Ceritasilat Novel Online

Malam Karnaval Berdarah 1

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu Bagian 1


SUASANA malam itu begitu mengerikan.
Aku mendapati diriku berada di tengah-tengah komidi
putar. Kedua tanganku terikat, demikian juga kakiku.
Lantai komidi putar berputar perlahan, sementara lagu It?s
a Small World After All berkumandang dari speaker yang
sudah mulai pecah. Sebagian besar lampu komidi putar
sudah tidak menyala lagi, membuat suasana terlihat tema?
ram. Terdengar suara tawa yang tiada henti dari patung
badut bermuka rusak, menambah keangkeran malam itu.
Di depanku, aku menghadapi Daniel yang mengacung?
kan pisau ke arahku. Wajah cowok itu sama sekali tidak menampakkan eks?
presi. Matanya yang sipit dan biasanya dipenuhi tawa
kini menatapku dengan tajam. Bibirnya yang biasanya
menyunggingkan senyum kini terkatup rapat. Sementara
itu, gerak tubuhnya jelas-jelas dipenuhi rasa tegang.
Otot-otot bahunya tampak jelas, demikian juga urat di
pelipis kirinya. Seluruh tubuhnya dipenuhi keringat yang
mem?buatnya tampak begitu keren?sekaligus menakut?
kan. Isi-Omen4.indd 8 ain Satu hal yang aku tahu pasti: apa pun yang nantinya
akan dilakukan Daniel padaku, aku tidak akan pernah
bisa membencinya. Suara iblis mengalun di antara kami. Lembut, namun
licik dan penuh tipu muslihat. "Sudah waktunya me?
nyingkirkan dia, Daniel. Gara-gara dia, kita semua men?derita
di bawah kediktatoran The Judges. Dia harus dilenyap?kan.
Kalau tidak, kamu yang paling rugi. Seandainya dia mati,
kamu yang akan mengambil kedudukannya. Kamu akan
menjadi orang paling berkuasa di seluruh sekolah. Kamu
akan mengalahkan orang yang selama ini selalu ber?ada di
atasmu, Erika Guruh. Kamu tidak perlu diperbudak lagi oleh
The Judges, dan kamu takkan dicap pengkhianat lagi oleh
teman-temanmu. Bukan itu saja. Kalau dia mati, kamu juga
bisa bersama cewek yang sudah lama kamu inginkan. Cewek
yang selama ini menghindarimu karena per?temanan antara
dia dan Rima. Bunuh dia, Daniel, dan Valeria Guntur akan
jadi milikmu." Aku bisa merasakan keputusan yang mendadak dibuat
dalam hati Daniel. Pupil matanya mengecil saat dia
meng?angkat pisau. Hatiku mencelus saat mendengar dia
berbisik perlahan, "Maaf, Rima."
Aku memejamkan mata. Dan hal terakhir yang kulihat sebelum menutup mata
adalah Daniel yang menerjang ke arahku.
Daniel Isi-Omen4.indd 9 "PERHATIAN untuk para pengurus OSIS, harap segera
mengikuti rapat di ruang OSIS. Sekali lagi, perhatian
untuk para pengurus OSIS, harap segera mengikuti rapat
di ruang OSIS." Yes! Inilah hal yang paling kusukai dari menjadi peng?
urus OSIS?kesempatan untuk bolos pelajaran sekolah
terang-terangan di hadapan guru dan teman-teman lain.
Kututup buku teks ekonomi yang tebal dan bercover
jelek dengan puas, lalu kulempar dengan penuh gaya,
tepat ke dalam laci meja yang sempit.
"Pergi dulu, Yang," ucapku pada teman sebangkuku
yang memelototiku dengan sorot mata iri.
"Sana pergi ke neraka!" jawab Welly, si teman se?
bangku bertampang jelek sekaligus sahabat dekatku yang
mendadak jadi musuh besar saat melihatku menggunakan
hak istimewa sebagai anggota golongan elite.
Aku hanya tertawa pongah. Berhubung tepi mejaku
me?nempel pada tembok, aku harus berjalan melewati?
nya. "Brengsek, gue disodorin pantat lagi!"
Isi-Omen4.indd 10 "Jangan banyak komplen," ucapku sambil sengaja
nungging. "Attitude kayak gini yang harus dihindari kalo
kepingin ikutan jadi pengurus OSIS. Ya nggak, Mir?"
Sobat dekatku yang memiliki tinggi dan lebar tubuh
di atas rata-rata, Amir, yang kebetulan duduk di meja di
sam?ping kami, berlagak tidak melihat maupun men?
dengar?ku sementara tangannya terus merogoh lacinya
untuk mengambil kacang. Yah, jadi menurutnya, kacang
lebih menarik daripada aku? Baiklah kalau begitu. Lebih
baik aku tidak membuang-buang waktu memberikan nasi?
hat berharga kepada orang-orang yang jelas-jelas tidak
mau belajar dari kesuksesan orang lain.
Aku melenggang keluar kelas dengan gembira seraya
m?e?lambaikan ciuman mesra pada Bu Tarmini yang tam?
pak geli melihat ulahku. Bukannya aku sok, tapi hampir
semua guru cewek suka banget padaku, termasuk yang
tegas dan galak dengan ukuran badan supermini (tidak
heran Bu Tarmini sering dipanggil si Cabe Rawit). Pada?
hal semua orang tahu, guru-guru cuma suka pada muridmurid pintar, sementara nilai-nilaiku bahkan lebih jelek
lagi dibandingkan muka si Welly).
Tapi mana mungkin ada yang tidak menyukaiku? Dari
segi tampang saja, aku oke banget. Rambutku yang tadi?
nya agak gondrong kini dipotong pendek dan rapi?
model shaggy yang sekarang lagi beken dong?dengan
sedikit semburat warna pirang. Tubuhku tinggi besar,
kuat, dan ideal?tidak seperti Welly yang mirip tiang
listrik berjalan atau Amir yang mirip Kolonel Sanders
zaman masih ABG. Mataku yang sipit, hidungku yang
besar mancung, dan senyumku yang cemerlang (gosip?
nya, semua itu mengingatkan orang-orang pada Rain,
Isi-Omen4.indd 11 aktor Korea yang konon ganteng banget itu). Dari segi
karak?ter pun, aku tak punya cacat cela. Aku baik dan
setia pada teman-teman cowok, serta perayu kelas berat
saat menghadapi cewek-cewek. Teman-teman cowok
bangga menjadi temanku, sementara teman-teman cewek
malah mendirikan fans club segala. Bakatku dalam bidang
musik, terutama piano, menambah nilai plus. Ke?kurang?
anku satu-satunya adalah soal pelajaran. Maklumlah, aku
sempat menjadi langganan tidak naik kelas. Tapi se?
karang aku sudah berubah kok, jadi kekurangan itu bisa
dibilang sudah lenyap. Jadi sekali lagi, bukannya aku sok, tapi aku termasuk
salah satu cowok paling charming di sekolah kami. Oke?lah,
aku memang sedikit sok dalam masalah ini?atau le?bih
tepat lagi, sebenarnya aku sok banget. Wuahahahahaha,
aku memang pria sempurna tiada tanding!
Aku sengaja mengambil jalan memutar sedikit untuk
melewati ruangan kelas XI IPA 1, tempat berkumpulnya
murid-murid genius dan gila di seluruh sekolah ini. Bisa
dibilang, kelas ini adalah kelas yang paling bertentangan
dengan kelas kami di XI Bahasa, kelas yang gosipnya
adalah kelas buangan. Ah, peduli amat kelas buangan
atau bukan. Yang namanya bahasa itu pelajaran yang
pen?ting banget kok. Ke mana pun kita pergi, keahlian
yang paling kita butuhkan adalah kemampuan berbahasa.
Tidak peduli kalian sanggup mendesain roket yang
sanggup mengitari seluruh jagat raya, kalau kalian tidak
bisa nego gaji, percuma juga, kan? Bahkan penulis-pe?
nulis fiksi paling terkemuka di seluruh dunia meng?andal?
kan kemampuan berbahasa mereka untuk menghasilkan
karya-karya yang bertahan sepanjang zaman (bukannya
Isi-Omen4.indd 12 aku promosi soal jurusanku lho. Aku cuma me?nyampai?
kan pendapat salah satu penulis yang mendukungku
masuk jurusan bahasa). Sialnya, cewek-cewek yang paling menarik perhatianku
di sekolah kami bercokol di kelas elite, kelas XI IPA 1.
Aku melongok-longok ke dalam kelas itu. Gila, benarbenar kelas dengan murid-murid pilihan! Kelas itu hanya
memiliki belasan murid. Yang tidak terlalu genius biasa?
nya menempati kelas XI IPA 2 atau XI IPS 1. Jadi, mu?
dah sekali bagiku untuk menemukan bahwa cewek-cewek
yang kucari sudah meninggalkan kelas mereka.
Ah, sial. Seharusnya aku jalan lebih cepat. Ini semua
gara-gara aku godain si Welly. Benar-benar rugi, meng?
goda cowok jelek sampai-sampai kehilangan cewek-cewek
cakep. Catatan mental untuk diri sendiri: lain kali aku
tidak akan menggoda Welly atau Amir lagi.
Aku bergegas menuruni tangga dan menyeberang ke
gedung berikutnya, gedung eskul. Di sanalah ruang OSIS
berada?tepatnya di lantai empat. Baru saja aku menaiki
tangga menuju lantai tiga, kulihat sosok-sosok yang
kukenali di kejauhan?tepatnya di belakang sekolah, di
luar pagar. Dasar anak-anak tukang bolos.
Aku berubah haluan dan segera menuruni tangga. Aku
punya jalan keluar yang bagus di samping se?kolah, tepat?
nya di belakang kantin. Kalian tahu kan, petugas-petugas
kantin tidak mungkin masuk mem?bawa bahan makanan
dan sebagainya melewati pintu depan sekolah. Mereka
memiliki pintu sendiri. Nah, seperti halnya guru-guru
cewek, ibu-ibu pengurus kantin pun sudah terpikat de?
ngan pesonaku. Isi-Omen4.indd 13 ain "Ibuuu," panggilku dengan nada manis menggoda saat
tiba di kantin. Sebuah nasihat untukmu, panggillah
cewek yang lebih tua darimu satu panggilan lebih muda
dari yang seharusnya (kecuali kalau memang ada hubung?
an keluarga). Sapalah sebagian besar cewek yang lebih
tua dengan sebutan Kakak, dan panggil "Tante" atau
"Ibu" hanya pada yang sudah nenek-nenek. Misalnya
saja si ibu pengurus kantin yang kerjanya membanggakan
cucunya, tapi aku tidak akan memanggilnya "Oma" atau
"Nek", melainkan "Ibu".
Seperti biasa, wajah si ibu biasa langsung semringah
men?dengar suaraku. "Kenapa lagi, Daniel? Pasti lagi bu?
tuh sesuatu!" "Bener banget, Ibu Cantik." Nasihat kedua, tidak ada
cewek di dunia ini yang tidak senang dibilang cantik,
apalagi nenek-nenek. Yah, sejujurnya, si ibu kantin me?
mang cukup cantik untuk ukuran wanita yang sudah
punya cucu. Apalagi sifatnya baik banget, kelihatan dari
wajah?nya. "Saya lagi mau," kedua tanganku mem?ben?
tuk corong di mulut sementara aku merendahkan suara??
ku, "menggunakan akses belakang."
Si ibu kantin mendecak dengan tampang pura-pura tak
senang. "Eih, kamu mau bolos lagi ya, Niel? Bukannya
tahun ini kamu jadi wakil ketua OSIS? Seharusnya kamu
ninggalin semua kebiasaan jelekmu itu."
"Justru itu, Bu. Saya bukannya bolos, tapi sedang
melacak anak yang bolos."
"Jadi nantinya kamu nggak akan berubah?"
Seketika aku gelagapan. Meski senang merayu dan
meng?gombali, sulit bagiku untuk bohong beneran.
Kecuali kalau sedang berhadapan dengan guru dan aku
Isi-Omen4.indd 14 harus mengarang-ngarang alasan untuk menyelamatkan
diri. "Sudahlah," si ibu kantin tertawa. "Memang sulit meng?
ubah kebiasaan buruk yang sudah mendarah-daging. Tapi
Ibu berharap, suatu saat kamu akan betah belajar di kelas.
Kamu anak baik, Niel, dan Ibu berharap nanti kamu akan
jadi orang sukses. Asal tahu saja, orang sukses nggak akan
mengelak dari kewajiban."
"Ya, Bu," ucapku sambil memasang wajah terharu.
"Makasih ya, Bu. Saya akan ingat semua kata-kata Ibu.
Saya permisi dulu ya, Bu."
"Eh, saya kira setelah diomongin kamu bakalan malu
dan batal bolos," tegur si ibu kantin saat melihatku me?
nyelinap ke pintu belakang kantin.
"Yah, kan tugas penting memanggil, Bu," kilahku sam?
bil melambai-lambai. "Nanti saya balik lewat sini lagi
ya!" Tanpa menunggu jawaban si ibu, aku pun segera
kabur. Aku kan sedang punya misi untuk mengejar anakanak yang bolos rapat. Tidak lucu kalau lantaran ngobrol
dengan si ibu, anak-anak itu keburu pulang sebelum aku
sempat mengejar mereka. Sekolah kami dikelilingi oleh deretan warung pinggir
jalan yang memiliki nama-nama heboh dan keren. Ada
Bakmi Supergila (tidak ada yang tahu apa maksudnya,
apakah si tukang bakmi jebolan rumah sakit jiwa
ataukah saking enaknya si bakmi, orang yang makan jadi
gila), warung roti bakar Tungku Neraka (menurutku ini
ada hubungannya dengan kipas angin yang rusak),
warung ayam goreng Sarang Penyamun (kalau yang ini,
sudah pasti karena pelanggannya bertampang residivis
Isi-Omen4.indd 15 ain semua, termasuk aku dan teman-temanku), dan masih
banyak lagi. Dua oknum yang kukejar sedang duduk-duduk me?
nanti nasi goreng pesanan mereka di Pondok Bambu
Pen??dekar Buta (tidak, pemilik maupun pelayan-pelayan?
nya tidak ada yang buta kok).
"Nah, ketahuan bolos!" seruku sambil menerjang ma?
suk ke dalam warung yang dindingnya memang terbuat
dari bambu itu. Namun benar-benar mengecewakan, dua cewek yang
kukejar-kejar dari tadi itu sama sekali tidak terlihat kaget.
Malahan, sebaliknya, aku langsung diusir.
"Wakil ketua OSIS minggat aja!" cetus Erika Guruh,
teman sebangkuku tahun lalu sekaligus cewek paling
unik yang pernah kukenal seumur hidupku. Rambutnya
pendek dan acak-acakan, membuatnya lebih kelihatan
seperti cowok cantik daripada cewek ABG yang manis
(dan yep, dia memang tomboi banget). Tubuhnya tinggi
kurus, seragamnya penuh tulisan, dan mukanya,
omaygaaat, dirias dengan teknik buruk yang membuatnya


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mirip keluarga Jack Sparrow. Namun di balik tampang
ajaib itu, dia memiliki kekuatan fisik yang menakjubkan,
loyalitas tinggi terhadap sahabat, dan daya ingat foto?
grafis yang membuatnya tak bisa melupakan apa pun
juga yang pernah dilihat atau didengarnya. Tidak heran
dia disebut sebagai cewek paling genius di sekolah kami
dan merupakan peraih ranking satu yang tak tergoyah?
kan sejak dia masih kecil.
Bertentangan dengan prestasinya, Erika juga cewek pa?
ling preman di sekolah kami. Bahkan, kebadungannya
me?ngalahkan murid-murid cowok yang paling rusak
Isi-Omen4.indd 16 sekalipun (maksudnya aku). Dia bahkan dijuluki Omen,
lantaran waktu kecil dia mirip benar dengan anak me?
nyeramkan dalam film horor berjudul The Omen. Akan
tetapi, di luar kebengalan dan hobi berantemnya yang
bikin keder murid-murid, guru-guru, petugas keamanan,
bahkan polisi setempat, Erika sebenarnya anak yang baik.
Aku dan Erika mulai bersahabat dekat tahun lalu,
tetapi pertemanan kami sudah terjalin beberapa waktu
sebelumnya. Kami tinggal di kompleks Hadiputra Bukit
Sentul, dan kompleks ini adalah kompleks kecil. Eh,
tidak kecil-kecil amat sih. Sebenarnya kompleks pe?rumah?
an kami termasuk salah satu yang terbesar dan termewah
di Indonesia, tapi tetap saja tidak sebanding dengan kota
seperti Jakarta atau Bandung. Di sini hampir semua
orang saling mengenal?atau setidaknya itulah yang ter?
jadi pada orang-orang yang suka bergaul. Jadi, berhubung
pergaulan jalananku cukup luas, aku pun mengenal
Erika, si cewek brutal yang selalu berhasil menghancurkan
siapa saja yang berani menghalangi jalannya, meski saat
itu dia masih SMP. Aku lumayan girang saat tahu kami
sekelas, dan tahu-tahu saja kami sudah main bareng.
Bisa dibilang, dalam hubungan pertemanan, levelnya
tidak kalah dengan Welly ataupun Amir.
"Eh, kok gitu?" celaku sambil duduk di samping cewek
yang satu lagi. "Setelah pisah kelas, lo lupa sama temen
lama lo yang malang ini? Halo, Val."
Val atau Valeria Guntur adalah cewek unik nomor
dua. Tampangnya kutu buku banget, dengan rambut pan?
jang sebahu yang selalu diberi bando dan kacamata ber?
gagang putih yang manis. Dia tidak pernah banyak
bicara dan selalu mengambil posisi sebagai pendengar
Isi-Omen4.indd 17 yang baik. Dia selalu tersenyum samar, jarang tertawa,
dan terkadang bisa membuat kita melupakan kehadiran?
nya. Dia berasal dari keluarga yang luar biasa kaya raya,
tapi tidak sedikit pun dia membanggakan diri atau ber?
sikap sombong. Intinya, dilihat dari sisi mana pun juga,
dia adalah cewek feminin dan lemah tak berdaya yang
membuatku ingin sekali melindunginya.
Namun siapa sangka, dia satu-satunya cewek yang bisa
menghadapi Erika Guruh si cewek brutal.
Aku juga baru tahu beberapa bulan terakhir ini, bahwa
selain jago olahraga, Val rupanya menguasai kick-boxing.
Bukan hanya sekadar menguasai, tetapi jago banget! Se?
jujurnya aku jadi merasa bodoh, karena selama ini aku
berusaha melindunginya. Tapi aku juga semakin respek
pada Val, karena cewek itu benar-benar memiliki banyak
kelebihan, tapi tak sedikit pun dia menonjolkan semua
kelebihan itu. Yah, kalian bisa menduga, aku pernah naksir berat
dengan cewek yang satu ini. Malangnya, cintaku ditolak
dengan cepat, tegas, dan lumayan menyakitkan, lantaran
Val sudah punya pacar. Bukannya aku jealous, pacar Val
tidak ada keren-kerennya sama sekali. Sudah tidak suka
sekolah, masih juga bergaul dengan preman-preman.
Oke, aku tahu aku seperti menggambarkan diriku sendiri,
tapi aku masih jauh lebih baik dari dia kok. Setidaknya
aku masih bersekolah dan sekarang sedang berusaha ber?
tobat, sementara dia sudah keluar dari sekolah dan tak
bakalan kembali lagi selamanya.
Tapi percumalah kujelek-jelekkan cowok sialan itu (iya
deh, aku ngaku, aku memang jelek-jelekin dia, soalnya
dia menyebalkan banget!), soalnya apa pun yang terjadi,
Isi-Omen4.indd 18 Val tetap cinta mati padanya. Jadi sekarang ini aku ber?
usaha keras untuk menganggap dan memperlakukan Val
sebagai teman baikku. Lagi pula... "Hai juga, Wakil Ketua OSIS," senyum Val. "Nggak
ikut rapat?" "Tadinya mau," jawabku pura-pura jengkel. "Lalu wak?
tu lagi naik ke ruang OSIS, gue lihat dua anggota OSIS
gentayangan di luar sekolah. Jadi gue putusin untuk me?
nangkap mereka dan menyeret mereka kembali ke ra?
pat." "Waduh, wakil ketua OSIS teladan rupanya," sindir
Erika sambil meneguk teh gratisan yang tersedia all-youcan-drink. "Sori ya, dua anggota OSIS ini nggak terlalu
penting, jadi nggak apa-apa kalo nggak dateng. Lagian
buat apa duduk-duduk di ruangan tertutup dan dengerin
orang lain berkoar-koar?"
Aku mengangkat alis. "Ketua Sekbid IT dan Ketua Sek?
bid Drama bukannya posisi yang nggak terlalu penting
kali. Ya nggak, Val?"
Valeria cuma tersenyum dan menyesap tehnya dengan
tenang. "Gue nggak ikut-ikutan deh."
"Yah, jujur ajalah, Niel, apa pun titelnya, kami-kami
ini kan cuma kacung," kata Erika seenaknya. "Memang?
nya omongan kami penting gitu? Pada akhirnya, yang
bikin keputusan kan orang yang itu-itu juga."
"Eh, jangan merendahkan demokrasi dong," celaku.
Erika memasang wajah seolah-olah dia barusan terkena
serangan jantung. "Daniel Yusman ngomongin politik!
Bentar lagi bakalan ujan kodok, atau lo memang cuma
lagi pasang penyadap?"
Isi-Omen4.indd 19 Aku memelototi Erika. "Maksud lo?"
"Maksud gue, biasanya ocehan lo nggak mutu tapi lebih
enak didengar." Sial. Berdebat dengan Erika me?mang selalu
bikin emosi saja. Masalahnya, cewek itu tidak segan-segan
mengungkapkan kenyataan yang me?nyakitkan. Ya deh,
omonganku kebanyakan memang tidak mutu. "Bukannya
gue sadis, tapi lo nggak cocok jadi politisi. Dari tampang lo
aja udah kelihatan, lo hobi nipu. Cuma orang bego atau
cewek-cewek yang ngefans sama elo aja yang mau nelen
ucapan lo bulet-lonjong-panjang."
"Lo kira ucapan gue pempek, ada yang bulet, lonjong,
dan panjang segala?"
"Gue emang kepingin makan pempek tadi! Cuma tautau aja gue udah digiring ke Pondok Bambu Pendekar
Buta gini. Bukannya gue nggak doyan nasi goreng."
Erika menyunggingkan senyumnya yang jarang pada si
empunya warung, jelas-jelas menyiratkan jangan-suruhgue-lunasin-utang-gue-yang-jumlahnya-ajegile-itu, semen?
tara si empunya warung cuma mengangguk dengan pe?
nuh pengertian. "Tapi sebagai manusia, kita kan punya
banyak pilihan. Baru kemarin gue makan nasi goreng,
masa sekarang nasi goreng lagi? Gimana kalo warung ini
bangkrut lantaran gue nggak sanggup bayar utang
gue?" "Baguslah kalo Eneng tau," celetuk si empunya wa?
rung, tapi buru-buru kembali menekuni kualinya saat
me?lihat wajah Erika yang seketika berubah tak ramah.
"Intinya, Niel," dengan cepat Erika mengubah topik,
"tampang lo lebih nggak sedap dipandang sejak lo jadi
wakil ketua OSIS. Sadar nggak sadar, lo sekarang udah
nggak seasyik dulu lagi."
Isi-Omen4.indd 20 Oke, sekarang aku jadi sakit hati. "Masa gue udah
nggak asyik lagi? Buktinya sekarang gue milih nongkrong
sama elo berdua daripada ikut meeting OSIS."
"Tapi tetep aja lo kampanye di sini belain OSIS," tukas
Erika. "Cobalah lo nilai ucapan gue bener atau salah.
OSIS itu cuma organisasi boneka. Sebenarnya, yang bikin
keputusan untuk kegiatan murid kan organisasi rahasia
kita yang agung dan mulia, The Judges?"
Oke, cewek ini memang tidak salah. Buat kalian yang
belum tahu, sekolah kami diam-diam dikuasai oleh se?
buah organisasi rahasia yang usianya sama tuanya de?
ngan sekolah kami. Organisasi itu bernama The Judges.
Anggota-anggotanya hanya ada dua belas orang, diseleksi
se?cara ketat dari murid-murid pilihan sekolah kami yang
ber?asal dari keluarga berada, memiliki talenta tinggi,
dan/atau dipandang sanggup memberikan pengaruh
besar pada murid-murid lain. Dengan kelebihan-ke?lebih?
an mereka, tidak heran mereka mampu mengendalikan
setiap aspek dalam sekolah kami, baik dalam soal ke?giat?
an siswa, kepengurusan OSIS, eskul-eskul, hingga susunan
staf dan guru di sekolah kami. Siapa yang berani me?
nentang organisasi ini akan disingkirkan dengan cara
yang sedemikian rupa sehingga keterlibatan para anggota
The Judges tidak bisa dibuktikan. Bagi sebagian besar
murid-murid sekolah kami, organisasi ini hanyalah mitos
keren untuk menakut-nakuti anak-anak sok yang minta
ditabok. Tapi aku tahu lebih baik.
Soalnya, aku adalah salah satu anggota organisasi itu.
Namun, ada satu hal yang dilupakan oleh Erika.
"Lo kan juga anggota The Judges, Ka!" tukasku. "Dan
lo juga, Val." Isi-Omen4.indd 21 "Cih, gue nggak ngerasa tuh." Erika melirik Val. "Lo
nge?rasa nggak?" Val tersenyum. "Itu karena kita nggak pernah ikut per?
temuan mereka." "Iya dong!" sahut Erika bersemangat, sampai-sampai
aku bisa melihat ludah muncrat ke gelas tehnya.
"Anggota itu cuma embel-embel keren supaya kita me?
rasa terlibat. Kenyataannya, yang ngambil keputusan
juga orang itu-itu aja. Ketua, wakil. Mantan ketua."
"Itu sama sekali tidak benar."
Bisikan itu bukanlah berasal dari salah satu di antara
kami, namun terdengar begitu dekat. Selama beberapa
saat aku, Erika, dan Val berpandangan dengan bi?
ngung, ka?rena tidak ada orang lain yang berada di
da?lam warung selain kami bertiga dan si empunya wa?
rung. Mendadak kusadari betapa angker warung ini. Tidak
ada lampu di bagian dalam warung itu, membuat sua?
sana terlihat remang-remang. Di saat semua anak sedang
berada di dalam kelas, nyaris tak ada suara terdengar
dari luar. Jadi rasanya ganjil mendengar suara lain selain
kami yang berada di sini.
Kami bertiga berpaling pada si empunya warung dan
melihat wajah pria itu terlihat pucat sementara tubuhnya
agak gemetaran. Matanya tertuju pada sesuatu di kolong
meja konter yang berdempetan dengan meja kami.
Pandangan kami bergeser mengikutinya, dan melihat
sepuluh jari-jari putih dan panjang memegangi tepi meja
tersebut. Kurasakan mulutku terbuka, tetapi tidak ada
jeritan yang terdengar. Perlahan-lahan muncul kepala
penuh rambut hitam. Saat kepala itu seharusnya sudah
Isi-Omen4.indd 22 me?nampakkan wajah, tetap saja yang terlihat hanya
rambut tebal, panjang, lurus.
Omaygattt! Perlahan-lahan sosok itu berdiri menjulang di depan
kami. Sosok tinggi kurus mengenakan seragam sekolah
kami, dengan rambut hitam, panjang, dan lurus yang
menutupi mukanya. Sosok itu memiringkan kepalanya,
dan sebuah celah menampakkan seraut wajah pucat
dengan mata lebar, hidung mancung, dan bibir merah
seperti darah. Bibir itu perlahan-lahan melengkung, lalu
membisikkan sepatah kata mengerikan yang terdengar
seperti bahasa dari neraka.
"Halo." Rima Isi-Omen4.indd 23 SALAH satu hal paling menyedihkan yang bisa kita alami
adalah, saat cowok yang kita taksir menganggap kita
mirip hantu. Aku menatap wajah Daniel yang pucat pasi sambil
berusaha menyembunyikan kejengkelanku. Cowok itu
berusaha memasang tampang berani, padahal badannya
hampir nemplok dengan dinding bambu di belakangnya.
Lebih menyebalkan lagi, kedua tangannya melintang di
depan Erika dan Valeria seolah-olah dia berusaha
melindungi mereka. Dasar cowok bodoh. Andai memang
Sadako yang menjenguknya, paling-paling dia mati
duluan. Bukannya aku kepingin dia mati. Aku kan cuma me?
nyata?kan kemungkinan yang bisa terjadi. Sungguh, ko?
mentar sadisku kulontarkan bukan karena aku cemburu
pada sikap protektifnya pada Valeria. Sudah lama aku
me?nerima kenyataan bahwa Daniel benar-benar me?
nyukai Valeria, tidak peduli cewek itu membalas pe?rasa?
annya ataupun tidak. Sementara aku tidak punya kesempatan sama sekali.
Isi-Omen4.indd 24 Saat menyadari akulah sosok menakutkan yang nongol
itu, wajah dan tubuh Daniel seketika berubah rileks, tapi
dia tetap berdiri dengan sikap waswas.
"Kamu bolos meeting," ucapku setenang mungkin.
Sesaat cowok itu tidak bisa berkata-kata. "Elo juga."
"Aku datang ke sini karena melihatmu melarikan diri
dari meeting." Aku menatapnya lekat-lekat, dan cowok itu
berubah tegang lagi. "Kamu kan wakil ketua OSIS, Niel.
Seharusnya kamu lebih mengerti tanggung jawabmu."
"Dan elo kan ketua OSIS, Rima. Memangnya elo boleh
kabur dari meeting?"
Yah, soal itu, dia benar juga. Seharusnya aku tidak me?
ngejarnya, melainkan tetap melakukan rapat. Hanya saja,


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapat sama sekali tidak menyenangkan tanpa dia.
Juga tanpa Erika dan Valeria, yang diam-diam ku?
anggap teman dekat, meski mungkin bagi mereka tidak
begitu. "Aku cuma bakalan telat sedikit," kilahku sambil me?
masang tampang serius. "Aku ngelihat kamu kabur, dan
se?bagai ketua OSIS, aku nggak akan membiarkan ada
yang kabur dari meeting. Kalian bertiga, ayo ikut aku ke
ruang rapat." "Nggak!" Erika maju dengan tampang sengit. Uh-oh.
"Memangnya lo mau ngadain meeting buat apa lagi?"
tuntutnya. "Mau mengadakan pembersihan di sekeliling
sekolah? Tunggu dulu... Yang itu udah dilakuin!"
Mata Erika berapi-api saat memelototiku, membuatku
ingin mundur beberapa langkah lalu kabur sejauhjauhnya. Habis, cewek ini menakutkan banget. Rasanya
se?waktu-waktu dia bisa menjotosku dan membuatku
Isi-Omen4.indd 25 mental hingga ke sungai Amazon yang dipenuhi piran?
ha. Aku tidak ingin membuat masalah dengan Erika, tapi
ter?kadang aku tidak bisa menghindarinya.
"Erika," ucapku pelan, "aku minta maaf kalo aku udah
bikin teman-teman premanmu diusir, tapi pembersihan
itu harus dilakukan demi keamanan lingkungan seko?
lah." "Sekolah kita aman!" teriak Erika. "Nggak ada yang
per?nah dijaili atau dijahatin, kecuali mereka yang benarbenar pantas ngedapetinnya..."
"Nggak ada yang pantas dijahati," tegasku. "Nggak
peduli anak itu ngeselin kamu atau seluruh sekolahan
atau bahkan seluruh dunia, selama dia adalah siswa
Harapan Nusantara, dia berhak mendapatkan perlindung?
an dari sekolah kita."
Erika mendengus. "Karena oknum-oknum kayak elo,
orang-orang sok alim dengan moral rendah bertebaran
di sekolah kita." "Itu sudah sewajarnya. Sekolah kita kan sekolah buang?
an. Tentu sebagian besar siswanya nakal-nakal."
"Mereka berhak mendapat perlindungan, se?mentara
itu, temen-temen gue yang nggak bikin masalah malah
diusir." "Mereka bukan anggota sekolah kita."
Sekali lagi Erika menatapku dengan cara yang mem?
buat?ku kepingin ngibrit sejauh-jauhnya. "Lo berubah
sejak jadi ketua OSIS."
"Betulkah?" tanyaku seraya memiringkan kepala.
"Lo jadi munafik!" bentaknya. "Hei Rima Hujan, lo
bo?leh mengira lo yang berkuasa di sini lantaran lo ketua
Isi-Omen4.indd 26 OSIS dan sebagainya, tapi lo hanya kacung dalam
organisasi The Judges. Lo jadi alat mereka untuk bikin
reputasi sekolah kita semakin bagus dan anak-anak se?
kolah kita semakin manja! Setelah itu, merekalah yang
akan mengeruk duit sebanyak-banyaknya dari anak-anak
itu. Sementara apa yang lo dapetin, dengan mengkhianati
temen-temen lo seperti ini? Waktu luang barangkali,
karena sekarang nggak ada yang berminat main sama elo
lagi!" Hatiku nyeri mendengar tuduhan yang sedikit-banyak
memang menyentil itu, tapi sebelum aku menyahut dan
membela diri, Erika sudah berpaling pada Daniel dan
menyemprotnya. "Dan elo, dasar bajingan tolol! Udah tau cewek ini
cuma kacung The Judges, lo malah juga bantuin dia! Lo
tuh kacungnya kacung, kasta paling rendah! Gue tau lo
ngerasa nggak level main sama anak-anak preman di luar
sana, tapi lo tau sendiri mereka temen-temen gue! Apa
rasa setia kawan lo nggak nyampe ke situ, atau lo me?
mang idiot dari sananya?"
Daniel gelagapan. "Eh, Ka, kok tiba-tiba gue kena dam?
prat?" "Karena gue juga udah mulai enek sama elo!" semprot
Erika lagi. "Bukan cuma gue aja yang udah males main
sama elo. Amir dan Welly juga udah nggak seneng sama
sikap lo yang sok elit. Mentang-mentang wakil ketua
OSIS. Wakil ketua apanya? Dasar kacung! Mending gue
nggak ikut-ikutan sama elo semua. Setidaknya gue masih
Erika Guruh yang bebas merdeka, nggak tunduk sama
perintah-perintah goblok dari organisasi matre sok secret.
Mas!" Isi-Omen4.indd 27 Giliran si empunya warung yang ketakutan. "Saya
nggak salah apa-apa, Non! Saya juga nggak mendukung
pembersihan itu. Ladang pencaharian saya juga jadi sepi
kayak kuburan, Non!"
"Yeee, gue nggak nyalahin elo, Mas, cuma mau minta
bung?kus aja nasi gorengnya secara gue udah nggak
minat makan. Nafsu makan gue ilang semua lantaran
dua manusia nggak lucu ini. Buruan ya, bungkusnya!"
"Iya, Neng!" "Punya si Eneng ini juga!"
Valeria menatap Erika dengan geli, tapi tidak ber?
komentar. Terkadang aku iri pada dua cewek ini. Erika yang
panas dan berapi-api, Valeria yang tenang dan dingin. Erika
selalu menyampaikan pendapatnya dengan blakblakan?
leng?kap dengan semangat membara dan ludah me?
nyemprot?sementara Valeria mendukungnya tidak dengan
kata-kata, melainkan dengan tindakannya yang tenang dan
dingin. Persahabatan antara dua pribadi yang bertolak
belakang, namun sekaligus saling me?lengkapi.
Si empunya warung membungkus nasi goreng dengan
kecepatan yang bisa dibilang luar biasa. Dalam waktu
kurang dari sepuluh detik dua bungkus nasi goreng
sudah berada dalam kantong plastik hitam.
"Erika, Val," ucapku seraya menjaga raut wajahku baikbaik agar tetap tidak menampakkan ekspresi. "Sebelum
kalian pergi, aku hanya ingin bilang sesuatu."
"Apa?" bentak Erika. "Cepet ngomong, gue nggak
punya waktu banyak buat dengerin ocehan elo!"
"Meeting kali ini bukan tentang pembersihan sekolah,
melainkan tentang karyawisata pertama yang akan kita
lakukan tahun ajaran ini. Kalian tentu sudah tau bahwa
sekolah kita selalu mengadakan karyawisata pada awal
tahun pelajaran, kan? Aku butuh masukan dari kalian
semua untuk menentukan tempat mana yang akan kita
tuju." Erika memelototiku selama beberapa detik. "Ya udah,
gue ikut deh! Ayo kita rapat!"
Tepat seperti dugaanku. Karyawisata memang topik
favorit setiap siswa, termasuk Erika Guruh.
1-0 untuk Rima Hujan. *** Isi-Omen4.indd 28 Aku berjalan memasuki ruang rapat mendahului Erika,
Valeria, dan Daniel?dan tak seorang pun menoleh ke
arahku. Cuma memberitahu. Tidak berarti aku tersinggung.
Malah sebenarnya aku lebih senang tidak diperhatikan
orang. Hanya saja, sebagai ketua OSIS, sepertinya aku
tidak bisa mengelak dari kewajiban untuk menjadi pusat
perhatian. Ya, aku tahu, banyak orang kepingin jadi pu?
sat perhatian. Tapi itu kan karena orang-orang itu punya
keistimewaan. Sementara aku, semakin dilihat semakin
banyak kekurangan yang ketahuan. Jadi lebih baik
bagiku kalau tidak ada orang yang memperhatikanku.
Semua mata melirik ke arah Erika, Valeria, dan
Daniel?atau lebih tepatnya, lirikan takut-takut ke arah
Erika dan lirikan penuh kekaguman pada Daniel. Seperti
aku, Valeria jarang mendapat perhatian dari temanteman sekolah kami?dan aku cukup yakin cewek itu
juga sama senangnya denganku saat dianggap tak kasat?
mata. Bedanya denganku, cewek itu sebenarnya punya
segudang kelebihan yang bakalan membuat cewek yang
merasa paling perfect di dunia jadi minder. Aku tidak
pernah mengerti kenapa dia lebih memilih menyimpan
semua kelebihan itu dan menjalani kehidupan yang sepi
ini kalau dia bisa jadi cewek populer yang diidolakan
baik oleh teman-teman cowok maupun teman-teman
cewek. Saat aku naik ke podium, mendadak seluruh ruangan
dipenuhi keheningan yang ganjil. Semua orang melontar?
kan tatapan horor ke arahku, seolah-olah aku sengaja
mengendap-endap lalu mengejutkan mereka dengan pe?
nampilan bak kuntilanak. Yah, aku tak akan membantah,
tadi aku memang mengendap-endap masuk ke warung
nasi goreng melalui pintu belakang, tapi itu kan karena
aku ingin mendengar percakapan anak-anak yang be?
rencana bolos rapat itu. Sedangkan kali ini?dan dalam
banyak kesempatan lainnya?aku benar-benar tidak ber?
niat membuat orang-orang terkena serangan jantung?
pada awalnya. Biasanya sih, setelah melihat reaksi-reaksi
seperti ini, mendadak kejailanku jadi kumat, dan aku
sengaja bikin suasana makin keruh dengan komentarkomentar keji.
"Selamat pagi," ucapku dengan suara rendah yang
entah kenapa terdengar amat sangat jelas dalam ruangan
itu. Mungkin podium kecil pas-pasan ini diam-diam
punya mikrofon tersembunyi, atau barangkali ruangan
ini dibangun dengan teknik arsitektur yang bisa meng?
hantarkan suara dari podium ke seluruh ruangan (ah,
rasanya terlalu berlebihan, padahal sekolah kami kan ter?
masuk pas-pasan). Atau, kemungkinan yang lebih masuk
akal, karena tidak ada yang berani bernapas saat aku
Isi-Omen4.indd 29 sedang bicara. "Kita akan memulai rapat OSIS untuk hari
ini. Bagi yang masih sayang nyawa, silakan berparti?sipasi
dengan aktif dan tertib." Aku bisa merasakan ke?tegang?an
makin menguasai anggota-anggota OSIS. Ku?sembunyikan
senyumku di balik tirai rambut yang me?nutupi wajahku.
"Topik hari ini adalah karyawisata. Kita dikasih bujet
yang nggak terlalu besar dari sekolah buat keperluan ini,
jadi harap ajukan usul yang masuk akal, atau kita ter?
paksa mengeluarkan biaya tambahan seperti tahun
lalu." Selama beberapa detik yang terasa amat sangat lama,
tidak ada yang menjawab. Aku menghela napas. Salah
satu hal yang tidak menguntungkan dengan tampang
menakutkan begini, orang-orang lebih memilih ngibrit
daripada ngobrol denganku. Rasanya memalukan, apalagi
kalau sampai aku dicuekin di depan umum begini.
"Nggak ada salahnya ngeluarin biaya tambahan." Men?
dadak Daniel menjawab sambil bersandar pada kursi,
mata?nya tertuju padaku dan membuat jantungku men?
derap tak keruan seperti kuda disuntik narkoba. "Selama
kita semua bisa menikmati karyawisata di tempat yang
asyik dan keren. Kita semua ingin punya kenang-kenang?
an indah selama SMA, kan?"
Hampir semua mata tertuju pada Daniel dengan pe?
nuh pemujaan. Cowok ini benar-benar luar biasa
charming. Dia barusan mengusulkan agar kami mengeluar?
kan uang lebih, tetapi kami semua langsung manggutmanggut setuju seolah-olah itu ide paling brilian di
dunia. Andai aku yang mengeluarkan ide itu, sudah pasti
aku bakalan mendapat julukan baru: Hantu Tukang
Korupsi. Isi-Omen4.indd 30 Hidup memang tidak adil. "No way, man!" Kini giliran Erika membuka mulut.
"Asal tau aja, Om, nggak semua anak di sini punya duit
banyak buat dihambur-hamburin cuma buat sekadar
kenang-kenangan." "Yah, nggak perlu mahal-mahal," sahut Daniel sambil
mengangkat bahu. "Kita kan udah punya sedikit bujet
dari sekolah. Sayang kan kalo karyawisata yang cuma
setahun sekali ini nggak dipergunakan baik-baik?"
"Apa gunanya ke tempat-tempat bagus kalo sebagian
besar anak yang nggak punya modal nggak bisa ikutan?"
sergah Erika. "Yah, usaha dong. Kayak lo tahun lalu. Seinget gue, lo
minjem duit gue buat karyawisata dan belum bayar sam?
pai sekarang..." "Oke, begini saja," selaku sebelum Daniel mempermalu?
kan Erika dan mengakibatkan cewek itu mencak-mencak
lalu mengacaukan rapat. "Gimana kalo kita bikin karna?
val?" "Karnaval?" tanya Daniel dan Erika berbarengan, se?men?
?tara murid-murid lain menatapku penuh rasa ingin tahu.
"Semacam pasar malam," jelasku. "Kalian tau, ada se?
buah kompleks perumahan terbengkalai di pinggiran
Hadiputra Bukit Sentul. Di sana ada sebuah taman hibur?
an yang sudah terbengkalai juga. Ada komidi putar,
kincir raksasa, dan roller coaster. Kita bisa menyewanya
selama tiga hari: Jumat, Sabtu, dan Minggu. Untuk hibur?
an tambahan, kita bisa bikin sendiri kios-kios yang di?
kelola oleh setiap kelas, dan penghasilan dari setiap kios
bisa kita sumbangkan ke panti asuhan atau panti
jompo." Isi-Omen4.indd 31 Kali ini, di luar kebiasaan, terdengar kasak-kusuk di
antara para anggota OSIS, membahas ide yang baru saja
kulontarkan. Tumben. Biasanya mereka membeku ketakut?
an saat aku membuka mulut.
"Ada badut nggak?" tanya Erika mendadak. "Gue
nggak mau ada badut. Jelek soalnya."
"Nggak ada badut," janjiku, tahu bahwa Erika takut
setengah mati pada badut untuk alasan misterius yang
dirahasiakannya. "Menarik, kita bisa menyewa mesin game untuk anakanak cowok," gumam Daniel. "Lalu kita mengadakan
se?macam kontes. Seperti kontes Dance Dance Revolution,
misalnya." Dance Dance apa sih? "Kita bisa buka stan ramalan cinta," usul Cecil sambil
menatapku malu-malu namun penuh harap, "lalu,
ehm..."

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya, aku punya reputasi mistis lain yang kedengaran
agak-agak mirip penipuan terselubung. Gosipnya, aku
punya bakat meramal yang jitu banget, dan gosip itu
tertuang dalam kemampuan melukisku. Ceritanya, apa
yang kugambarkan akan menjadi kenyataan.
Nah, jelas banget itu hanya gosip murahan kan?
Anehnya, seluruh penjuru sekolah memercayai gosip
itu?mulai dari tukang bersih-bersih yang selalu ngacir
setiap kali aku lewat sampai guru-guru yang harusnya tidak
percaya takhayul. Mengherankan betapa banyak orang
yang bersedia memercayai hal-hal yang tidak masuk akal.
Sejujurnya, aku memang pandai melukis?bukan ka?
rena bakat, tapi hanya karena aku betul-betul suka me?
lakukannya. Melukis adalah satu-satunya cara untuk
Isi-Omen4.indd 32 me?redam otakku yang terlalu sering berpikir. Otakku
yang terlalu banyak mikir inilah penyebab aku dibilang
bisa meramal. Hanya dengan mengetahui beberapa fakta
yang mungkin tak diperhatikan orang lain, aku bisa
menarik kesimpulan yang tepat mengenai seseorang, atau
apa yang akan terjadi. Secara geometri, itu hanyalah me?
nemukan titik temu beberapa garis yang saling me?
motong. Amat sangat mudah dan masuk akal.
Kebiasaan ini terkadang membuatku tak bisa tidur se?
malaman. Terkadang ada dua-tiga fakta yang saling ber?
singgungan dan aku mulai menduga-duga kejadian apa
yang dimaksud, dan tahu-tahu saja pagi sudah men?
jelang. Seandainya ini terjadi terus selama sisa hidupku,
sudah pasti aku akan berakhir di rumah sakit jiwa de?
ngan diagnosis "mengira dirinya keturunan Batman".
Aku pun berusaha mengalihkan perhatianku dengan
melukis. Pengalihan itu berhasil, namun sebagai gantinya
terkadang tanpa sengaja aku menuangkan pikiranku pada
lukisanku. Tapi kalau ditanya, apa aku punya kemampuan mistis,
jawabanku jelas banget: tidak. Mungkin di dunia ini
memang ada orang-orang yang punya kekuatan mistis?
kita tidak pernah menduga seberapa banyak hal yang
belum pernah kita temui kan?tapi aku bukanlah salah
satu?nya. Aku hanyalah siswi SMA biasa yang punya
rambut kelewat lebat, kepercayaan diri yang kelewat
rendah, dan otak yang kelewat sering kerja. Juga seperti?
nya sifat yang kelewat iseng, karena aku hampir tidak
pernah membantah gosip itu Terus terang semakin lama
aku semakin menikmati peran sebagai cewek seram de?
ngan kekuatan mistis. Isi-Omen4.indd 33 Namun, ide membuka stan ramalan cinta ini seperti?
nya terlalu berlebihan. Maksudku, memangnya aku bisa
meramal kisah cinta seseorang? Aku bahkan tak becus
mengurus kisah cintaku sendiri. Kemungkinan besar aku
akan meramalkan akhir yang tragis dan mengenaskan
bagi kisah cinta setiap orang biar mereka merasa senasib
dan sepenanggungan denganku.
Akan tetapi... "Jangan khawatir," sahut Daniel dengan nada manis
yang menenangkan. "Meski tampangnya seram, ketua
OSIS kita berhati mulia. Dia nggak akan menolak per?
mintaan kita. Bahkan, bukan cuma masalah cinta yang
akan dia ramalkan buat kita, tapi juga keluarga, per?
sahabat?an, dan masa depan. Benar nggak, Ketua OSIS?"
Aku memelototi Daniel, berharap dia keder dan me?
nuruti keinginanku?seperti yang akan dilakukan orangorang lainnya?tapi berbeda dengan tadi, kali ini dia
tidak terpengaruh olehku. Sejujurnya, belakangan ini dia
memang tidak terlihat takut padaku. Reaksinya yang ber?
lebihan di warung nasi goreng tadi pagi mungkin hanya
karena kemunculanku tak terduga olehnya. Sementara
pada saat-saat lain, seperti sekarang ini, dia malah mem?
balasku dengan mengedipkan mata.
Demi anjing-anjing Cerberus yang imut-imut, Daniel
memang ganteng banget. Rasanya aku kepingin meleleh
dan mengatakan aku bersedia jadi tukang ramal pinggir
jalan asal dia mau jadi pacarku.
Jaga imej, Rima. Jaga imej.
"Kita lihat saja nanti," senyumku. "Sekarang kita akan
fokus dulu dengan pembagian tugas. Mari kita bikin su?
sun?an panitianya. Selain anggota OSIS, kita juga akan
Isi-Omen4.indd 34 melibatkan para pengurus kelas. Setiap kelas bertanggung
jawab atas satu stan kreatif, semuanya akan melapor lang?
sung padaku dan Daniel."
Kami menghabiskan satu jam berikutnya untuk me?
nyusun struktur panitia karnaval. Di tengah-tengah ke?sibuk?
an itu, saat sedang menulis di papan tulis, kurasa?kan
tatapan tajam menusuk punggungku. Tanpa me?noleh, aku
tahu siapa yang melontarkan tatapan me?nakutkan itu.
Erika Guruh. Saat rapat berakhir, aku sengaja menunggu hingga se?
mua orang keluar dari ruangan. Akan tetapi, alih-alih
keluar bersama anak-anak lain, Erika dan Valeria malah
me?nungguku. Selama beberapa waktu, keduanya menatap?
ku tanpa berkata-kata, tapi cukup untuk menyatakan
per?musuhan mereka padaku.
Sayang sekali, padahal aku selalu menganggap ke?dua?
nya teman-teman baikku. "Lo ngejebak kami lagi, ya?" tanya Erika dengan nada
beku. "Lo bilang kita akan bahas tempat wisata. Ke?nyata?
an?nya, semuanya berjalan sesuai dengan usul lo sen?
diri." "Itu karena nggak ada yang membantah usulku."
"Elo menggiring semuanya dengan sangat halus," ke?
cam Erika. "Lo nyebut-nyebut soal panti jompo dan
panti asuhan!" "Apa salahnya?" tanyaku kalem. "Toh memang kita
ingin menyumbang ke panti jompo dan panti asuhan."
"Yah, tapi gara-gara lo nyebut-nyebut begituan, yang
ngebantah bakalan dianggap nggak punya hati! Lo guna?
in orang jompo dan anak-anak yatim piatu supaya saran
lo diterima!" Isi-Omen4.indd 35 Aku berusaha memasang wajah datar, menyembunyikan
rasa kaget dan malu lantaran taktikku ketahuan. Padahal
kukira tak bakalan ada yang memperhatikan hal itu.
"Apa ini salah satu rencana dari The Judges juga?"
tanya Valeria tiba-tiba. "Rencana ini murni dariku kok," sahutku jujur, tapi
tidak mengatakan lebih banyak lagi.
Erika mendekatiku, begitu dekat sampai-sampai aku
bisa melihat kedutan urat di pelipis kanannya. "Gue kira
lo bisa dipercaya. Bukan cuma gue, tapi juga Val. Tapi
setiap kali kami ngasih lo kesempatan, lagi-lagi lo
manipulasi kami berdua supaya terlibat dalam rencana
The Judges. Padahal kami sudah bilang, kami nggak
berminat ikut urusan The Judges. Ini terakhir kalinya,
Rima Hujan. Sekali lagi lo manipulasi kami, kita akan
jadi musuh besar." Lidahku terasa kelu mendengar ucapan-ucapan yang
memecutku secara verbal itu. Tanpa bisa membela diri,
kubiarkan dua cewek itu melangkah keluar dari pintu
ruang rapat OSIS. Dan mendadak aku merasa amat sangat kesepian.
Isi-Omen4.indd 36 Daniel DENGAN langkah ringan dan ceria, aku berlari menuju
tempat parkir sepeda. "Daniel Yusman, tunggu dulu!"
Mendengar suara cempreng yang sok galak itu, seluruh
tubuhku langsung berhenti bergerak. Gayaku masih
seperti orang yang berlari dengan gaya keren sementara
aku berpaling pada Pak Rufus dan bertanya dengan suara
manis, "Ada apa, Pak?"
Pak Rufus, guru piket sekolah kami yang tinggi, ke?riting,
dan superkepo, memandangiku dengan mata curi?ga yang
lebay banget. "Ngapain kamu lari-lari centil gitu?"
Sial. "Pak, ini lari-lari ceria seorang cogan, tahu?"
Pak Rufus menyipitkan mata. "Buat Bapak, kamu ke?
lihat?an seperti kesurupan Mbak Yul."
"Siapa Mbak Yul?" tanyaku heran.
"Itu lho, yang ada di sinetron Tuyul dan Mbak Yul."
"Eish, Bapak!" decakku. "Mana mungkin saya punya
waktu buat nonton sinetron, setelah guru-guru cekokin
saya PR, ulangan, belum lagi tugas-tugas rumah tang?
ga?" Isi-Omen4.indd 37 "Memangnya kamu punya tugas rumah tangga apa?"
tukas Pak Rufus dengan tatapan menghina. "Paling-pa?
ling kerjaan rumah tangga kamu beresin tempat tidur.
Itu pun seminggu sekali."
"Eits, jangan salah Pak," ucapku sambil cengengesan.
"Saya kan cinta rumah banget. Maklum, itu kan investasi
bagus di masa depan. Lagi pula, pekerjaan rumah yang
paling tepat buat saya, ya nyiram tanaman dan cuci
mobil. Sekalian ngecengin cewek lewat gitu lho, Pak.
Dan omong-omong soal cewek lewat, itu ada cewek
cantik lewat. Saya duluan ya, Pak!"
Aku bisa mendengar Pak Rufus terbata-bata di belakang?
ku, mungkin lantaran menyadari identitas cewek yang
kukejar, tapi aku tidak memedulikannya lagi. Cepat-cepat
aku berlari memasuki tempat parkir sepeda dan
nangkring di sebuah sepeda mini berwarna hitam. Saking
imutnya, sepeda itu nyaris roboh saat aku menemplok
pada sepeda itu. Untung saja refleksku bagus. Aku
berhasil mempertahankan sepeda itu pada posisinya
seraya memasang gaya ganteng di atas sadel.
Namun saat membuka mulut, lidahku mendadak
kelu. "Hai," setelah berusaha sekuat tenaga, hanya kata
itulah yang bisa kuucapkan.
Cewek itu menatapku dari balik rambutnya yang
panjang dan halus, bagaikan tirai sutra yang lembut dan
pastinya akan terasa menyenangkan saat disibak. Namun
ekspresi cewek itu begitu datar, dingin, dan sulit ditebak,
membuatku tidak berani berpikir macam-macam. Seumur
hidup, belum pernah aku ketemu cewek yang begini
menakutkan. Bukan secara fisik, tentu saja, karena secara
Isi-Omen4.indd 38 fisik cewek ini salah satu cewek tercantik yang pernah
kutemui. Sesuai karakternya yang dingin, cewek ini tidak suka
basa-basi. "Ngapain kamu ada di sini, Niel?"
"Aku, ehm, gue..." Sejenak aku terbata-bata, lalu ber?
deham seraya menenangkan jantungku yang sepertinya
sedang asyik menggebuki rongga dadaku. "Lo pulang
sama siapa?" Pertanyaan tolol. Pasti kalimat itulah yang terlintas da?
lam pikiran cewek tanpa ekspresi di depanku ini. "Sen?
diri?an." "Oh. Kalo gitu, boleh gue temenin?"
Cewek itu lagi-lagi hanya menatapku selama beberapa
lama, membuatku merasa salting dan bodoh. "Sebaiknya
nggak." "Kenapa?" "Aku sudah pernah bilang, aku nggak kepingin temen?
an sama kamu." Ouch. Ucapan itu menancap telak di ulu hatiku, me?
nimbulkan rasa nyeri yang lebih banyak membuatku
sedih daripada sakit hati. Percaya atau tidak, cewek yang
kelihatannya tak berperasaan ini pernah menyukaiku.
Aku tidak pernah bisa melupakan ucapannya saat itu.
"Aku suka sama kamu," katanya dengan wajah khasnya
yang tanpa ekspresi, seolah-olah sedang membicarakan
topik membosankan yang tak bakalan menarik perhatian
orang, seolah-olah tidak sadar bahwa aku nyaris men?
dapat serangan jantung mendengarnya, "Aku suka sama
kamu, di saat aku tahu betul perasaanmu hanya tertuju
pada Valeria Guntur. Aku tetap suka sama kamu, di saat
kamu jelas-jelas nunjukin bahwa waktu ada Valeria, kamu
Isi-Omen4.indd 39 nggak memedulikan keberadaan orang lain, termasuk aku.
Juga di saat kamu mengorbankan tanganmu untuk Valeria,
tanpa ingat bahwa tanganmu adalah salah satu hal yang
paling berharga bagimu. Aku merasa seperti orang bodoh,
berharap setengah mati kamu mau menoleh padaku di saat
ada Valeria. Aku merasa tolol karena mengira kamu benarbenar mau berteman denganku, padahal kamu hanya mau
me?manfaatkanku. Aku merasa konyol mengorbankan diriku
karena nggak tahan melihat kamu terluka. Semua ini harus
kuhentikan, sebelum aku mulai benci sama diriku sendiri.
Jadi maaf, kalo kamu mau mencari cewek untuk diperalat,
cari aja cewek lain yang lebih bodoh dariku."
Omaygattt! Dari mana aku bisa tahu Rima Hujan,
cewek paling dingin yang pernah kukenal, bisa jatuh
cinta padaku? Bukannya aku tidak pernah mendapat
pengakuan cinta. Aku tidak ingin kedengaran sok, tapi
masalah itu sudah menjadi sejenis berita basi buatku.
Entah melalui surat cinta tulisan tangan, e-mail yang
diketik dengan font cantik dan background hati, SMS yang
dipenuhi singkatan-singkatan yang terkadang tak ku?
mengerti, hingga pengakuan melalui BBM dan WA yang
dipenuhi dengan emotikon ciuman.
Tetap saja, sampai mati pun aku tak bakalan menduga
Rima juga jatuh cinta padaku, bahkan mengakuinya di
depan hidungku sendiri. Sialnya, pengakuan cinta itu diiringi juga dengan
keputusannya untuk melupakan perasaannya padaku. Di
saat aku sedang deg-degan tak keruan, kepingin berdansa
sekaligus menangis terharu, dan berusaha memaksa
otakku berpikir supaya aku bisa memberikan jawaban,
cewek itu malah bilang dia ingin berhenti mencintaiku.
Isi-Omen4.indd 40 Lebih gila lagi, dia menandaskannya dengan bilang dia


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak ingin berteman lagi denganku. Setidaknya, tidak
seperti dulu. Padahal justru aku kepingin seperti dulu. Asal tahu
saja, sejak pertama kali kami saling mengenal, dalam
sekejap kami langsung akrab. Aku mengagumi ke?mampu?
annya yang luar biasa. Orang bilang, Rima bisa meramal.
Namun dalam kenyataannya, cewek itu jauh lebih hebat
lagi. Cewek itu hanya mendengarkan fakta dan mem?
perhatikan detail-detail yang tidak menarik perhatian
orang lain, lalu menarik kesimpulan dari semua infor?
masi itu. Alhasil, hampir setiap kali dia berhasil mem?
prediksikan apa yang akan terjadi, orang-orang jadi ter?
cengang. Mirip Sherlock Holmes versi cewek, kira-kira seperti itu
deh. Namun kini aku kehilangan semua itu hanya karena
aku bolot banget. Seandainya saja dari awal aku sadar
Rima suka padaku. Aku tidak bisa memungkiri aku per?
nah sangat menyukai Valeria?dan masih menyukainya
hingga sekarang. Aku mungkin tidak bisa membalas
perasaan Rima, meski buatku dia salah satu teman yang
sangat berharga. Tetapi setidaknya aku akan berusaha se?
keras mungkin tidak melakukan hal-hal yang akan me?
nyakiti hatinya. Yah, satu hal yang perlu Rima tahu juga. Aku mung?
kin cowok yang cuek, santai, bahkan termasuk kategori
pemalas. Tapi kalau aku sudah menganggap seseorang
atau sesuatu berharga, aku akan berusaha keras demi
men?dapatkan atau mempertahankan orang atau benda
itu. Apalagi, aku punya satu modal penting: aku muka
Isi-Omen4.indd 41 badak banget. Jadi, tidak peduli Rima sekarang meng?
anggap?ku setara dengan kecoak menjijikkan yang harus
dibasmi atau salesman tidak tahu malu yang mukanya
perlu ditendang, aku akan berusaha mengembalikan
hubung?an kami dengan tekad keras yang mungkin radarada memalukan.
"Kalo lo nggak mau pulang sama gue, ya nggak apaapa, itu hak lo. Tapi, gue juga berhak punya keinginan
untuk pulang sama elo, kan?"
Rima mengamatimu. "Jadi kamu mau apa?"
"Yah, gue akan tetep pulang sama elo," sahutku
ringan. "Lo bisa pulang naik sepeda seperti biasa, anggap
aja hari ini nggak berbeda dengan kemarin atau hari-hari
se?belumnya. Sementara gue akan ngikutin dari bela?
kang." "Itu kan semacam stalking."
"Bukan stalking kalo gue udah ngomong sebelumnya
sama elo. Lagian, lo juga tau kan kalo gue bukan cowok
yang berbahaya?" Kali ini salah satu ujung bibirnya melengkung naik.
"Sebenarnya, aku merasa sebaliknya. Tapi kamu benar,
aku nggak berhak ngelarang keinginanmu. Sebaliknya,
maaf ya kalo aku cuekin kamu."
"No problem." Selama beberapa saat kami bertatapan lagi, sampaisampai aku menjadi rikuh. Oke, ini aneh banget. Biasa?
nya cewek yang tersipu-sipu saat kutatap lama-lama, tapi
kini aku yang duluan merasa wajahku mulai panas.
"Ehm, sekarang gimana?"
"Yah, pertama-tama kamu harus menyingkir dari se?
pedaku dulu supaya aku bisa pulang."
Isi-Omen4.indd 42 Oh ya. "Ups. Sori."
Cepat-cepat aku bangkit berdiri, sementara Rima segera
mengambil alih sepedanya dariku. Saat dia sedang ber?
siap-siap menaikinya, aku buru-buru meletakkan pantat
seksiku di sadel belakang.
Sambil menahan geli, aku melihat Rima mulai meng?
genjot sepedanya?dan benda itu tidak bergerak sama
se?kali. Cewek itu menggenjot sekali lagi, dan sekali
lagi?tampak jelas banget kebingungannya meski hanya
dari punggungnya. "Daniel." "Yep." "Kamu duduk di sadel belakang?"
"Yo?i." Cewek itu memalingkan separuh wajahnya ke bela?
kang. Omaygattt, dia cantik banget! "Bisa tolong tu?
run?" "Nggak bisa," sahutku. Maunya sih aku menjawab,
"Gue nggak mau disuruh jauh-jauh dari cewek secakep
elo," tapi mungkin dia akan memberiku tatapan Sadako
yang mematikan. Jadi, alih-alih berkata begitu, aku mem?
berikan jawaban yang lebih masuk akal. "Kalo gue turun,
nanti gue pulang bareng lo naik apa?"
"Itu kan urusanmu sendiri. Jangan repotin aku dong.
Lagian, kamu lihat sendiri aku nggak kuat ngebonceng
kamu." "Yah, bisa aja aku yang ngebonceng kamu, kan?" Aku
memiringkan tubuhku, berusaha mengintip wajah Rima
di sadel depan. "Boleh ya? Boleh ya? Boleh ya? Boleh ya,
Rimaaa..." Kudengar cewek itu menghela napas keras-keras,
Isi-Omen4.indd 43 seolah-olah kesabarannya sudah berada di ambang batas.
Gawat, sepertinya aku bakalan diusir pergi.
"Oke." Nada suaranya mirip nada suara om-om yang
ter?paksa mengizinkan anaknya berkencan denganku
lantaran anaknya telanjur cinta mati denganku (jangan
tanya?kan padaku siapa cewek yang kumaksud, atau be?
rapa cewek yang telanjur cinta mati padaku. A gentleman
doesn?t kiss and tell). Dan kelegaan yang kurasakan sama
persis dengan perasaan waktu aku kabur dari hadapan
om-om itu seraya membawa putrinya (tidak heran ba?
nyak om-om yang benci padaku). "Dasar tukang
paksa." Berhubung aku sudah biasa dicaci-maki cewek (dan
orangtua mereka), aku bisa membedakan makian yang
dipenuhi angkara murka dan makian kosong yang
dilakukan hanya karena mereka tidak tahu harus berbuat
apa terhadapku. Yang dilakukan oleh Rima, tentu saja,
adalah kategori terakhir ini.
Yep, bukannya aku bangga, tapi aku memang sering
bikin orang-orang pusing tujuh belas keliling.
Dengan riang aku berpindah tempat duduk dengan
Rima. Perasaanku makin girang saja tatkala cewek itu
melingkarkan tangannya ke pinggangku. Untunglah
perut?ku six pack, jadi tidak malu-maluin dalam kondisi
se?perti ini. Siapa tahu hati Rima malah jadi luluh.
Hihihihi. Sudah, sudah. Jangan berpikiran yang tidak-tidak dulu.
Sekarang aku harus menggenjot sepeda.
Tubuh Rima ringan seperti peri, terutama karena cewek
itu memang lebih kurus dibandingkan cewek-cewek ke?
banyakan, termasuk Erika dan Valeria yang diam-diam
Isi-Omen4.indd 44 menyimpan otot di tubuh mereka yang langsing. Jadi
sebenarnya aku tidak memiliki kesulitan sama sekali
untuk membawa sepeda ini. Masalahnya, sepeda itu kan
kecil dan ringkih. Saat menggunakan kendaraan imut
ini, tahu-tahu saja jalanan berubah menjadi dunia yang
ganas dan dipenuhi musuh. Kalau tidak hati-hati, bisabisa kami berdua disenggol motor, dilindas mobil, atau
dibikin mental oleh kendaraan lain yang lebih brutal
seperti angkot atau truk.
Lumayan seru sih. Aku selalu senang menghadapi
musuh yang banyak. Tentunya, tidak semua musuh perlu
diajak berantem, terutama di saat aku sedang berada di
posisi yang tidak menguntungkan. Ada kalanya kita per?
lu mencari jalan hanya sekadar supaya bisa selamat.
Seperti saat ini, misalnya. Aku sengaja menggenjot habishabisan supaya bisa melewati jalan raya yang dipenuhi
kendaraan yang seolah-olah saling berlomba keluar dari
sekolah kami. Kelakuan kami semua persis seperti napi
yang mendapati pintu penjara sedang terbuka. Semuanya
kabur dengan kecepatan tinggi dan muka psikopat.
Saat sedang kebut-kebutan di sela-sela motor dan mo?
bil?astaga, rasanya asyik banget menjadi pemenang di
saat-saat kita dikira underdog?kurasakan kuku-kuku pan?
jang menggaruk-garuk halus perutku dan membuatku
ke?gelian. "Tolong dong, jangan menyabung nyawa cuma
gara-gara lalu lintas."
"Rima, nyawa kita akan lebih terancam nih, kalo lo
kitik-kitik gue di saat gue sedang jadi tempat bergantung
nyawa kita berdua." "Maaf." Namun karena teguran itu, aku jadi sadar betapa dua
Isi-Omen4.indd 45 tangan itu memelukku erat-erat sejak tadi. Omaygatt, aku
benar-benar cowok keji, sama sekali tidak menyadari
betapa takutnya cewek ini sementara aku asyik me?
nentang bahaya. Aku segera membelokkan sepeda ke ja?
lan yang lebih sepi dan mengurangi kecepatan.
"Lebih oke begini?"
Aku bisa merasakan cewek itu mengangguk di dekat
punggungku. "Iya."
"Sori ya, udah bikin lo ketakutan. Padahal gue yang
maksa nganterin lo pulang."
"Memang sih." Dia diam sejenak. "Tapi aku nggak
takut-takut amat kok."
"Iya, lo memang salah satu cewek paling berani yang
per?nah gue temui." Diam lagi. "Jangan muji aku lagi, Niel."
"Kenapa?" "Aku tau kamu nggak bersungguh-sungguh kok, jadi
kamu nggak perlu mengumbar omongan seperti itu
lagi..." Aku menekan rem kuat-kuat dan menghentikan se?
peda, lalu menoleh ke belakang. Mata Rima agak me?
lebar, menandakan cewek yang biasanya tidak punya
eks?presi itu sebenarnya kaget melihat tindakanku. Dan
ke?dua mata itu makin melebar saja saat aku men?dekat?
kan wajahku yang berang pada wajahnya.
Sesaat aku kehilangan kata-kata dan hanya terpesona
menatap wajahnya. Saat cewek itu menarik diri, spontan
aku langsung menahan punggungnya sehingga dia tidak
bisa kabur tunggang langgang sambil berteriak me?
manggil polisi (Rima bukan tipe cewek yang akan me?
laku?kan hal yang begini heboh, tapi siapa tahu).
Isi-Omen4.indd 46 "Daniel," ucap Rima dengan suara pelan sehingga nya?
ris berbisik, "kamu mau apa?"
Oke, aku nyaris lupa apa yang ingin kukatakan. "Rima,
gue mungkin cowok brengsek yang nggak pantas jadi
temen lo lagi. Gue mungkin udah nyakitin elo dengan
banyak tindakan goblok. Tapi please, Rim, percaya deh,
selama ini gue selalu serius dengan setiap ucapan gue
tentang elo. Dan gue sedih kalo lo menganggap selama
ini gue cuma mengumbar omong kosong."
Selama beberapa waktu, Rima hanya diam. "Kamu
bicara begitu karena ada yang dengerin kita?"
Hah? Aku celingak-celinguk, tetapi tidak melihat ada siapa
pun juga di sekitar kami. "Nggak kok. Memangnya ada
siapa?" Rima diam lagi. "Mungkin hanya perasaanku."
Oke, aku mulai tersinggung. "Lo kira gue ngomong
be?gitu karena ada yang dengerin?"
"Maaf." "Lo kira maaf aja udah cukup?" Sebenarnya, hanya
dengan sepatah maaf darinya, kemarahanku langsung
lenyap tak bersisa (ya, aku tahu kedengarannya parah
banget, tapi mana mungkin aku bisa berlama-lama
marah pada cewek ini?). Namun berhubung jarang sekali
melihat cewek itu salah tingkah, diam-diam aku me?
nikmati kondisi yang langka ini dan berniat meng?guna?
kannya dengan sebaik mungkin. "Kalo memang nyesel,
seharusnya lo melakukan sesuatu buat nebus kesalahan
lo itu. Seperti gue gini lho, udah nyesel karena gue dulu
bego, sekarang setiap hari gue berusaha pedekate sama
elo." Isi-Omen4.indd 47 Sekali lagi, jarang banget melihat seorang Rima Hujan
tampak kebingungan. "Memangnya kamu mau aku
ngapa?in?" "Mulai sekarang, lo harus percaya apa pun yang gue
kata?kan soal elo." Rima menunduk sedikit. "Aku nggak janji."
Haishhh. Susah ngomong dengan cewek ini. "Ya udah,
tapi minimal lo bisa usahain, kan?"
"Ya, akan kuusahain."
Sementara ini, itu juga sudah cukup. "Oke, sekarang
gue anter pulang," ucapku seraya naik ke atas sepeda
lagi. "Jangan banyak bacot lagi. Cepat naik!"
Mendadak punggungku terasa meremang?seolah-olah
ada seseorang yang sedang mengamatiku dengan tatapan
tajam menusuk. Aku menoleh ke belakang, dan men?
dapati jalanan kosong melompong seperti yang kukira.
Aneh. Yah, aku kan bukan cenayang. Aku tidak punya indra
keenam atau apa pun yang mirip-mirip kemampuan itu.
Ini pasti cuma sugesti lantaran ucapan Rima tadi. Lagian,
siapa sih orang kurang kerjaan yang mau membuntuti
aku dan Rima? Memangnya apa yang kepingin mereka
curi dengar? Kami membicarakan cara menyelamatkan
dunia? Kami bahkan tidak menyinggung soal rapat OSIS
sama sekali. Baru saja aku berpikir begitu, mendadak Rima bertanya
dari belakang, "Omong-omong, kamu nyesel ya, jadi
wakil ketua OSIS?" Gila. Kurasa cewek ini memang cenayang betulan.
"Nggak. Memangnya kenapa?"
"Aku dengar kata-kata Erika tadi. Sepertinya," dia ragu
Isi-Omen4.indd 48

Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenak, "kamu dianggap pengkhianat oleh teman-teman?
mu." "Ah, mereka cuma lagi bertingkah aja," cemoohku.
"Biasalah, anak-anak. Begitu ada temen yang mulai growup, mereka jadi merasa tertinggal dan ngambek."
"Jadi kamu mulai grow-up?"
Jantungku meloncat-loncat kegirangan saat menyadari
ucapan itu bernada senyum. "Lho, lo kagak berasa?
Sekarang ini Daniel Yusman udah berubah. Nggak ada
lagi Daniel Yusman yang suka bolos..."
"Tadi kayaknya kamu nyaris bolos."
"Eh, tadi gue kan cuma kepingin menangkap penjahat.
Sumpah! Buktinya gue nggak pesen makanan."
"Iya deh." Sekali lagi, aku mendengar nada senyum.
Wah, sepertinya aku masih punya kesempatan dengan
cewek ini. Semoga. Please God, please. "Tapi Erika dan
Valeria benar, Niel. Aku memang bekerja untuk The
Judges. Kalo kamu bekerja di OSIS, kamu akan ikut
bekerja untuk The Judges..."
"Gue juga anggota The Judges, Rim," selaku. "Jadi kita
bekerja untuk diri sendiri. Lagian, nggak ada salahnya
bekerja untuk organisasi paling berkuasa di sekolah. Toh
mereka nggak berniat mencelakakan anak-anak sekolah
kita. Erika dan Valeria cuma nggak suka diatur-atur. Yah,
siapa sih yang seneng diatur-atur? Tapi gunanya per?
aturan ya supaya kita bisa hidup teratur dan beradab."
Oke, diam-diam aku merasa omonganku rada munafik.
Sama seperti Erika dan Valeria, aku juga tidak senang
diatur-atur. Seandainya saja The Judges memintaku me?
lakukan sesuatu yang tak kusukai, sudah pasti aku akan
me?nentangnya habis-habisan. Tetapi, demi pedekate
Isi-Omen4.indd 49 dengan Rima, aku bersedia berpura-pura jadi anak ayam
yang jinak. Ya deh, aku mengaku, aku memang munafik. Demi
cewek, aku bersedia melakukan hal-hal yang tak kusukai.
Silakan katai saja aku sesukanya, aku tak peduli. Pokok?
nya, demi memperbaiki hubunganku dengan Rima, aku
bersedia jadi anak paling patuh dan cupu di dunia.
"Aku senang kalo kamu nggak nyesel. Aku cuma
nggak mau mempergunakan rasa bersalahmu, Niel."
Ups. "Ini bukan rasa bersalah kok, Rim. Bukan sama
sekali." Ya, betul. Ini bukan rasa bersalah, melainkan... apa ya?
Aku juga tidak tahu. Aku tak akan menyangkal aku amat
sangat mengagumi Rima. Tapi kalau lebih dari itu, entah?
lah. Aku mengakui, aku masih suka banget pada Valeria.
Yah, rasa suka itu memang berubah sejak aku menyadari
dia tidak akan pernah membalas perasaanku, tapi tetap
saja perasaan itu tidak hilang.
Ah, brengsek. Aku harus bagaimana?
Kami tidak banyak bicara lagi hingga akhirnya kami
tiba di kompleks perumahan yang dihuni Rima. Percaya
atau tidak, cewek ini tinggal di kompleks perumahan
yang terbengkalai. Ya, betul. Seolah-olah segala sesuatu
tentang dia belum cukup mengerikan. Gosipnya, pernah
ada pembantaian besar-besaran di perumahan ini, di?
lakukan oleh salah satu penghuni yang sakit jiwa, meng?
akibatkan tak ada satu pun orang yang punya akal sehat
yang mau membeli rumah di sana. Kompleks Terkutuk,
itulah nama yang diberikan untuk kompleks itu.
"Taman hiburan yang akan kita sewa ada di sana,"
kata Rima sambil menunjuk ke arah luar kompleks, mem?
Isi-Omen4.indd 50 buatku lega banget. Serius, meski aku bukan pengecut,
aku tidak kepingin naik roller coaster di Kompleks Ter?
kutuk. Bisa-bisa cerita Final Destination bukan sekadar
cerita film belaka lagi. Hiii. "Tapi jangan khawatir, taman
itu masih termasuk bagian dari kompleks ini kok. Maka?
nya sewanya murah." Omaygatt. Aku malah berharap taman itu tidak ter?
masuk bagian dari kompleks ini. Dasar Rima, tidak me?
ngerti ketakutan orang. "Eh, Rim," ucapku hati-hati. "Memangnya lo kagak
takut kalo nanti ada kejadian aneh-aneh di karnaval
kita?" "Nggak mungkin." Suara Rima terdengar datar. "Selama
aku tinggal di sini, nggak pernah ada kejadian yang me?
ngerikan kok, kecuali..."
"Kecuali?" Tapi Rima tidak menyahutku.
"Rima?" Terasa gerakan yang nyaris tak kentara di be?
lakangku, namun cukup untuk memberitahuku bahwa
cewek itu barusan tersentak dari lamunan. "Ada apa?"
"Nggak," sahut cewek itu dengan suara pelan me?nye?
rupai bisikan. "Hanya saja... aku yakin kita diikuti
orang." Tanpa menghentikan sepeda, aku berusaha mendeteksi
keberadaan seorang penguntit. Namun sekali lagi, tidak
ada bunyi lain selain yang kami timbulkan.
"Mereka nggak ikut masuk ke dalam kompleks," bisik
Rima lagi. "Kurasa mereka takut."
Yep, tidak banyak orang yang berani masuk ke kom?
pleks ini. "Menurut lo, kira-kira siapa yang ngikutin
kita?" Isi-Omen4.indd 51 Jeda sesaat. "Entahlah."
Hmm, Rima menyembunyikan sesuatu. Kurasa dia
tahu siapa yang menguntit kami. Tapi tak apalah, aku
bisa mencari tahu sendiri juga kok.
Kami tiba di depan rumah Rima, sebuah gudang
raksasa yang terlihat terbengkalai dan nyaris tersembunyi
di balik pohon-pohonan yang lebat. Tipe bangunan yang
pastinya akan dilewatkan oleh hampir semua orang.
Kalau saja aku tidak tahu itu adalah tempat tinggal
Rima, aku juga tak memperhatikan bangunan itu.
Aku dan Rima turun dari sepeda, lalu kuserahkan se?
peda itu padanya. "Aku masuk dulu," pamit Rima padaku.
"Oke," senyumku. "Masuk gih. Gue tunggu sampe lo
masuk dulu." Rima mengangguk. "Hati-hati pulangnya, Niel."
Ah, dia masih perhatian padaku rupanya. Yihaaa.
Dengan riang aku berjalan keluar dari kompleks. Benar
kata Rima, kompleks ini sebenarnya tidak terlalu me?
nakut?kan. Hanya saja semua rumah yang ada di sini
kosong, taman-tamannya terbengkalai, dan hanya Tuhan
yang tahu makhluk-makhluk apa yang bercokol di dalam
sana... Omaygattt. Aku jadi takut lagi. Buru-buru ngacir ah!
Isi-Omen4.indd 52 Rima AKU menutup pintu dan menghela napas.
Aku tidak mengerti kenapa Daniel harus melakukan
hal-hal seperti ini. Mengantarku pulang, misalnya. Untuk
apa dia bersikap baik hati padaku? Aku kan bukannya
dendam padanya atau apalah. Sejauh ini, kami berdua
bisa bekerja sama tanpa perlu berteman baik kok. Tapi
ke?napa mendadak dia memaksa untuk mengantarku
pulang begini? Belum lagi soal keterlibatannya di OSIS. Daniel tidak
jauh berbeda dengan Erika dan Valeria yang tidak suka
terbelenggu peraturan. Kenapa mendadak dia jadi
anggota aktif yang selalu mendukungku dalam setiap
kegiatan OSIS? Haishh, pasti dia masih merasa bersalah karena sudah
menolakku. Padahal dia tidak perlu merasa begitu. Aku
kan sudah bilang padanya, aku sendiri yang akan ber?
usaha melupakan dia. Tapi kalau dia dekat-dekat terus
seperti ini, bagaimana caranya aku bisa melupakan se?
mua perasaan ini? Kadang-kadang cowok memang bodoh.
Isi-Omen4.indd 53 Aku menyusuri koridor menuju kamarku. Rumahku
yang mirip gudang raksasa ini sebenarnya terdiri atas
lorong-lorong yang simpang siur membentuk beberapa
tingkat, termasuk dua tingkat di bawah tanah. Loronglorong ini bisa diubah-ubah dengan tuas mekanik sesuai
ke?inginanku?beberapa menuju ruangan-ruangan yang
jumlahnya hanya sedikit, sisanya menuju jebakan-jebak?
an yang akan membuat kapok siapa pun yang berani
memasuki rumah ini: paku-paku yang ditebar di lantai,
lubang yang mengarah ke tempat pembuangan sampah,
ruangan-ruangan yang dipenuhi alat-alat pembunuhan,
sel-sel penjara. Yang lebih keren lagi, aku sendirilah yang meng?
gambari dinding lorong-lorong ini dengan cat minyak?
beberapa di antaranya kucampur dengan fosfor supaya
bisa menyala, sehingga lorong-lorong ini tidak butuh
penerangan lagi selain dari gambar-gambar di dinding.
Buat kalian yang belum tahu, aku senang menggambar
adegan yang kelam-kelam: adegan pembunuhan, orangorang ketakutan yang dikejar-kejar monster, binatangbinatang saling menerkam dan memakan, dan sejenisnya.
Aku menyadari bahwa kegemaranku ini membuatku
terlihat seperti psikopat?dan mungkin di dasar hatiku
yang terdalam, aku memang psikopat. Entahlah, aku
tidak bisa menilai diriku sendiri dengan baik. Lebih baik
orang lain saja yang menilaiku.
Jantungku nyaris berhenti berdetak saat aku melihat
bayangan-bayangan gelap melintas di depanku.
"Buset!" Kudengar suara familier memaki. "Nyaris aja
roh gue melayang gara-gara ngelihat muka lo, Rim!"
Aku memelototi dua cewek di depanku. Erika yang
Isi-Omen4.indd 54 berkacak pinggang seraya membalas pelototanku dan
Valeria yang tampak pucat tapi berhasil menyunggingkan
senyum. Dasar keterlaluan. Aku yang dibuat kaget de?
ngan kemunculan mereka yang tiba-tiba, aku juga yang
diomelin. Buat kalian yang belum tahu, aku juga menyewakan
kamar-kamar di sini dengan biaya yang sangat murah.
Tentunya tidak untuk sembarangan orang. Bahkan, se?
benarnya aku mulai menyewakan kamar-kamar di sini
sejak aku mendengar soal pertengkaran antara Valeria
dan ayahnya. Tak lama kemudian, Valeria mulai tinggal
di sini. Baru-baru ini, Erika yang sedari dulu bentrok
dengan orangtuanya mendapat pekerjaan bagus. Sejak itu
dia ikut menyewa kamar di sini juga bersama mobil
butut kesayangannya yang, omong-omong, dipanggilnya
dengan nama si Butut. Yah, jelek-jelek, mobil VW itu
pemberian pacarnya. Tidak heran Erika merawatnya se?
perti merawat barang pecah belah. Saban hari kalau
cuaca sedang enak, aku mendapatinya sedang mencuci
mobil. Kebetulan, garasi yang digunakan si Butut
terpisah sekitar sepuluh meter dari gudang besar tempat
tinggal kami, mirip miniatur gudang yang kami tempati.
Siapa sangka, ada lorong bawah tanah dari rumah induk
menuju garasi tersebut. Mendadak aku teringat suara-suara yang kudengar saat
aku pulang bersama Daniel. Tidak salah lagi, ada yang
meng?untit kami. Pertanyaannya, siapakah orangnya?
"Kalian baru pulang?"
"Jelas lah," sahut Erika pedas. "Lo kira kami sedang
jalan-jalan mengagumi lukisan-lukisan yang horornya
bikin orang kepingin bunuh diri ini?"
Isi-Omen4.indd 55 Oke, tidak perlu berlebihan soal seramnya lukisanku.
Buktinya, belum ada yang bunuh diri karenanya kok.
"Kenapa, Rim?" tanya Valeria, seperti biasa sangat
observatif. "Lo curiga ada yang ngikutin lo?"
Aku membalas tatapannya dengan penuh rasa ingin
tahu. "Apa kalian ngikutin aku?"
"Nggak mungkin lah," tukas Erika. "Knalpot si Butut
nggak kalah garang sama knalpot bajaj, nggak mungkin
bisa nyelinap-nyelinap. Lagian, tuduhan yang merendah?
kan banget. Ngapain juga kami membuntuti sepasang
merpati? Cih, lo kira kami kurang kerjaan..."
"Apa lo barusan ngomong sepasang merpati?" Valeria
menyela cerocosan Erika dengan geli.
Erika terdiam sejenak. "Kedengerannya kampungan,
ya?" "Kedengerannya lebih memalukan dari sekadar kam?
pung?an," selaku. "Lagian aku dan Daniel nggak mirip
merpati." "Jadi kalian mirip apa? Burung gagak? Orang-orangan
sawah? Tukang obat pinggir jalan?"
Sepasang burung gagak terdengar masuk akal, tapi
tentu saja aku tak bakalan mengakui hal yang malumaluin banget itu. Yang lebih penting adalah, bukan dua
cewek ini yang membuntutiku. Tapi tak apa-apa, masih
ada beberapa tertuduh lain yang bisa kupikirkan.
"Jangan kelayapan sembarangan," nasihatku sebelum
me?ninggalkan dua cewek itu. "Awas, tau-tau kalian ma?
suk jebakan." Kedua cewek itu mengerling padaku dengan tampang
tak senang, seolah-olah aku sengaja menakut-nakuti me?
reka. Padahal kan aku hanya bersikap penuh perhatian
Isi-Omen4.indd 56 selayaknya induk semang yang baik. Kadang-kadang aku
tidak mengerti jalan pikiran orang lain.
Ah, sudahlah. Sebaiknya aku segera kembali ke kamar?
ku dan mengurus urusanku sendiri saja.
Aku berputar-putar sejenak untuk meyakinkan diri bah?
wa aku tidak dibuntuti oleh Erika dan Valeria. Ya, aku
tahu, kedengarannya aku paranoid banget, tapi tidak
masa?lah. Demi keamanan, aku hanya perlu berjalan se?
dikit lebih jauh dari yang seharusnya. Upaya yang
gampang banget untuk hasil yang kuperlukan.
Apa pun yang terjadi, Erika dan Valeria tidak boleh
tahu di mana letak kamarku.
Kamarku sendiri sebenarnya terletak di dekat pintu
depan gudang?tepatnya di atas pintu depan, sehingga aku
bisa mengawasi siapa saja yang datang dan pergi. Namun
tidak banyak yang tahu soal ini. Apalagi, jendela kamarku


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilindungi teralis garis-garis vertikal mirip jeruji penjara.
Dari luar, jendela itu tampak gelap dan tak bisa ditembus.
Dari dalam, aku bisa mengintip ke luar seenak jidat.
Rumah ini memang benteng yang sempurna.
Saat aku memasuki kamarku yang gelap gulita, ter?
dengar suara rendah. "Kamu telat." Suara itu terdengar dingin menusuk, tidak pernah ga?
gal membuatku takut sejak pertama kali aku men?dengar?
nya. Aku tidak menyahutinya, melainkan menutup pintu
kamar dengan hati-hati, lalu bersandar pada pintu kamar?
ku. "Kalian mengikutiku tadi?"
"Nggak," sahut suara lain yang lebih ringan, terdengar
seperti suara anak kecil yang lincah dan menyenangkan.
"Lo dibuntuti?"
Isi-Omen4.indd 57 ain "Sepertinya. Tapi aku tidak ngelihat siapa pun di be?
lakangku tadi." "Penguntit yang lumayan sakti dong, kalo bisa nyem?
bunyiin diri dari elo," ujar suara ringan yang mirip anak
kecil itu. "Eh, gelap-gelapan begini bikin gue ngantuk
nih. Kita nyalain lampu, ya?"
Sebenarnya aku tidak terlalu membutuhkan penerang?
an. Soalnya aku sudah terbiasa gelap-gelapan begini. Ha?
nya dalam sekejap, mataku langsung terbiasa melihat
dalam kegelapan. Aku bisa melihat kamarku yang luas
namun kosong?hanya memiliki sebuah tempat tidur
kecil, sebuah meja nakas di sampingnya, serta lemari dua
pintu dan meja belajar di seberangnya. Seandainya ruang?
an ini terang benderang, kalian akan bisa melihat din?
ding bercat abu-abu suram, langit-langit sehitam langit
malam, dan lantai beton tanpa pelapis seperti di rumah
sakit. Ya, aku tahu, kamarku kedengarannya jelek banget,
tapi aku tak butuh kamar yang bagus-bagus amat kok.
Yang penting bisa kutinggali.
"Pake lilin juga udah cukup," ucap si pemilik suara
di?ngin dan tajam. "Kita nggak mau ada yang melihat
bayangan kita di luar sana."
"Erika dan Valeria nggak tau letak kamarku," kataku,
se?dikit-banyak menyadari ucapan itu tak berguna sama
sekali. "Sebaiknya kita nggak ambil risiko sama sekali." Tuh,
kan? Aku mengeluarkan pemantik, lalu menyalakan api
pada lilin-lilin di atas meja di samping kiri tempat tidur,
dekat pintu masuk. "Cukup segitu saja."
Isi-Omen4.indd 58 Aku mendongak pada si pemilik suara dingin dan
tajam. Seraut wajah putih dan dingin, lebih mirip cewek
bule daripada orang Indonesia asli dengan matanya yang
dalam, hidung yang mancung, dan bibir merah merekah.
Rambut sebahu membingkai wajahnya dengan rapi,
menambah kesan efisien dan praktis pada wajah cantik
itu. Nama cewek itu pun sesuai dengan sifat dingin dan
anggun yang melekat pada dirinya itu. Putri Badai?
nama yang keren banget, kan? Bukan hanya namanya
yang keren, melainkan seluruh dirinya memang keren.
Dia mantan ketua OSIS tahun lalu sekaligus mantan
Ketua Klub Memanah tahun lalu (yah, selain ketua OSIS,
aku juga merangkap sebagai Ketua Klub Kesenian, tapi
itu karena tak ada orang lain lagi yang bisa melukis di
sekolah kami). Kini, sebagai siswi kelas XII, Putri Badai
pensiun dari berbagai kegiatan organisasi kesiswaan.
Atau tampaknya saja begitu.
Di seluruh sekolah kami, hanya segelintir orang yang
tahu bahwa kini Putri Badai adalah pimpinan tertinggi
organisasi rahasia paling berkuasa di sekolah kami, The
Judges. Secara turun-temurun, organisasi ini biasanya
hanya memiliki dua belas anggota, dan semuanya adalah
murid-murid paling hebat di seluruh sekolah kami. Na?
mun terjadi tragedi internal yang menyedihkan di dalam
The Judges, mengakibatkan Putri Badai memecat sebagian
besar anggota senior. Kini anggota senior yang tersisa
hanyalah Putri Badai dan King, wakilnya. Sisanya adalah
anak-anak dari kelas XI, yaitu aku, Daniel, Erika, Valeria,
Aya, dan OJ. Sialnya, dari anak-anak kelas XI, hanya aku,
Daniel, dan Aya yang masih aktif. OJ kerjanya me?
Isi-Omen4.indd 59 langlang buana terus demi pekerjaan orangtuanya, se?
mentara Erika dan Valeria sepertinya menolak mentahmentah keanggotaan ini. Padahal orang lain pasti akan
melakukan apa saja supaya bisa menjadi bagian dari
organisasi eksklusif ini. Dua cewek itu memang aneh
luar biasa. "Nah, jadi kenapa kita harus berkumpul hari ini di
sini? Buang-buang waktu aja deh!"
Orang ketiga dalam kamarku adalah Aya alias Aria
Topan. Seperti anggota-anggota lain di dalam The Judges,
Aya juga bukan murid biasa. Dia bendahara di kelasnya, XI
IPS 1, sekaligus salah satu yang paling cerdas (sebenar?nya
dia ditawari masuk ke kelas genius XI IPA 1, tapi Aya tidak
berminat pada sains sedikit pun), sekaligus men?jabat
sebagai Bendahara I dalam kepengurusan OSIS.
Yang tak diketahui orang-orang lain, bahkan oleh
rekan-rekannya di The Judges (selain aku dan Putri
Badai), Aya memiliki pekerjaan sampingan lain yang
mem?buatnya memiliki julukan "Makelar". Setiap kali ada
anak-anak yang membutuhkan sesuatu, mereka hanya
perlu mencari si Makelar yang sanggup menyediakan
segala yang mereka inginkan, hanya dengan imbalan
komisi sepantasnya. Tentu saja, si Makelar tidak bodoh.
Dia membatasi kegiatannya dari perdagangan narkoba
atau barang-barang ilegal lain yang bisa membuatnya di?
kejar-kejar penegak hukum. Selain itu, dia juga rajin me?
nyelidiki setiap kliennya?apakah mereka serius, ataukah
mereka hanya main-main, ataukah mereka malah ingin
menyingkap identitasnya. Intinya, si Makelar adalah
sosok yang sangat cerdas, berhati-hati, dan sangat miste?
rius. Isi-Omen4.indd 60 Dan tak pernah ada orang yang menyangka bahwa
iden?titas aslinya adalah cewek biasa yang selalu tampil
dengan topi pet dan rambut dikucir ini.
Di balik topi petnya, Aya sebenarnya memiliki seraut
wajah yang cantik. Sepasang mata yang lebar dan ber?
sinar-sinar cerdik, hidung mungil dan mancung, bibir
kecil yang selalu pandai bersilat kata. Entah kenapa dia
selalu menyembunyikan wajahnya itu dari orang-orang?
mungkin karena dia tidak ingin dibedakan sebagai se?
orang cewek. Tubuhnya tinggi dan atletis?oke, mungkin
tingginya sama denganku, tapi dia jauh lebih berotot.
Aya tidak pernah mengkhususkan diri pada satu cabang
olahraga, tetapi setahuku dia cukup aktif dalam bidang
atletik. Setidaknya, kami berdua pernah aktif bareng di Klub
Atletik waktu masih SMP. Dulu Aya teman baikku. Tetapi, karena satu dan hal
lain, kami terpaksa berpisah jalan. Sejak saat itu Aya me?
nekuni kariernya sebagai si Makelar, sementara aku sibuk
dengan urusan melukis. Namun, hubungan kami tidak pernah bisa terputus.
"Memangnya ada masalah apa sih?" tanya Aya dengan
tampang tidak sabar. "Tau nggak, time is money? Kalo
nggak ada hubungan dengan duit, nggak usah lama-lama
deh. Lagian, gue kan udah ngerjain semua tugas gue.
Berkat upaya gue, Valeria dan Erika udah tinggal di sini.
Berarti udah beres kan urusan gue?"
Ya, bukan rahasia lagi, Aya memang matre banget. Se?
pertinya di dunia ini hanya ada satu hal yang benarbenar menarik minatnya: duit. Bahkan, meski dia men?
jabat sebagai bendahara OSIS, tadi dia tidak nongol di
Isi-Omen4.indd 61 rapat lantaran rapat itu tidak memberinya keuntungan.
Padahal, kalian juga tahu bahwa karyawisata sekolah se?
lalu memiliki banyak masalah finansial?dan itu adalah
keahlian Aya. Yah, setidaknya aku tahu, pada saatnya dia
akan selalu bisa diandalkan.
"Ini bukan soal tugas," ucap Putri Badai dengan suara?
nya yang serak dan dingin. "Tapi kita punya masalah
baru. Ada yang nggak suka dengan susunan kepengurus?
an OSIS yang baru. Mereka mengirim surat kaleng dan
mengatai kita... memanipulasi pemungutan suara."
"Lalu?" Tampaknya Aya sama sekali tidak terganggu dengan
tuduh?an itu. Padahal jujur saja, aku memang bertanyatanya. Rasanya sulit dipercaya orang-orang akan memilih
aku, Rima Hujan yang aneh dan bertampang mengeri?
kan, sebagai ketua OSIS, sementara masih banyak orang
yang bisa dijagokan. Mungkin seharusnya Daniel yang
menduduki posisi ini. Tapi berhubung tidak ada yang
protes atau merasa aneh dengan hasil pemungutan suara,
aku pun menerimanya tanpa banyak bacot. Namun,
tetap saja, jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa se?
harus?nya bukan aku yang menduduki posisi ini.
"Tahun lalu juga ada orang-orang yang menuduh
begitu," kata Putri dengan tenang. Meski sudah me?
ngenal?nya selama bertahun-tahun, aku tidak pernah bisa
menduga apa yang ada di dalam pikirannya. "Demikian
juga tahun-tahun sebelumnya. Biasanya surat-surat ka?
leng ini nggak perlu diperhatikan. Toh di mana pun
juga, selalu ada yang nggak puas dengan hasil yang udah
di?capai. Tetapi ada saatnya surat-surat ini perlu diper?hati?
kan. Seperti sekarang ini."
Isi-Omen4.indd 62 Putri mengeluarkan selembar surat dari tasnya, lalu
me?nyodorkannya padaku dan Aya.
Kepada para anggota The Judges yang terhormat,
Dengan ini kami, Kelompok Radikal Anti-Judges, menyata?kan
bahwa kami menolak keras susunan keanggotaan OSIS tahun
ini karena pemungutan suara jelas-jelas dimanipulasi. Karena
itu, kami meminta susunan keanggotaan OSIS yang sekarang
dibubarkan, dan kemudian diadakan pemungutan suara kedua
untuk membentuk susunan keanggotaan OSIS yang baru dan
bersih. Apabila tidak dilakukan secepatnya, kami akan
mengambil tindakan drastis untuk memperbaiki keada?an.
Tertanda, Kelompok Radikal Anti-Judges
"Wow," gumam Aya separuh takjub. "Surat yang
singkat, jelas, dan rrradikal, mennn."
Tidak seperti Aya yang masih bisa bercanda, perasaan?
ku jadi tidak enak. Oke, selama ini aku sudah terbiasa
di?anggap sebagai cewek yang menakutkan. Terkadang
aku bahkan merasa geli saat ada yang langsung terbiritbirit hanya karena aku nongol mendadak. Akan tetapi,
di?benci dan hendak disingkirkan seperti ini? Rasanya
aneh?dan menyakitkan, ternyata.
"Isinya nggak seberapa dibanding alamat pengiriman
surat ini," ucap Putri muram. "Surat ini aku temuin di
lokerku." Kami berpandangan dengan cemas.
"Jadi orang-orang ini tau elo Hakim Tertinggi-nya The
Judges?" tanya Aya. Isi-Omen4.indd 63 "Entahlah," geleng Putri. "Yang pasti, mereka udah
curiga?in aku sebagai anggota The Judges. Ini berarti aku
mata rantai yang berbahaya untuk The Judges. Kalo sam?
pai mereka memata-matai aku, bisa-bisa aku malah bikin
mereka tau soal The Judges." Putri berpaling padaku.
"Kamu tadi juga bilang kamu dibuntuti."
Aku mengangguk. "Tapi aku nggak tau siapa pelaku?
nya. Dan sepertinya mereka juga nggak berani masuk ke
kompleks ini." "Tapi mereka nggak bodoh. Begitu melihat kita be?
ramai-ramai masuk ke sini, mereka pasti bisa mengaitngaitkan. Nggak, kita nggak bisa ambil risiko." Putri
mondar-mandir dengan gelisah, lalu berhenti dan me?
natap kami berdua dengan tajam. Wajahnya terlihat
cantik namun keras dalam remang-remang cahaya lilin,
mirip cewek jagoan dalam film kiamat. "Kita nggak akan
berkompromi dengan pengacau-pengacau seperti ini. Me?
reka mau ambil tindakan, aku kepingin lihat mereka
seberani apa. Tapi kita juga jangan lengah. Mulai se?
karang, kita jangan pernah terlihat bersama-sama lagi.
Kita jangan ngumpul di sini, jangan terlihat ngobrol di
sekolah, jangan jalan bareng di mana pun juga. Kalo ada
apa-apa, kita kirim pesan via BBM aja."
"Dari tadi kek," gerutu Aya. "Kalo kita cuma BBM-an,
kan gue nggak perlu buang-buang waktu gini."
"Yah, bukan hanya soal itu yang perlu kubicarakan
dengan kalian," ucap Putri. "Tetapi ini mengenai dua
target kita." "Valeria dan Erika?" tanya Aya sementara aku men?
dengar?kan dengan penuh perhatian. "Memangnya ada
apa dengan mereka?" Isi-Omen4.indd 64 "Rima, mereka masih menolak keanggotaan The Judges
dan OSIS?" "Ya," anggukku. "Tadi waktu rapat karyawisata, tadinya
mereka nggak mau ikut. Untungnya aku berhasil me?
mancing mereka, tapi lalu mereka sadar bahwa dari awal
kita sudah memutuskan kita bakalan ngadain karnaval.
Jadi sekarang mereka bete lagi. Omong-omong," aku me?
noleh pada Aya, "tadi kamu juga nggak hadir di
meeting." "Sori," ringis Aya. "Tadi ada bisnis penting. Gue jadi
ke?asyik?an bales-bales SMS, tau-tau aja ketinggalan ra?
pat." "Rapat OSIS selalu jauh lebih penting," tegur Putri de?
ngan nada tajam. "Ingat tugasmu di sini, Aya. Samaran?
mu sebagai si Makelar nggak ada artinya kalo tugasmu
gagal." "Coba jelasin lagi sama gue, Kak Putri yang baik,"


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ucap Aya dengan nada dimanis-maniskan. "Apa sih tugas
gue yang penting itu?"
"Mendukung Rima menjadi ketua OSIS yang sukses,
yang otomatis akan memperbesar kekuasaan The Judges
di sekolah," Putri menatap kami berdua lekat-lekat, se?
olah-olah menginginkan kami mengukir kata-katanya di
dalam hati dengan tenaga dalam, "dan mengikat Valeria
dan Erika di dalam kekuasaan kita."
"Mengikat?" goda Aya. "Memangnya bisa? Kalo mereka
ber?dua ngamuk, kita bertiga bisa dibikin jadi marta?bak."
"Itu sebabnya kita nggak bisa mengandalkan tenaga
kita bertiga saja," jelas Putri. "Kita butuh kekuatan The
Judges untuk menekan mereka."
Isi-Omen4.indd 65 "Valeria memang target utama kita, tapi kenapa Erika
ikut-ikutan jadi target?"
"Karena Bos suka sama dia. Sepertinya, dia bisa jadi
partner tangguh untuk Valeria."
"Erika dan Valeria adalah partner," ucap Aya setengah
di awang-awang. "Jadi kita apa ya? Kroco-kroco?"
"Kita," Putri tersenyum dingin, "adalah guardian
angels?malaikat penjaga."
"Guardian angels," Aya tersenyum, "atau lowly slaves?"
Kali ini, bahkan Putri pun tidak sanggup membalas?
nya. Isi-Omen4.indd 66 Daniel AKU membuka pintu warnet Om Sugeng, dan kilasan
kenangan menyenangkan langsung menyergapku.
Warnet ini warnet langganan aku dan teman-temanku.
Dulu, waktu geng kami masih lengkap, Erika selalu
datang dan ikut bermain bersama kami?meski sesekali
dia sering membuat program-program aneh yang tak ku?
mengerti (aku suka gadget, tapi aku tidak suka ilmu
programming yang lebih mirip bahasa alien). Kini, setelah
Erika punya laptop sendiri dan mengerjakan pekerjaan
anehnya di rumah, hanya tinggal aku, Amir, dan Welly
yang masih rajin menyatroni warnet ini. Malahan, jujur
saja, aku sendiri sudah jarang datang ke sini. Habis,
belakangan ini aku benar-benar berusaha menjadi anak
yang lebih rajin. Biar tidak malu-maluin sebagai wakil
ketua OSIS gitu lho. Tapi kata-kata Erika tadi lumayan menyentakku.
"Bukan cuma gue yang udah males main sama elo. Amir
dan Welly juga udah nggak seneng sama sikap lo yang sok
elite. Mentang-mentang wakil ketua OSIS!"
Isi-Omen4.indd 67 Begitukah teman-temanku memandangku sekarang?
Sok elite, mentang-mentang wakil ketua OSIS? Dan apa?
kah betul kata Erika, bahwa semua temanku jadi malas
bergaul lagi denganku? Aku jadi merasa bersalah. Aku tahu, belakangan ini
aku berubah banyak. Tapi seperti kataku tadi, aku benarbenar berusaha untuk menjadi anak yang lebih rajin. Itu
kan perubahan yang baik banget, ya nggak? Seharusnya
seluruh dunia mendukungku dengan sekuat tenaga
(kalau perlu sambil mengenakan pakaian cheerleader yang
imut-imut). Kenapa teman-temanku malah ngambek
tanpa juntrungan seperti itu?
Sudah pasti mereka sedang bersikap kekanak-kanakan.
Mentang-mentang sekarang aku sudah jadi anak baik,
me?reka merasa aku sudah mengkhianati mereka. Itu
sama sekali tidak betul. Aku masih senang berteman de?
ngan mereka dan setia pada persahabatan kami. Andai
ada yang berani ngatain Welly atau Amir di depanku,
sudah pasti tak bakalan kulepas orang itu dalam kondisi
sehat walafiat. Tapi itu tidak berarti aku kudu memupuk
subur segala sifat jelekku demi solidaritas antarteman.
Sudah waktunya aku bersikap dewasa dan lebih ber?
tanggung jawab. Itu tidak salah, kan?
Yah, memang sih, alasan utamaku bukan demi men?
jadi manusia dewasa dan bertanggung jawab, melainkan
untuk pedekate dengan Rima. Tapi kalau pedekate de?
ngan Rima bikin aku jadi cowok yang makin keren, itu
namanya win-win solution, kan?
Tapi pokoknya, benar atau salah, aku tidak ingin
teman-temanku jadi salah paham tentang aku. Aku akan
meluruskan segalanya, aku akan minta maaf kalau
Isi-Omen4.indd 68 tingkah?ku jadi sok alim belakangan ini, kalau perlu aku
akan memohon-mohon dan traktir mereka main di
warnet selama akhir minggu ini...
Suara gelak tawa cewek yang ramai menyadarkanku
dari lamunan. Aku mengerjapkan mata, memandangi
suasana warnet Om Sugeng yang sama sekali tidak mirip
dengan apa yang pernah kuingat. Yang kuingat adalah
ruangan yang terang dan terlihat luas meski warnet itu
berukuran kecil, dengan pengunjung-pengunjung berupa
anak-anak kecil dan ABG yang sedang ketagihan online
game atau mahasiswa-mahasiswa kurus berkacamata yang
layak menyandang julukan "nerd" atau "geek". Kalau ada
anak-anak preman yang datang untuk mengacau suasana
warnet, kami?aku, Erika, Amir, dan Welly?akan mem?
bantu Om Sugeng menertibkan mereka. Terkadang tegur?
an saja sudah cukup, tapi terkadang kami terpaksa harus
menendang mereka keluar dari warnet. Sebagai imbalan,
kami diberi beberapa jam gratis bermain internet. Bisa
dibilang, kami ini satpam warnet Om Sugeng.
Namun kini ruangan itu terlihat jauh lebih sempit
dari ingatanku. Suara-suara tembakan atau teriakan ber?
bahasa Inggris dari speaker PC berganti dengan celotehan
live yang lincah dan feminin mengenai Facebook, It Girl,
dan?what the h...?rencana jalan-jalan hari Minggu. Se?
saat aku merasa dunia menjadi buram hingga mataku
menangkap bayangan tinggi kurus berwarna putih mirip
tengkorak berjalan bersanding dengan tong besar bulat
dengan wajah welas asih. Ah, itu dia sobat-sobatku! Tapi kenapa hari ini mereka
di?kelilingi banyak cewek? Bukannya biasanya mereka
nggak laku? Isi-Omen4.indd 69 "Mir!" seruku lega seraya menghampiri meja yang di?
tempati kedua anak itu. "Wel! Ngapain lo berdua?"
"Niel!" Amir langsung merangkulku. "Cewek-cewek,
kalian pasti udah kenal Daniel, kan?"
Ih. Kenapa Amir jadi lebay begini? Lebih parah lagi,
cewek-cewek itu mulai memandangiku dengan tatapan
familier yang membuatku risi. Bukannya sombong, aku
sudah sering banget mendapatkan tatapan itu?tatapan
penuh kekaguman dan rada menggoda. Dulu, saat aku
masih muda dan tolol, aku selalu ge-er dan girang saat
mendapatkan tatapan seperti itu. Kini, rasanya begitu
canggung dan bikin malu. "Hai," sapaku tanpa benar-benar memandangi cewekcewek itu. "Tumben semua main ke sini?"
"Daniel, hai!" Omaygattt, ada cewek nemplok di lengan?
ku! "Inget gue nggak? Tadi kita meeting bareng. Gue yang
ngajuin ide stan ramalan cinta tadi di rapat OSIS."
Lagi-lagi aku mengerjapkan mata. Sesaat aku tidak me?
ngenali cewek yang bergelayut di lenganku itu karena
cewek-cewek ini mirip-mirip?semuanya berambut pan?
jang, beberapa lurus dan beberapa dikeriting, wajah dimakeup tipis, wajah semuanya cantik-cantik. Tapi lalu
samar-samar aku teringat cewek bernama Cecil. Dia ter?
masuk salah satu anggota OSIS yang cukup aktif?dan
mungkin sering juga pedekate denganku, hanya saja aku
tidak terlalu ingat lantaran terlalu banyak cewek yang
pedekate denganku. Akan tetapi aku tidak terlalu meng?
ingatnya karena, meski sering nongol, cewek itu jarang
benar-benar bekerja. Dia dan teman-temannya termasuk
anggota-anggota OSIS yang muncul hanya untuk
ngeceng dan main. Isi-Omen4.indd 70 Kenapa sih Amir dan Welly mendadak bergaul dengan
cewek-cewek seperti ini? "Oh ya, hai, hmm Cecil ya?"
"Wah, lo inget, padahal kita belum pernah sekelas!"
Oke, sekarang lenganku dipeluk erat-erat. Rasanya ti?
dak nyaman banget. Aku berusaha melepaskan diri, tapi
dia seperti permen karet bekas yang tidak bisa disingkir?
kan. Gawat, bagaimana caranya melepaskan diri dari
makhluk lengket ini? "Niel, inget gue juga dong! Gue Nina, Niel."
"Gue Ida, Niel. Jangan sampe lupa ya. Nih, ada tahi
lalat cantik di sudut bibir gue, kayak Madonna!"
"Gue Kiko, Niel! Gue Kiko!"
Arghhh. Pusing aku jadinya!
"Eh, Niel, weekend ini kami semua mau pergi jalanjalan, sekalian nonton nih! Amir dan Welly ikut juga
lho! Lo ikut juga ya? Harus, Niel! Kalo nggak ada lo,
nggak seru!" Gawat. Gara-gara dikerubungi begini, aku jadi tidak
bisa mengingat rencanaku akhir minggu ini. Tapi peduli
amat, meski rencanaku saat itu hanya molor selama
empat puluh delapan jam, aku tak bakalan mau meng?
ubahnya demi pergi jalan-jalan dengan cewek-cewek ini.
Baru berada di antara mereka selama lima menit saja aku
sudah mabok darat begini, apalagi seharian!
Tapi aneh. Biasanya cewek-cewek ini punya kecengan
sendiri kok. Kenapa tahu-tahu sekarang mereka pedekate
denganku? "Daniel mah nggak bisa diharapin," tukas Welly. "Dia
selalu punya banyak acara di akhir minggu."
Isi-Omen4.indd 71 Yes! Welly memang oke banget. Tidak menyesal aku
punya teman seperti dia. "Yaaaah," keluh cewek bernama Nina dengan mata
ber?kaca-kata seperti baru saja mendengar kabar dunia
bakalan kiamat. "Kalo gitu batal aja deh, semuanya!
Nggak asyik ah kalo nggak ada Daniel!"
"Niel!" Amir langsung menyikutku. Meski seluruh
tubuh?nya rada empuk, sikunya sama tajamnya dengan
siku Welly yang bentuknya mirip senjata untuk me?muti?
lasi orang. "Lo jangan keterlaluan gitu dong! Masa lo
tega ngecewain cewek-cewek cantik ini?"
"Iya, bener!" sambung Welly penuh semangat. "Apa lo
nggak kasian sama cewek-cewek ini? Mereka udah jauhjauh ke sini buat ngajakin kita lho!"
Sial, kenapa tahu-tahu Welly malah berbalik men?
dukung Amir? Oh, aku tahu. Pasti tadi dia bukannya
me?mikir?kan kepentinganku, melainkan hanya kepingin
menyingkirkanku supaya dia bisa memonopoli cewekcewek itu bersama Amir. Jelas, kalau aku nongol, mereka
berdua akan langsung tersingkir tanpa sempat memberi
per?lawanan. Dasar brengsek.
Aku memandangi kedua sohibku yang bejat itu dengan
bete. "Sori, gue sibuk weekend ini. Ada acara penting
sama nyokap gue." "Yah, cuma acara keluarga membosankan begitu, kan
bisa di-cancel!" cetus Ida.
"Nggak," tegasku. "Sori, tapi nyokap gue tuh orang
beken dan sibuk. Gue aja jarang bisa ketemu meski gue
anaknya sendiri. Wel, Mir, lo berdua juga tau kan, waktu
bersama nyokap gue itu sangat berharga. Jalan-jalan
Isi-Omen4.indd 72 bareng kalian bisa kapan aja, tapi kalo acara bareng
nyokap, belum tentu bisa sebulan sekali. Jadi, lain kali
aja ya ngajaknya!" Mungkin ucapanku yang panjang-lebar ini kedengaran
jutek banget. Tapi berhubung aku mengucapkannya de?
ngan nada yang ramah, baik hati, dan penuh penyesal?
an, tak ada satu pun yang tampak marah atau ter?sing?
gung mendengar penolakanku (kalau ini kulakukan di
media chatting, sudah pasti ucapanku dipenuhi dengan
emotikon pelukan, hati, dan ciuman). Cewek-cewek
meng?erang dengan suara kecewa, sementara Amir dan
Welly tampak muram. "Dasar perusak suasana," gerutu Welly pelan namun
jelas terdengar olehku. "Nolakin ajakan cewek, bisa karma lho, Niel!" sam?
bung Amir dengan suara menegur.
Ouch. Mendadak aku teringat pada Rima dan
penolakan-penolakannya yang membuatku merasa seperti
pe?cundang. Apa semua itu adalah karma lantaran se?
karang aku sering menolak ajakan orang lain? Omaygattt.
Aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya.
"Okelah," sahutku berat hati. "Akan gue pikirin gi?
mana caranya supaya bisa pergi." Semua orang sudah
siap bersorak girang, tapi aku buru-buru menyetop me?
reka. "Tapi gue nggak janji ya!"
Namun sepertinya ucapanku yang terakhir itu tidak
didengarkan lagi. Suasana langsung kembali riang seperti
sediakala. Cewek-cewek meminta Amir dan Welly untuk
mengajari mereka bermain online game yang lebih keren
daripada sekadar permainan di Facebook, dan kedua
temanku yang biasanya main Farmville itu mendadak
Isi-Omen4.indd 73 jadi pakar CounterStrike. Bunyi senapan dan granat
mulai merajalela di dalam ruangan warnet, bahkan salah
satu cewek meminta Om Sugeng untuk mematikan
lampu supaya lebih seru. Untuk menghindari pembicara?
an dengan cewek-cewek, aku berjalan menuju kulkas dan
mengambil minuman. Celakanya, aku diikuti oleh serombongan cewek. Oke,
cuma tiga?Cecil, Nina, dan Kiko?tapi tetap saja rasanya
jadi pengap banget. "Beliin minuman juga dong, Niel!" ucap mereka nyaris
kompak dengan nada menggoda.
Aish, terkadang aku bingung dengan kontradiksi antara
aku yang dulu dan aku yang sekarang. Aku yang dulu
pasti akan senang sekali membelikan minuman untuk
cewek-cewek itu, meski imbalannya hanya sekadar men?
dengar mereka memuji-mujiku. Tapi kini aku malah ber?
pikir, "Cewek-cewek juga pinter malak ya!"
Aku bertanya-tanya sebenarnya apa yang membuat
pola pikirku jadi berubah begini.


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke. Mau minum apa?"
Aku mengambil minuman yang diinginkan cewekcewek itu dari dalam kulkas, membukanya dengan pem?
buka botol yang menempel di pinggiran kulkas, lalu
me?nyodor?kannya pada Cecil, Nina, dan Kiko.
Saat itulah aku melihat cewek itu.
Penampilan cewek itu tidak jauh berbeda dengan
teman-temannya. Rambut panjang keriting dengan
highlight merah, wajah dipoles makeup tipis, dan gaya
penuh percaya diri tipikal cewek-cewek populer. Namun,
berbeda dengan teman-temannya, cewek itu duduk di
pojok ruangan. Meski begitu, dia sama sekali tidak ke?
Isi-Omen4.indd 74 lihat?an terkucil. Bahkan dia tampak anggun dan dewasa,
mirip seorang kakak sulung yang sedang mengawasi
adik-adiknya yang nakal. Saat aku mengarahkan tatap?an?
ku padanya, kudapatkan dia sedang memandangiku juga.
Sepertinya dia sudah mengawasiku dari tadi.
Aneh sekali, kenapa aku sama sekali tidak menyadari?
nya? Aku mengacungkan minumanku seraya mengangkat
alis, bahasa isyarat yang cukup umum untuk "Mau mi?
num nggak?". Cewek itu tersenyum seraya mengangguk
dan menyahut tanpa suara, "Fanta merah."
Aku segera membawakan minuman itu padanya.
"Thanks," senyumnya seraya menyambut minuman
itu. "Gue Nikki."
Aku memutar otak, berusaha menggali ingatanku, apa?
kah aku pernah mendengar nama Nikki. Nope, tidak per?
nah. "Daniel." "Gue tau," sahut Nikki sambil menyesap minumannya.
"Siapa yang nggak kenal Daniel, cowok paling populer
di SMA Harapan Nusantara, wakil ketua OSIS sekaligus
pianis terbaik sepanjang sejarah sekolah kita?"
Aku nyengir. "Kayaknya itu deskripsi yang terlalu ber?
lebihan deh." "Nggak kok. Buktinya, sepuluh cewek di sini semuanya
datang buat nyariin elo."
Aku menghitung jumlah cewek yang ada dengan
cepat. "Termasuk elo?"
Cewek itu tersenyum lagi. "Termasuk gue."
"Waduh, beruntung banget ya gue," ucapku, tidak
tahu harus merasa girang atau ketakutan. "Kenapa men?
dadak semua nyariin gue hari ini?" Sebelum cewek itu
Isi-Omen4.indd 75 me?nyemburkan pujian-pujian kosong, aku cepat-cepat
menambahkan, "Gue tau gue ganteng, keren, dan sebagai?
nya, tapi sebelum ini kalian nggak pernah sebuas ini
nge?rubutin gue." "Wah, seperti kata orang, lo memang nggak cuma gan?
teng." Aku mendengus. Tentu saja. Kalau cuma modal
tampang sih, aku tidak akan begini legendaris. "Nggak
percuma kami bela-belain datang ke sini hari ini. Begini
Niel, dari dulu lo memang salah satu cowok paling
beken dan diminati di sekolah kita, tapi selain elo, ma?
sih ada beberapa cowok lain yang juga sama okenya,
kan?" Ah, pernyataan yang merendahkan. Aku bukan cuma
salah satu cowok paling beken?aku memang cowok pa?
ling beken. "Tapi, sejak lo jadi wakil ketua OSIS, wibawa lo me?
lonjak tinggi, lo berubah jadi jauh lebih bertanggung?
jawab, nilai-nilai lo jadi makin bagus. Nggak heran, se?
mua orang memprediksikan lo bakalan jadi salah satu
lulusan paling sukses di sekolah kita. Jadi," Nikki ter?
senyum manis, "selamat, sekarang lo cowok paling beken
dan diminati di sekolah kita."
Dulu, predikat itu pasti bakalan membuat hidungku
jadi lebih besar dan keren. Tapi sekarang, entah kenapa,
kedengarannya begitu bodoh dan dangkal.
"Jangan heran kalo sekarang bakalan banyak cewek
yang agresif sama elo, Niel. Semua kepingin lo jadi pacar
mereka, secepatnya."
Sekarang aku kedengaran seperti sepotong tulang yang
diperebutkan oleh anjing-anjing kelaparan. Mengerikan.
Isi-Omen4.indd 76 "Termasuk gue."
Oke, kali ini aku melongo lantaran tidak menyangka
ucapan yang keluar dari mulut cewek itu. Tapi Nikki ha?
nya berdiri dengan perlahan, anggun bagaikan kucing
yang lentur namun percaya diri, lalu berjalan meng?
hampiriku. "Satu peringatan dari gue, Niel, nggak ada cowok yang
bisa menolak gue," bisiknya seraya mendongak padaku.
"Hari ini hanya perkenalan kita aja, oke?"
Mulutku makin ternganga saja saat bibir cewek itu me?
nyentuh pipiku. Tapi sebelum aku bereaksi, cewek itu
sudah melenggang pergi dan meninggalkan warnet.
Oke, ini pertama kalinya.
*** Hal pertama yang kulakukan begitu di rumah adalah
menyalakan lagu keras-keras di ruang tamu.
Orang mungkin menduga penyanyi favoritku adalah
lagu Metallica atau Bon Jovi yang keras, atau lagu brutal
Linkin? Park (seperti selera Erika), atau barangkali lagu
rap ala Akon. Orang-orang itu bakalan kecewa. Seleraku
ter?masuk amat sangat konvensional.
Suara Michael Buble memenuhi ruangan dengan lagu
suramnya Home. Another summer day Has come and gone away In Paris and Rome But I wanna go home Mmmmmmmm Isi-Omen4.indd 77 Maybe surrounded by A million people I Still feel all alone I just wanna go home Oh, I miss you, you know Aku mengempaskan tubuhku di sofa, memandangi
langit-langit. Sial, lagu itu benar-benar tepat menusuk
perasaanku. Begitu banyak orang tadi, tapi entah kenapa,
aku tidak merasa betah di sana. Pikiranku terus tertuju
pada sebuah tempat di mana aku ingin berada.
Bersama Rima. Serius, aku tidak merasa aku naksir cewek itu?setidak?
nya, aku tidak menganggapnya pengganti Val. Di hatiku,
aku tahu Val masih cewek nomor satu. Dialah cewek
yang paling kuinginkan di dunia ini, namun aku tak
mungkin mendapatkannya. Sementara Rima, Rima adalah
cewek yang kuanggap sahabatku, sama seperti Erika.
Hanya saja Erika selalu lebih mirip teman cowok dari?
pada teman cewek (jadi aku lebih suka membanding?kan?
nya dengan Amir atau Welly). Bisa dibilang, Rima saha?
bat cewekku yang pertama.
Dan aku kangen banget saat-saat kebersamaan kami.
Bukannya saat-saat itu berlangsung lama. Kalau ku?
ingat-ingat lagi, paling-paling kami hanya bersahabat se?
lama semingguan. Tapi dalam seminggu itu, semuanya
terjadi begitu cepat?sampai-sampai aku tidak segansegan memercayakan nyawaku pada kemampuan Rima.
Bagi?ku, Rima sahabat yang bisa diandalkan. Saat aku
jatuh, dia akan ada di sana untuk menangkapku. Saat
aku berada dalam kesulitan, tanpa meminta pun, aku
Isi-Omen4.indd 78 su?dah tahu dia akan membantuku. Saat aku nelangsa,
dia ada di sana untuk menghiburku.
Tapi sekarang dia tidak ingin menjadi temanku lagi,
dan aku merasa sangat kesepian.
Aku mengusap mataku yang lelah dengan punggung
tanganku. Haish, sore ini benar-benar menguras tenaga?
ku. Mungkin ada bagusnya aku tidur barang satu-dua
jam?atau lebih bagus lagi, tidur sampai besok pagi. Toh
tidak ada yang perlu kulakukan. Biasanya aku suka me?
nelepon Val malam-malam, tapi sudah lama dia bilang
dia takkan menerima teleponku lagi kecuali ada masalah
penting yang menyangkut hidup dan matiku. Jadi se?
karang aku tidak punya kerjaan pada malam hari. Palingpaling hanya PR, dan seingatku PR malam ini gampang
banget. Mendadak tanganku yang menutupi wajahku ditekan
sampai-sampai aku tak bisa bernapas. Aku mengapmengap seraya memberontak. Dalam bayanganku, aku
mirip banget seperti ikan yang ditarik keluar dari akua?
rium dan siap disembelih. Tak heran aku berteriak ngeri,
dan tekanan itu langsung terlepas?diikuti oleh tawa me?
lengking yang lebih keras daripada suara stereo Mr.
Buble. "Ma!" protesku sambil memandangi ibuku yang me?
mukuliku seraya tertawa terpingkal-pingkal. "Gila, anak
sendiri nyaris dibunuh gitu demi bercandaan nggak
lucu!" "Abis tampangmu kayak orang mau bunuh diri," cele?
tuk ibuku. "Jadi sekalian aja Mama bantuin. Eh, minggir
dong, biar Mama duduk juga."
Dengan jengkel aku menggeser posisi dudukku. Kulirik
Isi-Omen4.indd 79 ibuku yang, dalam usianya yang sudah kepala empat,
masih tampak seperti seorang mahasiswi. Rambutnya
yang panjang, dicat cokelat, dan biasa dikuncir di bela?
kang itu tampak riap-riapan, sementara wajahnya yang
biasanya dirias rapi kini rada acak-acakan. Eye liner-nya
rada luntur di ujung mata serta di bawah kelopak mata,
membuatnya tampak mirip panda mutan. Pakaiannya
yang hanya berupa tanktop dan celana training terlihat
kusut. Kesimpulan yang bisa kubuat adalah: ibuku baru
saja bekerja selama 48 jam.
Ibuku seorang penulis novel fiksi yang sangat terkenal.
Jika aku menyebutkan namanya di sini, kalian pasti akan
langsung mengenalnya. Barangkali beberapa di antara
kalian penggemarnya juga. Tapi supaya cerita ini tidak
melenceng pada ibuku dan lebih berfokus pada diriku
sendiri, aku akan merahasiakan namanya.
Sejak aku kecil, ayahku sudah meninggal, jadi keluarga?
ku hanya terdiri atas aku dan ibuku. Waktu itu ibuku
ditinggal tanpa memiliki apa-apa, dan harus merangkak
dari nol selama belasan tahun untuk menjadi seseorang
yang sukses dan terkenal seperti sekarang ini. Terkadang
dia tidak bisa memperhatikanku sesering ibu-ibu lain
pada anaknya?itu sebabnya aku tumbuh menjadi anak
yang nakal dan haus perhatian.
Belakangan ini, aku mulai dewasa. Aku sudah bisa me?
nerima bahwa, meski ibuku bukanlah ibu-ibu normal
yang bisa memperhatikanku setiap saat, dalam soal kasih
sayang beliau tidak kalah dengan ibu-ibu lain. Lebih
penting lagi, hubunganku dengan ibuku jauh lebih baik
dibandingkan dengan teman-temanku dengan orangtua
mereka, lantaran kami hanya punya satu sama lain. Jadi,
Isi-Omen4.indd 80 tidak apa-apa ibuku sibuk bekerja dan mengurung diri
dalam dunia imajinasi yang tak kumengerti. Aku bisa
meng?urus diri sendiri, dan aku menikmati masa remajaku
kok. Aku benar-benar tidak punya keluhan terhadap
hidupku saat ini. Kecuali masalah yang baru saja menyita pikiranku
itu. "Di dunia ini nggak ada nyokap yang membantu anak?
nya bunuh diri, kali," gerutuku.
"Yah, di dunia ini jarang sekali ada orang yang bener?
an mau bunuh diri," sahut ibuku seenaknya. "Biasanya
me?reka cuma kepingin bunuh diri, tapi habis itu ketakut?
an dan batal. Mama cuma mau nunjukin ke kamu bah?
wa nyaris mati itu nggak enak, jadi mendingan jangan
mikirin soal bunuh diri."
"Tetep aja, Mama satu-satunya nyokap yang brutal
begitu, kali." "Ah, kamu belum pernah lihat nyokap-nyokap yang
brutal beneran," kilah ibuku, lalu menyikut-nyikutku.
Omaygattt, kenapa sih hari ini semua orang menyikutku
terus? "Jadi, kenapa tampangmu depresi begitu? Karena
masalah cewek?" Astaga, sepertinya semua orang di sekitarku adalah
cena?yang. "Kamu ditolak?"
Arghhh! "Nggak usah diumumkan kenceng-kenceng
gitu," gerutuku. "Tapi ini nggak seperti yang Mama
bayang?in. Aku nggak punya perasaan romantis sama dia
kok. Kami hanya berteman. Bersahabat baik, sebenarnya.
Cuma sekarang dia udah nggak mau temenan lagi sama
aku." Isi-Omen4.indd 81 "Oh. Kenapa? Karena kamu brengsek?"
Ouch. "Ya, menurut dia sih begitu. Tapi aku benarbenar nggak bermaksud ngelakuin itu kok."
"Yah, jangan NATO dong. No Action Talk Only. Yang
beginian harus dibuktiin dong."
"Udah," sahutku. "Belakangan ini aku berubah banyak
demi buktiin aku benar-benar kepingin temenan sama
dia. Sekarang aku udah rajin sekolah, rajin belajar, rajin
ikut kegiatan. Mama juga lihat, kan?"
"Nggak." Aku memelototi ibuku, tapi beliau hanya mengangkat
bahu. "Mau gimana? Mama kan kerja terus," kilah ibuku.
"Lagi?an, kamu tau sendiri, Mama nggak akan paksa
kamu untuk jadi anak yang rajin atau apalah. Mama sen?
diri bukan ibu yang sempurna, jadi Mama nggak akan
maksain kamu ngelakuin apa yang Mama inginkan."
Ucapan ibuku membuat ingatanku melayang pada saat
pertama kali aku tidak naik kelas. Berbeda dengan reaksi
ibu anak-anak lain yang menangis histeris atau memakimaki anaknya di depan umum, ibuku hanya kalem
saja. "Kenapa kamu nggak naik kelas?" tanya ibuku waktu
itu. "Kamu marah sama Mama, jadi kamu sengaja nggak


Omen 4 Malam Karnaval Berdarah Karya Lexie Xu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

naik kelas?" "Nggak," sahutku cepat. "Bukan karena Mama kok.
Aku cuma... bosen." Ibuku diam lama sekali mendengar jawabanku. Lalu,
tanpa disangka-sangka, beliau berkata, "Oke. Mama
nggak akan maksa kamu untuk belajar lebih keras. Tapi
satu hal yang Mama ingin kamu selalu ingat, Niel."
Isi-Omen4.indd 82 Ibuku menatapku dengan kelembutan yang membuatku
nyaris menangis. "Mama selalu sayang sama kamu apa
adanya. Jadi, apa pun yang kamu lakukan, jangan kamu
lakukan karena kamu pikir Mama nggak peduli. Mama
peduli sama kamu. Malahan, kamu satu-satunya yang
Mama peduliin di dunia ini. Kalo nggak peduli sama
kamu, Mama nggak mungkin akan kerja sekeras ini."
"Jadi maksud Mama, nggak ada bedanya aku jadi anak
baik atau anak nakal?"
Ibuku tersenyum. "Seandainya kamu jadi pemenang
Nobel, Mama akan bahagia sekali. Tapi seandainya kamu
memilih untuk jadi tukang ojek payung pun, perasaan
Mama terhadap kamu akan tetap sama."
Pada saat itu, aku tidak mengerti. Aku mengira itu
hanya pidato penuh muslihat seorang ibu untuk mem?
buat anaknya terharu dan berubah. Jadi, setelah itu, aku
makin saja menjadi-jadi. Bolos sekolah, berantem, pacar?
an, dugem, belum lagi beberapa kali tidak naik kelas?
dan semua itu tidak membuat sikap ibuku padaku jadi
berubah. Beliau tetap menyayangiku dan menerimaku
apa dayanya. Saat aku berantem, dengan tenang dia
meng?obatiku dan bertanya "Lawanmu lukanya lebih
parah nggak?" Saat aku ketahuan bolos sekolah, beliau
hanya bertanya, "Asyik, jalan-jalannya?" Dan saat
orangtua-orangtua yang anaknya kupacari melabrak ke
rumah, beliau hanya bilang, "Ah, Bapak, kayak dulu
nggak pernah aja." Perlahan-lahan, aku pun mengerti. Ibuku memang bu?
kan ibu biasa. Beliau tidak bisa mencurahkan banyak
per?hatian padaku bukan karena beliau tidak mau, me?lain?
kan karena tidak sanggup. Beliau terlalu sibuk berjuang
Isi-Omen4.indd 83 untuk menyediakan hidup yang layak untukku?dan
selama ini beliau berjuang sendirian. Tidak banyak di
dunia ini orang-orang yang peduli pada kita. Apa yang
kita makan hari ini, tempat seperti apa yang kita tiduri,
apakah kamar mandi yang kita gunakan bersih atau
jorok. Dalam kasusku, di dunia ini, satu-satunya orang
yang peduli hanyalah ibuku seorang diri.
Kenapa aku begitu buta selama ini?
Jadi, aku pun mulai berubah. Aku tidak lagi berteman
dengan anak-anak yang betul-betul rusak?dan percaya?
lah, Amir dan Welly, meski tampang mereka tidak me?
yakin?kan, adalah anak-anak yang jauh lebih baik dari
ke?banyakan anak-anak bandel. Mereka tidak pernah men?
cari masalah yang tidak perlu, mereka tidak pernah men?
coba narkoba, mereka tidak pernah mengajak cewekcewek pergi malam-malam (yah, yang terakhir ini
mung?kin karena keterbatasan wajah mereka, tapi tetap
saja, aku menghargai mereka).
Lalu kami bertemu Erika?dan mendadak kami men?
jadi satpam gratisan di sekolah. Memang tampang kami
masih preman banget, tapi sebenarnya kami berusaha
pasang gaya segahar mungkin supaya tidak ada yang
berani mengacau. Yang masih tidak tahu diri, tentu saja
akan mendapatkan bogem mentah dari kami. Tidak ada
yang berani melawan kami. Di kalangan atas ada The
Judges yang berkuasa, sementara di kalangan bawah,
kami berempatlah jagoannya.
Jatuh Cinta Sama Lo 6 Pendekar Mabuk 70 Hilangnya Kitab Pusaka Pendekar Pedang Pelangi 14

Cari Blog Ini