Ceritasilat Novel Online

Dibawah Kaki Pak Dirman 2

Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin Bagian 2


"Tumpaskanlah aku ini oleh kalian!" kutuknya sambil
membayar. Ia tems mencarut"carut.
Dan akhirnya kubendung dengan bertanya, "Bagaimana
dengan usulku tadi?"
"Usul apa" Asal jangan minta makan lagi," katanya.
"Usul bunuh dirisesuai dengan konsekwensi abstrakm u."
Lama dia memandangi aku dengan mata kosong dan tak
mengerti. "Aku mau lakukan apa saja, asal bisa rasa perih dadaku
hilang," putusnya. "Kita berangkat sekarang," kataku memerintah.
"Aku kepingin hidup lagi, hidup dengan semangat baru.
Cuma itu mauku." Lalu kami berangkat. I",-r- V 53 Kami bertiga pergi ke tengah"tengah alun"alun Utara.
Di antara sekian banyak perempuan malam dan laki-laki
malam yang bertebaran di seluruh alun"alun, di antara kelip"
kelip lampu merah warung"warung yang di tengah, kami
pilih tempat sepi dirumput yang masih basah. Kami duduk
bertiga, duduk begitu saja ditanah rumput yang melembab.
"Kita mulailah sekarang," kataku dengan suara khidmat.
"Bagaimana caranya," tanyanya.
"Kami berdua, aku dan Abdidalem ini jadi saksi di bumi
ini," kataku. "Saksi lain ialah bulan yang pudar dan bintang
yang malu-malu diselendangi kabut di atas langit sana.
Lakukanlah sekarang."
"Aku tidak tahu caranya," katanya pelan.
"Begini," kataku menerangkan. "Semua dengan abstrak.
Genggam tanganmu seolah"olah menggenggam pisau.
Pusatkan rasa dan pikiran, bayangkan bahwa memang
sebilah pisaulah yang sedang di tanganmu. Lalu, tusukkan ke
dadamu.Tusukkanlah dalam-dalam sampaiujunggagangnya.
Bisa?" Ia mengangguk, dan mengagak-agak. Khidmat, sambil
memejamkan mata. Lama ia terdiam begitu, lalu dari mulutnya keluarrengut,
"Aku tidak berdosa, kenapa aku harus menanggung dosa
begini pahit?" "Stop!" kataku. "Kau tidak boleh memikirkan dosa. Kau
sekarang memang menjalankan satu perbuatan dosa. Bunuh
diri adalah dosa, sebab kau tidak berani hidup terus."
"Dosa bukan aku yang mau!"
"Ya, bergelimang dosa ialah nasib manusia, yang
ditakdirkan dan dipikulkan oleh perjanjian Tuhan sejak
Dia mengusir Adam dan Hawa dari Taman Firdaus. Dan
kewajiban turunan-turunan Adam dan Hawalah, mengatasi
segala perbuatan dosa dan kesalahan"kesalahan di dunia ini.
Dan karena kau tidak berani mengatasinya, kau tidak mau
tawakkal, kau jatuh kepada dosa yang lebih besar. Bunuh
diri! Nah lakukanlah sekarang."
54 ;: $ "Tidak," teriaknya tiba"tiba. Ia berdiri menantang. "Aku
tidak mau menanggung dosa-dosa yang sudah dibuat oleh
kedua pribaditurunan manusia itu. Aku tidak mau."
"Itu hukum karma, dan sudah perjanjian dengan Tuhan.
Kita harus, dan berkewajiban mengatasinya! Sebagai manusia
dari darah dan daging."
"Baiklah," katanya menyerah.
Ia me nggenggamkan tangan kanannya kembali.
Bibirnya mengucapkan Bismillah. Dan tiba"tiba ia
menusuk dadanya. Sejenak ia terpana, kepalanya terkulai.
Seluruh badannya terkulai seperti orang Jepang tengah
melakukan harakiri. Pe lan-pelan kepalanya diangkat, terpana
menengadah memandangi bulan yang pudar, bintang yang
pudar, dan akhirnya matanya memandangi kami satu per
satu. Katanya pelan, "Alangkah enaknya, bila mati bisa seperti
ini. Tidak merasakan sakit, tapi hanya setapak saja ke batas
lain." "Sudah selesai?"
"Ya," jawabnya. "Dan sejak saat ini aku sudah suci,
dengan semangat baru. Aku akan ganti namaku."
"Betul, nama kau harus diganti. Kau jadi orang yang
konsekwen sekarang. Hasil-hasil senimu abstrak, bunuh
dirimu juga abstrak. Yang penting dalam hidup ini ialah
konsekwen. Apa namamu yang dulu?"
"Arbi Sam a." "Dan namamu yang sekarang?"
"Arbi Sama Wasiata."
"Ke napa Wasiata?"
"Kombinasi namaku dan nama bekas kekasihku,
Tuti Wasiatun. Mulai besok segala ciptaan"ciptaanku
kutandatangani dengan nama ini."
"Itu baik. Moga"moga kau bahagia dan dewasa besok
dalam bercinta," kataku memutuskan dengansuara sungguh"
sungguh. Dan sebagai memulai hidup baru, semalam suntuk
itu ia tidak lagi mengutik"utik sedikit pun tentang bunuh
diri, tentang racun, pisau atau kali Code. Kami menjelajahi
Malioboro yang gelisah tidurnya sepanjang malam hingga
fajar terbit. Tapi gemasku bangkit kembali, ketika bertepatan suara
azan berdengung di puncak mesjid besar alun-alun, dan kami
duduk diwarung Irah, kembali akulah yang harus membayar
minum dan nasi gudeg! 56 ;: $ Repodanlusi Aku merasa letih tiba"tiba. Mengeluyuri Malioboro
malam hari sampai fajar bukan satu kenikmatan lagi. Jalan
lempangnya masih yang dulu: aspal licin, dan lampu"lampu
listrik membujuri tengah jalan dari Utara ke Selatan. Semua
seperti biasa, toko-toko tegel, dan pintu kereta api Tugu
yang selalu menumpuk lalu lintas selama puluhan menit
menunggu langsir sebuah lok. Yang berubah hanya muka"
muka manusia yang melintasi jalan ini, muka-muka baru.
Dan yang tetap abadi ialah sikap ayem lamban seolah" olah
waktu tidak berarti apa"apa!
Kataku pelan kepada kawanku, "Aku merasa tua! Tua
bangka lahir batin."
Kawanku ikut menghenyak di kaki lima sebuah toko. Ia
meringis tak bertujuan menutupi keheranannya yang hampa.
Katanya, "Perasaanmu yang kecewa saja itu cuma! Kau
lihat bulan di langit itu" Dia lebih tua dari manusia, tapi ia
tetap muda dan segar."
"Kau tahu?" tanyanya melanjutkan, "aku punya Paman,
pegawai tinggi, sudah hampir enampuluh tahun, tapi dia
masih gesit sebagai pemuda krosboi. Bisa serampang
duabelas, wogibogi dan masih kuat berenang."
Aku tambah kesal mendengar ceritanya tentang Paman
atau bibinya yang selalu hadir di Istana Negara pada setiap
upacara resmi, yang mengenal semua pembesar, semua
Duta-duta Asing di Ibukota, dan menjabat ke dudukan sebagai
pengurus badan-badan sosial. Aku tambah diam mendengar
ceritanya tentang oto bell"air, tentang mebel"mebel modem,
salon, resepsi"resepsi dan segala tetek bengek golongan
elite." Kulihati pakaiannya yang lusuh dan sepatunya yang
menganga tapak. Tiba-tiba cetusku, "Dan kau, kenapa kau cumpangcamping seperti aku, ha?"
I",-r- V 5" Jawabnya ketawa, "Pamanku ya Pamanku, aku tetap aku
seperti aku!" Ceritanya terhenti, cerita yang dimulai dengan bangga
dan hati menggelembung. Dan dia kudera lagi, "Enak bahwa masih ada yang
dibanggakan." "Dia Pam anku," katanya pelan. "Tapi sudah Paman jauh
"Aku cuma mempunyai hati untuk dibanggakan. Hati
yang terasa amat tua di dalam!" kataku meradang.
Kami lalu berdiam diri. Bulan bersembunyi di balik awan.
Awan yang bergegas, tapi cukup tebal untuk menambah
kedukaan. Terdengar suara suling beberapa depa dari tempat
kami duduk. Tentu si pemuda edan yang berbaju compangcamping itu pula yang hinggap sejejer dengan kami! Selalu
dia begitu. Cuma meniup suling untuk kesenangan hatinya.
Tidak, selama ini aku belum berkenalan dengan dia. Mukanya
pun aku belum tahu bagaimana, karena mukanya selalu
terlindung oleh bayangan topi pandan yang usang. Yang
selalu kuingat tentang dirinya, ialah compang-campingnya,
jari"jarinya dan suara sulingnya. Ia kelihatan sehat kuat
dalam compang"campingnya yang kumal!"Dalam kehidupan
ini orang-orang penuh duka seperti dia," kataku menghibur
hati. "Aku kini hanya ingin mengenang yang indah"indah dan
yang enak"enak! Bila tak ada lagi yang kugenggam, keenakan
dan keindahan dalam hidupku yang sekarang, yang sudah
lampau pun jadilah diulangi kembali! Aku tidak ingin
kedukaan"kedukaan lagi, walau dalam im pian se kalipun!"
"Kau tak di Yogya, ketika Revolusi," kataku pada kawan
yang di sebelahku. "Aku di Birugo, di Bukit Tinggi. Ikut bertempur dan masuk
kota, ketika pasukan Belanda menduduki kota," katanya.
"Semua pemuda ketika itu ikut bertempur," kataku.
Hatiku mendongkol lagi, karena ia tentu akan mulai
menceritakan sesuatu yang bisa disampaikannya dengan
hati menggelembung. '" 58 ;: $ Dengan pelan sambungnya, "Aku terpaksa mempersaksikan
kawanku dimitralyur Belanda, duapuluh meter dari aku. Kami
memasuki kota waktu itu. Kawanku seorang itu pintar main
biola, jago main bal, dan pintar melukis. Kami berdua ditugaskan
memasuki kota. Di jalan Birugo aku berjalan duluan, ia di
belakang. Sebuah patroli Belanda menghadang kami di jalan
raya. Aku tak diapa"apakan, boleh jalan terus. Dan aku gembira,
yakin bahwa kawanku tentu juga akan selamat. Tapi tiba-tiba
terdengar rentetan letusan di belakangku. Aku terkencing dalam
celana, kawanku tertelungkup mandi darah. Aku dipanggil
serdadu- serdadu itu kembali. Aku heran kenapa aku masih
bisa sampai ke dekat kawanku, semuanya dalam mimpi. Kata
salah seorang serdadu, "Ha, apa kowe kenal sama ini garong?"
Mulut senjatanya sudah di dadaku. Aku menggeleng. "Kowe
jangan bohong ya" Kowe bisa baca?" Ia menyodorkan segumpal
pamflet perjuangan Revolusi dari daerah Republik ke hidungku.
"Kowe juga anjing Sukarno ya?" desaknya. Tapi aku menggeleng,
mengingkari jiwaku demi keselamatan nyawaku! aku tak tahu
entah bagaimana, tapi tiba"tiba aku ditendang dengan sepatu
serdadunya yang berat, dan hardiknya, "Ayo lekas pergi! Jangan
ikuH'kut Sukamo, nanti kiowe mampus seperti garong ini.
Mengertil?" "Kawanku ditembak di situ juga karena ia tak sempat
menyembunyikan atau membuang pamflet yang ada di
kantongnya, pamflet"pamflet yang harus kami tempel di seluruh
kota! Dan aku menangisi diriku, karena mengingkari hatiku
dan teman seperjuangan di depan maut, seperti Petms yang
mengingkari Yesus di sidang Kayafas dan pendeta"pendetanya.
Saya tidak kenal manusia ini!"
Lalu lama kami berdiam diri pula. Aku menyesali diri, karena
bermengkal hati kepadanya.
Sambungnya pelan, "Kawanku itu sekarang masih terkubur
di tepi Jalan Birugo ketika aku meninggalkan Bukit Tinggi pergi
ke Jawa.Tapi kuharap ia sudah dipindahkan ke Taman Pahlawan."
"Oh, penyuling yang duka itu," kataku mengelakkan
perasaan. I",-r- V 55" Tadi ia meniup lagu bengawan Solo, kini disambungnya
dengan Halo-halo Bandung, suara sulingnya merayu,
sederhana dan bersih. "Benar," kata kawanku lagi tiba"tiba. "Benar! Aku merasa
hatiku tua kini. Amat tua !"
Aku bersiul tak acuh mengikuti suara suling itu.
Lalu katanya gembira, "Semasa jaman Kiblik, Malioboro
jadi pusat Revolusi." Semuanya bisa bertemu di sini. Pahlawanpahlawan, laskar"laskardariseluruh daerah Indonesia, sampai
kapten"kapten dan kolonelkolonel benkap yang tak pemah
melihat garis depan, bahkan juga tukang-tukang catut.
Presiden dan Menteri-menterijuga berada diJogya. Semuanya
menjadi satu di sini, hati dan tekad.
Sayang aku tak sempat melihat Malioboro di jaman
selanjutnya atau dalam masa pendudukan Belanda. Kenang"
kenangan Malioboro yang kubaca merembes mengikuti
pasukan ke Jawa Barat, ialah Malioboro Ibu Kota Negara
Republik Indonesia. Sekarang Malioboro juga sudah tua
agaknya. Aku bersiul lagi, mengikuti suara suling. Tiba-tiba suling
berhenti, dan aku ikut berhenti. Kupandangi wajahnya yang
gelap dilindungi topi usangnya! Sekaligus kami berpandangan,
lalu si penyuling mulai lagi.
Sebuah melodi dari zaman lampau. Dalam hati aku
mengikuti diam"diam baris pertama lagu ini, "Jangan ditanya
ke mana aku pergi jangan Tuhan! Tuhan, keluhku dalam
hati. Aku tidak ingat lagi kata"kata lagu itu. Sudah sepikun
itukah aku" Orang muda peniup suling yang tak waras ini,
masih ingat se mua!"
Tiba"tiba hatiku berdetak!
Si penyuling kuperhatikan. Jarinya bermain, melonjaki
lobang-lobang dan meniupkan nada-nada yang menguntaikan
melodi. Aku menggigil, rasa dingin menjalari hatiku.
"Ya," kata suara kawanku yang di sebelah. "Aku tak
mempunyai apa"apa yang bisa kubanggakan. Mengingkari
temankuyang berlumuran darah ditelapak kakiku dan telapak
60 .:: $ kaki serdadu"serdadu Belanda, bukan merupakan perbuatan
yang bisa kubanggakan. Aku tua, tua betul rasanya dalam
hati." "Repo!" tegurku pelan ke arah si pemuda edan yang


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meniup suling itu. Ia tak bergerak, tiupannya tak terhenti. Kawanku heran
melihatinya. "Repo!" kataku ke ras-keras.
Si pemuda itu hanya melirikan mata, sambil terus
meniup. "Lusi!" teriakku lagi. "Lusi!"
"Apa kau sudah gila?" tegur temanku.
Aku mencangkung di hadapan si penyuling.
Tanyaku, "Kau si Re po!"
Ia terhenti. Dengan sayang dan hati"hati suling
dipegangnya dan ia menyeringai tolol.
"mBoten Pak!" "Kalau begitu kau si Lusi!"
"mBoten Pak! Nama saya Gimin! Bapak senang dengar
saya main?" "Senang! Tapi jangan main"main. Kausi Lusi atau si Repo!
Ha, masa kau tidak kenal lagi kepada saya, ha!?"
Ia tertawa tolol lagi. Tertawa yang kian kuingat kembali,
jelas dan pasti! "Semua orang kenal kepada saya Pak," katanya girang.
"Karena saya main suling di Malioboro setiap malam."
"Betul namamu bukan Repo atau Lusi?" desakku lagi.
"Asmo kulo Gimin kok Pak."
"Kalau begitu aku yang sudah pikun," kataku
menggumam. Dan kutambah lagi,"Lalu kamu dari mana tahu lagu Halo
Halo Bandung!?" "Sudah lama Pak. Jaman itu saya ikut perjuangan."
"Kalau begitu kau si Repo atau si Lusi," kataku. "Saya
yang mengajarkan kamu lagu"lagu itu, ingat" Kamu dari
Gunung Slamet?" 61 "Kulo dari Kalipanas je!"
"Ya, betul! Kalipanas, tempat pemandian air welirang
panas. Di kaki Gunung Slamet! Kau mesti kenal kepada saya!"
Dipandanginya aku lama"lama. Dengan mata yang
meneliti, tapi sekerutpun tak ada melintas di mata atau
diwajahnya bahwa ia mengenal aku. Ia tertawa tolol lagi
menggeleng. Akujadi lesu, terlalu lesu tiba"tiba.
Ya, dia bukan si Repo dan bukan si Lusi! Ia meniup
kembali tembang Sigro Milir.
"Kau mempunyai istri dulu," kataku tak putus asa.
"mBoten Pak!" jawabnya.
Berhenti ia meniup suling.
"Kau mempunyai kakang dulu!"
"Sudah mati je! Pahlawan je!"
"Kau dan kakangmu lahir kembar. Kakangmu mempunyai
istri. Rupa kamu dan rupa kakangmu sama. Ingat masih"
Waktu itu saya lewat dengan pasukan di pancuran air panas,
kamu dan kakangmu datang berdua. Malam gelap dan
kami lapar. Kamu cabuti telo, dan bertiga kamu dengan istri
Kakangmu membakartelo untuk pasukan! Ingat?"
Ia tertawa tolol lagi, lalu meneruskan meniup sulingnya.
Aku mendesak, "Lalu besok harinya pagi"pagi kamu dan
kakangmu meminta ikut dengan pasukan kami ke Barat, mau
ikut melawan BelandalTapisaya marah"marah kepada kamu,
terlebih"lebih kepada kakangmu yang hendak meninggalkan
istrinya sendirianl" Ingat" Tapi kamu berdua memaksa dan
ikut begitu saja, dan pasukan tidak bisa menolak!" Ingat"
Lalu, rupa kamu dan kakangmu sama, kepala Pasukan
memberi nama Repo, kepada kakangmu dan Lusi kepada
kamu! Ingat?" Ia tertawa tolol lagi, dan menghentikan permainan
sulingnya. "Galah bapak ini," katanya ketawa lebar. "Kok seperti
orang marah. Bapak senang bermain dengan saya" Kalau
bapak marah, saya tidak mau bermain lagi lho !"
Kupandangi saja dia seketika sambil membisu. Ia
62 .:: $ memandang aku sebagai seorang pemain musik yang
diganggu oleh pendengar yang tak mengerti seni.
Aku tertawa akhimya. Sia"sia! Te ntu aku salah lihat, atau
sedang bermimpi. Tapi aku tidak mungkin silap.
Dia si Repo atau si Lusi! Kepala Pasukan kami memang
orang yang praktis memberi nama kepada kembar dua anak
gunung yang sebagai pinang dibelah dua itu. Katanya, "Ha,
kamu yang tua saya kasih nama Repo dan adikmu, Lusi. Dan
kamu berdua adalah Re polusi! Bisa ingat?"
"Inggih!" sahut mereka.
"Dan karena kau belum bisa menembak dengan bedil,
kamu boleh gotong peti-peti peluru !"
"Inggih!" sahut mereka.
"Sekarang selamat bekerja. Merdeka!"
"Inggih!" sahut mereka. Sejak itu mereka kami kenal
sebagai Repo dan Lusi, mereka tak lupa kepada nama
panggilan yang sudah ditetapkan.
"Orang edan kau, diajak berbicara mengenangkan masa
lampau!" bisik temanku menyesali.
"Tidak, aku tidak silap!" kataku. "Ya, dia tidak bisa
ingat lagi!" Dia sudah tak beres ingatan tentu. Dia tentu si
Lusi! Kakangnya si Repo pada satu hari kami dapati mati
di rumput jalan raya, disergap oleh patroli Belanda. Ia
ditugaskan membawa surat secarik ke satu desa beberapa
bukit dari markas kami. Kami di Gunung Galunggung ketika
itu. Dan sejak itu, adiknya si Lusi hilang ingatan. Dan aku
yakin sipeniup suling ini Lusi! Ketika pasukan harus kembali
ke kantor masing"masing, jaman Renville, aku sedang di
Jogya, bertugas dan tak periu kembali ke Barat. Tapi ketika
pasukanku memasuki kota, si Lusi tidak ada! kata kawan"
kawan, ia tiba"tiba menghilang di kaki Gunung Slamet.
Suara sulingnya mendayu terus. Berpindah kelagu Gugur
Melati kini. Pandangku merenungi si peniup. Hatiku berkata, pasti
dia si Lusi! Tiga berjejer kami duduk di kaki lima toko. Malam di
'.'"i-l ?"-n" 63
Malioboro tua dan compang"camping. Tidak pernah ada
seorang pun pada masa revolusi, bertanya kenapa ia ikut ke
medanpertempuran!Seorangkawanpergikegarisdepan,ikut
dengan pasukan, ikut dengan laskar, ikut dengan Te ntara Na"
sional; seorang demiseorang pergi ke garis depan, ada yang
kembali, ada yang tak pulang, menyeraki tanah sepanjang
garis pertempuran dengan darah dan tulang"tulang! Aku pun
tak pernah bertanya. Seorang kawan bertemu di Malioboro
dan bertanya, "Kau ikut ke Jawa Barat" Kita rembesi pos"
pos Belanda dan kita sabot tangsi"tangsi dan konvoi"konvoi
mereka". Aku menjawab, "Ya aku ikut, harus ikut!" sebagai
orang yang takut ketinggalan pergi piknik! Dan orang-orang
macam siRepo dansiLusi" Merekatidak diminta,tapimereka
memaksa ikut. Ditinggalkannya istrinya,gubuknya, dan kebun
telonya. Dan kita berjumpa dan bersatu, membagi samarata
kesengsaraan, kegembiraan, pertempuran, tidur di hutan, di
bawah bintang, dihujani air dan peluru, tanpa keluh, tanpa
meminta apa-apa, tanpa perhitungan apakah akan kembali
atau tidak dari garis"garis pertempuran. Semuanya diberikan
dengan rela dan hati yang lapang bersih! Lalu kini, segelintir
kecil dari keseluruhan kerelaan yang besar itu, bertemu di
Malioboro. Aku kawanku dan si Lusi yang sudah tak kenal
lagi kepadaku! Masing- masing dengan kehidupan sendirisendiri yang te rpecah"pecah. Kita sudah merdeka!
"Kau tahu?" kepada kawanku pelan. Sekali si Lusi
berkata, "Pak, kalau saya diberi baju, saya akan senang!"
Dalam ranselku memang masih ada sepasang uniform dari
merekan hitam, bajuku yang terbaik. Tapi di satu desa, baju
itu kutukarkan dengan seekor kambing. Malam itu seluruh
pasukan pesta besar. Dan Lusi begitu nelongso melihat
baju ber"pindah ke tangan Pak Lurah. Ia kuberi kaus yang
telah lapuk! Aku kasihan melihatnya, tapi Pak Lurah hanya
mau menukar kambing dengan baju baru, dan yang baru
hanya bajuku satu" satunya yang diminta oleh Lusi! Aku
membujuknya agar jangan berkecil hati; ia cuma ketawa
diam sambil meniup sulingnya. Dan kakangnya marah"
marah. Mereka berkelahi sengit sekali, hingga akhirnya si Lusi
menangis tersedu-sedu. Lengannya dari atas siku ke bawah
robek disayat oleh sekeping bambu pagar halaman.
Tiba"tiba aku cepat mencangkung kembali di hadapan si
penyuling. "Lusi!" kataku pelan.
Ia tertawa tolol lagi, lalu berhenti menyuling. Penuh rasa
sayang dan hati-hati suling dilepaskannya dari mulut dan
me mbe lainya. Bajunya yang robek"robek tak tentu warnanya
dan baunya amat memuakkan. Bekas luka itu ada di situ! Di
lengan kirinya, dari atas siku ke bawah!
"Lusi," kataku lagi. "Kau si Lusi."
"Galah, Bapak ini kok ada"ada saja," katanya tolol.
"Kau mau baju hitam kain merekan?" tanyaku pelan.
"m Boten kok Pak! Sayatidak perlu baju. Saya senang main
suling aje!" "Ah," kata kawanku kesal. "Dia bukan si Lusimu!"
"Tapi lukanya itu !"
Si peniup suling ketawa lagi.
Katanya, "Bapak ini kok kaya wong edan. Aku tidak edan
lho Pak. Aku senang meniup suling."
Aku tertunduk kembali di tempatku semula. Dia si Lusi!
Tapi ia sudah tidak ingat apa-apa. Tidak ingat bahwa namanya
si Lusi, nama Kakangnya si Repo, tidak ingat kambing, tidak
ingat baju hitam kain merekan!
"Saya mau pergi sekarang Pak," katanya.
"Ini!" kata kawanku sambil mengulurkan selembar uang
sepuluh perak. "Botenje Pak! Saya main lima lagu kok! Satu laguseperak."
"Saya berikan sepuluh," kata kawanku.
"Botenje! harganya lima perakje!"
"Kenapa tidak mau sepuluh?"
"Seperak satu laguje!"
Setelah diberi lima perak ia baru tertawa tolol lagi.
"Matur nuwun!" katanya dan dengan gembira ia pergi ke
Selatan. I",-r- V '55 "Aku makin tua dan reyot dalam hati!" kataku sedih.
Bulan berlayar di telempap awan putih yang tipis.
Dan kemudian, jauh, di emper toko sana, menyayup
kembali suara suling. Sederhana "Melati Gugur!" Dan
perasaan hatiku yang letih dan kosong satu demi satu ikut
guguc Hatiku makin gugur, tersirap diterbangkan oleh sebuah
oto sedan yang meluncur. Pendengarannya tentu lapar, dan
tentu akan berhenti menikmati nasi gudeg panas di trotoar
pasar Beringharjo. 88 ;: $ Orang_0rang Gila Sejak pagi tadi hujan me rinai terus. Dibilang lebat, tidak.
Dibilang tidak ada hujan, tapi ia turun terus. Hujan merinai
yang biasanya disebut hujan pengantin. Tapi lama-kelamaan
hujan itu pun jemu tersedu sedan. Dan dekat"dekat pukul
sebelas malam ia berhenti. Langit cerah, bulanyang diseliputi
tirai"tirai selendang kabut, amat pucat dan sedih. Bintang"
bintang belum sanggup menampakkan diri.
Betul! Kamarku yang empat kali empat meter selalu
menyiksa saja. Buku-buku yang kuanggap kawan paling
karib, tak bisa menghilangkan siksaan sepi itu, karena sudah
kukenal semuanya halaman demi halaman. Jadi malam itu
kuputuskan lagi menyusuri Malioboro. Seperti juga setiap
malam kesepian mengusir aku dari kamar ke aspal dan ke
trotoar Malioboro! Hanya bagian inilah yang terus hidup dan
terbangun dari pagi sampai pagi besoknya.
Tidak perlu aku takut kesepian sepanjang Malioboro.
Yang pasti ditemukan disitu tentu Bastari Abdidalem,
Ajib, Bose dan pengarang"pengarang lain, penyair yang
katanya memiliki kaliber masing"masing. Dan malam ini aku
ditakdirkan bertemu dengan Nizar, yang katanya seorang
pemain drama yang tak ada bandingannya di seluruh
Indonesia. Ketika pertama kali bertemu, aku sudah terheran-heran
dibuatnya. Tanpa diminta, tanpa ditegur, ia mengajak aku di
warung gudeg untuk makan sekenyang"kenyangnya. Belum
pernah ia berlaku begitu hebat, sebab selalu politiknya yang
paling usang ialah "Mana aku mempunyai duit" Aku hanya
dapat meminjam lima rupiah dari mBok Joyo! Padahal aku
tahu, bahwa duitnya sering kali beranak pinak, di kantongkantong lainnya, sampai"sampai di kantong belakang celana
dalamnya. "Tak usah berkelahi lagi sekarang, ha?" Ia memulai
pembicaraan. "Aku memang cinta kepada Emi, tapi dia
'.'"i-l ?"-u" Ei"
selalu menolak kalau aku meminta kepastian. Ambillah dia
buat kau! Te ntu dia se nang kepada orang lain, sampai kirimkiriman surat." "Jangan dia diumpatkan," kataku.
"Tak usahlah kau bela dia! Tentu kau senang kepada dia,
ha?" Cemburunya ke padaku kem bali me nyala"nyala.
"Tentu, aku senang!" kataku pasti.
"Ha, ketahuan sekarang!" teriaknya serak. "Ketahuan
sekarang." "He," aku hilang dengan sabar. "Menyenangi belum
tentu mencintai.Aku bisa senang kepada bintang film, tetapi
apa aku bisa mencintainya" Setiap orang diperbolehkan
jatuh cinta, tapi soalnya bisakah setiap orang mencintai?"
"Ya, ya. Pokoknya kau senang dan cinta kepada Emi!"
"Oh," aku memastikan, "aku sedang menuruti istilahku
dan carakusendiri.Apa kau dan aku harus berduelsekarang?"
"Tidak usah duel-duelan. Itu sudah kuno. Kalau kau
senang kepadanya, ambillah untukmu. Kuserahkan dengan
rela." "Kau tidak berani tegas," kataku. "Pergilah lamar dia
kepada orang tuanya!"
"Aku tidak mau! Aku harus dapat kata kepastian dari dia
dulu! Tapi kalaupun aku melamamya kepada orang tuanya


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekarang, lalu mereka dan dia setuju, ke mana aku akan
terbirit-birit mencari duit untuk persiapan kawin?"
"Itulah penyakit klasikmu, hanya ingin cinta"cintaan
saja!" "Sudahlah, aku tidak mau memikirkan soal cinta lagi.
Aku sudah patah hati dan hancur dibuat si Emi. Aku sudah
mendapat penggantinya. Ida! Ida gadis manis yang begitu
mesra dan lembut, melebihi si Emi."
Aku tidak bisa mengatakan apa"apa tentang kelakuannya
yang tetap begitu. Akan demikiankah dia terus selama
hidupnya" Hanya mau mencetuskan api cinta kepada
setiap gadis yang baru sehari dua bertemu dengan dia, lalu
88 .:: 153- meninggalkannya dengan merasa hatinya dipatah"patahkan
dan dikecewakan" Sudah lama aku kesal selalu dilibatkannya dalam
soal"soal kepatahan hati, yang setiap kali bertemu corak
dan bentuk patah-putusnya lain. Malam ini kekesalan itu
memuncak pula. Aku putuskan, tidak akan mau buka mulut.
Dan begitulah aku perbuat selama melangkah be rdua"duaan
menghitung-hitung tegel trotoar Malioboro dari Utara ke
Selatan. Dan akhirnya kami berhenti di mulut alun"alun
Utara dengan kelip"kelip lampu merah warungnya di tengah
lapangan. Semua sudah sepi. Hanya satu dua orang atau beca
menyeret diri tanpa tujuan. Akhirnya aku duduk di tepi
trotoar, bersandar di sebuah tembok gerbang yang klasik.
Juga Nizaryang sudah lemas lutut, ikut duduk tanpa berkata
sesuatu. Rasa curiga"mencurigai melelehkan hati kami,
curiga yang tak beralasan.
Lalu, tiba-tiba seorang perempuan sudah duduk saja di
depan kami. Gaunnya usang lusuh, dan selain gaun itu ia
memakai celana pula. Dihenyakkannya sebuah buntelan di
sisinya, dan sebuah lagiyang digendongnya.
"Mari makan, Pak," tawarnya, sambil membuka yang
buntelan pertama. Nasi putih sebungkus, peyek, tahu dan tempe beberapa
potong. Kami mengangguk. "Maafkan ya Pak, hanya ini makanan saya."
Kami mengangguk lagi. Ramah seperti laku seorang
bapak kepada anaknya. Tiba"tiba sedang dia makan sesuap
dua, dua orang pemuda bersepeda dengan kencang
menyenggolnya sambil tertawa"tawa. Perempuan itu cepat
berdiri, mengambil batu dari buntelan kedua dan melempar
ke arah pemuda-pemuda itu.
"Bajingan! Lonte!" teriaknya, lalu ia kembali lagi bersila
di depan kami. "Hss," tegurku. "Kenapa kau begitu saru to, Jeng?"
"Ya, Pak. ItusiJenal kurang ajar. Kerjanya cuma mengejar"
.I'M-l ?"-n" 69
ngejar lonte di alun"alun! Maafya Pak, saya teruskan makan"
Nama saya Wiji, Pak. Saya perkenalkan. Bapak-bapak ini
siapa to?" "Kami ini orang"orang besar," jawab Nizar. "Sama besar
dengan Presiden." "H a, sudahsaya sangka daritadi. Bapak yang ini memang
Bapak Siden," katanya menunjuk kepadaku. "Dan Bapak yang
satu tentu Menteri. Maaf ya Pak Siden, dan Pak Menteri,
saya harus teruskan makan."
Kami mengangguk menyilakan.
Lalu dia meneruskan, "Orang-orang semuanya sudah gila.
Semuanya bilang saya gila, tapi merekalah sebetulnya yang gila.
Betulsaya ini begini, pakaian tak menentu, mulutsayatajam dan
kotor, tapi mereka semuajuga begitu, lebih gila dari saya! Saya
sudah tiga kali kawin. Pertama kali dengan Topo, sekarang jadi
pilot Yet. Bekas laki saya yang kedua, sekarang jualan di Magelang,
menjual celana '"twedehans." Dan bekas laki saya yang
penghabisan, sekarang adalah Kepala Jawatan di Yogya. Dia
meminta saya kembali menjadi istrinya, tapi saya menolak.
Saya panggil"panggil dia, tapi dia tidak berani keluar mmah.
Kerjanya selalu mengejar"ngejar lonte di alunalun. Hh, lonte"
lonte ringsekan! Kenapa to, orang-orang jaman sekarang tidak
ada yang waras pikirannya Pak" Karena saya begini, dibilang gila.
Sungguh Pak, Ik wil niet trouwen, trouwen isgek! En ik nietgek!
Apa saya gila, menurut Bapak?"
"Tidak!" kataku.
"Ha, Bapak orang waras. Bisa bedakan orang gila dengan
yang tidak gila! Bapak sudah kawin" Ei, Bapak!" ia tiba-tiba
menegur, ketika melihat Nizar menungkupkan kepala ke lutut
dan meng" goncang"goncangkan badannya seperti orang yang
tersedu-sedu. "Kenapa dia?"
"Kenapa Bapak itu menangis" Suruh dia mengucap Pak,
suruh dia ingat diri."
"Oh, biar sajalah," kataku. "Biar menangis sampai habis,
nanti dia reda sendiri."
30 .:: 153- "Ya, kalau habis menangis tentu dia lega," angguknya sambil
melihat guncangan badan Nizar.
Lalu kemudian bertanya, "Pak, kenapa to Pak" Ingatlah
Pak?" Pelan-pelan Nizar mengangkat mukanya. Wajahnya
berkerut. Seperti dilamuri kedukaan dan kepahitan. Bila dia bisa
bermain drama seperti itu, pikirku! Ia melihati perempuan itu,
lalu melihat aku pula lama-lama.
Katanya, "Cobalah kau pikir, Wiji! Biarpun bapak ini Pak
Sinden, tapi dia anak saya. Anak kandung! Istri saya, ibu
kandungnya sendiri, adalah perempuan yang amat manis dan
cantik. Sekarang anak saya ini sudah besar, ia ingin kawin. Tapi
dia cuma ingin kawin dengan ibunya sendiri."
"Itu tidak bisa, Pak!" jawab Wiji. "Itu tidak mungkin! Neraka
jahanam hukumannya."
"Itulah yang membuat saya susah."
"Maafkanlah Pak," kata Wiji pelan. "Saya tidak berhak
menasihati bapak, hanya Gusti Allah yang Maha Kuasa. Tapi
nasehat saya pikiriah dalam"dalam."
"Tapi kami sudah memutuskan bahwa, dia akan mengawini
ibunya," kata Nizar.
"Kenapa Bapak tidak pergi ke makam Wali Songo memohon
petunjuk?" "Kami belum mengenal Wali Songo, Wiji. Tapi toh
jawabannya mungkin akan serupa dengan keputusan kami!"
"Ya, itu susah Pak! Bagaimana besok kalau Tuhan
menanyakan kepada bapak, kenapa bapak kawin sama ibu
sendiri?" "Ya, hanya Tuhanlah Yang Maha Pengasih Penyayang."
"Ya, hanya Tuhan Yang Pengasih Penyayang. Saya dulu juga
disiksa di sanatorium Pakem. Tiga tahun lamanya. Tapi saya jadi
waras kembali, dengan segala pujian-pujian buat Tuhan. Tapi
maafkanlah, Pak! Kalaupun bapakjadi kawin dengan Ibu sendiri,
dan bila pun Tuhan mengabulkannya, akibatnya tidak baik,
Pak. Turunan Bapak semuanya akan menjadi lemah, karena
percampuran darah yang begitu langsung dan dekat. Apa Bapak
"1 tidak sayang kepada turunan bapak" Mungkin anak Bapak akan
lemah otak dan nanti menjadi orang gila. Maafkanlah, Bapak!
Jika saya boleh menasehati, janganlah ditambah kelahiran
orang"orang gila. Sudah cukup banyak. Ha, inisiapa?" tanyanya.
Tanpa kami ketahui, Bastari Abdidalem telah duduk pula
di samping Nizac Ia hanya meringis-ringis saja tanpa bersuara
sambil menghisap kreteknya.
NizarmemelukbahuAbdidalem, katanya dengansuarayang
lebih sedih, "Ini anak Bapak yang kedua, Wiji. Adik Pak Siden ini.
Dia juga membuat susah hati bapak."
"Jangan, Nak, jangan selalu membuat susah orang tua,"
nasehat Wiji lembut. "Dia mau apa lagi, Pak?"
"Cobalah, Wiji pikir, dia anak saya, tapi dia minta kawin
dengan adiknya sendiri, dan dia mau bunuh diri kalau tidak
di"kawinkan dengan adiknya."
"Ya, kedudukan Bapak memang sukar. Kenapa nak, mau
kawin sama adik sendiri" Adik kandung sendiri" Kenapa?"
"Saya cinta, kenapa tidak boleh?" tanya Abdidalem. "Dan
lagi pula, ini sudah disetujui oleh bapak saya, sebab kalau
saya kawin dengan adik saya, harta kami tidak jatuh ke tangan
orang lain." "Betul Bapak setuju begitu?" tanyanya kepada Nizar.
"Ya, karena saya mengumpulkan harta saya dari satu sen
sampai jutaan rupiah sekarang ini dengan susah payah. Saya
tidak rela harta itu jatuh ke tangan orang lain."
"Maaf ya Pak. Apa Bapak lebih pentingkan harta, atau
ketumnan yang baik" Bagi saya harta tidak penting, yang
penting cuma kebahagiaan. Pikirlah dalam"dalam Pak!"
"Tidak dapat dipikirkan lagi," sahut Nizar.
"Saya ini orang bodoh, Pak. Tapi kejadian ini tidak masuk
akal saya. Kenapa sampai begitu" Saya sedih memikirkannya."
Ia tercenung, mendiamkan nasinya yang dari tadi tidak
disuap" suapnya lagi.
Kupandangi keseluruhannya. Ia sudah agak lanjut usianya.
Tangannya yang kurus sangat menerbitkan rasa iba. Dan
sebenarnya, keseluruhannya menerbitkan rasa kasihan. Aku
32 .:: 153- jadilinglung. Ia bisa begituwaras me makaipikiran dan otaknya.
Dunianya, mulai senja turun, menjelajahi seluruh pelosok
alun"alun utara, memaki"maki orang yang mengganggunya,
dan meneriakkan bahwa tidak ada orang waras di dunia ini.
"Sudahlah," kataku lembut terharu. "Tak usahlah nasib
kami dipikirkannya lagi. Sudah nasib kami akan begitu.
Teruskanlah makan Jeng Wiji!"
"Makan" Bagaimana saya bisa makan, kalau kepala saya
penuh dengan pikiran"pikiran yang berat" Kalau anak meminta
mengawini ibunya, kakak meminta kawin dengan adik sendiri"
Maafkanlah Bapak, barangkali bapak juga memikirkan bahwa
saya ini orang gila, tapi bukanlah seharusnya, bapak-bapak ini
yang disebut gila?" Ia memandangi kami dengan matanya yang kini tenang,
tapi begitu redup oleh pikirannya yang simpang siur.
"Gilakah saya, karena saya selalu berteriak di alun"alun,
"lonte edan?" Dan berteriak kepada siJenal, bahwa dia orang,
gila" Bapak, bapak pikirkanlah dalam-dalam sebelum kedua
perkawinan itu dilangsungkan."
Suaranya amat mengharukan hatiku. Permintaannya yang
begitu sungguh"sungguh membuat aku menyesal, karena
mengeruhkannya dengan permainan drama kami bertiga.
Drama tanpa regie, tanpa naskah, tanpa penonton.
"Wiji," kataku. "Menurut pikiranmu, apakah kami ini
bertiga orang gila?"
Ia merenungi muka kami masing-masing.
"Saya tak tahu, Pak. Bapak"bapak ini tidak pernah
me mbe ntak saya seperti orang"orang lain, seperti si Jenal atau
lonte-lonte di alun-alun sana. Saya rasa bapak-bapak tidak
gila. Tapi maaflah bapak. Saya akan mendoa dan samadi, agar
bapak tidak menjadi gila."
"Samadi di mana?"
"Tunggulah di sini," katanya lembut.
Ia mencari"cari di buntelannya yang kedua, dan
mengeluarkan sebuah bungkusan. Serentak menghambur
bau bunga rampai. Ia berdiri dan menuju simpang empat.
V "3 Dekattanda dijalan ditengah"tengah, ia berlutut, menghadap
ke Barat. Bunga ditaburkannya. Sekali ia membuat sembah ke
Barat. Mata dipejamkannya beberapa saat. Kami lihati dari
tempat kami duduk. Ia melompat tiba"tiba. Si Jenal dengan
kawannya me nyambarnya pula dari sepeda.
"Lonte edan! Bangsat!" teriaknya.
Batu"batu beterbangan ke arah Jenal dan kawannya yang
cepat-cepat membalapsepedanya.Ketawa merekamemenuhi
sunyi malam. Ketika ia kembali ke tempat kami ia sebagai orang lega
memunguti buntelannya. "Apa yang kau samadikan Wiji?" tanyaku.
"Tidak apa"apa, Pak. Saya meminta kepada Shangyang
dari segala Shangyang, agar bapak-bapak terhindar dari
menjadi gila. Agar jangan bertambah banyak lagi orang gila
di dunia ini. Terima kasih, Pak dan selamat malam!"
Ia pergi ke arah Utara, menuruti lampu-lam pu Malioboro.
Kamiberpandangan.Sejenak kamitidak bisa mengetahui
lagi siapa sebenarnya yang gila. Batas"batas gila dan tidak
gila begitu tidak terlihat.
Dan kami dikejutkan pula oleh teriakan Wiji, "Lonte,
edan! Edan!" ketika ia diganggu pula oleh tukang becak
dekat persimpangan kantor pos.
34 .:: 153- Penyelundup Risau Kami bertemu kembali. Di kedai nasi Padang Pak Hamn,
yang berpojok di bopet dekat gereja Malioboro.
Kepalanya makin botak, kelihatan licin berkilat.
"Sudah berapa tahun kita tak bertemu?" tanyaku. "Wajah
kita makin keras dan peyot."
Ia senyum saja, senyum yang dulu, limabelas tahun yang
lalu. Senyum itu kini dikerasi oleh garis keras. Dan matanya
masih tetap memandang orang ke ubun-ubun. Penghabisan
kali kami bertemu, ialah di tengah hangatnya revolusi dan pekik
"Merdeka". Di Sentral Pasar Medan ketika itu.
Sudah kebiasaan kami, senja-senja kembali ke "kandang"
kami, di tingkat toko "Pidie", yang ditinggali oleh keluarga Bung
Nur, penyanyi tenar serekan dengan Rubiah dan Lily Suhairi,
yang tergabung dalam rombongan sandiwara "Kinsei Gekidan".
Dan kawan yang satu inilah yang membikin teks laguiagu Lily
untuk dinyanyikan oleh Rubiah atau Bung Nur. Bila keluarga
Bung Nur senja-senja keluar, kami pesta di atas. Masak sendiri,
sup tulang, sambaltrasi dan lalap pete. Tentu saja besok paginya
istri Bung Nur mengomel, terasinya, cabe dan garam tandas
kami licinkan. Dan kawan ini hanya tertawa lebar dan akhimya
berkokokseperti ayam jantan.
"Kurang lebih lima belas tahun indak basuo," katanya. Dan
cepat ia meminta hidangan kepada Pak Harun, lalu sambungnya,
"Kita pesta hari ini, seperti kita dulu pesta di atas toko Pidie !"
Ya, kali akhir kami bertemu, ialah di toko Pidie itu. Kami
letih pulang dari markas, bam selesai mencoret-coret tembok
penjara yang diduduki oleh Gurka. Kami dikawal oleh dua


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berbambu runcing. Dengan tenang, kami menulisi
tembok dengan katakata: Merdeka! Never again the life blood
of any Nation! Dan serdadu Gurka di belakang mitrailumya di atas menara
penjara, tenang-tenang saja dan sekali-sekali meringis ke arah
kami. I",-r- V 7'5 Dan senja itu kami lapar, walau tadi dimarkas sudah
disuguhinasibungkus.Tapikamiinginmembuat pesta seperti
biasa. Baru saja dia buka baju hendak memasang kompor,
terdengarsuara tembakan. Kami panik berpandangan. Tentu
serdadu-serdadu Nica yang dibantu serdadu Gurka dekat
Pasar Sentral mulai mengganas pula. Markas itu memang
dihindari oleh pemuda"pemuda berbambu runcing, sebab
senjata mereka lengkap. Semalam itu kami tak keluar, hanya
pesta dengan perut tak enak. Besoknya, dekat tengah hari,
ketika aku kembali menuju sarang kami, tiba"tiba terjadi
teriakan "siap" di tepi Pasar Sentral, dan tiba-tiba pula aku
sudah mengikuti orang banyak, dengan parang- parang yang
diberikan oleh sebuah toko pertanian. Dan massa rakyat
berduyun-duyun menuju markas Nica, tak menghiraukan
letusan"letusan gencar. Belum lagi aku sampai ke markas
tentara Nica, keadaan sudah tenang. Di celah"celah massa
tertangkap olehku sebuah panser Jepang mundar"mandir
dengan mitraliur yang siap memuntahkan peluru. Dan
dalam suasana tenang yang menekan itulah aku bertemu
dengan kawan ini. Cerita tentang peristiwa itu bersimpang
siur. Ada yang bilang bahwa banyak serdadu Nica diganyang
oleh rakyat yang bertindak karena teriakan "siap". Dan kata
kawanku itu, "Panseritu kita punya. Bung Taher, eh, Kolonel
Taher ada di atasnya!" Aku mendongkol karena tak sempat
melihat Bung Taher di atas panser. Sejak ia masuk"Gyugun"
yang sama dengan "Peta" di Jawa, aku tidak pernah bertemu
dengan dia. Sebagaimana terjadi di mana"mana pada masa
Jepang menyerah dan tentara Sekutu masuk, opsir" opsir
anak Indonesia gemblengan Jepang, dan Heiho-heihonya,
rata"rata bertindak dan membentuk Barisan Keamanan
Rakyat dengan membawa atau merebut senjata"senjata
Jepang. Dan dari Barisan inilah, dibina dasar Tentara Nasional
Indonesia yang sekarang. "Di mana dia sekarang?" tanyaku kepadanya. "Dan apa
pangkatnya sekarang?"
"Siapa?" tanyanya, tak mengerti.
38 .:: 153- "Bung Taher," kataku.
"Tak tahulah aku," jawabnya. "Yang penghabisan
kudengar beliau diangkat sebagaiAtase Militerdi Itali. Hebat
ya, konco kita dulu!"
Aku mengangguk. Teringat bahwa aku hanya pegawai
pemerintah golongan B, tanpa harapan pangkat di hari
depan. "He!" katanya ketawa besar. "Kenapa mukamu
berkerut?" Tertawanya tambah besar. Sambungnya, dan
"Lihatlah aku, aku sekarang jadi mahasiswa ekonomi di
Gama. Besok banyak duitku, dan kau akan kubagi berjutajuta." "Kau tidak menulis drama lagi?" tanyaku.
Di jaman jayanya sandiwara "Kinsei Gekidan" sampai
Jepang menyerah, semua kota besar di Sumut dibanjiri
dengan cerita"cerita dramanya, hampir se banyak karya"karya
penulis, "Novel dan Drama", Surapaty. Aku iri kepadanya,
karena ia masih semuda enambelas tahunan telah sukses
sebagai penulis drama, dan penyair di kota Medan.
"Tidak," jawabnya sunyi. "Habis seleraku untuk menulis
sekarang ini. Sesuatu hal yang baik, bahwa kau sudah
mempunyai nama pula dalam kancah Sastra di Jawa ini.
Lama-lama kau bisajadi Jenderal, Jendral Sastra."
"Mari kita berlomba menulis karya"karya yang baik,"
kataku menganjurkan. "Sayang bahwa, bakat yang darijaman
beliamu sudah berkembang, sekarang tak dite ruskan."
"Aku sudah rela mundur sekarang," katanya. "Aku ingin
menjadi sarjana dan ekonom yang hebat kelak. Aku jauh
sudah ketinggalan dari kau."
"Das Chall, itulah nama samaranmu yang tenar di Medan
dulu," kataku, ingin membangkitkan semangatnya. "Tak baik
ditinggalkan terpendam begitu saja."
Suapnya terhenti tiba"tiba. Wajahnya sebagaitercenung.
"Bung," katanya. "Jangan kita omong"omong tentang
bakat dan nama. Sedih aku jadinya. Aku orangnya yang lekas
merasa sedih, te rialu sentimentil."
'.'"i-l ?"-u" F?"
Aku teringat semasa kami bersarang di Toko Pidie, dia
memetik sajak-sajaknya rapi dan halus di kertas merah
jambu, dijilidnya indah sebagai buku. Katanya, "Bundel
ini akan kuserahkan kepada si Sri, putri Kepala Polisi itu."
Memang bundel sajak itu yang diberi judul "Anak Kunci"
dipersembahkannya kepada Sri, tapi cintanya tidak berbalas.
Dan beberapa hari kemudian ia datang dengan lesu, dan
tiba-tiba berkokok sebagai seekor ayam jago yang kalah
bertanding. "Aku ditolak," katanya, "tapi bundel sajakku akan
disimpannya sampai liang lahat."
"Kau dan akutak ke bagian apa-apa, nih," katanya dengan
suara jauh. "Orang"orangsudah mempunyai mobil belair, jadi Kepala
ini itu, tapi kau cuma bisa menjadi pengarang picisan, dan
aku menjadi seorang mahasiswa yang melarat."
Kini akulah yang tertawa besar, karena sesalannya.
Mukanya tetap berkerut dengan sedih.
"Jangan ketawa," katanya. "Aku sudah masak-masak
memikirkan nasibku. Tahu kau" Bulan depan aku akan pulang
ke Riau. Aku mau menjadi pe nyeludup ulung. Dari Riau sudah
kelihatan Singapura. Dollar dan segala barang mewah tinggal
mengaut saja." "Alah Mak," kataku. "Kau mau ikut edan dalam jaman
edan ini" Paling"paling kau sudah dikarpus oleh patroli laut
beberapa mil dari pulau. Berenangpun kau tak bisa."
"Ini sungguh-sungguh! Aku terpikir-pikir, apa gunanya
aku menjadi mahasiswa. Kalau besok mendapattitel sarjana,
paling" paling aku menjadi pegawai berkantong pesek seperti
kau! Tapi, kalau menjadi bajak laut, na, bereslah, dunia ini
di tanganku. Menjadi pegawai sebagai kau, kawin pun tak
berani. Tak laku" laku. Kau mau ikut sama aku Bung" Mari
kita tunjukkan gigi!"
"Tidak," kataku. "Aku tak mempunyai bakat."
"Lantas, kau mau terus begini" Lihatlah celana drilku
yang kumal ini, lihatlah tambalan di lututku. Sudah tua"tua
bangka. Kok tak mempunyai apa"apa, sedang orang lain
38 .:: 153- sudah memiliki gedung, mobil, dan istri segerobak. Kalau
terus-menerus menjadi pe nonton, tak akan kebagian nanti."
"Biarlah," kataku. "Yang penting buatku, aku sudah
hidup merdeka sekarang, dan bisa menikmati kemerdekaan
itu. Orang yang banyak harta tak merdeka lagi."
"Jadi, kau mengaku orang kalah sekarang ini?"
"Tidak kalah. Aku menang, sebab tidak ada keinginan
mengambil apa-apa dengan paksa atau dengan tipu daya. Aku
cuma bekerja menumt kodratku."
Ia mencarut"carut, mengatakan bahwa aku tahunya
bertawakal. Dan dia bercerita tentang konco-konco lama
satu sekolah dulu, si Anu dan si Polan yang sudah menjadi ini
menjadi itu, hingga ia malu bertemu dengan mereka.
"Chall," kataku sungguh-sungguh. "Kau terlalu melihat
apa yang terlihat saja. Kau tahu" Dulu waktu namamu tenar
sebagai pengarang drama, setiap orang kenal padamu,
walaupun kau tidak mengenal mereka. Kau sudah menjadi
orang besar." "Sudah bosan menjadi orang besar, tak berduit dan baju
bertambal-tambal. Aku memerlukan seorang istri, dan kalau
beranak perlu duit, bukan" Dan aku tidak mau seperti kau,
takut kawin! Aku sudah dalam"dalam memikirkannya! Aku
akan menjadi penyeludup setahun dua, lalu, kalau sudah
kaya, aku akan kawin, membeli tanah, mmah, aku akan
menyelesaikan kuliahku, dan aku akan menulis lagi."
"Aku tak sanggup mengikuti kau, kalau itu yang mau kau
kemukakan," kataku. "Tahu kau, dulu Idrus, sastrawan 45 yang
tenar itu, menjalankan hidup seperti yang kau impikan. Dia
bekerja di Gia dan mempunyai mobil. Katanya, kalau hidupnya
sudah "binnen" dia akan menulis roman setebal bantal. Tapi
sampai sekarang, setelah dia mulai "binnen" sehurufpun tak
pernah terlihat tulisannya. Malah hilang tak tentu rimbanya.
Ham pir rata"rata sastrawansastrawan 45 menjadi impoten,
sejak mereka memasukipintugerbangyang berhuruf"binnen"
itu! Hanya satu dua yang masih gigih dan me ronta"ronta. Tapi
tak seorang pun mempunyai kesanggupan lagi untuk menulis
'.'"i-l ?"-u" "9
'.'J' karya"karya yang berarti. Apa lagi karya yang besar
"Sudahlah, sudahlah," katanya. "Habis apa yang harus
kubikin" Bilanglah, apa!"
"Tidak ada yang harus kaubikin. Selain hidup, bertahan, dan
bekerja." "Oh, oh!" serunya. "Aku ingin berkokok." Berkokok seperti
dulu, melepaskan jerit hatiku. Sayang, aku malu kepada Pak
Harun yang memperhatikan kita. Jadi, kau tak mau ikut aku ke
Riau" Sudahlah, aku akan pergi sendirian. Masih banyak anak
Medan yang kuajak menjadi sekutu. Dan jangan bicara"bicara
lagi tentang sastra. Aku tak menyukai sastra sekarang, karena tak memberikan
apa"apa kepadaku. Kau boleh menuduh aku penulis picisan
jaman Yusuf Suo'ib dan si Uma, terserahlah. Jalan kita tak sama
lagi, seperti waktu dulu kita sepenanggungan berpesta dan
berkokok di atas Toko Pidie Medan."
Ia membasuh tangan, lanjutnya, "Tidak seenak pesta-pesta
kita dengan bumbu-bumbu yang kita curi dari dapur Kak N urya"
Oh, engkau masa silam, masa yang tidak akan kembali lagi."
"Dan kau dan aku, akan mati hanya menggenggam masa
pahit tetapi menyenangkan ketika masih idealis"idealis! Dan
aku mem"berontak terhadap nasibku yang tetap seperti dulu,
dan aku akan menjadi bajak laut. Aku tak berkecil hati bila kau
menolak, tapi ingatlah, kelak kalau tercapai cita"citaku ini, kau
juga akan kubelikan tanah, rumah, mobil dan akan kukawinkan
kau dengan puteri rampasanku dari Singapur!"
Lalu kami berpisah. Di tengah trotoar Malioboro yang tengah penuh sesak,
aku sejenak termangu melihati dia melangkah ke arah utara.
Dalam hati aku berdoa agar diatidak menjadipenyeludup.
Kalau dia tertangkap badan yang kurus jangkung itu takkan
tahan menanggungnya! Dari kecil hidupnya sudah terlunta"lunta, atautakteratur
dalam rombongan sandiwara sambil berkarya. Sekarang
ia ter" campak pula ke Pulau Jawa, tapi letih dan patah
semangat. 80 .:: 153- Doaku tersekat, ketika aku tersandar ke pohon asam,
dilanda bakul-bakul penuh keringat dan perawan-perawan
ayu yang wangi. Dan aku terpaku di batang pohon asam. Lalu"lintas
berhenti menepi. Kemudian, mencatat raungan sirene motor polisi
pengawal, kencang meluncur.
Di belakang berderet mobil-mobil sedan dengan bendera.
Ada pembesar lewat, ataukah seorang Jendral" Aku tak
melihatnya benar, iringan itu sudah masuk ke halaman Istana
Merdeka. ;, (;P 81 Napitupulu Maupassant DI NAFAS"NAFAS senja terakhir tiba"tiba Napitupulu
muncul di rumahku.Tanpaasalamualaikum,tanpa kulonuwun
seperti kebiasannya. Senyumnya saja yang melebar. Sejenak
aku tak berbunyi. Pangling. Ia begitu bersih. Rambutnya
yang sampai ke pundak berombak indah dulu, jambangnya,
kumisnya dan janggutnya tidak ada lagi. Pakaiannya pun
biasa saja, walau agak sempit untuk tubuhnya yang tegap.
"Kusangka kau datang untuk dilukis," kataku agak
kecewa. "Sorry mek, revolusi masih panjang," jawabku.
Dikeluarkannya sebilah belati dari saku, dan diletakkannya
di atas meja. "Bila kau menurut kataku sebulan yang lalu
dan mau datang ke selatan kota, kau bisa mengabadikan
tampangmu di markas. Sekarang aku seperti opsir-opsir
Belanda saja." "Ya, ia begitu gagah, seperti seorang pangeran."
Dan tiba-tiba, baru saja ia mulai akan duduk ia melompat
mendekati lukisan gadis Pak A. Di dinding yang sejak tadi
kupandangi saja. Lama ia kubiarkan memandangi lukisan
itu. Kudiamkan, sebab aku tahu dia mengerti lukisan yang
bemilai. Dia sendiri sama"sama mulanya dengan aku belajar
melukis tapi pertempuran"pertempuran dan revolusi sangat
kuat memanggilnya. Kepadaku ia memberi pesan, "Aku tidak
memaki"memakimu sebagai pemuda pengecut Kifli, karena
tidak bisa lagi ikut bertempur. Ya, itulah akibatnya, kau
terlalu lekas kawin. Tapi bertanggung jawab kepada nyawa
dan hidup anak istri, juga satu pertempuran. Hanya yang
kuminta kepadamu, sejak ini kau harus menjadi pelukis yang
berjiwa besar dan bekerja lebih giat. Semangat dan harapan"
harapanku sendiri kutum pahkan kepadamu."
Napi memandang kepadaku kembali. Matanya tak
berkedip, dan ia tak bersuara.
"Napi," teriakku tersendat demi melihatnya demikian.
82 .:: 153- Matanya, yang begitu berkilat sayu tapi tenang, keras dan
tabah, se bagai menantang dan bertanya sekali kepada dunia
ini, "Untuk hidup, darah harusmengucur. Itutubuh mengucur
darah mengucur darah, rubuh patah, mendam par tanya, aku
salah?" Bait-bait sajak Chairil ini selalu disiternya pada detikdetik ia melamun, bila ia duduk-duduk di rumahku, ataupun
bila kami masih sam a"sama di front depan, di tengah"tengah
mortirdansenapan mesin Belanda gemuruh dan mendesing.
"Tunggu Napi," teriakku. "Jangan bergerak dulu." Tapi
ekspresi di wajahnya, seluruh sikapnya kini berubah sudah.


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usahlah," kataku lesu, "bukan wajahmu yang ingin
saya lukis." Tapi Napi tidak mendengar ucapanku. Ia mendekat
dan menyalam tanganku, diguncangkannya kuat-kuat dan
akhirnya ia memeluk aku. "Kau sudah arrive," katanya. "Kau sudah arrive! Kau tidak
usah melukis aku lagi."
Sambil tangannya dikembangkannya ke arah lukisan itu.
"Kau sudah melukis jiwaku, Kifli dengan lukisan gadis
itu." Ia tertawa lebar lagi, dan sambungnya, "Ekspresi dan
pertanyaan seperti di wajah gadis itulah yang selalu kulihat,
di mata serdadu musuh yang mati oleh tanganku, di mata
petani dan orang"orang desa yang mati dalam pertempuran.
Di mata kawan"kawan kita, dalam detik"detik akan mati!"
Ia terdiam tiba-tiba, kemarahan hilang dari wajahnya.
"Aku kepingin melukismu seperti kau tadi berdiri di situ,"
kataku pelan. "Wajah yang penuh tanda tanya, tapi juga
penuh keyakinan dan kebenaran."
"Kau tahu," katanya tanpa menghiraukan ucapanku.
"Sri memandangku begitu berarti ketika penghabisan kali;
ibunya juga begitu aneh pandangnya. Mungkin ketika itu
pada mereka timbul pertanyaan mengenai aku yang rela
memandang maut: Tuhan, Tuhan, darahmu akan mengucur,
salahkah aku" Salahkah kami?"
Aku berada di situasi yang tidak enak waktu ia membalik
I",-r" V 33 masa lampau itu. Seminggu sudah pasukan Belanda
menduduki kota, serdadu-serdadu Belanda membersihkan
bagian kota sebelah timur. Rumah"rumah diratakan dengan
tanah. Penduduk yang lari ketakutan ditebas dengan peluru,
bila kelihatan. Tapi partisan-partisan tidak kelihatan.
Dan di antara yang ditebas itu, terdapat rumah keluarga
Sri. Kedua"duanya, Ibu dan gadisnya, tewas ketika dalam
keadaan panik lari menyelamatkan diri. Sejak itu Napi
seperti orang gila, menjadi orang yang paling ganas terhadap
serdadu"serdadu musuh, membunuh dengan tangannya
sendiri tanpa ampun. Pernah ia berkelakar menceritakan
detik-der mesranya dengan Sri, dan berkata, "Sri, harga
nyawaku cuma seharga satu nyawa serdadu Belanda, tapi
harga nyawamu sama dengan sepuluh nyawa serdadu
Belanda". Dan biarpun kelakar ini hanya senda gurau, tapi
sejak Sri tewas, Napi mematerikan dalam hatinya akan
melunasi janji itu sebagai satu tugas suci.
"Sudah sembilan belas nyawa serdadu musuh kucabut,"
kata Napi pelan. "Janjiku kepada Sri sudah kulunaskan.
Sepuluh nyawa. Tinggal satu nyawa lagi untuk Ibu Sri. Tapi
orang tua ini, manusia yang paling damai dan lembut. Dia
begitu marah, ketika mendengar kelakar saya itu, dan saya
berkata kepadanya, "Bu, juga nyawa Ibu sama harganya
dengan sepuluh nyawa serdadu Belanda. Ya tinggal satu
lagi?" Mungkinkah Napi yang begini bersih dan lembut,
yang kini duduk di hadapanku, begitu bengis tanpa ampun
mencabut nyawa se rdadu"se rdadu musuh dengan belati itu"
Dia sendiri tidak pemah menceritakan kepadaku, bahwa
banyak serdadu"serdadu Belanda dibunuhnya dengan belati
itu. Biasanya, ia memilih tempat perlindungan yang baik bila
ada patroli Belanda lewat. Dan orang yang terakhir sekalilah
yang menjadi korbannya. Dilompatinya, dan dengan tidak
mengeluarkan suara sepatah pun mati oleh tangannya.
"Kau kenal Old Millom?" tanyaku pelan.
"Seorang serdadu Belanda" Aku tidak kenal."
84 .:: 153- "Bukan," kataku tertawa.
"Kau belum pemah baca Maupassant?"
"Di mana aku sempat! Kalau ada padamu, pinjamkan
kepadaku." Ketika aku hendak masuk ke kamar mengambil buku
kumpulan cerita pendek Maupassant yang kubeli di loak,
muncul Sita dari dapur, masih penuh debu dan arang.
"Mas," katanya, "aku tidak bisa mencari arang." Ia
terdiam melihat Napi. "Ai, begitu bersih," katanya girang. "Bawa oleh"oleh apa
dari markas?" Napi hanya tertawa lebar menyembunyikan malu. Ia
selamanya pemalu menghadapi perempuan. Ditambah lagi,
dia dan aku dulu pernah menjadi saingan memperebutkan
hati Sita. Ketika aku kembali duduk di depan, mereka mengobrol
tentang tuma-tuma yang memenuhi celana kolor anakanak pejuang di markas dan difron. Di tubuhnya yang besar
gedabak berdenyut hati yang halus lembut. "Akan samakah
takdir Napi dengan si Millon Maupassant itu?" tanyaku pada
diri sendiri. Millon yang membunuh enambelas serdadu
pendudukan Jerman sebagai balasan untuk kematian
bapaknya dan putranya yang dibunuh oleh orang-orang
Jerman" Delapan nyawa untuk bapaknya, delapan nyawa
untuk putranya. "Rambutmu tidak ada tumanya sekarang tentu," kata
Sita tertawa. "Kau melanggarjanjimu Napi. Dulu kau berjanji
untuk memotongkan rambutmu itu oleh jarisaya, bukan?"
"Rambut saya sudah saya jual," kata Napi. Kepada
seorang gadis palang merah. Tapi bila sudah panjang lagi
nanti sampai ke punggung akan kutepati janjiku itu. Ha,
mana Maupassantnya, Kii?" tanyanya melihat aku diam saja.
"Tidak menemuinya. Napi ingin membaca Old Millon,
sita," kataku kecewa.
Sita tertawa kecil. Katanya, "Sayang Napi, baru tadi
kuper" gunakan untuk memasak. Segala kertas terpaksa
I",-r- V 35 kujadikan bahan bakar. Jangan pergi dulu, Napi. Kubuatkan
kopi tubruk kesukaanmu, dimasak oleh Maupassant."
"Hidup Maupassant!" seniku. Sita melenggang ke dapur,
dengansenyum. Tapi di matanyayang diarahkannya kepadaku,
ada sesuatu yang tidak mengenakkan hatiku.
"Kii!" kata Napi kemudian, "lukisanmu itu akan kubeli.
Jangan dijual kepada siapa pun. Berapa pun kau minta, akan
kubayar!" "Lukisan itu sudah kepunyaanmu sekarang!"
"He, begitu gampang?"
"Tidak! Tidak kujual dengan uang, tapi bayarannya ialah
hati dan jiwamu yang bisa menghargainya. Kau tahu anak
siapa yang kugambar itu" Anak Pak A, yang sedang "dihuis"
ares". Aku sudah melukis Pak A, Ibu A, mereka ini pemimpinpemimpin saya yang berjiwa besar. Sayang buta seni lukis.
Lukisan anaknya ini ditolaknya, karena kok coreng moreng
saja! Dan saya harus melukis anaknya itu "senaturalis"
mungkin! Batinku begitu tersiksa oleh permintaannya itu, tapi
aku turuti saja. Sebab untuk satu lukisan kepadaku diberi oleh
Pak dan Bu A lima liter beras, atau sehelai celana Pak A. Kau
lihat, murah harganya satu lukisan, tidak" Dan lukisan ini amat
kusayangi. Karena kau mengerti apa yang hendak kuucapkan
dengan garis-garis dan warna di situ, lukisan itu kuberikan
kepadamu! Tapi besok lusa, kau hams bersedia kulukis!"
Dan tiba"tiba saja, sedang aku berbicara, Napi
menggenggam belatinya. Tegang menyimak ke arah pintu.
Bertepatan dengan itu, menyayat suara jip di depan rumah.
"Belanda!" kata Napi sambil berdiri dengan tenang.
Dari sudut jendela kulihat Kapten Van Dam, turun dari
jipnya. "Dia sering datang ke sini karena tahu aku pelukis." kataku
kepada Napi. "Ia pernah membeli dua buah lukisanku. Dan
senang mendengar omong"omong tentang seni lukis."
Tapi mata Napi kini menjadi keras dan pasti. Belatinya
seperti tak acuh tergenggam di tangan kanannya. Belati yang
telanjang. 88 .:: 153- "Yang keduapuluh!" kata Napi kepada dirinya sendiri.
"Jangan Napi.Jangan disini, kalautidakterpaksa!" pintaku.
Ia sadar kembali. Airmukanya agak melembut. Dan tiba"
tiba saja ia ditarik oleh Sita yang datang diam"diam dari dapur.
"Ke kamartidur, Napi," kata Sita.
Tanpa menunggu reaksi Napi diseretnya. Pintu
dikatupkannya dari dalam.
Aku menyambut 'v'an Dam dengan suara yang kukeraskeras" kan, agar tidak terdengar suarasuara lain dari kamar
tidur. Dan terjadilah omongan yang merupakan diskusi
tentang se ni lukis di antara kami, seolah-olah di bumi ini tidak
ada revolusi, tidak ada darah yang mengucur.
Dan, seperti Napijuga tadi, tiba"ti ba Van Dam terdiam dan
bangkit menuju lukisan Gadis Pak A di dinding. Diam, hening,
mencekam. Hatiku takut kalau"kalau terdengar suara gelisah
Sita dan Napi dari kamar tidur.
Tanpa berkata Van Dam kemudian menyalami aku, penuh
antusiasme dan mata gemerlapan sambil mengucapkan
selamat. "Itu anak gadis Tuan A, kalau saya tak salah," katanya.
Matanya tenang kini. Saya dengar dari Tuan A, bahwa tuan
melukisnya. Tapi lukisan"lukisan tuan yang ada di rumah tuan
A semuanya tidak baik. Tuan Kifli, kalau tuan setuju saya ingin
membeli lukisan itu!"
Lama akubaru menjawab, teringat kepada Napi. Kemudian
aku bertanya, "Kenapa Tuan ingin membelinya?"
"Saya tidak tahu. Sungguh tidak tahu. Ekspresi manusia
yang demikian selama ini mengikuti saya. Di Nederland yang
diserang dan diduduki oleh Hitler, di Inggris di Perancis,
di Indonesia! Ekspresi jiwa manusia yang terus bertanya:
kenapa harus begini terjadi" Ya, kita harus mengalami
peperangan. Peperangan ialah derita dengan pertanyaan
yang tidak terjawab dari dulu: kenapa manusia harus bunuh"
membunuh!" "Tuan," kataku perih. "Janganlah kita berbicara tentang
perang." '.'"i-l ?"-u" SF"
"Ya tuan benar. Kita akan menjadi sentimentil, atau kita
menjadi patriot. Atau kita akan menjadi filsuf yang tidak
pernah menemukan jawaban dan penjelasan! Tuan mau
menjual lukisan itu kepada saya?"
"Sayang, tuan, lukisan itu sudah saya hadiahkan kepada
kawan saya!" 1v'an Dam agak kecewa mendengar jawabanku, tapi
dihilangkannya perasaan itu dengan senyum. Disalamnya
lagi aku, sambil mengulangi ucapan selamatnya.
"Nyonya di mana?" akhirnya tanyanya.
"Baru tadi ia berbaring di kamar, tidak enak badan."
"O, sayang, saya lupa membawa obat-obatan. Besok
akan saya bawa." "Tidak apa, tuan, hanya sakit kepala enteng, Sit, Sita."
kataku dengan suara yang gembira dan biasa.
"Ada tamu, Sit!"
"Ah, jangan payah-payah. Tidak usah dibangunkan," kata
'v'an Dam menyesali. Tapi Sita sudah membuka pintu kamar tidur, rambutnya
agak kusut, dan ia senyum letih sambil membetulkan
kebayanya. "Perempuan," pikirku, "sehamsnya dia main
drama di panggung. Wajahnya pun kelihatan seperti orang
yang sedang tak enak badan."
"Maaf Nyonya," kata Van Dam melihat Sita. Kata Tuan
Kifli, "Nyonya sakit kepala. Tapi saya harus berangkat
sekarang. Saya hanya mau menyampaikan pesan katanya
sebagai tak acuh. Tadi pagi Tuan A sudah di ares. Tuan Kifli
diminta datang oleh Nyonya A untuk melukis anak lelakinya
yang masih kecil." Ketika ia minta diri dan hendak melangkahi ambang
pintu, ia berhenti lagi. Matanya terpaku lama pada lukisan
itu, wajahnya tak bisa terduga.
"Saya bertanya"tanya, apakah pernah ada ekspresi
begitu pada wajah Yesus, ketika ia disalib?" tanyanya pada
diri sendiri, ham pirtak terdengar. Disalaminya lagi tanganku,
"Tuan berhasil menggambarkan derita dan tanda tanya
88 .:: 153- manusia," katanya dengan sungguh"sungguh.
Ketika suara jip menghilang, Napi berdiri di ambang
pintu kamar tidur. Tenang dan lembut airmukanya. Sita dan
aku tak bisa mengucapkan sesuatu. Terlalu berat detik"detik
yang harus kami lalui sejak tadi. Lama kami bertiga duduk
terdiam berhadapan sesudah itu.
"Sehamsnya ia orang yang kedua puluh," kata Napi
pelan. "Sejak ia turun dari jip hatiku sudah begitu yakin, dan
aku tidak bisa menekan desakan"desakan batinku untuk
membunuhnya." Napi melihat kepada Sita, wajahnya memerah.
"Kii," katanya pelan. "Sita mendekap aku selama di
kamar tidur. Menahan aku agartidak menyerbu Belanda itu.
Kau tidak marah pada Sita, Kif" Atau kepadaku?"
Aku hanya senyum menggeleng. Sita melihat kepadaku
dengan lembut, matanya berair.
"Bila tidak Sita yang menahanku begitu, aku tak tahu
apa yang terjadi di rumahmu ini. Mata Sita terlalu ikhlas
meminta kepadaku, agarjanganlah se kali ini aku membunuh
manusia. Ya, dan si Belanda keparat itu memang masih
manusia. Masih manusia!" Napi begitu malang dan sedih
kelihatan. Menunduk dan menutup mukanya dengan kedua
belah tangannya. "Akan kubuatkan kalian kopi," kata Sita tiba"tiba dan
berdiri. "Biarkanlah kopi itu, Sita," kata Napi menahan.
"Dengarkanlah dulu. Aku berterima kasih kepadamu Sita.
Kau telah mengembalikan sedikit rasa kasihan sebagai
manusia biasa dalam diriku selama Belanda itu di sini. Kif,
mata Sita yang memandang aku di dalam tadi sama seperti
mata gadis yang kau lukis itu. Penuh tanda tanya: kenapa"
Sejak itu aku tenang dan damai, walaupun aku tahu aku
jadi sentimentil! Aku dengar si Belanda itu omong" omong
dengan kau Kif, tentang lukisan, tentang derita. Seleraku
untuk membunuhnya hilang sama sekali. Aku tidak bisa
'.'"i-l ?"-n" 89
membunuhnyalAkutidak mempunyaialasan apa"apa.Ketika


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sita kau panggil, payah aku mencari alasan dan dendam
untuk mengembalikan seleraku membunuhnya. Tapi sia"sia.
Ya, kenapal?" Napi berdiri dan menyarungkan kembali pisau belatinya.
Ia tercenung sejenak memandangi senjata itu. Kemudian
sebagai memutuskan hatinya, senyum lebarnya buyar
kembali, dan ia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Belanda
itu beruntung, Kifli. Hah, kau orang yang begitu garang dan
ganas, bisa sentimentil! Hanyatinggalsatu nyawalagi! Kenapa
aku rasanya begitu perih, sekarang hah" Apa disebabkan
oleh lukisanmu itu" Atau karena mata Sita mengandung
tanya "kenapa" yang tak kunjung terjawab itu?"
Napitupulu pamit dengan senyum lebarnya. Tidak
dibiarkan Sita menyediakan kopi, ia harus lekas ke selatan
kota, katanya. "Kau tidak perlu menangis Sita," katanya.
"Dekapanmu di kamar tadi bukan perbuatan salah bukan
Kif" Dan kau Kif sim- pankan lukisan ini baik-baik untukku;
sehabis revolusi akan kutagih! Masih ingin aku membaca
Maupassant itu, sayang sudah menjadi abu."
Wajah Sita begitu sedih kulihat, biarpun ia senyum.
Napitupulu tidak sempat datang menagih lukisan itu
kembali.Jugatidaksempat membaca Old MillonMaupassant.
Tiga hari kemudian ia gugur. Bersamaan dengan serdadu
Belanda yang seharusnya jadi orangnya yang keduapuluh!
Juga Kapten 'v'an Dam tidak pernah muncul ke rumah kami. Ia
tewas dekat kota S, ketika tmknya diterbangkan bom batok.
Sehari setelah Napi gugur, buku Maupassant yang lusuh
itu kutemukan di bawah kasur.
"Memang tidak kujadikan kayu api, Mas," kata Sita. "Aku
tidak mau Napi membaca cerita itu! Aku benci kepada Millon
Maupassant!" Dan mata Sita basah cair.
90 ;; 3.53, Lengganglah Hati Di Malioboro
Katanya dengan suara sunyi, sesunyi malam.
Malam ini hatiku begitu iba. Entah apa sebabnya!
Jam besar di depan gereja ayam yang di samping
Presidenan sudah memperingatkan bahwa malam sudah
pukul dua lebih! Tapi malam tak pernah mati atau tertidur
di bawah lentera Malioboro yang menggaris panjang dari
Selatan ke Utara. Kupandangi mukanya. Memang, ketawanya
yang seperti kucing itu tak kelihatan. Membayangkan tidak.
Kemarin ia baru membeli kacamata, sebab kepalanya selalu
pening dan menurut nasihat dokteria harus pakai kacamata.
Airmuka sungguh-sungguh dan tegang yang ditundukkannya
ke gelas kopi di hadapannya, belum meyakinkan aku bahwa
dia betul-betul dalam kesedihan.
Aku bersiul dan menggeritik meja warung dengan jari,
kian lama kian keras, sehingga si Irah penunggu warung itu
tersintak dari kantuknya.
"Tidak baik oom begitu," tegur Irah. "Nanti banyak
hutang." Dan kepada Oje Bilal yang duduk di sampingku ia
menegur, "Sampeyan kok ngelamun saja tol?"
"Dia sedang sedih," kataku menerangkan.
"Ah buat apa sedih"sedih, Mas,"jawabnya mengerinyitkan
hidungnya. "Orang yang sedih cuma orang-orang yang tidak
mempunyai pekerjaan."
Oje Bilal masih berdiam diri. Dipandanginya Irah dari balik
kacamatanya. Seperti seorang kondektur tua memandang
penumpang yang tak mempunyai karcis. Mukanya tetap tak
berteriak. "Saya sudah melihat potret Mas masuk koran," kata Irah
ketawa kepada Oje Bilal. "Saya senang melihat Mas ketawa di situ. Tidak masam
kayak ini." "Kau senang kepada sajak"sajak saya?" tanya Bilal.
;," 5P 91 "Senang betul," jawab Irah. Ia hendak meneruskan
berkata, tapi dari meja dekat mbak Retno menjual gudeg,
sambil orang berteriak kepadanya meminta supaya gelas"
gelas kosong dibenahi, melenggang dia pergi.
"Aku akan kawin dengan dia!" kata Bilal sambil
mengikutinya dengan mata.
Aku mengangguk, tanda menyetujui seratus persen.
"Kau tidak setuju!" desis Bilal tajam. "Sebab kau tidak
mengerti perasaan orang lain. Dia mengerti perasaanku;
senang sekali kalau aku membacakan sajak"sajak yang baru
kubuat di warung ini. Dan kau tidak pernah menunjukkan
tanda senangmu bila sajak-sajak kubacakan."
Aku segan menjawab atau membantah; untuk mencari
pekerjaan kuambil sebuah tempe goreng dan menggigitnya
dengan lombok sebiji. Mata kujatuhkan kepada cerek hitam
yang begitu enak melagukan air mendidih.
"Malam ini hatiku betul-betul iba. Semalam Irah
mengajak aku pulang. Sekarang betul-betul aku sepi dan iba.
Kau tidak dapat merasa sedih dan iba kepada diri sendiri, bila
dihancurkan oleh rasa kesepian. Itulah sebabnya kau tidak
bisa ikut merasakan keibaan hati orang yang sedih dan se pi!"
Kulihat mukanya yang masih tak berkerut itu. Dan
matanya yang memandang aku dari balik kaca. Ludah terasa
kering di mulutku, dan kesanggupan untuk mengunyah
tempe yang masih berbiak dalam mulut jadi hilang. Ingin aku
menyemburkan isi mulutku ke meja itu.
"Soalnya aku tidak pernah penghambur"hamburkan
kesedihanku sebagai barang obralan," kataku akhimya pelan
dan kaku. Ia hanya memikirkan kesedihannya sendiri. Ia tak
pemah tahu bahwa setiap orang memikul keibaan masing"
masing dalam dada sendiri. Sungguh, bila padaku tidak ada
rasa keibaan dan rasa diremas"remas oleh kesepian, tak
perlu aku bergelandangan sampai jauh malam di sini. Ingin
aku melontarkan kacamatanya itu, bahwa tembok"tembok
kamarku rasanya seperti penjara, bahwa buku"buku tidak
ada lagiyang akan menjadi bacaanku, bahwa aku tidak bosan
pejam menelentang memandangi plafon, bahwa gigitan
kutubusuk yang bersarang di tikar amat pedas terasa, bila
kita tak tidur pulas, dan bahwa kesepian adalah satu wabah
yang sudah lama menjadi penggodaku, tapi yang selalu
kularikan ke jalan raya, ke bawah lentera-lentera jalan dan
warung kopi malam hari! dan tak mempunyai kesempatan
memikirkan orang lain. "Aku sendiri sudah repot dengan diriku," kataku
menyesali. Aku tak bisa dan tak mempunyai kesempatan
memikirkan orang lain. Bilal tak berbunyi. Ia sedang asyik mencoret-coret
disebuah kertas kumal yang entah dari mana dipungutnya.
Malam ini tidak banyak orang singgah minum di warung
Irah. Cuma kami berdua. Lenteranya yang diselubungi kertas
merah, merupakan satu"satunya wama yang selalu meminta
perhatian. Cuma di dekat mBak Retno terdengar riuh suara
sekelompok orang Tionghoa sambil menelan nasi gudeg,
dengan lahapnya. Hidup malam begini terlalu terpisah dari
siang hari. Keberanian timbul pada manusia untuk duduk
nongkrong di warung yang di tepi jalan, tanpa ketakutan
jatuh gengsi. "Kau mau kawin dengan si Irah?" tanyaku kepada Bilal.
Dia tidak bergerak. Jarinya terus menulis, dengan
tekanan"tekananmenurutledakan emosihati.Dunia sedang
tertutup dari dirinya. Dan kudapati Irah telah duduk melunjur di samping
bangkutempatkami duduk. Betisnyayang bagus me rusuhkan
pikiranku. Sambil melunjur demikian, ia menyilangkan
kedua lengannya ke sandaran bangku, dan dengan nyaman
meletakkan dagunya ke pelukan tangannya itu, sambil
merenungi Bilal. Jari kakinya tertekan ke lutut Bilal. Sambil
menggoda dengan diam"diam. Jari kaki itu dicuil"cuilkannya,
tapi Bilal memang sudah menutup diri. Hanya sekerut
keningnya bergerak, dan terbenam kembali.
"Ada apa to, Mas?" tanyanya kesepian.
'.'"i-l ?"-n" 93
Lama baru Bilal berhenti menulis. Lalu katanya tanpa
mengangkat muka, "Aku senang kepadamu, Rah. Cuma kau yang mengerti isi
hatiku." "Dia mau kawin dengan kau," kataku.
Irah tertawa, hidungnya dikerenyuhkannya lagi. Katanya,
"Orang sudah mempunyai suami kok dilamar."
"Saya sungguh-sungguh," ujar Bilal. Ia meletakkan kertas dan
potlot yang tadi mengasyikkannya di atas meja, dan memandang
Irah dengan sungguh"sungguh seperti meminta"minta.
"Saya bukan orang yang bersekolah mas!" katanya tertawa
kecil. "N anti den ayu Mas marah kepada saya."
"Rah," kata Bilal meminta. Lalu ia meneruskan dengan
suara yang lamban, "Dari pagi tadi aku tiba-tiba merasa sedih
Rah! Sedih dan sepi. Aku tidak mempunyai raden ayu, tidak
mempunyai pacar. Aku cuma sendirian di dunia ini. Dan aku
anak yatim, tidak mempunyai cinta kasih. Aku teringat kepada
ibuku, aku teringat kepada bapakku, dan ingatan ini membuat
aku sedih. Aku ingat kepada desaku. Tapi tidak ada satu orang
pun yang bisa aku ajak berbicara. Tidak ada yang mengerti
kesedihanku. Juga ini, kawanku yang duduk dekat aku sekarang
ini, tidak mengerti kesedihanku."
Aku memandang ke jalan raya, ke kelap-kelip lampu,
ke emper"emper toko yang sudah sepi ditiduri orangorang
gelandangan. Dan karena aku merasa dikesampingkan, aku
bersiul-siu! mengusir kesepian.
"lihatlah," suara Bilal terdengar kembali, "dia masa bodoh,
cuma bersiul! Dia yang membuat aku jadi tambah sedih. Begitu
kasar, begitu kejam terhadap kawan sendiri."
"Aku tidak merasa menyakiti hatimu," kubantah dengan
tenang. "Ha?" bertanya keras, "tidak pemah" Apa yang kau bilang
kemarin kepadaku ha?"
"Tentang dirimu?" tanyaku tak senang.
"Tidak! Bukan tentang diriku," katanya keras. Betul"betul dia
marah sekarang. 94 .:: 153- "Aku tak mengerti," kataku bersikeras.
"Aku tak peduli, kalau kau hanya berkata tentang diriku. Aku
tak peduli kalau kau bilang aku bangsat atau bajingan, atau
orang pelit. Itu tidak menyakitkan hatiku. Tapi kau betul"
betul sudah menyakitkan hatiku kemarin. Kau tidak mau
membesarkan hatiku. Itu hanya pada Irah yang kudapat. Dia
senang akan sajak" sajakku, selalu bertepuk tangan kalau
aku membacakan sajak padanya. Tapi kau" Kau cuma diam,
sambil menghisap rokokmu yang bau itu! Jangan senyum"
senyum," katanya melihat aku tersenyum. "Apa kau lupa akan
perkataanmu kemarin" Bahwa kau anggap sajak-sajakku
hanya ledakan-ledakan emosi saja" Bahwa sajak-sajakku
baru bentuk lahir saja, dan belum sampai pada penggalian
yang dalam tentang kehidupan dan manusia?"
"Saya senang mendengarkan sajak"sjak, mas," kata Irah
lembut. "Lihat," kata Bilal dengan bangga. "Si Irah yang tidak
pernah sekolah bisa senang tapi kau terlalu sombong untuk
mengakui, bahwa kau juga menyenangi sajak"sajakku."
"Bohong, kalau aku tidak senang sama sekali pada sajaksajakm u," kataku. "Satu dua ada yang kusenangi, tapi aku tak
bisa kau paksa menyenangisemua."
Lama seketika dia memandangi aku; di matanya
terbayang heran rasa dan tak yakin.
"Kau terlalu kerdil dengan perasaanmu," katanya. "Dan
apa yang kau bilang tentang cerpen-cerpenku, terlalu
menyakitkan hatiku. Terlalu! Kaulah satu"satunya kawanyang
menyatakan, bahwa cerpen"cerpen enteng, belum padat,
hanya melukiskan gambaran dengan klimaks. Aku tidak mau
berfilsafat dengan cerpen"cerpenku, juga tidak dalam sajak.
Aku hanya membentangkan hakiki hidup, menulis tentang
manusia-manusia. Dan apa yang kau puji cuma" Hah, kau
cuma senang pada dialog"dialog ceritaku, hanya itu!"
"Habis, baru sebegitu yang kusenangi padamu,
bagaimana?" "Tai, tai, tai!" jeritnya, sehingga orang"orang melihat ke
I",-:- V 95 arah kami. Irah tertawa saja merenungkan kami. Sudah biasa
dengan pertengkaran begitu.
"Dengar," bentakku dengan suara pelan memerintah,
sambil menarik lengannya dan mendudukkannya kembali
dekatku. Kalau kau mau tahu, akulah temanmu yang baik
dan jujur. Aku tidak datang kepadamu dengan puji-pujian
satu gerobak. Teman yang baik, dan betul"betul teman, ialah
yang tidak boros dengan puji-pujian. Kau mau jatuh karena
pujian, dan tidak mau mencari lebih dalam lagi daripada apa
yang sudah kau capai?"
"Yang paling kubenci adalah kalau ada manusia mau
beriagak nabi," katanya lalu berdiri. "Jangan kau berniat jadi
nabi." "Dengar dulu," kataku menahannya.
Tapi ia sudah berdiri, serta menjerit, "Tai, tai, tai
kucing!" Dan akhirnya ia tersandar ke sebuah tiang tanda
jalan ditrotoar. Penarik-penarik becak yang tadi tidur pulas,
terbangun dibecanya lalu tertidur pula sambil mengomel.
Orang"orang disekeliling kami memandanginya, tapi ketika
dia melihat mereka, Bilal berkata, "Saya tidak apa-apa kok!"
Irah tiba"tiba bertepuk. Matanya gemerlapan dan
hidungnya kerenyutan. "Apik Mas, apik. Bagus!" katanya gembira.
"Sajak mas yang baru itu?"
Bilal duduk,senyumnya sebagai piringyang ada retaknya.
"Aku benci kepada nabi, tai, tai, tai kucing!" kata Irah
menirukan Bilal. Aku tertawa. Bagi Irah semua perkataan yang keluar dari
mulut Bilal dianggapnya sajak. Sebab ia hanya tahu, bahwa
Bilal seorang penyair, anak muda yang selalu dimasukkan
ke dalam koran, selalu membacakan sajak di warungnya,
selalu meneken bon pula dan selalu bercanda sampai fajar
menyingsing. "Kapan Mas bikinkan sajak tentang saya seperti dulu,
Mas?" tanya Irah dengan lembut gemulai. "Apa sudah masuk


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

koran?" 98 .:: 153- "Besok,besokmasukkoran,manis!" kata Bilalmenunduk.
"Aku diberi satu lho Mas, dengan potret Mas yang
ketawa itu," lalu Irah pergi ke meja mBak Retno gudeg dan
membenahi gelas"gelas yang terbengkalai.
"Dia mengerti sajak," gumam Bilal seraya menghirup
kopinya. Aku tertawa terbahak"bahak, hingga airmata bergenang.
Bilal memandangi kami dengan diam bercampur geram.
"Besok aku datang kepadamu dengan tepuk tangan dan
pujian segerobak buruk kalau sajak dan cerpenmu dimuat,"
kataku, "Aku tidak memerlukan gerobak burukmu. Aku bisa, bisa
sendirian menjadi orang besac Tidak tergantung pada orang lain.
Sejak dulu aku berjuang seorang diri tanpa bantuan orang lain!
Si Irah lebih berharga bagiku dalam detik"detik seperti sekarang.
Bisa memberi dan mengerti ledakan"ledakan hatiku. itulah yang
penting. Dan dengan kehadiran dirinya aku memperoleh banyak
ilham, dapat menyelami hidup dan manusia dengan emosiemosinya, dengan keletihannya, dengan bencinya, dengan
kemualan dan cintanya! Dan bagi orang yang iba oleh kesepian,
kehadiran si Irah yang bisa mengerti sangat penting."
Lalu kamikemudian berdiam diri pula.Aku memasang roka
dan mengisapnya rantai-berantai, dan Bilal mencakari kertas
kumal tadi kembali, sambil menjangkau rokokku tanpa permisi.
Dan keheningan itu dikuakkan oleh Irah yang telah duduk pula di
bangkunya yang tadi, sambil menggumam lagi seroja. Teremasremas oleh alun lagu itu, Bilal menghentikan tulisannya, ikut
meningkahi dengan suaranya yang sebulat mungkin. Begitu
asyik dan begitu lupa akan keadaan di sekeliling, yang hanya
merindukan suara mereka berdua.
Dan tiba"tiba saja Bilal berhenti. Duduk bersandar dan
meremas-remas jarinya. Ketawa kucingnya hilang, mukanya
bersungguh"sungguh pula seperti tadi.
"Lho kok berhenti Mas?" tegurlrah.
Bilal menggeleng, dan air mukanya begitu membangkitkan
rasa kasihan. '.'"i-l ?"-u" 9"
"Bergembira memang baik," kata Bilal kemudian. "Tapi Rah,
tiba-tiba tadi aku merasa sedih dan sepi kembali. Mungkin aku
mau mati besok!" "Huh, muda"muda begini kok memikirkan soal mati," kata
Irah dengan menyesal. "Ini!" kata Bilal dengan suara datar.
Dikembangkannya kedua telapak tangannya kepada
Irah, dan menyuruh Irah beringsut duduk di dekatnya. Irah
memegang tangannya itu dan meremas"remasnya dengan
mesra. "Tangan Mas apik," katanya terharu. "Seperti tangan
perempuan ayu." "Huss, jangan diremas"remas," bantah Bilal. "Lihat garis"
garisnya! Umurku pendek, Rah! Pendek, tahu kau itu?"
"Ah, kok percaya kepada garis tangan!"
"Yah, dan aku tidak mau mati lekas"lekas. Masih banyak
yang mau aku tulis, banyak yang mau aku sajakkan! Yang aku
takutkan, kalau aku mati sebelum semua itu kutuliskan!"
Irah amat terharu mendengar jeritan hati Bilal.
Dirangkulnya bahu Bilal seperti hendak melindunginya, dan
tangannya yang satu memegang jari Bilal erat"erat seolah"
olah tidak mau melepaskannya.
"Kau tidak akan mati muda, Mas!" kata Irah dengan pasti.
"Kau bisa panjang umur, asal kau mau hidup teratur, tidak
seperti saya." "Tapi aku tahu, bahwa aku akan mati muda. Aku tidak
rela!" "Ssh, ssh, aku benci kalau kau berbicara tentang mati,
mas! Kau pasti panjang umur, dan banyak membuat sajak,
Aku yakin Mas!" Jarinya dengan mesranya membelai"belai urat di lengan
Bilal. Dan dalam hatiku yang kedinginan karena embun
malam, terbit rasa iri melihat mereka bisa saling isi"mengisi
dan yakin"meyakinkan.
"Seharusnya kau kawin lekas"lekas," bujuk Irah.
"Tidak ada gadis yang mau dekat dengan aku, Rah!" keluh
98 .:: 153- Bilal. "Mereka cuma senang akan sajak"sajakku, tapi tidak
senang kepada penyairnya. Cuma kaulah perempuan yang
senang akan sajak"sajakku dan senang pada penyairnya."
"Ah,masa,"bantahlrahmenyembunyikankebanggaannya.
"Sungguh mati! Kalau ada yang senang kepada penyair,
seperti aku, aku tidak mati kesepian malam-malam dingin
begini di jalanan!" "Tapi besok lusa kau mendapat gadis yang ayu, lihatlah!"
Belai Irah. "Dan kau akan menjadi orang yang terkenal."
Aku berdiri. Aku merasa sebagai orang ketiga yang tidak
diperlukan. Sambil bersiul-siu! aku berdiri di tegel trotoar,
menghalau kesepian sendiri, kesepian yang tidak tahu akan
ke mana kusalurkan. Aku tak tahu sampai berapa lama aku
berdiri bergapai-gapai dalam kesepian begitu. Aku sadar
kembali ketika suara Bilal sayup"sayup sampai ke telingaku,
dan berkata, "Ya, kau benar Irah! Aku akan jadi orang besar!
Kawanku itu juga akan menjadi orang besar! Tapi kami hanya
akan besardalam nama, kantong kami akantetap kempes! Dan
nanti ahli"ahli sejarah sastra akan datang khusus kepadamu,
ke warung ini, ingin melihat bangku reyot yang kami duduki,
ingin melihat bekas"bekas gelas kami minum, ingin melihat
kau yang selalu membantu kami dengan kehadiranmu! Segala
bangkumu dan gelasmu, akan dimasukkan ke musium sastra
kelak. Jangan dibuang! Dan namamu akan ikut besar dan
abadi dengan nama kami!"
Bilal kulihat berdiri menekuri Irah, dan suaranya penuh
kehaman dan kepercayaan. Lalu diteruskannya,
"Bila ada orang"orang yang sekarang ini tidak mau tahu
dantidakmau mengerti kepadaku, besok dia akanmenyesal!?"
Irah mengangguk"angguk, matanya berkaca"kaca. Dan
akhimya Bilal terduduk kembali di samping Irah, jadi terharu
sendiri. Ketika aku duduk pula didekatnya, ia masih diam. Juga
waktu kutawarkan rokok sebatang, dia masih diam, tapi rokok
dipasangnya dengan gairah.
"Aku mau hidup!" katanya tiba"tiba. "Persetan sama
kesepian! Aku mau gembira terus, dan bekerja."
'.'"i-l ?"-n" 99
Dan Irah tertawa, melepaskan tertawanya yang
menggelegak di leher. Lalu tiba"tiba Bilal ingat kepada kertas kumal yang
ditulisnyatadi. Sejenaklamanya ia menelaahnya lalu kemudian
katanya kepada Irah. "Irah, ini sajak lahir karena kehadiranmu. Kehadiranmu
dengan segala yang ada padamu. Dengar, dengarkan baik"
baik." Dan di malam yang sudah berat oleh embun pagi itu,
suara Bilal beralun dan bergelombang:
"Kau juga terlibat dalam cintaku. Sengsara, menimpa
tubuhku rebah dan kuterima baik kerna tercari dalam setiap
malam hangat kembara."
Irah mendengarkannya dengan penuh takzim. Matanya
tak lepas dari dan bergantung pada bibir Bilal. Sebuah
senyum tertinggal di antara sudut"sudut bibirnya.
Dan Bilal meneruskan, "Kebohongan yang tersipu di malam luput kita,
mengemasi piutang dengan penyerahan Ya, kaulah.
Dirumahmulah, kubisa lepas-lepas menatap dengansepenuh
mata," ulah Irah, lalu sambungnya, "aku tak percaya pada
kebohongan itu, mas!"
"Ssh, ssh," dengarkan saja, putus Bilal dengan
meneruskan, "pulangnya masih hampa, tapi disini tercampak
sepi larut yang memaut dalam dera badani sendiri ke mana
saya mengharap, menetap dan tertiarap bumi makin parah,
hati makin lelah." Lama sesudah Bilal berhenti, aku masih mengharapkan
sambungan. Tapi dia duduk dan membungkuk, tersenyum.
"Habis," katanya. Irah bertepuk lagi. Mata Irah bermanik"
manik karena kagum, dan memeram sedikit. Aku diam saja.
"Huh," terdengar Irah berkerinyut. "Saru!" "Apa saru. Apa
artinya saru?" tanya Bilal, tak mengerti bahasa Jawa.
"Nakal!" sambutku menerangkan selembut bahasa.
"Ha, dia mengerti," teriak Bilal. "Mengerti!" Ia terangguk"
angguk dan Irah menyambar kertas kumal itu lalu membaca,
100 .:: 153- "Ke mana saya mengharap, menatap, dan meniarap, bumi
makin parah, hati makin lelah ...," ulang Irah. Dan tiba-tiba ia
memandangi Bilal, katanya,
"Tidak, Mas! Aku tidak pernah merasa lelah, biarpun
tertiarap beratus kali, sebab hatiku tetap gembira, hatiku tak
pernah lelah!" Aku memandangi Bilal, dan Bilal memandangi aku. Dan
dalam pandangan mata kami berdua, kami tahu bahwa Irah
mengerti sebagian"sebagian sajak itu, dan membantahnya
berdasarkan pengalaman"pengalam annya sendiri!
"Kau tidak merasa sengsara, menimpa tubuhmu rebah?"
tanya Bilal. Irah tersenyum jawabnya, "Ya sengsara! Tapi bila dengan
sengsara yang begitu, bisa hilang keruwetan sebentar apa
salahnya?" Bilal memagut lengan Irah, menggenggam tangannya
erat-erat dan mengguncang-guncangnya. Ia melonjak-lonjak
dan menepuk- nepuk bahuku.
"Kau lihat" Kau lihat?" teriaknya.
Aku mengangguk. "Besok aku kirimkan ke majalah sastra. Ini sajak yang
hebat." Aku mengangguk lagi. Hawa dingin malam sudah
menusuk" nusuk tulang belulangku. Dan mata sudah berat
berpasir. Di tengah jalan pulang, Bilal bertanya sendiri,
"Kenapa aku begitu tadi?"
"Begitu bagaimana?" tanyaku.
"Dirangkulan si Irah" Beriba-iba kepadanya, dan
membacakan sajak?" "Yang penting sekarang, kau gembira dari nyala hidupmu
makin besar. Kenapa kau begitu" Karena kau melarikan diri dari
kesepian, seperti aku melarikan diri dari kesepian! Dan yang
penting dalam hidup ini, ialah membunuh kesepian itu supaya
kita tidak dibunuh dulu oleh kesepian! Dibunuh dengan sajak,
dengan se ni dan dengan apa saja yang bisa membunuhnya.
",, ___... 101 Aku terdiam tiba"tiba.
Terasa amat kosong dan lengang: malam, hati, dan suara
langkah kami. Tapi dalam hati, kesadaran menjadi keyakinan, bahwa
kehadiran kami tidak kosong, malam penuh sendat dengan
hakikat hidup yang kami gali di setiap langkah dan dengus
nafas ke hidupan yang harus dapat diperhitungkan dan dapat
tempat. Tragiklah yang melahirkan persoalan dan memberi arti
kepada hidup ini. 1112 ;: 3.53, Dialog-Dialog Di Emperno (Emperan)
Hujan yang memang sudah dinantikan akan turun, tiba"
tiba menderas. Tanda-tanda pertama sejak pukul sembilan
malam tadi: angin bersekelibut, dan hawa yang dingin telah
mengosongkan jalan Malioboro. Memang begitulah musim
pada dekat-dekat akhir tahun. Hujan merengek sejak pagi,
lalu berhenti muram, hujan lagi, berhenti pula, seperti tangis
anak ke cil yang tak dihiraukan tangisnya.
Baru saja Sukir dan Marjo sampai di trotoar seberang,
hujan menderas masih sempat menyirami mereka, hingga
mereka terdesak ketembok dekat pintu restoran dan
berlindung di em pernya. Danbaru saja merekasibukmenyeka
air hujan yang menitik rambut, mata, hidung dan seluruh
tubuh, tiba"tiba berhenti skuter. Langsung naik ke trotoar
dan berhenti tepat di hadapan mereka. Seorang gadis ayu
meloncat dari boncengan, terdampar ke sisi Sukir. Si pemuda
gagah yang menyetir skuter telah selesai mendirikan skuter
dengan baik, terlindung dari serangan hujan.
Sukir melihat mereka seperti bertanya, dan kedua
gadis bujang itu masuk ke restoran menuju sebuah meja
di sudut. Sebelum masuk, si pemuda mengangguk ramah
dan mengiakan kepada Sukir, dan sejenak kemudian yang
ada hanya bau parfum sigadis yang begitu harum, di antara
kelembaban dan hawa dingin.
"Jo, ngelamun lagi!"tegurSukir, melihat temannya masih
melotot ke arah si bujang dan gadis yang sekarang sudah
aman dan tenteram duduk berdekatan didalam.
Mario tersentak, memandang agak malu kepada Sukir.
Dan tertunduk ia berdiam diri, seolah-olah tidak mau
mempedulikannya. Hanya mereka berdua kini berteduh di
emper restoran itu. Pintu yang lebar, hawa hangat di dalam,
lampu kilau"kemilau dan bau masakan yang menggigit"gigit
perut, terlalu mengganggu hidungnya.
103 "Lebih baik kita masuk," kata Marjo. "Pesan kopi susu,
pesan capcai, pesan bakmi, pesan lumpia, pesan segalanya."
Wajah Sukir dilebari ketawanya, katanya, "Oh, nanti
sajalah soal makan di restoran."
"Aku sudah senang skuter kita sudah dikembalikan oleh
pemuda itu." Wajah Marjo ikut dilebari senyumnya, "Tobat, kenapa
aku sampai lupa ya?"
Sukir telah jongkok menyeka air dan lumpur dari tubuh
skuter itu, dan kemudian Marjo ikut membersihkannya
dengan bekas handuk yang ditariknya dari saku celananya.
"Orang sekarang sudah kehilangan adat leluhur kita,"
tiba"tiba suara Marjo terdengar di antara deras hujan.
"Biasanya adat pinjam tidak begini. Yang meminjam
seharusnya mengembalikan skuter ini bersih sampai
mengkilat kepadamu. Kenapa kau mau dihina begini ha?"
"Biarlah, orang yang sabar subur. Sebetulnya aku tak mau
membikin si pemuda itu malu di hadapan pacarnya. Aku bisa


Dibawah Kaki Pak Dirman Karya Nasjah Djamin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentak dia, dan mengatakan kepada pacarnya yang ayu
itu, bahwa skuter yang disombongkannya ini adalah skuter
pinjaman. Tapi, apa gunanya?"
"Ya, orang sabar kasihan Tuhan," ejek Marjo dengan
sinis. "Lihatlah, apa jadinya kau sekarang, ha" Skute rmu yang
dipin"jam pemuda yang sombong itu dicampakkannya di
bawah hidungmu, lalu dia masuk enak"enak makan minum
di restoran sambil memeluk pinggang yang begitu ramping."
"Sudah hblargf' bentak Sukir meradang. 'Kalau kau bargkit"
bargkit hgisodskuter'ni kutempelerig mdutmu."
"Kalau aku dbegitukai, ktbakarskuterini ci mukanya."
"Kalau kau mengoceh lagi," ancam Slk'r sambi membmgruk
seram kepada Maria. Marjo bers'ul keci, clanterus menyeka skuteritu, sambil mengomel
kenapa orarg mem'njam barang tidak mau haiihati sampai sayapnya
sekararg lecet dan leklkterserempet kendaraan lain.
1134 .:: 153- "Bersihkan saja sampai berkilat," kata Sukir agak lembut
kini. "Nanti kau boleh kubonceng pulang."
"Pemuda itu kemenakanmu yang selalu kau sebut-sebut
itu?"tanya Marjo kemudian.
Sukir mengangguk, lalu kemudian katanya menarik
nafas, "Ia jatuh cinta kepada gadis itu. Dan apa salahnya aku
menolongnya supaya keinginan tercapai?"
"Tapi kau tak diperdulikannya tadi, ketika mereka
masuk." "Ah, itu sudah kami rencanakan. Kami seperti orang yang
sudah kenal"mengenal bila bertemu."
Tiba-tiba tertawa kecil, akhirnya ia terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan ha?"
"Janganlah main sandiwara kepadaku Sukir," kata Marjo
menyeka air matanya. Selalu ia terpaksa menghapus air matanya, bila tertawa
sampai terbahak-bahak demikian. Dan ketika ia agak reda, ia
berdiri menekuri Sukir yang masih asyik menggosok-gosok
lampu skuter. Mukanya gemas dan menahan rasa yang
bergejolak. Kata Marjo menyambung dengan suara menyesal,
"Kusangka selama ini kau anak jantan. Betul"betul aku
kecewa padamu sekarang."
Sukir memandangnya dengan tenang, tapi matanya
penuh ancaman dingin. Tapi hati Marjo juga panas kini, katanya dengan geram
tertahan, "Kau pikir aku tak mengenal siapa gadis yang
dibawa kemenakanmu itu?"
Sukir tak menjawab, hanya menunduk dan menggosok
stang skuter dengan giatnya seolah-olah di situlah hidupnya
tergantung. "Kalau kau memang sudah tahu, perlu apa kau bangkit"
bangkit lagi?" tanya sukir lemah.
105 "Karena aku tidak bisa menghargaimu lagi, Kir! Tak bisa?"
Sejenak kedua"duanya membisu, dan mereka
menggosok, bagian-bagian skuter yang sudah berkilat, dan
kembali dipenuhi oleh bintik"bintik air hujan. Akhirnya Marjo
mem bantingkan kain lapnya, dan membungkuk kepada Sukir,
katanya, "Kau masih cinta kepada perempuan itu" Bilanglah,
masih cinta kau kepadanya?"
"Dia tidak mau tahu lagi kepadaku Jo. Pantang bagiku
mengejar"ngejar buntut perempuan seperti dia."
"Hm, kau tidak pernah mengenal hati perempuan.
Perempuan itu harus dipukul, dipukul hati nya, semangatnya.
Laki"laki harus bisa memukul hati dansemangat perempuan."
"Sudahlah, sudahlah," bisik Sukir. "Kau lihat saja dia!
Mana aku bisa tahan hidup dengan perempuan seperti itu"
Lihatlah lipstiknya, lihat gaunnya, lihat cat kukunya, minyak
wanginya, sepatunya, anting-antingnya, jam tangannya
Kami sudah mulai berputus-putus, dan tak saling menegur
lagi. Aku le bih baik cari istri orang desa saja yang sederhana,
yang ayu, ayu rupa dan hatinya."
"Jadi kau tidak cinta lagi kepada dia sekarang?"
"Aku tak tahu Jo. Hatiku ini rasanya pecah"pecah sebagai
beling." Marjo diam. Ia melirik sudut matanya ke arah sepasang
merpati itu duduk. Begitu mesra. Si gadis tersenyum,
matanya berkaca-kaca menyelami mata si pemuda, dan
bibirnya yang senyum lembut itu melirihkan hatinya. Bibir
yang menyambut sepotong daging kecil dari garpu yang
dipegang dengan jari-jarinya yang halus seperti jari-jari
penari"penari melentik. Dan bencinya kepada pemuda yang
terpuja itu menyala, pemuda yang hanya bisa memamerkan
barang pinjaman kepada gadis. Mungkin juga duit untuk
makan minum itu adalah duit pinjaman"
Lalu, lama ia melihat Sukir yang terbungkuk menggosok"
gosok skuternya. "Kir," katanya akhirnya. "Pemuda itu tidak pantas buat
dia! Aku tidak kalah ganteng."
106 .:: 153- Sukir membalik kepadanya, matanya berisi ejekan, dan
sambil bertelekan pinggang katanya senyum, "Ha, kau juga
menyenangi dia!" jawab Marjo menantang. "Dan cintaku
lebih besar kepadanya, lebih besar daripada cintamu."
Sukir hanya mengangguk-angguk memandanginya.
Katanya, "Ya, mungkin kau lebih ganteng daripada si pemuda
itu, tapi dia mempunyai banyak duit. Dia dulu berpangkat
kapten waktu jaman revolusi, dan sekarang ia menjadi orang
berpangkat. Dan kau, apa yang kau berikan kepada revolusi?"
"Memang tidak banyak," jawab Marjo. "Ketika itu aku
masih berumur empat belas tahun, dan tinggal di desa. Cuma
membantu bapak ke sawah, membantu bapak menunjukkan
jalan kepada pasukan"pasukan yang lewat dari desa kami,
membantu ibu memasak nasi untuk pasukan-pasukan yang
mampir di mmah kami. Aku sudah mau ikut pergi dengan
pasukan ke medan perang, tapi ibu dan bapak melarang
aku, sebab tidak ada yang akan membantu mereka lagi
menunjukkan jalan kepada pasukan atau membantu ibu
menyediakan makanan. Dan aku tidak mau durhaka kepada
orangtua!" "Ha, itulah sudah kubilang," kata Sukir. "Kau selamanya
tidak mau tawakkal kepada nasib dan takdir. Sekarang kau
mau kepala batu menyaingi pemuda tampan yang di dalam
itu. Mana bisa." "Aku cuma mau tahu satu soal Kir," kata Marjo pelan.
"Aku sudah bosan kepada kelakuanmu yang pasrah. Sampai
menghadapi gadis yang kau cintai, kau mundur, pasrah kepada
takdir, tidak mau mengambilnya! Aku merasa dihina oleh
kelakuanmu, oleh kelakuan pemuda itu yang menghinamu!"
"He, aku tidak merasa apa"apa, kenapa kau yang ribut,
ha?" "Kau memang sudah tidak cinta lagi kepada gadis itu."
"Aku tidak peduli kepada gadis, kepada cinta. Aku sudah
cukup disiksa dan hancur."
"Baik!" ujar Marjo dengan tegas. Aku akan merebut gadis
yang di dalam itu yang sejak dulu sudah mencuri hatiku."
10" "Kurasa penyakitmu sedang kumat sekarang."
"Tidak, aku tidak kumat. Aku cuma merasa terhina, karena
kau. Karena pemuda yang sombong itu, orang yang tidak tahu
adat!" "Kau lupa bahwa pemuda itu adalah kemenakanku."
"Begitu" Kau jual gadismu kepada kemenakanmu, ha?"
"Tidak, aku hanya ingin gadis itu berbahagia. Karena aku
tidak akan mampu besok mengeluarkan belanja yang mewah
untuk mendandaninya !"
"Aku bisa!" tantang Marjo lebih sengit.
"Sst, ssst, jangan berteriak!"
"Aku bisa, dan aku tidak mau pasrah. Aku akan merebutnya,
aku akan menundukkannya. Menundukkan hatinya,
menundukkan semangatnya."
Suara Marjo begitu terbata"bata menahan gejolak hati,
hingga ia tersekatsekatjadinya berbicara.
"Sabarlah, sabariah," kata Sukir kasihan. "Nanti aku
bicarakan dengan gadis itu."
Marjotersandar ke etalase restoran. Nafasnya sesak.
"Jangan disandari kaca itu," kata Sukir pelan. Lalu disandarkannya Marjo ke tembok dekat pintu.
"Kesabaranmu bukan kesabaran lagi. Kau orang tolol!"
"Aku sudah dari kecil hidup dalam didikan sabar, tidak boleh
menyakiti orang lain."
"Ya, menerima dan menyerahlah selama hidupmu. Aku
tidak percaya kepada bohongmu. Hatimu sakit dan penuh
dendam.Akhimya kau mati makan hati seperti mBahku di desa."
Marjo melirikan sudut matanya ke arah manusa sepasang
yang sedang makan-minum diliputi kemesraan. Selamanya
orang"orang seperti pemuda itulah yang memetik kebahagiaan
dan kenikmatan hidup! Atau orang seperti si gadis ayu yang
harum mungil itu !" "Tidak Kir!" kata Marjo pelan. "Akan kurebut gadis itu.
Manusia harus berani merebut."
Sukir tertawa. Katanya, "Kau mau merebutnya dari si
pemuda itu" Pemuda yang ganteng dan tegap itu" Dengan
108 .:: 153- badanmu yang kurus begini" Janganlah membuat aku sedih,
Jo! Kalau kau ditinjunya dan tulangmu patah-patah, kau cuma
merepotkan aku." Marjo terdiam. Diagakagaknya pemuda ganteng itu. Hanya
punggungnya yang kelihatan. Sigadis ayu menunduk kini, seperti
termangu. Ketika ia mengangkat wajahnya, matanya langsung
mencari mata si pemuda. Mata tersenyum yang mengingatkan
Marjo pada keriingan bintang di langit tenang. Marjo menarik
nafas. Sadar betul dia, bahwa si gadis itu amat memuja dan
mencintai si pemuda! "Hujan keparat!" kutuknya dalam mulut.
"Bagaimana Jo?" tanya Sukir.
"Aku mau pulang saja. Hatiku hancur dan luka."
"Kau tak berani menantang si pemuda itu?"
"Siapapun aku beranimenantang.Tapi mereka begitu mesra,
dan aku tak mau menghantam orang yang sedang mesra."
"Kalau aku menurutkan panas hati, mau aku pulang saja
sekarang." "Sebaiknya kita pergi dari sini, Kir. Hujan sudah berhenti
sekarang. Apa yang kita tunggu lagi di sini?"
Hati mereka sudah bulat untuk pergi. Tapi demi mereka
menoleh kembali ke arah sepasang manusia yang melukai
hati itu, mereka diam terpaku saja di tempatnya. Dan tiba-tiba
saja, ketika Sukir melihat ke dalam mata Marjo, dan kemudian
Patung Iblis Banci 2 3600 Detik Karya Charon U 1

Cari Blog Ini