Ceritasilat Novel Online

Kisah Kisah Sufi 1

Kisah Kisah Sufi Karya Idries Shah Bagian 1


Pada suatu malam kelam seorang darwis berjalan melewati sebuah sumur kering ketika ia mendengar jerit minta tolong dari dasar sumur itu. "Ada apa?"
"Saya seorang ahli tata bahasa; karena tak tahu jalan, saya terperosok ke sumur ini; sekarang saya tidak bisa bergerak sama sekali," jawab orang itu.
"Tenang, bung, biar saya cari tangga bersama tali," kata darwis itu.
"Tunggu dulu!" kata Si Ahli Tatabahasa. "Tatabahasa dan pilihan katamu keliru; usahakan memperbaikinya." "Kalau hal itu memang lebih penting dari yang pokok ini," teriak darwis itu, "kau sebaiknya tinggal saja di dasar sumur itu sampai saya bisa benar-benar berbahasa bagus." Dan ia pun berlalu.
Catatan Kisah ini diceritakan oleh Jalaludin Rumi dan dicatat dalam Tindakan Para Mahir karya Aflaki. Kisah ini pernah diterbitkan di Inggris tahun 1965 dengan judul Dongeng Para Sufi; kisah tentang Mevlevis dan tindakan-tindakannya ini ditulis pada abad ke empat belas.
Beberapa kisahnya sekedar berupa cerita aneh, namun yang lain mempunyai nilai sejarah: dan beberapa lagi merupakan jenis aneh yang oleh para Sufi dikenal sebagai "sejarah penjelasan," yakni serangkaian kejadian disusun untuk menunjukkan makna yang berkaitan dengan proses psikologis. Berdasarkan hal itu, kisah-kisah itu disebut "Keterampilan Ilmuwan Darwis."
KETIKA AIR BERUBAH Pada zaman dahulu, Kidir, Guru Musa, memberi peringatan kepada manusia. Pada hari tertentu, katanya, semua air didunia yang tidak disimpan secara khusus akan lenyap. Sebagai gantinya akan ada air baru, yang mengubah manusia menjadi gila.
Hanya seorang yang menangkap makna peringatan itu. Ia mengumpulkan air dan menyimpannya di tempat yang aman. Ditunggunya saat yang di sebut-sebut itu.
Pada hari yang dipastikan itu, sungai-sungai berhenti mengalir, sumur-sumur mengering. Melihat kejadian itu, orang yang menangkap makna peringatan itupun pergi ketempat penyimpanan dan meminum airnya.
Ketika dari tempat persembunyiannya itu ia menyaksikan air terjun kembali memuntahkan air, orang itu pun menggabungkan dirinya kembali dengan orang-orang lain. Ternyata mereka itu kini berpikir dan berbicara dengan cara sama sekali lain dari sebelumnya; mereka tidak ingat lagi apa yang pernah terjadi, juga tidak ingat sama sekali bahwa pernah mendapat peringatan. Ketika orang itu mencoba berbicara dengan mereka, ia menyadari bahwa ternyata mereka telah menganggapnya gila. Terhadapnya, mereka menunjukkan rasa benci atau kasihan, bukan pengertian.
Mula-mula orang itu tidak mau minum air yang baru; setiap hari ia pergi ke tempat persembunyiannya, minum air simpanannya. Tetapi, akhirnya ia memutuskan untuk meminum saja air baru itu; ia tidak tahan lagi menderita kesunyian hidup; tindakan dan pikirannya sama sekali berbeda dengan orang-orang lain. Ia meminum air baru itu, dan menjadi seperti yang lain-lain. Ia pun sama sekali melupakan air simpanannya, dan rekan rekannya mulai menganggapnya sebagai orang yang baru saja waras dari sakit gila.
Catatan Orang yang dianggap menciptakan kisah ini, Dhun-Nun, seorang Mesir (meninggal tahun 860), selalu dihubung-hubungkan dengan suatu bentuk Perserikatan Rahasia. Ia adalah tokoh paling awal dalam sejarah Kaum Darwis Malamati, yang oleh para ahli Barat sering dianggap memiliki persamaan yang erat dengan keahlian anggota Persekutuan Rahasia. Konon, Dhun-Nun berhasil menemukan arti hieroglip Firaun.
Versi ini dikisahkan oleh Sayid Sabir Ali-Syah, seorang ulama Kaum Chishti, yang meninggal tahun 1818.
AIR SORGA Haris seorang Badawi, dan istrinya Nafisa hidup berpindah-pindah tempat membawa tendanya yang tua. Dicarinya tempat-tempat yang ditumbuhi beberapa kurma, rumputan untuk untanya, atau yang mengandung sumber air betapapun kotornya. Kehidupan semacam itu telah dijalani bertahun-tahun lamanya, dan Haris jarang sekali melakukan sesuatu di luar kebiasaannya. Ia biasa menjerat tikus untuk diambil kulitnya, dan memintal tali dari serat pohon kurma untuk di jual kepada kafilah yang lewat.
Namun, pada suatu hari sebuah sumber air muncul di padang pasir, dan Haris pun mencicipi air itu. Baginya air itu terasa bagaikan air sorga, sebab jauh lebih bersih dari air yang biasa diminumnya. Bagi kita, air itu akan terasa memuakkan karena sangat asin. "Air ini," katanya, "harus aku bawa keseseorang yang bisa menghargainya."
Karena itulah ia berangkat ke Bagdad, ke Istana Harun al-Rasyid; ia pun berjalan tanpa berhenti kecuali kalau makan beberapa butir kurma. Haris membawa dua kantong kulit kambing penuh berisi air: satu untuk dirinya sendiri, yang lain untuk Sang Kalifah.
Beberapa hari kemudian, ia mencapai Bagdad, dan langsung menuju istana. Para penjaga istana mendengarkan kisahnya dan hanya karena begitulah aturan di istana mereka membawa Haris ke hadapan Raja.
"Pemimpin Kaum yang Setia," kata Haris, "Hamba seorang Badawi miskin, dan mengetahui segala macam air di padang pasir, meskipun mungkin hanya mengetahui sedikit tentang hal-hal lain. Hamba baru saja menemukan Air Sorga ini, dan menyadari bahwa ini merupakan hadiah yang sesuai untuk Tuan, hamba pun segera membawanya kemari sebagai persembahan." Harun Sang Terus terang mencicipi air itu dan, karena ia sepenuhnya memahami rakyatnya, diperintahkannya para penjaga membawa pergi Haris dan mengurungnya di suatu tempat sampai ia mengambil keputusan. Kemudian dipanggilnya kepala penjaga, katanya, "Apa yang bagi kita sama sekali tak berguna, baginya berarti segala-galanya. Oleh karena itu bawalah ia pergi dari istana pada malam hari. Jangan sampai ia melihat Sungai Tigris yang perkasa itu. Kawal orang itu sepanjang perjalanan menuju tendanya tanpa memberinya kesempatan mencicipi air segar. Kemudian berilah ia seribu mata uang emas dan terima kasihku untuk persembahannya itu. Katakan bahwa ia adalah penjaga air sorga, dan bahwa atas namaku ia boleh membagikan air itu kepada kafilah yang lalu, tanpa pungutan apapun.
Catatan Kisah ini juga dikenal sebagai "Kisah tentang Dua Dunia." Kisah ini disampaikan oleh Abu al-Atahiya dan suku Aniza (sezaman dengan Harun al-Rasyid dan pendiri Darwis Mashkara ('Suka Ria') yang namanya di abadikan dalam istilah Mascara dalam bahasa-bahasa Barat. Pengikutnya tersebar sampai Spanyol, Perancis. dan negen-negeri lain.
Al-Atahiya disebut sebagai "Bapak puisi suci Sastra Arab." Ia meninggal tahun 828.
Convert PDF By Seilnava@yahoo.co.id
SANG RAJA DAN ANAK MISKIN
Sendirian saja, orang tidak akan bisa menempuh jalan dalam perjalanan batinnya. Kau tidak usah mencoba menempuhnya sendirian, sebab harus ada pembimbingmu. Yang kita sebut raja adalah pembimbing, dan anak miskin itu Si Pencari. Dikisahkan, Raja Mahmud dan tentaranya terpisah. Ketika sedang mengendarai kudanya kencang-kencang, dilihatnya seorang anak lelaki kecil berada di tepi sungai. Anak itu telah menebarkan jalanya ke sungai dan tampaknya sangat murung.
"Anakku," kata Sang Raja, "kenapa kau murung" Tak pernah kulihat orang semurung kau itu."
Anak lelaki itu menjawab, "Hamba salah seorang dari tujuh bersaudara yang tidak berayah lagi. Kami hidup bersama ibu kami dalam kemelaratan dan tanpa bantuan siapapun. Hamba datang kemari setiap hari, memasang jala mencari ikan, agar ada yang dimakan setiap malam. Kalau hamba tak menangkap seekor ikanpun pada siang hari, malamnya kami tak punya apa-apa."
"Anakku," kata Sang Raja, "bolehkah aku membantumu?" Anak itu setuju, dan Rajapun melemparkan jala yang, karena sentuhan kewibawaannya, menghasilkan seratus ikan." Catatan
Oleh orang-orang yang belum luas pengetahuannya, sistem metafisika sering dikira sebagai menolak nilai "benda duniawi" atau, sebaliknya, menjanjikan melimpahnya keuntungan kebendaan.
Namun, dalam Sufisme "hal-hal baik" yang dicapai tidak selalu kiasan atau sama sekali harafiah. Kisah perumpamaan ini berasal dari Faridudin Attar, dicantumkannya dalam Parlemen Burung, dan dipergunakan dalam pengertian baik harafiah maupun perlambangan. Menurut para darwis; seseorang bisa mendapatkan kekayaan kebendaan dengan jalan Sufi, apabila hal itu demi keuntungan Jalan dan juga dirinya sendiri. Disamping itu, ia pun akan mendapatkan kepuasan rohani sesuai dengan kemampuannya mempergunakan hal itu dengan cara yang benar.
ANJING DAN KELEDAI Seorang yang baru saja menemukan cara memahami arti suara-suara yang dikeluarkan binatang, pada suatu berjalan sepanjang lorong di desa.
Dilihatnya seekor keledai, yang baru saja meringkik dan di sampingnya ada seekor anjing, menyalak-nyalak sekeras-kerasnya.
Ketika orang itu semakin dekat, arti pertukaran suara binatang itu bisa ditangkapnya.
"Uh, bosan! Kau ngomong saja tentang rumput dan padang rumput yang kering bisa dipergunakan sebagai pengganti daging," katanya menyela.
Kedua binatang itu memandangnya sejenak. Anjing menyalak keras-keras sehingga suara orang itu tak terdengar sama sekali; dan keledai menyepak dengan kaki belakangnya tepat mengenai orang itu sampai kelenger.
Kemudian kedua binatang kembali adu mulut. Catatan
Kisah ini, yang menyerupai kisah Rumi, adalah fabel dalam kumpulan kisah Majnun Qalandar, yang mengembara selama empat puluh tahun pada abad ketiga belas, membacakan kisah nasehat di pasar-pasar. Beberapa orang mengatakan bahwa ia benar-benar gila (seperti yang ditunjukkan oleh namanya); orang-orang lain beranggapan bahwa ia merupakan salah seorang di antara "Orang-orang yang berubah"yang telah mengembangkan pengertian adanya hubungan antara benda-benda, yang oleh orang-orang biasa dianggap terpisah.
ANJING, TONGKAT DAN SUFI Pada suatu hari seorang yang berpakaian sebagai Sufi berjalan-jalan; ia melihat seekor anjing di jalan; ia pun memukulnya dengan tongkat. Si Anjing, sambil melolong kesakitan, berlari menuju Abu Said, Sang Ulama. Anjing itupun menjatuhkan dirinya dekat kaki Sang Ulama sambil memegang moncongnya yang terluka; ia mohon keadilan karena telah diperlakukan secara kejam oleh sufi itu.
Abu Said mempertemukan keduanya. Kepada Sufi dikatakannya, "O Saudara yang seenaknya, kenapa kau perlakukan binatang dungu ini sekasar itu! Lihat akibatperbuatanmu!" Sang Sufi menjawab,"itu sama sekali bukan salahku, tapi salahnya Saya tidak memukulnya tanpa alasan, saya memukulnya karena ia mengotori jubahku."
Tetapi Si Anjing tetap menyampaikan keluhannya. Kemudian Sang Bijaksana berbicara kepada Anjing, "Dari pada menunggu Ganti Rugi Akhirat, baiklah saya berikan ganti rugi bagi rasa sakitmu itu."
Si Anjing berkata, "Sang Agung dan Bijaksana! Ketika saya melihat orang ini berpakaian sebagai Sufi, saya berfikir bahwa ia tak akan menyakiti saya. Seandainya saya melihat orang yang berpakaian biasa saja, tentunya akan saya berikan keleluasaan padanya untuk lewat. Kesalahan utama saya adalah menganggap bahwa pakaian orang suci itu menandakan keselamatan. Apabila Tuan ingin menghukumnya, rampaslah pakaian Sufinya itu. Campakkan dia dari pakaian Kaum Terpilih Pencari Kebenaran ..."
Anjing itu sendiri berada suatu Tahap dalam Jalan. Sangat keliru kalau kita beranggapan bahwa manusia harus lebih baik darinya.
Catatan "Penciptaan keadaan" yang disini ditampilkan oleh jubah Sufi sering disalahtafsirkan oleh kaum kebatinan dan keagamaan apa saja sebagai sesuatu yang berhubungan dengan pengalaman dari kegunaan nyata.
Kisah ini, dari buku Attar Ilahi-Nama, sering diulang-ulang oleh para Sufi "Jalan Salah," dan dianggap ciptaan Hamdun Si Pemutih Kain, pada abad kesembilan.
Convert PDF By Seilnava@yahoo.co.id
KISAH API Pada zaman dahulu ada seorang yang merenungkan cara bekerjanya Alam, dan karena ketekunan dan percobaanpercobaannya, akhirnya ia menemukan bagaimana api diciptakan. Orang itu bernama Nur. Ia memutuskan untuk berkelana dari satu negeri ke lain negeri, menunjukkan kepada rakyat banyak tentang penemuannya.
Nur menyampaikan rahasianya itu kepada berbagai-bagai kelompok masyarakat. Beberapa di antaranya ada yang memanfaatkan pengetahuan itu. Yang lain mengusirnya, mengira bahwa ia mungkin berbahaya, sebelum mereka mempunyai waktu cukup untuk mengetahui betapa berharganya penemuan itu bagi mereka. Akhirnya, sekelompok orang yang menyaksikannya memamerkan cara pembuatan api menjadi begitu ketakutan sehingga mereka menangkapnya dan kemudian membunuhnya, yakin bahwa ia setan.
Abad demi abad berlalu. Bangsa pertama yang belajar tentang api telah menyimpan rahasia itu untuk para pendeta, yang tetap berada dalam kekayaan dan kekuasaan, sementara rakyat kedinginan.
Bangsa kedua melupakan cara itu, dan malah memuja alat-alat untuk membuatnya. Bangsa yang ketiga memuja patung yang menyerupai Nur, sebab ialah yang telah mengajarkan hal itu. Yang keempat tetap menyimpan kisah api dalam kumpulan dongengnya: ada yang percaya, ada yang tidak. Bangsa yang kelima benar-benar mempergunakan api, dan itu bisa menghangatkan mereka, menanak makanan mereka, dan mempergunakannya untuk membuat alat-alat yang berguna bagi mereka.
Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya, seorang bijaksana dan beberapa pengikutnya mengadakan perjalanan melalui negeri-negeri bangsa-bangsa tadi. Para pengikut itu tercengang melihat bermacam-macamnya upacara yang dilakukan bangsa-bangsa itu; dan mereka pun berkata kepada gurunya, "Tetapi semua kegiatan itu nyatanya berkaitan dengan pembuatan api, bukan yang lain. Kita harus mengubah mereka itu!"
Sang Guru menjawab, "Baiklah. Kita akan memulai lagi perjalanan ini. Pada akhir perjalanan nanti, mereka yang masih bertahan akan mengetahui masalah kebenarannya dan bagaimana mendekatinya."
Ketika mereka sampai pada bangsa yang pertama rombongan itu diterima dengan suka hati. Para pendeta mengundang mereka menghadiri upacara keagamaan, yakni pembuatan api. Ketika upacara selesai, dan bangsa itu sedang mengagumi apa yang mereka saksikan, guru itu berkata, "Apa ada yang ingin mengatakan sesuatu?"
Pengikut pertama berkata, "Demi Kebenaran, saya merasa harus menyampaikan sesuatu kepada rakyat ini."
"Kalau kau mau melakukannya atas tanggungan sendiri, silahkan saja," kata gurunya.
Dan pengikut pertama itupun melangkah ke muka kehadapan pemimpin bangsa dan para pendeta itu, lalu katanya, "Aku bisa membuat keajaiban yang kalian katakan sebagai perwujudan kekuatan dewa itu. Kalau aku kerjakan hal itu, maukah kalian menerima kenyataan bahwa bertahun-tahun lamanya kalian telah tersesat?"
Tetapi para pendeta itu berteriak, "Tangkap dia!" dan orang itu pun dibawa pergi, tak pernah muncul kembali. Para musafir itu melanjutkan perjalanan, dan sampai di negeri bangsa yang kedua dan memuja alat-alat pembuatan api. Ada lagi seorang pengikut yang memberanikan diri mencoba menyehatkan akal bangsa itu.
Dengan izin gurunya ia berkata, "Saya mohon izin untuk berbicara kepada kalian semua sebagai bangsa yang berakal. Kalian memuja alat-alat untuk membuat sesuatu, dan bukan hasil pembuatan itu. Dengan demikian kalian menunda kegunaannya. Saya tahu kenyataan yang mendasari upacara ini."
Bangsa itu terdiri dari orang-orang yang lebih berakal. Tetapi mereka berkata kepada pengikut kedua itu, "Saudara diterima baik sebagai musafir dan orang asing di antara kami. Tetapi, sebagai orang asing, yang tak mengenal sejarah dan adat kami, Saudara tak memahami apa yang kami kerjakan.
Saudara berbuat kesalahan. Barangkali Saudara malah berusaha membuang atau mengganti agama kami. Karena itu kami tidak mau mendengarkan Saudara."
Para musafir itu pun melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka sarnpai ke negeri bangsa ke tiga, mereka menyaksikan di depan setiap rumah terpancang patung Nur, orang pertama yang membuat api. Pengikut ketiga berkata kepada pemimpin besar itu.
"Patung itu melambangkan orang, yang melambangkan kemampuan, yang bisa dipergunakan."
"Mungkin begitu," jawab para pemuja Nur, "tetapi yang bisa menembus rahasia sejati hanya beberapa orang saja." "Hanya bagi beberapa orang yang mau mengerti, bukan bagi mereka yang menolak menghadapi kenyataan," kata pengikut ketiga itu.
"Itu bid'ah kepangkatan, dan berasal dari orang yang bahkan tak bisa mempergunakan bahasa kami secara benar, dan bukan pendeta yang ditahbiskan menurut adat kami," kata pendeta-pendeta itu. Dan pengikut darwis itupun bisa melanjutkan usahanya.
Musafir itu melanjutkan perjalanannya, dan sampai di negeri bangsa keempat. Kini pengikut keempat maju ke depan kerumunan orang.
"Kisah pembuatan api itu benar, dan saya tahu bagaimana melaksanakannya," katanya.
Kekacauan timbul dalam bangsa itu, yang terpecah menjadi beberapa kelompok. Beberapa orang berkata, "Itu mungkin benar, dan kalau memang demikian, kita ingin mengetahui bagaimana cara membuat api." Ketika orang-orang ini diuji oleh Sang Guru dan pengikutnya, ternyata sebagian besar ingin bisa membuat api untuk kepentingan sendiri saja, dan tidak menyadari bahwa bisa bermanfaat bagi kemajuan kemanusiaan. Begitu dalamnya dongeng-dongeng keliru itu merasuk ke dalam pikiran orang-orang itu sehingga mereka yang mengira dirinya mewakili kebenaran sering merupakan orang-orang yang goyah, yang tidak akan juga membuat api bahkan setelah diberi tahu caranya.
Ada kelompok lain yang berkata, "jelas dongeng itu tidak benar. Orang itu hanya berusaha membodohi kita, agar ia mendapat kedudukan di sini."
Dan kelompok lain lagi berkata, "Kita lebih suka dongeng itu tetap saja begitu, sebab ialah menjadi dasar keutuhan bangsa kita. Kalau kita tinggalkan dongeng itu, dan kemudian ternyata penafsiran baru itu tak ada gunanya, apa jadinya dengan bangsa kita ini?"
Dan masih banyak lagi pendapat di kalangan mereka. Rombongan itu pun bergerak lagi, sampai ke negeri bangsa yang kelima; di sana pembuatan api dilakukan sehari-hari, dan orang-orang juga sibuk melakukan hal-hal lain. Sang Guru berkata kepada pengikut-pengikutnya, "Kalian harus belajar cara mengajar, sebab manusia tidak ingin diajar. Dan sebelumnya, kalian harus mengajar mereka bahwa masih ada saja hal yang harus dipelajari. Mereka membayangkan bahwa mereka siap belajar. Tetapi mereka ingin mempelajari apa yang mereka bayangkan harus dipelajari, bukan apa yang pertama-tama harus mereka pelajari. Kalau kalian telah mempelajari ini semua, kalian baru bisa mengatur cara mengajar. Pengetahuan tanpa kemampuan istimewa untuk mengajarkannya tidak sama dengan pengetahuan dan kemampuan."
Catatan Untuk menjawab pertanyaan "Apakah orang barbar itu?" Ahmad al-Badawi (meninggal tahun 1276) berkata,
"Seorang barbar adalah manusia yang daya pahamnya begitu tumpul sehingga ia mengira bisa mengerti dengan memikirkan atau merasakan sesuatu yang hanya dipahami lewat pengembangan dan penerapan terus-menerus terhadap usaha mencapai Tuhan.
Manusia menertawakan Musa dan Yesus, atau karena mereka sangat tumpul, atau karena mereka telah menyembunyikan diri mereka sendiri apa yang dimaksudkan mereka itu ketika mereka berbicara dan bertindak."
Menurut cerita darwis, ia dituduh menyebarkan Kristen dan orang Islam, tetapi ditolak oleh orang-orang Kristen karena menolak dogma Kristen lebih lanjut secara harafiah. Ia pendiri kaum Badawi Mesir.
BAYAZID DAN ORANG YANG MEMIKIRKAN DIRI SENDIRI Pada suatu hari, seseorang mengomel kepada Bayazid, seorang ahli mistik pada abad kesembilan, mengatakan bahwa ia telah berpuasa dan berdoa dan berbuat segalanya selama tiga puluh tahun namun tidak juga menemukan kesenangan seperti yang digambarkan Bayazid. Bayazid menjawab, orang itu bisa saja melanjutkan perbuatannya tiga ratus tahun lagi tanpa mendapatkan kesenangan juga.
"Mengapa begitu?" tanya Si Sok-Saleh.
"Sebab kesombonganmu merupakan halangan utama bagimu." "Coba katakan apa obatnya."
"Obatnya tak akan bisa kau laksanakan." "Bagaimanapun, katakan sajalah."
Bayazid pun berkata, "Kau harus pergi ke tukang pangkas rambut untuk mencukur janggutmu, (yang terhormat, itu). Lepaskan semua pakaianmu dan kenakan korset. Isi sebuah kantong kuda dengan kenari sampai penuh, lalu gantungkan di lehermu. Pergilah ke pasar dan berteriaklah, 'akan kuberikan sebutir kenari kepada setiap anak yang memukul tengkukku.' Kemudian lanjutkan perjalananmu ke sidang pengadilan agar semua orang menyaksikanmu."
"Tetapi aku tak bisa melakukan itu; coba katakan cara lain yang sama manfaatnya."
"Itu langkah pertama, dan satu-satunya cara," kata Bayazid, "Tetapi sudah aku katakan kepadamu bahwa kau tak akan bisa melakukannya; jadi tak ada obat bagimu."
Catatan Al-Ghazali, dalam Alkemia Kebahagiaan, mempergunakan ibarat ini untuk menekankan pernyataan yang sering diulang-ulangnya bahwa sementara orang, betapapun jujur tampaknya usaha mencari kebenaran itu bagi dirinya sendiri -dan bahkan mungkin juga bagi orang lainnyatanya kadang-kadang didasari kesombongan atau mencari untung sendiri, hal-hal yang merupakan halangan utama bagi pencarian kebenarannya. BURUNG DAN TELUR
Zaman dahulu ada seekor burung yang tidak mempunyai tenaga untuk terbang. Seperti ayam, ia berjalan-jalan saja di tanah, meskipun ia tahu bahwa ada burung yang bisa terbang.
Karena berbagai keadaan, ada telur seekor burung yang bisa dierami oleh burung yang tak bisa terbang itu.
Setelah sampai waktunya, telur itu pun menetas.
Burung kecil itu masih memiliki kemampuan untuk terbang yang diwarisi dari ibunya, yang tersimpan dalam dirinya sejak ia masih berada dalam telur.
Ia pun berkata kepada orang tua angkatnya, "Kapan aku akan terbang?" Dan burung yang hanya bisa berjalan di tanah itu menjawab, "Cobalah terus menerus belajar terbang, seperti yang lain."
Yang tua itupun tidak tahu bagaimana mengajarkan cara terbang kepada anak angkatnya: ia bahkan tidak tahu bagaimana menjatuhkannya dari sarang agar bisa belajar terbang.
Dan aneh bahwa burung kecil itu tidak mengetahui hal tersebut. Pemahamannya terhadap keadaan terkacau oleh kenyataan bahwa ia merasa berterima kasih kepada burung yang telah mengeraminya.
"Tanpa jasa itu," katanya kepada diri sendiri, "tentu aku masih berada dalam telur."
Dan ia juga kadang-kadang berkata kepada dirinya sendiri, "Siapa pun bisa mengeramiku, tentu bisa juga mengajarku terbang. Tentunya hanya soal waktu saja, atau karena usahaku yang tanpa bantuan, atau karena suatu kebijaksanaan agung: ya, ini jawabnya. Tiba-tiba suatu hari aku akan terbawa ke tahap berikutnya oleh-nya yang telah membawaku sejauh ini." Catatan
Kisah ini terdapat dalam berbagai bentuk dalam versi-versi yang berbeda dari karya Suhrawardi, Awarif al-Maar"f, dan mengandung pelbagai pesan. Konon, kisah ini bisa ditafsirkan secara intuitif sesuai dengan tahap kesadaran yang telah dicapai oleh orang yang belajar ilmu Sufi. Yang jelas saja kisah ini mengandung nasehat-nasehat, beberapa diantaranya menekankan dasar dasar utama peradaban modern, antara lain: "Konyollah apabila kita beranggapan bahwa suatu hal mengikuti sesuatu yang lain; anggapan itu juga menghalangi kemajuan selanjutnya," dan "Bahwa sesuatu bisa melakukan fungsi tertentu tidaklah berarti bahwa juga ia bisa melakukan lungsi yang lain."
BURUNG INDIA Seorang saudagar memelihara burung dalam sangkar. Ia akan berangkat ke India, tanah asal burung itu, dan menanyakan barangkali binatang itu meminta oleh-oleh dari sana. Burung itu meminta kebebasannya, tetapi ditolak. Karena itu ia minta saudagar itu pergi ke hutan di India, lalu mengabarkan tentang keadaannya yang dalam kurungan kepada burung-burung lain yang masih bebas.
Saudagar itu pun melaksanakan pesan tersebut, dan begitu ia mengucapkan kata-katanya, seekor burung serupa dengan burung piaraannya jatuh dari sebuah pohon, tak sadarkan diri di tanah.
Si Saudagar berpendapat bahwa itu tentulah saudara burung piaraannya, dan iapun merasa sedih telah menyebabkan kematiannya.
Ketika ia pulang, burungnya bertanya apakah tuannya membawa kabar gembira dari India.
"Tidak," jawab saudagar itu, "kabar buruklah yang aku bawa. Salah seekor saudaramu tak sadar diri dan jatuh dekat kakiku ketika kusiarkan kabar tentang keadaanmu."
Segera setelah kata-kata itu diucapkan, burung yang dalam sangkar itu pun tak sadarkan diri dan jatuh ke dasar sangkar.
"Kabar kematian saudaranya menyebabkannya mati juga," pikir saudagar itu. Dengan sedih diambilnya burung itu dari sangkarnya, lalu diletakkannya di ambang jendela. Segera saja burung itu hidup kembali, terbang ke pohon terdekat. "Kini kau tahu," kata Si Burung, "bahwa yang kau kira kabar buruk itu, ternyata merupakan kabar baik bagiku. Dan pesan, yakni cara untuk membebaskan diriku, ternyata telah disampaikan kepadaku lewat kamu, yang dulu menangkapku." Dan burung itupun terbang, bebas merdeka akhirnya.
Catatan Fabel Rumi ini merupakan salah satu yang menekankan pentingnya pengajaran tak langsung dalam Sufisme .
Peniru dan sistem yang diatur sesuai dengan pemikiran konvensional, baik di Barat maupun di Timur, umumnya memilih penekanan pada "sistem" dan "program," dan bukan pada totalitas pengalaman yang dijalankan dalam mazhab Sufi. PEDAGANG DAN DARWIS KRISTEN
Karena berada dalam kesukaran, seorang pedagang yang sangat kaya dari Tabris pergi ke Konia mencari orang yang teramat bijaksana. Setelah mencoba mendapat nasehat dari para pemuka agama, hakim, dan lain-lain, ia mendengar tentang Rumi; ia pun dibawa menghadap Sang Bijaksana itu.
Pedagang itu membawa lima puluh keping uang emas sebagai persembahan. Ketika dilihatnya Sang Maulana di ruang tamu, pedagang itu menjadi sangat terharu. Jalaludin Rumi pun berkata kepadanya,
"Lima puluh keping uang emasmu diterima. Tetapi kau telah kehilangan dua ratus, itulah alasan kedatanganmu kemari. Tuhan telah menghukummu, dan menunjukkan sesuatu kepadamu. Sekarang segalanya akan beres." Pedagang itu terheran-heran terhadap yang diketahui Sang Maulana. Rumi melanjutkan. "Kau mendapat banyak kesulitan karena pada suatu hari nun jauh di negeri Barat sana, kau melihat seorang darwis Kristen terbaring di jalan. Dan kau meludahinya. Temui dia dan minta maaf padanya, dan sampaikan salam kami kepadanya." Ketika pedagang itu berdiri ketakutan karena ternyata segala rahasianya telah diketahui, Sang Maulana itupun berkata, "Perlukah kami tunjukkan orang itu padamu?" Rumi menyentuh dinding ruangan itu, dan pedagang itu pun menyaksikan gambar orang suci itu di sebuah pasar di Eropa. Iapun terhuyung-huyung pergi meninggalkan Sang Bijaksana, tercengang-cengang.
Segera saja ia mengadakan perjalanan menemui ulama Kristen itu, dan ditemuinya orang suci tersebut telungkup di tanah. Ketika didekatinya, darwis Kristen itu pun berkata, "Guru kami Jalal telah menghubungi saya."
Pedagang itu melihat ke arah yang ditunjukkan darwis tersebut, dan menyaksikan -dalam gambarJalaludin sedang membaca kata-kata semacam ini, "Tak peduli kerikil atau permata, semua akan mendapat tempat di bukitNya, ada tempat bagi semuanya ..."
Pedagang itu pun pulang kembali, menyampaikan salam darwis Kristen itu kepada Jalal, dan sejak itu tinggal dalam masyarakat darwis di Konia.
Catatan Luasnya pengaruh Jalaludin Rumi terhadap pikiran dan sastra Barat sekarang ini semakin jelas lewat penelitian akademis. Tak disangsikan lagi bahwa ia mempunyai banyak pengikut di Barat, dan kisah-kisahnya muncul dalam cerita-cerita Hans Anderson, dalam Gesta Romanorum tahun 1324, dan bahkan dalam karya Shakespeare.
Di Timur terdengar pendapat di kalangan luas bahwa ia mempunyai hubungan erat dengan kaum mistik dan pemikir Barat. Versi kisah ini diterjemahkan dari karya Aflaki, Munakib al-Arifin, kehidupan para darwis Mevlevi awal, yang selesai ditulis tahun 1353.
Convert PDF By Seilnava@yahoo.co.id BATAS DOGMA
Pada suatu hari, Sultan Mahmud yang Agung berada dijalan di Ghazna, ibu kota negerinya. Dilihatnya seorang kuli mengangkut beban berat, yakni sebungkah batu yang didukung di punggungnya. Karena rasa kasihan terhadap kuli itu, Mahmud tidak bisa menahan perasaannya, katanya memerintah: "Jatuhkan batu itu, kuli."
Perintah itupun langsung dilaksanakan. Batu tersebut berada di tengah jalan, merupakan gangguan bagi siapapun yang ingin lewat, bertahun-tahun lamanya. Akhirnya sejumlah warga memohon raja agar memerintahkan orang memindahkan batu itu. Namun Mahmud, menyadari akan kebijaksanaan administratif, terpaksa menjawab.
"Hal yang sudah dilaksanakan berdasarkan perintah, tidak bisa dibatalkan oleh perintah yang sama derajatnya. Sebab kalau demikian, rakyat akan beranggapan bahwa perintah raja hanya berdasarkan kehendak sesaat saja. Jadi, biar saja batu itu disitu."
Oleh karenanya batu tersebut tetap berada di tengah jalan itu selama masa pemerintahan Mahmud. Bahkan ketika ia meninggal batu itu tidak dipindahkan, karena orang-orang masih menghormati perintah raja.
Kisah itu sangat terkenal. Orang-orang mengambil maknanya berdasarkan salah satu dari tiga tafsiran, masing-masing sesuai dengan kemampuannya.
Mereka yang menentang kepenguasaan beranggapan bahwa kisah itu merupakan bukti ketololan penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaannya.
Mereka yang menghormati kekuasaan merasa hormat terhadap perintah, betapapun tidak menyenangkannya.
Mereka yang bisa menangkap maksudnya yang benar, bisa memahami nasehat yang tersirat. Dengan menyuruh menjatuhkan batu di tempat yang tidak semestinya sehingga merupakan gangguan, dan kemudian membiarkannya berada disana, Mahmud mengajar kita agar mematuhi penguasa duniawi -dan sekaligus menyadarkan kita bahwa siapapun yang memerintah berdasarkan dogma kaku, tidak akan sepenuhnya berguna bagi kemanusiaan. Mereka yang menangkap makna ini akan mencapai taraf pencari kebenaran, dan akan bisa menambah jalan menuju Kebenaran. Catatan
Kisah ini muncul dalam karya klasik yang terkenal, Akhlaq-i-Mohsini 'Akhlak Dermawan,' ciptaan Hasan Waiz Kashifi; hanya saja tanpa tafsir seperti yang ada dalam versi ini.
Versi ini merupakan bagian ajaran syeh Sufi Daud dari Qandahar, yang meninggal tahun 1965. Kisah ini merupakan pengungkapan yang bagus tentang pelbagai taraf pemahaman terhadap tindakan; masing-masing orang akan menilainya berdasarkan pendidikannya. Metode penggambaran tak langsung yang dipergunakan Sultan Mahmud itu dianut pada Sufi, dan bisa diringkaskan dalam ungkapan, "Bicaralah kepada dinding, agar pintu bisa mendengar."
ISA DAN ORANG-ORANG BIMBANG
Diceritakan oleh Sang Guru Jalaludin Rumi dan yang lain-lain, pada suatu hari Isa, putra Mariam, berjalan-jalan di padang pasir dekat Baitulmukadis bersama-sama sekelompok orang yang masih suka mementingkan diri sendiri.
Mereka meminta dengan sangat agar Isa memberitahukan kepada mereka Kata Rahasia yang telah dipergunakannya untuk menghidupkan orang mati. Isa berkata, "Kalau kukatakan itu padamu, kau pasti menyalahgunakannya."
Mereka berkata, "Kami sudah siap dan sesuai untuk pengetahuan semacam itu; tambahan lagi, hal itu akan menambah keyakinan kami."
"Kalian tak memahami apa yang kalian minta," katanya -tetapi diberitahukannya juga Kata Rahasia itu.
Segera setelah itu, orang-orang tersebut berjalan di suatu tempat yang terlantar dan mereka melihat seonggok tulang yang sudah memutih. "Mari kita uji keampuhan Kata itu," kata mereka, Dan diucapkanlah Kata itu.
Begitu Kata diucapkan, tulang-tulang itupun segera terbungkus daging dan menjelma menjadi seekor binatang liar yang kelaparan, yang kemudian merobek-robek mereka sampai menjadi serpih-serpih daging.
Mereka yang dianugerahi nalar akan mengerti. Mereka yang nalarnya terbatas bisa belajar melalui kisah ini.
Catatan Isa dalam kisah ini adalah Yesus, putra Maria. Kisah ini mengandung gagasan yang sama dengan yang ada dalam Magang Sihir, dan juga muncul dalam karya Rumi, di samping selalu muncul dalam dongeng-dongeng lisan para darwis tentang Yesus. Jumlah dongeng semacam itu banyak sekali. Yang sering disebut-sebut sebagai tokoh yang suka mengulang-ngulang kisah ini adalah salah seorang di antara yang berhak menyandang sebutan Sufi, Jabir putra al-Hayan, yang dalam bahasa Latin di sebut Geber, yang juga penemu alkimia Kristen.
Ia meninggal sekitar 790. Aslinya ia orang Sabia, menurut para pengarang Barat, ia membuat penemuan-penemuan kimia penting.
ORANG YANG BERJALAN DI ATAS AIR
Seorang darwis yang suka berpegang pada kaidah, yang berasal dari mazhab sangat saleh, pada suatu hari berjalan menyusur tepi sungai. Ia memusatkan perhatian pada pelbagai masalah moral dan ajaran, sebab itulah yang menjadi pokok perhatian pengajaran Sufi dalam mazhabnya. Ia menyamakan agama perasaan dengan pencarian Kebenaran mutlak.
Tiba-tiba renungannya terganggu oleh teriakan keras: seseorang terdengar mengulang-ngulang suatu ungkapan darwis. "Tak ada gunanya itu," katanya kepada diri sendiri, "sebab orang itu telah salah mengucapkannya. Seharusnya diucapkannya YA-HU, tapi dia mengucapkannya U-YA-HU." Kemudian ia menyadari bahwa, sebagai Darwis yang lebih teliti, ia mempunyai kewajiban untuk meluruskan ucapan orang itu. Mungkin orang itu tidak pernah mempunyai kesempatan mendapat bimbingan yang baik, dan karenanya telah berbuat sebaik-baiknya untuk menyesuaikan diri dengan gagasan yang ada di balik suara yang diucapkannya itu.
Demikianlah Darwis yang pertama itu menyewa perahu dan pergi ke pulau di tengah-tengah arus sungai, tempat asal suara yang didengarnya tadi.
Didapatinya orang itu duduk disebuah gubuk alang-alang, bergerak-gerak sangat sukar teratur mengikuti ungkapan yang diucapkannya itu. "Sahabat," kata darwis pertama, "Anda keliru mengucapkan ungkapan itu. Saya berkewajiban memberitahukan hal ini kepada Anda, sebab ada pahala bagi orang yang memberi dan menerima nasehat. Inilah ucapan yang benar." Lalu di beritahukannya ucapan itu.
"Terima kasih," kata darwis yang lain itu dengan rendah hati.
Darwis pertama turun ke perahunya lagi, sangat puas, sebab baru saja berbuat amal. Bagaimanapun, kalau orang bisa mengulang-ngulang ungkapan rahasia itu dengan benar, ada kemungkinan bisa berjalan diatas air. Hal itu memang belum pernah disaksikannya sendiri tetapi --berdasarkan alasan tertentudarwis pertama itu ingin sekali bisa melakukannya. Kini ia tak mendengar lagi suara gubuk alang-alang itu, namun ia yakin bahwa nasehatnya telah dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kemudian didengarnya kembali ucapan U-YA yang keliru itu ketika darwis yang di pulau tersebut mulai mengulang-ngulang ungkapannya.
Ketika darwis pertama merenungkan hal itu, memikirkan betapa manusia memang suka bersikeras mempertahankan kekeliruan, tiba-tiba disaksikannya pandangan yang menakjubkan. Dari arah pulau itu, darwis kedua tadi tampak menuju perahunya, berjalan diatas air.
Karena takjubnya, ia pun berhenti mendayung. Darwis keduapun mendekatinya, katanya, "Saudara, maaf saya mengganggu Anda. Saya datang untuk menanyakan cara yang benar untuk mengucapkan ungkapan yang Anda beritahukan kepada saya tadi; sulit benar rasanya mengingat-ingatnya."
Catatan Dalam Bahasa Indonesia, hanya satu arti yang bisa diungkapkan oleh kisah ini. Dalam versi Arab sering dipergunakan kata-kata yang bunyinya sama tetapi berbeda arti (homonim) untuk menyatakan bahwa kata itu bisa dipergunakan untuk memperdalam kesadaran, disamping juga menunjukkan sesuatu yang nilainya dangkal.
Di samping terdapat dalam sastra masa kini yang populer di Timur, kisah ini juga didapati dalam naskah-naskah pelajaran darwis, beberapa diantaranya sangat penting.
Versi ini berasal dan Kaum Asaaseen ('hakiki,' 'asli'), di Timur Dekat dan Tengah.
JALAN GUNUNG Pada suatu hari, seorang yang cerdas, ahli pengetahuan yang pikirannya terlatih, datang ke sebuah desa. Sebagai latihan dan telaah ilmunya, ia ingin membandingkan pandangan yang berbeda-beda yang mungkin ada dalam desa itu.
Ia mendatangi sebuah warung dan menanyakan tentang seorang yang paling jujur dan seorang yang paling bohong di desa itu. Orang-orang di warung itu sepakat bahwa orang yang bernama Kazzab adalah pembohong terbesar; dan Rastgu yang paling jujur. Ahli pengetahuan itupun mendatangi kedua orang tersebut bergantian, mengajukan pertanyaan sederhana yang sama kepada keduanya, "jalan manakah yang terbaik menuju ke desa tetangga?"
Rastgu yang jujur itu berkata, "Jalan gunung." Kazzab Si Pembohong juga berkata, "Jalan gunung." Tentu saja jawaban itu membingungkan Sang Pengembara cerdas tersebut .
Demikianlah, iapun bertanya kepada orang-orang lain, penduduk desa biasa.
Ada yang mengatakan, "Lewat sungai;" yang lain mengusulkan, "Lewat padang saja"
Dan ada yang juga mengatakan, "Jalan gunung."
Akhirnya diputuskannya mengambil jalan gunung. Tetapi dalam kaitannya dengan tujuan semula tadi, masalah tentang orang bohong dan orang jujur di desa itu mengganggu batinnya. Ketika ia mencapai desa berikutnya, ia ceritakan kisahnya di sebuah rumah penginapan; di akhir kisah dikatakannya. "Saya jelas telah membuat kekeliruan logika yang mendasar dengan menanyakan kepada orang-orang yang tidak tepat perihal Si Jujur dan Si Bohong. Nyatanya saya telah sampai disini tanpa kesulitan apapun, lewat jalan gunung."
Seorang bijaksana yang kebetulan berada di situ berkata, "Harus diakui bahwa para ahli logika cenderung tak terbuka matanya, karenanya suka minta orang lain membantunya. Tetapi masalah yang menyangkut hal ini justru sebaliknya. Kenyataannya adalah sebagai berikut: Sungai sebenarnya merupakan jalan termudah, oleh karenanya Si Pembohong menunjukkan jalan gunung. Tetapi orang yang jujur itu tidak hanya jujur; ia mengetahui bahwa Anda punya keledai dan itu memudahkan perjalanan Anda. Si Pembohong kebetulan tidak mengetahui bahwa Anda tak punya perahu: seandainya ia tahu hal itu, pasti diusulkannya jalan sungai."
Catatan "Orang-orang menganggap kemampuan dan berkah para Sufi sulit dipercaya. Tetapi orang-orang semacam itu adalah yang tidak
memiliki pengetahuan tentang kepercayaan yang sebenarnya. Mereka mempercayai segala hal yang tidak benar, karena kebiasaan atau karena diberi tahu oleh penguasa.
Kepercayaan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang berbeda. Mereka yang mampu memiliki keperccayaan yang sebenarnya adalah yang pernah mengalami sesuatu. Jika mereka sudah pernah mengalami kemampuan dan berkah, yang sekedar diceritakan tidak ada harganya bagi mereka."
Kata-kata tersebut, menurut Sayed Syah (Qadiri, meninggal tahun 1854) kadang-kadang mengawali kisah "Jalan Gunung" ini.
KEPERLUAN YANG MAKIN MENDESAK
Pada suatu malam seorang penguasa tiran Turkestan sedang mendengarkan kisah-kisah yang disampaikan oleh seorang darwis, ketika ia tiba-tiba bertanya tentang Kidir. "Kidir," kata darwis itu, "datang kalau diperlukan. Tangkaplah, jubahkan kalau ia muncul, dan segala pengetahuan menjadi milik Paduka,"
"Apakah itu bisa terjadi atas siapapun?" "Siapa pun bisa," kata darwis itu.
"Siapa pula lebih 'bisa' dariku?" pikir Sang Raja; dan ia pun mengedarkan pengumuman:
"Siapa yang bisa menghadirkan Kidir Yang Gaib di hadapanku, akan kujadikan orang kaya."
Seorang lelaki miskin dan tua yang bernama Bakhtiar Baba, setelah mendengar pengumuman itu, menyusun akal. Katanya kepada istrinya,
"Aku punya rencana. Kita akan segera kaya, tetapi beberapa lama kemudian aku harus mati. Namun, itu tak apalah, sebab kekayaan kita akan bisa menghidupimu seterusnya." Kemudian Bakhtiar menghadap raja dan mengatakan bahwa ia akan mencari Kidir dalam waktu empat puluh hari, kalau Raja bersedia memberinya seribu keping uang emas. "Kalau kau bisa menemukan Kidir," kata Raja, "kau akan mendapat sepuluh kali seribu keping uang emas ini. Kalau gagal, kau akan mati, dipancung ditempat ini sebagai peringatan kepada siapapun yang akan mencoba mempermainkan rajanya."
Bakhtiar menerima syarat itu. Ia pun pulang dan memberikan uang itu kepada istrinya, sebagai jaminan hari tuanya. Sisa hidupnya yang tinggal empat puluh hari itu dipergunakannya untuk merenung, mempersiapkan diri memasuki kehidupan lain. Pada hari keempat puluh ia menghadap raja. "Yang Mulia," katanya, "kerakusanmu telah menyebabkanmu berpikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Kidir. Tetapi Kidir, kata orang, tidak akan muncul oleh panggilan yang berdasarkan kerakusan."
Sang Raja sangat marah. "Orang celaka, kalau telah mengorbankan nyawamu; siapa pula kau ini berani mencampuri keinginan seorang raja?"
Bakhtiar berkata, "Menurut dongeng, semua orang bisa bertemu Kidir, tetapi pertemuan itu hanya akan ada manfaatnya apabila maksud orang itu benar. Mereka bilang, Kidir akan menemui orang selama ia bisa memanfaatkan saat kunjungan itu. Itulah hal yang kita tidak menguasainya."
"Cukup ocehan itu," kata Sang Raja, "sebab tak akan memperpanjang hidupmu. Hanya tinggal meminta para menteri yang berkumpul di sini agar memberikan nasehatnya tentang cara yang terbaik untuk menghukummu."
Ia menoleh ke Menteri Pertama dan berkata, "Bagaimana cara orang itu mati?"
Menteri Pertama menjawab, "Panggang dia hidup-hidup, sebagai peringatan."
Menteri Kedua, yang berbicara sesuai urutannya berkata, "Potong-potong tubuhnya, pisah-pisahkan anggota badannya." Menteri Ketiga berkata, "Sediakan kebutuhan hidup orang itu, agar ia tidak lagi mau menipu demi kelangsungan hidup keluarganya."
Sementara pembicaraan itu berlangsung, seorang bijaksana yang sudah sangat tua memasuki ruang pertemuan. Segera orang mengajukan pendapat sesuai dengan prasangka yang tersembunyi dalam dirinya."
"Apa maksudmu?" tanya Raja.
"Maksudku, Menteri Pertama itu aslinya tukang roti, jadi ia berbicara tentang panggang-memanggang. Menteri Kedua dulu tukang daging, jadi ia bicara tentang potong-memotong daging. Menteri Ketiga, yang telah mempelajari ilmu kenegaraan, melihat sumber masalah yang kita bicarakan ini. Catat dua hal ini. Pertama, Kidir muncul melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu untuk memanfaatkan kedatangannya. Kedua, Bakhtiar, orang ini--yang kuberi nama Baba karena pengorbanannya-telah didesak oleh keputus-asaan untuk melakukan tindakan tersebut. Keperluannya semakin mendesak sehingga akupun muncul didepanmu." Ketika orang-orang itu memperhatikannya, orang tua yang bijaksana itupun lenyap begitu saja. Sesuai dengan yang diperintahkan Kidir. Raja memberikan belanja teratur kepada Bakhtiar. Menteri Pertama dan kedua dipecat, dan seribu keping uang emas itu dikembalikan ke kas kerajaan oleh Bakhtiar dan istrinya.
Bagaimana Raja bisa bertemu Kidir lagi, dan apa yang terjadi antara keduanya" Itu semua ada dalam dongeng di Dunia Gaib. Catatan
Konon, Bakhtiar Baba adalah seorang Sufi bijaksana yang hidupnya sangat sederhana dan tak dikenal orang di Korasan, sampai peristiwa yang ada dalam kisah itu terjadi. Kisah ini, dikatakan juga terjadi atas sejumlah besar Syeh Sufi lain, menggambarkan pengertian tentang terjalinnya keinginan manusia dengan "makhluk" lain. Kidir merupakan penghubung antara keduanya.
Judul ini diambil dari sebuah sajak terkenal karya Jalaludin Rumi:
Peralatan baru bagi pemahaman akan ada apabila keperluan menuntutnya.
Karenanya, O manusia, jadikan keperluanmu makin mendesak, sehingga kau bisa mendesakkan pemahamanmu lebih peka lagi.
Versi ini diucapkan oleh seorang guru darwis dari Afganistan.
KERETA Ada tiga macam ilmu dalam telaah kemanusiaan. Yang pertama adalah Ilmu tentang pengetahuan biasa; yang kedua adalah Ilmu tentang keadaan batin yang luar biasa, yang biasanya disebut puncak kenikmatan. Yang ketiga, yang penting, adalah Ilmu tentang Kenyataan yang Benar; yang ketiga ini berada di antara kedua Ilmu yang disebut sebelumnya.
Hanya pengetahuan batin yang nyata bisa menghasilkan Ilmu Kenyataan yang Benar. Ilmu yang kedua lagi hanyalah berupa cermin--dalam bentuknya masing-masing dari yang ketiga. Yang kedua itu boleh dikatakan tak ada gunanya tanpa yang ketiga. Bayangkan seorang kusir. Ia duduk di kereta, ditarik kuda, dipimpin dirinya sendiri. Kecerdasan adalah "kendaraan" itu, suatu bentuk luar yang di dalamnya kita menyatakan di mana diri kita berada dan apa yang harus kita kerjakan. Kendaraan menyebabkan orang dan kuda bisa melakukan tugasnya. Itulah yang kita sebut tashkil, ujud luar atau perumusan. Kuda, atau tenaga penggerak, adalah energi yang disebut "Suatu keadaaan perasaan" atau kekuatan lain. Itu diperlukan untuk menggerakkan kereta. Orang, dalam gambaran kita itu, adalah yang melihat dan memahami, dengan cara yang lebih unggul dari yang lain, maksud dan kemungkinan keadaan, dan yang memungkinkan kereta itu bergerak maju menuju tujuannya. Salah satu di antara ketiganya itu, sendiri-sendiri, tentu saja bisa melakukan sesuatu. Namun, peran gabungan, yang kita sebut gerak kereta, tidak akan terwujud apabila ketiganya tidak dihubungkan dengan Cara yang Benar. Hanya "manusia," Diri yang nyata mengetahui hubungan ketiga unsur itu, dan kebutuhannya satu sama lain.
Di kalangan Sufi, Karya Agung adalah pengetahuan menggabungkan ketiga unsur tersebut. Terlalu banyak orang, kuda yang tak sesuai, kereta yang terlalu berat atau terlalu ringan --hasilnya tidak akan memadai.
Catatan Nukilan ini tercatat dalam sebuah buku catatan darwis dalam Bahasa Persia, dan berbagai bentuk kisah itu terdapat dalam mazhab-mazhab Sufi yang tersebar mulai Damaskus sampai Delhi.
SI TOLOL DI KOTA AGUNG Ada pelbagai macam kebangunan. Hanya satu yang benar. Manusia tidur, tetapi ia harus bangun dengan cara yang benar. Berikut ini adalah kisah tentang Si Tolol yang bangunnya keliru.
Si Tolol ini datang ke sebuah kota besar, dan ia menjadi bingung oleh banyaknya orang di jalanan. Ia khawatir kalau nanti ia bangun dari tidurnya ia tak bisa lagi menemukan dirinya diantara begitu banyak manusia. Karena itu iapun mengikatkan seutas tali di mata kakinya agar dirinya mudah dikenali kembali.
Seorang yang suka bercanda, mengetahui apa yang dikerjakan Si Tolol itu, menanti sampai ia tidur. Di lepaskannya tali yang melingkar di kaki Si Tolol, lalu diikatkannya ke kakinya sendiri. Iapun berbaring di lantai dan tidur. Si Tolol bangun lebih dahulu; dilihatnya tali itu. Mula-mula dikiranya orang lain itulah dirinya sendiri. Kemudian ia menyerang orang itu, sambil teriaknya, "Kalau kau itu diriku, lalu siapa dan mana pula aku?"
Catatan Kisah ini, yang juga muncul dalam kumpulan lelucon Mulla Nasruddin yang dikenal luas di Asia Tengah, direkam dalam karya klasik kebatinan, Salaman dan Absal, oleh pengarang dan ahli mistik abad ke lima belas, Abdul Rahman Jami. Ia datang dari Oxus dan meninggal di Herat setelah mengukuhkan dirinya sebagai salah seorang tokoh sastra terkemuka dalam bahasa Parsi.
Jami menimbulkan banyak ketidaksenangan di kalangan ahli agama karena keterusterangannya, terutama pengakuannya bahwa ia tidak mempunyai guru kecuali ayahnya sendiri.
SI LUMPUH DAN SI BUTA Pada suatu hari seorang lumpuh pergi ke sebuah warung dan duduk disamping seseorang yang sudah sejak tadi disana. "Saya tidak bisa datang ke pesta Sultan," keluhnya, karena kakiku yang lumpuh sebelah ini aku tak bisa berjalan cepat." Orang disebelahnya itu mengangkat kepalanya. "Saya pun di undang," katanya, "tetapi keadaanku lebih buruk dari Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang mendengar percakapan kedua orang itu, berkata, "Tetapi, kalau saja kalian menyadarinya, kalian berdua mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, yang lumpuh didukung di pungung. Kalian bisa menggunakan kaki si Buta, dan Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Dengan cara itulah keduanya bisa mencapai tujuan, dan pesta sudah menanti.
Dalam perjalanan, keduanya sempat berhenti di sebuah warung lain. Mereka menjelaskan keadaannya kepada dua orang lain yang duduk bersedih disana. Kedua orang itu, yang seorang tuli, yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang bisu mendengar, tetapi tidak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli itu. Yang tuli bisa bicara, tetapi tidak ada yang bisa dikatakannya.
Kedua orang itu tak ada yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada mereka bahwa ada masalah, apalagi bagaimana cara mereka memecahkan masalah itu.
Catatan Dikisahkan bahwa Abdul Kadir yang Agung meninggalkan sebuah jubah Sufi yang bertambal-tambal untuk diberikan kepada calon pemakainya yang baru akan lahir enam ratus tahun setelah kematian Sufi Agung itu.
Pada tahun 1563, Sayid Iskandar Syah, Qadiri, setelah mendapat kepercayaan ini, menunjuk Syeh Ahmad Faruk dari Sirhind sebagai pewaris mantel itu.
Guru Naqshibandi ini telah ditahbiskan menjadi anggota enam belas Kaum Sufi oleh ayahnya, yang telah mencari dan membangkitkan kembali adat dan pengetahuan Sufisme sepanjang pengembaraannya yang jauh dan berbahaya.
Orang percaya bahwa Sirhind merupakan tempat yang ditentukan munculnya Guru Agung, dan turun-temurun orang-orang suci telah menanti perwujudan itu.
Sebagai akibat dari munculnya Faruqi dan penerimaannya oleh semua Kaum pada masanya, Kaum Naqshibandi kini meresmikan pengikut-pengikutnya menjadi empat jalur utama dalam Sufisme: Chishti, Qadiri, Suhrawardi, dan Naqshibandi. "Si Lumpuh dan Si Buta" dianggap sebagai ciptaan Syeh Ahmad Faruk, yang meninggal tahun 1615. Kisah ini baru boleh dibaca setelah menerima perintah untuk membacanya: atau oleh mereka yang telah mempelajari Karya Hakim Sanai, "Orang-orang Buta dan Gajah."
ORANG YANG MENYADARI KEMATIAN
Konon, ada seorang raja darwis yang berangkat mengadakan perjalanan melalui laut. Ketika penumpang-penumpang lain memasuki perahu satu demi satu, mereka melihatnya dan sebagai lazimnya --merekapun meminta nasehat kepadanya. Apa yang dilakukan semua darwis tentu sama saja, yakni memberi tahu orang-orang itu hal yang itu-itu juga: darwis itu tampaknya mengulangi saja salah satu rumusan yang menjadi perhatian darwis sepanjang masa.
Rumusan itu adalah: "Cobalah menyadari maut, sampai kau tahu maut itu apa." Hanya beberapa penumpang saja yang secara khusus tertarik akan peringatan itu.
Mendadak ada angin topan menderu. Anak kapal maupun penumpang semuanya berlutut, memohon agar Tuhan menyelamatkan perahunya. Mereka terdengar berteriak-teriak ketakutan, menyerah kepada nasib, meratap mengharapkan keselamatan. Selama itu sang darwis duduk tenang, merenung, sama sekali tidak memberikan reaksi terhadap gerak-gerik dan adegan yang ada disekelilingnya.
Akhirnya suasana kacau itu pun berhenti, laut dan langit tenang, dan para penumpang menjadi sadar kini betapa tenang darwis itu selama peristiwa ribut-ribut itu berlangsung. Salah seorang bertanya kepadanya, "Apakah Tuan tidak menyadari bahwa pada waktu angin topan itu tak ada yang lebih kokoh daripada selembar papan, yang bisa memisahkan kita dari maut?"
"Oh, tentu," jawab darwis itu. "Saya tahu, di laut selamanya begitu. Tetapi saya juga menyadari bahwa, kalau saya berada di darat dan merenungkannya, dalam peristiwa sehari-hari biasa, pemisah antara kita dan maut itu lebih rapuh lagi." Catatan
Kisah ini ciptaan Bayazid dari Bistam, sebuah tempat disebelah selatan Laut Kaspia. Ia adalah salah seorang diantara Sufi Agung zaman lampau, dan meninggal pada paroh kedua abad kesembilan.
Ayahnya seorang pengikut Zoroaster, dan ia menerima pendidikan kebatinannya di India. Karena gurunya, Abu-Ali dari Sind, tidak menguasai ritual Islam sepenuhnya, beberapa ahli beranggapan bahwa Abu-Ali beragama Hindu, dan bahwa Bayazid tentunya mempelajari metode mistik India. Tetapi tidak ada ahli yang berwewenang, diantara Sufi, yang mengikuti anggapan tersebut. Para pengikut Bayazid termasuk kaum Bistamia.
KETIKA MAUT DATANG KE BAGDAD
Pada suatu hari, pengikut seorang Sufi di Bagdad sedang duduk di sudut sebuah warung ketika didengarnya dua mahkluk sedang bercakap-cakap. Berdasarkan apa yang dipercakapkan itu, pengikut Sufi tersebut mengetahui bahwa salah satu diantara yang sedang berbicara itu adalah Malaikat Maut. "Saya bertugas menemui sejumlah orang di kota ini selama tiga minggu mendatang." kata Malaikat itu kepada temannya bicara.
Karena takut, pengikut Sufi itu menyembunyikan diri sampai yang berbicara itu berlalu. Kemudian, setelah memeras otak bagaimana caranya menghindarkan diri dari maut, ia memutuskan bahwa apabila ia menjauhkan diri dari Bagdad, tentunya Maut tak akan bisa mencapainya. Berdasarkan alasan itu, iapun segera menyewa kuda yang tercepat, dan memacunya siang malam menuju Samarkand.
Sementara itu Malaikat Maut menemui guru Sufi; mereka berdua membicarakan beberapa orang. "Dan di mana gerangan pengikutmu Si Anu?" tanya Maut.
"Tentunya ia ada di kota, sedang merenungkan sesuatu, mungkin di sebuah warung minum," jawab Sang Guru. "Aneh," kata Sang Malaikat. "Ia terdapat dalam daftarku. Ya, betul, ini dia; dan aku harus menjemputnya dalam waktu empat minggu ini di Samarkand, ya, Samarkand."
Catatan Versi kisah ini diambil dari Hikayat -iNaqshia 'Kisah Nasib.'
Pencipta kisah ini, kisah yang sangat digemari di Timur Tengah, adalah Sufi Agung Fudail bin Ayad, bekas perampok yang meninggal pada awal abad kesembilan.
Menurut cerita Sufi, yang dikukuhkan oleh bahan-bahan sejarah, Harun Al-Rasyid Kalifah Bagdad mencoba memusatkan segala pengetahuan di istana dalam pengayomannya, tetapi tak ada seorangpun yang menghendaki Raja Segala Raja itu meminta bantuan dalam menjalankan tugasnya.
Ahli sejarah Sufi menceritakan bagaimana Harun dan Perdana Menterinya mengunjungi Mekah untuk bertemu dengan Fudail, yang mengatakan, "Sang Penguasa Kaum Setia: Tampaknya wajah Baginda yang cemerlang itu akan jatuh ke api neraka!" Harun bertanya kepada Sang Bijak, "Pernahkah kau mengenal orang lebih mampu mengambil jarak daripada kau sendiri?" Fudail menjawab, "Pernah: Baginda lebih mampu mengambil jarak dari lingkungan dunia biasa ini; tetapi baginda telah mampu mengambil jarak yang lebih besar yakni dari keabadian!"
Fudail mengatakan kepada Kalifah bahwa kekuasaan atas diri sendiri lebih berharga daripada kekuasaan selama seribu tahun atas orang-orang
ORANG YANG MUDAH NAIK DARAH
Setelah bertahun-tahun lamanya, seorang yang sangat mudah marah menyadari bahwa ia sering mendapat kesulitan karena sifatnya itu.
Pada suatu hari ia mendengar tentang seorang darwis yang berpengetahuan dalam; iapun menemuinya untuk mendapatkan nasehat.
Darwis itu berkata, "Pergilah ke perempatan anu. Di sana kau akan menemukan sebatang pohon mati. Berdirilah di bawahnya dan berikan air kepada siapapun yang lewat di depanmu." Orang itu pun menjalankan nasehat tersebut. Hari demi hari berlalu, dan ia pun dikenal baik sebagai orang yang mengikuti sesuatu latihan kebaikan hati dan pengendalian diri, di bawah perintah seorang yang berpengetahuan sangat dalam.
Pada suatu hari ada seorang lewat bergegas; ia membuang mukanya ketika ditawari air, dan meneruskan perjalanannya. Orang yang mudah naik darah itu pun memanggilnya berulang kali, "Hai, balas salamku! Minum air yang kusediakan ini, yang kubagikan untuk musafir!"
Namun, tak ada jawaban. Karena sifatnya yang dulu, orang pertama itu tidak bisa lagi menguasai dirinya. Ia ambil senjatanya, yang digantungkannya dipohon mati itu; dibidiknya pengelana yang tak peduli itu, dan ditembaknya. Pengelana itupun roboh, mati. Pada saat peluru menyusup ke tubuh orang itu, pohon mati tersebut, bagaikan keajaiban, tiba-tiba penuh dengan bunga.
Orang yang baru saja terbunuh itu seorang pembunuh; ia sedang dalam perjalanan untuk melaksanakan kejahatan yang paling mengerikan selama perjalanan hidupnya yang panjang. Nah, ada dua macam penasehat. Yang pertama adalah penasehat yang memberi tahu tentang apa yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang pasti, yang diulang-ulang secara teratur. Macam yang kedua adalah Manusia Pengetahuan. Mereka yang bertemu dengan Manusia Pengetahuan akan meminta nasehat moral, dan menganggapnya sebagai moralis. Namun yang diabdinya adalah Kebenaran, bukan harapan-harapan saleh. Catatan
Guru Darwis yang digambarkan dalam kisah ini konon adalah Najamudin Kubra, salah seorang yang paling agung di antara
para ulama Sufi. Ia mendirikan Mazhab Kubrawi 'Persaudaraan Lebih Besar' yang sangat mirip dengan Mazhab yang kemudian didirikan oleh Santo Fransiskus. Seperti Santo Asisi, Najamudin dikenal memiliki kekuasaan gaib atas binatang. Najamudin adalah salah seorang di antara enam ratus ribu orang yang mati ketika Khwarizm di Asia Tengah dihancurkan pada tahun 1221. Konon, Jengis Khan Si Mongol Agung bersedia menolong jiwanya jika Najamudin mau menyerahkan diri, karena Sang Kaisar mengetahui kemampuan istimewa Sang Darwis. Tetapi Najamudin tetap berada di antara para pembela kota itu dan kemudian ditemukan di antara korban perang tersebut. Karena telah mengetahui akan datangnya mala petaka itu, Najamudin menyuruh pergi semua pengikutnya ke tempat aman beberapa waktu sebelum munculnya gerombolan Mongol tersebut. PARA PELAYAN DAN RUMAH
Pada zaman dahulu, ada seorang bijaksana dan baik hati, yang memiliki sebuah rumah besar. Dalam perjalanan hidupnya, ia sering pergi jauh beberapa waktu lamanya. Kalau ia sedang pergi, rumah itu diserahkan pemeliharaannya kepada para pelayan.


Kisah Kisah Sufi Karya Idries Shah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Salah satu sifat para pelayan itu adalah pelupa. Sering mereka lupa, mengapa berada dalam rumah itu; demikianlah mereka menjalankan kewajibannya dengan mengulang-ngulang yang sudah dikerjakan. Tidak jarang pula mereka melakukan pekerjaan dengan cara yang sama sekali berbeda dengan yang telah diberitahukan kepada mereka. Hal itu terjadi karena mereka telah melupakan peran mereka di rumah itu. Konon, ketika pemilik rumah itu sedang bepergian jauh, muncullah sekelompok pelayan, yang berpikir bahwa merekalah yang memiliki rumah itu. Karena pengetahuan mereka itu terbatas pada dunia sehari-hari saja, mereka merasa berada dalam keadaan yang bertentangan. Misalnya saja, pernah mereka ingin menjual rumah, tetapi tidak bisa mendapatkan pembeli, karena memang tidak bisa mengurusnya. Pada waktu yang lain orang-orang datang bermaksud membeli rumah itu, dan menanyakan tentang sertifikat tanah, tetapi karena para pelayan itu sama sekali tidak tahu menahu tentang akta, dianggapnya para calon pembeli itu main-main saja. Keadaan yang bertentangan itu juga dibuktikan oleh kenyataan bahwa persediaan untuk rumah senantiasa muncul "secara rahasia," dan perbekalan itu tidak cocok dengan anggapan bahwa para penghuni bertanggung jawab untuk seluruh rumah. Petunjuk-petunjuk untuk mengurus rumah itu telah ditinggalkan dalam kamar si empunya rumah--dengan maksud agar bisa diingat-ingat lagi. Tetapi setelah satu generasi, kamar itu menjadi begitu keramat sehingga tak ada seorangpun yang diperbolehkan memasukinya; dan kamar itu pun dianggap sebagai rahasia yang tak tertembus. Malahan, beberapa diantara pelayan itu beranggapan bahwa kamar itu sama sekali tak ada, meskipun mereka melihat pintunya. Namun, tentang pintu itu mereka memberikan penjelasan lain; sekedar hiasan dinding belaka.
Begitulah keadaan para pelayan rumah tersebut, yang tidak mengambil alih rumah itu, tidak pula tetap setia kepada petunjuk semula.
Catatan Konon, kisah ini sering sekali dipergunakan oleh syuhada Sufi Al-Hallaj, yang dihukum mati pada tahun 922 karena diduga mengatakan, "Akulah Kebenaran."
Hallaj meninggalkan sejumlah besar mistik. Meskipun mengandung bahaya, banyak Sufi dalam waktu seribu tahun terakhir ini mengakui bahwa Hallaj adalah yang menerima pencerahan.
KISAH PASIR Dari mata airnya yang nun jauh di gunung sana, sebatang sungai mengalir melewati apapun di tebing dan ngarai, akhirnya mencapai padang pasir. Selama ini ia telah berhasil mengatasi halangan apapun dan sekarang berusaha menaklukkan halangan yang satu ini. Tetapi setiap kali sungai itu cepat-cepat melintasinya, airnya segera lenyap di pasir. Sungai itu sangat yakin, bahwa ia ditakdirkan melewati padang pasir itu, namun ia tidak bisa mengatasi masalahnya Lalu, terdengar suara tersembunyi yang berasal dari padang pasir itu, bisiknya, "Angin bisa menyeberangi pasir, Sungai pun bisa."
Sungai menolak pernyataan itu, ia sudah cepat-cepat menyeberangi padang pasir, tetapi airnya terserap: angin bisa terbang, dan oleh karena itulah ia bisa menyeberangi padang pasir.
"Dengan menyeberang seperti yang kulakukan itu jelas, kau tak akan berhasil. Kau hanya akan lenyap atau jadi paya-paya. Kau harus mempersilahkan angin membawamu menyeberangi padang pasir, ketempat tujuan."
Tetapi bagaimana caranya" "Dengan membiarkan dirimu terserap angin."
Gagasan itu tidak bisa diterima Si Sungai. Bagaimanapun, sebelumnya ia sama sekali tidak pernah terserap. Ia tidak mau kehilangan dirinya. Dan kalau dirinya itu lenyap, apakah bisa dipastikan akan didapatnya kembali"
"Angin," kata Si Pasir, "menjalankan tugas semacam itu. Ia membawa air, membawanya terbang menyeberang padang pasir, dan menjatuhkannya lagi. Jatuh ke bumi sebagai hujan, air pun menjelma sungai."
"Bagaimana aku bisa yakin bahwa itu benar?"
"Memang benar, dan kalau kau tak mempercayainya, kau hanya akan menjadi paya-paya; dan menjadi paya-paya itupun memerlukan waktu bertahun-tahun berpuluh tahun. Dan paya-paya itu jelas tak sama dengan sungai, bukan?" "Tapi, tak dapatkah aku tetap berupa sungai, sama dengan keadaanku kini?"
"Apapun juga yang terjadi, kau tidak akan bisa tetap berupa dirimu kini," bisik suara itu. "Bagian intimu terbawa terbang, dan membentuk sungai lagi nanti. Kau disebut sungai juga seperti kini, sebab kau tak tahu bagian dirimu yang mana inti itu."
Mendengar hal itu, dalam pikiran Si Sungai mulai muncul gema. Samar-samar, ia ingat akan keadaan ketika ia --atau bagian dirinya" --berada dalam pelukan angin. Ia juga ingatbenar demikiankah" bahwa hal itulah yang nyatanya terjadi, bukan hal yang harus terjadi.
Dan sungai itu pun membubungkan uapnya ke tangan-tangan angin yang terbuka lebar, dan yang kemudian dengan tangkas mengangkatnya dan menerbangkannya, lalu membiarkannya merintik lembut segera setelah mencapai atap gunung --nun disana yang tak terkira jauhnya. Dan karena pernah meragukan kebenarannya, sungai itu ini bisa mengingat-ingat dan mencatat lebih tandas pengalamannya secara terperinci. Ia merenungkannya, "Ya, kini aku mengenal diriku yang sebenarnya."
Sungai itu telah mendapat pelajaran. Namun Sang Pasir berbisik, "Kami tahu sebab kami menyaksikannya hari demi hari; dan karena kami, pasir ini, terbentang mulai dari tepi pasir sampai ke gunung."
Dan itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa cara Sungai Kehidupan melanjutkan perjalanannya tertulis di atas Pasir. Catatan
Kisah indah ini masih beredar dalam tradisi lisan dalam pelbagai bahasa, hampir selalu terdengar di kalangan para darwis dan murid-muridnya.
Kisah ini dicantumkan oleh Sir Fairfax Cartwright dalam bukunya, Mystic Rose from the Garden of the King 'Mawar Mistik dari Taman Raja' terbit tahun 1899.
Versi ini berasal dari Awad Afifi, orang Tunisia, yang meninggal tahun 1870.
ORANG-ORANG BUTA DAN GAJAH
Di seberang Ghor ada sebuah kota. Semua penduduknya buta. Seorang raja dengan pengikutnya lewat dekat kota itu; ia membawa tentara dan memasang tenda di gurun. Ia mempunyai seekor gajah perkasa, yang dipergunakannya untuk berperang dan menimbulkan ketakjuban rakyat.
Penduduk kota itu ingin sekali melihat gajah tersebut, dan beberapa di antara orang-orang buta itupun berlari-lari bagaikan badut-badut tolol berusaha mendekatinya. Karena sama sekali tidak mengetahui bentuk dan ujud gajah, merekapun meraba-raba sekenanya, mencoba membayangkan gajah dengan menyentuh bagian tubuhnya.
Masing-masing berpikir telah mengetahui sesuatu, sebab telah menyentuh bagian tubuh tertentu.
Ketika mereka kembali ke tengah-tengah kaumnya, orang-orang pun berkerumun di sekeliling mereka. Orang-orang itu keliru mencari tahu tentang kebenaran dari rekan-rekannya sendiri yang sebenarnya telah tersesat.
Kerumunan orang itu bertanya tentang bentuk dan ujud gajah: dan mendengarkan segala yang diberitahukan kepada mereka. Orang yang tangannya menyentuh telinga gajah ditanya tentang bentuk gajah. Jawabnya, "Gajah itu lebar, kasar, besar, dan luas, seperti babut."
Dan orang yang meraba belalainya berkata, "Saya tahu keadaan sebenarnya. Gajah itu bagai pipa lurus dan kosong, dahsyat dan suka menghancurkan."
Orang yang menyentuh kakinya berkata, "Gajah itu perkasa kokoh, bagaikan tiang."
Masing-masing telah meraba satu bagian saja. Masing-masing telah keliru menangkapnya. Tidak ada pikiran yang mengetahui segala: pengetahuan bukanlah sahabat Si Buta. Semuanya membayangkan sesuatu, yang sama sekali keliru. Makhluk tidak mengetahui perihal ketuhanan. Tak ada Jalan dalam pengetahuan ini yang bisa ditempuh dengan kemampuan biasa.
Catatan Kisah ini terkenal dalam versi Rumi "Gajah dalam Rumah Gelap," yang dimuat dalam Matnawi. Guru Rumi, hakim Sanai, menyodorkan versi ini dalam buku pertama yang dianggap klasik di kalangan Sufi, Taman Kebenaran yang Berpagar. Ia meninggal tahun 1150.
Kedua kisah itu merupakan penyampaian cara pemikiran yang sama, yang menurut tradisi, telah dipergunakan oleh guru-guru Sufi selama berabad-abad
SI PEMURAH Ada seorang kaya dan murah hati yang tinggal di Bokhara. Karena ia memiliki pangkat tinggi dalam hirarki yang tak kelihatan, ia dikenal sebagai Pemimpin Dunia. Ia membuat satu syarat bagi hadiah yang dibagikannya. Setiap hari diberikannya emas kepada segolongan masyarakat --yang sakit, yang janda, dan selanjutnya. Namun tak diberikannya apapun kepada yang membuka mulut.
Tidak semua orang bisa berdiam diri.
Pada suatu hari tibalah giliran para hakim menerima hadiah. Salah seorang diantara mereka itu tidak bisa menahan diri mengajukan permohonan sebaik-baiknya.
Ia tidak diberi apapun. Tetapi itu bukan usaha terakhir. Hari berikutnya, para cacat diberi hadiah, dan iapun pura-pura patah anggota badannya. Tetapi Sang Pemimpin mengenalnya, dan ia pun tak mendapatkan apa-apa.
Hari berikutnya lagi ia kembali menyamar, menutupi wajahnya, di antara golongan masyarakat yang berbeda. Lagi-lagi ia dikenali, dan diusir.
Berulang kali ia mencoba, bahkan pernah menyamar sebagai wanita: namun semuanya tanpa hasil.
Akhirnya hakim ini bertemu dengan seorang pengurus jenazah dan memintanya untuk membungkus dirinya dengan kain kafan. "Kalau Sang Pemimpin lewat, mungkin ia nanti menganggapku mayat. Ia mungkin melemparkan uang untuk ongkos penguburanku dan kau nanti kuberi bagian."
Dilaksanakanlah hal itu. Sekeping uang emas dilemparkan oleh Pemimpin ke bungkusan kafan itu. Hakim itupun menangkapnya, khawatir kalau pengurus jenazah itu menangkapnya lebih dahulu. Kemudian berkatalah ia kepada pemurah itu, "Kau telah mengingkari hadiah untukku. Catat bagaimana aku telah mendapatkannya!"
"Tak ada yang bisa kau dapatkan dariku," jawab orang murah hati itu, "sampai kau mati." Itulah makna kalimat rahasia 'orang harus mati sebelum ia mati.' Hadiah itu datang setelah 'kematian,' dan tidak sebelumnya. Dan bahkan 'kematian' inipun tak mungkin ada tanpa pertolongan." Catatan
Kisah ini, yang dikutip dari Mathnawi, karya Rumi, sudah jelas dengan sendirinya.
Para darwis mempergunakannya untuk menekankan bahwa meskipun anugerah bisa "digaet" oleh Si Cerdik, kemampuan ('emas') yang diambil secara baik-baik dari seorang guru seperti Si Pemurah dari Bokhara itu memiliki kekuatan yang melampaui ujud luarnya. Itulah
SI PENUNGGANG KUDA DAN ULAR
Ada sebuah pepatah yang mengatakan, "sangkalan" orang berpengetahuan lebih berharga daripada, "dukungan" si bodoh. Aku, Salim Abdali, bersaksi bahwa hal itu benar dalam jangkauan pengalaman yang lebih agung, juga benar dalam taraf pengalaman yang lebih rendah.
Hal ini terwujud dalam kebiasaan Sang Bijak, yang telah menurunkan kisah Si Penunggang Kuda dan Ular. Seorang Penunggang kuda, dari suatu tempat yang aman, melihat ada seekor ular menyusup ke dalam tenggorokan seseorang lagi tidur. Penunggang kuda itu menyadari bahwa apabila orang itu dibiarkannya terus tidur, tentulah racun ular tersebut akan mematikannya
Oleh karena itu ia mencambuk Si Tidur sampai terbangun. Karena mendesaknya waktu, ia pun memaksa orang itu pergi ketempat yang terdapat sejumlah buah apel yang busuk, dan memaksanya memakan buah-buah busuk itu. Setelah itu, Si Penunggang Kuda, memaksanya minum air sungai sebanyak-banyaknya.
Selama itu, orang tersebut selalu berusaha melepaskan diri, tangisnya, "Apa dosaku, hai kemanusiaan, sehingga aku kau siksa begini kejam?"
Akhirnya, ketika ia hampir lemas, dan sore hari tiba, lelaki itu jatuh ke tanah dan memuntahkan buah apel, air, dan ular tadi. Ketika diketahuinya apa yang telah dimuntahkannya, ia memahami apa yang telah terjadi, dan mohon maaf kepada Si Penunggang Kuda.
Ini syaratnya. Dalam membaca kisah ini, jangan mengelirukan sejarah untuk ibarat, atau ibarat untuk sejarah. Mereka yang dianugerahi pengetahuan memiliki kewajiban. Mereka yang tidak berpengetahuan, tidak memiliki apapun di balik apa yang bisa mereka terka-terka.
Orang yang di tolong itu mengatakan, "Kalau tadi kau mengatakan hal itu, tentu saya terima perlakuanmu itu dengan rasa terima kasih."
Si Penunggang Kuda menjawab, "Kalau tadi kukatakan hal itu, tentu kau tidak percaya Atau kau menjadi kejang ketakutan. Atau kau lari pontang-panting. Atau malah tidur lagi." Sambil memacu kudanya, orang yang diliputi rahasia itu segera berlalu.
Catatan Salim Abdali (1700-1765) menyebabkan para Sufi menerima caci-maki dari pada cerdik-cendekia yang sebelumnya tak pernah terjadi karena pernyataannya bahwa seorang Sufi ulung bisa mengetahui ketidakberesan seseorang, dan mungkin harus bertindak cepat dan dengan cara yang tampaknya bertentangan dengan seharusnya dilakukan untuk menolong orang itu, dan oleh karenanya bisa menimbulkan kemarahan orang-orang yang sebenarnya tidak mengetahui apa yang ia lakukan
Kisah ini dikutip oleh Abdali dari Rumi. Bahkan kini, mungkin tidak banyak orang mau menerima pernyataan yang tersirat dalam kisah ini. Namun, pernyataan semacam itu telah diterima oleh semua Sufi, dalam bentuk yang berbeda-beda. Dalam komentarnya terhadap hal ini, guru Sufi Haidar Gul hanya mengatakan, ada batas tertentu, yang apabila dilanggar menyebabkan keburukan bagi manusia, yakni menyembunyikan kebenaran hanya agar tidak menyinggung perasaan mereka yang dipikirannya tertutup."
PETI KUNO NURI BEY Nuri Bey adalah seorang Albania yang suka tepekur dan disegani, yang beristrikan wanita jauh lebih muda dari dirinya.
Suatu malam, ketika ia pulang lebih awal dan biasanya seorang pelayan yang setia menghadapnya dan berkata, "Istri Tuan berkelakuan mencurigakan.
Ia berada di kamarnya dengan sebuah peti besar, cukup besar untuk menyimpan orang; peti itu dulu milik kakek Tuan. Mestinya peti itu hanya berisi beberapa sulaman kuno. Hamba yakin, kini didalamnya terdapat lebih dari sekedar sulaman.
Dan hamba, yang sejak dulu menjaganya, kini tidak diperbolehkan membukanya."
Nuri pergi kekamar istrinya, dan mendapatkannya duduk murung disamping peti kayu besar itu.
"Boleh aku melihat isi kotak itu?" tanya suaminya "Karena kecurigaan pelayan, atau karena Tuan tidak lagi mempercayai saya?"
"Bukankah lebih mudah membukanya saja, tanpa harus memasalahkan kaitan maksudnya?"
"Tidak bisa." "Apa terkunci?" "Ya"
"Di mana kuncinya?"
Istrinya menunjukkan kunci itu, "Pecat pelayan itu, nanti saya berikan kunci itu kepada Tuan."
Pelayan itu dipecat. Wanita itu menyerahkan kunci dan iapun berlalu, tentu dengan pikiran kacau.
Nuri Bey berpikir lama. Kemudian dipanggilnya empat orang tukang kebunnya. Malam itu mereka bersama-sama mengangkat peti itu jauh ke ujung kebun, lalu menguburnya.
Masalah itu tidak pernah disebut-sebut lagi. Catatan
Kisah yang menggelitik ini, yang berulang kali dikatakan memiliki arti dalam di samping nasehatnya yang jelas, merupakan sebagian dari naskah para darwis pengembara, yang pengayom sucinya adalah Yusuf dari Andalusia pada abad ketiga belas.
Di Turki, jumlah mereka itu sangat banyak. Kisah ini, dalam versi yang lebih dikembangkan, menyusup ke Bahasa Inggris melalui karya H.G. Dwight, Stambul Nights 'Malam-malam Istambul,' diterbitkan di Amerika Serikat tahun 1916 dan
1922. PINTU SORGA Jaman dahulu adalah seorang lelaki yang baik hatinya. Ia telah menjalani hidupnya dengan melakukan segala hal yang memungkinkan orang masuk sorga. Ia memberi harta kepada si miskin, ia mencintai sesamanya, dan ia mengabdi kepada mereka. Karena mengingat pentingnya kesabaran, ia senantiasa bertahan terhadap kesulitan yang besar dan tak diduga-duga, sering itu semua demi kebahagiaan orang lain. Iapun mengadakan perjalanan jauh-jauh untuk mendapatkan pengetahuan. Kerendahhatian dan perilakunya yang pantas ditiru begitu dikenal sehingga ia dipuji-puji sebagai seorang yang bijaksana dan warga yang baik; pujian itu terdengar mulai dari Timur sampai ke Barat, Utara sampai ke Selatan.
Segala kebaikan itu memang dijalankan --selama ia ingat
melakukannya. Namun ia memiliki kekurangan, yakni kurang perhatian. Kecenderungan itu memang tidak berat, dan ditimbang dengan kebaikannya yang lain, hal itu merupakan cacat kecil saja. Ada beberapa orang miskin yang tak tertolongnya, sebab selalu saja ia kurang memperhatikan kebutuhan mereka itu. Kasih sayang dan pengabdian pun kadang-kadang terlupakan apabila yang dipikirkannya sebagai kebutuhan pribadi muncul dalam dirinya.
Ia suka sekali tidur. Dan kadang-kadang kalau ia sedang tidur, kesempatan mendapatkan pengetahuan, atau memahaminya, atau melaksanakan kerendahhatian, atau menambah jumlah tindakannya yang terpuji kesempatan semacam itu lenyap begitu saja, tak akan kembali lagi.
Wataknya yang baik meninggalkan bekas pada dirinya; begitu juga halnya dengan wataknya yang buruk, yakni kurangnya perhatian itu.
Dan kemudian ia meninggal. Menyadari dirinya berada di balik kehidupan ini, dan sedang berjalan menuju pintu-pintu Taman
Berpagar, orang itu istirahat sejenak. Ia mendengarkan kata-hatinya. Dan ia merasa bahwa kesempatannya memasuki Gerbang Agung itu cukup besar.
Disaksikannya gerbang itu tertutup; dan kemudian terdengar suara berkata kepadanya, "Siagalah selalu; sebab gerbang hanya terbuka sekali dalam seratus tahun." Ia pun duduk menunggu, gembira membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, jauh dari kemungkinan untuk menunjukkan kebaikan terhadap manusia, ternyata ia menyadari bahwa kemampuannya untuk memperhatikan tidak cukup pada dirinya. Setelah siaga terus selama waktu yang rasanya sudah seabad kepalanya terkantuk-kantuk. Segera saja pelupuk matanya tertutup. Dan pada saat yang sekejap itu, gerbangpun terbuka. Sebelum mata si lelaki itu terbuka sepenuhnya kembali, gerbang itupun tertutup: dengan suara menggelegar yang cukup dahsyat untuk membangunkan orang-orang mati.
Catatan Kisah ini merupakan bahan pelajaran darwis yang disenangi; kadang-kadang disebut "Parabel Tentang Kurangnya Perhatian," Meskipun terkenal sebagai kisah rakyat, asal-usulnya tak diketahui. Beberapa orang menganggapnya ciptaan Hadrat Ali, Kalifah Keempat. Yang lain mengatakan bahwa kisah itu begitu penting, sehingga tentunya diucapkan sendiri oleh Nabi, secara rahasia. Jelas kisah ini tidak terdapat dalam Hadits Nabi.
Bentuk sastra yang kita pilih ini berasal dari seorang darwis tak dikenal dari abad ketujuh belas, Amil Baba, yang naskah-naskahnya menekankan bahwa "pengarang sejati adalah orang yang karyanya tak bernama (anonim), sebab dengan cara itu tak ada yang berdiri antara pelajar dan yang dipelajarinya."
DARWIS DAN PUTRI RAJA Konon, ada seorang putri raja yang keelokannya bagaikan rembulan; semua orang mengaguminya.
Pada suatu hari, seorang darwis yang sedang akan memasukkan makanan ke mulutnya, melihat putri tersebut. Makanan itu jatuh ke tanah, sebab ia begitu terpesona sehingga tidak bisa menggenggam semestinya.
Playboy Dari Nanking 2 Pendekar Mata Keranjang 2 Bara Di Jurang Guringring Melacak Pesawat Misterius 1

Cari Blog Ini