Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar Bagian 3
"Hem, lebih mesra secara persahabatan saja. Dan apa yang Tuan cari?" tanya Hulubalang Raja pula dengan minatnya.
"Sedih ceritanya," kata orang muda itu dengan tersenyum perlahan-lahan, seraya menggelengkan kepalanya, "akan tetapi, ya, apa salahnya hamba bukakan rahasia hati hamba kepada Tuan"
Kira-kira dua bulan yang lalu beberapa orang Aceh singgah di rumah hamba. Mereka itu datang dari Pauh membawa perempuan yang..."
"Sir," bunyi darah 'si Buyung' dan mukanya jadi pucat sekonyong-konyong. "Perempuan?" katanya dengan suara gemetar, "bagaimana rupanya?"
"Jelita! Ia dirampas orang dari tangan saudagar emas, yang datang dari Darat. Tetapi mengapa Tuan terkejut benar mendengar kabar itu?" tanya Sutan Alam Syah, demi dilihatnya perubahan air muka hulubalang muda itu.
"Tidak"teruskan!"
"Katanya kepada hamba, ia berangkat dari Darat hendak mencari saudaranya."
"Siapa namanya?"
"Sutan Malekewi."
Hampir Hulubalang Raja terpekik, hampir ia pingsan mendengar kabar yang terang dan sah itu. Untung seketika itu juga ia dapat menahan gelora sedih dan panas hatinya. Akan tetapi, peluh dingin merengat pada segenap rongga bulirnya. Ia termenung, tiada berkata sepatah jua beberapa lamanya. Sutan Alam Syah heran dan takjub, bertambah syak hatinya, kalau-kalau ada perhubungan Hulubalang Raja dengan perempuan itu.
"Tuan kenal akan dia?" tanyanya dengan bimbang.
"Siapa nama putri itu?" tanya Hulubalang Raja dengan gugup.
"Itu tak dikatakannya," kata Sutan Alam Syah dengan kecewa, "atau lebih baik hamba katakan, belum sempat ia menerangkan namanya kepada hamba sebab percakapan kami lekas dialangi oleh orang Aceh itu. Akan tetapi, Tuan barangkali kenal kepada saudaranya?"
"Sutan Malekewi" Tidak...."
"Tetapi Tuan ... terharu benar!"
"Hamba terkejut tadi mendengar nama itu, Tuan tahu, lain tidak karena hamba orang Darat juga," kata Hulubalang Raja dengan suara tetap, seraya menentang mata orang muda yang memandang kepadanya tenang-tenang itu.
"Oh," kata Sutan Alam Syah dengan ragu bimbang, "Tuan berasal dari Darat?"
"Ya, jadi semata-mata hanya karena belas kasihan .... Dan apa lagi kata perempuan itu?"
"Tidak ada sebab sesudah itu kami tak dapat bercakap lagi. Hanya ketika ia hendak turun dari rumah hamba adalah terdengar oleh hamba, ia menjerit seni, minta tolong kepada hamba ... lebih baik ia mati di rumah hamba daripada menjadi budak orang Aceh. Demikian bunyi jeritnya, Tuan, demikian ia minta tolong kepada hamba dengan tangisnya serta dengan pandang matanya. Hati siapa takkan hancur luluh mendengar jerit sedih dan putus asa itu" Iman siapa takkan guncang kena panah pandang bermohon"pandang mata yang dapat merayu belas kasihan seperti pandangan gadis itu, Tuan" Hamba ... sampai sekarang ini tak sesaat jua lagi dapat menghilangkan dia dari ingatan. Jerit dan pengakuannya yang tulus terhadap kepada hamba itu selalu mendengung-dengung di telinga hamba. Wajahnya, pandangnya, bahkan sekalian gerak badannya selalu tampak oleh mata sukma hamba. Wahai"ia menarik napas panjang"ke mana dia akan hamba cari lagi?"
"Ke mana dia dibawa orang Aceh?" tanya 7si Buyung7 dengan terengah-engah.
"Ke pelabuhan .... Ada hamba susul, hamba kejar dia. Akan tetapi, tiba-tiba teringat oleh hamba bahwa negeri hamba merdeka, tidak takluk ke bawah Aceh ataupun kepada kompeni. Jadi, kalau terus hamba susul dia, niscaya terjadi perbantahan dengan mereka itu, bahkan dengan Aceh .... Akan tetapi sekarang, Tuan, bukan main besar sesal hati hamba akan kelemahan hamba itu. Ke mana dia hendak hamba cari?"
Hulubalang Raja termangu-mangu, seperti orang kena pukau. Bahwa perempuan yang malang itu tak lain dari Andam Dewi, adiknya, yang sukarela meninggalkan anjung kemuliaan dan telah menempuh kemelaratan karena kasih akan dia itu, tak syak sedikit jua lagi hatinya. Kasih"dia sendiri adakah menaruh kasih akan gadis itu dan akan ibu bapaknya" Andam Dewi hilang, orang tuanya tentu bersedih hati dan berdukacita oleh karena dia, yang berlarat-larat menurutkan hawa congkak! Pedih hatinya sebagai diiris-iris dengan sembilu, tak putus-putus sesalnya akan perbuatannya yang kurang pikir itu. Malu ia akan dirinya dan lebih malu lagi kepada Sutan Alam Syah, yang telah menyatakan tulus ikhlas hatinya dan belas kasihannya akan adiknya. Orang muda itu sudah mau mengorbankan kesenangan dirinya karena hendak membela Andam Dewi itu. Tiada tertentang muka orang muda itu olehnya. Seketika sudah bergerak bibirnya hendak mengaku berterus terang bahwa dialah yang bergelar Sutan Malekewi itu! Akan tetapi sebentar itu juga terpikir pula olehnya, tak berguna. Pengakuan itu takkan melekaskan Andam Dewi bersua kembali, hanya berbahaya akan dirinya sendiri. Jika diketahui oleh Datuk Bendarakaya laki istri bahwa ia ada di Padang, jika mereka itu datang menuruti dia, sedang Andam Dewi telah hilang lenyap, bagaimana jadinya" Niscaya dukacita tiada berobat bahwa bertambah mendalam jua.
"Tidak," katanya dalam hatinya dengan tetap, "tak mungkin aku bukakan rahasiaku. Dahulu tidak, sekarang ini pun bertambah tidak lagi"sebelum adikku bersua kembali." Ia menegakkan kepala dan memandang kepada orang muda itu, sambil tersenyum akan menghilangkan sekalian gerak sukmanya.
"Terima kasih akan kesucian hati Tuan, belas kasihan akan orang melarat, sengsara, teraniaya," katanya seraya mengulurkan tangan kepada orang muda itu. "Hamba pun berasa demikian pula.
Oleh sebab itu, hamba berjanji akan berusaha sekuat-kuat tenaga, bersama-sama dengan Tuan, mencari gadis itu."
"Baik," sahut Sutan Alam Syah dengan bimbang, tak mengerti akan sikap dan tingkah laku hulubalang itu, "sama-sama kita berikhtiar. Hanya hamba khawatir, kalau dia dibawa orang ke Aceh! Putus pengharapan...."
"Mudah-mudahan tidak," kata 'si Buyung' dengan cepat, akan mengobati hatinya sebab kekhawatiran semacam itu sudah lebih dahulu membuncah pikirannya, "orang Aceh di pesisir ini jarang yang balik ke negerinya dengan lekas."
"Kalau begitu, ada jua harapan," kata Sutan Alam Syah dengan perlahan-lahan.
Keesokan harinya ia pulang ke kampungnya, sedang 'si Buyung' terpaksa bekerja dengan giat pula.
Kepada orang Pauh bertambah-tambah sakit hatinya. Dua beradik ia telah menjadi korban penyamun yang tak berhati berjantung: maka tak heran, jika ia berlaku teramat keras kepada mereka itu. Tak seorang jua lagi orang Pauh yang baik pandangnya, tak seorang jua lagi yang beroleh ampun daripadanya, jika kedapatan berbuat jahat.
Oleh karena itu, lama-kelamaan orang Pauh tak berani lagi menjarah sampai masuk ke negeri Padang, takut kepada keris dan pedang hulubalang muda yang gagah perkasa itu. Akan tetapi karena itu pula maka pertentangan kedua negeri itu semakin hebat. Pauh telah berterus terang mencap Padang jadi boneka kompeni, sudah bertuankan bangsa asing!
Pada lahirnya Padang boleh dikatakan aman. Maka terpikir oleh 'si Buyung' hendak berjalan, hendak mencari Andam Dewi ke mana-mana. Lebih dahulu ia hendak pergi ke Pariaman atau ke Tiku, ke sarang orang Aceh. Akan tetapi, tiba-tiba pecah pula kabar yang lebih mengerikan: berita, yang datang dari laut. Di Pantai Karomandel, di Teluk Benggala, ada kelihatan dua kapal Inggris, yang seakan-akan hendak meneruskan pelayaran ke tanah Aceh. Tentu saja sangka orang, Sri Ratu sudah berdaya upaya hendak merampas Pantai Barat dengan pertolongan Inggris itu. Meskipun hanya persangkaan saja seperti itu sebab Aceh tak ada memaklumkan perang, bahkan bantahan pun tidak diterima dari sana, tetapi tiada urung karena itu orang jadi kelam kabut juga. Kompeni bersiap lengkap: sekalian loji, terutama loji di Pulau Cingkuk, dijaga dan dilindungi dengan sekuat-kuatnya, dan Regen Padang "mati" ketakutan kalau-kalau kerajaan dan kekuasaan terlepas dari tangannya! Apalagi gertak dan hasut fitnah Pauh semakin dahsyat jua.
Tentu saja Hulubalang Raja tak sampai hati akan meninggalkan Orang Kaya Kedi di dalam hal serupa itu.
Dan ketika telah nyata bahwa kabar itu hanya kabar angin dan gertak sambal saja, tak ada bahaya apa-apa, ia pun belum jua dapat lagi menyampaikan maksudnya. Ia harus menjalankan perintah tuannya yang mahapenting. Dalam majelis, yang dihadiri Groenewegen dan Orang Kaya Kedi, kepala kompeni itu berkata kepadanya, ?"Barangkali Hulubalang sudah tahu bahwa kompeni sudah bercita-cita hendak memindahkan kantor besar di Pulau Cingkuk kemari, bukan?""
"'Hamba, Tuan,?" jawab "si Buyung" dengan hormat.
"'Sebab iklim di sini jauh lebih sehat daripada di sana, terutama bagi kami.... Dan kami minta terima kasih banyak-banyak kepada T uanku Regen, yang telah memberi izin kepada kami akan mendirikan loji di atas pulau kedi dalam sungai itu. Loji itulah yang akan kami jadikan kantor besar. Sekelilingnya sudah diperkuat, dipagari dengan balok-balok yang diperpancang-pancangkan di tanah rapat-rapat dan di atasnya diletakkan empat pucuk meriam.?"
"Hebat betul, Tuan," kata Hulubalang Raja pula, "tetapi...."
"Tetapi apa" Bagaimana pikiran Hulubalang?" tanya Groenewegen dengan agak terkejut.
Si Buyung memandang kepada Orang Kaya Kecil dengan pandang yang banyak artinya. "Tetapi katanya sejurus kemudian dengan suara tetap, "oleh karena niat kompeni seperti itu"menurut pendengaran hamba"maka orang Pauh bertambah tidak bersenang hati lagi. Kepada kompeni mereka itu bertambah marah dan terhadap kepada Tuanku Regen bertambah hilang kepercayaannya."
"Benar?" tanya Groenewegen seraya memandang kepada Regen dengan mata yang bersinar-sinar.
Sebelum Orang Kaya Kecil menjawab, Hulubalang Raja meneruskan perkataannya, "Benar, Tuan. Kalau kantor besar dipindahkan kemari, orang Aceh di Pauh merasa rugi besar. Niscaya emas dari Darat tak dapat lagi diharapkannya. Kepada Tuan Regen mereka itu sakit hati dan murka sangat, mengapa tanah pulau itu diberikan kepada kompeni?"
"Apa peduli saya akan murka bangsat-bangsat, yang selalu menyamun itu?" kata Orang Kaya Kedi dengan naik darah, "Sekarang mereka itu merasa sudah, nanti akan bertambah merasa lagi jika dta-dta itu telah sampai. Terima kasih akan kesetiaan Hulubalang selama ini, baik terhadap kepada Tuan Groenewegen dan kompeni, baik pun terhadap kepada aku ini, Hulubalang! Hulubalang telah dapat mengajar mereka itu dengan keras."
"Dan akan bertambah besar lagi terima kasih kami, jika Hulubalang sudi berbuat jasa sekali lagi kepada kami," kata Groenewegen pula, "kami bermaksud hendak mengutus Hulubalang ke Minangkabau."
Orang muda itu tercengang. Matanya yang bersinar-sinar memandang berganti-ganti kepada kepala kompeni dan Regen.
"Ya," kata Orang Kaya Kedi dengan cepat, "oleh karena jalan dari Darat melalui Pauh tiada aman, kami sudah berikhtiar hendak mencari jalan lain. Kalau tidak, takkan maju perniagaan. Sekarang perniagaan telah amat kendur, lama-kelamaan tentu mati. Saudagar dari Minangkabau mesti menempuh jalan lain supaya selamat sampai kemari. Kami hendak mengirim utusan kepada Yang Dipertuan Pagarruyung, akan menyembahkan hal itu. Sudah ditentukan utusan dua orang: Raja di Hilir dengan Paduka Magat. Tetapi pada bicara kami lebih baik Hulubalang ikut juga. Hulubalang orang Minangkabau asli, jadi Hulubalang tentu suka mengawani mereka itu ke sana, bukan?"
"Segala titah hamba junjung, Tuanku," sembah 'si Buyung' dengan perlahan-lahan, "akan tetapi, ancaman Pauh yang dipengaruhi Aceh itu sekali-kali jangan diabaikan."
"Baiklah. Tetapi sekarang perkara perutusan dahulu. Yang akan dibicarakan di sana bukanlah perkara dagang semata-mata " terutama perkara pemerintahan negeri. Tentang perkara emas itu kompeni sudah lama mendengar kabar, sudah diceritakan orang kepadanya bahwa di Minangkabau amat banyak tambang emas, besar kedi ada 1.200 buah. Jadi, Tuan Groenewegen beringin benar hendak mengetahui hal ihwal kerajaan yang kaya raya itu."
'Si Buyung' tersenyum. "Cakapkah Hulubalang menjalankan perintah itu?"
"Hamba, Tuanku."
"Titahku "ini yang harus Hulubalang ingat benar-benar, persembahkan kepada Yang Dipertuan bahwa kami sudah melepaskan diri dari pemerintahan Aceh dan bahwa sekarang kami telah mengikat persahabatan dengan kompeni Belanda, berserikat akan bantu-membantu dalam kesusahan."
"Hamba, Tuanku."
"Bagus," kata Groenewegen dengan besar hati, "akan tetapi, bagaimana cara menghadap Yang Dipertuan itu?"
"Tentu Hulubalang Raja tahu adat istiadat di istana. Pagar-ruyung, bukan?" kata Regen kepada 'si Buyung' dengan senyum manis, "Utusan harus menyembahkan bingkisan kepada baginda dari barang-barang yang dikira dapat menarik hati dan pandang baginda. Misalnya, barang-barang buatan Eropa dan.... Akan tetapi, baginda tiada dapat menerima barang suatu persembahan, tiada berkuasa memutuskan barang suatu perkara yang bersangkutan dengan pemerintahan negeri, jika tiada diketahui dan dipertimbangkan oleh Besar Empat Balai dahulu."
"Siapa Besar Empat Balai itu?" tanya Groenewegen dengan minatnya.
"Sebuah Majelis Tertinggi, yang beranggotakan empat orang menteri, yaitu Bendahara atau Titah di Sungaitarap, Tuan Kali di Pandangganting, Makhudum di Sumanik, dan Indomo di Suruaso. Majelis Tertinggi itulah yang mengemudikan pemerintahan negeri. Diketahui oleh Bendahara di Sungaitarap. Adapun jabatan masing-masing menteri itu, Bendahara tentang perkara adat lembaga dan mangkubumi; Tuan Kali berkuasa tentang perkara agama; Tuan Makhudum tentang perkara peperangan dan Tuan Indomo jadi payung panji, kaki tangan daulat Yang Dipertuan dan barangkali juga tempat baginda minta nasihat dan sebagainya. Majelis keempat menteri itulah yang memutuskan segala perkara yang bersangkutan dengan pemerintahan dalam dan luar negeri."6
"Oh, kalau menteri-menteri itu tidak semufakat?" tanya Groenewegen pula.
"Masih ada tangga tempat naik"Raja Tiga Selo. Perkara adat lembaga boleh didakikan kepada Raja Adat di Buo; perkara agama kepada Raja Ibadat di Sumpukudus, dan penghabisan sekali barulah penetapan dari Alam Pagarruyung sendiri."
Groenewegen tercengang mendengar aturan pemerintahan yang bersifat kerakyatan itu.
"Jadi bukan raja yang berkuasa di Minangkabau?" tanyanya.
"Rakyat "segala hal ihwal dan seluk-beluk pemerintahan diputuskan oleh kebulatan kata wakil rakyat. Bukan oleh raja, sebagai kata adat: kemenakan, yaitu rakyat, beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu, penghulu beraja kepada kata mufakat, mufakat beraja kepada aturan dan patuh."
"Bagus betul, sebab itu besar harapan saya, Hulubalang Raja akan dapat menyampaikan maksud kita di sana," katanya kepada 'si Buyung' dengan lemah lembut.
Sepekan kemudian daripada itu, yakni dalam bulan Juli 1665 berangkatlah segala utusan itu ke Pagarruyung dengan pengiring yang amat banyak serta membawa bingkisan-bingkisan yang bukan sedikit harganya. Mereka itu hendak menghadap daulat Yang Dipertuan atas nama pemerintah Padang dan kompeni akan mempersembahkan bingkisan tanda perhubungan tali silaturrahim ke bawah duli Raja Alam Minangkabau itu. Tambahan pula mereka itu berharap supaya dengan karunia Yang Dipertuan Regen Padang dan kompeni boleh berniaga terus dengan sekalian orang yang empunya tambang emas.
Akan tetapi sulit...! Malah kesusahan di jalan hampir tak terderitakan, sesampai ke Pagarruyung hampir pula mereka itu tidak dapat menghadap Yang Dipertuan. Bahkan hendak masuk kota saja pun amat susah sebab orang besar-besar menaruh cemburu kepada sekalian mereka itu.
Dengan sebudi-akal 'si Buyung' berusaha, supaya kedatangan mereka itu tiada sia-sia saja. Sekalian orang besar itu dijelangnya, kepada Besar Empat Balai diterangkannya dengan jelas, dengan sembah simpuh dan tertib sopan, apa maksud kompeni dan Regen Padang mengutus mereka itu menghadap Yang Dipertuan itu.
Setelah itu barulah menteri itu bersidang memusyawarahkan permintaan itu, berhari-hari lamanya.
Sementara itu 'si Buyung' beroleh kesempatan akan menyelidiki peri keadaan di rumah orang tuanya. Betul Andam Dewi sudah berjalan dengan diam-diam, betul ibu bapaknya telah kurus kering bercintakan kedua anaknya!
'Si Buyung' hampir tak dapat menahan rindu lagi. Sudah mau ia pergi minta ampun kepada mereka itu! "Akan tetapi, apa gunanya aku sendiri pulang?" bantahan sukmanya dengan sekonyong-konyong. Dan bantahan itu pun menguatkan pikirannya akan mencari Andam Dewi sedapat-dapatnya.
"Bagaimana ini, Hulubalang?" tanya Raja di Hilir kepada 'si Buyung' dengan kesal di rumah tempat menumpang, "telah beberapa hari majelis Besar Empat Balai bersidang, tetapi belum ada juga keputusannya."
"Ya, hamba sudah ... hampir putus asa," kata Paduka Magat pula, "tak mungkin berhasil perjalanan kita. Kabarnya Bendahara Sungaitarap yang amat banyak bantahannya."
"Jangan khawatir," kata Hulubalang Raja dengan senyumnya, "kemarin hamba sudah mendapat kabar dari Tuan Indomo bahwa permusyawaratan hampir selesai, perkara hampir putus."
Kebetulan pada keesokan harinya ketiga utusan itu pun terpanggil menghadap ke istana sebab Yang Dipertuan hendak memberi keputusan. Mereka itu diterima oleh baginda dengan baik, dianugerahi persalin selengkapnya.
Perutusan selesai.... Pada tanggal 16 September mereka itu tiba di Padang kembali dengan sukadta serta membawa bingkisan dan sepucuk surat dari daulat Yang Dipertuan untuk Penghulu Nan Delapan di Padang.
Dengan surat itu baginda menyatakan sukacita dan kebesaran hatinya karena baginda sudah diakui pula oleh rakyatnya dahulu sebagai rajanya. Baginda bertitah, jika ada permintaan apa-apa lagi, supaya dikirim utusan kepadanya.
Orang Kaya Kecil bertambah sayang kepada Hulubalang Raja, dan Tuan Groenewegen semakin kenal dan percaya akan kecakapan dan ketangkasannya.
Tiada selang berapa lama ia pun harus diutus pula ke negeri lain, akan mengurus perkara ini. Sejak kompeni bertikai paham, berbantah-bantahan dengan Aceh, anak negeri di Bandar Sepuluh sudah berusaha menanam kapas sebab lada sudah kurang laku. Kapas itu diangkut orang dengan perahu ke Padang dan Kotatengah, dijual di situ, akan ditenun jadi kain.
Oleh karena itu kompeni banyak menanggung kerugian, barang-barang pakaian yang dijualnya telah mendapat saingan. Dengan segera Groenewegen bermusyawarah dengan orang besar-besar di Painan, supaya tanaman itu segera ditukar dengan lada kembali. Panjang lebar diterangkannya betapa kebaikan lada itu, jauh lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada kapas. Tambahan pula ia pun berharap sungguh-sungguh, supaya mereka itu sudi memperkatakan perkara itu dengan raja-raja dan segala penghulu di Sungaipagu dengan saksama. Supaya sampai maksudnya itu, maka ia pun memberi mereka itu pelbagai macam anugerah.
"Mengapa anak negeri disuruh bersusah payah menanam kapas, menanti hasilnya berbulan-bulan, sudah itu membusur dan memintal benang dan kemudian baru menenun kain yang kurang baik macamnya! Padahal kompeni sudah berusaha mendatangkan barang pakaian yang baik dan murah harganya! Rakyat tinggal memakai saja lagi. Bodoh"hal itu harus diterangkan benar-benar kepada rakyat sekarang," demikian kehendak Groenewegen, sahabat anak negeri yang baik hati itu!
Akan tetapi, rupanya tidak sekalian orang besar-besar Painan dapat dipercocok-daunkan saja. Belum berkilat sudah berkalam" banyak di antara mereka itu yang paham betul akan maksud pepatah itu. Oleh sebab itu, tiada heran apabila permusyawaratan mereka itu tentang hal itu tiada berhasil sebagaimana diharapkan oleh wakil kompeni yang cerdik itu. Seakan-akan putus asa akhirnya ia pun minta nasihat kepada Regen Padang pula.
"Dalam hal itu Tuan telah terburu nafsu pula," kata Orang Kaya Kedi dengan tenang, "tentu saja rakyat di sana tidak mau menukar tanaman kapas itu dengan segera."
"Apa sebabnya?" tanya Groenewegen dengan terperanjat; pucat warna mukanya, yang memang sudah pucat dan kurus juga sejak karam dekat Inderapura dahulu.
"Dengan segera berarti, kapas itu mesti dimusnahkan sebelum ada gantinya, suatu perbuatan yang bukan sedikit merugikan anak negeri."
"Dan berlalai-lalai berarti kerugian besar pula kepada kompeni, Tuanku," jawab Groenewegen dengan geram, "dan hamba pun tidak mengerti sedikit jua apa sebab Padang suka benar memasukkan kapas itu" Mana yang lebih bagus dan lebih kuat, kain tenunan dari kapas itu atau kain Belanda?"
Orang Kaya Kecil tak kunjung memberi jawab, melainkan ia berpaling dan memandang kepada Hulubalang Raja, yang duduk berdiam diri di sisinya.
"Kami akui, Tuan," kata orang muda itu dengan hormat dan manis, "bahwa kain Belanda lebih bagus daripada kain tenunan itu. Dan kami pun lebih suka memasukkan barang kompeni itu kemari. Akan tetapi, orang berniaga dengan Bandar Sepuluh tiada boleh dilarang, bukan?"
"Tidak, tetapi jika bea masuk dinaikkan hingga perniagaan itu tak dapat diteruskan lagi?"
"Hasilnya sama juga dengan melarang, Tuan."
"Ya, baik begitu," kata Regen dengan agak keras, "baik dinaikkan bea setinggi-tingginya. Kalau mereka itu cakap membayar, boleh masuk barangnya. Kalau tidak, tidak "tetapi kita tidak melarang."
"Hanya kata larangan tidak kita keluarkan," kata 'si Buyung' dengan senyumnya, "tetapi menaikkan bila sedemikian, sampai tidak terbayar, sampai perniagaan kapas tak dapat diteruskan lagi, apakah, artinya" Jangankan orang Bandar Sepuluh, Tuanku, hamba sendiri pun memahamkan perbuatan itu larangan juga: Oleh karena itu kita"negeri Padang"tentu rugi, bila tidak masuk lagi, dan tambahan pula. Bandar Sepuluh niscaya merasa sakit hati karena perusahaannya dimatikan. Maksud kita baik, yaitu hendak menolong perniagaan orang asing... kompeni, tapi dengan menggolong anak negeri kita sendiri, bukan" Dengan demikian, kita seolah-olah menambah musuh kita sebuah lagi, dengan musuh kecil yang bukan kedi! Dalam pada itu kompeni tidak juga tertolong! Sebab, niscaya orang Bandar Sepuluh, takkan berpeluk tangan saja. Tidak dapat berniaga di sini, di tempat lain-lain" Sudah terang mereka itu akan membawa kapasnya terutama: ke Kotatengah."
"Di situ diperbuat pula aturan seperti di sini," kata Groenewegen, "dan lebih keras lagi: kapal atau perahu mereka itu ditahan dan kapasnya dicampakkan masuk laut."
"Kalau Tuan hendak bermusuh dengan seluruh daerah pesisir, boleh ..." Kata Hulubalang Raja dengan tenang, tetapi matanya bersinar-sinar rupanya, "Tuan ingat, Bandar Sepuluh bukan negeri kecil dan rakyat bukan semacam orang yang boleh dipermain-mainkan saja! Tiku dan Pariaman sudah terlepas dari tangan, Inderapura sedang diancam Raja Adil, sekarang Tuan hendak mencari-cari musuh besar pula! Tidak, dengan kekerasan sedemikian takkan tercapai maksud kita, Tuan."
Groenewegen tafakur. Ketika ia mengangkatkan kepala pula, ia pun memandang kepada Orang Kaya Kecil sebagai hendak minta akal.
"Kalau begitu," kata Re gen seraya menarik napas panjang, "sebaik-baiknya Hulubalang pergi ke Bandar Sepuluh. Dan
Hulubalang selesaikan perkara yang sulit itu dengan segala raja dan penghulu di sana."
"Betul, betul," kata Groenewegen dengan sukadta sehingga tiba-tiba berseri pula mukanya yang pucat itu. Ia pun bangkit berdiri dan melangkah ke dekat hulubalang muda, yang telah tegak lur us pula. "Sekali lagi Hulubalang akan berbuat jasa kepada saya," katanya pula dengan manis madu, seraya menjabat dan menepuk-nepuk bahu orang muda itu, "atas nama kompeni saya minta, supaya Hulubalang selesaikan perkara kapas itu dengan baik."
"Ya, baik bagi kedua belah pihak, Tuan," kata 'si Buyung' dengan perlahan-lahan, sebagai orang terharu pikiran dengan sekonyong-konyong.
Bunyi tutur kata Groenewegen sekali itu ganjil benar terdengar di telinganya, manis, lemah lembut, tetapi bercampur dengan sayu rawan. Dan air mukanya pun menimbulkan perasaan yang ajaib pula di dalam kalbunya, yaitu perasaan iba, yaitu lekas diiringi oleh kasih sayang tak putus. Ia memandang kepada Groenewegen dan Groenewegen memandang pula kepadanya dengan tenang. Tengah berpandang-pandangan semacam itu sejurus lamanya, pada sinar mata kedua mereka itu pun terbayang suatu alamat batin, yang menggemparkan darah di dada masing-masing. Seakan-akan mereka itu takkan lama berjumpa lagi....
Oleh karena itu, walaupun perutusan itu bertentangan dengan pendapatnya, ia pun berkata dengan suara tertahan-tahan.
"Baik, Tuan, akan hamba pergunakan segenap kekuatan dan akal budi hamba untuk keselamatan diri Tuan dan kompeni. Besok hamba berangkat."
Sesungguhnya dua tiga hari kemudian utusan muda itu sudah ada di daerah Bandar Sepuluh itu. Negeri Terusan, Bayang, dan Painan telah dijalaninya. Pada segenap tempat itu disempurnakannyalah kewajiban yang dipikulkan ke bahunya dengan budi yang halus.
Hasilnya sangat menyenangkan hati Orang Kaya Kedi dan Groenewegen!
Sementara itu ia tiada lupa pula menyelidiki dan menanya-nanyakan 'perempuan yang dilarikan orang Aceh dari Pauh itu/ Tetapi sia-sia belaka sehingga ia kecewa sangat! Dan ketika ia hendak menjalankan ikhtiar lebih lanjut lagi, tiba-tiba ia mendapat perintah pula dari Padang supaya pulang dengan secepat-cepatnya sebab pada permulaan bulan itu"bulan Desember"Groenewegen telah meninggal dunia oleh sakit demam, yang telah dideritanya dengan payah sejak karam di pantai daerah Inderapura dahulu itu.
Rupanya Orang Kaya Kecil takut negeri akan huru-hara, apabila pecah kabar kematian kepala kompeni yang sangat berpengaruh di Pantai Barat itu.
MENGHILANG PULA Selama 'si Buyung' sakit terhantar, tiada sesaat juga ia luput dari penjagaan istri Regen, Putri Rubiah, dan anak-anaknya. Mereka itu sangat cemas, serasa orang muda yang sangat dikasihinya itu takkan lama lagi melihat sinar matahari. Dua hari dua malam ia demam keras, badannya panas bagai api. Sebentar-sebentar ia pingsan dan kalau ia sadar sedikit: mengigau, bertutur seorang diri dengan tiada berketentuan. Dukun datang bersilih ganti memantrakan dan mengobati dia, tetapi mantra dan obat itu mula-mula seakan-akan tiada memberi bekas dan faedah sedikit juga. 'Si Buyung' terus mengigau dan menjerit kesakitan! Bukan seisi rumah atau keluarga Regen saja, tetapi sekalian orang besar yang datang menjenguk melihat dia pun hampir putus harapan.
Akan tetapi, ketika luka di kepalanya telah berangsur kering dan bertaut, demamnya itu pun mulai berkurang-kurang pula.
Ia telah agak tenang. Ketika itu barulah agak lapang rasa dada sekalian perempuan itu, barulah agak terbuka pikirannya. Lebih-lebih Putri Sarayawa, pada air mukanya tampaklah terbayang sukacita hatinya. Bertambah cepat tangannya menukar-nukar obat tampalan luka di kepala si sakit itu dan bertambah rajin pula ia mengurusi badannya dengan air si tawar dan si dingin.
Akan tetapi, ajaib! Semakin sadar 'si Buyung' akan dirinya semakin menjarak ia dari sisinya. Dan apabila orang muda itu hampir sembuh benar kembali, tiada berasa sakit dan pening lagi duduk agak lama, Putri Sarayawa tiada mendekat-dekat lagi kepadanya. Cuma dipanggil maka ia hampir, diajak maka ia mau bertutur barang sepatah dua patah kata. Sesudah itu ia pun berdiam diri dan menunduk membilang-bilang anyaman tikar"jika ia tidak keluar lekas dari dalam kamar si sakit itu!
Heran! Apa sebabnya maka demikian" Padahal biasanya putri itu ceramah, manis budi bahasanya"
Hulubalang Raja tahu bahwa ia selama dalam sakit payah selalu dijaga dan dibela gadis itu dengan sebaik-baiknya. Ia tahu pula bahwa tangan yang halus lunak itu senantiasa meraba badan dan kepalanya dengan lemah lembut dan kasih sayang! Ia selalu menyelenggarakan segala keperluannya dengan tulus dan ikhlas! Akan tetapi, apakah gerangan sebab karenanya maka tiba-tiba berubah laku perangainya.
"Tak mungkin ia tiada berharap aku akan sembuh," pikir 'si Buyung' pada suatu pagi hari, ketika putri itu menyajikan makanan di hadapannya dengan diam-diam, tiada menyilakan dia makan, melainkan bergesa-gesa pergi keluar pula. "Mustahil"selama aku sakit siang malam ia berjaga, tiada berasak sekejap juga dari sisiku. Adikku"tetapi sekarang ...." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu makan seorang diri.
Kemudian ia merokok sebatang dan makan sirih sekapur, sambil berpikir-pikir juga. "Baik," katanya kemudian dengan senyumnya, "aku cari akal akan mengetahui rahasianya."
Pada masa itu negeri Padang telah aman kembali, huru-hara tiada ada lagi. Rakyat sudah boleh dan dapat menjalankan usahanya masing-masing dengan sentosa"perniagaan sudah mulai hidup pula. Senang hati Hulubalang Raja mendengar kabar perang Pauh telah selesai dan huru-hara Kotatengah telah teduh.
Aman! Di dalam rumah Regen terasa benar keamanan yang telah diperoleh kembali itu meskipun Orang Kaya Kedi belum berbalik dari Kotatengah lagi. Tuan putri bersukaria, dayang-dayang dan hamba sahayanya masing-masing diberinya persalin dan anugerah lain-lain barang kadarnya. Petang hari sudah berani ia pergi pesiar dengan kendaraan berkeliling kota, ke tepi laut, akan merasai nikmat alam yang indah dan sedap segar. Dan di dalam taman bunga-bungaan sudah kerap kali kedengaran suara orang bersukacita, disertai dengan bunyi-bunyian beriang-riang.
Pada suatu petang, ketika sinar matahari telah mulai lembap nyaman rasanya, di dalam rumah regen itu sunyi senyap. Tuan putri sedang keluar dengan pengiringnya"pesiar pula. Hanya 'si Buyung' sendiri yang ada di atas rumah"pun tidur nyenyak rupanya. Sunyi! Tidak, tiba-tiba kedengaran orang berbisik-bisik dalam kamar orang muda itu, putus-putus, tertahan-tahan bunyi suaranya, "O, syukur! Ia tidur .... Dirgahayu Kakanda!"
Entah karena napas yang panas dan harum tercium olehnya, entah karena tutur kata yang bagai bunyi buluh perindu terdengar oleh telinganya, maka orang yang tidur itu pun membukakan matanya. Kur semangat... dilihatnya gadis jelita duduk bersimpuh di sisinya, seraya menatap mukanya dengan berahinya. Mata keduanya beradu, tetapi gadis itu pun segera mundur ke belakang, terkejut, serta bergerak hendak lari menyembunyikan mukanya. Seketika itu jua tangannya dipegang oleh 'si Buyung' sambil bangkit duduk dengan cepat. "Adikku," katanya dengan senyum manis, "senang hatiku, malaikat... bidadari ada dekatku. Sudah lama aku hendak mengucapkan terima kasih kepadamu, Sara, akan bela dan belas kasihanmu atas diriku yang hina leta ini. Sekarang baru .... Terima kasih banyak-banyak!"
Putri Sarayawa tiada menyahut sepatah kata juga, melainkan ia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan. Dadanya turun naik dengan cepat, sesak napasnya, tetapi tangannya dibiarkannya saja dalam genggaman orang muda itu.
"Takkan terbalas olehku jasa, Adik," kata 'si Buyung' pula dengan lemah lembut, "hanya Tuhan yang akan dapat membalasnya. Kalau tidak karena Adik, barangkali bangkai buruk ini tercampak sudah. Tetapi aku heran! Sejak jerih payahmu dan kesucian hatimu diberkati Allah, aku mulai sembuh, korenah Adik seakan-akan berubah rupanya."
Diam juga. Hulubalang Raja meneruskan perkataannya dengan agak sedih, "Apa gerangan kesalahanku, Sara" Barangkali Adik tak suka melihat aku sembuh hidup kembali?"
Gerak dada Sarayawa bertambah kencang rupanya; dan terasa oleh orang muda itu pada tangan yang dipegangnya: hawa darahnya bertambah panas. Ia mengangkatkan kepalanya dan memandang kepada 'si Buyung' tenang-tenang. Pada sinar matanya dan warna mukanya kelihatan bahwa perkataan yang akhir itu melukai hatinya. Dengan segera Hulubalang Raja berkata pula "Maaf"jasa Adik memberi berkat benar kepada tubuh dan sukmaku."
"Awak tidak berjasa kepada Tuan," sahut gadis itu dengan perlahan-lahan, seraya menundukkan kepala pula.
"Tetapi aku sudah kuat kembali, sudah sehat benar rasanya."
"Syukur alhamdulillah!"
"Lain tidak sebabnya karena belas kasihan Adik."
Sarayawa memalis dengan manis, seraya menarik tangannya dari genggaman orang muda itu dengan perlahan-lahan. "Benar karena adik Tuan," katanya.
Darah 'si Buyung' tersirap, berubah warna mukanya.
"Apa maksud Adik?" tanyanya dengan cepat.
"Karena adik Awak," kata Sarayawa sekali lagi, "di mana dia sekarang?"
'Si Buyung' berdiam diri, tersumbat kerongkongannya.
"Nasib perempuan! Sampai hati Tuan meninggalkan dia " Adik tuan itu"lama-lama dengan tiada menyebut-nyebut namanya. Kalau Tuan tidak demam, barangkali takkan terbuka rahasia itu."
"Rahasia apa" Apa yang aku sebut sementara demam?"
"Istri Tuan ... Putri Andam Dewi. Benar demikian namanya, bukan?"
Hulubalang Raja tafakur, tiada berkata-kata beberapa lamanya. Sunyi! Yang terdengar hanyalah debar-debar darah turun naik di dada kedua mereka itu. Kemudian Putri Sarayawa berkata pula dengan sindiran yang agak tajam.
"Tak patut Tuan bermain budi selama ini. Kalau dari dahulu Tuan katakan bahwa Tuan sudah berpunya, takkan lama kami dalam keraguan! Teragak kami hendak bertemu dengan kakak kami itu; bila ia akan datang kemari, Tuan?"
"Sara," kata 'si Buyung' dengan menarik napas panjang, "aku tiada beradik, lain daripada engkau"itu pun jika engkau sudi mengaku kakak pada orang terbuang ini"dan aku sekali-kali tidak beristri. Siapa yang akan suka menyambut untung buruk ini?"
"Bohong!" kata Sarayawa dengan tiba-tiba, sedang air mukanya merah padam rupanya, "laki-laki manis mulut. Sampai hati Tuan mempermain-mainkan hamba selama ini."
Ia bergerak hendak berdiri. Dengan cepat tangannya dipegang pula oleh 'si Buyung' seraya berkata, "Duduk juga dahulu, Adik; dengarkan kataku. Sungguh aku orang terbuang! Dengan belas kasihan Adik sekeluarga maka aku sampai jadi begini, ada bagai orang sedikit. Aku tidak beristri!"
"Dusta! Kalau tidak, siapa yang menjadi igauan Awak sedang demam itu?"
"Tidak ada!" "Tetapi ada awak dengar."
"Tidak, sekali-kali tidak!"
"Apa gunanya Tuan sembunyi-sembunyi" Bagai berlindung di balik lalang sehelai. Entah barangkali ada maksudnya ... niat yang tak baik terkandung dalam hati Tuan" Siapa tahu, barangkali Tuan mata-mata rahasia dari Tiku, atau dari mana-mana, datang kemari hendak berbuat onar."
"Sarayawa!" kata Hulubalang Raja dengan geram.
"Selama ini kami percaya sangat kepada Tuan, tetapi sekarang, ah ... dengan laku sedemikiankah hendak Tuan balas jasa Tuanku Re gen?"
"Mengapa sampai begitu perkataan Adik?" kata 'si Buyung' dengan agak keras, mulai panas hatinya.
"Tuan tidak lurus!"
"Apa dustaku?" "Coba katakan, siapa Andam Dewi itu?"
'Si Buyung' berdiam diri pula, berpikir-pikir. "Tidak siapa-siapa," katanya sejurus kemudian, sambil berusaha hendak tersenyum, "tidak ada nama itu, Adik."
"Nah, tak guna kita berhandai-handai lagi," kata Sarayawa seraya merentak berdiri dengan murkanya, "lepaskan tangan hamba! Tak patut Tuan memberi harap orang dengan laku semacam itu." Ia berpaling ke belakang, lalu berlari keluar, sedang air mata berang bercampur sedih"karena kecewa" " meleleh di pipinya yang bulat penuh itu.
Hulubalang Raja tinggal termangu-mangu, ternganga mulutnya. Hanya ia sadarkan dirinya pula ketika seorang pelayan datang ke dalam kamarnya akan memasang damar karena hari sudah senja raya.
"Eh, hari sudah malam," katanya seraya bangkit berdiri.
"Hamba, Tuanku," kata pelayan itu dengan hormatnya, "izinkan hamba menerangi bilik sebentar, Tuanku."
"Tuan Putri di mana?"
"Ada, di serambi peranginan, Tuanku; baru balik dari berjalan-jalan. Ada yang akan dipersembahkan kepada Tuan Putri, Tuan?"
"Tidak, tak ada apa-apa."
Setelah pelita terpasang dan pelayan telah keluar pula, pintu kamar itu pun dikunci oleh 'si Buyung' erat-erat. Ia, duduk bermenung pula. Akan tetapi ia tak senang diam lagi, berkacau-balau pikirannya sehingga tak tentu apa yang akan diperbuatnya. Perkataan Putri Sarayawa yang pedih-pedih serta lakunya meninggalkan dia itu, sangat mengiba menyedihkan hatinya. "Aku disangkanya mata-mata?" katanya sambil menggelengkan kepalanya, "Akan berbuat onar di sini, akan mencelakakan negeri ini" Jasa"dengan badan dan nyawaku sudah kubeli belas kasihan mereka itu, dengan menekan segala perasaan dan semangatku telah kulakuhan sekalian kehendaknya. Akan tetapi, ia tiada percaya jua kepadaku! Nasib! Mengapa tak mati aku di dalam peperangan?"
Ia bangkit dari kedudukannya, lalu berjalan hilir mudik di dalam kamar itu. "Apa sebab keluar perkataan sedemikian dari mulutnya, yang amat suci selama ini?" katanya, "igauan celaka! Tetapi mengapa aku tiada berkata terus terang" Tidak kukatakan bahwa Andam Dewi itu adik kandungku, belahan diriku?" Ia pun menggelengkan kepala pula.
Sekonyong-konyong ia tersenyum, seraya berkata, "Perempuan! Cemburu"dan maka ia menaruh cemburuan, tentu karena ia bukan benci kepadaku! Tidak, mustahil ia bend .... Jasanya, budi baiknya sudah kurasai. Aku yang salah"membimbangkan hati orang."
Ia bergerak hendak membukakan pintu, hendak pergi minta maaf kepada Sarayawa dengan menerangkan asal usulnya.
"Hum, pandai benar ia memanaskan hatiku dengan tuduhan 'mata-mata dan onar' itu! Lain tidak maksudnya supaya aku berkata benar! Ya, nanti...."
Akan tetapi tiba-tiba ia tertegun, tak jadi keluar. Ia mundur dan duduk kembali. "Tak mungkin," katanya, "dengan demikian saja tak mungkin dapat jernih kembali udara yang telah keruh itu. Niatku pun tahkan sampai. Apalagi sudah lama benar aku berlalai-lalai serta membuang-buang umur di sini."
Semalam-malaman itu 'si Buyung' tiada luput dari bermacam-macam godaan sukma, sedih rawan, yang menghilangkan nafsu tidur. Pagi-pagi benar, ia sudah turun ke tepian; setelah sudah mandi dan sembahyang subuh, ia pun berjalan ke muara akan merasai hawa laut yang sejuk segar. Barang di mana ia bertemu dengan orang yang kenal akan dia, sekaliannya memberi salam kepadanya dengan hormat serta mengucapkan syukur atas kesembuhannya. Ketika itu laut tenang, kapal dan perahu banyak berlabuh di muara dengan sentosa. Lama 'si Buyung' berdiri di tepi pantai, sambil melayangkan pemandangan kepada sekalian kapal itu. Akhirnya, ia pun dilambai oleh seseorang dari atas geladak sebuah pencalang besar.
"Siapa itu?" katanya sambil memperhatikan orang yang melambai-lambai itu, "oh, Nakhoda Malim Sutan," ia pun membalas lambaian itu.
Tiada beberapa lama kemudian Hulubalang Raja sudah ada di atas pencalang itu.
"Selamat, Tuanku Muda," kata nakhoda itu kepadanya, seraya mengulurkan tangan berjabat salam, "cemas hati hamba mendengar kabar kecelakaan Tuanku Muda.... Baru dua tiga hari ini hamba tahu. Belum sempat datang menjenguk."
"Tak apa"berkat doa Nakhoda hamba sudah sehat kembali."
"Alhamdulillah."
"Di mana Nakhoda selama ini?"
"Di Airbangis, baru ini kemari pula."
"Adakah selamat pelayaran?"
"Mudah-mudahan! Hanya di Muara Anai agak susah sedikit."
"Mengapa?" "Kompeni ada di situ, datang dari Kotatengah dengan berjalan darat. Kabarnya, ada permusyawaratan kompeni di sana dengan utusan dari VIII Kota dan IX Kota. Selama permusyawaratan itu belum selesai, perahu dan pencalang ditahan di situ, tak boleh berlayar. Tetapi untung tak lama. Sekalian utusan itu sudah berjanji akan berniaga emas dengan kompeni saja, serta takkan membiarkan orang Aceh lagi menjejak daerah itu.
"Oh, besar benar arti perjanjian itu bagi kompeni," kata Hulubalang Raja dengan tahunya, "sebab biasanya orang Aceh berkumpul di sana dahulu maka berangkat ke sebelah selatan."
"Boleh jadi. Akan tetapi, perjanjian itu hanya menguntungkan suatu pihak saja."
"Pihak mana?" "Kompeni, siapa lagi" Aceh rugi dan lebih-lebih anak negeri sendiri, kita sendiri karena kita tak boleh lagi menawarkan barang kita kepada orang lain. Tak ada saingan, jadi harga sudah menurut kemauan kompeni saja, bukan?"
"Ya, monopoli...."
"Dan kabarnya konon kompeni hendak mendirikan loji di situ, akan penanti emas dari Darat."
"Benar "dan Nakhoda, apakah yang Nakhoda bawa dari Airbangis?"
"Ikan kering dan kemenyan."
"Sudah dibongkar?"
"Sudah dan telah habis terjual semuanya. Sekarang hamba sedang bermuat barang pakaian, hendak berlayar pula."
"Ke mana?" "Ke Pantai Selatan, kalau dapat, sampai ke Silebar."
"Sudah diperoleh surat pas?"
"Sudah, Tuanku Muda."
"Ke Pantai Selatan," kata 'si Buyung' dengan besar hati, sebagai ada sesuatu yang terpikir olehnya berhubung dengan pelayaran ke sana.
"Ke ... Selatan?"
"Ya, Tuanku Muda. Dan kalau Tuanku Muda hendak melihat-lihat negeri orang, hendak temasa ...."
"Ah, tidak," sahut Hulubalang Raja dengan senyumnya.
Kedua sahabat itu terus bercakap-cakap dengan ramah-tamah, makin lama makin asyik sehingga Hulubalang Raja bersegera balik pulang. Ia minum pagi di situ. Hampir menjelang tengah hari, ketika hawa dalam pencalang itu telah mulai panas, barulah ia mohon diri. Ia diantarkan oleh Nakhoda Malim Sutan ke tepi pasir.
Ketika 'si Buyung' tiba di halaman rumah Regen, dilihatnya Putri Rubiah berdiri di serambi sambil memandang ke jalan raya tenang-tenang. Hulubalang Raja datang ke dekatnya. Serta dilihatnya air muka ibu angkatnya itu suram dan matanya balut bekas menangis, tersiraplah darahnya.
"Ada apa, Mak?" katanya seraya naik tangga dengan cepat. "Mengapa...?"
"Aduh, Nak," keluh perempuan itu dengan sedih, "apa perselisihannya ... Sutan dengan adik Sutan kemarin" Semalam-malaman tadi, ia tidak tidur sekejap jua."
"Sekarang di mana dia, Mak?" tanya 'si Buyung' dengan cemas.
"Sudah pulang ke Rimbakeluang dengan dayang-dayang dan hamba sahayanya."
Hulubalang Raja termenung, pucat mukanya. "Sudah pulang! Tak ada ia bertinggal kata bagi hamba, Mak?" tanyanya.
"Tidak! Hanya ia berkeras hendak pulang saja tak dapat ditahan-tahan. Sebagai orang putus harapan. Rupanya"ia memandang kepada 'si Buyung' dengan sudut mata"rupanya igauan Sutan dalam demam...."
"Ha, ha," tertawa 'si Buyung' dengan tiba-tiba, "tutur orang demam dipercayai!"
"Tetapi, siapa yang Sutan sebut itu?" tanya Putri Rubiah dengan sungguh-sungguh.
"Tak sebuah jua, Mak," kata orang muda itu dengan cepat.
"Oleh karena Sutan tak berkata terus terang itu maka ia merajuk."
"Tetapi, percayalah, Mak, itu tak sebuah jua. Hanya igauan orang demam semata-mata."
"Hamba pun hendak pulang pula, Sutan," kata Putri Rubiah dengan sedih, "syukur Sutan sudah sembuh"buatan Mak banyak terbengkalai di rumah
"Mak, wahai "Sampaikan salam Mak kepada Regen, bila ia pulang kelak."
Sambil berkata demikian, perempuan itu pun masuk ke ruang tengah, sedang 'si Buyung' terdiri sebagai patung di serambi itu.
Sejurus antaranya ia pun pergi ke kamarnya dengan cepat. "Apa boleh buat," katanya, setelah pintu bilik itu dikuncinya dari dalam, "dengan cara demikian aku akan meninggalkan rumah ini, bercerai dengan mereka yang telah membela aku seperti anak kandungnya. Jasa mereka itu takkan kulupakan selama-lamanya, budi baik mereka itu akan kubawa mati; tetapi, ya, lebih baik seperti itu dahulu! Kalau hayat ada sama-sama dikandung badan, lambat laun tentu kami bertemu juga."
Sebagai hendak ditarik-tarik oleh orang muda itu matahari, supaya bertambah cepat jalannya, siang lekas bertukar dengan malam. Meskipun jalan waktu tiada berubah-ubah, sesaat tetap sesaat juga, tetapi pada perasaan 'si Buyung' sehari laksana setahun. Dari waktu zuhur ke asar, dari magrib ke isya bukan main lamanya terasa olehnya!
Di dalam rumah Regen sudah mulai sunyi sebab orang telah ada di biliknya masing-masing. Hari sudah jauh malam. Jangkrik dan gelang-gelang tanah di pinggir jalan sudah berbunyi terus, mendering dan mendengung sebab tiada terganggu lagi oleh orang lalu lintas. Dengan diam-diam 'si Buyung' membuka pintu kamarnya, berdiri di ambang sebentar serta melihat ke muka, ke kiri dan ke kanan. Tak ada apa-apa! Ia pun menyelinap keluar dengan hati-hati benar. Apabila telah sampai ke jalan besar, barulah lapang rasa dadanya. Hari gelap gulita, hawa sudah mulai sejuk sebab angin darat tetap bertiup arah ke laut dengan sepoi-sepoi basah. 'Si Buyung' berdiri dan menoleh ke belakang, ke rumah besar dan indah, yang telah dihuninya sebagai rumah orang tuanya sendiri beberapa lamanya.
Tiba-tiba berubah pula perasaannya: dada yang lapang itu berasa sempit sesak kembali. Sekalian orang yang kasih sayang kepadanya di dalam rumah itu terlukis nyata di hadapannya. Regen dan istrinya, orang dalam dan kedua perempuan yang berangkat meninggalkan dia dengan rajuk tadi itu! Ragu bimbang menggoda sukmanya.
Bagaimana" Sekejap, sebentar lagi ... akhirnya sambil memicingkan kedua belah matanya, orang muda itu pun berjalan dengan cepat arah ke tepi pantai.
KORBAN SAKIT HATI Sebelum perempuan Darat rampasan 'panglima Aceh' itu singgah ke rumahnya, Sutan Alam Syah hidup berkasih-kasihan dengan istrinya, Putri Limau Manis yang masih muda belia.
Keduanya sama-sama anak orang besar, sama-sama kaya, dan rupa tampannya pun setara pula. Hanya perangai dan perasaan mereka itu agak berlainan sedikit, Putri Limau Manis terlampau keras hati, sedang pada suaminya kekerasan hati itu diselimuti oleh sifat lemah lembut dan rasa belas kasihan. Akan tetapi, pertikaian sedemikian mula-mula tiada menjadi rintangan sedikit jua kepada pergaulan kedua laki istri itu.
Sekonyong-konyong 'Panglima Aceh' datang .... Bukan tidak biasa orang Aceh bermalam di rumah putri itu. Kerap kali sebab Kotatengah jalan mereka itu pulang pergi ke Pauh, yang tetap setia kepadanya. Ya, boleh dikatakan Kotatengah benteng utama bagi orang Aceh, yang ada di Pariaman. Dari situ mereka itu masuk ke Pauh dan dari situ pula mereka itu keluar membawa rampasan emas dari saudagar Minangkabau, yang hendak pergi ke Padang melakukan perniagaannya. Atau sebaik-baik hatinya ke situlah segala saudagar itu dihalaunya, supaya emas mereka itu jatuh ke tangan orang Aceh semuanya. Selama ini perbuatan semacam itu dibiarkan orang saja. Malah mereka itu pun diterima oleh orang Kotatengah sebagai jamu dengan sukarela; begitu pula oleh Putri Limau Manis sebab hal itu tidak mendatangkan kerugian kepadanya. Akan tetapi, kedatangan 'Panglima Aceh' dengan perempuan itu"
Baru Sutan Alam Syah menampak wajah perempuan rampasan itu, berguncanglah imannya. Entah sungguh karena belas kasihan, entah karena sebab lain, ia berdaya upaya benar hendak melepaskan dia dari tangan Panglima Aceh itu.
Daya upaya itu kelihatan nyata oleh istrinya. Limau Manis jadi cemburuan, lebih-lebih sesudah mendengar jerit gadis itu ketika hendak berangkat dari atas rumahnya! Tidak, bukan ketika itu saja, terutama sekali sesudah dilihatnya dan dirasainya perubahan perangai suaminya.
Sepeninggal gadis itu, Sutan Alam Syah sudah jarang tetap di rumah. Kerap kali ia berjalan kian kemari dengan dalih: pergi menjalankan suruhan ayahnya. Atau kalau ada di rumah istrinya, ia pun termangu-mangu saja. Pikiran dan ingatannya melayang jauh sehingga kadang-kadang tutur kata istrinya yang di dekatnya tiada terdengar olehnya.
Tentu saja hati Limau Manis tiada senang melihat keadaan seperti itu, malah cemburunya pun bertambah besar. Sudah acap kali ia menyindir dan mengumpat Alam Syah dengan terus terang. Akan tetapi, sindiran dan umpatan itu tiada mendatangkan kebaikan. Kebalikannya, karena itu pertengkaran timbullah dengan hebat dan ngerinya.
Memang pergaulan kedua laki istri itu tak dapat dikatakan sentosa lagi. Hidup keduanya sudah seperti anjing dengan kucing, bahkan makin lama makin renggang sebab Sutan Alam Syah sudah lebih banyak tinggal di rumah ibu bapaknya daripada di rumah istrinya.
Sementara itu orang Aceh sudah bertambah merajalela di Kotatengah, sudah melewati kemerdekaan yang diberikan kepadanya. Oleh karena itu tiada heran, jika lama-kelamaan kedatangan mereka itu sudah terasa oleh anak negeri sebagai beban berat. Apalagi orang jahat sudah berlantas angan saja, sudah leluasa merampas dan mengeroyok saudagar-saudagar di tengah jalan dan tak segan-segan lagi mengganggu orang ladang sehingga tak jarang mereka itu berpekikan sebab kehilangan tanaman dan ternaknya.
Negeri tidak aman lagi. Rakyat ketakutan, sekalian penghulu dan orang besar-besar hampir kehilangan budi bicara. Bagaimana akan menolak bahaya itu"
Tiba-tiba Sri Raja Hulubalang, penghulu yang tertua di negeri itu, menerima sepucuk surat dari Regen Padang, surat permintaan, supaya ia suka berkenalan dengan Groenewegen. Terbuka kira-kira penghulu itu, timbul suatu dta-dta di dalam hatinya. Dengan segera ia pun bermufakat dengan beberapa orang penghulu yang lain, bukan tentang perkenalan dia dengan Groenewegen saja, tetapi terutama tentang persahabatan antara Kota tengah dengan kompeni juga, supaya dapat bertolong-tolongan di dalam segala kesusahan dan kesukaran.
Semufakat! Pada akhir bulan Juli, tidak berapa lama sesudah Sultan Alam Syah datang ke Padang jadi utusan ayahnya, diperbuatlah perjanjian antara negeri Kotatengah dengan Groenewegen. Kotatengah memberi izin kompeni mendirikan loji di muara dan kompeni harus menolong mengamankan negeri itu.
Kepala kompeni itu pun amat besar hatinya sebab dapat berserikat dengan negeri yang kuat itu.
Akan tetapi, apa yang terdapat dengan perjanjian itu" Apabila didengar oleh orang Aceh bahwa kompeni hendak mendirikan loji di negeri itu, bukan main panas hatinya. Sebab perjanjian demikian berarti bagi mereka itu, menutup jalannya pergi ke Pauh dan meluputkan emas Minangkabau dari kekuasaannya.
Mereka itu mengancam.... Akan tetapi tidak dipedulikan orang, loji didirikan orang jua di sana!
Berang dan pedih benar hati Aceh, tak terperikan lagi. Sebudi akal dicarinyalah ikhtiar, daya upaya dan tipu muslihat, supaya loji itu lenyap dari situ dan persahabatan antara Kotatengah dengan kompeni putus kembali. Hasut fitnah berlaku setiap saat, menjalar kian kemari.
Rakyat jadi bingung. Akhirnya mereka itu pun terbagi dua, sebagian berpihak kepada Aceh dan sebagian lagi kepada kompeni. Demikian pula orang besar-besar, penghulu besar bertuah; masing-masing menguatkan dan memuji-muji pihak yang disukainya. Oleh karena itu, negeri bertambah lama bertambah kacau-balau.
Ayah Sutan Alam Syah teguh akan janjinya. Setapak ia tiada surut, selangkah ia tiada mundur. Meskipun ia selalu mendapat pelbagai macam ancaman dari pihak Aceh, tetapi ia tiada gentar, tetap setia kepada kompeni. Dan anaknya pun demikian juga. Sutan Alam Syah senantiasa menolong ayahnya. Siang malam ia berjaga-jaga, setiap saat ia mesti awas dan ingat-ingat, supaya jangan disekap musuh. Jadi berat jua bebannya, besar tanggungannya. Lain daripada itu, godaan atas hatinya sendiri pun hampir pula tak dapat dideritanya " godaan rindu dendam ke dada asmara dewi yang tak terdengar-dengar lagi kabar beritanya.
"Akan pasik Tuan gerangan," kata Limau Manis kepadanya dengan marah, sedang ia duduk bermenung di rumah istrinya itu, "perempuan lari Tuan rindukan, tetapi rumah tangga Tuan sendiri Tuan sia-siakan."
Sutan Alam Syah mengangkatkan kepalanya, lalu memandang kepada istrinya dengan tenang.
"Manis!" katanya dengan perlahan-lahan.
"Tak terderitakan lagi oleh hamba laku perangai Tuan selama ini. Sejak Tuan digila bayang-bayang ..."
"Apa maksudmu?" tanya suaminya dengan marah"merah warna mukanya yang kurus dan suram itu.
"Hum, pura-pura! Ada bersua bayang-bayang ... setan itu?" sahut Limau Manis dengan kasar.
"Ingat tertib sopan, Manis," kata Alam Syah dengan belalak mata, "jangan diperturutkan hati cemburuan."
"Cemburuan" Tidak hamba dengarkah dengan telinga hamba sendiri Tuan berbisik-bisik dengan dia pada malam itu sebagai dua laki istri" Tidak hamba lihatkah dengan mata kepala hamba sendiri Tuan berikhtiar hendak menahan dia keesokan harinya" Dan tidak hamba rasaikah perubahan hati dan pandang Tuan terhadap kepada hamba sejak itu?"
"Sudah berapa kali hamba katakan kepadamu bahwa hamba berbuat sedemikian semata-mata karena belas kasihan akan perempuan yang teraniaya itu" Sudah hamba terangkan kepadamu, bahwa ia disamun orang, bahwa ia diberikan si penyamun kepada Panglima Aceh itu, bahwa ia tak suka dan takut kepada panglima itu, bahwa ia minta tolong ... kepada hamba ini?"
"Sampai Tuan cari dia ke Padang dan ke mana-mana" Sampai Tuan tak peduli lagi akan rumah tangga Tuan sendiri?"
"Hamba ke Padang disuruh ayah akan bermusyawarah dengan Tuanku Regen dan kepala kompeni tentang perkara loji yang hendak didirikan, yaitu loji yang telah terdiri sekarang ini!"
"Dalam hal itu pun Tuan mencari-cari beban, kalau tak hamba katakan, mencari helah. Tak beban batu digilas! Tuan tolong kompeni, siapa kompeni itu hamba tidak tahu, tetapi perbuatan Tuan itu menambah menjerumuskan negeri ke dalam malapetaka. Jangankan orang Aceh karena itu akan terusir dari sini, malah rakyat semakin bertambah berat dan negeri bertambah huru-hara serta kacau-balau! Dan kompeni yang Tuan tolong itu, apa maksudnya datang kemari, jika tidak beringinkan negeri kita serta dengan hasilnya" Tuan, meskipun hamba perempuan bodoh, tetapi kilat beliung nan ke kaki dan kilat cermin nan ke muka, dapat jua hamba ketahui. Dalam pada itu hasrat hati Tuan... aduh, sudah gila gerangan Tuan, digila bayang-bayang?"
"Betul jua sementara itu "hamba akui"bahwa hamba ada menanya-nanyakan saudaranya, yang dicarinya."
"Hum, saudaranya...!"
Hulubalang Raja Karya Nur St. Iskandar di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, sebab ia berangkat dari Darat sengaja mencari saudara kandungnya: Sutan Malekewi, yang meninggalkan kampung dengan merajuk sebab berselisih dengan orang tuanya."
"Ada bersua... bakal ipar Tuan itu?" tanya Limau Manis dengan berani dan ejekan.
Merah bagai api muka dan daun telinga orang muda itu. Bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak mengeluarkan perkataan sepatah jua. Sementara itu, istrinya berkata pula dengan sikap yang agak lurus sedikit.
"Ada bersua orang itu?"
"Tidak, tetapi Hulubalang Raja di Padang berasal dari Darat juga, dan menurut pemandangan hamba ia serupa dengan perempuan itu."
"Hum " sebab pikiran Tuan kepada dia saja! Sekalian orang sudah serupa pada mata Tuan dengan dia. Dan niscaya telah Tuan sampaikan pesan...."
"Manis!" kata Sutan Alam Syah dengan menahan hati benar-benar, "tidak patutkah, pada pikiranmu, hamba berusaha menyampaikan pesan orang" Tidak patutkah hamba menaruh belas kasihan kepada orang lemah tak berdaya, yang nyata teraniaya?"
"Sedangkan menaruh rindu, dnta, kasih kepada gadis itu pun tak ada salahnya," kata Putri Limau Manis seraya mengejek pula, "dan tak ada pula cacatnya Tuan, karena itu, mengabaikan hamba yang buruk ini."
"Hamba abaikan bagaimana pula engkau?"
"Sudah berapa lama Tuan tak pulang-pulang kemari?"
"Hamba menjaga nyawa Ayah, Manis. Negeri kacau ...."
"Karena kesalahan ayah tuan sendiri; dibuatnya apa yang menyakiti hati orang Aceh. Dan Tuan pun serta pula, seperti kata hamba tadi! Bahkan lebih lagi rupanya, tetapi semuanya itu cuma helah saja pada Tuan, bukan! Sebenarnya Tuan tak suka lagi kepada hamba."
"Cemburu!" kata Alam Syah seraya menggelengkan kepalanya. "Kalau demikian sifat segala perempuan ...."
"Wahai, laki-laki! Hanya kalau Tuan perempuan agaknya, maka Tuan dapat merasakan betapa sakit hati seorang istri, jika suaminya nyata berlaku tidak lurus."
"Manis, Adinda...!"
"Cemburuan kata Tuan" Kalau seorang perempuan tiada menaruh cemburuan kepada suaminya, alamat ia tidak cinta kepadanya," kata Putri Limau Manis dengan agak lemah lembut, sebagai merayu-rayu pula.
"Sehingga melupakan kebenaran, tak indahkan sopan santun?" kata Alam Syah dengan berasa beroleh kemenangan, "perempuan yang mau diperdayakan iblis, perempuan yang tiada beriman, niscaya takkan berbahagia selama-lamanya."
"Ah, Tuan!" "Apa kehendakmu sekarang."
"Hanya, supaya Tuan lupakan perempuan itu, dan sejak kini supaya Tuan tetap di rumah pula."
"Tidak dapat," kata Alam Syah dengan cepat, "negeri sedang kacau!" Dan ia pun bangkit berdiri, hendak turun ke halaman.
"Tak elok Tuan begitu benar," ujar Limau Manis dengan geram, "sedikit Tuan akan menyesal, kalau tidak di mulut dalam hati. Tuan ..., ya, Tuan!"
"Selamat tinggal, Manis," kata Sutan Alam Syah dengan tiada mengindahkan rayuan itu, "kerja hamba banyak sekarang."
"Nanti sebentar, Tuan," kata putri itu seraya bangkit dari kedudukannya dan menurutkan suaminya sampai ke kepala tangga.
Akan tetapi, Sutan Alam Syah berjalan terus, tiada menoleh ke belakang.
Bukan kepalang sakit hati Limau Manis diabaikan, tak diindahkan semacam itu. Dan malu pula ia akan dirinya! Tiba-tiba hilanglah sabar, naik darah ke kepalanya. Warna mukanya pun merah padam,
karena didesak oleh nafsu yang berkobar-kobar. Kasih sayangnya dan dnta berahinya kepada suaminya sekonyong-konyong disaputi oleh dendam kesumat. "Baik," katanya dengan berang sambil berlari naik ke atas anjung, "kalau begitu kehendaknya, apa boleh buat..."
Dengan diam-diam ia mencari perhubungan dengan panglima yang berpihak kepada Aceh, lalu bekerja giat melawan pihak ayah suaminya.
Tiada berapa lama kemudian daripada itu, pecahlah kabar kematian Groenewegen yang masyhur gagah berani itu. Seketika juga Kotatengah jadi kelam kabut. Pihak Aceh bersukacita dan bersorak-sorak dengan riuh rendah, tetapi pihak Sri Raja Hulubalang berdukadta dan sangat kha watir. Dua orang kepala yang utama, di antaranya panglima Sutan Besar, yang 'sedta-dta' dengan Limau Manis, sudah membawa masuk ke dalam negeri suatu pasukan orang Aceh yang tiada sedikit bilangannya! Dan pada tanggal 11 Desember, loji kompeni dibakar orang. Meskipun perbuatan jahat itu dapat dihalangi, dapat ditolak oleh laskar kompeni serta kaum serikatnya, tetapi di rumah penghulu Sri Raja Hulubalang orang berurai air mata ... sesedih-sedihnya.
Kebetulan ketika itu malam amat gelap, awan hitam amat tebal di langit sebab hujan lebat hendak turun rupanya. Di pintu rumah penghulu itu, beberapa orang hulubalang berjaga dengan ingat-ingat. Mereka itu tiada memedulikan kilat yang berapi-api, tiada mengindahkan petir halilintar yang seakan-akan hendak membelah bumi dan badai yang hendak turun dengan hebat. Memang perlu penjagaan seperti itu sebab dalam beberapa hari yang akhir itu rumah itu sangat terancam.
"Apa kabar, Panglima Sutan?" tanya suatu suara berbisik dari belakang kepada kepala barisan itu.
"Kabar baik, Engku Muda," jawab kepala kawal seraya berdiri ke sisi, "tetapi hari buruk benar."
"Sangat gelap "Di pintu gerbang sebelah hilir siapakah yang berkawal?"
"Pasukan Raja Magat, Engku Muda."
"Bagus! Tetapi, coba hamba lihat ke sana."
"Ingat-ingat, Engku Muda."
"Mengapa Panglima berkata demikian" Adakah yang mencurigakan?"
"Tetap ada! Itu sebabnya kita berkawal, bukan" Lebih-lebih bagi diri Engku Muda sendiri... ada bahaya."
"Dari mana?" tanya Alam Syah dengan cepat.
"Dari... dalam selimut sendiri, Engku Muda."
"Hm, ya, tapi tak apa!" kata Sutan Alam Syah seraya berjalan ke hilir menyisi pagar.
Akan tetapi sungguh, baru sepuluh dua puluh langkah ia mengayunkan kaki, ia pun tegak berhenti dengan darah tersirap. Kilat bersinar sebentar. Tiga orang yang berpakaian serba hitam dan bertutup kepala kelihatan olehnya berdiri dan sembunyi-sembunyi di balik sebatang pohon kayu. Belum timbul lagi semangatnya dan belum sempat lagi ia akan mempertahankan dirinya, seorang di antara mereka itu sudah datang melompati dia dengan tangkas dan cepat. Ia pun menjerit, "Aduh, mati aku!"
Gaduh dan gempar! Beberapa orang jaga berlarian ke tempat kedengaran jerit itu. Kilat bersinar pula sekejap mata maka tampaklah Sutan Alam Syah terbaring berlumur darah di tanah.
Dengan segera ia ditolong oleh dua tiga orang jaga, sedang orang jaga yang lain-lain berlarian mencari siapa yang menikamnya. Akan tetapi, usaha mereka itu tidak berhasil. Hari bertambah gelap dan peri penikaman itu pun tinggal gelap juga ....
Sementara itu, orang muda yang malang itu sudah ada di atas rumah. Ia dibaringkan baik-baik di atas kasur tebal dekat anjung, setelah tubuhnya dibersihkan dari darah dan lukanya dibebat ....
Di tentang kepalanya duduk Panglima Sutan, diunjurannya Raja Magat dan di kiri kanannya kedua orang tuanya. Agak jauh dari situ ada beberapa orang lain lagi.
Sekaliannya berdiam diri, sambil memandang tenang-tenang kepada Sutan Alam Syah dengan mata yang beriinang-linang dan sedih. Rupanya ia sangat menderita kesakitan, kedua belah matanya tertutup, bibirnya terkatup, sedang tangan kanannya menekankan bagian badan di bawah rusuk kirinya yang dibebat itu. Napasnya tertahan-tahan. Kemudian, dengan perlahan-lahan, ia pun membukakan matanya. Ketika kelihatan olehnya Sri Raja Hulubalang, lalu diisyaratkannya supaya ia mendekatkan telinga ke mulutnya. Ia berkata dengan berbisik-bisik, putus-putus suaranya, "Ayah, ampun ... rasa takkan lama lagi hamba hidup ... sampai sudah ... ajal hamba!"
"Anakku," kata Sri Raja Hulubalang dan istrinya dengan tangisnya, "apa yang engkau sebut itu, Nak" Wahai, anakku ...! Lekas, jemput dukun...!"
"Sudah dijemput, Tuanku. Tetapi, ah, belum datang ...."
"Tidak, tak perlu lagi... ya, Allah... sudah bagian hamba begini. Olah cemburu, Ayah... sampai sudah niat... si Manis." Ibu bapaknya terperanjat, sampai kering air matanya. "Anakku, Buyung, apa maksudmu?"
Akan tetapi Alam Syah terengah-engah, tak dapat berkata-kata lagi. Dan meskipun ia bertutur, tiada jua akan kedengaran sebab deru hujan yang telah turun dengan lebat sebagai dicurahkan dari langit, mendengung-dengung sepenuh udara.
Sejurus kemudian kelihatan bibirnya bergerak-gerak, komat-kamit. Ibu bapaknya memasang telinga pula baik-baik. Kedengaran olehnya, "Tidak, orang tak bend pada ayah, hanya pada hamba dan si... Manis... tetapi hamba kasihan...; jeritmu, Adik, wahai, tak dapat kita bersua ... sungguh, Dik, cintamu hamba bawa ... mati."
Pikiran orang tuanya terharu biru: heran, sedih, pilu, ragu bercampur baur.... Apa arti igauan itu"
Sutan Alam Syah berhenti pula berkata-kata karena berasa payah dan kesakitan. Akan tetapi, hujan bertambah lebat, angin bertambah kencang. Petir berdengung-dengung dan kilat berapi-api, seakan-akan memperlihatkan suatu tanda kekuasaan Allah swt. Sutan Alam Syah mengangkatkan kepalanya sedikit, hendak memandang kepada hulubalang yang duduk di tumpuan kakinya. Seakan-akan ada yang hendak dikatakannya kepada orang itu, suatu amanat, terutama kepada Panglima Sutan yang duduk termangu-mangu karena geram .... Nah, dukun datang. Akan tetapi, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba Sutan Alam Syah batuk agak keras sehingga darah keluar menembus bebat lukanya ... banyak sekali!
Deru hujan, gemuruh petir, dan dengung angin bercampur dengan ratap tangis orang berdukadta semalam-malamanitu sebab nyawa Sutan Alam Syah telah menghindar dari tubuhnya.
PERANG PAUH Bahwasanya bukan tiada beralasan kekhawatiran Orang Kaya Kecil tentang kematian pahlawan kompeni itu. Bukan saja di Kotatengah orang berbuat gaduh sehingga banyak timbul korban sedih ngeri seperti pada diri panglima muda itu, tetapi seluruh Pantai Barat pun jadi geger dan berguncang.
Segala negeri yang baru takluk dalam daerah Inderapura sudah berpihak pula kepada Raja Adil dan kawan-kawannya. Pada ketika itu panglima yang keras hati itu telah berkedudukan di Manyuto kembali, berbenteng kuat pula di sana sehingga tak dapat lagi dienyahkan. Sultan Muhammad Syah sebagai duduk di atas bara hangat, sedang kiri kanannya api bernyala-nyala juga. Orang besar-besar di sebelah utara kerajaannya, seperti Raja Kambang dan Raja Lela Garam di Batangkapas sudah memegang senjata hendak memerangi dia. Minta tolong kepada kompeni pula" Ah, bagaimana kompeni akan cakap menolong dengan sepertinya, dengan secukupnya sebab ia dalam kesusahan dan kesukaran juga" Dari Kotatengah ke Pulau Cingkuk, kembali ke Kotatengah pula dengan tergopoh-gopoh dan dari situ ke Pulau Cingkuk, ke Padang ... demikian wakil kepala kompeni kejar-kejari akan memenuhi kewajibannya", menjaga keselamatan harta bendanya, lojinya dan jiwa anak buahnya yang terancam bahaya! Sementara itu, dari Bayang dan daerah sekelilingnya berembus pula angin buruk, banyak piutang kompeni kepada anak negeri, yang diberikan semasa Groenewegen masih hidup, tak mungkin dapat diterima kembali. Dan di negeri lain-lain pun begitu juga, penduduk hampir bersukaria semuanya.
Yang berutang kepada kompeni sudah gelak-gelak senyum"utang
takkan berbayaran! Sebab dengan pertolongan Aceh bukankah mereka itu mudah memungkiri utang itu"
Kepala kompeni yang ditakuti tidak ada lagi!
Di mana-mana pengaruh Aceh sudah kelihatan merajalela pula. Benar, Aceh lalu tipunya sebab sesungguhnya persahabatan dengan kompeni dahulu hanyalah terletak di bibir saja.
Tentu saja kebijaksanaan dan tipu muslihat. Raja Adil dalam hal itu tak dapat dilupa-lupakan pula!
Padang pun tiada aman lagi sehingga anak negeri perlu diberanikan hatinya. Kalau tidak, barangkali mereka itu berpaling haluan. Dari utara dan dari selatan sudah terdengar kabar bahwa musuh hendak menyerang. Lebih hebat dan dahsyat lagi dari sebelah timur, dari Pauh, sedang lautan lepas hanya saja pula. Orang Kaya Kecil sangat ketakutan sebab kalau musuh datang menyerbu ketika itu, niscaya Padang hancur. Dua kali ia berkirim surat kepada ganti Groenewegen di Pulau Cingkuk, bermohon, supaya ia segera datang ke Padang dengan kapal perang, tapi dua kalinya tidak ada balasannya.
Hanya pada tanggal 16 Januari 1666 barulah dapat Maershalck berlayar ke sana. Ia tiba di loji malam hari dan seketika itu juga sekalian penghulu pun datang menghadap dan meminta kepadanya, supaya mereka itu segera dibantu dalam hal mengenyahkan kawan-kawan Aceh, yang telah masuk dan diam dalam negeri.
Pada keesokan harinya Maerschalck berangkat dengan 36 orang serdadu, dibantu oleh sekoci Gasuaris dan Achilles, akan mengusir musuh itu. Ya, dari Padang dapatlah kaum serikat Aceh itu dienyahkan! Akan tetapi, mereka itu lari ke Pauh lalu bertahan di sana dengan sekuat-kuatnya. Dan dalam pada itu, kabar tersebar pula di mana-mana bahwa armada besar akan datang dari Aceh. Tentu saja bagi kaum putra negeri kabar sedemikian bagai kayu makanan api, tetapi bagi Padang tak ubah sebagai petir yang mengecutkan hati.
Pada tanggal 1 Maret peri keadaan pemerintahan negeri gelap gulita, bagian sebelah utara sudah dalam tangan Aceh, dan Pauh mengancam Padang dengan sungguh-sungguh. Bukan gertak sambal ... Kotatengah goyah; Terusan, Bayang, dan Sungaipaga kacau-bilau; di Inderapura takhta kerajaan Muhammad Syah tinggal nama saja lagi!
Perniagaan pun amat kendur, lebih-lebih perniagaan emas. Orang lebih suka berjual beli dengan Cina dan Jawa; dengan kompeni... takut, kalau barang-barang dijadikan pengangsur utang! Oleh karena itu, meskipun kantor besar di Padang sudah habis dikerjakan, Maerschalck tak berani pindah dari Pulau Cingkuk ke sana. Perselisihan dengan Pauh mesti diselesaikan lebih dahulu.
Padang dalam bahaya! Setiap hari rasa-rasa akan datang juga serangan dari Pauh, dengan bala tentara 4.000 s.d. 5.000 orang banyaknya. Setiap saat kedengaran pekik dan jerit orang di kampung dan dusun sebab ternaknya disamun dan dirampas orang dengan ganasnya.
* * * Sejak pulang dari Bandar Sepuluh 'si Buyung' hampir tak dapat menghentikan tangan, hampir tiada bertohor kaki. Siang malam ia berjaga dengan sekuat-kuat tenaganya, bahkan lebih dari itu, meskipun hatinya sudah hancur luluh dan pengharapannya hampir hilang sama sekali. Ia telah mendengar kabar dari Orang Kaya Kecil sendiri tentang kekacauan di Kotatengah dan tentang kematian sahabat, yang telah berjanji setia akan sama-sama mencari adiknya.
"Dari siapa Tuanku peroleh berita itu?" tanyanya kepada Regen dengan suara gemetar dan pucat warna mukanya.
"Dari Raja Ambaro, utusan dari sana kepada kompeni. Tetapi mengapa engkau terkejut begitu benar mendengar kabar itu" Apa pertalianmu dengan orang muda itu?"
'Tidak ada, Tuanku, kecuali karena persahabatan. Ketika ia datang kemari tempo hari, hamba sudah mengaku saudara akan dia."
"Barangkali ada pertalian lain," kata Regen dengan tenang.
"Tidak, Tuanku. Kasihan, tetapi bagaimana pikiran Tuanku tentang peristiwa di daerah jajahan Tuanku sekarang ini?" tanyanya dengan cerdik, akan memutar haluan percakapan.
"Untuk sementara berjaga-jaga seperti Hulubalang kerjakan selama ini. Kita mesti bertahan dengan kekuatan sendiri saja dahulu. Kabarnya pemerintah tinggi kompeni di Betawi telah mengirim seorang kepala kemari, akan ganti Maerschalck yang tak tetap hatinya dan pendiriannya. Kita lihat kelak, betapa kebijaksanaan kepala yang akan datang itu."
"Hamba, Tuanku. Dan teringat oleh hamba mendiang Tuan Groenewegen...."
"Kalau ia masih ada, barangkali kita takkan sesusah ini benar."
"Jika hamba tahu alamat, seharusnya ketika hamba akan berangkat ke Bandar Sepuluh dahulu, hamba insyaf sudah bahwa kami takkan berjumpa lagi selama-lamanya. Pandangnya, tutur dan katanya kepada hamba ketika itu, Tuanku, sangatlah menarik hati hamba kepadanya."
"Ya, siapa yang dapat mengetahui masa yang akan datang?" kata Orang Kaya Kecil dengan sayu sebab teringat akan sahabatnya itu, "Dan sahabatmu yang di Kota tengah itu, Sutan Alam Syah, teraniaya rupanya."
"Karena apa?" "Tidak terang"tetapi istrinya berpihak kepada Aceh."
Pikiran 'si Buyung' terharu biru. "Teraniaya, istrinya berpihak kepada Aceh! Tentu karena, perselisihan dalam rumah tangga," kata hatinya. Dan perkara itu pun lekas sekali diperhubungkan oleh ingatannya dengan hal ihwal adiknya, yang singgah di rumah kedua laki istri itu. Ia menundukkan kepala akan menyembunyikan perubahan warna mukanya daripada pandang Regen, yaitu perubahan, yang terbit karena menahan rindu. Akan tetapi, ketika ia sudah tinggal seorang diri, ia pun tersedu-sedu seperti anak kecil. "Sudah bertambah tipis harapanku akan bersua dengan adikku," katanya, "tak ada kawanku lagi akan mencari dia. Malang benar aku ini!"
Ia tegak berdiri, lalu pergi menjalankan tugas kewajibannya. "Pauh jahanam," katanya dengan geram pula, "sebelum aku musnahkan isi negeri itu, belum puas hatiku."
Akan tetapi, makin lama kerjanya makin berat, hampir tak terpikul lagi olehnya. Orang Pauh semakin bertambah berani dan ganas. Ternak di tengah padang dirampasnya, orang pergi ke sawah diganggunya sehingga kerap kali terjadi perkelahian. Hulubalang Raja sendiri sudah beberapa kali nyaris melayang nyawanya sebab diserkap penyamun beramai-ramai.
Regen Padang hampir kehilangan akal. Bantuan yang diharapkannya tiada datang juga! Bahwa Jacob Gruys sudah berangkat dari Betawi dengan bala tentara, sudah diketahuinya. Bahkan ia pun telah tahu juga bahwa kepala kompeni itu"setelah singgah di Selebar dan Inderapura beberapa hari"sudah tiba di Pulau Cingkuk dengan selamat. Akan tetapi, di Padang tiada juga ia kelihatan, akan bermusyawarah tentang aturan yang hendak dijalankan untuk mengenyahkan orang Aceh dan sekutunya.
Ia tiada sabar menanti lebih lama lagi. Utusan mesti dikirim ke sana! Benar, pada tanggal 27 April tibalah utusan Majelis Penghulu Padang di pulau itu.
Permusyawaratan diadakan dengan segera.
"Tiada dapat berlalai-lalai lagi, Tuan," kata Orang Kaya Kedi Seroja, seorang dari utusan itu, kepada Gruys, "kami takut, dalam delapan hari ini Padang tak dapat dipertahankan lagi. Beribu-ribu orang Pauh dan orang dusun hendak menyerbu masuk negeri.
Lebih khawatir dan ngeri lagi karena orang Aceh dari Tiku dan Pariaman sudah berkumpul di Pauh, Tuan. Padang sudah miskin, harta rakyat licin tandas; ternak dan hasil sawah sudah jatuh ke tangan musuh."
Demikian utusan itu melukiskan huru-hara dan kacau-balau dalam negerinya. Sungguh khawatir, ketakutan dan ngeri ia rupanya sehingga Gruys sebentar itu juga memberi perintah akan bersiap melengkapi kapal-kapal dan bala tentaranya dengan senjata.
Pada keesokan harinya ia pun berangkat ke Padang; tiba di sana hari itu juga, lalu berlabuh di Pulau Pisang. Hari Jumat, yakni sehari kemudian, berbarislah serdadu dekat loji kira-kira dua ratus orang lebih. Hampir tengah hari Gruys menyilakan segala penghulu Padang datang menghadap kepadanya.
Mereka itu pun datang dengan pakaian kebesarannya. Akan tetapi, mereka tiada diterima oleh kepala kompeni itu menurut adat kebiasaan yang telah dipusakai mereka dari dahulu: tiada disilakannya duduk, melainkan disuruhnya tegak berdiri saja.
"Penghulu," katanya dengan gagah, "sekarang ini juga Tuan-tuan, mesti ikut memerangi musuh."
Diam. Seorang pun tiada menjawab. Sekalian orang besar itu memandang seorang kepada seorang; pada air mukanya terbayang keheranan, kecewa, dan kedi hatinya.
"Ayo, apa lagi" Berangkat, siapkan bala tentara!"
Seorang di antara orang besar-besar itu, yaitu yang muda sekali, maju ke muka selangkah dan berkata dengan tenang dan sabar, "Tuan Besar, kepala kompeni di Pantai Barat Pulau Andalas! Maaf, perintah Tuan itu tiada dapat kami jalankan."
Merah muka Gruys, naik darahnya. "Apa, siapa kamu?" katanya, seraya menentang muka orang muda itu dengan mata bersinar-sinar.
"Hamba Hulubalang Tuanku Regen, raja yang memerintah dan berkuasa di Padang ini," jawab Hulubalang Raja dengan suara tetap. "Dengan nama baginda dan penghulu besar bertuah yang hadir berdiri di hadapan Paduka Tuan yang mahamulia ini, hamba persembahkan bahwa perintah Tuan itu tiada dapat kami jalankan: kami tiada sanggup mengikut ke medan perang sekarang ini juga"
"Tidak dapat?" "Tidak"meskipun sehendaknya Tuanlah yang mesti mengikut dengan kami sebab kamilah yang meminta bantuan kepada kompeni karena persahabatan. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat membariskanbala tentara kami dengan sekejap mata saja" Tambahan pula lebih dahulu kami harus bermufakat dengan orang Kotatengah; kalau perlu, minta tolong kepadanya; harus mencari dan menyelidiki jalan tempat lalu dahulu sebab sawah-sawah di sebelah Barat Pauh hampir tiada dapat ditempuh, Tuan. Pendeknya, siasat harus dari pihak kami."
"Nonsens! Helah semata-mata. Kalau Tuan-tuan tiada mau, mengapa Tuan-tuan minta aku datang kemari" Tidak, mesti berangkat sekarang juga," perintah Gruys dengan keras.
"Kami minta Tuan datang akan berperang, bukan hendak pergi menyia-nyiakan nyawa, Tuan," jawab 'si Buyung' dengan tenang, "kalau hati diperturutkan, kami seribu kali suka berangkat ke medan perang sekarang ini juga, pada saat ini juga. Bukan mengikut, melainkan dahulu dan di muka sekali! Akan tetapi, tipu muslihat dan siasat perang mesti dipergunakan."
"Apa?" kata Gruys dengan belalak matanya, "Engkau sangka aku tidak tahu tipu muslihat perang" Aku komandan. Ayo, mesti turut perintahku, berangkat sekarang ini juga!"
"Perintah Tuan?" sahut Hulubalang Raja dengan panas hati. "Siapa yang berhak memerintah di sini, di negeri kami ini, Tuan atau kami" Kompeni cuma wajib menolong kami, sebagai sahabat."
"God verdomme .... Jangan banyak cakap. Ayo, berangkat!"
Hulubalang Raja berpikir sejurus, seraya memandang tenang-tenang kepada sekalian penghulu yang berbaris dengan kesal dan resah di belakangnya. Pada sinar matanya kelihatan oleh mereka itu perasaan yang terkandung dalam hatinya. Takkan mau ia undur dari pendiriannya, yang dipandangnya benar itu. Kalau dibiarkan juga ia berunding, tentu bersuaan keras dengan keras. Takkan baik kesudahannya! Dengan segera Maharaja Indera menghelakan dia ke belakang dan maju sendiri selangkah ke hadapan serta berkata demikian, "Tuan! Sembah kepada Tuan Besar! Perintah Tuan kami junjung di atas batu kepala kami, tetapi karena sekarang hari Jumat, kami mesti pergi sembahyang ke masjid, kami minta, besok saja kami berangkat ke medan perang dengan laskar 2.000 orang. Lain daripada itu, kami mohon pula supaya diadakan kepala ganti mendiang Groenewegen."
"Kepala?" kata Gruys dengan meradang karena sangat berang, "Aku ini kepala di sini, aku komisaris dan panglima bala tentara laut dan darat di pantai ini. Perintahku mesti diturut!"
Bukan penghulu itu tiada tahu bahwa Gruys kepala dan wakil kompeni di Pantai Barat itu. Ia berkata demikian karena ia tiada percaya akan kecakapan kepala yang sombong penaik darah dan pendek kira-kira itu dalam tipu muslihat peperangan.
"Apa lagi" Berangkat dan siapkan bala tentara!"
"Sekarang hari sudah tinggi, Tuan; kalau kita berangkat sekarang, petang hari baru sampai ke Pauh."
"Tidak peduli! Jika Tuan-tuan tiada mau ikut, berilah aku seorang penunjuk jalan; biar aku pergi dengan pasukan Belanda saja."
Sekalian penghulu itu menggeleng-gelengkan kepala dan mohon diri akan pulang ke kota.
Pada hari itu juga Gruys berangkat dengan bala tentara yang tiada seberapa banyaknya, yaitu hanya awak kapal dan pegawai loji, juru tulis, dan lain-lain, ya, sekalian orang jaga pintu gerbang pun sudah ikut bersama-sama. Persediaan mesiu dan peluru tidak diadakan sebab sangka Gruys, ia akan dapat berbalik pada malam itu juga.
Dari pihak orang Padang yang ikut hanya Orang Kaya Kecil, Maharaja Indera dan Dunia Lebai"ketiganya menunggang kuda " dengan pengiringnya kira-kira empat puluh orang. Dan Hulubalang Raja pun serta juga,... padahal mula-mula ia tak mau pergi karena hatinya sangat kecewa dan sakit. Helahnya, ia perlu menjaga keamanan dalam negeri. Akan tetapi, kemudian terpikir olehnya, tiada patut ia bergelar Hulubalang Raja, jika tuannya"Orang Kaya Kecil"pergi perang tiada diikutkannya!
Dengan segera dilompatinya punggung kudanya, lalu digertakkannya agar berjalan di sisi Regen.
Menurut kira-kira orang, perjalanan hanya dua mil jauhnya. Baru setengah jam berjalan, sampailah ke bawah bencah yang dalam. Sangat berbahaya jika sawah itu dilalui, maka 'si Buyung' berbisik ke telinga Tuannya, meminta, supaya Orang Kaya Kecil memberi nasihat kepada komisaris, jangan terus juga. Lebih baik dicoba, diikhtiarkan, dicari tipu daya, agar musuh keluar dari dalam bentengnya.
Nasihat yang baik itu segeralah disampaikan kepada komandan pasukan, tetapi tiada diterima oleh Gruys yang keras kepala itu, bahkan tiada dipedulikannya. Ia berjalan terus, meskipun kaki bala tentara kadang-kadang sudah terbenam hingga lutut ke dalam lumpur.
Dengan cemas Hulubalang Raja menggertakkan kudanya ke dekat Kapitan Pigge, seraya katanya, "Garam kami tiada masin pada Tuan Komisaris; saya minta, supaya Tuan ingatkan kepadanya, bahwa sia-sia sekali maju secepat ini. Tuan lihat, bala tentara tiada teratur lagi. Barisan sudah putus, laskar bercerai-berai, setengah dahulu dan setengah terkemudian."
"Ya," kata Pigge dengan geram, "dalam hati saya sendiri pun sudah beberapa kali terpikir kesalahan ini. Terima kasih,?"lalu ia berlari-lari ke dekat Gruys, akan berunding .... Tiada berhasil...!
"Jangan banyak cakap sahut Gruys dengan kasar, "berjalan terus!" Hulubalang Raja menggelengkan kepala, Pigge mengangkat bahu dan balik ke dekat pasukannya kembali dengan murung hati.
Berjalan terus! Baru mereka itu berhenti, ketika sudah tampak terdiri di hadapan suatu kubu dari batu dan tanah, yang kira-kira enam sampai tujuh kaki tinggi dan tebalnya. Di atas dinding kubu itu ada berdiri seseorang, yang mengibar-ngibarkan bendera putih.
"Tembak!" perintah Gruys dengan keras.
"Tuan!" seru Hulubalang Raja dengan cemas, "bendera putih" damai atau menyerah, bukan?"
Akan tetapi, serunya itu tiada berfaedah. Bedil berbunyi jua; tam, dan orang itu pun jatuh terguling ke bawah, lalu mati.
Seketika itu juga bunyi bedil tiada berkeputusan lagi. Baik dari pihak kompeni, baik pun dari pihak orang Pauh kedengaran tempik sorak yang gegap gempita dan riuh rendah di antara dentum dentam senapang itu.... Lebih-lebih pihak bala tentara Belanda"mereka itu pun menembak dengan giat sambil maju dengan cepat.
Akhirnya bunyi bedil hanya terdengar dari suatu pihak lagi, laskar Belanda sudah masuk ke dalam kubu dan musuh telah lari... rupanya. Dengan merawak mereka itu diturutkan juga oleh serdadu Belanda dengan anak bedil. Ya, laskar kompeni menembak dengan tiada berkeputusan sehingga habislah mesiu dan pelurunya.
Demi dilihat Gruys musuh tidak ada lagi, ia pun memberi perintah akan pulang ke loji kembali dengan sukacita.
"Cepat," katanya dengan gagah berani, "kita sudah menang, hura!! Pulang!"
Akan tetapi, Hulubalang Raja amat cemas, hampir putus asa. Dengan segera ia berunding pula dengan Kapitan Pigge, akan menyabarkan Gruys sedapat-dapatnya. Ada pula kesalahan besar tampak olehnya.
Kapitan Pigge berseru kepada Gruys dengan keras, dengan suara bermohon sesimgguh-sungguh hatinya, "Nanti sebentar, Tuan! Laskar masih bercerai-berai, mesti dikumpulkan dan dibariskan kembali."
"Tidak peduli. Kita sudah menang. Ayo, jalan!"
"Nanti kita celaka, Tuan."
Perkataan itu pun tiada diindahkan oleh Gruys.
"Celaka apa" Dari mana celaka akan timbul lagi sebab musuh sudah habis lari sekaliannya?" katanya.
Dengan patuh menurut perintah Gruys itu bala tentara berjalan di sawah bencah dalam pula! Tiada teratur sedikit jua. Setengahnya bersusah payah menghelakan kaki dari dalam lumpur sehingga tertinggal, dan setengahnya sudah jauh terdahulu daripada kawan-kawannya. Pendeknya, pasukan itu berjalan bercerai-cerai.
Demi dilihat orang Pauh peri keadaan sedemikian, mereka itu pun bersiap kembali dengan gembira. Mereka itu berkumpul, hendak berjuang pula! Sudah tiba saat dan waktu yang dinanti-nantinya. Dengan cepat diserangnyalah bala tentara kompeni itu, sambil berteriak-teriak dengan riuh rendah. "Bunuh Belanda, habiskan kompeni serta sekutunya! Hancurkan...!
Kelam kabut! Tak seorang juga yang ingat hendak bertahan, masing-masing hanya memikirkan dirinya dannyawanya. Senjatanya dicampakkan, laskar kompeni lari sekaliannya. Ke mana saja, asal selamat!
Memang serangan Pauh itu amat keras, deras, dan hebat sekali!
Cuma seorang saja di antara orang kompeni itu yang luput dari bahaya maut, yaitu laskar pembawa bendera. Lain tidak! Gruys dan van Iperen"fiskal ekspedisi"mati dalam perang kacau itu; demikian juga 131 orang serdadu dan opsir. Kepada Pigge diberikan oleh Hulubalang Raja seekor kuda dan dimintanya dengan sangat, supaya ia lari dengan kendaraan itu. Akan tetapi, permintaan sud hati itu tiada diterimanya!
"Terima kasih akan kesudan hati Hulubalang," katanya dengan senyum masam, "tetapi saya tidak dapat, tidak sanggup meninggalkan pasukan saya dengan cara demikian. Tidak," " dan ia pun menyerbukan diri ke musuh, lalu tinggal terhantar di situ juga.
Orang Padang dapat menyelamatkan diri sekaliannya, berkat kebijaksanaan panglima yang muda itu.
HELAT TURUN MANDI Sesampai ke Padang pula, Hulubalang Raja pergi ke kapal kompeni akan mengabarkan kekalahan itu dan memberi nasihat kepada awak kapal, supaya segera dikirim utusan ke Pulau Cingkuk akan meminta Michielsen, kepala loji di situ, datang ke Padang dengan secepat-cepatnya.
Setelah orang berlayar ke sana, barulah ia pulang ke rumahnya. Di tengah jalan ia diusik oleh berbagai-bagai pikiran. "Oleh karena kesombongan dan kebodohan seseorang yang hendak mencari nama dalam perkara orang lain, rusak binasalah dan hancur luluhlah sekaliannya," katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "dia sendiri yang mencemarkan nama bangsanya .... Kalau kabar yang dahsyat dan ngeri ini sudah tersebar, niscaya iman anak negeri berguncang dan kehormatan orang terhadap kepada kompeni hilang lenyap sama sekali. Selama ini kompeni di daerah Padang termasyhur gagah berani, berpantang kalah, walaupun berhadapan dengan musuh yang dua puluh atau tiga puluh kali lipat ganda banyaknya! Sekonyong-konyong bersuaan sebagaimana diramal-ramalkan musuh kepada kaum serikat kompeni. Sesudah Groenewegenmati, tak seorang jua yang akan dapat melepaskan mereka itu dari tangan Aceh dan kawan-kawannya!"
Ia tertegun sejurus. Suram mukanya. "Groenewegen," ujarnya pula dengan perlahan-lahan, "beroleh kecelakaan di Inderapura dahulu karena tak mau mendengarkan nasihat. Terlalu percaya akan diri dan kekuatan sendiri dan Gruys lebih-lebih lagi! Rupanya sama saja kedua mereka itu. Hanya Pigge"kapitan Pigge"patut benar dipuji, patut dijadikan kenang-kenangan! Pahlawan betul-betul.... Ia tahu sudah bahwa nyawanya telah terancam. Ia pun tahu pula bahwa jika ia tidak lari mesti binasa; tetapi ia maju juga! Kewajiban yang dipikulkan kepadanya dan kehormatan bangsanya lebih berharga baginya daripada nyawanya. Sebagai panglima ia mesti melindungi laskarnya dan sebagai panglima jua ia pun tiada takut mati! Patut benar ia kujadikan teladan ...."
Michielsen terperanjat benar-benar mendengar berita kekalahan itu dari mulut utusan. Seketika itu juga ia turun ke kapal. Sebagaimana pikiran Hulubalang Raja itu, ia pun sangat khawatir kalau-kalau karena kekalahan yang tak disangka-sangka itu kompeni tak berharga lagi di mata orang. Dengan segera ia hendak menuntutkan balas atau sekurang-kurangnya mempertahankan nama kompeni dan bangsanya.
Akan tetapi, rupa-rupanya kecelakaan itu belum cukup lagi. Oleh karena angin sakai dan kapal bocor, Michielsen terpaksa berbalik ke Pulau Cingkuk kembali; maka didapatinya Sultan Muhammad Syah sudah ada di sana. Baginda mengabarkan bahwa Raja Adil sudah mulai pula menyerang dengan sekuat-kuatnya. Sudah banyak pula pengikutnya. Ia tiada cakap lagi berjuang dengan musuh yang gagah perkasa itu, jika tiada ditambah bantuan oleh kompeni.
Bantuan"ketika itu pula! Tidak, Michielsen tiada boleh dan tiada dapat mengabulkan permintaan itu. Melainkan sultan diajaknya pergi ke Padang bersama-sama, akan bermufakat dengan orang besar-besar di sana.
Setelah turun angin selesai dan kapal sudah dibetuli pula, kedua orang besar itu pun berlayar ke Padang. Sesampai ke situ dilihatnya kedua kapal Gruys masih berlabuh di Pulau Pisang. Dengan segera Michielsen menyelesaikan hal ihwal sekalian orang yang mati di medan perang itu; kemudian ia pergi ke loji di daratan. Di sana ia bermusyawarah dengan Penghulu Nan Delapan di Padang, sedang Muhammd Syah, empat orang penghulu dari Bandar Sepuluh dan daratan Kotatengah. Peristiwa di medan perang itu, dari awal sampai ke akhirnya, diceritakan oleh 'si Buyung' belaka! Ia dijadikan 'kepala kota'7 oleh orang Padang dalam majelis itu. Maka ia pun tiada lupa mengadukan dengan keras dan marah tingkah laku Gruys yang tiada patut terhadap kepada orang besar-besar, tiada menyilakan mereka itu duduk! Wakil Kotatengah amat berang pula. Katanya, mereka itu membuat perjanjian dengan kompeni hanya tentang perkara perniagaan saja, sekali-kali bukan tentang perkara menyerang dan bertahan. Tiba-tiba Padang meminta dia akan campur memerangi Aceh! Sulit sekali! Mereka itu tak pernah bersengketa dengan Aceh, negeri mereka itu merdeka, dan Aceh pun tak mungkin menaruh dendam kepadanya!
Tentang perbuatan komisaris sebagai atas diri orang Padang itu, mereka itu pun takkan dapat menerima dia dengan baik saja. Jika didengarkan dan diturutkan nasihat orang, yang lebih tahu peri keadaan di daratan daripada pegawai kompeni, tentu tak perlu mencabut pedang dari sarungnya. Orang Pauh segan dan gentar kepada kekuatan senjata orang Belanda ketika itu. Apa saja perjanjian damai dihadapkan kepadanya, niscaya diterimanya.
Segala keterangan itu dibenarkan oleh Michielsen. Ia pun mencela perbuatan dan tingkah laku Gruys yang kurang patut itu. Akan tetapi, hati orang Kotatengah dapat pula dilunakkannya dengan beberapa pemandangan sehingga mereka itu suka jua menerima perjanjian dengan kompeni dan Padang tentang hal peperangan, menyerang dan bertahan itu. Matra diputuskan, orang Belanda akan membersihkan laut dari sekalian musuh, dan anak negeri akan mengalangi serta mencegah musuh terus-menerus. Dalam sepuluh hari pasukan Belanda dan anak negeri mesti bersiap lengkap, di bawah perintah Michielsen, akan berangkat membinasakan negeri Pauh yang kacau itu.
Akan tetapi habis hari berganti hari, habis pekan berganti pekan, bahkan sudah hampir dua bulan lamanya putusan itu tinggal jadi putusan juga. Rupanya Michielsen belum berani mengepalai perang dengan Pauh itu sebab peristiwa lain-lain banyak timbul di seluruh pantai.
* * * Benar! Demi dilihat Raja Adil keadaan semacam itu, ia pun semakin berani dan leluasa ke mana-mana. Banyak negeri yang telah takluk kepadanya, banyak raja-raja dalam negeri yang sekeliling daerahnya telah menjadi sekutunya. Kepada mereka itu diingatkannya benar-benar, supaya mereka jangan tertipu oleh mulut manis kompeni, saudagar dari Barat, yang bermaksud hakiki hendak mencari tanah jajahan juga. Jangan peduli akan Sultan Muhammad Syah, yang telah kehilangan budi itu, dan awas betul-betul akan segala gerak-gerik Orang Kaya Kecil, Regen Padang, yang telah menjadi kuda-kuda saudagar penjajah itu! Terutama sekali, harus diperhatikan langkah Hulubalang Raja, anak emas Regen dan kompeni, yang gila kehormatan itu. Barang di mana bertemu, ia harus ditangkap atau dibunuh.... Orang muda itu lebih berbahaya daripada kompeni sendiri karena ia mudah mengabui mata bangsanya! Nasihat itu termakan benar oleh mereka itu, terutama oleh rakyat Manyuto sendiri. Sungguh, mereka itu pun amat sayang kepadanya, raja tempat pergantungan mereka itu, raja yang barangkali akan menerbitkan masa yang cemerlang kelak.
Bahagia! Dan akan menyempurnakan bahagianya itu, pada suatu hari istrinya pun melahirkan seorang putra laki-laki.
Besar hati Raja Adil tiada terperikan. Sejak putranya itu lahir sampai berumur empat puluh hari banyak orang besar-besar, alim ulama, turun naik istananya akan memberi berkat dan membaca doa selamat. Sekaliannya disambut oleh isi istana dengan sukacita, dan sekaliannya diberi makan minum dengan sepatutnya. Selama itu sudah beberapa ekor kerbau dan sapi rebah, disembelih, dan sudah selumbung padi habis penjamu itu. Ya, tiada ternilai besar biayanya!
Dari segenap pihak jamu datang; dari segenap negeri raja-raja dan penghulu-penghulu dipanggil oleh Raja Adil akan menghadiri perhelatannya. Masing-masing datang dengan pengiringnya, yang membawa bingkisan dan barang kadarnya. Kebanyakan pembawaan orang berupa adat tanda kasih, beras dan kerambil tumbuh .... Ya, beras telah bergoni-goni dan kerambil tumbuh telah dapat memenuhi sebidang kebun yang luas. Gelanggang ramai bukan kepalang, sabung terus sibuk tiap hari; berapa banyaknya ayam yang mati, berapa banyaknya taruh, hampir tiada terbilang lagi. Yang menang tertawa, yang kalah pun tertawa juga sebab memang helat jamu itu untuk bersukaria!
Pada hari yang keempat puluh, pagi-pagi benar, isi istana bersiap lengkap belaka, terutama pihak putri-putri dan dayang-dayang. Ada yang mengisi cambung dengan bedak, limau, dan langir, ada yang meletakkan beras rendang ke dalam talam dan menutupi dia dengan delamak yang elok dan mahal harganya karena pada pagi itu akan diadakan upacara menurun-mandikan putra raja ke tepian. Sepenggallah matahari naik, ketika panas belum keras benar, sekalian perempuan yang berpakaian indah-indah sudah berdiri bersusun-susun di ruang tengah sambil menghadap ke pint u. Di muka sekali seorang perempuan yang telah agak tua. Ia mendukung putra yang hendak dimandikan itu dengan kain selendang yang bersulamkan benang emas dan bertaburkan permata yang kilau-kilauan, sedang tubuh anak itu sendiri dirahapi dengan pakaian keemasan. Kiri kanannya berdiri inang pengasuh; seorang memegang gelang dan dokoh, seorang memegang suluh dari perca kain berpilin tiga dan sebilah keris, dan seorang lagi menudungi putra dengan payung keemasan. Di belakangnya berdiri tuan putri, yakni bunda putra itu, cukup lengkap dengan pakaian yang indah-indah dan perhiasan yang gemerlapan serta ditudungi dengan payung keemasan pula; ia pun diapit oleh dayang-dayang yang pilihan. Di bagian yang ketiga putri-putri dan sitti-sitti istri menteri dan hulubalang, anak-anak orang besar-besar dan kaya-kaya, yang diiringkan pula oleh dayang-dayangnya. Di belakangnya ada beberapa orang yang menjunjung talam berisi limau dan langir, beras rendang, dan pakaian salinan. Kemudian sekali sebondong perempuan kebanyakan, randa, gadis, dan lain-lain.
"Siap?" tanya perempuan yang mendukung putra itu.
"Sudah," sahut orang banyak.
Sekalian orang berdiam diri serta berdiri baik-baik, tafakur sebab mantra sudah mulai dibaca oleh bidan. Langkah kanan telah dilangkahkannya, lalu ia berjalan membawa putra raja itu turun tangga dengan hati-hati, hemat, dan cermat. Di anak tangga yang di bawah sekali dilihatnya ada terletak sebuah kelapa bulat yang tertutup dengan lakar. Kelapa itu pun disepakkanny a, lalu berguling-guling ke tanah. Bidan terus melangkah ke halaman, berdiri sejenak dengan senyumnya. "Alamat baik, tak ada alangan apa-apa," katanya. Ketika itu barulah turun pula tuan putri, diikutkan oleh orang-orang lain dengan langkah yang teratur.
Mereka itu disambut oleh orang banyak dengan tempik sorak, sedang bunyi-bunyian, puput, serunai, kecapi, celempung, dan mungmung, mulai dipalu dengan amat merdunya. Ketika arakan telah bergerak dengan perlahan-lahan, bunyi-bunyian itu pun mengikut sampai ke tepian. Makin lama makin ramai sebab penonton sepanjang jalan bergerak menurut pula dengan suka hatinya.
Arakan itu berjalan melalui balairung sari yang dihiasi dengan seindah-indahnya, tempat raja-raja dan orang besar-besar dan kaya-kaya duduk dn makan sirih. Sekalian jamu itu pun tegak berdiri akan memuliakan upacara mulia wan itu. Banyak yang ternganga mulutnya, tercengang keheranan; banyak pula yang berdiri seperti patung, meskipun arakan itu sudah lama hilang terlindung di kelok jalan.
"Apa jua yang Tuanku lihat?" tanya Datuk Sri Nara, Panglima Bayang, kepada orang yang berdiri di dekatnya, "Sudah jauh, bukan?"
"Astaga!" kata Raja Lakitan sambil duduk bersila pula dengan kemalu-maluan, "Tidak, sungguh hebat dan ramai."
"Tetapi hamba lihat tadi mata Tuanku tidak terhadap kepada putra yang hendak dimandikan, melainkan, hum, kepada barisan yang kedua," kata Panglima Bayang dengan senyumnya.
Merah muka Raja Lakitan itu, tetapi sebentar itu juga ia pun tersenyum pula dan berkata dengan berbisik-bisik.
"Tajam benar mata Datuk. Ya, bahwa sahabat kita Raja Adil sudah beristri, sudah lama hamba mendapat kabar. Tetapi bahwa istrinya seindah dan semolek itu, barulah sekarang ini hamba lihat. Putri dari mana gerangan itu, Datuk?"
"Putri dari kayangan," jawab Datuk Sri Nara seraya tersenyum juga.
"Putri kayangan?" kata Raja Air Haji, yang duduk di sebelah kanan Panglima Bayang itu, "Jangan berolok-olok, Datuk. Hamba pun takjub melihat kecantikannya. Hamba pikir, tidak ada putri yang semolek itu di daerah Inderapura ini dan di Bandar Sepuluh pun tidak ada juga. Anak raja mana gerangan itu?"
"Ya, tetapi kalau Putri Ambun Suri masih hidup, ada juga tandingannya," ujar Panglima Bayang pula, "Tuanku masih ingat bukan keramaian ketika tuanku Raja di Hulu membuka gelanggang dua tiga tahun dahulu?"
"Ya, ya," kata datuk-datuk itu serempak, "gelanggang Putri Ambun Suri, adik kandung sahabat kita ini .... Ah, kalau kita pikirkan peristiwa itu, sudah patut benar-benar tuanku Raja Adil memusnahkan kerajaan Inderapura. Adiknya yang jelita itu, ayah bundanya, dan harta bendanya, bahkan segala pergantungan semangatnya hilang lenyap karena keganasan sultan itu."
"Benar," kata Raja Lakitan, "kalau tidak karena Muhammad Syah ... ah, dan tidakkah bersua mayat Putri Ambun Suri itu?"
"Sampai kini tidak, tapi balasnya: permasurinya gila! Ya, dan kembali kepada Putri Raja Adil tadi, di mana negerinya?"
"Hamba sendiri tidak tahu, Tuanku," jawab Datuk Sri Nara dengan lurus, "yang hamba ketahui hanyalah, ia bernama Putri 'Terus Mata', kawin dengan Raja Adil kira-kira dalam musim yang lalu, sepulang dia dari Pauh. Ha, itu Raja Gandam datang kemari! Barangkali ia dapat memberi keterangan yang lebih jelas kepada kita sebab ia selalu bercampur dengan Tuanku Raja Adil dalam perjuangan."
Kebetulan Juru Mu di Raja Gandam datang menghampiri raja-raja itu. Setelah memberi salam kepada sekaliannya dengan takzim, ia pun duduk di hadapan Datuk Sri Nara yang ramah itu.
"Tidak ada hal apa-apa?" tanya penghulu itu, seraya meletakkan tempat rokoknya di muka juru mudi itu.
"Insya Allah tidak kurang apa-apa," jawab Raja Gandam, "perarakan selamat, gelanggang ramai, dan orang bersukaria sekaliannya. Makan sirih, Tuanku!" Ia pun menyorongkan cerana ke hadapan majelis muliawan itu.
"Maaf," kata Datuk Sri Nara, "kami dalam kebimbangan sejak tadi, yaitu tentang asal usul tuan Putri 'Terus Mata', permaisuri di sini."
"Dahulu sudah hamba terangkan kepada Datuk, bukan" Tuanku Raja Adil berbahagia benar, mendapat karunia seorang putri dari kayangan."
"Apa kata hamba tadi?" kata Datuk Sri Nara kepada orang besar-besar itu, "Tetapi, Raja Gandam, Tuanku-tuanku ini tiada percaya."
"Kami bimbang," kata Raja Lakitan, "betul kalau dilihat parasnya, tiada seorang jua yang takkan percaya bahwa ia putri kayangan atau bidadari. Tetapi manusia tinggal manusia juga! Putra raja manakah tuan putri itu?"
"Sedih amat kisahnya, Tuanku," sahut Raja Gandam dengan berpikir-pikir, "ya ...." lalu diceritakannya hal ihwal putri itu sejak mulai bertemu di Pauh sampai naik ke kapal. "Dan dalam pelayaran barulah ia mau bertutur dengan Tuanku Raja Adil kata juru mudi itu dengan senyumnya, "yakni ketika baginda sudah menanggalkan pakaian Aceh .... Rupanya baru ketika itu percaya bahwa ia ada jatuh ke tangan muliawan. Ia tiada takut lagi menyebutkan namanya dan menerangkan asal usulnya. Ia putri bangsawan dari Darat, bernama Putri Andam Dewi. Tetapi ia berharap benar-benar kepada baginda, sebelum saudaranya yang dicarinya"itu maksud perjalanannya turun dari rumah"belum bertemu pula, hendaklah dirahasiakan keadaannya. Dan ketika baginda berjanji akan memenuhi kehendaknya itu dan akan mencari saudaranya yang hilang itu sedapat-dapatnya, barulah ia suka mengabulkan permintaan baginda, kawin dengan dia."
"Siapa nama saudaranya itu?" tanya mereka itu hampir sekaligus dengan minatnya.
"Sutan Malekewi."
Sekalian yang hadir berpandang-pandangan, heran sebab belum pernah lagi mendengar nama demikian.
"Sayang," kata Raja Gandam pula, "sampai sekarang Tuanku Raja Adil belum sempat lagi memenuhi janjinya, belum bersua dengan orang yang hilang itu. Sesudah kawin, ia mendapat percobaan besar. Sungguhpun demikian, sungguhpun semenjak mulai kawin bukan sedikit kesengsaraan yang dideritanya, lari kian kemari, diusir dan dikejar-kejar musuh, masuk rimba dan keluar rimba, tetapi tuan putri tetap setia kepada suaminya. Tak heran jika Tuanku Raja Adil sangat kasih akan dia. Tak heran pula, jika ia sekuat itu benar mempertahankan diri dan negeri, berusaha, supaya terpelihara nyawanya dan terdiri kerajaan Manyuto ini.
"Sutan Malekewi..." kata Datuk Sri Nara dengan berpikir-pikir, "betul itu namanya?"
"Betul, tetapi mengapa Datuk bertanya demikian?" kata Raja Gandam dengan pengharapan.
"Hamba teringat akan utusan Regen Padang. Ia datang ke rumah hamba di Bayang. Masih muda benar ia hamba lihat dan amat manis budi bahasanya. Patut benar ia jadi utusan! Parasnya pun elok! Ya, sekarang baru timbul perbandingan dalam ingatan hamba, hampir serupa ia dengan putri .... Akan tetapi namanya lain, "si Buyung' gelar Hulubalang Raja!"
"Yang mengalahkan negeri ini dahulu?" kata Raja Gandam dengan terkejut dan marah, "Hulubalang Raja, kaki tangan kompeni, yang mengusir Tuanku Raja Adil dahulu" Tak mungkin ...."
"Siapa tahu, barangkali karena ia tak tahu bahwa Raja Adil jadi iparnya. Dan kemungkinan itu dibawa mati oleh Sultan Alam Syah, yang telah menjadi korban cemburu istrinya, yaitu cemburu karena ia tergila-gila rupanya kepada putri kayangan itu, ketika ia menumpang di rumahnya. Ia yakin benar bahwa Sutan Malekewi itu tidak lain daripada Hulubalang Raja"demikian bisik desus orang di Kotatengah yang kacau itu."
"Tetapi hamba dengar kabar, Hulubalang Raja itu anak ipar Orang Kaya Kecil," kata Raja Air Haji.
"Nah, itu boleh jadi," kata Raja Gandam pula, "masa Tuanku Regen Padang yang memberikan pangkat yang semulia itu kepada orang lain!"
"Tetapi ia seroman dengan tuan putri, lebih-lebih matanya," kata Panglima Bayang pula.
"Banyak orang yang seroman!"
"Sungguhpun begitu baik juga hal itu diselidiki.... Apa, Tuanku Lakitan?" kata Raja Air Haji memutuskan perkataannya.
"Alih kecek: Bagaimana hal kompeni sekarang, Panglima Bayang?"
"Susah! Mana sudah kalah perang dengan Pauh, beberapa nyawa orang besar-besar sudah melayang dan peristiwa sedih ngeri di Kotatengah belum dilupakan orang lagi, baru-baru ini pun timbul pula kesedihan lagi, Tuan Michielsen di Pulau Cingkuk berpulang."
"Bila?" kata yang hadir dengan sekaligus, seraya berpandang-pandangan. "Dan apa sebabnya?"
"Entah"dirahasiakan! Matinya"kata orang putih pada tanggal 25 Juli .... Jadi, dalam beberapa bulan ini sudah tiga orang kepala kompeni hilang, Groenewegen, Gruys, dan Michielsen."
"Patut benar Sultan Muhammad Syah sebagai anak ayam kehilangan induk rupanya!" kata Raja Gandam, "Inderapura lengang, sunyi, seperti negeri dialahkan garuda."
"Tetapi ingat, jangan lengah dan lalai karena itu," kata Raja Air Haji dengan sungguh-sungguh, "sebentar lagi tentu datang gantinya."
"Mana yang datang, kita habiskan."
"Nanti semakin menangis Muhammad Syah, ha, ha, ha!"
"Ssst, berkata siang melihat-lihat...."
Percakapan putus hingga itu sebab pelayan datang menyilakan raja-raja dan orang besar-besar itu"dengan nama Raja Adil"berorak sila dan meringankan kaki ke istana karena orang alim hendak membaca doa. Tak lama lagi putra baginda akan kembali ke tepian.
Ya, sesampai ke tempat mandi, putri-putri itu berhenti semuanya. Bidan menyuruh mengambil sebuah batu hampar yang agak besar sebelah ke hulu. Dataran batu itu dilingkarinya dengan sadah atau kapur sirih, kira-kira sejengkal baris menengahnya. Setelah itu dibuatnya gala baris dua buah dari tepi ke tepi, sebuah tegak, sebuah melintang dan bersilang melalui pusat lingkaran. Di atas lingkaran itu diletakkannya daun buntar, yang dilingkari dengan sayatan daging kelapa. Di dalam lingkaran daging kelapa itulah diletakkan beras rendang, kira-kira dua tiga genggam banyaknya. Suluh yang dibawa tadi itu ditaruh di sisinya.
Sesudah itu disambutnyalah putra baginda, hendak dimandi-kannya.
Sementara itu, sisa beras rendang yang masih bertalam-talam itu dibagi-bagikan kepada sekalian yang hadir, terutama diingat kalau-kalau di antara mereka itu ada perempuan yang dalam hamil. Ia diberi lebih banyak dari yang lain-lain! Anak-anak berebut-rebutan, riuh rendah suaranya. Bagian yang telah diperolehnya, segera dimakannya habis-habis, lalu ia berteriak-teriak dan mendesak-desak meminta pula. Memang enak rasanya sebab besar rendang itu ditaburi gula sakar dan kelapa! Gegap gempita, sedang bunyi-bunyian dipalu orang dengan tiada berkeputusan!
Putri-putri bersiap hendak mandi. Masing-masing memakai kain basahan. Akan Putri Terus Mata', lama ia termenung melihat air hilir .... Serasa tak kuat hatinya akan mencemplungkan badannya yang lampai dan kulitnya yang putih molek itu ke dalam air. Memang ia amat elok, tak ada bandingnya. Kedua lengannya bulat bagai lilin dituang, teramat indah halus rautnya. Dan matanya ajaib, berubah-ubah cahayanya. Kadang-kadang tajam dan keras sehingga dapat menundukkan barang siapa yang dipandanginya. Walau raja yang garang sekalipun, niscaya tunduk mengaki kepadanya. Kadang-kadang lemah lembut, merayu-rayu, serta bermohon. Siapa jua pun tak dapat tiada jatuh belas kasihan, rindu, cinta akan dia, jika dipandangnya dengan mata sedemikian. Dan dalam kuyu murung, sekonyong-konyong ia bersinar-sinar seperti mata kanak-kanak, hening, jernih, bersih dan riang. Dan patut pula ia digelari Putri Terus Mata' sebab memang amat tajam pandangnya, seakan-akan menembus hati nurani. Bahkan bagai besi berani sehingga pandang sekalian putri yang berdiri sekelilingnya itu bertaut kepadanya, asyik berahi dan gelinggaman.
Ia tersenyum, sambil mengibaskan rambut panjang yang tergerai dari mukanya. Ingatan dan semangatnya yang melayang seketika kepada orang tuanya dan saudaranya, telah kembali kepada dirinya. Tiba-tiba ia berpaling kepada putranya, yang tengah dimandikan oleh bidan. Kening dan pipi anak itu diciumnya. Setelah itu ia pun melompat ke dalam air, di lubuk yang lebar lagi tenang, lalu diturutkan oleh perempuan yang lain-lain.
Sekaliannya mandi, berenang ke hilir dan ke hulu, menyelam dan timbul pula, berkecimpung dengan pelbagai ragam, sambil berpantun-pantunan dengan suka hatinya. Air bepercikan ke atas udara dan bergelombang ke tepi dengan keras, seperti laut dikacau badai.
Puas mandi bersuka-sukaan putri-putri itu pun keluar dari dalam air yang sejuk dan jernih itu, lalu berpakai-pakai dan berhias pula dengan sebaik-baiknya.
Arakan pulang! Teratur seperti ketika hendak pergi tadi juga! Bunyi-bunyian tiada kurang merdu dan riangnya; dari jauh sudah kedengaran ke istana. Orang berkumpul bersusun-susun di halaman, dan setengah bertinjauan dari jendela. Di muka pintu besar berdiri seorang perempuan separuh baya; di tangan kanannya ada beras kunyit segenggam. Ketika arakan itu sampai ke telapakan kaki anak tangga yang di bawah sekali, ia pun berseru dengan nyaring.
"Apa dibawa?" "Emas perak dan beras padi," jawab perempuan yang mendukung putra baginda itu.
"Naiklah," kata perempuan yang di kepala tangga itu, sambil menyeraki arakan itu dengan beras kunyit yang digenggamnya, "naiklah...!"
Arakan itu pun naik. Sekalian perempuan terus ke ruang belakang; hanya putra itu diserahkan kepada ayahnya"minta berkat! Bukan itu saja, pada ketika itu juga baginda memberitahukan kepada jamu sekalian bahwa anak baginda itu diberi nama Sutan Nan Suha, sambil berharap kepada orang alim akan membaca doa baginya.
Upacara itu disambut orang dengan sukacita dan riang. Doa dibaca oleh seorang ulama dengan fasih dan nyaring. Tiap-tiap akhir kalimat diamarkan oleh segala yang hadir dengan sekaligus, serentak bersama-sama, gemuruh bunyinya. Setelah selesai upacara itu, helat pun diteruskan seperti biasa, makan minum sekenyang-kenyangnya.
LUKA PARAH Sementara orang sibuk bersukaria dan beramai-ramai merayakan hari turun mandi putra pahlawan Manyuto itu, Hulubalang Raja senantiasa memegang senjata serta mengerahkan bala tentara akan melindungi negeri dan rakyat Padang dari musuh. Memang karena dari sehari ke sehari musuh bertambah merajalela dan bertambah banyak juga. Hampir segala negeri yang berkeliling daerah Padang tiada segan-segan lagi, bahkan sudah berterang-terang memihak kepada Pauh, yang masih merdeka, sedang Padang telah dicap orang setengah jajahan. Malah ada pula yang mengatakan bahwa Padang telah digadaikan Regen kepada kompeni dengan murah! Orang Aceh telah menambah kekuatan laskar di sana 200 orang lagi. Lebih ngeri pula, Kotatengah sudah berpaling haluan kepada mereka itu, walaupun segala penghulu tiada melahir8 dengan terus terang.
Padang goyang. Perniagaan terhenti"mati semati-matinya. Orang Kaya Kecil hampir putus asa"jangan kata rakyat lagi! Tak seorang jua yang percaya lagi akan keselamatan dirinya. Sebagai orang sakit mereka itu senantiasa mengharap-harapkan kedatangan dukun. Akhirnya pengharapan itu pun lenyap pula, sebab 'dukun tua' tiada datang lagi akan menyatakan kebenaran nujumnya. Kompeni yang diharap-harapkan Regen itu belum tampak lagi akan bergerak pula. Kepalanya, ganti mendiang Michielsen, belum jua datang dari Betawi dengan tentaranya.
Ngeri benar! Pada tanggal 16 Agustus barulah berangkat bantuan dari sana, yaitu sesudah armada, lima buah kapal perang dengan bala tentara 300 orang Belanda di bawah perintah Kapitan Poolman, kira-kira 100 orang Bugis dikepalai Aru Palaka9 dan kira-kira sekian pula laskar Ambon dengan kepalanya, " kapitan Jonker10. Armada itu dikepalai dan dikerahkan oleh Abraham Verspreet. Dengan beslit Gubernur Jenderal dan Majelis pada 10 hari bulan itu ia telah diangkat jadi kemendur dan komisaris kapal perang di Pantai Barat, dan Jacob Jorisz. Pits jadi kepala tetap. Mereka itu mendapat perintah supaya berusaha dengan sekuat-kuat tenaga mengembalikan kehormatan orang kepada kompeni serta melindungi kaum serikat yang setia dan menjaga agar huru-hara jangan bertambah hebat juga. Terutama sekali mereka itu harus menyelesaikan perselisihan dengan Pauh; harus dibuat perjanjian dengan negeri itu. Jika Pauh tak mau, maka negeri itu harus dimusnahkan, dibakar sampai jadi abu. Jika tunduk, anak negeri tak boleh diberi senjata lagi. Dalam perang didahulukan laskar Bugis dan Ambon, akan mencari jalan sebab mereka itu lebih tahu dan paham seluk-beluk keadaan tanah di situ. Dan kepada orang Padang harus diminta supaya mereka itu turut dalam peperangan yang amat penting itu.
Demikian bunyi perintah dari Betawi dan demikian pula dibacakan oleh Verspreet mula-mula tiba di Padang kepada Regen. Akan tetapi, Orang Kaya Kedi berdiam diri saja, sedang air mukanya makin lama makin suram sebab perintah itu tidak sesuai dengan pikirannya.
Sepulang dari loji, ia bertemu dengan Hulubalang Raja di serambi muka. Ketika melihat perubahan air muka Regen itu, ia pun terkejut sedikit, lalu bertanya dengan cepat.
"Bagaimana, Tuanku" Adakah dapat Betawi meluluskan permintaan kita?"
"Lebih daripada dapat," kata Regen, seraya duduk dengan mengeluh, "ya, lebih daripada dapat...," lalu diceritakannya bunyi beslit yang didengarnya tadi itu.
Hulubalang Raja tercengang.
"Berlainan benar dengan peri keadaan yang sebenarnya, Tuanku," katanya dengan senyum masam, "tak ubah dengan pendirian Tuan Gruys dahulu. Terbalik.... Seakan-akan perkara itu sudah jadi perkara kompeni semata-mata! Kita terbelakang"hanya 'harus diminta supaya turut dalam peperangan.' Padahal kita cuma minta tolong kepadanya."
"Cita-cita kompeni .... Tetapi bagaimana timbanganmu?" tanya Orang Kaya Kecil dengan murung.
"Hak kita mesti dipertahankan. Kita ingatkan kepada wakil kompeni itu perjanjian yang telah dibuat dan dijalankan selama ini: dalam perang kompeni tidak boleh terkemuka. Artinya, sebagai sahabat ia hanya akan menolong kita di dalam kesusahan; itu pun jika kita minta tolong kepadanya, seperti sekarang ini. Jadi, bukan kita yang diminta turut dalam peperangan itu."
"Benar, pikiranku tadi demikian juga! Tapi, ya, kita harus berhati-hati benar. Istimewa sekarang.... Yang terutama bagi kita kini ialah: mengelakkan bahaya yang datang dari Pauh. Siapa yang terkemuka dalam peperangan itu, siapa yang membantu dan siapa yang dibantu, pikirku, sekarang tak guna kita hiraukan benar. Apabila Pauh sudah kalah kelak, ketika itu barulah kita perkatakan ...."
"Oh, jika perkara itu telah jadi bertambah sulit, Tuanku" Ketika itu niscaya tiada dapat lagi kita berkeras menuntut hak kita sebab tentu dengan mudah kompeni dapat mengatakan bahwa mereka itulah yang menang berperang dengan Pauh, bukan kita. Niscaya Pauh jatuh ke tangannya, bukan kepada kita. Seada-adanya kepada kita cuma akan ditegaskannya, sudah berutang budi kepadanya."
Orang Kaya Kedi tersenyum simpul. "Ya," katanya, "tetapi sekaliannya itu bergantung pada kebijaksanaan kita, Buyung. Dengan segera permusyawaratan akan diadakan antara Verspreet dengan kita dan negeri lain-lain. Kalau engkau pandai mengatur rundingan kelak, dengan halus, dengan tak mengesan, niscaya maksudmu itu akan tercapai juga. Akan tetapi, awas! Sekali lagi aku ingatkan, sekali ini harus engkau pakaikan benar pepatah, bagai menghela rambut dalam tepung..."
Naga Dari Selatan 14 Remember When Karya Winna Efendi Manusia Harimau Marah 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama