe Koet Sin Tjiang
", ia berkata kemudian. "Aku tidak menjangka hebatnja pukulan Thian Ok itu
berada diluar dugaanku, maka sjukurlah aku masih dapat melindungi tulang2-ku
jang sudah tua ini. Mulai saat ini aku tidak mau lagi muntjul dalam dunia Kangouw!". Hoe Poet Gie berduka. Ia mengerti, meski dia tidak kurang suatu apa,
sahabat ini telah men-sia2-kan tenaga-dalamnja jang terlatih sepuluh tahun.
"Kau berhasil menjingkirkan orang djahat, pengurbananmu sangat berharga ", ia
menghibur. "Tjelaka adalah aku si Hoe tua, sebab si keledai gundul sudah merusak
sepasang sepatuku dan untuk itu aku tidak dapat menuntut balas. Aku malu sekali!
Sjukurlah kedua keponakan sudah merusak hebat djubah dia, njata aku merasa
terhibur djuga sedikit ". "Lootjianpwee ", Hian Song berkata, "guruku
meninggalkan sebuah kotak untukmu. Inilah dia ", Nona ini menjerahkan barang
jang ia sebutkan itu. Heehouw Kian menjambuti, dengan tjepat ia buka kotak itu,
jang berisi beberapa tangkai soat-lian atau teratai saldju, serta beberapa rupa
obat jang langka. Itulah semua obat jang ia pernah memberitahukan Yoe Tan Sinnie bahwa ia belum berhasil mentjarinja sampai dapat. Siapa tahu, sekarang si
biksuni telah berhasil mendapatkannja. Ia terharu hingga ia mengalirkan airmata. Ia kata didalam hatinja: "Meski dimasa hidupnja Keng Hiang tidak menerima
baik lamaranku tetapi disaat adjalnja dia masih tidak melupakan aku sebagai
sahabatnja. Maka itu, kenapa aku bolehnja tak puas?". Keng Hiang itu namanja Yoe
Tan Sin-nie sebelum dia mendjadi pendeta wanita. Melihat sahabatnja menangis,
Hoe Poet Gie tertawa. "Eh, orang tua, buat apakah kau menangis?", katanja
menggoda. "Bukankah soat-lian dari Thian-san itu obat untuk membunuh beratus
matjam ratjun" Itulah obat jang djauh lebih mudjarab daripada obat buatan
sendiri. Dengan adanja setangkai soat-lian sadja tak usahlah kau rugi latihan
sepuluh tahun!". Heehouw Kian tidak melajani sahabat jang djail itu, hanja ia
berkata pada Hian Song dan Siok Touw: "Sama sekali aku tidak me-njangka2 bahwa
setelah guru kamu menutup mata, aku masih dapat menerima budinja ini. Memang
gurumu itu mengharap aku dapat meningkatkan ilmu pengobatanku, hanja mulai saat
ini, kendati djuga aku dapat memulihkan tenaga-dalamku, aku tidak mau lagi hidup
dalam pergaulan dunia Kang-ouw. Siok Touw, djikalau kau tidak menampik aku, suka
aku tinggal bertetangga denganmu, untuk mendjagai kuburan gurumu, guna aku
melewatkan sang hari dan bulan, untuk aku dapat menulis kitab ilmu pengobatanku
". Girang Siok Touw mendapat tawaran itu. "Inilah jang aku mintapun tidak
berani!", katanja tjepat. Lalu ia menambahkan pada Hian Song: "Sudah sepuluh
tahun tidak pernah aku turun dari Thian-san, maka sekarang, setelah selesai
urusan ini, mesti aku lekas pulang. Soe-moay, bagaimana dengan kau?". "Aku telah
dapat menemukan orang jang aku tjari, aku telah menjelesaikan tugasku ",
menjahut itu adik seperguruan, "maka itu besok pagi aku mau berangkat pulang ".
"Masih ada satu orang jang kau belum menemukan, kau hendak menunggui dia atau
tidak?", Hoe Poet Gie bertanja.
Siapakah dia?", si nona tanja. "Orang dengan siapa kau mengadu pedang dipuntjak
Ngo-bie-san!", sahut Poet Gie tertawa. "Apakah kau telah lupa kepada Kok Sin
Ong" Ketika itu kau membuat dia hampir tak dapat turun dari panggung
pertandingan ". Boe Hian Song tertawa. "Aku ingat peristiwa itu!", ia berkata.
"Untuk itu aku belum mempunjai ketika untuk memohon maaf kepadanja ". "Eh, ja,
mengapa Lao Kok masih belum djuga datang?", Heehouw Kian tanja. Ia baru ingat
kawannja itu. "Apakah dia tidak mendapat dengar seruan kita" Apakah ada terdjadi
sesuatu atas dirinja?". Hoe Poet Gie tidak menjahuti, hanja ia naik kepuntjak,
untuk mengasi dengar seruannja jang njaring. Ia pertjaja suaranja itu akan dapat
didengar oleh tetangga dikiri dan kanan sedjauh sepuluh lie. Tatkala itu anaknja
Lie It telah muntjul dari rumpun persembunjiannja, dia lari kepada Hian Song,
jang dia tubruk. "Bibi ", kata dia, "masih ada seorang lagi jang kau belum
ketemukan, kau mau menunggui dia atau tidak?". Lutju anak ini, dia bitjara
meniru lagu-suaranja Hoe Poet Gie, sembari menanja dia mengawasi kepada sang
bibi. Mau atau tidak, Hian Song tertawa. Segera ia memeluk. "Siapakah?", ia
tanja. "Ibuku !", menjahut anak itu. "Malam itu dia larang aku makan barang jang
bibi berikan padaku. Apakah bibi gusar terhadapnja?". Hian Song berhenti
tertawa, ia berdiam, hatinja terasakan berat. "Bibi", berkata pula si botjah,
"ibuku belum tahu bahwa kau telah menolongi aku, djikalau ia telah mengetahui
itu, pasti ia sangat bersjukur terhadapmu. Maka itu harap bibi djangan gusar
padanja ". Dua kali sudah Hie Bin berkata demikian rupa, njata dia kuatir sekali
Hian Song murka. Nona Boe paksakan diri untuk tertawa. "Aku dengan ibumu ada
sahabat2 baik", katanja, "mana bisa aku gusari dia " Hanja, aku kuatir tak dapat
aku menunggui dia. Anak jang baik, kau sadja jang mewakilkan aku menanjakan
kesehatannja dan minta supaja dia djangan gusar kepadaku". "Djikalau bibi tidak
menunggui dia, baru benar2 dia gusar!", kata si anak. Hian Song tertawa pula.
"Asal kau jang mewakilkan aku bitjara,tidak nanti dia gusar ", ia bilang. Lie It
mendengar pembitjaraan dua orang itu, hatinja berpikir keras, hingga ia mendjadi
berdiam sadja. "Bibi, apakah benar2 besok pagi kau hendak berangkat?", tanja si
anak selang sesaat. "Berat aku meninggalkan kau ...". Tepat di itu waktu, dari
kedjauhan terdengar seruan jang pandjang. "Lao Kok pulang!", Heehouw Kian
berkata tjepat. Dengan Lao Kok, si Kok Tua, ia maksudkan Kok Sin Ong. Segera
djuga terlihat seorang ber-lari2 mendatangi, bagaikan bajangan dia berlari naik.
"Ilmu enteng tubuh Kok Sin Ong kesohor, sekarang baru aku menjaksikannja", kata
Hian Song dalam hati. "Dia benar2 liehay!". Segera djuga Sin Ong tiba. Hoe Poet
Gie hendak menggodai orang atau ia mendjadi terkedjut. Ia telah melihat roman
orang luar biasa. "He, Lao Kok, ada terdjadi apakah?", dia tanja. "Siapa telah
melukakan kau?". Kok Sin Ong berlepotan darah, romannja gelisah. Hian Song pun
kaget, akan tetapi ia ingat untuk membalut lukanja djago jang pernah mendjadi
bengtjoe itu, ketua ikatan kaum Rimba Persilatan. "Tidak apa", kata Sin Ong.
"Aku tjuma mendapat sebatang panah, tulang2-ku jang tua masih dapat bertahan!".
Heran satu djago masih kena terpanah, maka Poet Gie semua lantas menanjakan
tegas2. Kok Sin Ong tidak lantas memberikan keterangannja. Ia hanja berpaling
kepada si pangeran. "Lie It, isterimu telah datang kemari!", katanja. "Dia telah
kena ditangkap!". Wartanja Kok Sin Ong ini berupa seperti guntur diwaktu langit
terang-benderang. Semua orang terkedjut, sedang Lie It tertjengang. "Tidak,
tidak bisa djadi !", katanja kemudian, suaranja menggetar. "Adik Pek dia dia
telah berdjandji untuk berdiam diatas gunung, guna menantikan aku ". Lie It
sangat pertjaja isterinja itu hingga sedjenak itu ia bersangsi. Hian Song
menangis terisak. "Adik Pek sangat menjintai kau ", katanja perlahan, "dia telah
bersumpah untuk hidup dan mati bersama denganmu. Kau tidak tahu, dua hari
setelah keberangkatanmu, dia pun berangkat menjusul ". Nona ini ingat sjairnja
Tiangsoen Pek diatas tembok, maka itu, ia berkata didalam hatinja : "Kalau bukan
karena aku, mungkin dia mendengar perkataan Lie It untuk menanti dirumah. Tidak
dapat aku mentjela dia tjupat pandangannja. Umpama-kata aku, belum tentu aku pun
dapat bersabar ". Lie It heran mengapa Hian Song ketahui kepergian isterinja
itu, tetapi disaat seperti itu, ia tidak sempat menanja. "Aku tengah berada
diluar kota waktu aku menjaksikan Tiangsoen Pek ditangkap ", Kok Sin Ong memberi
keterangan. "Aku terlambat satu tindak. Ketika aku sudah melihat djelas, dia
telah dibawa Guru Budi naik keatas kereta kerangkeng ". Masih Lie It bersangsi.
"Kok Lootjianpwee, benar2-kah kau melihat njata?", ia tanja. Kok Sin Ong
mengangguk. "Dia berdandan sebagai seorang wanita Uighur, mukanja dipulas djuga
obatnja saudara Heehouw ", ia mendjawab, "meskipun demikian, dia tidak dapat
lolos dari mataku. Tatkala dia melihat aku, dia berseru kaget, rupanja dia ingin
minta pertolonganku, tetapi mungkin disebabkan dia kuatir nanti me-rembet2 aku,
dia batal memanggil aku ". Sekarang Lie It tidak bersangsi pula. Hanja sekarang
ia heran kenapa orang dapat mengenali isterinja jang sudah menjamar pakaian dan
warna kulitnja. "Aku telah mentjampurkan diri diantara orang banjak, ketika dia
berteriak, dia menarik perhatiannja kawanan pengawal Turki itu ", Kok Sin Ong
menerangkan lebih djauh. "Diantara mereka terdapat Guru Budi dan Kakdu dan
mereka itu segera mengenali aku. Sebenarnja, setelah aku ketahui Tiangsoen Pek
kena ditawan, meski mereka tidak mengenali aku, tidak nanti aku mau sudah sadja.
Lantas mereka itu menjerang aku. Aku dapat kenjataan ketjuali Guru Budi, masih
ada beberapa pengawal jang kosen. Tidak dapat aku bertahan dikerojok begitu
banjak musuh, aku memikir untuk kabur sadja, guna mengasi kabar. Kakdu benar2
kuat sekali, aku sudah lolos djauhnja belasan tombak, sebatang anak panahnja
masih dapat mengenakan tubuhku ". Memang Tiangsoen Pek telah menjusul sampai di
kotaradja Turki. Djusteru itu baru sadja sirap kekatjauan didalam istana dan
orang pada bubaran. Diantara mereka itu tersiar omongan perihal kekatjauan itu,
diantaranja tentang kena ditawannja "seorang anak kaisar Keradjaan Tong ". Lie
It memangnja pangeran tetapi orang Turki tidak mengetahuinja, mereka menjebut
sadja "anak kaisar". Mendengar itu, Tiangsoen Pek mendjadi kaget sekali, dia
lantas pergi untuk mentjari keterangan. Dengan dandanannja seperti orang Uighur
dan warna kulit mukanja pun telah berubah, sebenarnja tidak mudah Tiangsoen Pek
dikenali orang, hanja kebetulan sadja dia bertemu dua orang jang mengenali
padanja, jalah Thia Kian Lam, anaknja Thia Tat Souw ketua Hok Houw Pang serta Yo
Tjiauw, seorang tauwbak dari partai Menakluki Harimau itu. Pada delapan tahun
dulu, ketika Lie It mengantarkan djenazahnja Tiangsoen Koen Liang, ditengah
djalan Tiangsoen Pek mendapat sakit, karenanja mereka mampir di kuil tua dimana
ada seorang pendeta jang mendjadi katjung. Dialah orang Hok Houw Pang, jang
dirawat oleh pendeta kepala disitu. Katjung hweeshio ini melihat Lie It membawa
uang, barang dan pedang, dia mengasi kisikan pada partainja, maka Thia Kian Lam
datang bersama sedjumlah anggautanja, untuk merampas, tetapi mereka dipukul
mundur oleh Lie It. Benar mereka gagal tetapi Kian Lam melihat Tiangsoen Pek dan
lantas mengenalinja, sedang si katjung hweeshio, jang dianggap berdjasa, oleh
partainja diangkat djadi tauwbak. Dan dialah Yo Tjiauw ini. Thia Tat Souw datang
ke kotaradja Turki untuk turut dalam pertemuan besar, Kian Lam menjusul dengan
mengadjak Yo Tjiauw, diluar dugaan, mereka melihat Tiangsoen Pek. Yo Tjiauw
lantas mengenalinja, sebab ia bermata liehay dan ingatannja kuat serta sangat
tjerdik, begitu ia mendengar njonja itu mentjaritahu hal "anak kaisar Tong" jang
ditangkap itu ia tjuriga, ia mengawasi, lalu sengadja ia memanggil, " Nona
Tiangsoen Pek !". Ia menggunai bahasa Tionghoa. "Siapa memanggil aku?", tanja
Tiangsoen Pek. Dia kaget, tanpa merasa dia menggunai bahasa Tionghoa djuga. Maka
tanpa merasa, petjahlah rahasianja. Thia Kian Lam lantas mengadjak bitjara,
sedang Yo Tjiauw lari mengasi laporan, dari itu datanglah rombongannja Guru
Budi, hingga gampang sadja dia kena ditangkap. "Djangan kuatir, hiantit",
kemudian Kok Sin Ong menghibur. "Kita berada di sini, sudah tentu kita akan
berdaja untuk menolongi. Sekarang tinggal tjaranja sadja, jang harus
dirundingkan dulu ". Hoe Poet Gie dan Heehouw Kian tidak menampik memberikan
bantuannja, mereka semua sahabat2 kekal dari Tiongsoen Koen Liang. Tinggal
urusannja jang sulit. Tiangsoen Pek tidak ketahuan ditahan dimana. Habis katjau
itu, pendjagaan di kotaradja Turki mestinja kuat sekali. Benar Thian Ok telah
terbinasa tetapi disana masih ada Guru Budi, Maitjan dan lainnja pengawal jang
tak dapat dipandang ringan. Terutama disana ada Pek Yoe Siangdjin. Dipihaknja
sendiri, Heehouw Kian terluka, benar dia dapat makan soat-lian tetapi dia perlu
beristirahat dulu. Achirnja Hoe Poet Gie tertawa. Dia kata : "Meski disana ada
kedung naga dan guha harimau, aku si Hoe Tua mesti menjerbunja djuga ! Maka
menurut aku, mari kita menerobos kedalam istana, guna mengatjau lagi satu kali !
Asal Khan dapat dibekuk, djangan takut dia tidak akan merdekakan orang
tawanannja !". "Ini memang sulit, tapi sebab tidak ada lain djalan, marilah kita
tjoba ", berkata Heehouw Kian. Tengah mereka mengambil putusan itu, dikaki
gunung terdengar riuh suara gembreng dan tambur perang, lantas terlihat Kakdu
bersama seribu serdadunja jang berseragam badju lapis. Mereka terkedjut. Tidak
dinjana, musuh datang menjusul. "Mari kita menjerbu dulu !", kata Hoe Poet Gie.
"Anak Bin, apakah kau takut ?", tanja Hian Song kepada anaknja Lie It. Botjah
itu menjender pada tubuhnja. Hie Bin mengangkat kepalanja. "Ada bibi disini, Bin
tidak takut sedikit djuga ", sahutnja. Heehouw Kian tertawa.
"Anak ini sangat mempertjajai kau, kau bawalah dia !", katanja, "Lao Hoe, kau
jang mendjadi pelindungku !". Hoe Poet Gie memandang sahabat itu, ia dapat
menangkap maksud hati orang. Maka ia mengangguk. "Benar!", sahutnja. "Tentera
itu berdjumlah besar, mereka pun mengenakan seragam istimewa, djikalau kita
berkumpul terus, sulit untuk menjerbu keluar. Baiklah, mari kita berpentjaran,
supaja mereka mendjadi bingung ...". Maka mereka memetjah diri mendjadi tiga
rombongan. Boe Hian Song dengan membawa Hie Bin bergabung dengan Pwee Siok Touw,
mereka mesti menerobos dari sebelah timur. Hoe Poet Gie bersama Heehouw Kian


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nerobos dari sebelah selatan. Kok Sin Ong bersama Lie It mengambil djalan barat.
Heehouw Kian dan Lie It masih membutuhkan perlindungan. Matanja Kakdu djeli
sekali, maka ia terkedjut kapan ia melihat Lie It dan Boe Hian Song berada
bersama Hoe Poet Gie, Heehouw Kian dan Kok Sin Ong. "Djikalau aku tahu mereka
jang berkumpul disini, pasti aku mengadjak lebih banjak kawan jang liehay",
pikirnja. "Ah, kemanakah perginja Pek Yoe Siangdjin dan Thian Ok Toodjin"
Mustahilkah mereka belum mendapat tahu hal adanja banjak musuh disini?". Djago
Turki ini tidak tahu bahwa Pek Yoe Siangdjin sudah kabur dan Thian Ok Toodjin
telah menerima adjalnja. Pek Yoe dapat menduga akan datangnja pasukan tentera
berlapis badja itu tetapi dialah seorang guru besar, malu dia setelah kena
dikalahkan untuk bertempur pula main kerojok. Oleh karena mengetahui liehaynja
musuh, Kakdu tidak mau berlaku sembrono. Lebih dulu ia mengatur pasukannja,
untuk mengambil sikap mengurung, baru mereka mendaki dengan per-lahan2. Orang
diatas gunung sebaliknja tidak sudi main lambat2-an. Hoe Poet Gie tertawa keras,
lantas bersama Heehouw Kian dia ber-lari2 turun, untuk membuka djalan. Hebat
suara tertawa itu, rata2 serdadunja Khan mendjadi kaget. "Pegat mereka!", Kakdu
berseru, meskipun dia sendirinja pun terkedjut. Di lain bagian, Kok Sin Ong
berseru keras, dia madju menerdjang. Kakdu dapat melihat Lie It ada bersama
orang she Kok ini, dia teriaki tenteranja: "Kesini semua ! Inilah orang jang
hendak ditawan Djundjungan kita! Jang lain2-nja boleh lolos, tetapi dia tidak!".
Ia sendiri pun madju didepan. Dilain pihak lagi Pwee Siok Touw bersama Boe Hian
Song, dengan melindungi Lie Hie Bin, turun dari sebelah barat. Ketika Kakdu
melihat nona itu, dia terkedjut, hampir tidak pertjaja matanja sendiri. Dia kata
dalam hatinja: "Apakah aku bermimpi ditengah hari bolong" Itu, itu ..., apakah
bukannja selir jang baru?". Selama Hian Song mengatjau didalam istana, Kakdu
tidak mendapat tahu. Itu waktu Kakdu bertugas mendjaga didalam taman.
--- halaman sobek/hilang --Heehouw Kian tidak membilang apa2. Berselang sekian lama, baru ia tertawa. "Aku
dapat mendengar tindakan kaki mereka", katanja. Terus ia bersiul pandjang halus
tetapi terdengar tegas. Mendengar itu, hati Hian Song lega. Itulah bukti tenaga
dalam tabib pandai dan gagah ini sudah pulih tudjuh sampai delapan bagian. Ia
mendjadi kagum. Bukankah ratjunnja Thian Ok sangat djahat" Toh dia sembuh dalam
semalam dan sehari. Ia djuga mengagumi telinga orang. Tidak ajal lagi, Nona Boe
lari keluar, untuk memapak. Ia melihat berlari datangnja tiga orang. Ia pun
lantas mendengar pertanjaannja Kok Sin Ong dari djauh : "Lie It sudah pulang
atau belum?". Tiba2 sadja ia merasai hatinja dingin, lalu berdebaran. Lekas
djuga tibalah ketiga orang itu, jalah Hoe Poet Gie, Kok Sin Ong dan Pwee Siok
Touw. "Bukan Lie It ada bersama kamu?", tanja si nona, hatinja mentjelos. "Oleh
karena kita menantikan dia, kita djadi pulang terlambat", sahut Siok Touw. "Kita
menjangka dia sudah pulang lebih dulu." "Habis bagaimana?", si nona tanja. "Mari
masuk, kita bitjara didalam," berkata Hoe Poet Gie. Didalam, Heehouw Kian
menjambut. Mereka lantas berduduk dibatu. "Lie It tiba ditaman lantas kepergok
Yang Thay Hoa, keduanja lantas bertempur", Poet Gie mengasi penuturan. "Aku
membantu dia dengan diam2, aku hadjar roboh perintangnja itu. Setelah itu
muntjul Pek Yoe Siangdjin. Maka terdjadilah pertempuran katjau. Selama satu
djam, aku tidak melihat pula pada Lie It. Thian Ok telah terbinasa, tetapi pihak
sana dibantu Guru Budi dan Biat Touw Sin-Koen. Guru Budi lebih gagah daripada
Thian Ok tetapi Biat Touw Sin-koen terlebih lemah. Siok Touw dapat melajani dia
dengan seimbang. Biar bagaimana, djumlah musuh terlebih besar, achirnja terpaksa
kita mengangkat kaki. Berbahaja untuk bertempur lama2. Terpaksa kita tidak
Embrace Chord 1 Candika Dewi Penyebar Maut V Titisan Ratu Pantai Selatan 1

Cari Blog Ini