Ceritasilat Novel Online

Never Let Me Go 6

Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro Bagian 6


"Jadi bagaimana rencananya, Kath" Apa kita punya rencana?"
"Kita pergi saja ke sana. Kita ke sana dan bertanya kepada Madame. Minggu depan, waktu aku mengantarmu untuk tes laboratorium. Aku akan minta izin keluar satu hari penuh bagimu. Jadi kita bisa ke Littlehampton dalam perjalanan pulang."
Tommy mengembuskan napas dan membaringkan kepalanya semakin dalam ke pundakku. Seseorang yang memperhatikan mungkin akan berpikir Tommy tidak bersemangat, tapi aku tahu apa yang dirasakannya. Sudah begitu lama kami berpikir tentang penangguhan, teori tentang Galeri, semuanya"dan kini, sekonyong-konyong, kami di sini. Benar-benar agak menakutkan.
"Kalau kita berhasil mendapatkannya," akhirnya Tommy berkata. "Misalkan saja. Apa yang akan kita lakukan sebenarnya" Kau tahu maksudku, Kath" Ke mana kita akan pergi" Kita tidak mungkin tinggal di sini, ini kan panti."
"Aku tidak tahu, Tommy. Mungkin Madame akan menyuruh kita kembali ke Cottage. Tapi lebih baik di suatu tempat lain. White Mansion, mungkin. Atau mungkin mereka punya tempat lain. Tempat khusus untuk orang-orang seperti kita. Kita lihat saja apa katanya."
Kami berbaring tenang beberapa saat lagi sambil mendengarkan hujan. Suatu saat aku mulai menyodok Tommy dengan kakiku, seperti yang dilakukannya juga padaku dulu. Akhirnya ia membalas, dan mendorong kakiku hingga keluar sama sekali dari tempat tidur.
"Kalau kita benar-benar akan pergi katanya, "kita harus memutuskan tentang hewan-hewan. Kau tahu, memilih yang terbaik untuk dibawa. Mungkin enam atau tujuh. Kita harus melakukannya dengan hati-hati."
"Baiklah," sahutku. Lalu aku bangkit berdiri dan merentangkan lengan. "Mungkin kita akan membawa lebih daripada itu. Lima belas, bahkan dua puluh. Ya, kita akan pergi dan menemui Madame. Apa yang bisa dilakukannya pada kita" Kita akan pergi dan bicara dengannya."
BAB 21 SELAMA berhari-hari sebelum kami pergi, kubayangkan aku dan Tommy berdiri di depan pintu itu, mengumpulkan keberanian untuk menekan bel, lalu terpaksa menunggu dengan jantung berdebar kencang. Tapi ternyata kami bemntung dan terhindar dari siksaan itu.
Waktu itu kami pantas memperoleh sedikit keberuntungan, karena hari itu sama sekali tidak berjalan baik. Mobilku mogok dalam perjalanan pergi dan kami satu jam terlambat untuk tes-tes Tommy. Lalu kekeliruan di klinik membuat Tommy terpaksa mengulang tiga macam tes. Ini membuatnya bingung, sehingga ketika akhirnya kami berangkat ke Littlehampton menjelang sore, ia mulai mual dan sebentar-sebentar kami perlu berhenti agar ia bisa menghilangkan mabuknya.
Akhirnya kami tiba persis sebelum pukul enam. Kami memarkir mobil di belakang tempat bermain bingo, mengeluarkan dari bagasi tas berisi buku catatan Tommy, lalu melangkah menuju pusat kota. Hari itu cerah dan meskipun toko-toko mulai tutup, banyak orang keluyuran di luar pub, mengobrol dan minum-minum. Semakin jauh kami berjalan, Tommy mulai merasa lebih baik, sampai akhirnya ia teringat terpaksa tidak makan siang karena tes-tes itu, dan bilang perlu makan sebelum menghadapi apa yang akan kami temui. Kami mencari tempat untuk membeli sandwich untuk dibawa, ketika Tommy tiba-tiba menyambar tanganku, begitu kerasnya sampai-sampai kukira ia mendapat semacam serangan. Tapi kemudian ia berbisik di telingaku,
"Itu dia, Kath. Lihat. Berjalan lewat salon."
Dan memang begitu, Madame sedang melangkah pelan di trotoar di seberang, mengenakan setelan abu-abu rapi seperti yang selalu dikenakannya.
Kami mengejar Madame sambil menjaga jarak, mula-mula lewat trotoar, lalu sepanjang High Street yang lengang. Kukira kami teringat hari itu waktu kami menguntit kemungkinan Ruth di kota lain. Tapi kali ini ternyata lebih mudah, karena tak lama kemudian Madame sudah membimbing kami ke jalan panjang yang menyusuri tepi pantai.
Karena jalan itu lurus, dan karena matahari yang terbenam menyinarinya dari ujung ke ujung, kami mendapati bahwa kami bisa membiarkan Madame cukup jauh di muka"sampai ia tak lebih dari satu titik"dan masih tak ada bahaya kehilangan dirinya. Bahkan kami tak pernah berhenti mendengar gema ketukan sepatunya, dan pukulan tas Tommy yang berirama ke pahanya seakan-akan menyahuti.
Lama sekali kami terus seperti itu, melewati deretan rumah yang persis sama. Lalu rumah-rumah di trotoar seberang habis, bentangan rumput yang rata menggantikannya, dan kau bisa melihat, di balik bentangan berumput itu, puncak-puncak pondok pantai berjajar di tepi pantai. Lautnya sendiri tidak tampak, tapi kau tahu laut ada di sana, hanya dari langit yang luas dan suara bumng-burung camar.
Tapi rumah-rumah di sisi kami terus berlanjut tanpa perubahan, dan beberapa saat kemudian aku berkata kepada Tommy,
"Tak lama lagi sekarang. Kaulihat bangku di sana" Itu yang waktu itu kududuki. Rumahnya persis di seberangnya."
Sampai aku mengatakan ini, Tommy cukup tenang. Tapi sekarang rupanya sesuatu merasukinya, dan ia mulai berjalan lebih cepat, seakan-akan ingin mengejar Madame. Tapi sekarang tak ada orang di antara Madame dan kami, dan ketika Tommy semakin memperpendek jarak, aku harus menyambar tangannya untuk memperlambat jalannya. Sepanjang waktu aku takut Madame akan menoleh dan memandang kami, tapi ia tidak melakukannya, lalu ia sudah memasuki gerbangnya yang kecil. Ia berhenti di pintunya untuk mencari kunci di dalam tas tangannya, dan kami sudah berada di sana, berdiri di gerbangnya, memperhatikan. Ia masih juga tidak menoleh, dan terpikir olehku selama itu ia sebenarnya sudah tahu tentang kami dan sengaja mengabaikan kami. Aku juga berpikir Tommy akan menyerukan sesuatu kepadanya, dan bahwa tindakan itu keliru. Karenanya aku memanggil dari gerbang, cepat dan tanpa keraguan.
Hanya ucapan sopan "Permisi!" tapi Madame berbalik cepat seolah-olah aku melemparkan sesuatu kepadanya. Dan ketika ia menatap kami, perasaan dingin menusukku, seperti bertahun-tahun lalu waktu kami mengadangnya di luar rumah utama. Matanya sama dinginnya, wajahnya mungkin bahkan lebih garang daripada yang kuingat. Aku tak tahu apakah ia mengenali kami saat itu; tapi tak perlu diragukan, ia melihat dan segera saja memutuskan kami itu apa, karena kau bisa melihat tubuhnya tegang"seakan-akan sepasang laba-laba raksasa merangkak mendekatinya.
Lalu ekspresinya berubah. Tak bisa dibilang lebih hangat. Tapi perasaan jijik itu disingkirkan entah ke mana, dan ia mengamati kami dengan cermat, sambil menyipitkan mata karena silau kena cahaya matahari yang sedang terbenam.
"Madame," aku berkata, sambil bersandar ke gerbang. "Kami tak bermaksud mengejutkan Anda atau apa. Tapi kami dulu di Hailsham. Aku Kathy H., mungkin Anda masih ingat. Dan ini Tommy D. Kami bukan datang untuk merepotkan Anda."
Ia menghampiri kami beberapa langkah. "Dari Hailsham," ujarnya, senyuman kecil merekah di wajahnya. "Wah, ini kejutan. Kalau kalian bukan ke sini untuk merepotkanku, kenapa kalian kemari?"
Mendadak Tommy berkata, "Kami ingin bicara dengan Anda. Aku membawa beberapa karya?"Tommy mengangkat tasnya" "beberapa karya yang mungkin Anda inginkan untuk galeri Anda. Kami perlu bicara dengan Anda."
Madame tetap berdiri di sana, nyaris tak bergerak di bawah cahaya matahari yang sudah rendah, kepalanya dimiringkan seolah-olah mendengarkan suatu suara dari arah laut. Lalu ia kembali tersenyum, meskipun senyuman itu tampaknya bukan untuk kami, melainkan hanya untuk dirinya sendiri.
"Baiklah. Silakan masuk. Lalu kita lihat apa yang ingin kalian bicarakan."
KETIKA kami masuk, aku memperhatikan bahwa pintu depan memiliki panel kaca berwarna, dan begitu Tommy menutupnya, semua jadi gelap. Kami berada di lorong masuk yang sempit sehingga rasanya kau bisa menyentuh dinding kedua sisi hanya dengan merentangkan sikumu. Madame berhenti di depan kami, berdiri diam, memunggungi kami, lagi-lagi seperti mendengarkan sesuatu. Ketika memandang ke depannya, aku melihat lorong masuk sesempit itu masih terbagi lagi: ke kiri ada tangga yang naik ke atas; ke kanan, lorong yang lebih sempit lagi yang masuk lebih jauh ke dalam rumah.
Mengikuti Madame, aku juga mendengarkan, tapi hanya ada keheningan di dalam rumah. Lalu, mungkin dari suatu tempat di atas, ada bunyi gedebuk pelan. Bunyi itu rupanya punya makna bagi Madame, karena sekarang ia menoleh kepada kami dan menunjuk ke lorong yang gelap, berkata:
"Masuk ke sana dan tunggu aku. Aku akan segera turun."
Ia mulai menaiki tangga, lalu ketika melihat kami ragu-ragu, ia bersandar di birai tangga dan sekali lagi menunjuk ruang yang gelap itu.
"Masuk ke sana," ujarnya, lalu menghilang.
Tommy dan aku bergerak maju dan mendapati diri kami berada di dalam apa yang dulu mungkin ruang depan rumah. Kelihatannya seolah-olah seorang pelayan sudah menyiapkan tempat itu untuk waktu malam, lalu pergi: tirai-tirai sudah ditutup dan ada lampu-lampu meja yang menyala remang-remang. Aku mencium bau perabot lama, yang rupanya bergaya Victoria. Perapian sudah ditutup dengan selembar papan, dan di tempat perapian seharusnya berada, sekarang ada lukisan, ditenun seperti permadani, menggambarkan sejenis burung hantu aneh yang menatapmu. Tommy menyentuh tanganku dan menunjuk sebuah lukisan berbingkai di sudut di atas meja kecil yang bundar.
"Hailsham," bisiknya.
Kami menghampirinya, tapi kemudian aku tidak terlalu yakin. Aku tahu itu lukisan cat air yang indah, tapi kap lampu meja di bawahnya sumbing dan penuh jejak sarang laba-laba, sehingga bukannya menyinari lukisan itu, malah memantulkan cahayanya pada kaca lukisan yang kotor, sehingga kau tidak bisa melihat lukisan itu dengan jelas.
"Itu di belakang kolam angsa," kata Tommy.
"Maksudmu?" aku balas berbisik. "Mana kolamnya" Itu hanya potongan alam pedesaan."
"Bukan, kolamnya ada di belakangmu." Mengherankan, Tommy tampak jengkel. "Seharusnya kau ingat. Kalau kau berada di belakang, membelakangi kolam, dan kau memandang ke arah Lapangan Bermain Utara..."
Kami kembali terdiam karena mendengar suara-suara di suatu tempat di dalam rumah. Sepertinya suara laki-laki, mungkin berasal dari lantai atas. Lalu kami mendengar suara Madame, datang menuruni tangga, sambil berkata: "Ya, kau benar. Benar sekali."
Kami menunggu Madame masuk, tapi langkahnya melewati pintu dan menuju belakang rumah. Terpikir olehku ia menyiapkan teh dan kue dan menaruhnya di atas troli lalu membawanya masuk, tapi lalu aku memutuskan bahwa itu omong kosong, bahwa mungkin saja ia malah lupa tentang kami, dan sekarang ketika tiba-tiba teringat, ia masuk dan menyuruh kami pergi. Lalu sebuah suara laki-laki yang kasar menyemkan sesuatu dari atas, begitu teredam sehingga mungkin datang dari dua lantai di atas. Langkah Madame kembali ke lorong masuk, lalu ia berteriak ke atas, "Aku sudah memberitahumu apa yang harus dilakukan. Lakukan saja seperti yang sudah kujelaskan."
Tommy dan aku menunggu beberapa menit lagi. Lalu dinding di belakang ruangan mulai bergerak. Aku langsung melihat itu bukan dinding, melainkan pintu sorong yang bisa kaupakai untuk memisahkan bagian depan dari apa yang sebetulnya mangan yang panjang. Madame sudah menggeser pintu sebagian, dan sekarang ia berdiri memandang kami. Aku mencoba melihat di belakangnya, tapi hanya ada kegelapan. Kupikir mungkin ia menunggu kami menjelaskan alasan kami ada di sana, tapi akhirnya ia berkata:
"Kalian mengatakan kalian adalah Kathy H. dan Tommy D. Apakah aku benar" Dan kapan kalian berada di Hailsham?"
Aku menceritakannya, tapi aku tak tahu apakah ia ingat kami atau tidak. Ia berdiri saja di ambang pintu, seakan ragu-ragu untuk masuk. Tapi sekarang Tommy berbicara lagi,
"Kami tidak ingin berlama-lama mengganggu Anda. Tapi ada sesuatu yang perlu kami bicarakan dengan Anda."
"Begitulah katamu. Nah, sebaiknya kalian duduk."
Ia mengulurkan tangan dan menaruhnya pada sandaran dua kursi yang serasi persis di depannya. Sikapnya aneh, seolah ia tidak sungguh-sungguh menyilakan kami duduk. Aku merasa jika kami melakukan seperti yang disarankannya dan duduk di kursi-kursi itu, ia akan tetap berdiri di belakang kami, bahkan tidak melepaskan tangannya dari sandaran. Tapi ketika kami bergerak ke arahnya, ia juga maju, dan"mungkin aku hanya mengkhayalkannya"menarik bahunya ketika lewat di antara kami. Ketika kami berbalik untuk duduk, ia sudah berdiri di dekat jendela, di depan tirai beledu yang tebal, memandang kami tegas, seakan-akan kami berada di kelas dan dia guru kami. Setidaknya, begitulah tampaknya bagiku saat itu. Setelahnya Tommy berkata bahwa ia mengira Madame akan bernyanyi, dan bahwa tirai-tirai di belakangnya akan terbuka, dan bukan jalan serta hamparan rumput yang menuju ke pantai yang akan terlihat, melainkan panggung besar, seperti di Hailsham, lengkap dengan barisan kor sebagai pendukungnya. Lucu, waktu Tommy mengatakan itu sesudahnya, dan aku bisa membayangkannya lagi saat itu, tangan terlipat, siku menghadap keluar, benar-benar seperti bersiap untuk menyanyi. Tapi aku ragu apakah Tommy benar-benar memikirkan hal semacam itu pada saat itu. Aku ingat melihat ia menjadi tegang, dan aku cemas ia akan melontarkan sesuatu yang sangat bodoh. Itu sebabnya, ketika Madame bertanya, dengan sikap cukup ramah, apa yang kami inginkan, aku segera mengambil alih.
Mungkin awalnya ucapanku sedikit berantakan, tapi sesudah beberapa saat, ketika aku semakin yakin ia akan mendengarkan hingga selesai, aku menjadi tenang dan bisa bicara jauh lebih jelas. Sudah berminggu-minggu aku memikirkan apa yang akan kukatakan kepadanya. Aku melatihnya selama perjalanan-perjalanan panjang dengan mobil, dan ketika duduk di meja yang tenang di kafe pompa bensin. Waktu itu rasanya sangat sulit, dan akhirnya aku menyusun rencana: menghafalkan kata demi kata bagi beberapa kalimat kunci, lalu menggambar peta mental tentang bagaimana aku pindah dari satu titik ke titik lainnya. Tapi sekarang ketika ia berdiri di depanku, kebanyakan yang sudah kusiapkan terasa tidak penting atau bahkan salah sama sekali. Yang aneh adalah"dan Tommy setuju waktu kami membahas setelahnya"meskipun di Hailsham Madame kelihatan seperti orang asing dari luar yang bersikap bermusuhan, kini setelah berhadapan dengannya lagi, meskipun ia tidak mengatakan atau melakukan apa pun untuk menunjukkan sikap hangat kepada kami, kini bagiku Madame tampak seperti orang yang akrab, seseorang yang jauh lebih dekat kepada kami daripada kenalan baru mana pun yang kami jumpai selama beberapa tahun belakangan. Itulah sebabnya sekonyong-konyong segala sesuatu yang telah kusiapkan di benakku lenyap, dan aku berbicara kepadanya dengan jujur dan sederhana, nyaris seperti yang mungkin kulakukan bertahun-tahun yang lalu dengan seorang guardian. Kuceritakan tentang apa yang kami dengar, desas-desus tentang siswa-siswa Hailsham dan penangguhan; bagaimana kami menyadari desas-desus itu mungkin tidak sepenuhnya benar, dan bahwa kami tidak mendasari harapan kami pada apa pun.
"Bahkan kalaupun itu benar," aku berkata, "kami tahu Anda pasti lelah karenanya, banyak pasangan mendatangi Anda, mengaku saling mencintai. Tommy dan aku takkan datang mengganggu Anda kalau kami tidak benar-benar yakin."
"Yakin?" Itu pertama kali ia berbicara sesudah waktu lama, dan kami tersentak karena tercengang. "Kau bilang kalian yakin" Yakin kalian saling mencintai" Bagaimana kalian bisa tahu" Kalian pikir cinta sesederhana itu" Jadi kalian saling cinta. Sangat mencintai. Itukah yang kalian katakan kepadaku?"
Suaranya nyaris sinis, tapi kemudian kulihat, dengan semacam rasa terkejut, titik-titik air mata di matanya ketika ia memandang kami bergantian.
"Kalian percaya" Bahwa kalian saling mencintai dengan mendalam" Dan karenanya kalian datang kepadaku untuk... penangguhan ini" Kenapa" Kenapa kalian datang kepadaku?"
Seandainya ia menanyakannya dengan cara tertentu, seolah-olah seluruh gagasan itu sangat sinting, maka aku yakin akan merasa sangat sedih dan kecewa. Tapi ia tidak mengatakannya seperti itu. Ia menanyakannya nyaris seakan-akan itu pertanyaan penguji yang jawabannya sudah diketahuinya; seolah-olah ia sudah menggunakan cara ini berkali-kali sebelumnya. Itulah yang membuatku tetap berharap. Tapi Tommy tampaknya gelisah, karena tiba-tiba ia berseru:
"Kami datang karena galeri Anda. Kami rasa kami tahu untuk apa galeri itu."
"Galeriku?" Madame bersandar ke birai jendela, membuat tirai-tirai di belakangnya bergoyang, dan ia menarik napas pelan. "Galeriku. Maksudmu koleksiku. Semua lukisan, puisi, semua karya kalian yang bertahun-tahun kukumpulkan. Bagiku itu kerja keras, tapi aku meyakininya, kami semua begitu di masa lalu. Jadi kalian pikir kalian tahu koleksi itu untuk apa, mengapa kami melakukannya. Nah, sungguh menarik untuk mendengarnya. Karena perlu kukatakan, itu pertanyaan yang sering kutanyakan kepada diriku sendiri." Tiba-tiba ia mengalihkan tatapannya dari Tommy kepadaku. "Apakah bicaraku kelewatan?" ia bertanya.
Aku tidak tahu harus bilang apa, maka aku hanya menjawab, "Tidak, tidak."
"Aku sudah kelewatan," katanya. "Maaf. Aku sering kebablasan kalau membicarakan topik ini. Lupakan saja apa yang baru kukatakan. Anak muda, kau baru mengatakan sesuatu kepadaku tentang galeri. Aku ingin mendengarnya."
"Itu agar Anda tahu," kata Tommy. "Agar Anda punya pegangan. Jika tidak, bagaimana Anda bisa tahu kalau siswa-siswa datang kepada Anda dan bilang mereka saling mencintai?"
Tatapan Madame sudah bergerak lagi ke arahku, tapi firasatku mengatakan ia memandang sesuatu pada lenganku. Aku sampai memandang ke bawah untuk melihat mungkinkah ada kotoran burung atau sesuatu pada lengan bajuku. Lalu aku mendengar ia berkata:
"Dan pikirmu itulah alasanku mengumpulkan karya-karya kalian. Galeriku, begitulah kalian selalu menyebutnya. Aku tertawa waktu pertama kali mendengar sebutan itu. Tapi seiring waktu, aku juga menganggapnya galeri. Galeriku. Jadi, jelaskanlah kepadaku. Bagaimana galeriku membantu mencari tahu siapa di antara kalian yang benar-benar saling mencintai?"
"Karena itu akan membantu menunjukkan kepada Anda bagaimana kami sebenarnya kata Tommy. "Karena..."
"Karena tentu saja?"Madame tiba-tiba menyela?"karya senimu akan mengungkapkan pribadi sejati kalian! Begitu, bukan" Karena karya seni kalian akan mengungkapkan jiwa kalian!" Lalu mendadak ia menoleh ke arahku lagi dan berkata, "Apakah aku kelewatan?"
Tadi ia bilang begitu, dan sekali lagi aku mendapat kesan bahwa ia memandang satu titik pada lengan bajuku. Tapi kecurigaan samar yang kurasakan sejak pertama kali ia bertanya "Apakah aku kelewatan?" semakin berkembang. Aku menatap Madame dengan cermat, tapi rupanya ia merasakannya dan menoleh lagi ke Tommy.
"Baiklah," katanya. "Mari kita lanjutkan. Apa katamu tadi?"
"Masalahnya," sahut Tommy, "waktu itu aku agak kacau."
"Kau mengatakan sesuatu tentang karya senimu. Bagaimana karya seni menyingkap jiwa sang seniman."
"Nah, yang kucoba katakan," Tommy berkeras, "adalah dulu aku benar-benar kacau, sehingga aku tidak benar-benar membuat karya seni. Aku tidak melakukan apa-apa. Sekarang aku tahu seharusnya aku melakukannya, tapi aku bingung. Jadi Anda tidak punya satu pun karyaku di galeri Anda. Aku tahu itu salahku, aku tahu mungkin sudah sangat terlambat, tapi sekarang aku membawa beberapa karya." Ia mengangkat tasnya, lalu mulai membuka ritsletingnya. "Beberapa baru saja dibuat, tapi sebagian lagi sudah kubuat lama berselang. Anda pasti sudah mempunyai karya Kathy. Banyak karyanya yang masuk Galeri. Bukan begitu, Kath?"
Sesaat mereka sama-sama memandangku. Lalu Madame berkata, nyaris tidak terdengar:
"Makhluk-makhluk malang. Apa yang kami lakukan pada kalian" Dengan semua rencana kami?" Ia membiarkannya menggantung, dan sepertinya aku kembali melihat air matanya. Lalu ia menoleh kepadaku dan bertanya, "Apakah pembicaraan ini akan kita lanjutkan" Kau ingin melanjutkannya?"
Waktu ia mengatakan ini, gagasan samar-samar yang terpikir olehku sebelumnya mulai jelas. "Apakah aku kelewatan?" dan sekarang "Apa akan kita lanjutkan?" Aku tersadar, dengan ngeri, bahwa pertanyaan-pertanyaan itu memang bukan untukku, atau Tommy, melainkan untuk orang lain"seseorang yang ikut mendengarkan di belakang kami di bagian kamar yang gelap.
Pelan aku mengedarkan pandang dan memandang kegelapan. Aku tidak bisa melihat apa-apa, tapi aku mendengar bunyi, bunyi mekanis, anehnya cukup jauh"rupanya rumah itu jauh lebih luas daripada yang kuduga. Lalu aku bisa melihat ada sosok bergerak menuju kami, dan suara seorang wanita berkata, "Ya, Marie-Claude. Mari kita lanjutkan."
Aku masih memandang kegelapan ketika mendengar Madame mendengus dan berjalan melewati kami, masuk ke kegelapan. Lalu terdengar lebih banyak bunyi mekanis, dan Madame muncul sambil mendorong sosok yang duduk di kursi roda. Ia lewat di antara kami lagi, dan untuk sesaat lebih lama, karena punggung Madame menutupi pemandangan, aku tak bisa melihat orang yang ada di kursi roda. Tapi kemudian Madame mendorongnya ke depan untuk menghadap ke arah kami dan berkata:
"Kau saja yang bicara kepada mereka. Mereka sebenarnya datang untuk bicara denganmu."
"Kupikir memang begitu."
Sosok di kursi roda itu rapuh dan sudah keriput, dan suaranyalah, lebih dari hal-hal lainnya, yang membantuku mengenalinya.
"Miss Emily," kata Tommy, pelan.
"Kau saja yang bicara dengan mereka," kata Madame, seakan-akan cuci tangan dari segalanya. Tapi ia tetap berdiri di belakang kursi roda, matanya memandang kami berapi-api.
BAB 22 MARIE-CLAUDE benar kata Miss Emily. "Akulah yang harus kalian ajak bicara. Marie-Claude bekerja keras untuk proyek kami. Dan cara semuanya berakhir membuatnya sedikit kecewa. Aku sendiri, apa pun kekecewaan itu, tidak terlalu merisaukannya. Kupikir apa yang kami capai pantas mendapat penghargaan. Lihat kalian berdua. Kau berhasil cukup baik. Aku yakin banyak yang bisa kalian ceritakan kepadaku yang akan membuatku bangga. Siapa tadi nama kalian" Tidak, tidak, tunggu. Rasanya aku ingat. Kau anak laki-laki pemarah itu. Pemarah tapi berhati besar. Tommy. Aku benar, kan" Dan kau, tentu saja, kau Kathy H. Kau berhasil sebagai perawat. Kami sudah mendengar banyak tentang kau. Aku ingat, kalian lihat" Aku berani berkata aku ingat kalian semua."
ia menjauhi kursi roda, melewati kami dan masuk ke kegelapan, setahuku menempati tempat Miss Emily tadi berada.
"Miss Emily," aku berkata, "senang sekali bertemu Anda."
"Baik sekali kau berkata begitu. Aku mengenalimu, tapi mungkin saja kau tidak mengenaliku. Bahkan sebenarnya, Kathy H., suatu kali belum lama berselang, aku melewatimu ketika kau duduk di bangku di luar sana, dan kau benar-benar tidak mengenaliku. Kau memandang George, laki-laki Nigeria besar yang mendorong kursi rodaku. Oh ya, kau memandangnya dengan cermat, dan dia menatapmu. Aku tidak bilang apa-apa, dan kau tidak mengenaliku. Tapi malam ini, dalam konteks sesungguhnya, kita saling mengenal. Kalian kelihatan agak kaget melihatku. Baru-baru ini aku agak kurang sehat, tapi kuharap aku tidak akan duduk di kursi roda ini untuk selamanya. Sayang sekali, sayangku, aku tidak bisa melayani kalian selama yang kuinginkan sekarang ini, karena sebentar lagi beberapa orang akan datang untuk mengambil lemari samping tempat tidurku. Barang itu lumayan bagus. George sudah memasang bantalan pelindung di sekelilingnya, tapi bagaimanapun juga aku akan mengawal sendiri barang itu. Kau tahu bagaimana orang-orang ini. Mereka memperlakukannya dengan kasar, melemparnya ke kendaraan mereka, lalu majikan mereka mengaku memang lemari itu sudah rusak sejak awal. Kami pernah mengalaminya, maka kali ini, aku menuntut untuk mengawasinya. Barang yang indah. Sudah ada waktu di Hailsham, maka aku bertekad mendapat harga yang bagus. Jadi kalau mereka datang, dengan menyesal aku harus meninggalkan kalian. Tapi bisa kulihat, sayangku, kalian datang untuk misi yang sangat bermakna bagi kalian. Perlu kukatakan, aku senang melihat kalian. Marie-Claude juga, meskipun kau takkan tahu kalau melihat tampangnya. Bukan begitu, Sayang" Ah, dia berpura-pura saja tidak begitu, tapi sebenarnya ia menjauhi kursi roda, melewati kami dan masuk ke kegelapan, setahuku menempati tempat Miss Emily tadi berada.
"Miss Emily," aku berkata, "senang sekali bertemu Anda."
"Baik sekali kau berkata begitu. Aku mengenalimu, tapi mungkin saja kau tidak mengenaliku. Bahkan sebenarnya, Kathy H., suatu kali belum lama berselang, aku melewatimu ketika kau duduk di bangku di luar sana, dan kau benar-benar tidak mengenaliku. Kau memandang George, laki-laki Nigeria besar yang mendorong kursi rodaku. Oh ya, kau memandangnya dengan cermat, dan dia menatapmu. Aku tidak bilang apa-apa, dan kau tidak mengenaliku. Tapi malam ini, dalam konteks sesungguhnya, kita saling mengenal. Kalian kelihatan agak kaget melihatku. Baru-baru ini aku agak kurang sehat, tapi kuharap aku tidak akan duduk di kursi roda ini untuk selamanya. Sayang sekali, sayangku, aku tidak bisa melayani kalian selama yang kuinginkan sekarang ini, karena sebentar lagi beberapa orang akan datang untuk mengambil lemari samping tempat tidurku. Barang itu lumayan bagus. George sudah memasang bantalan pelindung di sekelilingnya, tapi bagaimanapun juga aku akan mengawal sendiri barang itu. Kau tahu bagaimana orang-orang ini. Mereka memperlakukannya dengan kasar, melemparnya ke kendaraan mereka, lalu majikan mereka mengaku memang lemari itu sudah rusak sejak awal. Kami pernah mengalaminya, maka kali ini, aku menuntut untuk mengawasinya. Barang yang indah. Sudah ada waktu di Hailsham, maka aku bertekad mendapat harga yang bagus. Jadi kalau mereka datang, dengan menyesal aku harus meninggalkan kalian. Tapi bisa kulihat, sayangku, kalian datang untuk misi yang sangat bermakna bagi kalian. Perlu kukatakan, aku senang melihat kalian. Marie-Claude juga, meskipun kau takkan tahu kalau melihat tampangnya. Bukan begitu, Sayang" Ah, dia berpura-pura saja tidak begitu, tapi sebenarnya
iya. Dia terharu kalian datang mencari kami. Oh, dia suka cemberut, jangan hiraukan dia, siswa-siswa, jangan hiraukan. Nah, sekarang aku akan mencoba menjawab pertanyaan kalian sebaik mungkin. Aku sudah sering mendengar desas-desus ini. Waktu kami masih memiliki Hailsham, setiap tahun kami didatangi dua atau tiga pasangan, mencoba berbicara dengan kami. Salah satu bahkan menulis surat kepada kami. Kurasa rumah sebesar ini tidak sulit ditemukan kalau kau ingin melanggar aturan. Jadi, desas-desus ini sudah lama beredar, jauh sebelum masa kalian."
Ia berhenti, maka aku berkata, "Yang ingin kami ketahui, Miss Emily, desas-desus itu benar atau tidak."
Sejenak ia terus menatap kami, lalu menarik napas dalam-dalam. "Di dalam lingkungan Hailsham sendiri, setiap kali omongan ini muncul, aku memastikan untuk membasminya dengan tuntas. Tapi mengenai apa yang dikatakan para siswa sesudah meninggalkan kami, apa yang bisa kulakukan" Pada akhirnya, aku mulai yakin"dan Marie-Claude juga yakin akan hal ini, bukan begitu, Sayang?"aku mulai yakin bukan hanya desas-desus ini yang beredar. Maksudku, desas-desus ini terus ditiupkan, berkali-kali. Kau pergi ke sumbernya, membasminya, namun kau tak bisa menghentikannya muncul lagi di tempat lain. Aku sampai pada kesimpulan ini dan berhenti mencemaskannya. Marie-Claude tidak pernah mencemaskannya. Menurut dia, 'Kalau mereka sebodoh itu, biarkan saja mereka percaya hal itu.' Oh ya, jangan pasang muka masam. Begitulah pandangan kalian sejak awal. Sesudah bertahun-tahun desas-desus itu beredar, aku sampai pada pandangan yang tidak persis sama. Tapi aku mulai berpikir, nah, mungkin aku tak perlu khawatir. Itu toh bukan rekayasaku. Dan untuk beberapa pasangan yang kecewa, yang lainnya toh tidak akan mengujinya. Itu sesuatu untuk mereka impikan, sedikit khayalan. Apa ruginya" Tapi untuk kalian, aku tahu hal ini tidak berlaku. Kalian serius. Kalian sudah memikirkannya dengan saksama. Kau berharap dengan hati-hati. Bagi siswa-siswa seperti kalian, aku merasa menyesal. Sama sekali tidak menyenangkan bagiku untuk mengecewakan kalian. Tapi begitulah adanya."
Aku tidak ingin memandang Tommy. Herannya, aku sangat tenang, dan meskipun ucapan Miss Emily seharusnya menghancurkan kami, ada aspek pada dirinya yang mengesankan sesuatu yang lebih jauh, sesuatu yang ditahan, yang menunjukkan bahwa kami belum sampai ke inti masalahnya. Bahkan ada kemungkinan ia tidak menceritakan yang sebenarnya. Maka aku bertanya:
"Kalau begitu, apakah penangguhan memang tidak ada" Tidak ada apa pun yang bisa Anda lakukan?"
Ia menggeleng pelan. "Desas-desus itu sama sekali tidak benar. Aku sangat menyesal. Benar-benar menyesal."
Tiba-tiba Tommy bertanya, "Tapi apakah dulu pernah benar" Sebelum Hailsham tutup?"
Miss Emily tetap menggeleng. "Tidak pernah benar. Bahkan sebelum skandal Morningdale, bahkan dulu ketika Hailsham dianggap mercu yang bersinar, contoh bagaimana kami bisa beralih ke cara yang lebih manusiawi dan lebih baik untuk melakukan berbagai hal, bahkan saat itu pun, desas-desus itu tidak benar. Sebaiknya kita blakblakan tentang hal ini. Itu hanya desas-desus penuh harap. Itu saja intinya selama ini. Ah, Sayang, apakah itu orang-orang yang datang untuk mengambil lemari?"
Bel berdering, terdengar langkah-langkah menuruni tangga untuk membuka pintu. Ada suara laki-laki di lorong sempit, dan Madame keluar dari kegelapan di belakang kami, melintasi ruangan dan keluar. Miss Emily condong ke depan di kursi rodanya, mendengarkan dengan saksama. Lalu ia berkata,
"Itu bukan mereka. Itu laki-laki menyebalkan dari perusahaan dekorasi lagi. Marie-Claude akan mengurusnya. Jadi, sayangku, kita masih punya beberapa menit lagi. Apakah ada sesuatu yang lain yang ingin kalian bicarakan denganku" Tentu saja semua ini melanggar aturan, dan mestinya Marie-Claude tidak boleh membiarkan kalian masuk. Dan tentu saja, seharusnya aku mengusir kalian begitu tahu siapa kalian. Tapi belakangan ini Marie-Claude tidak begitu menghiraukan aturan-aturan ini, dan perlu kukatakan, begitu pula aku. Jadi kalau kalian masih ingin tetap di sini sebentar lagi, silakan saja."
"Kalau desas-desus itu tidak pernah benar," kata Tommy, "kenapa kalian mengambil semua karya seni kami" Apakah Galeri juga tidak ada?"
"Galeri" Nah, desas-desus yang itu memang ada benarnya. Memang ada galeri. Dan bisa dibilang masih ada. Sekarang ini, galeri itu ada di sini, di rumah ini. Aku terpaksa memangkasnya, yang sangat kusesali. Tak ada ruang untuk semuanya di sini. Tapi mengapa kami mengambil karya kalian" Itu yang kau-tanyakan, bukan?"
"Bukan hanya itu," aku berkata tenang. "Kenapa kami membuat semua karya itu" Kenapa melatih kami, mendorong kami, membuat kami menciptakan semua itu" Kalau toh kami hanya akan memberikan donasi, lalu mati, kenapa semua pelajaran itu" Kenapa semua buku dan diskusi itu?"
"Kenapa bahkan ada Hailsham?" Madame mengatakan ini dari dalam lorong yang gelap. Ia melewati kami lagi dan kembali ke bagian ruangan yang gelap. "Itu pertanyaan yang bagus untuk kalian tanyakan."
Tatapan Miss Emily mengikutinya, dan sesaat tetap terpusat di belakang kami. Aku ingin sekali menoleh untuk melihat ekspresi mereka saat bertukar pandang, tapi rasanya hampir seolah kami berada di Hailsham lagi, harus tetap menghadap ke depan dengan penuh perhatian. Lalu Miss Emily berkata:
"Ya, mengapa harus ada Hailsham" Marie-Claude suka menanyakan hal itu akhir-akhir ini. Tapi belum lama berselang, sebelum skandal Morningdale, tak pernah terlintas dalam benaknya untuk bertanya seperti itu. Kau tahu itu benar, jadi jangan tatap aku seperti itu! Hanya ada satu orang di masa itu yang suka melontarkan pertanyaan seperti itu, dan akulah orangnya. Jauh sebelum Morningdale, malah sejak awal, aku menanyakan itu. Dan itu membuatnya mudah bagi mereka semua, Marie-Claude, mereka semua, mereka bisa melanjutkan tanpa khawatir. Juga kalian para siswa. Akulah yang menjalani semua kekhawatiran dan mempertanyakan, demi kalian semua. Dan selama aku tegar, tak ada keraguan dalam benak kalian. Tapi kau bertanya, Sayang. Mari kita jawab yang paling sederhana, dan mungkin itu akan menjawab sisanya. Mengapa kami mengambil karya seni kalian" Kenapa kami melakukan itu" Kau mengatakan hal yang menarik tadi, Tommy. Waktu kau membahas ini dengan Marie-Claude. Katamu karena karya senimu akan mengungkapkan seperti apa dirimu. Bagaimana dirimu di dalam. Itu yang kaukatakan, bukan" Nah, kau tidak jauh meleset tentang hal itu. Kami mengambil karya kalian karena kami pikir itu akan mengungkapkan jiwa kalian. Atau lebih halusnya, kami melakukannya untuk membuktikan kalian memiliki jiwa."
Ia terdiam, Tommy dan aku bertukar pandang untuk pertama kali sejak lama. Lalu aku bertanya:
"Mengapa Anda harus membuktikan hal seperti itu, Miss Emily" Apakah ada yang berpikir kami tidak memiliki jiwa?" Senyuman tipis muncul di wajah Miss Emily. "Mengharukan
sekali, Kathy, melihatmu tercengang. Itu menunjukkan, dari satu segi, bahwa kami sudah melakukan tugas kami dengan baik. Seperti katamu, mengapa ada orang yang meragukan kalian memiliki jiwa" Perlu kuberitahu, Sayang, itu bukanlah pandangan umum waktu kami memulai bertahun-tahun yang lalu. Dan meskipun sejak saat itu sudah banyak kemajuan, itu bukanlah pendapat yang universal, bahkan sekarang masih begitu. Kalian siswa-siswa Hailsham, bahkan setelah kalian mentas begini, kalian masih belum mengetahui bahkan sepamhnya. Di seluruh negeri, saat ini juga, ada siswa-siswa yang dipertahankan dalam kondisi menyedihkan, kondisi yang tak mungkin terbayangkan oleh kalian siswa Hailsham. Dan setelah kami tak ada lagi, keadaan akan semakin parah."
Ia berhenti lagi, dan sesaat ia mengamati kami dengan saksama lewat mata yang disipitkan. Akhirnya ia melanjutkan:
"Apa pun juga lainnya, setidaknya kami mengatur agar siapa pun yang ada dalam pemeliharaan kami, tumbuh dalam lingkungan yang bagus. Dan kami juga memastikan, sesudah pergi, kalian dijauhkan dari kengerian yang paling parah. Setidaknya itulah yang mampu kami lakukan untuk kalian. Tapi impian kalian ini, impian bahwa bisa ada penangguhan. Hal semacam itu takkan pernah bisa kami berikan, pada puncak kekuasaan kami sekalipun. Maaf, aku tahu perkataanku tidak menyenangkan bagi kalian. Tapi kalian jangan sedih. Kuharap kalian bisa menghargai seberapa banyak yang bisa kami dapatkan untuk kalian. Lihat kalian sekarang! Kalian mempunyai kehidupan yang baik, berpendidikan, dan berbudaya. Aku menyesal kami tak bisa mendapatkan lebih bagi kalian daripada yang sudah kami upayakan, tapi kalian perlu menyadari bahwa keadaan pernah jauh lebih buruk. Waktu Marie-Claude dan aku mulai, tak ada tempat seperti Hailsham. Kami yang pertama, bersama
Glenmorgan House. Lalu beberapa tahun kemudian Saunders Trust berdiri. Bersama-sama, kami menjadi suatu gerakan kecil namun sangat vokal, dan kami menentang seluruh cara program donasi dijalankan saat itu. Yang paling penting, kami menunjukkan kepada dunia bahwa bila siswa-siswa dibesarkan dalam lingkungan manusiawi, dan berbudaya, mereka bisa tumbuh menjadi sama sensitif dan cerdasnya seperti manusia biasa. Sebelum itu, semua klon"atau siswa, seperti kami lebih suka menyebut kalian"hanya hidup demi ilmu kedokteran. Pada masa-masa awal, sesudah perang, hanya itu makna kalian bagi kebanyakan orang. Benda samar-samar dalam tabung uji coba. Tidakkah kau setuju, Marie-Claude" Dia pendiam sekali. Biasanya kau tak bisa menghentikan dia mengoceh tentang topik ini. Kehadiran kalian, sayangku, rupanya membuatnya bisu. Baiklah. Untuk menjawab pertanyaanmu, Tommy. Itulah sebabnya kami mengumpulkan karya seni kalian. Kami memilih yang terbaik dan menggelar pameran khusus. Pada akhir tujuh puluhan, di puncak kekuasaan pengaruh kami, kami mengorganisir event-event besar di seluruh negeri. Para menteri kabinet, uskup, berbagai tokoh terkenal datang menghadirinya. Ada ceramah-ceramah, dana-dana besar dijanjikan akan diberikan. 'Nah, ini!' kami bisa bilang. 'Lihat karya seni ini! Bagaimana kalian berani menganggap anak-anak ini kurang dari manusia seutuhnya"' Oh ya, banyak dukungan untuk gerakan kami waktu itu, peruntungan ada di pihak kami."
Selama beberapa menit berikutnya Miss Emily meneruskan mengingat kembali event-event berbeda-beda dari masa itu, menyebut banyak orang yang namanya tak berarti bagi kami. Bahkan, sejenak rasanya nyaris seperti mendengarkannya lagi di salah satu pertemuan pagi ketika ia melantur dan kami tak bisa mengikutinya. Rupanya ia menikmati ceritanya sendiri, dan senyuman lembut terpampang di sekitar matanya. Lalu tiba-tiba ia sadar dan berkata dengan nada suara baru:
'Tapi kita tak pernah kehilangan kontak dengan kenyataan, bukan, Marie-Claude" Tidak seperti rekan-rekan kami di Saunders Trust. Bahkan selama masa terbaik kami selalu tahu kami masih terlibat dalam pertempuran sulit. Dan memang, perkara Morningdale muncul, lalu satu atau dua hal, dan tahu-tahu semua kerja keras kami hancur."
"Tapi yang tidak kumengerti," kataku, "adalah mengapa ada orang yang ingin memperlakukan siswa-siswa dengan buruk?"
"Dilihat dari perspektifmu, Kathy, kebingunganmu sangat masuk akal. Tapi kau harus mencoba dan melihatnya dari sudut sejarah. Sesudah perang, pada awal lima puluhan, ketika terobosan-terobosan besar dalam ilmu pengetahuan muncul silih berganti dengan cepat sekali, tak ada waktu untuk membuat penilaian menyeluruh, untuk melontarkan pertanyaan bijaksana. Mendadak ada banyak kemungkinan terpapar di depan kami, cara-cara untuk menyembuhkan kondisi-kondisi yang dulu tak bisa disembuhkan. Ini yang paling diperhatikan dunia, yang paling didambakan. Dan untuk waktu lama, orang-orang lebih suka percaya bahwa organ-organ ini muncul dari tempat yang tidak jelas, atau paling-paling tumbuh dalam semacam vakum. Ya, ada banyak perdebatan. Tapi ketika orang-orang mulai peduli tentang... tentang siswa-siswa, saat mereka mulai memikirkan bagaimana kalian dibesarkan, apakah kalian memang perlu di-ciptakan, nah, waktu itu sudah terlambat. Tak ada cara untuk membalik proses itu. Bagaimana bisa kau meminta dunia yang sudah menganggap kanker bisa disembuhkan, untuk kembali ke masa kegelapan" Tidak mungkin mundur kembali. Meskipun orang-orang merasa tak nyaman dengan keberadaan kalian, kepedulian terbesar mereka adalah demi anak-anak mereka sendiri, pasangan hidup, orangtua, teman-teman, agar tidak mati karena kanker, penyakit saraf motorik, penyakit jantung. Jadi untuk waktu lama kami menyembunyikan kalian, dan orang-orang berupaya keras untuk tidak memikirkan kalian. Dan kalau memikirkan kalian, mereka mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa kalian tidak benar-benar seperti kami. Bahwa kalian kurang dari manusia, jadi tidak penting. Dan begitulah keadaannya hingga gerakan kecil kami terbentuk. Tapi kaulihat apa yang harus kami lawan" Kami benar-benar berupaya melakukan sesuatu yang mustahil. Ada dunia, yang membutuhkan siswa-siswa untuk donasi. Selama keadaan tetap begitu, maka selalu akan ada rintangan untuk menganggap kalian sebagai manusia sepenuhnya. Nah, bertahun-tahun kami melakukan pertempuran itu, dan apa yang kami menangkan bagi kalian, setidaknya, adalah banyak kemajuan, meskipun tentu saja, kalian hanya sekelompok kecil yang terpilih. Tapi kemudian muncul skandal Morningdale, lalu hal-hal lain, dan tahu-tahu, iklim sudah berubah. Tak ada yang mau terlihat mendukung kami lagi, dan gerakan kecil kami, Hailsham, Glenmorgan, Saunders Trust, kami semua tersapu habis."
"Apa skandal Morningdale yang Anda sebut-sebut terus, Miss Emily?" aku bertanya. "Anda harus menceritakannya kepada kami, karena kami tidak tahu tentang itu."
"Nah, kupikir memang tidak mungkin kalian tahu. Dalam dunia luas masalah ini bukan perkara besar. Kaitannya dengan ilmuwan bernama James Morningdale, yang cukup berbakat. Dia melakukan pekerjaannya di suatu tempat terpencil di Skotlandia, di mana kuduga dia berpikir tidak akan menarik terlalu banyak perhatian. Yang ingin ditawarkannya kepada orang-orang adalah kemungkinan untuk mempunyai anak-anak dengan karakter-karakter yang diperbagus. Kecerdasan superior, sifat atletis yang superior, hal semacam itu. Tentu saja, ada orang lain dengan ambisi serupa, tapi si Morningdale ini, ia mengembangkan risetnya lebih jauh daripada siapa pun sebelumnya, jauh melampaui batas-batas legal. Nah, dia ketahuan, mereka menghentikan pekerjaannya dan kelihatannya selesai sudah. Tapi tentu saja bagi kami tidak. Seperti kataku, perkara ini tak pernah sampai menjadi masalah besar. Tapi toh menciptakan suasana tertentu, kau tahu. Masalah ini mengingatkan orang-orang, mengingatkan mereka kepada ketakutan yang selama ini mereka hadapi. Menciptakan siswa-siswa, seperti kalian, untuk program donasi, adalah satu hal. Tapi satu generasi anak-anak yang diciptakan yang akan mengambil tempat dalam masyarakat" Anak-anak yang nyata-nyata lebih unggul daripada kita semua" Oh tidak. Hal itu menakutkan orang-orang. Hati mereka kecut menghadapi hal itu."
"Tapi, Miss Emily," aku berkata, "apa kaitannya itu semua dengan kami" Mengapa Hailsham harus tutup karena sesuatu seperti itu?"
"Kami juga tidak melihat kaitan yang nyata, Kathy. Tidak pada awalnya. Dan sekarang aku sering berpikir, kami patut dipersalahkan karena tidak menyadari hal itu. Seandainya kami lebih waspada, tidak terlalu sibuk dengan diri sendiri, bila kami bekerja sangat keras pada tahap itu ketika berita tentang Morningdale pertama muncul, mungkin kami sanggup menghindarinya. Oh, Marie-Claude tidak setuju dengan ini. Menurut dia hal ini akan terjadi juga, apa pun yang kami lakukan, dan mungkin dia benar. Bagaimanapun juga, masalahnya bukan hanya Morningdale. Ada hal-hal lain pada waktu itu. Serial televisi yang mengerikan itu, misalnya. Semua ini ikut berperan mengubah keadaan. Tapi kukira pada dasarnya, kesalahan utama adalah ini. Gerakan kecil kami, memang terlalu rapuh, selamanya terlalu bergantung pada tingkah para pendukung kami. Selama iklimnya menguntungkan mereka, selama suatu perusahaan atau politisi melihat manfaat dalam mendukung kami, maka kami mampu bertahan. Tapi semuanya tidak pernah mudah, dan setelah Morningdale, setelah iklim berubah, kami tidak memiliki kesempatan lagi. Dunia tidak ingin diingatkan bagaimana program donasi sebenarnya bekerja. Mereka tidak ingin memikirkan kalian para siswa, atau kondisi kalian. Dengan kata lain, sayangku, mereka ingin kalian disembunyikan lagi. Kembali ke kondisi sebelum orang-orang macam Marie-Claude dan aku sendiri muncul. Dan semua orang berpengaruh yang dulu begitu bersemangat membantu, nah tentu saja, mereka menghilang. Kami kehilangan sponsor-sponsor kami, satu demi satu, dalam waktu hanya sedikit lebih dari satu tahun. Kami terus bertahan selama mungkin, kami masih bertahan selama dua tahun lebih lama daripada Glenmorgan. Tapi pada akhirnya, seperti kalian tahu, kami terpaksa gulung tikar, dan kini nyaris tak tersisa sedikit pun jejak pekerjaan yang sudah kami lakukan. Kalian tidak akan menemukan sesuatu seperti Hailsham di seluruh negeri sekarang. Sebaliknya kau hanya menemukan 'panti' milik pemerintah, dan meskipun itu lebih baik daripada dulu, kukatakan kepada kalian, sayangku, kalian bakal tak bisa tidur berhari-hari kalau melihat apa yang masih saja terjadi di beberapa tempat-tempat itu. Dan Marie-Claude dan aku, di sinilah kami, kami menarik diri ke rumah ini, dan di lantai atas kami punya segunung karya kalian. Itu yang kami miliki untuk mengingatkan kami pada apa yang kami lakukan. Dan segunung utang juga, meskipun kami tidak menyukainya. Dan kenangannya, kupikir, tentang kalian semua. Dan pengetahuan bahwa kami sudah memberikan kalian kehidupan yang lebih baik daripada yang semestinya kalian peroleh."
"Jangan berusaha agar mereka berterima kasih kepadamu suara Madame terdengar di belakang kami. "Kenapa mereka harus bersyukur" Mereka datang kemari mencari sesuatu yang jauh lebih berarti. Yang kita berikan kepada mereka, bertahun-tahun, segenap perjuangan yang kita lakukan demi mereka, mana mereka tahu tentang itu" Mereka pikir itu karunia Tuhan. Sampai mereka datang ke sini, mereka tidak tahu apa-apa tentang itu. Yang mereka rasakan sekarang hanya kekecewaan, karena kita tidak memberikan mereka semua yang mungkin bagi mereka."
Sesaat tak ada yang berbicara. Lalu ada bunyi di luar dan bel pintu kembali berdering. Madame muncul dari tempat gelap dan keluar ke lorong.
"Kali ini pasti orang-orang itu," ujar Miss Emily. "Aku harus bersiap-siap. Tapi kalian bisa tinggal sedikit lebih lama. Orang-orang itu harus membawa benda itu turun dua lantai. Marie-Claude akan mengawasi agar mereka tidak merusaknya."
Tommy dan aku nyaris tak percaya bahwa itulah akhirnya. Tak satu pun dari kami bangkit berdiri, lagi pula, tak ada tanda-tanda seseorang akan menolong Miss Emily keluar dari kursi rodanya. Aku bertanya-tanya sesaat apakah ia akan mencoba dan bangkit sendiri, tapi ia diam saja, condong ke depan seperti sebelumnya, mendengarkan dengan saksama. Lalu Tommy berkata:
"Jadi benar-benar tak ada apa-apa. Tidak ada penangguhan, tidak ada hal semacam itu."
"Tommy," aku menggumam, dan memandangnya dengan marah. Tapi Miss Emily berkata lembut:
"Tidak, Tommy. Tidak ada hal semacam itu. Hidupmu sekarang harus berjalan mengikuti alur yang sudah ditentukan untuknya."
"Jadi, maksud Anda, Miss," kata Tommy, "semua yang kami lakukan, semua pelajaran, semuanya. Itu semua sehubungan dengan apa yang baru saja Anda ceritakan kepada kami" Tak ada makna lainnya?"
"Aku tahu," ujar Miss Emily, "kelihatannya seolah-olah kalian hanya bidak dalam permainan. Memang bisa dipandang seperti itu. Tapi coba pikirkan. Kalian bidak yang beruntung. Ada iklim tertentu dan kini itu sudah hilang. Kalian harus menerima bahwa kadang-kadang begitulah hal-hal terjadi di dunia ini. Pendapat orang-orang, perasaan mereka, condong ke satu arah, lalu ke arah lainnya. Kebetulan saja kalian tumbuh besar di suatu titik dalam proses ini."
"Mungkin saja ini tren yang datang dan pergi," aku berujar. "Tapi bagi kami, ini kehidupan kami."
"Ya, itu benar. Tapi pikirkanlah. Kalian lebih beruntung daripada banyak siswa sebelum kalian. Dan siapa tahu apa yang akan harus dihadapi mereka yang datang sesudah kalian. Maaf, siswa-siswa, aku harus meninggalkan kalian sekarang. George! George!"
Di lorong masuk berisik sekali, dan mungkin ini membuat George tidak mendengarnya, karena tidak ada reaksi. Tiba-tiba Tommy bertanya:
"Apakah karena itu Miss Lucy pergi?"
Sesaat aku mengira Miss Emily, yang perhatiannya tertuju pada apa yang terjadi di lorong masuk, tidak mendengarnya. Ia kembali bersandar di kursi rodanya dan mulai menggerakkannya pelan-pelan ke pintu. Banyak sekali meja kopi kecil dan kursi sampai tampaknya tak ada jalan untuk keluar di antaranya. Aku nyaris mau bangkit dan membuka jalan, ketika mendadak ia berhenti.
"Lucy Wainright," katanya. "Ah ya. Kami punya sedikit kesulitan dengannya." Ia berhenti, lalu menggerakkan kursi rodanya mundur untuk menghadap Tommy. "Ya, kami punya sedikit masalah dengannya. Selisih paham. Tapi untuk menjawab pertanyaanmu, Tommy. Selisih paham dengan Lucy Wainright tak ada hubungannya dengan apa yang baru saja kuceritakan kepada kalian. Pokoknya, tidak secara langsung. Tidak, masalah itu lebih merupakan, katakan saja, masalah internal."
Kupikir hanya sampai di situ yang akan dikatakannya, maka aku bertanya: "Miss Emily, kalau boleh, kami ingin tahu tentang itu, tentang apa yang terjadi dengan Miss Lucy."
Miss Emily mengangkat alis. "Lucy Wainright" Dia penting bagi kalian" Maaf, siswa-siswaku sayang, aku lupa. Lucy tidak lama bersama kami, jadi bagi kami dia hanya sosok marjinal dalam ingatan kami tentang Hailsham. Dan bukan ingatan menyenangkan. Tapi aku menghargai, kalau kalian ada di sana selama tahun-tahun itu..." Ia tertawa sendiri dan rupanya teringat sesuatu. Di lorong, Madame memarahi orang-orang dengan suara sangat keras, tapi Miss Emily kelihatannya sudah tidak tertarik untuk memperhatikannya. Ia sedang membuka kembali ingatannya dengan ekspresi penuh konsentrasi. Akhirnya ia berkata: "Dia gadis yang lumayan baik, Lucy Wainright. Tapi sesudah beberapa lama bersama kami, dia mulai mempunyai gagasan-gagasan ini. Dia menganggap kalian para siswa perlu lebih disadarkan. Lebih menyadari apa yang ada di depan kalian, siapa kalian, untuk apa kalian. Dia percaya kalian harus diberi gambaran selengkap mungkin. Bahwa kalau melakukan kurang dari itu, berarti menipu kalian. Kami mempertimbangkan pandangannya dan menarik kesimpulan bahwa dia keliru."
"Mengapa?" tanta Tommy. "Kenapa Anda berpikir begitu?"
"Kenapa" Dia bermaksud baik, aku yakin. Bisa kulihat kau sangat menyukainya. Dia berbakat menjadi guardian istimewa. Tapi yang ingin dilakukannya, itu terlalu teoretis. Sudah ber-mundur untuk menghadap Tommy. "Ya, kami punya sedikit masalah dengannya. Selisih paham. Tapi untuk menjawab pertanyaanmu, Tommy. Selisih paham dengan Lucy Wainright tak ada hubungannya dengan apa yang baru saja kuceritakan kepada kalian. Pokoknya, tidak secara langsung. Tidak, masalah itu lebih merupakan, katakan saja, masalah internal."
Kupikir hanya sampai di situ yang akan dikatakannya, maka aku bertanya: "Miss Emily, kalau boleh, kami ingin tahu tentang itu, tentang apa yang terjadi dengan Miss Lucy."
Miss Emily mengangkat alis. "Lucy Wainright" Dia penting bagi kalian" Maaf, siswa-siswaku sayang, aku lupa. Lucy tidak lama bersama kami, jadi bagi kami dia hanya sosok marjinal dalam ingatan kami tentang Hailsham. Dan bukan ingatan menyenangkan. Tapi aku menghargai, kalau kalian ada di sana selama tahun-tahun itu..." Ia tertawa sendiri dan rupanya teringat sesuatu. Di lorong, Madame memarahi orang-orang dengan suara sangat keras, tapi Miss Emily kelihatannya sudah tidak tertarik untuk memperhatikannya. Ia sedang membuka kembali ingatannya dengan ekspresi penuh konsentrasi. Akhirnya ia berkata: "Dia gadis yang lumayan baik, Lucy Wainright. Tapi sesudah beberapa lama bersama kami, dia mulai mempunyai gagasan-gagasan ini. Dia menganggap kalian para siswa perlu lebih disadarkan. Lebih menyadari apa yang ada di depan kalian, siapa kalian, untuk apa kalian. Dia percaya kalian harus diberi gambaran selengkap mungkin. Bahwa kalau melakukan kurang dari itu, berarti menipu kalian. Kami mempertimbangkan pandangannya dan menarik kesimpulan bahwa dia keliru."
"Mengapa?" tanta Tommy. "Kenapa Anda berpikir begitu?"
"Kenapa" Dia bermaksud baik, aku yakin. Bisa kulihat kau sangat menyukainya. Dia berbakat menjadi guardian istimewa. Tapi yang ingin dilakukannya, itu terlalu teoretis. Sudah bertahun-tahun kami mengelola Hailsham, kami tahu apa yang akan berhasil, apa yang terbaik bagi para siswa untuk jangka panjang, di luar Hailsham. Lucy Wainright seorang idealis, dan tak ada salahnya dengan itu. Tapi dia tidak menguasai hal-hal praktis. Begini, kami mampu memberi kalian sesuatu, sesuatu yang bahkan sekarang pun tak ada yang mengambilnya dari kalian, dan kami mampu melakukan itu terutama dengan melindungi kalian. Hailsham tidak akan menjadi Hailsham kalau bukan karena yang kami lakukan. Baiklah, kadang-kadang itu berarti kami menyembunyikan beberapa hal dari kalian, berbohong kepada kalian. Ya, dalam berbagai hal kami memperdaya kalian. Kupikir kalian bisa menyebutnya begitu. Tapi kami melindungi kalian selama tahun-tahun itu, dan kami memberi kalian masa kanak-kanak kalian. Lucy bermaksud baik. Tetapi kalau dia boleh melaksanakan pendapatnya, kebahagiaan kalian di Hailsham akan hancur. Lihat kalian sekarang! Aku bangga sekali melihat kalian. Kalian membangun kehidupan kalian pada apa yang kami berikan kepada kalian. Kalian tidak akan menjadi diri kalian sekarang kalau kami tidak melindungi kalian. Kalian tidak akan asyik dengan pelajaran kalian, kalian tidak akan asyik dengan seni dan penulisan kalian. Untuk apa kalian mau melakukannya, seandainya tahu apa yang ada di masa depan kalian" Kalian akan bilang semua tidak ada gunanya, dan bagaimana kami bisa berdebat dengan kalian" Maka dia harus pergi."
Kami sekarang bisa mendengar Madame berteriak kepada para laki-laki itu. Ia bukan marah, tapi suaranya keras, dan para laki-laki itu, yang hingga saat itu berdebat dengannya, terdiam.
"Mungkin lebih baik aku tetap di sini bersama kalian," kata Miss Emily. "Marie-Claude melakukan hal semacam ini jauh lebih efisien."
Aku tidak tahu apa yang membuatku mengatakannya. Mungkin karena tahu kunjungan ini akan segera berakhir; mungkin aku penasaran bagaimana sebenarnya perasaan Miss Emily dan Madame terhadap satu sama lain. Bagaimanapun, aku berkata kepadanya, sambil merendahkan suaraku:
"Madame tidak pernah menyukai kami. Dia selalu takut kepada kami. Seperti orang takut kepada laba-laba dan hal semacamnya."
Aku menunggu untuk melihat apakah Miss Emily akan marah. Aku tidak peduli seandainya begitu. Benar saja, ia menoleh tajam kepadaku, seakan-akan aku melemparnya dengan bola kertas, dan matanya berapi-api, mengingatkan aku pada masa di Hailsham. Tapi suaranya datar dan lembut ketika menjawab: "Marie-Claude sudah memberkan segalanya bagi kalian. Dia bekerja dan bekerja. Jangan salah, Nak, Marie-Claude memihak pada kalian dan akan selalu begitu. Apakah dia takut kepada kalian" Kami semua takut kepada kalian. Aku sendiri harus melawan kengerianku pada kalian hampir setiap hari aku berada di Hailsham. Ada saatnya aku memandang kalian dari jendela ruang studiku dan aku merasa sangat jijik...." Ia berhenti, sesuatu di matanya kembali bersinar. "Tapi aku bertekad takkan membiarkan perasaan semacam itu menahanku melakukan apa yang benar. Aku melawan perasaan itu dan aku menang. Nah, kalau kalian berbaik hati membantuku keluar dari sini, George sudah menunggu dengan krukku."
Kami menopang kedua sikunya dan ia melangkah hati-hati ke lorong, tempat seorang laki-laki besar berseragam perawat tersentak kaget dan dengan cepat mengeluarkan kruk.
Pintu depan terbuka dan aku kaget melihat masih ada cahaya matahari. Suara Madame datang dari luar, sekarang berbicara lebih tenang kepada para laki-laki. Rasanya sudah waktunya Tommy dan aku pergi, tapi George sedang membantu Miss
Emily dengan jasnya, sementara ia berdiri mantap di antara kruknya; tak mungkin kami berjalan melewatinya, maka kami menunggu. Kukira kami juga menunggu untuk pamit kepada Miss Emily; mungkin, sesudah semuanya, kami ingin mengucapkan terima kasih kepadanya, entahlah. Tapi sekarang ia sibuk dengan lemarinya. Ia mulai menguraikan sesuatu dengan tegas kepada para laki-laki di luar, lalu meninggalkan George, tanpa menoleh ke arah kami.
Tommy dan aku tetap di lorong sedikit lebih lama, tak yakin harus melakukan apa. Ketika akhirnya kami keluar, aku melihat semua lampu sudah menyala sepanjang jalan panjang itu, meskipun langit belum gelap. Sebuah van putih dinyalakan mesinnya. Persis di belakangnya ada Volvo tua besar dan Miss Emily duduk di kursi penumpangnya. Madame membungkuk dekat jendela, mengangguk pada sesuatu yang dikatakan Miss Emily, sementara George menutup bagasi dan berjalan ke pintu pengemudi. Lalu van putih meluncur pergi, mobil Miss Emily mengikutinya.
Lama sekali Madame memperhatikan mobil itu meluncur pergi. Lalu ia berbalik seolah akan masuk ke rumah, dan ketika melihat kami di trotoar, ia mendadak berhenti, nyaris menciut menjauh.
"Kami akan pergi sekarang," aku berkata. "Terima kasih sudah bicara dengan kami. Tolong sampaikan pamit kami kepada Miss Emily."
Aku bisa melihatnya mengamatiku dalam cahaya yang memudar. Lalu ia berkata:
"Kathy H. Aku ingat kau. Ya, aku ingat." Ia terdiam, tapi tetap memandangku.
"Kupikir aku tahu apa yang Anda pikirkan," kataku akhirnya.
"Kukira aku bisa menebaknya."
"Baik." Suaranya merenung dan tatapannya sedikit tidak fokus. "Baiklah. Kau pembaca pikiran. Beritahu aku."
"Ada suatu saat waktu Anda memperhatikanku, suatu siang, di ruang tidur. Tidak ada orang lain, dan aku memutar kaset ini, musik ini. Aku berdansa dengan mata terpejam dan Anda melihatku."
"Itu bagus sekali. Pembaca pikiran. Seharusnya kau berada di panggung. Aku baru saja mengenalimu. Tetapi ya, aku ingat kejadian itu. Sesekali aku masih memikirkannya."
"Aneh sekali. Aku juga."
"Oh, begitu." Kami bisa mengakhiri percakapan itu di situ. Kami bisa pamitan dan pergi. Tapi Madame maju mendekati kami, terus menatap wajahku.
"Waktu itu kau jauh lebih muda," ia berkata. "Tapi ya, itu memang kau."
"Anda tidak perlu menjawab ini kalau tidak mau," aku berkata. "Tetapi ini selalu menjadi pertanyaan bagiku. Bolehkah aku bertanya?"
"Kau membaca pikiranku. Tapi aku tidak bisa membaca pikiranmu."
"Nah, waktu itu Anda... resah. Anda memperhatikan aku, dan ketika menyadarinya, dan aku membuka mata, Anda memperhatikan aku dan kukira Anda menangis. Sejujurnya, aku tahu Anda menangis. Anda memperhatikan aku dan menangis. Mengapa?"
Ekspresi Madame tidak berubah dan ia terus memandang wajahku. "Aku menangis," katanya akhirnya, sangat tenang, seakan-akan takut para tetangga mendengarkan, "karena waktu masuk, aku mendengar musikmu. Kukira ada siswa bodoh yang membiarkan musik menyala. Tapi waktu masuk ke ruang tidur, aku melihatmu, sendirian, gadis kecil, menari. Seperti kauhilang, matamu terpejam, melamun, ekspresi rindu. Kau menari sepenuh perasaan. Dan musiknya, lagunya. Ada sesuatu dalam kata-katanya. Penuh kesedihan."
"Lagu itu," kataku, "judulnya Never Let Me Go." Lalu aku menyanyikan beberapa bait dengan tenang, pelan, untuknya. "Never let me go. Oh, baby, baby. Never let me go...."
Ia mengangguk seakan-akan setuju. "Ya, itu lagunya. Sejak itu aku mendengarnya sekali-dua kali. Di radio, di televisi. Dan itu membawaku kembali ke gadis kecil itu, menari sendirian."
"Kata Anda, Anda bukan pembaca pikiran," aku berkata. "Tapi mungkin hari itu Anda bisa melakukannya. Mungkin karena itulah Anda menangis waktu melihatku. Karena apa pun sebenarnya maksud lagu itu, di benakku, waktu aku berdansa, aku punya versiku sendiri. Begini, aku membayangkan lagu itu tentang wanita yang diberitahu dirinya tidak bisa punya bayi. Tapi kemudian dia punya bayi, dan dia senang sekali, dan dia memeluknya sangat erat ke dadanya, takut sesuatu akan memisahkan mereka, dan dia bilang, baby baby, never let me go. Memang lagu itu bukan tentang itu sama sekali, tapi itulah yang muncul dalam benakku waktu itu. Mungkin Anda membaca pikiranku, dan karena itu Anda menganggapnya menyedihkan. Waktu itu aku tidak menganggapnya sedih, tapi sekarang, kalau mengingatnya lagi, rasanya memang agak sedih."
Aku berbicara kepada Madame, tapi aku merasa Tommy bergerak di sampingku, dan aku jadi menyadari tekstur pakaiannya, segalanya pada dirinya. Lalu Madame berkata:
"Itu sangat menarik. Tapi aku bukan pembaca pikiran, baik waktu itu maupun sekarang. Aku menangis karena alasan yang sama sekali berbeda. Waktu melihatmu berdansa hari itu, aku melihat sesuatu yang lain. Aku melihat dunia baru muncul dengan cepat. Lebih ilmiah, lebih efisien, memang. Lebih banyak penyembuhan untuk penyakit-penyakit lama. Bagus sekali. Tapi dunia itu keras dan kejam. Dan aku melihat gadis kecil, matanya terpejam rapat, mendekap ke dadanya dunia lama yang ramah, yang dia tahu dalam hatinya tidak mungkin tetap begitu, dan dia mendekap dan memohonnya agar jangan meninggalkannya. Itu yang kulihat. Bukan kau sebenarnya, apa yang kaulakukan, aku tahu itu. Tapi aku melihatmu dan hatiku hancur. Dan aku tak pernah melupakannya."
Lalu ia maju sampai ia hanya satu-dua langkah dari kami. "Cerita-cerita kalian sore ini, sangat menyentuh hatiku juga." Sekarang ia memandang Tommy, lalu kembali kepadaku. "Makhluk-makhluk malang. Kalau saja aku bisa membantu kalian. Tetapi kini kalian sendirian."
Ia mengulurkan tangan, sambil terus menatap wajahku, dan menyentuh pipiku. Aku bisa merasakan tubuhnya bergetar, tapi ia tetap membiarkan tangannya di pipiku, dan aku melihat air matanya merebak.
"Kalian makhluk malang," ulangnya, nyaris berbisik. Lalu ia berbalik dan masuk kembali ke rumah.
KAMI nyaris tidak membahas pertemuan kami dengan Miss Emily dan Madame dalam perjalanan pulang. Atau kalau toh melakukannya, kami hanya membicarakan hal-hal yang kurang penting, seperti betapa mereka sudah tampak lebih tua menurut kami, atau barang-barang di dalam rumah itu.
Aku tetap menyetir di jalan-jalan yang sangat tidak jelas, hanya lampu depan mobil kami yang mengusik kegelapan. Sesekali kami berpapasan dengan lampu mobil lain, dan aku merasa itu milik perawat lain, meluncur pulang sendirian, atau mungkin seperti aku, dengan donor di sampingnya. Aku menyadari, tentu saja, bahwa orang lain juga menggunakan jalan-jalan ini; tapi malam itu, bagiku kelihatannya jalan-jalan kecil yang gelap di pedesaan ini khusus demi orang-orang seperti kami, sementara jalan besar gemerlap dengan papan-papan petunjuk besar dan kafe-kafe mentereng adalah untuk orang-orang lain. Aku tidak tahu apakah Tommy memikirkan hal serupa. Mungkin begitu, karena ia berkomentar:
"Kath, kau mengenal jalan-jalan aneh begini."
Ia tertawa kecil ketika mengatakan ini, tapi kemudian ia seperti tepekur. Lalu ketika kami meluncur lewat jalan yang sangat gelap entah di mana, tiba-tiba ia berkata:
"Kupikir Miss Lucy yang benar. Bukan Miss Emily."
Aku tidak ingat apakah aku mengatakan sesuatu. Kalau aku melakukannya, pasti bukan sesuatu yang serius. Tapi justru itulah saatnya aku untuk pertama kali menangkapnya, sesuatu dalam suara Tommy, atau mungkin sikapnya, yang membuatku waspada. Aku ingat berpaling dari jalan yang berkelok-kelok untuk memandang Tommy, tapi ia duduk tenang, memandang lurus ke depan ke kegelapan malam.
Beberapa menit kemudian, tiba-tiba ia berkata, "Kath, bisakah kita berhenti" Maaf, aku perlu keluar sebentar."
Karena menyangka ia mual, aku berhenti hampir segera, menepi dekat pagar tanaman. Tempat itu gelap gulita, bahkan dengan lampu mobil tetap menyala, aku khawatir kendaraan lain mungkin datang dari tikungan dan menabrak kami. Karena itulah, ketika Tommy keluar dan menghilang dalam gelap, aku tidak pergi bersamanya. Lagi pula sikap Tommy mengesankan tekad kuat, yang menunjukkan bahwa meskipun mual, ia lebih suka menghadapinya sendirian. Nah, itulah sebabnya aku tetap di mobil, bertanya-tanya apakah harus menggesernya sedikit, ketika aku mendengar jeritan pertama.
Mula-mula aku bahkan tidak menduga bahwa itu Tommy, melainkan seorang maniak yang bersembunyi di semak-semak. Aku sudah keluar mobil ketika teriakan kedua dan ketiga terdengar, dan saat itulah aku tahu itu Tommy, meskipun itu nyaris tidak mengurangi ketergesaanku. Bahkan, untuk sejenak mungkin aku nyaris panik, sama sekali tidak mengetahui di mana ia berada. Aku tidak bisa melihat apa-apa, dan ketika mencoba menuju arah datangnya teriakan, aku terhalang belukar yang tidak mungkin diterobos. Lalu aku menemukan celah, dan dengan melompati parit aku tiba di sebuah pagar. Aku berhasil memanjat dan mendarat di lumpur lembut.
Sekarang aku bisa melihat sekelilingku dengan lebih baik. Aku berada di ladang yang curam tak jauh di depanku, dan aku bisa melihat cahaya-cahaya sebuah desa jauh di lembah di bawah. Angin di sini sangat kencang, dan suatu embusan menarikku sangat keras, sehingga aku harus meraih tiang pagar. Bulan belum penuh, tapi cukup terang, dan aku bisa melihat pada jarak lumayan, di dekat tempat ladang mulai menurun, sosok Tommy, mengamuk, berteriak, mengayun-ayunkan tinju, dan menendang-nendang.
Aku berusaha berlari menghampirinya, tapi lumpur mengisap kakiku. Lumpur juga menahan Tommy, karena suatu kali, waktu menendang, ia tergelincir dan jatuh dan lenyap dari pandangan ke dalam kegelapan. Tapi umpatannya tidak berhenti, dan aku bisa mencapainya tepat ketika ia sedang bangkit berdiri. Aku menangkap sekilas wajahnya dalam cahaya bulan, berlumuran lumpur dan penuh amarah, lalu kuraih tangannya yang mengibas-ngibas dan kugenggam erat-erat. Ia berusaha melepaskan aku, tapi aku terus mencengkeram, sampai ia berhenti berteriak dan aku merasa perlawanannya reda. Lalu aku menyadari bahwa ia juga memelukku. Maka kami berdiri berpelukan, di puncak ladang, untuk waktu yang terasa sangat lama, tanpa mengatakan apa pun, hanya berpelukan, sementara angin berembus dan bertiup kencang, menarik pakaian kami, dan sesaat tampaknya kami saling berpelukan karena hanya itu satu-satunya cara agar kami tidak terbang terbawa angin ke dalam kegelapan malam.
Ketika akhirnya kami memisahkan diri, Tommy bergumam: "Aku sangat menyesal, Kath." Lalu ia tertawa gemetar dan menambahkan: "Untung saja tidak ada sapi-sapi di ladang. Mereka pasti ketakutan."
Kulihat ia berusaha keras meyakinkan aku bahwa semuanya baik sekarang, tapi dadanya masih naik-turun dan kakinya gemetar. Kami berjalan ke mobil, berusaha agar tidak terpeleset.
"Kau bau kotoran sapi," akhirnya aku berkata.
"Ya Tuhan, Kath. Bagaimana aku harus menjelaskan ini" Kita terpaksa masuk diam-diam lewat belakang."
"Kau tetap harus melaporkan diri."
"Ya Tuhan," ia berkata, lalu tertawa lagi.
Aku menemukan kain gombal di mobil dan kami menyeka kotoran yang paling parah. Tapi waktu mencari kain-kain gombal, aku sudah mengeluarkan tas olahraga berisi gambar-gambar hewan-hewannya dari bagasi, dan waktu kami berangkat lagi, aku melihat Tommy sudah membawanya masuk ke dalam mobil.
Kami kembali meluncur, tak banyak bicara, sementara tas itu ada di pangkuannya. Aku menunggu ia mengatakan sesuatu tentang gambar-gambar itu; bahkan terlintas di benakku ia mulai marah lagi, dan ia akan mencampakkan semua gambar itu ke luar jendela. Tetapi dengan kedua tangannya ia memegang tas itu dengan sikap melindungi dan terus menatap jalan gelap yang membentang di depan kami. Sesudah diam lama sekali, ia berkata:
"Aku menyesal tentang itu tadi, Kath. Benar-benar menyesal. Aku sungguh bodoh." Lalu ia menambahkan: "Apa yang kaupikirkan, Kath?"
"Aku berpikir," kataku, "tentang dulu, waktu di Hailsham, waktu kau suka mengamuk seperti itu, dan kami tak bisa memahaminya. Kami tidak mengerti kenapa kau bisa seperti itu. Dan aku mendapat gagasan ini, hanya suatu pikiran sebenarnya. Kupikir alasan sesungguhnya kau jadi seperti itu adalah karena pada suatu tingkat tertentu, kau sudah tahu."
Tommy memikirkan ini, lalu menggeleng. "Kurasa bukan, Kath. Bukan, ini hanya aku saja. Aku yang bodoh. Itu saja." Lalu, sesudah beberapa saat, ia tertawa kecil dan berkata: "Tapi itu gagasan yang lucu. Mungkin jauh di dalam hati, aku memang tahu. Sesuatu yang kalian semua tidak tahu."
BAB 23 TIDAK ada yang banyak berubah selama sekitar seminggu setelah perjalanan itu. Aku tak berharap keadaan akan tetap seperti itu, dan benar saja, pada awal Oktober aku mulai menyadari beberapa perubahan. Salah satunya, meski Tommy tetap membuat gambar-gambar hewannya, ia merasa tidak nyaman melakukannya di depanku. Keadaannya tidak separah waktu pertama kali aku menjadi perawatnya dan semua kenangan tentang Cottage masih kental membungkus kami. Tapi rasanya seakan-akan ia sudah memikirkannya dan mengambil keputusan: bahwa ia akan melanjutkan membuat gambar hewan sesuai suasana hatinya, tapi kalau aku datang, ia berhenti dan menyimpannya. Aku tidak sakit hati karena ini. Bahkan, dalam banyak hal, itu justru melegakan: jika hewan-hewan itu mengadang di depan mata ketika kami sedang bersama-sama, keadaan jadi semakin canggung.
Tapi ada perubahan-perubahan lain yang bagiku tidak mudah.
Bukannya kami tak lagi bersenang-senang di kamarnya. Kami bahkan sesekali bercinta. Tapi mau tak mau aku melihat semakin lama Tommy mulai mengidentifikasi dirinya dengan donor-donor lain di panti. Misalnya, ketika kami mengenang orang-orang Hailsham lama, cepat atau lambat ia akan mengalihkan percakapan ke teman barunya sesama donor yang mengatakan atau melakukan sesuatu yang serupa dengan yang sedang kami ingat-ingat. Ada satu kejadian khusus ketika aku memasuki Kingsfield sesudah perjalanan panjang dan keluar dari mobil. Alun-Alun tampak sedikit seperti waktu aku datang bersama Ruth untuk melihat perahu. Ketika itu siang musim gugur yang mendung, dan tak ada siapa-siapa kecuali sekelompok donor yang berkerumun di bawah tonjolan atap gedung rekreasi. Aku melihat Tommy bersama mereka"ia berdiri dengan bahu bersandar ke tiang"mendengarkan seorang donor yang berjongkok di undakan masuk. Aku menghampiri mereka sepamh jalan, lalu berhenti dan menunggu di tempat terbuka, di bawah langit kelabu. Tapi Tommy, meskipun melihatku, tetap mendengarkan temannya, dan akhirnya ia dan yang lain meledak tertawa. Bahkan sesudah itu ia masih terus mendengarkan dan tersenyum. Kelak ia mengaku sudah memberi isyarat kepadaku agar mendekat, tapi kalaupun benar begitu, aku tidak melihat. Yang kulihat ia tersenyum samar ke arahku, lalu kembali menyimak perkataan temannya. Baiklah, ia sedang di tengah sesuatu, dan sesudah beberapa menit, ia pergi dan kami naik ke kamarnya. Tapi betapa berbedanya dengan keadaan sebelumnya. Bukan hanya karena ia membiarkan aku menunggu di luar di Alun-Alun. Aku tidak begitu peduli dengan hal itu. Tapi karena untuk pertama kali hari itu aku merasakan sesuatu yang nyaris mirip kejengkelan dalam diri Tommy karena harus pergi bersamaku, dan begitu kami sudah di kamarnya, suasana di antara kami tidak begitu bagus.
Sejujurnya, sebagian besar hal itu tergantung padaku seperti juga padanya. Karena ketika aku berdiri di sana memperhatikan mereka berbicara dan tertawa, aku merasakan tarikan kecil yang tak terduga; karena ada sesuatu pada cara para donor membentuk setengah lingkaran kasar, sesuatu pada sikap mereka, nyaris seperti santai yang tidak wajar, baik berdiri maupun duduk, seakan-akan ingin menyatakan kepada dunia bagaimana mereka menikmati kebersamaan itu, yang mengingatkanku pada cara kelompok kecil kami biasanya duduk-duduk di paviliun. Perbandingan itu, seperti kataku, menyentak sesuatu dalam diriku, maka mungkin, begitu kami berada di kamarnya, aku juga sama kesalnya seperti dia.
Aku merasakan tusukan kekesalan serupa setiap kali ia mengatakan aku tidak mengerti sesuatu karena belum jadi donor. Tapi selain satu momen khusus, yang sebentar lagi akan kuceritakan, itu hanyalah tusukan kecil. Biasanya ia mengatakan hal semacam itu dengan setengah bergurau, nyaris dengan sayang. Bahkan waktu menyangkut hal yang lebih besar, seperti waktu ia mengatakan agar aku tidak lagi membawa pakaian kotornya ke laundry karena ia bisa melakukannya sendiri, hal itu tidak sampai menjadi pertengkaran. Waktu itu, aku bertanya kepadanya:
"Apa bedanya siapa di antara kita yang membawa turun handuk-handuk" Toh aku akan keluar lewat situ."
Sebagai jawaban Tommy menggeleng dan berkata: "Begini, Kath, aku akan mengatur urusanku sendiri. Kalau kau donor, kau akan mengerti."
Baiklah, memang menjengkelkan, tapi itu sesuatu yang cukup mudah kulupakan. Tapi seperti kukatakan, pernah suatu kali ia
kembali mengungkit tentang aku bukan donor, yang benar-benar membuatku kesal.
Itu terjadi sekitar seminggu setelah panggilan untuk donasi keempatnya. Kami sudah menantikannya dan sering membahasnya. Bahkan percakapan tentang donasi keempat itu menjadi yang paling intim sejak perjalanan ke Littlehampton. Aku tahu donor-donor bereaksi dengan berbagai cara dalam menghadapi donasi keempat mereka. Ada yang ingin membicarakannya sepanjang waktu, sementara yang lain menolak membahasnya sama sekali. Lalu ada kecenderungan aneh di antara para donor untuk memperlakukan donasi keempat sebagai sesuatu yang patut diberi ucapan selamat. Donor yang menghadapi donasi "keempat," bahkan donor yang hingga saat itu tidak begitu disukai, akan diperlakukan dengan penuh hormat. Bahkan para dokter dan perawat memuji-muji: donor keempat akan datang untuk pemeriksaan dan disambut para dokter berjas putih yang tersenyum dan menjabat tangannya. Nah, Tommy dan aku, kami membicarakan semua itu, kadang-kadang sambil berkelakar, kadang-kadang serius dan berhati-hati. Kami membahas cara-cara setiap orang mencoba menghadapinya, dan cara mana yang paling bijaksana. Suatu kali, sambil berbaring berdampingan di tempat tidur sementara hari mulai gelap, Tommy berkata:
"Tahukah kau kenapa semua begitu cemas tentang yang keempat" Karena mereka tak yakin apakah mereka akan sepenuhnya selesai. Kalau kau tahu pasti kau akan selesai, justru akan lebih mudah. Tapi mereka tak pernah memberitahu kita dengan pasti."
Sudah lama aku bertanya-tanya apakah topik ini akan muncul, dan aku sudah memikirkan bagaimana reaksiku. Tapi ketika akhirnya terjadi, aku tak bisa berkata banyak. Maka aku hanya berkata, "Itu hanya omong kosong, Tommy. Hanya omongan, omongan liar. Tak ada gunanya dipikirkan."
Tapi Tommy pasti tahu kata-kataku sama sekali tak berdasar. Ia juga tahu, dokter sekalipun tidak bisa menjawab pertanyaannya. Kau pasti juga pernah mendengar omongan yang sama. Bahwa mungkin, sesudah donasi keempat, meskipun secara teknis sudah selesai, kau masih memiliki kesadaran tertentu; bahwa kau mendapati masih ada banyak donasi, sangat banyak, di sisi lain garis; bahwa tidak ada lagi panti pemulihan, tidak ada perawat, tidak ada teman; bahwa tidak ada yang bisa dilakukan kecuali memperhatikan donasi-donasimu yang tersisa sampai mereka mematikanmu. Seperti cerita film horor, dan orang-orang lebih suka tidak memikirkannya. Para dokter tidak, para perawat tidak"dan biasanya para donor juga tidak. Tapi sesekali seorang donor akan membicarakannya, seperti yang dilakukan Tommy sore itu, dan sekarang aku ingin rasanya kami membahasnya waktu itu. Ternyata, sesudah aku menyatakannya sebagai omong kosong, kami mundur dari seluruh wilayah itu. Namun setidaknya, aku tahu Tommy memikirkannya, dan aku senang ia setidaknya mengakuinya kepadaku. Maksudku secara keseluruhan aku mendapat kesan bahwa kami menghadapi donasi keempat dengan cukup baik, dan karena itulah aku sangat terkejut dengan perkataan Tommy ketika kami berjalan-jalan di lapangan.
KINGSFIELD tidak memiliki lahan yang luas. Hanya Alun-Alun yang menjadi titik berkumpul yang jelas dan sedikit bidang tanah di belakang bangunan-bangunan lebih kelihatan seperti tanah gersang. Lahan terbesar, yang oleh para donor disebut "lapangan", adalah bidang persegi penuh rumput liar serta widuri yang tumbuh subur dan ditahan pagar kawat jala. Sudah lama beredar kabar tanah itu akan diubah menjadi halaman yang layak untuk para donor, tapi hingga sekarang belum dilakukan. Mungkin meskipun akhirnya dibuat, halaman itu tidak akan tenang, karena di dekatnya ada jalan raya. Meski begitu, bila para donor gelisah dan perlu menenangkan hati, ke sanalah mereka pergi, menerobos jelatang dan tanaman berduri. Pagi yang kuceritakan ini sangat berkabut, dan aku tahu lapangan pasti basah, tapi Tommy menuntut kami ke sana. Tidak mengherankan, di sana hanya ada kami"yang mungkin bagi Tommy justru cocok. Sesudah mondar-mandir selama beberapa menit di sekitar belukar, ia berhenti di samping pagar dan menatap kabut di seberang. Lalu katanya:
"Kath, aku tidak ingin kau salah paham. Tapi aku sudah lama memikirkannya. Kath, kupikir aku perlu mendapat perawat lain."
Beberapa saat sesudah ia mengatakan itu, aku menyadari aku tidak terkejut sama sekali; bahwa anehnya aku malah sudah menantikannya. Tapi toh aku marah dan tidak mengatakan apa-apa.
"Bukan hanya karena donasi keempat sebentar lagi tiba," ia melanjutkan. "Bukan hanya soal itu. Ini karena masalah seperti yang terjadi minggu lalu. Waktu ginjalku bermasalah. Akan banyak masalah semacam itu."
"Itulah alasanku datang mencarimu," kataku. "Itulah alasanku datang membantumu. Untuk apa yang akan mulai sekarang. Dan itulah yang diinginkan Ruth."
"Ruth menginginkan hal yang lain itu untuk kita," kata Tommy. "Dia tidak bermaksud kau harus tetap menjadi perawat-ku selama tahap terakhir ini."
"Tommy," aku berkata, dan kupikir saat itu aku sangat marah, tapi aku menahan suaraku agar tenang dan terkendali. "Akulah yang harus membantumu. Karena itulah aku datang dan menemukan kau lagi."
"Ruth menginginkan hal yang lain itu untuk kita," ulang Tommy. "Semua ini tidak sama. Kath, aku tidak ingin seperti itu di hadapanmu."
Ia menunduk memandang tanah, satu tangannya menekan pagar kawat jala, dan sesaat ia seperti sedang mendengarkan bunyi lalu lintas di luar kabut. Saat itulah ia mengatakannya, sambil menggeleng:
"Ruth pasti mengerti. Dia donor, jadi dia akan mengerti. Aku bukan mengatakan dia juga menginginkan hal yang sama bagi dirinya. Kalau mampu, mungkin dia menginginkan kau sebagai perawatnya sampai akhir. Tapi dia akan mengerti, bahwa aku ingin melakukannya dengan cara lain. Kath, kadang-kadang kau tidak memahaminya. Kau tidak memahaminya karena kau bukan donor."
Waktu ia mengatakan ini, aku berbalik dan pergi. Seperti kukatakan, aku nyaris siap menyambut pernyataannya bahwa ia tak lagi menginginkanku sebagai perawatnya. Tapi yang benar-benar menyakitkan, yang diungkapkan setelah semua hal sepele lainnya, seperti waktu ia membiarkan aku berdiri di Alun-Alun, adalah apa yang dikatakannya waktu itu, caranya memisahkan-ku sekali lagi, bukan hanya dari semua donor lain, melainkan dari dirinya dan Ruth.
Namun hal ini tak pernah sampai jadi pertengkaran besar. Waktu aku pergi, tak banyak yang bisa kulakukan selain naik ke kamarnya lagi, lalu ia sendiri naik beberapa menit kemudian. Waktu itu kemarahanku sudah reda dan begitu pula dia, dan kami bisa bercakap-cakap dengan lebih baik tentang hal itu.
Agak kaku, tapi kami berdamai, bahkan membahas segi-segi praktis pergantian perawat. Lalu ketika kami duduk di dalam cahaya remang-remang, berdampingan di pinggir tempat tidurnya, ia berkata kepadaku:
"Aku tidak ingin kita bertengkar lagi, Kath. Tapi sudah lama aku ingin menanyakan ini kepadamu. Maksudku, apakah kau tidak bosan menjadi perawat" Kami semua, kami sudah menjadi donor sejak lama sekali. Kau sudah bertahun-tahun menjadi perawat. Tidakkah kau kadang-kadang berharap mereka segera memberimu panggilanmu, Kath?"
Aku mengedikkan bahu. "Aku tidak keberatan. Lagi pula, perawat-perawat yang baik itu penting. Dan aku perawat yang baik."
"Tapi benarkah sepenting itu" Baiklah, memang menyenangkan memiliki perawat yang baik. Tapi pada akhirnya, apakah itu begitu penting" Para donor akan memberi donasi, lalu mereka akan selesai."
"Tentu saja penting. Perawat yang baik sangat memengaruhi kualitas hidup seorang donor."
"Tapi semua kesibukanmu itu. Menguras tenaga dan selalu sendirian. Aku memperhatikanmu. Tenagamu terkuras habis. Kath, pasti kadang-kadang kau berharap mereka memberitahumu bahwa kau bisa berhenti. Aku tidak mengerti kenapa kau tidak bicara kepada mereka, bertanya mengapa selama ini." Lalu ketika aku diam saja, ia berkata, "Aku hanya bilang begitu, itu saja. Sudahlah, jangan bertengkar lagi."
Aku membaringkan kepalaku di pundaknya dan berkata, "Yah. Lagi pula mungkin takkan lama lagi. Tapi sekarang aku masih harus terus bertugas. Meskipun kau tidak menginginkan aku datang, ada orang-orang lain yang masih menginginkanku."
"Kupikir kau benar, Kath. Kau memang perawat yang baik.
Kau sempurna bagiku kalau saja kau bukan kau." Ia tertawa dan merangkulku, meskipun kami tetap duduk berdampingan. Lalu ia berkata: "Aku terus memikirkan tentang sungai ini, airnya mengalir sangat deras. Dan dua orang di dalam air, berusaha saling berpegangan, berpegangan seerat mungkin, tapi pada akhirnya mereka kewalahan. Arus terlalu kuat. Mereka terpaksa saling melepaskan, berpisah. Kupikir begitulah dengan kita. Sayang sekali, Kath, karena seumur hidup kita saling mencintai. Tapi pada akhirnya, kita tidak bisa terus bersama."
Ketika ia mengatakan ini, aku teringat bagaimana aku berpegangan erat padanya malam itu di ladang yang diterjang angin dalam perjalanan pulang dari Littlehampton. Aku tak tahu apakah ia memikirkan itu juga, atau apakah ia masih memikirkan sungai-sungai dan arusnya yang deras. Yang mana pun itu, kami tetap duduk seperti itu di tepi tempat tidur untuk waktu yang lama, termenung. Lalu akhirnya aku berkata kepadanya:
"Maaf aku membentakmu tadi. Aku akan bicara kepada mereka. Aku akan mencoba dan memastikan kau mendapat perawat yang benar-benar bagus."
"Sayang sekali, Kath," katanya sekali lagi. Dan kupikir kami tidak membicarakan hal itu lagi pagi itu.
AKU ingat minggu-minggu sesudahnya"beberapa minggu terakhir sebelum perawat yang baru mengambil alih tugasku"sebagai masa yang sangat damai. Mungkin Tommy dan aku berupaya keras untuk bersikap baik, tapi sepertinya waktu mengalir nyaris sangat santai. Mungkin kau berpikir keadaan kami seperti itu bagai khayalan, tapi tidak tampak aneh waktu itu. Aku cukup sibuk dengan beberapa donorku yang lain di North Wales dan itu mencegahku pergi ke Kingsfield lebih sering daripada yang kuinginkan, tapi toh aku masih bisa datang tiga atau empat kali seminggu. Cuaca semakin dingin, tapi tetap kering dan sering cerah, dan kami menghabiskan waktu di kamarnya, kadang-kadang bercinta, lebih sering hanya mengobrol, atau Tommy mendengarkan aku membaca. Sekali-dua kali Tommy bahkan mengeluarkan notesnya dan menggambar beberapa hewan sementara aku membaca dari tempat tidur.
Lalu suatu hari aku datang, dan itu hari terakhir. Aku tiba sesudah pukul satu pada suatu siang yang sejuk di bulan Desember. Aku naik ke kamarnya"setengah mengharapkan perubahan"entah apa. Mungkin aku mengira ia sudah memasang hiasan di kamarnya atau apa. Tapi tentu saja semua tampak normal, dan secara keseluruhan itu melegakan. Tommy juga tidak tampak berbeda, tapi ketika kami mulai berbicara, sulit untuk berpura-pura bahwa ini hanya salah satu kunjungan biasanya. Selain itu kami sudah bicara sangat banyak pada minggu-minggu sebelumnya, maka tak ada sesuatu yang khusus yang harus kami bereskan. Dan kukira kami enggan memulai percakapan yang akan kami sesali bila tidak bisa diselesaikan dengan baik. Karena itulah pembicaraan kami hari itu agak kosong.
Namun hanya sekali, sesudah aku beberapa saat mondar-mandir tanpa tujuan di kamarnya, aku bertanya padanya:
'Tommy, apakah kau bersyukur Ruth sudah selesai sebelum dia mengetahui semua yang kita lakukan pada akhirnya?"
Tommy berbaring di tempat tidur, terus menatap langit-langit sebelum berkata: "Aneh, aku juga memikirkan hal yang sama dua hari yang lalu. Yang perlu kauingat tentang Ruth, kalau menyangkut hal-hal semacam itu, dia selalu berbeda dari kita. Kau dan aku, sejak awal, bahkan waktu kecil sekalipun, selalu berusaha mencari tahu apa saja. Ingat, Kath, semua percakapan rahasia yang sering kita lakukan" Tapi Ruth tidak seperti itu. Dia selalu ingin percaya. Begitulah Ruth. Jadi ya, dari satu sisi, kupikir itu yang terbaik yang terjadi." Lalu ia menambahkan, "Tentu saja, apa yang kita temukan, tentang Miss Emily dan semua itu, tidak mengubah apa pun tentang Ruth. Pada akhirnya dia mengharapkan yang terbaik bagi kita. Dia benar-benar mengharapkan yang terbaik bagi kita."
Aku tidak ingin mulai berdebat tentang Ruth saat itu, maka aku setuju saja. Tapi sekarang ketika memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkannya, aku tidak begitu yakin tentang perasaanku. Sebagian diriku tetap berharap bahwa entah bagaimana kami bisa berbagi semua yang kami temukan dengan Ruth. Baiklah, mungkin itu akan membuatnya merasa sedih; membuatnya melihat bahwa kesalahan yang pernah dilakukannya terhadap kami tak bisa diperbaiki begitu saja seperti yang diharapkannya. Dan mungkin, kalau aku jujur, bagian kecil dalam diriku berharap ia mengetahui semua itu sebelum ia selesai. Tapi pada akhirnya, kupikir itu menyangkut hal lain, sesuatu yang jauh melebihi perasaanku yang penuh dendam dan jahat. Karena seperti kata Tommy, Ruth mengharapkan yang terbaik untuk kami pada akhirnya, dan meskipun ia bilang di mobil waktu itu bahwa aku takkan pernah memaafkannya, ia keliru. Sekarang kemarahanku terhadapnya tak lagi bersisa. Jika aku bilang bahwa aku ingin ia mengetahui seluruhnya, itu lebih karena aku sedih memikirkan kenyataan bahwa keadaannya begitu berbeda denganku dan Tommy. Seakan-akan ada garis pemisah dengan kami di satu sisi dan Ruth di sisi lainnya, dan sesudah semua itu, aku sedih atas hal itu, dan kupikir ia pun begitu kalau ia bisa melihatnya.
Tommy dan aku, hari itu kami tidak berpamitan secara khusus. Ketika tiba waktunya, ia turun bersamaku, yang biasanya tidak dilakukannya, dan kami menyeberangi Alun-Alun menuju mobil. Matahari sedang terbenam di balik bangunan-bangunan. Ada beberapa sosok samar, seperti biasa, di bawah tonjolan atap, tapi Square sendiri kosong. Tommy membisu sepanjang jalan menuju mobil. Lalu ia tertawa kecil dan berkata,
"Kau tahu, Kath, waktu aku suka main football di Hailsham dulu. Ada hal rahasia yang kulakukan. Selesai mencetak gol, aku membalikkan badan seperti ini?"ia mengangkat kedua tangannya dalam sikap menang?"dan aku berlari kembali ke teman-temanku. Aku tidak jadi sinting atau semacamnya, hanya lari kembali dengan tangan ke atas, seperti ini." Sesaat ia terdiam, tangannya masih terangkat. Lalu ia menurunkannya dan tersenyum. "Dalam benakku, Kath, waktu berlari kembali, aku selalu membayangkan aku mencebur ke dalam air. Tidak dalam, hanya sepergelangan kaki. Itu yang biasanya kubayangkan, setiap kali. Ciprat, ciprat, ciprat." Ia mengangkat tangannya lagi. "Rasanya benar-benar nikmat. Kau baru saja mencetak gol, kau berbalik, lalu, ciprat, ciprat, ciprat." Ia memandangku dan tertawa. "Selama ini, aku tidak pernah bercerita kepada satu orang pun."
Aku juga tertawa dan berkata, "Kau sinting, Tommy."
Sesudah itu kami berciuman"hanya ciuman singkat"lalu aku masuk ke mobil. Tommy tetap berdiri di sana sementara aku memutar mobil. Lalu ketika aku meluncur pergi, ia tersenyum dan melambai. Aku memperhatikannya lewat spionku, dan ia berdiri di sana hampir sampai saat terakhir. Persis pada akhirnya, aku melihatnya mengangkat tangan sedikit dan berputar ke arah tonjolan atap. Lalu Alun-Alun lenyap dari spion.
AKU berbicara dengan salah satu donorku beberapa hari yang lalu, yang mengeluh tentang bagaimana kenangan-kenangan, bahkan yang paling berharga sekalipun, memudar cepat sekali. Tapi aku tidak setuju dengan itu. Kenanganku yang paling kuhargai, aku tidak melihatnya pernah memudar. Aku kehilangan Ruth, kemudian Tommy, tapi aku takkan pernah kehilangan kenanganku tentang mereka.
Kupikir aku juga kehilangan Hailsham. Kau masih mendengar kisah tentang mantan siswa Hailsham yang mencoba mencarinya, atau lebih tepatnya, tempat Hailsham dulu berada. Lalu kadang-kadang kabar burung beredar tentang wujud Hailsham sekarang"sebagai hotel, sekolah, puing-puing. Aku sendiri, dengan semua perjalanan bermobil yang kulakukan, tak pernah mencoba mencarinya. Aku tidak tertarik melihatnya, apa pun bentuknya sekarang.
Tapi meskipun kukatakan aku tak pernah mencari Hailsham, yang kudapati adalah bahwa kadang-kadang, ketika sedang bermobil, tiba-tiba kupikir aku melihat sebagian dari Hailsham. Aku melihat paviliun olahraga di kejauhan dan aku yakin itu paviliun kami. Atau sederet pohon poplar di cakrawala di samping pohon ek besar, dan sekilas aku yakin aku menuju Lapangan Bermain Selatan dari sisi lain. Suatu kali, pada pagi yang mendung, di bentangan panjang suatu jalan di Gloucestershire, aku melewati mobil mogok di pinggir jalan, dan yakin perempuan yang berdiri di depannya, memandang kosong ke arah kendaraan-kendaraan yang lewat, adalah Susanna C., yang beberapa tahun di atas kami dan menjadi salah seorang pengawas Sales. Momen-momen seperti ini menerpaku pada saat yang paling tidak kusangka, bila aku mengemudi sambil memikirkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Maka mungkin pada suatu tingkat tertentu, aku memang mencari Hailsham.
Tapi seperti kukatakan, aku tidak pergi secara khusus untuk mencarinya, dan lagi pula, pada akhir tahun ini aku sudah tidak mondar-mandir seperti ini lagi. Maka kemungkinan besar aku takkan menemukannya sekarang, dan kalau kurenungi, aku senang keadaannya seperti itu. Seperti kenanganku tentang Tommy dan Ruth. Begitu aku bisa menjalani kehidupan yang lebih tenang, di panti mana pun mereka akan mengirimku, aku akan membawa Hailsham bersamaku, aman di dalam benakku, dan itu adalah sesuatu yang tak bisa diambil siapa pun.
Satu-satunya hal yang kulakukan untuk memuaskan hatiku, hanya satu kali, adalah beberapa minggu setelah mendengar bahwa Tommy sudah selesai, ketika aku pergi ke Norfolk, meskipun tidak ada keperluan di sana. Aku tidak mengejar sesuatu yang khusus dan tidak pergi sejauh pantai. Mungkin aku hanya ingin memandang ladang-ladang datar dan langit yang luas. Suatu ketika aku mendapati diriku berada di jalanan yang belum pernah kulalui, dan sekitar setengah jam aku tak tahu di mana aku berada dan tidak peduli. Aku melewati ladang demi ladang yang datar, kosong, tanpa perubahan kecuali ketika sesekali sekumpulan burung, yang mendengar bunyi mesinku, terbang dari parit. Lalu akhirnya aku melihat beberapa pohon di kejauhan, tak jauh dari pinggir jalan, maka aku meluncur ke sana, berhenti dan turun dari mobil.
Aku mendapati diriku berdiri di depan berhektar-hektar tanah yang sudah dibajak. Ada pagar yang menahanku masuk ke ladang, dengan dua baris kawat berduri, dan kulihat pagar serta tiga atau empat pohon di atasku adalah satu-satunya yang menahan angin dalam jarak puluhan meter. Sepanjang pagar, terutama sepanjang baris bawah kawat berduri, segala macam sampah terjebak dan berantakan. Seperti sampah di pinggir pantai: angin pasti menerbangkannya berkilo-kilometer jauhnya sebelum akhirnya membentur pepohonan dan dua baris kawat berduri ini. Begitu pula di atas, di antara dahan-dahan pohon, bisa kulihat robekan plastik dan potongan kantong berkibar-kibar. Itulah satu-satunya saat, ketika aku berdiri di situ, memandang sampah yang aneh itu, merasakan angin berembus melintasi ladang-ladang kosong, aku mulai membayangkan sesuatu, karena bukankah ini Norfolk, dan baru beberapa minggu sesudah aku kehilangan Tommy. Aku memikirkan sampah, plastik yang berkibar di dahan-dahan, barisan benda yang terperangkap sepanjang pagar, dan aku setengah memejamkan mata dan membayangkan bahwa inilah tempat semua yang hilang sejak masa kanak-kanakku tersangkut, dan sekarang aku berdiri di sini di depannya, dan jika aku menunggu cukup lama, suatu sosok kecil akan muncul di cakrawala di seberang ladang, pelan-pelan semakin besar sampai aku melihat bahwa itu Tommy, dan ia akan melambai, mungkin bahkan memanggilku. Khayalanku tak pernah melebihi itu"aku tidak membiarkannya"dan meskipun air mata membasahi pipiku, aku tidak terisak atau kehilangan kendali. Aku hanya menunggu sebentar, lalu kembali ke mobil, untuk pergi ke mana pun aku seharusnya pergi.
TAMAT

Never Let Me Go Karya Kazuao Ishiguro di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Iblis Pemburu Perawan 1 Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Purnama Berdarah 1

Cari Blog Ini