Ceritasilat Novel Online

Sepasang Pedang Mustika 1

Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana Bagian 1


JILID I PEDANG adalah lambang dari seorang jago silat.
Orang, bila melihat seseorang pergi menyandang pedang
maka kebanyakan akan mengatakan bahwa orang itu
adalah seorang jago silat, atau setidak-tidaknya mengerti ilmu silat.
Pada waktu itu memang banyak pendekar-pendekar
yang sedang merantau. Tetapi tak jarang pula orangorang lemah yang ikut-ikutan membawa pedang supaya
dianggap sebagai seorang pendekar.
Pada suatu pagi yang cerah di Gunung Lawu. Gunung yang mempunyai banyak pemandangan indahindah itu kelihatan ramai. Mereka itu terdiri dari berbagai-bagai golongan. Pengemis, pendeta, orang-orang
kaya, sastrawan dan lain-lainnya. Pokoknya banyak
orang yang mengunjungi Gunung Lawu. Padahal biasanya tempat itu kelihatan sunyi. Dari wajah mereka itu
tampaklah kalau satu sama lain tampak saling curigamencurigai.
Sebetulnya mengapakah Gunung Lawu yang biasanya sepi itu banyak dikunjungi orang dari seluruh pelosok tanah Jawa" Apakah karena keindahan gunung
itu" Bukan! Mereka itu datang ke Gunung Lawu karena
tertarik dengan adanya kabar bahwa di gunung itu tersimpan Sepasang Pedang Mustika yang ampuh sekali.
Menurut ceritera yang tersebar waktu itu, pedangpedang pusaka itu adalah senjata-senjata keraton Majapahit. Adapun pasangan pedang itu ialah Pedang Naga
Biru dan Pedang Besi Merah. Pedang Naga Biru itu dahulunya adalah pedang Ranggalawe, sedang Pedang Besi Merah adalah kepunyaan Nambi. Keduanya adalah
karunia dari Raja Rajasa (Kertarajasa) kepada kedua
orang adipati yang telah berjasa besar kepada negara.
Tetapi setelah Adipati Ranggalawe dan Nambi berontak
terhadap Raja Jayanegara, maka kedua pedang itu jatuh ke tangan seorang pendekar besar, Pendekar Baju
Sakti. Adapun namanya yang asli adalah Gajah Biru.
Akan tetapi Gajah Birupun akhirnya mati pula di tangan kakak seperguruannya, Gajah Mada.
Sebelum Gajah Biru mati di tangan kakak seperguruannya itu, ia telah menyimpan kedua pedang pusaka
yang ampuh itu. Dan bahkan ia berhasil pula menulis
seluruh kepandaiannya di suatu daun lontar. Kitab itulah yang akhirnya terkenal sebagai kitab peninggalan
Pendekar Bayu Sakti. Namun sampai sekarang orang
tak mengetahui di mana kitab dan pedang-pedang itu
disimpan. Hanya saja belakangan ini ada desas-desus yang mengabarkan bahwa Pedang Naga Biru serta Pedang Besi
Merah tersimpan di salah satu gua yang penuh dengan
binatang-binatang buas di Gunung Lawu. Nah, hal inilah yang menjadikan Gunung Lawu menjadi ramai banyak dikunjungi orang. Seluruh pendekar di Jawa ini
beramai-ramai mencari peninggalan dari Gajah Biru itu.
Sebab mereka yakin, siapa yang dapat menemukan kitab dan pedang itu akan dapat merajai dunia persilatan.
Tetapi sebelum mereka itu dapat mencari kitab, terlebih dahulu harus mendapatkan kedua pedang mustika itu. Sebab di kedua pedang itulah terdapat peta petunjuk di mana adanya kitab peninggalan Pendekar
Bayu Sakti. Biarpun kabar ini masih merupakan sebuah ceritera
saja, namun para tokoh tak mau melewatkan kesempatan itu. Bahkan mereka itu tak segan-segannya untuk
mengorbankan nyawanya demi tujuannya mencari pedang dan kitab itu.
Pendatang-pendatang itu sedang sibuk mencari-cari
di mana tempat gua itu. Tak jarang pula tampak pertarungan-pertarungan yang disebabkan oleh rasa saling
curiga-mencurigai itu. Darah mengalir, nyawa melayang, dan pekik kesakitan terus terdengar dengan nyata. Akan tetapi kesemuanya itu telah menjadikan hal
yang biasa saja bagi mereka yang sedang mengejar citacita demi keluhuran masa depan mereka itu.
Sewaktu mereka sedang asyik mencari-cari letak dari
gua itu, tiba-tiba tampaklah seorang pendeta yang datang bersama seorang anak kecil yang berusia kurang
lebih sepuluhan tahun, naik ke atas puncak Lawu itu.
Kedua orang itu dengan mudah sekali meloncati jurangjurang yang terbentang di hadapannya. Hanya kalau jurang yang diloncati terlalu lebar, barulah pendeta itu
menggandeng tangan laki-laki kecil yang akan meloncati
jurang itu. Gerakan mereka ini gesit sekali bagaikan gerakan seekor induk rusa yang sedang bermain-main
dengan anaknya. Dilihat dari gerakan mereka ini dapatlah diketahui kalau ilmu meringankan tubuh kedua
orang itu telah mencapai tingkat yang tinggi.
Ketika melihat kedatangan pendeta yang sedang berlari menuju ke puncak gunung itu, mengeluhlah para
pendatang yang sedang mencari-cari tempat gua yang
dikabarkan untuk menyimpan kedua pedang mustika
itu. "Huh, untuk apa kita susah-susah mencarinya,"
dengus salah seorang yang sedang mencari tempat gua
itu. "He... mengapa kau mengeluh, Adi" Apakah kau telah berputus asa?" tanya yang lain.
"Terang! Aku sekarang menjadi putus asa sebab
dengan datangnya setan berjubah itu. Andaikata kita
dapat menemukan, apa kaukira ia akan mendiamkan
saja" Huh... pendeta busuk yang masih belum dapat
menghilangkan nafsu keduniawian itu sekarang telah
datang," sungut orang yang ditanyai tadi.
"Ah... yang kaumaksud si Brajalaga itu?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Adi Tanca, hati-hatilah kau kalau membuka mulutmu. Bisa-bisa nyawamu melayang kalau ia mendengar
omelanmu tadi," tegurnya.
"Biar, Kakang Tadah! Biarpun ia termasuk seorang
tokoh besar, tetapi aku tak takut kalau terpaksa menghadapinya," jawab orang yang dipanggil Tanca tadi.
Tiba-tiba saja terdengarlah suara orang ketawa.
"Ha... ha... ha... tikus-tikus kecil berani membuka
mulut dengan seenaknya saja. Coba hendak kulihat seberapa kesaktianmu!" seru orang yang ketawa tadi. Setelah sesaat kemudian dari habisnya perkataan itu,
muncullah pendeta yang tadi kelihatan naik ke puncak
itu. Bagaimanakah pendeta itu dapat mendengarkan
percakapan kedua kakak beradik Tadah dan Tanca itu"
Sewaktu pendeta yang disebut Setan Berjubah oleh
Tanca tadi naik ke atas, diam-diam pendeta itu memperhatikan kedua orang yang sedang mencari pedang
itu. Karena kesibukan dari kedua kakak beradik inilah
yang menarik perhatian pendeta itu, maka dengan diam-diam pendeta itu menarik lengan anak kecil itu untuk mendengarkan dan memperhatikan percakapan Tadah dan Tanca tadi. Karena itulah Setan Berjubah itu
dapat mendengarkan semua percakapan kedua orang
itu. "Bagus... bagus..., kau telah berani menghina Brajalaga. Nah, sekarang terimalah hukumanku atas segala
dosamu tadi!" seru Brajalaga dengan mengayunkan tangan kirinya ke arah Tadah dan tangan kanannya ke
arah kepala Tanca. Tahulah Tadah dan Tanca apa arti dari gerakan Pendeta Brajalaga ini. Nyawanya tak dapat ditolong lagi. Sebab Brajalaga kini telah siap dengan pukulan jarak
jauhnya yang disebut Aji Kilat Buana.
Tetapi mana mau kedua orang itu mati dengan percuma" Sedang semut saja kalau terinjak akan menggigit, apalagi manusia! Biarpun mereka ini bukan tandingan dari Brajalaga, tetapi tetap saja ia berusaha melawannya. Namun biarpun Tadah dan Tanca melawan
dengan sekuat tenaga, tetaplah pukulan tangan kiri dan
kanan Brajalaga yang telah terisi dengan Aji Kilat Buana
itu dapat menghancurkan kepala Tanca dan meremukkan dada Tadah.
"Dukk... prakk...." Terdengarlah suara akibat pukulan jarak jauh Pendeta Brajalaga itu. Dan terlemparlah
tubuh kedua kakak beradik yang malang itu dalam keadaan tewas.
"Ha... ha... ha... begitulah akibatnya kalau orang berani menghina Brajalaga si Setan Berjubah."
"Bagus... bagus..., Guru, kita harus menghancurkan
semua orang yang berani menghina kita," seru anak laki-laki kecil dengan senang.
"Maka dari itu, Dendapati, kau harus belajar ilmu silat dengan rajin dan sungguh-sungguh supaya orang
lain tak berani menghinamu," kata Brajalaga.
Sebetulnya siapakah Pendeta Brajalaga itu" Pendeta
Brajalaga adalah seorang tokoh sakti yang malang-melintang di daerah utara Pulau Jawa ini. Ia tinggal di
puncak Gunung Tangkuban Prau. Tokoh dari utara ini
biarpun seorang pendeta tetapi kekejamannya tak kalah
dengan perampok, bajak, singa ataupun binatang buas
lainnya. Karena kegananasannya ini ia digelari sebagai
"Setan Berjubah" oleh kaum dunia persilatan. Sedang
anak laki-laki kecil itu bernama Dendapati, yang menjadi murid tunggal dari tokoh sakti dari utara itu.
Sebetulnya di Pulau Jawa ini terdapat empat orang
tokoh sakti yang merajai dunia persilatan. Keempat tokoh sakti itu mempunyai kepandaian yang berimbang,
sehingga satu dengan lainnya tak dapat dengan mudah
mengalahkan lainnya. Empat tokoh sakti itu ialah: Pendeta Brajalaga dari utara, yang bergelar Setan Berjubah.
Tokoh dari barat ialah seorang yang bertubuh gendut
pendek yang bernama Suronggongkoro yang bergelar
Gajah Limbung. Tokoh dari barat ini bertempat tinggal
di desa Palawijen. Tokoh ke tiga adalah seorang wanita
yang bernama Anggraeni yang bergelar Dewi Bayangan.
Dan Anggraeni ini malang-melintang di daerah timur.
Selain itu masih ada pula seorang tokoh dari selatan
yang bernama Sentika dan bergelar Mliwis Putih, sebab
tokoh dari selatan ini selalu memakai pakaian yang berwarna putih.
Sewaktu guru dan murid itu sedang bercakap-cakap,
tiba-tiba datanglah seorang wanita yang menghampirinya.
"He... rupa-rupanya pendeta setan telah sampai pula
di sini! Sungguh tajam sekali pendengaranmu itu, Brajalaga!" seru wanita pendeta itu.
"Huh... kau sendiri sudah datang tidak lekas mencari
kedua pedang itu, mau tunggu kapan lagi, hai wanita
iblis?" balas Brajalaga. Memanglah yang datang baru
saja ini adalah Anggraeni yang berjuluk Dewi Bayangan,
seorang tokoh dari timur.
"Hem... enak saja kau membuka mulut, setan! Hayo,
lekas kauserahkan kedua pedang itu kepadaku!" seru
Anggraeni dengan sikap mengancam.
"Hai..., apa matamu telah buta" Lihatlah apa pedang
itu telah terjatuh ke tanganku?" seru Brajalaga dengan
heran. "Siapa percaya dengan segala ocehanmu! Hayo lekas
serahkan sebelum aku menjadi marah!" desak Dewi
Bayangan. "Guru, mengapa tak kau pukul saja wanita kurang
ajar ini?" sela Dendapati dengan marah.
"Dendapati, diam kaujangan mencampuri urusan
orang tua!" tegur gurunya.
"Hem..., agaknya muridmu ini mempunyai semangat
yang besar juga! Hei... setan busuk, kalau kau tak mau
menyerahkan pedang itu jangan salahkan kalau aku turunkan tangan kejam kepadamu!"
"Ayaaaaa..., benar-benar sombong kau, iblis betina!"
seru Brajalaga. "Hem... dua jago telah bertemu mengapa
masih harus berkokok terus" Mari kita selesaikan
persoalan kita ini dengan cara orang gagah!" teriak
Anggraeni dengan siap memasang kuda-kuda.
"Bagus, wanita sombong, hendak kulihat seberapa
kepandaianmu!" jawab Brajalaga dengan siap pula.
Tak lama kemudian tampaklah kedua orang tokoh
dari timur dan utara itu sedang bertempur dengan ramainya. Kedua-duanya mempunyai kepandaian yang
setingkat, dan lagi mereka mempunyai keistimewaan
masing-masing. Dendapati yang melihat pertempuran dahsyat ini hatinya menjadi tegang. Ia terus-menerus berdoa supaya
gurunya dapat mengalahkan lawannya yang telah ia ketahui kesaktiannya itu. Makin lama pertempuran itu
makin bertambah seru. Dari pertempuran itu dapatlah
dilihat kalau kepandaian mereka itu berimbang. Tetapi
Brajalaga menang setingkat dalam tenaga dalam, namun Anggraeni dapat menutup kekalahannya dengan
ilmu meringankan tubuhnya yang hampir mencapai
puncak kesempurnaan. Hal ini tidaklah aneh, sebab dari julukannya saja dapat diketahui tentang ilmu meringankan tubuh dari wanita sakti ini. Pertempuran
yang seru ini benar-benar bagaikan seekor singa yang
ganas melawan seekor burung garuda lapar. Kalau Brajalaga bergerak bagaikan sekedar singa maka kelincahan dari Anggraeni benar-benar mempesonakan. Ia dapat menghindar dari seluruh serangan tokoh dari utara
itu, namun Anggraenipun tak pernah dapat menyerang
dengan hebat kepada musuhnya ini.
"Bagus... bagus..., makin tua makin hebat kepandaianmu, iblis wanita!" seru Brajalaga dengan menghantamkan tangannya yang berisi Aji Kilat Buana ke
arah dada lawan. "Huh... kau sendiri juga makin ganas dan kuat, setan busuk," jawab Anggraeni sambil meloncat ke atas,
sehingga ia terbebas dari serangan maut tokoh dari utara itu. Pohon yang berdiri di belakang Anggraeni tadi tiba-tiba menjadi tumbang kena pukulan jarak jauh dari
Brajalaga. Diam-diam wanita sakti itu mengagumi kehebatan tenaga dalam lawannya.
Banyak pohon yang tumbang dan debu mengepul
tinggi sekali di daerah yang dipakai bertempur oleh kedua orang itu. Jurus demi jurus telah mereka lalui dengan cepatnya. Seribu jurus berlalu tetapi kedua-duanya
masih kelihatan segar-segar saja. Bahkan belum ada
tanda-tanda siapa yang akan kalah dan siapa pula yang
akan menang. Pertempuran masih berjalan dengan serunya. Dendapati yang ingin membantu gurunya itu tetapi tak berani memasuki lapangan, setelah mendapat
omelan dari Brajalaga. Karena itu ia hanya berdiri di tepi dengan hati berdebar-debar. Setelah beberapa saat
berselang maka berserulah Brajalaga.
"Tahan!" "Mengapa kau menyuruhku menahan serangan ini?"
tanya Dewi Bayangan sambil menarik kembali serangannya.
"Lihat hari telah mulai gelap! Kita hanya membuangbuang waktu dengan sia-sia. Apakah tujuanmu ke mari
ini hanya untuk bertempur melawanku?" tanya Brajalaga.
"Memang, kalau kau tak mau menyerahkan pedang
itu kepadaku!" dengus Dewi Bayangan.
"Bangsat iblis, aku benar-benar belum mendapatkan
pedang-pedang itu! Apakah kau tak percaya"!" seru
Brajalaga dengan marah. "Hem... baiklah, aku sekarang percaya, tetapi kalau
aku mendengar bahwa betul-betul pedang-pedang itu
berada di tanganmu, maka apa sukarnya untuk mengambilnya!" seru wanita sakti itu dengan berkelebat pergi.
"Bangsat hina kau, terlalu sombong!" Desis Brajalaga. "Mari, muridku, kita pergi dulu dari sini!" ajak
Pendeta itu sambil menarik tangan Dendapati, lalu sebentar saja kedua orang itu telah hilang seperti ditelan
keangkeran gunung itu. *** Sementara itu yang berada di Padepokan Jati Tunggal di daerah selatan, Mliwis Putih sedang memberi wejangan kepada dua orang muridnya. Mliwis Putih atau
Sentika adalah laki-laki yang kurus kering dan berjenggot putih lagi pula panjang. Kakek tua ini masih pula
kelihatan sehat dan bersemangat walaupun tubuhnya
sudah kurus kering. Biarpun Mliwis Putih bertubuh kurus kering, tetapi di dunia persilatan jarang ada tokoh
yang dapat mengalahkannya. Memang Mliwis Putih ini
kepandaiannya sejajar dengan kepandaian dari Dewi
Bayangan, Setan Berjubah, dan Suronggongkoro atau si
Gajah Limbung. Kakek ini mempunyai suatu keunggulan pula dalam empat besar itu. Keistimewaannya ialah
dalam hal tenaga dalam. Boleh dibilang kalau dari keempat tokoh besar itu hanya Mliwis Putihlah yang telah
mencapai tingkat tertinggi dalam hal tenaga dalam. Seperti halnya kalau Anggraeni mempunyai keistimewaan
dari saingannya yang berupa ilmu meringankan tubuh,
Suronggongkoro atau si Gajah Limbung mempunyai
keistimewaan pula yaitu dalam mempergunakan tenaga
kasar atau tenaga luar. Karena tenaganya itu ia digelari
sebagai Gajah Limbung. Sedang Brajalaga yang dengan
sebutan Setan Berjubah itupun mempunyai keistimewaan ialah melepaskan senjata rahasia. Sehingga
karena keistimewaan masing-masing inilah mereka dapat merajai dunia persilatan di mana mereka tinggal.
Dan karena keistimewaannya ini pula maka tokohtokoh itu satu sama lainnya sukar untuk merobohkan
lawannya, kalau mereka sedang bertempur.
Murid dari Mliwis Putih, yang pertama adalah seorang pemuda yang berusia tigabelas tahun. Pemuda ini
mempunyai sifat yang pendiam. Kalau tak ditanya lebih
dahulu, ia tak akan mulai membuka pembicaraannya.
Sifat pendiam ini disebabkan karena tekanan batinnya
terlalu hebat, sebab dahulu Mliwis Putih menemukan
anak ini dari kekacauan perampok. Ibu dan ayah anak
ini diketahui, sewaktu Mliwis Putih merantau, ia lewat
di Desa Banyumanik dan desa itu sedang terancam bahaya dari para perampok yang bersarang di daerah
Gombel. Sewaktu perampok Gombel sedang beraksi di Banyumanik, cepat Mliwis Putih membereskannya. Setelah
para perampok lari tunggang-langgang, kembalilah Mliwis Putih akan melanjutkan perantauannya. Tetapi tiba-tiba ia mendengar suara anak menangis. Setelah
menghampiri tahulah Mliwis Putih kalau yang menangis
itu adalah seorang anak laki-laki yang berumur tiga tahun. Melihat anak itu timbullah keinginan Mliwis Putih
untuk mengambil murid anak laki-laki itu. Segera ia
menanyakan kepada penduduk, anak siapakah laki-laki
kecil itu. Namun tak seorangpun yang tahu orang tua si
bocah itu. Setelah mendapat ijin dari para penduduk,
maka Mliwis Putih lalu membawa anak itu pulang ke
padepokannya"Padepokan Jati Tunggal.
Setelah anak laki-laki itu berumur lima tahun, barulah Mliwis Putih menurunkan dasar-dasar ilmu silat kepada muridnya ini. Betapa gembiranya hati orang tua
itu setelah melihat ketekunan dan kerajinan dari muridnya dalam melatih ilmu silat.
Lima tahun sudah si anak itu digembleng oleh Mliwis
Putih. Dan selama itu pula si orang yang selalu berpakaian putih itu telah mengetahui akan bakat anak didiknya. Bahkan pernah pula di suatu malam pemuda kecil
ini menangkap seorang pencuri yang sedang mengacau
desanya. Baskara (nama anak itu) sempat pula menolong seorang laki-laki kecil yang berusia tujuh tahun
dari cengkeraman si pencuri. Setelah ditanya ternyata
anak kecil itu bernama Tunggul Wulung. Dan betapa
gembiranya hati Baskara setelah mengetahui bahwa gurunya berkenan mengambil Tunggul Wulung sebagai
muridnya pula. Pada suatu hari tampaklah Mliwis Putih yang telah


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua itu sedang membelai-belai jenggotnya yang panjang
dan putih itu, sedangkan kedua orang muridnya menghadap dengan kepala tertunduk. Suasana hening bagaikan di kuburan saja. Tetapi tak lama kemudian terdengarlah suara Mliwis Putih,
"Mari, mari, Baskara dan kau Tunggul Wulung."
"Baik, Bapa Guru," jawab mereka dengan serempak.
"Ketahuilah muridku, bahwa maksudku memanggilmu kemari ialah ingin aku mewejangkan ilmuku yang
baru saja kuciptakan untukmu berdua. Adapun ilmu
itu adalah Ilmu Pukulan Mega Malang," seru Mliwis Putih yang masih membelai-belai jenggotnya. Setelah berhenti sesaat maka kembalilah Mliwis Pulih meneruskan
perkataannya, "Muridku, sanggupkah kalian menerima
ilmuku ini?" "Dengan senang hati, Gapa Guru!" jawab mereka dengan serempak.
"Nah, dengarlah syaratnya yang harus kalian jalani
untuk dapat mempelajari ilmu baruku ini. Pertama-tama kalian harus berpuasa selama lima hari lima malam.
Kedua, kalau matahari telah mulai condong ke barat
kalian harus menggali lubang sebesar badanmu dan setinggimu pula, dan kuburlah badanmu sebatas leher
sehingga menjelang matahari muncul lagi. Setelah kalian selesai mengerjakan syarat-syarat itu datanglah kepadaku."
"Baik, Bapa, kapankah kami boleh menjalankan perintah yang Bapa berikan kepada kami itu?" tanya Baskara.
"Besok pagi kalian boleh mulai berpuasa dan malamnya kalian harus mulai merendam dirimu di tanah," jawab gurunya.
"Guru, betulkah kalau di tanah Jawa ini terdapat kitab dan pedang peninggalan pendekar sakti Bayu Sekti?" tanya Tunggul Wulung.
"Memang, muridku, karena adanya berita itulah maka kalian akan kuberi Ilmu Pukulan Mega Malang ini.
Sebab setelah kalian berhasil mempelajari ilmu Pukulan
Mega Malang ini kalian kuharuskan ikut mencari kitab
dan pedang yang sedang menjadi rebutan kaum dunia
kependekaran itu. Kalian kusuruh mencari bukan semata-mata aku ingin mempelajari isi kitab atau ingin
punya pedang ampuh, tetapi aku menyayangkan kalau
kedua pedang dan kitab itu jatuh ke tangan orang jahat.
Sebab kitab dan pedang itu akan terkutuk dan menjadi
ilmu jahat yang tiada taranya. Akan tetapi kalau pedang
itu terjatuh ke tangan pendekar golongan putih, aku rela. Sebab dengan demikian golongan bersih akan bertambah kuat dan kejahatan akan berkurang," seru kakek kurus kering itu.
"Baik, Bapa, segala nasehat Bapa akan kami ingat
semua," jawab Tunggul Wulung.
"Bagus, muridku! Aku bangga mempunyai murid seperti kalian. Dan kau Baskara, besok dalam perantauan
hendaknya kau menjaga adikmu ini."
"Baik, Bapa! Perintah Bapa akan kujalankan dengan
baik," jawab Baskara.
"Dan kau Tunggul Wulung, harus menurut nasehat
kakakmu," seru kakek itu kepada muridnya yang kedua.
"Baik, Bapa!" jawab Tunggul Wulung sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keesokan harinya kedua murid Mliwis Putih itupun
mulai menjalankan syarat yang diberikan oleh gurunya.
Baskara dan Tunggul Wulung berusaha sedapat-dapatnya untuk menunaikan tugasnya dengan baik. Mereka
mengekang nafsu yang menggelora di dalam hatinya.
Setiap matahari condong ke barat mereka berdoa lalu
membenamkan tubuhnya di dalam lobang. Begitu seterusnya mereka itu menjalankan perintah gurunya. Setelah segala macam syarat mereka jalankan maka Baskara dan Tunggul Wulung lalu menghadap gurunya.
"Bagus..., bagus..., kalian telah berhasil menempuh
syarat yang pertama. Marilah kalian mendekat supaya
dapat lebih jelas mendengarkan petuah-petuahku," seru
Mliwis Putih dengan wajah gembira.
Setelah mereka menjalankan syarat-syarat yang diberikan maka mulailah Baskara dan Tunggul Wulung
belajar tenaga luar dan tenaga dalam di bawah pengawasan kakek sakti Mliwis Putih, tokoh pertama di daerah selatan.
Karena kedua orang murid Mliwis Putih itu adalah
orang-orang yang rajin dan tekun, maka sebentar saja
mereka telah dapat menangkap apa yang menjadi intisari dari pelajaran yang diberikan oleh gurunya, sehingga dengan demikian mereka mendapat kemajuan yang
pesat sekali. Pada suatu malam Baskara dan Tunggul Wulung dididik dasar-dasar Ilmu Pukulan Mega Malang oleh Mliwis Putih. Waktu itu hujan turun dengan deras sekali.
Mengetahui kalau hujan turun dengan derasnya ini
maka Mliwis Putih malah bertambah senang.
"Bagus, muridku, marilah kita berlatih di luar."
Mendengar perkataan gurunya ini maka Baskara dan
Tunggul Wulung lalu saling berpandangan. Namun tak
lama kemudian terdengarlah perkataan Tunggul Wulung.
"Di malam hari yang hujan lebat ini, Bapa?"
"Ya! Memang kesempatan seperti inilah yang kutunggu-tunggu, muridku. Ilmu Pukulan Mega Malang
ini harus diturunkan di waktu hujan lebat dan panas
terik," jawab gurunya dengan tenang.
Setelah berkata demikian maka berkelebatlah Mliwis
Putih meninggalkan kedua orang muridnya. Setelah
Baskara dan Tunggul Wulung tahu bahwa gurunya telah berada di luar maka mereka berdua lalu berkelebat
menyusulnya. Sesampainya mereka di hadapan Mliwis
Putih maka berkatalah orang tua itu.
"Baskara dan kau Tunggul Wulung, setelah kalian
berhasil meyakinkan ilmu ini, jangan kalian mempergunakan ilmu ini sebagai kejahatan. Akan tetapi pakailah ilmu ini untuk berbuat kebajikan. Kalau aku tahu
atau mendengar bahwa kalian mempergunakan ilmu ini
untuk kejahatan, maka aku akan mencarimu dan langsung membunuh. Tahu?"
"Ya, Bapa, kami mengerti, dan tak akan menyesal
kalau Bapa bunuh andaikata kami berbuat hal-hal yang
tak disenangi oleh Bapa," jawab mereka dengan serentak.
Di luar hujan makin deras turunnya. Kilat dan halilintar saling sambar-menyambar. Maka tak mengherankanlah kalau ketiga orang murid dan guru itu pakaiannya telah basah kuyup. Baskara dan Tunggul Wulung
yang tak biasa dalam keadaan seperti ini sebentar saja
telah menggigil kedinginan. Melihat keadaan muridnya
ini bertanyalah Mliwis Putih.
"Dingin?" "Ya!" jawab Baskara.
Tunggul Wulung yang benar-benar telah kedinginan
itu hanya dapat menganggukkan kepalanya saja untuk
menjawab pertanyaan gurunya.
"Kuatkanlah! Sebab sebentar lagi kalian akan menjadi biasa dengan keadaan yang demikian ini. Mari kita
mulai berlatih." Setelah berkata demikian maka duduklah Mliwis Pulih di atas tanah. Pelan-pelan kakek sakti
itu mulai semedhi. Baskara dan Tunggul Wulung menirukan perbuatan gurunya. Mereka duduk di samping
kanan kiri gurunya. Sepenanak nasi lamanya mereka bersemedhi. Ketika
petir menyambar, Mliwis Putih memukulkan kepalannya ke udara dan dibarengi dengan teriakan keras.
Mendengar teriakan ini terkejutlah kedua orang yang
berada di sampingnya. Tetapi mereka terus menirukan
apa yang dilihatnya tadi. Baru saja mereka menirukan
gerakan gurunya tiba-tiba mata mereka telah menjadi
gelap dan alam sekitar terasa bagaikan akan terbalik.
Tiba-tiba terdengarlah keluhan Tunggul Wulung. "Ah!"
dan bersama dengan terdengarnya keluhan itu pingsanlah murid ke dua Mliwis Putih.
Sementara itu Baskara masih berusaha melawan
pengaruh dari akibat pukulannya tadi. Cepat ia menenangkan pikirannya dan langsung bersemedhi. Setelah
sesaat, berhasillah Baskara mengusir kegelapan yang
menyerang matanya. Setelah merasa badannya menjadi
segar kembali, maka berdirilah ia. Tetapi apa yang dilihatnya" Kosong. Sepi! Gurunya telah mendahuluinya
masuk ke dalam pondok. Melihat ini iapun lalu kembali
ke dalam pondok dan di sana didapatinya gurunya sedang mengobati adik seperguruannya.
"Bagus, Angger, kau telah berhasil menghadapi rintangan tadi," seru kakek itu sambil memandang ke arah
Baskara. "Tetapi bagaimanakah dengan luka yang diderita Adi
Tunggul Wulung, Bapa?" tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
Mendengar pertanyaan Baskara ini makin puaslah
hati Mliwis Putih. Ia menjadi puas telah mengetahui kalau kepandaiannya itu tak menjadikan Baskara menjadi
sombong, bahkan iapun mempunyai hati welas asih,
sehingga dengan demikian Mliwis Putih tak ragu-ragu
lagi untuk menurunkan kepandaiannya kepada anak
muda itu. "Tak apa, Angger, adimu Tunggul Wulung hanya
mengalami kekagetan saja. Dan ini karena tenaga dalamnya kurang kuat."
"Bagus! Semoga saja luka yang diderita Adi Tunggul
Wulung lekas sembuh," jawabnya dengan riang.
Kembalilah Mliwis Putih memeriksa keadaan Tunggul Wulung. Dan setelah mendapat perawatan yang telaten dari guru dan kakak seperguruannya itu, sadarlah
Tunggul Wulung dari pingsannya.
"Maafkan saya, Bapa Guru!" serunya dengan berusaha untuk duduk.
"Tak mengapa, Angger Tunggul Wulung. Memang tenaga dalammu kurang kuat, maka kau tak dapat menerima ilmuku ini. Tetapi ini janganlah membuat kau berkecil hati, sebab kaupun nantinya akan menerima ilmu
setelah tenaga dalammu cukup kuat," seru Mliwis Putih
dengan sabar. "Terima kasih, Bapa! Semoga aku dapat mempercepat latihanku untuk menambah tenaga dalam," jawab
Tunggul Wulung. Setelah berhenti sebentar maka berpalinglah ia kepada kakak seperguruannya. "Kakang,
aku tak dapat menyertaimu dalam mempelajari ilmu
yang diturunkan oleh Guru. Dan semoga kau dapat
menerimanya." "Terima kasih, adikku, semoga saja doamu itu akan
menjadikan besarnya semangatku untuk mempelajari
ilmu Bapa Guru ini," jawab Baskara dengan terharu.
Memang perlu diketahui bahwa Tunggul Wulung dan
Baskara itu telah menganggap satu sama lain sebagai
saudaranya sendiri. Baskara sangat menyinta Tunggul
Wulung bagaikan adiknya sendiri. Begitulah sebaliknya.
"Hayo Baskara, marilah kita berlatih lagi," ajak Mliwis Putih kepada muridnya yang pertama.
"Baik, Bapa!" jawab Baskara dengan penuh semangat. "Adi, aku berlatih dahulu!" Setelah berkata demikian maka berkelebatlah Baskara menyusul gurunya.
Hujan di luar masih turun dengan derasnya. Kilat
dan petir saling sambar-menyambar dengan hebatnya.
Di suatu kepekatan malam yang sangat dingin itu tampaklah dua sosok tubuh yang sedang melakukan semedhi. Kedua orang itu adalah Baskara dan Mliwis Putih.
Mereka berdua sedang melatih Ilmu Pukulan Mega Malang. Ketika halilintar menyambar terdengarlah teriakan
mereka. "Yeeeaaahhhh...!" Daarr... daarrrr...! Ternyata pukulan Mliwis Putih dan Baskara itu telah berhasil memapaki terjangan geledek tadi. Demikianlah yang mereka
kerjakan berturut-turut sewaktu halilintar menyambar.
Setelah hujan agak reda maka terdengarlah perkataan
tokoh besar dari selatan itu.
"Cukup, muridku! Kasihan Tunggul Wulung menanti." Dengan tanpa menunggu jawaban, berkelebatlah
Mliwis Putih masuk ke dalam pondok. Melihat ini Baskara segera menyusulnya, gerakannya gesit sehingga
tak kalah dengan gerakan seekor kera.
"Bagus..., bagus... muridku, kalau kau rajin melatih
ilmu ini maka kau akan menjadi seorang yang tak akan
mudah dikalahkan oleh jago-jago silat pada jaman ini.
Kecuali kalau kau menghadapi tokoh-tokoh besar pada
jaman ini," seru Mliwis Putih dengan mengusap mukanya yang penuh dengan air hujan.
"Baik, Bapa Guru, aku akan melatihnya dengan
sungguh-sungguh!" jawab Baskara dengan hormat.
Pada hari-hari selanjutnya setiap hujan lebat turun
dan halilintar menyambar-nyambar maka tampaklah
Baskara selalu melatih Ilmu Pukulan Mega Malang. Karena ia seorang yang tekun dan rajin maka cepatlah ia
berhasil menguasai ilmu ini. Tunggul Wulungpun ikut
merasa gembira pula akan berhasilnya Baskara ini.
*** Pada suatu hari tampaklah Baskara sedang melakukan latihan Ilmu Pukulan Mega Malang di suatu hutan
dengan ditemani oleh Tunggul Wulung.
"Kakang Baskara, coba kau pukul pohon ini dengan
Ilmu Pukulan Mega Malang yang baru saja kauterima
itu, Kakang!" seru Tunggul Wulung.
"Ah, apakah gunanya, Adi" Bukankah Bapa Guru telah menganjurkan kalau ilmu ini tak boleh dipergunakan dengan sembarangan?" jawab Baskara.
"Ah, Kakang, kan kita hanya mencobakan di pohon
saja" Jadi kita tak akan melanggar larangan Bapa Guru!" bantah Tunggul Wulung.
Karena desakan Tunggul Wulung maka bersiaplah
Baskara untuk mengetrapkan Ilmu Pukulan Mega Malang di kedua telapak tangannya. Setelah aji itu telah
tersalur di kedua tangannya maka berteriaklah Baskara
sambil mengayunkan tinjunya itu.
"Hiatt...!" Duk!
Tetapi betapa terkejutnya hati kedua kakak-beradik
seperguruan itu karena pukulan Baskara yang telah dilancarkan dengan penggunaan tenaga dalam sepenuhnya itu tak berhasil menumbangkan pohon yang menjadi sasaran itu. Bahkan lecet sedikit saja tidak. Kini
keduanya saling berpandangan dan segera terdengarlah
perkataan Tunggul Wulung.
"Eh... Kakang, mengapa begitu akibatnya" Apakah
kau salah menggunakannya?" tanya Tunggul Wulung
dengan penasaran. "Entahlah, Adi! Tetapi menurut petunjuk dari Bapa
Guru memang begitulah cara memukulnya," jawab Baskara dengan terheran-heran.
"Ah, mengapakah Guru mengajarkan ilmu yang tiada
gunanya ini?" pikir Baskara dengan putus asa.
Tetapi betapa terkejutnya hati kedua murid dari Mliwis Putih itu setelah mengetahui akibat pukulan tadi.
Sekarang mereka melihat kalau pohon itu telah tumbang dan menjadi busuk setelah tertiup oleh angin.
"Ah!" seru mereka serempak.
Sewaktu mereka sedang terheran-heran dengan akibat pukulan Baskara tadi, tiba-tiba muncullah seorang
yang bertopeng menghampiri mereka.
"Huh..., ilmu pukulan yang jelek! Apa sukarnya
mempelajari ilmu anak-anak itu" Memang kalian ini
orang-orang yang gagah perkasa kalau dibandingkan
dengan pohon, tetapi kalau kalian menghadapi manusia
aku yakin kalau ilmu itu tak ada gunanya!" seru orang
bertopeng itu. "Eh..., siapakah kau yang datang-datang menghina
kami?" tanya Baskara dengan sabar.
"Apa matamu buta, aku adalah pendekar besar yang
bertopeng!" jawab pendatang itu dengan kasar.
"Bangsat, kau ingin mampus di tangan kami" Hah!"
bentak Tunggul Wulung yang tak mempunyai kesabaran seperti kakak seperguruannya.
"Ha... ha... ha... rupa-rupanya kau mempunyai sedikit kepandaian pula, tikus-tikus kecil!" dengus orang
bertopeng itu. Srattt..., secepat kilat Tunggul Wulung mencabut pedangnya.
"Kakang, biarlah aku yang akan mengusir orang
sombong ini!" teriaknya sambil menyilangkan pedangnya di depan dada. "Hai... manusia sombong, cepat kaukeluarkan senjatamu!"
"Huh... untuk apa aku mengeluarkan senjataku kalau hanya untuk menghadapi cacing-cacing tanah seperti kalian ini?" seru orang bertopeng itu.
"Bangsat, awas pedang!" seru Tunggul Wulung sambil meloncat mulai menyerang lawannya. Melihat serangan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung ini orang
bertopeng malah mengelakkannya sambil tersenyumsenyum saja. Melihat kejadian ini makin marahlah hati
Tunggul Wulung. Baskara melihat kejadian inipun ikut terkejut, sebab
ia tahu akan kepandaian dari adik seperguruannya. Ilmu pedang yang dipakai oleh Tunggul Wulung adalah
ilmu pedang yang diciptakan oleh tokoh sakti dari selatan yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan. Tetapi mengapa sekarang tahu-tahu ia melihat dengan mata sendiri kalau ada seorang aneh yang dapat
dengan mudah mempermainkan adik seperguruannya
ini. Bahkan kelihatannya orang bertopeng itupun telah
tahu semua akan gerakan-gerakan Tunggul Wulung,
sebab sebelum Tunggul Wulung melancarkan serangannya, orang bertopeng itu telah menghindarkan dengan
tepat ke jurusan yang berlawanan dengan arah serangan yang dilancarkan oleh Tunggul Wulung.
Tunggul Wulung yang terkenal gagah perkasa itu pada hari ini terpaksa mengakui kegagahan lawannya. Betul-betul hari ini Tunggul Wulung bertemu dengan batunya. Duapuluh jurus telah mereka lalui dengan cepatnya, namun Tunggul Wulung masih belum dapat
mengalahkannya. Bahkan yang lebih menyakitkan hatinya ialah sikap orang aneh itu yang tak mau melawannya dengan senjata melainkan hanya melawan dengan
tangan kosong saja. "Orang bertopeng! Kalau kau tak mau mengeluarkan
senjatamu terpaksa aku Tunggul Wulung juga tak mau
melawanmu lagi!" seru Tunggul Wulung sambil menekan hawa ke arah dadanya supaya kemarahannya tak
sampai memuncak sampai otak. Tiba-tiba Tunggul Wulung segera meneruskan perkataannya, "Orang bertopeng, aku bukannya orang yang suka menang sendiri.
Kalau kau tetap tak mau mengeluarkan senjatamu terpaksa kita tetap berhenti. Atau kalau kau tetap memaksaku, terpaksa akupun akan melawanmu dengan tangan kosong pula."
"Bagus... bagus... anak muda, ternyata di dalam kekerasan hatimu kau masih mempunyai rasa keadilan
dan menjunjung tinggi peraturan di dalam dunia persilatan," jawab orang bertopeng itu dengan menganggukanggukkan kepalanya. Tetapi segera orang bertopeng
itupun mencabut pedangnya. Dan langsung berkata,
"Lihat serangan, anak muda yang gagah!"
Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benarbenar hebat sekali sehingga Tunggul Wulung hampir
berteriak kaget. Dan buru-buru ia menggerakkan pedangnya menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh orang bertopeng itu berteriak dan tahu-tahu ia menyerang dengan
pedangnya ke arah pundak Tunggul Wulung.
Tunggul Wulung tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa ia telah berhasil mengelakkan serangan pertama, ia lalu memasang kuda-kuda
dan siap menanti serangan orang bertopeng itu selanjutnya. Hatinya mulai yakin bahwa kini ia benar-benar
sedang menghadapi seorang yang berkepandaian tinggi.
Orang bertopeng itu tak mau membuang waktu dengan
sia-sia, cepat maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini demikian cepat dan hebat sehingga Tunggul Wulung biarpun berhasil menangkis tetapi tetap saja ia harus mundur tiga langkah
ke belakang. Namun dengan pertahanan pedangnya
yang amat kokoh dan kuat itu Tunggul Wulung masih
berhasil menahan dirinya sehingga tak jatuh. Dan iapun telah dapat menggagalkan kedua serangan orang
bertopeng itu.

Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat ketangguhan lawan Tunggul Wulung ini, diam-diam Baskara menjadi terkejut bukan main. Segera
ia mengira-ngira siapakah yang sedang dihadapi adik
seperguruannya ini! Biarpun ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan orang bertopeng yang sakti ini. Sebab
ia tahu akan kepandaian dari adik seperguruannya. Tetapi tiba-tiba lamunan Baskara ini terpecahkan dengan
suara Tunggul Wulung, "Hayo, orang bertopeng, teruskanlah seranganmu!"
Kini tampaklah Tunggul Wulung benar-benar gembira
menghadapi orang sakti yang aneh ini. Sebab sekarang
ia telah kejangkitan penyakit seorang jago silat yang tak
akan puas kalau belum menghadapi musuh yang benar-benar tangguh.
Namun orang bertopeng itu hanya tersenyum-senyum saja. Orang bertopeng ini tahu kalau lawannya
yang muda ini masih kurang atau boleh dikatakan belum punya pengalaman apa-apa. Baru tiga jurus saja
orang bertopeng itu tahu kalau anak muda ini akan
mempertahankan dirinya dengan mati-matian dari setiap serangan yang akan ia lancarkan. Maka sekarang
orang bertopeng itu akan menggunakan kecerdikannya
untuk mengalahkan anak muda yang gagah ini.
"Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan saja, aku
yakin bahwa tanpa menyerangmu akupun dapat merobohkan dirimu," jawab orang bertopeng itu dengan tetap
masih tersenyum. Mendengar ini bukan main marahnya hati Tunggul
Wulung. Ia merasa benar-benar dipandang rendah oleh
orang bertopeng ini. Kalau saja ia tak begitu muda dan
keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat dari orang bertopeng itu. Namun kemarahan hatinya ini benar-benar
membuat ia tak dapat berpikir dengan panjang lagi.
Sambil memutar pedangnya ia membentak dengan marah, "Manusia sombong, rasakanlah kehebatan pedangku ini." Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak.
Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul
dengan gerak tipu-tipu yang paling ia andalkan dalam
ilmu pedangnya. Pedangnya lenyap menjadi segulung
sinar yang menyilaukan. Baskara yang melihat gerakan dari adik seperguruannya ini menjadi girang. Ia menyangka tentu kali ini
orang bertopeng yang sombong ini akan mendapatkan
perlawanan yang seru dan mungkin sukar baginya untuk membuktikan ucapannya tadi. Memang ilmu pedang yang dimainkan oleh Tunggul Wulung ini adalah
Ilmu Pedang Kilat Menyambar-nyambar ciptaan Sentika, si Mliwis Putih tokoh yang terkenal dari selatan itu.
Ilmu Pedang Kilat Menyambar-nyambar ini terkenal dengan pertahanannya yang kuat dan gerak-gerak tipu
yang penuh dengan intaian-intaian maut.
Diam-diam orang bertopeng itu memuji keuletan dari
murid kedua dari Padepokan Jati Tunggal. Orang bertopeng itu memainkan ilmu pedangnya yang sangat aneh
dan membingungkan sekali. Tetapi kalau dilihat dengan
teliti, tampaklah kalau orang bertopeng itu tak mau melukai musuhnya yang masih muda itu.
Sepuluh jurus telah lewat dan Tunggul Wulung menjadi pening. Matanya kabur dan pedas karena lawannya
yang diserang itu seakan-akan bukan manusia, melainkan yang diserang itu bukan tubuh yang dapat bergerak-gerak tetapi bagaikan bayangan atau asap. Ke manapun ia menyerang selalu mengenai angin saja. Bahkan bayangan lawannya selalu berpindah-pindah dengan cepatnya. Tetapi Tunggul Wulung tidak menjadi putus asa, ia tetap mendesaknya dengan hebat. Limabelas
jurus lewat dengan cepatnya.
Melihat jalannya pertandingan ini benar-benar membuat hati Baskara menjadi tegang. Ia sangat menyesal
sekali mengapa tadi ia membiarkan saja adik seperguruan yang melawan orang sakti ini. Ingin rasanya ia turun ke gelanggang untuk membantu Tunggul Wulung,
tetapi ia takut kalau hal ini akan menjadikan marahnya
si pemuda keras kepala ini. Dan lagi, ia tak akan mau
mengeroyok orang yang tak mereka kenal di daerah
yang menjadi kediamannya sendiri.
Tiba-tiba Baskara melihat sesuatu gerakan yang sangat gesit dan tahu-tahu tubuh orang bertopeng itu lenyap dari hadapan Tunggul Wulung. Dan yang lebih
aneh lagi ialah tubuh Tunggul Wulung yang telah berdiri kaku dalam keadaan tertotok.
"Kini giliranmu anak muda, yang harus menghadapiku," seru orang bertopeng itu sambil memandang kepada Baskara.
"Baiklah, aku akan menebus kekalahan adikku tadi!"
seru Baskara dengan semangat yang bernyala-nyala tetapi ia tak mau meninggalkan kewaspadaannya. Kedua
musuh telah saling pandang-memandang untuk mengira-ngira kekuatan calon lawannya. Baskara telah mengangkat pedangnya dan kakinya telah siap dalam kudakuda. Sedang orang bertopeng itu telah pula memegang
pedangnya yang disilangkan di depan dadanya.
"Mulailah, anak muda!" seru orang bertopeng itu.
"Aku sebagai tuan rumah akan siap melayanimu
yang datang sebagai tamu, maka dari itu janganlah
sungkan-sungkan kalau kau akan menyerangku!" jawab Baskara dengan tenang.
"Bagus! Siapkanlah pedangmu untuk menerima seranganku yang pertama ini," seru orang bertopeng itu
dengan menggerak-gerakkan pedangnya.
Melihat cara pembukaan serangan orang bertopeng
itu, hati Baskara menjadi terkejut bukan main, sebab ia
telah hafal benar-benar akan gerakan ini, segera ia berteriak, "Tahan!"
"Mengapa kau menahan gerakanku, anak muda"
Takutkah kau melawanku?" tanya orang bertopeng itu
dengan heran. "Maafkan aku, Guru, yang sejak tadi tak melihat gerakan-gerakan Guru!" seru Baskara sambil berlutut.
Melihat kelakuan Baskara ini bingunglah hati Tunggul Wulung. Mengapa kakak seperguruannya ini memanggil guru kepada orang bertopeng itu"
Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Baskara.
"Adi Wulung, mengapa kau tak memberi hormat kepada Guru?" tanya Baskara.
"Ha... ha... ha... sungguh tajam matamu, Angger
Baskara," seru orang bertopeng sambil membuka topengnya.
"Bapa Guru!" teriak Tunggul Wulung setelah melihat
wajah asli dari orang bertopeng itu yang bukan lain adalah Mliwis Putih sendiri.
"Bapa, mengapa tadi Bapa menyerang Adi Tunggul
Wulung?" tanya Baskara kepada gurunya.
"Aku tadi hanya ingin menguji kepandaian kalian saja, murid-muridku," jawab Mliwis Putih sambil tersenyum-senyum.
"Bapa Guru, maafkanlah kekasaran dan kekurangajaranku tadi, Bapa!" seru Tunggul Wulung.
"Tak mengapa muridku! Marilah kita pulang ke padepokan, aku akan membicarakan sesuatu hal kepada kalian," kata Mliwis Putih.
Sesampainya mereka di dalam pondok padepokan
maka terdengarlah perkataan Mliwis Putih. "Angger berdua, sekarang telah tiba waktunya untuk kita berpisah," seru Mliwis Putih sambil menarik napas panjang.
Setelah sesaat keadaan menjadi hening, maka Mliwis
Putih segera meneruskan perkataannya, "Mulai besok
pagi kalian harus ikut pula mencari kedua belah pedang
yang sekarang sedang menjadi rebutan oleh para ahli silat. Sebab kalau kalian berhasil menemukan pedangpedang itu, ada kemungkinan kalau kalian akan dapat
merajai dunia persilatan. Karena menurut cerita yang
kudengar, di dalam tangkai kedua pedang itu mengandung suatu petunjuk yang menerangkan di mana tersimpannya buku peninggalan dari pendekar sakti Bayu
Sakti." "Bapa, di manakah kira-kira tempat pedang itu disimpan?" tanya Tunggul Wulung dengan nada ingin tahu.
"Itulah yang harus kalian cari, sebab aku sendiri belum tahu dengan pasti, di mana letak pedang itu disimpan oleh mendiang pendekar sakti Bayu Sakti. Tetapi
kalau menurut ceritera yang baru tersebar sekarang ini,
kedua pedang mustika itu tersimpan di dalam sebuah
gua yang terletak di Gunung Lawu. Dan menurut ceritera orang-orang, gua itu ditempati binatang-binatang
buas," jawab Mliwis Putih.
"Hem, kalau begitu mari kita cepat-cepat pergi ke sana saja, Kakang!" seru Tunggul Wulung dengan tertarik.
"Adi, mengapa tampaknya kau sangat bernafsu untuk mendapatkan kedua bilah pedang itu" Bagaimana
dengan Bapa Guru kalau kita tinggal sendirian?" Tegur
Baskara. "Ah, terima kasih, Angger Baskara. Tetapi memang
betul kata-kata adimu tadi. Pergilah kalian untuk mendapatkan kedua pedang itu, dan janganlah kau mencemaskan keadaanku, sebab tak mungkin ada kucing
yang mengganggu seekor harimau. Biarpun harimau itu
sudah tua dan loyo tetap saja ia akan ditakuti oleh kucing-kucing dan bangsa anjing," jawab Mliwis Putih dengan penuh keyakinan.
"Kalau itu sudah menjadi kemauan dari Bapa, maka
kami hanya minta tambahnya pangestu dari Bapa Guru," seru Baskara.
"Siang dan malam aku akan selalu berdoa demi keselamatanmu berdua, Angger. Berangkatlah, semoga Tuhan tetap melindungi kalian. Besok kalau aku masih
dikaruniai umur panjang, tentu kita dapat berjumpa lagi," jawab Mliwis Putih dengan terharu. Pada waktu itu
Mliwis Putih sedang berjuang mati-matian untuk menahan keluarnya air mata kesedihan yang akan ditinggalkan sendirian oleh kedua muridnya.
"Bapa, kami mohon sudilah Bapa Guru memberi petunjuk-petunjuk dan gambaran tentang keadaan kedua
pedang mustika itu," seru Tunggul Wulung.
"Tak dapat aku menerangkan dengan sejelas-jelasnya untuk itu. Aku sendiri selama hidup belum pernah
melihat kedua bilah pedang yang sekarang sedang direbutkan orang itu. Dan sekedar untuk bekal kalian di
perjalanan nanti baiklah kukatakan pedang-pedang itu,
tetapi ini hanya menurut ceritera saja, sebab betul tidaknya cerita ini masih belum dapat dipastikan. Menurut cerita itu Pedang Naga Biru yang dulu dipakai oleh
Adipati Ranggalawe itu dibuat oleh seorang mpu yang
terkenal dengan gelarnya Mpu Tandi, dan yang membuat Pedang Besi Merah ialah Mpu Lundi yang menjadi
adik dari Mpu Tandi. Asal mulanya pedang itu terjadi
karena pengaruh dari nafsu ingin menang sendiri dari
mpu yang sakti itu. Mereka sama-sama tak mau mengakui kepandaian orang menjadi saingannya. Maka untuk membuktikan kepandaian mereka itu segera Mpu
Lundi menantang kakaknya untuk sama-sama membuat sebilah pedang yang kemudian akan diadu di depan raja. Pada waktu itu raja yang berbahagia untuk
menyaksikan peraduan pedang buatan kedua mpu yang
sama-sama terkenal dan sama-sama sakti itu ialah Raja
Majapahit yang pertama atau Raja Kertarajasa. Setahun
lamanya kedua orang kakak beradik itu sibuk dalam
pembuatan pedangnya masing-masing."
Bertapa, nyepi, mencari logam yang baik, memberikan rapal-rapal kepada senjata buatannya itu, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tetapi kedua mpu itu
telah bertekad untuk dapat membuktikan kesaktiannya
dalam hal membuat senjata, dan ternyata kedua mpu
itu dapat menyelesaikan pekerjaannya tepat pada waktunya.
Pada suatu malam terang bulan, tampaklah di alunalun Kerajaan Majapahit penuh sesak dengan rakyat
yang ingin menyaksikan perang tanding antara Pedang
Naga Biru yang dikendalikan oleh Mpu Tandi sebagai
pembuatnya, dengan Pedang Besi Merah yang ditunggui
oleh Mpu Lundi juga yang membuatnya. Di tengah
alun-alun tampaklah dua buah meja yang berlandaskan
kain yang indah dan di atas ke dua meja itu terletaklah
kedua belah pedang yang akan diadu keampuhannya.
Mpu Lundi duduk bersemedhi di dekat meja sebelah kiri
di mana Pedang Besi Merah diletakkan. Sedang Mpu
Tandi juga bersemedhi di dekat meja Pedang Naga Biru.
Baginda raja dan para punggawanya duduk di dekat
meja-meja di mana kedua pedang itu diletakkan.
Sementara Mpu Tandi dan Mpu Lundi bersemedhi,
keadaan menjadi hening. Sementara para penonton sama berdebar-debar dan menahan nafas dengan hati tegang. Tetapi kedua mpu itu kelihatan tenang-tenang saja. Tiba-tiba dari atas kepala kedua mpu itu keluarlah
asap yang tebal terus membubung tinggi. Dan yang lebih mengherankan lagi ialah Pedang Besi Merah. Pedang itu tiba-tiba dapat berdiri sendiri dan terus membubung tinggi ke angkasa. Melihat kejadian ini melongolah mulut para penonton. Dengan secara tak sadar terdengarlah seruan baginda, "Bagus," tetapi sewaktu mereka sedang terheran-heran itu tiba-tiba terdengarlah
suara berdesis "Sssstttttttttttt!!!!!!!" Bersama dengan
bunyi desisan itu meluncurlah Pedang Naga Biru dengan cepatnya. Terus membubung tinggi ke angkasa
hingga menyusul Pedang Besi Merah yang berada di
atas itu. Dengan tak mereka sadari segera para penonton bersorak gembira dan tak jarang yang berseru dengan kagumnya. Tetapi kedua mpu yang menggerakkan
kedua pedang itu tetap pada keadaannya yang semula.
Bahkan kepalanya makin banyak mengeluarkan asap.
Trang... trang... trang... berkali-kali terdengar suara
benturan kedua pedang yang berada di angkasa itu. Pedang Naga Biru menyambar-nyambar bagaikan seekor
naga yang sedang mengamuk di angkasa. Tetapi Pedang
Besi Merahpun tak kalah hebatnya dengan gerakan Pedang Naga Biru. Kilat merah menyambar-nyambar bagaikan halilintar kerasnya. Cepat sama cepat, kuat sama kuat. Kedua-duanya sama-sama ampuh! Hingga
keadaan malam yang tadinya gelap kekuning-kuningan
oleh karena cahaya rembulan itu kini menjadi merah
dan biru. Merah karena Pedang Besi Merah, biru karena
pengaruh Pedang Naga Biru. Tetapi sinar kuning dari
rembulan tetap tampak dari bawah, sehingga pemandangan langit di waktu itu sangat indah tetapi menyeramkan juga.
Setelah sepenanak nasi lamanya kedua pedang itu
saling sambar-menyambar, maka kedua pedang itu sama-sama melayang turun ke meja lagi. Yang aneh ialah
kedua pedang itu dapat kembali ke mejanya masingmasing. Tetapi kalau orang mengetahui rahasianya, tentu orang tak menganggapnya hal itu sebagai suatu hal
yang aneh. Sebab diam-diam kedua pedang itu digerakkan oleh tenaga batin yang telah mencapai tingkat tinggi
oleh kedua mpu yang sedang bertanding itu.
Kini kelihatanlah kedua mpu itu telah mengeluarkan
keringat. Dan asap yang keluar dari kepala kedua orang
itupun telah lenyap. Langit yang tadinya kemerah-merahan dan kebiru-biruan itu telah kembali kuning indah
di bawah sinar bulan purnama.
Tetapi tak lama kemudian kembali kedua kepala
mpu itu mengeluarkan asap. Inilah tandanya kalau kedua orang itu telah siap akan bertempur kembali. Dugaan ini memang benar. Sebab tak lama lagi Pedang
Naga Biru telah meluncur kembali ke angkasa, dan begitu pula dengan Pedang Besi Merah. Suasana kembali
seperti tadi. Semua kepala menengadah ke atas untuk menyaksikan pertempuran antara kedua bilah pedang yang didalangi oleh dua orang mpu yang sangat terkenal pada
masa itu. Trang... trang... trang..., benturan Pedang Naga Biru dan Pedang Besi Merah itu menjadikan kagumnya para penonton, sebab dari benturan kedua pedang mustika itu keluarlah api yang bernyala-nyala sehingga api itu menerangi pemandangan yang menakutkan itu.
Sewaktu kedua mpu itu sedang asyik mengadu kedua pedangnya, tiba-tiba terdengarlah teriakan dari
sang raja. "Berhentilah, hai Mpu Tandi dan Mpu Lundi!"
Mendengar teriakan baginda ini cepat-cepat kedua
orang mpu ini menurunkan pedangnya masing-masing
ke atas meja yang telah disediakan.
"Hai, kalian kemarilah!" seru baginda kepada kedua
orang mpu itu. "Mengapakah baginda menghentikan permainan kami?" seru kedua orang mpu tadi sambil bersembah.
"Ketahuilah hai Mpu Lundi dan Mpu Tandi, tadi kulihat kedua senjata itu benar-benar sangat ampuh dan
jarang tandingannya. Maka daripada kauadu apakah tidak lebih baik kalau kauberikan kepadaku untuk kupakai sebagai pusaka keraton"!" seru baginda.
"Pusaka keraton!" seru mereka serempak.
"Ya, akan kujadikan pusaka keraton!" jawab baginda.
"Oh!" seru Mpu Tandi dan Mpu Lundi dengan bersembah.
"Hai, bagaimana jawabanmu?" kata baginda.
"Kami akan mempersembahkan kedua pedang itu
untuk Baginda. Bahkan kami akan sangat berterima
kasih kepada Baginda yang telah berkenan menggunakan kedua pedang yang buruk ini sebagai senjata keraton," jawab Mpu Tandi dan Mpu Lundi.
"Ha... ha... ha... bagus... bagus.... datanglah kau besok ke istana untuk menyerahkan kedua senjata itu,"
seru baginda. "Daulat, Tuanku!" jawab mereka serempak. Setelah
menjawab baginda, maka kedua orang mpu itu saling
berpandangan dan kemudian... keduanya saling berpelukan dengan mesra sekali.
"Ah, Kakang, betapa bahagianya hatiku setelah mengetahui kalau hasil kita dapat dipakai oleh negara," seru Mpu Lundi.
"Akupun demikian juga, Adi! Marilah kita bersamasama bekerja untuk bangsa dan negara daripada kita
saling berebut nama yang kosong ini," jawab Mpu Tandi.
"Begitulah asal mula kedua pedang itu, muridku!"
seru Mliwis Putih sambil menghela napas.
"Bapa, sekarang ijinkanlah kami menyiapkan keperluan-keperluan untuk besok," seru Tunggul Wulung.
"Baik, siapkan dulu keperluanmu untuk besok," jawab Mliwis Putih.
*** Keesokan harinya tampaklah Baskara dan Tunggul
Wulung pergi meninggalkan desa atau padepokan Jati
Tunggal. Tujuan mereka yang pertama ialah Gunung
Lawu. Kedua pemuda itu melakukan perjalanan dengan
cepat sekali. Berhari-hari mereka ini lari terus-menerus
dengan tak kenal lelah. Pada suatu petang, sampailah mereka di Desa Prambanan.
"Kakang Baskara, lebih baik kita mencari penginapan di desa ini saja!" seru Tunggul Wulung.
"Begitupun baik, Adi!" jawab Baskara.
Maka mulailah kedua pemuda itu mencari rumah
penginapan di Desa Prambanan itu. Tetapi telah beberapa rumah mereka datangi namun tak sebuah pun
yang menyediakan kamar bagi mereka.
"Hem... aneh betul keadaan desa ini! Sepi dan kelihatannya para penduduk hidup dalam kemiskinan semua," seru Baskara.
"Kelihatannya memang begitu, Kakang!" jawab Tunggul Wulung.
Sewaktu mereka sedang asyik bercakap-cakap sambil mencari penginapan, tiba-tiba terdengarlah suara,
"Eh... eh... eng...."
"Adi, kaudengar suara itu?" tanya Baskara sambil
memasang telinganya. "Ya, Kakang! Aku mendengar rintihan orang, dan kedengarannya seperti orang yang sedang dicekik," jawab
Tunggul Wulung. "Betul, Adi! Mari kita cari dari mana datangnya suara
itu," seru Baskara dengan bernafsu.
Dengan teliti kedua murid Mliwis Putih itu memasang telinganya untuk mencari dari mana datangnya
suara yang mereka dengar itu. Semakin mereka maju
semakin keras kedengarannya suara itu. Setibanya di
bawah pohon beringin suara itu makin keras dan nyata.
Tiba-tiba saja Baskara memandang ke atas dan berseru, "Adi, itu ada orang yang menggantung!"
Wesssstttt... cepat bagai kilat Tunggul Wulung melompat ke atas pohon beringin itu dan langsung memutuskan tali pengikat leher orang yang sedang menggantung itu. Setelah tali pengikat putus maka ia segera melayang turun sambil membopong orang yang akan bunuh diri itu. Ternyata orang yang akan bunuh diri itu
adalah seorang kakek yang usianya telah lanjut.
"Kakek, mengapa kau menggantung diri?" tanya
Baskara dengan lembut. "Huh, siapa kalian, mengapa menolongku"!" seru kakek itu dengan tak menghiraukan pertanyaan dari Baskara.
"Kami adalah Baskara dan Tunggul Wulung dari Jati
Tunggal." "Hem... Baskara dan Tunggul Wulung, mengapa kau
menghalang-halangi maksudku untuk membunuh diri?" tanya kakek itu.
"Maafkan kami, Kakek, sebab kami tak ingin melihat
orang berpandangan sempit! Bukankah masih ada jalan
lain untuk mati dengan wajar" Dan lagi mati karena
bunuh diri itu sangatlah dosa dan hina," jawab Baskara.
"Siapakah kau, Kakek" Dan mengapa kau akan bunuh diri?" tanya Tunggul Wulung kepada kakek itu.


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh... Angger... Angger... biarkanlah aku mati saja
daripada aku hidup menanggung malang seperti ini,"
seru kakek itu sambil menangis.
"Kek, tenangkanlah hatimu ini dan jawablah pertanyaan kami, mungkin kami dapat menolong kesusahanmu," seru Baskara dengan terharu.
"Ah, Angger yang gagah, aku ini sebenarnya adalah
carik dari Desa Prambanan ini, dan namaku adalah Legimin. Oh... Angger, Angger.... Beginilah nasib seorang
yang melarat. Di samping aku menjadi carik aku pun
mengolahkan sawah dari seorang yang kaya raya di desa ini yang bernama Rejotenoyo. Karena panenan ini
padinya rusak dimakan hama, maka aku tak dapat menyerahkan hasil padiku yang hanya sedikit itu. Misalkan kuserahkan juga akan kurang untuk pembayaran sewa itu. Karena dalam panen ini aku tak dapat
membayar sewa tanahnya, maka aku bermaksud untuk
membayarnya besok pada panen berikutnya. Tetapi apa
kata Rejotenoyo itu" Kami kaum petani tak diperbolehkan utang. Dan harus membayar sewa tanah itu sekarang juga. Karena kami tak mempunyai apa-apa maka
Rejotenoyo bermaksud mengawini anak perempuanku
yang satu-satunya itu. Padahal anak perempuanku itu
telah kujodohkan dengan Paimin, seorang tani muda
yang rajin. Tentu saja aku dan Paimin menolak usul
yang gila-gilaan itu. Tetapi apa yang mereka perbuat"
Rejotenoyo menyuruh orang-orangnya untuk merampas
anakku. Bahkan mereka berhasil membunuh anak
mantuku. Tentu saja aku sangat tidak menerimakan
akan kematian Paimin itu, segera aku mengajukan perkara pembunuhan ini ke tempat pak lurah. Tetapi pengadilan apa yang kudapat" Pak lurah malah mencaci
maki aku. Aku dikatakan orang yang tak tahu membalas kebaikan orang lain. Yang lebih celaka lagi ialah semua penduduk kebanyakan menyalahkan aku semua.
Karena itulah Angger, maka biarkan saja aku membunuh diri," seru kakek itu sambil mengakhiri ceriteranya.
"Kakek Legimin, janganlah kau sedih. Kami bersedia
menolongmu dari kaum penindas itu. Di manakah rumah Rejotenoyo itu" Dan di mana pula rumah lurah celaka itu" Dan siapa pula nama anakmu itu?" tanya
Tunggul Wulung dengan amarah yang meluap-luap.
"Terima kasih, Angger... terima kasih, Angger... mari
kita segera pergi ke sana saja," jawab orang yang sedih
itu dengan gembira. Maka pergilah mereka bertiga ke rumah Rejotenoyo.
Tetapi di tengah perjalanan kembali Tunggul Wulung
menanyakan nama dari anak Legimin yang dipaksa untuk kawin dengan Rejotenoyo itu.
"Nama dari anakku adalah Siti," jawab Legimin dengan singkat.
Setelah sepemakan sirih lamanya maka sampailah
mereka bertiga itu di depan sebuah rumah yang indah
dan mewah. Di muka rumah itu tampak para penjaga
yang sedang bertugas. "Suruh orang yang bernama Rejotenoyo itu keluar!"
seru Tunggul Wulung kepada salah seorang penjaga.
"Hai, siapa kau yang berani kurang ajar ini"!" bentak
penjaga itu. "Katakan lekas kalau kami ini datang dari Padepokan Jati Tunggal adapun nama kami Tunggul Wulung
dan Baskara!" jawab Tunggul Wulung sambil mendorong tubuh penjaga itu sehingga jatuh.
"Bangsat kau!" seru penjaga itu sambil melontarkan
sebuah pukulan ke arah dada Tunggul Wulung.
Namun apa yang terjadi" Sebelum kepalan tangan
penjaga itu menyentuh kulit dada Tunggul Wulung
kembali orang itu jatuh terguling karena kena pukulan
jarak jauh yang dilontarkan oleh murid kedua dari Perguruan Jati Tunggal. Untung saja Tunggul Wulung tak
berniat membunuh penjaga itu.
Sewaktu Tunggul Wulung akan mengulangi pukulannya tiba-tiba terdengarlah suara kakak seperguruannya, "Tahan, Adi! Dia ini hanya sebagai alat saja. Maka
sekarang lebih baik kalau kita langsung masuk saja!"
"Baik, Kakang! Mari, Kakek Legimin," jawab Tunggul
Wulung. Tetapi sebelum mereka berhasil memasuki rumah
Rejotenoyo, tiba-tiba mereka diserang oleh puluhan
orang penjaga rumah Rejotenoyo itu.
"Bangsat, lekas keluar dan pergi sebelum kami
membunuh kalian!" seru salah seorang yang sedang
mengeroyok Tunggul Wulung dan Baskara.
"Ha... ha... ha... kalian anjing-anjing penjaga jangan
hanya pandai menggonggong saja. Marilah kauhadapi
kami ini," seru Tunggul Wulung sambil mengayunkan
tangannya dan kakinya ke kanan dan ke kiri. Di mana
saja tangan dan kaki pemuda ini berkelebat maka terdengarlah teriakan dari penjaga yang kesakitan. Tumpul
Wulung pada waktu itu benar-benar bagaikan harimau
lapar saja tandangnya. Tetapi lain lagi dengan Baskara.
Pemuda pendiam ini tak mau menurunkan tangan besinya kepada para pengeroyoknya. Ia melawan karena
akan mempertahankan diri saja. Sebab pemuda ini tahu
kalau pengeroyoknya ini hanyalah orang-orang yang
menjadi alat saja. Maka dari itu banyak pengeroyok
yang mengeroyok Baskara daripada yang mengeroyok
Tunggul Wulung. Bahkan berkali-kali Baskara memperingatkan Tunggul Wulung kalau adik seperguruannya
ini menurunkan tangannya terlalu keras. Para pengeroyok ini bagaikan laron yang menyerang api saja bagi
kedua murid Mliwis Putih itu. Maka sebentar saja penjaga-penjaga itu telah dapat dibobolkan pertahanannya.
Wessssttttt... tahu-tahu Baskara telah berkelebat
masuk ke dalam rumah Rejotenoyo. Melihat bayangan
kakak seperguruannya ini, segera Tunggul Wulung menyambar tubuh Legimin yang sejak tadi berdiri di sudut
rumah itu sambil mengagumi kedua orang muda penolongnya. Betapa terkejutnya hati Legimin ketika merasakan
tubuhnya bagaikan terbang saja.
"Kakek Legimin, manakah orangnya yang bernama
Rejotenoyo itu?" tanya Tunggul Wulung.
"Entah, Angger. Mengapa dari tadi ia tak keluar dan
aku belum melihatnya," jawab kakek itu.
"He... di mana pula adanya Kakang Baskara"!" seru
Tunggul Wulung dengan nada kuatir.
Memanglah tadi Tunggul Wulung melihat bayangan
Baskara yang berkelebat masuk ke dalam rumah ini.
Tetapi setelah ia menyusul masuk ia tak dapat menemukan orang yang dia cari dan Baskara sendiri yang
sudah terang tadi masuk kemaripun tak tampak pula.
Sebetulnya ke manakah Baskara yang tadi sedang
bertempur melawan para pengeroyok itu" Karena hatinya merasa tak tega untuk menurunkan tangan besinya kepada para pengeroyok itu, segera ia berkelebat
masuk ke dalam rumah Rejotenoyo untuk menghukum
orang yang jahat itu. Tetapi setelah ia masuk ke dalam
rumah itu, mana ia tahu siapa orang yang sedang dicarinya itu" Sebab ia belum pernah melihat orangnya. Pada waktu ia sedang mencari-cari, tampaklah seorang
pelayan yang sedang menyediakan makanan untuk makan malam. Segera Baskara menyambar tubuh pelayan
itu dan dari pelayan itu pula ia menanyakan di mana
adanya Rejotenoyo. "Hayo, lekas katakan di mana adanya Rejotenoyo!"
"Aku... aku... tidak tahu!" jawab pelayan itu dengan
gugup. "Lekas katakan, jangan kau membohongi aku!" seru
Baskara sambil mengancam pelayan itu dengan pedangnya.
Karena pelayan itu masih ingin hidup, maka segera
ia memberitahukan di mana Rejotenoyo bersembunyi.
Segera Baskara masuk ke dalam kamar Rejotenoyo yang
mewah itu. Di dalam kamar Rejotenoyo itu terdapat sebuah lukisan dua ekor harimau yang sedang bertengkar
dan di belakang lukisan itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan kamar itu dengan hutan sebelah barat dari Desa Prambanan itu.
Setelah mendapatkan pintu rahasia yang dipakai
oleh Rejotenoyo untuk melarikan diri itu, segera Baskara memasuki pintu rahasia itu. Dan ternyata yang
menghubungkan antara kamar dan hutan itu adalah
sebuah gua yang gelap gulita.
Namun menghadapi keadaan yang gelap ini telah biasa bagi Baskara yang semenjak kecil digembleng oleh
Mliwis Putih. Ia dapat menyusuri mulut gua itu dengan
selamat. Setelah ia sampai di hutan segera ia menggunakan
ilmu lari cepatnya untuk menyusul larinya Rejotenoyo.
Tetapi mencari seseorang yang lari tak tentu arahnya di
dalam hutan yang lebat dan gelap itu bukanlah suatu
pekerjaan yang mudah. Ia tak tahu ke mana arah Rejotenoyo lari, maka dari itu ia segera bersemedhi untuk
mengerahkan seluruh pendengaran telinganya guna
mencari dari mana datangnya suara yang ditinggalkan
oleh tapak kaki Rejotenoyo itu. Setelah sesaat lamanya
Baskara bersemedhi maka terdengarlah derap kaki yang
sangat pelan dari sebelah utara hutan itu. Cepat bagai
kilat Baskara lari ke arah datangnya suara itu. Benar
saja, dari jurusan utara tampaklah seorang laki-laki
yang telah berusia kurang lebih setengah abad sedang
lari dan dikawal oleh seorang pemuda yang baru berusia belasan tahun. Melihat laki-laki ini segera Baskara
mengejarnya. Dengan hanya beberapa lompatan saja
Baskara telah berhasil menghadang di depan kedua
orang yang sedang lari itu.
"Paman, siapakah kau" Dan mengapa kau lari-lari
seperti dikejar setan?" tanya Baskara dengan penuh selidik.
"Kami adalah petani-petani yang sedang melarikan
diri dari kekejaman Rejotenoyo," jawab pemuda yang
mengiringkan orang tua itu.
"Mengapa kau takut terhadap Rejotenoyo?" tanya
Baskara. "Dia adalah seorang pemeras yang sangat kejam,
anak muda!" jawab orang tua itu.
"Siapakah nama kalian!" kembali Baskara bertanya.
"Rej... eh... Karto," jawab laki-laki tua itu dengan gugup. Mendengar jawaban yang gugup ini makin besar
kecurigaan Baskara terhadap kedua orang ini.
Tiba-tiba ia mendengar suara laki-laki yang berusia
belasan tahun itu, "Siapakah kau dan apa maksudmu
menghalang-halangi perjalananku?"
"Aku" Aku hanya anak gembala kerbau!" jawab Baskara dengan sekenanya.
"Penggembala, sekarang kau minggirlah sebab aku
dan ayahku akan segera melanjutkan perjalanan," seru
pemuda pengawal itu. "Silahkan kalian melanjutkan perjalanan kalian!" jawab Baskara sambil minggir ke tepi.
Setelah kedua orang itu melanjutkan perjalanan, segera Baskara mengikuti kedua orang itu dengan diamdiam. Tak lama kemudian terdengarlah percakapan mereka.
"Ah, Bapa, untung kita tak mendapat kesukaran
dengan jawaban Bapa yang tampak gugup tadi," seru
pemuda itu. "Memang anakku, tadi aku tak dapat mengendalikan
perasaanku. Dan hampir saja sandiwara kita ketahuan," jawab orang tua itu.
"Bapa, ke manakah tujuan kita sekarang?" tanya pemuda yang mengawal itu.
"Kita pergi saja ke rumah pamanmu untuk berlindung sementara waktu," jawab laki-laki itu.
Mendengar percakapan ini jelaslah bagi Baskara kalau kedua orang yang sedang diikutinya ini benar-benar
buronannya. Maka dari itu segera dia kembali menghadang di depan jalan kedua orang itu.
"Ha... ha... ha.., Rejotenoyo, janganlah kau mencoba
menipuku lagi! Sebab sekali lagi kau main gila di depanku, tentu nyawamu akan melayang!" seru Baskara dengan tertawa.
Bukan main terkejutnya hati kedua orang itu setelah
mengetahui kalau yang datang ini adalah orang yang
mencegatnya tadi. "Bangsat, mau apa kau mencegat kami lagi?" tanya
pemuda yang mengawal laki-laki tua itu sambil menghunus pedangnya.
"Ha... ha... ha..., rupa-rupanya kau mempunyai kepandaian juga, sahabat. Marilah kita main-main sebentar," seru Baskara sambil melompat ke arah Rejotenoyo
berdiri. Bersama dengan loncatannya tadi, ia menggunakan tangan kirinya untuk menotok jalan darah Rejotenoyo sambil berseru, "Tunggulah aku di sini." Dan
akibatnya lemaslah tubuh Rejotenoyo yang kena totok
itu. (Bersambung jilid II) SEPASANG PEDANG MUSTIKA Karya: Wahyu Mulyana Penerbit: CV Gema " Solo, 1979
Scan/Edit: Clickers PDF: Abu Keisel JILID II MELIHAT keadaan yang sangat merugikan pihaknya,
segera pemuda pengawal Rejotenoyo itu berseru, "Bangsat manusia sombong, mampuslah kau!" bersama dengan teriakan ini pengawal Rejotenoyo yang tak dapat
menahan sabarnya lagi telah melompat menyerang Baskara.
Melihat serangan yang tiba-tiba ini segera Baskara
menjatuhkan dirinya ke belakang, dan berhasillah ia
menyelamatkan dirinya dari serangan pertama dari pengawal Rejotenoyo. Melihat serangannya gagal segera
pengawal Rejotenoyo melancarkan serangan-serangan
yang lebih hebat dan dahsyat. Tetapi yang diserang adalah murid pertama dari Mliwis Putih yang menjagoi dunia persilatan di sebelah selatan, maka dengan mudah
saja Baskara dapat mengelakkan setiap serangan lawannya. Bahkan ia berhasil mendesak dengan hebat.
Memang tidaklah mengherankan kalau sebentar saja
Baskara telah dapat mendesak pengawal Rejotenoyo itu.
Sebab kepandaian Baskara memang jauh lebih tinggi
daripada kepandaian lawannya. Tetapi kepandaian pengawal Rejotenoyo inipun tidaklah terlalu rendah, karena ia mempunyai kepandaian. Keistimewaannya ialah
kepandaian menjaga diri. Ia dapat bergerak dengan lincah dan licin bagaikan belut. Ditambah pula dengan
bentuk tubuhnya yang pendek kecil. Kalau saja ia harus melawan sesama pengawal Rejotenoyo maka tak
adalah kawan-kawannya yang dapat mengalahkannya.
Tetapi sekarang lawannya adalah seorang muda yang
benar-benar gemblengan. Dan pula memiliki kegesitan
yang lebih baik daripadanya. Sehingga pada jurus yang
ke sembilan Baskara berhasil menendang roboh pengawal pendek itu.
"Nah, kawan, sekarang kau istirahatlah dulu, sebab
aku akan bicara dengan Rejotenoyo," seru Baskara sambil meninggalkan lawannya.
Melihat kalau anaknya roboh di dalam tangan lawannya, ngerilah hati Rejotenoyo. Dengan tak menghiraukan harga dirinya lagi segera ia berlutut di hadapan
Baskara setelah ia dibebaskan dari totokannya.
"Ampunkan nyawaku, tuan muda!" seru Rejotenoyo
dengan masih berlutut. "Di manakah kau menyimpan Siti, anak dari Kakek
Legimin?" seru Baskara dengan muak melihat kelicikan
Rejotenoyo itu. "Dia masih berada di tangan Pak Lurah," jawab Rejotenoyo dengan nada ketakutan.
"Hayo kita pergi ke sana dan bebaskan Siti, supaya
Siti dapat pulang ke rumah orang tuanya," bentak Baskara.
Kini kembali ketiga orang itu berjalan menuju ke kelurahan. Karena memang hutan itu dan kelurahan tak
begitu jauh jaraknya, maka sebentar saja mereka telah
sampai di halaman kelurahan.
"Mana lurah dari Desa Prambanan ini?" tanya Baskara dengan nada yang mengandung kemarahan.
"Sebentar, tuan muda, biar saya yang memanggilnya," jawab Rejotenoyo.
"Awas kalau kau berani main gila lagi!" seru Baskara
dengan mengancam. Setelah mendapat ijin dari Baskara maka masuklah
Rejotenoyo ke dalam kelurahan dan tak lama kemudian
tampaklah ia keluar bersama dengan seorang yang bertubuh gendut.
"Kaukah lurah dari desa ini?" tanya Baskara sambil
mengerutkan alisnya. "Betul, anak muda, akulah lurah Desa Prambanan
ini," jawab orang yang bertubuh gendut itu.
"Bagus... bagus sekali perbuatanmu! Kau menjadi
lurah tetapi tak dapat memberi contoh yang baik kepada pendudukmu," seru Baskara.
"Bangsat, siapakah kau ini anak muda yang berani
menghina lurah Prambanan?" bentak orang yang bertubuh gendut itu.
"Aku Baskara!" jawab murid pertama Mliwis Putih.
"Apa maksudmu datang kemari?" tanya Pak Lurah
dengan sombong. "Lekas kaubebaskan Siti! Dan pulangkan kepada
orang tuanya!" seru Baskara.
"Ha... ha... ha... enak saja kau membuka mulut,
anak muda, aku akan mengembalikan Siti asal kau dapat mematahkan tulang tanganku," jawab lurah itu dengan sombong.
"Bagus! Terlaksanalah permintaanmu!" jawab Baskara.
"Bangsat hina, kau berani mencampuri urusan orang
lain!" bentak Lurah Prambanan, bersama dengan itu
sepasang tangannya bergerak dan tahu-tahu tangannya
telah memegang sebuah golok besar. Dan di lain saat
lurah yang kalap itu menyerang Baskara dengan hebat
sekali. Goloknya dibacokkan ke arah kepala kemudian
disusul babatan ke arah leher. Memang permainan golok dari lurah yang gemuk ini sangat ganas dan kuat.
Karena permainan goloknya ini maka Pak Lurah Prambanan ini mendapat julukan Golok Maut di dalam dunia
persilatan.

Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba
pemuda yang menjadi lawannya itu dengan tenang dan
cepat menggerakkan tangan kirinya lalu menyentil golok
yang besar itu dengan jari tangannya. Terdengarlah suara tring... yang keras, dan golok itu menjadi semplah
dan pada sentilan yang ke dua golok yang dipegang oleh
Lurah Prambanan itu terlempar jauh. Lurah yang bertubuh gemuk itu tak kuasa menahan, sebab rasanya
golok itu ditarik oleh sebuah lengan yang bertenaga raksasa.
"Ini untuk kekurangajaranmu kepadaku dan ini untuk kekejamanmu menculik gadis itu," seru Baskara
sambil menggerakkan tangannya menyentil.
Lurah yang bertubuh gemuk itu menjerit sambil memegangi kedua buah telinganya yang telah hancur kena
sentilan tangan Baskara. Biarpun luka itu tak berbahaya sama sekali tetapi sakitnya cukup membuat orang
seperti lurah itu menjerit-jerit dan lagi darah mengalir
sepanjang lehernya. "Baskara, tunggulah pembalasanku!" teriaknya sambil lari.
"Hai, jangan pergi dulu! Kau harus membebaskan Siti dulu baru boleh pergi!" seru Baskara sambil menghadang di mukanya.
"Siti berada di dalam rumah!" jawab lurah itu dengan
singkat. Mendengar keterangan lurah ini segera Baskara berkelebat masuk ke dalam kelurahan dan di salah satu
kamar ia melihat seorang anak perempuan yang berkulit kuning langsat dan berambut ikal mayang sedang
duduk dengan sedihnya. Segera Baskara bertanya kepada wanita itu, "Siapakah namamu?"
"Siti," jawabnya singkat.
"Kaukah anak dari Kakek Legimin?" kembali Baskara
bertanya. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya sebagai
jawaban. "Bagus, mari ikut aku! Ayahmu menunggu di rumah
Rejotenoyo," seru Baskara.
Mendengar perkataan Baskara ini bukan main girangnya hati Siti, segera ia mengikuti Baskara dari belakang. Setelah sampai di halaman segera Baskara
menghampiri Rejotenoyo. "Hayo, kau ikut aku!" bentaknya.
Maka tak dapat menolak lagi segera ia menuruti kemana saja Baskara membawanya. Setelah ia berhasil
membebaskan Siti segera Baskara langsung mencari
adik seperguruannya dan Legimin di rumah Rejotenoyo.
Betapa terkejutnya hati Baskara setelah sampai di
muka rumah Rejotenoyo sebab disana ia melihat Tunggul Wulung sedang mengamuk dengan dahsyatnya. Banyak para penjaga rumah Rejotenoyo yang mati dan terluka. Maka segera ia berseru, "Adi, perbuatan apakah
yang sedang kau kerjakan itu"!"
Ketika mendengar teriakan ini segera Tunggul Wulung memalingkan mukanya ke arah datangnya suara
tadi. Dan setelah tahu kalau kakak seperguruannya
yang datang segera ia melompat dan menghampiri kakak seperguruannya. Melihat gerakan Tunggul Wulung
yang gesit ini makin kagumlah hati para pengeroyoknya.
"Kakang, dari mana sajakah kau ini?" seru Tunggul
Wulung. "Ssssttt, Adi, tentu saja dari menolong Siti. Habis,
dari mana lagi?" jawab Baskara sambil tersenyum.
"Ah, kukira engkau kena tawan oleh bangsat Rejotenoyo!" gumam Tunggul Wulung.
"Tidak, Adi, bahkan aku yang berhasil menawannya,"
jawab Baskara. "Mana bangsat Rejotenoyo itu, Kakang?" tanya Tunggul Wulung.
"Ini!" jawab Baskara sambil memandang ke arah Rejotenoyo.
"Hem... monyet!" seru Tunggul Wulung sambil mengayunkan kepalannya ke arah dada Rejotenoyo.
Dukk...! Ternyata tubuh Tunggul Wulung yang tersurut ke belakang. Sebetulnya apakah yang terjadi" Ketika
Tunggul Wulung mengayunkan kepalannya ke arah dada Rejotenoyo, cepat Baskara menangkisnya.
"Kakang, mengapa kau menangkisnya?" tanya Tunggul Wulung dengan tak senang.
"Adi, telah banyak korban, janganlah kau menambah
korban lagi," seru Baskara.
"Dia harus dihukum, Kakang!" seru Tunggul Wulung
setengah berteriak. "Adi, biar aku yang akan menjatuhkan hukumannya
nanti," jawab Baskara dengan tenang.
"Bagus kalau kau sendiri yang menjatuhkan hukumannya," seru Tunggul Wulung.
Mendengar percakapan kedua orang ini takutlah hati
Rejotenoyo. Segera ia berlutut minta ampun kepada kedua orang anak muda itu.
"Ampunkan kami, Tuan!"
Melihat ini makin marahlah hati Tunggul Wulung,
segera ia menendang tubuh yang berlutut di hadapannya itu sehingga terlempar beberapa tindak. Tetapi cepat Baskara mencegah adik seperguruannya untuk bertindak lebih lanjut.
"Hai Rejotenoyo, kau mengakui kesalahanmu tidak?"
tanya Baskara. "Ya... ya... aku mengakui bersalah, Tuan!" jawab Rejotenoyo dengan gugup.
"Lekas kauambil seluruh uang yang kau simpan!"
kembali Baskara membentak.
Sesaat Rejotenoyo diam saja. Tetapi setelah mendengar bentakan yang kedua dari Baskara segera ia menjalankan perintah yang dianggapnya terlalu berat itu.
Setelah uang itu berada di muka Baskara, segera Baskara membagi-bagikan uang itu kepada para penduduk
yang kelihatan hidup menderita. Dan yang seperempat
bagian ia kembalikan kepada Rejotenoyo. Tentu saja
penduduk yang menerima pembagian itu merasa senang bukan buatan, sebab mimpi pun mereka tidak
pernah kalau akan menerima uang yang sekian banyaknya. Tiba-tiba saja rakyat yang baru bersenang-senang
itu terhenti ketika mendapat pertanyaan dari Baskara.
"Mengapa kalian memilih lurah yang suka makan
suap dan tak becus memimpin itu?"
Mendengar pertanyaan itu segera majulah seorang
petani yang telah berusia lanjut. Setelah sampai di muka kedua pemuda itu segera ia menjawab, "Angger, sebetulnya rakyat di sini tak suka akan lurah yang gendut. Sebab ia bukannya pilihan rakyat."
"Apa" Bukan pilihan rakyat?" tanya Tunggul Wulung
dengan kaget. "Betul, Angger, dia itu dulunya seorang perampok
dari Hutan Magarsari di sebelah timur Kota Gede. Setelah dia berhasil membunuh lurah kami, maka dia
menggantikan menjadi lurah di desa ini," seru orang tua
itu. "Bagus, kalau begitu kalian harus cepat-cepat memilih salah seorang yang benar-benar cakap dan baik
untuk menjadi lurah di desa ini!" seru Tunggul Wulung.
"Dan kau Rejotenoyo, hiduplah dengan para penduduk lainnya dengan saling tolong-menolong," kata Baskara.
"Baik, aku akan mengubah cara hidupku," jawab Rejotenoyo.
"Nah, karena semuanya telah beres, maka ijinkanlah
aku istirahat terlebih dahulu!" seru Tunggul Wulung.
"Betul, Angger, marilah kalian istirahat di rumahku!"
jawab Legimin dengan girang. Setelah itu berangkatlah
mereka menuju ke rumah Legimin. Para pendudukpun
lalu pulang dengan perasaan puas dan girang.
Pada keesokan harinya, ketika Legimin menengok
tamu-tamunya di luar kamar untuk makan pagi, ternyata orang tua itu menjadi terheran-heran. Setelah
pintu dibuka, ternyata didapati kedua pemuda itu telah
pergi. "Ah, mereka itu pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan lebih senang hidup bebas seperti burung daripada hidup terikat!" keluh Legimin sambil langsung
mengambil cangkulnya untuk segera pergi sawah.
*** Ke manakah Baskara dan Tunggul Wulung" Mereka
sedang melanjutkan perjalanannya menuju ke Gunung
Lawu. Karena perjalanan kedua orang kakak-beradik
seperguruan itu tak mendapat rintangan dan lagi mereka menggunakan ilmu lari cepatnya, maka sebentar
saja mereka telah sampai di Gunung Lawu.
Pada waktu itu banyaklah para pendekar yang sedang mencari letak dari gua yang dipakai sebagai tempat tinggal binatang-binatang buas, sebab menurut kabarnya di situlah tempat tersimpannya Pedang Naga Biru dan Pedang Besi Merah.
Sewaktu Baskara dan Tunggul Wulung sedang asyik
mencari letak gua itu, tiba-tiba terdengarlah suara gaduh.
"Ah, mungkin gua ini yang kita cari-cari, kawan-kawan!" seru seorang pendeta kepada kawan-kawannya.
"Mungkin juga, sebab di sini banyak tulang-tulang
berserakan!" jawab yang lain.
"Mari, mari. Kita cari bersama-sama. Dan nanti kita
pertahankan bersama-sama pula. Sebab amat sayang
kalau pedang itu jatuh ke tangan orang lain. Kalau kita
dapat mendapatkannya, bukankah kita dapat mengadakan pertandingan sendiri dengan adil" Dan siapa
yang paling sakti di antara kita, dia itulah yang berhak
menyimpannya," seru pendeta yang berkata tadi.
"Bagus... bagus... aku sangat setuju dengan usul Kakang Selotirto," seru mereka serempak.
"Nah, kalau begitu marilah segera kita masuk ke dalam," ajak pendeta yang dipanggil Selotirto itu.
Mendengar suara gaduh ini segera Tunggul Wulung
dan Baskara ikut tertarik dan diam-diam mereka ini juga ikut masuk ke dalam gua yang dimasuki oleh rombongan Pendeta Selotirto.
"Sssssst...! Hati-hati, Adi Tunggul Wulung. Kalau mereka mendengar suara langkah kaki kita maka akibatnya akan menyulitkan kedudukan dan keadaan kita,"
seru Baskara memperingatkan adik seperguruannya
yang kelihatan kurang hati-hati itu.
"Baik, Kakang!" jawab Tunggul Wulung berbisik.
Ternyata gua yang mereka masuki itu makin ke dalam makin lebar pula guanya. Bau busuk dari tulangtulang yang berserakan itu sangatlah menusuk hidung,
hingga kadang-kadang Baskara dan Tunggul Wulung
harus menutup hidungnya dengan tangan. Tetapi betapa terkejutnya hati kedua orang murid Mliwis Putih itu
ketika mereka melihat rombongan Pendeta Selotirto itu
berhenti. "Adi, lekas kau menjatuhkan diri!" seru Baskara.
Dengan tak usah diperintah untuk yang kedua kalinya lagi segera Tunggul Wulung menirukan apa yang
sedang diperbuat oleh kakak seperguruannya.
Tiba-tiba mereka mendengar suara percakapan dari
rombongan yang berada di depan itu.
"Kawan-kawan, kalau tak salah di belakang kita ada
orang yang mengikuti!" seru Pendeta Selotirto.
"Apa ada orang yang berani mengikuti kita?" tanya
yang lain. "Betul! Coba kau lihat ke sana, Adi!" seru Pendeta
Selotirto. Mendengar percakapan itu terkejutlah hati Baskara
dan Tunggul Wulung. Mereka segera mencari akal untuk bersembunyi.
"Adi, cepat kita meloncat ke atas dinding gua ini!" seru Baskara. "Mengapa kita harus bersembunyi-sembunyi, Kakang" Apakah tidak lebih baik kalau kita lawan saja
rombongan Pendeta Selotirto?" bantah Tunggul Wulung.
"Adi, cepatlah, tak ada waktu lagi untuk berdebat!"
jawab Baskara sambil meloncat ke atas dinding gua itu.
Karena melihat kesungguhan yang membayang di
muka kakak seperguruannya ini, segera Tunggul Wulung ikut pula meloncat ke atas.
Kebetulan di atas ada beberapa ekor kelelawar yang
sedang bergantungan. Cepat Baskara mengambil beberapa ekor dan langsung melemparkannya ke bawah.
Melihat kelakuan kakak seperguruannya ini terheranheranlah hati Tunggul Wulung. Ingin rasanya ia bertanya kepada kakak seperguruannya itu, tetapi itu tak
mungkin, sebab sedikit saja ia menimbulkan suara maka orang yang berada di bawahnya itu akan mengetahui
tempat persembunyiannya. "Bek... bek... bek...." terdengarlah suara sayap kelelawar yang menyentuh tanah, bahkan makin lama suara itu makin bertambah keras.
Ketika melihat beberapa kelelawar yang menimbulkan suara itu segera orang yang disuruh oleh Pendeta
Selotirto itu kembali ke arah rombongannya.
"Kakang, yang di belakang tadi itu bukannya suara
derap kaki orang, melainkan suara kelelawar yang jatuh!" seru orang tadi.
"Apa" Suara kelelawar" Ah, kalau begitu marilah kita
cepat-cepat mencarinya," ajak Pendeta Selotirto.
Melihat kalau rombongan yang berada di depannya
telah berjalan kembali, Baskara segera menarik napas
panjang. Rasa-rasanya batu yang menindih hatinya telah terangkat.
Melihat siasat kakak seperguruannya ini berhasil,
barulah Tunggul Wulung tahu akan maksud Baskara
melemparkan beberapa kelelawar itu. Hingga orang
yang disuruh oleh Pendeta Selotirto itu benar-benar
menyangka kalau yang menimbulkan suara tadi adalah
kelelawar. Maka dari itu, diam-diam Tunggul Wulung
mengagumi kecerdikan Baskara itu.
Setelah rombongan Pendeta Selotirto itu telah agak
jauh, barulah kedua kakak dan adik seperguruan itu
berani bercakap-cakap. "Kakang, sungguh cerdik, kau," seru Tunggul Wulung dengan kagum.
"Ah, Adi, maka dari itu kita harus bertambah hatihati. Andaikata tadi kita melawannya, bukankah ada
kemungkinan kalau kita harus cepat-cepat menggunakan tenaga yang tak benar-benar perlu," jawab Baskara.
"Ah, lagi-lagi kau yang betul, Kakang!" jawab Tunggul
Wulung. "Nah, Adi, marilah kita segera menyusul orang-orang
tadi," ajak Baskara kepada adik seperguruannya.
"Baik, Kakang," jawab Tunggul Wulung.
Setelah mereka masuk lebih dalam lagi, maka tampaklah kalau semula lobang gua itu bertambah besar,
sekarang malah sebaliknya. Jadi Baskara dan Tunggul
Wulung dapat melihat dengan jelas kalau rombongan
Pendeta Selotirto itu jalannya berbaris satu-persatu untuk dapat terus masuk. Memang, jalan yang dapat dipakai untuk masuk itu hanya dapat dilalui oleh seorang
saja. Selain jalannya sempit juga dinding-dindingnya
banyak yang runcing-runcing. Kadang-kadang mereka
harus merangkak. Kulit lecet, darah mengalir, tetapi kesemuanya itu tak dihiraukan oleh rombongan Pendeta
Selotirto itu. Di dalam pikiran mereka itu hanya terbayang Pedang Mustika yang mengeluarkan cahaya biru
dan yang bercahaya merah. Bahaya-bahaya yang mungkin selalu mengintai keselamatan jiwanya itu tak pernah terpikir di dalam otak orang-orang yang telah bertekad untuk mencari pedang mustika itu.
Rombongan Pendeta Selotirto itu terdiri dari lima
orang. Sedang Pendeta Selotirto berjalan di tengah-tengah dari rombongannya itu. Siapakah Pendeta Selotirto dan rombongannya itu"
Pendeta Selotirto adalah seorang pertapa dari Gunung Merbabu. Tentang kesaktian dari pendeta ini hanyalah kalah setingkat saja dari kepandaian keempat
tokoh besar itu. Dari daerahnya ia hanya kalah oleh seorang saja, ialah Mliwis Putih. Boleh kita katakan kalau
Pendeta Selotirto ini menjadi orang kedua dari daerah
selatan. Sedang orang yang tadi disuruhnya melihatlihat ketika ia mendengar suatu yang mencurigakan ialah Narayana, adik seperguruan dari Pendeta Selotirto.
Sedang ketiga orang lainnya ialah adik-adik dari Narayana yang bernama Narasoma, Narapati, dan Narantaka. Keempat keluarga Nara inipun kepandaiannya tak
dapat dipandang rendah. Sebab Narapati, Narasoma,
dan Narantaka itu telah mewarisi ilmu kepandaian dari
ayahnya yang bernama Naraludira.
Adapun Naraludira ialah paman guru dari Pendeta
Selotirto. Maka dapat pula kalau kita katakan, kedua
saudara Nara ini adalah adik seperguruan dari Pendeta
Selotirto. Maka dapat kita bayangkan kehebatan dari
kelima orang ini kalau telah maju dengan bersamasama.
Sewaktu rombongan ini maju terus, tiba-tiba terdengarlah seruan "Mundur!", dan Narantaka orang yang
paling depan sendiri itu segera membuang dirinya ke
belakang. Melihat kelakuan Narantaka ini maka cepatcepat yang lainnyapun segera mundur.
"Mengapa kita harus mundur, Adi?" tanya Narasoma
kepada adiknya. "Lihatlah, Kakang, kalau di dalam gua itu terdapat
suatu pertempuran antara seorang pemuda yang sedang melawan seekor harimau."
"Hem..., baiklah kita melihat perkembangannya lebih
dahulu, nanti kalau sekiranya pemuda itu mulai terdesak maka kita segera turun tangan untuk menolongnya," seru Narayana.
"Begitupun baik, Adi!" jawab Pendeta Selotirto.
Melihat rombongan yang di depannya berhenti, terpaksa Baskara dan Tunggul Wulung ikut berhenti. Sebetulnya mereka ingin sekali menyaksikan apa yang terjadi di depan rombongan itu.
"Ah Kakang, betapa tangkasnya anak itu melawan
harimau yang sedang marah itu!" seru Narapati kepada
Narayana. "Ah betul, Adi, sungguh mengagumkan sekali keberanian anak itu," jawab Narayana.
Sebetulnya siapakah yang sedang bertempur dengan
harimau itu" Pemuda kecil itu adalah Dendapati, murid
dari Brajalaga si Setan Berjubah. Memang kalau kita
perhatikan dengan sungguh-sungguh, ramai juga pertandingan ini. Biarpun Dendapati masih dapat dikatakan anak-anak, tetapi kepandaiannya dan keberaniannya sangatlah mengagumkan sekali. Mungkin gerakannya lebih tangkas daripada gerakan seorang yang telah
dewasa. Dan kekuatannya" Tiga orang dewasa belum
tentu dapat mengalahkan kekuatannya.
"Haummmm...." terdengarlah suara harimau itu
mengaum sambil mendekam dan siap menerjang lawan.
Tetapi Dendapati tampak masih tersenyum-senyum
sambil berdiri di atas kuda-kudanya. Tangan kanannya
ditekuk di samping dada sedang tangan kirinya diangkat lurus ke muka. Inilah sikap pukulan yang akan melontarkan Aji Kilat Buana.
Sementara itupun harimau itu telah pula menyiapkan
kuku-kukunya yang runcing. Dan... wssssstttt... tahu-tahu tubuhnya meluncur dengan cepat menyerang Dendapati. Namun dengan cepat pemuda cilik ini mengayunkan tangannya yang telah berisi


Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aji Kilat Buana. "Dar...!" akibatnya harimau itu tersurut
mundur kurang lebih empat langkah sebelum ia berhasil menerkam tubuh Dendapati. Sedang tubuh Dendapati masih tetap berdiri di tempatnya, hanya saja kudakudanya ikut tergempur.
"Bagus! Suatu ilmu pukulan yang dahsyat!" seru
Pendeta Selotirto dengan kagum. Tadinya ia telah siap
sedia menolong pemuda itu andaikata Dendapati tak
dapat mengelakkan serangan harimau itu. Tetapi segera
ia menutup mulutnya kembali setelah ia melihat kalau
sekarang yang menerjang bukannya harimau itu melainkan anak laki-laki kecil itu.
Wesstt...! Gerakan pemuda cilik ini benar-benar cepat dan gesit. Sebelum harimau tadi siap kembali, pemuda kecil itu telah melancarkan pukulan yang kedua
kalinya.... Duk...! Akibatnya harimau itu hanya menggerang kesakitan. Tetapi segera harimau itu menjadi marah dan menyerang Dendapati dengan membabi-buta.
Melihat kejadian ini teganglah hati para penonton
itu. Tetapi diam-diam Pendeta Selotirto telah mengambil
batu kecil dan langsung menyentilnya ke arah kepala
harimau itu dan..., prak...! Pecahlah kepala harimau
yang sedang menyerang Dendapati itu.
Setelah melihat harimau itu mati cepat Pendeta Selotirto keluar dari lobang guanya tadi. Ia menyangka tentu
pemuda cilik ini akan mengucapkan terima kasih kepadanya. Tetapi apa yang ia dengar"
"Bangsat tua, kau menggangguku saja!" teriak Dendapati sambil melontarkan pukulan Kilat Buana ke arah
dada Pendeta Selotirto. Mendapat pukulan ini Pendeta Selotirto tak mengelaknya, bahkan ia membuka dadanya dan siap untuk
menerima pukulan itu... Duk...! Akibatnya terlemparlah
tubuh Dendapati beberapa tindak dari tempatnya semula. Tetapi betapa terkejutnya Pendeta Selotirto itu setelah mengetahui kalau dadanya menjadi sesak akibat
pukulan anak kecil ini. Untunglah bahwa ilmu Kilat
Buana yang dipelajari oleh Dendapati itu belum masak!
Andaikata ilmu itu telah masak benar-benar tentu nyawa Pendeta Selotirto tak akan dapat ditolong lagi.
Setelah ia berhasil menenangkan hatinya kembali,
segera Pendeta Selotirto itu bertanya, "Siapakah kau,
anak muda?" "Siapa aku apa urusanmu"!" seru Dendapati setengah membentak.
"Anjing cilik, jangan kurang ajar, kau! Hayo, cepat
mengaku siapa sebetulnya kau ini dan mengapa kau
berada di tempat ini"!" bentak Narantaka yang berdarah
panas itu. "Anjing besar, kau sendiri berada di tempat ini mengapa kau melarangku diam di sini"!" balas Dendapati
dengan tak kalah tajamnya.
"Sudahlah, Adi, mengapa kau meladeni anak kecil"
Marilah kita melanjutkan perjalanan kita!" seru Pendeta
Selotirto itu. "Enak saja kau membuka mulut, pendeta gila! Kau
telah berani menghinaku dan sekarang kau akan pergi
dengan begitu saja"!" seru Dendapati.
"Eh... bangsat, mengapa kau berani mati mengganggu kami! Cepat pergi dari sini sebelum kami menjadi
marah!" bentak Narantaka.
"Sudah, sudah, Adi, minggirlah kau!" seru Pendeta
Selotirto dengan sikap tenang. "Apakah maksudmu,
anak muda?" tanya pendeta itu.
"Maksudku ialah akan menantangmu! Kaulah yang
patut menggantikan kedudukan harimau tadi sebagai
latihanku untuk melepaskan ilmu pukulan yang baru
saja kupelajari," jawab Dendapati dengan marah.
"Bangsat, mampuslah kau!" seru Narantaka sambil
mengayunkan tinjunya. Tetapi sebelum kepalan Narantaka tadi sampai di batok kepala Dendapati, cepat Narasoma mencegahnya
dan dua kepalan beradu.... Dukk...! Akibatnya keduaduanya tersurut dua tindak ke belakang.
"Mengapa kau menghalang-halangi maksudku, Kakang?" tanya Narantaka dengan nada tak puas.
"Dia tak boleh dibunuh, Adi! Sebab dia tak sepadan
kalau harus bertanding dengan kita. Maka dari itu biarlah dia berlalu dari sini!" jawab Narasoma.
"Tetapi anak ini benar-benar menjengkelkan," bantah
Narantaka. "Sudahlah, Adi! Biar anak ini kita layani dengan lawan yang sepadan dengannya," seru Pendeta Selotirto
dengan tenang. "Mana di antara kita yang sepadan dengannya?" tanya Narantaka tak puas karena dialah yang paling muda di antara rombongan itu.
"Hai, kalian kemarilah! Mengapa dari tadi kalian hanya mengikuti kami dari belakang saja"!" seru Pendeta
Selotirto sambil menengok ke belakang.
Mendengar panggilan ini terkejutlah hati Baskara
dan Tunggul Wulung. Kini keduanya saling pandangmemandang.
"Ya, kalian, anak muda. Kemarilah!" seru Pendeta
Selotirto mengulang panggilannya.
Karena telah ketahuan maka keluarlah dua orang
muda ini dari persembunyiannya itu. Dan mereka langsung mendekat ke arah rombongan pendeta itu.
"Eh, Kakang, siapakah mereka itu" Dan bagaimana
kau mengetahuinya?" tanya Narayana kepada Pendeta
Selotirto dengan heran. "Mereka inilah yang tadi berjalan di belakang kita.
Dan mereka ini pula yang menipumu dengan melemparkan beberapa ekor kelelawar tadi," jawab Pendeta
Selotirto dengan tenang. "Ah, jadi mereka ini yang tadi kaucurigai, Kakang?"
tanya Narayana dengan mata terbelalak.
Mendengar pertanyaan Narayana ini Pendeta Selotirto hanya menganggukkan kepalanya saja sebagai jawabannya. Setelah sesaat memandang kepada Baskara
dan Tunggul Wulung ini maka bertanyalah Pendeta Selotirto. "Angger, anak muda berdua, siapakah kalian
dan mengapa kalian mengikuti perjalanan kami dengan
diam-diam?" "Kami adalah Baskara dan Tunggul Wulung!" jawab
Baskara dengan hormat. "Dan siapakah Bapa dan para paman-paman ini?"
tanya Tunggul Wulung. "Aku adalah Pendeta Selotirto! Dan mereka ini adikadikku yang bernama Narayana, Narasoma, Narapati
dan Narantaka," jawab Pendeta Selotirto itu.
"Apakah Bapa dan para paman ini juga akan mencari kedua pedang mustika itu pula?" tanya Tunggul Wulung dengan pura-pura tak tahu.
Mendengar pertanyaan dari Tunggul Wulung ini terkejutlah hati mereka, dan mereka saling pandang-memandang satu dengan yang lain. Tetapi segera terdengarlah suara Pendeta Selotirto.
"Benar, Angger! Dan apakah Angger berdua juga
akan mencarinya?" Tetapi sebelum Baskara atau Tunggul Wulung sempat menjawab pertanyaan pendeta itu, terdengarlah suara Dendapati.
"Hai, tua bangka gila, mengapa kau melantur-lantur
bicara dengan orang itu" Bagaimana dengan janjimu
tadi kalau kau akan menghadapiku"!"
"Baiklah, anak muda!" jawab Pendeta Selotirto ini.
Dan kemudian ia memandang kepada Tunggul Wulung.
"Angger Tunggul Wulung, aku minta bantuanmu supaya kau menghadapi anak ini sebagai wakilku. Dapatkah
kau mengabulkan permintaanku ini?" tanya Pendeta
Selotirto. Mendengar pertanyaan ini segera Tunggul Wulung
memandang kepada kakak seperguruannya. Mendapat
pandangan ini tahulah Baskara kalau adik seperguruannya ini minta pertimbangannya, maka dari itu ia
segera menganggukkan kepalanya sebagai jawabannya.
Setelah mendapat ijin dari kakak seperguruannya ini
segera Tunggul Wulung menjawab pertanyaan Pendeta
Selotirto itu. "Bapa, aku sanggup menghadapinya. Tetapi bagaimana kalau aku kalah?"
"Kalah menang bukan soal! Memang di dalam adu
kepandaian hanya ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama ialah menang dan kemungkinan kedua ialah kalah. Dan sebelumnya aku akan mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas kesediaanmu," seru
Pendeta Selotirto. "Nah, hadapilah jagoku ini, anak muda. Kalau kau dapat mengalahkan Angger Tunggul Wulung maka kau boleh berbuat sesuka hatimu terhadap
diriku. Mau membunuhku" Silahkan, aku tak akan melawanmu," seru pendeta itu kepada Dendapati.
Mendengar perkataan Pendeta Selotirto ini bukan
main terkejutnya hati Tunggul Wulung. Ah, ia baru pertama kali ini bertemu dengan pendeta itu tetapi mengapa pendeta itu telah menaruh kepercayaan yang begitu besar kepadanya" Dan sekarang secara tak sadar
nyawa pendeta yang alim dan sakti itu berada di tangannya. Bukankah kalau ia kalah berarti nyawa pendeta itu akan direnggut oleh pemuda cilik ini" Karena
keharuannya ini maka Tunggul Wulung akan berusaha
menolong jiwa pendeta itu dengan cara akan memenangkan pertandingan itu.
Tetapi perkataan Pendeta Selotirto itu sangat menggembirakan hati Dendapati. Maka dari itu segera ia berseru, "Ingatlah, hai, pendeta busuk, kalau ucapan seorang lelaki tak dapat dicabut kembali, apalagi ucapan
seorang pendeta. Biarpun hanya seorang pendeta busuk!"
"Baik, anak muda, aku tak akan menyesal kalau harus mati di tanganmu. Tetapi hati-hatilah kau menghadapi jagoku ini!" seru Pendeta Selotirto dengan masih
bersikap tenang-tenang saja.
"Mari, Tunggul Wulung, kita mulai!" seru Dendapati.
"Nanti dulu! Kauberitahu dulu siapa namamu?" sela
Tunggul Wulung sambil memasang kuda-kudanya.
"Aku Dendapati!" serunya sambil melancarkan serangan ke arah dada. Tetapi cepat Tunggul Wulung menggeser kakinya dan meloncat ke samping. Melihat serangan pertamanya gagal maka kembali Dendapati mengayunkan kakinya ke arah perut lawan.
Duri Bunga Ju 6 Meteor Kupu Kupu Dan Pedang Karya Gu Long The Chronos Sapphire Iii 6

Cari Blog Ini