Ceritasilat Novel Online

Premortem 2

Premortem Karya J.angin Bagian 2


Senyum Pak Adil memudar, dan wajahnya kini berkerut serius. Tapi sebelumnya kamu harus ingat... Kamu bukan Nabi Daud, dan musuhmu bukan raksasa Jalut. Melawan bukan satusatunya pilihan. Ini bukan perang. Rupanya pria tua itu memang tahu persis apa maksudku.
Aku mengangguk. Akhirnya Pak Adil melanjutkan.
Tetapi kalau benar begitu, di mana perginya Tuhan" Kekuatan apa lagi yang diminta dari pria sederhana seperti aku" Kalau kini aku sudah mencapai batas, lantas apa lagi yang harus kuperbuat" Biar saja Bagus putus sekolah" Dalam pertempuran sepanjang sore-sore itu, aku memang bukan Nabi Daud. Menghitung pen dapat an setelah menutup dagangan, kepalaku sendiri yang justru terasa pecah.
Pertama. Walau berbadan kekar, membawa pedang, memakai zirah dan bertopi besi, tapi daerah sekitar mata Jalut polos tidak ter lin dung. Pak Adil menatap tajam, matanya seperti meng hipno tis.
Pagi berikutnya, kumpulan itu mulai berdatangan, membongkar pagar dan pintu bangunan besar di seberang. Membuyarkan eta lase-etalase lebarnya dan mengangkut barang-barang keluar. Aku berdiri dengan mulut ternganga dan mata terbeliak, bilah kayu penutup toko yang kupegang terlepas jatuh ke tanah tanpa sadar.
Apakah ini perang" Tapi ini bukan satu-satunya pilihan. Bukan berperang. Hanya berusaha.
Namun imaji yang terekam di retinaku sungguh terlihat seperti sebuah arena persabungan.
Kedua. Katapel dan batu. Jika Nabi Daud juga bersenjata pedang, Beliau tidak akan punya kesempatan menghadapi lawan yang ber tangan lebih panjang dan bertenaga lebih kuat. Aku mulai mengerti
Dan siapa bala tentara itu" Banyak sekali wajah yang kuke nal karena sejak lahir aku tinggal di daerah ini. Itu adalah para tetang ga, para sahabat; orang-orang yang pernah ikut ber de sakan ber samaku waktu peresmian dulu.
Lewat beberapa saat dentam derai burai kaca dan derik logam mem bengkok hancur terus terdengar bagai orkes rusak yang dimainkan kencang-kencang. Kudapati diri berteriak dan melesat menyeberang menuju kerumunan, meninggalkan tokoku yang setengah terbuka begitu saja.
Hentikan! Bubar! Pulang! (ini bukan perang!) Aku memekik dan menarik kawan-kawan yang bisa kutemukan. Tetapi manusia-manusia itu seperti kesetanan, mereka me - le paskan diri dari cengkamanku, berlarian keluar-masuk ger - bang yang sudah lantak, membopong sebanyak mungkin barang, me na brak dan mendorong di tengah kakofoni. Di mataku, mereka bukan lagi pria dan wanita yang selama ini aku kenal. Mereka ada lah perompak haus darah yang sibuk menguras harta di kapal kandas yang tak lama lagi akan karam. *
Saat merenung-renung sembari menunggui toko, yang muncul di ke palaku malah rancangan anarkis seperti: bakar, hancurkan dan bisikan semodel itu. Bisikan para iblis.
Kugelengkan kepala. Tuhan pasti akan memberi jalan bagi umatNya. Tapi jalan baru akan ditunjukkan bila kita berusaha mencari.
Tuhan tidak mungkin mencobai lebih dari batas kemampuan umatNya.
Tetapi aku sadar otakku memang sangat terbatas. *
Lalu kudengar apa yang seakan sebuah bisikan, hanya saja sesung guhnya itu adalah teriakan yang tak bisa dilihat dalam keramaian: Bakar! Bakar! Bakar saja!
(bakar, hancurkan) Suara siapa itu" Pikiranku berpacu. Apakah itu iblis-iblis yang pernah berbisik di telingaku" Saat itu jantungku bagai berhenti berdetak.
Malam itu, aku bersembunyi di kamar mandi dan menangis tanpa suara. Aku tak ingat kapan pernah menangis. Sejak kanak-kanak aku bukan orang cengeng. Dulu aku selalu bisa me - nga lah kan semua lawan, termasuk yang berbadan lebih besar. Aku tak pernah menangis saat wajahku bonyok berbaku pukul dengan rival masa kecil di sekolah. Aku tak menangis saat kakak ku satu-satunya meninggal kena demam berdarah. Aku juga tak menangis waktu kedua orang tua tutup usia. Tetapi hari ini benteng pertahananku telah remuk, dan dalam kamar mandi, berjongkok sesenggukan di pinggir kakus dan bak air, aku berbisik dalam hati: Ya Tuhan... Tolong beri aku katapel dan batu....
Tiba-tiba saja kurasakan panik melingkari batang leher. Aku tercekat tak bisa menarik napas.
SIAPA YANG MENJAWAB DOAKU SEMALAM" Jeritku dalam hati.
Detik berikutnya kulihat lidah-lidah api dilempar masuk melalui jendela yang sudah berkeping, kemudian mereka yang masih sibuk memborong rampasan di dalam mulai panik berhamburan keluar, menabrakku hingga aku jatuh terjengkang. Puluhan pa sang kaki merencah tubuhku bagai roda-roda kereta yang berlari kencang tanpa rel.
Dan ketiga. Batu itu menancap persis di antara kedua mata Jalut. Dahi Jalut pecah, dan Nabi Daud yang bertubuh mungil me menangi pertarungan. Pak Adil terus memandang wajahku, seakan sedang membaca isi kepalaku.
Toko kelontong kecilku yang pintu papannya tertinggal setengah terbuka tak disentuh sedikit pun, dan hari itu toko raksasa berpintu besi di seberang jalan terbakar habis menyisakan kerangka yang menghitam.
Ingat baik-baik syarat ketiga, kata Pak Adil. Jika meleset, hampir bisa dipastikan kamu yang bakal hancur-lebur, dan saat itu kamu akan menyesal kenapa tidak melarikan diri saja dari awal.
Wajah Pak Adil tampak begitu prihatin, seperti tahu apa yang akan terjadi padaku.
Aku memang tidak mau melawan. Tidak mau berperang. Aku sadar tak mungkin menang.
Tetapi aku bertekad untuk coba bertahan. Harus ada usaha mencari jalan sebelum menempuh pilihan terakhir. Bukan berperang. Hanya berusaha.
Bulan-bulan selanjutnya, aku masih sering merenung di sela melayani pembeli dan pengunjung toko. Aku tidak pernah berani bercerita pada siapa pun termasuk istriku tentang apa yang kudoakan malam itu dan apa yang muncul esoknya. Aku sama sekali tidak percaya sebuah permintaan kecilku ber sangkutan dengan semua yang terjadi sesudahnya.
Aku lebih memilih untuk mencoba yakin, bahwa Tuhan di tengah bencana, entah bagaimana telah menolong dengan sebuah cara yang sama sekali tidak kumengerti. Aku memutuskan untuk bisa lupa, untuk yakin, lalu melanjutkan hidup dan menerus kan napas pendidikan Bagus, anakku.
Namun tiap kali membuka pintu toko, tak sengaja mataku masih sering terpaku menatap ke seberang, tanpa sadar selalu mendapati diriku bergidik membuang muka. Sadar kalau aku tidak mungkin melupakan.
Sadar kalau aku masih tidak bisa yakin.
Hingga di suatu pagi yang lain, saat Bagus hampir lulus SMP; di seberang jalan kulihat para pekerja mulai kembali ber da tangan. Kali ini aku sudah terlalu letih untuk melongong dan membelalak. Sempat terpikir, mungkin memang lebih baik melarikan diri saja dari awal.
Mimpi burukku ternyata belum juga berakhir. Besok pagar seng pasti akan didirikan. Raksasa itu siap terlahir kembali. *
Malam itu, saat aku membatin permohonan dalam kamar mandi, di luar lamat-lamat terdengar radio transistor istriku meng umum kan sebuah pertempuran yang ternyata juga sudah ber akhir di tempat lain: aksi besar berujung rusuh dan empat ma ha siswa tewas tertembak.
Kemudian saat aku membuka papan-papan pintu toko esok paginya, aku melihat sebuah pemandangan yang tak pernah kubayangkan.
Pesta diselenggarakan di rumah kami, tepatnya di halaman de pan, yang terhubung dalam satu kawasan dengan rumah ke luarga besar Abang. Tahun ini diadakan di tempat kami, karena tahun depan aku, Abang, dan anakku tidak bisa ikut serta. Tahun depan kami berencana merayakan pergantian abad di Singa pura. Semua anggota keluargaku hadir. Papa-Mama; Mas Darwin-Mbak Sinta, Arman, Olive dan Kris; Mbak Norma- Mas Jono, Prissy dan Prika Prissy bahkan mengajak pacarnya; Nissa-Marc, dan Jenny. Jenny kecil yang cantik menggemaskan, lucu-berambut pirang seperti ayahnya, jadi mainan kakak-kakak se pupu nya dan orang-orang di pesta kami. Digendong ke sanasini, dicubit, digoda hingga sempat menangis. Maklum, cuma setahun sekali bisa jumpa.
Di situ kami puaskan ngobrol dengan Nissa melepas kangen. Ia dan suaminya bercerita tentang kehidupan mereka di sana, Marc juga banyak bicara soal pekerjaannya; ia kini makin fasih berbahasa Indonesia. Mereka berdua kelihatan sangat bahagia. Terobati sudah cemas sejak adik bungsuku itu dibawa ke negeri orang. Aku lihat Mama juga terlihat bangga.
Ah ya, walau kusebut keluargaku lengkap, sebenarnya tidak juga. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Dama tidak datang. Tadi Papa-Mama ke sini ikut Mbak Norma dan Mas Jono.
Waktu kutanya Dama ada di mana, Mama malah menjawab ketus, Mana mungkin dia ikut" Dia malu ketemu orang-orang!
Apa betul itu alasannya" Aku juga tak tahu, tidak pernah ku tanyakan pada Dama. Meski kutanya, kemungkinan besar dia juga tidak mau jawab. Dia sangat tertutup. Mungkin saja Mama benar, mungkin dia malu jika ditanya, terlebih oleh keluargaku: sekarang kerja di mana"
Sudah lama sekali dia menganggur. Papa, Mas Darwin, Mbak Norma, sering menegur; sedang Mama mengaku sudah ca pek membicarakan itu. Aku sempat mendiskusikan masalah ini dengan Abang, tetapi Abang juga tidak berani ambil risiko mem pekerjakan Dama. Kita semua tahu Dama orang yang emo sional dan kurang tanggung jawab. Tidak enak nanti sama Ayah-Ibu dan saudara-saudara Abang yang lain kalau adikku sampai me ngacau. Mungkin itu juga alasan Mas Darwin, Mbak Norma, dan Mas Jono enggan turun tangan.
Dulu Dama sempat bicara ingin berwiraswasta, pernah juga dia ikut pemasaran-berjenjang. Pernah dia minta pinjaman uang untuk modal usaha aku sudah tidak ingat usaha apa se tengah memohon karena dia tahu sebenarnya Abang dan aku bisa membantu; sempat berkata padaku agar tidak cerita pada Mama dan Papa. Ia berbicara juga pada Mas Darwin dan Mbak Norma, tapi nampaknya sama tanpa hasil. Waktu itu rencananya bocor juga ke telinga Papa-Mama, setelah seorang paman menelepon dan bercerita Dama pernah mengontaknya untuk pinjam dana. Papa-Mama marah besar karena merasa dipermalukan. Sejak saat itu kita semua tak pernah mendengar lagi kelanjutan rencana bisnis Dama. Dan kalau aku tak salah ingat, sejak saat itulah ia tidak pernah muncul lagi di acara ke luarga seperti ini. Mungkin Mama benar, dia malu... atau dia marah terhadap kami semua. Jika benar dia marah, aku yang akan lebih marah padanya. Itu membuktikan ternyata dia memang orang yang mau menang sendiri. Yah, tapi aku tidak sempat memikirkan itu semua, aku sudah sibuk kerja dan me - ngurus anak-anak. Mungkin le bih baik andai dia beristri, tapi siapa mau menikahi lelaki tak ber peng hasil an yang masih disokong kakak-kakaknya"
Wah, kok jadi cerita panjang soal Dama" Mungkin karena, s e sung guhnya aku agak tersinggung dia tidak hadir malam ini di tempatku, di pestaku. Sudahlah, cukup tentang anak itu. Inti nya, pesta berjalan lancar. Tepat jam dua belas, Abang dan saudara-saudaranya menyalakan petasan dan kembang api yang me luncur ke angkasa. Seperti biasa, kami sekeluarga men cium pipi Papa-Mama, para cucu juga mengantri memberi salam. Papa-Mama sudah tua, entah berapa tahun-baru lagi kami masih bisa ber sama. Walau tidak sempurna, keluarga kami adalah keluarga ba hagia. Dan kuharap kebahagiaan ini boleh kami alami untuk seterusnya....
Aku terbangun, menyadari diriku sudah lama tak bermimpi. Sebuah iklan baris, di surat kabar yang sedang kubaca: Dijual cepat. Toko/Rumah. Masih berjalan. Omset bagus. Kuangkat tele pon, menghubungi nomor yang tercantum.
Terdengar suara seseorang yang mengaku bernama Ibu Nalik. Maaf, anda agen atau pembeli"
Saya pembeli, Bu. Silakan saja datang kemari.
Selepas isya, aku tiba di sana. Tempat itu terlihat sempurna; terletak di sudut permukiman ramai, mungil di tepi jalan padat kendaraan. Sebuah toko Proviand en Drank renta tanpa papan nama, beretalase jendela kusen kayu. Rak pajangnya dari aluminium lama yang tebal-kekar, kaca-kacanya masih kokoh walau sudah sedikit buram di beberapa tempat. Hanya ada dua pe ngunjung sedang melihat-lihat di dalam. Di balik meja kasir, di antara tumpukan barang dagangan, tampak pemiliknya yang juga sudah lanjut usia: wanita gemuk berkulit legam yang kini ter senyum ramah. Sorot mata di balik sepasang lensa plus itu langsung membuatku merasa nyaman; mengingatkanku pada Ibu.
Sendirian saja, Bu" Kedai ini terlalu kecil untuk dijaga banyak orang... Pembantu saya sudah pulang pukul enam tadi.
Tutup jam berapa" Sebentar lagi, setiba waktu saya santap malam. Tak ada jadwal pasti... Kadang masih ada yang mengetuk sesudah tutup pintu.
Aku mengangguk, lalu melongok ke sana-sini.
Silakan saja melihat ke belakang, saya selesaikan melayani pembeli.
Tidak apa-apa, biar saya tunggu.
Setelah dua orang tadi pergi, aku diantarkan menuju bagian belakang bangunan.
Eh...Tokonya ditinggalkan terbuka, tidak apa-apa..." Tidak masalah, jawab Bu Nalik. Daerah ini aman. Lagipula... siapa yang tega merampok saya"
Sekarang banyak penjahat, Bu....
Sejak dulu orang jahat lebih banyak dari orang baik! Perempuan itu terkekeh. Yang penting kita jangan takut... Silakan ambil saja, tanggung sendiri dosanya!
Aku tersenyum. Di balik dinding kedai, terdapat koridor sempit diapit kebun kecil penuh bunga di sisi kiri dan dua kamar berderet di kanan me nuju dapur yang menyatu dengan ruang makan, kamar man di, serta pelataran tempat cuci yang menempel ke dinding tetangga; di situ ada sebuah tangga kayu, menuju teras jemur di atap.
Mau dijadikan tempat tinggal, atau..." tanya wanita itu. Saya justru tertarik tokonya.
Oh, mau mengembangkan usaha"
Sedang terpikir untuk punya penghasilan sampingan. Mungkin nanti istri yang mengawasi, berhubung saya masih kerja kan toran.
Aku terjaga, memahami diriku sudah lama tak bercita-cita. Sebuah kolom promosi, di portal langgananku: Wiraswasta Warung Serba Ada. Dengan bersemangat kutekan tombol tetikus, mengakses situs utama jaringan waralaba itu. Setelah jeda siang, kusempatkan mengunjungi alamat yang tertera.
Hmm... Besar juga investasinya ya" Aku mengusap-usap dagu.
Saya kira jumlah itu sangat wajar untuk kondisi sekarang. Dan jangan lupa: jika berjalan lancar, kami perhitungkan akan mencapai titik-impas dalam jangka empat tahun saja, Pak, jawab pemasar bernama Darwin, yang tersenyum penuh keyakinan.
Bisnis apa lagi yang tahan di segala cuaca" Dan cocok bagi pemula seperti Bapak"
Aku mengangguk-angguk. Bapak sudah punya lokasi" tanya lelaki itu. Kebetulan belum ada.
Mungkin rumah Bapak" Siapa tahu sesuai jika perijinannya me mung kinkan"
Saya rasa kurang memadai... Apalagi areanya agak ke pe losok.
Kalau begitu, silakan Bapak cari di daerah yang sesuai kriteria kami, nanti akan kami adakan inspeksi. Bebas biaya! Aku kembali terangguk-angguk, kali ini ikut tersenyum. *
Aku tersadar, terkenang diriku yang sudah lama tak terinspirasi. Sebuah berita-pariwara, di stasiun televisi yang baru kutonton: Proil Sukses. Aku tersenyum; melirik istriku yang sedang menyuapi Bagus, anak tunggal kami, tak jauh dari tempatku duduk.
Coba lihat ini, Ma. Istriku hanya menjenguk layar sekilas, sama sekali tak antusias.
Aku mendengus. Aku tak berminat terus-terusan jadi kuda be ban sampai sekarat, omelku dalam hati. Sudah ratusan kali kubahas hal ini dengan istriku, perdebatan yang timbul selalu itu-itu saja: Mau usaha apa" Modalnya dari mana"
Kalau aku tahu jawabannya, aku tak akan diskusi denganmu! ujarku kesal suatu hari.
Kita harus sadar, Bang... Turun-temurun kita cuma pekerja! Ma! Ini tidak ada hubungannya dengan bakat atau takdir! Semua tergantung ikhtiar dan kerja keras kita!
Tapi bagaimana jika gagal"
Belum mulai sudah mengharap gagal! Bukan berharap, Bang... Cuma berjaga-jaga.... Itu sama saja menyumpahiku, tahu"
Lihat orang-orang di acara ini; aku sama sekali tak berbeda de ngan mereka. Kalau mereka bisa, aku pasti juga mampu. Bebe rapa minggu lalu, aku sudah bertemu orang bank, membawa foto kopi akte rumah; tanpa seizin istriku tentunya. Di atas kertas tak ada masalah. Tinggal bagaimana caraku memberi pengertian padanya bila tiba saat tandatangan kontrak. Dana belum juga mencukupi" Aku masih punya simpanan walau tak se berapa. Di mana ada keberanian, di situ ada jalan. Masih ada pin jaman tanpa agunan, masih ada kartu kredit, ada saudara dan teman. Seribu-satu cara. Lihat saja kalau nanti aku yang masuk TV....
Aku tergugah, teringat diriku sudah lama tak berambisi. Sebuah talkshow, di radio yang tadi kudengar: Seminar Sehari Cara Kilat jadi Konglomerat. Saat mobilku berhenti di lampu merah, ku ke luarkan ponsel dan mencatat angka-angka yang dibacakan berulang-ulang oleh si penyiar.
Lelaki yang duduk di jok kiri tiba-tiba angkat bicara, Kau mau ikut acara macam itu"
Aku menoleh; mengembus asap rokok. Apa maksudmu, acara macam itu"
Pria di jok kiri, rekan kerjaku yang hampir tiap hari menumpang dalam perjalanan pulang, mengangkat bahu dan mencibir. Yah... Kau tahu kan" Mayoritas isinya hanya omong besar....
Aku mengerutkan alis. Kamu tidak dengar kesaksian orangorang tadi"
Pro-mo-si! ia terbahak. Iya aku tahu! Tapi beberapa di antaranya pasti ada yang benar!
Berapa banyak" Bro, kutepuk lengan sahabatku itu. Dalam segala jenis kompetisi, yang menang jumlahnya pasti sedikit sekali; mungkin satu-dua saja. Sementara yang gagal ada jutaan! Kau pikir pegawai seperti kita tidak menghadapi situasi yang sama" Lantas apa bedanya dengan judi"
Hidup itu pertaruhan, kawan! Kini giliranku yang tertawa. Sewaktu dilahirkan, peluang kita antara ada dan tiada mungkin saja ifty-ifty! Nah, tinggal bagaimana caranya memperbesar harapan untuk selamat: gizi yang cukup, bidan yang mahir... Itu lah gunanya menambah pengetahuan. Meningkatkan kemung kin an kita untuk berhasil!
Yakin kau akan dapat pengetahuan"
Aku tergelak. Begini saja deh... Jika aku sudah makmur nanti... kamu, istri dan anak-anakmu aku traktir di restoran yang paling enak. Bagaimana"
Lelaki di jok kiri itu menyeringai, mengangkat jempol. Aku berpaling kembali ke jalan, menyelipkan telepon genggam di saku celana; mengisap sigaretku. Aku tersenyum. Penuh keyakinan. Lampu lalu lintas berganti hijau.
Aku mengangguk. Baik... Untuk saat ini saya rasa cukup. Nanti akan saya beri kabar setelah tempat ini disurvei, kataku. Mungkin perlu saya berikan panjar dulu" Besok"
Jika memang tempat ini dinilai cocok, saya bersyukur sekali, jawab Bu Nalik. Namun sebelumnya, saya punya satu per mintaan jika nanti anda sudah jadi membeli tempat ini. Saya ingin anda berjanji.
Janji apa, Bu" Mari. Ikut saya.
Aku mengekor langkah wanita itu keluar dari pintu toko, me nuju halaman depan.
Anda lihat orang yang duduk di trotoar"
Aku menyipitkan mata. Betul. Ketika datang tadi, aku tidak memerhatikan: Di bawah temaram lampu jalan, tepat di muka tempat itu, ada seorang tuna wisma menggelosor dekat selokan. Lelaki uzur itu bercelana compang-camping, kepalanya plontos. Tubuh gering dan wajahnya yang kerut-merut dekil terbalur debu. Pandangannya kosong, tak hirau orang dan kendaraan yang melintas.
Ada apa dengan orang itu"
Jika jadi memiliki tempat ini... jangan anda usir dia& . Aku terperangah.
Tidak perlu kuatir, dia tak pernah mengganggu. Selama ini saya yang selalu memberinya makan. Tapi jika nanti anda tidak mau, tak perlu anda paksakan... Saya rasa... moga-moga... dia bisa cari sendiri....
Aku menahan geli. Apa tidak pernah diangkut petugas" Dulu sering... Dia melawan.... Mata Bu Nalik menerawang. Waktu itu, saya dan almarhum suami, membela dia. Orang sekitar sini yang kenal siapa dirinya, juga membantu. Kalau tidak... mungkin dia sudah mati dipukuli... Kami beri jaminan dia tak akan berbuat onar. Akhirnya dia dibiarkan... Berkali-kali juga warga mengusahakan supaya dia bisa berobat, namun dia tak pernah mau dipindahkan terlalu jauh dari sini. Aku makin terheran. Memangnya... siapa dia" Beliau pemilik tempat ini sebelum saya. Aku menatap Bu Nalik.
Bu Nalik tersenyum. Betul... Orang itu yang dulu punya rumah dan toko ini, sebelum saya ambil alih... dua puluh satu tahun yang lalu.
Apa yang terjadi" Bu Nalik menghela napas. Terjerat utang. Semua harta disita. Ditinggal anak-istri... Kemudian tempat ini dilelang.... *
Aku terbangun. Jamuan diadakan sederhana di restoran favorit Papa-Mama dulu, sekaligus nostalgia keluarga kita. Tadinya sempat agak malas mengadakan acara ini, apalagi tahun-tahun belakangan ke uangan kami semua tidak terlalu bagus. Namun akhirnya Mbak Norma berhasil, setengah memaksakan, makan bersama tetap terselenggara. Dibayar patungan, tapi tetap saja porsi Mbak Norma paling sedikit. Untuk Mas Darwin aku masih bisa me ngerti, karena kondisinya sedang sulit. Tapi bukan berarti aku dan Abang harus berkontribusi paling besar kan" Cuma sudahlah... Tidak akan kuperpanjang masalah. Yang penting kita bisa ber kumpul.
Seperti tahun lalu, Nissa juga tidak bisa mudik. Padahal semua sudah kangen melihat Jenny. Jenny pasti sudah besar sekarang. Apa boleh buat, perjumpaan terpaksa harus tertunda lagi. Namun kami tidak pernah kekurangan anggota keluarga. Prissy datang bersama Frans, suaminya, lengkap dengan Alia dan Alex kecil; Arman dengan tunangannya; Prika, Olive, dan anakku, dengan pacar mereka masing-masing; dan Kris. Meja makan kami bertambah besar dari tahun ke tahun.
Tetap saja teringat yang sudah tidak hadir: Papa dan Mama. Selagi bersantap, sebuah pesan singkat dari Nissa masuk ke ponselku: Selamat Tahun Baru. Kalian pasti sedang makan ber sama. Andai kami bisa ke sana. Jadi ingat Papa, Mama... Kugulirkan layar SMS ke bawah: dan Mas Dama.
Saat itu aku baru ingat dirinya.
Dama juga sudah lama sekali tidak berada di tengah kami. Sudah lama tidak ada yang membicarakan dan menanyakan. Sejak diputuskan melego rumah peninggalan Papa-Mama, kemudian hasilnya kami bagi rata, Dama pindah ke sebuah rumah kos. Sejak itu kami anggap tidak perlu menghidupinya lagi. Kami kira dia harus bisa belajar mandiri dengan uang bagiannya.
Untuk beberapa waktu dia masih bisa dihubungi. Selalu kutelepon bila ada acara keluarga, terakhir pernikahan Prissy, dan seperti biasa dia tidak muncul. Hingga tiba-tiba dia mengirim sebuah surat elektronik pada Nissa. Isinya mohon pamit, ingin me mulai hidup baru, minta maaf atas semua kesalahan pada kami. Nomor selulernya tidak lagi bisa dikontak. Dan saat Abang mendatangi tempat kosnya, dia sudah menghilang. Tak seorang pun tahu keberadaannya. Kami sempat minta bantuan polisi melacak, tapi hingga kini, empat tahun kemudian, nihil.
Saat itu aku baru ingat, sejak kecil Dama memang paling menyayangi Nissa; mungkin karena usia mereka berdekatan. Saat itu aku juga baru ingat, terakhir kali satu-satunya kesempatan setelah sekian lama absen di mana Dama menghadiri acara keluarga, adalah waktu pesta pernikahan Nissa. Di situ dia me nyendiri, tampak sangat tua; matanya berkaca menatap pela minan. Setelah itu tak pernah hadir lagi. Dia bahkan tidak ada saat pemakaman Papa dan pemakaman Mama....
Nanti dulu. Nanti dulu. Salamsejahteramohonmaaf. Apa ini"
Salam sejahtera. Ini bukan ingatan. Aku tidak pernah ingat kejadian ini. Rasanya aku tidak pernah mengalami hal ini. Ini bukan mimpi, karena aku tidak ingat pernah bermimpi seperti ini. Bukan deja-vu, sebab aku tidak merasa pernah merasa seperti begini sebelum sekarang. Ini bukan ingatanku. Bukan kenangan.
Mohon maaf. Apa ini khayalan" Sebentar. Aku tidak sedang berfantasi, lalu tiba-tiba semua ada dalam benak, begitu saja. Salam sejahtera. Mohon maaf.
Yang mendadak terlintas dan terserap di kepalaku tepatnya bukan sebuah kejadian. Bukan pengalaman atau tulisan. Bukan suara atau kata-kata. Melainkan seperti serentet kalimat, walau tidak ada rekoleksi sama sekali di mana dan kapan aku pernah mem baca kalimat demikian.
Sebentar. Tidak bisa kuingat juga siapa orang yang mungkin pernah mengucapkan. Seperti dicetak ke dalam otak saat ini juga.
Salam sejahtera. Mohon maaf. Anda tidak perlu kaget atau panik.
Aku tidak kaget dan panik. Aku heran. Detik sebelumnya tiada, detik setelahnya aku seperti hapal. Seperti.
Ini bukan bisikan gaib. Bukan juga memori anda. Anda tidak sedang bicara dengan diri sendiri.
Ah ya. Lalu apa ini sebenarnya"
Saya bukan iblis atau malaikat. Dan tentunya bukan Tuhan. Saya bukan suara batin anda. Bukan makhluk angkasa. Saya ma nusia. Tapi saya bukan anda.
Ah ya. Jadi siapa kau sebenarnya"
Anda tidak akan bisa mengingat kapan, di mana, atau dari siapa anda memperoleh ingatan ini, karena memang saat anda men dapat ingatan ini, jika anda bisa menerima ingatan ini, kalimat yang saya ucap ini belum pernah dikatakan pada anda. Saya ulangi, belum pernah dikatakan pada anda. Ingatan ini datang dari masa depan.
Ingatan ini datang dari masa depan. Dari masa setelah anda. Dari seseorang yang tidak akan anda kenal.
Aku terkekeh. Tidak ada yang namanya ingatan dari masa depan. Tidak mungkin mengingat sesuatu yang belum terjadi. Mungkin hari ini, akhirnya, aku benar-benar gila.
Ini adalah sebuah pesan. Pesan pribadi saya untuk anda. Atau lebih tepatnya, sebuah permohonan.
Istilah pesan rasanya lebih cocok dari ingatan, atau bisikan. Tetapi apa maksud permohonan "
Jika pesan saya berhasil terkirim pada anda, dalam urutan yang benar, seharusnya anda akan menerima pesan pertama saya ini paling awal.
Pesan awal" Setelah ini akan ada yang lain" Dan benar, saya memang sangat bingung, tetapi sama sekali tidak panik.
Untuk menghindari kebingungan atau kepanikan saat anda menerima pesan ini, saya tidak akan mengirim seluruh pesan secara utuh sekaligus. Saya akan memberikan pesan satu demi satu, yang saya harap akan dapat anda terima dalam jarak waktu sehari demi sehari.
Jadi... bakal ada lagi kejadian seperti begini" Jika terulang kem bali, apakah itu membuktikan aku masih waras, atau memang betul sudah sakit mental"
Mudah-mudahan tidak ada urutan pesan yang salah. Tetapi bila memang terjadi, efeknya tidak akan signiikan karena setelah anda mendapat semua pesan saya, anda akan mampu merangkai sendiri semuanya sebagai satu ingatan utuh dalam pikiran anda.
Sekian dulu pesan pertama saya. Sekali lagi saya ulangi, ini bukan delusi. Pesan ini benar ada. Bukan produk imajinasi anda. Anda tidak sakit jiwa. Terima kasih. Salam sejahtera.
Mengaku bukan suara ajaib, berani mengatakan aku tidak gila. Hebat. Ada sesuatu yang mengaku manusia, memberi pesan ke dalam kepalaku, dan ini baru kali pertama. Hebat. Te tapi ngomong-ngomong, anda ini siapa" Ah ya, anda dari masa depan . Saya tidak bakal kenal anda . Tetapi anda yang mengklaim bukan malaikat atau Tuhan paling tidak harusnya bisa menyebut nama!
Terima kasih, salam sejahtera! Terima kasih. Salam sejahtera. Nanti dulu.
Salam sejahtera. Mohon maaf. Anda tidak perlu kaget atau panik. Sebentar.
Aku bertemu dirinya secara tak sengaja.
Sebetulnya, pertemuan bukan istilah tepat, karena dia tidak melihat aku. Atau pura-pura tidak lihat. Atau dia memang sama sekali tak mengenaliku. Entah mana yang benar. Aku juga cuma me mandang dari kejauhan, menatap dia berjalan di koridor mal, dari balik kaca rumah makan tempat aku sedang duduk bersama kawan-kawan. Kubenahi posisi kacamata dan kupicingkan mataku. Tidak salah lagi; itu memang dia. Ia berjalan di samping kereta bayi yang didorong oleh seorang pengasuh. Itu anaknya; sekitar enam bulan usianya. Nampak montok dan sehat, bermata terang; mirip anakku waktu seumur itu dahulu. Sebab itulah aku mengenalinya. Jika tidak, mungkin aku tak ingat dirinya. Wajar saja, aku belum pernah jumpa em pat-mata. Aku melihat wajah nya hanya pada sebuah foto buram di dalam ponsel. Itupun cuma sekali. Ternyata ingatanku ma sih cukup tajam. Ia begitu cantik. Sudah kembali langsing setelah bersalin. Tetapi di masaku, aku juga cantik. Bahkan jauh lebih cantik.
Tiap bulan arisan diadakan bergilir. Biasanya diselenggarakan di rumah masing-masing, tapi kali ini Nissa mengundang kami se - mua santap siang di sebuah pusat perbelanjaan terkenal; sekali gus merayakan ulang tahun putrinya. Seluruh ruang restoran dipesan. Setengah untuk Jenny dan teman-temannya, sisa nya untuk kami para ibu dan nenek. Jenny tampak manis de ngan riasan yang menurutku sedikit terlalu menor untuk gadis empat belas tahun. Tetapi mungkin Ibunya lebih mengerti mode anak sekarang. Kala aku sepantar dengannya, gincu saja tak di perbolehkan.
Subuh itu, Ibu memberikan sebuah bungkusan kecil. Isinya kain pem balut. Ia tersenyum lembut dan membelai rambutku. Air mukanya terlihat bangga.
Kamu sekarang sudah dewasa, katanya. Kini kamu seorang wanita.
Kubalas senyumnya. Tadi aku merasa ngeri, tapi sekarang tidak lagi. Kulihat mata ibuku.
Aku ingin menjadi wanita. Aku ingin seperti dia.
Kutatap dia tanpa berkedip hingga lenyap dari bidang pandang. Kujulurkan kepala hingga hampir menyentuh kaca, tapi ia sudah tak terlihat sama sekali. Sepersekian detik, ada keinginan untuk bangkit berdiri. Tapi setelah itu apa" Mengejarnya" Lihat apa, Mbak"
Aku tersentak. Rupanya Bu Fatma yang menegurku. Ia ikut me longok ke arah luar, matanya mencari-cari.
Oh, bukan apa-apa, Bu... Tadi ada orang yang sepertinya aku kenal... tapi rupanya bukan, sedikit tergagap aku menjawab. Oh begitu... Saya kira ada artis atau siapa, Bu Fatma terkikik. Aku tersenyum, tiba-tiba saja tak berselera.
Kukunci pintu kamar mandi. Dan ketika becermin, aku tak mengenali lagi; yang kulihat disitu seperti bayangan Ibu. Semasa aku kecil, Ibu anggun sekali. Tapi yang kulihat sekarang tidak.
Kuangkat gunting di genggaman, kutempelkan ke pergelangan.
Aku tak peduli sakit. Perempuan tidak pernah peduli rasa sa kit.
Kubasuh selangkanganku. Perih. Aku merasa sedikit tertipu. Kata orang, malam pertama itu indah; tapi yang ini rasanya lebih dekat dengan sebuah peperangan. Sedikit kebinatangan. Kudengar pintu diketuk.
Boleh aku masuk" suara Abang di balik sana.
Segera kuselesaikan berbilas. Kuambil handuk dan kututupi diri ku, lalu kuputar anak kunci. Pintu terbuka. Abang menatapku sambil tersenyum.
Kenapa dikunci" Malu" godanya. Di matanya aku dapat meli hat sebuah kepuasan.
Lalu ia mendekat, menarik lepas kain pembungkus tubuhku, dan memelukku erat. Dapat kurasakan kelelakiannya kembali bang kit saat menyentuh kulitku.
Kamu seperti malaikat..., gumamnya sambil mencumbu leher ku.
Aku tersenyum. Malam itu sudah kubuktikan, aku wanita se jati. Dan malam itu aku yakin ia akan jadi milikku. Selamanya.
Aku tergeletak lemas, wajahku pucat. Tahun-tahun belakangan kondisiku seringkali kurang prima, tapi tak kusangka akan terjadi mendadak seperti sekarang. Teman-temanku sibuk memberi ban tuan. Aku telah merepotkan mereka di sini; dalam suasana gem bira ini. Dari ekor mata dapat kulihat Jenny dan beberapa kawannya berkali-kali mencuri pandang ke arahku dari kejauhan. Aku sadar sudah merusak semuanya.
Kupanggilkan sopirmu ya" Kata Mbak Sinta. Aku mengangguk pelan.
Kurogoh telepon genggam di tasku dan kuberikan pada nya. Nomor selular sopirku ada di sana, tidak perlu repot meng hubungi pe tugas pemanggil-kendaraan.
Kulihat Nissa berbicara dengan seorang pramusaji, ia mena nya kan apakah tersedia kursi roda untuk membawaku. Pramusaji itu mengangguk dan berlari ke luar.
Lebih baik segera ke dokter, Jeng, kata Bu Qory yang duduk di sampingku.
Aku menggeleng sekuat tenaga. *
Aku terisak. Mataku sembab. Salahku apa, Bang" tanyaku. Dia tidak menjawab.
Apa karena aku sudah tidak menarik lagi" Abang tetap diam. Tak berani menatap mataku.
* Kapan kau akan pulang" tanyaku.
Mungkin minggu depan. Urusan di sini belum selesai. Masih butuh pengawasan, jawab Abang di ujung telepon. Jaga diri ya, Bang"
Oke. Sampai nanti. Dia menutup sambungan.
Kini putraku sudah tak ada. Dia di Nederland. Sekolah, beker ja, berkeluarga; dan sesudahnya dia tidak pernah kembali. Di sini tak ada apa-apa untuknya. Di kartu pos, dia selalu bilang rindu padaku.
Sementara, biar sudah tidak muda lagi, Abang tetap sibuk dengan bisnisnya. Makin besar perusahaan, makin tinggi kewa jib an. Tinggal aku sendiri, menjaga tanaman di kebun tetap meng hijau, lantai-jendela terus mengilat, nasi dan teh hangat ber kepul terhidang di meja. Menunggu bila sewaktu-waktu dia pul ang.
Jika tak ada yang datang, kadang terpaksa kuberi makan para kucing jalanan yang mengais tong sampah.
Entah sudah berapa puluh, berapa ratus, kuntum bunga di ke bunku yang kembang dan kuncup tanpa kehadiran siapasiapa. Setelah anak kami besar, tadinya kukira aku dan Abang akan lebih sering meluangkan waktu berdua; seperti dulu. Waktu ia senang memandangiku lekat. Waktu ia tergila-gila pada ku.
Semua ada masanya. Walau selalu disirami, lama-kelamaan tanaman di kebun itu tetap saja layu dan mati.
Kuletakkan gagang telepon yang sudah tak bertuan. *
Aku duduk di kursi roda. Seorang petugas keamanan mendorong ku menuju pintu utama, ditemani Nissa dan Mbak Sinta. Di sana sopir pribadiku akan menjemput. Aku berlalu di depan de retan toko, di bawah tatapan sekian banyak orang. Entah kenapa meski dalam kondisi begini, untuk sesaat, aku merasa seakan kembali hidup.
Subuh itu aku terjaga karena rasa lembab di antara kedua kakiku. Awalnya kupikir aku mengompol seperti bayi. Tapi saat ku - sing kap selimut, aku terkejut. Kukira aku bermimpi. Aku seperti kem bali ke pagi di usia empat belas. Dan setelah itu aku menjerit; me nangis; lalu Ibu datang dan membelai rambutku.
Namun akhirnya aku sadar ini bukan mimpi; Ibu sudah lama tiada. Kamar ini kosong. Hanya ada diriku sendiri. Yang berikut nya terlintas di benakku adalah sebuah pertanyaan, dan terngiang suara Ibu: kini kamu seorang wanita.
Apakah Abang akan kembali mencintaiku"
Cukup lama kami menunggu di lobby. Akhirnya mobilku tiba di teras, dan mereka bergegas mendorong kursi-rodaku ke luar. Di situ tanpa kuduga, kembali kulihat dirinya.
Sebuah sedan mewah, yang berhenti tepat di depan mobilku, menjemput dia. Anaknya berada dalam dekapan; tampak tertidur pulas. Pengemudi kendaraan itu turun, membukakan pintu, dan membantu si pengasuh menaikkan kereta bayi dan barang belan jaa n ke bagasi.
Namun ketika aku melintas sangat dekat, kulihat wajah perem puan itu ternyata berbeda. Dan aku baru sadar, mereka bukan orang-orang yang kusaksikan sebelumnya. Aku terkesiap. Kukerjapkan mata dan kuperhatikan lebih jelas, tetapi makin lama makin nyata bahwa wajah bayi itu pun tak sama. Sama sekali tidak mirip anakku.
Siapa, Mbak" Aku kembali tersadar. Nissa yang bertanya. Ia dan Mbak Sinta kini ikut menatap ke arah wanita yang sedang kucermati.
Bukan.... Aku menggeleng lemah. Bukan siapa-siapa.... Entah apa kini wajahku yang pasi sedikit bersemu merah. Mudahmu dahan kedua temanku tak memperhatikan.
Selagi petugas keamanan dan sopirku memapah aku ke mobil, wanita itu dan anaknya sudah naik ke dalam sedannya, me nutup pintu. Dan pergi.
Gemetaran, aku bangkit dari pembaringan pelan-pelan. Tertatih menuju kamar mandi. Seluruh bagian bawah baju tidurku kuyup. Aku kini sudah bukan orang yang sama: aku tak bisa me rasakan apa pun lagi.
Ingin kuhubungi Abang, dan kukatakan: aku butuh pertolongan.
Tetapi tidak mungkin kuhubungi dia, nomornya sudah tidak aktif lagi. Sudah tiga tahun ia tidak pulang. Entah ada di mana. Aku bingung.
Langkahku terhenti tepat di tepi meja rias di depan kamar mandi. Tanpa berpikir, kubuka salah satu lacinya, mengambil gunting besar yang tersimpan di sana. Aku tahu kali ini tak akan ada yang datang.
Aku membuka mata. Pandanganku buram. Lama sekali, perlahan baru mulai lebih jelas. Aku menatap langit-langit sebuah ruangan. Apakah ini kamar tidurku" Rasanya bukan. Sepertinya lain.
Badanku kaku. Tiba-tiba terdengar suara sayup-sayup di dekatku. Lalu suara-suara lainnya& .
Sebentar. Itu bukan suaraku. Ada orang& Ada beberapa orang di sekitarku. Berbisik-bisik. Tetapi aku tidak bisa melihat mereka, kepala tidak bisa kugerakkan. Aku tak bisa merasakan wajahku. Mataku tak bisa digerakkan. Suara siapa itu" Siapa mereka" Aku tak menge nalinya.
Kudengar orang-orang di sekelilingku bergerak ke sana-sini. Bergumam, berbicara pelan satu sama lain. Nada suara mereka seperti panik& atau mungkin ketakutan. Samar-samar kudengar mereka bicara. Apa yang mereka perdebatkan" Di mana aku sebenarnya"
Tiba-tiba muncul dalam sudut pandangku, seorang lelaki sete ngah baya berkacamata. Aku tidak kenal siapa dia. Ia menatap ke arah mataku. Ada sesuatu yang menempel di wajahku yang mati rasa. Tangan. Tangan memegang wajahku. Tangan ber sarung karet. Jemari itu menahan kelopak kananku. Pria pirang itu me nyo rotkan senter kecil ke arah bola mataku. Kemudian jemarinya ber pindah membuka kelopak kiri dan kembali me nyorotkan kilatan sinar ke retinaku. Sambil melakukan itu, pria ini sibuk berceloteh, rupanya dengan orang-orang di ruangan ini yang belum terlihat dari persepsiku yang amat terbatas. Apa yang mereka bicarakan" Kata-kata yang artinya tidak kupahami.
Dari arah di bawah kakiku ada suara-suara lain. Namun aku tidak tahu siapa mereka. Aku tak bisa menggerakkan leher.
Saat itu tiba-tiba aku teringat sesuatu. Sesuatu yang sepertinya baru saja terjadi sebelum aku membuka mata. Sesuatu yang seperti dikatakan padaku.
Tetapi sebelum aku bisa mengingat benar kejadian itu, sedetik kemudian memori-memori lain membanjir bagai air bah. Dalam sesaat tiba-tiba membayang di pelupuk mata cium Mama dekap Papa main petak umpet bersepeda temanteman taman kanak-kanak berenang teman-teman juara kelas regu basket jerawat pertama cinta pertama Nanti dulu.
(Oh& tidak& ) Aku ingat. Aku ingat& mengapa aku berada di sini! Oh tidak& .
Tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Lidahku kelu. Leherku langsung terasa sesak. Cairan ludah membanjiri seisi mulutku. Aku tersedak.
Pria pirang itu menahan tubuhku. Meneriakkan sesuatu. Kini tampak di sebelah kanan seorang wanita berbaju putih, juga ikut memegangiku.
Kini aku mengerti. Aku berada di rumah sakit Aku panik.
(Aku tahu kenapa aku di sini!) Aku belum mau mati!
Dokter pirang berkacamata memasukkan sesuatu ke dalam mulutku. Ada suara berdengung. Aku tersedak. Ada benda yang mengisap cairan dalam kerongkonganku. Telingaku ber dengung. Dada terasa panas. Ada sesuatu yang menusuk lengan. Udara me nerobos masuk ke tenggorok.
Aku tersengal. Tiba-tiba kepalaku terasa ringan. Pandangan kembali meredup. Aku terengah. Otot tubuhku mengendur. Aku ingin tidur. Dunia sekitar makin lenyap dari kesadaran.
Semua kembali gelap. What s wrong, Mbak" Aku menoleh, Marc sudah ada di sampingku. Menatapku. Aku tersenyum, menggeleng. Tidak apa-apa, Marc. Marc mengangguk, lalu menekan tombol lift.
Ingin kuceritakan padanya apa yang sedang berkecamuk di kepala dan hatiku. Tetapi rasanya tidak mungkin. Tiga hari di Cincinnati, ternyata jadi pengalaman yang tidak pernah kuduga. Atau mungkin memang aku sudah gila"
Gila atau waras, aku tidak bisa cerita pada Marc. Walau dia adik iparku, bertahun-tahun kami tidak pernah tatap muka.
Aku di sini menjenguk Jenny, keponakan tunggalku yang sakit keras. Kata dokter, umurnya tidak lama lagi. Kanker. Sama seperti Mama dulu.
Turunan" Kutukan"
Empat belas tahun usia Jenny sekarang. Sedari dia lahir aku tak pernah jumpa. Hanya foto-fotonya yang dikirim Nissa ke Ja karta.
Sejak pindah ke Amerika, Nissa tidak pernah pulang. Sudah tidak ada apa-apa untukku di sana, begitu kata adikku itu dulu. Kami hanya bisa melepas kangen melalui surat dan sesekali sam bungan interlokal di ulang tahun dan hari raya.
Di negeri ini pula dia berjumpa dengan Marc, menikah dan memperoleh Jenny.
Siapa nyana Nissa mendahului kami semua pergi. Sebuah kecelakaan lalu-lintas merenggut nyawanya. Waktu itu ia menyebe rang jalan, mendorong kereta bayi Jenny. Ditabrak seorang pe nge mudi mabuk. Dua minggu ia sempat bertahan dalam keadaan koma, namun akhirnya takdir berkata lain.
Ajaib waktu itu Jenny selamat. Namun sekarang tampaknya mukjizat sudah mulai habis.
Ketika itu aku tidak punya biaya sama sekali untuk pergi. Aku orang yang pantang berutang. Tetapi untuk situasi seperti itu semua aturan tidak berarti lagi. Dia adikku satu-satunya. Ke sana-ke mari kucari pinjaman, ternyata hasilnya tak seberapa. Marc dan keluarganya juga tidak bisa membantuku. Mereka juga orang susah di negeri serikat ini.
Jadi, baru kemarin aku bisa mengunjungi makamnya. Di sana aku tidak mau menangis, walau sebenarnya ingin sekali. Aku tidak mau menangis karena masih ada Jenny.
Marc, tolong antarkan aku ke gereja, pintaku sesudah kami pu lang dari pekuburan.
Marc yang nyaris tidak mengerti sepatah kata pun bahasa In do nesia, harus berkomunikasi dengan aku yang hampir tak fasih mengucap sejumput pun bahasa Inggris.
The church" kataku setelah istilah itu akhirnya mampir di kepalaku.
Oh yeah, ia tertawa. All right then!
Gereja kecil yang indah itu sepi sekali. Hanya ada satu mobil di pekarangannya. Tidak nampak ada orang lalu-lalang.
Di gerbang depan Marc mempersilakan aku masuk. I ll just wait out here, katanya sambil tersenyum.
Aku melangkah melewati ambang lawang, kemudian Marc me nutupkan daun pintu. Di dalam juga tak ada siapa-siapa.
Interiornya ternyata tidak berbeda dengan gereja di tanah air. Hanya saja ternyata Marc mengantarku ke gereja yang yah, kurang tepat. Tetapi bagiku sama saja. Biar tempat ibadah ber aneka, Tuhan tetap sama.
Aku berjalan pelan mendekati mesbah altar, melewati deretan bang ku-bangku panjang yang melompong. Aku menoleh ke ka nan-kiri, tetapi entah mengapa akhirnya kuputuskan untuk ber lutut di lantai, tepat di bawah bayang salib kayu besar di ujung ruang.
Aku bertekad tidak mau menangis. Demi Jenny.
Kukatupkan kedua tangan di depan dada, dan menutup mata.
Tuhan, bisikku dalam hati.
Entah berapa kali aku harus mengalami ini. Entah berapa kali lagi aku harus mengalami hal ini. Tetapi Kau tahu aku sekarang sudah tidak punya siapa-siapa. Jenny anak Nissa, Ya Tuhan. Jadi kuanggap dia juga anakku.


Premortem Karya J.angin di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jadi kini tinggal dia satu-satunya yang tersisa& . Doaku terhenti. Leherku tercekat. Berat rasanya membendung air mata, tetapi tadi aku sudah berjanji.
Aku sudah berjanji& Aku tak mau menangis lagi. Aku tidak mau menangis untuk Jenny. Jadi& .
Kukuatkan hati untuk melanjutkan.
Kurasa& itu berarti& ini adalah kesempatan satu-satunya yang tersisa untuk kita& Ini& kesempatan terakhir& .
Mataku terasa amat basah. Aku tidak bisa memegang janjiku.
Ini kesempatan terakhir untukMu& .
Aku masuk ke kamar tempat Jenny berada untuk berpamitan. Ia terlihat lemah di ranjangnya. Di hidungnya terkait selang oksigen. Namun ia masih merelakan tenaga untuk tersenyum dan merentang kedua lengannya lebar-lebar.
Kusambut tubuhnya yang kurus, dan lagi-lagi kulanggar untuk kesekian kali sumpahku.
Ingin rasanya terus mendampingi dia, tetapi tiga hari ini saja sudah begitu merepotkan bagi Marc dan keluarganya. Aku tinggal di apartemen orangtua Marc. Di situ cuma ada satu kamar. Akibatnya ayah Marc terpaksa tidur di sofa dan aku yang menggan ti kan dia tidur bersama istrinya.
Bye, Auntie& , bisiknya lirih.
Bye, Jenny& Aku yakin kamu akan cepat sembuh, aku yakin kamu akan bisa sembuh, kataku di telinganya, entah dia bisa pa ham atau tidak. Kedua mataku kuyup. Maaf Jenny, aku tak bisa memegang kata-kata, aku terisak dalam hati. Tetapi aku janji& Aku yakin. Ini bukan saat terakhir kita akan berjumpa!
Marc mengeluarkan kamera dari ranselnya. Let s take a nice picture together, katanya sambil tersenyum riang, walau bisa kuli hat pahit luar biasa di dua matanya yang biru. Jenny tertawa. Ia merangkulku erat dan berpose. Cheers! seru Marc.
Aku tersenyum. Ah ya, aku lupa menyeka mata! Buru-buru ku usap kedua mata dengan sebelah tangan. Marc tertawa. Dan be gitu dilihatnya aku sudah siap, ia mengambil gambar beberapa kali.
Cheers! kata Jenny. Kemudian Marc beringsut ke sisi ranjang, mengapitku, Ia me runduk di sebelahku dan membalikkan arah kamera di genggam annya, mengambil gambar kami bertiga.
Oh, Dad, Jenny memandang ayahnya, dan Marc mengangguk me ngerti. Ia bergegas membuka lemari kecil di dekat pintu kamar dan mengambil sebuah buku bersampul merah muda. Dibe ri kannya buku itu padaku.
Open it, kata Jenny sambil menatap mataku. Oh Tuhan, rambut Jenny memang pirang, tetapi saat itu rasanya aku seperti me lihat Nissa waktu seusianya dulu! Hatiku hancur pecah berke ping, namun aku menarik napas panjang menguatkan diri sebisa-bisa nya. Kuseka sekali lagi kedua mata dan sebelum kubuka buku itu, tiba-tiba saja aku mengerti.
Jadi inilah bukumu, Jenny" Kubuka halaman pertama.
Aku ternganga. Jenny tampak senang melihat ekspresiku. Ga dis itu lantas memanduku membolak-balik puluhan lembar isi nya, sampai ke bagian yang masih kosong.
Write for me, bisiknya. Aku berpaling, kembali memandang wajahnya yang tetap can tik walaupun kuyu. Matanya. Ia punya sepasang mata cokelat tua. Mata Nissa.
Marc menyodorkan pulpen. Mulanya aku ragu harus menulis apa.
Perlahan kugoreskan: Cepat sembuh ya Jenny!
Tante selalu berdoa dan Tante yakin Tuhan akan menolongmu.
Tuhan PASTI menolongmu! Kamu PASTI sembuh!
Tanganku bergetar. Kugigit bibirku, menahan emosi meluap. Nanti kalau sudah sembuh, Tante tunggu kedatanganmu di Jakarta! Tante akan buatkan makanan kesukaan Mamamu waktu kecil dulu!
Aku tidak tahu harus menulis apa lagi.
I love you so much Jenny! God loves you so much! Lalu kuberi tandatangan.
Aku sempat ingin menulis: my little angel, tetapi segera kuba talkan.
Tidak, Tuhan. Belum waktunya ia jadi malaikatmu. Tidak kali ini. Kali ini Kau tidak akan ambil dia.
Tiba-tiba aku teringat yang terjadi tiga hari itu. Aku ragu. Haruskah kutulis" Apakah aku sungguh gila bila me nuliskannya"
Apakah dengan menuliskannya, berarti aku percaya bahwa hal itu benar-benar terjadi"
Apakah itu berarti aku ragu doaku akan terkabul" Apakah itu berarti aku meragukan Tuhan" Tidak.
Mungkin aku memang kurang waras. Tetapi aku tidak ragu pada Tuhan.
Kali ini pasti berbeda. Masa depan bisa berubah. Masa depan bisa diubah.
Manusia bisa mengubah masa depan. Tuhan bisa mengubah masa depan.
Akhirnya, kuputuskan untuk tidak menulisnya. Demi Jenny.
Di bandara, Marc menyempatkan untuk mencetak foto-foto kami tadi sebelum mengantarku check-in. Tiap foto dicetak sepa sang, satu set diberikan padaku. Semuanya ada lima lembar.
Please pray for her, ujarnya pelan sambil tersenyum. Please pray hard for her& .
Aku mengangguk. Sebelum aku masuk terminal, Marc menjabat erat tanganku, menatap mataku dan berkata, I m sure someday Nissa would be look just like you today, if she had a chance to live like you& . Kedua mata birunya basah.
Aku sudah berada di pesawat ketika akhirnya bisa merangkai jawaban yang tepat untuknya.
Jika Nissa masih hidup& aku tidak ingin dia jadi seperti aku& .
Aku berdoa tanpa henti untuk Jenny. Pagi, siang, malam, kapan pun aku punya waktu luang di sela pekerjaan. Andai saja aku juga bisa membantu secara inansial. Tetapi penghasilanku memang pas-pasan. Bahkan kini tabunganku sudah ludes untuk biaya pulang-pergi antar benua.
Aku terus bertukar informasi tentang dia lewat surel dan Facebook. Aku tidak punya laptop dan koneksi internet di kos, jadi terpaksa mencuri-curi waktu di antara jam kantor.
Sedetik pun aku tidak pernah ragu. Doaku pasti dikabulkan. Apa yang kualami selagi di sana sudah kulupakan. Kuanggap tak pernah terjadi.
Setelah sembilan bulan menjalani isioterapi, aku dibolehkan pulang. Latihan isik rutin dilanjutkan di rumah.
Semua sudah berbeda. Apartemen kami masih sama, tetapi entah kenapa, aku merasa ini bukan lagi rumahku. Sikap istriku juga berbeda.
Seperti canggung. Apakah karena kondisiku sekarang yang lemah berkursiroda, bicara patah-patah dan banyak melupa"
Apakah karena rahangku yang bergeser dan parut-parut besar di berbagai sudut tubuhku" Kepalaku yang pitak di sana sini, bekas jahitan"
Apa karena aku sudah tidak gagah dan menarik lagi" Apa karena kesalahan yang dulu kulakukan" Apa karena kini aku sudah tidak bisa menafkahi" Aku seperti tidak mengenalnya.
Kami berdua seperti orang asing yang dipaksa hidup satu atap.
Ia seperti menghindar. Disewakannya seorang perawat untukku. Seorang pemuda Indonesia yang enerjik dan ceria bernama Daud. Daud datang tiap pagi, menyiapkan makanan, membantuku makan, me mandi kan, melakukan terapi. Membacakan buku dan surat kabar, menemani nonton televisi. Menemaniku ngobrol, melatihku agar kembali lancar bicara. Mengenalkanku pada internet. Kemu dian pulang sesudah jam makan siang. Sorenya ia bekerja di panti jompo.
Aku tidak mau terlalu merepotkan. Tidak mau membebani lebih dari yang sudah terjadi. Bila istriku pulang kerja larut, aku ber usaha mengerti. Ia bawakan makan malam. Tetapi disiap kannya untukku, dan dibiarkan aku makan sendirian. Dia bilang, dia sudah makan tadi.
Akhir minggu istriku juga harus bekerja tambahan. Ia bilang memang sudah lama begitu. Jika tidak mana mungkin dia sanggup menambal biaya perawatanku di rumah sakit" Ber - untung Daud tidak keberatan bekerja hari Sabtu dan Ming gu, wa lau untuk itu tentu saja kami, istriku, harus mem beri tambahan ba yaran. Jika kebetulan berhalangan, dia selalu bertanggung ja wab mengirim perawat lain yang bisa meng gantikan.
Tidak masalah delapan hingga sembilan jam aku seorang diri. Aku tidak takut bila terjadi sesuatu padaku. Aku tidak takut mati. Aku sudah pernah mati sekali. Aku tidak cemas. Tidak perlu mem buat istriku khawatir.
Empat belas tahun memang bukan waktu sebentar. Mungkin ia sudah terlanjur terbiasa hidup tanpa aku. Buatku memang baru seperti kemarin. Namun kurasa, istriku sudah mengubur semua dalam-dalam.
Delapan-sembilan jam sendirian ada gunanya juga. Aku bisa menangis tanpa ketahuan siapa-siapa.
Bila memang benar istriku sudah menutup luka, aku tidak mau mengoreknya.
Di rumah ini, sudah tidak ada foto anak kami.
Sore hari kembali menjelajah dunia maya di depan laptop. Bosan. Tidak tahu harus buka situs yang mana lagi. Situs berita, mem baca artikel-artikel lama, mencari informasi apa yang terjadi selama tidur panjangku. Melatih ingatan dengan melacak video tembang dan ilm lawas di YouTube. Sesekali mengintip portal porno juga; walau efeknya lebih menyakitkan daripada me nyenangkan, karena mengingatkan kembali pada bagian bawah tu buhku yang masih saja tidak bisa bereaksi; tiap hari itu-itu saja. Aku sangat ingin kembali ke dunia kerja. Aku rindu masa lalu. Aku kangen menjadi kepala keluarga. Aku kangen kami yang dahulu. Aku ingin kembali jadi lelaki.
Tetapi, masa lalu apa"
Kepala keluarga seperti apa" Pria macam apa"
Kubuka akun surel yang dibuatkan Daud untukku, tetapi tidak ada email baru. Tentu saja. Sekian waktu berlalu, siapa yang mau mengirim email untukku selain segelintir teman lama atau ke rabat di Indonesia"
Tiba-tiba aku teringat, selama ini aku tidak tahu kata sandi akun istriku. Dia belum pernah memberitahu, dan aku tidak pernah bertanya.
Dasar, suami usil. Aku tersenyum sendiri.
Tetapi kemudian senyumku langsung lenyap saat aku teringat suatu hal yang lain.
Kejadian itu. Kejadian sebelum aku siuman. Ingatan itu.
Kugeser tetikus, menunjuk ikon penanggalan di sudut kanan bawah layar komputer.
Tanggal itu. Tanggal esok hari. Benarkah" Apakah itu nyata"
Betapa selama ini aku ingin lupa. Bukankah semua itu hanya ilusi"
Jantungku berdebar. Hatiku menolak, tetapi jemariku seperti bergerak sendiri. Kumasukan alamat email istriku.
Kuketik deretan angka itu.
Telunjukku gemetar, menekan tombol enter.
Istriku menangis. Aku mengerti, kataku lirih. Ingin aku berdiri dari kursi roda untuk memeluknya, tetapi entah mengapa kuurungkan. Aku tak bermaksud, Bang& , ia bertutur pelan terbata. Beberapa saat kami berdua terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
Aku& Aku tidak menyalahkanmu.
Ia menunduk, menggelengkan kepala, masih tak mau menatapk u.
Kupikir& , ia menggigit bibir bawahnya. Kupikir itulah jalan keluar terbaik& untukmu.
Aku ikut menunduk. Untuk kita" tanyaku pelan. Aku& Aku tak tega kau menderita lebih lama lagi& .. Isak istri ku meninggi
Kau juga berhak untuk tidak menderita lebih lama lagi& , sa hut ku.
Air mata mengalir di pipiku, tetapi aku sebenarnya tidak sedih. Entah air mata apa ini. Segera kuhapus. Aku tidak mau dia salah mengerti.
Kukira sudah tidak ada jalan lain& . Bibirnya tampak bergetar.
Aku tidak tahu harus berkata apa.
Lama sekali tidak ada kata-kata, hingga akhirnya ia mengangkat kepala, menatap ke luar jendela.
Jika kau& Jika kau jadi diriku& Apakah kau akan melakukan hal yang sama"
Istriku memalingkan wajah. Kini ia menatapku. Setelah beberapa saat, akhirnya kuberanikan diri balas meman dangnya.
Baru kusadari. Mungkin saat itulah pertama kalinya kami beradu pandang sejak entah kapan.
Akhirnya aku menjawab: tidak.
Aku tak mau membohonginya. Dulu aku sering menipunya, namun sekarang tidak lagi.
Bagiku& Bagiku& kematian bukan jalan keluar& . Kini kami berdua menangis sejadi-jadinya. Aku menangis, tetapi bukan karena sedih. Mungkin dia juga begitu.
Sesaat dia seperti hendak mendekatiku. Mungkin, ia ingin memelukku. Tetapi akhirnya ia tetap diam di tempatnya berdiri.
Malam itu aku tidak bisa tidur sama sekali.
Aku tidak mungkin menipu otakku. Tidak mampu mem bohongi diriku.
Aku orang yang sulit lupa. Bahkan boleh dibilang tidak pernah lupa. Sejak di bangku sekolah teman-teman menjuluki aku si ka len der berjalan.
Karena aku selalu ingat. Aku ingat betul tanggal esok hari. Tanggal itu.
Tanggal yang berusaha kulupa.
Sembilan bulan aku berdoa: Tuhanlah yang menentukan hidup-mati manusia.
Dua ratus tujuh puluh hari aku meyakinkan diri: kematian ada lah rahasia Tuhan. Tidak ada yang mungkin tahu hal itu selain Dia.
Enam ribu empat ratus delapan puluh jam di kepala kuulang: tidak juga malaikat dan iblis! Tidak juga malaikat dan iblis!
Jadi tidak mungkin hal itu terjadi. Itu pasti hanya halusinasi. Produk imajinasiku sendiri.
Sepanjang malam hingga subuh, aku berdoa tanpa putus. Bersimpuh di lantai, mandi keringat dingin. Paginya kepala terasa berat. Aku tidak ingin berangkat kerja. Bulan-bulan menjelang hari itu kinerjaku berantakan. Seminggu terakhir semakin tidak karuan. Semua karena sebenarnya aku begitu ngeri.
Maaf Tuhan! Aku yakin doaku pasti Kau kabulkan. Tetapi aku cuma manusia, dan aku tak mau kehilangan untuk kesekian kali!
Bukan aku ragu akan diriMu! Namun aku tak bisa lupakan masa lalu!
Tanpa sadar aku akhirnya tertidur. Atau mungkin pingsan, aku tak bisa membedakan. Ketika membuka mata, aku ter geletak di lantai kamar.
Tertatih aku berdiri. Sekujur tubuhku ngilu. Entah berapa lama aku berada di ubin yang keras dan dingin. Kepalaku seperti mau pecah.
Kulirik jam dinding. Hampir pukul dua siang.
Nun jauh di sana, hari juga sudah berganti. Aku sudah terlalu lelah untuk merasa takut. Sudah terlalu lelah untuk merasa.
Perlu waktu dua tahun bagiku untuk mulai bisa kembali beraktivitas normal. Tetapi tubuhku tidak pernah kembali seperti se mula. Kini jalanku terpincang, harus ditopang kruk. Ototku tidak sekuat dulu.
Aku dan istriku juga tidak pernah pulih seperti sedia kala. Di sini sudah tidak ada apa-apa lagi untuknya. Mungkin juga, sudah tidak ada apa-apa lagi untukku. Untuk kami. Kami adalah kemarin.
Aku adalah masa lalu. Dua tahun setelah aku hidup kembali, kami sepakat untuk ber pisah baik-baik.
Dua bulan setelah berpisah, akhirnya kukumpulkan nyali untuk pergi ke pantai yang menghadap laut utara, di mana abu anak kami dulu dilarung.
Dua minggu dia bertarung dengan maut, setelah kecelakaan itu. Aku tidak pernah diberitahu kapan dia meninggal. Dulu aku tak pernah berani bertanya.
Aku melangkah memasuki pekarangan rumah pastoran yang terletak di belakang kompleks paroki. Di depan pintunya yang ber cat putih, kutekan bel. Pintu dibukakan oleh Mas Jono, pe ngurus tempat itu. Ia tersenyum mengenaliku.
Lama tidak kelihatan, Mbak" lelaki itu menyapa. Bagaimana kabar nya"
Baik, Mas. Mas sendiri bagaimana" Aku balas tersenyum. Baik juga, Mbak. Mau bertemu Romo ya" Tunggu sebentar saya panggilkan.
Aku duduk di sofa tua yang ada di ruang tamu, memangku tas tanganku. Tempat ini sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali aku ke sini.
Mau minum apa, Mbak"
Tidak usah repot-repot, Mas. Terima kasih, sahutku. Mas Jono mengangguk, lalu masuk ke ruang dalam. Dan be be rapa menit kemudian, pria tua berkemeja putih dan bersan dal kulit, yang wajahnya juga sangat kukenal, muncul sambil tersenyum lebar.
Romo Adil& , aku menyapanya sambil bangkit berdiri mengulurkan tangan menyalami rohaniwan itu.
Apa kabarnya" sahutnya.
Baik, Mo& . Lebih baik dari hari-hari dan tahun-tahun sebelum nya, celetukku dalam hati.
Mari, kita langsung menuju gereja" Aku mengangguk.
Romo Adil mempersilakan aku berjalan lebih dulu. Aku melang kah ke teras, menunggunya menutup pintu dan menyu sulku. Lalu kami berjalan bersebelahan.
Sudah berapa lama tidak kemari" Ia menatapku. Mata nya sekilas memperhatikan rambutku. Mungkin ia ingin ber ko mentar betapa rambutku kini sudah seputih rambutnya walau usiaku belum sampai dua per tiga umurnya; tetapi tidak diucapkan. Dua tahun, Romo.
Sejak& kejadian itu" ucapnya hati-hati. Aku mengangguk.
Masih tinggal di tempat yang dulu"
Sudah pindah, tempat yang dulu terlalu mahal untuk kondisi saya sekarang, jawabku sambil tertawa pelan.
Sekarang kerja di mana"
Kerja-lepas. Serabutan sana-sini. Sulit mencari kerja sekarang. Apalagi untuk yang sudah seusia saya.
Kenapa tidak minta bantuan umat" Pasti banyak yang mau mencarikan kerja buatmu.
Saya tidak mau merepotkan.
Tidak mau menimbun utang budi, Mo& .
Lagipula, kondisi saya belum terlalu stabil. Kuatirnya nanti malah mengecewakan mereka.
Tapi sekarang sudah lebih baik, kan" Romo Adil memandangku. Sesaat senyumnya lenyap. Sorot matanya menunjukkan empati.
Setahun terakhir sudah berangsur normal. Ia mengangguk-angguk.
Kembali kuulas seutas senyum. Tidak perlu menguatirkan saya, Mo& .
Kami sudah sampai di depan gereja, dan segera masuk. Siang di hari biasa, tidak ada kegiatan di sana. Tidak ada seorang pun terlihat.
Romo kembali mempersilakan aku berjalan lebih dulu menuju ruang pengakuan. Kupercepat langkahku sampai ke se pasang pintu yang berdampingan itu. Buru-buru kubukakan pintu yang sebelah kiri, pintu ruang imam.
Silakan, Mo. Terimakasih, ia kembali tersenyum dan melangkah masuk. Tangan kirinya memegang gagang pintu dari sisi dalam, men cegah ku menutupkan untuknya.
Silakan masuk, tangan kanannya menunjuk ke arah pintu satu nya.
Kulepaskan pegangan dari sisi luar, kemudian beranjak mem - buka pintu kanan, lalu melangkah masuk dan menutup daun pin tu pelan-pelan.
Di dalam ruang kecil berukuran sekitar satu setengah kali satu setengah meter itu aku berlutut di bantalan rendah yang sudah disediakan, meletakkan tas di lantai, kemudian menghadap ke dinding pemisah berjendela tabir pembatas, terbuat dari anyaman rotan renggang berlubang-lubang, yang memung kinkan orang di ruang ini dan ruang tempat Romo berada bisa saling melihat dan mendengar.
Di seberang tampak Romo Adil menghidupkan lampu, mengenakan stola berwarna ungu, lalu duduk di kursi kayu yang ada di situ. Ia memejamkan mata, berdoa sebentar tanpa suara. Ke mudian ia membuat berkat tanda salib dan berkata, silakan mengaku dosa.
Aku mengatupkan kedua tangan. Menarik napas. Romo& pengakuan saya yang terakhir, kurang lebih lima tahun lalu& .
Aku berhenti sejenak. Menyusun kalimat yang tepat. Mungkin& Mungkin pengakuan dosa bukan istilah yang tepat, Romo. Mungkin pengakuan saja lebih sesuai. Bukan karena saya suci dari dosa, tapi karena apa yang hendak saya ungkapkan& lebih pada apa yang akan saya lakukan, daripada apa yang telah dan pernah saya perbuat.
Kulihat Romo Adil mengangguk.
Apa yang terjadi dua tahun lalu sudah saya relakan. Saya telah mengikhlaskan kepergian keponakan saya. Sama seperti jauh sebelumnya, saya menerima kepergian almarhum Mama& dan adik saya.
Aku menghela napas. Aku tidak menangis. Sudah terlalu lelah untuk merasa.
Saya tidak marah& tidak dendam pada siapa pun. Termasuk ke pada Tuhan& karena hidup dan mati adalah kehendakNya. Dan saya yakin sepenuhnya, bahwa apa yang terjadi adalah jalan terbaik yang dipilihkan olehNya untuk mereka& Untuk saya. Di kursinya Romo Adil kembali mengangguk.
Dua tahun ini& saya sudah merenung dan menimbang matang& akan semua yang sudah terjadi. Tidak ada sesal sedikit pun& Saya& Kami& sudah melakukan semua yang terbaik dan semua yang kami bisa. Untuk Mama. Dan bagi Nissa serta Jenny.
Tentu saja& jika saya ingin berandai-andai& Bertanya-tanya& Kalau saja begini, kalau saja begitu& Sepertinya akan ba - nyak sekali hal yang seakan tidak semestinya. Banyak hal yang terlihat tidak adil& Yang terasa sebagai hukuman, atau ku tukan& Yang terdengar seperti dosa& Tetapi akhirnya saya bisa me nyimpulkan, bahwa memang tidak ada hal lain lagi yang bisa saya& kami& perbuat saat itu.
Saya sangat bangga atas apa yang telah kami pilih untuk laksanakan, dan saya juga berbesar hati pada apa yang kami atau orang lain pilih tidak kerjakan& Dan tidak ada& memang tidak ada akhir yang berbeda dari sesuatu yang sudah selesai.
Yang saya tahu& Yang saya yakin& Memang demikianlah solusi terbaik bagi orang-orang yang saya cintai itu. Lebih baik daripada bila mereka harus terus sengsara, atau menderita lebih lama lagi dari apa yang sudah mereka alami.
Apakah saya tidak puas saat harapan atas kesembuhan mereka tidak terjadi" Tentu saja waktu itu saya kecewa. Hari itu saya pilu karena mereka tidak sembuh. Tetapi sekarang saya lega. Karena hari ini mereka tidak sakit lagi.
Dengan kematian& mereka terlepas dari penderitaan. Kuhentikan kalimatku. Memberi waktu Romo Adil untuk mencerna perkataanku. Saat kulihat akhirnya dia mengangguk lagi, kulanjutkan berbicara.
Masa lalu sudah terlewati. Masa lalu sudah selesai. Tak bisa dan tak perlu dijalani lagi.
Masa dulu. Mengenai masa dulu& Tidak ada yang perlu diulang. Tentang masa kemarin, tidak ada gunanya bicara kemungkinan. Karena semua sudah terjadi.
Tetapi& . Tetapi lain halnya dengan masa depan& .
Ada yang terjadi dengan saya dua tahun lalu. Ada sesuatu yang terjadi& yang meyakinkan saya, bahwa apa yang tidak mung kin itu, suatu saat bisa terjadi& Bahwa masa depan itu me mang benar bisa diubah. Bahwa apa yang saat ini tidak mung kin dilakukan, suatu saat nanti bisa dikerjakan!
Di masa depan kita bebas memikirkan, merancang, dan menge jar kemungkinan. Esok kita bisa mengubah takdir. Esok hari tidak ada takdir. Apa yang kita kira sangat tidak logis, nanti nya ternyata jadi begitu masuk akal. Kita cuma belum paham caranya, Romo& Cara untuk mengubah kemungkinan jadi ke nyata an.
Kemarin. Kemarin tidak mungkin ditolong, namun kelak bisa dise lamat kan.
Dan siapa tahu, dengan menyelamatkan masa depan& sebe narnya kita justru sedang menolong masa lalu"
Kalimatku terhenti. Sejenak suasana senyap. Kemudian suara Romo Adil memecah keheningan. Apa yang terjadi& dua tahun lalu" dia bertanya dari seberang jendela. Dia kini membuka mata.
Aku mampir ke warnet. Kutulis sebuah email untuk Marc: Marc, bisakah aku mengajukan tiga permohonan" Yang pertama, pada halaman fotoku di buku Jenny, di bawah tulisan tanganku, tolong tambahkan tulisan seperti ini: PESAN MU KUTERIMA. Tolong kau tulis dalam Bahasa Indonesia. Salin saja tulisanku di sini.
Mungkin kau tidak mengerti apa alasan dan manfaatnya menulis begitu, tetapi percayalah padaku, suatu saat nanti tulisan itu akan sangat berguna. Jadi tolong tuliskan saja ya" Ha ha ha& .
Dan yang kedua. Tolong berikan buku itu pada penerbit. Aku yakin mereka akan berebut untuk menerbitkannya, karena buku itu akan bisa menjadi sumber inspirasi jutaan anak dan orang-orang yang saat ini menderita.
Agar masa depan dipenuhi oleh anak-anak yang ingin menjadi malaikat dunia, seperti Jenny.
NB: aku berani bertaruh, buku itu PASTI terbit! Yang terakhir.
Carilah pengganti Nissa. Hidup terlalu singkat untuk dijalani sendiri.
Aku tersenyum. Dan kuklik tombol kirim. Aku menghela napas panjang.
Lalu mulai membuat email yang kedua: Dengan hormat....
Aku dipanggil mengikuti rapat darurat membahas sebuah per kem bangan baru yang mengejutkan. Pertemuan mendadak ini dihadiri seluruh petinggi perusahaan.
Kami membahas sebuah email yang diterima sekitar dua puluh delapan jam yang lalu.
Isi email yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu begitu meng gemparkan, karena dikirim oleh seseorang yang sama sekali tidak kami kenal, tetapi berisi sebuah hal sensitif yang semes ti nya ha nya diketahui oleh kami di ruangan ini; yang seha - rus nya hanya diketahui oleh sedikit sekali orang di dunia.
Hanya ada dua kemungkinan: rahasia perusahaan bocor. Atau si pengirim ini berkata jujur.
Kami harus segera mengutus delegasi, menemui pembuat email tersebut di Jakarta. Aku yang akan berangkat, karena walau lahir di negara ini, kebetulan aku berdarah Indonesia tulen dan fasih berbahasa Indonesia. Kedua orangtuaku memang berasal dari sana. Di akhir tahun enam puluhan mereka tidak bisa pulang dan terpaksa menetap di sini karena dianggap pengkhianat negeri.
Namaku Bagus. Namun sedari kecil teman-teman lebih sering memanggilku sovat sya, karena bentuk wajah, kulit legam dan postur tubuhku yang mungil menyerupai kera, kata mereka. Rasis memang. Tetapi aku tidak pernah marah. Kuanggap saja mereka hanya bercanda.
Kuanggap saja mereka berkata: sobat saya.
Toh akhirnya dapat kubuktikan bahwa aku bisa berprestasi lebih tinggi dari sebagian besar mereka yang merasa berparas indah. Rupaku mungkin seperti primata, namun ternyata otakku termasuk yang paling cemerlang dalam bidangku.
Aku menjabat Head Researcher di perusahaan multinasional ini. Saat ini tim yang kupimpin sedang melakukan penelitian tahap awal dari sebuah teknologi yang bisa mengubah masa depan umat manusia. Bahkan, mengubah dunia.
Apa isi email tersebut" Intinya hanya satu kalimat: Saya berse dia dan mengajukan diri menjadi donor premortem neurospecimen.
Setelah berjalan beberapa lama, akhirnya aku tiba di tempat yang kutuju. Kebun bunga itu luas sekali. Entah berapa hektar.
Aku menyusur pelan jalan setapak di antara deret-deret tanaman yang membentang berkilometer hingga entah ke mana.
Ternyata seperti inilah keadaannya. Kebun ini sudah sangat tua. Entah sudah berapa puluh, berapa ratus, kuntum bunga di kebun ini yang kembang dan kuncup.
Hampir semua rerumpun sudah tidak rajin berbunga. Yang masih ada bunganya juga terlihat kuyu. Di beberapa kumpulan bahkan tinggal ranting kering, kurus dan mati. Memang ada yang masih subur, tetapi jumlahnya jarang. Dari waktu ke waktu sepertinya akan terus berkurang.
Tunas baru makin sedikit bermunculan. Karena tanah di sekitar sini sudah renta. Semakin lenyap unsur haranya. Humus ma kin tipis. Bukan manusia saja yang berpacu mendekati ajal.
Dulu sewaktu perkebunan baru dibuka, bumi di sini pasti masih segar dan muda. Masih menyimpan banyak tenaga. Air kali dan musim penghujan masih melimpah. Karena itu ukur annya bisa jadi sebegini luas.
Pantas banyak yang lebih memilih lahan-lahan baru. Lebih menarik dan mudah digarap. Lebih cepat berbunga, le bih cepat berbuah. Lebih menyenangkan dan memuaskan. Usaha akan segera terlihat hasilnya. Mengurus kebun tua, mung kin seperti melihat masa lalu. Semua sudah pernah di kerja kan. Tidak ada lagi yang harus diperbuat.
Namun pendapatku sedikit berbeda.
Mungkin tidak ada lagi yang harus diperbuat. Tetapi bukan berarti tidak ada lagi yang bisa dilakukan.
Bukan keharusan. Bukan kewajiban. Sesuatu yang tidak harus terjadi, tetapi bisa saja terwujud bila kita mencoba. Sebuah ke mung kinan.
Kalau begitu, sudah saatnya mulai bekerja. Masih ada satu hal lagi yang mungkin dilakukan Kebun ini masih bisa kembali indah rimbun berbunga. Tapi,
Nanti dulu. Kurasakan ada yang di sini selain diriku. Aku membalik badan
Seorang lelaki, berkaos putih dan bertopi bambu berdiri tak jauh dari tempatku berada.
Akhirnya anda sampai juga, katanya. Lelaki itu tersenyum padaku.
Mungkin suatu waktu nanti, kebun ini benar-benar bisa berubah& . Dia menatap mataku, terdiam, tidak melanjutkan kali mat nya. Perlahan ia membalik badan, seperti hendak pergi. Tetapi kemudian sekali lagi menoleh ke arahku dan kembali terse nyum lebar.
Karena wanita lebih berani daripada pria, ucapnya. Aku pun ikut tersenyum.
Ia mengangguk dan melambai. Kuangkat tangan kanan, mem balas lambaiannya.
Kemudian lelaki itu melangkah pergi, berjalan semakin jauh dan jauh di antara jejeran rumpun tanaman, hingga hilang dari jarak pandangku tertelan horison.
Aku memang tak akan mengenal dia. Tetapi sekarang aku tahu namanya.
Biodata Penulis J. ANGIN Penulis, arsitek, wirausahawan. Penggila literatur, ilm, dan musik. Aktif di dunia tulis-menulis, jurnalisme sekolah dan kampus sejak SMP. Cerita pendeknya pernah dimuat di Kompas, Pikiran Rakyat, Majalah Esquire Indonesia, Surabaya Post dan Sumut Pos. Cerpennya Inini menjadi salah satu cerpen dalam buku Kumpulan Cerpen Kompas Pilihan 2009.
email: metromerp@gmail.com web: www.metromerp.wordpress.com facebook: www.facebook.com/metromerp twitter: @metromerp
YouTube: metromerp Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda pa ling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng edar kan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pe langgaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
PREMORTEM J. Angin GM 20101120017 Copyright " 2012 Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Kompas Gramedia Building Blok I Lt. 5 Jl. Palmerah Barat No. 29-37 Jakarta 10270
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Anggota IKAPI Jakarta, 2012 Cetakan pertama April 2012
Editor: Mirna Yulistianti Setter: vtree_yuniar@yahoo.com Ilustrasi & desain cover: J.Angin
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.
ISBN: 978-979-22-8329-7 www.gramediapustakautama.com
Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan
Premortem e m e m J . A g i n Sejarah, ingatan, khayalan; fakta dan sains-iksi; harapan dan religiusitas, bercampur jadi satu dalam perjalanan hidup seorang lelaki dan seorang wanita. Hingga sebuah kejadian menyadarkan mereka untuk mengubah dirinya, mengubah takdirnya.
Premortem mengajak Anda berpikir, merangkai benang
merah, dan membongkar sendiri semua petunjuk tersembunyi. Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita" Siapa mereka sebenarnya"
Siapakah Anda sebenarnya" Tugas Anda untuk membaca dan menjawab.
ANDA kunci utama rahasia novel ini.
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building Blok I Lantai 5
Jl. Palmerah Barat 29 37 Jakarta 10270
FIKSI/NOVEL Duri Bunga Ju 4 Pendekar Mabuk 092 Darah Pemuas Ratu Autumn In Paris 2

Cari Blog Ini