Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana Bagian 2
Melihat serangan ini segera Tunggul Wulung meloncat ke atas dan dari atas pula ia melancarkan serangan
balasan yang berupa tendangan. Melihat datangnya serangan dari atas ini bukan main kagetnya hati Dendapati. Segera ia membuang diri ke belakang sambil bergulingan di tanah. Sementara Dendapati bergulingan di
tanah, cepat Tunggul Wulung melayang turun ke bawah. Dan kini tampaklah kedua jago tadi telah berhadapan kembali. Kedua-duanya saling mengagumi kepandaian dari lawannya maling-masing. Satu sama lain
saling pandang dengan penuh kemarahan.
Tiba-tiba saja Dendapati mengeluarkan senjatanya
yang berupa penggada. Melihat lawannya telah mengeluarkan senjatanya, cepat Tunggul Wulungpun mencabut pedangnya.
Kini masing-masing telah memegang senjatanya. Tubuh mereka masih tetap berdiri seperti patung. Tetapi
tak lama kemudian terdengarlah seruan Dendapati,
"Awas senjata!" Bersama dengan teriakan itu penggadanya terus meluncur dengan cepatnya ke arah kepala
Tunggul Wulung. Tetapi Tunggul Wulung adalah murid Mliwis Putih
yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan,
maka melihat datangnya serangan itu cepat ia meloncat
mundur sambil mengayunkan pedangnya untuk menangkis. Trang...! Bunga api berpijar dan keduanya tersurut mundur. Dengan pertemuan kedua senjata ini
maka masing-masing dapat mengukur tenaga lawannya. Setelah masing-masing memperbaiki kedudukannya, cepat mereka telah saling serang-menyerang lagi.
Makin lama jalannya pertempuran makin hebat, seru
dan dahsyat. Melihat jalannya pertempuran ini kagumlah hati
Pendeta Selotirto. Sebab ia tahu kalau ilmu silat yang
dimainkan oleh kedua pemuda yang sedang bertempur
itu adalah ilmu silat tinggi dan perubahan-perubahannya sukar sekali diduga.
Wessstt...! Tiba-tiba penggada Dendapati membabat
perut Tanggul Wulung. Tetapi dengan cepat Tunggul
Wulung melompat ke samping sambil menusukkan pedangnya ke arah lambung lawan. Melihat serangan yang
tak terduga-duga ini segera Dendapati menggeserkan
kakinya mundur sedikit dan cepat-cepat memutar
penggadanya untuk menangkis pedang lawan.
Trang...! Kembali pedang dan penggada beradu. Akibatnya lebih hebat daripada tadi. Sekarang Tunggul
Wulung tersurut mundur tiga langkah dan penggada
Dendapati terlepas dari tangannya.
Melihat kenyataan ini pucatlah muka murid Brajalaga itu. Namun sebelum Tunggul Wulung melanjutkan
serangannya tiba-tiba terdengarlah suara orang dari
arah muka gua. "Hu-hu..., siapa berani main gila di depan mata Setan Berjubah?"
Mendengar kata-kata ini giranglah hati Dendapati
dan segera ia berteriak, "Guru, tolonglah. Aku sedang
dikeroyok oleh binatang-binatang liar."
Mendengar teriakan Dendapati ini bukan main marahnya hati Narantaka. Cepat ia melompat dan menyambar tubuh Dendapati yang berada di depannya.
Tetapi tiba-tiba... Wesstt.... tahu-tahu ada sesosok
bayangan yang lebih dahulu menyambar tubuh Dendapati dan bayangan itu tak lain adalah bayangan dari Setan Berjubah.
"Ha... ha... ha... kalian beraninya hanya mengganggu
anak kecil saja! Hayo majulah kalian, akan kulihat seberapa kesaktianmu," seru Brajalaga dengan meletakkan tubuh muridnya.
"Ah, tak tahunya Brajalaga yang datang! Maaf, maaf,
aku terlambat menyambutmu," seru Pendeta Selotirto
dengan sikap tenang. "He... kalau aku tak salah lihat, bukankah kau ini
pertapa di Gunung Merbabu yang bernama Selotirto?"
tanya Brajalaga. "Matamu memang awas, Brajalaga. Memanglah aku
yang bernama Selotirto," jawab pendeta itu.
"Bagus, bagus. Kau benar-benar berani mati berani
menghina muridku! Hayo lekas kau berlutut supaya
aku dengan mudah membunuhmu," seru Brajalaga dengan menyeringai.
"Maafkan aku, Brajalaga, kalau tadi telah mengganggu muridmu! Tetapi ini bukan karena aku orang tua
memang sengaja hendak mengganggunya, tetapi ini karena kekurangajaran dari muridmu sendiri," seru Pendeta Selotirto.
"Bohong, Guru! Dia tahu-tahu telah menyerangku!"
seru Dendapati dengan penuh semangat.
"Hem..., kau dengar sendiri, bukan?" geram Brajalaga menahan marah.
"Anak gila! Tukang fitnah! Mari majulah kalau ingin
kuhajar!" seru Baskara yang tak dapat menahan marahnya itu. Biarpun Baskara seorang pendiam, tetapi
kalau mendengar orang memfitnah maka bencinya bukan main. Maka dari itu segera ia menentang Dendapati.
"He... he... he..., siapa kau anak muda yang berkeberanian seperti harimau ini?" tanya Brajalaga dengan kagum.
Memanglah ini sudah menjadi kegemaran dari Brajalaga kalau ia sangat senang dengan orang yang berkeberanian hebat.
"Aku Baskara!" jawab Baskara sambil menentang
pandangan Brajalaga. "Angger Baskara, janganlah kau mencari penyakit!"
seru Pendeta Selotirto memperingatkan.
"Biar, Bapa, orang jahat harus kita tumpas!" teriak
Baskara dengan penuh semangat yang menyala-nyala.
Mendengar perkataan Baskara ini makin kagumlah
hati Brajalaga kepada keberanian anak muda ini. Tetapi
Pendeta Selotirto makin menjadi bingung. Sehingga
keadaan menjadi hening seketika itu.
Tetapi tiba-tiba terdengarlah suara Brajalaga, "Hai,
Baskara, apakah kau pernah makan hati harimau?"
"Apa maksud pertanyaanmu itu"!" seru Baskara.
"Ha... ha.... ha... aku sungguh-sungguh kagum dengan keberanianmu! Maka dari itu minggirlah biar aku
membunuh tikus-tikus ini!" seru Brajalaga.
Mendengar perkataan Brajalaga ini segera Baskara
tahu akan maksudnya, karena keberaniannya yang menarik perhatian Brajalaga tadi maka sekarang nyawanya
dibebaskan. Tetapi mana ia mau membiarkan orangorang itu mati di tangan setan kejam itu. Maka segera ia
menjawab, "Bunuhlah aku dahulu kalau kau ingin
membunuh mereka." Bersama dengan lenyapnya perkataan itu terlihatlah kalau Baskara telah mencabut pedangnya.
Melihat hal ini makin bingunglah hati Pendeta Selotirto dan adik-adiknya. Maka cepat ia berkelebat di muka Brajalaga dan siap menerima serangan.
"Mundurlah, Angger Baskara. Ia bukan lawanmu!"
serunya setelah menghadapi Brajalaga.
"Bagus... bagus... mari kuantar kau ke neraka!" seru
Brajalaga dengan girang. "Hati-hati, Bapa, dia kelihatannya mempunyai kesaktian yang berarti juga," seru Baskara memperingatkan Pendeta Selotirto.
"Terima kasih, Angger Baskara!" seru Pendeta Selotirto.
"Awas pukulan!" seru Brajalaga dengan mengayunkan tangannya.
Melihat datangnya pukulan itu tidak menjadikan
Pendeta Selotirto menjadi kaget, karena diam-diam pertapa dari Gunung Merbabu itu telah siap menerima serangan. Maka dari itu ketika melihat datangnya serangan yang mendadak itu cepat ia menggeserkan kakinya ke samping dan balas melancarkan pukulan ke
arah dada Brajalaga. "Bagus!" puji Brajalaga sambil melompat ke atas dan
langsung berjumpalitan di udara.
Namun rupa-rupanya Pendeta Selotirto tak mau melepaskan lawannya dengan begitu saja. Sebelum Setan
Berjubah itu sempat menginjakkan kakinya di daratan,
cepat bagai kilat Pendeta Selotirto mengayunkan tangannya kembali. Tetapi biarpun Brajalaga masih terapung di udara, ketika melihat datangnya serangan yang
hebat ini ia tak menjadi gentar dan takut. Kalau saja ia
takut atau kaget, belumlah dapat ia merajai dunia persilatan dan menjadi salah satu dari empat tokoh besar
di jaman itu. Maka dari itu cepat ia meminjam tenaga
lawannya untuk meloncat ke atas kembali. Dan dari
atas ia menukik sambil melancarkan serangan balasan.
Sekarang ganti Pendeta Selotirtolah yang menjadi
kaget dan kagum oleh gerakan lawan yang cepat dan
gesit itu. Karena itu ia cepat-cepat membuang dirinya
ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
Melihat jalannya pertempuran ini berdebar-debarlah
hati yang melihatnya. Ingin rasanya keempat saudara
Nara itu mengeroyoknya, tetapi rasa keksatriaannya tak
mengijinkannya. Dan lagi kalau mereka turun tangan
mengeroyoknya, ini berarti ia menghina Pendeta Selotirto yang belum tentu kalah itu. Memanglah bagi seorang yang telah berkecimpung di dalam dunia persilatan, nama dan kehormatan itu lebih berharga daripada
nyawa. Maka dari itu mereka hanya tetap tinggal melihatnya dengan hati yang berdebar-debar.
Wessttt...! Dar...! Tiba-tiba dinding gua itu hancur lebur kena angin pukulan Brajalaga yang telah mengetrapkan ajinya yang disebut Aji Kilat Buana.
Melihat kejadian ini bukan main terkejutnya hati Narantaka. Diam-diam ia mengakui kehebatan tenaga dalam lawan Pendeta Selotirto. Tetapi hal ini telah biasa
saja bagi pandangan Baskara dan Tunggul Wulung. Sebab sudah sering ia melihat latihan-latihan yang lebih
hebat dari itu. Gurunya telah terkenal sebagai jago tenaga dalam yang tak terkalahkan di masa itu. Karena
itulah ia tak menjadi heran dan terkejut.
Pertempuran antara Pendeta Selotirto dengan Pendeta Brajalaga itu makin menjadi seru. Kini pertandingan
mereka telah berganti cara. Kedua-duanya sekarang telah menggunakan kegesitannya untuk serang-menyerang dan elak-mengelak. Hingga kini yang tampak
hanya bayangan-bayangan mereka yang bergerak-gerak
dengan cepatnya. Bagi mereka yang berkepandaian kurang tinggi maka akan menjadi kabur pandangan matanya.
Dar...! Kedua lengan beradu dan akibatnya Pendeta
Selotirto tersurut mundur tiga langkah sedang Setan
Berjubah masih tetap pada kedudukannya. Dengan peraduan tenaga dalam, Pendeta Selotirto masih kalah
tinggi setingkat daripada tenaga dalam tokoh besar dari
utara itu. "Bagus, Setan Berjubah! Kepandaianmu memang
tinggi, tetapi cobalah kauhadapi ilmu pedangku yang
buruk ini," seru Pendeta Selotirto sambil mencabut pedangnya.
"Bagus.... kau mati di tangan atau di senjataku sama
saja, orang gila," jawab Pendeta Brajalaga sambil mengambil penggadanya.
Kini kedua pendeta itu telah berhadapan kembali.
Pedang di tangan Pendeta Selotirto telah disilangkan di
depan dadanya. Ia berdiri agak rendah karena kaki kanannya ditekuk sedikit ke muka, sedang kaki kirinya
dimiringkan ke belakang. Sedang matanya memandang
lawannya dengan tajam sekali. Sedang Pendeta Brajalaga telah pula mengangkat penggadanya di atas kepalanya. Matanya memandang ke bawah, tetapi seluruh
urat-uratnya telah ia siapkan dan menanti datangnya
serangan lawan. Keduanya diam saja bagaikan arca. Satu sama lain
tak mau membuka serangan lebih dulu, sebab mereka
tahu kalau siapa yang berani membuka serangan lebih
dahulu maka akan tampaklah kekosongan dari pertahanannya. Dan akibatnya dengan mudah saja lawannya
dapat menangkis serangannya dengan mengarahkan serangannya pula kepada lowongan yang terlihatnya. Karena itulah kedua orang tadi hanya saling pandang saja,
dan satu sama lain tak bergerak. Hanya kadang-kadang
saja jubah mereka berkibaran tertiup angin.
"He..., mengapa kau diam saja, setan busuk"!" seru
Pendeta Selotirto mencoba menghina Brajalaga.
Tetapi Brajalaga tahu akan pancingan lawan ini, maka dari itu ia diam saja dan tak meladeni tantangan pertapa Gunung Merbabu itu. Tetapi rupa-rupanya Pendeta Selotirto tak mau lekas-lekas diam saja, segera ia
mengejek lagi, "Huh..., tokoh besar dari utara ini ternyata hanya mempunyai nama yang kosong melompong
belaka. Ah... alangkah kecewaku bertemu dengan tokoh
yang pengecut ini." Mendengar olok-olok Pendeta Selotirto ini tertawalah
para penontonnya. Tiba-tiba saja terdengar suara Narantaka, orang termuda dari keempat saudara Nara tadi, "Betul, Kakang. Percuma saja kau lawan orang yang
besar omong ini. Lepaskanlah dia, biar menakut-nakuti
orang yang tak pandai main silat saja. Kasihan kalau ia
mati di tanganmu." "Ha... ha... ha...," terdengarlah gelak tertawa dari
saudara-saudaranya. Bukan main marahnya hati Brajalaga. Selama hidupnya belum pernah ia menerima hinaan yang seperti ini.
Maka dapat dibayangkan saja betapa malunya tokoh
dari utara ini. Mukanya kelihatan merah, matanya melotot bersinar-sinar bagaikan mata harimau. Tak lama
kemudian terdengarlah suara gerungannya dan disusul
oleh gerakannya yang mulai membuka serangan...
Westtt...! Tahu-tahu penggada yang tadinya diangkat
tinggi-tinggi di atas kepalanya itu telah turun dengan
cepatnya menyambar kepala Pendeta Selotirto. Tetapi
cepat sebelum penggada besar dan berat itu menimpa
kepala, pertapa Gunung Merbabu itu cepat melompat ke
samping sambil membabatkan pedangnya ke arah lambung yang tak terjaga itu... Breettt... terdengarlah suara
kain sobek. Ternyata jubah pendeta Brajalaga telah sobek di bagian lambungnya.
Melihat kenyataan ini keluarlah keringat dingin Setan Berjubah. Karena kecerobohan dan nafsunya yang
tak dapat dibendung itu maka ia meninggalkan kewaspadaannya, sehingga ia mendapat malu besar. Memanglah suatu pantangan besar bagi seorang jago silat marah-marah di waktu ia menghadapi lawan tangguh.
"Bangsat Selotirto! Kalau tak kau yang menggeletak
mati pasti aku. Bersiaplah kalau aku akan mengadu
nyawa kepadamu!" geram tokoh besar dari utara itu.
"Bagus..., setan gila, aku telah dari tadi siap menanti
seranganmu," jawab Pendeta Selotirto.
"Bapa, jangan kau berlaku kejam terhadap setan itu,
Bapa! biarkan dia hidup untuk menakut-nakuti anak
kecil-kecil yang tak mau tidur!" seru Tunggul Wulung
berusaha memanaskan hati Brajalaga lagi.
Tetapi kali ini Brajalaga telah sadar akan kecerobohannya tadi, maka dari itu ia tak mau mengulangi
perbuatannya yang meninggalkan kewaspadaan seperti
tadi. Memang tadi Pendeta Selotirto dapat merobek jubahnya hanya karena ia menuruti hawa nafsunya saja,
tak menghiraukan serangan balasan dari pertapa Gunung Merbabu tadi. Jadi bukannya Pendeta Selotirto itu
lebih tinggi kepandaiannya daripada kepandaian Brajalaga si Setan Berjubah.
"Hayo, jangan banyak mulut seperti wanita saja! Mari
kaulawan si Brajalaga!" seru Setan Berjubah yang berhasil menahan amarahnya.
Tak antara lama lagi kembalilah mereka telah bertempur dengan serunya. Pedang dan penggada saling
sambar mencari kelemahan lawannya. Angin deras menyambar-nyambar bersama datangnya tiap pukulan
penggada Brajalaga, sedang pedang Pendeta Selotirto
bergerak bagaikan halilintar menyambar dan sinar pedang itu amat menyilaukan mata lawannya. Trang...
trang...! Bunga api berpijar ketika pedang dan penggada
saling beradu. Tetapi setiap kali kedua senjata tadi beradu, akibatnya Pendeta Selotirto tersurat mundur.
Belum pernah selama hidupnya Tunggul Wulung melihat pertempuran yang sehebat ini. Paling-paling kalau
ia melihat, hanya pertempuran antara seorang yang
berkepandaian biasa saja, dan latihan-latihan yang dilakukan oleh kakak seperguruannya dengan gurunya.
Karena ia belum pernah turun gunung selama ia belajar
silat pada Mliwis Putih, maka ia tak mempunyai pengalaman apa-apa. Lain halnya dengan Baskara, ia adalah
seorang murid Mliwis Putih semenjak Mliwis Putih masih gemar merantau. Maka melihat jalannya pertempuran ini hatinya tak begitu heran dan kagum. Tetapi mau
tak mau ia haruslah mengakui kepandaian kedua orang
yang sedang bertempur itu.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan Setan Berjubah,
"Mampuslah!" Bersama dengan teriakan itu cepat bagai
kilat penggadanya diayunkan ke arah kepala Pendeta
Selotirto. Tentu saja pertapa Gunung Merbabu itu tak mau
menerima pukulan dengan begitu saja. Cepat ia menangkis dengan pedangnya. Namun begitu melihat serangannya gagal, segera Pendeta Brajalaga mengayunkan pukulan tangan kirinya yang telah berisi Aji Kilat
Buana ke arah dada lawan... Buk...! Akibatnya jatuhlah
Pendeta Selotirto, darah segar mengalir dari mulutnya.
"Ha... ha... ha... terimalah kematianmu, pendeta gila!" seru Brajalaga dengan mengayunkan penggadanya.
Trang...! Sebelum penggada itu memecah kepala Pendeta Selotirto, tiba-tiba berkelebatlah sebuah bayangan
yang membawa sebatang tongkat yang terbuat dari
kayu Galih Asem. Bayangan inilah yang telah menyelamatkan nyawa pertapa dari Gunung Merbabu itu.
"Ha... ha... ha.... setan jahat, sabarlah kau jangan
hanya menambah dosa saja. Ingat hari kematianmu telah dekat!" seru orang yang menolong Pendeta Selotirto.
"Bangsat kau, Gajah Limbung. Mengapa mencampuri urusan orang lain"!" teriak Brajalaga.
Memanglah yang datang menolong Pendeta Selotirto
tadi adalah Suronggongkoro, tokoh dari barat.
"He..., kalian tidak lekas pergi mau tunggu kapan lagi?" seru Gajah Limbung kepada rombongan orang yang
sedang merawat Pendeta Selotirto.
"Terima kasih atas pertolonganmu!" seru Narayana
sambil mengeloyor pergi. Kepergian Narayana itu diikuti
oleh adik-adiknya. "Enak saja kalian akan pergi!" dengus Brajalaga sambil menyambitkan beberapa buah jarum rahasia.
"Kejam... kejam...," seru Gajah Limbung sambil memutar tongkatnya untuk menyampok jatuh semua jarum yang telah dilemparkan oleh Brajalaga. Tetapi tetap
saja masih ada beberapa buah jarum yang tak dapat
tertangkis oleh tongkat Gajah Limbung.
"Aduh!" seru Narapati sambil memegang tangan kirinya yang telah tertusuk oleh jarum Brajalaga.
Wesstt...! Krak...! Tiba-tiba saja Gajah Limbung melompat ke arah Narapati dan mengayunkan tongkatnya
untuk memukul lengan kiri Narapati hingga putus.
"Bangsat kejam! Kukira kau seorang penolong yang
baik, tak tahunya kau ini sama jahatnya dengan setan
itu!" seru Narayana, Narasoma dan Narantaka. Tanpa
tanya lagi mereka lalu menyerang Gajah Limbung. Melihat tubuh Pendeta Selotirto yang diletakkan dengan begitu saja, segera Baskara menolongnya dan Tanggul
Wulung merawat Narapati. "Ha... ha... ha...! Gajah Limbung, selamat berjuang!"
seru Brajalaga sambil berkelebat pergi.
Melihat gurunya telah pergi segera Dendapati menyusulnya. Tetapi sebelumnya ia masih sempat mengancam. "Awas, Tunggul Wulung, besok aku akan mencarimu lagi!"
Tetapi mana mau Tunggul Wulung meladeni tantangan itu, sebab ia dipandang oleh Baskara. Maka dari itu
segera ia meneruskan pekerjaannya.
"Huh... huh... huh..., manusia-manusia bodoh! Lekas
kau buang senjata-senjatamu!" seru Gajah Limbung
sambil menggerakkan tongkatnya, maka dengan sekali
Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerak pedang Narayana, Narasoma dan Narantaka terlempar jauh sekali. Setelah melihat pedang-pedang lawannya terpental segera Gajah Limbung membentak ketiga saudara Nara itu.
"Manusia-manusia goblok! Lihatlah kutungan tangan
saudaramu itu!" serunya sambil menunjuk ke arah kutungan lengan Narapati itu.
"Ah...!" seru mereka serempak. Setelah mereka tahu
kalau kutungan tangan lengan Narapati itu menjadi
hangus, segera mereka memandang kepada Gajah Limbung.
"Makanya jadi orang jangan suka terburu nafsu saja.
Coba tangan kirinya tak kupukul hancur, tentu nyawanya telah melayang di tangan Setan Berjubah tadi!"
seru Gajah Limbung sambil bersungut-sungut. Dengan
tak menanti jawaban dari orang-orang yang sedang bingung itu segera Gajah Limbung meloncat pergi dan sebentar kemudian tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
Sementara itu Pendeta Selotirto telah sembuh kembali dari lukanya. Segera ia ikut memeriksa keadaan
Narapati. "Luka tak berbahaya. Sukurlah tadi Suronggongkoro
cepat turun tangan. Kalau tidak..., ah... pasti nyawanya
telah melayang," seru Pendeta Selotirto.
"Kakang, karena tokoh-tokoh besar telah turun tangan untuk mencari pedang-pedang itu, maka sudah
tak ada harapan bagi kita untuk mendapatkannya," seru Narantaka dengan putus asa.
"Mungkin betul juga pendapatmu tadi, Adi," jawab
Pendeta Selotirto. "Ah, kalau begitu apa gunanya kita mencarinya" Marilah kita pulang saja," seru Narasoma.
"Marilah, Adi!" jawab pendeta Selotirto.
"Angger Baskara dan kau Angger Tunggul Wulung,
kalau kalian mau mari ikut aku ke Padepokan Merbabu," ajak Pendeta Selotirto.
"Terima kasih, Bapa, tetapi aku harus tetap mencari
kedua pedang mustika itu," jawab Baskara dan Tunggul
Wulung serentak. "Eh..., mengapa engkau berkeras hati untuk memilikinya, Angger?" tanya Pendeta Selotirto.
"Kami bukannya gila dengan pedang itu, Bapa, tetapi
aku amat kuatir kalau pedang itu terjatuh ke tangan
orang jahat, maka akibatnya akan membahayakan
keamanan dunia persilatan," jawab Baskara.
"Ah, sungguh luhur cita-citamu itu, Angger. Semoga
saja kau berhasil mendapatkannya. Nah, Angger, kau
terimalah kitab pelajaran ilmu pedang ini," seru Pendeta
Selotirto sambil mengangsurkan sebuah kitab yang berwarna hijau.
"Bapa, mengapa Bapa memberikan kitab yang amat
berharga ini kepadaku?" tanya Baskara.
"Terimalah, karena kukira kaulah orangnya yang patut mewarisi isi kitab ini," seru Pendeta Selotirto.
"Betul, Angger Baskara, terimalah kitab itu. Kau
sangat beruntung dapat menerima kitab itu, sebab kami
sendiri belum beruntung untuk mempelajari ilmu itu,"
seru Narantaka. "Bapa, kukira lebih baik kalau kitab ini biar dipelajari oleh para paman ini saja. Bukankah dengan demikian
sama saja kalau kita menambah kemampuan ksatriaksatria penegak keadilan?" tanya Baskara.
"Tidak bisa, Angger Baskara, sebab mereka telah berjanji kalau tak akan mempelajari ilmu pedang ini," seru
Pendeta Selotirto. "Mengapa begitu?" sela Tunggul Wulung.
"Sebab mereka telah mewarisi ilmu pedang keluarga
Nara yang aku pun tak boleh mewarisi. Jadi terangnya
dia telah mewarisi ilmu pedang daripada paman Naraludira. Paman Naraludira itu adalah paman guruku dan
bapa dari adik-adikku ini," jawab Pendeta Selotirto menjelaskan.
"Kalau begitu, baiklah, Bapa. Tetapi aku mohon ijin
kalau adik seperguruanku ini supaya diperkenankan
ikut mempelajari isi kitab ini," seru Baskara.
"Terserah kepadamu, Angger!" jawab Pendeta Selotirto.
"Terima kasih, Bapa!" jawab Baskara dan Tunggul
Wulung serentak. "Eh, Angger Baskara dan kau Angger Tunggul Wulung, sebenarnya kau ini murid siapakah?" tanya Narasoma.
"Paman, kami yang bodoh ini adalah murid dari Bapa Sentika, yang bergelar Mliwis Putih," jawab Baskara.
"Ah..., pantas... pantas..., gurunya singa muridnya
pun harimau," seru Pendeta Selotirto sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bagus, Kakang. Ternyata kau tak salah pilih dalam
menurunkan ilmu pedang itu," seru Narayana kepada
kakak seperguruannya. "Ah, Angger, besok kalau kalian lewat di Gunung
Merbabu kuharap supaya sudilah kau mengunjungi
tempatku," seru Pendeta Selotirto dengan ramah.
"Betul, Angger!" seru Narapati.
"Baik, Bapa, dan para paman, besok kalau tugasku
telah selesai aku pasti akan mengunjungi kalian," jawab
Tunggul Wulung. "Nah, Kakang, marilah kita pulang," seru Narantaka.
"Baik, Adi. Mari, Angger Baskara dan kau Angger
Tunggul Wulung!" jawab Pendeta Selotirto.
"Baik, Bapa. Sampai bertemu kembali," seru Baskara.
"Selamat berjuang, angger berdua," seru Narayana.
"Selamat jalan, para paman."
Setelah berkata demikian maka berkelebatlah Pendeta Selotirto dan adik-adiknya lari menuju ke luar gua.
"Kakang, ke manakah tujuan kita sekarang?" tanya
Tunggul Wulung. "Mari, Adi, kita periksa terus keadaan dalam gua ini,"
jawab Baskara sambil mengajak adiknya terus melakukan pemeriksaan.
Kini keduanya makin lama makin memasuki mulut
gua yang makin sempit itu. Tetapi betapa kecewanya setelah mereka ketahui kalau ternyata gua itu adalah gua
buntu. "Oh... Adi, rupa-rupanya bukan gua ini yang kita cari
selama ini," seru Baskara.
"Mungkin, kakang!" jawab Tunggul Wulung.
"Mari, Adi, kita cari gua lain!" ajak Baskara.
"Tetapi, Kakang, apakah tidak lebih baik kalau kita
mempelajari isi kitab itu?" tanya Tunggul Wulung.
"Waktu untuk mempelajari isi kitab ini masih banyak, Adi!" jawab Baskara.
"Tetapi untuk mencari kedua benda pusaka itu kita
harus mempunyai bekal kepandaian yang tinggi. Biarpun kita telah diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh
Bapa Guru, tetapi kukira tak ada jeleknya kalau kita
tambah dengan ilmu pedang yang tertulis dalam kitab
pemberian Bapa Selotirto tadi, Kakang. Sebab makin
bertambah majunya ilmu pedang kita, makin besarlah
harapannya untuk mendapatkan pedang-pedang mustika itu," seru Tunggul Wulung menguraikan pendapatnya.
"Ah... pendapatmu itu betul juga, Adi. Kalau begitu
marilah kita mencari tempat yang enak untuk mulai
mempelajari isi kitab ini dulu," ajak Baskara.
Mendengar perkataan kakak seperguruannya ini bukan main senang hatinya Tunggul Wulung. Segera ia
menjawab, "Mari, Kakang."
Kini keduanya pergi menuruni Gunung Lawu itu.
Sebentar saja Baskara dan Tunggul Wulung telah merupakan dua buah titik kecil. Tak lama kemudian kedua
titik itupun hilang. Sekarang kita tinggalkan dulu Baskara dan Tunggul
Wulung yang sedang mencari tempat melatih ilmu pedang yang mereka terima dari kitab Pendeta Selotirto
tadi. *** Desa Mantingan adalah suatu desa yang terkenal
subur, makmur, gemah ripah loh jinawi. Penduduk hidup rukun tenang dan damai. Setiap pagi tentu kelihatan para penduduk sedang sibuk mengolah sawah.
Anak-anak kecil dapat menggembala ternaknya dengan
aman. Pokoknya dapat dikatakan kalau desa itu telah
jauh dari segala macam kejahatan. Tetapi akhir-akhir
ini di desa yang subur makmur itu tampak sepi dan
penduduk hidup dalam ketakutan. Sebab beberapa hari
ini desa yang biasanya aman tenteram itu telah kedatangan seorang penculik yang sangat kejam.
Setiap malam tentu penculik itu datang dan mengambil seorang anak gadis dari desa itu. Karena kejadian itulah maka para penduduk desa itu tak dapat tenteram. Lebih-lebih di waktu malam. Kebanyakan orangorang tua yang mempunyai anak gadis tak dapat tidur.
Penjagaan di desa itupun telah diadakan dengan rapat sekali. Di setiap tikungan atau tempat-tempat yang
gelap tentu tampaklah beberapa orang penjaga malam.
"Kakang, telah berapa banyak anak gadis Mantingan
sini yang telah diculik?" tanya seorang penjaga kepada
penjaga yang lain. "Entahlah, Adi! Tetapi kalau menurut pendapatku telah lebih dari sepuluh orang," jawab orang yang ditanya
tadi. "Sepuluh" Ah terlalu...! Siapa sih penculiknya itu?"
tanya yang lain lagi. "Entahlah, Adi, sebab penculik itu hanya meninggalkan gambar Tengkorak Hitam saja pada dinding kamar
gadis yang diculiknya. Ah... Adi, memang pandai sekali
penculik itu kalau memilih tempat mangsanya," seru
yang ditanya. "He... Kakang, lihatlah Pak Lurah ikut menjaga!" seru
salah seorang penjaga itu.
"Selamat malam!" seru mereka serempak.
"Selamat malam!" jawab Pak Lurah yang baru datang
itu. "Bagaimana, Pak, keadaan pos lainnya?" tanya kepala penjaga itu.
"Aman! Rupa-rupanya penculik itu tak berani datang
malam ini! Dan teruskan kalian jaga, sebab aku akan
meninjau ke pos penjagaan lain," seru Pak Lurah.
"Baik, Pak!" jawab mereka serempak.
Setelah itu pergilah Pak Lurah meninggalkan rombongan para penjaga itu. Tetapi setelah kira-kira sepenanak nasi lamanya Pak Lurah meninggalkan rombongan penjaga itu tiba-tiba terdengarlah teriakan dari arah
penjaga yang lain, "Penculik datang...! Penculik datang...! Tangkap penculik...! Tangkap penculik...!" seru
peronda-peronda itu. "Kakang, mari kita ikut mengejar!" seru mereka yang
berada di pos yang baru saja ditinjau Pak Lurah.
Tetapi rupa-rupanya penculik itu mempunyai kepandaian meringankan tubuh yang tinggi dan lari cepat
yang baik, maka sebentar saja penculik itu dapat melarikan diri dan lolos dari pengejaran orang-orang Desa
Mantingan. Penculik itu terus lari menuju keluar desa.
Dan ternyata di luar Desa Mantingan ia telah ditunggu
oleh seorang yang juga memakai topeng yang bergambar
Tengkorak Hitam. "Nih, Adi, lekas kaubawa lari, sebab para penjaga terus mengejar kemari," seru penculik itu sambil menyerahkan gadis yang baru saja diculiknya itu kepada
orang yang sudah menunggunya tadi.
"Baik, Kakang! Ah betapa senangnya hati Ki Lurah
kalau melihat hasil kita ini. Nah, Kakang, baik-baik sajalah kau menjaga diri dan selamat tinggal sampai besok malam," seru orang tadi sambil melesat pergi.
Setelah mengetahui kalau kawannya telah melesat
pergi, segera orang yang memakai topeng tengkorak hitam itu melesat ke arah kegelapan. Dan tak antara lama
sampailah para pengejar itu. Namun apa daya" Mereka
telah kehilangan jejak dari penculik gadis itu.
"Kakang, marilah kita pulang ke kelurahan saja!" seru seorang penjaga yang bertubuh pendek gemuk.
"Baik, Adi, marilah kita laporkan hal ini kepada Pak
Lurah," jawab orang yang diajak bicara tadi.
Kini kembalilah rombongan penjaga itu ke kelurahan. Dan di sana mereka mendapatkan Pak Lurah sedang tidur dengan nyenyaknya. Segera salah seorang
dari mereka itu membangunkan.
"Heh... ada apakah kalian ribut-ribut di sini" Bukankah kalian malam ini bertugas di pos sebelah barat?"
tanya Pak Lurah sambil menggosok-gosok matanya.
"Betul, Pak Lurah! Kami dari pos sebelah barat akan
melaporkan bahwa baru saja penculik itu datang lagi...!"
"Apa, penculiknya datang lagi"!" potong Pak Lurah
dengan kaget. "Betul, Pak Lurah! Bahkan bangsat itu telah berhasil
menculik Jumirah anak Pak Karto," jawab penjaga yang
bertubuh pendek gemuk tadi.
"Jumirah anak Pak Karto diculik"!" tanya Pak Lurah
dengan nada kurang percaya.
"Betul, Pak Lurah!"
"Bangsat!" desis Pak Lurah sambil menundukkan kepala.
"Baiklah, nanti malam kita jaga desa ini dengan
kuat," seru Pak Lurah dengan geram.
"Baik, Pak! Tetapi rupa-rupanya penculik itu mempunyai ilmu siluman, Pak. Masakan larinya bagaikan
angin saja. Dan ia dapat menghilang rupa-rupanya," seru penjaga itu.
"Biar dia mempunyai ilmu seperti siluman tetapi tetap harus kita tangkap. Nah, panggillah para penjaga
lainnya biar kita bicarakan hal penjagaan ini sekarang
juga," seru Pak Lurah sambil menyuruh seorang peronda untuk memanggil yang lainnya.
"Baik, Pak!" jawab orang yang disuruhnya tadi. Segera orang yang disuruh Pak Lurah itu pergi dan sesaat
kemudian ia telah datang kembali dengan beberapa
orang dari pos-pos lainnya.
"Mari, mari, saudara-saudara, kita duduk dan kita
bicarakan tentang penjagaan nanti malam," seru Pak
Lurah sambil mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
"Baik, Pak Lurah!" jawab mereka serempak.
"Begini, saudara-saudara, mulai nanti malam kita
akan menjaga Desa Mantingan sini dengan lima buah
pos penjagaan. Yang empat seperti biasa di tiap ujung
desa dan yang satu kita adakan di tengah-tengah desa.
Jadi sewaktu-waktu penculik itu datang tentu kedudukannya telah terkepung oleh para penjaga kita! Setujukah kalian dengan pendapatku ini?" seru Pak Lurah
bertanya. "Setuju... setuju...!" jawab mereka serempak.
"Nah, kalau kalian setuju, maka baiklah kalau kita
istirahat dulu dan besok malam kita mulai berjaga lagi!"
seru Pak Lurah sambil membubarkan pertemuannya.
"Baik, Pak Lurah, sampai berjumpa lagi besok malam," seru mereka sambil meninggalkan kelurahan.
"Ah... sungguh beruntung kita mempunyai lurah
yang sangat rajin dan memikirkan nasib rakyat ini, Kakang!" seru penjaga yang baru pulang dari kelurahan
tadi. "Memang, Adi, selain rajin dan memikirkan nasib rakyat dia juga sangat bertanggung jawab kepada rakyat.
Coba saja kaulihat, setiap orang yang tertimpa kemalangan mesti ditinjau dan dihiburnya. Contohnya, waktu Minem anak Pak Wongso diculik dulu ia datang ke
rumah Wongso dan diberinya sekedar uang dan tak lupa Pak Lurah menghiburnya."
"Betul, Kang, memang dia orang yang baik hati. Nah,
aku pulang dulu." "Silahkan, Adi!" seru orang yang diajak bicara tadi
sambil meneruskan perjalanannya.
Siang itu Desa Mantingan kelihatan sunyi. Orangorang sedang bersedih dan hidup ketakutan. Penduduk
jarang sekali yang keluar rumah kalau tak perlu sekali.
Apalagi gadis-gadis. Mereka sedang mengurung diri di
rumah karena ketakutan. Pada waktu itu kelihatanlah sebuah warung yang sedang ramai dikunjungi oleh para pembeli. Tetapi anehnya, dari kesekian banyak pembeli itu hanya ada seorang gadis saja yang sedang makan di warung itu. Betapa marahnya hati wanita itu ketika ia mengetahui kalau
semua mata itu memandang ke arahnya.
"Hai... apakah di sini tidak ada wanita?" seru gadis
itu sambil memandang ke arah tukang kedai itu.
"Banyak, banyak..., mengapa kau menanyakan hal
yang seaneh itu, anak muda?" jawab tukang kedai.
(Bersambung jilid III) SEPASANG PEDANG MUSTIKA Karya: Wahyu Mulyana Penerbit: CV Gema " Solo, 1979
Scan/Edit: Clickers PDF: Abu Keisel JILID III "MENGAPA orang-orang itu memandangku dengan
demikian?" kembali gadis itu bertanya.
"Oh... maaf... maaf, anak muda! Bukannya kami ini
akan kurang ajar kepadamu, tetapi kami betul-betul
kagum atas keberanianmu ini. Kau benar-benar berani
sekali, anak muda. Tetapi apakah kau ini bukan anak
sini?" tanya orang tua yang juga sedang membeli di situ.
"Betul, Bapa! Mengapakah kau mengatakan aku terlalu berani" Apakah gadis-gadis di sini tak berani keluar
rumah?" tanya gadis itu.
"Betul, betul, anak muda! Gadis di sini tak berani keluar rumah, sebab mereka takut kepada Tengkorak Hitam!" jawab orang itu.
"Apa" Tengkorak Hitam" Siapakah Tengkorak Hitam
itu?" tanya gadis itu dengan heran.
"Ah... Tengkorak Hitam adalah seorang penculik gadis di desa ini. Bahkan tiap malam ia berhasil menculik
seorang gadis. Karena munculnya Tengkorak Hitam ini
maka gadis-gadis di Desa Mantingan ini tak berani keluar kalau tidak sangat terpaksa," seru orang tua itu lalu menceritakan keadaan desa itu yang sedang diganggu oleh perusuh.
Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bangsat! Kejam...! Biar, Bapa, nanti malam aku
akan berusaha menangkap penculik busuk itu!" seru
gadis yang berada di warung itu dengan marah yang
meluap-luap. "Apa" Kau akan menangkap penculik yang berilmu
siluman itu" Jangan, anak muda! Kuperingatkan supaya kau lekas pergi saja dari desa ini, sebab janganjangan kau yang akan diculiknya nanti," seru orang tua
itu memperingatkan. "Siapakah namamu, anak muda?" tanya pemilik warung itu. "Aku Ambarsari! Nah, ijinkanlah, Bapa, aku bermalam di warung ini. Semoga aku dapat meringkus penjahat itu," jawab Ambarsari dengan sikap tenang.
"Sekali lagi, Angger, janganlah kaupandang rendah
penculik yang sakti itu," seru orang tua tadi memperingatkan.
"Terima kasih, Bapa, atas segala perhatianmu kepadaku. Tetapi aku Ambarsari tak dapat berpeluk tangan
saja melihat kejahatan merajalela. Biarpun untuk itu
aku harus berkorban nyawa aku tak takut. Nah, sekarang ijinkanlah aku melepaskan lelah dahulu," seru
Ambarsari. "Kalau itu sudah menjadi kehendakmu maka baiklah, anak muda. Semoga kau tetap dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan semoga kehendakmu yang
luhur itu terlaksana," seru orang tua itu dengan terharu.
Malam harinya.... Setelah para penduduk siap sedia di posnya masingmasing mulailah mereka siap sedia untuk menghadapi
penculik perawan itu. Tetapi setelah menanti lama sekali, belum juga ada tanda-tanda kalau penculik itu akan
datang. Hingga fajar hampir menyingsing pun belum
ada tanda-tanda kalau penculik itu datang.
Karena fajar hampir menyingsing, maka berserulah
Pak Lurah, "Saudara-saudara, karena fajar hampir menyingsing dan kulihat tak ada tanda-tanda kalau penculik itu akan datang, maka baiklah kalau penjagaan
malam ini kita akhiri sekian saja. Dan mulai besok malam kita berjaga lagi. Bagaimanakah pendapat saudarasaudara tentang usulku ini?"
"Yah... setuju... tak mungkin dia berani datang di
waktu fajar," jawab mereka serempak.
"Nah, kalau begitu selamat berpisah sampai bertemu
kembali nanti malam," seru Pak Lurah sambil melangkah pulang. Begitupun para peronda lainnya, mereka
segera pulang ke rumahnya masing-masing.
Tetapi apa yang terjadi" Sesaat setelah mereka pulang, tiba-tiba muncullah seorang yang bertopeng hitam
berlari-lari di atas genteng. Dan tak lama kemudian
orang yang bertopeng itu telah meloncat turun ke dalam
rumah salah seorang penduduk. Tapi tadi sebelum ia
turun ke dalam rumah tampaklah ia merentangkan kedua tangannya dan menghadap ke arah rumah yang
akan dimasukinya. Setelah sesaat lamanya orang bertopeng itu masuk,
maka muncullah seorang yang berpakaian hitam-hitam
pula dari balik kegelapan.
"Hem... sirep!" desis pendatang yang terakhir itu.
Maka tampaklah kalau pendatang yang akhir itupun
menyilangkan kedua belah tangannya dan kemudian
mengusap mukanya dengan kedua belah telapak tangannya sendiri. Setelah melakukannya segera ia kembali menghilang ke dalam kedelapan.
Tak antara lama dari hilangnya tubuh yang datang
terakhir itu tampaklah orang yang bertopeng tadi keluar
dari dalam rumah dengan membopong seorang gadis.
Tapi sebelum orang bertopeng itu dapat melarikan
diri tiba-tiba terdengarlah suara orang membentak,
"Penculik hina, lekas kaubebaskan gadis itu!"
Bukan main kagetnya hati penculik itu. Siapakah
orang yang berdiri di hadapannya ini" Tentu setidaktidaknya ia seorang sakti, karena ia telah berhasil membebaskan diri dan pengaruh sirep yang disebarnya.
"Siapa kau"!" seru penculik itu dengan balas membentak.
"Ha... ha... ha... penculik hina, tentu kau ketakutan
kalau mendengar namaku. Maka dari itu tak usah aku
memperkenalkan namaku kepadamu," jawab orang
yang memakai pakaian hitam-hitam tadi sambil mencabut pedangnya. Setelah berhenti sebentar maka ia meneruskan perkataannya, "Mengapa kau tak mencabut
senjatamu" Apakah kau rela memberikan lehermu kepadaku?"
"Bangsat bermulut lancang, majulah kau! Hendak
kulihat seberapa kepandaianmu yang telah kaugunakan
untuk berlaku sombong di hadapan Tengkorak Hitam,"
seru penculik itu sambil mencabut goloknya.
"Bagus, majulah kau, penculik hina," ejek orang
yang berpakaian hitam itu.
"Huh, kau yang menghadangku mengapa tak berani
turun tangan lebih dahulu?" ejek Tengkorak Hitam, setelah ia mengetahui kalau yang menghadangnya adalah
seorang wanita yang cantik. Memanglah yang menghadang Tengkorak Hitam ini adalah Ambarsari.
Mendengar ejekan ini segera Ambarsari menerjang
dengan pedangnya. Namun Tengkorak Hitam bukanlah
seorang yang berkepandaian rendah. Segera ia menghindarkan serangan pedang lawannya. Makin lama pertempuran kedua orang itu makin menjadi seru. Ilmu
pedang Ambarsari memang luar biasa hebatnya. Memanglah tidak mengherankan kalau Ambarsari mempunyai ilmu yang hebat, sebab ia adalah murid tunggal
dari Anggraeni atau Si Dewi Bayangan. Maka dari itu
kepandaiannya sangat mengagumkan.
Melihat kehebatan lawannya ini, maka Tengkorak Hitam mencabut senjatanya dan meletakkan gadis yang
diculiknya tadi. Ternyata senjata Tengkorak Hitam itu
adalah sepasang pedang. Sepasang pedang di tangan
Tengkorak Hitam menyambar-nyambar ke arah tubuh
lawan dan juga tiap kali pedang Ambarsari kena disampok oleh sepasang pedang Tengkorak Hitam itu.
Tapi gadis ini mempunyai keberanian yang sangat
mengagumkan sekali dan tiap kali ia mengayunkan pedangnya tentu disertai pula dengan pengerahan tenaga
dalam untuk memperkuat senjatanya dan serangannya.
Hingga tiap kali pedang Ambarsari bertemu dengan pedang Tengkorak Hitam maka tangan Tengkorak Hitam
itu akan merasa tergetar. Selain itu Ambarsari sebagai
murid dari Dewi Bayangan juga memperlihatkan kegesitannya dengan jalan mengelakkan seluruh serangan lawannya dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat tinggi. Sedangkan
jurus-jurus yang berbahaya selalu dikeluarkan oleh
Ambarsari hingga membuat Tengkorak Hitam merasa
terkejut. Sementara mereka sedang bertempur dengan hebatnya datanglah para penduduk yang mendengar peraduan senjata mereka. Hingga sebentar saja Ambarsari
dan Tengkorak Hitam telah menjadi tontonan orang sedesa. Melihat kejadian ini mengeluhlah hati Tengkorak
Hitam. Karena perasaannya ini maka Tengkorak Hitam
menjadi kendur pertahanannya. Dan kesempatan inilah
yang dipergunakan oleh Ambarsari untuk memperhebat
serangannya dan tak lama kemudian terdengarlah bentakan Ambarsari, "Lepaskan pedang!"
Bersama dengan seruan itu terdengarlah suara...
trang... trang... dan ternyata kedua pedang yang dipegang oleh Tengkorak Hitam itu terlepas dari tangannya, dan rupa-rupanya Ambarsari tak berhenti sampai
di situ saja, dengan cepat ia menggerakkan tangannya,
dan berhasil menotok jalan darah di dada, hingga Tengkorak Hitam menjadi kaku bagaikan sebuah patung.
Melihat ini, bersoraklah para penduduk Desa Mantingan. "Bunuh saja penculik gadis ini...! Bunuh penjahat cabul....! Buka kedoknya supaya kita tahu siapa
orang yang menjadi penjahat itu...!"
"Sabarlah, saudara-saudara! Marilah kita buka bersama-sama siapa yang menjadi Tengkorak Hitam ini!
Dan lagi kita tanyakan kepadanya mengapa ia menculik
gadis-gadis itu," seru Ambarsari dengan lantang.
"Hayo kita buka saja kedoknya! Lekas!" teriak mereka dengan tak sabar.
"Lihat baik-baik, saudara-saudara!" seru Ambarsari
sambil membuka topeng yang menutupi muka Tengkorak Hitam itu.
"Ahhhhh....!" seru mereka serempak.
Betapa terkejutnya hati para penduduk Desa Mantingan setelah mengetahui kalau yang menjadi Tengkorak Hitam itu adalah lurah mereka sendiri. Ya... lurah
yang sangat dihormati dan disegani oleh para penduduk
itu. Lurah yang dipujanya sebagai seorang yang baik
hati itu ternyata Tengkorak Hitam sendiri yang membikin kacau dan perusuh Desa Mantingan. Melihat keadaan ini maka makin marahlah hati para penduduk.
"Bunuh saja lurah keparat ini!" teriak mereka.
"Benar, bunuh saja! Pantas rahasia kita selalu terbongkar dan pandai sekali Tengkorak Hitam itu mencari
tempat dan waktu untuk mencari korban, tidak tahunya yang menjadi bangsat itu lurah kita sendiri!" gerutu salah seorang yang telah tua sambil meludahi muka Tengkorak Hitam.
"Biar, saudara-saudara, kita tanya dulu kepada lurah laknat ini!" seru Ambarsari kepada penduduk.
"Ampun pendekar, kami hanya disuruh saja!" jawab
Pak Lurah dengan nada minta dikasihani.
"Siapa yang menyuruhmu"!" Kembali Ambarsari
membentak. "Tengkorak Hitam sendiri." jawab Pak Lurah.
"Tengkorak Hitam" Bukankah Tengkorak Hitam itu
kau sendiri?" seru Ambarsari sambil mengerutkan keningnya.
"Bukan... bukan... bukan aku, pendekar!"
"Hayo, lekas kaujawab!" bentak murid Dewi Bayangan. "Ba... ba... baik.... Sebetulnya Tengkorak Hitam itu
adalah sebuah perkumpulan. Dan setiap anggotanya
mempunyai topeng itu. Yang menjadi ketuanya aku
sendiri tidak tahu, sebab ia hanya menamakan dirinya
sebagai Tengkorak Hitam. Dan tinggalnya di Hutan Morosingit di daerah Rembang... dan... akh..." Tiba-tiba
Pak Lurah menghembuskan napas terakhir karena sebuah pisau menancap di dadanya. Dan pada tangkai pisau itu terdapat sebuah gambar Tengkorak Hitam.
"Bangsat licik! Mereka sampai hati membunuh kawannya sendiri," gumam Ambarsari.
"Biar bangsat itu mati oleh kawannya sendiri! Untung saja dia telah mati. Kalau tidak, kami akan bimbang untuk membunuhnya, sebab ia adalah lurah yang
baik tetapi dia juga yang membuat kami menjadi sengsara. Maka dari itu lebih baik kalau lurah ini mati dalam tangan kawannya sendiri," seru salah seorang dari
penduduk. "Nah, saudara-saudara sekalian, rawatlah mayat lurah ini, dan aku akan pergi ke Hutan Morosingit untuk
menumpas habis gerombolan Tengkorak Hitam itu." Dengan tak menanti jawaban segera Ambarsari meninggalkan para penduduk Desa Mantingan. Dan sebentar
saja ia hilang dari pandangan mata.
Para penduduk melihat kepergian Ambarsari yang
sedemikian cepatnya itu menjadi terlolong karena kagum.
"Bukan main... bukan main...!" seru mereka dengan
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tetapi para penduduk lalu menyelesaikan tugasnya
untuk mengubur jenasah lurah mereka yang berkhianat
itu. *** Setelah meninggalkan para penduduk Desa Mantingan, segera Ambarsari menuju ke Hutan Morosingit untuk mencari ketua dari gerombolan Tengkorak Hitam.
Di dalam hatinya ia berjanji bahwa akan membasmi
sampai seakar-akarnya gerombolan yang pekerjaannya
hanya menculik gadis-gadis itu saja.
Karena jarak antara Mantingan dengan Hutan Morosingit itu dekat saja, maka sampailah murid Dewi
Bayangan itu ke Hutan Morosingit. Dengan-diam-diam
dan sangat hati-hati sekali Ambarsari mulai mencari di
mana para gerombolan itu bersarang.
Setelah dicarinya dengan teliti, maka berhasillah
Ambarsari menemukan sarang dari Tengkorak Hitam
itu. Di suatu lembah yang cukup curam tampaklah kalau ada beberapa orang yang sedang bercakap-cakap.
Melihat orang-orang ini segera Ambarsari meloncat di
balik semak dan mendengarkan apa percakapan mereka.
"Kang, mengapa hari ini Lurah Mantingan tidak menyetorkan seorang gadis kepada Ki Tengkorak Hitam?"
"Entahlah! Mungkin keadaan tidak memungkinkan
untuk menculik di desanya," jawab orang yang ditanya.
"Ah, betapa gembiranya besok kalau kita telah menerima pelajaran Sandung Ludiro dari Ki Tengkorak Hitam."
"Ah, kalau aku tak begitu suka menerima ilmu Sandung Ludiro itu. Sebab aku merasa tak sampai hati kalau harus menghisap darah seorang gadis. Apalagi
menghisap paling sedikit tiga puluh orang. Coba
bayangkan" Aku betul-betul ngeri, Adi," jawab orang
yang lebih tua itu sambil memejam-mejamkan matanya.
"Ah, kau terlalu lemah, Kakang! Bukankah kau juga
ingin mempunyai kesaktian?" seru yang lain dengan heran.
"Memang aku ingin pula menjadi orang sakti, tapi
kalau harus menghirup darah orang, aku tak mau. Biar
aku menjadi orang biasa saja daripada mencelakai gadis-gadis lemah itu."
Mendengar percakapan kedua orang itu, meremanglah bulu kuduk Ambarsari. Bukannya ia merasa takut,
tetapi ia merasa sangat marah dan terkejut sekali mendengar ada orang yang mau melakukan hal yang sangat
terkutuk itu. Maka dari itu segera ia akan meloncat turun dan membasmi kejahatan yang sedang merajalela
itu. "Bangsat rendah, terimalah hari kematianmu!"
Betapa terkejutnya hati kedua orang itu setelah
mengetahui kalau ada seorang gadis yang melayang turun dengan sedemikian ringannya. Tetapi perasaan terkejut itu hanya sebentar saja berkecamuk di dalam dada kedua orang anggauta Tengkorak Hitam itu.
Setelah mereka berhasil menenangkan hatinya segera ia balas membentak, "Gadis gila, siapa kau"!" bentak
orang yang lebih muda. "Aku Ambarsari! Nah, bersedialah kalian untuk menerima kematian!" seru Ambarsari sambil menggerakkan pedangnya. Melihat lawannya telah menghunus pedangnya, segera kedua orang anak buah Tengkorak Hitam itu mengeluarkan senjatanya masing-masing. Orang yang lebih tua mengeluarkan sebuah rantai yang
ujungnya diberi bandul besi, dan yang lebih muda telah
memegang sebatang golok. Setelah mereka saling berhadapan, maka mulailah
orang yang bersenjata golok itu menyerang Ambarsari.
Tetapi dengan gesit murid Dewi Bayangan dapat menangkis dan balas menyerang leher lawannya. Tapi sebelum Ambarsari berhasil membabat leher lawan, tibatiba terdengarlah... trang...! Ternyata pedang Ambarsari
terpental ketika bertemu dengan rantai yang berbandul
besi itu. Makin lama pertempuran ketiga orang itu makin hebat dan ramai. Satu sama lain saling berusaha
untuk merobohkan lawannya dengan secepat-cepatnya.
Biarpun Ambarsari dikeroyok dua oleh anak buah
Tengkorak Hitam, tetapi ia masih dapat menguasai gelanggang pertempuran. Biarpun untuk dikatakan kalau
ia telah berhasil mendesak lawan itu belum dapat, tetapi lawannyapun tak dapat mendesak gadis yang lincah
dan gesit ini. Senjata-senjata lawan-lawannya itu benarbenar amat berbahaya sekali. Terutama rantai yang
berbandul besi itu. Sebab lawannya yang tua ini memiliki tenaga dalam yang lebih tinggi daripada tenaga dalam yang dimiliki oleh lawan yang satunya. Maka dari
itu segera ia menyerang lawannya dengan hebat sekali
dan sangat berhati-hati. Wessstttt... tiba-tiba golok lawannya menyambar perut. Untunglah ia cepat melompat ke udara hingga golok
lawannya hanya lalu di bawah kakinya saja. Trang...
wesssttt... trang...! Benturan senjata dan angin tajam
yang sambar-menyambar itu saling bergantian bunyinya.
Tiba-tiba saja Ambarsari telah merubah cara perlawanannya. Sekarang ia tak menggunakan tenaga lagi
tetapi ia mengandalkan kegesitannya, hingga sebentar
saja tubuhnya telah hilang ditelan sinar pedangnya
sendiri. Melihat ini makin kagumlah hati kedua orang
lawannya. Kini kedua anak buah Tengkorak Hitam itu benarbenar kehilangan lawannya. Hingga mereka merasa bagai sedang menghadapi puluhan musuh saja. Bahkan
setelah Ambarsari makin memperhebat serangannya,
kedua orang lawannya hanya berdiri dengan bengong
saja saking kagumnya. Mereka meleletkan lidahnya dan
tak tahu di mana musuhnya tadi. Mereka hanya melihat
kalau musuhnya itu berputar-putar mengelilingi. Karena itulah dengan mudah saja Ambarsari dapat menusukkan pedangnya ke arah orang yang memegang golok... trang... trang...! Ternyata pedang Ambarsari berhasil menyobek leher lawan dan memutuskan rantai
lawannya yang lain. Melihat ini pucatlah wajah lawannya yang bersenjata rantai tadi. Segera ia menjatuhkan
potongan rantainya. Sewaktu ia terheran-heran terdengarlah suara bentakan Ambarsari, "Karena perkataanmu tadi maka kau
kuampuni. Tetapi sekarang kautunjukkan di mana ketuamu bersembunyi!"
"Maafkan pendekar yang gagah, kami tak tahu ke
mana perginya ketua kami itu," jawabnya.
"Jangan kau membohong! Awas, sekali saja kau
membohong maka pedangku ini tak akan mengampuni
jiwamu lagi," ancam Ambarsari.
"Betul, aku tak membohong. Andaikata kau ingin
menemui ketua kami, maka kautunggulah di sini, sebab
tak lama lagi tentu mereka datang."
"Baiklah, aku akan menunggu mereka," jawab Ambarsari sambil duduk di atas batu.
Melihat kalau bekas lawannya ini duduk, maka bingunglah orang tua tadi. Akan duduk ia merasa sungkan, akan pergi takut. Maka dari itu hatinya menjadi
bingung dan gelisah. Tetapi rupa-rupanya Ambarsari mengetahui kesulitan orang tua itu. Dan karena perkataan orang tua itu
maka Ambarsari tak begitu memusuhi orang tua ini.
Maka segera ia berseru, "Duduklah di sini!"
Mendengar ini segera ia menganggukkan kepalanya
dan langsung duduk, tetapi sebentar kemudian terdengarlah suaranya, "Bolehkah aku mengubur jenasah
kawanku ini?" Hanya dengan menganggukkan kepalanya saja, Ambarsari menjawab pertanyaan bekas lawannya itu.
Setelah mendapat ijin, maka mulailah orang tua tadi
menggali lubang untuk menanamkan mayat kawannya.
Dan setelah mengadakan penghormatan yang terakhir,
maka kembali orang tua tadi duduk di dekat Ambarsari.
"Kau ini kulihat bukannya orang jahat! Tapi mengapa kau dapat berada di tempat ini?" Tiba-tiba Ambarsari
membuka perkataan. "Ya, aku berada di sini karena diculik mereka. Dan
tugasku di sini ini hanya sebagai tukang masak. Karena
tempat ini sering didatangi oleh musuh-musuh yang
tangguh, maka Tengkorak Hitam memberi pelajaran silat kepadaku untuk menjaga diri. Tapi ketika aku disuruh mempelajari Ilmu Sandung Ludiro, aku menolaknya, karena aku merasa tak sampai hati untuk ikut
menghirup darah seorang gadis. Dan lagi, untuk dapat
memasukkan Ilmu Sandung Ludiro itu, orang harus
menghirup darah gadis paling sedikit tiga puluh orang.
Maka dari itu aku menolaknya," jawab orang tua itu.
Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kejam... kejam...! Mereka patut dibunuh," desis Ambarsari sambil menahan marahnya.
"Bolehkah aku mengetahui nama julukanmu, pendekar muda?" tanya orang tua itu.
"Aku tak mempunyai nama julukan," jawab Ambarsari dengan singkat.
"Ah, kau anak gagah perkasa tak mempunyai nama
julukan" Biar aku orang tua akan menyebutmu dengan
Pendekar Wanita Berhati Baja, karena kau seorang wanita yang tak mengenal takut. Dan lagi, kemauanmu itu
keras sekali, sekeras baja."
Mendengar perkataan bekas lawannya ini maka tersenyumlah Ambarsari, dan lalu berkata dengan ramah,
"Terima kasih, Paman! Aku akan mempergunakan sebutan yang telah kauberikan tadi."
"Bagus... bagus... anak baik! Rupa-rupanya kaulah
yang berjodoh denganku. Nah, terimalah ini, Angger
yang gagah perkasa," seru orang tua tadi sambil menyerahkan selembar kulit kambing kepada Ambarsari.
"Apakah ini, Paman" Apa pula maksudmu dengan
perkataan jodoh tadi?" tanya Ambarsari dengan pandangan mata penuh selidik.
"Jangan takut! Terimalah, Angger. Semua orang berusaha mencari sepasang pedang mustika, mengapa kau
tak mencarinya?" tanya orang tua tadi.
"Aneh... aneh... kau juga tahu kalau jago-jago seluruh dunia persilatan ini sedang mencari pedang-pedang
mustika itu" Memang, Paman, aku tak akan ikut mencarinya, sebab telah banyak jago-jago yang lebih tinggi
dari kepandaianku ini ikut mencari. Maka dari itu, apa
gunanya aku mencarinya" Sedang guruku sendiri yang
terkenal sebagai seorang sakti itu juga tak mampu menemukannya," jawab Ambarsari.
"Jangan lekas kau berputus asa! Bolehkah aku mengetahui siapa nama gurumu yang mulia itu?" tanya
orang tua tadi. "Beliau adalah Anggraeni! Dan nama julukannya Dewi Bayangan."
Mendengar nama ini terkejutlah hati orang tua ini.
Segera ia berseru dengan kagum, "Jadi, kau murid wanita sakti itu" Pantas... pastas... kau yang muda ini juga
sakti sekali." Mendengar pujian terhadap gurunya ini senanglah
hati Ambarsari dan segera ia menjawab, "Paman, dari
tadi aku belum mengenal nama Paman. Siapakah namamu, Paman?"
"Namaku" Tak berharga kauketahui, anak gagah.
Sebab aku hanya seorang tukang masak dari gerombolan saja," jawab orang tua itu merendahkan diri.
"Tapi biarpun tukang masak kan juga mempunyai
nama!" desak Ambarsari yang mulai tertarik oleh bekas
musuhnya tadi. "Namaku Birowo," jawabnya.
"Paman Birowo! Ah, suatu nama yang bagus sekali,"
seru Ambarsari dengan girang.
"Angger Ambarsari, sekarang terimalah kulit kambing ini," seru Birowo sambil mengangsurkan kulit kambing itu.
"Terima kasih, Paman Birowo!" jawab Ambarsari
sambil menerima kulit kambing itu.
"Hati-hatilah kau menjaga kulit kambing itu, Angger.
Perhatikanlah sebaliknya kulit kambing itu dengan
sungguh-sungguh, sebab di situlah letak pedang-pedang mustika itu disimpan," seru Birowo.
"He... jadi ini, peta di mana pedang-pedang itu disimpan?" tanya Ambarsari dengan terkejut.
"Betul!" jawab Birowo sambil mengangguk"anggukkan kepalanya.
"Terima kasih, Paman!" seru Ambarsari sambil berlutut di hadapan Birowo.
"He... berdiri... berdiri...," seru Birowo sambil mengangkat-angkat bahu Ambarsari.
"Paman Birowo... aku tak mau berdiri sebelum kau
memberi maaf atas kekurangajaranku tadi," jawab Ambarsari.
"Sudah... sudah... aku sudah memaafkannya semua,
Angger," seru Birowo sambil membelai-belai rambut
Ambarsari. Setelah Ambarsari berdiri, maka tampaklah kalau
Ambarsari sedang menangis. Melihat ini terkejutlah hati
Birowo. Maka dari itu segera ia bertanya, "Mengapa kau
menangis, Angger" Hapuslah air matamu, sebab seorang gagah pantang mengeluarkan air mata."
Mendengar kata-kata Birowo ini bukannya Ambarsari menjadi diam bahkan malah bertambah keras tangisnya.
"Hem... perempuan... perempuan..., kalau kau tak
menangis kau bukan perempuan lagi namanya...," desis
Birowo. Setelah tangisnya mereda segera Ambarsari berkata,
"Paman, hampir saja aku membunuhmu, Paman. Orang
sebaik kau ini hampir kubunuh. Maka dari itu Paman,
hukumlah aku yang kurang ajar ini," serunya di selasela isak tangisnya.
"Anak baik... anak baik... kejahatan harus dibasmi!
Mengapa kau menyesal membasmi kejahatan?" seru Birowo dengan penuh perbawa.
Mendengar perkataan Birowo yang gagah ini tergugahlah semangat pendekar yang telah tertanam di dalam dadanya. Segera ia bertanya dengan hati yang penasaran, "Paman Birowo bilang kalau kejahatan harus
dibasmi, mengapa Paman yang mempunyai kepandaian
tak rendah ini tak mau membasmi gerombolan Tengkorak Hitam yang sudah terang jahat ini?"
"Ah, kau tak dapat menangkap arti perkataanku,
Angger. Aku selalu bersedia membasmi kejahatan, tetapi haruslah kita melihat kemampuan kita sendiri. Kalau
aku kausuruh membasmi Tengkorak Hitam sama saja
kau akan mengantarkan nyawa. Sebab kepandaian
yang kumiliki ini berasal dari Tengkorak Hitam. Maka
apa artinya kepandaianku ini" Bukannya aku takut mati, anak muda, tetapi aku tak mau mati dengan sia-sia
belaka. Nah, pikirkanlah perkataanku ini," seru Birowo.
Setelah keduanya terdiam sejenak maka berkatalah
Ambarsari, "Memang perkataan Paman Birowo itu benar
semuanya. Tetapi sayangnya mutiara yang indah ini terjatuh ke dalam lumpur. Tetapi, biarpun jatuh ke dalam
lumpur, mutiara tetap mutiara. Apalagi kalau sudah diambil dari dalam lumpur dan dicuci maka ia akan bertambah sinarnya."
"Bagus... bagus... kalau kau berhasil menolongku keluar dari genggaman Tengkorak Hitam ini, maka aku Birowo akan menghambakan diri kepadamu, anak muda,"
serunya. Memanglah Birowo tahu semua akan arti kata-kata
yang dikeluarkan oleh Ambarsari tadi. Maka dari itu diam-diam hatinya menjadi girang.
"Paman Birowo, aku Ambarsari, Pendekar Wanita
Berhati Baja berjanji kalau aku akan membebaskan
Paman dan membunuh mati Tengkorak Hitam yang telah melakukan banyak dosa," seru Ambarsari.
"Bagus, begitulah hendaknya, Angger!" seru Birowo.
"Paman Birowo, dari manakah Paman mendapatkan
peta ini?" tanya Ambarsari.
"Angger, peta ini kudapatkan dari kamar Tengkorak
Hitam. Tetapi peta ini bukannya peta yang asli, sebab
kalau peta yang asli kuambil maka akan ketahuan kalau petanya telah hilang. Maka dari itu aku lalu menurunnya (meniru, menyalin) dengan teliti, hingga yang
palsu dan yang asli sama. Bukankah yang perlu bukan
petanya tapi barangnya?" seru Birowo.
"Betul, Paman. Ah, ternyata Paman seorang yang hati-hati dan cerdik. Dan mengapakah Paman memberikan peta ini kepadaku?"
"Aku sudah tua dan tidak mempunyai kepandaian,
dan maksudku semula ialah akan memberikan kepada
siapa saja yang aku anggap baik dan berani mendahului Tengkorak Hitam untuk pergi mengambil pedangpedang itu. Sebab kalau pedang-pedang pusaka ini
sampai diketemukan oleh orang-orang jahat, maka akibatnya akan rusaklah dunia persilatan...."
Sebelum habis Birowo berkata tiba-tiba terdengarlah
suara orang berteriak, "Bangsat Birowo... ternyata kau
ini seorang pengkhianat rendah!"
Bersama dengan datangnya suara itu berterbanganlah jarum-jarum halus yang menyambar Birowo.
Tetapi dengan cepat Ambarsari memutar pedangnya
dan berhasillah ia memukul jatuh seluruh jarum yang
dilemparkan oleh orang yang baru datang tadi.
"Tengkorak Hitam! Dia inilah Tengkorak Hitam, Angger! Dan yang dua lainnya ialah Klabangsongo dan Baurekso," teriak Birowo.
"Bagus... bagus... Tengkorak Hitam kau menghantarkan nyawa!" seru Ambarsari sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher lawannya.
Tetapi dengan cepat Tengkorak Hitam mengelak. Dan
langsunglah Tengkorak Hitam mencabut senjatanya
yang sangat mengerikan itu. Senjata Tengkorak Hitam
ialah sebuah rantai yang di ujungnya terikat kepala bayi. Melihat ini terkesiaplah hati murid Dewi Bayangan.
Dan keduanya telah saling serang. Ambarsari yang
melihat senjata aneh ini tidak berani membacok kepala
bayi ini, sebab ia merasa kasihan kepada kepala bayi
itu, dan lagi tiap kali Tengkorak Hitam mengayunkan
senjatanya maka terdengarlah suara lengking seorang
bayi menangis. Karena suara inilah maka Ambarsari tak
sampai hati kalau mengadu senjata dengan lawannya.
Selain itu kepala bayi itu telah dilumuri dengan racun
dan di dalamnya telah diisi dengan jarum-jarum yang
mengandung racun. Adapun maksudnya ialah untuk
menahan kalau senjatanya kena gempuran senjata lawan. Maka dari itu dapat kita bayangkan kehebatan
dan kesaktian Tengkorak Hitam ini.
Melihat keragu-raguan musuhnya ini, makin senanglah hati Tengkorak Hitam. Bahkan kini Tengkorak Hitam makin menggila serangannya. Wessttt...! Kepala
bayi itu menyambar ke arah muka Ambarsari dan seakan-akan bayi itu hendak mencium Ambarsari. Ambarsari tidak mengelak tetapi pedang di tangannya itu telah
siap sedia. Setelah kepala bayi itu dekat maka tangan
kirinya yang tak memegang pedang menyambar ke arah
rantai yang dipergunakan sebagai pengikat kepala bayi
itu. Kini tampaklah kalau Ambarsari dan Tengkorak Hitam sedang tarik-menarik mengadu tenaga dalam. Masing-masing segera memeras keringat dan mengatur tenaga dalamnya ke arah tangannya. Sepemakan sirih
lamanya kedua orang itu saling tarik.
Bagi Klabangsongo, Baurekso dan Birowo hanya dapat memohon semoga jagonya masing-masing yang
mendapat kemenangan. Mereka bertiga itu seperti kena
tenaga gaib hingga masing-masing hanya berdiri dengan
bengong. Tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh teriakan
Ambarsari, "Lepaskan rantai!" Bersama dengan teriakan
itu Ambarsari mengerahkan seluruh tenaga dalamnya
untuk menarik rantai. Tetapi mendengar teriakan ini,
segera Tengkorak Hitam mempererat tarikannya, karena
tenaga dalam mereka itu ternyata berimbang, maka
akibatnya rantai itu hanya bergoyang-goyang ke sana ke
mari saja. Tetapi keduanya masih tetap memegangi rantai itu.
Sewaktu tegang-tegangnya, tiba-tiba terdengarlah teriakan Klabangsongo dan Baurekso, "Paman, biar kami
membantumu!" Mendengar ini bukan main terkejutnya hati Ambarsari dan Birowo. Tetapi keduanya tak dapat berpikir lebih jauh lagi. Sebab tahu-tahu pedang Klabangsongo telah membabat leher, dan tongkat Baurekso menyambar
ulu hati. Tetapi ketenangan Ambarsari dapatlah kita kagumi.
Sebab, datangnya serangan maut ini tidak menjadikan
murid Anggraeni menjadi gugup, tetapi dengan cepat ia
mengangkat rantai yang dipegangnya dan dipegang oleh
Tengkorak Hitam itu ke atas hingga lehernya terbebas
dari babatan pedang Klabangsongo. Untuk menangkis
tongkat Baurekso, ia menggerakkan tangan kanannya
yang memegang pedang. Melihat kegagahan lawannya ini makin marahlah hati ketiga orang pengeroyoknya ini. Tetapi sebelum ketiga
orang ini turun tangan lagi, terlihatlah kalau Birowo
yang sejak tadi berdiam diri saja sekarang telah memutar rantai yang berbandul itu menyerang Klabangsongo
dan Baurekso. "Sudah gilakah kau, Birowo?" teriak Klabangsongo
dan Baurekso bersama. Dan keduanya lalu menangkis
rantai Birowo. Trang...! Karena benturan rantai dan pedang Klabangsongo tadi, maka terlemparlah tubuh Birowo. Sambil meringis kesakitan Birowo berdiri dan siap maju lagi.
Bagaikan banteng ketaton maka Birowo memutar rantainya dengan hebat, hingga bandulnya mengeluarkan
bunyi yang mengaung-ngaung.
Menghadapi Birowo yang nekad ini sibuklah kedua
lawannya itu. Biarpun kepandaian Birowo berada di
bawah tingkatan mereka, tetapi karena serangannya
disebabkan karena marah dan nekat inilah yang membuat Klabangsongo dan Baurekso lama tak berhasil menundukkannya.
Melihat kenekadan Birowo ini terharulah Ambarsari.
Sekarang hilanglah sisa-sisa kebencian yang berada di
dalam hatinya ini. Bahkan sekarang ia malah merasa
kagum sekali atas keberanian Birowo ini. Tetapi untuk
menolong Birowo ini adalah suatu hal yang tak mungkin, sebab Tengkorak Hitam ini benar-benar seorang
musuh yang tangguh dan sukar sekali ditundukkan.
Tiba-tiba saja ia mendapat akal untuk membebaskan
Birowo dari ancaman maut itu. Dengan sekuat tenaga
Ambarsari menarik rantai itu dengan tak disangkasangka lebih dulu oleh Tengkorak Hitam, hingga hampir
saja rantai yang dipegang oleh Tengkorak Hitam itu lepas dari tangan. Namun segera Tengkorak Hitam menarik kembali rantainya dengan kekuatan penuh. Bersama
dengan tarikan itu Ambarsari melepaskan rantai yang
dipegangnya dan berkelebat menangkis pedang Klabangsongo yang kebetulan akan menyambar leher Birowo. Trang...
"Aya...!" teriak Klabangsongo.
Tetapi sewaktu Ambarsari akan menusukkan pedangnya ke arah Klabangsongo, tiba-tiba Baurekso memukul tongkatnya ke arah kepala Ambarsari dari belakang. Tetapi tiba-tiba berkelebatlah sesosok tubuh yang
menangkis tongkat Baurekso. Dan ternyata yang menangkis tongkat Baurekso tadi ialah seorang pemuda.
"Terima kasih!" desis Ambarsari, yang mengurungkan serangannya kepada Klabangsongo.
"Mari kita basmi orang-orang jahat ini!" ajak pendatang itu sambil menyerang ke arah Tengkorak Hitam.
Tanpa menanti jawaban dari si gadis itu, pemuda
yang datang-datang telah menyerang Tengkorak Hitam
itu terus melancarkan serangannya dengan dahsyat.
"Ayaaaaaa...!" seru Tengkorak Hitam dengan terkejut.
Durjana yang bersenjatakan rantai berbandulkan kepala bayi itu menjadi terkejut bukan main setelah melihat
serangan pemuda itu. Kuat, ganas dan menimbulkan
angin kencang. Namun Tengkorak Hitam ini bukanlah seorang tokoh
sembarangan saja. Namanya telah menjulang tinggi dan
menggetarkan dunia kependekaran. Ia terkenal sebagai
seorang tokoh kejam dan sangat keji.
Setelah ia berhasil menghindarkan serangan pemuda
itu cepatlah Tengkorak Hitam melompat mundur beberapa tindak dan harus membentak dengan keras, hingga suaranya berkumandang di antara lembah dan hutan lebat yang berada di sekitarnya.
"Bangsat cilik, siapakah kau yang berani mati main
gila dengan Tengkorak Hitam?"
"Bangsat gede, bukalah telingamu lebar-lebar. Aku
bernama Baskara dan aku paling benci melihat kejahatan. Nah, bersiaplah untuk terima binasa."
Mendengar perkataan Baskara ini tertawalah Tengkorak Hitam.
"Huahaaaaa... Huahaaaaaa... Huahaaaa... sesumbarmu saja besar dan lantang bagaikan dapat memecahkan besi gligen (baja). Heh, Baskara, apakah kau belum pernah mendengar nama besar Tengkorak Hitam?"
"Huh... memang banyak orang menyebut-nyebut
nama Tengkorak Hitam, akan tetapi mereka itu menyebut dengan nada muak dan benci. Dan ketahuilah kalau aku Baskarapun telah lama ingin bertemu dengan
orang yang menamakan dirinya Tengkorak Hitam, dan
terangnya, ingin membunuhnya."
"Bangsat...!" Teriak Tengkorak Hitam sambil mengayunkan rantainya hingga kembali terdengar suara
bayi yang menangis dengan sedihnya. Akan tetapi sekarang ia menemukan batunya. Pemuda yang menjadi lawannya itu bukanlah pemuda sembarangan saja.
Baskara... pemuda gemblengan Ki Sentika yang terkenal
dengan nama julukannya Mliwis Putih, seorang tokoh
besar dari selatan. Begitu melihat kalau kepala bayi itu hendak mencium pipinya, dengan cepat Baskara mengelak dan melompat mundur setapak dan kemudian memiringkan
badannya ke arah samping.
Wessss.... Kepala bayi itu menyambar dekat hidungnya, dan terciumlah bau amis yang memuakkan. Mencium bau ini, maka tahulah Baskara kalau kepala bayi
yang telah dikeringkan itu mengandung racun yang jahat sekali, dan bunyi yang menyayat hati itu terjadi karena tiupan-tiupan angin yang mengenai senjata-senjata
rahasia yang berada di dalamnya.
Menghadapi suara rintihan tengkorak bayi ini tergetar juga hati Baskara, berkali-kali pedangnya yang baru
saja dicabut itu hendak memecah batok tengkorak bayi
itu, akan tetapi setiap kali ia hendak mengayunkan pedangnya selalu saja hatinya tergetar dan perasaan tak
tega memenuhi benaknya. Melihat kalau lawannya ini telah terpengaruh oleh
suara senjatanya, maka makin giranglah hati Tengkorak
Hitam. Segera ia memperhebat serangannya hingga dengan demikian mau tak mau murid tokoh besar dari selatan itu terdesak sekali.
Akan tetapi Baskara tak menjadi gugup atau gelisah
setelah serangan lawannya ini makin gencar. Dengan
sekuat tenaga ia lalu mengumpulkan tenaga dalam dan
hawa saktinya ke arah pusar untuk menutupi semua
panca inderanya. Begitu perjaka itu telah dapat menutup semua panca
inderanya, barulah murid Mliwis Putih dapat melayani
krida Tengkorak Hitam dengan baik. Pedangnya terus
diputar dengan cepat dan bergerak cepat sekali hingga
tubuhnya hilang ditelan oleh sinar pedang.
Melihat gerakan lawannya ini terkejutlah hati Tengkorak Hitam, seakan-akan gundukan sinar pedang lawannya itu siap akan menerkam dan menggulung dirinya. Yang lebih mengejutkan hati tokoh jahanam itu ialah suara bunyi tangisan bayi itu telah tak dapat mempengaruhi jiwa lawannya.
Wesss... trang...! Bunga api berpijar ketika rantai
Tengkorak Hitam itu bertemu dengan pedang Baskara.
Begitu pedang dan rantai itu bertemu, maka tergetarlah
tangan Baskara. Akan tetapi Tengkorak Hitam merasa
tangannya bagaikan terbakar panasnya. Serasa kulitnya
terkelupas dan perih sekali.
"Bagus...!" pujinya dengan tanpa sesadarnya.
"Hem... terimalah ini...!" dengus Baskara yang terus
Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melompat ke atas dan berjumpalitan beberapa kali. Setelah ia berada di atas kepala Tengkorak Hitam lalu meliuk ke bawah dan menusukkan pedangnya ke arah
leher lawannya. Di lain saat Ambarsari sedang sibuk menghadapi keroyokan Klabangsongo dan Baurekso. Pendekar Wanita
Berhati Baja ini terus memutar pedangnya dan menghalau setiap sambaran pedang atau tongkat yang menyambar ke arah dirinya.
"Mampus kau!" serunya sambil membabatkan pedangnya ke arah leher Baurekso, sedangkan kakinya terus ditendangkan ke arah lambung Klabangsongo.
Begitu melihat kelebatnya pedang Ambarsari, maka
cepatlah Baurekso menangkis dengan tongkatnya, sedangkan Klabangsongo memapaki kaki lawan itu dengan tusukan pedang.
"Ayaaaaaaa...!" Seru Ambarsari sambil membuang
dirinya ke belakang. Hal ini dilakukan dengan jalan
meminjam tenaga lawan yang sedang berbenturan untuk membuang dirinya ke samping tadi. Melihat lawannya berjumpalitan di udara, Klabangsongo dan Baurekso mengejar dan melancarkan serangan dengan bersama-sama.
Akan tetapi murid Dewi Bayangan ini tak menjadi
gentar dan takut. Pedangnya terus diputar dengan kencang hingga merupakan kitiran (kincir) yang melindungi
tubuhnya. Sedangkan tangan kirinya memukulkan pukulan jarak jauh menuju ke kepala Klabangsongo.
Melihat pukulan jarak jauh ini cepatlah Klabangsongo mengelak dan membalas pukulan itu dengan pukulan pula... Wesstttt... daarrr...! Akibatnya Klabangsongo
tersurut mundur beberapa tindak sedangkan dirinya
sendiri melayang ke atas bagaikan dilemparkan dengan
tenaga yang besar sekali.
Sungguh indah sekali gerakan Ambarsari itu. Begitu
tubuhnya melayang ke atas ia lalu berjumpalitan dan
melayang bagaikan burung garuda yang siap menerkam
lawannya melayang turun ke bawah. Pedangnya diarahkan ke muka bagaikan paruh Jatayu (nama seekor
burung garuda dalam cerita pewayangan) yang sedang
murka. Tangan kirinya membuka dan jari-jarinya siap
mencengkeram bagaikan cakar burung rajawali.
"Bagus...!" puji Baurekso dengan kagum, akan tetapi
keponakan Tengkorak Hitam ini tak mau kalau hanya
berdiam diri saja. Secepat kilat ia menjejakkan kakinya
ke tanah dan tubuhnya melesat ke udara sambil memukulkan tongkatnya ke arah kepala Ambarsari.
Trang... trang...! Dua kali bunga api berpijar setelah
pedang dan tongkat itu bertemu. Keduanya sama-sama
terlempar di udara terapung-apung bagaikan layanglayang putus.
Sungguh berbahaya sekali bagi Ambarsari, begitu ia
melayang turun ke bumi telah disambut dengan pedang
Klabangsongo yang menerjang ke arah perutnya.
Dengan sekuat tenaga Pendekar Wanita Berhati Baja
ini lalu menangkis dengan pedangnya. Akan tetapi sayang sekali keadaannya tak menguntungkan dan akibatnya tubuhnya terlempar dan terbanting di atas tanah.
Melihat kalau lawannya telah terkapar, cepatlah Klabangsongo menusukkan pedangnya ke arah lambung si
dara yang sedang terguling itu. Akan tetapi tiba-tiba saja... Trang...!
"Aduh...!" Bersama dengan itu terdengarlah teriakan
atau tepatnya bentakan Klabangsongo.
"Gila kau, Birowo...!"
Apakah sebetulnya yang terjadi"
Begitu Pendekar Wanita Berhati Baja itu mengalami
keadaan yang kritis maka cepatlah Birowo melompat
dan berusaha menolong si dara dengan tanpa memperdulikan keselamatannya sendiri. Pedang Klabangsongo
ditangkis dengan pedangnya sendiri hingga tangannya
menjadi merah biru setelah pedangnya terbentur dengan pedang Klabangsongo.
Maklumlah, pada waktu itu Klabangsongo telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menusuk
lawannya itu. Akan tetapi hal ini saja telah menyelamatkan jiwa si gadis. Dengan cepat Ambarsari lalu bergulingan menjauhi lawannya dan melompat berdiri menyerang ke arah Klabangsongo yang masih terheranheran.
"Tak boleh... tak boleh... kau tak boleh membunuhnya!" seru Birowo sambil meringis menahan sakit dan
memandang ke arah Klabangsongo.
"Apa" Jadi kau telah benar-benar berkhianat, bangsat"!" teriak Klabangsongo dengan kalap. Akan tetapi
kali ini Ambarsari telah bersiap sedia untuk melindungi
Birowo. "Klabangsongo, biarlah kauhadapi iblis wanita itu
dan aku akan membereskan pengkhianat ini dulu!" seru
Baurekso dengan menggereng hebat.
"Bagus... kauhadapilah aku. Lebih baik aku mati bagaikan macan daripada hidup seperti cecurut," jawab
Birowo dengan gagah. "Paman, minggir...!" teriak Ambarsari yang terus melompat dan berdiri di depan kedua orang lawannya tadi.
Melihat perlindungan ini makin terharulah hati Birowo. Karena didorong perasaan terharunya inilah maka
ia rela berkorban nyawa untuk menolong orang yang telah dijatuhi simpatinya.
"Nini, kau minggirlah biar paman saja yang menghadapi mereka."
"Tidak, Paman!" Setelah berkata demikian maka berkelebatlah tubuh Ambarsari dan terus menerjang kedua
orang lawannya sambil membagi-bagi serangan. Pedangnya menyerang Baurekso dan tangan kirinya memukul ke arah Klabangsongo.
Menghadapi serangan berantai ini maka Klabangsongo maupun Baurekso terpaksa melompat mundur
dan melepaskan perhatiannya dari Birowo. Dan kesempatan ini lalu dipakai oleh Birowo untuk menyingkir dari kancah peperangan.
"Bagus... biarlah kuhancurkan dulu kepala anjing
betina ini dan setelah itu baru kepalamu, anjing
pengkhianat!" seru Baurekso yang terus merangsek
kembali ke arah Ambarsari.
Klabangsongo yang telah menjadi jengkel itu terus
menggerakkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang dan berusaha secepat-cepatnya mengalahkan lawannya.
Pedang dan tongkat yang berada di tangan kedua
orang muda itu saling bergantian menyerang ke arah
bagian-bagian yang mematikan dari tubuh murid
Anggraeni si Dewi Bayangan.
Akan tetapi sungguh tak mengecewakan sekali kalau
ia menjadi murid Dewi Bayangan yang namanya telah
terkenal di seluruh rimba hijau maupun sungai telaga.
Setiap serangan yang dilancarkan ke arahnya selalu dapat dipatahkan dengan baik, bahkan masih sempat pula ia membalas serangan lawan dengan serangan yang
tak kalah hebatnya. Sementara itu pertarungan antara Baskara dan
Tengkorak Hitampun telah mencapai puncaknya. Kedua-duanya telah menyiapkan aji-aji andalannya. Seluruh kepandaiannya dikuras jadi satu untuk dipergunakan mengalahkan lawannya.
Tengkorak bayi yang menimbulkan suara mengerikan itu telah berputar-putar di atas kepala Baskara,
mengoek-oek siap untuk menghancurkan kepala si
pendekar muda murid Ki Mliwis Pulih.
Akan tetapi di lain saat pedang yang berada di tangan Baskarapun telah disaluri dengan tenaga dalamnya, hingga sewaktu-waktu tengkorak bayi itu menghantam kepalanya, ia telah siap untuk mengadu senjatanya dan memukul hancur tengkorak bayi tersebut.
Kedua-duanya hanya menanti saat yang baik. Sekejap saja lengah, maka nyawanya akan melayang di bawah senjata orang yang menjadi lawannya. Mata mereka itu saling berpandangan dan pendengaran mereka
dipasang baik-baik. Wesstttt... westttt... oeeeekkk... oeeeekkk.... Karena
kecepatan putaran pedang dan rantai berbandul tengkorak itu maka debu-debu yang berada di sekitarnya
menjadi beterbangan. Seakan-akan prahara sedang
murka. Mereka berdua itu hanya berputaran saja menanti kelengahan masing-masing lawannya.
Tiba-tiba saja terdengarlah suara Tengkorak Hitam
yang berteriak dengan keras.
"Hiiiiaaaatttttttt..." Bersama dengan itu tengkorak
bayi yang menjadi bandul rantai Tengkorak Hitam meluncur dengan cepat sekali menuju ke kepala Baskara.
Begitu merasakan kalau ada kesiuran angin tajam
yang menyerang ke arah kepalanya, cepatlah Baskara
mengelak ke samping, dan bersama dengan itu ia
menggerakkan tangan kanannya untuk memukul hancur tengkorak bayi itu.
Darrrrr... crraattttt...! Bersama dengan pecahnya
tengkorak bayi itu terdengarlah ledakan yang amat dahsyat dan beratus-ratus senjata rahasia yang beracun
menyerang dari delapan jurusan.
"Ayaaaaaaa...!" seru Baskara sambil membuang dirinya ke atas tinggi-tinggi. Pedangnya terus dipakai untuk
menyapu jatuh semua senjata rahasia yang menyerang
ke arahnya. Ambarsaripun terkejut sekali ketika mengetahui kalau ada angin tajam yang menyambar dirinya. Tanpa
banyak berpikir lagi ia lalu menyambar tubuh Birowo
yang berada di dekatnya dan terus menjatuhkan diri di
atas tanah sambil memutar pedangnya untuk melindungi tubuh Birowo dan tubuhnya sendiri.
"Angin kencang gulung layar...!" Tiba-tiba saja terdengarlah teriakan Tengkorak Hitam. Dan begitu mendengar teriakan Tengkorak Hitam ini maka kaburlah
Klabangsongo dan Baurekso meninggalkan Ambarsari.
"Bangsat, jangan lari...!" teriak Ambarsari yang berusaha akan mengejar lawan-lawannya.
"Nini, jangan! Kau tak tahu kalau tempat rahasia ini
banyak sekali jebakannya. Biarlah mereka lari. Masih
banyak waktu untuk mengambil jiwanya," seru Birowo
mencegah Ambarsari. "Biar, Paman. Belum puas rasanya kalau aku belum
dapat mengambil nyawanya. Lain-lain gadis akan terancam bahaya kalau ia tak segera disingkirkan."
"Bahaya lebih besar. Perkataan Ki Sanak ini benar
belaka," timbrung Baskara.
"Nah... begitulah hendaknya, ekhh... Angger, siapakah namamu tadi?" tanya Birowo kepada Baskara.
"Baskara." "Aku Birowo, dan gadis perkasa ini adalah Pendekar
Wanita Berhati Baja yang namanya Ambarsari," jawab
Birowo sambil membusungkan dada dan tersenyum.
Sedangkan Ambarsari hanya menundukkan muka dengan wajah tersipu-sipu.
"Perkenalkanlah, aku Baskara, Nimas."
"Ambarsari," jawabnya hampir tak terdengar.
"Kau datang tepat pada waktunya, Angger," seru Birowo dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Memang aku datang ke tempat ini karena mendengar kabar dan kebetulan sekali melihat pemakaman
Lurah Mantingan. Dari penduduk setempat aku mendengar kabar kalau ada seorang pendekar wanita yang
akan mengobrak-abrik sarang Tengkorak Hitam. Karena
tertarik dengan berita ini, maka aku datang kemari dan
kebetulan sekali dapat menolong andika berdua."
"Terima kasih atas pertolonganmu, Ki Sanak. Paman,
ijinkanlah aku meneruskan perantauanku dan doakan
saja supaya aku dapat berhasil mencapai cita-citaku
itu." Setelah berkata demikian maka berkelebatlah Ambarsari pergi meninggalkan Birowo dan Baskara, sedikit
pun tak menengok lagi. Untuk sesaat kedua orang laki-laki itu tercengang.
Akan tetapi setelah mereka sadar maka terdengarlah keluhan Birowo.
"Akhh... kalau dia pergi, bagaimana aku dapat keluar
dari lembah ini?" Mendengar keluhan Birowo ini maka tersenyumlah
Baskara dan segera ia menawarkan jasa baiknya.
"Paman, kalau sekiranya Paman tak keberatan, aku
pun sanggup menggendong Paman keluar dari dalam
lembah ini." Berserilah wajah Birowo ketika mendengar perkataan
Baskara ini. Segera ia menghampiri perjaka sakti ini
dan menepuk-nepuk pundaknya sambil berkata, "Bagus, Angger. Hampir saja aku berputus asa dan melupakan kalau di sini masih ada kau."
"Marilah, Paman...." Tanpa menanti jawaban dari Birowo, Baskara lalu menyambar pinggang orang tua juru
masak dari Tengkorak Hitam dan sekali genjot saja tubuhnya telah berhasil bergandulan pada akar pohon
yang menonjol keluar. Dengan bantuan akar pohon inilah maka kedua orang itu dapat merangkak keluar dari
dalam lembah yang curam dan mengerikan.
Setelah keduanya berada di luar maka berkatalah
Baskara kepada orang tua itu, "Paman, kau hendak
pergi ke manakah?" "Aku akan kembali ke keluargaku lagi, Angger. Telah
lama aku meninggalkan mereka. Kukira anakku yang
mungil dulu itu sekarang telah mulai mekar," jawab Birowo dengan wajah yang berseri-seri.
"Bahagialah kau, Paman. Nah, selamat berpisah."
Bersama dengan lenyapnya suara itu lenyap pula tubuh
Baskara ditelan oleh kerimbunan pohon-pohonan.
Setelah mengetahui kalau semuanya pergi Birowopun segera meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Dengan perasaan penuh rindu dendam ia melangkahkan kakinya menuju ke arah Desa Mayong di mana
ia tinggal. Akan tetapi betapa terkejutnya hati orang tua itu setelah mengetahui kalau keluarganya telah mati semua.
Mati terbunuh oleh anak buah Tengkorak Hitam yang
selama ini menjadi kawan-kawannya.
Para penduduk yang masih mengenal Ki Birowo ini
hanya dapat menghela napas panjang saja, dan palingpaling mengucap sepatah kata "kasihan" untuk pertanda bahwa mereka itu ikut berbela sungkawa.
Setelah mengetahui akan hal ini maka Birowo lalu
pergi lagi dan bertekad untuk mencari Tengkorak Hitam
dan membuat perhitungan dengan mereka itu.
"Aku akan mengejarmu ke mana saja, hai Tengkorak
Hitam... manusia berhati binatang. Kebaikanku selama
ini dibalas dengan kejahatan. Tunggulah pembalasanku..., akan kukejar kau biarpun kalian lari ke ujung
dunia sekalipun... Tengkorak Hitam... Baurekso... Klabangsongo terkutuklah kalian...!"
*** Tentunya para pembaca bertanya, bukan" Ke mana
adanya Tunggul Wulung adik seperguruan dari Baskara
yang di bagian depan telah diceritakan bahwa mereka
sama-sama dalam mempelajari ilmu silat pemberian
Pendeta Selotirto. Memang, Baskara menyetujui akan pendapat adik
seperguruannya untuk mempelajari isi kitab itu sebelum mereka itu melanjutkan usahanya untuk mencari
pedang mustika itu. "Kakang, gua ini cukup besar dan keadaannya sangat baik untuk kita pakai berlatih ilmu silat. Apakah
Kakang setuju kalau kita pakai saja tempat ini menekuni ilmu silat yang diberikan oleh Paman Pendeta Selotirto?" tanya Tunggul Wulung kepada kakak seperguruannya.
"Kalau aku hanya menyetujui saja, Adi. Di mana saja
kita dapat memainkan pedang dan mempelajari kitab
ini, jadilah," jawab Baskara.
"Bagus, kalau demikian biarlah kita belajar di sini
saja," sahut Tunggul Wulung dengan gembira.
Dan semenjak itulah maka kedua orang kakak beradik seperguruan itu mempelajari kitab pemberian Pendeta Selotirto. Dan benarlah apa yang dikatakan oleh
pertapa dan Gunung Merbabu dulu, kalau kitab itu berisikan pelajaran ilmu pedang.
Pada lembaran pertama bertuliskan: ILMU PEDANG
KARTIKA JENGKAR. Ilmu pedang ini dinamakan Ilmu Pedang Kartika
Jengkar karena setiap gerakannya persis dengan gerakan bintang-bintang yang berpindahan. Memang penciptanya dahulu itu mengambil intisari dari perpindahan bintang-bintang di langit.
Baskara dan Tunggul Wulung tak henti-hentinya
mempelajari ilmu pedang ini, hingga mereka sering lupa
makan dan tidur. Makan kalau perutnya telah benarbenar lapar dan tidur kalau matanya benar-benar telah
tak dapat diajak berjaga.
Ilmu Pedang Kartika Jengkar ini kesemuanya mempunyai gerakan duapuluh jurus. Akan tetapi setiap gerakan dapat dipecahkan menjadi tiga jurus. Hingga dengan demikian kesemuanya meliputi enam puluh jurus.
Baskara yang memang mempunyai bakat lebih baik
daripada adik seperguruannya, tiap harinya dapat
menghafalkan tiga jurus. Dan untuk mempelajarinya
memerlukan waktu kurang lebih dua minggu atau kalau bagian-bagian yang sukar sampai bulanan. Sedangkan Tunggul Wulung yang kurang mempunyai bakat
kalau dibandingkan dengan Baskara, ia ketinggalan
jauh sekali dengan kakak seperguruannya itu.
Akan tetapi Baskara benar-benar merupakan seorang kakak seperguruan yang baik sekali. Ia menyadari
kalau di luar dialah pengganti gurunya, dan dengan demikian maka ia lalu menuntun adik seperguruannya itu
dengan pelan-pelan, bahkan tak jarang pula ia memberikan contoh-contoh gerakan yang dianggap sukar oleh
Tunggul Wulung. Hingga dengan demikian Tunggul Wulungpun tak banyak menemui kesukaran dalam mempelajari Ilmu Pedang Kartika Jengkar. Makin lama mereka itu mempelajari kitab pemberian Pendeta Selotirto
maka makin hafallah dengan jurus-jurus yang tertulis
di dalamnya. Sang waktu berjalan dengan cepat, setahun telah lalu. Dalam waktu setahun ini Baskara dan Tunggul Wulung telah dapat memainkan Ilmu Pedang Kartika Jengkar.
"Kakang, marilah kita berlatih," ajak Tunggul Wulung pada suatu hari.
"Marilah, Adi!"
Setelah keduanya memasang kuda-kuda maka mulailah kakak-beradik seperguruan itu berlatih Ilmu Pedang Kartika Jengkar. Mula-mula gerakan mereka itu
hanya lambat-lambat saja, akan tetapi makin lama makin cepat. Bahkan Baskara telah berhasil membungkus
dirinya dengan sinar pedangnya, hingga lenyap tubuhnya dan sebagai gantinya muncul segundukan sinar
yang bergerak dengan cepat dan dahsyat.
"Kakang, awas serangan!" Tiba-tiba saja Tunggul
Wulung berteriak, dan bersama dengan itu pedangnya
terus menyambar ke arah lambung Baskara. Mendapat
serangan yang datangnya secara mendadak ini, Baskara
tak menjadi terkejut. Memanglah ketenangan Baskara
sangat mengagumkan sekali. Dengan gerakan yang
amat cepat dan manis sekali ia lalu memutar pedangnya untuk menangkis dan tangan kirinya memukul ke
arah pundak Tunggul Wulung.
Trangg... dukkk...! Begitu pedang dengan pedang
bertemu, maka terperciklah bunga api dan selain itu
pundak Tunggul Wulung kena makan pukulan Baskara.
"Huahaaaa... huahaaaa... huahaaa... pertahananmu
masih kurang kuat, Adi. Kau terlalu menitikberatkan
kepada seranganmu, akan tetapi kau lupa kalau pertahanan pun perlu," seru Baskara di sela-sela suara tawanya.
"Bagus, Kakang, coba kautangkis yang ini!" seru
Tunggul Wulung sambil menusukkan pedangnya ke
arah leher. Akan tetapi sebelum pedang itu menusuk
Sepasang Pedang Mustika Karya Wahyu Mulyana di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
leher, Tunggul Wulung telah merubah gerakannya dan
mengayunkan pedangnya untuk membabat perut
Baskara. "Ayaaaaa...!" seru Baskara sambil membuang dirinya
ke belakang. Memanglah gerakan tipuan yang dilancarkan oleh Tunggul Wulung itu adalah salah satu tipuan
rahasia dalam Ilmu Pedang Kartika Jengkar. Inilah tipuan Bintang Gubug Penceng Menusuk ke arah leher dan
tentu saja lawannya akan mengelak sambil menundukkan tubuhnya, namun begitu lawan menundukkan tubuh maka pedangnya dibabatkan ke arah perut yang
sedang melengkung. Akan tetapi kini yang dihadapi oleh Tunggul Wulung
adalah kakak seperguruannya sendiri, orang yang menerangkan tentang tipuan ilmu pedang itu, hingga dengan demikian serangan Tunggul Wulung yang ganas
dan berbahaya ini tak berarti apa-apa bagi Baskara. Hal
ini hanya menimbulkan sedikit perasaan terkejut di dalam hati perjaka itu. Begitu ia berhasil mengelakkan serangan adik seperguruannya, Baskara lalu melompat ke
atas dan dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang telah mencapai tingkat tinggi mulailah ia
menyerang Tunggul Wulung.
Tunggul Wulung menjadi kelabakan setelah melihat
kakak seperguruannya mulai menyerang dengan bertubi-tubi. Bahkan sekali-kali murid kedua dari Ki Mliwis
Putih kehilangan lawan. Kini Baskara tak menyerang dengan pedangnya lagi,
akan tetapi cukup dengan tangan kirinya saja. Dan setiap kali pemuda itu bergerak maka terdengarlah
bunyi... dukkk... dukkk... prakkk...! Inilah pukulanpukulan ringan Baskara yang bersarang di setiap tubuh
Tunggul Wulung. Mengetahui kalau kakaknya telah berhasil menyentuh tubuh-tubuhnya, bahkan tempat-tempat yang
membahayakan jiwanya, maka Tunggul Wulung makin
berhati-hati. Pedangnya berkelebat ke sana-ke mari menyerang ke arah setiap bayangan Baskara.
Namun kali ini gerakan Baskara benar-benar bagaikan setan yang tak mempunyai bayangan. Setiap kali
Tunggul Wulung membabatkan pedangnya ke belakang,
Baskara telah berada di hadapannya dan kalau pedang
itu ditusukkan ke muka, kakak seperguruannya menyerang sebelah samping.
Karena gerakan Baskara yang cepat bagaikan setan
atau angin ini maka makin lama Tunggul Wulung makin menjadi pening. Seakan-akan ia melihat ribuan bintang berjatuhan di kepalanya. Peluh dingin mulai keluar
dan membasahi tubuhnya. Gerakan Tunggul Wulung
makin lama makin bertambah lemah dan kacau.
Wessstttt... tiba-tiba saja pedang Tunggul Wulung
bergerak dengan cepat menyambar ke arah pinggang
kakak seperguruannya, akan tetapi bersama dengan itu
tubuh Baskara telah mengapung di udara bagaikan sehelai kapas yang tertiup angin.
"Kurang tepat, Adi...!" seru Baskara sambil mengulurkan tangannya mencubit pipi Tunggul Wulung.
Kini Tunggul Wulung telah benar-benar ingin mempertahankan dirinya dengan mengerahkan tenaga dalamnya ke arah pedang dan tangan kiri. Begitu bayangan Baskara berkelebat di hadapannya, ia lalu menyamplokkan pedangnya dan kemudian tangan kirinya melayang memukul ke arah lambung.
Akan tetapi Baskara tetap enak-enak saja. Ia hanya
meliukkan sedikit tubuhnya ke samping dan menyambut pukulan Tunggul Wulung dengan pukulan pula
hingga... darrrr...! Akibatnya Tunggul Wulung terpental
ke belakang beberapa tindak dan jatuh di atas tanah
karena kelelahan. "Hebat kau, Kakang. Kau telah berhasil meyakinkan
Ilmu Pedang Lintang Kemukus. Akh... itulah puncaknya
Ilmu Pedang Kartika Jengkar!" seru Tunggul Wulung dengan kagum, dan melihat hal ini ia makin girang dan
makin hormat kepada kakak seperguruannya yang juga
telah dianggapnya sebagai keluarganya sendiri.
"Kau masih sering dapat dikuasai oleh nafsu, Adi.
Coba kalau kau telah dapat mengekang nafsumu, maka
agaknya sukar bagiku untuk dapat mempermainkan
kau seperti tadi. Ingatlah ini, Adi, setiap kali kau menghadapi musuh janganlah kau terpengaruh dan dapat
diperbudak oleh nafsu, sebab nafsu itulah pangkal kecerobohan."
"Baik, Kakang, semua nasehatmu akan selalu kuingat dengan baik-baik. Akh... agaknya kaulah, Kakang,
yang kelak akan dapat menggetarkan dunia kependekaran."
"Entahlah, Adi. Aku tak dapat memastikan dan memecahkan rahasia Yang Maha Agung. Akan tetapi aku
yakin kalau orang ingin menggemparkan dunia maka ia
terlebih dahulu harus dapat menggemparkan hatinya
sendiri. Nah, Adi, kukira kita telah lama sekali mengasingkan diri di dalam gua ini dan tidak ada jeleknya kalau mulai besok kita akan keluar dan kembali menunaikan tugas kita untuk mencari Sepasang Pedang
Mustika, dan kalau mungkin kita pun akan mencari kitab peninggalan Pendekar Besar Bayu Sekti."
"Baiklah, Kakang."
Keesokan harinya, kedua kakak beradik seperguruan
itu menuruni Gunung Lawu yang telah menjadi sepi seperti sedia kala. Kembali mereka itu meneruskan perantauannya sambil mendengar-dengarkan kabar di
mana adanya Pedang Mustika itu, dan yang terpenting
ialah mencari pengalaman di dunia luar.
Makin lama nama Baskara dara Tunggul Wulung
makin dikenal orang sebagai pendekar-pendekar muda
yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.
Pada suatu hari, perjalanan mereka itu sampai di
lembah Sungai Serayu. Sampai lama kedua orang pendekar muda itu berdiri memandangi keindahan alam sekitar.
"Adi, apakah tidak lebih baik kalau kita meneruskan
perjalanan dan mengambil jalan air?"
"Bagus, Kakang. Memang amatlah menyenangkan
kalau Kakang mau mengambil jalan air. Sebab kulihat
di sekitar daerah ini mempunyai pemandangan yang indah-indah," jawab Tunggul Wulung.
"Kalau demikian marilah kita menyewa perahu para
nelayan itu." Memang di daerah itu banyak sekali para nelayan
yang suka menyewakan perahunya, karena para nelayan itu tahu bahwa para pesiar ataupun bangsawan
yang suka akan keindahan tentu tak akan melewatkan
pemandangan air yang baik ini dengan begitu saja,
hingga dengan demikian sebentar saja kedua orang muda itu telah berhasil mendapatkan sebuah perahu.
"Angger berdua mau ke manakah"!" tanya tukang
perahu tua itu kepada kedua orang penumpangnya.
"Kami hanya mau melihat-lihat saja, Paman. Kukira
ke sebelah kedung itu banyak mempunyai pemandangan-pemandangan baik. Marilah kita melihat-lihat di sana," ajak Baskara sambil menunjukkan jari telunjuknya
ke sebelah kedung yang dilingkari oleh hutan dan semak belukar.
Mendengar perkataan Baskara ini terkejutlah tukang
perahu tua itu. Sejenak ia termenung, akan tetapi tak
lama kemudian terdengarlah perkataannya yang hampir
tak terdengar, "Apakah Angger berdua orang jauh"!"
"Apakah maksud perkataan Paman ini"!" tanya
Tunggul Wulung dengan tak mengerti.
"Maksudku ialah apakah kalian berdua ini bukan
orang-orang yang tinggal di dekat sini"!" Kembali tukang
perahu itu menjelaskan. "Betul." "Karena itulah...!"
"Karena itu apa, Paman?" tanya Baskara yang ingin
mengetahui. Tiba-tiba saja mereka melihat kalau wajah
tukang perahu itu berubah menjadi pucat. Bibirnya gemetar dan tubuhnya tampak menggigil.
"Sakitkah kau, Paman" Biarlah aku gantikan kau
mendayung," seru Tunggul Wulung sambil meminta
dayung itu. Akan tetapi tukang perahu itu hanya menggelengkan
kepalanya saja. Namun tak lama kemudian terdengarlah perkataannya, "Pantas kau tak mengetahui bahaya
karena kau bukan orang sini, Angger. Ketahuilah kalau
di sebelah kedung itu tinggal seorang bajak yang telah
malang-melintang di daerah ini. Ia memang dengan
sengaja mengambil tempat di daerah kedung yang mempunyai pemandangan baik. Orang boleh melihat-lihat
pemandangan yang indah itu kalau memberi sedikit
sumbangan kepadanya. Kalau tidak, jangan harap dapat pulang kembali...."
"Hee... apakah ia yang punya sungai ini"!" tanya
Tunggul Wulung dengan heran.
"Ya... begitulah menurut pengakuannya."
"Jadi dia atau nenek moyangnya yang membuat
sungai ini" Biarlah kita terus ke sana dan nanti aku
akan membayar ongkosnya berapa yang diinginkannya,"
seru Tunggul Wulung dengan lantang.
Mau tak mau tukang perahu itu terus mendayung
perahunya menuju ke tempat yang dikehendaki oleh
penumpangnya. Akan tetapi tukang perahu tua itu telah
tak kelihatan segirang tadi. Wajahnya diselimuti kabut
ketakutan. Bahkan jarang berceritera atau berbicara
kalau tak ditanya. "Siapakah orang yang menjadi bajak itu, Paman?"
tanya Baskara kepada tukang perahu tua.
"Menurut perkataan orang-orang yang pernah dicegatnya, ia bernama Tirto Menggolo dan bergelar Dayang
Serayu. Bahkan ada sebagian orang yang mengatakan
bahwa Dayang Serayu ini masih murid dari Iblis Tua
Bertangan Seribu." Kini ganti Tunggul Wulung dan Baskara yang menjadi terkejut setelah mendengar nama Iblis Tua Bertangan
Seribu. Tokoh besar ini telah pernah didengar namanya,
bahkan gurunyapun pernah menyebutnya kalau tokoh
ini hanya seurat lebih rendah kepandaiannya daripada
empat tokoh besar yang terkenal yaitu, Anggraeni si
Dewi Bayangan dari timur, Sentika atau Mliwis Putih
dari selatan, Brajalaga atau Setan Berjubah dari utara
dan Suronggongkoro dari barat.
Iblis Tua Bertangan Seribu ini adalah adik seperguruan dari Setan Berjubah Brajalaga. Karena itulah tak
sangat mengherankan kalau kepandaiannya juga hebat
sekali. Akan tetapi kedua orang pendekar muda ini tak mengenal takut. Biarpun hatinya berdebar-debar keras
akan tetapi tetap melanjutkan perjalanannya, hingga
perahu itu makin lama makin dekat dengan kedung
yang menjadi sarang Tirto Menggolo.
Tiba-tiba saja telinga Baskara dan Tunggul Wulung
yang telah terlatih itu mendengar suara gemercik air
menyibak dari arah rerungkutan (semak-semak, rerimbunan) yang berada di hadapannya. Dan benarlah tak
antara lama muncul dua buah perahu kecil yang masing-masing ditumpangi oleh dua orang. Perahu itu terus
Pendekar Penyebar Maut 30 Harimau Kemala Putih Karya Khu Lung Izrail Bilang Ini Ramadhan 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama