Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap Bagian 3
sendiri. Aduh, Cucuku. Dengarkanlah nenekmu yang
sudah renta ini"!"
Perempuan tua itu memeluk Erika dengan
tubuh menggigil. Setengah terisak, ia kemudian berkata memohon, "Jangan kembali ke kota, cucuku. Kota akan
membuat kau lalai dan lupa diri, seperti papa dan
pamanmu. Ya Allah, cucuku. Kalau tidak terlarang
mengata-ngatai orang yang sudah mati, maulah
rasanya aku mengutuk mereka berdua. Kalau tidak
karena perubuatan mereka, maka Anakku satusatunya, yaitu ibumu, tentulah masih hidup...!"
Erika ingin menangis. Tetapi ia sudah beberapa kali terpukul sampai ia
merasa benar-benar hancur. Barangkali ia telah mulai
kebal. Kematian papanya, yang kemudian mereka
kuburkan berdampingan dengan makam ibunya,
mungkin adalah suatu anti klimaks dari semua
penderitaan yang ia alami berturut-turut hanya dalam
tempo yang teramat singkat.
"Yang lalu biarlah berlalu, Nek!" Ia berkata
menghibur. Kata-kata, yang lebih ia tujukan kepada
dirinya sendiri. Neneknya mengangguk-angguk sependapat.
Tetapi dengan wajah tetap mempelihatkan perasaan
khawatir. Kemudian hidung tuanya mengendusendus kian kemari.
219 220 Lalu, ketika matanya memandang ke arah
tungku perapian, ia mengerutkan dahi.
"Kau apakan ikan-ikan itu, Erika?"
"Dipanggang, Nek..."
"Itu?" sang nenek menunjuk ke tungku.
Waktu menoleh, Erika juga mencium bau tak
enak. Lantas ia berseru, kaget. "Wah, jadi arang!"[]
19 SEBELUM pergi tidur, sang nenek minta bicara
empat mata dengan Alex. Pemuda yang masih ciut
hatinya setelah tadi disindir secara tidak langsung
bahwa dialah yang telah menyebabkan Luki melalaikan
sholat maghrib. Alex duduk dengan dada seakan berkerut
di depan perempuan tua yang wajahnya pasti
menyenangkan untuk dipandang. Itu, kalau sepasang
matanya tidak bersinar-sinar tajam, setajam mata
elang yang siap untuk menyambar mangsa. Dan
mangsanya, adalah Alex. Sang elang pun tidak pula main basa-basi.
Ia langsung menyerbu ke sasaran, "Tetap akan
memboyong Erika ke kota?"
Alex membasahi bibirnya yang kering. Ia ingin
mengucapkan kata "iya, nek", tetapi lidahnya kelu,
dan ia hanya dapat menganggukkan kepala. Itu pun,
kaku dan samar-samar, sehingga lehernya terasa
kejang. 221 222 "Kalian belum sah menjadi suami istri!" tuduh
nenek Erika. Dada Alex makin berkerut. Sampai sesak
nafasnya. "Kami harus mengumpulkan uang dulu, Nek,"
sahutnya, takut-takut. "Uang" Hanya karena uang?"
"Masih ada lagi, Nek. Orangtua saya..."
"Oh ya. Kudengar mereka pernah mengusirmu.
Sudah berbaik-baikan?"
"Belum lagi, Nek."
"Belum" Dan kau berani membawa cucuku
pulang ke kota?" Alex memberanikan diri. "Itulah, Nek. Saya ingin membawa Erika
menemui Papa dan Mama. Mereka pernah bertemu
tetapi belum kenal intim. Dengan janji kami akan
menikah bila waktunya tiba, Papa dan Mama akan
mau menerima saya lagi."
"Bagaimana kau tahu?"
"Om saya yang membisikkan."
"Kalau begitu, beritahu saja mereka lebih dulu.
Baru setelahnya, Erika kau bawa...!"
"Wah, Nek. Papa dan Mama tak akan percaya
kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Erika,
bahwa dia sudah setuju saya peristri. Lagi pula, besar
harapan saya, begitu persetujuan kami terima, Papa
dan Mama langsung akan menghadapkan kami
berdua ke penghulu..."
"Heeem...," nenek Erika tercenung. Lama. Alex
gelisah, berkeringat. Seolah ia duduk di atas tungku
perapian yang menyala. "Ingat janjimu ketika kau
terakhir kali berkunjung ke sini, Alex?"
"Apa, Nek?" Alex tersentak oleh pertanyaan
itu. "Astaga. Jadi kau sudah lupa!"
"Bukan lupa, Nek. Tetapi...," Alex mencoba
membela diri, namun di dalam hati ia kebingungan
setengah mati. Ia benar-benar lupa apa yang telah ia
janjikan, malah lupa bahwa ia pernah menjanjikan
sesuatu kepada perempuan di hadapannya.
Seakan ada mukjizat dari langit, dari dalam
kamar terdengar suara Luki mengomeli Erika,
"Sajadahku kau injak, Kak...!"
Terang benderang seketika otak Alex.
Sambil tersenyum-senyum malu, ia berujar
kepada nenek Erika, "Saya terus belajar dari hari ke
hari, Nek." "Tapi sore tadi kau dan Luki melalaikan sholat
Maghrib!" "Bukan salah Luki, Nek," Alex tanam andil
dengan bangga. "Soalnya, saya kira dia juga sedang
223 224 musafir seperti saya...!" Dan di hati kecilnya, Alex
berteriak dengan senang hati, "Kalah telak kau, nenek
peot!" Seperti tahu isi hati Alex, si nenek bergumam
dingin. "Berhati-hatilah di hadapan Tuhan, Alex..."
Ia menarik nafas panjang berulang-ulang, baru
melanjutkan. "Dan berhati-hatilah menjaga cucuku.
Aku tak akan pernah rela, manakala kelak kudengar
Erika telah salah menentukan pilihan"
"Akan kuingat-ingat itu, Nek."
"Hem!" Sepi lagi. Leher Alex tercekik rasanya. Mengapa orang tua
renta ini tak juga pergi tidur" Tidakkah ia tahu malam
telah semakin larut, dan Erika pasti sudah mengantuk
lalu tertidur pulas. Padahal Alex belum mencium
gadis itu, semenjak kedatangannya ke rumah ini!
Nenek Erika masih ngobrol sedikit.
Kali ini basa basi, sebagai penutup pembicaraan
empat mata itu, lantas kemudian benar-benar pergi
ke kamarnya. Begitu si nenek menutup pintu, begitu Erika
menyelinap keluar menemui Alex di ruang depan.
Gadis itu cekikikan menyaksikan Alex menyeka
keringat dingin dari dahinya. Alex mencubitnya
dengan marah. Hampir saja Erika terpekik, kalau
tidak ingat pekikannya dapat menggemparkan seluruh
kampung, terutama menggemparkan hati neneknya.
"Nakal kau!" bisik Erika seraya duduk di sebelah
Alex. "Sengaja mencubitku di dekat itu... .!"
"Kuingin mencubit itu-mu malah!" rungut
Alex, dongkol. "Jangan coba-coba ya!"
"Kalau kucoba?"
"Aku berteriak!"
Tanpa berpikir panjang lagi, Alex mencubit
bagian tubuh Erika yang mereka maksud. Gadis
itu ternyata tidak menjerit. Bukan saja karena Alex
mencubit tidak terlalu keras. Boleh dibilang, meremas
malah. Tetapi juga, kerinduan yang membabi buta
tiap kali ia berdampingan dengan Alex, membuat
Erika pasrah. Dicubit seribu kali pun ia rela. Dan ia
benar-benar pasrah waktu Alex memeluk kemudian
mencium bibirnya dengan bernafsu.
"Alexku. Alexku sayang!" Erika merintih.
Tangan Alex menggapai liar.
Tersentak Erika seketika.
"Jangan!" Alex memaksa. Dan Erika menamparnya. Kaget, Alex melepaskan tubuh Erika. Wajahnya
pucat. 225 226 "Mengapa..." "Maafkan aku, Alex," kembali Erika memeluknya dengan perasaan menyesal setelah melihat bekas
tangannya di pipi Alex. "Aku tidak bermaksud kasar.
Hanya... ini di kampung, sayangku. Bukan di kota, di
mana kita dapat berbuat sekehendak hati."
"Ah?" "Kau senang-senang ya, selama kutinggalkan di
kota?" Erika mengalihkan pembicaraan.
"Senang nenekmu!..."
"E-eee. Koq membawa-bawa nenekku segala..."
"Aku kesepian, Erika. Aku hampir gila karena
jauh darimu." "Bohong!" "Demi Tuhan, Erika!"
"Alaaa, berlagak. Sepertinya kau sudah melalap
buku pelajaran agama yang pernah diberikan nenek
kepadamu. Hem-hem... Kau kira aku percaya kalau
kau bersumpah dengan nama Tuhan?"
"Hai, Erika. Apa-apaan..."
"Habis! Di kampung ini saja, kau sudah berani.
Apalagi di kota!" "Berani apa?" "Main perempuan..."
"Hei! Gila benar. Kau tentunya tidak bersungguh-sungguh Erika!"
"Lalu mengapa sampai kau memberikan alamatmu kepada Nengsih?"
"Ooo, dia...," Alex kepepet sebentar. Namun
pengalaman yang matang menunjukkan jalan yang
lapang di depan matanya. Segera saja ia menyambung,
dengan pura-pura mencemooh. "Gadis kampungan
itu" Dia kelewat banyak bertanya. Mendesak segala,
sehingga terpaksalah kuberikan alamatku. Tak ada
salahnya, bukan" Nanti di kota, dia hanya menemukan
alamatku yang lama..."
"Maksudmu?" "Aku sudah mengontrak sebuah pavilyun
di tempat lain, Erika. Untuk kita tempati berdua,
sepulang dari sini."
Erika hampir memeluk Alex karena gembira.
Bukan pikiran akan menempati sebuah pavilyun
bersama Alex yang menggembirakan hatinya, melainkan bayangan Nengsih tentunya akan tertipu
kalau coba-coba menggunting dalam lipatan. Namun
pertemuannya sore itu dengan Nengsih masih terasa
membekas. Di antara kegembiraan hatinya, ia masih
merasa cemas. Dengan gaya merajuk, ia menuduh, "Kudengar,
kau juga mengajaknya pindah ke kota. Malah
menjanjikan pekerjaan..."
227 228 "Siapa yang bilang?"
"Nengsih." "Uh. Dia jelas membual, gadis tak tahu diri
itu!" dan untuk meyakinkan Erika, ia menambahkan
dengan suara mengeras marah. "Aku lupa yang mana
rumahnya. Mau kau tunjukkan, Erika. Dia akan
kudatangi sekarang juga, supaya lain kali dia tidak
berani mengusikmu...!"
"Jangan, Alex. Sudah malam."
"Kalau begitu, besok pagi!" Alex mendengusdengus. Memperlihatkan ketidaksabarannya.
"Jangan!" "Ia harus diberi pelajaran!"
"Aduh, Alex. Kumohon, lupakanlah. Tahan
dirimu. Kau mau membuat malu nenekku, ya?"
Dengan gaya menyesal, Alex mengurut dada.
Katanya, "Kalau tidak mengingat nenekmu..."
"Hanya nenek?" "Dan mengingat kau..."
"Cium lagi aku, Alex."
Alex merunduk. Bibir mereka baru saja bersentuhan, ketika dari kamar tidur nenek Erika,
perempuan tua itu terdengar batuk-batuk berkepanjangan, lalu disusul suara teriak lirih. "Rika?"
"Ya Nek?" Erika terlonjak dari duduknya.
"Tolong ambilkan nenek air dingin!"
"Baik, Nek..." Baru saja Erika berjalan beberapa langkah
menuju dapur, pintu kamar neneknya sudah terbuka.
Perempuan itu tampak mengelus-ngelus dada seperti
orang kesakitan, sehingga Erika menjadi khawatir.
Tetapi neneknya segera memperlihatkan seulas senyum, seraya bergumam, "Aku hanya batuk
sedikit. Biarlah kuambil sendiri minuman untukku,
cucuku..." Tetapi Erika bersikeras pergi ke dapur.
"Sudahlah. Pergilah tidur...!" kata si nenek
kepada cucunya, sementara kepada Alex ia berpaling
dan bertanya heran, "Belum mengantuk, Alex"
Istirahatlah. Bukankah kalian akan berangkat pagipagi benar?"
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Alex kena batunya. Dengan tersenyum-senyum kecut ia melangkah
masuk ke kamar di mana ia tidur bersama Luki,
menutup pintunya sekaligus.
Di dapur, Erika mendengar semuanya,
menggigit bibir dengan perasaan malu yang amat
sangat. Ia tidak berani memandang wajah neneknya
ketika ia memberikan gelas berisi air dingin untuk
perempuan tua itu. Diam-diam ia berjalan dengan
kepala merunduk menuju kamar tidurnya sendiri, lalu
tertegun waktu namanya dipanggil sang nenek.
229 230 Erika pun cepat berpaling menghadapi perempuan tua yang sangat ia hormati itu. Lalu diam
menunggu. Dengan tatapan cemas.
Neneknya berujar, lembut, "Kalau kalian
pulang besok pergi, cucuku. Ingatlah. Nenek akan
selalu merindukanmu"!"
Terpesona, Erika berlari memeluk neneknya,
dan menangis di dada yang kerempeng itu. Tak lama
kemudian ia menghilang ke kamar, di bawah tatapan
mata sang nenek yang bersinar pudar.
Diam beberapa saat lamanya, perempuan
tua itu kemudian berbisik masygul kepada dirinya
sendiri. "Apakah aku sudah sedemikian tua. Sehingga
pikiranku jadi berlebihan. Dan, menganggap cucuku
sedang memasuki sarang harimau..."!"[]
20 ALEX menyeringai lebar ketika melihat reaksi Erika
begitu memasuki rumah yang akan mereka tempati.
Sebuah rumah kecil yang terletak di bagian kota atas
yang sepi dan tenang. Meski kecil, desainnya jelas
hasil karya seorang ahli dengan selera seni yang tinggi.
Halaman depan tidak begitu luas tetapi nyaman
dipandang karena taman mininya yang artistik.
Erika sampai tertegun sendiri ketika melangkah
naik ke beranda. Sambil bergumam kagum atas
pilihan kekasihnya, "Kukira kita akan menempati
rumah kontrakan di bagian kota yang kumuh, padat,
lagi jorok!" "Dengan kamar sempit dan pepak di atas
bengkel motor yang selalu hingar bingar dan berbau
oli?" sahut Alex, setengah mengejek tempat ia
berkubang bersama seorang teman semenjak terusir
dari rumah orangtuanya. "Tidak, Erika. Itu bukan
tempat yang cocok untuk seorang putri rupawan yang
231 232 pernah bergelimang kemewahan. Dan jangan pula
kau lupakan...," Alex cepat menyeringai waktu Erika
agak cemberut. "Kedudukanku sudah naik. Bukan
lagi montir yang selalu bergelimang oli, melainkan
sub-dealer yang bergelimang uang?"
"Baru calon, Alex. Calon sub-dealer!" Erika
menyindir. "Tetapi hasilnya sudah boleh kita nikmati,
bukan?" balas Alex tidak mau kalah. "Masuklah ke
dalam, kalau tidak percaya."
Tercengang Erika setelah mereka memeriksa
seisi rumah. Perabotannya lengkap, dan jelas bukan
dari kelas murahan. Baik kamar tamu, ruang tengah,
ruang tidur, dapur sampai ke kamar mandi. Belum
lagi langit-langit akustik serta lukisan-lukisan dinding,
televisi berwarna 29 inchi yang dilengkapi seperangkat
audio, lemari pendingin, rak minuman, dan sebuah
rak besar di mana terdapat banyak sekali buku-buku
bacaan, majalah serta perabotan hias. Plus tempat
tidur besar, toilet antik dan lemari pakaian berpintu
empat di kamar tidur dengan pemandangan taman
mini di luar jendela samping.
Erika terhenyak di sebuah sofa.
Matanya menatap Alex seperti mata orang yang
sedang bermimpi. "Mustahil..." ia mendesah, tak percaya.
"Apanya yang mustahil, Sayangku?" Alex
menyodorkan segelas minuman ringan kepada Erika,
yang menerimanya dengan tangan gemetar.
"Aku tak pernah berpikir, selama aku minggat
ke kampung, kau telah mengumpulkan harta karun
sedemikian banyak"!" Erika berbisik terengahengah.
"Astaga. Kuharap aku tidak bakal mengecewakan
calon istriku," gumam Alex dengan wajah berubah
gundah. "Ada apa, Alex?"
"Baik rumah maupun segala isinya, bukan milik
kita Erika..." "Ah!" "Ada seorang tua kaya raya, Erika. Punya empat
istri, sekian orang anak, dan seorang cucu paling
disayang. Rumah dan segala isinya ini dia persembahkan untuk cucunya yang ingin hidup menyendiri.
Suatu kebetulan yang ajaib saja, bahwa cucu tersayang
si kakek hartawan itu, teman bermainku di masa
kecil. Dia sering mengajakku tinggal bersamanya di
rumah ini. Tetapi selalu kutolak. Biar dia tidak pernah
mengutarakannya, namun aku tetap beranggapan ada
pamrih di balik ajakan itu?"
"Maksudmu?" "Dia seorang waria."
233 234 "Oh!" Erika bergidik, seram. "Jadi itu sebabnya
salah satu kamar tidur berbau perempuan. Toilet
yang kosmetiknya begitu lengkap, gaun-gaun indah
di lemari, rak dengan sepatu-sepatu bertumit tinggi.
Dan tempat tidur..."
"Jangan khawatir, Kekasih" Alex memegang
tangan Erika dengan usapan lembut. "Dia telah
setuju menyediakan semua yang serba baru dan cocok
dengan ukuranmu. Sepatu, gaun, bahkan sprei dan
sarung-sarung bantal. Malah gambar-gambar lelaki
yang erotik dan selalu menempel di dinding kamar
itu, telah ia singkirkan jauh-jauh. Kamar untukmu
bersih, Erika..." "Dia mau?" Erika terbelalak. "Bukankah
seorang waria benci kepada perempuan?"
"Benci sih tidak, cuma tak suka saja!"
"Lantas?" "Karena aku yang meminta, ketidaksukaan itu
dia simpan untuk dirinya sendiri. Beberapa kali dia
kubantu mengumpat cerca orang lain, dan pernah
kutolong dari keroyokan beberapa orang pemuda
berandalan yang sedang mabuk. Jadi persetujuan yang
dia berikan, katakanlah semacam balas budi..."
"Sehingga dia sendiri rela menyingkir dari
rumah ini," Erika geleng-geleng kepala, tak habis
pikir. "Untuk seorang perempuan, lagi!"
"Dia tidak sengaja menyingkir, Erika. Seorang
teman kencannya yang paling akrab, pergi studi ke
luar negeri. Sang kakek, tentu saja gembira mendengar
cucunya tersayang bermaksud memperdalam ilmunya
di luar negeri pula. Maka, kita dapat menempati
rumah ini dua tahun, mungkin sampai empat tahun.
Tanpa harus membayar. Itulah yang kukatakan, suatu
kebetulan yang ajaib. Apakah kau kecewa, Erika?"
Erika menatap Alex dengan penuh kasih.
Ia rebahkan wajahnya di dada pemuda itu,
seraya berbisik mesra, "Aku bahagia, Alex"
Alex mengangkat dagu Erika. Membelai
pipinya yang putih bersinar-sinar, mengecup matanya
yang indah, kemudian mengulum bibir ranum yang
merah segar itu dengan pagutan yang kuat. Sentuhansentuhan birahi itu sempat merangsang Erika.
Namun Erika dengan cepat melepaskan diri
dari pelukan Alex, manakala pemuda itu mengajak
dengan suara bergetar, "Kita ke kamar, ya?"
"Jangan!" bisik Erika ketakutan, seraya menjauhi
Alex. "Jangan!"
"Kenapa, Erika?" tanya Alex, kecewa.
"Aku sudah berjanji kepada diriku sendiri, tidak
mau terjerumus sampai dua kali!"
"Erika..." 235 236 "Maaf, Alex," Erika bangkit dari sofa. "Aku
bukannya menolak. Tetapi aku baru mau melakukan
perbuatan itu, kalau kita sudah sah jadi suami istri..."
"Lagakmu seperti perawan saja!" dengus Alex,
tersinggung. "Memang!" Erika sama tersinggung. "Dan
jangan pernah lupa, kaulah yang merenggut
keperawananku"!"
"Hem." "Kau ingin aku pulang saja ke rumah nenek di
kampung?" Erika mengancam, dengan sudut-sudut
mata mulai digenangi butir-butir air bening.
"Astagaaa!" Alex mendadak sadar. "Mengapa
kita bertengkar jadinya?" ia bergerak ke ruang depan,
dan kembali dengan koper kecil milik Erika yang
segera ia masukkan ke kamar tidur yang tersedia
untuk gadis itu. Agak lama ia di dalam kamar. Ketika
kembali ke ruang tengah, ia lihat Erika masih tegak di
tempat semula, dengan wajah pucat dan pipi basah.
"Maafkan kekonyolanku, Erika," Alex mencoba
tersenyum seraya menggenggam sebuah kunci ke
telapak tangan gadis itu. "Kalau kau bermaksud
pergi tidur, kuncilah kamarmu dari dalam. Demikian
pula pintu penghubung. Lalu biarkan setiap anak
kunci tetap pada lubangnya, agar aku tidak dapat
memasukkan kunci duplikat untuk menyatronimu
tengah malam buta..."
Selesai menjelaskan panjang lebar begitu, Alex
mengecup pipi Erika, lalu beranjak ke pintu depan.
Erika terperangah. "Mau ke mana, Alex?"
"Pergi." "Kau biarkan aku sendirian di sini?"
"Aku tak lama, Erika. Dan hari masih sore,
bukan?" "Kau marah!" "Tidak," Alex tersenyum. "Seorang putri
rupawan, tidak patut dimarahi. Apalagi, sang putri
sedang jatuh cinta!"
Erika mendekati pemuda itu.
Memegang tangannya. "Kau mencintaiku, Alex?"
"Lebih dari aku mencintai diriku sendiri,
Erika." "Kalau begitu, jawablah. Siapa yang akan kau
temui" Jangan marah. Kita akan menikah, bukan"
Seorang istri boleh saja ingin tahu apa yang dikerjakan
suaminya di luar rumah ?"
Alex menyeringai senang. "Pertama," katanya, "Aku akan menemui cukong
yang akan memberiku kesempatan memperbaiki
hidupku yang telah berantakan. Kedua, Erika,
menemui orangtuaku. Kau tahu apa yang kumaksud,
bukan?" 237 238 Erika tidak menyahut. Ia hanya mengecup kedua belah pipi Alex, lalu
berbisik di telinga pemuda tampan yang ia puja-puja
itu, "Pergilah, Sayangku. Dan cepatlah kembali "!"
Mereka berciuman sejenak.
Lembut dan hangat. Lalu berpisah.[] 21 SATU minggu berlalu sudah.
Jawaban dari kedua orangtua Alex belum
terdengar juga. Tetapi pemuda itu tidak berputus asa. "Aku telah
menghubungi beberapa kerabat dekat Papa agar mau
melunakkan hati mereka," begitu Alex berkata pada
suatu malam kepada Erika, ketika ia pulang dengan
wajah letih lesu. Erika berusaha menahan tangis dan kecewa
hatinya, dengan menyediakan makan malam yang
enak untuk mereka nikmati berdua, sementara Alex
kemudian dengan gembira menceritakan bahwa
usahanya untuk dapat membuka cabang perusahaan
sepeda motor berjalan lancar. Namanya yang populer
di arena balap motor serta usaha yang pernah ia
jalankan membuka bengkel, merupakan jaminan.
"Mereka bilang, paling kurang aku bakal
diterima jadi kepala teknisi," ia berkata riang selesai
239 240 mereka makan malam. "Apakah kau kesepian selama
kutinggalkan sendirian di rumah ini, Erika?"
"Aku merindukan saat-saat kau pulang ke rumah,
Alex. Tetapi aku tidak pernah kesepian. Aku dapat
membaca buku, belum lagi sibuk mengurusi rumah.
Dan kau lihat, dua orang temanku sekolah dulu,
sesekali datang berkunjung untuk menemani...!"
"Syukurlah..." "Tetapi mereka itu, Alex..."
"Mereka siapa?"
"Anak-anak begajul yang suka berkumpulkumpul di simpang jalan itu. Mereka suka mondarmandir di depan rumah. Kadang-kadang sambil
berteriak-teriak tidak karuan. Entah mengapa, aku
merasa, teriakan mereka itu sebagian ditujukan
kepada kita."
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah. Kau mungkin salah terima, Erika."
"Tidak. Aku yakin. Tadi sore, waktu aku
menyiram bunga di taman, mereka lewat. Lima orang,
Alex. Tampang-tampang mereka membuatku takut.
Kau tahu apa yang mereka perbuat?"
"Apa?" desak Alex, cemas.
"Mereka berhenti di depan pintu pagar kita..."
"Lalu?" wajah Alex memerah padam. Dengan
gusar ia menambahkan dengan dengusan marah,
"Diapakan saja kau oleh anak-anak sialan itu?"
"Tidak diapa-apakan, Alex...," Erika berusaha
tersenyum, menghibur kekasihnya. "Aku dapat
menjaga diri. Lagi pula mereka hanya bertanya-tanya
saja. Cuma ya, itu. Caranya saja yang kurang ajar ?"
"Apa yang mereka tanya, Erika?"
"Sambil mengedipkan mata, salah seorang
bertanya begini, kapan pacuan kuda dibuka kembali"
Teman-temannya melotot, menunggu apa jawabanku.
Karena aku diam saja, yang seorang lagi berteriak, aku
mau jadi joki. Asal gratis!" Erika mengutarakan semua
itu dengan wajah bingung. "Mereka lantas tertawa
terbahak-bahak, kemudian pergi begitu saja..."
"Hem. Mereka tentu bertanya ke alamat yang
salah," Alex menarik nafas. "Tenangkan saja hatimu,
Erika. Aku akan mengurus anak-anak itu besok pagipagi benar."
"Kau... kau akan mengapakan mereka?" Erika
yang kini khawatir. "Oh. Tak usah cemas. Aku akan mengurus
mereka melalui tangan orang lain. Yang penting,
mereka tutup mulut dan tidak mengusikmu lagi!"
"Tetapi aku tetap tidak mengerti. Mengapa
mereka bertanya tentang pacuan kuda" Lalu
menawarkan jadi joki" Pake gratis segala!"
"Sudah kubilang Erika, mereka salah alamat.
Barangkali itu hanya karena mereka pernah melihat
241 242 aku sesekali berkunjung ke rumah ini ketika
pemiliknya masih di sini. Lantas mereka menduga
aku juga seorang homo, dan yaaa... Setahu mereka
kita ini suami istri, lantas mereka berprasangka buruk.
Mereka mungkin berpikir, aku tidak memberikanmu
apa yang semestinya diberikan seorang laki-laki
kepada perempuan yang menjadi istrinya."
"Ya Allah!" Erika terkejut.
"Ah. Sudahlah. Lupakan saja. Aku akan
mengurus mereka besok pagi. Sekarang, mari
bereskan bekas kita makan. Lalu, kau bersoleklah!"
"Bersolek?" "He-eh. Kita akan terima tamu sekitar pukul
sembilan nanti." "Orangtuamu?" Erika menahan nafas.
"Sayangnya, bukan. Tetapi kedatangannya sama
penting. Orang ini cukong yang akan memberikan
pekerjaan. Tadi siang dia sedang rapat. Lalau
sekretarisnya memberitahu, dia akan menemuiku di
rumah kita sendiri. Katanya ada hal penting yang
akan dia bicarakan empat mata, dan sekalian dia ingin
berkenalan dengan istriku..."
"Istri!" Erika hampir tertawa. Sekaligus terharu,
karena Alex mengaku pada setiap orang, bahwa
mereka berdua seudah menjadi suami istri. Diamdiam, perasaan cintanya semakin dalam kepada
pemuda itu. "Jangan melongo saja. Cepatlah berdandan.
Sudah pukul delapan lebih dua puluh menit sekarang
ini!" Erika membutuhkan tempo tiga puluh lima
menit untuk berhias di kamar.
Ia memilih gaun yang paling menarik di lemari,
dan mengenakan make-up yang sedikit mencolok
tetapi serasi. Memandangi wajahnya yang cantik
rupawan di cermin, ia teringat pada ibunya yang
senantiasa berusaha muncul di depan tamu-tamu
papanya dengan penampilan yang menarik serta
menyenangkan. "Hal itu akan banyak membantu sesuatu yang
ingin dicapai suamimu bila kelak kau telah berumah
tangga dan menghadapi urusan yang sama," demikian
ibunya sering menasihati Erika.
Air matanya tanpa terasa menitik.
Ingat kepada ibunya yang suatu hari pulang dari
luar kota dengan penampilan tetap menarik, tetapi
terbaring diam di dalam peti mati. Teringat pula ia
kepada papanya yang selalu bangga akan reputasi
yang telah ia capai, namun kemudian diketemukan
telah menjadi mayat di lantai sel penjara yang kotor
dan berbau busuk. "Hai. Lama benar bersoleknya!"
243 244 Seruan lembut itu menyadarkan Erika. Lewat
cermin ia lihat Alex berdiri di pintu kamar, memperhatikan. Cepat-cepat Erika menyeka pipinya lalu
memperbaiki riasan wajah yang sempat dirusak oleh
lelehan air mata. Sambil melemparkan seulas senyum manis
kepada Alex, ia bergumam dengan suara tersendatsendat, "Apakah aku" kelihatan cantik?"
"Aku malah ingin kau kelihatan jelek!" jawab
Alex. "Lho, mengapa?"
"Dengan penampilanmu yang seperti ini, Erika.
Aku takut, dia akan melamarmu, kemudian kalian
berdua mendepakku keluar rumah!"
Erika tertawa begelak. Seraya dalam dada, menyimpan perasaan bangga oleh pujian kekasihnya tercinta.
*** Dan tepat seperti yang dijanjikan, tamu mereka
muncul. Pukul sembilan malam persis, sebuah mobil
mulus memasuki pekarangan rumah. Sementara Erika
membereskan apa-apa yang ia perkirakan kurang
pantas di ruang tamu dan dalam hati dengan gemetar
berdoa agar urusan Alex malam ini membawa karunia, maka Alex sendiri pergi menjemput si pendatang
di beranda. Erika segera menyongsong ke pintu, dengan
senyuman manis yang pernah dihadiahkan ibunya
kepada tamu papanya, melekat di bibirnya yang
merah basah, manakala Alex muncul dengan seorang
laki-laki lain di belakangnya.
Laki-laki itu sedikit lebih tinggi dari Alex,
dengan tubuh yang padat berisi namun tidak
terlalu berlemak, berpakaian sangat mahal sebagai
lambang kehidupannya yang sukses. Alex sudah
pernah memberi sedikit gambaran mengenai relasi
pentingnya ini. Maka Erika tidak perlu heran, setelah
mengetahui tamu terhormat mereka itu bermata sipit
dan berkulit kuning dengan dahi yang licin. Parfum
yang ia pakai, seolah beradu harum dengan parfum
Erika sendiri. Demikian pula senyuman dan tatapan
matanya yang berseri-seri.
Alex memperkenalkan mereka berdua.
"Kau tak pernah mengatakan kalau kau
menyimpan bidadari secantik ini di rumahmu, Alex
"!" ujar tamu itu, berseloro.
Erika tersipu, sedang Alex tertawa bergelak.
"Jangan coba-coba menjamah dia, Om Tanu!"
katanya, berlagak mengancam.
"Oh!" Tanudireja, sang tamu dengan nama
yang pasti orang keturunan itui, pura-pura terkejut.
"Apakah istrimu ini galak?"
245 246 "Dia sih penurut, percayalah. Tetapi anjing
penjaganya, selalu siap melindungi dengan waspada.
Seperti ini...," Alex kemudian mengubah mimik
wajahnya menjadi sedemikian seram, dengan kedua
telapak tangan teracung ke depan serta jari-jemari
seakan mau mencabik-cabik apa saja yang tidak
ia sukai. Ruang tamu yang kecil tetapi nyaman itu
segera menjadi penuh kegembiraan. Erika yang
tadinya merasa tegang, perlahan-lahan menjadi rileks
dan dapat berbasa-basi dengan tamu mereka tanpa
perasaan segan sedikitpun juga. Dengan cepat mereka
menjadi intim. "Mengobrollah kalian sebentar. Akan kubuatkan
minum," ujar Alex suatu saat.
Erika bangkit dengan malu.
"Biar olehku, Alex"
"Tenang-tenang sajalah, Sayangku," Alex
tersenyum. "Om Tanu bosan melihat wajahku terusterusan. Sedang wajahmu, siapa yang akan pernah
bosan?" ia mengerling nakal, kemudian berlalu.
"Kau beruntung punya suami seperti Alex,"
desah Tanudireja, setelah mereka hanya tinggal
berdua saja. "Sudah lama kalian menikah?"
Erika terperanjat. "Kami belum... Eh, maksud saya, belum begitu
lama, Om." "Masih hangat-hangatnya, tentu!" kata Tanudireja menggoda, dan tatap matanya yang menjilati
wajah dan sekujur liku-liku tubuh Erika di balik
gaun malam merah darah yang membungkus ketat
tubuhnya yang memesona, lebih menggoda lagi.
"Ah, Om ini, bisa saja!" Erika pura-pura cemberut. Perasaannya mendadak tidak enak.
Untuk mengelakkan pembicaraan yang jelas
telah melantur itu, ia berkata sekenanya saja, "Oh ya.
Tentunya Oom Tanu yang punya perusahaan sepeda
motor yang merknya selama ini dipergunakan Alex
untuk balapan ya?" "Hem. Aku ini cuma distributor, Erika," sahut
laki-laki itu tersenyum. Ia tidak mempergunakan
sebutan nyonya, tetapi Erika tidak berprasangka
apa-apa. Toh memang ia belum menikah dengan
Alex, dan lagipula ia hanya "istri" seorang bawahan
orang itu. "Perusahaan perakitannya ada di Jakarta,
dan dimiliki oleh orang lain yang sayang sekali, tidak
ada hubungan keluarga denganku. Hanya hubungan
bisnis saja. Tak lebih."
"Dan Alex?" "Suamimu beruntung. Namanya yang populer
jelas sangat banyak membantu promosi hasil perusahaan. Bahkan aku sudah mengajukan usul tentang
pembukaan sub-agen baru ke kantor pusat. Tetapi
247 248 tadi siang aku memperoleh info, suamimu mungkin
tidak langsung jadi sub-agen. Besar harapan, ia
akan ditugaskan untuk permulaan, bagian dari sales
manajer. Menjajaki pemasaran baru di beberapa
tempat yang selama ini promosinya belum begitu
meluas..." Mereka lantas berbincang-bincang mengenai
apa saja yang akan dikerjakan Alex. Calon suaminya
itu akan memperoleh gaji yang lumayan besar,
ditambah bonus kalau dapat memperluas pemasaran.
Tetapi untuk itu, Alex mungkin harus sering pergi ke
luar kota, atau ke luar daerah.
Erika senang sekali mendengar penjelasan
tamunya bahwa akan diberikan kebijaksanaan khusus,
agar Erika diperkenankan ikut kemana pun Alex
pergi. "Ikut sertanya seorang perempuan muda dan
cantik, senantiasa memberi pengaruh positif untuk
seorang petugas pemasaran," kata Tanudireja memberi
petuah. "Tentu saja kami terpaksa mengeluarkan
biaya ekstra. Tetapi untuk mencapai tangga sukses,
orang harus berkorban, bukan?"
Erika mengangguk setuju. Dapat ia bayangkan, demi sukses karier
suaminya, maka ia tidak hanya menyertai Alex pergi
ke berbagai kota. Itu bukan pengorbanan, karena
mengikuti Alex dan senantiasa berada di dekat
pemuda itu, benar-benar suatu karunia yang ingin
selalu ia raih. Namun apa yang ia korbankan, tentu
saja harus ada pula. Bersolek terus menerus agar tetap
cantik dan menarik, sedikit tersenyum menggoda,
kalau terpaksa bersedia dijamah relasi, asal tidak
melampaui batas. Untuk itulah tentunya Tanudireja katanya
bersedia mengeluarkan biaya ekstra.
"Hem, saya rupanya akan diperalat, ya?" gumam
Erika menyindir. Sebuah sindiran manis, tentu.
Tanudireja terpojok. Untunglah Alex segera muncul dengan baki
berisi tiga sloki minuman yang warna dan baunya
menggugah selera. Lebih dulu ia meletakkan sloki
yang isinya lebih sedikit di depan Erika, baru
kemudian menyerahkan sloki lain untuk tamu mereka,
dan satunya lagi ia ambil untuk dirinya sendiri. Agak
tidak sopan, pikir Erika, namun maklum bahwa Alex
adalah seorang laki-laki dan mungkin sedikit gugup,
sehingga tidak meletakkan minuman yang pertama di
depan tamu, sebagaimana layaknya.
Mereka masih ngobrol ngalor-ngidul sebelum
tiba pada pembicaraan pokok. Alex mengerling pada
Erika. Yang dikerling, merasa kehadirannya tidak
dibutuhkan untuk beberapa lama, sampai nanti tamu
249 250 mereka pulang dan ia harus ikut mengantar sampai
ke pintu. Erika tidak tersinggung. Ia justru gembira, dapat menyingkir dari
percakapan yang mulai melelahkan itu.
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Belakang kepalanya berdenyut ketika ia berdiri
dan pamit untuk masuk ke dalam. Ah, betapa
lelahnya ia bekerja seharian mengurus rumah, belum
lagi memikirkan perbuatan iseng pemuda berandalan
tadi sore. Sekarang baru terasa betapa ia letih, malah
sedikit pusing, agak limbung ketika ia melangkah ke
kamar tidurnya. Erika tidak mengunci pintu. Toh ia nanti akan
keluar lagi. Lima menit kemudian, Erika terbaring letih di
atas ranjang yang besar, empuk, dan hangat. Udara
malam yang dingin menerobos masuk lewat celahcelah ventilasi jendela. Betapa pun Erika berusaha
melawan, toh kantuknya terus saja menyerang dengan
hebat. Tanpa berpikir panjang lagi, ia memadamkan
lampu kamar dan berharap tamu mereka tidak kecewa
karena tidak diantar pulang oleh nyonya rumah.
Makin lama Erika berbaring, bukan saja kantuk
yang datang. Diam-diam, sesuatu yang aneh merayapi dirinya.
Ia ingin tidur, tetapi sebaliknya ia juga ingin
tetap terjaga. Ia berharap pembicaraan yang sayupsayup sampai dari ruang depan segera berakhir, dan
Alex muncul di kamar, memeluknya, menciumnya,
dan membujuknya agar segera bermimpi indah.
Anehnya, Erika saat ini tidak peduli, apakah Alex
tidak hanya sekadar memeluk dan menciumnya.
Biar pun Erika sudah berjanji pada dirinya
sendiri, malam ini ia dengan rela akan menerima
kehadiran Alex di tempat tidurnya. Ia tidak akan
memperkenankan Alex mengunci diri di kamar tidur
yang lain sebagaimana mereka perbuat semenjak
tinggal di rumah ini. Oh, oh. Apakah ia tadi menutup pintu"
Menguncinya pula" Rasanya tidak. Dan ah, pintu
terusan jelas masih terbuka. Oh, Alex. hentikan
semua omong kosong itu. Persetan dengan masa depan. Aku membutuhkanmu sekarang!
Sekarang, Alex! Sekarang juga, perlakukanlah aku sebagai istrimu. Soal pernikahan dapat kita bicarakan lain kali!
Langkah-langkah kaki yang samar, terdengar
memasuki kamarnya. Erika menatap dalam kegelapan.
"Alex?" 251 252 "Ya, sayang," ia dengar sahutan setengah
berbisik, sepertinya sangat jauh.
"Mendekatlah, Alex?"
Sosok tubuh itu mendekat dalam kegelapan,
kemudian merangkak naik ke tempat tidur. Demikian
lambat dan ragu-ragu, sehingga dengan tidak sabar
Erika merenggutnya, sehingga tubuh mereka terasa
bersatu padu, hangat berapi-api.
"Oh, Alex, Alex! Jangan biarkan aku tersiksa
karena menunggu. Jangan biarkan, Sayangku. Oh,
Alex, aku mencintaimu..."
Kemudian ia terhempas-hempas dalam kegilaan.
Paginya Erika terbangun dan menemukan Alex
berbaring di bawah selimut, telanjang seperti dirinya
sendiri. Ketika ia belai rambut pemuda itu, Alex
membuka matanya, dan tersenyum mesra.
"... Aku malu sekali, Alex," bisik Erika.
"Mengapa?" "Janjiku telah kulanggar"
"Tetapi kau menyukainya, bukan?"
Erika mengangguk, malu. "Kau masih ingin?"
"Ya, Alex..." Dan Alex menggelutinya. Tidak segarang dan sekasar tadi malam.
Alangkah jauh perbedaannya. Alex pagi ini,
begitu lembut, begitu mesra, begitu penuh kasih
sayang. Sampai ketika itu berakhir, Erika sempat
menitikkan air mata. Ia membuat perjanjian baru.
Akan mengikuti Alex, kemana pun pemuda itu
pergi. Dan melakukan apa saja, selama pemuda itu
menghendaki. Dan, ya. Soal pernikahan, dapat mereka bicarakan kapan
saja. *** Kapan saja! Erika begitu berbahagia, sehinga ia tidak ambil
peduli waktu sekelompok pemuda lewat siang harinya
di depan rumah. Mereka berkerumun di bawah
sebatang pohon, sambil saling mencemoohkan satu
sama lain dengan teriakan-teriakan lantang.
"Apa kubilang" Jokinya Cina! Kau sih, sudah
budek, item, punya duit pun cuma recehan melulu.
Sudah deh, cari saja ayam murahan. Biar kudisan,
dagingnya toh tetap enak dikerjain!"
Yang diejek membalas marah, "E, menghina
ya. Belum tahu ya, bagaimana buta item kalau lagi
ngamuk" Ini, awas...!" ia memungut sebuah batu, yang
253 254 lantas dilemparkan. Terlalu tinggi untuk mengenai
temannya, dan tak pula teman-teman lain mencegah.
Batu itu terus melayang, melewati pekarangan
rumah yang ditempati Erika, dan menghantam kaca
jendela dengan keras. Seketika, jendela kaca pecah berantakan.
Bagai kena sambaran petir di siang bolong, Erika
yang tengah menikmati mie bakso di beranda depan,
terlonjak kaget. Mangkok mie terlepas dari tangannya.
Jatuh ke lantai, pecah berderai pula. Sebagian kuah
mie mengenai betisnya. Panas menggigit. Saking
terperanjat, ia hanya berdiri bengong.
Penjual mie bakso diam saja. Tidak berani
menegur para pemuda berandalan itu, yang kini
beramai-ramai mendekati pintu pagar.
Salah seorang berkata dengan nada menyesal,
"Maaf, Neng. Engga sengaja!"
Lantas seraya tertawa cekakakan, mereka kemudian berlalu begitu saja.
Erika jatuh terduduk di kursi beranda. Masih
terperanjat, ia dengar penjual mie bakso bergumam
lirih. "Biasa, Non. Mereka selalu begitu, kalau lagi
butuh uang "!" Penjual mie bakso itu kemudian mengumpulkan
pecahan mangkok di lantai beranda, kemudian berdiri
diam. Menunggu. Erika cepat-cepat masuk ke rumah, lalu
kemudian kembali untuk membayar mie bakso yang
baru ia cicipi kuahnya saja, ketika batu menghantam
jendela. Ia juga sekalian membayar mangkok yang
pecah, meski penjual bakso pura-pura memprotes.
Sambil berjalan pergi, penjual mie bakso itu
menasihati, "Uang, Non. Dengan dua atau tiga puluh
ribu perak, anak-anak itu akan tutup mulut!"
Apa" Erika harus membayar"
Mereka yang harus membayar ganti rugi.
Erika akan mengadukan pemuda-pemuda begajul itu kepada ketua RW setempat. Tetapi siapa,
dan yang mana rumah ketua RW" Ah, kalau saja Alex
belum pergi... Ataukah sebaiknya Erika lapor saja
ke polisi" Astaga. Ia, seorang anak Komisaris Besar
Polisi, telah dihina orang sedemikian rupa!
Terhuyung-huyung Erika masuk kembali ke
dalam rumah. Ia terhenyak di sebuah kursi berjok tebal,
dan dengan mata nanar menatap meja ruang tamu
di depannya. Meja itu tampak menganga, buruk.
Permukaan kacanya telah hilang sebagian. Tinggal
keping-keping yang tercerai berai di sekitar tempat
ia duduk. Dan di dekat kakinya, tergelimpang batu
besar, hitam dan kotor berdebu itu.
255 256 Tergelimpang diam, dengan pandangan menghina.
"Ya Allah," bisik Erika, gemetar. "Ada apa
sebenarnya dengan rumah ini?"
Tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang keliru.
Tidak tahu apa, tetapi mendadak ia merasa
takut.[] 22 ERIKA ingin jadi istri yang baik seperti ibunya.
Setiap orang di rumah harus dapat mengurus diri
sendiri, dan persoalan-persoalan kecil harus sudah
selesai begitu papa pulang. Dengan demikian papa
dapat rileks setelah lelah bekerja seharian di kantor,
atau dapat meneruskan pekerjaan yang terbengkalai
tanpa terganggu. Tetapi Erika belum menjadi istri Alex. Dan ia
sangat terhina! Oleh karena itu ia biarkan saja jendela depan
melongo. Begitu pula pecahan kaca ia biarkan
berhamburan di lantai. Batunya pun tidak ia usik.
Ia teruskan pekerjaan sehari-hari. Membersihkan
rumah, mempersiapkan makan malam, mandi, lalu
duduk di depan televisi sambil membuka-buka
majalah menunggu Alex pulang.
Namun tak satu pun acara televisi yang menarik
hatinya. Sudah lima majalah ia buka-buka, dan te257
258 tap sia-sia. Bahkan ketika Alex pulang menjelang
pukul delapan malam, pipi Erika yang pucat masih
bersimbah air mata. Ia membuka pintu untuk Alex,
dan membiarkan pemuda itu terheran-heran melihat
jendela dan meja tamu yang pecah berantakan. Ketika
ia melihat batu yang bergelimpang dekat kaki kursi,
keheranan Alex segera lenyap.
"Mereka...?" ia berbisik, parau.
Erika mengangguk sambil menahan tangis.
Lalu menuntut. "Katamu kau akan mengurus
mereka?" "Aku lupa," Alex mengeluh, seraya terenyak di
sebuah kursi. "Aku benar-benar lupa..."
"Kita harus lapor ke polisi, Alex!"
"Alaaa. Soal sepele begini. Tak usahlah dibesarbesarkan. Nanti bikin heboh saja," Alex mencoba
tertawa. "Lagi pula..."
"Temui mas Tom!", potong Erika, tajam.
"Siapa?" "Ajun komisaris Pratomo. Mantan ajudan Papa.
Dia akan..." "Erika, sayang!" Alex bangkit lalu memeluk
Erika dengan lembut. Terasa betapa gadis itu gemetar dalam pelukannya, sehingga Alex sendiri diam-diam merasa gelisah.
"Dengarlah. Aku akan mengurus anak-anak
sialan itu saat ini juga. Tak perlu kita gembar gembor
ke sana-sini. Dan ah... lagi pula kau sendiri bilang,
Pratomo itu mantan, bukan lagi ajudan papamu. Tak
pantas kita berharap pertolongan dari seseorang yang
tidak kita tahu isi hatinya. Siapa tahu..."
"Dia orang baik. Dia akan membantu!"
"Oke. Oke. Tetapi itu nanti saja. Kalau aku
gagal menangani anak-anak itu malam ini. Sekarang,
bersihkanlah lantai, ya" Aku akan mencari sesuatu
untuk menutupi jendela. Kau tak ingin maling
menyelinap diam-diam lewat jendela itu, dan tahutahu sudah berdiri di samping tempat tidurmu,
bukan?" Erika akhirnya mengalah. Meski tidak puas dengan jawaban Alex, ia
bersihkan juga pecahan kaca yang berhamburan,
dengan hati-hati agar tidak sekeping kecil pun pecahan
yang terlewatkan. Kemudian ia membuangnya ke tong
sampah bersama batu yang menjijikkan hatinya itu,
lantas membantu Alex memasukkan sebilah papan
kecil yang ditemukan pemuda itu di gudang. Jendela
tidak tertutup semuanya. Tetapi dengan menutupkan
tirai gorden angin tidak lagi merembes masuk, dan
cukup aman dari gangguan maling. Yang tahu-tahu
berdiri di samping tempat tidur, hiiii!
259 260 Mereka berdua makan malam tanpa banyak
bicara. Erika masih syok dan terhina, sedang Alex
tampaknya sedang memikirkan hal-hal lain yang
rupanya mengganggu pikirannya.
Agak ragu-ragu, Alex kemudian berujar hatihati, "Erika. Malam ini aku ada acara di hotel..."
"Oh ya?" sahut Erika, tak bernafsu.
"Kau mau ikut" Atau mau tinggal sendirian
di rumah?" tanya Alex, seraya menekankan kata
"sendirian" itu, sehingga Erika bergidik. Papan itu
jelas lebih kuat dari kaca, namun toh perasaan tidak
aman terus menggoda hati Erika, lebih-lebih ketika
ia teringat lagi tingkah laku pemuda-pemuda begajul
yang sering mengganggunya.
"Aku ikut!" ia cepat-cepat memutuskan.
Sepasang mata Alex bersinar-sinar terang.
Namun, suaranya rupanya ia tahan supaya terdengar
biasa-biasa saja ketika ia menjelaskan, "Mungkin kita
terpaksa bermalam" "Oke!" Alex bangkit, lalu berjalan ke pintu. "Kau
dandanlah. Bawa perlengkapanmu seperlunya saja,
asal yang rapi dan menambah kecantikanmu," katanya
sambil melempar senyuman mesra yang senantiasa
membuat jantung Erika dag-dig-dug. "Aku akan
menemui anak-anak itu sebentar."
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Barulah Erika tersentak. "Jangan sekarang!" ia mendengus, khawatir.
"Mengapa?" "Aku takut. Dan kau hanya sendirian?"
"Aku mampu menjaga diri sendiri, Erika.
Kau tahu itu, bukan?" Alex secara tidak langsung
mengingatkan Erika bahwa sebagai seorang pembalap. Alex cukup terampil agar tidak cidera, antara lain
dengan tekun mengikuti latihan bela diri.
Namun toh Erika merasa cemas juga setelah
Alex pergi dan baru merasa lega ketika tak lama
kemudian Alex pulang dengan wajah cerah.
"Beres!" ia berkata dengan puas. "Dan kau?"
Erika tidak perlu menjawab dengan kata-kata.
Pakaian dan dandanan yang ia kenakan, demikian
memesona, sehingga Alex hampir tidak percaya
bahwa Erika sedemikain cantik jelitanya. Pemuda itu
termangu-mangu sebentar, kemudian maju ke depan,
memeluk dan mencium Erika dengan campuran
birahi dan sayang. "Kalau aku tak ada janji, maulah aku menyeretmu
sekarang juga ke tempat tidur, Erika," ia berbisik
dengan suara gemetar. "Kau dapat melakukannya, Sayang. Nanti, di
hotel." kata Erika tersenyum, manis sekali. "Bagaimana kau membereskan anak-anak itu" Memukul
mereka?" 261 262 "Hanya menggertak. Dan ah, sorry Erika,
terpaksa kucatut juga nama dan pangkat mantan
ajudan papamu itu"," Alex tersenyum malu-malu.
"Mereka sampai menyembah-nyembah Erika, bahkan berjanji akan memperbaiki jendela maupun meja
yang rusak itu." "Wah. Apa kubilang. Nama mas Tom keramat
juga, bukan?" Erika tertawa senang. "Kita berangkat
sekarang?" Mereka meninggalkan rumah dengan mempergunakan sebuah taksi yang rupanya telah dipesan
pula diam-diam oleh Alex. Membayangkan akan
bersenang-senang di hotel setelah sekian lama
Erika tertekan oleh siksaan batin yang seolah tak
habis-habisnya, menyebabkan gadis itu setengah
terlena di jok belakang mobil. Ia memeluk Alex, dan
merebahkan wajahnya di dada pemuda itu dengan
mata terus terpejam. Alex balas memeluk, namun wajahnya tanpa
setahu Erika, tampak gundah.
Tiga orang pemuda yang baru saja keluar dari
sebuah bar dekat persimpangan jalan, melihat taksi
itu lewat. "Itu mereka pergi," kata yang seorang.
"Cari joki lagi!" rungut yang lain.
Orang ketiga tertawa mengejek.
Katanya, "Pokoknya, kita tetap dapat uang,
bukan" Perempuan itu bukan makanan kita. Kita
dapat mencari yang lebih murahan di Gang Lontar.
Oh ya, berapa tadi Alex memberi kau uang, Item?"
"Lima puluh ribu!" jawab yang ditanya, berpikirpikir sebentar lantas seraya tertawa menyeringai, ia
mengusulkan, "Bagaimana kalau di Gang Longtar
nanti kita borongan saja" Aku tahu yang namanya
si Marice. Dia mungkin akan protes sedikit, tetapi
biasanya hanya pura-pura. Percayalah, dia paling suka
beramai-ramai di ranjang. Dia sangat kuat, tahu?"
Acuh tak acuh, temannya mendengus, "Kau
bohong. Kudengar tadi, jumlah yang kau terima
seratus lima puluh ribu "!"
"He-eh. Tapi yang seratus, untuk mengganti
kaca jendela yang pecah..."
"Wah. Banyak amat!" temannya geleng-geleng
kepala. "Bagaimana kalau kita beli saja kaca murahan.
Uang lebihannya, dapat kita pergunakan untuk beli
minuman. Kita bikin Marice mabuk semabukmabuknya, baru dia kita kerjai!"
Dua yang lain menggumamkan persetujuan
dengan senang.[] 263 23 ALEX mendaftarkan mereka sebagai suami istri di
buku tamu hotel. Orang yang melayani mereka mulamula agak rewel menanyakan soal identitas, namun
tak banyak omong lagi setelah Alex menyebut sebuah
nama yang ia katakan om-nya dan pasti sudah tidak
sabar menunggu kedatangan mereka berdua.
Ketika berada dalam lift yang membawa mereka
ke lantai empat, Erika menggumamkan tanya, "Siapa
tadi nama yang kau sebut-sebut?"
"Tobar. Tobar Maninang"
"Nama yang aneh..."
"Dia orang Pare-Pare. Ada sedikit turunan
Philipina." "Kau bilang dia Om-mu"
"Hanya panggilan," Alex tertawa kecil, dan
membimbing Erika keluar ketika lift berhenti dan
pintu terbuka. "Hanya untuk mengertak orang itu
tadi." 265 266 "Nama keramat juga eh?" desah Erika seraya
mengagumi lantai karpet beludru warna merah hati
di lorong lantai empat yang adem-ayem serta sejuk
nyama oleh sapuan mesi pendingin.
"Dia seorang pejabat tinggi di kota ini, Erika."
"Oooo." Mereka memasuki kamar bernomor 437 untuk
dua orang. Kamar kelas satu yang lebih adem dan nyaman
lagi. Tempat tidurnya besar-besar, mewah, ada televisi,
lemari pendingin, lukisan cat minyak di dinding, serta
lampu-lampu antik yang bersinar lembut dekat setelan
meja tamu. Alex memasukkan tas pakaian yang tadi
ia tolak untuk dibawakan seorang portir, langsung ke
dalam lemari, cuci muka sebentar di wastafel lantas
menyeringai masam ketika ia lihat Erika langsung
tergeletak di tempat tidur.
"Kukira pertemuan itu sudah berakhir," ia
bergumam. "Om Tobar dan Om Tanu mestinya
sedang menunggu kita..."
Erika membuka matanya. Malas, ia bertanya, "Apakah aku harus hadir?"
"Kita tidak menginap gratis di sini, Erika."
"Oh!" Setelah merapikan dandanannya sejenak, Erika
kemudian mengikuti Alex pergi ke kamar lain yang
letaknya ternyata bersebelahan. Sebuah suite-room
yang lebih mewah lagi, dan benar saja kedua orang
yang disebut-sebut Alex telah menunggu mereka.
Erika sudah mengenal Tanudireja, cukong Alex dari
agen perakitan motor itu.
Mereka bertegur sapa dengan ramah, lalu
diperkenalkan kepada orang yang konon berdarah
Philipina itu. Ia sama sekali berwajah pribumi asli,
dengan kulit coklat kehitaman, pipi tertonjol kuat,
dagu keras, dan sepasang mata yang hampir terbenam
di bawah alis yang tebal dan nyaris bersatu di pangkal
hidung. "Senang berkenalan dnegan Anda, Erika.
Silahkan duduk," ujar orang itu sambil memperhatikan
Erika dari ujung rambut sampai ke ujung kaki,
dengan sorot mata yang membuat Erika tidak enak.
Ia lebih tidak enak lagi harus ikut mengobrol dengan
mereka yang tidak ada sama sekali hubungan dengan
kepentingannya hadir di situ.
Dari pembicaraan mereka, samar-samar Erika
dapat menduga Tanudireja bermaksud memasukkan
kredit sepeda motor besar-besaran di sebuah instansi
dan Tobar Maninang akan membuka jalan melalui
pengaruhnya di instansi dimaksud.
Oleh karena itu ia maklum mengapa kemudian
Alex berbisik di telinganya, "Bermanis-manislah.
Jangan bermuka masam begitu."
267 268 Lalu sesekali Erika memberikan senyuman
manisnya tiap kali Tobar Maninang melirik ke arah
dirinya, yang seolah lirikan tidak disengaja. Namun,
lirikan itu terlalu tajam dan menusuk sehingga
timbul pikiran dalam hati Erika untuk suatu ketika
memprotes Alex. Rasanya ia tak ubah dengan boneka mainan
yang harus tertawa atau bermain mata dengan gerak
monoton tanpa dorongan gairah sama sekali, sekadar
untuk menyenangkan hati sang bocah yang sedang
berulang-tahun. Sadar Erika gelisah saja, Tanudireja memberi
usul, "Mengapa tidak kau putar saja DVD player
itu, Alex" Biar Erika rileks selama kita teruskan
pembicaran bisnis kita?"
Atas persetujuan Tobar Maninang, Alex
kemudian menyetel DVD yang ada di kamar itu,
kemudian kembali nimbrung dengan lelaki-lelaki
yang lain setelah ia yakin Erika merasa senang dapat
duduk menyendiri. Nyatanya, beberapa kali Erika bermuka merah
padam, terkadang menarik nafas, terkadang gemetar
dengan gelisah. Betapa tidak, film yang diputar pada
DVD player, adalah sebuah film remaja produksi
Thailand, yang mesti ceritanya bagus namun adeganadegannya ada yang kelewat jorok dan memalukan.
Ia senang sekali ketika film itu akhirnya tamat,
dan pembicaraan bisnis seolah ikut tamat pula.
Tanudireja berdiri untuk pamit pulang. Alex
demikian pula, dan Erika mau tidak mau harus
menerima uluran tangan penghuni kamar yang orang
penting itu, sebelum pergi.
Orang tersebut melempar seulas senyuman
manis yang dibumbui kalimat yang lebih manis lagi.
"Jarang aku lihat gadis secantik Nona "!"
"Terima kasih," jawab Erika tersipu-sipu.
Di depan pintu kamar 437, mereka bertiga
berhenti. Tanudireja penyebabnya. "Ah, hampir saja aku lupa!" ia berkata, membuka
tasnya lalu menyodorkan sebuah kotak kecil ke tangan
Erika. "Untukmu..."
Erika bingung. Tetapi Alex menggamitnya, sebagai tanda
setuju. Sesudah mereka ada di kamar mereka sendiri,
Alex bersungut-sungut senang. "Bukalah kotak itu.
Pastilah kau takjub."
"Oh ya?" Erika meletakkan kotak itu begitu
saja di atas meja. "Perhiasan, kuduga. Cincin" Kalung
emas" Atau..." "Buka sajalah!"
269 270 Dan Erika kemudian takjub setelah melihat
dalam kotak itu tersimpan manis sebuah liontin
bermata satu dengan warna hijau tua yang sangat
mencolok. "Zamrud!" ia berseru, tak percaya.
"Dan pasti mahal sekali!" Alex menimpali.
"Kehadiranmu malam ini banyak menolong bisnis Tanudireja. Jadi, anggaplah sebagai komisi,"
Alex tersenyum lebar. "Mau dikenakan sekarang"
Bukankah kau selalu membawa kalung emas yang
kubelikan sepulang dari kampung?"
Belakang kepala Erika berdenyut-denyut.
"Besok sajalah," bisiknya.
"Lho..." "Aku agak pusing, Alex. Kukira tadi aku terlalu
banyak minum. Dan film itu..."
"Oke. Kau bawa obat tidurmu?"
"He-eh" "Minumlah sebutir. Lalu bersantailah"
Setelah menelan sebutir pil tidur, Erika kemudian
rebah di ranjang. Alex masuk ke kamar mandi, dan
waktu keluar lagi langsung mengikuti Erika.
Wajahnya kelihatan sedikit pucat, ketika ia
berbisik dengan suara gemetar,
"Aku menginginkanmu, Erika."
Erika belum mengantuk benar. Dan rangsangan
film tadi sedikit banyak ikut mempengaruhi nalurinya.
"Oke," ia mendesah lirih. "Matikan dulu
lampu." Alex memadamkan lampu kamar tidur. Kemudian membuka pakaiannya.
Baru dua kancing kemeja yang ia lepas. Alex
mendadak bersungut gusar, "Astaga. Catatan penting
itu tertinggal di kamar Om Tobar! Sialan benar! Tak
apa kutinggalkan sebentar?"
"Terserah," keluh Erika, mulai mengantuk.
Alex pergi. Rasanya lama sekali ia baru kembali.
Tahu-tahu saja dalam kegelapan sesosok tubuh
yang yang tampak kehitaman telah naik ke tempat
tidur, dan rebah di sebelah Erika dengan nafas
tersengal-sengal, seolah baru berlari jauh.
Erika yang sudah setengah tertidur, bersungut
malas, "Alex?" "Mmm..." "Rasanya.. aku mengantuk sekali "!"
Tetapi sebagai balasan, yang ia rasakan justru
gerakan yang semakin liar pada tubuhnya. Ia ingin
menolak kehadiran tubuh yang menghimpitnya,
namun seluruh tenaganya seolah-olah dikuras habis
oleh keinginan untuk segera pulas.
271
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
272 Akhirnya Erika hanya mampu mengeluh, "Oh,
Alex, Sayangku "!"
Dan esok harinya, Erika bangun agak siang dan
juga mengeluh, "Rasanya kau kok tadi malam berat
sekali, Alex. Seolah yang meniduriku bukan kau,
tetapi si Tobar yang gemuk itu!"
Alex tertawa renyah. Jawabnya. "Makanya. Kalau mau begituan, buang dulu obat tidurmu!"
"Apakah aku melayanimu dengan manis tadi
malam, Alex?" "Manis sekali. Sangat manis!"
"Aku tak menikmatinya, Alex."
"Kukira aku kelewat cepat," Alex menyesali diri
sendiri. "Tetapi kalau kau mau..."
"Oh. Nanti saja. Sekarang, aku ingin berenang
dulu!" Setelah mengantarkan Erika ke kolam renang
yang terletak di bagian tengah gedung perhotelan
megah itu, Alex meninggalkan Erika sendirian.
Katanya ia akan menemui beberapa orang relasi yang
ikut dalam pertemuan malam tadi dan menginap di
lantai enam. Erika mandi selama seperempat jam, berjemur
lima menit lalu kembali ke kamar mereka.
Ketika ia akan melangkah masuk ke lift, dari
salah satu ujung lorong ia melihat lewat tiga orang
perempuan muda dan cantik-cantik bersama seorang
lelaki yang baru saja turun lewat tangga lantai lobby.
Sekilas Erika terkejut. "Bukankah dia Alex?" rungut Erika sendirian.
"Katanya relasi..."
Ia bermaksud keluar lagi, tetapi lift telah naik.
Di lantai berikutnya ia bermaksud turun,
tetapi ada dua orang tamu yang sudah tua masuk ke
dalam lift yang berhenti dan sedang menuju ke atas
pula. Terpaksa Erika mengurungkan niatnya, dan
kemudian berjalan ke kamar begitu lift berhenti di
lantai empat. Dari jendela kamar ia meninjau keluar.
Ketiga perempuan itu tampak baru saja masuk ke
dalam sebuah taksi. Laki-laki yang menemani mereka
tidak kelihatan batang hidungnya.
Baru saja Erika mau melongokkan kepala lebih
keluar, telepon di kamar berdering.
Buru-buru Erika menyambarnya.
"Halo?" "Kaukah itu, Erika?"
"Oh, Alex. Dari mana kau tadi?" Erika bertanya
curiga. "Pertanyaan apa itu?" Alex protes. "Aku di sini
saja dari tadi. Dengan relasi-relasi yang kumaksud. Tak
273 274 kau dengar suara mereka?" dan lewat alat pendengar,
Erika menangkap suara gelak tawa, lalu percakapan
dalam bahasa yang tidak ia mengerti.
Erika hanya dapat mengira-ngira, tentulah
mereka menggunakan bahasa Jepang.
"Di kamar berapa kau, Alex?"
"612. Mengapa?"
"Ah. Tidak. Hanya, aku sangat lapar?"
"Pesanlah makan pagi untuk dua orang. Sebentar
lagi aku datang." Sebelum memesan makan pagi, Erika tanpa
berpikir panjang segera memutar telepon kamar 612.
Setelah dua kali deringan, telepon diangkat. Lalu ia
dengar laki-laki beraksen kasar menyahuti teleponnya,
"Halo?" "Dengan siapa ini?" tanya Erika dalam bahasa
Inggris. "Akira Kurosawa. Ada perlu apa, Nona?" suara
itu berubah lembut, setelah mendengar suara Erika
yang merdu. "Siapa Anda, kalau boleh saya tahu?"
"Oh. Nama saya tidak penting, Mr. Kurosawa.
Saya hanya ingin bicara sebentar dengan Alex!"
"Hem. Tunggu sebentar ?"
Dan Alex muncul di telepon dengan suara
gusar, "Kau menyelidiki aku, ya?"
"Pertanyaan apa itu?" Erika mengulangi ucapan
Alex tadi, seraya tertawa lega. "Aku hanya mau dengar,
apa yang kau ingini untuk makan pagi kita?"
Alex menyebut menu yang ia kehendaki.
Dan buat Erika, yang penting bukan soal menu,
melainkan kepastian bahwa yang tadi ia lihat bersama
ketiga perempuan muda itu bukan Alex adanya.
Maka, begitu Alex muncul di kamar, ia langsung
menyambut kedatangan pemuda itu dengan ciuman
mesra di bibir, lalu mengajak Alex bersantap pagi yang
sudah terhidang. Sambil makan, Alex menceritakan
betapa bingung menghadapi tamu-tamu orang Jepang
itu. Kalau tak ada penerjemah " Mr Kurosawa, pastilah
Alex lebih suka mengurung diri bersama Erika.
"Mereka cuma tiga orang!" keluh Alex, mencemooh. "Tetapi kalau lagi ngomong serempak,
seolah-olah kita tengah berada di tengah-tengah
pasar!" "Orang-orang penting eh, Alex?"
"Dari Kobe. Utusan perusahaan yang memproduksi sepeda motor yang selama ini ikut aku
promosikan di arena balap."
"Oh "!" "Tiga orang, uh. Tetapi rewelnya, minta ampun!" Alex geleng-geleng kepala.
275 276 Dan tiga orang gadis, terlintas pikiran itu di
benak Erika. Namun segera lenyap, begitu Alex mengutarakan
berbicara, "Siang ini aku harus ke luar kota. Bisnis,
tentu saja. Melihat urusannya, aku pasti akan sibuk.
Kalau kau ingin..." "Biarlah aku tinggal, Alex, kalau kau ingin aku
tinggal" Alex membelai pipi Erika. Lembut. "Aku harap
kau tidak kesepian, Erika"
Dan mereka mengurung diri hampir satu
jam lamanya di tempat tidur, sebelum kemudian
meninggalkan hotel dan pulang ke rumah mereka
yang kecil mungil itu. Baru juga mereka masuk ke dalam rumah,
dua dari pemuda begajul yang menakutkan itu telah
muncul dengan membawa dua lembar kaca dan
peralatannya. Saking tidak senang dengan kehadiran
mereka, Erika sembunyi saja di kamar membantu
membereskan pakaian-pakaian dan keperluan Alex
ke dalam koper. Andai saja ia lebih berkepala dingin sedikit,
tentunya ia dapat ngobrol dengan pemuda-pemuda
urakan itu sebagai tetangga baik. Paling tidak,
mengapa begitu datang mereka sudah membawa kaca
yang ukurannya sangat pas baik di jendela maupun
untuk meja tamu, seolah mereka sudah tahu dan
hapal benar apa yang dibutuhkan.
Pemuda-pemuda itu sudah menghilang ketika
Alex sudah siap berangkat.
Kaca jendela sudah terpasang. Demikian pula
kaca lapis meja. Erika senang melihat semuanya sudah beres
seperti semula, dan sambil merangkul leher Alex, ia
berbisik, "Cepatlah pulang, kekasih"
"Demi kau, sayangku" balas Alex.
Mereka kemudian berciuman.
Lama.[] 277 24 LEWAT tiga hari, Alex belum juga pulang.
Hari kelima, Erika dengan dua orang teman gadis
bekas satu sekolah pergi nonton film. Dari bioskop,
mereka lebih dulu ke butik untuk mengambilkan
pakaian yang dipesan Erika minggu sebelumnya.
Butik itu letaknya tidak jauh dari sebuah motel, hanya
dipisahkan oleh dua buah rumah saja, sejajar pula.
Dalam mobil, Erika dan teman-temannya sedang asyik menggunjingkan pak Anton, guru yang
pernah patah hati akibat perlakuan Erika, dan kini
konon sudah kawin, namun suka uring-uringan di
ruang kelas. Ketika mereka membelok memasuki halaman
butik, teman Erika bernama Santi mendadak berseru,
"Hai. Bukankah itu Alex-mu?"
Erika kaget. Mula-mula ia melihat ke butik, berharap Alex
tahu ia datang dan menunggu di situ. Tetapi temannya
279 280 menuding ke halaman parkir motel, tak sampai dua
ratus meter dari tempat mereka. Erika tidak melihat
apa-apa, kecuali mobil-mobil yang diparkir, dan dua
orang pembersih rumput sedang bekerja di taman
samping motel. "Ia sudah ke dalam!" kata Santi, meyakinkan.
"Alex" Pasti kau salah lihat," Deliana, teman
lainnya, menyalahkan, karena setahu Deliana, Alex
sedang ke luar kota, sebagaimana yang diberitahukan
Erika. "Salah lihat" Aku juga pengagum Alex, apakah
kau lupa" Bahkan aku yang memperkenalkan kamu
dengan Alex. Itu pasti dia!"
"Tapi...," Erika mulai ragu-ragu.
"Mari kita buktikan!" Santi memberi usul.
Mereka mundurkan mobil yang disetir oleh
Deliana, kemudian melaju memasuki halaman parkir
motel. Kedua orang pembersih kebun menghentikan
pekerjaan mereka, dan memperhatikan ketika gadisgadis muda dan manis-manis itu masuk ke motel
dengan pandangan curiga. Mereka berdua kemudian berbisik-bisik satu
sama lain. "Semuda itu!" "Cantik-cantik lagi."
"Sayang...!" Sementara di bagian penerima tamu, Santi dengan bernafsu menemui resepsionis motel, dan
bertanya nekat, "Kami ingin bertemu Alex. Kamar
berapa?" "Alex?" resepsionis itu perempuan, dan menyelidiki tamu-tamunya dengan pandangan tidak
senang. "Saya belum pernah dengar..."
"Dia baru saja masuk. Dengan seorang perempuan berblus merah darah, dan celana slack biru
ketat." "O, itu. Sebentar ?"
Resepsionis itu mengangkat telepon, berbicara
sebentar lalu teringat untuk menyuruh tamu-tamunya
duduk menunggu. Lima menit kemudian, perempuan yang berblus merah darah dan berslack biru ketat, muncul.
Ia menanyakan ada keperluan apa mereka dengan
dirinya. Tanpa basa basi, Santi langsung menembak,
"Bukan denganmu. Tapi Alex!"
"Alex?" gadis itu menatap bingung.
"Yaah. Teman laki-laki yang menyertaimu
tadi." "Ooo. Tunggu sebentar?"
Gadis itu pergi pula, dan muncul tak lama
kemudian muncul lagi disertai seorang pemuda yang
281 282 lebih tua usianya beberapa tahun. Tinggi tubuhnya
lebih kurang serupa dengan Alex, hanya ia gemuk.
"Perkenalkan," ia mengulurkan tangan. "Aku,
Sularko. Anda?" Berputar arah ke butik yang mereka tuju
setelah insiden kecil di motel itu diselesaikan dengan
"pemintaan maaf " dan "salah lihat orang", Santi
bergumam resah. "Aneh. Rasanya aku cukup kenal
Alex. Yang kulihat tadi pasti bukan si gemuk yang
menyebalkan itu!" Deliana tertawa. "Sudah kubilang sejak dari rumah, pakai
kacamatamu kalau mau bepergian. Namun, hem.
Dari sebelah mana tadi kau lihat dia?"
"Belakang, memang. Tetapi sempat..."
"Celananya warna apa?"
"Tak begitu kuperhatikan. Tetapi dia mengenakan jaket, yang warnanya sama dengan jaket
yang dipakai si gemuk tadi." Santi geleng-geleng
kepala lagi, ingin diterima pendapatnya. "Jaket balap,
tidak semua orang bisa memilikinya, bukankah
demikian?" "Si gemuk juga pembalap, siapa tahu?" cetus
Deliana. Masih bernada menyalahkan.
Erika diam saja. Ia baru merasa lega dan tidak was-was lagi ketika
mereka pulang ke rumah. Seorang pemuda menanti
mereka di beranda. Yang, kalau tak salah, dipanggil
Item. Seringainya membuat ketiga gadis itu muak,
namun kabar yang ia bawa dengan segera menjernihkan semua perdebatan.
"Maaf, saya mengganggu," Item berkata dengan
suara serak, sambil matanya larak-lirik menilai gadisgadis itu, seperti seorang koki menilai ayam mana
yang harus ia masak. Menjilati bibirnya yang memang
hitam kerontang benar, ia kemudian menjelaskan,
"Aku baru menerima telepon dari Al -- eh, Om Alex.
Interlokal." Seketika, Erika menyukai pemuda yang semula
sempat membuatnya jijik itu.
"Apa katanya?" ia bertanya dengan bernafsu.
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia.. eh, sakit!."
"Haa, apa?" "Tak begitu parah, katanya. Rupanya dia harus
mengikuti balapan, untuk demonstrasi. Tetapi karena
di Surabaya sedang hujan badai, dia terserang flu dan
harus beristirahat beberapa hari. Katanya dia sudah
baikan, dan tolong disampaikan bahwa dia akan
pulang sore ini juga"
"Syukurlah." 283 284 Dengan senang hati Erika membuka dompetnya.
Ia baru saja menarik ritsleting dompet, ketika Item
dengan lagak sok suci berkata memelas, "Tak usah.
Saya pantang menerima tip untuk sesuatu yang saya
kerjakan demi orang lain."
Pemuda itu menyeringai lagi, memperlihatkan
gigi yang tidak lengkap, dan sebagian kuning
kecokelatan karena terlalu banyak merokok, lalu
pamit. Dan begitu ia lenyap, kembali perasaan tidak
suka pada pemuda begajul itu menyelinap dalam hati
Erika. "Lagaknya, hem. Bukan main!" ia mencibir.
Deliana tertawa menyeringai.
Santi angkat bahu, rupanya kecewa tebakannya
sudah keliru. Santi lantas berjanji pada dirinya sendiri,
untuk selalu mengenakan kaca mata tiap kali ia akan
keluar rumah. Lantas, mendadak seperti teringat
sesuatu ia mengawasi wajah Erika sejenak. Lalu
bertanya heran. "Mengapa harus lewat orang lain?"
"Lewat orang lain apanya?" Erika balas bertanya.
Tak kurang heran. "Ponselmu?" "Ponselku?" Santi manggut-manggut. Lantas memperjelas
pertanyaannya yang misterius tadi. "Katanya, sakit.
Jika ya, siapa yang lebih dulu harus dia telepon?"
Sempat bingung sejenak, Erika kemudian
menangkap maksud Santi, lantas menyahuti murung.
"Kau sepertinya lupa, setelah kebakaran itu dan aku
pulang ke rumah nenekku di kampung, aku cuma
membawa pakaian yang melekat di badanku saja.
Jangan kata lagi, ponsel. Yang malah sudah terjual
jauh-jauh hari sebelumnya...!"
Sementara Deliana tampak terharu, Santi yang
memang dikenal tak suka diam itu, terus saja berkotek.
"Kau bilang, Alex-mu punya duit. Lantas, kok."
"Untuk enam atau tujuh setel busanaku
yang ada sekarang ini pun, belum lagi sepatu lalu
kosmetik, sebagian diperoleh dari hasil Alex nge-bon
di kantornya. Haruskah aku menuntut lebih banyak,
Santi?" Santi masih tak puas dan sudah akan membuka
mulutnya lagi ketika Deliana menguap lebar lalu
berujar bosan, "Rasanya aku mendadak rindu ranjang
tidurku yang belum dua hari dibelikan Mama itu..!"
Dan ketika mereka berdua berlalu lantas masuk
ke dalam mobil Deliana setelah lebih dulu pamit
pada Erika yang berdiri mengawasi dari beranda,
Deliana tampak berbisik-bisik tak senang pada Santi.
Yang juga balas berbisik dengan gerak tangan seperti
membela diri. Deliana sampai membantingkan pintu
285 286 mobil ketika sudah duduk di belakang kemudi, dan
membuat Santi tampak menunduk terdiam.
"Kasihan Santi," Erika membatin smbil masuk
ke dalam rumah."Padahal dia bermaksud baik"!"
Dan Erika malu sendiri sewaktu kemudian
secara tak sengaja melihat telepon rumah di sudut
ruang tengah. Andaikata Deliana apa lagi Santi tahu
bahwa telepon itu pun sudah diblokir, karena uang
yang dikumpulkan Alex untuk membayar tagihannya
bulan ini keburu pula terpakai.
Tak ada hujan tak ada angin, nenek Erika
menelepon dari kampung untuk memberitahu bayaran dan keperluan sekolah Luki sudah ditutup
olehnya. Lalu nenek Erika menambahkan, "Luki
ngadat. Minta dibelikan sepatu kikir, kuker atau apa
gitu. Dan tak ada yang menjualnya di pasar desa..!"
Nah. Ditambah uang belanja dapur yang terpaksa harus dikurangi, maka uang untuk pembayaran
tagihan telepon pun dibelikanlah sepatu merek Kicker
lalu dipaketkan Akex dengan segera. Supaya Luki
berhenti ngadat. "Dan nenekmu akan mendongeng
pada tetangga sekitar bahwa dia bakal punya cucu
mantu yang sangat perhatian pada orangtua"!"
tambah Alex, tertawa. "Hem," pikir Erika, sambil memasukkan
pakaian-pakaian kotor ke mesin cuci (Ah, yang
ini juga punya orang lain dan aku harus hati-hati
mempergunakannya!)."Apakah sudah waktunya aku
menagih janji Alex ketika aku masih di kampung.
Untuk membelikan ponsel" Blackberry, mungkin?".
Atau, jual saja liontin zamrud itu. Hadiah dari
Om Tanudireja. Tetapi " *** Menjelang tengah malam, Alex tiba di rumah.
Erika sengaja mengenakan gaun malam yang
seronok untuk menyambut kedatangan Alex. Mereka
berangkulan, dan saling berciuman di balik pintu
yang tertutup, bertukar sapa mengenai hal-hal sepele.
Alex setuju untuk memanfaatkan air hangat yang
telah disediakan Erika, menolak untuk makan malam
karena katanya masih letih dan kenyang.
Namun di tempat tidur, ia kembali menjadi
Alex yang patut dipuja-puja. Erika tak henti-hentinya
berdesah-desah, sampai akhirnya ia jatuh tertidur dan
besoknya bangun kesiangan.
"Kita kedatangan tamu nanti malam," ujar Alex
sebelum ia pergi meninggalkan rumah.
"Siapa?" "Relasi. Punya arti penting untuk pemasaran
di Surabaya. Dia tidak akan menginap, oleh karena
itu daripada di hotel dia kuminta datang ke rumah
287 288 ini saja. Ada surat-surat penting yang akan dia bawa
dan harus kuberikan pada Om Tanu. Sebenarnya dia
dapat melakukannya sendiri, tetapi lebih dulu aku
ingin melihat surat-surat itu. Aku berkepentingan,
bukan?" "Asal tidak melanggar kode etik, Alex-ku."
"Bisnis tidak kenal kode etik, Erika!"
Dan malam itu Alex pulang bersama seorang
laki-laki kecil kurus, namun berpakaian parlente,
mengenakan jam tangan bersepuh emas, pakai kalung
aneh pula, dan sempat Erika melihat tanpa sengaja
dalam tasnya demikian banyak uang.
Alex yang menghidangkan minuman, seperti
biasa. Dan Erika bertugas untuk menemani tamu
mereka berbincang-bincang, untuk memperintim
hubungan bisnis yang dijalin. Pembicaraan ternyata
sampai larut malam, sehingga Erika tak tahan dan
pamit untuk masuk ke dalam kamar karena kepalanya
terasa berat sekali. Heran, akhir-akhir ini ia seringkali merasa pusing-pusing, limbung dan tiap kali sesudah berbaring,
hampir tidak mengenal suasana dalam kamar tidurnya sendiri. Semuanya seolah-olah menari-nari
liar, mengajak, mengundang, menghina, sekaligus
merangsang. Dalam keadaan terkantuk-kantuk, ia sadari
seseorang naik ke tempat tidurnya.
"Alex?" ia berbisik setengah mengantuk.
Tak ada sahutan. Yang ada cuma gelutan, liar dan menggebugebu.
Betapa ringan dan mudah menguasai Alex,
malam itu. Erika seakan menggeluti anak kecil, tetapi
memiliki nafsu kelewat besar.
Erika menyukai keadaan itu, dan tertawa-tawa
saja waktu esoknya Alex memberengut marah. "Patah
tulang-tulangku kau buat!"[]
289 25 DAN, tibalah hari yang kelabu itu.
Dokter mengawasi wajah Erika dengan seksama,
lantas seraya bersandar di tempat duduknya, ia
bertanya lembut, "Apakah Nyonya seorang frigid?"
"Apa, Dok?" "Dingin di tempat tidur."
Erika tertawa renyai. Dengan nakal ia menggoda
dokter spesialis penyakit dalam yang berpostur gagah
dan tampan itu: "Sayang, Dokter bukan suami saya," ia geleng
kepala, seolah benar-benar menyesalkan hal itu.
"Kalau ya, Dokter akan terbakar setiap malam. Saya
lebih panas dari bara api, kalau mau tahu!"
"Aneh," sang dokter menganggap sepi pernyataan Erika. Ia sudah biasa digoda oleh pasienpasien perempuan, dan ia cukup kebal. Apalagi
godaan dari pasiennya ini, jelas bukan godaan sungguh-sungguh. "Apakah Nyonya menyukainya?"
291 292 "Menyukai apa, Dok?"
"Hubungan badani."
"Menikmatinya, kalau itu yang Dokter
maksud!" Pernyataan terus terang itu mau tidak mau
membuat wajah sang dokter bersemu merah. Ia
menahan senyum di bibir, kemudian menyimak
kembali laporan dari laboratorium yang tadi dibawa
Erika atas permintaannya pada pemeriksaan minggu
sebelumnya. Dengan mengetuk-ngetukkan kepala pulpen
pada kertas diagnosa itu, ia bersungut-sungut halus,
"Apa yang pernah minggu kemarin saya utarakan
kepada Nyonya, sekarang tak dapat dibantah lagi."
"Penggunaan obat tidur yang berlebihan?"
celetuk Erika, sabar. "Dan obat perangsang!" dokter menatap mata
Erika dengan serius. "Perangsang seks atau birahi,
yang dapat membahayakan tidak saja kandungan
Nyonya, tetapi juga kesehatan Nyonya sendiri. Masih
sering pening dan lesu?"
"Masih, Dok." "Bagaimana dengan obat yang saya berikan?"
"Agak menolong. Tetapi cuma satu-dua jam...,"
lalu seraya menarik nafas panjang, Erika kemudian
mengaku: "Kemudian saya membuangnya!"
"Membuangnya!" dokter meluruskan duduknya. "Mengapa?"
"Suami saya marah-marah."
"Karena?" "Katanya, dia lebih suka kalau kami berhubungan badan manakala saya bukan dalam keadaan
setengah tertidur namun sebaliknya, justru setengah
gila mengharapkan cumbu-rayu. Kadang-kadang kami bertengkar, dan dia sering merajuk lantas pergi
meninggalkan rumah. Tetapi saya tahu, dia cinta pada
saya. Dia akan kembali pada waktunya, dengan sikap
yang lebih manis. Jadi saya imbangi sikap manisnya
itu dengan mengalah. Dalam hal-hal tertentu..."
"Hem. Betapa ingin saya konsultasi dengan
suami Nyonya" "Sayang, Dok. Dia akan menolak. Pernah saya
bujuk. Tetapi suami saya seorang yang sangat sibuk
sehingga tidak punya kesempatan untuk mengurus
soal-soal sepele. Apalagi yang menyangkut hubungan
seks" "Masih sering meninggalkan rumah?"
"Ya. Kadang-kadang, sampai sepuluh hari.
Tetapi dokter," Erika tersenyum menggoda lagi.
"Tiap kali dia pulang, tiap kali cintanya makin
menggebu-gebu. Sering saya kewalahan sendiri. Itu
juga saya rasakan, apabila kami bepergian bersama.
293 294 Baik waktu menginap satu-dua malam di hotel dalam
kota, maupun waktu kami di luar kota?" Erika diam
sebentar. Kemudian, ia mengemukakan pendapatnya
sendiri, "Jadi, saya yakin benar. Dia bukan saja
seorang suami yang menyenangkan, tetapi juga sehat
dan kuat. Sangat kuat, dokter...!"
Dokter menyeringai mendengar ucapan Erika
yang terakhir. "Tentunya Nyonya puas. Dan bahagia"
"Persis." "Bagaimana dengan pernyataan Nyonya sebelum ini?"
"Tentang?" "Pengalaman-pengalaman aneh di tempat tidur,
sebagaimana yang sudah diceritakan sebelum ini.
Kadang bobot suamimu terasa jauh lebih berat dari
biasa. Tetapi lain kali, malah berubah ringan seperti
kapas. Beberapa kali berbuat kasar, menyakitkan, dan
pada waktu berbeda, lembut, memesona. Adakalanya
cepat sekali dia selesai tetapi pada malam-malam lain,
dia begitu ketagihan sehingga meski Nyonya sudah
letih, malah kata Nyonya pernah sampai sakit, dia
tetap ingin mengulanginya...?"
"Oh, dia memang suami yang hebat," Erika
tertawa lunak, sedikit malu-malu. "Tahu berbagai
macam variasi." "Variasi?" "Ah, masa iya Dokter tidak tahu?" Erika tersenyum. "Atau Dokter suka bermain kura-kura dalam
perahu?" Diam berpikir sesaat, spesialis penyakit dalam
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu kemudian balas tersenyum. "Nyonya sungguh
beruntung...," Ia diam lagi sebentar, berpikir. Lalu,
"Bagaimana bau nafasnya?"
"Biasa-biasa saja, Dok"
"Bau keringat?"
"Berubah-ubah. Tetapi itu lumrah, bukan"
Tergantung, dia minum atau makan apa sebelumnya.
Mungkin pula karena lingkungan di mana dia menyibukkan diri. Saya tidak merasa adanya keanehan
dari soal sepele semacam itu, Dok. Jadi..."
"Ingin sekali saya bicara dengan dia. Ingin
sekali," dokter bergumam, seolah pada diri sendiri,
mengulangi apa yang sebelumnya ia ucapkan. Kemudian dengan menekan kekecewaan, ia menambahkan,
"Sayang, ia menolak. Cobalah bujuk lagi dia!"
"Akan saya usahakan, Dok."
"Dan kalau dia menolak," sang dokter berubah
serius. "Katakan kepadanya, kebiasaan kalian di tempat tidur harus segera diubah. Saya tidak ingin melukai
hati Nyonya, tetapi saya terpaksa. Penggunaan obat
bius secara terus menerus, ditambah pula dengan
295 296 perangsang seks yang over dosis, bisa berdampak
pada kelumpuhan otak. Saya malah khawatir anak
Nyonya nantinya" Ah, bagaimana ya?"
"... lahir cacat, Dokter?"
"Apa lagi?" "Oh!" Seraya membayangkan anaknya bakal terlahir
cacat, Erika meninggalkan tempat praktik dokter
dengan gelisah. Yakin resep yang diberikan dokter
ikut menentukan kelanjutan hidup dan masa depan
anaknya di kelak kemudian hari, ia masukkan hatihati resep itu ke dalam tas tangan, lalu menggenggam
tas itu kuat-kuat, seolah-olah takut ada yang mau
merampas bukan hanya tas, tetapi juga resep di dalamnya..
Ia langsung pergi ke apotek.
Lalu duduk menunggu giliran obatnya selesai
dibuat, sambil mengawasi poster-poster yang ada di
dalam apotek. Ada poster mengenai perkembangan
anak setelah lahir, ada pertumbuhan ketika masih
dalam kandungan. Syukurlah, tidak ada poster yang
menakutkan mengenai anak-anak yang terlahir ke
dunia dengan kondiasi cacat yang mengerikan.
Dari apotek ia terus ke pasar.
Sudah tiga hari Alex di Palembang, dan katanya
akan pulang sore ini juga. Ia tentunya sangat lelah, dan
merindukan Erika serta jabang bayi mereka. Maka di
pasar, Erika membeli barang keperluan dapur untuk
menghidangkan makanan terlezat kesukaan Alex,
masuk toko untuk membeli sebuah setelan bagus
buat Alex, serta bahan-bahan keperluan bayi.
Lalu. ia akan duduk menunggu Alex sambil
menyulam. Selesai berbelanja, Erika mencari taksi yang
kosong. Tetapi pelataran parkir sepi dari taksi, kecuali
mobil-mobil pribadi. Yang lewat di jalan pun, pada
terisi semua. Sambil menunggu taksi kosong, Erika
berteduh di ujung pelataran parkir, dalam bayangan
atap bangunan sebuah toko. Dan diam-diam bersyukur
Alex sudah menjanjikan sepulang dari Palembang
akan mengreditkan sebuah mobil untuk Erika.
Meski mobil kecil dan bekas pakai, Erika tetap akan
menerimanya dengan lapang dada, dan menganggap
itu sebagai hadiah pengganti pernikahan mereka yang
tak kunjung terlaksana juga.
Orangtua Alex tetap tidak mengakui pemuda
itu sebagai anak apalagi pewaris. Erika pun sudah
berulang kali meminta Alex jangan mengemis kasih
sayang dari orangtuanya lagi. Mereka dapat menikah
kapan saja. Tak usah dengan pesta besar-besaran
seperti yang diharapkan Alex. Uang yang telah
297 298 mereka kumpulkan, serta perhiasan-perhiasan yang
mereka beli, ataupun terima sebagai hadiah, tidak
akan Erika hambur-hamburkan untuk pesta pora.
Alex katanya letih jadi sales terus-menerus, dan tetap
ingin membuka usaha sendiri.
Hem, berapa lama dan berapa banyak lagi
uang yang harus mereka kumpulkan, sehingga dapat
dipakai sebagai jaminan ke perusahaan agar Alex
dikukuhkan sebagai sub-agen"
Sebuah taksi berhenti tak jauh dari tempat Erika
berdiri. Ia bergegas mendekatinya, takut kedahuluan
orang lain. Dengan sabar ia menunggu penumpangnya
turun. Dan ia sudah demikian tidak sabar untuk segera
menerobos masuk ke dalam taksi, ketika penumpang
yang baru turun itu menatapnya dengan mata lebar.
Lantas berseru setengah kaget, "Erika, kau!"
Erika balas menatap. Tertegun, lantas berseru
pula dengan riang gembira. "Astaga, Nengsih. Apa
kabar?" Gadis itu kelihatan ragu-ragu ketika mereka
bersalaman, dan berusaha menghindari pandangan
mata Erika tiap kali mata mereka bertemu. Kelihatannya ia menyesali pertemuan tak terhindarkan itu.
Tetapi Erika yang sangat gembira ketemu teman
satu kampung, tidak memperhatikan hal itu.
Sambil memeluk Nengsih dengan mesra, Erika
berkata, "Kau kelihatan jauh berubah!"
"Oh ya?" "Tidak lagi seperti ketika masih di kampung.
Oh, kau tinggal di kota ini juga?"
"He-eh" "Dengan suamimu?"
Agak lama, baru Nengsih menganggukkan kepala. "Kapan kalian tiba dari kampung?"
"Oh. Aku berangkat sendiri dari kampung.
Ketemu suamiku di kota ini, lalu... yah, menikah!"
Nengsih tersenyum kecut. "Aku tinggalkan kampung
kita, hanya satu hari setelah kau pergi dengan Alex.
Oh ya, taksimu menunggu. Aku pun mau berbelanja
dulu. Bagaimana kalau kita ..."
Erika cepat menyela. Dengan bersemangat.
"Kita harus merayakan pertemuan ini, Nengsih. Ayo,
kita minum di sana!"
Dan Erika pun dengan cepat sudah menarik
tangan Nengsih yang kemudian setengah diseret
masuk ke sebuah restoran. Sambil wajah yang diajak
tampak jelas mengikuti dengan perasaan terpaksa.
Mereka kemudian duduk, memesan minuman
dan makanan sesuai selera masing-masing, sambil
mengobrol kian kemari. Erika bertanya banyak sekali
mengenai kabar di kampung, terutama mengenai
299 300 neneknya, dan adiknya Luki. Tentu saja Nengsih
tidak tahu. Toh ia meninggalkan kampung beda satu
hari dengan Erika, dan belum pernah pulang lagi.
"Mungkin tidak akan pulang-pulang," ia mengakhiri, gundah.
"Hai. Mengapa?"
"Ya ampun, apa yang telah kuucapkan?" Nengsih tampak terkejut sendiri oleh jawabannya, yang
kemudian cepat ia koreksi. Sambil tampak gugup..
"Eh, maksudku, tidak dalam waktu dekat ini "! Ya,
ya. Itulah yang aku maksud. Dan "."
Erika seketika menangkap gelagat, lantas menyela. Lembut, tapi menekan. "Kau menyembunyikan
sesuatu ..!" "Aku, eh. Aku tidak "!"
Dari gugup, Nengsih mulai berubah ketakutan.
Cepat Erika menggapai lantas menggenggam
erat tangan Nengsih yang bergemetar dengan tangan
kirinya, sementara tangan kanan Erika ia tepuktepukkan dengan lembut ke punggung tangan
Nengsih yang ia genggam. Lalu disertai senyuman mendorong, Erika pun
berujar tenang. " Tak ada yang perlu kau takutkan,
Nengsih. Aku ada di sini, bersamamu"!"
Dan Nengsih mendadak terisak-isak.[]
26 ERIKA bukan duduk. Melainkan, terduduk.
Begitu tiba di rumah pukul dua siang, ia duduk
terenyak di kursi depan. Tas belanjaannya ia biarkan
terguling di lantai. Sebagian isinya berhamburan. Juga
ia biarkan. Air mata melelehi pipinya yang pucat seperti
kertas. Jatuh membasahi blus-nya, menggenang,
lembab. Biarkan, biarkan! Ia duduk, dan duduk terus,
tanpa bergerak-gerak, malah dengan mata yang tak
pernah berkedip. Alex tidak di Palembang. Ia ada di kota ini, semenjak ia pergi tiga hari yang
lalu. Bahkan lebih mengerikan lagi, Alex tetap ada
di kota ini, setiap kali ia mengatakan pergi bertugas
keluar daerah, tanpa Erika ikut mendampingi.
Kalaupun Alex memang di luar kota, tanpa Erika,
tentulah ia selalu dengan Nengsih, atau dengan gadisgadis lainnya yang seperti Nengsih.
Seperti Nengsih" 301 302 Mengapa bukan seperti Erika sendiri"!
Betapa mengerikan apa yang dikisahkan oleh
Nengsih, si gadis desa yang lembut, perasa dan
terutama sebagaimana gadis-gadis desa lainnya, juga
lugu. Si gadis desa bermimpi tentang indahnya kota.
Alex datang, dan Nengsih pun terjebak. Terjebak oleh
bujuk rayu Alex ketika Alex pulang menjemput Erika
di kampung dan bertemu Nengsih. Bukan hanya
satu kali seperti yang dikatakan Alex. tetapi sudah
beberapa kali. Nengsih malah menunjukkan sepucuk
surat yang sudah kumal dan lusuh karena selalu ia
simpan sebagai kenang-kenangan, dan dibawa ke
mana saja ia pergi. Dalam surat itu, Alex tidak saja berjanji akan
memberi Nengsih pekerjaan yang menghasilkan uang
banyak, tetapi juga bersedia menikahi Nengsih. Dan
begitu entengnya Alex menyelinapkan dusta besar
dalam suratnya, "Aku jemput Erika karena terpaksa.
Kami sudah lama tidak cocok satu sama lain. Kami
akan mencoba lagi. Tetapi dapat kuyakinkan kau,
Nengsih. Kami pasti akan gagal dan gagal lagi"!"
Nengsih benar-benar menyusul Alex.
Kalau pun nanti ia gagal menikah dengan
pemuda yang ia kagumi itu, paling tidak Nengsih akan
memperoleh pekerjaan di kota, dapat menghidupi
dirinya bahkan keluarganya yang papa. Sehingga
ia tidak lagi harus menyerah pada paksaan untuk
menikah dengan seorang duda dengan dua anak,
pencemburu dan suka main pukul.
Alex memang menunggu. Di kamar yang terletak di bagian atas bengkel
sepeda motor yang hingar bingar dan menyesakkan
nafas itu. Alex tidak menyinggung soal pernikahan,
tantu saja. Baru permulaan, bukan" Alex hanya
menjanjikan perkerjaan menarik, dengan gaji besar
yang akan menyelimuti Nengsih dengan kemewahan
yang bahkan dalam mimpi indahnya tentang kota,
tidak pernah ia bayangkan. Nengsih begitu yakin,
apa lagi setelah Alex membawanya tinggal di sebuah
rumah kecil mungil, bagus potongannya, dan lengkap
perabotannya. "Untukmu, Nengsih," kata Alex. "Aku tahu kau
akan datang!" Beberapa hari tidak terjadi apa-apa. Tidak
lamaran pernikahan, tidak pula surat lamaran pekerjaan untuk ditandatangani. Lalu suatu malam, mereka
minum-minum berdua, sambil mendengarkan musik, dan kemudian suatu kepasrahan yang aneh mendorong Nengsih untuk menyetujui saja ajakan Alex
ke tempat tidur. Bedanya dengan Erika, perut Nengsih sering
mual kalau terus dicekoki minuman keras, tidak suka
303 304 menelan obat tidur karena merasa tidak ada gunanya.
Kalau terpaksa, ia akan membuangnya diamdiam. Ia ingin menanti Alex di tempat tidur, dalam
keadaan sadar yang seutuh-utuhnya, ingin menikmati
kebahagiaan mereka seutuhnya pula.
"Itulah sebabnya aku tahu, mengapa yang
naik ke tempat tidurku bukan Alex, melainkan
orang lain"!" terngiang-ngiang ucapan Nengsih
di telinga Erika. Ucapan yang disertai sedu sedan,
yang membuat mereka berdua jadi perhatian para
pengunjung restoran. "Yang lebih mengerikan lagi,
kemudian aku tahu pula dari pengakuan Alex sendiri.
Malam di mana keperawananku hilang, bukan dia
yang merenggut. Melainkan majikan Alex yang
bernama Tanudireja itu...!"
Lalu Nengsih pun mengalami hal-hal aneh yang
dialami Erika. Alex yang selalu datang ke tempat tidur, kemudian pergi untuk suatu keperluan. Katanya sebentar.
Entah ke kamar mandi, entah untuk menutupkan
jendela. Lalu dalam kegelapan, ternyata yang muncul
laki-laki lain. Kata Nengsih tadi di restoran, "Laki-laki,
yang naluri seksnya ganjil. keranjingan menyetubuhi
perempuan yang ia percaya sebagai istri orang lain!"
Nengsih menyeka air matanya, "Maka kemudian,
meski pun aku sudah tahu nasib yang kujalani, oleh
Alex aku tetap dipaksa untuk berbuat seolah-olah
aku istrinya, seolah-olah aku tidak sadar bukan dia
yang naik ke atas tubuhku."
Seorang pengunjung restoran mendekati mereka.
Orang tua yang baik hati, dan berujar simpatik,
"Kalian butuh bantuan?"
Mereka memang bicara dengan suara rendah
agar tidak didengar orang lain. Hanya saja Nengsih
tidak dapat menahan tangis, yang membuat mereka
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi sasaran perhatian. Erika yang sangat terpukul, masih mampu
menolak uluran tangan orang tua yang baik hati itu.
"Terima kasih. Kami baik-baik saja"
Dan mereka meneruskan mengobrol setelah
Erika mengantar Nengsih ke rumah yang ditempati
gadis satu kampungnya itu. Setelah mana kemudian
baru Erika pulang ke rumah yang "disediakan" Alex
untuk Erika-nya seorang. Rumah modelnya hampir
sama, dengan suasana yang juga hampir sama, serta
bualan tentang penghuni sebelumnya yang jelas-jelas
sama, si waria kaya raya dan sedang berkeliling ke luar
negeri. Padahal, menurut pengakuan Alex kepada
Nengsih, rumah-rumah itu memang telah disediakan
oleh majikan Alex demi memuaskan kebutuhan
305 306 seks mereka yang abnormal, sekalian berguna untuk
kelancaran urusan bisnis.
Nengsih katanya malu pulang ke kampung.
Dan akan bertahan di kota. Kota yang sebelumnya
ia jadikan mimpi-mimpi indahnya, tetapi kini
akan menjadi nerakanya. Neraka yang tak akan
membiarkannya bebas, ke mana pun pergi
Erika bukan saja malu. Ia terluka. Belum pernah
ia terluka seperti hari itu. Demikian besar luka yang
menganga di jantungnya, sehingga ia masih duduk
diam di kursinya, sampai malam jatuh, dan Alex pulang menjelang pukul sembilan.
Alex, yang menurut Nengsih, hari itu tengah
mengantarkan seorang gadis lain menemui relasi
mereka. Itulah rupanya arti sesuatu yang dirasakan Erika.
Rasa takutnya, terhadap rumah yang ia tempati.
*** Agaknya sudah mengetahui apa yang terjadi, begitu
masuk ke dalam rumah, Alex tidak bertanya mengapa
Erika tampak seperti orang yang sakit parah.
Alex memang gelisah, namun berusaha duduk
dengan tenang di hadapan Erika, dan bertanya,
"Baiklah. Apa yang ingin kau tanyakan, Erika?"
Setelah sekian jam hanya terdiam dalam duduk
yang mematung dan kebekuan yang menyiksa, Erika
ternyata masih bisa membuka mulut, agar telepas
dari jahitannya. Dan suara yang keluar dari celah bibir-bibir
yang pucat kebiruan itu terdengar lebih menyerupai
bisikan yang keluar dari liang kubur.
Dingin, menusuk. "Anak siapa bayi yang kukandung, Alex?"
Alex tidak menjawab. Tentu saja, pikir Erika, hampir gila. Dan tidak
sampai berperilaku histeris hanya dikarenakan tubuhnya seolah telah menyatu dengan kursi yang ia
terus duduki tanpa beranjak seinci pun semenjak tadi
siang. Tentu saja, Alex juga tak tahu, anak siapa yang
dikandung Erika! Pertanyaan kedua, lebih tegas. "Kau ingin aku
menggugurkannya seperti dulu, bukan?"
Juga tak ada jawaban. Dan Erika pun memberitahu Alex dengan khidmat, "Akan kugugurkan sekarang juga, Alex. Dan semoga kematiannya ikut mengutuk dirimu sampai kau
mati, sampai kau membusuk di neraka!"
Dan sebelum Alex menyadari apa yang dimaksud Erika, gadis itu telah menyambar jambangan
307 308 bunga dari atas meja tamu, menghantamnya ke tangan
kursi yang ia duduki. Lalu dengan kecepatan yang hampir tidak dapat
ditangkap mata, ujung pecahan jambangan campuran
kristal dan kaca yang tersisa di tangannya, ia hujamkan
dengan cepat dan kuat. Langsung ke lambung sendiri.
Alex seketika terlompat. Ngeri.[]
27 TEMBOK putih, langit-langit putih, tirai jendela
putih, sprei putih, benar-benar warna menjemukan.
Dan seolah-olah ingin mengubah kejemuan itu
menjadi ketenangan yang syahdu, tersimpanlah
dengan megah di atas meja dekat kepala ranjang
rawat, sebuket kembang ros merah jambu dengan
dedaunannya yang hijau segar.
Sambil memeriksa denyut nadi Erika, suster
berwajah oval dengan seragam yang juga putih-putih,
bergumam lembut, setengah iri. "Tidak terhitung
berapa banyak gadis yang ingin dikirimi kembang oleh
dokter Ginardi. Mereka semua sia-sia berharap...!"
suster itu tersenyum, manis, lalu menambahkan, sama
manisnya, "Hanya kau seorang yang beruntung, Dik
Rika!" Tanpa sedikit pun merasa bangga, Erika menyela
lirih. "Dokter Ginardi... Pernahkah aku mendengar
nama itu, Suster?" 309 310 "Pernah?" suster membelalak, heran. "Bukankah
dia yang merawatmu dulu, ketika pertama kali kau
diopname di rumah sakit ini?"
"Ooo," Erika jadi malu hati. "Jangan bilang ke
dia, aku lupa ya, Suster?"
"Boleh. Dengan syarat"
"Apa?" "Jangan kau remas-remas lagi pembalut luka di
perutmu, Dik. Dalam dua hari ini tiga kali sudah kau
melakukannya, sehingga kami semua kalang kabut...!"
"Maafkan, Suster."
"Tak apa. Lagi pula kau lakukan itu dalam
keadaan tidak sadar. Pingsan dua hari terus menerus
cukup mencemaskan bukan" Jadi kami semua
bersyukur pagi ini keadaanmu jauh lebih baik!"
Suster yang peramah dan perhatian itu menyelesaikan tugasnya, dan bertanya sebelum pergi, "Apakah kau membutuhkan sesuatu?"
"Hanya ingin minum, Suster."
"Siap. Pesanan akan diantarkan segera "!" kata
suster tersenyum, kemudian berlalu.
Yang kemudian muncul dengan minuman,
bukan suster tadi, melainkan dokter muda yang sudah
dikenal baik oleh Erika. Kecuali, tentu bahwa dulu ia
telah lupa menanyakan siapa nama orang ini. Mereka
bertukar sapa dengan senang hati disusul protes
berbau munafik dari mulut dokter Ginardi.
"Kau melanggar perintahku, Erika!"
"Oh ya" Apakah itu?"
"Kau boleh datang, tetapi bukan sebagai pasien!"
"Astaga, betapa pelupanya aku ini!" Erika ikutikutan munafik. "Apakah aku akan dihukum?"
"Kalau kau minum dengan rakus, ya. Tetapi
kalau kau rela kuberi setetes demi setetes, paling juga
kami tidak jadi melemparkanmu ke kamar mayat"!"
Tetes demi tetes air putih yang rasanya sangat
tidak nyaman, mana berbau obat pula lagi, kemudian
menyelinap masuk di antara celah-celah bibir Erika
yang pucat tapi kata Ginardi sudah mulai kemerahmerahan itu.
Sempat berlalu kebisuan yang menggigit, setelahnya.
Sampai kemudian Erika membuka mulut dan
bertanya murung. "Mengapa kalian menyelamatkan
aku, Dokter?" Ginardi tersenyum. Jawabnya, "Menuruti dinas, karena kewajiban.
Menuruti kata hati, karena takut. Kalau mau jawaban
yang lebih jelas, karena banyak orang yang mestinya
masih hidup, terpaksa harus mati!"
"Kalau begitu, kalian dokter-dokter ternyata
bersifat kejam dan jahat!"
311 312 "Lho, apa pula itu?"
"Banyak orang yang mestinya harus mati,
terpaksa masih hidup. Kalian telah memaksa aku,
dokter Ginardi..." sudut-sudut mata Erika berkacakaca. "Kalian semestinya membiarkan aku mati
saja!" Ginardi menggapai telapak tangan pasiennya. Ia
genggam dengan lunak, dan tanpa ia sadari, telapak
tangannya sendiri bergetar dengan tiba-tiba. Ujarnya,
"Jangan sia-siakan karunia Tuhan, Erika."
"Karunia, Dokter" Apakah perasaan terhina
seumur hidup, merupakan karunia" Kau tahu siapa
aku sebenarnya, Dokter" Tahu apa kerjaku selama
ini?" "Aku tahu," jawab Ginardi. Tenang.
"Karena aku mengigau?"
"Karena kau mengigau. Dan karena aku senang
membaca berita-berita menarik di surat-surat kabar
maupun televisi"!".
"Berita!" Erika terjengah. "Apa yang mereka
ceritakan tentang si gadis berlumur dosa ini,
Dokter?" Ginardi menggeleng-geleng, prihatin. "Tidak
satu pun dari mereka menyebut kata dosa, Erika.
Tetapi, hikmah!" Erika mengerutkan dahi. Terbingung-bingung,
"Hikmah?" Dokter muda itu mengangguk. "Mereka semua
bilang, berkat dirimu "!"
"Nah. Apa lagi, ini"!"
"Biar kujelaskan, Erika. Tapi garis besarnya
saja, ya?" Ginardi menarik nafas panjang sebentar, tak
ubahnya seorang guru yang sabar mempersiapkan
diri untuk menyusun sebuah persoalan yang mudah
untuk dicerna oleh murid-muridnya yang bodoh.
Lalu, dokter muda itu pun memulai.
"... Alex menduga kau sudah mati. Seketika
ia panik. Kemudian berpikir untuk menghilangkan
jejak. Ia pinjam mobil dari seseorang, dibawa pulang
ke rumah yang kalian tempati, dengan maksud
membuang mayatmu di sebuah tempat. Hem, sudah
kuduga, kau akan terperanjat. Tenanglah, Erika,
dan dengarkan saja lanjutan ceritaku...!" Ginardi
menepuk-nepuk punggung tangan Erika dengan
penuh kasih sayang. Dengan singkat ia menceritakan, bagaimana
Alex karena panik dan tergesa-gesa, telah membiarkan
mesin mobil tetap hidup dan kedua lampu depan
menyala terang benderang. Sekelompok pemuda
melihatnya, curiga, lalu mendatangi.
Mereka memergoki Alex sedang menyeret
tubuh Erika di beranda. Setelah sama-sama kaget
313 314 sejenak, pemuda-pemuda pengangguran itu lantas
memeras Alex habis-habisan. Rupanya permintaan
mereka terlalu tinggi, juga ingin pembayaran seketika
karena kata mereka, Alex sering tidak menepati janji.
Terjadi pertengkaran. Seorang tetangga yang sudah lama tidak
menyukai gerombolan pemuda itu, menelepon polisi.
Pihak berwajib datang dengan cepat, tepat ketika
Alex dan para pemuda itu mencapai kompromi
dan setuju bekerja sama. Terjadi keributan sebentar
karena gerombolan pemuda itu bermaksud melarikan
diri. Alex yang masih marah dan panik, menurut saja
waktu tangannya diborgol. Ia baru bertingkah, ketika
ia dituduh telah mencoba membunuh Erika dan
bermaksud membuang korban kejahatannya untuk
menghilangkan jejak. "Menarik!" Erika mendadak berseru.
Ginardi yang tengah mengingat-ingat apa saja
yang telah ia baca di surat kabar, sampai kaget.
Erika tersenyum, lebar. Ujarnya, "Menarik. Tuduhan yang sangat
menarik!" "Maksudmu?" "Alex mencoba membunuhku!" jawab Erika.
Dengan nafas yang mendadak terasa sesak oleh
pemikiran yang tahu-tahu sudah menari-nari di
kepalanya.. "Itu dia. Sebuah imbalan untuk apa yang
telah Alex lakukan selama ini terhadapku... Oh,
dokter!" Antara sadar dan tidak Erika menggenggam
tangan Ginardi kuat-kuat, kedua bola matanya
bercahaya-cahaya. "Aku gembira dan merasa amat
sehat hari ini, Dokter!"
"Syukurlah. Dengan begitu, kau dapat lekas
sembuh. Dan pulang!"
Erika terenyak lagi. Muram.
"Nah. Apa lagi, ini"!" entah sadar entah tidak,
sang dokter mengutip kata-kata yang tadi diucapkan
oleh Erika. Sambil wajahnya terlihat kuatir.
"Pulang, " gumam Erika, tidak kepada siapasiapa. "Pulang ke mana, Dokter?"
"Kudengar, kau masih punya keluarga. Seorang
nenek yang baik budi, dan seorang adik yang selalu
ingin membelamu mati-matian. Mereka akan..."
Erika menangis terisak-isak. "Mestinya kalian
biarkan aku mati saja, Dokter!"
Ginardi membelai rambut dan pipi Erika. Ingin
sekali, rasanya. Tetapi ia tahan sebisanya. Dan dengan
wajah gembira dan tampak puas, ia kembali angkat
suara. "Tenangkan hati, Erika. Kami sudah menghubungi nenek dan adikmu. Bahkan mereka sudah
datang kemarin siang, dan sore nanti akan berkunjung
kembali. Mereka sudah tahu semuanya, Erika. Mereka
315 316
Bunga Bunga Indah Berduri Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedih, tentu saja, tetapi mereka tetap mencintai dan
ingin membelamu mati-matian. Kau tahu, Erika"
Tim dokter yang membedahmu, sempat geger. Habis,
nenekmu main ancam segala. Akan mengadukan
mereka kalau kau sampai meninggal. Dan adikmu si
Luki, lebih hebat lagi..."
"Luki," Erika menangis dalam haru yang
teramat sangat. Ia sudah tahu apa yang diucapkan
Luki tetapi tetap ia ingin mendengar.
Lantas bertanya, "Apa ancaman Luki, Dokter?"
"Dia akan memukul kami semua. Katanya,
sampai rata dengan tanah!" dokter Ginardi gelenggeleng kepala. "Dia itu adik yang hebat"!"
Barulah Erika dapat tersenyum.
Ginardi bangkit. "Aku harus menemui pasien lain. Kuatkan hati
dan lekaslah sembuh, Erika."
"Terima kasih, dokter."
Ketika Ginardi mencapai pintu, Erika memanggil, "Dokter?"
"Ya, Erika?" Gunardi yang tadi melangkah
keluar dengan wajah sendu, membalikkan tubuh
dengan wajah bersinar-sinar penuh harap.
"Terima kasih juga untuk kembang-kembang
yang cantik itu!" Erika menggerakkan dagu ke buket
mawar merah jambu di atas meja.
"Ah, lupakanlah "!" Ginardi bersungut datar,
namun dalam hati, betapa ia bersorak bahagia.
"Dapat memetik di taman seperti dulu,
Dokter?" "Mmmm, yaaa...!"
"Hai. Bukankah di situ tertulis, dilarang memetik
kembang?" Erika menuduh.
Mau tidak mau, Ginardi menyeringai.
Lalu membela diri. "Dilarang, kalau disia-siakan, Erika. Tidak, kalau
demi menyelamatkan nyawa seseorang. Terutama
pasienmu"!" dokter Ginardi yang muda dan tampan
itu, menganggukkan kepala dengan hormat, lantas
berjalan keluar dengan bahu terangkat.
Ia siap menerima surat pemecatan, apabila
tindakannya merusak taman bunga rumah sakit
dianggap melanggar peraturan.
Tetapi kepala rumah sakit mengagumi kekerasan
hati Ginardi, dan menyukai cara kerjanya selama ini.
Kalau Ginardi sampai keluar, mereka semua akan
dapat kehilangan tenaga pilihan yang tekun dan
bersemangat. Oleh karena itu tidak ada teguran sedikit pun
ketika suatu hari, Ginardi memetik lagi bunga-bunga
mawar dari taman, dan menyusun sendiri bungabunga tersebut di sebuah buket kecil dan manis, lalu
menyodorkannya ke tangan Erika yang sudah bersiap317
318 siap untuk meninggalkan rumah sakit. Didampingi
nenek dan adiknya, Luki. "Bersama doa restuku, Erika," bisik Ginardi,
gemetar. "...dengan larangan yang sama seperti
dulu!" "Tidak datang sebagai pasien," Erika tersenyum.
"Baik-baiklah menjaga diri!"
"Dengan doamu, Dokter. Dan dengan bantuan
harumnya bunga mawar pemberianmu," Erika mencium bunga-bunga mawar merah jambu yang segar
bugar itu berlama-lama, dan terkejut manakala duri
yang tersembunyi, menusuk kulit pipinya.
"Hai. Pipimu berdarah," Ginardi ikut terkejut.
Erika tertawa. "Tugasmu untuk mengobatinya, Dokter!"
Mereka kemudian saling mengulurkan tangan.
Ginardi berkata memelas, "Mungkin suatu
waktu aku akan berkunjung ke rumahmu, Erika."
"Aku akan menanti dengan tangan terbuka,
Dokter. Asal kau penuhi dua permintaanku."
"Sebutkan saja."
"Pertama, kata kata "mungkin" itu lebih enak
kalau diubah jadi kata "pasti". Kedua, bukan karena
terpaksa!" "Bunga-bungaku tampak semakin indah, Erika!"
"Sayang berduri, Dokter!"
"Apakah menyakitkan?"
"Menyenangkan, Dokter. Sangat menyenangkan. Tusukannya, begitu lembut, begitu bergetar..."
"Tetapi jangan campakkan lagi, Erika!" Ginardi
mengingatkan peristiwa lama yang sangat melukai
hatinya itu. Erika terjengah. Malu-malu, ia menjawab, "Kalau tercampak,
biarlah ke dalam hati...!"
Luki yang dari tadi diam saja, tiba-tiba menengahi, "Oh, panasnya hari ini...," lantas kepada neneknya yang tersenyum-senyum senang, Luki menggerutu, "Tidakkah Nenek berkeringat"!"
*** DAN tibalah suatu hari. Udara tidak panas, tidak pula dingin, tidak
lembab. Namun toh Ginardi berkeringat juga, ketika
ia bertanya kepada Erika,. "Maukah kau kuperistri,
Erika?" Sebagai jawaban, Erika terkulai.
Kemudian menangis bahagia.
Ginardi jangan dikata lagi.
Langit, matahari, dan bumi, sampai merengut
masam, karena iri hati.[]
319 320 Tentang Penulis ABDULLAH HARAHAP kembali lagi!! Siapa sangka,
sosok yang dikenal sebagai
The Master of Horror Fiction,
juga layak dijuluki The Master
of Balada Romance yang sangat menghibur. Karya-karyanya melegenda. Seperti,
Tawa di Bibir Tangis di Hati,
Perempuan-Perempuan Tercinta,
Tatkala Cinta Mulai Berbunga, Hanya Kau yang Kupuja, dan masih banyak novel roman lainnya.
Kini tak perlu pergi ke lapak buku lama untuk
mencari-cari karyanya, karena Abdullah Harahap
yang sekarang aktif menulis skenario film ini, hadir
kembali dengan karyanya yang segar, menghibur, dan
selalu dinantikan. Abdullah Harahap yang lahir 67 tahun silam
itu membuktikan bahwa di tengah renta kehidupan,
karyanya masih tetap hidup, nyata, ada, dan menarik
untuk dibaca di setiap generasi.
Hilangnya Putri Duyung 1 Pendekar Pulau Neraka 14 Di Balik Caping Bambu Anak Harimau 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama