Ceritasilat Novel Online

Memburu Putera Radja 6

Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen Bagian 6


"Apakah sesudah musjawarah pagi ?". "Benar ! sesudah selesai musjawarah pagi,
seorang thaykam memberitahukan hal ini kepadaku. Tapi iapun tak tahu sebabmusababnja ". "Apakah didalam musjawarah Boe Tjek Thian tidak mengatakan sesuatu
?". "Thian-houw repot memilih djenderal dan mengatur tentara. Ia sama-sekali
tidak me-njebut2 halnja Pwee Taydjin. Tidak hadirnja Pwee Taydjin didalam
musjawarah malah dianggap karena beliau mendapat sakit ". Lie It kaget
tertjampur girang. Sekarang baru ia tahu, bahwa Pwee Yam sudah dibekuk. Sesudah
berdiam sedjenak, Pwee Tjiang berkata pula : "Kakakku sangat disajang dan
dipertjaja oleh Thian-houw. Asal rahasia pemberontakan itu tidak botjor, kurasa
djiwanja tidak berada dalam bahaja ". "Benar," kata si pembesar she Ong.
"Kedosaan Pwee Taydjin belum diumumkan. Kita masih punja harapan ". "Tapi kita
tidak boleh berlaku lengah ", kata Pwee Tjiang. Mungkin Thian-houw akan
bertindak untuk mentjari bukti2 ". "Itulah sebabnja mengapa aku tjepat2 datang
kemari. Aku kuatir kau menjimpan surat2. atau lain bukti mengenai pemberontakan
". "Terima kasih atas kebaikan Ong Taydjin ", kata Pwee Tjiang. "Sekarang begini
sadja, djika ada utusan kaisar datang dan ternjata kakakku bukan tersangkut
dalam soal pemberontakan, kita boleh menerima firman setjara baik. Tapi kalau
Toako ditangkap sebab tuduhan memberontak, maka aku dan keluargaku tak akan bisa
terlolos dari hukuman mati. Daripada mati konjol lebih baik melarikan diri. Aku
akan segera memerintahkan orang untuk membungkus semua barang2 berharga dan
kalau perlu kita bisa kabur dengan mengambil djalan ganung, dibelakang gedung
ini" Sesudah memberi pesan kepada beberapa orang kepertjajaannja, Pwee Tjiang
berpaling kepada seorang boesoe dan berkata : "Sekarang bawalah sanak kaisar itu
kemari ". Ia menengok kepada "Ong Taydjin" dan berkata pula : "Sungguh mudjur
Lie It sudah terdjatuh kedalam tanganku. Sekarang kita boleh tak usah kuatir,
kalau2 dia mengadu kepada Thian-houw." "Lie It ?", menegas si pembesar she Ong.
"Apakah Lie It jang pada delapan tahun berselang katanja hilang ?". "Benar, dia
turut serta dalam gerakan Eng-kok-kong ", kata Pwee Tjiang. "Tapi kakakku tidak
pertjaja padanja dan memesan supaja aku meng-amat2-i gerak-geriknja. Untung
djuga, untuk pergi ke Tiang-an orang harus melewati djalan ini. Setiap hari aku
memerintahkan orang mendjaga dan hari ini, benar sadja aku berhasil ". Beberapa
saat kemudian, Thia Thong membawa masuk Thio Tjie Kie. Pwee Tjiang berbangkit
dan sambil tertawa tengil, ia berkata : "Apakah Thianhee masih mengenali aku "
Aku telah memerintahkan mereka menjambut Thianhee dan untuk kekurang-adjaran
mereka, aku mohon Thianhee sudi memaafkan ". "Siapa kenal pada kau ?", bentak
Tjie Kie, "eh ...! Aku dan kau sama-sekali tidak mempunjai permusuhan, tapi
mengapa kau sudah mentjulik aku ?". Pwee Tjiang mengawasi pemuda itu. Pada kira2
sepuluh tahun berselang, waktu Lie It baru berusia sebelas atau dua belas tahun,
ajanhnja pernah mengadjaknja datang di gedung Pwee Yam. Ketika itu Pwee Tjiang
mengintip dari belakang sekosol dan sampai sekarang, lapat2 ia masih ingat paras
muka Lie It jang sangat tampan. "Waktu masih ketjil dia begitu tampan, mengapa
sekarang mukanja kuning, seperti orang penjakitan ?", tanjanja di dalam hati.
Thia Thong jang dapat menebak djalan pikiran madjikannja, segera bitjara bisik2
untuk memberitahukan, banwa pemuda itu kena sendjata beratjun dari Ok-heng-tjia
dan Tok-sian-lie. "Uh, begitu ?", katanja sambil manggut2. Sementara itu Thio
Tjie Kie terus mentjatji dengan perkataan2 keras. "Thianhee ", kata Pwee Tjiang
sambil bersenjum, "apakah kau lupa perdjandjian Tjoen-loei-tong-tee Hoei-liongtjay-tian ?". "Omong kosong !", teriak Thio Tjie Kie. "Siapa Thianhee-mu " Kau
mau memberontak " Huh ...! Aku tak sudi di-seret2 olehmu ". Paras muka Pwee
Tjiang lantas sadja berubah gusar. "Dengan penuh kesetiaan kakakku ingin
membangun kembali Keradjaan Tong ", katanja, "Apakah kau mau membalas budi
dengan kedjahatan dan membuka rahasia kepada Boe Tjek Thian ?". Thio Tjie Kie
djadi bingung. "Hei ! Siapa sebenarnja kamu ?", teriaknja dengan gusar.
"Thianhee, memang mungkin kau tidak mengenali aku ", djawabnja. "Tapi Tiong-soeleng Pwee Yam adalah kakakku. Apakah kau djuga tidak kenal padanja ?". Pemuda
itu terkedjut. Sedjenak kemudian, dengan mata terputar, ia berteriak : "Pwee Yam
adalah seorang perdana menteri dan kalau benar kau adiknja, kau tentu mengerti
akan undang2 negara. Mana boleh kau sembarangan mentjulik orang " Terang2 kau
seorang pendjahat jang sudah menggunakan nama baiknja Pwee Siangkok ". Mendengar
begitu, Pwee Tjiang mulai bertjuriga. Apakah kaki-tangannja telah membuat
penangkapan jang keliru ". "Apakah pada bulan Sha-gwee tahun ini kau berada di
Pa-tjioe ?", tanjanja. "Mengapa kau tanja begitu ?". "Apakah kau tahu, bahwa
bekas Thaytjoe Lie Hian telah dibunuh orang ?". "Hal itu tidak ada sangkut
pautnja dengan aku ", djawabnja. Ia bingung karena tidak mengerti, mengapa Pwee
Tjiang sudah mengadjukan pertanjaan tersebut. Pwee Tjiang menatap wadjah Tjie
Kie, "Kudengar kau merasa penasaran sekali sebab bekas Thaytjoe itu dibunuh
orang, apakah benar ?", tanjanja pula. "Kalau benar begitu, tentu sadja aku
merasa sangat penasaran !", djawabnja. Pwee Tjiang tertawa dingin. "Tak heran
djika kau datang ke Tiang-an untuk mengadu kepada Thian-houw ", katanja. "Apakah
kau masih belum mau mengaku, bahwa kau adalah Lie It ?". Sekarang Thio Tjie Kie
mendapat kepastian, bahwa orang sudah kesalahan menangkap. "Seorang laki2, duduk
tidak mengubah nama, djalan tidak mengubah she ", katanja dengan suara njaring.
"Dengarlah kau ! Aku bernama Thio Tjie Kie, bergelar Peng-oet-tie, orang
kelahiran Bie-san ". Pwee Tjiang terkesiap. "Kau Thio Tjie Kie ?", ia menegas
dengan mata membelalak. Kagetnja Thia Thong lebih hebat daripada madjikannja. Ia
menatap wadjah orang dan sekarang baru ia merasa, bahwa paras pemuda itu agak
berlainan dengan Lie It. Tapi sebab kuatir disalahkan, ia berkeras kepala dan
berkata : "Mana bisa salah " Dipuntjak Kim-teng, gunung Ngo-bie-san, aku telah
bertemu dengan dia dan aku pasti tidak salah mengenalinja. Paras mukanja jang
seperti orang sakit adalah akibat djarum Touw-hiat Sin-tjiam. Ratjun sendjata
rahasia itu sudah mengamuk hebat dan mengubah warna mukanja ". "Gila kau !",
bentak Tjie Kie. "Sedari dilahirkan, paras mukaku sudah seperti sekarang. Itulah
sebabnja, mengapa orang2 Kang-ouw memberi gelaran Peng-oet-tie (Oet-tie Kiong
penjakitan) kepadaku. Dalam bulan Sha-gwee tahun ini aku tidak pernah pergi ke
Pa-tjioe. Dengarlah kau ! Aku she Thio, bukan she Lie !. Djangan kau main
gila !". "Perlu apa kau datang di kotaradja ?", tanja Pwee Tjiang. "Untuk turutserta dalam pemilihan Wie-soe dari pasukan Sin-boe-eng ", djawabnja. "Pembesar
kota Bie-san telah memberi seputjuk surat pudjian kepadaku supaja aku bisa turut
dalam udjian. Djika kau tidak pertjaja, kau boleh batja surat itu ...". "Wangwee, djangan pertjaja. segala omong-kosong ", memutus Thia Thong. "Aku berani
memastikan, dia bukan lain daripada Lie It tulen ". Baru sadja Pwee Tjiang mau
membuka mulut, se-konjong2 seorang boesoe menerobos masuk. "Wan-gwee ...!",
katanja dengan suara bingung. "Sepasukan tentara telah menerdjang masuk kedalam
kampung kita ...! Kami belum tahu, pasukan itu dari mana datangnja ". Pembesar
she Ong itu ketakutan setengah mati. "Me ..., mengapa begitu tjepat ?", katanja
dengan suara bergemetar. "Lekas ! lekas tjari tahu, dari mana mereka datang.
Dari Tiang-an atau dari pembesar setempat ...". Pwee Tjiang mendelik. "Tidak
perduli dia she Thio atau she Lie, dia tetap kaki-tangan Boe Tjek Thian ",
katanja. "Kita tidak dapat memberi ampun kepadanja. Thia Thong, geledah badannja
dan tunggu sampai aku kembali. Kau harus mendjaga baik2, djangan sampai dia bisa
kabur ". Sehabis berkata begitu, sambil menarik tangan "Ong Taydjin", ia menekan
sebuah kenop ditembok dan sebuah pintu lantas sadja terbuka. Semua orang,
ketjuali Thio Tjie Kie, Thia Thong dan seorang boesoe lain, segera masuk kedalam
pintu itu jang kemudian tertutup lagi.
---oo0oo--DALAM tempo sekedjap, beberapa matjam ingatan keluar-masuk dalam otak Lie It.
Semula ia niat menguber Pwee Tjiang, tapi di lain detik, ia mengubah niatannja.
Biar bagaimanapun djua, Thio Tjie Kie telah mendjadi korban karena gara2-nja dan
ia merasa sangat tidak tega. Selagi ia me-nimbang2 tindakan apa jang akan
diambilnja, tiba2 terdengar teriakan menjajat hati. Ternjata, Thia Thong sudah
turunkan tangan djahat dan menghantjurkan tulang pundak Thio Tjie Kie. Sesudah
tertawa ter-bahak2, Thia Thong berkata: "Sekarang dia tak akan bisa lari lagi.
Samko, tolong geledah ...". Perkataan itu putus ditengah dialan, karena orang
jang dipanggil "Samko" itu mendadak roboh terguling. Sebagai seorang jang
berkepandaian tjukup tinggi, ia mengerti, bahwa telah terdjadi sesuatu jang luar
biasa. Bagaikan kilat ia melompat kesamping "Prak...!", sebuah genteng djatuh
hantjur dilantai, disusul dengan melompat turunnja sesosok tubuh manusia. Thia
Thong terkedjut. "Siapa kau ?", bentaknja. Tangan Lie It berkelebat dan dengan
sekali mendjambret, ia sudah mentjengkeram tulang pundak Thia Thong. "Andjing
buta !", teriaknja dengan gusar, "Buka matamu! Aku Lie It ...!". Ia mengerahkan
lweekang dan memidjit tulang pundak Thia Thong jang lantas mendjadi hantjur. Dia
berteriak keras dan roboh pingsan. Dalam keadaan kesusu Lie It tidak mau membuang2 tempo untuk memeriksa luka Thio Tjie Kie.
Ia menotok djalan darah Tjie Kie untuk mengurangkan mengalirnja darah, lalu
menggendongnja dan terus lari. Sesaat itu, diluar gedung sudah ramai dengan
suara berbengernja kuda dan teriakan tentara, sedang pengawal2 keluarga Pwee
sudah berkumpul didalam taman dan kemudian naik diatas tembok untuk melawan
sadja. Lie It tiba ditaman, pintu sudah didobrak dan sedjumlah tentara sudah
menerobos masuk. "Pwee Tjiang ...! Lekas keluar untuk menjambut firman !",
teriak seorang perwira. Tapi Pwee Tjiang tidak kelihatan mata-hidungnja dan para
boesoe sudah mulai bertempur dengan tentara negeri. "Pwee Yam berdosa besar, dia
tjoba memberontak !", teriak pula perwira itu, "Apa kamu djuga mau mampus ?".
Mendengar antjaman itu, sebagian boesoe merasa djeri lalu menjingkirkan diri.
Tapi dalam usaha untuk menggulingkan Boe Tjek Thian, Pwee Yam mempunjai banjak
kaki-tangan jang benar setia kepadanja. Mereka itu tidak mendjadi keder dan
terus melawan, sehingga didalam taman lantas sadja terdjadi pertempuran jang
sangat hebat. Dengan menggendong Tjie Kie, Lie It bersembunji dibelakang sebuah
gunung2-an. Makin lama pertempuran makin mendekati tempat bersembunjinja dan
disekitarnja djadi makin terang-benderang karena sorotan obor2. Ia mengeluh, ia
mengerti, bahwa tak gampang2 ia bisa lari keluar. Se-konjong2 sebatang anak
panah menjambar dan ia berkelit. Apa mau kelitan itu telah menggontjangkan
tulang Thio Tjie Kie jang remuk, sehingga ia berteriak kesakitan. Karena tempat
sembunjinja sudah ketahuan, ia terpaksa melompat keluar dan terus kabur. Koankee (pengurus rumah tangga) keluarga Pwee, jang memimpin perlawanan itu, kaget
dan berteriak : "Tjegat ...! Bunuh mereka !". Ia menganggap Tjie Kie sebagai Lie
It dan Lie It sebagai orang jang dikirim oleh Boe Tjek Thian. Ia tahu, bahwa apa
jang paling ditakuti oleh madjikannja adalah kedatangan Lie It ke kotaradja
untuk membuka rahasia dihadapan sang kaisar. Kalau sampai terdjadi begitu,
seantero keluarga Pwee tidak akan dapat pengampunan lagi. Maka itu ia segera
memerintahkan pembantu2-nja untuk membinasakan kedua pemuda itu. Sementara itu
Lie It segera terhalang oleh satu serangan mendadak. Dibarengi suara
menjambernja sebatang pedang menikam kearahnja. Ia lantas berkelit sambil
menundukkan kepalanja sedang tangannja lantas diulur untuk menjamber tangan si
penjerang, hingga sedjenak sadja ia dapat merampas pedang orang, untuk
dilemparkan!. Tjelaka seorang boesoe jang berada didekat mereka, pedang itu
nantjap didadanja. Tanpa menghiraukan apa djuga Lie It berlari terus. Segera ia
mendengar pula suara angin di belakangnja. Ia kaget sekali. Hebat serangan itu.
Ia tidak menjangka dirumah keluarga Pwee ada orang demikian liehay. Ia memang
telah menghunus pedangnja, maka ia lantas menangkis kebelakang. Ia menggunai
tipu silat "Souw Tjin pwee kiam" atau "Souw Tjin menggendol pedang". Satu suara
njaring terdengar karena tangkisan itu. Kedua sendjata bentrok, lelatu apinja
meletik berhamburan. Lie It pun kaget. Karena ia menggendong orang, bokongan itu
membikin gerakannja kurang gesit. Hampir sadja ia kena dibatjok. Djusteru itu,
datang serangan susulan, jang kedua kali. Sekarang ia sudah bersedia. Maka ia
menggeser tubuhnja. Ini pun berarti, ia menghindarkan tubuh Thio Tjie Kie dari
antjaman bahaja. Sambil berkelit, ia menangkis. Kembali terdengar suara
bentrokan, hanja tidak senjaring tadi. Sekarang tadjamnja pedang memapaki
sendjata lawan, maka sendjata lawan itu, sebatang golok, kena dipapas somplak.
Menjusul tangkisannja itu, dengan kesebatannja. Lie It membalas menjerang. Ia
menggunai djurus "Wan-tee-hoan-in" atau "Membalik mega di bawah lengan".
Serangan ini tidak mengenai sasarannja. Sekarang barulah Lie It dapat melihat
djelas pembokongnja itu, jalah si koan-kee atau pengurus rumah keluarga Pwee
itu. Him Pek San adalah nama si koan-kee. Dia asal pendjahat besar dalam dunia
Liok-lim atau Rimba Hidjau, dan dalam kalangan Kang-ouw, atau Sungai Telaga,
dialah orang kelas satu. Maka itu tidak heran bahwa dia liehay sekali. Dia pun
terkedjut mendapatkan Lie It, jang menggendong orang, demikian liehay. Tapi dia
tidak mendjadi lengah karenanja. Segera dia madju pula, menjerang dengan djurus
dari Pat-kwa-too, jalah ilmu golok Patkwa. Biar bagaimana, dia menggunakan beban
Lie It untuk mendesak, guna saban2 membatjok Thio Tjie Kie. Djikalau Lie It
menurunkan Tjie Kie, ia akan segera dapat memberikan perlawanan dengan leluasa.
Ia djusteru tidak sudi berbuat demikian. Pikirnja : "Tidak, tidak dapat aku
meninggalkan dia ! Dia benar hendak pergi kepada Boe Tjek Thian, hingga dia bisa
dipandang sebagai musuhku, akan tetapi keadaannja begini rupa, dia sedang
terluka, djikalau aku meninggalkan dia, perbuatanku bukan perbuatan seorang
gagah ". Maka ia berkelahi dengan waspada, terutama untuk melindungi orang
dipunggungnja itu. Him Pek San liehay. Satu kali dia menggunakan tipu, jalah
mengantjam kearah kedua kaki Thio Tjie Kie. Lie It melihat serangan itu, ia
terpaksa menangkis dengan tipu pedangnja "Si nelajan tua memantjing ikan".
Pedangnja menangkis kebawah. Disaat itu, Pek San mengubah serangannja. Sambil
berseru, dia mengubah arah tudjuan goloknja, jalah tidak lagi terus kebawah,
hanja berbalik keatas, kepundak Lie It selagi pundak si pemuda turun mengikuti
tangkisan pedangnja. Kalau mulanja dia menggunakan djurus "Hee tjioe too" atau
"Golok turun", sekarang dia menggunakan 'Siang-tjioe-too' atau "Golok naik".
Oleh karena dia memangnja telah bersedia, serangannja ini tjepat dan sangat
berbahaja. "Serrr ...!", demikian terdengar satu suara mambarengi batjokan Him
Pek San itu. Itulah samberan sebatang piauw, jang tepat mengenai lengannja.
Karena ini, batjokannja mendjadi meleset dari sasarannja. Lie It berlaku sebat
dan lintjah. Ia mengangkat sebelah kakinja, menendang. Djitu tendangan ini. Him
Pek San terdupak ulu hatinja, maka dia mendjerit sambil memuntahkan darah hidup,
tubuhnja roboh terguling. Penjerang dengan piauw kepada Him Pek San itu jalah
seorang tongnia atau komandan Gie-lim-koen, pasukan kaisar. Dia menerima tugas
untuk menggeledah rumah keluarga Pwee. Heran dia melihat Lie It merobohkan koankee itu. "Kau siapa, tuan ?", ia menanja. "Apakah tuan pun diutus Thian-houw ?".
Lie It tidak mendjawab. Djusteru orang menanja, ia berlompat, untuk meninggalkan
tongnia itu jang si komandan ini mendjadi heran. Dalam tjuriganja, dia lantas
menjerang dengan piauwnja, tiga kali beruntun. Tapi semua serangan itu dapat
digagalkan Lie It, jang menangkis dengan pedangnja. Didepan Lie It ada dua orang
anggauta Gie-lim-koen. Mereka itu madju, untuk merintangi, masing2 mengantjam
dengan sam-tjiat-koen dan golok besar. Sam-tjiat-koen jalah rujung berantai tiga
batang rujung disambung mendjadi satu. Lie It tidak perduli ada orang
menghalang, dia madju terus. "Kau mau mampus ?", mereka menegur. Mereka mendjadi
bingung, sebab mereka melihat tegas, bahwa Lie It merobohkan beberapa orang
keluarga Pwee. Lie It tetap membungkam. Ketika ia dihalangi dengan sam-tjiatkoen, ia menabas rujung orang hingga kutung. Ketika ia dibatjok, ia berlompat
berkelit, hingga dengan begitu dapat ia melewati penghalangnja itu. "Tidak
perduli dia siapa, bekuk dulu !", achirnja si tongnia berseru, memerintah. Ia
tidak mau terhalang oleh kesangsiannja. Lie It lantas sadja diserang dua orang,
jang masing2 bersendjatakan rujung kong-pian dan tombak. la mendjedjak tanah
dengan kedua kakinja, untuk berlompat. Ia menggendong orang tapi ia masih dapat
melompat tinggi. Kedua penjerang itu, jang datangnja dari samping kiri dan
kanan, tidak dapat menahan serangan mereka. Ketika serangan mereka gagal,
sendjata mereka bentrok satu dengan lain, tubuh mereka pun terdjerunuk. Baru Lie
It menaruh kakinja ditanah, atau datang serangan jang ketiga. Penjerang ini
tjetek ilmu silatnja, ketika Lie It menangkis, dia tidak berdaja, goloknja kena
dibabat kutung, menjusul mana, dia pun ditotok djalan darahnja. Lie It lari
terus. Ia berlompatan kekiri dan kanan, guna menjingkir dari setiap rintangan.
Ia repot sebab musuh2-nja terdiri dari orang-orang keluarga Pwee dan Gie-limkoen. Ketika ia hampir tiba dipintu belakang, ia mendengar bentakan
menggeledek : "Berhenti !". Itulah bentakan seorang, jang menghalang didepannja.
Orang itu menjerang dengan sebatang tombak, jang udjungnja ber-gojang2. Lagi
sekali Lie It kaget. Ia tahu bahwa ia menghadapi seorang liehay lain. Dengan
terpaksa ia menangkis. Sendjata mereka bentrok, memuntjratkan lelatu api. Lalu
keduanja sama2 terkedjut. Karena bentroknja sendjata mereka, keduanja mundur
tiga tindak. Itulah tidak heran. Penjerang dengan tombak itu jalah Tjiang Tay
Sioe, pemimpin Gie-lim-koen, jang berpangkat Liong Kie Touw-oet. Tidak berani
Lie It berlaku ajal. Dengan lantas ia berlompat pula, untuk menjingkir dari
tempat jang berbahaja itu. Lagi sekali ia dirintangi seorang kaki-tangan
keluarga Pwee, maka dalam sengitnja, setelah berkelit, ia mendjambak orang itu,
ia angkat tubuhnja, lalu melemparkannja sambil berseru : "Sambutlah !". Ia
melemparkan tubuh orang kemuka Tjiang Tay Sioe. Kembali Tay Sioe mendjadi heran.
Jang dilemparkan itu kaki-tangan keluarga Pwee. Maka orang ini, musuhkah atau
kawankah " Untuk membebaskan diri dari bahaja, terpaksa ia menangkis tubuh orang
keluarga Pwee itu. Lie It menggunakan kesempatan ini untuk terus menjingkir.
Masih ada beberapa perintang tapi ia robohkan mereka semua. ketika ia tiba
dipintu belakang dari taman itu, Tay Sioe mengedjar padanja. Ia lantas berteriak
: ,Hai, perlu apa kamu mengedjar aku " Pwee Tjiang sudah lari dari belakang
gunung ! Kenapa kamu bukannja pergi menangkap pemberontak ?". Tay Sioe
terkedjut. Rumah keluarga Pwee itu benar sudah dikurung tetapi mereka jang
mendjaga dibelakang tidak besar djumlahnja, kalau musuh lari kebelakang, mungkin
mereka dapat lolos. Maka itu, lantas ia memerintahkan orangnja memburu
kebelakang. Ia memetjah sedjumlah serdadunja. Dalam pertempuran
katjau itu, pihak Gie-lim-koen telah berhasil melabrak orang2 keluarga Pwee,
diantara siapa sebagian telah kabur, sebagian masih melawan saking terpaksa.
Djusteru karena sibuk memetjah orang2-nja, Tay Sioe telah mesti membagi
perhatiannja. Maka itu, Lie It kabur terus. Sampai diluar, ia merampas seekor
kuda tunggangan. Ia lompat kepunggung kuda itu, untuk kabur dalam kegelapan.
Masih ada beberapa pengedjarnja tetapi ia membikin mereka itu tidak berdaja.
Sesudah menjingkir selintasan, hingga ia tidak mendengar suara pengedjarnja, Lie
It turun dari kudanja, guna mendekam ditanah, untuk memasang kuping. Benar2 ia


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah tidak dikedjar lebih djauh. Hatinja mendiadi lega. Ia gendong tubuh Tjie
Kie. Dalam sinar bulan, ia mendapatkan muka orang putjat sekali dan kedua
matanja pun dirapatkan. Ia meraba nadinja. Kesudahannja, hatinja mendjadi lega.
Denjutan nadi itu mejakinkannja, bahwa Tjie Kie tidak terluka didalam. Ia lantas
berpikir. Ia bawa Tjie Kie kedalam rimba, untuk diletakkan ditempat tak berpohon
dilapangan berumput. Karena ia membekal obat2 luka, ia lantas mengobati. Hanja
sebentar Lie It menantikan. Begitu lekas darah berhenti keluar dan membeku, ia
mulai menotok djalan darah Tjie Kie, untuk membebaskannja dari pingsannja. Tjie
Kie tersadar. Per-lahan2 ia membuka matanja. Ia segera mengenali, penolongnja
jalah si "sastrawan miskin" dari rumah makan. Ia mendjadi heran. "Kiranja Tuan
seorang jang berilmu-kepandaian tinggi", katanja. "Aku minta Tuan suka memaafkan
aku ! Budimu ini, Tuan, akan kuukir didalam hati. Aku pun mohon maaf, bahwa aku
tidak dapat berbangkit untuk memberi hormat, dan menghaturkan terima kasihku
seperti lajaknja ". "Saudara Thio, djangan kuatir ", kata Lie It. "Lukamu itu
luka diluar, setelah beristirahat beberapa hari, kau akan sembuh ...". Thio Tjie
Kie sengit sendirinja. "Aku menjesal, bahwa ilmu silatku telah musnah. Hmmm ...!
Aku tidak menjangka bahwa aku, Thio Tjie Kie dari Bie-san, mesti menderita
ketjelakaan ini ! Sakit hatiku ini sukar dibalaskan, maka itu, djikalau aku
mati, mataku tidak dapat meram !". "Saudara Thio, sakit hatimu telah terbalaskan
", Lie It memberitahukan. "Apakah kau jang membinasakan dia, tuan Lie ?".
"Bukan, bukan ! Tentara negeri telah datang menjerbu. Mungkin si bangsat tua
djuga tidak akan lolos !". Tjie Kie heran. "Djadi benarlah mereka itu kawanan
pemberontak ?". "Kira2 begitu ". "Terima kasih kepada langit, terima kasih
kepada bumi !", Thio Tjie Kie memudji. "Dasar Thian-houw maha bidjaksana !
Biarpun aku tidak dapat membantu lagi kepada Thian-houw, tetapi penasaranku ini
telah terlampiaskan !". Tidak puas Lie It mendengar orang me-njebut2 pemberontak
sambil sebaliknja memudji Thian-houw atau Boe Tjek Thian tinggi2, djikalau
bukannja orang sedang terluka, mungkin ia akan menggamparnja. Ia lantas
berpikir, "Saudara Thio, untuk apa kau pergi ke kotaradja ?", kemudian ia
bertanja. Ia lakukan itu dengan terpaksa, dengan menahan hati. Ia tahu maksud
orang, tetapi ia menanja djuga. Tjie Kie menghela napas. "Kau menanjakan, 'inkong' (tuan penolong), tidak dapat aku tidak mendjawab ", dia menjahut. Dia
sekarang menjebut 'in-kong'. "Thian-houw hendak mengadakan pemilihan anggauta
wie-soe atau pradjurit barisan Sin Boe Eng, maka aku datang untuk turut dalam
pemilihan itu. Aku telah dipudjikan oleh tiehoe dari Bie-san untuk turut dalam
udjian. Sekarang tulang piepee-ku telah terluka dan ilmu silatku pun musnah,
terpaksa aku mesti melepaskan segala harapanku untuk memandjat tangga
kepangkatan. "Apakah saudara masih membawa surat pudjian tiehoe itu ?", tanja
Lie It. "Ada ! Hanja sekarang ini, apakah gunanja ?". Dengan tangan
bergemetaran, Tjie Kie me-raba2 kedalam sakunja, untuk mengeluarkan surat
pudjian itu. Ia memeriksanja didepan matanja. Tiba2 ia mengertak gigi, lalu ia
memegangnja dengan kedua tangan, akan dirobek hantjur. Lie It waspada, ia segera
mendahului merampasnja. Tjie Kie heran, ia menghela napas.. "In-kong, untuk
apakah kau menjajangi kertasku ini ?", tanjanja. "Seumur hidupku, tidak dapat
aku menggunakannja pula, bahkan akan menjebabkan kedukaanku melulu ". Lie It
tertawa. "Orang baik akan diberkahi Thian ", katanja. "Siapa tahu djikalau kau
dapat kesempatan untuk memperoleh kembali kepandaianmu itu, saudara Thio ?".
"Itulah tak akan terdjadi, ketjuali Hoa To hidup pula atau Pian Tjiak mendjelma
kembali ", kata Tjie Kie sangat sedih. 'Pian Tjiak' dan 'Hoa To', keduanja jalah
tabib2 pandai didjaman dahulu. "Orang berilmu, saudara, terdapat disegala djaman
", Lie It menghibur. "Begitupun didjaman kita ini, siapa memastikan, bahwa kini
tidak ada tabib sepandai Pian Tjiak atau Hoa To ?", Tjie Kie menjeringai. Ia
tertawa, tertawa sedih. "Tabib pandai mungkin ada, tetapi sukar diminta
pertolongannja ", katanja pula. "Laginja, umpama kata aku berhasil menemui tabib
pandai, tulang selangkaku sudah hantjur, maka paling sedikitnja aku memerlukan
waktu beberapa tahun lagi baru aku bisa mejakinkan pula ilmu silatku, sedang
sekarang ini jalah dalam bulan ini, Thian-houw akan mengadakan pemilihannja
itu ! Apa perlunja aku memiliki surat pudjian ini ?". "Saudara Thio ", kata Lie
It, "djikalau tetap saudara tidak menginginkan surat pudjian ini, aku akan
memberanikan diri untuk memintanja. Sudikah kau menjerahkannja kepadaku ?". Thio
Tjie Kie mendjadi heran. "Untuk apakah itu ?", ia tanja. "Aku mempunjai seorang
adik jang mirip denganmu, saudara Thio ", djawab Lie It. "Adikku itu djuga
mengerti sedikit ilmu silat, hanja sajang dia tidak mempunjai orang jang dapat
memudjikan padanja, dari itu, djusteru ada ketika ini, aku ingin memakai surat
pudjian ini agar dia dapat turut menempuh udjian itu. Djikalau dia bisa
berhasil, adalah kau jang menghadiahkannja pangkat itu. Dengan begitu, aku pun
turut bersjukur terhadapmu ". "Aku telah kau tolong, in-kong, djiwaku seperti
dihidupkan pula olehmu ", kata Tjie Kie. "Budimu itu besar sekali, walaupun
tubuhku hantjur-lebur, tak dapat aku membalasnja, dari itu, mengapa aku
menjajangi surat pudjian ini jang hanja barang sampiran, jang untukku sudah
tidak ada gunanja" Hanjalah hendak aku memberitahukan, Thian-houw mempunjai
aturan jang keras, aku kuatir, djikalau kemudian rahasia itu petjah, mungkin
adikmu akan berada dalam bahaja ...". "Tentang itu tidak usah saudara kuatir,
sebab mengenai nasib manusia, dia beruntung atau bertjelaka, semua sudah ada
tulisannja. Mungkin dia ditakdirkan akan memperoleh kemuliaan. Djikalau sampai
terdjadi demikian, umpama rahasia ini petjah, mungkin Thian-houw suka memaafkan
kepadanja. Tapi, umpama kata benar seperti kekuatiran saudara, djuga baiklah
saudara djangan kuatir. Dapat saudara katakan, bahwa surat pudjian itu telah
dirampas orang dari tangan saudara. Saudaraku sendiri akan mempunjai
djawabannja, hingga saudara tidak akan ke-rembet2 ". Tjie Kie tertarik hatinja,
ia menaruh kepertjajaan. "Djikalau begitu, silahkan saudara ambil !", katanja.
"Surat ini tidak ada perlunja lagi untukku, dengan ini aku dapat membantu lain
orang, kenapa aku tidak senang memberikannja " Aku tidak hendak pulang lagi ke
Bie-san, aku akan menjembunjikan diri di rumah salah seorang sahabatku. Umpama
kata benar rahasia petjah, akan aku menerangkan bahwa benar aku telah diganggu
orang djahat dan surat pudjian itu kena dirampas. Aku rasa tulang selangkaku
jang hantjur ini dapat dipakai sebagai alasan untuk menguatkan keteranganku itu.
Pasti sekali saudaramu itu, in-kong, bisa mengaku ia mendapatinja dari tangan si
perampas. Dan, seandai perkara mesti diperiksa di muka istana, akan aku
memberikan keterangan jang serupa guna membantu saudaramu itu ". Sebenarnja Lie
It djemu terhadap orang she Thio ini, djemu karena orang hendak membantu Boe
Tjek Thian, akan tetapi mendapatkan orang demikian djudjur dan dapat mengambil
keputusan demikian bidjaksana, hatinja memikir : "Dia benar kepintjut
kepangkatan dan mau pergi ke kotaradja untuk mendjadi budaknja Boe Tjek Thian,
tetapi dia tetap seorang jang hatinja baik, maka aku mesti merasa malu sendiri
jang aku mesti mendusta mengakali surat pudjiannja ini ...". Maka ia lantas
berkata: "Sekarang tjuatja bakal mendjadi terang, tidak dapat aku berdiam lebih
lama pula ber-sama2 kau, dari itu kebetulan saudara hanja mendapat luka diluar,
darah pun sudah berhenti keluarnja, setelah beristirahat lagi sekian lama, kau
akan dapat pulang kesegaranmu. Pula sebentar, setelah tjuatja terang dan ada
petani jang lewat disini, saudara boleh mentjeritakannja untuk minta
pertolongan. Apakah kau membutuhkan uang ?". "Uangku tidak kena dirampas, aku
mempunjai tjukup ", kata Tjie Kie "In-kong, terima kasih banjak untuk kebaikan
kau ini ". Sedjenak itu, Tjie Kie kurang puas jang Lie It hendak
meninggalkannja. Bukankah ia tengah terluka " Akan tetapi, setelah memikir
sebaliknja, ia anggap perlu lekas2 Lie It menjingkir. Maka itu, ia lantas
mengandjurkan Lie It lekas pergi. Lie It sendiri tidak tega meninggalkan orang
luka itu, maka itu, sebelumnja pergi, ia menanjakan alamat sahabatnja Tjie Kie
itu. Ia telah pikir, umpama kata ia bisa menemui tabib pandai, hendak ia
menolong lebih djauh ini sahabat baru. Hanja mengenai maksudnja ini, ia tidak
mengutarakannja. Begitu lekas mereka sudah berpisah, Lie It berlalu dengan berlari2. Baru setelah pergi djauh, dan ketika tjuatja mulai terang, ia berhenti
untuk beristirahat di tepi sebuah kali ketjil. Di sini ia mentjutji mukanja,
untuk membuang kumis-djenggotnja, setelah mana, ia pulas mukanja dengan obat
pelumas warna kuning, guna membikin kulit mukanja mendjadi berubah. Ketika
kemudian ia berkatja di muka air, ia tertawa sendirinja. "Ini dia jang dibilang,
tulen jalah palsu, palsu jalah tulen ", pikirnja. "Ini obat berwarna untuk
menjalin rupa sungguh sempurna. Kemarin ini, orang menganggapnja Thio Tjie Kie
jalah aku, setelah ini selandjutnja, orang pasti akan menganggap akulah Thio
Tjie Kie !". ---oo0oo--TIGA hari kemudian maka tibalah sudah Lie It di Tiang-an, kotaradja. Ia
mendapatkan banjak gedung jang indah dan banjak toko, keadaan ramai sekali,
sedang di djalan besar, orang seperti berdesakan. Jang menarik perhatian jalah
sekarang ini suasana ada terlebih menggembirakan daripada dulu2. Maka, di
samping hati tertarik, ia mendjadi berpikir. Lantas Lie It mentjari sebuah rumah
penginapan. Ia pun lantas mentjari pakaian, untuk berdandan, la menggantikan
Peng-oet-tie Thio Tjie Kie, maka ia berpakaian sebagai boesoe, seorang jang
mengerti ilmu silat. Thio Tjie Kie menggunai dua rupa sendjata, pedang dan
rujung kong-pian, maka ia pun pergi membeli dua rupa sendjata itu. la membeli
pedang karena ia mesti menjembunjikan pedangnja sendiri agar pedang itu tidak
ada jang melihat dan mengenali. Setelah selesai menjiapkan diri. Lie It pergi
mendaftarkan diri. Touw-oet, atau kepala dari tangsi Sin Boe Eng, bernama Hektjie Beng Tjie. Dialah adik dari Hek-tjie Siang Tjie, jang mendjadi Kanglam-too
Tjongkoan. Mereka sebenarnja bangsa Ouw atau Tartar. Ketika Kaisar Tong Thaytjong Lie Sie Bin menggeraki tentara membangun negara atau keradjaan Tong, dia
menggunai banjak orang Kang-ouw, hingga keluarga Hek-tjie banjak djasanja.
Demikian sampai pada djaman Kaisar Tong Kho-Tjong Lie Tie, tahun Eng-liong, Hektjie Beng Tjie diangkat mendjadi Liong Kie Touw-oet, komandan, dari Gie-limkoen, jaitu pasukan kaisar, dan dia dihadiahkan she Lie, maka dia dipanggil
djuga Lie Beng Tjie. Dia terpakai terus ketika Boe Tjek Thian naik atas tachtakeradjaan, hanja dia diangkat mendjadi touw-oet dari tangsi Sin Boe Eng.
Anggauta2 Sin Boe Eng jalah tentara pribadi dari kaisar. Tugasnja jalah, di
waktu damai mendjaga keraton, di waktu perang turut mengiringi kaisar ke medan
laga. Djadinja, Sin Boe Eng ada lebih mendekati kaisar daripada Gie-lim-koen.
Karena itu djuga, setiap kota memudjikan orang muda jang gagah untuk mendjadi
tjalon2 anggauta Sin Boe Eng. Orang2 muda demikian, ketjuali gagah, pula ada
tanggungannja, hingga mereka dapat dipertjaja. Lie It mendaftarkan diri dengan
lantas diterima. Di samping surat pudjian pembesar kota Bie-san itu, lebih dulu,
pembesar tersebut telah mengirim namanja berikut gambarnja. Ia lantas
ditempatkan di dalam tangsi, guna menanti saatnja udjian di waktu mana
kepandaiannja akan membikin ia terpilih atau tidak. Kali ini dibutuhkan seratus
wie-soe, atau pahlawan. Sebaliknja, dari pelbagai kota, datang dua ratus tjalon.
Untuk Lie It, ketikanja baik sekali. Ia hanja bingung memikirkan, di waktu
diudji, bagaimana ia harus menggunai ilmu silatnja. Ia kuatir, djikalau ia
memperlihatkan antero kepandaiannja, kepandaian itu nanti menarik perhatian dan
mendatangkan ketjurigaan. Djikalau ia tidak mempertontonkan kepandaiannja, ia
kuatir nanti ditolak. Kapan telah tiba hari udjian, Lie Beng Tjie sendiri jang
memegang pimpinan. Lebih dulu setiap tjalon diudji kepandaiannja menggunai panah
dan menunggang kuda. Semua tjalon lulus. Lalu mereka disuruh bersilat dengan
delapan belas matjam sendjata. Sjaratnja jalah mesti pandai di dalam satu atau
dua rupa sendjata itu. Kemudian orang ditanja, apa jang mendjadi kepandaiannja
jang istimewa Kepandaian ini perlu, untuk mereka dapat dipilih untuk tempatnja
masing2 jang tjotjok dan tepat. Lie It melihat, meskipun banjak tjalon pandai
menunggang kuda dan main panah, jang pandai ilmu silat tidak seberapa orang. Ia
memperhatikan seorang tjalon dari kota Le-koan, propinsi Hoolam. Dia itu lulusan
boekiedjin. Baik dia memanah berdepan, maupun sambil membalik tubuh, tiga2 anak
panahnja mengenai sasaran titik merah dengan djitu. Dia lulus dalam udjian
panah. Jalah selagi ia melarikan kudanja, seorang memanah ia dari belakang. Ia
menunggu tibanja anak panah itu, lantas ia memutar tubuh dan menjerang. Anak
panah itu dapat dihadjar djatuh. Untuk itu, ia tidak menoleh ke belakang lagi,
dan udjung panahnja pun mengenai tepat udjung anak panah itu. Maka ia disambut
tempik-sorak seluruh hadirin. Hanja ia ketahui, kepandaian itu disebabkan utama
dia pandai mendengar suara anginnja anak panah tersebut. Toh ia turut bertepuk
tangan. Menjusul itu tjalon dari kota Thay-hoo, Kangsee, mamperlihatkan
kepandaian atau kekuatan kakinja. Dia seorang boekiedjin. Lie Beng Tjie
menitahkan menantjap sepuluh batang kaju pek sebesar mangkok, tingginja masing2
delapan kaki, ditantjapnja setinggi pinggang. Orang umumnja kaget melihat
pelbagai pelatok itu. Boekiedjin dari Tayhoo itu mendjura kepada Lie Beng Tjie
sebagai tjoe-ko-khoa, jalah pembesar udjian, lalu dia berkata : "Aku hendak
membikin patah sepuluh batang pelatok ini. Kalau ada satu pelatok sadja jang
tidak patah, aku bersedia menerima hukuman ". Habis berkata, dia bertindak
menghampirkan pelatok2 itu. Ketika dia menggeraki kaki kanannja, suara njaring
terdengar. Njata sebatang pelatok sudah patah sebatas tanah. Dia madju pula,
kaki kirinja bekerdja. Pelatok jang kedua pun patah. Di antara sorak riuhrendah, dia terus-menerus mendupak, hingga achirnja tempik-sorak terdengar tak
hentinja. Lie Beng Tjie tersenjum. "Sungguh tidak gampang untuk melatih
ketangguhan kaki ini ", katanja. Ia lantas membikin bundaran di atas nama orang,
hingga si boekiedjin mendjadi girang sekali. Kemudian ia tertawa dan menanja.
"Sekarang, dapatkah kau mentjabut semua sisa pelatok itu ?". Tjalon itu
melengak. "Aku aku belum pernah mentjoba ", sahutnja, bingung dan djengah. Lie
Beng Tjie mengibaskan sebelah tangannja. Itulah tanda memanggil salah seorang
wie-soe atau pengawalnja sendiri. Boesoe itu lantas muntjul. Dia tahu apa jang
dia mesti lakukan. Dia lantas membungkuk, mengulur tangan dan mentjabut pelatok
jang mendam itu. Njata dia kuat dan pandai sekali. Di dalam tempo jang pendek,
sepuluh sisa pelatok itu dapat ditjabut semua. Lie It terperandjat di dalam
hati. Tidak gampang untuk mentjabut pelatok itu. Pahlawannja Beng Tjie ini jalah
seorang jang pandai Tay-lek Eng-djiauw-kang, atau ilmu Tjengkeraman Kuku Garuda.
"Kau dapat diterima ", kata Beng Tjie kepada boekiedjin itu. "Kau bekerdja di
bawah perintah dia ini sebagai sio-twie-thio. Djikalau ada temponja jang luang,
kau boleh beladjar lebih djauh di bawah perintahnja ". Karena melihat si
boekiedjin rada djumawa, sengadja Beng Tjie hendak membuatnja tunduk, supaja dia
djangan terus berkepala besar. Ketika itu di antara orang banjak terdengar satu
suara tertawa. Beng Tjie mendengar itu, ia mengawasi, lalu memanggil. Ketika
orang telah datang dekat, ia menanja : "Apakah kau mempunjai kepandaian jang
terlebih liehay ?". "Sekarang ini belum datang giliranku ". orang itu menjahuti.
"Sekarang kau boleh mulai !". Orang itu minta dua gantang katjang hidjau, ia
tuang itu ke lantai, untuk diampar, habis mana ia bertindak di atas itu. Selama
itu, para hadirin berdiam semua, matanja mengawasi. Di saat seperti itu, djarum
djatuh pun akan terdengar suaranja. Njatanja, katjang hidjau jang kena diindjak
lantas petjah hantjur mendjadi tepung. Tentu sekali ilmu tenaga-dalam seperti
ini djauh lebih hebat dari pada menendang roboh pelatok dan mentjabut sisa2-nja
pelatok itu. "Dia antara tjalon2 ini, dialah jang paling liehay ", Lie It pikir.
Ketika ia menanja orang di sebelahnja, ternjata dia itu jalah Tjioe Tay Lian,
boesoe dari Sin-hoa, Ouwlam. "Bagus !", kata Lie Beng Tjie tertawa. "Sekarang
aku tanja kau, dapatkah kau mengeduk tepung katjang hidjau itu, supaja tidak ada
jang ketinggalannja ?". Tjioe Tay Lian heran, hingga ia tidak lantas mendjawab.
Pikirnja, "Walaupun ia menggunai sesapu, belum tentu ia dapat mengeduk bersih
semua tepung itu ". Ia menganggap aneh pertanjaan itu. Lie Beng Tjie menggapai
kepada seorang boesoe jang memegang bendera besar, jang berada di sampingnja.
Orang itu menghampirkan. Ia lantas menitahkan : "Kau tolong menjingkirkan tepung
katjang hidjau itu ". Segera terasa menjambernja angin disebabkan gerakan
bendera itu. Bagaikan terhisap, semua tepung tergulung ke dalam bendera, lantas
lantai itu bersih dari tepung itu. Habis itu si boesoe menghampirkan Lie Beng
Tjie, untuk melaporkan selesainja tugasnja itu. Ia mendjura. Lantas ia membeber
benderanja jang tergulung itu. Segera terdjadi hal jang mengherankan. Tepung itu
mendjadi gempel, merupakan seperti gumpalan sebesar mangkok, ketika djatuh di
lantai, tidak petjah!. Lie It benar2 terkedjut. Mengindjak katjang hidjau
mendjadi tepung sudah hebat sekali, sekarang boesoe ini dapat menggulung itu
mendjadi gumpalan. Kepandaian ini djauh lebih hebat daripada kepandaiannja Tjioe
Tay Lian. "Dengan kepandaiannja itu, aku mungkin tidak dapat mengalahkan dia ",
ia berpikir. "Boe Tjek Thian mempunjai banjak orang liehay, aku mesti ber-hati2
". Ketika ia menanjakan orang di sampingnja, dia mendapat tahu, boesoe itu
bernama Tjin Tam, salah satu dari ketiga boesoe paling liehay dari tangsi Sin
Boe Eng. Jang satu lagi jalah Thio Teng, boesoe jang mentjabut palatok tadi.
Jang ketiga jalah See-boen Pa, jang tidak terlihat di antara para hadirin. "Thio
Tjie Kie dari Bie-san !", lantas terdengar suara panggilan. Lie It mengadjukan
diri dengan hatinja tidak tenang. Ia memberi hormat pada Lie Beng Tjie, jang
terus membeber daftar di mana ada namanja, gambar serta tjatatan jang perlu
mengenai dirinja. Kemudian sambil bersenjum, tjoe-koh itu bertanja : "Kaukah
Thio Tjie Kie dari Bie-san dengan gelar "Peng Oet-tie" ?" "Ja ", djawab Lie It
terpaksa. ia tidak menduga, djulukannja Tjie Kie pun tertjatat di dalam daftar
itu. Djulukan itu berarti, "Oet-tie Kiong jang sakit2-an". "Oet-tie-Kiong itu
jalah panglima besar jang membantu keradjaan Tong membangun negara ", berkata
Lie Beng Tjie, "dengan rujungnja, rujung Tjoei Mo Kong-pian, dia pernah menjapu
delapan belas radja muda pemberontak, maka itu, karena kau didjuluki Peng Oettie, kau mestinja pandai menggunai kong-pian ". "Sebenarnja hamba hanja mengerti
beberapa djurus ilmu pedang ", Lie It menjahut. "Djulukan itu diberikan oleh
beberapa sahabat Rimba Persilatan jang menggodai aku ". Lie Beng Tjje membatja pula
daftar. "Benar, di sini tertjatat djuga kau mengerti ilmu pedang ", katanja.
"Baiklah, kau tjobalah ilmu rujung dan pedangmu itu !". Lie It menurut. Ia tidak
pandai ilmu kong-pian, ia mendjalankan djurus jang umum, jaitu Liok-hap-pian.
Karena ia memangnja berdasar baik, dapat ia bersilat lumajan. Di dalam ilmu
pedang, ia tidak berani mempertundjuki ilmu pedangnja, jaitu Ngo-bie Kiam-hoat,
maka ia mainkan sedjurus Pat Sian Kiam-hoat, jaitu ilmu pedang Pat Sian Kiam.
"Dapatkah kau menggunai berbareng kedua sendjata ?", tanja Lie Beng Tjie. "Bisa
", menjahut Lie It. la pernah melihat Thio Tjie Kie menggunai rujung di tangan
kiri dan pedang di tangan kanan. Ia terus bersilat dengan kedua sendjatanja itu.
Lie Beng Tjie mengawasi, agaknja ia heran. "Kau digelarkan Oet-tie, kenapa ilmu


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rujungmu tak semahir ilmu pedang ?", dia tanja. "Pula, ilmu pedangmu nampak
belum dikeluarkan semuanja. Ada beberapa djurus jang masih dapat diperbaiki,
agaknja kau takut mengeluarkannja. Kenapakah ?". Di dalam hatinja, Lie It
terkedjut. Liehay toa-tjoe-koh ini, jang dapat melihat rahasianja itu. Tapi ia
dapat membesarkan njali, ia menjahut dengan tjepat. Katanja : "Entah apa
sebabnja, melihat demikian banjak mata mengawasi aku, aku mendjadi bingung,
selagi aku ingin mengasi lihat kebisaanku, aku djusteru tak dapat menggunai
pedangku ini ". Lie Beng Tjie bersenjum. "Nah, kau mempunjai kepandaian apa lagi
jang istimewa ?", ia tanja pula. "Aku dapat menjambuti sendjata rahasia ",
mendjawab Lie It. Beng Tjie berpikir. Tadi orang telah mempertundjuki ilmu
panah. "Baik ", katanja. "Akan aku menjuruh orang memanah kau setjara berantai.
Apakah udjung panah tadjam perlu disingkirkan ?". "Tidak usah ", sahut Thio Tjie
Kie tetiron. "Panah itu tidak mengenal kasihan, kalau kesalahan, hebat
akibatnja. Apakah kau tidak takut ?", Lie Beng Tjie menegasi. "Djikalau seorang
memanah aku, aku memperhatikan dia ", mendjawab Lie It dengan keterangannja.
"Dengan aku telah memperhatikan, pikiranku tidak katjau. Kalau udjung panah
disingkirkan, aku kuatir kepandaianku nanti tidak dapat dilihat ". Lie Beng Tjie
tertawa terbahak. "Djadi kau kuatir orang tidak melihat kepandaianmu !",
katanja. "Baiklah, sekarang kau boleh mulai !". Ia memberikan perintahnja.
Seorang kauw-wie lantas madju dengan dua ekor kuda tunggangan. Kuda jang satu
diserahkan pada Lie It, untuk dia ini menaikinja dan pergi ke sebelah depan.
Keduanja lantas lari berputaran, ber-kedjar2-an. "Awas !", kemudian berseru si
kauw-wie, jang terus memanah, hingga anak panahnja berbunji njaring. Lie It
berkelit dengan tipunja "di dalam sanggurdi menjembunjikan diri". Anak panah
lewat di-iganja. Ia menjampok balik, membikin anak panah itu djatuh ke tanah.
Segera datang serangan jang lain, bahkan saling-susul tiga kali. Lie It
mentjelat djumpalitan di atas kudanja, tangannja menjambar berlaku sebat dan
gapah. Semua penonton kagum dan bersorak memudji. Kauw-wie, atau boesoe itu,
seorang djago panah, jang mengandalkan dirinja, maka ia penasaran semua
seranngannja gagal. Lagi2 ia memanah, tiga kali beruntun. Kali ini ia menggunai
kepandaiannja jang istimewa. Nampaknja tiga batang panah mengarah ke punggung.
sebenarnja langsunq ke bokong, batok kepala dan samping iga. Penonton semua
terkedjut, mereka berhenti bersorak setjara mendadak, semua mata mendelong
mengawasi. Lie It tidak bingung. Ia mentjelat dari punggung kuda, hingga semua
anak panah lewat di bawah kakinja. Tapi ia bukan tjuma mentjelat, ia
berdjumpalitan dari itu tangannja dapat menjambar, menangkap ketiga batang anak
panah itu. Setelah itu, ia duduk pula di atas kudanja. "Bagus !", Lie Beng Tjie
tanpa merasa berseru dengan pudjiannja. Si penjerang mendjadi merah mukanja.
Djusteru Lie It baru duduk, ia menjerang pula. Kali ini dengan dua anak panah
beruntun, Ia bukan menjerang orang, hanja kuda, kaki belakang. Ia pikir : "Asal
kudanja roboh dan dia roboh bersama, tidak usahlah aku mendapat malu ...". Ia
pertjaja, dengan Lie It lagi bertjokol, tidak nanti dia mendapat waktu untuk
dapat menangkap anak panah di belakang kuda. Ia tengah berpikir atau Lie It
sudah bergerak dalam tipu silat "ikan gabus lompat berbalik", jalah dengan kedua
kaki menjantel di pelana, tubuhnja mendengak ke belakang, kedua tangannja diulur
dipakai menangkap kedua anak panah itu. Si boesoe melihat gerakan orang, ia
heran dan penasaran, maka lagi sekali ia memanah pula, keras2 dua kali beruntun.
Menjaksikan itu, para hadirin mendjadi mendongkol. "Ini pieboe, mengadu
kepandaian, bukannja mengadu djiwa !", kata mereka di dalam hati. "Kenapa hatimu
begini busuk ?". Di dalam keadaan seperti ini, guna menolong dirinja, terpaksa
Lie It mengasi lihat kepandaiannja jang istimewa. Tidak bisa ia berkelit atau
menangkap pula dengan kedua tangannja. Maka ia melenggak dan mementang mulutnja,
menjambuti anak panah jang satu, untuk memakai itu memapaki, menjerang anak
panah jang kedua, membikin anak panah itu runtuh. Maka gemuruhlah tepuk tangan
para hadirin. Si tukang panah menghampirkan Lie Beng Tjie, untuk menjerahkan
tugasnja sambil ia menjatakan : "Thio Tjie Kie sangat liehay, aku menjerah kalah
". Lie It pun madju kepada kepala Sin Boe Eng itu, untuk mengatakan ia gagal
menangkap anak panah jang kedua, hingga ia tjuma membuat buah tertawaan sadja.
"Kepandaian kau tidak dapat ditjela ", kata Lie Beng Tjie. "Bukan sadja kau
pandai menjambuti sendjata rahasia, djuga ilmu ringan tubuhmu dan tenaga-dalam
telah ada dasarnja. Kau hebat !". Toa-tjoe-koh ini mengangkat pitnja jang
bertinta merah, tetapi ia memutarkan itu tanpa dikasi turun ke kertas daftar,
seperti djuga ia lagi memikir. Ia pun berdiam sadja. Mau atau tidak, hati Lie It
berdebaran. Ia turut dalam udjian asal dapat dipilih supaja ia bisa berada dalam
keraton, dekat dengan Boe Tjek Thian, guna turun-tangan. Tetapi barusan, dua
anak panah terachir dari penjerangnja memaksa ia mengeluarkan kepandaiannja jang
istimewa. Ia pertjaja, kepandaiannja itu bisa mendatangkan ketjurigaan orang,
apabila ia didesak, rahasianja bisa petjah. Lie Beng Tjie masih belum menurunkan
pit-nja. Lebih dulu ia menjuruh si tukang panah mengundurkan diri, lalu ia
melihat pula daftar. "Kau mundur dulu, kau menanti sebentar ", katanja kemudian.
Lie It mundur dengan hati terus tidak tenteram.
---oo0oo--HABIS dia, madju satu tjalon lain, namanja Tjoei Tiong Goan, seorang jang
dipudjikan pembesar kota Sin-koan, Hoolam. "Kaulah seorang ahli pedang kenamaan
dari Hoolam ", berkata Lie Beng Tjie. "Apakah kau pernah menemui tandingan ?".
Terkedjut djuga Lie It. la pernah mendengar nama Tjoei Tiong Goan, jalah
muridnja Pat-Tjioe Sian-Wan Tjia Pouw Tjie. Dia terkenal di lima propinsi Utara.
Tidak disangka, dia datang sebagai tjalon djuga. Ia pun heran, kenapa Lie Beng
Tjie menunda dirinja dan sebaliknja memanggil dulu satu kiam-kek, ahli pedang,
dari Hoolam itu. Tiong Goan seorang jang dapat berlaku merendah di luar, di
dalam dia djumawa. Dia mendjawab : "Di kolong langit ini banjak ahli pedang
kenamaan, sajang murid belum pernah menemuinja. Pernah murid bertemu beberapa
orang tua, mereka pernah memberi petundjuk tetapi belum pernah kita bertanding.
Untuk jang lainnja, mereka tidak dapat dipikirkan, djikalau murid bertanding
dengan mereka, menang pun tidak ada harganja untuk di-sebut2 ". Tiong Goan
menjebut dirinja "murid", sebab adalah kebiasaan, umumnja di dalam udjian,
tjalon memandang diri sebagai murid, pengudji dianggap sebagai guru. Untuk
udjian sipil dan militer, sama sadja. Lie Beng Tjie bersenjum. "Djadinja,
ketjuali beberapa tetua jang terbatas itu, kau belum menemui tandinganmu !",
katanja. "Kau menjebut beberapa tetua, siapakah mereka itu ?". "Liap-in-kiam Kok
Sin Ong dan Pat-sian-kiam Wan Bok pernah murid menemuinja di rumah murid ",
Tiong Goan menjahut. "Itulah kedjadian lima atau enam tahun jang lampau. Selagi
bergembira, mereka menjuruh murid main2 ". "Sampai berapa djurus kau dapat
melajaninja ?", Beng Tjie menanja pula. "Beberapa tetua itu tjuma hendak
mentjoba, mereka tidak mengeluarkan kepandaian mereka, dari itu murid tjuma
menjambut mereka sepuluh djurus lebih ", sahut pula Tiong Goan. "Dia dapat
melajani lebih daripada sepuluh djurus, itulah hebat ", memikir Lie It. "Dia
djadinja bukan bernama kosong !". "Djikalau begitu, ilmu pedangmu tidak ada
ketjelaannja ", kata Beng Tjie tertawa. "Sekarang aku ingin menjaksikan
kepandaianmu itu. Hendak aku menjuruh seorang melajanimu, setudjukah kau?".
"Setudju !", sahut Tiong Goan, jang hatinja djumawa. "Bagus !", berkata Lie Beng
Tjie, jang lantas menundjuk Lie It. "Aku menundjuk dia untuk melajani kau main2
". Lie It terkedjut. "Mana dapat murid melajani dia ?", berkata ia dengan
tjepat. "Harap taydjin menundjuk lain orang sadja ...". "Kau djangan kuatir !",
berkata Beng Tjie sambil tertawa. Terus dia menjuruh mengambil dua batang pedang
kaju, sedang seorang lain diperintah mengambil semen ke dalam mana udjung kedua
pedang dibelesaki, setelah mana, kedua pedang diserahkan masing2 kepada kedua
tjalon itu. Beng Tjie lantas berkata pada Lie It : "Tadi kau belum
memperlihatkan semua ilmu pedangmu, sekarang ketikanja untuk mentjoba itu. Tjara
ini djuga tidak membahajakan djiwa, hingga kedua belah pihak tak usah
menguatirkan apa djuga. Habis pertandingan akan diperiksa, siapa jang paling
banjak totokan semennja di tubuhnja, dari situ akan bisa dilihat siapa menang
dan siapa kalah !". Lie It bukan takuti Tiong Goan, ia hanja berkuatir nanti
orang melihat kepandaiannja, jang mana bisa berarti djuga terbukanja rahasianja.
Untuk ia, menang atau kalah serba-salah. Tapi tjoe-koh sudah memerintahkan, ia
tidak dapat menolak. Maka ia bawa pedangnja madju ke dalam kalangan. Tjoei Tiong
Goan nampak sangat bersemangat. Lie It itu tidak dia pandang. "Silakan kau
memberikan pengadjaranmu saudara Thio !", katanja lantang, pedangnja melintang
di depan dadanja. "Saudara Tjoei jalah ahli pedang kenamaan, mana siauwtee
berani lantjang !", kata Lie It merendah. Ia pun menjebut diri siauwtee, adik.
"Silakan saudara sadja jang mulai ". Lie It bersangsi, mentjoba merebut
kemenangan atau mengalah ". Tiong Goan mendjadi tidak sabaran. "Maaf !", katanja
sambil terus menjerang. Dia menikam ke muka dengan djurusnja "Heng tjie thian
lam" atau "menuding melintang ke selatan". Guru Tiong Goan dikenal sebagai PatTjioe Sian Wan, Si Kera Sakti Tangan Delapan, iImu silat pedangnja pun dinamakan
"Leng Wan Kiam-hoat", atau ilmu pedang Kera Sakti, maka itu bisa dimengerti
kegesitannja, sedang Tiong Goan sudah mendapatkan kepandaian gurunja itu.
Demikian, hebat penjerangannja ini, jang tidak bisa diduga, serangannja gertakan
belaka atau sungguh2. Lie It berkelit dengan hatinja terkesiap. Masih ia
bersangsi. Udjung pedang njerempet di pundaknja. Melihat itu, semua hadirin
tertawa riuh. Ia mendjadi merah mukanja. Ia telah kena ditowel pedang. Ia
berpikir keras : "Rupanja Lie Beng Tjie telah mentjurigai aku, djikalau aku
mengalah terus, rahasiaku bisa benar2 terbuka. Inilah berbahaja ...". Karena
ini, ketika Tiong Goan mengulangi serangannja, ia tidak bisa mengalah terus. Ia
lantas menangkis sambil menggeser tubuhnja ke samping, ia lantas membalas
menjerang. Ia djuga menggunai djurusnja Tiong Goan itu jalah "Heng tjie thian
lam". Tiong Goan berseru kaget, ia berkelit, tetapi pundaknja telah kena
ditowel. Ia mendjadi kaget berbareng gusar. Sambil memusatkan perhatian, ia pun
menjingkirkan pandangan rendahnja kepada lawannja ini. Maka sekarang ia
menjerang sambil tak melupakan pendjagaan diri. Dengan tjepat mereka telah
bergerak kira2 tiga puluh djurus. Para hadirin mendjadi kagum. Banjak jang
matanja mendjadi seperti kekunangan. Tiong Goan ber-gerak2 bagaikan terbang,
sebatang pedangnja seperti mendjadi puluhan batang. Dia berlompat ke kiri dan
kanan Lie It, ke belakang, lalu ke depan, hingga Lie It nampak tjuma bisa
menangkis, tidak dapat menjerang. Lie It menggunai ilmu pedang Pat-sian-kiam
jang biasa, ia mendjadi repot. Para hadirin lantas berpikir : "Ilmu pedang Thio
Tjie Kie tidak dapat ditjela. Tetapi biar bagaimana, Tjoei Tiong Goan menang
satu tingkat darinja ...". Lalu mendadak datang titahnja Lie Beng Tjie
menghentikan pertandingan itu. Sambil tertawa, tjoe-koh ini kata : "Kamu berdua
seimbang, tidak usah kamu bertanding lebih djauh. Thio Tjie Kie lebih banjak
kena ditowel akan tetapi Tjoei Tiong Goan tertowel di tempat2 jang berbahaja.
Karena kamu berdua mempunjai kelebihanmu masing2, lain kali kamu dapat berlatih
bersama untuk perjakinan terlebih djauh ". Sesudah orang berhenti bertanding,
para hadirin melihat tubuh Lie It seperti penuh totokan semen, tetapi Tiong Goan
telah tertowel tiga kali ulu-hatinja, maka kalau dia bukannja tertikam pedang
kaju, mungkin djiwanja sudah terbang. Maka orang pun kagum kepada tjoe-koh, jang
matanja demikian tadjam. Lie Beng Tjie menggeraki pit-nja, membuat dua bundaran
merah di namanja kedua tjalon itu seraja dia berkata : "Kamu berdua dapat
diterima !. Sebentar, se-selesai-nja udjian, nanti kita berbitjara teilebih
djauh ". Lie It mengundurkan diri dengan hatinja terus tidak tenang. Ketika
tjalon2 lainnja diudji, ia tidak ketarik untuk memperhatikan mereka itu. Ia pun
lantas dirubung oleh banjak boesoe jang mengaguminja. Hanja kemudian ia memasang
kuping ketika ia mendengar ada orang jang membitjarakan urusannja. "Aku lihat
tjoe-koh tidak adil ", berkata satu orang. "Mestinja si orang she Thio jang
menang. Tjoba mereka menggunai sendjata benar, kalau orang kena ditikam tiga
kali ulu-hatinja, apakah dia masih hidup ?". "Bukannja begitu ", kata jang lain.
"Thio Tjie Kie terluka di seluruh badannja, meski lukanja tidak berbahaja apa ia
masih dapat membuat perlawanan dan menikam ulu-hati orang ?". "Kamu berdua
keliru ", kata orang jang ketiga. "Habis ?". "Aku pun tidak dapat memutuskannja.
Bukankah kita semua tidak melihat djelas " Siapa tahu, sesudah terlukakan
beberapa kali baru si orang she Thio dapat menikam ulu-hati tandingannja ?". Dua
orang itu bungkam. "Lekas lihat, lekas lihat ...!", kata seorang lain lagi.
"Lihat, ilmu tombaknja orang itu baik sekali !". Orang lantas mengawasi kalangan
pieboe. Lie It turut melihat. Seorang tjalon nampak lagi bersilat dengan tombak,
anginnja men-njambar2. Lie It tidak melihat lama, ia memikirkan pula urusannja.
Ia memikirkan perkataannja Lie Beng Tjie. Tiba2 ada orang menghampirkan ia,
menepuk pundaknja, lalu berbisik di kupingnja : "Saudara, kau menjimpan diri
dalam2 hingga kau bagaikan kosong !". Ia terperandjat. Ia mendapati orang
berewokan, bitjaranja sambil bersenjum, dan senjumannja rada aneh. Orang itu
melandjuti, "melihat kepandaian kau, saudara tidak selajaknja kau mengalah
mengasi dirimu tertikam, tetapi kau mengasikan dirimu ditikam ber-ulang2 !
Inilah sifatnja seorang ksatria tulen, kau menolongi orang ! Sungguh, aku kagum
terhadapmu !". "Bukan, bukan begitu !", kata Lie It lekas. "Memang ilmu
pedangnja Tjoei Tiong Goan liehay. Dia bahkan jang mengalah !". "Djikalau aku
mendjadi Tjoei Tiong Goan, sedari siang2 aku sudah melemparkan pedang untuk
mengaku kalah ", kata pula orang itu. "Taruh kata dia tidak menginsafi bahwa kau
mengalah, dia mesti ketahui, setelah empat kali dia menikam kau, kau lantas
menikam ulu-hatinja. Dia murid guru kenamaan, dan dia bertempur terus, sungguh
dia bermuka tebal !". Lie It heran. Orang ini matanja tadjam. Apakah maksud
dia ". "Lagi satu hal siauwtee tidak mengerti, tolong saudara mendjelaskan ",
kata pula si boesoe. "Apakah itu ?", kata Lie It. "Sudilah saudara
menerangkan ...". Meskipun ia tidak suka bitjara tetapi Lie It merasa tidak enak
berdiam sadja. "Saudara telah menggunai ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat, ada satu
djurusnja jang luar biasa ", kata orang itu. "Entah apakah namanja djurus
itu ?". Ia lantas memetakan djurus tersebut dengan gerakan kuda2 dan kedua
tangannja. Kembali Lie It terkedjut.
Orang ini bermata tadjam dan liehay. Memang itu satu djurus tjiptaan gurunja
mirip dengan djurus "Terapung di lautan bintang", dari ilmu silat Pat-sian Kiamhoat. Terpaksa ia bersandiwara. ,Aku terdesak Tiong Goan, saking terpaksa aku
menggunai djurus itu ", katanja tertawa. "Sebenarnja itu bukan djurus berarti.
Aku membuat saudara tertawa sadja ". "Djadi saudara Thio mentjiptakan itu
seketika tengah terdesak. Tapi itulah liehay. Benar2 aku kagum !", kata pula si
berewokan, suaranja seperti mengedjek seperti bukan. Lie It lantas ber-pura2
menonton, karena djusteru itu ia mendengar tempik-sorak ramai. Tapi djusteru ia
menonton, ia mendjadi tertarik hatinja. Tjalon kali ini jalah seorang muda
dengan pakaian putih, dia lagi mempertundjuki permainan golok menabas pelatok.
Di udjung gelanggang ditantjapkan belasan pelatok kaju sebesar tjangkir teh, si
tjalon memisahkan diri delapan tombak, dari situ dia menimpuk dengan hoei-too,
"golok terbang". Setiap kalinja, dia membuat pelatok itu putus. Kepandaian itu
tidak aneh, jang heran jalah tenaga-dalamnja. Sebab jang dinamakan hoei-too atau
golok terbang adalah sebilah pisau belati jang tipis, tetapi pisau ketjil itu
dapat memutuskan pelatok itu. Di dalam hatinja, Lie It memudji. Tudjuh kali
sudah si boesoe pakaian putih menimpuk, lalu dia kata njaring : "Masih ada tiga
batang hoei-too ! Kali ini aku hendak menjerang berbareng memutuskan tiga
pelatok dengan berbareng djuga !". Orang heran, semua lantas berdiam, mata
mereka mengawasi tak berkedip. Tjalon itu berkata demikian, sebelah tangannja
diajun, tetapi goloknja tidak terlihat terbang. Orang mendjadi heran, semua
tertjengang. Djusteru begitu ada suara tadjam berseru : "Bekuk pembunuh
gelap !". Itulah sebab si tjalon bukan menimpuk ke depan hanja ke belakang, ke
arah panggung tempat duduknja tjoe-koh! Djadi dia hendak membunuh Lie Beng Tjie,
pemimpin tangsi Sin Boe Eng !. Kedjadian sangat di luar dugaan. Di samping
teriakan itu, orang mengetahuinja sesudah ketiga hoei-too disampok djatuh oleh
Lie Beng Tjie. Melihat demikian, boesoe pakaian putih ini berseru bengis : ,Mati
siapa jang menentang aku! Hidup siapa jang minggir!" Lantas dengan memutar
pedangnja, dia menerdjang ke luar. Ketika ada orang jang merintangi, ia
menjerang dengan hoei-too. Sebentar sadja, tiga orang terlukakan pedang, dua
orang terkena hoei-too. Keadaan lantas mendjadi katjau. Lie It tidak ingin
tjampur urusan itu, ia hendak menjingkir, atau si berewokan berbisik di
kupingnja : "Lekas pegat pembunuh itu !". Djusteru itu, si boesoe badju putih
lari ke arahnja, dengan lekas dia mendekati hingga tiga tombak. Si berewok
berteriak, atas mana ia diserang dengan hoei-too. Ia berkelit seraja mendak.
Entah disengadja atau tidak, sikut-nja menjentuh Lie It. Dia ini tidak
menjangka, dia terbentur hingga terhujung dua tindak. Maka tepat sekali, hoeitoo menjamber ke tenggorokannja. Sjukur ia awas dan lintjah, sekalian sadja ia
menggeser kakinja satu tindak, hingga tenggorokannja itu ketolongan. Tapi hoeitoo jang kedua menjusul. Golok ini ia lantas hadjar djatuh dengan pedangnja.
Sementara itu, si pakaian putih telah tiba. Masih Lie It bersangsi. "Tangkap
atau djangan ?", demikian pertanjaan jang berkutat dalam hatinja. Orang hendak
membunuh Lie Beng Tjie, orang mesti ada orang dari golongannja. Kalau ia tidak
menangkap, rahasianja sendiri bakal petjah. Si boesoe pakaian putih tapinja
tidak banjak pikir, ia tidak ragu2. "Serrr ...!", suara pedangnja, jang
ditikamkan ke muka Thio Tjie Kie tetiron. Sekarang tidak dapat Lie It bersangsi
pula. Ia terantjam bahaja. Maka ia lantas menangkis ! Dan ia mesti menggunai
djurusnja jang istimewa karena datangnja serangan hebat sekali. "Traang ...!",
demikian suara bentrokan. Pedang boesoe itu terpental. Tetapi ia liehay, tanpa
menarik pulang lagi, hanja dengan mengikuti ajunan sendjata, dia menjerang pula,
hingga sinar pedangnja bagaikan menggulung. Dengan djurusnja "Mengikuti angin
memetjah gelombang", Lie It menangkis memetjahkan serangan itu. Atau lagi2 si
boesoe menikam pula, untuk mengulang dan mengulanginja hingga tudjuh kali, semua
mengarah anggauta2 tubuh jang berbahaja. Karena ini terpaksa Lie It membela diri
dengan djurusnja "Memeluk pokok, mendjaga satu". Hebat pertahanan ini, serangan
si boesoe tidak memberi hasil. Djustru orang kewalahan, mendadak Lie It membalas
menjerang dan ia berhasil menikam lengan orang. Ketika itu, karena tertjegat Lie
It, lain2 boesoe dan wiesoe keburu memburu. Dua wiesoe liehay dari Sin Boe Eng
berlompat madju, jang satu menangkap kedua tangan orang, jang satu pula


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menendang. Karena tangannja terluka, boesoe pakaian putih itu kehilangan
kegesitannja. Dia roboh tertendang, dia lantas ditubruk, maka di lain saat, dia
lantas terbelenggu. Tjoba dia tidak terluka, pasti dia masih melawan hebat.
"Pembunuh sudah tertangkap, beres sudah !", berkata satu wiesoe kepada semua
tjalon. "Silakan kamu kembali, untuk menantikan dilandjutinja udjian. Djangan
ada jang katjau !". Tjoei Tiong Goan melihat kegagahannja Lie It itu, baru
sekarang ia insaf bahwa ia kalah dari Lie It, maka itu ia mengundurkan diri
dengan kuntjup. Lie It sebaliknja sangat berduka. "Dia bernjali besar, dia gagah
tak ada di bawahanku ", katanja di dalam hati. "Sajang dia kena ditangkap ...".
Ia menjesal bukan main. Ketika ia memandang kepada si boesoe, djusteru orang itu
mengawasi tadjam kepadanja, sinar matanja menundjuki dia penasaran dan berduka.
Maka ia mendjadi semakin tidak enak hati, lekas2 ia berpaling ke lain arah.
"Pendjahat telah kena ditawan, djasamu paling besar !", kata si djago Sin Boe
Eng. "Pasti Lie Taydjin akan menghadiahkan besar kepadamu !". "Terima kasih ",
kata Lie It perlahan, sedang hatinja bagaikan karam. Habis kekatjauan lantas
datang ketenangan. Lie Beng Tjie segera mengumumkan : "Udjian ditutup sampai di
sini, akan dilandjuti besok ". Ketika orang bubaran, Lie It turut mengundurkan
diri. Ia heran Lie Beng Tjie tidak menjapanja, hingga ia djadi berpikir keras.
Kembali ia diliputi kesangsian dan kekuatiran. Selagi orang ramai membitjarakan
urusan si pembunuh dengan sepak terdjangnja itu jang berani, ia berdjalan
tjepat, kepalanja tunduk. Baru ia keluar dari kalangan, mendadak ia merasa ada
orang menepuk pundaknja. Tempo ia mengangkat kepala, ia mendapatkan si
berewokan. "Ha ha ha, saudara ...!", kata dia itu. "Kegagahan kau melebihkan
dugaanku ...! llmu pedangmu itu, walaupun Oet-tie Tjiong memuntjulkan diri pula
atau Kok Sin Ong hadir di sini, mereka pun tak beda banjak ! Benar-benar hari
ini mataku telah terbuka ...!". Lie It mengeluh dalam hatinja. Orang per-tama2
menjebut gurunja. Itu tandanja orang ini melihat bahwa ia telah menggunai djurus
adjaran gurunja itu. Karena terpaksa, ia berlagak pilon. "Kau bergurau, tuan ",
katanja, tertawa. "Mana bisa aku dibandingkan dengan dua wiesoe liehay itu ...".
Si berewokan tidak memperdulikannja. "Kau berdjasa, saudara, kau bakal
memperoleh hadiah besar ", katanja pula. "Siapa tahu kau bakal diangkat mendjadi
wiesoe dari Thian Houw " Itulah artinja terbang tinggi ! Maka aku mengharap
sangat kau nanti membantu mengangkat aku !". Si berewokan menatap, lantas dia
tertawa. "Saudara begini setia dan menjinta negara, sungguh siauwtee kagum !",
katanja. Kewalahan Lie It untuk menjingkir dari orang berewokan ini, terpaksa ia
melajani orang bitjara, untuk saling beladjar kenal, maka tahulah ia, orang itu
she Lamkiong bernama Siang, asal kota Lim-tjoe, propinsi Shoatang. Dari
pembitjaraan ini pun ia mendjadi mendapat tahu, tjalon pembunuh Lie Beng Tjie
itu bernama Pek Goan Hoa, penduduk sekitar kotaradja. "Heran ", pikir Lie It.
"Di kotaradja ini, pemilihan tjalon mestinja keras, kenapa dia dapat
dipudjikan " Pembesar jang memudjikannja pasti bakal diseret ke dalam
pendjara ...". ---oo0oo--DI hari kedua lantas dapat diketahui, tjalon untuk tangsi Sin Boe Eng itu telah
didapatkan tjukup seratus orang, diantaranja Lamkiong Siang djuga lulus, bahkan
si berewokan ini dimasuki dalam satu rombongan dengan Lie It, mendjadi "wiesoe
jang meronda di luar istana". Sebab istana itu terpetjah dua, luar dan dalam,
luar jalah keraton tempat audiensi, tempat rapat pelbagai menteri dan kantor
menteri2, sedang istana jalah tempat ratu atau permaisuri, selir2 dan lainnja
keluarga kaisar. Di antara istana dan keraton ada batasnja dan terdjaga keras.
Karena itu, Lie It putus asa. Dengan ditempatkan di istana luar, itu artinja.
tidak dapat ia datang dekat kepada kaisar, kepada Boe Tjek Thian. Lewat lagi dua
hari, Lie It mendjadi heran dan bertjuriga. Ia masih belum mendapat panggilan
dari Lie Beng Tjie. Pada dua hari pertama, ia djuga masih belum bertugas meronda
atau berdjaga. Demikian, ketika ia tinggal berduduk dengan masjgul di kamar
penginapan wiesoe, ia dihampirkan si wiesoe Lamkiong Siang, si berewokan jang
mengadjaknja memasang omong. "Sajang kita ditugaskan diluar hingga kita tidak
dapat menjaksikan keindahan taman di dalam istana ", katanja tiba2. Lie It tjuma
melajani "Ja, ja, " sadja. Ia tidak gembira untuk berbitjara, ia memang tidak
ingin membitjarakan urusan seperti itu. "Kabarnja Thian-houw berdiam di istana
Leng po-kiong jang terlarang ", kata pula Lamkiong Siang. "Istana itu katanja
bagaikan tempat dewa-dewi. Ada seorang wiesoe sahabatku, dia pernah masuk ke
dalam istana, dia memudji tak habisnja Leng-po-kiong itu adanja dekat Pengempang
Thay-Ya-tie, di sebelah depannja jalah pendopo Kian-goan-tian dari kaisar ahala
Tong. Kian-goan-tian indah tetapi masih kalah dengan Leng-po-kiong !". Lie It
kenal baik keraton jang disebutkan. Semasa ketjilnja, sering ia ber-main2 di
situ. Sebaliknja daripada memperhatikan tjerita Lamkiong Siang, ia heran kenapa
si berewokan ini me-njebut2 keletakannja keraton itu, dia seperti sengadja
membotjorkan rahasia istana Boe Tjek Thian. Tengah mereka bitjara, ada datang
seorang pesuruh dari tangsi Sin Boe Eng. Dia memanggil Lie It. Maka Thio Tjie
Kie tetiron mendjadi bertambah heran dan tjuriga. Ketika itu sudah mendekati
maghrib. ---oo0oo--BIARNJA ia bertjuriga, karena dipanggil sep-nja, Lie It tidak berani membantah.
Maka ia tak berajal akan mengikuti pesuruh itu. Ketika ia mau pergi, Lamkiong
Siang melirik ia dan berkata sambil tertawa : "Saudara Thio, ketikamu jang baik
telah tiba, maka kau sambutlah itu baik2 !". Hati Lie It bertjekat. Kata2 itu
seperti mengandung dua maksud. Lie Beng Tjie berdiam di pendopo samping dari Ngo
Hong Lauw jaitu lauwteng Lima Ekor burung Hong, jalah batas di antara istana
dalam atau lwee-wan, dan keraton luar, gwa-kiong. Ia tengah menantikan ketika
Lie It tiba. Lantas ia tertawa. "Apakah kau belum bersantap malam " Mari kita
bersantap bersama ...!". Lega sedikit hati Lie It menampak orang ramah2. Lie
Beng Tjie memudji kepandaian si orang she Thio tetiron, lalu dia menanjakan
riwajat dan pengalamannja semasa beladjar silat. Itulah pertanjaan jang Lie It
telah menduga semendjak siang2, maka itu, dapat ia mendjawabnja dengan baik.
Tadinja, di samping meminta surat pudjian Thio Tjie Kie, ia djuga sudah
menanjakan asal-usulnja orang she Thio itu, hingga sekarang dapat ia memberikan
djawaban seperlunja. Ia merasa bahwa ia tidak sampai membuka rahasia sendiri.
Lie Beng Tjie djuga tidak menanjakan dengan melit. Setelah tiga idaran, habis
sama2 mengeringkan sebuah tjawan, baru Lie Beng Tjie menimbulkan soal membekuk
tjaIon pembunuh. Katanja : "Tentang itu hari udjian kau menangkap orang djahat
sudah aku melaporkannja kepada Thian-houw, setelah diperiksa, ternjata orang itu
ada pesuruhnja Tjie Keng. Sekarang aku hendak menjerahkan padamu sebuah tugas ".
Hati Lie It melondjak. "Silakan taydjin menitahkannja ", katanja terpaksa. Sebisa2 ia menundjuki roman tenang. "Thian-houw menitahkan aku ", berkata Lie Beng
Tjie, "supaja pembunuh itu diserahkan kepada Tay-lwee tjongkoan untuk diperiksa,
maka kaulah jang harus mengantarkan dia. Setelah itu, untuk sementara kau mesti
berdiam sama tjongkoan taydjin di sana. Ada kemungkinan Thian-houw nanti
memanggil kau menghadap ". Kabar ini diterima Lie It dengan separuh girang dan
separuh kuatir. Ia girang karena dengan begitu datang ketikanja untuk ia berada
dekat sama Boe Tjek Thian. Jang membuatnja kuatir jalah ia takut kalau2 si
tjalon pembunuh nanti dihukum mati. Itulah seperti djuga ia jang mengambil djiwa
orang itu. "Inilah suatu tugas rahasia, tidak dapat orang luar mengetahuinja ",
berkata pula Lie Beng Tjie. "Setelah tjuatja gelap, baru kau membawa dia, supaja
tidak sampai menjolok di mata orang banjak, oleh karena dikuatir baik di dalam
terutama diluar istana masih bersembunji kontjo2-nja Pwee Yam. Umpama kata
mereka mendapat tahu kau mengiringi pendjahat itu, mungkin mereka memegat dan
menjerang di tengah djalan guna membungkam mulut orang itu. Maka kau harus
berlaku hati2. Kau lebih gagah daripada dia, umpama benar terdjadi sesuatu, kau
dapat menguasai dirinja ". Baru sekarang Lie It mengetahui kenapa ia dipanggil
di waktu maghrib itu. Sampai di situ Lie Beng Tjie mengasi tahu Lie It tentang
tanda2 di antara wiesoe di dalam istana, djuga tjaranja bagaimana si orang
tawanan mesti diserahkan kepada tay-lwee tjongkoan, habis mana baru dia menjuruh
seorang wiesoe membawa keluar orang tawanan tersebut. Orang itu bermata tjekung
dan tindakannja tidak wadjar, maka melihat demikian, Lie It menduga bahwa
pastilah orang telah disiksa. Dia mengawasi dengan mata tadjam dan bengis,
bibirnja bergerak tetapi tidak keluar suaranja. Itulah tanda bahwa dia telah
ditotok urat gagunja hingga dia tidak dapat menegur atau mendamprat. Ia mendjadi
sangat masjgul. Dengan menguati hati, ia memegang tangan orang untuk dituntun.
Ia membawa orang itu pergi dengan ia memegang kim pay. Tiba di batas keraton,
Lie It disambut oleh satu wiesoe, jang menundjuki ia djalan ke tjongkoan-hoe,
jaitu kantor tjongkoan, hingga ia harus pergi seorang diri. Ia djalan melintasi
taman. Ketika itu tjahaja rembulan terang. Ia meliwati lorong dan pepohonan,
pohon yang-lioe dan bunga2. Setindak demi setindak ia berdjalan di tempat di
mana ia biasa pesiar, hingga ia berduka sendirinja. Segera djuga Lie It tiba di
samping gunung2-an di mana tidak ada orang lainnja. Mendadak si orang tawanan
berkata dengan perlahan : "Kita berdua tidak bermusuhan, apakah benar2 kau
menghendaki djiwaku ?". Lie It terkedjut. Bahwa orang itu dapat membebaskan diri
dari totokan urat gagu, ia tidak heran. Orang itu memang liehay. Ia hanja kaget
atas itu pertanjaan langsung dan tadjam, hingga ia mendjadi bingung dan tidak
lantas dapat mendjawab. ,Kau tjuma mau mentjari pangkat, bukankah ?", berkata
pula si orang tawanan. "Dengan membikin aku tjelaka, paling banjak kau bakal
diangkat mendjadi tongnia atau wiesoe di dalam keraton. Djikalau kau suka
mendengar perkataanku, aku berani menanggung untukmu pangkat jang terlebih besar
dan kemuliaan jang terlebih besar pula ". "Bagaimana ?", tanja Lie It heran.
"Kita bekerdja sama membunuh Boe Tjek Thian, lantas kau mendjadi menteri besar
jang berdjasa jang membangun pula Keradjaan Tong jang agung !". Hanja sedjenak
itu, otaknja Lie It berkutat. "Aku tidak mengharapi pangkat, lebih2 tidak
kemuliaan ", sahutnja tawar. Si orang tawanan mengawasi mendelong. Lie It pun
memandang orang itu, lalu mendadak ia berkata: "Aku suka melepaskan kau, aku
djuga suka bersama kau membunuh Boe Tjek Thian !". Si orang tawanan membuka
lebar matanja. "Benarkah?", ia menanja, menegasi. Lie It menghunus pedangnja,
untuk membabat borgolan hingga putus. "Sekarang djuga kita pergi !", katanja.
Orang tawanan itu mementang matanja lebih besar. "Kau siapa ?", ia tanja. "Kau
sendiri siapa ?", ia balik bertanja. "Aku Pek Goan Hoa dari kotaradja ini,
akulah rakjatnja Keradjaan Tong jang agung !". "Aku bujutnja Kho Tjouw Hiongtee,
aku jalah Lie It !". "Oh ...!". Goan Hoa berseru, kaget dan heran : "Sebenarnja
Eng-kok-kong menitahkan aku pergi pada kau, siapa sangka kita bertemu di
sini !". Lie It tidak berkata lagi hanja menarik tangan orang untuk diadjak lari
melewati taman bunga itu sampai di tepi pengempang Thay-ya-tie, dari mana lantas
mereka bisa melihat keraton Leng-po-kiong. "Saudara Pek, tolong kau memasang
mata di sini ", kata Lie It. "Djikalau ada jang memergoki, kau hadjar mampus
padanja dengan golok-terbangmu !". Ia lantas mengeluarkan beberapa buah pisau
belati, diserahkan pada orang tawanan itu. Sendjata tadjam itu ia siapkan untuk
membunuh Boe Tjek Thian, karena mana, ia tjuma membekal dua bilah. "Apakah
Thianhee ada mendjandjikan lain orang ?", tanja Pek Goan Hoa. "Tjuma kita
berdua. Takutkah kau ?". Goan Hoa tertawa. "Djikalau aku takut, tidak nanti aku
serang Lie Beng Tjie !", djawabnja. Keraton Leng-po-kiong berada di tepi
pengempang Thay-ya-tie, di belakang itu ada sebuah gunung palsu, maka Lie It
menitahkan Pek Goan Hoa bersembunji di dalam gunung2-an itu untuk memasang mata,
ia sendiri lantas menggunai kepandaiannja ringan tubuh, untuk berlompat naik ke
gunung2-an, untuk dari sana berlompat naik lebih djauh ke genting katja dari
keraton tersebut itu. Keraton Leng-po-kiong terdiri dari beberapa wuwungan, dari
satu jang di tengah nampak tjahaja api terang, maka Lie It menudju ke sana.
Sebentar sadja ia telah tiba. Ia memasang mata dan kuping. Ia tidak melihat
wiesoe dan tidak mendengar sesuatu suara. Lalu ia kata di dalam hatinja :
"Pastilah Boe Tjek Thian tidak menjangka bahwa ada pembunuh jang memasuki
keraton-nja ini, maka djuga dia berbesar hati dan beralpa. Dasar dia bakal
hilang djiwanja !". Lantas dengan menjangkel kakinja di pajon rumah, Lie It
membikin tubuhnja bergelantungan di udjung genting, untuk matanja memandang ke
dalam keraton. Djusteru itu, ia mendengar : "Thian-houw terlalu bertjapai
lelah ...". Lie It terkedjut. Ia mengenali suara itu, suaranja Siangkoan Wan
Djie. Hampir kakinja terlepas dari tjantelannja. Djadi benar apa jang ia dengar
mengenai nona Siangkoan itu. Katanja dalam hatinja : "Benar2 Wan Djie sudah
melupakan sakit hati ajah dan ibunja, dia bertakluk kepada musuh !". Maka ia
mendjadi sangat berduka, ia berputus asa. Darahnja lantas bergolak, sampai ia
tidak tahu bagaimana harus menenangkan diri. Tapi, ia berhati kuat, ia lantas
mengawasi. Kali ini ia bagaikan disiram air dingin, hingga hatinja pun mendjadi
dingin separuhnja. Boe Tjek Thian dan Siangkoan Wan Djie duduk berhadapan. Di
samping Boe Tjek Thian berdiri seorang nona. Dan dialah bukan lain orang
daripada Boe Hian Song, nona jang tjantik dan liehay itu. Bukan kepalang
bingungnja ini pemuda bangsawan. Ia sudah menggenggam pisau belatinja tetapi
tidak dapat ia menimpuk dengan itu. Dengan adanja Boe Hian Song di sisi ratu,
penjerangan tidak dapat dilakukan, atau itu akan berarti kegagalan. Djadi malam
ini ia telah pasti gagal. "Kouw-kouw ", terdengar suaranja Boe Hian Song, jang
memanggil kouw-kouw atau bibi kepada ratu itu, "apakah malam ini kouw-kouw ingin
melihat si pembunuh ?". "Aku tidak ingin melihat pembunuh itu, hanja aku memikir
melihat orang jang menangkapnja ", menjahut Boe Tjek Thian, si ratu. "Kabarnja
orang itu liehay ilmu pedangnja ", berkata Boe Hian Song. "Bahkan Lie Beng Tjie
tidak dapat mengenali asal-usul dari ilmu pedangnja itu ". "Maka itu si pembunuh
tidak aneh, jang aneh jalah orang jang menawannja !". "Apakah namanja dia ?",
Hian Song tanja pula. "Menurut Lie Beng Tjie, dia orang Bie-san, namanja Thio
Tjie Kie ". "Ah, belum pernah aku mendengar nama itu ...", kata Hian Song heran.
"Thian-houw ", Wan Djie tjampur bitjara. "Ada satu hal mengenai mana aku sangat
tidak mengerti ". "Apakah itu ?". "Pembunuh itu dipudjikan pembesar di
kotaradja. Kenapa si tjamat tidak diperiksa untuk dihukum ?". Boe Tjek Thian
tersenjum. "Per-lahan2 kau bakal mengerti !". Hatinja Lie It bertjekat.
Teranglah Boe Tjek Thian telah mentjurigai dia. Pula tindakan Boe Tjek Thian
dalam urusan tjalon pembunuh itu agaknja di luar dari kebiasaan. Hanja belum
sempat ia memikir pula, ia sudah mendengar lagi suaranja ratu itu, "Tentang si
pembunuh, lain kali sadja kita omongkan pula ", katanja. "Sekarang tjoba kau batjakan
maklumatnja Tjie Keng itu ", Siangkoan Wan Djie ragu2. "Lebih baik kalau tidak
dibatjakan ", katanja. Boe Tjek Thian tertawa. "Maklumat itu maklumat menghukum
aku, pastilah bunjinja mendamprat habis2-an padaku !", ia kata. "Apakah kau
takut aku mendengarnja " Jikalau aku takut ditjatji, tidak nanti aku berani
mendjadi kaisar perempuan satu2-nja semendjak terbukanja dunia ini !. Wan Djie,
kau tetapkan hatimu. Maklumat itu buah-kalamnja Lok Pin Ong, pasti bunjinja tak
buruk, maka aku djusteru ingin mendengar, satu kali sadja ...!". Siangkoan Wan
Djie terdesak, ia mengeluarkan maklumat itu dari sakunja, lantas ia membatja
dengan perlahan : "Si orang she Boe jang sekarang mendjadi kaisar palsu,
sifatnja luar biasa halus, tetapi dia sebenarnja orang rendah dan tidak
mempunjakan pengaruh ...". "Bagus, karangan itu bagus dan tepat djuga !", kata
Boe Tjek Thian, memotong. "Memang aku turunan rendah. Ajahku seorang pedagang
kaju dan pamanku orang tani. Memang tabiatku djuga tidak halus ". Siangkoan Wan
Djie membatja terus : "Dulu dia mendjadi selirnja Sri Baginda Thay tjong, dia
membikin kotor keraton. Dia mempermainkan almarhum Sri Baginda, untuk mendjadi
si orang berkuasa. Dengan djalan mendjilat dia mempengaruhi Djundjungan ...".
"Tepat kata2 itu ...!", kata Boe Tjek Thian. "Aku dikatakan menjesatkan kaisar
almarhum, aku dibilang busuk. Memang, semendjak ribuan tahun, demikian bangsa
pria mentjatji bangsa wanita ...!. Walaupun iramanja irama kuno, toh tata
bahasanja bagus ! Batja ..., batja terus ...". Mukanja Wan Djie mendjadi merah
sendirinja. Ia membatja perlahan : "Hingga permaisuri di-ilas2 dan djundjungan
terdjerumus bagaikan binatang ". Dengan itu diartikan Boe Tjek Thian sudah
bergantian bersuamikan kedua kaisar ajah dan anak (Thay Tjong dan Kho Tjong),
hingga dia berbuat sebagai binatang. Tjatjian itu sangat hebat tetapi ratu itu
tidak gusar, dia tjuma tampaknja berduka. "Apakah itu karena kehendakku ?", dia
bertanja sengit. "Baginda almarhum mengambil aku dari kuil, dia paksa aku
mendjadi selirnja. Apa aku bisa bikin " Sebabnja kenapa aku tidak ingin mati
jalah untuk mengandjurkan wanita di kolong langit ini selandjutnja djangan
kesudian diperhina bangsa pria ! Aku telah diperhina oleh ajah dan anak dua
generasi !. Lok Pin Ong bukan mendamprat kaisarnja, dia djusteru menimpakan
kedosaan atas diriku, itulah tidak dapat dikatakan adil ...!". "Maka itu baiklah
djangan dibatjakan terus ...", kata Wan Djie. "Dari mulut andjing toh tidak
bakal muntjul tjaling gadjah ". "Bukan, dengan mentjatji Lok Pin Ong setjara
demikian, kau pun berbuat tidak adil ", kata Boe Tjek Thian. "Seorang menteri
ada sudut pandangannja sendiri. Di mata mereka, wanita itu sumber kebentjanaan,
dan wanita jang mendjadi kaisar jalah siluman. Lok Pin Ong pasti menganggap dia
benar dan di waktu mengarang maklumatnja ini, tentu dia puas sekali, sama sekali
dia tidak merasa bahwa dia menghina orang setjara tidak adil ". "Kalau begitu
baiklah, mari dengar lagi ", kata Wan Djie. "Hanja bukankah itu mengadakan jang
tidak2 ?". Ia membatja : "Dia berhati bagaikan ular berbisa, dia bersifat
seperti serigala. Demikian dengan kedjam dia menganiaja menteri2 setia, dia
membunuh entjie dan engkonja, dia membinasakan kaisar dan meratjuni ibunja. Dia
dibentji manusia dan malaikat, dia tak dapat diterima langit dan bumi !". Boe
Tjek Thian tertawa terbahak. "Entjieku itu mati membunuh diri ...!", katanja.
"Perkara membunuh entjie itu mungkin masih dapat didjambret sebagai alasan,
seperti menjamber angin dan menangkap bajangan, tetapi tuduhan membunuh engko,
membinasakan kaisar dan meratjuni ibu, darimana datangnja itu ". Maka aku djadi
ingat kepada satu lelutjon. Ada seorang kiedjin turut dalam udjian, dalam
karangannja ada kata2 : Adikku mati di Kanglam, kakakku terbinasa di perbatasan
Utara. Kepala udjian menerima dia dan memanggil dia menghadap, untuk mengatakan
padanja : Bagaimana menjedihkan keadaan keluargamu itu ". Atas itu si kiedjin


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bilang : Adikku mati di Kanglam, itulah benar. Tentang kakakku, sampai sekarang
dia masih hidup baik2. Aku hendak menulis indah, terpaksa aku membuatnja kakakku
itu mati satu kali ...". Siangkoan Wan Djie tertawa geli hingga ia mengeluarkan
airmata. Lok Pin Ong hendak membikin karangannja mendjadi indah sekali, dia
djadi mirip dengan si kiedjin !", katanja. Lalu ia membatja terus melandjuti :
"Dia djuga mengandung maksud djahat, dia hendak merampas keradjaan. Maka putera
kaisar jang disajang dikurung di lain istana, sedang sekutunja pengkhianat
diberikan djabatan2 penting ...!. Demikian, sungguh menjedihkan nasibnja sebuah
keradjaan ". Mendengar itu, Boe Tjek Thian tersenjum. Dengan demikian dia mau
persamakan aku dengan Lu Houw, Tio Hoei Yan dan Poo Soe ", katanja. "Singkatnja,
wanita itu busuk. Negara musnah, bukan dia tjari sebab-musababnja, dia timpakan
kesalahan kepada wanita ! Ha ha ha ...! Itulah sederhana sekali. Nah, kau batja
terus, mungkin di bagian bawah dia mengangkat Tjie Keng !". "Benar," sahut Wan
Djie, jang terus membatja : Tjie Keng jalah menteri tua dari Keradjaan Tong, dia
turunan orang bangsawan, dia ingin melangsungkan usaha kaisar almarhum, maka
sekarang dia bangkit-bangun untuk membasmi siluman !. Sekarang ini rakjat telah
hilang harapan ...!". Boe Tjek Thian tertawa. "Bagus kata2 karangan ini ",
katanja. "Sebenarnja, siapakah jang hilang harapan " Aku mendjadi kaisar, maka
merekalah si menteri2 lama dan turunan bangsawan jang putus asa. Sebaliknja,
rakjat tidak hilang harapannja ...!". Lie It mendengar itu, hatinja berdebar.
Dia mau menggulingkan Boe Tjek Thian, dialah jang dimaksud segolongan dengan
Tjie Keng (Giap) itu. Maklumat mengatakan rakjat berputus asa, tetapi sekarang
buktinja, rakjat jang mentjatji Boe Tjek Thian tidak ada. Wan Djie membatja
pula. Sekarang maklumat melukiskan usaha atau pergerakan tentara, jang dipudji
tinggi. "Bagus ! Bagus !", Boe Tjek Thian memudji susunan kata2-nja maklumat.
"Dengan begitu tentera dipudji kegagahannja. Eh, Wan Djie, apakah kau tidak
merasa bahwa kaum sastrawan terlalu banjak omong ?". "Memang, selama beberapa
hari ini, bagaimana djalannja peperangan ?", tanja si nona. "Lie Hauw It
memperoleh kemenangan ber-ulang2, sekarang tentaranja Tjie Keng sudah dikurung
", kata Boe Tjek Thian. "Mungkin tidak sampai sepuluh hari lagi dia bakal dapat
ditindas seluruhnja ". Lie It menjedot napas dingin. Boe Hian Song, jang
semendjak tadi berdiam sadja, tertawa. "Tjie Keng jalah seorang panglima
kenamaan, kenapa dia demikian tak berguna ?", ia tanja. "Sebenarnja rentjana
kerdjanja baik sekali ", kata Boe Tjek Thian. "Di sebelah dalam dia mempunjai
Pwee Yam sebagai penjambut. Dia pula telah berserikat sama Tay tjiangkoen Thia
Boe Teng dari angkatan perang kita di Selatan. Dia ingin Thia Boe Teng berontak.
Liehay siasat itu, sajang telah kena kita petjahkan. Ingatkah kau pembunuhnja
anak Hian ?". "Bukankah dia jang dipanggil Thia Boa Ka?". "Tidak salah. Aku
telah beri ampun padanja. Lantas dia membuat pengakuan siapa jang sudah
menitahkan dia bekerdja. Dialah adik dari Thia Boe Teng. Aku mengetahui
perbuatan khianat dari Thia Boe Teng, semua itu djasanja Thia Boe Ka ". Dia
berhenti sebentar, lalu dia menambahkan : "Sebab utama dari kekalahannja Tjie
Keng jalah rakjat tidak membantu dia. Karena rahasianja botjor, itu mempertjepat
keruntuhannja. Baiklah, Wan Djie, kau batja terus ". "Dengan tindakan kita ini,
kenapa musuh tak terbasmi " Kenapa kita tidak dapat mendirikan djasa ?",
demikian Wan Djie membatja. "Maka itu kalian, mustahil kalian lupa akan
kesetiaan " Di sana ada setumpuk tanah jang belum kering. Di sana ada enam anak
jatim-piatu, bagaimana harus ditundjangnja ?". "Bagus kata2 itu !", kata Boe
Tjek Thian. "Dengan tanah belum kering dimaksudkan kuburan Kaisar Kho Tjong.
Anak2 piatu itu jalah beberapa putera kaisar. Lok Pin Ong me-njebut2 kuburan
Kaisar almarhum dan anak2-nja, supaja dia dapat simpati dan umum membantunja,
guna dia merampas negara. Kata2 itu sungguh menarik ! Hanjalah, aku jang
mendjadi ibu masih belum mati, kenapa anak2 itu disebut jatim-piatu " Bukankah
di mata mereka, mereka itu tjuma mempunjai ajah, tidak mempunjai ibu ?". "Kata2
setumpuk tanah tidak tepat !", kata Hian Song. "Tempat pekuburan kaisar demikian
besar dan agung, mana dapat itu disebut hanja setumpuk tanah ?". "Rupanja itu
tjuma untuk memperbagus buah kalam ", kata Ratu. "Sudah, kita djangan perdulikan
itu. Batja terus ...". "Djikalau kita sudah berhasil maka kita telah berdjasa
menundjang djundjungan kita. Kita tidak men-sia2-kan pesan djundjungan kita ",
demikian bunji maklumat terlebih djauh. "Dengan begitu maka djasa kita akan
memperoleh hadiah ...". Boe Tjek Thian tertawa. "Baru bergerak, sudah me-njebut2
djasa atau pangkat tinggi ", katanja. "Djadi mereka itu bukan bekerdja untuk
rakjat hanja untuk pribadi mereka masing2. Dia menulis begitu matjam, apakah dia
tidak takut nanti datang tentangan dari rakjat ?". Wan Djie lantas membatja
bagian terachir dari maklumat, jang menjebutkan bahwa kalau mereka berhasil,
negara mendjadi kepunjaan siapa ". Habis itu, ia menjerahkan maklumat itu kepada
Boe Tjek Thian. Ratu itu menjambuti. "Maklumat ini ", katanja sambil tertawa,
"djikalau dilemparkan ke tanah dapat mengasi dengar suara djatuhnja emas dan
batu permata, susunannja indah sekali, hanja sajang kotaradja sekarang ini bukan
lagi kota mereka ! Wan Djie, tjobalah kau terka, mendengar bunjinja maklumat
jang menjerang aku ini, apakah kesanku jang pertama ?". "Segala apa jang Thianhouw pikir kebanjakan jang di luar sangkaan kita ", menjahut si nona. "Mendengar
maklumat ini ", kata Boe Tjek Thian, "jang pertama aku pikir jalah siapa jang
mendjadi perdana menteri dialah jang harus ditegur !. Ada orang jang dapat
mengarang maklumat ini, mengapa dia dibiarkan kena dipekerdjakan oleh Tjie
Keng ?". Mendengar perkataan ratu itu, bukan melainkan Siangkoan Wan Djie jang heran tetapi djuga
Lie It. Ia kata dalam hatinja : "Lok Pin Ong mentjatji dia habis2-an, bukannja
dia mendjadi gusar, sebaliknja dia mentjela si perdana menteri tidak pandai
mempekerdjakan orang. Orang ini pandangannja luar biasa djauh, dia pun sangat
sabar. Sekarang kita menempur dia untuk memperebuti negara, agaknja dalam
pertjaturan ini mungkin kita pasti bakal kalah ". Boe Tjek Thian tertawa pula
dan kata lagi : "Maklumat ini bagus bahasanja sajang tidak ada tenaganja. Tjoba
kamu lihat, adakah di antaranja jang me-njebut2 rakjat". Tidak ...! Pergi dan
pulang, dia tjuma menjerang kebidjaksanaan pribadi dari aku, dengan segala kata2
kotor dia memfitnah aku. Di samping itu, mereka mengadjak sekalian orang
bangsawan bergerak ber-sama2, maksudnja untuk membangun djasa dan mendapatkan
pangkat dan kemuliaan. Djikalau mereka menamakan diri tentara sukarela,
seharusnja mereka mengangkat rakjat untuk menghukum si bersalah, tetapi mereka
bukan bitjara untuk rakjat !. Mereka tidak menggubris rakjat, mana dapat rakjat
memperhatikan mereka ". Maka djuga maklumat ini bagus tetapi tanpa tenaga atau
pengaruhnja !". Ratu ini hening sedjenak. Ia tersenjum ketika ia mengatakan pula
: "Aku ingat bahwa baru2 ini Pwee Heng-kiam pernah merundingkan tentang mereka
itu, katanja mereka tjuma mementingkan ilmu bahasa, tetapi pengetahuan mereka
tidak tinggi, benarlah pandangan itu ". "Apakah Thian-houw menghendaki aku
menulis untuk membantah mereka, kata2-nja jalah dengan mengambil pikiran Thianhouw barusan ?", tanja Siangkoan Wan Djie. Boe Tjek Thian tertawa. "Perlu apa
untuk men-sia2-kan pit dan tinta ?", katanja. Siangkoan Wan Djie mendjadi heran.
"Thian-houw ", tanjanja, "menurut pandangan Thian-houw, tidak dapatkah maklumat
ini kemudian mendjadi terwariskan untuk djaman belakangan ?". "Maklumat ini
indah. Itulah pasti ", menjahut ratu itu, "Rakjat membatja dan tidak mengerti,
tetapi kaum sastrawan pasti akan mengaguminja ". "Nah, itu djusteru jang aku
buat kuatir !", kata Wan Djie. "Aku mengerti maksudmu !", kata Boe Tjek Thian
tertawa lebar. "Kau kuatirkan maklumat Lok Pin Ong ini mendjadi seperti warisan
untuk ribuan atau laksaan tahun kemudian, karena mana namaku akan mendadi bau
untuk se-lama2-nja !. Bukankah nanti, orang di djaman belakangan, akan memandang
aku sebagai wanita paling djahat ?". Wan Djie berdiam. Ia tidak menjangka Boe
Tjek Thian dapat bitjara begitu terus-terang. Setelah tertawa, Boe Tjek Thian
menjambungi, perlahan : "Aku telah mendjadi kaisar wanita jang di dalam hikajat
belum pernah kedapatan, maka itu djikalau aku tidak mengubah hikajatnja pria
agung dan wanita rendah, pasti aku bakal tertjatji-maki. Tentang ini aku telah
menduganja. Tapi kau djangan terlalu menguatirkan. Aku pertjaja bahwa di
belakang hari bakal ada ahli hikajat jang djudjur, jang akan dapat berpikir
untuk membelai aku. Mungkin itu akan terdjadi sesudah ribuan atau laksaan tahun
kemudian ". Siangkoan Wan Djie tetap berdiam, melainkan paras mukanja menandakan
ia tidak akur dengan pandangan ratu itu. "Wan Djie ", kata Boe Tjek Thian,
tenang, "aku memikir meminta kau tolong aku mengarang sebuah firman, jang mesti
dikirimkan tjepat setjara kilat supaja bisa segera sampai kepada Lie It, untuk
menitahkan Lie It biar bagaimana djuga djangan membinasakan Lok Pin Ong !".
Mendengar itu, Lie It merasa matanja kegelapan, ia seperti putus asa. "Inilah
wanita jang terlebih tangguh dari pada seorang pria !", pikirnja. Ia mendapat
anggapan, sekalipun ia sendiri, ia bukan lawan Boe Tjek Thian. Maka itu ia naik
ke genting di mana ia duduk menumprah dengan tidak keruan rasa. Sampai mendadak
ia menampak djauh di sebelah depan sesosok tubuh bergerak bagaikan bajangan
tubuh dari seorang wiesoe. "Malam ini aku tidak dapat turun tangan, apa perlunja
aku berdiam lama2 di sini ?", kemudian ini anak muda berpikir. Ia memandang ke
bawah, ke pelbagai istana, ke dalam taman, hingga ia menampak pemandangan alam
jang indah bagai gambar lukisan. Ia mendjadi ingat masa ketjilnja, ketika ia
suka pesiar di dalam keraton ini. Dan setelah malam ini, dengan gagal niatnja
membunuh Boe Tjek Thian, tidak akan ada lagi saatnja ia akan dapat mengindjak
pula ini istana atau keraton jang indah. Bahkan ada harapan jang seumur hidupnja
ia bakal hidup dalam perantauan, dalam dunia Kang-ouw. Ia mendjadi sangat
berduka hingga air matanja mengembeng. Ia telah memikir buat mengangkat kaki
tetapi beberapa kali ia batal, tanpa dikehendaki, ia memandangi pula istana atau
keraton jang indah itu. Tapi jang membuatnja merasa paling berat bukannja istana
itu atau tamannja, hanja seorang jang berada di dalam keraton. Ialah Siangkoan
Wan Djie. Dengan telah masuk ke dalam keraton dan mendjadi orang di pihaknja Boe
Tjek Thian, mana ia mempunjai harapan lagi ". la mendjadi melamun : "Tahukah dia
bahwa sekarang aku berada di sini " Dapatkah ia menemui aku di dalam impian ?".
Pula di situ ada Boe Hian Song. Nona itu pernah menolong dia, budinja besar. Si
nona sekarang dalam kedudukan sebagai musuhnja. Ia mendjadi bingung, apa ia
harus bersjukur kepadanja atau membentji dia ". Djuga dengan nona Boe ini, untuk
selandjutnja, sukar ada pengharapannja untuk bertemu pula. Pikirnja : "Dapatkah
dia memikirkan aku ?". Ia lantas mendjawab sendirinja : "aku tidak tahu. Hanja
aku tahu pasti, aku sendiri dapat memikirkan dia, tidak perduli dia
musuhku ...". Selagi anak muda ini masih terus bertjokol, tiba2 ia terkedjut
mendengar suaranja Siangkoan Wan Djie : "Aku telah selesai menulis firman.
Apakah Thian-houw ingin melihatnja ?". "Sudah, tidak usah ". Boe Tjek Thian
mendjawab. "Wan Djie, selama ini apakah kau terus masih mengarang sjair " Aku
mendjadi memikir kedjadian itu malam ketika kau hendak membunuh aku. Aku masih
ingat sjair jang kau buat malam itu. Ketika itu kau agaknja sangat membentji aku
", Wan Djie tertawa. "Ketika itu aku sungguh2 tidak tahu apa2 ", bilangnja. Boe
Tjek Thian djuga tertawa. "Aku tadi telah membuat sjair untuk mendjawab sjairmu
itu, Bunga Gubahan ", katanja. "Bunga gubahan, bunga buatan manusia. Tapi,
bukankah segala apa djuga bikinan manusia " Sjairku sjair "Bersenandungkan bunga
bie-toh". Kau dengar aku batjakan, lalu aku minta kau suka menggubahnja terlebih
djauh." Lantas dengan perlahan ratu ini bersenandung :
"Pohon bie-toh tanaman manusia. Ichtiar manusia memenangkan usaha Thian.
Rembulan menerangkan angkasa, kapan tiba waktunja, empat pendjuru lautan
mendjadi merah. Musim semi terang dan indah, dan musim rontok menggembirakan.
Berlaksa tahun hidup tegak, roda emas berbahagia tak habisnja ".
Boe Tjek Thian mendjuluki diri "Kim Loen Hongtee," atau 'Kaisar Roda Emas', maka
itu sjairnja ini memaksa manusia mengalahkan Thian. Itu melulu suaranja seorang
kaisar wanita. "Sungguh mulut besar !", kata Lie It di dalam hati. Sementara itu
Siangkoan Wan Djie memudji, katanja : "Bagus, bagus ! Bersemangat dan iramanja
indah! Tidak dapat aku membuat sjair demikian !". Boe Hian Song tertawa, dia
menanja : "Kouw-kouw, bagaimana bergembira kau malam ini. Kau sampai melupakan
bahwa kau hendak memeriksa si pembunuh ". "Benar !", Wan Djie pun bilang.
"Kenapa Tayhwee tjongkoan masih belum tiba ?", Lie It terperandjat. Segera ia
ingat : "Djikalau aku tidak mengangkat kaki sekarang, sebentar sudah terlambat,
aku bakal kena dipergoki mereka ...". Baru ia memikir demikian, atau bajangan
tadi tampak tiba, terus dari atas wuwungan dia mengajun tangannja. Maka
terbanglah dua bilah hoei-too ke dalam keraton itu. Bukan main sebatnja orang
itu, baru sesudah dia menimpuk dengan hoei-too, Lie It mengenali dia. Jalah si
berewokan Lamkiong Siang. Ia tadinja mau menjangka Pek Goan Hoa. Ia tidak
menduga kepada rekannja itu. Lantas di dalam keraton itu terdengar tertawa
njaring tetapi empuk. Siangkoan Wan Djie dengan sebelah tangannja menjambuti
sebatang hoei-too alias golok-terbang (Di sini diartikan pisau-belati). Selama
di Kiamkok, nona ini telah mempeladjari ilmu menjambuti sendjata rahasia.
Sebenarnja ia hendak menangkap dua2-nja tetapi Boe Hian Song telah mendahului
menjampok dengan tangan badju hingga hoei-too itu mental balik, menantjap di
penglari. Boe Hian Song pun berseru terkedjut : "Ah, bukan dia! Ini bukannja dia
!". Si berewokan itu mengerti gelagat. Begitu ia ketahui bokongannja gagal, ia
tahu di dalam keraton itu bersembunji orang liehay, maka ia lantas melompat
turun. Hanja dalam sekedjapan sadja, di antara satu sinar putih terang, terlihat
ia sudah bertempur sama seorang boesoe. Lagi2 Lie It kena dibikin kaget saking
herannja. Boesoe jang merintangi dan menjerang si berewokan itu bukan lain orang
daripada Pek Goan Hoa. Entah dari mana dapatnja, Goan Hoa telah menggunai pedang
sebagai sendjatanja. Begitu lekas sudah menempur Lamkiong Siang empat atau lima
djurus, Pek Goan Hoa berteriak njaring : "Masih ada satu, jang bersembunji di
atas genting. Dia bernama Lie It !. Dialah tjutjunja kaisar keradjaan Tong she
Lie !". Sedjenak itu Lie It insaf. Njata ia telah masuk dalam perangkap. Terang
selama udjian itu, Pek Goan Hoa membokong Lie Beng Tjie untuk bersandiwara
sadja, untuk memantjing ia mengeluarkan kepandaiannja, supaja ia pun mengenalkan
dirinja kepada pembunuh palsu itu. Sampai di situ, tanpa ajal lagi ia melompat
turun. Lamkiong Siang berkelahi dengan sebatang golok di tangannja, dia berhasil
mendesak. Pek Goan Hoa main mundur, sambil mendesak itu, si berewokan berseru :
"Aku akan meng-halangi2 dia ini, lekas kau lari. Lekas lari...!". Tapi Lie It
sudah melompat mentjelat, ia tiba di samping Pek Goan Hoa, jang ia lantas tikam
dengan djurusnja "Lie Kong memanah batu". Pek Goan Hoa menangkis. Ketika kedua
sendjata bentrok, pedangnja kena dibabat kutung. Ia liehay, ketika ia diserang
untuk kedua kalinja, ia masih dapat menangkis dengan pedang buntungnja, pedang
mana kemudian dipakai menangkis djuga goloknja Lamkiong Siang. Lie It tidak
mempunjai napsu untuk bertempur terus. "Mari kita pergi !", katanja pada
Lamkiong Siang, jang ia tarik udjung badjunja. Pek Goan Hoa mendengar suara itu,
dia tertawa lebar dan berkata : "Djangan mimpi !. Di sini telah dipasang djaring
langit dan djala bumi. Baiklah baik2 sadja kamu berdiam di sini !". Lie It tidak
memperdulikannja. Lagi dua kali ia menjerang hebat. Dua2 kalinja Goan Hoa dapat
menghindarkan diri. Sambil berseru bengis, Lie It melompat lari. Dia
menjerukan : "Mati siapa menghadang aku !. Hidup siapa minggir !". Tapi mendadak
terdengar sambutan tertawa besar dan kata2 njaring : "Sungguh djumawa! Aku
djusteru hendak menghalangi kau !". Suara itu disusul sama berkelebat muntjulnja
satu bajangan, jang segera dapat dikenali sebagai satu di antara tiga djago Sin
Boe Eng, jalah Tjin Tam jang pandai meraup-menggulung tepung katjang dengan kain
benderanja. Pula dia mempunjai sendjata jang luar biasa, jaitu bendera pandjang
tiga kaki dengan gagangnja kuningan, karena mana, udjungnja itu dapat digunai
sebagai poan-koan-pit atau tombak, sedang benderanja sendiri, bendera itu
sebenarnja ada sulaman atau anjaman kawat daripada emas putih, hingga bendera
istimewa itu tidak takut pedang jang tadjam.
---oo0oo--Lie It tidak memikir lain. Ia madju terus. "Minggir !", serunja seraja ia
menikam ke tenggorokan. "Diam kau di sini !", Tjin Tam pun membentak. Dia
tertawa dingin, dia tidak takuti antjaman pedang. Dengan benderanja dia
menjampok serangan, terus dia mentjoba menggulung. Lie It menarik pulang
pedangnja. Ia terkedjut. Dengan mengandalkan ringannja tubuh, ia melawan terus.
Tiga kali ia menikam saling-susul. Tjin Tam tidak mau mundur. Setiap kalinja dia
menangkis seraja mentjoba menggulung pedang lawan. Pedang itu tidak berdaja asal
kena disampok bendera. Maka itu, kekuatan mereka djadi berimbang. Pedang tidak
dapat membabat bendera, bendera tidak bisa menggulung pedang. Demikian mereka
bertempur hingga kira2 dua puluh djurus. Di samping Lie It, Lamkiong Siang djuga
lagi bertarung terus. Bahkan rekan itu dirintangi oleh seorang wiesoe lain,
hingga dia tidak sanggup lekas2 meloloskan diri. Wiesoe itu jalah orang kedua
dari ketiga wiesoe jang liehay, dialah jang di waktu udjian mentjabuti sisa
pelatok, jang bernama Thio Teng, jang bersendjata sebatang Tjee-bie-koen, toja
pandjang sebatas alis. Dia bertenaga besar, tojanja mendjadi berat sekali.
Anginnja toja itu men-deru2. Lamkiong Siang liehay ilmu goloknja tetapi ia tidak
dapat berbuat banjak. Bahkan di lain saat terdengar ia mendjerit, lantaran
udjung toja Thio Teng mampir di tulang keringnja hingga ia sempojongan. Lantas
Thio Teng tertawa dan kata njaring : "Pek Goan Hoa, pembunuh ini aku serahkan
padamu !". Setelah itu ia mengundurkan diri, untuk membantui Tjin Tam mengepung
Lie It. Segera djuga terdjadi perubahan. Melajani Tjin Tam seorang, Lie It ada
sama unggulnja. Dikepung berdua, ia lantas mulai terdesak. Toja itu berat tudjuh
puluh dua kati dan pedang tidak dapat menggempurnja, sering kedua sendjata
bentrok njaring, hasilnja untuk Lie It tidak ada. Dia bahkan repot karena
bendera selalu berkibar berkelebatan. Lantas dia tjuma dapat main menangkis.
Lamkiong Siang didesak Pek Goan Hoa sendiri. Untuk menolong diri, tiba2 ia
menerbangkan goloknja. Goan Hoa tidak menjangka, pundaknja kena dilukai.
Djusteru itu, musuhnja itu lompat mentjelat, untuk lari njelusup masuk ke pohon2
jang lebat. Thio Teng melihat kaburnja si pembunuh, ia mendjadi bersangsi baik
ia membantui pula Goan Hoa, untuk mengedjar si pembunuh, atau ia tetap membantui
Tjin Tam membekuk Lie It. Tengah orang bersangsi itu, Lie It menjerang dengan
dahsjat sekali. Ia berlaku nekat, pedangnja menikam ke arah wiesoe itu hingga
mengenakan sasarannja. Meski begitu, ia hendak menjingkir terus. Djusteru itu,


Memburu Putera Radja Pendekar Aneh Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tjin Tam menotok dadanja. Ia melihatnja, ia lantas berkelit. Masih ia terlambat
sedikit, udjung badjunja kena tersobek. "Djangan perdulikan djahanam itu !
Inilah dia si pendjahat besar !", Tjin Tam berseru. Thio Teng terluka tetapi
tidak parah, ia mendjadi sangat gusar, maka itu, walaupun tidak ada seruan Tjin
Tam, ingin ia menuntut balas. Sekarang ia nampak semakin garang. Dengan tojanja
ia lantas mendesak, hingga Lie It kena terpukul mundur, hampir dia tidak dapat
berdiri terus. Dalam keadaan seperti itu, Lie It mendjadi putus-asa berbareng
nekat. Ia insaf bahwa ia sukar lolos. Ia tidak sudi menjerah meski ia tahu,
lama2 ia bisa susah. Dalam putus-asa itu ia mengertak gigi. Mendadak ia melompat
tinggi, selagi turun, ia menjerang. Itulah djurusnja "Bima Sakti menggantung".
Tjin Tam mengetahui pukulan mati2-an itu, dia lantas berseru, benderanja dipakai
menutup diri. Toh ia merasa kewalahan. Thio Teng sendiri sudah lantas mundur,
sedang matanja dibikin silau dengan berkelebatannja sinar pedang jang dibulangbalingkan. Meski begitu, dia gagal. Tahu-tahu udjung pedang telah mengenai
pahanja, saking sakitnja, tubuhnja roboh, tojanja dilemparkan. Thio Teng wiesoe
nomor satu, walaupun dia roboh terluka, dia tidak mau menjerah dengan begitu
sadja. Demikian sambil roboh itu, ia menjerang dengan tojanja, jang dibikin
terputar. Lie It melompat, dia melihat datangnja toja, dia mengangkat kakinja,
untuk mendjedjak, tetapi toja menjerang keras, udjung kakinja jang belakang kena
terbentur dan mendatangkan rasa sakit jang sangat. Ketika itu, Tjin Tam pun
madju menjerang dengan benderanja, menikam ke arah perut. "Tahan !", se-konjong2
terdengar djeritan tjegahan, djeritan itu njaring dan tadjam. Itulah suara
seorang wanita. Lie It masih dapat mempertahankan diri, untuk berdiri terus,
akan tetapi hatinja gontjang. Ia mengenali suara wanita itu. Ia lantas melihat
dua orang nona berlari berendeng menghampirkan padanja, ke-dua2-nja sambil
tertawa. Jang berseru itu Siangkoan Wan Djie, dan jang lainnja Boe Hian Song.
Ringan tubuh mereka itu, dengan lantas mereka telah datang dekat sedjarak tiga
tombak. "Lie Kongtjoe, kami sengadja menantikan kau !", kata Nona Boe. "Sudah
lama kami menantikannja !". Lie It melengak. Hanja sedjenak, ia mengangkat
pedangnja, untuk ditikamkan kepada lehernja sendiri. Boe Hian Song seperti sudah
menduga itu, tangannja segera diajun, maka kim-piauw, jalah piauw emasnja,
lantas meluntjur, menjerang udjung pedang, hingga pedang itu meleset dari
sasarannja. Sambil menimpuk, ia kata dengan dingin: "Seorang pria, seorang
laki2, adakah dia begini tak berguna ?". Siangkoan Wan Djie madju dua tindak.
"Engko Lie It, mari kau turut kami pulang ", ia berkata, perlahan, halus. Lie It
mengertak gigi. "Djikalau kau madju lagi tiga tindak, akan aku bunuh diri !", ia
mengantjam. "Umpama-kata aku tidak lantas mati, tetapi hatiku sudah mati lebih
Badai Awan Angin 16 Gento Guyon 18 Iblis Edan Dibawah Kaki Pak Dirman 2

Cari Blog Ini