Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot Bagian 2
Entah berapa hari atau minggu kami menjelajahi lem?bah-lembah dan perbukitan, meninggalkan puncak Pyrenees yang kebiru-biruan dan sekarang kelihatan seperti sekumpulan awan-awan.
Lalu pada suatu malam kami tiba di sebuah kota besar dengan rumah-rumah jelek dari batu bata merah, jalanan- jalanannya dialasi batu-batu kecil tajam yang terasa keras kalau diinjak kaki-kaki para pengelana yang sudah berjalan puluhan kilometer dalam sehari. Majikanku mengatakan kota ini bernama Toulouse dan kami akan menetap di sini untuk waktu lama. Seperti biasa, yang pertama-tama kami lakukan adalah mencari-cari tempat yang cocok untuk menggelar pertunjukan besok. Sebenarnya ada banyak tem?pat yang cocok, terutama di dekat Kebun Raya; di situ ada lapangan rumput yang cantik, dinaungi pohon-pohon be?sar, dan ada jalan raya lebar yang mengarah ke sana. La?pangan itu berada di salah satu pinggir jalan tempat kami menggelar pertunjukan kami yang pertama.
Seorang polisi berdiri tidak jauh dari situ ketika kami sedang mengadakan persiapan. Dia kelihatannya kesal, entah karena dia tidak menyukai anjing, atau karena dia menganggap kami tidak seharusnya berada di sana. Dia mencoba mengusir kami. Sebenarnya akan lebih baik kalau kami pergi saja. Kami tidak cukup kuat untuk melawan polisi, tetapi majikanku tidak mau mengalah. Walaupun sudah tua dan menjadi pengamen keliling bersama anjing- anjingnya, harga dirinya sangat tinggi. Menurut pendapat?nya, selama dia tidak melanggar hukum, dia seharusnya
mendapatkan perlindungan polisi, jadi ketika polisi itu hendak mengusir kami, dia menolak pergi.
Signor Vitalis bersikap sangat sopan; malahan dia me?nunjukkan kesopanan khas Itali-nya secara berlebihan. Orang yang melihatnya bisa-bisa mengira dia sedang ber?hadapan dengan orang penting berpangkat tinggi.
"Tuan Polisi yang terhormat, pelindung masyarakat," katanya seraya membuka topi dan membungkuk rendah kepada polisi itu, "bisakah Anda menunjukkan pada saya, atas dasar apa para pengamen pengembara yang malang seperti kami ini dilarang menggelar pertunjukan sederhana di lapangan umum?"
Si polisi menjawab bahwa dia tidak mau didebat. Kami harus mematuhi perintahnya.
"Tentu," sahut Signor Vitalis, "dan saya berjanji akan melakukan perintah Anda, begitu Anda menjelaskan atas dasar hukum yang mana Anda mengeluarkan perintah ter?sebut."
Hari itu si polisi langsung balik badan dan pergi, dan majikanku membungkuk rendah dengan topi di tangan, sambil tersenyum kepada sosok si polisi yang menjauh.
Tetapi keesokan harinya polisi itu datang lagi dan me?lompati tali-tali yang membatasi "panggung" kami. Dia masuk ke tengah-tengah panggung.
"Anjing-anjing itu harus diberangus," dia berkata de?ngan nada kasar kepada Signor Vitalis.
"Memberangus anjing-anjingku"!"
"Memang begitu aturannya, kau mestinya tahu!"
Para penonton mulai memprotes.
"Jangan ikut campur!"
"Biar dia menyelesaikan pertunjukannya, Polisi!"
Signor Vitalis membuka topinya, bulu-bulu hiasan topi?
nya menyapu tanah ketika dia membungkuk hormat tiga kali kepada si polisi.
"Tuan Polisi yang terhormat, apakah maksud Anda, saya harus memberangus aktor-aktor saya ini?" tanyanya.
"Ya, dan jangan berlama-lama!"
"Memberangus Capi, Zerbino, dan Dulcie," seru Signor Vitalis, yang menujukan ucapannya kepada para penonton, bukan kepada si polisi. "Bagaimana mungkin Dokter Capi yang hebat dan terkenal di seluruh jagat ini bisa menulis?kan resep untuk Mr. Pretty-Heart kalau dia mesti memakai berangus pada hidungnya?"
Anak-anak dan para orangtua mulai tertawa. Merasa di atas angin, Signor Vitalis melanjutkan:
"Dan bagaimana mungkin Suster Dulcie yang manis itu bisa membujuk pasiennya untuk minum obat yang tidak enak tapi manjur itu kalau saya dipaksa menjalankan perin?tah kejam ini" Saya bertanya kepada para penonton, adil?kah ini?"
Tepuk tangan dan seruan-seruan penuh tawa dari para penonton sudah cukup sebagai jawaban. Mereka mengelu- elukan Signor Vitalis dan mencemooh si polisi, dan ter?utama mereka merasa geli melihat mimik muka Pretty- Heart. Monyet itu berdiri di belakang "Tuan Polisi yang terhormat", dan menunjukkan seringai-seringai konyol di belakang punggungnya. Si polisi menyilangkan kedua lengannya, lalu membukanya lagi, bertolak pinggang sam?bil menyentakkan kepala ke belakang. Si monyet meniru gerak-geriknya. Para penonton tertawa terpingkal-ping?kal.
Si polisi membalikkan badan dengan tiba-tiba, untuk melihat apa yang membuat orang-orang itu tertawa, dan dia menangkap basah si monyet sedang meniru gerakgeriknya dengan sangat persis. Selama beberapa saat si monyet dan si polisi bertatap-tatapan. Entah siapa yang akan lebih dulu mengalihkan pandang. Orang banyak ber?seru-seru senang.
"Kalau besok anjing-anjingmu belum juga diberangus/' seru si polisi dengan marah, sambil mengacung-acungkan tinjunya, "kau akan ditangkap. Lihat saja!"
"Selamat siang, sampai besok, Signor," kata Signor Vitalis, "sampai besok...."
Si polisi berjalan pergi. Signor Vitalis membungkukkan badan sangat rendah dengan sikap hormat dibuat-buat.
Kupikir dia akan membeli berangus untuk anjing-anjing, tapi ternyata tidak, dan sampai sore dia tidak menyebut- nyebut lagi pertengkarannya dengan polisi itu. Akhirnya kuputuskan untuk menyinggung masalah ini.
"Mungkin sebaiknya Capi dipakaikan berangus sebelum tampil, supaya dia terbiasa, jadi besok dia tidak mencoba melepaskannya sewaktu mengadakan pertunjukan. Kita bisa mengajarinya bahwa dia mesti tetap memakai berangus?nya."
"Kaupikir aku mau saja memakaikan berangus di hi?dung mereka yang mungil itu?"
"Polisi itu kan menyuruh kita memberangus mereka."
"Kau hanya anak desa. Seperti umumnya petani, kau takut pada polisi."
"Jangan khawatir," dia menambahkan, "besok akan ku?bereskan urusan ini, supaya polisi itu tidak menangkap kita, tapi anjing-anjing juga tidak menderita. Dan para pe?nonton akan sedikit terhibur melihatnya. Polisi ini bisa di?manfaatkan untuk menambah pemasukan, sambil sekaligus memainkan peranan lucu dalam sandiwara yang akan ku?siapkan untuknya. Nah, besok kau pergi duluan bersama
Pretty-Heart. Pasang tali-tali, dan mainkan beberapa nada dengan harpamu. Kalau sudah banyak penonton, polisi itu pasti datang. Aku akan muncul bersama anjing-anjing. Lalu sandiwaranya dimulai."
Aku sama sekali tidak senang harus pergi sendirian ke?esokan harinya, tapi aku tahu aku harus mematuhi ma?jikanku.
Begitu sampai di tempat kami yang biasa, aku memasang tali-tali dan mulai beraksi. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru dan berkerumun di luar panggung kami. Aku sudah belajar memainkan harpa dan bisa menyanyi sangat bagus. Di antara lagu-lagu yang kupelajari adalah sebuah canzonetta Neapolitan yang selalu mendapat te?pukan riuh dari para penonton. Tapi aku tahu bahwa hari ini orang-orang datang bukan untuk menontonku. Semua yang telah menyaksikan pertengkaran kemarin dengan si polisi, sekarang ikut hadir dan mengajak teman-teman me?reka. Polisi tidak begitu disukai di Toulouse, dan orang- orang penasaran ingin melihat, apa yang akan dilakukan si Pak Tua Itali itu, dan apa maksud ucapannya kemarin, "Sampai besok, Signor." Beberapa penonton yang melihat aku datang hanya bersama Pretty-Heart, menginterupsi laguku untuk menanyakan apakah "Pak Tua Itali" itu akan datang.
Aku mengangguk. Si polisi datang. Pretty-Heart yang pertama-tama melihatnya. Monyet itu langsung mengepal?kan kedua tangannya di pinggul dan mulai mondar-man?dir dengan lagak sok penting. Orang-orang tertawa melihat ulahnya, dan bertepuk tangan. Si polisi melotot marah padaku.
Bagaimanakah akhir semua ini" Aku agak gelisah. Kalau Signor Vitalis sudah di sini, dia pasti tahu cara meng?hadapi si polisi. Tapi aku sendirian. Kalau dia mengusirku, aku mesti bilang apa"
Si polisi berjalan mondar-mandir di luar tali-tali, dan ketika dia lewat di dekatku, tatapan matanya membuatku semakin ciut.
Pretty-Heart tidak mengerti kegentingan situasi ini, jadi dia dengan gembira mondar-mandir di dalam batasan tali-tali, bersisian dengan si polisi, sambil meniru semua gerak-geriknya. Ketika melewatiku, monyet itu juga menoleh menatapku, gayanya lucu sekali dan membuat orang-orang tertawa semakin keras.
Kupikir ini sudah cukup keterlaluan, maka kupanggil Pretty-Heart, tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia terus saja berjalan, lari, dan menghindariku sewaktu aku men?coba menangkapnya. Entah bagaimana, si polisi yang ba?rangkali sudah sangat murka, mengira aku sengaja men?dukung kelakuan Pretty-Heart. Tiba-tiba saja dia melompat ke balik tali-tali. Dalam sekejap dia sudah menyergapku dan dengan sekali pukul dia menjatuhkan aku ke tanah. Ketika aku membuka mata dan bangkit berdiri, Signor Vitalis muncul entah dari mana dan berdiri di hadapanku. Dia mencengkeram pergelangan tangan polisi itu.
"Aku tidak mengizinkanmu memukul anak itu," seru?nya. "Sungguh tindakan pengecut!"
Selama beberapa saat, kedua orang itu saling pandang. Si polisi sudah merah padam saking marahnya. Majikanku sungguh luar biasa. Kepalanya yang berambut putih itu tetap tegak, wajahnya mengekspresikan wibawa dan rasa tak senang. Tatapannya saja sudah cukup untuk membuat polisi itu mengkeret ketakutan. Tapi polisi itu tidak takut.
Dia menyentak lepas tangannya, mencengkeram kerah kemeja majikanku, dan mendorongnya dengan kasar. Signor Vitalis terjungkal dan nyaris jatuh, tetapi cepat-cepat dia berdiri tegak kembali, dan dengan tangannya yang be?bas dia memukul pergelangan polisi itu. Majikanku orang yang kuat, namun tetap saja dia sudah berumur, sedang?kan si polisi masih muda dan sehat. Sudah bisa kubayang?kan bagaimana akhir pergulatan ini. Tapi ternyata tidak terjadi pergulatan.
"Kau ikut aku," kata polisi itu, "kau ditangkap."
"Kenapa kau memukul anak itu?" tuntut Signor Vitalis.
"Tidak usah banyak bicara. Ikut aku."
Signor Vitalis tidak menjawab. Dia berbalik padaku.
"Pulanglah ke penginapan," katanya, "dan tetaplah di sana bersama anjing-anjing. Nanti aku akan mengirim ka?bar."
Dia tidak sempat berbicara lebih banyak, sebab si polisi sudah menyeretnya pergi. Demikianlah akhir pertunjukan yang oleh majikanku ingin dibuat menarik. Mulanya anjing-anjing mengikutinya pergi, tetapi mereka kupanggil, dan karena sudah terbiasa patuh, mereka kembali padaku. Kuperhatikan moncong mereka diberangus, tetapi bukan dengan berangus anjing yang biasanya. Mereka hanya me?makai sehelai sutra yang cantik, yang dililitkan di seputar hidung mereka dan diikat di bawah dagu. Capi, yang ber?bulu putih, memakai sutra merah; Zerbino, yang berbulu hitam, memakai sutra putih, dan Dulcie, yang berbulu kelabu, memakai sutra biru. Majikanku yang malang telah mengikuti perintah polisi itu.
Orang banyak segera bubar. Beberapa orang masih ber?diri di situ untuk membicarakan kejadian tadi.
"Orang tua itu bertindak benar."
"Dia salah." "Kenapa polisi itu memukul si anak" Dia kan tidak ber?buat apa-apa, dan tidak bilang apa-apa."
"Kacau. Orang tua itu pasti bakal dipenjarakan."
Aku pulang ke tempat penginapan dengan perasaan ter?tekan. Aku sudah sangat menyukai majikanku, dan makin hari rasa sayangku padanya semakin bertambah. Kami selalu bersama-sama dari pagi sampai malam, dan sering kali juga dari malam sampai pagi, kalau kami harus tidur di alas jerami yang sama. Perhatiannya padaku sama se?perti perhatian seorang ayah kepada anaknya. Dia telah mengajariku membaca, menyanyi, dan menulis. Selama pengembaraan kami yang panjang, dia mengajarkan ba?nyak hal padaku, mula-mula tentang subjek tertentu, lalu subjek lainnya. Pada hari-hari yang sangat dingin, dia membagi selimutnya denganku; pada hari-hari panas, dia selalu membantu membawakan tas-tas dan berbagai barang lain yang harus kubawa. Dan kalau kami makan, tidak pernah dia memberiku bagian yang paling jelek dan me?nyimpan yang paling bagus untuk dirinya sendiri; justru sebaliknya, dia membaginya dengan adil, yang bagus dan yang tidak bagus. Memang, kadang-kadang dia suka men?jewer telingaku lebih keras daripada yang bisa kuterima, tapi kalau aku memang perlu dijewer, kenapa tidak" Sing?katnya, aku sayang padanya dan dia sayang padaku. Berapa lama dia akan dipenjara" Aku mesti bagaimana se?lama dia dipenjara" Bagaimana aku mesti mencari ma?kan"
Signor Vitalis biasa membawa uangnya ke mana-mana, dan dia tidak sempat meninggalkan sedikit uang untukku sebelum polisi itu menyeretnya pergi. Aku hanya punya
beberapa soii di sakuku. Cukupkah itu untuk membeli ma?kanan buat Pretty-Heart, anjing-anjing, dan aku sendiri" Selama dua hari berikutnya aku sangat kebingungan, tidak berani keluar dari tempat penginapan. Pretty-Heart dan anjing-anjing juga sangat murung. Akhirnya, pada hari ke?tiga, seorang laki-laki menyampaikan surat dari Signor Vitalis. Majikanku menulis bahwa hari Sabtu depan dia akan dia diadili karena telah melawan perintah dan menye?rang petugas polisi.
"Aku salah telah menuruti amarahku," tulisnya. "Mung?kin aku harus membayar mahal, tapi sekarang sudah ter?lambat. Datanglah ke pengadilan, kau akan menarik pela?jaran dari sana." Lalu dia memberiku sedikit nasihat dan menyampaikan rasa sayangnya padaku. Dia juga minta aku mewakilinya mengusap-usap anjing-anjing dan si mo?nyet.
Sementara aku membaca surat itu, Capi berdiri di antara kakiku dan menempelkan hidungnya ke kertas surat, mengendus-endusnya. Dari caranya mengibas-ngibaskan ekor, rupanya dia tahu surat itu dari tuannya. Setelah tiga hari, ini pertama kalinya dia menunjukkan sedikit tanda-tanda kegembiraan.
Aku berangkat ke pengadilan pagi-pagi sekali pada hari Sabtu itu. Di antara yang hadir, banyak orang yang me?nyaksikan kejadian dengan si polisi waktu itu. Aku sangat ketakutan berada di pengadilan, jadi aku sembunyi di bela?kang sebuah tungku besar dan meringkuk serapat mungkin di tembok. Yang akan lebih dulu diadili adalah orang- orang yang ditangkap karena kasus perampokan dan perkelahian. Semuanya mengaku tidak bersalah, tapi diputus?kan bersalah. Akhirnya giliran Signor Vitalis dibawa ke depan Hakim. Dia duduk diapit dua petugas polisi. Aku hampir-hampir tidak mendengar apa yang mula-mula di?katakannya dan apa yang ditanyakan padanya, karena pe?rasaanku begitu bergolak. Aku menatap Signor Vitalis lekat-lekat. Dia berdiri tegak, kepalanya yang beruban itu disentakkan ke belakang. Dia tampak malu dan cemas. Aku memandang Pak Hakim.
"Kau memukul petugas polisi yang menangkapmu," kata Hakim.
"Bukan memukul, Yang Mulia," kata Signor Vitalis, "saya hanya menepuknya satu kali. Sewaktu saya tiba di tempat kami akan mengadakan pertunjukan, saya lihat po?lisi itu memukul si anak sampai terjatuh "anak lelaki kecil yang bersama saya."
"Anak itu bukan anakmu."
"Memang bukan, tapi saya sayang padanya seperti ke?pada anak sendiri. Waktu melihat dia dipukul, saya tidak bisa menahan diri, dan saya cengkeram lengan polisi itu supaya dia tidak bisa memukul lagi."
"Kau memukulnya?"
"Waktu dia mendorong saya, yang terpikir oleh saya adalah lawan saya itu hanya orang biasa, bukan seorang petugas polisi."
Setelah itu giliran si polisi menyampaikan pembelaan?nya.
Signor Vitalis melayangkan pandang ke seisi ruangan. Aku tahu dia mencari-cari apakah aku ada di situ, jadi ku?putuskan untuk keluar dari tempat persembunyianku. De?ngan menyiku kiri-kanan di tengah kerumunan orang, aku datang dan berdiri di samping majikanku. Wajah Signor
Vitalis berseri-seri ketika melihatku. Akhirnya pengadilan selesai. Majikanku dijatuhi hukuman dua bulan penjara dan denda seratus franc. Dua bulan penjara! Pintu tempat Signor Vitalis dibawa masuk tadi, dibuka. Dengan mata kabur oleh air mata kulihat dia melangkah mengikuti se?orang petugas polisi, lalu pintu itu tertutup kembali di belakangnya. Kami akan berpisah selama dua bulan!
Ke mana aku harus pergi"
Bab Sepuluh Beratap Langit Aku pulang ke tempat penginapan dengan perasaan kalut dan mata merah. Si pemilik penginapan sedang berdiri di pekarangan. Aku hendak melewatinya untuk menemui anjing-anjingku, tetapi dia mencegatku.
"Bagaimana dengan majikanmu?" tanyanya.
"Dia dihukum penjara."
"Berapa lama?" "Dua bulan." "Denda berapa?"
"Seratus franc."
"Dua bulan... seratus franc dia mengulangi dua-tiga kali.
Aku ingin jalan terus, tapi lagi-lagi dia mencegatku.
"Lalu kau mau bagaimana selama dua bulan ini?"
"Aku belum tahu, Sir."
"Oh, belum tahu ya. Kau masih punya uang buat hidup sehari-hari dan buat beli makanan binatang-binatang peliharaanmu, kurasa."
"Tidak punya, Sir."
"Lalu, kau mau bergantung padaku?"
"Tidak, Sir, aku tidak bergantung pada siapa-siapa."
Aku berkata jujur. Aku tidak mau bergantung pada siapa pun.
"Majikanmu sudah berutang banyak padaku," si pemilik penginapan melanjutkan. "Aku tidak bisa memberi tum?pangan selama dua bulan padamu kalau tidak ada ke?pastian aku akan dibayar. Kau harus pergi."
"Pergi! Ke mana aku akan pergi, Sir?"
"Itu bukan urusanku. Aku bukan apa-apamu. Kenapa aku mesti menampungmu?"
Sesaat aku tertegun. Dia benar. Untuk apa dia menam?pungku"
"Sudah, bawa anjing-anjingmu dan monyetmu dan pergi?lah! Tapi jangan membawa tas majikanmu. Nanti kalau dia sudah keluar dari penjara, dia pasti akan datang kemari buat mengambil tasnya, dan dia mesti membereskan utang- utangnya."
Aku mendapat gagasan. "Kalau nanti dia akan membereskan utang-utangnya, bisakah aku tetap di sini sampai dia datang dan sekalian membayar ongkos menginapku?"
"Ah, ah! Majikanmu mungkin sanggup membayar ong?kos menginap dua hari, tapi kalau dua bulan... itu belum tentu."
"Aku akan makan sesedikit mungkin."
"Lalu anjing-anjingmu dan monyetmu..." Tidak, pergi sana! Kau bisa cari makan cukup di desa-desa."
"Tapi, Sir, bagaimana majikanku bisa menemukan aku nanti, kalau dia sudah keluar dari penjara" Dia pasti akan mencariku di sini."
"Kau tinggal kembali kemari pada hari itu."
"Dan kalau dia menulis surat padaku?"
"Akan kusimpankan suratnya."
"Tapi kalau aku tidak membalas suratnya...?"
"Oh, sudah, jangan banyak bicara. Cepatlah pergi dari sini! Kuberi waktu lima menit. Kalau kau masih di sini saat aku kembali, kau akan tahu sendiri akibatnya."
Aku tahu tidak ada gunanya memohon-mohon pada orang itu. Aku harus pergi. Maka aku beranjak ke kandang untuk menjemput anjing-anjing dan Pretty-Heart. Lalu de?ngan memanggul harpa di pundak, aku pergi dari tempat penginapan itu.
Aku ingin cepat-cepat meninggalkan kota, sebab anjing- anjingku tidak diberangus. Apa yang mesti kukatakan ka?lau aku berpapasan dengan polisi" Bahwa aku tidak punya uang" Memang begitulah kenyataannya. Aku hanya punya sisa sebelas sou di kantongku. Itu tidak akan cukup untuk membeli berangus. Bisa-bisa aku ditangkap. Kalau Signor Vitalis dan aku sama-sama masuk penjara, bagaimana nasib binatang-binatang ini" Aku merasa bertanggung jawab.
Sementara aku berjalan cepat-cepat, anjing-anjing me?mandangiku dengan sorot mata yang begitu jelas maksud?nya. Mereka lapar. Pretty-Heart, yang kugendong, sesekali menarik-narik telingaku untuk memaksaku menatapnya. Lalu dia menggosok-gosok perutnya dengan cara sangat ekspresif seperti sorot mata anjing-anjing itu. Aku juga lapar. Tadi kami tidak sarapan. Uangku yang hanya sebelas sou itu tidak akan cukup untuk membeli makan siang dan makan malam, jadi kami harus puas makan satu kali saja. Mungkin kalau kami makan pada tengah hari, bisa se?kalian mengganjal perut sampai malam.
Aku terus berjalan tanpa tujuan. Aku tidak peduli arah yang kutuju. Tidak ada bedanya ke mana aku pergi, toh aku tidak mengenal negeri ini. Urusan mencari tempat un?tuk tidur tidak terlalu mencemaskanku. Kami bisa tidur di udara terbuka... Yang menjadi masalah adalah mencari ma?kanan!
Setelah berjalan sekitar dua jam, barulah aku berani ber?henti, tetapi anjing-anjing masih juga menatapku dengan penuh harap, dan Pretty-Heart menarik-narik telingaku sambil tak henti-henti menggosok-gosok perutnya. Akhir?nya aku merasa sudah cukup jauh meninggalkan kota dan tidak perlu merasa takut lagi. Aku masuk ke toko roti per?tama yang kujumpai. Aku minta dibungkuskan roti ukuran satu setengah pon.
"Sebaiknya sekalian beli roti yang dua pon," kata si perempuan penjual roti. "Itu tidak terlalu banyak untuk binatang-binatang peliharaanmu. Kau harus memberi ma?kan anjing-anjing malang itu."
Oh tidak, roti itu memang tidak terlalu banyak untuk anjing-anjingku, tapi terlalu banyak buat kantongku. Roti seberat dua pon harganya sepuluh son. Kupikir tidak bijak?sana kalau membelanjakan uang terlalu banyak, padahal belum tentu besok aku akan dapat uang. Kukatakan pada penjual roti itu dengan asal saja bahwa roti satu setengah pon sudah cukup, dan dengan sopan kuminta dia untuk tidak memotongkan lebih banyak. Aku keluar dari toko itu sambil mengempit rotiku erat-erat. Anjing-anjing me?lompat-lompat gembira di dekatku. Pretty-Heart menarik- narik rambutku sambil berdecak-decak senang.
Kami tidak pergi jauh. Begitu melihat ada pohon, kusan- darkan harpaku di batangnya, lalu aku duduk di rumput. Anjing-anjing duduk di hadapanku. Capi di tengah, Dulcie dan Zerbino di kiri-kananku. Pretty-Heart, yang tidak me?rasa capek, berdiri mengawasi dan bersiap-siap menyambar
potongan roti pertama. Membagi roti sama rata susah se?kali rasanya. Kupotong roti itu menjadi lima bagian, dan kuusahakan sedapat mungkin ukurannya sama, lalu ku?bagikan sepotong demi sepotong, seperti membagikan kartu. Pretty-Heart, yang makannya lebih sedikit daripada kami, sudah merasa cukup kenyang sementara kami masih kelaparan. Kuambil tiga potong bagiannya dan kusembunyi?kan di dalam tasku, untuk diberikan kepada anjing-anjing nanti. Lalu sepotong kecil roti yang masih tersisa kupecah- kan dan kami masing-masing mendapat secuil. Itulah ma?kanan penutup kami.
Sesudah makan, aku merasa sudah waktunya mengucap?kan beberapa patah kata kepada rekan-rekan seperjuangan?ku. Walaupun aku pemimpin mereka, aku tidak mengang?gap diriku jauh di atas mereka sehingga tidak pantas mengharapkan mereka ikut ambil bagian untuk mengatasi situasi sulit yang kami hadapi.
Capi mungkin sudah menduga maksudku, sebab dia duduk dan menatapku dengan sepasang matanya yang besar dan cerdas itu.
"Ya, Capi," kataku, "dan kau, Dulcie, Zerbino, dan Pretty-Heart, teman-temanku. Aku punya berita buruk buat kalian. Kita tidak akan bertemu majikan kita selama dua bulan penuh."
"Guk guk," gonggong Capi.
"Kasihan dia dan kasihan kita juga, sebab kita bergan?tung kepadanya dalam segala hal, dan sekarang dia tidak ada. Kita tidak punya uang."
Mendengar kata "uang", Capi memahami sepenuhnya. Dia berdiri pada kedua kaki belakangnya dan berjalan ber?keliling, seperti sedang mengumpulkan uang dari "para penonton yang terhormat".
"Kau mau mengadakan pertunjukan, ya, Capi," kataku. "Bagus sekali, tapi kita mau mempertunjukkan apa" Itu masalahnya. Kita hanya punya uang tiga soii, jadi kalian jangan sampai kelaparan. Kalian semua harus sangat pa?tuh, supaya beban kita tidak terlalu berat. Kalian mesti membantuku sedapat mungkin. Aku ingin merasa bahwa kalian bisa diandalkan."
Aku tidak berani bilang bahwa mereka memahami se?mua perkataanku, tapi secara umum mereka mengerti. Mereka tahu ada hal serius yang terjadi, sebab majikan kami tidak ada di sini, dan mereka mengharapkan pen?jelasan dariku. Kalaupun mereka tidak memahami semua yang kuucapkan, setidaknya mereka puas karena aku mem?perhatikan kesejahteraan mereka, dan rasa puas ini mereka perlihatkan dengan menaruh perhatian pada ucapanku.
Perhatian" Ya, anjing-anjing memang menaruh perhatian. Tetapi Pretty-Heart tidak tahan diam berlama-lama. Dia ti?dak bisa memfokuskan pikirannya pada satu hal untuk waktu lama. Tadi dia mendengarkan aku bicara dengan penuh minat, tapi sebentar kemudian dia sudah melompat ke atas pohon yang cabang-cabangnya menggelayut di atas kepala kami, dan sekarang dia berayun-ayun dari cabang ke cabang. Kalau Capi yang bertingkah demikian, aku pas?ti tersinggung. Tapi aku tidak kaget kalau Pretty-Heart yang berbuat begitu. Monyet ini memang berkepala ko?song. Tapi wajar saja kalau dia ingin bersenang-senang se?dikit. Aku juga ingin begitu.
Setelah beristirahat sejenak, aku memberi isyarat untuk melanjutkan perjalanan. Kami harus mencari tempat mengi?nap untuk malam ini, dan berusaha mengumpulkan sedikit uang untuk membeli makanan keesokan harinya. Setelah berjalan selama satu jam, kami melihat sebuah desa di de?pan sana. Cepat-cepat kudandani para aktorku, dan de?ngan semegah mungkin kami memasuki desa itu. Sayang?nya kami tidak punya seruling, dan tidak ada sosok anggun berwibawa Signor Vitalis. Dia selalu menarik per?hatian, seperti penabuh genderang. Tubuhku tidak jang?kung dan berwibawa. Aku malah kecil dan kurus, dan tampangku pasti sangat cemas. Sambil berderap, aku me?noleh ke kiri-kanan, untuk melihat efek yang kami timbul?kan. Ternyata payah sekali. Tidak ada yang mengikuti kami. Begitu sampai ke lapangan kecil yang ada air man?curnya di bawah pepohonan, kukeluarkan harpaku dan kumainkan nada-nada waltz yang riang. Jemariku ringan, namun hatiku begitu berat.
Zerbino dan Dulcie kusuruh berdansa zvaltz berpasangan. Mereka langsung patuh dan mulai berputar-putar menuruti irama musik. Akan tetapi tidak ada orang yang datang me?nonton, padahal kulihat ada beberapa perempuan duduk merajut sambil mengobrol di depan pintu. Aku terus me?mainkan harpaku. Zerbino dan Dulcie juga terus berdansa waltz. Barangkali kalau ada satu saja orang yang datang, yang lainnya akan mengikuti, makin lama makin banyak.
Aku terus bermain, Zerbino dan Dulcie terus berdansa, tetapi perempuan-perempuan di depan pintu itu tidak se?dikit pun menoleh ke arah kami. Sungguh mengecewakan, namun aku bertekad untuk tidak patah semangat. Kumain?kan harpaku dengan sepenuh hati, sampai senar-senarnya bergetar dan nyaris putus. Tiba-tiba seorang anak kecil yang baru belajar berjalan, melangkah tertatih-tatih dari rumahnya dan menghampiri kami. Pasti ibunya akan meng?ikutinya, dan mungkin seorang teman akan menyusul, jadi kami punya beberapa penonton dan akan mendapat uang sedikit.
Aku memainkan harpa dengan lebih lembut, supaya ti?dak membuat takut anak kecil itu, dan untuk menarik mi?natnya supaya datang lebih dekat. Dengan kedua tangan terulur dan langkah terhuyung-huyung dia mendatangi perlahan-lahan. Beberapa langkah lagi, dia sudah sampai ke tempat kami. Tetapi pada saat itu ibunya menoleh dan melihat anaknya. Bukannya lari mengejar si anak, dia ha?nya memanggil-manggil dan si anak dengan patuh kembali kepadanya. Barangkali orang-orang ini tidak menyukai mu?sik dansa.
Kusuruh Zerbino dan Dulcie berbaring, dan aku mulai menyanyikan canzonetta-ku. Belum pernah aku berusaha sekeras itu untuk menyenangkan hati orang.
Ketika aku selesai menyanyikan bait kedua, aku melihat seorang laki-laki berjaket mendatangiku. Akhirnya... Ku?coba menyanyi dengan lebih bersemangat.
"Halo, kau sedang apa di sini, anak nakal?" serunya.
Aku berhenti, kaget mendengar kata-katanya. Dengan terperangah kulihat orang itu semakin mendekat.
"Kubilang, kau sedang apa di sini?"
"Menyanyi, Sir."
"Apa kau punya izin untuk menyanyi di lapangan umum di desa kami?"
"Tidak, Sir." "Kalau begitu, pergilah. Kalau tidak, akan kusuruh polisi menangkapmu."
"Tapi, Sir..." "Pergi sana, gembel cilik."
Dari pengalaman majikanku yang malang, aku tahu har?ga yang mesti kubayar kalau aku melawan perintah polisi. Maka aku cepat-cepat pergi sebelum orang itu mengusirku lagi.
Gembel! Jahat sekali. Aku tidak meminta-minta. Aku tadi kan menyanyi. Lima menit kemudian aku sudah me?ninggalkan desa yang tidak ramah dan dijaga ketat itu. Anjing-anjing mengikutiku dengan kepala tertunduk dan ekor terkulai. Mereka tahu kami baru saja tertimpa nasib sial. Sesekali Capi berjalan paling depan dan menoleh me?natapku dengan sorot mata bertanya-tanya di matanya yang cerdas. Orang lain dalam posisinya pasti akan lang?sung bertanya padaku, tetapi Capi anjing yang sopan dan dia diam saja. Kulihat bibirnya gemetar karena berusaha keras untuk tidak memprotes.
Setelah cukup jauh meninggalkan desa, kuberi isyarat agar berhenti. Ketiga anjing mengelilingiku, Capi di tengah, kedua matanya tertuju padaku.
"Kita tidak punya izin untuk mengadakan pertunjukan, jadi kita diusir," aku menjelaskan.
"Lalu bagaimana?" tanya Capi sambil menelengkan ke?pala.
"Jadi kita terpaksa tidur di bawah langit dan tidak ma?kan malam."
Mendengar kata "makan malam", anjing-anjing meng?gonggong-gonggong. Kutunjukkan uangku yang hanya tiga sou pada mereka.
"Kalian tahu kan, hanya ini uang kita yang tersisa. Ka?lau uang ini dihabiskan, besok kita tidak bisa beli sarapan. Jadi, karena hari ini kita sudah makan sedikit, sebaiknya sisa uang ini disimpan." Lalu kumasukkan kembali tiga sou itu ke sakuku.
Capi dan Dulcie tertunduk pasrah, tetapi Zerbino yang bandel dan suka makan masih terus menggeram-geram. Kutatap dia dengan galak.
"Capi, jelaskan pada Zerbino. Kelihatannya dia tidak mengerti/' kataku pada si Capitano yang setia.
Capi langsung menepuk Zerbino dengan kaki depannya. Sepertinya kedua anjing itu sedang berdebat. Apa yang dikatakan Capi pada Zerbino, aku tidak dengar, sebab anjing bisa mengerti bahasa manusia, tetapi sebaliknya ma?nusia tidak mengerti bahasa anjing. Aku hanya melihat Zerbino menolak diberi pengertian dan bersikeras ingin membelanjakan sisa uang yang tiga sou itu. Capi menjadi marah, dan ketika dia menyeringai memamerkan gigi-gigi?nya, barulah Zerbino yang agak pengecut itu terdiam dan berbaring di tanah.
Udara sangat cerah, jadi tidak masalah kalau kami harus tidur di bawah langit. Satu-satunya masalah adalah meng?hindari serigala, kalau memang ada serigala di wilayah ini.
Kami menyusuri jalanan putih itu sampai menemukan tempat yang bagus. Kami tiba di hutan. Di sana-sini ada bongkah-bongkah batu granit raksasa. Tempat itu sangat muram dan sunyi, tetapi tidak ada tempat lain untuk kami, jadi kupikir kami bisa mencari tempat berteduh dari udara malam yang basah di antara batu-batu granit itu. Yang kumaksud dengan "kami" adalah Pretty-Heart dan aku sendiri, sebab anjing-anjing tidak akan masuk angin meski tidur di tempat terbuka. Aku harus menjaga diri baik-baik, sebab aku menyadari besarnya tanggung jawab?ku. Bagaimana nasib kami semua kalau aku sampai jatuh sakit, dan bagaimana jadinya aku kalau Pretty-Heart yang sakit dan aku mesti mengurusnya"
Kami menemukan semacam gua kecil di antara be?batuan, di lantai gua banyak bertebaran daun-daun kering. Ini tempat yang bagus sekali. Sayangnya kami tidak punya makanan. Kucoba menyisihkan pikiran tentang perut yang lapar. Bukankah menurut kata pepatah, "Orang yang tidur tidak merasa lapar?"
Sebelum berbaring, kusuruh Capi mengawasi keadaan sekitar. Anjing yang setia itu pun berbaring seperti penga?wal di mulut gua, bukannya berbaring bersama kami de?ngan beralaskan dedaunan pinus. Aku bisa tidur dengan tenang, sebab aku tahu Capi akan membangunkanku kalau ada yang mendekati kami. Meskipun demikian, aku tidak bisa langsung tidur. Pretty-Heart tidur di dekatku, ber?selimut mantelku. Zerbino dan Dulcie berbaring di dekat kakiku. Tapi kecemasanku lebih besar daripada rasa lelah?ku.
Hari ini kami tidak beruntung, bagaimana besok" Aku lapar dan haus, dan hanya punya uang tiga sou. Bagaimana besok aku bisa membeli makanan kalau aku tidak men?dapat penghasilan" Dan bagaimana dengan masalah bera?ngus itu" Dan izin menyanyi" Oh, aku mesti bagaimana" Barangkali kami semua akan mati kelaparan di semak- semak. Sementara berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalaku, kupandangi bintang-bintang yang bersinar di langit malam. Tidak ada embusan angin sedikit pun. He?ning di mana-mana. Tidak ada gemeresik dedaunan atau teriakan burung, atau geruduk kereta di jalanan. Sejauh dapat kulihat, yang ada hanya bentangan langit. Betapa sendiriannya kami. Betapa telantarnya! Mataku penuh air mata. Ibu Barberin tersayang! Signor Vitalis yang malang!
Aku berbaring telungkup, menangis di balik kedua ta?nganku. Tiba-tiba ada embusan napas di rambutku. Cepat- cepat aku membalikkan badan, dan sebuah lidah besar dan lembut menjilati pipiku yang basah. Rupanya Capi men?dengarku menangis dan dia datang untuk menghiburku, seperti yang dilakukannya pada hari pertama pengem?baraanku. Kurangkul lehernya dan kukeeup hidungnya yang basah. Dua-tiga kali dia mendengus pelan, seolah-olah dia ikut menangis bersamaku. Aku pun tertidur. Wak?tu aku bangun, hari sudah terang dan Capi sedang duduk di sampingku, memandangiku. Burung-burung bercericip di pohon-pohon. Di kejauhan bisa kudengar lonceng gereja berbunyi dalam nada-nada doa pagi. Matahari sudah tinggi di langit, cahayanya yang cemerlang terasa menghibur hati dan tubuhku.
Kami berangkat ke arah desa. Di sana pasti ada tukang roti. Kalau malamnya tidur tanpa makan, pagi-pagi sekali perut sudah minta diisi. Aku memutuskan untuk mem?belanjakan uangku yang tiga sou itu, dan sesudah itu lihat saja bagaimana nanti.
Setibanya di desa, aku tidak perlu bertanya di mana ru?mah si tukang roti. Hidung kami langsung menuntun kami ke tokonya. Sekarang penciumanku sudah setajam penciuman anjing-anjingku. Dari kejauhan aku sudah mengen?dus wangi harum roti panas. Tidak banyak yang bisa kami beli dengan uang tiga sou, kalau satu pon roti harganya lima sou. Kami masing-masing hanya mendapat jatah se?potong kecil, jadi acara sarapan kami berakhir dengan ce?pat.
Kami harus mendapat uang hari ini. Aku mencari-cari tempat yang bagus untuk menggelar pertunjukan, sambil memperhatikan ekspresi wajah orang-orang, supaya bisa mengira-ngira apakah mereka musuh atau teman. Aku ti?dak akan mengadakan pertunjukan sekarang juga. Masih terlalu pagi. Kalau sudah menemukan tempat, kami akan kembali pada tengah hari dan mencoba peruntungan.
Kepalaku sibuk dengan gagasan ini, tetapi tiba-tiba saja ada yang berteriak-teriak di belakangku. Aku membalikkan badan dengan cepat dan kulihat Zerbino berlari ke arahku, dikejar seorang perempuan tua. Aku langsung tahu ma?salahnya. Rupanya tanpa sepengetahuanku Zerbino me?nyelinap masuk ke dalam sebuah rumah dan mencuri se?potong daging. Dia menggondol hasil curiannya itu di mulutnya.
"Maling! Maling!" teriak perempuan tua itu. "Tangkap dia! Tangkap mereka semua!"
Aku langsung diliputi perasaan bersalah. Setidaknya aku turut bertanggung jawab atas perbuatan Zerbino. Maka aku langsung lari. Apa yang akan kukatakan kepada pe?rempuan tua itu kalau dia menuntut ganti rugi atas daging yang dicuri Zerbino" Bagaimana aku bisa membayarnya" Kalau kami ditangkap, kami akan masuk penjara. Melihat aku lari tunggang-langgang, Dulcie dan Capi langsung ikut lari, sedangkan Pretty-Heart yang bertengger di pundakku merangkul leherku erat-erat supaya tidak terjatuh.
Ada lagi yang berteriak, "Cegat maling itu!" dan lain- lainnya ikut mengejar. Kami terus berlari. Rasa takut mem?buat kami bisa berlari kencang. Belum pernah kulihat Dulcie lari sekencang itu; kaki-kakinya seperti tidak me?nyentuh tanah. Kami belok ke sebuah jalan kecil, menye?berangi padang, dan tidak lama kemudian para pengejar kami sudah tidak kelihatan. Tapi aku baru berhenti setelah hampir kehabisan napas. Kami sudah berlari setidaknya dua mil. Aku membalikkan badan. Tidak ada yang meng?ikuti kami. Capi dan Dulcie masih mengekor di belakang?ku, Zerbino ada di depan sana. Dia sudah berhenti, mung?kin untuk memakan daging curiannya. Kupanggil dia, tapi karena tahu akan dihukum berat, dia malah lari secepat- cepatnya. Dia kelaparan, itu sebabnya dia mencuri. Tapi ini tidak boleh dibiarkan. Dia tetap telah mencuri. Kalau aku ingin menegakkan disiplin di dalam rombonganku, yang bersalah harus dihukum. Kalau tidak, di desa berikutnya Dulcie akan ikut mencuri juga, lalu Capi juga akan tergiur. Aku harus menghukum Zerbino di hadapan yang lainnya. Tapi pertama-tama aku harus bisa menangkapnya, dan itu tidak gampang.
Aku menoleh pada Capi. "Cari Zerbino," kataku muram.
Capi langsung lari mematuhi perintahku, tapi kelihatan?nya dia tidak begitu bersemangat. Dari sorot matanya, se?pertinya dia jauh lebih suka melindungi Zerbino daripada menjadi suruhanku. Aku duduk menunggu dia kembali. Senang rasanya bisa beristirahat setelah lari gila-gilaan tadi. Setelah berhenti lari, kami sampai di pinggir sebuah terusan dengan pohon-pohon rindang dan padang-padang di kedua sisinya.
Satu jam berlalu. Anjing-anjing belum juga kembali. Aku mulai merasa cemas. Tapi lalu Capi muncul sendirian, ke?palanya tertunduk.
"Mana Zerbino?"
Capi berbaring dengan sikap takut-takut. Kupandangi dia, dan kuperhatikan satu telinganya berdarah. Tahulah aku apa yang terjadi. Rupanya Zerbino melawan. Aku me?rasa Capi menganggap sikapku terlalu keras, jadi dia mem?biarkan dirinya kalah. Aku tidak sampai hati memarahinya. Aku hanya bisa menunggu sampai Zerbino mau kembali dengan sendirinya. Aku tahu cepat atau lambat dia akan menyesal dan akan pulang untuk menerima hukuman?nya.
Aku berbaring di bawah sebatang pohon, sambil me?meluk Pretty-Heart erat-erat, takut kalau-kalau dia berniat kabur juga. Dulcie dan Capi tidur di kakiku. Waktu ber?lalu, Zerbino tidak juga muncul. Akhirnya aku pun terlelap.
Beberapa jam kemudian aku terbangun. Hari sudah siang dan perutku keroncongan. Kedua anjing dan Pretty-Heart juga tampak kelaparan. Capi dan Dulcie menatapku lekat- lekat dengan sorot mata mengibakan. Pretty-Heart menye?ringai. Tapi Zerbino belum juga pulang. Aku berseru-seru memanggilnya, dan bersiul, namun sia-sia. Setelah makan kenyang, barangkali sekarang dia sedang mencerna ma?kanannya dengan meringkuk di balik semak-semak.
Situasinya semakin mencemaskan. Kalau aku pergi dari sini, mungkin Zerbino akan tersesat dan tidak bisa me?nemukan kami. Kalau aku tetap di sini, tidak mungkin aku bisa mencari uang untuk membeli makanan. Rasa lapar kami semakin tajam. Anjing-anjing menatapku dengan so?rot mata memohon, dan Pretty-Heart menggosok-gosok perutnya sambil memekik-mekik marah.
Zerbino tidak juga pulang. Sekali lagi kusuruh Capi men?cari anjing nakal itu, tapi setengah jam kemudian Capi pulang sendirian. Mesti bagaimana lagi"
Aku tidak sampai hati meninggalkan Zerbino, walaupun dia jelas-jelas bersalah dan membuat kami semua seperti ini. Apa kata majikanku kalau aku tidak membawa pulang ketiga anjingnya kepadanya" Lagi pula, aku sayang sekali pada Zerbino. Kuputuskan menunggu sampai sore, tapi aku tidak betah duduk-duduk saja tanpa kegiatan. Kalau kami melakukan sesuatu, mungkin rasa lapar ini jadi tidak terlalu menyengsarakan. Kalau aku bisa menciptakan ke?giatan untuk mengalihkan perhatian, mungkin untuk se?mentara kami lupa bahwa perut kami begitu keroncongan. Apa sebaiknya yang kami lakukan"
Aku berpikir-pikir. Lalu aku ingat Signor Vitalis pernah berkata bahwa kalau suatu resimen sudah lelah berbaris lama, regu pemain musik akan memainkan nada-nada yang paling gembira, sehingga para prajurit lupa akan rasa lelah mereka. Kalau aku memainkan nada-nada ceria di harpaku, mungkin kami bisa melupakan rasa lapar kami. Meski kami begitu lemas dan sakit, kalau aku memainkan musik gembira yang membuat dua anjing malang ini mau berdansa dengan Pretty-Heart, mungkin waktu akan ber?lalu lebih cepat. Maka kuambil harpaku yang tadi ku- sandarkan pada sebatang pohon, lalu sambil menghadap ke terusan aku mengatur posisi binatang-binatangku dan mulai memainkan lagu dansa.
Mulanya anjing-anjing dan Pretty-Heart tampak enggan berdansa. Mereka hanya menginginkan makanan. Hatiku sedih melihat sikap mereka yang memelas itu. Tetapi makhluk-makhluk malang ini harus dibuat melupakan rasa lapar mereka. Kumainkan harpaku semakin keras dan ce?pat, lalu lambat laun musik itu menghasilkan efeknya yang biasa. Mereka mulai berdansa dan aku meneruskan meng?iringi.
Tiba-tiba kudengar suara jernih "suara anak kecil "ber?seru, "Bravo." Suara itu berasal dari belakangku. Cepat- cepat aku membalikkan badan.
Sebuah perahu telah berhenti di terusan. Dua ekor kuda yang menarik perahu itu berdiri di sisi seberang. Perahu itu aneh. Belum pernah aku melihat yang seperti itu. Pe?rahu itu jauh lebih pendek daripada perahu-perahu lainnya di terusan, dan bagian geladaknya dibuat seperti beranda yang indah, dihiasi tanam-tanaman dan hiasan dedaunan. Kulihat di perahu itu ada seorang wanita yang masih muda, dengan wajah cantik yang sedih, dan seorang anak laki-laki sebayaku yang kelihatannya sedang berbaring. Rupanya anak itulah yang tadi berseru, "Bravo!"
Aku sangat heran melihat mereka. Kuangkat topiku se?bagai ucapan terima kasih atas tepuk tangan mereka.
"Apakah kau bermain musik untuk bersenang-senang saja?" tanya wanita itu dalam bahasa Prancis beraksen asing.
"Aku membantu anjing-anjing ini berlatih, dan juga... untuk mengalihkan perhatian mereka."
Anak laki-laki itu mengatakan sesuatu. Ibunya membung?kuk mendengarkan.
"Maukah kau bermain musik lagi?" tanyanya kemudian padaku.
Maukah aku" Bermain musik untuk penonton yang mun?cul pada saat-saat begini! Aku tidak perlu diminta dua kali.
"Anda ingin pertunjukan dansa atau komedi?" tanya?ku.
"Oh, komedi," seru si anak. Tetapi ibunya bilang dia le?bih suka menonton dansa.
"Dansa terlalu singkat," kata si anak lelaki.
"Kalau 'para penonton yang terhormat' menghendaki, setelah pertunjukan dansa kami akan membawakan peran-peran berbeda."
Itu salah satu kalimat yang biasa diucapkan majikanku. Kucoba mengucapkannya dengan gaya berwibawa yang sama. Setelah dipikir-pikir lagi, untung juga wanita itu ti?dak minta komedi, sebab mana mungkin aku bisa meng?gelar pertunjukan tanpa Zerbino dan berbagai "perangkat panggung" yang biasanya.
Kumainkan nada-nada pertama musik zvnltz. Capi me?megang pinggang Dulcie dengan kedua kaki depannya dan mereka berputar-putar seiring irama musik. Setelah itu Pretty-Heart berdansa sendirian. Silih berganti kami me?nampilkan bagian masing-masing. Sekarang kami tidak merasa lelah lagi. Makhluk-makhluk kecil ini tahu bahwa mereka akan mendapatkan makanan sebagai imbalan, dan mereka berusaha tampil sebagus mungkin. Begitu pula aku.
Lalu, tiba-tiba, di tengah-tengah pertunjukan dansa kami, Zerbino muncul dari balik semak-semak, dan ketika Capi, Dulcie, dan Pretty-Heart lewat di dekatnya, dengan berani dia mengambil tempat di antara mereka.
Sambil bermain musik dan mengawasi para aktorku, sekali-sekali aku menoleh sekilas pada si anak lelaki. Ke?lihatannya dia senang sekali melihat pertunjukan kami, tapi dia tidak bergerak. Dia seperti sedang berbaring di atas papan. Perahunya sudah bergeser sampai ke pinggir terusan, dan sekarang aku bisa melihat anak itu dengan jelas. Rambutnya pirang, wajahnya pucat, sangat pucat sampai-sampai urat-urat nadi biru di keningnya terlihat jelas. Wajahnya seperti anak yang sakit keras.
"Berapa kau memasang tarif untuk menonton pertun?jukanmu?" tanya ibu anak itu.
"Bayarannya terserah pada yang menurut Anda pantas kami terima."
"Kalau begitu, Mamma, kau harus bayar yang banyak," kata si anak. Kemudian dia mengatakan sesuatu dalam ba?hasa yang tidak kumengerti.
"Anakku ingin melihat aktor-aktormu dari dekat."
Kuberi isyarat pada Capi. Dengan gembira dia melompat naik ke perahu.
"Dan yang lain-lainnya juga!" seru anak lelaki itu.
Zerbino dan Dulcie ikut melompat ke dalam perahu.
"Dan si monyet!"
Pretty-Heart sebenarnya bisa melompat dengan mudah, tapi kelakuannya tidak bisa ditebak. Begitu berada di pe?rahu, mungkin saja dia akan membuat ulah yang men?jengkelkan ibu anak itu.
"Apa dia nakal?" tanya wanita itu.
"Tidak, Nyonya, tapi dia tidak selalu patuh, dan aku takut dia akan berulah."
"Kalau begitu, kau saja yang membawanya kemari."
Dia memberi isyarat pada laki-laki yang berdiri di dekat pagar perahu. Orang itu mendekat dan melemparkan pa?pan untuk menyeberang. Dengan memanggul harpa dan Pretty-Heart, aku melangkah di papan itu.
"Monyetnya! Monyetnya!" seru si anak lelaki, yang oleh ibunya dipanggil Arthur.
Aku menghampirinya. Sementara dia mengelus-elus Pretty-Heart, aku memperhatikannya. Dia diikatkan pada semacam papan.
"Apakah kau punya ayah, Nak?" tanya ibu Arthur.
"Ya, tapi sekarang ini aku sendirian saja."
"Untuk berapa lama?"
"Dua bulan/' "Dua bulan! Oh, kasihan sekali kau. Bagaimana ceritanya kau sampai sendirian begini pada usiamu?"
"Terpaksa, Nyonya."
"Apakah ayahmu menyuruhmu membawa pulang uang setelah dua bulan itu" Begitukah?"
"Tidak, Nyonya. Dia tidak memaksaku melakukan apa- apa. Kalau aku mendapat cukup uang untuk hidup ber?sama binatang-binatangku, itu sudah cukup."
"Dan apakah kau bisa mendapat cukup uang?"
Aku ragu-ragu sebelum menjawab. Aku merasa agak takut dan enggan pada wanita cantik ini. Tapi dia bicara begitu ramah padaku dan suaranya begitu manis, sehingga kuputuskan untuk menceritakan yang sebenarnya. Kenapa tidak" Maka kuceritakan padanya kenapa Signor Vitalis dan aku sampai berpisah, bahwa dia dipenjara karena dia telah membelaku, dan sejak dia pergi aku tidak berhasil mendapat uang sepeser pun.
Sementara aku bercerita, Arthur bermain dengan anjing- anjing, tapi rupanya dia mendengarkan semuanya.
"Kalau begitu, kau pasti lapar sekali!" serunya.
Mendengar kata "lapar" yang sudah mereka pahami betul, anjing-anjing mulai menggonggong dan Pretty-Heart menggosok-gosok perutnya keras-keras.
"Oh, Mamma!" seru Arthur.
Ibu Arthur mengucapkan beberapa patah kata dalam bahasa asing pada seorang perempuan yang hanya bisa kulihat kepalanya dari pintu yang setengah terbuka. Tak
lama kemudian, wanita itu masuk dengan membawa ma?kanan.
"Duduklah, Nak," kata ibu Arthur.
Kutaruh harpaku dan aku langsung duduk di kursi de?kat meja. Anjing-anjing berkumpul di sekitarku. Pretty- Heart melompat ke lututku.
"Apakah anjing-anjingmu mau makan roti?" tanya Arthur.
"Mau sekali!" Kuberi mereka sepotong roti, yang langsung mereka la?hap dengan rakusnya.
"Dan monyet itu?" tanya Arthur.
Tapi Pretty-Heart tidak usah dikhawatirkan, sebab tadi sewaktu aku sedang memberi roti pada anjing-anjing, dia sudah mengambil sepotong pai daging dan sekarang nyaris tersedak di bawah meja. Aku juga mengambil pai, dan meski tidak sampai tersedak seperti Pretty-Heart, aku juga memakan pai itu dengan sama rakusnya.
"Kasihan sekali kau, Nak," kata ibu Arthur.
Arthur tidak mengatakan apa-apa, tapi dia menatap kami dengan terbelalak, terheran-heran melihat nafsu ma?kan kami, sebab kami semua sangat kelaparan, termasuk Zerbino yang seharusnya sudah puas dengan daging yang dicurinya.
"Kau akan makan apa malam ini andai kau tidak ber?temu kami?" tanya Arthur.
"Kurasa kami tidak akan makan sama sekali."
"Dan besok?" "Barangkali besok kami beruntung bertemu orang-orang seperti Anda lagi."
Arthur menoleh kepada ibunya. Selama beberapa waktu mereka bercakap-cakap dalam bahasa asing. Arthur seperti?nya meminta sesuatu, dan mulanya ibunya keberatan. Lalu tiba-tiba dia menoleh. Tubuhnya tidak bergerak.
"Maukah kau tinggal bersama kami?" tanyanya.
Kutatap dia dan tidak bisa menjawab. Aku sangat kaget mendengar pertanyaannya.
"Anakku ingin tahu, apakah kau mau tinggal bersama kami," ibunya mengulangi.
"Di perahu ini?"
"Ya. Anakku sakit dan harus terus berbaring di papan itu. Supaya hari-harinya lebih menyenangkan, aku mem?bawanya berlayar dengan perahu ini. Sementara majikan?mu dipenjara, kalau mau kau boleh tinggal di sini bersama kami. Anjing-anjingmu dan monyetmu bisa mengadakan pertunjukan setiap hari, Arthur dan aku yang menjadi pe?nontonnya. Kau bisa memainkan harpamu untuk kami. Kau menghibur kami, dan kami mungkin bisa berguna untukmu."
Tinggal di perahu! Baik sekali ibu Arhur. Aku tidak tahu mesti berkata apa. Kuraih tangannya dan kukecup.
"Si kecil yang malang!" katanya, hampir-hampir dengan nada lembut.
Dia bilang dia ingin aku memainkan harpaku. Akan se?gera kulaksanakan keinginannya. Aku ingin menunjukkan rasa terima kasihku padanya. Kuambil alat musikku dan aku pergi ke ujung perahu, kemudian mulai memainkan harpaku dengan lembut. Ibu Arthur mengambil sebuah peluit kecil dari perak dan meniupnya.
Aku berhenti bermain, heran kenapa dia meniup peluit itu. Apakah untuk memberitahuku bahwa permainanku buruk, atau untuk menyuruhku berhenti" Arthur, yang memperhatikan semua yang terjadi di sekitarnya, memper?hatikan kegelisahanku.
"Mamma meniup peluit itu supaya kuda-kuda jalan lagi/' katanya.
Oh, begitu" Perahu yang ditarik kuda-kuda itu meluncur di perairan tenang yang membelai bagian lunas perahu dengan lembut. Di kiri-kanan kami ada pepohonan, dan di belakang kami tampak galur-galur miring cahaya matahari terbenam.
Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maukah kau memainkan musikmu?" tanya Arthur.
Dia memanggil ibunya. Ibunya duduk di sampingnya. Arthur meraih dan menggenggam tangan ibunya, dan aku pun memainkan untuk mereka nada-nada yang telah di?ajarkan majikanku.
Bab Sebelas Mrs. Milligan Ibu Arthur berkebangsaan Inggris. Namanya Mrs. Milligan. Dia seorang janda, dan Arthur anaknya satu-satunya. Se?tidaknya, dia dianggap satu-satunya anaknya yang masih hidup, sebab anak sulungnya hilang secara misterius. Waktu anaknya itu berumur enam bulan, dia diculik dan lenyap tanpa jejak. Pada saat anaknya hilang, Mrs. Milligan tidak bisa langsung mencarinya. Suaminya sedang menjelang ajal, dan dia sendiri sedang sakit parah dan tidak tahu apa yang terjadi di sekitarnya. Ketika kesadarannya pulih, suaminya sudah meninggal dan bayinya hilang. Iparnya, Mr. James Milligan, sudah mencari anak itu ke mana-mana. Berhubung tidak ada ahli waris, Mr. Milligan berharap akan mewarisi harta kakaknya. Tetapi ternyata pada akhirnya dia tidak mendapatkan apa-apa, sebab tujuh bulan setelah kematian suaminya, anak kedua Mrs. Milligan "yaitu Arthur "lahir.
Namun dokter-dokter mengatakan anak yang ringkih dan rapuh ini tidak akan hidup lama. Dia bisa mati setiap saat. Dan kalau dia meninggal, Mr. James Milligan yang akan mewarisi semuanya. Mr. Milligan menunggu dan ber?harap, tetapi ramalan dokter-dokter tidak terbukti. Arthur tetap hidup karena perawatan penuh kasih sayang dari ibunya. Ketika Arthur harus berbaring terikat di papan, ibunya tidak sampai hati membayangkan anaknya harus terkurung di dalam rumah, jadi dia minta dibuatkan pe?rahu yang indah untuk Arthur dan sekarang mereka bepergian ke seluruh Prancis dengan melayari berbagai terusan.
Semua ini tidak langsung kuketahui pada hari pertama kami berkenalan. Aku mendengar detail-detailnya sedikit demi sedikit, sewaktu aku sedang bersama ibu Arthur.
Aku diberi kabin mungil di perahu itu. Di mataku ruangan kecil itu amat sangat bagus. Seluruhnya bersih tak bernoda. Satu-satunya furnitur di dalamnya adalah lemari yang sangat hebat: tempat tidur, kasur, bantal-bantal, dan selimut ada di situ. Dan bersambung dengan tempat tidur ada laci-laci berisi sikat rambut, sisir, dan sebagainya. Ti?dak ada meja atau kursi, tidak dalam bentuknya yang biasa, tetapi di tembok ada papan yang kalau ditarik ter?nyata menjadi sebuah meja kecil berbentuk bujur sangkar serta kursi. Betapa senangnya aku tidur di ranjang mungil itu. Seumur hidupku baru kali ini aku merasakan seprai lembut di wajahku. Seprai di rumah Ibu Barberin sangat kasar dan kadang-kadang menggores wajahku, sedangkan bersama Signor Vitalis aku lebih sering tidur tanpa seprai. Seprai di tempat-tempat penginapan murah yang kami da?tangi sama kasarnya dengan yang di rumah Ibu Barberin.
Aku bangun pagi-pagi, sebab aku ingin tahu keadaan binatang-binatangku. Mereka kutemukan di tempat mereka kutinggalkan semalam, tidur dengan nyenyaknya seolah- olah mereka sudah berbulan-bulan tinggal di perahu yang indah ini. Anjing-anjing melompat bangun begitu aku men?dekat, tapi Pretty-Heart tidak bergerak, meski satu matanya setengah terbuka. Dia malah mendengkur keras-keras se?perti trombon.
Aku langsung mengerti sebabnya: Pretty-Heart sangat sensitif, cepat marah, dan suka ngambek berlama-lama. Saat ini dia kesal karena aku tidak mengajaknya tidur di kabinku, jadi dia pura-pura tidur untuk menunjukkan rasa tidak senangnya.
Aku tak bisa menjelaskan padanya, kenapa aku terpaksa meninggalkannya di geladak. Karena merasa bersalah, ku?gendong dia dan kupeluk-peluk sebagai permohonan maaf?ku. Mulanya dia masih ngambek, tetapi karena suasana hatinya gampang berubah-ubah, dia kemudian mengisyarat?kan bahwa kalau aku mau mengajaknya berjalan-jalan di darat, barangkali dia akan memaafkanku. Orang yang se?dang membersihkan geladak bersedia menaruhkan papan penyeberangan untuk kami, dan aku pun pergi berjalan-ja?lan bersama rombonganku.
Waktu berlalu cepat sementara aku bermain-main de?ngan anjing-anjing dan mengejar-ngejar Pretty-Heart. Ke?tika kami kembali, kuda-kuda sudah dipasangi abah-abah dan perahu sudah siap berangkat. Begitu kami semua naik ke perahu, kuda-kuda mulai berlari-lari kecil menariknya. Kami meluncur di air dengan mulusnya, dan yang ter?dengar hanyalah cericip burung-burung, desir air yang menyapu perahu, dan kelinting lonceng-lonceng di leher kuda-kuda.
Di sana-sini air terusan tampak hitam pekat, seolah-olah air itu dalam sekali. Di bagian-bagian lainnya jernih seperti kristal, dan kami bisa melihat batu-batu kerikil yang ber?kilauan serta rumput yang sehalus beludru.
Ketika sedang asyik memandang ke dalam air, kudengar
seseorang memanggil namaku. Ternyata Arthur. Dia di?gendong di papan tempatnya berbaring.
"Kau bisa tidur nyenyak?" tanyanya, "lebih nyenyak daripada di padang?"
Kujawab ya aku tidur nyenyak, tapi sebelumnya aku menyapa Mrs. Milligan dengan sopan.
"Dan anjing-anjing?" tanya Arthur.
Kupanggil mereka, dan mereka datang berlari-lari ber?sama Pretty-Heart yang menyeringai-nyeringai, seperti biasanya kalau dia mengira kami akan menggelar pertun?jukan.
Mrs. Milligan meletakkan anaknya di tempat teduh, lalu duduk di sampingnya.
"Nah," katanya padaku, "kau mesti menyuruh anjing- anjing dan si monyet keluar. Kami akan belajar."
Aku pergi ke bagian depan perahu bersama binatang-binatangku.
Apa yang akan dipelajari anak malang itu"
Aku menoleh dan kulihat ibunya sedang menyuruhnya menghafal pelajaran dari buku yang dipegangnya. Arthur kelihatannya sangat kesulitan menguasai pelajarannya, te?tapi ibunya sangat sabar.
"Tidak," akhirnya ibunya berkata, "Arthur, kau tidak mengerti sama sekali."
"Aku tidak bisa, Mamma, tidak bisa," kata Arthur meng?iba-iba. "Aku kan sakit."
"Kepalamu tidak sakit. Aku tidak mau kau tumbuh men?jadi orang bodoh hanya karena fisikmu sakit, Arthur."
Itu kedengarannya sangat keras, tetapi ibu Arthur meng?ucapkannya dengan manis dan lembut.
"Kenapa kau membuatku sangat sedih" Kau tahu bagai?mana perasaanku kalau kau tidak mau belajar."
"Aku tidak bisa, Mamma. Aku tidak bisa." Lalu Arthur mulai menangis.
Tetapi Mrs. Milligan tidak mau jatuh kasihan oleh air mata anaknya, meski dia tampak terharu dan jadi semakin sedih.
"Aku ingin membolehkanmu bermain pagi ini dengan Remi dan anjing-anjing," katanya, "tapi kau tidak boleh bermain sebelum kau benar-benar menguasai pelajaranmu." Lalu diberikannya buku itu pada Arthur dan ditinggalkan?nya anaknya di situ.
Dari tempatku berdiri bisa kudengar Arthur menangis. Bagaimana mungkin ibunya, yang kelihatannya begitu sa?yang padanya, bisa bersikap keras kepada anak malang itu" Tak lama kemudian ibu Arthur datang lagi.
"Bagaimana kalau kita coba lagi?" tanyanya lembut.
Dia duduk di samping Arthur, mengambil bukunya, lalu mulai membacakan fabel berjudul Serigala dan Domba. Dia membacakannya tiga kali, kemudian mengembalikan buku itu pada Arthur dan menyuruhnya mempelajarinya sendiri. Lalu dia masuk ke dalam perahu.
Kulihat bibir Arthur bergerak-gerak. Dia memang men?coba sangat keras. Tapi tak lama kemudian matanya sudah tidak tertuju pada buku itu dan bibirnya berhenti bergerak- gerak. Matanya melihat ke mana-mana kecuali pada buku?nya. Tiba-tiba matanya beradu pandang dengan mataku. Kuisyaratkan padanya supaya meneruskan belajar. Dia ter?senyum, seperti hendak berterima kasih padaku karena telah mengingatkannya, lalu matanya kembali tertuju pada bukunya. Tapi, seperti sebelumnya, dia tak bisa memusat?kan pikirannya. Matanya mulai jelalatan lagi sampai ke seberang terusan. Pada saat itu seekor burung terbang me?lintasi perahu, cepat seperti anak panah. Arthur mengang? ikat kepala untuk mengikuti gerakan burung itu. Setelahnya, dia menatapku.
"Aku tidak bisa mempelajari ini," katanya, "tapi aku ingin."
Aku menghampirinya. "Tidak terlalu sulit," kataku.
"Sulit kok, sulit sekali."
"Menurutku kelihatannya mudah. Aku tadi mendengar?kan ibumu membacakannya, dan aku sendiri hampir hafal isinya."
Dia tersenyum, seperti tidak percaya.
"Kau mau aku membacakannya untukmu?"
"Kau tidak bisa."
"Mau kucoba" Kau yang pegang bukunya."
Dia mengambil buku itu lagi dan aku mulai meng?hafalkan isinya. Nyaris sempurna.
"Wah! Kau hafal!"
"Tidak sepenuhnya, tapi lain kali aku bisa menghafal- kannya tanpa kesalahan."
"Bagaimana caramu belajar?"
"Aku mendengarkan waktu ibumu membacakannya, tapi aku mendengarkan baik-baik, tidak menoleh ke sana kemari untuk melihat ada apa di sekitarku."
Wajah Arthur memerah dan dia mengalihkan pandang.
"Aku akan mencoba, seperti kau," katanya, "tapi bagai?mana caramu mengingat kata-katanya?"
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi kucoba sebisaku.
"Apa isi fabel itu?" kataku. "Domba. Nah, pertama-tama aku membayangkan domba. Domba-domba di padang. Me?reka berbaring dan tidur di padang. Dengan membayang?kan begitu, aku jadi tidak lupa."
'Ya, ya," katanya, "aku bisa membayangkan mereka, yang hitam dan putih! Di padang hijau."
"Siapa yang biasanya menjaga domba-domba?"
"Anjing-anjing."
"Dan...?" "Gembala." "Kalau mereka merasa domba-domba sudah aman, apa yang mereka lakukan?"
"Anjing akan tidur, sedangkan gembala memainkan se?rulingnya di kejauhan bersama para gembala lainnya."
Sedikit demi sedikit Arthur bisa membayangkan keselu?ruhan fabel tersebut di dalam benaknya. Aku menjelaskan setiap detailnya sebisa mungkin. Setelah dia benar-benar tertarik, kami mengulangi baris-baris itu bersama-sama, dan setengah jam kemudian dia sudah menguasainya.
"Oh, Mamma pasti senang sekali!" serunya.
Ketika ibunya datang, tampaknya dia tidak senang me?lihat kami bersama-sama. Dikiranya kami sedang bermain- main, tapi sebelum ibunya sempat berkata-kata, Arthur sudah mendahului.
"Aku sudah hafal!" serunya. "Remi yang mengajariku."
Mrs. Milligan menatapku dengan heran, dan sebelum dia membuka suara, Arthur sudah menghafalkan fabel itu. Aku menatap Mrs. Milligan: wajah cantiknya menyungging?kan senyum. Lalu rasanya matanya berkaca-kaca, tapi dia cepat-cepat membungkuk dan merangkul anaknya. Aku tidak yakin apakah dia menangis.
"Kata-katanya tidak ada artinya," kata Arthur, "kata-kata?nya konyol, tapi gambarannya bagus sekali! Remi mem?bantuku membayangkan si gembala dengan serulingnya, padang-padang rumput, anjing-anjing, dan domba-domba,
lalu scrigala-serigalanya. Aku malah bisa membayangkan musik yang dimainkan si gembala. Boleh kunyanyikan lagunya buatmu, Mamma?"
Kemudian dia menyanyikan lagu pendek bernada sedih dalam bahasa Inggris.
Kali ini Mrs. Milligan benar-benar menangis, sebab se?waktu dia bangkit dari kursinya kulihat pipi Arthur basah oleh air matanya. Lalu dia menghampiriku dan meraih ta?nganku, meremasnya pelan.
"Kau anak baik," katanya.
Kemarin sore aku hanyalah pengembara cilik yang da?tang ke perahu ini bersama binatang-binatangnya untuk menghibur anak yang sakit, tetapi setelah membantu Arthur belajar, aku jadi berbeda dari anjing-anjing dan mo?nyetku. Mulai sekarang aku dianggap pendamping anak yang sakit ini, hampir-hampir seperti teman.
Mulai hari itu sikap Mrs. Milligan terhadapku berubah, dan di antara Arthur dan aku tumbuh tali persahabatan yang kuat. Tak pernah sekali pun aku merasa diperlakukan berbeda. Mungkin ini karena kebaikan hati Mrs. Milligan, sebab sering kali dari caranya bicara padaku, aku seolah- olah anaknya sendiri.
Kalau daerah yang dilewati berpemandangan menarik, perahu kami melaju perlahan-lahan, tetapi kalau peman?dangannya gersang, kuda-kuda berlari lebih cepat di se?panjang jalur penarikan. Ketika matahari terbenam, perahu berhenti; begitu matahari terbit, perahu bergerak lagi.
Pada sore-sore berhawa dingin, kami masuk ke kabin kecil dan duduk mengelilingi api yang menyala terang, supaya Arthur tidak merasa kedinginan. Lalu Mrs. Milligan membaca untuk kami, menunjukkan gambar-gambar, dan menceritakan kisah-kisah indah.
Pada sore-sore yang cerah, giliranku menghibur mereka dengan harpa. Begitu perahu berhenti, aku turun dan pergi agak jauh, lalu duduk di belakang pohon. Di balik cabang- cabang pohon itu aku memainkan harpaku dan menyanyi. Pada malam-malam yang tenang, Arthur suka sekali men?dengar musik dimainkan, tanpa melihat si pemusiknya. Dan kalau aku memperdengarkan nada-nada kesukaannya, dia akan berseru, "Ulangi," dan aku pun memainkan lagi nada-nada tersebut.
Sungguh indah hidup seperti ini, untuk anak desa se?perti aku, yang dulu duduk di depan perapian Ibu Barberin, lalu mengembara bersama Signor Vitalis. Betapa berbeda makanan berupa kentang rebus yang dulu diberi?kan ibu angkatku tersayang padaku, dengan kue-kue lezat, jelly, dan krim yang dibuatkan juru masak Mrs. Milligan! Sungguh kontras antara berjalan kaki di tengah lumpur dan hujan deras, di bawah terik matahari, tersaruk-saruk di belakang Signor Vitalis... dengan bepergian naik perahu yang indah ini!
Kue-kue keringnya lezat, dan ya, sangat menyenangkan, oh sangat menyenangkan tidak lagi merasa lapar, letih, ke?panasan, kedinginan, tapi sejujurnya mesti kukatakan bah?wa yang paling kurasakan adalah kebaikan hati dan kasih sayang ibu dan anak laki-lakinya ini. Dua kali aku telah direnggutkan dari orang-orang yang kusayangi... pertama- tama dari Ibu Barberin tercinta, lalu dari Signor Vitalis. Aku ditinggalkan hanya bersama anjing-anjing dan si mo?nyet, kelaparan dan lelah, lalu seorang wanita cantik de?ngan anak yang kurang-lebih sebaya denganku telah me?nampungku dan memperlakukan aku sebagai keluarga sendiri.
Kalau menatap Arthur yang duduk di kursinya, pucat dan lesu, sering aku merasa iri padanya. Aku, yang begitu sehat dan kuat, merasa iri kepada anak kecil yang sakit- sakitan itu. Bukan kemewahan hidupnya yang membuatku iri, bukan juga perahunya. Melainkan ibunya. Oh, betapa inginnya aku mempunyai ibu! Mrs. Milligan mengecup anaknya dan Arthur bisa merangku Ikan lengan ke lehernya setiap saat "sedangkan aku hampir-hampir tidak berani menyentuh ketika Mrs. Milligan mengulurkan tangannya padaku. Aku sedih memikirkan bahwa aku tidak akan per?nah punya ibu yang akan menciumku dan bisa kucium juga. Mungkin suatu hari nanti aku akan bertemu Ibu Barberin lagi, dan aku pasti akan sangat bahagia. Tapi seka?rang aku tidak bisa menyebutnya ibu, sebab dia bukan ibu kandungku...
Aku tidak punya siapa-siapa... aku akan selalu sen?dirian.... Sebatang kara.
Aku sudah cukup besar untuk tahu bahwa orang sebaik?nya tidak terlalu banyak berharap dari dunia ini, dan ku?pikir karena aku tidak punya keluarga, tidak punya ayah dan ibu, setidaknya aku harus bersyukur karena aku masih punya teman-teman. Dan aku bahagia, sangat bahagia ting?gal di perahu ini. Namun sayangnya kebahagiaan ini tidak berlangsung lama. Sebentar lagi aku harus kembali men?jalani kehidupanku yang lama.
Bab Dua Belas Meminta Izin Pada Signor Vitalis
Semuanya akan berakhir "perjalanan indah di atas perahu. Tidak akan ada lagi tempat tidur empuk, kue-kue enak, sore-sore hari mendengarkan Mrs. Milligan membaca. Ah! Tidak akan ada lagi Mrs. Milligan atau Arthur!
Suatu hari aku memutuskan bertanya kepada Mrs. Milligan, berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk kem?bali ke Toulouse. Aku ingin menunggu di depan penjara saat majikanku dibebaskan. Mendengar ini, Arthur mulai menangis.
"Aku tidak mau dia pergi! Aku tidak mau Remi pergi," isaknya.
Kukatakan padanya bahwa aku milik Signor Vitaiis, se?bab dia sudah membayar sejumlah uang untuk mendapat?kan aku, jadi aku harus kembali kepadanya kapan pun dia inginkan. Aku pernah menyebutkan tentang kedua orang- tua angkatku, tapi tidak pernah aku menceritakan bahwa mereka bukanlah ayah dan ibu kandungku. Aku malu mengakui bahwa aku hanya anak pungut "anak yang di?ambil dari jalanan. Anak-anak telantar seperti aku selalu dicemooh. Rasanya sangat terhina menjadi anak pungut. Aku tidak ingin Mrs. Milligan dan Arthur tahu, sebab me?reka pasti akan memandang hina padaku.
"Mamma, Remi tidak boleh pergi/' kata Arthur.
"Mamma juga ingin Remi tetap bersama kita," sahut Mr. Milligan, "kita sayang sekali padanya. Tapi ada dua hal; pertama-tama, Remi sendiri harus mau tetap di sini...."
"Oh, dia mau! Dia pasti mau!" seru Arthur, "iya kan, Remi" Kau tidak mau kembali ke Toulouse, kan?"
"Yang kedua," Mrs. Milligan melanjutkan, "apakah ma?jikannya mau melepaskannya?"
"Yang penting Remi mau, yang penting Remi mau," Arthur bersikeras.
Signor Vitalis majikan yang baik, dan aku sangat ber?terima kasih atas segala yang telah dia ajarkan padaku, tapi kehidupanku bersamanya tak bisa dibandingkan de?ngan kehidupan yang bisa kujalani bersama Arthur. Selain itu, rasa hormatku terhadap Signor Vitalis juga tak bisa dibandingkan dengan rasa sayang yang kurasakan ter?hadap Mrs. Milligan dan anaknya yang sakit. Aku merasa tidak pada tempatnya kalau aku lebih memilih orang- orang asing ini daripada majikanku, tetapi begitulah ada?nya. Aku sangat sayang pada Mrs. Milligan dan Arthur.
"Kalau Remi tinggal bersama kita, dia tidak bisa hanya bersenang-senang," Mrs. Milligan meneruskan. "Dia harus ikut belajar seperti kau. Dia harus banyak belajar. Hidup?nya tidak lagi bebas seperti kalau dia mengembara di ja?lan."
"Ah, tapi aku ingin sekali...," aku memulai.
"Tuh, tuh, dengar sendiri kan, Mamma!" Arthur menyela ucapanku.
"Sekarang," kata Mrs. Milligan, "kita harus minta izin dulu pada majikannya. Aku akan menulis surat dan me?nanyakan apakah dia mau datang kemari, sebab kita tidak bisa kembali ke Toulouse. Aku akan mengirimkan ongkos perjalanan untuknya, dan menjelaskan kenapa kita tidak bisa ke sana naik kereta api. Akan kuundang dia kemari, semoga dia mau datang."
"Kalau dia setuju dengan tawaranku," kata Mrs. Milligan, "aku akan mengatur semuanya dengan orangtuamu, Remi, sebab tentunya mereka juga harus diberitahu."
Memberi tahu orangtuaku! Mereka akan membuka ra?hasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat. Bahwa aku hanya anak pungut. Lalu Arthur dan Mrs. Milligan tidak akan menginginkanku lagi!
Anak yang selama ini menemani Arthur ternyata tidak tahu siapa ayah-ibunya. Aku menatap Mrs. Milligan de?ngan ketakutan. Aku tidak tahu mesti berkata apa. Dia memandangiku dengan heran. Aku tidak berani menjawab ketika dia bertanya ada apa denganku. Tetapi dia tidak mendesakku, mungkin karena mengira aku takut mem?bayangkan majikanku akan datang.
Sepanjang sore itu Arthur memandangiku terus dengan tatapan bertanya-tanya. Aku senang ketika sudah waktunya tidur dan aku bisa mengunci diri di dalam kabinku. Itu pertama kalinya aku mengalami malam yang buruk di pe?rahu The Swan ini. Apa yang bisa kulakukan" Apa"
Barangkali Signor Vitalis tidak akan mau melepasku, jadi mereka tidak akan tahu yang sebenarnya. Begitu besar rasa malu dan takutku kalau-kalau mereka akan mengetahui keadaanku yang sebenarnya, sampai-sampai aku mulai ber?harap Signor Vitalis akan bersikeras mempertahankan aku.
Tiga hari kemudian, Mrs. Milligan mendapat surat ba?lasan dari Signor Vitalis. Katanya dia akan datang me?nemui Mrs. Milligan; dia akan tiba hari Sabtu depan, de?ngan kereta jam dua. Aku minta izin menjemputnya ke stasiun bersama anjing-anjing dan Pretty-Heart.
Paginya anjing-anjing gelisah, seolah-olah tahu ada se?suatu yang bakal terjadi. Pretty-Heart bermasa bodoh saja. Aku sangat gelisah. Nasibku akan segera diputuskan. Andai aku berani, aku pasti akan memohon Signor Vitalis untuk tidak memberitahu Mrs. Milligan bahwa aku adalah anak pungut, tapi rasanya aku tidak akan sanggup meng?ucapkan kata-kata itu.
Aku berdiri menunggu di sudut stasiun kereta api, sam?bil memegang tali leher anjing-anjing; Pretty-Heart ber?sembunyi di balik mantelku. Aku tidak terlalu memper?hatikan sekitarku. Anjing-anjinglah yang memberitahuku bahwa kereta sudah datang. Mereka mengendus bau ma?jikan mereka. Tiba-tiba saja mereka menyentak-nyentak tali leher dan, berhubung aku tidak siap, mereka pun lepas. Sambil menggonggong-gonggong mereka berlari-lari ke depan. Kulihat mereka melompat menyambut Signor Vitalis. Capi, meski tidak segesit teman-temannya, melom?pat langsung ke pelukan tuannya, sedangkan Zerbino dan Dulcie melompat-lompat di kakinya.
Ketika melihatku, Signor Vitalis cepat-cepat menurunkan Capi dan merangkulku. Untuk pertama kalinya dia men?ciumku.
"Tuhan besertamu, anakku," katanya berulang-ulang.
Majikanku ini tidak pernah berlaku keras padaku, tetapi dia juga tidak pernah menunjukkan rasa sayangnya, dan aku tidak terbiasa menerima ungkapan perasaan seperti ini darinya. Aku merasa terharu dan mataku basah oleh air mata, sebab saat ini aku sedang mudah sekali menangis.
Kupandangi dia. Setelah keluar dari penjara, dia jadi tam?pak sangat tua. Punggungnya bungkuk, wajahnya lebih pucat, dan bibirnya seperti tak berdarah.
"Aku banyak berubah, bukan begitu, Remi?" katanya. "Hatiku susah selama di penjara, tapi sekarang keadaanku akan lebih baik."
Lalu dia mengubah topik pembicaraan dan berkata:
"Coba ceritakan tentang wanita yang menulis surat pada?ku itu. Bagaimana kau mula-mula mengenalnya?"
Kuceritakan padanya awal mula aku bertemu Mrs. MiUigan dan Arthur di perahu The Swcin, apa yang telah kami lihat dan kami lakukan. Aku berceloteh tanpa tahu persis apa yang kukatakan. Sekarang, setelah bertemu Signor Vitalis, aku tidak sanggup mengatakan padanya bahwa aku ingin meninggalkannya dan tinggal bersama Mrs. Milligan.
Sebelum ceritaku selesai, kami sudah sampai di hotel tempat Mrs. Milligan menginap. Signor Vitalis tidak mem?beritahukan apa yang disampaikan Mrs. Milligan dalam suratnya, jadi aku tidak mengatakan apa-apa tentang ren?cana Mrs. Milligan.
"Apakah nyonya ini menunggu kedatanganku?" tanya?nya saat kami memasuki hotel.
"Ya, ayo kuantar ke kamarnya," kataku.
"Tidak usah," sahutnya. "Aku akan naik sendiri saja. Kau menunggu di sini bersama Pretty-Heart dan anjing- anjing."
Biasanya aku selalu patuh, tetapi kali ini aku merasa su?dah sewajarnya kalau aku ikut menemui Mrs. Milligan. Tetapi Signor Vitalis memberi isyarat dengan tegas, dan aku pun terpaksa menunggu di sini bersama anjing-anjing.
Kenapa dia tidak mengizinkan aku hadir saat dia ber?
bicara dengan Mrs. Milligan" Pertanyaan ini kutanyakan berulang-ulang pada diriku sendiri. Aku masih juga me?mikirkannya, ketika Signor Vitalis muncul lagi.
"Kau boleh naik untuk mengucapkan selamat tinggal pada nyonya itu," katanya singkat. "Akan kutunggu di sini. Sepuluh menit lagi kita berangkat."
Aku terkejut bukan main. "Ayo," katanya, "kau tidak dengar" Kau berdiri saja se?perti anak tolol! Cepat sana!"
Belum pernah dia bicara sekasar itu padaku. Otomatis aku mematuhinya, meski tidak mengerti. "Kau bilang apa padanya?" tanyaku setelah naik beberapa anak tangga.
"Kubilang aku membutuhkanmu dan kau membutuhkan?ku, jadi aku tidak akan melepasmu. Pergilah. Sepuluh me?nit untuk mengucapkan selamat tinggal."
Tadi kupikir mereka tidak mau menerimaku karena ma?jikanku telah memberitahu mereka bahwa aku hanyalah anak pungut.
Ketika memasuki kamar Mrs. Milligan, kulihat Arthur menangis dan ibunya membungkuk di atasnya.
"Kau tidak boleh pergi, Remi! Oh, Remi, bilang kau ti?dak akan pergi," dia terisak-isak.
Aku tak sanggup bersuara. Mrs. Milligan yang men?jawab pada Arthur bahwa aku harus patuh pada perintah majikanku.
"Signor Vitalis tidak bersedia melepaskanmu," kata Mrs. Milligan; suaranya begitu sedih.
"Dia orang jahat!" teriak Arthur.
"Tidak, dia tidak jahat," Mrs. Milligan melanjutkan. "Dia sayang sekali padamu, Remi... dan dia membutuhkanmu. Dari caranya bicara, dia jelas-jelas orang berpendidikan. Dia bilang padaku... begini kata-katanya:
"'Aku sayang anak itu, dan dia sayang padaku. Pela?jaran hidup yang kuberikan padanya akan baik untuknya, jauh lebih baik daripada yang akan dia peroleh bersama Anda. Anda akan memberinya pendidikan, itu benar; Anda akan membentuk pikirannya, tetapi bukan karakternya. Hanya dengan belajar menghadapi kesulitan-kesulitan hi?dup karakter orang akan terbentuk. Dia tidak bisa menjadi anak Anda. Dia akan selalu menjadi anakku. Itu lebih baik daripada menjadi mainan untuk anak Anda yang sakit, semanis apa pun dia. Aku juga akan mengajari anak ini
"Tapi dia bukan ayah Remi," tangis Arthur.
"Memang benar, tapi dia majikan Remi, dan Remi ada?lah miliknya. Untuk saat ini, Remi harus patuh padanya. Orangtua Remi menyewakannya pada Signor Vitalis, tapi aku akan menulis surat pada mereka, siapa tahu ada yang bisa kulakukan."
"Oh, tidak, tidak, jangan," seruku.
"Apa maksudmu?"
"Tidak, tolong jangan menulis surat."
"Tapi hanya itu yang bisa dilakukan, Nak."
"Oh, tolong, tolonglah, jangan."
Andai Mrs. Milligan tidak menyebut-nyebut orangtuaku, aku pasti butuh lebih dari sepuluh menit untuk mengucap?kan selamat tinggal.
"Mereka tinggal di Chavanon, bukan?" tanya Mrs. Milligan.
Tanpa menjawab aku menghampiri Arthur, merangkul?nya erat-erat, lalu kulepaskan diriku dari pelukannya yang lemah. Kuulurkan tanganku kepada Mrs. Milligan.
"Anak malang," gumamnya seraya mengecup kening?ku.
Aku cepat-cepat beranjak ke pintu.
"Arthur, aku akan selalu sayang padamu/' kataku, ber?usaha menahan isakanku, "dan aku tidak akan pernah, ti?dak akan pernah melupakanmu, Mrs. Milligan."
"Remi! Remi!" seru Arthur.
Aku menutup pintu. Sejenak kemudian aku sudah ber?sama Signor Vitalis.
"Kita berangkat," katanya.
Demikianlah aku berpisah dari sahabatku yang mula- mula.
Bab Tiga Belas Hari-Hari Berat dan Melelahkan
Kembali aku menjalani hidup mengembara bersama ma?jikanku, berjalan memanggul harpa dalam hujan, terik matahari, debu, dan lumpur. Aku harus berperan sebagai si bodoh, tertawa dan menangis untuk menyenangkan hati "para penonton yang terhormat".
Dalam perjalanan panjang ini, lebih dari sekali aku ter?tinggal di belakang karena memikirkan Arthur, ibunya, dan perahu The Siuan. Kalau sedang berada di sebuah desa yang kotor, betapa aku merindukan kabinku yang cantik di perahu. Dan sekarang betapa kasar rasanya seprai yang mengalasi tempat tidurku. Sedih sekali membayangkan aku tidak akan pernah lagi bermain-main dengan Arthur dan mendengar suara ibunya.
Tapi untunglah, dalam kesedihanku yang amat dalam ini, aku masih punya satu penghiburan. Signor Vitalis ber?sikap jauh lebih baik padaku, lebih daripada sebelumnya. Ada perubahan besar dalam caranya memperlakukan aku. Sekarang aku merasa dia bukan sekadar majikanku. Andai aku berani, ingin aku memeluknya. Aku begitu haus kasih
sayang. Tapi aku tidak berani, sebab Signor Vitalis bukan tipe orang yang membuatmu berani berakrab-akrab dengan?nya. Mulanya aku menjaga jarak karena takut, tapi seka?rang lebih karena rasa enggan dan hormat.
Ketika belum lama meninggalkan desaku, aku mengang?gap Signor Vitalis sama saja dengan orang-orang lain dari kalangan miskin. Aku tidak bisa melihat perbedaannya. Tetapi setelah dua bulan tinggal bersama Mrs. Milligan, mataku terbuka dan kecerdasanku berkembang. Kuperhati?kan majikanku dengan lebih saksama, dan kulihat gerak- gerik serta pembawaannya sangat superior. Mirip dengan Mrs. Milligan....
Minggu-minggu berlalu. Sekarang mataku selalu tertuju ke arah air, bukan ke perbukitan. Aku senantiasa berharap suatu hari nanti aku akan melihat The Suwn lagi. Setiap kali melihat perahu di kejauhan, kupikir itu The Sivan. Tapi ternyata bukan.
Kami menghabiskan beberapa hari di Lyons, dan waktu- waktu senggangku kuhabiskan di dermaga, melihat-lihat sungai. Aku menggambarkan perahu yang indah itu ke?pada para nelayan dan bertanya apakah mereka pernah melihatnya, tapi tidak ada yang melihatnya.
Akhirnya kami harus meninggalkan Lyons dan pergi ke Dijon. Lalu aku mulai melepaskan harapan untuk bertemu Mrs. Milligan lagi, sebab di Lyons aku sudah mempelajari seluruh peta Prancis, dan aku tahu The Sumn tidak bisa melayari sungai lebih jauh untuk mencapai Loire. Sungai?nya bercabang di Chalon. Kami tiba di Chalon, dan me?neruskan perjalanan tanpa melihatnya. Mimpiku berakhir sampai di situ.
Lebih parah lagi, musim dingin sudah dimulai dan kami harus berjalan kaki tertatih-tatih di tengah hujan es mem?butakan. Malamnya, kalau kami menginap di tempat pengi?napan jelek, atau di lumbung, kecapekan, basah kuyup, aku tidak bisa tidur dengan perasaan gembira. Kadang- kadang kami kedinginan sampai ke tulang; Pretty-Heart sama sedih dan murungnya seperti aku.
Majikanku berniat sampai di Paris secepat mungkin, se?bab hanya di Paris kami punya kesempatan untuk meng?gelar pertunjukan selama musim dingin. Pemasukan kami sangat sedikit sekarang, jadi kami tidak bisa naik kereta api.
Setelah hujan es yang dingin, tiupan angin beralih ke utara. Selama beberapa hari cuaca sangat lembap. Mulanya kami tidak memedulikan angin utara yang menggigit dan menerpa wajah kami, tapi tidak lama kemudian langit pe?nuh dengan awan-awan hitam raksasa dan matahari mu?sim dingin lenyap sepenuhnya. Kami tahu sebentar lagi akan ada badai salju.
Signor Vitalis ingin cepat-cepat sampai ke kota besar berikutnya, untuk tinggal dan mengadakan beberapa per?tunjukan seandainya kami terjebak cuaca buruk.
"Cepatlah tidur," katanya setelah kami tiba di sebuah penginapan malam itu. "Besok kita berangkat pagi-pagi sekali, sebab aku tidak mau terjebak badai salju."
Dia sendiri tidak langsung tidur, melainkan duduk di sudut perapian dapur untuk menghangatkan Pretty-Heart yang sangat kedinginan. Monyet itu tak henti-hentinya mengerang, meski sudah dibungkus selimut berlapis-lapis.
Keesokan paginya aku bangun pagi-pagi sekali, seperti diperintahkan. Matahari belum muncul, langit tampak hitam mengancam, dan tidak ada satu bintang pun. Ketika kami membuka pintu, embusan angin kencang nyaris mem?buat kami terlempar.
"Andai aku jadi kalian," kata si pemilik penginapan kepada Signor Vitalis, "aku tidak bakal keluar dulu. Akan ada badai salju hebat."
"Aku sedang terburu-buru," sahut Signor Vitalis. "Dan aku ingin sampai di Troyes sebelum badai datang."
"Jaraknya tiga puluh mil."
Tapi kami tetap berangkat.
Signor Vitalis memeluk Pretty-Heart rapat di dadanya, su?paya monyet itu merasa lebih hangat. Anjing-anjing, yang senang berada di jalanan yang kering dan keras, berlari cepat di depan kami. Majikanku sudah membeli sehelai rompi kulit domba untukku di Dijon, dan aku memakainya dengan bagian wol-nya di sebelah dalam.
Sungguh tidak enak rasanya ketika kami membuka mu?lut, jadi kami berjalan dalam diam, bergegas-gegas supaya tubuh menjadi lebih hangat, sekaligus supaya lekas sampai ke tujuan. Meski sekarang sudah lewat subuh, langit masih juga hitam pekat. Di sebelah timur ada garis putih tipis melintang di awan-awan, tapi matahari tidak juga me?nampakkan diri. Di kejauhan sana mulai terlihat pohon-po?hon gundul tak berdaun, semak-semak dan perdu-perdu dengan daun-daun kering bergemeresik dan berderak oleh embusan angin kencang. Tidak ada seorang pun di jalan, di padang; tidak ada suara roda-roda gerobak, tidak ter?dengar desis lecutan cambuk.
Tiba-tiba di kejauhan kami melihat sebersit kilasan pucat yang makin lama makin besar sewaktu mengarah kepada kami. Kemudian terdengar semacam gumaman mendesis, seruan keras dan aneh angsa-angsa liar. Rombongan angsa itu terbang bergegas-gegas di atas kepala kami, mengepak?kan sayap dengan cepatnya untuk meninggalkan belahan bumi utara menuju selatan. Sebelum mereka lenyap dari pandangan, butir-butir salju halus berjatuhan perlahan dari langit dan melayang-layang di udara.
Wilayah yang kami lewati begitu kosong dan gersang, pemandangan muram ini membuat keheningan terasa se?makin tajam. Hanya siulan nyaring angin utara yang ter?dengar. Butir-butir salju menari-nari di sekitar kami, seperti kupu-kupu kecil, berputar-putar tak henti-henti tanpa me?nyentuh tanah.
Kami hanya bisa maju sangat perlahan. Rasanya mus?tahil kami bisa sampai di Troyes sebelum badai ini benar- benar menyusul kami. Tapi aku tidak cemas. Kupikir kalau salju turun hawanya tidak akan begitu dingin.
Aku tidak tahu seperti apa badai salju. Tapi tak lama kemudian aku pun tahu, dan pengalaman ini takkan per?nah kulupakan. Awan-awan mengumpul dari barat laut. Butir-butir salju halus tidak lagi melayang di udara, me?lainkan berjatuhan cepat dan deras, menutupi kami dari kepala sampai kaki.
"Begitu menemukan rumah, kita harus menumpang berteduh," gumam Signor Vitalis. "Kita tidak akan bisa sam?pai ke Troyes."
Aku senang mendengarnya, tapi di mana kami bisa me?nemukan tempat berteduh" Sejauh mata memandang, tidak terlihat satu rumah pun, atau apa pun yang menunjukkan bahwa kami sudah mendekati desa.
Di depan kami terbentang hutan lebat dan luas, dan di kiri-kanan kami adalah perbukitan. Salju turun semakin cepat dan lebat.
Kami melangkah dalam hening. Majikanku mengangkat rompi kulit dombanya sesekali, supaya Pretty-Heart bisa bernapas lebih mudah. Kadang-kadang kami harus me?malingkan kepala ke satu sisi, supaya bisa bernapas. Anjing-anjing tidak lagi berlari mendahului. Mereka ber?jalan di belakang kami, meminta perlindungan yang tidak bisa kami berikan.
Kami terus melangkah, dengan perlahan dan susah pa?yah, buta oleh salju, basah dan kedinginan, dan meski sekarang kami berada di tengah hutan, jalur yang kami tempuh tetap tidak terlindung dari tiupan angin kencang. Beberapa kali kulihat majikanku menoleh ke kiri, seperti mencari-cari sesuatu. 'I'api dia tidak mengatakan apa-apa. Apa yang dicarinya" Aku menatap lurus ke depan, ke ja?lanan yang panjang itu. Sejauh bisa kulihat, tidak ada apa- apa selain hutan di kiri-kanan. Kupikir kami tidak akan pernah sampai ke ujungnya hutan.
Selama ini aku melihat salju hanya dari balik kaca jen?dela di dapur yang hangat. Betapa jauh rasanya dapur hangat itu sekarang! Kaki kami terbenam di lapisan salju putih, makin dalam dan makin dalam. Lalu tiba-tiba, tanpa berkata apa-apa, Signor Vitalis menunjuk ke kiri. Aku me?noleh dan samar-samar melihat sebuah gubuk kecil terbuat dari cabang-cabang pohon.
Kami harus menemukan jalan setapak yang menuju gu?buk itu. Sulit sekali, sebab salju sudah begitu tebal dan menutupi bekas-bekas jalur jalan. Kami menerabas semak- semak, dan setelah menyeberangi selokan, akhirnya kami berhasil sampai di gubuk itu dan masuk ke dalamnya. Anjing-anjing bergulingan dengan senangnya di tanah yang kering, menggonggong-gonggong. Kami juga sama senangnya dengan mereka.
"Sudah kuduga, pasti ada gubuk penebang kayu di hu?tan ini," kata Signor Vitalis.
"Sekarang salju boleh turun sepuasnya!"
"Ya, biar saja turun salju," kataku menantang, "aku tidak peduli!"
Aku beranjak ke pintu, atau lebih tepatnya lubang di gubuk itu, sebab tidak ada pintu atau jendela. Kukibas- kibaskan mantel dan topiku di situ, supaya tidak mem?basahi bagian dalam tempat berteduh kami.
Gubuk ini sangat sederhana tapi kokoh. "Perabot"nya hanya terdiri atas setumpuk tanah dan beberapa batu besar untuk tempat duduk
Di dalam gubuk seperti ni, tidak sulit mendapatkan ba?han bakar. Kami tinggal mengambilnya dari tembok-tem?bok dan atap, mencabut beberapa batang dan ranting-ran?ting di sana-sini. Ini bisa dilakukan dengan cepat, dan tak lama kemudian kami sudah memiliki api yang berkobar- kobar terang. Memang benar gubuk ini jadi cepat dipenuhi asap, tapi itu tidak penting. Yang penting ada api, dan ke?hangatan yang kami butuhkan. Aku telungkup dengan bertelekan pada kedua tanganku, dan meniup-niup api itu. Anjing-anjing duduk diam mengelilingi api, menjulurkan leher supaya bagian badan yang basah menghadap ke de?kat api.
Tak lama kemudian, Pretty-Heart mengintip dari balik rompi Signor Vitalis. Dengan hati-hati dia mengeluarkan ujung hidungnya, lalu melihat-lihat keadaan sekitarnya. Merasa puas, dia melompat gesit ke tanah dan mengambil tempat paling dekat dengan api. Diulurkannya kedua ta?ngannya yang kecil dan gemetar ke api.
Pagi tadi, sebelum aku terbangun, Signor Vitalis sudah menyiapkan sedikit makanan. Ada beberapa potong roti dan sepotong keju. Kami semua senang melihat makanan itu, tapi sayangnya kami hanya mendapat jatah sangat se?dikit. Karena tidak tahu berapa lama kami harus tinggal di gubuk ini, Signor Vitalis memutuskan sebaiknya menyim?pan makanan untuk malam nanti. Aku mengerti, tapi anjing-anjing tidak. Ketika melihat roti dimasukkan kem?bali ke dalam tas sebelum mereka kenyang, mereka meng?ulurkan kaki-kaki depan kepada tuan mereka, seraya meng?garuk-garuk lehernya, meminta dia membuka kembali tas yang sedari tadi mereka pandangi. Tapi Signor Vitalis tidak mengacuhkan mereka. Dia tidak membuka tasnya. Anjing- anjing pun berbaring, bersiap-siap tidur, Capi dengan hi?dungnya di abu bekas api. Aku bermaksud tidur juga.
Entah berapa lama aku tidur. Ketika aku terjaga, salju sudah berhenti turun. Aku melongok ke luar. Salju tebal sekali. Kalau kami keluar, bisa-bisa kaki terbenam sampai di atas lutut.
Jam berapa sekarang" Aku tidak bisa bertanya kepada Signor Vitalis. Jam peraknya yang besar, yang biasa men?jadi pedoman Capi mengetahui jam, sudah dijual. Semua uangnya sudah habis untuk membayar denda, dan untuk membelikanku rompi kulit domba di Dijon dia terpaksa berpisah dengan jam peraknya itu. Berhubung cuaca begitu berkabut, aku tak bisa mengira-ngira jam berapa sekarang.
Tidak terdengar suara apa pun. Salju sepertinya me?redam setiap tanda-tanda kehidupan. Ketika aku sedang berdiri di bukaan gubuk kami, kudengar majikanku memanggil.
"Apa kau mau meneruskan perjalanan?" tanyanya.
"Aku tidak tahu. Aku ikut saja."
"Menurutku sebaiknya kita tetap di sini. Setidaknya di sini kita terlindung dan merasa hangat."
Memang benar, tapi aku ingat bahwa kami tidak punya makanan. Tapi aku diam saja.
"Rasanya akan turun salju lagi/' Signor Vitalis menerus?kan. "Kita tidak mau bermalam di luar, kan" Sebaiknya tetap di sini."
Ya, kami harus tetap di gubuk ini dan mengetatkan ikat pinggang. Itu saja.
Saat makan malam, Signor Vitalis membagikan sisa roti. Duh, tinggal tersisa sedikit sekali, dan jatah kami habis dengan cepat. Kami melahap setiap remahnya. Setelah ma?kanan itu habis, kupikir anjing-anjing akan minta tambahan lagi seperti sebelumnya, sebab mereka masih lapar. Tapi ternyata tidak, mereka tidak meminta lagi, dan kembali aku menyadari betapa cerdasnya mereka ini.
Ketika Signor Vitalis memasukkan pisaunya ke dalam saku celana, yang menandakan acara makan sudah selesai, Capi bangkit dan mengendus-endus tas tempat menyimpan makanan. Lalu dia menyentuh tas itu dengan kaki depan?nya, untuk merasakan. Setelah itu barulah dia yakin bahwa memang tidak ada apa-apa lagi untuk dimakan. Dia pun kembali ke tempatnya di depan api, sambil menatap Zerbino dan Dulcie. Sorot matanya jelas-jelas menyampai?kan bahwa mereka tidak akan mendapat apa-apa lagi. Lalu dia berbaring sambil mendesah pasrah. "Tidak ada apa-apa lagi. Percuma meminta-minta." Dia mengatakannya dengan jelas, seperti berbicara keras-keras.
Rekan-rekannya mengerti, dan mereka juga berbaring di depan api sambil menghela napas. Tetapi desah napas Zerbino bukanlah desahan pasrah, sebab selain nafsu makannya besar, Zerbino juga suka sekali makan enak, dan baginya pengorbanan ini lebih besar daripada bagi rekan- rekannya.
Salju mulai turun lagi. Turun tanpa henti. Lapisan putih di luar sana makin tinggi dan makin tinggi, sampai akhir?nya semak-semak dan perdu-perdu tersembunyi di bawah?nya. Ketika malam tiba, butir-butir salju besar masih ber?jatuhan dari langit yang pekat ke tanah yang tampak gemerlapan.
Berhubung kami harus menginap di gubuk ini, yang ter?baik adalah tidur secepat mungkin. Kubungkus tubuhku dalam rompi kulit dombaku yang telah kukeringkan di dekat api sepanjang siang. Aku berbaring di samping api, kepalaku berbantalkan sebuah batu pipih.
"Kau tidurlah," kata Signor Vitalis. "Nanti kau kubangun?kan kalau giliranku tiba. Kita tidak perlu takut diganggu binatang ataupun manusia di dalam gubuk ini, tapi salah satu dari kita harus tetap terjaga untuk menunggui api su?paya tidak mati. Kita harus hati-hati jangan sampai ke?dinginan, sebab udaranya akan dingin luar biasa begitu salju berhenti."
Aku pun tidur. Selewat tengah malam, majikanku mem?bangunkanku. Api masih menyala dan salju sudah berhenti turun.
"Sekarang giliranku tidur," kata Signor Vitalis. "Kalau apinya mulai kecil, lemparkan kayu ke dalamnya. Ini kayu-kayunya sudah kusiapkan."
Dia sudah menyusun setumpuk kecil kayu di dekat api. Majikanku, yang jauh lebih gampang terbangun dibanding aku, tidak ingin tidurnya terganggu kalau aku menarik kayu-kayu dari tembok setiap kali aku membutuhkannya. Jadi, dari tumpukan yang sudah disiapkannya itu aku bisa mengambil kayu dan melemparkannya ke api tanpa me?nimbulkan suara berisik. Bagus juga, tapi sayangnya dia tidak tahu akibat yang akan ditimbulkannya.
Sekarang dia berbaring di depan api bersama Pretty- Heart yang meringkuk di dekatnya. Tak lama kemudian, dari napasnya yang dalam, aku tahu dia sudah tertidur. Pelan-pelan aku bangkit dan beranjak untuk melihat ke?adaan di luar.
Semua rumput, semak-semak, dan pohon-pohon terku?bur dalam salju. Ke mana pun mata memandang, yang tampak hanyalah warna putih menyilaukan. Langit dihiasi beberapa bintang yang berkelap-kelip, tapi meski sinarnya begitu terang, saljulah yang menimbulkan cahaya pucat di permukaan tanah. Sekarang hawanya jauh lebih dingin. Dingin membekukan.
Oh, apa yang harus kami perbuat andai kami tidak me?nemukan gubuk ini" Terjebak di tengah hutan, dalam salju dan hawa dingin.
Meski aku sudah berjalan berjingkat-jingkat ke bukaan gubuk, nyaris tanpa menimbulkan suara, anjing-anjing ter?bangun juga dan Zerbino mengikutiku. Indahnya malam tidak berarti apa-apa baginya. Sejenak dia memperhatikan pemandangan di luar, lalu menjadi bosan dan ingin keluar. Kusuruh dia kembali ke tempatnya. Anjing bodoh, bukan?kah lebih enak berada di dekat api yang hangat daripada berkeliaran di luar sana dalam hawa dingin menggigit ini" Dia patuh pada perintahku, tapi dengan setengah hati, dan matanya tetap tertuju ke bukaan gubuk. Aku tetap di tem?patku selama beberapa menit, memandangi langit yang putih. Indah sekali. Tapi, meski menikmatinya, samar- samar ada sebersit perasaan sedih. Aku bisa saja masuk ke dalam gubuk, tetapi lanskap putih dan misterius itu begitu memikatku.
Akhirnya aku kembali ke dekat api. Setelah menaruh dua atau tiga potong kayu saling silang satu sama lain,
aku duduk di batu yang tadi menjadi bantalku. Majikanku tertidur nyenyak. Anjing-anjing dan Pretty-Heart juga tidur, lidah api menjilat-jilat dan berpusar ke atap, memercikkan bara api cemerlang. Hanya suara derak dan letupan bunga- bunga api yang memecah keheningan malam itu. Lama aku memandangi bunga-bunga api tersebut, lalu lambat laun tanpa kusadari aku mulai mengantuk.
Andai aku sibuk mengambil kayu, aku pasti akan tetap terjaga. Tapi karena duduk menganggur di depan api, aku jadi sangat mengantuk, meski aku yakin sekali bisa tetap membuka mata.
Suara gonggongan keras membuatku tersentak dan ter?lompat bangkit. Masih malam. Mungkin aku tidur lama sekali, sebab api sudah hampir padam. Tidak ada lidah- lidah api yang menerangi gubuk kami sekarang. Capi menggonggong-gonggong dengan keras dan marah. Tapi aneh, tidak terdengar suara Zerbino ataupun Dulcie.
"Ada apa?" seru Signor Vitalis yang terbangun dari tidurnya.
"Tidak tahu." "Kau tadi tertidur, dan apinya padam."
Capi sudah berlari ke bukaan gubuk, tapi tidak pergi ke luar. Dia berdiri menggonggong-gonggong di bukaan gu?buk.
"Ada apa?" giliranku bertanya.
Sebagai jawaban atas gonggongan Capi, terdengar dua atau tiga lolongan bernada sedih yang kukenali sebagai suara Dulcie. Lolongan ini asalnya dari belakang gubuk kami, dan jaraknya sangat dekat.
Aku hendak keluar, tetapi Signor Vitalis menggamit pun?dakku dan menahanku.
"Pertama-tama, tambahkan kayu dulu ke dalam api," katanya dengan nada memerintah.
Aku patuh. Dia mengambil ranting dari api dan meniup?nya sampai tinggal ujungnya yang menyala. Dipegangnya obor itu di tangannya.
"Ayo kita lihat ada apa," katanya. "Kau jalan di bela?kangku. Jalanlah duluan, Capi."
Ketika kami keluar, terdengar suara lolongan menakut?kan. Capi mundur, bersembunyi ketakutan di belakang kami.
"Serigala! Di mana Zerbino dan Dulcie?"
Aku bisa bilang apa" Kedua anjing itu pasti pergi ke luar sewaktu aku tertidur. Zerbino menunggu sampai aku tidur, lalu menyelinap ke luar, dan Dulcie mengikutinya. Mereka digondol serigala! Tebersit rasa takut dalam suara majikanku ketika dia bertanya di mana anjing-anjing.
"Bawa obor," katanya, "kita harus menolong mereka."
Di desa kami, aku sudah sering mendengar cerita-cerita seram tentang serigala, tapi aku tidak bisa bersikap ragu- ragu. Aku lari mengambil obor, kemudian mengikuti ma?jikanku.
Akan tetapi di luar kami tidak melihat ada serigala mau?pun anjing. Di salju hanya terlihat jejak-jejak kaki kedua anjing. Kami ikuti jejak-jejak itu mengitari gubuk, lalu dari jarak tertentu kami melihat lekukan di salju, seperti bekas tempat berguling-guling beberapa binatang.
"Cari mereka, Capi," kata majikanku. Lalu dia bersiul untuk menarik perhatian Zerbino dan Dulcie.
Namun tidak ada gonggongan sebagai jawaban. Tidak ada suara apa pun di tengah keheningan sedih hutan ini. Dan Capi bukannya berlari seperti diperintahkan. Dia ma?lah merapat pada kami dan jelas-jelas ketakutan. Capi, yang biasanya begitu patuh dan berani.
Kami tidak punya cukup cahaya untuk mengikuti jejak- jejak itu sampai jauh. Salju di sekitar kami begitu terang, tetapi di belakang sana tampak samar dan tidak jelas.
Signor Vitalis bersiul lagi dan berteriak memanggil anjing-anjing yang hilang. Tidak ada gonggongan men?jawab.
Oh, Zerbino yang malang. Dulcie yang malang!
"Mereka sudah ditangkap serigala-serigala," kata Signor Vitalis. "Kenapa kaubiarkan mereka keluar?"
Ya, kenapa" Aku tak bisa menjawab.
"Kita harus mencari mereka," kataku setelah diam se?jenak.
Aku hendak berjalan mendahului, tetapi Signor Vitalis menghentikanku.
"Kau mau mencari ke mana?" tanyanya.
"Tidak tahu. Ke mana-mana."
"Dalam cahaya remang-remang begini, kita tidak tahu ke mana mereka pergi."
Benar juga, apalagi salju tingginya sampai melebihi lu?tut. Cahaya dua obor kami tidak akan sanggup menembus bayang-bayang.
"Kalau mereka tidak menggonggong, itu karena mereka sudah jauh," kata Signor Vitalis. "Kita tidak boleh pergi jauh. Serigala-serigala mungkin akan menyerang kita juga. Dan kita tidak akan bisa membela diri."
Sungguh menyedihkan harus membiarkan anjing-anjing malang itu menghadapi nasib mereka "dua sahabat kami. Sahabatku, terutama. Dan yang lebih memilukan lagi aku?lah yang bertanggung jawab. Andai aku tidak tertidur, mereka pasti tidak pergi ke luar.
Majikanku sudah masuk kembali ke dalam gubuk. Aku membuntutinya, sambil menoleh setiap kali melangkah, kemudian berhenti untuk memasang telinga. Aku tidak mendengar apa-apa, dan tidak melihat apa-apa selain salju.
Sebatang Kara Nobodys Boys Karya Hector Malot di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sampai di gubuk, kejutan lain menanti kami. Cabang- cabang kayu yang kulemparkan ke api sudah menyala dan cahaya api menerangi sudut-sudut gubuk yang paling ge?lap, tetapi Pretty-Heart tidak kelihatan di mana pun. Seli?mutnya masih ada di depan api, tapi dia tidak ada di situ. Kupanggil-panggil dia. Signor Vitalis juga memanggilnya, tapi dia tidak juga muncul.
Kata majikanku, waktu dia terbangun Pretty-Heart masih ada di sampingnya, jadi monyet itu rupanya menghilang sewaktu kami sedang keluar gubuk. Dengan membawa obor yang dipegang dekat ke tanah bersalju, kami mulai mencarinya, tetapi kami tidak menemukan jejaknya.
Kami kembali ke gubuk, untuk memeriksa apakah dia bersembunyi di belakang beberapa rerantingan. Kami men?cari-cari lama sekali. Sepuluh kali kami mencari di tempat yang sama, di sudut-sudut yang sama. Aku naik ke pun?dak Signor Vitalis untuk mencari di antara cabang-cabang di atap. Kami memanggil-manggil berulang kali, tapi tidak ada jawaban.
Signor Vitalis kelihatan marah. Aku sudah putus asa. Kutanya majikanku, apakah menurut pendapatnya Pretty- Heart juga sudah dimangsa serigala.
"Tidak," sahutnya, "serigala tidak akan berani masuk ke dalam gubuk. Aku khawatir mereka berhasil memangsa Zerbino dan Dulcie waktu anjing-anjing itu keluar, tapi mereka tidak masuk ke sini. Mungkin sekali Pretty-Heart ketakutan dan bersembunyi di suatu tempat, sementara
kita sedang di luar. Itu sebabnya aku sangat cemas. Dalam udara dingin begini, dia akan masuk angin, dan itu fatal buatnya."
"Ayo kita terus mencari."
Kami memeriksa daerah di dekat-dekat kami sekali lagi, tapi sia-sia.
"Kita harus tunggu sampai hari terang," kata Signor Vitalis.
"Berapa lama lagi?"
"Dua atau tiga jam lagi, kurasa."
Signor Vitalis duduk di depan api, sambil memegangi kepalanya dengan dua tangan. Aku tidak berani meng?ganggunya. Aku berdiri saja di dekatnya, hanya bergerak sesekali untuk menambahkan ranting-ranting ke dalam api. Sekali-dua kali Signor Vitalis bangkit berdiri dan beranjak ke pintu. Dia mendongak ke langit, mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu masuk dan duduk kembali. Aku le?bih suka dia marah padaku, daripada hanya berdiam diri dan begitu sedih.
Tiga jam berlalu lambat. Malam seperti takkan pernah berakhir. Bintang-bintang mulai memudar dan langit se?makin terang. Sebentar lagi fajar merekah. Tapi menjelang pagi hawa dingin makin menggigit. Udara dingin yang masuk melalui pintu membuat kami serasa beku sampai ke tulang.
Kalaupun kami menemukan Pretty-Heart, apakah dia masih hidup"
Sekarang salju sudah berhenti turun dan ada semburat cahaya merah muda di langit, yang menandakan cuaca cerah. Begitu hari semakin terang, kami keluar dari gubuk, dengan membawa sebatang tongkat yang kuat.
Capi tidak kelihatan setakut malam sebelumnya. Dengan mata tertuju pada tuannya, dia menunggu isyarat untuk berlari ke luar. Ketika kami memeriksa di tanah, untuk mencari jejak-jejak kaki Pretty-Heart, Capi menyentakkan kepalanya ke belakang dan mulai menggonggong senang. Dia ingin memberitahukan bahwa kami mesti mencari di atas sana, bukan di tanah.
Di pohon ek raksasa di samping gubuk, kami menemu?kannya.
Pretty-Heart yang malang! Karena ketakutan mendengar lolongan anjing-anjing, dia melompat ke atap gubuk se?waktu kami keluar, lalu dari situ dia memanjat ke puncak pohon ek, dan karena merasa aman di sana, dia tetap me?ringkuk di atas, tidak menjawab panggilan-panggilan kami.
Makhluk kecil rapuh itu pasti beku kedinginan.
Majikanku memanggilnya dengan lembut. Dia tidak ber?gerak. Kami pikir dia sudah mati. Selama beberapa menit Signor Vitalis masih terus memanggil-manggilnya, tetapi monyet itu tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Aku sedih dan sangat menyesal. Ini hukuman berat buat?ku. Aku mesti menebus kesalahanku.
"Aku akan naik dan membawanya turun," kataku.
"Lehermu bisa patah."
"Tidak, tidak berbahaya kok. Bisa kulakukan dengan gampang."
Waktu masih kecil, aku sudah belajar memanjat pohon dan aku cukup mahir dalam hal ini. Aku melompat dan menyambar cabang-cabang yang paling rendah. Aku ber?pegangan di situ, dan walaupun pandanganku tertutup salju yang jatuh di mataku, aku berhasil memanjat batang pohon sampai ke cabang-cabang yang lebih kuat. Begitu sampai di sana, aku tinggal berhati-hati saja supaya tidak kehilangan pijakan.
Sambil memanjat, aku berbicara dengan lembut kepada Pretty-Heart. Dia tidak bergerak, hanya menatapku dengan sepasang mata berkilat-kilat. Aku hampir sampai ke tempat?nya dan hendak mengulurkan tangan, tapi tiba-tiba dia melompat ke cabang lain. Kuikuti dia, tapi sungguh sial... biar bagaimanapun, monyet tetap lebih lincah memanjat pohon daripada anak kecil. Mungkin aku tidak akan per?nah berhasil menangkapnya kalau bukan karena kakinya basah oleh salju. Dia tidak suka basah, dan segera saja dia merasa capek menghindariku. Maka dia berayun turun dari cabang ke cabang, lalu melompat langsung ke pundak tuannya dan bersembunyi di balik rompinya.
Kami senang sekali telah menemukan Pretty-Heart, tapi ini belum selesai. Sekarang kami harus mencari anjing-anjing.
Sekarang hari sudah terang dan kami bisa melihat apa yang terjadi semalam. Di salju kami membaca jejak-jejak kematian anjing-anjing kami. Kami ikuti jejak-jejak mereka sejauh tiga puluh meter. Mereka keluar beriringan dari gubuk, Dulcie mengikuti Zerbino. Lalu kami melihat jejak- jejak lain. Di salah satu sisi ada bekas-bekas pergulatan ketika para serigala menyergap kedua anjing, dan di tempat-tempat lain ada jejak-jejak kaki kawanan serigala yang berlari-lari pergi sambil menggondol mangsa mereka, untuk dimakan perlahan-lahan. Tidak ada bekas-bekas ke?dua anjing, selain bercak-bercak darah merah yang mengo?tori salju di sana-sini.
Kedua anjing malang itu menemui ajal mereka semen?tara aku tertidur!
Kami harus secepatnya menghangatkan Pretty-Heart.
Lekas-lekas kami kembali ke gubuk. Sementara Signor Vitalis mengulurkan kedua kaki dan tangan makhluk kecil itu ke api, seperti memegangi seorang bayi mungil, aku menghangatkan selimut-selimut, lalu kami membungkusnya dengan selimut-selimut itu. Tetapi dia membutuhkan lebih dari itu. Dia membutuhkan minuman hangat. Majikanku dan aku duduk diam di dekat api, memandangi kayu ter?bakar.
"Zerbino yang malang. Dulcie yang malang."
Kami menggumamkan kata-kata itu. Mula-mula majikan?ku, lalu aku.
Anjing-anjing itu sahabat kami, teman perjalanan kami, kami sama-sama mengalami susah dan senang, dan dalam kesepianku mereka sangat berarti bagiku. Kucerca diriku habis-habisan karena telah lalai. Serigala-serigala itu tidak akan menyerang kami di dalam gubuk. Mereka tidak akan berani mendekat, takut oleh api.
Andai Signor Vitalis memarahiku! Aku berharap dia memukuliku. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Dia bahkan tidak memandang ke arahku. Dia duduk saja dengan kepala tertunduk di dekat api. Barangkali memikirkan bagaimana jadinya nasib kami tanpa anjing-anjing itu.
Bab Empat Belas Pretty Heart yang Malang Matahari muncul dengan sinarnya yang cemerlang. Cahaya?nya memantul pada hamparan salju yang putih, dan hutan yang kemarin malam tampak begitu suram dan pucat se?karang berkilauan menyilaukan mata. Beberapa kali Signor Vitalis memasukkan tangannya ke balik selimut, untuk me?meriksa keadaan Pretty-Heart, tetapi monyet kecil malang itu tidak juga menjadi hangat. Ketika aku membungkuk di atasnya, bisa kudengar dia gemetar hebat. Darah di dalam pembuluh-pembuluhnya telah membeku.
"Kita harus segera menemukan desa, kalau tidak PrettyHeart akan mati," kata Signor Vitalis. "Ayo kita segera berangkat."
Selimut-selimut sudah dihangatkan dan makhluk kecil itu dibungkus rapat di dalamnya. Majikanku menaruh Pretty-Heart di balik rompinya, dekat dengan jantungnya. Kami sudah siap.
Sambil keluar dari gubuk, Signor Vitalis melayangkan pandang ke sekitarnya. "Gubuk ini telah memberi kita tem?pat berteduh, tapi kita harus membayar mahal untuk itu," katanya. Suaranya bergetar.
Dia keluar lebih dulu, aku membuntuti di belakangnya. Setelah berjalan beberapa meter, kami harus memanggilmanggil Capi. Anjing malang itu masih berdiri di luar gu?buk, hidungnya tertuju ke tempat teman-temannya dimangsa kawanan serigala.
Sepuluh menit kemudian kami sampai di jalan utama. Kami berpapasan dengan sebuah gerobak. Kusir gerobak mengatakan ada desa yang jauhnya satu jam perjalanan dari sini. Kami menjadi lebih bersemangat, tetapi sungguh sulit dan sakit untuk berjalan kaki. Salju tingginya men?capai pinggangku. Berkali-kali aku menanyakan keadaan Pretty-Heart, dan setiap kali pula Signor Vitalis mengata?kan bahwa monyet itu masih juga gemetar kedinginan. Akhirnya kami melihat atap-atap putih rumah-rumah di desa yang cukup besar. Kami tidak biasa menginap di tem?pat-tempat penginapan mahal. Kami selalu memilih tempat yang murah, yang bisa dipastikan tidak akan mengusir kami dan merampok seluruh uang kami.
Tetapi kali ini Signor Vitalis masuk ke sebuah tempat penginapan dengan papan nama indah digantung di luar pintu dapurnya. Pintu itu terbuka dan kami bisa melihat tungku besar di dalamnya, penuh dengan panci-panci tem?baga mengilap yang mengepulkan uap. Ah, betapa harum?nya sup itu bagi perut para pengembara yang lapar seperti kami.
Majikanku maju dengan sikapnya yang paling ber?wibawa, dan dengan topi di kepala serta kepala ditegak?kan, dia meminta perempuan pengurus penginapan me?nyiapkan tempat tidur nyaman dan perapian. Mulanya perempuan itu "yang berpenampilan terpandang "tidak terlalu peduli pada kami, tetapi sikap berwibawa Signor Vitalis rupanya membuatnya terkesan. Dia bicara pada se?orang pelayan, menyuruh pelayan itu membawa kami ke salah satu kamar.
"Cepat, naik ke tempat tidur," kata Signor Vitalis, semen?tara si pelayan menyalakan perapian. Aku melongo me?natapnya. Kenapa mesti naik ke tempat tidur" Aku lebih suka duduk dan makan daripada tidur.
"Ayo, cepat," Signor Vitalis berkata lagi.
Mau tak mau aku mesti mematuhi.
Di tempat tidur ada selimut bulu angsa. Signor Vitalis menyelimutiku sampai ke dagu.
"Cobalah menghangatkan badan," katanya. "Semakin hangat, semakin baik."
Menurutku Pretty-Heart lebih membutuhkan kehangatan daripada aku, sebab sekarang aku tidak terlalu kedinginan lagi. Sementara aku berbaring tak bergerak di bawah se?limut itu, mencoba menghangatkan badan, Signor Vitalis memutar-mutar Pretty-Heart di depan perapian, seperti hendak memanggangnya. Si pelayan terheran-heran me?lihatnya.
"Apa kau sudah hangat?" Signor Vitalis bertanya pada?ku beberapa menit kemudian.
"Aku sesak napas."
"Bagus." Dia cepat-cepat menghampiri tempat tidurku. Dibaringkannya Pretty-Heart di situ dan disuruhnya aku memeluk monyet itu rapat-rapat di dadaku. Makhluk kecil malang itu, yang selalu berontak kalau disuruh melakukan sesuatu yang tidak dia inginkan, sekarang pasrah diperlakukan bagaimanapun. Dibiarkannya aku memeluknya dekat ketubuhku, tanpa bergerak sedikit pun. Tapi sekarang badan?nya tidak dingin lagi; badannya panas sekali.
Majikanku, yang sudah turun ke dapur, kembali tak lama kemudian, dengan membawa semangkuk anggur yang sudah diberi gula banyak-banyak. Dicobanya me?maksa Pretty-Heart minum beberapa sendok, tetapi makhluk kecil itu tidak bisa membuka gigi-giginya yang mengatup. Dengan sepasang matanya yang cemerlang dia menatap kami dengan sorot mata memohon, seperti hen?dak meminta agar kami tidak menyiksanya. Lalu dia me?ngeluarkan satu tangannya dari balik selimut dan mengulurkannya pada kami.
Tikam Samurai 3 Kisah Para Pendekar Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Kemelut Kerajaan Mancu 4
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama