Ceritasilat Novel Online

Hulubalang Raja 2

Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Bagian 2


Bujang itu tidak berbunyi, berlaku kurang indah saja. Memandang pun ia tidak mau rupanya. Akan tetapi, sesudah diikatnya ketiga ayam itu erat-erat, melompatlah ia seperti harimau akan menangkap. Dengan sigap dicabutnya rencong dari sarungnya, seraya katanya, "Terlampau amat rundingan awak! Sejak selama ini tinggi bukit boleh kudaki, keras kayu boleh kutakik, terbelintang boleh kukudung! Engkau tak pernah mendengar siapa aku ini" Aku Hulubalang Raja di sini; mencencang tidak memampas, membunuh tidak membangun dan boleh berbuat sekehendak hati. Kalau engkau banyak cakap, hendak kuperpendek langkahmu, aku perbuntar bayang-bayangmu dan kupersingkat umur usiamu di sini jua! Ayo, hampir kemari!"
Orang yang punya ayam itu pun menggigil ketakutan, lalu undur dari sana.
Berkat berbalik pulang. Geli hatinya memikirkan hal si penakut itu. "Hum, kena gertak saja sudah buncah perutnya," katanya dengan senyum seringai.
Makin lama makin cepat langkahnya, sedang ayam dikepitnya jua di bawah ketiaknya. Hari telah petang dan ia telah dekat sampai. Bubungan atap rumah yang diturutnya sudah tampak kilau-kilauan dan berkilat-kilat kena sinar matahari yang hampir terbenam itu. Ia menuju ke rumah Datuk Bendarakaya, ayah Sutan Malekewi dengan Putri Andam Dewi di Kotagedang yang ramai permai. Rumah itu amat besar dan panjang, rumah berukir gajah mengeram. Anjungnya tiga buah, anjung suasa, anjung kemuliaan, dan anjung keemasan yang menghadap ke halaman. Di tepi sebelah ke muka halaman yang luas itu terdiri rangkiang beberapa buah; sekaliannya penuh berisi padi, hasil sawahnya yang luas-luas. Sesungguhnya Datuk Bendarakaya terbilang berada dalam negerinya. Kebun kelapanya bertumpak-tumpak, ternaknya banyak kembang biak; emas peraknya tiada ternilai, karena ia mempunyai tambang emas dua-tiga buah. Ia seorang penghulu yang adil, kesayangan rakyat Kotagedang, yang selalu dalam aman dan sentosa. Ketika si Berkat tiba di halaman, dilihatnya Sutan Malekewi tengah berdiri di muka pintu anjung keemasan itu.
"Sudah datang engkau, Berkat," katanya sambil tersenyum, "adakah dapat yang kaucari" Mujur, bawa kemari ayam itu."
Semalam-malaman itu keduanya bekerja keras; bujang Berkat selalu menggili-gili ayam, serta memberi makan dan minum. Sutan Malekewi mengikir-ngikir taji dan mengisai benang bulang.
Pagi-pagi benar Sutan Malekewi sudah memberi perintah kepada segala bujangnya. Si Berkat disuruhnya mengenakan pelana dan genta kuda tunggangnya, sedang inang Bunga Inai menyediakan pakaiannya. Ia hendak berangkat ke gelanggang dengan segera. Ketika dilihatnya kuda belang sudah terpaut di halaman, cukup lengkap dengan alat pelana yang indah-indah dan mahal-mahal harganya, ia pun berpakai-pakai dan bersiap-siap. Mula-mula dikenakannya celana gunting Aceh, yang berpucuk rebung dan bersulam dengan benang emas serta bertaburkan permata kedl-kecil dan halus-halus sehingga berkilat-kilatan bagai bintang di langit cahayanya. Kain sarungnya tenunan Keling; ikat pinggangnya candai berambu-rambu sutra yang tak hangus dibakar dan tak basah direndam. Bajunya beledu gandum, malam berwarna lumu t, tengah hari berwarna biru dan senja merah kilau-kilauan. Destarnya buatan Silungkang yang seindah-indahnya, caturan ranah Limapuluh, terhias dengan api-api yang gemerlapan dan gilang-gemilang. Setelah selesai lekat segala pakaiannya, lalu disisipkannya keris pendek buatan Jawa di pinggangnya " sebilah keris berkeluk tengah tiga keluk, yang amat tajam, bisa, dan sakti. Sutan Malekewi turun ke halaman, lalu naik ke atas punggung kuda putih belang sah. Pengiringnya; tiga orang memangku ayam, tujuh orang membawa taruh, sedang si Berkat menggenggam payung kemegahan. Mereka itu pun berangkat arah ke hilir. Makin cepat langkah kuda makin nyaring bunyi gentanya, genta kecil seru-menyeru, genta besar panggil-memanggil sehingga orang yang diam di kiri kanan jalan yang dilaluinya berkej utan dan bergemparan. Gadis-gadis berlarian ke jendela, menjenguk keluar dan berkata dengan berahinya.
"O, itu Engku Muda Sutan Malekewi, hendak pergi ke gelanggang Putri Bungsu di Pinturaya."
"Berbahagia Putri Bungsu, jika dapat memikat hati orang muda yang indah itu," kata gadis lain dengan iri hati.
"Masa akan putri itu pula yang akan dilayaninya," kata kawannya dengan kerenyut bibir mencemeehkan, "Saya tahu, ia pergi ke gelanggang bukan sengaja hendak menunang, melainkan hendak bertaruh berhabis-habisan. Lihatlah, alangkah banyaknya bawaan pengiringnya."
"Betul demikian agaknya," sahut gadis yang pertama dengan cepat dan lapang dadanya, "apalagi Putri Bungsu sudah bertunangan."
Sementara itu Sutan Malekewi berkendaraan terus juga, seraya menganggukkan kepala dengan senyum manis kepada gadis-gadis itu. Akhirnya ia pun sampai ke tempat yang ditujunya.
Sutan Malekewi naik ke atas balai, lalu duduk berdua dengan si Berkat. Dengan segera dibukanya sel apa h emas, dimakannya sirih sekapur dan dipetiknya rokok sebatang. Hari bertambah tinggi juga, helat jamu sudah datang dari jauh dan dekat. Sebentar antaranya datang pula Sutan Raja Bujang, tunangan Putri Bungsu. Ia memandang ke kiri dan ke kanan dengan heran sebab orang berduyun-duyun hilir mudik saja. Sejemang orang tiada menyabung. Ia pun berkata dengan nyaring, "Apa sebab belum berpadan lagi?"
Maka jawab menteri periksa, juara di dalam balai.
"Ampun, Tuanku Sutan Raja Bujang. Maka kami belum berpadan karena Engku Muda Sutan Malekewi baru datang pula. Itu dia duduk di atas balai berdua dengan si Berkat!"
"O," kata Sutan Raja Bujang, seraya berjalan ke dekat orang yang ditunjukkan itu, "Sutan Malekewi! Kalau sudah lepas payah badan Tuan, mari kita ke gelanggang, kita berpadan kini-kini, supaya boleh menuntut balas."
"Benar, itulah maksud kedatangan hamba, Sutan. Akan tetapi, mengapa bergegas betul" Takkan lari gunung dikejar. Mari kita duduk makan sirih dahulu. Sudah lama tidak ke rimba, bemban berubah gerangan kini."
"Hm, manis benar basa Tuan. Tapi adat menyabung, Tuan, perlekaskan! Coba lihat ayam hamba dahulu."
Dengan segera Sutan Malekewi berdiri dan meraba ayam lawannya. Ada sama besar dengan ayamnya. Sutan Raja Bujang pun berkata pula dengan senyumnya.
"Dan adat berpadan sama besar, Tuan. Tidak orang beri-memberi dan tidak orang minta-meminta, hanya berbulang sama kanan."
"Baik, sungguh begitu adatnya," sahut Malekewi dengan sabar. "Bulang sali, kacak sama, tinggal lagi mujur malangnya."
Keduanya sama-sama membulang dan memberi makan ayamnya masing-masing. Setelah selesai, mereka itu pun turun ke gelanggang, lalu taruh di tampin"bukan sedikit bilangannya. Ayam pun diojakan, dilepas, lalu berlaga dengan tangkas.
Tiada berapa lamanya ayam Malekewi kalah; taruh ditarik oleh lawannya. Dengan segera ayamnya disabung seekor lagi, itu pun kalah jua. Akan tetapi Sutan Malekewi belum cemas lagi, gelaknya manis berderai-derai juga. Ia berkata kepada si Berkat dengan tenang.
"Ambil ayam seekor lagi, Buyung. Kita berpuas-puas sekali ini supaya senang hati yang rusuh!"
Taruh bertampin pula. Bukan berbilang ribu, bahkan bukan berbilang laksa, melainkan rial bersukati saja. Orang berkeliling sudah bercengangan, gelinggaman hatinya melihat uang yang bertimbun-timbun itu. Mereka itu berasak-asakan, masing-masing hendak ke tengah sehingga lingkungan tempat ayam berlaga bertambah sempit rupanya. Makin lama ayam akan diadu pula, makin cepat dan deras debar-debar hati mereka itu, ingin hendak tahu kesudahan pertaruhan itu!
Ayam berlaga, lompat-melompati, berpupuh, patuk-mematuk, dan lapur-melapur dengan hebatnya. Akan tetapi tiada berapa lama antaranya, matilah jua ayam Sutan Malekewi yang penghabisan itu.
Sorak berderu dari pihak Sutan Raja Bujang, bagai bunyi batu runtuh, dan segala kemenangan pun diraih dan dikaut orang ke dekat tunangan Putri Bungsu yang beruntung itu.
Sutan Malekewi tiada berkata-kata lagi. Malu, rusuh, marah, sesal sudah bersilih ganti, berkobar-kobar di dalam kalbunya sehingga pucat pasi warna mukanya. Bukan harta yang berupa uang saja yang telah licin tandas. Kuda dan segala pengiringnya, lain daripada si Berkat pun turut dipertaruhkan pula; jadi, sekaliannya itu pun mesti meninggalkan dia juga.
Letih tulang Malekewi tegak berdiri, merengat peluh dingin pada segenap rongga bulunya dan rabun kabur pemandangannya. Ia pun berjalan dari gelanggang dengan terhuyung-huyung, diiringkan orang dengan cemooh dan cemeeh. Letih lesu rupanya sehingga kemudian ia terduduk di atas sebuah batu tinggi di belakang orang berjual barang makanan. Termenung, termangu-mangu tiada keruan.
"Berkat," katanya dengan sayu sedih tiba-tiba, "malang benar untungku ini. Menyabung tak mau menang. Selama gelanggang Putri Bungsu ini saja," lain daripada kealahan hari ini"tak ternilai lagi harta kuhabiskan. Sudah tiga buah kandang yang kosong, dua buah peti yang kupak, "sekian banyaknya emas habis. Semiang belum ada cariku lagi, melainkan sekaliannya itu cari Ayah Bunda. Julur jalar mereka itu mencari rezeki, tak pernah bertohor kaki, tapi aku gila menghabiskan saja! Sudah patut mereka itu marah kepadaku, sudah layak aku dibuangnya."
Ia mengeluh. "Tetapi, Berkat," katanya pula dengan perlahan-lahan, "berbaliklah engkau pulang. Minta pura kuning kepada Ayah Bunda, yaitu pundi-pundi yang banyak berisi emas. Kalau Ayah dan Bunda bertanya apa gunanya, katakan bahwa aku kalah main."
Berkat berjalan cepat-cepat, setiba di rumah, dimintanyalah pura itu.
"Apa perlunya?" tanya bundanya.
"Engku Muda kalah menyabung!" katanya.
Demi didengar Datuk Bendarakaya perkataan itu, ia pun bertitah dengan tenang, seraya menggelengkan kepalanya, "Hai, Berkat! Berbaliklah engkau ke gelanggang; tak dapat yang engkau minta, takkan boleh yang engkau jemput! Katakan kepada tuanmu bahwa kami berkuras bukan untuk dia saja."
Dengan sedih dan ketakutan si Berkat pergi mendapatkan tuannya, lalu disembahkannya pesan itu kebata-bataan.
Bukan main iba hati Sutan Malekewi. Gelap pemandangannya dan putus pengharapannya.
"Apa boleh buat," katanya seraya menarik napas panjang, "Cibir dan gamit orang banyak dapat kuderitakan sebab demikian adat dunia: sedang menang disayangi, dianjung-anjungkan, dan sedang kalah dihinakan! Akan tetapi bend orang tua, Berkat, tak tertanggungkan olehku. Dan bahwasanya Ayah dan Bunda sudah bend kepadaku! Alamat kampung akan tinggal. Kotagedang takkan kujejak lagi. Kami berdua bersaudara, sepasang bagai merpati. Sekarang seekor mesti terbang, dibawa untung nasibnya. Berkat, mari kita berangkat dari sini."
Ia pun bangkit dari kedudukannya.
"Tuan, ampun!" sembah bujang Berkat dengan sayu rawan. Berat kakinya hendak melangkah. "Tuan ...."
"Apa kehendakmu?" tanya Sutan Malekewi dengan pandang yang tajam, "Suka menurut atau tidak" Aku tak dapat kembali pulang lagi, pintu sudah tertutup bagiku. Lebih baik kita pergi ke Padang bersama-sama dengan saudagar emas. Kita boleh mencari untung di rantau orang."
"Bukan hamba tak mau menurut, Engku Muda. Ke mana saja Engku Muda pergi, hamba ikut. Akan tetapi rimba sakti, rantau bertuah!"
"Adat laki-laki; tunggang hilang berani mati. Jangan engkau khawatir! Kalau tidak dapat rezeki di Padang, kita berlayar ke negeri lain, ke Tiku, ke Pariaman, dan lain-lain. Kabarnya, sekarang laut amat ramai; kapal silang-selisih berlayar ke sebelah utara dan selatan."
"Engku Muda!" "Apa lagi" Tinggal kampung, tinggal halaman .... Begini maka senang hati ayah bundaku," kata Sutan Malekewi seraya berjalan dengan merajuk iba hati.
DISAMUN ORANG DI TENGAH JALAN
Mau tak mau si Berkat terpaksa menurutkan tuannya, yang berjalan makin lama makin cepat dengan tiada menoleh-noleh ke kiri dan ke kanan.
Hati Sutan Malekewi sangat sedih terhadap ayahnya karena permintaannya tiada diperkenankan. Sejak dari kecil sampai muda remaja seperti dewasa itu ia biasa manja dan riang, biasa berenang di laut kekayaan dan kemewahan. Barang apa kehendak dan kesukaannya tiada pernah tersangkut; apa saja boleh diperbuatnya. Bapak kaya, bunda bertuah, ia pun disegani orang dalam negeri. Apa pula yang akan disusahkan dan dihiraukannya" Tiba-tiba hati yang lepas unggas, rasa dan pikiran yang lapang longgar itu ditahan dengan renyuk, dikongkong dengan sekebat erat. Ia berontak, darah muda melawan dengan ingkar. Lupa akan kemuliaan dan kesenangan ia pun melangkah arah ke sebelah barat. Pikiran dan ingatannya ketika itu hanya sebuah; hendak menjauhkan diri dari kampung halaman; sebab malu kalah main"tidak tertuntutkan balas sedang ayah bunda sudah marah berang pula.
Jalan yang ditempuhnya lengang dan sunyi, kiri kanan rimba raya belaka. Meskipunmerekaitu tiadakepanasanbenar sebab sinar syamsu hampir tak dapat sampai ke tanah " tertahan dan kelindungan oleh dahan dan daun kayu-kayuan"tetapi ketika tiba dan berhenti di hadapan sebuah lepau kecil, mereka itu pun teramat letih rupanya. Mereka duduk terperanyak dan terengah-engah di atas sebuah pelantar, di bangku panjang. Peluhnya menganak sungai dan napasnya turun naik amat kencang karena kepayahan mendaki berkepanj angan.
Sejurus kemudian Sutan Malekewi menyuruh si Berkat menanyakan kepada orang lepau, kalau-kalau mereka itu boleh menumpang agak semalam di situ.
Si Berkat pergi menyampaikan titah tuannya itu.
"Boleh," kata orang lepau itu dengan manis kepadanya, "sebenarnya di sinilah tempat saudagar-saudagar emas yang hendak pergi ke Padang bermalam. Ada juga pemalaman lain, tetapi jauh lagi"di balik bukit ini. Masuklah Sutan, berapa orang?"
"Hanya dua orang," jawab si Berkat.
"Baik, di dalam sudah ada kawan beberapa orang."
Ketika Malekewi masuk diiringkan bujangnya, orang lepau itu heran melihat parasnya yang elok dan pakaiannya yang indah-indah kilau-kilauan. Tergigit lidahnya hendak berkata-kata dengan dia. Sementara itu seorang yang telah agak tua, tetapi tegap tubuhnya dan panjang misainya, datanglah dari belakang ke dekat mereka itu.
"Ini Saudagar Raja Bungsu, Sutan," katanya memperkenalkan Sutan Malekewi dengan orang itu, "Ia hendak ke Padang juga, boleh akan teman Sutan di jalan."
"Sutanhendakke Padang?" tanya orangitu, sambil menjawat salam Sutan Malekewi danmemperhatikan tubuhnya sejak dari kepala sampai ke tumitnya, "Apa dibawa, Sutan" Eh, mari kita duduk ke dalam bercakap-cakap."
Di dalam lepau itu, Sutan Malekewi dan si Berkat melayangkan mata berkeliling. Di antara orang yang duduk di situ"delapan orang banyaknya"tiada seorang jua yang dikenalnya. Lapang rasa dadanya! Dengan tertib-sopan ia pun menyorongkan tempat rokok kepada mereka itu.
"Bagus benar selapah ini," kata Raja Bungsu sambil memegang dan membuka tempat rokok itu, "emas berpadu belaka."
"Barangkali isinya tiada cukup lagi; isaplah, Tuan," kata Sutan Malekewi dengan senyum manis.
Raja Bungsu memandang kepada orang muda itu tenang-tenang; kemudian kepada si Berkat pula. Ia tersenyum, katanya, "Jadi/ Sutan hendak ke Padang?"
"Benar, Tuan," jawab Sutan Malekewi dengan sopan.
"Mengapa" Saya lihat, tak ada Sutan membawa barang dagangan."
"Tidak. Kami hendak mencoba-coba melantaskan angan di negeri orang."
"Sejauh itu?" sahut Raja Bungsu sambil menggelengkan kepala, "Saya patut dengan akal, saya timbang dengan pikiran, Sutan tiada berkekurangan."
"Rupa tak boleh dijadikan pedoman, Tuan. Saya harap supaya perkara itu jangan diperpanjang. Tambahan pula saya minta, sudi kiranya Tuan membawa kami seiring ke sana."
"Itu mudah! Tetapi, jangan Sutan menyesal kelak. Sebab saya yakin, Sutan berjalan dengan tiada seizin orang tua! Lebih baik berbalik pulang. Jalan jauh dan susah. Jangan diperturutkan hati risau, jangan dibuang-buang badan yang seindah setampan ini!"
"Biar saya coba hidup baru, Tuan. Selagi umur masih muda."
"Susah, kata saya. Daerah Padang, Pauh, dan Inderapura serta seluruh Pantai Barat sedang kacau, "dipengaruhi oleh bangsa Belanda/kompeni dan orang Aceh, yang berebut-rebut kekuasaan dan harta kekayaan. Kami ini, Sutan, kalau tidak perlu benar, kalau tidak didesak kesulitan hidup sehari-hari di kampung, tidak berani pergi berniaga ke sana sekarang ini. Di mana-mana ada perampok dan penyamun. Sebab itu baiklah Sutan perhatikan nasihat saya tadi, pulang kembali."
Akan tetapi karena hati orang muda itu amat keras hendak pergi juga, ketua saudagar emas itu pun terpaksa menerima permintaannya. Malekewi dan si Berkat dimasukkan oleh Raja Bungsu ke dalam kawanannya, akan dijaganya di jalan seperti ketujuh orang yang lain-lain.
Sampai pada waktu makan, mereka itu duduk bercakap-cakap dengan riang. Setelah habis makan, mata mereka itu berat sudah. Kuap telah berapi-api, meskipun hari belum malam benar lagi. Pertama sebab badan penat-penat sesudah berjalan sehari-harian, kedua karena hawa teramat dingin.
Memang sejuk hawa di situ, sampai ke tulang rasanya sebab letak tempat itu amat tinggi dari muka air laut, di puncak Bukit Barisan, yang membatasi daerah darat dengan pesisir.
Akan tetapi, mereka itu tiada boleh sama-sama tidur sekalian-nya. Sebagian harus duduk berjaga-jaga, supaya jangan kemalingan. Apabila bagian yang berjaga mula-mula telah habis gilirannya, yaitu kira-kira tengah malam lewat sedikit, maka bagian yang tidur itu pun dibangunkan akan berjaga sampai pagi pula.
Pada malam itu Malekewi dan bujangnya belum diberi giliran lagi. Jadi, mereka itu boleh tidur sesuka hatinya. Akan tetapi, Malekewi hampir tak ada sedikit jua memejamkan matanya. Dalam selubung selimut yang dipinjamkan ketua saudagar kepadanya, menjalarlah pikirannya ke kampung halamannya. Walau iba hatinya kepada orang tuanya dapat memadakan tidur di lantai dan kedinginan sekalipun, tetapi Putri Andam Dewi tak dapat dihilangkannya dari dalam ingatannya. Tampak-tampak olehnya bagaimana adiknya yang sangat dikasihinya itu nanti-nantian, bagaimana suram mukanya memandang ke halaman dan ke jalan besar, apabila ia terlambat bangun ....
Tidurnya sangat gelisah. Sebentar ia miring ke kiri dan sebentar miring ke kanan, bergelung, sedang seluruhbadannya gemetar rupanya. Sekalian saudagar emas yang duduk berjaga itu belas kasihan akan dia, seraya berkata, "Ah, awak biasa senang, biasa tidur di kasur tebal. Tiba-tiba dibawa larat menurutkan hati risau!"
Pagi-pagi benar mereka itu sudah sibuk bersiap. Barang-barang diperiksanya, dinaikkannya ke atas punggung kuda beban karena mereka itu hendak berangkat dengan segera.
Setelah sele sai makan pagi dan minum tuak seteguk seorang, dan setelah diselesaikan hitungan dengan orang lepau, mereka itu pun berjalan beriring-iringan. Si Berkat menggiring kuda beban. Malekewi senantiasa ada di sisi Raja Bungsu, yang telah mengasihi dia sebagai saudaranya. Angin berembus sangat sejuk, kabut basah berarak-arak amat tebal sehingga tiada dapat ditembus pemandangan. Sekeliling mereka itu putih semata-mata. Oleh sebab itu, mereka itu pun harus selalu berhati-hati, hemat cermat melangkahkan kakinya, supaya jangan beroleh kecelakaan. Apalagi jalan yang ditempuh mereka it u amat kecil, "di atas punggung bukit pula!
Ketika sampai pada suatu tempat yang datar, mereka itu pun berhenti sebentar. Hari telah cerah, kabut tidak ada lagi karena sinar matahari sudah dapat memperlihatkan kekuasaannya.
Amat lapang dan jauh pemandangan dari situ, dari tempat ketinggian. Jauh membentang ke sebelah timur, utara, dan selatan kelihatan rimba raya. Di sana sini tertimbun bukit dan gunung yang hijau biru warnanya. Di sebelah barat terhampar lautan besar; amat dekat rupanya, seakan-akan ada di bawah kaki! Dengan sekali lompat saja serasa akan sampai ke situ, meskipun sebenar-benarnya bukan main lagi jauhnya. Puncak kayu besar, yang telah beratus tahun hidup subur di dalam jurang, tiada pernah diganggu tangan manu sia, kelihatan berwarna-warna puspa ragam. Yang dekat di bawah kaki mereka masih kelam kehitaman. Yang ja uh di tepi laut kilau-kilauan bagai zamrud sebab telah ditimpa panas matahari yang jolong naik dan di sisinya serta di kiri kanannya bertelau-telau, ada yang kekuning-kuningan kena bayangan cahaya, dan ada pula yang ungu kelindungan.
Patut benar tempat itu dinamai Sitinjau Laut sebab sungguh jelas Lautan Hindia ditinjau dari situ. Di dalamnya kelihatan pulau, ada yang tercerai sebuah-sebuah dan ada pula yang berkelompok dan bergugus, terang nyata karena di belakangnya terbabar lengkungan warna putih dari pertalian tepi laut dengan langit, yaitu watas pemandangan.
Dari situ mereka yang sepuluh orang itu menurun terus ke sebelah barat. Jalan senantiasa melereng bukit yang ditumbuhi rimba raya juga. Hawa lembap, tanah kebanyakan basah sebab air yang bertitik-titik dari batang dan daun-daun kayu menyerap ke bumi yang hampir tak pernah kepanasan atau mengalir mencari tempat yang rendah, makin lama makin bertambah banyak sehingga akhirnya menjadi sebuah anak sungai. Perkumpulan air anak-anak sungai itu pun menjadikan sebatang sungai yang besar. Sejauh-jauh perjalanan tiada lain kedengaran, kecuali derum air terjun atau serasah, melainkan suara bermacam-macam binatang hutan dan margasatwa. Aum harimau mendirikan bulu roma dan mengejutkan kuda beban sehingga ia bertingkah, tak mau berjalan lagi.
Perjalanan mereka itu diukurkan benar-benar, jangan sampai kemalaman di dalam rimba lebat itu. Petang hari mesti tiba di teratak, tempat bermalam. Demikian senantiasa sehingga lama-kelamaan mereka itu bertambah dekat jua ke tempat yang ditujunya.
Selama dalam rimba belantara saudagar emas itu boleh dikatakan tiada menaruh waswas atau khawatir. Kepada binatang buas, kepada beruk, lutung, dan kera yang bergapaian pada akar yang berjela-jela dan berlompatan dari dahan ke dahan, mereka itu tiada takut benar. Binatang itu dapat dielakkannya, atau dienyahkan. Akan tetapi, makin dekat ke kampung orang, istimewa tatkala asap negeri Pauh telah kelihatan bagai kabut naik ke udara, makin berdebar-debarlah hati mereka itu. Pemandangan harus bertambah ditajamkan, pendengaran bertambah dinyaringkan dan senjata tiada boleh lagi dijauhkan dari badan sebab mereka itu takut akan disamun orang.
Memang Pauh ketika itu terbilang sarang penyamun!
Senja hari mereka itu pun sampai kepada sebuah teratak kecil. Di situ ada terdiri tiga buah pondok yang tinggi, terbuat dari dahan-dahan kayu yang diperapit-apitkan dengan kukuhnya, yaitu tempat kediaman orang utas dengan istrinya. Raja Bungsu memberi perintah kepada kawan-kawannya, akan berhenti di situ.
"Asap negeri Pauh sudah tampak, dekat benar dari sini rupanya kata Malekewi, sambil melayangkan mata ke sebelah barat dari suatu tempat yang ketinggian, "lebih baik di sana saja kita bermalam, Tuan."
"Masih jauh, Sutan," kata Raja Bungsu, "waktu isya belum sampai lagi kita ke sana, dan sia-sia benar melalui negeri itu malam hari."
Barang-barang perniagaan dibongkar dari punggung kuda, lalu dinaikkan ke atas sebuah pondok, yang telah biasa juga ditempati orang dagang yang kemalaman.
Malam gelap dan sunyi. Sesudah makan dan minum, mereka itu bersiap hendak tidur dengan giliran sebagai biasa juga karena mereka itu sangat penat dan letih. Raja Bungsu sudah terbaring lebih dahulu. Akan tetapi, tiba-tiba ia terperanjat duduk kembali serta memberi ingat dengan berbisik-bisik kepada kawan-kawannya, agar berhati-hati benar. Ada terdengar olehnya suara di bawah! Sungguh, seketika itu juga pintu pun diketuk orang dari luar serta diiringi dengan suara keras.
"Buka, ayo, buka lekas!"
"Siapa itu?" tanya Raja Bungsu dengan tenang, sedang orang yang empunya pondok sudah beringsut-ingsut ke dekatnya dengan ketakutan.
"Kami, buka pintu!" jawab orang dari bawah dengan laku memerintah seperti raja.
Raja Bungsu memandang kepada orang pondok dua laki istri dan kepada kawan-kawannya, yang telah sedia menantikan apa yang akan terjadi kelak. Sutan Malekewi duduk di sebelah kirinya, sambil meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
"Bukakanlah," kata orang utas yang laki-laki dengan perlahan-lahan.
Si Berkat bangkit berdiri. Baru pintu dibukakannya, naiklah lima orang laki-laki yang besar tegap badannya, hitam warna mukanya dan panjang kasar misainya. Pada pinggangnya sebelah ke muka, tentang pusatnya, kelihatan rencong Aceh tersisip. Kelima orang yang berpakaian serba hitam itu berdiri dekat bendul dengan gagah, sedang di bawah rupanya masih banyak kawannya. Sambil menatap muka tiap-tiap isi pondok itu dengan mata yang tajam dan bersinar-sinar dalam cahaya damar yang tiada terang benar, bertanyalah seorang dari mereka itu dengan kasarnya, "Siapa yang empunya pondok ini?"
"Saya, Tuan," kata orang utas dengan ketakutan sehingga gemetar suaranya.
"Ini siapa" Satu, dua, tiga ... delapan ... sepuluh .... Siapa yang sepuluh orang ini?"
"Tamu saya, Tuan."
"Dari mana?" "Dari Darat, Tuan."
"O, dari Darat... bagus!" Ia memandang kepada saudagar emas yang duduk berdiam diri mengelilingi damar itu, "Apa kamu bawa dari Darat?" tanyanya kepada mereka itu dengan merawak saja.
"Emas," jawab Raja Bungsu dengan tenang.
"Emas, hum!" Kelimanya menyeringai. "Mana" Bawa kemari," perintah orang itu dengan gagah.
"Boleh," kata Raja Bungsu dengan tenang dan sabar juga " sedikit pun tiada kentara takutnya, "tetapi tiada baik berunding sementara tegak, Tuan. Duduklah dahulu baik-baik! Ini rokok dan sirih, Tuan," ujarnya pula, seraya menyorongkan tempat rokok dan bungkusan sirih ke dekat damar.
Kelima orang itu berpandang-pandangan dengan senyum seringai, sedang di bawah kedengaran dengus dan berungut beberapa orang.
"Tak usah duduk," kata orang yang berkata tadi juga, "mana emas itu" Keluarkan lekas!"
"Tidak baik berjual beli malam hari, Tuan" kata Raja Bungsu dengan senyum masam, "menolak meraih berterang-terang."
"Ha, ha, kami tidak hendak berjual beli, kami hanya hendak mengambil milik kami. Ayo, keluarkan lekas!" Ia pun melangkah ke dekat tumpukan barang-barang saudagar emas itu.
"Sabar," kata Raja Bungsu seraya tegak berdiri ke hadapan orang itu, sedang sekalian kawannya tetap berdiri pula dengan sigap. "Apa maksud Tuan?"
Kelima orang itu tertegun, serta memandang tenang-tenang kepada mereka itu dengan laku sebagai hendak menelan. "Hendak mengambil hak kami," katanya dengan pendek, "engkau tiada tahu siapa kami ini?"
"Tidak, tetapi hak Tuan tidak ada di sini."
"Ada. Kami ini hulubalang Panglima Aceh, tersuruh mengadang emas dari Darat, yang hendak dibawa ke Padang."
"Apa sebabnya?"
"Sebab tidak boleh emas kami dibawa ke Padang, dijual kepada kompeni."
"Emas kami?" "Ya, emas kami," kata seorang di antara kelima orang itu seraya mencabut rencongnya dari sarungnya, "yang hendak Tuan-tuan serahkan kepada musuh kami itu. Tuan berkhianat sebab itu harus dihukum."
"Tuan bukan hakim," sahut Raja Bungsu pula, sambil bersiap.
"Hakim atau tidak, tapi kami berkuasa. Rasai," kata ketua penyamun itu dan ia pun bergerak akan menikam dada Raja Bungsu. "Rasai...." Akan tetapi, tiba-tiba ia terpekik sebab cepat sebagai kilat Sutan Malekewi telah lebih dahulu mengenai rusuknya.
Darah tersembur .... Kelam kabut sebab seketika itu juga perkelahian timbul dengan hebat. Kelima penyamun itu disergap oleh isi pondok itu dari segenap pihak. Damar padam maka dalam gelap gulita sekalian kawan penyamun yang ada di bawah pondok itu pun naik berasak-asakan, sambil berteriak dengan bengis.
Beberapa lamanya bagai bunyi kerbau laga di atas pondok itu, gemuruh, berderam-deram, sedang bunyi pergesekan senjata tajam bercampur dengan jerit orang kesakitan dan meregang badan. Sementara itu ada pula yang melompat ke bawah dari tingkap, lalu beramuk-amukan pula di tanah dengan keras.
Akan tetapi, sejurus kemudian perkelahian itu berhenti dengan sendirinya sebab suatu pihak sudah kalah: mati atau lari.... Sekalian harta benda saudagar emas itu pun dikemasi oleh penyamun yang tiada beroleh kecelakaan, lalu dimuatkannya ke atas punggung kuda beban. Dan ketika mereka akan berangkat dari situ maka teratak itu pun dibakarnya. Ketika itu kelihatanlah mayat bergelimpangan di tanah, lebih dari limas belas orang banyaknya.
"Ha, ha, habis semuanya," kata seorang penyamun dengan gelak bengis.
"Tetapi panglima dan kawan-kawan kita pun binasa pula, mati dan luka," kata seorang dengan geram, "keras juga pukulan buaya darat itu."
"Ya " tak ada yang tinggal lagi" Mari kita pulang ke Pauh. Papah dan sundut yang luka-luka itu. Hum, banyak juga perolehan kita sekali ini! Emas empat peti dan barang lain-lain banyak pula."
Dengan sukacita penyamun itu "ada kira-kira tiga puluh lima orang banyaknya "berjalan menghalau dua ekor kuda beban pulang ke sarangnya. Sedikit pun tiada dihiraukannya mayat yang bergelimpangan di tanah dan api yang bernyala-nyala memusnahkan teratak kayu yang beratap lalang itu.
BUNUH PENYAMUN Tidak"bukan semuanya kawan saudagar emas yang malang itu mati terbunuh.
Setelah nyata kepada Sutan Malekewi bahwa penyamun yang banyak dan ganas-ganas itu sudah seperti "penggada seratus memperpukulkan mencit seekor" atas diri kawan-kawannya, ia pun undur dan terpaksa memeliharakan dirinya sendiri. Dengan matanya sendiri dilihatnya Raja Bungsu dan si Berkat ditikam orang, dengan kerisnya sendiri dibelanya kedua kawan yang telah berjasa akan dia itu, demikian pula orang yang lain-lain; tetapi ketika nyawa mereka itu tak dapat ditolong lagi, ia pun melompat ke bawah dan mengendap-endap lari ke dalam rimba.
Dari jauh tampak olehnya pondok teratak itu dibakar penyamun dan dalam terang api bernyala-nyala tampak pula kedua kuda beban kawan-kawannya digiring penyamun membawa emas dan barang perniagaan lain-lain!
Bukan buatan sakit hatinya. Akan tetapi, apa dayanya karena ia tinggal seorang diri saja lagi"
Lama-kelamaan api padam, rimba telah gelap dan sunyi kembali. Sutan Malekewi duduk termenung di bawah pokok kayu besar. Badannya letih lesu, tetapi untung tiada bercacat cela sedikit juga. Cuma pakaiannya sobek-sobek kena senjata dan basah kena darah.... Barangkali darah kawannya atau darah musuhnya! Oleh karena pada pikirannya tempat itu tiada aman"takut ia akan disergap binatang buas"ia pun bangkit berdiri dan melangkah mencari tempat yang ketinggian. Diterangi oleh sinar bulan yang bertelau-telau melalui rongga antara daun-daun sampai ke tanah, orang muda itu berjalan barang ke mana dibawa ibu jari kakinya. Kadang-kadang ia terpaksa menyeruak semak belukar, kadang-kadang melalui onak dan duri. Akhirnya, ketika sendi anggotanya hampir tak dapat digerakkan lagi, kelihatanlah olehnya sebuah batu besar dan tinggi terletak di hadapannya, lalu direbahkannya di situ dirinya.
Entah ia tertidur di atas batu itu, entah meratap kesedihan semalam-malaman, ia tiada tahu sekali-kali. Hanya tatkala ia bangkit duduk dan menoleh arah ke sebelah barat, dilihatnya sawah luas terhampar sebagai lautan. Hari telah siang. Cahaya matahari sudah menyinari puncak-puncak pohon, daun-daunan, dan batu tempat tidurnya itu. Burung telah ramai berlompat-lompatan dari suatu dahan kepada suatu dahan, sambil bersiul-siul dengan merdunya. Sutan Malekewi teringat akan nasibnya, akan si Berkat dan kawan kawannya yang telah menjadi korban penyamun yang ganas itu. Ia bergerak, berdiri dan turun ke tanah karena ia hendak meneruskan perjalanannya. Akan tetapi, ketika sampai ke tepi sawah itu, ia pun tegak tertegun.
"Tak mungkin," katanya seraya undur ke dalam rimba kembali, "masuk ke tempat yang terang dengan pakaian berdarah-darah semacam ini."
Dengan segera ia pergi mencari air. Sejurus antaranya ia pun sampai ke tepi sungai di dalam jurang. Di tempat yang sunyi dan kelindungan dilulusnyalah pakaiannya, lalu dicucinya, sampai hilang bekas-bekas darah itu.
Sehari-harian ia tinggal di dalam rimba, di jurang yang dalam itu. Apabila lapar perutnya, dimakannyalah taruk kayu dan buah-buahan yang terdapat di sana. Haus, diminumnya air sungai yang jernih.
Waktu zuhur ia mendaki tebing pula.
Meskipun pakaiannya yang sobek-sobek itu sudah bersih, tapi ia tiada berani juga melalui sawah itu. Sangkanya, sawah itu kepunyaan orang Pauh. Sungguh, jauh di sebelah barat sawah itu, sesayup-sayup mata memandang, tampaklah sebuah negeri besar, yaitu negeri Pauh yang amat ramai itu. Dari almarhum Raja Bungsu sudah didengarnya kabar bahwa orang Pauh berserikat dengan orang Aceh dan tiada boleh dipercayai. Ia yakin bahwa penyamun yang ganas itu pun tiada lain daripada serikat Pauh dan Aceh itu. Oleh sebab itu, sedapat-dapatnya negeri itu hendak dielakkannya, takkan dilaluinya baik siang baik pun malam hari. "Daripada aku mati dibunuh manusia yang bengis itu, lebih baik ditelan harimau," katanya, seraya berjalan dalam semak melereng sawah itu.
Ketika itu hari sudah senja pula. Binatang hutan yang biasa berbunyi waktu sedemikian telah mulai memperdengarkan suaranya. Pipit dan unggas telah masuk ke sarangnya masing-masing dengan berciap-dapan. Akan tetapi, Sutan Malekewi berjalan terus juga sebab tak ada 'sarang7, yang akan dimasukinya.
Bagaimana susahnya mencari tempat berhenti yang agak aman pada malam yang pertama, begitu juga pada malam yang kedua itu. Bahkan lebih susah dan ngeri lagi sebab hari sangat gelap. Bulan dan bintang tiada kelihatan sebab langit disaputi oleh awan hitam, sedang guruh kedengaran mendayu-dayu. Dan sekali-sekali guruh itu pun diiringi oleh petir tunggal, halilintar yang seakan-akan hendak membelah bumi, dikerahkan oleh malaikat dengan 'cemeti' yang berapi-api. Dalam sinar api kilat yang sekejap mata itulah Sutan Malekewi mencari arah yang hendak ditujunya. Akan tetapi, apabila waktu yang sekejap mata itu telah lalu pula, sinar kilat tak ada lagi, bukan buatan gelapnya. Jari tangan sendiri pun tiada kelihatan! Gempar pikiran orang muda itu, berdebar-debar hatinya. Ke mana hendak berteduh, jika hujan lebat turun kelak" Dengan meraba-raba dan meresek-resek dengan tiada memedulikan dengus babi dan gemersik biawak yang terkejut oleh kakinya ataupun oleh karena sama-sama ketakutan menentang hari buruk itu, ia pun berjalan juga dengan cepat. Akan tetapi, meskipun ia sudah sekuat-kuat tulangnya melangkahkan kakinya, meskipun ia sudah hampir tidak bergaya lagi menguakkan ranting dan dahan dengan kedua belah tangannya, seakan-akan di situ-situ jua ia rasanya. Sebagai tak bergerak dan berangsur sebab ia tiada berpedoman"tak tentu tujuan dan haluannya. Ia merawak-rawak saja ... dan dalam berhal sedemikian hujan pun turun selebat-lebatnya, sedang angin bertiup dengan kencangnya.
Dalam sekejap mata saja, Malekewi sudah basah kuyup. Dan sebentar saja ia berdiri di bawah pohon, maka takut dan kecut hatinya pun tak terperikan, kalau-kalau ia dibawa kayu rebah dan ditembak petir. Dengan berseru kepada Allah dan rasul, minta ampun kepada ayah bunda yang ditinggalkannya, ia pun mengayunkan langkah pula. Beberapa kali ia tergerupuk masuk lumpur, beberapa kali ia terhuyung-huyung dan tersungkur ditiup angin topan, tetapi selagi ada tenaga ia hendak maju juga. Pada pikirannya, jika ia akan mati, janganlah dalam hal semacam itu.
Sementara itu deru badai dan hujan, bunyi dahan berpalu-paluan sama sendirinya, desau dan deru kayu rebah mendengung-dengung bersama-sama denganpekik danlengkingbinatang yang ketakutan dan kedinginan. Akan tetapi, Malekewi tiada peduli, bahkan tiada menaruh takut lagi. Ingatannya dan kehendaknya dewasa itu hanya maju, walau dengan merangkak sekalipun, supaya sampai ke tempat yang teduh dan kering.
Dengan takdir Allah, ketika kilat bersinar pula, kelihatanlah olehnya sebuah dangau berdiri di dekatnya. Ia merangkak ke situ dan dengan susah payah akhirnya ia pun sampai ke atas dangau itu.
Berapa lamanya ia di situ, entah tidur, entah pingsan, ia tiada tahu sedikit juga. Hanya ia sadarkan dirinya dan bangkit duduk pula ketika di dengarnya suara orang gaduh sekelilingnya.
Rupanya tempat ia terpasah itu dangau tinggal, tempat orang ladang berlepas lelah dan berteduh siang hari. Pada keesokan harinya, ketika orang ladang hendak mulai bekerja pula, bukan main terperanjat dan kecut hatinya, apabila dilihatnya ada orang tidur terkampai di atas dangau itu. Sangkanya, tak dapat tidak orang itu maling kesiangan. Dengan segera ia berpaling ke belakang, lalu berlari ke kampung yang tiada berapa jauh dari situ. Kepada sekalian orang yang bertemu dengan dia dikabarkannya bahwa ada pencuri tidur di dangaunya.
Tentu saja orang gempar dan berlarian ke tempat itu dengan alat senjatanya. Baru mereka itu sampai ke sana, dangau itu pun dikepungnya. Mereka berteriak dengan tiada berkeputusan, "Maling, maling kesiangan, bunuh!" tetapi seorang pun tiada berani hampir dan dekat ke dangau itu.
Sutan Malekewi terbangun, lalu memandang ke kiri dan ke kanan. Mula-mula ia heran melihat orang banyak itu. Akan tetapi, setelah didengarnya teriak dan diketahuinya maksud mereka itu terbitlah iba hatinya. "Buruk benar aku di mata orang," ka tanya, seraya tegak berdiri. Dan ketika itu orang banyak itu pun undur ke belakang sebab sangkanya Malekewi hendak turun dan mengejar mereka itu. "Ingat," katanya dengan bergalau, "kerisnya, ... ia hendak mengamuk. Tangkap, bunuh!" Dan ada pula yang berteriak, "Penggal saja lehernya ... setan ayam, hantu kambing, penyamun dari Pauh," tetapi tidak ada juga yang berani mendekati dia.
Oleh karena itu, iba hati Malekewi tiba-tiba hilang, bertukar dengan geli. Ia tersenyum, melangkah ke bawah dan berkata," Asing pula adat orang di sini,"berlaku dengan tiada usul periksa."
"Ikut, jangan dibiarkan dia lari," teriak orang dari jauh juga.
Dalam gaduh sedemikian sekonyong-konyong seorang perempuan tua yang selalu memperhatikan dia dengan saksama dari jauh lalu berseru dengan suara nyaring, "Usah dibunuh orang itu, biar dia pergi dengan hamba. Lain benar orang banyak ini, ti dak peiba pada orang buruk, tidak penyatun pada orang terbuang"Upik, o, Upik," katanya sambil berpaling kepada seorang perempuan muda yang mengikut dengan dia, "mari kemari! Kasihi orang terbuang, pelihara orang miskin, entah ia mungkin jadi orang baik-baik kelak."
Ia maju ke muka, ke dekat Sutan Malekewi, dengan tiada menaruh gentar dan takut sedikit jua.
Sebelum ia menyatakan pikirannya, Malekewi berkata dengan suara tertahan-tahan, "Syukur! Tuhan yang akan membalas kebaikan hati Mak kepada orang terbuang yang miskin ini. Sembah sujud hamba kepada Mak, kasihani dagang melarat! Asal hamba Mak bawa, biar hamba tinggal di bawah lumbung; ambil jadi pengejut-ngejuti ayam, ambil jadi budak penjemput atau penyapu-nyapu sarap di halaman."
Orang banyak tercengang lalu bergerak mendekat pula seperti mesin.
"O, Mak Kandung hamba," kata si Upik dengan ketakutan. "Jangan, Mak, jangan dibawa orang ini. Kalau kita bawa dia, barangkali menjadi sesalan besar kelak. Jika datang yang empunya menjemput dia, kalau sampai ajalnya apa daya kita" Sementara itu datang pula orang menunggu pada kita; tentu timbul silang selisih, tentu terjadi perang pembunuhan. Ia mati di rumah awak, disangka orang awak racun. Lihat, Mak, mukanya kurus pucat bagai cendawan. Bajunya cabik-cabik. Sesal tak kunjung habis, umpat tak kunjung hilang, Mak"itu benarlah yang hamba khawatirkan."
"Bantahan benar anak ini," kata Putri Rubiah dengan berang, "asing pula yang dikatakannya." Maka dipegangnya tangan Sutan Malekewi, lalu dibimbingnya dan dibawanya dia pulang ke rumahnya dengan belas kasihan.
Orang banyak bertambah heran dan tercengang tiada berkata sepatah kata juga.
Sesampai ke rumah, SutanMalekewi disilakannya duduk di pangkal rumah, seraya berkatakepada anaknya, "Ambil pakaian dilemari, Upik. Ganti pakaian orang ini"basah. Eh, tanak nasi lekas, beri makan dia dahulu; lapar benar gerangan perutnya."
Si Upik pergi ke dapur akan menjalankan perintah ibunya. Sekalipun tidak sesuai dengan pikirannya. Setelah masak nasi dan
gulai, lalu disenduknya dan diberikannya kepada Sutan Malekewi dengan angkuhnya.
Sudah lama nasi terletak, tetapi Malekewi tak mau makan; melihat hidangan itu pun ia tiada suka rupanya. Badannya letih dan hatinya iba sedih tak terperikan.
"Mengapa engkau tak makan, Buyung! Makanlah, supaya senang hati Emak," kata Putri Rubiah dengan manis. Akan tetapi, tiba-tiba ia terperanjat, berang sangat kepada si Upik sebab makanan itu diletakkannya dalam sebuah tempurung. Ia berseru kepada anaknya yang bernama Sarayawa, ujarnya, "Lihat dan periksa nasi orang ini, Nak, entah ada yang kurang. Rupanya si Upik tak boleh dipercayai."
Setelah makanan itu diganti dan dihidangkan dalam pinggan dengan sepatutnya, barulah Sutan Malekewi makan. Akan tetapi, cuma tiga suap saja; ketika menyuap sekali lagi, ia pening"pening dimabuk nasi, sebagai orang ketangkapan sehingga seisi rumah jadi cemas.
Kata si Upik, "Sejak semula hamba katakan, tidak Mak pedulikan. Benar jua kiranya, 'lah tandas kita oleh utang!"
Putri Rubiah, "Jangan engkau pencemas benar, Nak; usah perusuh jua. Orang pencemas lekas mati, orang penggemang mati jatuh. Segera ambil lada sulah dengan dasun tunggal, supaya hamba mantrakan orang ini."
Ramuan itu diletakkan si Upik di hadapannya.
Sedang pinta akan berkenan dan kehendak akan berlaku, baru disemburnya dengan lada sulah itu mukanya dan dirajahnya dengan dasun tunggal itu dua tiga kali keningnya, duduklah Sutan Malekewi lurus-lurus kembali. Wajahnya sudah berdarah pula, tiada pucat pasi benar lagi.
"Makan sirih sekapur, petik rokok sebatang, Buyung," kata Putri Rubiah pula dengan suka hatinya, "supaya hilang dingin badanmu dan timbul kira-kiramu. Hujan lebat benar semalam."
"Terima kasih, Mak."
Sejurus antaranya putri yang baik hati itu bertanya dengan lemah lembut.
"Orang muda dari mana?"
"Hamba datang dari jauh, Mak," jawab Malekewi dengan perlahan-lahan.
"Apa sebab sampai kemari?"
"Dibawa untung perasaan."
"Dengarkan kata hamba, Buyung! Jangan engkau bersembunyi-sembunyi, berkata lurus kepada Emak, disimpan apa gunanya" Hamba patut-patut dengan akal, hamba tilik-tilik dengan pikiran, belum patut Buyung berjalan jauh, belum layak badan terbuang. Sebab maka demikian kata hamba, rupanya engkau bukan orang sembarangan saja, ada bertampan anak baik-baik."
Malekewi tersenyum. "Dari jauh hamba datang, Mak," katanya, "karena hamba dengar Emak baik budi."
"Jangan berolok-olok! Apa sebab karenanya, apa niat dengan sengaja?"
"Tak ada niat dengan sengaja, hamba dibawa ombak dengan angin kemari!"
"Siapa namamu?"
"Yang Mak sebut tadi itu."
"Siapa?" "Si Buyung." "Kedi bernama, besar bergelar. Kupandangi engkau sudah besar, "sudah patut dipanggilkan gelar."
"Nama dan gelar "apalah artinya pada hamba yang hina ini. Hanya sebab hamba laki-laki, disebut orang si Buyung saja."
"Hum, si Buyung. Akan tetapi, siapa jua namamu, apa jua maksud sengajamu, Mak takkan bertanya panjang lagi. Pada mukamu sudah tampak oleh Emak sejak tadi bahwa engkau bukan orang jahat."
"Syukur! Tajam benar mata Emak, berlainan dengan pandang orang banyak tadi itu."
"Sebab hamba tak beranak laki-laki kata orang tua itu dengan perlahan-lahan, kelihatan agak sesak napasnya, alamat ia teringat akan masa yang silam, "ketika menampak rupa engkau, Nak, yang hilang datang kembali.... Engkau serupa dengan mendiang anakku, sungguh dan sukakah engkau tinggal dengan daku di sini?"
"Sekali Mak sebut, seribu kali hamba terima. Baik benar budi Emak suka menyambut nasib orang terbuang."
Putri Rubiah berpaling ke belakang, seraya berkata dengan nyaring, "O, Nak, Sarayawa, ambilkan kakakmu pakaian dari dalam lemari"kakakmu sudah tiba kembali. Tunjukkan tepian tempat mandi kepadanya, bawakan dia limau dengan kasai, supaya dibersihkannya dan dihiasi badan dirinya."
MENANG DAN KALAH Pada ketika Sutan Malekewi dibawa naik dengan belas kasihan ke rumah Putri Rubiah di Rimbakeluang/ ketika itu pula Orang Kaya Kecil ipar putri tua itu, yakni seorang penghulu yang ternama di Padang, terpanggil datang ke loji kompeni di bandar yang ramai itu.
Panggilan itu sangat tergopoh-gopoh; rupanya penting benar yang akan dibicarakan. Dengan segera Orang Kaya Kecil pergi mendapatkan Jan van Groenewegen, yang sudah diangkat oleh kompeni Hindia Timur sejak tahun 1662 menjadi kepala di Pantai Barat Pulau Sumatra itu.
Ia jadi kepala yang pertama-tama di sana. Dahulu pada tahun 1660 ia jadi residen loji di Aceh, tetapi dalam tahun itu juga ia dipindahkan ke Padang. Semenjak itu ia telah berkuasa di Pantai Barat; segala peristiwa, segala kejadian di sana boleh dikatakan sebab karena gerakannya. Bahkan ia pun telah menjadi pesawat yang kuat di situ. Groenewegen sudah lama bercampur dengan anak negeri Sumatra, sudah tahu banyak sedikitnya fiil perangai mereka itu. Lain daripada itu, banyak pula pengetahuannya tentang perkara pemerintahan negeri. Dalam beberapa perkara pemerintah tinggi kompeni biasa menyerah saja kepadanya, kepada Groenewegen, yang tiada pernah takut dan gentar membuat peraturan yang keras dengan tiada seizin ataupun tiada setahu orang yang lebih berkuasa daripadanya. Barang di mana ia tinggal, dengan siapa ia bercampur, ia pandai menarik-narik hati orang sehingga orang lekas percaya kepadanya. Sri Maharaja Ratu Aceh amat baik akan dia sehingga berat benar hati baginda akan melepas dia berangkat dari negerinya.
Akan tetapi, sebab ia terlalu gemar mencampuri perkara pemerintahan negeri orang, kerap kali perkara perniagaan yang diserahkan dan diwajibkan kompeni kepadanya, diabaikannya. Amat banyak kompeni beroleh kerugian oleh karena dia, kerugian uang, dan dari pihak penduduk pantai pun tiada kurang pula timbul rintangan dan bantahan. Sungguh banyak sahabatnya, tetapi musuhnya pun tiada kurang pula, terutama dari pihak saudagar-saudagar Aceh yang berkuasa di lautan.
Dengan Orang Kaya Kecil ia sudah bersahabat karib benar. Hampir dalam segala perkara, terutama perkara pemerintahan dan perniagaan, penghulu itu tiada ditinggalkannya. Selalu dia dibawanya bermufakat dalam segala hal yang penting.
Ketika Orang Kaya Kecil telah hampir sampai ke loji pada pagi itu, dilihatnya keadaan di situ sangat berubah dari keadaan sehari-hari. Berlipat ganda banyaknya serdadu kawal, yang berdiri dan berjaga di muka pintu. Di tepi pantai ada pula pasukan yang lengkap dengan alat senjatanya, berbaris menantikan sekoci dari laut. Memang, jauh di tengah laut ada tampak sebuah kapal yang baru datang berlabuh. Keadaan yang luar biasa, istimewa pula air muka serdadu yang suram dan lakunya yang resah gelisah itu sudah cukup akan menerbitkan detak hati penghulu itu bahwa ada terjadi sesuatu malapetaka yang hebat.
Ia disilakan masuk oleh kepala kawal dengan hormat, cara militer, dan di muka pintu kamar bicara ia pun disambut oleh seseorang pelayan dengan senyum besar hati. Rupanya ia sudah lama menanti-nanti dia sebab ia senantiasa memandang ke jalan di ruang. Dari muka pintu sudah kelihatan oleh Orang Kaya Kecil dua orang Belanda di dalam kamar itu: seorang yang tiada diketahuinya duduk termenung di atas kursi, dan seorang lagi, yaitu Groenewegen, berjalan hilir mudik dengan gelisah seperti harimau jantan di dalam perangkap. Meskipun hari masih pagi dan hawa masih sejuk, tetapi pipinya sudah merah padam warnanya. Tak ubah seperti muka orang yang terlalu banyak meminum arak atau tuak. Dan tatkala ia menoleh ke pintu, tampak pula matanya bersinar-sinar dan liar. Dalam keadaan sedemikian tiba-tiba ia pun tersenyum dan datang menyongsong Orang Kaya Kecil itu cepat-cepat.
"Tuanku," katanya dengan sukacita, seraya menekur kepada penghulu yang tingginya hanya hingga dadanya, "silakan masuk, Tuanku."
Dengan bersisi-sisian keduanya melangkah ke dekat orang yang duduk itu, tetapi seketika jua ia pun bangkit berdiri dari kursinya.
"Orang Kaya Kecil " Samuel Loth," kata Groenewegen memperkenalkan kedua mereka itu.
Ketiganya duduklah di atas berhadap-hadapan.
"Barangkali Tuanku tahu sudah," kata Groenewegen memulai percakapan dengan kurang sabar, "bahwa kapal de Meliskerke telah datang dari Betawi."
"Benar, ada hamba lihat sebuah kapal baru berlabuh jauh di tengah laut.
"Dan Tuan Loth ini kapitannya. Sebagaimana Tuanku ketahui juga, kompeni bermaksud hendak mendirikan loji di Tiku. Kapal Meliskerke dikirim terus ke sana dan sudah berlabuh di sana tiga hari."
"Selamat?" "Kebalikannya," kata kepala kompeni itu dengan keras, sedang matanya bersinar seperti api, "orang Tiku mungkir akan janji. Kami ditipunya, dengan laku sebagai orang pengecut!" Dan ia pun mulai menceritakan kejadian di Tiku itu, sebagaimana telah dikabarkan Samuel Loth kepadanya.
Orang Kaya Kecil tercengang, ternganga mulutnya. "Sampai begitu!" katanya sejurus kemudian dengan perlahan-lahan.
"Betul, kami tertipu sungguh oleh bangsat-bangsat Tiku," kata Kapitan Loth dengan geram.
"Akan tetapi, hamba tidak percaya bahwa orang Tiku"maksud hamba, anak negeri Tiku asli"yang berbuat khianat seperti itu,
Tuan kata Orang Kaya Kecil dengan agak naik darah sedikit, "hamba yakin, anak negeri teguh dan setia akan janjinya."
"Tetapi Tuanku jangan lupa," kata Groenewegen dengan cepat, "bahwa orang Tiku di bawah kuasa Aceh, yang selalu menaruh sakit hati kepada kompeni."
"Sri Ratu berbaik hati dengan Tuan, bukan?"
"Rakyat Baginda, orang Aceh sendiri lain ...."
"Jadi Tuan yakin bahwa yang berbuat jahat itu orang Aceh, bukan anak negeri asli?"
Groenewegen kemalu-maluan. "Maaf," katanya dengan merah mukanya, "ya, orang Aceh ..."
"Jadi bangsat-bangsat Tiku tidak ada, bukan" Dan sekarang apa maksud Tuan?"
"Hendak menuntut balas! Orang Aceh mesti diusir, dimusnahkan dari sana. Tiku sudah jadi sarang penyamun. Kami minta, supaya Tuan suka menolong kami dengan bala tentara."
Orang Kaya Kecil berdiam diri sejurus.
"Bagaimana?" kata Groenewegen pula dengan gelisah. "Tuanku sahabat saya, bahkan sahabat kompeni Hindia Timur yang setia. Malu saya, malu Tuanku juga. Jadi saya minta, supaya Tuanku kumpulkan bala tentara dengan segera! Kapal perang sudah siap menanti. Kalau dapat, hari ini juga kita berlayar ke sarang penyamun Aceh itu."
"Hamba kira karena Sri Maharaja Ratu Aceh sangat berkenan kepada Tuan, lebih baik hal itu Tuan persembahkan kepada Baginda dahulu."
"Tak dapat, Tuanku. Tak ada faedahnya. Mari kira berangkat sekarang ini, kita musnahkan mereka itu."
"Dalam perkara yang sepenting ini niscaya hamba tidak dapat berkata sendiri. Tuan harus bermusyawarah jua dengan Penghulu nan Delapan di bandar ini."
"Benar, tetapi kami terpandang kepada Tuanku seorang. Tuanku kami lihat lebih berderajat, lebih cerdik daripada sekaliannya. Kami harap, dengan bijaksana Tuanku sudilah segala penghulu yang lain itu memperkenankan permintaan kami. Nanti Tuanku... ya, takkan kami lupakan jasa Tuanku selama-lamanya."
"Terima kasih," jawab Orang Kaya Kecil dengan besar hati, bergerak-gerak cuping hidungnya, "akan tetapi, hamba pikir, tiada baik bila tentara kita dibawa dengan kapal ke sana."
"Apa sebabnya?"
"Lebih baik kami berjalan darat. Tuan sendiri tadi sudah mengatakan bahwa Tiku sarang penyamun. Dari dahulu, sejak dari masa orang-orang kompeni yang lebih dahulu datang kemari dari Tuan, Tiku sudah demikian juga halnya. Di situ pokok perlawanan, di situ tempat orang Aceh bersiasat. Jika diusir kompeni, tentu mereka itu lari masuk rimba. Akan tetapi, kalau kompeni telah pergi dari sana, mereka itu pun datang pula ke kota. Oleh sebab itu, mereka harus diperhambat-hambatkan. Bala tentara kompeni menyerang dari laut, pasukan kami mendesak dan mengejar dari darat .... Ke mana mereka itu hendak lari lagi?"
Groenewegen berpandang-pandangan dengan Samuel Loth. Pada air muka dan sinar matanya kelihatan sukacita hatinya, sebagai mendapat suatu benda yang diingini dengan tiada disangka-sangka. Keduanya tegak berdiri. Sambil menjabat dan mengguncang-guncang tangan penghulu itu, Groenewegen berkata dengan harapan besar, "Tajam benar pikiran dan tilikan Tuanku. Terima kasih"sekarang juga Tuanku siapkan bala tentara darat, sedang kami bersiap lengkap pula di kapal."
"Baik! kata Orang Kaya Kecil, seraya menjawat salam Samuel Loth pula.
Setelah dibicarakan sedikit lagi cara penyerangan yang hendak dilakukan, Orang Kaya Kedi mohon diri akan pulang ke rumahnya.
Sesungguhnya Orang Kaya Kedi amat cerdik dan bijaksana. Tentang perkara badan jauh ia lebih kecil dan kurus daripada Penghulu Padang yang tujuh orang lagi, tetapi akalnya panjang dan budinya halus. Ia pandai menarik-narik hati orang, cakap menyampaikan dta-dtanya dengan mudah karena cerdiknya. Akan tetapi, dta-dtanya itu diselimuti oleh kepentingan dirinya sendiri. Kekuasaannya sebagai kepala negeri kebanyakan bertentangan dengan kehendak rakyatnya. Hal itu tampak nyata ketika bermusyawarah tentang permintaan kompeni itu dengan ketujuh penghulu dan beberapa hulubalang yang berani dan insyaf. Payah ia akan mencapai kata sepakat sebab tidak semua orang dapat dipengaruhinya. Malah ia diserang orang dari segenap pihak. Hampir tak ada seorang jua yang membenarkan buah pikirannya.
"Ingat," kata seorang hulubalang muda dengan tegas, "jangan dipermain-mainkan nyawa tentara kita untuk kepentingan orang asing."
"Akan tetapi, orang asing itu sahabat kita. Dan permintaan sahabat haruslah kita perkenankan."
"Sahabat kita"belum tentu lagi sahabat negeri," kata dua tiga penghulu yang lain.
"Tetapi orang Aceh nyata musuh negeri kita," sahut Orang Kaya Kecil dengan keras, "sebab itu maksud kompeni itu meski kita sokong."
"Tidak mungkin."
"Mesti,"sambil menyelam minum air."
"Nanti terminum air beracun ...."
Meskipun perundingan sehebat itu, bantahan sekeras itu, tetapi kemudian Orang Kaya Kedi mendapat kepercayaan jua. Ia dapat menyiapkan bala tentara secukupnya, yaitu daripada laskar yang kuat-kuat badannya, gagah berani dan giat berperang.
Pada waktu yang baik dan saat yang sempurna pasukan anak negeri itu pun berangkat ke Tiku, dikepalai oleh Orang Kaya Kecil dan Raja Bendahara.
Akan tetapi, mereka itu tiada sampai ke sana. Di Naras mereka itu ditahan oleh Maharaja Lela Bangsa, seorang sahabat baik kompeni juga karena ia mesti diberi pertolongan. Bala tentara Tiku sudah terdesak sampai Sungailimau. Kalau tidak ditolong, niscaya kedua negeri itu"Naras dan Sungailimau, yang terletak antara Tiku dengan Pariaman"jatuh ke tangan orang Aceh. Jadi, bersama-sama dengan pasukan Naras maka pasukan Padang itu pun terus berangkat ke Sungailimau, lalu berjuang dengan bala tentara musuh itu.
Sementara itu, Groenewegen sendiri berlayar ke Tiku dengan kapal perang Cabeljau. Ia sampai ke sana pada tanggal 2 Februari 1665; maka didapatinya negeri itu telah lengang, sudah ditinggalkan orang rupanya. Sangka Groenewegen, tak dapat tidak musuh telah disapu oleh Orang Kaya Kecil lebih dahulu. Oleh sebab itu, dengan senang ia pun mengerahkan bala tentaranya akan membakar rumah perahu, dan pencalang, sampai habis ....
Demi dilihat pasukan Aceh yang bersembunyi tiada jauh dari pantai api bernyala-nyala dengan garang itu, mereka itu pun datang menyerang dari tiga pihak, dari utara, selatan, dan daratan. Akan tetapi, laskar Belanda tiada gentar. Serangan itu ditangkisnya dengan keras sehingga dalam sekejap saja orang Aceh dapat diundurkan. Tidak, sejurus kemudian musuh berjuang pula kembali dengan lebih hebat, lebih dahsyat. Banyak nyawa yang melayang pada kedua belah pihaknya. Akan tetapi, lama-kelamaan Aceh terpaksa undur pula. Demikian juga dalam perjuangan yang ketiga kali. Walau telah dicobanya mengusir dengan pertolongan seekor gajah, bala tentara Belanda bertahan dengan keras dan kuat. Akhirnya, orang Aceh kalah pula dan tiada kembali menyerang lagi.
Akan tetapi, Groenewegen tiada bersenang hati benar sebab Orang Kaya Kedi tiada kelihatan dalam peperangan itu. "Ke mana ia gerangan?" pikirnya, "atau barangkali sudah ... belot?"
Dengan pikiran demikian/ pada tanggal 3 Februari ia pun naik ke darat di Sungailimau. Di sana baru hilang curiganya terhadap kepada kawannya yang setia itu. Sebab didapatinya Orang Kaya Kecil ada di situ dengan laskarnya, dan memang mereka itu telah lebih dahulu mengenyahkan sekalian musuh itu. Apalagi kepala-kepala anak negeri Naras yang amat berkuasa atas dusun-dusun yang jauh terletak di daratan antara Tiku dengan Pariaman, sudah dipengaruhinya sehingga mereka itu telah berpihak kepada kompeni. Dengan demikian Groenewegen dapat berdaya upaya akan berbenteng di sana, supaya mudah menyerang atau menahan orang Aceh serta anak buahnya yang tak boleh dipercayai di Tiku dan Pariaman. Akan menyampaikan daya upaya itu dibuatnyalah perjanjian dengan orang besar-besar dalam kedua negeri itu, suatu perjanjian, yang ditandatangani juga oleh Raja Bendahara dan Orang Kaya Kedi itu. Isinya bahwa orang besar-besar itu berjanji akan menumpaskan atau mengenyahkan sekalian panglima Tiku dan Pariaman dengan pertolongan 'orang dusun', sedang kompeni harus meminjami mereka itu uang 20 tahil emas dan pakaian, seharga 320 rial; apabila maksud itu sampai, pinjaman itu boleh dibayar hanya separuh saja. Tambahan pula dalam perjanjian itu disebutkan juga bahwa di Naras akan didirikan 'factorij' setelah orang Aceh enyah sekaliannya.
Loji di Tiku dan Pariaman tidak jadi didirikan, tak mungkin maju sebab negeri selalu huru-hara.
Negeri Naras, Tiku, dan Pariaman hanya menghasilkan beras, tetapi orang besar-besar berkata dengan pasti bahwa segala orang yang menanam lada di Airbangis dan Pasaman boleh diajak berjual beli ke Naras, jangan ke Tiku juga, sebagaimana diperintahkan oleh Raja Aceh. Dan lagi Naras, yang terletak di tepi sungai dan ramai itu, baik pula dijadikan tempat mengumpulkan emas yang diangkut dari hulu. Sama baik letaknya dengan Pariaman.
Akan tetapi, maksud Groenewegen itu tiada sampai, meskipun telah disetujui oleh kepala kompeni di Betawi. Loji tidak terdiri sebab orang Aceh tiada terusir.
Panas hati kepala kompeni itu tiada terperikan. Bahkan, bertambah-tambah panas lagi karena tengah ia berusaha menjalankan tipu daya ke kiri dan ke kanan, datang pula permintaan yang amat keras dari Inderapura, dari Sultan Muhammad Syah, yang telah hampir putus asa .... Sultan muda itu mengabarkan, kalau kompeni tidak lekas datang menolong dia pula, tak dapat tidak sampailah dta-dta Raja Adil yang 'terkutuk' itu, takhta kerajaan Inderapura dapat direbutnya dan pertalian dengan kompeni di sana dapat diputuskannya.
Jika sampai terjadi demikian, bukan sedikit kerugian akan diderita kompeni.
Dengan pikiran kacau-balau, berang bercampur kesal, khawatir dan cemas, Groenewegen berlayar ke Pulau Cingkuk akan bermusyawarah dengan sultan dua beranak itu.
Kebetulan pada penghabisan bulan Februari, kedua sultan itu tiba di Pulau Cingkuk beserta dua puluh orang menteri yang masih setia kepadanya. Seketika itu juga diadakanlah majelis persidangan di dalam benteng. Dari keterangan Malafar Syah nyata kepada Groenewegen, bahwasanya Raja Adil sudah merajalela di seluruh daerah Inderapura. Hampir sekalian rakyat sudah berpihak kepadanya sehingga Muhammad Syah seolah-olah hanya sultan dalam istana saja lagi.


Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oleh sebab itu," kata Sultan Tua dengan sungguh-sungguh akhirnya, "kami menyerah semata-mata kepada Tuan. Barang apa timbangan Tuan, kami turut. Kami sudah kehilangan akal! Bagaimana saja boleh Tuan perbuat diri Raja Adil itu, asal takhta kerajaan kami terpelihara!"
Kepala kompeni itu terpekur. Lama ia berdiam diri, berpikir-pikir. Warna mukanya kelihatan sebentar merah, sebentar pucat. Kadang-kadang ia menggertakkan geraham, kadang-kadang tersenyum masam. Akhirnya ia pun berkata dengan sabar, "Lebih baik Tuanku coba dahulu berdamai dengan dia. Jika tidak dapat, barulah kami sendiri dengan bala tentara dan pasukan bantuan kaum serikat pergi menyerang ke Manyuto."
"Tetapi Tuan ...," sabda Malafar Syah dengan gugup, "tak mungkin lagi."
"Lain daripada itu tak ada daya kami sekarang ini, Tuanku. Sebab hendak menyerang ... kini bantuan kaum serikat tiada dapat diharapkan benar, sedangkan kapal Cabeljau perlu senantiasa siap akan menjaga laut di sebelah utara Padang. Orang Aceh tentu akan mengirim bantuan ke Tiku dan Pariaman.
Memang perkataan Groenewegen itu ada dasar kebenarannya. Baru saja ia sampai ke Padang pula, didengarnya kabar bahwasanya ada 28 buah perahu dayung berlabuh di Pariaman dan menurunkan 500 orang laskar untuk merebut kekuasaan di sana kembali.
* ** Raja Adil gembira benar-benar mendengar berita hasil pelayaran Raja Mulana ke Tiku itu, lebih daripada yang diharap-harapkannya. Usaha kompeni jadi teralang dan pikiran sultan dua beranak itu jadi kelam kabut. Oleh karena itu, ia pun makin bertambah berani melawan Inderapura yang berserikat dengan kompeni itu. Dan hasratnya pun makin keras dan besar hendak mencari perhubungan dengan Pauh. Jika Pauh dapat digerakkan menyerang Padang dari darat dan Aceh dari sebelah utara dan dari laut, niscaya tenaga kompeni akan lemah dan Inderapura tentu takkan berdaya lagi.
Putus mufakat dengan Mamanda Raja Mulana yang tenang pikiran dan tajam tilik itu bahwa mereka itu takkan mau sekali-kali diajak berdamai dengan Muhammad Syah penjual negeri itu. Perang akan terus .... Bukan saja terhadap kepada kekuasaan munafik Inderapura itu, tetapi terutama pula terhadap kepada segala pengaruh jahat kompeni di seluruh Pantai Barat jua. Oleh sebab itu, raja-raja di Pesisir harus waspada, harus bersatu padu menentang kejahatan itu dan mengakui Raja Manyuto, yakni Raja
Adil, jadi pemimpin peperangan. Demikian diumumkan oleh Raja Muiana dengan tegas, sementara panglima muda itu pergi ke Pauh dengan menyamarkan diri.
Sebab itu Songsong Barat berlayar pula ke sebelah utara, membawa muatan lada juga. Kapal itu tak beralangan sesedikit jua masuk keluar Padang, bahkan berlayar pada sepanjang Pantai Barat sekalipun sebab nakhodanya dikenal benar oleh kompeni, ya, Raja Gandam dipandang kompeni sebagai nakhoda Songsong Barat yang setia dan seorang saudagar yang banyak menjual lada kepada kompeni.
Sementara ia menguruskan perniagaan dengan kompeni di bandar itu, Raja Adil yang menyamar sebagai awak kapal saja selalu memasang telinganya. Demikian kabar berita bahwa Pariaman telah mendapat bantuan lima ratus orang laskar dari Aceh, terdengar juga kepadanya.
Oleh karena itu, bukan kepalang bertambah besar hatinya. Semakin tak dapat lagi ditahannya hasrat dan maksudnya hendak ke Pauh, sudah tampak-tampak olehnya apa yang akan dikerjakannya di situ. Makin cepat, makin baik .... Dan apabila telah selesai orang membongkar lada di loji, disuruhnyalah juru mudi melayarkan Songsong Barat terus ke sebelah utara. Akan tetapi, di Muara Kotatengah kapal itu mesti berlabuh. Raja Adil hendak naik ke darat di sana sebab dari situlah jalan yang sebaik-baiknya pergi ke Pauh, bahkan Kotatengah itu pun boleh dikatakan pintu bagi orang Aceh yang hendak pergi ke negeri itu.
BEKERJA, HANYA BEKERJA Sangat berang Groenewegen mendengar kabar kedatangan bantuan Aceh yang tak disangka-sangka itu. Dengan segera dikirimnya Kapal Cabeljau dan dua buah sekoci ke sebelah utara, akan menyerang Pariaman dari laut. Setelah itu, ia pun pergi kepada Orang Kaya Kecil akan memusyawarahkan perkara yang amat penting itu.
Yang ditemuinya itu pun sedang gelisah. Betul sepulang dari Sungailimau ia telah dianugerahi oleh kompeni pangkat regen akan pembatas jasanya, betul sudah sepatutnya ia bersukadta sebab telah dituakan daripada penghulu yang tujuh orang lagi di dalam negerinya, tetapi semenjak itu dan karena itu pula Padang tak dapat dikatakan aman lagi. Dari segenap pihak negeri itu mendapat serangan. Terutama dari Pauh, yang senantiasa setia kepada Aceh. Semenjak dahulu Padang sudah bermusuh-musuhan jua dengan Pauh, tetapi dalam waktu yang akhir itu sekonyong-konyong permusuhan itu dari pihak Pauh bertambah keras. Berbagai-bagai ancaman datang dari sana. Sebentar-sebentar terdengar kabar bahwa saudagar emas yang hendak pergi ke Padang sudah musnah disamun orang di situ. Sebentar-sebentar datanglah rakyat mengadu kepada regen dengan ratap tangi snya bahwa ternaknya: ayam, kambingnya, sampai-sampai kepada sapi dan kerbaunya sudah licin tandas dicuri orang. Bahkan lebih dahsyat dan ngeri lagi: sementara itu tersiar pula berita dalam negeri dan kampung bahwa orang Aceh dan Pauh sudah bersiap hendak menyerang dengan hebatnya.
Rakyat selalu dalam khawatir dan ketakutan.
Beban tanggungan Regen teramat berat, hampir tak terpikul lagi olehnya!
Dalam waktu sedemikian Groenewegen datang ke rumah Orang Kaya Kecil dengan susah hati pula!
Sejurus panjang kedua orang besar itu tiada berkata-kata, hanya berpandang-pandangan saja sebab keheran-heranan. Sunyi,"tiba-tiba Orang Kaya Kedi berkata dengan perlahan-lahan, "Ajaib, dua puluh delapan buah perahu dayung dapat lalu di Barus! Padahal, kata Tuan, penjagaan kompeni di lautan amat kuat dan rapi."
Groenewegen terperanjat seperti disengat kalajengking. "Memang," katanya dengan keras, sedang matanya bersinar-sinar karena marah sangat, "memang di Barus selisih basah kapal dan perahu kompeni akan menahan bantuan dari Aceh ke Pantai Barat ini. Sudah saya peringatkan, sekalian kapal Aceh mesti ditahan, dan dirampas barang-barangnya. Akan tetapi..."
Rupanya tersumbat kerongkongannya akan meneruskan perkataannya. Ia bangkit berdiri dan sej urus antaranya ia pun duduk pula. Bibirnya gemetar komat-kamit, sedang pipi dan telinganya merah bagai saga warnanya.
"Tetapi," kata Orang Kaya Kedi menyambung perkataan itu dengan perlahan-lahan juga, "rupanya kapal jaga kompeni itu dapat d i perda ya k an n v a
"Ya," ujar Groenewegen seraya meninju meja dengan kuat, "mereka itu tidur saja di Barus. Boleh jadi perahu-perahu Aceh itu menyamar, menaikkan bendera lain ketika lalu di sana, yaitu bendera negeri yang telah berserikat dengan kita, tetapi sungguhpun demikian hal itu sekali-kali tidak boleh diabaikan. Sekalian perahu itu harus diperiksa juga. Dan saya sudah membuat aturan, sekalian kapal di Pantai Barat yang hendak pergi berniaga ke negeri lain-lain, harus mempunyai 'surat' pas yang saya tanda tangani sendiri."
"Tentu surat pas itu tidak diperiksa oleh kapal jaga itu atau boleh jadi juga segala perahu itu lalu malam hari. Dan, atau seperti kejadian di Tiku dahulu ..."
"Bagaimana?" "Dengan penyelidikan hamba sendiri sekarang sudah ketahuan bahwa huru-hara di situ baru-baru ini bukan berasal dari Aceh, melainkan dari seorang panglima di Inderapura."
"Apa?" tanya Groenewegen dengan muka pucat pasi, "dari pihak sultan?"
"Bukan"dari pihak musuhnya, yang telah menjadi musuh kompeni juga sebab kesalahan kompeni sendiri."
"Tuanku..." "Dengarkan keterangan hamba dahulu sampai habis, Tuan. Oleh karena kompeni campur tangan dalam perkara Inderapura dan karena kompeni menolong sultan dalam hal putar negeri itu, maka pihak pemutar negeri itu pun marah sangat kepada kompeni. Tentu saja marah itu lekas menjadi dendam dan dendam itu lalu dibalaskan dengan tipu muslihat: kompeni diadu dengan Aceh. Jadi, nyata kepada Tuan sekarang bahwa Tuan sudah kena tipu muslihat itu sebab dengan tak berpikir panjang lebih dahulu Tuan telah menyerang orang Aceh di Tiku itu. Padahal mereka itu sampai kepada waktu itu masih bersahabat dengan kompeni, bukan?"
Groenewegen termenung. Keterangan itu masuk pada akalnya karena sungguh perkara Tiku itu sudah menyulitkan segala pekerjaannya, dan sungguh pula sejak itu persahabatan dengan Aceh putus sudah.
"Dan sekarang apa pikiran Tuan?" tanya Orang Kaya Kecil pula.
"Tak dapat, tak mungkin berlalai-lalai lagi! Kaum serikat di Pariaman dan Tiku mesti ditolong sebab negeri itu mesti direbut dari tangan Aceh kembali."
Orang Kaya Kecil terkejut sedikit, pucat warna mukanya. "Tuan," katanya dengan bimbang, "tenangkan pikiran."
"Apa?" kata Groenewegen dengan terperanjat, "saya kurang pikir pula dalam hal itu?"
"Bukan"tetapi tidak terpikirkan oleh Tuan bahwa sekarang kehendak Tuan itu tidak mungkin dilakukan?"
"Apa sebabnya?" tanya kepala kompeni itu dengan geram.
"Sia-sia! Pertama, sebab kami sekarang tidak dapat menolong Tuan. Kedua, sebab sekarang pastikan Aceh sedang kuat dan gembira benar." Groenewegen termenung, bimbang hatinya.
"Dan kita tidak boleh terburu nafsu, Tuan," kata Regen pula, "ingat, kalau sekarang dimulai berperang dengan Tiku dan Pariaman, jangan-jangan negeri hamba ini dirampas oleh Pauh. Sebab Pauh sudah memandang hamba musuhnya ... lain tidak karena hamba ... terlalu dekat kepada kompeni. Padahal...."
"Jadi apa akal?" kata Groenewegen dengan suara tertahan-tahan.
"Tidak lain, melainkan kita mesti berhati-hati. Inderapura, Tiku, dan Pariaman biarkan saja dahulu demikian. Usaha yang sangat perlu sekarang; di laut kompeni harus membuka mata senyalang-nyalangnya, supaya bantuan dari Aceh jangan sampai datang juga kemari. Dalam pada itu di sini kita mesti bertahan dengan sekuat-kuatnya. Sebab kalau negeri ini dapat dirampas Pauh, hamba yakin, perhubungan kompeni dengan negeri-negeri di seluruh Pantai Barat akan hilang lenyap sama sekali."
"Sukar betul," kata Groenewegen seraya menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, "sedang perkara Inderapura belum selesai lagi, bahkan bertambah sulit karena perniagaan di sana sudah kocar-kacir, sekarang tiba pula perkara ini ...."
Percakapan terganggu sebentar sebab seorang orang muda yang berpakaian cara hulubalang kelihatan berdiri di muka pintu. Ia hendak masuk rupanya, tetapi tiba-tiba ia undur ke belakang.
"Oh, engkau Buyung" " kata Orang Kaya Kedi, setelah menoleh kepada orang muda itu, "Tidak apa, masuklah."
Dengan tangkas orang muda itu masuk ke dalam kamar bicara itu. Mula-mula ia minta baik-baik kepada Groenewegen, sesudah itu sujud dan bersalam dengan Regen.
"Engkaubaru datang dari watas" Apa kabar?" tanya Grang Kaya Kecil pula, ketika orang muda itu sudah duduk bersila dengan tertib sopan sedang mata Groenewegen tenang memandang kepadanya.
"Kabar baik, Tuanku," jawab 'si Buyung' dengan tersenyum sedikit, "Pencuri itu sudah tertangkap, ada hamba bawa kemari; menanti perintah dari Tuanku, akan diapakan mereka itu?"
"Berapa orang?" tanya Regen dengan girang.
"Lima orang, Tuanku."
"Bawa ke penjara dahulu, nanti kita periksa."
"Baik, Tuanku," jawab 'si Buyung' seraya menyembah dan bangkit berdiri. Dan ketika ia hendak undur keluar pintu, Regen berkata pula, "Nanti dahulu, engkau belum berkenalan lagi dengan Tuan ini, anak ipar hamba, si Buyung"Groenewegen."
Kepala kompeni itu berdiri dari kursinya, seraya mengulurkan tangan kepada orang muda itu akan berjabat salam. Setelah itu barulah 'si Buyung' keluar dengan hormat dan takzimnya.
"Pantas benar orang muda itu," kata Groenewegen seraya duduk kembali ketika 'si Buyung' tiada kelihatan lagi.
"Beruntung benar hamba beroleh dia, Tuan," kata Orang Kaya Kecil dengan besar hati, "berulas tangan hamba rasanya. Kalau tidak ada dia, barangkali.... Tuan dengar, lima orang pencuri dapat ditangkapnya."
"Tentu pencuri dari Pauh!"
"Boleh jadi sebab dia hamba suruh malam tadi dengan pasukannya ke watas daerah hamba dengan negeri itu. Nah, begitu rupa bahaya ... hampir selalu hari datang dari pihak sana, Tuan, bagaimana kita akan dapat berperang dengan negeri lain" Bagaimana kita akan dapat mengirim bola tentara ke Pariaman sekarang ini dalam waktu begini"
"Nasihat Tuanku, hamba turut. Terima kasih. Tetapi di mana orang muda selama ini?"
"Di rumah ipar hamba di Rimbakeluang."
"Anak kandung ipar, Tuanku?"
"Anak angkat." "Anak angkat" Asal dari mana?" tanya Groenewegen dengan minatnya.
Maka diceritakannya sedikit oleh Orang Kaya Kedi bagaimana mula-mula 'si Buyung' sampai ke Rimbakeluang dan bagaimana ia pula diserahkan Putri Rubiah kepadanya, sedang ketika ia sangat berhajatkan pegawai yang cakap dan boleh dipercaya dalam pemerintahan.
"Kalau begitu patut benar Tuanku didik dia baik-baik," kata Groenewegen dengan pengharapan besar, setelah mendengar keterangan tentang ketangkasan orang muda itu, "siapa tahu, barangkali ia berguna kepada saya juga kelak."
Hampir belum terkatup lagi mulutnya, utusan Sultan Muhammad Syah dibawa orang masuk menghadap. Ia sengaja datang dari Inderapura dengan secepat-cepatnya, akan mengabarkan kepada Groenewegen bahwa Raja Adil memang tiada mau berdamai, sebagaimana telah dikatakannya.
Kedua orang besar itu berpandang-pandangan.
"Tentu saja tidak," kata Orang Kaya Kedi sejurus antaranya, "sebab ... ia berasa telah kuat. Oleh sebab itu, semakin bertambah tetap pendirian hamba, Tuan, bahwa kita tak mungkin dapat menolong Inderapura, Tiku, dan Pariaman sekarang ini!"
"Mustahil, ya, dan kapal Cabeljau mesti dipanggil pulang kemari kembali," jawab Groenewegen dengan geleng kepala. Dan setelah berkata demikian ia pun mohon diri dan berjalan ke loji dengan tergesa-gesa. Rupanya terharu biru benar pikirannya.
Baru sepekan dua Sutan Malekewi tinggal dengan Putri Rubiah, kasih sayang seisi rumah itu sudah bertaut kepadanya. Oleh perempuan tua yang baik hati itu benar-benar ia telah dipandang sebagai anak kandungnya, ganti anaknya yang baru dua tiga bulan berpulang ke rahmatullah. Putri Sarayawa yang muda remaja dan elok paras itu pun selalu menampakkan budi baik, hati sud, dan muka jernih akan dia, bahkan kadang-kadang dalam sekalian hal itu terbayang pula perasaan lain"perasaan, yang biasa timbul dalam kalbu seorang gadis sebagai dia itu jika senantiasa berdekatan dan berpandangan dengan orang bujang, yang sekali-kali tiada boleh dikatakan buruk rupanya dan tak senonoh tingkah lakunya.
Dan pandangan si Upik, kakak Sarayawa jelita itu pun sudah berubah semata-mata terhadap kepadanya. Sudah kerap kali ia merasa malu dalam hatinya akan perbuatannya yang pertama-tama, yaitu perilakunya memberi Malekewi nasi dalam tempurung. Dan telah kerap pula ia mengiaskan maaf atas kecongkakannya itu kepadanya.
Tentang perasaan Sarayawa sedemikian bukan pula tidak diketahui oleh Putri Rubiah. Bahkan ia sendiri pun sudah merasa lebih daripada patut, jika Sarayawa didudukkan dengan orang muda itu. Oleh sebab itu, kasihnya kepada Sutan Malekewi yang mula-mula sebagai kasih kepada anak kandung itu, lama-kelamaan berubahlah menjadi kasih sayang kepada seorang bakal menantu yang mendatangkan pengharapan. Maka dicarinya akal dan ikhtiar, supaya anak muda itu menjadi orang yang ternama kelak. Dengan segera ia teringat akan iparnya, Orang Kaya Kecil, yang telah diangkat kompeni menjadi regen itu. "Tentu ia dapat menolong dia," katanya seraya berangkat ke Padang bersama-sama 'si Buyung' dan kedua anaknya.
Ikhtiar Putri Rubiah itu sesuai dengan kehendak 'si Buyung' sendiri. Sebab selama ia dikasihi orang di Rimbakeluang itu, ia tidak pernah membuang-buang waktu dengan cuma-cuma. Seluk-beluk pertikaian Padang dengan Pauh, yaitu tentang persahabatan Padang dengan kompeni dan persahabatan Pauh dengan Aceh, telah diselidikinya dan dipelajarinya dengan saksama. Oleh karena ia telah melihat dan menderita kekejaman pihak Pauh dan sekutunya, bagaimana jua pun, jika ia hendak bekerja"ia suka berhambakan diri kepada Regen Padang, keluarga orang yang menaruh belas kasihan akan dia itu.
Ya, dengan sekali pandang saja lekatlah hati Orang Kaya Kecil pada orang muda itu. Pikirnya, 'si Buyung' akan boleh diajarnya menjadi orang perang, akan jadi kaki tangannya dan kepercayaannya sebab ia tangkas dan berpaham serta lurus rupanya.
Asal usul orang muda itu tidak diselidikinya sedalam-dalamnya. Pada sudah baginya, apabila diketahuinya bahwa 'si Buyung' berasal dari Minangkabau. Siapa namanya yang sebenarnya, di mana kampung halamannya, rupa-rupanya tidak atau belum perlu dihiraukannya. "Kalau tidak ada salah satu sebab yang penting baginya," pikirnya, "takkan mungkin perkara ini dirahasiakannya." Akan tetapi, ia yakin bahwa lambat laun rahasia itu akan terbuka juga. Dalam pada itu ia pun telah percaya benar-benar bahwa 'si Buyung' anak orang baik-baik jua.
Dengan pikiran dan pandangan demikian orang muda itu pun dijadikan hulubalang.
Tiada keliru! Dalam beberapa hari saja sudah nyata kepada Regen kebenaran tilikannya. Sungguh 'si Buyung' tangkas dan cekatan, setia kepada jabatannya. Tambahan pula ia pun pandai bercakap-cakap, fasih lidahnya, tahu bergaul dengan orang besar-besar, dan ramah tamah kepada rakyat atau orang banyak. Tak sia-sia kepercayaan diberikan kepadanya, tak sia-sia ia dijadikan hulubalang istimewa sebab ia berani dan cerdik cendekia. Banyak kerja tuannya yang sulit-sulit dapat dikerjakan dengan cepat dan mudah. Banyak peristiwa dalam negeri seperti maling curi dan samun sakar yang diselesaikan. Orang jahat, yang mengacau negeri, dapat ditangkapnya atau dienyahkannya. Sebagai seorang hulubalang yang rajin dan insaf akan kewajiban, ia pun senantiasa membuka mata dan menyaringkan telinga: siang berjaga, malam berselimut embun, tunggang hilang berani mati!
Kerap kali Regen menggelengkan kepala memperhatikan kerajinannya dan kecakapannya sebab tiada berbanding dengan umurnya yang masih muda remaja itu. Dan terhadap kepada orang Pauh berlebihan benar tajam siasatnya. Bilamana saja terdengar olehnya ada orang Pauh masuk negeri, niscaya dikepung dan ditangkapnya, walau tengah malam sekalipun.
"Di mana kau tangkap pencuri itu?" tanya Orang Kaya Kedi kepadanya, ketika ia datang menghadap pula dengan seorang kawannya tidak lama sesudah Groenewegen meninggalkan rumah Regen itu.
"Di luar kota, Tuanku, ketika mereka itu menggiring kerbau orang dusun Parak Siang."
"Mereka itu tidak melawan?"
"Melawan sekuat-kuatnya sehingga kawan hamba luka seorang."
"Parah?" tanya Re gen dengan marah, "patut digantung bangsat itu."
"Untung tidak parah, hanya luka sedikit saja, Tuanku. Dan orang yang melukai dia itu sudah kena malapetaka perbuatannya."
"Bagaimana?" "Sudah mati ditikam Hulubalang," kata kawannya seraya memandang kepada Hulubalang Buyung dengan mata yang bersinar-sinar.
"Oh," kata Orang Kaya Kedi seraya menatap muka 'si Buyung' dengan suka hati, "bagus! Tetapi kelima orang yang tertangkap itu mesti juga diberi hukuman berat."
"Benar, Tuanku," kata kawan 'si Buyung' pula, "sebab kelimanya sudah menyerang Hulubalang dengan sekeras-kerasnya."
"Meskipun demikian mereka itu harus diperiksa dengan teliti dahulu, Tuanku, sebelum dijatuhkan salah suatu hukuman atasnya," ujar 'si Buyung', "mereka itu orang Pauh asli, bukan orang Aceh. Siapa tahu, barangkali mereka itu berbuat jahat semacam itu hanya oleh karena terpaksa...."
"Baik," kata Orang Kaya Kedi dengan sukadta sebab mendengar kelurusan dan kebaikan hati orang muda itu, "kehendakmu itu boleh kita lakukan. Sekarang perkara lain, adakah kauperhatikan pandang Tuan Groenewegen tadi terhadap kepadamu?"
"Tidak, Tuanku," jawab 'si Buyung' dengan agak resah.
"Rupanya senang hatinya melihat engkau. Sebab itu aku minta, hendaklah engkau kerap kali berjalan-jalan ke loji. Perhatikan seluk-beluk perniagaan: bagaimana cara timbang-menimbang emas, lada, dan lain-lain. Dan kalau sempat, sekali-sekali pergi jualah ke kapal di Pulau Pisang, supaya dapat pula engkau berkenalan dengan awak kapal kompeni di sana. Sepatah dua patah perkataan bertanya-tanya tentang tali-temali, tentang nama-nama layar, dan sebagainya kepada mereka itu, tentu bertambah juga pengetahuanmu, bukan" Apalagi ilmu pelayaran patut pula engkau pelajari."
Orang muda itu tersenyum. "Mentang-mentang aku orang Darat," pikirnya. Dan kuat-kuat serta sungguh-sungguh, "Terima kasih"nasihat Tuanku hamba junjung di atas batu kepala hamba," katanya.
"Dan siapa tahu, barangkali lekas engkau akan berhubungan dengan kompeni. Tuan Groenewegen dalam susah"mana Tiku dan Pariaman telah direbut Aceh kembali, tadi datang pula utusan dari Inderapura, membawa kabar yang lebih mengkhawatirkan hatinya. Oleh sebab itu engkau harus bersiap-siap ...."
"Hamba, Tuanku," jawab 'si Buyung' seraya bangkit berdiri dari kedudukannya.
Makin lama orang muda itu tinggal dan bekerja dengan Orang Kaya Kecil, makin tampak jelas jasanya, baik terhadap kepada negeri, baik pun kepada regen dua laki istri sendiri. Kebalikannya mereka itu pun bertambah sayang kepadanya. Dan dengan cita-cita Putri Rubiah mereka itu sudah sesuai benar-benar. Sudah kerap kali Putri Sarayawa dimintanya tinggal di Padang, supaya dapat mengetahuinya lahir dan batin orang muda itu.
Akan tetapi, tiada mudah akan menyelami hatinya. Malah kerap kali korenah 'si Buyung' mencemaskan Putri Sarayawa yang jelita itu. Walaupun ia selalu mendapat pujian dari regen tentang pekerjaan dan kecakapannya, walaupun Putri Sarayawa senantiasa mencumbu-cumbui dia dengan kiasan atau perkataan yang mengandung dendam berahi, walaupun sekalianny a itu bukan bagai air jatuh ke pasir saja rupanya, tetapi tanda riang dan sukacita tiada sedikit jua terbayang pada wajahnya.
"Apa gerangan rahasia yang tersembunyi di dalam kalbunya?" tanya gadis itu dengan gelisah, bila melihat air muka kekasihnya yang tenang tak terselami itu, "lain daripada bekerja, bekerja, bekerja siang malam dengan tiada berhenti-henti, rupanya tak ada yang menarik hatinya."
Benar, cuma kerja itukah saja yang dipikirkan 'si Buyung' atau Sutan Malekewi itu"
PERKAWINAN RAJA ADIL Beberapa hari lamanya Songsong Barat berlabuh di Kotatengah menanti-nantikan Raja Adil. Pada suatu petang, barulah ia sampai pula ke muara negeri itu dengan segala pengiringnya. Ia sangat gembira rupanya. Setelah naik sekaliannya ke kapal Songsong Barat itu, ia pun memberi perintah kepada juru mudinya.
"Cepat, Raja Gandam, bongkar sauh. Suruh anak kapal mengembangkan layar, kita berangkat sekarang ini jua."
Sibuk anak kapal melakukan kewajibannya masing-masing. Ada yang memasang layar, ada yang mengikatkan tali-temali, dan sebagainya. Sebentar antaranya kapal Songsong Barat yang indah itu pun melancar di atas muka air menuju arah ke sebelah selatan, makin lama makin laju, sedang Raja Adil yang berpakaian cara Panglima Aceh itu berdiri di atas geladak lurus-lurus. Matanya yang bulat dan tajam selalu memandang ke daratan, ke pasir Pelabuhan Kotatengah yang ditinggalkannya. Pada air mukanya, pada cahaya matanya yang tak terpejam-pejam, bahkan pada segenap gerak badannya terbayang sukacita yang terkandung di dalam hatinya. Seolah-olah ia telah mendapat untung dan bahagia besar .... Apabila sudah agak jauh ke tengah laut, sedang pasir sepanjang pantai Pulau Andalas masih memutih kekuningan dan berkilat-kilat rupanya, masih menyilaukan mata kena sinar matahari yang hampir terbenam itu, barulah ia masuk ke dalam kurung dengan senyumnya.
Ketika ia naik ke geladak pula dengan berpakaian seperti biasa, pakaian asli, hari sudah jauh malam. Ia menyuruh juru mudi mengambil haluan ke tengah laut dan memberi perintah kepada sekalian awak kapal supaya ingat-ingat benar sebab mereka itu akan menempuh lautan daerah Padang. Kebetulan ketika itu angin bertiup dengan selesai, layar makan semuanya; maka hampir dini hari dapatlah negeri yang berbahaya itu dilalui dengan tiada kurang suatu apa-apa.
Raja Adil balik ke dalam kurung kembali. Berjam-jam ia tiada menampakkan diri di atas geladak lagi. Keselamatan pelayaran pulang itu seakan-akan sudah diserahkannya saja kepada kecakapan dan kebijaksanaan juru mudi Raja Gandam, yang sangat setia kepadanya.
"Rupanya nyenyak benar tidur Tuanku Raja Adil sekali ini," ujar Serang kepada seorang hulubalang sedang duduk di bawah layar dengan senang bersandar pada tiang agung, "tak ada sedikit jua lagi waswasnya."
Hulubalang pengiring Raja Adil itu menatap muka Serang sejurus maka ia pun tersenyum.
"Sebab payah; selama dalam perjalanan hampir kami tiada memicingkan mata barang sekejap jua. Sekarang baru ada kesempatan untuk beristirahat."
"Sampai kapal tidak dipedulikannya. Ha, ha, ha!" kata Serang dengan tertawa geli hati.
"Apa pula akan kerjanya, hari seelok secerah ini?" jawab hulubalang dengan pendek.
"Hi, hi,"lebih dari cerah! Bidadari ada dalam kurung."
"Ssst, mulutmu...."
"Maaf,"di mana diperoleh Tuan kita perempuan yang amat elok itu?" tanya Serang dengan mengecilkan suaranya.
"Di Pauh, diberikan penyamun kepadanya."
"Diberikan" Bodoh benar penyamun itu. Kalau saya ...."
Serang menelan air ludahnya, sebagai melihat makanan yang amat lezat cita rasanya.
"Ya, diberikannya, akan pembalas jasa tuan kita kepadanya. Perempuan itu bersama-sama dengan beberapa orang saudagar emas dari Darat; disamun dan dirampas orang di tengah jalan dekat Pauh beramai-ramai. Terjadi perkelahian hebat. Ketika kepala penyamun itu hendak melarikan perempuan itu, tiba-tiba ia diserkap oleh seorang saudagar yang gagah berani. Niscaya melayang nyawa penyamun itu kena parangnya, jika ia tidak ditolong oleh seorang panglima yang tangkas!"
"Panglima Aceh?"
"Ya, dan Panglima Aceh itu tiada lain daripada tuan kita, Tuanku Raja Adil, yang menjelma menjadi kawanan Aceh itu ...."
"Jadi?" "Saudagar itu tersungkur ke tanah disepakkan tuan kita, dan penyamun luput dari bahaya maut; jadi pembalas belaan 'Panglima Aceh' itu sudah sepatutnya bidadari itu diserahkan kepadanya, bukan?"
"Berbahagia Tuan kita!" kata Serang dengan sukacita, "perang menang, laba dapat pula!"
"Tetapi nyaris pula terlepas dari tangannya," kata Hulubalang.
"Niscaya penyamun itu menyesal memberikan dia. Hendak direbutnya kembali, bukan?"
"Tidak! Sesudah selesai pekerjaan di Pauh, kami berangkat ke Kotatengah dengan segera. Di situ kami bermalam di rumah istri Sutan Alam Syah, anak penghulu Sri Raja Hulubalang yang kenamaan. Heran, keesokan harinya perempuan itu tak mau lagi turun dari rumah itu."
"Eh, apa sebabnya?"
"Tak terang sekali-kali. Hanya ketika dikerasi oleh tuan kita, perempuan itu berteriak: biar aku mati di sini, asal jangan jadi budak orang Aceh .... Tolong, Tuan Sutan Alam .... Kasihani hamba ...."
"Celaka!" "Rupanya benar-benar tuanku Raja Adil orang Aceh. Hampir terjadi pula perkelahian dengan Sutan Alam Syah sebab ia hendak menahan perempuan itu. Sekarang nyata sudah kepadamu, Serang, apa sebabnya kita terburu-buru berangkat kemarin petang. Khawatir, kalau-kalau disusul orang dari Kotatengah."
"Siapa nama perempuan itu?"
"Tidak tahu, ia belum mau bertutur dengan tuan kita."
"Hum, sekarang tentu ia sudah tahu siapa Panglima Aceh yang indah itu. Siapa bakal ... tuannya," kata Serang dengan suka dan geli hati, "dan Tuanku Raja Adil pun sudah lupa bahwa hari sudah tinggi."
" Ai, dengar juru mudi berlagu Baruh, lagu pelayaran.... Merdu jua suara si tua bangka itu."
Dari Gasan ke Asamkumbang, kapal berlayar menepi-nepi.
Adik berpesan pada unggas terbang, petikkan adik penawar jambi.
Batangkapas ranah Pesisir, putih berserak kerang di pantai.
Unggas, o, indah, jangan mungkir, memilih anak dagang sansai.
Terentang jalan ke Salida, emas menyirah di seberang, ditimpa panas udara lembap.
Sayang, wai, teguhkan iman di dada, cemas berubah menjadi girang, begitu ramalan bunyi rebab
"Ha, ha, sungguh ia teringat akan induk nasinya. Painan sudah dekat," kata Serang dengan sukacita, "dan tepat sindirannya."
Sampai-sampai menjelang Terusan sekalian isi kapal Songsong Barat selalu bersukaria, selalu bercakap-cakap dengan riang. Kerja yang berat hampir tak ada sebab hari amat elok. Sekalian layar mendapat angin selesai sehingga kapal melancar di atas air dengan kencang. Hanya tentang terusan baru sekalian awak kapal bersiap lengkap dan berjaga di tempatnya masing-masing. Raja Adil pun telah keluar dari dalam kurung dengan muka berseri-seri. Ia naik ke atas geladak, lengkap dengan senjatanya, lalu memberi perintah kepada anak buahnya dengan gagah berani, tangkas, dan tetap hati. Meskipun perintahnya keras, tetapi awak kapal bersenang hati jua menerima dan menjalankan dia karena kekerasan itu selalu keluar dari hati yang suci, dari pikiran dan pandangan yang sempurna. Memang keselamatan pelayaran itu sebagian bergantung pada kebijaksanaan kapitan dan sebagian pada ketertiban dan kepatuhan awak kapal kalian.
Rupanya Raja Adil tiada takut dan gentar menentang bahaya, badan dan nyawanya hendak dikorbankannya untuk melindungi dan memeliharakan anak buahnya; lebih-lebih pada masa itu karena di dalam kapal ada tersimpan suatu benda yang lebih berharga daripada harta sedunia kepadanya. Siapa jua pun, musuh mana jua pun datang ketika itu mengganggu dia, niscaya dilawannya dengan mati-matian.
Sungguhpun demikian ia tak pernah membuta-tuli, tak biasa bekerja dengan kurang pikir. Benar, ia takkan mengelakkan musuh, tetapi tidak pula ia hendak mencari-cari sengketa. Sambil memperhatikan keadaan laut sekeliling kapal, ia pun menyuruh mengambil haluan jauh ke tengah sebab mereka itu akan melalui negeri-negeri yang sudah di bawah pengaruh kompeni. Salido tempat tambang emas kompeni, yang banyak menghasilkan emas dan perak; Pulau Cingkuk, yang terletak di hadapan negeri itu, pusat kedudukan kompeni dewasa itu. Pulau itu selalu dijaga dan dilindungi dengan kapal perang; di situ ada sebuah benteng kompeni yang kuat, ada gudang beratap genting, yang tak mudah terbakar, tempat kompeni mengumpulkan hasil-hasil yang dibawa orang dari Sungaipagu, Painan, Batangkapas, dan lain-lain sebelum diangkut ke Betawi dengan kapal.
Untung tak ada alangan apa-apa ketika melewati tempat-tempat itu. Demikian pula tentang Inderapura; di sana sunyi saja rupanya sehingga kapal Songsong Barat dapat berlayar terus ke sebelah selatan dengan selamat.
Bukan buatan besar hati mereka itu, demi kapal sudah berlabuh di Manyuto sesudah mengarungi lautan besar beberapa hari lamanya. Mereka itu bertempik sorak, riuh rendah dan gegap gempita bunyinya, sambil melambai-lambaikan tangan kepada orang banyak yang penuh sesak menanti di pangkalan.
Sejurus kemudian kelihatanlah orang besar-besar, pahlawan dan hulubalang berbaris-baris di muka rakyat banyak itu; sengaja mereka itu datang ke situ akan menyongsong dan mengelu-elukan panglimanya yang tercinta itu.
Raja Adil naik ke darat dengan bawaannya dan pengiringnya, lalu bersalam dengan orang besar-besar itu. Ia tersenyum simpul sehingga terbayang seri muka dan sukacita hatinya. "Selamat, Tuanku Raja Adil, berbahagia panglima kami!" seru orang banyak dari segenap pihak dengan tiada berkeputusan, seraya bergerak berduyun-duyun dan berasak-asakan mengiringkan Raja Adil sampai ke benteng.
Sebentar itu juga pecahlah kabar di dalam negeri Manyuto bahwa Raja Adil telah pulang dengan sejahtera dan berbahagia besar.
Dan malam hari orang besar-besar, panglima dan pahlawan duduk bersidang di dalam benteng, dikepalai oleh Raja Adil sendiri.
"Mamanda Perdana Menteri," ujarnya dengan lemah lembut kepada Raja Mulana, yang sudah berunding panjang lebar dengan dia siang hari; "apa kabar negeri selama kami tinggalkan?"
"Insya Allah ada aman sentosa saja. Rakyat kembang, padi menjadi, Tuanku," sembah orang tua itu dengan tersenyum.
"Bagaimana Inderapura?"
"Sudah sunyi, perdagangan hampir mati. Rakyat bertambah banyak pindah kemari. Menteri-menteri pun tiada berapa orang lagi yang tinggal setia dengan rajanya; kebanyakan, seperti Tuanku lihat, sudah datang kemari akan berkhidmat kepada Tuanku."
"Terima kasih," kata Raja Adil seraya memandang kepada menteri-menteri itu dengan senyum manis, "bagaimana perasaan Sultan Muhammad Syah melihat Tuan-tuan berpaling haluan?"
"Ampun, Tuanku," sembah seorang dari menteri yang baru-baru itu, "bahwasanya kami datang kemari sesudah berselisih paham dengan dia. Pada suatu hari kami serta sekalian orang besar dan pahlawan dalam negeri Inderapura dipanggilnya rapat ke balairung sari. Di situ dibentang dipaparkannya segala maksudnya, hendak minta tolong pula kepada kompeni, akan menangkap Tuanku ...."
"Hum, teruskan!" kata Raja Adil dengan senyum masam.
"Kami tidak suka, Tuanku. Kami tidak mau perselisihan dalam negeri, perbantahan sekaum sekeluarga yang biasanya cabik-cabik bulu ayam, dicampuri oleh orang luaran, yang sudah nyata mempunyai maksud tersembunyi di balik batu. Akan tetapi, awak sama awak boleh berdamai, boleh berbaik kembali."
"Sungguh begitu hendaknya," kata Raja Adil, "tetapi apa hasilnya?"
"Bagaimana jua pun kami mempertahankan pendirian dan kebenaran kami, sia-sia belaka. Kami kalah suara. Sehari sesudah itu, sultan dua beranak berlayar ke Pulau Cingkuk bersama-sama dengan beberapa orang menteri yang masih setia kepadanya."
"Bagus," kata Raja Adil pula dengan geram hatinya.
"Dengan cepat kami berangkat kemari, Tuanku, akan memberitakan hal itu kepada Tuanku. Bahkan makin kecut hati kami, ketika mendengar kabar Tuanku dalam pelayaran. Kalau-kalau bertemu dengan musuh di lautan.... Sekarang Tuanku sudah tiba kembali di sini dengan tiada kurang apa-apa, malah berbahagia pula! Tak terperikan sukacita kami akan berhambakan diri kepada
Tuanku, supaya sama-sama dapat mempertahankan kebenaran dan keadilan. Sekian sembah kami, Tuanku."
"Ada sedikit lagi, Tuanku," sembah menteri yang lain, "sepulang sultan dari Pulau Cingkuk, ada hamba dengar berita bahwa Sultan Muhammad Syah hendak berdamai. Sesat surut terlangkah kembali. Sebab jangankan hendak memikirkan siasat perang jua, memikirkan isi istananya pun Sultan Muhammad Syah seakan-akan tidak sanggup lagi. Sudah centang-perenang, Tuanku, karena Putri Kemala Sari selalu dalam ketakutan, terkejut-kejut danbertutur-tutur seperti orang bertukar akal. Kadang-kadang ia pun mengigau serta minta-minta ampun...."
Raja Adil memandang kepada Raja Mulana dengan mata yang ganjil sinarnya. Sebelum orang tua itu memberi pertimbangan, menteri itu telah meneruskan perkataannya.
"Akan tetapi, baik hal tuan putri baik pun buah pikiran sultan yang muda itu tidak diindahkan oleh ayahanda. Baginda Sultan Tua berkeras hendak minta tolong kepada kompeni juga."
"Oleh karena itu kami selalu bersiap, Tuanku," kata Raja Mulana dengan suara tetap, "keempat penjuru negeri sudah kami suruh jaga kepada hulubalang. Kalau datang musuh .... Tentang hal Putri Kumala Sari itu: tangan mencencang bahu memikul."
"Tentu, adat alam demikian! Dia yang memulai persengketaan, dia pula yang akan menyudahi ... dengan jiwanya! Dan musuh datang kemari" Itu pun pasti sudah. Akan tetapi bila .... Sekarang kompeni tengah memenung-menungkan Tiku dan Pariaman, yang sudah terlepas dari tangannya. Dalam pada itu Padang diancam Pauh pula," kata Raja Adil dengan senyum yang banyak artinya, "amat panas hati orang Pauh ketika saya bercerita, eh, ketika mereka itu dengar kabar bahwa kompeni telah mendirikan kantor besar di Padang, kantor atau loji, yang akan menampung segala emas dari darat."
"Niscaya berang benar hati orang Aceh mendengar kabar itu," kata Raja Mulana dengan seringai.
"Lebih dari berang sebab kalau kantor besar di Pulau Cingkuk sudah dipindahkan ke Padang, takkan sebutir juga lagi emas jatuh ke tangan orang Aceh itu. Mereka boleh menggigit bibir! Ha, ha, orang Aceh sekarang di Pauh tak ubah seperti harimau kelepasan mangsa."
"Berhasil perjalanan Tuanku," kata majelis dengan riang.
"Lipat ganda berhasil," kata Raja Mulana dengan sukacita sebab Tuanku dapat memanaskan hati harimau garang dan buas. Kalau Aceh sudah meradang, kompeni boleh gulung tikar ...."
"Berbahagia kita."
"Oleh sebab itu, bahagia yang telah diperoleh itu haruslah kita syukuri dengan segera."
"Apa maksud Mamanda?" tanya Raja Adil.
"Kita berhelat jamu dahulu, Tuanku. Kalau ada niat dan nazar" huni," ia batuk sedikit "kita lepasi ketika itu."
Majelis tertawa gelak-gelak, seperti batu runtuh bunyinya, ketika mendengar kata orang tua yang lucu itu. Raja Adil pun geli hatinya.
"Benar," kata mereka itu dengan sekaligus, "dan dalam helat jamu itu kita harus bersumpah setia: sedencing bak besi, sekebat bak sirih dengan Tuanku Raja Adil. Hidup sama hidup, mati sama mati! Semufakat" Mudah-mudahan panglima kita serta keturunannya berbahagia selama-lamanya!"
Pada keesokan harinya disebarkan kabar dalam negeri bahwa Raja Adil akan mengadakan helat besar di dalam benteng, yaitu helat kawin! Berduyun-duyun rakyat datang ke sana, masing-masing dengan pembawaannya.
Sementara orang makan minum dan bersukaria di dalam benteng, di gelanggang dan di balai orang asyik pula menyabung, bersilat, menari, berandai, dan sebagainya. Masing-masing dengan kesukaannya, sedang hulubalang berjaga pada tiap-tiap penjuru dan pintu gerbang.
"Apa kabar?" tanya seorang hulubalang kepada seorang yang datang tergesa-gesa kepadanya, dengan menyandang joran pada bahunya.
Orang itu berbisik ke telinga hulubalang. Entah apa bisiknya, tetapi seketika itu juga hulubalang mengajak dia pergi bersama-sama menghadap perdana menteri di dalam benteng. Kebetulan ketika itu Raja Mulana sedang duduk beramah-ramahan dengan Raja Adil, yang sangat riang rupanya. Demi dilihatnya hulubalang datang dengan si pengail itu, ia pun bertanya dengan agak terkejut, "Apa artinya ini?"
"Musuh telah dekat, Mamanda," kata Hulubalang kepada perdana menteri itu.
"Musuh?" kata Raja Adil, sedang Raja Mulana berdiam diri karena berdebar-debar hatinya.
"Hamba, Tuanku. Orang ini yang memberi kabar kepada hamba." Raja Adil dan Raja Mulana memandang kepada si pengail itu dengan tenang.
"Engkau" Coba ceritakan, di mana engkau lihat musuh itu?" kata Raja Adil dengan sabar.
"Hamba sedang asyik mengail, Tuanku," kata orang itu, seraya menurunnaikkan tangan seakan-akan menggerakkan joran, "tali kail hamba putus... hamba berenang masuk air. Tiba-tiba hamba terkejut sebab hamba lihat ada beberapa laskar orang putih naik ke darat beserta dengan Sultan Muhammad Syah dan bala tentaranya."
"Habis, apalagi?"
"Hamba berlari-lari kemari, Tuanku. Ampun, sekian sembah hamba, Tuanku."
Raja Adil tersenyum. Memang benar Groenewegen telah mengirim kapal Cabeljau dan dua buah sekoci ke sebelah utara, tetapi di tengah laut bersobok dengan bala bantuan yang dikirim dari Aceh sekali lagi, yaitu sembilan buah perahu dua tiang, lalu kedua armada itu pun berperang dengan hebatnya. Perahu Aceh tenggelam sebuah, terbakar empat buah dan empat buah lagi lari ke sebelah utara. Akan tetapi, di daratan karena itu anak negeri tiada tertolong .... Pariaman terlepas dari tangan kompeni. Demikian juga Tiku! Sebab, setelah sampai berita kepada orang Aceh yang bersembunyi di rimba-rimba bahwa bala bantuan dari Aceh telah menduduki Pariaman, mereka itu pun balik ke kota Tiku kembali dengan gembira dan girang.
Waktu kapal Cabeljau sampai ke Padang kembali, kebetulan ketika itu pula Groenewegen dapat berita dari Malaf ar Syah tentang perkara damai tak jadi itu. Dengan tiada menunggu lama-lama lagi maka pada tanggal 23 Maret berangkatlah ia ke Inderapura dengan kapal Cabeljau dan sekoci Casarius, akan memerangi Raja Adil yang khianat itu.
Di dalam kapal itu ada bala tentara Belanda dan pasukan bantuan dari Padang, yang dikepalai oleh Hulubalang Buyung yang gagah berani itu. Setelah kekuatan ditambah pula di Inderapura dengan bala tentara sultan, kapal itu pun berlayar terus ke Bungo, di sebelah utara Manyuto. Di situ beberapa laskar diturunkan oleh Groenewegen ke darat bersama dengan Muhammad Syah dan bala tentaranya, sebagaimana telah diceritakan oleh si pengail itu. Mereka itu mengintai-ngintai, menyelinap, dan melayangkan mata kian kemari.
"Akan tetapi, mereka itu tiada terus kemari, bukan?" kata Raja Adil setelah berpikir sejurus.
"Tidak, Tuanku; seorang berbalik ke kapal."
"Tentu mereka tak berani menyerang; tahu bahwa kita siap sedia dan berjaga-jaga. Sebab itu belum ada lagi yang patut dikhawatirkan, Mamanda. Senangkan hati dan teruskan alat seperti tak ada kejadian apa-apa."
Dalam pada itu Groenewegen telah menerima berita dari mata-matanya tentang kekuatan Raja Adil itu sehingga bala tentara yang ada di darat tiada berani menyerang. Ia marah dan mengerahkan bala tentara yang masih ada di kapal naik ke darat semuanya. Ketika itu angin berembus dengan kencang, ombak yang bergulung-gulung memecah di tepi pantai dengan hebatnya.
Meskipun Hulubalang Buyung meminta dengan keras dan cemas supaya jangan naik ke darat dahulu sebab sangat berbahaya, meskipun permintaan itu kemudian telah berarti sebagai ancaman, tetapi kepala kompeni yang gagah perkasa dan cerdik itu tiada peduli sedikit juga. Kehendaknya mesti berlaku, perintahnya mesti dijalankan. Mau tak mau, dengan ketakutan, bala tentara terpaksa turun dengan sekoci. Tak urung, sekoci itu pun jadi permainan gelombang, oleng, terangguk-angguk, terselam-selam haluan dan buritannya ke dalam air. Dan ketika dipukul oleh gelombang besar, lalu terbalik .... Hilang lenyap isinya masuk laut, tenggelam sekaliannya! Tak seorang jua yang timbul kembali. Groenewegen juga! Dengan tiada berpikir panjang lagi, dengan tidak menghiraukan nyawa sendiri, Hulubalang Buyung pun menyelam.... Lenyap pula, tetapi beberapa saat kemudian ia menyembulkan kepalanya, lalu berenang membawa Groenewegen ke tepi dengan susah payah.
Menyerang tidak jadi ....
Itu sebabnya maka perhelatan Raja Adil di Manyuto tiada terganggu sedikit jua, selamat, sampai kepada akhirnya; danitu pula sebabnya maka ia menjadi lalai dan lengah! Suatu kelalaian, yang mendatangkan celaka kepadanya.
Sedang ia berlengah-lengah itu, sudah takabur dan merasa dirinya tiada terlawan lagi oleh kompeni, maka pada tanggal 5 April datanglah bala tentara m usuh menyerbukan diri dengan tidak disangka-sangka sebagai topan yang mahahebat ke dalam negerinya. Sedikit pun ia tiada dapat bertahan sebab ia tak sempat lagi akan mengaturkan bala tentaranya. Ia terpaksa undur ke pegunungan.
Negeri Manyuto jatuh ke tangan musuh dengan mudah, diperintahi oleh Sultan Muhammad Syah kembali. Ketika Groenewegen akan meninggalkan negeri itu"ia tiada tahan lebih lama lagi di situ karena badannya sudah kurang sehat sejak karam itu"ia pun berpesan kepada sultan yang kurang bijaksana itu bahwa kompeni berkehendak supaya pemerintahan aman dan damai, supaya negeri itu takluk benar-benar, supaya kebun lada diperbaiki kembali dan supaya rakyat dilarang berniaga lada dengan negeri-negeri di sebelah selatan.
Raja Adil tinggal di pegunungan, dalam rimba, beberapa lamanya, "hidup bertahan-tahan larat beserta dengan istrinya yang masih muda remaja, sambil berikhtiar juga membentuk dan mengumpulkan tentara kembali. Dari sana dicobanya jua mengirim beberapa orang kepercayaan ke sana kemari, akan melakukan niatnya itu. Akhirnya ia pun mendapat panggilan dari Negeri Sibelat, kira-kira delapan atau 10 mil di sebelah selatan Manyuto akan memimpin bala tentara yang telah berkumpul di situ serta minta bantuan kepada Raja Banten. Pada masa itu, Sibelat menjadi sebuah pasar lada yang terbesar dan terpenting. Sekalian saudagar dari Silebar dan dari segala pelabuhan yang di sebelah selatan ramai berjual beli di sana; jadi, negeri itu banyak berhubungan dagang dengan Banten. Oleh sebab itu, amat besar harapan Raja Adil akan merebut Inderapura sebelah selatan. Akhirnya harapannya tercapai, ya, daerah itu pun jatuh pula ke bawah kekuasaannya sama sekali.
Dengan pertolongan orang Jawa ia pun beroleh kedudukan yang pantas di dalam negeri itu.
Oleh karena itu, bukan saja perniagaan kompeni sudah terganggu pula, tetapi daerah Inderapura pun semakin tidak aman sebab selalu diserang oleh askar Raja Adil dari sebelah selatan. Baik di darat baik pun di lautan sehingga sultan tiada senang diam lagi. Apalagi daerah Manyuto yang telah dikuasainya itu pun sudah menjadi beban pula baginya karena rakyat tidak suka kepadanya, oleh sebab itu, ia senantiasa ketakutan sehingga ia terpaksa minta bantuan pula kepada kompeni.
Pada permulaan bulan Agustus Groenewegen berangkat ke Inderapura sekali lagi, cukup lengkap dengan bala tentaranya. Akan tetapi, ia berbalik separuh jalan. Dengan desakan Hulubalang Buyung pasukan serdadu Belanda harus maju jua, tetapi cuma sebagian yang terus ke tujuannya, dipimpin oleh seorang komandan. Pada suatu tempat mereka itu harus bersatu dengan laskar sultan, yang amat banyak bilangannya.
Setelah terjadi persatuan itu, barulah pasukan besar itu menyerbu kepada tentara Raja Adil, yang tak boleh dikatakan tiada kuat pula. Demikian peperangan yang hebat berkobar dengan segera. Tembak-menembak, tombak-menombak, bahkan tetak-menetak juga! Mula-mula pasukan Belanda mundur, kocar-kadr karena serangan laskar Raja Adil sangat keras.
Akan tetapi, kemudian Hulubalang Buyung dapat menyatukan tentara kompeni kembali di Silagan, sambil berlindung dalam sebuah kubu yang kukuh.
Dari situ kompeni mulai menyerang pula, yaitu setelah pasukannya diperkuat dengan laskar yang didatangkan dari Inderapura oleh sultan. Dan dari situ pula Hulubalang Buyung berusaha dengan sekeras-kerasnya akan mengepung Raja Adil dengan tentara pilihan. Ia diberi tugas oleh Groenewegen akan menangkap pemimpin pemberontakan itu, hidup atau mati, sebab kalau ia tidak dapat dilenyapkan dari muka bumi alamat kekuasaan kompeni di seluruh Pantai Barat akan hilang belaka. Akan tetapi, tugas yang berat itu tidak dapat dilaksanakannya sebab Raja Adil bukan sembarang orang saja. Ia cerdik dan bijaksana"cakap meneliti gerak-gerik musuhnya. Apabila ia telah terdesak benar, bahkan hampir terkepung, ia pun dapat menyelamatkan dirinya serta pasukannya. Dengan tak pernah kehilangan akal, dan kalau perlu, dengan tiada segan-segan ia pun mundur serta dapat mengelakkan musuh cepat-cepat sehingga ia luput dari bahaya. Demikian dalam peperangan yang hebat dahsyat itu Raja Adil dapat menyelinap ke dalam hutan pula, lalu pergi ke tempat yang aman beserta dengan istrinya.
MALEKEWI JADI UTUSAN Telah dua kali Hulubalang Buyung menunjukkan keberanian dan ketulusan hati kepada Groenewegen, sahabat tuannya. Sekali menolong nyawanya sendiri dari bahaya maut dan sekali lagi memecahkan perang Raja Adil yang gagah perkasa itu. Oleh karena itu, tiada heran jika Groenewegen sudah berasa berutang budi kepadanya, utang, yang takkan dapat dilunaskannya selama-lamanya. Dan Orang Kaya Kecil pun sudah bertambah sayang akan dia. Akan tanda dnta dan akan pembalas jasanya, ia pun telah dianugerahinya gelar: Hulubalang Raja "gelar, yang menambah masyhur dan mulia orang muda itu.
Akan tetapi, si Buyung sekali-kali tiada berasa sombong dan congkak karena kemuliaan itu. Ia tetap segera biasa, rendah hati. Bahkan, sejak pulang dari peperangan dengan membawa kemenangan itu ia pun bertambah diam rupanya.
Di Inderapura ia telah beroleh keterangan yang sah, apa sebab Raja Adil melawan kepada sultan, yaitu mula-mula karena mempertahankan nama adiknya dan sesudah itu karena orang tuanya, ibu dan bapak yang sangat dikasihinya, mati dibunuh orang dengan laku yang teramat ganas dan bengis, dan kemudian sekali karena keinsyafan bahwa ia harus dan wajib membela tanah airnya, yang tengah diperjualbelikan oleh sultan yang tamak dan bengis itu dengan bangsa asing! Kemudian didengarnya pula berita bahwa orang muda yang diperanginya, dienyahkannya dari tingkat kemuliaan dan kesenangan itu, baru kawin dengan seorang putri....
Perang! Karena perang yang dicampurinya dan dikerahkannya, kedua laki istri yang baru berkasih-kasihan dan baru merasai nikmat kesenangan dunia itu terpaksa melarikan diri masuk rimba, terpaksa menderita pelbagai macam kesusahan dan kemelaratannya.
"Karena adiknya," kata 'si Buyung' dalam hatinya, "maka Raja Adil mengangkat perang. Akan tetapi aku, ... ah, aku berperang untuk kepentingan orang lain, sedang adik kandungku sendiri aku tinggalkan
Berguncang iman dan terharu sangat pikiran orang muda itu. Sebagai Putri Andam Dewi yang ditinggalkannya di Kotagedang dengan diam-diam, tiba-tiba terbayanglah dengan jelas di hadapan matanya.
Dalam pada itu dikabarkan orang pula kepadanya bahwa penyamun Pauh telah merajalela benar-benar. Di dalam sungai, di tengah jalan, dan di rimba-rimba dinantikannya saudagar-saudagar emas, lalu disamunnya beramai-ramai"kadang-kadang sampai 100 orang, dan bukan emas dan barang mereka saja yang dirampasnya, nyawa mereka itu pun tiada selamat dibuatnya. Mayat empat orang yang telah busuk kedapatan di watas, terkampai di tanah. Ngeri " tetapi hal itu saja belum akan mengejutkan 'si Buyung' lagi sebab ia sendiri bukanlah sudah merasai keganasan yang lebih hebat daripada itu" Hanya kabar, seorang perempuan muda yang bersama-sama dengan saudagar emas dari Darat dilarikan penyamun"kabar itu sangatlah menggemparkan darahnya. "Boleh jadi," pikirnya dengan terengah-engah dan pucat warna mukanya, "si Andam berjalan mencari aku. Ia keras hati
Dengan susah payah diselidikinyalah kian kemari bagaimana rupa dan paras perempuan yang teraniaya itu, siapa namanya dan sebagainya. Akan tetapi sia-sia, tak seorang jua yang dapat memberi keterangan yang sah kepadanya. Cuma kata orang: perempuan itu masih muda remaja dan amat elok parasnya.
Muda dan elok! Banyak perempuan Darat yang berhal dan berupa sedemikian. Akan tetapi, sungguhpun begitu, sungguhpun perkara yang tiada terang itu boleh dipendar-pendarkan, tetapi rusuh dan cemas hatinya tetap terhadap kepada Andam Dewi juga. Hampir setiap malam, manakala terpejam matanya, putri itu telah menjadi mimpi kepadanya. Oleh karena itu, ia pun tiada senang diam lagi. Mukanya suram, hatinya senantiasa berdebar-debar dan pikirannya terharu biru. Hiburan daripada Putri Sarayawa, yang kerap kali mendekati dia dengan penuh kasih sayang pun telah bertambah tak dapat lagi menjadi obat baginya.
Dalam ia berhal sedemikian, Orang Kaya Kecil kedatangan jamu dari Kotatengah. Seorang anak muda yang tampan dan elok parasnya, disuruh ayahnya menghadap Regen Padang akan membicarakan suatu perkara yang penting. Setelah selesai perkara itu, heran, orang muda itu tiada bersegera hendak berbalik pulang kembali. Melainkan ia berjalan-jalan pada segenap lorong, sambil melayangkan mata ke sana sini, ke rumah-rumah orang, dan lain-lain, seakan-akan mencari sesuatu yang sangat dirindukannya.
Tingkah lakunya yang semacam itu menarik pandangan Hulubalang Raja, yang telah berkenalan dengan dia selama tinggal di rumah Regen itu. Pada suatu hari, ketika ia duduk berdua saja dengan orang muda itu di beranda muka, ia pun bertanya kepadanya.
"Jika hitungan Sutan Alam Syah sudah selesai dengan Tuanku Regen, mengapa Sutan belum pulang lagi" Tentu ayah Sutan nanti-nantikan bukan?"
"Berat hati hamba hendak balik ke Kotatengah kembali, Tuan, maaf, Hulubalang," kata orang muda itu dengan sayu, "yang hamba cari tiada bersua...."
Misteri Hantu Hijau 1 Pendekar Pemetik Harpa Karya Liang Ie Shen Topeng Hantu 2

Cari Blog Ini